On Birinci Şuâ/id
(Salah Satu Buah Penjara Denizli)
Risalah ini merupakan bentuk pembelaan Risalah Nur untuk menghadang kaum zindik dan kafi r. Risalah ini juga merupakan pembelaan hakiki kami di penjara ini. Kami hanya berusaha dan berupaya untuk menegakkan iman.
Risalah ini merupakan salah satu buah penjara Deniz li, kenang-kenangan dan hasil dari penulisan satu pekan.
Said Nursî
CAHAYA IMAN DARI BILIK TAHANAN
بِس۟مِ اللّٰهِ الرَّح۟مٰنِ الرَّحٖيمِ
Maka, ia pun mendekam di penjara selama beberapa tahun (QS. Yusuf [12]: 42). Dari sejumlah rahasia ayat al-Qur’an di atas dapat dipahami bahwa Yusuf merupakan teladan bagi para ta hanan. Dengan demikian, penjara menjadi semacam “Madra sah Yusufi yah”. Oleh karena banyak tullabunnur yang masuk ke dalam “madrasah” tersebut sebanyak dua kali, maka mereka harus saling mempelajari dan mengajarkan bagian ringkasan persoalan iman yang dijelaskan oleh sejumlah Risalah Nur yang berkenaan dengan penjara. Tujuannya agar risalah ini bisa menjadi pedoman serta agar dapat meluruskan akhlak di mad rasah atau sekolah terbuka ini untuk menerima pembinaan. Di sini kami akan menjelaskan beberapa dari ringkasan tersebut.
PERSOALAN PERTAMA
Sebagaimana telah dijelaskan pada “Kalimat Keempat” bahwa modal hidup kita adalah 24 jam dalam sehari sebagai salah satu nikmat dari Sang Pencipta agar pada setiap jamnya kita bisa meraih apa yang harus kita raih serta apa yang penting bagi kehidupan dunia dan akhirat kita.
Ketika kita tidak memergunakan satu jam—yang cukup untuk menunaikan salat lima waktu—untuk kehidupan akh irat kita yang abadi, sementara kita pergunakan 23 jam demi kehidupan dunia yang singkat, berarti kita telah melakukan sebuah kesalahan besar yang tidak bisa dibenarkan oleh akal sehat. Tidak aneh kalau kemudian sebagai akibatnya hati ini menjadi keras dan kesat, jiwa menjadi sempit dan gelap yang akhirnya mengeruhkan kebeningan akhlak dan mengotori kebersihan jiwa. Lebih dari itu, hidup kita akan menjadi jenuh, putus asa, dan tidak bermakna. Kita akan selalu merasa gelisah. Kita tidak bisa memperoleh sejumlah pelajaran dari “madrasah Yusufi yah” ini dan dari ujian yang ada yang sejatinya bisa mendidik dan mendewasakan. Dengan begitu, kita menjadi sangat merugi.
Namun bila kita memergunakan satu jam untuk menu naikan salat lima waktu, maka setiap jam dari kehidupan penjara dan musibah ini akan berubah menjadi satu hari ibadah. Lewat keberkahan satu jam di atas, jam demi jam yang fana tadi seolah-olah mendapatkan sifat keabadian. Ia menjadi jam demi jam yang kekal. Maka, keputusasaan dan kesulitan yang terdapat di dalam hati dan jiwa menjadi hilang. Satu jam yang dipergunakan untuk ibadah menjadi penebus dosa dan kesalahan yang menjadi sebab masuk penjara. Dengan demikian, penjara menjadi madrasah yang memberikan pelajaran yang bermanfaat di mana kita dapat menyingkap rahasia di balik musibah atau penahanan ini. Di samping itu, penjara juga menjadi ajang pertemuan yang menyenangkan bagi kita dan teman-teman senasib.
Dalam “Kalimat Keempat” juga disebutkan sebuah pe rumpamaan yang menjelaskan kerugian besar bagi orang yang terus mengejar dunia dan mengabaikan akhirat, yaitu sebagai berikut:Ada yang mengeluarkan lima atau sepuluh dari dua puluh empat koin emas yang ia miliki untuk membeli undian judi. Kemungkinan untuk menang adalah satu banding seribu karena ada seribu peserta. Di sisi lain, ia tidak mau mengeluarkan satu saja dari dua puluh empat jam yang ia miliki untuk membeli koin yang membuatnya bisa meraih kekayaan akhirat yang abadi.
Padahal, peluang untuk mendapatkan nya—bagi kaum mukmin yang menutup amalnya dengan kebaikan—adalah sembilan puluh sembilan persen (99%). Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh para nabi dan rasul yang mulia serta dibenarkan oleh para wali dan orang-orang pili han lewat kasyaf di mana jumlah mereka tidak terhitung. Jadi, mengejar undian judi dan meninggalkan keuntungan yang pasti, bertentangan dengan maslahat yang ada.
Pelajaran penting dari Risalah Nur ini seharusnya mem buat senang para petugas penjara dan para penguasa. Pa salnya, telah dibuktikan lewat pengalaman bahwa mengatur seribu orang religius yang selalu ingat siksa “penjara jahanam” jauh lebih mudah daripada mengatur sepuluh orang yang meninggalkan salat, rusak akidah dan moralnya, hanya takut kepada hukuman dan penjara dunia, serta tidak membedakan antara yang halal dan yang haram.
PERSOALAN KEDUA
Sebagaimana telah dijelaskan secara indah dalam risalah “Tuntunan Generasi Muda” bahwa kematian pasti akan datang. Bahkan kedatangannya lebih pasti daripada datangnya malam sesudah siang dan datangnya musim dingin sesudah musim gugur. Juga, penjara ini ibarat jamuan sementara yang setiap kali akan diisi dan dikosongkan. Dunia pun demikian. Ia sama seperti hotel dan seperti persinggahan bagi para musafir. Kematian yang mengosongkan setiap kota dari pen duduknya sebanyak seratus kali lalu menggiring mereka ke kubur, sudah pasti menuntut sesuatu yang lebih banyak dan lebih mulia dari kehidupan yang fana ini. Risalah Nur telah menyingkap misteri di balik hakikat yang menakjubkan ini. Ringkasnya sebagai berikut:
Selama kematian tidak dibunuh dan pintu kubur tidak di tutup, maka urusan yang paling menyibukkan pikiran manu sia dan menjadi persoalan terbesar baginya adalah bagaimana selamat dari “algojo kematian” dan selamat dari “penjara selu ler kubur”.Lewat limpahan cahaya al-Qur’an al-Karim, Risalah Nur menegaskan bahwa persoalan tersebut dapat dipecahkan. Ringkasnya sebagai berikut:
Kematian bisa menjadi kemusnahan abadi dan kefa naan total yang menimpa seseorang berikut para kekasih dan karib kerabatnya, atau bisa pula menjadi surat pembebasan tugas (demobilisasi) untuk pergi ke alam lain yang lebih baik serta tiket untuk masuk ke istana kebahagiaan dengan sertifi kat iman.
Sementara kubur bisa menjadi penjara sepi dan gelap serta sumur yang dalam, atau bisa pula menjadi pintu menuju taman abadi dan jamuan bersinar setelah bebas dari penjara dunia. Risalah “Tuntunan Generasi Muda” menerangkan hakikat ini dengan sebuah perumpamaan sebagai berikut:
Misalkan di halaman penjara ini ditancapkan tiang tiang gantungan yang bersandar ke tembok. Di belakang nya terdapat satu distrik besar yang memberikan hadiah istimewa. Semua orang berada dalam posisi yang sama. Kita para tahanan yang berjumlah lima ratus orang sedang menunggu giliran untuk dipanggil menuju lapangan. Suka atau tidak, kita dipanggil satu demi satu. Tidak ada jalan selamat. Setiap kita bisa dipanggil dengan teriakan, “Mari terimalah putusan hukuman matimu dan naiklah ke tiang gantungan!” Atau, “Terimalah putusan untuk mendekam di penjara sendirian selamanya lewat pintu yang terbuka ini.” Atau, “Bergembiralah! Engkau mendapat jutaan koin emas. Ini ambillah!Kita menyaksikan pengumuman dari seruan tersebut tersebar di mana-mana. Kita menyaksikan sejumlah orang yang naik ke tiang gantungan secara bergiliran. Di antara mereka ada yang menggelayut. Di antara mereka ada yang menjadikannya sebagai tangga untuk sampai ke area hadiah yang terdapat di belakangnya. Kita sangat yakin dengan apa yang terjadi di distrik tersebut seolah kita melihat secara langsung sesuai dengan sejumlah informasi benar yang disampaikan oleh pejabat tinggi distrik tersebut yang keberadaannya tidak diragukan.Pada saat itu, terdapat dua kelompok yang masuk ke penjara.
Yang satu membawa alat-alat musik, minuman keras, dan manisan yang tampak seperti madu namun sebenarnya racun yang disusupkan oleh setan-setan yang berwujud manusia.
Mereka mempersembahkannya kepada kita serta mendorong kita untuk mengonsumsinya. Adapun kelompok kedua, mereka membawa sejumlah kitab pendidikan dan brosur bermuatan akhlak beserta makanan dan minuman yang penuh berkah. Mereka memberikan nya sebagai hadiah untuk kita. Dengan kompak, rasa penuh percaya dan yakin, mereka menceritakan kepada kita:Makanan yang diberikan oleh kelompok pertama kepada kalian hanyalah ujian. Jika kalian menerima dan mengonsumsinya, maka nasib kalian seperti yang kalian lihat di tiang gantungan. Namun, jika kalian menerima hadiah yang kami persembahkan kepada kalian atas nama dan pe rintah penguasa negeri ini serta kalian membaca berita dan zikir yang terdapat dalam kitab tersebut, maka kalian akan selamat dari hukuman mati. Kalian akan mendapatkan kupon hadiah dari area di atas guna mendapatkan keuntungan besar sebagai hadiah dan persembahan penguasa. Percayalah dengan ucapan kami ini dan yakinlah sepenuhnya seolah kalian melihatnya di siang bolong. Sebaliknya, berhati-hatilah dengan manisan berlapis madu itu yang diharamkan dan masih meragukan. Kalau kalian memakannya, perut kalian akan sangat sakit akibat pengaruh racun. Kalian akan merasa pedih saat naik ke tiang gantungan.
Berdasarkan perumpamaan di atas, orang beriman yang telah menghabiskan umurnya dalam ketaatan dan menutup amalnya dengan kebaikan akan diberi oleh takdir ilahi ber bagai simpanan kekayaan abadi yang tak pernah habis. Adapun mereka yang bergelimang dalam kemaksiatan, hal-hal haram, kekufuran, dan kefasikan akan dihukum mati (bagi yang tidak percaya kepada akhirat) jika mereka tidak bertobat. Atau, mereka akan dijebloskan ke dalam penjara sepi dan gelap yang bersifat abadi (bagi mereka yang percaya kepada kekalnya roh tetapi tetap bermaksiat). Mereka menerima pu tusan untuk menderita selamanya dengan kepastian mencapai 99 persen. Ya, berita yang benar ini disampaikan oleh 124 ribu nabi(*[1])disertai sejumlah mukjizat yang membenarkan mereka. Juga, diberitakan oleh lebih dari 124 juta wali yang mengikuti je jak para nabi dan membenarkan berita yang diberikan dalam bentuk kasyaf dan rasa spiritual.
Ia pun disampaikan oleh mereka yang jumlahnya tak terhingga dari para ulama ahli tahkik,(*[2])para mujtahid, dan kaum shiddîqîn yang menguatkan pernyataan dan keimanan mereka secara rasional dengan dalil dan hujjah yang kuat. Mereka memberitakan dengan ya kin apa yang disampaikan oleh orang-orang yang berasal dari kedua kelompok di atas. Jadi, tiga kelompok agung tersebut dan jamaah pembawa kebenaran itu, sebagai pemimpin serta mentari dan bulan umat manusia, semuanya memberitakan hakikat itu secara ijmak dan mutawatir. Oleh karena itu, sungguh rugi orang yang tidak perhatian dengan ucapan dan perintah mereka, yang tidak meniti jalan lurus yang mengantarkan pada kebahagiaan abadi lewat petunjuk mereka, serta tidak peduli dengan nasib akhir yang menyakitkan—dengan kepastian mencapai 99 persen—padahal di sisi lain ia tidak mau meniti jalan yang hanya memi liki satu kemungkinan bahaya dengan bersandar pada berita seorang informan lalu mengganti dengan jalan lain yang lebih jauh dan lebih panjang.Mereka laksana orang mabuk atau orang tidak waras yang malang. Ia sibuk mengawasi gangguan lalat namun lupa akan terkaman binatang buas. Pasalnya akalnya telah hilang.
Ia telah menyia-nyiakan kalbunya, merusak jiwanya, dan menghancurkan sisi kemanusiaannya. Meski sudah banyak informasi valid yang datang dari para pembawa berita yang jumlahnya tak terhingga itu, ia tetap meninggalkan jalan tersingkat dan termudah yang mengantar pada keberhasilan menggapai surga dan kebahagiaan abadi. Ia malah memilih jalan yang lebih panjang, lebih sulit, dan lebih sempit yang secara pasti akan mengantarkannya pada penjara jahanam dan derita abadi.Sayangnya, seperti yang telah kami katakan, manusia ti dak mau melewati jalan singkat di dunia ini yang hanya berisi satu dari seratus kemungkinan bahaya, atau penjara selama sebulan. Ia lebih percaya kepada seorang pembawa berita yang bisa jadi berdusta. Ia lebih memilih jalan lain meski lebih panjang dan tidak berguna karena dianggap tidak mengan dung bahaya. Jika keadaan yang sebenarnya demikian, maka kita se bagai orang tahanan harus menerima hadiah kelompok kedua tadi untuk mengganti derita penjara selama ini. Pa salnya, sebagaimana nikmat sesaat dalam membalas dendam, kesenangan selama beberapa menit atau beberapa jam dalam melakukan kemaksiatan telah menjebloskan kita ke dalam penjara. Ada di antara kita yang mendekam di penjara selama 15 tahun, ada yang 10 tahun, ada yang 5 tahun, dan ada yang setahun atau dua tahun hukuman. Maka, kita harus mengu bah jam demi jam yang singkat menjadi hari-hari ibadah yang setara dengannya. Kita harus mengubah dua atau tiga tahun hukuman yang kita jalani menjadi 20 atau 30 tahun dari usia abadi. Kita harus mengganti 20 atau 30 tahun dari penderita an di penjara menjadi jutaan tahun yang kekal. Hal itu dengan menerima hadiah kelompok kedua di atas. Dengan demikian, hukuman yang diberikan kepada kita menjadi sarana untuk selamat dari penjara jahanam. Ketika itulah, kehidupan akhi rat kita tersenyum bahagia di hadapan tangisan dan kesedi han dunia kita. Dengan itu pula kita telah membalas dendam terhadap ujian yang telah kita terima dan kita benar-benar memerlihatkan bahwa penjara merupakan madrasah pendi dikan untuk membenahi akhlak. Hendaklah para petugas penjara menyaksikan bahwa orang-orang yang mereka anggap jahat dan pembunuh, ser ta dianggap perampok dan orang-orang yang mengganggu ketertiban umum telah menjadi murid madrasah pendidikan yang penuh berkah. Di dalamnya mereka belajar adab yang mulia dan akhlak terpuji sehingga menjadi orang-orang yang berguna bagi bangsa dan manusia. Hendaknya mereka banyak bersyukur kepada Tuhan!
PERSOALAN KETIGA
Peristiwa yang mengandung pelajaran seperti yang te lah dijelaskan dalam buku “Tuntunan Generasi Muda”. Ringkasnya sebagai berikut:
Pada suatu hari, di hari ulang tahun Republik Turki, aku duduk di depan jendela penjara Eskişehir yang mengarah ke Sekolah Menengah Atas (SMA) puteri. Para gadis remaja di sekolah tersebut sedang tertawa dan menari di halaman se kolah de ngan ceria dan gembira.
Seketika tampak dalam pandanganku kondisi yang akan mereka alami lima puluh tahun mendatang. Sekitar lima puluh dari enam puluh gadis yang saat ini tertawa berubah menjadi tanah dan mendapat siksa di kubur. Sementara sepuluh orang sisanya sudah renta berusia tujuh puluh dan delapan puluh tahunan. Wajah mereka sudah jelek dan kecantikan mereka telah sirna. Mereka menderita karena berharap orang-orang akan mengaguminya, namun yang terjadi malah sebaliknya. Mereka justru merasa jijik dan muak melihatnya. Pasalnya, mereka tidak menjaga kehor matan di saat masih muda. Ya, aku melihat kondisi tersebut dengan sangat jelas. Aku pun menangisi kondisi mereka yang memilukan. Sebagian para narapidana yang berada di penjara mendengar tangisanku. Mereka pun menghampiri untuk mencari tahu apa yang tengah terjadi. “Biarkan aku sendirian! Pergilah!” ujarku kepada mereka.
Ya, apa yang kulihat merupakan sebuah kenyataan, bu kan khayalan. Pasalnya, sebagaimana musim panas dan gugur akan berubah menjadi musim dingin, maka di balik musim panas masa muda dan musim gugur masa tua terdapat musim dingin kubur dan barzakh. Andaikan peristiwa lima puluh tahun kemudian bisa diperlihatkan seperti lima puluh tahun yang sudah berlalu—lewat perangkat seperti bioskop—lalu berbagai peristiwa dan kondisi yang dialami oleh kaum yang sesat di masa mendatang ditayangkan, tentu mereka akan merasa sakit dan menangis pilu atas berbagai larangan yang saat ini mereka senangi dan mereka nikmati.
Saat sedang tenggelam dalam perenungan dan saat men yaksikan layar imajiner yang terpampang di hadapanku di penjara Eskişehir, tiba-tiba datang sosok maknawi yang seolah-olah memerankan sosok setan manusia yang mengajak kepada kemaksiatan dan menyebarkan kesesatan.
Ia berkata kepadaku:
“Kami ingin menikmati semua kelezatan hidup dan mem buat orang lain senang dengannya. Oleh karena itu, biarkan kami dengan kondisi kami. Jangan campuri urusan kami!”Akupun menjawabnya dengan berkata:“Karena engkau menjatuhkan diri dalam kubangan kes esatan dan kemaksiatan demi mendapat kenikmatan yang sangat sedikit tanpa peduli dengan kematian yang akan datang, maka ketahuilah bahwa: Masa lalu—sesuai dengan kesesatanmu—sudah tiada dan telah berakhir. Ia menjadi kuburan besar yang menakut kan. Di dalamnya, tubuh jenazah itu luluh lantak. Oleh kare na itu, jika engkau masih memiliki akal atau hati yang hidup, maka derita dan kepedihan yang bersumber dari kematian abadi dan perpisahan tak bertepi dengan kerabat dan orang yang kau cinta—akibat dari kelalaianmu—bisa melenyapkan semua kenikmatan parsial dan melenakan yang kau rasakan dalam waktu yang sangat singkat.
Lalu, bila “masa lalu” sudah tiada bagimu, maka “masa depan” juga demikian. Hal itu karena ketiadaan iman pada dirimu. Ia menjadi medan yang menakutkan, gelap, dan mati. Karena setiap entitas malang yang datang ke alam wujud lalu melewati masa sekarang akan dipenggal oleh algojo kema tian dan dilemparkan menuju ketiadaan, maka hal itu mem buat rasa kekhawatiran menghujani kepalamu yang tidak ada imannya sesuai dengan keterikatan akalmu dengan mereka. Kondisi tersebut membuat semua kenikmatan parsialmu yang tidak syar’i menjadi hilang seketika. Akan tetapi, ketika engkau menyingkir dari jalan kese satan dan meninggalkan jalan kemaksiatan dengan masuk ke wilayah iman yang hakiki disertai istikamah di dalamnya, maka melalui cahaya iman engkau akan melihat bahwa: Masa lalu bukan tiada, bukan pula kuburan yang melumat segala sesuatu. Namun ia adalah alam bercaha ya yang benar-benar ada di mana kemudian berubah men jadi masa depan. Ia ruang tunggu bagi roh-roh kekal yang menantikan adanya kebangkitan untuk kemudian masuk ke surga kebahagiaan abadi yang disiapkan untuk mereka. Oleh karena itu, ia memberimu—sedang engkau masih di dunia—kenikmatan surga maknawi sesuai dengan tingkat keimananmu. Selain itu, masa depan juga tidak mendatangkan kepedihan dan kerisauan. Ia bukan tempat yang mencekam, serta bukan pula lembah yang gelap dan menakutkan. Akan tetapi, dengan cahaya iman, ia merupakan tingkatan tempat kebahagiaan abadi milik Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang yang rahmat-Nya meliputi segala sesuatu dan kemu rahan-Nya mencakup semua hal. Sebagaimana Allah telah menghamparkan musim semi dan musim gugur sebagai dua hidangan penuh nikmat, Dia juga telah menyiapkan hidangan jamuan mewah di istana yang tinggi itu serta membuka galeri kebaikan dan karunia-Nya yang berlimpah di sana. Sementa ra manusia dibujuk, bahkan digiring ke sana. Ya, lewat layar keimanan, seorang mukmin melihat nya sesuai dengan tingkat keimanan masing-masing. Ia dapat merasakan sebagian dari kenikmatan yang abadi itu. Jadi, kenikmatan hakiki yang tidak dikotori oleh kepedihan ha nya terdapat pada iman. Hanya dengan iman, kenikmatan itu dapat diraih.
Terdapat ribuan buah iman penuh nikmat yang ada di dunia ini. Serta, ada ribuan manfaat dan hasilnya. Hanya saja, kami akan menjelaskan salah satu darinya lewat sebuah pe rumpamaan sebagai beriku:
Wahai saudaraku, bayangkan anakmu satu-satunya yang sangat kau cintai terbaring di atas kasur sedang menghadapi sakaratul maut. Ketika itu engkau larut dalam pikiran yang putus asa dan merasakan kepedihan luar biasa akibat mem bayangkan perpisahan abadi yang sangat menyakitkan. Dalam kondisi putus asa semacam itu, bayangkan tiba-tiba seorang dokter yang mahir, laksana Khidir atau Luqman, datang memberi penawar racun bagi si anak. Seketika anak tersebut membuka kedua matanya diliputi perasaan senang dan gem bira. Ia telah selamat dari cengkeraman kematian. Ketika itu, betapa engkau sangat gembira dan bersuka ria.
Begitu pula kondisi jutaan orang yang terkubur di pekuburan masa lalu di mana engkau sangat mencintai mereka dan mempunyai ikatan kuat seperti kondisi anak tadi. Ketika dalam pandanganmu mereka nyaris binasa ditelan kefanaan di kuburan masa lalu, tiba-tiba hakikat iman memancarkan cahaya lewat jendela hati sebagaimana yang dilakukan oleh Luqman kepada anak tadi. Cahaya tersebut menerangi kubu ran luas yang disangka sebagai tempat kemusnahan abadi. Dengan cahaya tersebut, mereka yang sudah mati tampak hidup di alam barzakh. Dengan lisanul hal mereka menyeru: “Kami tidak mati dan kami tidak akan pernah mati. Sebentar lagi kita akan bertemu.” Ya, sebagaimana kesembuhan si anak mendatangkan rasa senang dan kegembiraan yang tak terkira setelah tadinya putus asa, demikian pula dengan hal ini. Ia membuat kita yakin bahwa iman yang telah membuat gembira di dunia memastikan bahwa hakikatnya ibarat benih yang seandainya berwujud fisik, tentu akan tumbuh di atasnya surga bagi setiap mukmin dan ia akan menjadi pohon Tuba untuknya.
Itulah yang kukatakan kepada setan manusia yang keras kepala tersebut. Namun ia menentangku seraya berkata, “Bi arkan kami hidup meski seperti binatang tanpa peduli de ngan sejumlah persoalan yang kita bincangkan ini. Biarkan kami menjalani kehidupan kami dengan menikmati ber bagai kesenangan dan senda gurau.”
Akupun menjawab, “Engkau tidak akan pernah seperti binatang. Sebab, binatang tidak memiliki perangkat untuk memikirkan masa lalu dan masa depan. Binatang tidak mera sakan kesedihan masa lalu dan kecemasan terhadap masa de pan. Oleh karena itu, binatang menemukan kenikmatannya secara sempurna dan bersyukur kepada Penciptanya Yang Mahamulia. Bahkan binatang yang siap disembelih sekalipun hanya merasakan sakitnya pisau saat digoreskan ke tenggoro kannya. Setelah itu, rasa sakit tadi segera hilang sehingga ti dak tersiksa karenanya. Sungguh rahmat ilahi dan kasih sayang Rabbani sangat tampak ketika Dia menyembunyikan persoalan gaib dan me nutup semua musibah yang terjadi. Terutama pada hewan dan binatang. Akan tetapi wahai manusia, dengan akal yang eng kau miliki, masa lalu dan masa depanmu tidak bersifat gaib lagi di satu sisi. Engkau tidak dapat menikmati kelapa ngan dan ketenangan yang dirasakan oleh binatang lewat tertu tupnya tirai gaib di hadapan mereka. Penyesalan dan rintihan yang bersumber dari masa lalu, serta berbagai bentuk perpi sahan yang menyakitkan dan kecemasan yang bersumber dari masa depan bisa melenyapkan kenikmatan parsialmu seka ligus menjerumuskanmu ke tingkatan yang jauh lebih rendah daripada binatang bila dilihat dari sisi kesenangan. Selama hakikatnya demikian, yang harus engkau laku kan adalah berlepas diri dari akalmu lalu melemparkannya ke luar. Setelah itu, engkau anggap dirimu sebagai binatang agar selamat. Atau bila tidak, engkau terangi akalmu dengan cahaya iman dan engkau perhatikan suara indah al-Qur’an. Maka, engkau akan lebih mulia daripada binatang. Engkau akan merasakan sejumlah kenikmatan yang bening dan suci selama berada di dalam kehidupan dunia yang fana ini. Aku telah memberikan hujjah tersebut padanya.
Namun ia menyanggah seraya berkata, “Setidaknya kami akan hidup seperti orang asing yang kafir itu.”
Aku pun menjawabnya dengan berkata, “Engkau tidak akan bisa seperti orang asing yang kafi r itu. Pasalnya, mes ki mereka mengingkari seorang nabi, bisa jadi mereka masih beriman kepada nabi yang lain. Bahkan meski mereka tidak mengenal salah seorang nabi, mereka masih beriman kepa da Allah. Meskipun tidak beriman, mungkin mereka masih bisa mencapai kesempurnaan lewat sejumlah sifat terpuji dan tabiat manusiawi yang mereka miliki. Adapun bila seorang muslim mengingkari nabi akhir zaman, Muhammad yang merupakan penutup para nabi, serta mengingkari agama dan dakwahnya yang bersifat menyeluruh, lalu keluar dari wilayah hidayah-Nya, berarti ia tidak beriman kepada nabi yang lain, bahkan ia tidak beriman kepada Allah. Sebab, ia hanya mengenal seluruh nabi, Allah, dan kesempurnaan lewat petunjuk Rasullullah . Maka dari itu, tidak ada sesuatu pun yang ter sisa dalam hatinya tanpa beriman kepada Nabi . Oleh sebab itu, manusia dari agama mana pun, sejak masa lalu, masuk ke dalam Islam. Sementara, tidak ada satu pun muslim yang menjadi Yahudi, Majusi, dan Nasrani tulen. Barangkali ia ha nya menjadi orang ateis dan berakhlak bejat sehingga ia ber bahaya bagi negara dan bangsa. Demikianlah, aku memberikan hujjah kepada orang yang keras kepala itu bahwa ia tidak bisa menyerupai orang kafir yang asing sekalipun. Ketika tidak ada lagi alasan yang bisa menjadi sandaran, ia pun menghilang dan pergi menuju neraka sebagai tempat terburuk.
Wahai teman-teman yang berkumpul di “Madrasah Yu sufi yah” ini! Selama hakikatnya demikian, sementara cahaya Risalah Nur telah dan terus tersebar sejak dua puluh tahun yang lalu di mana ia berhasil mematahkan sikap keras kepala kaum yang membangkang serta memaksa mereka untuk beri man, maka kita harus berpegang pada iman dan jalan lurus yang mudah, bermanfaat, dan selamat, baik bagi dunia, masa depan, akhirat, negeri, maupun bangsa kita. Kita tidak boleh membuang-buang waktu dengan berbagai khayalan dusta dan harapan kosong yang tidak berguna. Namun kita harus meng hidupkannya dengan amal salih seperti membaca sejumlah surah al-Qur’an al-Karim yang kita ketahui siang dan malam sekaligus mempelajari maknanya dari saudara-saudara kita yang mengetahui maknanya. Juga, kita harus mengqadha shalat-shalat wajib kita yang tertinggal, serta meraih akhlak yang terpuji dari sebagian yang lain. Kita jadikan penjara ini sebagai taman penuh berkah yang menumbuhkan tunas-tu nas unggul. Kita berusaha dengan sungguh-sungguh agar para aparat penjara bisa menjadi ustadz pembimbing yang menyiapkan manusia menuju surga serta menjadi pengawas yang baik, bukan penjaga neraka bagi para pembunuh dan pelaku kejahatan.
PERSOALAN KEEMPAT
Suatu ketika, saudara-saudaraku yang melayaniku ber tanya sebagai berikut:
Perang dunia telah menyita perhatian manusia, menyi bukkan planet bumi, serta membuatnya gamang dan gon cang. Ia sangat terkait dengan masa depan dunia Islam. Na mun Anda tidak mempertanyakan hal tersebut meski sudah berlangsung selama lima puluh hari—atau bahkan tujuh ta hun(*[3])—sementara kami menyaksikan banyak orang religius dan ulama meninggalkan shalat berjama’ah dan masjid untuk mendengarkan informasi radio. Adakah persoalan yang le bih penting darinya bagi Anda? Atau, sibuk dengan masalah tersebut adalah sesuatu yang berbahaya dan mendatangkan kerugian?
Jawabanku:
Modal umur manusia sangat singkat. Sementara, kewa jiban dan tugas yang wajib kita kerjakan sangat banyak. Ke wajiban tersebut laksana rangkaian lingkaran yang saling ber tautan dan berpusat pada manusia. Yaitu mulai dari lingkaran kalbu, perut, badan, rumah, kampung, kota, negara, pla net bumi, dan umat manusia hingga kepada wilayah seluruh makhluk hidup dan seluruh alam. Semuanya merupakan rangkaian lingkaran yang saling bertautan. Setiap manusia memiliki satu bentuk tugas pada masing-masing lingkaran tersebut. Hanya saja, kewajiban yang paling besar dan pa ling penting, bahkan berkelanjutan bagi manusia adalah pada lingkaran yang paling kecil atau yang paling dekat dengan nya. Sementara, kewajiban yang paling kecil, paling remeh dan paling singkat berada di lingkaran yang paling besar dan paling jauh. Atas dasar itu, berbagai tugas dan kewajiban yang ada berbanding terbalik dengan luas lingkaran. Arti nya, se makin kecil dan dekat lingkarannya, semakin penting kewa jibannya. Sebaliknya, semakin besar dan jauh lingkarannya, semakin tidak penting kewajibannya.
Akan tetapi, karena lingkaran yang besar cenderung memikat dan menarik, ia pun menyibukkan manusia dengan sejumlah persoalan yang tidak penting baginya. Ia membuat pikirannya tertuju kepada se jumlah perbuatan yang tidak penting, sehingga hal itu mem buatnya mengabaikan berbagai kewajiban utamanya pada lingkaran kecil yang dekat dengannya. Dengan demikian, ia menyia-nyiakan modal umurnya. Belum lagi, kalbunya cen derung dan berpihak kepada salah satu dari dua pihak yang saling berseteru sehingga terus mengikuti informasi perang yang merusak tersebut tanpa ada pengingkaran dalam diri terhadap kezaliman yang dilakukan oleh pihaknya. Bahkan ia senang dan menjadi sekutu dalam kezaliman tersebut.
Adapun jawaban terhadap poin pertama adalah sebagai berikut: Setiap manusia, terutama seorang muslim, menghadapi persoalan penting dan kondisi genting yang lebih besar dari pada konfl ik antar negara besar untuk menguasai planet bumi.Persoalan tersebut sangat penting dan genting yang andaikan orang berakal memiliki kekuatan seperti Jerman dan Inggris berikut sumber dayanya, tentu ia akan mengerahkan semua nya untuk meraih persoalan yang ditujunya itu tanpa ragu.
Persoalan tersebut adalah apa yang dideklarasikan oleh seratus ribu orang-orang pilihan dan yang panjinya diangkat oleh sosok tokoh dan pembimbing umat manusia yang jum lahnya tak terhingga yang bersandar pada kesepakatan dan janji Tuhan semesta alam. Bahkan ada di antara mereka yang menyaksikannya secara langsung. Persoalan tersebut adalah persoalan yang sangat menentukan nasib manusia. Yaitu: Apa kah manusia berhasil meraih kekuasaan yang besar dan kekal serta tempat tinggal yang nyaman di surga yang seluas langit dan bumi dengan iman, atau tidak? Siapa yang tidak memiliki paspor iman dan tidak memeliharanya dengan benar, pasti ia gagal meraihnya. Dan itu merupakan kerugian nyata. Banyak orang di masa sekarang—yang diuji dengan wabah materialisme—mengabaikan persoalan ini. Bahkan salah seorang dari mereka yang memiliki ilmu dan kasyaf me nyingkap dan menyaksikan bahwa hanya sedikit saja dari setiap empat puluh orang—di satu tempat—yang dengan iman mereka selamat dalam menghadapi sakaratul maut dan mendapat husnul khatimah. Adapun selebihnya celaka. Nah, kira-kira kalau kekuasaan dunia diberikan kepada salah seo rang di antara mereka sebagai ganti dari kenikmatan abadi tersebut, apakah nilainya sepadan?! Ataukah bisa menempati posisinya?! Tidak sama sekali.
Oleh karena itu, kami, semua tullabunnur, meyakini bah wa meninggalkan pengabdian agung yang mengantar pada “kebahagiaan abadi” tersebut, mengabaikan tugas-tugas yang sembilan puluh persen dapat menjaganya, serta lalai dari nya karena sibuk dengan urusan eksternal dan tidak penting seakan dunia ini kekal, semua itu merupakan bentuk ketidak warasan. Kami sangat yakin dan percaya pada hal tersebut. Oleh karena itu, andaikan setiap kami memiliki akal dan pemaha man berkali-kali lipat daripada apa yang dimiliki sekarang, tentu semuanya akan dikerahkan untuk memenangkan per soalan penting tersebut (meraih kebahagiaan abadi).
Wahai saudara-saudaraku yang baru saja mendapat hukuman penjara! Kalian belum membaca Risalah Nur se bagaimana saudara kalian sebelumnya yang pernah masuk penjara bersama kami. Aku ingin menyampaikan kepada kalian sebuah pesan sekaligus mempersaksikannya kepada seluruh mereka dan ribuan orang yang seperti mereka. Aku telah mengatakan dan menegaskan berulang-ulang bahwa: Risalah Nur telah berhasil membuat sembilan puluh persen dari mereka memenangkan persoalan agung di atas. Ia telah menyerahkan “medali kemenangan”—yang berupa iman yang kukuh—kepada dua puluh ribu orang selama dua puluh tahun berlalu. Tentu saja, sebab ia bersumber dari muk jizat maknawi al-Qur’an serta berposisi sebagai pembela per kara besar tersebut dan pengacara di masa sekarang.
