SURAT KELIMA BELAS

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    Bu sayfa On Beşinci Mektup sayfasının çevrilmiş sürümü ve çeviri %100 tamamlandı.
    Diğer diller:

    بِاس۟مِهٖ سُب۟حَانَهُ

    وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَم۟دِهٖ

    Saudaraku yang mulia!

    Pertanyaanmu yang pertama berbunyi sebagai berikut: Seperti diketahui bahwa sahabat yang kecil sekalipun jauh lebih agung daripada wali. Namun mengapa para sahabat itu dengan pandangan kewaliannya tidak menyingkap kaum perusak di tengah- tengah masyarakat sehingga mengakibatkan tiga orang dari khulafa arrasyidin mati syahid?

    Jawaban atas pertanyaan di atas terdapat dalam dua kedudukan:

    Kedudukan Pertama:

    Dengan penjelasan tentang rahasia kewalian, pertanyaan tersebut dapat terjawab.

    Yaitu bahwa kewalian para sahabat yang mulia adalah kewalian yang besar (wilâyah kubrâ). Sumber dan pilar utamanya berasal dari warisan kenabian. Jalannya tembus dari sisi lahiriah menuju hakikat secara langsung tanpa harus melalui jalur tarekat. Ia adalah kewalian yang mengarah kepada tersingkapnya Aqrabiyah Ilahiyah (pendekatan ilahi terhadap hamba-Nya). Pasalnya, meski sangat singkat, jalan kewalian tersebut mulia dan tinggi. Hal luar biasanya sedikit, serta karamah dan kasyafnya jarang terlihat, tetapi keistimewaan dan keutamaannya sangat tinggi.

    Di sisi lain, karamah para wali sebagian besarnya terjadi bukan karena disengaja. Kadang peristiwa luar biasa terjadi tanpa mereka duga sebelumnya. Hal itu sebagai bentuk ikrâm ilahi (kemurahan Allah) kepada mereka. Sebagian besar kasyaf dan karamah tampak pada mereka saat menjalani kehidupan dan suluk rohani serta saat mereka melewati barzakh tarekat. Dalam batas tertentu, ketika terlepas dari kondisi kemanusiaan, mereka meraih kondisi luar biasa.

    Adapun sahabat yang mulia tidak harus melewati wilayah yang luas dengan melakukan perjalanan spiritual dan suluk rohani dalam tarekat untuk mencapai hakikat. Hal itu karena mereka mendapatkan pantulan cahaya persahabatan dengan Nabi. Lewat rahasia ini, mereka mampu menembus sisi dzahir menuju hakikat dengan hanya satu langkah dan dalam sekali duduk (bersama Rasulullah).

    Misalnya: terdapat dua jalan untuk mendapat Laylatul qadr yang kemarin sudah berlalu:

    Pertama, melewati hari demi hari selama setahun dengan sabar untuk bisa sampai kepada malam penuh berkah itu sekali lagi. Dalam hal ini, untuk bisa mendapatkan maqam Qurbiyah Ilahiyah (kedekatan hamba dengan Sang Ilahi), jalan rohani dan perjalanan setahun penuh harus dilalui. Inilah jalan sebagian besar salik di kalangan ahli tarekat.

    Kedua, keluar dari bungkus fisik materi yang terikat dengan waktu, kemudian naik secara spiritual ke tempat yang tinggi, serta melihat Laylatul qadr yang kemarin telah berlalu bersama malam hari raya yang datang sehari kemudian di mana keduanya tampak hadir secara nyata seolah-olah seperti hari ini. Hal itu karena ruh tidak terikat dengan waktu. Manakala perasaan manusia naik ke tingkat kehalusan ruh, zaman yang ada menjadi luas. Ia berisi masa lalu dan masa mendatang. Sehingga waktu masa lalu dan masa mendatang bagi orang lain menjadi seperti saat ini baginya.

    Dengan contoh tersebut, maka perjalanan menuju Laylatul qadr yang kemarin telah berlalu adalah dengan naik ke tingkatan ruh dan menyaksikan masa lalu seolah-olah ia sekarang. Landasan dari rahasia tersembunyi ini adalah tersingkapnya Aqrabiyah Ilahiyah (pendekatan ilahi terhadap hamba-Nya).Kami akan menjelaskannya dengan contoh berikut:

    Mentari sangat dekat dengan kita karena cahaya, panas, dan bayangannya terwujud dalam cermin yang terdapat di tangan kita.Akan tetapi, kita jauh darinya. Andaikan kita merasakan kedekatan mentari dilihat dari sisi substansinya yang bersifat cahaya, lalu memahami hubungan kita dengan bayangannya yang terdapat pada cermin, mengetahuinya lewat sarana tersebut, serta menangkap hakikat cahaya, panas, dan kondisinya, maka kedekatan mentari akan tersingkap untuk kita sampai pada tingkat yang membuat kita terpedaya melalui hubungan dengannya lewat pengetahuan dan kedekatan yang ada.

