Lemaat/id: Revizyonlar arasındaki fark
("Ia terus berteriak, namun tidak ada yang mau mendengar dan menolong untuk memenuhi berbagai harapan yang ia minta." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) |
("Kita mengira seluruh yang berada di sekitar kita sebagai musuh. Semuanya asing. Kita tidak merasa bersahabat dan dekat. Tidak ada yang membuat diri menjadi tenang. Tak ada kesenangan dan kenik- matan hakiki." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) Etiketler: Mobil değişiklik Mobil ağ değişikliği |
||
1.718. satır: | 1.718. satır: | ||
Ia terus berteriak, namun tidak ada yang mau mendengar dan menolong untuk memenuhi berbagai harapan yang ia minta. | Ia terus berteriak, namun tidak ada yang mau mendengar dan menolong untuk memenuhi berbagai harapan yang ia minta. | ||
Kita mengira seluruh yang berada di sekitar kita sebagai musuh. Semuanya asing. Kita tidak merasa bersahabat dan dekat. Tidak ada yang membuat diri menjadi tenang. Tak ada kesenangan dan kenik- matan hakiki. | |||
<div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr"> | <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr"> |
10.45, 11 Aralık 2024 tarihindeki hâli
Antara Hilal Puasa dan Hilal Hari Raya
Bunga-bunga yang Mekar dari Benih Hakikat
dan kumpulan syair Keimanan untuk
Tullabunnur
Bediüzzaman Said Nursî
Perhatian: Karya yang berjudul al-lawâmi’ (Kilau Cahaya) ini tidak seperti kumpulan syair lain di mana ia berbentuk satu corak dan berisi sejumlah tema. Hal itu karena sang penulis yang terhormat menjelaskan berbagai ungkapan retoris yang sangat singkat untuk salah satu tulisannya yang lalu “benih hakikat”. Di samping itu, ia ditulis dalam bentuk prosa. Belum lagi bahwa ia tidak lahir menuju khayalan dan tidak keluar dari sejumlah perasaan yang tak terukur sebagaimana kumpu- lan syair yang lain. Namun kumpulan syair ini serba terukur dengan ukuran logika, hakikat al-Qur’an dan nilai keimanan. Ia merupakan pelajaran ilmiah, bahkan qurani dan imani yang diperdengarkan oleh sang penulis ke telinga keponakannya serta para murid semisal yang berguru padanya. Guru kami meniru dan mengambil pelajaran dari cahaya وَمَا عَلَّم۟نَاهُ الشِّع۟رَ “Kami tidak mengajarinya syair.” Beliau tidak memiliki kecenderungan kepada nazham dan syair serta tidak pernah menyibukkan diri dengan keduanya seperti yang telah dijelaskan. Kami juga dapat menangkap hal tersebut.
Koleksi yang menyerupai karya syair ini ditulis selama dua puluh hari, setelah upaya berkesinambungan selama dua jam atau dua jam setengah setiap hari. Padahal banyak kesibukan dan tugas penting di Dâr al-Hikmah al-Islâmiyah. Penulisan karya semacam ini dalam jangka waktu yang sangat singkat di mana penulisan satu halaman puitis saja memiliki tingkat kesulitan yang melebihi sepuluh halaman lainnya disertai bentuknya yang keluar secara alamiah tanpa ada proses koreksi, pemolesan dan perbaikan, semua itu membuat kami melihatnya sebagai salah satu karya Risalah Nur yang luar biasa. Kami belum pernah melihat kum- pulan syair seperti ini yang mudah dibaca tanpa terlihat dibuat-buat dan dipaksakan. Kami berharap semoga Allah menjadikan tulisan berharga ini setara dengan buku al-Matsnawi ar-Rumi bagi para Tullabunnur. Sebab, ia merupakan ringkasan Risalah Nur yang sangat bernilai. Ia juga seperti indeks yang kehadirannya memberikan kabar gembira dan memberikan petunjuk masa depan tentangnya. Yaitu tentang sejumlah risalah yang sepuluh tahun kemudian baru muncul dan selesai secara sempurna dalam kurun waktu dua puluh tiga tahun.
