SURAT KEDUA PULUH SEMBILAN
(Surat kedua puluh sembilan ini menjelaskan sembilan bagian)
BAGIAN PERTAMA
(Terdiri dari sembilan nuktah)
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ
وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَم۟دِهٖ
Saudaraku yang mulia, setia, dan jujur! serta sahabatku yang tulus dan tekun dalam berkhidmah pada al-Qur’an!
Dalam suratmu kali ini, engkau memintaku untuk memberikan jawaban atas sebuah persoalan penting, namun waktu dan kondisiku tidak memungkinkan untuk itu.
Saudaraku, jumlah orang yang menyalin Risalah Nur tahun ini bertambah banyak, alhamdulillah. Koreksian kedua datang kepadaku sehingga membuatku sibuk sepanjang hari. Karena itu, banyak urusan penting yang tertunda. Sebab, menurutku tugas ini lebih penting daripada yang lain. Terutama, pada bulan Sya’ban dan Ramadhan. Oleh karena porsi hati lebih banyak daripada akal, dan jiwa sudah mulai bergejolak, maka persoalan penting ini kutunda ke waktu yang lain. Ketika, dengan rahmat Allah, sesuatu terlintas di dalam hati, aku akan menuliskannya untuk kalian sedikit demi sedikit. Sekarang, aku akan menjelaskan tiga nuktah.(*[1])
Nuktah Pertama:
“Berbagai rahasia al-Qur’an tidak bisa diketahui secara sempurna, dan hakikatnya tidak bisa dijangkau oleh para mufassir.” Konsep ini memiliki dua aspek. Sementara orang-orang yang mengatakannya terbagi dalam dua kelompok:
Kelompok Pertama: kalangan yang berpegang pada kebenaran, berilmu, dan peneliti. Mereka mengatakan, “al-Qur’an merupakan kekayaan besar yang tak pernah habis. Setiap generasi bisa mengambil bagian dari hakikatnya yang tersembunyi di mana hal itu merupakan penyempurna, disertai sikap menerima nash-nash al-Qur’an dan hukumnya yang jelas tanpa ada sikap mencampuri atau menyentuh berbagai hakikat tersembunyi yang menjadi milik generasi lain.”
Ya, berbagai hakikat al-Qur’an semakin jelas seiring dengan perjalanan waktu. Ini bukan berarti meragukan penjelasan hakikat al-Qur’an yang telah disampaikan oleh generasi salaf salih. Sebab, ia merupakan nash yang qath’i dan hal prinsipil yang harus diimani.
Allah berfirman:“Ini adalah lisan (bahasa) Arab yang jelas,” (QS. an-Nahl [16]:103).Ayat di atas menegaskan bahwa makna al-Qur’an sangat jelas.Pesan ilahi, dari awal sampai akhir, berkisar di seputar makna tersebut serta menguatkannya sehingga menjadi sebuah aksioma. Karena itu, menolak sejumlah makna yang didasari dengan nash akan mengantarkan pada sikap mendustakan Allah, dan menganggap rancu pemahaman Rasul.
Dengan kata lain, makna-makna yang didasari dengan nash tersebut terambil dari sumber risalah beliau secara bersanad. Bahkan Ibnu Jarir ath-Thabari menulis tafsirnya yang agung dengan menyandarkan seluruh makna al-Qur’an kepada sumber risalah tersebut.
Kelompok Kedua: mereka adalah “teman yang bodoh” yang lebih banyak merusak daripada memperbaiki, atau “musuh yang licik” yang ingin menentang hukum-hukum Islam dan berbagai hakikat iman. Mereka berusaha menemukan celah dari sejumlah surah al- Qur’an yang keseluruhannya seperti pagar baja dengan maksud untuk membentengi al-Qur’an. Begitulah kata mereka. Mereka menyebarkan berbagai ungkapan semacam itu untuk menanamkan keraguan seputar hakikat iman dan al-Qur’an.
Nuktah Kedua:
Allah telah bersumpah dalam al-Qur’an dengan banyak hal. Sumpah al-Qur’an tersebut berisi sejumlah poin yang sangat penting dan rahasia yang sangat banyak. Di antaranya:
1. Firman Allah dalam surah asy-Syams: “Demi matahari dan sinarnya di pagi hari.” (QS. asy-Syams [91]: 1). Sumpah pada ayat tersebut menjadi petunjuk yang memperlihatkan alam laksana istana dan kota besar di mana ia merupakan landasan dari perumpamaan indah yang terdapat dalam “Kalimat Kesebelas”.
2. Firman Allah dalam surah Yâsîn: “Yâsîn. Demi al-Qur’an yang penuh hikmah.” (QS. Yâsîn [36]: 1-2). Sumpah pada ayat tersebut mengingatkan kesucian ke- mukjizatan al-Qur’an, dan bahwa al-Qur’an merupakan sesuatu yang sangat penting sehingga menjadi alat sumpah.
3. Firman Allah dalam surah an-Najm: “Demi bintang ketika terbenam.” (QS. an-Najm [53]: 1). Sumpah pada ayat tersebut menunjukkan bahwa jatuhnya bintang merupakan tanda terputusnya informasi gaib dari jin dan setan sebagai upaya pencegahan bercampurnya syubhat dengan wahyu ilahi. 4. Firman Allah dalam surah al-Wâqi’ah: “Maka Aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang. Dan sesungguhnya itu benar-benar sumpah yang besar sekiranya kamu mengetahui.” (QS. al-Wâqi’ah [56]: 75-76). Sumpah pada ayat tersebut mengingatkan akan keagu- ngan qudrah Tuhan dan kesempurnaan hikmah-Nya dalam meletakkan bintang pada posisinya dengan sangat sempurna berikut ukurannya yang besar, serta bagaimana Dia menjalankan planet dengan sangat cepat.
5. Firman Allah dalam surah adz-Dzâriyât dan al-Mursalât: “Demi angin (yang menerbangkan debu). ” (QS. adz-Dzâriyât [51]: 1). “Demi malaikat (yang diutus untuk membawa kebaikan).”(QS. al-Mursalât [77]: 1). Sumpah pada dua ayat di atas mengingatkan tentang berbagai hikmah yang agung dalam gerak udara dan pengarahan angin. Pasalnya, Allah bersumpah dengan para malaikat yang diperintah mengarahkan angin. Hal itu mengalihkan perhatian kita kepada urusan yang tadinya dianggap kebetulan, ternyata mengandung sejumlah hikmah yang mendalam dan menunaikan berbagai tugas yang mulia.
Begitulah, Setiap posisi sumpah memiliki kedudukan yang sangat penting. Karena waktu yang ada tidak memungkinkan untuk memberikan penjelasan secara rinci, kami akan menjelaskan secara global satu hal penting dari berbagai hal penting yang dikandung oleh sumpah dalam surah at-Tîn:“Demi buah Tin dan Zaitun.” (QS. at-Tîn [95]: 1).
Lewat sumpah dengan buah Tin dan Zaitun, Allah mengingatkan tentang keagungan qudrah-Nya, kesempurnaan rahmat-Nya, dan kebesaran nikmat-Nya. Dia mengalihkan pandangan manusia yang terperosok ke dalam tingkatan paling rendah dan menunjukkan bahwa manusia mampu mencapai tingkatan maknawiyah yang tinggi. Bahkan, ia bisa naik menuju tingkatan yang paling tinggi lewat syukur, tafakkur, iman, dan amal salih. Penyebutan buah Tin dan Zaitun secara khusus sebagai sumpah di antara berbagai nikmat lainnya adalah karena:
Kedua buah tersebut bermanfaat dan penuh berkah. Penciptaannya dan nikmat yang terdapat di dalamnya sangat besar sehingga perlu mendapat perhatian. Buah Zaitun menjadi landasan penting dalam kehidupan sosial dan bisnis, sebagai sarana pencahayaan, dan sebagai nutrisi bagi manusia. Demikian pula buah Tin. Penciptaan buah Tin menunjukkan salah satu mukjizat qudrah ilahi yang luar biasa. Misalnya, ketika Allah memasukkan berbagai perangkat pohon Tin yang besar ke dalam benihnya yang sangat kecil. Sumpah dengannya juga mengingatkan tentang nikmat-nikmat ilahi yang terdapat pada rasanya, manfaatnya, dan kemunculan buahnya yang terus-menerus; tidak seperti sebagian besar buah yang lain. Pada waktu yang sama, Dia mengarahkan manusia kepada sesuatu yang bisa melindunginya agar tidak terjatuh ke dalam tingkatan yang paling rendah. Yaitu dengan iman dan amal salih.
Nuktah Ketiga:
Huruf-huruf muqatta’at yang terdapat di permulaan sejumlah surah adalah “kode rahasia” ilahi. Dengan huruf-huruf tersebut, Allah memberikan sejumlah isyarat dan petunjuk gaib kepada hamba-Nya yang istimewa. Sedangkan kunci “kode rahasia” tersebut ada pada hamba-Nya yang istimewa itu dan para pewarisnya. Karena al-Qur’an al-Hakim berbicara kepada seluruh golongan manusia pada setiap waktu dan tempat, tentu ia berisi beragam makna dan sisi yang bersifat komprehensif yang bisa memenuhi kebutuhan setiap golongan pada setiap masa. Makna yang paling valid ada- lah yang diterangkan secara jelas oleh generasi salaf saleh. Para wali dan ahli peneliti menemukan sejumlah petunjuk gaib pada huruf- huruf muqatta’at tersebut terkait dengan perjalanan spiritual. Kami telah membahas huruf-huruf tersebut dalam tafsir Isyârât al-I’jâz di permulaan tafsir surah al-Baqarah. Karena itu, pembaca bisa merujuk kepadanya.
Nuktah Keempat:
“Kalimat Kedua Puluh Lima” telah menegaskan bahwa al- Qur’an tidak bisa diterjemahkan dengan sempurna. Gaya bahasanya yang tinggi terkait dengan kemukjizatan maknanya tidak akan bisa diterjemahkan. Sangat sulit memindahkan rasa bahasa (dzauq) dan menjelaskan hakikat yang bersumber dari gaya bahasanya yang tinggi itu. Di sini kami hanya ingin menerangkan satu atau dua sisi darinya. Yaitu, lewat firman Allah berikut ini:
“Di antara tanda kekuasaan-Nya adalah penciptaan langit dan bumi serta perbedaan bahasa dan warna kulit kalian.” (QS. ar-Rûm [30]: 22).“Langit terlipat dalam genggaman tangan kanan-Nya.” (QS. az-Zumar [39]: 67). “Dia menciptakan kalian dalam perut ibu kalian secara bertahap dalam tiga kegelapan.” (QS. az-Zumar [39]: 6). “Dia menciptakan langit dan bumi dalam enam hari.” (QS. al- A’râf [7]: 54).“Dia membatasi antara manusia dan hatinya.” (QS. al-Anfâl [8]:24).“Tidak ada seberat biji atom pun yang tersembunyi dari-Nya.”(QS. Saba [34]: 3). “Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. Dia Maha Mengetahui apa yang terdapat dalam dada manusia.” (QS. al-Hadîd [57]: 6). Ayat-ayat di atas dan yang sejenisnya memberikan satu gambaran hakikat penciptaan dalam satu gaya bahasa yang tinggi, menakjubkan, dan luar biasa.
Ia menjelaskan bahwa sebagaimana Pencipta alam menempatkan matahari dan bulan pada tempatnya, Dia juga menempatkan atom pada tempatnya, di pelupuk mata makhluk misalnya. Dia menempatkan masing-masing pada tempatnya lewat perangkat yang sama dan pada waktu yang bersamaan. Sebagaimana menata langit dalam bentuk berlapis, membukanya dalam bentuk pintu-pintu, dan mengaturnya secara rapi, Dia juga menata lapisan mata dan membuka penutupnya lewat timbangan secara terukur lewat perangkat dan media maknawi yang sama pada waktu yang bersamaan. Sebagaimana meletakkan sejumlah bintang di langit, Dia juga menggoreskan tanda pembeda yang tak terhingga di wajah manusia serta membuka indra lahir dan batin lewat perangkat qudrah maknawi yang sama.
Artinya, demi memperlihatkan perbuatan-Nya kepada seluruh penglihatan dan pendengaran, Sang Pencipta Yang Mahaagung memasukkan satu kata dari ayat-ayat al-Qur’an pada atom dan meletakkannya pada posisinya. Lalu memasukkan kata lain dari ayat yang sama pada matahari dan meletakkan di pusatnya. Dia menjelaskan wâhidiyah dalam ahadiyah, puncak keagungan dalam puncak kein- dahan, puncak kebesaran dalam puncak ketersembunyian, puncak keluasan dalam puncak kecermatan, puncak kemegahan dalam puncak kasih sayang, serta puncak kejauhan dalam puncak kedekatan. Dengan kata lain, Dia memperlihatkan tingkatan paling jauh dalam hal penggabungan sesuatu yang kontradiksi, yang dianggap mustahil, dalam bentuk keniscayaan yang mutlak di mana dengan hal tersebut menetapkan lewat gaya bahasa yang tinggi dan retoris.
Gaya bahasa yang menakjubkan itulah yang membuat para tokoh sastrawan bertekuk lutut di hadapan balagah al-Qur’an.
Misalnya, firman Allah yang berbunyi: “Di antara tanda kekuasaan-Nya, langit dan bumi tegak dengan kehendak-Nya. Kemudian ketika Dia memanggil kalian dengan sekali panggil dari bumi, seketika kalian keluar dari kubur.” (QS. ar-Rûm [30]: 25). Ayat al-Qur’an di atas menerangkan keagungan rububiyah Allah lewat gaya bahasanya yang tinggi.
Yaitu, bahwa langit dan bumi laksana dua kamp pasukan yang sangat taat dan patuh. Ia seperti barak dua pasukan besar yang sangat teratur dan rapi. Entitas di dalamnya yang berbaring dibalik tirai kefanaan dan ketiadaan, dengan sangat cepat disertai ketaatan penuh, melaksanakan satu perintah atau satu isyarat yang berasal dari tiupan sangkakala guna keluar menuju pa- dang mahsyar.
Perhatikan bagaimana ayat al-Qur’an tersebut meng- gambarkan kebangkitan dan kiamat lewat gaya bahasa yang tinggi dan bagaimana ia memberikan dalil yang meyakinkan.
Kondisinya sama seperti benih yang tadinya tersembunyi di dalam tanah seperti orang mati dan tetesan air yang tersimpan di langit dan tersebar dalam butiran udara lalu terkumpul dengan rapi dan cepat untuk kemu- dian keluar ke dunia pada setiap musim semi sehingga benih di tanah dan tetesan air di langit itu berposisi seperti prosesi kebangkitan. Demikianlah kondisi yang terjadi pada hari kebangkitan dengan kemudahan yang sama. Bila hal itu tampak dengan jelas di sini, kalian tidak bisa mengingkari kebangkitan di padang mahsyar.
Demikianlah, berdasarkan penjelasan ayat di atas, kalian bisa menganalogikan tingkatan balagah pada ayat-ayat lainnya.Nah, mungkinkah menerjemahkan ayat-ayat al-Qur’an semacam itu dengan terjemahan yang hakiki dan sempurna? Sudah pasti tidak mungkin. Kalaupun harus diterjemahkan, maka yang bisa dilakukan adalah memberikan makna global ayat atau menafsirkan setiap kalimatnya dalam sekitar enam baris.
Nuktah Kelima:
Sebagai contoh, kita ambil satu frasa al-Qur’an, yaitu: اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ. Salah satu maknanya yang paling singkat sesuai dengan kaidah gramatika dan ilmu bayan adalah:
كُلُّ فَر۟دٍ مِن۟ اَف۟رَادِ ال۟حَم۟دِ مِن۟ اَىِّ حَامِدٍ صَدَرَ وَعَلٰى اَىِّ مَح۟مُودٍ وَقَعَ مِنَ ال۟اَزَلِ اِلَى ال۟اَبَدِ خَاصٌّ وَمُس۟تَحِقٌّ لِلذَّاتِ ال۟وَاجِبِ ال۟وُجُودِ ال۟مُسَمّٰى بِاللّٰهِ
Setiap pujian yang keluar dari siapapun yang memuji untuk objek apapun yang dipuji mulai dari azali hingga abadi semuanya adalah milik Dzat Wajibul wujud, Allah.
Ungkapan “setiap pujian” bersumber dari huruf “إل” yang menunjukkan keseluruhan. Ungkapan “dari siapapun yang memuji” berasal dari kata “الحمد” yang berbentuk masdar (nomina verbal). Pada redaksi semacam itu ia menunjukkan makna yang bersifat umum, sebab pelakunya tidak disebutkan. Ungkapan “untuk objek apapun yang dipuji” menunjukkan makna menyeluruh karena objeknya tidak disebut. Adapun “mulai dari azali hingga abadi” ia menunjukkan kondisi kontinyu dan permanen sesuai dengan kaidah perubahan jumlah fi’liyah kepada jumlah ismiyah.Selanjutnya huruf lâm pada “الله” menunjukkan kekhususan. Kemudian ungkapan “milik Dzat Wajibul wujud, Allah” maka lafal Allah selalu mengarah kepada Dzat Wajibul wujud. Pasalnya, ia lafal yang mencakup seluruh nama dan sifat-Nya. Ia adalah nama-Nya yang paling agung. Sementara, Wajibul wujud melekat pada sifat uluhiyah. Ia simbol bagi Dzat-Nya yang agung.
Jika makna lahiriah yang paling ringkas dari kata “الحمدلله” semacam itu, sebagaimana disepakati oleh pakar bahasa Arab, lalu bagaimana mungkin menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa lain dengan tingkat kemukjizatan dan kekuatan yang sama?
Memang terdapat bahasa yang fasih di antara sekian banyak bahasa di dunia selain bahasa Arab. Namun demikian, ia tetap tidak bisa menyamai komprehensivitas dan universalitas bahasa Arab.Kosakata al-Qur’an yang datang dengan bahasa Arab fasih yang universal dan luar biasa, serta dalam bentuk mukjizat dan berasal dari pengetahuan Dzat yang meliputi segala hal dan menata seluruh urusan, bagaimana mungkin ia bisa disamai oleh susunan dan gramatika bahasa lain dalam bentuk terjemahan makhluk yang akalnya terbatas, perasaannya terbatas, pikirannya tidak stabil, dan kalbunya gelap?
Dengan kata lain, bagaimana mungkin hasil terjemahan bisa menggantikan kalam suci tersebut? Bahkan, aku bisa mengatakan dan membuktikan bahwa setiap huruf al-Qur’an laksana salah satu perbendaharaan hakikat. Bahkan, satu hurufnya saja bisa berisi sejumlah hakikat sebanyak satu halaman penuh.
Nuktah Keenam:
Untuk memperjelas makna di atas, aku akan menyebutkan kondisi bersinar dan imajinasi nyata yang pernah kualami.
Yaitu, penjelasan dari makna kata (نَع۟بُدُ) berikut keterangan tentang sisi rahasianya yang tersembunyi. Suatu ketika aku merenungkan huruf (ن) yang merupakan kata ganti orang pertama pada kalimat (اِيَّاكَ نَع۟بُدُ وَ اِيَّاكَ نَس۟تَعٖينُ). Kalbuku terus mencari sebab perubahan bentuk dari kata ganti orang pertama tunggal kepada plural (نَع۟بُدُ). Tiba-tiba tersingkap fadilah dan rahasia shalat berjamaah dari huruf nun tersebut.
Aku melihat bahwa berkat keikutsertaanku dalam shalat berjamaah di masjid Bayazid, setiap bagian darinya laksana pemberi syafaat bagiku. Aku melihat bahwa setiap orang dari jamaah itu menjadi saksi dan pendukung atas seluruh hukum dan pernyataan dalam bacaanku. Hal itu melahirkan keberanian yang cukup pada diriku untuk mempersembahkan ibadahku yang tidak sempurna, yang bergabung bersama ibadah seluruh jamaah, menuju hadirat ilahi yang suci.
Saat merenungkan hal tersebut, tirai yang lain ikut tersingkap. Aku melihat seakan-akan seluruh masjid di Istanbul saling menyatu sehingga kota itu laksana masjid jami ini. Aku merasa memperoleh doa dari mereka semua berikut pengakuan mereka.
Di sana diriku tampak dikumpulkan dalam barisan melingkar pada masjid muka bumi yang saling terpaut di seputar Ka’bah. Akupun memuji Allah dengan mengucap (اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ رَبِّ ال۟عَالَمٖينَ). Aku bersyukur karena memiliki banyak pemberi syafaat, banyak orang yang ikut membaca bersamaku, sekaligus membenarkanku pada setiap bacaan shalat yang kuucapkan.Aku berpikir, selama tirai telah tersingkap secara imajinatif, lalu Ka’bah yang mulia seperti mihrab bagi penduduk bumi, maka aku harus memanfaatkan kesempatan ini. Kutitipkan intisari iman yang kusebut dalam tasyahhud, “Asyhadu anlâ ilâha illallâh wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah.” Kuserahkan ia sebagai amanah kepada Hajar Aswad seraya menjadikan shaf-shaf yang ada sebagai saksi atasnya. Di sini kondisi yang lain tampak olehku. Aku melihat jamaah yang menjadi tempatku bergabung telah menjadi tiga lingkaran:
Pertama, jamaah besar yang terdiri dari kaum mukmin ahli tauhid yang terdapat di seluruh permukaan bumi.
Kedua, jamaah semua entitas di mana “masing-masing mengetahui shalat dan tasbih-nya.” (QS. an-Nur [24]: 41). Aku melihat diriku bersama dengan shalat dan tasbihnya yang agung. Yang disebut dengan tugas dan kerja sesuatu tidak lain adalah simbol dari ibadah dan ubudiyahnya. Aku menundukkan kepala karena takjub dengan keagungan-Nya seraya mengucap Allahu akbar. Lalu aku memperhatikan dan mengamati jamaah selanjutnya.
Ketiga, aku melihat sebuah alam, mulai dari partikel wujudku hingga indra lahiriahku (panca indra). Ia adalah alam yang kecil. Namun ia demikian agung sehingga melahirkan decak kagum. Ia adalah alam yang secara lahiriah sangat kecil, namun hakikatnya amat agung dan tugasnya sungguh mulia. Ya, aku melihat seluruh jamaah alam ini sibuk dengan tugas-tugas pengabdiannya dan kewajiban syukurnya. Aku melihat bahwa latifah rabbaniyah yang terdapat pada lingkaran di hatiku terus-menerus mengucap اِيَّاكَ نَع۟بُدُ وَ اِيَّاكَنَس۟تَعٖينُ atas nama jamaah, sebagaimana ia juga terus diucapkan oleh lisanku atas nama dua jamaah agung pertama.
Kesimpulannya, huruf (ن) pada kata (نَع۟بُدُ) menunjuk kepada tiga jamaah tadi.
Saat aku berada dalam kondisi tersebut, sosok maknawi penuh berkah dari penyampai al-Qur’an al-Karim berada di hadapanku dalam kondisi mulia dan penuh wibawa. Ia adalah Rasulullah yang berada di mimbar maknawinya (Madinah al-Munawwarah). Sebagaimana yang lain, aku mendengar beliau berkhutbah dan memberikan arahan “Wahai manusia, beribadahlah kepada Tuhanmu...” (QS. al-Baqarah [2]: 21). Secara imajiner aku melihat setiap orang yang terdapat dalam ketiga jamaah di atas merespon pesan rabbani yang agung itu dengan berkata“Hanya kepada-Mu kami beribadah”. Selanjutnya, hakikat yang lain hadir dalam pikiranku sesuai dengan kaidah: “Bila sesuatu datang, ia datang bersama sejumlah hal yang menyertainya.” Hakikat yang dimaksud adalah:
Selama Tuhan Pencipta alam menjadikan manusia sebagai penerima pesan-Nya, kemudian berbicara dengan seluruh entitas, lalu Rasul benar-benar menyampaikan pesan rabbani yang agung tersebut kepada seluruh manusia; bahkan kepada seluruh makhluk yang memiliki perasaan dan bernyawa, maka sudah pasti masa lalu dan masa mendatang menjadi seperti masa sekarang. Seluruh umat manusia laksana sebuah majelis dan sebuah jamaah dalam barisan yang beragam di mana pesan itu ditujukan kepada mereka semua.
Lalu tampak padaku setiap ayat al-Qur’an berada dalam puncak balagah dan kefasihan, serta benar-benar merupakan mukjizat yang cahayanya bersinar terang. Ayat al-Qur’an begitu tinggi, mulia, dan kuat karena bersumber dari kedudukan yang mulia tersebut yang keagungannya tak bertepi, keluasannya tak berujung, dan ketinggiannya tak berakhir. Ia berasal dari Dzat Yang Maha Mulia dan Agung; dari Sang Pembicara azali.
Juga, karena berasal dari sang penyampai yang merupakan kekasih-Nya, pemilik kedudukan mulia dan derajat yang tinggi. Lalu ia ditujukan kepada umat yang jumlahnya sangat banyak, penting, dan beragam. Karena itu, aku merasa bahwa bukan hanya keseluruhan al-Qur’an yang menjadi mukjizat. Bahkan setiap surah dan setiap ayatnya juga mukjizat. Lebih dari itu, setiap katanya pun mukjizat. Oleh sebab itu, kuucapkan alhamdulillah atas nikmat iman dan al- Qur’an.
Dengan itu, aku keluar dari khayalan yang merupakan sebuah hakikat, sebagaimana ketika masuk ke dalamnya lewat huruf nun dari na’budu. Aku memahami bahwa bukan hanya al-Qur’an dan kosakatanya yang menjadi mukjizat. Namun huruf-huruf al-Qur’an punseperti huruf nun pada kata na’budu—juga merupakan kunci hakikat agung yang bersinar.
Setelah kalbu dan imajinasi ini keluar dari nun pada kata na’budu, ia disambut oleh akal seraya berkata: Aku menuntut bagianku dari apa yang kalian dapatkan. Aku tidak bisa terbang seperti kalian. Aku hanya bisa berjalan dengan kaki dalil dan argumen. Perlihatkanlah padaku jalan yang terdapat pada (نَع۟بُدُ) dan (نَس۟تَعٖينُ) yang bisa mengantarkanku sampai pada “Dzat yang disembah dan yang dimintai pertolongan” sehingga aku bisa menyertai kalian.
Pada saat itu muncul lintasan dalam kalbu:
Katakan pada akal yang sedang bingung itu agar ia mengamati semua entitas alam, baik yang hidup maupun yang mati. Masing-masing menunjukkan ubudiyah dalam bentuk sebuah tugas yang sangat rapi dalam kondisi yang sangat patuh.Meskipun sebagian entitas tersebut tidak memiliki indra dan perasaan, namun ia melaksanakan amal dan tugasnya dengan sangat patuh, teratur, dan penuh kesadaran.
Dengan demikian, sudah pasti Tuhan Yang Disembah dan Pemberi perintah, menundukkan semua entitas itu dan menggiringnya kepada ubudiyah.Lalu katakan pula agar ia merenungkan semua entitas, terutama makhluk hidup. Masing-masing memiliki kebutuhan yang banyak dan beragam. Masing-masing memiliki banyak permintaan guna menjaga eksistensi kehidupan dan keberadaannya. Sementara di sisi lain ia tak mampu menjangkau kebutuhan yang paling sederhana sekalipun. Hal itu berada di luar kemampuannya.
Seketika kita menyaksikan bagaimana kebutuhan yang tak terhingga tersebut dengan mudah datang dari tempat yang tak terduga pada waktu yang paling baik dan paling tepat. Kebutuhan entitas yang tak terhingga itu, serta pertolongan gaib dan curahan rahmat-Nya itu dengan jelas menunjukkan bahwa ia memiliki Dzat Pemberi rezeki yang melindunginya. Dia adalah Dzat Yang Mahakaya, Maha Pemurah, dan Mahakuasa yang menjadi tempat meminta setiap entitas dan setiap makhluk dengan mengharap bantuan dan karunia-Nya. Dengan kata lain, setiap entitas, baik secara langsung maupun tidak langsung, berucap “Hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan”.
Di situlah akal menjadi tunduk seraya berkata, “Kami beriman dan percaya.”
Nuktah Ketujuh:
Setelah itu, saat membaca اِه۟دِنَا الصِّرَاطَ ال۟مُس۟تَقٖيمَ صِرَاطَ الَّذٖينَ اَن۟عَم۟تَ عَلَي۟هِم۟ aku melihat sejumlah rombongan manusia yang pergi menuju masa lalu. Kusaksikan rombongan nabi yang mulia, golongan shiddiqin, syuhada, dan orang-orang salih merupakan rombo- ngan yang paling bercahaya. Sampai-sampai cahayanya melenyapkan pekatnya masa depan seraya meniti jalan yang lurus dan besar yang membentang menuju keabadian. Kalimat tersebut memperlihatkan jalan untuk bisa menyusul golongan beruntung itu, bahkan membuatku bisa mencapai mereka.
Aku pun mengucap “Subhânallah!”. Alangkah ruginya dan sungguh celaka orang-orang yang tidak mau menyusul rombongan bercahaya tersebut di mana mereka telah berlalu dengan selamat dan aman, berhasil menghapus tirai kegelapan, dan menyinari masa depan. Orang yang memiliki perasaan sedikit saja, tentu dapat memahami hal ini.Mereka yang tidak mau mengikuti jalan rombongan tersebut dengan melakukan berbagai bid’ah, bagaimana mungkin mendapat cahaya yang bisa menerangi?! Ke mana mereka akan berjalan?!
Teladan kita, Rasul, bersabda:
“Setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan berada di neraka.”(*[2])
Orang-orang yang layak disebut sebagai ulamâus-sû adalah golongan yang celaka. Maslahat apa yang mereka dapat ketika melawan hadis di atas dalam fatwa yang mereka berikan di mana mereka menentang syiar-syiar Islam yang sudah jelas berikut bahaya yang terdapat di dalamnya, padahal tidak dalam kondisi darurat. Mereka memandang syiar-syiar Islam itu dapat diubah begitu saja. Kalaupun ada, bisa jadi sesuatu yang temporer yang berasal dari sinar makna temporer itulah yang telah menipu mereka.
Misalnya, ketika kulit binatang diambil atau kulit buah dikupas, di awal ia tampak segar. Namun tidak lama kemudian daging segar dan buah tadi segera menghitam. Hal itu akibat dari bungkus atau tutup yang tidak alami dan asing sehingga keduanya membusuk.
Begitupula ungkapan ilahi dan nabawi yang terdapat dalam syiar Islam laksana kulit hidup yang berpahala. Saat dicopot, seberkas cahaya maknanya akan tampak untuk sementara. Namun ruh makna yang penuh berkah terbang menghilang sebagaimana hilangnya kesegaran dari buah yang sudah dikupas. Ia menyisakan redaksi dan ungkapan manusia di hati dan akal yang gelap. Kemudian pergi dan cahayanya menghilang. Yang tersisa hanyalah asap. Begitulah kondisinya.
Nuktah Kedelapan:
Salah satu rambu hakikat yang terkait dengan masalah ini perlu dijelaskan. Yaitu bahwa dalam syariat Islam terdapat dua macam hak:
“hak pribadi” dan “hak bersama” yang dianggap sebagai hak Allah. Di antara masalah agama, ada yang terkait dengan pribadi dan ada pula yang terkait dengan masyarakat secara umum. Jenis ini disebut dengan nama “syiar Islam”. Secara umum, setiap orang memiliki bagian dari jenis ini. Sebab, ia terkait dengan semua. Intervensi apapun terhadap jenis ini dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak manusia secara umum selama mereka tidak rida.
Masalah terkecil dari syiar tersebut sekalipun (misalnya yang termasuk sunnah) tetap dianggap penting. Pasalnya ia terkait secara langsung dengan seluruh dunia Islam.Hendaknya pihak-pihak yang berusaha memutus, dan bekerjasama meruntuhkan, rangkaian bercahaya tersebut di mana ia terpaut dengan seluruh tokoh penting Islam sejak masa generasi terbaik hingga sekarang, dapat memahami hal ini dengan baik. Hendaknya mereka sadar bahwa mereka telah melakukan kesalahan besar. Bila mereka memang memiliki perasaan, mereka seharusnya gemetar untuk melakukan kesalahan tersebut.
Nuktah Kesembilan:
Ada bagian dari persoalan agama yang disebut dengan masalah ta’abbudi. Bagian ini tidak terkait dengan logika dan dikerjakan sesuai perintah. Sebab, yang menjadi illat (sebab) adalah perintah ilahi.
Sementara bagian yang lain disebut ma’qûlul-ma’nâ (memiliki makna logis dan dapat dinalar). Ia memiliki hikmah dan maslahat yang membuatnya sangat layak untuk disyariatkan. Namun demikian, hikmah tersebut bukan merupakan illat pensyariatan, karena sebab hakikinya tetap perintah dan larangan Tuhan.
Syiar Islam yang termasuk ta’abbudi sama sekali tidak bisa diubah oleh hikmah dan maslahat. Sebab, unsur dominannya adalah pengabdian dan ubudiyah. Karena itu, ia tidak bisa diintervensi. Meskipun misalnya terdapat seratus ribu maslahat dan hikmah, ia tidak bisa diubah sedikitpun. Juga tidak bisa dikatakan bahwa man- faat dari syiar agama hanyalah maslahat yang diketahui itu semata. Ini adalah pemahaman yang keliru. Sebab, maslahat yang sudah diketa- hui tadi bisa jadi hanya salah satu dari sekian banyak hikmahnya.
Misalnya, kalau ada yang berkata bahwa hikmah adzan adalah panggilan untuk shalat. Maka dengan begitu berarti ia bisa digan- tikan dengan suara tembakan. Orang bodoh itu tidak mengetahui kalau “panggilan untuk shalat” hanya salah satu dari ribuan hikmah adzan. Bahkan walaupun suara tembakan tadi memberikan maslahat yang dimaksud, ia tidak bisa menggantikan posisi adzan yang merupakan sarana untuk menyuarakan tauhid yang merupakan buah terbesar dari penciptaan alam dan penciptaan spesies manusia. Adzan juga merupakan sarana untuk memperlihatkan ubudiyah di hadapan rububiyah ilahi atas nama seluruh orang di negeri tersebut, atau atas nama seluruh umat manusia.
