CAHAYA KEDUA PULUH DELAPAN
Bazı kısımları buraya dercedilen bu risalenin tamamı, Hatt-ı Kur’an Lem’alar mecmuasında neşredilmiştir.
Nuktah Kedua
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ
“Kami tidak menciptakan jin dan manusia, kecuali supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menuntut rezeki dari mereka dan tidak pula menuntut mereka untuk memberi makan pada-Ku. Sesungguhnya Allah Maha memberi rezeki dan Pemilik kekuatan yang kokoh. (QS. adz-Dzariyat [51]: 56-58).
Secara tersurat, makna ayat al-Qur’an di atas tidak menampakkan sebuah cara penyampaian yang istimewa yang selaras dengan retorika al-Qur’an yang mengagumkan sebagaimana yang disebutkan dalam sebagian besar tafsir. Karena itu, aku seringkali merenungkannya. Secara singkat, di sini kami akan menjelaskan tiga saja dari banyak makna mulia yang dikandungnya.
Makna Pertama Allah kadangkala menyandarkan kepada diriNya berbagai kondisi yang mungkin disandarkan kepada Rasul-Nya yang mulia sebagai bentuk penghormatan kepada beliau.
Demikian pula di sini. Makna yang dimaksud dari ayat tersebut adalah pemberian makan dan rezeki yang ditujukan kepada Rasul.Artinya, “Dalam menunaikan risalah dan menyampaikan pengabdian kepada Allah, Rasul itu tidak menuntut upah, imbalan, dan pemberian makanan dari kalian”. Jika makna ayat tersebut tidak demikian, berarti ia merupakan pemberitahuan tentang sesuatu yang sudah diketahui secara jelas. Hal ini tidak sesuai dengan retorika al- Qur’an yang mengagumkan.
Makna Kedua Karena manusia cenderung sangat cinta kepada dunia, maka ia menyangka bahwa usaha mencari rezeki bisa menghalanginya dari ibadah kepada Allah. Oleh karena itu, untuk menghilangkan sang- kaan tersebut dan agar tidak ada alasan untuk meninggalkan iba- dah, ayat al-Qur’an menegaskan “Kami tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka menyembah-Ku”. Jadi, tujuan utama penciptaan hanyalah mengabdi pada Allah dan usaha mencari rezeki—dilihat dari keberadaannya sebagai perintah ilahi—merupakan bagian dari ibadah. Adapun penyediaan rezeki untuk makhluk-Ku, dirimu, keluargamu, bahkan rezeki binatang milikmu berada dalam jaminan-Ku. Akulah Dzat Yang Maha Memberi rezeki, Pemilik kekuatan yang ko- koh. Karena itu, janganlah hal ini kalian jadikan alasan untuk meninggalkan ibadah.
Akulah yang mengirim rezeki para hamba-Ku. Andaikata bukan makna ini yang dimaksud, karena kemusta- hilan memberikan rezeki kepada Allah adalah sesuatu yang telah diketahui secara umum, maka hal itu menjadi pemberitahuan sesuatu yang sudah dimaklumi. Ada sebuah kaidah umum dalam ilmu balagah (retorika) yang artinya:Jika makna sebuah ucapan sudah diketahui secara umum, maka bukan makna itu yang dituju. Tetapi yang dituju adalah implikasi atau makna tambahan selain dari yang dikandung oleh makna tersebut. Contohnya jika engkau berkata kepada seseorang yang hafal al-Qur’an, “Engkau adalah seorang hafidz,” perkataan ini tentu saja merupakan pemberitahuan tentang apa yang ada pada dirinya. Namun bukan itu yang dimaksud, tetapi maksud dari perkataan tersebut adalah, “Aku mengetahui bahwa engkau hafal al-Quran.” Dengan kata lain, aku memberitahukan padanya tentang sesuatu yang tidak dia ketahui, yaitu bahwa aku tahu kalau dia hafal al-Qur’an.
Atas dasar itulah, makna ayat di atas yang merupakan kiasan atas pembagian rezeki oleh Allah adalah sebagai berikut:Kalian tidak diciptakan untuk mengantarkan rezeki kepada makhluk yang telah Kujamin rezekinya. Akulah yang mengatur masalah rezeki. Kewajiban utama kalian adalah mengabdi dan berusaha untuk memperoleh rezeki sesuai dengan perintah-Ku di mana hal itu merupakan bagian dari ibadah.
Makna Ketiga Makna lahiriah dari ayat لَم۟ يَلِد۟ وَ لَم۟ يُولَد۟ ‘Dia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan’ yang terdapat dalam surat al-Ikhlas sa- ngat jelas dan bersifat aksiomatik. Karena itu yang dimaksud adalah implikasi dari makna tersebut. Yaitu bahwa mereka yang memiliki ibu dan anak tentu bukan Tuhan. Jadi dengan ayat “Dia tidak mela- hirkan dan tidak dilahirkan” yang bersifat aksiomatik dan yang berarti bahwa Dia Kekal dan Abadi, Allah menetapkan bahwa Nabi Isa, Uzair, para malaikat, bintang-gemintang, dan segala sembahan batil lainnya bukan merupakan Tuhan. Demikian pula dengan ayat yang kita bahas sekarang. Ayat yang berbunyi “Kami tidak menciptakan jin dan manusia kecuali su- paya mereka menyembah-Ku” mempunyai makna bahwa setiap yang diberi rezeki dan diberi makan, serta mempunyai kecenderungan untuk diberi rezeki dan diberi makan, tidak mungkin berposisi sebagai Tuhan. Sifat ketuhanan tidak pantas disandang oleh mereka yang membutuhkan rezeki dan makanan.
Said Nursî
PERTANYAAN SEPUTAR “QAILULAH”
“...atau saat mereka tidur di siang hari.” (QS. al-A’raf [7]: 4).Saudara Ra’fat ingin mengetahui makna dari kata ‘mereka tidur di siang hari’ yang terdapat pada ayat di atas. Maka bahasan ini pun ditulis berkenaan dengan pertanyaannya tentang ayat tersebut agar ia tidak membiarkan alat tulisnya menganggur akibat badannya yang lemah karena tidur sesudah shalat subuh seperti orang-orang lainnya yang mendekam di penjara.
Tidur ada tiga macam:
1. Gailulah Yaitu tidur sesudah shalat subuh hingga akhir waktu yang dimakruhkan untuk shalat.
Tidur semacam ini menyalahi sunnah Nabi. Ia membuat rezeki berkurang dan keberkahannya hilang sebagaimana ditegaskan dalam hadis Nabi. Sebab, waktu yang paling utama untuk menyiapkan awal usaha guna mencari rezeki adalah saat udara sejuk sesudah shalat subuh. Namun ketika ia telah berlalu, seseorang mulai merasa malas dan lemah sehingga bisa merusak usahanya di hari itu serta pada gilirannya akan membahayakan rezekinya. Selain itu, ia bisa menghilangkan keberkahan rezeki tersebut. Hal ini terbukti lewat banyak pengalaman.
