Yirmi Beşinci Söz/id: Revizyonlar arasındaki fark

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    ("Demikianlah huruf-huruf yang diletakkan dengan sangat rapi itu, disertai keselarasannya, keteraturannya yang indah, dan tatanan- nya yang cermat menetapkan dengan sangat pasti seperti pastinya ha- sil perkalian (2 x 2 = 4) bahwa ia bukan merupakan kreasi manusia dan tak mungkin dilakukan olehnya. Proses kebetulan juga mustahil ikut campur di dalamnya.Jadi, keteraturan menakjubkan dan tatanan istimewa yang ter- dapat pada kondisi huruf-huruf tersebut di s..." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    ("Tamak dan perusak adalah dua sifat yang menjadi karekter bang- sa Yahudi. Keduanya menjadi dua prinsip umum dan penting yang oleh mereka dijadikan sebagai rujukan tindakan makar dan tipu daya dalam kehidupan sosial manusia. Ayat tersebut menerangkan bahwa mereka adalah orang-orang yang merusak tatanan kehidupan sosial manusia dan menyalakan api peperangan antara kaum marjinal dan kaum berada. Yaitu dengan memprovokasi para buruh untuk melawan para pemili..." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
     
    (Aynı kullanıcının aradaki diğer 104 değişikliği gösterilmiyor)
    332. satır: 332. satır:
    kefasihan redaksinya, bisa jadi ia memiliki banyak hikmah yang lain. Selama huruf-huruf tersebut mengandung keteraturan semacam itu, tentu keteraturan penuh rahasia dan keselarasan bercahaya yang ter- dapat pada kosakata, kalimat, dan maknanya juga diperhatikan. An- daikan mata melihat, sudah pasti ia kagum seraya mengucap mâsyâ Allâh. Apabila akal memahaminya, sudah pasti ia menjadi takjub de- ngan mengucap bârakallâh.
    kefasihan redaksinya, bisa jadi ia memiliki banyak hikmah yang lain. Selama huruf-huruf tersebut mengandung keteraturan semacam itu, tentu keteraturan penuh rahasia dan keselarasan bercahaya yang ter- dapat pada kosakata, kalimat, dan maknanya juga diperhatikan. An- daikan mata melihat, sudah pasti ia kagum seraya mengucap mâsyâ Allâh. Apabila akal memahaminya, sudah pasti ia menjadi takjub de- ngan mengucap bârakallâh.