Meskipun selama delapan belas tahun ini para musuh, zindik, dan kaum materialis menimpakan berbagai tipu daya dan makar yang keji serta mereka terus mendorong sebagian pejabat untuk membinasakan kami sehingga memasukkan kami ke dalam penjara seperti sekarang ini, namun mereka tidak bisa melakukan sesuatu yang berarti dan dengan izin Allah tidak akan pernah bisa. Pasalnya, mereka tidak mam pu menghadang benteng Risalah Nur yang kukuh serta tidak mampu menyentuh perlengkapannya yang berjumlah seratus tiga puluh (risalah), kecuali dua atau tiga saja. Oleh karena itu, siapa yang ingin mengambil pengacara untuk membela perkaranya, ia bisa menjadikan Risalah Nur sebagai pengacaranya.
Wahai saudara-saudaraku, jangan khawatir! Risalah Nur tidak akan terhalang ataupun terlarang. Sebab, bagian-bagian dari Risalah Nur yang penting sudah beredar luas di antara anggota parlemen dan pejabat dengan penuh kebebesan, ke cuali dua atau tiga risalah. Insya Allah akan datang suatu masa, saat para pejabat dan pimpinan lapas membagi-bagikan Risalah Nur kepa da para tahanan sebagaimana mereka membagikan-bagikan makanan dan obat, sehingga penjara berubah menjadi mad rasah serta tempat mendidik dan merehabilitasi.
PERSOALAN KELIMA
Sebagaimana telah dijelaskan dalam buku “Tuntunan generasi muda” bahwa: Masa muda akan berlalu dan sirna. Ia pasti akan berakhir. Sebagaimana musim panas akan digantikan oleh musim semi dan musim dingin, serta siang juga akan digantikan oleh sore dan malam, begitu juga dengan masa muda. Masa muda pasti akan berubah menjadi masa tua dan akan berakhir pada kematian. Bila seorang pemuda menggunakan masa mudanya yang bersifat sementara di jalan kebaikan dalam ruang lingkup ke sucian dan keistikamahan, seluruh pesan samawi membe rikan kabar gembira bahwa dengan itu ia akan meraih masa muda yang kekal abadi.
Sebagaimana perasaan emosi sesaat terkadang men dorong seseorang untuk melakukan tindakan pembunuhan, sehingga menanggung penderitaan jutaan menit di dalam penjara. Begitu pula dengan kebobrokan masa muda dan berbagai kenikmatannya yang bersifat sementara manaka la berada di luar batas ketentuan Allah, akan mendatangkan penderitaan yang jauh lebih besar daripada kenikmatan itu sendiri, di samping siksa di dalam kubur dan tanggung jawab di akhirat. Selain itu, akan muncul kesedihan dari hilang nya kenikmatan, serta hukuman duniawi sebagai balasan dari dosa yang dilakukan.
Misalnya, cinta terlarang. Ia mendatangkan berbagai derita yang melenyapkan kenikmatan secuil padanya. Di antaranya, derita karena cemburu, karena berpisah dengan sang kekasih, dan karena cinta bertepuk sebelah tangan, serta berbagai hal lain yang membuat kenikmatan secuil tersebut laksana madu beracun. Barangkali engkau ingin mengetahui betapa penyalahgu naan masa muda telah mendatangkan banyak penyakit yang menggiring mereka ke sejumlah rumah sakit atau kuburan, betapa tindakan para pemuda yang melampaui batas telah mengantarkan mereka ke penjara, dan betapa derita mak nawi yang mereka alami akibat kekosongan spiritual dan ke hampaan jiwa telah mengantarkan mereka ke sejumlah klub malam dan tempat-tempat maksiat. Ya, Jika engkau ingin me mastikan semua itu, tanyakanlah pada sejumlah rumah sakit, penjara, klub malam, dan kuburan. Engkau akan mendengar rintihan, ratapan, tangisan pedih, dan rasa penyesalan yang diungkapkan oleh sebagian besar pemuda yang malang.
Mereka menerima tamparan menyakitkan dan pukulan pedih akibat penyalahgunaan masa muda, tindakan yang melam paui batas, dan kenikmatan terlarang yang mereka lakukan. Sebaliknya, bila seorang pemuda menghabiskan masa mudanya di jalan yang benar disertai sikap istikamah, maka ia menjadikannya sebagai nikmat dan karunia ilahi yang pa ling indah, serta menjadikannya sebagai sarana menuju amal amal salih. Ia juga akan membuahkan masa muda yang ce merlang dan kekal abadi di akhirat sebagai ganti dari masa muda yang fana dan cepat berlalu. Itulah kabar gembira yang disampaikan oleh sejumlah kitab suci dan suhuf samawi yang Allah turunkan, terutama al-Qur’an dengan ayat-ayatnya yang bersifat pasti.
Selama hakikatnya demikian; selama wilayah halal cukup untuk mendapatkan kenikmatan dan kesenangan; serta sela ma satu kenikmatan yang haram membuat pelakunya men derita di penjara setahun atau bahkan sampai sepuluh tahun, maka masa muda harus dihabiskan dengan sikap menjaga diri, menjaga kesucian, dan berusaha istikamah di jalan yang benar sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat yang Allah be rikan. Inilah sikap paling tepat yang seharusnya dilakukan.
PERSOALAN KEENAM
Persoalan ini berisi penjelasan singkat tentang satu argumen di antara ribuan argumen komprehensif seputar “iman kepada Allah” di mana ia telah dijelaskan dengan berbagai buktinya yang meyakinkan dalam sejumlah bagian Risalah Nur.
Sekelompok siswa Madrasah Aliyah di Kastamonu datang kepada saya seraya berkata, “Tolong perkenalkan Sang Pencipta kepada kami, sebab guru kami tidak mengajarkan hal tersebut kepada kami.
Saya katakan kepada mereka:Setiap ilmu yang kalian pelajari sebenarnya selalu berbicara tentang Allah. Ia memperkenalkan Sang Pencipta Yang Maha Pemurah dengan bahasanya masing-masing. Oleh karena itu, pelajarilah ilmu tersebut dengan baik, tanpa harus melalui guru.
Contoh pertama: misalkan terdapat apotek besar di mana pada setiap wadah dan botolnya berisi obat antibiotik dan senyawa biotik dengan takaran yang cermat dan akurat. Hal tersebut tentu saja menjelaskan adanya apoteker yang mahir dan ahli kimia yang cerdas.
Demikian juga apotek bumi. Di dalamnya terdapat lebih dari 400 ribu spesies makhluk hidup, baik berupa tumbuhan maupun hewan. Masing-masing laksana botol yang berisi antibiotik dan senyawa biotik. Apotek bumi tentunya jauh lebih besar dan lebih megah dibanding apotek buatan manusia sehingga apotek bumi jauh lebih jelas memperlihatkan, bahkan kepada orang buta sekalipun, adanya apotekernya yang Mahabijak dan Mahaagung menurut standar “ilmu kedokteran” yang kalian pelajari.
Contoh kedua: misalkan sebuah pabrik canggih yang memintal ribuan jenis kain dari bahan yang sederhana. Hal itu tentu saja menjelaskan adanya pemilik dan mekaniknya yang mahir. Demikian pula “mesin rabbani” yang beredar dan pabrik luar biasa yang disebut bumi.
Di dalamnya terdapat ratusan ribu pabrik induk, dan setiap pabrik terdapat ratusan ribu perangkat yang lengkap. Pabrik ini tentunya jauh lebih besar dan jauh lebih hebat dari pabrik buatan manusia sehingga jauh lebih jelas menjadi petunjuk untuk mengenal pemilik dan arsitek bumi sesuai dengan standar “ilmu teknik mesin” yang kalian pelajari.
Contoh ketiga: misalkan kedai, toko, atau gudang makanan. Di dalamnya terdapat ribuan macam bahan makanan yang didatangkan dari berbagai penjuru dan disusun dengan sangat rapi. Tentu saja tumpukan bahan makanan ini menjadi petunjuk adanya pemilik yang mengaturnya.
Demikian pula dengan toko dan gudang rabbani milik Ilahi ini (bumi), yang berjalan pada setiap tahun sejarak 24 ribu tahun dalam satu tatanan yang rapi di mana pada setiap sisinya terdapat ratusan ribu jenis makhluk yang masing-masing membutuhkan makanannya secara khusus. Dalam perjalannya melalui berbagai musim. Pada musim semi, ia penuh dengan ribuan makanan yang bermacam-macam seakan-akan lokomotif raksasa untuk membawa bahan makanan pokok bagi makhluk hidup malang yang kehabisan makanan pada musim dingin. Toko dan gudang Rabbani ini tentunya jauh lebih besar dan jauh lebih megah dari toko dan gudang manusia sehingga jauh lebih jelas menjadi petunjuk adanya Pemilik gudang bumi ini sesuai dengan standar “ilmu katering dan ilmu nutrisi” yang kalian pelajari atau akan pelajari dan kalian akan mengenal dan menyukainya.
Contoh keempat: misalkan sebuah pasukan besar yang terdiri dari 400 ribu bangsa, masing-masing memiliki makanan, senjata, pakaian, model latihan, dan pelepasan sendiri yang berbeda dari yang lain. Tentu pemimpin pasukan yang membekali mereka dengan makanan, senjata, dan pakaian yang berbeda-beda tanpa terlupa dan salah merupakan pemimpin yang luar biasa. Jika barak militer ini memperlihatkan keberadaan sang pemimpin yang luar biasa, bahkan membuat kita mencintainya dengan penuh hormat dan kagum, demikian pula dengan barak bumi ini. Setiap musim semi, Dia memobilisasi pasukan Ilahi yang besar, yang terdiri dari 400 ribu jenis tumbuhan dan hewan. Masing-masing diberi pakaian, makanan, senjata, latihan, dan pelepasan khusus oleh Sang Pemimpin Yang Agung dan Esa tanpa ada yang terlupa dan salah dalam bentuk yang sangat sempurna dan rapi.
Pasukan musim semi yang sangat besar dan terbentang di muka bumi tentunya jauh lebih unggul dan lebih hebat dibanding pasukan militer buatan manusia sehingga pasukan musim semi jauh lebih jelas menjadi petunjuk adanya Penguasa, Pemilik, Pengatur dan Komandan bumi ini sesuai dengan standar “ilmu militer” yang akan kalian pelajari. Ya, kenyataan ini akan memberitahukan dengan rasa kagum dan penuh penghargaan, membuat setiap orang yang berakal dan sadar suka untuk bertasbih dan bertahmid.
Contoh kelima: sebuah kota yang menakjubkan. Di dalamnya terdapat jutaan lampu listrik yang tersebar di seluruh penjuru tanpa pernah kehabisan bahan bakar. Hal ini tentunya memperlihatkan bahwa terdapat seorang insinyur listrik yang hebat yang telah mencipta lampu dan mendirikan pembangkit tenaga listrik. Dia yang mengelola listriknya dan menjamin ketersediaan bahan bakarnya. Hasil karyanya ini akan memperkenalkan penciptanya dan membuat orang senang terhadapnya serta mengundang kekaguman dan penghargaan.
Demikian pula halnya dengan lampu-lampu bintang yang menghiasi kubah istana dunia di kota alam ini. Meskipun sebagiannya ratusan kali lipat lebih besar dari bola bumi, bergerak tujuh puluh kali lebih cepat dari peluru meriam seperti yang dikatakan ilmu astronomi, namun demikian sistemnya tidak pernah timpang, tidak pernah bertabrakan antara satu dengan yang lainnya, sinarnya tidak pernah padam, dan bahan bakarnya tidak pernah habis.
Matahari, misalnya, yang—menurut ilmu astronomi yang akan kalian pelajari—jutaan kali lebih besar dari bumi dan jutaan kali lebih tua darinya, hanyalah lampu permanen serta tungku perapian abadi bagi negeri jamuan Tuhan (bumi). Untuk tetap menjaga nyalanya, setiap hari diperlukan bahan bakar sebanyak lautan bumi, arang sebanyak gunung-gunungnya, dan kayu bakar yang jumlahnya seribu kali bumi.
Namun, yang menyalakannya—sekaligus menyalakan seluruh bintang lain sejenisnya—tanpa bahan bakar, arang, minyak, dan tanpa pernah padam, serta yang menjalankannya dengan sangat cepat secara bersamaan tanpa pernah berbenturan adalah qudrah yang tak terhingga dan kekuasaan agung yang tak bertepi. Jagat raya ini berikut sejumlah lampu terang di dalamnya, sesuai “ilmu kelistrikan” yang akan kalian pelajari, dengan jelas menjadi petunjuk adanya Penguasa galeri agung di atas. Ia memperkenalkan keberadaan Dzat Penerang, Pengatur, dan Penciptanya yang agung lewat kesaksian bintang-gemintang yang bersinar. Ia juga membuat-Nya dicintai oleh segenap hamba-Nya disertai pujian, tasbih, dan pensucian. Bahkan, ia mengantarkan mereka untuk beribadah kepada-Nya.
Contoh keenam: misalkan terdapat sebuah buku yang mengagumkan, dalam setiap barisnya tertulis buku dengan tulisan yang unik, dan dalam setiap katanya tertulis surah al-Qur’an. Seluruh persoalan yang dibahas di dalamnya sarat dengan makna yang mendalam dan saling memperkuat satu sama lain sehingga menjadi sebuah kompilasi hebat yang memperlihatkan kemahiran dan kemampuan luar biasa penulis dan pengarangnya. Jika buku seperti ini akan menjadi petunjuk kesempurnaan penulisnya, memberitahukan kehebatan pengarangnya secara nyata seperti siang hari memberitahukan adanya matahari dan mengundang penghargaan sehingga orang mengatakan, “tabârakallâh, subhânallâh, mâ syâ Allâh,” maka demikian pula dengan buku alam semesta yang besar ini.
Kita menyaksikan dengan mata kepala kita apa yang dilakukan pena yang menulis di atas permukaan bumi yang merupakan salah satu lembarannya, dalam musim semi yang merupakan salah satu buku catatannya, di mana ia menulis tiga ratus ribu jenis tumbuhan dan hewan yang dianggap sebagai seribu buku yang bermacam-macam, yang ditulis secara bersamaan dengan teratur dan sempurna tanpa ada kesalahan sedikit pun, tanpa ada percampuran dan kekacauan, kata demi kata tersusun rapi dalam buku ini, yaitu pohon, dan daftar isi buku diletakkan seluruhnya dalam salah satu titiknya, yaitu biji.Dunia ini adalah al-Qur’an yang besar yang berbentuk fisik dan buku alam semesta yang maknanya tidak pernah habis yang setiap katanya terdiri dari banyak hikmah. Tentunya ini jauh melebihi buku semisalnya yang ditulis manusia dari sisi ukuran, kualitas dan makna, sehingga jauh lebih jelas memperkenalnya penulis buku alam semesta sesuai dengan ilmu alam yang kalian pelajari, sesuai dengan ukuran yang lebih menyeluruh ilmu baca tulis yang kalian geluti dan sesuai dengan sudut pandangnya, ia memperkenalkan kesempurnaannya yang tidak terbatas, memberitahukan dengan ucapan, “Allahu Akbar”, mensucikan-Nya dengan mengucapkan, “Subhanallah”, dan mencintai-Nya dengan mengucapkan, “Alhamdulillah”.
Demikianlah, setiap ilmu dari sekian banyak ilmu yang ada menunjukkan keberadaan Sang Pencipta alam, serta memperkenalkan-Nya kepada kita lewat nama-nama-Nya yang mulia, lalu dengan nama-nama tersebut kita dapat mengetahui sifat-sifat dan kesempurnaan-Nya.
Hal itu dengan berbagai analogi dan ukuran yang luas, cermin yang khusus, mata yang tajam, dan pandangan yang disertai pengambilan pelajaran.Saya katakan kepada para pelajar muda tersebut bahwa alQur’an al-Mu’jizul bayân memperkenalkan Sang pencipta kepada kita seringkali dengan ayat-ayat seperti:“Dzat yang menciptakan langit dan bumi”“Tuhan Pemelihara langit dan bumi” Hal itu agar mengajari kita argumen tersebut yang merupakan salah petunjuk besar yang jelas dari sejumlah petunjuk keesaan Allah. Mereka membenarkan seraya berkata, “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, pujian yang tidak akhirnya, kami mendapatkan pelajaran suci secara sempurna yaitu kebenaran itu sendiri. Semoga Allah memberimu balasan yang lebih baik atas jasamu terhadap kami”.
Saya katakan kepada mereka bahwa, “Manusia merupakan mesin hidup yang merasakan ribuan penderitaan dan menikmati ribuan jenis kesenangan. Meski sangat lemah, manusia memiliki musuh yang tak terhingga, baik yang terlihat maupun yang tak terlihat. Meski sangat papa, ia memiliki keinginan yang tak terhingga, baik yang bersifat lahir maupun batin. Manusia adalah makhluk yang malang, yang senantiasa merasakan derita kehilangan dan perpisahan. Walaupun kondisinya demikian, namun berkat afiliasi dengan Penguasa Yang Mahaagung lewat iman dan ubûdiyah, ia menemukan “titik sandaran” yang sangat kuat, yang menjadi tempat berlindung dari seluruh musuh. Ia juga menemukan “titik tambatan” untuk memenuhi semua kebutuhan, keinginan, dan impiannya.Jadi, sebagaimana segala sesuatu menisbatkan diri kepada tuannya, merasa bangga dengan afiliasi tersebut, dan merasa mulia dengan kedudukan di sisi-Nya, demikian pula dengan manusia. Ketika dengan keimanan ia menisbatkan diri kepada Dzat Mahakuasa yang qudrah-Nya tak terhingga, dan kepada Penguasa Mahakasih yang memiliki rahmat yang luas, lalu ia mengabdi dengan ubûdiyah, makaajal dan kematian berganti dari sebuah kemusnahan abadi menjadi tiket menuju alam abadi. Kalian dapat mengukur betapa manusia sangat menikmati ubûdiyah-nya kepada Tuhan, merasa senang dengan iman yang terdapat dalam kalbunya, bahagia dengan cahaya Islam, serta bangga dengan Tuhannya yang Mahakuasa dan Penyayang seraya bersyukur atas nikmat iman dan Islam.
Ucapan saya kepada para tahanan yang tengah menghadapi cobaan, saya sampaikan kepada para murid remaja ini bahwa:“Siapa yang mengenal dan menaati Allah, akan bahagia meskipun hidup di dalam penjara. Namun, siapa yang melalaikan dan melupakan-Nya, akan sengsara meskipun hidup di dalam istana.”
Seorang yang terzalimi pada suatu hari, saat berada di podium kematian, berteriak di hadapan kaum yang zalim dengan sangat bahagia: “Saya tidak akan berakhir pada kefanaan dan kemusnahan abadi. Saya justru terbebas dari penjara dunia menuju kebahagiaan abadi. Akan tetapi, saya melihat kalian akan dihukum dengan kematian abadi lantaran menganggap kematian itu sebagai suatu kefanaan dan ketiadaan. Dengan demikian, dendamku telah terbalaskan.” Ia pun menyerahkan nyawanya dengan tenang seraya mengucap lâ ilâha illallâh.”
سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
PERSOALAN KETUJUH
(Buah yang Dipetik pada Hari Jumat Saat Berada di Penjara Denizli)
“Kejadian kiamat itu hanya seperti sekejap mata atau lebih cepat (lagi).”(QS. an-Nahl [16]: 77).“Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kalian (dari dalam kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakandan membangkitkan) satu jiwa saja.” (QS. Luqman [31]: 28).“Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Allah menghidupkan bumi yang sudah mati. Sesungguhnya (Tuhanyang berkuasa seperti) demikian benar-benar (ber-kuasa) menghidupkan orang-orang yang telah mati. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”(QS. ar-Rûm [30]: 50).
Pada suatu hari saya menyampaikan sebuah pelajaran di Kastamonu dengan bahasa ilmiah kepada sejumlah murid Madrasah Aliyah yang datang meminta kepada saya, “Tolong perkenalkan Sang Pencipta kepada kami!” sebagaimana disebutkan dalam “persoalan keenam” di atas serta seperti yang dibaca oleh sejumlah tahanan Denizli yang dapat berkomunikasi dengan saya di mana mereka kemudian merasa yakin dan puas sehingga mempunyai kerinduan yang sangat besar kepada akhirat. Mereka pun berujar, “Ajari pula kami tentang akhirat secara lengkap, sehingga kami tidak disesatkan oleh nafsu kami dan oleh setan-setan masa kini, yang bisa melemparkan kami kepada penjara seperti ini.” Demi merespon permintaan mereka, dan guna memenuhi kebutuhan Tullabunnur di penjara Denizli, serta untuk memenuhi keinginan mereka yang telah menelaah “persoalan keenam”, menurutku saya harus menjelaskan rangkuman tentang rukun iman yang penting, yaitu iman kepada hari akhir. Maka, saya berikan penjelasan ringkas dari Risalah Nur sebagai berikut:
Sebagaimana pada “persoalan keenam” kita bertanya kepada bumi dan langit tentang Pencipta kita, Allah I, lalu ia menjawab dengan bahasa “sains modern” yang memudahkan kita untuk mengenal Sang Pencipta Yang Maha Mulia secara jelas sejelas mentari, maka kita juga bertanya, pertama-tama, kepada Tuhan—yang telah kita kenal dengan yakin—tentang akhirat, lalu kepada Rasul, kepada al-Qur’an, kemudian kepada semua nabi, kitab suci, malaikat, dan seluruh entitas alam.
Kita sekarang berada di urutan pertama. Kita bertanya kepada Allah I tentang akhirat. Maka, lewat semua pesan, rasul-rasul-Nya yang mulia, seluruh nama-Nya yang baik, dan seluruh sifat-Nya yang agung, Dia menegaskan kepada kita bahwa akhirat merupakan keniscayaan yang mutlak. Kalian pasti digiring ke sana. Kalimat Kesepuluh (Risalah Kebangkitan) menetapkan keberadaan akhirat lewat dua belas hakikat yang meyakinkan dan cemerlang. Ia menjelaskannya lewat petunjuk sejumlah nama-nama-Nya yang mulia. Oleh karena itu, di sini kami hanya menjelaskan secara singkat sejumlah petunjuk tersebut karena sudah tercukupi dengan penjelasan sebelumnya.
Ya, mustahil sebuah kekuasaan tidak memberikan balasan kepada orang yang taat dan memberikan hukuman kepada pembangkang. Oleh karena itu, kekuasaan abadi—sebagai tingkatan kekuasaan rububiyah yang mutlak—sudah pasti memberikan balasan kepada mereka yang berafiliasi dengannya lewat iman dan ketaatan, sekaligus memberikan hukuman kepada mereka yang mengingkari kekuasaan-Nya yang agung lewat kekufuran dan pembangkangan. Tentu saja, pahala tersebut sesuai dengan rahmat dan keindahan-Nya, sementara hukuman yang ada sesuai dengan keperkasaan dan keagungan-Nya. Dengan begitu, nama as-Sulthân ad-Dayyân dan Rabbul ‘alamîn telah menjawab pertanyaan kita tentang akhirat.Kemudian kita melihat dengan mata kepala secara jelas sejelas mentari bahwa rahmat yang bersifat umum, belas kasih yang bersifat menyeluruh, dan kemurahan yang bersifat komprehensif melimpah ke seluruh permukaan bumi.
Misalnya, ketika musim semi tiba, rahmat Allah menghiasi pepohonan dan tumbuhan yang berbuah. Ia membungkusnya dengan pakaian hijau laksana bidadari surga. Lalu ia mempersembahkan kepada kita berbagai jenis buah seraya berkata, “Silakan makan dan nikmatilah!” Ia juga memberi makan untuk kita berupa madu murni sekaligus obat yang sangat nikmat lewat perantaraan serangga beracun (lebah). Ia memberi pakaian kepada kita berupa sutera yang lembut di mana ia ditenun oleh serangga tanpa tangan (ulat sutra). Dalam segenggam biji dan benih, ia menyimpan ribuan ton gizi yang kemudian dijadikan sebagai gudang cadangan untuk kita. Tentu saja, Dzat yang memiliki rahmat yang luas semacam itu, belas kasih yang menyeluruh, dan kemurahan yang komprehensif tersebut tidak akan membinasakan para hamba yang beriman kepada-Nya dan dicintai oleh-Nya, yaitu para hamba yang Dia pelihara dan Dia beri karunia dengan penuh kelembutan.
Namun, Allah Iakan mengakhiri tugas mereka di dunia sebagai persiapan untuk menggapai rahmat yang lebih luas dan lebih besar. Dengan begitu, nama ar-Rahman dan al-Karîm telah menjawab pertanyaan kita seputar akhirat. Keduanya menegaskan bahwa surga adalah haq (benar adanya).
Selanjutnya, kita menyaksikan dengan mata kita bahwa tugas makhluk dibentuk berdasarkan “pola hikmah” dan ditakar dengan “neraca adil”. Keduanya sangat cermat dan akurat di mana akal manusia tidak mampu menjangkaunya. Misalnya, hikmah azali telah menganugerahkan kepada manusia daya ingat (memori) yang ukurannya seperti biji sawi. Di dalamnya ditulis rincian kehidupannya berikut berbagai kejadian yang ia alami dalam jumlah tak terhingga. Ia laksana perpustakaan dokumenter mini. Ia disimpan di salah satu sisi otaknya untuk selalu menginggatkannya kepada hari perhitungan; hari saat lembaran amalnya dibentangkan. Sementara keadilan mutlak Tuhan menempatkan setiap organ makhluk hidup pada posisi yang sesuai, serta mengaturnya dengan timbangan yang cermat dan akurat, mulai dari mikroba kecil hingga badak besar, dari lebah yang lemah hingga elang yang garang, dan dari sekuntum bunga yang halus hingga musim semi yang berhias jutaan bunga. Engkau bisa melihat betapa keadilan tersebut memberikan kepada setiap bagian sebuah kesesuaian yang tidak sia-sia, keseimbangan yang tanpa cacat, dan keteraturan yang disertai kreasi menakjubkan. Semua itu bagian dari keindahan cemerlang sehingga semua makhluk tampil sebagai sampel dari sebuah kreasi, kerapian, dan keindahan. Di samping itu, keadilan-Nya memberikan hak hidup kepada setiap makhluk dan memudahkan jalan kehidupan bagi mereka. Mengatur mereka dengan neraca keadilan di mana ia memberikan balasan yang baik untuk kebaikan dan balasan buruk untuk keburukan. Pada waktu yang sama, ia menyiratkan kekuatan keadilan-Nya dengan membinasakan kaum yang zalim dan membangkang sejak masa Adam .
Sebagaimana mentari tidak muncul tanpa adanya siang, maka hikmah azali dan keadilan abadi juga tidak terwujud sepenuhnya kecuali dengan adanya kehidupan akhirat yang kekal. Oleh karena itu, keduanya tidak ridha dan tidak akan mendukung kesudahan yang tak disertai keadilan, hikmah, dan terwujudnya kebenaran, yaitu kematian yang tidak disertai kebangkitan di mana status pihak yang zalim sama dengan pihak yang terzalimi. Jadi, di balik kematian harus ada kehidupan akhirat agar hakikat dari hikmah dan keadilan tadi terwujud secara sempurna. Dengan begitu, nama Allah al-Hakîm, alHakam, al-Adl, dan al-Âdil telah memberikan jawaban yang kuat kepada kita seputar akhirat.
Selanjutnya kita melihat bahwa segala kebutuhan makhluk hidup yang tak mampu diraihnya sendiri, semuanya disediakan. Seluruh permintaan yang ia ajukan lewat “doa”, baik lewat lisan “kebutuhan” yang mendesak atau lewat bahasa potensi fitrahnya, semua itu dikabulkan. Ia diserahkan kepadanya pada waktu yang paling tepat oleh Dzat yang Maha luas rahmat-Nya, Maha Mendengar, dan Maha Pengasih. Juga, sebagian besar doa manusia, terutama doa sejumlah manusia pilihan, terutama lagi doa para nabi yang sebagian besarnya dikabulkan dengan cara luar biasa.
Semua pengabulan itu membuat kita sadar dan yakin bahwa di balik tirai ini ada Dzat Yang Maha Mendengar Samî dan Dzat Yang Maha mengabulkan Mujîb. Dia mendengar rintihan semua orang yang sedang mendapat musibah atau rintihan setiap orang yang sedang terkena penyakit.
Dia memperhatikan doa setiap makhluk yang membutuhkan. Dia melihat kebutuhan yang paling remeh sekalipun dari makhluk yang paling kecil serta mendengar rintihan yang paling samar dari makhluk yang paling lemah. Dia mengasihinya dengan belas kasih-Nya serta menolong dan membuat makhluk-Nya senang. Jika hakikatnya demikian, maka doa agar bahagia di akhirat dan kekal di dalamnya—sebagai doa terbaik dan paling komprehensif di mana ia mencakup semua makhluk dan terpaut dengan seluruh sifat-Nya yang mulia—doa tersebut diminta oleh makhluk terbaik, yaitu manusia, serta termasuk yang diminta oleh hamba paling agung dan paling Allah cintai yaitu Rasul sebagai imam para nabi, yang mana mereka semua merupakan mentari dan pemimpin umat manusia. Mereka mengamini doanya ini. Bahkan doanya disertai salawat atasnya, setiap hari dipanjatkan oleh setiap mukmin dari umatnya minimal beberapa kali. Lebih dari itu, seluruh makhluk ikut serta dalam doanya seraya berkata, “Kabulkan doa beliau wahai Tuhan kami. Kami meminta apa yang beliau minta.” Doa komprehensif seperti ini yang dipanjatkan agar kekal dan bahagia selamanya, oleh sosok Rasul tercinta disertai dengan syarat syarat di atas yang tidak tertolak, itu saja sudah cukup menjadi alasan yang memadai untuk menghadirkan surga yang kekal serta mewujudkan akhirat di antara sekian sebab dan faktor yang menuntut keberadaannya. Apalagi proses menghadirkan akhirat sangat mudah dan ringan bagi qudrah-Nya sama seperti menghadirkan dan menciptakan musim semi. Begitulah, nama Allah al-Mujîb, as-Samî dan ar-Rahîm telah menjawab pertanyaan kita seputar akhirat.
Kemudian fenomena kematian dan pentas kebangkitan di seluruh muka bumi dalam pergantian antar musim, semua itu secara jelas menunjukkan—seperti siang yang menunjukkan keberadaan mentari—bahwa di balik tirai ada Rabb yang mengatur bumi yang besar ini dengan sangat teratur dan sangat mudah sebagaimana mengatur sebuah taman kecil, bahkan seperti mengatur sebatang pohon. Dia menata musim semi serta menghiasnya dengan mudah sebagaimana menata sekuntum bunga dengan hiasannya yang seimbang. Di atas lembaran bumi Dia tuliskan tiga ratus ribu spesies tumbuhan dan hewan yang laksana 300 ribu jenis buku yang menyajikan model dan sampel kebangkitan di hari kiamat. Tuhan Yang Maha Kuasa yang menulis berbagai model dan sampel dalam kondisi saling terpaut tanpa bingung dan rancu, serta tanpa salah dan lupa dengan sangat rapi dan teratur disertai sejumlah makna yang mendalam meski kondisinya mirip dan serupa. Hal itu menunjukkan sebuah kekuasaan yang bekerja dengan rahmat dan hikmah dalam bingkai keagungan. Begitulah Allah I memberikan kepada manusia sebuah kedudukan yang mulia, serta menundukkan alam yang besar ini untuknya dan menjadikannya sebagai tempat tinggal baginya. Lalu Allah I mengangkat manusia sebagai khalifah di muka bumi serta memikulkan amanah besar yang langit, bumi, dan gunung enggan untuk memikulnya. Dia mengunggulkan manusia atas seluruh makhluk sebagai pemimpin bagi mereka. Kemudian Dia muliakan dengan kalam Rabbani-Nya dan pesan suci-Nya. Di samping itu, Dia berjanji atas diri-Nya dan menjanjikan manusia dengan sebuah janji seperti terdapat pada seluruh kitab suci bahwa Dia akan mengekalkannya dengan kebahagiaan abadi dan kekekalan ukhrawi.Tentu saja Dia akan membukakan untuknya pintu-pintu kebahagiaan yang permanen. Dia akan menghadirkan kebangkitan dan kiamat di mana hal itu lebih mudah bagi-Nya daripada menghadirkan musim semi itu sendiri.
Dengan demikian, nama Allah: al-Muhyî, al-Mumît, al-Hayy, al-Qayyûm, al-Qadîr, dan al-Alîm menjawab pertanyaan kita seputar akhirat.
Ya, qudrah ilahi yang telah menghidupkan seluruh pangkal pohon dan rumput pada setiap musim semi. Lalu ia menghadirkan 300 ribu contoh kebangkitan pada hewan dan tumbuhan. Bahkan ia memperlihatkan seribu contoh kebangkitan dan seribu petunjuk atasnya pada dua ribu musim semi(*[4])saat mengkhayalkan seribu tahun dari tahun-tahun yang dilalui oleh umat Muhammad dan umat Nabi Musa n. Jika demikian qudrah-Nya yang mutlak, bagaimana mungkin kebangkitan fisik dan jasmani dikatakan mustahil?! Bukankah sikap dan pandangan semacam itu merupakan puncak kebutaan?!
Selanjutnya 124 ribu nabi yang merupakan manusia paling masyhur di antara umat manusia telah mengumumkan kebahagiaan abadi dan kekekalan akhirat. Mereka sepakat dengan merujuk kepada ribuan janji yang telah Allah tetapkan atas diri-Nya. Mereka membuktikan kebenaran mereka lewat berbagai mukjizat yang cemerlang. Para wali yang salih yang jumlahnya tak terhitung membenarkan hakikat yang sama lewat kasyaf dan dzauq (rasa spiritual). Hakikat tersebut sudah pasti merupakan sesuatu yang sangat jelas sejelas mentari di terik siang. Siapa yang masih ragu berarti telah kehilangan akal sehat.
Pasalnya, pernyataan dan penilaian satu atau dua orang spesialis di satu disiplin ilmu atau profesi tertentu terkait dengan masalah yang berada dalam spesialisasinya menggugurkan pandangan dan pemikiran ribuan penentang yang tidak memiliki spesialisasi pada disiplin atau profesi tersebut meskipun mereka memiliki spesialisasi di bidang ilmu yang lain. Pengakuan dua orang saksi yang “mengiakan” pada sebuah masalah mengalahkan ribuan orang yang menafikan. Hal itu seperti tercermin dalam pembuktian rukyat hilal Ramadhan pada “hari yang masih meragukan” atau pengakuan adanya perkebunan kelapa di bumi yang buahnya mirip dengan kaleng susu. Sebab, pihak yang membuktikan bisa dipercaya hanya dengan memperlihatkan buah kelapanya atau menunjukkan tempatnya.
Adapun orang yang mengingkari keberadaannya tidak bisa membuktikan pengakuannya kecuali bila sudah mengelilingi atau menjelajahi seluruh alam. Begitulah orang yang memberitakan tentang surga dan negeri kebahagiaan abadi. Ia dapat membuktikannya dengan sekadar memperlihatkan salah satu jejak, petunjuk, atau bayangan surga melalui kasyaf. Sementara orang yang menafikan keberadaannya tidak dapat menemukan ruang untuk itu kecuali jika ia mampu menyaksikan dan mempersaksikan seluruh alam dan seluruh masa, dari azali hingga abadi, kepada pihak lain. Dengan begitu, ia baru bisa membuktikan penafiannya.
Karena hikmah inilah para ulama menerima prinsip dasar yang berbunyi, “Penafian yang tidak terbatas jangkauannya—seperti hakikat iman yang mencakup seluruh alam—tidak mungkin dibuktikan selama sesuatu itu bukan hal yang mustahil.”