2. Failulah Yaitu tidur sesudah shalat asar hingga magrib. Tidur semacam ini bisa menyebabkan berkurangnya umur.
Umur manusia menja- di berkurang akibat kebingungan yang bersumber dari tidur. Hari tersebut tampak begitu singkat baginya. Menghabiskan waktu asar dengan tidur sama seperti tidak melihat hasil maknawiyah yang ada pada hari tersebut di mana sebagian besarnya tampak pada waktu itu. Sehingga seolah-olah ia tidak hidup pada hari itu.
3. Qailulah Tidur semacam ini merupakan sunnah Nabi yang mulia.
Waktunya dimulai dari sejak dhuha hingga sedikit sesudah zuhur. Selain merupakan sunnah suci,(*[1])tidur tersebut juga bisa membantu seseorang untuk melakukan ibadah di malam hari. Sunnah Nabi ini diperkuat oleh kebiasaan penduduk Arab yang relatif tidak bekerja di saat terik siang hari sesuai dengan lingkungan mereka. Tidur ini memperpanjang umur dan menambah rezeki. Sebab, setengah jam yang dihabiskan untuk tidur qailulah menyamai dua jam tidur di malam hari. Dengan kata lain, ia bisa menambah umur hari itu sebanyak satu jam setengah. Pada waktu yang sama ia telah menyelamatkan satu jam setengah dari kealpaan tidur yang merupakan saudara kembar kematian sekaligus menambah waktu kerja untuk mencari rezeki. Dengan demikian, waktu untuk berusaha dan bekerja menjadi panjang.
Said Nursî
SEBUAH LINTASAN PIKIRAN YANG INDAH
Ketika aku membaca kalimat:“Beribu-ribu salawat dan salam semoga tercurah kepadamu, wahai Rasulullah” selepas shalat, tampak dari kejauhan lintasan pikiran yang indah yang tersingkap dari balik salawat tersebut. Hanya saja, aku tidak mampu memburu keseluruhannya. Namun di sini akan kutunjukkan beberapa di antaranya:
Aku melihat bahwa malam menyerupai sebuah rumah baru yang terbuka bagi penduduk dunia. Aku pun masuk ke dalam malam tersebut saat shalat Isya. Lewat bentangan imajinasi yang luar biasa dan lewat hubungan antara esensi manusia dan seluruh dunia, aku melihat bahwa dunia yang besar ini pada malam tersebut telah menjadi sebuah rumah yang sangat kecil sehingga manusia ataupun makhluk hidup di dalamnya nyaris tak terlihat. Dalam benak ini, aku melihat tidak ada yang bisa menyinari rumah tersebut kecuali pribadi maknawi Rasul, sehingga seluruh isinya penuh dengan kelapangan, kedamaian, dan kesenangan.
Sebagaimana seseorang memberi salam ketika ingin masuk ke dalam sebuah rumah, demikian pula dengan diriku. Ada kerinduan yang mendalam dan keinginan yang kuat dari diriku untuk mengucap:Beribu-ribu salawat dan salam semoga tercurah kepadamu wahai Rasulullah.(*[2])Dari sini aku merasa diriku seolah-olah memberikan salam kepada beliau sejumlah bilangan jin dan manusia. Serta lewat salam tersebut, kuungkapkan kembali sumpah setiaku kepada beliau, pera- saan penerimaanku terhadap risalahnya, ketundukanku pada seluruh hukum yang beliau bawa, serta kepatuhanku kepada seluruh perintahnya. Dengan kata lain, seolah-olah aku mempersembahkan salam ini atas nama setiap unsur dari duniaku meliputi jin, manusia, dan seluruh makhluk yang ada.
Demikian pula cahaya agung dan hadiah berharga yang beliau bawa mampu menyinari duniaku secara khusus di samping menyinari dunia setiap individu yang terdapat di alam ini. Sehingga ia mengubah dunia ini menjadi dunia yang penuh dengan nikmat. Terhadap berbagai nikmat yang melimpah ini, kuucapkan:“Ya Allah, limpahkanlah seribu salawat kepadanya” sebagai tanda syukur dan balas budi atas cahaya tercinta dan hadiah berharga tersebut. Sebab, kita sama sekali tidak akan mampu membalas budi baik beliau kepada kita. Maka dari itu, kita tunjukkan penghambaan kita kepada Allah lewat doa dan tawassul agar rahmat-Nya bisa tercurah kepada beliau sebanyak bilangan seluruh penduduk langit. Itulah yang kurasakan dalam benakku.
Beliau membutuhkan “salawat” yang bermakna rahmat se- bagai seorang “hamba” yang menuju kepada Allah . Beliau juga berhak mendapat “salam” sebagai seorang “rasul” yang diutus Allah kepada makhluk-Nya.Sebagaimana kita memberikan salam kepada beliau sebanyak bilangan jin dan manusia, serta memperbaharui sumpah setia kita yang bersifat umum sebanyak itu pula, beliau juga berhak menda- patkan salawat yang berasal dari perbendaharaan rahmat Tuhan sebanyak penduduk langit dan atas nama setiap mereka.
Sebab, cahaya yang beliau bawa itulah yang menampakkan kesempurnaan segala sesuatu sekaligus memperlihatkan nilai semua entitas. Dengan cahaya tersebut, tugas ilahi kepada setiap makhluk menjadi terlihat, serta tujuan mulia Tuhan pada setiap ciptaan menjadi tampak. Karena itu, seandainya setiap sesuatu memiliki lisan, pastilah mereka akan terus mengucap:Semoga salawat dan salam tercurah kepadamu, wahai Rasulullah. Maka dari itu, sebagai wakil dari seluruh makhluk kita layak mengucapkan:“Beribu-ribu salawat dan salam semoga tercurah kepadamu, wahai Rasulullah, sejumlah bilangan manusia, jin, malaikat, dan bintang.”
“Cukuplah Allah sendiri berikut malaikat-Nya yang mengirim salawat dan salam kepada beliau.”
Said Nursî
SEPUTAR WAHDATUL WUJUD
Saudaraku yang mulia! Engkau meminta penjelasan seputar wahdatul wujud. Dalam salah satu cahaya yaitu “Surat Ketiga Puluh” dalam buku al-Maktûbât terdapat jawaban yang memadai, meyakinkan, dan cukup jelas mengenai pendapat Muhyiddin Ibnu Arabi seputar masalah tersebut. Namun di sini kami hanya akan menjelaskan ala kadarnya.