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Poin Kelima:'''Keapikan bayân (penjelasan).
    '''Beşinci Nokta: Beyanındaki beraattir.'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Yaitu keunggulan, kekuatan, dan keistimewaan dari sisi penjela- sannya. Sebagaimana sebagian besar konstruksi dan redaksi al-Qur’an mengandung kefasihan, maknanya berisi balagah, gaya bahasanya menampilkan keindahan, maka sisi bayannya juga berisi keunggulan yang luar biasa.Ya, bayan atau cara penjelasan al-Qur’an berada pada tingkat tu- turan yang paling tinggi. Misalnya dalam hal memberikan motivasi dan ancaman, pujian dan celaan, penetapan dan petunjuk, serta dalam memberikan pemahaman dan argumen.
    Yani, tefevvuk ve metanet ve haşmettir. Nasıl ki nazmında cezalet, lafzında fesahat, manasında belâgat, üslubunda bedaat var. Beyanında dahi faik bir beraat vardır. Evet, tergib ve terhib, medih ve zem, ispat ve irşad, ifham  (إفحام)  ve ifham  (إفهام)  gibi bütün aksam-ı kelâmiyede ve tabakat-ı hitabiyede beyanat-ı Kur’aniye en yüksek mertebededir. Mesela:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Di antara ribuan contoh tentang “pemberian motivasi dan an- juran” adalah surah al-Insân. Sebab, penjelasan al-Qur’an pada surah tersebut demikian indah seperti telaga kautsar; apik mengalir seperti mata air salsabil; nikmat seperti buah surga; dan indah seperti perhi- asan bidadari.(*<ref>*Gaya bahasa ini telah memakai perhiasan makna surah tersebut—Penulis.</ref>)
    '''Makam-ı tergib ve teşvikte''' hadsiz misallerinden '''mesela''', Sure-i هَل۟ اَتٰى عَلَى ال۟اِن۟سَانِ   de beyanatı (Hâşiye-1<ref>'''Hâşiye-1:''' Şu üslub-u beyan, o surenin mealinin libasını giymiş. </ref>)âb-ı kevser gibi hoş, selsebil çeşmesi gibi selasetle akar, cennet meyveleri gibi tatlı, huri libası gibi güzeldir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Di antara contoh yang tak terhingga terkait dengan “pemberian ancaman dan peringatan” adalah pendahuluan surah al-Ghâsyiyah. Se- bab, penjelasan al-Qur’an pada surah tersebut memberikan pengaruh mendalam seperti tembakan peluru di telinga kaum yang sesat, laksa- na kobaran api di akal mereka, serta ibarat pohon zaqqum di tenggoro- kan, nyala neraka di wajah, serta makanan berduri di perut mereka. Ya, jika “yang diberi perintah untuk menyiksa” saja, yaitu neraka “nyaris pecah karena murka” (QS. Al-Mulk [67]: 8), apalagi dengan ancaman Dzat “yang memberi perintah untuk menyiksa”, Allah .
    '''Makam-ı terhib''' ve tehditte pek çok misallerinden mesela هَل۟ اَتٰيكَ حَدٖيثُ ال۟غَاشِيَةِ   suresinin başında beyanat-ı Kur’aniye ehl-i dalaletin sımahında kaynayan rasas gibi dimağında yakan ateş gibi damağında yanan zakkum gibi yüzünde saldıran cehennem gibi midesinde acı, dikenli dari’ gibi tesir eder. Evet, bir zatın tehdidini gösteren cehennem gibi bir azap memuru, öfkesinden ve gayzından parçalanmak vaziyetini alması ve   تَكَادُ تَمَيَّزُ مِنَ ال۟غَي۟ظِ   söylemesi, söyletmesi, o zatın terhibi ne derece dehşetli olduğunu gösterir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <div class="mw-translate-fuzzy">
    '''Makam-ı medhin''' binler misallerinden, başında “Elhamdülillah” olan beş surede beyanat-ı Kur’aniye güneş gibi parlak, (Hâşiye-2<ref>'''Hâşiye-2:''' Şu tabiratta o surelerdeki bahislere işaret var. </ref>) yıldız gibi ziynetli, semavat ve zemin gibi haşmetli, melekler gibi sevimli, dünyada yavrulara rahmet gibi şefkatli, âhirette cennet gibi güzeldir.
    Di antara ribuan contoh tentang “pujian” adalah lima surah yang diawali dengan kalimat Z [. Sebab, penjelasan al-Qur’an pada surah-surah tersebut demikian terang laksana matahari,(*<ref>*Dalam ungkapan di atas terdapat isyarat tentang topik pembahasan kelima surah tersebut—Penulis.</ref>)in- dah laksana bintang, menakjubkan laksana langit dan bumi, dicinta dan disenangi laksana malaikat, lembut laksana kasih sayang terhadap anak-anak di dunia, serta menyenangkan laksana surga di akhirat.
    </div>
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Di antara ribuan contoh tentang “kecaman dan celaan” adalah ayat yang berbunyi:“Adakah seorang di antara kalian yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?...” (QS. al-Hujurât [49]: 12).Ayat ini melarang dan mengecam dengan sangat keras perbuatan gibah (menggunjing) dalam enam tingkatan. Karena pesan ayat di atas ditujukan kepada mereka yang suka menggunjing, maka ayat tersebut bermakna sebagai berikut: Huruf hamzah (ﺃ) yang terdapat di awal digunakan untuk memberikan sebuah pertanyaan retoris (istifhâm inkârî). Makna pertanyaan tersebut menembus dan mengalir seperti air ke semua kata dalam ayat di atas sehingga setiap kata mengandung makna.(*<ref>*Maksudnya, setiap kata dari ayat al-Qur’an tersebut menyiratkan teguran dalam bentuk pertanyaan—Peny.</ref>)
    '''Makam-ı zem ve zecirde''' binler misallerinden '''mesela''' اَيُحِبُّ اَحَدُكُم۟ اَن۟ يَا۟كُلَ لَح۟مَ اَخٖيهِ مَي۟تًا âyetinde zemmi altı derece zemmeder. Gıybetten altı derece şiddetle zecreder. Şöyle ki: Malûmdur, âyetin başındaki hemze, sormak (âyâ) manasındadır. O sormak manası, su gibi âyetin bütün kelimelerine girer.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kata pertama dalam ayat tersebut adalah huruf hamzah (ﺃ). De- ngan hamzah (pertanyaan), ayat tersebut bermaksud menegur pem- bacanya: “Apakah kalian tidak memiliki akal—yang bisa berpikir—se- hingga dapat memahami betapa buruknya perilaku gibah ini?”.
    İşte birinci, hemze ile der: Âyâ sual ve cevap mahalli olan aklınız yok mu ki bu derece çirkin bir şeyi anlamıyor?
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Dalam kata kedua, yaitu Z  ‘suka’, ayat tersebut bermaksud menegur dengan pertanyaan: “Apakah hati kalian—yang merupakan tempat rasa cinta dan benci—telah rusak sehingga mencintai sesuatu yang paling buruk dan menjijikkan?”.
    İkincisi:   يُحِبُّ   lafzı ile der: Âyâ sevmek, nefret etmek mahalli olan kalbiniz bozulmuş mu ki en menfur bir işi sever?
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Dalam kata ketiga, yakni (اَحَدُكُم۟) ‘salah seorang di antara ka- lian’, ayat tersebut bermaksud menegur dengan pertanyaan: “Apa yang telah terjadi dengan kehidupan sosial dan peradaban kalian—yang vitalitasnya bersumber dari vitalitas jamaah—sehingga ia rela dengan suatu perbuatan yang bisa meracuni kehidupan kalian?”.
    Üçüncüsü:   اَحَدُكُم۟   kelimesiyle der: Cemaatten hayatını alan hayat-ı içtimaiye ve medeniyetiniz ne olmuş ki böyle hayatınızı zehirleyen bir ameli kabul eder?
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Dalam kata keempat, yakni (اَن۟ يَا۟كُلَ لَح۟مَ) ‘memakan daging’, ayat tersebut bermaksud menegur dengan pertanyaan: “Ada apa de- ngan rasa kemanusiaan kalian sehingga kalian tega memangsa teman akrab kalian sendiri?”.
    Dördüncüsü:   اَن۟ يَا۟كُلَ لَح۟مَ   kelâmıyla der: İnsaniyetiniz ne olmuş ki böyle canavarcasına arkadaşını dişle parçalamayı yapıyorsunuz?
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Dalam kata kelima, yaitu (اَخٖيهِ) ‘saudaranya’, ayat tersebut ber- maksud menegur dengan pertanyaan: “Tidakkah kalian mempunyai belas kasihan terhadap sesama manusia?! Apakah kalian tidak memi- liki hubungan kekerabatan yang mengikat kalian dengan mereka se- hingga kalian tega menerkam saudara kalian—dilihat dari bebera- pa sisi—secara biadab?! Apakah orang yang tega menggigit anggota badannya sendiri bisa dikatakan memiliki akal?! Bukankah orang se- perti itu adalah orang gila?”.
    Beşincisi:   اَخٖيهِ   kelimesiyle der: Hiç rikkat-i cinsiyeniz, hiç sıla-i rahminiz yok mu ki böyle çok cihetlerle kardeşiniz olan bir mazlumun şahs-ı manevîsini insafsızca dişliyorsunuz? Hiç aklınız yok mu ki kendi azanızı kendi dişinizle divane gibi ısırıyorsunuz?
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Dalam kata keenam, yaitu (مَي۟تًا) ‘yang sudah mati’, ayat terse- but bermaksud menegur dengan pertanyaan: “Di mana nurani kalian? Apakah fitrah kalian telah rusak sehingga melakukan tindakan yang paling buruk dan menjijikkan, yaitu memakan daging saudara kalian, padahal mereka adalah orang yang layak kalian hormati?!”.
    Altıncısı:   مَي۟تًا   kelâmıyla der: Vicdanınız nerede? Fıtratınız bozulmuş mu ki en muhterem bir halde bir kardeşine karşı, etini yemek gibi en müstekreh bir iş yapılıyor?
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Dari ayat yang mulia ini—dan lewat berbagai dalil dalam ungka- pannya yang telah kami sebutkan—dapat dipahami bahwa gibah ada- lah perbuatan yang tercela dilihat dari sudut pandang akal, kalbu, rasa kemanusiaan, perasaan, fitrah, dan hubungan sosial.Renungkan makna ayat mulia di atas dan lihatlah bagaimana ayat tersebut mengutuk perbuatan gibah dalam enam tingkatan de- ngan bahasa yang penuh mukjizat dan sangat ringkas.
    Demek zem ve gıybet, aklen, kalben ve insaniyeten ve vicdanen ve fıtraten ve asabiyeten ve milliyeten mezmumdur. İşte bak! Nasıl şu âyet, îcazkârane altı mertebe zemmi zemmetmekle i’cazkârane altı derece o cürümden zecreder.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Selanjutnya, di antara ribuan contoh tentang “penetapan” adalah ayat yang berbunyi:“Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Al- lah menghidupkan bumi yang sudah mati. Sesungguhnya (Tuhan yang berkuasa seperti) demikian benar-benar (berkuasa) menghidupkan orang-orang yang telah mati. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. ar-Rûm [30]: 50).Ayat di atas menetapkan kebangkitan dan menghapus keraguan tentangnya dengan penjelasan yang sangat memadai. Hal ini se- bagaimana yang telah kami sebutkan dalam ‘hakikat kesembilan’ dari “Kalimat Kesepuluh” serta pada ‘kilau kelima’ dari “Kalimat Kedua Pu- luh Dua”. Yaitu bahwa setiap kali musim semi tiba, seakan-akan bumi dibangkitkan kembali dengan kemunculan 300 ribu bentuk kebang- kitan secara sangat rapi dan istimewa, padahal ia demikian bercam- pur dan berbaur, sehingga proses menghidupkan dan membangkit- kan tersebut demikian jelas bagi semua yang melihat. Seakan-akan ia berkata, “Dzat yang menghidupkan bumi semacam ini tidak sulit untuk membangkitkan manusia di hari akhir”. Kemudian penulisan ratusan ribu jenis makhluk hidup di atas lembaran bumi lewat pena qudrah tanpa ada yang keliru dan cacat merupakan stempel Dzat Yang Maha Esa. Di samping membuktikan tauhid, ayat itu juga membukti- kan kiamat dan kebangkitan seraya menjelaskan bahwa pengumpulan dan kebangkitan makhluk sangat mudah bagi kekuasaan-Nya. Ia ada- lah sesuatu yang pasti sebagaimana kepastian terbit dan terbenamnya matahari.Selain itu, ayat di atas ketika menjelaskan hakikat yang ada de- ngan redaksi (كَي۟فَ ) ‘bagaimana’, yakni dari sisi cara, maka surah- surah yang lain merinci cara yang dimaksud.
    '''Makam-ı ispatta''' binler misallerinden '''mesela'''
    فَان۟ظُر۟ اِلٰٓى اٰثَارِ رَح۟مَتِ اللّٰهِ كَي۟فَ يُح۟يِى ال۟اَر۟ضَ بَع۟دَ مَو۟تِهَا
    اِنَّ ذٰلِكَ لَمُح۟يِى ال۟مَو۟تٰى وَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَى۟ءٍ قَدٖيرٌ
    de haşri ispat ve istib’adı izale için öyle bir tarzda beyan eder ki fevkinde ispat olamaz. Şöyle ki: Onuncu Söz’ün Dokuzuncu Hakikat’inde, Yirmi İkinci Söz’ün Altıncı Lem’a’sında ispat ve izah edildiği gibi; her bahar mevsiminde ihya-yı arz keyfiyetinde üç yüz bin tarzda haşrin numunelerini nihayet derecede girift, birbirine karıştırdığı halde nihayet derecede intizam ve temyiz ile nazar-ı beşere gösteriyor ki bunları böyle yapan zata, haşir ve kıyamet ağır olamaz, der. Hem zeminin sahifesinde yüz binler envaı, beraber birbiri içinde kalem-i kudretiyle hatasız, kusursuz yazmak; bir tek Vâhid-i Ehad’in sikkesi olduğundan şu âyetle güneş gibi vahdaniyeti ispat etmekle beraber, güneşin tulû ve gurûbu gibi kolay ve kat’î, kıyamet ve haşri gösterir. İşte   كَي۟فَ   lafzındaki keyfiyet noktasında şu hakikati gösterdiği gibi çok surelerde tafsil ile zikreder.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Misalnya surah Qâf. Ia menegaskan keberadaan kebangkitan dengan penjelasan indah dan cemerlang yang memberikan pelajaran bahwa kedatangan kebang- kitan tidak diragukan seperti kedatangan musim semi. Perhatikan bagaimana al-Qur’an menjawab kaum kafir yang ingkar dan sikap heran mereka terhadap proses menghidupkan tulang-belulang berikut perubahannya menjadi makhluk yang baru.Al-Qur’an berkata:“Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikan dan menghiasinya serta bagaimana langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun? Kami hamparkan bumi dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali (mengingat Allah). Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya. Lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam, juga pohon kur- ma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun. Hal itu untuk menjadi rezeki bagi hamba. Kami hidupkan dengan air tanah yang mati (kering). Seperti itulah terjadinya kebangkitan.” (QS. Qâf [50]: 6-11).Penjelasan di atas mengalir seperti air yang deras. Ia bersinar laksana bintang yang terang. Ia memberi makan dan nutrisi kepada kalbu dengan makanan yang manis dan nikmat laksana kurma. Maka, ia menjadi nutrisi sekaligus makanan yang nikmat.
    '''Mesela''', Sure-i   قٓ وَ ال۟قُر۟اٰنِ ال۟مَجٖيدِ   de öyle parlak ve güzel ve şirin ve yüksek bir beyanla haşri ispat eder ki baharın gelmesi gibi kat’î bir surette kanaat verir. İşte bak: Kâfirlerin, çürümüş kemiklerin dirilmesini inkâr ederek “Bu acibdir, olamaz.” demelerine cevaben
    اَفَلَم۟ يَن۟ظُرُٓوا اِلَى السَّمَٓاءِ فَو۟قَهُم۟ كَي۟فَ بَنَي۟نَاهَا وَ زَيَّنَّاهَا وَمَا لَهَا مِن۟ فُرُوجٍ … الخ
    كَذٰلِكَ ال۟خُرُوجُ   a kadar ferman ediyor. Beyanı su gibi akıyor, yıldızlar gibi parlıyor. Kalbe hurma gibi hem lezzet hem zevk veriyor hem rızık oluyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Di antara contoh paling tepat tentang ‘penetapan’ adalah ayat berikut:“Yâ sîn. Demi al-Qur’an yang penuh hikmah. Engkau termasuk rasul yang diutus.” (QS. Yâsîn [36]: 1-3).Sumpah di atas menunjukkan bukti dan dalil kerasulan dengan sangat kuat dan jelas sehingga dalam hal kebenaran dan kejujuran ia mencapai tingkat penghormatan. Karenanya, ia menjadi alat sumpah.
    Hem makam-ı ispatın en latîf misallerinden يٰسٓ ۝ وَال۟قُر۟اٰنِ ال۟حَكٖيمِ ۝ اِنَّكَ لَمِنَ ال۟مُر۟سَلٖينَ der. Yani, “Hikmetli Kur’an’a kasem ederim, sen resullerdensin.” Şu kasem işaret eder ki risaletin hücceti o derece yakînî ve haktır ki hakkaniyette makam-ı tazim ve hürmete çıkmış ki onunla kasem ediliyor. İşte şu işaret ile der: “Sen resulsün. Çünkü senin elinde Kur’an var. Kur’an ise haktır ve Hakk’ın kelâmıdır. Çünkü içinde hakiki hikmet, üstünde sikke-i i’caz var.
    Dengan petunjuk tersebut, al-Qur’an al-Karim ingin berkata, “Engkau adalah rasul karena di tanganmu terdapat al-Qur’an yang penuh hikmah. Al-Qur’an itu sendiri adalah sesuatu yang haq dan perkataan yang benar. Pasalnya, ia berisi hikmah hakiki dan terdapat stempel kemukjizatan.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Dari sekian contoh ‘penetapan’ yang menakjubkan adalah ayat al-Qur’an berikut:قَالَ مَن۟ يُح۟يِى ال۟عِظَامَ وَهِىَ رَمٖيمٌ ۝ قُل۟ يُح۟يٖيهَا الَّذٖٓى اَن۟شَاَهَٓا اَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَل۟قٍ عَلٖيمٌ
    Hem makam-ı ispatın îcazlı ve i’cazlı misallerinden şu:
    قَالَ مَن۟ يُح۟يِى ال۟عِظَامَ وَهِىَ رَمٖيمٌ ۝ قُل۟ يُح۟يٖيهَا الَّذٖٓى اَن۟شَاَهَٓا اَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَل۟قٍ عَلٖيمٌ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Ia berkata: Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh?” Katakanlah: Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali pertama. Dia Maha mengetahui tentang se- gala makhluk.” (QS. Yâsîn [36]: 78-79).
    Yani, insan der: “Çürümüş kemikleri kim diriltecek?” Sen, de: “Kim onları bidayeten inşa edip hayat vermiş ise o diriltecek.”
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Pada contoh ketiga dari ‘hakikat kesembilan’ dalam “Kalimat Kesepuluh” terdapat deskripsi indah tentang persoalan ini, kurang lebih seperti ilustrasi berikut: Seorang pembesar dapat membentuk pasukan besar hanya dalam satu hari. Lalu ada seseorang yang berka- ta, “Orang ini mampu mengumpulkan prajurit yang bertebaran untuk istirahat hanya dengan satu tiupan. Seketika satu batalion berbaris rapi di hadapannya.” Nah wahai manusia jika engkau berkata, “Aku tidak percaya,” maka engkau dapat memahami betapa sikap ingkarmu terse- but sangat mengada-ada.
    Onuncu Söz’ün Dokuzuncu Hakikat’inin üçüncü temsilinde tasvir edildiği gibi bir zat, göz önünde bir günde yeniden büyük bir orduyu teşkil ettiği halde biri dese: “Şu zat, efradı istirahat için dağılmış olan bir taburu bir boru ile toplar. Tabur nizamı altına getirebilir.” Sen ey insan, desen: “İnanmam.Ne kadar divanece bir inkâr olduğunu bilirsin.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Demikian pula dengan Dzat yang mencip- takan jasad seluruh makhluk hidup dari tiada laksana pasukan besar dengan sangat rapi dan penuh hikmah, lalu mengumpulkan semua partikel jasad lewat perintah kun fayakûn pada setiap masa, bahkan pada setiap musim semi, di seluruh permukaan bumi, kemudian Dia menghadirkan ratusan ribu contoh makhluk hidup sejenis, sudah pas- ti Dzat Mahakuasa dan Maha Mengetahui yang melakukan semua itu tidak sulit untuk mengumpulkan partikel-partikel dasar dan bagian utama dalam satu sistem tubuh laksana pasukan besar yang rapi hanya dengan tiupan malaikat Israfil. Sikap tidak percaya kepada kemam- puan Dzat Yang Mahakuasa dan Maha Mengetahui itu tentu merupa- kan sikap tidak waras.
    Aynen onun gibi hiçten, yeniden ordu-misal bütün hayvanat ve sair zîhayatın tabur-misal cesetlerini kemal-i intizamla ve mizan-ı hikmetle o bedenlerin zerratını ve letaifini “Emr-i kün feyekûn” ile kaydedip yerleştiren ve her karnda hattâ her baharda rûy-i zeminde yüz binler ordu-misal zevi’l-hayat envalarını, taifelerini icad eden bir Zat-ı Kadîr-i Alîm, tabur-misal bir cesedin nizamı altına girmekle birbiriyle tanışmış zerrat-ı esasiye ve ecza-yı asliyeyi bir sayha ile Sûr-u İsrafil’in borusuyla nasıl toplayabilir? İstib’ad suretinde denilir mi? Denilse eblehçesine bir divaneliktir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Dalam hal ‘petunjuk dan bimbingan’, maka penjelasan al-Qur’an sangat efektif, mulia, dan halus sehingga membuat jiwa dipenuhi oleh rasa rindu, akal dipenuhi oleh keingintahuan, serta membuat mata berlinang.  
    '''Makam-ı irşadda''' beyanat-ı Kur’aniye o derece müessir ve rakiktir ve o derece munis ve şefiktir ki şevk ile ruhu, zevk ile kalbi; aklı merakla ve gözü yaşla doldurur.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Dari sekian ribu contoh yang ada, kita ambil ayat berikut:“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang men- jadi sumber aliran sungai, di antaranya ada yang terbelah lalu keluarlah mata air darinya, serta di antaranya ada yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah. Allah sekali-sekali tidak lengah terhadap apa yang kalian kerjakan.” (QS. al-Baqarah [2]: 74).
    Binler misallerinden yalnız şu:
    ثُمَّ قَسَت۟ قُلُوبُكُم۟ مِن۟ بَع۟دِ ذٰلِكَ فَهِىَ كَال۟حِجَارَةِ اَو۟ اَشَدُّ قَس۟وَةً … الخ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Seperti telah kami jelaskan dalam pembahasan ayat ketiga dari ‘kedudukan pertama’ dalam “Kalimat Kedua Puluh”, ayat di atas ber- bicara kepada Bani Israil: “Apa yang terjadi pada kalian wahai Bani Israil sehingga tidak peduli dengan semua mukjizat Musa . Mata kalian kering; tak bisa menangis. Kalbu kalian kesat dan keras; tak ada rasa rindu. Padahal, batu yang keras saja bisa mengeluarkan air dari dua belas mata air dengan satu kali pukulan tongkat Musa . Ini merupakan salah satu dari sekian banyak mukjizat yang ia miliki”.
    Yirminci Söz’ün Birinci Makamı’nda üçüncü âyet mebhasında ispat ve izah edildiği gibi Benî-İsrail’e der: “Musa aleyhisselâmın asâsı gibi bir mu’cizesine karşı sert taş, on iki gözünden çeşme gibi yaş akıttığı halde, size ne olmuş ki Musa aleyhisselâmın bütün mu’cizatına karşı lâkayt kalıp gözünüz kuru, yaşsız, kalbiniz katı, ateşsiz duruyor?” O sözde şu mana-yı irşadî izah edildiği için oraya havale ederek burada kısa kesiyorum.
    Kita cukupkan sampai di sini dan untuk mendapatkan penjela- san yang lebih rinci, silakan merujuk kepada “kalimat” tersebut. Di dalamnya terdapat penjelasan yang cukup memadai.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Terkait dengan ‘pemberian argumen mematikan’ perhatikan dua contoh berikut di antara ribuan contoh yang ada.
    '''Makam-ı ifham ve ilzamda''' binler misallerinden yalnız şu iki misale bak:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Contoh pertama:وَاِن۟ كُن۟تُم۟ فٖى رَي۟بٍ مِمَّا نَزَّل۟نَا عَلٰى عَب۟دِنَا فَا۟تُوا بِسُورَةٍ مِن۟ مِث۟لِهٖ وَاد۟عُوا شُهَدَٓاءَكُم۟ مِن۟ دُونِ اللّٰهِ اِن۟ كُن۟تُم۟ صَادِقٖينَ  
    '''Birinci misal:'''
    وَاِن۟ كُن۟تُم۟ فٖى رَي۟بٍ مِمَّا نَزَّل۟نَا عَلٰى عَب۟دِنَا فَا۟تُوا بِسُورَةٍ مِن۟ مِث۟لِهٖ وَاد۟عُوا شُهَدَٓاءَكُم۟ مِن۟ دُونِ اللّٰهِ اِن۟ كُن۟تُم۟ صَادِقٖينَ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Jika kalian (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), datangkan satu surah (saja) yang semisal al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu se- lain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. al-Baqarah [2]: 23).
    Yani “Eğer bir şüpheniz varsa size yardım edecek, şehadet edecek bütün büyüklerinizi ve taraftarlarınızı çağırınız. Bir tek suresine bir nazire yapınız.” İşaratü’l-İ’caz’da izah ve ispat edildiği için burada yalnız icmaline işaret ederiz. Şöyle ki Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan diyor:
    Di sini kami hanya akan memberikan sebuah petunjuk global, sebab hal itu telah kami jelaskan dalam buku Isyârât al-I’jâz. Yaitu bahwa al-Qur’an al-Mu’jizul Bayân berkata,
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Wahai seluruh jin dan manusia, jika kalian masih ragu bahwa al-Qur’an merupakan ka- lam Allah serta kalian menyangka bahwa ia adalah ucapan manusia, maka marilah menuju medan tantangan. Datangkan al-Qur’an seperti ini yang bersumber dari sosok buta huruf yang tidak tahu baca tulis seperti Muhammad yang kalian sebut ummi.
    Ey ins ve cin! Eğer Kur’an, Kelâm-ı İlahî olduğunda şüpheniz varsa, bir beşer kelâmı olduğunu tevehhüm ediyorsanız, haydi işte meydan, geliniz! Siz dahi ona Muhammedü’l-Emin dediğiniz zat gibi okumak yazmak bilmez, kıraat ve kitabet görmemiş bir ümmiden bu Kur’an gibi bir kitap getiriniz, yaptırınız.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Jika kalian tak mampu melakukannya, datangkan dari orang yang tidak buta huruf, ahli re- torika atau berilmu.
    Bunu yapamazsanız, haydi ümmi olmasın, en meşhur bir edib, bir âlim olsun.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Jika kalian tidak mampu juga, datangkan ia dari sekelompok ahli retorika; bukan hanya dari satu orang. Bahkan kum- pulkan semua orang fasih, ahli pidato, serta karya terbaik generasi ter- dahulu dan bantuan generasi mendatang berikut sekutu kalian selain Allah. Curahkan semua yang kalian miliki sehingga kalian dapat men- datangkan yang sejenis al-Qur’an.
    Bunu da yapamazsanız, haydi bir tek olmasın, bütün büleganız, hutebanız, belki bütün geçmiş beliğlerin güzel eserlerini ve bütün gelecek ediblerin yardımlarını ve ilahlarınızın himmetlerini beraber alınız. Bütün kuvvetinizle çalışınız, şu Kur’an’a bir nazire yapınız.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Jika kalian tidak mampu, datangkan satu kitab yang seperti balagah dan susunan al-Qur’an tanpa melihat berbagai hakikatnya yang agung dan mukjizat maknawiyahnya.”Bahkan al-Qur’an menantang yang lebih rendah daripada itu dengan berkata:
    Bunu da yapamazsanız, haydi kabil-i taklit olmayan hakaik-i Kur’aniyeden ve manevî çok mu’cizatından kat-ı nazar, yalnız nazmındaki belâgatına nazire olarak bir eser yapınız.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Datangkan sepuluh surah semisalnya yang dibuat-buat...” (QS. Hûd [11]: 13).Maksudnya, kebenaran maknanya tidak penting. Ia boleh berisi kebohongan yang dibuat-buat.
    فَا۟تُوا بِعَش۟رِ سُوَرٍ مِث۟لِهٖ مُف۟تَرَيَاتٍ   ilzamıyla der: Haydi sizden mananın doğruluğunu istemiyorum. Müftereyat ve yalanlar ve bâtıl hikâyeler olsun.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Jika kalian masih tidak mampu, hen- daknya sepuluh surah saja; tidak perlu seluruh al-Qur’an.
    Bunu da yapamıyorsunuz. Haydi bütün Kur’an kadar olmasın, yalnız   بِعَش۟رِ سُوَرٍ   on suresine nazire getiriniz.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Jika kalian masih tidak mampu, datangkan satu surah saja.
    Bunu da yapamıyorsunuz. Haydi, bir tek suresine nazire getiriniz.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Jika kalian melihat ini tetap sulit, ia bisa berupa surah yang pendek. Akhirnya, jika kalian lemah tak mampu dan tidak akan mampu meski sangat butuh men- datangkan semisalnya karena kehormatan, kemuliaan, agama, fa- natisme kesukuan, harta, jiwa, dunia, dan akhirat kalian hanya bisa terlindungi dengan mendatangkan semisalnya, Sebab jika tidak, di dunia kehormatan dan agama kalian berada dalam bahaya di samping kehinaan akan menyelimuti kalian dan harta kalian akan musnah, be- lum lagi di akhirat kalian akan menjadi kayu bakar neraka bersama patung kalian
    Bu da çoktur. Haydi, kısa bir suresine bir nazire ibraz ediniz. Hattâ, madem bunu da yapmazsanız ve yapamazsınız. Hem bu kadar muhtaç olduğunuz halde; çünkü haysiyet ve namusunuz, izzet ve dininiz, asabiyet ve şerefiniz, can ve malınız, dünya ve âhiretiniz, buna nazire getirmekle kurtulabilir. Yoksa dünyada haysiyetsiz, namussuz, dinsiz, şerefsiz, zillet içinde, can ve malınız helâkette mahvolup ve âhirette  فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتٖى وَقُودُهَا النَّاسُ وَ ال۟حِجَارَةُ işaretiyle cehennemde haps-i ebedî ile mahkûm ve sanemlerinizle beraber ateşe odunluk edeceksiniz.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    di mana kalian diputuskan untuk berada di penjara aba- di, maka:“Maka jagalah diri dari neraka yang bahan bakarnya berupa ma- nusia dan bebatuan...” (QS. Al-Baqarah [2]: 24).Jika kalian mengakui ketidakmampuan kalian lewat delapan tingkatan yang ada, maka kalian harus mengetahui bahwa al-Qur’an merupakan mukjizat lewat delapan tingkatan. Kalian bisa beriman ke- padanya atau tetap tidak bergeming sehingga neraka menjadi tempat kalian.
    Hem madem sekiz mertebe aczinizi anladınız. Elbette sekiz defa, Kur’an dahi mu’cize olduğunu bilmekliğiniz gerektir. Ya imana geliniz veyahut susunuz, cehenneme gidiniz!
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Setelah mengetahui penjelasan al-Qur’an di atas dan penetapan- nya dalam memberikan argumen mematikan, ucapkanlah, لَي۟سَ بَع۟دَ بَيَانِ ال۟قُر۟اٰنِ بَيَانٌ
    İşte Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan’ın makam-ı ifhamdaki ilzamına bak ve de:
    لَي۟سَ بَع۟دَ بَيَانِ ال۟قُر۟اٰنِ بَيَانٌ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Benar bahwa tidak ada penjelasan yang mengungguli penjelasan al-Qur’an.
    Evet, beyan-ı Kur’an’dan sonra beyan olamaz ve hâcet kalmaz.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Contoh kedua:
    '''İkinci Misal:'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    فَذَكِّر۟ فَمَٓا اَن۟تَ بِنِع۟مَتِ رَبِّكَ بِكَاهِنٍ وَلَا مَج۟نُونٍ ۝ اَم۟ يَقُولُونَ شَاعِرٌ نَتَرَبَّصُ بِهٖ رَي۟بَ ال۟مَنُونِ ۝ قُل۟ تَرَبَّصُوا فَاِنّٖى مَعَكُم۟ مِنَ ال۟مُتَرَبِّصٖينَ ۝ اَم۟ تَا۟مُرُهُم۟ اَح۟لَامُهُم۟ بِهٰذَٓا اَم۟ هُم۟ قَو۟مٌ طَاغُونَ ۝ اَم۟ يَقُولُونَ تَقَوَّلَهُ بَل۟ لَا يُؤ۟مِنُونَ ۝ فَل۟يَا۟تُوا بِحَدٖيثٍ مِث۟لِهٖٓ اِن۟ كَانُوا صَادِقٖينَ ۝ اَم۟ خُلِقُوا مِن۟ غَي۟رِ شَى۟ءٍ اَم۟ هُمُ ال۟خَالِقُونَ ۝ اَم۟ خَلَقُوا السَّمٰوَاتِ وَال۟اَر۟ضَ بَل۟ لَا يُوقِنُونَ ۝ اَم۟ عِن۟دَهُم۟ خَزَٓائِنُ رَبِّكَ اَم۟ هُمُ ال۟مُصَي۟طِرُونَ ۝ اَم۟ لَهُم۟ سُلَّمٌ يَس۟تَمِعُونَ فٖيهِ فَل۟يَا۟تِ مُس۟تَمِعُهُم۟ بِسُل۟طَانٍ مُبٖينٍ ۝ اَم۟ لَهُ ال۟بَنَاتُ وَلَكُمُ ال۟بَنُونَ ۝ اَم۟ تَس۟ئَلُهُم۟ اَج۟رًا فَهُم۟ مِن۟ مَغ۟رَمٍ مُث۟قَلُونَ ۝ اَم۟ عِن۟دَهُمُ ال۟غَي۟بُ فَهُم۟ يَك۟تُبُونَ ۝ اَم۟ يُرٖيدُونَ كَي۟دًا فَالَّذٖينَ كَفَرُوا هُمُ ال۟مَكٖيدُونَ ۝ اَم۟ لَهُم۟ اِلٰهٌ غَي۟رُ اللّٰهِ سُب۟حَانَ اللّٰهِ عَمَّا يُش۟رِكُونَ  
    فَذَكِّر۟ فَمَٓا اَن۟تَ بِنِع۟مَتِ رَبِّكَ بِكَاهِنٍ وَلَا مَج۟نُونٍ ۝ اَم۟ يَقُولُونَ شَاعِرٌ نَتَرَبَّصُ بِهٖ رَي۟بَ ال۟مَنُونِ ۝ قُل۟ تَرَبَّصُوا فَاِنّٖى مَعَكُم۟ مِنَ ال۟مُتَرَبِّصٖينَ ۝ اَم۟ تَا۟مُرُهُم۟ اَح۟لَامُهُم۟ بِهٰذَٓا اَم۟ هُم۟ قَو۟مٌ طَاغُونَ ۝ اَم۟ يَقُولُونَ تَقَوَّلَهُ بَل۟ لَا يُؤ۟مِنُونَ ۝ فَل۟يَا۟تُوا بِحَدٖيثٍ مِث۟لِهٖٓ اِن۟ كَانُوا صَادِقٖينَ ۝ اَم۟ خُلِقُوا مِن۟ غَي۟رِ شَى۟ءٍ اَم۟ هُمُ ال۟خَالِقُونَ ۝ اَم۟ خَلَقُوا السَّمٰوَاتِ وَال۟اَر۟ضَ بَل۟ لَا يُوقِنُونَ ۝ اَم۟ عِن۟دَهُم۟ خَزَٓائِنُ رَبِّكَ اَم۟ هُمُ ال۟مُصَي۟طِرُونَ ۝ اَم۟ لَهُم۟ سُلَّمٌ يَس۟تَمِعُونَ فٖيهِ فَل۟يَا۟تِ مُس۟تَمِعُهُم۟ بِسُل۟طَانٍ مُبٖينٍ ۝ اَم۟ لَهُ ال۟بَنَاتُ وَلَكُمُ ال۟بَنُونَ ۝ اَم۟ تَس۟ئَلُهُم۟ اَج۟رًا فَهُم۟ مِن۟ مَغ۟رَمٍ مُث۟قَلُونَ ۝ اَم۟ عِن۟دَهُمُ ال۟غَي۟بُ فَهُم۟ يَك۟تُبُونَ ۝ اَم۟ يُرٖيدُونَ كَي۟دًا فَالَّذٖينَ كَفَرُوا هُمُ ال۟مَكٖيدُونَ ۝ اَم۟ لَهُم۟ اِلٰهٌ غَي۟رُ اللّٰهِ سُب۟حَانَ اللّٰهِ عَمَّا يُش۟رِكُونَ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Di antara ribuan hakikat yang dikandung oleh ayat-ayat di atas, kami hanya akan menjelaskan sebuah hakikat sebagai contoh dari pemberian argumen yang bisa mematahkan musuh, yaitu sebagai berikut:Ayat-ayat di atas membungkam semua kaum sesat sekaligus menutup dan melenyapkan celah-celah keraguan. Hal itu dengan re- daksi اَم۟ - اَم۟ ‘Ataukah...Ataukah’ sebanyak lima belas tingkatan per- tanyaan retoris (istifhâm inkâri). Tidak ada satupun celah yang men- jadi sandaran kaum sesat kecuali segera ditutup. Tidak satupun tirai yang mereka jadikan tempat bersembunyi kecuali disingkap.
    İşte şu âyâtın binler hakikatlerinden yalnız beyan-ı ifhamîye misal için bir hakikatini beyan ederiz. Şöyle ki:   اَم۟ - اَم۟   lafzıyla on beş tabaka istifham-ı inkârî-i taaccübî ile ehl-i dalaletin bütün aksamını susturur ve şübehatın bütün menşelerini kapatır. Ehl-i dalalet için içine girip saklanacak şeytanî bir delik bırakmıyor, kapatıyor. Altına girip gizlenecek bir perde-i dalalet bırakmıyor, yırtıyor. Yalanlarından hiçbir yılanı bırakmıyor, başını eziyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Tidak satupun kebohongan mereka kecuali dibantah. Setiap bagian darinya membatalkan rangkuman konsep kekufuran yang dibawa oleh kaum kafir. Baik dengan penjelasan singkat atau dengan mendiamkannya, atau mengembalikannya kepada intuisi karena jelas menyimpang, atau dengan memberikan petunjuk umum. Sebab, semua konsep kekufu- ran itu telah terjawab dan disanggah di bagian lain secara rinci.Misalnya:Bagian pertama mengarah kepada ayat yang berbunyi:“Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah pantas baginya...” (QS. Yâsîn [36]: 69). Sementara bagian kelima belas mengarah kepada ayat yang berbunyi:“Andaikan di dalamnya terdapat tuhan-tuhan selain Allah, tentu ia akan rusak...” (QS. al-Anbiyâ [21]: 22). Semua bagian atau paragraf juga demikian adanya.Pada pendahuluan ayat di atas berbunyi:
    Her bir fıkrada bir taifenin hülâsa-i fikr-i küfrîlerini ya bir kısa tabir ile iptal eder, ya butlanı zâhir olduğundan sükûtla butlanını bedahete havale eder veya başka âyetlerde tafsilen reddedildiği için burada mücmelen işaret eder. Mesela, birinci fıkra وَمَا عَلَّم۟نَاهُ الشِّع۟رَ وَمَا يَن۟بَغٖى لَهُ âyetine işaret eder. On beşinci fıkra ise لَو۟ كَانَ فٖيهِمَٓا اٰلِهَةٌ اِلَّا اللّٰهُ لَفَسَدَتَا âyetine remzeder. Daha sair fıkraları buna kıyas et.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Maka peringatkanlah, karena dengan nikmat Tuhanmu engkau (Muhammad) bukanlah seorang tukang tenung dan bukan pula orang gila.” Yakni, sampaikan semua hukum ilahi. Engkau bukan dukun. Se- bab, ucapan dukun dibuat-buat, rancu dan hanya bersifat dugaan. Se- mentara ucapanmu adalah benar dan meyakinkan. Sampaikan hukum ilahi itu. Engkau tidak gila sama sekali. Para musuh sekalipun menga- kui kesempurnaan akalmu.
    Şöyle ki: Başta diyor: Ahkâm-ı İlahiyeyi tebliğ et. Sen kâhin değilsin. Zira kâhinin sözleri, karışık ve tahminîdir. Seninki hak ve yakînîdir. Mecnun olamazsın, düşmanın dahi senin kemal-i aklına şehadet eder.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Ataukah mereka mengatakan: Dia adalah seorang penyair yang kami nantikan kecelakaan menimpanya”.
    اَم۟ يَقُولُونَ شَاعِرٌ نَتَرَبَّصُ بِهٖ رَي۟بَ ال۟مَنُونِ   
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Luar biasa! Apakah mere- ka menganggapmu penyair seperti kaum kafir yang awam yang tidak merujuk kepada akal? Ataukah mereka sebenarnya sedang menanti- kan kebinasaan dan kematianmu?! Jawablah mereka, “Tunggulah, aku juga sedang menunggu bersama kalian.” Berbagai hakikatmu yang agung dan cemerlang bersih dari segala khayalan dan hiasan syair.
    Âyâ, acaba muhakemesiz âmî kâfirler gibi sana şair mi diyorlar? Senin helâketini mi bekliyorlar? Sen, de: “Bekleyiniz. Ben de bekliyorum.” Senin parlak büyük hakikatlerin, şiirin hayalatından münezzeh ve tezyinatından müstağnidir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Ataukah mereka diperintah oleh pikiran mereka untuk mengucap- kan tuduhan-tuduhan ini”.
    اَم۟ تَا۟مُرُهُم۟ اَح۟لَامُهُم۟ بِهٰذَا   
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Atau, mereka enggan mengikutimu seperti para filsuf yang bersandar pada akalnya yang kosong? Di mana mereka berkata, “Cukuplah bagi kami akal pikiran kami.” Padahal justru akal tersebut menyuruh untuk mengikutimu. Apa saja yang kau ucapkan adalah rasional. Namun ia tidak bisa dicapai hanya dengan akal.
    Yahut acaba akıllarına güvenen akılsız feylesoflar gibi “Aklımız bize yeter.” deyip sana ittibadan istinkâf mı ederler? Halbuki akıl ise sana ittibaı emreder. Çünkü bütün dediğin makuldür. Fakat akıl kendi başıyla ona yetişemez.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Ataukah mereka kaum yang melampaui batas?”.
    اَم۟ هُم۟ قَو۟مٌ طَاغُونَ   
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Atau, sebab dari sikap ingkar mereka karena mereka tidak mau tunduk pada kebenaran seperti kaum tiran yang zalim? Padahal kesudahan dari para tiran yang sombong seperti Fir’aun dan Namrud telah diketahui.
    Yahut inkârlarına sebep, tâğî zalimler gibi Hakk’a serfürû etmemeleri midir? Halbuki mütecebbir zalimlerin rüesaları olan Firavunların, Nemrutların âkıbetleri malûmdur.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Ataukah mereka berkata, ‘Ia (Muhammad) membuat-buatnya’. Sebenarnya mereka tidak beriman”.
    اَم۟ يَقُولُونَ تَقَوَّلَهُ بَل۟ لَا يُؤ۟مِنُونَ   
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Atau, mereka menuduhmu dengan menganggap al-Qur’an sebagai hasil karyamu seperti yang dikatakan oleh orang-orang munafik pendusta yang tidak memiliki hati nura- ni? Padahal, mereka itulah yang telah memanggilmu dengan sebutan “Muhammad al-Amîn” (yang amanah) karena kejujuranmu. Jadi, me- reka sama sekali tidak ada niat untuk beriman. Jika tidak, hendaklah mereka menemukan hal yang sepadan dengan al-Qur’an dalam karya manusia.
    Veyahut yalancı, vicdansız münafıklar gibi “Kur’an senin sözlerindir.” diye seni ittiham mı ediyorlar? Halbuki tâ şimdiye kadar sana Muhammedü’l-Emin diyerek içlerinde seni en doğru sözlü biliyorlardı. Demek, onların imana niyetleri yoktur. Yoksa Kur’an’ın âsâr-ı beşeriye içinde bir nazirini bulsunlar.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Ataukah mereka diciptakan tanpa sesuatupun”.
    اَم۟ خُلِقُوا مِن۟ غَي۟رِ شَى۟ءٍ   
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Atau, mereka menganggap diri mereka lepas begitu saja, tercipta secara sia-sia tan- pa tujuan dan tugas, serta tidak ada yang mencipta mereka? Apakah mereka mengira alam ini seluruhnya sia-sia seperti yang diyakini oleh para filsuf?! Atau, apakah mata mereka buta? Apakah mereka tidak melihat seluruh alam ini dari ujung ke ujung bagaimana ia terhias de- ngan berbagai hikmah dan sejumlah tujuan, lalu seluruh entitas mulai dari partikel hingga galaksi memiliki tugas-tugas agung dan tunduk kepada perintah ilahi.
    Veyahut kâinatı abes ve gayesiz itikad eden felasife-i abesiyyun gibi kendilerini başıboş, hikmetsiz, gayesiz, vazifesiz, hâlıksız mı zannediyorlar? Acaba gözleri kör olmuş, görmüyorlar mı ki kâinat baştan aşağıya kadar hikmetlerle müzeyyen ve gayelerle müsmirdir ve mevcudat, zerrelerden güneşlere kadar vazifelerle muvazzaftır ve evamir-i İlahiyeye musahharlardır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?”.
    اَم۟ هُمُ ال۟خَالِقُونَ   
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Atau, mereka menganggap bahwa segala sesuatu terbentuk dengan sendiri- nya, tumbuh besar dengan sendirinya, serta seluruh kebutuhannya ter- cipta dengan sendirinya seperti yang dikatakan oleh kalangan materi- alis yang congkak sehingga mereka enggan beriman dan menyembah Allah. Kalau begitu, berarti mereka menganggap diri mereka sendiri sebagai pencipta. Padahal, pencipta sesuatu pada saat yang sama juga harus menciptakan segala sesuatu. Jadi, sikap sombong dan lupa diri membuat mereka demikian bodoh hingga menganggap bahwa sosok yang lemah di hadapan makhluk yang paling lemah—seperti lalat dan mikroba—memiliki kekuasaan mutlak. Selama mereka berpikiran semacam itu dan melupakan sisi kemanusiaannya, berarti mereka le- bih sesat daripada binatang. Bahkan lebih rendah daripada benda mati sekalipun. Jangan pedulikan sikap ingkar mereka. Namun posisikan mereka sebagai bagian dari hewan berbahaya dan materi yang rusak. Jangan hiraukan mereka dan jangan pernah memberikan perhatian kepada mereka.
    Veyahut firavunlaşmış maddiyyun gibi “Kendi kendine oluyorlar. Kendi kendini besliyorlar. Kendilerine lâzım olan her şeyi yaratıyorlar.” mı tahayyül ediyorlar ki imandan, ubudiyetten istinkâf ederler? Demek, kendilerini birer hâlık zannederler. Halbuki bir tek şeyin Hâlık’ı, her bir şeyin Hâlık’ı olmak lâzım gelir. Demek, kibir ve gururları onları nihayet derecede ahmaklaştırmış ki bir sineğe, bir mikroba karşı mağlup bir âciz-i mutlakı, bir Kadîr-i Mutlak zannederler. Madem bu derece akıldan, insaniyetten sukut etmişler. Hayvandan belki cemadattan daha aşağıdırlar. Öyle ise bunların inkârlarından müteessir olma. Bunları dahi bir nevi muzır hayvan ve pis maddeler sırasına say. Bakma, ehemmiyet verme.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Se- benarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan)”.
    اَم۟ خَلَقُوا السَّمٰوَاتِ وَال۟اَر۟ضَ بَل۟ لَا يُوقِنُونَ   
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Atau, mereka mengingkari wujud Allah  seperti kaum pengingkar yang bodoh yang menyangkal keberadaan Sang Pencipta sehingga mere- ka tidak mau mendengarkan al-Qur’an. Kalau begitu, mereka harus mengingkari pula keberadaan langit dan bumi. Ataukah mereka harus mengaku sebagai penciptanya sehingga menanggalkan akal secara to- tal dan jatuh dalam ketidakwarasan. Sebab, bukti-bukti tauhid demiki- an jelas. Ia dapat dilihat di seluruh penjuru alam sebanyak bintang di langit dan sebanyak bunga di bumi. Semuanya menunjukkan wujud Allah . Dengan demikian, mereka tidak ada niat untuk tunduk kepa- da kebenaran dan keyakinan. Jika tidak, bagaimana mungkin mereka menganggap kitab alam yang besar ini yang setiap hurufnya mengelu- arkan ribuan kitab tidak memiliki penulis. Padahal, mereka mengeta- hui dengan baik bahwa setiap huruf pasti ada yang menulisnya.
    Veyahut Hâlık’ı inkâr eden fikirsiz, sersem muattıla gibi Allah’ı inkâr mı ediyorlar ki Kur’an’ı dinlemiyorlar? Öyle ise semavat ve arzın vücudlarını inkâr etsinler veyahut “Biz halk ettik.” desinler. Bütün bütün aklın zıvanasından çıkıp divaneliğin hezeyanına girsinler. Çünkü semada yıldızları kadar, zeminde çiçekleri kadar berahin-i tevhid görünüyor, okunuyor. Demek, yakîne ve hakka niyetleri yoktur. Yoksa “Bir harf kâtipsiz olmaz.” bildikleri halde, nasıl bir harfinde bir kitap yazılan şu kâinat kitabını, kâtipsiz zannediyorlar.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Tuhanmu?”.
    اَم۟ عِن۟دَهُم۟ خَزَٓائِنُ رَبِّكَ   
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Atau, mereka menafikan kehendak ilahi sebagaimana sikap sebagian filsuf yang sesat. Atau, mereka mengingkari prinsip kenabian sebagaimana sikap penganut Hinduisme sehingga tidak percaya kepadamu. Kalau begitu, mereka harus mengingkari semua jejak hikmah, berbagai tu- juan mulia, keteraturan menakjubkan, berbagai manfaat yang mem- berikan buah, tanda-tanda rahmat yang luas, serta perhatian luar biasa yang terlihat pada semua entitas yang hal itu menunjukkan adanya kehendak ilahi. Mereka juga harus mengingkari semua mukjizat para nabi. Atau, mereka harus berkata, “Perbendaharaan yang mencurah- kan kebaikan atas seluruh makhluk berada di tangan kami”. Mereka memperlihatkan bahwa mereka tidak layak untuk mendapat pesan Tuhan. Jika demikian, jangan meratapi pengingkaran mereka. Allah memang memiliki banyak hewan yang tidak punya akal.
    Veyahut Cenab-ı Hakk’ın ihtiyarını nefyeden bir kısım hükema-yı dâlle gibi ve Berahime gibi asl-ı nübüvveti mi inkâr ediyorlar? Sana iman getirmiyorlar. Öyle ise bütün mevcudatta görünen ve ihtiyar ve iradeyi gösteren bütün âsâr-ı hikmeti ve gayatı ve intizamatı ve semeratı ve âsâr-ı rahmet ve inayatı ve bütün enbiyanın bütün mu’cizatlarını inkâr etsinler veya “Mahlukata verilen ihsanatın hazineleri yanımızda ve elimizdedir.” desinler. Kabil-i hitap olmadıklarını göstersinler. Sen de onların inkârından müteellim olma. Allah’ın akılsız hayvanları çoktur, de.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Ataukah mereka yang berkuasa?”.
    اَم۟ هُمُ ال۟مُصَي۟طِرُونَ   
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Atau, mereka menyangka diri mereka sebagai pengawas atas perbuatan Allah? Apa mereka ingin menjadikan Allah  sebagai penanggungjawab seperti kelompok Muktazilah yang memosisikan akal sebagai penguasa. Acuhkan dan abaikan mereka. Sebab, sikap ingkar kaum yang tertipu itu sama sekali tidak berguna.
    Veyahut aklı hâkim yapan mütehakkim Mutezile gibi kendilerini Hâlık’ın işlerine rakip ve müfettiş tahayyül edip Hâlık-ı Zülcelal’i mes’ul tutmak mı istiyorlar? Sakın fütur getirme. Öyle hodbinlerin inkârlarından bir şey çıkmaz. Sen de aldırma.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Ataukah mereka mempunyai tangga (ke langit) untuk mende- ngarkan pada tangga itu (hal-hal yang gaib)? Maka hendaklah orang yang mendengarkan di antara mereka mendatangkan suatu keterangan yang nyata”.
    اَم۟ لَهُم۟ سُلَّمٌ يَس۟تَمِعُونَ فٖيهِ فَل۟يَا۟تِ مُس۟تَمِعُهُم۟ بِسُل۟طَانٍ مُبٖينٍ   
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Atau, mereka mengira diri mereka telah menemukan jalan lain menuju alam gaib seperti yang diklaim oleh para dukun yang mengikuti setan dan jin serta seperti para pesulap yang menghadirkan arwah? Atau, mereka mengira diri mereka memiliki tangga menuju langit yang tertutup bagi setan sehingga mereka tidak mau memper- cayai informasi langit yang kau terima. Sikap pengingkaran kaum pe- nipu yang ingkar itu sama dengan tidak ada.
    Veyahut cin ve şeytana uyup kehanet-füruşlar, ispirtizmacılar gibi âlem-i gayba başka bir yol mu bulunmuş zannederler? Öyle ise şeytanlarına kapanan semavata, onunla çıkılacak bir merdivenleri mi var tahayyül ediyorlar ki senin semavî haberlerini tekzip ederler. Böyle şarlatanların inkârları, hiç hükmündedir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Ataukah untuk Allah anak-anak perempuan dan untuk kamu anak-anak laki-laki?”.
    اَم۟ لَهُ ال۟بَنَاتُ وَلَكُمُ ال۟بَنُونَ   
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Atau, mereka menisbatkan sekutu kepada Dzat Yang Mahaesa dengan nama akal sepuluh (al`uqûl al-`asyarah) dan pemelihara spesies seperti yang dipahami para filsuf penyembah ber- hala? Atau, mereka menisbatkan sekutu dengan sejenis sifat uluhiyah yang dilekatkan kepada bintang dan malaikat seperti kaum Shabî- iyyûn. Atau, dengan menisbatkan anak kepada Allah  seperti per- kataan kaum ateis dan kelompok sesat? Atau, mereka menisbatkan kepada-Nya anak yang menafikan kemutlakan wujud Dzat Yang Ma- haesa berikut keesaan dan sifat shamadaniyah-Nya, padahal Dia Maha tidak membutuhkan dan Maha Mulia? Atau, mereka menisbatkan sifat feminin kepada malaikat yang menafikan tabiat mereka sebagai makh- luk yang taat beribadah dan terbebas dari dosa (ishmah)? Atau, mere- ka mengira bahwa dengan cara seperti itu mereka menghadirkan para pemberi syafaat untuk diri mereka sehingga tak perlu mengikutimu?
    Veyahut ukûl-ü aşere ve erbabü’l-enva namıyla şerikleri itikad eden müşrik felasife gibi ve yıldızlara ve melâikelere bir nevi uluhiyet isnad eden Sabiiyyun gibi, Cenab-ı Hakk’a veled nisbet eden mülhid ve dâllînler gibi Zat-ı Ehad ve Samed’in vücub-u vücuduna, vahdetine, samediyetine, istiğna-i mutlakına zıt olan veledi nisbet ve melâikenin ubudiyetine ve ismetine ve cinsiyetine münafî olan ünûseti isnad mı ederler? Kendilerine şefaatçi mi zannederler ki sana tabi olmuyorlar? İnsan gibi mümkin, fâni, beka-i nevine muhtaç ve cismanî ve mütecezzi, tekessüre kabil ve âciz, dünya-perest, yardımcı bir vârise muhtaç ve müştak mahluklar için vasıta-i tekessür ve teavün ve rabıta-i hayat ve beka olan tenasül, elbette ve elbette vücudu vâcib ve daim, bekası ezelî ve ebedî, zatı cismaniyetten mücerred ve muallâ ve mahiyeti tecezzi ve tekessürden münezzeh ve müberra ve kudreti aczden mukaddes ve bîhemta olan Zat-ı Zülcelal’e evlat isnad etmek; hem o âciz, mümkin, miskin insanlar dahi beğenmedikleri ve izzet-i mağruranesine yakıştıramadıkları bir nevi evlat yani hadsiz kızları isnad etmek; öyle bir safsatadır ve öyle bir divanelik hezeyanıdır ki o fikirde olan heriflerin tekzipleri, inkârları hiçtir, aldırmamalısın. Her bir sersemin safsatasına, her divanenin hezeyanına kulak verilmez.
    Manusia fana yang mengharapkan penolong, yang tercipta da- lam kondisi mencintai dunia hingga mabuk padanya, yang lemah dan membutuhkan keabadian spesiesnya, yang dipersiapkan untuk ber- keturunan sebagai landasan kelangsungan hidup seluruh makhluk, maka menisbatkan sifat berketurunan kepada Dzat yang wujud-Nya bersifat wajib— di mana Dia abadi, azali, tidak berwujud fisik, yang qudrah-Nya tidak bercampur dengan kelemahan, Mahaesa, Maha- agung, dan Maha Mulia—serta menisbatkan anak kepada-Nya, apalagi anak itu berupa sosok yang lemah seperti wanita yang tidak disenangi oleh sikap congkak mereka adalah puncak dari omong kosong, igauan dan ketidakwarasan. Oleh karena itu, kebohongan mereka itu tak perlu disanggah. Engkau tidak perlu mendengarkan mereka dan tidak perlu memedulikan mereka. Sebab, omong kosong orang mabuk dan igauan orang gila tidak perlu didengar.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Ataukah kamu meminta upah kepada mereka sehingga mereka dibebani dengan hutang?”.
    اَم۟ تَس۟اَلُهُم۟ اَج۟رًا فَهُم۟ مِن۟ مَغ۟رَمٍ مُث۟قَلُونَ   
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Atau, mereka melihat berbagai tugas ubudi- yah yang engkau minta dari mereka merupakan beban yang berat seperti anggapan para pembangkang yang cinta dunia dan terbiasa dengan kehinaan sehingga lari dari tugas tersebut. Tidakkah mereka mengetahui bahwa engkau hanya mengharapkan upah dari Allah. Beratkah mereka bersedekah dari harta yang Allah berikan pada me- reka agar harta itu semakin berkah, agar kaum fakir tidak dengki pada- nya, serta agar pemiliknya tidak didoakan buruk oleh mereka? Apakah berzakat—yang hanya sepuluh persen (10%)(*<ref>*Untuk zakat tanaman yang tidak mengeluarkan biaya—Peny.</ref>)atau dua koma lima persen (2,5%)(*<ref>*Untuk zakat emas atau uang kertas—Peny.</ref>)dari harta yang ada—dianggap berat sehingga mereka lari dari Islam? Penyangkalan mereka tidak penting sehingga tidak per- lu dijawab. Mereka hanya perlu diberi pelajaran, bukan jawaban.
    Veyahut hırsa, hıssete alışmış tâğî, bâğî dünya-perestler gibi senin tekâlifini ağır mı buluyorlar ki senden kaçıyorlar ve bilmiyorlar mı ki sen ecrini, ücretini yalnız Allah’tan istiyorsun ve onlara Cenab-ı Hak tarafından verilen maldan hem bereket hem fakirlerin hased ve beddualarından kurtulmak için ya on’dan veya kırk’tan birisini kendi fakirlerine vermek ağır bir şey midir ki emr-i zekâtı ağır görüp İslâmiyet’ten çekiniyorlar? Bunların tekzipleri ehemmiyetsiz olmakla beraber, hakları tokattır. Cevap vermek değil.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Ataukah di sisi mereka terdapat pengetahuan tentang hal gaib, lalu mereka menuliskannya?”.
    اَم۟ عِن۟دَهُمُ ال۟غَي۟بُ فَهُم۟ يَك۟تُبُونَ   
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Atau, informasi gaib yang engkau terima tidak menarik bagi mereka sehingga mereka mengaku mengetahui hal gaib seperti kaum Buddhis dan rasionalis yang menganggap prasangka sebagai sebuah keyakinan. Apakah mereka memiliki kitab dari alam gaib sehingga berani menolak kitab sucimu yang (isinya) bersumber dari alam gaib? Alam tersebut tidak mungkin tersingkap tabirnya ke- cuali kepada para rasul yang mendapat wahyu dan tak seorangpun yang bisa masuk ke dalamnya sendiri. Sikap ingkar kaum congkak yang melampaui batas itu tidak layak mematahkan semangatmu. Se- bentar lagi berbagai hakikat yang engkau miliki akan menghancurkan ilusi mereka.
    Veyahut gayb-aşinalık dava eden Budeîler gibi ve umûr-u gaybiyeye dair tahminlerini yakîn tahayyül eden akıl-furuşlar gibi senin gaybî haberlerini beğenmiyorlar mı? Gaybî kitapları mı var ki senin gaybî kitabını kabul etmiyorlar. Öyle ise vahye mazhar resullerden başka kimseye açılmayan ve kendi başıyla ona girmeye kimsenin haddi olmayan âlem-i gayb, kendi yanlarında hazır, açık tahayyül edip ondan malûmat alarak yazıyorlar hülyasında bulunuyorlar. Böyle, haddinden hadsiz tecavüz etmiş mağrur hodfüruşların tekzipleri, sana fütur vermesin. Zira az bir zamanda senin hakikatlerin onların hülyalarını zîr ü zeber edecek.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Ataukah mereka hendak melakukan tipu daya? Sesungguhnya orang-orang yang kafir itulah yang terkena tipu daya”.
    اَم۟ يُرٖيدُونَ كَي۟دًا فَالَّذٖينَ كَفَرُوا هُمُ ال۟مَكٖيدُونَ   
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Atau, mereka ingin menjadi seperti kaum munafik yang fitrah dan nurani mereka telah rusak, serta seperti kaum zindik pembuat makar yang menghala- ngi manusia dari jalan hidayah lewat tipu daya sehingga mereka meng- alihkan manusia dari jalan yang benar. Bahkan mereka menyebutmu sebagai dukun, orang gila, dan tukang sihir. Padahal mereka sendiri tidak mempercayai klaim tersebut, apalagi orang lain. Karena itu, ja- ngan Kau hiraukan para pendusta yang menipu itu serta jangan meng- anggap mereka sebagai manusia. Namun teruslah berdakwah di jalan Allah tanpa pernah surut. Mereka hanya menipu diri sendiri serta menimpakan bahaya kepada diri mereka sendiri. Kesuksesan mereka dalam melakukan kerusakan dan tipu daya hanya sementara waktu. Itu hanya istidraj dan makar ilahi.
    Veyahut fıtratları bozulmuş, vicdanları çürümüş şarlatan münafıklar, dessas zındıklar gibi ellerine geçmeyen hidayetten halkları aldatıp çevirmek, hile edip döndürmek mi istiyorlar ki sana karşı kâh kâhin, kâh mecnun, kâh sahir deyip kendileri dahi inanmadıkları halde başkalarını inandırmak mı istiyorlar? Böyle hilebaz şarlatanları insan sayıp desiselerinden, inkârlarından müteessir olarak fütur getirme. Belki daha ziyade gayret et. Çünkü onlar kendi nefislerine hile ederler, kendilerine zarar ederler ve onların fenalıkta muvaffakiyetleri muvakkattır ve istidracdır, bir mekr-i İlahîdir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Ataukah mereka mempunyai Tuhan selain Allah. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”.
    اَم۟ لَهُم۟ اِلٰهٌ غَي۟رُ اللّٰهِ سُب۟حَانَ اللّٰهِ عَمَّا يُش۟رِكُونَ   
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Atau, mereka menentangmu dan merasa tidak membutuhkanmu karena merasa ada tuhan selain Allah yang menjadi sandaran mereka seperti kaum Majusi yang mengangkat dua tuhan sebagai pencipta kebaikan dan pencipta keburukan. Atau, seperti para penyembah sebab dan berhala di mana mereka memberi- kan sejenis sifat uluhiyah kepada sebab-sebab tersebut dan menggam- barkannya sebagai tempat sandaran. Mata mereka telah buta sehingga tidak melihat keteraturan yang paling sempurna dan jelas sejelas siang di jagat raya ini serta keharmonisan yang paling indah di dalamnya?!Dengan konsekuensi firman Allah:“Andaikan di dalamnya (langit dan bumi) terdapat tuhan-tuhan selain Allah, tentu tatanan keduanya rusak...” (QS. al-Anbiyâ [21]: 22), jika terdapat dua lurah di satu kelurahan, atau dua gubernur di sebuah provinsi, atau dua presiden di sebuah negara, maka kondisinya tidak akan teratur dan tidak harmonis. Sementara keteraturan dan kerapian yang cermat terlihat jelas mulai dari sayap nyamuk hingga bintang di langit. Jadi, tidak ada tempat bagi sekutu meski hanya seukuran sa- yap nyamuk. Selama mereka masih tidak mau menggunakan akal dan menjauhi logika sehat serta melakukan berbagai hal yang bersebera- ngan dengan nalar dan aksioma, maka sikap ingkar mereka tidak usah mengalihkan perhatianmu dalam memberi peringatan dan petunjuk.
    Veyahut hâlık-ı hayır ve hâlık-ı şer namıyla ayrı ayrı iki ilah tevehhüm eden Mecusiler gibi ve ayrı ayrı esbaba bir nevi uluhiyet veren ve onları kendilerine birer nokta-i istinad tahayyül eden esbab-perestler, sanem-perestler gibi başka ilahlara dayanıp sana muaraza mı ederler? Senden istiğna mı ediyorlar? Demek   لَو۟ كَانَ فٖيهِمَٓا اٰلِهَةٌ اِلَّا اللّٰهُ لَفَسَدَتَا   hükmünce, şu bütün kâinatta gündüz gibi görünen bu intizam-ı ekmeli, bu insicam-ı ecmeli kör olup görmüyorlar. Halbuki bir köyde iki müdür, bir şehirde iki vali, bir memlekette iki padişah bulunsa intizam zîr ü zeber olur ve insicam herc ü merce düşer. Halbuki sinek kanadından tâ semavat kandillerine kadar o derece ince bir intizam gözetilmiş ki sinek kanadı kadar şirke yer bırakılmamış. Madem bunlar bu derece hilaf-ı akıl ve hikmet ve münafî-i his ve bedahet hareket ediyorlar. Onların tekzipleri seni tezkirden vazgeçirmesin.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Demikianlah, ayat-ayat di atas yang merupakan rangkaian ber- bagai hakikat telah kami jelaskan secara umum salah satu saja dari ratusan permata darinya. Yaitu permata yang terkait dengan ‘pembe- rian argumen mematikan’. Andaikan aku memiliki kemampuan untuk menjelaskan sejumlah permata lain darinya, tentu Engkau juga akan berkata, “Ayat-ayat ini merupakan mukjizat itu sendiri.”
    İşte silsile-i hakaik olan şu âyâtın yüzer cevherlerinden yalnız ifham ve ilzama dair bir tek cevher-i beyanîsini icmalen beyan ettik. Eğer iktidarım olsaydı, birkaç cevherlerini daha gösterseydim “Şu âyetler tek başıyla bir mu’cizedir.” sen dahi diyecektin.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Selanjutnya, penjelasan al-Qur’an terkait dengan ‘pemberian pe- mahaman dan pengajaran’ sungguh luar biasa dan sangat istimewa. Sehingga dengan penjelasan tersebut, orang yang paling awam sekali- pun dapat memahami hakikat paling agung dan paling dalam dengan mudah.  
    '''Amma ifham ve talimdeki beyanat-ı Kur’aniye''' o kadar hârikadır, o derece letafetli ve selasetlidir; en basit bir âmî, en derin bir hakikati onun beyanından kolayca tefehhüm eder.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ya, al-Qur’an yang terang menunjukkan banyak hakikat tersem- bunyi lalu mengajarkannya kepada masyarakat dengan bahasa yang mudah dan jelas serta dengan penjelasan yang memadai di mana se- suai dengan nalar masyarakat umum, tidak melukai perasaan mereka dan tidak terasa berat bagi mereka. Sebagaimana ketika berbicara de- ngan anak kecil, seseorang akan memergunakan ungkapan yang tepat untuknya. Demikian pula dengan gaya bahasa al-Qur’an yang disebut:
    Evet, Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan, çok hakaik-i gamızayı nazar-ı umumîyi okşayacak, hiss-i âmmeyi rencide etmeyecek, fikr-i avamı taciz edip yormayacak bir surette basitane ve zâhirane söylüyor, ders veriyor. Nasıl bir çocukla konuşulsa çocukça tabirat istimal edilir. Öyle de تَنَزُّلَاتٌ اِلٰهِيَّةٌ اِلٰى عُقُولِ ال۟بَشَرِ   denilen, mütekellim üslubunda muhatabın derecesine sözüyle nüzul edip öyle konuşan esalib-i Kur’aniye, en mütebahhir hükemanın fikirleriyle yetişemediği hakaik-i gamıza-i İlahiye ve esrar-ı Rabbaniyeyi müteşabihat suretinde bir kısım teşbihat ve temsilat ile en ümmi bir âmîye ifham eder.
    “Penyesuaian firman ilahi dengan akal manusia” merupakan pe- san yang turun ke tingkat pemahaman si penerima pesan sehingga orang yang paling awam dapat diberi pemahaman mengenai berbagai hakikat tersembunyi dan rahasia rabbani, di mana hal ini sulit untuk dilakukan oleh para ahli hikmah. Hal itu dilakukan lewat berbagai pe- rumpamaan dan tamsil dalam bentuk yang bermiripan.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Misalnya firman Allah yang berbunyi:“Tuhan Yang Maha Penyayang bersemayam di atas Arasy.” (QS. Thâhâ [20]: 5).Ayat ini menjelaskan sifat rububiyah ilahi dan tata cara penataan sifat tersebut terhadap sejumlah urusan alam dalam bentuk perumpa- maan atas kedudukan rububiyah dengan penguasa yang bersemayam di tahtanya dan mengatur urusannya.
    '''Mesela'''
    اَلرَّح۟مٰنُ عَلَى ال۟عَر۟شِ اس۟تَوٰى   
    bir temsil ile rububiyet-i İlahiyeyi saltanat misalinde ve âlemin tedbirinde mertebe-i rububiyetini, bir sultanın taht-ı saltanatında durup icra-yı hükûmet ettiği gibi bir misalde gösteriyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ya, karena al-Qur’an merupakan kalam Tuhan semesta alam, ia turun dari kedudukan rububiyah-Nya yang paling agung di mana mendominasi semua kedudukan lainnya. Ia membimbing orang- orang yang sampai kepada berbagai kedudukan tersebut, menembus 70 ribu tabir, mengarah kepadanya sekaligus menyinarinya. Ia mene- barkan cahayanya kepada ribuan tingkatan orang-orang yang menjadi objek pesannya yang berbeda-beda tingkat pemahaman. Ia mencurahkan limpahan karunianya sepanjang masa yang memiliki potensi yang beraneka ragam. Meskipun berbagai maknanya disebarkan dengan sangat mudah ke berbagai penjuru dan zaman, namun vitalitas dan kesegarannya tetap terpelihara dan tidak kehilangan sedikitpun. Bah- kan, ia tetap indah, halus, dan lembut. Sebagaimana ia menyampaikan sejumlah pelajaran kepada orang awam dengan mudah, hal yang sama juga terjadi pada semua kalangan yang memiliki tingkat pemahaman dan kecerdasan yang berbeda-beda. Ia membimbing mereka semua menuju jalan kebenaran dan membuat mereka bisa menerima.Dalam al-Qur’an, ke manapun engkau arahkan pandanganmu, di situ engkau akan menyaksikan kilau kemukjizatan.
    Evet Kur’an, bu kâinat Hâlık-ı Zülcelal’inin kelâmı olarak rububiyetinin mertebe-i a’zamından çıkarak, umum mertebeler üstüne gelerek, o mertebelere çıkanları irşad ederek, yetmiş bin perdelerden geçerek, o perdelere bakıp tenvir ederek, fehim ve zekâca muhtelif binler tabaka muhataplara feyzini dağıtıp ve nurunu neşrederek kabiliyetçe ayrı ayrı asırlar, karnlar üzerinde yaşamış ve bu kadar mebzuliyetle manalarını ortaya saçmış olduğu halde kemal-i şebabetinden, gençliğinden zerre kadar zayi etmeyerek gayet taravette, nihayet letafette kalarak gayet suhuletli bir tarzda, sehl-i mümteni bir surette, her âmîye anlayışlı ders verdiği gibi; aynı derste, aynı sözlerle fehimleri muhtelif ve dereceleri mütebayin pek çok tabakalara dahi ders verip ikna eden, işbâ eden bir kitab-ı mu’ciz-nümanın hangi tarafına dikkat edilse elbette bir lem’a-i i’caz görülebilir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kesimpulannya, sebagaimana lafal al-Qur’an seperti kata al- hamdulillah ketika dibaca dapat memenuhi goa yang laksana telinga gunung, pada saat yang sama ia juga memenuhi dua telinga kecil milik nyamuk. Lafal yang sama terdengar pada keduanya. Demikian pula dengan berbagai makna al-Qur’an. Sebagaimana ia memuaskan akal para pembesar, ia juga bisa memberikan pemahaman kepada akal yang kecil dan sederhana. Dengan kata yang sama, ia membuat akal mereka merasa puas. Hal itu karena al-Qur’an mengajak seluruh lapisan jin dan manusia untuk beriman. Ia mengajarkan ilmu keimanan kepada seluruh jin dan manusia sekaligus membuktikannya. Oleh karena itu, orang yang paling dungu dari kalangan awam bisa mendengar pela- jaran dan bimbingan al-Qur’an bersama-sama dengan kalangan yang paling khawas.
    '''Elhasıl:''' Nasıl “Elhamdülillah” gibi bir lafz-ı Kur’anî okunduğu zaman dağın kulağı olan mağarasını doldurduğu gibi aynı lafız, sineğin küçücük kulakçığına da tamamen yerleşir. Aynen öyle de Kur’an’ın manaları, dağ gibi akılları işbâ ettiği gibi sinek gibi küçücük basit akılları dahi aynı sözlerle talim eder, tatmin eder. Zira Kur’an, bütün ins ve cinnin bütün tabakalarını imana davet eder. Hem umumuna imanın ulûmunu talim eder, ispat eder. Öyle ise avamın en ümmisi havassın en ehassına omuz omuza, diz dize verip beraber ders-i Kur’anîyi dinleyip istifade edecekler.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Dengan kata lain, al-Qur’an al-Karim merupakan hidangan la- ngit yang di dalamnya ribuan tingkat pemikiran, akal, kalbu, dan jiwa bisa menemukan makanan mereka. Masing-masing sesuai dengan selera dan kebutuhan. Bahkan banyak dari pintu al-Qur’an yang tetap tertutup agar bisa dibuka pada waktu mendatang.Jika engkau ingin melihat buktinya, seluruh isi al-Qur’an dari awal hingga akhir berisi berbagai contoh tentang hal tersebut.
    Demek Kur’an-ı Kerîm, öyle bir maide-i semaviyedir ki binler muhtelif tabakada olan efkâr ve ukûl ve kulûb ve ervah, o sofradan gıdalarını buluyorlar, müştehiyatını alıyorlar. Arzuları yerine gelir. Hattâ pek çok kapıları kapalı kalıp istikbalde geleceklere bırakılmıştır. Şu makama misal istersen bütün Kur’an baştan nihayete kadar bu makamın misalleridir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ya, para mujtahid, kalangan shiddîqîn, ahli hikmah, ulama muhaqqiqîn dan mu- daqqiqîn, ulama ushul fikih, ahli kalam, para wali, serta seluruh kaum muslimin secara umum yang memperhatikan petunjuk al-Qur’an, mereka semua sepakat, “Kami menerima pelajaran dalam bentuk terbaik dari al-Qur’an.”
    Evet, bütün müçtehidîn ve sıddıkîn ve hükema-i İslâmiye ve muhakkikîn ve ulema-i usûlü’l-fıkıh ve mütekellimîn ve evliya-i ârifîn ve aktab-ı âşıkîn ve müdakkikîn-i ulema ve avam-ı müslimîn gibi Kur’an’ın tilmizleri ve dersini dinleyenleri, müttefikan diyorlar ki: “Dersimizi güzelce anlıyoruz.”
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kesimpulannya, kilau kemukjizatan al-Qur’an dalam tingkatan ini (pengajaran) bersinar terang sebagaimana dalam seluruh tingkatan lainnya.
    Elhasıl, sair makamlar gibi ifham ve talim makamında dahi Kur’an’ın lemaat-ı i’cazı parlıyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="İKİNCİ_ŞUÂ"></span>
    === İKİNCİ ŞUÂ ===
    ===KILAU KEDUA===
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Universalitas al-Qur’an yang Luar Biasa
    '''Kur’an’ın câmiiyet-i hârikulâdesidir.'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    (Lima Cahaya)
    Şu şuânın '''beş lem’a'''sı var.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Cahaya Pertama'''  
    '''BİRİNCİ LEM’A'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Universalitas yang luar biasa dalam lafalnya.
    '''Lafzındaki câmiiyettir.'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Hal ini sangat jelas dalam sejumlah ayat yang disebutkan dalam kalimat-kalimat sebelum- nya.
    Elbette evvelki sözlerde hem bu sözde zikrolunan âyetlerden şu câmiiyet aşikâre görünüyor. Evet
    Ya, lafal-lafal al-Qur’an ditempatkan secara tepat di mana setiap klausa, bahkan setiap kata, setiap huruf, dan bahkan diamnya kadang- kala memiliki aspek yang sangat banyak. Masing-masing memberi- kan bagian kepada sang penerima pesan dari beragam pintu yang ada seperti yang disebutkan oleh hadis Nabi x. Setiap ayat memiliki sisi lahir dan batin, awal dan akhir,(*<ref>*“Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf” (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi). Dalam riwayat lain disebutkan, “Setiap huruf darinya memiliki sisi lahir dan batin, serta setiap huruf memiliki batas dan setiap batas memiliki tangga”.</ref>)ranting, dahan, dan tujuan.(*<ref>*Ada pepatah yang berbunyi, “Pembicaraan memiliki sejumlah dahan.” Maksud- nya, sejumlah maksud dan tujuan. Ada pula yang mengatakan bahwa maksudnya adalah sebagian masuk kepada sebagian yang lain. Yakni, cabangnya saling terkait.</ref>)
    لِكُلِّ اٰيَةٍ ظَه۟رٌ وَبَط۟نٌ وَحَدٌّ وَمُطَّلَعٌ ( وَ لِكُلٍّ شُجُونٌ وَغُصُونٌ وَ فُنُونٌ )  
    olan hadîsin işaret ettiği gibi elfaz-ı Kur’aniye, öyle bir tarzda vaz’edilmiş ki her bir '''kelâm'''ın, hattâ her bir '''kelime'''nin, hattâ her bir '''harf'''in, hattâ bazen bir '''sükût'''un çok vücuhu bulunuyor. Her bir muhatabına ayrı ayrı bir kapıdan hissesini verir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Misal- nya, ayat yang berbunyi:“Gunung-gunung sebagai pasak.” (QS. an-Naba’ [78]: 7).
    '''Mesela'''   وَ ال۟جِبَالَ اَو۟تَادًا   yani “Dağları zemininize kazık ve direk yaptım.” bir '''kelâm'''dır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Dari ayat tersebut, orang awam mengambil bagiannya dengan cara melihat gunung laksana pasak yang tertanam di bumi seperti yang terlihat oleh mata. Ia dapat merenungkan berbagai nikmat dan manfaat yang terdapat padanya serta bersyukur kepada Penciptanya.
    Bir âmînin şu kelâmdan hissesi: Zâhiren yere çakılmış kazıklar gibi görünen dağları görür, onlardaki menafiini ve nimetlerini düşünür, Hâlık’ına şükreder.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Dari ayat di atas, seorang penyair mengambil bagiannya dengan cara mengkhayalkan bumi sebagai daratan yang datar, sementara kubah langit digambarkan sebagai kemah besar berwarna biru yang dipasang di atasnya. Lalu kemah tersebut dihias dengan sejumlah len- tera. Sejumlah gunung tampak memenuhi kaki langit (ufuk). Puncak- nya menyentuh ujung langit. Ia tampak seolah-olah pasak dari kemah besar tadi. Mereka pun merasa kagum dan takjub serta menyucikan Sang Pencipta Yang Mahaagung.
    '''Bir şairin bu kelâmdan hissesi:''' Zemin, bir taban; ve kubbe-i sema, üstünde konulmuş yeşil ve elektrik lambalarıyla süslenmiş bir muhteşem çadır, ufkî bir daire suretinde ve semanın etekleri başında görünen dağları, o çadırın kazıkları misalinde tahayyül eder. Sâni’-i Zülcelal’ine hayretkârane perestiş eder.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Dari ayat di atas, seorang sastrawan badui mengambil bagiannya dengan cara menggambarkan permukaan bumi sebagai padang pasir yang luas, sementara pegunungan laksana rangkaian beragam tenda (kemah) yang terbentang untuk berbagai jenis makhluk. Lapisan tanah ibarat penutup pasak-pasak tinggi itu, lalu gunung-gunung tersebut menembusnya dengan ujungnya yang runcing seraya menjadikannya sebagai habitat yang beragam bagi berbagai jenis makhluk. Demikian- lah yang mereka pahami sehingga bersujud kepada Sang Pencipta Yang Mahaagung dengan penuh kekaguman seraya memosisikan makhluk besar (pegunungan) itu sebagai kemah yang dipasang di atas bumi.
    '''Hayme-nişin bir edibin bu kelâmdan nasibi:''' Zeminin yüzünü bir çöl ve sahra; dağların silsilelerini pek kesretle ve çok muhtelif bedevî çadırları gibi güya tabaka-i türabiye, yüksek direkler üstünde atılmış, o direklerin sivri başları o perde-i türabiyeyi yukarıya kaldırmış, birbirine bakar pek çok muhtelif mahlukatın meskeni olarak tasavvur eder. O büyük azametli mahlukları, böyle yeryüzünde çadırlar misillü kolayca kuran ve koyan Fâtır-ı Zülcelal’ine karşı secde-i hayret eder.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Selanjutnya dari ayat di atas, seorang ahli geografi mengambil bagiannya dengan cara melihat bola bumi laksana kapal yang berlayar mengarungi gelombang lautan udara (angkasa), sementara gunung laksana pilar yang ditancapkan pada kapal tersebut guna menjaga sta- bilitas dan keseimbangannya. Demikianlah yang berada di benak seo- rang ahli geografi. Di hadapan keagungan Penguasa Yang Maha Sem- purna yang telah menjadikan bola bumi yang besar sebagai kapal yang tertata di mana kita dinaikkan di dalamnya untuk berjalan menyu- suri cakrawala, ia berkata, “Mahasuci Engkau. Betapa agung kekua- saan-Mu”.
    '''Coğrafyacı bir edibin o kelâmdan kısmeti:''' Küre-i zemin, bahr-i muhit-i havaîde veya esîrîde yüzen bir sefine ve dağları, o sefinenin üstünde tesbit ve muvazene için çakılmış kazıklar ve direkler şeklinde tefekkür eder. O koca küre-i zemini, muntazam bir gemi gibi yapıp, bizleri içine koyup aktar-ı âlemde gezdiren Kadîr-i Zülkemal’e karşı سُب۟حَانَكَ مَا اَع۟ظَمَ شَأ۟نَكَ   der.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Selanjutnya dari ayat di atas, seorang sosiolog dan pemerhati peradaban modern mengambil bagiannya dengan cara memahami bumi laksana tempat tinggal di mana pilar kehidupan tempat tinggal itu berupa keberadaan makhluk hidup. Sementara pilar kehidupan makhluk hidup tersebut berupa air, udara, dan tanah. Kemudian pilar kehidupan ketiganya adalah gunung. Sebab, gunung merupakan tem- pat penampungan air, penyaring udara dengan menyerap gas-gas ber- bahaya, pelindung tanah dengan menahan luapan air laut, sekaligus merupakan tempat penyimpanan berbagai hal yang dibutuhkan ma- nusia. Begitulah ia memahami sehingga ia bersyukur dan menyucikan Sang Pencipta Yang Mahaagung dan Pemurah yang telah menjadikan gunung-gunung besar sebagai pasak dan gudang tempat menyimpan kebutuhan hidup di atas bumi yang menjadi habitat kita.
    '''Medeniyet ve heyet-i içtimaiyenin mütehassıs bir hakîminin bu kelâmdan hissesi:''' Zemini, bir hane ve o hanenin direği, hayat-ı hayvaniye ve hayat-ı hayvaniye direği, şerait-i hayat olan su, hava ve topraktır. Su ve hava ve toprağın direği ve kazığı, dağlardır. Zira dağlar, suyun mahzeni, havanın tarağı (gazat-ı muzırrayı tersib edip havayı tasfiye eder) ve toprağın hâmisi (bataklıktan ve denizin istilasından muhafaza eder) ve sair levazımat-ı hayat-ı insaniyenin hazinesi olarak fehmeder. Şu koca dağları, şu suretle hane-i hayatımız olan zemine direk yapan ve maişetimize hazinedar tayin eden Sâni’-i Zülcelali ve’l-ikram’a, kemal-i tazim ile hamd ü sena eder.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Lalu dari ayat di atas, seorang filsuf-naturalis mengambil bagi- annya dengan cara memahami bahwa berbagai perpaduan, gejolak, dan gempa yang terjadi di perut bumi menjadi tenang dan stabil de- ngan keberadaan gunung. Jadi, gunung menjadi sebab stabilitas bumi di seputar sumbu dan porosnya serta membuatnya tidak keluar dari orbitnya. Seolah-olah bumi bernafas lewat celah-celah gunung sehing- ga murkanya menjadi reda. Demikianlah ia memahami dan beriman seraya berkata, “Hikmah hanya milik Allah.
    '''Hikmet-i tabiiyenin bir feylesofunun şu kelâmdan nasibi şudur ki:''' Küre-i zeminin karnında bazı inkılabat ve imtizacatın neticesi olarak hasıl olan zelzele ve ihtizazatı, dağların zuhuruyla sükûnet bulduğunu ve medar ve mihverindeki istikrarına ve zelzelenin irticacıyla medar-ı senevîsinden çıkmamasına sebep, dağların hurucu olduğunu ve zeminin hiddeti ve gazabı, dağların menafiziyle teneffüs etmekle sükûnet ettiğini fehmeder, tamamen imana gelir.   اَل۟حِك۟مَةُ لِلّٰهِ   der.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <div class="mw-translate-fuzzy">
    '''Mesela'''
    Contoh lain:“Langit dan bumi tadinya menyatu kemudian kami membelah keduanya...” (QS. al-Anbiyâ [21: 30).
    اَنَّ السَّمٰوَاتِ وَال۟اَر۟ضَ كَانَتَا رَت۟قًا فَفَتَق۟نَاهُمَا daki   رَت۟قًا   '''kelimesi''', tetkikat-ı felsefe ile âlûde olmayan bir âlime, o kelime şöyle ifham eder ki: Sema berrak, bulutsuz; zemin kuru ve hayatsız, tevellüde gayr-ı kabil bir halde iken semayı yağmurla, zemini hadravatla fethedip bir nevi izdivaç ve telkîh suretinde bütün zîhayatları o sudan halk etmek, öyle bir Kadîr-i Zülcelal’in işidir ki rûy-i zemin, onun küçük bir bostanı ve semanın yüz örtüsü olan bulutlar, onun bostanında bir süngerdir, anlar; azamet-i kudretine secde eder.
    Kata (رَت۟قًا) ‘menyatu’ pada ayat di atas memberitahukan kepada kalangan yang belum terkontaminasi dengan pemikiran filsafat bahwa langit tadinya bening; tidak berawan, dan bumi tandus; tidak ada ke- hidupan di dalamnya. Nah, yang membuka pintu-pintu langit dengan hujan dan menghampar bumi dengan tanaman hijau adalah Dzat yang menciptakan semua makhluk dari air tadi. Seolah-olah terdapat sema- cam pengawinan atau penyerbukan di antara keduanya. Ini semua diatur oleh Dzat Yang Mahakuasa dan Mahaagung yang permukaan bumi baginya laksana kebun kecil dan awan yang menutupi wajah la- ngit merupakan mesin penyiram untuk kebun tadi. Demikianlah yang bisa dipahami olehnya sehingga ia bersujud di hadapan keagungan qudrah-Nya.
    </div>
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kata (رَت۟قًا) ‘menyatu’ juga memberitahukan kepada seorang fisikawan bahwa pada awal penciptaan, bumi dan langit adalah dua benda yang tidak berbentuk dan dua adonan segar yang tidak mem- berikan manfaat. Ketika hanya berupa materi yang tidak dihuni oleh makhluk, Sang Pencipta Yang Mahabijak menjadikan keduanya se- bagai hamparan yang indah serta memberi bentuk yang bermanfaat, hiasan yang istiwewa, dan berbagai makhluk yang jumlahnya sangat banyak. Demikianlah yang dipahami olehnya sehingga membuatnya takjub di hadapan luasnya hikmah Allah.
    '''Ve muhakkik bir hakîme, o kelime şöyle ifham eder ki:''' Bidayet-i hilkatte sema ve arz şekilsiz birer küme ve menfaatsiz birer yaş hamur, veledsiz mahlukatsız toplu birer madde iken Fâtır-ı Hakîm, onları fetih ve bast edip güzel bir şekil, menfaattar birer suret, ziynetli ve kesretli mahlukata menşe etmiştir, anlar. Vüs’at-i hikmetine karşı hayran olur.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kata (رَت۟قًا) menjelaskan kepada para filsuf modern bahwa bola bumi serta seluruh planet yang membentuk tata surya, pada awalnya bercampur dengan matahari dalam bentuk adonan mentah yang be- lum terhampar. Maka Sang Mahakuasa Yang Mahahidup membelah adonan itu serta meletakkan berbagai planet pada tempatnya masing- masing. Matahari di sana, bumi di sini dan seterusnya. Dia hampar- kan bumi dengan tanah, menyiramnya dengan air dari langit (hujan), menyinarinya dengan cahaya dari matahari serta menjadikannya se- bagai tempat tinggal bagi manusia. Begitulah yang dipahami olehnya sehingga ia mengangkat kepala dari kubangan alam seraya berujar, “Aku beriman kepada Allah Yang Satu dan Esa.
    '''Yeni zamanın feylesofuna şu kelime şöyle ifham eder ki:''' Manzume-i şemsiyeyi teşkil eden küremiz, sair seyyareler, bidayette güneşle mümtezic olarak açılmamış bir hamur şeklinde iken Kādir-i Kayyum, o hamuru açıp, o seyyareleri birer birer yerlerine yerleştirerek, güneşi orada bırakıp, zeminimizi buraya getirerek, zemine toprak sererek, sema canibinden yağmur yağdırarak, güneşten ziya serptirerek dünyayı şenlendirip bizleri içine koymuştur, anlar; başını tabiat bataklığından çıkarır   اٰمَن۟تُ بِاللّٰهِ ال۟وَاحِدِ ال۟اَحَدِ   der.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Contoh lain:“Matahari beredar di tempat peredarannya...” (QS. Yâsîn [36]: 38).
    '''Mesela'''
    Huruf lâm pada kata (لِمُس۟تَقَرٍّ) ‘tempat peredaran’ menunjukkan makna lâm itu sendiri (untuk), makna fî (di), dan makna ilâ (ke atau menuju). Huruf tersebut dipahami oleh kalangan awam dengan mak- na ilâ. Mereka memahami ayat di atas sebagai berikut:
    وَ الشَّم۟سُ تَج۟رٖى لِمُس۟تَقَرٍّ لَهَا daki “'''lâm'''” hem kendi manasını hem “fî” manasını hem “ilâ” manasını ifade eder. İşte   لِمُس۟تَقَرٍّ   in “lâm”ı, avam o “lâm”ı “ilâ” manasında görüp fehmeder ki: “Size nisbeten ışık verici, ısındırıcı müteharrik bir lamba olan güneş, elbette bir gün seyri bitecek, mahall-i kararına yetişecek, size faydası dokunmayacak bir suret alacaktır” anlar. O da Hâlık-ı Zülcelal’in güneşe bağladığı büyük nimetleri düşünerek “Sübhanallah, Elhamdülillah” der.
    Matahari yang memberimu cahaya dan kehangatan berjalan menuju tempat peredarannya dan pada suatu saat ia akan sampai ke- padanya. Pada saat itu, ia tidak akan memberikan manfaat kepada ka- lian. Dengan ini, mereka menyadari nikmat agung yang Allah hadirkan lewat keberadaan matahari. Maka mereka memuji dan menyucikan Tuhan seraya mengucap, “Mahasuci Allah dan segala puji bagi-Nya.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ayat yang sama juga memperlihatkan huruf lâm dengan mak- na ilâ (menuju) kepada seorang yang berilmu. Hanya saja di sini, ma- tahari tidak diartikan sebagai sumber cahaya semata. Namun sebagai kumparan yang melahirkan sejumlah kreasi ilahi yang dirangkai pada pabrik musim semi dan panas. Juga, sebagai tinta cahaya bagi pesan Ilahi yang ditulis di atas lembaran malam dan siang. Inilah yang ter- dapat di benaknya. Ia mencermati tatanan alam yang menakjubkan yang ditunjukkan oleh peredaran matahari secara lahiriah. Maka ia pun tunduk bersujud di hadapan Sang Pencipta Yang Mahabijak se- raya mengucap, “Masyâ Allah” untuk kreasi-Nya dan “Bârakallah” un- tuk hikmah-Nya.
    '''Ve âlime dahi''' o “lâm”ı “ilâ” manasında gösterir. Fakat güneşi yalnız bir lamba değil belki bahar ve yaz tezgâhında dokunan mensucat-ı Rabbaniyenin bir mekiği, gece gündüz sahifelerinde yazılan mektubat-ı Samedaniyenin mürekkebi, nur bir hokkası suretinde tasavvur ederek güneşin cereyan-ı surîsi alâmet olduğu ve işaret ettiği intizamat-ı âlemi düşündürerek Sâni’-i Hakîm’in sanatına “Mâşâallah” ve hikmetine “Bârekellah” diyerek secdeye kapanır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sementara bagi astronom, huruf lâm dipahami dengan makna fî (di). Artinya, matahari mengatur gerakan sistem tata surya—laksana pegas jam—dengan cara berotasi (berputar pada porosnya). Di hada- pan Sang Pencipta Yang Mahaagung yang telah menciptakan benda laksana jam besar ini ia tercengang dan kagum seraya berkata, “Kea- gungan dan kekuasaan ini hanya milik Allah.” Ia meninggalkan filsafat dan masuk ke wilayah hikmah al-Qur’an.
    '''Ve kozmoğrafyacı bir feylesofa''' “lâm”ı “fî” manasında şöyle ifham eder ki: Güneş, kendi merkezinde ve mihveri üzerinde zemberekvari bir cereyan ile manzumesini emr-i İlahî ile tanzim edip tahrik eder. Şöyle bir saat-i kübrayı halk edip tanzim eden Sâni’-i Zülcelal’ine karşı kemal-i hayret ve istihsan ile   اَل۟عَظَمَةُ لِلّٰهِ وَ ال۟قُد۟رَةُ لِلّٰهِ   der, felsefeyi atar, hikmet-i Kur’aniyeye girer.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Huruf lâm di atas dipahami oleh seorang alim yang bijak dengan makna ‘sebab’ atau huruf yang menunjukkan situasi dan kondisi. Arti- nya, Sang Pencipta Yang Mahabijak menjadikan berbagai sebab lahi- riah sebagai tirai bagi berbagai urusan-Nya. Dia mengaitkan berbagai planet dengan matahari lewat hukum-Nya yang disebut gravitasi. De- ngan hukum tersebut, Dia menjalankan berbagai planet lewat berbagai gerakan namun tetap tertata rapi. Dia membuat matahari berotasi se- bagai sebab lahiriah untuk melahirkan gaya gravitasi tersebut. Dengan kata lain, makna (لِمُس۟تَقَرٍّ) adalah bahwa matahari berputar di tem- patnya (berotasi) agar sistem tata surya berjalan dengan stabil.
    '''Ve dikkatli bir hakîme''' şu “lâm”ı hem illet manasında hem zarfiyet manasında tutturup şöyle ifham eder ki: “Sâni’-i Hakîm, işlerine esbab-ı zâhiriyeyi perde ettiğinden, cazibe-i umumiye namında bir kanun-u İlahîsiyle sapan taşları gibi seyyareleri güneşle bağlamış ve o cazibe ile muhtelif fakat muntazam hareketle o seyyareleri daire-i hikmetinde döndürüyor ve o cazibeyi tevlid için güneşin kendi merkezinde hareketini zâhirî bir sebep etmiş. Demek   لِمُس۟تَقَرٍّ   manası:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sebab, rotasi matahari melahirkan panas, sementara panas melahirkan energi, lalu energi tadi melahirkan gravitasi. Itulah hukum dan sunnah ilahi.Demikianlah, seorang bijak memahami hikmah dari huruf al- Qur’an seperti di atas seraya berkata, “Segala puji milik Allah. Hikmah yang benar terdapat dalam al-Qur’an. Karena itu, menurutku filsafat tidak lagi berarti apa-apa.”
    فٖى مُس۟تَقَرٍّ لَهَا لِاِس۟تِق۟رَارِ مَن۟ظُومَتِهَا   yani, kendi müstekarrı içinde manzumesinin istikrarı ve nizamı için hareket ediyor. Çünkü hareket harareti, hararet kuvveti, kuvvet cazibeyi zâhiren tevlid eder gibi bir âdet-i İlahiye, bir kanun-u Rabbanîdir.” İşte şu hakîm, böyle bir hikmeti, Kur’an’ın bir harfinden fehmettiği zaman, “Elhamdülillah Kur’an’dadır hak hikmet, felsefeyi beş paraya saymam.” der.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Huruf lâm dan kata “al-Istiqrâr” dalam ayat memberi- kan gambaran kepada orang yang memiliki akal sehat dan kalbu yang sensitif bahwa matahari merupakan pohon bercahaya dan planet yang berada di sekitarnya adalah buahnya yang sedang beredar. Berbeda dengan pohon lain, matahari ikut bergerak agar buahnya tidak ber- jatuhan atau berserakan. Matahari juga dapat digambarkan sebagai pimpinan dalam sebuah majelis zikir. Ia berzikir kepada Allah dalam pusat majelis tersebut dalam kondisi penuh cinta dan rindu hingga memberikan daya tarik kepada yang lain.Dalam risalah yang lain aku pernah memberikan penjelasan yang maknanya sebagai berikut:
    '''Ve şairane bir fikir ve kalp sahibine''' şu “lâm”dan ve istikrardan şöyle bir mana fehmine gelir ki: “Güneş, nurani bir ağaçtır. Seyyareler onun müteharrik meyveleri. Ağaçların hilafına olarak güneş silkinir, tâ o meyveler düşmesin. Eğer silkinmezse düşüp dağılacaklar.” Hem tahayyül edebilir ki: “Şems meczup bir serzâkirdir. Halka-i zikrin merkezinde cezbeli bir zikreder ve ettirir.” Bir risalede şu manaya dair şöyle demiştim:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ya, matahari berbuah. Ia bergerak agar buahnya yang baik tidak berjatuhan.
    ''“Evet güneş, bir meyvedardır; silkinir tâ düşmesin seyyar olan yemişleri.''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Andaikata ia diam; tak ber- gerak, tentu akan kehilangan daya tarik sehingga para pecinta yang terdapat di angkasa yang luas itu bisa berjatuhan.
    ''Eğer sükûtuyla sükûnet eylese cezbe kaçar, ağlar fezada muntazam meczupları.”''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. al-A’râf [7]:157).Dalam ayat di atas terdapat “simplifikasi kata” dan makna mutlak. Sebab, tidak ditentukan dengan apa mereka beruntung. Sehing- ga masing-masing bisa mendapatkan keinginannya di dalam “kata” tersebut. Redaksi ayat di atas sengaja dipersingkat agar maknanya luas. Pasalnya, sebagian menginginkan selamat dari api neraka. Sebagian lagi hanya memikirkan surga. Sebagian lainnya mendambakan keba- hagiaan abadi. Sebagian mengharap rida ilahi semata. Lalu sebagian ingin melihat Allah . Begitulah seterusnya. Al-Qur’an membiarkan redaksinya bersifat mutlak agar memberikan makna yang bersifat umum. Ia menyingkat agar mengandung banyak makna. Ia juga me- ringkas agar setiap orang bisa mendapatkan bagian darinya.
    '''Hem mesela'''
    اُولٰٓئِكَ هُمُ ال۟مُف۟لِحُونَ da bir '''sükût''' var, bir ıtlak var. Neye zafer bulacaklarını tayin etmemiş. Tâ herkes istediğini içinde bulabilsin. Sözü az söyler, tâ uzun olsun. Çünkü bir kısım muhatabın maksadı ateşten kurtulmaktır. Bir kısmı yalnız cenneti düşünür. Bir kısım, saadet-i ebediyeyi arzu eder. Bir kısım, yalnız rıza-yı İlahîyi rica eder. Bir kısım, rü’yet-i İlahiyeyi gaye-i emel bilir ve hâkeza… Bunun gibi pek çok yerlerde Kur’an, sözü mutlak bırakır, tâ âmm olsun. Hazfeder, tâ çok manaları ifade etsin. Kısa keser, tâ herkesin hissesi bulunsun.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Jadi, kata (اَل۟مُف۟لِحُونَ) ‘orang-orang yang beruntung’ tidak menen- tukan dengan apa mereka akan beruntung. Dengan adanya simplifikasi kata, seakan-akan ayat tersebut berkata, “Wahai umat Islam, bergembi- ralah! Wahai yang bertakwa, engkau akan selamat dari neraka. Wahai hamba yang saleh, keberuntunganmu terdapat di surga. Wahai orang yang arif, engkau akan mendapat rida-Nya. Wahai pecinta keindahan Allah, engkau akan bisa melihat-Nya”. Demikian seterusnya.
    İşte   اَل۟مُف۟لِحُونَ   der. Neye felâh bulacaklarını tayin etmiyor. Güya o sükûtla der: “Ey Müslümanlar! Müjde size. Ey müttaki! Sen cehennemden felâh bulursun. Ey salih! Sen cennete felâh bulursun. Ey ârif! Sen rıza-yı İlahîye nâil olursun. Ey âşık! Sen rü’yete mazhar olursun.” ve hâkeza…
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Contoh lain:Kami telah mengemukakan satu contoh dari sisi universalitas la- fal, klausa, kata, huruf, dan simplifikasi yang terdapat dalam al-Qur’an di antara ribuan contoh yang ada. Anda bisa menganalogikan penjela- san yang telah kami kemukakan dengan ayat dan kisah lainnya.
    İşte Kur’an, câmiiyet-i lafziye cihetiyle kelâmdan, kelimeden, huruftan ve sükûttan her birisinin binler misallerinden yalnız numune olarak birer misal getirdik. Âyeti ve kıssatı bunlara kıyas edersin.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Contoh:“Ketahuilah tiada Tuhan selain Allah dan mohon ampunlah atas dosamu...” (QS. Muhammad [47]: 19).
    '''Mesela'''
    Ayat di atas memiliki banyak aspek dan kedudukan sehingga semua tingkatan wali dalam sarana suluk dan derajat mereka yang berbeda-beda membutuhkan ayat ini. Masing-masing mereka dapat mengambil nutrisi spiritual yang sesuai dengan tingkatannya karena lafal jalâlah (اللّٰهُ) merupakan nama yang mencakup seluruh Asmaul Husna. Di dalamnya terdapat berbagai jenis tauhid sesuai dengan jum- lah nama itu sendiri.
    فَاع۟لَم۟ اَنَّهُ لَٓا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاس۟تَغ۟فِر۟ لِذَن۟بِكَ âyeti, o kadar vücuhu var ve o derece meratibi var ki bütün tabakat-ı evliya, bütün sülûklarında ve mertebelerinde şu âyete ihtiyaçlarını görüp ondan kendi mertebesine lâyık bir gıda-yı manevî, bir taze mana almışlar. Çünkü “Allah” bir ism-i câmi’ olduğundan esma-i hüsna adedince tevhidler, içinde bulunur.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Artinya, tidak ada Dzat Pemberi rezeki kecuali Dia. Tidak ada Pencipta kecuali Dia. Tidak ada Yang Maha Pengasih kecuali Dia. Demikian seterusnya.
    اَى۟ لَا رَزَّاقَ اِلَّا هُوَ ۝ لَا خَالِقَ اِلَّا هُوَ ۝ لَا رَح۟مٰنَ اِلَّا هُوَ
    ve hâkeza…
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sebagai contoh: Kisah Musa  yang termasuk salah satu dari ki- sah-kisah al-Qur’an. Di dalamnya terdapat sejumlah pelajaran sebanyak manfaat yang terdapat pada tongkat Musa. Pasalnya, ia menenangkan dan menghibur Rasul x, memberikan ancaman kepada kaum kafir, menghinakan kaum munafik, mencela bangsa Yahudi, serta berbagai tujuan serupa lainnya. Jadi, ia memiliki banyak aspek. Oleh karena itu, ia terulang dalam sejumlah surah. Meskipun ia mengetengahkan semua tujuan tersebut pada setiap tempat, namun salah satunya me- rupakan maksud utama sementara yang lain bersifat sekunder.
    Hem mesela, kısas-ı Kur’aniyeden kıssa-i Musa aleyhisselâm, âdeta asâ-yı Musa aleyhisselâm gibi binler faydaları var. O kıssada hem Peygamber aleyhissalâtü vesselâmı teskin ve teselli hem küffarı tehdit hem münafıkları takbih hem Yahudileri tevbih gibi çok makasıdı, pek çok vücuhu vardır. Onun için surelerde tekrar edilmiştir. Her yerde bütün maksatları ifade ile beraber yalnız birisi maksud-u bizzat olur, diğerleri ona tabi kalırlar.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Barangkali engkau bertanya, “Bagaimana kita dapat memahami bahwa al-Qur’an menghendaki semua makna seperti yang disebutkan dalam berbagai contoh di atas?
    '''Eğer desen:''' Geçmiş misallerdeki bütün manaları nasıl bileceğiz ki Kur’an onları irade etmiş ve işaret ediyor?
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Jawabannya: Selama al-Qur’an al-Karîm merupakan pesan azali yang Allah jadikan sebagai sarana komunikasi dengan ragam tingka- tan manusia sepanjang masa serta membimbing mereka semua, sudah pasti Dia memasukkan banyak makna agar sejalan dengan tingkat pe- mahaman yang beragam sekaligus memberikan sejumlah tanda atas kehendak-Nya itu.Ya, dalam buku Isyârât al-I’jâz, kami telah menjelaskan sejum- lah makna yang terdapat di sini berikut berbagai makna kosakata al- Qur’an yang sejenis. Kami membuktikannya sesuai dengan kaidah ilmu gramatika serta sesuai dengan ketentuan ilmu bayan, seman- tik dan retorika.
    '''Elcevap:''' Madem Kur’an bir hutbe-i ezeliyedir. Hem muhtelif, tabaka tabaka olarak asırlar üzerinde ve arkasında oturup dizilmiş bütün benî-Âdem’e hitap ediyor, ders veriyor. Elbette o muhtelif efhâma göre müteaddid manaları dercedip irade edecektir ve iradesine emareleri vaz’edecektir. Evet, İşaratü’l-İ’caz’da şuradaki manalar misillü kelimat-ı Kur’aniyenin müteaddid manalarını ilm-i sarf ve nahvin kaideleriyle ve ilm-i beyan ve fenn-i maânînin düsturlarıyla, fenn-i belâgatın kanunlarıyla ispat edilmiştir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Di samping itu, semua aspek dan makna yang sah menurut ilmu Bahasa Arab, benar menurut ilmu ushuluddin, sejalan dengan kaidah semantik, sesuai dengan ilmu bayan, dan dianggap baik dalam ilmu retorika (balagah), semuanya termasuk makna al-Qur’an. Hal itu didukung oleh kesepakatan para mujtahid, mufassir, ulama ushuluddin dan ushul fikih serta lewat kesaksian sudut pandang me- reka yang berbeda-beda.Al-Qur’an al-Karîm telah memberikan sejumlah petunjuk atas setiap makna tersebut sesuai dengan tingkatannya. Ia bisa bersifat ver- bal dan non-verbal (maknawi). Petunjuk yang bersifat non-verbal bisa dilihat dari sisi konteks atau lewat petunjuk dari ayat lain yang men- jelaskannya. Ratusan ribu buku tafsir di mana ada di antaranya yang mencapai delapan puluh jilid(*<ref>*Bahkan konsultasi di seputar ilmu al-Qur’an (Tafsir al-Adnawi) mencapai seratus dua puluh jilid. Ia ditulis selama dua belas tahun oleh Muhammad ibn Ali ibn Ahmad yang wafat tahun 388 H (Kasyf az-Zhunûn 1/441).</ref>)menjadi petunjuk yang kuat dan ce- merlang atas universalitas dan keluarbiasaan redaksi al-Qur’an.Bagaimanapun, andaikan dalam kalimat ini setiap isyarat yang menunjukkan kepada setiap maknanya dijelaskan dengan kaidah yang ada, tentu pembahasannya akan panjang. Karena itu, kita cukupkan sampai di sini dan anda bisa merujuk kepada buku Isyârat al-I’jâz fî Mazhân al-Îjâz.
    Bununla beraber ulûm-u Arabiyece sahih ve usûl-ü diniyece hak olmak şartıyla ve fenn-i maânîce makbul ve ilm-i beyanca münasip ve belâgatça müstahsen olan bütün vücuh ve maânî, ehl-i içtihad ve ehl-i tefsir ve ehl-i usûlü’d-din ve ehl-i usûlü’l-fıkhın icmaıyla ve ihtilaflarının şehadetiyle Kur’an’ın manalarındandırlar. O manalara, derecelerine göre birer emare vaz’etmiştir. Ya lafziyedir ya maneviyedir. O maneviye ise ya siyak veya sibak-ı kelâmdan veya başka âyetten birer emare o manaya işaret eder. Bir kısmı yirmi ve otuz ve kırk ve altmış, hattâ seksen cilt olarak muhakkikler tarafından yazılan yüz binler tefsirler, Kur’an’ın câmiiyet ve hârikıyet-i lafziyesine kat’î bir bürhan-ı bâhirdir. Her ne ise… Biz şu sözde her bir manaya delâlet eden emareyi kanunuyla, kaidesiyle göstersek söz çok uzanır. Onun için kısa kesip kısmen İşaratü’l-İ’caz’a havale ederiz.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Cahaya Kedua'''
    '''İKİNCİ LEM’A'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Universalitas yang luar biasa dalam maknanya.
    '''Manasındaki câmiiyet-i hârikadır.'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ya, lewat ber- bagai maknanya yang agung, al-Qur’an telah menyediakan limpahan sumber rujukan bagi semua mujtahid, rasa bagi seluruh kaum arif, jalan bagi seluruh kaum yang mencapai tingkat makrifat, sarana bagi seluruh kalangan yang sempurna, serta mazhab bagi semua ahli haki- kat. Di samping itu, al-Qur’an menjadi pemandu dan pembimbing bagi mereka pada setiap waktu dalam menapaki tangga spiritual, sekaligus menjadi penebar cahaya terang di atas jalan mereka dari khazanahnya yang tidak pernah habis, sebagaimana hal itu telah diakui dan disepa- kati oleh mereka.
    Evet Kur’an, bütün müçtehidlerin me’hazlerini, bütün âriflerin mezâklarını, bütün vâsılların meşreplerini, bütün kâmillerin mesleklerini, bütün muhakkiklerin mezheplerini manasının hazinesinden ihsan etmekle beraber; daima onlara rehber ve terakkiyatlarında her vakit onlara mürşid olup o tükenmez hazinesinden onların yollarına neşr-i envar ettiği, bütün onlarca musaddaktır ve müttefekun aleyhtir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Cahaya Ketiga'''
    '''ÜÇÜNCÜ LEM’A'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Universalitas yang luar biasa dalam ilmunya.
    '''İlmindeki câmiiyet-i hârikadır.'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ya, di samping mengalirkan ilmu syariat yang sangat beragam, ilmu hakikat yang beraneka macam, dan ilmu tarekat yang tak terbatas dari lautan ilmu- nya, al-Qur’an al-Karîm juga mengalirkan secara melimpah dari lau- tan tersebut hikmah hakiki dari wilayah yang bersifat mungkin, ilmu hakiki dari wilayah wâjibul-wujûd, serta berbagai pengetahuan ten- tang negeri akhirat yang penuh rahasia. Jika kita ingin mengetengah- kan contoh dari cahaya ini, maka dibutuhkan tulisan satu jilid penuh. Karena itu, kami hanya menjelaskan dua puluh lima kalimat yang telah dibahas sebelumnya.Ya, berbagai hakikat yang benar dari kedua puluh kalimat itu ti- dak lain merupakan dua puluh lima tetes dari lautan ilmu al-Qur’an. Jika terdapat kekurangan pada ‘kalimat-kalimat’ tersebut, maka hal itu kembali kepada pemahamanku yang terbatas.
    Evet Kur’an, şeriatın müteaddid ve çok ilimlerini, hakikatin mütenevvi ve kesretli ilimlerini, tarîkatın muhtelif ve hadsiz ilimlerini, kendi ilminin denizinden akıttığı gibi; daire-i mümkinatın hakiki hikmetini ve daire-i vücubun ulûm-u hakikiyesini ve daire-i âhiretin maarif-i gamızasını, o denizinden muntazaman ve kesretle akıtıyor. Şu lem’aya misal getirilse bir cilt yazmak lâzım gelir. Öyle ise yalnız numune olarak şu yirmi beş adet Sözleri gösteriyoruz. Evet, bütün yirmi beş adet Sözlerin doğru hakikatleri, Kur’an’ın bahr-i ilminden ancak yirmi beş katredir. O Sözlerde kusur varsa benim fehm-i kāsırıma aittir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Cahaya Keempat'''
    '''DÖRDÜNCÜ LEM’A'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Universalitas yang luar biasa dalam pembahasannya.
    '''Mebahisindeki câmiiyet-i hârikadır.'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ya, al- Qur’an telah mengumpulkan berbagai bahasan universal yang terkait dengan manusia dan tugasnya, alam dan Penciptanya, bumi dan la- ngit, dunia dan akhirat, masa lalu dan masa depan, serta azali dan aba- di. Di samping itu, ia juga memuat bahasan penting dan fundamental mulai dari penciptaan manusia dari nutfah hingga masuk ke dalam kubur; dari adab makan dan tidur hingga bahasan tentang qadha dan qadar; dari penciptaan alam dalam enam hari hingga berbagai tugas hembusan angin seperti yang ditunjukkan oleh sumpah dalam surah al-Mursalât [77] ayat 1:
    Evet, insan ve insanın vazifesi, kâinat ve Hâlık-ı kâinat’ın, arz ve semavatın, dünya ve âhiretin, mazi ve müstakbelin, ezel ve ebedin mebahis-i külliyelerini cem’etmekle beraber nutfeden halk etmek, tâ kabre girinceye kadar; yemek, yatmak âdabından tut tâ kaza ve kader mebhaslarına kadar; altı gün hilkat-i âlemden tut, tâ وَال۟مُر۟سَلَاتِ ۝ وَالذَّارِيَاتِ kasemleriyle işaret olunan rüzgârların esmesindeki vazifelerine kadar;
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Demi angin yang dikirim (untuk membawa kebaikan)” dan da- lam surah al-Dzâriyât [51] ayat 1:“Demi angin yang menebarkan debu.”Lalu, dari keikutsertaan Allah dalam kalbu dan kehendak manu- sia lewat petunjuk ayat-ayat berikut:“Kalian tidak berkehendak kecuali apa yang Allah kehendaki...”(QS. at-Takwîr [81]: 29),“Dia membatasi antara seseorang dan kalbunya...” (QS. al-Anfâl [8]: 24), hingga ayat yang berbunyi:“Langit terlipat di tangan kanan-Nya…” (QS. az-Zumar [39]: 67).
    وَمَا تَشَٓاؤُنَ اِلَّٓا اَن۟ يَشَٓاءَ اللّٰهُ ۝ يَحُولُ بَي۟نَ ال۟مَر۟ءِ وَقَل۟بِهٖ işaratıyla, insanın kalbine ve iradesine müdahalesinden tut, tâ وَالسَّمٰوَاتُ مَط۟وِيَّاتٌ بِيَمٖينِهٖ yani bütün semavatı bir kabzasında tutmasına kadar;
    Kemudian, dari ayat:“Kami jadikan di dalamnya sejumlah kebun dari kurma dan ang- gur...” (QS. Yâsîn [36]: 34), hingga hakikat menakjubkan yang dijelas- kan oleh ayat berikut:“Ketika bumi digoncangkan dengan segoncang-goncangnya.” (QS. az-Zalzalah [99]: 1).Selanjutnya, dari kondisi langit dalam ayat:“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit yang masih merupakan asap...” (QS. Fushshilat [41]: 11) hingga terbelahnya langit, pudarnya bintang serta bagaimana ia tersebar di angkasa yang tak ter- batas; dari terbukanya dunia untuk ujian hingga akhir ujian itu sendiri; dari kubur yang merupakan tingkatan akhirat pertama serta barzakh, kebangkitan, dan shirat hingga surga dan kebahagiaan abadi; dari berbagai kejadian masa lalu mulai penciptaan Adam  dan perse- teruan kedua anaknya hingga badai, kebinasaan Fir’aun serta berbagai peristiwa besar yang terjadi pada sebagian besar nabi; dari peristiwa azali dalam ayat:“Bukankah Aku Tuhan kalian...” (QS. al-A’râf [7]: 172), hingga ayat yang berbunyi:“Sejumlah wajah pada hari itu ceria di mana ia melihat kepada Tuhannya” (QS. al-Qiyâmah [75]: 22-23) yang mengisyaratkan makna keabadian.Semua bahasan mendasar dan penting di atas dijelaskan dalam al-Qur’an secara gamblang sesuai dengan Dzat Allah Yang Mahamulia Yang menata seluruh alam laksana sebuah istana; Yang dengan mudah membuka dunia dan akhirat laksana dua kamar yang salah satunya di- buka sementara yang lain ditutup; Yang mengurus bumi sebagaimana mengurus sebuah kebun kecil dan mengatur langit seperti mengatur atap yang berhias lampu; Yang memantau masa lalu dan masa men- datang laksana dua halaman yang hadir di hadapan penyaksian-Nya seperti malam dan siang; Yang menyaksikan zaman azali dan abadi laksana hari ini dan kemarin; serta Yang menyaksikan keduanya se- perti masa kini dimana kedua sisi rangkaian sifat ilahi bersambung di dalamnya.
    وَجَعَل۟نَا فٖيهَا جَنَّاتٍ مِن۟ نَخٖيلٍ وَاَع۟نَابٍ zeminin çiçek ve üzüm ve hurmasından tut, tâ اِذَا زُل۟زِلَتِ ال۟اَر۟ضُ زِل۟زَالَهَا ile ifade ettiği hakikat-i acibeye kadar; ve semanın ثُمَّ اس۟تَوٰٓى اِلَى السَّمَٓاءِ وَهِىَ دُخَانٌ haletindeki vaziyetinden tut, tâ duhanla inşikakına ve yıldızlarının düşüp hadsiz fezada dağılmasına kadar; ve dünyanın imtihan için açılmasından tâ kapanmasına kadar; ve âhiretin birinci menzili olan kabirden, sonra berzahtan, haşirden, köprüden tut, tâ cennete, tâ saadet-i ebediyeye kadar; mazi zamanının vukuatından, Hazret-i Âdem’in hilkat-i cesedinden, iki oğlunun kavgasından tâ Tufana, tâ kavm-i Firavun’un garkına, tâ ekser enbiyanın mühim hâdisatına kadar; ve اَلَس۟تُ بِرَبِّكُم۟ işaret ettiği hâdise-i ezeliyeden tut, tâ وُجُوهٌ يَو۟مَئِذٍ نَاضِرَةٌ ۝ اِلٰى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ifade ettiği vakıa-i ebediyeye kadar bütün mebahis-i esasiyeyi ve mühimmeyi öyle bir tarzda beyan eder ki o beyan, bütün kâinatı bir saray gibi idare eden ve dünyayı ve âhireti iki oda gibi açıp kapayan ve zemin bir bahçe ve sema, misbahlarıyla süslendirilmiş bir dam gibi tasarruf eden ve mazi ve müstakbel, bir gece ve gündüz gibi nazarına karşı hazır iki sahife hükmünde temaşa eden ve ezel ve ebed, dün ve bugün gibi silsile-i şuunatın iki tarafı birleşmiş, ittisal peyda etmiş bir surette bir zaman-ı hazır gibi onlara bakan bir Zat-ı Zülcelal’e yakışır bir tarz-ı beyandır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sebagaimana seorang arsitek berbicara tentang kedua bangunan dan pengelolaannya yang ia bangun serta membuat lembaran kerja dan daftar sistem untuk berbagai pekerjaan yang terkait dengannya. Al-Qur’an juga merupakan kalam penjelasan yang sesuai dengan Dzat yang mencipta dan menata alam di mana Dia menuliskan sekaligus memperlihatkan—kalau boleh dikatakan—lembaran kerja dan daftar program-Nya. Di dalamnya (al-Qur’an) tidak ada jejak yang menun- jukkan adanya tindakan dibuat-buat atau kepura-puraan, juga tidak ada indikasi yang mengisyaratkan adanya perbuatan meniru ucapan siapapun, serta tidak ada petunjuk yang mengindikasikan adanya in- versi (keterbalikan posisi), dan bentuk penipuan sejenisnya. Namun dengan segala keseriusannya, dengan segala ketulusannya, dan de- ngan segala kesungguhannya, ia demikian murni, berkilau, terang, dan bercahaya. Sebagaimana sinar matahari berucap, “Aku berasal dari matahari,” al-Qur’an juga berkata, “Aku adalah kalam dan penjelasan Sang Pencipta semesta alam.”
    Nasıl bir usta, bina ettiği ve idare ettiği iki haneden bahseder. Programını ve işlerinin liste ve fihristesini yapar. Kur’an dahi şu kâinatı yapan ve idare eden ve işlerinin listesini ve fihristesini –tabir caiz ise– programını yazan, gösteren bir zatın beyanına yakışır bir tarzdadır. Hiçbir cihetle eser-i tasannu ve tekellüf görünmüyor. Hiçbir şaibe-i taklit veya başkasının hesabına ve onun yerinde kendini farz edip konuşmuş gibi bir hud’anın emaresi olmadığı gibi bütün ciddiyetiyle, bütün safvetiyle, bütün hulusuyla safi, berrak, parlak beyanı, nasıl gündüzün ziyası “Güneşten geldim.der. Kur’an dahi “Ben, Hâlık-ı âlem’in beyanıyım ve kelâmıyım.” der.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ya, Dzat yang telah memperindah dunia, yang menghiasnya dengan sejumlah kreasi bernilai, yang memenuhinya dengan berbagai nikmat yang baik dan mengundang selera, serta yang menebarkan di permukaan bumi beragam makhluk menakjubkan dan anugerah berharga dengan sangat rapi, sesuai dan teratur adalah Sang Pencipta Yang Mahaagung dan Pemberi nikmat yang dermawan. Adakah se- lain-Nya yang layak menjadi pemilik bayan al-Qur’an di mana ia telah memenuhi dunia dengan penghormatan, apresiasi, kekaguman, pujian dan rasa syukur sehingga menjadikan bumi sebagai pusat zikir dan tahlil, masjid tempat menyebut nama Allah, serta galeri berbagai krea- si ilahi?! Adakah selain-Nya yang menjadi pemilik kalam ini? Siapa yang dapat mengaku sebagai pemiliknya?
    Evet, şu dünyayı antika sanatlarla süslendiren ve lezzetli nimetlerle dolduran ve sanat-perverane ve nimet-perverane şu derece sanatının acibeleriyle, şu derece kıymettar nimetlerini dünyanın yüzüne serpen, sıravari tanzim eden ve zeminin yüzünde seren, güzelce dizen bir Sâni’, bir Mün’im’den başka şu velvele-i takdir ve istihsanla ve zemzeme-i hamd ve şükranla dünyayı dolduran ve zemini bir zikirhane, bir mescid, bir temaşagâh-ı sanat-ı İlahiyeye çeviren Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan, kime yakışır ve kimin kelâmı olabilir? Ondan başka kim ona sahip çıkabilir? Ondan başka kimin sözü olabilir? Dünyayı ışıklandıran ziya, güneşten başka hangi şeye yakışır? Tılsım-ı kâinatı keşfedip âlemi ışıklandıran beyan-ı Kur’an, Şems-i Ezelî’den başka kimin nuru olabilir? Kimin haddine düşmüş ki ona nazire getirsin, onun taklidini yapsın?
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Layakkah sinar yang memenuhi dunia dengan cahaya terang disandarkan kepada selain matahari?! Bayan atau penjelasan al-Qur’an yang menyingkap misteri alam sekaligus meneranginya, mungkinkah merupakan cahaya selain Dzat yang merupakan Mentari azali? Siapa yang berani meniru dan membuat yang semisalnya?
    Evet, bu dünyayı sanatlarıyla ziynetlendiren bir sanatkârın, sanatını istihsan eden insanla konuşmaması muhaldir. Mademki yapar ve bilir, elbette konuşur. Madem konuşur, elbette konuşmasına yakışan Kur’an’dır. Bir çiçeğin tanziminden lâkayt kalmayan bir Mâlikü’l-mülk, bütün mülkünü velveleye veren bir kelâma karşı nasıl lâkayt kalır? Hiç başkasına mal edip hiçe indirir mi?
    Ya, Sang Pencipta yang menghias dunia dengan kreasi-Nya yang menakjubkan mustahil tidak berbicara dengan manusia yang terce- ngang melihat kreasi dan ciptaan-Nya. Selama Dia berbuat dan me- ngetahui, tentu Dia berbicara. Selama Dia berbicara, tentu saja pem- bicaraan-Nya berupa al-Qur’an. Pemilik kekuasaan yang memiliki perhatian terhadap penataan bunga kecil, bagaimana mungkin tidak peduli dengan kalam yang mengubah kerajaannya menjadi tempat zikir dan tahlil yang penuh daya tarik. Mungkinkah Dia menurunkan derajat kalam tersebut dengan menisbatkan kepada selain-Nya?!
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Cahaya Kelima'''
    '''BEŞİNCİ LEM’A'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Universalitas luar biasa dalam gaya bahasa dan bentuknya yang ringkas.  
    '''Kur’an’ın üslup ve îcazındaki câmiiyet-i hârikadır.'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Dalam cahaya ini terdapat lima sinar:
    Bunda '''beş ışık''' var.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sinar Pertama: Gaya bahasa al-Qur’an memiliki universalitas yang menakjubkan, sehingga satu surah saja mencakup lautan al- Qur’an yang agung yang meliputi seluruh alam. Serta sebuah ayat ber- isi khazanah surah tersebut. Sebagian besar ayat masing-masingnya seperti sebuah surah kecil. Sebagian besar surah masing-masingnya seperti al-Qur’an kecil.(*<ref>*Penyifatan surah dalam al-Qur’an dengan istilah “surah kecil” telah disebutkan oleh generasi salaf. Diriwayatkan dari Amr ibn Syu`aib, dari ayahnya, dari kakeknya, “Tak satupun surah kecil maupun besar dari al-Qur’an, kecuali aku pernah mendengar Rasulul- lah x membacanya saat mengimami jama’ah dalam salat fardhu”. (HR. Abu Daud dalam bab Salat 814, at-Thabrâni dalam al-Mu’jam al-Kabîr 12/365).</ref>)Dari simplifikasi yang penuh kemukjiza- tan itulah muncul kelembutan petunjuk dan kemudahan yang indah.
    '''Birinci Işık:''' Üslub-u Kur’an’ın o kadar acib bir cemiyeti var ki bir tek sure, kâinatı içine alan bahr-i muhit-i Kur’anîyi içine alır. Bir tek âyet, o surenin hazinesini içine alır. Âyetlerin çoğu her birisi birer küçük sure, surelerin çoğu her birisi birer küçük Kur’an’dır. İşte şu, i’cazkârane îcazdan büyük bir lütf-u irşaddır ve güzel bir teshildir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sebab, meskipun setiap manusia butuh membacanya setiap waktu kadangkala ia tidak berkesempatan untuk membacanya. Entah karena bodoh, kurang paham, atau karena sebab lainnya. Nah, agar orang- orang yang tidak bisa membaca al-Qur’an secara keseluruhan tidak terhalang dari al-Qur’an, maka setiap surah laksana satu al-Qur’an ke- cil. Bahkan setiap ayat yang panjang berposisi seperti sebuah surah pendek. Bahkan kalangan ahli kasyaf sepakat bahwa al-Qur’an terletak pada surah al-Fatihah dan al-Fatihah terletak pada basmalah. Dalilnya adalah kesepakatan para ulama ahli tahkik.
    Çünkü herkes, her vakit Kur’an’a muhtaç olduğu halde, ya gabavetinden veya başka esbaba binaen her vakit bütün Kur’an’ı okumayan veyahut okumaya vakit ve fırsat bulamayan adamlar, Kur’an’dan mahrum kalmamak için her bir sure, birer küçük Kur’an hükmüne, hattâ her bir uzun âyet, birer kısa sure makamına geçer. Hattâ Kur’an Fatiha’da, Fatiha dahi Besmele’de münderic olduğuna ehl-i keşif müttefiktirler. Şu hakikate bürhan ise ehl-i tahkikin icmaıdır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Sinar Kedua:'''ayat-ayat al-Qur’an dengan sejumah petunjuk dan isyaratnya mencakup berbagai jenis ucapan, pengetahuan hakiki, dan kebutuhan manusia seperti perintah dan larangan, janji dan ancaman, motivasi dan peringatan, bentakan dan bimbingan, kisah dan perum- pamaan, hukum dan makrifat ilahi, ilmu alam, hukum dan rambu ke- hidupan pribadi, kehidupan sosial, kehidupan kalbu, kehidupan spi- ritual, dan kehidupan ukhrawi sehingga tepatlah apa yang dikatakan oleh ahli hakikat: “Ambillah yang kau mau sesuai dengan keinginan- mu.” Artinya, ayat-ayat al-Qur’an berisi sisi universal dan komprehen- sif yang bisa menjadi obat bagi setiap penyakit dan gizi bagi setiap ke- butuhan badan.
    '''İkinci Işık:''' Âyât-ı Kur’aniye; emir ve nehiy, vaad ve vaîd, tergib ve terhib, zecir ve irşad, kısas ve emsal, ahkâm ve maarif-i İlahiye ve ulûm-u kevniye ve kavanin ve şerait-i hayat-ı şahsiye ve hayat-ı içtimaiye ve hayat-ı kalbiye ve hayat-ı maneviye ve hayat-ı uhreviye gibi umum tabakat-ı kelâmiye ve maarif-i hakikiye ve hâcat-ı beşeriyeye delâlatıyla, işaratıyla câmi’ olmakla beraber   خُذ۟ مَا شِئ۟تَ لِمَا شِئ۟تَ   yani “İstediğin her şey için Kur’an’dan her ne istersen al.” ifade ettiği mana, o derece doğruluğuyla makbul olmuş ki ehl-i hakikat mabeyninde durub-u emsal sırasına geçmiştir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ya, sepantasnya memang demikian. Sebab, pemandu paling sem- purna yang bersifat mutlak bagi seluruh lapisan ahli kamâl (kalangan sempurna) yang menapaki sejumlah tingkatan menuju ketinggian spiritual, yaitu al-Qur’an, tentu harus menjadi pemilik karakteristik tersebut.
    Âyât-ı Kur’aniyede öyle bir câmiiyet var ki her derde deva, her hâcete gıda olabilir. Evet, öyle olmak lâzım gelir. Çünkü daima terakkiyatta kat’-ı meratib eden bütün tabakat-ı ehl-i kemalin rehber-i mutlakı, elbette şu hâsiyete mâlik olması elzemdir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Sinar Ketiga:'''Simplifikasi al-Qur’an yang luar biasa.Al-Qur’an kadangkala menyebutkan awal dan akhir dari sebuah rangkaian panjang dengan sangat apik yang memperlihatkan rang- kaian tersebut secara utuh. Kadang ia memasukkan banyak petunjuk dalam satu kata sebagai pernyataan; baik secara eksplisit, implisit, atau simbolik.
    '''Üçüncü Işık:''' Kur’an’ın i’cazkârane îcazıdır. Kâh olur ki uzun bir silsilenin iki tarafını öyle bir tarzda zikreder ki güzelce silsileyi gösterir. Hem kâh olur ki bir kelimenin içine sarîhan, işareten, remzen, îmaen bir davanın çok bürhanlarını derceder.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Contoh:“Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya penciptaan langit dan bumi serta perbedaan bahasa dan warna kulit kalian...” (QS. ar-Rûm [30]: 22).Ayat di atas menyebutkan awal dan akhir rangkaian pencipta- an alam. Yaitu rangkaian tanda dan petunjuk tauhid. Kemudian ia menjelaskan rangkaian kedua dengan menjadikan pembaca membaca rangkaian pertama. Yaitu bahwa lembaran alam yang pertama yang menjadi saksi atas keberadaan Sang Pencipta Yang Mahabijak adalah penciptaan langit dan bumi. Selanjutnya penghiasan langit dengan bintang-gemintang dan pemakmuran bumi dengan makhluk hidup, lalu pergantian musim dengan penundukan matahari dan bulan, ser- ta rangkaian sifat dan perbuatan ilahi dalam pergantian siang dan malam. Demikianlah seterusnya secara berangsur-angsur sampai ke- pada pembahasan ciri khusus serta penentuan roman muka dan suara yang merupakan titik penyebaran entitas yang paling banyak.
    '''Mesela'''
    وَمِن۟ اٰيَاتِهٖ خَل۟قُ السَّمٰوَاتِ وَال۟اَر۟ضِ وَاخ۟تِلَافُ اَل۟سِنَتِكُم۟ وَ اَل۟وَانِكُم۟ de âyât ve delail-i vahdaniyet silsilesini teşkil eden silsile-i hilkat-i kâinatın mebde ve müntehasını zikir ile o ikinci silsileyi gösterir, birinci silsileyi okutturuyor. Evet, bir Sâni’-i Hakîm’e şehadet eden sahaif-i âlemin birinci derecesi, semavat ve arzın asl-ı hilkatleridir. Sonra gökleri yıldızlarla tezyin ile zeminin zîhayatlarla şenlendirilmesi, sonra güneş ve ayın teshiriyle mevsimlerin değişmesi, sonra gece ve gündüzün ihtilaf ve deveranı içindeki silsile-i şuunattır. Daha gele gele tâ kesretin en ziyade intişar ettiği mahal olan simaların ve seslerin hususiyetlerine ve imtiyazlarına ve teşahhuslarına kadar…
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ketika tatanan indah, penuh hikmah, dan mencengangkan akal terlihat, serta ketika karya pena Sang Pencipta Yang Mahabijak tam- pak pada sesuatu yang kelihatannya paling tidak beraturan dan secara lahiriah terlihat seperti hasil dari sebuah proses kebetulan, yaitu ro- man muka dan warna kulit manusia, sudah barang tentu lembaran lain yang aturannya terlihat memberikan pemahaman dan petunjuk atas eksistensi Sang Pembentuk yang menakjubkan.
    Mademki en ziyade intizamdan uzak ve tesadüfün karışmasına maruz olan fertlerin simalarındaki teşahhusatta hayret verici bir intizam-ı hakîmane bulunsa, üzerinde gayet sanatkâr bir hakîmin kalemi işlediği gösterilse elbette intizamları zâhir olan sair sahifeler kendi kendine anlaşılır, nakkaşını gösterir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kemudian ketika jejak kreasi dan hikmah terlihat di awal mula penciptaan langit dan bumi di mana Sang Pencipta Yang Mahabijak menjadikannya sebagai batu pertama alam, sudah tentu goresan hik- mah dan jejak kreasi itu terlihat jelas pada seluruh bagian alam.
    Hem madem koca semavat ve arzın asl-ı hilkatinde eser-i sanat ve hikmet görünüyor. Elbette kâinat sarayının binasında temel taşı olarak gökleri ve zemini hikmetle koyan bir Sâni’in sair eczalarında eser-i sanatı, nakş-ı hikmeti pek çok zâhirdir. İşte şu âyet, hafîyi izhar, zâhirîyi ihfa ederek gayet güzel bir îcaz yapmış.
    Ayat di atas berisi simplifikasi indah dan menakjubkan dalam memperlihatkan sesuatu yang samar dan menyamarkan sesuatu yang terlihat di mana hal itu diungkapkan dengan ringkas.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ya, rangkaian dalil yang dimulai dari:hingga ayat yang berbunyi:di mana di dalamnya kata (وَمِن۟ اٰيَاتِهٖ) ‘Di antara tanda kekuasaan-Nya’terulang sebanyak enam kali merupakan rangkaian permata, rangkaian cahaya, rangkaian kemukjizatan, dan rangkaian simplifikasi yang luar biasa. Hati ini ingin menjelaskan sejumlah permata yang tersembunyi di dalam perbendaharaan (gudang) tersebut. Akan tetapi apa daya, kondisinya tidak memungkinkan. Karena itu, aku tidak membuka pin- tu itu.
    Elhak   فَسُب۟حَانَ اللّٰهِ حٖينَ تُم۟سُونَ   den tut, tâ وَلَهُ ال۟مَثَلُ ال۟اَع۟لٰى فِى السَّمٰوَاتِ وَال۟اَر۟ضِ وَهُوَ ال۟عَزٖيزُ ال۟حَكٖيمُ e kadar altı defa    وَمِن۟ اٰيَاتِهٖ  ،  وَمِن۟ اٰيَاتِهٖ    ile başlayan silsile-i berahin; bir silsile-i cevahirdir, bir silsile-i nurdur, bir silsile-i i’cazdır, bir silsile-i îcaz-ı i’cazîdir. Kalp istiyor ki şu definelerde gizli olan elmasları göstereyim. Fakat ne yapayım makam kaldırmıyor. Başka vakte ta’lik edip o kapıyı şimdi açmıyorum.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kutangguhkan persoalan tersebut ke waktu yang lain.Contoh lain:“Utuslah! Yusuf wahai yang jujur” (QS. Yûsuf [12]: 45-46). Antara kata (فَاَر۟سِلُونِ) ‘utuslah!’ dan kata (يُوسُفُ) “Yusuf ” mengandung makna berikut: “Datangilah Yusuf untuk meminta penjela- san tentang mimpi tersebut darinya. Maka mereka mengutusnya.
    '''Hem mesela'''
    فَاَر۟سِلُونِ ۝ يُوسُفُ اَيُّهَا الصِّدّٖيقُ
    فَاَر۟سِلُونِ    kelâmıyla    يُوسُفُ    kelimesi ortalarında şunlar var:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    اِلٰى يُوسُفَ لِاَس۟تَع۟بَرَ مِن۟هُ الرُّؤ۟يَا فَاَر۟سَلُوهُ فَذَهَبَ اِلَى السِّج۟نِ وَ قَالَ يُوسُفُ
    اِلٰى يُوسُفَ لِاَس۟تَع۟بَرَ مِن۟هُ الرُّؤ۟يَا فَاَر۟سَلُوهُ فَذَهَبَ اِلَى السِّج۟نِ وَ قَالَ يُوسُفُ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ia pun pergi ke penjara dan berkata...” Artinya, ia meringkas lima kalimat dalam satu kalimat saja tanpa merusak kejelasan ayatnya dan tidak mendatangkan kesulitan dalam memahaminya.
    Demek beş cümleyi bir cümlede icmal edip îcaz ettiği halde vuzuhu ihlâl etmemiş, fehmi işkâl etmemiş.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Contoh lain:اَلَّذٖى جَعَلَ لَكُم۟ مِنَ الشَّجَرِ ال۟اَخ۟ضَرِ نَارًا
    '''Hem mesela'''
    اَلَّذٖى جَعَلَ لَكُم۟ مِنَ الشَّجَرِ ال۟اَخ۟ضَرِ نَارًا   
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Contoh lain:“Yang menjadikan untuk kalian api dari pohon hijau...” (QS. Yâsîn [36]: 80).Dalam rangka menjawab manusia pembangkang yang menen- tang Sang Pencipta dengan ucapannya:“Siapa yang akan menghidupkan tulang-belulang yang sudah han- cur ini?” (QS. Yâsîn [36]: 78), al-Qur’an berkata:“Katakanlah, ‘Dzat Yang menghidupkannya adalah Yang men- ciptakannya pertama kali. Dia Maha Mengetahui semua ciptaan.” (QS. Yâsîn [36]: 79). Ia juga berkata:“Yang menjadikan api dari pohon hijau...” Mahakuasa untuk menghidupkan tulang-belulang yang sudah hancur.Kalimat di atas mengarah kepada adanya klaim atau pernyataan tentang proses menghidupkan dari sejumlah sisi sekaligus membuk- tikannya.
    İnsan-ı âsi “Çürümüş kemikleri kim diriltecek?” diye meydan okur gibi inkârına karşı Kur’an der: “Kim bidayeten yaratmış ise o diriltecek. O yaratan zat ise her bir şeyi her bir keyfiyette bilir. Hem size yeşil ağaçtan ateş çıkaran bir zat, çürümüş kemiğe hayat verebilir.” İşte şu kelâm, diriltmek davasına müteaddid cihetlerle bakar, ispat eder.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sebab, ia memulai dari rangkaian karunia yang Allah beri- kan kepada manusia. Dengan itu, Ia mengingatkan dan menggugah kesadarannya. Namun ia meringkasnya seraya mengarahkannya kepa- da akal karena ia telah merincinya dalam sejumlah ayat lain. Dengan kata lain, Dzat yang memberikan buah dan api dari pohon, rezeki dan biji dari rumput, benih dan tumbuhan dari tanah telah menjadikan bumi sebagai hamparan untuk kalian. Di dalamnya terdapat seluruh rezeki kalian. Dia telah menjadikan alam sebagai istana. Di dalamnya terdapat semua kebutuhan hidup kalian. Karena itu, mungkinkah Dia membiarkan kalian sia-sia sehingga kalian bisa lari dari-Nya dan hi- lang dalam ketiadaan?! Tidak mungkin kalian sia-sia, masuk ke dalam kubur, dan tidur dengan tenang tanpa ditanya tentang amal kalian dan tanpa dihidupkan kembali?!
    Evvela, insana karşı ettiği silsile-i ihsanatı şu kelâmıyla başlar, tahrik eder, hatıra getirir. Başka âyetlerde tafsil ettiği için kısa keser, akla havale eder. Yani, size ağaçtan meyveyi ve ateşi ve ottan erzakı ve hububu ve topraktan hayvanatı ve nebatatı verdiği gibi zemini size hoş –her bir erzakınız içinde konulmuş– bir beşik ve âlemi, güzel ve bütün levazımatınız içinde bulunur bir saray yapan bir zattan kaçıp, başıboş kalıp, ademe gidip saklanılmaz. Vazifesiz olup, kabre girip, uyandırılmamak üzere rahat yatamazsınız.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kemudian ia menjelaskan sebuah dalil atas pernyataan terse- but. Dengan kata (اَلشَّجَرِ ال۟اَخ۟ضَرِ ) ‘pohon yang hijau’, ia berujar secara simbolis, “Wahai yang mengingkari kebangkitan! Lihatlah pepohon- an! Dzat yang menghidupkan pepohonan yang jumlahnya tak ter- hingga di musim semi setelah sebelumnya mati dan menjadi seperti tulang-belulang di musim dingin, serta menjadikannya menghijau, bahkan memperlihatkan pada setiap pohon tiga bentuk kebangkitan; pada daun, bunga, dan buah, kekuasaan-Nya tidak dapat diingkari dan kebangkitan sangat mungkin bagi-Nya.
    Sonra o davanın bir deliline işaret eder   اَلشَّجَرِ ال۟اَخ۟ضَرِ   kelimesiyle remzen der: “Ey haşri inkâr eden adam! Ağaçlara bak! Kışta ölmüş kemikler gibi hadsiz ağaçları baharda dirilten, yeşillendiren hattâ her bir ağaçta yaprak ve çiçek ve meyve cihetiyle üç haşrin numunelerini gösteren bir zata karşı inkâr ile istib’ad ile kudretine meydan okunmaz.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Selanjutnya ia menunjukkan dalil lain dengan berkata, “Dzat yang mengeluarkan api—yang merupakan materi ringan yang bersifat cahaya—untuk kalian dari pepohonan yang padat, berat, dan gelap, bagaimana mungkin tidak bisa memberikan kehidupan yang halus seperti api serta perasaan seperti cahaya untuk tulang seperti kayu.
    Sonra bir delile daha işaret eder, der: “Size ağaç gibi kesif, sakîl, karanlıklı bir maddeden ateş gibi latîf, hafif, nurani bir maddeyi çıkaran bir zattan, odun gibi kemiklere ateş gibi bir hayat ve nur gibi bir şuur vermeyi nasıl istib’ad ediyorsunuz?
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Setelah itu, ia mengetengahkan dalil lain yang jelas dengan ber- kata, “Dzat yang menghidupkan api dari pepohonan yang dikenal oleh orang badui dengan menggosokkan dua ranting secara bersamaan, lalu mengumpulkan dua sifat yang kontradiktif (basah dan panas) seraya menjadikan salah satunya sebagai tempat tumbuh bagi yang lain, hal itu menunjukkan bahwa segala sesuatu bahkan unsur asli dan penyerta hanya bisa bergerak dengan kekuatan-Nya dan melaksanakan perintah-Nya. Tidak ada yang bergerak sendiri atau sia-sia. Pencipta Yang Mahaagung seperti Dia sangat mungkin menghidupkan manusia dari tanah—di mana sebelumnya Dia telah menciptakannya dari tanah dan mengembalikan padanya. Karena itu, tidak mungkin Dia ditentang hanya dengan membangkang.
    Sonra bir delile daha tasrih eder der ki: “Bedevîler için kibrit yerine ateş çıkaran meşhur ağacın, yeşil iken iki dalı birbirine sürüldüğü vakit ateşi yaratan ve rutubetiyle yeşil ve hararetiyle kuru gibi iki zıt tabiatı cem’edip, onu buna menşe etmekle her bir şey hattâ anâsır-ı asliye ve tabâyi-i esasiye, onun emrine bakar, onun kuvvetiyle hareket eder, hiçbirisi başıboş olup tabiatıyla hareket etmediğini gösteren bir zattan, topraktan yapılan ve sonra toprağa dönen insanı, topraktan yeniden çıkarması istib’ad edilmez. İsyan ile ona meydan okunmaz.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Selanjutnya dengan kata  ‘pohon yang hijau’, ia mengingatkan pada pohon Musa  yang sudah dikenal bersama. Secara implisit, ia menyiratkan adanya kesepakatan para nabi bahwa dakwah Muhammad juga sama dengan dakwah Musa  sehingga membuat simplifikasi kata tersebut semakin lembut dan indah.
    Sonra Hazret-i Musa aleyhisselâmın şecere-i meşhuresini hatıra getirmekle şu dava-yı Ahmediye aleyhissalâtü vesselâm, Musa aleyhisselâmın dahi davasıdır. Enbiyanın ittifakına hafî bir îma edip şu kelimenin îcazına bir letafet daha katar.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Sinar Keempat:'''Simplifikasi al-Qur’an komprehensif dan menak- jubkan.Kalau diperhatikan secara seksama, akan terlihat dengan jelas bahwa al-Qur’an telah menjelaskan dalam sebuah contoh yang bersifat parsial dan dalam kejadian yang bersifat khusus sejumlah hukum yang bersifat universal, serta berbagai prinsip yang bersifat umum dan pan- jang. Seakan-akan ia menjelaskan lautan yang luas dalam seciduk air.Kami akan memberikan dua contoh dari ribuan contoh yang ada.
    '''Dördüncü Işık:''' Îcaz-ı Kur’anî o derece câmi’ ve hârıktır, dikkat edilse görünüyor ki bazen bir denizi bir ibrikte gösteriyor gibi pek geniş ve çok uzun ve küllî düsturları ve umumî kanunları, basit ve âmî fehimlere merhameten basit bir cüzüyle, hususi bir hâdise ile gösteriyor. Binler misallerinden yalnız iki misaline işaret ederiz.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Contoh pertama: Tiga ayat yang kami jelaskan pada kedudukan pertama dari “Kalimat Kedua Puluh”. Yaitu bahwa dengan mengajar- kan seluruh nama kepada Adam , ayat tersebut mengisyaratkan tentang adanya pengajaran seluruh disiplin ilmu yang diberikan ke- pada manusia.
    '''Birinci Misal:''' Yirminci Söz’ün Birinci Makamı’nda tafsilen beyan olunan üç âyettir ki şahs-ı Âdem’e talim-i esma unvanıyla nev-i benî-Âdem’e ilham olunan bütün ulûm ve fünunun talimini ifade eder. Ve Âdem’e, melâikenin secde etmesi ve şeytanın etmemesi hâdisesiyle nev-i insana semekten meleğe kadar ekser mevcudat musahhar olduğu gibi yılandan şeytana kadar muzır mahlukatın dahi ona itaat etmeyip düşmanlık ettiğini ifade ediyor.
    Dengan peristiwa sujudnya malaikat kepada Adam  dan keengganan setan untuk sujud, ayat itu menjelaskan bahwa sebagian besar entitas—mulai dari ikan hingga malaikat—ditundukkan untuk manusia, sebagaimana makhluk yang jahat—mulai dari ular hingga setan—tidak mau tunduk bahkan memusuhi manusia.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Lalu dengan peristiwa penyembelihan sapi betina oleh kaum Musa, ayat terse- but menjelaskan bahwa konsep menyembah sapi telah disembelih dengan pisau Musa.
    Hem kavm-i Musa (as) bir bakarayı, bir ineği kesmekle Mısır bakar-perestliğinden alınan ve “İcl” hâdisesinde tesirini gösteren bir bakar-perestlik mefkûresinin Musa aleyhisselâmın bıçağıyla kesildiğini ifade ediyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Itulah konsep yang sempat berkembang di Mesir, bahkan ia memiliki pengaruh langsung dalam peristiwa al-`Ijl (anak sapi). Selanjutnya, dengan keluarnya air dari celah bebatuan, ayat tersebut menerangkan bahwa lapisan batu karang yang berada di bawah tanah merupakan tempat simpanan air yang membekali tanah dengan kehidupan yang dihadirkan padanya.
    Hem taştan su çıkması, çay akması ve dağılıp yuvarlanması unvanıyla tabaka-i türabiye altında olan taş tabakası, su damarlarına hazinedarlık ve toprağa analık ettiğini ifade ediyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Contoh kedua: kisah Musa diceritakan berulang kali dalam al-Qur’an al-Karîm. Pasalnya, pada setiap kalimatnya dan pada setiap bagiannya terdapat aspek yang memperlihatkan sisi prinsip yang ber- sifat universal.
    '''İkinci Misal:''' Kur’an’da çok tekrar edilen kıssa-i Musa aleyhisselâmın cümleleri ve cüzleridir ki her bir cümlesi, hattâ her bir cüzü, bir düstur-u küllînin ucu olarak gösterilmiş ve o düsturu ifade ediyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Di antaranya, ayat yang berbunyi:“Wahai Haman, buatkanlah untukku sebuah bangunan yang ting- gi...” (QS. Ghâfir [40]: 36).
    '''Mesela'''
    يَا هَامَانُ اب۟نِ لٖى صَر۟حًا   
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Dengan ayat di atas, Fir’aun menyuruh menterinya, “Buatkan untukku tugu yang tinggi agar aku bisa melihat kondisi langit dan mengetahui apakah di sana terdapat Tuhan yang berkuasa seperti yang dikatakan oleh Musa ?!Dengan kata (صَر۟حًا) ‘bangunan yang ting- gi’, ayat tersebut menjelaskan sebuah prinsip dan tradisi aneh yang berlaku pada keturunan Fir’aun Mesir yang mengaku sebagai Tuhan karena mereka mengingkari Sang Pencipta dan percaya kepada kekua- tan alam materi. Dengan angkuh dan sombong, mereka mengabadi- kan nama-nama mereka. Mereka pun membuat piramida yang terke- nal itu laksana gunung di tengah padang pasir yang tak bergunung agar dengannya mereka bisa dikenal. Mereka juga merawat jenazah mereka dengan cara memumikan seraya meletakkannya di kubur be- sar itu karena mereka meyakini adanya reinkarnasi dan sihir.
    Firavun, vezirine emreder ki: “Bana yüksek bir kule yap, semavatın halini rasad edip bakacağım. Semanın gidişatından acaba Musa’nın (as) dava ettiği gibi semada tasarruf eden bir ilah var mıdır?” İşte   صَر۟حًا   kelimesiyle ve şu cüz’î hâdise ile dağsız bir çölde olduğundan dağları arzulayan ve Hâlık’ı tanımadığından tabiat-perest olup rububiyet dava eden ve âsâr-ı ceberutlarını göstermekle ibka-yı nam eden, şöhret-perest olup dağ-misal meşhur ehramları bina eden ve sihir ve tenasühe kail olup cenazelerini mumya edip dağ misillü mezarlarda muhafaza eden Mısır firavunlarının an’anesinde hüküm-ferma bir düstur-u acibi ifade eder.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ayat lainnya berbunyi:
    '''Mesela'''
    “Hari ini Kami selamatkan tubuhmu...” (QS. Yûnus [10]: 92).
    فَال۟يَو۟مَ نُنَجّٖيكَ بِبَدَنِكَ   
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ucapan di atas ditujukan kepada Fir’aun yang tenggelam. Pada waktu yang sama, ayat tersebut menjelaskan prinsip hidup bagi para Fir’aun seraya mengingatkan pada kematian yang penuh pelajaran. Yaitu adanya pemindahan tubuh jenazah mereka dengan cara memu- mikan dari masa lalu hingga generasi mendatang guna dihamparkan di hadapan mereka sesuai dengan konsep reinkarnasi yang mereka anut. Dengan cara yang menakjubkan, ayat itu juga berisi isyarat gaib bahwa tubuh yang ditemukan pada masa belakangan ini adalah tubuh Fir’aun yang tenggelam. Sebagaimana ia dilemparkan ke pantai di tem- pat ia tenggelam, ia juga akan dilemparkan dari lautan zaman di atas gelombang perjalanan masa menuju pantai masa kini.
    Gark olan Firavun’a der: “Bugün senin gark olan cesedine necat vereceğim.” unvanıyla umum firavunların tenasüh fikrine binaen cenazelerini mumyalamakla maziden alıp müstakbeldeki ensal-i âtiyenin temaşagâhına göndermek olan mevt-âlûd, ibret-nüma bir düstur-u hayatiyelerini ifade etmekle beraber, şu asr-ı âhirde o gark olan Firavun’un aynı cesedi olarak keşfolunan bir beden, o mahall-i gark denizinden sahile atıldığı gibi zamanın denizinden asırların mevceleri üstünde şu asır sahiline atılacağını, mu’cizane bir işaret-i gaybiyeyi, bir lem’a-yı i’cazı ve bu tek kelime bir mu’cize olduğunu ifade eder.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ayat lain berbunyi:“Mereka menyembelih (membunuh) anak laki-laki kalian dan membiarkan hidup anak perempuan...” (QS. al-Baqarah [2]: 49).
    '''Hem mesela'''
    يُذَبِّحُونَ اَب۟نَٓاءَكُم۟ وَيَس۟تَح۟يُونَ نِسَٓاءَكُم۟   
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Dengan peristiwa pembunuhan terhadap anak laki-laki Bani Israil, sementara anak perempuannya dibiarkan hidup pada masa Fir’aun, ayat tersebut menjelaskan pembantaian massal yang dialami bangsa Yahudi di sebagian besar negara pada setiap masa, berikut pe- ran penting yang dimainkan oleh para wanita dan anak-anak perem- puan mereka dalam kebobrokan dan kehancuran moral umat manusia.
    Benî-İsrail’in oğullarının kesilip kadın ve kızlarını hayatta bırakmak, bir firavun zamanında yapılan bir hâdise unvanıyla, Yahudi milletinin ekser memleketlerde her asırda maruz olduğu müteaddid katliamları, kadın ve kızları hayat-ı beşeriye-i sefihanede oynadıkları rolü ifade eder.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ayat lain berbunyi:“Engkau akan mendapati orang-orang yang paling rakus terhadap kehidupan...” (QS. al-Baqarah [2]: 96).“Kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahu- di) bersegera membuat dosa, permusuhan, dan memakan yang haram. Sungguh amat buruk apa yang mereka kerjakan itu.” (QS. al-Mâ’idah [5]: 62).“Mereka melakukan kerusakan di muka bumi. Allah tidak menyu- kai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. al-Mâ’idah [5]: 64).“Telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam kitab itu, ‘Se- sungguhnya kalian akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali’...’’ (QS. al-Isrâ [17]: 4).“Janganlah kalian berkeliaran di muka bumi dengan berbuat ke- rusakan.” (QS. al-Baqarah [2]: 60).
    وَلَتَجِدَنَّهُم۟ اَح۟رَصَ النَّاسِ عَلٰى حَيٰوةٍ ۝ وَتَرٰى كَثٖيرًا مِن۟هُم۟ يُسَارِعُونَ فِى ال۟اِث۟مِ وَال۟عُد۟وَانِ وَاَك۟لِهِمُ السُّح۟تَ لَبِئ۟سَ مَا كَانُوا يَع۟مَلُونَ ۝ وَيَس۟عَو۟نَ فِى ال۟اَر۟ضِ فَسَادًا وَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ ال۟مُف۟سِدٖينَ ۝ وَقَضَي۟نَٓا اِلٰى بَنٖٓى اِس۟رَٓائٖيلَ فِى ال۟كِتَابِ لَتُف۟سِدُنَّ فِى ال۟اَر۟ضِ مَرَّتَي۟نِ ۝ وَلَا تَع۟ثَو۟ا فِى ال۟اَر۟ضِ مُف۟سِدٖينَ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Tamak dan perusak adalah dua sifat yang menjadi karekter bang- sa Yahudi. Keduanya menjadi dua prinsip umum dan penting yang oleh mereka dijadikan sebagai rujukan tindakan makar dan tipu daya dalam kehidupan sosial manusia. Ayat tersebut menerangkan bahwa mereka adalah orang-orang yang merusak tatanan kehidupan sosial manusia dan menyalakan api peperangan antara kaum marjinal dan kaum berada. Yaitu dengan memprovokasi para buruh untuk melawan para pemilik modal. Mereka menjadi sebab pendirian sejumlah bank dengan menjadikan riba dalam bentuk yang berlipat ganda. Mereka mengumpulkan banyak aset dengan segala macam cara rendahan le- wat makar dan tipu daya. Mereka adalah kaum yang juga masuk ke da- lam berbagai organisasi dan perkumpulan yang merusak seraya mem- bantu sejumlah revolusi dan pergolakan. Hal itu sebagai bentuk balas dendam terhadap berbagai bangsa dan pemerintah yang dulu pernah menyiksa dan menganiaya mereka.
    Yahudilere müteveccih şu iki hükm-ü Kur’anî, o milletin hayat-ı içtimaiye-i insaniyede dolap hilesiyle çevirdikleri şu iki müthiş düstur-u umumîyi tazammun eder ki: Hayat-ı içtimaiye-i beşeriyeyi sarsan ve sa’y ü ameli, sermaye ile mübareze ettirip fukarayı zenginlerle çarpıştıran, muzaaf riba yapıp bankaları tesise sebebiyet veren ve hile ve hud’a ile cem’-i mal eden o millet olduğu gibi; mahrum kaldıkları ve daima zulmünü gördükleri hükûmetlerden ve galiblerden intikamlarını almak için her çeşit fesat komitelerine karışan ve her nevi ihtilale parmak karıştıran yine o millet olduğunu ifade ediyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">

