Yirmi Altıncı Söz/id: Revizyonlar arasındaki fark

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    ("'''Barangkali engkau bertanya:'''“Selama yang menciptakan pembunuhan adalah Allah, lalu mengapa manusia disebut sebagai pembunuh?”" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    ("------ <center> KALIMAT KEDUA PULUH LIMA ⇐ | Al-Kalimât | ⇒ KALIMAT KEDUA PULUH TUJUH </center> ------" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
     
    (Aynı kullanıcının aradaki diğer 74 değişikliği gösterilmiyor)
    83. satır: 83. satır:
    '''Barangkali engkau bertanya:'''“Selama yang menciptakan pembunuhan adalah Allah, lalu mengapa manusia disebut sebagai pembunuh?”
    '''Barangkali engkau bertanya:'''“Selama yang menciptakan pembunuhan adalah Allah, lalu mengapa manusia disebut sebagai pembunuh?”


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Jawaban:'''Sesuai kaidah ilmu sharaf (sintaksis), partisipel aktif (isim fâ`il) adalah kata bentukan dari nomina verbal (masdar = kata dasar) yang bersifat relatif. Ia tidak terbentuk dari (akibat) yang di-
    '''Elcevap:''' Çünkü ilm-i sarf kaidesince ism-i fâil, bir emr-i nisbî olan masdardan müştaktır. Yoksa bir emr-i sabit olan hasıl-ı bi’l-masdardan inşikak etmez. Masdar kesbimizdir, kātil unvanını da biz alırız. Hasıl-ı bi’l-masdar, Hakk’ın mahlukudur. Mes’uliyeti işmam eden bir şey, hasıl-ı bi’l-masdardan müştak kılınmaz.
    hasilkan lewat masdar yang jelas ada. Dalam hal ini, masdar adalah perbuatan kita. Dengan itu, kita menyandang gelar sebagai pelaku (pembunuh). Sementara yang dihasilkan lewat masdar (akibat) adalah ciptaan Allah. Tanggungjawab yang dipikul pelaku tidak diambil dari akibat.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Ketujuh:'''Kehendak dan ikhtiar parsial manusia sangat lemah dan bersifat relatif. Namun Allah sebagai Dzat Yang Mahabijak te- lah menjadikan kehendak yang parsial dan lemah tadi sebagai syarat bagi kehendak-Nya yang bersifat universal. Seolah-olah secara implisit Dia berkata, “Wahai hamba-Ku, jalan mana saja yang kau pilih untuk dilalui, Aku akan menggiringmu kepadanya. Karena itu, tanggung- jawab ada padamu.” Sebagai contoh: suatu saat engkau menggendong seorang anak kecil yang lemah seraya memberikan pilihan kepadanya, “Ke mana saja engkau ingin pergi, aku akan membawamu kepadanya.” Lalu si anak kecil itu ingin naik ke atas gunung yang tinggi, dan engkau pun membawanya ke sana.
    '''Yedincisi:''' İrade-i cüz’iye-i insaniye ve cüz-i ihtiyariyesi çendan zayıftır, bir emr-i itibarîdir fakat Cenab-ı Hak ve Hakîm-i Mutlak, o zayıf cüz’î iradeyi, irade-i külliyesinin taallukuna bir şart-ı âdi yapmıştır. Yani manen der: “Ey abdim! İhtiyarınla hangi yolu istersen seni o yolda götürürüm. Öyle ise mes’uliyet sana aittir!” Teşbihte hata olmasın, sen bir iktidarsız çocuğu omuzuna alsan, onu muhayyer bırakıp “Nereyi istersen seni oraya götüreceğim.” desen o çocuk yüksek bir dağı istedi, götürdün. Çocuk üşüdü yahut düştü. Elbette “Sen istedin!” diyerek itab edip üstünde bir tokat vuracaksın.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Hanya saja, ia kemudian sakit atau terjatuh. Ketika itu engkau pasti berkata kepadanya, “Engkau sendiri yang me- minta!” Engkau pun memberi teguran dan peringatan keras kepada- nya. Begitu pula Allah Dzat Yang Mahabijak. Dia menjadikan kehen- dak hamba-Nya yang lemah sebagai syarat lazim bagi kehendak-Nya yang bersifat universal.
    İşte Cenab-ı Hak, Ahkemü’l-Hâkimîn, nihayet zaafta olan abdin iradesini bir şart-ı âdi yapıp irade-i külliyesi ona nazar eder.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Kesimpulan:'''
    '''Elhasıl:''' Ey insan! Senin elinde gayet zayıf fakat seyyiatta ve tahribatta eli gayet uzun ve hasenatta eli gayet kısa, cüz-i ihtiyarî namında bir iraden var. O iradenin bir eline duayı ver ki silsile-i hasenatın bir meyvesi olan cennete eli yetişsin ve bir çiçeği olan saadet-i ebediyeye eli uzansın. Diğer eline istiğfarı ver ki onun eli seyyiattan kısalsın ve o şecere-i mel’unenin bir meyvesi olan zakkum-u cehenneme yetişmesin.
    Wahai manusia, engkau memiliki kehendak yang sangat lemah. Namun, ia sangat mampu berbuat buruk dan merusak, tapi lemah da- lam berbuat baik. Kehendak inilah yang disebut dengan ikhtiar. Maka, persembahkan doa untuk salah satu dari kedua tangan kehendak itu, agar bisa menggapai surga yang merupakan buah dari rangkaian ke- baikan dan bisa meraih kebahagiaan abadi yang merupakan salah satu bunganya. Lalu, persembahkan istigfar untuk tangan yang lain agar tangannya tak mampu melakukan keburukan dan tak dapat meraih buah pohon terlaknat; zaqqum neraka.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Dengan kata lain, doa dan tawakkal menopang kecenderungan yang positif dengan kekuatan besar, sebagaimana istigfar dan taubat memutus dan membatasi kecenderungan yang negatif.
    '''Demek dua ve tevekkül, meyelan-ı hayra büyük bir kuvvet verdiği gibi; istiğfar ve tövbe dahi meyelan-ı şerri keser, tecavüzatını kırar.'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="ÜÇÜNCÜ_MEBHAS"></span>
    === ÜÇÜNCÜ MEBHAS ===
    ===BAHASAN KETIGA===
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Beriman kepada takdir termasuk salah satu rukun iman. Artinya, segala sesuatu terwujud dengan takdir Allah. Berbagai bukti yang menunjukkan takdir Allah sangat banyak; tak terhitung. Di sini, kami akan menjelaskan sejauh mana kekuatan dan keluasan rukun iman ini dalam bentuk sederhana dan jelas pada pendahuluan berikut.
    Kadere iman, imanın erkânındandır. Yani “Her şey, Cenab-ı Hakk’ın takdiriyledir.” Kadere delail-i kat’iye o kadar çoktur ki hadd ü hesaba gelmez. Biz, basit ve zâhir bir tarz ile şu rükn-ü imanîyi, ne derece kuvvetli ve geniş olduğunu, bir mukaddime ile göstereceğiz.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Pendahuluan'''
    '''Mukaddime:''' Her şey vücudundan evvel ve vücudundan sonra yazıldığını    وَلَا رَط۟بٍ وَلَا يَابِسٍ اِلَّا فٖى كِتَابٍ مُبٖينٍ    gibi pek çok âyât-ı Kur’aniye tasrih ediyor ve şu kâinat denilen, kudretin Kur’an-ı kebirinin âyâtı dahi şu hükm-ü Kur’anîyi, nizam ve mizan ve intizam ve tasvir ve tezyin ve imtiyaz gibi âyât-ı tekviniyesiyle tasdik ediyor.
    Segala sesuatu, sebelum dan sesudah keberadaannya, tertulis dalam satu kitab. Hal ini ditegaskan oleh al-Qur’an dalam banyak ayat. Di antaranya adalah:
    </div>
    “Tidak ada yang basah dan yang kering kecuali terdapat dalam kitab yang nyata (lauhil mahfudz).” (QS. al-An’am [6]: 59).Ketentuan al-Qur’an tersebut dibenarkan oleh seluruh alam yang merupakan qur’an qudrah ilahi yang besar lewat ayat-ayat tatanan, keseimbangan, keteraturan, keistimewaan, pembentukan, penghiasan, dan berbagai ayat penciptaan lainnya.