Kesimpulannya, neraka bukanlah sesuatu yang tidak perlu. Pasalnya, banyak hal yang sangat menuntut keberadaan neraka. Sebaliknya, surga juga tidaklah murah. Namun ia menuntut harganya yang mahal.
“Tidak sama antara penghuni neraka dan penghuni surga. Penghuni surga itulah yang mendapat kemenangan.” (QS. al-Hasyr [59]: 20).
BAGIAN KEDUA (Risalah Kedua)
Risalah Ramadhan
Uraian singkat mengenai syiar-syiar Islam telah dibahas pada penutup bagian pertama. Karena itu, pada bagian kedua ini akan dijelaskan sejumlah hikmah yang terkait dengan puasa di bulan Ramadhan yang penuh berkah di mana ia merupakan syiar yang paling cemerlang dan mulia.
Bahasan ini berisi uraian tentang sembilan nuktah yang menerangkan sembilan dari sekian banyak hikmah puasa Ramadhan.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ
“Bulan Ramadhan (adalah bulan) yang di dalamnya al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia serta sebagai penjelasan tentang petunjuk dan pembeda (antara yang hak dan batil)” (QS. al-Baqarah [2]: 185).
Nuktah Pertama
Puasa bulan Ramadhan termasuk rukun utama di antara rukun Islam yang lima. Ia juga termasuk syiar Islam yang paling agung.
Di samping ditujukan untuk menampakkan rububiyah Allah , sebagian besar hikmah puasa Ramadhan ditujukan untuk kehidupan sosial dan pribadi manusia, untuk pembinaan dan penyucian jiwa, serta ditujukan untuk mensyukuri berbagai nikmat ilahi.
Salah satu dari sekian banyak hikmah yang memperlihatkan rububiyah Allah lewat puasa adalah sebagai berikut:
Allah telah menciptakan muka bumi sebagai hidangan yang penuh dengan nikmat tak terhingga. Dia menyiapkannya dengan sangat menakjubkan di mana sama sekali tidak pernah diperkirakan oleh manusia. Dengan kondisi tersebut, Allah menjelaskan kesem- purnaan rububiyah-Nya serta sifat kasih dan sayang-Nya. Hanya saja karena tertutup oleh hijab kelalaian dan tirai sebab, manusia tidak bisa melihat hakikat yang sangat jelas tersebut dengan sebenarnya, atau kadangkala melupakannya.
Namun pada bulan Ramadhan yang penuh berkah, kaum beriman seketika menjadi seperti pasukan besar yang teratur. Mereka mengenakan selendang ubudiyah kepada Allah dan berada dalam posisi siap berbuka guna menyambut undangan ilahi, “Silahkan” menuju jamuan-Nya yang mulia. Dengan kondisi tersebut, rahmat Tuhan yang mulia dan komprehensif itu mereka sambut dengan ubudiyah yang luas, rapi, dan agung. Apakah menurutmu mereka yang tidak ikut serta dalam ubudiyah mulia itu layak disebut sebagai manusia?
Nuktah Kedua
Terdapat banyak hikmah yang di dalamnya puasa Ramadhan membuat makhluk mensyukuri berbagai nikmat Allah. Di antaranya:
Seperti yang disebutkan pada “Kalimat Pertama”, makanan yang dibawa oleh seorang pelayan dari dapur raja tentu sangat bernilai. Tentu sangat bodoh jika ada yang tidak menghargai makanan tersebut dan tidak mengenal pemberi yang sebenarnya, malah si pelayan itu yang diberi hadiah dan balasan. Begitu pula dengan makanan dan nikmat tak terhingga yang Allah hamparkan di muka bumi. Sudah pasti Dia menuntut harganya dari kita. Yaitu bersyukur kepada-Nya atas segala nikmat tadi. Sementara berbagai sebab lahiri- ah dan para pemiliknya hanya laksana para pelayan. Nah, Kita memberikan harganya kepada para pelayan serta merasa berutang budi kepada mereka. Bahkan kita menunjukkan rasa hormat dan terima kasih lebih dari yang semestinya. Padahal, Pemberi nikmat hakiki yang layak mendapat puncak syukur dan pujian daripada sebab-sebab.
Jadi, mengungkapkan syukur kepada Allah adalah dengan menyadari bahwa nikmat tersebut secara langsung bersumber dari-Nya, menghargai nilainya, serta merasa butuh kepadanya.
Karena itu, puasa di bulan Ramadhan merupakan kunci syukur yang hakiki, tulus, dan agung serta bersifat menyeluruh. Sebab, sebagian besar manusia tidak mengetahui nilai nikmat yang demikian banyak lantaran tidak merasakan pedihnya rasa lapar. Misalnya orang yang kenyang, terutama kalangan yang kaya, tidak dapat mengetahui nilai nikmat yang terdapat pada sekerat roti kering. Namun orang mukmin di saat berbuka dapat merasakannya sebagai nikmat ilahi yang sangat berharga. Indra pengecapnya menjadi saksi atas hal itu. Oleh sebab itu, mereka yang berpuasa di bulan Ramadhan, mulai dari pemimpin sampai kepada kalangan yang paling miskin, memperoleh syukur maknawi dengan menyadari nilai nikmat tersebut.Sikap manusia yang menahan diri untuk tidak menyentuh makanan di siang hari membuatnya dapat mengetahui kalau ia benar-benar merupakan nikmat. Pasalnya, ia berbisik kepada dirinya, “Nikmat ini bukan milikku. Aku tidak bebas mengonsumsinya. Jadi ia milik pihak lain. Nikmat tersebut adalah bentuk karunia dan kemurahan-Nya atas kita. Sekarang aku sedang menantikan perintah-Nya.” Dengan cara semacam ini berarti manusia menunaikan syukur mak- nawi.
Dengan demikian, puasa berposisi sebagai kunci syukur―dilihat dari berbagai sisi―yang merupakan tugas hakiki manusia.
Nuktah Ketiga
Salah satu hikmah puasa di antara sekian banyak hikmahnya yang tertuju kepada kehidupan sosial manusia adalah sebagai berikut:
Manusia diciptakan dalam kondisi kehidupan yang berbeda-beda. Karena itu, Allah menyeru kalangan kaya untuk memberi bantuan kepada mereka yang miskin. Nah, tentu kalangan kaya tidak dapat merasakan kondisi miskin yang menumbuhkan rasa kasihan, juga tidak dapat merasakan derita lapar yang mereka alami secara sempurna kecuali lewat rasa lapar yang dilahirkan dari puasa. Andaikan tidak ada puasa, tentu banyak orang kaya yang menuruti hawa nafsu tidak mengetahui sejauh mana pedihnya rasa lapar dan hidup miskin serta sejauh mana fakir miskin membutuhkan kasih sayang. Oleh karena itu, rasa kasihan terhadap sesama yang terdapat dalam diri manusia menjadi salah satu faktor yang melahirkan sikap syukur hakiki. Pasalnya, setiap individu dapat menemukan orang yang lebih miskin darinya dari satu sisi, di mana ia diwajibkan untuk mengasihinya.
Tanpa ada keharusan bagi diri ini untuk ikut merasakan pedihnya rasa lapar, tentu tidak akan ada yang berbuat baik kepada orang lain dengan tolong-menolong dalam ikatan kasih sayang terhadap sesama manusia. Kalaupun hal itu dilakukan pasti hanya sekadarnya. Sebab, ia tidak merasakan dengan sebenarnya kondisi tersebut dalam dirinya.
Nuktah Keempat
Puasa Ramadhan dilihat dari sisi pembinaan terhadap jiwa manusia memiliki sejumlah hikmah. Di antaranya adalah:
Secara fitrah, jiwa manusia cenderung ingin bebas merdeka tanpa ikatan. Bahkan ia merasa berkuasa atas dirinya sendiri dan bebas bergerak sesuka hati. Ia tidak mau berpikir bahwa dirinya tumbuh besar lewat berbagai karunia ilahi yang tak terhingga. Terutama jika ia memiliki kekayaan berlimpah dan kekuasaan di dunia. Hal itu ditopang dan didukung oleh kelalaian yang ada. Karenanya, ia mere- guk nikmat ilahi dengan cara merampas dan mencuri laksana hewan.
Akan tetapi, pada bulan Ramadhan yang penuh berkah jiwa setiap manusia menjadi sadar, mulai dari yang paling kaya hingga yang paling miskin bahwa dirinya bukan pemilik; tetapi dimiliki, juga tidak bebas merdeka; tetapi hamba yang diperintah. Karena itu, ia tidak bisa melakukan pekerjaan yang paling sepele sekalipun tanpa perintah. Bahkan mengambil dan meminum air sekalipun. Dengan demikian, perasaannya sebagai penguasa atas dirinya lenyap. Ia terikat oleh jerat ubudiyahnya kepada Allah dan masuk ke dalam wilayah tugas utamanya, yaitu bersyukur.
Nuktah Kelima
Puasa Ramadhan memiliki banyak hikmah dilihat dari tujuannya dalam mendidik nafsu ammârah, dalam meluruskan akhlaknya, dan dalam menjadikannya menjauhi berbagai perbuatan yang tidak jelas.
Kami hanya akan menyebutkan satu darinya. Yaitu bahwa nafsu manusia cenderung lupa kepada jati dirinya. Ia tidak melihat kelemahan tak terhingga, kefakiran tak bertepi, dan berbagai kekurangan yang terdapat dalam dirinya. Bahkan ia tidak mau melihat semua itu, tidak mau merenungkan puncak kelemahannya, kondisinya yang akan lenyap, serta berbagai kesulitan yang akan ia hadapi. Ia juga lupa kalau dirinya berasal dari daging dan tulang yang cepat rusak dan hancur. Ia merasa seolah-olah wujudnya berasal dari baja, tidak akan pernah mati, dan akan kekal abadi. Karena itu, engkau melihat- nya menyambar dunia dan melemparkan diri ke dalamnya dengan rasa tamak disertai dengan kecintaan buta terhadapnya. Ia mengu- atkan cengkeramannya terhadap segala hal yang dirasa nikmat dan berguna. Akibatnya, ia lupa kepada Sang Pencipta Yang telah mendidiknya dengan penuh kasih sayang. Ia juga melupakan balasan amal perbuatannya dan kehidupan akhiratnya sehingga terjatuh ke dalam akhlak tercela.
Namun puasa Ramadhan membuat manusia yang paling lalai dan membangkang dapat merasakan kelemahan, ketidakberdayaan, dan kefakirannya. Lewat rasa lapar, masing-masing mereka memikirkan perutnya yang kosong sekaligus menyadari rasa butuh yang terdapat dalam perutnya itu serta menyadari sejauh mana kelemahan dan kebutuhannya terhadap rahmat dan kasih sayang ilahi. Dari lubuk hatinya, ia ingin mengetuk pintu ampunan Tuhan dengan segala kelemahan dan kefakiran yang ada seraya melepaskan sifat keangkuhan dalam jiwanya. Lalu dengan itu ia bersiap-siap mengetuk rahmat ilahi dengan tangan syukur maknawi, selama kelalaian tidak merusak mata hatinya.
Nuktah Keenam
Di antara sekian banyak hikmah puasa Ramadhan yang tertuju kepada turunnya al-Qur’an dan bahwa bulan Ramadhan merupakan waktu turunnya yang terpenting, adalah sebagai berikut:
Karena al-Qur’an telah turun pada bulan Ramadhan yang penuh berkah, maka jiwa harus bersih dari berbagai keinginan hina dan jauh dari berbagai perkara buruk guna bersiap-siap menyambut kalam samawi tersebut dengan baik. Yaitu dengan menghadirkan hati pada saat turunnya di bulan ini serta menyerupai kondisi malaikat dengan tidak makan dan tidak minum, membaca al-Qur’an al-Karim seakan-akan ayat-ayat baru turun kembali, menyimaknya dengan khusyuk, serta mendengarkan pesan ilahi tersebut agar bisa meraih kondisi spiritual yang mulia seakan-akan si pembaca mendengar langsung dari Rasul. Atau, seakan-akan ia mendengarnya dari Jibril. Atau bahkan mendengarnya dari Sang Penutur Azali, Allah.
Kemudian ia menyampaikan dan membacakannya kepada orang lain seraya menjelaskan salah satu hikmah turunnya. Pada bulan Ramadhan yang penuh berkah dunia Islam berubah menjadi seperti masjid. Ia sungguh merupakan masjid besar yang setiap sudutnya bergemuruh oleh jutaan penghafal al-Qur’an. Mereka membacakan firman ilahi tersebut dan memperdengarkannya kepada seluruh penduduk bumi. Dengan sangat indah dan terang, bulan Ramadhan memperlihatkan kebenaran ayat yang berbunyi:“Bulan ramadhan (adalah bulan) yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an.” (QS. al-Baqarah [2]: 185). Hal itu menegaskan bahwa bulan Ramadhan benar-benar merupakan bulan al-Qur’an. Adapun kelompok lain dari jamaah yang besar tersebut ada yang mendengar para penghafal al-Qur’an dengan penuh khusyuk dan ada pula yang membaca ayat-ayat al-Qur’an untuk dirinya sendiri. Bukankah menjauhkan diri dari masjid suci tersebut karena sibuk mencari makan dan minum guna menuruti nafsu ammârah merupakan sikap yang sangat jelek dan buruk?! Bukankah ia akan sangat dibenci oleh jamaah masjid di atas?! Demikianlah kondisi orang-orang yang berseberangan dengan kalangan yang berpuasa di bulan Ramadhan. Secara moril mereka akan dihinakan dan dikucilkan oleh seluruh dunia Islam.
Nuktah Ketujuh
Dilihat dari keberadaannya dalam memberikan keuntungan bagi manusia di mana manusia datang ke dunia untuk bercocok tanam dan berbisnis untuk akhirat, puasa Ramadhan memiliki sejumlah hikmah. Namun kami hanya akan menyebutkan salah satu darinya, yaitu sebagai berikut:
Pahala amal di bulan Ramadhan dilipatgandakan hingga seribu kali. Setiap huruf al-Qur’an memiliki sepuluh pahala, dihitung sebagai sepuluh kebaikan, dan mendatangkan sepuluh buah surga sebaga- imana disebutkan dalam hadis Nabi. Pada bulan Ramadhan setiap huruf menghasilkan seribu pahala; bukan lagi sepuluh. Setiap huruf dari ayat-ayat tertentu—seperti ayat Kursi—mendatangkan ribuan pahala. Pahala tersebut semakin bertambah pada hari-hari jumat di bulan Ramadhan. Serta, ia bisa mencapai tiga puluh ribu pahala pada malam “Laylatul Qadr”.
Ya, al-Qur’an al-Hakim yang setiap hurufnya memberikan tiga puluh ribu buah abadi menjadi pohon bersinar—seperti pohon Tuba surga—di mana kaum beriman di bulan Ramadhan meraih buah kekal abadi yang terhitung jutaan. Renungkan dan perhatikan dengan seksama bisnis suci, kekal, dan menguntungkan itu. Lalu bayangkan mereka yang tidak mengetahui nilai dari huruf-huruf suci tersebut. Betapa ia sangat merugi!
Demikianlah, bulan Ramadhan yang penuh berkah laksana galeri bisnis ukhrawi atau pasar yang sangat dinamis. Ia bagaikan tanah yang sangat subur untuk menghasilkan berbagai panenan ukhrawi. Ia seperti hujan yang turun pada bulan April untuk menumbuhkan dan memberikan keberkahan kepada amal manusia. Ia juga laksana festival besar dan hari raya suci yang menggelar ritual ubudiyah manusia terhadap kekuasaan rububiyah ilahi. Karena itu, manusia diberi kewajiban berpuasa agar tidak berkutat pada berbagai kebutuhan hewani seperti makan, minum, dan berbagai kebutuhan nafsu lainnya yang dibarengi dengan kelalaian. Juga, agar ia tidak terjerumus ke dalam syahwat hawa nafsu dan berbagai urusan yang tidak berguna.Dengan berpuasa, ia laksana cermin yang memantulkan sifat shamdâniyah Tuhan di mana untuk sementara waktu ia keluar dari tabiat hewani dan masuk ke dalam kondisi yang menyerupai malaikat. Atau, ia menjadi sosok ukhrawi dan rohani yang tampak pada fisik dengan masuk ke dalam bisnis akhirat dan melepaskan berbagai kebutuhan duniawi yang bersifat temporer.
Ya, Ramadhan yang penuh berkah membuat orang yang berpuasa di dunia fana dan kehidupan singkat ini mendapatkan umur yang kekal dan kehidupan abadi.
Satu bulan Ramadhan saja dapat membe- rikan berbagai buah usia yang mendekati delapan puluh tahun.
Keberadaan “Laylatul Qadr” yang lebih baik daripada seribu bulan sesuai dengan bunyi nash al-Qur’an merupakan argumen yang kuat atasnya.
Seorang raja dapat menetapkan beberapa hari dalam masa pemerintahannya atau setiap tahun, entah atas nama pencapaian puncak pemerintahan atau hari besar lainnya bagi negaranya, dengan menjadikan hari tersebut sebagai momen dan hari raya bagi rakyatnya, yang ketika itu ia tidak memberlakukan hukum yang biasanya berlaku terhadap mereka yang setia. Namun ia menjadikan mereka sebagai objek dari kebaikan dan karunianya yang istimewa. Ia mengundang mereka ke kantornya secara langsung tanpa hijab, memberikan perlindungan khusus, menghadirkan sebuah penghormatan dan prosedur yang tak seperti biasanya, serta mempersembahkan berbagai bentuk kemurahannya kepada mereka.
Demikian pula dengan Tuhan Yang Mahakuasa, Yang Mahaagung, dan Maha Pemurah. Dia adalah Penguasa abadi dan azali. Dia Penguasa delapan belas ribu alam. Pada bulan Ramadhan, Dia menurunkan al-Qur’an al-Hakim yang merupakan firman termasyhur- Nya yang tertuju kepada ribuan alam itu. Karena itu, kedatangan bulan Ramadhan laksana hari raya ilahi yang istimewa, pameran rabbani, serta majelis ruhani. Hal itu merupakan bagian dari tuntutan hikmah-Nya. Ketika bulan Ramadhan mencerminkan hari raya yang memberikan kegembiraan seperti itu, tidak aneh kalau di dalamnya terdapat perintah puasa agar pada tingkat tertentu manusia bisa mengalahkan berbagai kesibukan hewaninya yang rendah.
Kesempurnaan puasa terwujud ketika seluruh indra manusia seperti mata, telinga, kalbu, khayalan, dan pikiran juga ikut berpuasa sebagaimana yang dilakukan oleh perut. Yaitu dengan menjauhkan seluruh indra dari semua larangan dan sesuatu yang tidak berguna sekaligus mendorongnya untuk menunaikan ibadahnya masing-masing.
Misalnya, melatih lisan untuk berpuasa dari perkataan dusta, gibah, dan berbagai ungkapan kotor. Serta membasahinya dengan bacaan al-Qur’an, zikir, tasbih, tahmid, salawat dan salam kepada Rasul, istigfar, dan berbagai zikir lainnya.
Misalnya, menundukkan pandangan dari segala yang diharamkan, menutup telinga dari mendengar ucapan buruk, mendorong mata untuk melihat dengan penuh perenungan, mendorong telinga untuk mendengar perkataan yang benar dan al-Qur’an, serta menjadikan seluruh indranya dalam kondisi berpuasa. Jika perut yang merupakan pabrik yang sangat besar diistira- hatkan dengan puasa, maka pabrik-pabrik kecil lainnya menjadi mudah pula untuk diistirahatkan.
Nuktah Kedelapan
Salah satu hikmah dari sekian banyak hikmah puasa Ramadhan yang terkait dengan kehidupan pribadi manusia terangkum sebagai berikut:
Puasa merupakan salah satu bentuk pengobatan ampuh bagi manusia, yaitu sebagai “diet” jasmani dan ruhani. Hal itu telah diakui oleh ilmu kedokteran. Sebab, ketika nafsu manusia ingin bebas dalam urusan makan dan minum, ia akan mendatangkan sejumlah bahaya fisik dalam kehidupan pribadinya. Demikian halnya ketika manusia melahap apa yang berada di hadapannya tanpa peduli apakah halal atau haram, maka ia akan meracuni kehidupan maknawinya hingga nafsunya sulit untuk taat kepada kalbu dan ruh. Nafsu ini mengambil alih kendali dengan bebas merdeka tanpa mengetahui arah tujuan. Manusia tak bisa lagi mengendalikannya, malah ia yang mengendalikan manusia.
Adapun pada bulan Ramadhan, nafsu manusia terbiasa melaku- kan sejenis diet lewat puasa dan berusaha dengan sungguh-sungguh melakukan penyucian dan latihan serta belajar untuk menaati perintah. Karena itu, ia tidak terkena berbagai penyakit yang diakibatkan oleh penuhnya perut dan penumpukan makanan. Ia siap mendengar sejumlah perintah yang bersumber dari akal dan syariat. Ia juga tidak mau jatuh ke dalam hal yang haram lewat upayanya meninggalkan yang halal. Serta ia berusaha tidak merusak kehidupan maknawinya.
Kemudian, pada umumnya kebanyakan orang akan diuji dengan rasa lapar. Karena itu, mereka membutuhkan latihan. Yaitu dengan cara lapar yang melatih manusia untuk bisa bersabar dan bertahan. Puasa Ramadhan merupakan bentuk latihan, pembiasaan, dan kesabaran menahan lapar sepanjang lima belas jam atau dua puluh empat jam bagi yang tidak bersahur. Jadi, puasa merupakan terapi ampuh untuk mengobati ketidaksabaran dan ketidaktangguhan manusia yang melipatgandakan berbagai musibah yang menimpanya.
Di samping itu, perut berposisi seperti pabrik yang memiliki banyak pekerja dan pelayan. Dalam diri manusia terdapat sejumlah perangkat yang memiliki hubungan dengannya. Jika nafsu tidak diistirahatkan sejenak di waktu siang selama satu bulan tertentu, ia akan membuat para pekerja dan pelayan tadi lupa terhadap ibadah mereka, membuat mereka sibuk dengan keinginannya, serta menjadikan mereka berada di bawah kendalinya. Hal ini tentu akan membingungkan perangkat dan indra di atas serta mengacaukannya disebabkan oleh suara bising pabrik dan asapnya yang tebal. Semua pandangan akan tertuju padanya sehingga lupa kepada tugas mulia yang ada. Karena itu, banyak para wali yang saleh biasa melatih diri untuk makan dan minum sedikit guna naik ke tangga kesempurnaan.
Nah, dengan datangnya bulan Ramadhan, para pekerja itu sadar kalau mereka tidak dicipta untuk pabrik semata. Namun perangkat dan indra itu juga bisa merasakan sejumlah kenikmatan maknawi di bulan Ramadhan yang penuh berkah. Mereka mengarahkan perhatian padanya sebagai ganti dari permainan yang terdapat di pabrik tadi. Karena itu, Pada bulan Ramadhan kaum mukmin meraih berbagai cahaya, limpahan karunia, serta kenikmatan maknawi sesuai dengan tingkat dan derajatnya. Pada bulan yang penuh berkah tersebut terdapat banyak peningkatan dan limpahan karunia bagi kalbu, ruh, akal, jiwa, serta berbagai perangkat halus manusia lainnya melalui puasa. Meskipun perut menangis dan merintih, semua perangkat halus manusia tersenyum lepas.
Nuktah Kesembilan
Dilihat dari fungsinya yang dapat menghancurkan perasaan berkuasa milik nafsu, sekaligus memperkenalkan ubudiyahnya dan memperlihatkan kelemahannya, puasa Ramadhan memiliki sejumlah hikmah. Di antaranya:
Nafsu ini cenderung tidak ingin mengenal Tuhannya. Bahkan ia ingin merasa memiliki kekuasaan dengan sifat keangkuhan yang melampaui batas. Meskipun mendapat siksa dan tekanan, benih dari perasaan berkuasa tersebut masih tetap ada. Benih itu baru bisa hancur dan tunduk di hadapan rasa lapar. Demikianlah, puasa Ramadhan yang penuh berkah menjadi pukulan keras yang langsung mematikan sifat keangkuhan nafsu manusia. Ia menghancurkan kekuatannya, memperlihatkan kelemahan dan kefakirannya, serta memperkenalkan ubudiyahnya.
Dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa,
“Allah berkata kepada nafsu manusia, “Siapa Aku dan siapa engkau?”
Nafsu manusia menjawab, “Aku adalah aku dan Engkau adalah Engkau.” Mendengar jawaban tersebut, Tuhan menyiksa dan melemparkannya ke dalam neraka jahannam.
Lalu Dia kembali bertanya dan nafsu manusia tetap memberikan jawaban yang sama, “Aku adalah aku dan Engkau adalah Engkau.” Meskipun mendapatkan berbagai siksa, nafsu tetap bertahan dengan keangkuhan dan keaku-annya. Lalu Allah menyiksanya dengan rasa lapar. Yakni Dia membiarkannya berada dalam kondisi lapar.
Kemudian Dia bertanya, “Siapa Aku dan siapa engkau?”
nafsu manusia menjawab, اَن۟تَ رَبِّى الرَّحٖيمُ ، وَاَنَا عَب۟دُكَ ال۟عَاجِزُ
“Engkau adalah Tuhanku Yang Maha Penyayang, sementara aku adalah hamba-Mu yang lemah.”
Ya Allah, limpahkan salawat dan salam kepada junjungan kami, Muhammad, dengan salawat yang mendatangkan rida-Mu dan memenuhi haknya sebanyak pahala huruf al-Qur’an di bulan Ramadhan.Juga kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau.
سُب۟حَانَ رَبِّكَ رَبِّ ال۟عِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى ال۟مُر۟سَلٖينَ
وَ ال۟حَم۟دُ لِلّٰهِ رَبِّ ال۟عَالَمٖينَ اٰمٖينَ
Permohonan maaf: risalah ini ditulis dengan tergesa-gesa hanya dalam waktu empat puluh menit. Karena aku dan penulis draft dalam kondisi sakit dan lemah, tidak aneh kalau risalah ini memiliki sejumlah kekurangan. Karena itu, kami memohon maaf dari seluruh pembaca dan sekaligus berharap mereka mengoreksi apa yang dianggap tepat—Penulis.
BAGIAN KETIGA (Risalah Ketiga)
[Bagian ini ditulis untuk meminta pendapat saudara-saudaraku yang menjadi khadim al-Qur’an, sekaligus sebagai peringatan bagiku, dalam rangka mewujudkan niatku terkait dengan penulisan mushaf yang memperlihatkan goresan kemukjizatan. Goresan tersebut hanyalah salah satu dari dua ratus bagian kemukjizatan al-Qur’an. Akupun mengemukakan niatku itu untuk mengetahui pendapat mereka mengenai penulisan mushaf tersebut yang menerangkan goresan kemukjizatan, seraya tetap berpegang pada mushaf yang ditulis oleh al-Hafidz Utsman, serta menjadikan ayat mudâyanah (QS. al-Baqarah [2]: 282) sebagai ukuran panjang halaman dan surah al-Ikhlas sebagai ukuran panjang baris].Bagian ketiga ini terdiri dari sembilan persoalan:
Persoalan Pertama
Dalam “Kalimat Kedua Puluh Lima” yang berjudul “Mukjizat al-Qur’an”, telah dibuktikan melalui sejumlah argumen yang kuat bahwa jenis kemujizatan al-Qur’an mencapai 40 aspek.
Sebagiannya telah dijelaskan secara rinci bahkan di hadapan para pengingkar. Sementara jenis kemukjizatan yang lain dijelaskan secara global.Di samping itu, dalam ‘petunjuk kedelapan belas’ dari “Surat Kesembilan Belas” telah ditegaskan bahwa al-Qur’an memperlihat- kan kemukjizatannya dalam beragam aspek kepada empat puluh tingkatan manusia. Petunjuk tersebut menegaskan bahwa setiap ting- katan dari sepuluh tingkatan yang ada mendapatkan bagian kemukjizatannya. Adapun untuk tiga puluh tingkatan sisanya, al-Qur’an menunjukkan kemukjizatannya kepada para wali dari berbagai masyrab dan pakar ilmu dari berbagai bidang. Hal itu ditunjukkan oleh keyakinan hakiki mereka yang mencapai derajat ilmul yaqin, ainul yaqin, dan haqqul yaqin bahwa al-Qur’an al-Karim benar-benar merupakan ka- lam Allah. Artinya, masing-masing mereka telah melihat salah satu aspek kemukjizatan al-Qur’an.
Ya. Keindahan kilau kemukjizatan tersebut berbeda-beda sesuai dengan masyrab mereka. Pasalnya, kemukjizatan yang dipahami oleh wali yang arif berbeda dengan kemukjizatan yang dilihat oleh wali yang sedang tenggelam dalam cinta ilahi. Sisi kemukjizatan yang dilihat oleh seorang imam ushuluddin berbeda dengan sisi kemukjizatan yang dilihat seorang mujtahid dalam cabang syariat. Demikian seterusnya.
Karena aku tidak bisa memberikan penjelasan detail atas setiap aspek dari beragam aspek tersebut, lantaran keterbatasan pandangan dan pikiranku dalam menjangkaunya, maka aku hanya menjelaskan sepuluh tingkatan darinya. Sementara sisanya hanya kujelaskan secara global. Akan tetapi, masih ada dua tingkatan darinya pada Mukjizat Nabi Muhammad yang perlu mendapat tambahan penjelasan. Sekarang kami akan menjelaskannya sebagai berikut:
Tingkatan pertama: mereka yang mengetahui mukjizat al- Qur’an lewat pendengaran mereka. Pasalnya, orang awam hanya menyimak al-Qur’an dengan telinganya. Ia memahami kemukjizatan al-Qur’an dengan mendengar. Dengan kata lain, ia berkata, “Al- Qur’an yang kudengar ini tidak seperti kitab lainnya. Ia bisa berada di atas semuanya atau berada di bawah semuanya. Kemungkinan terakhir ini tidak mampu diucapkan oleh siapapun dan tidak pernah terucap demikian. Bahkan setan sekalipun tidak mampu mengatakan hal tersebut. Dengan demikian, ia berada di atas semuanya.”
Penjelasan umum ini terdapat pada ‘petunjuk kedelapan belas’. Lalu ia dijelaskan pada ‘bahasan pertama’ dari “Surat Kedua Puluh Enam” yang berjudul “Argumen al-Qur’an atas Golongan Setan” yang menggambarkan pemahaman tingkatan tersebut terhadap kemukjizatan al-Qur’an.
Tingkatan Kedua: Mereka yang mengetahui kemukjizatan al- Qur’an dengan cara melihat. Artinya, al-Qur’an al-Karim memiliki petunjuk kemukjizatan yang bisa disaksikan dengan mata, bahkan oleh kalangan awam atau kalangan materialis yang akalnya turun ke mata di mana mereka hanya percaya dengan apa yang mereka lihat. Hal ini dinyatakan dalam petunjuk kedelapan belas. Ia seharusnya diberi penjelasan tambahan untuk menetapkan pernyataan tersebut. Namun waktunya tidak memadai lantaran satu hikmah rabbani yang penting yang baru kami pahami sekarang. Karena itu, sebagian aspeknya dijelaskan dengan sangat ringkas dan sederhana.
Sekarang, setelah rahasia di balik hikmah tersebut diketahui, kami sangat yakin bahwa penundaannya lebih tepat. Untuk memudahkan dalam memahami tingkatan tersebut dan agar mereka lebih bisa merasakan bentuk kemukjizatan al-Qur’an, maka kami minta dituliskan sebuah mushaf yang menerangkan salah satu dari empat puluh sisi kemukjizatannya.
Sejumlah persoalan lain dari ‘bagian ketiga’ dan ‘bagian keempat’ ini tidak dimasukkan di sini. Pasalnya, ia terkait dengan tawâfuqât. Karena itu, kami hanya mencukupkan dengan indeks tawâfuqât tersebut. Nuktah ketiga dari bagian keempat ditulis dengan sebuah catatan.
Catatan:Seratus enam puluh ayat ditulis dalam rangka menjelaskan hal penting pada lafal “Rasul” yang terdapat dalam al-Qur’an. Meskipun ayat-ayat tersebut memiliki karakter yang berbeda, namun dari sisi makna masing-masing saling menguatkan dan menyempurnakan. Karena itu, ayat-ayat tersebut bisa menjadi hizb qurani bagi yang ingin menghafalkan dan membaca sejumlah ayat yang beragam. Begitu pula dengan enam puluh sembilan ayat yang mengandung lafal “al-Qur’an”. Saat menjelaskan poin penting dari lafal al-Qur’an, tampak bahwa balagah ayat-ayat tersebut sangat tinggi dan kefasihannya istimewa. Maka Sangat dianjurkan bagi para saudaraku untuk menjadikannya sebagai hizb Qurani.
Lafal atau kata “al-Qur’an” dalam mushaf terdapat dalam bentuk tujuh rangkaian. Sementara dua di antaranya berada di luar rang- kaian. Kedua kata itu bermakna “membaca” sehingga keberadaannya di luar memberikan sebuah kekuatan.
Adapun lafal “Rasul”, surah Muhammad dan surah al-Fath, keduanya merupakan surah yang memiliki hubungan paling kuat. Karena itu, kita batasi pengamatan kita terhadap rangkaian tersebut pada dua surah itu. Dan saat ini apa yang berada di luar rangkaian tidak dimasukkan. Insya Allah sejumlah rahasia yang terdapat pada lafal “Rasul” akan dituliskan jika waktunya memungkinkan.