    20.14, 14 Kasım 2024 itibarı ile sayfanın şu anki hâli

    Diğer diller:

    (Kemukjizatan al-Qur’an)

    Tampaknya berlebihan kalau kita mencari dalil,

    sementara di tangan ini terdapat sebuah mukjizat abadi seperti al-Quran.

    Sulitkah kiranya bagiku membuat para pengingkar itu terdiam,

    sementara di tangan ini terdapat argumen hakikat berupa al-Qur’an?

    Perhatian:

    Di awal penulisan Risalah ini kami bertekad menulis “lima obor”, akan tetapi di akhir obor pertama—dua bulan sebelum pengesahan huruf baru (aksara latin)—kami terpaksa mempercepat penulisannya untuk dicetak dengan huruf lama (aksara arab) sehingga dalam bebe- rapa hari, kami menulis sebanyak dua puluh atau tiga puluh halaman hanya dalam hitungan dua atau tiga jam. Oleh karenanya, kami men- cukupkan dengan tiga obor. Semuanya ditulis secara global dan ring- kas. Sementara dua obor yang tersisa, kami tinggalkan untuk waktu sekarang. Aku berharap para pembaca budiman bisa memaklumi serta memaafkan berbagai kekurangan, cacat, dan kesalahan yang berasal dari diriku.


    Sebagian besar ayat yang dibahas dalam risalah mukjizat al- Qur’an ini adalah ayat-ayat yang menjadi bahan kritikan kaum ateis, yang sulit diterima ilmuwan modern, atau yang diragukan oleh setan dari kalangan jin dan manusia.

    Risalah ini membahas ayat-ayat tersebut serta menjelaskan ber- bagai hakikat dan poin-poin penting darinya dalam bentuk terbaik dimana apa yang dianggap oleh kaum ateis dan ilmuwan sebagai titik kelemahan dan cacat dapat dibantah oleh risalah ini dengan sejumlah kaidah ilmiah bahwa semua itu justru merupakan kilau kemukjizatan dan sumber kesempurnaan balagah (retorika) al-Qur’an.Adapun keragu-raguan yang ada telah dijawab dengan jawaban yang memadai tanpa menyebutkan keraguan itu sendiri agar tidak mengotori pikiran.

    Misalnya yang terdapat dalam ayat al-Qur’an beri- kut:“Matahari beredar...” (QS. Yâsîn [36]: 38).“Dan gunung-gunung yang menjadi pasak.” (QS. an-Naba’ [78]: 7). Kecuali syubhat di seputar beberapa ayat yang kami sebutkan pada kedudukan pertama dari “Kalimat Kedua Puluh”.

    Kemudian, meskipun risalah Mukjizat al-Qur’an ini ditulis de- ngan sangat singkat dan cepat, namun ia menguraikan sisi balagah dan ilmu bahasa Arab secara apik serta dengan gaya bahasa yang ilmiah, kuat dan mendalam sehingga membuat takjub para ulama. Lalu, wa- laupun tidak setiap orang mampu menguasai semua bahasannya dan bisa menyerap maknanya secara utuh, namun masing-masing memili- ki bagian yang penting dalam ‘taman yang rimbun’ itu. Selanjutnya, sekalipun risalah ini ditulis dalam kondisi yang ti- dak stabil dan dengan terburu-buru serta tidak bisa memberikan pe- mahaman secara utuh, namun ia menjelaskan hakikat banyak persoa- lan penting dari sudut pandang ilmu pengetahuan.

    Said Nursî

    Mu’cizat-ı Kur’aniye Risalesi

    “Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (QS. al-Isrâ [17]: 88).

    Kami telah menunjukkan sekitar 40 aspek dari berbagai aspek kemukjizatan al-Qur’an yang tak terhingga di mana ia merupakan sum- ber kemukjizatan dan menjadi mukjizat Rasul x yang terbesar. Semua itu tertuang dalam risalah berbahasa Arab, dalam Risalah Nur yang ber- bahasa Arab, dalam tafsirku yang berjudul Isyârât al-I’Jâz Fî Mazhân al- Îjâz, serta dalam “Kalimat Kedua Puluh Empat” sebelumnya.Dalam risalah ini, kami akan menunjukkan lima dari sekian ba- nyak aspek tersebut lalu kami beri penjelasan yang agak rinci. Semen- tara aspek lainnya yang masih tersisa, kami masukkan di dalamnya secara global.Pada bagian pendahuluan, kami akan menjelaskan definisi dan substansi al-Qur’an al-Karim.

    PENDAHULUAN

    (Tiga Bagian)

    Bagian Pertama

    Apa itu al-Qur’an? Apa definisi al-Qur’an?

    Pada “Kalimat Kesembilan Belas” dan pada sejumlah risalah lain telah dijelaskan bahwa

    al-Qur’an

    merupakan Terjemahan azali bagi kitab alam semesta;

    Tafsiran abadi bagi ayat-ayat kauniyah;

    Penafsir kitab alam gaib dan alam indrawi;

    Penyingkap perbendaharaan na- ma-nama ilahi yang tersembunyi dalam lembaran langit dan bumi;

    Kunci bagi hakikat yang terselubung dalam rangkaian peristiwa;

    Lisan alam gaib di alam indrawi;

    serta Khazanah kalam azali dan perhatian abadi Tuhan yang bersumber dari alam gaib yang tersembunyi di balik tirai alam indrawi ini.

    Selain itu, al-Qur’an merupakan mentari dan pilar alam makna- wi Islam.

    Ia juga merupakan peta suci bagi alam ukhrawi, ucapan dan penafsiran yang jelas,

    serta argumen dan penerjemah yang tegas bagi Dzat, sifat, nama, dan kondisi Allah.

    Ia merupakan pendidik alam manusia,

    serta laksana air dan cahaya bagi Islam yang merupakan ke- manusiaan yang paling agung.

    Al-Qur’an merupakan hikmah hakiki bagi manusia.

    Al-Qur’an adalah pembimbing yang mengantar umat manusia menuju kebahagiaan.

    Lalu bagi manusia, selain sebagai kitab syariah, al-Qur’an juga kitab hikmah. Selain sebagai kitab doa dan ubudiyah, al-Qur’an juga kitab perintah dan dakwah. Selain sebagai kitab zikir, al-Qur’an juga kitab pikir. Ia adalah kitab suci satu-satunya yang menghimpun seluruh kitab yang mewujudkan semua kebutuhan maknawi manusia.

    Sehingga ia memperlihatkan kepada setiap aliran dari kelompok yang berbeda-beda yang terdiri dari para wali, kalangan shiddiqin, kaum arif, serta para ulama ahli peneliti sebuah risalah yang sesuai dengan kebutuhan setiap aliran tersebut. Kitab samawi ini menyerupai sebuah perpustakaan suci yang memuat banyak kitab.

    Bagian Kedua

    Pada ‘Kalimat Kedua Belas’ telah dijelaskan bahwa al-Qur’an diturunkan dari arasy yang paling agung, dari Ismul a’zham dan dari tingkatan nama-Nya yang paling mulia.

    al-Qur’an

    Ia merupakan kalam Allah dengan kedudukan-Nya sebagai Tuhan semesta alam.

    Al-Qur’an ada- lah perintah Allah dengan kedudukan-Nya sebagai Sembahan seluruh entitas. Al-Qur’an adalah pesan Allah dengan kedudukan-Nya sebagai Pencipta langit dan bumi.

    Al-Qur’an adalah bentuk pembicaraan yang mulia dengan sifat rububiyah mutlak.

    Ia adalah pesan azali atas nama kekuasaan ilahi yang komprehensif dan agung.

    Ia adalah catatan perhatian dan peng- hormatan ar-Rahman yang bersumber dari rahmat-Nya yang luas yang mencakup segala sesuatu.

    Al-Qur’an merupakan kumpulan ri- salah komunikasi Rabbani yang menjelaskan keagungan uluhiyah di mana di permulaan sebagiannya ia berupa simbol-simbol dan tanda.

    Ia adalah kitab suci yang menebarkan hikmah, yang turun dari ling- kup nama-Nya yang paling agung.

    Ia menatap kepada apa yang dilipu- ti oleh arasy yang paling agung.

    Dari rahasia ini, al-Qur’an selalu disebut dengan nama yang layak atasnya, yaitu “Kalâmullah”. Setelah al-Qur’an, terdapat sejumlah kitab suci dan suhuf para nabi. Adapun seluruh kalimat ilahi lainnya yang tak pernah habis, ada yang berupa komunikasi dalam bentuk ilham yang bersifat khusus, atas nama yang parsial, dan dengan manifestasi khusus milik nama yang spesifik, lewat rububiyah khusus, kekuasaan khusus, dan rahmat yang khusus pula. Ilham malaikat, manusia, dan hewan sangat berbeda dilihat dari sifatnya yang komprehensif dan khusus.

    Bagian Ketiga

    Al-Qur’an merupakan kitab samawi yang secara global berisi kitab-kitab seluruh nabi yang masanya berbeda-beda, risalah seluruh wali yang jalannya berbeda-beda, serta karya semua kalangan ashfiyâ (orang-orang saleh) yang pendekatan mereka beragam. Enam arah- nya bersinar terang dan bersih dari gelap ilusi serta suci dari noda syubhat. Sebab, titik sandarannya adalah wahyu samawi dan kalam azali. Tujuannya adalah kebahagiaan abadi lewat adanya penyaksian.Kandungannya jelas berupa petunjuk. Atasnya berupa cahaya iman, bawahnya berupa dalil dan argumen lewat ilmul yaqin. Sisi kanannya berupa kepasrahan kalbu dan nurani lewat pengalaman. Sisi kirinya berupa ketundukan akal lewat ainul yaqin. Buahnya berupa rahmat Tuhan dan negeri surga lewat haqqul yaqin. Kedudukannya diterima oleh malaikat, manusia, dan jin lewat intuisi yang benar.

    Seluruh sifat yang disebutkan di atas terkait dengan definisi al- Qur’an berikut ketiga bagiannya telah dijelaskan secara meyakinkan di sejumlah tempat lain. Maka, pernyataan kami tidak sekadar memberi- kan pengakuan tanpa bukti. Namun setiap darinya diterangkan de- ngan argumen yang kuat.

    OBOR PERTAMA

    (Tiga Kilau)

    KILAU PERTAMA

    Balagah Al-Qur’an Berada pada Tingkat Kemukjizatan

    Balagah (retorika) yang menakjubkan ini bersumber dari keindahan susunan al-Qur’an dan kerapian konstruksinya, keapikan dan keistimewaan gaya bahasanya, kecemerlangan dan keunggulan penjelasannya, kekuatan dan kebenaran maknanya, serta dari kefasi- han lafalnya. Dengan balagah yang luar biasa tersebut, al-Qur’an al-Karim— sejak 1300(*[1]) tahun yang lalu—menantang kaum yang paling fasih, kalangan yang paling pandai beretorika, serta cendekiawan yang pa- ling terkemuka. Namun mereka tak mampu menghadapi tantangan al- Qur’an. Meski telah ditantang, tak ada sepatah katapun yang terucap. Mereka tertunduk hina seraya menundukkan kepala. Padahal ada di antara mereka yang berdiri dengan congkak.

    Kami akan menunjukkan aspek kemukjizatan balagahnya dalam dua bentuk:

    Bentuk Pertama

    Sebagian besar penduduk jazirah Arab ketika itu adalah buta huruf. Oleh karena itu, mereka mengabadikan kebanggaan, berbagai kejadian historis, serta peribahasa, ungkapan bijak, dan kebaikan akh- lak mereka dalam bentuk syair dan perkataan retoris lainnya yang ditransfer lewat lisan sebagai ganti dari tulisan. Ungkapan bijak ter- tanam dalam benak dan diriwayatkan secara turun-temurun.

    Kebutu- han alamiah ini telah mendorong mereka untuk menjadikan kefasihan dan retorika sebagai barang yang paling laku di pasar. Sampai-sampai orang yang paling fasih di tengah kabilahnya menjadi pahlawan dan simbol kebanggaan.

    Kaum yang akhirnya memimpin dunia dengan kecerdasannya setelah masuk Islam tersebut sebelumnya merupakan orang-orang yang paling unggul dalam bidang balagah di seantero dunia. Maka, balagah menjadi sesuatu yang sangat berkembang dan sangat mereka butuhkan sehingga menjadi hal yang paling membanggakan. Bahkan perang dan damai bisa terjadi antar dua kabilah hanya dengan sebuah perkataan yang terucap dari orang paling fasih di antara mereka. Lebih dari itu, mereka menulis tujuh kasidah (kumpulan syair) dengan tinta emas karya para penyair mereka yang paling fasih lalu menggantung- kannya di dinding Ka’bah. Ketujuh kumpulan syair (al-mu’allaqât al- sab’ah) itu yang kemudian menjadi simbol kebanggan mereka.

    Nah, dalam kondisi seperti itulah di mana balagah mencapai puncaknya dan menjadi sesuatu yang sangat digemari, al-Qur’an di- turunkan. Sama seperti mukjizat nabi Musa  (tentang sihir), dan mukjizat masa Isa  (tentang pengobatan), karena yang berkembang pada saat itu adalah ilmu sihir (di masa Musa ) dan ilmu kedok- teran (di masa Isa ). Dengan balagahnya, al-Qur’an turun untuk menantang balagah yang terdapat pada masa itu dan masa-masa selan- jutnya. Al-Qur’an mengajak orang-orang fasih di kalangan Arab untuk menghadapinya dan membuat meski surah terpendek yang sama de- ngannya. Al-Qur’an menantang mereka dengan berkata: “Jika kalian ragu dengan apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami, buatlah satu surah semisalnya...” (QS. al-Baqarah [2]: 23).Al-Qur’an bahkan mengeraskan tantangannya dengan berkata:“Jika kalian tidak mampu dan kalian memang tidak akan mampu, maka takutlah kepada nereka...” (QS. al-Baqarah [2]: 24). Artinya, kalian akan digiring ke neraka Jahanam dan itu adalah tempat kembali yang paling buruk. Hal ini tentu menghancurkan ke- sombongan mereka, menghinakan akal mereka, melenyapkan mim- pi mereka, serta membinasakan mereka di dunia sebagaimana hal itu juga akan terjadi di akhirat. Dengan kata lain, kalian bisa membuat semisalnya, atau jiwa dan harta kalian berada dalam kondisi bahaya selama kalian tetap mempertahankan kekufuran.

    Demikianlah, jika sikap menghadapi tantangan itu bisa dilaku- kan, mana mungkin yang dipilih jalan perang; yang lebih berbahaya dan sulit, sementara di hadapan mereka ada jalan yang mudah dan lapang. Yaitu menghadapi tantangan tadi dengan sejumlah ayat semi- sal al-Qur’an untuk membatalkan klaim dan tantangan yang ada.Ya, mungkinkah kalangan cerdik pandai yang memimpin dunia dengan politik dan kecerdasan mereka itu meninggalkan jalan ter- mudah dan paling selamat, serta memilih jalan berat yang mencam- pakkan jiwa dan harta mereka pada kebinasaan?! Sebab, seandainya orang-orang fasih dari mereka bisa menghadapi al-Qur’an dengan se- jumlah huruf, tentu klaim al-Qur’an menjadi batal. Mereka pun akan selamat dari kehancuran moril dan materiil. Kenyataannya, mereka malah memilih jalan perang yang panjang.

    Artinya, menghadapi tan- tangan al-Qur’an tadi sama sekali tak bisa mereka lakukan. Akhirnya mereka menyerang dengan pedang.

    Kemudian terdapat dua faktor pendorong yang sangat kuat un- tuk menghadapi tantangan al-Qur’an dan mendatangkan yang serupa dengannya, yaitu sebagai berikut: Pertama: Keinginan lawan untuk menghadapinya. Kedua: Keinginan kawan untuk menirunya. Di bawah pengaruh dua faktor di atas telah ditulis jutaan buku berbahasa Arab, namun tak ada satu kitab pun yang bisa menyerupai al-Qur’an. Setiap orang yang melihatnya—entah berilmu ataupun bodoh—pasti akan berkata, “Al-Qur’an berbeda dengan kitab lain.” Ti- dak ada seorang pun yang bisa membuat seperti al-Qur’an. Bisa jadi hal itu lantaran retorika al-Qur’an lebih rendah dari semuanya. Ini ten- tu saja mustahil sebagaimana yang dinyatakan oleh baik kawan mau- pun lawan. Atau, hal itu karena al-Qur’an berada di atas semuanya di mana ia lebih mulia dan lebih tinggi.

    Barangkali engkau berkata, “Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa tidak ada yang berusaha menghadapinya? Tidakkah ada yang mengandalkan bakat dan potensinya untuk tampil menyambut tanta- ngan yang ada? Apakah kerjasama dan upaya saling bahu-membahu di antara mereka tidak berguna?”

    Jawabannya:Andaikan mereka bisa menghadapi al-Qur’an, ten- tu hal itu sudah mereka lakukan. Sebab, di sini ada persoalan kehor- matan dan harga diri di samping kebinasaan jiwa dan harta. Andaikata upaya untuk menghadapi tantangan al-Qur’an benar-benar dilakukan, tentu banyak yang cenderung kepadanya. Pasalnya, para penentang kebenaran selalu banyak jumlahnya. Andaikan ada yang mendukung upaya penentangan tadi, tentu ia akan dikenal. Sebab, untuk mengha- dapi tantangan yang sepele saja, mereka membuat kasidah yang kemu- dian dijadikan sebagai kebanggaan atau karya besar yang diabadikan. Apalagi menghadapi tantangan al-Qur’an yang lebih hebat lagi, tentu tidak mungkin diabaikan oleh sejarah.Terdapat sejumlah propaganda dan serangan paling buruk ter- hadap Islam yang disebutkan dalam riwayat. Namun terkait dengan upaya meniru al-Qur’an, yang ada hanya sejumlah kalimat yang diu- capkan oleh Musailimah al-Kazzâb. Sebenarnya Musailimah itu ahli retorika. Namun saat dibandingkan dengan retorika al-Qur’an yang mengungguli semua keindahan dan estetika, retorika yang ia miliki menjadi semacam igauan. Seperti itulah ucapannya diriwayatkan da- lam lembaran sejarah. Begitulah, kemukjizatan retorika al-Qur’an adalah sebuah kepas- tian, sama seperti kepastian hasil (perkalian) dua kali dua sama de- ngan empat. Demikianlah keadaan yang sebenarnya.

    Bentuk Kedua

    Kami akan menjelaskan hikmah kemukjizatan retorika atau ba- lagah al-Qur’an dalam lima poin:

    Poin Pertama:Kefasihan yang luar biasa dalam konstruksi al- Qur’an.

    Kitab Isyârât al-I’jâz fî Mazhân al-Îjâz telah menjelaskan dari awal hingga akhir tentang kefasihan dan keapikan konstruksi al- Qur’an. Sebagaimana jarum jam yang menunjukkan hitungan detik, menit, dan jam masing-masing saling menyempurnakan, demikian pula dengan struktur pada setiap kata dan kalimat al-Qur’an, serta konstruksi pada kesesuaian setiap kalimat terhadap yang lain. Semua itu telah dipaparkan secara sangat jelas dalam ‘kitab tafsir’ di atas. Siapapun bisa merujuk kepadanya agar dapat melihat kefasihan luar biasa itu dalam berbagai bentuknya yang paling indah.

    Di sini kami hanya akan menyebutkan dua contoh darinya untuk menerangkan konstruk- si kata yang saling terpaut di mana kesesuaian dan kesempurnaanya tidak bisa digantikan oleh yang lain.

    Contoh pertama: “Sesungguhnya jika mereka disentuh sedikit saja dari azab Tu- hanmu...” (QS. al-Anbiyâ [21]: 46).

    Kalimat di atas diungkapkan untuk memperlihatkan hebatnya sik- sa, namun dengan menampakkan dampak yang hebat dari siksa yang paling kecil. Oleh karena itu, semua bentuk redaksi tersebut yang me- ngandung makna sedikit dan kecil menatap kepada makna tersebut di- sertai adanya kekuatan agar menampakkan kondisi yang menakutkan.

    Kata (لَئِن۟) untuk menunjukkan ketidakpastian.

    Hal ini menyi- ratkan sesuatu yang sedikit. Kata (مَسَّ)bermakna sentuhan yang juga bermakna sedikit.

    Kata (نَف۟حَةٌ) adalah materi berupa aroma atau hem- busan kecil yang bermakna sedikit.

    Di samping itu, bentuknya juga memiliki arti satu, yakni satu yang kecil. Dalam gramatika, ia disebut mashdar al-marrah yang bermakna sedikit.

    Bentuk indefinit (nakirah) dari kata juga untuk menunjukkan sedikit.

    Artinya, ia adalah se- suatu yang kecil dalam batas yang tidak diketahui sehingga disebutkan secara indefinit.

    Selanjutnya kata untuk menunjukkan arti ‘sebagian’ se- hingga bermakna sedikit. Kata juga semacam balasan kecil jika dibandingkan dengan kata atau . Kata (رَبِّكَ) sebagai ganti dari (Yang Mahagagah), (Yang Maha Perkasa), (Yang Maha Membalas) menunjukkan sesuatu yang sedikit.

    Yaitu dengan adanya sifat kasih sayang dan rahmat padanya.Jadi, redaksi ayat di atas menunjukkan bahwa jika siksa yang ada sudah luar biasa padahal baru sedikit, apalagi jika berupa hukuman ilahi yang dahsyat.

    Perhatikan redaksi di atas dengan cermat agar eng- kau bisa melihat bagaimana contoh yang kami berikan itu memperha- tikan redaksi dan makna yang dituju.

    Contoh kedua:

    “Dan menginfakkan (sebagian) dari apa yang telah Kami anuge- rahkan kepada mereka.” (QS. al-Baqarah [2]: 3).

    Redaksi ayat di atas menunjukkan lima syarat diterimanya se- dekah, yaitu sebagai berikut:

    Pertama, dari kata مِن۟ yang menunjukkan arti ‘sebagian’ pada kata (وَمِمَّا) ‘sebagian dari apa atau sesuatu’. Artinya, orang yang berse- dekah tidak boleh memberikan semua yang ada di tangannya sehingga membutuhkan sedekah pula.

    Kedua, dari kata (رَزَق۟نَاهُم۟) ‘yang Kami anugerahkan kepada mere- ka’. Artinya, tidak mengambil dari Zaid lalu menyedekahkannya kepa- da Amar. Namun sedekah tersebut harus berasal dari hartanya. Yakni, sedekahkan sebagian dari rezeki milik kalian.

    Ketiga, dari kata نَا‘Kami’ dalam kata رَزَق۟نَا ‘yang telah Kami anuge- rahkan’. Artinya, tidak mengungkit dan tidak merasa berjasa. Sebab, tidak ada jasa kalian dalam sedekah itu. Aku yang memberikan rezeki kepada kalian. Lalu kalian menginfakkan sebagian dari harta-Ku ke- pada hamba yang lain.

    Keempat, dari kata (يُن۟فِقُونَ) ‘menginfakkan’. Artinya, sedekah itu diinfakkan kepada orang yang mempergunakan untuk kebutuhan yang penting. Sebab, sedekah tidak diterima jika diberikan kepada orang yang mempergunakannya dalam keburukan.

    Kelima, dari kata (رَزَق۟نَاهُم۟) ‘yang telah Kami anugerahkan kepada mereka’. Artinya, sedekah itu atas nama Allah. Yakni, harta tersebut adalah harta-Ku. Kalian harus memberikannya atas nama-Ku.

    Di samping syarat dan kriteria di atas, terdapat pemaknaan se- dekah secara umum. Yakni, sebagaimana sedekah bisa dilakukan de- ngan harta, ia juga bisa dengan ilmu, ucapan, perbuatan, dan nasihat. Hal ini diisyaratkan oleh kata ‘sesuatu’ dalam kata ‘dari sesuatu’ yang bermakna umum.

    Demikianlah, kalimat singkat yang berbicara tentang sedekah ini mempersembahkan kepada akal manusia lima syarat dan kriteria se- dekah disertai penjelasan mengenai wilayahnya yang luas.Begitulah redaksi kalimat al-Qur’an memiliki konstruksi yang sangat banyak seperti contoh di atas.

    Kosakata al-Qur’an juga memi- liki wilayah konstruksi yang luas semacam itu. Demikian pula dengan klausa dan kalimat al-Qur’an.

    firman Allah yang berbunyi:

    Contoh,

    “Katakanlah: Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya. Dia tiada beranak dan ti- dak pula diperanakkan. Tidak ada satupun yang setara dengan Dia.” (QS. al-Ikhlâs [112]: 1-4).Ayat-ayat mulia di atas berisi enam kalimat. Tiga darinya bersi- fat menetapkan (afirmasi) dan tiga lagi bersifat menafikan (negasi). Ia menetapkan enam tingkatan tauhid sekaligus menafikan enam bentuk kemusyrikan. Setiap kalimatnya merupakan dalil bagi kalimat-kalimat yang lain di samping sebagai konklusi darinya. Sebab, setiap kalimat memiliki dua makna di mana salah satunya merupakan konklusi dan yang satunya lagi adalah dalil atau petunjuk.Dengan kata lain, surah al-Ikhlas berisi tiga puluh surah dari surah al-Ikhlâs. Yaitu surah-surah yang tersusun dan terbentuk dari berbagai dalil yang saling menguatkan.