    Akan tetapi kalau kita ingin mendekati dan mengenalinya dilihat dari sisi kita yang jauh, kita harus melakukan perjalanan pemikiran dan akal untuk naik secara pemikiran bersama rambu-rambu ilmiah menuju langit, dan dari sana kita menggambarkan mentari yang terbentuk di angkasa alam. Kita harus mempergunakan rambu-rambu dan investigasi yang sangat panjang untuk memahami cahaya, hawa panas, dan tujuh warna yang menjadi substansinya. Setelah itu, kita dapat meraih kedekatan maknawi dengannya sebagaimana yang diperoleh oleh orang pertama lewat pengamatan sederhana dalam cerminnya.

    Sama seperti contoh di atas, kenabian dan kewalian yang diwariskan darinya mengarah kepada tersingkapnya Aqrabiyah Ilahiyah (pendekatan ilahi terhadap hamba-Nya). Adapun seluruh kewalian yang lain, sebagian besarnya meniti jalan al-qurbiyah al-Ilahiyah sehingga harus melewati sejumlah tingkatan sebelum sampai kepada kedudukan yang dituju.

    Kedudukan Kedua:

    Orang-orang yang berada di balik sejumlah fitnah terhadap sahabat bukan hanya sekelompok kecil Yahudi di mana kalau demikian kondisinya kerusakan yang ada dapat dihentikan, serta fitnah tersebut dapat dipadamkan hanya dengan menyingkap mereka. Namun ada banyak ragam bangsa yang masuk ke dalam pangkuan Islam, se- hingga berbagai aliran yang berseberangan ikut campur dan berbaur dengan Islam. Khususnya mereka yang fanatisme kebangsaan telah dihancurkan oleh Umar d. Akhirnya, mereka menyembunyikan keinginan untuk melakukan balas dendam seraya menantikan waktu yang tepat. Pasalnya, agama mereka telah dihapus, kerajaan mereka dihancurkan, dan negeri yang menjadi kebanggaan mereka dilenyapkan. Karenanya, secara sadar ataupun tidak, mereka menyimpan keinginan untuk balas dendam terhadap kekhalifahan Islam. Oleh sebab itu, disebutkan bahwa kaum munafik yang cerdik seperti orang- orang yahudi memanfaatkan kondisi sosial di atas.

    Jadi, melawan dan melenyapkan berbagai fitnah adalah dengan cara memperbaiki masyarakat tersebut dan memberikan pencerahan pada beragam pemikiran yang ada; bukan dengan menyingkap sekelompok kecil kaum perusak.

    Barangkali ada yang berkata bahwa Umar d dari atas mim- bar menyeru kepada Sâriyah, salah seorang pimpinan pasukan, yang berada di daerah sejauh perjalanan sebulan dengan berkata, “Wahai Sâriyah, ke gunung, ke gunung!”(*[1])

    Seruan dan arahan Umar d menjadi salah satu sebab mereka mendapatkan kemenangan dalam perang tersebut. Kejadian yang terkenal ini menjelaskan tingkat bashirah-nya yang sangat tajam.Pertanyaannya adalah: Mengapa bashirah yang memiliki pandangan tajam itu tidak bisa melihat pembunuhnya, Fairuz (Abu Lu’lu’), yang pada saat itu berada dekat dengannya?
    

    Jawaban:Pertanyaan di atas akan kami jawab seperti keterangan yang pernah diberikan oleh Ya’qub .(*[2])Ia pernah ditanya, “Bagaimana engkau dapat mencium bau Yusuf dari bajunya yang berada di negeri Mesir, sementara engkau tidak bisa melihatnya saat berada di dalam sumur yang dekat denganmu di negeri Kan’an?”Ya’qub menjawab, “Kondisi kami seperti kilat. Kadang terlihat dan kadang tersembunyi. Karena itu, kadangkala kami seperti orang yang duduk di tempat tinggi sehingga bisa melihat sekitar, namun kadangkala pula kami tidak bisa melihat depan kaki kami.”

    Kesimpulan: Betapapun manusia berbuat sesukanya, namun kehendak Ilahi itulah yang dominan. Takdir Ilahi berkuasa dan menentukan, sementara kehendak-Nya menolak kehendak manusia, sesuai dengan bunyi firman-Nya:“Kamu tidak berkehendak, kecuali bila dikehendaki Allah.” (QS. al-Insân [76]: 30).

    Ada pula ungkapan yang berbunyi:“Manakala takdir datang, mata menjadi buta”. Yang berlaku adalah ketentuan-Nya. Ketika takdir berbicara, ikhtiar manusia tak mampu bersuara.

    Isi pertanyaan kalian yang kedua:

    Apa hakikat dari berbagai kejadian yang menimpa barisan umat Islam di masa Ali d? Apa sebutan bagi mereka yang membunuh dan yang terbunuh dalam perang?