Berdasakan hakikat tersebut, pengingkaran dan penyangkalan yang dilakukan oleh ribuan filsuf tidak semestinya melahirkan sikap ragu dan bimbang dalam menerima informasi dari seorang informan yang jujur terkait dengan persoalan keimanan seperti ini. Sungguh sangat bodoh orang yang terpengaruh oleh syubhat dan keraguan terkait dengan rukun iman hanya dengan pengingkaran oleh segelintir filsuf materialisme yang akal mereka berpindah ke mata sehingga hanya bisa melihat materi. Bahkan hati mereka sudah mati sehingga tidak bisa melihat hal yang bersifat maknawi. Sementara di sisi lain, rukun-rukun iman itu disepakati oleh 120 ribu nabi yang jujur yang memiliki spesialisasi di bidangnya serta oleh para wali ahli hakikat dan pakar ulama yang jumlahnya tak terhitung.Kemudian kita menyaksikan secara jelas, entah pada diri kita atau di sekitar kita, adanya rahmat yang universal, hikmah yang komprehensif, dan pertolongan yang permanen.
Kita juga melihat jejak rububiyah yang agung, manifestasi keadilan yang cermat, dan tindakan mulia yang terhormat. Bahkan kita melihat “hikmah” yang menghias pohon sebanyak bunga dan buahnya. Kita melihat “rahmat” yang memberikan pada setiap manusia kebaikan dan anugerah sebanyak indra, perasaan, dan perangkatnya. Kita melihat “keadilan” yang perkasa yang membinasakan para pembangkang seperti kaum Nabi Nuh, Hud, Salih, kaum Aad, Tsamud, dan Fir’aun. Di sisi lain, keadilan tersebut memiliki kelembutan yang memelihara hak makhluk yang paling kecil dan paling lemah. Ayat al-Qur’an berikut ini menjelaskan hal tersebut dengan sangat ringkas: “Di antara tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya. Kemudian apabila Dia memanggil kalian sekali panggil dari bumi, seketika itu (juga) kalian keluar (dari kubur).” (QS. ar-Rûm [30]: 25).
Ayat di atas menerangkan bahwa langit dan bumi menaati perintah ilahi laksana pasukan yang ditempatkan di dua kamp militer. Sebagaimana mereka bergegas mengambil posisi dan menerima senjata lewat seruan panglima dan tiupan terompet, demikian pula dengan langit dan bumi. Keduanya seperti dua kamp militer saat para mayit yang tidur itu diseru dengan terompet Israfil n. Seketika mereka keluar dari kubur dengan mengenakan pakaian jasad mereka. Bahkan kita melihat keagungan dan ketaatan itu pada setiap musim semi di mana pasukan yang terdapat di kamp bumi dibangkitkan dengan satu tiupan sangkakala malaikat (petir).Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan dari rahmat, hikmah, perhatian, keadilan, dan kekuasaan abadi tersebut pasti terwujud di negeri akhirat.
Dengan kata lain, ia pasti menuntut adanya kebangkitan sebagaimana ditegaskan dalam “Kalimat Kesepuluh”. Pasalnya, kedatangan akhirat adalah keniscayaan yang tak bisa diragukan. Justru ketiadaan akhirat merupakan kemustahilan ganda. Sebab, ketiadaan akhirat berarti bergantinya “rahmat” yang merupakan puncak keindahan menjadi kejahatan yang sangat buruk; bergantinya kesempurnaan “hikmah” menjadi kesia-siaan dan puncak pemborosan; bergantinya “perhatian” Tuhan yang sangat indah dan lembut menjadi pengkhianatan yang sangat buruk dan pahit; serta bergantinya “keadilan” yang sangat objektif dan benar menjadi kezaliman yang keji dan batil. Di samping itu, ketiadaan akhirat berarti hilangnya wibawa kekuasaaan yang agung dan kekuatan Tuhan yang abadi. Ia juga berarti menuduh kesempurnaan rububiyah-Nya memiliki kelemahan dan kekurangan. Semua ini batil dan mustahil. Tidak bisa diterima oleh akal manusia betapapun adanya. Ia berada di luar batas kemungkinan.
Pasalnya, setiap makhluk yang memiliki perasaan mengetahui bahwa betapa zalim bila manusia berakhir pada ketiadaan abadi, padahal Allah I menciptakan manusia dalam bentuk terbaik dan memeliharanya dalam pemeliharaan yang terbaik. Dia membekalinya dengan perangkat dan organ—seperti akal dan kalbu—yang membuatnya merindukan kebahagiaan abadi dan kekekalan di akhirat. Ia pun memahami bahwa betapa tidak bijak kalau potensi manusia yang memiliki beragam perangkat dan ribuan manfaat disia-siakan dengan kematian tanpa dihadirkannya kebangkitan, padahal di otaknya saja Allah I telah menanamkan ratusan hikmah dan manfaat. Perangkat yang ada pada manusia juga membuatnya mengetahui betapa lemah dan bodoh orang-orang yang menafikan agungnya kekuasaan dan sempurnanya rububiyah Allah saat Dia tidak menepati ribuan janji-Nya? Sungguh tidak mungkin Allah berbuat demikian. Hal yang sama berlaku pada perhatian dan keadilan-Nya.
Begitulah, nama Allah ar-Rahmân, al-Hakîm, al-Adl, al-Karîm, dan al-Hâkim telah menjawab pertanyaan yang kita ajukan seputar akhirat lewat hakikat di atas. Ia memberikan bukti kuat yang tidak mengandung keraguan sedikitpun, bahkan sangat jelas sejelas mentari.
Kemudian kita melihat hafîzhiyah (penjagaan dan pemeliharaan Allah) yang menakjubkan dan bersifat menyeluruh serta mengontrol segala sesuatu yang hidup. Ia mengendalikan segala peristiwa, menjaga berbagai bentuknya yang banyak, mencatat amal tugas alamiahnya, dan mencatat tasbih yang ditunaikan lewat lisanul hal kepada Asmaul husna. Ia mencatatnya dalam lembaran-lembaran mitsâliyah, dalam benih dan bijinya, serta dalam memorinya sebagai miniatur lauhil mahfudz. Terutama memori manusia yang merupakan miniatur perpustakaan besar yang tersimpan di otaknya. Ia mencatatkannya pada seluruh cermin dan tempat pantulan, baik yang bersifat materi maupun maknawi. Ketika musim semi tiba—bunga yang menjadi wujud qudrah ilahi tersebut—penjagaan-Nya memperlihatkan tulisan maknawi tersebut secara jelas dan konkret. Ia terlihat pada bunga besar itu sebagai hakikat kebangkitan yang dikandung ayat berikut: “Saat lembaran amal diperlihatkan.” (QS. at-Takwîr [81]: 10).Ia memperlihatkannya lewat triliunan lisan.
Ia juga menegaskan kepada kita sebuah keyakinan bahwa seluruh entitas—terutama makhluk hidup, apalagi manusia—tidak dicipta untuk berakhir pada ketiadaan, menuju kefanaan, dan menghilang begitu saja. Namun, mereka dicipta untuk menjalani kemuliaan mereka menuju keabadian, untuk masuk lewat pembersihan diri mereka menuju alam kehidupan yang kekal, dan untuk bergerak dengan potensi alamiah mereka menuju tugas abadi yang sedang menunggu mereka di negeri akhirat.
Ya, setiap pohon, akar, benih, dan biji tumbuhan yang jumlahnya tak terhingga, yang mati pada kiamat musim gugur, saat kebangkitan musim semi tiba, ia mengucapkan ayat yang berbunyi “Saat lembaran amal diperlihatkan.” (QS. at-Takwîr [81]: 10).Hal itu diucapkan lewat lisan khusus seraya menafsirkan salah satu maknanya, yaitu setiap bagian menunaikan tugas seperti tugas-tugas alamiah yang pernah ditunaikan pada tahun-tahun sebelumnya.
Pada saat yang sama, ia menjelaskan keagungan penjagaan Tuhan pada dimensinya yang paling luas seperti yang dicakup firman-Nya ‘Dia Yang Pertama, Yang Terakhir, Yang Tampak, dan Yang Tersembunyi’ ‹(QS. al-Hadîd [57]: 3).Ia membimbing kita menuju empat hakikat yang tampak pada segala sesuatu sekaligus menjadi argumen meyakinkan atas kepastian adanya hari kebangkitan sebagaimana kepastian akan datangnya musim semi.
Ya, cahaya dan manifestasi dari empat nama-Nya yang mulia tersebut menembus segala sesuatu mulai dari unsur terkecil hingga yang paling besar. Hal ini akan dijelaskan lewat sebuah perumpamaan sebagai berikut: Benih yang menjadi asal pohon membuktikan keagungan “penjagaan Tuhan” karena mendapat manifestasi nama al-Awwal.
Pasalnya, ia berisi rancangan pohon secara detil dan lengkap berikut berbagai perangkat menakjubkan yang membantu proses pertumbuhannya secara sempurna, serta mengandung syarat-syarat pembentukan pohon, meskipun bentuknya seperti kaleng yang sangat kecil.
Buah juga menjadi saksi jujur atas “penjagaan Tuhan” tersebut karena mendapat manifestasi nama al-Âkhir. Pasalnya, ia berisi indeks seluruh tugas alamiah pohon itu berikut catatan amalnya serta seluk-beluk kehidupannya yang kedua, padahal ia hanya berupa kotak yang sangat kecil. Adapun bentuk luar pohon yang mendapat manifestasi nama azh-Zhâhir memperlihatkan keagungan qudrah, kesempurnaan hikmah, dan keindahan rahmat dalam bingkai penjagaan-Nya yang bersifat mutlak. Pasalnya, lewat perhiasannya yang cemerlang yang dibalut dengan ukiran menakjubkan dan beragam, serta dekorasi indah yang dilekatkan padanya, terlihat seperti pakaian bidadari yang berhias tujuh puluh warna.
Sementara itu, sejumlah perangkat internal pohon yang laksana cermin yang memantulkan cahaya nama al-Bâthin menegaskan kesempurnaan qudrah dan keadilan, keindahan rahmat dan hikmah Tuhan dalam penjagaan-Nya secara jelas sejelas mentari. Ia merupa�kan pabrik luar biasa yang sangat rapi. Bahkan seperti laboratorium kimia yang besar. Atau, seperti gudang simpanan rezeki yang setiap dahan, buah, dan daunnya dibekali dengan nutrisi yang dibutuhkan.
Begitu pula bumi laksana pohon dilihat dari pergantian musim tahunannya. Seluruh benih dan biji yang disimpan di musim gugur lewat manifestasi nama al-Awwal sebagai amanah bagi sifat penjagaan Tuhan, mengirim dahan dan batang yang jumlahnya tak terhingga lalu memberikannya ke berbagai sisi, serta memekarkan bunga-bunga cemerlang dan menghasilkan buah nikmat yang tak terbilang. Dengan begitu, bumi memakai syal musim semi yang indah. Hal itu, karena masing-masing berisi buku kecil bertuliskan perintah ilahi dan menyimpan lembaran catatan tugas yang ditunaikan selama setahun yang lalu. Bahkan benih tersebut menyimpan semua unsur pembentukan pohon bumi yang besar.
Hal itu secara jelas memperlihatkan bahwa al-Hafîzh Yang Mahaagung dan Maha Mulia bekerja dengan qudrah, keadilan, hikmah, dan rahmat yang bersifat mutlak. Adapun akhir perjalanan tahunan pohon bumi berupa semua yang ia simpan di “kaleng” yang sangat kecil. Yaitu seluruh tugas yang ditunaikan pohon di musim gugur, seluruh tasbih dan zikir alami yang ia tunaikan kepada Asmaul husna, dan seluruh lembaran amal yang bisa disebarkan di kebangkitan musim semi mendatang. Lalu semua itu diserahkan kepada tangan hikmah al-Hafîzh Yang Mahaagung seraya dengan ini mengucap nama al-Âkhir lewat berbagai lisan di telinga dan pandangan seluruh entitas.
Lalu, sisi lahiriah pohon berupa 300 ribu bunga yang beragam dan berbeda-beda yang mengungkap tanda dan contoh 300 ribu spesies kebangkitan. Ia merupakan hidangan Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Pemurah. Ia adalah jamuan yang terbuka bagi seluruh makhluk hidup. Semua yang terdapat pada sisi lahiriah pohon menyebut dan membacakan nama azh-Zhâhir lewat lisan buah, bunga, dan rasanya seraya memperlihatkan dengan jelas, sejelas mentari di tengah hari, hakikat ayat yang berbunyi “Saat lembaran amal diperlihatkan.” (QS. at-Takwir [81]: 10).
Sementara sisi batin pohon yang besar (bumi), ibarat pabrik raksasa yang mengoperasikan begitu banyak mesin dan pabrik dengan cermat dan teratur sehingga ia mematangkan satu ton makanan dari satu ons bahan, lalu dikirimkan kepada mereka yang membutuhkan. Ia menunaikan tugas-tugasnya dengan sangat teliti sehingga tidak membuka peluang adanya intervensi unsur kebetulan. Maka, sisi batin bumi menyebut nama Allah al-Bâthin seraya menegaskan dan mengumumkannya lewat seratus ribu model dan bentuk seperti yang diperlihatkan oleh sebagian malaikat yang bertasbih dengan seratus ribu lisan.
Sebagaimana dilihat dari kehidupan tahunannya, bumi seperti pohon di mana ia menjelaskan al-Hafîzhiyah (penjagaan dan pemeliharaan Tuhan) yang terdapat pada empat nama-Nya yang mulia secara jelas serta menjadikannya sebagai kunci pembuka pintu kebang kitan, ia juga seperti pohon yang sangat terpaut dengan kehidupan perjalanan masa dan waktu. Pasalnya, ia mengirim buahnya sepanjang waktu ke pasar akhirat. Begitulah seluruh bumi menjadi cermin luas bagi manifestasi empat nama-Nya. Ia membuka jalan yang sangat luas menuju akhirat. Sementara akal kita terbatas dan tak mampu menjangkaunya. Oleh karena itu, kita cukupkan pembahasan ini dengan uraian berikut:
Jarum jam yang menghitung detik, menit, jam, dan hari saling menyerupai. Yang satu menunjukkan dan mengingatkan kepada yang lain. Siapa yang memperhatikan gerakan jarum detik, ia harus membenarkan gerakan jarum lainnya. Begitu juga dunia. Ia laksana jam besar milik Pencipta langit dan bumi. Hari demi hari yang menghitung detik demi detik dari jam besar ini saling menyerupai.
Demikian pula dengan tahun demi tahun yang menghitung menitnya, masa demi masa yang memperlihatkan jamnya, serta dekade demi dekade yang memperkenalkan hari-harinya. Mereka saling menyerupai dan menguatkan yang lain.Dari perspektif ini, kita melihat bumi memberitakan, lewat petunjuk yang tak terhingga, tentang datangnya musim semi yang kekal dan subuh yang abadi setelah isya dunia yang fana dan gelap. Ia memberitakan kepastian datangnya subuh dari malam tersebut dan kepastian datangnya musim semi setelah musim dingin. Lewat hakikat ini, nama al-Hafîzh dan empat nama-Nya yang mulia (al-Awwal, al-Âkhir, azh-Zhâhir, dan al-Bâthin) menjawab pertanyaan kita tentang kebangkitan.
Kita melihat dengan mata kepala dan memahami dengan akal bahwa:
İnsan
merupakan buah pohon alam yang terakhir dan terlengkap.
Ia adalah benih pohon alam yang asli dilihat dari sisi hakikat Muhammadi .
Ia merupakan ayat paling agung dari quran alam semesta.
Ia seperti ayat kursi yang menerima manifestasi nama Allah yang paling agung (ismul a’zham).
Ia adalah tamu termulia di istana alam.
Ia laksana pegawai paling aktif yang diberi izin untuk mengelola makhluk di istana tersebut.
Ia adalah petugas yang diperintah untuk mengolah ladang bumi serta pengawas yang bertanggung jawab atas pemasukan dan pengeluarannya lewat ratusan pengetahuan dan keahlian yang diberikan padanya.
Ia merupakan khalifah di bumi sekaligus pengawas yang berada di bawah pengawasan Sang Penguasa azali dan abadi.
Ia adalah pengelola bumi yang setiap gerak-geriknya, baik yang kecil maupun yang besar, dicatat.
Ia hamba universal yang diberi tugas untuk menunaikan ibadah secara luas dan komprehensif, serta yang membawa amanah besar—di mana langit, bumi, dan gunung enggan memikulnya—sehingga di hadapannya terdapat dua jalan: yang satu bagi mereka yang buntung, dan satunya lagi bagi mereka yang beruntung.
Ia seperti cermin yang memantulkan seluruh manifestasi nama-nama-Nya yang mulia dan memancarkan nama Allah yang paling agung.
Ia adalah objek penerima pesan ilahi dan yang paling memahami kalam rabbani.
Ia adalah makhluk yang paling banyak kebutuhannya dan paling lemah di antara makhluk hidup. Makhluk yang paling lemah, namun musuhnya tak terkira. Makhluk yang paling miskin, namun kebutuhan dan impiannya tak terhingga.
Padahal ia yang paling banyak potensinya di antara seluruh makhluk hidup.
Ia ciptaan yang paling merasakan penderitaan di tengah kenikmatan hidup, sebab kenikmatannya bercampur dengan penderitaan.
Ia ciptaan yang paling merindukan, paling membutuhkan, dan paling layak atas keabadian.
Ia makhluk yang memanjatkan doa yang tak terhingga demi meraih keabadian di mana andaikan ia diberi semua kenikmatan dunia, niscaya kerinduannya untuk kekal tidak akan pernah terpuaskan.
Ia makhluk yang mencintai Dzat yang memberinya rasa cinta, sampai pada tingkat penyembahan, dan mengajak yang lain untuk mencintai-Nya.
Pada waktu yang sama, ia juga dicintai oleh-Nya. Ia merupakan qudrah shamadâniyah Tuhan yang paling agung,
bahkan makhluk yang paling ajaib di mana di dalam dirinya termuat esensi alam yang besar ini dan seluruh indranya bersaksi bahwa ia merupakan makhluk yang dicipta untuk berjalan menuju keabadian.
Manusia yang terpaut dengan dua puluh hakikat universal semacam itu lewat nama al-Haq, semua amal perbuatannya selalu dicatat dengan nama al-Hafîzh milik Dzat Yang Maha Menjaga dan Agung yang melihat kebutuhan terkecil dari makhluk yang paling kecil serta mendengar seruan hajatnya sehingga menolongnya, perbuatannya yang terkait dengan alam dicatat oleh malaikat pencatat sesuai tuntutan nama al-Hafîzh dan manusia lebih mendapat perhatian khusus dari nama al-Hafîzh dibanding makhluk yang lain. Dengan dua puluh hakikat di atas, manusia sudah pasti dibangkitkan dan tidak diragukan lagi akan mendapatkan balasan atas nama Allah, al-Haq, terkait dengan berbagai pengabdian dan amal yang telah dilakukan. Ia juga akan mendapat balasan atas kealpaannya. Ia akan digiring menuju hisab terkait dengan amal yang dicatat atas nama al-Hafîzh, baik yang kecil maupun yang besar. Akan dibukakan di hadapannya pintu-pintu jamuan kebahagiaan abadi di negeri akhirat, atau pintu penjara menakutkan dan derita abadi. Seorang komandan (manusia) yang memimpin berbagai spesies di alam ini dan ikut campur dalam urusan mereka sudah pasti akan dihisab dan tidak akan dibiarkan begitu saja. Ia pasti dibangunkan dari tidurnya.
Pasalnya, tidak masuk akal bila doa yang lebih samar dari dengung lalat saja didengar dan kebutuhan hidupnya dipenuhi, lalu doa-doa yang demikian kuat menggoncang arasy dan bumi yang berasal dari dua puluh hakikat di atas dan meminta keabadian tersebut tidak didengar. Tidak masuk akal dan mustahil bila begitu banyak hak diabaikan dan ditelantarkan. Hikmah yang tidak menyia-nyiakan sebesar sayap lalat, lewat kesaksian keteraturan dan kerapiannya, mustahil membiarkan potensi manusia yang terpaut dengan sejumlah hakikat di atas, lalu semua harapan dan keinginannya yang membentang menuju keabadian tidak berguna, kemudian semua relasi dan hakikat alam yang begitu banyak yang mengembangkan potensi tadi sia-sia begitu saja. Pasalnya, kemungkinan itu merupakan bentuk kezaliman dan keburukan yang ditolak oleh seluruh entitas yang menjadi saksi atas nama al-Haq, al-Hafîzh, al-Hakîm, al-Jamîl, dan ar-Rahîm. Mereka berkata, “Hal itu sangat tidak mungkin dilihat dari seratus sisi dan mustahil terjadi dilihat dari ribuan aspek.”
Begitulah nama-nama al-Haq, al-Hafîzh, al-Hakîm, al-Jamîl, dan ar-Rahîm telah menjawab pertanyaan kita seputar akhirat. Nama-nama tersebut menyatakan kepada kita, “Kebangkitan adalah sebuah keniscayaan.Ia hakikat yang kukuh yang tak diragukan sama seperti keberadaan kita yang haq dan sebagaimana hakikat keberadaan entitas menjadi saksi atas kita.”
Andaikan persoalannya
tidak lebih jelas daripada mentari, tentu saya sudah memberikan penjelasan tambahan.
Akan tetapi, sengaja saya ringkas dengan mencukupkan pada berbagai contoh di atas dan dengan menganalogikan kepada sejumlah alinea sebelumnya. Setiap nama dari seratus bahkan seribu Asmaul husna yang mengarah kepada alam, membuktikan keberadaan Sang pemilik nama (Allah I) secara jelas lewat manifetsasi dan cerminnya yang berupa entitas. Ia juga memperlihatkan adanya kebangkitan dan negeri akhirat seraya membuktikannya secara meyakinkan.
Sebagaimana Allah I memberikan kepada kita jawaban suci dan pasti tentang pertanyaan seputar akhirat lewat semua firman-Nya pada seluruh kitab yang diturunkan, serta lewat semua nama yang Dia berikan atas dirinya, demikian pula Dia telah menjawab dan memperkenalkan akhirat kepada kita lewat lisan malaikat dalam bentuk yang lain. Pasalnya, malaikat berkata:
“Ada banyak tanda dan petunjuk tak terhingga tentang keberadaan kami dan keberadaan alam makhluk spiritual. Terdapat sejumlah pertemuan, dialog, dan perkenalan antara kalian, kami, dan makhluk spiritual lain sejak zaman Adam n. Ia berupa berbagai kejadian meyakinkan dan mutawatir yang tidak bercampur dengan keraguan sedikitpun. Kami telah dan selalu menyebutkan apa yang kami lihat sepanjang perjalanan kami di berbagai tingkatan akhirat kepada para nabi kalian ketika bertemu dengan mereka. Yaitu, “Kami memberikan kabar gembira kepada kalian bahwa tempat yang kekal dan sempurna ini, istana abadi dan tempat tinggal yang berada di baliknya dipersiapkan untuk menyambut para tamu yang mulia dan disediakan untuk kedatangan mereka.” Dengan begitu, para malaikat yang mulia telah menjawab pertanyaan kita seputar akhirat.Selanjutnya,
Pencipta kita telah memilih Muhammad al-Hasyimi untuk kita sebagai guru yang agung, ustadz yang paling sempurna, dan teladan yang paling jujur. Allah mengutusnya sebagai penutup bagi para rasul yang mulia. Oleh karena itu, sebelum yang lain, kita harus bertanya kepada guru kita apa yang telah kita tanyakan kepada Pencipta kita tentang akhirat. Semoga pengetahuan kita menjadi sempurna dan kita naik dari tingkatan ilmul yaqin menuju aynul yaqin, serta kepada haqqul yaqin. Sebagaimana nabi telah membuktikan bahwa al-Qur’an adalah benar dan kalam Allah sebagai mukjizat al-Qur’an dengan seribu mukjizat yang masingmasing merupakan tanda pembenaran dari pencipta kita, maka alQur’an yang merupakan salah satu mukjizat nabi Muhammad dengan empat puluh jenis kemukjizatan, juga membuktikan bahwa rasulullah adalah benar.Kedua mukjizat tersebut, salah satunya adalah “lisan alam indrawi” yang disertai oleh pembenaran seluruh nabi dan wali. Sementara satunya lagi adalah “lisan alam gaib” yang mencakup pembenaran seluruh kitab samawi dan seluruh hakikat alam. Keduanya memberikan hujjah atas hakikat kebangkitan secara sangat kuat dan jelas sejelas mentari dan siang lewat semua kehidupan mukjizat pertama dan ribuan ayat mukjizat kedua.
Ya, persoalan kebangkitan dan akhirat termasuk persoalan yang berada di luar jangkauan akal. Ia hanya dipahami lewat pengajaran dan bimbingan dua guru istimewa; al-Qur’an al-Karim dan Rasulullah.
Adapun mengapa para nabi terdahulu tidak menjelaskan masalah kebangkitan kepada umat-umat mereka seperti yang diterangkan secara jelas dalam al-Qur’an? Hal itu karena masa mereka ibarat masa kanak-kanak dan primitif. Penjelasan di sekolah dasar biasanya singkat seperti yang kita ketahui bersama.
Kesimpulan: Selama sebagian besar Asmaul husna menuntut dan menunjukkan keberadaan akhirat, maka berbagai argumen dan bukti yang menunjuk kepada Asmaul husna berposisi sebagai petunjuk yang menegaskan kepastian adanya akhirat.
Selama malaikat memberitakan berbagai wilayah akhirat dan alam keabadian, berarti sejumlah petunjuk yang menjadi bukti keberadaan malaikat, mahkluk spiritual, dan ibadah mereka juga berfungsi sebagai petunjuk yang menegaskan adanya alam akhirat.
Selama hal terpenting yang disampaikan oleh Muhammad sepanjang hayat beliau yang suci dan penuh berkah, serta landasan dakwah beliau sesudah tauhid adalah akhirat, berarti argumen yang menunjukkan kenabian dan kejujuran beliau juga berfungsi sebagai bukti yang menunjukkan hakikat kedatangan akhirat.
Selama seperempat al-Qur’an membahas tentang kebangkitan dan alam akhirat, serta memberikan sejumlah dalil atasnya lewat ribuan ayat, berarti berbagai bukti, hujjah, dalil, dan argumen yang semuanya menunjukkan kebenaran al-Qur’an juga berfungsi sebagai bukti yang menunjukkan keberadaan akhirat.
Begitulah, renungkan rukun iman yang agung tersebut agar kalian mampu memahami sejauh mana kepastian dan kekukuhan “iman kepada akhirat.”
PERSOALAN KEDELAPAN
Pada “persoalan ketujuh” kami hendak menjelaskan ma salah kebangkitan dari banyak tingkatan. Hanya saja, jawaban Sang Pencipta lewat nama-nama-Nya yang mulia sudah sangat mencukupi dan memadai. Ia melahirkan rasa yakin.
Oleh karena itu, kami merasa tidak memerlukan penjelasan lain sehingga cukup dengan pembuktian tersebut. Adapun dalam persoalan ini, kami akan meringkas satu dari ratusan buah dan manfaat yang diberikan oleh “iman kepada hari akhir” terkait dengan kebahagiaan dunia dan akhirat. Kebahagiaan yang mengarah kepada kebahagiaan ukhrawi sudah cukup dengan penjelasan yang terdapat dalam al-Qur’an sehingga tidak perlu penjelasan yang lain dan bisa merujuk kepadanya. Sementara yang mengarah kepada keba hagiaan dunia akan dijelaskan oleh Risalah Nur. Di sini kami akan menerangkan secara ringkas sejumlah buah di antara ratusan yang direalisasikan oleh iman kepa da akhirat untuk membahagiakan manusia dalam kehidupan pribadi dan sosialnya.
Buah Pertama
Sebagaimana manusia—berbeda dengan binatang—me miliki relasi dengan rumahnya, ia juga memiliki relasi yang kuat dengan dunia. Sebagaimana terpaut dengan karib ke rabatnya dengan banyak ikatan, ia juga memiliki hubungan alamiah dengan jenis manusia. Sebagaimana mencintai kea badian di dunia yang fana, ia juga merindukan keabadian di negeri yang kekal. Sebagaimana selalu berusaha memenuhi hajat perutnya pada makanan, ia juga sesuai fi trahnya berusa ha menghadirkan nutrisi bagi akal, kalbu, roh, dan rasa kema nusiaannya yang ia ambil dari hidangan yang terbentang pada luasnya dunia hingga alam keabadian. Pasalnya, ia memiliki sejumlah harapan dan keinginan yang hanya bisa dipenuhi oleh kebahagiaan abadi.
Aku telah berdialog dengan imajinasiku saat masih kecil sebagaimana kutegaskan dalam risalah kebangkitan: “Mana yang kau pilih? Menghabiskan usia yang bahagia selama satu juta tahun disertai kekuasaan dan gemerlap du nia, namun kemudian berakhir pada ketiadaan? Atau, abadi namun dengan kondisi kehidupan yang biasa dan sulit?”Ternyata ia memilih yang kedua dan menghindari yang pertama seraya berkata: “Aku tidak menginginkan ketiadaan. Yang kuinginkan adalah keabadian, meski berada di neraka jahanam.”
Selama seluruh kenikmatan dunia tidak bisa memuaskan imajinasi yang merupakan salah satu pelayan esensi manusia, maka hakikat esensi manusia yang universal dan komprehen sif terpaut secara fi trah dengan keabadian. Jadi, iman kepada akhirat merupakan kekayaan yang sangat agung dan memadai bagi manusia yang mempunyai hubungan kuat dengan berbagai keinginan dan impiannya yang tak terhingga. Sementara yang ia miliki hanya sebatas ikhtiar dan berkutat dalam kefakiran mutlak. Oleh karena itu, iman tersebut benar-benar menjadi sumber kebahagiaan dan kenikmatan yang ia impikan. Ia menjadi sandaran dan titik tambatan baginya dalam menghadapi kerisauan dunia yang tak terkira. Andaikan manusia mengorbankan seluruh kehidupan dunianya demi mendapatkan buah dan manfaat tersebut, tentu hal itu masih terhitung sangat murah.
Buah Kedua (Buah yang Mengarah pada Kehidupan Pri badi Manusia)
Buah ini adalah sebuah penilaian penting yang dijelaskan pada persoalan ketiga sebelumnya dan pada catatan kaki da lam buku “Tuntunan Generasi Muda”.
Kondisi yang membuat manusia selalu risau dan galau adalah ketika ia memikirkan akhir perjalanan dan bagaimana ia masuk ke dalam kubur seperti yang dialami oleh sejumlah kekasih dan kerabatnya. Oleh karena itu, manusia yang malang tersebut—yang rela mengorbankan nyawa demi teman dekat nya—mengira dan membayangkan bahwa ribuan bahkan ju taan saudaranya berakhir pada ketiadaan dengan kematian; sebuah perpisahan abadi yang tidak ada perjumpaan lagi se sudahnya. Pandangan dan gambaran ini membuatnya sangat sedih sehingga mendatangkan derita yang memberitahukan adanya siksa neraka.Saat manusia mengalami kepedihan akibat siksa me nyakitkan yang bersumber dari pemikiran di atas, iman kepada akhirat datang untuk membuka bashirah-nya dan menghilang kan hijab dari matanya. Ia berkata, “Lihatlah!” Ia pun melihat dengan cahaya iman. Seketika ia merasakan kenikmatan spiritual mendalam yang menginformasikan adanya kenikmatan surga. Pasalnya, ia menyaksikan orang orang yang ia cintai selamat dari kematian abadi, kefanaan, dan kehancuran. Serta, mereka tetap kekal di negeri cahaya yang abadi sambil menantikan kedatangannya. Kami cukup kan pembahasannya sampai di sini karena buah ini telah di jelaskan dalam Risalah Nur berikut dalil-dalilnya.
Buah Ketiga (Buah yang Mengarah pada Relasi Sosial Manusia)
Kedudukan manusia yang istimewa dan keunggulannya atas seluruh makhluk adalah karena sejumlah sifat mulia yang dimilikinya, potensi fi trahnya yang universal, ubudiyahnya yang integral, serta keluasan wilayah eksistensinya. Oleh kare na itu, manusia yang terbatas di masa sekarang, lalu terlepas dari masa lalu dan terputus dengan masa mendatang—dima na keduanya tiada, mati, dan gelap baginya—dengan kondi si tersebut ia mendapatkan sifat gairah, cinta, persaudaraan, dan rasa kemanusiaan di atas landasan keberadaannya saat itu yang sempit dan terbatas sesuai dengan ukuran dan stan darnya yang juga terbatas.
Maka, ia mempersembahkan cin ta kepada ayah, saudara, isteri, bangsa dan tanah airnya ser ta melayani mereka sesuai dengan ukuran yang sempit tadi seolah-olah ia tidak mengenal mereka sebelumnya dan tidak akan melihat mereka di masa mendatang. Oleh karena itu, ja rang sekali ada yang naik ke tingkat kesetiaan dan keihklasan yang sempurna dalam mengabdi, sehingga semua sifat dan kesempurnaan yang luas tersebut semakin mengecil. Ketika itulah, dari sisi akal, manusia jatuh ke tingkatan hewan yang paling rendah.Akan tetapi, saat “iman kepada hari akhir” datang kepada manusia guna menyelamatkan dan membantunya sehingga ia mengubah masa yang sempit—yang menyerupai kubur tadi—menjadi zaman yang membentang luas di mana ia menam pung masa lalu dan masa mendatang secara bersamaan. Ia memperlihatkan kepadanya wujud yang luas seluas dunia. Bahkan seluas bentangan dari zaman azali ke zaman abadi.
Ketika itulah manusia bisa menghormati ayahnya se suai dengan tuntutan sebagai ayah yang membentang ke negeri kebahagiaan dan alam arwah. Dengan paradigma tersebut, seseorang membantu dan menolong saudaranya dengan rasa persaudaraan yang membentang menuju keabadian. Ia mencintai, menyayangi, dan menolong isterinya karena po sisinya sebagai pendamping hidup yang paling cantik baginya bahkan saat di surga. Ia tidak menjadikan wilayah kehidupan yang luas ini—berikut relasi dan pengabdian penting di da lamnya—sebagai sarana menuju hal-hal sepele yang bersifat duniawi seperti kepentingan dan manfaatnya yang sangat ke cil. Oleh karena itu, dengan kesetiaan yang murni dan keikh lasan yang tulus, dalam sejumlah relasi dan pengabdiannya, berbagai kesempurnaan dan sifatnya menjadi mulia. Unsur kemanusiannya menjadi istimewa di mana masing-masing mendapat sesuai dengan tingkatannya.
Manusia yang sebelumnya tidak sampai pada tingkatan burung pipit dalam hal kenikmatan dunia, namun berkat “iman kepada hari akhir” ia menjadi tamu yang mulia, baha gia, dan istimewa di dunia. Ia melampaui tingkatan semua he wan, bahkan menjadi makhluk tercinta dan hamba termulia bagi Tuhan Pemilik alam semesta. Penjelasan buah ini kami cukupkan sampai di sini sebab ia telah dijelaskan dalam Risalah Nur dengan berbagai dalil dan argumen.
Buah Keempat (Buah yang Mengarah pada Kehidupan Sosial Manusia)
Ini adalah buah yang dijelaskan oleh “Sinar Kesembilan”. Ringkasannya sebagai berikut:
Anak-anak yang merepresentasikan seperempat umat manusia hanya bisa hidup, seperti layaknya manusia yang memiliki sejumlah potensi manusiawi, dengan iman kepada hari akhir. Pasalnya, tanpa iman tersebut mereka akan men jalani sebuah kehidupan yang penuh dengan keburukan, kegalauan dan kerisauan. Mereka tidak akan tenang dengan permainan mereka dan tidak akan terhibur dengan senda gu rau yang ada. Sebab, kematian yang menimpa anak-anak di sekitar mereka memberikan pengaruh yang sangat kuat kepa da diri mereka, pada perasaannya yang halus, hatinya yang di masa mendatang berisi sejumlah cita-cita dan harapan, serta jiwanya yang tidak sanggup bertahan sehingga risau dan bi ngung. Akhirnya kehidupan dan akalnya menjadi sarana yang justru membuatnya menderita. Senda gurau dan permaiman yang ada tidak akan memberi manfaat apa-apa sebelum menemukan jawaban atas kebingungan yang dialami. Hanya saja, pentunjuk dari “iman kepada hari akhir” membuatnya berdialog dengan dirinya dalam bentuk sebagai berikut:
“Temanku atau saudaraku yang telah meninggal, seka rang sudah menjadi salah seekor burung surga. Ia jauh lebih nyaman, lebih bebas, dan lebih sering berjalan-jalan daripada kita. Ibuku, meski telah meninggal, namun ia menuju rahmat ilahi yang luas. Ia juga akan merangkulku ke dalam pelukan nya yang hangat di surga sehingga aku akan melihat ibu yang sangat penyayang tersebut.” Dengan begitu ia dapat hidup tenang dan damai; satu bentuk kehidupan yang sesuai dengan manusia.