Atan nama Tullabunnur
Sungur, Mehmed Feyzi, Hüsrev
Catatan
(*[1])Aku tidak bisa membuat nazham atau sajak dengan baik karena aku tidak mengetahui keduanya dengan bersandar pada kaidah اَلْمَرْءُ عَدُوٌّ لِمَا جَهِلَ “Seseorang cenderung memusuhi apa yang tidak ia ketahui.” Aku juga tidak ingin mengubah bentuk hakikat agar sesuai dengan sajak yang ada seperti ungkapan pepatah “Mengorbankan Shafiyah hanya untuk membuat tulisan bersajak.”(*[2])Karena itu, dalam tulisan yang tak bersajak ini aku membungkus sejumlah hakikat agung dengan pakaian paling buruk. Sebabnya adalah sebagai berikut:
Pertama, karena aku tidak mengetahui yang lebih baik daripada itu. Aku memfokuskan pikiran pada maknanya semata, bukan kepada lafalnya.
Kedua, dengan cara ini aku ingin memberikan kritik kepada para penyair yang mengukir tubuh agar sesuai dengan pakaian.
Ketiga, aku juga ingin menyibukkan diri dengan berbagai hakikat utama disertai sibuknya hati dengannya di bulan penuh berkah ini, bulan Ramadhan.
Karena sebab-sebab itulah gaya tutur yang menyerupai gaya bahasa para pemula ini dipilih. Hanya saja, wahai pembaca budiman!Jika aku keliru—dan aku mengakuinya—jangan sampai engkau juga berbuat keliru dengan melihat gaya bahasanya tanpa melihat berbagai hakikatnya yang mulia sehingga kemudian mengabaikannya.
Penjelasan
Wahai pembaca budiman, aku telah mengakui ketidakmam- puanku dalam membuat tulisan yang baik dan bersajak. Bahkan aku juga tidak bisa menulis nama sendiri dengan tulisan yang bagus. Sepanjang hidup, aku tidak mampu merangkai sebuah bait atau sajaknya. Namun, tiba-tiba terlintas dalam pikiranku adanya keinginan kuat untuk membuat tulisan bersajak. Jiwaku merasa senang dengan sajak alami yang terdapat dalam kitab “Qawl Nawwâlan Sîsiban”(*[3])di mana ia berisi pujian yang menggambarkan peperangan para sahabat. Karena itu, aku berusaha meniru pola sajaknya. Kutulis ia dalam bentuk prosa yang menyerupai nazham tanpa harus mengikuti pola sajak yang ada. Karena itu, siapapun bisa membacanya dengan mudah tanpa perlu mengingat dan memerhatikan pola sajaknya. Namun ia harus memosisikannya sebagai prosa untuk memahami maknanya. Sebab, terdapat hubungan makna antara potongan kalimat. Ia tidak boleh berhenti pada rima sajaknya.Sebagaimana peci torbus bisa dipakai tanpa tali yang terikat dengannya, maka pola sajak bisa dituliskan tanpa terikat dengan rimanya. Bahkan menurutku bila lafal dan sajak begitu menarik dan menyibukkan pikiran manusia, maka lebih tepat jika redaksinya sederhana tanpa dihias macam-macam agar tidak memalingkan perhatian manusia kepadanya.
Guru dan pembimbingku dalam kitab ini adalah al-Qur’an. Kitab yang kubaca adalah kehidupan. Mitra bicara yang menjadi sasaran ucapanku adalah diri sendiri. Adapun engkau wahai pembaca yang mulia hanya sekadar pendengar. Sedangkan pendengar tidak layak untuk memberikan kritik. Namun ia boleh mengambil yang menarik baginya tanpa perlu menunjukkan keberatan terhadap sesuatu yang tidak disenanginya. Nah, karena tulisan ini bersumber dari limpahan karunia bulan yang mulia; bulan Ramadhan yang penuh berkah,(*[4])aku berharap ia bisa memberikan kesan ke dalam hati saudara seagamaku sehingga ia mau mempersembahkan untukku sebuah doa berupa ampunan atau bacaan surat al-Fatihah.