    Misalnya sebagai berikut:

    ‘Katakan bahwa Dialah Allah’. Sebab, Dia Ma- haesa, Dzat tempat bergantung, tiada beranak, tiada diperanakkan, dan tiada yang setara dengan-Nya. ‘Tiada yang setara dengan-Nya’. Sebab, Dia tidak diperanakkan, tidak beranak, Dzat tempat bergantung, Esa, dan Dia adalah Allah.

    ‘Dialah Allah’. Dia Mahaesa, Dia tempat bergantung. Oleh karena itu, Dia tidak beranak, tidak diperanakkan, serta tiada yang setara dengan-Nya. Demikian seterusnya.

    Contoh lain adalah firman Allah yang berbunyi:

    “Alif lâm mîm. Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah [2]: 1-2).

    Masing-masing dari keempat kalimat di atas memiliki dua mak- na. Dengan melihat salah satunya, ia menjadi petunjuk atau dalil bagi kalimat lain dan dengan melihat yang lain, ia menjadi hasil darinya. Dari situ dapat dihasilkan sebuah konstruksi menakjubkan yang terdi- ri dari enam belas garis korelasi dan kesesuaian.Hal itu telah dijelaskan dalam kitab Isyârât al-I’jâz sehingga se- olah-olah setiap ayat memiliki mata yang menatap kepada sebagian besar ayat serta wajah yang menghadap kepadanya sehingga terdapat garis korelasi dan keterkaitan antara masing-masingnya yang merang- kai sebuah goresan kemukjizatan. Hal itu seperti yang dijelaskan pada “Kalimat Ketiga Belas”. Buku tafsir, Isyârât al-I’jâz, telah menjelaskan bentuk kefasihan dan keapikan konstruksinya.

    Poin Kedua: Balagah yang luar biasa dari sisi maknanya.

    Engkau bisa mencicipinya pada ayat berikut: “Semua yang terdapat di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah. Dia Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.” (QS. al-Hadîd [57]: 1).Perhatikan contoh di atas yang dijelaskan dalam “Kalimat Ketiga Belas”. Bayangkan dirimu berada dalam kondisi sebelum cahaya al- Qur’an turun, yaitu pada era jahiliyah, pada masa primitif dan bodoh. Segala sesuatu dibungkus dengan tirai kelalaian dan gelapnya kebodo- han. Ia diselimuti oleh sikap jumud dan kebendaan. Tiba-tiba engkau menyaksikan gema firman-Nya:“Semua yang terdapat di langit dan bumi bertasbih kepada Allah...” (QS. al-Hadîd [57]: 1). Atau:“Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya ber- tasbih kepada Allah...” (QS. Al-Isrâ [17]: 44).Kehidupan mengalir pada entitas yang mati lewat gema (سَبَّحَ ) dan (تُسَبِّحُ) ‘bertasbih’ di seluruh telinga pendengar sehingga mereka bangkit seraya bertasbih menyebut Allah.Wajah langit yang gelap di mana bintang-gemintang tak ber- nyawa bersinar terang padanya serta bumi yang dihuni oleh makhluk yang lemah, lewat gema dan cahaya (تُسَبِّحُ) “tasbih”, berubah dalam benak pendengar menjadi mulut yang berzikir kepada Allah. Setiap bintang memancarkan cahaya hakikat dan menebarkan hikmah yang sangat bijak. Lewat gema dan cahaya samawi itu, wajah bumi berubah menjadi kepala yang besar, serta darat dan laut menjadi dua lisan yang mengucap tasbih. Juga, seluruh tumbuhan dan hewan berubah menja- di untaian kalimat yang berzikir dan bertasbih sehingga seluruh bumi seolah-olah berdenyut hidup.

    Contoh: Lihatlah contoh berikut, yang disebutkan pada “Kalimat Kelima Belas”. Yaitu firman Allah yang berbunyi:

    “Wahai golongan jin dan manusia! Jika kalian sanggup menem- bus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka tembuslah. Kalian ti- dak akan mampu menembusnya kecuali dengan kekuatan (dari Allah). Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Kepada kamu (jin dan manusia) akan dikirim nyala api dan cairan tembaga (panas) sehingga kamu tidak dapat menyelamatkan diri (darinya). Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. ar-Rahmân [55]: 33-36). “Dan sungguh telah Kami hiasi langit yang dekat, dengan bin- tang-bintang dan Kami jadikan ia (bintang-bintang itu) sebagai alat- alat pelempar setan...” (QS. al-Mulk [67]: 5).Perhatikan ayat-ayat di atas dan renungkan apa yang dikatakan- nya. Ia berkata, “Wahai manusia dan jin yang sombong dalam keti- dakberdayaan dan kehinaannya. Wahai yang keras kepala dan pem- bangkang dengan kondisinya yang miskin dan papa. Jika kalian tidak mematuhi perintah-Ku, silahkan keluar dari batas-batas kerajaan dan kekuasaan-Ku jika mampu. Bagaimana mungkin kalian berani me- nentang perintah Sang Raja yang agung. Bintang, bulan, dan matahari berada dalam genggaman-Nya. Mereka melaksanakan perintah-Nya bagaikan pasukan yang selalu siap siaga. Dengan sikap pembang- kangan tersebut, kalian sebenarnya sedang menentang Sang Pengua- sa Yang Mahaagung dan Mulia di mana Dia memiliki pasukan yang taat dan selalu siap siaga.

    Mereka dapat melemparkan benda sebesar gunung kepada setan kalian sekalipun.

    Dengan sikap ingkar kalian, sebenarnya kalian sedang membangkang dalam kerajaan Sang Raja Agung dan Mulia di mana Dia memiliki pasukan besar yang dapat melempari para musuh yang ingkar meski sebesar bumi dan gunung dengan peluru yang menyala dan kepingan kobaran api seukuran bumi dan gunung sehingga bisa menghancurkan kalian.

    Jika demiki- an, apalagi makhluk lemah seperti kalian. Kalian menentang hukum permanen yang terkait dengan Tuhan yang mampu melempari kalian dengan peluru seperti bintang-gemintang.Lewat contoh di atas engkau bisa mengukur kekuatan makna, ke- fasihan retorika, dan ketinggian pelajaran yang terdapat pada seluruh ayat al-Qur’an.

    Poin Ketiga:Keindahan luar biasa dalam gaya bahasanya.

    Ya, gaya bahasa al-Qur’an al-Karim unik dan istimewa serta menakjubkan dan meyakinkan. Al-Quran tidak meniru sesuatu atau seseorang, dan tak seorangpun yang bisa menirunya. Al-Qur’an telah dan senantiasa menjaga kelembutan dan kesegaran gaya bahasanya seperti ketika pertama kali diturunkan.

    Ya, gaya bahasa al-Qur’an al-Karim unik dan istimewa serta menakjubkan dan meyakinkan. Al-Quran tidak meniru sesuatu atau seseorang, dan tak seorangpun yang bisa menirunya. Al-Qur’an telah dan senantiasa menjaga kelembutan dan kesegaran gaya bahasanya seperti ketika pertama kali diturunkan.Sebagai contoh, huruf-huruf muqatta’ah (terputus) yang disebut- kan di permulaan sejumlah surah menyerupai kode rahasia. Misalnya:Kami telah menuliskan sekitar enam cahaya kemukjizatannya dalam buku Isyârât al-I’jâz. Di antaranya adalah sebagai berikut:Huruf-huruf yang disebutkan di permulaan surah itu membagi dua setiap pasangan karakter huruf hijaiyah. Yaitu huruf yang beraspi- rasi dan jelas (mahmûsah dan majhûrah), serta yang keras dan lunak(*[2])(syadîdah dan rakhwah) dan berbagai pembagian lainnya. Adapun bunyi yang tidak bisa terbagi, maka yang berat kurang dari setengah seperti qalqalah dan yang ringan lebih sedikit seperti dzalâqah (huruf- huruf yang bermakhraj ujung lidah). Cara al-Qur’an yang samar dan tak terjangkau oleh akal tersebut di antara sekian banyak cara yang berisi ratusan kemungkinan, kemudian cara penyajiannya dalam me- dan luas yang rambu-rambunya serupa, tentu saja bukan sebuah kebe- tulan dan bukan berasal dari manusia.

    Huruf-huruf muqatta’ah (terputus) yang terdapat di permulaan surah di mana ia merupakan kode dan rumus-rumus ilahi menjelas- kan lima atau enam rahasia cahaya kemukjizatan yang lain. Bahkan para ulama ahli rahasia huruf serta para wali ahli peneliti telah me- ngungkap banyak rahasia dari huruf-huruf tersebut. Mereka menemu- kan sejumlah hakikat mulia yang menegaskan bahwa huruf-huruf ter- putus itu merupakan mukjizat cemerlang. Adapun kita tidak mampu membuka pintu itu karena tidak mampu menggapai rahasia yang ada. Selain itu, kita tidak mampu menetapkan secara meyakinkan dalam bentuk yang diakui oleh semua kalangan. Oleh karena itu, cukup bagi kita merujuk kepada lima atau enam kilau kemukjizatan terkait de- ngan huruf-huruf terputus itu yang terdapat dalam buku Isyârât al- I’jâz.

    Sekarang kita akan menyebutkan sejumlah petunjuk tentang gaya bahasa al-Qur’an dengan melihat surah, ayat, klausa, dan kalimatnya.

    Misalnya surah an-Naba’ (عَمَّ) dan seterusnya. Jika diper- hatikan secara seksama, surah tersebut menggambarkan dan menetap- kan berbagai kondisi akhirat, kebangkitan, surga dan neraka dengan gaya bahasa yang indah yang menenangkan hati. Pasalnya, ia mene- rangkan bahwa berbagai perbuatan ilahi dan jejak Rabbani yang terdapat di dunia mengarah kepada setiap kondisi ukhrawi di atas. Kare- na penjelasan tentang gaya bahasa surah tersebut sangat panjang, kita akan menjelaskan satu atau dua hal saja darinya.

    Di permulaan surah tersebut, ia menegaskan keberadaan hari kiamat dengan berkata, “Kami menjadikan bumi untuk kalian sebagai hamparan yang telah dibentangkan dengan sangat indah. Lalu Kami jadikan gunung sebagai pilar dan pasak yang penuh dengan kekayaan untuk tempat tinggal dan kehidupan kalian. Kami pun menciptakan kalian berpasangan-pasangan di mana kalian saling mencintai dan menyayangi. Kami jadikan malam sebagai tirai agar kalian bisa ber- istirahat, siang sebagai medan untuk mencari penghidupan, serta ma- tahari sebagai lentera yang terang dan penghangat untuk kalian. Dari awan, Kami turunkan air yang membangkitkan kehidupan di mana ia mengalir laksana mata air. Selain itu, dengan mudah Kami tumbuh- kan dari air tersebut berbagai tanaman yang berbunga dan berbuah di mana ia membawa rezeki untuk kalian. Kalau demikian, hari keputu- san, yaitu hari kiamat, sedang menantikan kalian. Proses mendatang- kannya bukan hal yang sulit.

    Selanjutnya, secara implisit ia menerangkan apa yang akan terja- di pada hari kiamat, seperti gunung yang berjalan dan berhamburan, langit terbelah, neraka yang siap siaga, serta bagaimana surga membe- rikan taman yang indah bagi para penghuninya. Seakan-akan ia berka- ta, “Dzat yang melakukan semua perbuatan itu terhadap gunung dan bumi seperti yang kalian lihat akan melakukan hal serupa di akhirat.” Artinya, gunung yang terdapat di awal surah menunjukkan sejumlah kondisi gunung di hari kiamat. Taman yang terdapat di permulaan surah mengisyaratkan keberadaan taman surga di akhirat. Engkau bisa membandingkan yang lainnya pula guna menyaksikan ketinggian dan kehalusan gaya bahasa al-Qur’an.

    Sebagai contoh:“Katakanlah: Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Eng- kau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau ke- luarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Engkau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas).” (QS. Âli `Imrân [3]: 26-27).

    Dengan gaya bahasa yang tinggi, ayat di atas menerangkan ber- bagai perbuatan ilahi yang terdapat dalam diri manusia, manifestasi ilahi yang terdapat dalam pergantian siang dan malam, tindakan ilahi dalam peralihan musim, serta ketentuan ilahi yang terdapat dalam ke- hidupan, kematian, pengumpulan, dan kebangkitan duniawi di muka bumi. Gaya bahasa yang tinggi dan indah itu sampai ke tingkat yang menundukkan akal para pakar. Karena ketinggian bahasanya demiki- an terang di mana ia bisa terlihat meski hanya dengan penglihatan yang paling sederhana, maka kami tidak membuka ‘khazanah’ tersebut untuk saat ini.

    Contoh lain:

    “Apabila langit terbelah, patuh kepada Tuhannya, dan sudah se- mestinya langit itu patuh, serta apabila bumi diratakan, dan apa yang ada di dalamnya dilemparkan dan menjadi kosong, patuh kepada Tu- hannya, dan sudah semestinya bumi itu patuh.” (QS. al-Insyiqâq [84]: 1-5).

    Ayat al-Qur’an di atas menerangkan sejauh mana ketundukan langit dan bumi serta ketaatan mereka dalam menunaikan perintah Allah. Ia menerangkan semuanya dengan gaya bahasa yang tinggi dan mulia.

    Sebab, sebagaimana seorang panglima besar membentuk dua divisi militer untuk melaksanakan tuntutan jihad, seperti manuver (la- tihan perang) dan mobilisasi (perekrutan tentara). Nah, ketika waktu jihad selesai, ia mengarah kepada kedua divisi tersebut guna dipergu- nakan untuk tugas lain lantaran tugas mereka telah usai. Seakan-akan masing-masing berkata dengan lisan para petugas dan pelayannya:“Wahai panglima, beri kami waktu luang sejenak agar kami bisa mempersiapkan diri dan membersihkan tempat ini dari berbagai sisa aktivitas kami sebelumnya. Setelah itu, kami siap menjalankan tugas kembali.” Tidak lama kemudian ia berkata, “Kami telah membuang si- sa-sisa tadi keluar. Kami taat kepada perintahmu. Lakukan apa yang engkau inginkan. Kami mematuhi perintahmu. Semua yang engkau perbuat adalah benar, indah, dan baik.”

    Demikian pula langit dan bumi merupakan dua divisi atau wilayah yang dibuka untuk menjadi tempat tugas (taklif) dan medan ujian. Ketika waktunya selesai, langit dan bumi itu pun meninggalkan tugasnya dengan izin Allah. Keduanya berkata, “Wahai Tuhan, tugas- kan kami pada sesuatu yang Kau kehendaki. Sikap patuh wajib kami perlihatkan. Semua yang Kau perbuat adalah benar.” Lihat dan per- hatikan dengan cermat ketinggian gaya bahasa dalam kalimat di atas.

    Contoh lain:“Dan difirmankan, ‘Wahai bumi, telanlah airmu! Dan wahai langit (hujan), berhentilah! Air pun disurutkan, perintah pun disele- saikan, dan bahtera itu pun berlabuh di atas bukit Judi’. Lalu dikatakan, ‘Binasalah orang-orang yang zalim’.” (QS. Hûd [11]: 44).

    Untuk menunjukkan setetes dari lautan balagah ayat di atas, kami hanya akan menjelaskan satu gaya bahasa darinya dalam ben- tuk perumpamaan.

    Yaitu, seorang panglima besar dalam perang dunia setelah memperoleh kemenangan memerintahkan pasukannya, “Ber- hentilah melepaskan tembakan!” Lalu ia menyuruh pasukan yang lain, “Berhenti menyerang!” Seketika itu pula tembakan dan serangan langsung berhenti. Kemudian ia menemui mereka seraya berkata, “Semua sudah usai. Kita sudah mengalahkan musuh. Panji kita telah tegak berkibar. Kaum yang zalim itu telah menerima balasan mereka dan jatuh ke dalam lembah kehinaan, asfalu sâfilîn.”

    Demikian pula Sang Raja yang tiada tandingan-Nya telah me- merintahkan langit dan bumi untuk membinasakan kaum nabi Nuh. Setelah mereka mengerjakan perintah tersebut, Dia berkata ke- pada keduanya, “Wahai bumi, telanlah airmu! Wahai langit, diamlah! Tugas kalian telah selesai.” Seketika air surut dan kapal “produk ilahi” itu pun berlabuh laksana kemah yang tegak di atas puncak gunung. Sementara kaum yang zalim menerima balasan mereka.Perhatikanlah ketinggian gaya bahasa di atas. Bumi dan la- ngit laksana dua prajurit yang taat dan siap untuk menerima perin- tah. Dengan gaya bahasa tersebut, ayat di atas menunjukkan bahwa seluruh entitas bisa murka ketika manusia membangkang. Langit dan bumi bisa marah karenanya. Dengan petunjuk di atas, ia menegaskan bahwa Dzat yang dipatuhi oleh langit dan bumi tidak boleh ditentang dan tidak sepatutnya ditentang. Hal itu memberikan satu peringatan keras bagi manusia.

    Engkau melihat betapa ayat tersebut dengan sa- ngat singkat hanya dalam beberapa kalimat menggabungkan antara peristiwa angin topan yang bersifat komprehensif dengan dampak dan hakikatnya. Anda bisa menganalogikan satu tetes (ayat) ini dengan te- tesan lautan (ayat-ayat) lainnya.

    Sekarang perhatikan gaya bahasa yang diperlihatkan oleh al- Qur’an dari jendela kosa katanya. Misalnya kata ‘tandan tua’ dalam ayat yang berbunyi:

    “Telah Kami tetapkan sejumlah kedudukan bagi bulan sehingga (setelah ia sampai kepada kedudukan yang terakhir) kembalilah ia se- perti tandan yang tua.” (QS. Yâsîn [36]: 39).Kata tersebut memperlihatkan satu gaya bahasa yang sangat in- dah. Hal itu karena bulan memiliki tempat berupa garis edar. Keti- ka bulan di tempat itu berbentuk seperti sabit, ia menyerupai tandan tua yang berwarna putih. Dengan perumpamaan tersebut, ayat di atas mengetengahkan ke hadapan imajinasi pendengar bahwa seakan-akan di balik tirai langit ini terdapat sebuah pohon yang salah satu dahan- nya yang berwarna putih membelah tirai itu lalu mengeluarkan ujungnya. Nah, bintang kejora seperti satu ranting yang bergantung padanya. Sementara bintang-bintang yang lain laksana buah bercahaya dari pohon penciptaan yang tersembunyi. Jadi, tidak salah jika bulan sabit digambarkan dengan perumpamaan di atas kepada mereka yang sum- ber penghidupan dan sebagian besar kekuatannya berasal dari pohon kurma. Ia merupakan gaya bahasa yang sangat tepat dan indah ser- ta sangat relevan. Jika memiliki daya rasa, engkau pasti dapat mema- haminya.

    Contoh lain adalah kata (تَج۟رٖى) ‘berjalan’ pada ayat berikut:“Matahari berjalan di tempat peredarannya...” (QS. Yâsîn [36]: 38). Kata di atas membuka jendela bagi sebuah gaya bahasa yang sangat tinggi seperti yang ditegaskan dalam penutup “Kalimat Kesembi- lan Belas”. Yaitu bahwa kata (تَج۟رٖى) ‘berjalan’ yang mengarah kepada berputarnya matahari menerangkan keagungan Sang Pencipta Yang Mahaagung di mana Dia mengingatkan pada perbuatan qudrah ila- hi yang tertata rapi dalam pergantian musim panas dan dingin serta pergantian siang dan malam. Ia mengarahkan perhatian pada seluruh risalah Tuhan yang ditulis dengan pena qudrah ilahi dalam lembaran antar musim. Dengan begitu, ia mengajarkan hikmah Sang Pencipta Yang Maha Agung.

    Selanjutnya firman Allah :“Dan kami jadikan matahari sebagai lentera.” (QS. Nûh [71]: 16). Kata (سِرَاجًا)‘lentera’ membuka sebuah jendela bagi gaya bahasa seperti di atas. Yaitu ia menerangkan keagungan Sang Pencipta dan kebaikan Sang Khalik di mana Dia mengingatkan bahwa alam ini lak- sana istana. Berbagai kebutuhan, makanan, dan perhiasan yang terdapat di dalamnya sengaja disediakan untuk manusia dan makhluk hidup. Sementara matahari hanyalah lentera yang ditundukkan untuk manusia. Dengan begitu, ia menerangkan sebuah dalil tauhid. Pasal- nya, matahari yang oleh kaum musyrik dianggap sebagai sesembahan mereka yang paling besar dan paling terang, tidak lain adalah lentera yang ditundukkan dan makhluk tak bernyawa.Jadi, pengungkapan kata (سِرَاجًا) ‘lentera’ mengingatkan kepada rahmat Khalik dalam keagungan rububiyah-Nya serta menjelaskan kemurahan-Nya dalam keluasan rahmat-Nya. Dengan cara itu, Dia menyadarkan akan kemurahan-Nya dalam keagungan kekuasaan-Nya sekaligus menerangkan keesaan-Nya. Seolah-olah Dia berkata, “Len- tera yang ditundukkan dan lampu tak bernyawa itu sama sekali tak layak disembah.”

    Kemudian peredaran matahari lewat penggunaan kata (تَج۟رٖى) ‘berjalan’ mengingatkan pada sejumlah perbuatan yang tertata rapi dan menakjubkan dalam peralihan musim semi dan panas serta siang dan malam. Ia juga menjelaskan keagungan qudrah Sang Pencipta yang Esa dalam rububiyah-Nya. Artinya, ungkapan tersebut mengarahkan benak manusia dari matahari dan bulan menuju lembaran siang dan malam serta musim panas dan dingin. Selain itu, ia mengalihkan per- hatiannya pada goresan berbagai peristiwa yang tertulis dalam lemba- ran tersebut.Ya, al-Qur’an tidak membahas matahari hanya semata-ma- ta untuk substansi matahari. Namun untuk Dzat yang membuatnya bersinar dan menjadikannya sebagai lentera. Ia tidak membahas esen- sinya yang tidak dibutuhkan oleh manusia. Namun membahas tugas dan fungsinya di mana ia menunaikan fungsi pegas bagi tatanan kreasi ilahi, pusat keteraturan penciptaan rabbani, serta kumparan bagi kese- larasan ciptaan-Nya dalam segala sesuatu yang dirangkai oleh Pencip- ta azali lewat benang-benang siang dan malam.

    Engkau bisa menganalogikan hal ini dengan keseluruhan ko- sakata al-Qur’an. Meskipun tampak seperti kata yang sudah dikenal dan sederhana, namun ia menunaikan tugas sebagai kunci bagi ber- bagai gudang makna yang halus.

    Demikianlah. Karena ketinggian gaya bahasa al-Qur’an, seperti disebutkan dalam berbagai aspek di atas, maka seorang Arab badui terpukau oleh kadangkala hanya sebuah ungkapan darinya sehingga bersujud sebelum beriman. Misalnya, salah seorang dari mereka men- dengar ayat yang berbunyi:“Maka sampaikanlah secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu)...” (QS. al-Hijr [15]: 94).Seketika ia tersungkur bersujud. Saat ditanya, “Apakah engkau masuk Islam?” Ia menjawab, “Tidak, aku bersujud karena balagah yang terdapat pada ungkapan tersebut.”

    Poin Keempat: Kefasihan luar biasa dalam redaksinya.

    Ya, di samping mengandung aspek balagah yang sangat tinggi dilihat dari sisi gaya bahasa dan penjelasan maknanya, redaksinya juga sangat fasih. Dalil paling kuat yang menunjukkan kefasihannya adalah bahwa ia tidak melahirkan rasa bosan dan jenuh. Selain itu, kesak- sian para ahli ilmu bayan dan semantik juga menjadi bukti yang sangat jelas atas kefasihannya. Ya, andaikan al-Qur’an diulang ribuan kali, hal itu tidak akan membuat bosan. Bahkan ia akan bertambah nikmat. Selanjutnya, al- Qur’an juga tidak berat bagi akal anak kecil sehingga mudah mereka hafal. Telinga orang yang terkena penyakit kronis, di mana ia sangat terganggu dengan ucapan pelan, juga tidak akan jenuh dengan al- Qur’an. Sebaliknya ia akan merasa nikmat. Ia laksana minuman segar yang berada di mulut orang sakarat. Ia terasa nyaman di telinga dan otaknya seperti air zam-zam yang terasa segar saat berada di mulut.

    Hikmah mengapa al-Qur’an tidak membuat bosan dan jenuh adalah karena al-Qur’an merupakan makanan dan nutrisi bagi kalbu, sumber kekuatan dan kekayaan bagi akal, air dan cahaya bagi ruh, serta obat bagi jiwa manusia. Oleh karena itu, ia tidak akan melahirkan rasa bosan. Ia seperti nasi yang kita makan setiap hari di mana kita tidak merasa bosan dengannya. Sementara, jika kita makan buah yang paling nikmat setiap hari pasti akan merasa bosan. Jadi, karena al-Qur’an me- rupakan sebuah kebenaran, hakikat, kejujuran, petunjuk, dan terus tam- pak segar dan manis sehingga salah seorang tokoh Quraisy dan ahli retorika mereka saat mendatangi Nabi x untuk mendengar al-Qur’an berkomentar setelah mendengarkannya, “Demi Allah, ia demikian manis dan indah. Ia bukan ucapan manusia.” Setelah itu ia berujar ke- pada kaumnya, “Demi Allah, tidak ada seorangpun dari kalian yang lebih paham tentang syair daripada diriku. Demi Allah, ucapannya itu tidak sama dengan ucapanku.” Akhirnya mereka hanya bisa berkata bahwa beliau adalah tukang sihir guna memperdaya pengikut mere- ka sehingga tidak mengikuti Nabi x. Demikianlah musuh al-Qur’an yang paling keras sekalipun tercengang di hadapan kefasihannya.

    memiliki kefasihan luar biasa, ia tidak melahirkan rasa bosan. Ia akanMenjelaskan sebab-sebab kefasihan yang terdapat dalam ayat- ayat al-Qur’an, pada klausa dan kalimatnya sangat panjang. Maka un- tuk membatasi pembicaraan, kita hanya akan memperlihatkan kilau kemukjizatan yang bersinar dari kondisi dan susunan huruf-huruf hijaiyah dalam sebuah ayat sebagai contoh, yaitu firman Allah yang berbunyi:

    ثُمَّ اَن۟زَلَ عَلَي۟كُم۟ مِن۟ بَع۟دِ ال۟غَمِّ اَمَنَةً نُعَاسًا يَغ۟شٰى طَٓائِفَةً مِن۟كُم۟ …اِلٰى اٰخِرهِ

    Ayat di atas menggabungkan semua huruf hijaiyah dan berbagai bentuk huruf yang berat. Namun demikian, semua itu tidak mem- buatnya kehilangan kefasihan. Bahkan ia semakin memperindah dan menambahkan satu bentuk kefasihan yang bersumber dari bunyi yang selaras dan beragam.

    Perhatikan dengan cermat kilau yang memiliki sisi kemukjizatan ini. Karena huruf alif (ا) dan yâ (ي) merupakan huruf hijaiyah yang paling ringan di mana yang satu bisa berbalik menjadi yang lain seper- ti dua orang saudara, maka masing-masing terulang sebanyak dua pu- luh satu kali. Sementara karena huruf mîm (م) dan nûn (ن) bersauda- ra,(*[3])serta dapat saling menggantikan, masing-masing disebutkan sebanyak tiga puluh tiga kali.

    Kemudian huruf shâd (ص), sîn (س), dan syîn (ش) saling bersaudara dilihat dari titik artikulasi (makhraj), sifat, dan bunyinya sehingga masing-masing darinya disebutkan tiga kali. Setelah itu, huruf `aîn (ع) dan ghaîn (غ) juga bersaudara sehingga `aîn disebutkan sebanyak enam kali karena ringan,

    sementara ghaîn yang agak berat disebutkan tiga kali atau setengahnya. Huruf thâ (ط), zhâ (ظ), dzâl (ذ), dan zây (ز) bersaudara dilihat dari titik artikulasi, sifat, dan bunyinya, masing-masing disebutkan sebanyak dua kali. Huruf lâm (ل) dan alif (ا) menyatu dalam pola Lâ (لا). Bagian alif setengah dari pola لا. Dalam hal ini, lâm disebutkan sebanyak 42 kali dan alif disebutkan setengahnya, yaitu sebanyak 21 kali. Huruf hamzah (ء) dan hâ (هـ) bersaudara dilihat dari titik artikulasinya. Dalam hal ini, hamzah disebutkan 13 kali,149 sementara hâ sebanyak 14 kali karena ia satu de- rajat lebih ringan daripada hamzah. Huruf qâf (ق), fâ (ف), dan kâf (ك) bersaudara. Huruf qâf disebut- kan sebanyak sepuluh kali karena tambahan titik padanya, lalu huruf fâ disebutkan sembilan kali, dan kâf juga sembilan kali. Kemudian huruf bâ (ب) disebutkan sembilan kali, sementara tâ (ت) disebutkan dua belas kali karena derajatnya tiga. Huruf râ (ر) saudara dari lâm. Hanya saja râ berjumlah dua ratus, dan lâm tiga puluh sesuai dengan nilai “gematria abjad arab”. Yakni bahwa râ enam derajat di atas lâm se- hingga ia enam derajat lebih rendah darinya. Begitu pula râ sering ter- ucap sehingga terasa berat. Karenanya, ia hanya disebutkan sebanyak enam kali.

    Selanjutnya, karena khâ (خ), hâ (ح), tsâ (ث), dan dhâd (ض) berat, sementara di antara mereka terdapat keselarasan, masing-ma- sing disebutkan satu kali. Karena huruf wâw (و) lebih ringan dari huruf hâ dan hamzah, serta lebih berat daripada huruf yâ dan alif, maka ia disebutkan sebanyak tujuh belas kali. Yaitu 4 derajat di atas hamzah yang berat dan 4 derajat di bawah alif yang ringan.

    Demikianlah huruf-huruf yang diletakkan dengan sangat rapi itu, disertai keselarasannya, keteraturannya yang indah, dan tatanan- nya yang cermat menetapkan dengan sangat pasti seperti pastinya ha- sil perkalian (2 x 2 = 4) bahwa ia bukan merupakan kreasi manusia dan tak mungkin dilakukan olehnya. Proses kebetulan juga mustahil ikut campur di dalamnya.Jadi, keteraturan menakjubkan dan tatanan istimewa yang ter- dapat pada kondisi huruf-huruf tersebut di samping menjadi sumber kefasihan redaksinya, bisa jadi ia memiliki banyak hikmah yang lain. Selama huruf-huruf tersebut mengandung keteraturan semacam itu, tentu keteraturan penuh rahasia dan keselarasan bercahaya yang ter- dapat pada kosakata, kalimat, dan maknanya juga diperhatikan. An- daikan mata melihat, sudah pasti ia kagum seraya mengucap mâsyâ Allâh. Apabila akal memahaminya, sudah pasti ia menjadi takjub de- ngan mengucap bârakallâh.

    Poin Kelima:Keapikan bayân (penjelasan).

    Yaitu keunggulan, kekuatan, dan keistimewaan dari sisi penjela- sannya. Sebagaimana sebagian besar konstruksi dan redaksi al-Qur’an mengandung kefasihan, maknanya berisi balagah, gaya bahasanya menampilkan keindahan, maka sisi bayannya juga berisi keunggulan yang luar biasa.Ya, bayan atau cara penjelasan al-Qur’an berada pada tingkat tu- turan yang paling tinggi. Misalnya dalam hal memberikan motivasi dan ancaman, pujian dan celaan, penetapan dan petunjuk, serta dalam memberikan pemahaman dan argumen.

    Di antara ribuan contoh tentang “pemberian motivasi dan an- juran” adalah surah al-Insân. Sebab, penjelasan al-Qur’an pada surah tersebut demikian indah seperti telaga kautsar; apik mengalir seperti mata air salsabil; nikmat seperti buah surga; dan indah seperti perhi- asan bidadari.(*[4])

    Di antara contoh yang tak terhingga terkait dengan “pemberian ancaman dan peringatan” adalah pendahuluan surah al-Ghâsyiyah. Se- bab, penjelasan al-Qur’an pada surah tersebut memberikan pengaruh mendalam seperti tembakan peluru di telinga kaum yang sesat, laksa- na kobaran api di akal mereka, serta ibarat pohon zaqqum di tenggoro- kan, nyala neraka di wajah, serta makanan berduri di perut mereka. Ya, jika “yang diberi perintah untuk menyiksa” saja, yaitu neraka “nyaris pecah karena murka” (QS. Al-Mulk [67]: 8), apalagi dengan ancaman Dzat “yang memberi perintah untuk menyiksa”, Allah .

    Di antara ribuan contoh tentang “pujian” adalah lima surah yang diawali dengan kalimat Z [. Sebab, penjelasan al-Qur’an pada surah-surah tersebut demikian terang laksana matahari,(*[5])in- dah laksana bintang, menakjubkan laksana langit dan bumi, dicinta dan disenangi laksana malaikat, lembut laksana kasih sayang terhadap anak-anak di dunia, serta menyenangkan laksana surga di akhirat.

    Di antara ribuan contoh tentang “kecaman dan celaan” adalah ayat yang berbunyi:“Adakah seorang di antara kalian yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?...” (QS. al-Hujurât [49]: 12).Ayat ini melarang dan mengecam dengan sangat keras perbuatan gibah (menggunjing) dalam enam tingkatan. Karena pesan ayat di atas ditujukan kepada mereka yang suka menggunjing, maka ayat tersebut bermakna sebagai berikut: Huruf hamzah (ﺃ) yang terdapat di awal digunakan untuk memberikan sebuah pertanyaan retoris (istifhâm inkârî). Makna pertanyaan tersebut menembus dan mengalir seperti air ke semua kata dalam ayat di atas sehingga setiap kata mengandung makna.(*[6])

    Kata pertama dalam ayat tersebut adalah huruf hamzah (ﺃ). De- ngan hamzah (pertanyaan), ayat tersebut bermaksud menegur pem- bacanya: “Apakah kalian tidak memiliki akal—yang bisa berpikir—se- hingga dapat memahami betapa buruknya perilaku gibah ini?”.

    Dalam kata kedua, yaitu Z ‘suka’, ayat tersebut bermaksud menegur dengan pertanyaan: “Apakah hati kalian—yang merupakan tempat rasa cinta dan benci—telah rusak sehingga mencintai sesuatu yang paling buruk dan menjijikkan?”.

    Dalam kata ketiga, yakni (اَحَدُكُم۟) ‘salah seorang di antara ka- lian’, ayat tersebut bermaksud menegur dengan pertanyaan: “Apa yang telah terjadi dengan kehidupan sosial dan peradaban kalian—yang vitalitasnya bersumber dari vitalitas jamaah—sehingga ia rela dengan suatu perbuatan yang bisa meracuni kehidupan kalian?”.

    Dalam kata keempat, yakni (اَن۟ يَا۟كُلَ لَح۟مَ) ‘memakan daging’, ayat tersebut bermaksud menegur dengan pertanyaan: “Ada apa de- ngan rasa kemanusiaan kalian sehingga kalian tega memangsa teman akrab kalian sendiri?”.

    Dalam kata kelima, yaitu (اَخٖيهِ) ‘saudaranya’, ayat tersebut ber- maksud menegur dengan pertanyaan: “Tidakkah kalian mempunyai belas kasihan terhadap sesama manusia?! Apakah kalian tidak memi- liki hubungan kekerabatan yang mengikat kalian dengan mereka se- hingga kalian tega menerkam saudara kalian—dilihat dari bebera- pa sisi—secara biadab?! Apakah orang yang tega menggigit anggota badannya sendiri bisa dikatakan memiliki akal?! Bukankah orang se- perti itu adalah orang gila?”.

    Dalam kata keenam, yaitu (مَي۟تًا) ‘yang sudah mati’, ayat terse- but bermaksud menegur dengan pertanyaan: “Di mana nurani kalian? Apakah fitrah kalian telah rusak sehingga melakukan tindakan yang paling buruk dan menjijikkan, yaitu memakan daging saudara kalian, padahal mereka adalah orang yang layak kalian hormati?!”.

    Dari ayat yang mulia ini—dan lewat berbagai dalil dalam ungka- pannya yang telah kami sebutkan—dapat dipahami bahwa gibah ada- lah perbuatan yang tercela dilihat dari sudut pandang akal, kalbu, rasa kemanusiaan, perasaan, fitrah, dan hubungan sosial.Renungkan makna ayat mulia di atas dan lihatlah bagaimana ayat tersebut mengutuk perbuatan gibah dalam enam tingkatan de- ngan bahasa yang penuh mukjizat dan sangat ringkas.

    Selanjutnya, di antara ribuan contoh tentang “penetapan” adalah ayat yang berbunyi:“Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Al- lah menghidupkan bumi yang sudah mati. Sesungguhnya (Tuhan yang berkuasa seperti) demikian benar-benar (berkuasa) menghidupkan orang-orang yang telah mati. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. ar-Rûm [30]: 50).Ayat di atas menetapkan kebangkitan dan menghapus keraguan tentangnya dengan penjelasan yang sangat memadai. Hal ini se- bagaimana yang telah kami sebutkan dalam ‘hakikat kesembilan’ dari “Kalimat Kesepuluh” serta pada ‘kilau kelima’ dari “Kalimat Kedua Pu- luh Dua”. Yaitu bahwa setiap kali musim semi tiba, seakan-akan bumi dibangkitkan kembali dengan kemunculan 300 ribu bentuk kebang- kitan secara sangat rapi dan istimewa, padahal ia demikian bercam- pur dan berbaur, sehingga proses menghidupkan dan membangkit- kan tersebut demikian jelas bagi semua yang melihat. Seakan-akan ia berkata, “Dzat yang menghidupkan bumi semacam ini tidak sulit untuk membangkitkan manusia di hari akhir”. Kemudian penulisan ratusan ribu jenis makhluk hidup di atas lembaran bumi lewat pena qudrah tanpa ada yang keliru dan cacat merupakan stempel Dzat Yang Maha Esa. Di samping membuktikan tauhid, ayat itu juga membukti- kan kiamat dan kebangkitan seraya menjelaskan bahwa pengumpulan dan kebangkitan makhluk sangat mudah bagi kekuasaan-Nya. Ia ada- lah sesuatu yang pasti sebagaimana kepastian terbit dan terbenamnya matahari.Selain itu, ayat di atas ketika menjelaskan hakikat yang ada de- ngan redaksi (كَي۟فَ ) ‘bagaimana’, yakni dari sisi cara, maka surah- surah yang lain merinci cara yang dimaksud.

    Misalnya surah Qâf. Ia menegaskan keberadaan kebangkitan dengan penjelasan indah dan cemerlang yang memberikan pelajaran bahwa kedatangan kebang- kitan tidak diragukan seperti kedatangan musim semi. Perhatikan bagaimana al-Qur’an menjawab kaum kafir yang ingkar dan sikap heran mereka terhadap proses menghidupkan tulang-belulang berikut perubahannya menjadi makhluk yang baru.Al-Qur’an berkata:“Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikan dan menghiasinya serta bagaimana langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun? Kami hamparkan bumi dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali (mengingat Allah). Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya. Lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam, juga pohon kur- ma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun. Hal itu untuk menjadi rezeki bagi hamba. Kami hidupkan dengan air tanah yang mati (kering). Seperti itulah terjadinya kebangkitan.” (QS. Qâf [50]: 6-11).Penjelasan di atas mengalir seperti air yang deras. Ia bersinar laksana bintang yang terang. Ia memberi makan dan nutrisi kepada kalbu dengan makanan yang manis dan nikmat laksana kurma. Maka, ia menjadi nutrisi sekaligus makanan yang nikmat.

    Di antara contoh paling tepat tentang ‘penetapan’ adalah ayat berikut:“Yâ sîn. Demi al-Qur’an yang penuh hikmah. Engkau termasuk rasul yang diutus.” (QS. Yâsîn [36]: 1-3).Sumpah di atas menunjukkan bukti dan dalil kerasulan dengan sangat kuat dan jelas sehingga dalam hal kebenaran dan kejujuran ia mencapai tingkat penghormatan. Karenanya, ia menjadi alat sumpah. Dengan petunjuk tersebut, al-Qur’an al-Karim ingin berkata, “Engkau adalah rasul karena di tanganmu terdapat al-Qur’an yang penuh hikmah. Al-Qur’an itu sendiri adalah sesuatu yang haq dan perkataan yang benar. Pasalnya, ia berisi hikmah hakiki dan terdapat stempel kemukjizatan.

    Dari sekian contoh ‘penetapan’ yang menakjubkan adalah ayat al-Qur’an berikut:قَالَ مَن۟ يُح۟يِى ال۟عِظَامَ وَهِىَ رَمٖيمٌ ۝ قُل۟ يُح۟يٖيهَا الَّذٖٓى اَن۟شَاَهَٓا اَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَل۟قٍ عَلٖيمٌ

    “Ia berkata: Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh?” Katakanlah: Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali pertama. Dia Maha mengetahui tentang se- gala makhluk.” (QS. Yâsîn [36]: 78-79).

    Pada contoh ketiga dari ‘hakikat kesembilan’ dalam “Kalimat Kesepuluh” terdapat deskripsi indah tentang persoalan ini, kurang lebih seperti ilustrasi berikut: Seorang pembesar dapat membentuk pasukan besar hanya dalam satu hari. Lalu ada seseorang yang berka- ta, “Orang ini mampu mengumpulkan prajurit yang bertebaran untuk istirahat hanya dengan satu tiupan. Seketika satu batalion berbaris rapi di hadapannya.” Nah wahai manusia jika engkau berkata, “Aku tidak percaya,” maka engkau dapat memahami betapa sikap ingkarmu terse- but sangat mengada-ada.

    Demikian pula dengan Dzat yang mencip- takan jasad seluruh makhluk hidup dari tiada laksana pasukan besar dengan sangat rapi dan penuh hikmah, lalu mengumpulkan semua partikel jasad lewat perintah kun fayakûn pada setiap masa, bahkan pada setiap musim semi, di seluruh permukaan bumi, kemudian Dia menghadirkan ratusan ribu contoh makhluk hidup sejenis, sudah pas- ti Dzat Mahakuasa dan Maha Mengetahui yang melakukan semua itu tidak sulit untuk mengumpulkan partikel-partikel dasar dan bagian utama dalam satu sistem tubuh laksana pasukan besar yang rapi hanya dengan tiupan malaikat Israfil. Sikap tidak percaya kepada kemam- puan Dzat Yang Mahakuasa dan Maha Mengetahui itu tentu merupa- kan sikap tidak waras.

    Dalam hal ‘petunjuk dan bimbingan’, maka penjelasan al-Qur’an sangat efektif, mulia, dan halus sehingga membuat jiwa dipenuhi oleh rasa rindu, akal dipenuhi oleh keingintahuan, serta membuat mata berlinang.

    Dari sekian ribu contoh yang ada, kita ambil ayat berikut:“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang men- jadi sumber aliran sungai, di antaranya ada yang terbelah lalu keluarlah mata air darinya, serta di antaranya ada yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah. Allah sekali-sekali tidak lengah terhadap apa yang kalian kerjakan.” (QS. al-Baqarah [2]: 74).

    Seperti telah kami jelaskan dalam pembahasan ayat ketiga dari ‘kedudukan pertama’ dalam “Kalimat Kedua Puluh”, ayat di atas ber- bicara kepada Bani Israil: “Apa yang terjadi pada kalian wahai Bani Israil sehingga tidak peduli dengan semua mukjizat Musa . Mata kalian kering; tak bisa menangis. Kalbu kalian kesat dan keras; tak ada rasa rindu. Padahal, batu yang keras saja bisa mengeluarkan air dari dua belas mata air dengan satu kali pukulan tongkat Musa . Ini merupakan salah satu dari sekian banyak mukjizat yang ia miliki”. Kita cukupkan sampai di sini dan untuk mendapatkan penjela- san yang lebih rinci, silakan merujuk kepada “kalimat” tersebut. Di dalamnya terdapat penjelasan yang cukup memadai.

    Terkait dengan ‘pemberian argumen mematikan’ perhatikan dua contoh berikut di antara ribuan contoh yang ada.

    Contoh pertama:وَاِن۟ كُن۟تُم۟ فٖى رَي۟بٍ مِمَّا نَزَّل۟نَا عَلٰى عَب۟دِنَا فَا۟تُوا بِسُورَةٍ مِن۟ مِث۟لِهٖ وَاد۟عُوا شُهَدَٓاءَكُم۟ مِن۟ دُونِ اللّٰهِ اِن۟ كُن۟تُم۟ صَادِقٖينَ

    “Jika kalian (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), datangkan satu surah (saja) yang semisal al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu se- lain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. al-Baqarah [2]: 23). Di sini kami hanya akan memberikan sebuah petunjuk global, sebab hal itu telah kami jelaskan dalam buku Isyârât al-I’jâz. Yaitu bahwa al-Qur’an al-Mu’jizul Bayân berkata,

    “Wahai seluruh jin dan manusia, jika kalian masih ragu bahwa al-Qur’an merupakan ka- lam Allah serta kalian menyangka bahwa ia adalah ucapan manusia, maka marilah menuju medan tantangan. Datangkan al-Qur’an seperti ini yang bersumber dari sosok buta huruf yang tidak tahu baca tulis seperti Muhammad yang kalian sebut ummi.

    Jika kalian tak mampu melakukannya, datangkan dari orang yang tidak buta huruf, ahli re- torika atau berilmu.

    Jika kalian tidak mampu juga, datangkan ia dari sekelompok ahli retorika; bukan hanya dari satu orang. Bahkan kum- pulkan semua orang fasih, ahli pidato, serta karya terbaik generasi ter- dahulu dan bantuan generasi mendatang berikut sekutu kalian selain Allah. Curahkan semua yang kalian miliki sehingga kalian dapat men- datangkan yang sejenis al-Qur’an.

    Jika kalian tidak mampu, datangkan satu kitab yang seperti balagah dan susunan al-Qur’an tanpa melihat berbagai hakikatnya yang agung dan mukjizat maknawiyahnya.”Bahkan al-Qur’an menantang yang lebih rendah daripada itu dengan berkata:

    “Datangkan sepuluh surah semisalnya yang dibuat-buat...” (QS. Hûd [11]: 13).Maksudnya, kebenaran maknanya tidak penting. Ia boleh berisi kebohongan yang dibuat-buat.

    Jika kalian masih tidak mampu, hen- daknya sepuluh surah saja; tidak perlu seluruh al-Qur’an.

    Jika kalian masih tidak mampu, datangkan satu surah saja.

    Jika kalian melihat ini tetap sulit, ia bisa berupa surah yang pendek. Akhirnya, jika kalian lemah tak mampu dan tidak akan mampu meski sangat butuh men- datangkan semisalnya karena kehormatan, kemuliaan, agama, fa- natisme kesukuan, harta, jiwa, dunia, dan akhirat kalian hanya bisa terlindungi dengan mendatangkan semisalnya, Sebab jika tidak, di dunia kehormatan dan agama kalian berada dalam bahaya di samping kehinaan akan menyelimuti kalian dan harta kalian akan musnah, be- lum lagi di akhirat kalian akan menjadi kayu bakar neraka bersama patung kalian

    di mana kalian diputuskan untuk berada di penjara aba- di, maka:“Maka jagalah diri dari neraka yang bahan bakarnya berupa ma- nusia dan bebatuan...” (QS. Al-Baqarah [2]: 24).Jika kalian mengakui ketidakmampuan kalian lewat delapan tingkatan yang ada, maka kalian harus mengetahui bahwa al-Qur’an merupakan mukjizat lewat delapan tingkatan. Kalian bisa beriman ke- padanya atau tetap tidak bergeming sehingga neraka menjadi tempat kalian.

    Setelah mengetahui penjelasan al-Qur’an di atas dan penetapan- nya dalam memberikan argumen mematikan, ucapkanlah, لَي۟سَ بَع۟دَ بَيَانِ ال۟قُر۟اٰنِ بَيَانٌ

    “Benar bahwa tidak ada penjelasan yang mengungguli penjelasan al-Qur’an.”

    Contoh kedua:

    فَذَكِّر۟ فَمَٓا اَن۟تَ بِنِع۟مَتِ رَبِّكَ بِكَاهِنٍ وَلَا مَج۟نُونٍ ۝ اَم۟ يَقُولُونَ شَاعِرٌ نَتَرَبَّصُ بِهٖ رَي۟بَ ال۟مَنُونِ ۝ قُل۟ تَرَبَّصُوا فَاِنّٖى مَعَكُم۟ مِنَ ال۟مُتَرَبِّصٖينَ ۝ اَم۟ تَا۟مُرُهُم۟ اَح۟لَامُهُم۟ بِهٰذَٓا اَم۟ هُم۟ قَو۟مٌ طَاغُونَ ۝ اَم۟ يَقُولُونَ تَقَوَّلَهُ بَل۟ لَا يُؤ۟مِنُونَ ۝ فَل۟يَا۟تُوا بِحَدٖيثٍ مِث۟لِهٖٓ اِن۟ كَانُوا صَادِقٖينَ ۝ اَم۟ خُلِقُوا مِن۟ غَي۟رِ شَى۟ءٍ اَم۟ هُمُ ال۟خَالِقُونَ ۝ اَم۟ خَلَقُوا السَّمٰوَاتِ وَال۟اَر۟ضَ بَل۟ لَا يُوقِنُونَ ۝ اَم۟ عِن۟دَهُم۟ خَزَٓائِنُ رَبِّكَ اَم۟ هُمُ ال۟مُصَي۟طِرُونَ ۝ اَم۟ لَهُم۟ سُلَّمٌ يَس۟تَمِعُونَ فٖيهِ فَل۟يَا۟تِ مُس۟تَمِعُهُم۟ بِسُل۟طَانٍ مُبٖينٍ ۝ اَم۟ لَهُ ال۟بَنَاتُ وَلَكُمُ ال۟بَنُونَ ۝ اَم۟ تَس۟ئَلُهُم۟ اَج۟رًا فَهُم۟ مِن۟ مَغ۟رَمٍ مُث۟قَلُونَ ۝ اَم۟ عِن۟دَهُمُ ال۟غَي۟بُ فَهُم۟ يَك۟تُبُونَ ۝ اَم۟ يُرٖيدُونَ كَي۟دًا فَالَّذٖينَ كَفَرُوا هُمُ ال۟مَكٖيدُونَ ۝ اَم۟ لَهُم۟ اِلٰهٌ غَي۟رُ اللّٰهِ سُب۟حَانَ اللّٰهِ عَمَّا يُش۟رِكُونَ

    Di antara ribuan hakikat yang dikandung oleh ayat-ayat di atas, kami hanya akan menjelaskan sebuah hakikat sebagai contoh dari pemberian argumen yang bisa mematahkan musuh, yaitu sebagai berikut:Ayat-ayat di atas membungkam semua kaum sesat sekaligus menutup dan melenyapkan celah-celah keraguan. Hal itu dengan re- daksi اَم۟ - اَم۟ ‘Ataukah...Ataukah’ sebanyak lima belas tingkatan per- tanyaan retoris (istifhâm inkâri). Tidak ada satupun celah yang men- jadi sandaran kaum sesat kecuali segera ditutup. Tidak satupun tirai yang mereka jadikan tempat bersembunyi kecuali disingkap.

    Tidak satupun kebohongan mereka kecuali dibantah. Setiap bagian darinya membatalkan rangkuman konsep kekufuran yang dibawa oleh kaum kafir. Baik dengan penjelasan singkat atau dengan mendiamkannya, atau mengembalikannya kepada intuisi karena jelas menyimpang, atau dengan memberikan petunjuk umum. Sebab, semua konsep kekufu- ran itu telah terjawab dan disanggah di bagian lain secara rinci.Misalnya:Bagian pertama mengarah kepada ayat yang berbunyi:“Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah pantas baginya...” (QS. Yâsîn [36]: 69). Sementara bagian kelima belas mengarah kepada ayat yang berbunyi:“Andaikan di dalamnya terdapat tuhan-tuhan selain Allah, tentu ia akan rusak...” (QS. al-Anbiyâ [21]: 22). Semua bagian atau paragraf juga demikian adanya.Pada pendahuluan ayat di atas berbunyi:

    “Maka peringatkanlah, karena dengan nikmat Tuhanmu engkau (Muhammad) bukanlah seorang tukang tenung dan bukan pula orang gila.” Yakni, sampaikan semua hukum ilahi. Engkau bukan dukun. Se- bab, ucapan dukun dibuat-buat, rancu dan hanya bersifat dugaan. Se- mentara ucapanmu adalah benar dan meyakinkan. Sampaikan hukum ilahi itu. Engkau tidak gila sama sekali. Para musuh sekalipun menga- kui kesempurnaan akalmu.”

    “Ataukah mereka mengatakan: Dia adalah seorang penyair yang kami nantikan kecelakaan menimpanya”.

    Luar biasa! Apakah mere- ka menganggapmu penyair seperti kaum kafir yang awam yang tidak merujuk kepada akal? Ataukah mereka sebenarnya sedang menanti- kan kebinasaan dan kematianmu?! Jawablah mereka, “Tunggulah, aku juga sedang menunggu bersama kalian.” Berbagai hakikatmu yang agung dan cemerlang bersih dari segala khayalan dan hiasan syair.

    “Ataukah mereka diperintah oleh pikiran mereka untuk mengucap- kan tuduhan-tuduhan ini”.

    Atau, mereka enggan mengikutimu seperti para filsuf yang bersandar pada akalnya yang kosong? Di mana mereka berkata, “Cukuplah bagi kami akal pikiran kami.” Padahal justru akal tersebut menyuruh untuk mengikutimu. Apa saja yang kau ucapkan adalah rasional. Namun ia tidak bisa dicapai hanya dengan akal.

    “Ataukah mereka kaum yang melampaui batas?”.

    Atau, sebab dari sikap ingkar mereka karena mereka tidak mau tunduk pada kebenaran seperti kaum tiran yang zalim? Padahal kesudahan dari para tiran yang sombong seperti Fir’aun dan Namrud telah diketahui.

    “Ataukah mereka berkata, ‘Ia (Muhammad) membuat-buatnya’. Sebenarnya mereka tidak beriman”.

    Atau, mereka menuduhmu dengan menganggap al-Qur’an sebagai hasil karyamu seperti yang dikatakan oleh orang-orang munafik pendusta yang tidak memiliki hati nura- ni? Padahal, mereka itulah yang telah memanggilmu dengan sebutan “Muhammad al-Amîn” (yang amanah) karena kejujuranmu. Jadi, me- reka sama sekali tidak ada niat untuk beriman. Jika tidak, hendaklah mereka menemukan hal yang sepadan dengan al-Qur’an dalam karya manusia.

    “Ataukah mereka diciptakan tanpa sesuatupun”.

    Atau, mereka menganggap diri mereka lepas begitu saja, tercipta secara sia-sia tan- pa tujuan dan tugas, serta tidak ada yang mencipta mereka? Apakah mereka mengira alam ini seluruhnya sia-sia seperti yang diyakini oleh para filsuf?! Atau, apakah mata mereka buta? Apakah mereka tidak melihat seluruh alam ini dari ujung ke ujung bagaimana ia terhias de- ngan berbagai hikmah dan sejumlah tujuan, lalu seluruh entitas mulai dari partikel hingga galaksi memiliki tugas-tugas agung dan tunduk kepada perintah ilahi.

    “Ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?”.

    Atau, mereka menganggap bahwa segala sesuatu terbentuk dengan sendiri- nya, tumbuh besar dengan sendirinya, serta seluruh kebutuhannya ter- cipta dengan sendirinya seperti yang dikatakan oleh kalangan materi- alis yang congkak sehingga mereka enggan beriman dan menyembah Allah. Kalau begitu, berarti mereka menganggap diri mereka sendiri sebagai pencipta. Padahal, pencipta sesuatu pada saat yang sama juga harus menciptakan segala sesuatu. Jadi, sikap sombong dan lupa diri membuat mereka demikian bodoh hingga menganggap bahwa sosok yang lemah di hadapan makhluk yang paling lemah—seperti lalat dan mikroba—memiliki kekuasaan mutlak. Selama mereka berpikiran semacam itu dan melupakan sisi kemanusiaannya, berarti mereka le- bih sesat daripada binatang. Bahkan lebih rendah daripada benda mati sekalipun. Jangan pedulikan sikap ingkar mereka. Namun posisikan mereka sebagai bagian dari hewan berbahaya dan materi yang rusak. Jangan hiraukan mereka dan jangan pernah memberikan perhatian kepada mereka.

    “Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Se- benarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan)”.

    Atau, mereka mengingkari wujud Allah  seperti kaum pengingkar yang bodoh yang menyangkal keberadaan Sang Pencipta sehingga mere- ka tidak mau mendengarkan al-Qur’an. Kalau begitu, mereka harus mengingkari pula keberadaan langit dan bumi. Ataukah mereka harus mengaku sebagai penciptanya sehingga menanggalkan akal secara to- tal dan jatuh dalam ketidakwarasan. Sebab, bukti-bukti tauhid demiki- an jelas. Ia dapat dilihat di seluruh penjuru alam sebanyak bintang di langit dan sebanyak bunga di bumi. Semuanya menunjukkan wujud Allah . Dengan demikian, mereka tidak ada niat untuk tunduk kepa- da kebenaran dan keyakinan. Jika tidak, bagaimana mungkin mereka menganggap kitab alam yang besar ini yang setiap hurufnya mengelu- arkan ribuan kitab tidak memiliki penulis. Padahal, mereka mengeta- hui dengan baik bahwa setiap huruf pasti ada yang menulisnya.

    “Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Tuhanmu?”.

    Atau, mereka menafikan kehendak ilahi sebagaimana sikap sebagian filsuf yang sesat. Atau, mereka mengingkari prinsip kenabian sebagaimana sikap penganut Hinduisme sehingga tidak percaya kepadamu. Kalau begitu, mereka harus mengingkari semua jejak hikmah, berbagai tu- juan mulia, keteraturan menakjubkan, berbagai manfaat yang mem- berikan buah, tanda-tanda rahmat yang luas, serta perhatian luar biasa yang terlihat pada semua entitas yang hal itu menunjukkan adanya kehendak ilahi. Mereka juga harus mengingkari semua mukjizat para nabi. Atau, mereka harus berkata, “Perbendaharaan yang mencurah- kan kebaikan atas seluruh makhluk berada di tangan kami”. Mereka memperlihatkan bahwa mereka tidak layak untuk mendapat pesan Tuhan. Jika demikian, jangan meratapi pengingkaran mereka. Allah memang memiliki banyak hewan yang tidak punya akal.

    “Ataukah mereka yang berkuasa?”.

    Atau, mereka menyangka diri mereka sebagai pengawas atas perbuatan Allah? Apa mereka ingin menjadikan Allah  sebagai penanggungjawab seperti kelompok Muktazilah yang memosisikan akal sebagai penguasa. Acuhkan dan abaikan mereka. Sebab, sikap ingkar kaum yang tertipu itu sama sekali tidak berguna.

    “Ataukah mereka mempunyai tangga (ke langit) untuk mende- ngarkan pada tangga itu (hal-hal yang gaib)? Maka hendaklah orang yang mendengarkan di antara mereka mendatangkan suatu keterangan yang nyata”.

    Atau, mereka mengira diri mereka telah menemukan jalan lain menuju alam gaib seperti yang diklaim oleh para dukun yang mengikuti setan dan jin serta seperti para pesulap yang menghadirkan arwah? Atau, mereka mengira diri mereka memiliki tangga menuju langit yang tertutup bagi setan sehingga mereka tidak mau memper- cayai informasi langit yang kau terima. Sikap pengingkaran kaum pe- nipu yang ingkar itu sama dengan tidak ada.

    “Ataukah untuk Allah anak-anak perempuan dan untuk kamu anak-anak laki-laki?”.

    Atau, mereka menisbatkan sekutu kepada Dzat Yang Mahaesa dengan nama akal sepuluh (al`uqûl al-`asyarah) dan pemelihara spesies seperti yang dipahami para filsuf penyembah ber- hala? Atau, mereka menisbatkan sekutu dengan sejenis sifat uluhiyah yang dilekatkan kepada bintang dan malaikat seperti kaum Shabî- iyyûn. Atau, dengan menisbatkan anak kepada Allah  seperti per- kataan kaum ateis dan kelompok sesat? Atau, mereka menisbatkan kepada-Nya anak yang menafikan kemutlakan wujud Dzat Yang Ma- haesa berikut keesaan dan sifat shamadaniyah-Nya, padahal Dia Maha tidak membutuhkan dan Maha Mulia? Atau, mereka menisbatkan sifat feminin kepada malaikat yang menafikan tabiat mereka sebagai makh- luk yang taat beribadah dan terbebas dari dosa (ishmah)? Atau, mere- ka mengira bahwa dengan cara seperti itu mereka menghadirkan para pemberi syafaat untuk diri mereka sehingga tak perlu mengikutimu? Manusia fana yang mengharapkan penolong, yang tercipta da- lam kondisi mencintai dunia hingga mabuk padanya, yang lemah dan membutuhkan keabadian spesiesnya, yang dipersiapkan untuk ber- keturunan sebagai landasan kelangsungan hidup seluruh makhluk, maka menisbatkan sifat berketurunan kepada Dzat yang wujud-Nya bersifat wajib— di mana Dia abadi, azali, tidak berwujud fisik, yang qudrah-Nya tidak bercampur dengan kelemahan, Mahaesa, Maha- agung, dan Maha Mulia—serta menisbatkan anak kepada-Nya, apalagi anak itu berupa sosok yang lemah seperti wanita yang tidak disenangi oleh sikap congkak mereka adalah puncak dari omong kosong, igauan dan ketidakwarasan. Oleh karena itu, kebohongan mereka itu tak perlu disanggah. Engkau tidak perlu mendengarkan mereka dan tidak perlu memedulikan mereka. Sebab, omong kosong orang mabuk dan igauan orang gila tidak perlu didengar.

    “Ataukah kamu meminta upah kepada mereka sehingga mereka dibebani dengan hutang?”.

    Atau, mereka melihat berbagai tugas ubudi- yah yang engkau minta dari mereka merupakan beban yang berat seperti anggapan para pembangkang yang cinta dunia dan terbiasa dengan kehinaan sehingga lari dari tugas tersebut. Tidakkah mereka mengetahui bahwa engkau hanya mengharapkan upah dari Allah. Beratkah mereka bersedekah dari harta yang Allah berikan pada me- reka agar harta itu semakin berkah, agar kaum fakir tidak dengki pada- nya, serta agar pemiliknya tidak didoakan buruk oleh mereka? Apakah berzakat—yang hanya sepuluh persen (10%)(*[7])atau dua koma lima persen (2,5%)(*[8])dari harta yang ada—dianggap berat sehingga mereka lari dari Islam? Penyangkalan mereka tidak penting sehingga tidak per- lu dijawab. Mereka hanya perlu diberi pelajaran, bukan jawaban.