Demikian pula dengan kalangan lanjut usia yang me wakili seperempat umat manusia. Hanya dengan “iman ke pada akhirat” mereka akan menemukan pelipur lara dalam menghadapi padamnya cahaya kehidupan mereka di waktu dekat, saat dikubur di dalam tanah serta ditutupnya dunia yang indah dan manis di hadapan wajah mereka. Tanpa iman tersebut, para ayah yang dihormati dan murah hati serta para ibu yang sudah banyak berkorban dan memiliki kasih sayang itu, pasti akan mengalami berbagai penderitaan. Mereka akan berada dalam kondisi kejiwaan yang sangat menyengsarakan dan kerisauan hati yang amat mendalam. Dunia akan menja di sempit bagi mereka laksana penjara. Kehidupan itu sendiri ibarat siksa yang berada di luar kemampuan.
Pada saat itulah “iman kepada akhirat” menyeru mereka dengan berkata, “Wahai yang sudah lanjut usia, jangan risau! Kalian memiliki masa muda yang kekal. Ia ada di hadapan kalian dan pasti akan datang. Kehidupan yang bersinar ce merlang, serta usia abadi yang membentang menunggu ka lian. Kalian akan menemui anak-anak dan karib kerabat yang telah berpisah dengan kalian. Seluruh amal baik kalian terjaga dan kalian akan mendapat ganjarannya.” Begitulah, iman kepada akhirat memberikan semacam pelipur lara dan kelapangan di mana andai ada di antara me reka yang diberi beban seratus orang yang lanjut usia, niscaya akan mampu memikulnya dengan sabar dalam menanti ke hidupan ukhrawi yang bahagia di baliknya.
Begitu pula dengan para pemuda yang merupakan se pertiga umat manusia. Para pemuda pada umumnya; hawa nafsunya bergelora, terkalahkan oleh perasaan, keberanian nya tak terkendali dan tidak mendengarkan suara akalnya. Jika mereka kehilangan “iman kepada hari akhir” dan tidak ingat kepada siksa neraka, maka harta dan kehormatan ma nusia serta ketenangan kaum lemah dan kemuliaan orang tua terancam bahaya. Pasalnya, bisa jadi ada di antara mereka yang merusak kebahagiaan keluarga yang aman dan bahagia karena kenikmatan sementara. Sebagai akibat dari ulahnya, ia menuai penderitaan selama beberapa tahun di penjara sema cam ini sehingga kondisinya berubah menjadi seperti hewan yang buas.
Namun ketika “iman kepada hari akhir” datang meno longnya, ia akan segera kembali sadar dan akalnya kembali berfungsi sempurna. Ia pun berbisik kepada dirinya:“Meskipun polisi dan mata-mata pemerintah tidak meli hatku karena tersembunyi dari mereka, namun malaikat mi lik Penguasa Yang Mahaagung yang memiliki penjara abadi (neraka) mencatat semua dosaku. Jadi, aku bukan makhluk liar. Aku terikat oleh rambu yang ada. Bahkan aku adalah pengembara yang mempunyai misi. Sudah pasti pada suatu hari aku menjadi orang yang lemah dan lanjut usia se perti mereka.” Saat itu tetesan rahmat dan kasih sayang keluar dari relung hatinya. Ia pun memberi hormat kepada mereka yang tadinya ingin dirampas haknya secara zalim. Karena makna ini telah dijelaskan pada Risalah Nur dengan berbagai argu men, kami cukupkan sampai di sini.
Hal yang sama berlaku kepada mereka yang sakit, yang teraniaya, serta orang-orang yang mendapat musibah, fakir, dan ditahan di penjara dengan hukuman yang berat. Semua nya mewakili bagian terpenting dari umat manusia. Bila iman kepada hari akhir tidak membantu dan menghibur mereka, kematian yang mengintai mereka disertai penyakit yang ada; penistaan yang dilakukan oleh orang-orang zalim yang tidak bisa dituntut balas dan diselamatkan; keputusasaan yang ber sumber dari bencana yang menimpa harta dan anak mereka; kesempitan yang berasal dari siksa penjara selama beberapa tahun sebagai akibat dari kenikmatan sesaat yang tidak lebih dari beberapa menit atau beberapa jam; semua itu tentu me ngubah dunia menjadi penjara serta kehidupan menjadi siksa yang menyakitkan bagi mereka.
Namun ketika “iman kepada hari akhir” membantu dan menghibur mereka, seketika me reka menjadi lapang dan bisa bernafas lega. Pasalnya, kesem pitan, keputusasaan, kerisauan, dan kegalauan tadi lenyap, baik semua maupun sebagiannya, sesuai dengan tingkatan iman masing-masing.
Oleh karena itu, aku dapat mengatakan bahwa kalau bu kan karena “iman kepada hari akhir” yang telah membantu
diriku dan saudara-saudaraku dalam menghadapi musibah
besar kami serta saat kami masuk penjara—meski tanpa ada kesalahan yang kami lakukan—tentu beban derita satu hari hukuman akan seperti kematian itu sendiri dan musi bah tersebut akan menggiring kita untuk meninggalkan kehidupan. Akan tetapi, syukur tak terhingga kepada Allah yang telah menjadikan diriku mampu memikul kepedihan yang dirasakan oleh banyak saudaraku di mana mereka le bih kucintai daripada diriku sendiri serta aku bisa bersabar dengan hilangnya ribuan bagian Risalah Nur yang sangat aku cintai. Aku juga bersabar dengan hilangnya sejumlah bukuku yang sangat berharga. Aku bersabar menghadapi semua kesedihan dan derita tersebut lewat “iman kepada hari akhir” meskipun sebelumnya aku tidak mampu bersa bar menghadapi pengkhianatan dan intimidasi siapa pun.
Agar kalian percaya, aku bersumpah kepada kalian bah wa cahaya dan kekuatan iman kepada hari akhir telah mem beriku kesabaran, penghibur, pelipur lara, keteguhan, dan kerinduan untuk mendapatkan pahala jihad yang besar dalam ujian ini sampai pada tingkat aku menganggap diriku berada di madrasah yang semuanya berisi kebaikan dan keindah an. Ia layak disebut sebagai Madrasah Yusufi yyah seperti yang telah kusebutkan di awal risalah ini. Kalau bukan karena pen yakit yang kadang kuderita dan kalau bukan karena rasa sepi akibat masa tua, tentu aku lebih giat lagi untuk menerima pelajaran di madrasah ini dengan sempurna dan rasa tenang. Bagaimana pun juga, uraian ini telah melenceng dari pem bahasan pokok. Mohon maaf karena pembahasannya agak sedikit melantur.
Selain itu, “rumah setiap manusia” merupakan dunia nya yang kecil. Bahkan ia merupakan miniatur surganya. Andai kan “iman kepada hari akhir” tidak menjadi penentu bagi kebahagiaan rumah tersebut, tentu setiap anggota keluarga menghadapi kegalauan yang menyakitkan dan siksa yang pe dih terkait dengan relasi antar mereka sesuai dengan tingkat belas kasih dan cintanya kepada mereka. Maka, surga di atas berubah menjadi neraka. Bisa jadi ia menghilangkan akal nya dengan senda gurau dan kesenangan sementara sehingga kondisinya seperti burung unta yang bila melihat pemburu, ia memasukkan kepalanya ke dalam pasir agar tidak terlihat oleh pemburu karena tak mampu lari atau terbang. Hal yang sama terjadi pada orang di atas. Ia memasukkan kepalanya ke dalam kelalaian agar tidak terlihat oleh kematian dan perpisa han. Ia menghilangkan kesadarannya untuk sementara waktu dengan kebodohan. Seakan-akan ia menemukan obat bagi kondisi yang sedang dialami.
Seorang ibu yang telah berkorban untuk sang anak, mi salnya, setiap kali ia melihat anaknya menghadapi bahaya, ia menjadi gemetar karena cemas dan khawatir kepadanya. Demikian halnya dengan anak-anak. Ketika tidak mampu menyelamatkan orang tua atau saudara mereka dari musibah yang tanpa henti, mereka akan selalu dalam kondisi resah dan khawatir. Dengan analogi tersebut, kehidupan keluarga di atas yang disangka bahagia, sebenarnya ia kehilangan kebahagiaan di dunia yang tak menentu dan fana ini. Pasalnya, ikatan di antara anggota keluarga serta hubungan kekerabatan di antara mereka tidak melahirkan persahabatan sejati, kesetiaan yang tulus, keikhlasan yang sempurna, serta pengabdian dan cin ta yang suci. Bahkan akhlak semakin menipis dan menyusut seiring dengan singkatnya kehidupan itu sendiri. Bahkan bisa jadi rusak secara total.
Akan tetapi, ketika “iman kepada hari akhir” mengisi rumah tersebut sehingga menerangi seluruh sisinya secara langsung, maka hubungan kekerabatan, kasih sayang, dan cinta yang mengikat mereka menjadi kuat. Ia tidak hanya ada dalam masa yang sangat singkat. Namun membentang abadi hingga ke negeri akhirat. Ketika itulah, setiap anggota keluar ga memberikan penghormatan yang tulus kepada yang lain, mempersembahkan cinta yang murni, memperlihatkan kasih sayang yang jujur, dan menampakkan persahabatan yang se tia seraya mengesampingkan berbagai kekurangan yang ada. Dengan demikian, akhlak menjadi mulia. Kebahagiaan ma nusia yang hakiki pun mulai bersinar di rumah itu. Persoalan ini telah dijelaskan dalam bagian Risalah Nur yang lain. Oleh karena itu, kami cukupkan dengan penjelasan di atas.
Begitulah, setiap “kota” laksana rumah yang luas bagi penghuninya. Bila “iman kepada hari akhir” tidak meliputi setiap anggota dari keluarga besar tersebut, maka yang akan muncul adalah kedengkian, kepentingan pribadi, tipu daya, egoisme, sikap riya, suap-menyuap, dan penipuan sebagai ganti dari pilar-pilar akhlak terpuji yang berupa keikhlasan, ketulusan, kemuliaan, cinta, pengorbanan, ridha Allah, dan balasan ukhrawi. Berbagai teror dan tindakan anarki akan muncul secara dominan atas nama undang-undang, keaman an, dan kemanusiaan. Dalam kondisi demikian, kehidupan kota tersebut teracuni. Anak-anak mulai lancang dan nakal, para pemuda mabuk-mabukan, orang-orang kuat menindas, serta kalangan lansianya hanya bisa menangis dan meratap.
Dengan analogi di atas, seluruh “negeri” laksana rumah yang sangat luas. Tanah air seperti rumah keluarga umat. Apa bila “iman kepada hari akhir” mengontrol dan mengenda likan rumah-rumah tersebut, maka berbagai kemuliaan dan kebaikan akan terwujud secara jelas di dalamnya. Sikap sa ling menghormati, kasih sayang yang sungguh-sungguh, cinta yang tulus, tolong-menolong, pengabdian yang tidak disertai tipu daya, interaksi dan kebaikan yang tidak disertai riya, ser ta penghormatan yang tidak disertai sikap sombong menjadi tampak. Semua sifat mulia akan tersebar secara luas.
Sebab, iman kepada hari akhir menyapa anak-anak dengan berkata, “Tinggalkan sikap lancang dan nakal, surga menantikanmu. Jangan kau sibukkan dirimu dengan permainan yang tak ber guna!” Dengan demikian, akhlak mereka menjadi kukuh de ngan bimbingan al-Qur’an al-Karim.
Iman kepada hari akhir juga menyapa kalangan muda dengan berkata, “Di hadapan kalian ada neraka. Oleh karena itu, berhentilah mabuk-mabukan.” Hal itu membuat mereka sadar.
Iman kepada hari akhir menyapa para penindas dengan berkata, “Waspadalah, siksa yang sangat keras akan menim pamu!” Hal itu membuatnya berhenti berbuat zalim dan tun duk pada keadilan.
Lalu iman kepada hari akhir menyapa kalangan lansia dengan berkata, “Bergembiralah! Di depan kalian ada masa muda yang kekal dan bugar. Kalian sedang ditunggu oleh ke bahagiaan ukhrawi yang abadi di mana ia lebih mulia dari berbagai kebahagiaan yang telah hilang dari kalian. Oleh karena itu, mari berusaha meraihnya!” Seketika tangisan me reka berubah menjadi suka cita.
Jadi, iman kepada hari akhir memberikan pengaruh posi tif dan menyorotkan cahayanya kepada setiap kelompok, baik secara khusus maupun umum. Semoga para sosiolog dan moralis (pemerhati moral) yang konsen dengan kehidupan sosial manusia dapat mema hami hal tersebut.
Bila sejumlah manfaat “iman kepada hari akhir” yang te lah kami sebutkan tadi dianalogikan dengan sejumlah man faat lain, akan dipahami secara jelas bahwa pilar kebahagiaan di dunia dan akhirat hanyalah iman.
Pada “Kalimat Kedua Puluh Delapan” dan pada sejumlah risalah lain, ada sejumlah jawaban yang sangat kuat dan valid yang membantah berbagai keraguan di seputar “kebangkitan jasmani”. Kami rasa ia sudah cukup. Hanya saja, di sini kami ingin menjelaskannya secara sangat singkat dengan berkata:
Sebagian besar nama-nama ilahi yang mulia termanifes tasi pada jasmani dimana ia merupakan cermin yang paling komprehensif bagi nama-nama itu. Tujuan terjauh ilahi dari penciptaan entitas terwujud di alam jasmani dimana ia me rupakan pusat yang paling mencakup berbagai tujuan terse but dan paling efektif. Sebagian besar jenis karunia Rabbani yang beragam tampak pada alam jasmani. Sebagian besar benih doa yang dipanjatkan manusia dengan lisan kebutu hannya serta sebagian besar pangkal syukur dan pujian yang dipersembahkannya kepada Sang Pencipta Yang Maha Pe nyayang bersumber dari alam jasmani.
Serta Benih terbanyak dari alam maknawi dan spiritual juga tersimpan pada alam jasmani. Berdasarkan hal tersebut, alam jasmani menjadi pusat ra tusan hakikat universal. Oleh karenanya, Sang Pencipta Yang Maha Bijak memperbanyak alam jasmani di muka bumi agar berbagai hakikat tersebut tampak dengan jelas. Dia memberi kan kepada entitas sebuah wujud dengan kecepatan dan efek tivitas yang luar biasa, rombongan demi rombongan, menuju galeri alam ini. Kemudian Dia menyudahi pengabdiannya dan mengirim entitas lain secara berkesinambungan. Begitulah, Dia menjadikan mesin alam ini bekerja se cara terus-menerus dengan merangkai buah alam jasmani di muka bumi seraya menjadikan bumi sebagai ladang akhirat dan gudang surga.
Bahkan agar perut manusia (alam jasmani) merasa tenang dan tenteram, Dia selalu mendengar doa yang dipanjatkan oleh lisan hal-nya untuk tetap eksis dan benar-be nar mengabulkannya. Dia menciptakan berbagai makanan nikmat yang jumlahnya tak terhingga. Dia menghadirkan pula karunia berharga lewat ratusan jenis dan bentuk. Semua itu menunjukkan secara jelas dan pasti bahwa sebagian besar jenis kenikmatan materiil dan indrawi di surga adalah nikmat yang berbentuk fi sik. Serta bahwa nikmat kebahagiaan abadi terpenting yang diharapkan oleh semua orang juga terwujud pada alam jasmani.
Jika demikian, bahwa Dzat Mahakuasa Yang Maha Pe nyayang dan Dzat Maha Mengetahui yang Maha Pemurah menerima dan mengabulkan doa perut yang sederhana untuk bisa eksis—tanpa ada unsur kebetulan—dengan menciptakan beragam nutrisi materi secara sangat rapi dan menakjubkan, mungkinkah, logiskah, dan adakah kemungkinan Dia tidak menerima doa umum dan tanpa henti yang dipanjatkan oleh perut dan fi trah umat manusia, serta tidak memberinya ke nikmatan jasmani di akhirat; dimana hal tersebut sangat di harapkan dan disenangi di negeri yang kekal? Mungkinkah Dia tidak menyambut doa tersebut dan tidak membangkitkan fi sik mereka? Mungkinkah Dia tidak membuat ridha manu sia yang merupakan buah entitas, khalifah, dan hamba yang dimuliakan-Nya? Sama sekali tidak mungkin. Ini sangat mus tahil, bahkan sepenuhnya batil. Pasalnya, bagaimana mung kin Dia mendengar desing lalat lalu tidak mendengar suara petir?! Bagaimana mungkin Dia memperhatikan sejumlah prajurit biasa lalu tidak peduli dengan pasukan yang besar?! Allah jauh dari semua itu.
Ya, al-Qur’an dengan tegas menyatakan:“Di dalam surga itu terdapat semua yang senangi jiwa dan sedap (dipandang) mata.” (QS. az-Zukhurf [43]: 71). Ayat tersebut menerangkan bahwa sebagian besar nik mat materiil yang disukai manusia—yang sampelnya sudah dirasakan di dunia—akan ia lihat dan rasakan dalam bentuk yang sesuai dengan surga. Pahala dari rasa syukur dan ibadah yang ditunaikan oleh lisan, mata, telinga, dan semua anggo ta badan akan diberikan dalam bentuk berbagai kenikmatan materi yang khusus. Penjelasan al-Qur’an al-Karim tentang sejumlah kenikmatan materi tersebut sangat jelas sehingga ti dak menerima takwil apapun yang memalingkan dari makna lahiriahnya, bahkan tidak menerima makna lahiriahnya ada lah hal yang mustahil.
Begitulah, buah dari iman kepada hari akhir menunjuk kan bahwa sebagaimana hakikat dan kebutuhan perut manu sia menjadi petunjuk yang jelas akan keberadaan sejumlah makanan, begitupula hakikat, kesempurnaan, dan kebutuhan alamiah manusia berikut harapannya yang abadi serta hakikat dan potensinya menuntut buah dan manfaat dari iman kepa da hari akhir yang telah disebutkan di atas. Ia juga menun jukkan keberadaan akhirat, surga, dan kenikmatan materinya yang bersifat abadi, serta menjadi saksi atas wujudnya. Haki kat kesempurnaan alam ini, tanda-tanda penciptaannya yang penuh hikmah, dan semua hakikatnya yang terpaut dengan hakikat manusia juga menunjukkan realitas dan keberadaan akhirat, serta menjadi saksi jujur atas kedatangan mahsyar dan terbukanya pintu surga dan neraka. Oleh karena sejumlah bagian dari Risalah Nur telah me negaskan masalah ini dengan sangat baik dan dengan dalil dalil yang sangat kuat tanpa meninggalkan keraguan sedi kitpun, terutama “Kalimat Kesepuluh”, “Kalimat Kedua Puluh Delapan”—lewat dua kedudukannya—“Kedua Puluh Sembi lan”, lalu “Sinar Kesembilan”, serta “Risalah Munajat”, maka bahasan ini kami cukupkan sampai di sini.
Cehenneme dair beyanat-ı Kur’aniye o kadar vâzıh ve zâhirdir ki başka izahata ihtiyaç bırakmamış. Yalnız bir iki zayıf şüpheyi izale edecek iki üç nükteyi, tafsilini Risale-i Nur’a havale edip gayet kısa bir hülâsasını beyan edeceğiz.
Nuktah Pertama Memikirkan neraka dan takut kepadanya tidak mele nyapkan kenikmatan buahnya iman yang disebutkan di atas. Pasalnya, rahmat ilahi yang luas menyeru kepada orang yang takut itu dengan berkata, “Kemarilah, di hadapanmu ada pin tu taubat. Masuklah ke dalamnya.!” Keberadaan neraka bu kan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk memperkenalkanmu kepada kenikmatan surga secara utuh, untuk membuatmu bisa merasakannya secara sempurna, untuk membalaskan de ndammu dan dendam makhluk lain yang tak terhingga ter hadap orang yang telah merampas hak orang lain, serta untuk membuat mereka semua bahagia dengan pembalasan terse but.
Wahai yang tenggelam dalam kesesatan dan tidak bisa keluar darinya! Keberadaan neraka lebih baik bagimu daripa da ketiadaan abadi. Pasalnya, keberadaan neraka memberikan sejenis rahmat, bahkan bagi orang kafi r itu sendiri. Sebab, ma nusia bahkan hewan yang beranak sekalipun merasa senang dengan kenikmatan yang dirasakan oleh karib kerabat, anak anak, dan orang-orang yang ia cintai. Dari satu sisi, mereka juga bahagia dengan kebahagiaan mereka.
Wahai orang yang ingkar! Engkau bisa jadi jatuh ke da lam lembah ketiadaan akibat kesesatanmu, atau masuk ke da lam neraka jahanam. Karena ketiadaan merupakan keburu kan mutlak, maka pemusnahan abadi terhadap orang-orang yang kau cintai serta karib kerabat, orang tua, dan keturunan mu akan membakar jiwamu, menyiksa hatimu, dan menyakiti dirimu yang ribuan kali melebihi siksa neraka. Sebab, kalau tidak ada neraka, maka tidak akan ada surga. Dengan demiki an, semuanya akan jatuh ke dalam lembah ketiadaan dengan kekufuranmu.
Akan tetapi, bila engkau masuk ke dalam ne raka dan engkau masih dalam kondisi ada, maka orang-orang yang kau cintai dan karib kerabatmu entah bahagia di surga atau berada dalam lingkup rahmat ilahi. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain kecuali menerima keberadaan neraka. Pasal nya, menentang keberadaan neraka berarti memilih ketiadaan mutlak yang merupakan bentuk pelenyapan kebahagiaan ser ta pemusnahan semua teman dan orang yang dicintai.
Ya, neraka merupakan “negeri keberadaan” yang ber posisi seperti penjara sesuai dengan hikmah dan keadilan Sang Yang Mahabijak dan Mahaagung. Ia adalah tempat yang menakutkan dan menyeramkan dalam wilayah wujud yang merupakan kebaikan murni. Selain itu, ia memiliki sejumlah fungsi, pelayanan, dan hikmah yang banyak terkait dengan alam baka. Ia tempat yang mulia dan agung bagi banyak makhluk seperti malaikat Zabaniyah.
Nuktah Kedua Keberadaan neraka dan siksanya yang pedih sama sekali tidak menafi kan rahmat Allah yang tidak terbatas, keadilan Nya yang hakiki, serta hikmah-Nya yang seimbang dan ti dak berlebihan. Bahkan, rahmat, keadilan, dan hikmah-Nya menuntut keberadaan neraka. Pasalnya, membunuh seekor hewan yang telah memangsa seratus hewan lain, atau men jatuhi hukuman kepada si zalim yang telah merusak kehor matan seribu orang tak bersalah merupakan rahmat yang berkali lipat bagi para korban yang terniaya dilihat dari sisi keadilan. Sebaliknya, memaafk an si zalim dari hukuman atau membiarkannya, serta melepaskan hewan pemangsa tadi merupakan bentuk kezaliman yang sangat keji dan bentuk ti dak adanya kasih sayang kepada ratusan kaum yang malang tersebut lantaran rahmat tadi tidak diletakkan pada tempat nya.
Hal yang sama terjadi pada orang kafi r yang masuk ke penjara jahanam. Sebab, dengan kekufurannya, ia menging kari hak dari nama-nama ilahi. Dengan kata lain, ia menen tang hak-hak tersebut. Dengan mengingkari kesaksian entitas yang menjadi saksi atas nama tersebut, ia juga telah melanggar hak-hak mereka. Dengan menentang berbagai bentuk ibadah yang ditunaikan makhluk di hadapan wujud rububiyah dan uluhiyah-Nya—yang merupakan tujuan penciptaannya dan salah satu sebab keberadaannya—ia telah jelas-jelas melawan hak semua makhluk. Oleh karena itu, kekufuran merupakan kejahatan besar dan kezaliman yang keji. Kekejiannya melam paui batas maaf dan ampunan sehingga layak mendapat an caman ayat al-Qur’an: “Allah tidak mengampuni dosa syirik...” (QS an-Nisa [3]: 48). Justru ketika orang semacam ini tidak dilemparkan ke neraka karena kasihan padanya merupakan tindakan yang benar-benar menafi kan rahmat Allah terhadap hak makhluk dan entitas yang jumlahnya sangat besar di mana hak mereka telah dirampas.
Begitulah, sebagaimana para penuntut meng harap keberadaan neraka, maka keagungan kemuliaan Allah dan keagungan kesempurnaan-Nya sudah pasti menghendaki keberadaannya.
Ya, jika ada orang bodoh atau orang malang yang menantang kebesaran seorang penguasa negeri dengan berka ta, “Engkau tidak bisa melemparkan diriku ke dalam penjara dan engkau tidak akan mampu melakukannya!” sudah pasti sang penguasa tersebut membuat penjara bagi orang bodoh yang melampaui batas tadi, bahkan meskipun sebelumnya ti dak ada penjara di negeri itu.
Demikian halnya dengan orang kafir. Dengan kekufurannya, ia sangat menentang kemuliaan keagungan-Nya. Dengan pengingkarannya, ia menantang keagungan qudrah-Nya. Dengan sikapnya yang melampaui batas, ia mencederai kesempurnaan rububiyah-Nya. Kalau pun tidak ada sebab-sebab, alasan, hikmah, dan sejumlah tu gas yang mengharuskan keberadaan neraka, maka penciptaan neraka bagi orang-orang kafi r dan memasukkan mereka ke dalamnya adalah tuntutan atau konsekuensi dari kemuliaan dan keagungan-Nya.
Selanjutnya, esensi kekufuran memberitakan adanya ne raka. Sebagaimana jika esensi iman mewujud, maka dengan kenikmatan dan keindahannya akan berbentuk surga di da lam hati manusia. Ia adalah miniatur surga yang memberi takan tentang surga abadi yang menantikan kehadirannya di akhirat.
Demikian halnya dengan kekufuran, terutama keku furan mutlak, kemunafi kan, dan sikap murtad berisi derita, siksa, dan kegelapan yang menakutkan di mana bila ia mewu jud dalam diri seseorang, akan menjadi neraka baginya. Hal itu menjadi petunjuk tentang neraka yang akan menjadi tem patnya di akhirat kelak di mana siksaannya jauh lebih besar. Hal ini telah kami jelaskan dengan sejumlah dalil yang kuat pada Risalah Nur. Pada awal pembahasan, hal ini juga telah disinggung. Oleh karena dunia ini merupakan ladang akhirat, maka berbagai hakikat kecil yang ada di dalamnya berbuah dan ber bulir di akhirat. Benih beracun itu pun (kekufuran) dari sisi ini mengarah kepada pohon zaqqum di sana. Ia berkata, “Aku adalah pangkal dan esensi dari pohon tersebut. Orang-orang malang yang membawaku dalam hatinya akan kubuahkan untuknya model khusus dari pohon terkutuk itu.”
Selama kekufuran merupakan bentuk pelanggaran ter hadap hak-hak makhluk yang jumlahnya tak terhingga, be rarti ia merupakan kejahatan yang tak terkira. Oleh karena itu, kekufuran membuat pelakunya layak mendapat siksa yang tak terkira pula. Bila pembunuhan yang berlangsung dalam satu menit bisa membuat si pembunuh merasakan 15 tahun siksa (sekitar 8 juta menit). Hal itu dinilai sesuai dengan keadilan yang berlaku pada manusia. Bilangannya juga sesuai dengan kemaslahatan umum. Dengan demikian, tidak salah bila satu menit kekufuran—di mana kekufuran sepadan dengan seribu pembunuhan—dihukum dengan siksa selama 8 miliar menit. Berdasarkan keadilan manusia tersebut, maka orang yang menghabiskan waktu selama setahun penuh dalam kekufu ran, layak untuk mendapat siksa selama dua triliun delapan puluh delapan miliar menit (2,088 triliun menit). Dengan ka ta lain, ia layak dengan ancaman dalam ayat: “Mereka kekal di dalamnya selamanya...” (QS. an-Nisa [4]: 169).
Demikianlah, gaya bahasa al-Qur’an yang luar biasa da lam menjelaskan surga dan neraka serta sejumlah dalil yang disebutkan oleh Risalah Nur sebagai tafsir darinya, keduanya sudah cukup sehingga tidak membutuhkan penjelasan yang lain.
Ada banyak sekali ayat al-Qur’an seperti: “Mereka merenungkan penciptaan langit dan bumi seraya berkata, ‘Wahai Tuhan kami, Engkau tidak menciptakan ini sia-sia. Mahasuci Engkau. Jauhkan kami dari siksa neraka’.” (QS. Ali Imran [3]: 191).“Wahai Tuhan kami, jauhkan kami dari sisi jahanam. Se bab, siksanya merupakan kebinasaan yang kekal. Dan ia me rupakan seburuk-buruk tempat menetap dan kediaman.” (QS. al-Furqan [25]: 65-66).Sebagian besar doa yang dipanjatkan oleh Rasul se tiap waktu dan juga oleh para nabi dan ahli hakikat adalah:“Lindungi kami dari neraka. Selamatkan kami dari neraka. Jauhkan kami dari neraka.” Semua itu menjelaskan kepada kita bahwa masalah ter besar umat manusia adalah bagaimana selamat dari neraka. Hakikat alam yang paling agung dan paling dahsyat, bahkan paling penting adalah hakikat neraka yang disaksikan oleh sebagian peneliti dan ahli kasyaf, sebagian yang lain melihat kobaran api dan gelap hitamnya, serta sebagian lainnya men dengar gejolak suaranya sehingga membuat mereka berteriak, “Selamatkan kami dari neraka!”.
Ya, perlawanan kata (makna) antara kebaikan dan ke jahatan, kenikmatan dan kepedihan, cahaya dan kegelapan, panas dan dingin, keindahan dan keburukan, serta hidayah dan kesesatan yang terdapat di alam ini adalah untuk sebuah hikmah yang istimewa. Pasalnya, andai tidak ada kejaha tan, maka kebaikan tidak akan dipahami. Andai tidak ada kepedihan, kenikmatan tidak akan diketahui. Cahaya tanpa kegelapan, keindahan tidak akan terlihat. Suhu panas terwu jud dengan adanya suhu dingin. Sebuah hakikat keindahan menjadi seribu hakikat dengan adanya keburukan. Bahkan ia mendapatkan seribu jenis dan tingkat keindahan. Andai ti dak ada neraka, maka akan banyak kenikmatan surga yang tersembunyi. Atas dasar itu, maka segala sesuatu—dari satu sisi—dapat dipahami lewat kebalikannya. Dengan adanya ke balikan, sebuah hakikat bisa membuahkan berbagai hakikat.
Selama berbagai entitas yang bercampur itu mengalir dari negeri fana menuju negeri abadi, sudah pasti kebaikan, kenikmatan, cahaya, keindahan, keimanan, dan semisalnya mengalir menuju surga. Sementara, keburukan, kepedihan, kegelapan, kejelekan, kekufuran, dan bahaya semisalnya mengalir menuju neraka. Seluruh entitas yang saling bercam pur itu mengalir menuju dua telaga tersebut dan bermuara pada keduanya. Penjelasan ini kami cukupkan sampai di sini. Selebihnya bisa merujuk ke nuktah-nuktah di bagian akhir dari “Kalimat Kedua Puluh Sembilan”.
Wahai teman-teman belajar di madrasah Yusufi yah! Jalan mudah untuk selamat dari penjara abadi yang menakutkan (neraka) adalah dengan memanfaatkan kesem patan saat berada di penjara duniawi. Inilah yang mencegah kita dari sejumlah dosa sehingga kita selamat darinya. Oleh karena itu, kita harus meminta ampunan dan bertobat dari dosa-dosa sebelumnya yang pernah kita perbuat di samping melakukan berbagai kewajiban agar setiap jam di penjara ini kita ubah menjadi seperti sehari ibadah. Jadi, ia merupakan kesempatan terbaik bagi kita untuk bisa selamat dari penjara abadi dan bisa masuk ke surga yang penuh cahaya. Bila ke sempatan itu terlewat, berarti kita akan mengisi akhirat kita dengan tangis penyesalan sebagaimana saat di dunia, sehing ga kita seperti yang Allah katakan dalam fi rman-Nya:“Merugi dunia dan akhirat.” (QS. al-Hajj [22]: 11).
Saat bahasan ini ditulis gema takbir Idul Adha men galun tinggi.
Aku pun mengkhayal bahwa seperlima umat manusia sedang membaca اَللّٰهُ اَك۟بَرُ secara berulang-ulang. Lebih dari 300 juta muslim membacanya secara bersama-sa ma. Seolah-olah gema takbir tersebut meninggi sebesar dan seluas bumi. Dengan demikian, bumi memperdengarkan kalimat-kalimat suci tersebut kepada planet lain di seante ro langit. Selain itu, lebih dari 20 ribu jamaah haji di Arafah mengucapkan secara bersama-sama apa yang dulu pernah diucapkan oleh Rasulullah 1300 tahun yang lalu bersama para sahabat yang mulia. Maka, aku benar-benar merasa dan bahkan sangat yakin bahwa gema suara tersebut merupakan bentuk ubudiyah universal yang sepadan dengan manifestasi rububiyah ilahi yang bersifat universal sesuai dengan keagu ngan “Tuhan pemelihara bumi” dan “Tuhan alam semesta”. Setelah itu, aku bertanya kepada diri sendiri, “Apa hubu ngan antara akhirat dan kalimat suci tersebut, yakniاَللّٰهُ اَك۟بَرُ?”
Akupun segera teringat bahwa kalimat ini berikut kalimat-kalimat yang baik dan mulia lainnya seperti سُب۟حَانَ اللّٰهِ, اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ, dan لَٓا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ serta kalimat syiar Islam yang sejenis mengi ngatkan sekaligus mengisyaratkan tentang realitas akhirat, baik secara parsial maupun universal.
Salah satu makna اَللّٰهُ اَك۟بَرُ adalah bahwa qudrah dan ilmu Allah di atas segala sesuatu serta lebih besar dan lebih agung dari segala sesuatu. Tidak ada sesuatu pun yang berada di luar pengetahuan-Nya. Tidak ada yang lari dan terlepas dari kendali dan qudrah-Nya. Allah lebih besar dari semua yang besar, yang kita takuti. Dengan kata lain, Dia lebih besar da ripada proses pengumpulan dan pembangkitan makhluk yang kita anggap luar biasa. Dia lebih besar daripada proses penyelematan kita dari tiada. Dia lebih besar daripada pembe rian kebahagiaan abadi. Dia lebih besar daripada semua yang kita kagumi dan dari semua yang berada di luar jangkauan akal kita. Allah berfirman:
“(Allah) menciptakan dan membangkitkan kalian hanya
lah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja.” (QS. Luqman [31]: 28). Ayat di atas dengan jelas menerangkan bahwa pengum pulan seluruh umat manusia merupakan perkara yang mu dah bagi qudrah ilahi sama seperti menciptakan satu jiwa saja. Oleh karena itu, tidak aneh bila kemudian setiap kali meli hat sesuatu yang agung, musibah yang besar, dan target yang luar biasa, manusia mengucap اَللّٰهُ اَك۟بَرُ untuk menghibur diri sekaligus untuk menjadikan kalimat tersebut sebagai kekua tan besar dan tempat bersandar.