Ad-Dâ’i (Sang Penyeru)
Kuburku(*[5])yang hancur berisi 79 mayat(*[6]) Said yang penuh dosa dan derita.
Delapan puluh tahun berlalu menjadi saksi bagi kuburku.
Semua menangis(*[7])karena Islam yang telah disia-siakan.
Kubur yang penuh dengan kematian tersebut merintih bersama batu nisannya.
Esok aku akan segera bertolak menuju medan pembalasan.
Aku sangat yakin bahwa masa depan Asia berikut bumi dan langitnya
akan tunduk ke tangan Islam yang putih bersinar.
Sebab tangan kanannya memberi iman,
ia mempersembahkan ketenangan dan kedamaian bagi seluruh insan.
- * *
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ رَبِّ ال۟عَالَمٖينَ وَالصَّلَاةُ عَلٰى سَيِّدِ ال۟مُر۟سَلٖينَ
وَ عَلٰى اٰلِهٖ وَ صَح۟بِهٖ اَج۟مَعٖينَ
Dua Bukti Tauhid yang Agung
Alam ini sendiri merupakan satu bukti yang agung. Pasalnya, lisan gaib dan lisan dzahir bertasbih dengan tauhid; tauhid Dzat Yang Maha Penyayang. Dengan suara nyaring, keduanya
menyebut lâ ilâha illâ Huwa (tiada Tuhan selain Dia).
Seluruh partikel alam, selselnya, pilar-pilarnya, dan organnya merupakan lisan yang ikut berzikir bersama suara gema
tersebut dengan lâ ilâha illâ Huwa.
Pada lisan tersebut terdapat keragaman. Pada suara yang ada terdapat sejumlah tingkatan, namun semuanya mengarah pada satu titik dan
mengucap lâ ilâha illâ Huwa.
Alam ini merupakan manusia besar. Ia berzikir dengan suara nyaring. Sejumlah suara yang halus itu berikut semua bagian dan partikelnya bersama-sama dengan suara nyaring itu
menggemakan lâ ilâha illâ Huwa.
Ya, alam ini membacakan ayat-ayat al-Qur’an dalam sebuah lingkaran zikir yang besar. Al-Qur’an yang bersinar terang ini bersama makhluk bernyawa mendendangkan
kalimat lâ ilâha illâ Huwa.
Al-Furqan yang penuh hikmah ini merupakan bukti yang mengucapkan tauhid tersebut. Seluruh ayatnya menjadi lisan yang jujur dan kilau yang memancarkan iman.
Jadi, semuanya menyatakan lâ ilâha illâ Huwa.
Ketika engkau mendekatkan telinga tersebut ke dada al-Furqan tadi, dari relung yang paling dalam engkau akan mendengar gema samawi yang sangat jelas
yang berbunyi lâ ilâha illâ Huwa.
Suara halus itu adalah suara yang tinggi dan mulia dalam bentuk yang sangat serius dan mendatangkan kelapangan, paling jujur dan tulus. Ia diperkuat oleh bukti nyata yang meyakinkan di mana secara berulang-ulang
menyatakan lâ ilâha illâ Huwa.
Bukti bersinar ini enam sisinya sangat transparan dan mulia. Sebab:Padanya terdapat ukiran kemukjizatan yang jelas.Di dalamnya cahaya petunjuk bersinar dan
mengucap lâ ilâha illâ Huwa.
Di bawahnya terdapat untaian hujjah dan logika. Di sisi kanannya terdapat konklusi akal di mana ia membenarkannya
dengan lâ ilâha illâ Huwa.
Di sisi kirinya—yang juga kanan—mempersaksikan hati nurani. Di hadapannya terdapat kebaikan dan kebajikan. Tujuannya berupa kebahagiaan.
Kuncinya selalu lâ ilâha illâ Huwa.
Di belakangnya yang merupakan sisi depan, yakni sandarannya adalah bersifat samawi. Ia berupa wahyu murni. Enam sisi ini bersinar terang yang pada puncaknya
tampak lâ ilâha illâ Huwa.
