SURAT PERTAMA

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    Bu sayfa Birinci Mektup sayfasının çevrilmiş sürümü ve çeviri %100 tamamlandı.
    Diğer diller:

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

    وَ بِهٖ نَس۟تَعٖينُ

    SURAT PERTAMA

    بِاس۟مِهٖ سُب۟حَانَهُ وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَم۟دِهٖ

    (Jawaban Singkat atas Empat Pertanyaan)

    Pertanyaan Pertama:

    Apakah Nabi Khidir masih hidup? Apabila masih hidup, mengapa sejumlah ulama terkemuka tidak mempercayainya?

    Jawaban: Nabi Khidir masih hidup. Hanya saja, kehidupan memiliki lima tingkatan. Khidir berada pada tingkatan kedua dari nya. Karena itu, sejumlah ulama meragukan kalau ia masih hidup

    Tingkatan Pertama:Kehidupan kita saat ini yang dibatasi oleh banyak ikatan.

    Tingkatan Kedua:Kehidupan Nabi Khidir dan Nabi Ilyas. Kehidupan mereka relatif tidak terikat. Artinya, mereka bisa berada di banyak tempat dalam satu waktu serta bisa makan dan minum kapan mereka mau. Mereka tidak selalu terikat dengan sejumlah kebutuhan hidup manusia seperti kita. Para wali yang mendapat kasyaf meriwayatkan secara mutawatir berbagai pe ristiwa nyata yang terdapat dalam tingkatan tersebut. Riwayat-riwayat itu menegaskan adanya tingkatan kehidupan ini. Bahkan, dalam maqam kewalian terdapat maqam yang disebut sebagai “Maqam Khidir”. Wali yang mencapai maqam tersebut bisa duduk bersama Khidir serta me�nerima pelajaran darinya. Akan tetapi, orang yang telah mencapai maqam tersebut kadang keliru menduga bahwa dirinya adalah Nabi Khidir

    Tingkatan Ketiga: Kehidupan Nabi Idris dan Nabi Isa . Me reka mendapatkan kelembutan nurani dengan kondisinya yang bersih dari berbagai kebutuhan hidup manusia serta masuk ke dalam kehidupan yang menyerupai kehidupan malaikat. Nabi Idris dan Isa terdapat di langit dengan fisik duniawi mereka yang seolah-olah menyerupai kelembutan fisik immateri dan fisik malaikat.

    Hadis Nabi yang menyebutkan bahwa Nabi Isa akan turun di akhir zaman dan mengikuti syariat Nabi Muhammad(*[1]) memiliki hikmah sebagai berikut. Dalam menghadapi gelombang ateisme yang dibawa oleh filsafat naturalisme, ajaran Nabi Isa akan bersih dan terbebas dari berbagai khurafat.Pada saat terjadinya transformasi ajaran Isa kepada Islam, sosok maknawi ajaran Isa menghunus pedang wahyu samawi dan membunuh sosok maknawi ateisme, sebagaimana Isa yang mewakili sosok maknawi ajarannya membunuh Dajjal yang mewakili sosok maknawi ateisme. Dengan kata lain, ia membunuh paham ateisme (inkârul ulûhiyah).

    Tingkatan Keempat: Kehidupan para syuhada. Hal itu seperti yang disebutkan dalam nash al-Qur’an bahwa mereka memiliki tingkatan kehidupan yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada kehidupan orang mati dalam kubur. Ya, karena para syuhada telah mengorbankan kehidupan duniawi mereka demi jalan kebenaran, maka Allah dengan kemurahan-Nya memberikan kehidupan yang menyerupai kehidupan duniawi di alam barzakh. Hanya saja, tanpa disertai dengan penderitaan, kepenatan, dan kerisauan. Mereka tidak sadar kalau diri mereka sudah mati. Yang mereka ketahui, mereka pergi ke alam yang lebih baik. Karena itu, mereka merasa sangat nikmat dan bahagia. Sebab, mereka tidak merasakan sakit nya perpisahan dengan orang-orang tercinta.