Mengajarkan paham wahdatul wujud pada masa sekarang ini akan menimbulkan bahaya besar. Sebab, berbagai kiasan dan pe- rumpamaan(*[3])yang keluar dari lisan kalangan khawas (istimewa) lalu diterima oleh kalangan awam, atau yang berpindah dari orang berpengatahuan kepada orang tak berpengetahuan akan diterima sebagai hakikat nyata. Demikian pula dengan wahdatul wujud dan berbagai hakikat tinggi sejenisnya. Ketika ia beredar di kalangan awam yang alpa, yang terpengaruh dengan berbagai konsep natura- lisme, maka mereka menerimanya dalam perspektif naturalisme dan hal itu melahirkan tiga bahaya besar:
Bahaya Pertama Paham wahdatul wujud seolah-olah mengingkari eksistensi seluruh benda di hadapan wujud Allah. Hanya saja manakala paham tersebut masuk ke kalangan awam, ia akan mendorong orang- orang yang lalai di antara mereka terutama yang tercemari oleh paham materialisme, untuk mengingkari keberadaan Tuhan di hadapan alam materi.
Bahaya Kedua Paham wahdatul wujud secara tegas menolak adanya sifat ketuhanan pada selain Allah. Bahkan ia mengingkari keberadaan selain Allah dan menghapus adanya dualisme. Karena itu, ia tidak melihat adanya keberadaan wujud pada apa pun juga. Namun sekarang ini, di mana paham naturalisme sedang menyebar luas, nafsu manusia telah menjadi sosok Fira’un, khususnya mereka yang ingin disembah,berwatak sombong dan egois, serta lupa kepada Pencipta dan akhirat, maka mengajarkan wahdatul wujud kepada mereka akan membuat mereka melampaui batas. Naudzu billah.
Bahaya Ketiga Paham wahdatul wujud juga memicu munculnya berbagai pemikiran dan pandangan yang tidak sesuai dengan keberadaan Dzat Maha Agung yang tidak pernah berubah, berganti, terpisah, dan bias sehingga memunculkan berbagai ajaran yang menyimpang.
Ya, siapapun yang berbicara mengenai wahdatul wujud pikirannya harus terbang ke tempat yang tinggi untuk meninggalkan alam benda dan melihat arasy yang tinggi. Ia harus menganggap alam ben- da ini sebagai sesuatu yang tiada. Sehingga dengan kekuatan iman- nya ia melihat segala sesuatu secara langsung berasal dari pancaran Dzat Yang Maha Esa. Namun jika ia masih berdiri di belakang alam benda dan masih melihatnya, lalu segala sebab masih terlihat di hadapannya dan ia menyaksikan dari bumi, maka bisa jadi ia tenggelam dalam pengaruh sebab dan terjatuh pada kubangan alam.
Orang yang pemikirannya sudah naik menuju arasy akan menjadi sosok seperti Jalaluddin ar-Rumi(*[4])yang bisa berkata, “Bukalah pendengaranmu. Sesungguhnya engkau bisa mendengar dari setiap individu, demikian pula dari Tuhan”. Namun mereka yang tidak dapat naik ke jenjang yang mulia seperti beliau serta mereka yang tidak mampu melihat segala sesuatu dalam bentuk cermin manifesta- si-Nya, jika kau katakan pada mereka, “Dengarkanlah segala sesuatu, pasti engkau mendengar kalam Allah,” maka mereka akan memiliki pandangan yang salah yang bertentangan dengan hakikat sebenarnya seperti orang yang secara maknawi jatuh dari arasy ke bumi.
“Katakan, ‘Allah’ lalu biarkan mereka sibuk dalam kesesatannya.” (QS. al-An am [6]: 91).
Mahasuci Allah yang Dzat-Nya sama sekali tidak serupa dengan sesuatu, yang sifat-Nya jauh dari penyerupaan benda, serta tanda-tanda kekuasaan-Nya menjadi saksi atas rububiyah-Nya. Maha Agung Allah, tiada Tuhan selain-Nya.
Said Nursî
JAWABAN ATAS SEBUAH PERTANYAAN
Aku tidak memiliki waktu yang cukup untuk membuat sebuah studi perbandingan antara pemikiran Mustafa Sabri(*[5])dan Musa Bakuf.(*[6])Komentarku hanya sebagai berikut: Kedua-duanya ekstrem, yang satu sangat berlebihan dalam menerima dan yang satu lagi sangat berlebihan dalam menolak.Meskipun berbagai pembelaan dan argumen yang dikemukakan Mustafa Sabri memang benar jika dibandingkan dengan Musa Bakuf, namun ia tidak boleh mencela pribadi Muhyiddin Ibnu Arabi yang merupakan salah satu sosok monumental.
Ya, Muhyiddin Ibnu Arabi adalah orang yang mendapat petunjuk dan dapat diterima. Namun ia bukanlah seorang mursyid, pembimbing, dan teladan dalam semua tulisannya. Sebab pada umumnya, ia mengarungi perjalanan yang tidak wajar. Ia sering menyalahi prinsip-prinsip Ahlu Sunnah yang sudah baku. Selain itu, beberapa ucapannya secara lahiriah mengarah pada kesesatan walaupun sebenarnya beliau terlepas dari kesesatan tersebut. Sebab, bisa jadi lahiriah sebuah ucapan menunjukkan kekufuran, namun si penuturnya tidak kafir.
Nah, Mustafa Sabri tidak memperhatikan aspek-aspek ini. Karena kefanatikannya terhadap paham ahlu sunnah sehingga dalam beberapa hal ia sangat berlebihan.
Adapun Musa Bakuf, ia telah melakukan kesalahan besar lewat beberapa pandangannya yang mengikuti kemajuan dan sangat condong kepada pembaruan. Ia telah menyimpangkan beberapa hakikat Islam lewat intepretasi yang keliru. Lalu ia mengangkat sosok yang ditolak semacam Abul Ala’ al-Ma’arri sebagai tokoh panutan. Ia sangat berlebihan dengan terlalu condong pada persoalan-persoalan yang di dalamnya Ibnu Arabi berbeda pen- dapat dengan ahlu sunnah namun sejalan dengan pemikirannya.
Muhyiddin pernah berkata, “Buku-buku kami tidak boleh ditelaah oleh mereka yang bukan dari golongan kami”. Maksudnya, oleh mereka yang tidak mengenal kedudukan kami. Ya, membaca buku-buku Muhyiddin, terutama beberapa masalah yang terkait dengan wahdatul wujud, sangatlah berbahaya pada masa sekarang ini.