    Jawaban:

    Perang unta (jamal) yang terjadi antara Ali d berikut sekelompok pendukungnya di satu pihak, sementara Talhah, Zubair, dan Aisyah g di pihak lain adalah perang antara “keadilan mutlak” dan “keadilan relatif ” Penjelasannya sebagai berikut:

    Ali d menjadikan keadilan mutlak sebagai landasan kebijakannya dalam menata pemerintahan. Ia melaksanakan tuntutan dari keadilan tersebut sesuai dengan hasil ijtihadnya serta seperti yang sudah dilakukan oleh dua pendahulunya. Adapun para penentangnya berpendapat, “Kejernihan hati dan kesucian jiwa pada masa Abu Bakar dan Umar sangat sejalan dan menjadi pijakan bagi tersebarnya keadilan mutlak di tengah-tengah masyarakat. Namun seiring perjalanan waktu, berbagai kabilah yang memiliki karakter dan orientasi berbeda masuk Islam, sementara keislaman mereka lemah, hal itu menjadi sebab munculnya sejumlah penghalang penting untuk menerapkan keadilan mutlak. Penerapannya menjadi sulit. Karena itu, mereka berijtihad atas dasar prinsip keadilan relatif yang merupakan “pilihan paling ringan dari dua kondisi yang buruk.”Akan tetapi, karena persaingan di seputar kedua jenis ijtihad itu mengarah ke ranah politik, terjadilah perang di antara dua kelompok itu.

    Karena masing-masing telah berijtihad dengan niat yang tulus untuk mencari rida-Nya dan demi kemaslahatan Islam, sementara perang terjadi akibat dari hasil ijtihad tulus tersebut, maka bisa dikatakan bahwa yang membunuh dan yang dibunuh sama-sama penghuni surga. Keduanya mendapat pahala meskipun kita mengetahui bahwa ijtihad Ali d adalah benar, sementara ijtihad yang lain keliru.Mereka yang berseberangan dengan beliau tidak layak mendapat hu- kuman ukhrawi. Pasalnya, orang yang berijtihad karena Allah jika benar mendapat dua pahala, dan jika keliru mendapat satu pahala. Artinya, ia mendapat pahala sebagai upah dari usahanya dalam berijtihad. Ia termasuk bagian dari ibadah. Dengan kata lain, kekeliruan- nya dapat dimaklumi dan diampuni.

    Salah seorang tokoh ulama yang perkataannya menjadi hujjah mengutarakan sebuah syair berbahasa Kurdi:

    ژٖى شَرِّ صَحَابَان۟ مَكَه قَالُ و قٖيل۟ لَو۟رَا جَنَّتٖينَه قَاتِلُ و هَم۟ قَتٖيل۟

    “Jangan membincang apa yang terjadi antara sahabat yang mulia, karena yang membunuh dan yang terbunuh keduanya di surga.”(*[3])

    Adapun penjelasan tentang perbedaan antara keadilan mutlak dan keadilan relatif adalah sebagai berikut:

    Hak satu orang yang tidak bersalah tidak menjadi hilang demi kemaslahatan seluruh manusia. Artinya, haknya tetap terpelihara. Makna inilah yang dipahami dari ayat yang berbunyi:“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya.” (QS. al-Mâidah [5]: 32).Seseorang tidak boleh dikorbankan dengan alasan untuk menjaga keselamatan seluruh manusia. Sebab, hak tetap hak dalam pandangan rahmat Ilahi. Tidak boleh melihat kecil atau besarnya. Karena itu, yang kecil tidak boleh dikorbankan demi yang besar. Kehidupan dan hak seseorang tidak boleh dikorbankan untuk keselamatan masyakarat jika ia tidak rida di dalamnya. Adapun jika pengorbanan tersebut dengan rida dan keinginannya, maka persoalannya sudah berbeda.

    Adapun keadilan relatif adalah bahwa sebagian bisa dikorbankan demi keselamatan semua. Keadilan ini mengabaikan hak individu dengan alasan demi masyarakat. Namun ia berusaha menegakkan keadilan relatif dengan melihat pada keburukan yang lebih ringan. Hanya saja, apabila keadilan mutlak dapat diterapkan, tidak boleh mengambil keadilan relatif. Jika tidak, maka kezaliman akan terjadi.

    Menurut Imam Ali d, keadilan mutlak dapat ditegakkan sebagaimana pada masa Abu Bakar dan Umar . Karena itu, ia berusaha membangun kekhalifahan Islam di atas pondasi keadilan mutlak. Sementara para penentangnya berkata bahwa keadilan mutlak tidak dapat diterapkan. Terdapat sejumlah penghalang dan problem dalam penerapannya. Karena itu, ijtihad mereka mengarah kepada keadilan relatif. Sementara sebab-sebab lain yang disebutkan dalam sejarah, bukanlah sebab yang sebenarnya. Namun ia hanyalah argumen dan alasan yang lemah.

    Barangkali engkau berkata: Mengapa Imam Ali d tidak mendapat taufik seperti yang didapat para pendahulunya dalam menata kekhalifahan, padahal di sisi ini ia memiliki kemampuan yang istimewa, kecerdasan yang luar biasa, dan kelayakan yang tinggi un- tuk menjadi khalifah?”

    Jawaban: Imam Ali d sangat mampu dan memiliki kapasitas untuk menunaikan sejumlah tugas besar melebihi tugas politik dan pemerintahan. Andaikan taufik yang diberikan padanya hanya pada bidang politik dan pemerintahan, tentu ia tidak mendapat gelar “penghulu para wali”; sebuah kedudukan spiritual yang layak disandangnya. Ia meraih kekuasaan dan pemerintahan maknawi yang jauh lebih tinggi daripada kekuasaan politik formal. Pasalnya, ia berkedudukan seperti guru bagi semua dan kekuasaan maknawinya berlangsung hingga hari kiamat.