Ya, kalimat tersebut berikut kalimat سُب۟حَانَ اللّٰهِ dan
اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ merupakan indeks bagi seluruh ibadah dan benih
shalat sebagaimana disebutkan dalam “Kalimat Kesembilan”. Mengulang-ulang kalimat tersebut sebagai tiga hakikat agung di dalam shalat dan dalam zikir-zikirnya adalah untuk me nguatkan, memperdalam, dan memperkukuh esensi shalat. Ia merupakan jawaban meyakinkan bagi sejumlah pertanyaan yang berasal dari rasa takjub, nikmat, dan takut yang me ngalir pada diri manusia saat menyaksikan alam; saat melihat se suatu yang mencengangkan akal dan mengantarnya untuk bersyukur; saat melihat perkara menakjubkan, indah, dan agung yang menjadi sumber keagungan dan kebesaran Tuhan; serta saat melihat peristiwa yang luar biasa.Sebagaimana dijelaskan di bagian akhir pada “Kalimat Keenam Belas”, seorang prajurit masuk ke hadirat raja di hari raya seperti ajudan jenderal yang datang menghadap.
Semen tara di hari-hari yang lain, ia mengenali rajanya dari tingka tan dan kedudukan perwira. Setiap orang dalam menunaikan ibadah haji juga mula-mula mengenal Tuhan Yang Haq lewat nama رَبُّ ال۟اَرَضِ وَ ‘Tuhan Pencipta bumi’ dan رَبُّ ال۟عَالَمٖينَ ‘Tu han Pencipta seluruh alam’ melalui pengenalan yang hampir sama dengan pengenalan para wali yang salih. Setiap kali tingkatan keagungan ilahi tersingkap di sela-sela kalbunya, ia menjawab dengan اَللّٰهُ اَك۟بَرُ karena dalam jiwanya muncul sejumlah pertanyaan yang terus terulang dan membingung kan. Maka, اَللّٰهُ اَك۟بَرُ menjadi jawaban kukuh untuk mengusir bisikan setan yang paling penting sebagaimana disebutkan dalam “Cahaya Ketiga Belas”. Ya, sebagaimana kalimat اَللّٰهُ اَك۟بَرُ menjawab pertanyaan kita seputar akhirat dengan jawaban yang ringkas dan kuat, kalimat اَل۟حَم۟دُ لِلّٰ juga mengingatkan kepada kebangkitan.
Pa salnya, ia berkata kepada kita, “Maknaku tidak sempurna tan pa akhirat.” Sebab, maknaku menjelaskan bahwa, “Setiap puji an dan syukur yang bersumber dari setiap orang yang memuji dan tertuju kepada sesuatu yang dipuji apapun adanya, mulai dari azali hingga abadi, semuanya hanya untuk Allah.” Selain itu, kebahagiaan abadi me rupakan pangkal dan puncak seluruh nikmat. Kebahagiaan abadi itulah yang mengubah nikmat menjadi nikmat yang hakiki dan abadi. Kebahagiaan abadi itu lah yang menyelamatkan seluruh makhluk yang berkesadaran dari musibah ketiadaan. Oleh karena itu, ha nya ia yang bisa membalas makna dan esensiku yang bersifat universal.”
Ya, setiap mukmin yang membaca اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ secara be rulang-ulang setiap hari selepas shalat sesuai dengan perintah syariat lebih dari 150 kali paling sedikit, di mana ia melipu ti pujian, sanjungan, dan syukur yang sangat luas terbentang mulai dari azali hingga abadi, semua itu merupakan harga yang dibayar di muka guna mendapat kebahagiaan abadi di surga. Pasalnya, makna اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ tidak mungkin terbatas pada nikmat dunia yang singkat, fana dan bercampur dengan se jumlah derita. Ia tidak mungkin terbatas padanya. Bahkan kalau engkau merenungkan nikmat-nikmat tersebut, engkau akan melihat betapa ia tidak lain merupakan sarana bagi nik mat abadi yang patut disyukuri.
Adapun makna kalimat اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ adalah mensucikan Allah dari segala sekutu, kekurangan, cacat, kezaliman, kelemahan, kekesatan, kebutuhan dan tipu daya, serta dari semua yang bertentangan dengan kesempurnaan, keinda han, dan keagungan-Nya. Makna ini mengingatkan ten tang kebahagiaan abadi dan menunjuk kepada akhirat yang merupakan sumber keagungan, keindahan, dan kesempur naan Allah. Ia juga mengarah kepada surga abadi yang terdapat di negeri tersebut. Jika tidak demikian, andai ke bahagiaan abadi tidak ada, “telunjuk tuduhan” mengarah kepada keagungan, kesempurnaan, keindahan, dan rah mat-Nya sehingga ia dikotori oleh cacat dan kekurangan. Sungguh Allah sangat jauh dari semua itu. Begitulah. Ketiga kalimat suci di atas bersama bismillah dan lâ ilâha illâh serta seluruh kalimat penuh berkah yang lain, masing-masing laksana benih rukun iman. Masing-ma sing merupakan intisari dari hakikat rukun iman dan hakikat al-Qur’an.
Sebagaimana ketiga kalimat di atas merupakan benih shalat, ia juga merupakan benih al-Qur’an al-Karim seperti terlihat pada permulaan sejumlah surah yang cemerlang di mana ia menjadi pangkal surah yang laksana permata berkilau. Ia merupakan perbendaharaan hakiki dan dasar dasar yang kukuh bagi Risalah Nur yang dijadikan pembuka pada saat pembacaan tasbihat (wirid setelah shalat).
Ia juga merupakan wirid tarekat al-Muhammadiyah yang dibaca sele pas shalat dalam lingkup kewalian dan ubudiyah Muhammad . Pa salnya, pada setiap shalat terdapat lebih dari seratus juta mukmin di halaqah zikir besar tersebut yang membaca سُب۟حَانَ اللّٰهِ sebanyak 33 kali, اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ 33 kali, dan اَللّٰهُ اَك۟بَرُ 33 kali. Engkau pasti mengetahui betapa penting membaca keti ga kalimat penuh berkah itu di mana ia merupakan benih dan intisari al-Qur’an, iman, dan shalat.
Engkau juga mengetahui betapa banyak pahala membacanya sebanyak 33 kali selepas shalat dalam lingkup halaqah yang luas tersebut. Begitulah, sebagaimana ‘persoalan pertama’ dari risalah ini merupakan pelajaran penting dalam shalat, penghujung
risalah ini, tanpa disengaja, berisi pelajaran penting seputar zikir-zikir shalat. Segala puji bagi Allah atas seluruh nikmat-Nya.
اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ عَلٰى اِن۟عَامِهٖ
سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
PERSOALAN KESEMBILAN
بِس۟مِ اللّٰهِ الرَّح۟مٰنِ الرَّحٖيمِ
“Rasul telah beriman kepada al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhan, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah,malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nyadan rasul-rasul-Nya...” (QS. al-Baqarah [2]: 285).
Hal yang menjadi sebab ditulisnya penjelasan tentang ayat yang universal dan mulia di atas adalah kondisi tertentu yang muncul dari pertanyaan maknawi dan dari tersingkapnya nikmat ilahi yang agung sebagai berikut:
Pertanyaan ini tiba-tiba terlintas di dalam jiwa, “Mengapa orang yang mengingkari sebagian dari hakikat iman disebut kafi r? Mengapa orang yang menolaknya tidak dianggap muslim? Padahal cahaya iman kepada Allah dan hari akhir laksana mentari yang melenyapkan kegelapan tersebut? Kemudian, mengapa orang yang mengingkari sebuah hakikat atau rukun iman menjadi murtad dan jatuh pada kekufuran? Mengapa orang yang tidak menerimanya dianggap keluar dari wilayah Islam? Bukankah imannya kepada rukun yang lain—jika ada—seharusnya bisa menyelamatkannya dari kekufuran mutlak?”
Jawaban:Iman merupakan suatu hakikat yang bersumber dari enam rukun yang menyatu tanpa boleh dipilah-pilah. Ia bersifat integral; tidak boleh dipisah-pisah. Ia satu kesatuan yang rukun-rukunnya tidak boleh dipecah. Hal itu karena setiap rukun dari rukun-rukun iman tersebut—berikut dalil dan hujjah yang menguatkannya—membuktikan rukun rukun yang lain. Sehingga setiap rukun menjadi dalil yang sangat kuat bagi rukun-rukun yang lain. Oleh karenanya, Orang yang tidak bisa menggoyahkan seluruh rukun iman lewat semua dalilnya, dilihat dari sisi hakikat, juga tidak bisa menafi kan satu rukun darinya ataupun menyangkal salah satu hakikatnya, kecuali si pengingkar memejamkan mata (tidak menerima). Dengan demikian, ia masuk ke dalam kufur inâdi (kekufuran dalam bentuk pembangkangan). Seiring dengan perjalanan waktu, hal itu bisa menggiringnya masuk ke dalam kekufuran mutlak sehingga sisi kemanusiaannya menghilang sekaligus mengantarnya kepada neraka materi, di samping “neraka maknawi” yang dialaminya.
Pada sejumlah persoalan dalam risalah “buah”, secara sekilas telah kami jelaskan bagaimana rukun-rukun iman menunjukkan adanya kebangkitan. Di sini, dengan sangat singkat dan global, kami juga akan menjelaskan maksud men dalam dan agung dari ayat di atas dengan mengharap perto longan ilahi. Hal itu akan diuraikan dalam enam poin:
Poin Pertama
Lewat sejumlah dalilnya yang kuat, “iman kepada Allah” membuktikan adanya “iman kepada hari akhir” serta rukun rukun iman yang lainnya sebagaimana telah dijelaskan dalam persoalan ketujuh di atas. Ya, kekuasaan rububiyah yang azali serta otoritas uluhiyah yang abadi; yang mengatur alam yang tak terbatas ini—beri kut semua perlengkapan dan kebutuhannya—seperti menata sebuah istana dan kota; yang mengatur seluruh urusannya da lam satu sistem dan neraca tertentu sekaligus me ngubahnya sesuai dengan banyak hikmah; yang menata dan melengkapi partikel dan planet serta lalat dan bintang secara bersamaan laksana prajurit yang taat kepada pasukan yang tertata rapi; yang menggiring semua lewat kehendak dan perintahnya menuju galeri ubudiyah yang bersifat umum melalui manu ver, ujian, cobaan, serta latihan pelaksaan tugas dan pengaja ran terhadapnya dengan aktivitas, perjalanan, dan rotasi yang terus-menerus. Jika demikian, mungkinkah, logiskah, atau adakah kemungkinan lain bahwa tidak ada kediaman abadi, kerajaan yang kekal, eksistensi abadi, serta manifestasi perma nen di negeri abadi dari kekuasaan abadi seperti di atas? Tentu saja tidak logis dan tidak mungkin.
Kekuasaan rububiyah Allah serta sebagian besar na ma-nama-Nya sebagaimana disebutkan dalam ‘Persoalan Ketujuh’, berikut semua dalil dan hujjah keniscayaan eksisten si Allah, semuanya menjadi saksi dan petunjuk atas ke beradaan akhirat. Sungguh rukun iman yang agung ini menjadi titik tum puan yang teguh! Betapa ia menjadi titik sandaran yang sangat kukuh! Pahami dan yakinilah seolah-olah engkau melihatnya!
Lalu, sebagaimana “iman kepada Allah” tidak mungkin terwujud tanpa “iman kepada hari akhir”, demikian pula tidak mungkin dan tidak logis bahwa “iman kepada Allah” terwu jud tanpa “iman kepada para rasul”. Hal ini seperti yang telah disebutkan secara singkat dalam risalah kebangkitan (al-Hasyr). Penjelasannya sebagai berikut: Allah yang menciptakan alam ini guna memerlihat kan uluhiyah dan ma’bûdiyah-Nya dalam bentuk sebuah ki tab shamadâni yang berwujud di mana setiap halamannya me ngungkap makna sebuah kitab, lalu setiap barisnya me nerangkan makna satu halaman. Dia mencipta alam dalam bentuk al-Qur’an subhâni di mana setiap ayat takwiniyah-Nya dan setiap kalimatnya, bahkan setiap huruf dan setiap titik nya laksana sebuah mukjizat. Dia menciptakan alam dalam bentuk masjid rahmâni yang menakjubkan sekaligus meng hiasnya dengan ayat-ayat dan ukiran penuh hikmah yang tak terhingga di mana pada setiap sisinya terdapat kelompok yang sibuk dalam satu macam ibadah alamiah. Maka, mungkinkah Sang Pencipta yang disembah dan Mahabenar tersebut tidak mengutus para guru guna menga jari mereka kandungan dan isi dari kitab besar tadi?! Mung kinkah Dia tidak mengutus para mufassir untuk menjelaskan ayat-ayat dari al-Qur’an yang berwujud materi tersebut? Atau, mungkinkah Dia tidak menunjuk para imam untuk masjid besar itu guna memimpin orang-orang yang sedang beriba dah kepada-Nya dalam berbagai jenis ibadah?! Mungkinkah Dia tidak membekali para ustadz, mufassir, dan imam tadi dengan sejumlah fi rman-Nya?! Tentu saja tidak mungkin.
Kemudian Sang Pencipta Yang Maha Penyayang dan Maha Pemurah yang menciptakan alam ini untuk memper lihatkan keindahan rahmat, kasih sayang, dan kesempurnaan rububiyah-Nya kepada makhluk yang memiliki perasaan guna mendorong mereka agar bersyukur dan bertahmid. Dia menciptakannya dalam bentuk negeri jamuan yang besar, galeri indah yang luas, dan tempat wisata yang menakjubkan. Di dalamnya, Dia menyiapkan berbagai nikmat yang lezat dan beraneka ragam. Dia juga menata sejumlah kreasi yang luar biasa dan ciptaan-Nya yang indah. Lalu mungkinkah Sang Pencipta Yang Maha Penyayang dan Maha Pemurah ti dak berbicara—lewat perantaraan rasul-rasul-Nya—dengan makhluk yang memiliki perasaan di negeri jamuan-Nya yang mewah ini?! Logiskah Dia tidak mengajari mereka cara untuk bersyukur atas sejumlah nikmat yang diberikan-Nya serta tu gas ubudiyah atas rahmat-Nya yang luas dan cinta-Nya yang nyata?! Tentu tidak logis dan tidak mungkin.
Selanjutnya, Tuhan Sang Pencipta yang mencintai makh luknya dan ingin mendapat apresiasi dari mereka, bahkan mengharap penghargaan dan penghormatan mereka dima na itu ditandai dengan penciptaan ribuan jenis indra pera sa di mulut. Dia pun memperkenalkan diri lewat seluruh makhluk-Nya. Dengan itu, Dia memperlihatkan satu bentuk keindahan maknawi-Nya sekaligus menjadikannya sebagai objek kecintaan makhluk. Dia juga telah menghias alam ini dengan sejumlah kreasi dan makhluk-Nya yang indah. Maka, mungkinkah Sang Pencipta tidak berbicara de ngan manusia termulia yang merupakan pemimpin seluruh makhluk?! Mungkinkah Dia tidak mengutus seorang rasul dari mereka yang mulia itu sehingga berbagai kreasi indah tersebut tidak mendapat penghargaan, keindahan nama-na ma-Nya yang mulia dan luar biasa tidak mendapat apresi asi, serta pengenalan dan upaya-Nya untuk dicintai tidak mendapat respon?! Sungguh tidak mungkin.
Kemudian, Sang Penutur yang Maha Mengetahui mere spon—pada waktu yang tepat—doa seluruh makhluk hidup dalam memenuhi kebutuhan alamiah mereka, mengabul kan permintaan dan keinginan yang mereka panjatkan ke pada-Nya lewat lisanul hal sehingga Dia berbicara dengan jelas melalui berbagai karunia-Nya yang tak terhingga dan tak terbatas seraya memperlihatkan tujuan, pilihan, dan ke hendak-Nya. Maka, mungkinkah dan logiskah Sang Penu tur Yang Maha Mengetahui tersebut yang berbicara dengan makhluk hidup yang paling kecil lewat tindakan maupun lisanul hal sekaligus mendengar keluhannya dan memenuhi kebutuhannya dengan berbagai karunia-Nya yang bisa me ngobatinya secara sempurna, lalu Dia tidak berkomunikasi dengan pimpinan maknawi manusia yang merupakan buah paling istimewa di seluruh alam, khalifah di muka bumi, dan pemimpin mayoritas makhluk di bumi?! Logiskah Dia tidak berbicara dengan mereka seperti yang Dia telah lakukan ke pada setiap makhluk hidup yang kecil lewat tindakan maupun lisanul hal? Mungkinkah Dia tidak mengirim kepada mereka sejumlah perintah, suhuf, dan kitab suci-Nya?! Sungguh sa ngat tidak mungkin.
Begitulah “iman kepada Allah” dengan sejumlah dalil nya yang kuat meneguhkan keimanan kepada kitab suci dan rasul-Nya.
Kemudian, sosok yang menjadikan alam ini mengge makan dan mendendangkan hakikat al-Qur’an; yang me ngenal dan memperkenalkan Sang Pencipta Yang Mahaindah secara sempurna sehingga mencintainya dan membuatnya dicintai; yang menunaikan rasa syukur kepada-Nya seka ligus mengajarkan yang lain untuk bersyukur; yang membuat bumi mengucap سُب۟حَانَ اللّٰهِ اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ اَللّٰهُ اَك۟بَرُ sehingga membuat seluruh langit mendengar; yang membalas rububiyah Tuhan Sang Pencipta dengan ubudiyah yang universal dan kompre hensif di mana beliau memimpin seperlima umat manusia se cara kuantitatif dan setengahnya secara kualitatif selama 1300 tahun lewat sebuah kepemimpinan yang menghentak daratan dan lautan; yang menyuarakan al-Qur’an di telinga alam sepanjang masa tentang semua maksud ilahi sehingga beliau memberikan pelajaran berharga, berdakwah dengan dakwah yang mulia seraya memperlihatkan tugas dan kedudukan ma nusia, menjelaskan martabat dan derajatnya; itulah sosok Muhammad yang amanah, yang benar dan dibenarkan lewat seribu satu mukjizat.Mungkinkah sosok tersebut bukan merupakan makhluk yang paling istimewa, utusan yang paling sempurna, dan rasul-Nya yang termulia?! Sungguh tidak mungkin.
Hakikat اَش۟هَدُ اَن۟ لَٓا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ dengan sejumlah dalilnya
membuktikan hakikat اَش۟هَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللّٰهِ.
Kemudian Sang Pencipta yang menjadikan makhluk-Nya saling berkomunikasi lewat ratusan ribu bahasa, Dia pula yang mendengar dan mengetahui semuanya. Maka, mung kinkah Dia tidak berbicara? Sama sekali tidak mungkin.
Selanjutnya, logiskah Dia tidak mengajarkan maksud-maksud ilahi melalui kitab yang agung seperti al-Qur’an yang menjawab tiga pertanyaan misterius, yaitu: “Makhluk-makhluk itu datang dari mana? Akan pergi ke mana? Mengapa mereka datang silih berganti, lalu tak lama kemudian mereka meng hilang?!” Tentu saja tidak logis.
Al-Qur’an al-Karim yang telah menerangi alam selama 13 abad; dinukil dan disebarkan pada setiap waktu oleh seratus juta lisan dengan penuh penghormatan; ditulis di dada jutaan penghafal dengan penuh kesakralan; dengan hukumnya, ia menata mayoritas umat manusia, mendidik jiwa, mensucikan roh, membersihkan hati, dan membimbing akal mereka; serta merupakan mukjizat abadi sebagaimana kemukjizatannya telah kami buktikan dengan empat puluh aspek pada Risalah Nur sehingga jelas ia merupakan mukjizat bagi empat puluh golongan manusia (sebagaimana disebutkan dalam “Surat Kesembilan Belas” yang sangat mulia dan luar biasa). Dengan demikian, al-Qur’an yang agung tersebut sangat patut disebut sebagai ‘Kalam Allah’. Muhammad dengan ribuan mukjizatnya pun menjadi salah satu mukjizat yang cemerlang baginya. Maka, mungkinkah al-Qur’an al-Karim ini bukan merupakan kalam Sang Penutur azali, Allah?! Mung kinkah bukan merupakan perintah dan pesan Sang Pencipta abadi?! Sungguh sangat tidak mungkin.
Dengan demikian, “iman kepada Allah” berikut semua dalilnya menegaskan bahwa al-Qur’an al-Karim merupa kan kalam Allah.
Kemudian Penguasa Mahaagung yang secara terus-me nerus memenuhi dan mengosongkan permukaan bumi de ngan makhluk hidup seraya mengisi dunia dengan makh luk yang memiliki perasaan agar dapat mengenal-Nya, serta beribadah dan bertasbih kepada-Nya. Lalu, mungkinkah Sang Penguasa Mahaagung tersebut membiarkan langit dan bin tang kosong begitu saja, tanpa mengisi istana-istana langit itu dengan penduduk dan penghuni yang sesuai dengannya?! Mungkinkah Dia membiarkan kekuasaan rububiyah-Nya di wilayah kerajaan-Nya yang paling luas tanpa kemuliaan dan keagungan, tanpa petugas dan pegawai, tanpa duta dan utusan, tanpa pengawas yang mengontrol, tanpa pemerhati yang kagum, tanpa hamba yang mulia, serta tanpa rakyat yang taat? Sungguh sangat tidak mungkin dengan kemustahilan sebanyak jumlah malaikat.
Maka, mungkinkah Sang Penguasa Yang Mahabijak dan Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Maha Pengasih tersebut tidak mencatat amal-amal manusia yang terpaut dengan en titas? Mungkinkah Dia tidak mencatat perbuatannya untuk mendapatkan imbalan dan hukuman serta tidak menulis dosa dan pahalanya dalam lembaran takdir-Nya?! Tentu saja hal itu tidak mungkin dengan kemustahilan sebanyak huruf yang tertulis di Lauhil mahfudz. Dengan kata lain, hakikat “iman kepada Allah” berikut dalil-dalilnya membuktikan hakikat “iman kepada malaikat” dan “iman kepada takdir” secara meyakinkan.
Ia laksana mentari yang menghadirkan siang, dan siang yang menjadi petunjuk atas keberadaan mentari. Begitulah, rukun iman yang satu membuktikan rukun iman yang lain.
Poin Kedua
Semua yang diserukan oleh kitab suci dan suhuf sama wi, terutama al-Qur’an al-Karim, dan semua dakwah para nabi, terutama Muhammad , berkisar pada sejumlah dasar yang permanen dan pilar yang sudah jelas. Mereka semua berusaha membuktikan dasar-dasar tersebut seka ligus mengajarkannya kepada yang lain. Oleh karena itu, semua argumen dan bukti yang menunjukkan kenabian dan kejujuran mereka mengarah ke dasar dan pilar tadi yang membuatnya semakin kuat dan benar. Dasar dan pi lar tersebut tidak lain adalah iman kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab suci, para rasul, serta takdir baik dan buruk.
Rukun iman yang enam tersebut sama sekali tidak mungkin dipisahkan. Pasalnya, setiap rukun membuktikan seluruh rukun yang lain secara umum. Bahkan menuntut dan mengharuskan keberadaannya. Oleh karena itu, keenam rukun iman itu merupakan satu kesatuan yang tak terpisah kan. Sebagaimana setiap dahan pohon yang penuh berkah (Pohon Tuba) yang akarnya membentang di langit, serta setiap buah dan daunnya bersandar pada kehidupan abadi pohon tersebut, maka tak seorang pun yang dapat mengingkari kehidupan selembar daun yang bersambung ke pohon tadi selama ia tidak bisa mengingkari kehidupan pohon yang tampak cemerlang laksana mentari itu. Jika ia mengingkari, maka pohon tersebut akan mendustakannya sebanyak bilangan dahan, buah, dan daunnya. Demikian halnya dengan iman berikut enam rukunnya.
Semula ada niat menjelaskan keenam rukun iman terse but dalam enam poin di mana setiap poinnya terdiri dari lima nuktah penting. Ada pula keinginan untuk menjawab pertanyaan menarik yang terdapat di pendahuluan dengan penjelasan yang lebih panjang. Namun ada sejumlah hambatan dan penghalang. Meski demikian, poin pertama sudah memberikan penjelasan yang memadai bagi orang yang cerdas. Sebab, ia bisa menjadi standar yang cukup di seputar persoalan tersebut.
Demikianlah, sudah sangat jelas bahwa ketika seo rang muslim mengingkari salah satu hakikat iman, berar ti ia jatuh kepada kekufuran mutlak. Pasalnya, rangkaianrukun iman saling terpaut. Islam telah menguraikan dan menjelaskan secara rinci sesuatu yang bersifat global pada agama lain. Seorang muslim yang tidak mengenal Muhammad dan tidak mempercayai beliau, sudah pasti tidak mengenal Allah dengan seluruh sifat-Nya dan tidak mengenal akhirat. Iman seorang muslim kuat dan kukuh sehingga tidak bisa digoyahkan dan tidak menyisihkan celah untuk ingkar karena ia bersandar pada sejumlah dalil yang sangat banyak. Bahkan seolah-olah akal dipaksa untuk menerima iman.
Poin Ketiga
Suatu ketika aku mengucapkan اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ , lalu aku me ngamati sebuah nikmat besar yang setara dengan makna ka limat tersebut yang sangat luas, tiba-tiba terlintas dalam hati ungkapan berikut:
“Segala puji milik Allah atas nikmat iman kepada-Nya, atas keesaan-Nya, atas wujud-Nya yang wajib ada serta atas sifat dan nama-Nya, dengan pujian sebanyak manifestasi nama-Nya mulai dari zaman azali hingga abadi.”
Setelah kurenungkan, kudapati ia sangat sesuai dengan maknanya. Ia adalah sebagai berikut:(*[5])
PERSOALAN KESEPULUH
(Bunga Emirdag)
[Jawaban yang Memuaskan atas Sejumlah Kritikan Seputar Pengulangan dalam Al-Qur’an]
Saudaraku yang mulia dan setia!
Saat menulis persoalan ini, aku dalam kondisi yang sulit dan buruk. Oleh karena itu, ia tampak agak samar dan kurang jelas karena masih seperti saat terlintas dalam pikiran. Hanya saja, aku merasa ungkapan-ungkapan yang samar tersebut mengandung kemukjizatan yang luar biasa. Sayangnya, aku tidak mampu menjelaskan kemukjizatannya secara sempurnya. Meskipun ungkapan-ungkapan Risalah ini tidak begitu bersinar, namun dilihat dari keterkaitannya dengan al-Qur’an al-Karim, ia merupakan “ibadah fi kriyah” dan “kerang” yang berisi mutiara berharga. Maka dari itu, kuharap kalian mengabaikan kulitnya dan memperhatikan mutiara cemerlang yang ada di dalamnya.
Aku terpaksa menuliskannya secara sangat ringkas dikarenakan gizi buruk dan derita sakit yang kualami. Sampai-sampai aku memasukkan begitu banyak hakikat dan argumen dalam satu kalimat. Berkat karunia Allah, ia bisa diselesaikan dalam dua hari di bulan Ramadhan yang penuh berkah. Mohon maaf atas segala kekurangan yang ada.(*[6])
Saudara-saudaraku yang mulia dan setia!
Saat membaca al-Qur’an al-Mu’jizul-Bayân di bulan Ramadan yang penuh berkah ini, aku merenungkan makna tiga puluh tiga ayat yang petunjuknya tentang kehadiran Risalah Nur terdapat pada “Sinar Pertama”. Kulihat setiap ayatnya—bahkan ayat-ayat yang terdapat di halaman tersebut dan temanya—seolah-olah mengarah kepada Risalah Nur berikut murid-muridnya dilihat dari sisi makna yang mengacu pada mereka. Terutama, ayat tentang cahaya dalam surah an-Nur ayat 35. Dengan sepuluh jari, ia menunjuk Risalah Nur. Selain itu, ayat-ayat sesudahnya—ayat tentang kegelapan—menga rah kepada para musuh dan penentang Risalah Nur. Bahkan memberikan ruang yang lebih besar untuk mereka. Pasalnya, seperti diketahui bahwa kedudukan, dimensi, dan tujuan dari ayat-ayat tersebut tidak hanya terbatas pada ruang dan waktu tertentu, tetapi mencakup seluruh ruang dan waktu. Dengan kata lain, ia keluar dari parsialitas ruang dan waktu menuju sisi universalitas dari keduanya. Oleh karena itu, aku merasa bahwa Risalah Nur dan murid-muridnya di masa sekarang ini merupakan salah satu bagian parsial dari hal yang bersifat universal tersebut.
Pesan al-Qur’an al-Karim mendapatkan sifat universal, keluasan mutlak, ketinggian yang mulia, dan komprehensivitas yang menyeluruh karena ia langsung bersumber dari kedudukan rububiyah umum yang sangat luas dan menyeluruh milik Sang Penutur azali, Allah. Ia mendapat kan seluruh sifat tersebut dari kedudukan yang luas dan agung milik sosok yang menerima kitab tersebut, Nabi mulia , yang mewakili umat manusia dan mitra bicara atas nama seluruh manusia, bahkan atas nama seluruh alam. Al-Qur’an mendapatkan sifat tersebut dari posisinya sebagai kalam yang mengarah kepada kedudukan lapang dan luas dari seluruh tingkatan manusia dan semua masa. Ia juga mendapatkan nya dari kedudukan tinggi dan komprehensif yang bersumber dari penjelasannya yang sempurna tentang hukum Allah yang terkait dengan dunia dan akhirat, bumi dan langit, serta azali dan abadi, yaitu hukum yang terkait dengan rububiyah-Nya dan mencakup urusan seluruh makhluk. Kalam mulia yang mendapatkan sifat luas, tinggi, kom prehensif itu memperlihatkan kemukjizatan yang mence ngangkan dan komprehensivitas yang integral di mana se jumlah tingkatan alamiah dan lahiriahnya yang menyentuh pemahaman kalangan awam—sebagai mayo ritas peneri ma—pada waktu yang sama memberikan ruang yang luas bagi kalangan yang memiliki tingkat pemikiran paling tinggi. Jadi, ia tidak hanya memberikan petunjuk kepada para penerimanya semata dan juga tidak mengkhususkan pelajaran dari cerita historis untuk mereka saja. Namun ia juga berbicara kepada semua tingkatan pada setiap masa, sebagai bagian dari hukum yang bersifat universal, dengansebuah pesan yang segar dan baru, seakan-akan belum lama diturunkan.
Terutama banyaknya pengulangan kata ‘kaum yang zalim’ berikut kecamannya yang keras untuk mereka dan peringatan yang menakutkan berupa turunnya sejumlah musibah dari langit dan bumi akibat dosa dan kezaliman mereka. Dengan pengulangan tersebut, al-Qur’an mengarahkan perhatian kepada berbagai bentuk kezaliman yang tiada bandingnya di masa sekarang dengan memaparkan aneka macam siksa dan musibah yang turun pada kaum ‘Âd, Tsamûd, dan Fira’un. Pada waktu yang sama, ia menghadirkan pelipur lara dan ketenangan di hati orang beriman yang terzalimi dengan menyebutkan selamatnya para rasul yang mulia seperti Ibra him dan Musa.
Kemudian al-Qur’an yang agung memberikan kepada se tiap tingkatan dari setiap masa sebuah bimbingan yang jelas dan sangat menakjubkan seraya menjelaskan bahwa berbagai “masa yang telah berlalu” di mana dalam pandangan kaum lalai dan sesat ia laksana lembah ketiadaan yang menakutkan serta kuburan yang sangat menyedihkan. Al-Qur’an menghamparkannya laksana lembaran hidup yang menghembuskan banyak pelajaran, alam menakjubkan yang menyiratkan adanya kehidupan mulai dari ujung ke ujung, serta kerajaan rabbani yang secara maknawi terpaut dengan sejumlah ikatan. Dengan kemukjizatannya yang mengagumkan, al-Qur’an menjelaskannya secara jelas dan terang seolah-olah terpampang di hadapan kita di sebuah layar. Terkadang ia menghadirkan berbagai era tersebut dengan jelas di hadapan kita.Terkadang pula ia yang membawa kita kepada era itu.Dengan kemukjizatan yang sama, ia menjelaskan “alam” yang oleh kaum lalai dianggap sebagai angkasa sepi tak bertepi dan benda mati yang bergulir di pusaran perpisahan dan derita. Al-Qur’an menjelaskannya sebagai kitab fasih yang di tulis oleh Sang Maha Esa yang kekal, kota rapi yang dibangun oleh Sang Maha pengasih dan penyayang, dan galeri indah yang diselenggarakan oleh Tuhan Yang Maha Pemurah untuk memperlihatkan berbagai ciptaan-Nya. Dengan penjelasan tersebut, ia menghadirkan kehidupan pada seluruh benda mati tadi, menjadikan sebagiannya berusaha memberi kepada yang lain, serta setiap bagian menolong yang lain. Seolah-olah ia berbicara kepadanya dengan penuh cinta. Segala sesuatu ditundukkan dan semuanya diberi tugas tertentu. Begitulah al-Qur’an menyampaikan pelajaran hikmah hakiki dan ilmu yang bersinar kepada seluruh jin, manusia, dan malaikat. Maka, sudah pasti al-Qur’an yang agung ini layak memiliki karakteristik yang agung dan mulia serta keistimewaan yang luhur dan suci.Misalnya:Pada setiap huruf al-Qur’an terdapat sepuluh kebaikan, bahkan kadang kala seribu kebaikan, bahkan pada kesempa tan yang lain ribuan kebaikan; ketidakmampuan jin dan manusia untuk mendatangkan semisalnya meski mereka bersatu untuknya; pesannya kepada seluruh manusia, bahkan kepada seluruh alam dengan sebuah pesan yang fasih dan penuh hikmah; keinginan jutaan manusia pada setiap masa untuk menghafalnya dengan penuh antusias; ketiadaan rasa bosan dalam membacanya meski sering diulang; tertanamnya secara sempurna di benak anak kecil yang masih lugu meski berisi banyak kalimat dan posisi yang membingungkan; kenikmatan dan kenyamanan yang dirasakan oleh orang sakit dan sedang sakarat—yang tidak nyaman dengan ucapan paling sederhana sekalipun—dengan mendengarkannya; serta berbagai keistimewaan mulia dan suci lainnya yang dimiliki al-Qur’an. Dengan demikian, ia memberikan kepada para pembaca dan muridnya berbagai jenis kebahagiaan dunia dan akhirat.
Selain itu, al-Qur’an memperlihatkan kemukjizatannya yang indah dalam “memberikan petunjuk yang istimewa” di mana ia sangat memperhatikan ke-ummian sang penerima nya yang mulia, Nabi , dengan tetap menjaga kefasihan alamiahnya. Ia sama sekali tidak dibuat-buat dan jauh dari sikap kepura-puraan apapun bentuknya. Gaya bahasanya dapat diterima oleh kalangan awam sebagai mayoritas penerimanya seraya memperhatikan kesederhanaan cara berpikir mereka dengan cara menyesuaikan bahasanya dengan pemahaman mereka. Ia menghamparkan kepada mereka sejumlah lem baran yang tampak jelas laksana langit dan bumi. Ia mengarahkan perhatian kepada mukjizat qudrah ilahi dan goresan hikmah-Nya yang tersimpan di dalam sejumlah peristiwa dan urusan yang biasa mereka alami.