Said Nursî
RENUNGAN DARI BALIK JENDELA PENJARA
Ketika—dari jendela penjara—aku melihat tawa umat manusia yang memilukan dalam gemerlap malam yang penuh kegembiraan, aku melihatnya lewat lensa tafakkur ke masa depan disertai kerisauan atasnya. Tiba-tiba dalam khayalku terbayang secara jelas kondisi berikut:
Sebagaimana dalam film, kita bisa menyaksikan kehidupan orang-orang yang telah berada di dalam kubur, maka seolah-olah aku juga menyaksikan di hadapanku sejumlah jenazah bergerak yang sebentar lagi akan menjadi penghuni kubur. Aku pun menang- isi mereka yang saat ini sedang tertawa. Dari situ aku merasa kesepian dan menderita. Aku kemudian berpikir dan mempertanyakan hakikat tadi seraya berkata, “Bayangan apa ini?”
Hakikat itu pun menjawab, “Sesungguhnya lima dari lima puluh orang yang saat ini sedang tertawa dan bergembira, lima puluh tahun mendatang akan menjadi tua renta. Punggung mereka akan bungkuk dan umur mereka mendekati tujuh puluh tahun. Sementara empat puluh lima orang sisanya akan dilemparkan ke kubur.” Jadi wajah-wajah tampan dan tawa riang itu akan berubah menjadi kebalikannya. Sesuai dengan kaidah yang berbunyi, “Setiap yang datang adalah dekat”(*[7])maka sesuatu yang akan datang itu seolah-olah sekarang telah tiba secara nyata. Jadi, apa yang telah kusaksikan sebe- narnya bukanlah khayalan.
Karena tawa di dunia yang menyiratkan kelalaian ini bersifat sementara, fana, dan menutupi berbagai kondisi yang menyakitkan sekaligus memilukan, maka sebenarnya yang bisa membahagiakan kalbu manusia—yang rindu keabadian—serta yang bisa menenteramkan jiwanya adalah kesenangan suci dan kebahagiaan abadi yang berada dalam koridor syariat disertai rasa syukur lewat hati yang tenang dan tidak lalai.
Agar di saat hari raya manusia tidak terjerumus dalam kelalaian dan agar kelalaian tersebut tidak mendorong manusia untuk keluar dari batasan syariat, maka dalam beberapa hadis kita bisa menemukan adanya motivasi dan dorongan yang kuat untuk senantiasa bersyukur dan berzikir kepada Allah pada hari-hari itu. Sehingga nikmat kebahagiaan dan kesenangan tadi berubah menjadi rasa syukur yang bisa mengekalkan dan menambah nikmat tersebut. Sebab, rasa syukur akan menambah nikmat sekaligus melenyapkan kelalaian.
Said Nursî
NAFSU AMMÂRAH
Penjelasan tentang salah satu dari beberapa kandungan ayat al- Qur’an dan hadis berikut: “Sesungguhnya nafsu itu senantiasa mendorong kepada keburukan.” (QS. Yusuf [12]: 53).“Musuhmu yang paling hebat adalah nafsumu yang berada di dalam dirimu”(*[8]).
Ya, orang yang mencintai dan mengagumi nafsu ammârah-nya sebenarnya hanya mencintai dirinya. Bahkan meskipun ia memperlihatkan kecintaan kepada orang lain, cinta tersebut tidaklah berasal dari lubuk hatinya. Tetapi, bisa jadi ia mencintai orang tadi karena kepentingan pribadi dan karena mengharap keuntungan tertentu. Ia senantiasa berusaha agar orang lain mencintai dirinya serta berusaha agar orang lain kagum kepadanya. Ia singkirkan segala aib dari dirinya sehingga tampak bersih. Bahkan ia selalu membela diri layaknya pengacara agar dirinya bebas dari kesalahan. Kemudian ia memuji diri secara berlebihan bahkan tidak jarang dengan banyak kebohongan agar terlepas dari segala aib dan cacat hingga ke tingkat peng- kultusan. Lebih dari itu, kondisinya menjadi seperti yang ditegaskan al-Qur’an:“Orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya.” (QS. al-Furqan [25]: 43).Pada saat tersebut ayat al-Qur’an di atas mulai memberikan berbagai teguran dan pelajaran kepadanya sehingga alih-alih dipuji, orang malah berpaling darinya. Bukan dicintai, ia malah dilecehkan oleh mereka.
Disamping itu, ia telah kehilangan keikhlasan karena amal ukhrawinya telah dicampuri oleh sikap riya. Akhirnya, ia kalah oleh hawa nafsu dan perasaannya yang tidak melihat akibat, tidak memikirkan hasilnya dan sibuk dengan kenikmatan yang ada saat ini. Bahkan hawa nafsunya yang sesat ikut membenarkan berbagai hal yang ia lakukan akibat kenikmatan yang tidak lebih dari satu jam namun bisa menjerumuskannya ke dalam penjara selama satu tahun. Serta, bisa jadi ia mendapat hukuman selama sepuluh tahun akibat balas dendam yang hanya berlangsung satu menit. Ia ibarat anak kecil yang bodoh yang tidak menghargai nilai mushaf al-Qur’an yang ia baca dan ia pelajari sehingga rela menjualnya dengan sepotong kue yang murah. Dengan begitu, ia telah menghapus pahala amalnya yang lebih mahal daripada intan permata untuk kemudian diganti- kan dengan serpihan kaca. Itulah perasaan, hawa nafsu, dan sikap lupa dirinya. Sebagai akibatnya, ia pun mengalami kerugian hebat pada sesuatu yang semestinya ia memperoleh keuntungan besar.
Ya Allah, lindungi kami dari kejahatan nafsu dan setan, serta dari kejahatan jin dan manusia.
Pertanyaan:Mengapa tinggal untuk selamanya di neraka jahannam merupakan hukuman yang adil bagi kekufuran yang hanya berlangsung beberapa saat?
Jawaban:Pembunuhan yang berlangsung dalam satu menit bisa dihukum dengan tujuh juta delapan ratus delapan puluh empat ribu menit, kalau satu tahun terhitung 365 hari. Jika ini saja merupakan hukuman yang adil, maka orang yang menghabiskan dua puluh tahun dari umurnya dalam kubangan kekufuran serta mati dalam kekufuran tadi, dengan berdasar hukuman manusia di atas ia pantas mendapat hukuman penjara selama lima puluh tujuh triliun dua ra- tus satu miliar dan dua ratus juta tahun. Hal ini mengingat satu menit dari kekufuran sama dengan seribu pembunuhan. Dari sini kita bisa memahami bahwa ia selaras dengan firman Allah yang berbunyi:“Mereka kekal selamanya di dalam neraka.” (QS. an-Nisa [4]:169).Rahasia hubungan antara dua bilangan yang sangat berjauhan itu adalah sebagai berikut:
Kekufuran dan pembunuhan merupakan bentuk tindakan pe- rusakan dan pelanggaran terhadap orang lain. Keduanya memberikan dampak kepada orang lain. Tindak pembunuhan yang terjadi hanya dalam satu menit paling tidak secara lahiriah telah melenyap- kan lima belas tahun dari kehidupan si terbunuh. Karena itu, si pembunuh tadi dipenjara sebagai ganti darinya. Sementara satu menit kekufuran yang merupakan bentuk pengingkaran terhadap seribu satu nama-Nya yang mulia, pelecehan terhadap goresan-Nya yang indah, pelanggaran terhadap hak-hak alam semesta, pengingkaran terhadap kesempurnaan-Nya, dan pendustaan terhadap dalil-dalil keesaan-Nya yang tak terhingga akan melemparkan pelakunya ke dalam tingkatan yang paling rendah selama lebih dari seribu tahun. Ia pun masuk ke dalam firman Allah yang berbunyi خَالِدٖينَ ‘Mereka kekal...’.