    Adapun perang yang terjadi antara Ali d dan Muawiyah d serta para pengikutnya dalam perang Siffin adalah perang antara kekhalihafan dan kerajaan. Artinya, Imam Ali d menjadikan hukum-hukum agama, hakikat Islam, dan akhirat sebagai landasan. Ia mengorbankan sejumlah hukum pemerintahan dan kerajaan serta berbagai urusan yang menjadi tuntutan politik yang mengandung ketidakadilan. Hal itu demi hakikat dan hukum yang ada. Sementara Muawiyah d dan orang yang bersamanya memilih rukhsah (keringanan) syariat dan tidak mengambil ‘azimah guna menopang kehidupan sosial Islam dengan kebijakan kekuasaan dan negara. Mereka merasa harus mengambil jalan ini dalam dunia politik. Karena itu, mereka lebih memilih rukhsah ketimbang ‘azimah, sehingga mereka jatuh pada kesalahan.

    Lalu perlawanan Hasan dan Husein terhadap Bani Umayyah sebenarnya konflik antara agama dan ras. Kaum Bani Umayyah bersandar pada ras Arab dalam memperkuat Daulah Islam. Mereka lebih memilih bangsa Arab daripada yang lain. Artinya, mereka lebih memilih ikatan ras daripada ikatan Islam. Hal ini tentu saja membahayakan dilihat dari dua sisi:

    Pertama, dengan pandangan semacam itu mereka menyakiti bangsa-bangsa lain hingga melahirkan kebencian.

    Kedua, dasar-dasar yang menjadi prinsip kebangsaan dan rasisme adalah bersifat zalim; tidak memperhatikan rasa keadilan dan tidak sejalan dengan kebenaran. Sebab, dasar-dasar tersebut tidak sesuai dengan prinsip keadilan. Penguasa yang rasis lebih memilih orang-orang dari rasnya sendiri daripada yang lain, sehingga dia tidak mampu berlaku adil.

    Sementara Islam menghapus fanatisme jahiliyah, sebagaimana disebutkan dalam hadis:“Islam telah menghapus fanatisme jahiliyah. Tidak ada perbedaan antara budak dari Habasyah dengan pimpinan dari Quraisy selama keduanya muslim.”(*[4])Ikatan kesukuan tidak mungkin menggantikan ikatan agama. Pasalnya, di sana tidak ada keadilan. Ia malah menafikan hak dan mengabaikan sikap objektif.

    Demikianlah, Sayyidina Husein d berpegang pada ikatan agama, dan sebagai pihak yang benar. Karena itu, ia melawan Bani Umayyah hingga mendapat tingkatan syahid.

    Barangkali ada yang bertanya: Mengapa Husein d tidak sukses dalam perjuangannya padahal ia berada dalam kebenaran? Mengapa takdir dan rahmat Ilahi membiarkan beliau dan keluarganya berakhir dengan kepedihan?”

    Jawaban:Selain orang-orang yang dekat dengan Husein d,beragam suku yang ikut serta bersamanya adalah orang-orang yang fanatisme kebangsaan mereka telah terluka oleh bangsa Arab muslim. Mereka adalah orang-orang yang ingin membalas dendam sehingga menodai kesucian niat yang dimiliki oleh Husein d dan para pengikutnya. Hal inilah yang mengakibatkan mereka kalah.

    Adapun hikmah dari peristiwa memilukan itu dilihat dari sisi takdir Ilahi adalah sebagai berikut: Hasan dan Husein berikut keluarga dan keturunan mereka dipersiapkan untuk menduduki kekuasaan maknawi. Tentu saja menggabungkan antara kekuasaan dunia dan kekuasaan maknawi atau spiritual sangatlah sulit. Karena itu, takdir Ilahi menjadikan mereka berpaling dari dunia. Dia memperlihatkan kepada mereka wajah dunia yang buruk agar mereka tidak memiliki ikatan hati de- ngan dunia serta melepaskan kekuasaan duniawi yang bersifat sementara dan fana. Dia menetapkan mereka untuk menggenggam kekuasaan maknawi yang mulia dan permanen sehingga menjadi rujukan bagi para wali qutub; bukan sebagai rujukan para penguasa dunia.

    Isi pertanyaan kalian yang ketiga:

    Apa hikmah di balik musibah memilukan dan perlakuan buruk yang menimpa orang-orang yang penuh berkah itu?

    Jawaban:Sebelumnya telah kami jelaskan bahwa terdapat tiga hal yang menjadi landasan para penentang Husein d; yaitu kalangan Bani Umayyah, di mana hal itu melahirkan berbagai kezaliman dan perlakuan kejam:

    Pertama: hukum politik yang zalim; yaitu bahwa orang-orang dapat dikorbankan demi menjaga kedaulatan dan stabilitas negara.

    Kedua: pemerintahan mereka mengacu kepada fanatisme kebangsaan dan ras. Yang menentukan segala urusan adalah hukum "Kebangsaan" yang zalim. Yaitu segala sesuatu dapat dikorbankan demi menjaga keselamatan bangsa.”