Kemudian al-Qur’an juga memperlihatkan satu bentuk kemukjizatannya yang indah dalam “pengulangannya yang retoris” dari sebuah kalimat atau sebuah kisah. Hal itu terjadi saat membimbing objek yang berbeda kepada sejumah makna dan pelajaran yang terdapat pada ayat atau kisah tersebut. Ketika itu, dibutuhkan pengulangan di mana ia merupakan kitab doa dan dakwah di samping sebagai kitab zikir dan tauhid. Setiap darinya membutuhkan pengulangan. Jadi, setiap ayat atau kisah yang diulang dalam al-Qur’an mencakup makna atau pelajaran baru. Al-Qur’an juga memperlihatkan kemukjizatannya saat membahas berbagai “peristiwa parsial” atau khusus yang terjadi dalam kehidupan sahabat pada saat ia turun serta di saat ia mengukuhkan bangunan Islam dan kaidah syariat. Oleh karena itu, al-Qur’an memberikan perhatian yang sa ngat serius terhadap sejumlah peristiwa dengan menerangkan bahwa urusan yang paling kecil dari sebuah peristiwa khusus tidak lain berada di bawah tatapan rahmat-Nya serta dalam wilayah pengaturan dan kehendak-Nya. Di samping itu, alQur’an memperlihatkan sejumlah sunnah ilahi (sunnatullah) yang berlaku di alam serta sejumlah hukum yang bersifat universal dan komprehensif. Lebih dari itu, berbagai peristiwa tersebut—yang laksana benih di awal pembangunan Islam dan syariat—nantinya akan menghasilkan buah yang matang berupa sejumlah hukum dan pelajaran.
Ada sebuah kaidah baku: “Kebutuhan yang terus be rulang menuntut adanya pengulangan”. Oleh karena itu, al Qur’an al-Karim menjawab sejumlah pertanyaan yang banyak berulang selama dua puluh tahun. Lewat jawabannya yang berulang-ulang, al-Qur’an membimbing berbagai kalangan yang berbeda. Ia mengulang-ulang sejumlah kalimat yang memiliki ribuan hasil. Ia juga mengulang sejumlah petunjuk yang merupakan hasil dari berbagai dalil yang tak terhingga. Hal itu untuk menanamkan di dalam jiwa dan mengukuhkan di dalam hati berbagai perubahan besar yang akan terjadi di alam berikut kehancuran yang akan dialaminya, serta bangu nan akhirat—yang kekal dan menakjubkan sebagai ganti dari alam fana ini—yang akan menggantikannya.Selanjutnya, al-Qur’an mengulang kalimat dan ayat-ayat tersebut ketika menegaskan bahwa seluruh hal yang bersifat parsial dan universal mulai dari atom hingga bintang-gemintang berada di dalam genggaman dan kekuasaan Dzat Yang Mahaesa. Selain itu, al-Qur’an mengulang-ulang saat menjelaskan tentang murka Tuhan terhadap manusia yang berbuat zalim lantaran mengabaikan tujuan dari penciptaan. Perbuatan zalim itulah yang membuat alam, bumi, langit, dan seluruh unsur murka kepada pelakunya. Oleh karena itu, pengulangan sejumlah kalimat dan ayat pada saat menjelaskan berbagai persoalan besar sama sekali tidak bisa dianggap sebagai sebuah cacat dalam hal balagah. Tetapi ia justru merupakan bentuk mukjizat yang sangat menakjubkan, bentuk balagah yang sangat tinggi, dan kefasihan yang sangat sesuai dengan kondisi.
Sebagai contoh: Kalimat بِس۟مِ اللّٰهِ الرَّح۟مٰنِ الرَّحٖيمِ yang merupakan salah satu ayat al-Qur’an. Ia berulang sebanyak seratus empat belas kali dalam al-Qur’an karena ia merupakan persoalan besar yang menerangi alam serta menghubungkan bumi dan arasy dengan ikatan yang sangat kuat seperti yang disebutkan dalam “Cahaya Keempat Belas”. Setiap orang pasti sangat membutuhkan hakikat ini setiap saat. Andaikan hakikat agung ini diulang jutaan kali, kebutuhan terhadapnya akan tetap ada. Sebab, ia bukan merupakan kebutuhan hari an seperti nasi, tetapi ia seperti udara dan cahaya yang sangat dibutuhkan dan selalu dirindukan setiap saat.
Ayat lainnya yang berbunyi: “Dan Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Yang Maha Perkasa dan Maha Penyayang”. Ayat tersebut berulang sebanyak delapan kali dalam surah asy-Syu`arâ. Pengulangan ayat yang berisi ribuan hakikat tersebut dalam sebuah surah yang menyebutkan keselamatan para nabi dan siksa yang menimpa kaum mereka adalah untuk menjelaskan bahwa kezaliman yang dilakukan oleh kaum mereka mencederai tujuan pencipta an serta menentang keagungan rububiyah Allah yang ber sifat mutlak. Maka, keperkasaan ilahi menghendaki adanya siksa bagi kaum yang zalim itu. Sebaliknya, rahmat ilahi menuntut keselamatan bagi para nabi-Nya. Andaikan ayat itu diulang ribuan kali, kebutuhan terhadapnya tidak akan pernah pudar. Jadi, pengulangan di sini merupakan balagah tinggi yang mengandung kemukjizatan dan simplifi kasi.
Begitu pula ayat yang berbunyi:“Maka, nikmat Tuhan manakah yang kalian dustakan?!”Ayat di atas disebutkan berulang-ulang dalam surah ar- Rahmân. Lalu ayat berikut:“Celakalah pada hari itu kaum yang mendustakan”.Ia diulang-ulang dalam surah al-Mursalât. Kedua ayat di atas menegaskan pada semua masa serta menjelaskanke seluruh penjuru langit dan bumi bahwa sikap kufur jin dan manusia terhadap nikmat ilahi serta kezaliman me reka membangkitkan murka alam, menjadikan langit dan bumi marah, menodai hikmah dan tujuan penciptaan alam, melanggar hak seluruh makhluk, serta meremehkan dan mengingkari keagungan kekuasaan ilahi. Oleh karena itu, kedua ayat di atas terkait dengan ribuan hakikat serupa. Keduanya sangat penting, setara dengan ribuan persoalan. Andaikan ia diulang ribuan kali dalam pesan umum yang mengarah kepada jin dan manusia, tentu kebutuhan terhadapnya tetap ada. Jadi, pengulangan di sini merupakan bentuk simplifi kasi yang agung serta bentuk mukjizat balagah yang indah.
Contoh lain, kami berikan di seputar hikmah pengu langan dalam munajat Nabi yang disebutkan dalam ha dis. Munajat nabi yang disebut al-Jausyan al-Kabîr merupakan munajat indah yang sesuai dengan hakikat al-Qur’an dan intisari darinya. Di dalamnya kita menemukan kalimat:Mahasuci Engkau wahai yang tiada Tuhan selain Engkau.Kami memohon keselamatan... keselamatan.Jauhkan kami dari neraka… Lindungi kami dari neraka…Selamatkan kami dari neraka.Kalimat tersebut berulang sebanyak seratus kali. Andaikan diulang sebanyak ribuan kali, ia tidak akan melahirkan rasa bosan. Sebab, ia berisi hakikat paling agung di alam ini yang berupa tauhid; berisi tugas makhluk yang paling mulia terhadap rububiyah Tuhan, yaitu bertasbih, bertahmid, dan mensucikan-Nya; berisi persoalan yang amat menentukan bagi umat manusia; yaitu selamat dari neraka dan terbebas dari derita abadi; serta berisi tujuan ubudiyah dan ketidakberdayaan manusia, yaitu doa.
Begitulah, kita melihat pengulangan dalam al-Qur’an
tertuju pada pilar-pilar semacam itu.
Bahkan al-Qur’an mengungkap hakikat tauhid, baik secara implisit maupun eksplisit, lebih dari dua puluh kali dalam satu halaman mushaf. Hal itu sesuai dengan tuntutan konteks, kebutuhan untuk memberikan pemahaman, dan retorika penjelasan. Maka, dengan pengulangan tersebut, al-Qur’an membangkitkan kerinduan untuk membaca secara berulang-ulang serta membuat ba lagahnya lebih kuat tanpa melahirkan rasa jenuh dan bosan.Sejumlah bagian dari Risalah Nur telah menjelaskan hikmah pengulangan dalam al-Qur’an. Ia menerangkan berbagai argumennya, menegaskan tingkat kesesuaian pengulangan yang ada dengan balagah, serta menetapkan tingkat keindahannya yang menakjubkan.
Adapun hikmah perbedaan antara surah Makkiyah dan Madaniyah dilihat dari sisi balagah, dari sisi kemukjizatan, dan dari sisi penjelasan secara rinci dan globalnya, maka ia adalah sebagai berikut:
Barisan pertama dari para penerima dan penentang al- Qur’an di Mekkah adalah kalangan musyrik Quraisy. Mere ka buta huruf, tidak memiliki sebuah kitab. Maka, balagah menuntut sebuah gaya bahasa yang tinggi, kuat, global, dan meyakinkan, serta berisi pengulangan agar tertanam kuat da lam pemahaman. Oleh karena itu, sebagian besar surah Makkiyah membahas tentang rukun iman berikut sejumlah tingkatan tauhid dengan gaya bahasa yang sangat kuat dan tinggi serta sangat ringkas. Ia banyak mengulang masalah keimanan kepada Allah, awal penciptaan, tempat kembali, dan akhirat. Bahkan ia mengungkapkan rukun iman tersebut dalam setiap halaman, ayat, kalimat, atau kata. Atau bahkan dalam sebuah huruf. Selain itu, al-Qur’an mengungkapkannya dengan cara menukar posisi kata atau kalimat (taqdîm dan ta’khîr), dalam bentuk makrifah (defi nit) dan nakirah (indefi nit), serta de ngan cara melesapkan dan menyebutkan (huruf, kata, atau kalimat). Ia menetapkan rukun iman dalam sejumlah kondisi dan bentuk balagah semacam itu yang membuat para ahli balagah terbelalak menyaksikan gaya bahasanya yang menakjubkan.
Risalah Nur, terutama “Kalimat Kedua Puluh Lima” (al Mu’jizât al-Qur’âniyyah) berikut sejumlah lampirannya telah menjelaskan kemukjizatan al-Qur’an dalam empat puluh aspek.Begitu pula penjelasan dalam buku Isyârât al-I’jâz fî Mazhân al-Îjâz yang berbahasa Arab di mana ia memberikan penjelasan indah tentang kemukjizatan al-Qur’an dilihat dari sisi sistematika antar ayatnya. Kedua risalah tersebut benar-benar menetapkan ketinggian gaya bahasanya yang istimewa dan simplifi kasinya yang menakjubkan.
Adapun ayat-ayat dan surah Madaniyah, barisan pertama dari para penerima dan penentangnya adalah kalangan Ya hudi dan Nasrani yang merupakan ahlu kitab yang beriman kepada Allah. Sesuai dengan kaidah balagah, cara pemberian petunjuk dan prinsip dakwah, hal ini menuntut agar pesan yang ditujukan kepada mereka harus sesuai dengan kondisi mereka. Oleh karena itu, ia datang dengan gaya bahasa yang mudah dan jelas disertai penjelasan tentang sejumlah hal khusus di luar pokok-pokok keimanan. Sebab, hal-hal yang bersifat parsial dan khusus tersebut merupakan sumber hukum syariat, kaidah universal, serta hukum cabang yang me rupakan objek perselisihan dalam pentas syariat dan hukum. Oleh karenanya, kita sering menemukan ayat-ayat Madaniyah sangat jelas dan mudah dengan gaya bahasa yang menakjubkan khas al-Qur’an. Namun penyebutan sebuah ikhtisar yang kuat, kesimpulan yang kukuh, dan argumen mematikan setelah sebuah peristiwa parsial menjadikan peristiwa tersebut sebagai kaidah universal yang bersifat umum. Lalu pengamalannya menjamin penguatan iman kepada Allah yang diwujudkan oleh penyebutan bagian penutup yang merangkum tauhid, iman, dan akhirat. Konteks yang jelas dan lugas itu bersinar oleh bagian penutup tadi.
Risalah Nur telah menjelaskan dan menetapkan kepada para pembangkang sejauh mana ketinggian balagah, keistimewaan luar biasa, serta berbagai bentuk kefasihan yang cermat yang terdapat pada kesimpulan dan bagian penutup tadi, yaitu dalam sepuluh keistimewaan pada cahaya kedua dari obor kedua dari “Kalimat Kedua Puluh Lima” yang secara khusus berbicara tentang kemukjizatan al-Qur’an. Engkau bisa melihat ayat yang berbunyi:“Allah Mahakuasa atas segala sesuatu”“Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” “Dia Maha Perkasa dan Maha Bijaksana” “Dia Maha Perkasa dan Maha Penyayang” Ayat-ayat di atas dan ayat sejenis lainnya yang menerangkan tauhid dan mengingatkan pada akhirat di mana ia merupakan penutup sebagian besar ayat al-Qur’an, engkau bisa melihat bahwa saat menjelaskan hukum syariat, masalah furû`iyah (cabang) dan hukum sosial, al-Qur’an mengangkat pandangan mitra bicara kepada cakrawala yang bersifat universal dan mulia.
Dengan bagian penutup tersebut, al-Qur’an mengganti gaya bahasa yang mudah dan jelas dengan gaya bahasa yang tinggi dan mulia. Seolah-olah ia memindahkan pembaca dari pelajaran syariat kepada pelajaran tauhid. Jadi, jelas bahwa al-Qur’an merupakan kitab syariat, hukum, dan hikmah di samping sebagai kitab akidah dan iman, kitab zikir dan pikir, serta kitab doa dan dakwah. Demikianlah, engkau melihat bahwa terdapat bentuk kefasihan yang menakjubkan dan cemerlang dalam ayat-ayat Madaniyah yang berbeda dengan retorika ayat-ayat Makkiyah sesuai dengan kondisi dan maksud petunjuknya.
Contoh semacam ini bisa dilihat dalam dua kata berikut: رَبُّكَdan رَبُّ ال۟عَالَمٖينَ. Al-Qur’an mengajarkan ahadiyah lewat ungkapan pertama رَبُّكَ dan wâhidiyah lewat ungka pan kedua رَبُّ ال۟عَالَمٖينَ. Wâhidiyah sendiri mencakup ahadi yah. Balagah semacam itu kadang juga bisa dilihat dalam sebuah kalimat. Dalam satu ayat misalnya, al-Qur’an memperlihatkan pengetahuan-Nya yang menembus letak partikel di pupil mata serta letak mentari di jantung langit. Ia memperlihatkan qudrah-Nya yang komprehensif yang meletakkan sebuah perangkat persis di tempatnya dengan menjadikan mentari laksana mata bagi langit.
Ia pun menyatakan:“(Dia) menciptakan langit dan bumi” (QS. al-Hadîd [57]: 4), kemudian:“(Dia) memasukkan malam ke siang dan memasukkan siang ke malam”. (QS. al-Hadîd [57]: 6). Lalu:“Dia Maha Mengetahui apa yang tersembunyi dalam dada” (QS. al-Hadîd [57]: 6). Dia menyudahi dengan pengetahuan-Nya yang menem bus apa yang tersembunyi di dalam dada setelah menyebut kan keagungan penciptaan di langit dan bumi dan setelah menghamparkannya di hadapan makhluk. Dia menanam kan dalam benak bahwa Dia mengetahui bisikan hati lewat penyebutan keagungan-Nya dalam menciptakan langit dan bumi. Hal ini adalah satu bentuk penjelasan yang membawa gaya bahasa yang mudah dipahami oleh orang awam menuju petunjuk yang mulia, umum, dan menarik.
Pertanyaan:Pandangan yang dangkal dan hanya selintas tidak dapat melihat berbagai hakikat penting yang dihadirkan al-Qur’an. Ia tidak mengetahui jenis kesesuaian dan korelasi antara kesimpulan yang mengungkapkan tauhid yang mulia atau menghadirkan hukum yang universal dengan sebuah peristiwa parsial yang bersifat biasa. Oleh karena itu, sebagian orang menilai ada cacat dalam balagah al-Qur’an. Misalnya, tidak jelasnya korelasi balagah dalam penyebutan prinsip agung:“Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada Yang Maha mengetahui” (QS. Yûsuf [12]: 76). Ayat di atas disebutkan setelah peristiwa parsial yaitu upaya Yusuf membuat saudaranya tinggal bersamanya lewat sebuah rekayasa cerdas. Apa rahasia di dalamnya dan apa hikmahnya?
Jawaban:Sebagian besar surah yang panjang dan se dang—di mana masing-masing laksana sebuah al-Qur’an— ti dak hanya berisi dua atau tiga tema utama al-Qur’an (ketauhidan, kenabian, kebangkitan, dan keadilan beserta ibadah). Namun masing-masing berisi seluruh esensi al-Qur’an dan keempat tema utama sekaligus. Dengan kata lain, al-Qur’an merupakan kitab zikir, iman, dan pemikiran di samping sebagai kitab syariat, hikmah, dan petunjuk. Jadi, setiap surah darinya berisi sejumlah kitab dan menunjukkan sejumlah pelajaran yang berbeda. Setiap kondisi dan konteksnya—bahkan setiap halaman—membuka ke hadapan manusia sejumlah pintu iman yang dapat merealisasikan sejumlah tema lain di mana al-Qur’an menyebutkan apa yang tertulis dalam kitab alam yang besar ini dan menerangkannya secara jelas. Sehingga ia tanamkan dalam jiwa seorang mukmin rububiyah Allah yang meliputi segala sesuatu sekaligus memperlihatkan manifestasi-Nya yang terdapat di cakrawala dan jiwa. Oleh karena itu, korelasi yang tampak lemah menjadi landasan dari ber bagai tema universal. Lalu sejumlah korelasi yang kuat menyusul korelasi yang tampak lemah tadi sehingga gaya bahasanya sesuai dengan konteks dan kondisi yang ada. Dengan begitu, tingkatan balagahnya menjadi tinggi.
Pertanyaan lain:Apa hikmahnya al-Qur’an mengete ngahkan ribuan dalil untuk menetapkan urusan akhirat, dalam mengajarkan tauhid serta ketika membahas tentang pemberian ganjaran dan hukuman bagi manusia? Apa rahasia di balik upaya al-Qur’an mengarahkan perhatian kepada urusan tersebut secara eksplisit dan implisit pada setiap surah, bahkan pada setiap halaman mushaf dan pada setiap kondisi?
Jawabannya:Karena al-Qur’an mengingatkan manu sia tentang perubahan terbesar yang terjadi dalam wilayah makhluk sepanjang sejarah alam, yaitu akhirat. Al-Qur’an menunjukkan persoalan terbesar yang terkait dengannya sebagai pengemban amanat utama dan khalifah di muka bumi, yaitu persoalan tauhid yang menjadi penentu nasib; meraih kebahagiaan abadi atau menuai kesengsaraan yang kekal. Pada waktu yang sama, al-Qur’an melenyapkan gelombang syubhat yang datang secara terus-menerus serta menghantam bentuk pembangkangan dan pengingkaran yang paling hebat. Oleh karena itu, kalau al-Qur’an mengarahkan perhatian manusia untuk percaya kepada berbagai perubahan dahsyat tersebut dan membawa mereka untuk membenarkan urusan agung yang sangat penting itu... Ya, kalau al-Qur’an melaku kan itu semua ribuan kali dan mengulangnya sebanyak jutaan kali, hal itu bukan merupakan pemborosan dalam hal balagah dan tidak membuat bosan. Bahkan kebutuhan untuk terus-menerus membacanya dalam al-Qur’an tidak pernah selesai. Sebab, tidak ada yang lebih penting di alam ini daripada urusan tauhid dan akhirat.
Contoh, ayat yang berbunyi:“Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, kelak kami akan masukkan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selamanya.” (QS. an-Nisâ [4]: 57).Hakikat ayat di atas merupakan kabar gembira akan kebahagiaan abadi yang diumumkan kepada manusia malang yang menghadapi kematian setiap saat. Sehingga kabar gembira ini menyelamatkannya dari gambaran kematian sebagai sebuah kemusnahan abadi. Ia menyelamatkannya berikut alam dan seluruh kekasihnya dari cengkeraman kefanaan. Bahkan, ia memberinya kekuasaan yang kekal dan kebahagiaan abadi. Andaikan ayat ini diulang miliaran kali, tidaklah termasuk pemborosan dan sama sekali tidak mencederai balagahnya.
Begitulah, engkau melihat al-Qur’an, yang membahas berbagai urusan penting semacam itu dan berusaha meyak inkan manusia dengannya lewat pemberian sejumlah argu men kuat, serta menanamkan dalam benak dan kalbu berba gai perubahan besar yang terjadi di alam. Ia menjadikannya lugas dan jelas bagi mereka seperti perubahan rumah dan bentuknya. Maka sudah tentu pengarahan perhatian baik secara eksplisit, implisit, maupun simbolik kepada berbagai persoalan semacam itu sebanyak ribuan kali merupakan suatu hal yang sangat mendesak. Bahkan, ia sama mendesaknya dengan kebutuhan manusia kepada nasi, udara, dan cahaya yang terus-menerus dibutuhkan.
Contoh lain adalah ayat yang berbunyi:“Orang-orang yang kafi r bagi mereka neraka jahanam.” (QS. Fâthir [35]: 36),“Orang-orang yang zalim bagi mereka siksa yang pedih.” (QS. Ibrâhîm [14]: 22). Hikmah pengulangan ayat di atas—juga ayat-ayat peri ngatan dan ancaman sejenisnya—serta bentuk redaksinya yang tegas dan keras adalah seperti yang telah kami tegaskan dalam Risalah Nur, yaitu bahwa kekufuran manusia merupakan sikap yang sangat melanggar hak-hak alam dan sebagian besar makhluk. Hal inilah yang membangkitkan kemarahan langit dan bumi serta membuat seluruh elemen alam murka kepada orang kafi r sehingga menampar kaum yang zalim itu dengan badai dan sebagainya. Bahkan, neraka jahim pun sangat marah hingga nyaris pecah seperti yang disebutkan al Qur’an:“Apabila mereka dilemparkan ke dalamnya mereka mendengar suara neraka yang mengerikan, sedang neraka itu menggelegak. Nyaris (neraka) itu pecah lantaran marah.” (QS. al- Mulk [67]: 7-8).
Andaikan Penguasa alam mengulang kejahatan besar (kekufuran) tersebut dalam berbagai urusan-Nya berikut segala akibatnya dengan gaya bahasa yang sangat keras sebanyak ribuan kali, jutaan kali, atau miliaran kali, ia sama sekali tidak berlebihan dan tidak mencederai balagah al-Qur’an. Hal itu karena dosa tersebut sangat besar dan sangat melampaui batas. Di samping itu, ia ditujukan untuk memperlihatkan hak-hak rakyat-Nya dan untuk menampakkan keburukan tak terhingga yang terdapat dalam sikap mereka yang kufur dan zalim. Jadi, ia tidak diulang lantaran hina dan kerdilnya manusia, namun karena besarnya pelanggaran dan kezaliman yang dilakukan oleh orang kafir.Selanjutnya, kita melihat bagaimana ratusan juta manusia, sejak lebih dari seribu tahun, membaca al-Qur’an dengan penuh antusias dan dengan perasaan amat butuh padanya tanpa pernah merasa bosan.
Ya, setiap waktu dan setiap hari merupakan saat sebuah alam berlalu dan sebuah pintu terbuka bagi alam yang baru. Oleh karena itu, pengulangan لَٓا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُdengan rasa butuh padanya sebanyak ribuan kali adalah untuk menerangi seluruh alam yang berlalu dan menyinarinya dengan cahaya iman. Ia membuat kalimat tauhid tersebut laksana lentera terang yang terdapat di langit putaran alam dan hari. Jika demikian keadaannya terkait dengan lâ ilâha illallâh, hal yang sama berlaku pada pembacaan al-Qur’an al-Karim. Ia menghapus kegelapan pekat yang menutupi banyaknya pentas yang berlalu dan alam yang terus terbaharui. Ia melenyapkan buruknya gambaran yang terpantul dalam cermin kehidupan. Ia menjadikan berbagai kondisi yang datang sebagai saksi yang menolongnya di hari kiamat, bukan saksi yang memberatkannya.Ia juga menaikkan derajatnya ke tingkatan pengetahuan akan besarnya balasan bagi perbuatan dosa. Ia membuatnya memahami nilai peringatan Sang Penguasa azali yang menghancurkan sikap keras kepala kaum yang zalim. Ia juga mendorongnya untuk berlepas dari kungkungan nafsu ammârah. Karena sejumlah hikmah inilah, al-Qur’an mengulang-ulang apa yang perlu diulang dalam bentuk yang penuh hikmah. Ia memperlihatkan bahwa ancaman al-Qur’an yang sangat banyak, dengan gaya bahasa yang tegas dan keras serta secara berulang-ulang merupakan sebuah hakikat yang agung. Setan yang sebelumnya menganggap hal itu tidak berguna menjadi takluk. Ia lari dari khayalannya yang menganggap hal itu sia-sia. Ya, siksa jahanam adalah balasan adil bagi kaum kafir yang tidak mau memperhatikan berbagai ancaman yang ada.
Di antara yang sering diulang dalam al-Qur’an adalah kisah para nabi. Hikmah pengulangan kisah Musa , mi salnya, di mana ia memiliki sejumlah hikmah dan pelajaran seperti yang dimiliki oleh tongkat Musa. Demikian pula dengan pengulangan kisah nabi yang lain adalah untuk menetapkan kerasulan Muhammad . Hal itu dengan memperlihatkan kenabian seluruh nabi sebagai hujjah akan kebenaran risalah Muhammad di mana ia tidak mungkin diingkari kecuali oleh orang yang mengingkari kenabian seluruh nabi. Jadi, penyebutan kenabian mereka menjadi dalil atas kerasu lan beliau .Kemudian, banyak di antara manusia yang tidak setiap waktu mampu dan mendapat taufi k untuk membaca keseluruhan al-Qur’an. Namun mereka mencukupkan de ngan yang bisa dilakukan. Dari sini, hikmah menja dikan setiap surah yang panjang dan sedang ibarat miniatur al-Qur’an sangat jelas. Jadi, pengulangan kisah di dalam nya seperti pengulangan rukun iman yang sangat penting. Artinya, pengulangan kisah merupakan tuntutan balagah, bukan sebuah pemborosan. Apalagi ia berisi pengajaran bahwa peristiwa kemunculan Muhammad merupakan peristiwa yang paling besar bagi umat manusia dan persoalan yang paling agung di alam semesta.
Ya, pemberian kedudukan tertinggi dan termulia ke pada Rasul dalamal- Qur ’andan peny ambungan kalimat مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللّٰهِ—yang mengandung empat rukun iman—de ngan kalimat لَٓا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ, yakni لَٓا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُمُحَمَّدٌ رَسُولُ اللّٰهِ menjadi bukti bahwa risalah Muhammad merupakan hakikat terbesar di alam ini, pribadi Muhammad merupakan makhluk pa ling mulia, hakikat Muhammad yang mencerminkan sosok maknawi yang universal dari pribadi Muhammad adalah lentera yang menerangi dunia dan akhirat, serta bahwa beliau layak mendapatkan kedudukan luar biasa tersebut, sebagaimana hal itu telah ditegaskan dalam sejumlah bagian Risalah Nur lewat berbagai argumen yang kuat. Di sini kami hanya akan menyebutkan satu dari seribu argumen yang ada, yaitu sebagai berikut:
Semua amal kebaikan yang dilakukan oleh umat Mu hammad pada seluruh masa dituliskan pula pada lembaran kebaikan beliau. Hal ini sesuai dengan kaidah: “Perantara sama seperti pelakunya”. Pencerahan yang beliau berikan kepada semua hakikat alam dengan cahaya yang beliau bawa tidak hanya membuat jin, manusia, malaikat dan makhluk hidup ridha dan senang. Namun juga membuat seluruh alam, langit dan bumi ridha seraya membicarakan berbagai kebaikan beliau. Jutaan doa yang dipanjatkan oleh orang-orang salih dari umat beliau bersama miliaran doa fi tri dan mustajab yang dipanjatkan oleh makhluk spiritual di mana ia tidak tertolak—dibuktikan oleh pengabulan secara nyata terhadap doa tanaman lewat lisan potensi dan doa hewan lewat lisan kebutuhan alamiahnya—serta doa rahmat lewat salawat dan salam untuk beliau, berbagai pahala dan hadiah kebaikan yang mereka berikan, semua itu pertama-tama dipersembahkan untuk beliau. Belum lagi berbagai cahaya tak terhingga yang masuk ke dalam daft ar amal kebaikannya lewat bacaan al-Quran umatnya dimana setiap huruf darinya—yang lebih dari 300 ribu huruf—mendatangkan sepuluh kebaikan dan sepuluh buah ukhrawi, bahkan seratus atau seribu kebaikan. Ya, Dzat Allâmul Ghuyûb telah mengetahui dan menyaksikan bahwa hakikat Muhammad yang merupakan sosok maknawi dari pribadi penuh berkah itu akan menjadi seperti pohon Tuba surga. Oleh karena itu, Allah memberinya, dalam al-Qur’an, kedudukan tinggi yang layak beliau sandang. Allah menjelaskan dalam fi rman-Nya bahwa cara untuk mendapat kan syafa`atnya adalah dengan mengikuti sunnahnya yang mulia dan mendapatkan syafa`atnya merupakan persoalan terbesar bagi manusia. Bahkan seringkali Allah melihat sejumlah kondisi kemanusiaannya sebagai benih pohon Tuba surga.
Demikianlah, karena sejumlah hakikat al-Qur’an yang terulang memiliki kedudukan tinggi dan berisi banyak hikmah, fi trah yang sehat menjadi saksi bahwa pengulangannya merupakan mukjizat maknawi yang sangat kuat dan luas. Kecuali bagi mereka yang kalbunya sakit dan nuraninya tidak sehat akibat wabah materialisme sehingga terkena kaidah yang terkenal:
Kadang seseorang mengingkari cahaya mentari karena sakit mata Lalu mulut mengingkari segarnya air karena sakit yang diderita(*[7])
Penutup Persoalan Kesepuluh (Dua Catatan)
Catatan pertama: Dua belas tahun yang lalu(*[8])aku mendengar bahwa seorang zindik yang berhati jahat dan bermaksud buruk berani menerjemahkan al-Qur’an. Maka ia membuat tulisan berbahaya yang merendahkan kedudukannya dengan berusaha menerjemahkannya. Ia berkata, “Hendak nya al-Qur’an ini diterjemahkan agar kedudukannya terlihat?” yakni, agar orang-orang bisa melihat pe ngulangan al-Qur’an yang tidak penting, agar terjemahannya yang dibaca sebagai ganti darinya, dan berbagai pemikiran beracun lainnya.
Namun berkat karunia Allah, Risalah Nur berhasil melumpuhkan pemikiran tersebut dengan berbagai argumen nya yang mematikan dan dengan penyebarannya yang luas di setiap tempat. Risalah Nur menegaskan bahwa al-Qur’an tidak mung kin diterjemahkan secara hakiki. Bahasa mana pun di luar bahasa Arab tak mampu menjaga keistimewaan al-Qur’an al-Karim dan balagahnya yang halus. Sejumlah terjemahan biasa dan parsial yang dibuat oleh manusia tidak akan pernah bisa menggantikan ungkapan kalimat al-Qur’an yang bersifat universal dan menakjubkan di mana setiap hurufnya berisi banyak kebaikan, dari sepuluh hingga seribu. Oleh karena itu, tidak mungkin terjemahannya yang dibaca sebagai ganti darinya.Hanya saja kaum munafi k yang belajar pada orang zindik itu berusaha sekuat tenaga di jalan setan untuk memadamkan cahaya al-Qur’an dengan mulut mereka seperti anak-anak yang bodoh. Namun karena aku tidak bertemu dengan siapapun, aku tidak mengetahui kondisi yang ada. Aku hanya menduga bahwa apa yang kuutarakan tadi merupakan sebab yang membuat persoalan kesepuluh ini didiktekan kepadaku, meskipun aku sedang dalam kondisi sulit.
Catatan kedua: Suatu hari aku duduk di lantai atas Ho tel Şehir setelah dibebaskan dari penjara Denizli. Aku merenungkan pepohonan di sekitarku yang berada di taman rindang dan kebun yang indah. Ia tampak gembira lewat gerakannya yang menari-nari dan sangat memikat. Ia bergoyang dengan ranting dan dahannya. Lalu daunnya bergerak dengan sentuhan angin yang lembut. Ia tampak di hadapanku dalam kondisi paling indah dan bersinar seolah-olah sedang bertasbih kepada Allah dalam halaqah zikir. Gerakan lembut tersebut menyentuh relung kalbuku yang sedang lara akibat berpisah dengan sejumlah kolega. Aku merasa pilu karena hidup sendiri. Tiba-tiba aku teringat musim gugur dan musim dingin di mana ketika itu dedaunannya akan berguguran dan keindahannya lenyap. Aku pun bersedih melihat pohon yang indah tadi. Demikian pula ketika melihat seluruh makhluk hidup yang tampak gembira. Kesedihan tersebut membuatku meneteskan air mata. Duka me nerpa diriku akibat perpisahan di mana ia menutupi tirai alam yang tampak indah.
Saat dirundung kesedihan semacam itu, tiba-tiba cahaya yang dibawa oleh hakikat Muhammad menolongku, sebagaimana ia juga menolong setiap mukmin lainnya. Cahaya tersebut mengganti kesedihan dan kepiluan yang tak terhingga tadi dengan suka cita dan kegembiraan tiada tara. Aku pun merasa sangat senang dan sangat puas dengan hakikat Muhammad di mana salah satu limpahan cahayanya yang tak terbatas telah menolongku. Limpahan cahaya itu menyebarkan pelipur lara ke seluruh jiwa dan ragaku.Gambarannya sebagai berikut:
Pandangan lalai di atas memperlihatkan dedaunan halus dan pepohonan rindang tersebut tidak memiliki tugas dan misi. Ia tidak berguna dan tidak bermanfaat. Gerakan lembutnya tampak bukan sebagai bentuk rasa rindu dan senang. Akan tetapi karena takut adanya perpisahan. Terkutuklah pandangan lalai tersebut di mana ia telah melukai kerinduan untuk kekal, kecintaan pada kehidupan, ketertarikan pada sesuatu yang indah, dan kasih sayang terhadap sesama yang tertanam dalam diri ini. Ia mengubah dunia menjadi neraka maknawi serta mengubah akal menjadi organ yang menyiksa dan menyengsarakan. Ketika sedang menanggung penderitaan semacam itu, seketika cahaya yang dibawa oleh Muhammad untuk menerangi umat manusia menyingkap tirai yang ada sekaligus memperlihatkan berbagai hikmah, makna, tugas, dan peran yang sangat banyak yang jumlahnya sebanyak dedaunan pohon tadi. Risalah Nur menegaskan bahwa sejumlah tugas dan hikmah tersebut terbagi tiga:
Pertama, yang mengarah kepada nama-nama indah Sang Pencipta Yang Mahaagung. Sebagaimana ketika seorang ahli mesin yang mahir membuat mesin menakjubkan, maka ia dipuji oleh semua orang dan karyanya diapresiasi sedemikian rupa dengan ucapan “Mâsya Allah, Bârakallah”. Mesin tersebut juga demikian. Ia menyanjung penciptanya dengan lisânul hâl (keadaannya). Yaitu dengan memperlihatkan berbagai hasil yang dituju secara sempurna. Begitu pula semua makhluk hidup dan segala sesuatu merupakan mesin dan menyanjung Penciptanya dengan ucapan selamat.