Said Nursî
SEBUAH KORELASI INDAH YANG MENGANDUNG MAKNA
Peraturan nomor 163 yang dipakai untuk menuntut dan memutuskan hukuman terhadap murid-muird Nur merupakan angka yang sama dengan jumlah wakil rakyat yang menyetujui putusan khusus parlemen untuk memberikan seratus lima puluh ribu lira guna pembangunan madrasah pengarang Risalah Nur. 163 orang tersebut merupakan sejumlah wakil rakyat dari sekitar 200 wakil rakyat yang duduk di Majelis Nasional Turki. Persetujuan 163 wakil rakyat ini membatalkan keputusan peraturan nomor 163.
Hal yang sama terjadi pada kondisi berikut: Penangkapan dan penahanan terhadap pengarang berikut murid-murid Risalah Nur terjadi pada tanggal 27 April 1935. Sementara putusan pengadilan atas mereka dikeluarkan pada tanggal 19 Agustus 1935, artinya 115 hari sesudahnya. Angka ini sama dengan banyak bilangan buku Risalah Nur yang berjumlah 115. Selain itu, ia juga sama dengan jumlah murid Nur yang menjadi tertuduh, yai- tu sebanyak 115 orang. Adanya kesamaan angka ini menunjukkan bahwa musibah dan ujian yang diterima oleh pengarang berikut para murid Nur itu telah diatur oleh Allah.(*[9])
Bu Lem’a’nın başında İmam-ı Ali (ra) Risale-i Nur’a işaret ettiğinden, bir kardeşimiz heyecanlı bir iştiyakla Risale-i Nur’a, Elmas Cevher Nur ismini takıp tekrar ederek yazmıştı. Bu Lem’a’nın âhirinde derci münasip görüldü:
Takva dairesinde bulunan talebe deli de olsa, acaba Risale-i Nur’un ve kıymetli elmasın nurundan ayrılabilir mi? Öyle tahmin ederim ki Risale-i Nur’un bu âciz talebeniz kadar kerametini, faziletini, lezzetini yiyen, tatlı meyvesinden koparan nadirdir. Hem bu kadar âcizliğim ile beraber, Risale-i Nur’a hizmet edemediğim halde göstermiş olduğunuz teveccühe medyun-u şükranım. Binaenaleyh Risale-i Nur’dan bendeniz değil, hiçbir talebeniz o mübarek elmastan ve lezzetten ayrılamaz.
Affınıza mağruren Risale-i Nur’un bu defaki taharriyatında iki kerameti meydana aynen çıkmıştır: Hapishane içerisinde polis, jandarma ve gardiyanlar müthiş arama yaparken, o esnada hiç kimse görmeden, yedi sekiz yaşında, hemşiremin mahdumu, mektep çantasının içerisine Risale-i Nur’un nüshalarını koyarak alıp gitmiştir.
Arama, bendenizin odasında idi. Çocuk odaya geldi, odada telaş görünce, odanın bir tarafında ayrıca duran Risale-i Nurları çantasına koydu ve içerideki memurların hiçbirisi farkına varmadı, çocuğa da bir şey demediler. Fedakâr çocuk doğruca validesine gidiyor. “Dayımın daima bize okuduğu Risale-i Nurları getirdim. Bunları alacaklarmış. Ben onların haberi olmadan, onlar başka mektup, kitap karıştırırlarken aldım, çantama koydum. Bunları iyice bir yere koyunuz, muhafaza ediniz. Ben bunların okunmasını çok seviyorum. Dayım bize bunları okuyordu. O okurken ben başka bir halet kesbediyordum.” diye validesine söylüyor ve mektebine avdet ediyor. Bu sayede Elmas Cevher Nurlar ele geçmemiş oluyor.
Bu keramet değil de nedir? Kur’anî bir mu’cize değildir de nedir? Acaba bu fazilet, acaba bu lezzet, acaba bu Elmas Cevher, hangi telifatta vardır ki bu Elmas Cevher Nurlar, şimdiye kadar hangi zatın ağzından dökülmüştür? Ben de hapis değil, bu Elmas Cevher Nurlar için her an her dakika her fedakârlığı memnuniyetle kabul ederim. Benden sonra bu Elmas Cevher Nurlar yoluna evladım Emin de bütün hayatını sarf etmeye hazırdır.
İşte bu Elmas Cevher Nur’un ikinci kerametini ispat ile üç yaşından sekiz yaşına kadar akrabalarım ve evladım, bu Elmas Cevher Nurlar için fedakârane ve bu yolda hayatlarını hiç düşünmeden feda edeceklerini ispat ederim. Çünkü bu Elmas Cevher Nur’u okurken hepsi başıma toplandı. Onları sevdim ve birer çay verdim, bu Elmas Cevher Nur’u okumaya devam ettim. Hepsi birden “Bu nedir? Bu yazı nasıl yazıdır?” sordular. Ben de dedim: “Bu Elmas Cevher Nur’dur.” diye bunlara okumaya başladım. Onuncu Söz’ü okurken saatler geçmiş. Çocuklar merakından, anlayamadıkları zaman hemen bendenize soruyorlardı. Ben de bu Elmas Cevher Nur’u onların anlayabileceği şekilde izah ederken çocukların renkleri, renk renk oluyordu ve güzelleşiyordu. Bendeniz de çocukların yüzüne baktıkça hepsinde ayrı ayrı nurlu Said görüyordum.
Suallerinde “Nur hangisi, Cevher hangisi ve Elmas hangisi?” diye sorduklarında; “Evet Nur, bunu okumaktır. Bak sizde bir güzellik meydana geldi.” Onlar da birbirinin yüzüne baktılar, tasdik ettiler. “Ya Elmas nedir?” “Bu sözleri yazmaktır. O zaman, yani yazdığınız zaman sizin yazılarınız elmas gibi kıymetli olur.” Tasdik ettiler. “Ya Cevher nedir?” “İşte o da bu kitaptan aldığınız imandır.” Hepsi birden şehadet getirdiler. Bu sohbette üç dört saat geçmiş, bendeniz farkına varmadım.
