SURAT KEDUA PULUH SEMBILAN
(Surat kedua puluh sembilan ini menjelaskan sembilan bagian)
BAGIAN PERTAMA
(Terdiri dari sembilan nuktah)
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ
وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَم۟دِهٖ
Saudaraku yang mulia, setia, dan jujur! serta sahabatku yang tulus dan tekun dalam berkhidmah pada al-Qur’an!
Dalam suratmu kali ini, engkau memintaku untuk memberikan jawaban atas sebuah persoalan penting, namun waktu dan kondisiku tidak memungkinkan untuk itu.
Saudaraku, jumlah orang yang menyalin Risalah Nur tahun ini bertambah banyak, alhamdulillah. Koreksian kedua datang kepadaku sehingga membuatku sibuk sepanjang hari. Karena itu, banyak urusan penting yang tertunda. Sebab, menurutku tugas ini lebih penting daripada yang lain. Terutama, pada bulan Sya’ban dan Ramadhan. Oleh karena porsi hati lebih banyak daripada akal, dan jiwa sudah mulai bergejolak, maka persoalan penting ini kutunda ke waktu yang lain. Ketika, dengan rahmat Allah, sesuatu terlintas di dalam hati, aku akan menuliskannya untuk kalian sedikit demi sedikit. Sekarang, aku akan menjelaskan tiga nuktah.(*[1])
Nuktah Pertama:
“Berbagai rahasia al-Qur’an tidak bisa diketahui secara sempurna, dan hakikatnya tidak bisa dijangkau oleh para mufassir.” Konsep ini memiliki dua aspek. Sementara orang-orang yang mengatakannya terbagi dalam dua kelompok:
Kelompok Pertama: kalangan yang berpegang pada kebenaran, berilmu, dan peneliti. Mereka mengatakan, “al-Qur’an merupakan kekayaan besar yang tak pernah habis. Setiap generasi bisa mengambil bagian dari hakikatnya yang tersembunyi di mana hal itu merupakan penyempurna, disertai sikap menerima nash-nash al-Qur’an dan hukumnya yang jelas tanpa ada sikap mencampuri atau menyentuh berbagai hakikat tersembunyi yang menjadi milik generasi lain.”
Ya, berbagai hakikat al-Qur’an semakin jelas seiring dengan perjalanan waktu. Ini bukan berarti meragukan penjelasan hakikat al-Qur’an yang telah disampaikan oleh generasi salaf salih. Sebab, ia merupakan nash yang qath’i dan hal prinsipil yang harus diimani.
Allah berfirman:“Ini adalah lisan (bahasa) Arab yang jelas,” (QS. an-Nahl [16]:103).Ayat di atas menegaskan bahwa makna al-Qur’an sangat jelas.Pesan ilahi, dari awal sampai akhir, berkisar di seputar makna tersebut serta menguatkannya sehingga menjadi sebuah aksioma. Karena itu, menolak sejumlah makna yang didasari dengan nash akan mengantarkan pada sikap mendustakan Allah, dan menganggap rancu pemahaman Rasul.
Dengan kata lain, makna-makna yang didasari dengan nash tersebut terambil dari sumber risalah beliau secara bersanad. Bahkan Ibnu Jarir ath-Thabari menulis tafsirnya yang agung dengan menyandarkan seluruh makna al-Qur’an kepada sumber risalah tersebut.
Kelompok Kedua: mereka adalah “teman yang bodoh” yang lebih banyak merusak daripada memperbaiki, atau “musuh yang licik” yang ingin menentang hukum-hukum Islam dan berbagai hakikat iman. Mereka berusaha menemukan celah dari sejumlah surah al- Qur’an yang keseluruhannya seperti pagar baja dengan maksud untuk membentengi al-Qur’an. Begitulah kata mereka. Mereka menyebarkan berbagai ungkapan semacam itu untuk menanamkan keraguan seputar hakikat iman dan al-Qur’an.
Nuktah Kedua:
Allah telah bersumpah dalam al-Qur’an dengan banyak hal. Sumpah al-Qur’an tersebut berisi sejumlah poin yang sangat penting dan rahasia yang sangat banyak. Di antaranya:
1. Firman Allah dalam surah asy-Syams: “Demi matahari dan sinarnya di pagi hari.” (QS. asy-Syams [91]: 1). Sumpah pada ayat tersebut menjadi petunjuk yang memperlihatkan alam laksana istana dan kota besar di mana ia merupakan landasan dari perumpamaan indah yang terdapat dalam “Kalimat Kesebelas”.
2. Firman Allah dalam surah Yâsîn: “Yâsîn. Demi al-Qur’an yang penuh hikmah.” (QS. Yâsîn [36]: 1-2). Sumpah pada ayat tersebut mengingatkan kesucian ke- mukjizatan al-Qur’an, dan bahwa al-Qur’an merupakan sesuatu yang sangat penting sehingga menjadi alat sumpah.
3. Firman Allah dalam surah an-Najm: “Demi bintang ketika terbenam.” (QS. an-Najm [53]: 1). Sumpah pada ayat tersebut menunjukkan bahwa jatuhnya bintang merupakan tanda terputusnya informasi gaib dari jin dan setan sebagai upaya pencegahan bercampurnya syubhat dengan wahyu ilahi. 4. Firman Allah dalam surah al-Wâqi’ah: “Maka Aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang. Dan sesungguhnya itu benar-benar sumpah yang besar sekiranya kamu mengetahui.” (QS. al-Wâqi’ah [56]: 75-76). Sumpah pada ayat tersebut mengingatkan akan keagu- ngan qudrah Tuhan dan kesempurnaan hikmah-Nya dalam meletakkan bintang pada posisinya dengan sangat sempurna berikut ukurannya yang besar, serta bagaimana Dia menjalankan planet dengan sangat cepat.
5. Firman Allah dalam surah adz-Dzâriyât dan al-Mursalât: “Demi angin (yang menerbangkan debu). ” (QS. adz-Dzâriyât [51]: 1). “Demi malaikat (yang diutus untuk membawa kebaikan).”(QS. al-Mursalât [77]: 1). Sumpah pada dua ayat di atas mengingatkan tentang berbagai hikmah yang agung dalam gerak udara dan pengarahan angin. Pasalnya, Allah bersumpah dengan para malaikat yang diperintah mengarahkan angin. Hal itu mengalihkan perhatian kita kepada urusan yang tadinya dianggap kebetulan, ternyata mengandung sejumlah hikmah yang mendalam dan menunaikan berbagai tugas yang mulia.
Begitulah, Setiap posisi sumpah memiliki kedudukan yang sangat penting. Karena waktu yang ada tidak memungkinkan untuk memberikan penjelasan secara rinci, kami akan menjelaskan secara global satu hal penting dari berbagai hal penting yang dikandung oleh sumpah dalam surah at-Tîn:“Demi buah Tin dan Zaitun.” (QS. at-Tîn [95]: 1).
Lewat sumpah dengan buah Tin dan Zaitun, Allah mengingatkan tentang keagungan qudrah-Nya, kesempurnaan rahmat-Nya, dan kebesaran nikmat-Nya. Dia mengalihkan pandangan manusia yang terperosok ke dalam tingkatan paling rendah dan menunjukkan bahwa manusia mampu mencapai tingkatan maknawiyah yang tinggi. Bahkan, ia bisa naik menuju tingkatan yang paling tinggi lewat syukur, tafakkur, iman, dan amal salih. Penyebutan buah Tin dan Zaitun secara khusus sebagai sumpah di antara berbagai nikmat lainnya adalah karena:
Kedua buah tersebut bermanfaat dan penuh berkah. Penciptaannya dan nikmat yang terdapat di dalamnya sangat besar sehingga perlu mendapat perhatian. Buah Zaitun menjadi landasan penting dalam kehidupan sosial dan bisnis, sebagai sarana pencahayaan, dan sebagai nutrisi bagi manusia. Demikian pula buah Tin. Penciptaan buah Tin menunjukkan salah satu mukjizat qudrah ilahi yang luar biasa. Misalnya, ketika Allah memasukkan berbagai perangkat pohon Tin yang besar ke dalam benihnya yang sangat kecil. Sumpah dengannya juga mengingatkan tentang nikmat-nikmat ilahi yang terdapat pada rasanya, manfaatnya, dan kemunculan buahnya yang terus-menerus; tidak seperti sebagian besar buah yang lain. Pada waktu yang sama, Dia mengarahkan manusia kepada sesuatu yang bisa melindunginya agar tidak terjatuh ke dalam tingkatan yang paling rendah. Yaitu dengan iman dan amal salih.
Nuktah Ketiga:
Huruf-huruf muqatta’at yang terdapat di permulaan sejumlah surah adalah “kode rahasia” ilahi. Dengan huruf-huruf tersebut, Allah memberikan sejumlah isyarat dan petunjuk gaib kepada hamba-Nya yang istimewa. Sedangkan kunci “kode rahasia” tersebut ada pada hamba-Nya yang istimewa itu dan para pewarisnya. Karena al-Qur’an al-Hakim berbicara kepada seluruh golongan manusia pada setiap waktu dan tempat, tentu ia berisi beragam makna dan sisi yang bersifat komprehensif yang bisa memenuhi kebutuhan setiap golongan pada setiap masa. Makna yang paling valid ada- lah yang diterangkan secara jelas oleh generasi salaf saleh. Para wali dan ahli peneliti menemukan sejumlah petunjuk gaib pada huruf- huruf muqatta’at tersebut terkait dengan perjalanan spiritual. Kami telah membahas huruf-huruf tersebut dalam tafsir Isyârât al-I’jâz di permulaan tafsir surah al-Baqarah. Karena itu, pembaca bisa merujuk kepadanya.
Nuktah Keempat:
“Kalimat Kedua Puluh Lima” telah menegaskan bahwa al- Qur’an tidak bisa diterjemahkan dengan sempurna. Gaya bahasanya yang tinggi terkait dengan kemukjizatan maknanya tidak akan bisa diterjemahkan. Sangat sulit memindahkan rasa bahasa (dzauq) dan menjelaskan hakikat yang bersumber dari gaya bahasanya yang tinggi itu. Di sini kami hanya ingin menerangkan satu atau dua sisi darinya. Yaitu, lewat firman Allah berikut ini:
“Di antara tanda kekuasaan-Nya adalah penciptaan langit dan bumi serta perbedaan bahasa dan warna kulit kalian.” (QS. ar-Rûm [30]: 22).“Langit terlipat dalam genggaman tangan kanan-Nya.” (QS. az-Zumar [39]: 67). “Dia menciptakan kalian dalam perut ibu kalian secara bertahap dalam tiga kegelapan.” (QS. az-Zumar [39]: 6). “Dia menciptakan langit dan bumi dalam enam hari.” (QS. al- A’râf [7]: 54).“Dia membatasi antara manusia dan hatinya.” (QS. al-Anfâl [8]:24).“Tidak ada seberat biji atom pun yang tersembunyi dari-Nya.”(QS. Saba [34]: 3). “Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. Dia Maha Mengetahui apa yang terdapat dalam dada manusia.” (QS. al-Hadîd [57]: 6). Ayat-ayat di atas dan yang sejenisnya memberikan satu gambaran hakikat penciptaan dalam satu gaya bahasa yang tinggi, menakjubkan, dan luar biasa.
Ia menjelaskan bahwa sebagaimana Pencipta alam menempatkan matahari dan bulan pada tempatnya, Dia juga menempatkan atom pada tempatnya, di pelupuk mata makhluk misalnya. Dia menempatkan masing-masing pada tempatnya lewat perangkat yang sama dan pada waktu yang bersamaan. Sebagaimana menata langit dalam bentuk berlapis, membukanya dalam bentuk pintu-pintu, dan mengaturnya secara rapi, Dia juga menata lapisan mata dan membuka penutupnya lewat timbangan secara terukur lewat perangkat dan media maknawi yang sama pada waktu yang bersamaan. Sebagaimana meletakkan sejumlah bintang di langit, Dia juga menggoreskan tanda pembeda yang tak terhingga di wajah manusia serta membuka indra lahir dan batin lewat perangkat qudrah maknawi yang sama.
Artinya, demi memperlihatkan perbuatan-Nya kepada seluruh penglihatan dan pendengaran, Sang Pencipta Yang Mahaagung memasukkan satu kata dari ayat-ayat al-Qur’an pada atom dan meletakkannya pada posisinya. Lalu memasukkan kata lain dari ayat yang sama pada matahari dan meletakkan di pusatnya. Dia menjelaskan wâhidiyah dalam ahadiyah, puncak keagungan dalam puncak kein- dahan, puncak kebesaran dalam puncak ketersembunyian, puncak keluasan dalam puncak kecermatan, puncak kemegahan dalam puncak kasih sayang, serta puncak kejauhan dalam puncak kedekatan. Dengan kata lain, Dia memperlihatkan tingkatan paling jauh dalam hal penggabungan sesuatu yang kontradiksi, yang dianggap mustahil, dalam bentuk keniscayaan yang mutlak di mana dengan hal tersebut menetapkan lewat gaya bahasa yang tinggi dan retoris.
Gaya bahasa yang menakjubkan itulah yang membuat para tokoh sastrawan bertekuk lutut di hadapan balagah al-Qur’an.
Misalnya, firman Allah yang berbunyi: “Di antara tanda kekuasaan-Nya, langit dan bumi tegak dengan kehendak-Nya. Kemudian ketika Dia memanggil kalian dengan sekali panggil dari bumi, seketika kalian keluar dari kubur.” (QS. ar-Rûm [30]: 25). Ayat al-Qur’an di atas menerangkan keagungan rububiyah Allah lewat gaya bahasanya yang tinggi.
Yaitu, bahwa langit dan bumi laksana dua kamp pasukan yang sangat taat dan patuh. Ia seperti barak dua pasukan besar yang sangat teratur dan rapi. Entitas di dalamnya yang berbaring dibalik tirai kefanaan dan ketiadaan, dengan sangat cepat disertai ketaatan penuh, melaksanakan satu perintah atau satu isyarat yang berasal dari tiupan sangkakala guna keluar menuju pa- dang mahsyar.
Perhatikan bagaimana ayat al-Qur’an tersebut meng- gambarkan kebangkitan dan kiamat lewat gaya bahasa yang tinggi dan bagaimana ia memberikan dalil yang meyakinkan.
Kondisinya sama seperti benih yang tadinya tersembunyi di dalam tanah seperti orang mati dan tetesan air yang tersimpan di langit dan tersebar dalam butiran udara lalu terkumpul dengan rapi dan cepat untuk kemu- dian keluar ke dunia pada setiap musim semi sehingga benih di tanah dan tetesan air di langit itu berposisi seperti prosesi kebangkitan. Demikianlah kondisi yang terjadi pada hari kebangkitan dengan kemudahan yang sama. Bila hal itu tampak dengan jelas di sini, kalian tidak bisa mengingkari kebangkitan di padang mahsyar.
Demikianlah, berdasarkan penjelasan ayat di atas, kalian bisa menganalogikan tingkatan balagah pada ayat-ayat lainnya.Nah, mungkinkah menerjemahkan ayat-ayat al-Qur’an semacam itu dengan terjemahan yang hakiki dan sempurna? Sudah pasti tidak mungkin. Kalaupun harus diterjemahkan, maka yang bisa dilakukan adalah memberikan makna global ayat atau menafsirkan setiap kalimatnya dalam sekitar enam baris.
Nuktah Kelima:
Sebagai contoh, kita ambil satu frasa al-Qur’an, yaitu: اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ. Salah satu maknanya yang paling singkat sesuai dengan kaidah gramatika dan ilmu bayan adalah:
كُلُّ فَر۟دٍ مِن۟ اَف۟رَادِ ال۟حَم۟دِ مِن۟ اَىِّ حَامِدٍ صَدَرَ وَعَلٰى اَىِّ مَح۟مُودٍ وَقَعَ مِنَ ال۟اَزَلِ اِلَى ال۟اَبَدِ خَاصٌّ وَمُس۟تَحِقٌّ لِلذَّاتِ ال۟وَاجِبِ ال۟وُجُودِ ال۟مُسَمّٰى بِاللّٰهِ
Setiap pujian yang keluar dari siapapun yang memuji untuk objek apapun yang dipuji mulai dari azali hingga abadi semuanya adalah milik Dzat Wajibul wujud, Allah.
Ungkapan “setiap pujian” bersumber dari huruf “إل” yang menunjukkan keseluruhan. Ungkapan “dari siapapun yang memuji” berasal dari kata “الحمد” yang berbentuk masdar (nomina verbal). Pada redaksi semacam itu ia menunjukkan makna yang bersifat umum, sebab pelakunya tidak disebutkan. Ungkapan “untuk objek apapun yang dipuji” menunjukkan makna menyeluruh karena objeknya tidak disebut. Adapun “mulai dari azali hingga abadi” ia menunjukkan kondisi kontinyu dan permanen sesuai dengan kaidah perubahan jumlah fi’liyah kepada jumlah ismiyah.Selanjutnya huruf lâm pada “الله” menunjukkan kekhususan. Kemudian ungkapan “milik Dzat Wajibul wujud, Allah” maka lafal Allah selalu mengarah kepada Dzat Wajibul wujud. Pasalnya, ia lafal yang mencakup seluruh nama dan sifat-Nya. Ia adalah nama-Nya yang paling agung. Sementara, Wajibul wujud melekat pada sifat uluhiyah. Ia simbol bagi Dzat-Nya yang agung.
Jika makna lahiriah yang paling ringkas dari kata “الحمدلله” semacam itu, sebagaimana disepakati oleh pakar bahasa Arab, lalu bagaimana mungkin menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa lain dengan tingkat kemukjizatan dan kekuatan yang sama?
Memang terdapat bahasa yang fasih di antara sekian banyak bahasa di dunia selain bahasa Arab. Namun demikian, ia tetap tidak bisa menyamai komprehensivitas dan universalitas bahasa Arab.Kosakata al-Qur’an yang datang dengan bahasa Arab fasih yang universal dan luar biasa, serta dalam bentuk mukjizat dan berasal dari pengetahuan Dzat yang meliputi segala hal dan menata seluruh urusan, bagaimana mungkin ia bisa disamai oleh susunan dan gramatika bahasa lain dalam bentuk terjemahan makhluk yang akalnya terbatas, perasaannya terbatas, pikirannya tidak stabil, dan kalbunya gelap?
Dengan kata lain, bagaimana mungkin hasil terjemahan bisa menggantikan kalam suci tersebut? Bahkan, aku bisa mengatakan dan membuktikan bahwa setiap huruf al-Qur’an laksana salah satu perbendaharaan hakikat. Bahkan, satu hurufnya saja bisa berisi sejumlah hakikat sebanyak satu halaman penuh.
Nuktah Keenam:
Untuk memperjelas makna di atas, aku akan menyebutkan kondisi bersinar dan imajinasi nyata yang pernah kualami.
Yaitu, penjelasan dari makna kata (نَع۟بُدُ) berikut keterangan tentang sisi rahasianya yang tersembunyi. Suatu ketika aku merenungkan huruf (ن) yang merupakan kata ganti orang pertama pada kalimat (اِيَّاكَ نَع۟بُدُ وَ اِيَّاكَ نَس۟تَعٖينُ). Kalbuku terus mencari sebab perubahan bentuk dari kata ganti orang pertama tunggal kepada plural (نَع۟بُدُ). Tiba-tiba tersingkap fadilah dan rahasia shalat berjamaah dari huruf nun tersebut.
Aku melihat bahwa berkat keikutsertaanku dalam shalat berjamaah di masjid Bayazid, setiap bagian darinya laksana pemberi syafaat bagiku. Aku melihat bahwa setiap orang dari jamaah itu menjadi saksi dan pendukung atas seluruh hukum dan pernyataan dalam bacaanku. Hal itu melahirkan keberanian yang cukup pada diriku untuk mempersembahkan ibadahku yang tidak sempurna, yang bergabung bersama ibadah seluruh jamaah, menuju hadirat ilahi yang suci.
Saat merenungkan hal tersebut, tirai yang lain ikut tersingkap. Aku melihat seakan-akan seluruh masjid di Istanbul saling menyatu sehingga kota itu laksana masjid jami ini. Aku merasa memperoleh doa dari mereka semua berikut pengakuan mereka.
Di sana diriku tampak dikumpulkan dalam barisan melingkar pada masjid muka bumi yang saling terpaut di seputar Ka’bah. Akupun memuji Allah dengan mengucap (اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ رَبِّ ال۟عَالَمٖينَ). Aku bersyukur karena memiliki banyak pemberi syafaat, banyak orang yang ikut membaca bersamaku, sekaligus membenarkanku pada setiap bacaan shalat yang kuucapkan.Aku berpikir, selama tirai telah tersingkap secara imajinatif, lalu Ka’bah yang mulia seperti mihrab bagi penduduk bumi, maka aku harus memanfaatkan kesempatan ini. Kutitipkan intisari iman yang kusebut dalam tasyahhud, “Asyhadu anlâ ilâha illallâh wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah.” Kuserahkan ia sebagai amanah kepada Hajar Aswad seraya menjadikan shaf-shaf yang ada sebagai saksi atasnya. Di sini kondisi yang lain tampak olehku. Aku melihat jamaah yang menjadi tempatku bergabung telah menjadi tiga lingkaran:
Pertama, jamaah besar yang terdiri dari kaum mukmin ahli tauhid yang terdapat di seluruh permukaan bumi.
Kedua, jamaah semua entitas di mana “masing-masing mengetahui shalat dan tasbih-nya.” (QS. an-Nur [24]: 41). Aku melihat diriku bersama dengan shalat dan tasbihnya yang agung. Yang disebut dengan tugas dan kerja sesuatu tidak lain adalah simbol dari ibadah dan ubudiyahnya. Aku menundukkan kepala karena takjub dengan keagungan-Nya seraya mengucap Allahu akbar. Lalu aku memperhatikan dan mengamati jamaah selanjutnya.
Ketiga, aku melihat sebuah alam, mulai dari partikel wujudku hingga indra lahiriahku (panca indra). Ia adalah alam yang kecil. Namun ia demikian agung sehingga melahirkan decak kagum. Ia adalah alam yang secara lahiriah sangat kecil, namun hakikatnya amat agung dan tugasnya sungguh mulia. Ya, aku melihat seluruh jamaah alam ini sibuk dengan tugas-tugas pengabdiannya dan kewajiban syukurnya. Aku melihat bahwa latifah rabbaniyah yang terdapat pada lingkaran di hatiku terus-menerus mengucap اِيَّاكَ نَع۟بُدُ وَ اِيَّاكَنَس۟تَعٖينُ atas nama jamaah, sebagaimana ia juga terus diucapkan oleh lisanku atas nama dua jamaah agung pertama.
Kesimpulannya, huruf (ن) pada kata (نَع۟بُدُ) menunjuk kepada tiga jamaah tadi.
Saat aku berada dalam kondisi tersebut, sosok maknawi penuh berkah dari penyampai al-Qur’an al-Karim berada di hadapanku dalam kondisi mulia dan penuh wibawa. Ia adalah Rasulullah yang berada di mimbar maknawinya (Madinah al-Munawwarah). Sebagaimana yang lain, aku mendengar beliau berkhutbah dan memberikan arahan “Wahai manusia, beribadahlah kepada Tuhanmu...” (QS. al-Baqarah [2]: 21). Secara imajiner aku melihat setiap orang yang terdapat dalam ketiga jamaah di atas merespon pesan rabbani yang agung itu dengan berkata“Hanya kepada-Mu kami beribadah”. Selanjutnya, hakikat yang lain hadir dalam pikiranku sesuai dengan kaidah: “Bila sesuatu datang, ia datang bersama sejumlah hal yang menyertainya.” Hakikat yang dimaksud adalah:
Selama Tuhan Pencipta alam menjadikan manusia sebagai penerima pesan-Nya, kemudian berbicara dengan seluruh entitas, lalu Rasul benar-benar menyampaikan pesan rabbani yang agung tersebut kepada seluruh manusia; bahkan kepada seluruh makhluk yang memiliki perasaan dan bernyawa, maka sudah pasti masa lalu dan masa mendatang menjadi seperti masa sekarang. Seluruh umat manusia laksana sebuah majelis dan sebuah jamaah dalam barisan yang beragam di mana pesan itu ditujukan kepada mereka semua.
Lalu tampak padaku setiap ayat al-Qur’an berada dalam puncak balagah dan kefasihan, serta benar-benar merupakan mukjizat yang cahayanya bersinar terang. Ayat al-Qur’an begitu tinggi, mulia, dan kuat karena bersumber dari kedudukan yang mulia tersebut yang keagungannya tak bertepi, keluasannya tak berujung, dan ketinggiannya tak berakhir. Ia berasal dari Dzat Yang Maha Mulia dan Agung; dari Sang Pembicara azali.
Juga, karena berasal dari sang penyampai yang merupakan kekasih-Nya, pemilik kedudukan mulia dan derajat yang tinggi. Lalu ia ditujukan kepada umat yang jumlahnya sangat banyak, penting, dan beragam. Karena itu, aku merasa bahwa bukan hanya keseluruhan al-Qur’an yang menjadi mukjizat. Bahkan setiap surah dan setiap ayatnya juga mukjizat. Lebih dari itu, setiap katanya pun mukjizat. Oleh sebab itu, kuucapkan alhamdulillah atas nikmat iman dan al- Qur’an.
Dengan itu, aku keluar dari khayalan yang merupakan sebuah hakikat, sebagaimana ketika masuk ke dalamnya lewat huruf nun dari na’budu. Aku memahami bahwa bukan hanya al-Qur’an dan kosakatanya yang menjadi mukjizat. Namun huruf-huruf al-Qur’an punseperti huruf nun pada kata na’budu—juga merupakan kunci hakikat agung yang bersinar.
Setelah kalbu dan imajinasi ini keluar dari nun pada kata na’budu, ia disambut oleh akal seraya berkata: Aku menuntut bagianku dari apa yang kalian dapatkan. Aku tidak bisa terbang seperti kalian. Aku hanya bisa berjalan dengan kaki dalil dan argumen. Perlihatkanlah padaku jalan yang terdapat pada (نَع۟بُدُ) dan (نَس۟تَعٖينُ) yang bisa mengantarkanku sampai pada “Dzat yang disembah dan yang dimintai pertolongan” sehingga aku bisa menyertai kalian.
Pada saat itu muncul lintasan dalam kalbu:
Katakan pada akal yang sedang bingung itu agar ia mengamati semua entitas alam, baik yang hidup maupun yang mati. Masing-masing menunjukkan ubudiyah dalam bentuk sebuah tugas yang sangat rapi dalam kondisi yang sangat patuh.Meskipun sebagian entitas tersebut tidak memiliki indra dan perasaan, namun ia melaksanakan amal dan tugasnya dengan sangat patuh, teratur, dan penuh kesadaran.
Dengan demikian, sudah pasti Tuhan Yang Disembah dan Pemberi perintah, menundukkan semua entitas itu dan menggiringnya kepada ubudiyah.Lalu katakan pula agar ia merenungkan semua entitas, terutama makhluk hidup. Masing-masing memiliki kebutuhan yang banyak dan beragam. Masing-masing memiliki banyak permintaan guna menjaga eksistensi kehidupan dan keberadaannya. Sementara di sisi lain ia tak mampu menjangkau kebutuhan yang paling sederhana sekalipun. Hal itu berada di luar kemampuannya.
Seketika kita menyaksikan bagaimana kebutuhan yang tak terhingga tersebut dengan mudah datang dari tempat yang tak terduga pada waktu yang paling baik dan paling tepat. Kebutuhan entitas yang tak terhingga itu, serta pertolongan gaib dan curahan rahmat-Nya itu dengan jelas menunjukkan bahwa ia memiliki Dzat Pemberi rezeki yang melindunginya. Dia adalah Dzat Yang Mahakaya, Maha Pemurah, dan Mahakuasa yang menjadi tempat meminta setiap entitas dan setiap makhluk dengan mengharap bantuan dan karunia-Nya. Dengan kata lain, setiap entitas, baik secara langsung maupun tidak langsung, berucap “Hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan”.
Di situlah akal menjadi tunduk seraya berkata, “Kami beriman dan percaya.”
Nuktah Ketujuh:
Setelah itu, saat membaca اِه۟دِنَا الصِّرَاطَ ال۟مُس۟تَقٖيمَ صِرَاطَ الَّذٖينَ اَن۟عَم۟تَ عَلَي۟هِم۟ aku melihat sejumlah rombongan manusia yang pergi menuju masa lalu. Kusaksikan rombongan nabi yang mulia, golongan shiddiqin, syuhada, dan orang-orang salih merupakan rombo- ngan yang paling bercahaya. Sampai-sampai cahayanya melenyapkan pekatnya masa depan seraya meniti jalan yang lurus dan besar yang membentang menuju keabadian. Kalimat tersebut memperlihatkan jalan untuk bisa menyusul golongan beruntung itu, bahkan membuatku bisa mencapai mereka.
Aku pun mengucap “Subhânallah!”. Alangkah ruginya dan sungguh celaka orang-orang yang tidak mau menyusul rombongan bercahaya tersebut di mana mereka telah berlalu dengan selamat dan aman, berhasil menghapus tirai kegelapan, dan menyinari masa depan. Orang yang memiliki perasaan sedikit saja, tentu dapat memahami hal ini.Mereka yang tidak mau mengikuti jalan rombongan tersebut dengan melakukan berbagai bid’ah, bagaimana mungkin mendapat cahaya yang bisa menerangi?! Ke mana mereka akan berjalan?!
Teladan kita, Rasul, bersabda:
“Setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan berada di neraka.”(*[2])
Orang-orang yang layak disebut sebagai ulamâus-sû adalah golongan yang celaka. Maslahat apa yang mereka dapat ketika melawan hadis di atas dalam fatwa yang mereka berikan di mana mereka menentang syiar-syiar Islam yang sudah jelas berikut bahaya yang terdapat di dalamnya, padahal tidak dalam kondisi darurat. Mereka memandang syiar-syiar Islam itu dapat diubah begitu saja. Kalaupun ada, bisa jadi sesuatu yang temporer yang berasal dari sinar makna temporer itulah yang telah menipu mereka.
Misalnya, ketika kulit binatang diambil atau kulit buah dikupas, di awal ia tampak segar. Namun tidak lama kemudian daging segar dan buah tadi segera menghitam. Hal itu akibat dari bungkus atau tutup yang tidak alami dan asing sehingga keduanya membusuk.
Begitupula ungkapan ilahi dan nabawi yang terdapat dalam syiar Islam laksana kulit hidup yang berpahala. Saat dicopot, seberkas cahaya maknanya akan tampak untuk sementara. Namun ruh makna yang penuh berkah terbang menghilang sebagaimana hilangnya kesegaran dari buah yang sudah dikupas. Ia menyisakan redaksi dan ungkapan manusia di hati dan akal yang gelap. Kemudian pergi dan cahayanya menghilang. Yang tersisa hanyalah asap. Begitulah kondisinya.