Nuktah Ketiga:Ia terdiri dari empat poin (*[3])
Poin Pertama:Lafal “Allah” disebutkan dalam al-Qur’an seba- nyak 2806 kali. Lafal “ar-Rahmân”―termasuk yang terdapat dalam basmalah―disebutkan sebanyak 159 kali, lafal “ar-Rahîm” sebanyak 220 kali, lafal “al-Ghafûr” sebanyak 61 kali, lafal “ar-Rabb” sebanyak 846 kali, lafal “al-Hakîm” sebanyak 86 kali, lafal “al-Alîm” sebanyak 126 kali, lafal “al-Qadîr” sebanyak 31 kali, serta lafal “Huwa” dalam “la ilaha illa huwa” sebanyak 26 kali.(*[4])Pada jumlah lafal jalalah (Allah) terdapat sejumah rahasia dan banyak pelajaran penting.
Di antaranya bahwa yang paling banyak disebutkan dalam al-Qur’an adalah lafal “Allah” dan “Rabb”. Kemudian diikuti oleh lafal “ar-Rahmân, ar-Rahîm, al-Ghafûr, dan al-Hakîm”. Jumlah seluruh lafal tersebut ditambah dengan lafal “Allah” adalah setengah jumlah ayat al-Qur’an.Lafal “Allah” dengan lafal “ar-Rabb” yang bermakna Allah juga setengah jumlah ayat al-Qur’an. Pasalnya, lafal “ar-Rabb” yang disebutkan sebanyak 846 kali, lima ratus sekian darinya disebutkan sebagai ganti dari lafal “Allah”, sementara dua ratus sekian tidak bermakna “Allah”.
Total jumlah lafal “Allah” dengan jumlah lafal “ar- Rahmân, ar-Rahîm, dan al-Alîm” beserta jumlah lafal “Huwa” pada lâ ilâha illâ huwa juga setengah ayat al-Qur’an. Bedanya hanya empat. Dengan lafal “al-Qadîr” sebagai ganti dari lafal “Huwa” jumlahnya setengah jumlah ayat al-Qur’an. Bedanya hanya sembilan. Kita cukupkan pembahasannya sampai bagian ini. Sebab, masih banyak lagi pelajaran lain pada keseluruhan lafal Allah.
Poin Kedua:dilihat dari sisi surah, al-Qur’an juga berisi banyak pelajaran. Ia memiliki sejumlah tawâfuqât yang menunjukkan adanya keteraturan, tujuan, dan kehendak Allah.
Di antaranya: jumlah lafal “Allah” pada surah “al-Baqarah” sama dengan jumlah ayatnya. Bedanya hanya empat. Terdapat empat lafal Huwa sebagai ganti dari Allah seperti pada kalimat lâ ilâha illa huwa. Dengan itu, tawâfuq terwujud.
Jumlah lafal “Allah” pada surah “Ali Imrân” sesuai dengan jumlah ayatnya. Hanya saja, lafal “Allah” terdapat pada 209 ayat, semen- tara jumlah ayat surah tersebut adalah 200. Jadi, bedanya sembilan ayat. Namun perbedaan kecil seperti itu tidak merusak keistimewaan balagahnya. Pasalnya, tawâfuqât yang mendekati sudah cukup.
Jumlah ayat pada surah “an-Nisâ, al-Mâidah, dan al-An’âm” juga selaras dengan total jumlah lafal “Allah” yang terdapat pada ketiga surah tersebut. Pasalnya, jumlah ayat pada ketiganya sebanyak 464. Sementara lafal “Allah” ada 461. Keduanya sama persis, sebab lafal “Allah” pada basmalah juga dihitung.
Begitu pula pada lafal “Allah” di lima surah pertama. Ia disebutkan sebanyak dua kali lipat lafal “Allah” yang terdapat pada surah “al- A’râf, al-Anfâl, at-Taubah, Yunus, dan Hud”. Artinya, jumlahnya pada kelima surah yang kedua itu hanya setengah dari jumlah lafal “Allah” di kelima surah pertama. Jumlah lafal “Allah” pada surah “Yusuf, Ibrahim, ar-Ra’ad, al- Hijr, dan an-Naml” setengah dari yang setengah tadi. Lalu jumlah lafal “Allah” pada surah “al-Isrâ, al-Kahfi, Maryam, Thaha, al-Anbiyâ, dan al-Hajj”(*[5])adalah setengah dari setengah yang setengah di atas.Surah-surah berikutnya sebanyak lima surat. Lalu lima surat tetap dengan persentase yang hampir sama. Hanya saja, tedapat perbedaan pada sebagian bilangan pecahan. Perbedaan semacam itu pada konteks ini tidak ada masalah. Misalnya: sebagian darinya berjumlah 121, yang lain berjumlah 125. Lalu yang lain lagi berjumlah 154, dan yang lain berjumlah 159.
Kemudian pada lima surah berikutnya, yakni dimulai dari surah “az- Zukhruf ”, jumlahnya menurun menjadi setengahnya atau menjadi setengah dari setengah jumlah setengah tersebut. Lima surah yang dimulai dari surah “an-Najm” jumlahnya setengah dari setengah dari setengah dari setengah dari setengah tersebut. Meskipun tidak persis tapi mendekati demikian. Tidak masalah kalau perbedaannya hanya dalam bilangan kecil. Selanjutnya pada tiga kelompok lima surah pendek terdapat tiga angka lafal jalalah (Allah).
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa dalam jumlah bilangan lafal jalalah tersebut tidak ada unsur kebetulan. Namun ia sengaja ditetapkan dengan sebuah hikmah dan keteraturan.
Poin Ketiga:Lafal jalalah (Allah) yang mengarah kepada berbagai posisinya di berbagai halaman mushaf al-Qur’an.
Yaitu bahwa jumlah lafal jalalah dalam satu halaman memiliki korelasi dengan sisi halaman sebelah kanan dan dengan halaman yang berhadapan dengannya. Kadangkala juga dengan halaman sebelah kiri yang berhadapan dengannya serta dengan sisi baliknya.Aku telah memeriksa tawâfuqât ini dalam salinan mushafku. Kutemukan adanya tawâfuqât dengan persentase jumlah yang sangat indah pada sebagian besarnya. Aku telah memberikan tanda padanya di mushafku. Ia seringkali sama persis. Kadangkala juga setengah atau sepertiganya. Apapun adanya, ia mencerminkan sebuah hikmah dan keteraturan.
Poin Keempat:Tawâfuqât pada satu halaman.
Aku dan teman-temanku memeriksa tiga atau empat salinan mushaf yang berbeda. Kami bandingkan antara satu dengan yang lain. Kemudian kami sampai pada kesimpulan bahwa tawâfuqât tersebut juga berlaku pada semuanya. Hanya saja, tawâfuqât sedikit tidak sempurna karena ada sejumlah kepentingan lain yang dituju oleh pihak percetakan.Ketika ia disusun dan dikordinasikan, tawâfuqât pada keseluruhan al-Qur’an dalam hal jumlah lafal jalalah yang mencapai 2806 terlihat jelas, kecuali hanya dalam beberapa bagian.
Hal Itu mencerminkan cahaya kemukjizatan yang agung. Pasalnya, pikiran dan akal manusia tidak mungkin meliputi dan menjangkau keseluruhan halamannya yang banyak serta tidak mungkin ikut campur di dalamnya. Unsur kebetulan juga tidak mungkin ikut campur dalam hal-hal seperti itu.
Kami meminta agar sebuah mushaf yang mulia ditulis kembali agar “poin keempat” di atas relatif lebih terlihat dengan tetap menjaga halaman mushaf yang paling banyak tersebar serta menjaga baris-barisnya disertai penataan di beberapa posisinya yang tidak teratur karena kurang mendapat perhatian dari divisi produksi. Dari sana, rahasia dan hikmah tawâfuqât hakiki itu insya Allah akan terlihat dan ternyata ia benar-benar terlihat.
Ya Allah, Dzat yang menurunkan al-Qur’an, dengan kebenaran al-Qur’an, buatlah kami memahami berbagai rahasia al-Qur’an selama mentari dan bulan bersinar. Semoga salawat dan salam tercurah kepada sosok yang Kau turunkan padanya al-Qur’an, juga kepada seluruh keluarga dan sahabatnya. Amin.
BAGIAN KELIMA (Risalah Kelima)
“Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.” (QS. an-Nûr [24]: 35).Dalam suasana spiritual di bulan Ramadhan yang penuh berkah, aku merasakan salah satu cahaya ayat al-Qur’an di atas.
Aku melihat sesuatu yang menyerupai khayalan bahwa seluruh entitas dan makhluk hidup bermunajat kepada Rabb-nya yang Mahaagung dengan munajat “Uwais al-Qarani” yang terkenal,(*[6])yang dimulai dengan ungkapan:“Ilahi, Engkau Rabbku dan aku adalah hamba. Engkau Khalik sementara aku adalah makhluk. Engkau ar-Razzâq (Pemberi rezeki), sementara aku yang mendapat rezeki...dan seterusnya” Dalam kondisi hati semacam itu aku melihat sesuatu yang membuatku yakin bahwa setiap nama ilahi adalah cahaya bagi 18 ribu alam yang ada seperti berikut:
Sebagaimana daun mawar saling membungkus, yang satu menutupi yang berikutnya, begitu pula yang terjadi dengan alam ini. Setiap alam dibungkus dengan ribuan penutup dan tirai. Yang dibawahnya ditutup oleh sejumlah alam yang lain. Aku juga melihat bahwa setiap kali satu tirai dibuka terdapat alam lain yang tampak di hadapanku. Alam tersebut tampak bagiku begitu gelap dan menakutkan seperti gambaran ayat al-Qur’an: “Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila Dia mengeluarkan tangannya, tiadalah Dia dapat melihatnya. (Dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah Dia mempunyai cahaya sedikitpun.” (QS. an-Nûr [24]: 40). Ketika melihat alam yang gelap semacam itu, tiba-tiba aku melihat salah satu manifestasi nama ilahi yang bersinar kuat laksana cahaya yang menyinari alam dari ujung ke ujung. Setiap kali satu tirai dari alam ini terbuka di hadapan akal, terbuka pula dalam khayal sebuah pintu menuju alam lain. Ketika tampak diliputi oleh kegelapan karena kelalaian, seketika sebuah nama ilahi muncul laksana mentari yang terang sehingga menyinari seluruh alam tersebut. Begitu seterusnya.
Perjalanan spiritual dan wisata imajinatif ini berlangsung cukup lama. Di antaranya: Manakala melihat alam hewan dan memperhatikan kondisinya yang lemah, papa, sangat butuh, dan lapar, alam tersebut tampak bagiku dalam kondisi sangat gelap dan penuh duka.
Namun tiba-iba nama ar-Rahmân bersinar laksana mentari terang dari puncak nama ar-Razzâq. Ia menerangi alam tersebut dengan cahaya rahmat-Nya.
Di dalam alam hewan, aku melihat anak-anak mereka begitu lemah, papa, dan sangat butuh. Alam mereka begitu pekat, menggugah perasaan dan membuat iba setiap orang yang melihatnya.
Dalam kondisi demikian, tiba-tiba aku melihat nama ar-Rahîm bersinar dari puncak “kasih sayang”. Ia menebarkan cahayanya yang terang pada seluruh alam sekaligus mengubahnya menjadi alam yang indah dan menyenangkan. Bahkan ia mengubah air mata keluhan dan kesedihan menjadi air mata yang menyiratkan kebahagiaan, kegembiraan, dan ungkapan syukur.
Kemudian tirai yang lain tersingkap, tiba-tiba alam manusia tampak di hadapanku, bagaikan tayangan film. Ia begitu pekat, diliputi oleh gelap yang amat tebal dan rasa takut yang terus-menerus. Aku memohon pertolongan dari rasa takut yang kurasakan.
Pasalnya, aku melihat sejumlah harapan yang tertanam dalam diri manusia yang membentang menuju keabadian, pikiran dan khayalannya seluas alam, serta perhatian dan potensinya yang menuntut kebaha- giaan abadi yang mengarah kepada surga. Pada waktu yang sama, dalam dirinya tersimpan rasa papa dan butuh yang luar biasa, namun memiliki keinginan tak terhingga dan permintaan yang tak terbatas. Ia sangat lemah, namun rentan dengan berbagai terpaan musibah dan musuh yang sangat banyak. Lebih dari itu, usianya sangat singkat, hidupnya penuh derita, dan kehidupannya yang tak menentu. Ia merasakan getirnya kehilangan dan perpisahan yang sangat menya- kitkan hati di mana ia melihat―dengan pandangan kelalaian―kuburan sebagai pintu kegelapan abadi yang akan menjadi tempat di mana mereka akan dilemparkan secara perorangan ataupun berkelompok.
Ketika aku melihat alam manusia dalam kondisi gelap seperti itu hingga seluruh perangkat halus dalam diriku berikut hati, jiwa, dan akal, bahkan semua partikel wujudku mulai menangis dan meminta pertolongan. Tiba-tiba, nama Allah, al-Âdil, memancar dari puncak al-Hakîm, serta nama ar-Rahmân memancar dari puncak al- Karîm, nama ar-Rahîm memancar dari puncak al-Ghafûr, nama al- Bâ’its memancar dari nama al-Wârits, nama al-Muhyî memancar dari puncak al-Muhsin, nama ar-Rabb memancar dari puncak al-Mâlik. Seluruh nama ilahi tersebut menerangi begitu banyak alam dalam bagian alam manusia. Ia juga membuka jendela alam akhirat yang bersinar.
Serta, menebarkan cahaya terang ke dunia manusia yang gelap gulita.Lalu tirai lain yang agung tersingkap. Yaitu alam bumi. Hukum ilmiah filsafat yang gelap memperlihatkan, dalam khayalan, sebuah alam yang menakutkan. Tampak sebuah kegelapan yang menakutkan bagiku karena kondisi spesies manusia yang malang yang berjalan di bumi yang berevolusi di angkasa raya yang tak terbatas dengan kecepatan tujuh puluh kali lebih cepat dari peluru dan beredar mengelilingi rute sejauh 25 ribu tahun hanya dalam satu tahun. Ia bisa hancur dan berserakan setiap waktu karena di perutnya terdapat berbagai guncangan hebat yang bisa merusak dan meluluhlantahkan. Karena pekatnya gelap menyelimuti alam ini, diriku menjadi gemetar dan takut.
Namun tiba-tiba nama Khâliq as-Samâwati wal-ardh (Pencipta langit dan bumi), serta nama Allah seperti al-Qadîr, al-Alîm, ar-Rabb, Allah, Rabb as-Samâwati wal-ardh, dan Musakhhir asy-Syams wal-qa- mar (Dzat yang menundukkan matahari dan bulan) memancar terang dari puncak rahmat, al-Azhamah (keagungan), dan Rububiyah. Ia menerangi alam yang gelap tadi dengan sejumlah cahaya yang cemerlang. Ia mengubah bola bumi tersebut menjadi seperti kapal pesiar dalam bentuk yang sangat rapi, teratur, sempurna, lapang, dan tenang. Aku merasa ia benar-benar seperti disiapkan untuk berwisata, melancong, berekreasi, dan berniaga.
Kesimpulannya, setiap nama dari seribu satu nama ilahi yang mengarah ke alam, semuanya laksana matahari besar yang menyinari setiap alam. Bahkan, ia menyinari berbagai alam yang terdapat di sejumlah alam tersebut. Pasalnya, manifestasi nama-nama yang lain tampak pada manifestasi setiap nama-Nya lewat rahasia Ahadiyah Tuhan.
Dalam wisata ini, seolah kalbu bergembira dan mengharapkan tambahan setiap kali melihat beragam cahaya di balik setiap kegelapan. Bahkan ia ingin menaiki khayalan untuk dapat mengelilingi langit. Pada saat tersebut tirai menjadi tersingkap sehingga pentas yang sangat luas terlihat. Kalbupun masuk ke alam langit dan melihat:
Bahwa bintang-gemintang yang menebarkan senyuman cemer- lang ukurannya lebih besar daripada planet bumi. Mereka bergerak lebih cepat dari bumi dan saling mengelilingi antara satu dengan yang lain. Andaikan ada yang menyimpang dari porosnya dan melenceng sedetik saja, tentu ia akan bertabrakan dengan yang lain. Ketika itu, akan terdengar gema yang dahsyat disertai kehancuran alam. Bintang tidak lagi memancarkan cahaya; tetapi api yang menyala. Ia juga tidak memberikan senyuman cemerlang, namun menutupi dengan kegelapan yang pekat. Begitulah, dengan khayalan ini, aku melihat langit sebagai alam yang luas, kosong, menakutkan, dan mencengangkan. Aku sangat menyesal mengapa datang ke dalamnya.
Hanya saja, pada saat aku berada dalam kondisi demikian, nama-nama mulia milik Rabb, Pencipta langit dan bumi serta milik Rabb Pencipta malaikat dan ruh menunjukkan manifestasinya dari puncak ayat berikut ini:“Kami hiasi langit dunia dengan lentera” (QS. al-Mulk [67]: 5),“Dia tundukkan matahari dan bulan” (QS. ar-Ra’ad [13]: 2).Bintang-gemintang yang diselimuti kegelapan itu mendapat kilau cahaya dari cahaya agung tersebut. Dari sana, langit menjadi terang oleh lentera sebanyak jumlah bintang yang ada. Ia juga dipenuhi oleh malaikat dan makhluk spiritual lainnya. Ia tampak ramai setelah tadinya dianggap kosong. Aku melihat matahari dan bintang yang beredar laksana pasukan Rabb, Penguasa alam azali dan abadi. Ia seperti bergerak dan berputar dalam sebuah manuver yang luar biasa di mana ia memperlihatkan keagungan rububiyah Sang Penguasa Yang Mahaagung.
Maka, dengan segenap kekuatan yang kumiliki kutegaskan; bahkan andai mampu, dengan semua partikel wujudku dan dengan seluruh lisan makhluk—andai mereka mendengarku—akan kubacakan firman Allah berikut:
“Allah (sumber) cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tidak tembus, yang di dalamnya terdapat pelita besar. Pelita tersebut di dalam kaca. Dan kaca itu laksana bintang bercahaya seperti mutiara yang dinyalakan dengan minyak dari zaitun, yang tumbuh tidak di timur ataupun di barat. Minyaknya saja hampir menerangi meski tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki. Allah membuat berbagai perumpamaan bagi manusia. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. an-Nur [24]: 35). Kemudian, dari langit aku kembali dan mendarat di bumi. Aku tersadar seraya berucap: “Segala puji bagi Allah atas limpahan cahaya iman dan al-Qur’an.”
BAGIAN KEENAM (Risalah Keenam)
[Ini ditulis untuk mengingatkan para murid al-Qur’an dan untuk menyadarkan mereka yang berkhidmah untuknya agar tidak tertipu].
“Janganlah kalian condong kepada orang-orang zalim, sebab hal itu membuat kalian tersentuh api neraka. (QS. Hud [11]: 113).
Bagian keenam ini, dengan izin Allah, dapat menggagalkan enam tipu daya setan, dari golongan jin dan manusia, sekaligus menangkal enam bentuk serangannya.
Tipu Daya Setan yang Pertama
Setan manusia berusaha―lewat petunjuk yang didapat dari setan jin―menipu para pelayan al-Qur’an serta memalingkan mereka dari pengabdian dan jihad maknawi yang mulia. Yaitu dengan membuat mereka mencintai kedudukan dan reputasi. Gambarannya sebagai berikut:
Secara umum, dalam diri manusia dan pada setiap orang terdapat keinginan, baik sedikit maupun banyak, untuk mencintai kedudukan yang merupakan penyakit riya, dan keinginan untuk memperoleh posisi terhormat dalam pandangan manusia. Dengan motif ingin terkenal, manusia rela mengorbankan hidupnya untuk memenuhi keinginan tersebut. Perasaan ini sangat berbahaya bagi para perindu akhirat. Namun bagi ahli dunia, ia merupakan sesuatu yang menyenangkan. Di samping itu, ia menjadi sumber berbagai akhlak tercela. Perlu diketahui bahwa ia merupakan sisi lemah yang terdapat pada manusia. Ia bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menarik manusia lewat perasaannya itu. Karenanya, yang paling kutakuti dan paling kucemaskan adalah kemungkinan adanya eksploitasi kaum ateis terhadap saudara-saudaraku lewat sisi ini.
Sebab, lewat cara ini, mereka telah menarik teman-temanku yang kurang dekat lalu melemparkan mereka ke dalam jurang kebinasaan.(*[7])
Wahai saudara-saudara dan teman-teman yang menjadi pelayan al-Qur’an!Katakanlah kepada mata-mata ahli dunia yang mencari popularitas, yang berpihak kepada kaum sesat, dan yang menjadi murid-murid setan,
“Rida Ilahi, kemurahan Rahmani, dan penerimaan Rabbani merupakan sebuah kehormatan besar sehingga sambutan dan simpati manusia menjadi tidak berarti. Ketika rahmat ilahi mengarah kepada kita, itu sudah sangat cukup. Adapun sambutan dan penerimaan manusia, ia bisa diterima bila merupakan bagian atau pantulan dari rahmat ilahi. Jika tidak, ia sama sekali tidak boleh diharapkan. Sebab, ia akan redup dan hilang saat berada di pintu kubur.”
Kemudian bila sikap cinta kedudukan tidak dilenyapkan, ia harus diarahkan kepada hal lain sebagai berikut:
Perasaan tersebut (cinta kedudukan) dalam kondisi tertentu bisa dibenarkan. Yaitu ketika ditujukan untuk mendapat ganjaran ukhrawi dan dilakukan dengan niat mendapat doa manusia sebagai dampak positif dari aktivitas berkhidmah kepada al-Qur’an. Gambarannya sebagai berikut:
Misalkan Masjid Hagia Sophia dipenuhi oleh orang-orang mulia yang memiliki kedudukan terhormat. Sementara di pintu masuk atau koridornya terdapat sejumlah anak kecil yang nakal dan orang-orang berperangai bejat. Lalu di sekitar jendela terdapat orang-orang asing yang sedang asik bermain dan bersenda gurau. Ketika ada yang masuk ke dalam masjid tersebut dan bergabung dengan jamaah mulia di atas di mana ia membaca ayat-ayat al-Qur’an dengan suara indah, maka pandangan ribuan ahli hakikat itu tertuju kepadanya. Iapun mendapat pahala besar lewat doa dan rida mereka atasnya. Namun hal ini tidak menarik perhatian anak-anak yang nakal, kalangan ateis, dan orang-orang asing di atas.
Akan tetapi, andaikan orang tadi masuk ke masjid yang penuh berkah dan bergabung dengan jama’ah yang besar itu seraya melantunkan nyanyian yang merangsang syahwat dan menari, niscaya ia akan menarik perhatian anak-anak yang nakal itu. Karena tinda- kannya mendorong untuk berbuat keji, maka hal itu disenangi oleh orang-orang berperangai bejat tersebut serta mendapat senyuman orang-orang asing yang senang melihat kekurangan umat Islam. Sebaliknya, jama’ah besar dan penuh berkah yang berada di dalam masjid melihatnya dengan pandangan hina dan benci. Mereka melihatnya berada dalam tingkatan yang paling rendah dan nista.
Berdasarkan contoh di atas, dunia Islam dan benua Asia laksana masjid besar. Kaum mukmin dan ahli hakikat yang berada di dalamnya merupakan jama’ah yang mulia tersebut. Sementara kalangan anak-anak nakalnya adalah para penjilat yang memiliki pikiran kekanak-kanakan. Lalu orang-orang yang berperangai bejat itu adalah kaum ateis yang berkiblat ke Barat di mana mereka tidak memiliki agama. Sementara orang-orang asingnya adalah para wartawan yang menyebarkan pemikiran orang-orang asing.
Seluruh muslim, terutama kalangan mulia, masing-masing memiliki posisi terhormat di masjid tersebut sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Ia menjadi objek perhatian sesuai dengan posisinya. Bila ada perbuatan dan tindakan yang bersumber dari keikhlasan—yang merupakan landasan Islam—dan keinginan mencari rida Allah sesuai dengan hukum dan hakikat yang al-Qur’an gariskan, lalu kondisinya secara maknawi memperlihatkan pesan-pesan al-Qur’an, ketika itulah ia masuk dalam bagian doa yang dipanjatkan oleh setiap pribadi muslim yang berbunyi:“Ya Allah, ampuni kaum mukmin, baik yang laki-laki maupun yang perempuan.”Ia memiliki hubungan persaudaraan dengan seluruh mukmin. Akan tetapi, posisinya tidak terlihat oleh sebagian kaum sesat yang seperti binatang berbahaya, dan kedudukannya tidak tampak bagi kaum bodoh yang seperti anak kecil berewokan.
Andaikan orang itu meninggalkan kejayaan nenek moyang yang ia anggap sebagai simbol kemuliaan, melupakan sejarah yang merupakan sumber kebanggaan, dan menyalahi jalan generasi saleh terdahulu yang menjadi sandaran jiwanya, lalu melakukan berbagai tindakan atas dorongan hawa nafsu dan sikap riya demi meraih ketenaran dan berbuat bid’ah, maka dalam pandangan ahli hakikat dan kalangan beriman ia jatuh ke tingkatan yang paling rendah.
Pasalnya, betapapun bodoh dan awam, serta akalnya tidak sadar, kalbu seorang mukmin bisa merasakan perbuatan mereka yang kagum dan ujub terhadap diri sendiri dan membenci mereka secara maknawi.
Hal ini sesuai dengan rahasia bunyi hadis Nabi: “Waspadalah terhadap firasat orang mukmin, sebab ia melihat dengan cahaya Allah.”(*[8]) Demikianlah, orang yang tergila-gila dengan cinta kedudukan dan popularitas―sosok kedua― jatuh ke tingkat yang paling bawah dalam pandangan jamaah yang tak terhingga. Iapun mendapatkan posisi buruk yang bersifat sementara di kalangan orang bodoh yang ceroboh dan suka mencemooh.
Yang ia temukan hanyalah sa- habat palsu dan berbahaya baginya di dunia, penyebab azab di alam barzakh, dan musuh di akhirat sesuai dengan rahasia ayat berikut: “Para sahabat pada hari itu satu dengan yang lain menjadi musuh, kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-Zukhruf [43]: 67).
Adapun orang dalam gambaran pertama, kalaupun keinginan mendapat kedudukan masih ada dalam kalbunya, ia memperoleh posisi maknawi yang sah dan agung yang membuatnya puas dengan syarat keikhlasan dan rida Allah menjadi landasan utama tanpa menjadikan cinta kedudukan sebagai tujuan.Orang ini kehilangan sesuatu yang sangat sedikit dan tidak penting, namun mendapat pengganti yang banyak, bahkan sangat banyak di mana ia sangat bernilai dan tidak mendatangkan bahaya. Lebih dari itu, ia berhasil menjauhkan sejumlah ular dari dirinya dan mendapati sejumlah makhluk penuh berkah sebagai teman penggantinya. Ia merasa senang bersama mereka. Atau, seperti orang yang menggerakkan tawon namun mendapat manfaat dari lebah yang memberikan minuman penuh rahmat berupa madu. Dengan kata lain, ia mendapat doa dari orang-orang tercinta serta mendapat minuman salsabil yang laksana telaga al-Kautsar dari mereka. Semua itu didapat dari seluruh penjuru dunia dan pahalapun dicatatkan dalam lembaran amalnya.
Pada suatu saat, aku menyampaikan perumpamaan di atas dengan sangat tegas kepada sosok manusia kecil yang memiliki posisi istimewa di dunia yang kemudian menjadi objek ejekan dunia Islam karena ia melakukan sebuah kebodohan besar demi meraih ketenaran. Pelajaran tersebut sangat menghentak dirinya. Akan tetapi, karena aku tidak bisa menyelamatkan diriku dari cinta kedudukan, akhirnya peringatanku itu tidak membuat orang tersebut sadar.
Tipu Daya Setan yang Kedua
Perasaan takut dan khawatir tertanam kuat dalam diri manusia. Para tiran, orang-orang zalim, dan pembuat makar sering mengeks- ploitasi perasaan tersebut. Mereka menggunakannya sebagai sarana untuk mengekang para pengecut. Pihak intelijen dan penyeru kesesatan kerapkali memanfaatkan perasaan tersebut yang terdapat pada kalangan awam dan juga ulama dengan melemparkan berbagai teror dan isu kepada mereka.
Mereka menakut-nakuti seperti seorang penipu yang memperlihatkan sesuatu yang membuat seseorang yang sedang berada di atap rumah menjadi takut. Si penipu itu membuat orang tadi berpikir macam-macam dan sedikit demi sedikit menjadikannya mundur ke belakang sampai ke pinggir atap hingga jatuh dan akhirnya tewas. Begitulah kaum sesat memunculkan perasaan takut manusia sehingga mereka meninggalkan sejumlah persoalan besar akibat rasa takut yang sepele. Sampai-sampai sebagian mereka masuk ke dalam mulut ular agar tidak terkena gigitan nyamuk.
Contohnya sebagai berikut: Pada suatu petang, aku mendatangi jembatan Istanbul. Aku ditemani almarhum seorang tokoh ulama yang takut naik perahu. Namun kendaraan yang bisa kami naiki ketika itu hanya perahu. Sementara kami harus pergi ke Masjid Abu Ayyub al-Anshari. Maka, aku terus membujuknya untuk mau naik perahu. Kemudian terjadilah dialog sebagai berikut: Dia : Aku khawatir kita tenggelam. Aku : Kira-kira berapa jumlah perahu di teluk ini? Dia : Barangkali seribu perahu. Aku : Berapa perahu yang tenggelam dalam setahun? Dia : Satu atau dua perahu. Kadang dalam beberapa tahun tidak ada yang tenggelam. Aku : Berapa hari dalam setahun? Dia : 360 hari. Aku : Kemungkinan tenggelam yang terlintas dalam benakmu dan yang membuatmu takut adalah satu banding 360 ribu. Orang yang takut dengan kemungkinan ini tidak bisa disebut manusia ataupun hewan. Lalu berapa lama lagi kira-kira usiamu?
Dia : Aku ini sudah tua. Mungkin tinggal sepuluh tahun lagi. Aku : Kematian bisa terjadi setiap hari, karena ajal merupakan sebuah misteri. Karenanya, ada kemungkinan mati setiap harinya. Artinya, engkau memiliki 3600 kemung- kinan mati. Jadi, bukan 1 banding 300.000 kemungkinan seperti kemungkinan tenggelam pada perahu di atas. Tetapi, yang ada 1 banding 3000 kemungkinan mati, dan bisa jadi kemungkinan tersebut terjadi pada hari ini. Kalau begitu, yang harus kau lakukan adalah meratap dan menangis serta menulis wasiat.
Rupanya ungkapan tersebut berhasil mempengaruhinya. Ia menjadi sadar sehingga kunaikkan ia ke atas perahu dalam kondisi gemetar. Saat berada di perahu kukatakan padanya, “Allah memberi kita rasa takut agar dengan itu kita menjaga kehidupan; bukan untuk menghancurkan dan merusak kehidupan. Dia tidak memberi kita rasa takut agar hidup kita menderita dan susah. Bila rasa takut tersebut bersumber dari dua atau tiga kemungkinan, bahkan lima atau enam kemungkinan, maka ia masih wajar. Barangkali ia masih bisa dibenarkan sebagai sikap waspada. Akan tetapi, bila rasa takut tersebut bersumber dari sebuah kemungkinan dari dua puluh atau empat puluh kemungkinan yang ada, ia tidak lagi disebut takut. Namun ia adalah ilusi yang menghantui manusia dan membuat hidup tersiksa.
Wahai saudara-saudaraku! Ketika para penjilat kaum yang ateis itu menyerang kalian untuk membuat takut dan membuat kalian meninggalkan medan jihad maknawi yang suci, maka katakanlah kepada mereka:
“Kami adalah kelompok pengabdi al-Qur’an. Kami berlindung pada benteng al-Qur’an sesuai dengan rahasia firman-Nya, “Kami yang menurunkan adz-Dzikr (al-Qur’an) dan Kami pula yang menjaganya.” (QS. al-Hijr [15]: 9). Kami dilindungi oleh sebuah pagar besar; yaitu pagar “Cukuplah Allah bagi kami. Dialah sebaik-baik Pelindung.” (QS. Ali Imran [3]: 173). Kalian tidak akan bisa menggiring kami menuju jalan yang secara pasti mengarah pada ribuan maraba- haya yang menimpa kehidupan abadi kami lantaran takut terhadap bahaya sepele―dengan satu dari ribuan kemungkinan―yang menim- pa kehidupan dunia kami yang singkat ini.”
Katakanlah kepada mereka: “Siapa dari kami dan orang seperti kami yang mendapat bahaya karena Said Nursi saat meniti jalan kebenaran, di mana ia merupakan teman kami dalam mengabdi pada al-Qur’an sekaligus guru dan pelopor kami dalam menjalankan pengabdian suci tersebut?! Siapa di antara murid-murid khususnya yang mendapat ujian sehingga kami juga mendapat ujian yang sama, atau kami menjadi resah karena takut pada cobaan yang mungkin menimpa kami?! Saudara kami ini memiliki ribuan teman dan sahabat akhirat. Kami belum pernah mendengar ada di antara saudara atau temannya yang mendapat bahaya sejak sekitar 30 tahun belakangan ini. Padahal selama itu ia mempunyai pengaruh dalam kehidupan sosial dengan memiliki palu dan kekuatan politik. Sementara sekarang ini, ia hanya memiliki cahaya hakikat; bukan palu politik. Meskipun namanya dulu termasuk bersama mereka yang terlibat dalam peristiwa 31 Maret(*[9])dan sejumlah temannya dibunuh, namun sesudah itu diketahui bahwa peristiwa tersebut direkayasa oleh pihak lain. Bukan karena bersahabat dengannya sehingga teman-temannya mendapat bahaya. Tetapi karena musuhnya. Apalagi saat itu ia telah menyelamatkan banyak temannya.” Atas dasar itu, saudara-saudaraku, kalian harus mengusir para penjilat dari kaum yang sesat tersebut dengan mengatakan kepada mereka:
“Kami tidak ingin kehilangan kekayaan abadi hanya karena rasa takut yang mungkin terjadi dari ribuan kemungkinan yang ada. Hal ini tidak boleh terlintas dalam benak orang-orang seperti kalian yang bagaikan setan.”