    “Ataukah di sisi mereka terdapat pengetahuan tentang hal gaib, lalu mereka menuliskannya?”.

    Atau, informasi gaib yang engkau terima tidak menarik bagi mereka sehingga mereka mengaku mengetahui hal gaib seperti kaum Buddhis dan rasionalis yang menganggap prasangka sebagai sebuah keyakinan. Apakah mereka memiliki kitab dari alam gaib sehingga berani menolak kitab sucimu yang (isinya) bersumber dari alam gaib? Alam tersebut tidak mungkin tersingkap tabirnya ke- cuali kepada para rasul yang mendapat wahyu dan tak seorangpun yang bisa masuk ke dalamnya sendiri. Sikap ingkar kaum congkak yang melampaui batas itu tidak layak mematahkan semangatmu. Se- bentar lagi berbagai hakikat yang engkau miliki akan menghancurkan ilusi mereka.

    “Ataukah mereka hendak melakukan tipu daya? Sesungguhnya orang-orang yang kafir itulah yang terkena tipu daya”.

    Atau, mereka ingin menjadi seperti kaum munafik yang fitrah dan nurani mereka telah rusak, serta seperti kaum zindik pembuat makar yang menghala- ngi manusia dari jalan hidayah lewat tipu daya sehingga mereka meng- alihkan manusia dari jalan yang benar. Bahkan mereka menyebutmu sebagai dukun, orang gila, dan tukang sihir. Padahal mereka sendiri tidak mempercayai klaim tersebut, apalagi orang lain. Karena itu, ja- ngan Kau hiraukan para pendusta yang menipu itu serta jangan meng- anggap mereka sebagai manusia. Namun teruslah berdakwah di jalan Allah tanpa pernah surut. Mereka hanya menipu diri sendiri serta menimpakan bahaya kepada diri mereka sendiri. Kesuksesan mereka dalam melakukan kerusakan dan tipu daya hanya sementara waktu. Itu hanya istidraj dan makar ilahi.

    “Ataukah mereka mempunyai Tuhan selain Allah. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”.

    Atau, mereka menentangmu dan merasa tidak membutuhkanmu karena merasa ada tuhan selain Allah yang menjadi sandaran mereka seperti kaum Majusi yang mengangkat dua tuhan sebagai pencipta kebaikan dan pencipta keburukan. Atau, seperti para penyembah sebab dan berhala di mana mereka memberi- kan sejenis sifat uluhiyah kepada sebab-sebab tersebut dan menggam- barkannya sebagai tempat sandaran. Mata mereka telah buta sehingga tidak melihat keteraturan yang paling sempurna dan jelas sejelas siang di jagat raya ini serta keharmonisan yang paling indah di dalamnya?!Dengan konsekuensi firman Allah:“Andaikan di dalamnya (langit dan bumi) terdapat tuhan-tuhan selain Allah, tentu tatanan keduanya rusak...” (QS. al-Anbiyâ [21]: 22), jika terdapat dua lurah di satu kelurahan, atau dua gubernur di sebuah provinsi, atau dua presiden di sebuah negara, maka kondisinya tidak akan teratur dan tidak harmonis. Sementara keteraturan dan kerapian yang cermat terlihat jelas mulai dari sayap nyamuk hingga bintang di langit. Jadi, tidak ada tempat bagi sekutu meski hanya seukuran sa- yap nyamuk. Selama mereka masih tidak mau menggunakan akal dan menjauhi logika sehat serta melakukan berbagai hal yang bersebera- ngan dengan nalar dan aksioma, maka sikap ingkar mereka tidak usah mengalihkan perhatianmu dalam memberi peringatan dan petunjuk.

    Demikianlah, ayat-ayat di atas yang merupakan rangkaian ber- bagai hakikat telah kami jelaskan secara umum salah satu saja dari ratusan permata darinya. Yaitu permata yang terkait dengan ‘pembe- rian argumen mematikan’. Andaikan aku memiliki kemampuan untuk menjelaskan sejumlah permata lain darinya, tentu Engkau juga akan berkata, “Ayat-ayat ini merupakan mukjizat itu sendiri.”

    Selanjutnya, penjelasan al-Qur’an terkait dengan ‘pemberian pe- mahaman dan pengajaran’ sungguh luar biasa dan sangat istimewa. Sehingga dengan penjelasan tersebut, orang yang paling awam sekali- pun dapat memahami hakikat paling agung dan paling dalam dengan mudah.

    Ya, al-Qur’an yang terang menunjukkan banyak hakikat tersem- bunyi lalu mengajarkannya kepada masyarakat dengan bahasa yang mudah dan jelas serta dengan penjelasan yang memadai di mana se- suai dengan nalar masyarakat umum, tidak melukai perasaan mereka dan tidak terasa berat bagi mereka. Sebagaimana ketika berbicara de- ngan anak kecil, seseorang akan memergunakan ungkapan yang tepat untuknya. Demikian pula dengan gaya bahasa al-Qur’an yang disebut: “Penyesuaian firman ilahi dengan akal manusia” merupakan pe- san yang turun ke tingkat pemahaman si penerima pesan sehingga orang yang paling awam dapat diberi pemahaman mengenai berbagai hakikat tersembunyi dan rahasia rabbani, di mana hal ini sulit untuk dilakukan oleh para ahli hikmah. Hal itu dilakukan lewat berbagai pe- rumpamaan dan tamsil dalam bentuk yang bermiripan.

    Misalnya firman Allah yang berbunyi:“Tuhan Yang Maha Penyayang bersemayam di atas Arasy.” (QS. Thâhâ [20]: 5).Ayat ini menjelaskan sifat rububiyah ilahi dan tata cara penataan sifat tersebut terhadap sejumlah urusan alam dalam bentuk perumpa- maan atas kedudukan rububiyah dengan penguasa yang bersemayam di tahtanya dan mengatur urusannya.

    Ya, karena al-Qur’an merupakan kalam Tuhan semesta alam, ia turun dari kedudukan rububiyah-Nya yang paling agung di mana mendominasi semua kedudukan lainnya. Ia membimbing orang- orang yang sampai kepada berbagai kedudukan tersebut, menembus 70 ribu tabir, mengarah kepadanya sekaligus menyinarinya. Ia mene- barkan cahayanya kepada ribuan tingkatan orang-orang yang menjadi objek pesannya yang berbeda-beda tingkat pemahaman. Ia mencurahkan limpahan karunianya sepanjang masa yang memiliki potensi yang beraneka ragam. Meskipun berbagai maknanya disebarkan dengan sangat mudah ke berbagai penjuru dan zaman, namun vitalitas dan kesegarannya tetap terpelihara dan tidak kehilangan sedikitpun. Bah- kan, ia tetap indah, halus, dan lembut. Sebagaimana ia menyampaikan sejumlah pelajaran kepada orang awam dengan mudah, hal yang sama juga terjadi pada semua kalangan yang memiliki tingkat pemahaman dan kecerdasan yang berbeda-beda. Ia membimbing mereka semua menuju jalan kebenaran dan membuat mereka bisa menerima.Dalam al-Qur’an, ke manapun engkau arahkan pandanganmu, di situ engkau akan menyaksikan kilau kemukjizatan.

    Kesimpulannya, sebagaimana lafal al-Qur’an seperti kata al- hamdulillah ketika dibaca dapat memenuhi goa yang laksana telinga gunung, pada saat yang sama ia juga memenuhi dua telinga kecil milik nyamuk. Lafal yang sama terdengar pada keduanya. Demikian pula dengan berbagai makna al-Qur’an. Sebagaimana ia memuaskan akal para pembesar, ia juga bisa memberikan pemahaman kepada akal yang kecil dan sederhana. Dengan kata yang sama, ia membuat akal mereka merasa puas. Hal itu karena al-Qur’an mengajak seluruh lapisan jin dan manusia untuk beriman. Ia mengajarkan ilmu keimanan kepada seluruh jin dan manusia sekaligus membuktikannya. Oleh karena itu, orang yang paling dungu dari kalangan awam bisa mendengar pela- jaran dan bimbingan al-Qur’an bersama-sama dengan kalangan yang paling khawas.

    Dengan kata lain, al-Qur’an al-Karim merupakan hidangan la- ngit yang di dalamnya ribuan tingkat pemikiran, akal, kalbu, dan jiwa bisa menemukan makanan mereka. Masing-masing sesuai dengan selera dan kebutuhan. Bahkan banyak dari pintu al-Qur’an yang tetap tertutup agar bisa dibuka pada waktu mendatang.Jika engkau ingin melihat buktinya, seluruh isi al-Qur’an dari awal hingga akhir berisi berbagai contoh tentang hal tersebut.

    Ya, para mujtahid, kalangan shiddîqîn, ahli hikmah, ulama muhaqqiqîn dan mu- daqqiqîn, ulama ushul fikih, ahli kalam, para wali, serta seluruh kaum muslimin secara umum yang memperhatikan petunjuk al-Qur’an, mereka semua sepakat, “Kami menerima pelajaran dalam bentuk terbaik dari al-Qur’an.”

    Kesimpulannya, kilau kemukjizatan al-Qur’an dalam tingkatan ini (pengajaran) bersinar terang sebagaimana dalam seluruh tingkatan lainnya.

    KILAU KEDUA

    Universalitas al-Qur’an yang Luar Biasa

    (Lima Cahaya)

    Cahaya Pertama

    Universalitas yang luar biasa dalam lafalnya.

    Hal ini sangat jelas dalam sejumlah ayat yang disebutkan dalam kalimat-kalimat sebelum- nya. Ya, lafal-lafal al-Qur’an ditempatkan secara tepat di mana setiap klausa, bahkan setiap kata, setiap huruf, dan bahkan diamnya kadang- kala memiliki aspek yang sangat banyak. Masing-masing memberi- kan bagian kepada sang penerima pesan dari beragam pintu yang ada seperti yang disebutkan oleh hadis Nabi x. Setiap ayat memiliki sisi lahir dan batin, awal dan akhir,(*[9])ranting, dahan, dan tujuan.(*[10])

    Misal- nya, ayat yang berbunyi:“Gunung-gunung sebagai pasak.” (QS. an-Naba’ [78]: 7).

    Dari ayat tersebut, orang awam mengambil bagiannya dengan cara melihat gunung laksana pasak yang tertanam di bumi seperti yang terlihat oleh mata. Ia dapat merenungkan berbagai nikmat dan manfaat yang terdapat padanya serta bersyukur kepada Penciptanya.

    Dari ayat di atas, seorang penyair mengambil bagiannya dengan cara mengkhayalkan bumi sebagai daratan yang datar, sementara kubah langit digambarkan sebagai kemah besar berwarna biru yang dipasang di atasnya. Lalu kemah tersebut dihias dengan sejumlah len- tera. Sejumlah gunung tampak memenuhi kaki langit (ufuk). Puncak- nya menyentuh ujung langit. Ia tampak seolah-olah pasak dari kemah besar tadi. Mereka pun merasa kagum dan takjub serta menyucikan Sang Pencipta Yang Mahaagung.

    Dari ayat di atas, seorang sastrawan badui mengambil bagiannya dengan cara menggambarkan permukaan bumi sebagai padang pasir yang luas, sementara pegunungan laksana rangkaian beragam tenda (kemah) yang terbentang untuk berbagai jenis makhluk. Lapisan tanah ibarat penutup pasak-pasak tinggi itu, lalu gunung-gunung tersebut menembusnya dengan ujungnya yang runcing seraya menjadikannya sebagai habitat yang beragam bagi berbagai jenis makhluk. Demikian- lah yang mereka pahami sehingga bersujud kepada Sang Pencipta Yang Mahaagung dengan penuh kekaguman seraya memosisikan makhluk besar (pegunungan) itu sebagai kemah yang dipasang di atas bumi.

    Selanjutnya dari ayat di atas, seorang ahli geografi mengambil bagiannya dengan cara melihat bola bumi laksana kapal yang berlayar mengarungi gelombang lautan udara (angkasa), sementara gunung laksana pilar yang ditancapkan pada kapal tersebut guna menjaga sta- bilitas dan keseimbangannya. Demikianlah yang berada di benak seo- rang ahli geografi. Di hadapan keagungan Penguasa Yang Maha Sem- purna yang telah menjadikan bola bumi yang besar sebagai kapal yang tertata di mana kita dinaikkan di dalamnya untuk berjalan menyu- suri cakrawala, ia berkata, “Mahasuci Engkau. Betapa agung kekua- saan-Mu”.

    Selanjutnya dari ayat di atas, seorang sosiolog dan pemerhati peradaban modern mengambil bagiannya dengan cara memahami bumi laksana tempat tinggal di mana pilar kehidupan tempat tinggal itu berupa keberadaan makhluk hidup. Sementara pilar kehidupan makhluk hidup tersebut berupa air, udara, dan tanah. Kemudian pilar kehidupan ketiganya adalah gunung. Sebab, gunung merupakan tem- pat penampungan air, penyaring udara dengan menyerap gas-gas ber- bahaya, pelindung tanah dengan menahan luapan air laut, sekaligus merupakan tempat penyimpanan berbagai hal yang dibutuhkan ma- nusia. Begitulah ia memahami sehingga ia bersyukur dan menyucikan Sang Pencipta Yang Mahaagung dan Pemurah yang telah menjadikan gunung-gunung besar sebagai pasak dan gudang tempat menyimpan kebutuhan hidup di atas bumi yang menjadi habitat kita.

    Lalu dari ayat di atas, seorang filsuf-naturalis mengambil bagi- annya dengan cara memahami bahwa berbagai perpaduan, gejolak, dan gempa yang terjadi di perut bumi menjadi tenang dan stabil de- ngan keberadaan gunung. Jadi, gunung menjadi sebab stabilitas bumi di seputar sumbu dan porosnya serta membuatnya tidak keluar dari orbitnya. Seolah-olah bumi bernafas lewat celah-celah gunung sehing- ga murkanya menjadi reda. Demikianlah ia memahami dan beriman seraya berkata, “Hikmah hanya milik Allah.”

    Contoh lain:“Langit dan bumi tadinya menyatu kemudian kami membelah keduanya...” (QS. al-Anbiyâ [21: 30). Kata (رَت۟قًا) ‘menyatu’ pada ayat di atas memberitahukan kepada kalangan yang belum terkontaminasi dengan pemikiran filsafat bahwa langit tadinya bening; tidak berawan, dan bumi tandus; tidak ada ke- hidupan di dalamnya. Nah, yang membuka pintu-pintu langit dengan hujan dan menghampar bumi dengan tanaman hijau adalah Dzat yang menciptakan semua makhluk dari air tadi. Seolah-olah terdapat sema- cam pengawinan atau penyerbukan di antara keduanya. Ini semua diatur oleh Dzat Yang Mahakuasa dan Mahaagung yang permukaan bumi baginya laksana kebun kecil dan awan yang menutupi wajah la- ngit merupakan mesin penyiram untuk kebun tadi. Demikianlah yang bisa dipahami olehnya sehingga ia bersujud di hadapan keagungan qudrah-Nya.

    Kata (رَت۟قًا) ‘menyatu’ juga memberitahukan kepada seorang fisikawan bahwa pada awal penciptaan, bumi dan langit adalah dua benda yang tidak berbentuk dan dua adonan segar yang tidak mem- berikan manfaat. Ketika hanya berupa materi yang tidak dihuni oleh makhluk, Sang Pencipta Yang Mahabijak menjadikan keduanya se- bagai hamparan yang indah serta memberi bentuk yang bermanfaat, hiasan yang istiwewa, dan berbagai makhluk yang jumlahnya sangat banyak. Demikianlah yang dipahami olehnya sehingga membuatnya takjub di hadapan luasnya hikmah Allah.

    Kata (رَت۟قًا) menjelaskan kepada para filsuf modern bahwa bola bumi serta seluruh planet yang membentuk tata surya, pada awalnya bercampur dengan matahari dalam bentuk adonan mentah yang be- lum terhampar. Maka Sang Mahakuasa Yang Mahahidup membelah adonan itu serta meletakkan berbagai planet pada tempatnya masing- masing. Matahari di sana, bumi di sini dan seterusnya. Dia hampar- kan bumi dengan tanah, menyiramnya dengan air dari langit (hujan), menyinarinya dengan cahaya dari matahari serta menjadikannya se- bagai tempat tinggal bagi manusia. Begitulah yang dipahami olehnya sehingga ia mengangkat kepala dari kubangan alam seraya berujar, “Aku beriman kepada Allah Yang Satu dan Esa.”

    Contoh lain:“Matahari beredar di tempat peredarannya...” (QS. Yâsîn [36]: 38). Huruf lâm pada kata (لِمُس۟تَقَرٍّ) ‘tempat peredaran’ menunjukkan makna lâm itu sendiri (untuk), makna fî (di), dan makna ilâ (ke atau menuju). Huruf tersebut dipahami oleh kalangan awam dengan mak- na ilâ. Mereka memahami ayat di atas sebagai berikut: Matahari yang memberimu cahaya dan kehangatan berjalan menuju tempat peredarannya dan pada suatu saat ia akan sampai ke- padanya. Pada saat itu, ia tidak akan memberikan manfaat kepada ka- lian. Dengan ini, mereka menyadari nikmat agung yang Allah hadirkan lewat keberadaan matahari. Maka mereka memuji dan menyucikan Tuhan seraya mengucap, “Mahasuci Allah dan segala puji bagi-Nya.”

    Ayat yang sama juga memperlihatkan huruf lâm dengan mak- na ilâ (menuju) kepada seorang yang berilmu. Hanya saja di sini, ma- tahari tidak diartikan sebagai sumber cahaya semata. Namun sebagai kumparan yang melahirkan sejumlah kreasi ilahi yang dirangkai pada pabrik musim semi dan panas. Juga, sebagai tinta cahaya bagi pesan Ilahi yang ditulis di atas lembaran malam dan siang. Inilah yang ter- dapat di benaknya. Ia mencermati tatanan alam yang menakjubkan yang ditunjukkan oleh peredaran matahari secara lahiriah. Maka ia pun tunduk bersujud di hadapan Sang Pencipta Yang Mahabijak se- raya mengucap, “Masyâ Allah” untuk kreasi-Nya dan “Bârakallah” un- tuk hikmah-Nya.

    Sementara bagi astronom, huruf lâm dipahami dengan makna fî (di). Artinya, matahari mengatur gerakan sistem tata surya—laksana pegas jam—dengan cara berotasi (berputar pada porosnya). Di hada- pan Sang Pencipta Yang Mahaagung yang telah menciptakan benda laksana jam besar ini ia tercengang dan kagum seraya berkata, “Kea- gungan dan kekuasaan ini hanya milik Allah.” Ia meninggalkan filsafat dan masuk ke wilayah hikmah al-Qur’an.

    Huruf lâm di atas dipahami oleh seorang alim yang bijak dengan makna ‘sebab’ atau huruf yang menunjukkan situasi dan kondisi. Arti- nya, Sang Pencipta Yang Mahabijak menjadikan berbagai sebab lahi- riah sebagai tirai bagi berbagai urusan-Nya. Dia mengaitkan berbagai planet dengan matahari lewat hukum-Nya yang disebut gravitasi. De- ngan hukum tersebut, Dia menjalankan berbagai planet lewat berbagai gerakan namun tetap tertata rapi. Dia membuat matahari berotasi se- bagai sebab lahiriah untuk melahirkan gaya gravitasi tersebut. Dengan kata lain, makna (لِمُس۟تَقَرٍّ) adalah bahwa matahari berputar di tem- patnya (berotasi) agar sistem tata surya berjalan dengan stabil.

    Sebab, rotasi matahari melahirkan panas, sementara panas melahirkan energi, lalu energi tadi melahirkan gravitasi. Itulah hukum dan sunnah ilahi.Demikianlah, seorang bijak memahami hikmah dari huruf al- Qur’an seperti di atas seraya berkata, “Segala puji milik Allah. Hikmah yang benar terdapat dalam al-Qur’an. Karena itu, menurutku filsafat tidak lagi berarti apa-apa.”

    Huruf lâm dan kata “al-Istiqrâr” dalam ayat memberi- kan gambaran kepada orang yang memiliki akal sehat dan kalbu yang sensitif bahwa matahari merupakan pohon bercahaya dan planet yang berada di sekitarnya adalah buahnya yang sedang beredar. Berbeda dengan pohon lain, matahari ikut bergerak agar buahnya tidak ber- jatuhan atau berserakan. Matahari juga dapat digambarkan sebagai pimpinan dalam sebuah majelis zikir. Ia berzikir kepada Allah dalam pusat majelis tersebut dalam kondisi penuh cinta dan rindu hingga memberikan daya tarik kepada yang lain.Dalam risalah yang lain aku pernah memberikan penjelasan yang maknanya sebagai berikut:

    Ya, matahari berbuah. Ia bergerak agar buahnya yang baik tidak berjatuhan.

    Andaikata ia diam; tak ber- gerak, tentu akan kehilangan daya tarik sehingga para pecinta yang terdapat di angkasa yang luas itu bisa berjatuhan.

    “Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. al-A’râf [7]:157).Dalam ayat di atas terdapat “simplifikasi kata” dan makna mutlak. Sebab, tidak ditentukan dengan apa mereka beruntung. Sehing- ga masing-masing bisa mendapatkan keinginannya di dalam “kata” tersebut. Redaksi ayat di atas sengaja dipersingkat agar maknanya luas. Pasalnya, sebagian menginginkan selamat dari api neraka. Sebagian lagi hanya memikirkan surga. Sebagian lainnya mendambakan keba- hagiaan abadi. Sebagian mengharap rida ilahi semata. Lalu sebagian ingin melihat Allah . Begitulah seterusnya. Al-Qur’an membiarkan redaksinya bersifat mutlak agar memberikan makna yang bersifat umum. Ia menyingkat agar mengandung banyak makna. Ia juga me- ringkas agar setiap orang bisa mendapatkan bagian darinya.

    Jadi, kata (اَل۟مُف۟لِحُونَ) ‘orang-orang yang beruntung’ tidak menen- tukan dengan apa mereka akan beruntung. Dengan adanya simplifikasi kata, seakan-akan ayat tersebut berkata, “Wahai umat Islam, bergembi- ralah! Wahai yang bertakwa, engkau akan selamat dari neraka. Wahai hamba yang saleh, keberuntunganmu terdapat di surga. Wahai orang yang arif, engkau akan mendapat rida-Nya. Wahai pecinta keindahan Allah, engkau akan bisa melihat-Nya”. Demikian seterusnya.

    Contoh lain:Kami telah mengemukakan satu contoh dari sisi universalitas la- fal, klausa, kata, huruf, dan simplifikasi yang terdapat dalam al-Qur’an di antara ribuan contoh yang ada. Anda bisa menganalogikan penjela- san yang telah kami kemukakan dengan ayat dan kisah lainnya.

    Contoh:“Ketahuilah tiada Tuhan selain Allah dan mohon ampunlah atas dosamu...” (QS. Muhammad [47]: 19). Ayat di atas memiliki banyak aspek dan kedudukan sehingga semua tingkatan wali dalam sarana suluk dan derajat mereka yang berbeda-beda membutuhkan ayat ini. Masing-masing mereka dapat mengambil nutrisi spiritual yang sesuai dengan tingkatannya karena lafal jalâlah (اللّٰهُ) merupakan nama yang mencakup seluruh Asmaul Husna. Di dalamnya terdapat berbagai jenis tauhid sesuai dengan jum- lah nama itu sendiri.

    Artinya, tidak ada Dzat Pemberi rezeki kecuali Dia. Tidak ada Pencipta kecuali Dia. Tidak ada Yang Maha Pengasih kecuali Dia. Demikian seterusnya.

    Sebagai contoh: Kisah Musa yang termasuk salah satu dari ki- sah-kisah al-Qur’an. Di dalamnya terdapat sejumlah pelajaran sebanyak manfaat yang terdapat pada tongkat Musa. Pasalnya, ia menenangkan dan menghibur Rasul x, memberikan ancaman kepada kaum kafir, menghinakan kaum munafik, mencela bangsa Yahudi, serta berbagai tujuan serupa lainnya. Jadi, ia memiliki banyak aspek. Oleh karena itu, ia terulang dalam sejumlah surah. Meskipun ia mengetengahkan semua tujuan tersebut pada setiap tempat, namun salah satunya me- rupakan maksud utama sementara yang lain bersifat sekunder.

    Barangkali engkau bertanya, “Bagaimana kita dapat memahami bahwa al-Qur’an menghendaki semua makna seperti yang disebutkan dalam berbagai contoh di atas?”

    Jawabannya: Selama al-Qur’an al-Karîm merupakan pesan azali yang Allah jadikan sebagai sarana komunikasi dengan ragam tingka- tan manusia sepanjang masa serta membimbing mereka semua, sudah pasti Dia memasukkan banyak makna agar sejalan dengan tingkat pe- mahaman yang beragam sekaligus memberikan sejumlah tanda atas kehendak-Nya itu.Ya, dalam buku Isyârât al-I’jâz, kami telah menjelaskan sejum- lah makna yang terdapat di sini berikut berbagai makna kosakata al- Qur’an yang sejenis. Kami membuktikannya sesuai dengan kaidah ilmu gramatika serta sesuai dengan ketentuan ilmu bayan, seman- tik dan retorika.

    Di samping itu, semua aspek dan makna yang sah menurut ilmu Bahasa Arab, benar menurut ilmu ushuluddin, sejalan dengan kaidah semantik, sesuai dengan ilmu bayan, dan dianggap baik dalam ilmu retorika (balagah), semuanya termasuk makna al-Qur’an. Hal itu didukung oleh kesepakatan para mujtahid, mufassir, ulama ushuluddin dan ushul fikih serta lewat kesaksian sudut pandang me- reka yang berbeda-beda.Al-Qur’an al-Karîm telah memberikan sejumlah petunjuk atas setiap makna tersebut sesuai dengan tingkatannya. Ia bisa bersifat ver- bal dan non-verbal (maknawi). Petunjuk yang bersifat non-verbal bisa dilihat dari sisi konteks atau lewat petunjuk dari ayat lain yang men- jelaskannya. Ratusan ribu buku tafsir di mana ada di antaranya yang mencapai delapan puluh jilid(*[11])menjadi petunjuk yang kuat dan ce- merlang atas universalitas dan keluarbiasaan redaksi al-Qur’an.Bagaimanapun, andaikan dalam kalimat ini setiap isyarat yang menunjukkan kepada setiap maknanya dijelaskan dengan kaidah yang ada, tentu pembahasannya akan panjang. Karena itu, kita cukupkan sampai di sini dan anda bisa merujuk kepada buku Isyârat al-I’jâz fî Mazhân al-Îjâz.

    Cahaya Kedua

    Universalitas yang luar biasa dalam maknanya.

    Ya, lewat ber- bagai maknanya yang agung, al-Qur’an telah menyediakan limpahan sumber rujukan bagi semua mujtahid, rasa bagi seluruh kaum arif, jalan bagi seluruh kaum yang mencapai tingkat makrifat, sarana bagi seluruh kalangan yang sempurna, serta mazhab bagi semua ahli haki- kat. Di samping itu, al-Qur’an menjadi pemandu dan pembimbing bagi mereka pada setiap waktu dalam menapaki tangga spiritual, sekaligus menjadi penebar cahaya terang di atas jalan mereka dari khazanahnya yang tidak pernah habis, sebagaimana hal itu telah diakui dan disepa- kati oleh mereka.

    Cahaya Ketiga

    Universalitas yang luar biasa dalam ilmunya.

    Ya, di samping mengalirkan ilmu syariat yang sangat beragam, ilmu hakikat yang beraneka macam, dan ilmu tarekat yang tak terbatas dari lautan ilmu- nya, al-Qur’an al-Karîm juga mengalirkan secara melimpah dari lau- tan tersebut hikmah hakiki dari wilayah yang bersifat mungkin, ilmu hakiki dari wilayah wâjibul-wujûd, serta berbagai pengetahuan ten- tang negeri akhirat yang penuh rahasia. Jika kita ingin mengetengah- kan contoh dari cahaya ini, maka dibutuhkan tulisan satu jilid penuh. Karena itu, kami hanya menjelaskan dua puluh lima kalimat yang telah dibahas sebelumnya.Ya, berbagai hakikat yang benar dari kedua puluh kalimat itu ti- dak lain merupakan dua puluh lima tetes dari lautan ilmu al-Qur’an. Jika terdapat kekurangan pada ‘kalimat-kalimat’ tersebut, maka hal itu kembali kepada pemahamanku yang terbatas.

    Cahaya Keempat

    Universalitas yang luar biasa dalam pembahasannya.

    Ya, al- Qur’an telah mengumpulkan berbagai bahasan universal yang terkait dengan manusia dan tugasnya, alam dan Penciptanya, bumi dan la- ngit, dunia dan akhirat, masa lalu dan masa depan, serta azali dan aba- di. Di samping itu, ia juga memuat bahasan penting dan fundamental mulai dari penciptaan manusia dari nutfah hingga masuk ke dalam kubur; dari adab makan dan tidur hingga bahasan tentang qadha dan qadar; dari penciptaan alam dalam enam hari hingga berbagai tugas hembusan angin seperti yang ditunjukkan oleh sumpah dalam surah al-Mursalât [77] ayat 1:

    “Demi angin yang dikirim (untuk membawa kebaikan)” dan da- lam surah al-Dzâriyât [51] ayat 1:“Demi angin yang menebarkan debu.”Lalu, dari keikutsertaan Allah dalam kalbu dan kehendak manu- sia lewat petunjuk ayat-ayat berikut:“Kalian tidak berkehendak kecuali apa yang Allah kehendaki...”(QS. at-Takwîr [81]: 29),“Dia membatasi antara seseorang dan kalbunya...” (QS. al-Anfâl [8]: 24), hingga ayat yang berbunyi:“Langit terlipat di tangan kanan-Nya…” (QS. az-Zumar [39]: 67). Kemudian, dari ayat:“Kami jadikan di dalamnya sejumlah kebun dari kurma dan ang- gur...” (QS. Yâsîn [36]: 34), hingga hakikat menakjubkan yang dijelas- kan oleh ayat berikut:“Ketika bumi digoncangkan dengan segoncang-goncangnya.” (QS. az-Zalzalah [99]: 1).Selanjutnya, dari kondisi langit dalam ayat:“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit yang masih merupakan asap...” (QS. Fushshilat [41]: 11) hingga terbelahnya langit, pudarnya bintang serta bagaimana ia tersebar di angkasa yang tak ter- batas; dari terbukanya dunia untuk ujian hingga akhir ujian itu sendiri; dari kubur yang merupakan tingkatan akhirat pertama serta barzakh, kebangkitan, dan shirat hingga surga dan kebahagiaan abadi; dari berbagai kejadian masa lalu mulai penciptaan Adam  dan perse- teruan kedua anaknya hingga badai, kebinasaan Fir’aun serta berbagai peristiwa besar yang terjadi pada sebagian besar nabi; dari peristiwa azali dalam ayat:“Bukankah Aku Tuhan kalian...” (QS. al-A’râf [7]: 172), hingga ayat yang berbunyi:“Sejumlah wajah pada hari itu ceria di mana ia melihat kepada Tuhannya” (QS. al-Qiyâmah [75]: 22-23) yang mengisyaratkan makna keabadian.Semua bahasan mendasar dan penting di atas dijelaskan dalam al-Qur’an secara gamblang sesuai dengan Dzat Allah Yang Mahamulia Yang menata seluruh alam laksana sebuah istana; Yang dengan mudah membuka dunia dan akhirat laksana dua kamar yang salah satunya di- buka sementara yang lain ditutup; Yang mengurus bumi sebagaimana mengurus sebuah kebun kecil dan mengatur langit seperti mengatur atap yang berhias lampu; Yang memantau masa lalu dan masa men- datang laksana dua halaman yang hadir di hadapan penyaksian-Nya seperti malam dan siang; Yang menyaksikan zaman azali dan abadi laksana hari ini dan kemarin; serta Yang menyaksikan keduanya se- perti masa kini dimana kedua sisi rangkaian sifat ilahi bersambung di dalamnya.

    Sebagaimana seorang arsitek berbicara tentang kedua bangunan dan pengelolaannya yang ia bangun serta membuat lembaran kerja dan daftar sistem untuk berbagai pekerjaan yang terkait dengannya. Al-Qur’an juga merupakan kalam penjelasan yang sesuai dengan Dzat yang mencipta dan menata alam di mana Dia menuliskan sekaligus memperlihatkan—kalau boleh dikatakan—lembaran kerja dan daftar program-Nya. Di dalamnya (al-Qur’an) tidak ada jejak yang menun- jukkan adanya tindakan dibuat-buat atau kepura-puraan, juga tidak ada indikasi yang mengisyaratkan adanya perbuatan meniru ucapan siapapun, serta tidak ada petunjuk yang mengindikasikan adanya in- versi (keterbalikan posisi), dan bentuk penipuan sejenisnya. Namun dengan segala keseriusannya, dengan segala ketulusannya, dan de- ngan segala kesungguhannya, ia demikian murni, berkilau, terang, dan bercahaya. Sebagaimana sinar matahari berucap, “Aku berasal dari matahari,” al-Qur’an juga berkata, “Aku adalah kalam dan penjelasan Sang Pencipta semesta alam.”

    Ya, Dzat yang telah memperindah dunia, yang menghiasnya dengan sejumlah kreasi bernilai, yang memenuhinya dengan berbagai nikmat yang baik dan mengundang selera, serta yang menebarkan di permukaan bumi beragam makhluk menakjubkan dan anugerah berharga dengan sangat rapi, sesuai dan teratur adalah Sang Pencipta Yang Mahaagung dan Pemberi nikmat yang dermawan. Adakah se- lain-Nya yang layak menjadi pemilik bayan al-Qur’an di mana ia telah memenuhi dunia dengan penghormatan, apresiasi, kekaguman, pujian dan rasa syukur sehingga menjadikan bumi sebagai pusat zikir dan tahlil, masjid tempat menyebut nama Allah, serta galeri berbagai krea- si ilahi?! Adakah selain-Nya yang menjadi pemilik kalam ini? Siapa yang dapat mengaku sebagai pemiliknya?

    Layakkah sinar yang memenuhi dunia dengan cahaya terang disandarkan kepada selain matahari?! Bayan atau penjelasan al-Qur’an yang menyingkap misteri alam sekaligus meneranginya, mungkinkah merupakan cahaya selain Dzat yang merupakan Mentari azali? Siapa yang berani meniru dan membuat yang semisalnya? Ya, Sang Pencipta yang menghias dunia dengan kreasi-Nya yang menakjubkan mustahil tidak berbicara dengan manusia yang terce- ngang melihat kreasi dan ciptaan-Nya. Selama Dia berbuat dan me- ngetahui, tentu Dia berbicara. Selama Dia berbicara, tentu saja pem- bicaraan-Nya berupa al-Qur’an. Pemilik kekuasaan yang memiliki perhatian terhadap penataan bunga kecil, bagaimana mungkin tidak peduli dengan kalam yang mengubah kerajaannya menjadi tempat zikir dan tahlil yang penuh daya tarik. Mungkinkah Dia menurunkan derajat kalam tersebut dengan menisbatkan kepada selain-Nya?!

    Cahaya Kelima

    Universalitas luar biasa dalam gaya bahasa dan bentuknya yang ringkas.

    Dalam cahaya ini terdapat lima sinar:

    Sinar Pertama: Gaya bahasa al-Qur’an memiliki universalitas yang menakjubkan, sehingga satu surah saja mencakup lautan al- Qur’an yang agung yang meliputi seluruh alam. Serta sebuah ayat ber- isi khazanah surah tersebut. Sebagian besar ayat masing-masingnya seperti sebuah surah kecil. Sebagian besar surah masing-masingnya seperti al-Qur’an kecil.(*[12])Dari simplifikasi yang penuh kemukjiza- tan itulah muncul kelembutan petunjuk dan kemudahan yang indah.

    Sebab, meskipun setiap manusia butuh membacanya setiap waktu kadangkala ia tidak berkesempatan untuk membacanya. Entah karena bodoh, kurang paham, atau karena sebab lainnya. Nah, agar orang- orang yang tidak bisa membaca al-Qur’an secara keseluruhan tidak terhalang dari al-Qur’an, maka setiap surah laksana satu al-Qur’an ke- cil. Bahkan setiap ayat yang panjang berposisi seperti sebuah surah pendek. Bahkan kalangan ahli kasyaf sepakat bahwa al-Qur’an terletak pada surah al-Fatihah dan al-Fatihah terletak pada basmalah. Dalilnya adalah kesepakatan para ulama ahli tahkik.

    Sinar Kedua:ayat-ayat al-Qur’an dengan sejumah petunjuk dan isyaratnya mencakup berbagai jenis ucapan, pengetahuan hakiki, dan kebutuhan manusia seperti perintah dan larangan, janji dan ancaman, motivasi dan peringatan, bentakan dan bimbingan, kisah dan perum- pamaan, hukum dan makrifat ilahi, ilmu alam, hukum dan rambu ke- hidupan pribadi, kehidupan sosial, kehidupan kalbu, kehidupan spi- ritual, dan kehidupan ukhrawi sehingga tepatlah apa yang dikatakan oleh ahli hakikat: “Ambillah yang kau mau sesuai dengan keinginan- mu.” Artinya, ayat-ayat al-Qur’an berisi sisi universal dan komprehen- sif yang bisa menjadi obat bagi setiap penyakit dan gizi bagi setiap ke- butuhan badan.

    Ya, sepantasnya memang demikian. Sebab, pemandu paling sem- purna yang bersifat mutlak bagi seluruh lapisan ahli kamâl (kalangan sempurna) yang menapaki sejumlah tingkatan menuju ketinggian spiritual, yaitu al-Qur’an, tentu harus menjadi pemilik karakteristik tersebut.

    Sinar Ketiga:Simplifikasi al-Qur’an yang luar biasa.Al-Qur’an kadangkala menyebutkan awal dan akhir dari sebuah rangkaian panjang dengan sangat apik yang memperlihatkan rang- kaian tersebut secara utuh. Kadang ia memasukkan banyak petunjuk dalam satu kata sebagai pernyataan; baik secara eksplisit, implisit, atau simbolik.

    Contoh:“Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya penciptaan langit dan bumi serta perbedaan bahasa dan warna kulit kalian...” (QS. ar-Rûm [30]: 22).Ayat di atas menyebutkan awal dan akhir rangkaian pencipta- an alam. Yaitu rangkaian tanda dan petunjuk tauhid. Kemudian ia menjelaskan rangkaian kedua dengan menjadikan pembaca membaca rangkaian pertama. Yaitu bahwa lembaran alam yang pertama yang menjadi saksi atas keberadaan Sang Pencipta Yang Mahabijak adalah penciptaan langit dan bumi. Selanjutnya penghiasan langit dengan bintang-gemintang dan pemakmuran bumi dengan makhluk hidup, lalu pergantian musim dengan penundukan matahari dan bulan, ser- ta rangkaian sifat dan perbuatan ilahi dalam pergantian siang dan malam. Demikianlah seterusnya secara berangsur-angsur sampai ke- pada pembahasan ciri khusus serta penentuan roman muka dan suara yang merupakan titik penyebaran entitas yang paling banyak.

    Ketika tatanan indah, penuh hikmah, dan mencengangkan akal terlihat, serta ketika karya pena Sang Pencipta Yang Mahabijak tam- pak pada sesuatu yang kelihatannya paling tidak beraturan dan secara lahiriah terlihat seperti hasil dari sebuah proses kebetulan, yaitu ro- man muka dan warna kulit manusia, sudah barang tentu lembaran lain yang aturannya terlihat memberikan pemahaman dan petunjuk atas eksistensi Sang Pembentuk yang menakjubkan.

    Kemudian ketika jejak kreasi dan hikmah terlihat di awal mula penciptaan langit dan bumi di mana Sang Pencipta Yang Mahabijak menjadikannya sebagai batu pertama alam, sudah tentu goresan hik- mah dan jejak kreasi itu terlihat jelas pada seluruh bagian alam. Ayat di atas berisi simplifikasi indah dan menakjubkan dalam memperlihatkan sesuatu yang samar dan menyamarkan sesuatu yang terlihat di mana hal itu diungkapkan dengan ringkas.

    Ya, rangkaian dalil yang dimulai dari:hingga ayat yang berbunyi:di mana di dalamnya kata (وَمِن۟ اٰيَاتِهٖ) ‘Di antara tanda kekuasaan-Nya’terulang sebanyak enam kali merupakan rangkaian permata, rangkaian cahaya, rangkaian kemukjizatan, dan rangkaian simplifikasi yang luar biasa. Hati ini ingin menjelaskan sejumlah permata yang tersembunyi di dalam perbendaharaan (gudang) tersebut. Akan tetapi apa daya, kondisinya tidak memungkinkan. Karena itu, aku tidak membuka pin- tu itu.

    Kutangguhkan persoalan tersebut ke waktu yang lain.Contoh lain:“Utuslah! Yusuf wahai yang jujur” (QS. Yûsuf [12]: 45-46). Antara kata (فَاَر۟سِلُونِ) ‘utuslah!’ dan kata (يُوسُفُ) “Yusuf ” mengandung makna berikut: “Datangilah Yusuf untuk meminta penjela- san tentang mimpi tersebut darinya. Maka mereka mengutusnya.

    اِلٰى يُوسُفَ لِاَس۟تَع۟بَرَ مِن۟هُ الرُّؤ۟يَا فَاَر۟سَلُوهُ فَذَهَبَ اِلَى السِّج۟نِ وَ قَالَ يُوسُفُ

    Ia pun pergi ke penjara dan berkata...” Artinya, ia meringkas lima kalimat dalam satu kalimat saja tanpa merusak kejelasan ayatnya dan tidak mendatangkan kesulitan dalam memahaminya.

    Contoh lain:اَلَّذٖى جَعَلَ لَكُم۟ مِنَ الشَّجَرِ ال۟اَخ۟ضَرِ نَارًا

    Contoh lain:“Yang menjadikan untuk kalian api dari pohon hijau...” (QS. Yâsîn [36]: 80).Dalam rangka menjawab manusia pembangkang yang menen- tang Sang Pencipta dengan ucapannya:“Siapa yang akan menghidupkan tulang-belulang yang sudah han- cur ini?” (QS. Yâsîn [36]: 78), al-Qur’an berkata:“Katakanlah, ‘Dzat Yang menghidupkannya adalah Yang men- ciptakannya pertama kali. Dia Maha Mengetahui semua ciptaan.” (QS. Yâsîn [36]: 79). Ia juga berkata:“Yang menjadikan api dari pohon hijau...” Mahakuasa untuk menghidupkan tulang-belulang yang sudah hancur.Kalimat di atas mengarah kepada adanya klaim atau pernyataan tentang proses menghidupkan dari sejumlah sisi sekaligus membuk- tikannya.

    Sebab, ia memulai dari rangkaian karunia yang Allah beri- kan kepada manusia. Dengan itu, Ia mengingatkan dan menggugah kesadarannya. Namun ia meringkasnya seraya mengarahkannya kepa- da akal karena ia telah merincinya dalam sejumlah ayat lain. Dengan kata lain, Dzat yang memberikan buah dan api dari pohon, rezeki dan biji dari rumput, benih dan tumbuhan dari tanah telah menjadikan bumi sebagai hamparan untuk kalian. Di dalamnya terdapat seluruh rezeki kalian. Dia telah menjadikan alam sebagai istana. Di dalamnya terdapat semua kebutuhan hidup kalian. Karena itu, mungkinkah Dia membiarkan kalian sia-sia sehingga kalian bisa lari dari-Nya dan hi- lang dalam ketiadaan?! Tidak mungkin kalian sia-sia, masuk ke dalam kubur, dan tidur dengan tenang tanpa ditanya tentang amal kalian dan tanpa dihidupkan kembali?!

    Kemudian ia menjelaskan sebuah dalil atas pernyataan terse- but. Dengan kata (اَلشَّجَرِ ال۟اَخ۟ضَرِ ) ‘pohon yang hijau’, ia berujar secara simbolis, “Wahai yang mengingkari kebangkitan! Lihatlah pepohon- an! Dzat yang menghidupkan pepohonan yang jumlahnya tak ter- hingga di musim semi setelah sebelumnya mati dan menjadi seperti tulang-belulang di musim dingin, serta menjadikannya menghijau, bahkan memperlihatkan pada setiap pohon tiga bentuk kebangkitan; pada daun, bunga, dan buah, kekuasaan-Nya tidak dapat diingkari dan kebangkitan sangat mungkin bagi-Nya.

    Selanjutnya ia menunjukkan dalil lain dengan berkata, “Dzat yang mengeluarkan api—yang merupakan materi ringan yang bersifat cahaya—untuk kalian dari pepohonan yang padat, berat, dan gelap, bagaimana mungkin tidak bisa memberikan kehidupan yang halus seperti api serta perasaan seperti cahaya untuk tulang seperti kayu.”

    Setelah itu, ia mengetengahkan dalil lain yang jelas dengan ber- kata, “Dzat yang menghidupkan api dari pepohonan yang dikenal oleh orang badui dengan menggosokkan dua ranting secara bersamaan, lalu mengumpulkan dua sifat yang kontradiktif (basah dan panas) seraya menjadikan salah satunya sebagai tempat tumbuh bagi yang lain, hal itu menunjukkan bahwa segala sesuatu bahkan unsur asli dan penyerta hanya bisa bergerak dengan kekuatan-Nya dan melaksanakan perintah-Nya. Tidak ada yang bergerak sendiri atau sia-sia. Pencipta Yang Mahaagung seperti Dia sangat mungkin menghidupkan manusia dari tanah—di mana sebelumnya Dia telah menciptakannya dari tanah dan mengembalikan padanya. Karena itu, tidak mungkin Dia ditentang hanya dengan membangkang.

    Selanjutnya dengan kata ‘pohon yang hijau’, ia mengingatkan pada pohon Musa  yang sudah dikenal bersama. Secara implisit, ia menyiratkan adanya kesepakatan para nabi bahwa dakwah Muhammad juga sama dengan dakwah Musa  sehingga membuat simplifikasi kata tersebut semakin lembut dan indah.

    Sinar Keempat:Simplifikasi al-Qur’an komprehensif dan menak- jubkan.Kalau diperhatikan secara seksama, akan terlihat dengan jelas bahwa al-Qur’an telah menjelaskan dalam sebuah contoh yang bersifat parsial dan dalam kejadian yang bersifat khusus sejumlah hukum yang bersifat universal, serta berbagai prinsip yang bersifat umum dan pan- jang. Seakan-akan ia menjelaskan lautan yang luas dalam seciduk air.Kami akan memberikan dua contoh dari ribuan contoh yang ada.

    Contoh pertama: Tiga ayat yang kami jelaskan pada kedudukan pertama dari “Kalimat Kedua Puluh”. Yaitu bahwa dengan mengajar- kan seluruh nama kepada Adam , ayat tersebut mengisyaratkan tentang adanya pengajaran seluruh disiplin ilmu yang diberikan ke- pada manusia. Dengan peristiwa sujudnya malaikat kepada Adam  dan keengganan setan untuk sujud, ayat itu menjelaskan bahwa sebagian besar entitas—mulai dari ikan hingga malaikat—ditundukkan untuk manusia, sebagaimana makhluk yang jahat—mulai dari ular hingga setan—tidak mau tunduk bahkan memusuhi manusia.

    Lalu dengan peristiwa penyembelihan sapi betina oleh kaum Musa, ayat terse- but menjelaskan bahwa konsep menyembah sapi telah disembelih dengan pisau Musa.

    Itulah konsep yang sempat berkembang di Mesir, bahkan ia memiliki pengaruh langsung dalam peristiwa al-`Ijl (anak sapi). Selanjutnya, dengan keluarnya air dari celah bebatuan, ayat tersebut menerangkan bahwa lapisan batu karang yang berada di bawah tanah merupakan tempat simpanan air yang membekali tanah dengan kehidupan yang dihadirkan padanya.

    Contoh kedua: kisah Musa diceritakan berulang kali dalam al-Qur’an al-Karîm. Pasalnya, pada setiap kalimatnya dan pada setiap bagiannya terdapat aspek yang memperlihatkan sisi prinsip yang ber- sifat universal.

    Di antaranya, ayat yang berbunyi:“Wahai Haman, buatkanlah untukku sebuah bangunan yang ting- gi...” (QS. Ghâfir [40]: 36).

    Dengan ayat di atas, Fir’aun menyuruh menterinya, “Buatkan untukku tugu yang tinggi agar aku bisa melihat kondisi langit dan mengetahui apakah di sana terdapat Tuhan yang berkuasa seperti yang dikatakan oleh Musa ?!” Dengan kata (صَر۟حًا) ‘bangunan yang ting- gi’, ayat tersebut menjelaskan sebuah prinsip dan tradisi aneh yang berlaku pada keturunan Fir’aun Mesir yang mengaku sebagai Tuhan karena mereka mengingkari Sang Pencipta dan percaya kepada kekua- tan alam materi. Dengan angkuh dan sombong, mereka mengabadi- kan nama-nama mereka. Mereka pun membuat piramida yang terke- nal itu laksana gunung di tengah padang pasir yang tak bergunung agar dengannya mereka bisa dikenal. Mereka juga merawat jenazah mereka dengan cara memumikan seraya meletakkannya di kubur be- sar itu karena mereka meyakini adanya reinkarnasi dan sihir.

    Ayat lainnya berbunyi: “Hari ini Kami selamatkan tubuhmu...” (QS. Yûnus [10]: 92).

    Ucapan di atas ditujukan kepada Fir’aun yang tenggelam. Pada waktu yang sama, ayat tersebut menjelaskan prinsip hidup bagi para Fir’aun seraya mengingatkan pada kematian yang penuh pelajaran. Yaitu adanya pemindahan tubuh jenazah mereka dengan cara memu- mikan dari masa lalu hingga generasi mendatang guna dihamparkan di hadapan mereka sesuai dengan konsep reinkarnasi yang mereka anut. Dengan cara yang menakjubkan, ayat itu juga berisi isyarat gaib bahwa tubuh yang ditemukan pada masa belakangan ini adalah tubuh Fir’aun yang tenggelam. Sebagaimana ia dilemparkan ke pantai di tem- pat ia tenggelam, ia juga akan dilemparkan dari lautan zaman di atas gelombang perjalanan masa menuju pantai masa kini.

    Ayat lain berbunyi:“Mereka menyembelih (membunuh) anak laki-laki kalian dan membiarkan hidup anak perempuan...” (QS. al-Baqarah [2]: 49).

    Dengan peristiwa pembunuhan terhadap anak laki-laki Bani Israil, sementara anak perempuannya dibiarkan hidup pada masa Fir’aun, ayat tersebut menjelaskan pembantaian massal yang dialami bangsa Yahudi di sebagian besar negara pada setiap masa, berikut pe- ran penting yang dimainkan oleh para wanita dan anak-anak perem- puan mereka dalam kebobrokan dan kehancuran moral umat manusia.

    Ayat lain berbunyi:“Engkau akan mendapati orang-orang yang paling rakus terhadap kehidupan...” (QS. al-Baqarah [2]: 96).“Kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahu- di) bersegera membuat dosa, permusuhan, dan memakan yang haram. Sungguh amat buruk apa yang mereka kerjakan itu.” (QS. al-Mâ’idah [5]: 62).“Mereka melakukan kerusakan di muka bumi. Allah tidak menyu- kai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. al-Mâ’idah [5]: 64).“Telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam kitab itu, ‘Se- sungguhnya kalian akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali’...’’ (QS. al-Isrâ [17]: 4).“Janganlah kalian berkeliaran di muka bumi dengan berbuat ke- rusakan.” (QS. al-Baqarah [2]: 60).

    Tamak dan perusak adalah dua sifat yang menjadi karekter bang- sa Yahudi. Keduanya menjadi dua prinsip umum dan penting yang oleh mereka dijadikan sebagai rujukan tindakan makar dan tipu daya dalam kehidupan sosial manusia. Ayat tersebut menerangkan bahwa mereka adalah orang-orang yang merusak tatanan kehidupan sosial manusia dan menyalakan api peperangan antara kaum marjinal dan kaum berada. Yaitu dengan memprovokasi para buruh untuk melawan para pemilik modal. Mereka menjadi sebab pendirian sejumlah bank dengan menjadikan riba dalam bentuk yang berlipat ganda. Mereka mengumpulkan banyak aset dengan segala macam cara rendahan le- wat makar dan tipu daya. Mereka adalah kaum yang juga masuk ke da- lam berbagai organisasi dan perkumpulan yang merusak seraya mem- bantu sejumlah revolusi dan pergolakan. Hal itu sebagai bentuk balas dendam terhadap berbagai bangsa dan pemerintah yang dulu pernah menyiksa dan menganiaya mereka.

    Mesela فَتَمَنَّوُا ال۟مَو۟تَ   

    “Eğer doğru iseniz, mevti isteyiniz. Hiç istemeyeceksiniz.” İşte meclis-i Nebevîde küçük bir cemaatin cüz’î bir hâdise unvanıyla, milel-i insaniye içinde hırs-ı hayat ve havf-ı mematla en meşhur olan millet-i Yehud’un tâ kıyamete kadar lisan-ı halleri, mevti istemeyeceğini ve hayat hırsını bırakmayacağını ifade eder.

    Mesela ضُرِبَت۟ عَلَي۟هِمُ الذِّلَّةُ وَال۟مَس۟كَنَةُ   

    Şu unvanla o milletin mukadderat-ı istikbaliyesini umumî bir surette ifade eder. İşte şu milletin seciyelerinde ve mukadderatında münderic olan şöyle müthiş desatir içindir ki Kur’an, onlara karşı pek şiddetli davranıyor. Dehşetli sille-i te’dib vuruyor.

    İşte şu misallerden kıssa-i Musa aleyhisselâm ve Benî-İsrail’in sair cüzlerini ve sair kıssalarını bu kıssaya kıyas et. Şimdi şu Dördüncü Işık’taki i’cazî lem’a-i îcaz gibi Kur’an’ın basit kelimatlarının ve cüz’î mebhaslarının arkalarında pek çok lemaat-ı i’caziye vardır. Ârife işaret yeter.

    Beşinci Işık: Kur’an’ın makasıd ve mesail, maânî ve esalib ve letaif ve mehasin cihetiyle câmiiyet-i hârikasıdır. Evet, Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan’ın surelerine ve âyetlerine ve hususan surelerin fatihalarına, âyetlerin mebde ve makta’larına dikkat edilse görünüyor ki:

    Belâgatların bütün envaını, fezail-i kelâmiyenin bütün aksamını, ulvi üslupların bütün esnafını, mehasin-i ahlâkıyenin bütün efradını, ulûm-u kevniyenin bütün fezlekelerini, maarif-i İlahiyenin bütün fihristelerini, hayat-ı şahsiye ve içtimaiye-i beşeriyenin bütün nâfi’ düsturlarını ve hikmet-i âliye-i kâinatın bütün nurani kanunlarını cem’etmekle beraber hiçbir müşevveşiyet eseri görünmüyor. Elhak, o kadar ecnas-ı muhtelifeyi bir yerde toplayıp bir münakaşa, bir karışık çıkmamak, kahhar bir nizam-ı i’cazînin işi olabilir.

    Elhak, bütün bu câmiiyet içinde şu intizam ile beraber geçmiş yirmi dört adet Sözlerde izah ve ispat edildiği gibi; cehl-i mürekkebin menşei olan âdiyat perdelerini keskin beyanatıyla yırtmak, âdet perdeleri altında gizli olan hârikulâdeleri çıkarıp göstermek ve dalaletin menbaı olan tabiat tağutunu, bürhanın elmas kılıncıyla parçalamak ve gaflet uykusunun kalın tabakalarını ra’d-misal sayhalarıyla dağıtmak ve felsefe-i beşeriyeyi ve hikmet-i insaniyeyi âciz bırakan kâinatın tılsım-ı muğlakını ve hilkat-i âlemin muamma-yı acibesini fetih ve keşfetmek, elbette hakikatbîn ve gayb-aşina ve hidayet-bahş ve hak-nüma olan Kur’an gibi bir mu’cizekârın hârikulâde işleridir.

    Evet, Kur’an’ın âyetlerine insaf ile dikkat edilse görünüyor ki sair kitaplar gibi bir iki maksadı takip eden tedricî bir fikrin silsilesine benzemiyor. Belki def’î ve âni bir tavrı var ve ilka olunuyor bir gidişatı var ve beraber gelen her bir taifesi müstakil olarak uzak bir yerden ve gayet ciddi ve ehemmiyetli bir muhaberenin tek tek, kısa kısa bir surette geldiğinin nişanı var.

    Evet, kâinatın Hâlık’ından başka kim var ki bu derece kâinat ve Hâlık-ı kâinat’la ciddi alâkadar bir muhabereyi yapabilsin? Hadsiz derece haddinden çıkıp Hâlık-ı Zülcelal’i kendi keyfiyle söyleştirsin, kâinatı doğru olarak konuştursun.

    Evet, Kur’an’da kâinat Sâni’inin pek ciddi ve hakiki ve ulvi ve hak olarak konuşması ve konuşturması görünüyor. Taklidi îma edecek hiçbir emare bulunmuyor. O söyler ve söylettirir. Farz-ı muhal olarak Müseylime gibi hadsiz derece haddinden çıkıp taklitkârane o izzet ve ceberut sahibi olan Hâlık-ı Zülcelal’ini kendi fikriyle konuşturup ve kâinatı onunla konuştursa elbette binler taklit emareleri ve binler sahtekârlık alâmetleri bulunacaktır. Çünkü en pest bir halinde en yüksek tavrı takınanların her haleti taklitçiliğini gösterir. İşte şu hakikati kasem ile ilan eden وَالنَّج۟مِ اِذَا هَوٰى ۝ مَا ضَلَّ صَاحِبُكُم۟ وَمَا غَوٰى ۝ وَمَا يَن۟طِقُ عَنِ ال۟هَوٰى ۝ اِن۟ هُوَ اِلَّا وَح۟ىٌ يُوحٰى ya bak, dikkat et.

    ÜÇÜNCÜ ŞUA

    Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan’ın ihbarat-ı gaybiyesi ve her asırda şebabiyetini muhafaza etmesi ve her tabaka insana muvafık gelmesiyle hasıl olan i’cazdır.

    Şu şuânın üç cilvesi var.

    BİRİNCİ CİLVE

    İhbarat-ı gaybiyesidir.

    Şu cilvenin üç şavkı var.

    Birinci Şavk: Maziye ait ihbarat-ı gaybiyesidir.

    Evet, Kur’an-ı Hakîm bi’l-ittifak ümmi ve emin bir zatın lisanıyla, zaman-ı Âdem’den tâ asr-ı saadete kadar enbiyaların mühim hâlâtını ve ehemmiyetli vukuatını öyle bir tarzda zikrediyor ki Tevrat ve İncil gibi kitapların tasdiki altında gayet kuvvet ve ciddiyetle ihbar ediyor. Kütüb-ü sâlifenin ittifak ettikleri noktalarda muvafakat etmiştir. İhtilaf ettikleri bahislerde, musahhihane hakikat-i vakıayı faslediyor.

    Demek Kur’an’ın nazar-ı gaybbînisi, o Kütüb-ü Sâlifenin umumunun fevkinde ahval-i maziyeyi görüyor ki ittifakî meselelerde musaddıkane onları tezkiye ediyor. İhtilafî meselelerde musahhihane onlara faysal oluyor. Halbuki Kur’an’ın vukuat ve ahval-i maziyeye dair ihbaratı aklî bir iş değil ki akıl ile ihbar edilsin. Belki semâa mütevakkıf nakildir. Nakil ise kıraat ve kitabet ehline mahsustur. Dost ve düşmanın ittifakıyla kıraatsız, kitabetsiz, emanetle maruf, ümmi lakabıyla mevsuf bir zata nüzul ediyor.

    Hem o ahval-i maziyeyi öyle bir surette ihbar eder ki bütün o ahvali görür gibi bahseder. Çünkü uzun bir hâdisenin ukde-i hayatiyesini ve ruhunu alır, maksadına mukaddime yapar. Demek Kur’an’daki fezlekeler, hülâsalar gösteriyor ki bu hülâsa ve fezlekeyi gösteren, bütün maziyi bütün ahvali ile görüyor. Zira bir zatın bir fende veya bir sanatta mütehassıs olduğu; hülâsalı bir sözle, fezlekeli bir sanatçıkla, o şahısların maharet ve melekelerini gösterdiği gibi Kur’an’da zikrolunan vukuatın hülâsaları ve ruhları gösteriyor ki onları söyleyen, bütün vukuatı ihata etmiş, görüyor, tabir caiz ise, bir maharet-i fevkalâde ile ihbar ediyor.

    İkinci Şavk: İstikbale ait ihbarat-ı gaybiyesidir.

    Şu kısım ihbaratın çok envaı var. Birinci kısım, hususidir. Bir kısım ehl-i keşif ve velayete mahsustur.

    Mesela, Muhyiddin-i Arabî   الٓمٓ ۝ غُلِبَتِ الرُّومُ   Suresi’nde pek çok ihbarat-ı gaybiyeyi bulmuştur. İmam-ı Rabbanî, surelerin başındaki mukattaat-ı huruf ile çok muamelat-ı gaybiyenin işaretlerini ve ihbaratını görmüştür ve hâkeza… Ulema-yı bâtın için Kur’an, baştan başa ihbarat-ı gaybiye nevindendir. Biz ise umuma ait olacak bir kısmına işaret edeceğiz. Bunun da pek çok tabakatı var. Yalnız bir tabakadan bahsedeceğiz.