Nuktah Kedelapan:
Salah satu rambu hakikat yang terkait dengan masalah ini perlu dijelaskan. Yaitu bahwa dalam syariat Islam terdapat dua macam hak:
“hak pribadi” dan “hak bersama” yang dianggap sebagai hak Allah. Di antara masalah agama, ada yang terkait dengan pribadi dan ada pula yang terkait dengan masyarakat secara umum. Jenis ini disebut dengan nama “syiar Islam”. Secara umum, setiap orang memiliki bagian dari jenis ini. Sebab, ia terkait dengan semua. Intervensi apapun terhadap jenis ini dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak manusia secara umum selama mereka tidak rida.
Masalah terkecil dari syiar tersebut sekalipun (misalnya yang termasuk sunnah) tetap dianggap penting. Pasalnya ia terkait secara langsung dengan seluruh dunia Islam.Hendaknya pihak-pihak yang berusaha memutus, dan bekerjasama meruntuhkan, rangkaian bercahaya tersebut di mana ia terpaut dengan seluruh tokoh penting Islam sejak masa generasi terbaik hingga sekarang, dapat memahami hal ini dengan baik. Hendaknya mereka sadar bahwa mereka telah melakukan kesalahan besar. Bila mereka memang memiliki perasaan, mereka seharusnya gemetar untuk melakukan kesalahan tersebut.
Nuktah Kesembilan:
Ada bagian dari persoalan agama yang disebut dengan masalah ta’abbudi. Bagian ini tidak terkait dengan logika dan dikerjakan sesuai perintah. Sebab, yang menjadi illat (sebab) adalah perintah ilahi.
Sementara bagian yang lain disebut ma’qûlul-ma’nâ (memiliki makna logis dan dapat dinalar). Ia memiliki hikmah dan maslahat yang membuatnya sangat layak untuk disyariatkan. Namun demikian, hikmah tersebut bukan merupakan illat pensyariatan, karena sebab hakikinya tetap perintah dan larangan Tuhan.
Syiar Islam yang termasuk ta’abbudi sama sekali tidak bisa diubah oleh hikmah dan maslahat. Sebab, unsur dominannya adalah pengabdian dan ubudiyah. Karena itu, ia tidak bisa diintervensi. Meskipun misalnya terdapat seratus ribu maslahat dan hikmah, ia tidak bisa diubah sedikitpun. Juga tidak bisa dikatakan bahwa man- faat dari syiar agama hanyalah maslahat yang diketahui itu semata. Ini adalah pemahaman yang keliru. Sebab, maslahat yang sudah diketa- hui tadi bisa jadi hanya salah satu dari sekian banyak hikmahnya.
Misalnya, kalau ada yang berkata bahwa hikmah adzan adalah panggilan untuk shalat. Maka dengan begitu berarti ia bisa digan- tikan dengan suara tembakan. Orang bodoh itu tidak mengetahui kalau “panggilan untuk shalat” hanya salah satu dari ribuan hikmah adzan. Bahkan walaupun suara tembakan tadi memberikan maslahat yang dimaksud, ia tidak bisa menggantikan posisi adzan yang merupakan sarana untuk menyuarakan tauhid yang merupakan buah terbesar dari penciptaan alam dan penciptaan spesies manusia. Adzan juga merupakan sarana untuk memperlihatkan ubudiyah di hadapan rububiyah ilahi atas nama seluruh orang di negeri tersebut, atau atas nama seluruh umat manusia.
Kesimpulannya, neraka bukanlah sesuatu yang tidak perlu. Pasalnya, banyak hal yang sangat menuntut keberadaan neraka. Sebaliknya, surga juga tidaklah murah. Namun ia menuntut harganya yang mahal.
“Tidak sama antara penghuni neraka dan penghuni surga. Penghuni surga itulah yang mendapat kemenangan.” (QS. al-Hasyr [59]: 20).
BAGIAN KEDUA (Risalah Kedua)
Risalah Ramadhan
Uraian singkat mengenai syiar-syiar Islam telah dibahas pada penutup bagian pertama. Karena itu, pada bagian kedua ini akan dijelaskan sejumlah hikmah yang terkait dengan puasa di bulan Ramadhan yang penuh berkah di mana ia merupakan syiar yang paling cemerlang dan mulia.
Bahasan ini berisi uraian tentang sembilan nuktah yang menerangkan sembilan dari sekian banyak hikmah puasa Ramadhan.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ
“Bulan Ramadhan (adalah bulan) yang di dalamnya al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia serta sebagai penjelasan tentang petunjuk dan pembeda (antara yang hak dan batil)” (QS. al-Baqarah [2]: 185).
Nuktah Pertama
Puasa bulan Ramadhan termasuk rukun utama di antara rukun Islam yang lima. Ia juga termasuk syiar Islam yang paling agung.
Di samping ditujukan untuk menampakkan rububiyah Allah , sebagian besar hikmah puasa Ramadhan ditujukan untuk kehidupan sosial dan pribadi manusia, untuk pembinaan dan penyucian jiwa, serta ditujukan untuk mensyukuri berbagai nikmat ilahi.
Salah satu dari sekian banyak hikmah yang memperlihatkan rububiyah Allah lewat puasa adalah sebagai berikut:
Allah telah menciptakan muka bumi sebagai hidangan yang penuh dengan nikmat tak terhingga. Dia menyiapkannya dengan sangat menakjubkan di mana sama sekali tidak pernah diperkirakan oleh manusia. Dengan kondisi tersebut, Allah menjelaskan kesem- purnaan rububiyah-Nya serta sifat kasih dan sayang-Nya. Hanya saja karena tertutup oleh hijab kelalaian dan tirai sebab, manusia tidak bisa melihat hakikat yang sangat jelas tersebut dengan sebenarnya, atau kadangkala melupakannya.
Namun pada bulan Ramadhan yang penuh berkah, kaum beriman seketika menjadi seperti pasukan besar yang teratur. Mereka mengenakan selendang ubudiyah kepada Allah dan berada dalam posisi siap berbuka guna menyambut undangan ilahi, “Silahkan” menuju jamuan-Nya yang mulia. Dengan kondisi tersebut, rahmat Tuhan yang mulia dan komprehensif itu mereka sambut dengan ubudiyah yang luas, rapi, dan agung. Apakah menurutmu mereka yang tidak ikut serta dalam ubudiyah mulia itu layak disebut sebagai manusia?
Nuktah Kedua
Terdapat banyak hikmah yang di dalamnya puasa Ramadhan membuat makhluk mensyukuri berbagai nikmat Allah. Di antaranya:
Seperti yang disebutkan pada “Kalimat Pertama”, makanan yang dibawa oleh seorang pelayan dari dapur raja tentu sangat bernilai. Tentu sangat bodoh jika ada yang tidak menghargai makanan tersebut dan tidak mengenal pemberi yang sebenarnya, malah si pelayan itu yang diberi hadiah dan balasan. Begitu pula dengan makanan dan nikmat tak terhingga yang Allah hamparkan di muka bumi. Sudah pasti Dia menuntut harganya dari kita. Yaitu bersyukur kepada-Nya atas segala nikmat tadi. Sementara berbagai sebab lahiri- ah dan para pemiliknya hanya laksana para pelayan. Nah, Kita memberikan harganya kepada para pelayan serta merasa berutang budi kepada mereka. Bahkan kita menunjukkan rasa hormat dan terima kasih lebih dari yang semestinya. Padahal, Pemberi nikmat hakiki yang layak mendapat puncak syukur dan pujian daripada sebab-sebab.
Jadi, mengungkapkan syukur kepada Allah adalah dengan menyadari bahwa nikmat tersebut secara langsung bersumber dari-Nya, menghargai nilainya, serta merasa butuh kepadanya.
Karena itu, puasa di bulan Ramadhan merupakan kunci syukur yang hakiki, tulus, dan agung serta bersifat menyeluruh. Sebab, sebagian besar manusia tidak mengetahui nilai nikmat yang demikian banyak lantaran tidak merasakan pedihnya rasa lapar. Misalnya orang yang kenyang, terutama kalangan yang kaya, tidak dapat mengetahui nilai nikmat yang terdapat pada sekerat roti kering. Namun orang mukmin di saat berbuka dapat merasakannya sebagai nikmat ilahi yang sangat berharga. Indra pengecapnya menjadi saksi atas hal itu. Oleh sebab itu, mereka yang berpuasa di bulan Ramadhan, mulai dari pemimpin sampai kepada kalangan yang paling miskin, memperoleh syukur maknawi dengan menyadari nilai nikmat tersebut.Sikap manusia yang menahan diri untuk tidak menyentuh makanan di siang hari membuatnya dapat mengetahui kalau ia benar-benar merupakan nikmat. Pasalnya, ia berbisik kepada dirinya, “Nikmat ini bukan milikku. Aku tidak bebas mengonsumsinya. Jadi ia milik pihak lain. Nikmat tersebut adalah bentuk karunia dan kemurahan-Nya atas kita. Sekarang aku sedang menantikan perintah-Nya.” Dengan cara semacam ini berarti manusia menunaikan syukur mak- nawi.
Dengan demikian, puasa berposisi sebagai kunci syukur―dilihat dari berbagai sisi―yang merupakan tugas hakiki manusia.
Nuktah Ketiga
Salah satu hikmah puasa di antara sekian banyak hikmahnya yang tertuju kepada kehidupan sosial manusia adalah sebagai berikut:
Manusia diciptakan dalam kondisi kehidupan yang berbeda-beda. Karena itu, Allah menyeru kalangan kaya untuk memberi bantuan kepada mereka yang miskin. Nah, tentu kalangan kaya tidak dapat merasakan kondisi miskin yang menumbuhkan rasa kasihan, juga tidak dapat merasakan derita lapar yang mereka alami secara sempurna kecuali lewat rasa lapar yang dilahirkan dari puasa. Andaikan tidak ada puasa, tentu banyak orang kaya yang menuruti hawa nafsu tidak mengetahui sejauh mana pedihnya rasa lapar dan hidup miskin serta sejauh mana fakir miskin membutuhkan kasih sayang. Oleh karena itu, rasa kasihan terhadap sesama yang terdapat dalam diri manusia menjadi salah satu faktor yang melahirkan sikap syukur hakiki. Pasalnya, setiap individu dapat menemukan orang yang lebih miskin darinya dari satu sisi, di mana ia diwajibkan untuk mengasihinya.
Tanpa ada keharusan bagi diri ini untuk ikut merasakan pedihnya rasa lapar, tentu tidak akan ada yang berbuat baik kepada orang lain dengan tolong-menolong dalam ikatan kasih sayang terhadap sesama manusia. Kalaupun hal itu dilakukan pasti hanya sekadarnya. Sebab, ia tidak merasakan dengan sebenarnya kondisi tersebut dalam dirinya.
Nuktah Keempat
Puasa Ramadhan dilihat dari sisi pembinaan terhadap jiwa manusia memiliki sejumlah hikmah. Di antaranya adalah:
Secara fitrah, jiwa manusia cenderung ingin bebas merdeka tanpa ikatan. Bahkan ia merasa berkuasa atas dirinya sendiri dan bebas bergerak sesuka hati. Ia tidak mau berpikir bahwa dirinya tumbuh besar lewat berbagai karunia ilahi yang tak terhingga. Terutama jika ia memiliki kekayaan berlimpah dan kekuasaan di dunia. Hal itu ditopang dan didukung oleh kelalaian yang ada. Karenanya, ia mere- guk nikmat ilahi dengan cara merampas dan mencuri laksana hewan.
Akan tetapi, pada bulan Ramadhan yang penuh berkah jiwa setiap manusia menjadi sadar, mulai dari yang paling kaya hingga yang paling miskin bahwa dirinya bukan pemilik; tetapi dimiliki, juga tidak bebas merdeka; tetapi hamba yang diperintah. Karena itu, ia tidak bisa melakukan pekerjaan yang paling sepele sekalipun tanpa perintah. Bahkan mengambil dan meminum air sekalipun. Dengan demikian, perasaannya sebagai penguasa atas dirinya lenyap. Ia terikat oleh jerat ubudiyahnya kepada Allah dan masuk ke dalam wilayah tugas utamanya, yaitu bersyukur.
Nuktah Kelima
Puasa Ramadhan memiliki banyak hikmah dilihat dari tujuannya dalam mendidik nafsu ammârah, dalam meluruskan akhlaknya, dan dalam menjadikannya menjauhi berbagai perbuatan yang tidak jelas.
Kami hanya akan menyebutkan satu darinya. Yaitu bahwa nafsu manusia cenderung lupa kepada jati dirinya. Ia tidak melihat kelemahan tak terhingga, kefakiran tak bertepi, dan berbagai kekurangan yang terdapat dalam dirinya. Bahkan ia tidak mau melihat semua itu, tidak mau merenungkan puncak kelemahannya, kondisinya yang akan lenyap, serta berbagai kesulitan yang akan ia hadapi. Ia juga lupa kalau dirinya berasal dari daging dan tulang yang cepat rusak dan hancur. Ia merasa seolah-olah wujudnya berasal dari baja, tidak akan pernah mati, dan akan kekal abadi. Karena itu, engkau melihat- nya menyambar dunia dan melemparkan diri ke dalamnya dengan rasa tamak disertai dengan kecintaan buta terhadapnya. Ia mengu- atkan cengkeramannya terhadap segala hal yang dirasa nikmat dan berguna. Akibatnya, ia lupa kepada Sang Pencipta Yang telah mendidiknya dengan penuh kasih sayang. Ia juga melupakan balasan amal perbuatannya dan kehidupan akhiratnya sehingga terjatuh ke dalam akhlak tercela.
Namun puasa Ramadhan membuat manusia yang paling lalai dan membangkang dapat merasakan kelemahan, ketidakberdayaan, dan kefakirannya. Lewat rasa lapar, masing-masing mereka memikirkan perutnya yang kosong sekaligus menyadari rasa butuh yang terdapat dalam perutnya itu serta menyadari sejauh mana kelemahan dan kebutuhannya terhadap rahmat dan kasih sayang ilahi. Dari lubuk hatinya, ia ingin mengetuk pintu ampunan Tuhan dengan segala kelemahan dan kefakiran yang ada seraya melepaskan sifat keangkuhan dalam jiwanya. Lalu dengan itu ia bersiap-siap mengetuk rahmat ilahi dengan tangan syukur maknawi, selama kelalaian tidak merusak mata hatinya.
Nuktah Keenam
Di antara sekian banyak hikmah puasa Ramadhan yang tertuju kepada turunnya al-Qur’an dan bahwa bulan Ramadhan merupakan waktu turunnya yang terpenting, adalah sebagai berikut:
Karena al-Qur’an telah turun pada bulan Ramadhan yang penuh berkah, maka jiwa harus bersih dari berbagai keinginan hina dan jauh dari berbagai perkara buruk guna bersiap-siap menyambut kalam samawi tersebut dengan baik. Yaitu dengan menghadirkan hati pada saat turunnya di bulan ini serta menyerupai kondisi malaikat dengan tidak makan dan tidak minum, membaca al-Qur’an al-Karim seakan-akan ayat-ayat baru turun kembali, menyimaknya dengan khusyuk, serta mendengarkan pesan ilahi tersebut agar bisa meraih kondisi spiritual yang mulia seakan-akan si pembaca mendengar langsung dari Rasul. Atau, seakan-akan ia mendengarnya dari Jibril. Atau bahkan mendengarnya dari Sang Penutur Azali, Allah.
Kemudian ia menyampaikan dan membacakannya kepada orang lain seraya menjelaskan salah satu hikmah turunnya. Pada bulan Ramadhan yang penuh berkah dunia Islam berubah menjadi seperti masjid. Ia sungguh merupakan masjid besar yang setiap sudutnya bergemuruh oleh jutaan penghafal al-Qur’an. Mereka membacakan firman ilahi tersebut dan memperdengarkannya kepada seluruh penduduk bumi. Dengan sangat indah dan terang, bulan Ramadhan memperlihatkan kebenaran ayat yang berbunyi:“Bulan ramadhan (adalah bulan) yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an.” (QS. al-Baqarah [2]: 185). Hal itu menegaskan bahwa bulan Ramadhan benar-benar merupakan bulan al-Qur’an. Adapun kelompok lain dari jamaah yang besar tersebut ada yang mendengar para penghafal al-Qur’an dengan penuh khusyuk dan ada pula yang membaca ayat-ayat al-Qur’an untuk dirinya sendiri. Bukankah menjauhkan diri dari masjid suci tersebut karena sibuk mencari makan dan minum guna menuruti nafsu ammârah merupakan sikap yang sangat jelek dan buruk?! Bukankah ia akan sangat dibenci oleh jamaah masjid di atas?! Demikianlah kondisi orang-orang yang berseberangan dengan kalangan yang berpuasa di bulan Ramadhan. Secara moril mereka akan dihinakan dan dikucilkan oleh seluruh dunia Islam.
Nuktah Ketujuh
Dilihat dari keberadaannya dalam memberikan keuntungan bagi manusia di mana manusia datang ke dunia untuk bercocok tanam dan berbisnis untuk akhirat, puasa Ramadhan memiliki sejumlah hikmah. Namun kami hanya akan menyebutkan salah satu darinya, yaitu sebagai berikut:
Pahala amal di bulan Ramadhan dilipatgandakan hingga seribu kali. Setiap huruf al-Qur’an memiliki sepuluh pahala, dihitung sebagai sepuluh kebaikan, dan mendatangkan sepuluh buah surga sebaga- imana disebutkan dalam hadis Nabi. Pada bulan Ramadhan setiap huruf menghasilkan seribu pahala; bukan lagi sepuluh. Setiap huruf dari ayat-ayat tertentu—seperti ayat Kursi—mendatangkan ribuan pahala. Pahala tersebut semakin bertambah pada hari-hari jumat di bulan Ramadhan. Serta, ia bisa mencapai tiga puluh ribu pahala pada malam “Laylatul Qadr”.
Ya, al-Qur’an al-Hakim yang setiap hurufnya memberikan tiga puluh ribu buah abadi menjadi pohon bersinar—seperti pohon Tuba surga—di mana kaum beriman di bulan Ramadhan meraih buah kekal abadi yang terhitung jutaan. Renungkan dan perhatikan dengan seksama bisnis suci, kekal, dan menguntungkan itu. Lalu bayangkan mereka yang tidak mengetahui nilai dari huruf-huruf suci tersebut. Betapa ia sangat merugi!
Demikianlah, bulan Ramadhan yang penuh berkah laksana galeri bisnis ukhrawi atau pasar yang sangat dinamis. Ia bagaikan tanah yang sangat subur untuk menghasilkan berbagai panenan ukhrawi. Ia seperti hujan yang turun pada bulan April untuk menumbuhkan dan memberikan keberkahan kepada amal manusia. Ia juga laksana festival besar dan hari raya suci yang menggelar ritual ubudiyah manusia terhadap kekuasaan rububiyah ilahi. Karena itu, manusia diberi kewajiban berpuasa agar tidak berkutat pada berbagai kebutuhan hewani seperti makan, minum, dan berbagai kebutuhan nafsu lainnya yang dibarengi dengan kelalaian. Juga, agar ia tidak terjerumus ke dalam syahwat hawa nafsu dan berbagai urusan yang tidak berguna.Dengan berpuasa, ia laksana cermin yang memantulkan sifat shamdâniyah Tuhan di mana untuk sementara waktu ia keluar dari tabiat hewani dan masuk ke dalam kondisi yang menyerupai malaikat. Atau, ia menjadi sosok ukhrawi dan rohani yang tampak pada fisik dengan masuk ke dalam bisnis akhirat dan melepaskan berbagai kebutuhan duniawi yang bersifat temporer.
Ya, Ramadhan yang penuh berkah membuat orang yang berpuasa di dunia fana dan kehidupan singkat ini mendapatkan umur yang kekal dan kehidupan abadi.
Satu bulan Ramadhan saja dapat membe- rikan berbagai buah usia yang mendekati delapan puluh tahun.
Keberadaan “Laylatul Qadr” yang lebih baik daripada seribu bulan sesuai dengan bunyi nash al-Qur’an merupakan argumen yang kuat atasnya.
Seorang raja dapat menetapkan beberapa hari dalam masa pemerintahannya atau setiap tahun, entah atas nama pencapaian puncak pemerintahan atau hari besar lainnya bagi negaranya, dengan menjadikan hari tersebut sebagai momen dan hari raya bagi rakyatnya, yang ketika itu ia tidak memberlakukan hukum yang biasanya berlaku terhadap mereka yang setia. Namun ia menjadikan mereka sebagai objek dari kebaikan dan karunianya yang istimewa. Ia mengundang mereka ke kantornya secara langsung tanpa hijab, memberikan perlindungan khusus, menghadirkan sebuah penghormatan dan prosedur yang tak seperti biasanya, serta mempersembahkan berbagai bentuk kemurahannya kepada mereka.
Demikian pula dengan Tuhan Yang Mahakuasa, Yang Mahaagung, dan Maha Pemurah. Dia adalah Penguasa abadi dan azali. Dia Penguasa delapan belas ribu alam. Pada bulan Ramadhan, Dia menurunkan al-Qur’an al-Hakim yang merupakan firman termasyhur- Nya yang tertuju kepada ribuan alam itu. Karena itu, kedatangan bulan Ramadhan laksana hari raya ilahi yang istimewa, pameran rabbani, serta majelis ruhani. Hal itu merupakan bagian dari tuntutan hikmah-Nya. Ketika bulan Ramadhan mencerminkan hari raya yang memberikan kegembiraan seperti itu, tidak aneh kalau di dalamnya terdapat perintah puasa agar pada tingkat tertentu manusia bisa mengalahkan berbagai kesibukan hewaninya yang rendah.
Kesempurnaan puasa terwujud ketika seluruh indra manusia seperti mata, telinga, kalbu, khayalan, dan pikiran juga ikut berpuasa sebagaimana yang dilakukan oleh perut. Yaitu dengan menjauhkan seluruh indra dari semua larangan dan sesuatu yang tidak berguna sekaligus mendorongnya untuk menunaikan ibadahnya masing-masing.
Misalnya, melatih lisan untuk berpuasa dari perkataan dusta, gibah, dan berbagai ungkapan kotor. Serta membasahinya dengan bacaan al-Qur’an, zikir, tasbih, tahmid, salawat dan salam kepada Rasul, istigfar, dan berbagai zikir lainnya.
Misalnya, menundukkan pandangan dari segala yang diharamkan, menutup telinga dari mendengar ucapan buruk, mendorong mata untuk melihat dengan penuh perenungan, mendorong telinga untuk mendengar perkataan yang benar dan al-Qur’an, serta menjadikan seluruh indranya dalam kondisi berpuasa. Jika perut yang merupakan pabrik yang sangat besar diistira- hatkan dengan puasa, maka pabrik-pabrik kecil lainnya menjadi mudah pula untuk diistirahatkan.
Nuktah Kedelapan
Salah satu hikmah dari sekian banyak hikmah puasa Ramadhan yang terkait dengan kehidupan pribadi manusia terangkum sebagai berikut:
Puasa merupakan salah satu bentuk pengobatan ampuh bagi manusia, yaitu sebagai “diet” jasmani dan ruhani. Hal itu telah diakui oleh ilmu kedokteran. Sebab, ketika nafsu manusia ingin bebas dalam urusan makan dan minum, ia akan mendatangkan sejumlah bahaya fisik dalam kehidupan pribadinya. Demikian halnya ketika manusia melahap apa yang berada di hadapannya tanpa peduli apakah halal atau haram, maka ia akan meracuni kehidupan maknawinya hingga nafsunya sulit untuk taat kepada kalbu dan ruh. Nafsu ini mengambil alih kendali dengan bebas merdeka tanpa mengetahui arah tujuan. Manusia tak bisa lagi mengendalikannya, malah ia yang mengendalikan manusia.
Adapun pada bulan Ramadhan, nafsu manusia terbiasa melaku- kan sejenis diet lewat puasa dan berusaha dengan sungguh-sungguh melakukan penyucian dan latihan serta belajar untuk menaati perintah. Karena itu, ia tidak terkena berbagai penyakit yang diakibatkan oleh penuhnya perut dan penumpukan makanan. Ia siap mendengar sejumlah perintah yang bersumber dari akal dan syariat. Ia juga tidak mau jatuh ke dalam hal yang haram lewat upayanya meninggalkan yang halal. Serta ia berusaha tidak merusak kehidupan maknawinya.
Kemudian, pada umumnya kebanyakan orang akan diuji dengan rasa lapar. Karena itu, mereka membutuhkan latihan. Yaitu dengan cara lapar yang melatih manusia untuk bisa bersabar dan bertahan. Puasa Ramadhan merupakan bentuk latihan, pembiasaan, dan kesabaran menahan lapar sepanjang lima belas jam atau dua puluh empat jam bagi yang tidak bersahur. Jadi, puasa merupakan terapi ampuh untuk mengobati ketidaksabaran dan ketidaktangguhan manusia yang melipatgandakan berbagai musibah yang menimpanya.
Di samping itu, perut berposisi seperti pabrik yang memiliki banyak pekerja dan pelayan. Dalam diri manusia terdapat sejumlah perangkat yang memiliki hubungan dengannya. Jika nafsu tidak diistirahatkan sejenak di waktu siang selama satu bulan tertentu, ia akan membuat para pekerja dan pelayan tadi lupa terhadap ibadah mereka, membuat mereka sibuk dengan keinginannya, serta menjadikan mereka berada di bawah kendalinya. Hal ini tentu akan membingungkan perangkat dan indra di atas serta mengacaukannya disebabkan oleh suara bising pabrik dan asapnya yang tebal. Semua pandangan akan tertuju padanya sehingga lupa kepada tugas mulia yang ada. Karena itu, banyak para wali yang saleh biasa melatih diri untuk makan dan minum sedikit guna naik ke tangga kesempurnaan.
Nah, dengan datangnya bulan Ramadhan, para pekerja itu sadar kalau mereka tidak dicipta untuk pabrik semata. Namun perangkat dan indra itu juga bisa merasakan sejumlah kenikmatan maknawi di bulan Ramadhan yang penuh berkah. Mereka mengarahkan perhatian padanya sebagai ganti dari permainan yang terdapat di pabrik tadi. Karena itu, Pada bulan Ramadhan kaum mukmin meraih berbagai cahaya, limpahan karunia, serta kenikmatan maknawi sesuai dengan tingkat dan derajatnya. Pada bulan yang penuh berkah tersebut terdapat banyak peningkatan dan limpahan karunia bagi kalbu, ruh, akal, jiwa, serta berbagai perangkat halus manusia lainnya melalui puasa. Meskipun perut menangis dan merintih, semua perangkat halus manusia tersenyum lepas.
Nuktah Kesembilan
Dilihat dari fungsinya yang dapat menghancurkan perasaan berkuasa milik nafsu, sekaligus memperkenalkan ubudiyahnya dan memperlihatkan kelemahannya, puasa Ramadhan memiliki sejumlah hikmah. Di antaranya:
Nafsu ini cenderung tidak ingin mengenal Tuhannya. Bahkan ia ingin merasa memiliki kekuasaan dengan sifat keangkuhan yang melampaui batas. Meskipun mendapat siksa dan tekanan, benih dari perasaan berkuasa tersebut masih tetap ada. Benih itu baru bisa hancur dan tunduk di hadapan rasa lapar. Demikianlah, puasa Ramadhan yang penuh berkah menjadi pukulan keras yang langsung mematikan sifat keangkuhan nafsu manusia. Ia menghancurkan kekuatannya, memperlihatkan kelemahan dan kefakirannya, serta memperkenalkan ubudiyahnya.
Dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa,
“Allah berkata kepada nafsu manusia, “Siapa Aku dan siapa engkau?”
Nafsu manusia menjawab, “Aku adalah aku dan Engkau adalah Engkau.” Mendengar jawaban tersebut, Tuhan menyiksa dan melemparkannya ke dalam neraka jahannam.
Lalu Dia kembali bertanya dan nafsu manusia tetap memberikan jawaban yang sama, “Aku adalah aku dan Engkau adalah Engkau.” Meskipun mendapatkan berbagai siksa, nafsu tetap bertahan dengan keangkuhan dan keaku-annya. Lalu Allah menyiksanya dengan rasa lapar. Yakni Dia membiarkannya berada dalam kondisi lapar.
Kemudian Dia bertanya, “Siapa Aku dan siapa engkau?”
nafsu manusia menjawab, اَن۟تَ رَبِّى الرَّحٖيمُ ، وَاَنَا عَب۟دُكَ ال۟عَاجِزُ
“Engkau adalah Tuhanku Yang Maha Penyayang, sementara aku adalah hamba-Mu yang lemah.”
Ya Allah, limpahkan salawat dan salam kepada junjungan kami, Muhammad, dengan salawat yang mendatangkan rida-Mu dan memenuhi haknya sebanyak pahala huruf al-Qur’an di bulan Ramadhan.Juga kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau.
سُب۟حَانَ رَبِّكَ رَبِّ ال۟عِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى ال۟مُر۟سَلٖينَ
وَ ال۟حَم۟دُ لِلّٰهِ رَبِّ ال۟عَالَمٖينَ اٰمٖينَ
Permohonan maaf: risalah ini ditulis dengan tergesa-gesa hanya dalam waktu empat puluh menit. Karena aku dan penulis draft dalam kondisi sakit dan lemah, tidak aneh kalau risalah ini memiliki sejumlah kekurangan. Karena itu, kami memohon maaf dari seluruh pembaca dan sekaligus berharap mereka mengoreksi apa yang dianggap tepat—Penulis.
BAGIAN KETIGA (Risalah Ketiga)
[Bagian ini ditulis untuk meminta pendapat saudara-saudaraku yang menjadi khadim al-Qur’an, sekaligus sebagai peringatan bagiku, dalam rangka mewujudkan niatku terkait dengan penulisan mushaf yang memperlihatkan goresan kemukjizatan. Goresan tersebut hanyalah salah satu dari dua ratus bagian kemukjizatan al-Qur’an. Akupun mengemukakan niatku itu untuk mengetahui pendapat mereka mengenai penulisan mushaf tersebut yang menerangkan goresan kemukjizatan, seraya tetap berpegang pada mushaf yang ditulis oleh al-Hafidz Utsman, serta menjadikan ayat mudâyanah (QS. al-Baqarah [2]: 282) sebagai ukuran panjang halaman dan surah al-Ikhlas sebagai ukuran panjang baris].Bagian ketiga ini terdiri dari sembilan persoalan:
Persoalan Pertama
Dalam “Kalimat Kedua Puluh Lima” yang berjudul “Mukjizat al-Qur’an”, telah dibuktikan melalui sejumlah argumen yang kuat bahwa jenis kemujizatan al-Qur’an mencapai 40 aspek.