    Tidak seperti penghuni kubur lainnya di mana mereka menyadari bahwa mereka telah mati, meskipun ruh mereka bersifat abadi. Tentu saja, kenikmatan dan kebahagiaan yang mereka rasakan di alam barzakh tidak seperti yang dirasakan oleh para syuhada. Perumpamaannya sebagai berikut Dua orang bermimpi masuk ke dalam sebuah istana indah laksana surga. Yang satu sadar kalau yang dilihat hanyalah mimpi belaka. Jadi, kenikmatan yang ia peroleh sangat sedikit. Ia berkata dalam hati, “Kenikmatan ini akan segera berakhir ketika saya tersadar dari tidur.” Adapun yang kedua tidak merasakan hal itu sebagai mimpi. Karena itu, ia mendapatkan kenikmatan hakiki dan kebahagiaan sejati.

    Begitulah kehidupan barzakh yang didapat oleh para syuhada. Kondisi mereka berbeda dengan yang didapat oleh orang mati lainnya.Model kehidupan yang didapat oleh para syuhada serta keyakinan mereka bahwa mereka masih hidup adalah sesuatu yang valid berdasarkan sejumlah peristiwa dan riwayat yang sangat banyak.

    Bantuan yang diberikan Hamzah d, penghulu para syuhada,(*[2])kepada orang yang meminta bantuan darinya dan bagaimana ia memenuhi kebutuhan duniawi mereka, dan sejumlah peristiwa lain menjelaskan adanya tingkatan kehidupan ini. Bahkan secara pribadi aku pernah mengalami kejadian sebagai berikut:

    Keponakanku sekaligus muridku, Ubaid, mati syahid di dekatku dalam perang dunia pertama. Saat tidur aku bermimpi masuk ke dalam kuburnya yang menyerupai rumah bawah tanah, padahal saat itu aku sedang ditawan di daerah yang jauhnya sejarak perjalanan tiga bulan. Aku juga tidak tahu tempat ia dikubur. Aku melihatnya berada dalam tingkatan kehidupan para syuhada. Ia mengira aku sudah meninggal dan sering menangi siku. Sementara ia sendiri merasa masih hidup. Hanya saja, ia sudah membangun rumah indah di bawah tanah karena khawatir dengan pendudukan Rusia. Mimpi sederhana ini—yang disertai sejumlah isyarat dan petunjuk—mem�buatku sangat yakin, seyakin menyaksikan hakikat tersebut.

    Tingkatan Kelima:Kehidupan spiritual penghuni kubur. Ya, kematian adalah perpindahan tempat, pelepasan ruh, dan bentuk pembebasan tugas. Ia bukan peniadaan, ketiadaan, dan kefanaan. Penjelmaan ruh para wali dan kemunculan mereka di hadapan para ahli kasyaf lewat berbagai peristiwa, relasi penghuni kubur dengan kita dalam mimpi dan di saat terjaga, informasi yang mereka berikan kepada kita yang sesuai dengan fakta, serta petunjuk lainnya yang sejenis menjelaskan dan menegaskan tentang tingkatan kehidupan ini. “Kalimat Kedua Puluh Sembilan” yang secara khusus berbicara tentang keabadian ruh membuktikan tingkatan kehidupan ini secara meyakinkan lewat berbagai dalil yang kuat.

    Pertanyaan Kedua: Ayat al-Qur’an berbunyi: “(Dia) yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya.” (QS. al-Mulk [67]: 2).Ayat di atas dan ayat-ayat lain yang sejenis memosisikan ke�matian sebagai makhluk sama seperti kehidupan, sekaligus meman�dangnya sebagai nikmat Ilahi. Akan tetapi, tampak bahwa kema�tian merupakan bentuk kehancuran, ketiadaan, padam nya cahaya kehidupan, dan pemutus atau penghancur segala kenikmatan. Lalu bagaimana ia bisa menjadi “makhluk” dan bagaimana ia dianggap sebagai “nikmat”?

    Jawaban: Telah kami jelaskan di akhir jawaban dari pertanyaan pertama bahwa kematian hakikatnya merupakan bentuk pembebasan dan penghabisan tugas kehidupan dunia. Ia adalah perpindahan tempat dan perubahan wujud. Ia juga ajakan menuju kehidupan abadi sekaligus sebagai awal dari kehidupan yang kekal. Pasalnya, sebagaimana datangnya kehidupan kepada dunia terwujud berkat penciptaan dan penetapan Ilahi, demikian pula dengan kepergiannya dari dunia. Ia terwujud berkat penciptaan, hikmah, dan penetapan Ilahi.