Kedua, yang mengarah pada pandangan makhluk hidup dan makhluk berkesadaran di mana ia menjadi objek perha tian dan renungan. Maka segala sesuatu laksana kitab makrifat dan pengetahuan. Ia tidak meninggalkan alam ini—alam indrawi—kecuali setelah menanamkan sejumlah maknanya di benak makhluk berkesadaran, melekatkan gambarannya dalam ingatan mereka, serta kesan bentuknya dalam lembaran khayal yang ada pada catatan ilmu gaib. Artinya, ia tidak keluar dari alam indrawi menuju alam gaib, kecuali setelah masuk ke dalam banyak wilayah wujud dan mendapatkan bentuk wujud yang bersifat maknawi, gaib, dan ilmiah.
Ya, selama Allah ada dan selama ilmu-Nya meliputi sega la sesuatu, maka dalam dunia mukmin pada hakikatnya tidak ada istilah tiada, ketiadaan, kesia-siaan, lenyap, dan fana. Sebaliknya, dunia orang kafi r penuh dengan ketiadaan, perpisahan, kesia-siaan, dan kefanaan. Hakikat ini diperjelas oleh ungkapan terkenal berikut ini:“Siapa yang memiliki Allah, ia memiliki segala sesuatu, sementara yang tidak memiliki Allah, ia tidak memiliki apa-apa”.
Kesimpulan: Sebagaimana iman menyelamatkan manu sia dari kemusnahan abadi saat mati, ia juga menyelamatkan dunia pribadinya dari gelapnya ketiadaan dan kesia-siaan. Sebaliknya, kekufuran—terutama kekufuran mutlak—akan memusnahkan manusia, serta memusnahkan dunianya dengan kematian. Ia akan melemparkannya ke dalam kegelapan neraka maknawi dengan mengubah berbagai kenikmatan hidupnya menjadi derita dan petaka. Hendaknya telinga orang-orang yang lebih mencintai dunia ketimbang akhirat menyimak dan mencari obat untuknya jika mereka benar. Atau, hendaknya mereka masuk ke dalam wilayah iman dan membebaskan diri dari kerugian yang nyata.
سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
Dari saudaramu yang mengharap doamu sekaligus merindukanmu:
Said Nursî
Onuncu Mesele Münasebetiyle Hüsrev’in Üstadına Yazdığı Mektup
Çok sevgili üstadım efendim!
Cenab-ı Hakk’a hadsiz şükürler olsun, iki aylık iftirak üzüntülerini ve muhaberesizlik ızdıraplarını hafifleştiren ve kalplerimize taze hayat bahşeden ve ruhlarımıza yeni, safi bir nesîm ihda eden Kur’an’ın celalli ve izzetli, rahmetli ve şefkatli âyetlerindeki tekraratın mehasinini ta’dad eden, hikmet-i tekrarının lüzum ve ehemmiyetini izah eden ve Risale-i Nur’un bir hârika müdafaası olan Denizli Meyvesinin Onuncu Meselesi namını alan “Emirdağı Çiçeği”ni aldık. Elhak, takdir ve tahsine çok lâyık olan bu çiçeği kokladıkça ruhumuzdaki iştiyak yükseldi. Dokuz aylık hapis sıkıntısına mukabil, Meyve’nin Dokuz Meselesi nasıl beraetimize büyük bir vesile olmakla güzelliğini göstermiş ise Onuncu Meselesi olan çiçeği de Kur’an’ın îcazlı i’cazındaki hârikaları göstermekle o nisbette güzelliğini göstermektedir.
Evet, sevgili üstadım, gülün çiçeğindeki fevkalâde letafet ve güzellik, ağacındaki dikenleri nazara hiç göstermediği gibi; bu nurani çiçek de bize dokuz aylık hapis sıkıntısını unutturacak bir şekilde o sıkıntılarımızı da hiçe indirmiştir.
Mütalaasına doyulmayacak şekilde kaleme alınan ve akılları hayrete sevk eden bu nurani çiçek, muhtevi olduğu çok güzelliklerinden bilhassa Kur’an’ın tercümesi suretiyle nazar-ı beşerde âdileştirilmek ihanetine mukabil; o tekraratın kıymetini tam göstermekle, Kur’an’ın cihan-değer ulviyetini meydana koymuştur.
Sâliklerinin her asırda fevkalâde bir metanetle sarılmaları ile ve emir ve nehyine tamamen inkıyad etmeleriyle, güya yeni nâzil olmuş gibi tazeliği ispat edilmiş olan Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan’ın, bütün asırlarda, zalimlerine karşı şiddetli ve dehşetli ve tekrarlı tehditleri ve mazlumlarına karşı şefkatli ve rahmetli mükerrer taltifleri, hususuyla bu asrımıza bakan tehdidatı içinde zalimlerine misli görülmemiş bir halette, sanki feze’-i ekberden bir numuneyi andıran semavî bir cehennemle altı yedi seneden beri mütemadiyen feryad u figan ettirmesi ve keza mazlumlarının bu asırdaki küllî fertleri başında Risale-i Nur talebelerinin bulunması ve hakikaten bu talebeleri de ümem-i sâlifenin enbiyalarına verilen necatlar gibi pek büyük umumî ve hususi necatlara mazhar etmesi ve muarızları olan dinsizlerin cehennemî azapla tokatlanmalarını göstermesi hem iki güzel ve latîf hâşiyelerle hâtime verilmek suretiyle çiçeğin tamam edilmesi, bu fakir talebeniz Hüsrev’i o kadar büyük bir sürurla sonsuz bir şükre sevk etti ki bu güzel çiçeğin verdiği sevinç ve süruru, müddet-i ömrümde hissetmediğimi sevgili üstadıma arz ettiğim gibi kardeşlerime de kerratla söylemişim.
Cenab-ı Hak, zayıf ve tahammülsüz omuzlarına pek azametli bâr-ı sakîl tahmil edilen siz sevgili üstadımızdan ebediyen razı olsun. Ve yüklerinizi tahfif etmekle yüzlerinizi ebede kadar güldürsün, âmin!
Evet, sevgili üstadım, biz; Allah’tan, Kur’an’dan, Habib-i Zîşan’dan ve Risale-i Nur’dan ve Kur’an dellâlı siz sevgili üstadımızdan ebediyen razıyız. Ve intisabımızdan hiçbir cihetle pişmanlığımız yok. Hem kalbimizde zerre kadar kötülük etmek için niyet yok. Biz ancak Allah’ı ve rızasını istiyoruz. Gün geçtikçe, rızası içinde, Cenab-ı Hakk’a vuslat iştiyaklarını kalbimizde teksif ediyoruz. Bilâ-istisna bize fenalık edenleri Cenab-ı Hakk’a terk etmekle affetmek ve bilakis bize zulmeden o zalimler de dâhil olduğu halde, herkese iyilik etmek, Risale-i Nur talebelerinin kalplerine yerleşen bir şiar-ı İslâm olduğunu, biz istemeyerek ilan eden Hazret-i Allah’a hadsiz hudutsuz şükürler ediyoruz.
Çok kusurlu talebeniz
Hüsrev
PERSOALAN KESEBELAS
Pohon rukun iman yang suci memiliki sejumlah buah matang. Salah satunya adalah surga. Yang kedua beru pa kebahagiaan abadi. Dan yang ketiga adalah kesem patan melihat Allah. Oleh karena Risalah Nur telah menjelaskan ratusan buah tersebut, baik secara universal maupun parsial, disertai berbagai dalilnya yang kuat dalam buku “Sirâjun nur”, maka pembaca bisa merujuk kepadanya. Di sini kami hanya akan menyebutkan—sebagian saja—buah parsial dan khusus dari buah yang baik itu.
Pertama: suatu hari aku memanjatkan doa yang ber bunyi, “Wahai Tuhan, aku memohon kepada-Mu lewat kemuliaan dan syafaat malaikat Jibril, Mikail, Israfil, dan Izrail agar Eng kau menjaga diriku dari kejahatan setan jin dan manusia.” Saat menyebut nama Izrail—yang ketika disebut membuat manusia gemetar ketakutan—aku malah merasa sangat nikmat dan senang. Maka, aku pun memuji Allah dengan mengucap alhamdulillah. Aku benar-benar mulai mencintai Izrail sebagai salah satu malaikat di mana mengimani mereka merupakan bagian dari salah satu rukun iman. Secara singkat kami akan menjelaskan satu buah parsial dari sekian banyak buah mengimani malaikat tersebut:
Di antaranya: milik manusia yang paling mahal serta yang paling diperhatikan dan dijaga adalah tentu saja rohnya. Aku sangat yakin bahwa manusia sangat gembira saat bisa menyerahkan miliknya yang paling berharga—yaitu rohnya—kepada pihak yang “sangat kuat dan amanah” agar tidak sia-sia dan fana. Kemudian aku teringat malaikat yang bertugas mencatat seluruh amal manusia. Kulihat mereka memiliki banyak buah yang sangat lezat sebagai berikut:
Di antaranya: untuk mengabadikan amalnya yang baik dan ungkapannya yang bernilai, setiap manusia berusaha menjaga dan melindunginya, entah lewat tulisan atau syair, atau bahkan lewat kaset fi lm. Terutama, jika amal-amal tersebut menghasilkan buah yang kekal di surga. Ia tentu lebih dijaga. Malaikat mulia yang mencatat amal berada di sisi kanan dan kiri manusia guna memperlihatkannya di pentas yang abadi dan guna memotret amalnya di sana sehingga pelaku nya mendapat balasan dan imbalan yang berharga dan kekal. Aku menikmati rasa dari buah ini dengan sangat lezat yang tak bisa dibayangkan.
Ahli dunia telah menjauhkanku dari kehidupan sosial serta memisahkanku dari buku, orang-orang yang kucintai, para pelayan, dan semua orang yang bisa menjadi pelipur lara bagiku. Mereka mencampakkanku ke dalam lembah kesepian. Aku pun merasa terjepit dan terimpit dalam kesukaran, sampai-sampai aku merasa bahwa dunia yang sunyi ini akan hancur di atas kepalaku. Pada saat itulah, tiba-tiba salah satu buah iman kepada malaikat datang untuk menyelamatkanku. Ia menerangi seluruh penjuru duniaku dan menerangi alam di sekitarku. Ia memakmurkannya dengan malaikat dan menghiasnya dengan sejumlah roh yang baik sehingga rasa senang dan gembira menyelimuti semua tempat.(*[9])Ia juga memperlihatkan kepadaku betapa dunia kaum yang sesat itu penuh dengan rintihan kesepian, kesia-siaan, dan kegelapan.
Saat khayalanku senang menikmati manisnya buah terse but, ia menerima salah satu dari buah berlimpah yang serupa yang bersumber dari keimanan kepada para rasul. Ia pun menikmatinya. Setelah itu, aku merasa bahwa keimananku telah tumbuh dan berkembang sehingga menjadi hal yang bersifat universal dan komprehensif. Pasalnya, masa-masa yang telah berlalu menjadi bersinar dan terang lewat cahaya keimanan kepada mereka. Bahkan aku merasa seolah-olah sedang hidup bersama mereka. Iman kepada para nabi membenarkan dakwah iman yang dibawa oleh nabi akhir zaman, sehingga membuat setan bisu dan terdiam.
Lalu terlintas di dalam kalbu sebuah pertanyaan yang jawabannya terdapat pada Cahaya Ketiga Belas (Hikmah Is ti’adzah).
Isi pertanyannya adalah bahwa ahli hidayah yang memiliki buah iman seperti di atas serta manfaat tak terhingga seperti yang telah disebutkan di mana mereka mendapat sejumlah hasil indah dari amal kebaikan mereka serta perhatian yang kekal, taufi k dan rahmat dari Dzat Yang Maha penyayang, semua itu memberikan kekuatan kepada mereka. Kalau demikian, mengapa mereka dikalahkan oleh kaum yang sesat? Bahkan dua puluh orang sesat bisa mengalahkan dan membinasakan seratus orang dari mereka?!Saat memikirkan hal itu, terlintas dalam benakku pertanyaan berikut: Mengapa al-Qur’an al-Karim banyak menyebutkan bahwa Allah memberikan pertologan kepada orang beriman lewat para malaikat, padahal mereka hanya menghadapi godaan setan yang lemah?! Oleh karena Risalah Nur telah menjelaskan hikmah dari hal tersebut lewat sejumlah dalil yang kuat, di sini kami hanya akan memberikan jawabannya dengan sangat singkat:
Ya, kadang kala seratus petugas keamanan dikerahkan untuk menjaga sebuah istana ketika ada seorang penjahat atau perusak yang berusaha melemparkan api ke dalamnya secara sembunyi-sembunyi untuk merusaknya. Bahkan urusan keamanan istana tersebut kadang kala diserahkan kepada pemerintah atau negara. Hal itu karena keutuhan bangunan istana bergantung pada semua syarat, pilar, dan sebab keutuhannya. Adapun perusakan dan penghancurannya bisa terwujud hanya dengan ketiadaan salah satu syaratnya. Atas dasar itu, kita bisa memahami mengapa setan dari kalangan jin dan manusia bisa melakukan perusakan hebat dan menciptakan kebakaran maknawi yang besar hanya dengan satu perbuatan kecil seperti ketika orang jahat meruntuhkan bangunan besar dengan sebatang korek api.
Ya, pilar kejahatan dan dosa adalah ketiadaan dan kehan curan. Dalam tampilan lahiriahnya tersirat sebuah perusakan, pengabaian, dan ketiadaan.
Berdasarkan hal tersebut, setan dari kalangan jin dan manusia serta orang-orang jahat, dengan kekuatan yang sangat kecil, dapat membendung kekuatan ahlul haq yang tak terhingga serta memaksa mereka berlari dan berlindung ke keharibaan Allah. Oleh karena itu, al-Qur’an selalu memberikan porsi besar untuk melindungi mereka, memberikan kepada mereka sembilan puluh sembilan nama-Nya yang mulia, dan mengeluarkan sejumlah perintah yang tegas agar mereka teguh dalam menghadapi musuh itu.
Dari jawaban ini tiba-tiba tampak dasar persoalan yang menakjubkan dan awal dari sebuah hakikat besar, yaitu sebagai berikut:
Sebagaimana surga menyimpan hasil seluruh alam wujud lalu membuahkan benih yang ditanam di dunia, begitu pula neraka membakar panenan ketiadaan dan menghancurkannya guna memperlihatkan hasil yang sangat pedih bagi alam ketiadaan dan kefanaan yang tak terhingga. Pabrik neraka yang menakutkan, di samping banyak tugas yang dilakukannya, juga membersihkan kotoran alam ketiadaan yang terdapat di alam wujud. Persoalan besar ini tidak akan kami bahas di sini. Ia akan jelaskan di waktu mendatang insya Allah.
Selanjutnya, sebagian dari buah iman kepada malaikat dan contoh buahnya terkait dengan malaikat Mungkar dan Nakir(*[10])adalah sebagai berikut:
Suatu hari aku berkata, “Aku—sama seperti yang lain— pasti masuk ke dalam kubur.” Maka, aku pun mulai mem bayangkan saat masuk ke dalamnya, “Saat sendiri dalam kondisi putus asa di penjara kubur dan saat jauh dari segala sesuatu, sendirian tanpa ada yang menolong. Aku berada di tempat yang sempit, gelap, dan dingin itu. Tiba-tiba dua sahabat yang penuh berkah dari kalangan Mungkar dan Nakir datang menghampiriku dan mulai mengajukan pertanyaan. Mereka membuat kalbu dan kuburku menjadi lapang. Keduanya memberikan penerangan dan kehangatan. Pintu-pintu jendela yang mengarah ke alam arwan pun terbuka. Dari lubuk jiwa yang sangat dalam, aku merasa sangat senang dan banyak bersyukur kepada Allah melihat kondisi yang akan terjadi di masa mendatang meskipun saat ini kulihat dalam khayalan.”
Sebagaimana ketika seorang pelajar meninggal dunia di saat belajar ilmu sharaf dan nahwu (gramatika arab), malaikat Mungkar dan Nakir bertanya kepadanya di kubur مَن رَبُّكَ, ia pun menjawab, مَن adalah mubtada (subjek) sementara رَبُّكَ adalah khabar (predikat). Ini mudah, tanyakanlah pertanyaan yang sulit.!!” Ia mengira dirinya masih di madrasah sedang menerima pelajaran. Sebagaimana jawaban ini membuat malaikat, sejumlah roh yang ikut hadir, serta wali salih yang menyingkap dan menyaksikan kejadian tersebut, tertawa, bahkan membuat rahmat ilahi tersenyum sehingga membuatnya selamat dari siksa, demikian pula seorang syahid dan pahlawan dari murid Risalah Nur, yaitu al-Hafidz Ali(*[11]) Ia meninggal di penjara saat membaca dan menulis “Risalah Tsamarah” dengan penuh antusias. Ia menjawab pertanyaan malaikat Mungkar dan Nakir dengan hakikat Risalah tersebut sebagaimana saat di pengadilan. Aku dan seluruh tullabunnur insya Allah juga akan menjawab pertanyaan-pertanyaan terse but yang merupakan hakikat di masa mendatang, dan kiasan di masa sekarang. Kami akan menjawabnya dengan sejumlah hujjah Risalah Nur yang cemerlang dan berbagai argumennya yang kuat. Kami akan menggiring mereka dengannya untuk mendapat pembenaran, penghargaan, dan apresiasi.
Selanjutnya, satu contoh kecil dari iman kepada malaikat bisa menjadi sumber kebahagiaan dunia. Jelasnya sebagai berikut:
Ketika seorang anak kecil yang tak berdosa menerima pelajaran iman dalam dasar-dasar fi kih, tiba-tiba datang anak lain menangis karena kematian saudaranya. Melihat hal itu ia menenangkan dan menghiburnya seraya berkata, “Jangan menangis saudaraku! Akan tetapi, bersyukurlah kepada Allah. Pasalnya, saudaramu telah pergi bersama malaikat menuju surga. Ia akan berkeliling dan merasa bebas di sana sama seperti malaikat. Ia akan menemukan kondisi yang lebih bahagia dan lebih lapang daripada kita. Ia juga akan terbang seperti malaikat dan menyaksikan setiap tempat. Ia pun berhasil mengubah tangisan dan ratapannya menjadi senyuman dan kebahagiaan.
Dalam hal ini aku seperti anak kecil yang sedang menangis tadi. Saat sedang menanggung penderitaan di mu sim dingin yang penuh duka, aku menerima kabar kematian dua orang dengan kesedihan yang mendalam. Salah satunya adalah keponakanku, Fuad, yang selalu mendapatkan rang king satu di sekolah tingginya dan penyebar sejumlah hakikat Risalah Nur. Kedua, seorang wanita yang mengalami sakarat saat sedang menjalankan ibada haji dan menghembuskan nafas terakhirnya saat sedang tawaf. Di adalah kakak perempuanku, almarhumah Hanim. Saat kematian dua karib tersebut membuatku menangis sama seperti saat menangisi Abdurrahman(*[12])yang disebutkan dalam Risalah asy-Syuyûkh (Tuntunan bagi Lansia), dengan cahaya iman aku melihat persahabatan malaikat dan keakraban bidadari dengan Fuad yang tak berdosa dan wanita salihah tersebut sebagai ganti dari persahabatan manusia. Aku melihat keduanya telah selamat dari bahaya dunia dan bebas dari dosanya. Aku pun banyak bersyukur kepada Allah, Dzat Yang Maha Penyayang. Pasalnya, Dia telah mengubah kesedihan yang mendalam tadi menjadi kebahagiaan. Aku pun mengucapkan selamat kepada mereka dan kepada saudaraku, Abdul Majid(*[13])(ayah Fuad). Sebagaimana kuucapkan selamat untuk diriku sendiri. Ini ditulis di sini agar kedua almarhum mendapatkan keberkahan doa.
Seluruh neraca dan perbandingan yang terdapat dalam Risalah Nur adalah untuk menjelaskan hasil dan buah iman yang mendatangkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Buah universal dan besar tersebut memperlihatkan kebahagiaan di dunia dan membuat kenikmatannya terasa sepanjang hidup. Ia juga memberitakan bahwa iman setiap mukmin akan menghasikan kebahagiaan abadi di akhirat. Bahkan ia akan berbuah dan terhampar dalam bentuk yang sama di sana.
Di antara contoh buah universal dan banyak itu, lima di antaranya telah dituliskan sebagai bagian dari Risalah Mi’raj di akhir “Kalimat Ketiga Puluh Satu” dan lima buah di dahan kelima dari “Kalimat Kedua Puluh Empat”. Sebagaimana telah kami jelaskan tadi bahwa setiap rukun iman memiliki buah yang jumlahnya sangat banyak. Kese luruhan rukun iman juga memiliki buah yang tak terhingga, yaitu sebagai berikut: Pertama: Surga yang agung. Kedua: Kebahagiaan abadi. Ketiga: Buah yang paling nikmat, yaitu melihat Allah di sana. Dalam perbandingan di akhir “Kalimat Ketiga Puluh Dua”, telah diterangkan dengan jelas sejumlah buah iman yang merupakan sumber kebahagiaan dunia dan akhirat.
Demikianlah, dalil yang menunjukkan bahwa “iman ke pada takdir” juga memiliki sejumlah buah berharga di dunia seperti yang dibicarakan oleh semua orang sehingga menjadisebuah pepatah:“Siapa yang beriman kepada takdir, ia aman dari kesedihan.”Di akhir “Risalah takdir” salah satu buahnya yang ber sifat universal dijelaskan lewat sebuah perumpamaan, yaitu masuknya dua orang ke dalam sebuah taman istana raja. Bahkan, lewat ribuan pengalaman hidup yang kualami, aku menyaksikan dan mengetahui bahwa tidak ada kebahagiaan dunia tanpa iman kepada takdir. Andai iman tersebut tidak ada, kebahagiaan tadi akan sirna. Bahkan setiap kali melihat sejumlah musibah yang menyedihkan—dari sisi iman kepada takdir—musibah itu pun terasa ringan. Dengan heran aku bertanya, “Bagaimana mungkin orang yang tidak beriman ke pada takdir bisa bertahan hidup?”
Salah satu buah universal dari rukun “iman kepada ma laikat” telah dijelaskan dalam Kedudukan Kedua dari “Kalimat Kedua Puluh Dua” sebagai berikut:
Izrail telah bermunajat kepada Tuhan seraya berkata, “Hamba-Mu akan mengeluhkanku dan akan marah kepadaku saat aku menjalankan tugas mencabut nyawa.” Sebagai jawaban untuknya, “Aku akan menjadikan penyakit dan musibah sebagai tirai yang menghijab tugasmu agar keluhan mereka mengarah kepada sebab-sebab tadi, bukan kepadamu.”
Tugas Izrail sendiri sebetulnya merupakan salah satu dari sejumlah tirai yang ada agar keluhan mereka tidak mengarah kepada Allah. Hal itu karena hikmah, rahmat, keindahan, dan kemaslahatan yang terdapat dalam kematian tidak terlihat oleh setiap orang. Mereka hanya melihat sisi lahiriahnya sehingga merasa keberatan dan mengeluh. Oleh karena hikmah itulah—yakni agar keluhan yang batil tidak mengarah kepada Tuhan Yang Maha Penyayang—Izrail menjadi sebuah tirai.
Demikian halnya dengan tugas dan kewajiban yang dilakukan oleh seluruh malaikat dan sebab-sebab lahiriah di mana semua itu hanyalah tirai bagi kemuliaan rububiyah. Hal itu agar kemuliaan dan kesucian qudrah ilahi, serta rahmat Allah yang meliputi segala sesuatu tetap terjaga terkait dengan berbagai urusan dan perkara yang di dalamnya tidak terlihat sisi keindahan dan hakikat hikmah sehingga tidak menjadi objek keberatan yang batil. Dengan demikan, keterlibatan “tangan qudrah” secara langsung dalam urusan parsial yang tampak tidak mengandung rahmat dan sepele tidak terlihat dengan penglihatan lahiriah. Demikianlah, Risalah Nur telah mengetengahkan sejumlah dalilnya yang sangat banyak bahwa sebab apapun tidak memiliki pengaruh hakiki dan tidak memiliki potensi untuk mencipta sesuatu.
Stempel dan label tauhid yang tidak ter hingga melekat pada segala sesuatu, sementara status Pencipta hanya layak disandang oleh Allah. Sebab-sebab lahiriah hanyalah sebatas tirai. Malaikat, sebagai makhluk yang memiliki kesadaran, tidak lain merupakan bagian dari ikhtiar parsial yang memiliki potensi untuk berusaha, bukan mencipta. Ia hanyalah satu bentuk pengabdian alamiah dan ubudiyah amaliah.
Ya, kemuliaan dan keagungan Tuhan menuntut adanya sebab-sebab lahiriah sebagai tirai bagi qudrah ilahi di hadapan pandangan akal.
Sementara tauhid dan ahadiyah-Nya menghilangkan pengaruh hakiki pada sebab-sebab lahiriah.
Begitulah, sebagaimana malaikat dan sebab-sebab la hiriah yang dipergunakan dalam sejumlah urusan kebaikan (keberadaan) merupakan sarana untuk mengagungkan dan mensucikan Tuhan dalam perkara yang keindahannya tidak terlihat dan tidak diketahui, yaitu dengan membersihkan qudrah Rabbani dari segala aib dan kezaliman.
Demikian pula penggunaan setan dari kalangan jin dan manusia serta sejumlah elemen berbahaya dalam urusan keburukan (ketiadaan) merupakan bentuk pengabdian untuk mensucikan Tuhan dari segala hal yang dianggap aib dan cacat di alam ini. Hal itu untuk menjaga qudrah Allah sehingga tidak menjadi objek pengaduan atas tindakan kezaliman dan keberatan yang batil. Hal itu lantaran semua aib bersumber dari ketiadaan, kelemahan, kehancuran, dan pengabaian kewajiban yang merupakan sebuah ketiadaan, serta sejumlah “perbuatan non-eksis” yang tidak memiliki wujud.
Tirai setani dan jahat itu telah menjadi sarana untuk menjaga kesucian Allah lantaran memikul sejumlah keberatan dan keluhan dengan melihat posisinya sebagai acuan dan sumber dari segala kekurangan. Pasalnya, berbagai perbuatan jahat dan tindakan destruktif pada dasarnya tidak membutuhkan kekuatan dan qudrah. Perbuatan kecil atau kekuatan yang sedikit, bahkan mengabaikan kewajiban tertentu kadang sudah cukup menyebabkan suatu ketiadaan dan kerusakan. Oleh karena itu, muncul dugaan bahwa orang yang melaku kan perbuatan jahat adalah yang memiliki kekuatan. Padahal sebenarnya ia tidak memiliki pengaruh kecuali ketiadaan,dan tidak memiliki kekuatan kecuali hanya sebatas usaha parsial. Oleh karena sejumlah kejahatan itu bersumber dari ketiadaan, maka makhluk yang jahat dianggap sebagai pelaku hakiki. Jika termasuk makhluk yang memiliki perasaan (kesadaran), mereka layak merasakan akibatnya. Ini artinya bahwa makhluk yang jahat dan perusak merupakan pelaku keburukan. Adapun dalam hal kebaikan dan amal saleh, karena ia bersifat wujud (ada), maka orang-orang baik bukan merupakan pelaku hakiki.
Mereka hanya memiliki kelayakan agar kebaikan itu terwujud lewat mereka sehingga mereka mendapat kemurahan ilahi. Saat mereka mendapat ganjaran atas amal mereka, hal itu tidak lain merupakan bentuk kemurahan dan karunia ilahi semata. Al-Qur’an al-Karim menjelaskan hal ini lewat ayat berikut:“Kebaikan yang kau peroleh adalah dari Allah, sementara keburukan yang menimpamu adalah dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. an-Nisa [4]: 79).
Kesimpulan Alam wujud dan alam tiada tidak terhingga saat keduan ya berbenturan, saat keduanya membuahkan surga dan ner aka, dan saat seluruh “alam wujud” mengucap اَل۟حَم۟دُ لِلّٰ, lalu semua “alam tiada” mendendangkan سُب۟حَانَ اللّٰهِ, bahkan ketika malaikat dan setan berseteru. Demikian pula antara kebaikan dan keburukan, bahkan ketika terjadi perdebatan di sekitar kalbu antara ilham dan waswas. Ketika semua itu terjadi lewat “hukum pertarungan” yang menyeluruh, salah satu buah iman kepada malaikat tampak sehingga memecahkan persoalan yang ada seraya menerangi entitas yang gelap dengan memperlihatkan salah satu cahaya dari ayat yang berbunyi:“Allah (sumber) cahaya langit dan bumi.” (QS. an-Nûr [24]: 35). Dengan demikian, ia membuat kita bisa merasakan manisnya iman kepada malaikat. Betapa manis dan nikmat!
Begitulah, “Kalimat Kedua Puluh Empat” dan “Kalimat Kedua Puluh Sembilan” telah menunjukkan buah univer sal yang lain serta menjelaskan dengan sangat gamblang keberadaan dan tugas malaikat.
Ya, sebuah rububiyah (kekuasaan) yang agung, penuh rahmat, dan luas yang memperkenalkan diri dan membuat dicintai lewat semua yang ia hadirkan pada seluruh penjuru alam, baik yang bersifat universal maupun yang parsial, maka keagungan, rahmat, dan pengenalan diri tersebut harus dibalas dengan ubudiyah yang bersifat luas, menyeluruh, dan komprehensif dalam bentuk penyucian, pujian, dan sanjungan.Oleh karena benda mati dan sejumlah pilar besar alam yang tidak memiliki perasaan tidak dapat melakukan tugas ubudiyah agung tersebut, maka ia hanya bisa dilakukan oleh malaikat yang jumlahnya tak terhingga. Dengan penuh hikmah dan kemuliaan, merekalah yang mampu menjalankan prosedur kekuasaan rububiyah pada setiap penjuru alam dan pada setiap bagiannya, mulai dari tanah hingga langit, dan dari dasar bumi hingga angkasa yang tinggi.
Misalnya: proses penciptaan bumi dan tugas alamiah nya yang menakutkan dan gelap seperti gambaran konsep fi lsafat yang mati, semua itu diubah oleh buah iman menjadi gambaran yang menyenangkan dan bersinar. Pasalnya, kedua malaikat yang disebut dengan istilah “sapi jantan dan ikan” memanggul bumi (di bawah pengawasan mereka). Keduanya didatangkan dari surga materi ukhrawi yang disebut dengan “batu karang” berikut hakikat ukhrawi guna menjadi batu pertama yang abadi bagi bumi yang fana. Itu menjadi isyarat bahwa sebagian bumi akan dikosongkan dan diganti menjadi surga abadi. Maka, “batu karang” menjadi titik sandaran bagi malaikat “sapi jantan” dan “ikan”.Begitulah, riwayat tersebut dinukil dari sejumlah nabi Bani Israil terdahulu. Ia juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas d. Akan tetapi, sangat disayangkan, perumpamaan yang halus itu dan makna yang mulia di atas, seiring dengan perjalanan waktu, berubah menjadi hakikat fi sik yang nyata bagi masyarakat awam di mana ia sudah keluar dari dimensi akal.
Pasalnya, malaikat mampu berjalan dan berkeliling di tanah, batu karang, dan pusat bumi sebagaimana saat mereka berkeliling di udara. Oleh karena itu, mereka—bahkan bumi itu sendiri—tidak membutuhkan batu karang yang bersifat fi sik serta tidak membutuhkan “sapi jantan” dan “ikan” yang berbentuk materi.
Dengan kata lain, riwayat itu hanya sebatas perumpamaan.Contoh lain: ketika bumi bertasbih kepada Allah sebanyak kepala spesies yang terdapat di dalamnya, baik itu hewan, tumbuhan, ataupun benda mati, sebanyak lisan anggota spesies tersebut, seukuran organ dari anggota tadi, serta sebanyak daun dan buahnya. Nah, untuk mempersembahkan ubudiyah alamiah yang tanpa disadari dan sangat agung tersebut serta bagaimana ia direalisasikan dan ditampilkan dengan pengetahuan dan kesadaran di hadapan hadirat ilahi yang suci, sudah pasti menuntut malaikat yang memiliki 40 ribu kepala. Pada setiap kepala terdapat 40 ribu lisan yang bertasbih. Pada setiap lisan terdapat 40 ribu tasbih sebagaimana hakikat yang sama diberitakan oleh informan yang jujur.(*[14])
Ya, kekuasaan dan keagungan rububiyah Tuhan menun tut keberadaan malaikat dalam substansi yang menakjubkan seperti Jibril yang menyambungkan relasi Rabbani dengan manusia yang merupakan buah terpenting penciptaan alam; Izrail dan Israfil yang menjalankan prosedur ilahi yang khusus menjadi milik-Nya serta mengawasi proses mematikan, menghidupkan kembali, dan kebangkitan yang merupakan tindakan yang mengagungkan dan mencengangkan di alam makhluk hidup; Mikail yang mengawasi sekaligus mengatur, dengan penuh kesadaran, segala bentuk syukur atas berbagai karunia ilahi terkait dengan rezeki yang merupakan wilayah paling lengkap dalam kehidupan, rahmat yang paling luas dan menyenangkan.Pasalnya, keberadaan mereka dan keberadaan setiap kelompok dari mereka bersifat pasti dan tidak diragukan. Ia bersifat pasti sampai pada tingkat yang sesuai dengan kepastian adanya keagungan dan kekuasaan-Nya yang tampak di alam laksana mentari. Hal yang sama berlaku pada materi lain yang terkait dengan malaikat.
Ya, Tuhan Mahakuasa Yang Mahaagung dan Mahaindah telah mencipta 400 ribu spesies makhluk hidup di muka bumi. Bahkan Dia menciptakan makhluk yang memiliki roh dalam jumlah yang sangat besar dari materi yang paling sederhana. Dia mengisi seluruh penjuru bumi dengan makhluk-makhluk tersebut. Lalu dengan lisan mereka, Dia membuat mereka bisa mengungkap rasa takjub dengan ucapan masya Allah, Barakallah, Subhanallah di hadapan mukjizat kreasi-Nya. Bahkan hewan yang kecil juga bisa mengucap alhamdulillah, asy-syukru lillah, wallahu akbar di hadapan sejumlah karunia rahmat ilahi yang luas. Tentu saja Allah menciptakan penghuni dari makh luk spiritual yang sesuai dengan langit-Nya yang luas di mana mereka tidak menentang perintah-Nya dan senantiasa beribadah kepada-Nya. Dia memakmurkan langit dengan mereka tanpa membiarkannya kosong. Dia menghadirkan beragam jenis malaikat yang jumlahnya jauh lebih banyak dari spesies makhluk hidup. Sebagian dari mereka sangat kecil di mana dapat mengendarai tetesan hujan dan butiran salju, serta mengapresiasi kreasi ilahi seraya bertahlil atas rahmat-Nya yang luas lewat lisan khusus mereka. Sebagian lagi mengendarai bintang yang berkeliling di angkasa alam seraya memperlihatkan kepada jagat raya ubudiyah mereka dengan bertakbir dan bertahlil di hadapan keagungan dan kemuliaan rububiyah.(*[15])
Ya, kesepakatan ajaran seluruh kitab samawi dan semua agama sejak zaman Nabi Adam atas keberadaan malaikat dan ubudiyah mereka, serta begitu banyak riwayat mutawatir yang mengungkap adanya pembicaraan dan dialog dengan malaikat sepanjang masa, semua itu membuktikan secara pasti adanya malaikat dan relasi mereka dengan kita sama seperti kepastian adanya orang-orang yang belum pernah kita lihat di Amerika.
Sekarang, lihatlah buah universal yang kedua ini de ngan cahaya iman dan rasakanlah agar engkau mengetahui bagaimana ia telah membuat seluruh entitas tersenyum ba hagia, mulai dari awal hingga akhir, sekaligus memakmurkan dan menghiasnya, serta mengubahnya menjadi masjid dan tempat ibadah yang sangar besar. Alam yang gelap dan di ngin serta tak ada kehidupan di dalamnya, sebagaimana yang digambarkan fi lsafat materialisme, dengan iman telah berubah menjadi alam yang hidup dan berperasaan, serta bersinar, nyaman, dan nikmat. Buah ini membuat kaum beriman merasakan percikan kenikmatan abadi saat mereka masih di dunia. Masing-masing sesuai dengan tingkatannya.