Sebagiannya telah dijelaskan secara rinci bahkan di hadapan para pengingkar. Sementara jenis kemukjizatan yang lain dijelaskan secara global.Di samping itu, dalam ‘petunjuk kedelapan belas’ dari “Surat Kesembilan Belas” telah ditegaskan bahwa al-Qur’an memperlihat- kan kemukjizatannya dalam beragam aspek kepada empat puluh tingkatan manusia. Petunjuk tersebut menegaskan bahwa setiap ting- katan dari sepuluh tingkatan yang ada mendapatkan bagian kemukjizatannya. Adapun untuk tiga puluh tingkatan sisanya, al-Qur’an menunjukkan kemukjizatannya kepada para wali dari berbagai masyrab dan pakar ilmu dari berbagai bidang. Hal itu ditunjukkan oleh keyakinan hakiki mereka yang mencapai derajat ilmul yaqin, ainul yaqin, dan haqqul yaqin bahwa al-Qur’an al-Karim benar-benar merupakan ka- lam Allah. Artinya, masing-masing mereka telah melihat salah satu aspek kemukjizatan al-Qur’an.
Ya. Keindahan kilau kemukjizatan tersebut berbeda-beda sesuai dengan masyrab mereka. Pasalnya, kemukjizatan yang dipahami oleh wali yang arif berbeda dengan kemukjizatan yang dilihat oleh wali yang sedang tenggelam dalam cinta ilahi. Sisi kemukjizatan yang dilihat oleh seorang imam ushuluddin berbeda dengan sisi kemukjizatan yang dilihat seorang mujtahid dalam cabang syariat. Demikian seterusnya.
Karena aku tidak bisa memberikan penjelasan detail atas setiap aspek dari beragam aspek tersebut, lantaran keterbatasan pandangan dan pikiranku dalam menjangkaunya, maka aku hanya menjelaskan sepuluh tingkatan darinya. Sementara sisanya hanya kujelaskan secara global. Akan tetapi, masih ada dua tingkatan darinya pada Mukjizat Nabi Muhammad yang perlu mendapat tambahan penjelasan. Sekarang kami akan menjelaskannya sebagai berikut:
Tingkatan pertama: mereka yang mengetahui mukjizat al- Qur’an lewat pendengaran mereka. Pasalnya, orang awam hanya menyimak al-Qur’an dengan telinganya. Ia memahami kemukjizatan al-Qur’an dengan mendengar. Dengan kata lain, ia berkata, “Al- Qur’an yang kudengar ini tidak seperti kitab lainnya. Ia bisa berada di atas semuanya atau berada di bawah semuanya. Kemungkinan terakhir ini tidak mampu diucapkan oleh siapapun dan tidak pernah terucap demikian. Bahkan setan sekalipun tidak mampu mengatakan hal tersebut. Dengan demikian, ia berada di atas semuanya.”
Penjelasan umum ini terdapat pada ‘petunjuk kedelapan belas’. Lalu ia dijelaskan pada ‘bahasan pertama’ dari “Surat Kedua Puluh Enam” yang berjudul “Argumen al-Qur’an atas Golongan Setan” yang menggambarkan pemahaman tingkatan tersebut terhadap kemukjizatan al-Qur’an.
Tingkatan Kedua: Mereka yang mengetahui kemukjizatan al- Qur’an dengan cara melihat. Artinya, al-Qur’an al-Karim memiliki petunjuk kemukjizatan yang bisa disaksikan dengan mata, bahkan oleh kalangan awam atau kalangan materialis yang akalnya turun ke mata di mana mereka hanya percaya dengan apa yang mereka lihat. Hal ini dinyatakan dalam petunjuk kedelapan belas. Ia seharusnya diberi penjelasan tambahan untuk menetapkan pernyataan tersebut. Namun waktunya tidak memadai lantaran satu hikmah rabbani yang penting yang baru kami pahami sekarang. Karena itu, sebagian aspeknya dijelaskan dengan sangat ringkas dan sederhana.
Sekarang, setelah rahasia di balik hikmah tersebut diketahui, kami sangat yakin bahwa penundaannya lebih tepat. Untuk memudahkan dalam memahami tingkatan tersebut dan agar mereka lebih bisa merasakan bentuk kemukjizatan al-Qur’an, maka kami minta dituliskan sebuah mushaf yang menerangkan salah satu dari empat puluh sisi kemukjizatannya.
Sejumlah persoalan lain dari ‘bagian ketiga’ dan ‘bagian keempat’ ini tidak dimasukkan di sini. Pasalnya, ia terkait dengan tawâfuqât. Karena itu, kami hanya mencukupkan dengan indeks tawâfuqât tersebut. Nuktah ketiga dari bagian keempat ditulis dengan sebuah catatan.
Catatan:Seratus enam puluh ayat ditulis dalam rangka menjelaskan hal penting pada lafal “Rasul” yang terdapat dalam al-Qur’an. Meskipun ayat-ayat tersebut memiliki karakter yang berbeda, namun dari sisi makna masing-masing saling menguatkan dan menyempurnakan. Karena itu, ayat-ayat tersebut bisa menjadi hizb qurani bagi yang ingin menghafalkan dan membaca sejumlah ayat yang beragam. Begitu pula dengan enam puluh sembilan ayat yang mengandung lafal “al-Qur’an”. Saat menjelaskan poin penting dari lafal al-Qur’an, tampak bahwa balagah ayat-ayat tersebut sangat tinggi dan kefasihannya istimewa. Maka Sangat dianjurkan bagi para saudaraku untuk menjadikannya sebagai hizb Qurani.
Lafal atau kata “al-Qur’an” dalam mushaf terdapat dalam bentuk tujuh rangkaian. Sementara dua di antaranya berada di luar rang- kaian. Kedua kata itu bermakna “membaca” sehingga keberadaannya di luar memberikan sebuah kekuatan.
Adapun lafal “Rasul”, surah Muhammad dan surah al-Fath, keduanya merupakan surah yang memiliki hubungan paling kuat. Karena itu, kita batasi pengamatan kita terhadap rangkaian tersebut pada dua surah itu. Dan saat ini apa yang berada di luar rangkaian tidak dimasukkan. Insya Allah sejumlah rahasia yang terdapat pada lafal “Rasul” akan dituliskan jika waktunya memungkinkan.
Nuktah Ketiga:Ia terdiri dari empat poin (*[3])
Poin Pertama:Lafal “Allah” disebutkan dalam al-Qur’an seba- nyak 2806 kali. Lafal “ar-Rahmân”―termasuk yang terdapat dalam basmalah―disebutkan sebanyak 159 kali, lafal “ar-Rahîm” sebanyak 220 kali, lafal “al-Ghafûr” sebanyak 61 kali, lafal “ar-Rabb” sebanyak 846 kali, lafal “al-Hakîm” sebanyak 86 kali, lafal “al-Alîm” sebanyak 126 kali, lafal “al-Qadîr” sebanyak 31 kali, serta lafal “Huwa” dalam “la ilaha illa huwa” sebanyak 26 kali.(*[4])Pada jumlah lafal jalalah (Allah) terdapat sejumah rahasia dan banyak pelajaran penting.
Di antaranya bahwa yang paling banyak disebutkan dalam al-Qur’an adalah lafal “Allah” dan “Rabb”. Kemudian diikuti oleh lafal “ar-Rahmân, ar-Rahîm, al-Ghafûr, dan al-Hakîm”. Jumlah seluruh lafal tersebut ditambah dengan lafal “Allah” adalah setengah jumlah ayat al-Qur’an.Lafal “Allah” dengan lafal “ar-Rabb” yang bermakna Allah juga setengah jumlah ayat al-Qur’an. Pasalnya, lafal “ar-Rabb” yang disebutkan sebanyak 846 kali, lima ratus sekian darinya disebutkan sebagai ganti dari lafal “Allah”, sementara dua ratus sekian tidak bermakna “Allah”.
Total jumlah lafal “Allah” dengan jumlah lafal “ar- Rahmân, ar-Rahîm, dan al-Alîm” beserta jumlah lafal “Huwa” pada lâ ilâha illâ huwa juga setengah ayat al-Qur’an. Bedanya hanya empat. Dengan lafal “al-Qadîr” sebagai ganti dari lafal “Huwa” jumlahnya setengah jumlah ayat al-Qur’an. Bedanya hanya sembilan. Kita cukupkan pembahasannya sampai bagian ini. Sebab, masih banyak lagi pelajaran lain pada keseluruhan lafal Allah.
Poin Kedua:dilihat dari sisi surah, al-Qur’an juga berisi banyak pelajaran. Ia memiliki sejumlah tawâfuqât yang menunjukkan adanya keteraturan, tujuan, dan kehendak Allah.
Di antaranya: jumlah lafal “Allah” pada surah “al-Baqarah” sama dengan jumlah ayatnya. Bedanya hanya empat. Terdapat empat lafal Huwa sebagai ganti dari Allah seperti pada kalimat lâ ilâha illa huwa. Dengan itu, tawâfuq terwujud.
Jumlah lafal “Allah” pada surah “Ali Imrân” sesuai dengan jumlah ayatnya. Hanya saja, lafal “Allah” terdapat pada 209 ayat, semen- tara jumlah ayat surah tersebut adalah 200. Jadi, bedanya sembilan ayat. Namun perbedaan kecil seperti itu tidak merusak keistimewaan balagahnya. Pasalnya, tawâfuqât yang mendekati sudah cukup.
Jumlah ayat pada surah “an-Nisâ, al-Mâidah, dan al-An’âm” juga selaras dengan total jumlah lafal “Allah” yang terdapat pada ketiga surah tersebut. Pasalnya, jumlah ayat pada ketiganya sebanyak 464. Sementara lafal “Allah” ada 461. Keduanya sama persis, sebab lafal “Allah” pada basmalah juga dihitung.
Begitu pula pada lafal “Allah” di lima surah pertama. Ia disebutkan sebanyak dua kali lipat lafal “Allah” yang terdapat pada surah “al- A’râf, al-Anfâl, at-Taubah, Yunus, dan Hud”. Artinya, jumlahnya pada kelima surah yang kedua itu hanya setengah dari jumlah lafal “Allah” di kelima surah pertama. Jumlah lafal “Allah” pada surah “Yusuf, Ibrahim, ar-Ra’ad, al- Hijr, dan an-Naml” setengah dari yang setengah tadi. Lalu jumlah lafal “Allah” pada surah “al-Isrâ, al-Kahfi, Maryam, Thaha, al-Anbiyâ, dan al-Hajj”(*[5])adalah setengah dari setengah yang setengah di atas.Surah-surah berikutnya sebanyak lima surat. Lalu lima surat tetap dengan persentase yang hampir sama. Hanya saja, tedapat perbedaan pada sebagian bilangan pecahan. Perbedaan semacam itu pada konteks ini tidak ada masalah. Misalnya: sebagian darinya berjumlah 121, yang lain berjumlah 125. Lalu yang lain lagi berjumlah 154, dan yang lain berjumlah 159.
Kemudian pada lima surah berikutnya, yakni dimulai dari surah “az- Zukhruf ”, jumlahnya menurun menjadi setengahnya atau menjadi setengah dari setengah jumlah setengah tersebut. Lima surah yang dimulai dari surah “an-Najm” jumlahnya setengah dari setengah dari setengah dari setengah dari setengah tersebut. Meskipun tidak persis tapi mendekati demikian. Tidak masalah kalau perbedaannya hanya dalam bilangan kecil. Selanjutnya pada tiga kelompok lima surah pendek terdapat tiga angka lafal jalalah (Allah).
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa dalam jumlah bilangan lafal jalalah tersebut tidak ada unsur kebetulan. Namun ia sengaja ditetapkan dengan sebuah hikmah dan keteraturan.
Poin Ketiga:Lafal jalalah (Allah) yang mengarah kepada berbagai posisinya di berbagai halaman mushaf al-Qur’an.
Yaitu bahwa jumlah lafal jalalah dalam satu halaman memiliki korelasi dengan sisi halaman sebelah kanan dan dengan halaman yang berhadapan dengannya. Kadangkala juga dengan halaman sebelah kiri yang berhadapan dengannya serta dengan sisi baliknya.Aku telah memeriksa tawâfuqât ini dalam salinan mushafku. Kutemukan adanya tawâfuqât dengan persentase jumlah yang sangat indah pada sebagian besarnya. Aku telah memberikan tanda padanya di mushafku. Ia seringkali sama persis. Kadangkala juga setengah atau sepertiganya. Apapun adanya, ia mencerminkan sebuah hikmah dan keteraturan.
Poin Keempat:Tawâfuqât pada satu halaman.
Aku dan teman-temanku memeriksa tiga atau empat salinan mushaf yang berbeda. Kami bandingkan antara satu dengan yang lain. Kemudian kami sampai pada kesimpulan bahwa tawâfuqât tersebut juga berlaku pada semuanya. Hanya saja, tawâfuqât sedikit tidak sempurna karena ada sejumlah kepentingan lain yang dituju oleh pihak percetakan.Ketika ia disusun dan dikordinasikan, tawâfuqât pada keseluruhan al-Qur’an dalam hal jumlah lafal jalalah yang mencapai 2806 terlihat jelas, kecuali hanya dalam beberapa bagian.
Hal Itu mencerminkan cahaya kemukjizatan yang agung. Pasalnya, pikiran dan akal manusia tidak mungkin meliputi dan menjangkau keseluruhan halamannya yang banyak serta tidak mungkin ikut campur di dalamnya. Unsur kebetulan juga tidak mungkin ikut campur dalam hal-hal seperti itu.
Kami meminta agar sebuah mushaf yang mulia ditulis kembali agar “poin keempat” di atas relatif lebih terlihat dengan tetap menjaga halaman mushaf yang paling banyak tersebar serta menjaga baris-barisnya disertai penataan di beberapa posisinya yang tidak teratur karena kurang mendapat perhatian dari divisi produksi. Dari sana, rahasia dan hikmah tawâfuqât hakiki itu insya Allah akan terlihat dan ternyata ia benar-benar terlihat.
Ya Allah, Dzat yang menurunkan al-Qur’an, dengan kebenaran al-Qur’an, buatlah kami memahami berbagai rahasia al-Qur’an selama mentari dan bulan bersinar. Semoga salawat dan salam tercurah kepada sosok yang Kau turunkan padanya al-Qur’an, juga kepada seluruh keluarga dan sahabatnya. Amin.
BAGIAN KELIMA (Risalah Kelima)
“Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.” (QS. an-Nûr [24]: 35).Dalam suasana spiritual di bulan Ramadhan yang penuh berkah, aku merasakan salah satu cahaya ayat al-Qur’an di atas.
Aku melihat sesuatu yang menyerupai khayalan bahwa seluruh entitas dan makhluk hidup bermunajat kepada Rabb-nya yang Mahaagung dengan munajat “Uwais al-Qarani” yang terkenal,(*[6])yang dimulai dengan ungkapan:“Ilahi, Engkau Rabbku dan aku adalah hamba. Engkau Khalik sementara aku adalah makhluk. Engkau ar-Razzâq (Pemberi rezeki), sementara aku yang mendapat rezeki...dan seterusnya” Dalam kondisi hati semacam itu aku melihat sesuatu yang membuatku yakin bahwa setiap nama ilahi adalah cahaya bagi 18 ribu alam yang ada seperti berikut:
Sebagaimana daun mawar saling membungkus, yang satu menutupi yang berikutnya, begitu pula yang terjadi dengan alam ini. Setiap alam dibungkus dengan ribuan penutup dan tirai. Yang dibawahnya ditutup oleh sejumlah alam yang lain. Aku juga melihat bahwa setiap kali satu tirai dibuka terdapat alam lain yang tampak di hadapanku. Alam tersebut tampak bagiku begitu gelap dan menakutkan seperti gambaran ayat al-Qur’an: “Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila Dia mengeluarkan tangannya, tiadalah Dia dapat melihatnya. (Dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah Dia mempunyai cahaya sedikitpun.” (QS. an-Nûr [24]: 40). Ketika melihat alam yang gelap semacam itu, tiba-tiba aku melihat salah satu manifestasi nama ilahi yang bersinar kuat laksana cahaya yang menyinari alam dari ujung ke ujung. Setiap kali satu tirai dari alam ini terbuka di hadapan akal, terbuka pula dalam khayal sebuah pintu menuju alam lain. Ketika tampak diliputi oleh kegelapan karena kelalaian, seketika sebuah nama ilahi muncul laksana mentari yang terang sehingga menyinari seluruh alam tersebut. Begitu seterusnya.
Perjalanan spiritual dan wisata imajinatif ini berlangsung cukup lama. Di antaranya: Manakala melihat alam hewan dan memperhatikan kondisinya yang lemah, papa, sangat butuh, dan lapar, alam tersebut tampak bagiku dalam kondisi sangat gelap dan penuh duka.
Namun tiba-iba nama ar-Rahmân bersinar laksana mentari terang dari puncak nama ar-Razzâq. Ia menerangi alam tersebut dengan cahaya rahmat-Nya.
Di dalam alam hewan, aku melihat anak-anak mereka begitu lemah, papa, dan sangat butuh. Alam mereka begitu pekat, menggugah perasaan dan membuat iba setiap orang yang melihatnya.
Dalam kondisi demikian, tiba-tiba aku melihat nama ar-Rahîm bersinar dari puncak “kasih sayang”. Ia menebarkan cahayanya yang terang pada seluruh alam sekaligus mengubahnya menjadi alam yang indah dan menyenangkan. Bahkan ia mengubah air mata keluhan dan kesedihan menjadi air mata yang menyiratkan kebahagiaan, kegembiraan, dan ungkapan syukur.
Kemudian tirai yang lain tersingkap, tiba-tiba alam manusia tampak di hadapanku, bagaikan tayangan film. Ia begitu pekat, diliputi oleh gelap yang amat tebal dan rasa takut yang terus-menerus. Aku memohon pertolongan dari rasa takut yang kurasakan.
Pasalnya, aku melihat sejumlah harapan yang tertanam dalam diri manusia yang membentang menuju keabadian, pikiran dan khayalannya seluas alam, serta perhatian dan potensinya yang menuntut kebaha- giaan abadi yang mengarah kepada surga. Pada waktu yang sama, dalam dirinya tersimpan rasa papa dan butuh yang luar biasa, namun memiliki keinginan tak terhingga dan permintaan yang tak terbatas. Ia sangat lemah, namun rentan dengan berbagai terpaan musibah dan musuh yang sangat banyak. Lebih dari itu, usianya sangat singkat, hidupnya penuh derita, dan kehidupannya yang tak menentu. Ia merasakan getirnya kehilangan dan perpisahan yang sangat menya- kitkan hati di mana ia melihat―dengan pandangan kelalaian―kuburan sebagai pintu kegelapan abadi yang akan menjadi tempat di mana mereka akan dilemparkan secara perorangan ataupun berkelompok.
Ketika aku melihat alam manusia dalam kondisi gelap seperti itu hingga seluruh perangkat halus dalam diriku berikut hati, jiwa, dan akal, bahkan semua partikel wujudku mulai menangis dan meminta pertolongan. Tiba-tiba, nama Allah, al-Âdil, memancar dari puncak al-Hakîm, serta nama ar-Rahmân memancar dari puncak al- Karîm, nama ar-Rahîm memancar dari puncak al-Ghafûr, nama al- Bâ’its memancar dari nama al-Wârits, nama al-Muhyî memancar dari puncak al-Muhsin, nama ar-Rabb memancar dari puncak al-Mâlik. Seluruh nama ilahi tersebut menerangi begitu banyak alam dalam bagian alam manusia. Ia juga membuka jendela alam akhirat yang bersinar.
Serta, menebarkan cahaya terang ke dunia manusia yang gelap gulita.Lalu tirai lain yang agung tersingkap. Yaitu alam bumi. Hukum ilmiah filsafat yang gelap memperlihatkan, dalam khayalan, sebuah alam yang menakutkan. Tampak sebuah kegelapan yang menakutkan bagiku karena kondisi spesies manusia yang malang yang berjalan di bumi yang berevolusi di angkasa raya yang tak terbatas dengan kecepatan tujuh puluh kali lebih cepat dari peluru dan beredar mengelilingi rute sejauh 25 ribu tahun hanya dalam satu tahun. Ia bisa hancur dan berserakan setiap waktu karena di perutnya terdapat berbagai guncangan hebat yang bisa merusak dan meluluhlantahkan. Karena pekatnya gelap menyelimuti alam ini, diriku menjadi gemetar dan takut.
Namun tiba-tiba nama Khâliq as-Samâwati wal-ardh (Pencipta langit dan bumi), serta nama Allah seperti al-Qadîr, al-Alîm, ar-Rabb, Allah, Rabb as-Samâwati wal-ardh, dan Musakhhir asy-Syams wal-qa- mar (Dzat yang menundukkan matahari dan bulan) memancar terang dari puncak rahmat, al-Azhamah (keagungan), dan Rububiyah. Ia menerangi alam yang gelap tadi dengan sejumlah cahaya yang cemerlang. Ia mengubah bola bumi tersebut menjadi seperti kapal pesiar dalam bentuk yang sangat rapi, teratur, sempurna, lapang, dan tenang. Aku merasa ia benar-benar seperti disiapkan untuk berwisata, melancong, berekreasi, dan berniaga.
Kesimpulannya, setiap nama dari seribu satu nama ilahi yang mengarah ke alam, semuanya laksana matahari besar yang menyinari setiap alam. Bahkan, ia menyinari berbagai alam yang terdapat di sejumlah alam tersebut. Pasalnya, manifestasi nama-nama yang lain tampak pada manifestasi setiap nama-Nya lewat rahasia Ahadiyah Tuhan.
Dalam wisata ini, seolah kalbu bergembira dan mengharapkan tambahan setiap kali melihat beragam cahaya di balik setiap kegelapan. Bahkan ia ingin menaiki khayalan untuk dapat mengelilingi langit. Pada saat tersebut tirai menjadi tersingkap sehingga pentas yang sangat luas terlihat. Kalbupun masuk ke alam langit dan melihat:
Bahwa bintang-gemintang yang menebarkan senyuman cemer- lang ukurannya lebih besar daripada planet bumi. Mereka bergerak lebih cepat dari bumi dan saling mengelilingi antara satu dengan yang lain. Andaikan ada yang menyimpang dari porosnya dan melenceng sedetik saja, tentu ia akan bertabrakan dengan yang lain. Ketika itu, akan terdengar gema yang dahsyat disertai kehancuran alam. Bintang tidak lagi memancarkan cahaya; tetapi api yang menyala. Ia juga tidak memberikan senyuman cemerlang, namun menutupi dengan kegelapan yang pekat. Begitulah, dengan khayalan ini, aku melihat langit sebagai alam yang luas, kosong, menakutkan, dan mencengangkan. Aku sangat menyesal mengapa datang ke dalamnya.
Hanya saja, pada saat aku berada dalam kondisi demikian, nama-nama mulia milik Rabb, Pencipta langit dan bumi serta milik Rabb Pencipta malaikat dan ruh menunjukkan manifestasinya dari puncak ayat berikut ini:“Kami hiasi langit dunia dengan lentera” (QS. al-Mulk [67]: 5),“Dia tundukkan matahari dan bulan” (QS. ar-Ra’ad [13]: 2).Bintang-gemintang yang diselimuti kegelapan itu mendapat kilau cahaya dari cahaya agung tersebut. Dari sana, langit menjadi terang oleh lentera sebanyak jumlah bintang yang ada. Ia juga dipenuhi oleh malaikat dan makhluk spiritual lainnya. Ia tampak ramai setelah tadinya dianggap kosong. Aku melihat matahari dan bintang yang beredar laksana pasukan Rabb, Penguasa alam azali dan abadi. Ia seperti bergerak dan berputar dalam sebuah manuver yang luar biasa di mana ia memperlihatkan keagungan rububiyah Sang Penguasa Yang Mahaagung.
Maka, dengan segenap kekuatan yang kumiliki kutegaskan; bahkan andai mampu, dengan semua partikel wujudku dan dengan seluruh lisan makhluk—andai mereka mendengarku—akan kubacakan firman Allah berikut:
“Allah (sumber) cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tidak tembus, yang di dalamnya terdapat pelita besar. Pelita tersebut di dalam kaca. Dan kaca itu laksana bintang bercahaya seperti mutiara yang dinyalakan dengan minyak dari zaitun, yang tumbuh tidak di timur ataupun di barat. Minyaknya saja hampir menerangi meski tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki. Allah membuat berbagai perumpamaan bagi manusia. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. an-Nur [24]: 35). Kemudian, dari langit aku kembali dan mendarat di bumi. Aku tersadar seraya berucap: “Segala puji bagi Allah atas limpahan cahaya iman dan al-Qur’an.”
BAGIAN KEENAM (Risalah Keenam)
[Ini ditulis untuk mengingatkan para murid al-Qur’an dan untuk menyadarkan mereka yang berkhidmah untuknya agar tidak tertipu].
“Janganlah kalian condong kepada orang-orang zalim, sebab hal itu membuat kalian tersentuh api neraka. (QS. Hud [11]: 113).
Bagian keenam ini, dengan izin Allah, dapat menggagalkan enam tipu daya setan, dari golongan jin dan manusia, sekaligus menangkal enam bentuk serangannya.
Tipu Daya Setan yang Pertama
Setan manusia berusaha―lewat petunjuk yang didapat dari setan jin―menipu para pelayan al-Qur’an serta memalingkan mereka dari pengabdian dan jihad maknawi yang mulia. Yaitu dengan membuat mereka mencintai kedudukan dan reputasi. Gambarannya sebagai berikut:
Secara umum, dalam diri manusia dan pada setiap orang terdapat keinginan, baik sedikit maupun banyak, untuk mencintai kedudukan yang merupakan penyakit riya, dan keinginan untuk memperoleh posisi terhormat dalam pandangan manusia. Dengan motif ingin terkenal, manusia rela mengorbankan hidupnya untuk memenuhi keinginan tersebut. Perasaan ini sangat berbahaya bagi para perindu akhirat. Namun bagi ahli dunia, ia merupakan sesuatu yang menyenangkan. Di samping itu, ia menjadi sumber berbagai akhlak tercela. Perlu diketahui bahwa ia merupakan sisi lemah yang terdapat pada manusia. Ia bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menarik manusia lewat perasaannya itu. Karenanya, yang paling kutakuti dan paling kucemaskan adalah kemungkinan adanya eksploitasi kaum ateis terhadap saudara-saudaraku lewat sisi ini.
Sebab, lewat cara ini, mereka telah menarik teman-temanku yang kurang dekat lalu melemparkan mereka ke dalam jurang kebinasaan.(*[7])
Wahai saudara-saudara dan teman-teman yang menjadi pelayan al-Qur’an!Katakanlah kepada mata-mata ahli dunia yang mencari popularitas, yang berpihak kepada kaum sesat, dan yang menjadi murid-murid setan,
“Rida Ilahi, kemurahan Rahmani, dan penerimaan Rabbani merupakan sebuah kehormatan besar sehingga sambutan dan simpati manusia menjadi tidak berarti. Ketika rahmat ilahi mengarah kepada kita, itu sudah sangat cukup. Adapun sambutan dan penerimaan manusia, ia bisa diterima bila merupakan bagian atau pantulan dari rahmat ilahi. Jika tidak, ia sama sekali tidak boleh diharapkan. Sebab, ia akan redup dan hilang saat berada di pintu kubur.”
Kemudian bila sikap cinta kedudukan tidak dilenyapkan, ia harus diarahkan kepada hal lain sebagai berikut:
Perasaan tersebut (cinta kedudukan) dalam kondisi tertentu bisa dibenarkan. Yaitu ketika ditujukan untuk mendapat ganjaran ukhrawi dan dilakukan dengan niat mendapat doa manusia sebagai dampak positif dari aktivitas berkhidmah kepada al-Qur’an. Gambarannya sebagai berikut:
Misalkan Masjid Hagia Sophia dipenuhi oleh orang-orang mulia yang memiliki kedudukan terhormat. Sementara di pintu masuk atau koridornya terdapat sejumlah anak kecil yang nakal dan orang-orang berperangai bejat. Lalu di sekitar jendela terdapat orang-orang asing yang sedang asik bermain dan bersenda gurau. Ketika ada yang masuk ke dalam masjid tersebut dan bergabung dengan jamaah mulia di atas di mana ia membaca ayat-ayat al-Qur’an dengan suara indah, maka pandangan ribuan ahli hakikat itu tertuju kepadanya. Iapun mendapat pahala besar lewat doa dan rida mereka atasnya. Namun hal ini tidak menarik perhatian anak-anak yang nakal, kalangan ateis, dan orang-orang asing di atas.
Akan tetapi, andaikan orang tadi masuk ke masjid yang penuh berkah dan bergabung dengan jama’ah yang besar itu seraya melantunkan nyanyian yang merangsang syahwat dan menari, niscaya ia akan menarik perhatian anak-anak yang nakal itu. Karena tinda- kannya mendorong untuk berbuat keji, maka hal itu disenangi oleh orang-orang berperangai bejat tersebut serta mendapat senyuman orang-orang asing yang senang melihat kekurangan umat Islam. Sebaliknya, jama’ah besar dan penuh berkah yang berada di dalam masjid melihatnya dengan pandangan hina dan benci. Mereka melihatnya berada dalam tingkatan yang paling rendah dan nista.
Berdasarkan contoh di atas, dunia Islam dan benua Asia laksana masjid besar. Kaum mukmin dan ahli hakikat yang berada di dalamnya merupakan jama’ah yang mulia tersebut. Sementara kalangan anak-anak nakalnya adalah para penjilat yang memiliki pikiran kekanak-kanakan. Lalu orang-orang yang berperangai bejat itu adalah kaum ateis yang berkiblat ke Barat di mana mereka tidak memiliki agama. Sementara orang-orang asingnya adalah para wartawan yang menyebarkan pemikiran orang-orang asing.
Seluruh muslim, terutama kalangan mulia, masing-masing memiliki posisi terhormat di masjid tersebut sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Ia menjadi objek perhatian sesuai dengan posisinya. Bila ada perbuatan dan tindakan yang bersumber dari keikhlasan—yang merupakan landasan Islam—dan keinginan mencari rida Allah sesuai dengan hukum dan hakikat yang al-Qur’an gariskan, lalu kondisinya secara maknawi memperlihatkan pesan-pesan al-Qur’an, ketika itulah ia masuk dalam bagian doa yang dipanjatkan oleh setiap pribadi muslim yang berbunyi:“Ya Allah, ampuni kaum mukmin, baik yang laki-laki maupun yang perempuan.”Ia memiliki hubungan persaudaraan dengan seluruh mukmin. Akan tetapi, posisinya tidak terlihat oleh sebagian kaum sesat yang seperti binatang berbahaya, dan kedudukannya tidak tampak bagi kaum bodoh yang seperti anak kecil berewokan.
Andaikan orang itu meninggalkan kejayaan nenek moyang yang ia anggap sebagai simbol kemuliaan, melupakan sejarah yang merupakan sumber kebanggaan, dan menyalahi jalan generasi saleh terdahulu yang menjadi sandaran jiwanya, lalu melakukan berbagai tindakan atas dorongan hawa nafsu dan sikap riya demi meraih ketenaran dan berbuat bid’ah, maka dalam pandangan ahli hakikat dan kalangan beriman ia jatuh ke tingkatan yang paling rendah.