İşte “Elmas Cevher Nur budur.” dedim. Tasdik ettiler. Hepsi birden bana bakıyorlardı ve “Bunu kim yazdı?” diyorlardı.
Âciz talebeniz
Şefik
Zekâi’nin Rüyası
Bu sabah rüyamda, İstanbul’un Tophane sahiline benzer saf ve berrak bir deniz kenarındayım. Kuşluk zamanında olduğunu zannettiğim güneşin ziyası, o derya-yı azîmin üzerinde hoş parıltılar husule getiriyor. Ben deryaya müteveccihim. Denizin orta ve cenubu tarafından yüze yüze sahile gelen bir genç, omuzundaki bir sabanı sahile çıkardı. Orada bütün kardeşlerimize (tahliyeden sonra) istikbal edilmekteler iken, sahil boyunu takiben, garptan dolu dizgin iki atlı geliyor. “Üstad geliyor!” dediler. Bu izdiham yarıldı, hiç durmaksızın bu mühib yağız atlı ve esmer çehreli iki zat, şarka doğru uzaklaştılar. Ben, o deryaya dalmak üzere iken uyandım.
Zekâi
Tarafgirane ve Risale-i Nur’a rakibane söylenen sözlere mukabildir.
Ger medhetmekse tefahurla kendinizi maksadın
Risale-i Nur’un en sönük yıldızının peykisiniz
Zinhar seyyare zannetme kardeşim, Risale-i Nur’un
Arz değil, âfitab dahi peykidir onun
Pek yakında parlayacaktır âlemde Risale-i Nur
Sönmez, belki gizlenir, zira nurun alâ nur
Bir nur ki bahr-i hakikat ve mahz-ı hidayettir o
مَن۟ اَص۟حَابُ الصِّرَاطِ السَّوِىِّ وَ مَنِ اه۟تَدٰى yı oku.
Hak’tan olmaz şikâyet, belki maksat hikâyet
Şer’in üzere giderken Hakk’a malûm
Risale-i Nur’a ki eylemiştim hem de hizmet
Risale-i Nur ki Aliyyü’l-Murtaza ve Gavs-ı A’zam
Celcelutiye’de ve bazı kasaidde etmişler işaret
Risale-i Nur ki urvetü’l-vüska, lenfisam
Temessük etmiştim zira hem hidayet ve ayn-ı hakikat
Koydular bizleri ki orada durmuştu Yusuf aleyhisselâm
Hem de beraberimizde idi Hazret-i Üstad.
Halil İbrahim
Yirmi Sekizinci Lem’a’nın Yirmi Sekizinci Nüktesi
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ
لَا يَسَّمَّعُونَ اِلَى ال۟مَلَاِ ال۟اَع۟لٰى وَيُق۟ذَفُونَ مِن۟ كُلِّ جَانِبٍ دُحُورًا وَلَهُم۟ عَذَابٌ وَاصِبٌ اِلَّا مَن۟ خَطِفَ ال۟خَط۟فَةَ فَاَت۟بَعَهُ شِهَابٌ ثَاقِبٌ
وَلَقَد۟ زَيَّنَّا السَّمَٓاءَ الدُّن۟يَا بِمَصَابٖيحَ وَجَعَل۟نَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطٖينِ gibi âyetlerin mühim bir nüktesi, ehl-i dalaletin bir tenkidi münasebetiyle beyan edilecek. Şöyle ki:
Cin ve şeytanın casusları, semavat haberlerine kulak hırsızlığı yapıp, gaybî haberleri getirerek, kâhinler ve maddiyyunlar ve bazı ispirtizmacılar gibi gaibden haber verenlere haber vermelerini, nüzul-ü vahyin bidayetinde vahye bir şüphe getirmemek için onların o daimî casusluğu, o zaman daha ziyade şahaplarla recm ve men’edildiğine dair olan mezkûr âyetler münasebetiyle gayet mühim üç başlı bir suale muhtasar bir cevaptır.
PertanyaanDari ayat-ayat semacam di atas dapat dipahami bahwa demi mencuri pendengaran dan mendapat berita gaib, bahkan dalam hal yang sepele atau pada sesuatu yang bersifat pribadi, para mata-mata dari jenis setan itu mau menerjang kerajaan langit yang sangat jauh hingga seolah-olah persoalan sepele tadi merupakan objek yang mendapat perhatian seluruh bagian langit yang luas. Serta, setan manapun dan datang dari manapun bisa mencuri berita meskipun dengan susah payah untuk kemudian dikirim ke bumi.
Hal ini sulit untuk diterima akal. Selanjutnya, sebagian nabi yang menerima risalah, juga para wali yang memiliki karamah, mereka bisa mendapatkan buah surga yang berada di atas langit yang tinggi seolah-olah mereka mengambilnya dari tempat yang dekat. Bahkan kadangkala mereka bisa menyaksikan surga dari tempat yang dekat. Dengan kata lain, sesuatu yang sangat jauh menjadi sangat dekat. Inilah yang sukar dipahami oleh akal kita pada masa sekarang.
Kemudian sebuah kondisi khusus yang dialami oleh pribadi tertentu bisa menjadi bahan pembicaraan para malaikat di langit yang sangat luas itu. Tentu saja hal ini tidak sejalan dengan pengelolaan alam yang berjalan dengan penuh hikmah. Perlu diketahui bahwa tiga persoalan di atas termasuk bagian dari hakikat Islam.
Jawaban
Pertama, ayat al-Qur’an yang berbunyi:“Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang, dan kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan” menjelaskan bahwa mata mata yang berasal dari jenis setan yang berusaha naik ke langit untuk mencuri berita itu diusir dengan bintang langit. Masalah ini telah dikaji secara baik dalam “Kalimat Kelima Belas” dan diterangkan secara meyakinkan hingga bisa memuaskan para materialis yang keras kepala sekalipun. Bahkan mereka terdiam dan mau menerimanya. Hal itu terwujud dengan tujuh premis meyakinkan sebagai tujuh tingkatan untuk bisa mema- hami ayat al-Qur’an.
Kedua, kami akan menunjukkan tiga hakikat Islam yang dianggap sulit diterima akal itu lewat perumpamaan agar lebih bisa diterima oleh pikiran kita yang terbatas dan sempit.
Anggap saja distrik militer milik pemerintah bertempat di timur negara, sementara distrik peradilannya berada di daerah barat, distrik pendidikannya berada di daerah utara, distrik urusan agamanya berada di daerah selatan, dan distrik para birokrat berada di pusat. Meskipun jarak antardistrik tersebut jauh, namun seandainya masing-masing berko- munikasi dengan telepon atau telegrap akan tercipta hubungan yang kuat. Seluruh bagian negara seolah-olah menjadi sebuah distrik. Yaitu distrik peradilan, militer, agama, birokrasi dan seterusnya.