    Ketiga: mengakarnya spirit persaingan kalangan Bani Umayyah sejak lama terhadap Bani Hasyim. Hal itu tampak pada Yazid dan orang-orang sepertinya. Ia melahirkan letupan potensi yang zalim dan jahat.

    Terdapat sebab keempat, yang terkait dengan kalangan yang bergabung ke dalam barisan Husein d. Yaitu sikap Bani Umayyah yang lebih mengedepankan bangsa Arab dalam menata pemerintahan, serta perasaan lebih unggul daripada bangsa lain seolah mereka seperti budak dengan memberikan sebutan mawâli. Sikap sombong Bani Umayyah itulah yang membuat orang-orang di atas bergabung dengan barisan Husein d di mana mereka membawa niat tidak tulus.Yaitu niat yang didasarkan pada sikap ingin balas dendam. Sikap ini memancing munculnya perasaan fanatisme kalangan Bani Umayyah hingga membuat mereka melakukan perbuatan memilukan itu tanpa ada belas kasih sama sekali.

    Keempat sebab di atas itu merupakan sebab lahiriah. Namun, jika kita melihat dari perspektif takdir Ilahi, kita mengetahui bahwa Husein d dan karib kerabatnya telah meraih sejumlah buah ukhrawi, kekuasaan rohani, dan ketinggian spiritual akibat dari peristiwa memilukan tersebut. Kepedihan dan kesulitan yang mereka dapatkan dalam peristiwa tersebut sangat ringan dan tidak berarti dibanding kedudukan tinggi yang mereka peroleh.Misalnya: Orang yang mati syahid akibat penyiksaan selama satu jam mendapatkan kedudukan tinggi dan derajat mulia sebagai syahid di mana hal itu tidak bisa diraih oleh orang yang berjuang terus-menerus selama sepuluh tahun. Andaikan orang mati syahid yang telah mendapatkan kedudukan syahid ditanya tentang penyiksaan yang dialami, pasti ia menjawab, “Aku telah memperoleh banyak hal lewat sesuatu yang sangat ringan.”

    Isi pertanyaan kalian yang keempat:

    Sebagian besar manusia memeluk agama yang haq sesudah Isa membunuh Dajjal di akhir zaman. Namun dalam sejumlah riwayat disebutkan bahwa, “Kiamat tidak akan terjadi, selama di bumi ini masih ada orang yang mengu- cap Allah...Allah.”(*[5])Bagaimana bisa orang-orang dalam jumlah besar menjadi kufur setelah sebelumnya beriman?

    Jawaban:Mereka yang imannya lemah menganggap tidak masuk akal hadis sahih yang menjelaskan turunnya Nabi Isa serta bagaimana ia membunuh Dajjal dan mengamalkan syariat Islam. Akan tetapi, kalau hakikat yang sebenarnya dari riwayat tersebut dijelaskan, tidak ada yang aneh dan mustahil.

    Makna yang diberikan oleh hadis di atas dan oleh riwayat tentang Imam Mahdi dan as-Sufyani(*[6])adalah sebagai berikut:

    Ada dua aliran kekufuran (ateis) akan menguat di akhir zaman:Pertama, orang menakutkan yang dijuluki Sufyani. Ia akan mengingkari risalah Muhammad dengan bersembunyi di balik penyakit nifak. Ia memimpin barisan munafik, berusaha menghancurkan syariat Islam, dan akan dihadapi oleh sosok bersinar dari keluarga Nabi yang bernama Muhammad al-Mahdi. Ia memimpin para wali dan kalangan sempurna yang terpaut dengan keturunan ahlul bait. Ia menghentikan dan menghancurkan aliran kemunafikan yang memerankan sosok Sufyani.

    Kedua, aliran pembangkangan yang lahir dari filsafat kaum naturalis dan materialis. Aliran ini secara berangsur-angsur menyebar dan menguat lewat filsafat materialisme di akhir zaman hingga akhirnya mengingkari uluhiyah. Sebagaimana orang yang tidak mengenal raja serta tidak mengakui pasukan dan para komandannya, memberikan semacam kekuasaan kepada semua prajurit.

    Begitu pula anggota aliran tersebut yang mengingkari Allah memberikan kepada diri mereka sendiri semacam sifat rububiyah laksana Namrud kecil. Adapun Dajjal, ia adalah tokoh pimpinan mereka. Ia memiliki kemampuan luar biasa seperti sihir dan hipnotis. Ia sangat menyimpang hingga melekatkan pada kekuasaannya semacam sifat rububiyah sekaligus mendeklarasikan uluhiyahnya.Tentu saja, ketika orang yang lemah mengaku sebagai Tuhan padahal ia kalah oleh lalat dan bahkan tak mampu menciptakan sayapnya, hal itu menunjukkan ke- bodohan luar biasa yang layak dihinakan.

    Demikianlah, pada masa seperti itu, ketika aliran tersebut menguat, hadirlah agama yang haq yang dibawa oleh Isa. Ia merupakan sosok maknawi Isa yang turun dari langit rahmat Ilahi. Di hadapan hakikat tersebut, agama Nasrani saat ini akan bersih dan terbebas dari berbagai khurafat dan penyimpangan. Ia akan bergabung dengan berbagai hakikat Islam. Artinya, agama Nasrani akan berbalik menjadi Islam secara maknawi. Nah, sosok maknawi dari agama nasrani itu akan menjadi pengikut dengan mematuhi al- Qur’an, sementara Islam berkedudukan sebagai imam yang diikuti. Sebagai hasilnya, agama yang haq ini akan mendapatkan kekuatan besar.