Pasalnya, betapapun bodoh dan awam, serta akalnya tidak sadar, kalbu seorang mukmin bisa merasakan perbuatan mereka yang kagum dan ujub terhadap diri sendiri dan membenci mereka secara maknawi.
Hal ini sesuai dengan rahasia bunyi hadis Nabi: “Waspadalah terhadap firasat orang mukmin, sebab ia melihat dengan cahaya Allah.”(*[8]) Demikianlah, orang yang tergila-gila dengan cinta kedudukan dan popularitas―sosok kedua― jatuh ke tingkat yang paling bawah dalam pandangan jamaah yang tak terhingga. Iapun mendapatkan posisi buruk yang bersifat sementara di kalangan orang bodoh yang ceroboh dan suka mencemooh.
Yang ia temukan hanyalah sa- habat palsu dan berbahaya baginya di dunia, penyebab azab di alam barzakh, dan musuh di akhirat sesuai dengan rahasia ayat berikut: “Para sahabat pada hari itu satu dengan yang lain menjadi musuh, kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-Zukhruf [43]: 67).
Adapun orang dalam gambaran pertama, kalaupun keinginan mendapat kedudukan masih ada dalam kalbunya, ia memperoleh posisi maknawi yang sah dan agung yang membuatnya puas dengan syarat keikhlasan dan rida Allah menjadi landasan utama tanpa menjadikan cinta kedudukan sebagai tujuan.Orang ini kehilangan sesuatu yang sangat sedikit dan tidak penting, namun mendapat pengganti yang banyak, bahkan sangat banyak di mana ia sangat bernilai dan tidak mendatangkan bahaya. Lebih dari itu, ia berhasil menjauhkan sejumlah ular dari dirinya dan mendapati sejumlah makhluk penuh berkah sebagai teman penggantinya. Ia merasa senang bersama mereka. Atau, seperti orang yang menggerakkan tawon namun mendapat manfaat dari lebah yang memberikan minuman penuh rahmat berupa madu. Dengan kata lain, ia mendapat doa dari orang-orang tercinta serta mendapat minuman salsabil yang laksana telaga al-Kautsar dari mereka. Semua itu didapat dari seluruh penjuru dunia dan pahalapun dicatatkan dalam lembaran amalnya.
Pada suatu saat, aku menyampaikan perumpamaan di atas dengan sangat tegas kepada sosok manusia kecil yang memiliki posisi istimewa di dunia yang kemudian menjadi objek ejekan dunia Islam karena ia melakukan sebuah kebodohan besar demi meraih ketenaran. Pelajaran tersebut sangat menghentak dirinya. Akan tetapi, karena aku tidak bisa menyelamatkan diriku dari cinta kedudukan, akhirnya peringatanku itu tidak membuat orang tersebut sadar.
Tipu Daya Setan yang Kedua
Perasaan takut dan khawatir tertanam kuat dalam diri manusia. Para tiran, orang-orang zalim, dan pembuat makar sering mengeks- ploitasi perasaan tersebut. Mereka menggunakannya sebagai sarana untuk mengekang para pengecut. Pihak intelijen dan penyeru kesesatan kerapkali memanfaatkan perasaan tersebut yang terdapat pada kalangan awam dan juga ulama dengan melemparkan berbagai teror dan isu kepada mereka.
Mereka menakut-nakuti seperti seorang penipu yang memperlihatkan sesuatu yang membuat seseorang yang sedang berada di atap rumah menjadi takut. Si penipu itu membuat orang tadi berpikir macam-macam dan sedikit demi sedikit menjadikannya mundur ke belakang sampai ke pinggir atap hingga jatuh dan akhirnya tewas. Begitulah kaum sesat memunculkan perasaan takut manusia sehingga mereka meninggalkan sejumlah persoalan besar akibat rasa takut yang sepele. Sampai-sampai sebagian mereka masuk ke dalam mulut ular agar tidak terkena gigitan nyamuk.
Contohnya sebagai berikut: Pada suatu petang, aku mendatangi jembatan Istanbul. Aku ditemani almarhum seorang tokoh ulama yang takut naik perahu. Namun kendaraan yang bisa kami naiki ketika itu hanya perahu. Sementara kami harus pergi ke Masjid Abu Ayyub al-Anshari. Maka, aku terus membujuknya untuk mau naik perahu. Kemudian terjadilah dialog sebagai berikut: Dia : Aku khawatir kita tenggelam. Aku : Kira-kira berapa jumlah perahu di teluk ini? Dia : Barangkali seribu perahu. Aku : Berapa perahu yang tenggelam dalam setahun? Dia : Satu atau dua perahu. Kadang dalam beberapa tahun tidak ada yang tenggelam. Aku : Berapa hari dalam setahun? Dia : 360 hari. Aku : Kemungkinan tenggelam yang terlintas dalam benakmu dan yang membuatmu takut adalah satu banding 360 ribu. Orang yang takut dengan kemungkinan ini tidak bisa disebut manusia ataupun hewan. Lalu berapa lama lagi kira-kira usiamu?
Dia : Aku ini sudah tua. Mungkin tinggal sepuluh tahun lagi. Aku : Kematian bisa terjadi setiap hari, karena ajal merupakan sebuah misteri. Karenanya, ada kemungkinan mati setiap harinya. Artinya, engkau memiliki 3600 kemung- kinan mati. Jadi, bukan 1 banding 300.000 kemungkinan seperti kemungkinan tenggelam pada perahu di atas. Tetapi, yang ada 1 banding 3000 kemungkinan mati, dan bisa jadi kemungkinan tersebut terjadi pada hari ini. Kalau begitu, yang harus kau lakukan adalah meratap dan menangis serta menulis wasiat.
Rupanya ungkapan tersebut berhasil mempengaruhinya. Ia menjadi sadar sehingga kunaikkan ia ke atas perahu dalam kondisi gemetar. Saat berada di perahu kukatakan padanya, “Allah memberi kita rasa takut agar dengan itu kita menjaga kehidupan; bukan untuk menghancurkan dan merusak kehidupan. Dia tidak memberi kita rasa takut agar hidup kita menderita dan susah. Bila rasa takut tersebut bersumber dari dua atau tiga kemungkinan, bahkan lima atau enam kemungkinan, maka ia masih wajar. Barangkali ia masih bisa dibenarkan sebagai sikap waspada. Akan tetapi, bila rasa takut tersebut bersumber dari sebuah kemungkinan dari dua puluh atau empat puluh kemungkinan yang ada, ia tidak lagi disebut takut. Namun ia adalah ilusi yang menghantui manusia dan membuat hidup tersiksa.
Wahai saudara-saudaraku! Ketika para penjilat kaum yang ateis itu menyerang kalian untuk membuat takut dan membuat kalian meninggalkan medan jihad maknawi yang suci, maka katakanlah kepada mereka:
“Kami adalah kelompok pengabdi al-Qur’an. Kami berlindung pada benteng al-Qur’an sesuai dengan rahasia firman-Nya, “Kami yang menurunkan adz-Dzikr (al-Qur’an) dan Kami pula yang menjaganya.” (QS. al-Hijr [15]: 9). Kami dilindungi oleh sebuah pagar besar; yaitu pagar “Cukuplah Allah bagi kami. Dialah sebaik-baik Pelindung.” (QS. Ali Imran [3]: 173). Kalian tidak akan bisa menggiring kami menuju jalan yang secara pasti mengarah pada ribuan maraba- haya yang menimpa kehidupan abadi kami lantaran takut terhadap bahaya sepele―dengan satu dari ribuan kemungkinan―yang menim- pa kehidupan dunia kami yang singkat ini.”
Katakanlah kepada mereka: “Siapa dari kami dan orang seperti kami yang mendapat bahaya karena Said Nursi saat meniti jalan kebenaran, di mana ia merupakan teman kami dalam mengabdi pada al-Qur’an sekaligus guru dan pelopor kami dalam menjalankan pengabdian suci tersebut?! Siapa di antara murid-murid khususnya yang mendapat ujian sehingga kami juga mendapat ujian yang sama, atau kami menjadi resah karena takut pada cobaan yang mungkin menimpa kami?! Saudara kami ini memiliki ribuan teman dan sahabat akhirat. Kami belum pernah mendengar ada di antara saudara atau temannya yang mendapat bahaya sejak sekitar 30 tahun belakangan ini. Padahal selama itu ia mempunyai pengaruh dalam kehidupan sosial dengan memiliki palu dan kekuatan politik. Sementara sekarang ini, ia hanya memiliki cahaya hakikat; bukan palu politik. Meskipun namanya dulu termasuk bersama mereka yang terlibat dalam peristiwa 31 Maret(*[9])dan sejumlah temannya dibunuh, namun sesudah itu diketahui bahwa peristiwa tersebut direkayasa oleh pihak lain. Bukan karena bersahabat dengannya sehingga teman-temannya mendapat bahaya. Tetapi karena musuhnya. Apalagi saat itu ia telah menyelamatkan banyak temannya.” Atas dasar itu, saudara-saudaraku, kalian harus mengusir para penjilat dari kaum yang sesat tersebut dengan mengatakan kepada mereka:
“Kami tidak ingin kehilangan kekayaan abadi hanya karena rasa takut yang mungkin terjadi dari ribuan kemungkinan yang ada. Hal ini tidak boleh terlintas dalam benak orang-orang seperti kalian yang bagaikan setan.”
Katakan pula kepada para penjilat itu: “Bila musibah dan bahaya disebabkan oleh kemungkinan satu banding satu; bukan satu dari ratusan ribu kemungkinan, selama masih memiliki sedikit akal, kami tidak takut dan tetap tidak akan meninggalkan beliau (Said Nursi).” Pasalnya dari pengalaman yang ada, telah dan masih terlihat bagaimana orang-orang yang mengkhi- anati guru atau saudara mereka saat musibah dan bencana terjadi, ternyata musibah tersebut justru terlebih dahulu menimpa orang- orang itu. Selain itu, mereka mendapat perlakuan yang kasar, jauh dari kasih sayang, serta mereka dipandang rendah dan hina. Jasad mereka mati dan jiwa mereka juga binasa akibat kehinaan yang mereka dapatkan. Orang-orang yang menghukum mereka tidak memperlihatkan belas kasih sama sekali. Orang-orang itu berkata, “Mereka telah mengkhianati guru mereka yang begitu penyayang kepada mereka. Karena itu, mereka mendapatkan balasan di mana kedudukan mereka menjadi jatuh dan rendah. Mereka tidak layak mendapatkan belas kasih. Namun layak dihinakan dan dinistakan.”
Selama keadaannya demikian, ketika seorang zalim yang keji menginjak-injak kepala seseorang lalu pihak yang dizalimi itu justru mencium kakinya, maka dengan sikap hina tersebut kalbunya sudah hancur sebelum kepalanya. Jiwanya sudah mati sebelum jasadnya. Ia kehilangan kepala sekaligus kehilangan wibawa dan kehormatan. Pasalnya, dengan menunjukkan kelemahan di hadapan si zalim tadi, hal itu justru membuatnya lebih berani bertindak kejam. Sebaliknya, bila pihak yang dizalimi itu meludahi wajah si zalim berarti ia telah menyelamatkan kalbu dan jiwanya sementara jasadnya menjadi syahid. Ya, ludahi wajah kaum zalim yang tidak punya belas kasih itu!
Ketika Inggris menduduki Istanbul dan merusak meriam di jalan-jalan Istanbul, pemimpin uskup gereja Anglican bertanya kepada kantor syaikhul Islam dengan enam pertanyaan. Saat itu aku masih anggota di Dârul Hikmah al-Islamiyyah. Mereka berkata kepadaku, “Jawablah pertanyaan mereka dengan enam ratus kata seperti yang mereka inginkan.”
Akupun berujar, “Menjawab pertanyaan tersebut bukan dengan enam ratus kata, enam kata, atau satu kata. Akan tetapi cukup dengan semburan ludah.” Pasalnya, ketika negara tersebut menginjak dan mencekik kita, yang harus dilakukan adalah meludahi wajah pemimpin uskup mereka terkait dengan pertanyaan yang ia tanyakan dengan penuh kesombongan. Karena itu kukatakan, “Ludahi wajah kaum zalim yang congkak itu!”
Sekarang, kutegaskan bahwa negara besar seperti Inggris, ketika ia menduduki negeri kita, maka―lewat media cetak―kujawab dan kutantang mereka. Ketika itu, bisa dipastikan kondisiku dalam bahaya besar. Hanya saja, penjagaan al-Qur’an telah mencukupiku. Ia juga seratus kali lipat sudah cukup bagi kalian dalam menghadapi kaum zalim yang kemungkinan bahayanya satu banding seratus.
Selanjutnya, wahai saudara-saudaraku, banyak di antara kalian yang telah mengikuti wajib militer, yang belum pun pasti sudah mendengar. Namun siapa yang belum mendengar, hendaknya mereka mendengar dariku: sebagian besar yang terluka dan menjadi korban dalam perang adalah mereka yang lari dari parit pertahanan. Sebaliknya, yang paling sedikit mengalami luka adalah mereka yang tetap berada di parit pertahanan.
Disebutkan dalam ayat al-Qur’an: “Katakanlah, sesungguhnya kematian yang kalian hindari, ia pasti akan menemui kalian.” (QS. al-Jumu’ah [62]: 8). Makna simbolik dari ayat di atas menunjukkan bahwa orang- orang yang lari dari kematian lebih berpeluang menemui ajal daripada yang lain.
Tipu Daya Setan yang Ketiga
Setan memburu banyak orang dengan perangkap tamak.
Dalam banyak risalah dan lewat dalil-dalil yang kuat yang kami ambil dari ayat al-Qur’an, kami telah menegaskan bahwa “rezeki halal datang sesuai dengan kadar kelemahan dan kepapaan; bukan sesuai dengan usaha dan kemampuan”.
Petunjuk, tanda, dan dalil yang membuktikan hakikat tersebut tidak terhingga. Di antaranya:
Pepohonan yang merupakan salah satu spesies makhluk hidup yang juga membutuhkan rezeki, tetap tegak di tempatnya, namun rezekinya yang mendatanginya. Sementara hewan tidak menerima nutrisi dan tidak tumbuh sempurna seperti pohon.
Hal itu karena ia sangat tamak kepada rezeki. Ikan yang paling bodoh, paling dungu, dan paling lemah mendapat nutrisi dengan cara yang paling baik. Padahal ia hidup di air, namun tampak gemuk dan berisi. Sementara monyet, rubah, dan hewan sejenis yang memiliki kepandaian dan kemampuan tampak kurus dan lemah karena kondisi kehidupannya yang buruk. Semua itu menunjukkan bahwa perantara rezeki bukan kemampuan; tetapi kepapaan.
Penghidupan yang baik yang didapat oleh anak-anak—entah manusia atau hewan—serta susu murni yang diberikan kepada mereka merupakan bentuk hadiah yang dianugerahkan dari khadzanah rahmat ilahi dari tempat yang tak terduga, sebagai bentuk rahmat dan belas kasih atas kelemahan mereka. Sebaliknya, kesulitan hidup pada binatang buas, semua itu menunjukkan bahwa sarana rezeki yang halal berupa kelemahan dan kepapaan; bukan kepandaian dan kemampuan.
Bangsa Yahudi yang dikenal sebagai bangsa yang paling tamak pada kehidupan dunia, mengungguli bangsa lain dalam memburu rezeki. Namun demikian, mereka bangsa yang paling hina dan paling rentan terhadap kehidupan yang buruk. Bahkan orang-orang kaya di antara mereka berada dalam kondisi memprihatinkan. Harta yang mereka peroleh dari transaksi ribawi ataupun dengan cara lain yang tidak dibenarkan, tidak membantah pernyataan di atas. Sebab, ia tidak termasuk rezeki yang halal.
Banyak sastrawan dan ulama yang hidup dalam kondisi sangat sederhana, sementara banyak orang bodoh yang hidup bergelimang harta. Semua itu menunjukkan bahwa sarana untuk mendapat rezeki bukan kecerdasan dan kemampuan. Tetapi, kelemahan, kepapaan, serta kepasrahan yang disertai dengan sikap tawakkal dan juga doa, baik lewat bahasa lisan maupun bahasa tubuh dan perbuatan.
Allah berfirman: “Allah adalah Dzat Pemberi rezeki, Pemilik kekuatan yang kokoh” (QS. adz-Dzâriyat [51]: 58). Ayat tersebut menegaskan hakikat di atas. Ia menjadi bukti kuat atas pernyataan kita ini di mana ia dibaca oleh semua tumbuhan, hewan, dan anak-anak manusia lewat bahasa tubuhnya. Bahkan ia juga dibaca oleh setiap kelompok yang menginginkan rezeki.
Karena rezeki ditetapkan oleh takdir ilahi dan ia diberikan sebagai bentuk karunia, sementara Pemberinya adalah Allah yang Maha Pengasih dan Maha Pemurah, maka orang yang menerima harta haram sebagai suap untuk dirinya dan kadang untuk simbol-simbol kehormatannya dengan menjatuhkan harga diri tanpa alasan yang dibenarkan sampai-sampai ia tidak percaya kepada rahmat Allah dan meremehkan karunia-Nya, kutegaskan bahwa hendaknya ia berpikir betapa tindakannya sangat bodoh dan gila.
Ya, ahli dunia, terutama kaum yang sesat, tidak akan memberikan uang mereka dengan murah. Namun ia akan memberikannya dengan harga yang mahal. Harta yang bisa menjaga kehidupan duniawi untuk satu tahun, namun bisa menjadi sarana yang menghan- curkan khazanah kehidupan abadi yang kekal. Maka, dengan tamak yang merusak ia mendapat murka ilahi dan berusaha mendapat rida kaum yang sesat.
Wahai saudaraku, ketika para penjilat ahli dunia dan kaum munafik yang sesat itu menjerat kalian dengan tali ketamakan yang merupakan sisi lemah yang tertanam dalam diri manusia, renungkanlah hakikat yang telah disebutkan sebelumnya dan jadikan saudara kalian yang fakir ini sebagai teladan.Dengan segala daya dan kekuatan yang kumiliki, aku menjamin bahwa sikap qana’ah dan hemat bisa menjaga kehidupan kalian dan menjamin rezeki kalian lebih dari gaji kalian. Apalagi uang yang tidak halal yang diberikan kepada kalian tersebut akan meminta gantinya dari kalian ribuan kali lipat. Atau, uang yang tidak halal tersebut bisa jadi menahan dan mengurangi tugas pengabdian al-Qur’an yang bisa membuka banyak pintu kakayaan abadi untuk kalian pada setiap waktu. Ini merupakan bahaya besar yang tidak bisa diganti dengan ribuan gaji.
Catatan: Kaum sesat yang terbiasa bermuka dua dan menipu, selalu menghadirkan makar dan tipu daya. Yaitu saat mereka tidak mampu menghadapi berbagai hakikat iman yang kami sebarkan yang bersumber dari al-Qur’an. Dengan berbagai cara, mereka berusaha agar para sahabatku menjauhiku. Kaum sesat itu membujuk mereka de- ngan sikap cinta kedudukan, sifat tamak, rasa cemas, dan upaya me- rendahkan diriku lewat berbagai tuduhan terhadap diriku.Dalam melakukan pengabdian suci ini, kami bergerak secara positif. Akan tetapi, sayang sekali, upaya menangkal berbagai rintangan yang menjadi penghalang dalam melakukan kebaikan kadang- kala membuat kami melakukan tindakan negatif.
Nah, dalam menghadapi berbagai propaganda kaum munafik tersebut, aku mengingatkan saudara-saudaraku kepada tiga poin di atas dan berusaha untuk menangkal serangan yang ditujukan kepada mereka. Sekarang ini, serangan paling berat diarahkan kepada pribadiku. Mereka berkata, “Said adalah orang Kurdi. Mengapa kalian sangat menghormati dan mengikutinya?” Karena itu, terpaksa aku menulis tipu daya setan yang keempat dengan bahasa “Said Lama” untuk membungkam orang-orang seperti mereka.
Tipu Daya Setan yang Keempat
Sebagian kalangan ateis yang menempati sejumlah posisi penting menyerang diriku. Mereka menyebarluaskan berbagai propagan- da yang mereka dapat dari setan dan dari bisikan kaum sesat. Hal itu menjadi alat untuk menipu saudara-saudaraku dan untuk memun- culkan semangat kesukuan.Mereka berkata, “Kalian adalah bangsa Turki. Alhamdulillah terdapat sejumlah golongan ulama dan sosok mulia dari bangsa Turki. Sementara Said ini adalah orang Kurdi. Bekerjasama dengan orang yang bukan berasal dari bangsa kalian bertentangan dengan semangat kesukuan.”
Jawaban: Wahai orang ateis yang malang! Alhamdulillah aku seorang muslim. Aku memiliki afiliasi dengan umat Islam yang mulia, dimana jumlah mereka mencapai 350 juta orang. Aku berlindung kepada Allah seratus ribu kali dari tindakan mengorbankan saudaraku yang banyak ini yang terpaut dengan persaudaraan abadi di mana mereka telah membantuku lewat doa mereka yang tulus; yang di tengah-tengah mereka terdapat mayoritas Kurdi. Tidak mungkin aku menggantikan mereka dengan paham rasisme dan nasionalisme negatif untuk mendapat simpati sejumlah orang yang membawa nama Kurdi dan dianggap golongan Kurdi di mana mereka termasuk kalangan yang meniti jalan kekufuran dan berlepas diri dari sejumlah mazhab.
Wahai ateis, itu adalah karakter orang-orang bodoh sepertimu. Yaitu meninggalkan persaudaraan hakiki yang bersinar dan berguna dari sebuah jamaah yang berjumlah 350 juta untuk mendapat persaudaraan orang-orang kafir seperti bangsa Hungaria atau sejumlah orang Turki yang ateis dan kebarat-baratan. Itu adalah persaudaraan sementara yang tidak berguna meski di dunia sekalipun.
Karena kami telah menjelaskan esensi dari nasionalisme negatif dan bahayanya dengan sejumlah dalil pada ‘persoalan ketiga’ dari “Surat Kedua Puluh Enam”, maka silahkan merujuk kepada risalah tersebut. Di sini kami hanya akan sedikit menjelaskan satu hakikat yang diterangkan secara global pada akhir persoalan ketiga. Ia adalah sebagai berikut:
Kukatakan kepada kaum ateis itu, para penyeru semangat ke- sukuan, yang berlindung di balik tirai nasionalisme Turki, yang sebenarnya mereka adalah musuh bagi bangsa Turki. Kukatakan kepada mereka:“Aku memiliki hubungan yang sangat kuat dengan mukmin negeri ini yang disebut sebagai bangsa Turki serta memiliki hubungan persaudaraan yang tulus, abadi, dan hakiki, dengan umat Islam. Dengan rasa bangga, aku sangat mencintai dan loyal―atas nama Islam―kepada putra-putri negeri ini yang telah meninggikan panji al- Qur’an di seluruh penjuru dunia selama seribu tahun.”
Adapun engkau wahai penipu yang merasa memiliki heroisme! Engkau hanya miliki persaudaraan simbolis; tidak hakiki, serta ber- sifat sementara. Persaudaraan tersebut dibangun di atas rasisme dan kepentingan pribadi. Ia membuat orang-orang lupa akan berbagai kebanggaan nasional Turki yang sebenarnya.
Aku ingin bertanya:“Apakah bangsa Turki hanya terdiri dari para pemuda yang lalai, yang mengikuti hawa nafsu, yang usia mereka antara dua puluh sam- pai dengan empat puluh tahun saja?”“Apakah keuntungan yang diraih dari semangat nasionalisme negatif terbatas pada pendidikan ala Barat yang justru membuat mereka semakin lalai, membiasakan mereka berperilaku bejat, dan mendorong mereka berbuat dosa?”“Apakah dengan upaya mengajak mereka kepada kesenangan temporer dan tertawa sesaat malah justru membuat mereka menangis di masa tua?” Jika semangat nasionalisme dan rasisme tersebut semacam itu, jika kemajuan dan kebahagiaan abadi yang dimaksud seperti itu, dan jika engkau yang mengajak kepada nasionalisme Turki model demikian, serta membela bangsa dengan cara tersebut, maka aku benar-benar akan menjauhi seruan nasionalisme Turki tersebut dan engkau boleh menjauh dariku.
Jika engkau masih memiliki sedikit semangat, kesadaran, dan sikap objektif, maka perhatikan pembagian berikut lalu berikan jawaban!
Putra-putri negeri ini yang disebut bangsa Turki terbagi atas enam bagian:
Bagian pertama: kaum yang salih dan bertakwa. Bagian kedua: orang-orang yang sedang sakit dan mendapat musibah. Bagian ketiga: kalangan lanjut usia. Bagian keempat: anak-anak dan balita. Bagian kelima: kaum dhuafa dan miskin. Bagian keenam: kalangan muda.
Bukankah lima kelompok pertama termasuk bangsa Turki? Tidakkah mereka memiliki bagian dari semangat nasionalisme yang dimaksud? Apakah semangat nasionalisme tersebut boleh menyakiti lima kelompok di atas, merampas kegembiraan mereka, mengganggu kesenangan mereka, merusak kebahagiaan mereka demi mendatangkan suka cita yang melenakan kepada kelompok yang keenam? Apakah ini semangat patriotisme atau justru permusuhan terhadap bangsa Turki? Pihak yang mendatangkan bahaya bagi mayoritas sudah pasti musuh; bukan teman. Pasalnya, hukum tegak di atas kepentingan mayoritas.
Aku ingin bertanya, “Apakah keuntungan terbesar yang didapat oleh kelompok pertama—kalangan beriman dan bertakwadari peradaban Barat? Atau, meniti jalan kebenaran seperti yang mereka inginkan dan pelipur lara dalam cahaya iman dengan menghadirkan kebahagiaan abadi?”
Jalan yang dilewati oleh kalian dan para propagandis nasionalisme sepertimu yang berkutat dalam kesesatan bisa memadamkan cahaya maknawi milik kaum mukmin yang bertakwa, merusak kebahagiaan mereka, memperlihatkan kematian sebagai ke- binasaan abadi, serta memosisikan kubur sebagai pintu menuju perpisahan abadi.
Apakah keuntungan yang didapat oleh kelompok kedua, yaitu mereka yang sedang sakit dan yang terkena musibah, yang putus asa dalam hidup, berupa pendidikan peradaban tanpa agama yang mengekor kepada Barat? Padahal orang-orang malang itu sedang membutuhkan cahaya, mengharap pelipur lara, mencari pahala atas musibah yang menimpa, ingin menuntut balas kepada pihak yang telah berbuat aniaya, serta berharap dapat menghilangkan rasa cemas dari pintu kubur yang sudah dekat.
Namun, dengan semangat palsu yang diserukan oleh dirimu dan orang-orang sepertimu, kalian malah melukai dan menyakiti kalangan yang tertimpa musibah yang sangat membutuhkan pelipur lara, belas kasih, dan balutan atas luka mereka. Kalian malah menanamkan sejumlah penyakit ke hati mereka yang sedang terluka sehingga membuat mereka kehilangan harapan dan melemparkan mereka ke dalam jurang keputusasaan. Apakah ini yang dimaksud semangat nasionalisme? Apakah begini cara kalian memberi manfaat kepada bangsa?
Kelompok ketiga, yaitu kalangan lanjut usia, yang mewakili sepertiga bangsa ini. Mereka sudah di ambang pintu kubur dan dekat dengan kematian. Mereka mulai menjauhi dunia dan menghampiri akhirat. Apakah mereka mendapatkan manfaat, cahaya, dan pelipur lara dengan mendengar sejarah kaum zalim seperti Jengis Khan dan Khulagu? Apakah perbuatan kalian yang telah membuat mereka lupa pada akhirat dan mendekatkannya pada dunia di mana ia sama sekali tak berguna bisa menjadi pelipur lara? Padahal semua itu merupakan bentuk keruntuhan dan kemunduran maknawi meskipun secara lahir tampak maju. Apakah cahaya akhirat ada pada bioskop? Apakah pelipur lara hakiki terdapat pada teater?
Ketika orang-orang yang lanjut usia itu mengharap penghormatan dari kalangan yang mengusung semangat nasionalisme, malah dikatakan kepada mereka, “Kalian sedang menuju kematian abadi.” Mereka dibuat takut dengan kubur yang tadinya mereka bayangkan sebagai rahmat malah berubah menjadi mulut ular yang siap mene- lan. Para penyeru nasionalisme itu membisikkan ke telinga maknawi mereka, “Kalian sedang berjalan menuju ke sana.” Ucapan tersebut seperti tikaman yang mengarah pada mereka lalu menyayat-nyayat jiwa mereka. Kalau ini yang kalian maksud dengan semangat nasio- nalisme, maka aku berlindung kepada Allah seratus ribu kali dari na- sionalisme tersebut.
Kelompok keempat adalah anak-anak. Dari semangat nasio- nalisme itu mereka mengharap rahmat dan menantikan kasih sayang. Iman kepada Allah, Sang Pencipta Yang Mahakuasa dan Maha Penyayang, itulah yang menjadikan jiwa mereka senang, potensi mere- ka tumbuh, dan bakat mereka berkembang dengan penuh bahagia meskipun kelemahan dan ketidakberdayaan masih tersimpan di dalam diri mereka. Mereka bisa melihat kehidupan dengan penuh kerinduan lewat pengajaran sikap tawakkal dan kepasrahan islami yang hal itu membuat mereka tegar menghadapi berbagai kondisi dan kesulitan. Apakah itu bisa diganti dengan mengajarkan kemajuan peradaban yang kurang terkait dengan mereka dan mengajarkan filsafat materialistik yang gelap, yang dapat meruntuhkan kekuatan maknawi mereka dan bisa memadamkan cahaya jiwa mereka?
Pasalnya, andaikan manusia terdiri dari fisik jasmani semata tanpa memiliki akal, barangkali berbagai metode asing yang kalian sebut sebagai pendidikan peradaban yang membuat anak-anak tak berdosa itu terhibur untuk sementara waktu dan dihiasi dengan ajaran nasionalisme dapat memberikan keuntungan duniawi sebagai mainan bagi anak-anak. Akan tetapi, anak-anak yang tak berdosa itu akan terjun ke kancah kehidupan sama seperti yang lain. Sudah pasti mereka akan membawa harapan yang sangat jauh di hati mereka yang kecil serta dalam benak mereka akan muncul sejumlah cita-cita mulia.
Karena demikian hakikat sebenarnya, dalam hati mereka harus tertanam satu “titik sandaran” yang kuat dan “titik tambatan” yang kokoh dengan penguatan iman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu sebagai tuntutan kasih sayang kepada mereka yang memiliki kelemahan tak terhingga. Hanya dengan itu, belas kasih kepada mereka bisa terwujud. Jika tidak, mengasihi mereka dengan mengobarkan semangat nasionalisme negatif hanya akan menjadi sayatan maknawi terhadap anak-anak kecil yang tak berdosa itu. Sama seperti seorang ibu gila yang menyayat anaknya. Bahkan ia juga merupakan bentuk pengkhianatan dan penganiayaan terhadap mereka layaknya orang yang mengeluarkan jantung dan otak si anak untuk dijadikan nutrisi bagi pertumbuhan fisiknya.