Katakan pula kepada para penjilat itu: “Bila musibah dan bahaya disebabkan oleh kemungkinan satu banding satu; bukan satu dari ratusan ribu kemungkinan, selama masih memiliki sedikit akal, kami tidak takut dan tetap tidak akan meninggalkan beliau (Said Nursi).” Pasalnya dari pengalaman yang ada, telah dan masih terlihat bagaimana orang-orang yang mengkhi- anati guru atau saudara mereka saat musibah dan bencana terjadi, ternyata musibah tersebut justru terlebih dahulu menimpa orang- orang itu. Selain itu, mereka mendapat perlakuan yang kasar, jauh dari kasih sayang, serta mereka dipandang rendah dan hina. Jasad mereka mati dan jiwa mereka juga binasa akibat kehinaan yang mereka dapatkan. Orang-orang yang menghukum mereka tidak memperlihatkan belas kasih sama sekali. Orang-orang itu berkata, “Mereka telah mengkhianati guru mereka yang begitu penyayang kepada mereka. Karena itu, mereka mendapatkan balasan di mana kedudukan mereka menjadi jatuh dan rendah. Mereka tidak layak mendapatkan belas kasih. Namun layak dihinakan dan dinistakan.”
Selama keadaannya demikian, ketika seorang zalim yang keji menginjak-injak kepala seseorang lalu pihak yang dizalimi itu justru mencium kakinya, maka dengan sikap hina tersebut kalbunya sudah hancur sebelum kepalanya. Jiwanya sudah mati sebelum jasadnya. Ia kehilangan kepala sekaligus kehilangan wibawa dan kehormatan. Pasalnya, dengan menunjukkan kelemahan di hadapan si zalim tadi, hal itu justru membuatnya lebih berani bertindak kejam. Sebaliknya, bila pihak yang dizalimi itu meludahi wajah si zalim berarti ia telah menyelamatkan kalbu dan jiwanya sementara jasadnya menjadi syahid. Ya, ludahi wajah kaum zalim yang tidak punya belas kasih itu!
Ketika Inggris menduduki Istanbul dan merusak meriam di jalan-jalan Istanbul, pemimpin uskup gereja Anglican bertanya kepada kantor syaikhul Islam dengan enam pertanyaan. Saat itu aku masih anggota di Dârul Hikmah al-Islamiyyah. Mereka berkata kepadaku, “Jawablah pertanyaan mereka dengan enam ratus kata seperti yang mereka inginkan.”
Akupun berujar, “Menjawab pertanyaan tersebut bukan dengan enam ratus kata, enam kata, atau satu kata. Akan tetapi cukup dengan semburan ludah.” Pasalnya, ketika negara tersebut menginjak dan mencekik kita, yang harus dilakukan adalah meludahi wajah pemimpin uskup mereka terkait dengan pertanyaan yang ia tanyakan dengan penuh kesombongan. Karena itu kukatakan, “Ludahi wajah kaum zalim yang congkak itu!”
Sekarang, kutegaskan bahwa negara besar seperti Inggris, ketika ia menduduki negeri kita, maka―lewat media cetak―kujawab dan kutantang mereka. Ketika itu, bisa dipastikan kondisiku dalam bahaya besar. Hanya saja, penjagaan al-Qur’an telah mencukupiku. Ia juga seratus kali lipat sudah cukup bagi kalian dalam menghadapi kaum zalim yang kemungkinan bahayanya satu banding seratus.
Selanjutnya, wahai saudara-saudaraku, banyak di antara kalian yang telah mengikuti wajib militer, yang belum pun pasti sudah mendengar. Namun siapa yang belum mendengar, hendaknya mereka mendengar dariku: sebagian besar yang terluka dan menjadi korban dalam perang adalah mereka yang lari dari parit pertahanan. Sebaliknya, yang paling sedikit mengalami luka adalah mereka yang tetap berada di parit pertahanan.
Disebutkan dalam ayat al-Qur’an: “Katakanlah, sesungguhnya kematian yang kalian hindari, ia pasti akan menemui kalian.” (QS. al-Jumu’ah [62]: 8). Makna simbolik dari ayat di atas menunjukkan bahwa orang- orang yang lari dari kematian lebih berpeluang menemui ajal daripada yang lain.
Tipu Daya Setan yang Ketiga
Setan memburu banyak orang dengan perangkap tamak.
Dalam banyak risalah dan lewat dalil-dalil yang kuat yang kami ambil dari ayat al-Qur’an, kami telah menegaskan bahwa “rezeki halal datang sesuai dengan kadar kelemahan dan kepapaan; bukan sesuai dengan usaha dan kemampuan”.
Petunjuk, tanda, dan dalil yang membuktikan hakikat tersebut tidak terhingga. Di antaranya:
Pepohonan yang merupakan salah satu spesies makhluk hidup yang juga membutuhkan rezeki, tetap tegak di tempatnya, namun rezekinya yang mendatanginya. Sementara hewan tidak menerima nutrisi dan tidak tumbuh sempurna seperti pohon.
Hal itu karena ia sangat tamak kepada rezeki. Ikan yang paling bodoh, paling dungu, dan paling lemah mendapat nutrisi dengan cara yang paling baik. Padahal ia hidup di air, namun tampak gemuk dan berisi. Sementara monyet, rubah, dan hewan sejenis yang memiliki kepandaian dan kemampuan tampak kurus dan lemah karena kondisi kehidupannya yang buruk. Semua itu menunjukkan bahwa perantara rezeki bukan kemampuan; tetapi kepapaan.
Penghidupan yang baik yang didapat oleh anak-anak—entah manusia atau hewan—serta susu murni yang diberikan kepada mereka merupakan bentuk hadiah yang dianugerahkan dari khadzanah rahmat ilahi dari tempat yang tak terduga, sebagai bentuk rahmat dan belas kasih atas kelemahan mereka. Sebaliknya, kesulitan hidup pada binatang buas, semua itu menunjukkan bahwa sarana rezeki yang halal berupa kelemahan dan kepapaan; bukan kepandaian dan kemampuan.
Bangsa Yahudi yang dikenal sebagai bangsa yang paling tamak pada kehidupan dunia, mengungguli bangsa lain dalam memburu rezeki. Namun demikian, mereka bangsa yang paling hina dan paling rentan terhadap kehidupan yang buruk. Bahkan orang-orang kaya di antara mereka berada dalam kondisi memprihatinkan. Harta yang mereka peroleh dari transaksi ribawi ataupun dengan cara lain yang tidak dibenarkan, tidak membantah pernyataan di atas. Sebab, ia tidak termasuk rezeki yang halal.
Banyak sastrawan dan ulama yang hidup dalam kondisi sangat sederhana, sementara banyak orang bodoh yang hidup bergelimang harta. Semua itu menunjukkan bahwa sarana untuk mendapat rezeki bukan kecerdasan dan kemampuan. Tetapi, kelemahan, kepapaan, serta kepasrahan yang disertai dengan sikap tawakkal dan juga doa, baik lewat bahasa lisan maupun bahasa tubuh dan perbuatan.
Allah berfirman: “Allah adalah Dzat Pemberi rezeki, Pemilik kekuatan yang kokoh” (QS. adz-Dzâriyat [51]: 58). Ayat tersebut menegaskan hakikat di atas. Ia menjadi bukti kuat atas pernyataan kita ini di mana ia dibaca oleh semua tumbuhan, hewan, dan anak-anak manusia lewat bahasa tubuhnya. Bahkan ia juga dibaca oleh setiap kelompok yang menginginkan rezeki.
Karena rezeki ditetapkan oleh takdir ilahi dan ia diberikan sebagai bentuk karunia, sementara Pemberinya adalah Allah yang Maha Pengasih dan Maha Pemurah, maka orang yang menerima harta haram sebagai suap untuk dirinya dan kadang untuk simbol-simbol kehormatannya dengan menjatuhkan harga diri tanpa alasan yang dibenarkan sampai-sampai ia tidak percaya kepada rahmat Allah dan meremehkan karunia-Nya, kutegaskan bahwa hendaknya ia berpikir betapa tindakannya sangat bodoh dan gila.
Ya, ahli dunia, terutama kaum yang sesat, tidak akan memberikan uang mereka dengan murah. Namun ia akan memberikannya dengan harga yang mahal. Harta yang bisa menjaga kehidupan duniawi untuk satu tahun, namun bisa menjadi sarana yang menghan- curkan khazanah kehidupan abadi yang kekal. Maka, dengan tamak yang merusak ia mendapat murka ilahi dan berusaha mendapat rida kaum yang sesat.
Wahai saudaraku, ketika para penjilat ahli dunia dan kaum munafik yang sesat itu menjerat kalian dengan tali ketamakan yang merupakan sisi lemah yang tertanam dalam diri manusia, renungkanlah hakikat yang telah disebutkan sebelumnya dan jadikan saudara kalian yang fakir ini sebagai teladan.Dengan segala daya dan kekuatan yang kumiliki, aku menjamin bahwa sikap qana’ah dan hemat bisa menjaga kehidupan kalian dan menjamin rezeki kalian lebih dari gaji kalian. Apalagi uang yang tidak halal yang diberikan kepada kalian tersebut akan meminta gantinya dari kalian ribuan kali lipat. Atau, uang yang tidak halal tersebut bisa jadi menahan dan mengurangi tugas pengabdian al-Qur’an yang bisa membuka banyak pintu kakayaan abadi untuk kalian pada setiap waktu. Ini merupakan bahaya besar yang tidak bisa diganti dengan ribuan gaji.
Catatan: Kaum sesat yang terbiasa bermuka dua dan menipu, selalu menghadirkan makar dan tipu daya. Yaitu saat mereka tidak mampu menghadapi berbagai hakikat iman yang kami sebarkan yang bersumber dari al-Qur’an. Dengan berbagai cara, mereka berusaha agar para sahabatku menjauhiku. Kaum sesat itu membujuk mereka de- ngan sikap cinta kedudukan, sifat tamak, rasa cemas, dan upaya me- rendahkan diriku lewat berbagai tuduhan terhadap diriku.Dalam melakukan pengabdian suci ini, kami bergerak secara positif. Akan tetapi, sayang sekali, upaya menangkal berbagai rintangan yang menjadi penghalang dalam melakukan kebaikan kadang- kala membuat kami melakukan tindakan negatif.
Nah, dalam menghadapi berbagai propaganda kaum munafik tersebut, aku mengingatkan saudara-saudaraku kepada tiga poin di atas dan berusaha untuk menangkal serangan yang ditujukan kepada mereka. Sekarang ini, serangan paling berat diarahkan kepada pribadiku. Mereka berkata, “Said adalah orang Kurdi. Mengapa kalian sangat menghormati dan mengikutinya?” Karena itu, terpaksa aku menulis tipu daya setan yang keempat dengan bahasa “Said Lama” untuk membungkam orang-orang seperti mereka.
Tipu Daya Setan yang Keempat
Sebagian kalangan ateis yang menempati sejumlah posisi penting menyerang diriku. Mereka menyebarluaskan berbagai propagan- da yang mereka dapat dari setan dan dari bisikan kaum sesat. Hal itu menjadi alat untuk menipu saudara-saudaraku dan untuk memun- culkan semangat kesukuan.Mereka berkata, “Kalian adalah bangsa Turki. Alhamdulillah terdapat sejumlah golongan ulama dan sosok mulia dari bangsa Turki. Sementara Said ini adalah orang Kurdi. Bekerjasama dengan orang yang bukan berasal dari bangsa kalian bertentangan dengan semangat kesukuan.”
Jawaban: Wahai orang ateis yang malang! Alhamdulillah aku seorang muslim. Aku memiliki afiliasi dengan umat Islam yang mulia, dimana jumlah mereka mencapai 350 juta orang. Aku berlindung kepada Allah seratus ribu kali dari tindakan mengorbankan saudaraku yang banyak ini yang terpaut dengan persaudaraan abadi di mana mereka telah membantuku lewat doa mereka yang tulus; yang di tengah-tengah mereka terdapat mayoritas Kurdi. Tidak mungkin aku menggantikan mereka dengan paham rasisme dan nasionalisme negatif untuk mendapat simpati sejumlah orang yang membawa nama Kurdi dan dianggap golongan Kurdi di mana mereka termasuk kalangan yang meniti jalan kekufuran dan berlepas diri dari sejumlah mazhab.
Wahai ateis, itu adalah karakter orang-orang bodoh sepertimu. Yaitu meninggalkan persaudaraan hakiki yang bersinar dan berguna dari sebuah jamaah yang berjumlah 350 juta untuk mendapat persaudaraan orang-orang kafir seperti bangsa Hungaria atau sejumlah orang Turki yang ateis dan kebarat-baratan. Itu adalah persaudaraan sementara yang tidak berguna meski di dunia sekalipun.
Karena kami telah menjelaskan esensi dari nasionalisme negatif dan bahayanya dengan sejumlah dalil pada ‘persoalan ketiga’ dari “Surat Kedua Puluh Enam”, maka silahkan merujuk kepada risalah tersebut. Di sini kami hanya akan sedikit menjelaskan satu hakikat yang diterangkan secara global pada akhir persoalan ketiga. Ia adalah sebagai berikut:
Kukatakan kepada kaum ateis itu, para penyeru semangat ke- sukuan, yang berlindung di balik tirai nasionalisme Turki, yang sebenarnya mereka adalah musuh bagi bangsa Turki. Kukatakan kepada mereka:“Aku memiliki hubungan yang sangat kuat dengan mukmin negeri ini yang disebut sebagai bangsa Turki serta memiliki hubungan persaudaraan yang tulus, abadi, dan hakiki, dengan umat Islam. Dengan rasa bangga, aku sangat mencintai dan loyal―atas nama Islam―kepada putra-putri negeri ini yang telah meninggikan panji al- Qur’an di seluruh penjuru dunia selama seribu tahun.”
Adapun engkau wahai penipu yang merasa memiliki heroisme! Engkau hanya miliki persaudaraan simbolis; tidak hakiki, serta ber- sifat sementara. Persaudaraan tersebut dibangun di atas rasisme dan kepentingan pribadi. Ia membuat orang-orang lupa akan berbagai kebanggaan nasional Turki yang sebenarnya.
Aku ingin bertanya:“Apakah bangsa Turki hanya terdiri dari para pemuda yang lalai, yang mengikuti hawa nafsu, yang usia mereka antara dua puluh sam- pai dengan empat puluh tahun saja?”“Apakah keuntungan yang diraih dari semangat nasionalisme negatif terbatas pada pendidikan ala Barat yang justru membuat mereka semakin lalai, membiasakan mereka berperilaku bejat, dan mendorong mereka berbuat dosa?”“Apakah dengan upaya mengajak mereka kepada kesenangan temporer dan tertawa sesaat malah justru membuat mereka menangis di masa tua?” Jika semangat nasionalisme dan rasisme tersebut semacam itu, jika kemajuan dan kebahagiaan abadi yang dimaksud seperti itu, dan jika engkau yang mengajak kepada nasionalisme Turki model demikian, serta membela bangsa dengan cara tersebut, maka aku benar-benar akan menjauhi seruan nasionalisme Turki tersebut dan engkau boleh menjauh dariku.
Jika engkau masih memiliki sedikit semangat, kesadaran, dan sikap objektif, maka perhatikan pembagian berikut lalu berikan jawaban!
Putra-putri negeri ini yang disebut bangsa Turki terbagi atas enam bagian:
Bagian pertama: kaum yang salih dan bertakwa. Bagian kedua: orang-orang yang sedang sakit dan mendapat musibah. Bagian ketiga: kalangan lanjut usia. Bagian keempat: anak-anak dan balita. Bagian kelima: kaum dhuafa dan miskin. Bagian keenam: kalangan muda.
Bukankah lima kelompok pertama termasuk bangsa Turki? Tidakkah mereka memiliki bagian dari semangat nasionalisme yang dimaksud? Apakah semangat nasionalisme tersebut boleh menyakiti lima kelompok di atas, merampas kegembiraan mereka, mengganggu kesenangan mereka, merusak kebahagiaan mereka demi mendatangkan suka cita yang melenakan kepada kelompok yang keenam? Apakah ini semangat patriotisme atau justru permusuhan terhadap bangsa Turki? Pihak yang mendatangkan bahaya bagi mayoritas sudah pasti musuh; bukan teman. Pasalnya, hukum tegak di atas kepentingan mayoritas.
Aku ingin bertanya, “Apakah keuntungan terbesar yang didapat oleh kelompok pertama—kalangan beriman dan bertakwadari peradaban Barat? Atau, meniti jalan kebenaran seperti yang mereka inginkan dan pelipur lara dalam cahaya iman dengan menghadirkan kebahagiaan abadi?”
Jalan yang dilewati oleh kalian dan para propagandis nasionalisme sepertimu yang berkutat dalam kesesatan bisa memadamkan cahaya maknawi milik kaum mukmin yang bertakwa, merusak kebahagiaan mereka, memperlihatkan kematian sebagai ke- binasaan abadi, serta memosisikan kubur sebagai pintu menuju perpisahan abadi.
Apakah keuntungan yang didapat oleh kelompok kedua, yaitu mereka yang sedang sakit dan yang terkena musibah, yang putus asa dalam hidup, berupa pendidikan peradaban tanpa agama yang mengekor kepada Barat? Padahal orang-orang malang itu sedang membutuhkan cahaya, mengharap pelipur lara, mencari pahala atas musibah yang menimpa, ingin menuntut balas kepada pihak yang telah berbuat aniaya, serta berharap dapat menghilangkan rasa cemas dari pintu kubur yang sudah dekat.
Namun, dengan semangat palsu yang diserukan oleh dirimu dan orang-orang sepertimu, kalian malah melukai dan menyakiti kalangan yang tertimpa musibah yang sangat membutuhkan pelipur lara, belas kasih, dan balutan atas luka mereka. Kalian malah menanamkan sejumlah penyakit ke hati mereka yang sedang terluka sehingga membuat mereka kehilangan harapan dan melemparkan mereka ke dalam jurang keputusasaan. Apakah ini yang dimaksud semangat nasionalisme? Apakah begini cara kalian memberi manfaat kepada bangsa?
Kelompok ketiga, yaitu kalangan lanjut usia, yang mewakili sepertiga bangsa ini. Mereka sudah di ambang pintu kubur dan dekat dengan kematian. Mereka mulai menjauhi dunia dan menghampiri akhirat. Apakah mereka mendapatkan manfaat, cahaya, dan pelipur lara dengan mendengar sejarah kaum zalim seperti Jengis Khan dan Khulagu? Apakah perbuatan kalian yang telah membuat mereka lupa pada akhirat dan mendekatkannya pada dunia di mana ia sama sekali tak berguna bisa menjadi pelipur lara? Padahal semua itu merupakan bentuk keruntuhan dan kemunduran maknawi meskipun secara lahir tampak maju. Apakah cahaya akhirat ada pada bioskop? Apakah pelipur lara hakiki terdapat pada teater?
Ketika orang-orang yang lanjut usia itu mengharap penghormatan dari kalangan yang mengusung semangat nasionalisme, malah dikatakan kepada mereka, “Kalian sedang menuju kematian abadi.” Mereka dibuat takut dengan kubur yang tadinya mereka bayangkan sebagai rahmat malah berubah menjadi mulut ular yang siap mene- lan. Para penyeru nasionalisme itu membisikkan ke telinga maknawi mereka, “Kalian sedang berjalan menuju ke sana.” Ucapan tersebut seperti tikaman yang mengarah pada mereka lalu menyayat-nyayat jiwa mereka. Kalau ini yang kalian maksud dengan semangat nasio- nalisme, maka aku berlindung kepada Allah seratus ribu kali dari na- sionalisme tersebut.
Kelompok keempat adalah anak-anak. Dari semangat nasio- nalisme itu mereka mengharap rahmat dan menantikan kasih sayang. Iman kepada Allah, Sang Pencipta Yang Mahakuasa dan Maha Penyayang, itulah yang menjadikan jiwa mereka senang, potensi mere- ka tumbuh, dan bakat mereka berkembang dengan penuh bahagia meskipun kelemahan dan ketidakberdayaan masih tersimpan di dalam diri mereka. Mereka bisa melihat kehidupan dengan penuh kerinduan lewat pengajaran sikap tawakkal dan kepasrahan islami yang hal itu membuat mereka tegar menghadapi berbagai kondisi dan kesulitan. Apakah itu bisa diganti dengan mengajarkan kemajuan peradaban yang kurang terkait dengan mereka dan mengajarkan filsafat materialistik yang gelap, yang dapat meruntuhkan kekuatan maknawi mereka dan bisa memadamkan cahaya jiwa mereka?
Pasalnya, andaikan manusia terdiri dari fisik jasmani semata tanpa memiliki akal, barangkali berbagai metode asing yang kalian sebut sebagai pendidikan peradaban yang membuat anak-anak tak berdosa itu terhibur untuk sementara waktu dan dihiasi dengan ajaran nasionalisme dapat memberikan keuntungan duniawi sebagai mainan bagi anak-anak. Akan tetapi, anak-anak yang tak berdosa itu akan terjun ke kancah kehidupan sama seperti yang lain. Sudah pasti mereka akan membawa harapan yang sangat jauh di hati mereka yang kecil serta dalam benak mereka akan muncul sejumlah cita-cita mulia.
Karena demikian hakikat sebenarnya, dalam hati mereka harus tertanam satu “titik sandaran” yang kuat dan “titik tambatan” yang kokoh dengan penguatan iman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu sebagai tuntutan kasih sayang kepada mereka yang memiliki kelemahan tak terhingga. Hanya dengan itu, belas kasih kepada mereka bisa terwujud. Jika tidak, mengasihi mereka dengan mengobarkan semangat nasionalisme negatif hanya akan menjadi sayatan maknawi terhadap anak-anak kecil yang tak berdosa itu. Sama seperti seorang ibu gila yang menyayat anaknya. Bahkan ia juga merupakan bentuk pengkhianatan dan penganiayaan terhadap mereka layaknya orang yang mengeluarkan jantung dan otak si anak untuk dijadikan nutrisi bagi pertumbuhan fisiknya.
Kelompok kelima adalah kaum dhuafa dan miskin. Orang-orang fakir yang memikul beban hidup yang berat, yang menjadi lebih menderita akibat kemiskinan yang dialami, serta orang-orang miskin yang lebih sengsara akibat dinamika kehidupan yang mengkhawatirkan, bukankah mereka berhak mendapat bagian dari semangat nasionalisme?
Apakah bagian mereka terdapat pada aktivitas yang kalian lakukan di bawah payung westernisasi dan peradaban fir’auniyah yang memenuhi ambisi orang-orang kaya yang bodoh, yang menjadi sarana ketenaran bagi tiran yang kuat dan zalim, yang justru menambah penderitaan dan keputusasaan mereka?Balsam penyembuh untuk membalut luka kefakiran mereka sama sekali tidak terdapat pada nasionalisme negatif. Namun ia berasal dari apotik Islam yang suci. Kekuatan dan perlawanan kaum dhuafa tidak bersumber dari filsafat materialis gelap yang merujuk pada unsur kebetulan dan alam yang tuli. Namun ia bersumber dari semangat keislaman dan dari umat Islam yang mulia.
Kelompok keenam adalah para pemuda. Andaikan masa muda mereka abadi, tentu minuman memabukkan berupa nasionalisme negatif yang kalian berikan kepada mereka dapat memberikan keuntungan sementara. Namun saat sadar dari kealpaan masa muda yang nikmat melalui masa tua dan sejumlah derita, serta saat terbangun dari tidur nyenyak di subuh kerentaan yang penuh dengan penyesalan akan membuat para pemuda menangis pilu dan merasa sakit akibat minuman tadi. Selain itu, kepedihan yang dirasa akibat lenyapnya mimpi menyenangkan akan melahirkan kesedihan yang luar biasa, sehingga membuatnya menyesal dan mengeluh seraya berkata, “Oh, sungguh menyesal. Masa muda telah hilang. Usia sudah berlalu. Aku akan masuk ke dalam kubur dengan tangan kosong. Andai saja sebelumnya aku sadar.”
Apakah bagian kelompok ini dari semangat nasionalisme negatif itu hanya mendapatkan kesenangan temporer dalam jangka waktu terbatas, lalu setelah itu menyesal dan menangis selamanya? Atau, kebahagiaan mereka di dunia dan kenikmatan hidup mereka terletak pada sikap syukur atas nikmat masa muda dengan menggunakan masa tersebut di jalan yang lurus; bukan di jalan kemaksiatan. Hal itu untuk membuat masa muda yang fana menjadi kekal dengan ibadah serta demi meraih masa muda yang kekal di negeri kebahagiaan abadi? Jika engkau masih memiliki sedikit kesadaran, jawablah pertanyaan tersebut!
Kesimpulannya, andaikan bangsa Turki hanya terbatas pada kelompok keenam, yaitu para pemuda, dan masa muda mereka kekal, serta tidak ada negeri lain bagi mereka selain dunia, tentu aktivitas kalian yang berhias westernisasi di bawah payung nasionalisme Turki masih bisa dianggap sebagai semangat nasionalisme. Jika demikian adanya, kalian bisa berkata kepada orang sepertiku yang tidak begitu peduli dengan urusan dunia, yang menganggap nasionalisme negatif sebagai bencana seperti topan, yang berusaha memalingkan para pemuda dari nafsu dan keinginan menyimpang, yang lahir di negeri seberang; kalian bisa berkata, “Ia seorang Kurdi. Jangan kalian ikuti.” Ucapan kalian ini barangkali masih bisa dibenarkan.
Akan tetapi, karena putra-putri negeri ini yang disebut sebagai orang Turki terdiri dari enam kelompok seperti yang telah kami jelaskan, maka mendatangkan bahaya kepada lima kelompok dari mereka dan merampas kebahagiaan mereka, lalu membatasi kebahagiaan duniawi yang bersifat sementara dan berdampak buruk hanya pada satu kelompok, bahkan membuat mereka mabuk dengannya, tentu hal itu bukan merupakan bentuk kesetiaan kepada bangsa Turki, melainkan pengkhianatan dan permusuhan.
Ya, dari sisi ras aku bukan orang Turki. Akan tetapi, aku telah berusaha dan terus berusaha dengan segenap kemampuan, penuh se- mangat, kasih sayang dan rasa persaudaraan untuk kebaikan orang- orang Turki yang bertakwa, yang mendapat musibah, yang tua, anak- anak, dan yang fakir. Aku juga berusaha agar para pemuda—sebagai kelompok keenam—meninggalkan berbagai perbuatan menyimpang yang bisa meracuni kehidupan dunia mereka, yang bisa menghancurkan kehidupan akhirat mereka, dan yang mengantar pada tangisan setahun akibat tawa selama tidak lebih dari sejam. Ini menjadi kebiasaanku sejak 20 tahun yang lalu. Bukan hanya enam atau tujuh tahun belakangan. Pasalnya, sejumlah risalah yang kuterbitkan dengan bahasa Turki dan kuambil dari cahaya al-Qur’an bisa didapat semua orang.
Ya, karya-karya yang terambil dari khazanah cahaya al-Qur’an al-Karim telah dijelaskan kepada kalangan lanjut usia yang sangat menginginkan cahaya tersebut. Telah diperlihatkan kepada para penderita sakit dan orang-orang yang mendapat musibah bahwa obat paling mujarab dan balsam penyembuh untuk mereka terdapat dalam apotik al-Qur’an yang suci. Lewat cahaya al-Qur’an, telah diberitahukan kepada kaum tua yang sudah dekat dengan pintu kubur bahwa ia merupakan pintu kasih sayang; bukan pintu kebinasaan. Kepada anak-anak yang hatinya masih halus dan lembut, dari khazanah al- Qur’an al-Karim, dihadirkan “titik sandaran” yang sangat kuat dalam menghadapi berbagai musibah, kesulitan, dan bahaya. Diperlihatkan “titik tambatan” yang menjadi sumber harapan dan keinginan tak terhingga yang bisa mereka manfaatkan. Beban hidup yang menekan kaum dhuafa dan miskin sekaligus membuat mereka sedih diringankan oleh hakikat keimanan yang berasal dari al-Qur’an al-Hakim.
Begitulah. Kami berusaha memberi manfaat kepada lima kelompok dari enam kelompok bangsa Turki. Adapun kelompok keenam yaitu para pemuda, kami memiliki persaudaraan yang tulus bersama dengan orang-orang baik dari mereka. Sementara, tidak ada persahabatan apapun dengan orang-orang ateis sepertimu. Pasalnya, kami tidak menganggap para penganut ateisme yang menanggalkan agama Islam, yang menghimpun kebanggaan nasional Turki yang sebenarnya, sebagai bagian dari bangsa Turki. Namun kami memosisikan mereka sebagai orang asing yang berkedok Turki. Orang seperti mereka, betapapun telah mengklaim mengajak kepada nasio- nalisme Turki, sesungguhnya mereka tidak bisa menipu orang-orang yang berada dalam garis kebenaran. Pasalnya, sikap dan tindak-tanduk mereka mematahkan klaim mereka.
Wahai kaum ateis yang berkiblat ke Barat yang berusaha memalingkan saudara-saudaraku dari diriku lewat berbagai propaganda kalian! Apa manfaat yang kalian berikan untuk umat? Kalian telah memadamkan cahaya kalangan bertakwa dan salih yang merupakan kelompok pertama. Kalian menuangkan racun pada luka orang- orang yang justru membutuhkan balutan dan curahan kasih sayang di mana mereka merupakan kelompok kedua. Kalian merampas obat pelipur lara dari kelompok ketiga yang sangat layak dihormati dan dimuliakan seraya mencampakkan mereka ke dalam keputusasaan. Kalian memutus semua kekuatan maknawi kelompok keempat yang membutuhkan kasih sayang dan memadamkan rasa kemanusiaan mereka yang sebenarnya.Kalian memutuskan harapan kelompok kelima yang justru membutuhkan pertolongan dan pelipur lara hingga dalam panda- ngan mereka hidup lebih menakutkan daripada kematian. Kalian menuangkan minuman keras yang melahirkan kepedihan kepada para pemuda, kelompok keenam, yang membutuhkan bimbingan dan penyadaran.
Apakah nasionalisme yang kalian telah banyak berkorban untuknya adalah seperti ini? Apakah begini cara kalian menghadirkan manfaat kepada bangsa Turki lewat seruan nasionalisme? Adapun diriku beribu-ribu kali berlindung kepada Allah dari semua itu.
Wahai tuan-tuan! aku mengetahui bahwa ketika kalian sudah kalah dari sudut pandang kebenaran, kalian akan menggunakan kekuatan. Akan tetapi, karena kekuatan terdapat pada kebenaran; bukan kebenaran terdapat pada kekuatan, maka meski kalian letakkan dunia di atas kepalaku sebagai api yang menyala, kepala yang kukor- bankan untuk menegakkan kebenaran al-Qur’an tidak akan tunduk kepada kalian sama sekali. Aku juga ingin menegaskan kepada kalian bahwa tidak hanya kalangan terbatas seperti kalian yang mendapat kebencian secara maknawi di mata masyarakat, tetapi kalaupun ribuan orang seperti kalian memusuhiku, maka aku tidak memberi perhatian kepada mereka melebihi perhatianku terhadap binatang berbahaya.
Apa yang mampu kalian lakukan terhadapku? Hal yang pa- ling bisa kalian lakukan padaku adalah mengakhiri hidupku, atau menghalangi pengabdianku terhadap al-Qur’an. Sebab, hubunganku di dunia hanya dengan dua hal tersebut.
Aku sangat yakin sampai pada tingkat penyaksian bahwa ajal tidak berubah. Ia sudah ditentukan dengan takdir Allah. Karena itu, aku tidak ragu jika harus mati syahid demi membela kebenaran. Bahkan itu sangat kunantikan. Terutama, karena aku sudah tua. Mungkin hidupku tidak lebih dari setahun lagi. Yang paling kucari dengan usia yang tersisa adalah mati syahid; sebagai ganti dari usia lahiriah ini.
Adapun dari sisi pengabdian terhadap al-Qur’an al-Karim, dengan rahmat-Nya, Allah telah memberiku sejumlah saudara seiman dalam berkhidmah untuk al-Qur’an dan iman. Saat aku mati, peng- abdian agama tersebut akan dilakukan di sejumlah markas; sebagai ganti dari satu markas. Andaikan kematian membungkam lisanku, niscaya banyak lisan kuat lain yang akan berbicara sebagai ganti dariku sehingga pengabdian tersebut tetap berjalan. Bahkan, aku dapat berkata bahwa sebuah benih di bawah tanah, dengan kematiannya bisa menumbuhkan satu bulir yang membawa seratus benih sebagai ganti dari satu benih. Karena itu, aku berharap semoga kematianku lebih banyak mengabdi pada al-Qur’an ketimbang hidupku.
Tipu Daya Setan yang Kelima
Para pendukung kaum sesat ingin menjauhkan saudara-saudaraku dari diriku dengan memanfaatkan ego dan kesombongan yang tersimpan dalam diri manusia. Sebenarnya sifat paling berbaha- ya sekaligus paling lemah yang melekat pada manusia adalah benih kesombongan. Pasalnya, dengan memupuk benih tersebut mereka bisa mendorong manusia untuk melakukan banyak kerusakan.