    Pasalnya, pada saat Islam dan Nasrani terpisah, aliran kekufuran (ateis) sulit dibendung. Namun dengan bersatu, mereka siap menghancurkan aliran tersebut secara total. Di saat-saat itulah sosok Isa yang berada di alam langit dengan fisik manusiawinya memimpin agama yang haq ini. Hal ini seperti yang diberitakan oleh in- forman yang jujur (Nabi ) dengan merujuk kepada janji Dzat Yang Mahakuasa atas segala sesuatu. Karena beliau telah memberitahukan,maka sudah pasti benar. Dan karena yang berjanji adalah Dzat Yang Mahakuasa atas segala sesuatu, maka pasti Dia akan mewujudkannya.

    Ya, Dzat yang mengutus malaikat secara bergilir dari langit ke bumi, menjadikan mereka kadang dalam bentuk manusia (sebagaimana menghadirkan Jibril dalam sosok sahabat, Dihyah al-Kalbi),(*[7])mengutus makhluk spiritual dari alam arwah, serta menjadikan mereka hadir dalam bentuk manusia, bahkan mengutus arwah banyak wali―yang jasad mereka telah wafatke dunia, maka tidak mustahil bagi hikmah Dzat Yang Mahabijak untuk mengutus Isa , yang hidup dengan jasadnya di langit dunia, ke dunia. Bahkan meskipun ia pergi ke ujung sisi akhirat dan sudah mati, Allah Mahakuasa memberinya jasad baru lagi, lalu mengirimnya ke dunia untuk hasil yang agung ini dan agar ia menjadi penutup bagi agama yang dibawa oleh Isa . Allah telah menjanjikan ini semua sesuai dengan hikmah-Nya yang mulia. Karena telah berjanji, pasti Dia akan mengutusnya.

    Setiap orang tidak mesti mengetahui sosok Isa saat turun ke dunia. Ia hanya dikenali oleh kalangan tertentu dan orang-orang terdekatnya lewat cahaya iman. Jadi, tidak semua manusia mengenalinya secara terang-terangan.

    Pertanyaan: Dalam sejumlah riwayat disebutkan bahwa Dajjal memiliki surga palsu, tempat ia memasukkan para pengikutnya. Ia juga memiliki neraka palsu, tempat ia melemparkan orang yang tidak mau mengikutinya. Bahkan, ia menjadikan salah satu telinga tunggangannya sebagai surga dan yang lain sebagai neraka. Ia juga memiliki tubuh besar yang panjangnya sekian dan berbagai sifat lainnya.(*[8]) Nah, yang menjadi pertanyaan, apa maksud dari semua riwayat tersebut?

    Jawaban:Sosok lahiriah Dajjal sama dengan manusia. Ia adalah sosok manusia penipu, setan yang bodoh dan sombong di mana ia bersifat fir’aun, membangkang, dan lupa kepada Allah, bahkan melekatkan nama uluhiyah (ketuhanan) pada kekuasaannya yang tiran. Adapun sosok maknawinya, yang merupakan aliran kekufuran (ateis), adalah sosok yang bertubuh besar. Sejumlah riwayat tentang sifat-sifatnya yang menunjukkan ukurannya yang besar mengarah kepada sosok maknawinya. Hal itu seperti gambaran sang komandan Angkatan bersenjata Jepang pada suatu waktu yang dilukiskan sebagai manusia yang meletakkan salah satu kakinya di lautan Pasifik dan yang lainnya di benteng Port Arthur. Jarak antara keduanya sejauh sepuluh hari perjalanan. Gambaran tentang komandan kecil itu memperlihatkan dan menjelaskan kekuatan maknawi dari pasukannya.

    Adapun surga palsu milik Dajjal adalah tempat-tempat hiburan dan berbagai pernak-perniknya yang menyihir. Sementara tunggangannya adalah sarana transportasi seperti kereta. Di kepalanya terdapat tempat nyala api yang kadang melemparkan orang yang tidak mengikutinya ke dalamnya. Telinga lain atau kepalanya yang lain terhampar dengan karpet lembut laksana surga yang dipersiapkan untuk tempat duduk para pengikutnya. Memang benar, kereta adalah kendaraan penting bagi peradaban bodoh dan kejam saat ini. Ia membawa surga palsu bagi kalangan dunia. Hanya saja, di tangan peradaban sekarang, ia laksana malaikat zabaniyah neraka yang membawa kehancuran dan kehinaan bagi kalangan agama dan kalangan Islam yang malang.

    Meskipun dengan kemunculan dan transformasinya kepada Islam, agama haq yang dibawa oleh Isa menyebarkan cahayanya kepada sebagian besar manusia. Namun saat mendekati kiamat, aliran ateis kembali muncul dan menyebar secara luas sehingga tidak ada lagi di muka bumi ini secara umum orang yang mengucap, “Allah... Allah”. Yakni, kelompok yang istimewa tidak lagi memiliki posisi penting di muka bumi.