Kelompok kelima adalah kaum dhuafa dan miskin. Orang-orang fakir yang memikul beban hidup yang berat, yang menjadi lebih menderita akibat kemiskinan yang dialami, serta orang-orang miskin yang lebih sengsara akibat dinamika kehidupan yang mengkhawatirkan, bukankah mereka berhak mendapat bagian dari semangat nasionalisme?
Apakah bagian mereka terdapat pada aktivitas yang kalian lakukan di bawah payung westernisasi dan peradaban fir’auniyah yang memenuhi ambisi orang-orang kaya yang bodoh, yang menjadi sarana ketenaran bagi tiran yang kuat dan zalim, yang justru menambah penderitaan dan keputusasaan mereka?Balsam penyembuh untuk membalut luka kefakiran mereka sama sekali tidak terdapat pada nasionalisme negatif. Namun ia berasal dari apotik Islam yang suci. Kekuatan dan perlawanan kaum dhuafa tidak bersumber dari filsafat materialis gelap yang merujuk pada unsur kebetulan dan alam yang tuli. Namun ia bersumber dari semangat keislaman dan dari umat Islam yang mulia.
Altıncı taife gençlerdir. Bu gençlerin gençlikleri eğer daimî olsaydı; menfî milliyetle onlara içirdiğiniz şarabın muvakkat bir menfaati, bir faydası olurdu. Fakat o gençliğin lezzetli sarhoşluğu; ihtiyarlıkla, elemle ayılması ve o tatlı uykunun ihtiyarlık sabahında esefle uyanmasıyla, o şarabın humarı ve sıkıntısı onu çok ağlattıracak. Ve o lezzetli rüyanın zevalindeki elem, ona çok hazîn teessüf ettirecek. “Eyvah! Hem gençlik gitti hem ömür gitti hem müflis olarak kabre gidiyorum, keşke aklımı başıma alsaydım.” dedirecek. Acaba bu taifenin hamiyet-i milliyeden hissesi, az bir zamanda muvakkat bir keyif görmek için pek uzun bir zamanda teessüfle ağlattırmak mıdır?
Yoksa onların saadet-i dünyeviyeleri ve lezzet-i hayatiyeleri; o güzel, şirin gençlik nimetinin şükrünü vermek suretinde, o nimeti sefahet yolunda değil belki istikamet yolunda sarf etmekle; o fâni gençliği, ibadetle manen ibka etmek ve o gençliğin istikametiyle dâr-ı saadette ebedî bir gençlik kazanmakta mıdır? Zerre miktar şuurun varsa söyle!
Elhasıl: Eğer Türk milleti, yalnız altıncı taife olan gençlerden ibaret olsa ve gençlikleri daimî kalsa ve dünyadan başka yerleri bulunmasa sizin Türkçülük perdesi altındaki Frenk-meşrebane harekâtınız, hamiyet-i milliyeden sayılabilirdi. Benim gibi hayat-ı dünyeviyeye az ehemmiyet veren ve unsuriyet fikrini frengî illeti gibi bir maraz telakki eden ve gençleri nâmeşru keyif ve hevesattan men’e çalışan ve başka memlekette dünyaya gelen bir adama “O Kürt’tür, arkasına düşmeyiniz.” diyebilirdiniz ve demeye bir hak kazanabilirdiniz.
Fakat mademki Türk namı altında olan şu vatan evladı, sâbıkan beyan edildiği gibi altı kısımdır. Beş kısma zarar vermek ve keyiflerini kaçırmak, yalnız bir tek kısma muvakkat ve dünyevî ve âkıbeti meş’um bir keyif vermek, belki sarhoş etmek; elbette o Türk milletine dostluk değil, düşmanlıktır.
Evet, ben unsurca Türk sayılmıyorum fakat Türklerin ehl-i takva taifesine ve musibetzedeler kısmına ve ihtiyarlar sınıfına ve çocuklar taifesine ve zayıflar ve fakirler zümresine bütün kuvvetimle ve kemal-i iştiyakla müşfikane ve uhuvvetkârane çalışmışım ve çalışıyorum. Altıncı taife olan gençleri dahi hayat-ı dünyeviyesini zehirlettirecek ve hayat-ı uhreviyesini mahvedecek ve bir saat gülmeye bedel, bir sene ağlamayı netice veren harekât-ı nâmeşruadan vazgeçirmek istiyorum. Yalnız bu altı yedi sene değil belki yirmi senedir Kur’an’dan ahzedip Türkçe lisanıyla neşrettiğim âsâr meydandadır.
Evet lillahi’l-hamd, Kur’an-ı Hakîm’in maden-i envarından iktibas edilen âsâr ile ihtiyar taifesinin en ziyade istedikleri nur gösteriliyor. Musibetzedelerin ve hastaların tiryak gibi en nâfi’ ilaçları, eczahane-i kudsiye-i Kur’aniyede gösteriliyor. Ve ihtiyarları en ziyade düşündüren kabir kapısı, rahmet kapısı olduğu ve idam kapısı olmadığı, o envar-ı Kur’aniye ile gösterildi. Ve çocukların nazik kalplerinde hadsiz mesaib ve muzır eşyaya karşı gayet kuvvetli bir nokta-i istinad ve hadsiz âmâl ve arzularına medar bir nokta-i istimdad, Kur’an-ı Hakîm’in madeninden çıkarıldı ve gösterildi ve bilfiil istifade ettirildi. Ve fukaralar ve zuafalar kısmını en ziyade ezen ve müteessir eden hayatın ağır tekâlifi, Kur’an-ı Hakîm’in hakaik-i imaniyesiyle hafifleştirildi.
İşte bu beş taife ki Türk milletinin altı kısmından beş kısmıdır, menfaatlerine çalışıyoruz. Altıncı kısım ki gençlerdir. Onların iyilerine karşı ciddi uhuvvetimiz var. Senin gibi mülhidlere karşı hiçbir cihetle dostluğumuz yok! Çünkü ilhada giren ve Türk’ün hakiki bütün mefahir-i milliyesini taşıyan İslâmiyet milliyetinden çıkmak isteyen adamları Türk bilmiyoruz, Türk perdesi altına girmiş Frenk telakki ediyoruz. Çünkü yüz bin defa Türkçüyüz deyip dava etseler ehl-i hakikati kandıramazlar. Zira fiilleri, harekâtları, onların davalarını tekzip ediyor.
İşte ey Frenk-meşrepler ve propagandanızla hakiki kardeşlerimi benden soğutmaya çalışan mülhidler! Bu millete menfaatiniz nedir? Birinci taife olan ehl-i takva ve salahatin nurunu söndürüyorsunuz. Merhamete ve tımar etmeye şâyan ikinci taifesinin yaralarına zehir serpiyorsunuz. Ve hürmete çok lâyık olan üçüncü taifenin tesellisini kırıyorsunuz, yeis-i mutlaka atıyorsunuz. Ve şefkate çok muhtaç olan dördüncü taifenin bütün bütün kuvve-i maneviyesini kırıyorsunuz ve hakiki insaniyetini söndürüyorsunuz. Ve muavenet ve yardıma ve teselliye çok muhtaç olan beşinci taifenin ümitlerini, istimdadlarını akîm bırakıp onların nazarında hayatı, mevtten daha ziyade dehşetli bir surete çeviriyorsunuz. İkaza ve ayılmaya çok muhtaç olan altıncı taifesine, gençlik uykusu içinde öyle bir şarap içiriyorsunuz ki o şarabın humarı pek elîm, pek dehşetlidir.
Acaba bu mudur hamiyet-i milliyeniz ki o hamiyet-i milliye uğrunda çok mukaddesatı feda ediyorsunuz. O Türkçülük menfaati, Türklere bu suretle midir? Yüz bin defa el-iyazü billah!
Ey efendiler! Bilirim ki hak noktasında mağlup olduğunuz zaman, kuvvete müracaat edersiniz. Kuvvet hakta olduğu, hak kuvvette olmadığı sırrıyla; dünyayı başıma ateş yapsanız hakikat-i Kur’aniyeye feda olan bu baş size eğilmeyecektir. Hem size bunu da haber veriyorum ki: Değil sizler gibi mahdud, manen millet nazarında menfur bir kısım adamlar, belki binler sizler gibi bana maddî düşmanlık etseler ehemmiyet vermeyeceğim ve bir kısım muzır hayvanattan fazla kıymet vermeyeceğim.
Çünkü bana karşı ne yapacaksınız? Yapacağınız iş, ya hayatıma hâtime çekmekle veya hizmetimi bozmak suretiyle olur. Bu iki şeyden başka dünyada alâkam yok.
Hayatın başına gelen ecel ise şuhud derecesinde kat’î iman etmişim ki tagayyür etmiyor, mukadderdir. Madem böyledir; Hak yolunda şehadet ile ölsem çekinmek değil, iştiyak ile bekliyorum. Bâhusus ben ihtiyar oldum, bir seneden fazla yaşamayı zor düşünüyorum. Zâhirî bir sene ömrü, şehadet vasıtasıyla kazanılan hadsiz bir ömr-ü bâkiye tebdil etmek; benim gibilerin en âlî bir maksadı, bir gayesi olur.
Amma hizmet ise felillahi’l-hamd hizmet-i Kur’aniye ve imaniyede Cenab-ı Hak rahmetiyle öyle kardeşleri bana vermiş ki vefatım ile o hizmet bir merkezde yapıldığına bedel, çok merkezlerde yapılacak. Benim dilim ölüm ile susturulsa pek çok kuvvetli diller benim dilime bedel konuşacaklar, o hizmeti idame ederler. Hattâ diyebilirim: Nasıl ki bir tane tohum toprak altına girip ölmesiyle bir sümbül hayatını netice verir; bir taneye bedel, yüz tane vazife başına geçer. Öyle de mevtim, hayatımdan fazla o hizmete vasıta olur ümidini besliyorum.
Beşinci Desise-i Şeytaniye
Ehl-i dalaletin tarafgirleri, enaniyetten istifade edip kardeşlerimi benden çekmek istiyorlar. Hakikaten insanda en tehlikeli damar, enaniyettir ve en zayıf damarı da odur. Onu okşamakla, çok fena şeyleri yaptırabilirler. Ey kardeşlerim! Dikkat ediniz; sizi enaniyette vurmasınlar, onunla sizi avlamasınlar.
Hem biliniz ki: Şu asırda ehl-i dalalet eneye binmiş, dalalet vâdilerinde koşuyor. Ehl-i hak, bilmecburiye eneyi terk etmekle hakka hizmet edebilir. Enenin istimalinde haklı dahi olsa; mademki ötekilere benzer ve onlar da onları kendileri gibi nefis-perest zannederler, hakkın hizmetine karşı bir haksızlıktır. Bununla beraber etrafına toplandığımız hizmet-i Kur’aniye, eneyi kabul etmiyor. “Nahnü” istiyor. “Ben demeyiniz, biz deyiniz.” diyor.
Elbette kanaatiniz gelmiş ki bu fakir kardeşiniz ene ile meydana çıkmamış. Sizi enesine hâdim yapmıyor. Belki enesiz bir hâdim-i Kur’anî olarak kendini size göstermiş. Ve kendini beğenmemeyi ve enesine taraftar olmamayı meslek ittihaz etmiş. Bununla beraber, kat’î deliller ile sizlere ispat etmiştir ki: Meydan-ı istifadeye vaz’edilen eserler, mîrî malıdır; yani Kur’an-ı Hakîm’in tereşşuhatıdır. Hiç kimse enesiyle onlara temellük edemez! Haydi farz-ı muhal olarak ben enemle o eserlere sahip çıkıyorum, benim bir kardeşimin dediği gibi: Madem bu Kur’anî hakikat kapısı açıldı, benim noksaniyetime ve ehemmiyetsizliğime bakılmayarak ehl-i ilim ve kemal arkamda bulunmaktan çekinmemeli ve istiğna etmemelidirler.
Selef-i salihînin ve muhakkikîn-i ulemanın âsârları, çendan her derde kâfi ve vâfi bir hazine-i azîmedir fakat bazı zaman olur ki bir anahtar bir hazineden ziyade ehemmiyetli olur. Çünkü hazine kapalıdır fakat bir anahtar, çok hazineleri açabilir. Zannederim ki o enaniyet-i ilmiyeyi fazla taşıyan zatlar da anladılar ki: Neşrolunan Sözler, hakaik-i Kur’aniyenin birer anahtarı ve o hakaiki inkâr etmeye çalışanların başlarına inen birer elmas kılınçtır. O ehl-i fazl ve kemal ve kuvvetli enaniyet-i ilmiyeyi taşıyan zatlar bilsinler ki bana değil, Kur’an-ı Hakîm’e talebe ve şakird oluyorlar. Ben de onların bir ders arkadaşıyım.
Haydi farz-ı muhal olarak ben üstadlık dava etsem, madem şimdi ehl-i imanın tabakatını, avamdan havassa kadar, maruz kaldıkları evham ve şübehattan kurtarmak çaresini bulduk; o ulema ya daha kolay bir çaresini bulsunlar veyahut bu çareyi iltizam edip ders versinler, taraftar olsunlar. Ulemaü’s-sû hakkında bir tehdid-i azîm var. Bu zamanda ehl-i ilim ziyade dikkat etmeli.
Haydi farz etseniz ki düşmanlarımızın zannı gibi ben, benlik hesabına böyle bir hizmette bulunuyorum. Acaba dünyevî ve millî bir maksat için çok zatlar enaniyeti terk edip firavun-meşrep bir adamın kemal-i sadakatle etrafına toplanıp şiddetli bir tesanüdle iş gördükleri halde; acaba bu kardeşiniz, hakikat-i Kur’aniye ve hakaik-i imaniye etrafında, kendi enaniyetini setretmekle beraber, o dünyevî komitenin onbaşıları gibi terk-i enaniyetle hakaik-i Kur’aniye etrafında bir tesanüdü sizden istemeye hakkı yok mudur? Sizin en büyük âlimleriniz de ona “Lebbeyk” dememesinde haksız değil midirler?
Kardeşlerim, enaniyetin işimizde en tehlikeli ciheti, kıskançlıktır. Eğer sırf lillah için olmazsa kıskançlık müdahale eder, bozar. Nasıl ki bir insanın bir eli, bir elini kıskanmaz ve gözü, kulağına hased etmez ve kalbi aklına rekabet etmez. Öyle de bu heyetimizin şahs-ı manevîsinde her biriniz bir duygu, bir aza hükmündesiniz. Birbirinize karşı rekabet değil, bilakis birbirinizin meziyetiyle iftihar etmek, mütelezziz olmak bir vazife-i vicdaniyenizdir.
Bir şey daha kaldı, en tehlikesi odur ki: İçinizde ve ahbabınızda, bu fakir kardeşinize karşı bir kıskançlık damarı bulunmak, en tehlikelidir. Sizlerde mühim ehl-i ilim de var. Ehl-i ilmin bir kısmında, bir enaniyet-i ilmiye bulunur. Kendi mütevazi de olsa o cihette enaniyetlidir. Çabuk enaniyetini bırakmaz. Kalbi, aklı ne kadar yapışsa da nefsi, o ilmî enaniyeti cihetinde imtiyaz ister, kendini satmak ister, hattâ yazılan risalelere karşı muaraza ister. Kalbi risaleleri sevdiği ve aklı istihsan ettiği ve yüksek bulduğu halde; nefsi ise enaniyet-i ilmiyeden gelen kıskançlık cihetinde zımnî bir adâvet besler gibi Sözler’in kıymetlerinin tenzilini arzu eder tâ ki kendi mahsulat-ı fikriyesi onlara yetişsin, onlar gibi satılsın. Halbuki bilmecburiye bunu haber veriyorum ki:
“Bu dürûs-u Kur’aniyenin dairesi içinde olanlar, allâme ve müçtehidler de olsalar vazifeleri –ulûm-u imaniye cihetinde– yalnız yazılan şu Sözler’in şerhleri ve izahlarıdır veya tanzimleridir. Çünkü çok emarelerle anlamışız ki: Bu ulûm-u imaniyedeki fetva vazifesiyle tavzif edilmişiz. Eğer biri, dairemiz içinde nefsin enaniyet-i ilmiyeden aldığı bir his ile şerh ve izah haricinde bir şey yazsa; soğuk bir muaraza veya nâkıs bir taklitçilik hükmüne geçer. Çünkü çok delillerle ve emarelerle tahakkuk etmiş ki Risale-i Nur eczaları, Kur’an’ın tereşşuhatıdır; bizler, taksimü’l-a’mal kaidesiyle her birimiz, bir vazife deruhte edip o âb-ı hayat tereşşuhatını muhtaç olanlara yetiştiriyoruz!..”
Altıncı Desise-i Şeytaniye şudur ki
İnsandaki tembellik ve ten-perverlik ve vazifedarlık damarından istifade eder. Evet, şeytan-ı ins ve cinnî her cihette hücum ederler. Arkadaşlarımızdan metin kalpli, sadakati kuvvetli, niyeti ihlaslı, himmeti âlî gördükleri vakit başka noktalardan hücum ederler. Şöyle ki:
İşimize sekte ve hizmetimize fütur vermek için onların tembelliklerinden ve ten-perverliklerinden ve vazifedarlıklarından istifade ederler. Onlar, öyle desiselerle onları hizmet-i Kur’aniyeden alıkoyuyorlar ki haberleri olmadan bir kısmına fazla iş buluyorlar, tâ ki hizmet-i Kur’aniyeye vakit bulmasın. Bir kısmına da dünyanın cazibedar şeylerini gösteriyorlar ki hevesi uyanıp hizmete karşı bir gaflet gelsin ve hâkeza…
Bu hücum yolları uzun çeker. Bu uzunlukta kısa keserek dikkatli fehminize havale ederiz.
Ey kardeşlerim! Dikkat ediniz; vazifeniz kudsiyedir, hizmetiniz ulvidir. Her bir saatiniz, bir gün ibadet hükmüne geçebilecek bir kıymettedir. Biliniz ki elinizden kaçmasın!
يَٓا اَيُّهَا الَّذٖينَ اٰمَنُوا اص۟بِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُم۟ تُف۟لِحُونَ وَلَا تَش۟تَرُوا بِاٰيَاتٖى ثَمَنًا قَلٖيلًا
سُب۟حَانَ رَبِّكَ رَبِّ ال۟عِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى ال۟مُر۟سَلٖينَ وَ ال۟حَم۟دُ لِلّٰهِ رَبِّ ال۟عَالَمٖينَ
سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّم۟ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ نِ النَّبِىِّ ال۟اُمِّىِّ ال۟حَبٖيبِ ال۟عَالِى ال۟قَد۟رِ ال۟عَظٖيمِ ال۟جَاهِ وَ عَلٰى اٰلِهٖ وَ صَح۟بِهٖ وَ سَلِّم۟ اٰمٖينَ
Kudsî Bir Tarihçe
Kur’an-ı Hakîm’in mühim bir sırr-ı i’cazîsinin zuhur ettiği senenin tarihi, yine lafz-ı Kur’an’dadır. Şöyle ki:
Kur’an kelimesi, ebced hesabıyla üç yüz elli birdir. İçinde iki elif var, mahfî elif “elfün” okunsa bin manasındaki “elfün”dür. (Hâşiye[10]) Demek 1351 senesine, Sene-i Kur’aniye tabir edilebilir. Çünkü lafz-ı Kur’an’daki tevafukatın sırr-ı acibi, Kur’an’ın tefsiri olan Risale-i Nur eczalarında o sene göründü. Ve Kur’an’daki lafz-ı Celal’in i’cazkârane sırr-ı tevafuku, aynı senede tezahür etti. Ve bir nakş-ı i’cazîyi gösterecek bir Kur’an’ın yeni bir tarzda yazılması, aynı senede oluyor. Ve hatt-ı Kur’an’ın tebdiline karşı, Kur’an şakirdlerinin bütün kuvvetleriyle hatt-ı Kur’anîyi muhafazaya çalışması aynı senededir. Ve Kur’an’ın mühim ezvak-ı i’caziyesi, aynı senede tezahür ediyor. Hem aynı senede Kur’an ile çok münasebettar hâdisat olmuş ve olacak gibi…
Altıncı Risale Olan Altıncı Kısmın Zeyli Es’ile-i Sitte
İstikbalde gelecek nefret ve tahkirden sakınmak için şu mahrem zeyl yazılmıştır. Yani “Tuh o asrın gayretsiz adamlarına!” denildiği zaman, yüzümüze tükürükleri gelmemek için veyahut silmek için yazılmıştır.
Avrupa’nın insaniyet-perver maskesi altında vahşi reislerinin sağır kulakları çınlasın! Ve bu vicdansız gaddarları bize musallat eden o insafsız zalimlerin görmeyen gözlerine sokulsun! Ve bu asırda, yüz bin cihette “Yaşasın cehennem!” dedirten mimsiz medeniyet-perestlerin başlarına vurulmak için yazılmış bir arzuhaldir.
وَمَا لَنَٓا اَلَّا نَتَوَكَّلَ عَلَى اللّٰهِ وَقَد۟ هَدٰينَا سُبُلَنَا وَلَنَص۟بِرَنَّ عَلٰى مَٓا اٰذَي۟تُمُونَا وَعَلَى اللّٰهِ فَل۟يَتَوَكَّلِ ال۟مُتَوَكِّلُونَ
Bu yakınlarda ehl-i ilhadın perde altında tecavüzleri gayet çirkin bir suret aldığından, çok bîçare ehl-i imana ettikleri zalimane ve dinsizcesine tecavüz nevinden bana, hususi ve gayr-ı resmî, kendim tamir ettiğim bir mabedimde, hususi bir iki kardeşimle hususi ibadetimde, gizli ezan ve kametimize müdahale edildi. “Ne için Arapça kamet ediyorsunuz ve gizli ezan okuyorsunuz?” denildi. Sükûtta sabrım tükendi. Kabil-i hitap olmayan öyle vicdansız alçaklara değil; belki milletin mukadderatıyla, keyfî istibdat ile oynayan firavun-meşrep komitenin başlarına derim ki:
Ey ehl-i bid’a ve ilhad! Altı sualime cevap isterim:
Birincisi: Dünyada hükûmet süren, hükmeden her kavmin, hattâ insan eti yiyen yamyamların, hattâ vahşi, canavar bir çete reisinin bir usûlü var, bir düstur ile hükmeder. Siz hangi usûlle bu acib tecavüzü yapıyorsunuz? Kanununuzu ibraz ediniz! Yoksa bazı alçak memurların keyiflerini, kanun mu kabul ediyorsunuz? Çünkü böyle hususi ibadatta kanun yapılmaz ve kanun olamaz!
İkincisi: Nev-i beşerde, hususan bu asr-ı hürriyette ve bilhassa medeniyet dairesinde hemen umumiyetle hüküm-ferma “hürriyet-i vicdan” düsturunu kırmak ve istihfaf etmek ve dolayısıyla nev-i beşeri istihkar etmek ve itirazını hiçe saymak kadar cüretinizle, hangi kuvvete dayanıyorsunuz? Hangi kuvvetiniz var ki siz kendinize “lâdinî” ismi vermekle, ne dine ne dinsizliğe ilişmemeyi ilan ettiğiniz halde; dinsizliği mutaassıbane kendine bir din ittihaz etmek tarzında, dine ve ehl-i dine böyle tecavüz, elbette saklı kalmayacak! Sizden sorulacak! Ne cevap vereceksiniz? Yirmi hükûmetin en küçüğünün itirazına karşı dayanamadığınız halde, nasıl yirmi hükûmetin birden itirazını hiçe sayar gibi hürriyet-i vicdaniyeyi cebrî bir surette bozmaya çalışıyorsunuz?
Üçüncüsü: Mezheb-i Hanefî’nin ulviyetine ve safiyetine münafî bir surette, vicdanını dünyaya satan bir kısım ulemaü’s-sûun yanlış fetvalarıyla, benim gibi Şafiiyyü’l-mezhep adamlara, hangi usûl ile teklif ediyorsunuz? Bu meslekte milyonlar etbaı bulunan Şafiî mezhebini kaldırıp bütün Şafiîleri, Hanefîleştirdikten sonra, bana zulüm suretinde cebren teklif edilse sizin gibi dinsizlerin bir usûlüdür denilebilir. Yoksa keyfî bir alçaklıktır! Öylelerin keyfine tabi değiliz ve tanımayız!
Dördüncüsü: İslâmiyet ile eskiden beri imtizaç ve ittihat eden, ciddi dindar ve dinine samimi hürmetkâr Türklük milliyetine bütün bütün zıt bir surette, Frenklik manasında Türkçülük namıyla, tahriftarane ve bid’akârane bir fetva ile “Türkçe kamet et!” diye benim gibi başka milletten olanlara teklif etmek hangi usûlledir? Evet, hakiki Türklere pek hakiki dostane ve uhuvvetkârane münasebettar olduğum halde, böyle sizin gibi Frenk-meşreplerin Türkçülüğü ile hiçbir cihette münasebetim yoktur. Nasıl bana teklif ediyorsunuz? Hangi kanun ile?
Eğer milyonlarla efradı bulunan ve binler seneden beri milliyetini ve lisanını unutmayan ve Türklerin hakiki bir vatandaşı ve eskiden beri cihad arkadaşı olan Kürtlerin milliyetini kaldırıp onların dilini onlara unutturduktan sonra; belki bizim gibi ayrı unsurdan sayılanlara teklifiniz, bir nevi usûl-ü vahşiyane olur. Yoksa sırf keyfîdir. Eşhasın keyfine tebaiyet edilmez ve etmeyiz!
Beşincisi: Bir hükûmet, kendi raiyetine ve raiyet kabul ettiği adamlara her bir kanununu tatbik etse de raiyet kabul etmediği adamlara, kanununu tatbik edemez. Çünkü onlar diyebilirler ki: “Madem biz raiyetiniz değiliz, siz de bizim hükûmetimiz değilsiniz!”
Hem hiçbir hükûmet, iki cezayı birden vermez. Bir kātili, ya hapse atar veyahut idam eder. Hem hapisle ceza hem idamla ceza bir yerde vermek, hiçbir usûlde yoktur!
İşte madem vatana ve millete hiçbir zararım dokunmadığı halde; beni sekiz senedir, en yabani ve hariç bir milletten cani bir adama dahi yapılmayan bir esaret altına aldınız. Canileri affettiğiniz halde, hürriyetimi selbedip hukuk-u medeniyeden ıskat ederek muamele ettiniz. “Bu da vatan evladıdır.” demediğiniz halde; hangi usûl ile hangi kanun ile bîçare milletinize rızaları hilafına olarak tatbik ettiğiniz bu hürriyet-şiken usûlünüzü, benim gibi her cihetle size yabancı bir adama teklif ediyorsunuz?
Madem Harb-i Umumî’de ordu kumandanlarının şehadetiyle, vasıta olduğumuz çok fedakârlıkları ve vatan uğrunda cansiperane mücahedeleri cinayet saydınız. Ve bîçare milletin hüsn-ü ahlâkını muhafaza ve saadet-i dünyeviye ve uhreviyelerinin teminine pek ciddi ve tesirli çalışmayı hıyanet saydınız. Ve manen menfaatsiz, zararlı, hatarlı, keyfî, küfrî Frenk usûlünü kendinde kabul etmeyen bir adama sekiz sene ceza verdiniz. (Şimdi ceza yirmi sekiz sene oldu.) Ceza bir olur. Tatbikini kabul etmedim, cezayı çektirdiniz. İkinci bir cezayı cebren tatbik etmek, hangi usûl iledir?
Altıncısı: Madem sizlerle, itikadınızca ve bana edilen muameleye nazaran, küllî bir muhalefetimiz var. Siz dininizi ve âhiretinizi, dünyanız uğrunda feda ediyorsunuz. Elbette mabeynimizde –tahmininizce– bulunan muhalefet sırrıyla, biz dahi hilafınıza olarak dünyamızı, dinimiz uğrunda ve âhiretimize her vakit feda etmeye hazırız. Sizin zalimane ve vahşiyane hükmünüz altında bir iki sene zelilane geçecek hayatımızı, kudsî bir şehadeti kazanmak için feda etmek; bize âb-ı kevser hükmüne geçer.
Fakat Kur’an-ı Hakîm’in feyzine ve işaratına istinaden, sizi titretmek için size kat’î haber veriyorum ki:
Beni öldürdükten sonra yaşayamayacaksınız! Kahhar bir el ile cennetiniz ve mahbubunuz olan dünyadan tard edilip ebedî zulümata çabuk atılacaksınız! Arkamdan, pek çabuk sizin Nemrutlaşmış reisleriniz gebertilecek, yanıma gönderilecek. Ben de huzur-u İlahîde yakalarını tutacağım. Adalet-i İlahiye, onları esfel-i safilîne atmakla intikamımı alacağım!
Ey din ve âhiretini dünyaya satan bedbahtlar! Yaşamanızı isterseniz bana ilişmeyiniz! İlişseniz, intikamım muzaaf bir surette sizden alınacağını biliniz, titreyiniz! Ben rahmet-i İlahiyeden ümit ederim ki mevtim, hayatımdan ziyade dine hizmet edecek ve ölümüm başınızda bomba gibi patlayıp başınızı dağıtacak! Cesaretiniz varsa ilişiniz! Yapacağınız varsa göreceğiniz de var! Ben bütün tehdidatınıza karşı, bütün kuvvetimle bu âyeti okuyorum:
اَلَّذٖينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ اِنَّ النَّاسَ قَد۟ جَمَعُوا لَكُم۟ فَاخ۟شَو۟هُم۟ فَزَادَهُم۟ اٖيمَانًا وَ قَالُوا حَس۟بُنَا اللّٰهُ وَنِع۟مَ ال۟وَكٖيلُ
Yedinci Kısım İşarat-ı Seb’a
فَاٰمِنُوا بِاللّٰهِ وَرَسُولِهِ النَّبِىِّ ال۟اُمِّىِّ الَّذٖى يُؤ۟مِنُ بِاللّٰهِ وَكَلِمَاتِهٖ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُم۟ تَه۟تَدُونَ يُرٖيدُونَ اَن۟ يُط۟فِئُوا نُورَ اللّٰهِ بِاَف۟وَاهِهِم۟ وَيَا۟بَى اللّٰهُ اِلَّٓا اَن۟ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَو۟ كَرِهَ ال۟كَافِرُونَ
Üç sualin cevabı olarak yedi işarettir. Birinci sual, dört işarettir.