Wahai saudara-saudaraku! Kalian harus waspada agar mereka tidak menjerat kalian lewat benih kesombongan tersebut. Kaum sesat pada masa sekarang menunggangi “ego” yang kemudian mengantar mereka menuju lembah kesesatan. Sementara kalangan yang mengabdi pada kebenaran tidak dapat membela kebenaran kecuali dengan meninggalkan “ego”. Bahkan meskipun mereka benar dalam menggunakan “ego” mereka tetap harus meninggalkannya agar tidak menyerupai kaum sesat di atas. Sebab, mereka bisa dianggap sama-sama menyembah diri sendiri. Karena itu, hal tersebut merupakan penghinaan terhadap pengabdian kebenaran. Di samping itu, pengabdian terhadap al-Qur’an yang menyebabkan kami berkumpul menolak ego atau “aku” dan menuntut “kita”. Maka, jangan berkata, “aku”. Akan tetapi katakan “kita”.
Tentu kalian percaya bahwa saudara kalian yang fakir ini tidak tampil dengan perasaan “aku” dan dia tidak menjadikan kalian sebagai pelayan bagi sifat egonya. Namun ia memperlihatkan dirinya kepada kalian sebagai pelayan al-Qur’an yang tidak memiliki sikap ego. Ia hanyalah sosok yang meniti jalan tanpa memiliki rasa ujub dan tidak loyal terhadap “ego” seperti yang telah dijelaskan kepada kalian. Di samping itu, ia telah menegaskan kepada kalian lewat berbagai dalil yang kuat bahwa sejumlah karya dan tulisan yang disiapkan untuk memberi manfaat kepada manusia adalah milik bersama. Dengan kata lain, ia merupakan percikan yang berasal dari al-Qur’an al-Hakim. Tak seorangpun yang berhak untuk merasa memilikinya dengan sifat ego. Kalaupun seandainya aku merasa memiliki karya itu dengan sifat egoku, namun selama pintu hakikat al-Qur’an telah terbuka— seperti yang dikatakan oleh salah seorang saudaraku—maka kaum yang berilmu harus mendukungku dan tidak meninggalkanku dengan tidak melihat kekurangan diriku.
Meskipun karya generasi salaf dan para ulama merupakan khazanah besar yang mencukupi dan memadai untuk mengobati setiap penyakit, namun terkadang kunci untuk membuka khazanah tersebut lebih penting daripada khazanah itu sendiri. Pasalnya, ia dalam kondisi terkunci. Kuncilah yang bisa membuka banyak khazanah. Kukira orang-orang yang memiliki “arogansi keilmuan” yang kuat juga mengetahui bahwa al-Kalimât (Risalah Nur) yang tersebar merupakan kunci bagi berbagai hakikat al-Qur’an dan merupakan pedang intan yang menebas kepala pihak-pihak yang berusaha mengingkari hakikat tersebut.Hendaknya orang-orang yang memiliki “arogansi keilmuan” mengetahui bahwa mereka tidak menjadi muridku, namun menjadi murid al-Qur’an al-Hakim. Aku hanyalah teman belajar mereka.
Bahkan seandainya aku mengklaim diriku sebagai ustadz, namun karena kami telah menemukan sarana untuk menyelamatkan semua kalangan beriman, mulai dari kalangan awam sampai kalangan kha- was, dari berbagai syubhat dan ilusi yang mereka hadapi saat ini, maka para ulama di atas harus menemukan cara yang lebih mudah atau mendukung caraku seraya ikut mengajarkannya.
Terdapat ancaman besar terkait dengan ulama sû’ (jahat). Hendaknya kaum berilmu pada masa sekarang selalu waspada. Seandainya kalian menduga—seperti anggapan musuh—bahwa aku bekerja dalam pengabdian imani ini demi egoisme, namun terdapat banyak orang yang berkumpul di sekitar sosok egois di mana mereka berkumpul dengan sangat setia seraya menanggalkan rasa ego mereka lalu bekerja dengan sangat kompak demi tujuan duniawi dan kebangsaan. Bukankah saudara kalian ini mempunyai hak pula untuk berkumpul dalam satu ikatan kuat di seputar hakikat al-Qur’an dan iman seraya meninggalkan ego masing-masing, sebagaimana mereka bekerjasama dengan pemimpin duniawi mereka?! Bukankah ulama besar kalian salah jika menolak seruannya?! Padahal ia telah menutupi egonya serta mengajak untuk bergabung bersama hakikat al- Qur’an dan hakikat iman.
Wahai saudara-saudaraku! Sisi paling berbahaya dari egoisme dalam pengabdian kita adalah sifat dengki dan cemburu. Apabila pengabdian tidak ikhlas karena Allah semata, maka rasa dengki akan ikut masuk dan merusak. Sebagaimana tangan manusia tidak merasa dengki dan cemburu kepada tangan yang satunya, juga matanya tidak dengki kepada telinganya, serta kalbunya tidak bersaing dengan akalnya, begitu pula kalian. Setiap kalian seperti organ dan indra dalam satu tubuh maknawi jamaah ini. Kalian tidak boleh saling mendengki. Namun setiap orang dari kalian harus merasa bangga dan gembira dengan keunggulan saudaramu yang lain.
Ada satu hal yang tersisa. Yaitu hal yang paling berbahaya: keberadaan sifat dengki dan cemburu pada diri kalian atau sahabat kalian terhadap saudara kalian yang fakir ini. Ini hal yang paling berbahaya. Di antara kalian terdapat para ulama yang mendalam ilmunya. Pada sebagian kalangan ulama terdapat rasa ujub terhadap ilmunya (arogansi keilmuan). Meskipun tampak tawaduk, namun dari sisi itu ia memiliki sikap ujub dan ego. Karena itu, ia tidak meninggalkan ujubnya seketika. Meskipun akal dan kalbunya tetap terpaut dengan pengabdian, namun nafsunya ingin tampil beda dan terkenal akibat dari ujub atau arogansi tadi. Bahkan ia sampai berkeinginan menentang sejumlah risalah yang sudah ditulis. Meskipun hatinya mencintai Risalah Nur serta akalnya kagum padanya, akan tetapi dirinya memendam permusuhan yang bersumber dari iri keilmuan dan berharap bisa merendahkan Risalah Nur agar karya pemikirannya bisa menandingi dan tersebar luas sepertinya. Oleh sebab itu, aku terpaksa menyampaikan hal berikut:
Tugas orang-orang yang berada di wilayah pelajaran al-Qur’an ini, dari sisi ilmu keimanan, terbatas pada menjelaskan, menerangkan dan menyusun Risalah Nur yang sudah ditulis, bahkan meskipun mereka adalah para mujtahid dan para ulama. Pasalnya, lewat sejumlah petunjuk, kami mengetahui bahwa kami adalah orang yang bertugas memberi fatwa dalam ilmu keimanan ini. Kalau ada di antara mereka yang berusaha menulis atas dasar rasa “arogansi keilmuan” tadi—di luar tugas menjelaskan dan menerangkan—maka, tindakan tersebut merupakan penentangan atau taklid yang lemah. Pasalnya, berdasarkan sejumlah dalil dan petunjuk, dapat dikatakan bahwa berbagai bagian Risalah Nur merupakan percikan dari limpahan al-Qur’an al-Karim. Sesuai dengan kaidah pembagian tugas, masing-masing kita menunaikan salah satu tugas pengabdian untuk bisa menyampaikan percikan tersebut kepada mereka yang membutuhkan.
Tipu Daya Setan yang Keenam
Yaitu upaya setan memanfaatkan sifat malas, senang berleha-leha, dan ambisi untuk menempati posisi tinggi yang ada pada diri manusia. Ya, setan dari kalangan jin dan manusia berupaya menyerang dari semua sisi yang ada. Ketika mereka melihat salah seorang teman kita memiliki kalbu yang kokoh, kesetiaan yang sempurna, niat yang tulus, dan semangat yang tinggi, mereka akan mengepungnya dari sejumlah sisi dan mulai melancarkan serangan kepadanya sebagai berikut:
Mereka memanfaatkan sifat malas, rasa senang berleha-leha dan posisi mereka dalam tugas guna merusak misi kita dan menghambat pengabdian terhadap al-Qur’an. Atau, untuk memalingkan mereka dari pengabdian al-Qur’an lewat berbagai tipu daya dan makar yang jahat. Misalnya mereka menghadirkan banyak pekerjaan kepada sebagian mereka agar mereka tenggelam di dalamnya secara tanpa sadar sehingga tidak sempat berkhidmah untuk al-Qur’an. Selain itu, mereka juga mempersembahkan kepada sebagian yang lain sejumlah urusan duniawi yang menipu untuk mengobarkan hawa nafsu dan keinginan mereka. Dari sana mereka lupa berkhidmah kepada al-Qur’an. Demikian kondisinya.
Bagaimanapun, cara-cara mereka menyerang sangat panjang. Namun kita singkat sampai di sini dengan mengembalikan persoalan ini kepada pemahaman dan pandangan kalian yang tajam.
Wahai saudara-saudaraku, ketahui dan waspadalah! Tugas kalian ini adalah tugas yang suci. Pengabdian kalian begitu mulia. Setiap jam yang kalian miliki sangat berharga sampai-sampai laksana ibadah sehari penuh. Camkan hal ini dengan baik agar ia tidak hilang dari kalian.
Wahai orang-orang beriman, bersabarlah, kuatkan kesabaranmu, tetaplah bersiap siaga, dan bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung. Janganlah kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit.
Ya Allah, limpahkan salawat dan salam kepada junjungan kami, Muhammad, Nabi yang ummi dan tercinta, berkedudukan tinggi dan bermartabat mulia. Juga, kepada keluarga dan para sahabatnya. Amin.
سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّم۟ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ نِ النَّبِىِّ ال۟اُمِّىِّ ال۟حَبٖيبِ ال۟عَالِى ال۟قَد۟رِ ال۟عَظٖيمِ ال۟جَاهِ وَ عَلٰى اٰلِهٖ وَ صَح۟بِهٖ وَ سَلِّم۟ اٰمٖينَ
Lanjutan Bagian Keenam
(Enam Pertanyaan)
Kur’an-ı Hakîm’in mühim bir sırr-ı i’cazîsinin zuhur ettiği senenin tarihi, yine lafz-ı Kur’an’dadır. Şöyle ki:
Kur’an kelimesi, ebced hesabıyla üç yüz elli birdir. İçinde iki elif var, mahfî elif “elfün” okunsa bin manasındaki “elfün”dür. (Hâşiye[10]) Demek 1351 senesine, Sene-i Kur’aniye tabir edilebilir. Çünkü lafz-ı Kur’an’daki tevafukatın sırr-ı acibi, Kur’an’ın tefsiri olan Risale-i Nur eczalarında o sene göründü. Ve Kur’an’daki lafz-ı Celal’in i’cazkârane sırr-ı tevafuku, aynı senede tezahür etti. Ve bir nakş-ı i’cazîyi gösterecek bir Kur’an’ın yeni bir tarzda yazılması, aynı senede oluyor. Ve hatt-ı Kur’an’ın tebdiline karşı, Kur’an şakirdlerinin bütün kuvvetleriyle hatt-ı Kur’anîyi muhafazaya çalışması aynı senededir. Ve Kur’an’ın mühim ezvak-ı i’caziyesi, aynı senede tezahür ediyor. Hem aynı senede Kur’an ile çok münasebettar hâdisat olmuş ve olacak gibi…
Lanjutan Bagian Keenam
(Enam Pertanyaan)
Lanjutan ini ditulis untuk menjadi bahan diskusi khusus, untuk menghindari penghinaan dan kebencian di masa mendatang. Dengan kata lain, agar ludah penghinaan mereka tidak mengenai wajah kita ketika ada yang berucap, “Celakalah orang-orang masa tersebut yang tidak punya semangat!”
Ia ditulis dalam bentuk resolusi agar telinga yang tuli bisa mendengar, yakni telinga para pemimpin Eropa yang buas yang berlindung di balik nilai-nilai kemanusiaan; juga agar ia dicolokkan pada mata yang tak melihat, yakni mata orang-orang zalim yang tidak adil yang memberi tempat kepada para tiran tak berhati nurani untuk berkuasa atas kami; serta agar tamparan laksana palu menerpa kepala budak peradaban yang membuat manusia zaman sekarang menderita sehingga berteriak di semua tempat, “Hiduplah neraka!”.
“Mengapa kami tidak bertawakkal kepada Allah sementara Dia telah menunjukkan jalan kepada kami. Kami sungguh akan bersabar atas gangguan yang kalian berikan kepada kami. Hanya kepada Allah kaum yang bertawakkal itu berserah diri.” (QS. Ibrahim [14]: 12).
Belakangan ini, banyak perlakuan buruk yang diarahkan ke- pada kaum mukmin yang lemah. Perlakuan buruk itu berasal dari kaum ateis yang bersembunyi di balik tirai. Secara khusus aku ingin menyebutkan intervensi yang ilegal mereka kepada diriku. Mereka menerobos masjidku yang kurenovasi sendiri. Ketika itu aku sedang bersama sejumlah sahabat dekatku melakukan ibadah. Kami mengu- mandangkan adzan dan iqamat dengan suara pelan. Mereka mengin- terogasi, “Mengapa kalian mengumandangkan iqamat dengan bahasa Arab dan melantunkan adzan secara sembunyi?” Aku kehabisan kesabaran untuk berdiam diri. Aku tidak akan berbicara dengan kalangan dungu dan rendah yang sudah tidak memiliki nurani, yang tidak layak diajak bicara. Namun aku akan berbicara dengan para pemimpin yang berlagak seperti Firaun, yang telah bermain-main dengan masa depan umat sesuai dengan nafsu tiran mereka. Kutegaskan:
Wahai kaum ateis dan ahli bid’ah! Jawablah enam pertanyaan berikut:
Pertanyaan Pertama: Setiap pemerintah, apapun adanya, setiap bangsa, bahkan para pemakan daging manusia, atau ketua geng yang kejam sekalipun, pasti memiliki aturan, prinsip, dan standar hukum yang menjadi acuan. Maka, atas landasan dan prinsip apa kalian melakukan penyerangan semacam ini? Tunjukkanlah kepada kami! Atau, kalian menganggap keinginan sejumlah petugas yang hina itu sebagai hukum? Pasalnya, tidak ada hukum di dunia ini yang boleh mencampuri ibadah pribadi seseorang. Tidak ada satupun hukum yang membenarkan hal tersebut.
Pertanyaan Kedua: Prinsip “kebebasan beragama” secara umum berlaku di seluruh dunia. Terutama, di masa sekarang, masa kebebasan. Khususnya lagi dalam lingkup peradaban modern. Maka, kekuatan apa yang menjadi sandaran kalian dalam melakukan tindakan sembrono ini, dengan melanggar aturan yang ada dan meremehkannya di mana ia termasuk bentuk penghinaan terhadap seluruh manusia dan penga- baian terhadap penolakan tindakan kalian? Kekuatan apa yang kalian miliki sehingga kalian tetap berpegang pada kekufuran (ateisme) seolah-olah ia merupakan agama kalian? Padahal kalian menyebut diri kalian sebagai orang yang tak beragama. Lebih dari itu, kalian me- nyatakan sikap tidak ikut campur dengan urusan agama dan ateisme secara bersamaan.Namun, yang banyak kalian serang adalah kaum beragama. Tentu tindakan kalian ini tidak akan seterusnya tersembunyi. Akan tetapi, kalian akan ditanya tentangnya. Lalu apa jawaban kalian? Kalian tidak mampu menghadapi penolakan dan keberatan pemerintahan terkecil dari dua puluh pemerintahan yang ada terhadap kalian. Lalu bagaimana kalian mampu menghadapi dua puluh pemerintah yang sama-sama menolak usaha kalian dalam meruntuhkan kebebasan beragama dengan kekuatan dan paksaan seolah kalian tidak memper- hitungkan penolakan mereka.
Pertanyaan Ketiga: Dengan undang-undang dan kaidah apa kalian memaksa orang yang bermazhab Syafii sepertiku untuk mengikuti fatwa yang bertentangan dengan kemuliaan dan kemurnian mazhab Hanafi di mana ia dilakukan oleh para ulama su’ yang menjual nurani untuk kepentingan duniawi.(*[11])Kalau kalian berusaha mencampakkan mazhab Syafii—padahal pengikutnya berjumlah jutaan—lalu kalian berusaha menjadikan mereka bermazhab Hanafi, dan menyuruh mereka mengikuti fatwa tersebut dengan paksaan dan kekerasan, maka itu bisa jadi salah satu cara zalim dari kaum ateis seperti kalian. Jika tidak, ia merupakan bentuk penistaan yang sewenang-wenang. Kami bukan pengikut orang-orang seperti mereka. Kami juga tidak mengenal mereka.
Pertanyaan Keempat: Prinsip apa yang kalian jadikan sebagai sandaran dalam memaksa orang-orang sepertiku yang berasal dari bangsa lain untuk mengumandangkan iqamat dengan bahasa Turki hanya berdasar fatwa yang menyimpang dan sesat atas nama rasisme Turki di mana hal itu dianggap sebagai tindakan kebarat-baratan yang secara total menafikan kebiasaan dan adat bangsa ini yang sudah berbaur dan menyatu dengan Islam sejak lama?! Meskipun aku mempunyai hubungan yang kuat dalam bentuk persahabatan yang tulus, dan persaudaraan yang murni dengan orang-orang Turki, namun aku tidak mempunyai relasi dengan paham rasisme Turki yang diserukan oleh orang-orang kebarat-baratan seperti kalian. Lalu, bagaimana kalian memaksaku untuk itu?! Dan atas dasar apa?
Bangsa Kurdi yang jumlahnya mencapai jutaan, tidak pernah melupakan kebangsaan dan bahasa mereka sejak ribuan tahun yang lalu. Mereka sudah menjalin persaudaraan dengan orang Turki di negeri ini. Mereka juga mitra jihad bangsa Turki sejak lama. Jika kalian ingin menghilangkan bangsa Kurdi dan membuat mereka lupa terhadap bahasanya, maka upaya yang kalian lakukan tehadap orang- orang seperti kami yang dianggap sebagai ras lain, merupakan bentuk cara barbar. Jika tidak, hal itu hanyalah tindakan sewenang-wenang. Orang yang bertindak sewenang-wenang tidak perlu diikuti! Kamipun tidak mengikutinya.
Pertanyaan Kelima: Pemerintah manapun berhak menerapkan undang-undang kepada rakyat dan siapa saja yang termasuk rakyatnya. Akan tetapi, mereka tidak dapat menerapkan undang-undangnya kepada orang- orang yang tidak dianggap bagian dari rakyatnya. Sebab, orang-orang itu bisa berkata, “Selama kami bukan rakyat kalian, kalian juga bukan pemerintah kami.”
Di samping itu, dua hukuman tidak bisa dijatuhkan kepada seseorang secara sekaligus pada sebuah negara. Seorang pembunuh entah dihukum mati atau ditahan di penjara. Ia tidak boleh dipenjara dan dihukum mati sekaligus.
Atas dasar itu, aku tidak melakukan tindakan yang membahayakan negara atau bangsa. Meski demikian, kalian telah menawanku selama delapan tahun dan memperlakukanku dengan sebuah perlakuan yang tidak diterima bahkan oleh seorang penjahat, orang asing, atau orang yang berasal dari negeri paling jauh sekalipun. Kalian telah merampas kebebasanku dan mengambil hak-hak sipilku. Padahal, kalian telah memberikan ampunan kepada banyak penjahat. Dan tidak ada seorangpun dari kalian yang berkata, “Orang ini juga termasuk warga negeri ini.” Maka, dengan hukum apa kalian memaksa orang asing sepertiku dengan konstitusi kalian yang menafikan kebebasan dan yang kalian terapkan kepada bangsa kalian yang menderita tanpa kerelaan hati mereka?!
Kalian memandang sejumlah tindakan heroik yang ditujukan untuk menjaga tanah air serta perjuangan dengan jiwa dan barang berharga—di mana aku menjadi sarananya sesuai kesaksian para pemimpin pasukan dalam perang dunia pertama(*[12])—sebagai tindak kejahatan. Kalian juga memandang upaya keras untuk memelihara akhlak mulia bagi bangsa serta upaya menjamin kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat sebagai sebuah pengkhianatan. Kalian menghukum orang yang tidak mau menerapkan sistem dan aturan kalian yang berkiblat ke barat dan jauh dari agama di mana ia tidak memberikan manfaat, bahkan mendatangkan derita dan bahaya. Hal itu terjadi selama delapan tahun dengan hidup di bawah kontrol dan pengawasan. (Sekarang sudah menjadi 28 tahun). Padahal, hukuman tersebut hanya satu. Aku menolaknya. Namun kalian memaksaku untuk menjalaninya. Pertanyaannya, dengan undang-undang apa kalian menjatuhi diriku hukuman yang lain?!
Pertanyaan Keenam: Kalian tahu bahwa antara kita ada perselisihan dan pertentangan yang mencolok. Perlakuan buruk kalian menjadi saksinya. Kalian mengorbankan agama dan akhirat hanya untuk dunia. Sementara kami siap mengorbankan dunia demi agama dan akhirat kami. Inilah rahasia pertentangan antara kita seperti sangkaan kalian. Tentu saja pengorbanan selama beberapa tahun hidup kami yang berlalu dalam kehinaan di bawah pemerintahan kalian yang bengis untuk meraih mati syahid di jalan Allah merupakan air telaga Kautsar bagi kami.
Hanya saja berdasarkan limpahan petunjuk al-Qur’an al-Hakim, kutegaskan kepada kalian hal berikut agar kalian berhati-hati:
Setelah membunuhku, kalian tidak akan hidup lama. Pasalnya, tangan Dzat yang Maha Perkasa akan mengusir kalian dari dunia yang menjadi surga kalian di mana ia sangat kalian cintai, lalu me- lemparkan kalian ke dalam kegelapan abadi. Setelah aku mening- gal, para pemimpin kalian yang berlagak seperti Namrud dan berbuat tiran akan terbunuh laksana binatang dan dikirim ke tempatku. Kemudian aku akan menuntut mereka di hadapan Ilahi. Aku juga akan mengambil hakku dari mereka dengan meminta keadilan ilahi menjatuhkan mereka pada tingkatan yang paling rendah.
Wahai orang-orang malang yang telah menjual agama dan akhirat demi dunia! Jika kalian benar-benar ingin hidup, jangan meng- gangguku! Jika tidak, pembalasanku kepada kalian akan berkali-kali lipat. Camkan ini dengan baik dan berhati-hatilah! Aku mengharap dari rahmat Allah semoga kematianku lebih banyak mengabdi pada agama daripada hidupku; serta kematian- ku menjadi seperti ledakan di kepala kalian sehingga membuatnya hancur berkeping-keping. Jika kalian memiliki keberanian, silakan hadang diriku. Jika kalian berbuat sesuatu padaku, maka tunggu hukuman yang akan kalian dapatkan. Adapun diriku, dengan segenap kekuatan, akan membacakan ayat berikut di hadapan seluruh anca- man kalian:
“Yaitu orang-orang yang dikatakan kepada mereka, “Manusia mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian. Karena itu, takutlah kepada mereka!” Perkataan itu malah membuat mereka semakin beriman dan berkata, “Cukuplah Allah sebagai Penolong kami. Dialah sebaik-baik Pelindung.”(QS. Ali Imran [3]: 173).
BAGIAN KETUJUH Tujuh Petunjuk
“Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang Ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah Dia supaya kamu mendapat petunjuk. (QS. al-A’râf [7]: 158). “Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka. Namun Allah enggan kecuali menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir tidak suka.” (QS. at-Taubah [9]: 32).
Bagian ini menjelaskan tujuh petunjuk. Ia ditulis sebagai jawaban atas tiga pertanyaan. Pertanyaan pertama berisi empat petunjuk.
Petunjuk Pertama
Dalil dan argumen orang-orang yang berusaha mengubah dan mengganti syiar-syiar Islam bersumber dari sikap taklid buta kepada bangsa asing, seperti yang terjadi pada sejumlah perbuatan buruk lainnya.
Mereka berkata, “Orang-orang yang mendapat hidayah di London dan orang-orang asing yang baru beriman menerjemahkan banyak hal seperti adzan dan iqamat ke dalam bahasa mereka. Mereka melakukan itu di negeri mereka. Melihat kondisi tersebut, dunia Islam diam, tidak menentang. Dengan demikian, karena tidak ada yang bersuara, berarti ia boleh secara syar’i.”
Jawaban: Perbedaan dalam analogi di atas sangat jelas. Orang yang sadar tidak layak mengikuti mereka dan membandingkan dengan kondisi mereka apapun adanya. Pasalnya, negeri asing dalam agama disebut sebagai dârul harb. Banyak hal yang secara agama boleh dilakukan di dârul harb; namun tidak dibenarkan di dârul islam (negeri Islam).
Kemudian negara Eropa dikenal kental dengan agama Nasrani. Lingkungan tidak mendukung tersebarnya sejumlah pemahaman kalimat-kalimat suci dan makna istilah-istilah agama. Karena itu, tidak aneh kalau “makna” lebih diutamakan daripada “lafal”; yakni lafal itu ditinggalkan guna menjaga maknanya. Dengan kata lain, memilih mudarat dan keburukan yang paling ringan.
Adapun dalam dârul Islam lingkungannya membimbing dan mengajarkan kaum muslimin tentang berbagai makna indah dari lafal-lafal agama. Pasalnya, semua dialog dan persoalan yang terjadi di tengah-tengah umat Islam terkait dengan tradisi, adat, sejarah Islam, syiar Islam secara umum, dan rukun-rukun Islam, semuanya secara terus-menerus mengajarkan berbagai makna indah dari lafal dan istilah agama kepada kaum beriman. Bahkan, sejumlah tempat ibadah, sekolah agama, dan kuburan, semuanya bagaikan seorang guru yang mengingatkan kaum beriman kepada makna-makna suci tersebut.
Jadi, orang yang mengaku sebagai muslim, lalu setiap hari mempelajari lima puluh kalimat asing untuk kepentingan duniawi, bila selama lima puluh tahun ia tidak mempelajari sejumlah kalimat suci yang ia ulang setiap hari lima puluh kali, semisal subhânallâh, alhamdulillâh, lâ ilâha illallâh dan Allâhu akbar, tidakkah ia terjatuh ke derajat yang lima puluh kali lebih rendah daripada binatang?! Kalimat suci tersebut tidak boleh diubah, tidak boleh diterjemahkan, dan tidak boleh ditinggalkan demi binatang seperti mereka. Bahkan upaya meninggalkan dan mengubah kalimat tersebut berarti sama dengan menghancurkan seluruh tanda kubur, meratakannya dengan tanah, serta mengabaikan, menistakan, dan memusuhi nenek moyang. Dengan demikian, mereka gemetar di kubur mereka karena dahsyatnya penghinaan tadi.
Para ulama sû yang tertipu oleh kaum ateis mengucapkan sesuatu yang memperdaya umat,
“Imam Abu Hanifah an-Nu’man ber- pendapat, ‘Boleh membaca terjemah surat al-fatihah dengan bahasa Persia jika memang dibutuhkan dan sesuai tingkat kebutuhannya bagi mereka yang tidak menguasai bahasa Arab di negeri yang jauh.’ Berdasarkan fatwa tersebut, karena kita butuh, maka kita boleh membacanya dengan bahasa Turki.”
Jawaban: Seluruh imam besar―kecuali Abu Hanifah―serta dua belas imam mujtahid, semuanya memberikan fatwa yang berbeda dengan fatwa Imam Abu Hanifah tersebut. Jalan utama dunia Islam adalah yang dilewati oleh para tokoh imam tersebut. Umat yang besar ini tidak berjalan kecuali di jalan yang utama. Siapa yang ingin menggi- ring umat ke jalan khusus yang sempit berarti menyesatkan manusia. Fatwa Imam Abu Hanifah merupakan fatwa yang bersifat khusus dilihat dari lima sisi:
Pertama, ia khusus untuk mereka yang tinggal di negeri asing yang jauh dari pusat negeri Islam.
Kedua, ia dibangun di atas kebutuhan yang hakiki.
Ketiga, ia hanya diterjemahkan ke dalam bahasa Persia yang, dalam sebuah riwayat, termasuk bahasa penghuni surga.
Keempat, ia dianggap boleh hanya untuk surah al-Fatihah, agar orang yang tidak mengenal al-Fatihah tidak meninggalkan shalat.
Kelima, ia diperbolehkan untuk menjadi motivasi agar kalangan awam memahami artinya yang mulia dengan semangat Islam yang bersumber dari kekuatan iman. Namun, meninggalkan bahasa aslinya, yaitu bahasa Arab, serta upaya menerjemahkannya dengan motif penghancuran yang bersumber dari lemahnya iman serta berasal dari pandangan rasis serta menjauhi bahasa Arab, hal itu hanya mendorong manusia untuk keluar dari agama.
Petunjuk Kedua
Pelaku bid’ah yang mengubah syiar-syiar Islam, pertama-tama meminta fatwa dari ulama sû untuk membenarkan amal perbuatan mereka.
Para ulama sû itupun menunjuki mereka fatwa sebelumnya yang telah kami tegaskan sebagai fatwa khusus dilihat dari lima sisi. Kedua, para pelaku bid’ah telah mengadopsi pandangan buruk dari kaum revolusioner asing. Seperti diketahui, Eropa tidak tertarik de- ngan aliran katolik. Karena itu, kalangan revolusioner dan ahli filsafat memilih aliran protestan yang dianggap menyimpang menurut katolik. Mereka mengambil pelajaran dari revolusi Perancis. Mereka hancurkan sebagian ajaran Katolik seraya memproklamirkan aliran Protestan.
Nah di negeri ini, orang-orang yang menganggap dirinya paling semangat dan terbiasa bertaklid buta berkata,
“Karena revolusi telah terjadi di agama Nasrani, di mana para penggagasnya, pada awalnya, disebut sebagai kaum murtad namun kemudian diterima sebagai pemeluk nasrani, maka revolusi agama semacam itu juga bisa terjadi dalam Islam.”
Jawaban: Adanya perbedaan dalam analogi tersebut lebih jelas terlihat daripada yang terdapat di petunjuk pertama. Pasalnya, pokok-pokok ajaran dalam agama Nasrani hanya diambil dari Nabi Isa. Sementara sebagian besar hukum yang terkait dengan kehidupan sosial dan cabang-cabang syariat telah dibuat oleh kalangan hawâriyyîn, sekelompok pimpinan spiritual, serta sebagian besar diambil dari kitab suci sebelumnya. Hal ini karena Nabi Isa tidak pernah berkuasa secara duniawi dan tidak menjadi rujukan untuk hukum-hukum so- sial yang bersifat umum. Karena itu, ketentuan urf dan hukum yang terkait dengan masyarakat madani dijadikan sebagai ajaran nasrani. Seakan-akan landasan agamanya dibungkus dengan baju dari luar dan diberi bentuk yang berbeda. Andaikan bentuk dan pakaian tersebut diubah, maka dasar-dasar agamanya tidak berubah. Hal ini tidak dianggap sebagai pendustaan dan pengingkaran terhadap Nabi Isa.
Adapun Rasul sebagai pemilik otoritas agama dan syariat merupakan kebanggaan dunia dan pemimpin seluruh alam. Timur, Barat, Andalusia, dan India merupakan salah satu singgasana kekua- saan beliau. Sebagaimana beliau yang telah menjelaskan dasar-dasar Islam, demikian halnya dengan cabang-cabang agama dan rambu-rambu hukumnya, bahkan persoalan terkecil yang merupakan bagian dari adab, semua itu datang dari beliau. Beliau yang mengin- formasikan dan memerintahkan.
Artinya, hal-hal yang bersifat furu’iyah dalam agama Islam bukan seperti baju atau pakaian yang bisa diubah dan diganti dimana andaikan diganti, dasar-dasar agama tetap terpelihara. Namun ia adalah tubuh dari dasar-dasar tersebut, atau minimal kulitnya. Ia telah menyatu dan melekat dengannya sehingga tidak bisa dipisahkan. Menggantinya, secara langsung, berarti mengingkari dan mendustakan pemilik syariat, Muhammad.
Adapun perbedaan antar mazhab bersumber dari cara mema- hami rambu-rambu teoritis yang diterangkan oleh pemilik syariat. Rambu-rambu yang bersifat muhkamât yang disebut dengan tuntutan agama (dharûriyât dîniyyah) tidak boleh ditakwil dan diganti dengan bentuk apapun. Ia tidak akan pernah menjadi objek ijtihad. Siapa yang menggantinya berarti telah keluar dari agama seperti bunyi riwayat: “Keluar dari agama seperti anak panah keluar dari busurnya.”(*[13])
Untuk membenarkan penyimpangan dan sikap mereka yang keluar dari agama, para pelaku bid’ah mencari alasan dengan berkata,
“Pastor, pimpinan spiritual, dan aliran katolik yang merupakan aliran khusus mereka telah mendapat serangan dan dihancurkan saat revolusi Perancis yang kemudian melahirkan rangkaian peristiwa dalam dunia kemanusiaan. Selanjutnya serangan mereka ini dianggap benar oleh berbagai kalangan. Setelah itu, Eropa mengalami banyak kemajuan.”
Jawaban: Perbedaan dalam analogi di atas sama seperti sebelumnya. Perbedaannya sangat jelas. Sebab, nasrani, terutama aliran katolik, telah dieksploitasi oleh sejumlah penguasa dan kalangan elit sebagai sarana untuk menindas. Kalangan elit melanggengkan pengaruhnya atas masyarakat umum lewat sarana tersebut. Ia menjadi sarana untuk menindas masyarakat yang mempunyai tekad dan semangat yang disebut sebagai orang-orang anarkis. Ia juga menjadi alat untuk menghabisi para pemikir yang menyerukan kebebasan yang menolak penindasan dan kezaliman kalangan elit. Bahkan aliran tersebut di- anggap sebagai penyebab hilangnya ketenangan hidup sekaligus faktor yang melahirkan kekacauan dalam kehidupan sosial. Hal itu karena pemberontakan yang telah berlangsung di negara-negara Eropa selama hampir 400 tahun. Oleh sebab itu, aliran katolik ini diserang oleh aliran nasrani lainnya; bukan pihak yang mengatasnamakan ateisme. Kemarahan dan permusuhan masyarakat umum dan kalangan filsuf terus tumbuh hingga akhirnya terjadi peristiwa historis yang terkenal itu.