Contoh lain: Kadangkala beberapa negara yang mempunyai ibukota yang berbeda ikut serta dalam sebuah kerajaan dengan kekuasaan masing-masing. Hal itu bisa terwujud karena kepentingan penja-jahannya, atau karena kekhususan tertentu, atau karena hubungan perdagangan di dalamnya. Dalam kondisi tersebut, setiap pemerintah mempunyai keterkaitan dengan rakyat tadi lewat kekhususan yang dimilikinya. Meskipun mereka satu rakyat atau satu bangsa, namun hubungan antar berbagai pemerintah yang sangat jauh itu saling terkait dan saling berdekatan dalam satu rumah bahkan memberikan kontribusi pada setiap orang. Sehingga persoalan pemerintah yang sebenarnya bersifat sepele dan pribadi bisa terlihat dalam beberapa wilayah bagian akibat adanya kontak dan hubungan. Setiap persoalan parsial dan sepele memang tidak berasal dari wilayah yang universal dan luas. Namun manakala ia menjadi bahan pembahasan seolah-olah ia berasal dari wilayah yang universal dan luas karena keterkaitannya dengan hukum universal yang berlaku di wilayah itu. Ia tergambar seolah-seolah sebagai persoalan yang menjadi objek pembahasan di wilayah universal tersebut.
Dari dua perumpamaan di atas kita dapat mengatakan bahwa kerajaan langit yang jika dilihat dari ibukota dan titik sentralnya berada sangat jauh, sebenarnya ia memiliki “jaringan telepon maknawiyah” yang terhubung dengan setiap kalbu manusia yang ada di kerajaan bumi. Disamping itu, alam langit tidak hanya mengawasi alam nyata saja. Tetapi ia juga mencakup alam arwah dan alam malakut. Karena itulah, dari satu sisi, alam langit mencakup alam syahadah (indrawi, nyata) dengan dibungkus tirai.
ikian pula dengan surga yang termasuk alam abadi. Ia merupakan negeri yang kekal. Meskipun sangat jauh, namun wilayah kekuasaannya terbentang dan menyebar ke seluruh sisi di bawah tirai alam nyata.
DemSelain itu, meskipun indra manusia yang diciptakan oleh Sang Pencipta Yang Mahabijak dan Mulia lewat hikmah dan kekuasaan-Nya terdapat di kepala manusia, dan walaupun tempatnya ber- beda-beda, namun masing-masing berkuasa atas seluruh tubuh dan mempunyai daerah kekuasaan sendiri.
Hal yang sama berlaku pada alam yang merupakan “manusia besar”. Di dalamnya tercakup ribuan alam yang menyerupai berbagai daerah yang saling bercampur. Ber- bagai kondisi dan peristiwa yang berlangsung di alam tersebut akan menjadi sorotan sesuai dengan skalanya kecil atau besar. Artinya, hal-hal yang bersifat sepele dan parsial tampak pada tempat-tempat yang parsial dan dekat, sementara berbagai persoalan besar tampak pada tempat yang universal dan besar pula.
Namun bisa juga peristiwa yang bersifat parsial dan khusus menempati alam yang besar sehingga kemanapun telinga dipasang, peristiwa tersebut akan terdengar. Kadangkala pasukan besar dikerahkan untuk menunjukkan kehebatan bukan karena kuatnya musuh.
Contohnya risalah Muhammad dan peristiwa turunnya wahyu al-Qur’an. Karena ia merupakan peristiwa besar, maka seluruh alam langit bahkan setiap isinya siap sedia. Para pasukan penjaga berbaris rapi di menara besar yang terdapat di langit yang sangat tinggi dan jauh. Mereka melemparkan ketapel yang berasal dari bintang api untuk mengusir setan dari langit. Ketika ayat al-Qur’an menegas- kan bagaimana setan-setan itu dilempari dengan bintang api teru- tama pada waktu permulaan turunnya wahyu, hal itu menunjukkan isyarat Tuhan untuk memberitahukan tingkat keagungan al-Qur’an sekaligus tingkat kebenaran dan keabsahannya di mana ia sama se- kali tidak bercampur dengan kebatilan. Begitulah al-Qur’an al-Karim menerjemahkan pemberitahuan agung tadi dan menjelaskan isyarat langit itu.
Ya, penampakan isyarat langit yang agung tersebut, pemberitahuan adanya setan yang mengajak duel malaikat, serta bagaima- na para mata-mata itu diusir oleh semburan malaikat semuanya merupakan bentuk pemberitahuan akan keagungan dan ketinggian al-Qur’an.
Selanjutnya, penjelasan al-Qur’an di atas serta pemberitahuan tentang berkumpulnya para malaikat di langit tersebut tidak menunjukkan bahwa jin dan setan sangat kuat dan hebat sehingga mendorong penduduk langit untuk berduel dan berjuang mengusir mereka. Tetapi ia hanyalah isyarat bahwa setan dan jin sama sekali tidak bisa masuk ke dalam perjalanan panjang yang terbentang dari kalbu Rasul hingga alam langit, bahkan hingga arasy-Nya yang agung.Dengan demikian al-Qur’an mengungkapkan bahwa wahyu al-Qur’an merupakan hakikat agung yang layak untuk dimuliakan dan diperhatikan oleh seluruh malaikat di langit sana di mana setan terpaksa harus naik ke langit untuk mendapatkan sedikit berita tentangnya. Namun naas mereka kemudian dilempari dan diusir hingga tidak memperoleh apa-apa. Dengan adanya pengusiran terhadap setan itu, al-Qur’an mengisyaratkan bahwa wahyu al-Qur’an yang turun kepada kalbu Muhammad, malaikat Jibril yang turun ke majelis beliau, serta berbagai hakikat gaib yang tampak dalam pandangan beliau, semuanya selamat, benar, sah, dan tidak tercampur oleh keraguan sedikitpun. Begitulah al-Qur’an menjelaskan persoalan ini dengan kemukjizatannya yang sangat mengagumkan.
Adapun kemampuan untuk menyaksikan surga di tempat yang paling dekat serta kemampuan memetik buahnya padahal ia berada sangat jauh dari kita dan ia berada di alam yang kekal, maka lewat kedua perumpamaan di atas ia dapat dipahami sebagai berikut:Alam fana atau alam nyata ini merupakan hijab yang menutupi alam gaib dan alam abadi. Karenanya, meskipun pusat surga berada di tempat yang sangat jauh, ia bisa dilihat dengan perantaraan cermin alam mitsâl. Selain itu, lewat perantaraan iman yang sudah sampai ke tingkat haqqul yaqin, surga bisa memiliki daerah dan wilayah pendudukan di alam fana ini. Hubungan dan kontak dengan surga juga bisa dilakukan lewat roh-roh mulia dan “telepon kalbu”. Serta buahnya pun bisa berdatangan darinya.