Birinci İşaret
Şeair-i İslâmiyeyi tağyire teşebbüs edenlerin senetleri ve hüccetleri, yine her fena şeylerde olduğu gibi ecnebileri körü körüne taklitçilik yüzünden geliyor. Diyorlar ki:
“Londra’da ihtida edenler ve ecnebilerden imana gelenler; memleketlerinde ezan ve kamet gibi çok şeyleri kendi lisanlarına tercüme ediyorlar, yapıyorlar. Âlem-i İslâm onlara karşı sükût ediyor, itiraz etmiyor. Demek, bir cevaz-ı şer’î var ki sükût ediliyor?”
Elcevap: Bu kıyasın o kadar zâhir bir farkı var ki hiçbir cihette onlara kıyas etmek ve onları taklit etmek zîşuurun kârı değildir. Çünkü ecnebi diyarına, lisan-ı şeriatta “dâr-ı harp” denilir. Dâr-ı harpte çok şeylere cevaz olabilir ki “diyar-ı İslâm”da mesağ olamaz.
Hem Frengistan diyarı, Hristiyan şevketi dairesidir. Istılahat-ı şer’iyenin maânîsini ve kelimat-ı mukaddesenin mefahimini lisan-ı hal ile telkin edecek ve ihsas edecek bir muhit olmadığından bilmecburiye kudsî maânî, mukaddes elfaza tercih edilmiş; maânî için elfaz terk edilmiş, ehvenü’ş-şer ihtiyar edilmiş.
Diyar-ı İslâm’da ise muhit, o kelimat-ı mukaddesenin meal-i icmalîsini ehl-i İslâm’a lisan-ı hal ile ders veriyor. An’ane-i İslâmiye ve İslâmî tarih ve umum şeair-i İslâmiye ve umum erkân-ı İslâmiyet’e ait muhaverat-ı ehl-i İslâm, o kelimat-ı mukaddesenin mücmel meallerini, mütemadiyen ehl-i imana telkin ediyorlar. Hattâ şu memleketin maâbid ve medaris-i diniyesinden başka makberistanın mezar taşları dahi birer telkin edici, birer muallim hükmündedir ki o maânî-i mukaddeseyi, ehl-i imana ihtar ediyorlar.
Acaba kendine Müslüman diyen bir adam, dünyanın bir menfaati için bir günde elli kelime Frengî lügatından taallüm ettiği halde; elli senede ve her günde elli defa tekrar ettiği Sübhanallah ve Elhamdülillah ve Lâ ilahe İllallah ve Allahu ekber gibi mukaddes kelimeleri öğrenmezse elli defa hayvandan daha aşağı düşmez mi? Böyle hayvanlar için bu kelimat-ı mukaddese, tercüme ve tahrif edilmez ve tehcir edilmezler! Onları tehcir ve tağyir etmek, bütün mezar taşlarını hakketmektir; bu tahkire karşı titreyen, mezaristandaki ehl-i kuburu aleyhlerine döndürmektir.
Ehl-i ilhada kapılan ulemaü’s-sû, milleti aldatmak için diyorlar ki:
İmam-ı A’zam, sair imamlara muhalif olarak demiş ki: “İhtiyaç olsa diyar-ı baîdede, Arabî hiç bilmeyenlere, ihtiyaç derecesine göre Fatiha yerine Farisî tercümesi cevazı var.” Öyle ise biz de muhtacız, Türkçe okuyabiliriz?
Elcevap: İmam-ı A’zam’ın bu fetvasına karşı, başta a’zamî imamların en mühimleri ve sair on iki eimme-i müçtehidîn, o fetvanın aksine fetva veriyorlar. Âlem-i İslâm’ın cadde-i kübrası, o umum eimmenin caddesidir. Mu’zam-ı ümmet, cadde-i kübrada gidebilir. Başka hususi ve dar caddeye sevk edenler, idlâl ediyorlar. İmam-ı A’zam’ın fetvası, beş cihette hususidir:
Birincisi: Merkez-i İslâmiyet’ten uzak diyar-ı âherde bulunanlara aittir.
İkincisi: İhtiyac-ı hakikiye binaendir.
Üçüncüsü: Bir rivayette lisan-ı ehl-i cennetten sayılan Farisî lisanıyla tercümeye mahsustur.
Dördüncüsü: Fatiha’ya mahsus olarak cevaz verilmiş, tâ Fatiha’yı bilmeyen namazı terk etmesin.
Beşincisi: Kuvvet-i imandan gelen bir hamiyet-i İslâmiye ile maânî-i mukaddesenin, avamın tefehhümüne medar olmak için cevaz gösterilmiş. Halbuki zaaf-ı imandan gelen ve menfî fikr-i milliyetten çıkan ve lisan-ı Arabîye karşı nefret ve zaaf-ı imandan tevellüd eden meyl-i tahrip sâikasıyla tercüme edip Arabî aslını terk etmek, dini terk ettirmektir!
İkinci İşaret
Şeair-i İslâmiyeyi tağyir eden ehl-i bid’a, evvela ulemaü’s-sûdan fetva istediler. Sâbıkan beş vecihle hususi olduğunu gösterdiğimiz fetvayı gösterdiler.
Sâniyen: Ehl-i bid’a, ecnebi inkılabcılarından böyle meş’um bir fikir aldılar ki: Avrupa, Katolik mezhebini beğenmeyerek başta ihtilalciler, inkılabcılar ve feylesoflar olarak, Katolik mezhebine göre ehl-i bid’a ve Mutezile telakki edilen Protestanlık mezhebini iltizam edip Fransızların İhtilal-i Kebiri’nden istifade ederek, Katolik mezhebini kısmen tahrip edip Protestanlığı ilan ettiler.
İşte körü körüne taklitçiliğe alışan buradaki hamiyet-füruşlar diyorlar ki:
“Madem Hristiyan dininde böyle bir inkılab oldu; bidayette inkılabcılara mürted denildi, sonra Hristiyan olarak yine kabul edildi. Öyle ise İslâmiyet’te de böyle dinî bir inkılab olabilir?”
Elcevap: Bu kıyasın, Birinci İşaret’teki kıyastan daha ziyade farkı zâhirdir. Çünkü din-i İsevîde yalnız esasat-ı diniye Hazret-i İsa aleyhisselâmdan alındı. Hayat-ı içtimaiyeye ve füruat-ı şer’iyeye dair ekser ahkâmlar, Havariyyun ve sair rüesa-yı ruhaniye tarafından teşkil edildi. Kısm-ı a’zamı, kütüb-ü sâbıka-i mukaddeseden alındı. Hazret-i İsa aleyhisselâm, dünyaca hâkim ve sultan olmadığından ve kavanin-i umumiye-i içtimaiyeye merci olmadığından esasat-ı diniyesi, hariçten bir libas giydirilmiş gibi şeriat-ı Hristiyaniye namına örfî kanunlar, medeni düsturlar alınmış, başka bir suret verilmiş. Bu suret tebdil edilse, o libas değiştirilse yine Hazret-i İsa aleyhisselâmın esas dini bâki kalabilir. Hazret-i İsa aleyhisselâmı inkâr ve tekzip çıkmaz.
Halbuki din ve şeriat-ı İslâmiyenin sahibi olan Fahr-i Âlem aleyhissalâtü vesselâm iki cihanın sultanı, şark ve garp ve Endülüs ve Hint, birer taht-ı saltanatı olduğundan din-i İslâm’ın esasatını bizzat kendisi gösterdiği gibi o dinin teferruatını ve sair ahkâmını, hattâ en cüz’î âdabını dahi bizzat o getiriyor, o haber veriyor, o emir veriyor.
Demek füruat-ı İslâmiye, değişmeye kabil bir libas hükmünde değil ki onlar tebdil edilse esas-ı din bâki kalabilsin. Belki esas-ı dine bir cesettir, lâekall bir cilttir. Onunla imtizaç ve iltiham etmiş, kabil-i tefrik değildir. Onları tebdil etmek, doğrudan doğruya sahib-i şeriatı inkâr ve tekzip etmek çıkar.
Mezahibin ihtilafı ise: Sahib-i şeriatın gösterdiği nazarî düsturların tarz-ı tefehhümünden ileri gelmiştir. “Zaruriyat-ı diniye” denilen ve kabil-i tevil olmayan ve “muhkemat” denilen düsturları ise hiçbir cihette kabil-i tebdil değildir ve medar-ı içtihad olamaz. Onları tebdil eden, başını dinden çıkarıyor يَم۟رُقُونَ مِنَ الدّٖينِ كَمَا يَم۟رُقُ السَّه۟مُ مِنَ ال۟قَو۟سِ kaidesine dâhil oluyor.
Ehl-i bid’a, dinsizliklerine ve ilhadlarına şöyle bir bahane buluyorlar. Diyorlar ki:
“Âlem-i insaniyetin müteselsil hâdisatına sebep olan Fransız İhtilal-i Kebiri’nde, papazlara ve rüesa-yı ruhaniyeye ve onların mezheb-i hâssı olan Katolik mezhebine hücum edildi ve tahrip edildi. Sonra çokları tarafından tasvip edildi. Frenkler dahi ondan sonra daha ziyade terakki ettiler?”
Elcevap: Bu kıyasın dahi evvelki kıyaslar gibi farkı zâhirdir. Çünkü Fransızlarda, havas ve hükûmet adamları elinde çok zaman din-i Hristiyanî, bâhusus Katolik mezhebi; bir vasıta-i tahakküm ve istibdat olmuştu. Havas, o vasıta ile nüfuzlarını avam üzerinde idame ediyorlardı. Ve “serseri” tabir ettikleri avam tabakasında intibaha gelen hamiyet-perverlerini ve havas zalimlerin istibdadına karşı hücum eden hürriyet-perverlerin mütefekkir kısımlarını ezmeye vasıta olduğundan ve dört yüz seneye yakın Frengistanda ihtilaller ile istirahat-i beşeriyeyi bozmaya ve hayat-ı içtimaiyeyi zîr ü zeber etmeye bir sebep telakki edildiğinden o mezhebe, dinsizlik namına değil belki Hristiyanlığın diğer bir mezhebi namına hücum edildi. Ve tabaka-i avamda ve feylesoflarda bir küsmek, bir adâvet hasıl olmuştu ki malûm hâdise-i tarihiye vukua gelmiştir.
Halbuki din-i Muhammedî (asm) ve şeriat-ı İslâmiyeye karşı; hiçbir mazlumun, hiçbir mütefekkirin hakkı yoktur ki ondan şekva etsin. Çünkü onları küstürmüyor, onları himaye ediyor. Tarih-i İslâm meydandadır. İslâmlar içinde bir iki vukuattan başka dâhilî muharebe-i diniye olmamış. Katolik mezhebi ise dört yüz sene ihtilalat-ı dâhiliyeye sebep olmuş.
Hem İslâmiyet, havastan ziyade avamın tahassungâhı olmuştur. Vücub-u zekât ve hurmet-i riba ile havassı, avamın üstünde müstebit yapmak değil, bir cihette hâdim yapıyor. سَيِّدُ ال۟قَو۟مِ خَادِمُهُم۟ خَي۟رُ النَّاسِ مَن۟ يَن۟فَعُ النَّاسَ diyor.
Hem Kur’an-ı Hakîm lisanıyla اَفَلَا تَع۟قِلُونَ اَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ اَفَلَا يَتَفَكَّرُونَ gibi kudsî havaleler ile aklı istişhad ediyor ve ikaz ediyor ve akla havale ediyor, tahkike sevk ediyor. Onun ile ehl-i ilim ve ashab-ı akla din namına makam veriyor, ehemmiyet veriyor. Katolik mezhebi gibi aklı azletmiyor, ehl-i tefekkürü susturmuyor, körü körüne taklit istemiyor.
Hakiki Hristiyanlık değil belki şimdiki Hristiyan dininin esasıyla İslâmiyet’in esası, mühim bir noktadan ayrıldığından sâbık farklar gibi çok cihetlerle ayrı ayrı gidiyorlar. O mühim nokta şudur:
İslâmiyet, tevhid-i hakiki dinidir ki vasıtaları, esbabları ıskat ediyor. Enaniyeti kırıyor, ubudiyet-i hâlisa tesis ediyor. Nefsin rububiyetinden tut, tâ her nevi rububiyet-i bâtılayı katediyor, reddediyor. Bu sır içindir ki havastan bir büyük insan, tam dindar olsa enaniyeti terk etmeye mecbur olur. Enaniyeti terk etmeyen, salabet-i diniyeyi ve kısmen de dinini terk eder.
Şimdiki Hristiyanlık dini ise “velediyet akidesi”ni kabul ettiği için vesait ve esbaba tesir-i hakiki verir. Din namına enaniyeti kırmaz, belki Hazret-i İsa aleyhisselâmın bir mukaddes vekili diye o enaniyete bir kudsiyet verir. Onun için dünyaca en büyük makam işgal eden Hristiyan havasları, tam dindar olabilirler. Hattâ Amerika’nın esbak Reisicumhuru Wilson ve İngilizlerin esbak Reis-i Vükelası Loid George gibi çoklar var ki mutaassıp birer papaz hükmünde dindar oldular.
Müslümanlarda ise öyle makamlara girenler, nadiren tam dindar ve salabetli kalırlar. Çünkü gururu ve enaniyeti bırakamıyorlar. Takva-yı hakiki ise gurur ve enaniyetle içtima edemiyor.
Evet, nasıl ki Hristiyan havassının taassubu, Müslüman havaslarının adem-i salabeti mühim bir farkı gösteriyor; öyle de Hristiyan’dan çıkan feylesoflar, dinlerine karşı lâkayt veya muarız vaziyeti alması ve İslâm’dan çıkan hükemaların kısm-ı a’zamı, hikmetlerini esasat-ı İslâmiyeye bina etmesi; yine mühim bir farkı gösteriyor.
Hem ekseriyetle zindanlara ve musibetlere düşen âmî Hristiyanlar, dinden meded beklemiyorlar. Eskiden çoğu dinsiz oluyordular. Hattâ Fransa’nın İhtilal-i Kebiri’ni çıkaran ve “serseri dinsiz” tabir edilen tarihçe meşhur inkılabcılar, o musibetzede avam kısmıdır. İslâmiyet’te ise ekseriyet-i mutlaka ile hapse ve musibete düşenler, dinden meded beklerler ve dindar oluyorlar. İşte bu hal dahi mühim bir farkı gösteriyor.
Üçüncü İşaret
Ehl-i bid’a diyorlar ki:
“Bu taassub-u dinî, bizi geri bıraktı. Bu asırda yaşamak, taassubu bırakmakla olur. Avrupa, taassubu bıraktıktan sonra terakki etti?”
Elcevap: Yanlışsınız ve aldanmışsınız veya aldatıyorsunuz. Çünkü Avrupa, dininde mutaassıptır. Hattâ bir âdi Bulgar’a veya bir nefer-i İngiliz’e veya bir serseri Fransız’a “Sarık sar. Sarmazsan hapse atılacaksın!” denilse taassupları muktezasınca diyecek: “Hapse değil, öldürseniz bile dinime ve milliyetime bu hakareti yapmayacağım!”
Hem tarih şahittir ki: Ehl-i İslâm ne vakit dinine tam temessük etmiş ise o zamana nisbeten terakki etmiş. Ne vakit salabeti terk etmişse tedenni etmiş. Hristiyanlık ise bilakistir. Bu da mühim bir fark-ı esasîden neş’et etmiş.
Hem İslâmiyet, sair dinlere kıyas edilmez. Bir Müslüman İslâmiyet’ten çıksa ve dinini terk etse daha hiçbir peygamberi kabul edemez; belki Cenab-ı Hakk’ı dahi ikrar edemez ve belki hiçbir mukaddes şeyi tanımaz; belki kendinde kemalâta medar olacak bir vicdan bulunmaz, tefessüh eder. Onun için İslâmiyet nazarında, harbî kâfirin hakk-ı hayatı var. Hariçte olsa musalaha etse, dâhilde olsa cizye verse; İslâmiyetçe hayatı mahfuzdur. Fakat mürtedin hakk-ı hayatı yoktur. Çünkü vicdanı tefessüh eder, hayat-ı içtimaiyeye bir zehir hükmüne geçer.
Halbuki Hristiyan’ın bir dinsizi, yine hayat-ı içtimaiyeye nâfi’ bir vaziyette kalabilir. Bazı mukaddesatı kabul eder ve bazı peygamberlere inanabilir ve Cenab-ı Hakk’ı bir cihette tasdik edebilir.
Acaba bu ehl-i bid’a ve doğrusu ehl-i ilhad, bu dinsizlikte hangi menfaati buluyorlar? Eğer idare ve asayişi düşünüyorlarsa Allah’ı bilmeyen dinsiz on serserinin idaresi ve şerlerini def’etmesi, bin ehl-i diyanetin idaresinden daha müşküldür.
Eğer terakkiyi düşünüyorlarsa öyle dinsizler, idare-i hükûmete muzır oldukları gibi terakkiye dahi manidirler. Terakki ve ticaretin esası olan emniyet ve asayişi kırıyorlar. Doğrusu onlar, meslekçe tahribatçıdırlar. Dünyada en büyük ahmak odur ki böyle dinsiz serserilerden terakki ve saadet-i hayatiyeyi beklesin.
Böyle ahmaklardan mühim bir mevkii işgal eden birisi demiş ki: “Biz, Allah Allah diye diye geri kaldık. Avrupa, top tüfek diye diye ileri gitti.”
“Cevabü’l-ahmaki’s-sükût” kaidesince, böylelere karşı cevap sükûttur. Fakat bazı ahmakların arkasında bedbaht gafiller bulunduğundan deriz ki:
Ey bîçareler! Bu dünya bir misafirhanedir. Her günde otuz bin şahit, cenazeleriyle “El-mevtü hak” hükmünü imza ediyorlar ve o davaya şehadet ediyorlar. Ölümü öldürebilir misiniz? Bu şahitleri tekzip edebilir misiniz? Madem edemiyorsunuz; mevt, Allah Allah dedirtir. Sekeratta Allah Allah yerine; hangi topunuz, hangi tüfeğiniz, zulümat-ı ebedîyi o sekerattakinin önünde ışıklandırır, yeis-i mutlakını ümit-i mutlaka çevirebilir? Madem ölüm var, kabre girilecek; bu hayat gidiyor, bâki bir hayat geliyor. Bir defa top tüfek denilse bin defa Allah Allah demek lâzım gelir. Hem Allah yolunda olsa; tüfek de Allah der, top da Allahu ekber diye bağırır, Allah ile iftar eder, imsak eder.
Dördüncü İşaret
Tahribatçı ehl-i bid’a iki kısımdır:
Bir kısmı –güya din hesabına, İslâmiyet’e sadakat namına– güya dini milliyetle takviye etmek için “Zaafa düşmüş din şecere-i nuraniyesini, milliyet toprağında dikmek, kuvvetleştirmek istiyoruz.” diye dine taraftar vaziyeti gösteriyorlar.
İkinci kısım; millet namına, milliyet hesabına, unsuriyete kuvvet vermek fikrine binaen “Milliyeti, İslâmiyet’le aşılamak istiyoruz.” diye bid’aları icad ediyorlar.
Birinci kısma deriz ki: Ey “sadık ahmak” ıtlakına mâsadak bîçare ulemaü’s-sû veya meczup, akılsız, cahil sofiler! Hakikat-i kâinat içinde kökü yerleşmiş ve hakaik-i kâinata kökler salmış olan Şecere-i Tûba-i İslâmiyet; mevhum, muvakkat, cüz’î, hususi, menfî, belki esassız, garazkâr, zulümkâr, zulmanî unsuriyet toprağına dikilmez! Onu oraya dikmeye çalışmak, ahmakane ve tahripkârane, bid’akârane bir teşebbüstür.
İkinci kısım milliyetçilere deriz ki: Ey sarhoş hamiyet-füruşlar! Bir asır evvel milliyet asrı olabilirdi. Şu asır unsuriyet asrı değil. Bolşevizm, sosyalizm meseleleri istila ediyor; unsuriyet fikrini kırıyor, unsuriyet asrı geçiyor. Ebedî ve daimî olan İslâmiyet milliyeti; muvakkat, dağdağalı unsuriyetle bağlanmaz ve aşılanmaz. Ve aşılamak olsa da İslâm milliyetini ifsad ettiği gibi unsuriyet milliyetini dahi ıslah edemez, ibka edemez. Evet, muvakkat aşılamakta bir zevk ve bir muvakkat kuvvet görünüyor fakat pek muvakkat ve âkıbeti hatarlıdır.
Hem Türk unsurunda ebedî kabil-i iltiyam olmamak suretinde bir inşikak çıkacak. O vakit milletin kuvveti, bir şık, bir şıkkın kuvvetini kırdığı için hiçe inecek. İki dağ birbirine karşı bir mizanın iki gözünde bulunsa; bir batman kuvvet, o iki kuvvet ile oynayabilir; yukarı kaldırır, aşağı indirir.
İkinci Sual, iki işarettir:
Birinci İşaret ki BEŞİNCİ İŞARET’tir.
Mühim bir sualin gayet muhtasar bir cevabıdır.
Sual: Âhir zamanda Hazret-i Mehdi geleceğine ve fesada girmiş âlemi ıslah edeceğine dair müteaddid rivayat-ı sahiha var. Halbuki şu zaman, cemaat zamanıdır; şahıs zamanı değil. Şahıs ne kadar dâhî ve hattâ yüz dâhî derecesinde olsa bir cemaatin mümessili olmazsa bir cemaatin şahs-ı manevîsini temsil etmezse; muhalif bir cemaatin şahs-ı manevîsine karşı mağluptur. Şu zamanda –kuvvet-i velayeti ne kadar yüksek olursa olsun– böyle bir cemaat-i beşeriyenin ifsadat-ı azîmesi içinde nasıl ıslah eder? Eğer Mehdi’nin bütün işleri hârika olsa şu dünyadaki hikmet-i İlahiyeye ve kavanin-i âdetullaha muhalif düşer. Bu Mehdi meselesinin sırrını anlamak istiyoruz?
Elcevap: Cenab-ı Hak kemal-i rahmetinden, şeriat-ı İslâmiyenin ebediyetine bir eser-i himayet olarak, her bir fesad-ı ümmet zamanında bir muslih veya bir müceddid veya bir halife-i zîşan veya bir kutb-u a’zam veya bir mürşid-i ekmel veyahut bir nevi Mehdi hükmünde mübarek zatları göndermiş; fesadı izale edip milleti ıslah etmiş, din-i Ahmedîyi (asm) muhafaza etmiş.
Madem âdeti öyle cereyan ediyor, âhir zamanın en büyük fesadı zamanında; elbette en büyük bir müçtehid hem en büyük bir müceddid hem hâkim hem mehdi hem mürşid hem kutb-u a’zam olarak bir zat-ı nuraniyi gönderecek ve o zat da Ehl-i Beyt-i Nebevîden olacaktır.
Cenab-ı Hak bir dakika zarfında beyne’s-sema ve’l-arz âlemini bulutlarla doldurup boşalttığı gibi bir saniyede denizin fırtınalarını teskin eder ve bahar içinde bir saatte yaz mevsiminin numunesini ve yazda bir saatte kış fırtınasını icad eden Kadîr-i Zülcelal; Mehdi ile de âlem-i İslâm’ın zulümatını dağıtabilir. Ve vaad etmiştir, vaadini elbette yapacaktır.
Kudret-i İlahiye noktasında bakılsa gayet kolaydır. Eğer daire-i esbab ve hikmet-i Rabbaniye noktasında düşünülse yine o kadar makul ve vukua lâyıktır ki eğer Muhbir-i Sadık’tan rivayet olmazsa dahi herhalde öyle olmak lâzım gelir ve olacaktır, diye ehl-i tefekkür hükmeder. Şöyle ki: Felillahi’l-hamd اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّم۟ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّي۟تَ عَلٰى اِب۟رَاهٖيمَ وَ عَلٰى اٰلِ اِب۟رَاهٖيمَ فِى ال۟عَالَمٖينَ اِنَّكَ حَمٖيدٌ مَجٖيدٌ duası –umum ümmet, umum namazında, günde beş defa tekrar ettikleri bu dua– bilmüşahede makbul olmuştur ki Âl-i Muhammed aleyhissalâtü vesselâm, Âl-i İbrahim aleyhisselâm gibi öyle bir vaziyet almış ki umum mübarek silsilelerin başında, umum aktar ve a’sarın mecmalarında o nurani zatlar kumandanlık ediyorlar. (Hâşiye[11]) Ve öyle bir kesrettedirler ki o kumandanların mecmuu, muazzam bir ordu teşkil ediyorlar.
Eğer maddî şekle girse ve bir tesanüd ile bir fırka vaziyetini alsalar İslâmiyet dinini milliyet-i mukaddese hükmünde rabıta-i ittifak ve intibah yapsalar hiçbir milletin ordusu onlara karşı dayanamaz! İşte o pek kesretli, o muktedir ordu, Âl-i Muhammed aleyhissalâtü vesselâmdır ve Hazret-i Mehdi’nin en has ordusudur.
Evet, bugün tarih-i âlemde hiçbir nesil, şecere ile ve senetlerle ve an’ane ile birbirine muttasıl ve en yüksek şeref ve âlî haseb ve asil neseb ile mümtaz hiçbir nesil yoktur ki Âl-i Beyt’ten gelen seyyidler nesli kadar kuvvetli ve ehemmiyetli bulunsun. Eski zamandan beri bütün ehl-i hakikatin fırkaları başında onlar ve ehl-i kemalin namdar reisleri yine onlardır. Şimdi de kemiyeten milyonları geçen bir nesl-i mübarektir. Mütenebbih ve kalpleri imanlı ve muhabbet-i Nebevî ile dolu ve cihan-değer şeref-i intisabıyla serfirazdırlar.
Böyle bir cemaat-i azîme içindeki mukaddes kuvveti tehyic edecek ve uyandıracak hâdisat-ı azîme vücuda geliyor. Elbette o kuvvet-i azîmedeki bir hamiyet-i âliye feveran edecek ve Hazret-i Mehdi başına geçip tarîk-i hak ve hakikate sevk edecek. Böyle olmak ve böyle olmasını, bu kıştan sonra baharın gelmesi gibi âdetullahtan ve rahmet-i İlahiyeden bekleriz ve beklemekte haklıyız.
İkinci İşaret yani ALTINCI İŞARET
Hazret-i Mehdi’nin cemiyet-i nuraniyesi, Süfyan komitesinin tahribatçı rejim-i bid’akâranesini tamir edecek, sünnet-i seniyeyi ihya edecek; yani âlem-i İslâmiyet’te risalet-i Ahmediyeyi (asm) inkâr niyetiyle şeriat-ı Ahmediyeyi (asm) tahribe çalışan Süfyan komitesi, Hazret-i Mehdi cemiyetinin mu’cizekâr manevî kılıncıyla öldürülecek ve dağıtılacak.
Hem âlem-i insaniyette inkâr-ı uluhiyet niyetiyle medeniyet ve mukaddesat-ı beşeriyeyi zîr ü zeber eden Deccal komitesini, Hazret-i İsa aleyhisselâmın din-i hakikisini İslâmiyet’in hakikatiyle birleştirmeye çalışan hamiyetkâr ve fedakâr bir İsevî cemaati namı altında ve “Müslüman İsevîleri” unvanına lâyık bir cemiyet, o Deccal komitesini, Hazret-i İsa aleyhisselâmın riyaseti altında öldürecek ve dağıtacak; beşeri, inkâr-ı uluhiyetten kurtaracak.
Şu mühim sır pek uzundur. Başka yerlerde bir nebze bahsettiğimizden burada bu kısa işaretle iktifa ediyoruz.
YEDİNCİ İŞARET yani Üçüncü Sual
Diyorlar ki: “Senin eski zamandaki müdafaatın ve İslâmiyet hakkındaki mücahedatın, şimdiki tarzda değil. Hem Avrupa’ya karşı İslâmiyet’i müdafaa eden mütefekkirîn tarzında gitmiyorsun. Neden Eski Said vaziyetini değiştirdin? Neden manevî mücahidîn-i İslâmiye tarzında hareket etmiyorsun?
Elcevap: Eski Said ile mütefekkirîn kısmı, felsefe-i beşeriyenin ve hikmet-i Avrupaiyenin düsturlarını kısmen kabul edip onların silahlarıyla onlarla mübareze ediyorlar; bir derece onları kabul ediyorlar. Bir kısım düsturlarını, fünun-u müsbete suretinde lâyetezelzel teslim ediyorlar, o suretle İslâmiyet’in hakiki kıymetini gösteremiyorlar. Âdeta kökleri çok derin zannettikleri hikmetin dallarıyla İslâmiyet’i aşılıyorlar, güya takviye ediyorlar. Bu tarzda galebe az olduğundan ve İslâmiyet’in kıymetini bir derece tenzil etmek olduğundan o mesleği terk ettim.
Hem bilfiil gösterdim ki: İslâmiyet’in esasları o kadar derindir ki felsefenin en derin esasları onlara yetişmez, belki sathî kalır. Otuzuncu Söz, Yirmi Dördüncü Mektup, Yirmi Dokuzuncu Söz bu hakikati bürhanlarıyla ispat ederek göstermiştir.
Eski meslekte, felsefeyi derin zannedip ahkâm-ı İslâmiyeyi zâhirî telakki edip felsefenin dallarıyla bağlamakla durutmak ve muhafaza edilmek zannediliyordu. Halbuki felsefenin düsturlarının ne haddi var ki onlara yetişsin?
سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ الَّذٖى هَدٰينَا لِهٰذَا وَمَا كُنَّا لِنَه۟تَدِىَ لَو۟لَٓا اَن۟ هَدٰينَا اللّٰهُ لَقَد۟ جَٓاءَت۟ رُسُلُ رَبِّنَا بِال۟حَقِّ
اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّم۟ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّي۟تَ عَلٰى سَيِّدِنَا اِب۟رَاهٖيمَ وَ عَلٰى اٰلِ اِب۟رَاهٖيمَ فِى ال۟عَالَمٖينَ اِنَّكَ حَمٖيدٌ مَجٖيدٌ
Sekizinci Kısım Olan Rumuzat-ı Semaniye
“Sekiz Remiz”dir, yani sekiz küçük risaledir. Şu remizlerin esası, ilm-i cifrin mühim bir düsturu ve ulûm-u hafiyenin mühim bir anahtarı ve bir kısım esrar-ı gaybiye-i Kur’aniyenin mühim bir miftahı olan tevafuktur.
İleride müstakillen neşredileceğinden buraya dercedilmedi.
Dokuzuncu Kısım Telvihat-ı Tis’a
اَلَٓا اِنَّ اَو۟لِيَٓاءَ اللّٰهِ لَا خَو۟فٌ عَلَي۟هِم۟ وَلَاهُم۟ يَح۟زَنُونَ
Şu kısım, turuk-u velayet hakkında olup Dokuz Telvihtir.