Sementara, dalam Islam, siapapun pihak yang dizalimi atau pemikir manapun tidak berhak dan tidak layak mengeluhkan ajaran Muhammad dan agama Islam. Pasalnya, agama ini tidak memicu kemarahan mereka; justru melindungi mereka. Sejarah Islam ada di hadapan kita. Sepanjang sejarah, tidak ada perang internal dalam agama Islam kecuali hanya satu atau dua kasus. Adapun aliran katolik telah memicu lahirnya revolusi dan gejolak internal sepanjang 400 tahun.
Di luar itu, Islam telah menjadi benteng kokoh yang lebih melindungi masyarakat ketimbang kalangan elit. Pasalnya, Islam tidak menjadikan elit sebagai penindas masyarakat. Namun di satu sisi Islam menjadikan mereka sebagai pelayan masyarakat. Yaitu lewat kewajiban zakat dan pengharaman riba. Nabi bersabda:“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk manusia.”(*[14])
“Pemimpin sebuah kaum adalah pelayan mereka.”555 Selain itu, Islam menyadarkan dan membangunkan akal de- ngan mengembalikan banyak urusan dalam al-Qur’an al-Hakim ke- pada akal. Islam juga mendorong proses tadabbur dan penelaahan. Allah berfirman:“Apakah mereka tidak berakal.....Tidakkah mereka merenung..... Supaya mereka memikirkan” Dengan begitu Islam mempersembahkan kepada para ilmuwan, pemikir, dan kaum intelektual sebuah posisi yang mulia atas nama agama, serta memberikan perhatian khusus. Islam tidak mengesam- pingkan akal, tidak membungkam mulut para pemikir, dan tidak menyuruh bersikap taklid buta seperti dalam ajaran katolik.
Landasan agama Nasrani saat ini—bukan Nasrani yang sebenarnya—dan landasan Islam berbeda pada satu titik yang sangat penting. Karena itu, masing-masing meniti jalannya sendiri dalam banyak sisi yang menyerupai perbedaan sebelumnya. Titik penting itu adalah sebagai berikut:
Islam adalah agama tauhid yang murni. Perantara dan sebab tidak bisa memberikan pengaruh. Islam mematahkan egoisme manusia dengan membangun ubudiyah yang tulus kepada Allah semata. Dengan begitu, ia memutus dan menolak berbagai rububiyah mu- lai dari rububiyah nafsu ammârah hingga semua bentuk rububiyah yang batil. Karena itu, andaikan ada dari kalangan elit yang bertakwa, tentu ia meninggalkan egoisme dan kesombongan. Sementara siapa yang masih bersikap ego dan sombong, ketaatannya akan melemah. Bahkan bisa jadi ia meninggalkan sebagian urusan agama.
Adapun dalam ajaran Nasrani saat ini, ia menerima konsep “anak Tuhan”. Karena itu, perantara dan sebab dianggap memberikan pengaruh yang signifikan. Atas nama agama, egoisme juga tidak dilawan. Bahkan egoisme dipandang sebagai sesuatu yang suci. Seolah-olah ia merupakan wakil Isa yang suci. Karena itu, kalangan elit Nasrani yang menempati posisi tinggi duniawi mampu menjadi orang yang sangat taat. Misalnya, Wilson (mantan presiden Amerika) dan Lord George (mantan perdana menteri Inggris). Mereka semua menjadi orang taat seperti pastor yang fanatik pada agamanya.
Sementara di tubuh umat Islam jarang sekali orang yang masuk ke berbagai posisi tersebut semacam itu tetap memiliki agama yang kuat. Jarang dari mereka yang termasuk orang bertakwa dan saleh karena tidak meninggalkan egoisme dan kesombongannya. Takwa sejati tidak bisa berkumpul dengan sikap ego dan sombong.
Ya, bila sikap fanatik kalangan elit Nasrani terhadap agamanya dan sikap umat Islam yang meremehkan agamanya menjelaskan adanya perbedaan yang sangat penting, begitu pula para tokoh filsufnya. Filsuf Nasrani mengambil posisi yang berseberangan dan cenderung menanggalkan agama mereka. Sementara sebagian ahli hikmah yang muncul dalam Islam membangun hikmah mereka di atas landasan agama. Ini juga menunjukkan perbedaan yang sangat penting.
Selanjutnya, kalangan awam Nasrani yang menghadapi ujian dan musibah serta menjalani setengah hidupnya di penjara, mereka tidak menantikan bantuan agama. Sebagian besar mereka sebelum- nya tersesat dan ateis. Bahkan para pemberontak yang telah menyalakan revolusi Perancis dan yang disebut sebagai massa anarkis. Dalam sejarah mereka dikenal berasal dari kalangan awam yang sedang menghadapi masalah.Adapun dalam Islam, mayoritas mutlak yang menghabiskan sebagian usia mereka di penjara, serta telah menerima berbagai cobaan menantikan bantuan dan pertolongan dari agama. Bahkan mereka menjadi orang-orang yang taat. Kondisi ini juga menunjukkan perbedaan lain yang penting.
Petunjuk Ketiga
Para pelaku bid’ah berkata,
“Fanatisme agama telah membuat kita tertinggal dalam peradaban. Mengikuti perkembangan zaman baru bisa terwujud dengan meninggalkan sikap fanatik. Eropa mengalami kemajuan setelah mereka meninggalkan sikap fanatik.”
Jawaban: Kalian keliru. Kalian telah tertipu atau kalian sedang menipu orang! Sesungguhnya Eropa sangat fanatik dengan agamanya. Kalau engkau berkata kepada orang Bulgaria, tentara Inggris, atau orang Perancis yang tidak terpelajar, “Pakailah sorban ini! Atau engkau dipenjara.” Tentu sesuai dengan sikap fanatiknya, ia berkata, “Aku tidak akan merendahkan agamaku. Aku tidak akan menistakan umatku dengan sikap semacam ini, meskipun engkau menjebloskanku ke penjara bahkan jika engkau membunuhku.”
Selanjutnya, sejarah menjadi saksi bahwa ketika umat Islam berpegang teguh kepada agama, pada masa itu mereka sangat maju. Namun ketika mengabaikan agama, mereka menjadi rendah dan hina. Hal yang berbeda terjadi pada agama Nasrani. Ini juga bersum- ber dari perbedaan mendasar antar keduanya.
Lalu, Islam tidak bisa disamakan dengan agama-agama yang lain. Pasalnya, ketika seorang muslim melepaskan Islamnya, otomatis ia tidak menerima nabi manapun. Bahkan ia tidak percaya dengan keberadaan Allah. Ia tidak beriman dengan hal sakral lainnya. Dalam hati nuraninya tidak ada tempat yang menjadi sumber kemuliaan. Sebab, hati nuraninya telah rusak. Karena itu, orang yang murtad dari Islam, tidak memiliki hak hidup karena hati nurani- nya telah rusak. Selain itu, ia menjadi racun bagi kehidupan sosial. Adapun kafir harbi—dalam pandangan Islam—masih memiliki hak hidup, bila berada di luar wilayah Islam dan memiliki kesepakatan ataupun berada di negeri Islam selama memberikan jizyah (upeti). Hidupnya dilindungi dalam Islam.
Adapun orang nasrani yang menjadi ateis, ia masih bisa mem- berikan manfaat kepada masyarakat. Pasalnya, ia masih menerima sejumlah hal yang sakral dalam agama dan masih percaya dengan sejumlah nabi. Karena itu, dari satu sisi ia masih beriman kepada Allah.
Maka, manfaat apa kira-kira yang bisa dipetik oleh para pelaku bid’ah, atau lebih tepatnya kaum yang ingkar itu, saat keluar dari agama? Jika mereka mengharapkan rasa aman dan stabilitas dalam negeri, maka memimpin sepuluh orang kafir yang tidak percaya kepada Allah dan melindungi dari kejahatan mereka jauh lebih berat daripada memimpin seribu orang mukmin.
Jika mereka memikirkan tentang kemajuan dari sisi peradaban, orang-orang kafir seperti mereka membahayakan pengelolaan negara. Mereka juga menjadi penghalang kemajuan. Mereka merusak keamanan dan ketertiban yang ada sebagai pilar kemajuan dan perdagangan. Jadi sebetulnya, sesuai dengan jalan hidup mereka, mereka adalah para perusak. Orang paling bodoh di dunia ini adalah yang mengharapkan kema- juan dan kebahagiaan dari kaum kafir yang bodoh seperti mereka.
Salah seorang yang bodoh dari mereka yang menempati jabatan penting berkata, “Kita mengalami ketertinggalan lantaran ucapan kita, ‘Allah’... ‘Allah’... Sementara Eropa maju karena berkata, ‘Senapan... peluru.’
Jawaban terhadap orang-orang seperti mereka adalah dengan cara diam. Ini sesuai dengan satu kaidah, ‘Jawaban bagi orang bodoh adalah diam.’ Hanya saja, kita ingin mengatakan satu hal kepada kaum intelek malang yang mengikuti orang bodoh seperti mereka:
Wahai orang-orang malang! Dunia ini hanyalah negeri jamuan. Sementara kematian adalah sesuatu yang pasti. Hal itu dibuktikan oleh 30 ribu saksi lewat jenazah mereka setiap hari. Mampukah kalian membunuh kematian? Dapatkah kalian mengingkari para saksi itu? Selama kalian tidak mampu melakukannya, ketahuilah bahwa kematian akan membuat kalian mengucap, “Allah... Allah.” Adakah peluru dan senapan kalian yang bisa melenyapkan kegelapan abadi bagi orang yang sedang sakarat sekaligus menerangi dunianya, sebagai ganti dari ucapan “Allah... Allah.” Adakah darinya yang bisa mengganti rasa putus asanya yang pekat menuju harapan yang bersi- nar selain zikir “Allah... Allah.”? Selama kematian tetap ada, selama tempat kembali menuju kubur itu pasti, selama kehidupan ini pasti berlalu, dan akan digantikan oleh kehidupan abadi, maka bila “peluru dan senapan” diucapkan satu kali, maka “Allah... Allah” harus diucapkan seribu kali. Bahkan peluru itu sendiri akan mengucap “Allah... Allah” bila digunakan di jalan Allah. Serta, senapannya juga akan meneriakkan, “Allah Akbar” saat berbuka dan imsak.
Petunjuk Keempat
Ahli bid’ah yang merusak terbagi dua:
Pertama, memperlihatkan loyalitas kepada agama seraya ber- kata, “Kami ingin menguatkan agama yang telah melemah dengan menanam pohon bersinarnya di tanah nasionalisme.” Mereka ingin menguatkan agama dengan paham nasionalisme. Seakan-akan dengan itu mereka berkhidmah kepada Islam.
Kedua, orang yang menciptakan sejumah bid’ah seraya berkata, “Kami ingin memvaksinasi umat dengan suntikan Islam.” Mereka bekerja atas nama umat, demi kepentingan nasionalisme, untuk menguatkan rasisme.
Kepada kelompok pertama kami ingin mengatakan, “Wahai para ulama sû’ yang malang yang bisa disebut sebagai ‘orang setia yang dungu’. Wahai kalangan sufi yang bodoh yang telah hilang akal! Pohon Tuba Islam telah tertanam dalam tulang sulbi dan hakikat alam. Akarnya menyebar ke seluruh sisi hakikat alam. Pohon be- sar ini tidak mungkin ditanam di tanah rasisme yang bersifat ilusif, temporer, parsial, khusus, dan tidak produktif, bahkan tidak punya landasan. Ia dipenuhi dengan berbagai kepentingan yang zalim dan gelap. Keinginan menanamnya di sana merupakan upaya mengada-ada yang merusak.
Lalu kepada kalangan nasionalis, para pengusung bid’ah yang kedua:Wahai pengusung nasionalisme yang sedang mabuk! Era sebelumnya mungkin bisa disebut sebagai era nasionalisme. Adapun sekarang bukanlah era nasionalisme. Sebab, paham bolshevisme dan sosialisme sedang berkuasa dan meruntuhkan pandangan rasisme. Jadi, era rasisme telah berlalu.Ketahuilah bahwa nasionalisme Islam yang permanen dan abadi tidak terikat dengan rasisme yang bersifat sementara dan inkonsisten, serta tidak bisa disuntikkan ke dalamnya. Andai vaksinasi rasisme ini dilakukan, pasti akan merusak umat Islam. Rasisme tidak tepat dan tidak bisa membangkitkan umat sama sekali. Ya, memberikan vaksin rasisme hanya mendatangkan kekuatan yang bersifat sementara, bahkan sangat sementara, dengan akibat yang sangat berbahaya.
Dengannya, akan lahir perpecahan di tubuh bangsa Turki. Sebuah perpecahan abadi yang tidak bisa disatukan. Ketika itu terjadi, kekuatan umat akan hilang begitu saja. Pasalnya, setiap golongan berusaha menghancurkan golongan yang lain. Sebagaimana bila dua gunung berada di dua sisi timbangan, maka kekuatan yang kecil sekalipun akan sangat mempengaruhi dua kekuatan tersebut. Sebab, ia bisa membuat salah satunya turun ke bawah dan membuat yang lain naik ke atas.
Pertanyaan Kedua: penjelasan tentang dua petunjuk:
Petunjuk Pertama yang merupakan Petunjuk Kelima. Ia merupakan jawaban yang sangat singkat dari sebuah pertanyaan penting.
Pertanyaan: Terdapat sejumlah riwayat sahih tentang kemunculan Imam Mahdi serta bagaimana ia memperbaiki dunia setelah mengalami kehancuran di akhir zaman. Padahal sekarang adalah era jamaah; bukan individu. Pasalnya, sehebat apapun seseorang, bahkan meski ia memiliki seratus kekuatan, kalau tidak mewakili sebuah jamaah besar serta tidak mewakili sosok maknawinya, ia akan kalah dalam menghadapi kekuatan sosok maknawi dari sebuah kelompok yang menghadangnya. Karena itu, bagaimana mungkin Imam Mahdi— meski memiliki kekuatan kewalian—dapat melakukan perbaikan di era yang dipenuhi oleh kerusakan? Seandainya semua pekerjaan Imam Mahdi luar biasa, maka hal itu bertentangan dengan hikmah Ilahi dan sunnatullah yang ada di dunia ini. Intinya, kami ingin memahami rahasia persoalan Imam Mahdi.
Jawaban: Dengan kesempurnaan rahmat-Nya dan tanda perlindungan- Nya terhadap syariat Islam, berikut keberlangsungan dan keabadian syariat tersebut, Allah mengutus pada setiap periode rusaknya umat seorang reformis, pembaharu, khalifah agung, wali qutub, dan mursyid yang sempurna dari sejumlah sosok besar dan langka yang menyerupai Imam Mahdi. Ia mampu menghilangkan kerusakan, memperbaiki umat, dan menjaga agama.
Selama sunatullah berlaku demikian, tak diragukan lagi bahwa Allah akan mengutus, di waktu yang paling rusak, di akhir zaman, sosok yang merupakan mujtahid, pembaharu, dan wali qutub paling besar. Pada waktu yang sama ia juga seorang penguasa, mahdi, mursyid, dan akan berasal dari keluarga Nabi.
Allah, Dzat Yang Mahakuasa, mampu mengisi ruang antara langit dan bumi dengan awan lalu menghilangkannya dalam semenit, sangat mampu menenangkan badai laut yang ekstrim hanya dalam sekejap. Allah, al-Qadîr Dzul Jalâl, yang hanya dalam sesaat di musim semi menghadirkan sampel musim panas, serta dalam sesaat di musim panas menghadirkan badai musim dingin, sangat mampu melenyapkan gelap yang pekat di langit dunia Islam dan berbagai bahaya yang mengelilinginya lewat perantaraan Imam Mahdi. Karena telah menjanjikan hal tersebut kepada kita, tentu Dia akan mewujud- kan janji-Nya.
Begitulah, kalau kita melihat persoalan ini dari sisi wilayah qudrah ilahi, maka ia sangatlah mudah. Kalau kita melihatnya dari wilayah sebab dan hikmah Rabbani, ia juga sangat mudah, bahkan paling mungkin terjadi. Karena itu, para pemikir dan cendekiawan menegaskan bahwa hikmah rabbani menuntut hal tersebut dan ia pasti terjadi. Bahkan meskipun tidak ada riwayat dari sosok yang jujur (Nabi) yang menginformasikan tentangnya. Dengan kata lain, kedatangannya merupakan sebuah keniscayaan.Hal itu karena doa: yang dibaca secara berulang-ulang oleh umat dalam seluruh shalat mereka, minimal lima kali sehari, yang diterima lewat penyaksian, maka keluarga Muhammad seperti keluarga Ibrahim. Mereka menempati posisi terdepan, selalu menjadi pemimpin, dan berada di puncak seluruh keturunan penuh berkah pada setiap waktu dan tempat.(*[15])Mereka sangat banyak jumlahnya. Keseluruhan mereka membentuk satu pasukan yang sangat besar.
Bila mereka bersatu, bahu-membahu, dan bekerjasama, serta membentuk sebuah kelompok, dengan menjadikan agama Islam sebagai ikatan suci umat dan poros kebangkitannya, pasukan manapun di dunia ini tidak akan mampu menghadapi mereka. Pasukan besar yang sangat kuat itu adalah keturunan Muhammad. Ia merupakan pasukan paling elit dari pasukan Imam Mahdi.
Ya, tidak ada keturunan manusia dalam sejarah dunia saat ini yang memiliki kekuatan dan posisi strategis di mana ia menempati kedudukan tertinggi dan memiliki akar keturunan mulia serta bersambung dengan pendirinya lewat pohon dan rangkaian sanad, sebagaimana para sayyid yang beruntung bernasab kepada pohon kenabian yang mulia itu, yaitu keluarga Nabi.Sejak dulu mereka selalu menjadi pemimpin dari kelompok ahli hakikat, serta pemimpin kalangan sempurna yang ternama. Sekarang,mereka merupakan keturunan penuh berkah yang berjumlah lebih dari jutaan. Mereka adalah orang-orang yang sadar dan memiliki hati yang penuh dengan kecintaan kepada Nabi serta berkedudukan mulia dengan nasabnya yang membanggakan. Sejumlah peristiwa besar yang terjadi telah mendorong bangunnya kekuatan suci yang terdapat pada jamaah agung ini. Sudah pasti tekad mulia yang dimiliki oleh kekuatan agung tersebut akan berkobar. Imam Mahdi akan memegang kendali sekaligus memimpin mereka menuju jalan kebenaran dan hakikat.
Lewat sunnah dan rahmat-Nya, sebagaimana menanti datangnya musim semi setelah musim dingin, kita juga menantikan terjadinya peristiwa agung tersebut. Kita benar dalam penantian ini.
Petunjuk Kedua yang merupakan Petunjuk Keenam:
Jama’ah Imam Mahdi yang bersinar akan memperbaiki dan membenahi apa yang dirusak oleh kelompok Sufyani yang berbuat bid’ah dan merusak. Ia akan menghidupkan sunnah Nabi. Artinya, jama’ah Sufyani yang berusaha menghancurkan syariat Muhammad dengan motif mengingkari kerasulan beliau di dunia Islam, akan dibunuh dan dibinasakan lewat pedang maknawi milik jama’ah Imam Mahdi yang luar biasa.
Selanjutnya, kelompok nasrani yang militan dan rela berkorban, yang layak disebut kaum “nasrani muslim” berusaha menyatukan dan memadukan antara agama Isa yang benar dan hakikat Islam. Di bawah kepemimpinan Isa , kelompok ini menghancurkan kekuasaan kelompok Dajjal yang merusak peradaban dan keyakinan manusia dengan niat mengingkari ketuhanan dalam dunia manusia. Dengan demikian, kelompok yang dipimpin Nabi Isa berhasil menyelamatkan umat manusia dari bencana pengingkaran Tuhan.
Rahasia dan hikmah ini sangat panjang. Kucukupkan dengan penjelasan singkat ini. Pasalnya, kami telah menyebutkan secara ringkas di sejumlah tempat yang lain.
Petunjuk Ketujuh yang merupakan Pertanyaan Ketiga:
Mereka berkata, “Pembelaanmu dan gaya perjuanganmu yang dulu di jalan Islam tidak sama dengan yang sekarang. Anda tidak mengikuti cara para intelek yang membela Islam dalam menghadapi Eropa. Mengapa Anda mengganti sikap “Said Lama”? Mengapa Anda tidak berjuang seperti gaya tokoh mujahid maknawi yang agung?”
Jawaban: “Said Lama” dan para intelek menerima sebagian rambu filsafat manusia. Dengan kata lain, mereka menerima sejumlah hal darinya lalu melawan mereka dengan senjata yang sama. Mereka menerima sebagian rambu-rambu filsafat sebagai ilmu modern dengan penuh keyakinan. Karenanya, mereka tidak mampu memberikan gambaran tentang nilai Islam yang hakiki. Mereka mengawinkan pohon Islam dengan sejumlah ranting hikmah yang mereka anggap akarnya dalam. Dengan itu mereka merasa memperkuat Islam. Aku tinggalkan jalan itu karena peluang untuk mengalahkan musuh sedikit dan pada tahap tertentu terdapat sikap meremehkan Islam.
Kuperlihatkan secara tegas bahwa dasar-dasar Islam begitu mengakar sampai ke tingkat di mana ia tidak bisa dicapai oleh dasar-dasar filsafat yang paling dalam sekalipun. Namun ia tetap dalam kondisi dangkal di hadapan dasar-dasar Islam.Hakikat ini dijelaskan lewat sejumlah buktinya oleh “Kalimat Ketiga Puluh”, “Surat Kedua Puluh Empat”, dan “Kalimat Kedua Puluh Sembilan”.
Pada jalan sebelumnya, filsafat dianggap sangat dalam, sementara hukum-hukum Islam dipandang superfisial dan dangkal. Sehingga dahan filsafat dijadikan pegangan untuk menjaga Islam. Namun hal itu sangat mustahil. Mana mungkin rambu-rambu filsafat bisa mencapai hukum tersebut?!
سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ الَّذٖى هَدٰينَا لِهٰذَا وَمَا كُنَّا لِنَه۟تَدِىَ لَو۟لَٓا اَن۟ هَدٰينَا اللّٰهُ لَقَد۟ جَٓاءَت۟ رُسُلُ رَبِّنَا بِال۟حَقِّ
اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّم۟ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّي۟تَ عَلٰى سَيِّدِنَا اِب۟رَاهٖيمَ وَ عَلٰى اٰلِ اِب۟رَاهٖيمَ فِى ال۟عَالَمٖينَ اِنَّكَ حَمٖيدٌ مَجٖيدٌ
BAGIAN KEDELAPAN Delapan Simbol
Penjelasan tentang delapan risalah singkat. Landasannya adalah tawâfuq (kesesuaian) yang merupakan salah satu prinsip penting dalam ilmu jifri, salah satu kunci penting dalam ilmu-ilmu khafi dan salah satu kunci penting dalam rahasia gaibi al-Qur’an.
Insya Allah, ia akan diterbitkan sebagai sebuah risalah tersendiri. Karena itu, ia tidak dimasukkan di sini.
BAGIAN KESEMBILAN Sembilan Talwih
(*[16])
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus [10]: 62).
Bagian ini secara khusus berbicara tentang jalan kewalian. Ia terdiri dari sembilan talwih.
Talwih Pertama
Dalam istilah “tasawuf, tarekat, kewalian, dan suluk”, terdapat sebuah hakikat suci yang bersifat nurani, ruhani, dan penuh dengan kenikmatan. Hal itu telah ditegaskan oleh para ahli kasyaf. Mereka mempelajari, menelaah, dan memperkenalkannya. Mereka telah menulis ribuan jilid tentangnya dan kemudian menyampaikannya kepada umat. Semoga Allah membalas mereka dengan banyak kebaikan.
Di sini kami akan menjelaskan beberapa bagian saja darinya sesuai dengan kondisi saat ini. Penjelasan yang sedikit ini hanya bagaikan tetesan air dari sebuah lautan hakikat yang berlimpah.
Pertanyaan:Apa yang dimaksud dengan Tarekat?
Jawaban: Tujuan dari sebuah tarekat ialah mengenali dan meraih hakikat keimanan dan al-Qur’an melalui perjalanan ruhani dalam naungan mi’raj Muhammadi lewat langkah-langkah hati untuk sampai pada suatu keadaan dan perasaan yang menyerupai syuhud (penyaksian). Tarekat dan tasawuf merupakan rahasia dan kesempurnaan manusia yang agung.Karena manusia merupakan miniatur dari alam, maka hatinya ibarat peta maknawi dari ribuan alam.
Pasalnya, sebagaimana otak manusia―yang menyerupai pusat penerimaan dan pengiriman informasi di mana ia ibarat pusat maknawi dari alam ini―dapat menyerap dan menelaah ilmu pengetahuan untuk kemudian ia sebarkan kembali, maka hati manusia juga menjadi poros dari hakikat alam semesta yang tak terhingga. Ia dapat menyingkapnya, bahkan ia me- rupakan benihnya. Hal ini sebagaimana telah diterangkan oleh para ulama yang jumlahnya tak terbilang dalam jutaan kitab cemerlang yang telah mereka tulis.
Tatkala hati dan otak manusia memiliki kedudukan dan posisi seperti yang dijelaskan diatas, terlebih lagi ia telah dibekali dengan ribuan mesin ukhrawi dan perangkatnya yang abadi, seperti pohon yang dilengkapi dengan perlengkapan yang kuat di dalam bijinya untuk berkembang, maka Dzat yang menciptakan hati dalam bentuk tersebut berkehendak untuk menjadikannya terus bergerak dan menyingkap sejumlah potensinya, serta mampu berpindah dari fase “kekuatan” menuju “perbuatan”.Selama Allah berkehendak demikian, maka wajib bagi hati untuk menjalankan fungsi penciptaannya, sebagaimana akal melakukan tugasnya. Tentu saja sarana yang paling agung untuk hal itu ialah kondisinya yang mengarah kepada berbagai hakikat keimanan dengan cara berzikir dalam lingkup tingkatan kewalian lewat jalan tarekat.
Talwih Kedua
Kunci dan sarana perjalanan suluk hati dan pergerakan spiritual tidak lain adalah zikrullah dan tafakkur. Kebaikan dan keutamaan keduanya tidak terhingga. Kalau kita mengesampingkan manfaat ukhrawi dari zikir dan tafakkur serta buah dari keduanya dalam mengantarkan manusia menuju kesempurnaan, lalu kita memfokus- kan perhatian pada salah satu manfaat dari sekian banyak manfaat keduanya yang bisa diraih manusia di kehidupan dunia ini, maka kita akan melihat bahwa semua manusia pasti mencari pelipur lara dan kesenangan yang dapat menghibur hati dan meringankan beban hidupnya walau hanya sedikit.
Sarana pelipur lara dan kesenangan yang disiapkan oleh peradaban modern hanya dapat memberikan kesenangan sementara yang melalaikan kepada satu atau dua orang dari sepuluh orang yang ada. Sedangkan 80% lainnya entah hidup menyendiri di pegunungan, atau menjauh ke daerah terpencil akibat kesulitan hidup yang dialami, atau menghadapi musibah atau masa tua yang mengingatkan pada kehidupan akhirat. Mereka semua terhalang dari kesenangan dan tidak mendapatkan pelipur lara dari berbagai sarana yang dimiliki oleh peradaban modern.
Karena itu, sarana pelipur lara yang hakiki dan kesenangan yang paling tepat bagi mereka ialah dengan menyibukkan hati untuk terus berzikir dan bertafakkur. Saat berada di daerah pedalaman, pegunungan, atau di lembah-lembah yang sunyi, hatinya selalu mengulangi kalimat “Allah… Allah”. Dengan berzikir, ia mencari ketenangan sekaligus merenungkan hal-hal yang dapat melahirkan rasa takut dan kesepian. Dengan berzikir, seketika ia merasakan kesejukan dan kasih sayang. Orang yang berzikir itupun berkata, “Sang Pencipta yang selalu kuingat memiliki para hamba yang jumlahnya sangat banyak dan tersebar di seluruh penjuru alam. Kalau begitu, aku tidak sendirian. Tidak ada alasan bagiku untuk merasa kesepian.” Dengan begitu, ia merasakan makna ketenangan dalam kehidupan yang diselimuti iman. Ia merasakan kebahagiaan hidup sehingga semakin bertambah rasa syukurnya kepada Allah.
Talwih Ketiga
Kewalian adalah bukti risalah kenabian. Sedangkan tarekat adalah petunjuk tentang syariat. Hal itu karena hakikat keimanan yang disampaikan risalah kenabian dapat dilihat dan dibenarkan oleh kewalian dalam tingkatan ainul yaqin. Yaitu dengan penyaksian hati dan perasaan spiritual. Pembenaran terhadapnya merupakan bukti kuat atas kebenaran risalahnya.Selanjutnya, tarekat menjadi bukti atas kebenaran hukum-hukum yang dikandung oleh syariat, dan bahwa ia benar-benar bersumber dari Allah lewat limpahan pelajaran darinya dan manfaat yang didapat melalui kasyaf dan dzauq.
Ya, sebagaimana “kewalian dan tarekat” menjadi hujjah dan dalil atas kebenaran “risalah dan syariat”, keduanya juga merupakan rahasia kesempurnaan Islam dan menjadi poros dari cahaya Islam. Keduanya merupakan sumber limpahan spiritualitas manusia lewat manifestasi cahaya Islam.
Meskipun keduanya (kewalian dan tarekat) memiliki nilai yang sangat penting, namun masih ada sebagian kelompok sesat yang mengingkari urgensi dari keduanya. Mereka menyebabkan orang lain terhalang dari cahaya yang mereka tidak bisa dapatkan.
Yang sangat disayangkan, terdapat sejumlah ulama ahlu sunnah yang hanya menilai sisi lahir, serta sebagian politikus yang alpa yang menisbatkan diri kepada ahlu sunnah, berusaha menutup pintu khazanah yang agung tersebut; khazanah kewalian dan tarekat. Mereka beralasan dengan penyalahgunaan dan kesalahan ahli tarekat yang mereka lihat. Bahkan mereka berupaya untuk menghancurkan dan mengeringkan mata air al-kautsar tersebut yang menjadi sumber kehidupan.
Padahal, dalam segala sesuatu, manhaj, atau maslak, sangat jarang yang lepas dari kekurangan dan kekeliruan di mana semua sisinya hanya berisi kebaikan. Dengan demikian, sudah pasti ada kekurangan, kesalahan, dan penyalahgunaan dalam sikap dan tindakan. Sebab, ketika seseorang yang bukan ahlinya mengurus sesuatu, tentu akan terjadi penyalahgunaan. Akan tetapi, Allah akan menampakkan keadilan rabbani-Nya di akhirat sesuai dengan timbangan amal manusia. Siapa yang amal kebaikannya lebih berat daripada keburukannya, ia akan mendapatkan pahala dan amalnya diterima. Namun, jika keburukannya lebih berat dan kebaikannya lebih ringan, ia akan dihukum dan amalnya akan ditolak. Tentu saja, dalam hal ini yang menjadi pertimbangan bukanlah kuantitas sebuah amal, akan tetapi kualitasnya. Boleh jadi satu kebaikan dapat mengalahkan seribu keburukan, bahkan dapat menghapus dan menjadi sebab yang menyelamatkan pelakunya dari azab.
Selama keadilan ilahi berlaku sesuai timbangan di atas dan hakikat pun memandangnya benar, maka tidak diragukan lagi bahwa kebaikan tarekat yang berada dalam bingkai sunnah rasul yang suci lebih berat daripada keburukannya.Bukti yang paling kuat atas hal itu ialah bahwa para ahli tarekat tetap bisa menjaga keimanan mereka disaat ada serangan dari kalangan sesat. Bahkan orang awam yang tulus dari kalangan tarekat lebih bisa menjaga diri daripada mereka yang mengaku berilmu. Pasalnya, dzauk tarekat dan rasa cinta kepada wali Allah dapat menyelamatkan keimanannya. Bahkan di saat melakukan dosa besar, hal itu tidak sampai menjadikannya kafir, namun hanya menjadikannya fasik. Pasalnya, ia tidak mudah masuk ke dalam kelompok orang-orang zindik. Tidak ada yang dapat mengusik loyalitasnya terhadap para wali qutub di mana hatinya telah terpaut dengan mereka lewat perasaan cinta dan keyakinan yang kuat. Karena ia tidak terusik, maka sikap percaya dan ridanya terhadap mereka tidak akan terputus. Bahkan ia tidak akan masuk ke dalam kekufuran selama rasa percayanya kepada mereka tidak hilang. Sementara, orang yang tidak pernah merasakan tarekat dan hatinya juga tidak tergerak padanya, akan sulit menjaga dirinya di tengah-tengah tipu daya para zindik saat ini, meskipun ia adalah seorang yang alim dan berilmu.
Selain itu, tidak pantas menuduh atau memvonis tarekat berdasarkan kesalahan dan penyimpangan sejumlah aliran yang dengan serampangan menyebut dirinya sebagai sebuah “tarekat”. Boleh jadi apa yang mereka lakukan sudah keluar dari wilayah takwa, bahkan keluar dari wilayah Islam.
Kalau kita mengesampingkan berbagai manfaat mulia yang dihasilkan oleh tarekat, baik itu manfaat dari sisi agama, akhirat, atau ruhiyah, lalu kita hanya melihat satu manfaat saja yang terkait dengan dunia Islam, kita akan mendapati bahwa tarekat merupakan sarana iman yang paling utama yang dapat memperluas jaringan ukhuwah islamiyah dan memperkuat ikatan suci diantara mereka di seluruh dunia Islam.Dari dulu sampai sekarang, tarekat-tarekat sufi telah menjadi salah satu benteng utama dari tiga benteng Islam atas serangan- serangan kaum kafir dan politik nasrani yang bertujuan untuk memadamkan cahaya Islam.