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ya, tulisan kitab alam yang tertata dan keteraturan ayat-ayatnya menjadi saksi bahwa segala sesuatu tertulis.
    '''Evet, şu kâinat kitabının manzum mektubatı ve mevzun âyâtı şehadet eder ki her şey yazılıdır.'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Adapun dalil yang menun- jukkan bahwa segala sesuatu tertulis dan ditentukan sebelum berwu- jud adalah seluruh permulaan, benih, ukuran, dan bentuknya. Semua itu menjadi saksi yang jujur atasnya. Pasalnya, benih tidak lain me- rupakan kotak kecil yang dibuat oleh pabrik kâf nûn (kun). Di dalam- nya, takdir (qadar) merancang konsep atau desainnya, lalu berdasar- kan konsep qadar itu qudrah ilahi membangun berbagai mukjizatnya yang agung pada benih-benih tadi dengan perantaraan partikel. Arti- nya, segala sesuatu yang akan terjadi pada pohon berikut berbagai fase yang dilaluinya telah tertulis dalam benihnya. Sebab, benih secara ma- teri sangat sederhana dan serupa.
    Amma vücudundan evvel her şey mukadder ve yazılı olduğuna delil, bütün mebâdi ve çekirdekler ve mekadîr ve suretler, birer şahittir. Zira her bir tohum ve çekirdekler, “kâf-nun” tezgâhından çıkan birer latîf sandukçadır ki kaderle tersim edilen bir fihristecik, ona tevdi edilmiştir ki kudret, o kaderin hendesesine göre zerratı istihdam edip, o tohumcuklar üstünde koca mu’cizat-ı kudreti bina ediyor. Demek, bütün ağacın başına gelecek bütün vakıatı ile çekirdeğinde yazılı hükmündedir. Zira tohumlar maddeten basittir, birbirinin aynıdır, maddeten bir şey yoktur.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kemudian ukuran yang tertata rapi untuk segala sesuatu me- nerangkan takdir secara jelas. Jika kita mencermati makhluk hidup, tentu akan diketahui bahwa ia memiliki sebuah bentuk dan ukuran, seakan-akan ia keluar dari satu cetakan yang penuh hikmah dan rapi di mana pemberian ukuran, bentuk, dan rupa tersebut bisa bersumber dari sebuah cetakan materi yang luar biasa atau qudrah ilahi mengurai bentuk dan rupa tadi, lalu memakaikannya dengan cetakan maknawi yang tersusun rapi yang berasal dari takdir.
    Hem her şeyin miktar-ı muntazaması, kaderi vâzıhan gösterir. Evet, hangi zîhayata bakılsa görünüyor ki gayet hikmetli ve sanatlı bir kalıptan çıkmış gibi bir miktar, bir şekil var ki o miktarı, o sureti, o şekli almak ya hârika ve nihayet derecede eğri büğrü maddî bir kalıp bulunmalı veyahut kaderden gelen mevzun, ilmî bir kalıb-ı manevî ile kudret-i ezeliye o sureti, o şekli biçip giydiriyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sekarang, perhatikanlah pohon dan binatang. Partikel yang tuli, buta, dan tak bernyawa di mana ia tidak memiliki perasaan dan sa- ling serupa, bergerak dalam perkembangan segala sesuatu. Setelah itu, ia berhenti pada batas-batas tertentu layaknya orang yang menge- tahui betul tentang manfaat dan buahnya. Lalu ia mengubah sejum- lah posisinya seakan-akan ia mengarah kepada tujuan besar. Dengan kata lain, partikel tadi bergerak sesuai dengan ukuran maknawi yang datang dari takdir serta sesuai dengan urusan maknawi darinya.
    Mesela, sen şu ağaca, şu hayvana dikkat ile bak ki camid, sağır, kör, şuursuz, birbirinin misli olan zerreler, onun neşv ü nemasında hareket eder. Bazı eğri büğrü hududlarda meyve ve faydaların yerini tanır, görür, bilir gibi durur, tevakkuf eder. Sonra başka bir yerde, büyük bir gayeyi takip eder gibi yolunu değiştirir. Demek, kaderden gelen miktar-ı manevînin ve o miktarın emr-i manevîsiyle zerreler hareket ederler.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Nah, selama manifestasi takdir terdapat pada sejumlah materi sampai pada tingkatan semacam itu, tentu berbagai kondisi yang ter- jadi, bentuk yang diberikan padanya, serta gerakan yang dilakukan sepanjang waktu, semuanya juga mengikuti tatanan takdir.Ya, dalam benih terdapat dua manifestasi takdir:
    Madem maddî ve görünecek eşyada bu derece kaderin tecelliyatı var. Elbette eşyanın mürur-u zamanla giydikleri suretler ve ettikleri harekât ile hasıl olan vaziyetler dahi bir intizam-ı kadere tabidir. Evet, bir çekirdekte hem bedihî olarak irade ve evamir-i tekviniyenin unvanı olan “Kitab-ı Mübin”den haber veren ve işaret eden hem nazarî olarak emir ve ilm-i İlahînin bir unvanı olan “İmam-ı Mübin”den haber veren ve remzeden iki kader tecellisi var:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Pertama, manifestasi “aksiomatis” di mana ia menginformasikan dan mengarah kepada al-kitâb al-mubîn yang merupakan perlambang kehendak dan perintah penciptaan Ilahi.
    '''Bedihî kader ise''' o çekirdeğin tazammun ettiği ağacın, maddî keyfiyat ve vaziyetleri ve heyetleridir ki sonra göz ile görünecek.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kedua, manifestasi “teoritis” dan rasional di mana ia menginfor- masikan dan mengarah kepada al-imâm al-mubîn yang merupakan perlambang perintah dan ilmu ilahi.
    '''Nazarî ise''' o çekirdekte, ondan halk olunacak ağacın müddet-i hayatındaki geçireceği tavırlar, vaziyetler, şekiller, hareketler, tesbihatlardır ki tarihçe-i hayat namıyla tabir edilen vakit be-vakit değişen tavırlar, vaziyetler, şekiller, fiiller; o ağacın dalları, yaprakları gibi intizamlı birer kaderî miktarı vardır.
    Jadi, “takdir aksiomatis” berisi kondisi, cara, dan bentuk materi pohon yang dikandung oleh benih serta yang akan disaksikan nantinya.Sementara “takdir teoritis” adalah sejumlah kondisi, bentuk, dan gerakan sepanjang kehidupan pohon yang akan tercipta dari benih tadi di mana ia disebut dengan sejarah kehidupan pohon. Kondisi, bentuk, dan berbagai aktivitas tersebut selalu berubah-ubah. Namun ia memiliki ukuran yang sudah ditentukan dengan rapi seperti yang tampak pada ranting pohon dan daun-daunnya.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Jika takdir memiliki manifestasi semacam itu pada berbagai hal yang sederhana, ini berarti bahwa segala sesuatu sebelum penciptaan dan keberadaannya tertulis
    Madem en âdi ve basit eşyada böyle kaderin tecellisi var. Elbette umum eşyanın vücudundan evvel yazılı olduğunu ifade eder ve az bir dikkatle anlaşılır.
    dalam sebuah kitab. Hal itu dapat dipahami dengan sedikit melakukan perenungan.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Adapun dalil bahwa sejarah kehidupan segala sesuatu—setelah berwujud dan tertulis—adalah semua buah yang menginformasikan keberadaan kitab mubîn dan imam mubîn, serta memori manusia yang menjelaskan keberadaan lauhil mahfûdz. Semuanya menjadi saksi yang jujur dan menjadi petunjuk atasnya. Ya, setiap buah telah ditu- liskan dalam benihnya—yang berposisi sebagai jantungnya—sejum- lah ketentuan hidup pohon berikut masa depannya.
    Şimdi, vücudundan sonra her şeyin sergüzeşt-i hayatı yazıldığına delil ise âlemde “Kitab-ı Mübin” ve “İmam-ı Mübin”den haber veren bütün meyveler ve “Levh-i Mahfuz”dan haber veren ve işaret eden insandaki bütün kuvve-i hâfızalar birer şahittir, birer emaredir. Evet, her bir meyve, bütün ağacın mukadderat-ı hayatı onun kalbi hükmünde olan çekirdeğinde yazılıyor. İnsanın sergüzeşt-i hayatıyla beraber kısmen âlemin hâdisat-ı maziyesi, kuvve-i hâfızasında öyle bir surette yazılıyor ki güya hardal küçüklüğünde bu kuvvecikte dest-i kudret, kalem-i kaderiyle insanın sahife-i a’malinden küçük bir senet istinsah ederek, insanın eline verip dimağının cebine koymuş. Tâ muhasebe vaktinde onunla hatırlatsın. Hem tâ mutmain olsun ki bu fena ve zeval herc ü mercinde beka için pek çok âyineler var ki Kadîr-i Hakîm zâillerin hüviyetlerini onlarda tersim edip ibka ediyor. Hem beka için pek çok levhalar var ki Hafîz-i Alîm fânilerin manalarını onlarda yazıyor.
    Memori manusia—yang ukurannya sekecil benih—berisi sejarah kehidupannya dan berbagai peristiwa alam di masa lalu yang ditulis oleh tangan qudrah lewat pena qadar (takdir) secara sangat cermat. Ia laksana dokumen dan catatan kecil dari lembaran amal yang diberi- kan oleh qudrah ilahi kepada manusia serta diletakkan di satu sisi dari otaknya agar dengannya ia bisa mengingat saat hisab dilakukan serta agar ia yakin bahwa penciptaan kekacauan, kefanaan, dan kelenyap- an merupakan cermin keabadian yang padanya Dzat Yang Mahakuasa dan Mahabijak menggoreskan esensi dari berbagai hal yang lenyap, serta merupakan lembaran-lembaran keabadian yang padanya Dzat Yang Maha Memelihara dan Mengetahui mencatat substansi dari se- gala hal yang fana.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Dari penjelasan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa ketika kehidupan tumbuhan tunduk pada aturan takdir meski ia merupakan kehidupan yang paling sederhana, maka kehidupan manusia yang be- rada pada tingkatan kehidupan yang paling tinggi, sudah pasti telah digariskan berikut semua cabang-cabangnya lewat ukuran takdir dan telah ditulis lewat pena takdir.
    '''Elhasıl:''' Madem en basit ve en aşağı derece-i hayat olan nebatat hayatı, bu derece kaderin nizamına tabidir. Elbette en yüksek derece-i hayat olan hayat-ı insaniye, bütün teferruatıyla kaderin mikyasıyla çizilmiştir ve kalemiyle yazılıyor. Evet nasıl katreler, buluttan haber verir; reşhalar, su menbaını gösterir; senetler, cüzdanlar, bir defter-i kebirin vücuduna işaret ederler. Öyle de şu meşhudumuz olan, zîhayatlardaki intizam-ı maddî olan bedihî kader ve intizam-ı manevî ve hayatî olan nazarî kaderin reşhaları, katreleri, senetleri, cüzdanları hükmünde olan meyveler, nutfeler, tohumlar, çekirdekler, suretler, şekiller; bilbedahe “Kitab-ı Mübin” denilen irade ve evamir-i tekviniyenin defterini ve “İmam-ı Mübin” denilen ilm-i İlahînin bir divanı olan Levh-i Mahfuz’u gösterir.
    Ya, sebagaimana tetesan air hujan menginformasikan ke- beradaan awan, percikan air menunjukkan adanya pancuran, dan dokumen menunjukkan adanya catatan besar. Demikian pula dengan buah, benih, dan beragam bentuk yang tampak jelas di hadapan kita. Ia berposisi sebagai percikan takdir aksiomatis (yaitu tatanan materi pada makhluk hidup), tetesan takdir teoritis (tatanan maknawi pada- nya), dan dokumennya di mana dengan sangat jelas menunjukkan keberadaan al-kitâb al-mubîn sebagai catatan kehendak dan perintah penciptaan, serta menunjukkan keberadaan lauhil mahfudz sebagai ki- tab ilmu ilahi yang disebut sebagai al-imâm al-mubîn.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kesimpulan: selama kita melihat bahwa partikel setiap makhluk hidup, saat tumbuh berkembang, pergi menuju batas dan akhir yang ditetapkan lalu berhenti padanya di mana kemudian ia mengubah jalannya di akhir perkembangan tadi untuk menghasilkan sejumlah hikmah, manfaat, dan maslahat, maka jelas bahwa ukuran dan keteta- pan lahiriah pada sesuatu tersebut telah digariskan dengan pena takdir.Demikianlah, takdir aksiomatis yang tampak juga menunjukkan batas-batas yang rapi dan membuahkan serta penghujung yang mem- berikan makna yang terdapat pada kondisi maknawiyah makhluk tersebut di mana ia digariskan lewat pena takdir. Jadi, qudrah Tuhan menjadi masdar (sosok yang menggaris), sementara qadar (takdir) adalah mistar (penggaris). Qudrah menggaris pada kitab tersebut se- suai dengan pola qadar untuk menunjukkan sejumlah makna.
    '''Netice-i meram:''' Madem bilmüşahede görüyoruz ki her bir zîhayatın neşv ü nema zamanında, zerreleri eğri büğrü hududlara gider, durur. Zerreler yolunu değiştirir. O hududların nihayetlerinde birer hikmet, birer fayda, birer maslahatı semere verirler. Bilbedahe o şeyin miktar-ı surîsi, bir kader kalemiyle tersim edilmiştir. İşte meşhud, bedihî kader, o zîhayatın manevî hâlâtında dahi bir kader kalemiyle çizilmiş muntazam meyvedar hududları, nihayetleri var olduğunu gösterir. Kudret masdardır, kader mistardır. Kudret o maânî kitabını, o mistar üstünde yazar.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Selama kita bisa memahami dengan benar bahwa batas, buah, dan akhir penuh hikmah yang digariskan hanya terwujud dengan pena takdir materi dan maknawi, maka berbagai kondisi dan fase yang dija- lani oleh makhluk sepanjang hidup terwujud karena pena takdir terse- but.
    Madem maddî ve manevî kader kalemiyle tersim edilmiş müsmir hudutlar, hikmetli nihayetler olduğunu kat’iyen anlıyoruz. Elbette her bir zîhayatın müddet-i hayatında geçireceği ahval ve etvarı, o kaderin kalemiyle tersim edilmiş. Çünkü sergüzeşt-i hayatı, bir intizam ve mizan ile cereyan ediyor. Suretler değiştiriyor, şekiller alıyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sebab, sejarah hidupnya berjalan sesuai dengan sebuah sistem dan tatanan yang rapi disertai perubahan bentuk yang dialaminya. Selama pena takdir mengendalikan seluruh makhluk, tentu sejarah kehidupan manusia—yang merupakan buah alam yang paling sempurna, khali- fah di muka bumi, dan pengemban amanat besar—lebih tunduk pada rambu takdir daripada yang lain.
    Madem böyle umum zîhayatta kalem-i kader hükümrandır. Elbette âlemin en mükemmel meyvesi ve arzın halifesi ve emanet-i kübranın hâmili olan insanın sergüzeşt-i hayatiyesi, her şeyden ziyade kaderin kanununa tabidir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Barangkali ada yang bertanya,''' “Takdir telah membelenggu dan merampas kebebasan kita. Tidakkah engkau bisa melihat bahwa iman kepada takdir mendatangkan beban terhadap kalbu dan melahirkan kesempitan dalam jiwa, padahal keduanya menginginkan kelapa- ngan?”
    '''Eğer desen:''' “Kader bizi böyle bağlamış, hürriyetimizi selbetmiştir. İnbisat ve cevelana müştak olan kalp ve ruh için kadere iman bir ağırlık, bir sıkıntı vermiyor mu?”
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Jawaban:'''sama sekali tidak benar. Di samping tidak melahirkan kesempitan, ia justru memberikan keringanan tak bertepi, kelapangan tak terhingga, serta kesenangan dan cahaya yang dapat mewujudkan rasa aman, damai, dan tenteram. Sebab, jika manusia tidak beriman ke- pada takdir, tentu ia harus memikul beban seberat dunia pada jiwanya yang lemah dalam sebuah wilayah yang sempit dan kebebasan parsial yang terbatas. Pasalnya, manusia memiliki relasi dengan seluruh alam. Ia juga memiliki tujuan dan impian tak terhingga. Namun kekuatan, kehendak, dan kebebasannya tidak memadai untuk memenuhi satu saja dari impian dan tujuan tersebut. Dari sini, dapat dipahami beban maknawi yang dirasakan manusia saat tidak beriman kepada takdir. Betapa ia melahirkan ketakutan dan kecemasan.
    '''Elcevap:''' Kat’â ve aslâ! Sıkıntı vermediği gibi nihayetsiz bir hiffet, bir rahatlık ve revh u reyhanı veren ve emn ü emanı temin eden bir sürur, bir nur veriyor. Çünkü insan kadere iman etmezse küçük bir dairede cüz’î bir serbestiyet, muvakkat bir hürriyet içinde, dünya kadar ağır bir yükü, bîçare ruhun omuzunda taşımaya mecburdur. Çünkü insan bütün kâinatla alâkadardır. Nihayetsiz makasıd ve metalibi var. Kudreti, iradesi, hürriyeti milyondan birisine kâfi gelmediği için çektiği manevî sıkıntı ağırlığı, ne kadar müthiş ve muvahhiş olduğu anlaşılır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sementara iman kepada takdir mengantar manusia untuk mele- takkan seluruh beban tadi ke perahu takdir sehingga membuatnya merasa lapang. Sebab, medan yang luas terbuka di hadapan ruh dan kalbu sehingga keduanya bisa berjalan di jalan kesempurnaannya se- cara sangat bebas. Hanya saja, iman ini memang akan membuat nafsu ammârah kehilangan kebebasan parsialnya. Ia juga menghancurkan egoisme dan kekuasaannya serta menghambat gerakannya yang bebas.
    İşte kadere iman, bütün o ağırlığı kaderin sefinesine atar, kemal-i rahat ile ruh ve kalbin kemal-i hürriyetiyle kemalâtında serbest cevelanına meydan veriyor. Yalnız nefs-i emmarenin cüz’î hürriyetini selbeder ve firavuniyetini ve rububiyetini ve keyfe-mâyeşa hareketini kırar.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ingatlah bahwa iman kepada takdir merupakan puncak kenik- matan dan kebahagiaan. Karena tidak mampu menjelaskan kenik- matan dan kebahagiaan tersebut, kami akan menunjukkannya dengan contoh berikut:
    Kadere iman o kadar lezzetli, saadetlidir ki tarif edilmez. Yalnız şu temsil ile o lezzete ve o saadete bir işaret edeceğiz. Şöyle ki:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ada dua orang yang sama-sama melakukan perjalanan menuju markas seorang penguasa besar. Mereka masuk ke dalam istana sang penguasa yang memiliki banyak keajaiban. Salah satu di antara me- reka tidak mengenal sang penguasa dan ingin tinggal sejenak di istana seraya menjalani hidupnya dengan mencuri harta. Akan tetapi, proses penataan dan pengaturan taman dan istana tersebut, cara menjalan- kan sejumlah mesinnya, serta pemberian makanan kepada hewan-he- wannya yang unik membuatnya selalu berada dalam kondisi gelisah dan risau sehingga taman indah yang menyerupai surga itu menjadi seperti neraka. Sebab, ia sedih dengan segala hal yang tak mampu ia lakukan. Maka ia menghabiskan waktunya dengan keluhan dan penye- salan. Akhirnya, iapun dilemparkan ke penjara sebagai hukuman atas sikap dan perilakunya yang buruk.Adapun orang yang kedua mengenal sang penguasa. Ia memo- sisikan dirinya sebagai tamu. Ia percaya bahwa semua pekerjaan di istana dan taman itu bisa dikendalikan dengan mudah lewat aturan yang rapi serta sesuai dengan program dan perencanaan yang ada. Ia pun menyerahkan seluruh kesulitan dan beban kepada hukum dan ketentuan penguasa. Dengan nyaman ia menikmati semua hal yang terdapat di taman hijau laksana surga itu. Ia melihat semuanya benar-benar indah seraya bersandar kepada kasih sayang penguasa dan bergantung kepada ketentuan tatanannya yang indah. Ia menghabiskan hidupnya dalam kenikmatan dan kebahagiaan yang sempurna.
    İki adam, bir padişahın payitahtına giderler. O padişahın mahall-i garaib olan has sarayına girerler. Biri, padişahı bilmez; o yerde gasıbane, sârıkane tavattun etmek ister. Fakat o bahçe, o sarayın iktiza ettikleri idare ve tedbir ve vâridat ve makinelerini işlettirmek ve garib hayvanatın erzakını vermek gibi zahmetli külfetleri görür, mütemadiyen ızdırap çeker. O cennet gibi bahçe, başına bir cehennem gibi oluyor. Her şeye acıyor. İdare edemiyor. Teessüfle vaktini geçirir. Sonra da o hırsız edepsiz adam, te’dib suretiyle hapse atılır. İkinci adam, padişahı tanır, padişaha kendini misafir bilir. Bütün o bahçede, o sarayda olan işler, bir nizam-ı kanunla cereyan ettiğini, her şey bir programla, kemal-i suhuletle işlediğini itikad eder. Zahmet ve külfetleri, padişahın kanununa bırakıp kemal-i safa ile o cennet-misal bahçenin bütün lezzetlerinden istifade edip padişahın merhametine ve idare kanunlarının güzelliğine istinaden her şeyi hoş görür, kemal-i lezzet ve saadetle hayatını geçirir. İşte    مَن۟ اٰمَنَ بِال۟قَدَرِ اَمِنَ مِنَ ال۟كَدَرِ    sırrını anla.
    Dari sini engkau bisa memahami rahasia:“Siapa yang beriman kepada takdir, ia selamat dari kesedihan.”
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="DÖRDÜNCÜ_MEBHAS"></span>
    === DÖRDÜNCÜ MEBHAS ===
    ===BAHASAN KEEMPAT===
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Barangkali engkau bertanya,'''“Dalam bahasan pertama engkau telah menegaskan bahwa semua yang ada pada takdir adalah indah dan baik. Bahkan, keburukan yang datang darinya juga baik dan in- dah. Namun, musibah dan bencana yang turun ke dunia membantah pernyataan tersebut?
    '''Eğer desen:''' “Birinci Mebhas’ta ispat ettin ki: Kaderin her şeyi güzeldir, hayırdır. Ondan gelen şer de hayırdır, çirkinlik de güzeldir. Halbuki şu dâr-ı dünyadaki musibetler, beliyyeler, o hükmü cerh ediyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Jawaban:'''Wahai diri dan wahai sahabatku yang tersiksa akibat besarnya kasih sayang yang kalian pikul. Ketahuilah bahwa wujud atau eksistensi merupakan kebaikan mutlak, sementara ketiadaan merupa- kan keburukan mutlak. Dalilnya adalah kembalinya seluruh kebaikan, kesempurnaan, dan keutamaan kepada alam wujud serta kondisi ketiadaan yang menjadi landasan dari semua kemaksiatan, musibah, dan cacat.Ketika ketiadaan merupakan keburukan mutlak, maka berbagai kondisi yang mengalir menuju ketiadaan atau beraroma tiada, juga mengandung keburukan. Karena itu, kehidupan yang merupakan cahaya wujud paling terang menjadi kuat lewat keadaannya yang berubah-ubah dalam kondisi yang beragam; menjadi bersih lewat keadaannya yang masuk ke dalam beragam kondisi; melahirkan berbagai buah yang diharapkan lewat kondisinya yang mengalami perubahan banyak bentuk; serta menerangkan secara jelas dan indah ukiran nama-nama Pemberi kehidupan lewat kondisinya yang bertransformasi dalam beragam fase.
    '''Elcevap:''' Ey şiddet-i şefkatten şedit bir elemi hisseden nefsim ve arkadaşım! Vücud, hayr-ı mahz; adem, şerr-i mahz olduğuna; bütün mehasin ve kemalâtın vücuda rücûu ve bütün maâsi ve mesaib ve nekaisin esası adem olduğu, delildir. Madem adem şerr-i mahzdır. Ademe müncer olan veya ademi işmam eden hâlât dahi şerri tazammun eder. Onun için vücudun en parlak nuru olan hayat, ahval-i muhtelife içinde yuvarlanıp kuvvet buluyor. Mütebayin vaziyetlere girip tasaffi ediyor. Ve müteaddid keyfiyatı alıp matlub semeratı veriyor. Ve müteaddid tavırlara girip Vâhib-i Hayat’ın nukuş-u esmasını güzelce gösterir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Atas dasar itulah, berbagai kondisi dihamparkan kepada makhuk dalam bentuk kepedihan, musibah, kesulitan, dan bencana agar dengan berbagai kondisi itu cahaya wujud dalam kehidupan mereka menjadi terbaharui, dan sebaliknya gelap ketiadaan semakin jauh. Seketika hidup mereka bersih dan bening. Hal itu karena keterhentian, diam, kevakuman, kemalasan dan keadaan monoton, semuanya adalah ketiadaan dalam beragam bentuk dan kondisi. Bahkan, kenikmatan terbesar sekalipun menjadi berkurang dan lenyap dalam keadaan yang monoton.
    İşte şu hakikattendir ki zîhayatlara âlâm ve mesaib ve meşakkat ve beliyyat suretinde bazı hâlât ârız olur ki o hâlât ile hayatlarına envar-ı vücud teceddüd edip zulümat-ı adem tebâud ederek hayatları tasaffi ediyor. Zira tevakkuf, sükûnet, sükût, atalet, istirahat, yeknesaklık; keyfiyatta ve ahvalde birer ademdir. Hattâ en büyük bir lezzet, yeknesaklık içinde hiçe iner.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Dari sana dapat disimpulkan bahwa selama kehidupan menjelaskan ukiran Asmaul Husna, maka semua yang menimpa kehidupan adalah indah dan baik.
    '''Elhasıl:''' Madem hayat, esma-i hüsnanın nukuşunu gösterir. Hayatın başına gelen her şey hasendir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sebagai contoh: seorang desainer kaya dan mahir menugaskan seorang miskin untuk menjadi modelnya dalam satu jam dengan im- balan tertentu. Tujuannya untuk memperlihatkan kreasinya yang in- dah dan menampakkan aset-asetnya yang bernilai. Ia memakaikan kepadanya busana yang ia buat dari kain baru dalam bentuk yang sa- ngat indah. Ia menyuruhnya melakukan sejumlah gerakan dan mem- perlihatkan berbagai kondisi guna menampilkan berbagai kreasi dan keahliannya yang luar biasa. Ia memotong, mengganti, memanjang- kan, memendekkan dan seterusnya.Menurutmu, layakkah orang miskin upahan itu berkata ke- pada sang desainer, “Engkau membuatku penat dan lelah dengan menyuruhku untuk membungkuk di satu waktu dan berdiri tegak di lain kesempatan. Engkau merusak baju yang menghiasiku ini dengan tindakanmu memotong dan menggunting.” Kira-kira layakkah ia berkata padanya, “Engkau telah berbuat aniaya dan tidak adil”
    Mesela gayet zengin, nihayet derecede sanatkâr ve çok sanatlarda mahir bir zat; âsâr-ı sanatını hem kıymettar servetini göstermek için âdi bir miskin adamı, modellik vazifesini gördürmek için bir ücrete mukabil bir saatte murassa, musanna yaptığı gömleği giydirir, onun üstünde işler ve vaziyetler verir, tebdil eder. Hem her nevi sanatını göstermek için keser, değiştirir, uzaltır, kısaltır. Acaba şu ücretli miskin adam o zata dese: “Bana zahmet veriyorsun. Eğilip kalkmakla vaziyet veriyorsun. Beni güzelleştiren bu gömleği kesip kısaltmakla güzelliğimi bozuyorsun.” demeye hak kazanabilir mi? “Merhametsizlik, insafsızlık ettin.” diyebilir mi?
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Demikian pula dengan Sang Pencipta Yang Mahaagung dan Ma- haindah. Dia mengganti busana wujud berupa sejumlah perangkat halus dan indra seperti mata, telinga, akal, kalbu yang Dia pakaikan kepada makhluk hidup serta mengubahnya dalam berbagai kondisi. Dia mengganti dan membolak-balikkannya untuk memperlihatkan goresan Asmaul Husna.
    İşte onun gibi Sâni’-i Zülcelal, Fâtır-ı Bîmisal; zîhayata göz, kulak, akıl, kalp gibi havas ve letaif ile murassa olarak giydirdiği vücud gömleğini esma-i hüsnanın nakışlarını göstermek için çok hâlât içinde çevirir, çok vaziyetlerde değiştirir. Elemler, musibetler nevinde olan keyfiyat; bazı esmasının ahkâmını göstermek için lemaat-ı hikmet içinde bazı şuâat-ı rahmet ve o şuâat-ı rahmet içinde latîf güzellikler vardır.
    </div>