    İşte Kur’an-ı Hakîm, Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâma der: (Hâşiye[13])

    فَاص۟بِر۟ اِنَّ وَع۟دَ اللّٰهِ حَقٌّ  ۝ لَتَد۟خُلُنَّ ال۟مَس۟جِدَ ال۟حَرَامَ اِن۟ شَٓاءَ اللّٰهُ اٰمِنٖينَ مُحَلِّقٖينَ رُؤُسَكُم۟ وَ مُقَصِّرٖينَ لَا تَخَافُونَ ۝هُوَ الَّذٖٓى اَر۟سَلَ رَسُولَهُ بِال۟هُدٰى وَدٖينِ ال۟حَقِّ لِيُظ۟هِرَهُ عَلَى الدّٖينِ كُلِّهٖ ۝ وَهُم۟ مِن۟ بَع۟دِ غَلَبِهِم۟ سَيَغ۟لِبُونَ فٖى بِض۟عِ سِنٖينَ لِلّٰهِ ال۟اَم۟رُ ۝ فَسَتُب۟صِرُ وَيُب۟صِرُونَ بِاَيِّكُمُ ال۟مَف۟تُونُ ۝ اَم۟ يَقُولُونَ شَاعِرٌ نَتَرَبَّصُ بِهٖ رَي۟بَ ال۟مَنُونِ ۝ قُل۟ تَرَبَّصُوا فَاِنّٖى مَعَكُم۟ مِنَ ال۟مُتَرَبِّصٖينَ ۝ وَاللّٰهُ يَع۟صِمُكَ مِنَ النَّاسِ ۝ فَاِن۟ لَم۟ تَف۟عَلُوا وَ لَن۟ تَف۟عَلُوا ۝ وَ لَن۟ يَتَمَنَّو۟هُ اَبَدًا ۝ سَنُرٖيهِم۟ اٰيَاتِنَا فِى ال۟اٰفَاقِ وَفٖٓى اَن۟فُسِهِم۟ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُم۟ اَنَّهُ ال۟حَقُّ ۝ قُل۟ لَئِنِ اج۟تَمَعَتِ ال۟اِن۟سُ وَال۟جِنُّ عَلٰٓى اَن۟ يَا۟تُوا بِمِث۟لِ هٰذَا ال۟قُر۟اٰنِ لَا يَا۟تُونَ بِمِث۟لِهٖ وَلَو۟ كَانَ بَع۟ضُهُم۟ لِبَع۟ضٍ ظَهٖيرًا ۝ يَا۟تِى اللّٰهُ بِقَو۟مٍ يُحِبُّهُم۟ وَيُحِبُّونَهُٓ اَذِلَّةٍ عَلَى ال۟مُؤ۟مِنٖينَ اَعِزَّةٍ عَلَى ال۟كَافِرٖينَ يُجَاهِدُونَ فٖى سَبٖيلِ اللّٰهِ وَلَا يَخَافُونَ لَو۟مَةَ لَٓائِمٍ ۝ وَقُلِ ال۟حَم۟دُ لِلّٰهِ سَيُرٖيكُم۟ اٰيَاتِهٖ فَتَع۟رِفُونَهَا ۝ قُل۟ هُوَ الرَّح۟مٰنُ اٰمَنَّا بِهٖ وَعَلَي۟هِ تَوَكَّل۟نَا فَسَتَع۟لَمُونَ مَن۟ هُوَ فٖى ضَلَالٍ مُبٖينٍ ۝ وَعَدَ اللّٰهُ الَّذٖينَ اٰمَنُوا مِن۟كُم۟ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَس۟تَخ۟لِفَنَّهُم۟ فِى ال۟اَر۟ضِ كَمَا اس۟تَخ۟لَفَ الَّذٖينَ مِن۟ قَب۟لِهِم۟ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُم۟ دٖينَهُمُ الَّذِى ار۟تَضٰى لَهُم۟ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم۟ مِن۟ بَع۟دِ خَو۟فِهِم۟ اَم۟نًا gibi çok âyâtın ifade ettiği ihbarat-ı gaybiyedir ki aynen doğru olarak çıkmıştır. İşte pek çok itirazat ve tenkidata maruz ve en küçük bir hatasından dolayı davasını kaybedecek bir zatın lisanından böyle tereddütsüz, kemal-i ciddiyet ve emniyetle ve kuvvetli bir vüsuku ihsas eden bir tarzda böyle ihbarat-ı gaybiye, kat’iyen gösterir ki o zat, Üstad-ı Ezelî’sinden ders alıyor, sonra söylüyor.

    Üçüncü Şavk: Hakaik-i İlahiyeye ve hakaik-i kevniyeye ve umûr-u uhreviyeye dair ihbarat-ı gaybiyesidir.

    Evet, Kur’an’ın hakaik-i İlahiyeye dair beyanatı ve tılsım-ı kâinatı fethedip ve hilkat-i âlemin muammasını açan beyanat-ı kevniyesi, ihbarat-ı gaybiyenin en mühimmidir. Çünkü o hakaik-i gaybiyeyi hadsiz dalalet yolları içinde istikametle onları gidip bulmak, akl-ı beşerin kârı değildir ve olamaz. Beşerin en dâhî hükemaları o mesailin en küçüğüne akıllarıyla yetişmediği malûmdur.

    Hem Kur’an, gösterdiği o hakaik-i İlahiye ve o hakaik-i kevniyeyi beyandan sonra ve safa-yı kalp ve tezkiye-i nefisten sonra ve ruhun terakkiyatından ve aklın tekemmülünden sonra beşerin ukûlü “Sadakte” deyip o hakaiki kabul eder. Kur’an’a “Bârekellah” der. Bu kısmın, kısmen On Birinci Söz’de izah ve ispatı geçmiştir. Tekrara hâcet kalmamıştır.

    Amma ahval-i uhreviye ve berzahiye ise çendan akl-ı beşer kendi başıyla yetişemiyor, göremiyor. Fakat Kur’an’ın gösterdiği yollar ile onları görmek derecesinde ispat ediyor. Onuncu Söz’de, Kur’an’ın şu ihbarat-ı gaybiyesi ne derece doğru ve hak olduğu izah ve ispat edilmiştir. Ona müracaat et.

    İKİNCİ CİLVE

    Kur’an’ın şebabetidir. Her asırda taze nâzil oluyor gibi tazeliğini, gençliğini muhafaza ediyor.

    Evet Kur’an, bir hutbe-i ezeliye olarak umum asırlardaki umum tabakat-ı beşeriyeye birden hitap ettiği için öyle daimî bir şebabeti bulunmak lâzımdır. Hem de öyle görülmüş ve görünüyor. Hattâ efkârca muhtelif ve istidatça mütebayin asırlardan her asra göre güya o asra mahsus gibi bakar, baktırır ve ders verir. Beşerin âsâr ve kanunları, beşer gibi ihtiyar oluyor, değişiyor, tebdil ediliyor. Fakat Kur’an’ın hükümleri ve kanunları, o kadar sabit ve râsihtir ki asırlar geçtikçe daha ziyade kuvvetini gösteriyor.

    Evet, en ziyade kendine güvenen ve Kur’an’ın sözlerine karşı kulağını kapayan şu asr-ı hazır ve şu asrın ehl-i kitap insanları Kur’an’ın يَٓا اَه۟لَ ال۟كِتَابِ ،  يَٓا اَه۟لَ ال۟كِتَابِ   hitab-ı mürşidanesine o kadar muhtaçtır ki güya o hitap doğrudan doğruya şu asra müteveccihtir ve يَا اَه۟لَ ال۟كِتَابِ   lafzı   يَا اَه۟لَ ال۟مَك۟تَبِ   manasını dahi tazammun eder. Bütün şiddetiyle, bütün tazeliğiyle, bütün şebabetiyle يَٓا اَه۟لَ ال۟كِتَابِ تَعَالَو۟ا اِلٰى كَلِمَةٍ سَوَٓاءٍ بَي۟نَنَا وَ بَي۟نَكُم۟ sayhasını âlemin aktarına savuruyor.

    Mesela şahıslar, cemaatler, muarazasından âciz kaldıkları Kur’an’a karşı; bütün nev-i beşerin ve belki cinnîlerin de netice-i efkârları olan medeniyet-i hazıra, Kur’an’a karşı muaraza vaziyetini almıştır. İ’caz-ı Kur’an’a karşı, sihirleriyle muaraza ediyor. Şimdi, şu müthiş yeni muarazacıya karşı i’caz-ı Kur’an’ı   قُل۟ لَئِنِ اج۟تَمَعَتِ ال۟اِن۟سُ وَال۟جِنُّ   âyetinin davasını ispat etmek için medeniyetin muaraza suretiyle vaz’ettiği esasatı ve desatirini, esasat-ı Kur’aniye ile karşılaştıracağız.

    Birinci derecede: Birinci Söz’den tâ Yirmi Beşinci Söz’e kadar olan muvazeneler ve mizanlar ve o Sözlerin hakikatleri ve başları olan âyetler, iki kere iki dört eder derecesinde medeniyete karşı Kur’an’ın i’cazını ve galebesini ispat eder.

    İkinci derecede: On İkinci Söz’de ispat edildiği gibi bir kısım düsturlarını hülâsa etmektir.

    İşte medeniyet-i hazıra, felsefesiyle hayat-ı içtimaiye-i beşeriyede nokta-i istinadı “kuvvet” kabul eder. Hedefi “menfaat” bilir. Düstur-u hayatı “cidal” tanır. Cemaatlerin rabıtasını “unsuriyet ve menfî milliyet” bilir. Gayesi, hevesat-ı nefsaniyeyi tatmin ve hâcat-ı beşeriyeyi tezyid etmek için bazı “lehviyat”tır.

    Halbuki kuvvetin şe’ni, tecavüzdür. Menfaatin şe’ni, her arzuya kâfi gelmediğinden üstünde boğuşmaktır. Düstur-u cidalin şe’ni, çarpışmaktır. Unsuriyetin şe’ni, başkasını yutmakla beslenmek olduğundan tecavüzdür.

    İşte şu medeniyetin şu düsturlarındandır ki bütün mehasiniyle beraber beşerin yüzde ancak yirmisine bir nevi surî saadet verip seksenini rahatsızlığa, sefalete atmıştır.

    Amma hikmet-i Kur’aniye ise nokta-i istinadı, kuvvet yerine “hakk”ı kabul eder. Gayede, menfaat yerine “fazilet ve rıza-yı İlahî”yi kabul eder. Hayatta, düstur-u cidal yerine “düstur-u teavün”ü esas tutar. Cemaatlerin rabıtalarında, unsuriyet ve milliyet yerine “rabıta-i dinî ve sınıfî ve vatanî” kabul eder. Gayatı, hevesat-ı nefsaniyenin nâmeşru tecavüzatına set çekip ruhu maâliyata teşvik ve hissiyat-ı ulviyesini tatmin etmektir ve insanı kemalât-ı insaniyeye sevk edip insan etmektir.

    Hakkın şe’ni ise ittifaktır. Faziletin şe’ni, tesanüddür. Teavünün şe’ni, birbirinin imdadına yetişmektir. Dinin şe’ni uhuvvettir, incizabdır. Nefs-i emmareyi gemlemekle bağlamak, ruhu kemalâta kamçılamakla serbest bırakmanın şe’ni, saadet-i dâreyndir.

    İşte medeniyet-i hazıra, edyan-ı sâbıka-i semaviyeden, bâhusus Kur’an’ın irşadatından aldığı mehasinle beraber, Kur’an’a karşı böyle hakikat nazarında mağlup düşmüştür.

    Üçüncü derece: Binler mesailinden yalnız numune olarak üç dört meseleyi göstereceğiz. Evet Kur’an’ın düsturları, kanunları, ezelden geldiğinden ebede gidecektir. Medeniyetin kanunları gibi ihtiyar olup ölüme mahkûm değildir. Daima gençtir, kuvvetlidir.

    Mesela, medeniyetin bütün cem’iyat-ı hayriyeleri ile bütün cebbarane şedit inzibat ve nizamatlarıyla, bütün ahlâkî terbiyegâhlarıyla, Kur’an-ı Hakîm’in iki meselesine karşı muaraza edemeyip mağlup düşmüşlerdir. Mesela وَاَقٖيمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ ۝ وَاَحَلَّ اللّٰهُ ال۟بَي۟عَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا Kur’an’ın bu galebe-i i’cazkâranesini bir mukaddime ile beyan edeceğiz. Şöyle ki:

    İşaratü’l-İ’caz’da ispat edildiği gibi bütün ihtilalat-ı beşeriyenin madeni bir kelime olduğu gibi bütün ahlâk-ı seyyienin menbaı dahi bir kelimedir.

    Birinci kelime: “Ben tok olayım, başkası açlıktan ölse bana ne.”

    İkinci kelime: “Sen çalış, ben yiyeyim.”

    Evet, hayat-ı içtimaiye-i beşeriyede havas ve avam, yani zenginler ve fakirler, muvazeneleriyle rahatla yaşarlar. O muvazenenin esası ise: Havas tabakasında merhamet ve şefkat, aşağısında hürmet ve itaattir. Şimdi birinci kelime, havas tabakasını zulme, ahlâksızlığa, merhametsizliğe sevk etmiştir. İkinci kelime, avamı kine, hasede, mübarezeye sevk edip rahat-ı beşeriyeyi birkaç asırdır selbettiği gibi; şu asırda sa’y, sermaye ile mübareze neticesi herkesçe malûm olan Avrupa hâdisat-ı azîmesi meydana geldi.

    İşte medeniyet, bütün cem’iyat-ı hayriye ile ve ahlâkî mektepleriyle ve şedit inzibat ve nizamatıyla, beşerin o iki tabakasını musalaha edemediği gibi hayat-ı beşerin iki müthiş yarasını tedavi edememiştir.

    Kur’an, birinci kelimeyi esasından “vücub-u zekât” ile kal’eder, tedavi eder. İkinci kelimenin esasını “hurmet-i riba” ile kal’edip tedavi eder. Evet, âyet-i Kur’aniye âlem kapısında durup ribaya “Yasaktır!” der. “Kavga kapısını kapamak için banka kapısını kapayınız.” diyerek insanlara ferman eder. Şakirdlerine “Girmeyiniz!” emreder.

    İkinci Esas: Medeniyet, taaddüd-ü ezvacı kabul etmiyor. Kur’an’ın o hükmünü kendine muhalif-i hikmet ve maslahat-ı beşeriyeye münafî telakki eder. Evet, eğer izdivaçtaki hikmet, yalnız kaza-yı şehvet olsa taaddüd bilakis olmalı. Halbuki, hattâ bütün hayvanatın şehadetiyle ve izdivaç eden nebatatın tasdikiyle sabittir ki izdivacın hikmeti ve gayesi, tenasüldür. Kaza-yı şehvet lezzeti ise o vazifeyi gördürmek için rahmet tarafından verilen bir ücret-i cüz’iyedir.

    Madem hikmeten, hakikaten, izdivaç nesil içindir, nev’in bekası içindir. Elbette, bir senede yalnız bir defa tevellüde kabil ve ayın yalnız yarısında kabil-i telakkuh olan ve elli senede yeise düşen bir kadın, ekseri vakitte tâ yüz seneye kadar kabil-i telkîh bir erkeğe kâfi gelmediğinden medeniyet pek çok fahişehaneleri kabul etmeye mecburdur.

    Üçüncü Esas: Muhakemesiz medeniyet, Kur’an kadına sülüs verdiği için âyeti tenkit eder. Halbuki hayat-ı içtimaiyede ekser ahkâm, ekseriyet itibarıyla olduğundan ekseriyet itibarıyla bir kadın, kendini himaye edecek birisini bulur. Erkek ise ona yük olacak ve nafakasını ona bırakacak birisiyle teşrik-i mesai etmeye mecbur olur. İşte bu surette bir kadın, pederinden yarısını alsa kocası noksaniyetini temin eder. Erkek, pederinden iki parça alsa bir parçasını tezevvüc ettiği kadının idaresine verecek, kız kardeşine müsavi gelir. İşte adalet-i Kur’aniye böyle iktiza eder, böyle hükmetmiştir. (Hâşiye[14])

    Dördüncü Esas: Sanem-perestliği şiddetle Kur’an men’ettiği gibi sanem-perestliğin bir nevi taklidi olan suret-perestliği de men’eder. Medeniyet ise suretleri kendi mehasininden sayıp Kur’an’a muaraza etmek istemiş. Halbuki gölgeli gölgesiz suretler, ya bir zulm-ü mütehaccir veya bir riya-yı mütecessid veya bir heves-i mütecessimdir ki beşeri zulme ve riyaya ve hevaya, hevesi kamçılayıp teşvik eder.

    Hem Kur’an merhameten, kadınların hürmetini muhafaza için hayâ perdesini takmasını emreder. Tâ hevesat-ı rezilenin ayağı altında o şefkat madenleri zillet çekmesinler. Âlet-i hevesat, ehemmiyetsiz bir meta hükmüne geçmesinler. (Hâşiye[15]) Medeniyet ise kadınları yuvalarından çıkarıp, perdelerini yırtıp beşeri de baştan çıkarmıştır. Halbuki aile hayatı, kadın-erkek mabeyninde mütekabil hürmet ve muhabbetle devam eder. Halbuki açık saçıklık, samimi hürmet ve muhabbeti izale edip ailevî hayatı zehirlemiştir.

    Hususan suret-perestlik, ahlâkı fena halde sarstığı ve sukut-u ruha sebebiyet verdiği şununla anlaşılır: Nasıl ki merhume ve rahmete muhtaç bir güzel kadın cenazesine nazar-ı şehvet ve hevesle bakmak, ne kadar ahlâkı tahrip eder. Öyle de ölmüş kadınların suretlerine veyahut sağ kadınların küçük cenazeleri hükmünde olan suretlerine heves-perverane bakmak, derinden derine hissiyat-ı ulviye-i insaniyeyi sarsar, tahrip eder.

    İşte şu üç misal gibi binler mesail-i Kur’aniyenin her birisi, saadet-i beşeriyeyi dünyada temine hizmet etmekle beraber hayat-ı ebediyesine de hizmet eder. Sair meseleleri mezkûr meselelere kıyas edebilirsin.

    Nasıl medeniyet-i hazıra, Kur’an’ın hayat-ı içtimaiye-i beşere ait olan düsturlarına karşı mağlup olup Kur’an’ın i’caz-ı manevîsine karşı hakikat noktasında iflas eder. Öyle de medeniyetin ruhu olan felsefe-i Avrupa ve hikmet-i beşeriyeyi, hikmet-i Kur’an’la yirmi beş adet Sözlerde mizanlarla iki hikmetin muvazenesinde, hikmet-i felsefiye âcize ve hikmet-i Kur’aniyenin mu’cize olduğu kat’iyetle ispat edilmiştir. Nasıl ki On Birinci ve On İkinci Sözlerde, hikmet-i felsefiyenin aczi ve iflası; ve hikmet-i Kur’aniyenin i’cazı ve gınası ispat edilmiştir, müracaat edebilirsin.

    Hem nasıl medeniyet-i hazıra, hikmet-i Kur’an’ın ilmî ve amelî i’cazına karşı mağlup oluyor. Öyle de medeniyetin edebiyat ve belâgatı da Kur’an’ın edep ve belâgatına karşı nisbeti: Öksüz bir yetimin muzlim bir hüzün ile ümitsiz ağlayışı hem süflî bir vaziyette sarhoş bir ayyaşın velvele-i gınasının (şarkı demektir) nisbeti ile ulvi bir âşığın muvakkat bir iftiraktan müştakane, ümitkârane bir hüzün ile gınası (şarkısı) hem zafer veya harbe ve ulvi fedakârlıklara sevk etmek için teşvikkârane kasaid-i vataniyeye nisbeti gibidir.

    Çünkü edep ve belâgat, tesir-i üslup itibarıyla ya hüzün verir ya neşe verir. Hüzün ise iki kısımdır: Ya fakdü’l-ahbaptan gelir, yani ahbapsızlıktan, sahipsizlikten gelen karanlıklı bir hüzündür ki dalalet-âlûd, tabiat-perest, gaflet-pîşe olan medeniyetin edebiyatının verdiği hüzündür. İkinci hüzün, firaku’l-ahbaptan gelir, yani ahbap var, firakında müştakane bir hüzün verir. İşte şu hüzün, hidayet-eda, nur-efşan Kur’an’ın verdiği hüzündür.

    Amma neşe ise o da iki kısımdır: Birisi, nefsi hevesatına teşvik eder. O da tiyatrocu, sinemacı, romancı medeniyetin edebiyatının şe’nidir. İkinci neşe, nefsi susturup ruhu, kalbi, aklı, sırrı maâliyata, vatan-ı aslîlerine, makarr-ı ebedîlerine, ahbab-ı uhrevîlerine yetişmek için latîf ve edepli masumane bir teşviktir ki o da cennet ve saadet-i ebediyeye ve rü’yet-i cemalullaha beşeri sevk eden ve şevke getiren Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan’ın verdiği neşedir.

    İşte قُل۟ لَئِنِ اج۟تَمَعَتِ ال۟اِن۟سُ وَال۟جِنُّ عَلٰٓى اَن۟ يَا۟تُوا بِمِث۟لِ هٰذَا ال۟قُر۟اٰنِ لَا يَا۟تُونَ بِمِث۟لِهٖ وَلَو۟ كَانَ بَع۟ضُهُم۟ لِبَع۟ضٍ ظَهٖيرًا ifade ettiği azîm mana ve büyük hakikat, kāsıru’l-fehm olanlarca ve dikkatsizlikle mübalağalı bir belâgat için muhal bir suret zannediliyor. Hâşâ! Mübalağa değil, muhal bir suret değil, ayn-ı hakikat bir belâgat ve mümkün ve vaki bir surettedir.

    O suretin bir vechi şudur ki yani, Kur’an’dan tereşşuh etmeyen ve Kur’an’ın malı olmayan ins ve cinnin bütün güzel sözleri toplansa Kur’an’ı tanzir edemez, demektir. Hem edememiş ki gösterilmiyor.

    İkinci vecih şudur ki cin ve insin hattâ şeytanların netice-i efkârları ve muhassala-i mesaileri olan medeniyet ve hikmet-i felsefe ve edebiyat-ı ecnebiye, Kur’an’ın ahkâm ve hikmet ve belâgatına karşı âciz derekesindedirler, demektir. Nasıl da numunesini gösterdik.

    ÜÇÜNCÜ CİLVE

    Kur’an-ı Hakîm, her asırdaki tabakat-ı beşerin her bir tabakasına güya doğrudan doğruya o tabakaya hususi müteveccihtir, hitap ediyor.

    Evet, bütün benî-Âdem’e bütün tabakatıyla en yüksek ve en dakik ilim olan imana ve en geniş ve nurani fen olan marifetullaha ve en ehemmiyetli ve mütenevvi maarif olan ahkâm-ı İslâmiyeye davet eden, ders veren Kur’an ise her nev’e, her taifeye muvafık gelecek bir ders vermek elzemdir. Halbuki ders birdir, ayrı ayrı değil. Öyle ise aynı derste tabakat bulunmak lâzımdır. Derecata göre her biri, Kur’an’ın perdelerinden bir perdeden hisse-i dersini alır. Şu hakikatin çok numunelerini zikretmişiz. Onlara müracaat edilebilir. Yalnız burada bir iki cüzünün hem yalnız bir iki tabakasının hisse-i fehmine işaret ederiz:

    Mesela لَم۟ يَلِد۟ وَلَم۟ يُولَد۟ ۝ وَلَم۟ يَكُن۟ لَهُ كُفُوًا اَحَدٌ   

    Kesretli tabaka olan avam tabakasının şundan hisse-i fehmi: “Cenab-ı Hak, peder ve veledden ve akrandan ve zevceden münezzehtir.”

    Daha mutavassıt bir tabaka, şundan “İsa aleyhisselâmın ve melâikelerin ve tevellüde mazhar şeylerin uluhiyetini nefyetmektir.” Çünkü muhal bir şeyi nefyetmek, zâhiren faydasız olduğundan belâgatta medar-ı fayda olacak bir lâzım-ı hüküm murad olunur. İşte cismaniyete mahsus veled ve validi nefyetmekten murad ise veled ve validi ve küfvü bulunanların nefy-i uluhiyetleridir ve mabud olmaya lâyık olmadıklarını göstermektir. Şu sırdandır ki Sure-i İhlas herkese hem her vakit fayda verebilir.

    Daha bir parça ileri bir tabakanın hisse-i fehmi: “Cenab-ı Hak mevcudata karşı tevlid ve tevellüdü işmam edecek bütün rabıtalardan münezzehtir. Şerik ve muînden ve hemcinsten müberradır. Belki mevcudata karşı nisbeti, hallakıyettir. “Emr-i kün feyekûn” ile irade-i ezeliyesiyle, ihtiyarıyla icad eder. İcabî ve ıztırarî ve sudûr-u gayr-ı ihtiyarî gibi münafî-i kemal her bir rabıtadan münezzehtir.”

    Daha yüksek bir tabakanın hisse-i fehmi: Cenab-ı Hak ezelîdir, ebedîdir, evvel ve âhirdir. Hiçbir cihette ne zatında, ne sıfâtında, ne ef’alinde naziri, küfvü, şebihi, misli, misali, mesîli yoktur. Yalnız ef’alinde, şuununda teşbihi ifade eden mesel var:   وَ لِلّٰهِ ال۟مَثَلُ ال۟اَع۟لٰى

    Bu tabakata; ârifîn tabakası, ehl-i aşk tabakası, sıddıkîn tabakası gibi ayrı ayrı hisse sahiplerini kıyas edebilirsin.

    İkinci misal: Mesela مَا كَانَ مُحَمَّدٌ اَبَٓا اَحَدٍ مِن۟ رِجَالِكُم۟   

    Tabaka-i ûlânın şundan hisse-i fehmi şudur ki: “Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâmın hizmetkârı veya “veledim” hitabına mazhar olan Zeyd, izzetli zevcesini kendine küfüv bulmadığı için tatlik etmiş. Allah’ın emriyle Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâm almış. Âyet der: “Peygamber size evladım dese risalet cihetiyle söyler. Şahsiyet itibarıyla pederiniz değil ki aldığı kadınlar ona münasip düşmesin.”

    İkinci tabakanın hisse-i fehmi şudur ki: Bir büyük âmir, raiyetine pederane şefkatle bakar. Eğer o âmir, zâhir ve bâtın bir padişah-ı ruhanî olsa o vakit merhameti pederin yüz defa şefkatinden ileri gittiğinden o raiyetin efradı onun hakiki evladı gibi ona peder nazarıyla bakarlar. Peder nazarı, zevc nazarına inkılab edemediğinden, kız nazarı da zevce nazarına kolayca değişmediğinden, efkâr-ı âmmede Peygamber (asm), mü’minlerin kızlarını alması şu sırra uygun gelmediğinden Kur’an der: “Peygamber (asm), merhamet-i İlahiye nazarıyla size şefkat eder, pederane muamele yapar. Risalet namına siz onun evladı gibisiniz. Fakat şahsiyet-i insaniyet itibarıyla pederiniz değildir ki sizden zevce alması münasip düşmesin.”

    Üçüncü kısım şöyle fehmeder ki: Peygamber’e (asm) intisap edip onun kemalâtına istinad ederek onun pederane şefkatine itimat edip kusur ve hatîat etmemelisiniz, demektir. Evet, çoklar var ki büyüklerine ve mürşidlerine itimat edip tembellik eder. Hattâ bazen “Namazımız kılınmış.” der. (Bir kısım Alevîler gibi.)

    Dördüncü Nükte: Bir kısım şu âyetten şöyle bir işaret-i gaybiye fehmeder ki: Peygamber’in (asm) evlad-ı zükûru, rical derecesinde kalmayıp rical olarak nesli, bir hikmete binaen kalmayacaktır. Yalnız “rical” tabirinin ifadesiyle, nisanın pederi olduğunu işaret ettiğinden nisa olarak nesli devam edecektir. Felillahi’l-hamd Hazret-i Fatıma’nın nesl-i mübareği, Hasan ve Hüseyin gibi iki nurani silsilenin bedr-i münevveri, Şems-i Nübüvvet’in manevî ve maddî neslini idame ediyorlar.

    اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَي۟هِ وَ عَلٰى اٰلِهٖ

    (Birinci Şule, üç şuâıyla hitama erdi.)

    İKİNCİ ŞULE

    İkinci Şule’nin üç nuru var.

    BİRİNCİ NUR

    Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan’ın heyet-i mecmuasında raik bir selaset, faik bir selâmet, metin bir tesanüd, muhkem bir tenasüp, cümleleri ve heyetleri mabeyninde kavî bir teavün; ve âyetler ve maksatları mabeyninde ulvi bir tecavüb olduğunu ilm-i beyan ve fenn-i maânî ve beyanînin Zemahşerî, Sekkakî, Abdülkahir-i Cürcanî gibi binlerle dâhî imamların şehadetiyle sabit olduğu halde; o tecavüb ve teavün ve tesanüdü ve selaset ve selâmeti kıracak, bozacak sekiz dokuz mühim esbab bulunurken o esbab bozmaya değil belki selasetine, selâmetine, tesanüdüne kuvvet vermiştir. Yalnız, o esbab bir derece hükmünü icra edip başlarını perde-i nizam ve selasetten çıkarmışlar. Fakat nasıl ki yeknesak, düz bir ağacın gövdesinden bir kısım çıkıntılar, sivricikler çıkar. Lâkin ağacın tenasübünü bozmak için çıkmıyorlar. Belki o ağacın ziynetli tekemmülüne ve cemaline medar olan meyveyi vermek için çıkıyorlar. Aynen bunun gibi şu esbab dahi Kur’an’ın selaset-i nazmına kıymettar manaları ifade için sivri başlarını çıkarıyorlar.

    İşte o Kur’an-ı Mübin, yirmi senede hâcetlerin mevkileri itibarıyla necim necim olarak, müteferrik parça parça nüzul ettiği halde, öyle bir kemal-i tenasübü vardır ki güya bir defada nâzil olmuş gibi bir münasebet gösteriyor.

    Hem o Kur’an, yirmi senede hem muhtelif, mütebayin esbab-ı nüzule göre geldiği halde, tesanüdün kemalini öyle gösteriyor; güya bir sebeb-i vâhidle nüzul etmiştir.

    Hem o Kur’an, mütefavit ve mükerrer suallerin cevabı olarak geldiği halde, nihayet imtizaç ve ittihadı gösteriyor. Güya bir sual-i vâhidin cevabıdır.

    Hem Kur’an mütegayir, müteaddid hâdisatın ahkâmını beyan için geldiği halde, öyle bir kemal-i intizamı gösteriyor ki güya bir hâdise-i vâhidin beyanıdır.

    Hem Kur’an mütehalif, mütenevvi halette hadsiz muhatapların fehimlerine münasip üsluplarda tenezzülat-ı kelâmiye ile nâzil olduğu halde, öyle bir hüsn-ü temasül ve güzel bir selaset gösteriyor ki güya halet birdir, bir derece-i fehimdir; su gibi akar bir selaset gösteriyor.

    Hem o Kur’an mütebaid, müteaddid muhatabîn esnafına müteveccihen mütekellim olduğu halde, öyle bir suhulet-i beyanı, bir cezalet-i nizamı bir vuzuh-u ifhamı var ki güya muhatabı bir sınıftır. Hattâ her bir sınıf zanneder ki bi’l-asale muhatap yalnız kendisidir.

    Hem Kur’an, mütefavit mütederric irşadî bazı gayelere îsal ve hidayet etmek için nâzil olduğu halde, öyle bir kemal-i istikamet, öyle bir dikkat-i muvazenet, öyle bir hüsn-ü intizam vardır ki güya maksat birdir.

    İşte bu esbablar, müşevveşiyetin esbabı iken Kur’an’ın i’caz-ı beyanında, selaset ve tenasübünde istihdam edilmişlerdir. Evet, kalbi sekamsiz, aklı müstakim, vicdanı marazsız, zevki selim her adam Kur’an’ın beyanında güzel bir selaset, rânâ bir tenasüp, hoş bir ahenk, yekta bir fesahat görür. Hem basîresinde selim bir gözü olan görür ki Kur’an’da öyle bir göz vardır ki o göz bütün kâinatı zâhir ve bâtını ile vâzıh, göz önünde bir sahife gibi görür, istediği gibi çevirir, istediği bir tarzda o sahifenin manalarını söyler.

    Şu Birinci Nur’un hakikatini misaller ile tavzih etsek birkaç mücelled lâzım. Öyle ise sair risale-i Arabiyemde ve İşaratü’l-İ’caz’da ve şu yirmi beş adet Sözlerde şu hakikatin ispatına dair olan izahatla iktifa edip misal olarak mecmu-u Kur’an’ı birden gösteriyorum.

    İKİNCİ NURU

    Kur’an-ı Hakîm’in âyetlerinin hâtimelerinde gösterdiği fezlekeler ve esma-i hüsna cihetindeki üslub-u bedîîsinde olan meziyet-i i’caziyeye dairdir.

    İhtar: Şu İkinci Nur’da çok âyetler gelecektir. O âyetler, yalnız İkinci Nur’un misalleri değil belki geçmiş mesail ve şuâların misalleri dahi olurlar. Bunları hakkıyla izah etmek çok uzun gelir. Şimdilik ihtisar ve icmale mecburum. Onun için gayet muhtasar bir tarzda şu sırr-ı azîm-i i’cazın misallerinden olan âyetlere birer işaret edip tafsilatını başka vakte ta’lik ettik.

    İşte Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan, âyetlerin hâtimelerinde galiben bazı fezlekeleri zikreder ki o fezlekeler, ya esma-i hüsnayı veya manalarını tazammun ediyor veyahut aklı tefekküre sevk etmek için akla havale eder veyahut makasıd-ı Kur’aniyeden bir kaide-i külliyeyi tazammun eder ki âyetin tekid ve teyidi için fezlekeler yapar.

    İşte o fezlekelerde Kur’an’ın hikmet-i ulviyesinden bazı işarat ve hidayet-i İlahiyenin âb-ı hayatından bazı reşaşat, i’caz-ı Kur’an’ın berklerinden bazı şerarat vardır. Şimdi pek çok o işarattan yalnız on tanesini icmalen zikrederiz. Hem pek çok misallerinden birer misal ve her bir misalin pek çok hakaikinden yalnız her birinde bir hakikatin meal-i icmalîsine işaret ederiz. Bu on işaretin ekserisi, ekser âyetlerde müctemian beraber bulunup hakiki bir nakş-ı i’cazî teşkil ederler. Hem misal olarak getirdiğimiz âyetlerin ekserisi, ekser işarata misaldir. Biz yalnız her âyetten bir işaret göstereceğiz. Misal getireceğimiz âyetlerden eski Sözlerde bahsi geçenlerin yalnız mealine bir hafif işaret ederiz.

    BİRİNCİ MEZİYET-İ CEZALET

    Kur’an-ı Hakîm, i’cazkâr beyanatıyla Sâni’-i Zülcelal’in ef’al ve eserlerini nazara karşı serer, bast eder. Sonra o âsâr ve ef’alinde esma-i İlahiyeyi istihraç eder veya haşir ve tevhid gibi bir makasıd-ı asliye-i Kur’aniyeyi ispat ediyor.

    Birinci mananın misallerinden mesela هُوَ الَّذٖى خَلَقَ لَكُم۟ مَا فِى ال۟اَر۟ضِ جَمٖيعًا ثُمَّ اس۟تَوٰٓى اِلَى السَّمَٓاءِ فَسَوّٰيهُنَّ سَب۟عَ سَمٰوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَى۟ءٍ عَلٖيمٌ

    İkinci şıkkın misallerinden mesela اَلَم۟ نَج۟عَلِ ال۟اَر۟ضَ مِهَادًا ۝ وَ ال۟جِبَالَ اَو۟تَادًا ۝ وَخَلَق۟نَاكُم۟ اَز۟وَاجًا …اِلٰى اٰخِرِ اِنَّ يَو۟مَ ال۟فَص۟لِ كَانَ مٖيقَاتًا   e kadar…

    Birinci âyette âsârı bast edip bir neticenin, bir mühim maksudun mukaddimatı gibi; ilim ve kudrete, gayat ve nizamatıyla şehadet eden en azîm eserleri serdeder. Alîm ismini istihraç eder. İkinci âyette, Birinci Şule’nin Birinci Şuâ’ının Üçüncü Nokta’sında bir derece izah olunduğu gibi Cenab-ı Hakk’ın büyük ef’alini, azîm âsârını zikrederek neticesinde yevm-i fasl olan haşri, netice olarak zikrediyor.

    İKİNCİ NÜKTE-İ BELÂGAT

    Kur’an, beşerin nazarına sanat-ı İlahiyenin mensucatını açar, gösterir. Sonra fezlekede o mensucatı, esma içinde tayyeder veyahut akla havale eder.

    Birincinin misallerinden mesela قُل۟ مَن۟ يَر۟زُقُكُم۟ مِنَ السَّمَٓاءِ وَال۟اَر۟ضِ اَمَّن۟ يَم۟لِكُ السَّم۟عَ وَال۟اَب۟صَارَ وَمَن۟ يُخ۟رِجُ ال۟حَىَّ مِنَ ال۟مَيِّتِ وَيُخ۟رِجُ ال۟مَيِّتَ مِنَ ال۟حَىِّ وَمَن۟ يُدَبِّرُ ال۟اَم۟رَ فَسَيَقُولُونَ اللّٰهُ فَقُل۟ اَفَلَا تَتَّقُونَ ۝ فَذٰلِكُمُ اللّٰهُ رَبُّكُمُ ال۟حَقُّ

    İşte başta der: “Sema ve zemini, rızkınıza iki hazine gibi müheyya edip oradan yağmuru, buradan hububatı çıkaran kimdir? Allah’tan başka koca sema ve zemini iki mutî hazinedar hükmüne kimse getirebilir mi? Öyle ise şükür ona münhasırdır.”

    İkinci fıkrada der ki: “Sizin azalarınız içinde en kıymettar göz ve kulaklarınızın mâliki kimdir? Hangi tezgâh ve dükkândan aldınız? Bu latîf kıymettar göz ve kulağı verecek ancak Rabb’inizdir. Sizi icad edip terbiye eden odur ki bunları size vermiştir. Öyle ise yalnız Rab odur, Mabud da o olabilir.”

    Üçüncü fıkrada der: “Ölmüş yeri ihya edip yüz binler ölmüş taifeleri ihya eden kimdir? Hak’tan başka ve bütün kâinatın Hâlık’ından başka şu işi kim yapabilir? Elbette o yapar. O ihya eder. Madem Hak’tır, hukuku zayi etmeyecektir. Sizi bir mahkeme-i kübraya gönderecektir. Yeri ihya ettiği gibi sizi de ihya edecektir.”

    Dördüncü fıkrada der: “Bu azîm kâinatı bir saray gibi bir şehir gibi kemal-i intizamla idare edip tedbirini gören, Allah’tan başka kim olabilir? Madem Allah’tan başka olamaz; koca kâinatı bütün ecramıyla gayet kolay idare eden kudret o derece kusursuz, nihayetsizdir ki hiçbir şerik ve iştirake ve muavenet ve yardıma ihtiyacı olamaz. Koca kâinatı idare eden, küçük mahlukatı başka ellere bırakmaz. Demek, ister istemez “Allah” diyeceksiniz.”

    İşte, birinci ve dördüncü fıkra “Allah” der, ikinci fıkra “Rab” der, üçüncü fıkra “El-Hak” der.   فَذٰلِكُمُ اللّٰهُ رَبُّكُمُ ال۟حَقُّ   ne kadar mu’cizane düştüğünü anla. İşte Cenab-ı Hakk’ın azîm tasarrufatını, kudretinin mühim mensucatını zikreder. Sonra da o azîm âsârın, mensucatın destgâhı   فَذٰلِكُمُ اللّٰهُ رَبُّكُمُ ال۟حَقُّ   der. Yani “Hak” “Rab” “Allah” isimlerini zikretmekle o tasarrufat-ı azîmenin menbaını gösterir.

    İkincinin misallerinden:

    اِنَّ فٖى خَل۟قِ السَّمٰوَاتِ وَال۟اَر۟ضِ وَاخ۟تِلَافِ الَّي۟لِ وَالنَّهَارِ وَال۟فُل۟كِ الَّتٖى تَج۟رٖى فِى ال۟بَح۟رِ بِمَا يَن۟فَعُ النَّاسَ وَمَٓا اَن۟زَلَ اللّٰهُ مِنَ السَّمَٓاءِ مِن۟ مَٓاءٍ فَاَح۟يَا بِهِ ال۟اَر۟ضَ بَع۟دَ مَو۟تِهَا وَبَثَّ فٖيهَا مِن۟ كُلِّ دَٓابَّةٍ وَتَص۟رٖيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ ال۟مُسَخَّرِ بَي۟نَ السَّمَٓاءِ وَال۟اَر۟ضِ لَاٰيَاتٍ لِقَو۟مٍ يَع۟قِلُونَ

    İşte Cenab-ı Hakk’ın kemal-i kudretini ve azamet-i rububiyetini gösteren ve vahdaniyetine şehadet eden semavat ve arzın hilkatindeki tecelli-i saltanat-ı uluhiyet; ve gece gündüzün ihtilafındaki tecelli-i rububiyet; ve hayat-ı içtimaiye-i insana en büyük bir vasıta olan gemiyi denizde teshir ile tecelli-i rahmet; ve semadan âb-ı hayatı ölmüş zemine gönderip zemini yüz bin taifeleriyle ihya edip bir mahşer-i acayip suretine getirmekteki tecelli-i azamet-i kudret; ve zeminde hadsiz muhtelif hayvanatı basit bir topraktan halk etmekteki tecelli-i rahmet ve kudret; ve rüzgârları, nebatat ve hayvanatın teneffüs ve telkîhlerine hizmet gibi vezaif-i azîme ile tavzif edip tedbir ve teneffüse salih vaziyete getirmek için tahrik ve idaresindeki tecelli-i rahmet ve hikmet; ve zemin ve âsuman ortasında vasıta-i rahmet olan bulutları bir mahşer-i acayip gibi muallakta toplayıp dağıtmak, bir ordu gibi istirahat ettirip vazife başına davet etmek gibi teshirindeki tecelli-i rububiyet gibi mensucat-ı sanatı ta’dad ettikten sonra aklı, onların hakaikine ve tafsiline sevk edip tefekkür ettirmek için   لَاٰيَاتٍ لِقَو۟مٍ يَع۟قِلُونَ   der. Onunla ukûlü ikaz için akla havale eder.

    ÜÇÜNCÜ MEZİYET-İ CEZALET

    Bazen Kur’an, Cenab-ı Hakk’ın fiillerini tafsil ediyor. Sonra bir fezleke ile icmal eder. Tafsiliyle kanaat verir, icmal ile hıfzettirir, bağlar.

    Mesela وَكَذٰلِكَ يَج۟تَبٖيكَ رَبُّكَ وَيُعَلِّمُكَ مِن۟ تَا۟وٖيلِ ال۟اَحَادٖيثِ وَيُتِمُّ نِع۟مَتَهُ عَلَي۟كَ وَعَلٰٓى اٰلِ يَع۟قُوبَ كَمَٓا اَتَمَّهَا عَلٰٓى اَبَوَي۟كَ مِن۟ قَب۟لُ اِب۟رَاهٖيمَ وَاِس۟حٰقَ اِنَّ رَبَّكَ عَلٖيمٌ حَكٖيمٌ

    İşte Hazret-i Yusuf ve ecdadına edilen nimetleri şu âyetle işaret eder. Der ki: Sizi bütün insanlar içinde makam-ı nübüvvetle serfiraz, bütün silsile-i enbiyayı, silsilenize rabtedip silsilenizi nev-i beşer içinde bütün silsilenin serdarı; hanedanınızı ulûm-u İlahiye ve hikmet-i Rabbaniyeye bir hücre-i talim ve hidayet suretinde getirip o ilim ve hikmetle dünyanın saadetkârane saltanatını, âhiretin saadet-i ebediyesiyle sizde birleştirmek, seni ilim ve hikmetle Mısır’a hem aziz bir reis hem âlî bir nebi hem hakîm bir mürşid etmek olan nimet-i İlahiyeyi zikir ve ta’dad edip, ilim ve hikmet ile onu, âbâ ve ecdadını mümtaz ettiğini zikrediyor. Sonra “Senin Rabb’in Alîm ve Hakîm’dir.” der. “Onun rububiyeti ve hikmeti iktiza eder ki seni ve âbâ ve ecdadını Alîm-i Hakîm ismine mazhar etsin.” İşte o mufassal nimetleri, şu fezleke ile icmal eder.

    Hem mesela قُلِ اللّٰهُمَّ مَالِكَ ال۟مُل۟كِ تُؤ۟تِى ال۟مُل۟كَ مَن۟ تَشَٓاءُ

    İşte şu âyet, Cenab-ı Hakk’ın nev-i beşerin hayat-ı içtimaiyesindeki tasarrufatını şöyle gösteriyor ki izzet ve zillet, fakr ve servet doğrudan doğruya Cenab-ı Hakk’ın meşietine ve iradesine bağlıdır. Demek, kesret-i tabakatın en dağınık tasarrufatına kadar, meşiet ve takdir-i İlahiye iledir. Tesadüf karışamaz. Şu hükmü verdikten sonra insaniyet hayatında en mühim iş, onun rızkıdır. Şu âyet, beşerin rızkını doğrudan doğruya Rezzak-ı Hakiki’nin hazine-i rahmetinden gönderdiğini bir iki mukaddime ile ispat eder. Şöyle ki der: “Rızkınız, yerin hayatına bağlıdır. Yerin dirilmesi ise bahara bakar. Bahar ise şems ve kameri teshir eden, gece ve gündüzü çeviren zatın elindedir. Öyle ise bir elmayı, bir adama hakiki rızık olarak vermek; bütün yeryüzünü bütün meyvelerle dolduran o zat verebilir. Ve o, ona hakiki Rezzak olur.” Sonra da وَ تَر۟زُقُ مَن۟ تَشَٓاءُ بِغَي۟رِ حِسَابٍ   der. Bu cümlede o tafsilatlı fiilleri icmal ve ispat eder. Yani “Size hesapsız rızık veren odur ki bu fiilleri yapar.”

    DÖRDÜNCÜ NÜKTE-İ BELÂGAT

    Kur’an kâh olur, mahlukat-ı İlahiyeyi bir tertiple zikreder; sonra o mahlukat içinde bir nizam, bir mizan olduğunu ve onun semereleri olduğunu göstermekle güya bir şeffafiyet, bir parlaklık veriyor ki sonra o âyine-misal tertibinden cilvesi bulunan esma-i İlahiyeyi gösteriyor. Güya o mahlukat-ı mezkûre, elfazdır. Şu esma onun manaları, yahut o meyvelerin çekirdekleri, yahut hülâsalarıdırlar

    Mesela

    وَلَقَد۟ خَلَق۟نَا ال۟اِن۟سَانَ مِن۟ سُلَالَةٍ مِن۟ طٖينٍ ۝ ثُمَّ جَعَل۟نَاهُ نُط۟فَةً فٖى قَرَارٍ مَكٖينٍ ۝ ثُمَّ خَلَق۟نَا النُّط۟فَةَ عَلَقَةً فَخَلَق۟نَا ال۟عَلَقَةَ مُض۟غَةً فَخَلَق۟نَا ال۟مُض۟غَةَ عِظَامًا فَكَسَو۟نَا ال۟عِظَامَ لَح۟مًا ثُمَّ اَن۟شَا۟نَاهُ خَل۟قًا اٰخَرَ فَتَبَارَكَ اللّٰهُ اَح۟سَنُ ال۟خَالِقٖينَ

    İşte Kur’an, hilkat-i insanın o acib, garib, bedî’, muntazam, mevzun etvarını öyle âyine-misal bir tarzda zikredip tertip ediyor ki فَتَبَارَكَ اللّٰهُ اَح۟سَنُ ال۟خَالِقٖينَ içinde kendi kendine görünüyor ve kendini dedirttiriyor. Hattâ vahyin bir kâtibi şu âyeti yazarken daha şu kelime gelmezden evvel şu kelimeyi söylemiştir. “Acaba bana da mı vahiy gelmiş?” zannında bulunmuş. Halbuki evvelki kelâmın kemal-i nizam ve şeffafiyetidir ve insicamıdır ki o kelâm gelmeden kendini göstermiştir.

    Hem mesela اِنَّ رَبَّكُمُ اللّٰهُ الَّذٖى خَلَقَ السَّمٰوَاتِ وَال۟اَر۟ضَ فٖى سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اس۟تَوٰى عَلَى ال۟عَر۟شِ يُغ۟شِى الَّي۟لَ النَّهَارَ يَط۟لُبُهُ حَثٖيثًا وَالشَّم۟سَ وَال۟قَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِاَم۟رِهٖ اَلَا لَهُ ال۟خَل۟قُ وَال۟اَم۟رُ تَبَارَكَ اللّٰهُ رَبُّ ال۟عَالَمٖينَ

    İşte Kur’an şu âyette azamet-i kudret-i İlahiye ve saltanat-ı rububiyeti öyle bir tarzda gösteriyor ki güneş, ay, yıldızlar emirber neferleri gibi emrine müheyya; gece ve gündüzü, beyaz ve siyah iki hat gibi veya iki şerit gibi birbiri arkasında döndürüp âyât-ı rububiyetini kâinat sahifelerinde yazan ve arş-ı rububiyetinde duran bir Kadîr-i Zülcelal’i gösterdiğinden, her ruh işitse بَارَكَ اللّٰهُ ، مَاشَاءِ اللّٰهُ ، فَتَبَارَكَ اللّٰهُ رَبُّ ال۟عَالَمٖينَ demeye hâhişger olur. Demek    تَبَارَكَ اللّٰهُ رَبُّ ال۟عَالَمٖينَ    sâbıkın hülâsası, çekirdeği, meyvesi ve âb-ı hayatı hükmüne geçer.

    BEŞİNCİ MEZİYET-İ CEZALET

    Kur’an bazen tagayyüre maruz ve muhtelif keyfiyata medar maddî cüz’iyatı zikreder. Onları hakaik-i sabite suretine çevirmek için sabit, nurani, küllî esma ile icmal eder, bağlar. Veyahut tefekküre ve ibrete teşvik eder bir fezleke ile hâtime verir.

    Birinci mananın misallerinden mesela وَعَلَّمَ اٰدَمَ ال۟اَس۟مَٓاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُم۟ عَلَى ال۟مَلٰٓئِكَةِ فَقَالَ اَن۟بِئُونٖى بِاَس۟مَٓاءِ هٰٓؤُلَٓاءِ اِن۟ كُن۟تُم۟ صَادِقٖينَ ۝ قَالُوا سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ

    İşte şu âyet evvela: “Hazret-i Âdem’in hilafet meselesinde, melâikelere rüçhaniyetine medar onun ilmi olduğu” olan bir hâdise-i cüz’iyeyi zikreder. Sonra o hâdisede melâikelerin Hazret-i Âdem’e karşı ilim noktasında hâdise-i mağlubiyetlerini zikreder. Sonra bu iki hâdiseyi iki ism-i küllî ile icmal ediyor. Yani   اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ   yani “Alîm ve Hakîm sen olduğun için Âdem’i talim ettin, bize galip oldu. Hakîm olduğun için bize istidadımıza göre veriyorsun. Onun istidadına göre rüçhaniyet veriyorsun.”

    İkinci mananın misallerinden mesela وَاِنَّ لَكُم۟ فِى ال۟اَن۟عَامِ لَعِب۟رَةً نُس۟قٖيكُم۟ مِمَّا فٖى بُطُونِهٖ مِن۟ بَي۟نِ فَر۟ثٍ وَدَمٍ لَبَنًا خَالِصًا سَٓائِغًا لِلشَّارِبٖينَ … اِلٰى اٰخِرِ فٖيهِ شِفَٓاءٌ لِلنَّاسِ اِنَّ فٖى ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِقَو۟مٍ يَتَفَكَّرُونَ

    İşte şu âyetler, Cenab-ı Hakk’ın koyun, keçi, inek, deve gibi mahluklarını insanlara hâlis, safi, leziz bir süt çeşmesi; üzüm ve hurma gibi masnûları da insanlara latîf, leziz, tatlı birer nimet tablaları ve kazanları; ve arı gibi küçük mu’cizat-ı kudretini şifalı ve tatlı güzel bir şerbetçi yaptığını âyet şöylece gösterdikten sonra tefekküre, ibrete, başka şeyleri de kıyas etmeye teşvik için   اِنَّ فٖى ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِقَو۟مٍ يَتَفَكَّرُونَ   der, hâtime verir.

    ALTINCI NÜKTE-İ BELÂGAT

    Kâh oluyor ki âyet, geniş bir kesrete ahkâm-ı rububiyeti serer, sonra birlik ciheti hükmünde bir rabıta-i vahdet ile birleştirir veyahut bir kaide-i külliye içinde yerleştirir.

    Mesela وَسِعَ كُر۟سِيُّهُ السَّمٰوَاتِ وَال۟اَر۟ضَ وَلَا يَؤُدُهُ حِف۟ظُهُمَا وَهُوَ ال۟عَلِىُّ ال۟عَظٖيمُ

    İşte Âyetü’l-Kürsî’de on cümle ile on tabaka-i tevhidi ayrı ayrı renklerde ispat etmekle beraber مَن۟ ذَا الَّذٖى يَش۟فَعُ عِن۟دَهُٓ اِلَّا بِاِذ۟نِهٖ  cümlesiyle gayet keskin bir şiddetle şirki ve gayrın müdahalesini keser, atar. Hem şu âyet ism-i a’zamın mazharı olduğundan hakaik-i İlahiyeye ait manaları a’zamî derecededir ki a’zamiyet derecesinde bir tasarruf-u rububiyeti gösteriyor. Hem umum semavat ve arza birden müteveccih tedbir-i uluhiyeti en a’zamî bir derecede umuma şâmil bir hafîziyeti zikrettikten sonra bir rabıta-i vahdet ve birlik ciheti, o a’zamî tecelliyatlarının menbalarını    وَهُوَ ال۟عَلِىُّ ال۟عَظٖيمُ    ile hülâsa eder.

    Hem mesela اَللّٰهُ الَّذٖى خَلَقَ السَّمٰوَاتِ وَال۟اَر۟ضَ وَاَن۟زَلَ مِنَ السَّمَٓاءِ مَٓا٦ً فَاَخ۟رَجَ بِهٖ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِز۟قًا لَكُم۟ وَسَخَّرَ لَكُمُ ال۟فُل۟كَ لِتَج۟رِىَ فِى ال۟بَح۟رِ بِاَم۟رِهٖ وَسَخَّرَ لَكُمُ ال۟اَن۟هَارَ ۝ وَسَخَّرَ لَكُمُ الشَّم۟سَ وَال۟قَمَرَ دَٓائِبَي۟نِ وَسَخَّرَ لَكُمُ الَّي۟لَ وَالنَّهَارَ ۝ وَاٰتٰيكُم۟ مِن۟ كُلِّ مَا سَاَل۟تُمُوهُ وَاِن۟ تَعُدُّوا نِع۟مَتَ اللّٰهِ لَا تُح۟صُوهَا

    İşte şu âyetler, evvela Cenab-ı Hakk’ın insana karşı şu koca kâinatı nasıl bir saray hükmünde halk edip semadan zemine âb-ı hayatı gönderip, insanlara rızkı yetiştirmek için zemini ve semayı iki hizmetkâr ettiği gibi zeminin sair aktarında bulunan her bir nevi meyvelerinden, her bir adama istifade imkânı vermek hem insanlara semere-i sa’ylerini mübadele edip her nevi medar-ı maişetini temin etmek için gemiyi insana musahhar etmiştir. Yani denize, rüzgâra, ağaca öyle bir vaziyet vermiş ki rüzgâr bir kamçı, gemi bir at, deniz onun ayağı altında bir çöl gibi durur. İnsanları gemi vasıtasıyla bütün zemine münasebettar etmekle beraber ırmakları, büyük nehirleri, insanın fıtrî birer vesait-i nakliyesi hükmünde teshir, hem güneş ile ayı seyrettirip mevsimleri ve mevsimlerde değişen Mün’im-i Hakiki’nin renk renk nimetlerini insanlara takdim etmek için iki musahhar hizmetkâr ve o büyük dolabı çevirmek için iki dümenci hükmünde halk etmiş. Hem gece ve gündüzü insana musahhar yani hâb-ı rahatına geceyi örtü, gündüzü maişetlerine ticaretgâh hükmünde teshir etmiştir.

    İşte bu niam-ı İlahiyeyi ta’dad ettikten sonra, insana verilen nimetlerin ne kadar geniş bir dairesi olduğunu gösterip, o dairede ne derece hadsiz nimetler dolu olduğunu şu وَاٰتٰيكُم۟ مِن۟ كُلِّ مَا سَاَل۟تُمُوهُ وَاِن۟ تَعُدُّوا نِع۟مَتَ اللّٰهِ لَا تُح۟صُوهَا fezleke ile gösterir. Yani istidat ve ihtiyac-ı fıtrî lisanıyla insan ne istemişse bütün verilmiş. İnsana olan nimet-i İlahiye, ta’dad ile bitmez, tükenmez. Evet, insanın madem bir sofra-i nimeti semavat ve arz ise ve o sofradaki nimetlerden bir kısmı şems, kamer, gece, gündüz gibi şeyler ise elbette insana müteveccih olan nimetler hadd ü hesaba gelmez.

    YEDİNCİ SIRR-I BELÂGAT

    Kâh oluyor ki âyet; zâhirî sebebi, icadın kabiliyetinden azletmek ve uzak göstermek için müsebbebin gayelerini, semerelerini gösteriyor. Tâ anlaşılsın ki sebep, yalnız zâhirî bir perdedir. Çünkü gayet hakîmane gayeleri ve mühim semereleri irade etmek, gayet Alîm, Hakîm birinin işi olmak lâzımdır. Sebebi ise şuursuz, camiddir.

    Hem semere ve gayetini zikretmekle âyet gösteriyor ki sebepler çendan nazar-ı zâhirîde ve vücudda müsebbebat ile muttasıl ve bitişik görünür. Fakat hakikatte mabeynlerinde uzak bir mesafe var. Sebepten müsebbebin icadına kadar o derece uzaklık var ki en büyük bir sebebin eli, en edna bir müsebbebin icadına yetişemez.

    İşte sebep ve müsebbeb ortasındaki uzun mesafede, esma-i İlahiye birer yıldız gibi tulû eder. Matla’ları, o mesafe-i maneviyedir. Nasıl ki zâhir nazarda dağların daire-i ufkunda semanın etekleri muttasıl ve mukarin görünür. Halbuki daire-i ufk-u cibalîden semanın eteğine kadar, umum yıldızların matla’ları ve başka şeylerin meskenleri olan bir mesafe-i azîme bulunduğu gibi; esbab ile müsebbebat mabeyninde öyle bir mesafe-i maneviye var ki imanın dürbünüyle, Kur’an’ın nuruyla görünür.

    Mesela فَل۟يَن۟ظُرِ ال۟اِن۟سَانُ اِلٰى طَعَامِهٖ ۝ اَنَّا صَبَب۟نَا ال۟مَٓاءِ صَبًّا ۝ ثُمَّ شَقَق۟نَا ال۟اَر۟ضَ شَقًّا ۝ فَاَن۟بَت۟نَا فٖيهَا حَبًّا ۝ وَ عِنَبًا وَ قَض۟بًا ۝ وَ زَي۟تُونًا وَ نَخ۟لًا ۝ وَ حَدَٓائِقَ غُل۟بًا ۝ وَ فَاكِهَةً وَ اَبًّا ۝ مَتَاعًا لَكُم۟ وَ لِاَن۟عَامِكُم۟

    İşte şu âyet-i kerîme, mu’cizat-ı kudret-i İlahiyeyi bir tertib-i hikmetle zikrederek esbabı müsebbebata rabtedip en âhirde   مَتَاعًا لَكُم۟   lafzıyla bir gayeyi gösterir ki o gaye, bütün o müteselsil esbab ve müsebbebat içinde o gayeyi gören ve takip eden gizli bir mutasarrıf bulunduğunu ve o esbab, onun perdesi olduğunu ispat eder.

    Evet   مَتَاعًا لَكُم۟ وَ لِاَن۟عَامِكُم۟   tabiriyle bütün esbabı, icad kabiliyetinden azleder. Manen der: Size ve hayvanatınıza rızkı yetiştirmek için su semadan geliyor. O suda, size ve hayvanatınıza acıyıp şefkat edip rızık yetiştirmek kabiliyeti olmadığından su gelmiyor, gönderiliyor demektir.

    Hem toprak, nebatatıyla açılıp rızkınız oradan geliyor. Hissiz, şuursuz toprak, sizin rızkınızı düşünüp şefkat etmek kabiliyetinden pek uzak olduğundan toprak kendi kendine açılmıyor, birisi o kapıyı açıyor, nimetleri ellerinize veriyor.

    Hem otlar, ağaçlar sizin rızkınızı düşünüp merhameten size meyveleri, hububatı yetiştirmekten pek çok uzak olduğundan, âyet gösteriyor ki onlar bir Hakîm-i Rahîm’in perde arkasından uzattığı ipler ve şeritlerdir ki nimetlerini onlara takmış, zîhayatlara uzatıyor.

    İşte şu beyanattan Rahîm, Rezzak, Mün’im, Kerîm gibi çok esmanın matla’ları görünüyor.

    Hem mesela

    اَلَم۟ تَرَ اَنَّ اللّٰهَ يُز۟جٖى سَحَابًا ثُمَّ يُؤَلِّفُ بَي۟نَهُ ثُمَّ يَج۟عَلُهُ رُكَامًا فَتَرَى ال۟وَد۟قَ يَخ۟رُجُ مِن۟ خِلَالِهٖ وَ يُنَزِّلُ مِنَ السَّمَٓاءِ مِن۟ جِبَالٍ فٖيهَا مِن۟ بَرَدٍ فَيُصٖيبُ بِهٖ مَن۟ يَشَٓاءُ وَ يَص۟رِفُهُ عَن۟ مَن۟ يَشَٓاءُ يَكَادُ سَنَا بَر۟قِهٖ يَذ۟هَبُ بِال۟اَب۟صَارِ۝ يُقَلِّبُ اللّٰهُ الَّي۟لَ وَ النَّهَارَ اِنَّ فٖى ذٰلِكَ لَعِب۟رَةً لِاُولِى ال۟اَب۟صَارِ ۝ وَاللّٰهُ خَلَقَ كُلَّ دَٓابَّةٍ مِن۟ مَٓاءٍ فَمِن۟هُم۟ مَن۟ يَم۟شٖى عَلٰى بَط۟نِهٖ وَ مِن۟هُم۟ مَن۟ يَم۟شٖى عَلٰى رِج۟لَي۟نِ وَ مِن۟هُم۟ مَن۟ يَم۟شٖى عَلٰٓى اَر۟بَعٍ يَخ۟لُقُ اللّٰهُ مَا يَشَٓاءُ اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَى۟ءٍ قَدٖيرٌ

    İşte şu âyet, mu’cizat-ı rububiyetin en mühimlerinden ve hazine-i rahmetin en acib perdesi olan bulutların teşkilatında yağmur yağdırmaktaki tasarrufat-ı acibeyi beyan ederken güya bulutun eczaları cevv-i havada dağılıp saklandığı vakit, istirahate giden neferat misillü bir boru sesiyle toplandığı gibi emr-i İlahî ile toplanır, bulut teşkil eder. Sonra küçük küçük taifeler bir ordu teşkil eder gibi o parça parça bulutları telif edip kıyamette seyyar dağlar cesamet ve şeklinde ve rutubet ve beyazlık cihetinde kar ve dolu keyfiyetinde olan o sehab parçalarından âb-ı hayatı bütün zîhayata gönderiyor. Fakat o göndermekte bir irade, bir kasd görünüyor. Hâcata göre geliyor, demek gönderiliyor. Cevv berrak, safi, hiçbir şey yokken bir mahşer-i acayip gibi dağvari parçalar kendi kendine toplanmıyor; belki zîhayatı tanıyan birisidir ki gönderiyor.