Kita tidak boleh melupakan peran mereka dalam mempertahankan pusat pemerintahan khilafah Islamiyah di Istanbul selama 550 tahun dari serbuan pasukan salib dari Eropa. Kekuatan iman, kecintaan spiritual, dan kerinduan yang terpancar dari makrifah ilahiyah milik mereka yang selalu menyeru nama “Allah…Allah” di berbagai pojok masjid di mana ia memancarkan cahaya tauhid di 500 tempat, hal itu membentuk sebuah titik kekuatan Islam bagi kaum mukmin di pusat pemerintahan Islam tersebut.
Wahai para penyeru patriotisme yang dungu dan penyeru nasionalisme yang palsu! Masihkah kalian menjadikan satu kesalahan yang dilakukan oleh tarekat sebagai alasan untuk menafikan peran dan kebaikannya yang besar dalam kehidupan sosial kalian?!
Talwih Keempat
Di samping mudah, meniti jalan kewalian juga memiliki sejumlah kesulitan. Dalam perjalanannya yang singkat, prosesnya juga panjang. Walaupun kedudukannya tinggi, namun ia dikelilingi dengan berbagai macam bahaya. Di samping lapang, ia juga terasa sempit.
Karena berbagai rahasia yang halus tersebut, para salik kadang tenggelam di dalamnya. Kadangkala juga tergelincir dan terluka. Bahkan ada yang mengundurkan diri dan menyesatkan yang lain.
Sebagai contoh adalah “as-sayr al-anfusi” dan “as-sayr al-âfâqi”. Keduanya merupakan aliran dalam tarekat.
Sayr al-anfusi dimulai dari diri (nafs) dengan mengabaikan dunia luar. Ia hanya memusatkan perhatian pada kalbu seraya menembus egonya. Kemudian dari kalbu ia membuka jalan menuju hakikat. Dari sana ia menembus cakrawala alam. Ia melihatnya bercahaya dengan cahaya kalbunya. Ia pun menyelesaikan perjalanannya dengan cepat. Pasalnya, hakikat yang ia lihat dalam dirinya terlihat juga di cakrawala dalam ukuran yang lebih besar. Sebagian besar proses tarekat khafiyah dilakukan dengan metode ini. Prinsip utama dalam meniti jalan ini ialah menghilangkan perasaan ego, serta meninggalkan hawa nafsu dan mematikan nafsu ammârah.
Adapun aliran dan pendekatan yang kedua, ia dimulai dari alam. Peniti aliran ini menyaksikan manifestasi nama-nama dan sifat Allah yang mulia yang terdapat di cakrawala alam semesta yang luas ini. Lalu ia masuk ke dalam wilayah dirinya. Ia pun melihat cahaya manifestasi keagungan-Nya itu dalam ukuran yang lebih kecil di alam kalbunya. Dari situlah ia membuka jalan yang lebih singkat menuju kepada-Nya. Ia menyaksikan bahwa kalbu merupakan cermin manifestasi as-Shamad. Akhirnya, ia pun sampai pada maksud yang dituju.
Pada aliran yang pertama, jika sang salik tersebut tidak sanggup mematikan nafsu ammârah dan tidak mampu menghilangkan sifat egonya dengan cara meninggalkan hawa nafsunya, ia akan jatuh dari maqam syukur ke maqam perasaan bangga. Dari sana ia bisa terjeru- mus ke dalam sifat sombong. Jika hal ini disertai dengan sikap yang tak terkendali yang disebabkan oleh tarikan rasa cinta, akan muncul pengakuan-pengakuan di luar batas dan kewajaran. Itulah yang dise- but dengan syatahât. Ia dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain.
Perumpamaan orang yang sedang mengalami “ekstase spiritual” seperti seorang perwira yang berpangkat letnan. Kegembiraan dan kesenangan dalam memimpin pada wilayah kekuasaannya yang sempit menyelimutinya. Maka ia mengira dirinya seorang jenderal yang memimpin sejumlah korps dan legiun. Ia tidak bisa membedakan antara kepemimpinan di wilayah yang kecil dengan kepemimpinan universal di wilayah yang besar dan luas. Persis seperti bayangan matahari yang terpantul di cermin kecil yang oleh sebagian orang tidak bisa dibedakan dengan bayangan matahari yang tampak di lautan yang luas. Bayangan pantulannya mirip, namun luas dan besarnya berbeda. Begitulah, banyak peniti kewalian yang menganggap dirinya jauh lebih hebat daripada orang-orang yang sebenarnya memiliki kedudukan lebih tinggi.
Bahkan jika dirinya diukur dengan mereka bagaikan lalat dan burung merak. Namun pemilik syatahat tersebut melihat dirinya seperti yang ia gambarkan dan merasa benar dengan apa yang dilihatnya. Bahkan aku melihat ada orang yang menganggap telah mencapai maqam wali qutub, dan berprilaku seolah-olah dirinya wali qutub. Padahal ia baru merasakan rahasia kewalian dalam dirinya dari jauh dan hanya kalbunya yang sadar. Kukatakan padanya: “Wahai saudaraku, sebagaimana hukum kerajaan memiliki beragam wujud, baik yang bersifat parsial maupun universal dalam bentuk yang sama di seluruh wilayah negeri, mulai dari posisi perdana menteri hingga tingkat kepala desa, maka kewalian dan al-quthbiyah juga memiliki wilayah dan wujud yang beragam. Setiap kedudukan memiliki banyak bayangan. Engkau telah menyaksikan manifestasi posisi wali qutub yang agung yang menyerupai perdana menteri dalam wilayah kepemimpinanmu yang kecil yang menyerupai kepala desa. Karena itu, engkau tertipu. Pasal- nya, apa yang kau saksikan memang benar. Hanya saja, anggapan dan penilaianmu salah. Sebab, seciduk air bagi lalat bagaikan lautan luas.” Iapun tersadar dengan ucapanku dan selamat dari bahaya yang ia hadapi dengan izin Allah.
Aku juga melihat sejumlah orang menganggap dirinya seperti Imam Mahdi. Masing-masing mereka berkata, “Aku akan menjadi Imam Mahdi.” Mereka tidak berdusta dan tidak sedang menipu. Akan tetapi mereka sedang tertipu. Pasalnya, mereka mengira apa yang mereka lihat sebagai sebuah kebenaran. Hanya saja, sebagaimana Asmaul Husna memiliki sejumlah manifestasi, mulai dari arasy yang agung sampai kepada partikel, maka wujud dari manifestasi tersebut yang terdapat di alam dan diri manusia juga berbeda-beda. Tingkatan kewalian yang tidak lain merupakan wujud manifestasi Asmaul Husna juga berbeda-beda.
Sebab utama dari kerancuan itu adalah karena sejumlah tingkatan kewalian berisi sebagian dari karakter dan tugas Imam Mahdi. Ia tampak memiliki keterpautan khusus dengan posisi wali qutub serta relasi khusus dengan nabi Khidir. Memang terdapat sejumlah kedudukan yang memiliki relasi dan ikatan dengan sejumlah tokoh ternama sehingga kedudukan tersebut disebut dengan maqam Khidir, maqam Uwais, dan maqam Imam Mahdi.
Atas dasar itu, orang- orang yang sampai pada maqam itu, salah satu bagian dari maqam itu, atau pada salah satu bayangannya, menganggap diri mereka sebagai para tokoh ternama itu. Ada dari mereka menganggap dirinya sebagai nabi Khidir, Imam Mahdi, atau sebagai wali qutub.
Apabila rasa ego yang cinta kedudukan telah lenyap, maka ia tidak akan dihukum. Sejumlah pernyataannya yang melampaui batas dianggap sebagai syatahât, bisa jadi ia tidak bertanggung jawab atas hal itu.
Namun jika rasa egonya masih mengarah pada cinta kedudukan, maka rasa ego tersebut akan menguasai dan mengantarnya pada kesombongan seraya menanggalkan sikap syukur. Akibatnya, secara bertahap ia akan jatuh ke jurang kesombongan yang dapat melahap pahala amal. Bisa jadi mereka menjadi gila atau tersesat jauh. Pasalnya, ia memosisikan diri dalam barisan para wali agung. Hal ini pada dasarnya merupakan bentuk prasangka buruk kepada mereka. Sebab, ia melepaskan berbagai kekurangan yang ada pada dirinya di mana hal itu bisa diketahui betapapun ia tertipu kepada para tokoh wali yang mereka lihat lewat teropong dirinya yang cacat. Ia menyangka para wali itupun melakukan kekurangan seperti dirinya. Akhirnya, ia kurang menghormati mereka. Bahkan pada gilirannya, ia pun kurang hormat kepada para nabi.
Karena itu, kalangan yang berada dalam kerancuan itu harus kembali berpegang kepada timbangan syariat. Mereka harus memperhatikan rambu-rambu yang telah digariskan oleh para ulama ushuluddin. Mereka harus meneladani arahan-arahan yang diajarkan oleh para wali yang termasuk ulama seperti Imam Ghazali dan Imam Rabbani. Mereka tidak boleh merasa sempurna serta harus sadar bahwa kekurangan dan kefakiran melekat pada diri mereka betapa pun tingginya kedudukan yang telah dicapai.
Syatahât sejumlah salik pada aliran ini bersumber dari kecintaan pada diri. Sebab, mata cinta tidak melihat kekurangan yang ada. Ia menganggap dirinya seperti potongan berlian meskipun sebenarnya seperti serpihan kaca tak berguna demi mencintai dirinya.
Demikianlah, kebinasaan yang paling parah pada suluk jenis ini adalah berbagai makna parsial yang masuk ke dalam kalbu salik dalam bentuk ilham. Namun si salik membayangkannya sebagai kalam Allah serta menganggap setiap ilham yang datang sebagai ayat. Dengan ilusi semacam itu, ia tidak menghargai kedudukan wahyu yang mulia.Ya, setiap ilham, mulai dari ilham kepada lebah dan hewan, ilham kepada manusia secara umum, ilham kepada kalangan khusus, ilham kepada malaikat secara umum, sampai ilham kepada kalangan khusus yang dekat dengan Allah, semua itu merupakan satu bentuk kalimat rabbaniyyah. Hanya saja, kalam rabbani merupakan mani- festasi pesan rabbani yang beragam dan bersinar melalui tujuh puluh ribu hijab sesuai dengan potensi penerimaan berbagai wujud dan tingkatan.
Adapun wahyu, ia adalah nama khusus dari kalam Allah dan perumpamaan-Nya yang paling cemerlang. Nama itulah yang disebut dengan bintang-gemintang al-Qur’an. Setiap bagiannya merupakan ayat seperti yang termaktub sesuai perintah. Karena itu, menamakan berbagai jenis ilham di atas dengan sebutan ayat merupakan sebuah kekeliruan. Sebagaimana perbandingan antara bayangan matahari kecil yang tampak di cermin berwarna yang terdapat di tangan kita dan matahari hakiki yang terdapat di langit, begitulah perbandingan antara ilham yang terdapat di kalbu para pengaku dan ayat-ayat mentari al-Qur’an yang merupakan kalam ilahi langsung. Ha ini seperti yang telah kami terangkan dan kami tegaskan pada “Kalimat Kedua Belas, Kedua Puluh Lima, dan Ketiga Puluh Satu” dari kitab al-Kalimât.Ya, bila ada yang berkata bahwa bayangan matahari yang terdapat di cermin merupakan bentuk gambarannya dan memiliki relasi dengan matahari asli, pernyataan tersebut sudah tentu benar. Hanya saja, bola bumi yang besar ini tidak bisa dikaitkan dengan matahari di cermin kecil dan tidak mungkin matahari tersebut ditarik kepada gaya gravitasinya.
Talwih Kelima
Paham Wahdatul wujud yang berisi wahdatus syuhûd dianggap sebagai aliran sufi yang penting. Maksud dari wahdatul wujud adalah membatasi penglihatan pada keberadaan Wâjibul wujud. Dengan kata lain, sesungguhnya yang ada hanya Dzat Wajibul wujud, Allah. Sementara seluruh makhluk hanyalah bayangan semu dan ilusi yang tak layak disebut ada bila dibandingkan dengan eksistensi Dzat yang Wajib ada. Karena itu, pengikut aliran ini memandang seluruh entitas dan seluruh makhluk sebagai khayalan dan ilusi. Mereka melihatnya sebagai sesuatu yang tiada dalam tahapan “meninggalkan segala sesuatu selain-Nya”. Bahkan mereka bersikap ekstrem dengan menganggap entitas sebagai cermin imajiner dari manifestasi Asmaul Husna.
Hakikat terpenting yang terkandung dalam aliran ini adalah bahwa entitas yang bersifat mungkin (makhluk) dipandang kecil dan tak berharga oleh para penganutnya dari para wali yang mencapai tingkatan haqqul yaqin lewat kekuatan iman mereka di mana semua itu menurut mereka turun ke tingkatan tiada dan ilusi. Artinya, keberadaan alam dianggap sebagai ilusi jika dibandingkan dengan keberadaan Allah sebagai Dzat Wajibul wujud.
Hanya saja, pada aliran ini terdapat sejumlah bahaya. Yang pertama dan paling penting adalah bahwa rukun iman ada enam. Selain rukun iman kepada Allah, terdapat rukun iman yang lain. Misalnya iman kepada hari akhir. Semua rukun iman tersebut menuntut adanya entitas yang bersifat mungkin (makhluk). Artinya, rukun-rukun yang sudah valid itu tidak mungkin tegak di atas landasan imajiner.Karena itu, penganut aliran ini tidak boleh mempunyai pandangan semacam itu dan tidak boleh mengamalkan konsekuensi dari aliran tersebut saat bangun dari alam bawah sadar.
Lalu ia juga tidak boleh mengubah aliran (yang dicerna dengan) kalbu, intuisi, dan rasa ini menjadi hal yang dicerna secara rasional, verbal, dan ilmiah. Pasalnya, rambu-rambu rasional, kaidah ilmiah, dan prinsip dasar ilmu kalam yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah yang suci, tidak mampu menerima aliran ini dan tidak mungkin menerapkannya. Karena itu, mulai dari khulafa ar-rasyidin, para imam mujtahid, dan ulama pengamal di antara salafus salih, aliran ini tidak terlihat.
Jadi, aliran ini bukan tingkatan yang paling tinggi dan paling mulia. Namun bisa saja ia memiliki ketinggian, tetapi memiliki kekurangan dalam ketinggiannya itu. Bisa saja ia memiliki rasa manis, namun mengandung bahaya. Karena melihat wujud lahirnya yang manis, mereka yang sudah masuk ke dalamnya tidak mau keluar. Karena rasa bangga, mereka merasa berada di tingkatan paling tinggi.
Karena prinsip dasar dan esensi aliran ini telah kami bahas sebagian dalam risalah “Setitik Cahaya Makrifatullah” dari buku al-Matsnawi an-Nuri, dalam al-Kalimat dan al-Maktubat, maka kita cukupkan dengan pembahasan tersebut. Di sini kita akan membahas sedikit tentang kondisi bahaya yang bisa menimpa sebagian penga- nut wahdatul wujud.
Yaitu bahwa aliran ini hanya tepat untuk kalangan khawas al-khawas saat berada dalam kondisi ekstase, untuk mereka yang sudah lepas dari dunia materi, dan untuk mereka yang telah memutuskan hubungan dengan segala sesuatu selain Allah. Namun apabila aliran ini diterangkan dengan bentuk ilmiah dan rasional kepada mereka yang tenggelam dalam kausalitas, yang terkungkung dengan kehidupan dunia, serta yang terjerembab dalam filsafat materialisme dan naturalisme, maka hal itu akan membuat mereka jatuh ke dalam kubangan alam materi dan menjauhkan dari hakikat Islam.
Sebab, kalangan materialis dan pecinta dunia ingin melekatkan sifat abadi kepada dunia yang fana ini. Pasalnya, ia tidak bisa melihat apa yang dicintainya hilang. Karena itu, ia berikan sifat abadi dan kekal kepada dunianya dengan berlandaskan konsep wahdatul wujud. Pada saat itulah, dunia yang dicintainya naik ke posisi sesembahan setelah diberi sifat-sifat abadi dan kekal. Maka secara otomatis terbuka di hadapannya peluang untuk mengingkari Allah, naûdzu billah.
Pilar-pilar pemikiran materialis telah tertanam kuat pada zaman sekarang dan telah menguasai sebagian besar aktivitas rasional dan ilmiah sehingga―bagi penganutnya―materi menjadi pangkal dan rujukan dari segala sesuatu. Karena itu, mempopulerkan paham wahdatul wujud pada zaman sekarang―di mana dalam paham ini materi dianggap tidak berarti bagi kalangan mukmin yang khawas― namun bisa jadi paham ini dijadikan sebagai dalih bagi kaum materialis untuk mempropagandakan pahamnya seraya berkata, “Kami juga menyatakan dan berpikiran demikian.” Padahal, tidak ada aliran di dunia ini yang jauh dari pendekatan kaum materialis dan penyembah alam daripada aliran wahdatul wujud. Pasalnya, penganut wahdatul wujud memiliki keimanan yang mendalam kepada Allah sampai pada tingkat menganggap alam dan seluruh entitas sebagai sesuatu yang tiada, jika dibandingkan dengan hakikat keberadaan Allah. Sementara kalangan materialis menganggap penting entitas sampai pada tingkat mengingkari keberadaan Allah. Jadi sangat jauh perbedaan antara keduanya.
Talwih Keenam
Terdiri dari tiga poin
Poin Pertama:
Mengikuti sunnah Nabi merupakan jalan yang paling indah dan paling terang untuk sampai kepada derajat kewalian. Bahkan ia jalan yang paling lurus dan paling berkah. Maksud dari mengikuti sunnah Nabi ialah sikap seorang muslim untuk mempelajari sunnah kemudian mencontohnya dalam setiap tindakan dan amal, serta menjadikan syariat sebagai petunjuk dalam semua interaksi dan perilakunya.
Amalan dan aktivitas sehari-hari akan bernilai ibadah ketika ia mengikuti sunnah Nabi. Di samping itu, usaha untuk mengikuti sunnah dan hukum Allah dalam setiap urusan menjadikan seorang mukmin berada dalam kondisi selalu ingat dan sadar pada syariat. Hal ini akan membuatnya teringat pada sang pembawa syariat yang selanjutnya membuat ingat kepada Allah. Mengingat Allah akan membuat hati menjadi tenang dan tenteram. Dengan kata lain, setiap waktu dari usianya dihabiskan dalam kondisi beribadah secara terus-menerus dan tenteram. Oleh sebab itu, mengikuti sunnah Nabi adalah jalan menuju derajat kewalian tertinggi. Ia adalah jalan para sahabat dan salaf saleh yang merupakan para pewaris Nabi.
Poin Kedua:
Keikhlasan merupakan asas utama untuk meniti jalan kewalian dan tarekat. Pasalnya, ikhlas adalah satu-satunya jalan untuk melepaskan diri dari syirik yang samar. Siapa yang hatinya tidak ikhlas, ia tidak akan bisa meniti jalan tersebut. Selain itu, mahabbah (cinta) juga merupakan kekuatan yang paling utama di jalan tersebut.Rasa cinta membuat sang pencinta tidak akan mencari-cari kekurangan, bahkan tidak ingin melihat ada kekurangan pada sesuatu yang ia cintai. Sebaliknya, ia justru menganggap tanda terkecil yang menunjukkan kesempurnaan orang yang ia cinta sebagai dalil yang paling kuat karena ia selalu bersamanya.
Atas dasar itu, mereka yang mengarahkan hatinya untuk me- ngenal Allah (makrifatullah) melalui pintu mahabbah, akan mengabaikan berbagai syubhat dan bantahan terkait sesuatu yang dia cintai serta dapat menyelamatkan diri dengan mudah. Walaupun ribuan setan berkumpul untuk menghadang, mereka tidak akan bisa menghapus satu petunjuk saja yang menunjukkan kesempurnaan dan kemuliaan apa yang ia cintai. Tanpa rasa cinta, manusia akan tunduk pada bisikan nafsu dan godaan setan. Ia akan terbawa oleh berbagai bantahan dan syubhat yang dihembuskan oleh setan. Tidak ada yang dapat melindunginya selain dari kekuatan iman serta tingkat kesadaran dan kewaspadaannya yang tinggi. Dengan demikian, cinta yang bersumber dari makrifatullah merupakan inti dan esensi dari semua tingkatan kewalian.
Namun ada masalah besar dalam persoalan cinta ini. Yaitu dikhawatirkan sang pencinta akan berbalik arah dari yang tadinya rendah hati dan tunduk kepada Allah―di mana keduanya merupakan kunci ubudiyyah―menjadi sikap bangga, menuntut, dan mengaku- ngaku. Ia pun menjadi lupa diri kemudian merasa sombong dengan rasa cinta yang ia miliki tanpa ada batasan dan standar. Dikhawatir- kan pula cintanya akan berubah dari yang tadinya makna harfi menjadi makna ismi saat ia mengarahkan cintanya kepada selain Allah. Sehingga kondisinya berubah dari obat yang dapat menyembuhkan menjadi racun yang mematikan. Seringkali terjadi bahwa seseorang mencintai sifat, kesempurnaan, dan keindahan dari apa yang ia cintai selain Allah. Artinya rasa cinta tadi sudah bersifat ismi (karena zatnya). Ia mampu mencintainya tanpa harus ingat kepada Allah dan Rasul-Nya! Padahal di saat ia mencintai sesuatu selain Allah, hendak- nya hal itu dilakukan karena Allah dan untuk Allah. Dengan begitu, hati terpaut dengannya karena posisinya sebagai cermin manifestasi nama-nama-Nya yang mulia.Cinta yang demikian tidak akan bisa menjadi perantara menuju cinta kepada Allah. Bahkan ia menjadi penghalang baginya. Sedang- kan rasa cinta yang bersifat harfi, yaitu yang karena cinta kepada Allah, hal itu akan menjadi perantara untuk menambah rasa cinta kepada Allah, bahkan ia bisa dikatakan sebagai salah satu manifestasi-Nya.
Poin Ketiga:
Dunia adalah tempat untuk beramal dan tempatnya hikmah; bukan tempat untuk memberikan balasan dan ganjaran. Balasan atas amal dan kebaikan yang dilakukan selama di dunia akan diberikan di alam barzakh dan di negeri akhirat. Di sana pahala dan ganjaran akan diberikan. Jika demikian, tidak boleh menuntut pa- hala dan buah dari amal di dunia ini. Kalaupun ia diberikan di du- nia, maka hendaknya ia terima dengan perasaan senang bercampur dengan rasa sedih, perasaan suka diiringi rasa duka; bukan dengan senang dan suka semata. Pasalnya, tidak bijak mengambil pahala dari sebuah amal―yang mana pahala tersebut tidak akan pernah habis jika didapatkan di akhirat―di dunia yang bersifat fana ini. Hal itu bagaikan seseorang yang merasa bosan dengan lampu yang cahaya- nya terus-menerus bersinar, kemudian ia bergantung pada lampu yang sinarnya hanya menyala beberapa saat saja.
Berdasarkan rahasia tersebut―yakni menanti pahala di kehidu- pan akhirat—para wali menjalani pengabdian, kesulitan, cobaan, dan musibah yang ada. Namun mereka tidak mengeluh dan menggerutu.
Lisan mereka selalu mengulang kalimat:“Segala puji bagi Allah atas segala kondisi”Apabila Allah menganugerahkan kepada mereka karamah, kasyaf, cahaya, dan rasa, mereka menerimanya dengan penuh adab dan menganggapnya sebagai karunia besar dari-Nya. Mereka berusaha menyembunyikannya dan tidak mau menampakkan dan membangga-banggakannya. Mereka semakin bersyukur dan semakin menguatkan ubudiyah kepada Allah. Bahkan seringkali mereka memohon kepada Allah agar menghijab kondisi tersebut dari mereka dan berharap pada-Nya agar karamah tersebut dicabut. Sebab, mereka khawatir kondisi tersebut akan merusak keikhlasan dalam beramal.
Sungguh, nikmat terbaik Allah yang bisa diraih oleh seseorang yang dekat dengan Allah ialah anugerah yang diberikan kepadanya tanpa ia sadari.
Hal itu supaya sikap tunduk dan meminta kepada Al- lah tidak berubah menjadi sikap bangga dengan ibadah dan menuntut balasan atasnya. Juga agar hal itu tidak mengubah kondisinya dari bersyukur dan memuji-Nya menjadi sikap merasa hebat dan sombong. Berdasarkan penjelasan diatas, siapa yang ingin meniti jalan tarekat dan kewalian, lalu ia berharap mendapatkan buah dari jalan yang ia tempuh ini, seperti kenikmatan maknawi atau karamah, kemudian ia berorientasi padanya dan menuntut buah tersebut serta merasa senang dengannya, itu berarti ia hanya berharap menikmati buah di kehidupan dunia yang fana ini. Apabila dicapai, ia hanyalah kenikmatan yang bersifat sementara. Dengan begitu, ia kehilangan keikhlasan dalam amal yang dengannya ia dapat meraih buah dari derajat kewalian. Bahkan dengan begitu ia memberi jalan bagi hilangnya kewalian itu sendiri.
Talwih Ketujuh
Terdiri dari empat nuktah:
Nuktah Pertama
Syariat merupakan buah dari pesan ilahi yang bersumber langsung―tanpa penghalang―dari rububiyah mutlak dengan rahasia ahadiyah. Maka dari itu, derajat dan kedudukan tertinggi dalam tarekat dan hakikat tidak keluar dari ruang lingkup syariat. Buah dari tarekat dan hakikat serta hasil akhirnya berupa aturan-aturan syariat yang baku. Dengan demikian, ia akan selalu berada dalam posisi sebagai penyokong syariat dan menjadi wasilah menuju kepadanya.
Para peniti tarekat, posisinya akan naik secara bertahap ke tingkatan tertinggi yang di dalamnya ia meraih esensi hakikat dan rahasia tarekat seperti dalam syariat. Jika demikian, berarti tarekat dan hakikat merupakan bagian dari syariat yang agung.
Karena itu, persepsi dari sebagian ahli tasawuf yang mengatakan bahwa “syariat” adalah kulit luarnya saja, sedangkan “hakikat” merupakan inti, buah, dan tujuannya, adalah persepsi yang salah.
Ketersingkapan hukum syariat berbeda-berbeda sesuai dengan tingkat kemampuan dan pemahaman masing-masing individu. Apa yang dipahami oleh masyarakat umum tidak sama dengan apa yang dipahami oleh kalangan khawas. Merupakan sebuah kesalahan manakala menganggap “syariat” yang diketahui oleh kalangan awam sebagai “hakikat syariat”, sementara “tingkatan syariat” yang tersingkap bagi kalangan khawas disebut sebagai “hakikat” dan “tarekat”.
Syariat memiliki sejumlah tingkatan yang mengarah kepada semua kalangan manusia. Oleh karena itu, setiap kali ahli tarekat dan ahli hakikat melangkah maju dan naik ke jenjang yang lebih tinggi, mereka semakin tertarik kepada berbagai hakikat syariat dan mematuhinya. Mereka hidup sesuai dengan tujuan dan mak- sud syariat. Bahkan mereka menjadikan sunnah Nabi yang paling sederhana sekalipun sebagai tujuan yang paling mulia. Mereka selalu berusaha untuk mengikuti dan menirunya. Pasalnya, sebagaimana kedudukan dan posisi wahyu yang lebih tinggi dari pada ilham, maka adab-adab syariat yang merupakan buah dari wahyu lebih tinggi dan lebih mulia daripada adab tarekat yang merupakan buah dari ilham. Maka dari itu, prinsip utama dalam tarekat ialah mengikuti sunnah nabi yang suci.
Nuktah Kedua
Tarekat dan hakikat tidak boleh berubah dari posisinya sebagai sarana menjadi tujuan. Jika keduanya (hakikat dan tarekat) menjadi tujuan, maka amal-amal syariat dan adab-adab sunnah nabi akan terbatas hingga tidak lagi menjadi perhatian utama bagi seorang sa- lik. Ia akan bersifat formalitas karena hati sang salik sibuk dengan adab-adab dan ritual tarekat. Dengan kata lain, ia lebih sibuk dengan halaqah zikir ketimbang shalat. Ia lebih tertarik dengan wirid tarekat- nya daripada kewajiban-kewajiban agama. Ia juga lebih komitmen untuk meninggalkan hal-hal yang bertentangan dengan adab tarekat daripada menjauhi dosa-dosa besar. Padahal satu kewajiban yang ia tunaikan sebagai wujud ketundukan pada perintah syariat tidak dapat disamai dengan wirid-wirid dalam tarekat atau digantikan olehnya.
Adab tarekat, wirid tasawuf, dan dzauq yang didapat dari kedu- anya hendaknya menjadi sarana untuk mendapatkan dzauq hakiki yang lebih mulia dalam menjalankan kewajiban agama, bukan menjadi tujuan. Dengan kata lain, dzauq yang didapat dari tarekat menjadi jalan baginya untuk mendapatkan kenikmatan shalat yang ia lakukan di masjid sesuai dengan tuntunan dan ketentuan shalat. Jika tidak, ia hanya akan membuat lalai dari shalatnya. Ia akan melaksa- nakan shalat dengan cepat, secara formalitas, tanpa ada isi dan ruh. Yang demikian itu jauh dari hakikat.
Nuktah Ketiga
Pertanyaan: Apakah mungkin ada tarekat yang berada di luar koridor sunnah dan hukum syariat?
Jawabannya: Ya dan tidak! Dikatakan “ya” karena terdapat para wali yang dihukum mati dengan pedang syariat. Dikatakan “tidak” sebab para wali yang lurus telah sepakat dengan kaidah yang disebutkan oleh Sa’di as-Syirazy dalam syairnya yang bermakna:
“Mustahil seseorang akan sampai pada cahaya kebenaran hakiki di luar jalan yang telah digariskan oleh Rasul dan tanpa mengikuti sunnahnya.”
Rahasia dari persoalan ini ialah bahwa Rasulullah adalah penutup para nabi dan rasul. Beliau juga sebagai penerima wahyu Allah atas nama umat manusia dan sebagai wakil dari mereka.
Oleh sebab itu, tidak boleh ada yang berjalan di luar jalannya, dan bernaung di bawah panji beliau merupakan sebuah kewajiban.
Hanya saja, kalangan yang mengalami “ekstase” tidak ber- tanggung jawab atas penyimpangan mereka karena di dalam diri manusia terdapat perangkat halus (latifah) yang tidak tunduk pada syariat. Karena itu, ketika latifah tersebut dominan ia tidak lagi bertanggung jawab atas taklif syariat. Nah, apabila dalam diri manusia terdapat sejumlah latifah lain yang tidak tunduk pada keinginan manusia sebagaimana ketidak-tundukannya pada syariat, bahkan ia juga tidak tunduk pada akal dan keinginan hati, maka di saat seseorang dikuasai oleh latifah, hal itu tidak membuatnya keluar dari derajat wali meski telah melanggar syariat. Namun pada saat itu ia mendapatkan toleransi dengan catatan tidak keluar sesuatu darinya yang menafikan hakikat syariat dan kaidah-kaidah iman, baik berupa pengingkaran, pemalsuan, atau pelecehan. Ia wajib mengakui kebenaran syariat walaupun ia tidak mampu melaksanakannya dengan benar. Akan tetapi, apabila ia berada dalam kondisi tak terkendali, lalu muncul hal-hal yang bersifat mendustakan dan mengingkari hakikat syariat yang baku, hal itu merupakan tanda kebinasaan.
Kesimpulannya bahwa ahli tarekat yang berada di luar wilayah syariat ada dua macam:
Yang pertama, sebagaimana yang baru saja kami jelaskan. Bisa jadi ia berada dalam situasi yang tak terkendali, tak terkontrol, tak sadar dan sedang mengalami “ekstase”. Atau, ia berada dalam kendali latifah yang tidak tunduk pada syariat dan sedang tidak punya kehendak sehingga keluar dari koridor syariat.
Akan tetapi, sikap ini tidak muncul karena ia tidak suka pada syariat atau ia menolak hukum syariat. Namun ia meninggalkan hukum tersebut secara terpaksa tanpa ada keinginan darinya. Memang terdapat para wali yang termasuk dalam jenis ini. Terlebih lagi terdapat para tokoh wali yang pernah merasakan kondisi yang seperti ini. Bahkan di antara jenis ini ada yang divonis oleh wali ahli hakikat bahwa mereka tidak hanya keluar dari wilayah syariat, tetapi ada yang keluar dari wilayah Islam. Terkecuali dengan syarat ia tidak menging- kari semua hukum yang datang dari Rasulullah walaupun tidak melaksanakan dengan benar, entah karena tidak merenungkannya, tidak mampu mengarah padanya, atau karena tidak mampu mema- haminya. Namun apabila ia telah memahami lalu menolaknya, maka hal itu tidak bisa diterima.
Yang kedua ialah mereka yang telah mabuk oleh berbagai dzauq spiritual yang didapatkan dari tarekat dan hakikat. Mereka tidak peduli terhadap hakikat syariat yang mana posisinya lebih tinggi daripada dzauq spiritual mereka. Ada di antara mereka yang menganggap bahwa syariat tidak bisa mengantarkan pada perasaan spiritual tersebut karena tidak mampu menggapainya. Karena itu, ia menunaikan syariat sebatas formalitas saja. Begitulah, secara bertahap ia akan sampai pada anggapan bahwa syariat hanya sebatas kulit lahiriah semata. Sementara hakikat yang ia dapatkan dianggap sebagai asas dan tujuan. Ia pun berkata, “Cukuplah apa yang aku dapatkan (rasakan).” Akhirnya, ia melakukan sejumlah perbuatan yang bertentangan dengan perintah syariat. Siapapun dari kelompok ini yang masih berakal dan sadar, mereka akan bertanggung jawab atas sikapnya. Mereka akan dihukum, serta mereka akan binasa. Bahkan di antara mereka ada yang menjadi sasaran olok-olok setan.