Birinci Telvih
“Tasavvuf”, “tarîkat”, “velayet”, “seyr ü sülûk” namları altında şirin, nurani, neşeli, ruhanî bir hakikat-i kudsiye vardır ki o hakikat-i kudsiyeyi ilan eden, ders veren, tavsif eden binler cilt kitap ehl-i zevk ve keşfin muhakkikleri yazmışlar, o hakikati ümmete ve bize söylemişler.
جَزَاهُمُ اللّٰهُ خَي۟رًا كَثٖيرًا Biz, o muhit denizinden birkaç katre hükmünde birkaç reşhalarını şu zamanın bazı ilcaatına binaen göstereceğiz.
Sual: Tarîkat nedir?
Elcevap: Tarîkatın gaye-i maksadı, marifet ve inkişaf-ı hakaik-i imaniye olarak, mi’rac-ı Ahmedînin (asm) gölgesinde ve sayesi altında kalp ayağıyla bir seyr ü sülûk-u ruhanî neticesinde, zevkî, halî ve bir derece şuhudî hakaik-i imaniye ve Kur’aniyeye mazhariyet; “tarîkat”, “tasavvuf” namıyla ulvi bir sırr-ı insanî ve bir kemal-i beşerîdir.
Evet, şu kâinatta insan bir fihriste-i câmia olduğundan, insanın kalbi binler âlemin harita-i maneviyesi hükmündedir. Evet, insanın kafasındaki dimağı, hadsiz telsiz telgraf ve telefonların santral denilen merkezi misillü, kâinatın bir nevi merkez-i manevîsi olduğunu gösteren hadsiz fünun ve ulûm-u beşeriye olduğu gibi; insanın mahiyetindeki kalbi dahi hadsiz hakaik-i kâinatın mazharı, medarı, çekirdeği olduğunu hadd ü hesaba gelmeyen ehl-i velayetin yazdıkları milyonlarla nurani kitaplar gösteriyorlar.
İşte madem kalp ve dimağ-ı insanî bu merkezdedir; çekirdek haletinde bir şecere-i azîmenin cihazatını tazammun eder ve ebedî, uhrevî, haşmetli bir makinenin âletleri ve çarkları, içinde dercedilmiştir. Elbette ve herhalde o kalbin Fâtır’ı, o kalbi işlettirmesini ve bi’l-kuvve tavırdan bilfiil vaziyetine çıkarmasını ve inkişafını ve hareketini irade etmiş ki öyle yapmış. Madem irade etmiş, elbette o kalp dahi akıl gibi işleyecek. Ve kalbi işlettirmek için en büyük vasıta, velayet meratibinde zikr-i İlahî ile tarîkat yolunda hakaik-i imaniyeye teveccüh etmektir.
İkinci Telvih
Bu seyr ü sülûk-u kalbînin ve hareket-i ruhaniyenin miftahları ve vesileleri, zikr-i İlahî ve tefekkürdür. Bu zikir ve fikrin mehasini, ta’dad ile bitmez. Hadsiz fevaid-i uhreviyeden ve kemalât-ı insaniyeden kat’-ı nazar, yalnız şu dağdağalı hayat-ı dünyeviyeye ait cüz’î bir faydası şudur ki:
Her insan, hayatın dağdağasından ve ağır tekâlifinden bir derece kurtulmak ve teneffüs etmek için herhalde bir teselli ister, bir zevki arar ve vahşeti izale edecek bir ünsiyeti taharri eder. Medeniyet-i insaniye neticesindeki içtimaat-ı ünsiyetkârane, on insanda bir ikisine muvakkat olarak, belki gafletkârane ve sarhoşçasına bir ünsiyet ve bir ülfet ve bir teselli verir. Fakat yüzde sekseni ya dağlarda, derelerde münferid yaşıyor ya derd-i maişet onu hücra köşelere sevk ediyor ya musibetler ve ihtiyarlık gibi âhireti düşündüren vasıtalar cihetiyle insanların cemaatlerinden gelen ünsiyetten mahrumdurlar. O hal onlara ünsiyet verip teselli etmez.
İşte böylelerin hakiki tesellisi ve ciddi ünsiyeti ve tatlı zevki; zikir ve fikir vasıtasıyla kalbi işletmek, o hücra köşelerde, o vahşetli dağ ve sıkıntılı derelerde kalbine müteveccih olup “Allah!” diyerek kalbi ile ünsiyet edip o ünsiyet ile etrafında vahşetle ona bakan eşyayı ünsiyetkârane tebessüm vaziyetinde düşünüp “Zikrettiğim Hâlık’ımın hadsiz ibadı her tarafta bulunduğu gibi bu vahşetgâhımda da çokturlar. Ben yalnız değilim, tevahhuş manasızdır.” diyerek imanlı bir hayattan ünsiyetli bir zevk alır. Saadet-i hayatiye manasını anlar, Allah’a şükreder.
Üçüncü Telvih
Velayet, bir hüccet-i risalettir; tarîkat, bir bürhan-ı şeriattır. Çünkü risaletin tebliğ ettiği hakaik-i imaniyeyi, velayet bir nevi şuhud-u kalbî ve zevk-i ruhanî ile aynelyakîn derecesinde görür, tasdik eder. Onun tasdiki, risaletin hakkaniyetine kat’î bir hüccettir. Şeriat ders verdiği ahkâmın hakaikini, tarîkat zevkiyle, keşfiyle ve ondan istifadesiyle ve istifazasıyla o ahkâm-ı şeriatın hak olduğuna ve Hak’tan geldiğine bir bürhan-ı bâhirdir.
Evet, nasıl ki velayet ve tarîkat, risalet ve şeriatın hücceti ve delilidir; öyle de İslâmiyet’in bir sırr-ı kemali ve medar-ı envarı ve insaniyetin İslâmiyet sırrıyla bir maden-i terakkiyatı ve bir menba-ı tefeyyüzatıdır.
İşte bu sırr-ı azîmin bu derece ehemmiyetiyle beraber, bazı fırak-ı dâlle onun inkârı tarafına gitmişler. Kendileri mahrum kaldıkları o envardan, başkalarının mahrumiyetine sebep olmuşlar.
En ziyade medar-ı teessüf şudur ki: Ehl-i Sünnet ve Cemaat’in bir kısım zâhirî uleması ve Ehl-i Sünnet ve Cemaat’e mensup bir kısım ehl-i siyaset gafil insanlar; ehl-i tarîkatın içinde gördükleri bazı sû-i istimalatı ve bir kısım hatîatı bahane ederek o hazine-i uzmayı kapatmak, belki tahrip etmek ve bir nevi âb-ı hayatı dağıtan o kevser menbaını kurutmak için çalışıyorlar.
Halbuki eşyada, kusursuz ve her ciheti hayırlı şeyler, meşrepler, meslekler az bulunur. Alâküllihal bazı kusurlar ve sû-i istimalat olacak. Çünkü ehil olmayanlar bir işe girseler elbette sû-i istimal ederler. Fakat Cenab-ı Hak âhirette muhasebe-i a’mal düsturuyla, adalet-i Rabbaniyesini, hasenat ve seyyiatın muvazenesiyle gösteriyor. Yani hasenat râcih ve ağır gelse mükâfatlandırır, kabul eder; seyyiat râcih gelse cezalandırır, reddeder. Hasenat ve seyyiatın muvazenesi, kemiyete bakmaz, keyfiyete bakar. Bazı olur, bir tek hasene bin seyyiata tereccuh eder, affettirir.
Madem adalet-i İlahiye böyle hükmeder ve hakikat dahi bunu hak görür; tarîkat, yani sünnet-i seniye dairesinde tarîkatın hasenatı, seyyiatına kat’iyen müreccah olduğuna delil; ehl-i tarîkat, ehl-i dalaletin hücumu zamanında imanlarını muhafaza etmesidir. Âdi bir samimi ehl-i tarîkat; surî, zâhirî bir mütefenninden daha ziyade kendini muhafaza eder. O zevk-i tarîkat vasıtasıyla ve o muhabbet-i evliya cihetiyle imanını kurtarır. Kebairle fâsık olur fakat kâfir olmaz, kolaylıkla zındıkaya sokulmaz. Şedit bir muhabbet ve metin bir itikad ile aktab kabul ettiği bir silsile-i meşayihi, onun nazarında hiçbir kuvvet çürütemez. Çürütmediği için onlardan itimadını kesemez. Onlardan itimadı kesilmezse zındıkaya giremez. Tarîkatta hissesi olmayan ve kalbi harekete gelmeyen, bir muhakkik âlim zat da olsa şimdiki zındıkların desiselerine karşı kendini tam muhafaza etmesi müşkülleşmiştir.
Bir şey daha var ki: Daire-i takvadan hariç, belki daire-i İslâmiyet’ten hariç bir suret almış bazı meşreplerin ve tarîkat namını haksız olarak kendine takanların seyyiatıyla, tarîkat mahkûm olamaz.
Tarîkatın dinî ve uhrevî ve ruhanî çok mühim ve ulvi neticelerinden sarf-ı nazar, yalnız âlem-i İslâm içindeki kudsî bir rabıta olan uhuvvetin inkişafına ve inbisatına en birinci, tesirli ve hararetli vasıta tarîkatlar olduğu gibi; âlem-i küfrün ve siyaset-i Hristiyaniyenin, nur-u İslâmiyet’i söndürmek için müthiş hücumlarına karşı dahi üç mühim ve sarsılmaz kale-i İslâmiyeden bir kalesidir.
Merkez-i hilafet olan İstanbul’u beş yüz elli sene bütün âlem-i Hristiyaniyenin karşısında muhafaza ettiren, İstanbul’da beş yüz yerde fışkıran envar-ı tevhid ve o merkez-i İslâmiyedeki ehl-i imanın mühim bir nokta-i istinadı, o büyük camilerin arkalarındaki tekyelerde “Allah Allah!” diyenlerin kuvvet-i imaniyeleri ve marifet-i İlahiyeden gelen bir muhabbet-i ruhanî ile cûş u hurûşlarıdır.
İşte ey akılsız hamiyet-füruşlar ve sahtekâr milliyet-perverler! Tarîkatın, hayat-ı içtimaiyenizde bu hasenesini çürütecek hangi seyyiatlarıdır, söyleyiniz?
Dördüncü Telvih
Meslek-i velayet çok kolay olmakla beraber çok müşkülatlıdır, çok kısa olmakla beraber çok uzundur, çok kıymettar olmakla beraber çok hatarlıdır, çok geniş olmakla beraber çok dardır.
İşte bu sırlar içindir ki o yolda sülûk edenler bazen boğulur, bazen zararlı düşer, bazen döner başkalarını yoldan çıkarır.
Ezcümle: Tarîkatta “seyr-i enfüsî” ve “seyr-i âfakî” tabirleri altında iki meşrep var.
Birinci meşrep, enfüsî meşrebidir; nefisten başlar, hariçten gözünü çeker, kalbe bakar, enaniyeti deler geçer, kalbinden yol açar, hakikati bulur. Sonra âfaka girer. O vakit âfakı nurani görür. Çabuk o seyri bitirir. Enfüsî dairesinde gördüğü hakikati, büyük bir mikyasta onda da görür. Turuk-u hafiyenin çoğu bu yol ile gidiyor. Bunun da en mühim esası; enaniyeti kırmak, hevayı terk etmek, nefsi öldürmektir.
İkinci meşrep; âfaktan başlar, o daire-i kübranın mezâhirinde cilve-i esma ve sıfâtı seyredip sonra daire-i enfüsiyeye girer. Küçük bir mikyasta, daire-i kalbinde o envarı müşahede edip onda en yakın yolu açar. Kalp, âyine-i Samed olduğunu görür, aradığı maksada vâsıl olur.
İşte birinci meşrepte sülûk eden insanlar; nefs-i emmareyi öldürmeye muvaffak olamazsa, hevayı terk edip enaniyeti kırmazsa şükür makamından fahir makamına düşer, fahirden gurura sukut eder. Eğer muhabbetten gelen bir incizab ve incizabdan gelen bir nevi sekir beraber bulunsa “şatahat” namıyla haddinden çok fazla davalar ondan sudûr eder. Hem kendi zarar eder hem başkasının zararına sebep olur.
Mesela, nasıl ki bir mülazım, kendinde bulunan kumandanlık zevkiyle ve neşesiyle gururlansa kendini bir müşir zanneder. Küçücük dairesini, o küllî daire ile iltibas eder. Ve bir küçük âyinede görünen bir güneşi, denizin yüzünde haşmetiyle cilvesi görünen güneşle bir cihet-i müşabehetle iltibasa sebep olur. Öyle de çok ehl-i velayet var ki bir sineğin bir tavus kuşuna nisbeti gibi kendinden o derece büyük olanlardan kendini büyük görür ve öyle de müşahede ediyor, kendini haklı buluyor.
Hattâ ben gördüm ki: Yalnız kalbi intibaha gelmiş, uzaktan uzağa velayetin sırrını kendinde hissetmiş, kendini kutb-u a’zam telakki edip o tavrı takınıyordu. Ben dedim: “Kardeşim! Nasıl ki kanun-u saltanatın, sadrazam dairesinden tâ nahiye müdürü dairesine kadar bir tarzda cüz’î küllî cilveleri var; öyle de velayetin ve kutbiyetin dahi öyle muhtelif daire ve cilveleri var. Her bir makamın çok zılleri ve gölgeleri var. Sen, sadrazam-misal kutbiyetin a’zam cilvesini, bir müdür dairesi hükmünde olan kendi dairende o cilveyi görmüşsün, aldanmışsın. Gördüğün doğrudur fakat hükmün yanlıştır. Bir sineğe bir kap su, bir küçük denizdir.” O zat şu cevabımdan inşâallah ayıldı ve o vartadan kurtuldu.
Hem ben müteaddid insanları gördüm ki bir nevi Mehdi kendilerini biliyorlardı ve “Mehdi olacağım.” diyorlardı. Bu zatlar yalancı ve aldatıcı değiller, belki aldanıyorlar. Gördüklerini, hakikat zannediyorlar. Esma-i İlahînin nasıl ki tecelliyatı, arş-ı a’zam dairesinden tâ bir zerreye kadar cilveleri var ve o esmaya mazhariyet de o nisbette tefavüt eder. Öyle de mazhariyet-i esmadan ibaret olan meratib-i velayet dahi öyle mütefavittir. Şu iltibasın en mühim sebebi şudur:
Makamat-ı evliyadan bazı makamlarda Mehdi vazifesinin hususiyeti bulunduğu ve kutb-u a’zama has bir nisbeti göründüğü ve Hazret-i Hızır’ın bir münasebet-i hâssası olduğu gibi, bazı meşahirle münasebettar bazı makamat var. Hattâ o makamlara “Makam-ı Hızır”, “Makam-ı Üveys”, “Makam-ı Mehdiyet” tabir edilir.
İşte bu sırra binaen, o makama ve o makamın cüz’î bir numunesine veya bir gölgesine girenler, kendilerini o makamla has münasebettar meşhur zatlar zannediyorlar. Kendini Hızır telakki eder veya Mehdi itikad eder veya kutb-u a’zam tahayyül eder.
Eğer hubb-u câha talip enaniyeti yoksa o halde mahkûm olmaz. Onun haddinden fazla davaları, şatahat sayılır. Onunla belki mes’ul olmaz.
Eğer enaniyeti perde ardında hubb-u câha müteveccih ise o zat, enaniyete mağlup olup şükrü bırakıp fahre girse fahirden gitgide gurura sukut eder. Ya divanelik derecesine sukut eder veyahut tarîk-i haktan sapar. Çünkü büyük evliyayı, kendi gibi telakki eder, haklarındaki hüsn-ü zannı kırılır. Zira nefis ne kadar mağrur da olsa kendisi kendi kusurunu derk eder. O büyükleri de kendine kıyas edip kusurlu tevehhüm eder. Hattâ enbiyalar hakkında da hürmeti noksanlaşır.
İşte bu hale giriftar olanlar, mizan-ı şeriatı elde tutmak ve usûlü’d-din ulemasının düsturlarını kendine ölçü ittihaz etmek ve İmam-ı Gazalî ve İmam-ı Rabbanî gibi muhakkikîn-i evliyanın talimatlarını rehber etmek gerektir. Ve daima nefsini ittiham etmektir. Ve kusurdan, acz ve fakrdan başka nefsin eline vermemektir.
Bu meşrepteki şatahat, hubb-u nefisten neş’et ediyor. Çünkü muhabbet gözü, kusuru görmez. Nefsine muhabbeti için o kusurlu ve liyakatsiz bir cam parçası gibi nefsini, bir pırlanta, bir elmas zanneder.
Bu nevi içindeki en tehlikeli bir hata şudur ki kalbine ilhamî bir tarzda gelen cüz’î manaları “kelâmullah” tahayyül edip âyet tabir etmeleridir. Ve onunla, vahyin mertebe-i ulyâ-yı akdesine bir hürmetsizlik gelir. Evet, bal arısının ve hayvanatın ilhamatından tut, tâ avam-ı nâsın ve havass-ı beşeriyenin ilhamatına kadar ve avam-ı melâikenin ilhamatından, tâ havass-ı kerrûbiyyunun ilhamatına kadar bütün ilhamat, bir nevi kelimat-ı Rabbaniyedir. Fakat mazharların ve makamların kabiliyetine göre kelâm-ı Rabbanî, yetmiş bin perdede telemmu eden ayrı ayrı cilve-i hitab-ı Rabbanîdir.
Amma vahiy ve kelâmullahın ism-i hâssı ve onun en bâhir misal-i müşahhası olan Kur’an’ın necimlerine ism-i has olan “âyet” namı öyle ilhamata verilmesi, hata-yı mahzdır. On İkinci ve Yirmi Beşinci ve Otuz Birinci Sözlerde beyan ve ispat edildiği gibi elimizdeki boyalı âyinede görünen küçük ve sönük ve perdeli güneşin misali, semadaki güneşe ne nisbeti varsa; öyle de o müddeîlerin kalbindeki ilham dahi doğrudan doğruya kelâm-ı İlahî olan Kur’an güneşinin âyetlerine nisbeti, o derecededir. Evet, her bir âyinede görünen güneşin misalleri, güneşindir ve onunla münasebettardır denilse haktır fakat o güneşçiklerin âyinesine küre-i arz takılmaz ve onun cazibesiyle bağlanmaz!
Beşinci Telvih
Tarîkatın gayet mühim bir meşrebi olan “vahdetü’l-vücud” namı altındaki vahdetü’ş-şuhud, yani Vâcibü’l-vücud’un vücuduna hasr-ı nazar edip sair mevcudatı, o vücud-u Vâcib’e nisbeten o kadar zayıf ve gölge görür ki vücud ismine lâyık olmadığını hükmedip, hayal perdesine sarıp terk-i mâsiva makamında onları hiç saymak, hattâ ma’dum tasavvur etmek, yalnız cilve-i esma-i İlahiyeye hayalî bir âyine vaziyeti vermek kadar ileri gider.
İşte bu meşrebin ehemmiyetli bir hakikati var ki: Vâcibü’l-vücud’un vücudu, iman kuvvetiyle ve yüksek bir velayetin hakkalyakîn derecesinde inkişafıyla, vücud-u mümkinat o derece aşağıya düşer ki hayal ve ademden başka onun nazarında makamları kalmaz; âdeta Vâcibü’l-vücud’un hesabına kâinatı inkâr eder.
Fakat bu meşrebin tehlikeleri var. En birincisi şudur ki: Erkân-ı imaniye altıdır. İman-ı billahtan başka, iman-ı bi’l-yevmi’l-âhir gibi rükünler var. Bu rükünler ise mümkinatın vücudlarını ister. O muhkem erkân-ı imaniye, hayal üstünde bina edilmez! Onun için o meşrep sahibi, âlem-i istiğrak ve sekirden âlem-i sahve girdiği vakit, o meşrebi beraber almamak gerektir ve o meşrebin muktezasıyla amel etmemek lâzımdır.
Hem kalbî ve halî ve zevkî olan bu meşrebi, aklî ve kavlî ve ilmî suretine çevirmemektir. Çünkü Kitap ve sünnetten gelen desatir-i akliye ve kavanin-i ilmiye ve usûl-ü kelâmiye o meşrebi kaldıramıyor, kabil-i tatbik olamıyor. Onun için Hulefa-yı Raşidîn’den ve Eimme-i Müçtehidîn’den ve selef-i salihînin büyüklerinden, o meşrep sarîhan görünmüyor.
Demek, en âlî bir meşrep değil. Belki yüksek fakat nâkıs. Çok ehemmiyetli fakat çok hatarlı. Çok ağır fakat çok zevklidir. O zevk için ona girenler, ondan çıkmak istemiyorlar, hodgâmlık ile en yüksek mertebe zannediyorlar.
Bu meşrebin esasını ve mahiyetini, Nokta Risalesi’nde ve bir kısım Sözlerde ve Mektubatta bir derece beyan ettiğimizden, onlara iktifaen, şurada o mühim meşrebin ehemmiyetli bir vartasını beyan edeceğiz. Şöyle ki:
O meşrep, daire-i esbabdan geçip terk-i mâsiva sırrıyla mümkinattan alâkasını kesen ehass-ı havassın istiğrak-ı mutlak haletinde mazhar olduğu salih bir meşreptir. Şu meşrebi, esbab içinde boğulanların ve dünyaya âşık olanların ve felsefe-i maddiye ile tabiata saplananların nazarına ilmî bir surette telkin etmek, tabiat ve maddede onları boğdurmaktır ve hakikat-i İslâmiyeden uzaklaştırmaktır.
Çünkü dünyaya âşık ve daire-i esbaba bağlı bir nazar, bu fâni dünyaya bir nevi beka vermek ister. O dünya mahbubunu elinden kaçırmak istemiyor; vahdetü’l-vücud bahanesiyle ona bir bâki vücud tevehhüm eder, o mahbubu olan dünya hesabına ve beka ve ebediyeti ona tam mal etmesine binaen, bir mabudiyet derecesine çıkarır –neûzübillah– Allah’ı inkâr etmek vartasına yol açar.
Şu asırda maddiyyunluk fikri o derece istila etmiş ki maddiyatı her şeye merci biliyorlar. Böyle bir asırda has ehl-i iman, maddiyatı idam eder derecesinde ehemmiyetsiz gördüklerinden; vahdetü’l-vücud meşrebi ortaya atılsa belki maddiyyunlar sahip çıkacaklar “Biz de böyle diyoruz.” diyecekler. Halbuki dünyada meşarib içinde, maddiyyunların ve tabiat-perestlerin mesleğinden en uzak meşrep, vahdetü’l-vücud meşrebidir. Çünkü ehl-i vahdetü’l-vücud, o kadar vücud-u İlahîye kuvvet-i iman ile ehemmiyet veriyorlar ki kâinatı ve mevcudatı inkâr ediyorlar. Maddiyyunlar ise o kadar mevcudata ehemmiyet veriyorlar ki kâinat hesabına, Allah’ı inkâr ediyorlar. İşte bunlar nerede? Ötekiler nerede?
Altıncı Telvih
Üç noktadır.
Birinci Nokta:
Velayet yolları içinde en güzeli en müstakimi en parlağı en zengini, sünnet-i seniyeye ittibadır. Yani a’mal ve harekâtında sünnet-i seniyeyi düşünüp ona tabi olmak ve taklit etmek ve muamelat ve ef’alinde ahkâm-ı şer’iyeyi düşünüp rehber ittihaz etmektir.
İşte bu ittiba ve iktida vasıtasıyla, âdi ahvali ve örfî muameleleri ve fıtrî hareketleri ibadet şekline girmekle beraber; her bir ameli, sünneti ve şer’i o ittiba noktasında düşündürmekle, bir tahattur-u hükm-ü şer’î veriyor. O tahattur ise sahib-i şeriatı düşündürüyor. O düşünmek ise Cenab-ı Hakk’ı hatıra getiriyor. O hatıra, bir nevi huzur veriyor. O halde mütemadiyen ömür dakikaları, huzur içinde bir ibadet hükmüne getirilebilir. İşte bu cadde-i kübra, velayet-i kübra olan ehl-i veraset-i nübüvvet olan sahabe ve selef-i salihînin caddesidir.
İkinci Nokta:
Velayet yollarının ve tarîkat şubelerinin en mühim esası, ihlastır. Çünkü ihlas ile hafî şirklerden halâs olur. İhlası kazanmayan, o yollarda gezemez. Ve o yolların en keskin kuvveti, muhabbettir. Evet muhabbet, mahbubunda bahaneler aramaz ve kusurlarını görmek istemez. Ve kemaline delâlet eden zayıf emareleri, kavî hüccetler hükmünde görür. Daima mahbubuna taraftardır.
İşte bu sırra binaendir ki muhabbet ayağıyla marifetullaha teveccüh eden zatlar; şübehata ve itirazata kulak vermezler, ucuz kurtulurlar. Binler şeytan toplansa onların mahbub-u hakikisinin kemaline işaret eden bir emareyi, onların nazarında iptal edemez. Eğer muhabbet olmazsa o vakit kendi nefsi ve şeytanı ve haricî şeytanların ettikleri itirazat içinde çok çırpınacak. Kahramancasına bir metanet ve kuvvet-i iman ve dikkat-i nazar lâzımdır ki kendisini kurtarsın.
İşte bu sırra binaendir ki umum meratib-i velayette marifetullahtan gelen muhabbet, en mühim mâye ve iksirdir. Fakat muhabbetin bir vartası var ki ubudiyetin sırrı olan niyazdan, mahviyetten naza ve davaya atlar, mizansız hareket eder. Mâsiva-yı İlahiyeye teveccühü hengâmında, mana-yı harfîden mana-yı ismîye geçmesiyle tiryak iken zehir olur. Yani gayrullahı sevdiği vakit, Cenab-ı Hak hesabına ve onun namına, onun bir âyine-i esması olmak cihetiyle rabt-ı kalp etmek lâzımken; bazen o zatı, o zat hesabına, kendi kemalât-ı şahsiyesi ve cemal-i zatîsi namına düşünüp mana-yı ismiyle sever. Allah’ı ve peygamberi düşünmeden yine onları sevebilir. Bu muhabbet, muhabbetullaha vesile değil, perde oluyor. Mana-yı harfî ile olsa muhabbetullaha vesile olur, belki cilvesidir denilebilir.
Üçüncü Nokta:
Bu dünya dârü’l-hikmettir, dârü’l-hizmettir; dârü’l-ücret ve mükâfat değil. Buradaki a’mal ve hizmetlerin ücretleri berzahta ve âhirettedir. Buradaki a’mal, berzahta ve âhirette meyve verir. Madem hakikat budur, a’mal-i uhreviyeye ait neticeleri dünyada istememek gerektir. Verilse de memnunane değil, mahzunane kabul etmek lâzımdır. Çünkü cennetin meyveleri gibi kopardıkça yerine aynı gelmek sırrıyla, bâki hükmünde olan amel-i uhrevî meyvesini, bu dünyada fâni bir surette yemek, kâr-ı akıl değildir. Bâki bir lambayı, bir dakika yaşayacak ve sönecek bir lamba ile mübadele etmek gibidir.
İşte bu sırra binaen ehl-i velayet, hizmet ve meşakkat ve musibet ve külfeti hoş görüyorlar, nazlanmıyorlar, şekva etmiyorlar.
اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ عَلٰى كُلِّ حَالٍ diyorlar. Keşif ve keramet, ezvak ve envar verildiği vakit, bir iltifat-ı İlahî nevinden kabul edip setrine çalışıyorlar. Fahre değil belki şükre, ubudiyete daha ziyade giriyorlar. Çokları o ahvalin istitar ve inkıtaını istemişler, tâ ki amellerindeki ihlas zedelenmesin.
Evet, makbul bir insan hakkında en mühim bir ihsan-ı İlahî, ihsanını ona ihsas etmemektir; tâ niyazdan naza ve şükürden fahre girmesin.
İşte bu hakikate binaendir ki velayeti ve tarîkatı isteyenler; eğer velayetin bazı tereşşuhatı olan ezvak ve keramatı isterlerse ve onlara müteveccih ise ve onlardan hoşlansa; bâki, uhrevî meyveleri, fâni dünyada, fâni bir surette yemek kabîlinden olmakla beraber; velayetin mâyesi olan ihlası kaybedip velayetin kaçmasına meydan açar.
Yedinci Telvih
Dört nüktedir.
Birinci Nükte:
Şeriat; doğrudan doğruya, gölgesiz, perdesiz, sırr-ı ehadiyet ile rububiyet-i mutlaka noktasında hitab-ı İlahînin neticesidir. Tarîkatın ve hakikatin en yüksek mertebeleri, şeriatın cüzleri hükmüne geçer. Yoksa daima vesile ve mukaddime ve hâdim hükmündedirler. Neticeleri, şeriatın muhkematıdır.
Yani hakaik-i şeriata yetişmek için tarîkat ve hakikat meslekleri, vesile ve hâdim ve basamaklar hükmündedir. Gitgide en yüksek mertebede, nefs-i şeriatta bulunan mana-yı hakikat ve sırr-ı tarîkata inkılab ederler. O vakit, şeriat-ı kübranın cüzleri oluyorlar.
Yoksa bazı ehl-i tasavvufun zannettikleri gibi şeriatı zâhirî bir kışır, hakikati onun içi ve neticesi ve gayesi tasavvur etmek doğru değildir.
Evet şeriatın, tabakat-ı nâsa göre inkişafatı ayrı ayrıdır. Avam-ı nâsa göre zâhir-i şeriatı, hakikat-i şeriat zannedip havassa münkeşif olan şeriatın mertebesine “hakikat ve tarîkat” namı vermek yanlıştır. Şeriatın umum tabakata bakacak meratibi var.
İşte bu sırra binaendir ki ehl-i tarîkat ve ashab-ı hakikat ileri gittikçe hakaik-i şeriata karşı incizabları, iştiyakları, ittibaları ziyadeleşiyor. En küçük bir sünnet-i seniyeyi, en büyük bir maksat gibi telakki edip onun ittibaına çalışıyorlar, onu taklit ediyorlar. Çünkü vahiy ne kadar ilhamdan yüksek ise semere-i vahiy olan âdab-ı şer’iye, o derece semere-i ilham olan âdab-ı tarîkattan yüksek ve ehemmiyetlidir. Onun için tarîkatın en mühim esası, sünnet-i seniyeye ittiba etmektir.
İkinci Nükte:
Tarîkat ve hakikat, vesilelikten çıkmamak gerektir. Eğer maksud-u bizzat hükmüne geçseler o vakit şeriatın muhkematı ve ameliyatı ve sünnet-i seniyeye ittiba, resmî hükmünde kalır; kalp öteki tarafa müteveccih olur. Yani namazdan ziyade halka-i zikri düşünür; feraizden ziyade, evradına müncezib olur; kebairden kaçmaktan ziyade, âdab-ı tarîkatın muhalefetinden kaçar. Halbuki muhkemat-ı şeriat olan farzların bir tanesine, evrad-ı tarîkat mukabil gelemez; yerini dolduramaz.