Adapun sibuknya wilayah universal dengan sebuah peristiwa yang berskala kecil dan parsial atau seperti yang dikatakan di dalam tafsir bahwa setan naik ke langit untuk mencuri pendengaran dan membawa berita gaib guna disampaikan kepada dukun, hakikat tersebut harus dilihat sebagai berikut:
Sebenarnya setan tidak naik ke pusat alam langit untuk menerima berita tadi. Tetapi ia naik ke beberapa tempat terpencil di angkasa—yang masih termasuk langit—dan ke beberapa tempat yang menyerupai pos-pos langit. Tentu saja ada kontak hubungan antara tempat-tempat tersebut dengan kerajaan bumi. Nah, di tempat-tempat terpencil itulah setan berusaha mencuri pembicaraan guna mendapat berbagai informasi yang berskala kecil dan sepele. Bahkan kalbu manusia pun merupakan salah satu tempat di mana malaikat ilham tetap memerangi setan.
Adapun persoalan al-Qur’an, keimanan, dan berbagai peristiwa yang terjadi dengan Rasul, betapapun adanya, ia merupakan peristiwa terbesar dan termulia dalam wilayah langit dan arasy. Bahkan seolah-olah ia tersebar di lembaran ketetapan ilahi yang bersifat universal. Segala persoalan yang terkait dengannya begitu dimuliakan dan diperhatikan di seluruh sisi langit. Ia berpangkal dari kalbu Rasul dan berakhir di wilayah arasy yang maha agung dalam kondisi terlindung dari segala infiltrasi setan. Karena itu, lewat ayat-ayat di atas, al-Qur’an beserta penjelasannya itu ingin mengungkapkan bahwa tidak ada jalan bagi setan untuk menerima berita langit kecuali dengan mencuri-curi berita. Kemudian dengan penjelasan itu, al-Qur’an juga menjelaskan bahwa betapa agungnya wahyu al-Qur’an tersebut! Betapa hebat nilainya! Betapa benar kenabian Muhammad! Sehingga, baik al-Qur’an maupun kenabian beliau, sama sekali tak bisa di dekati oleh sedikitpun keraguan apa pun bentuknya.
سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
Said Nursî
- ↑ *Lihat: al-Bukhari, al-Isti’dzân, 16; 39; 41; al-Jumu’ah, 40, 41; al-Harts, 21; al-‘Ath’imah, 17; Muslim, al-Fadhâil, 84, al-Jumu’ah, 30; Abu Daud, al-Jumu’ah, 218.
- ↑ *Hal itu karena rahmat yang turun kepada Rasulullah mengarah pada kebutuhan seluruh umat di zaman yang abadi. Karena itu, salawat yang tak terhingga yang dipersembahkan kepada beliau menjadi sangat tepat. Jika sekiranya seseorang masuk ke dalam sebuah rumah kosong yang gelap dan mencekam seperti dunia yang gelap dan penuh dengan kelalaian ini, pastilah ia akan sangat ketakutan dan gelisah. Namun ia akan menjadi sangat senang, tenteram, dan bahagia jika kemudian ia melihat ada se- seorang di depan rumah yang bisa memperkenalkan kepadanya semua isi rumah. Lalu bagaimana menurutmu seandainya orang tersebut adalah kekasih tercinta, Rasulullah. Beliau berada di depan rumah untuk memperkenalkan kepada kita Sang Penguasa Yang Maha Pengasih dan Maha Mulia berikut segala sesuatu yang ada di dalamnya. De- mikianlah kira-kira kondisi yang ada sehingga engkau bisa menghargai dan merasakan nikmatnya bersalawat kepada Nabi—penulis.
- ↑ *Seperti dua malaikat besar yang dikenal dengan nama Sapi Jantan dan Ikan. Bagi orang awam, perumpamaan tersebut berubah menjadi gambaran Sapi Jantan dan Ikan Besar—Penulis.
- ↑ *Maulana Jalaluddin ar-Rumi (604 – 672 H / 1207 – 1273 M) adalah sosok ulama yang menguasai fikih Hanafi, perbedaan pendapat, serta berbagai bidang ilmu. Selain itu, ia merupakan sosok sufi, penulis kitab al-Matsnawi yang terkenal berisi 26.000 bait. Ia juga pendiri tarekat Maulawiyah. Lahir di Balkh (Persia), menetap di Konya tahun 623 H. Ia dikenal pandai dalam ilmu fikih dan berbagai ilmu keislaman lainnya. Setelah ayahnya meninggal di tahun 628 H, ia mulai mengajar di Konya di empat madrasah. Di antara karyanya adalah Diwan Kabir, Fihi mâ fihi, dan Maktubat.
- ↑ *Mustafa Sabri (1869 – 1954 M) menjadi ulama terkemuka pada masa Daulah Usmaniyah. Ia melawan gerakan Ataturk. Kemudian hijrah ke Mesir dan menulis be- berapa buku. Di antara karyanya yang terpenting adalah Mauqif al-Aqli wa al-Ilmi wa al-‘Âlam min Rabbi al-‘Âlamin wa ‘Ibadih al-Mursalin.
- ↑ *Musa Jarullah (Bakuf) adalah orang Turkistan. Sebelum terjadinya Bolsyefik, ia merupakan ulama terkemuka di Rusia. Menulis sekitar 120 buku dalam berbagai tema tentang Islam. Pandangan-pandangannya sangat baru dan liberal. Ia merupakan pendukung revolusi selama beberapa waktu namun kemudian diketahui dan dipenjara beberapa kali. Pernah berkunjung ke banyak negara. Karyanya yang terpenting adalah al-Wasyi’ah fi Naqdi Aqâid asy-Syi’ah. Ia wafat di Kairo.
- ↑ *Lihat: ad-Dârimi, al-Muqaddimah, 23; dan Ibnu Majah, al-Muqaddimah, 7.
- ↑ *Lihat: al-Baihaqi, az-Zuhd, 2/156; al-Ajlûni, Kasyful Khafâ, 1/143.
- ↑ *Patut diperhatikan bahwa penangkapan dan penahanan terhadap beberapa Mu- rid Nur terjadi pada tanggal 25 April 1935. Jumlah murid yang tertuduh lewat putusan pengadilan adalah 117 orang di mana ada 2 nama yang terulang. Dengan demikian jum- lah 117 itu sama dengan lama penahanan yang berlangsung selama 117 hari dilihat sejak ditangkap hingga keluarnya putusan pengadilan. Hal ini merupakan bentuk korelasi dan kesesuaian indah lainnya di samping korelasi di atas—Penulis.