    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="Hâtime"></span>
    === Hâtime ===
    ===PENUTUP===
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Lima bagian berikut ini membungkam nafsu ammârah milik “Said Lama”. Ia adalah nafsu yang bodoh, membanggakan diri, sombong, riya, dan ujub.
    Eski Said’in serkeş, müftehir, mağrur, ucublu, riyakâr nefsini susturan, teslime mecbur eden '''beş fıkra'''dır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Bagian Pertama'''
    '''Birinci Fıkra:''' Madem eşya var ve sanatlıdır. Elbette bir ustaları var. Yirmi İkinci Söz’de gayet kat’î ispat edildiği gibi eğer her şey birinin olmazsa o vakit her bir şey, bütün eşya kadar müşkül ve ağır olur. Eğer her şey birinin olsa o zaman bütün eşya, bir şey kadar âsân ve kolay olur. Madem zemin ve âsumanı birisi yapmış, yaratmış. Elbette o pek hikmetli ve çok sanatkâr zat, zemin ve âsumanın meyveleri ve neticeleri ve gayeleri olan zîhayatları başkalara bırakıp işi bozmayacak. Başka ellere teslim edip bütün hikmetli işlerini abes etmeyecek, hiçe indirmeyecek, şükür ve ibadetlerini başkasına vermeyecektir.
    Selama segala sesuatu ada dan tercipta dengan rapi, tentu ada Penciptanya. Kami telah menegaskan dalam “Kalimat Kedua Puluh Dua” secara sangat jelas bahwa jika segala sesuatu tidak dinisbatkan kepada Dzat Yang Mahaesa, maka segala sesuatu menjadi sulit sesulit seluruhnya. Namun jika segala sesuatu dinisbatkan kepada Dzat Yang Mahaesa, ia akan menjadi mudah semudah sesuatu.Nah, karena yang menciptakan langit dan bumi adalah Dzat Yang Mahaesa, sudah pasti Sang Pencipta Yang Mahabijak itu tidak memberikan buah bumi dan langit berikut hasil dan tujuannya—yaitu makhluk hidup—kepada selain-Nya sehingga merusak segalanya. Tidak mungkin Dia menyerahkannya pada tangan-tangan lain sehingga seluruh karya-Nya yang penuh hikmah menjadi sia-sia. Serta tidak mungkin Dia menghancurkannya. Dia juga tidak akan menyerahkan syukur dan ibadahnya kepada yang lain.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Bagian Kedua'''
    '''İkinci Fıkra:''' Sen ey mağrur nefsim! Üzüm ağacına benzersin. Fahirlenme! Salkımları o ağaç kendi takmamış, başkası onları ona takmış.
    Wahai diriku yang sombong! Engkau seperti tangkai anggur. Janganlah merasa bangga. Tangkai itu tidak menggantungkan rantingnya sendiri. Namun yang menggantungkannya adalah pihak lain.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Bagian Ketiga'''
    '''Üçüncü Fıkra:''' Sen ey riyakâr nefsim! “Dine hizmet ettim.” diye gururlanma.   اِنَّ اللّٰهَ لَيُؤَيِّدُ هٰذَا الدّٖينَ بِالرَّجُلِ ال۟فَاجِرِ   sırrınca: Müzekkâ olmadığın için belki sen kendini o recül-ü fâcir bilmelisin. Hizmetini, ubudiyetini; geçen nimetlerin şükrü ve vazife-i fıtrat ve farîza-i hilkat ve netice-i sanat bil, ucub ve riyadan kurtul!
    Wahai diriku yang riya! Jangan terpedaya dengan berkata, “Aku telah mengabdi pada agama.” Sebab, hadis Nabi dengan jelas menga- takan bahwa اِنَّ اللّٰهَ لَيُؤَيِّدُ هٰذَا الدّٖينَ بِالرَّجُلِ ال۟فَاجِرِ ‘Allah bisa saja menolong agama ini dengan seorang pendosa’.(*<ref>*HR. al-Bukhari, al-Jihâd 182.                  </ref>)Maka, engkau harus mengang- gap dirimu sebagai orang tersebut, sebab dirimu tidak suci. Ketahuilah bahwa pengabdianmu terhadap agama dan ibadahmu hanyalah wujud syukur atas nikmat yang telah Allah berikan padamu. Ia adalah bentuk penunaian tugas fitrah, kewajiban penciptaan, serta hasil kreasi ilahi. Ketahuilah hal ini dengan baik serta selamatkan dirimu dari rasa ujub dan riya.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Bagian Keempat'''
    '''Dördüncü Fıkra:''' Hakikat ilmini, hakiki hikmeti istersen Ce­nab-ı Hakk’ın marifetini kazan. Çünkü bütün hakaik-i mevcudat, ism-i Hakk’ın şuâatı ve esmasının tezahüratı ve sıfâtının tecelliyatıdırlar. Maddî ve manevî, cevherî, arazî her bir şeyin, her bir insanın hakikati, birer ismin nuruna dayanır ve hakikatine istinad eder. Yoksa hakikatsiz, ehemmiyetsiz bir surettir. Yirminci Söz’ün âhirinde, şu sırra dair bir nebze bahsi geçmiştir.
    Jika engkau ingin mendapat ilmu hakikat dan hikmah yang be- nar, maka gapailah makrifatullah. Sebab, seluruh hakikat entitas ha- nyalah kilau nama Allah al-Haq, wujud nama-nama-Nya yang mulia, serta manifestasi sifat-sifat-Nya yang agung. Ketahuilah bahwa haki- kat segala sesuatu, baik yang bersifat materi atau maknawi, esensial ataupun non-esensial, serta hakikat manusia sendiri tidak lain ber- sandar kepada salah satu cahaya-Nya dan berpusat pada hakikat-Nya. Jika tidak, pasti ia merupakan bentuk yang tidak signifikan dan tidak memiliki hakikat. Dalam penutup “Kalimat Kedua Puluh”, kami telah menyebutkan sebagian dari masalah ini.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Wahai diriku! Jika engkau merindukan dunia serta lari dari ke- matian, maka ketahuilah dengan yakin bahwa apa yang kau anggap se- bagai kehidupan hanyalah satu menit yang kau lewati. Adapun zaman dan segala hal duniawi yang sebelum itu sudah mati, serta zaman dan segala hal di dalamnya sesudah itu bersifat tiada. Artinya, kehidupan fana yang kau banggakan hanyalah satu menit. Bahkan sebagian ahli peneliti berkata, “Kehidupan hanya sepersekian menit saja, dan bahkan ia waktu yang cepat berlalu. Dari sini, sebagian wali dan orang saleh menganggap dunia dilihat dari kedudukannya sebagai dunia adalah tidak ada.
    Ey nefis! Eğer şu dünya hayatına müştaksan, mevtten kaçarsan kat’iyen bil ki: Hayat zannettiğin hâlât, yalnız bulunduğun dakikadır. O dakikadan evvel bütün zamanın ve o zaman içindeki eşya-i dünyeviye, o dakikada meyyittir, ölmüştür. O dakikadan sonra bütün zamanın ve onun mazrufu, o dakikada ademdir, hiçtir. Demek, güvendiğin hayat-ı maddiye, yalnız bir dakikadır. Hattâ bir kısım ehl-i tetkik “Bir âşiredir belki bir ân-ı seyyaledir.” demişler. İşte şu sırdandır ki bazı ehl-i velayet, dünyanın dünya cihetiyle ademine hükmetmişler.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Jika demikian, tinggalkan kehidupan materi yang berhias nafsu ini. Naiklah menuju tingkatan kehidupan kalbu, ruh, dan jiwa. Lihat- lah betapa wilayah kehidupannya lebih luas. Masa lalu dan masa depan yang mati bagimu, hidup dan ada baginya.Wahai diri! Jika demikian keadaannya, menangislah sebagaima- na kalbuku menangis. Minta tolonglah dengan berkata:
    Madem böyledir, hayat-ı maddiye-i nefsiyeyi bırak. Kalp ve ruh ve sırrın derece-i hayatlarına çık, bak; ne kadar geniş bir daire-i hayatları var. Senin için meyyit olan mazi, müstakbel; onlar için haydır, hayattar ve mevcuddur. Ey nefsim! Madem öyledir, sen dahi kalbim gibi ağla ve bağır ve de ki:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Aku fana. Aku tidak menginginkan yang fana. Aku lemah. Aku tidak menginginkan yang lemah.Kuserahkan ruhku kepada ar-Rahman. Aku tidak ingin selain-Nya.
    “Fâniyim, fâni olanı istemem. Âcizim, âciz olanı istemem. Ruhumu Rahman’a teslim eyledim, gayr istemem. İsterim fakat bir yâr-ı bâki isterim. Zerreyim fakat bir şems-i sermed isterim. Hiç-ender hiçim fakat bu mevcudatı birden isterim.”
    Yang kuinginkan Kekasih abadi.Aku hanyalah partikel. Namun aku menginginkan matahari yang kekal.
    </div>
    Aku bukan apa-apa. Namun aku menginginkan seluruh entitas.


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Bagian Kelima'''
    '''Beşinci Fıkra:''' Şu fıkra, Arabî geldiği için Arabî yazıldı. Hem şu fıkra-i Arabiye, “Allahu ekber” zikrinde otuz üç mertebe-i tefekkürden bir mertebeye işarettir.
    Bagian ini terlintas dalam bahasa Arab dan kutulis sebagaimana adanya. Ia merupakan petunjuk tentang salah satu dari tiga puluh tiga tingkatan dalam zikir “Allâhu Akbar.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Allâhu Akbar. Sebab, Dialah Mahakuasa Yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, Maha Pemurah, Maha Penyayang, Mahaindah, Maha Mengukir, dan azali di mana hakikat alam, baik semuanya maupun sebagiannya, lembaran maupun sejumlah tingkatannya, serta hakikat entitas yang bersifat universal, parsial, eksis dan abadi tidak lain me- rupakan goresan “pena” ketentuan, takdir, dan ketetapan-Nya dengan berlandaskan ilmu dan hikmah; ukiran “jangka” ilmu, hikmah, lukisan, dan penataan-Nya lewat kreasi dan perhatian; hiasan “tangan putih” kreasi, perhatian, dekorasi, dan penerangan-Nya dengan lembut dan pemurah; bunga halus kelembutan, kemurahan, cinta, dan perkena- lan-Nya lewat kasih sayang dan nikmat-Nya; buah rahmat, karunia, kasih sayang, dan cinta-Nya yang berlimpah lewat keindahan dan ke- sempurnaan-Nya; kilau dan manifestasi keindahan dan kesempur- naan-Nya lewat bukti kefanaan cermin dan lenyapnya wujud lahiri di mana keindahan-Nya yang kekal, yang terus tampak sepanjang musim, masa, dan zaman, serta yang terus memberi sepanjang generasi, hari, dan tahun tetap abadi.
    اَللّٰهُ اَكْبَرُ اِذْ هُوَ الْقَدِيرُ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ الْكَرِيمُ الرَّحِيمُ الْجَمِيلُ النَّقَّاشُ الْاَزَلِىُّ الَّذِي مَاحَقِيقَةُ هٰذِهِ الْكَائِنَاتِ كُلًّا وَجُزْءًا وَصَحَائِفَ وَطَبَقَاتٍ، وَمَا حَقَائِقُ هٰذِهِ الْمَوْجُودَاتِ كُلِّيًّا وَجُزْئِيًّا وَوُجُودًا وَبَقَاءً، اِلَّا خُطُوطُ قَلَمِ قَضَائِهِ وَقَدَرِهِ، وَتنْظِيمِهِ وَتقْدِيرِهِ بِعِلْمٍ وَحِكْمَةٍ، وَنقُوشُ پَرْكَارِ عِلْمِهِ وَحِكْمَتِهِ وَتصْوِيرِهِ وَتدْبِيرِهِ بِصُنْعٍ وَعِنَايَةٍ، وَتزْيِينَاتُ يَدِ بَيْضَاءِ صُنْعِهِ وَعِنَايَتِهِ وَتَزْيِينِهِ وَتَنْوِيرِهِ بِلُطْفٍ وَكَرَمٍ، وَاَزَاهِيرُ لَطَائِفِ لُطْفِهِ وَكَرَمِهِ وَتَوَدُّدِهِ وَتَعَرُّفِهِ بِرَحْمَةٍ وَنِعْمَةٍ، وَثَمَرَاتُ فَيَّاضِ رَحْمَتِهِ وَنِعْمَتِهِ وَتَرَحُّمِهِ وَتَحَنُّنِهِ بِجَمَالٍ وَكَمَالٍ، وَلمَعَاتُ وَتَجَلِّيَاتُ جَمَالِهِ وَكَمَالِهِ بِشَهَادَاتِ تَفَانِيَةِ الْمَرَايَا، وَسَيَّالِيَةِ الْمَظَاهِرِ مَعَ بَقَاءِ الْجَمَالِ الْمُجَرَّدِ السَّرْمَدِىِّ الدَّائِمِ التَّجَلِّى، وَالظُّهُورِ عَلٰى مَرِّ الْفُصُولِ وَالْعُصُورِ وَالدُّهُورِ، وَدَائِمِ الْاِنْعَامِ عَلٰى مَرِّ الْاَنَامِ وَالْاَيَّامِ وَالْاَعْوَامِ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ya, jejak yang sempurna memberikan petunjuk kepada orang be- rakal akan adanya perbuatan yang sempurna. Lalu perbuatan yang sem- purna memberi petunjuk kepada orang yang paham akan nama yang sempurna. Lalu nama yang sempurna memberi petunjuk secara jelas tentang sifat yang sempurna. Kemudian sifat yang sempurna memberi petunjuk tentang potensi yang sempurna. Lalu potensi yang sempurna memberi petunjuk secara pasti tentang kesempurnaan Dzat-Nya yang layak untuk-Nya di mana ia bersifat haqqul yaqin.Ya, kefanaan cermin, kepergian entitas, disertai manifestasi yang permanen dan limpahan karunia yang terus tercurah menjadi salah satu kenyataan yang paling jelas yang menunjukkan bahwa keindahan lahiriah bukan milik makhluk. Ia menjadi penjelasan paling fasih serta bukti yang paling jelas bagi keindahan mutlak dan kebaikan Sang Wâ- jibul wujûd; Dzat yang Mahakekal dan Mahakasih.Ya Allah, limpahkan salawat dan salam untuk junjungan kami, Mu- hammad x, dari azali hingga abadi, sebanyak apa yang
    نَعَمْ فَالْاَثَرُ الْمُكَمَّلُ يَدُلُّ ذَا عَقْلٍ عَلٰى الْفِعْلِ الْمُكَمَّلِ، ثُمَّ الْفِعْلُ الْمُكَمَّلُ يَدُلُّ ذَا فَهْمٍ عَلٰى الْاِسْمِ الْمُكَمَّلِ، ثُمَّ الْاِسْمُ الْمُكَمَّلُ يَدُلُّ بِالْبَدَاهَةِ عَلٰى الْوَصْفِ الْمُكَمَّلِ، ثُمَّ الْوَصْفُ الْمُكَمَّلُ يَدُلُّ بِالضَّرُورَةِ عَلٰى الشَّأْنِ الْمُكَمَّلِ، ثُمَّ الشَّأْنُ الْمُكَمَّلُ يَدُلُّ بِالْيَقِينِ عَلٰى كَمَالِ الذَّاتِ بِمَا يَلِيقُ بِالذَّاتِ وَهُوَ الْحَقُّ الْيَقِينِ
    terdapat dalam pengetahuan Allah, serta untuk keluarga dan sahabat beliau.
    نَعَمْ تَفَانِي الْمِرْآةِ، زَوَالُ الْمَوْجُودَاتِ مَعَ التَّجَلِّى الدَّائِمِ مَعَ الْفَيْضِ الْمُلَازِمِ، مِنْ اَظْهَرِ الظَّوَاهِرِ، اَنَّ الْجَمَالَ الظَّاهِرَ لَيْسَ مُلْكُ الْمَظَاهِرِ، مِنْ اَفْصَحِ تِبْيَانٍ، مِنْ اَوْضَحِ بُرْهَانٍ لِلْجَمَالِ الْمُجَرَّدِ لِلْاِحْسَانِ الْمُجَدَّدِ لِلْوَاجِبِ الْوُجُودِ، لِلْبَاقِي الْوَدُودِ
    اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ مِنَ الْاَزَلِ اِلَى الْاَبَدِ عَدَدَ مَا فِي عِلْمِ اللّٰهِ وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ
    </div>