    Sebab, kematian makhluk hidup yang paling sederhana sekalipun―yaitu tumbuhan―memperlihatkan kepada kita sebuah kreasi penciptaan yang lebih rapi daripada kehidupan itu sendiri. Kematian buah, benih, dan biji yang secara lahiriah tampak hancur dan musnah, pada hakikatnya ia adalah manifestasi dari proses interaksi kimiawi yang terangkai secara sangat teratur, campuran dari berbagai besaran elemen dalam bentuk yang sangat cermat dan terukur, serta komposisi dan formasi antar partikel dalam bentuk yang penuh hikmah di mana kematian yang tidak terlihat yang berisi tatanan penuh hikmah dan cermat tersebut, memperlihatkan bentuk kehidupan bulir dan benih yang tumbuh dan berbuah.

    Artinya, kematian benih merupakan awal dari kehidupan tumbuhan baru dalam bentuk bunga dan buah. Bahkan ia seperti kehidupan baru itu sendiri. Jadi, kematian adalah makhluk yang tertata rapi seperti kehidupan.

    Begitu pula karena kematian sejumlah buah atau binatang dalam perut manusia menyebabkan mereka naik ke tingkat kehidupan manusia, maka kematiannya merupakan makhluk yang lebih tertata daripada kehidupan mereka.

    Pada hakikatnya, ia merupakan awal dan permulaan dari naiknya nutrisi dalam sejumlah bagian kehidupan manusia yang mulia. Jadi, kematiannya merupakan makhluk yang lebih tertata daripada kehidupan nutrisi tersebut. Jika kematian tumbuhan yang berada dalam tingkatan kehidupan paling rendah merupakan makhluk yang tertata dengan penuh hikmah, apalagi kematian manusia yang berada dalam tingkat kehidupan yang paling tinggi. Tentu saja kematiannya akan membuahkan kehidupan kekal abadi di alam barzakh. Ini sama seperti benih yang ditanam di mana dengan kematiannya ia menjadi tumbuhan yang sangat indah dan penuh hikmah.

    Lalu bagaimana kematian menjadi nikmat? Jawaban: Kami akan menyebutkan empat sisi nikmat dari kematian:

    Pertama, kematian menyelamatkan manusia dari berbagai beban dan tugas kehidupan dunia serta dari berbagai taklif hidup yang berat. Pada waktu yang sama, ia adalah pintu penghubung dengan 99% orang yang dicinta di alam barzakh. Dengan demikian, ia merupakan nikmat yang sangat besar.

    Kedua, kematian mengeluarkan manusia dari penjara dunia yang gelap, sempit, dan penuh kesulitan untuk masuk ke dalam wilayah rahmat Dzat yang dicinta dan Kekasih abadi. Di sana manusia mendapatkan kehidupan yang lapang, kekal, dan bersinar di mana tidak dibalut ketakutan serta tidak dikotori oleh kesedihan dan kerisauan.

    Ketiga, masa tua dan sejenisnya termasuk faktor yang membuat kehidupan menjadi sulit dan memenatkan.

    Dari sana terlihat betapa kematian merupakan nikmat yang melebihi nikmat kehidupan. Andai engkau membayangkan bahwa kakek-kakekmu dengan kondisi mereka yang sulit masih hidup sampai saat ini bersama kedua orang tuamu yang sudah lanjut usia, engkau pasti memahami betapa kehidupan merupakan bencana bagi mereka dan kematian merupakan nikmat.

    Bahkan, engkau dapat menangkap sejauh mana rahmat yang terdapat dalam kematian dan sejauh mana kesulitan yang terdapat dalam langgengnya kehidupan dengan merenungkan serangga yang menyukai bu nga-bunga indah saat hawa dingin menyengat datang menyerang mereka di musim dingin.