    Hadis di atas tidak berarti bahwa kalangan yang berpegang pada kebenaran dan juru dakwah sudah tidak ada lagi di muka bumi. Namun, kalangan haq yang minoritas atau kalah dibanding kelompok ateis tetap ada hingga hari kiamat. Hanya saja, saat kiamat terjadi, ruh orang beriman dicabut sebagai bentuk rahmat Allah kepada mereka agar mereka tidak melihat kengerian hari kiamat. Kiamat hanya terjadi di hadapan kaum kafir.(*[9])

    Isi pertanyaan kalian yang kelima:

    Apakah ruh-ruh yang kekal abadi juga merasakan kedahsyatan kiamat?

    Jawaban:Ya, mereka juga ikut merasakan sesuai dengan tingkatan mereka sebagaimana malaikat secara khusus ikut merasakan lewat manifestasi kekuasaan Tuhan pada diri mereka. Seperti halnya orang yang berada di tempat hangat ketika melihat orang-orang yang menggigil kedinginan oleh salju ikut merasakan kondisi mereka ka- rena memiliki akal dan hati nurani. Demikian pula ruh abadi yang memiliki perasaan yang terkait dengan alam, pasti ikut merasakan berbagai peristiwa besar yang terjadi di dalamnya. Masing-masing sesuai dengan tingkatannya.Sejumlah petunjuk al-Qur’an menjelaskan bagaimana ruh ikut merasakan siksa jika termasuk pendosa. Sebaliknya, jika termasuk kaum yang bahagia ia ikut merasakan apresiasi, penghargaan, dan kabar gembira yang ada. Nah ketika al-Qur’an menyebutkan berbagai kengerian kiamat dalam bentuk ancaman seraya berkata: “Kalian pasti akan melihatnya”, sementara orang yang melihat kengerian tersebut dengan fisik manusiawi mereka adalah orang-orang yang hidup hingga kiamat, maka ruh yang jasadnya telah hancur dikubur juga ikut merasakan ancaman al-Qur’an tersebut.

    Isi pertanyaan kalian yang keenam:

    Allah berfirman:“Segala sesuatu akan binasa kecuali di JalanNya” (QS. al-Qashash [28]: 88). Apakah ayat tersebut meliputi akhirat, surga, neraka, dan penghuninya, atau tidak?

    Jawaban:Permasalahan ini telah menjadi bahan kajian banyak ulama, ahli kasyaf, dan para wali yang salih. Pendapat mereka itulah yang menjadi sandaran dalam masalah tersebut. Selain itu, ayat di atas memiliki aspek yang sangat luas dan mencakup banyak tingka- tan. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat di atas tidak mencakup alam keabadian. Sementara yang lain berkata bahwa berbagai alam tersebut juga mengalami semacam kebinasaan dalam waktu yang sangat singkat di mana karena begitu singkat sampai-sampai kepergian dan kembalinya tidak terasa.

    Adapun perkataan sebagian ahli kasyaf yang memiliki pandangan ekstrem bahwa kefanaan mutlak akan terjadi tidaklah benar. Pasalnya, Dzat Allah bersifat permanen dan kekal, maka sifat-sifat dan nama-Nya juga kekal abadi. Nah, karena sifat dan nama-Nya bersifat kekal, maka kalangan abadi yang berada di alam baka di mana ia merupakan cermin, menifestasi, ukiran, dan wujudnya tidak pergi menuju kefanaan mutlak.

    Saat ini terdapat dua hal yang terlintas dalam benak ini. Kami akan menuliskannya secara global. Yaitu:

    Pertama, qudrah Allah tidak terbatas. Bahkan, wujud dan ketiadaan jika diukur dengan qudrah dan iradah-Nya laksana dua rumah. Segala sesuatu dikirim kepadanya dan ditarik darinya dengan sangat gampang dan mudah. Jika mau, Dia dapat menariknya dalam satu hari atau satu waktu.Kemudian, ketiadaan mutlak tidak ada sama sekali, karena ada pengetahuan yang mencakup segala hal. Hal itu karena tidak ada sesuatu yang berada di luar wilayah pengetahuan Ilahi. Ketiadaan yang terdapat dalam wilayah pengetahuan tersebut adalah ketiadaan yang bersifat eksternal (lahiriah) dan sekadar simbol yang menjadi bungkus bagi wujud yang bersifat ilmi. Dari sini sebagian ulama mengistilahkan entitas ilmiah tersebut dengan “substansi permanen.”

    Maka, pergi ke alam fana hanya berarti melepaskan bungkus lahiriah yang terdapat pada sesuatu untuk sementara waktu, dan masuk ke dalam wujud maknawinya. Dengan kata lain, segala hal yang bersifat fana meninggalkan wujud lahiriah, namun substansinya memakai wujud maknawi. Ia juga berarti keluar dari wilayah qudrah dan masuk ke wilayah ilmu.