Penutup Sebagaimana dengan rahasia al-wahdah (kesatuan) dan al-ahadiyah (keesaan), qudrah, nama, hikmah, dan kreasi-Nya terwujud pada setiap sisi alam, sehingga setiap ciptaan, baik yang bersifat universal maupun yang parsial, lewat kondisinya mendeklarasikan keesaan Sang Pencipta serta tindakan, penciptaan, rububiyah, dan kesucian-Nya, demikian pula Dia menciptakan malaikat di seluruh penjuru alam agar mereka, dengan lisan yang terus berzikir dan memuji-Nya, bertasbih seperti yang dilakukan oleh setiap makhluk lewat lisan halnya.
Malaikat tidak membangkang terhadap perintah Allah. Yang mereka lakukan hanya ubudiyah secara tulus. Mereka tidak memiliki kemampuan mencipta serta tidak bisa ikut campur tanpa izin. Mereka juga tidak memiliki syafaat tanpa izin dari-Nya. Oleh karena itu, mereka mendapat kemuliaan ayat berikut:“Namun (mereka) adalah para hamba yang dimuliakan.” (QS. al-Anbiya [21]: 26). “Mereka mengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka.” (QS. at-Tahrim [66]: 6).
HÂTİME
Gayet ehemmiyetli bir nükte-i i’caziyeye dair, birden, ihtiyarsız, mağribden sonra kalbe ihtar edilen ve Sure-i قُل۟ اَعُوذُ بِرَبِّ ال۟فَلَقِ ın zâhir bir mu’cize-i gaybiyesini gösteren uzun bir hakikate kısa bir işarettir.
بِس۟مِ اللّٰهِ الرَّح۟مٰنِ الرَّحٖيمِ
قُل۟ اَعُوذُ بِرَبِّ ال۟فَلَقِ مِن۟ شَرِّ مَا خَلَقَ وَمِن۟ شَرِّ غَاسِقٍ اِذَا وَقَبَ وَمِن۟ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِى ال۟عُقَدِ وَمِن۟ شَرِّ حَاسِدٍ اِذَا حَسَدَ
İşte yalnız mana-yı işarî cihetinde bu sure-i azîme-i hârika “Kâinatta adem âlemleri hesabına çalışan şerirlerden ve insî ve cinnî şeytanlardan kendinizi muhafaza ediniz.” Peygamberimize ve ümmetine emrederek, her asra baktığı gibi mana-yı işarîsiyle bu acib asrımıza daha ziyade, belki zâhir bir tarzda bakar; Kur’an’ın hizmetkârlarını istiazeye davet eder. Bu mu’cize-i gaybiye, beş işaretle kısaca beyan edilecek. Şöyle ki:
Bu surenin her bir âyetinin manaları çoktur. Yalnız mana-yı işarî ile beş cümlesinde dört defa “şer” kelimesini tekrar etmek ve kuvvetli münasebet-i maneviye ile beraber dört tarzda bu asrın emsalsiz dört dehşetli ve fırtınalı maddî ve manevî şerlerine ve inkılablarına ve mübarezelerine aynı tarihiyle parmak basmak ve manen “Bunlardan çekininiz!” emretmek, elbette Kur’an’ın i’cazına yakışır bir irşad-ı gaybîdir.
Mesela, başta قُل۟ اَعُوذُ بِرَبِّ ال۟فَلَقِ cümlesi, bin üç yüz elli iki veya dört (1352-1354) tarihine hesab-ı ebcedî ve cifriyle tevafuk edip nev-i beşerde en geniş hırs ve hasedle ve Birinci Harb’in sebebiyle vukua gelmeye hazırlanan İkinci Harb-i Umumî’ye işaret eder. Ve ümmet-i Muhammediyeye (asm) manen der: “Bu harbe girmeyiniz ve Rabb’inize iltica ediniz!” Ve bir mana-yı remziyle, Kur’an’ın hizmetkârlarından olan Risale-i Nur şakirdlerine hususi bir iltifat ile onların Eskişehir hapsinden, dehşetli bir şerden aynı tarihiyle kurtulmalarına ve haklarındaki imha planının akîm bırakılmasına remzen haber verir; manen “İstiaze ediniz!” emreder gibi bir remiz verir.
Hem mesela مِن۟ شَرِّ مَا خَلَقَ cümlesi –şedde sayılmaz– bin üç yüz altmış bir (1361) ederek bu emsalsiz harbin merhametsiz ve zalimane tahribatına Rumî ve hicrî tarihiyle parmak bastığı gibi; aynı zamanda bütün kuvvetleriyle Kur’an’ın hizmetine çalışan Nur şakirdlerinin geniş bir imha planından ve elîm ve dehşetli bir beladan ve Denizli hapsinden kurtulmalarına tevafukla, bir mana-yı remzî ile onlara da bakar. “Halk’ın şerrinden kendinizi koruyunuz!” gizli bir îma ile der.
Hem mesela اَلنَّفَّاثَاتِ فِى ال۟عُقَدِ cümlesi –şeddeler sayılmaz– bin üç yüz yirmi sekiz (1328) eğer şeddedeki (lâm) sayılsa bin üç yüz elli sekiz (1358) adediyle bu umumî harpleri yapan ecnebi gaddarların hırs ve hasedle bizdeki Hürriyet İnkılabı’nın Kur’an lehindeki neticelerini bozmak fikriyle tebeddül-ü saltanat ve Balkan ve İtalyan Harpleri ve Birinci Harb-i Umumî’nin patlamasıyla maddî ve manevî şerlerini, siyasî diplomatların radyo diliyle herkesin kafalarına sihirbaz ve zehirli üflemeleriyle ve mukadderat-ı beşerin düğme ve ukdelerine gizli planlarını telkin etmeleriyle bin senelik medeniyet terakkiyatını vahşiyane mahveden şerlerin vücuda gelmeye hazırlanmaları tarihine tevafuk ederek اَلنَّفَّاثَاتِ فِى ال۟عُقَدِ in tam manasına tetabuk eder.
Hem mesela وَمِن۟ شَرِّ حَاسِدٍ اِذَا حَسَدَ cümlesi –şedde ve tenvin sayılmaz– yine bin üç yüz kırk yedi (1347) edip aynı tarihte, ecnebi muahedelerin icbarıyla bu vatanda ehemmiyetli sarsıntılar ve felsefenin tahakkümüyle bu dindar millette ehemmiyetli tahavvüller vücuda gelmesine ve aynı tarihte, devletlerde İkinci Harb-i Umumî’yi ihzar eden dehşetli hasedler ve rekabetlerin çarpışmaları tarihine bu mana-yı işarî ile tam tamına tevafuku ve manen tetabuku, elbette bu kudsî surenin bir lem’a-i i’caz-ı gaybîsidir.
Bir İhtar:
Her bir âyetin müteaddid manaları vardır. Hem her bir mana küllîdir. Her asırda efradı bulunur. Bahsimizde bu asrımıza bakan yalnız mana-yı işarî tabakasıdır. Hem o küllî manada, asrımız bir ferttir. Fakat hususiyet kesbetmiş ki ona tarihiyle bakar. Ben dört senedir, bu harbin ne safahatını ve ne de neticelerini ve ne de sulh olmuş olmamış bilmediğimden ve sormadığımdan, bu kudsî surenin daha ne kadar bu asra ve bu harbe işareti var, diye daha onun kapısını çalmadım. Yoksa bu hazinede daha çok esrar var olduğu, Risale-i Nur’un eczalarında hususan Rumuzat-ı Semaniye Risalelerinde beyan ve ispat edildiğinden onlara havale edip kısa kesiyorum.
Hatıra gelebilen bir sualin cevabıdır
Bu lem’a-i i’caziyede, baştaki مِن۟ شَرِّ مَا خَلَقَ da hem مِن۟ hem شَرِّ kelimeleri hesaba girmesi ve âhirde وَمِن۟ شَرِّ حَاسِدٍ اِذَا حَسَدَ yalnız شَرِّ kelimesi girmesi وَمِن۟ girmemesi ve وَمِن۟ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِى ال۟عُقَدِ ikisi de hesap edilmemesi gayet ince ve latîf bir münasebete îma ve remiz içindir. Çünkü halklarda, şerden başka hayırlar da var. Hem bütün şer herkese gelmez. Buna remzen, bazıyeti ifade eden مِن۟ ve شَرِّ girmişler. Hâsid, hased ettiği zaman bütün şerdir, bazıyete lüzum yoktur. Ve اَلنَّفَّاثَاتِ فِى ال۟عُقَدِ remziyle, kendi menfaatleri için küre-i arza ateş atan üfleyicilerin ve sihirbaz o diplomatların tahribata ait bütün işleri ayn-ı şerdir, diye daha شَرِّ kelimesine lüzum kalmadı.
Bu Sureye Ait Bir Nükte-i İ’caziyenin Hâşiyesidir
Nasıl bu sure, beş cümlesinden dört cümlesi ile bu asrımızın dört büyük şerli inkılablarına ve fırtınalarına mana-yı işarî ile bakar; aynen öyle de dört defa tekraren مِن۟ شَرِّ –şedde sayılmaz– kelimesiyle âlem-i İslâm’ca en dehşetli olan Cengiz ve Hülâgu fitnesinin ve Abbasî Devleti’nin inkıraz zamanının asrına, dört defa mana-yı işarî ile ve makam-ı cifrî ile bakar ve parmak basar.
Evet –şeddesiz– شَرِّ beş yüz (500) eder; مِن۟ doksandır (90). İstikbale bakan çok âyetler hem bu asrımıza hem o asırlara işaret etmeleri cihetinde, istikbalden haber veren İmam-ı Ali (ra) ve Gavs-ı A’zam (ks) dahi aynen hem bu asrımıza hem o asra bakıp haber vermişler.
غَاسِقٍ اِذَا وَقَبَ kelimeleri bu zamana değil belki غَاسِقٍ bin yüz altmış bir (1161) ve اِذَا وَقَبَ sekiz yüz on (810) ederek, o zamanlarda ehemmiyetli maddî manevî şerlere işaret eder. Eğer beraber olsa miladî bin dokuz yüz yetmiş bir (1971) olur. O tarihte dehşetli bir şerden haber verir. Yirmi sene sonra, şimdiki tohumların mahsulü ıslah olmazsa elbette tokatları dehşetli olacak.
On Birinci Mesele’nin Hâşiyesinin Bir Lâhikasıdır
بِس۟مِ اللّٰهِ الرَّح۟مٰنِ الرَّحٖيمِ
Âyetü’l-Kürsî’nin tetimmesi olan 1928 veya 1929 1350 لَٓا اِك۟رَاهَ فِى {الدّٖينِ قَد۟ تَبَيَّنَ الرُّش۟دُ} مِنَ ال۟غَىِّ {فَمَن۟ يَك۟فُر۟ بِالطَّاغُوتِ} 1347 946 (Risale-i Nur ismine muvafık) {وَيُؤ۟مِن۟ بِاللّٰهِ فَقَدِ اس۟تَم۟سَكَ} {بِال۟عُر۟وَةِ ال۟وُث۟قٰى} لَا ان۟فِصَامَ لَهَا وَاللّٰهُ 1372 eğer beraber olsa 1012; -şeddesiz- eğer beraber olmazsa 945 -bir şedde sayılmaz- سَمٖيعٌ عَلٖيمٌ {اَللّٰهُ}{وَلِىُّ الَّذٖينَ اٰمَنُوا} يُخ۟رِجُهُم۟ مِنَ {الظُّلُمَاتِ} 1417 اِلَى النُّورِ وَالَّذٖينَ كَفَـرُٓوا اَو۟لِيَٓاؤُهُمُ {الطَّاغُوتُ} 1338 -şedde sayılmaz- {يُخ۟رِجُونَهُم۟ مِنَ النُّورِ اِلَى} الظُّلُمَاتِ 1295 -şedde sayılır- {اُولٰٓئِكَ اَص۟حَابُ النَّارِ هُم۟ فٖيهَا خَالِدُونَ} de Risaletü’n-Nur’un hem iki kere ismine hem suret-i mücahedesine hem tahakkukuna ve telif ve tekemmül zamanına tam tamına tevafukuyla beraber ehl-i küfrün bin iki yüz doksan üç (1293) harbiyle âlem-i İslâm’ın nurunu söndürmeye çalışması tarihine ve Birinci Harb-i Umumî’den istifade ile bin üç yüz otuz sekizde (1338) bilfiil nurdan zulümata atmak için yapılan dehşetli muahedeler tarihine tam tamına tevafuku ve içinde mükerreren nur ve zulümat karşılaştırılması ve bu mücahede-i maneviyede Kur’an’ın nurundan gelen bir nur, ehl-i imana bir nokta-i istinad olacağını mana-yı işarî ile haber veriyor, diye kalbime ihtar edildi. Ben de mecbur oldum, yazdım. Sonra baktım ki manasının münasebeti bu asrımıza o kadar kuvvetlidir ki hiç tevafuk emaresi olmasa da yine bu âyetler her asra baktığı gibi mana-yı işarî ile bizimle de konuşuyor, kanaatim geldi. Evet,
Evvela: Başta لَٓا اِك۟رَاهَ فِى الدّٖينِ قَد۟ تَبَيَّنَ الرُّش۟دُ cümlesi, makam-ı cifrî ve ebcedî ile bin üç yüz elli (1350) tarihine parmak basar ve mana-yı işarî ile der: Gerçi o tarihte, dini dünyadan tefrik ile dinde ikraha ve icbara ve mücahede-i diniyeye ve din için silahla cihada muarız olan hürriyet-i vicdan, hükûmetlerde bir kanun-u esasî, bir düstur-u siyasî oluyor ve hükûmet laik cumhuriyete döner. Fakat ona mukabil manevî bir cihad-ı dinî, iman-ı tahkikî kılıncıyla olacak. Çünkü dindeki rüşd ü irşad ve hak ve hakikati gözlere gösterecek derecede kuvvetli bürhanları izhar edip tebyin ve tebeyyün eden bir nur Kur’an’dan çıkacak, diye haber verip bir lem’a-i i’caz gösterir.
Hem tâ خَالِدُونَ kelimesine kadar Risale-i Nur’daki bütün muvazenelerin aslı, menbaı olarak aynen o muvazeneler gibi mükerreren nur ve zulümat ve iman ve karanlıkları karşılaştırmasıyla gizli bir emaredir ki o tarihte bulunan cihad-ı manevî mübarezesinde büyük bir kahraman; Nur namında Risale-i Nur’dur ki dinde bulunan yüzer tılsımları keşfeden onun manevî elmas kılıncı, maddî kılınçlara ihtiyaç bırakmıyor.
Evet, hadsiz şükürler olsun ki yirmi senedir Risale-i Nur bu ihbar-ı gaybı ve lem’a-i i’cazı bilfiil göstermiştir. Ve bu sırr-ı azîm içindir ki Risale-i Nur şakirdleri dünya siyasetine ve cereyanlarına ve maddî mücadelelerine karışmıyorlar ve ehemmiyet vermiyorlar ve tenezzül etmiyorlar ve hakiki şakirdleri en dehşetli bir hasmına ve hakaretli tecavüzüne karşı ona der:
“Ey bedbaht! Ben seni idam-ı ebedîden kurtarmaya ve fâni hayvaniyetin en süflî ve elîm derecesinden bir bâki insaniyet saadetine çıkarmaya çalışıyorum. Sen benim ölümüme ve idamıma çalışıyorsun. Senin bu dünyada lezzetin pek az, pek kısa ve âhirette ceza ve belaların pek çok ve pek uzundur. Ve benim ölümüm bir terhistir. Haydi def’ol; senin ile uğraşmam, ne yaparsan yap!” der. O zalim düşmanına hiddet değil belki acıyor, şefkat ediyor, keşke kurtulsa idi diyerek ıslahına çalışır.
Sâniyen:
{ وَيُؤ۟مِن۟ بِاللّٰهِ فَقَدِ اس۟تَم۟سَكَ }{ بِال۟عُر۟وَةِ ال۟وُث۟قٰى }
Bu iki kudsî cümleler, kuvvetli münasebet-i maneviye ile beraber makam-ı cifrî ve ebcedî hesabıyla birincisi Risaletü’n-Nur’un ismine, ikincisi onun tahakkukuna ve tekemmülüne ve parlak fütuhatına manen ve cifren tam tamına tetabukları bir emaredir ki Risaletü’n-Nur bu asırda, bu tarihte bir “urvetü’l-vüska”dır. Yani çok muhkem, kopmaz bir zincir ve bir “hablullah”tır. Ona elini atan yapışan necat bulur, diye mana-yı remziyle haber verir.
Sâlisen: اَللّٰهُ وَلِىُّ الَّذٖينَ اٰمَنُوا cümlesi hem mana hem cifir ile Risaletü’n-Nur’a bir remzi var. Şöyle ki: …
Hâşiye: Bu nüktenin bâki kısmı şimdilik yazdırılmadığının sebebi, bir derece dünyaya, siyasete temasıdır. Biz de bakmaktan memnûuz. Evet اِنَّ ال۟اِن۟سَانَ لَيَط۟غٰى bu tağuta bakar ve baktırır.
Said Nursî
Risale-i Nur kahramanı Hüsrev’in “Meyve’nin On Birinci Mesele’si” münasebetiyle yazdığı mektubun bir parçasıdır.
بِاس۟مِهٖ سُب۟حَانَهُ وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَم۟دِهٖ
اَلسَّلَامُ عَلَي۟كُم۟ وَ رَح۟مَةُ اللّٰهِ وَ بَرَكَاتُهُ
Çok mübarek, çok kıymettar, çok sevgili üstadımız efendimiz!
Millet ve memleket için çok büyük güzellikleri ihtiva eden “Meyve” dokuz meselesiyle dehşetli bir zamanda, müthiş âsiler içinde, en büyük düşmanlar arasında, hayret-feza bir surette şakirdlerine necat vermeye vesile olmakla kalmamış, Onuncu ve On Birinci Meseleleri ile hususuyla Nur’un şakirdlerini hakikat yollarında alkışlamış. Ve gidecekleri hakiki mekânları olan kabirdeki ahvallerinden ve herkesi titreten ve bilhassa ehl-i gaflet için çok korkunç, çok elemli, çok acıklı bir menzil olan toprak altında göreceği ve konuşacağı melâikelerle konuşmayı ve refakati sevdirerek bu mekâna daha çok ünsiyet izhar etmekle bu korkulu ilk menzil hakkındaki fevka’l-had korkularımızı ta’dil etmiş, nefes aldırmış. Hususuyla o âlemin nurani hayatını benim gibi göremeyenlerin ellerinde şuâatı, yüz binlerle senelik mesafelere uzanan bir elektrik lambası hükmüne geçmiş. Hem de daima koklanılacak numunelik bir çiçek bahçesi olmuştur.
Evet, biz sevgili üstadımıza arz ediyoruz ki her gün dersini hocasına okuyan bir talebe gibi Nur’dan aldığımız feyizlerimizi, her vakit için sevgili üstadımıza arz edelim. Fakat sevgili üstadımız şimdilik konuşmalarını tatil buyurdular.
Ey aziz üstadım! Risale-i Nur’un hakikati ve Meyve’nin güzelliği ve çiçeğinin feyzi, beni minnettarane bir parça memleketim namına konuşturmuş ve benim gibi konuşan çok kalplere hayat vermiş. Şimdi muhitimizde Risale-i Nur’a karşı atılan adımlar ve uzatılan eller, Meyve’nin On Birinci çiçeği ile daha çok metanet kesbetmiş, inkişaf etmiş, faaliyete başlamıştır.
Çok hakir talebeniz
Hüsrev
Isparta’daki umum Risale-i Nur talebeleri namına ramazan tebriği münasebetiyle yazılmış ve on üç fıkra ile ta’dil edilmiş bir mektuptur.
بِاس۟مِهٖ سُب۟حَانَهُ وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَم۟دِهٖ
Ey âlem-i İslâm’ın dünya ve âhirette selâmeti için Kur’an’ın feyziyle ve Risale-i Nur’un hakikatiyle ve sadık şakirdlerin himmetiyle mübarek gözlerinden yaş yerine kan akıtan;
Ve ey fitne-i âhir zamanın şu dağdağalı ve fırtınalı zamanında Hazret-i Eyyüb aleyhisselâmdan ziyade hastalıklara, dertlere giriftar olan;
Ve Kur’an’ın nuruyla ve Risale-i Nur’un bürhanlarıyla ve şakirdlerin gayretiyle âlem-i İslâm’ın maddî ve manevî hastalıklarını Hekîm-i Lokman gibi tedaviye çalışan;
Ve ey mübarek ellerinde mevcud olan Nur parçalarının hak ve hakikat olduğunu Kur’an’ın otuz üç âyetiyle ve keramet-i Aleviye ve Gavsiye ile ispat eden;
Ve ey kendisi hasta ve ihtiyar ve zayıf ve gayet acınacak bir halde olduğuna göre herkesten ziyade âlem-i İslâm’a can feda eder derecesinde acıyarak kendine fenalık etmek isteyenlere Kur’an’ın hakikatiyle ve Risale-i Nur’un hüccetleriyle, Nur talebelerinin sadakatleriyle hayırlı dualar ve iyilik etmek ile karşılayan;
Ve yazdığı mühim eserlerinden Âyetü’l-Kübra’nın tabıyla kendi zatına ve talebelerine gelen musibette hapishanelere düşen;
Ve o zindanları Kur’an’ın irşadıyla ve Risale-i Nur’un dersiyle ve şakirdlerin iştiyakı ile bir medrese-i Yusufiyeye çeviren ve bir dershane yapan;
Ve içimizde bulunan cahil olanların hepsini Kur’an’ı o dershanede hatmettirerek çıkaran;
Ve o musibette Kur’an’ın kuvve-i kudsiyesiyle ve Risale-i Nur’un tesellisiyle ve kardeşlerin tahammülleriyle ihtiyar ve zayıf olduğu halde bütün ağırlıklarımızı ve yüklerimizi üzerine alan;
Ve yazdığı Meyve ve Müdafaaname risaleleriyle Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan’ın i’cazıyla ve Risale-i Nur’un kuvvetli bürhanlarıyla ve şakirdlerin ihlası ile izn-i İlahî ile o zindan kapılarını açtırıp beraet kazandıran;
Ve o günde bize ve âlem-i İslâm’a bayram yaptıran;
Ve hakikaten Risale-i Nurları “Nurun alâ nur” olduğunu ispat ederek kıyamete kadar serbest okunup ve yazılmasına hak kazandıran;
Ve âlem-i İslâm’ın Kur’an-ı Azîmüşşan’ın gıda-i kudsîsiyle ve Nur’un uhrevî taamıyla ve şakirdlerinin iştihasıyla ekmek, su ve hava gibi bu Nurlara pek çok ihtiyacı olduğunu ve bu Nurları okuyup yazanlardan binler kişi imanla kabre girdiğini ispat eden;
Ve kendisine mensup talebelerini hiçbir yerde mağlup ve mahcup etmeyen;
Ve elyevm Kur’an’ın semavî dersleriyle ve Risale-i Nur’un esasatıyla ve şakirdlerinin zekâvetleriyle ve Meyve’nin Onuncu ve On Birinci Mesele ve çiçekleriyle firak ateşiyle gece gündüz yanan kalplerimizi âb-ı hayat ve şarab-ı kevser gibi o mübarek “Mesele” ve “Çiçekler” ile kalplerimizin ateşini söndürüp sürur ve feraha sevk eden;
Ve ey âlemin (Kur’an-ı Azîmüşşan’ın kat’î vaadiyle ve tehdidi ile ve Risale-i Nur’un keşf-i kat’îsiyle ve merhum şakirdlerinin müşahedesiyle ve onlardaki keşfe’l-kubur sahiplerinin görmesiyle) en çok korktuğu ölümü ehl-i iman için idam-ı ebedîden kurtarıp bir terhis tezkeresine çeviren;
Ve âlem-i Nur’a gitmek için güzel bir yolculuk olduğunu ispat eden;
Ve kâfir ve münafıklar için idam-ı ebedî olduğunu bildiren;
Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan’ın, bin mu’cizat-ı Ahmediye aleyhissalâtü vesselâm ve kırk vech-i i’cazının tasdiki altında ihbarat-ı kat’iyesiyle, ondan çıkan Risale-i Nur’un en muannid düşmanlarını mağlup eden hüccetleriyle ve Nur şakirdlerinin çok emarelerin ve tecrübelerin ve kanaatlerinin teslimi ile o korkunç, karanlık, soğuk ve dar kabri, ehl-i iman için cennet çukurundan bir çukur ve cennet bahçesinin bir kapısı olduğunu ispat eden;
Ve kâfir ve münafık zındıklar için cehennem çukurundan yılan ve akreplerle dolu bir çukur olduğunu ispat eden ve oraya gelecek olan Münker Nekir isminde melâikeleri ehl-i hak ve hakikat yolunda gidenler için birer munis arkadaş yapan;
Ve Risale-i Nur’un şakirdlerini talebe-i ulûm sınıfına dâhil edip Münker Nekir suallerine Risale-i Nur ile cevap verdiklerini merhum kahraman şehit Hâfız Ali’nin vefatıyla keşfeden;
Ve hayatta bulunanlarımızın da yine Risale-i Nur’la cevap vermemizi rahmet-i İlahiyeden dua ve niyaz eden;
Ve Hazret-i Kur’an’ı, Kur’an-ı Azîmüşşan’ın kırk tabakadan her tabakaya göre bir nevi i’caz-ı manevîsini göstermesiyle ve umum kâinata bakan kelâm-ı ezelî olmasıyla ve tefsiri olan Risale-i Nur’un Mu’cizat-ı Kur’aniye ve Rumuzat-ı Semaniye risaleleriyle ve Risale-i Nur Gül Fabrikasının serkâtibi gibi kahraman kardeşlerin ve şakirdlerin fevkalâde gayretleriyle asr-ı saadetten beri böyle hârika bir surette mu’cizeli olarak yazılmasına hiç kimse kādir olmadığı halde Risale-i Nur’un kahraman bir kâtibi olan Hüsrev’e “Yaz!” emir buyurulmasıyla, Levh-i Mahfuz’daki yazılan Kur’an gibi yazılması ve Kur’an-ı Azîmüşşan’ın hak kelâmullah olduğunu ve bütün semavî kitapların en büyüğü ve en efdali ve bir Fatiha içinde binler Fatiha ve bir İhlas içinde binler İhlas ve hurufatının birden on ve yüz ve bin ve binler sevap ve hasene verdiklerini hiç görülmedik ve işitilmedik pek güzel ve hârika bir surette tarif ve ispat eden;
Ve Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan’ın bin üç yüz seneden beri i’cazını göstermesiyle ve muarızlarını durdurmasıyla ve Nur’un gözlere gösterir derecede zâhir delilleri ile ve Nur şakirdlerinin elmas kalemleriyle bu zamana kadar misli görülmedik Risale-i Nur’un dünyaya ferman okuyan ve en mütemerrid ve muannidleri susturan Yirmi Beşinci Söz ve zeylleri kırk vecihle i’caz-ı Kur’anî olduğunu ispat eden;
Ve ey Hazret-i Peygamber aleyhissalâtü vesselâmın hak peygamber olduğuna ve umum yüz yirmi dört bin peygamberlerin efdali ve seyyidi olduğuna dair binler mu’cizelerini “Mu’cizat-ı Ahmediye” (asm) namındaki Risale-i Nur’u ile güzel bir surette ispat eden ve Kur’an-ı Azîmüşşan’ın Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâmın rahmeten li’l-âlemîn olduğunu kâinatta ilan etmesiyle ve Nur’un baştan nihayete kadar onun rahmeten li’l-âlemîn olduğunu bürhanlarla ispat etmesiyle ve o resulün ef’al ve ahvali, kâinatta numune-i iktida olacak en sağlam, en güzel rehber olduğunu hattâ körlere de göstermesiyle ve Anadolu ve hususi memleketlerde Nur’un intişarı zamanında belaların ref’i ve susturulmasıyla musibetlerin gelmesi şehadetiyle ve Nur şakirdlerinin gayet ağır müşkülatlar içinde kemal-i metanetle hizmet ve irtibatlarıyla o zatın (asm) sünnet-i seniyesine ittiba etmek, ne kadar kârlı olduğunu ve bir sünnete bu zamanda ittibada yüz şehidin ecrini kazandığını bildiren;
Ve sadaka, kaza ve belayı nasıl def’ediyorsa Risale-i Nur’un da Anadolu’ya gelecek kazayı, belayı, yirmi senedir def’ettiğini aynelyakîn ispat eden üstad-ı ekremimiz efendimiz hazretleri!
Şimdi şu Risale-i Nur’un beraeti, başta siz sevgili üstadımızı, sonra biz âciz, kusurlu talebelerinizi, sonra âlem-i İslâm’ı sürura sevk ederek ikinci büyük bir bayram yaptırdığından siz mübarek üstadımızın bu büyük bayram-ı şerifinizi tebrik ile ve yine üçüncü bayram olan ramazan-ı şerifinizi ve Leyle-i Kadrinizi tebrik, emsal-i kesîresiyle müşerref olmaklığımızı niyaz ve biz kusurluların kusurlarımızın affını rica ederek umumen selâm ile mübarek ellerinizden öper ve dualarınızı temenni ederiz, efendimiz hazretleri.
Isparta ve havalisinde bulunan Nur talebeleri
Haddimden yüz derece ziyade olan bu mektup muhteviyatını tevazu ile reddetmek bir küfran-ı nimet ve umum şakirdlerin hüsn-ü zanlarına karşı bir ihanet olması ve aynen kabul etmek bir gurur, bir enaniyet ve benlik bulunması cihetiyle, umum namına Risale-i Nur kâtibinin yazdığı bu uzun mektubu –on üç fıkraları ilâve edip– hem bir şükr-ü manevî hem gururdan hem küfran-ı nimetten kurtulmak için size bir suretini gönderiyorum ki Meyve’nin On Birinci Mesele’sinin âhirinde “Risale-i Nur’un Isparta ve civarı talebelerinin bir mektubudur” diye ilhak edilsin.
Ben bu mektubu, bu tadilat ile yazdığımız halde iki defa bir güvercin yanımızdaki pencereye geldi. İçeriye girecekti, Ceylan’ın başını gördü, girmedi. Birkaç dakika sonra başkası aynen geldi. Yine yazanı gördü, girmedi. Ben dedim: Herhalde evvelki serçe ve kuddüs kuşu gibi müjdecilerdir. Veyahut bu mektup gibi müteaddid mektupları yazdığımızdan, mübarek mektubun ta’dili ile mübarekiyetini tebrik için gelmişler, kanaatimiz geldi.
Said Nursî
- ↑ *Abu Dzar d bertanya, “Wahai Rasulullah, berapa jumlah seluruh nabi?” Beliau menjawab, “124 ribu. 315 di antaranya adalah rasul.” HR. Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, 5/265; Ibnu Hibban, ash-Shahîh, 2/77; ath-Th abrâni, al-Mu’jam al-Kabîr, 8/217; al-Hâkim, al-Mustadrak, 2/652; Ibnu Sa’ad, ath-Th abaqât al-Kubrâ, 1/23,54.şeyler
- ↑ *Salah satu ulama ahli tahkik tersebut adalah Rasail Nur di mana ia mampu membungkam fi lsuf materialis yang paling membangkang dan kalangan zindiq yang paling keras kepala sepanjang 20 tahun silam. Sampai sekarang pun ia masih siap menerima tantangan dan memberi perlawanan. Ia dapat dibaca dan ditelaah oleh semua orang tanpa bisa dibantah—Penulis.
- ↑ *Kalimat sisipan ini mengarah ke tahun 1946 M.
- ↑ *Setiap musim semi yang datang laksana kebangkitan bagi musim semi sebelumnya yang kiamatnya telah tegak dan kehidupannya sudah berakhir—Said Nursi.
- ↑ *Teksnya selesai di sini. Seolah-olah tirai tertutup di hadapan Ustadz sehingga penulisannya tidak berlanjut. Atau, bisa jadi kondisi sekitar ketika itu tidak mendukung sehingga dicukupkan sampai paragraf tersebut—Ih san Qasim ash-Shâlihi.
- ↑ *Persoalan ini adalah “bunga” yang lembut dan cemerlang milik bulan mulia ini dan kota Emirdag. Ia dimasukkan sebagai bagian dari “buah” penjara Denizli dengan menempatkan sebagai persoalan kesepuluh. Dengan izin Allah, ia bisa melenyapkan racun ilusi dan keraguan yang disemburkan oleh kaum sesat atas fenomena pengulangan dalam al-Qur’an. Yaitu penjelasan tentang salah satu dari sekian banyak hikmahnya—Penulis.
- ↑ *Syair tersebut karya Syarafuddin al-Bushairi dalam kasidah al-Bur dah:Terkadang mata mengingkari cahaya mentari karena sakit mata Lalu mulut mengingkari segarnya air karena sakit yang di derita.
- ↑ *Maksudnya 12 tahun sebelum penulisan risalah ini—Peny.
- ↑ *Langit bersuara dan ia berhak untuk bersuara. Tidak ada tempat seluas empat jari kecuali padanya terdapat malaikat yang meletakkan dahinya bersujud kepada Allah. (Lihat: Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, 5/173; at-Tirmidzi, az-Zuhd, 9; Ibn Majah, az-Zuhd, 19).
- ↑ *Lihat: at-Tirmidzi, al-Janâiz, 70; Ibnu Majah, al-Janâiz, 65; Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, 3/126 dan 4/288.
- ↑ *Ia termasuk generasi awal yang berguru kepada Ustadz Said Nursi. Ia sangat rajin menyalin Risalah Nur berkat tulisan bagus dan tekad kuat yang Allah anugerahkan padanya. Ia mati syahid di penjara Denizli tahun 1944. Semoga Allah melimpahkan rahmat yang luas kepadanya.
- ↑ *Abdurrahman ibn Abdullah, keponakan Ustad Nursi. Ia lahir tahun 1903 di Nurs dan wafat tahun 1928. Ia dimakamkan di kampung Dzul Fadhl, Ankara. Ia telah menulis sejarah kehidupan Ustadz hingga tahun 1918 dan menerbitkannya dalam sebuah buku yang dicetak di Istanbul.
- ↑ *Abdul Majid adalah saudara sulung Ustadz Nursi. Ia banyak mener jemahkan risalah beliau ke dalam bahasa Arab. Hanya saja, ia menerbitkannya pada saat itu pula dalam wilayah yang terbatas. Lalu sejumlah risalah berbahasa Arabnya (Isyarat al-I’jaz dan al-Matsnawi al-Arabi) diterjemahkan ke dalam bahasa Turki. Ia adalah guru bahasa Arab, lalu seorang mufti, dan pengajar ilmu-ilmu Islam di Lembaga untuk para imam dan khatib serta Ma’had al-Islam di Konya. Ia wafat tahun 1967 M pada usia 83 tahun. Semoga Allah memberikan rahmat yang luas kepadanya.
- ↑ *Lihat: At-Th abari, Jâmi'ul bayân, 15/156; Abu asy-Syaikh, alAzhîmah, 2/547; dan Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an, 3/62.
- ↑ *Abu Daud meriwayatkan dengan sanad sahih bahwa Nabi bersabda, “Aku mendapat izin untuk berbicara dengan malaikat pembawa Ara sy yang kedua kakinya di bumi bagian bawah lalu Arasy berada di atas tanduknya. Kemudian jarak antara cuping telinga dan pundaknya adalah tujuh ratus tahun. Malaikat itu berkata, “Mahasuci Engkau di manapun berada.”