    Keempat, sebagaimana tidur merupakan kelapangan dan rahmat bagi manusia, terutama bagi mereka yang mendapat cobaan, sakit, dan luka, demikian pula dengan kematian yang merupakan saudara kembar tidur. Ia adalah rahmat dan nikmat besar bagi mereka yang mendapat berbagai cobaan berat yang kadang membuat mereka bunuh diri.

    Adapun bagi kaum yang sesat, kematian merupakan bencana besar dan siksa dalam siksa sama seperti kehidupannya. Sebagaimana hal itu telah kami tegaskan dalam sejumlah bagian “al-Kalimât” dan semua itu berada di luar pembahasan kita saat ini.

    Pertanyaan Ketiga:

    Di manakah letak neraka jahannam?

    Jawaban:

    Yang mengetahui hal gaib hanyalah Allah. Allah berfirman:“Katakanlah: Pengetahuan tentang hal itu hanya di sisi Allah” (QS. al-Mulk [67]: 26).

    Dalam sejumlah riwayat disebutkan bahwa neraka jahannam terdapat di perut bumi.(*[3])Bola bumi dengan gerak tahunannya (revolusi) menuliskan lingkaran di seputar medan yang akan menjadi mahsyar di masa mendatang, seperti yang telah kami terangkan di tempat lain.Adapun maksud dari ungkapan “neraka jahannam terdapat di perut bumi” adalah di dalam putaran tahunannya. Sementara yang membuat ia tidak bisa dilihat dan dirasakan karena kondisinya beru�pa api tanpa cahaya dan tertutup oleh tirai. Seperti diketahui bersa�ma bahwa dalam orbit putaran bumi yang jaraknya sangat luas itu terdapat banyak makhluk tak terlihat karena tidak memiliki cahaya. Sebagaimana bulan yang setiap kali cahayanya ditarik, hilang pula wujudnya, demikian pula dengan banyak makhluk dan benda langit yang lain. Karena gelap tak bercahaya, kita tidak bisa melihatnya meski berada di hadapan kita.

    Selanjutnya, neraka ada dua: neraka kecil dan neraka besar.Neraka kecil ibarat benih bagi nereka besar. Pasalnya, di masa mendatang ia akan menjadi neraka besar dan akan menjadi salah satu tempat kedudukannya. Makna dari “neraka kecil berada di perut bumi” adalah bahwa ia berada di pusatnya. Sebab, perut bumi adalah pusatnya.

    Seperti diketahui dalam ilmu geologi, suhu pada umumnya makin meningkat satu derajat setiap kali menggali tanah sedalam 33 meter. Artinya, suhu di pusat bumi bisa mencapai 200.000 derajat. Sebab, jari-jari bumi lebih dari 6000 km. Dengan demikian, apinya 200 derajat lebih panas daripada api dunia. Hal ini sesuai dengan bunyi hadis Nabi .(*[4])

    Neraka kecil ini menunaikan banyak tugas neraka besar di dunia dan di alam barzakh seperti yang diterangkan oleh sejumlah hadis.Adapun di alam akhirat, bumi akan mengosongkan penduduknya dan melemparkan mereka ke padang mahsyar yang merupakan orbit tahunannya. Neraka kecil yang berada di dalam perutnya juga diserahkan kepada neraka besar dengan izin dan perintah Allah. Sementara pendapat beberapa tokoh muktazilah bahwa nerakaakan diciptakan nanti adalah keliru dan bodoh. Pendapat itu muncul lantaran saat ini neraka tidak terhampar dan tidak terlihat secara sempurna oleh penduduk bumi.

    Selanjutnya, kemampuan melihat sejumlah tempat di alam akhirat yang terhijab dengan tirai gaib lewat penglihatan duniawi serta bagaimana memperlihatkannya kepa�da yang lain hanya bisa terwujud de ngan mengecilkan seluruh alam sekaligus menjadikannya berada dalam dua wilayah. Atau, dengan membesarkan ukuran mata kita sebesar bintang agar bisa melihat sejumlah tempatnya. Jadi, ber bagai tempat di alam akhirat tidak bisa dilihat dengan penglihatan dunia kita. Pengetahuan tentangnya hanya dimiliki oleh Allah. Akan tetapi, dari petunjuk sejumlah riwayat dapat dipahami bahwa neraka yang terdapat di akhirat memiliki korelasi dengan dunia kita. Misalnya, disebutkan bahwa tingginya panas di musim panas berasal dari “hembusan api neraka”.(*[5]) Karena itu, neraka besar berupa api besar yang tidak bisa dilihat oleh mata akal yang lemah dan kecil. Kita hanya bisa melihatnya dengan cahaya nama Allah, alHakîm (Yang Mahabijaksana). Maksudnya:

    Neraka besar yang terdapat di bawah orbit tahunan bumi seolah-olah telah diwakili oleh neraka kecil yang terdapat di pusat bumi. Ia menunaikan sebagian tugasnya. Sementara kerajaan Allah Yang Mahakuasa sangat luas. Di mana saja hikmah Ilahi mengarahkan neraka, maka ia menetap padanya.

    Ya, Tuhan Mahakuasa yang Mahaagung, Mahabijak yang Maha Sempurna, Pemilik perintah kun fayakun yang mengaitkan bulan dengan bumi lewat hikmah yang sempurna secara teratur seperti yang terlihat, lalu mengaitkan bumi dengan mentari lewat keagungan qudrah-Nya secara rapi, kemudian menjalankan mentari berikut seluruh planetnya lewat keagungan rububiyah-Nya yang mulia dengan kecepatan yang mendekati kecepatan putaran tahunan bumi yang Dia jalankan menuju pusat mentari, serta menjadikan bintang-gemintang yang bersinar laksana lentera sebagai bukti bercahaya atas kekuasaan rububiyah-Nya di mana ia memperlihatkan rububiyah Tuhan yang agung dan keagungan qudrah-Nya, tidak aneh jika kesempurnaan hikmah Dzat Yang Mahakuasa dan Mahaagung ini menjadikan neraka besar sebagai khazanah tempat penerangan yang dengannya Dia menyalakan bintang langit yang menatap ke akhirat dan memberinya hawa panas dan kekuatan. Dengan kata lain, Dia mengirimkan pada nya api dan panas yang berasal dari neraka serta mengirimkan padanya sinar dan cahaya dari surga yang merupakan alam cahaya. Pada waktu yang sama, Dia menjadikan sebagian dari ne raka sebagai sebuah tempat dan penjara untuk mereka yang layak mendapat siksa.

    Demikian pula sangat bisa diterima apabila qudrah dan hikmah Pencipta Yang Mahabijak yang menghimpun pohon sebesar gunung dalam sebuah benih kecil seukuran biji sawi, menyimpan neraka besar dalam sebuah benih neraka kecil yang terdapat dalam jantung bola bumi.

    Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa surga dan ne raka adalah dua buah dari dahan pohon penciptaan. Dahan tersebut menjulur atau membentang hingga masa keabadian, sementara buahnya berada di ujung dahan.

    Keduanya juga merupakan hasil dari rangkaian entitas. Tempatnya berada di dua ujung rangkaian; yang rendah dan berat berada di tempat paling bawah, sementara yang tinggi dan bercahaya berada di tempat paling atas.

    Keduanya merupakan muara aliran ciptaan ilahi dan gudang produk maknawi bumi. Gudang tersebut sesuai dengan jenis produknya. Yang rusak berada di bagian bawah, sementara yang baik berada di bagian atas.

    Keduanya merupakan telaga bagi entitas yang mengalir menuju keabadian. Tempat telaga itu berada di posisi diam dan berkumpulnya air. Yang buruk dan jelek berada di bagian bawah, sementara yang baik dan bersih di bagian atas.

    Keduanya adalah tempat manifestasi kelembutan dan keperkasaan, serta rahmat dan keagungan. Tempat manifestasi tersebut bisa terwujud di mana saja. Tuhan Maha Penyayang Yang Mahaindah, dan Mahaperkasa Yang Mahaagung membuka tempat manifestasinya di posisi yang Dia kehendaki.