    İşte şu mesafe-i maneviyede Kadîr, Alîm, Mutasarrıf, Müdebbir, Mürebbi, Mugîs, Muhyî gibi esmaların matla’ları görünüyor.

    SEKİZİNCİ MEZİYET-İ CEZALET

    Kur’an kâh oluyor ki Cenab-ı Hakk’ın âhirette hârika ef’allerini kalbe kabul ettirmek için ihzariye hükmünde ve zihni tasdike müheyya etmek için bir i’dadiye suretinde dünyadaki acayip ef’alini zikreder veyahut istikbalî ve uhrevî olan ef’al-i acibe-i İlahiyeyi öyle bir surette zikreder ki meşhudumuz olan çok nazireleriyle onlara kanaatimiz gelir.

    Mesela اَوَ لَم۟ يَرَ ال۟اِن۟سَانُ اَنَّا خَلَق۟نَاهُ مِن۟ نُط۟فَةٍ فَاِذَا هُوَ خَصٖيمٌ مُبٖينٌ tâ surenin âhirine kadar… İşte şu bahiste haşir meselesinde Kur’an-ı Hakîm, haşri ispat için yedi sekiz surette muhtelif bir tarzda ispat ediyor.

    Evvela, neş’e-i ûlâyı nazara verir. Der ki: Nutfeden alakaya, alakadan mudgaya, mudgadan tâ hilkat-i insaniyeye kadar olan neş’etinizi görüyorsunuz. Nasıl oluyor ki neş’e-i uhrayı inkâr ediyorsunuz? O, onun misli, belki daha ehvenidir.

    Hem Cenab-ı Hak, insana karşı ettiği ihsanat-ı azîmeyi اَلَّذٖى جَعَلَ لَكُم۟ مِنَ الشَّجَرِ ال۟اَخ۟ضَرِ نَارًا kelimesiyle işaret edip der: Size böyle nimet eden zat, sizi başıboş bırakmaz ki kabre girip kalkmamak üzere yatasınız.

    Hem remzen der: Ölmüş ağaçların dirilip yeşillenmesini görüyorsunuz. Odun gibi kemiklerin hayat bulmasını kıyas edemeyip istib’ad ediyorsunuz.

    Hem semavat ve arzı halk eden, semavat ve arzın meyvesi olan insanın hayat ve mematından âciz kalır mı? Koca ağacı idare eden, o ağacın meyvesine ehemmiyet vermeyip başkasına mal eder mi? Bütün ağacın neticesini terk etmekle bütün eczasıyla hikmetle yoğrulmuş hilkat şeceresini abes ve beyhude yapar mı zannedersiniz?

    Der: Haşirde sizi ihya edecek zat, öyle bir zattır ki bütün kâinat, ona emirber nefer hükmündedir. “Emr-i kün feyekûn”e karşı kemal-i inkıyad ile serfürû eder. Bir baharı halk etmek bir çiçek kadar ona ehven gelir. Bütün hayvanatı icad etmek, bir sinek icadı kadar kudretine kolay gelir bir zattır. Öyle bir zata karşı   مَن۟ يُح۟يِى ال۟عِظَامَ   deyip kudretine karşı taciz ile meydan okunmaz.

    Sonra فَسُب۟حَانَ الَّذٖى بِيَدِهٖ مَلَكُوتُ كُلِّ شَى۟ءٍ tabiriyle her şeyin dizgini elinde, her şeyin anahtarı yanında, gece ve gündüzü, kış ve yazı bir kitap sahifeleri gibi kolayca çevirir; dünya ve âhireti, iki menzil gibi bunu kapar, onu açar bir Kadîr-i Zülcelal’dir.

    Madem böyledir, bütün delailin neticesi olarak   وَ اِلَي۟هِ تُر۟جَعُونَ   yani “Kabirden sizi ihya edip haşre getirip huzur-u kibriyasında hesabınızı görecektir.”

    İşte şu âyetler, haşrin kabulüne zihni müheyya etti, kalbi de hazır etti. Çünkü nezairini dünyevî ef’al ile de gösterdi.

    Hem kâh oluyor ki ef’al-i uhreviyesini öyle bir tarzda zikreder ki dünyevî nezairlerini ihsas etsin, tâ istib’ad ve inkâra meydan kalmasın.

    Mesela    اِذَا الشَّم۟سُ كُوِّرَت۟ … الخ   ve   اِذَا السَّمَٓاءُ ان۟فَطَرَت۟ … الخ      ve   اِذَا السَّمَٓاءُ ان۟شَقَّت۟ İşte şu surelerde kıyamet ve haşirdeki inkılabat-ı azîmeyi ve tasarrufat-ı rububiyeti öyle bir tarzda zikreder ki insan onların nazirelerini dünyada, mesela güzde, baharda gördüğü için kalbe dehşet verip akla sığmayan o inkılabatı kolayca kabul eder. Şu üç surenin meal-i icmalîsine işaret dahi pek uzun olur. Onun için bir tek kelimeyi numune olarak göstereceğiz.

    Mesela اِذَا الصُّحُفُ نُشِرَت۟   kelimesi ifade eder ki haşirde herkesin bütün a’mali bir sahife içinde yazılı olarak neşrediliyor. Şu mesele, kendi kendine çok acayip olduğundan akıl ona yol bulamaz. Fakat surenin işaret ettiği gibi haşr-i baharîde başka noktaların naziresi olduğu gibi şu neşr-i suhuf naziresi pek zâhirdir.

    Çünkü her meyvedar ağacın, ya çiçekli bir otun da amelleri var, fiilleri var, vazifeleri var, esma-i İlahiyeyi ne şekilde göstererek tesbihat etmiş ise ubudiyetleri var. İşte onun bütün bu amelleri tarih-i hayatlarıyla beraber umum çekirdeklerinde, tohumcuklarında yazılıp başka bir baharda, başka bir zeminde çıkar. Gösterdiği şekil ve suret lisanıyla, gayet fasih bir surette, analarının ve asıllarının a’malini zikrettiği gibi; dal, budak, yaprak, çiçek ve meyveleriyle, sahife-i a’malini neşreder. İşte gözümüzün önünde bu hakîmane, hafîzane, müdebbirane, mürebbiyane, latîfane şu işi yapan odur ki der:    اِذَا الصُّحُفُ نُشِرَت۟

    Başka noktaları buna kıyas eyle, kuvvetin varsa istinbat et. Sana yardım için bunu da söyleyeceğiz. İşte اِذَا الشَّم۟سُ كُوِّرَت۟   

    Şu kelâm “tekvir” lafzıyla, yani sarmak ve toplamak manasıyla, parlak bir temsile işaret ettiği gibi nazirini dahi îma eder:

    Birinci: Evet, Cenab-ı Hak tarafından adem ve esîr ve sema perdelerini açıp güneş gibi dünyayı ışıklandıran pırlanta-misal bir lambayı, hazine-i rahmetinden çıkarıp dünyaya gösterdi. Dünya kapandıktan sonra, o pırlantayı perdelerine sarıp kaldıracak.

    İkinci: Veya ziya metaını neşretmek ve zeminin kafasına ziyayı, zulmetle münavebeten sarmakla muvazzaf bir memur olduğunu ve her akşam o memura metaını toplattırıp gizlettiği gibi kâh olur bir bulut perdesiyle alışverişini az yapar; kâh olur ay onun yüzüne karşı perde olur, muamelesini bir derece çeker, metaını ve muamelat defterlerini topladığı gibi elbette o memur bir vakit o memuriyetten infisal edecektir. Hattâ hiçbir sebeb-i azl bulunmazsa şimdilik küçük fakat büyümeye yüz tutmuş yüzündeki iki leke büyümekle güneş yerin başına izn-i İlahî ile sardığı ziyayı, emr-i Rabbanî ile geriye alıp, güneşin başına sarıp “Haydi yerde işin kalmadı.” der, “Cehenneme git, sana ibadet edip senin gibi bir memur-u musahharı sadakatsizlikle tahkir edenleri yak.” der.   اِذَا الشَّم۟سُ كُوِّرَت۟   fermanını lekeli siyah yüzüyle yüzünde okur.

    DOKUZUNCU NÜKTE-İ BELÂGAT

    Kur’an-ı Hakîm kâh olur cüz’î bazı maksatları zikreder. Sonra o cüz’iyat vasıtasıyla küllî makasıda zihinleri sevk etmek için o cüz’î maksadı, bir kaide-i külliye hükmünde olan esma-i hüsna ile takrir ederek tesbit eder, tahkik edip ispat eder.

    Mesela قَد۟ سَمِعَ اللّٰهُ قَو۟لَ الَّتٖى تُجَادِلُكَ فٖى زَو۟جِهَا وَتَش۟تَكٖٓى اِلَى اللّٰهِ وَاللّٰهُ يَس۟مَعُ تَحَاوُرَكُمَا اِنَّ اللّٰهَ سَمٖيعٌ بَصٖيرٌ

    İşte Kur’an der: “Cenab-ı Hak, Semî’-i Mutlak’tır, her şeyi işitir. Hattâ en cüz’î bir macera olan ve zevcinden teşekki eden bir zevcenin sana karşı mücadelesini Hak ismiyle işitir. Hem rahmetin en latîf cilvesine mazhar ve şefkatin en fedakâr bir hakikatine maden olan bir kadının haklı olarak zevcinden davasını ve Cenab-ı Hakk’a şekvasını umûr-u azîme suretinde Rahîm ismiyle ehemmiyetle işitir ve Hak ismiyle ciddiyetle bakar.”

    İşte bu cüz’î maksadı küllîleştirmek için mahlukatın en cüz’î bir hâdisesini işiten, gören; kâinatın daire-i imkânîsinden hariç bir zat, elbette her şeyi işitir, her şeyi görür bir zat olmak lâzım gelir. Ve kâinata Rab olan, kâinat içinde mazlum küçük mahlukların dertlerini görmek, feryatlarını işitmek gerektir. Dertlerini görmeyen, feryatlarını işitmeyen, “Rab” olamaz. Öyle ise   اِنَّ اللّٰهَ سَمٖيعٌ بَصٖيرٌ   cümlesiyle iki hakikat-i azîmeyi tesbit eder.

    Hem mesela سُب۟حَانَ الَّذٖٓى اَس۟رٰى بِعَب۟دِهٖ لَي۟لًا مِنَ ال۟مَس۟جِدِ ال۟حَرَامِ اِلَى ال۟مَس۟جِدِ ال۟اَق۟صَى الَّذٖى بَارَك۟نَا حَو۟لَهُ لِنُرِيَهُ مِن۟ اٰيَاتِنَا اِنَّهُ هُوَ السَّمٖيعُ ال۟بَصٖيرُ

    İşte Kur’an, Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâmın mi’racının mebdei olan Mescid-i Haram’dan Mescid-i Aksa’ya olan seyeranını zikrettikten sonra   اِنَّهُ هُوَ السَّمٖيعُ ال۟بَصٖيرُ   der.   اِنَّهُ   deki zamir, ya Cenab-ı Hakk’adır veyahut Peygamberedir.

    Peygambere göre olsa şöyle oluyor ki: “Bu seyahat-i cüz’îde, bir seyr-i umumî, bir urûc-u küllî var ki tâ Sidretü’l-münteha’ya, tâ Kab-ı Kavseyn’e kadar, meratib-i külliye-i esmaiyede gözüne, kulağına tezahür eden âyât-ı Rabbaniyeyi ve acayib-i sanat-ı İlahiyeyi işitmiş, görmüştür.” der. O küçük, cüz’î seyahati; küllî ve mahşer-i acayip bir seyahatin anahtarı hükmünde gösteriyor.

    Eğer zamir, Cenab-ı Hakk’a râci olsa şöyle oluyor ki: “Bir abdini bir seyahatte huzuruna davet edip bir vazife ile tavzif etmek için Mescid-i Haram’dan mecma-ı enbiya olan Mescid-i Aksa’ya gönderip enbiyalarla görüştürüp bütün enbiyaların usûl-ü dinlerine vâris-i mutlak olduğunu gösterdikten sonra, tâ Kab-ı Kavseyn’e kadar mülk ü melekûtunda gezdirdi.” İşte çendan o zat bir abddir, bir mi’rac-ı cüz’îde seyahat eder. Fakat bu abdde bütün kâinata taalluk eden bir emanet beraberdir. Hem şu kâinatın rengini değiştirecek bir nur beraberdir. Hem saadet-i ebediyenin kapısını açacak bir anahtar beraber olduğu için Cenab-ı Hak kendi zatını bütün eşyayı işitir ve görür sıfatıyla tavsif eder. Tâ o emanet, o nur, o anahtarın cihanşümul hikmetlerini göstersin.

    Hem mesela اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ فَاطِرِ السَّمٰوَاتِ وَال۟اَر۟ضِ جَاعِلِ ال۟مَلٰٓئِكَةِ رُسُلًا اُولٖٓى اَج۟نِحَةٍ مَث۟نٰى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ يَزٖيدُ فِى ال۟خَل۟قِ مَا يَشَٓاءُ اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَى۟ءٍ قَدٖيرٌ

    İşte şu surede, “Semavat ve arzın Fâtır-ı Zülcelal’i, semavat ve arzı öyle bir tarzda tezyin edip âsâr-ı kemalini göstermekle hadsiz seyircilerinden Fâtır’ına hadsiz medh ü senalar ettiriyor ve öyle de hadsiz nimetlerle süslendirmiş ki sema ve zemin bütün nimetlerin ve nimet-dîdelerin lisanlarıyla o Fâtır-ı Rahman’ına nihayetsiz hamd ü sitayiş ederler.” dedikten sonra, yerin şehirleri ve memleketleri içinde Fâtır’ın verdiği cihazat ve kanatlarıyla seyr ü seyahat eden insanlarla hayvanat ve tuyûr gibi; semavî saraylar olan yıldızlar ve ulvi memleketleri olan burçlarda gezmek ve tayeran etmek için o memleketin sekeneleri olan meleklerine kanat veren Zat-ı Zülcelal, elbette her şeye kadîr olmak lâzım gelir. Bir sineğe, bir meyveden bir meyveye; bir serçeye, bir ağaçtan bir ağaca uçmak kanadını veren, Zühre’den Müşteri’ye, Müşteri’den Zühal’e uçacak kanatları o veriyor. Hem melâikeler, sekene-i zemin gibi cüz’iyete münhasır değiller, bir mekân-ı muayyen onları kaydedemiyor. Bir vakitte dört veya daha ziyade yıldızlarda bulunduğuna işaret مَث۟نٰى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ   kelimeleriyle tafsil verir.

    İşte şu hâdise-i cüz’iye olan “Melâikeleri kanatlarla teçhiz etmek” tabiriyle, gayet küllî ve umumî bir azamet-i kudretin destgâhına işaret ederek   اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَى۟ءٍ قَدٖيرٌ   fezlekesiyle tahkik edip tesbit eder.

    ONUNCU NÜKTE-İ BELÂGAT

    Kâh oluyor âyet, insanın isyankârane amellerini zikreder, şedit bir tehdit ile zecreder. Sonra şiddet-i tehdit, yeise ve ümitsizliğe atmamak için rahmetine işaret eden bir kısım esma ile hâtime verir, teselli eder.

    Mesela قُل۟ لَو۟ كَانَ مَعَهُٓ اٰلِهَةٌ كَمَا يَقُولُونَ اِذًا لَاب۟تَغَو۟ا اِلٰى ذِى ال۟عَر۟شِ سَبٖيلًا ۝ سُب۟حَانَهُ وَتَعَالٰى عَمَّا يَقُولُونَ عُلُوًّا كَبٖيرًا ۝ تُسَبِّحُ لَهُ السَّمٰوَاتُ السَّب۟عُ وَال۟اَر۟ضُ وَمَن۟ فٖيهِنَّ وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَم۟دِهٖ وَ لٰكِن۟ لَا تَف۟قَهُونَ تَس۟بٖيحَهُم۟ اِنَّهُ كَانَ حَلٖيمًا غَفُورًا

    İşte şu âyet der ki: De: Eğer dediğiniz gibi mülkünde şeriki olsaydı elbette arş-ı rububiyetine el uzatıp müdahale eseri görünecek bir derecede bir intizamsızlık olacaktı. Halbuki yedi tabaka semavattan tut tâ hurdebînî zîhayatlara kadar, her bir mahluk küllî olsun cüz’î olsun, küçük olsun büyük olsun, mazhar olduğu bütün isimlerin cilve ve nakışları dilleriyle, o esma-i hüsnanın Müsemma-i Zülcelal’ini tesbih edip şerik ve nazirden tenzih ediyorlar.

    Evet, nasıl ki sema güneşler, yıldızlar denilen nur-efşan kelimatıyla, hikmet ve intizamıyla, onu takdis ediyor, vahdetine şehadet ediyor ve cevv-i hava dahi bulutların sesiyle, berk ve ra’d ve katrelerin kelimatıyla onu tesbih ve takdis ve vahdaniyetine şehadet eder. Öyle de zemin, hayvanat ve nebatat ve mevcudat denilen hayattar kelimatıyla Hâlık-ı Zülcelal’ini tesbih ve tevhid etmekle beraber, her bir ağacı, yaprak ve çiçek ve meyvelerin kelimatıyla yine tesbih edip birliğine şehadet eder. Öyle de en küçük mahluk, en cüz’î bir masnû, küçüklüğü ve cüz’iyetiyle beraber, taşıdığı nakışlar ve keyfiyetler işaretiyle pek çok esma-i külliyeyi göstermek ile Müsemma-yı Zülcelal’i tesbih edip vahdaniyetine şehadet eder.

    İşte bütün kâinat birden, bir lisan ile müttefikan Hâlık-ı Zülcelal’ini tesbih edip vahdaniyetine şehadet ederek kendilerine göre muvazzaf oldukları vazife-i ubudiyeti, kemal-i itaatle yerine getirdikleri halde, şu kâinatın hülâsası ve neticesi ve nazdar bir halifesi ve nâzenin bir meyvesi olan insan, bütün bunların aksine, zıddına olarak, ettikleri küfür ve şirkin ne kadar çirkin düşüp ne derece cezaya şayeste olduğunu ifade edip bütün bütün yeise düşürmemek için hem şunun gibi nihayetsiz bir cinayete, hadsiz çirkin bir isyana Kahhar-ı Zülcelal nasıl meydan verip kâinatı başlarına harap etmediğinin hikmetini göstermek için اِنَّهُ كَانَ حَلٖيمًا غَفُورًا   der. O hâtime ile hikmet-i imhali gösterip bir rica kapısı açık bırakır.

    İşte şu on işarat-ı i’caziyeden anla ki âyetlerin hâtimelerindeki fezlekelerde, çok reşehat-ı hidayetiyle beraber çok lemaat-ı i’caziye vardır ki bülegaların en büyük dâhîleri, şu bedî’ üsluplara karşı kemal-i hayret ve istihsanlarından parmağını ısırmış, dudağını dişlemiş, مَا هٰذَا كَلَامُ بَشَرٍ   demiş.   اِن۟ هُوَ اِلَّا وَح۟ىٌ يُوحٰى   ya hakkalyakîn olarak iman etmişler. Demek bazı âyette, bütün mezkûr işaratla beraber bahsimize girmeyen çok mezaya-yı âheri de tazammun eder ki o mezayanın icmaında öyle bir nakş-ı i’caz görünür ki kör dahi görebilir.

    İKİNCİ ŞULENİN ÜÇÜNCÜ NURU

    Şudur ki: Kur’an, başka kelâmlarla kabil-i kıyas olamaz. Çünkü kelâmın tabakaları, ulviyet ve kuvvet ve hüsn-ü cemal cihetinden dört menbaı var. Biri mütekellim, biri muhatap, biri maksat, biri makamdır. Ediblerin, yanlış olarak yalnız makam gösterdikleri gibi değildir. Öyle ise sözde “Kim söylemiş? Kime söylemiş? Ne için söylemiş? Ne makamda söylemiş?” ise bak. Yalnız söze bakıp durma. Madem kelâm kuvvetini, hüsnünü bu dört menbadan alır. Kur’an’ın menbaına dikkat edilse Kur’an’ın derece-i belâgatı, ulviyet ve hüsnü anlaşılır.

    Evet, madem kelâm mütekellime bakıyor. Eğer o kelâm emir ve nehiy ise mütekellimin derecesine göre irade ve kudreti de tazammun eder. O vakit söz mukavemetsûz olur; maddî elektrik gibi tesir eder, kelâmın ulviyet ve kuvveti o nisbette tezayüd eder.

    Mesela يَٓا اَر۟ضُ اب۟لَعٖى مَٓاءَكِ وَيَا سَمَٓاءُ اَق۟لِعٖى yani “Yâ arz! Vazifen bitti, suyunu yut. Yâ sema! Hâcet kalmadı, yağmuru kes.”

    Mesela فَقَالَ لَهَا وَ لِل۟اَر۟ضِ ائ۟تِيَا طَو۟عًا اَو۟ كَر۟هًا قَالَتَٓا اَتَي۟نَا طَٓائِعٖينَ yani “Yâ arz! Yâ sema! İster istemez geliniz, hikmet ve kudretime râm olunuz. Ademden çıkıp vücudda meşhergâh-ı sanatıma geliniz.” dedi. Onlar da: “Biz kemal-i itaatle geliyoruz. Bize gösterdiğin her vazifeyi senin kuvvetinle göreceğiz.”

    İşte kuvvet ve iradeyi tazammun eden hakiki ve nâfiz şu emirlerin kuvvet ve ulviyetine bak. Sonra insanların اُس۟كُنٖى يَا اَر۟ضُ وَان۟شَقّٖى يَا سَمَۤاءُ وَقُومٖى اَيَّتُهَا ال۟قِيَامَةُ gibi suret-i emirde cemadata hezeyanvari muhaveresi, hiç o iki emre kabil-i kıyas olabilir mi? Evet, temenniden neş’et eden arzular ve o arzulardan neş’et eden fuzuliyane emirler nerede? Hakikat-i âmiriyetle muttasıf bir âmirin iş başında hakikat-i emri nerede? Evet, emri nâfiz büyük bir âmirin mutî ve büyük bir ordusuna “Arş!” emri nerede? Ve şöyle bir emir, âdi bir neferden işitilse, iki emir sureten bir iken manen bir neferle bir ordu kumandanı kadar farkı var.

    Mesela     اِنَّمَٓا اَم۟رُهُٓ اِذَٓا اَرَادَ شَي۟ئًا اَن۟ يَقُولَ لَهُ كُن۟ فَيَكُونُ Hem mesela     وَاِذ۟ قُل۟نَا لِل۟مَلٰٓئِكَةِ اس۟جُدُوا لِاٰدَمَ Şu iki âyette iki emrin kuvvet ve ulviyetine bak, sonra beşerin emirler nevindeki kelâmına bak. Acaba yıldız böceğinin güneşe nisbeti gibi kalmıyorlar mı? Evet, hakiki bir mâlikin iş başındaki bir tasviri ve hakiki bir sanatkârın işlediği vakit sanatına dair verdiği beyanatı ve hakiki bir mün’imin ihsan başında iken beyan ettiği ihsanatı, yani kavl ile fiili birleştirmek, kendi fiilini hem göze hem kulağa tasvir etmek için şöyle dese: “Bakınız! İşte bunu yaptım, böyle yapıyorum. İşte bunu bunun için yaptım. Bu böyle olacak, bunun için işte bunu böyle yapıyorum.”

    Mesela اَفَلَم۟ يَن۟ظُرُٓوا اِلَى السَّمَٓاءِ فَو۟قَهُم۟ كَي۟فَ بَنَي۟نَاهَا وَ زَيَّنَّاهَا وَمَا لَهَا مِن۟ فُرُوجٍ ۝ وَال۟اَر۟ضَ مَدَد۟نَاهَا وَ اَل۟قَي۟نَا فٖيهَا رَوَاسِىَ وَ اَن۟بَت۟نَا فٖيهَا مِن۟ كُلِّ زَو۟جٍ بَهٖيجٍ ۝ تَب۟صِرَةً وَ ذِك۟رٰى لِكُلِّ عَب۟دٍ مُنٖيبٍ ۝ وَ نَزَّل۟نَا مِنَ السَّمَٓاءِ مَٓاءً مُبَارَكًا فَاَن۟بَت۟نَا بِهٖ جَنَّاتٍ وَ حَبَّ ال۟حَصٖيدِ ۝ وَالنَّخ۟لَ بَاسِقَاتٍ لَهَا طَل۟عٌ نَضٖيدٌ ۝ رِز۟قًا لِل۟عِبَادِ وَ اَح۟يَي۟نَا بِهٖ بَل۟دَةً مَي۟تًا كَذٰلِكَ ال۟خُرُوجُ

    Kur’an’ın semasında şu surenin burcunda parlayan yıldız-misal cennet meyveleri gibi şu tasviratı, şu ef’alleri içindeki intizam-ı belâgatla çok tabaka haşrin delailini zikredip neticesi olan haşri   كَذٰلِكَ ال۟خُرُوجُ tabiri ile ispat edip surenin başında haşri inkâr edenleri ilzam etmek nerede? İnsanların fuzuliyane onlarla teması az olan ef’alden bahisleri nerede? Taklit suretinde çiçek resimleri; hakiki, hayattar çiçeklere nisbeti derecesinde olamaz. Şu   اَفَلَم۟ يَن۟ظُرُوا   dan tâ   كَذٰلِكَ ال۟خُرُوجُ   a kadar güzelce meali söylemek çok uzun gider. Yalnız bir işaret edip geçeceğiz. Şöyle ki:

    Surenin başında küffar, haşri inkâr ettiklerinden Kur’an onları haşrin kabulüne mecbur etmek için şöylece bast-ı mukaddimat eder. Der:

    “Âyâ, üstünüzdeki semaya bakmıyor musunuz ki biz ne keyfiyette, ne kadar muntazam, muhteşem bir surette bina etmişiz.

    Hem görmüyor musunuz ki nasıl yıldızlarla, ay ve güneş ile tezyin etmişiz, hiçbir kusur ve noksaniyet bırakmamışız.

    Hem görmüyor musunuz ki zemini size ne keyfiyette sermişiz, ne kadar hikmetle tefriş etmişiz. O yerde dağları tesbit etmişiz, denizin istilasından muhafaza etmişiz.

    Hem görmüyor musunuz, o yerde ne kadar güzel, rengârenk her bir cinsten çift hadravatı, nebatatı halk ettik; yerin her tarafını o güzellerle güzelleştirdik.

    Hem görmüyor musunuz, ne keyfiyette sema canibinden bereketli bir suyu gönderiyoruz. O su ile bağ ve bostanları, hububatı, yüksek leziz meyveli hurma gibi ağaçları halk edip ibadıma rızkı onunla gönderiyorum, yetiştiriyorum.

    Hem görmüyor musunuz, o su ile ölmüş memleketi ihya ediyorum. Binler dünyevî haşirleri icad ediyorum. Nasıl bu nebatatı, kudretimle bu ölmüş memleketten çıkarıyorum; sizin haşirdeki hurucunuz da böyledir. Kıyamette arz ölüp siz sağ olarak çıkacaksınız.”

    İşte şu âyetin ispat-ı haşirde gösterdiği cezalet-i beyaniye –ki binden birisine ancak işaret edebildik– nerede, insanların bir dava için serdettikleri kelimat nerede?

    Şu risalenin başından şimdiye kadar tahkik namına bîtarafane muhakeme suretinde, Kur’an’ın i’cazını muannid bir hasma kabul ettirmek için Kur’an’ın çok hukukunu gizli bıraktık. O güneşi, mumlar sırasına getirip muvazene ediyorduk. Şimdi tahkik vazifesini îfa edip parlak bir surette i’cazını ispat etti. Şimdi ise tahkik namına değil, hakikat namına bir iki söz ile Kur’an’ın muvazeneye gelmez hakiki makamına işaret edeceğiz:

    Evet, sair kelâmların Kur’an’ın âyâtına nisbeti, şişelerdeki görünen yıldızların küçücük akisleriyle yıldızların aynına nisbeti gibidir. Evet, her biri birer hakikat-i sabiteyi tasvir eden, gösteren Kur’an’ın kelimatı nerede? Beşerin fikri ve duygularının âyineciklerinde kelimatıyla tersim ettikleri manalar nerede?

    Evet, envar-ı hidayeti ilham eden ve şems ve kamerin Hâlık-ı Zülcelal’inin kelâmı olan Kur’an’ın melâike-misal zîhayat kelimatı nerede? Beşerin hevesatını uyandırmak için sehhar nefisleriyle, müzevver incelikleriyle ısırıcı kelimatı nerede? Evet, ısırıcı haşerat ve böceklerin, mübarek melâike ve nurani ruhanîlere nisbeti ne ise beşerin kelimatı, Kur’an’ın kelimatına nisbeti odur. Şu hakikatleri Yirmi Beşinci Söz ile beraber geçen yirmi dört adet Sözler ispat etmiştir. Şu davamız mücerred değil; bürhanı, geçmiş neticedir.

    Evet, her biri cevahir-i hidayetin birer sadefi ve hakaik-i imaniyenin birer menbaı ve esasat-ı İslâmiyenin birer madeni ve doğrudan doğruya arşü’r-Rahman’dan gelen ve kâinatın fevkinde ve haricinde insana bakıp inen ve ilim ve kudret ve iradeyi tazammun eden ve hitab-ı ezelî olan elfaz-ı Kur’aniye nerede? İnsanın hevaî, heva-perestane, vâhî, heves-perverane elfazı nerede?

    Evet, Kur’an bir şecere-i tûba hükmüne geçip şu âlem-i İslâmiyeyi bütün maneviyatıyla, şeair ve kemalâtıyla, desatir ve ahkâmıyla yapraklar suretinde neşredip asfiya ve evliyasını birer çiçek hükmünde o ağacın âb-ı hayatıyla taze, güzel gösterip bütün kemalât ve hakaik-i kevniye ve İlahiyeyi semere verip meyvelerindeki çok çekirdekleri amelî birer düstur, birer program hükmüne geçip yine meyvedar ağaç hükmünde müteselsil hakaiki gösteren Kur’an nerede? Beşerin malûmumuz olan kelâmı nerede?

    اَي۟نَ الثَّرَا مِنَ الثُّرَيَّا

    Bin üç yüz elli senedir Kur’an-ı Hakîm, bütün hakaikini kâinat çarşısında açıp teşhir ettiği halde; herkes, her millet, her memleket onun cevahirinden, hakaikinden almıştır ve alıyorlar. Halbuki ne o ülfet, ne o mebzuliyet, ne o mürur-u zaman, ne o büyük tahavvülatlar; onun kıymettar hakaikine, onun güzel üsluplarına halel verememiş, ihtiyarlatmamış, kurutmamış, kıymetten düşürmemiş, hüsnünü söndürmemiştir. Şu halet tek başıyla bir i’cazdır.

    Şimdi biri çıksa, Kur’an’ın getirdiği hakaikten bir kısmına kendi hevesince çocukça bir intizam verse, Kur’an’ın bazı âyâtına muaraza için nisbet etse “Kur’an’a yakın bir kelâm söyledim.” dese öyle ahmakane bir sözdür ki mesela, taşları muhtelif cevahirden bir saray-ı muhteşemi yapan ve o taşların vaziyetinde umum sarayın nukuş-u âliyesine bakan mizanlı nakışlar ile tezyin eden bir ustanın sanatıyla; o nukuş-u âliyeden fehmi kāsır, o sarayın bütün cevahir ve ziynetlerinden bîbehre bir âdi adam, âdi hanelerin bir ustası, o saraya girip o kıymettar taşlardaki ulvi nakışları bozup çocukça hevesine göre âdi bir hanenin vaziyetine göre bir intizam, bir suret verse ve çocukların nazarına hoş görünecek bazı boncukları taksa, sonra “Bakınız, o sarayın ustasından daha ziyade maharet ve servetim var ve kıymettar ziynetlerim var.” dese divanece bir hezeyan eden bir sahtekârın nisbet-i sanatı gibidir.

    ÜÇÜNCÜ ŞULE

    Üç ziyası var.

    BİRİNCİ ZİYA

    Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan’ın büyük bir vech-i i’cazı On Üçüncü Söz’de beyan edilmiştir. Kardeşleri olan sair vücuh-u i’caz sırasına girmek için bu makama alınmıştır. İşte Kur’an’ın her bir âyeti, birer necm-i sâkıb gibi i’caz ve hidayet nurunu neşir ile küfür ve gaflet zulümatını dağıttığını görmek ve zevk etmek istersen kendini, Kur’an’ın nüzulünden evvel olan o asr-ı cahiliyette ve o sahra-yı bedeviyette farz et ki her şey zulmet-i cehil ve gaflet altında, perde-i cümud-u tabiata sarılmış olduğu bir anda birden Kur’an’ın lisan-ı ulvisinden سَبَّحَ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوَاتِ وَال۟اَر۟ضِ وَهُوَ ال۟عَزٖيزُ ال۟حَكٖيمُ ۝ يُسَبِّحُ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوَاتِ وَمَا فِى ال۟اَر۟ضِ ال۟مَلِكِ ال۟قُدُّوسِ ال۟عَزٖيزِ ال۟حَكٖيمِ gibi âyetleri işit, bak: O ölmüş veya yatmış mevcudat-ı âlem سَبَّحَ ،   يُسَبِّحُ   sadâsıyla işitenlerin zihninde nasıl diriliyorlar, hüşyar oluyorlar, kıyam edip zikrediyorlar.

    Hem o karanlık gökyüzünde birer camid ateşpare olan yıldızlar ve yerdeki perişan mahlukat,   تُسَبِّحُ لَهُ السَّمٰوَاتُ السَّب۟عُ وَال۟اَر۟ضُ   sayhasıyla işitenin nazarında nasıl gökyüzü bir ağız; bütün yıldızlar birer kelime-i hikmet-nüma, birer nur-u hakikat-eda ve arz bir kafa ve berr ve bahir birer lisan ve bütün hayvanat ve nebatat birer kelime-i tesbih-feşan suretinde arz-ı dîdar eder. Yoksa bu zamandan tâ o zamana bakmakla, mezkûr zevkin dekaikini göremezsin.

    Evet, o zamandan beri nurunu neşreden ve mürur-u zamanla ulûm-u mütearife hükmüne geçen ve sair neyyirat-ı İslâmiye ile parlayan ve Kur’an’ın güneşiyle gündüz rengini alan bir vaziyet ile veyahut sathî ve basit bir perde-i ülfet ile baksan; elbette her bir âyetin ne kadar tatlı bir zemzeme-i i’caz içinde ne çeşit zulümatı dağıttığını hakkıyla göremezsin ve birçok enva-ı i’cazı içinde bu nevi i’cazını zevk edemezsin.

    Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan’ın en yüksek derece-i i’cazına bakmak istersen şu temsil dürbünüyle bak. Şöyle ki:

    Gayet büyük ve garib ve gayetle yayılmış acib bir ağaç farz edelim ki o ağaç geniş bir perde-i gayb altında bir tabaka-i mestûriyet içinde saklanmıştır. Malûmdur ki bir ağacın insanın azaları gibi onun dalları, meyveleri, yaprakları, çiçekleri gibi bütün uzuvları arasında bir münasebet, bir tenasüp, bir muvazenet lâzımdır. Her bir cüzü, o ağacın mahiyetine göre bir şekil alır, bir suret verilir. İşte hiç görülmeyen –ve hâlâ görünmüyor– o ağaca dair biri çıksa, perde üstünde onun her bir azasına mukabil bir resim çekse, bir hudut çizse; daldan meyveye, meyveden yaprağa bir tenasüple bir suret tersim etse ve birbirinden nihayet uzak mebde ve müntehasının ortasında uzuvlarının aynı şekil ve suretini gösterecek muvafık tersimat ile doldursa elbette şüphe kalmaz ki o ressam bütün o gaybî ağacı gayb-aşina nazarıyla görür, ihata eder, sonra tasvir eder.

    Aynen onun gibi Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan dahi hakikat-i mümkinata dair –ki o hakikat, dünyanın iptidasından tut, tâ âhiretin en nihayetine kadar uzanmış ve arştan ferşe, zerreden şemse kadar yayılmış olan şecere-i hilkatin hakikatine dair– beyanat-ı Kur’aniye o kadar tenasübü muhafaza etmiş ve her bir uzva ve meyveye lâyık bir suret vermiştir ki bütün muhakkikler nihayet-i tahkikinde Kur’an’ın tasvirine “Mâşâallah, bârekellah” deyip “Tılsım-ı kâinatı ve muamma-yı hilkati keşif ve fetheden yalnız sensin ey Kur’an-ı Kerîm!” demişler.

    وَ لِلّٰهِ ال۟مَثَلُ ال۟اَع۟لٰى   –temsilde kusur yok– esma ve sıfât-ı İlahiye ve şuun ve ef’al-i Rabbaniye, bir şecere-i tûba-i nur hükmünde temsil edilmekle o şecere-i nuraniyenin daire-i azameti ezelden ebede uzanıp gidiyor. Hudud-u kibriyası, gayr-ı mütenahî feza-yı ıtlakta yayılıp ihata ediyor. Hudud-u icraatı يَحُولُ بَي۟نَ ال۟مَر۟ءِ وَقَل۟بِهٖ ۝ فَالِقُ ال۟حَبِّ وَالنَّوٰى hududundan tut, tâ وَالسَّمٰوَاتُ مَط۟وِيَّاتٌ بِيَمٖينِهٖ ۝ خَلَقَ السَّمٰوَاتِ وَال۟اَر۟ضَ فٖى سِتَّةِ اَيَّامٍ hududuna kadar intişar etmiş o hakikat-i nuraniyeyi bütün dal ve budaklarıyla, gayat ve meyveleriyle o kadar tenasüple birbirine uygun, birbirine lâyık, birbirini kırmayacak, birbirinin hükmünü bozmayacak, birbirinden tevahhuş etmeyecek bir surette o hakaik-i esma ve sıfâtı ve şuun ve ef’ali beyan eder ki bütün ehl-i keşif ve hakikat ve daire-i melekûtta cevelan eden bütün ashab-ı irfan ve hikmet, o beyanat-ı Kur’aniyeye karşı “Sübhanallah” deyip “Ne kadar doğru ne kadar mutabık ne kadar güzel ne kadar lâyık.” diyerek tasdik ediyorlar.

    Mesela, bütün daire-i imkân ve daire-i vücuba bakan hem o iki şecere-i azîmenin bir tek dalı hükmünde olan imanın erkân-ı sittesi ve o erkânın dal ve budaklarının en ince meyve ve çiçekleri aralarında o kadar bir tenasüp gözetilerek tasvir eder ve o derece bir muvazenet suretinde tarif eder ve o mertebe bir münasebet tarzında izhar eder ki akl-ı beşer idrakinden âciz ve hüsnüne karşı hayran kalır. Ve o iman dalının budağı hükmünde olan İslâmiyet’in erkân-ı hamsesi aralarında ve o erkânın tâ en ince teferruatı, en küçük âdabı ve en uzak gayatı ve en derin hikemiyatı ve en cüz’î semeratına varıncaya kadar aralarında hüsn-ü tenasüp ve kemal-i münasebet ve tam bir muvazenet muhafaza ettiğine delil ise o Kur’an-ı câmiin nusus ve vücuhundan ve işarat ve rumuzundan çıkan şeriat-ı kübra-yı İslâmiyenin kemal-i intizamı ve muvazeneti ve hüsn-ü tenasübü ve resaneti; cerh edilmez bir şahid-i âdil, şüphe getirmez bir bürhan-ı kātı’dır.

    Demek oluyor ki beyanat-ı Kur’aniye, beşerin ilm-i cüz’îsine, bâhusus bir ümminin ilmine müstenid olamaz. Belki bir ilm-i muhite istinad ediyor ve cemi’ eşyayı birden görebilir, ezel ve ebed ortasında bütün hakaiki bir anda müşahede eder bir zatın kelâmıdır. Âmennâ…

    İKİNCİ ZİYA

    Hikmet-i Kur’aniyenin karşısında meydan-ı muarazaya çıkan felsefe-i beşeriyenin, hikmet-i Kur’an’a karşı ne derece sukut ettiğini On İkinci Söz’de izah ve temsil ile tasvir ve sair Sözlerde ispat ettiğimizden onlara havale edip şimdilik başka bir cihette küçük bir muvazene ederiz. Şöyle ki:

    Felsefe ve hikmet-i insaniye, dünyaya sabit bakar; mevcudatın mahiyetlerinden, hâsiyetlerinden tafsilen bahseder. Sâni’ine karşı vazifelerinden bahsetse de icmalen bahseder. Âdeta kâinat kitabının yalnız nakış ve huruflarından bahseder, manasına ehemmiyet vermez.

    Kur’an ise dünyaya geçici, seyyal, aldatıcı, seyyar, kararsız, inkılabcı olarak bakar. Mevcudatın mahiyetlerinden, surî ve maddî hâsiyetlerinden icmalen bahseder. Fakat Sâni’ tarafından tavzif edilen vezaif-i ubudiyetkâranelerinden ve Sâni’in isimlerine ne vechile ve nasıl delâlet ettikleri ve evamir-i tekviniye-i İlahiyeye karşı inkıyadlarını tafsilen zikreder.

    İşte felsefe-i beşeriye ile hikmet-i Kur’aniyenin şu tafsil ve icmal hususundaki farklarına bakacağız ki mahz-ı hak ve ayn-ı hakikat hangisidir göreceğiz.

    İşte nasıl elimizdeki saat, sureten sabit görünüyor. Fakat içindeki çarkların harekâtıyla, daimî içinde bir zelzele ve âlet ve çarklarının ızdırapları vardır. Aynen onun gibi kudret-i İlahiyenin bir saat-i kübrası olan şu dünya, zâhirî sabitiyetiyle beraber daimî zelzele ve tagayyürde, fena ve zevalde yuvarlanıyor.

    Evet, dünyaya zaman girdiği için gece ve gündüz, o saat-i kübranın saniyelerini sayan iki başlı bir mil hükmündedir.

    Sene, o saatin dakikalarını sayan bir ibre vaziyetindedir.

    Asır ise o saatin saatlerini ta’dad eden bir iğnedir. İşte zaman, dünyayı emvac-ı zeval üstüne atar. Bütün mazi ve istikbali ademe verip yalnız zaman-ı hazırı vücuda bırakır.

    Şimdi zamanın dünyaya verdiği şu şekil ile beraber, mekân itibarıyla dahi yine dünya zelzeleli, gayr-ı sabit bir saat hükmündedir. Çünkü cevv-i hava mekânı çabuk tagayyür ettiğinden, bir halden bir hale süraten geçtiğinden bazı günde birkaç defa bulutlar ile dolup boşalmakla, saniye sayan milin suret-i tagayyürü hükmünde bir tagayyür veriyor.

    Şimdi, dünya hanesinin tabanı olan mekân-ı arz ise yüzü mevt ve hayatça, nebat ve hayvanca pek çabuk tebeddül ettiğinden dakikaları sayan bir mil hükmünde, dünyanın şu ciheti geçici olduğunu gösterir.

    Zemin yüzü itibarıyla böyle olduğu gibi batnındaki inkılabat ve zelzelelerle ve onların neticesinde cibalin çıkmaları ve hasflar vuku bulması, saatleri sayan bir mil gibi dünyanın şu ciheti ağırca mürur edicidir, gösterir.

    Dünya hanesinin tavanı olan sema mekânı ise ecramların harekâtıyla, kuyruklu yıldızların zuhuruyla, küsufat ve husufatın vuku bulmasıyla, yıldızların sukut etmeleri gibi tagayyürat gösterir ki semavat dahi sabit değil; ihtiyarlığa, harabiyete gidiyor. Onun tagayyüratı, haftalık saatte günleri sayan bir mil gibi çendan ağır ve geç oluyor. Fakat herhalde geçici ve zeval ve harabiyete karşı gittiğini gösterir.

    İşte dünya, dünya cihetiyle şu yedi rükün üzerinde bina edilmiştir. Şu rükünler, daim onu sarsıyor. Fakat şu sarsılan ve hareket eden dünya, Sâni’ine baktığı vakit, o harekât ve tagayyürat, kalem-i kudretin mektubat-ı Samedaniyeyi yazması için o kalemin işlemesidir. O tebeddülat-ı ahval ise esma-i İlahiyenin cilve-i şuunatını ayrı ayrı tavsifat ile gösteren, tazelenen âyineleridir.

    İşte dünya, dünya itibarıyla hem fenaya gider hem ölmeye koşar hem zelzele içindedir. Hakikatte akarsu gibi rıhlet ettiği halde, gaflet ile sureten incimad etmiş, fikr-i tabiatla kesafet ve küdûret peyda edip âhirete perde olmuştur.

    İşte felsefe-i sakîme tetkikat-ı felsefe ile ve hikmet-i tabiiye ile ve medeniyet-i sefihenin cazibedar lehviyatıyla, sarhoşane hevesatıyla o dünyanın hem cümudetini ziyade edip gafleti kalınlaştırmış hem küdûretle bulanmasını taz’îf edip Sâni’i ve âhireti unutturuyor.

    Amma Kur’an ise şu hakikatteki dünyayı, dünya cihetiyle اَل۟قَارِعَةُ مَا ال۟قَارِعَةُ ۝ اِذَا وَقَعَتِ ال۟وَاقِعَةُ ۝ وَ الطُّورِ وَ كِتَابٍ مَس۟طُورٍ âyâtıyla pamuk gibi hallaç eder, atar.

    اَوَلَم۟ يَن۟ظُرُوا فٖى مَلَكوُتِ السَّمٰوَاتِ وَ ال۟اَر۟ضِ ۝ اَفَلَم۟ يَن۟ظُرُٓوا اِلَى السَّمَٓاءِ فَو۟قَهُم۟ كَي۟فَ بَنَي۟نَاهَا ۝ اَوَلَم۟ يَرَ الَّذٖينَ كَفَرُٓوا اَنَّ السَّمٰوَاتِ وَال۟اَر۟ضَ كَانَتَا رَت۟قًا gibi beyanatıyla o dünyaya şeffafiyet verir ve bulanmasını izale eder.

    اَللّٰهُ نُورُ السَّمٰوَاتِ وَال۟اَر۟ضِ ۝ وَمَا ال۟حَيٰوةُ الدُّن۟يَٓا اِلَّا لَعِبٌ وَ لَه۟وٌ gibi nur-efşan neyyiratıyla, camid dünyayı eritir. اِذَا الشَّم۟سُ كُوِّرَت۟    ve اِذَا السَّمَٓاءُ ان۟فَطَرَت۟    ve اِذَا السَّمَٓاءُ ان۟شَقَّت۟ ۝ وَنُفِخَ فِى الصُّورِ فَصَعِقَ مَن۟ فِى السَّمٰوَاتِ وَمَن۟ فِى ال۟اَر۟ضِ اِلَّا مَن۟ شَٓاءَ اللّٰهُ mevt-âlûd tabirleriyle dünyanın ebediyet-i mevhumesini parça parça eder.

    يَع۟لَمُ مَا يَلِجُ فِى ال۟اَر۟ضِ وَمَا يَخ۟رُجُ مِن۟هَا وَمَا يَن۟زِلُ مِنَ السَّمَٓاءِ وَمَا يَع۟رُجُ فٖيهَا وَهُوَ مَعَكُم۟ اَي۟نَ مَا كُن۟تُم۟ وَاللّٰهُ بِمَا تَع۟مَلُونَ بَصٖيرٌ ۝ وَقُلِ ال۟حَم۟دُ لِلّٰهِ سَيُرٖيكُم۟ اٰيَاتِهٖ فَتَع۟رِفُونَهَا وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَع۟مَلُونَ ۝

    Gök gürlemesi gibi sayhalarıyla tabiat fikrini tevlid eden gafleti dağıtır.

    İşte Kur’an’ın baştan başa kâinata müteveccih olan âyâtı, şu esasa göre gider. Hakikat-i dünyayı olduğu gibi açar, gösterir. Çirkin dünyayı, ne kadar çirkin olduğunu göstermekle beşerin yüzünü ondan çevirtir, Sâni’e bakan güzel dünyanın güzel yüzünü gösterir. Beşerin gözünü ona diktirir. Hakiki hikmeti ders verir. Kâinat kitabının manalarını talim eder. Hurufat ve nukuşlarına az bakar. Sarhoş felsefe gibi çirkine âşık olup, manayı unutturup hurufatın nukuşuyla insanların vaktini malayaniyatta sarf ettirmiyor.

    ÜÇÜNCÜ ZİYA

    İkinci Ziya’da hikmet-i beşeriyenin hikmet-i Kur’aniyeye karşı sukutuna ve hikmet-i Kur’aniyenin i’cazına işaret ettik. Şimdi şu ziyada, Kur’an’ın şakirdleri olan asfiya ve evliya ve hükemanın münevver kısmı olan hükema-yı işrakiyyunun hikmetleriyle Kur’an’ın hikmetine karşı derecesini gösterip, şu cihette Kur’an’ın i’cazına muhtasar bir işaret edeceğiz:

    İşte Kur’an-ı Hakîm’in ulviyetine en sadık bir delil ve hakkaniyetine en zâhir bir bürhan ve i’cazına en kavî bir alâmet şudur ki:

    Kur’an, bütün aksam-ı tevhidin bütün meratibini, bütün levazımatıyla muhafaza ederek beyan edip muvazenesini bozmamış, muhafaza etmiş. Hem bütün hakaik-i âliye-i İlahiyenin muvazenesini muhafaza etmiş. Hem bütün esma-i hüsnanın iktiza ettikleri ahkâmları cem’etmiş, o ahkâmın tenasübünü muhafaza etmiş. Hem rububiyet ve uluhiyetin şuunatını kemal-i muvazene ile cem’etmiştir.

    İşte şu muhafaza ve muvazene ve cem’, bir hâsiyettir. Kat’iyen beşerin eserinde mevcud değil ve eâzım-ı insaniyenin netaic-i efkârında bulunmuyor. Ne melekûte geçen evliyaların eserinde, ne umûrun bâtınlarına geçen işrakiyyunun kitaplarında, ne âlem-i gayba nüfuz eden ruhanîlerin maarifinde hiç bulunmuyor. Güya bir taksimü’l-a’mal hükmünde her bir kısmı hakikatin şecere-i uzmasından yalnız bir iki dalına yapışıyor. Yalnız onun meyvesiyle, yaprağıyla uğraşıyor. Başkasından ya haberi yok yahut bakmıyor.

    Evet hakikat-i mutlaka, mukayyed enzar ile ihata edilmez. Kur’an gibi bir nazar-ı küllî lâzım ki ihata etsin. Kur’an’dan başka çendan Kur’an’dan da ders alıyorlar fakat hakikat-i külliyenin, cüz’î zihniyle yalnız bir iki tarafını tamamen görür, onunla meşgul olur, onda hapsolur. Ya ifrat veya tefrit ile hakaikin muvazenesini ihlâl edip tenasübünü izale eder.

    Şu hakikat, Yirmi Dördüncü Söz’ün İkinci Dal’ında acib bir temsil ile izah edilmiştir. Şimdi de başka bir temsil ile şu meseleye işaret ederiz. Mesela: Bir denizde hesapsız cevherlerin aksamıyla dolu bir definenin bulunduğunu farz edelim. Gavvas dalgıçlar, o definenin cevahirini aramak için dalıyorlar. Gözleri kapalı olduğundan el yordamıyla anlarlar. Bir kısmının eline uzunca bir elmas geçer. O gavvas hükmeder ki bütün hazine, uzun direk gibi bir elmastan ibarettir. Arkadaşlarından başka cevahiri işittiği vakit hayal eder ki o cevherler, bulduğu elmasın tabileridir, fusus ve nukuşlarıdır. Bir kısmının da kürevî bir yakut eline geçer, başkası murabba bir kehribar bulur ve hâkeza… Her biri eliyle gördüğü cevheri, o hazinenin aslı ve mu’zamı itikad edip işittiklerini o hazinenin zevaid ve teferruatı zanneder. O vakit hakaikin muvazenesi bozulur. Tenasüp de gider. Çok hakikatin rengi değişir. Hakikatin hakiki rengini görmek için tevilata ve tekellüfata muztar kalır. Hattâ bazen inkâr ve tatile kadar giderler. Hükema-yı işrakiyyunun kitaplarına ve sünnetin mizanıyla tartmayıp keşfiyat ve meşhudatına itimat eden mutasavvıfînin kitaplarına teemmül eden, bu hükmümüzü bilâ-şüphe tasdik eder. Demek, hakaik-i Kur’aniyenin cinsinden ve Kur’an’ın dersinden aldıkları halde –çünkü Kur’an değiller– böyle nâkıs geliyor.

    Bahr-i hakaik olan Kur’an’ın âyetleri dahi o deniz içindeki definenin bir gavvasıdır. Lâkin onların gözleri açık, defineyi ihata eder. Definede ne var ne yok görür. O defineyi öyle bir tenasüp ve intizam ve insicamla tavsif eder, beyan eder ki hakiki hüsn-ü cemali gösterir. Mesela, âyet-i وَال۟اَر۟ضُ جَمٖيعًا قَب۟ضَتُهُ يَو۟مَ ال۟قِيَامَةِ وَالسَّمٰوَاتُ مَط۟وِيَّاتٌ بِيَمٖينِهٖ ۝ يَو۟مَ نَط۟وِى السَّمَٓاءَ كَطَىِّ السِّجِلِّ لِل۟كُتُبِ ifade ettikleri azamet-i rububiyeti gördüğü gibi اِنَّ اللّٰهَ لَا يَخ۟فٰى عَلَي۟هِ شَى۟ءٌ فِى ال۟اَر۟ضِ وَلَا فِى السَّمَٓاءِ ۝ هُوَ الَّذٖى يُصَوِّرُكُم۟ فِى ال۟اَر۟حَامِ كَي۟فَ يَشَٓاءُ ۝ مَا مِن۟ دَٓابَّةٍ اِلَّا هُوَ اٰخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا ۝ وَكَاَيِّن۟ مِن۟ دَٓابَّةٍ لَا تَح۟مِلُ رِز۟قَهَا اَللّٰهُ يَر۟زُقُهَا وَاِيَّاكُم۟ ifade ettikleri şümul-ü rahmeti görüyor, gösteriyor. Hem خَلَقَ السَّمٰوَاتِ وَال۟اَر۟ضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ ifade ettiği vüs’at-i hallakıyeti görüp gösterdiği gibi خَلَقَكُم۟ وَمَا تَع۟مَلُونَ    ifade ettiği şümul-ü tasarrufu ve ihata-i rububiyeti görüp gösterir. يُح۟يِى ال۟اَر۟ضَ بَع۟دَ مَو۟تِهَا    ifade ettiği hakikat-i azîme ile وَ اَو۟حٰى رَبُّكَ اِلَى النَّح۟لِ    ifade ettiği hakikat-i kerîmaneyi وَ الشَّم۟سَ وَال۟قَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِاَم۟رِهٖ ifade ettiği hakikat-i azîme-i hâkimane-i âmiraneyi görür, gösterir. اَوَ لَم۟ يَرَو۟ا اِلَى الطَّي۟رِ فَو۟قَهُم۟ صَٓافَّاتٍ وَيَق۟بِض۟نَ مَا يُم۟سِكُهُنَّ اِلَّا الرَّح۟مٰنُ اِنَّهُ بِكُلِّ شَى۟ءٍ بَصٖيرٌ ifade ettikleri hakikat-i rahîmane-i müdebbiraneyi وَسِعَ كُر۟سِيُّهُ السَّمٰوَاتِ وَال۟اَر۟ضَ وَلَا يَؤُدُهُ حِف۟ظُهُمَا ifade ettiği hakikat-i azîme ile وَهُوَ مَعَكُم۟ اَي۟نَ مَا كُن۟تُم۟ ifade ettiği hakikat-i rakibaneyi هُوَ ال۟اَوَّلُ وَال۟اٰخِرُ وَالظَّاهِرُ وَال۟بَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَى۟ءٍ عَلٖيمٌ ifade ettiği hakikat-i muhita gibi وَلَقَد۟ خَلَق۟نَا ال۟اِن۟سَانَ وَنَع۟لَمُ مَا تُوَس۟وِسُ بِهٖ نَف۟سُهُ وَ نَح۟نُ اَق۟رَبُ اِلَي۟هِ مِن۟ حَب۟لِ ال۟وَرٖيدِ ifade ettiği akrebiyeti تَع۟رُجُ ال۟مَلٰٓئِكَةُ وَالرُّوحُ اِلَي۟هِ فٖى يَو۟مٍ كَانَ مِق۟دَارُهُ خَم۟سٖينَ اَل۟فَ سَنَةٍ işaret ettiği hakikat-i ulviyeyi اِنَّ اللّٰهَ يَا۟مُرُ بِال۟عَد۟لِ وَال۟اِح۟سَانِ وَاٖيتَٓائِ ذِى ال۟قُر۟بٰى وَيَن۟هٰى عَنِ ال۟فَح۟شَٓاءِ وَال۟مُن۟كَرِ وَال۟بَغ۟ىِ ifade ettiği hakikat-i câmia gibi bütün uhrevî ve dünyevî, ilmî ve amelî erkân-ı sitte-i imaniyenin her birisini tafsilen ve erkân-ı hamse-i İslâmiyenin her birisini kasden ve cidden ve saadet-i dâreyni temin eden bütün düsturları görür, gösterir. Muvazenesini muhafaza edip, tenasübünü idame edip o hakaikin heyet-i mecmuasının tenasübünden hasıl olan hüsün ve cemalin menbaından Kur’an’ın bir i’caz-ı manevîsi neş’et eder.

    İşte şu sırr-ı azîmdendir ki ulema-i ilm-i kelâm, Kur’an’ın şakirdleri oldukları halde, bir kısmı onar cilt olarak erkân-ı imaniyeye dair binler eser yazdıkları halde, Mutezile gibi aklı nakle tercih ettikleri için Kur’an’ın on âyeti kadar vuzuh ile ifade ve kat’î ispat ve ciddi ikna edememişler. Âdeta onlar, uzak dağların altında lağım yapıp, borularla tâ âlemin nihayetine kadar silsile-i esbab ile gidip orada silsileyi keser. Sonra âb-ı hayat hükmünde olan marifet-i İlahiyeyi ve vücud-u Vâcibü’l-vücud’u ispat ederler.

    Âyet-i kerîme ise her birisi birer asâ-yı Musa gibi her yerde suyu çıkarabilir, her şeyden bir pencere açar, Sâni’-i Zülcelal’i tanıttırır. Kur’an’ın bahrinden tereşşuh eden Arabî “Katre Risalesi”nde ve sair Sözlerde şu hakikat fiilen ispat edilmiş ve göstermişiz.

    İşte hem şu sırdandır ki bâtın-ı umûra gidip, sünnet-i seniyeye ittiba etmeyerek, meşhudatına itimat ederek yarı yoldan dönen ve bir cemaatin riyasetine geçip bir fırka teşkil eden fırak-ı dâllenin bütün imamları hakaikin tenasübünü, muvazenesini muhafaza edemediğindendir ki böyle bid’aya, dalalete düşüp bir cemaat-i beşeriyeyi yanlış yola sevk etmişler. İşte bunların bütün aczleri, âyât-ı Kur’aniyenin i’cazını gösterir.

    HÂTİME

    Kur’an’ın lemaat-ı i’cazından iki lem’a-i i’caziye, On Dokuzuncu Söz’ün On Dördüncü Reşha’sında geçmiştir ki bir sebeb-i kusur zannedilen tekraratı ve ulûm-u kevniyede icmali, her biri birer lem’a-i i’cazın menbaıdır. Hem Kur’an’da mu’cizat-ı enbiya yüzünde parlayan bir lem’a-i i’caz-ı Kur’an, Yirminci Söz’ün İkinci Makamı’nda vâzıhan gösterilmiştir. Daha bunlar gibi sair Sözlerde ve risale-i Arabiyemde çok lemaat-ı i’caziye zikredilip onlara iktifaen yalnız şunu deriz ki:

    Bir mu’cize-i Kur’aniye daha şudur ki: Nasıl bütün mu’cizat-ı enbiya, Kur’an’ın bir nakş-ı i’cazını göstermiştir; öyle de Kur’an, bütün mu’cizatıyla bir mu’cize-i Ahmediye (asm) olur. Ve bütün mu’cizat-ı Ahmediye (asm) dahi Kur’an’ın bir mu’cizesidir ki Kur’an’ın Cenab-ı Hakk’a karşı nisbetini gösterir ve o nisbetin zuhuruyla her bir kelimesi bir mu’cize olur. Çünkü o vakit bir tek kelime, bir çekirdek gibi bir şecere-i hakaiki manen tazammun edebilir. Hem merkez-i kalp gibi hakikat-i uzmanın bütün azasına münasebettar olabilir. Hem bir ilm-i muhite ve nihayetsiz bir iradeye istinad ettiği için hurufuyla, heyetiyle, vaziyetiyle, mevkiiyle hadsiz eşyaya bakabilir. İşte şu sırdandır ki ulema-i ilm-i huruf, Kur’an’ın bir harfinden bir sahife kadar esrar bulduklarını iddia ederler ve davalarını o fennin ehline ispat ediyorlar.

    Risalenin başından şuraya kadar bütün şuleleri, şuâları, lem’aları, nurları, ziyaları nazara topla; birden bak. Baştaki dava, şimdi kat’î netice olarak yani قُل۟ لَئِنِ اج۟تَمَعَتِ ال۟اِن۟سُ وَال۟جِنُّ عَلٰٓى اَن۟ يَا۟تُوا بِمِث۟لِ هٰذَا ال۟قُر۟اٰنِ لَا يَا۟تُونَ بِمِث۟لِهٖ وَلَو۟ كَانَ بَع۟ضُهُم۟ لِبَع۟ضٍ ظَهٖيرًا yı yüksek bir sadâ ile okuyup ilan ediyorlar.