Âdab-ı tarîkat ve evrad-ı tasavvuf, o feraizin içindeki hakiki zevke medar-ı teselli olmalı, menşe olmamalı. Yani tekyesi, camideki namazın zevkine ve ta’dil-i erkânına vesile olmalı; yoksa camideki namazı çabuk resmî kılıp hakiki zevkini ve kemalini tekyede bulmayı düşünen, hakikatten uzaklaşıyor.
Üçüncü Nükte:
“Sünnet-i seniye ve ahkâm-ı şeriat haricinde tarîkat olabilir mi?” diye sual ediliyor.
Elcevap: Hem var hem yok. Vardır, çünkü bazı evliya-yı kâmilîn, şeriat kılıncıyla idam edilmişler. Hem yoktur, çünkü muhakkikîn-i evliya, Sa’dî-i Şirazî’nin bu düsturunda ittifak etmişler:
مُحَالَس۟ت۟ سَع۟دٖى بَرَاهِ صَفَا ظَفَر۟ بُر۟دَن۟ جُز۟ دَر۟ پَىِ مُص۟طَفٰى
Yani “Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâmın caddesinden hariç ve onun arkasından gitmeyen muhaldir ki hakiki envar-ı hakikate vâsıl olabilsin.” Bu meselenin sırrı şudur ki:
Madem Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâm Hâtemü’l-enbiya’dır ve umum nev-i beşer namına muhatab-ı İlahîdir; elbette nev-i beşer, onun caddesi haricinde gidemez ve bayrağı altında bulunmak zarurîdir.
Ve madem ehl-i cezbe ve ehl-i istiğrak, muhalefetlerinden mes’ul olamazlar. Ve madem insanda bazı letaif var ki teklif altına giremez; o latîfe hâkim olduğu vakit, tekâlif-i şer’iyeye muhalefetiyle mes’ul tutulmaz. Ve madem insanda bazı letaif var ki teklif altına girmediği gibi ihtiyar altına da girmez, hattâ aklın tedbiri altına da girmez; o latîfe, kalbi ve aklı dinlemez. Elbette o latîfe bir insanda hâkim olduğu zaman –fakat o zamana mahsus olarak– o zat, şeriata muhalefette velayet derecesinden sukut etmez, mazur sayılır. Fakat bir şartla ki hakaik-i şeriata ve kavaid-i imaniyeye karşı bir inkâr, bir tezyif, bir istihfaf olmasın. Ahkâmı yapmasa da ahkâmı hak bilmek gerektir. Yoksa o hale mağlup olup neûzübillah, o hakaik-i muhkemeye karşı inkâr ve tekzibi işmam edecek bir vaziyet, alâmet-i sukuttur!
Elhasıl: Daire-i şeriatın haricinde bulunan ehl-i tarîkat iki kısımdır:
Bir kısmı: –Sâbıkan geçtiği gibi– ya hale, istiğraka, cezbeye ve sekre mağlup olup veya teklifi dinlemeyen veya ihtiyarı işitmeyen latîfelerin mahkûmu olup daire-i şeriatın haricine çıkıyor. Fakat o çıkmak, ahkâm-ı şeriatı beğenmemekten veya istememekten değil; belki mecburiyetle ihtiyarsız terk ediyor.
Bu kısım ehl-i velayet var. Hem mühim veliler, bunların içinde muvakkaten bulunmuş. Hattâ bu neviden; değil yalnız daire-i şeriattan, belki daire-i İslâmiyet haricinde bulunduğunu bazı muhakkikîn-i evliya hükmetmişler. Fakat bir şartla: Muhammed aleyhissalâtü vesselâmın getirdiği ahkâmın hiçbirini tekzip etmemektir. Belki ya düşünmüyor veya müteveccih olamıyor veyahut bilemiyor ve bilmiyor. Bilse kabul etmese olmaz!
İkinci kısım ise: Tarîkat ve hakikatin parlak ezvaklarına kapılıp mezâkından çok yüksek olan hakaik-i şeriatın derece-i zevkine yetişemediği için zevksiz, resmî bir şey telakki edip ona karşı lâkayt kalır. Gitgide, şeriatı zâhirî bir kışır zanneder. Bulduğu hakikati, esas ve maksud telakki eder. “Ben onu buldum, o bana yeter.” der, ahkâm-ı şeriata muhalif hareket eder. Bu kısımdan aklı başında olanlar mes’uldürler, sukut ediyorlar, belki kısmen şeytana maskara oluyorlar.
Dördüncü Nükte:
Ehl-i dalalet ve bid’at fırkalarından bir kısım zatlar, ümmet nazarında makbul oluyorlar. Aynen onlar gibi zatlar var, zâhirî hiçbir fark yokken ümmet reddediyor. Bunda hayret ediyordum.
Mesela, Mutezile mezhebinde Zemahşerî gibi İtizal’de en mutaassıp bir fert olduğu halde, muhakkikîn-i Ehl-i Sünnet, onun o şedit itirazatına karşı onu tekfir ve tadlil etmiyorlar, belki bir râh-ı necat onun için arıyorlar. Zemahşerî’nin derece-i şiddetinden çok aşağı Ebu Ali Cübbaî gibi Mutezile imamlarını, merdud ve matrud sayıyorlar.
Çok zaman bu sır benim merakıma dokunuyordu. Sonra lütf-u İlahî ile anladım ki: Zemahşerî’nin Ehl-i Sünnet’e itirazatı, hak zannettiği mesleğindeki muhabbet-i haktan ileri geliyordu. Yani mesela, tenzih-i hakiki; onun nazarında, hayvanlar kendi ef’aline hâlık olmasıyla oluyor. Onun için Cenab-ı Hakk’ı tenzih muhabbetinden, Ehl-i Sünnet’in halk-ı ef’al meselesinde düsturunu kabul etmiyor. Merdud olan sair Mutezile imamları muhabbet-i haktan ziyade, Ehl-i Sünnet’in yüksek düsturlarına kısa akılları yetişemediğinden ve geniş kavanin-i Ehl-i Sünnet, onların dar fikirlerine yerleşmediğinden, inkâr ettiklerinden merduddurlar.
Aynen bu ilm-i kelâmdaki Ehl-i İtizal’in Ehl-i Sünnet ve Cemaat’e muhalefeti olduğu gibi sünnet-i seniye haricindeki bir kısım ehl-i tarîkatın muhalefeti dahi iki cihetledir:
Biri: Zemahşerî gibi; haline, meşrebine meftuniyet cihetinde daha derece-i zevkine yetişemediği âdab-ı şeriata karşı bir derece lâkayt kalır.
Diğer kısmı ise: Hâşâ âdab-ı şeriata, desatir-i tarîkata nisbeten ehemmiyetsiz bakar. Çünkü dar havsalası, o geniş ezvakı ihata edemiyor ve kısa makamı, o yüksek âdaba yetişemiyor.
Sekizinci Telvih
Sekiz vartayı beyan eder:
Birincisi:
Sünnet-i seniyeye tamam ittibaı riayet etmeyen bir kısım ehl-i sülûk; velayeti, nübüvvete tercih etmekle vartaya düşer.
Yirmi Dördüncü ve Otuz Birinci Sözlerde, nübüvvet ne kadar yüksek olduğu ve velayet ona nisbeten ne kadar sönük olduğu ispat edilmiştir.
İkincisi:
Ehl-i tarîkatın müfrit bir kısmı evliyayı sahabeye tercih, hattâ enbiya derecesinde görmekle vartaya düşer.
On İkinci ve Yirmi Yedinci Sözlerde ve sahabeler hakkındaki zeylinde kat’î ispat edilmiştir ki sahabelerde öyle bir hâssa-i sohbet var ki velayet ile yetişilmez ve sahabelere tefevvuk edilmez ve enbiyaya hiçbir vakit evliya yetişmez.
Üçüncüsü:
İfrat ile tarîkat taassubu taşıyanların bir kısmı, âdab ve evrad-ı tarîkatı sünnet-i seniyeye tercih etmekle sünnete muhalefet edip sünneti terk eder fakat virdini bırakmaz. O suretle âdab-ı şer’iyeye bir lâkaytlık vaziyeti gelir, vartaya düşer.
Çok Sözlerde ispat edildiği gibi ve İmam-ı Gazalî, İmam-ı Rabbanî gibi muhakkikîn-i ehl-i tarîkat derler ki: “Bir tek sünnet-i seniyeye ittiba noktasında hasıl olan makbuliyet, yüz âdab ve nevafil-i hususiyeden gelemez. Bir farz, bin sünnete müreccah olduğu gibi; bir sünnet-i seniye dahi bin âdab-ı tasavvufa müreccahtır.” demişler.
Dördüncüsü:
Müfrit bir kısım ehl-i tasavvuf; ilhamı vahiy gibi zanneder ve ilhamı vahiy nevinden telakki eder, vartaya düşer.
Vahyin derecesi ne kadar yüksek ve küllî ve kudsî olduğu ve ilhamat ona nisbeten ne derece cüz’î ve sönük olduğu, On İkinci Söz’de ve i’caz-ı Kur’an’a dair Yirmi Beşinci Söz’de ve sair risalelerde gayet kat’î ispat edilmiştir.
Beşincisi:
Sırr-ı tarîkatı anlamayan bir kısım mutasavvıfe, zayıfları takviye etmek ve gevşekleri teşci etmek ve şiddet-i hizmetten gelen usanç ve meşakkati tahfif etmek için istenilmeyerek verilen ezvak ve envar ve keramatı hoş görüp meftun olur; ibadata, hidemata ve evrada tercih etmekle vartaya düşer.
Şu risalenin Altıncı Telvih’inin Üçüncü Nokta’sında icmalen beyan olunduğu ve sair Sözlerde kat’iyen ispat edilmiştir ki: Bu dâr-ı dünya dârü’l-hizmettir, dârü’l-ücret değil! Burada ücretini isteyenler; bâki, daimî meyveleri, fâni ve muvakkat bir surete çevirmekle beraber, dünyadaki beka hoşuna geliyor, müştakane berzaha bakamıyor. Âdeta bir cihette dünya hayatını sever, çünkü içinde bir nevi âhireti bulur.
Altıncısı:
Ehl-i hakikat olmayan bir kısım ehl-i sülûk, makamat-ı velayetin gölgelerini ve zıllerini ve cüz’î numunelerini, makamat-ı asliye-i külliye ile iltibas etmekle vartaya düşer.
Yirmi Dördüncü Söz’ün İkinci Dal’ında ve sair Sözlerde kat’iyen ispat edilmiştir ki: Nasıl güneş, âyineler vasıtasıyla taaddüd ediyor; binler misalî güneş, aynı güneş gibi ziya ve hararet sahibi olur. Fakat o misalî güneşler, hakiki güneşe nisbeten çok zayıftırlar. Aynen onun gibi makamat-ı enbiya ve eâzım-ı evliyanın makamatının bazı gölgeleri ve zılleri var. Ehl-i sülûk onlara girer; kendini, o evliya-yı azîmeden daha azîm görür; belki enbiyadan ileri geçtiğini zanneder, vartaya düşer.
Fakat bu geçmiş umum vartalardan zarar görmemek için usûl-ü imaniyeyi ve esasat-ı şeriatı daima rehber ve esas tutmak ve meşhudunu ve zevkini onlara karşı muhalefetinde ittiham etmekledir.
Yedincisi:
Bir kısım ehl-i zevk ve şevk, sülûkunda fahri, nazı, şatahatı, teveccüh-ü nâsı ve merciiyeti; şükre, niyaza, tazarruata ve nâstan istiğnaya tercih etmekle vartaya düşer.
Halbuki en yüksek mertebe ise ubudiyet-i Muhammediyedir ki “mahbubiyet” unvanıyla tabir edilir. Ubudiyetin ise sırr-ı esası; niyaz, şükür, tazarru, huşû, acz, fakr, halktan istiğna cihetiyle o hakikatin kemaline mazhar olur. Bazı evliya-yı azîme, fahir ve naz ve şatahata muvakkaten, ihtiyarsız girmişler fakat o noktada, ihtiyaren onlara iktida edilmez; hâdîdirler, mühdî değillerdir; arkalarından gidilmez!
Sekizinci Varta:
Hodgâm, aceleci bir kısım ehl-i sülûk; âhirette alınacak ve koparılacak velayet meyvelerini, dünyada yemesini ister ve sülûkunda onları istemekle vartaya düşer.
Halbuki وَمَا ال۟حَيٰوةُ الدُّن۟يَٓا اِلَّا مَتَاعُ ال۟غُرُورِ gibi âyetlerle ilan edildiği gibi çok Sözlerde kat’iyen ispat edilmiştir ki âlem-i bekada bir tek meyve, fâni dünyanın bin bahçesine müreccahtır. Onun için o mübarek meyveleri burada yememeli. Eğer istenilmeyerek yedirilse şükredilmeli, mükâfat için değil belki teşvik için bir ihsan-ı İlahî olarak telakki edilmeli.
Dokuzuncu Telvih
Tarîkatın pek çok semeratından ve faydalarından yalnız burada dokuz adedini icmalen beyan edeceğiz:
Birincisi:
İstikametli tarîkat vasıtasıyla, saadet-i ebediyedeki ebedî hazinelerin anahtarları ve menşeleri ve madenleri olan hakaik-i imaniyenin inkişafı ve vuzuhu ve aynelyakîn derecesinde zuhurlarıdır.
İkincisi:
Makine-i insaniyenin merkezi ve zembereği olan kalbi, tarîkat vasıta olup işletmesiyle ve o işletmekle, sair letaif-i insaniyeyi harekete getirip, netice-i fıtratlarına sevk ederek hakiki insan olmaktır.
Üçüncüsü:
Âlem-i berzah ve âhiret seferinde, tarîkat silsilelerinden bir silsileye iltihak edip ve o kafile-i nuraniye ile ebedü’l-âbâd yolunda arkadaş olmak ve yalnızlık vahşetinden kurtulmak ve onlarla, dünyada ve berzahta manen ünsiyet etmek ve evham ve şübehatın hücumlarına karşı, onların icmaına ve ittifakına istinad edip her bir üstadını kavî bir senet ve kuvvetli bir bürhan derecesinde görüp onlarla o hatıra gelen dalalet ve şübehatı def’etmektir.
Dördüncüsü:
İmandaki marifetullah ve o marifetteki muhabbetullahın zevkini, safi tarîkat vasıtasıyla anlamak ve o anlamakla dünyanın vahşet-i mutlakasından ve insanın kâinattaki gurbet-i mutlakasından kurtulmaktır.
Çok Sözlerde ispat etmişiz ki saadet-i dâreyn ve elemsiz lezzet ve vahşetsiz ünsiyet ve hakiki zevk ve ciddi saadet, iman ve İslâmiyet’in hakikatindedir. İkinci Söz’de beyan edildiği gibi iman, şecere-i tûba-i cennetin bir çekirdeğini taşıyor. İşte tarîkatın terbiyesiyle, o çekirdek neşv ü nema bulur, inkişaf eder.
Beşincisi:
Tekâlif-i şer’iyedeki hakaik-i latîfeyi, tarîkattan ve zikr-i İlahîden gelen bir intibah-ı kalbî vasıtasıyla hissetmek, takdir etmek… O vakit taate, suhre gibi değil belki iştiyakla itaat edip ubudiyeti îfa eder.
Altıncısı:
Hakiki zevke ve ciddi teselliye ve kedersiz lezzete ve vahşetsiz ünsiyete, hakiki medar ve vasıta olan tevekkül makamını ve teslim rütbesini ve rıza derecesini kazanmaktır.
Yedincisi:
Sülûk-u tarîkatın en mühim şartı, en ehemmiyetli neticesi olan ihlas vasıtasıyla, şirk-i hafîden ve riya ve tasannu gibi rezailden halâs olmak ve tarîkatın mahiyet-i ameliyesi olan tezkiye-i nefis vasıtasıyla, nefs-i emmarenin ve enaniyetin tehlikelerinden kurtulmaktır.
Sekizincisi:
Tarîkatta, zikr-i kalbî ile ve tefekkür-ü aklî ile kazandığı teveccüh ve huzur ve kuvvetli niyetler vasıtasıyla, âdetlerini ibadet hükmüne çevirmek ve muamelat-ı dünyeviyesini, a’mal-i uhreviye hükmüne getirip sermaye-i ömrünü hüsn-ü istimal etmek cihetiyle, ömrünün dakikalarını hayat-ı ebediyenin sümbüllerini verecek çekirdekler hükmüne getirmektir.
Dokuzuncusu:
Seyr ü sülûk-u kalbî ile ve mücahede-i ruhî ile ve terakkiyat-ı maneviye ile insan-ı kâmil olmak için çalışmak, yani hakiki mü’min ve tam bir Müslüman olmak, yani yalnız surî değil belki hakikat-i imanı ve hakikat-i İslâm’ı kazanmak, yani şu kâinat içinde ve bir cihette kâinat mümessili olarak, doğrudan doğruya kâinatın Hâlık-ı Zülcelal’ine abd olmak ve muhatap olmak ve dost olmak ve halil olmak ve âyine olmak ve ahsen-i takvimde olduğunu göstermekle, benî-Âdem’in melâikeye rüçhaniyetini ispat etmek ve şeriatın imanî ve amelî cenahlarıyla makamat-ı âliyede uçmak ve bu dünyada saadet-i ebediyeye bakmak, belki de o saadete girmektir.
سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّم۟ عَلَى ال۟غَو۟ثِ ال۟اَك۟بَرِ فٖى كُلِّ ال۟عُصُورِ وَ ال۟قُط۟بِ ال۟اَع۟ظَمِ فٖى كُلِّ الدُّهُورِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ نِ الَّذٖى تَظَاهَرَت۟ حِش۟مَةُ وَلَايَتِهٖ وَ مَقَامُ مَح۟بُوبِيَّتِهٖ فٖى مِع۟رَاجِهٖ وَ اِن۟دَرَجَ كُلُّ ال۟وَلَايَاتِ فٖى ظِلِّ مِع۟رَاجِهٖ وَ عَلٰى اٰلِهٖ وَ صَح۟بِهٖ اَج۟مَعٖينَ اٰمٖينَ وَ ال۟حَم۟دُ لِلّٰهِ رَبِّ ال۟عَالَمٖينَ
Zeyl
Bu küçücük zeylin büyük bir ehemmiyeti var.
Herkese menfaatlidir.
Cenab-ı Hakk’a vâsıl olacak tarîkler pek çoktur. Bütün hak tarîkler Kur’an’dan alınmıştır. Fakat tarîkatların bazısı, bazısından daha kısa, daha selâmetli, daha umumiyetli oluyor. O tarîkler içinde, kāsır fehmimle Kur’an’dan istifade ettiğim acz ve fakr ve şefkat ve tefekkür tarîkıdır.
Evet, acz dahi aşk gibi belki daha eslem bir tarîktir ki ubudiyet tarîkıyla mahbubiyete kadar gider.
Fakr dahi Rahman ismine îsal eder.
Hem şefkat dahi aşk gibi belki daha keskin ve daha geniş bir tarîktir ki Rahîm ismine îsal eder.
Hem tefekkür dahi aşk gibi belki daha zengin, daha parlak, daha geniş bir tarîktir ki Hakîm ismine îsal eder.
Şu tarîk, hafî tarîkler misillü “Letaif-i Aşere” gibi on hatve değil ve tarîk-i cehriye gibi “Nüfus-u Seb’a” yedi mertebeye atılan adımlar değil belki dört hatveden ibarettir. Tarîkattan ziyade hakikattir, şeriattır. Yanlış anlaşılmasın, acz ve fakr ve kusurunu Cenab-ı Hakk’a karşı görmek demektir. Yoksa onları yapmak veya halka göstermek demek değildir.
Şu kısa tarîkın evradı: İttiba-ı sünnettir, feraizi işlemek, kebairi terk etmektir. Ve bilhassa namazı ta’dil-i erkân ile kılmak, namazın arkasındaki tesbihatı yapmaktır.
Birinci hatveye فَلَا تُزَكُّٓوا اَن۟فُسَكُم۟ âyeti işaret ediyor.
İkinci hatveye وَلَا تَكُونُوا كَالَّذٖينَ نَسُوا اللّٰهَ فَاَن۟سٰيهُم۟ اَن۟فُسَهُم۟ âyeti işaret ediyor.
Üçüncü hatveye مَٓا اَصَابَكَ مِن۟ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ وَمَٓا اَصَابَكَ مِن۟ سَيِّئَةٍ فَمِن۟ نَف۟سِكَ âyeti işaret ediyor.
Dördüncü hatveye كُلُّ شَى۟ءٍ هَالِكٌ اِلَّا وَج۟هَهُ âyeti işaret ediyor.
Şu dört hatvenin kısa bir izahı şudur ki:
Birinci hatvede
فَلَا تُزَكُّٓوا اَن۟فُسَكُم۟ âyeti işaret ettiği gibi: Tezkiye-i nefis etmemek. Zira insan, cibilliyeti ve fıtratı hasebiyle nefsini sever. Belki evvela ve bizzat yalnız zatını sever, başka her şeyi nefsine feda eder. Mabuda lâyık bir tarzda nefsini medheder. Mabuda lâyık bir tenzih ile nefsini meayibden tenzih ve tebrie eder. Elden geldiği kadar kusurları kendine lâyık görmez ve kabul etmez. Nefsine perestiş eder tarzında şiddetle müdafaa eder. Hattâ fıtratında tevdi edilen ve Mabud-u Hakiki’nin hamd ve tesbihi için ona verilen cihazat ve istidadı, kendi nefsine sarf ederek مَنِ اتَّخَذَ اِلٰهَهُ هَوٰيهُ sırrına mazhar olur. Kendini görür, kendine güvenir, kendini beğenir.
İşte şu mertebede, şu hatvede tezkiyesi, tathiri: Onu tezkiye etmemek, tebrie etmemektir.
İkinci hatvede
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذٖينَ نَسُوا اللّٰهَ فَاَن۟سٰيهُم۟ اَن۟فُسَهُم۟ dersini verdiği gibi: Kendini unutmuş, kendinden haberi yok. Mevti düşünse başkasına verir. Fena ve zevali görse kendine almaz. Ve külfet ve hizmet makamında nefsini unutmak fakat ahz-ı ücret ve istifade-i huzuzat makamında nefsini düşünmek, şiddetle iltizam etmek, nefs-i emmarenin muktezasıdır.
Şu makamda tezkiyesi, tathiri, terbiyesi şu halin aksidir. Yani nisyan-ı nefis içinde nisyan etmemek. Yani huzuzat ve ihtirasatta unutmak ve mevtte ve hizmette düşünmek.
Üçüncü hatvede
مَٓا اَصَابَكَ مِن۟ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ وَمَٓا اَصَابَكَ مِن۟ سَيِّئَةٍ فَمِن۟ نَف۟سِكَ dersini verdiği gibi: Nefsin muktezası, daima iyiliği kendinden bilip fahir ve ucbe girer. Bu hatvede nefsinde yalnız kusuru ve naksı ve aczi ve fakrı görüp bütün mehasin ve kemalâtını, Fâtır-ı Zülcelal tarafından ona ihsan edilmiş nimetler olduğunu anlayıp, fahir yerinde şükür ve temeddüh yerinde hamdetmektir.
Şu mertebede tezkiyesi قَد۟ اَف۟لَحَ مَن۟ زَكّٰيهَا sırrıyla şudur ki: Kemalini kemalsizlikte, kudretini aczde, gınasını fakrda bilmektir.
Dördüncü hatvede
كُلُّ شَى۟ءٍ هَالِكٌ اِلَّا وَج۟هَهُ dersini verdiği gibi: Nefis, kendini serbest ve müstakil ve bizzat mevcud bilir. Ondan bir nevi rububiyet dava eder. Mabud’una karşı adâvetkârane bir isyanı taşır. İşte gelecek şu hakikati derk etmekle ondan kurtulur.
Hakikat şudur ki: Her şey nefsinde mana-yı ismiyle fânidir, mefkuddur, hâdistir, ma’dumdur. Fakat mana-yı harfiyle ve Sâni’-i Zülcelal’in esmasına âyinedarlık cihetiyle ve vazifedarlık itibarıyla şahittir, meşhuddur, vâciddir, mevcuddur.
Şu makamda tezkiyesi ve tathiri şudur ki: Vücudunda adem, ademinde vücudu vardır. Yani kendini bilse, vücud verse kâinat kadar bir zulümat-ı adem içindedir. Yani vücud-u şahsîsine güvenip Mûcid-i Hakiki’den gaflet etse yıldız böceği gibi bir şahsî ziya-yı vücudu, nihayetsiz zulümat-ı adem ve firaklar içinde bulunur, boğulur. Fakat enaniyeti bırakıp, bizzat nefsi hiç olduğunu ve Mûcid-i Hakiki’nin bir âyine-i tecellisi bulunduğunu gördüğü vakit, bütün mevcudatı ve nihayetsiz bir vücudu kazanır. Zira bütün mevcudat, esmasının cilvelerine mazhar olan Zat-ı Vâcibü’l-vücud’u bulan bir kalp, her şeyi bulur.
Hâtime
Şu acz, fakr, şefkat, tefekkür tarîkındaki dört hatvenin izahatı; hakikatin ilmine, şeriatın hakikatine, Kur’an’ın hikmetine dair olan yirmi altı adet Sözlerde geçmiştir. Yalnız şurada bir iki noktaya kısa bir işaret edeceğiz. Şöyle ki:
Evet, şu tarîk daha kısadır. Çünkü dört hatvedir. Acz, elini nefisten çekse doğrudan doğruya Kadîr-i Zülcelal’e verir. Halbuki en keskin tarîk olan aşk, nefisten elini çeker fakat maşuk-u mecazîye yapışır. Onun zevalini bulduktan sonra Mahbub-u Hakiki’ye gider.
Hem şu tarîk daha eslemdir. Çünkü nefsin şatahat ve bâlâ-pervazane davaları bulunmaz. Çünkü acz ve fakr ve kusurdan başka nefsinde bulmuyor ki haddinden fazla geçsin.
Hem bu tarîk daha umumî ve cadde-i kübradır. Çünkü kâinatı ehl-i vahdetü’l-vücud gibi huzur-u daimî kazanmak için idama mahkûm zannedip لَا مَو۟جُودَ اِلَّا هُوَ hükmetmeye veyahut ehl-i vahdetü’ş-şuhud gibi huzur-u daimî için kâinatı nisyan-ı mutlak hapsinde hapse mahkûm tahayyül edip لَا مَش۟هُودَ اِلَّا هُوَ demeye mecbur olmuyor. Belki idamdan ve hapisten gayet zâhir olarak Kur’an affettiğinden, o da sarf-ı nazar edip ve mevcudatı kendileri hesabına hizmetten azlederek Fâtır-ı Zülcelal hesabına istihdam edip, esma-i hüsnasının mazhariyet ve âyinedarlık vazifesinde istimal ederek mana-yı harfî nazarıyla onlara bakıp, mutlak gafletten kurtulup huzur-u daimîye girmektir; her şeyde Cenab-ı Hakk’a bir yol bulmaktır.
Elhasıl, mevcudatı mevcudat hesabına hizmetten azlederek, mana-yı ismiyle bakmamaktır.
- ↑ *Pada akhirnya, ia sempurna menjadi sembilan nuktah―Penulis.
- ↑ *HR. Muslim, al-Jumuah 43; Abu Daud, as-Sunnah 5; an-Nasai, al-Idayn 22; Ibnu Majah, al-Muqaddimah 6,7; ad-Darimi, al-Muqaddimah 16 dan 23; al-Musnad, 3/310 dan 371, 4/126 dan 127.
- ↑ *Nuktah ketiga dari ‘Bagian Keempat’ yang tidak dimasukkan dalam buku ini―Peny.
- ↑ *Total jumlah ayat al-Qur’an adalah 6666 dan adanya keterkaitan dengan enam angka dari bilangan asmaul husna yang terdapat di halaman ini menunjukkan sebuah rahasia penting. Hanya saja, sampai saat ini ia masih diabaikan―Penulis.
- ↑ *Rahasia dan hikmah sesuai dengan pembagian setiap lima surah tersebut tel- ah tersingkap. Lalu tanpa kami sadari di sini dituliskan enam surah; bukan lima surah. Karena itu, sudah pasti yang keenam itu masuk tanpa kami sengaja agar hikmah rumus setengah tadi tetap berlaku―Penulis.
- ↑ *Bisa dilihat di penutup ‘mauqif ketiga’ dari “Kalimat Ketiga Puluh Dua” dan ‘kedudukan kedua’ dari “Surat Kedua Puluh”.
- ↑ *Orang-orang malang itu mengira bahwa mereka tidak berada dalam posisi bahaya dengan berpikir, “Hati kami bersama Ustadz.” Namun orang yang mendukung aliran ateis dan tertipu dengan propaganda mereka telah dimanfaatkan untuk menjadi mata-mata tanpa mereka sadari. Ucapan orang yang berada pada posisi bahaya tersebut ”Hatiku masih bersih dan mengikuti manhaj Ustadz,” serupa dengan orang yang menah- an kentut saat salat. Namun tiba-tiba ia kentut sehingga berhadas. Ketika ditegur, “Salatmu sudah batal,” ia menjawab, “Mengapa batal?! Hatiku masih bersih dan suci.” (Penulis).
- ↑ *HR. at-Tirmidzi, Tafsir surat al-Hijr 6; ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir 8/102 dan al-Mu’jam al-Awsath 3/312, 8/23.
- ↑ *Peristiwa 31 Maret 1325 sesuai dengan kalender Romawi adalah peristiwa pem- berontakan militer. Yaitu dimulai dari kamp Taksim di Istanbul. Kemudian pemberon- takan itu menyebar ke berbagai kamp yang lain di kota tersebut. Setelah itu, para pra- jurit pemberontak itu turun ke jalan-jalan, membunuh para menteri, wakil rakyat, dan panglima. Kalau bukan karena pidato yang disampaikan oleh Said Nursi kepada para prajurit di kamp dan barak mereka, mungkin akan terjadi sesuatu yang sangat buruk. Pasalnya, Pidato tersebut berhasil meredakan kemarahan para prajurit pemberontak itu.
- ↑ Hâşiye: İlm-i sarf kaidesince feilün, fe’lün okunur. Ketifün, ketfün okunması gibi. Buna binaen elifün, elfün okunur. O halde 1351 olur.
- ↑ Hâşiye: Hattâ onlardan bir tanesi olan Seyyid Ahmedü’s-Sünûsî, milyonlar müride kumandanlık ediyor. Seyyid İdris gibi diğer bir zat, yüz binden fazla Müslümanlara kumandanlık ediyor. Seyyid Yahya gibi bir başka seyyid, yüz binler adamlara emirlik ediyor ve hâkeza… Bu seyyidler kabilesinin efradlarında böyle zâhirî kahramanlar çok olduğu gibi; Seyyid Abdülkadir-i Geylanî, Seyyid Ebu’l-Hasan-ı Şazelî, Seyyid Ahmed-i Bedevî gibi manevî kahramanların kahramanları dahi varlarmış.