    Adapun wujud atau keberadaan surga dan neraka telah ditetapkan secara pasti dalam “Kalimat Kesepuluh”, “Kedua Puluh Delapan”, dan “Kesembilan”. Hanya saja di sini kami ingin mengatakan bahwa:Wujud “buah” bersifat pasti dan meyakinkan sebagaimana kepastian adanya dahan. Wujud “hasil” tidak diragukan sebagaimana keberadaan wujud rangkaian. Wujud “gudang” bersifat pasti sebagaimana kepastian adanya produk. Wujud keberadaan “telaga dan muara” bersifat pasti sebagaimana kepastian adanya sungai. Wujud “tempat manifestasi” bersifat pasti sebagaimana kepastian adanya rahmat dan keperkasaan.

    Pertanyaan Keempat:

    Cinta majasi terhadap sesuatu yang dicinta bisa berubah menjadi cinta hakiki. Apakah mungkin cinta majasi terhadap dunia yang dirasakan oleh sebagian besar manusia berubah menjadi cinta hakiki.

    Jawaban: Ya, jika pecinta majasi tersebut menyaksikan pada wajah dunia yang fana ini buruknya kefanaan, lalu berpaling darinya dengan mencari kekasih abadi, di mana kemudian Allah memberinya taufik untuk melihat dua sisi dunia yang indah—yaitu cermin Asmaul husna dan ladang akhirat—ketika itulah cinta majasi yang tidak sesuai dengan syariat akan berubah menjadi cinta hakiki.

    Akana tetapi, dengan syarat bisa membedakan antara dunianya yang fana yang terkait dengan kehidupannya dan dunia luar. Sebab, ketika ia melupakan diri sebagaimana kaum yang sesat dan lalai, lalu tenggelam dalam dunia serta menganggap dunianya yang khusus seperti dunia secara umum sehingga mencintainya, maka ia jatuh dan tenggelam dalam kubangan alam. Kecuali, orang yang diselamatkan oleh pertolongan Tuhan secara luar biasa. Perhatikanlah perumpamaan berikut yang menjelaskan hakikat ini:

    Bayangkan kita berempat masuk ke dalam sebuah kamar. Pada dinding-dindingnya terdapat empat cermin besar sebesar tembok.Ketika itu, kamar indah tersebut berubah menjadi lima kamar. Yang satu bersifat hakiki dan umum. Sementara empat lainnya bersifat imajinasi atau bayangan dan khusus. Setiap dari kita bisa mengubah bentuk kamarnya yang khusus berikut warnanya lewat perantaraan cerminnya. Kalau cermin itu kita ubah jadi warna merah, maka kamar akan terlihat berwarna merah. Kalau kita ubah jadi warna hijau, ia akan terlihat hijau. Demikian seterusnya. Kita dapat mengubah warna dan suasana kamar de ngan cara mengubah dan menyetel cermin tersebut. Bahkan, kita bisa mengubah suasananya menjadi baik atau buruk, atau yang sesuai dengan keinginan kita. Akan tetapi, kita tidak bisa mengubah dan mengganti kamar yang bersifat umum dan berada di luar cermin dengan mudah.Hukum yang berlaku pada kamar khusus dan umum itu berbeda, meskipun pada dasarnya sama. Dengan menggerakkan jari, engkau bisa merusak kamarmu. Sementara engkau tidak bisa menggerakkan batu yang terdapat di kamar yang bersifat umum itu sedikitpun.

    Begitupula kondisi dunia. Ia adalah tempat singgah yang indah. Kehidupan setiap kita laksana cermin besar dan luas. Se tiap dari kita memiliki dunia yang bersifat khusus dari dunia yang bersifat umum. Hanya saja, pilar, pusat, dan pintu dunia kita adalah kehidupan kita. Bahkan, dunia dan alam kita yang bersifat khusus merupakan lembaran, sementara kehidupan kita laksana pena. Dengan pena tersebut, ditulislah banyak hal yang kemudian dipindahkan ke dalam lembaran amal.

    Jika kita mencintai dunia kita, lalu kita menyaksikannya sebagai sesuatu yang bersifat sementara dan fana; tidak abadi, sama seperti kehidupan kita—karena ia dibangun di atasnya―, dan kita merasakan kefanaan tersebut, ketika itulah cinta kepadanya berubah menjadi kecintaan terhadap goresan Asmaul husna yang direfleksikan oleh dunia khusus kita yang merupakan cermin baginya.