    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="ZEYL"></span>
    == ZEYL ==
    ==LAMPIRAN==
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Lampiran yang sangat singkat ini sangat penting dan bermanfaat untuk semua'''
    ('''Bu küçücük zeylin büyük bir ehemmiyeti var. Herkese menfaatlidir.''')
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Untuk sampai kepada Allah ada banyak jalan. Sumber seluruh jalan yang benar adalah al-Qur’an al-Karim. Hanya saja, dari semua jalan tersebut ada jalan-jalan yang lebih singkat, lebih selamat, dan lebih luas. Meski pemahamanku terbatas, aku telah mengambil dari limpahan karunia al-Qur’an sebuah jalan. Yaitu: jalan ketidakber- dayaan, kefakiran, kasih sayang, dan tafakkur.
    Cenab-ı Hakk’a vâsıl olacak tarîkler pek çoktur. Bütün hak tarîkler Kur’an’dan alınmıştır. Fakat tarîkatların bazısı, bazısından daha kısa, daha selâmetli, daha umumiyetli oluyor. O tarîkler içinde, kāsır fehmimle Kur’an’dan istifade ettiğim '''acz''' ve '''fakr''' ve '''şefkat''' ve '''tefekkür''' tarîkıdır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ya, sama seperti kerinduan, '''ketidakberdayaan''' merupakan jalan yang bisa mengantar menuju Allah. Bahkan ia lebih selamat. Pasalnya, ia mengantarkan kepada cinta-Nya lewat jalan ubudiyah.
    Evet, acz dahi aşk gibi belki daha eslem bir tarîktir ki ubudiyet tarîkıyla mahbubiyete kadar gider.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Begitupun '''kefakiran''' bisa mengantar menuju nama Allah, ar-Rahman.
    Fakr dahi Rahman ismine îsal eder.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sama seperti kerinduan, '''kasih sayang''' bisa mengantar menuju Allah. Hanya saja, perjalanannya lebih cepat dan cakupannya lebih luas. Kasih sayang bisa mengantar pada nama Allah, ar-Rahîm.
    Hem şefkat dahi aşk gibi belki daha keskin ve daha geniş bir tarîktir ki Rahîm ismine îsal eder.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Tafakkur''' juga sama seperti kerinduan. Hanya saja, ia lebih kaya dan lebih bersinar. Pasalnya, ia mengantar kepada nama Allah, al- Hakîm.
    Hem tefekkür dahi aşk gibi belki daha zengin, daha parlak, daha geniş bir tarîktir ki Hakîm ismine îsal eder.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Jalan ini berbeda dari jalan yang dilalui oleh ahli suluk pada jalan khafâ’ yang memiliki sepuluh langkah (seperti sepuluh latîfah) dan jalan jahr yang memiliki tujuh langkah sesuai dengan tujuh jenis nafsu. Sementara jalan ini hanya berupa empat langkah saja. Ia lebih kepada hakikat syar’i daripada tarekat sufi .
    Şu tarîk, hafî tarîkler misillü “Letaif-i Aşere” gibi on hatve değil ve tarîk-i cehriye gibi “Nüfus-u Seb’a” yedi mertebeye atılan adımlar değil belki '''dört hatve'''den ibarettir. Tarîkattan ziyade hakikattir, şeriattır. Yanlış anlaşılmasın, acz ve fakr ve kusurunu Cenab-ı Hakk’a karşı görmek demektir. Yoksa onları yapmak veya halka göstermek demek değildir.
    Jangan sampai kalian salah paham. Yang dimaksud dengan ketidakberdayaan, kefakiran, dan ketidaksempurnaan di sini adalah menampilkan itu semua di hadapan Allah ; bukan di hadapan ma- nusia.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Adapun wirid dan zikir jalan yang singkat ini adalah (1) mengi- kuti sunnah Nabi x (2) menunaikan kewajiban, terutama mendirikan salat dengan rukun-rukunnya, (3) membaca zikir sesudah salat, dan (4) meninggalkan dosa besar. Sumber dari semua langkah ini adalah al-Qur’an. Yaitu:
    Şu kısa tarîkın evradı: İttiba-ı sünnettir, feraizi işlemek, kebairi terk etmektir. Ve bilhassa namazı ta’dil-i erkân ile kılmak, namazın arkasındaki tesbihatı yapmaktır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    1.Firman Allah:“Jangan menganggap diri kalian suci…” (QS. an-Najm [53]: 32).Ayat ini mengarah kepada langkah pertama.
    Birinci hatveye    فَلَا تُزَكُّٓوا اَن۟فُسَكُم۟    âyeti işaret ediyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    2.Firman Allah:“Jangan kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah se- hingga Allah membuat mereka lupa kepada diri mereka sendiri...” (QS. al-Hasyr [59]: 19). Ayat ini mengarah kepada langkah kedua.
    İkinci hatveye    وَلَا تَكُونُوا كَالَّذٖينَ نَسُوا اللّٰهَ فَاَن۟سٰيهُم۟ اَن۟فُسَهُم۟   âyeti işaret ediyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    3.Firman Allah:“Kebaikan yang kau terima berasal dari Allah, sementara keburu- kan yang kau terima berasal dari dirimu...” (QS. an-Nisa [4]: 79). Ayat ini mengarah kepada langkah ketiga.
    Üçüncü hatveye مَٓا اَصَابَكَ مِن۟ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ وَمَٓا اَصَابَكَ مِن۟ سَيِّئَةٍ فَمِن۟ نَف۟سِكَ âyeti işaret ediyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    4.Firman Allah:“Segala sesuatu binasa kecuali Dzat-Nya.” (QS. al-Qashash [28]: 88). Ayat ini mengarah kepada langkah keempat.
    Dördüncü hatveye   كُلُّ شَى۟ءٍ هَالِكٌ اِلَّا وَج۟هَهُ   âyeti işaret ediyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Penjelasan ringkas mengenai keempat langkah tersebut sebagai berikut:
    '''Şu dört hatvenin kısa bir izahı şudur ki:'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Langkah Pertama'''
    '''Birinci hatvede'''   فَلَا تُزَكُّٓوا اَن۟فُسَكُم۟   âyeti işaret ettiği gibi: Tezkiye-i nefis etmemek. Zira insan, cibilliyeti ve fıtratı hasebiyle nefsini sever. Belki evvela ve bizzat yalnız zatını sever, başka her şeyi nefsine feda eder. Mabuda lâyık bir tarzda nefsini medheder. Mabuda lâyık bir tenzih ile nefsini meayibden tenzih ve tebrie eder. Elden geldiği kadar kusurları kendine lâyık görmez ve kabul etmez. Nefsine perestiş eder tarzında şiddetle müdafaa eder. Hattâ fıtratında tevdi edilen ve Mabud-u Hakiki’nin hamd ve tesbihi için ona verilen cihazat ve istidadı, kendi nefsine sarf ederek   مَنِ اتَّخَذَ اِلٰهَهُ هَوٰيهُ   sırrına mazhar olur. Kendini görür, kendine güvenir, kendini beğenir.
    Ia seperti yang disebutkan oleh ayat:“Jangan menganggap diri kalian suci.”Yaitu tidak merasa diri sudah bersih dan suci. Hal itu karena sesuai watak dan fitrahnya, manusia mencintai dirinya sendiri. Bahkan itulah yang pertama kali ia cintai. Ia rela mengorbankan segala sesuatu untuk dirinya. Ia berikan pada dirinya pujian yang hanya layak untuk Tuhan. Ia kultuskan dirinya dan ia bebaskan dari segala aib. Bahkan ia tidak menerima adanya kekurangan untuk dirinya. Ia sangat membela dirinya dengan sangat kuat lewat kecintaan yang berlebihan. Sehingga sejumlah perangkat yang Allah berikan untuk bertahmid dan menyucikan Dzat yang layak disembah, ia alihkan kepada dirinya. Akhirnya ia seperti yang digambarkan oleh al-Qur’an, “Orang yang menuhankan hawa nafsunya.” (QS. al-Furqan [25]: 43).
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ia kagum pada dirinya. Karenanya, hal tersebut perlu dibersihkan dan disucikan. Cara menyucikannya adalah dengan tidak menganggapnya suci.
    İşte şu mertebede, şu hatvede tezkiyesi, tathiri: Onu tezkiye etmemek, tebrie etmemektir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Langkah Kedua'''
    '''İkinci hatvede'''    وَلَا تَكُونُوا كَالَّذٖينَ نَسُوا اللّٰهَ فَاَن۟سٰيهُم۟ اَن۟فُسَهُم۟   dersini verdiği gibi: Kendini unutmuş, kendinden haberi yok. Mevti düşünse başkasına verir. Fena ve zevali görse kendine almaz. Ve külfet ve hizmet makamında nefsini unutmak fakat ahz-ı ücret ve istifade-i huzuzat makamında nefsini düşünmek, şiddetle iltizam etmek, nefs-i emmarenin muktezasıdır.
    Ia seperti pelajaran yang diberikan oleh ayat:“Jangan kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah sehingga Allah membuat mereka lupa kepada diri mereka sendiri.”Hal itu karena manusia kerap lupa dan lalai kepada dirinya. Ketika ingat mati, ia mengalihkannya kepada yang lain. Ketika melihat kondisi fana, ia mengembalikannya kepada orang lain. Seolah-olah itu tidak terkait dengannya sama sekali. Pasalnya, sesuai tuntutannya, nafsu ammârah mengingat dirinya saat pengambilan upah dan bagian, namun di sisi lain melupakan dirinya saat penunaian tugas dan ber- amal.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Maka, cara membersihkan dan mentarbiyah nafsu pada langkah ini adalah dengan mengamalkan kondisi sebaliknya. Yaitu tidak lupa di saat lupa diri. Dengan kata lain, lupa meraih kesenangan dan upah untuk diri, serta memikirkan diri saat pengabdian dan kematian.
    Şu makamda tezkiyesi, tathiri, terbiyesi şu haletin aksidir. Yani nisyan-ı nefis içinde nisyan etmemek. Yani huzuzat ve ihtirasatta unutmak ve mevtte ve hizmette düşünmek.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Langkah Ketiga'''
    '''Üçüncü hatvede''' مَٓا اَصَابَكَ مِن۟ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ وَمَٓا اَصَابَكَ مِن۟ سَيِّئَةٍ فَمِن۟ نَف۟سِكَ  dersini verdiği gibi: Nefsin muktezası, daima iyiliği kendinden bilip fahir ve ucbe girer. Bu hatvede nefsinde yalnız kusuru ve naksı ve aczi ve fakrı görüp bütün mehasin ve kemalâtını, Fâtır-ı Zülcelal tarafından ona ihsan edilmiş nimetler olduğunu anlayıp, fahir yerinde şükür ve temeddüh yerinde hamdetmektir.
    Ia seperti yang dijelaskan oleh ayat:
    </div>
    “Kebaikan yang kau terima berasal dari Allah, sementara keburukan yang kau terima berasal dari dirimu.
    Hal itu karena nafsu manusia selalu ingin menisbatkan kebaikan kepada dirinya sehingga mengantarkan kepada sikap ujub dan sombong. Maka, pada langkah ini seseorang hendaknya hanya melihat kekurangan, ketidakberdayaan, dan kefakiran dirinya, serta melihat semua kebaikan dan kesempurnaannya sebagai karunia Penciptanya Yang Mahaagung. Ia terima hal itu sebagai karunia dari-Nya seraya bersyukur sebagai ganti dari sikap bangga diri, dan memuji Allah
     sebagai ganti dari memuji diri.