    Kedua, telah kami jelaskan dalam sebagian besar “al-Kalimât” bahwa segala sesuatu fana dengan makna isminya dan dengan sisi yang mengarah pada zatnya. Ia tidak memiliki wujud mandiri. Ia juga tidak memiliki hakikat yang tegak sendiri. Akan tetapi, pada sisi yang mengarah kepada Allah—yaitu dengan makna harfi—ia tidak fana. Pasalnya, ia berisi manifestasi nama-nama Allah yang abadi. Karena itu, ia tidak disebut tiada, sebab ia membawa bayangan dari wujud abadi, serta memiliki hakikat permanen. Yaitu sebuah hakikat mulia karena memperoleh semacam bayangan abadi dari nama-Nya yang kekal.

    Selanjutnya, firman Allah :“Segala sesuatu akan binasa kecuali di Jalan-Nya,” merupakan pedang yang bisa memutus tangan manusia dari selain-Nya. Sebab, ayat di atas memutus seluruh hubungan dengan segala yang bersifat fana, di dunia yang fana, selain atas nama Allah. Jadi, ayat di atas melihat kepada semua yang bersifat fana di dunia. Artinya, apabila sesuatu berada di jalan Allah, apabila dilihat dari makna harfi, atau apabila ia untuk mencari rida Allah, maka tidak termasuk dalam yang selain-Nya. Dengan kata lain, ia tidak ditebas oleh pedang ayat di atas.

    Kesimpulan:Apabila sesuatu ditujukan untuk Allah dan ia menemukan Allah, berarti bukan selain-Nya sehingga tidak binasa. Namun jika tidak menemukan Allah dan bukan di jalan-Nya, berarti ia di luar Allah. Karenanya, ia layak dibinasakan oleh pedang “Segala sesuatu akan binasa kecuali di Jalan-Nya.” Hijabnya harus dirobek agar bisa menemukan-Nya.

    Yang kekal, hanyalah Dzat Yang Mahakekal.

    Said Nursî


    SURAT KEEMPAT BELAS ⇐ | Al-Maktûbât | ⇒ SURAT KEENAM BELAS

    1. *Lihat: Ahmad ibn hambal, Fadha’il ash-Shahabah, h.355; at-Thabari al-Umam wal Muluk, j.2, h.553; Ibn Katsir, al-Bidayah wan-Nihayah, j.7, h.130; Ibnu Adiy, al-Kamil, j.2, h.441-442; al-Ajluni, Kasyful Khafa, j.2, h.380 (nomor hadis 3172).
    2. *زِمِصْرَشْ بُوىِ پِــيرَاهَنْ شِنِيدِى چِرَا دَرْ چَاهِ كَنْعَانَشْ نَدِيدِى بَگُفْت اَحْوَالِ مَا بَرْقِ جِهَانَسْت دَمِى پَيْدَاوُ دِيگَرْ دَمْ نِهَانَسْت گَهِى بَرْ طَارُمِ اَعْلَى نِشِينَـمْ گَهِى بَرْ پُشْتِ پَاىِ خُودْ نَبِينَـمْ
    3. *Dalam Nahjil Anam, karya Ustadz al-Awhadi al-Mala Khalil al-Umri as-Sa’radi h.18.
    4. *Lihat: Muslim, al-Imârah h.53-54; Abu Daud, al-Adab h.111; Ibnu Majah, al-Fit- an h.7; Ahmad ibn Hambal, al-Musnad j.2, h.488.
    5. *Muslim dalam al-Iman 234, at-Tirmidzi dalam al-Fitan 35, al-Musnad 3/107, 201, dan 268.
    6. *Hadis-hadis tentang Imam Mahdi terdapat pada at-Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, al-Hakim, ath-Thabrani, Abu Ya’la al-Mushili dengan merujuk pada sejumlah sahabat. Menurut asy-Syawkani, “Hadis-hadis tentang Imam Mahdi yang dapat ditelaah berjumlah sekitar lima puluh. Di antaranya ada yang sahih, hasan, dan dhaif (lemah). Hadis-hadis tersebut mutawatir. Adapun âtsar yang berasal dari sahabat yang menjelas- kan tentang Imam Mahdi banyak pula. Hukumnya marfu. Tidak perlu ijtihad dalam riwayat semacam itu (al-Idza’ah, Karya Muhammad Shiddiq Khan, h.113-114).
    7. *Lihat: al-Bukhari, bab al-Manâqib h.25, bab Fadha’il al-Qur’an h.1; Muslim, bab Fadha’il ash-Shahabah h.100, bab al-Iman, h.271; at-Tirmidzi, al-Manâqib h.12; an-Na- sai, bab al-Iman h6; Ahmad ibn Hambal, al-Musnad j.2, h.107, j.3, h.334.
    8. *Lihat riwayat yang menjelaskan tentang Dajjal: al-Bukhari, dalam Ahâdîs al-Anbiyâ, h.3 dan h.50; Muslim, bab al-Fitan h.100-115; Abu Daud, al-Malâhim h.14; at-Tir- midzi, bab al-Fitan, h.59, h.60, h.61; Ibnu Majah, bab al-Fitan, h. 33; Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, j.3, h.367, j.5, h.397.
    9. *Lihat: al-Hakim, al-Mustadrak, j.3, h.686; ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, j.3,h.175; al-haytsami, Majma az-Zawa’id, j.8, h.9.