Nuktah Keempat
Sejumlah orang yang berasal dari kelompok sesat dan ahli bid’ah termasuk yang dapat diterima oleh umat. Namun ada juga orang-orang seperti mereka yang ditolak dan dijauhi oleh umat, padahal secara zahir keduanya tidak berbeda.
Aku merasa heran dengan kondisi tersebut. Az-Zamakhsyari, seorang ulama muktazilah yang sangat fanatik terhadap mazhabnya, tidak dikafirkan oleh para ulama ahlus sunnah dan tidak digolongkan ke dalam orang-orang yang sesat, padahal mereka sangat menen- tang pemikirannya. Mereka mencari jalan keselamatan untuknya. Di sisi lain, Abu Ali al-Jubba’i yang juga berasal dari muktazilah tidak diterima oleh kalangan ahlus sunnah dan ide-idenya ditolak, padahal fanatisme terhadap mazhabnya jauh lebih ringan daripada az- Zamakhsyari. Hal ini membuatku berpikir cukup lama hingga aku dapat memahaminya berkat karunia Allah:
Penentangan az-Zamakhsyari terhadap ahlus sunnah didasari oleh keinginannya untuk mencari kebenaran seperti yang diserukan oleh alirannya di mana ia menilainya benar. Misalnya ia berkata, “Mensucikan sifat Allah yang hakiki ialah dengan cara meyakini bahwa makhluk yang menciptakan perbuatan mereka sendiri.” Ia menolak pendapat ahlus sunnah terkait dengan penciptaan perbuatan makhluk karena ingin mensucikan Allah. Adapun ulama-ulama muktazilah yang lain, mereka membantah pendapat ahlus sunnah bukan dikarenakan rasa cintanya pada kebenaran. Akan tetapi, karena akal mereka tidak dapat memahami konsep pemikiran ahlus sunnah dan juga karena akal mereka yang sempit tak dapat menyerap rambu-rambu ahlus sunnah. Oleh sebab itu, pemikiran mereka ditolak dan mereka pun juga tertolak.
Sebagaimana penentangan muktazilah terhadap ahlus sunnah terbagi dua seperti yang terdapat dalam kitab-kitab ilmu kalam, begitu juga dengan ahli tarekat yang menyimpang dari sunnah Nabi. Penyimpangan mereka terlihat dari dua sisi:
Pertama, terseretnya seorang wali kepada kondisi dan mazhabnya sebagaimana yang dialami oleh az-Zamakhsyari. Dalam batas tertentu hal tersebut membuatnya tidak begitu memperhatikan adab- adab syariat yang belum ia rasakan.
Kedua, kondisi wali yang menganggap syariat tidak penting jika dibandingkan dengan ajaran dan kaidah dalam tarekat. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuannya untuk menyerap rahasianya yang begitu luas. Kemampuan dan kedudukannya yang terbatas tidak dapat mencapai kedudukan yang tinggi tersebut.
Talwih Kedelapan
Berisi delapan bahaya:
Bahaya Pertama:
Ketergelinciran yang dialami para salik yang tidak mengikuti sunnah nabi ialah keyakinannya bahwa tingkatan kewalian lebih tinggi daripada kenabian.
Kami telah menegaskannya pada “Kalimat Kedua Puluh Empat” dan “Kalimat Ketiga Puluh Satu” dari kitab al-Kalimât bahwa derajat kenabian lebih tinggi daripada derajat kewalian dan betapa kecilnya cahaya kewalian di hadapan cahaya kenabian.
Bahaya Kedua:
Sikap sebagian kalangan ekstrem yang lebih memuliakan wali daripada para sahabat. Bahkan menganggap mereka berada pada derajat yang sama dengan para nabi.
Kami telah menjelaskannya pada “Kalimat Kedua Belas” dan “Kalimat Kedua Puluh Tujuh” (Risalah Ijtihad) serta pada lampiran Risalah Ijtihad yang secara khusus membahas tentang “sahabat nabi” bahwa para sahabat memiliki kedudukan yang mulia dan istimewa karena persahabatan mereka dengan Nabi di mana para wali tidak akan bisa sampai ke derajat tersebut, apalagi mengungguli kedudukan mereka. Mustahil bagi mereka untuk sampai ke derajat para nabi.
Bahaya Ketiga:
Sikap sebagian kalangan tarekat yang fanatik yang menganggap wirid tarekatnya lebih utama daripada zikir-zikir yang berasal dari Rasulullah. Kalau sudah begitu, mereka akan terjerumus pada sikap penentangan dan meninggalkan sunnah nabi seraya sibuk dengan wirid yang berasal dari tarekat mereka. Artinya, mereka mengambil sikap kurang peduli terhadap sunnah nabi sehingga terperosok ke dalam jurang kebinasaan.
Telah kami tegaskan pada banyak al-Kalimât dan telah dijelaskan pula oleh para ulama tarekat seperti Imam Ghazali dan imam Rabbani bahwa “Mengikuti satu sunnah yang diterima oleh Allah lebih mulia daripada seratus ritual dan ibadah khusus. Sebab, sebagaimana satu ibadah wajib lebih mulia daripada seribu amalan sunnah, satu sunnah Nabi juga lebih tinggi posisinya daripada seribu adab dan ritual dalam tasawuf.”
Bahaya Keempat:
Sebagian salik yang berlebihan terhadap tarekat memiliki anggapan keliru bahwa ilham memiliki tingkatan yang sama dengan wahyu.
Begitu juga anggapan bahwa ilham merupakan salah satu bagian dari wahyu yang membuat mereka terjerumus ke dalam wilayah berbahaya. Kami telah menerangkan dalam “Kalimat Kedua Belas” dan “Kalimat Kedua Puluh Lima” yang berkaitan dengan kemukjizatan al-Qur’an, serta dalam risalah yang lain bahwa wahyu memiliki posisi yang tinggi, mulia, dan terang, sedangkan ilham dibandingkan dengannya bersifat terbatas dan redup.
Bahaya Kelima:
Sebagian ahli sufi yang tidak memahami ra- hasia tarekat—dalam kedudukannya sebagai sarana; bukan sebagai tujuan—terkadang mereka tertarik dan mengarah kepada karamah dan dzauq spiritual yang diberikan kepada mereka sebagai sebuah pemberian dari Allah dan bukan sesuatu yang bisa diminta. Pasalnya, Allah memberikan hal itu dengan tujuan untuk memberi kekuatan kepada kaum yang lemah, sebagai motivasi bagi mereka yang malas, dan juga untuk menghilangkan kesulitan dan rasa jenuh yang mereka rasakan setelah aktivitas ibadah yang terus-menerus. Mereka terperangkap dalam sikap lebih mengutamakan karamah daripada kewajiban agama dan amalan-amalannya serta bacaan zikir dan wirid. Akhirnya mereka terjerumus ke dalam jurang bahaya.
Telah kami jelaskan secara global dalam poin yang ketiga dari “talwih keenam” di atas dan dalam sejumlah al-Kalimât bahwa dunia ini merupakan tempat untuk beramal dan mengabdi; bukan tempat untuk meraih pahala dan balasan. Siapa yang ingin memetik buah dari amalannya di kehidupan dunia yang fana ini, pada hakikatnya ia menukar pahala dan balasan akhirat yang kekal dengan balasan dan ganjaran dunia yang fana. Selain itu, hal ini menunjukkan bahwa ia masih memiliki keterpautan dengan dunia dan keinginan berse- nang-senang dengannya. Sikap ini akan memadamkan rasa rindu pada kehidupan akhirat. Namun mereka menginginkan dunia, sebab di dalamnya mereka telah mendapat sebagian dari buah akhirat.
Bahaya Keenam:
Sebagian salik yang bukan ahli hakikat seringkali terjerumus ke dalam jurang bahaya dengan menganggap bayangan dari sejumlah tingkat kewalian dan miniaturnya sebagai tingkatan hakiki, universal, dan asli.
Kami telah menjelaskannya pada ‘dahan kedua’ dari “Kalimat Kedua Puluh Empat” dan juga pada “Kalimat-kalimat” yang lain bahwa meski bayangan matahari banyak sebanyak cermin tempat ia memantul, bayangan tersebut memiliki cahaya dan panas, namun bukan cahaya dan panas yang asli. Ia adalah cahaya semu jika dibandingkan dengan matahari yang sebenarnya.Begitu juga dengan derajat kenabian dan wali agung, ia memiliki sebagian bayangan yang oleh pengikut tarekat dapat dijadikan tempat berteduh. Akan tetapi, saat mereka masuk ke dalamnya, mereka menganggap bahwa mereka lebih mulia daripada para wali, bahkan daripada para nabi (naudzu billah) sehingga mereka pun terjatuh ke dalam jurang bahaya.
Agar dapat menyelamatkan diri dari bahaya tersebut, mereka wajib menjadikan dasar-dasar keimanan dan syariat sebagai pegangan dan petunjuk. Selain itu, mereka wajib melawan dan menentang perasaan serta apa yang mereka saksikan saat semua itu bertentangan dengan dasar-dasar iman.
Bahaya Ketujuh:
Sebagian para pecinta dan perindu dari kalangan pengikut tarekat seringkali terjerumus ke dalam jurang bahaya disaat mereka menunjukkan kebanggaan, membuat pengakuan, menyebarkan syatahât, mengharap penghargaan orang, serta menjadi rujukan agama.
Mereka lebih perhatian pada hal ini daripada bersyukur, bersimpuh, memuji Allah, dan tidak bergantung pada manusia. Padahal, sikap ubudiyah yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad merupakan ubudiyah tertinggi, yaitu ubudiyah yang bisa disebut dengan mahbubiyyah (ubudiyah yang dilandasi dengan cinta Allah).Asas dan inti dari ubudiyah ialah bersimpuh, memuji, berdoa, khusyuk, merasa lemah di hadapan-Nya, dan tidak bergantung pada manusia. Hanya dengan cara seperti ini, ia bisa sampai pada kesempurnaan hakikat tersebut; yaitu hakikat ubudiyah.Sebagian wali agung—secara tanpa sengaja karena lepas kendali yang bersifat sementara—terkadang jatuh pada rasa bangga, ingin diakui, dan memiliki syatahât. Karena itu, mereka tidak boleh diikuti dalam kondisi ini saja, sebab mereka adalah orang yang berada dalam jalan hidayah. Namun, pada saat mereka berada dalam kondisi ini, mereka tidak boleh dijadikan panutan, sehingga tidak boleh berjalan mengikuti mereka atau meneladani mereka.
Bahaya Kedelapan:
Sekelompok pengikut tarekat yang terge- sa-gesa dan ingin meraih keuntungan pribadi seringkali terjerumus ke dalam jurang bahaya, karena ingin mendapat hasil dari kedudukan kewaliannya di dunia daripada di akhirat.
Ketika sikap mereka menampakkan keinginan ini dan niat mereka terungkap, mereka benar-benar terjerumus di dalamnya. Padahal terdapat banyak ayat seperti yang berbunyi, “Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya,” (QS. Ali Imrân [3]: 185) yang menunjukkan secara jelas apa yang telah ditegaskan sebelumnya di dalam sejumlah “Kalimat” bahwa satu buah saja yang disediakan di alam akhirat jauh lebih bernilai daripada seribu kebun buah yang ada di dunia yang fana. Oleh karena itu, lebih baik tidak mengambil balasan tersebut di dunia ini. Kalau kemudian ia didapat tanpa kita minta dan tanpa ada keinginan dari kita, kita wajib bertahmid dan bersyukur dalam menerimanya; bukan dengan perasaan bahwa itu adalah balasan atas amal kita, akan tetapi dengan perasaan bahwa itu adalah anugerah dan karunia yang diberikan oleh Allah sebagai motivasi.
Talwih Kesembilan
Kami akan menyebutkan secara global sembilan hasil dan manfaat dari sekian banyak manfaat tarekat:
Manfaat Pertama:
Tersingkapnya hakikat keimanan secara jelas hingga sampai pada tingkatan áinul yaqin melalui perantaraan tarekat yang benar dan lurus. Hakikat keimanan ini merupakan kunci dan sumber bagi kekayaan abadi yang terdapat di kebahagiaan abadi.
Manfaat Kedua:
Mewujudkan hakikat manusia yang hakiki, karena seluruh perangkat jiwanya mengarah kepada tujuan pen- ciptaan. Hal itu terwujud dengan cara menjadikan tarekat sebagai wasilah untuk menggerakkan hati manusia yang merupakan pusat kontrol bagi dirinya. Dengan begitu, banyak dari perangkat jiwanya yang bergerak dan muncul sehingga terwujudlah hakikat manusia yang sebenarnya.
Manfaat Ketiga:
Selamat dari kesepian dan kesendirian dalam perjalanan spiritual serta mendapatkan ketenangan maknawi dalam kehidupan dunia dan alam barzakh dengan menapaki salah satu rangkaian tarekat dalam perjalanannya menuju alam barzakh dan akhirat. Selain itu, ada hubungan kesetiaan dan rasa cinta dengan kafilah tersebut dalam perjalanan menuju kehidupan yang kekal abadi. Dengan begitu, semua asumsi dan syubhat akan terbuang jauh dengan bersandar pada kesepakatan mereka yang memosisikan setiap mursyid sebagai hujjah yang kuat untuk menepis kesesatan dan ilusi yang mengotori akal.
Manfaat Keempat:
Terbebas dari kegalauan yang mengepungnya di kehidupan dunia dan jauh dari keterasingan yang pedih yang ia rasakan di alam ini. Hal itu karena seorang salik merasakan dzauq makrifatullah dalam iman dan mahabbatullah dalam makrifat tadi melalui tarekat yang bersih dan suci.
Telah kami sebutkan sebelumnya dalam sejumlah “al-Kalimat” bahwa kebahagiaan dunia-akhirat, kenikmatan yang tanpa kepedihan, ketenangan yang tanpa kegalauan, dzauq hakiki dan kebahagiaan hakiki hanya terdapat pada hakikat keimanan dan keislaman. Kami juga telah menjelaskan dalam “Kalimat Kedua” bahwa keimanan mengandung benih pohon Tuba di surga. Ya, lewat tarbiyah yang terdapat di dalam tarekat, benih tersebut akan tumbuh dan besar.
Manfaat Kelima:
Merasakan berbagai hakikat halus yang tersembunyi dalam setiap kewajiban syariat lewat terjaganya hati melalui zikir yang rutin dan manhaj tarbiyah yang dipakai oleh tarekat. Dengan begitu, ibadah dan ketaatan dilaksanakan dengan penuh ke- rinduan; bukan sebagai aktivitas yang melelahkan dan membebani.
Manfaat Keenam:
Meraih maqam tawakkal, rida, dan pasrah yang merupakan sarana untuk mencapai dzauq hakiki, pelipur lara yang sebenarnya, kenikmatan yang tidak bercampur dengan rasa sedih, dan ketenangan yang tidak dikotori oleh kegalauan.
Manfaat Ketujuh:
Selamat dari syirik samar, riya, dan keburukan semacamnya. Hal itu bisa didapat dengan keikhlasan yang merupakan syarat dan buah paling utama yang harus dimiliki oleh para peniti jalan tarekat. Juga terbebas dari hawa nafsu dan sifat ego lewat penyucian jiwa yang merupakan esensi amalan dalam tarekat.
Manfaat Kedelapan:
Menjadikan rutinitas hariannya sebagai ibadah, dan amalan dunianya sebagai amalan akhirat. Juga, mempergunakan modal usianya berikut menit demi menitnya sekaligus menjadikannya sebagai benih yang akan tumbuh mekar menjadi bunga-bunga kehidupan akhirat. Ini semua terwujud dengan zikir hati yang rutin, tafakkur, menghidupkan hati, menumbuhkan niat yang jujur dan tekad yang kuat, yang semuanya merupakan ajaran dari tarekat.
Manfaat Kesembilan:
Beramal untuk sampai pada derajat manusia yang sempurna (insan kamil). Hal itu dengan kondisi hati yang selalu mengarah kepada Allah selama perjalanan suluk, di saat menjalani olah spiritual, dan di waktu proses peningkatan kehidupan maknawinya. Yaitu menjadi mukmin yang hakiki dan muslim yang sempurna. Yakni, merasakan hakikat iman dan Islam; bukan sekadar tampilan luarnya saja. Kemudian dengan itu manusia sebagai representasi alam semesta menjadi hamba yang hanya mengabdi kepada Sang Pencipta yang Mahaagung, menjadi mitra bicara-Nya, menjadi wali dan hamba yang dekat dengan-Nya, menjadi cermin manifestasi Allah dan benar-benar menjadi makhluk yang paling sempurna. Ia menjadi bukti bahwa manusia lebih utama daripada malaikat. Begitulah, ia terbang dengan sayap iman dan amal syariat menuju dera- jat yang tinggi. Ia menatap kebahagiaan abadi di dunia ini, bahkan ia masuk ke dalam kebahagiaan tersebut.
سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّم۟ عَلَى ال۟غَو۟ثِ ال۟اَك۟بَرِ فٖى كُلِّ ال۟عُصُورِ وَ ال۟قُط۟بِ ال۟اَع۟ظَمِ فٖى كُلِّ الدُّهُورِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ نِ الَّذٖى تَظَاهَرَت۟ حِش۟مَةُ وَلَايَتِهٖ وَ مَقَامُ مَح۟بُوبِيَّتِهٖ فٖى مِع۟رَاجِهٖ وَ اِن۟دَرَجَ كُلُّ ال۟وَلَايَاتِ فٖى ظِلِّ مِع۟رَاجِهٖ وَ عَلٰى اٰلِهٖ وَ صَح۟بِهٖ اَج۟مَعٖينَ اٰمٖينَ وَ ال۟حَم۟دُ لِلّٰهِ رَبِّ ال۟عَالَمٖينَ
LAMPIRAN
Lampiran yang sangat singkat ini sangat penting dan
bermanfaat untuk semua.
Untuk sampai kepada Allah terdapat banyak jalan. Sumber seluruh jalan yang benar adalah al-Qur’an al-Karim. Hanya saja, dari semua jalan tersebut ada jalan-jalan yang lebih singkat, lebih selamat, dan lebih luas. Meski pemahamanku terbatas, aku telah mengambil dari limpahan karunia al-Qur’an sebuah jalan. Yaitu: jalan ketidak- berdayaan, kefakiran, kasih sayang, dan tafakkur.
Ya, sama seperti kerinduan, ketidakberdayaan merupakan jalan yang bisa mengantar menuju Allah. Bahkan ia lebih selamat. Pasalnya, ia mengantarkan kepada cinta-Nya lewat jalan ubudiyah.
Begitupun kefakiran bisa mengantar menuju nama Allah, ar-Rahman.
Sama seperti kerinduan, kasih sayang bisa mengantar menuju Allah. Hanya saja, perjalanannya lebih cepat dan cakupannya lebih luas. Kasih sayang bisa mengantar pada nama Allah, ar-Rahîm.
Tafakkur juga sama seperti kerinduan. Hanya saja ia lebih kaya dan lebih bersinar. Pasalnya, ia mengantar kepada nama Allah, al- Hakîm.
Jalan ini berbeda dari jalan yang dilalui oleh ahli suluk pada jalan khafâ’ yang memiliki sepuluh langkah (seperti sepuluh latîfah) dan jalan jahr yang memiliki tujuh langkah sesuai dengan tujuh jenis nafsu. Sementara jalan ini hanya berupa empat langkah saja. Ia lebih kepada hakikat syar’i daripada tarekat sufi. Jangan sampai kalian salah paham. Yang dimaksud dengan ketidakberdayaan, kefakiran, dan ketidaksempurnaan di sini adalah menampilkan itu semua di hadapan Allah; bukan di hadapan manusia.
Adapun wirid dan zikir jalan yang singkat ini adalah (1) mengikuti sunnah Nabi , (2) menunaikan kewajiban, terutama men- dirikan shalat dengan rukun-rukunnya, (3) membaca zikir sesudah shalat, dan (4) meninggalkan dosa besar.Sumber dari semua langkah ini adalah al-Qur’an. Yaitu:
1. Firman Allah:“Jangan menganggap diri kalian suci.” (QS. an-Najm [53]: 32).Ayat ini mengarah kepada langkah pertama.
2. Firman Allah:“Jangan kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah sehingga Allah membuat mereka lupa kepada diri mereka sendiri.” (QS. al-Hasyr [59]: 19). Ayat ini mengarah kepada langkah kedua.
3. Firman Allah:“Kebaikan yang kau terima berasal dari Allah, sementara keburukan yang kau terima berasal dari dirimu.” (QS. an-Nisa [4]: 79). Ayat ini mengarah kepada langkah ketiga.
4. Firman Allah:“Segala sesuatu binasa kecuali Dzat-Nya.” (QS. al-Qashash [28]: 88). Ayat ini mengarah kepada langkah keempat.
Penjelasan ringkas mengenai keempat langkah tersebut sebagai berikut:
Langkah Pertama
Ia seperti yang disebutkan oleh ayat:“Jangan menganggap diri kalian suci.”Yaitu tidak merasa diri sudah bersih dan suci. Hal itu karena sesuai watak dan fitrahnya, manusia mencintai dirinya sendiri. Bahkan itulah yang pertama kali ia cintai. Ia rela mengorbankan segala sesuatu untuk dirinya. Ia berikan pada dirinya pujian yang hanya layak untuk Tuhan. Ia kultuskan dirinya dan ia bebaskan dari segala aib. Bahkan ia tidak menerima adanya kekurangan untuk dirinya. Ia sangat membela dirinya dengan sangat kuat lewat kecintaan yang berlebihan. Sehingga sejumlah perangkat yang Allah berikan untuk bertahmid dan menyucikan Dzat yang layak disembah, ia alihkan kepada dirinya. Akhirnya ia seperti yang digambarkan oleh al-Qur’an, “Orang yang menuhankan hawa nafsunya.” (QS. al-Furqan [25]: 43).
Ia kagum pada dirinya. Karenanya, hal tersebut perlu dibersihkan dan disucikan. Cara menyucikannya adalah dengan tidak menganggap- nya suci.
Langkah Kedua
Ia seperti pelajaran yang diberikan oleh ayat:“Jangan kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah sehingga Allah membuat mereka lupa kepada diri mereka sendiri.”Hal itu karena manusia kerap lupa dan lalai kepada dirinya. Ketika ingat mati, ia mengalihkannya kepada yang lain. Ketika melihat kondisi fana, ia mengembalikannya kepada orang lain. Seolah-olah itu tidak terkait dengannya sama sekali. Pasalnya, sesuai tuntutan- nya, nafsu ammârah mengingat dirinya saat pengambilan upah dan bagian, namun di sisi lain melupakan dirinya saat penunaian tugas dan beramal. Maka, cara membersihkan dan mentarbiyah nafsu pada langkah ini adalah dengan mengamalkan kondisi sebaliknya.
Yaitu tidak lupa di saat lupa diri. Dengan kata lain, lupa meraih kesenangan dan upah untuk diri, serta memikirkan diri saat pengabdian dan kematian.
Langkah Ketiga
Ia seperti yang dijelaskan oleh ayat:“Kebaikan yang kau terima berasal dari Allah, sementara keburukan yang kau terima berasal dari dirimu.”Hal itu karena nafsu manusia selalu ingin menisbatkan kebaikan kepada dirinya sehingga mengantarkan kepada sikap ujub dan sombong. Maka, pada langkah ini seseorang hendaknya hanya melihat kekurangan, ketidakberdayaan, dan kefakiran dirinya, serta melihat semua kebaikan dan kesempurnaannya sebagai karunia Penciptanya Yang Mahaagung. Ia terima hal itu sebagai karunia dari-Nya seraya bersyukur sebagai ganti dari sikap bangga diri, dan memuji Allah sebagai ganti dari memuji diri.
Cara menyucikan diri di tingkatan ini terdapat pada rahasia ayat, “Sungguh beruntung orang yang menyucikannya.” (QS. asy-Syams [91]: 9). Yaitu mengetahui bahwa kesempurnaannya terletak pada ketidaksempurnaannya, kemampuannya terletak pada ketidakberdayaannya, dan kekayaannya terletak pada kefakirannya.
Langkah Keempat
“Segala sesuatu binasa kecuali Dzat-Nya.” Hal itu karena diri manusia merasa merdeka dan mandiri. Karenanya, ia menganggap memiliki semacam kekuasaan rububiyah dan menyimpan sifat pembangkangan terhadap Dzat yang layak disembah. Dengan mengenal hakikat berikut, manusia akan selamat darinya. Yaitu dari sisi makna ismi segala sesuatu bersifat fana, baru, dan tiada. Namun dilihat dari makna harfi dan kedudukannya sebagai cermin yang memantulkan nama-nama Sang Pencipta serta dilihat dari tugas dan fungsinya, ia menjadi saksi dan yang disaksikan, serta menjadi pengada dan yang diadakan.
Nah dalam hal ini, cara menyucikannya adalah dengan mengetahui bahwa ketiadaannya terletak pada keberadaannya, dan keberadaannya terletak pada ketiadaannya. Maksudnya, bila melihat dirinya dan memberikan sifat ada pada wujudnya, berarti ia tenggelam dalam gelap ketiadaan seluas jagat raya.
Yaitu ketika ia lalai terhadap Dzat yang menghadirkannya, Allah, dan bersandar pada wujudnya sendiri, maka ia melihat dirinya sendirian tenggelam dalam gelapnya perpisahan dan ketiadaan yang tak bertepi laksana kunang-kunang dalam cahayanya yang redup di gelap malam yang pekat. Akan tetapi, ketika ia meninggalkan sikap ego, ia akan melihat dirinya sebagai sesuatu yang tiada. Ia hanya cermin yang memantulkan manifestasi Penciptanya yang hakiki. Dengan begitu, ia mendapatkan wujud tak bertepi dan meraih wujud seluruh makhluk.Ya, siapa yang menemukan Allah, maka ia menemukan segala sesuatu. Sebab, seluruh entitas hanyalah manifestasi dari nama-nama-Nya yang mulia.
PENUTUP
Jalan yang terdiri dari empat langkah ini: ketidakberdayaan, kefakiran, kasih sayang, dan tafakkur telah dijelaskan pada dua puluh enam kalimat dari kitab al-Kalimât yang membahas tentang ilmu hakikat, hakikat syariat, dan hikmah al-Qur’an al-Karim. Di sini kami hanya ingin memberikan penjelasan singkat tentang beberapa poin sebagai berikut:
Jalan ini merupakan jalan yang paling singkat. Pasalnya, ia hanya terdiri dari empat langkah. Bila ketidakberdayaan tertanam dalam diri, ia akan segera diserahkan kepada al-Qadîr Yang Mahaagung. Namun bila kerinduan yang menguasai diri—sebagai jalan yang pa- ling pintas menuju Allah—ia akan bergantung pada kekasih majasi. Ketika ia melihatnya pergi, barulah sampai pada kekasih hakiki.
Kemudian jalan ini juga paling selamat. Karena, padanya diri tidak memiliki syatahât atau klaim di luar kemampuan. Sebab, yang dilihat seseorang pada dirinya hanya ketidakberdayaan, kefakiran, dan ketidaksempurnaan, sehingga tidak melampaui batas.
Lalu jalan ini juga bersifat luas dan besar. Pasalnya, ia tidak perlu menafikan entitas dan tidak perlu memenjarakannya di mana penganut wahdatul wujud menganggap entitas tiada. Mereka berkata, “Tiada yang ada kecuali Dia,” untuk mencapai ketenangan dan ke- hadiran hati. Begitu pula dengan penganut wahdatusy syuhûd. Mere- ka memenjarakan entitas dalam penjara kealpaan. Mereka berkata, “Tiada yang terlihat kecuali Dia,” untuk sampai kepada ketenangan kalbu. Adapun al-Qur’an, dengan sangat jelas, menjauhkan entitas dan makhluk dari penafian serta melepaskan ikatannya dari penjara. Jalan yang sesuai dengan pendekatan al-Qur’an ini melihat alam sebagai sesuatu yang tunduk pada Penciptanya Yang Mahaagung sekaligus berkhidmah untuk-Nya. Ia merupakan wujud manifestasi Asmaul Husna laksana cermin yang memantulkan manifestasi tadi. Artinya, ia dipergunakan dengan makna harfi sehingga tidak berkhidmah dan tunduk dengan sendirinya. Dengan demikian, manusia akan selamat dari kelalaian dan kalbunya selalu hadir sesuai dengan pendekatan al-Qur’an al-Karim. Ia pun menemukan jalan menuju Allah dari segala arah.
Kesimpulan Jalan ini tidak melihat entitas dengan makna ismi. Yakni, tidak melihatnya sebagai pesuruh yang tunduk dengan sendirinya untuk dirinya. Namun, ia membebaskan entitas dari semua itu, dan mempersandangkan untuknya sebuah tugas, serta melihatnya sebagai pesuruh yang tunduk kepada Allah.
- ↑ *Pada akhirnya, ia sempurna menjadi sembilan nuktah―Penulis.
- ↑ *HR. Muslim, al-Jumuah 43; Abu Daud, as-Sunnah 5; an-Nasai, al-Idayn 22; Ibnu Majah, al-Muqaddimah 6,7; ad-Darimi, al-Muqaddimah 16 dan 23; al-Musnad, 3/310 dan 371, 4/126 dan 127.
- ↑ *Nuktah ketiga dari ‘Bagian Keempat’ yang tidak dimasukkan dalam buku ini―Peny.
- ↑ *Total jumlah ayat al-Qur’an adalah 6666 dan adanya keterkaitan dengan enam angka dari bilangan asmaul husna yang terdapat di halaman ini menunjukkan sebuah rahasia penting. Hanya saja, sampai saat ini ia masih diabaikan―Penulis.
- ↑ *Rahasia dan hikmah sesuai dengan pembagian setiap lima surah tersebut tel- ah tersingkap. Lalu tanpa kami sadari di sini dituliskan enam surah; bukan lima surah. Karena itu, sudah pasti yang keenam itu masuk tanpa kami sengaja agar hikmah rumus setengah tadi tetap berlaku―Penulis.
- ↑ *Bisa dilihat di penutup ‘mauqif ketiga’ dari “Kalimat Ketiga Puluh Dua” dan ‘kedudukan kedua’ dari “Surat Kedua Puluh”.
- ↑ *Orang-orang malang itu mengira bahwa mereka tidak berada dalam posisi bahaya dengan berpikir, “Hati kami bersama Ustadz.” Namun orang yang mendukung aliran ateis dan tertipu dengan propaganda mereka telah dimanfaatkan untuk menjadi mata-mata tanpa mereka sadari. Ucapan orang yang berada pada posisi bahaya tersebut ”Hatiku masih bersih dan mengikuti manhaj Ustadz,” serupa dengan orang yang menah- an kentut saat salat. Namun tiba-tiba ia kentut sehingga berhadas. Ketika ditegur, “Salatmu sudah batal,” ia menjawab, “Mengapa batal?! Hatiku masih bersih dan suci.” (Penulis).
- ↑ *HR. at-Tirmidzi, Tafsir surat al-Hijr 6; ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir 8/102 dan al-Mu’jam al-Awsath 3/312, 8/23.
- ↑ *Peristiwa 31 Maret 1325 sesuai dengan kalender Romawi adalah peristiwa pem- berontakan militer. Yaitu dimulai dari kamp Taksim di Istanbul. Kemudian pemberon- takan itu menyebar ke berbagai kamp yang lain di kota tersebut. Setelah itu, para pra- jurit pemberontak itu turun ke jalan-jalan, membunuh para menteri, wakil rakyat, dan panglima. Kalau bukan karena pidato yang disampaikan oleh Said Nursi kepada para prajurit di kamp dan barak mereka, mungkin akan terjadi sesuatu yang sangat buruk. Pasalnya, Pidato tersebut berhasil meredakan kemarahan para prajurit pemberontak itu.
- ↑ Hâşiye: İlm-i sarf kaidesince feilün, fe’lün okunur. Ketifün, ketfün okunması gibi. Buna binaen elifün, elfün okunur. O halde 1351 olur.
- ↑ *Maksudnya adalah fatwa mereka yang membolehkan menegakkan syiar agama dengan selain bahasa Arab.
- ↑ *Seperti diketahui, Ustadz Said Nursi termasuk salah seorang pimpinan perang dalam perang dunia pertama. Beliau bersama dengan murid-muridnya ikut serta da- lam perang melawan Rusia. Beliau terluka di perang terakhir yang diikuti. Lalu beliau ditawan oleh pasukan Rusia. Beliau ditawan di tahanan yang terletak di Utara Rusia se- lama dua tahun empat bulan. Tahun 1917 beliau baru bisa melarikan diri seiring dengan munculnya revolusi komunis dan kekacauan di Rusia.
- ↑ *HR. al-Bukhari, Fadhâ`il al-Qur`ân 36, al-Adab 95, at-Tauhid 23; Muslim, az- Zakat 142-148.
- ↑ *HR. al-Ajluni, Kasyf al-Khafa 1/472. Lihat ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Awsath 6/58; al-Baihaqi, Syuab al-Iman 6/117.
- ↑ *Bahkan salah seorang dari keluarga Nabi , yaitu Sayyid Ahmad as-Sanusi, memimpin jutaan murîd. Di antara mereka, Sayyid Idris, memimpin lebih dari seratus ribu umat Islam. Lalu Sayyid Yahya menjadi pimpinan ratusan ribu orang. Begitulah kita melihat banyak keturunan keluarga Nabi seperti tokoh pimpinan tersebut. Belum lagi yang tersembunyi. Begitu pula pemimpin tertinggi seperti Sayyid Abdul Qadir al-Jailani, Sayyid Abul Hasan asy-Syâdzili, sayyid Ahmad al-Badawi, dan yang lain―Penulis.
- ↑ *Talwih adalah penjelasan tambahan pada catatan pinggir dalam sebuah karya tulis.