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Cara menyucikan diri di tingkatan ini terdapat pada rahasia ayat, “Sungguh beruntung orang yang menyucikannya.” (QS. asy-Syams [91]: 9). Yaitu mengetahui bahwa kesempurnaannya terletak pada ketidaksempurnaannya, kemampuannya terletak pada ketidakberdayaannya, dan kekayaannya terletak pada kefakirannya.
    Şu mertebede tezkiyesi   قَد۟ اَف۟لَحَ مَن۟ زَكّٰيهَا   sırrıyla şudur ki: Kemalini kemalsizlikte, kudretini aczde, gınasını fakrda bilmektir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Langkah Keempat'''Ia adalah apa yang diajarkan oleh ayat:“Segala sesuatu binasa kecuali Dzat-Nya.
    '''Dördüncü hatvede'''   كُلُّ شَى۟ءٍ هَالِكٌ اِلَّا وَج۟هَهُ   dersini verdiği gibi: Nefis, kendini serbest ve müstakil ve bizzat mevcud bilir. Ondan bir nevi rububiyet dava eder. Mabud’una karşı adâvetkârane bir isyanı taşır. İşte gelecek şu hakikati derk etmekle ondan kurtulur.
    Hal itu karena diri manusia merasa merdeka dan mandiri. Kare- nanya, ia menganggap memiliki semacam kekuasaan rububiyah dan menyimpan sifat pembangkangan terhadap Dzat yang layak disembah. Dengan mengenal hakikat berikut ini, manusia akan selamat darinya.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Yaitu dari sisi makna ismi segala sesuatu bersifat fana, baru, dan tiada. Namun dilihat dari makna harfi dan kedudukannya sebagai cermin yang memantulkan nama-nama Sang Pencipta serta dilihat dari tugas dan fungsinya, ia menjadi saksi dan yang disaksikan, serta menjadi pengada dan yang diadakan.
    Hakikat şöyledir ki: Her şey nefsinde mana-yı ismiyle fânidir, mefkuddur, hâdistir, ma’dumdur. Fakat mana-yı harfiyle ve Sâni’-i Zülcelal’in esmasına âyinedarlık cihetiyle ve vazifedarlık itibarıyla şahittir, meşhuddur, vâciddir, mevcuddur.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Nah dalam hal ini, cara menyucikannya adalah dengan me- ngetahui bahwa ketiadaannya terletak pada keberadaannya, dan ke- beradaannya terletak pada ketiadaannya. Maksudnya, bila melihat dirinya dan memberikan sifat ada pada wujudnya, berarti ia tenggelam dalam gelap ketiadaan seluas jagat raya. Yaitu ketika ia lalai terhadap Dzat yang menghadirkannya, Allah, dan bersandar pada wujudnya sendiri, maka ia melihat dirinya sendirian tenggelam dalam gelapnya perpisahan dan ketiadaan yang tak bertepi laksana kunang-kunang dalam cahayanya yang redup di gelap malam yang pekat. Akan tetapi, ketika ia meninggalkan sikap ego, ia akan melihat dirinya sebagai sesuatu yang tiada. Ia hanya cermin yang memantulkan manifestasi Penciptanya yang hakiki. Dengan begitu, ia mendapatkan wujud tak bertepi dan meraih wujud seluruh makhluk.Ya, siapa yang menemukan Allah, maka ia menemukan segala sesuatu. Sebab, seluruh entitas hanyalah manifestasi dari nama-nama-Nya yang mulia.
    Şu makamda tezkiyesi ve tathiri şudur ki: Vücudunda adem, ademinde vücudu vardır. Yani kendini bilse, vücud verse kâinat kadar bir zulümat-ı adem içindedir. Yani vücud-u şahsîsine güvenip Mûcid-i Hakiki’den gaflet etse yıldız böceği gibi bir şahsî ziya-yı vücudu, nihayetsiz zulümat-ı adem ve firaklar içinde bulunur, boğulur. Fakat enaniyeti bırakıp, bizzat nefsi hiç olduğunu ve Mûcid-i Hakiki’nin bir âyine-i tecellisi bulunduğunu gördüğü vakit, bütün mevcudatı ve nihayetsiz bir vücudu kazanır. Zira bütün mevcudat, esmasının cilvelerine mazhar olan Zat-ı Vâcibü’l-vücud’u bulan, her şeyi bulur.
    </div>




    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="HÂTİME"></span>
    == HÂTİME ==
    ==Penutup==
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Jalan yang terdiri dari empat langkah ini: ketidakberdayaan, kefakiran, kasih sayang, dan tafakkur telah dijelaskan pada dua pu- luh enam kalimat dari kitab al-Kalimât yang membahas tentang ilmu hakikat, hakikat syariat, dan hikmah al-Qur’an al-Karim. Di sini kami hanya ingin memberikan penjelasan singkat tentang beberapa poin se- bagai berikut:
    Şu acz, fakr, şefkat, tefekkür tarîkındaki dört hatvenin izahatı; hakikatin ilmine, şeriatın hakikatine, Kur’an’ın hikmetine dair olan yirmi altı adet Sözlerde geçmiştir. Yalnız şurada bir iki noktaya kısa bir işaret edeceğiz. Şöyle ki:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Jalan ini merupakan jalan yang paling singkat. Pasalnya, ia hanya terdiri dari empat langkah. Bila ketidakberdayaan tertanam dalam diri, ia akan segera diserahkan kepada al-Qadîr Yang Mahaagung. Namun bila kerinduan yang menguasai diri—sebagai jalan yang paling pintas menuju Allah—ia akan bergantung pada kekasih majasi. Ketika ia melihatnya pergi, barulah sampai pada kekasih hakiki.
    Evet, şu tarîk daha kısadır. Çünkü dört hatvedir. Acz, elini nefisten çekse doğrudan doğruya Kadîr-i Zülcelal’e verir. Halbuki en keskin tarîk olan aşk, nefisten elini çeker fakat maşuk-u mecazîye yapışır. Onun zevalini bulduktan sonra Mahbub-u Hakiki’ye gider.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kemudian jalan ini juga paling selamat. Karena, padanya diri tidak memiliki syatahât atau klaim di luar kemampuan. Sebab, yang dilihat seseorang pada dirinya hanya ketidakberdayaan, kefakiran, dan ketidaksempurnaan, sehingga tidak melampaui batas.
    Hem şu tarîk daha eslemdir. Çünkü nefsin şatahat ve bâlâ-pervazane davaları bulunmaz. Çünkü acz ve fakr ve kusurdan başka nefsinde bulmuyor ki haddinden fazla geçsin.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Lalu jalan ini juga bersifat luas dan besar. Pasalnya, ia tidak perlu menafikan entitas dan tidak perlu memenjarakannya di mana penga- nut wahdatul wujud menganggap entitas tiada. Mereka berkata, “Yang ada hanyalah Dia,” untuk mencapai ketenangan dan kehadiran hati. Begitu pula dengan penganut wahdatusy syuhûd. Mereka memenja- rakan entitas dalam penjara kealpaan. Mereka berkata, “Yang terlihat hanyalah Dia,” untuk sampai kepada ketenangan kalbu.Adapun al-Qur’an, dengan sangat jelas, menjauhkan entitas dan makhluk dari penafian serta melepaskan ikatannya dari penjara. Jalan yang sesuai dengan pendekatan al-Qur’an ini melihat alam sebagai sesuatu yang tunduk pada Penciptanya Yang Mahaagung sekaligus berkhidmah untuk-Nya. Ia merupakan wujud manifestasi Asmaul Husna laksana cermin yang memantulkan manifestasi tadi. Artinya, ia dipergunakan dengan makna harfi sehingga tidak berkhidmah dan tunduk dengan sendirinya. Dengan demikian, manusia akan selamat dari kelalaian dan kalbunya selalu hadir sesuai dengan pendekatan al- Qur’an al-Karim. Ia pun menemukan jalan menuju Allah dari segala arah.
    Hem bu tarîk daha umumî ve cadde-i kübradır. Çünkü kâinatı ehl-i vahdetü’l-vücud gibi huzur-u daimî kazanmak için idama mahkûm zannedip   ‌لَا مَو۟جُودَ اِلَّا هُوَ‌   hükmetmeye veyahut ehl-i vahdetü’ş-şuhud gibi huzur-u daimî için kâinatı nisyan-ı mutlak hapsinde hapse mahkûm tahayyül edip   ‌لَا مَش۟هُودَ اِلَّا هُوَ   demeye mecbur olmuyor. Belki idamdan ve hapisten gayet zâhir olarak Kur’an affettiğinden, o da sarf-ı nazar edip ve mevcudatı kendileri hesabına hizmetten azlederek Fâtır-ı Zülcelal hesabına istihdam edip, esma-i hüsnasının mazhariyet ve âyinedarlık vazifesinde istimal ederek mana-yı harfî nazarıyla onlara bakıp, mutlak gafletten kurtulup huzur-u daimîye girmektir; her şeyde Cenab-ı Hakk’a bir yol bulmaktır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Kesimpulan'''
    '''Elhasıl:''' Mevcudatı mevcudat hesabına hizmetten azlederek, mana-yı ismiyle bakmamaktır.
    Jalan ini tidak melihat entitas dengan makna ismi. Yakni, tidak melihatnya sebagai pesuruh yang tunduk dengan sendirinya untuk dirinya. Namun, ia membebaskan entitas dari semua itu, dan mempersandangkan untuknya sebuah tugas, serta melihatnya sebagai pesuruh yang tunduk kepada Allah.
    </div>




    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    ------
    ------
    <center> [[Yirmi Beşinci Söz]] ⇐ | [[Sözler]] | ⇒ [[Yirmi Yedinci Söz]] </center>
    <center> [[Yirmi Beşinci Söz/id|KALIMAT KEDUA PULUH LIMA]] ⇐ | [[Sözler/id|Al-Kalimât]] | ⇒ [[Yirmi Yedinci Söz/id|KALIMAT KEDUA PULUH TUJUH]] </center>
    ------
    ------
    </div>

    18.40, 21 Kasım 2024 itibarı ile sayfanın şu anki hâli

    Diğer diller:

    (Risalah Takdir)

    “Tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya. Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.” (QS. Al-Hijr [15]: 21)“Segala sesuatu kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh mahfuzh).” (QS. Yasin [36]: 12)


    Takdir Ilahi dan ikhtiar manusia adalah dua persoalan penting. Kita mencoba untuk menganalisa sebagian dari rahasia keduanya dalam empat bahasan yang berkaitan dengan takdir.

    BAHASAN PERTAMA

    Takdir dan ikhtiar adalah bagian dari iman yang bersifat keadaan dan perasaan di mana ia menjelaskan akhir batasan iman dan Islam. Keduanya bukan kajian ilmiah dan teoritis. Artinya, seorang mukmin menyerahkan segala sesuatu hanya kepada Allah, dan menyandarkan semua perkara hanya kepada-Nya. Ia senantiasa dalam kondisi seperti ini hingga mengembalikan aktivitas dan dirinya kepada Allah. Agar pada akhirnya ia tidak terlepas dari beban dan tanggungjawab, maka di hadapannya nampak ikhtiar (usaha) dengan berkata: “Engkau ber-tanggungjawab, engkau mempunyai kewajiban!” Kemudian agar tidak sombong dengan kebaikan-kebaikan dan amal saleh yang ia lakukan, takdir menghampirinya seraya berkata, “Lihatlah batas kemampuan- mu, bukan engkau yang melakukannya!”

    Ya, takdir dan ikhtiar berada pada tingkatan iman dan Islam yang paling tinggi. Keduanya masuk dalam pembahasan keimanan. Sebab, takdir menyelamatkan manusia dari sifat sombong, sedangkan ikhtiar menyelamatkannya dari perasaan bahwa ia tidak mempunyai tanggu- ngjawab. Keduanya bukan termasuk kajian ilmiah dan teoritis yang mengantarkan pada hal-hal yang secara total bertentangan dengan ra- hasia takdir dan hikmah ikhtiar; dengan bergantung pada takdir agar terbebas dari tanggungjawab perilaku buruk yang telah dilakukan oleh nafsu ammârah, dan bangga terhadap amal-amal kebaikan yang telah dianugerahkan kepadanya serta terbuai dengannya seraya menisbat- kannya pada ikhtiar dan upayanya.

    Ya, kalangan awam, yang belum mencapai tingkat pemaha- man terhadap rahasia takdir, memiliki sejumlah posisi atau porsi dalam mempergunakannya.

    Hanya saja, porsi tersebut terbatas pada perkara-perkara masa lalu, khususnya musibah dan malapetaka di mana takdir menjadi pe- lipur lara dari keputusasaan dan kesedihan; bukan untuk urusan ke- maksiatan atau masa yang akan datang di mana keberadaannya tidak untuk membantu melakukan dosa atau bermalas-malas dalam melak- sanakan kewajiban (taklif).

    Dengan kata lain, takdir bukan bertujuan untuk menghindar dari kewajiban dan tanggungjawab, akan tetapi un- tuk menyelamatkan manusia dari sikap bangga dan sombong. Oleh karena itu, ia termasuk dalam pembahasan iman. Adapun ikhtiar, ia termasuk dalam pembahasan akidah, guna menjadi sumber perbuatan maksiat; bukan sumber perbuatan baik dan terpuji yang bisa menggi- ring manusia pada sifat sombong dan melampaui batas.Ya, al-Qur’an menjelaskan bahwa manusia bertanggungjawab se- cara penuh atas segala dosa yang dilakukannya. Sebab, manusia itulah yang menghendaki perbuatan dosa. Karena dosa termasuk hal yang bersifat merusak, manusia bisa membuat kerusakan yang besar dengan satu dosa saja. Misalnya, membakar sebuah rumah dengan sebatang korek api. Karena itu, ia berhak mendapatkan hukuman yang berat.

    Adapun dalam hal kebaikan, manusia tidak berhak untuk som- bong dan bangga. Pasalnya, bagiannya dalam kebaikan sangatlah kecil karena rahmat Allah-lah yang menghendaki dan menuntut kebaikan tersebut. Qudrah Allah-lah yang telah menghadirkannya. Perminta- an dan pemberian, sebab dan faktor pemicu, semuanya berasal dari Allah. Manusia bisa menjadi pemilik dari kebaikan tersebut dengan berdoa, beriman, sadar dan rida terhadapnya.

    Adapun yang meng- hendaki dosa dan keburukan adalah nafsu manusia, baik dengan po- tensi maupun upayanya secara sengaja. Sama seperti sejumlah benda yang menjadi busuk dan hitam setelah terkena cahaya matahari yang indah berkilau. Warna hitam tersebut kembali kepada potensi materi tersebut. Hanya saja, Dzat yang telah menghadirkan keburukan terse- but lewat aturan ilahi yang mengandung banyak kemaslahatan adalah Allah. Artinya, sebabnya berasal dari nafsu atau diri manusia di mana ia bertanggungjawab atasnya, sementara proses penciptaan dan peng- hadirannya yang terkait dengan Allah indah dan baik, sebab memiliki sejumlah buah dan hasil yang indah pula.

    Dari rahasia inilah dapat disimpulkan bahwa menciptakan kebu- rukan bukanlah keburukan, akan tetapi melakukan keburukan adalah keburukan. Tidak pantas orang malas yang merasa dirugikan oleh hu- jan yang sebetulnya mengandung manfaat besar berkata, “Hujan bu- kanlah rahmat.” Sungguh dalam penciptaan terdapat banyak kebaikan walaupun di dalamnya ada sedikit keburukan. Meninggalkan kebaikan yang banyak untuk menghindari keburukan yang sedikit, tentu akan melahirkan keburukan yang besar. Oleh karena itu, keburukan parsial tadi dianggap sebagai kebaikan. Tidak ada bahaya dan keburukan da- lam penciptaan yang Allah lakukan. Namun, keburukan itu kembali kepada perilaku dan potensi hamba.

    Sebagaimana takdir Ilahi bersih dari keburukan dan kezali- man dilihat dari sisi hasil dan buah, iapun bersih dari keburukan dan kezaliman dilihat dari sisi illat dan sebab. Pasalnya, takdir Ilahi selalu melihat sebab hakiki sehingga adil. Sementara manusia membangun hukum mereka dari sebab-sebab lahiri yang mereka lihat. Karenanya, mereka dapat melakukan kezaliman dalam keadilan takdir itu sendiri.Misalnya, seorang hakim memvonismu penjara dengan tuduhan pencurian, padahal dirimu tidak melakukannya. Akan tetapi, engkau mempunyai kasus pembunuhan yang tersembunyi yang hanya diketa- hui oleh Allah. Takdir Ilahi menetapkanmu masuk penjara. Dia telah berlaku adil lantaran pembunuhan tersebut yang tak diketahui oleh orang lain. Sementara sang hakim telah berbuat zalim, sebab menghu- kummu masuk penjara dengan tuduhan pencurian sedangkan engkau tidak melakukannya.Begitulah, dalam satu perkara terdapat dua sisi: sisi keadilan tak- dir (penciptaan ilahi) dan sisi kezaliman manusia (perbuatan manu- sia). Demikian pula dengan perkara lainnya. Dengan kata lain, dilihat dari awal dan akhir, pokok dan cabang, serta sebab dan akibat, maka takdir dan penciptaan Ilahi bersih dari keburukan, kejelekan, dan kezaliman.

    Barangkali ada yang bertanya, “Kalau ikhtiar manusia tidak mempunyai peran dalam penciptaan, serta yang berada di tangan ma- nusia hanyalah perbuatan yang bersifat relatif, lalu mengapa al-Qur’an sangat mengeluhkan kemaksiatan yang dilakukan manusia kepada Pencipta langit dan bumi, sehingga seakan-akan al-Qur’an memo- sisikannya sebagai musuh yang durhaka. Bahkan, Allah mengirimkan pasukannya dari golongan malaikat untuk membantu hamba beriman dalam melawan orang yang durhaka. Lebih dari itu, Allah Sang Pen- cipta langit dan bumi yang secara langsung membantunya. Mengapa sampai demikian?”

    Jawaban: Sebab, kekufuran, kedurhakaan, dan perbuatan dosa, semua- nya merupakan bentuk perusakan dan ketiadaan (kenihilan). Satu hal yang bersifat relatif dan tiada bisa melahirkan berbagai kerusakan be- sar dan ketiadaan yang tak terbatas. Sebagaimana ketika seorang awak kapal besar tidak menunaikan tugasnya, hal itu akan membuat kapal tenggelam serta menghancurkan hasil karya seluruh pekerja yang lain. Demikian pula, dengan kekufuran dan kemaksiatan. Keduanya me- rupakan bentuk ketiadaan dan perusakan. Keduanya bisa digerakkan oleh ikhtiar manusia yang bersifat relatif sehingga menyebabkan aki- bat yang fatal. Pasalnya, meskipun hanya sebuah dosa, kekufuran ada- lah bentuk penghinaan terhadap seluruh alam karena menganggapnya percuma dan sia-sia, bentuk pengingkaran atas seluruh entitas yang menunjukkan keesaan-Nya, serta pendustaan terhadap semua mani- festasi Asmaul Husna.