    Dari sana cinta itu beralih menjadi kecintaan terhadap manifestasi Asmaul husna.Selanjutnya, jika kita memahami bahwa dunia khusus kita merupakan ladang sementara bagi akhirat dan surga, lalu kita alihkan perasaan kita yang kuat terhadapnya seperti keinginan untuk memiliki, mendapat, dan mencintainya, kepada hasil, buah, dan bulir dari ladang tersebut yang merupakan keuntung an ukhrawinya, ketika itulah cinta majasi berubah menjadi cinta hakiki.

    Namun jika sebaliknya, kita akan menjadi seperti yang Allah katakan tentang mereka:“Mereka lupa kepada Allah, sehingga Dia membuat mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Itulah orang-orang yang fasik.” (QS. al-Hasyr [59]: 19). Orang yang lupa dan lalai terhadap dirinya, serta tidak memikirkan kehidupanya yang segera lenyap, lalu menganggap du nianya yang bersifat khusus dan fana sebagai sesuatu yang tetap seperti dunia yang bersifat umum seraya mengira dirinya kekal hingga merasa nyaman dengannya dan menggenggamnya lewat seluruh perasaannya, maka ia akan tenggelam di dalamnya dan binasa. Cintanya akan menjadi bencana dan derita untuknya. Sebab, ia melahirkan rasa belas kasih dan getaran kalbu yang putus asa seperti anak yatim. Akhirnya, ia merasa sedih dengan ber bagai kondisi makhluk hingga merasakan pedihnya perpisahan lewat musibah makhluk yang indah dan akan binasa. Melihat itu semua, dirinya tak bisa berbuat apa-apa hingga merasa terpukul dalam sebuah keputusasaan yang pahit.

    Adapun orang pertama yang selamat dari perangkap kelalaian, ia menemukan balsam penyembuh dalam menghadapi pedihnya rasa kasihan. Pasalnya, pada kematian makhluk hidup dan lenyapnya kondisi mereka yang dicinta, ia menemukan keabadian cermin ruh mereka yang menampilkan manifestasi abadi dari Asmaul husna yang kekal.

    Ketika itulah, rasa kasihan tadi berubah menjadi kegembiraan abadi. Di balik seluruh makhluk yang indah yang akan menghadapi kefanaan itu, ia menyaksikan ukiran, kreasi indah, hiasan, kebaikan, dan penerangan yang bersifat permanen. Hal itu membuatnya bisa merasakan keindah an yang bersih, baik, dan suci sehingga melihat kefanaan tersebut sebagai cara untuk menambah keindahan, memperbaharui kenikmatan, dan memperlihatkan kreasi sehingga menjadikan nya semakin nikmat, cinta, dan kagum.

    Yang kekal, hanyalah Dzat Yang Mahakekal.

    Said Nursî


    Al-Maktûbât | ⇒ SURAT KEDUA

    1. *Ini adalah makna dari banyak hadis yang berbicara tentang masalah tersebut. Li�hat: al-Bukhari, bab al-Anbiyâ, h.49; dan Muslim, bab al-Iman, h.244-246
    2. *Lihat: at-Thabrâni, al-Mu’jam al-Kabîr, j.3, h.151; al-Mu’jam al-Ausath, j.4, h.328; al-Hakim, al-Mustadrak, j.3, h.219
    3. *Lihat: Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, j.2, h.370, dan j.4, h.287; Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf, j.3, h.55; al-Baihaqi, Syuab al-Îmân, j.1, h.331, j.1, 357, j.4, h.334; dan alHakim, al-Mustadrak, j.4, h.612.
    4. *Ada beberapa riwayat yang menyebutkan tentang panasnya api neraka, dan bahwa ia jauh lebih panas dibanding api dunia. Lihat: al-Bukhari, bab tentang awal pencip�taan, h.10; Muslim, bab al-Masâjid, h.180-187; at-Tirmidzi, bab tentang Shalat, h.5; dan Abu Daud, bab tentang Shalat, h.5.
    5. *Lihat: al-Bukhari, bab al-Mawâqît, h.9; Muslim, bab al-Masâjid, h.180-187.