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذ۟نَٓا اِن۟ نَسٖينَٓا اَو۟ اَخ۟طَا۟نَا ۝ رَبِّ اش۟رَح۟ لٖى صَد۟رٖى ۝ وَيَسِّر۟لٖٓى اَم۟رٖى ۝ وَاح۟لُل۟ عُق۟دَةً مِن۟ لِسَانٖى ۝ يَف۟قَهُوا قَو۟لٖى اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّم۟ اَف۟ضَلَ وَ اَج۟مَلَ وَ اَن۟بَلَ وَ اَظ۟هَرَ وَ اَط۟هَرَ وَ اَح۟سَنَ وَاَبَرَّ وَ اَك۟رَمَ وَ اَعَزَّ وَ اَع۟ظَمَ وَ اَش۟رَفَ وَ اَع۟لٰى وَ اَز۟كٰى وَ اَب۟رَكَ وَ اَل۟طَفَ صَلَوَاتِكَ وَ اَو۟فٰى وَ اَك۟ثَرَ وَ اَز۟يَدَ وَ اَر۟قٰى وَ اَر۟فَعَ وَ اَد۟وَمَ سَلَامِكَ صَلَاةً وَ سَلَامًا وَ رَح۟مَةً وَ رِض۟وَانًا وَ عَف۟وًا وَ غُف۟رَانًا تَم۟تَدُّ وَ تَزٖيدُ بِوَابِلِ سَحَائِبِ مَوَاهِبِ جُودِكَ وَ كَرَمِكَ وَ تَن۟مُو وَ تَز۟كُو بِنَفَائِسِ شَرَائِفِ لَطَائِفِ جُودِكَ وَ مِنَنِكَ،  اَزَلِيَّةً بِاَزَلِيَّتِكَ لَا تَزُولُ،  اَبَدِيَّةً بِاَبَدِيَّتِكَ لَا تَحُولُ، عَلٰى عَب۟دِكَ وَ حَبٖيبِكَ وَ رَسُولِكَ مُحَمَّدٍ خَي۟رِ خَل۟قِكَ النُّورِ ال۟بَاهِرِ اللَّامِعِ وَ ال۟بُر۟هَانِ الظَّاهِرِ ال۟قَاطِعِ وَ ال۟بَح۟رِ الذَّاخِرِ وَ النُّورِ ال۟غَامِرِ وَ ال۟جَمَالِ الزَّاهِرِ وَ ال۟جَلَالِ ال۟قَاهِرِ وَ ال۟كَمَالِ ال۟فَاخِرِ صَلَاتَكَ الَّتٖى صَلَّي۟تَ بِعَظَمَةِ ذَاتِكَ عَلَي۟هِ وَ عَلٰى اٰلِهٖ وَ صَح۟بِهٖ كَذٰلِكَ صَلَاةً تَغ۟فِرُ بِهَا ذُنُوبَنَا وَ تَش۟رَحُ بِهَا صُدُورَنَا وَ تُطَهِّرُ بِهَا قُلُوبَنَا وَ تُرَوِّحُ بِهَا اَر۟وَاحَنَا وَ تُقَدِّسُ بِهَا اَس۟رَارَنَا وَ تُنَزِّهُ بِهَا خَوَاطِرَنَا وَ اَف۟كَارَنَا وَ تُصَفّٖى بِهَا كُدُورَاتِ مَا فٖى اَس۟رَارِنَا وَ تَش۟فٖى بِهَا اَم۟رَاضَنَا وَ تَف۟تَحُ بِهَا اَق۟فَالَ قُلُوبِنَا رَبَّنَا لَا تُزِغ۟ قُلُوبَنَا بَع۟دَ اِذ۟ هَدَي۟تَنَا وَهَب۟ لَنَا مِن۟ لَدُن۟كَ رَح۟مَةً اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟وَهَّابُ وَ اٰخِرُ دَع۟وٰيهُم۟ اَنِ ال۟حَم۟دُ لِلّٰهِ رَبِّ ال۟عَالَمٖينَ ۝ اٰمٖينَ اٰمٖينَ اٰمٖينَ

    BİRİNCİ ZEYL

    (Makam itibarıyla Yirmi Beşinci Söz’e ilhak edilen zeyllerden, Yedinci Şuâ’nın Birinci Makam’ının on yedinci mertebesidir.)

    Bu dünyada hayatın gayesi ve hayatın hayatı iman olduğunu bilen bu yorulmaz ve tok olmaz dünya seyyahı ve kâinattan Rabb’ini soran yolcu, kendi kalbine dedi ki: Aradığımız zatın sözü ve kelâmı denilen, bu dünyada en meşhur ve en parlak ve en hâkim ve ona teslim olmayan herkese, her asırda meydan okuyan Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan namındaki kitaba müracaat edip o ne diyor, bilelim. Fakat en evvel bu kitap, bizim Hâlık’ımızın kitabı olduğunu ispat etmek lâzımdır diye taharriye başladı.

    Bu seyyah bu zamanda bulunduğu münasebetiyle en evvel manevî i’caz-ı Kur’anînin lem’aları olan Risale-i Nur’a baktı ve onun yüz otuz risaleleri, âyât-ı Furkaniyenin nükteleri ve ışıkları ve esaslı tefsirleri olduğunu gördü. Ve Risale-i Nur, bu kadar muannid ve mülhid bir asırda her tarafa hakaik-i Kur’aniyeyi mücahidane neşrettiği halde, karşısına kimse çıkamadığından ispat eder ki onun üstadı ve menbaı ve mercii ve güneşi olan Kur’an semavîdir, beşer kelâmı değildir.

    Hattâ Risale-i Nur’un yüzer hüccetlerinden bir tek hüccet-i Kur’aniyesi olan Yirmi Beşinci Söz ile On Dokuzuncu Mektup’un âhiri, Kur’an’ın kırk vecihle mu’cize olduğunu öyle ispat etmiş ki kim görmüşse değil tenkit ve itiraz etmek, belki ispatlarına hayran olmuş, takdir ederek çok sena etmiş. Kur’an’ın vech-i i’cazını ve hak kelâmullah olduğunu ispat etmek cihetini Risale-i Nur’a havale ederek, yalnız kısa bir işaretle büyüklüğünü gösteren birkaç noktaya dikkat etti.

    Birinci Nokta: Nasıl ki Kur’an, bütün mu’cizatıyla ve hakkaniyetine delil olan bütün hakaikiyle Muhammed aleyhissalâtü vesselâmın bir mu’cizesidir. Öyle de Muhammed aleyhissalâtü vesselâm da bütün mu’cizatıyla ve delail-i nübüvvetiyle ve kemalât-ı ilmiyesiyle Kur’an’ın bir mu’cizesidir ve Kur’an kelâmullah olduğuna bir hüccet-i kātıasıdır.

    İkinci Nokta: Kur’an, bu dünyada öyle nurani ve saadetli ve hakikatli bir surette bir tebdil-i hayat-ı içtimaiye ile beraber, insanların hem nefislerinde hem kalplerinde hem ruhlarında hem akıllarında hem hayat-ı şahsiyelerinde hem hayat-ı içtimaiyelerinde hem hayat-ı siyasiyelerinde öyle bir inkılab yapmış ve idame etmiş ve idare etmiş ki on dört asır müddetinde her dakikada altı bin altı yüz altmış altı âyetleri, kemal-i ihtiramla hiç olmazsa yüz milyondan ziyade insanların dilleriyle okunuyor ve insanları terbiye ve nefislerini tezkiye ve kalplerini tasfiye ediyor; ruhlara inkişaf ve terakki ve akıllara istikamet ve nur ve hayata hayat ve saadet veriyor. Elbette böyle bir kitabın misli yoktur, hârikadır, fevkalâdedir, mu’cizedir.

    Üçüncü Nokta: Kur’an, o asırdan tâ şimdiye kadar öyle bir belâgat göstermiş ki Kâbe’nin duvarında altınla yazılan en meşhur ediblerin “Muallakat-ı Seb’a” namıyla şöhret-şiar kasidelerini o dereceye indirdi ki Lebid’in kızı, babasının kasidesini Kâbe’den indirirken demiş: “Âyâta karşı bunun kıymeti kalmadı.”

    Hem bedevî bir edib   فَاص۟دَع۟ بِمَا تُؤ۟مَرُ    âyeti okunurken işittiği vakit secdeye kapanmış. Ona dediler: “Sen Müslüman mı oldun?” Dedi: “Yok, ben bu âyetin belâgatına secde ettim.”

    Hem ilm-i belâgatın dâhîlerinden Abdülkahir-i Cürcanî ve Sekkakî ve Zemahşerî gibi binler dâhî imamlar ve mütefennin edibler, icma ve ittifakla karar vermişler ki: “Kur’an’ın belâgatı, tâkat-i beşerin fevkindedir, yetişilmez.”

    Hem o zamandan beri mütemadiyen meydan-ı muarazaya davet edip, mağrur ve enaniyetli ediblerin ve beliğlerin damarlarına dokundurup gururlarını kıracak bir tarzda der: “Ya bir tek surenin mislini getiriniz veyahut dünyada ve âhirette helâket ve zilleti kabul ediniz.” diye ilan ettiği halde o asrın muannid beliğleri, bir tek surenin mislini getirmekle kısa bir yol olan muarazayı bırakıp, uzun olan ve can ve mallarını tehlikeye atan muharebe yolunu ihtiyar etmeleri ispat eder ki o kısa yolda gitmek mümkün değildir.

    Hem Kur’an’ın dostları, Kur’an’a benzemek ve taklit etmek şevkiyle ve düşmanları dahi Kur’an’a mukabele ve tenkit etmek sevkiyle o vakitten beri yazdıkları ve yazılan ve telahuk-u efkâr ile terakki eden milyonlar Arabî kitaplar ortada geziyor. Hiçbirisi ona yetişemediğini hattâ en âmî adam dahi dinlese elbette diyecek: Bu Kur’an, bunlara benzemez ve onların mertebesinde değil. Ya onların altında veya umumunun fevkinde olacak. Umumunun altında olduğunu dünyada hiçbir fert, hiçbir kâfir, hattâ hiçbir ahmak diyemez. Demek, mertebe-i belâgatı umumun fevkindedir.

    Hattâ bir adam سَبَّحَ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوَاتِ وَال۟اَر۟ضِ âyetini okudu. Dedi: “Bunun hârika telakki edilen belâgatını göremiyorum.” Ona denildi: “Sen dahi bu seyyah gibi o zamana git, orada dinle.” O da kendini Kur’an’dan evvel orada tahayyül ederken gördü ki mevcudat-ı âlem perişan, karanlıklı, camid ve şuursuz ve vazifesiz olarak hâlî, hadsiz, hudutsuz bir fezada; kararsız, fâni bir dünyada bulunuyorlar. Birden Kur’an’ın lisanından bu âyeti dinlerken gördü:

    Bu âyet, kâinat üstünde, dünyanın yüzünde öyle bir perde açtı, ışıklandırdı ki bu ezelî nutuk ve sermedî ferman, asırlar sıralarında dizilen zîşuurlara ders verip gösteriyor ki bu kâinat bir câmi-i kebir hükmünde başta semavat ve arz olarak umum mahlukat hayattarane zikir ve tesbihte ve vazifeler başında cûş u hurûşla mesudane ve memnunane bir vaziyette bulunuyor diye müşahede etti. Ve bu âyetin derece-i belâgatını zevk ederek sair âyetleri buna kıyasla Kur’an’ın zemzeme-i belâgatı arzın nısfını ve nev-i beşerin humsunu istila ederek haşmet-i saltanatı, kemal-i ihtiramla on dört asır bilâ-fâsıla idame ettiğinin binler hikmetlerinden bir hikmetini anladı.

    Dördüncü Nokta: Kur’an, öyle hakikatli bir halâvet göstermiş ki en tatlı bir şeyden dahi usandıran çok tekrar, Kur’an’ı tilavet edenler için değil usandırmak, belki kalbi çürümemiş ve zevki bozulmamış adamlara tekrar-ı tilaveti halâvetini ziyadeleştirdiği, eski zamandan beri herkesçe müsellem olup darb-ı mesel hükmüne geçmiş.

    Hem öyle bir tazelik ve gençlik ve şebabet ve garabet göstermiş ki on dört asır yaşadığı ve herkesin eline kolayca girdiği halde, şimdi nâzil olmuş gibi tazeliğini muhafaza ediyor. Her asır, kendine hitap ediyor gibi bir gençlikte görmüş. Her taife-i ilmiye ondan her vakit istifade etmek için kesretle ve mebzuliyetle yanlarında bulundurdukları ve üslub-u ifadesine ittiba ve iktida ettikleri halde o üslubundaki ve tarz-ı beyanındaki garabetini aynen muhafaza ediyor.

    Beşinci Nokta: Kur’an’ın bir cenahı mazide, bir cenahı müstakbelde, kökü ve bir kanadı eski peygamberlerin ittifaklı hakikatleri olduğu ve bu onları tasdik ve teyid ettiği ve onlar dahi tevafukun lisan-ı haliyle bunu tasdik ettikleri gibi; öyle de evliya ve asfiya gibi ondan hayat alan semereleri, hayattar tekemmülleriyle, şecere-i mübarekelerinin hayattar, feyizdar ve hakikat-medar olduğuna delâlet eden ve ikinci kanadının himayesi altında yetişen ve yaşayan velayetin bütün hak tarîkatları ve İslâmiyet’in bütün hakikatli ilimleri, Kur’an’ın ayn-ı hak ve mecma-ı hakaik ve câmiiyette misilsiz bir hârika olduğuna şehadet eder.

    Altıncı Nokta: Kur’an’ın altı ciheti nuranidir, sıdk ve hakkaniyetini gösterir. Evet, altında hüccet ve bürhan direkleri, üstünde sikke-i i’caz lem’aları, önünde ve hedefinde saadet-i dâreyn hediyeleri ve arkasında nokta-i istinadı vahy-i semavî hakikatleri, sağında hadsiz ukûl-ü müstakimenin deliller ile tasdikleri, solunda selim kalplerin ve temiz vicdanların ciddi itminanları ve samimi incizabları ve teslimleri; Kur’an’ın fevkalâde, hârika, metin, hücum edilmez bir kale-i semaviye-i arziye olduğunu ispat ettikleri gibi; altı makamdan dahi onun ayn-ı hak ve sadık olduğunu ve beşerin kelâmı olmadığını ve yanlışı bulunmadığını imza eden, başta bu kâinatta daima güzelliği izhar, iyiliği ve doğruluğu himaye ve sahtekârları ve müfterileri imha ve izale etmek âdetini bir düstur-u faaliyet ittihaz eden bu kâinatın mutasarrıfı, o Kur’an’a âlemde en makbul en yüksek en hâkimane bir makam-ı hürmet ve bir mertebe-i muvaffakiyet vermesiyle onu tasdik ve imza ettiği gibi; İslâmiyet’in menbaı ve Kur’an’ın bir tercümanı olan zatın (asm) herkesten ziyade ona itikad ve ihtiramı ve nüzulü zamanında uyku gibi bir vaziyet-i nâimanede bulunması ve sair kelâmları ona yetişememesi ve bir derece benzememesi ve ümmiyetiyle beraber gitmiş ve gelecek hakiki hâdisat-ı kevniyeyi, gaybiyane Kur’an ile tereddütsüz ve itminan ile beyan etmesi ve çok dikkatli gözlerin nazarı altında hiçbir hile, hiçbir yanlış vaziyeti görülmeyen o tercüman, bütün kuvvetiyle Kur’an’ın her bir hükmünü öyle iman ve tasdik edip hiçbir şey onu sarsmaması dahi Kur’an’ın semavî, hakkaniyetli ve kendi Hâlık-ı Rahîm’inin mübarek kelâmı olduğunu imza ediyor.

    Hem nev-i insanın humsu, belki kısm-ı a’zamı, göz önündeki o Kur’an’a müncezibane ve dindarane irtibatı ve hakikat-perestane ve müştakane kulak vermesi ve çok emarelerin ve vakıaların ve keşfiyatın şehadetiyle, cin ve melek ve ruhanîler dahi tilaveti vaktinde pervane gibi etrafında hakperestane toplanmaları, Kur’an’ın kâinatça makbuliyetine ve en yüksek bir makamda bulunduğuna bir imzadır.

    Hem nev-i beşerin umum tabakaları, en gabi ve âmîden tut tâ en zeki ve âlime kadar her birisi, Kur’an’ın dersinden tam hisse almaları ve en derin hakikatleri fehmetmeleri ve yüzer fen ve ulûm-u İslâmiyenin ve bilhassa şeriat-ı kübranın büyük müçtehidleri ve usûlü’d-din ve ilm-i kelâmın dâhî muhakkikleri gibi her taife kendi ilmine ait bütün hâcatını ve cevaplarını Kur’an’dan istihraç etmeleri, Kur’an’ın menba-ı hak ve maden-i hakikat olduğuna bir imzadır.

    Hem edebiyatça en ileri bulunan Arap edibleri –şimdiye kadar Müslüman olmayanlar– muarazaya pek çok muhtaç oldukları halde, Kur’an’ın i’cazından yedi büyük vechi varken, yalnız bir tek vechi olan belâgatının –tek bir suresinin– mislini getirmekten istinkâfları ve şimdiye kadar gelen ve muaraza ile şöhret kazanmak isteyen meşhur beliğlerin ve dâhî âlimlerin onun hiçbir vech-i i’cazına karşı çıkamamaları ve âcizane sükût etmeleri; Kur’an mu’cize ve tâkat-i beşerin fevkinde olduğuna bir imzadır.

    Evet, bir kelâm “Kimden gelmiş ve kime gelmiş ve ne için?” denilmesiyle kıymeti ve ulviyeti ve belâgatı tezahür etmesi noktasından Kur’an’ın misli olamaz ve ona yetişilemez. Çünkü Kur’an, bütün âlemlerin Rabb’i ve bütün kâinatın Hâlık’ının hitabı ve konuşması ve hiçbir cihette taklidi ve tasannuu ihsas edecek hiçbir emare bulunmayan bir mükâlemesi ve bütün insanların belki bütün mahlukatın namına mebus ve nev-i beşerin en meşhur ve namdar muhatabı bulunan ve o muhatabın kuvvet ve vüs’at-i imanı, koca İslâmiyet’i tereşşuh edip sahibini Kab-ı Kavseyn makamına çıkararak muhatab-ı Samedaniyeye mazhariyetle nüzul eden ve saadet-i dâreyne dair ve hilkat-i kâinatın neticelerine ve ondaki Rabbanî maksatlara ait mesaili ve o muhatabın bütün hakaik-i İslâmiyeyi taşıyan en yüksek ve en geniş olan imanını beyan ve izah eden ve koca kâinatı bir harita, bir saat, bir hane gibi her tarafını gösterip, çevirip onları yapan sanatkârı tavrıyla ifade ve talim eden Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan’ın elbette mislini getirmek mümkün değildir ve derece-i i’cazına yetişilmez.

    Hem Kur’an’ı tefsir eden ve bir kısmı otuz kırk hattâ yetmiş cilt olarak birer tefsir yazan yüksek zekâlı müdakkik binler mütefennin ulemanın, senetleri ve delilleriyle beyan ettikleri Kur’an’daki hadsiz meziyetleri ve nükteleri ve hâsiyetleri ve sırları ve âlî manaları ve umûr-u gaybiyenin her nevinden kesretli gaybî ihbarları izhar ve ispat etmeleri ve bilhassa Risale-i Nur’un yüz otuz kitabı, her biri Kur’an’ın bir meziyetini, bir nüktesini kat’î bürhanlarla ispat etmesi ve bilhassa Mu’cizat-ı Kur’aniye Risalesi, şimendifer ve tayyare gibi medeniyetin hârikalarından çok şeyleri Kur’an’dan istihraç eden Yirminci Söz’ün İkinci Makamı ve Risale-i Nur’a ve elektriğe işaret eden âyetlerin işaratını bildiren İşarat-ı Kur’aniye namındaki Birinci Şuâ ve huruf-u Kur’aniye ne kadar muntazam ve esrarlı ve manalı olduğunu gösteren Rumuzat-ı Semaniye namındaki sekiz küçük risaleler ve Sure-i Feth’in âhirki âyeti beş vecihle ihbar-ı gaybî cihetinde mu’cizeliğini ispat eden küçücük bir risale gibi Risale-i Nur’un her bir cüzü, Kur’an’ın bir hakikatini, bir nurunu izhar etmesi; Kur’an’ın misli olmadığına ve mu’cize ve hârika olduğuna ve bu âlem-i şehadette âlem-i gaybın lisanı ve bir Allâmü’l-guyub’un kelâmı bulunduğuna bir imzadır.

    İşte altı noktada ve altı cihette ve altı makamda işaret edilen, Kur’an’ın mezkûr meziyetleri ve hâsiyetleri içindir ki haşmetli hâkimiyet-i nuraniyesi ve azametli saltanat-ı kudsiyesi, asırların yüzlerini ışıklandırarak zemin yüzünü dahi bin üç yüz sene tenvir ederek kemal-i ihtiram ile devam etmesi hem o hâsiyetleri içindir ki Kur’an’ın her bir harfi, hiç olmazsa on sevabı, on haseneyi ve on meyve-i bâki vermesi, hattâ bir kısım âyâtın ve surelerin her bir harfi, yüz ve bin ve daha ziyade meyve vermesi ve mübarek vakitlerde her bir harfin nuru ve sevabı ve kıymeti ondan yüzlere çıkması gibi kudsî imtiyazları kazanmış diye dünya seyyahı anladı ve kalbine dedi:

    İşte böyle her cihetle mu’cizatlı bu Kur’an, surelerinin icmaıyla ve âyâtının ittifakıyla ve esrar ve envarının tevafukuyla ve semerat ve âsârının tetabukuyla bir tek Vâcibü’l-vücud’un vücuduna ve vahdetine ve sıfâtına ve esmasına deliller ile ispat suretinde öyle şehadet etmiş ki bütün ehl-i imanın hadsiz şehadetleri, onun şehadetinden tereşşuh etmişler.

    İşte bu yolcunun Kur’an’dan aldığı ders-i tevhid ve imana kısa bir işaret olarak Birinci Makam’ın on yedinci mertebesinde böyle:

    لَٓا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ ال۟وَاجِبُ ال۟وُجُودِ ال۟وَاحِدُ ال۟اَحَدُ الَّذٖى دَلَّ عَلٰى وُجُوبِ وُجُودِهٖ فٖى وَح۟دَتِهِ ال۟قُر۟اٰنُ ال۟مُع۟جِزُ ال۟بَيَانِ اَل۟مَق۟بُولُ ال۟مَر۟غُوبُ لِاَج۟نَاسِ ال۟مَلَكِ وَ ال۟اِن۟سِ وَ ال۟جَانِّ اَل۟مَق۟رُوءُ كُلُّ اٰيَاتِهٖ فٖى كُلِّ دَقٖيقَةٍ بِكَمَالِ ال۟اِح۟تِرَامِ بِاَل۟سِنَةِ مِأٰتِ مِل۟يُونٍ مِن۟ نَو۟عِ ال۟اِن۟سَانِ اَلدَّائِمُ سَل۟طَنَتُهُ ال۟قُد۟سِيَّةُ عَلٰى اَق۟طَارِ ال۟اَر۟ضِ وَ ال۟اَك۟وَانِ وَ عَلٰى وُجُوهِ ال۟اَع۟صَارِ وَ الزَّمَانِ وَ ال۟جَارٖى حَاكِمِيَّتُهُ ال۟مَع۟نَوِيَّةُ النُّورَانِيَّةُ عَلٰى نِص۟فِ ال۟اَر۟ضِ وَ خُم۟سِ ال۟بَشَرِ فٖى اَر۟بَعَةَ عَشَرَ عَص۟رًا بِكَمَالِ ال۟اِح۟تِشَامِ . وَ كَذَا : شَهِدَ وَ بَر۟هَنَ بِاِج۟مَاعِ سُوَرِهِ ال۟قُد۟سِيَّةِ السَّمَاوِيَّةِ وَ بِاِتِّفَاقِ اٰيَاتِهِ النُّورَانِيَّةِ ال۟اِلٰهِيَّةِ وَ بِتَوَافُقِ اَس۟رَارِهٖ وَ اَن۟وَارِهٖ وَ بِتَطَابُقِ حَقَائِقِهٖ وَ ثَمَرَاتِهٖ وَ اٰثَارِهٖ بِال۟مُشَاهَدَةِ وَ ال۟عِيَانِ denilmiştir.


    ON BİRİNCİ ŞUÂ OLAN MEYVE RİSALESİ'NİN ONUNCU MESELESİ

    EMİRDAĞI ÇİÇEĞİ

    Kur’an’da olan tekrarata gelen itirazlara karşı gayet kuvvetli bir cevaptır.

    Aziz, sıddık kardeşlerim!

    Gerçi bu mesele, perişan vaziyetimden müşevveş ve letafetsiz olmuş. Fakat o müşevveş ibare altında çok kıymetli bir nevi i’cazı kat’î bildim. Maatteessüf ifadeye muktedir olamadım. Her ne kadar ibaresi sönük olsa da Kur’an’a ait olmak cihetiyle hem ibadet-i tefekküriye hem kudsî, yüksek, parlak bir cevherin sadefidir. Yırtık libasına değil, elindeki elmasa bakılsın. Eğer münasip ise Onuncu Mesele yapınız, değilse sizin tebrik mektuplarınıza mukabil bir mektup kabul ediniz.

    Hem bunu gayet hasta ve perişan ve gıdasız, bir iki gün ramazanda, mecburiyetle gayet mücmel ve kısa ve bir cümlede pek çok hakikatleri ve müteaddid hüccetleri dercederek yazdım. Kusura bakılmasın. (*[16])

    Aziz, sıddık kardeşlerim!

    Ramazan-ı şerifte Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan’ı okurken Risale-i Nur’a işaretleri Birinci Şuâ’da beyan olunan otuz üç âyetten hangisi gelse bakıyordum ki o âyetin sahifesi ve yaprağı ve kıssası dahi Risale-i Nur’a ve şakirdlerine kıssadan hisse almak noktasında bir derece bakıyor. Hususan Sure-i Nur’dan Âyetü’n-Nur, on parmakla Risale-i Nur’a baktığı gibi arkasındaki Âyet-i Zulümat dahi muarızlarına tam bakıyor ve ziyade hisse veriyor. Âdeta o makam, cüz’iyetten çıkıp külliyet kesbeder ve bu asırda o küllînin tam bir ferdi Risale-i Nur ve şakirdleridir diye hissettim.

    Evet, Kur’an’ın hitabı, evvela Mütekellim-i Ezelî’nin rububiyet-i âmmesinin geniş makamından hem nev-i beşer, belki kâinat namına muhatap olan zatın geniş makamından hem umum nev-i benî-Âdem’in bütün asırlarda irşadlarının gayet vüs’atli makamından hem dünya ve âhiretin ve arz ve semavatın ve ezel ve ebedin ve Hâlık-ı kâinat’ın rububiyetine ve bütün mahlukatın tedbirine dair kavanin-i İlahiyenin gayet yüksek ve ihatalı beyanatının geniş makamından aldığı vüs’at ve ulviyet ve ihata cihetiyle o hitap, öyle bir yüksek i’caz ve şümul gösterir ki ders-i Kur’an’ın muhataplarından en kesretli taife olan tabaka-i avamın basit fehimlerini okşayan zâhirî ve basit mertebesi dahi en ulvi tabakayı da tam hissedar eder.

    Güya kıssadan yalnız bir hisse ve bir hikâye-i tarihiyeden bir ibret değil belki bir küllî düsturun efradı olarak her asra ve her tabakaya hitap ederek taze nâzil oluyor ve bilhassa çok tekrarla   اَلظَّالِمٖينَ ،  اَلظَّالِمٖينَ deyip tehditleri ve zulümlerinin cezası olan musibet-i semaviye ve arziyeyi şiddetle beyanı, bu asrın emsalsiz zulümlerine kavm-i Âd ve Semud ve Firavun’un başlarına gelen azaplar ile baktırıyor ve mazlum ehl-i imana İbrahim (as) ve Musa (as) gibi enbiyanın necatlarıyla teselli veriyor.

    Evet, nazar-ı gaflet ve dalalette, vahşetli ve dehşetli bir ademistan ve elîm ve mahvolmuş bir mezaristan olan bütün geçmiş zaman ve ölmüş karnlar ve asırlar; canlı birer sahife-i ibret ve baştan başa ruhlu, hayattar bir acib âlem ve mevcud ve bizimle münasebettar bir memleket-i Rabbaniye suretinde sinema perdeleri gibi kâh bizi o zamanlara kâh o zamanları yanımıza getirerek her asra ve her tabakaya gösterip yüksek bir i’caz ile ders veren Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan, aynı i’cazla nazar-ı dalalette camid, perişan, ölü, hadsiz bir vahşetgâh olan ve firak ve zevalde yuvarlanan bu kâinatı bir kitab-ı Samedanî, bir şehr-i Rahmanî, bir meşher-i sun’-u Rabbanî olarak o camidatı canlandırarak, birer vazifedar suretinde birbiriyle konuşturup ve birbirinin imdadına koşturup nev-i beşere ve cin ve meleğe hakiki ve nurlu ve zevkli hikmet dersleri veren bu Kur’an-ı Azîmüşşan, elbette her harfinde on ve yüz ve bazen bin ve binler sevap bulunması ve bütün cin ve ins toplansa onun mislini getirememesi ve bütün benî-Âdem’le ve kâinatla tam yerinde konuşması ve her zaman milyonlar hâfızların kalplerinde zevkle yazılması ve çok tekrarla ve kesretli tekraratıyla usandırmaması ve çok iltibas yerleri ve cümleleriyle beraber çocukların nazik ve basit kafalarında mükemmel yerleşmesi ve hastaların ve az sözden müteessir olan ve sekeratta olanların kulağında mâ-i zemzem misillü hoş gelmesi gibi kudsî imtiyazları kazanır ve iki cihanın saadetlerini kendi şakirdlerine kazandırır.

    Ve tercümanının ümmiyet mertebesini tam riayet etmek sırrıyla hiçbir tekellüf ve hiçbir tasannu ve hiçbir gösterişe meydan vermeden selaset-i fıtriyesini ve doğrudan doğruya semadan gelmesini ve en kesretli olan tabaka-i avamın basit fehimlerini tenezzülat-ı kelâmiye ile okşamak hikmetiyle en ziyade sema ve arz gibi en zâhir ve bedihî sahifeleri açıp o âdiyat altındaki hârikulâde mu’cizat-ı kudretini ve manidar sutûr-u hikmetini ders vermekle lütf-u irşadda güzel bir i’caz gösterir.

    Tekrarı iktiza eden dua ve davet ve zikir ve tevhid kitabı dahi olduğunu bildirmek sırrıyla güzel, tatlı tekraratıyla bir tek cümlede ve bir tek kıssada ayrı ayrı çok manaları, ayrı ayrı muhatap tabakalarına tefhim etmekte ve cüz’î ve âdi bir hâdisede en cüz’î ve ehemmiyetsiz şeyler dahi nazar-ı merhametinde ve daire-i tedbir ve iradesinde bulunmasını bildirmek sırrıyla tesis-i İslâmiyette ve tedvin-i şeriatta sahabelerin cüz’î hâdiselerini dahi nazar-ı ehemmiyete almasında hem küllî düsturların bulunması hem umumî olan İslâmiyet’in ve şeriatın tesisinde o cüz’î hâdiseler, çekirdekler hükmünde çok ehemmiyetli meyveleri verdikleri cihetinde de bir nev-i i’cazını gösterir.

    Evet, ihtiyacın tekerrürüyle, tekrarın lüzumu haysiyetiyle yirmi sene zarfında pek çok mükerrer suallere cevap olarak ayrı ayrı çok tabakalara ders veren ve koca kâinatı parça parça edip kıyamette şeklini değiştirerek dünyayı kaldırıp onun yerine azametli âhireti kuracak ve zerrattan yıldızlara kadar bütün cüz’iyat ve külliyatı, tek bir zatın elinde ve tasarrufunda bulunduğunu ispat edecek ve kâinatı ve arz ve semavatı ve anâsırı kızdıran ve hiddete getiren nev-i beşerin zulümlerine, kâinatın netice-i hilkati hesabına gazab-ı İlahî ve hiddet-i Rabbaniyeyi gösterecek hadsiz hârika ve nihayetsiz dehşetli ve geniş bir inkılabın tesisinde binler netice kuvvetinde bazı cümleleri ve hadsiz delillerin neticesi olan bir kısım âyetleri tekrar etmek; değil bir kusur, belki gayet kuvvetli bir i’caz ve gayet yüksek bir belâgat ve mukteza-yı hale gayet mutabık bir cezalettir ve fesahattir.

    Mesela, bir tek âyet iken yüz on dört defa tekerrür eden بِس۟مِ اللّٰهِ الرَّح۟مٰنِ الرَّحٖيمِ    cümlesi, Risale-i Nur’un On Dördüncü Lem’a’sında beyan edildiği gibi arşı ferşle bağlayan ve kâinatı ışıklandıran ve her dakika herkes ona muhtaç olan öyle bir hakikattir ki milyonlar defa tekrar edilse yine ihtiyaç var. Değil yalnız ekmek gibi her gün, belki hava ve ziya gibi her dakika ona ihtiyaç ve iştiyak vardır.

    Hem mesela, Sure-i   طٰسٓمٓ   de sekiz defa tekrar edilen şu اِنَّ رَبَّكَ لَهُوَ ال۟عَزٖيزُ الرَّحٖيمُ   âyeti, o surede hikâye edilen peygamberlerin necatlarını ve kavimlerinin azaplarını, kâinatın netice-i hilkati hesabına ve rububiyet-i âmmenin namına o binler hakikat kuvvetinde olan âyeti tekrar ederek, izzet-i Rabbaniye o zalim kavimlerin azabını ve rahîmiyet-i İlahiye dahi enbiyanın necatlarını iktiza ettiğini ders vermek için binler defa tekrar olsa yine ihtiyaç ve iştiyak var ve i’cazlı, îcazlı bir ulvi belâgattır.

    Hem mesela, Sure-i Rahman’da tekrar edilen فَبِاَىِّ اٰلَٓاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ    âyeti ile Sure-i Mürselât’ta وَي۟لٌ يَو۟مَئِذٍ لِل۟مُكَذِّبٖينَ    âyeti, cin ve nev-i beşerin, kâinatı kızdıran ve arz ve semavatı hiddete getiren ve hilkat-i âlemin neticelerini bozan ve haşmet-i saltanat-ı İlahiyeye karşı inkâr ve istihfafla mukabele eden küfür ve küfranlarını ve zulümlerini ve bütün mahlukatın hukuklarına tecavüzlerini, asırlara ve arz ve semavata tehditkârane haykıran bu iki âyet, böyle binler hakikatlerle alâkadar ve binler mesele kuvvetinde olan bir ders-i umumîde binler defa tekrar edilse yine lüzum var ve celalli bir i’caz ve cemalli bir îcaz-ı belâgattır.

    Hem mesela, Kur’an’ın hakiki ve tam bir nevi münâcatı ve Kur’an’dan çıkan bir çeşit hülâsası olan Cevşenü’l-Kebir namındaki münâcat-ı Peygamberîde yüz defa سُب۟حَانَكَ يَا لَٓا اِلٰهَ اِلَّا اَن۟تَ ال۟اَمَانُ ال۟اَمَانُ خَلِّص۟نَا وَ اَجِر۟نَا وَ نَجِّنَا مِنَ النَّارِ cümlesi tekrarında tevhid gibi kâinatça en büyük hakikat ve tesbih ve takdis gibi mahlukatın rububiyete karşı üç muazzam vazifesinden en ehemmiyetli vazifesi ve şakavet-i ebediyeden kurtulmak gibi nev-i insanın en dehşetli meselesi ve ubudiyet ve acz-i beşerînin en lüzumlu neticesi bulunması cihetiyle binler defa tekrar edilse yine azdır.

    İşte –namaz tesbihatı gibi ibadetlerden bir kısmının tekrarı sünnet bulunan maddeler gibi– tekrarat-ı Kur’aniye, bu gibi metin esaslara bakıyor. Hattâ bazen bir sahifede iktiza-yı makam ve ihtiyac-ı ifham ve belâgat-ı beyan cihetiyle yirmi defa sarîhan ve zımnen tevhid hakikatini ifade eder. Değil usanç, belki kuvvet ve şevk ve halâvet verir. Risale-i Nur’da, tekrarat-ı Kur’aniye ne kadar yerinde ve münasip ve belâgatça makbul olduğu hüccetleriyle beyan edilmiş.

    Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan’ın Mekkiye sureleriyle Medeniye sureleri belâgat noktasında ve i’caz cihetinde ve tafsil ve icmal vechinde birbirinden ayrı olmasının sırr-ı hikmeti şudur ki:

    Mekke’de birinci safta muhatap ve muarızları, Kureyş müşrikleri ve ümmileri olduğundan belâgatça kuvvetli bir üslub-u âlî ve îcazlı, mukni, kanaat verici bir icmal ve tesbit için tekrar lâzım geldiğinden ekseriyetçe Mekkî sureleri erkân-ı imaniyeyi ve tevhidin mertebelerini gayet kuvvetli ve yüksek ve i’cazlı bir îcaz ile ifade ve tekrar ederek mebde ve meâdi, Allah’ı ve âhireti, değil yalnız bir sahifede, bir âyette, bir cümlede, bir kelimede belki bazen bir harfte ve takdim-tehir, tarif-tenkir ve hazf-zikir gibi heyetlerde öyle kuvvetli ispat eder ki ilm-i belâgatın dâhî imamları hayretle karşılamışlar.

    Risale-i Nur ve bilhassa Kur’an’ın kırk vech-i i’cazını icmalen ispat eden Yirmi Beşinci Söz, zeylleriyle beraber ve nazımdaki vech-i i’cazı hârika bir tarzda beyan ve ispat eden Arabî Risale-i Nur’dan İşaratü’l-İ’caz tefsiri bilfiil göstermişler ki Mekkî sure ve âyetlerde en âlî bir üslub-u belâgat ve en yüksek bir i’caz-ı îcazî vardır.

    Amma Medine sure ve âyetlerinin birinci safta muhatap ve muarızları ise Allah’ı tasdik eden Yahudi ve Nasâra gibi ehl-i kitap olduğundan mukteza-yı belâgat ve irşad ve mutabık-ı makam ve halin lüzumundan, sade ve vâzıh ve tafsilli bir üslupla ehl-i kitaba karşı dinin yüksek usûlünü ve imanın rükünlerini değil belki medar-ı ihtilaf olan şeriatın ve ahkâmın ve teferruatın ve küllî kanunların menşeleri ve sebepleri olan cüz’iyatın beyanı lâzım geldiğinden, o sure ve âyetlerde ekseriyetçe tafsil ve izah ve sade üslupla beyanat içinde Kur’an’a mahsus emsalsiz bir tarz-ı beyanla, birden o cüz’î teferruat hâdisesi içinde yüksek, kuvvetli bir fezleke, bir hâtime, bir hüccet ve o cüz’î hâdise-i şer’iyeyi küllîleştiren ve imtisalini iman-ı billah ile temin eden bir cümle-i tevhidiye ve esmaiye ve uhreviyeyi zikreder. O makamı nurlandırır, ulvileştirir, küllîleştirir.

    Risale-i Nur, âyetlerin âhirlerinde ekseriyetle gelen اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَى۟ءٍ قَدٖيرٌ ۝ اِنَّ اللّٰهَ بِكُلِّ شَى۟ءٍ عَلٖيمٌ ۝ وَهُوَ ال۟عَزٖيزُ الرَّحٖيمُ ۝ وَهُوَ ال۟عَزٖيزُ ال۟حَكٖيمُ gibi tevhidi veya âhireti ifade eden fezlekeler ve hâtimelerde ne kadar yüksek bir belâgat ve meziyetler ve cezaletler ve nükteler bulunduğunu Yirmi Beşinci Söz’ün İkinci Şule’sinin İkinci Nur’unda o fezleke ve hâtimelerin pek çok nüktelerinden ve meziyetlerinden on tanesini beyan ederek o hülâsalarda bir mu’cize-i kübra bulunduğunu muannidlere de ispat etmiş.

    Evet Kur’an, o teferruat-ı şer’iye ve kavanin-i içtimaiyenin beyanı içinde birden muhatabın nazarını en yüksek ve küllî noktalara kaldırıp, sade üslubu bir ulvi üsluba ve şeriat dersinden tevhid dersine çevirerek Kur’an’ı hem bir kitab-ı şeriat ve ahkâm ve hikmet hem bir kitab-ı akide ve iman ve zikir ve fikir ve dua ve davet olduğunu gösterip her makamda çok makasıd-ı irşadiye ve Kur’aniyeyi ders vermesiyle Mekkiye âyetlerin tarz-ı belâgatlarından ayrı ve parlak, mu’cizane bir cezalet izhar eder.

    Bazen iki kelimede mesela    رَبُّ ال۟عَالَمٖينَ    ve    رَبُّكَ    de   رَبُّكَ   tabiriyle ehadiyeti ve   رَبُّ ال۟عَالَمٖينَ   ile vâhidiyeti bildirir. Ehadiyet içinde vâhidiyeti ifade eder. Hattâ bir cümlede, bir zerreyi bir göz bebeğinde gördüğü ve yerleştirdiği gibi güneşi dahi aynı âyetle, aynı çekiçle göğün göz bebeğinde yerleştirir ve göğe bir göz yapar.

    Mesela    خَلَقَ السَّمٰوَاتِ وَ ال۟اَر۟ضَ    âyetinden sonra يُولِجُ الَّي۟لَ فِى النَّهَارِ وَ يُولِجُ النَّهَارَ فِى الَّي۟لِ    âyetinin akabinde وَ هُوَ عَلٖيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ   der. “Zemin ve göklerin haşmet-i hilkatinde kalbin dahi hatıratını bilir, idare eder.” der, tarzında bir beyanat cihetiyle o sade ve ümmiyet mertebesini ve avamın fehmini nazara alan o basit ve cüz’î muhavere, o tarz ile ulvi ve cazibedar ve umumî ve irşadkâr bir mükâlemeye döner.

    Ehemmiyetli Bir Sual: Bazen bir hakikat, sathî nazarlara görünmediğinden ve bazı makamlarda cüz’î ve âdi bir hâdiseden yüksek bir fezleke-i tevhidi veya küllî bir düsturu beyan etmekte münasebet bilinmediğinden bir kusur tevehhüm edilir. Mesela “Hazret-i Yusuf aleyhisselâm, kardeşini bir hile ile alması” içinde   وَفَو۟قَ كُلِّ ذٖى عِل۟مٍ عَلٖيمٌ   diye gayet yüksek bir düsturun zikri, belâgatça münasebeti görünmüyor. Bunun sırrı ve hikmeti nedir?

    Elcevap: Her biri birer küçük Kur’an olan ekser uzun sure ve mutavassıtlarda ve çok sahife ve makamlarda yalnız iki üç maksat değil belki Kur’an mahiyeti hem bir kitab-ı zikir ve iman ve fikir hem bir kitab-ı şeriat ve hikmet ve irşad gibi çok kitapları ve ayrı ayrı dersleri tazammun ederek rububiyet-i İlahiyenin her şeye ihatasını ve haşmetli tecelliyatını ifade etmek cihetiyle, kâinat kitab-ı kebirinin bir nevi kıraatı olan Kur’an, elbette her makamda, hattâ bazen bir sahifede çok maksatları takiben marifetullahtan ve tevhidin mertebelerinden ve iman hakikatlerinden ders verdiği haysiyetiyle, öbür makamda mesela, zâhirce zayıf bir münasebetle başka bir ders açar ve o zayıf münasebete çok kuvvetli münasebetler iltihak ederler. O makama gayet mutabık olur, mertebe-i belâgatı yükseklenir.

    İkinci Bir Sual: Kur’an’da sarîhan ve zımnen ve işareten, âhiret ve tevhidi ve beşerin mükâfat ve mücazatını binler defa ispat edip nazara vermenin ve her surede her sahifede her makamda ders vermenin hikmeti nedir?

    Elcevap: Daire-i imkânda ve kâinatın sergüzeştine ait inkılablarda ve emanet-i kübrayı ve hilafet-i arziyeyi omuzuna alan nev-i beşerin şakavet ve saadet-i ebediyeye medar olan vazifesine dair en ehemmiyetli en büyük en dehşetli meselelerinden en azametlilerini ders vermek ve hadsiz şüpheleri izale etmek ve gayet şiddetli inkârları ve inatları kırmak cihetinde elbette o dehşetli inkılabları tasdik ettirmek ve o inkılablar azametinde büyük ve beşere en elzem ve en zarurî meseleleri teslim ettirmek için Kur’an, binler defa değil belki milyonlar defa onlara baktırsa yine israf değil ki milyonlar kere tekrar ile o bahisler Kur’an’da okunur, usanç vermez, ihtiyaç kesilmez.

    Mesela اِنَّ الَّذٖينَ اٰمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُم۟ جَنَّاتٌ تَج۟رٖى مِن۟ تَح۟تِهَا ال۟اَن۟هَارُ … خَالِدٖينَ فٖيهَٓا اَبَدًا âyetinin gösterdiği müjde-i saadet-i ebediye hakikati, bîçare beşere her dakika kendini gösteren hakikat-i mevtin hem insanı hem dünyasını hem bütün ahbabını idam-ı ebedîsinden kurtarıp ebedî bir saltanatı kazandırdığından, milyarlar defa tekrar edilse ve kâinat kadar ehemmiyet verilse yine israf olmaz, kıymetten düşmez.

    İşte bu çeşit hadsiz kıymettar meseleleri ders veren ve kâinatı bir hane gibi değiştiren ve şeklini bozan dehşetli inkılabları tesis etmekte iknaya ve inandırmaya ve ispata çalışan Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan elbette sarîhan ve zımnen ve işareten binler defa o meselelere nazar-ı dikkati celbetmek; değil israf belki ekmek, ilaç, hava, ziya gibi birer hâcet-i zaruriye hükmünde ihsanını tazelendirir.

    Hem mesela   اِنَّ ال۟كَافِرٖينَ فٖى نَارِ جَهَنَّمَ   ve اَلظَّالِمٖينَ لَهُم۟ عَذَابٌ اَلٖيمٌ   gibi tehdit âyetlerini Kur’an gayet şiddetle ve hiddetle ve gayet kuvvet ve tekrarla zikretmesinin hikmeti ise –Risale-i Nur’da kat’î ispat edildiği gibi– beşerin küfrü, kâinatın ve ekser mahlukatın hukukuna öyle bir tecavüzdür ki semavatı ve arzı kızdırıyor ve anâsırı hiddete getirip tufanlar ile o zalimleri tokatlıyor. Ve اِذَٓا اُل۟قُوا فٖيهَا سَمِعُوا لَهَا شَهٖيقًا وَهِىَ تَفُورُ ۝ تَكَادُ تَمَيَّزُ مِنَ ال۟غَي۟ظِ âyetinin sarahatiyle o zalim münkirlere cehennem, öyle öfkeleniyor ki hiddetinden parçalanmak derecesine geliyor.

    İşte böyle bir cinayet-i âmmeye ve hadsiz bir tecavüze karşı beşerin küçüklük ve ehemmiyetsizliği noktasına değil belki zalimane cinayetinin azametine ve kâfirane tecavüzünün dehşetine karşı Sultan-ı Kâinat, kendi raiyetinin hukuklarının ehemmiyetini ve o münkirlerin küfür ve zulmündeki nihayetsiz çirkinliğini göstermek hikmetiyle fermanında gayet hiddet ve şiddetle o cinayeti ve cezasını değil bin defa, belki milyonlar ve milyarlar ile tekrar etse yine israf ve kusur değil ki bin seneden beri yüzer milyon insanlar her gün usanmadan kemal-i iştiyakla ve ihtiyaçla okurlar.

    Evet, her gün her zaman, herkes için bir âlem gider, taze bir âlemin kapısı kendine açılmasından, o geçici her bir âlemini nurlandırmak için ihtiyaç ve iştiyakla   لَٓا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ‌   cümlesini binler defa tekrar ile o değişen perdelere ve âlemlere her birisine bir   لَٓا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ‌   ı lamba yaptığı gibi öyle de o kesretli, geçici perdeleri ve tazelenen seyyar kâinatları karanlıklandırmamak ve âyine-i hayatında in’ikas eden suretlerini çirkinleştirmemek ve lehinde şahit olabilen o misafir vaziyetleri aleyhine çevirmemek için o cinayetlerin cezalarını ve Padişah-ı Ezelî’nin şiddetli ve inatları kıran tehditlerini, her vakit Kur’an’ı okumakla tahattur edip nefsin tuğyanından kurtulmaya çalışmak hikmetiyle Kur’an, gayet mu’cizane tekrar eder ve bu derece kuvvet ve şiddet ve tekrarla tehdidat-ı Kur’aniyeyi hakikatsiz tevehhüm etmekten şeytan bile kaçar. Ve onları dinlemeyen münkirlere cehennem azabı ayn-ı adalettir, diye gösterir.

    Hem mesela, asâ-yı Musa gibi çok hikmetleri ve faydaları bulunan kıssa-i Musa’nın (as) ve sair enbiyanın kıssalarını çok tekrarında, risalet-i Ahmediyenin hakkaniyetine bütün enbiyanın nübüvvetlerini hüccet gösterip onların umumunu inkâr edemeyen, bu zatın risaletini hakikat noktasında inkâr edemez hikmetiyle ve herkes, her vakit bütün Kur’an’ı okumaya muktedir ve muvaffak olamadığından her bir uzun ve mutavassıt sureyi birer küçük Kur’an hükmüne getirmek için ehemmiyetli erkân-ı imaniye gibi o kıssaları tekrar etmesi; değil israf belki mu’cizane bir belâgattır ve hâdise-i Muhammediye bütün benî-Âdem’in en büyük hâdisesi ve kâinatın en azametli meselesi olduğunu ders vermektir.

    Evet, Kur’an’da Zat-ı Ahmediye’ye en büyük makam vermek ve dört erkân-ı imaniyeyi içine almakla    لَٓا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ‌   rüknüne denk tutulan مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللّٰهِ‌   ve risalet-i Muhammediye kâinatın en büyük hakikati ve Zat-ı Ahmediye, bütün mahlukatın en eşrefi ve hakikat-i Muhammediye tabir edilen küllî şahsiyet-i maneviyesi ve makam-ı kudsîsi, iki cihanın en parlak bir güneşi olduğuna ve bu hârika makama liyakatine pek çok hüccetleri ve emareleri, kat’î bir surette Risale-i Nur’da ispat edilmiş. Binden birisi şudur ki:

    اَلسَّبَبُ كَال۟فَاعِلِ   düsturuyla, bütün ümmetinin bütün zamanlarda işlediği hasenatın bir misli onun defter-i hasenatına girmesi ve bütün kâinatın hakikatlerini, getirdiği nur ile nurlandırması, değil yalnız cin, ins, melek ve zîhayatı, belki kâinatı, semavat ve arzı minnettar eylemesi ve istidat lisanıyla nebatatın duaları ve ihtiyac-ı fıtrî diliyle hayvanatın duaları, gözümüz önünde bilfiil kabul olmasının şehadetiyle milyonlar, belki milyarlar fıtrî ve reddedilmez duaları makbul olan suleha-yı ümmeti her gün o zata salât ü selâm unvanıyla rahmet duaları ve manevî kazançlarını en evvel o zata bağışlamaları ve bütün ümmetçe okunan Kur’an’ın üç yüz bin harfinin her birisinde on sevaptan tâ yüz, tâ bin hasene ve meyve vermesinden yalnız kıraat-ı Kur’an cihetiyle defter-i a’maline hadsiz nurlar girmesi haysiyetiyle o zatın şahsiyet-i maneviyesi olan hakikat-i Muhammediye, istikbalde bir şecere-i tûba-i cennet hükmünde olacağını Allâmü’l-guyub bilmiş ve görmüş, o makama göre Kur’an’ında o azîm ehemmiyeti vermiş ve fermanında ona tebaiyetle ve sünnetine ittiba ile şefaatine mazhariyeti en ehemmiyetli bir mesele-i insaniye göstermiş ve o haşmetli şecere-i tûbanın bir çekirdeği olan şahsiyet-i beşeriyetini ve bidayetteki vaziyet-i insaniyesini ara sıra nazara almasıdır.

    İşte Kur’an’ın tekrar edilen hakikatleri bu kıymette olduğundan tekraratında kuvvetli ve geniş bir mu’cize-i maneviye bulunmasına fıtrat-ı selime şehadet eder. Meğer maddiyyunluk taunuyla maraz-ı kalbe ve vicdan hastalığına müptela ola.

    قَد۟ يُن۟كِرُ ال۟مَر۟ءُ ضَو۟ءَ الشَّم۟سِ مِن۟ رَمَدٍ وَ يُن۟كِرُ ال۟فَمُ طَع۟مَ ال۟مَاءِ مِن۟ سَقَمٍ kaidesine dâhil olur.


    BU ONUNCU MESELEYE BİR HÂTİME OLARAK İKİ HÂŞİYEDİR

    BİRİNCİSİ

    Bundan on iki sene evvel işittim ki en dehşetli ve muannid bir zındık, Kur’an’a karşı suikastını tercümesiyle yapmaya başlamış ve demiş ki: “Kur’an tercüme edilsin, tâ ne mal olduğu bilinsin.” Yani lüzumsuz tekraratı herkes görsün ve tercümesi onun yerinde okunsun diye dehşetli bir plan çevirmiş.

    Fakat Risale-i Nur’un cerh edilmez hüccetleri kat’î ispat etmiş ki Kur’an’ın hakiki tercümesi kabil değil ve lisan-ı nahvî olan lisan-ı Arabî yerinde Kur’an’ın meziyetlerini ve nüktelerini başka lisan muhafaza edemez ve her bir harfi, on adetten bine kadar sevap veren kelimat-ı Kur’aniyenin mu’cizane ve cem’iyetli tabirleri yerinde, beşerin âdi ve cüz’î tercümeleri tutamaz, onun yerinde camilerde okunmaz diye Risale-i Nur, her tarafta intişarıyla o dehşetli planı akîm bıraktı. Fakat o zındıktan ders alan münafıklar, yine şeytan hesabına Kur’an güneşini üflemekle söndürmeye, aptal çocuklar gibi ahmakane ve divanecesine çalışmaları hikmetiyle, bana gayet sıkı ve sıkıcı ve sıkıntılı bir halette bu Onuncu Mesele yazdırıldı tahmin ediyorum. Başkalarla görüşemediğim için hakikat-i hali bilemiyorum.

    İKİNCİ HÂŞİYE

    Denizli Hapsinden tahliyemizden sonra meşhur Şehir Otelinin yüksek katında oturmuştum. Karşımda güzel bahçelerde kesretli kavak ağaçları birer halka-i zikir tarzında gayet latîf, tatlı bir surette hem kendileri hem dalları hem yaprakları, havanın dokunmasıyla cezbekârane ve cazibedarane hareketle raksları, kardeşlerimin müfarakatlarından ve yalnız kaldığımdan hüzünlü ve gamlı kalbime ilişti. Birden güz ve kış mevsimi hatıra geldi ve bana bir gaflet bastı. Ben, o kemal-i neşe ile cilvelenen o nâzenin kavaklara ve zîhayatlara o kadar acıdım ki gözlerim yaşla doldu. Kâinatın süslü perdesi altındaki ademleri, firakları ihtar ve ihsasıyla kâinat dolusu firakların, zevallerin hüzünleri başıma toplandı.

    Birden hakikat-i Muhammediyenin (asm) getirdiği nur, imdada yetişti. O hadsiz hüzünleri ve gamları, sürurlara çevirdi. Hattâ o nurun, herkes ve her ehl-i iman gibi benim hakkımda milyon feyzinden yalnız o vakitte, o vaziyete temas eden imdat ve tesellisi için Zat-ı Muhammediye’ye (asm) karşı ebediyen minnettar oldum. Şöyle ki:

    Ol nazar-ı gaflet, o mübarek nâzeninleri; vazifesiz, neticesiz, bir mevsimde görünüp, hareketleri neşeden değil belki güya ademden ve firaktan titreyerek hiçliğe düştüklerini göstermekle, herkes gibi bendeki aşk-ı beka ve hubb-u mehasin ve muhabbet-i vücud ve şefkat-i cinsiye ve alâka-i hayatiyeye medar olan damarlarıma o derece dokundu ki böyle dünyayı bir manevî cehenneme ve aklı bir tazip âletine çevirdiği sırada, Muhammed aleyhissalâtü vesselâmın beşere hediye getirdiği nur perdeyi kaldırdı; idam, adem, hiçlik, vazifesizlik, abes, firak, fânilik yerinde o kavakların her birinin yaprakları adedince hikmetleri, manaları ve Risale-i Nur’da ispat edildiği gibi üç kısma ayrılan neticeleri ve vazifeleri var, diye gösterdi:

    Birinci kısım neticeleri: Sâni’-i Zülcelal’in esmasına bakar. Mesela, nasıl ki bir usta hârika bir makineyi yapsa onu takdir eden herkes o zata “Mâşâallah, bârekellah” deyip alkışlar. Öyle de o makine dahi ondan maksud neticeleri tam tamına göstermesiyle, lisan-ı haliyle ustasını tebrik eder, alkışlar. Her zîhayat ve her şey böyle bir makinedir, ustasını tebriklerle alkışlar.

    İkinci kısım hikmetleri ise: Zîhayatın ve zîşuurun nazarlarına bakar. Onlara şirin bir mütalaagâh, birer kitab-ı marifet olur. Manalarını zîşuurun zihinlerinde ve suretlerini kuvve-i hâfızalarında ve elvah-ı misaliyede ve âlem-i gaybın defterlerinde daire-i vücudda bırakıp sonra âlem-i şehadeti terk eder, âlem-i gayba çekilir. Demek, surî bir vücudu bırakır, manevî ve gaybî ve ilmî çok vücudları kazanır.

    Evet, madem Allah var ve ilmi ihata eder. Elbette adem, idam, hiçlik, mahv, fena; hakikat noktasında ehl-i imanın dünyasında yoktur ve kâfir münkirlerin dünyaları ademle, firakla, hiçlikle, fânilikle doludur. İşte bu hakikati, umumun lisanında gezen bu gelen darb-ı mesel ders verip der: “Kimin için Allah var, ona her şey var ve kimin için yoksa her şey ona yoktur, hiçtir.”

    Elhasıl, nasıl ki iman, ölüm vaktinde insanı idam-ı ebedîden kurtarıyor; öyle de herkesin hususi dünyasını dahi idamdan ve hiçlik karanlıklarından kurtarıyor. Ve küfür ise hususan küfr-ü mutlak olsa hem o insanı hem hususi dünyasını ölümle idam edip manevî cehennem zulmetlerine atar. Hayatının lezzetlerini acı zehirlere çevirir. Hayat-ı dünyeviyeyi âhiretine tercih edenlerin kulakları çınlasın. Gelsinler, buna ya bir çare bulsunlar veya imana girsinler. Bu dehşetli hasarattan kurtulsunlar.

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ

    Duanıza çok muhtaç ve size çok müştak kardeşiniz

    Said Nursî


    1. *Katika risalah ini ditulis. Sekarang sudah lebih dari 1400 tahun.
    2. *Huruf mahmûsah (beraspirasi) maksudnya huruf yang titik artikulasinya sukar untuk menjadi sandaran. Ia terkumpul dalam kalimat , setengahnya berupa huruf. Dari huruf majhûrah (yang bersuara jelas) juga setengahnya di mana ia terkumpul pada kalimat. Lalu dari dela- pan huruf syadîdah (yang keras) yang terkumpul dalam kalimat disebut- kan empat di antaranya dan seterusnya… (Tafsir al-Baidhâwi).
    3. *Tanwin juga termasuk nûn (ن)—Penulis.
    4. *Gaya bahasa ini telah memakai perhiasan makna surah tersebut—Penulis.
    5. *Dalam ungkapan di atas terdapat isyarat tentang topik pembahasan kelima surah tersebut—Penulis.
    6. *Maksudnya, setiap kata dari ayat al-Qur’an tersebut menyiratkan teguran dalam bentuk pertanyaan—Peny.
    7. *Untuk zakat tanaman yang tidak mengeluarkan biaya—Peny.
    8. *Untuk zakat emas atau uang kertas—Peny.
    9. *“Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf” (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi). Dalam riwayat lain disebutkan, “Setiap huruf darinya memiliki sisi lahir dan batin, serta setiap huruf memiliki batas dan setiap batas memiliki tangga”.
    10. *Ada pepatah yang berbunyi, “Pembicaraan memiliki sejumlah dahan.” Maksud- nya, sejumlah maksud dan tujuan. Ada pula yang mengatakan bahwa maksudnya adalah sebagian masuk kepada sebagian yang lain. Yakni, cabangnya saling terkait.
    11. *Bahkan konsultasi di seputar ilmu al-Qur’an (Tafsir al-Adnawi) mencapai seratus dua puluh jilid. Ia ditulis selama dua belas tahun oleh Muhammad ibn Ali ibn Ahmad yang wafat tahun 388 H (Kasyf az-Zhunûn 1/441).
    12. *Penyifatan surah dalam al-Qur’an dengan istilah “surah kecil” telah disebutkan oleh generasi salaf. Diriwayatkan dari Amr ibn Syu`aib, dari ayahnya, dari kakeknya, “Tak satupun surah kecil maupun besar dari al-Qur’an, kecuali aku pernah mendengar Rasulul- lah x membacanya saat mengimami jama’ah dalam salat fardhu”. (HR. Abu Daud dalam bab Salat 814, at-Thabrâni dalam al-Mu’jam al-Kabîr 12/365).
    13. Hâşiye: Bu gaybdan haber veren âyetler, pek çok tefsirlerde izah edilmesinden ve eski harfle tabetmek niyeti müellifine verdiği acelelik hatasından burada izahsız ve o kıymettar hazineler kapalı kaldılar.
    14. Hâşiye: Mahkemeye karşı ve mahkemeyi susturan lâyiha-i Temyizin müdafaatından bir parçadır. Bu makama hâşiye olmuş:
      “Ben de adliyenin mahkemesine derim ki: Bin üç yüz elli senede ve her asırda üç yüz elli milyon insanların hayat-ı içtimaiyesinde en kudsî ve hakikatli bir düstur-u İlahîyi, üç yüz elli bin tefsirin tasdiklerine ve ittifaklarına istinaden ve bin üç yüz elli sene zarfında geçmiş ecdadımızın itikadlarına iktidaen tefsir eden bir adamı mahkûm eden haksız bir kararı, elbette rûy-i zeminde adalet varsa o kararı red ve bu hükmü nakzedecektir.”
    15. Hâşiye: Tesettür-ü nisvan hakkında Otuz Birinci Mektup’un Yirmi Dördüncü Lem’a’sı, gayet kat’î bir surette ispat etmiştir ki: Tesettür, kadınlar için fıtrîdir. Ref’-i tesettür, fıtrata münafîdir.
    16. * Denizli Hapsinin meyvesine Onuncu Mesele olarak Emirdağı’nın ve bu ramazan-ı şerifin nurlu bir küçük çiçeğidir. Tekrarat-ı Kur’aniyenin bir hikmetini beyanla ehl-i dalaletin ufunetli ve zehirli evhamlarını izale eder.