    Karena itu, ancaman dan keluhan keras Allah atas nama seluruh alam, entitas, dan Asmaul Husna terhadap orang kafir merupakan bentuk hikmah yang tepat, serta penyiksaan-Nya dengan memberikan siksa abadi merupakan bentuk keadilan.Saat manusia berpihak kepada sisi penghancuran lewat kekufu- ran dan pembangkangannya, hal itu akan melahirkan kerusakan besar hanya lantaran sebuah perbuatan parsial. Karena itu, dalam mengha- dapi para perusak itu kalangan beriman membutuhkan pertolongan ilahi yang besar. Sebab, ketika sepuluh orang kuat berusaha menjaga dan membangun sebuah rumah, maka manakala ada seorang anak na- kal yang berupaya membakar rumah tadi, hal itu sudah cukup mem- buat sepuluh orang di atas untuk pergi mengadu kepada orang tua anak tersebut. Bahkan, meminta tolong kepada penguasa. Karenanya, kaum beriman sangat membutuhkan pertolongan Tuhan agar tetap bisa bertahan melawan kaum pembangkang yang tidak beradab.

    Kesimpulan: Dari penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa jika orang yang berbicara tentang takdir dan ikhtiar memiliki iman yang sempurna dan hati yang tenang serta merasakan kehadiran Allah, pasti akan menyerahkan semua urusan alam dan juga dirinya kepada Allah. Ia percaya bahwa seluruh urusan berjalan di bawah kendali dan penga- turan Allah. Orang seperti itulah yang layak berbicara tentang takdir dan ikhtiar. Karena, ia mengetahui bahwa dirinya dan segala sesuatu berasal dari Allah. Maka, ia memikul tanggungjawab dengan merujuk kepada ikhtiar yang dipandang sebagai sumber perbuatan dosa. De- ngan demikian, ia tetap menyucikan Tuhan, berada di bawah wilayah ubudiyah, serta tunduk dan menjalankan taklif ilahi. Ia melihat ber- bagai kebaikan dan kemuliaan yang bersumber darinya sebagai takdir agar tidak sombong sehingga bersyukur kepada Tuhan. Ia juga melihat sejumlah musibah yang menimpanya sebagai takdir sehingga bersabar.

    Akan tetapi, jika yang berbicara tentang takdir dan ikhtiar adalah orang lalai, maka ia tidak layak membincangkan keduanya. Sebab, naf- su ammârah-nya—dengan dorongan kelalaian dan kesesatan—akan mengembalikan alam kepada sebab, sehingga menjadikan apa yang menjadi milik Allah untuk sebab. Ia melihat dirinya berkuasa penuh, mengembalikan seluruh perbuatan kepada diri sendiri dan menyan- darkannya kepada sebab. Di sisi lain, ia membebani tanggungjawab dan segala kekurangan kepada takdir. Dalam kondisi demikian, pem- bahasan tentang takdir dan ikhtiar menjadi sia-sia; tidak memiliki lan- dasan. Ia hanyalah tipu daya nafsu yang berusaha melepaskan diri dari tanggungjawab yang mana hal tersebut menafikan hikmah takdir dan ikhtiar.

    BAHASAN KEDUA

    Bahasan ini merupakan kajian ilmiah yang mendalam dan khusus untuk para ulama.(*[1])

    Jika engkau bertanya, “Bagaimana cara memadukan antara takdir dan ikhtiar?”

    maka jawabannya adalah dengan tujuh cara:

    Pertama:Dzat Yang Mahaadil dan Bijaksana yang hikmah dan keadilan-Nya disaksikan oleh seluruh alam lewat lisan keteraturan dan keseimbangan telah memberikan kepada manusia ikhtiar yang esen- sinya tidak diketahui guna menjadi sumber pahala dan hukuman. Se- bagaimana Dzat Yang Mahabijak dan Adil memiliki banyak hikmah yang tidak kita ketahui, demikian pula kita tidak mengetahui cara me- madukan takdir dan ikhtiar. Namun, ketidaktahuan kita terhadap cara memadukannya bukan berarti ia tidak ada.

    Kedua:Setiap manusia menyadari bahwa dirinya memiliki kehendak dan ikhtiar. Ia mengetahui keberadaan ikhtiar tersebut secara naluriah. Pengetahuan tentang esensi sesuatu berbeda dengan pengetahuan tentang keberadaannya. Banyak hal yang wujudnya jelas bagi kita, namun esensinya tidak diketahui. Nah, ikhtiar parsial ini bisa masuk ke dalam kategori tersebut. Segala sesuatu tidak terbatas pada ruang lingkup wawasan kita. Ketidaktahuan kita tentangnya bukan berarti ia tidak ada.

    Ketiga:Ikhtiar tidak berseberangan dengan takdir. Sebaliknya, takdir justru mendukung ikhtiar manusia. Sebab, takdir adalah bagian dari pengetahuan ilahi. Pengetahuan ilahi tersebut terpaut dengan ikhtiar kita. Karena itu, ia mendukung ikhtiar dan tidak membatalkannya.

    Keempat:Takdir adalah bagian dari pengetahuan. Sementara pengetahuan mengikuti objeknya. Artinya, dalam kondisi apapun, ob- jek pengetahuan tercakup dalam pengetahuan dan terpaut dengannya. Jadi, bukan objek pengetahuan yang mengikuti pengetahuan. Mak- sudnya, dilihat dari wujud eksternal, kaidah pengetahuan bukan lan- dasan untuk menata objek pengetahuan, sebab objek pengetahuan dan wujud eksternal bersandar kepada iradah dan qudrah Tuhan.

    Selanjutnya, zaman azali bukan pangkal dari rangkaian masa lalu sehingga dapat dijadikan sebagai landasan bagi keberadaan segala sesuatu. Namun zaman azali meliputi masa lalu, masa sekarang, dan masa mendatang sebagaimana langit meliputi bumi. Ia laksana cermin yang menatap dari arah atas. Karena itu, mengkhayalkan pangkal dan awal masa lalu bagi zaman yang membentang di wilayah makhluk lalu menyebutnya dengan nama azali, serta masuknya sejumlah hal secara berangsur ke dalam ilmu azali tersebut, dan membayangkan diri be- rada di luarnya, lalu atas dasar itu kita melakukan penilaian rasional sama sekali tidak benar.

    Engkau bisa melihat contoh berikut untuk menyingkap rahasia di atas:Jika di tanganmu ada sebuah cermin, lalu jarak sebelah kanan cermin diumpamakan masa lalu dan sebelah kiri adalah masa depan, maka cermin itu hanya bisa memantulkan apa yang berada di hada- pannya serta mencakup kedua sisi dengan tatanan tertentu di mana ia tidak bisa menyerap sebagian besarnya. Sebab, semakin rendah cermin itu semakin sedikit yang bisa dipantulkan. Sebaliknya, ketika diangkat maka wilayah yang berada di hadapannya meluas. Demiki- anlah, dengan naik secara perlahan-lahan, cermin bisa menyerap jarak antara kedua sisi secara bersamaan dalam satu waktu. Selain itu, tergambar pula dalam cermin tersebut semua kondisi yang terjadi di antara kedua jarak itu. Tentu saja, berbagai kondisi yang terjadi pada salah satunya tidak bisa disebut lebih dulu, lebih belakangan, sesuai, atau berlawanan dengan yang lain.

    Begitulah, karena takdir ilahi termasuk pengetahuan azali, se- mentara pengetahuan azali berada pada kedudukan tinggi yang meli- puti seluruh yang telah dan akan terjadi seperti ungkapan hadis Nabi, maka kita dan penilaian rasional kita tidak berada di luar pengetahuan tersebut sehingga kita tidak bisa membayangkan ia sebagai cermin yang berada di jarak masa lalu.

    Kelima:Takdir berkaitan dengan sebab dan akibat secara ber- samaan. Karena itu, kehendak Tuhan tidak terpaut dengan akibat dan sebab dalam dua waktu yang berbeda. Artinya, akibat ini akan terjadi dengan sebab tersebut. Karena itu, tidak bisa dikatakan bahwa selama kematian seseorang ditakdirkan pada waktu tertentu, maka apa dosa orang yang menembaknya dengan senapan lewat kehendak parsial- nya?! Sebab, andaikan ia tidak menembak tentu orang tadi juga mati.

    Pertanyaan: “Mengapa tidak bisa dikatakan demikian?”

    Jawaban:Sebab, takdir telah menetapkan kematiannya dengan senapan tersebut. Jika engkau mengasumsikan kematiannya bukan karena ditembak, berarti engkau menganggap ketidakterkaitan takdir. Lalu, dari mana engkau bisa memastikan kematiannya?! Terkecuali engkau meninggalkan pendekatan Ahlu Sunnah lalu masuk ke dalam berbagai kelompok sesat yang menganggap adanya takdir bagi sebab dan takdir bagi akibat seperti kalangan Jabariyah. Atau, engkau meng- ingkari adanya takdir seperti kalangan Muktazilah. Adapun kita se- bagai ahlul haq berpendapat bahwa andaikan ia tidak ditembak, maka kematian orang tersebut tidak kita ketahui. Sementara kalangan Ja- bariyah berpendapat bahwa andaikan ia tidak ditembak, ia tetap mati. Sedangkan kalangan Muktazilah berpendapat bahwa andaikan ia ti- dak ditembak, ia tidak mati.

    Keenam:(*[2])“Kecenderungan” yang merupakan inti landasan ikh- tiar adalah persoalan yang bersifat maknawi menurut kalangan al-Mâturidiyah. Ia bisa berada di tangan hamba. Akan tetapi, bagi kalangan al-Asy’ariyah, kecenderungan tersebut benar-benar ada. Ia tidak ber- ada di tangan hamba. Namun mereka berpendapat bahwa penggunaan kecenderungan tersebut merupakan persoalan yang bersifat maknawi di tangan hamba. Karena itu, kecenderungan dan penggunaannya me- rupakan dua hal yang bersifat maknawi. Keduanya tidak memiliki wu- jud lahiriah yang nyata. Sesuatu yang bersifat maknawi, keberadaannya tidak membutuhkan sebab sempurna yang menuntut adanya kebutu- han yang bisa meniadakan ikhtiar. Namun, ketika sebab dari sesuatu yang bersifat maknawi itu menempati sebuah posisi yang cukup kuat, keberadaannya bisa menjadi jelas dan bisa ditinggalkan. Ketika itulah al-Qur’an berkata kepadanya, “Ini buruk, jangan kau lakukan!”

    Ya, andaikan manusia yang mencipta semua perbuatannya serta ia yang memiliki kemampuan untuk mencipta, tentu ikhtiar menjadi tiada. Sebab, seperti kaidah baku dalam ilmu ushul dan hikmah, “Se- suatu yang tidak wajib, tidak akan ada.” Artinya, sesuatu tidak berwu- jud selama wujudnya tidak wajib. Dengan kata lain, harus ada sebab sempurna terlebih dahulu, baru kemudian ia ada. Adapun sebab yang sempurna mengharuskan keberadaan akibat. Ketika itulah tidak ada ikhtiar.

    Barangkali engkau berkata:“Memilih” tanpa sebab adalah mus- tahil. Sementara perbuatan manusia yang disebut sesuatu yang bersifat maknawi di mana kadang disertai usaha dan kadang tidak, menuntut adanya pilihan tanpa sebab jika sebab tersebut memang tidak ada. Ini menghancurkan salah satu prinsip ilmu kalam yang paling utama.”

    Jawaban:“Mengutamakan” tanpa ada sebab adalah mustahil. Berbeda dengan “memilih” tanpa sebab adalah boleh dan nyata. Ke- hendak ilahi adalah salah satu sifat Allah. Ia melakukan perbuatan semacam itu (yakni pilihan Allah adalah sebab).

    Barangkali engkau bertanya:“Selama yang menciptakan pembunuhan adalah Allah, lalu mengapa manusia disebut sebagai pembunuh?”

    Jawaban:Sesuai kaidah ilmu sharaf (sintaksis), partisipel aktif (isim fâ`il) adalah kata bentukan dari nomina verbal (masdar = kata dasar) yang bersifat relatif. Ia tidak terbentuk dari (akibat) yang di- hasilkan lewat masdar yang jelas ada. Dalam hal ini, masdar adalah perbuatan kita. Dengan itu, kita menyandang gelar sebagai pelaku (pembunuh). Sementara yang dihasilkan lewat masdar (akibat) adalah ciptaan Allah. Tanggungjawab yang dipikul pelaku tidak diambil dari akibat.

    Ketujuh:Kehendak dan ikhtiar parsial manusia sangat lemah dan bersifat relatif. Namun Allah sebagai Dzat Yang Mahabijak te- lah menjadikan kehendak yang parsial dan lemah tadi sebagai syarat bagi kehendak-Nya yang bersifat universal. Seolah-olah secara implisit Dia berkata, “Wahai hamba-Ku, jalan mana saja yang kau pilih untuk dilalui, Aku akan menggiringmu kepadanya. Karena itu, tanggung- jawab ada padamu.” Sebagai contoh: suatu saat engkau menggendong seorang anak kecil yang lemah seraya memberikan pilihan kepadanya, “Ke mana saja engkau ingin pergi, aku akan membawamu kepadanya.” Lalu si anak kecil itu ingin naik ke atas gunung yang tinggi, dan engkau pun membawanya ke sana.

    Hanya saja, ia kemudian sakit atau terjatuh. Ketika itu engkau pasti berkata kepadanya, “Engkau sendiri yang me- minta!” Engkau pun memberi teguran dan peringatan keras kepada- nya. Begitu pula Allah Dzat Yang Mahabijak. Dia menjadikan kehen- dak hamba-Nya yang lemah sebagai syarat lazim bagi kehendak-Nya yang bersifat universal.

    Kesimpulan: Wahai manusia, engkau memiliki kehendak yang sangat lemah. Namun, ia sangat mampu berbuat buruk dan merusak, tapi lemah da- lam berbuat baik. Kehendak inilah yang disebut dengan ikhtiar. Maka, persembahkan doa untuk salah satu dari kedua tangan kehendak itu, agar bisa menggapai surga yang merupakan buah dari rangkaian ke- baikan dan bisa meraih kebahagiaan abadi yang merupakan salah satu bunganya. Lalu, persembahkan istigfar untuk tangan yang lain agar tangannya tak mampu melakukan keburukan dan tak dapat meraih buah pohon terlaknat; zaqqum neraka.

    Dengan kata lain, doa dan tawakkal menopang kecenderungan yang positif dengan kekuatan besar, sebagaimana istigfar dan taubat memutus dan membatasi kecenderungan yang negatif.

    BAHASAN KETIGA

    Beriman kepada takdir termasuk salah satu rukun iman. Artinya, segala sesuatu terwujud dengan takdir Allah. Berbagai bukti yang menunjukkan takdir Allah sangat banyak; tak terhitung. Di sini, kami akan menjelaskan sejauh mana kekuatan dan keluasan rukun iman ini dalam bentuk sederhana dan jelas pada pendahuluan berikut.

    Pendahuluan Segala sesuatu, sebelum dan sesudah keberadaannya, tertulis dalam satu kitab. Hal ini ditegaskan oleh al-Qur’an dalam banyak ayat. Di antaranya adalah: “Tidak ada yang basah dan yang kering kecuali terdapat dalam kitab yang nyata (lauhil mahfudz).” (QS. al-An’am [6]: 59).Ketentuan al-Qur’an tersebut dibenarkan oleh seluruh alam yang merupakan qur’an qudrah ilahi yang besar lewat ayat-ayat tatanan, keseimbangan, keteraturan, keistimewaan, pembentukan, penghiasan, dan berbagai ayat penciptaan lainnya.

    Ya, tulisan kitab alam yang tertata dan keteraturan ayat-ayatnya menjadi saksi bahwa segala sesuatu tertulis.

    Adapun dalil yang menun- jukkan bahwa segala sesuatu tertulis dan ditentukan sebelum berwu- jud adalah seluruh permulaan, benih, ukuran, dan bentuknya. Semua itu menjadi saksi yang jujur atasnya. Pasalnya, benih tidak lain me- rupakan kotak kecil yang dibuat oleh pabrik kâf nûn (kun). Di dalam- nya, takdir (qadar) merancang konsep atau desainnya, lalu berdasar- kan konsep qadar itu qudrah ilahi membangun berbagai mukjizatnya yang agung pada benih-benih tadi dengan perantaraan partikel. Arti- nya, segala sesuatu yang akan terjadi pada pohon berikut berbagai fase yang dilaluinya telah tertulis dalam benihnya. Sebab, benih secara ma- teri sangat sederhana dan serupa.

    Kemudian ukuran yang tertata rapi untuk segala sesuatu me- nerangkan takdir secara jelas. Jika kita mencermati makhluk hidup, tentu akan diketahui bahwa ia memiliki sebuah bentuk dan ukuran, seakan-akan ia keluar dari satu cetakan yang penuh hikmah dan rapi di mana pemberian ukuran, bentuk, dan rupa tersebut bisa bersumber dari sebuah cetakan materi yang luar biasa atau qudrah ilahi mengurai bentuk dan rupa tadi, lalu memakaikannya dengan cetakan maknawi yang tersusun rapi yang berasal dari takdir.

    Sekarang, perhatikanlah pohon dan binatang. Partikel yang tuli, buta, dan tak bernyawa di mana ia tidak memiliki perasaan dan sa- ling serupa, bergerak dalam perkembangan segala sesuatu. Setelah itu, ia berhenti pada batas-batas tertentu layaknya orang yang menge- tahui betul tentang manfaat dan buahnya. Lalu ia mengubah sejum- lah posisinya seakan-akan ia mengarah kepada tujuan besar. Dengan kata lain, partikel tadi bergerak sesuai dengan ukuran maknawi yang datang dari takdir serta sesuai dengan urusan maknawi darinya.

    Nah, selama manifestasi takdir terdapat pada sejumlah materi sampai pada tingkatan semacam itu, tentu berbagai kondisi yang ter- jadi, bentuk yang diberikan padanya, serta gerakan yang dilakukan sepanjang waktu, semuanya juga mengikuti tatanan takdir.Ya, dalam benih terdapat dua manifestasi takdir:

    Pertama, manifestasi “aksiomatis” di mana ia menginformasikan dan mengarah kepada al-kitâb al-mubîn yang merupakan perlambang kehendak dan perintah penciptaan Ilahi.

    Kedua, manifestasi “teoritis” dan rasional di mana ia menginfor- masikan dan mengarah kepada al-imâm al-mubîn yang merupakan perlambang perintah dan ilmu ilahi. Jadi, “takdir aksiomatis” berisi kondisi, cara, dan bentuk materi pohon yang dikandung oleh benih serta yang akan disaksikan nantinya.Sementara “takdir teoritis” adalah sejumlah kondisi, bentuk, dan gerakan sepanjang kehidupan pohon yang akan tercipta dari benih tadi di mana ia disebut dengan sejarah kehidupan pohon. Kondisi, bentuk, dan berbagai aktivitas tersebut selalu berubah-ubah. Namun ia memiliki ukuran yang sudah ditentukan dengan rapi seperti yang tampak pada ranting pohon dan daun-daunnya.

    Jika takdir memiliki manifestasi semacam itu pada berbagai hal yang sederhana, ini berarti bahwa segala sesuatu sebelum penciptaan dan keberadaannya tertulis dalam sebuah kitab. Hal itu dapat dipahami dengan sedikit melakukan perenungan.

    Adapun dalil bahwa sejarah kehidupan segala sesuatu—setelah berwujud dan tertulis—adalah semua buah yang menginformasikan keberadaan kitab mubîn dan imam mubîn, serta memori manusia yang menjelaskan keberadaan lauhil mahfûdz. Semuanya menjadi saksi yang jujur dan menjadi petunjuk atasnya. Ya, setiap buah telah ditu- liskan dalam benihnya—yang berposisi sebagai jantungnya—sejum- lah ketentuan hidup pohon berikut masa depannya. Memori manusia—yang ukurannya sekecil benih—berisi sejarah kehidupannya dan berbagai peristiwa alam di masa lalu yang ditulis oleh tangan qudrah lewat pena qadar (takdir) secara sangat cermat. Ia laksana dokumen dan catatan kecil dari lembaran amal yang diberi- kan oleh qudrah ilahi kepada manusia serta diletakkan di satu sisi dari otaknya agar dengannya ia bisa mengingat saat hisab dilakukan serta agar ia yakin bahwa penciptaan kekacauan, kefanaan, dan kelenyap- an merupakan cermin keabadian yang padanya Dzat Yang Mahakuasa dan Mahabijak menggoreskan esensi dari berbagai hal yang lenyap, serta merupakan lembaran-lembaran keabadian yang padanya Dzat Yang Maha Memelihara dan Mengetahui mencatat substansi dari se- gala hal yang fana.

    Dari penjelasan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa ketika kehidupan tumbuhan tunduk pada aturan takdir meski ia merupakan kehidupan yang paling sederhana, maka kehidupan manusia yang be- rada pada tingkatan kehidupan yang paling tinggi, sudah pasti telah digariskan berikut semua cabang-cabangnya lewat ukuran takdir dan telah ditulis lewat pena takdir. Ya, sebagaimana tetesan air hujan menginformasikan ke- beradaan awan, percikan air menunjukkan adanya pancuran, dan dokumen menunjukkan adanya catatan besar. Demikian pula dengan buah, benih, dan beragam bentuk yang tampak jelas di hadapan kita. Ia berposisi sebagai percikan takdir aksiomatis (yaitu tatanan materi pada makhluk hidup), tetesan takdir teoritis (tatanan maknawi pada- nya), dan dokumennya di mana dengan sangat jelas menunjukkan keberadaan al-kitâb al-mubîn sebagai catatan kehendak dan perintah penciptaan, serta menunjukkan keberadaan lauhil mahfudz sebagai ki- tab ilmu ilahi yang disebut sebagai al-imâm al-mubîn.

    Kesimpulan: selama kita melihat bahwa partikel setiap makhluk hidup, saat tumbuh berkembang, pergi menuju batas dan akhir yang ditetapkan lalu berhenti padanya di mana kemudian ia mengubah jalannya di akhir perkembangan tadi untuk menghasilkan sejumlah hikmah, manfaat, dan maslahat, maka jelas bahwa ukuran dan keteta- pan lahiriah pada sesuatu tersebut telah digariskan dengan pena takdir.Demikianlah, takdir aksiomatis yang tampak juga menunjukkan batas-batas yang rapi dan membuahkan serta penghujung yang mem- berikan makna yang terdapat pada kondisi maknawiyah makhluk tersebut di mana ia digariskan lewat pena takdir. Jadi, qudrah Tuhan menjadi masdar (sosok yang menggaris), sementara qadar (takdir) adalah mistar (penggaris). Qudrah menggaris pada kitab tersebut se- suai dengan pola qadar untuk menunjukkan sejumlah makna.

    Selama kita bisa memahami dengan benar bahwa batas, buah, dan akhir penuh hikmah yang digariskan hanya terwujud dengan pena takdir materi dan maknawi, maka berbagai kondisi dan fase yang dija- lani oleh makhluk sepanjang hidup terwujud karena pena takdir terse- but.

    Sebab, sejarah hidupnya berjalan sesuai dengan sebuah sistem dan tatanan yang rapi disertai perubahan bentuk yang dialaminya. Selama pena takdir mengendalikan seluruh makhluk, tentu sejarah kehidupan manusia—yang merupakan buah alam yang paling sempurna, khali- fah di muka bumi, dan pengemban amanat besar—lebih tunduk pada rambu takdir daripada yang lain.

    Barangkali ada yang bertanya, “Takdir telah membelenggu dan merampas kebebasan kita. Tidakkah engkau bisa melihat bahwa iman kepada takdir mendatangkan beban terhadap kalbu dan melahirkan kesempitan dalam jiwa, padahal keduanya menginginkan kelapa- ngan?”

    Jawaban:sama sekali tidak benar. Di samping tidak melahirkan kesempitan, ia justru memberikan keringanan tak bertepi, kelapangan tak terhingga, serta kesenangan dan cahaya yang dapat mewujudkan rasa aman, damai, dan tenteram. Sebab, jika manusia tidak beriman ke- pada takdir, tentu ia harus memikul beban seberat dunia pada jiwanya yang lemah dalam sebuah wilayah yang sempit dan kebebasan parsial yang terbatas. Pasalnya, manusia memiliki relasi dengan seluruh alam. Ia juga memiliki tujuan dan impian tak terhingga. Namun kekuatan, kehendak, dan kebebasannya tidak memadai untuk memenuhi satu saja dari impian dan tujuan tersebut. Dari sini, dapat dipahami beban maknawi yang dirasakan manusia saat tidak beriman kepada takdir. Betapa ia melahirkan ketakutan dan kecemasan.

    Sementara iman kepada takdir mengantar manusia untuk mele- takkan seluruh beban tadi ke perahu takdir sehingga membuatnya merasa lapang. Sebab, medan yang luas terbuka di hadapan ruh dan kalbu sehingga keduanya bisa berjalan di jalan kesempurnaannya se- cara sangat bebas. Hanya saja, iman ini memang akan membuat nafsu ammârah kehilangan kebebasan parsialnya. Ia juga menghancurkan egoisme dan kekuasaannya serta menghambat gerakannya yang bebas.

    Ingatlah bahwa iman kepada takdir merupakan puncak kenik- matan dan kebahagiaan. Karena tidak mampu menjelaskan kenik- matan dan kebahagiaan tersebut, kami akan menunjukkannya dengan contoh berikut:

    Ada dua orang yang sama-sama melakukan perjalanan menuju markas seorang penguasa besar. Mereka masuk ke dalam istana sang penguasa yang memiliki banyak keajaiban. Salah satu di antara me- reka tidak mengenal sang penguasa dan ingin tinggal sejenak di istana seraya menjalani hidupnya dengan mencuri harta. Akan tetapi, proses penataan dan pengaturan taman dan istana tersebut, cara menjalan- kan sejumlah mesinnya, serta pemberian makanan kepada hewan-he- wannya yang unik membuatnya selalu berada dalam kondisi gelisah dan risau sehingga taman indah yang menyerupai surga itu menjadi seperti neraka. Sebab, ia sedih dengan segala hal yang tak mampu ia lakukan. Maka ia menghabiskan waktunya dengan keluhan dan penye- salan. Akhirnya, iapun dilemparkan ke penjara sebagai hukuman atas sikap dan perilakunya yang buruk.Adapun orang yang kedua mengenal sang penguasa. Ia memo- sisikan dirinya sebagai tamu. Ia percaya bahwa semua pekerjaan di istana dan taman itu bisa dikendalikan dengan mudah lewat aturan yang rapi serta sesuai dengan program dan perencanaan yang ada. Ia pun menyerahkan seluruh kesulitan dan beban kepada hukum dan ketentuan penguasa. Dengan nyaman ia menikmati semua hal yang terdapat di taman hijau laksana surga itu. Ia melihat semuanya benar-benar indah seraya bersandar kepada kasih sayang penguasa dan bergantung kepada ketentuan tatanannya yang indah. Ia menghabiskan hidupnya dalam kenikmatan dan kebahagiaan yang sempurna. Dari sini engkau bisa memahami rahasia:“Siapa yang beriman kepada takdir, ia selamat dari kesedihan.”

    BAHASAN KEEMPAT

    Barangkali engkau bertanya,“Dalam bahasan pertama engkau telah menegaskan bahwa semua yang ada pada takdir adalah indah dan baik. Bahkan, keburukan yang datang darinya juga baik dan in- dah. Namun, musibah dan bencana yang turun ke dunia membantah pernyataan tersebut?”

    Jawaban:Wahai diri dan wahai sahabatku yang tersiksa akibat besarnya kasih sayang yang kalian pikul. Ketahuilah bahwa wujud atau eksistensi merupakan kebaikan mutlak, sementara ketiadaan merupa- kan keburukan mutlak. Dalilnya adalah kembalinya seluruh kebaikan, kesempurnaan, dan keutamaan kepada alam wujud serta kondisi ketiadaan yang menjadi landasan dari semua kemaksiatan, musibah, dan cacat.Ketika ketiadaan merupakan keburukan mutlak, maka berbagai kondisi yang mengalir menuju ketiadaan atau beraroma tiada, juga mengandung keburukan. Karena itu, kehidupan yang merupakan cahaya wujud paling terang menjadi kuat lewat keadaannya yang berubah-ubah dalam kondisi yang beragam; menjadi bersih lewat keadaannya yang masuk ke dalam beragam kondisi; melahirkan berbagai buah yang diharapkan lewat kondisinya yang mengalami perubahan banyak bentuk; serta menerangkan secara jelas dan indah ukiran nama-nama Pemberi kehidupan lewat kondisinya yang bertransformasi dalam beragam fase.

    Atas dasar itulah, berbagai kondisi dihamparkan kepada makhuk dalam bentuk kepedihan, musibah, kesulitan, dan bencana agar dengan berbagai kondisi itu cahaya wujud dalam kehidupan mereka menjadi terbaharui, dan sebaliknya gelap ketiadaan semakin jauh. Seketika hidup mereka bersih dan bening. Hal itu karena keterhentian, diam, kevakuman, kemalasan dan keadaan monoton, semuanya adalah ketiadaan dalam beragam bentuk dan kondisi. Bahkan, kenikmatan terbesar sekalipun menjadi berkurang dan lenyap dalam keadaan yang monoton.

    Dari sana dapat disimpulkan bahwa selama kehidupan menjelaskan ukiran Asmaul Husna, maka semua yang menimpa kehidupan adalah indah dan baik.

    Sebagai contoh: seorang desainer kaya dan mahir menugaskan seorang miskin untuk menjadi modelnya dalam satu jam dengan im- balan tertentu. Tujuannya untuk memperlihatkan kreasinya yang in- dah dan menampakkan aset-asetnya yang bernilai. Ia memakaikan kepadanya busana yang ia buat dari kain baru dalam bentuk yang sa- ngat indah. Ia menyuruhnya melakukan sejumlah gerakan dan mem- perlihatkan berbagai kondisi guna menampilkan berbagai kreasi dan keahliannya yang luar biasa. Ia memotong, mengganti, memanjang- kan, memendekkan dan seterusnya.Menurutmu, layakkah orang miskin upahan itu berkata ke- pada sang desainer, “Engkau membuatku penat dan lelah dengan menyuruhku untuk membungkuk di satu waktu dan berdiri tegak di lain kesempatan. Engkau merusak baju yang menghiasiku ini dengan tindakanmu memotong dan menggunting.” Kira-kira layakkah ia berkata padanya, “Engkau telah berbuat aniaya dan tidak adil”

    Demikian pula dengan Sang Pencipta Yang Mahaagung dan Ma- haindah. Dia mengganti busana wujud berupa sejumlah perangkat halus dan indra seperti mata, telinga, akal, kalbu yang Dia pakaikan kepada makhluk hidup serta mengubahnya dalam berbagai kondisi. Dia mengganti dan membolak-balikkannya untuk memperlihatkan goresan Asmaul Husna.


    PENUTUP

    Lima bagian berikut ini membungkam nafsu ammârah milik “Said Lama”. Ia adalah nafsu yang bodoh, membanggakan diri, sombong, riya, dan ujub.

    Bagian Pertama Selama segala sesuatu ada dan tercipta dengan rapi, tentu ada Penciptanya. Kami telah menegaskan dalam “Kalimat Kedua Puluh Dua” secara sangat jelas bahwa jika segala sesuatu tidak dinisbatkan kepada Dzat Yang Mahaesa, maka segala sesuatu menjadi sulit sesulit seluruhnya. Namun jika segala sesuatu dinisbatkan kepada Dzat Yang Mahaesa, ia akan menjadi mudah semudah sesuatu.Nah, karena yang menciptakan langit dan bumi adalah Dzat Yang Mahaesa, sudah pasti Sang Pencipta Yang Mahabijak itu tidak memberikan buah bumi dan langit berikut hasil dan tujuannya—yaitu makhluk hidup—kepada selain-Nya sehingga merusak segalanya. Tidak mungkin Dia menyerahkannya pada tangan-tangan lain sehingga seluruh karya-Nya yang penuh hikmah menjadi sia-sia. Serta tidak mungkin Dia menghancurkannya. Dia juga tidak akan menyerahkan syukur dan ibadahnya kepada yang lain.

    Bagian Kedua Wahai diriku yang sombong! Engkau seperti tangkai anggur. Janganlah merasa bangga. Tangkai itu tidak menggantungkan rantingnya sendiri. Namun yang menggantungkannya adalah pihak lain.

    Bagian Ketiga Wahai diriku yang riya! Jangan terpedaya dengan berkata, “Aku telah mengabdi pada agama.” Sebab, hadis Nabi dengan jelas menga- takan bahwa اِنَّ اللّٰهَ لَيُؤَيِّدُ هٰذَا الدّٖينَ بِالرَّجُلِ ال۟فَاجِرِ ‘Allah bisa saja menolong agama ini dengan seorang pendosa’.(*[3])Maka, engkau harus mengang- gap dirimu sebagai orang tersebut, sebab dirimu tidak suci. Ketahuilah bahwa pengabdianmu terhadap agama dan ibadahmu hanyalah wujud syukur atas nikmat yang telah Allah berikan padamu. Ia adalah bentuk penunaian tugas fitrah, kewajiban penciptaan, serta hasil kreasi ilahi. Ketahuilah hal ini dengan baik serta selamatkan dirimu dari rasa ujub dan riya.

    Bagian Keempat Jika engkau ingin mendapat ilmu hakikat dan hikmah yang be- nar, maka gapailah makrifatullah. Sebab, seluruh hakikat entitas ha- nyalah kilau nama Allah al-Haq, wujud nama-nama-Nya yang mulia, serta manifestasi sifat-sifat-Nya yang agung. Ketahuilah bahwa haki- kat segala sesuatu, baik yang bersifat materi atau maknawi, esensial ataupun non-esensial, serta hakikat manusia sendiri tidak lain ber- sandar kepada salah satu cahaya-Nya dan berpusat pada hakikat-Nya. Jika tidak, pasti ia merupakan bentuk yang tidak signifikan dan tidak memiliki hakikat. Dalam penutup “Kalimat Kedua Puluh”, kami telah menyebutkan sebagian dari masalah ini.

    Wahai diriku! Jika engkau merindukan dunia serta lari dari ke- matian, maka ketahuilah dengan yakin bahwa apa yang kau anggap se- bagai kehidupan hanyalah satu menit yang kau lewati. Adapun zaman dan segala hal duniawi yang sebelum itu sudah mati, serta zaman dan segala hal di dalamnya sesudah itu bersifat tiada. Artinya, kehidupan fana yang kau banggakan hanyalah satu menit. Bahkan sebagian ahli peneliti berkata, “Kehidupan hanya sepersekian menit saja, dan bahkan ia waktu yang cepat berlalu. Dari sini, sebagian wali dan orang saleh menganggap dunia dilihat dari kedudukannya sebagai dunia adalah tidak ada.

    Jika demikian, tinggalkan kehidupan materi yang berhias nafsu ini. Naiklah menuju tingkatan kehidupan kalbu, ruh, dan jiwa. Lihat- lah betapa wilayah kehidupannya lebih luas. Masa lalu dan masa depan yang mati bagimu, hidup dan ada baginya.Wahai diri! Jika demikian keadaannya, menangislah sebagaima- na kalbuku menangis. Minta tolonglah dengan berkata:

    Aku fana. Aku tidak menginginkan yang fana. Aku lemah. Aku tidak menginginkan yang lemah.Kuserahkan ruhku kepada ar-Rahman. Aku tidak ingin selain-Nya. Yang kuinginkan Kekasih abadi.Aku hanyalah partikel. Namun aku menginginkan matahari yang kekal. Aku bukan apa-apa. Namun aku menginginkan seluruh entitas.

    Bagian Kelima Bagian ini terlintas dalam bahasa Arab dan kutulis sebagaimana adanya. Ia merupakan petunjuk tentang salah satu dari tiga puluh tiga tingkatan dalam zikir “Allâhu Akbar.”

    Allâhu Akbar. Sebab, Dialah Mahakuasa Yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, Maha Pemurah, Maha Penyayang, Mahaindah, Maha Mengukir, dan azali di mana hakikat alam, baik semuanya maupun sebagiannya, lembaran maupun sejumlah tingkatannya, serta hakikat entitas yang bersifat universal, parsial, eksis dan abadi tidak lain me- rupakan goresan “pena” ketentuan, takdir, dan ketetapan-Nya dengan berlandaskan ilmu dan hikmah; ukiran “jangka” ilmu, hikmah, lukisan, dan penataan-Nya lewat kreasi dan perhatian; hiasan “tangan putih” kreasi, perhatian, dekorasi, dan penerangan-Nya dengan lembut dan pemurah; bunga halus kelembutan, kemurahan, cinta, dan perkena- lan-Nya lewat kasih sayang dan nikmat-Nya; buah rahmat, karunia, kasih sayang, dan cinta-Nya yang berlimpah lewat keindahan dan ke- sempurnaan-Nya; kilau dan manifestasi keindahan dan kesempur- naan-Nya lewat bukti kefanaan cermin dan lenyapnya wujud lahiri di mana keindahan-Nya yang kekal, yang terus tampak sepanjang musim, masa, dan zaman, serta yang terus memberi sepanjang generasi, hari, dan tahun tetap abadi.

    Ya, jejak yang sempurna memberikan petunjuk kepada orang be- rakal akan adanya perbuatan yang sempurna. Lalu perbuatan yang sem- purna memberi petunjuk kepada orang yang paham akan nama yang sempurna. Lalu nama yang sempurna memberi petunjuk secara jelas tentang sifat yang sempurna. Kemudian sifat yang sempurna memberi petunjuk tentang potensi yang sempurna. Lalu potensi yang sempurna memberi petunjuk secara pasti tentang kesempurnaan Dzat-Nya yang layak untuk-Nya di mana ia bersifat haqqul yaqin.Ya, kefanaan cermin, kepergian entitas, disertai manifestasi yang permanen dan limpahan karunia yang terus tercurah menjadi salah satu kenyataan yang paling jelas yang menunjukkan bahwa keindahan lahiriah bukan milik makhluk. Ia menjadi penjelasan paling fasih serta bukti yang paling jelas bagi keindahan mutlak dan kebaikan Sang Wâ- jibul wujûd; Dzat yang Mahakekal dan Mahakasih.Ya Allah, limpahkan salawat dan salam untuk junjungan kami, Mu- hammad x, dari azali hingga abadi, sebanyak apa yang terdapat dalam pengetahuan Allah, serta untuk keluarga dan sahabat beliau.


    LAMPIRAN

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

    Lampiran yang sangat singkat ini sangat penting dan bermanfaat untuk semua

    Untuk sampai kepada Allah ada banyak jalan. Sumber seluruh jalan yang benar adalah al-Qur’an al-Karim. Hanya saja, dari semua jalan tersebut ada jalan-jalan yang lebih singkat, lebih selamat, dan lebih luas. Meski pemahamanku terbatas, aku telah mengambil dari limpahan karunia al-Qur’an sebuah jalan. Yaitu: jalan ketidakber- dayaan, kefakiran, kasih sayang, dan tafakkur.

    Ya, sama seperti kerinduan, ketidakberdayaan merupakan jalan yang bisa mengantar menuju Allah. Bahkan ia lebih selamat. Pasalnya, ia mengantarkan kepada cinta-Nya lewat jalan ubudiyah.

    Begitupun kefakiran bisa mengantar menuju nama Allah, ar-Rahman.

    Sama seperti kerinduan, kasih sayang bisa mengantar menuju Allah. Hanya saja, perjalanannya lebih cepat dan cakupannya lebih luas. Kasih sayang bisa mengantar pada nama Allah, ar-Rahîm.

    Tafakkur juga sama seperti kerinduan. Hanya saja, ia lebih kaya dan lebih bersinar. Pasalnya, ia mengantar kepada nama Allah, al- Hakîm.

    Jalan ini berbeda dari jalan yang dilalui oleh ahli suluk pada jalan khafâ’ yang memiliki sepuluh langkah (seperti sepuluh latîfah) dan jalan jahr yang memiliki tujuh langkah sesuai dengan tujuh jenis nafsu. Sementara jalan ini hanya berupa empat langkah saja. Ia lebih kepada hakikat syar’i daripada tarekat sufi . Jangan sampai kalian salah paham. Yang dimaksud dengan ketidakberdayaan, kefakiran, dan ketidaksempurnaan di sini adalah menampilkan itu semua di hadapan Allah ; bukan di hadapan ma- nusia.

    Adapun wirid dan zikir jalan yang singkat ini adalah (1) mengi- kuti sunnah Nabi x (2) menunaikan kewajiban, terutama mendirikan salat dengan rukun-rukunnya, (3) membaca zikir sesudah salat, dan (4) meninggalkan dosa besar. Sumber dari semua langkah ini adalah al-Qur’an. Yaitu:

    1.Firman Allah:“Jangan menganggap diri kalian suci…” (QS. an-Najm [53]: 32).Ayat ini mengarah kepada langkah pertama.

    2.Firman Allah:“Jangan kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah se- hingga Allah membuat mereka lupa kepada diri mereka sendiri...” (QS. al-Hasyr [59]: 19). Ayat ini mengarah kepada langkah kedua.

    3.Firman Allah:“Kebaikan yang kau terima berasal dari Allah, sementara keburu- kan yang kau terima berasal dari dirimu...” (QS. an-Nisa [4]: 79). Ayat ini mengarah kepada langkah ketiga.

    4.Firman Allah:“Segala sesuatu binasa kecuali Dzat-Nya.” (QS. al-Qashash [28]: 88). Ayat ini mengarah kepada langkah keempat.

    Penjelasan ringkas mengenai keempat langkah tersebut sebagai berikut:

    Langkah Pertama Ia seperti yang disebutkan oleh ayat:“Jangan menganggap diri kalian suci.”Yaitu tidak merasa diri sudah bersih dan suci. Hal itu karena sesuai watak dan fitrahnya, manusia mencintai dirinya sendiri. Bahkan itulah yang pertama kali ia cintai. Ia rela mengorbankan segala sesuatu untuk dirinya. Ia berikan pada dirinya pujian yang hanya layak untuk Tuhan. Ia kultuskan dirinya dan ia bebaskan dari segala aib. Bahkan ia tidak menerima adanya kekurangan untuk dirinya. Ia sangat membela dirinya dengan sangat kuat lewat kecintaan yang berlebihan. Sehingga sejumlah perangkat yang Allah berikan untuk bertahmid dan menyucikan Dzat yang layak disembah, ia alihkan kepada dirinya. Akhirnya ia seperti yang digambarkan oleh al-Qur’an, “Orang yang menuhankan hawa nafsunya.” (QS. al-Furqan [25]: 43).

    Ia kagum pada dirinya. Karenanya, hal tersebut perlu dibersihkan dan disucikan. Cara menyucikannya adalah dengan tidak menganggapnya suci.

    Langkah Kedua Ia seperti pelajaran yang diberikan oleh ayat:“Jangan kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah sehingga Allah membuat mereka lupa kepada diri mereka sendiri.”Hal itu karena manusia kerap lupa dan lalai kepada dirinya. Ketika ingat mati, ia mengalihkannya kepada yang lain. Ketika melihat kondisi fana, ia mengembalikannya kepada orang lain. Seolah-olah itu tidak terkait dengannya sama sekali. Pasalnya, sesuai tuntutannya, nafsu ammârah mengingat dirinya saat pengambilan upah dan bagian, namun di sisi lain melupakan dirinya saat penunaian tugas dan ber- amal.

    Maka, cara membersihkan dan mentarbiyah nafsu pada langkah ini adalah dengan mengamalkan kondisi sebaliknya. Yaitu tidak lupa di saat lupa diri. Dengan kata lain, lupa meraih kesenangan dan upah untuk diri, serta memikirkan diri saat pengabdian dan kematian.

    Langkah Ketiga Ia seperti yang dijelaskan oleh ayat: “Kebaikan yang kau terima berasal dari Allah, sementara keburukan yang kau terima berasal dari dirimu.” Hal itu karena nafsu manusia selalu ingin menisbatkan kebaikan kepada dirinya sehingga mengantarkan kepada sikap ujub dan sombong. Maka, pada langkah ini seseorang hendaknya hanya melihat kekurangan, ketidakberdayaan, dan kefakiran dirinya, serta melihat semua kebaikan dan kesempurnaannya sebagai karunia Penciptanya Yang Mahaagung. Ia terima hal itu sebagai karunia dari-Nya seraya bersyukur sebagai ganti dari sikap bangga diri, dan memuji Allah  sebagai ganti dari memuji diri.

    Cara menyucikan diri di tingkatan ini terdapat pada rahasia ayat, “Sungguh beruntung orang yang menyucikannya.” (QS. asy-Syams [91]: 9). Yaitu mengetahui bahwa kesempurnaannya terletak pada ketidaksempurnaannya, kemampuannya terletak pada ketidakberdayaannya, dan kekayaannya terletak pada kefakirannya.

    Langkah KeempatIa adalah apa yang diajarkan oleh ayat:“Segala sesuatu binasa kecuali Dzat-Nya.” Hal itu karena diri manusia merasa merdeka dan mandiri. Kare- nanya, ia menganggap memiliki semacam kekuasaan rububiyah dan menyimpan sifat pembangkangan terhadap Dzat yang layak disembah. Dengan mengenal hakikat berikut ini, manusia akan selamat darinya.

    Yaitu dari sisi makna ismi segala sesuatu bersifat fana, baru, dan tiada. Namun dilihat dari makna harfi dan kedudukannya sebagai cermin yang memantulkan nama-nama Sang Pencipta serta dilihat dari tugas dan fungsinya, ia menjadi saksi dan yang disaksikan, serta menjadi pengada dan yang diadakan.

    Nah dalam hal ini, cara menyucikannya adalah dengan me- ngetahui bahwa ketiadaannya terletak pada keberadaannya, dan ke- beradaannya terletak pada ketiadaannya. Maksudnya, bila melihat dirinya dan memberikan sifat ada pada wujudnya, berarti ia tenggelam dalam gelap ketiadaan seluas jagat raya. Yaitu ketika ia lalai terhadap Dzat yang menghadirkannya, Allah, dan bersandar pada wujudnya sendiri, maka ia melihat dirinya sendirian tenggelam dalam gelapnya perpisahan dan ketiadaan yang tak bertepi laksana kunang-kunang dalam cahayanya yang redup di gelap malam yang pekat. Akan tetapi, ketika ia meninggalkan sikap ego, ia akan melihat dirinya sebagai sesuatu yang tiada. Ia hanya cermin yang memantulkan manifestasi Penciptanya yang hakiki. Dengan begitu, ia mendapatkan wujud tak bertepi dan meraih wujud seluruh makhluk.Ya, siapa yang menemukan Allah, maka ia menemukan segala sesuatu. Sebab, seluruh entitas hanyalah manifestasi dari nama-nama-Nya yang mulia.


    Penutup

    Jalan yang terdiri dari empat langkah ini: ketidakberdayaan, kefakiran, kasih sayang, dan tafakkur telah dijelaskan pada dua pu- luh enam kalimat dari kitab al-Kalimât yang membahas tentang ilmu hakikat, hakikat syariat, dan hikmah al-Qur’an al-Karim. Di sini kami hanya ingin memberikan penjelasan singkat tentang beberapa poin se- bagai berikut:

    Jalan ini merupakan jalan yang paling singkat. Pasalnya, ia hanya terdiri dari empat langkah. Bila ketidakberdayaan tertanam dalam diri, ia akan segera diserahkan kepada al-Qadîr Yang Mahaagung. Namun bila kerinduan yang menguasai diri—sebagai jalan yang paling pintas menuju Allah—ia akan bergantung pada kekasih majasi. Ketika ia melihatnya pergi, barulah sampai pada kekasih hakiki.

    Kemudian jalan ini juga paling selamat. Karena, padanya diri tidak memiliki syatahât atau klaim di luar kemampuan. Sebab, yang dilihat seseorang pada dirinya hanya ketidakberdayaan, kefakiran, dan ketidaksempurnaan, sehingga tidak melampaui batas.

    Lalu jalan ini juga bersifat luas dan besar. Pasalnya, ia tidak perlu menafikan entitas dan tidak perlu memenjarakannya di mana penga- nut wahdatul wujud menganggap entitas tiada. Mereka berkata, “Yang ada hanyalah Dia,” untuk mencapai ketenangan dan kehadiran hati. Begitu pula dengan penganut wahdatusy syuhûd. Mereka memenja- rakan entitas dalam penjara kealpaan. Mereka berkata, “Yang terlihat hanyalah Dia,” untuk sampai kepada ketenangan kalbu.Adapun al-Qur’an, dengan sangat jelas, menjauhkan entitas dan makhluk dari penafian serta melepaskan ikatannya dari penjara. Jalan yang sesuai dengan pendekatan al-Qur’an ini melihat alam sebagai sesuatu yang tunduk pada Penciptanya Yang Mahaagung sekaligus berkhidmah untuk-Nya. Ia merupakan wujud manifestasi Asmaul Husna laksana cermin yang memantulkan manifestasi tadi. Artinya, ia dipergunakan dengan makna harfi sehingga tidak berkhidmah dan tunduk dengan sendirinya. Dengan demikian, manusia akan selamat dari kelalaian dan kalbunya selalu hadir sesuai dengan pendekatan al- Qur’an al-Karim. Ia pun menemukan jalan menuju Allah dari segala arah.

    Kesimpulan Jalan ini tidak melihat entitas dengan makna ismi. Yakni, tidak melihatnya sebagai pesuruh yang tunduk dengan sendirinya untuk dirinya. Namun, ia membebaskan entitas dari semua itu, dan mempersandangkan untuknya sebuah tugas, serta melihatnya sebagai pesuruh yang tunduk kepada Allah.



    KALIMAT KEDUA PULUH LIMA ⇐ | Al-Kalimât | ⇒ KALIMAT KEDUA PULUH TUJUH

    1. *Bahasan kedua ini berisi persoalan takdir yang lebih dalam dan lebih rumit. Ia merupakan persoalan akidah dalam ilmu kalam di mana sangat penting dan diperdebat- kan oleh para ulama. Risalah Nur telah menjelaskannya secara sempurna—Penulis.
    2. *Sebuah hakikat yang khusus untuk pakar ulama—Penulis.
    3. *HR. al-Bukhari, al-Jihâd 182.