Ilusi tidak akan mungkin mencuri informasinya. Keraguan juga tidak mungkin mengetuk pintunya.Mungkinkah si ateis bisa masuk ke dalam istana yang berkilau itu.Pagar bentengnya demikian tinggi. Setiap kata darinya berupa
malaikat yang mengucap lâ ilâha illâ Huwa.
Al-Qur’an yang agung itu merupakan lautan yang menuturkan tauhid.Marilah kita mengambil satu tetes sebagai contoh. Misalnya surah al-Ikhlas. Kita mengambilnya sebagai simbol singkat dari berbagai simbol yang tak terhitung.
Ia menyanggah kemusyrikan secara tegas berikut semua bentuknya. Ia menetapkan tujuh jenis tauhid dalam enam kalimatnya. Tiga kalimat darinya menetapkan dan tiga lagi menafikan.
Kalimat pertama قُل۟ هُوَ isyarat tanpa disertai petunjuk lain. Artinya, ia penetapan secara mutlak.
Di dalamnya terdapat kejelasan yaitu bahwa tidak ada dia kecuali Dia.
Ini menunjukkan tauhid asy-Syuhud (penyaksian).
Andaikan basirah yang menembus al-Haq larut dalam tauhid, tentu ia berkata “Tiada yang disaksikan kecuali Dia.”
Kalimat kedua اَللّٰهُ اَحَدٌ merupakan penjelasan tauhid uluhiyah. Sebab, lewat lisan al-haq hakikat kebenaran berkata
“Tiada yang disembah kecuali Dia.”
Kalimat ketiga اَللّٰهُ الصَّمَدُ merupakan tempurung bagi dua dari sekian permata tauhid. Pertama: tauhid Rububiyah.
Lisan tatanan alam berkata “Tiada Pencipta kecuali Dia.”
Kedua, tauhid al-Qayyûmiyah. Yakni, lisan kebutuhan pada sebab hakiki di seluruh alam berucap
“Tiada yang berdiri sendiri kecuali Dia.”
Kalimat keempat لَم۟ يَلِد۟ berisi tauhid al-Jalâl. Ia menyanggah semua bentuk kemusyrikan dan memutus semua bentuk kekufuran.
Sebab segala yang berubah, berketurunan, dan terbagi tentu bukanlah Pencipta, bukan Dzat yang berdiri sendiri dan bukan Tuhan.
لَم۟ menolak pemahaman keberadaan anak dan sifat melahirkan bagi Tuhan. Ia dengan tegas memutus syirik.
Akibat syirik ini kebanyakan manusia menjadi sesat sehingga mereka meyakini bahwa Isa, Uzair, atau malaikat sebagai anak Tuhan.
Kalimat kelima وَلَم۟ يُولَد۟ merupakan tauhid permanen yang menunjukkan penetapan ahadiyah Tuhan. Siapa yang tidak bersifat wajib, qadim (tak bermula), dan azali tidak bisa disebut Tuhan.
Yakni, jika ia bersifat baru, temporer, atau lahir, serta terpisah dari asalnya, maka tidak bisa menjadi tuhan bagi alam ini.
Kalimat ini menyangkal syirik penyembahan terhadap sebab, penyembahan terhadap bintang, penyembahan terhadap berhala, dan penyembahan terhadap alam.
Kalimat keenam وَلَم۟ يَكُن۟ adalah tauhid komprehensif. Yakni tidak ada yang sama dengan-Nya dalam hal zat. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hal perbuatan. Tidak ada yang serupa dengan-Nya dalam hal sifat. Semuanya secara bersama-sama mengarah kepada kata lam (tidak).
Enam kalimat ini secara maknawi menjadi buah dari yang lain dan pada waktu yang sama menjadi bukti baginya.
Artinya, surah al-Ikhlas mengandung 30 surat dari surat-surat al-Ikhlas yang tersusun dan terbentuk dari berbagai dalil yang saling menguatkan.
Hanya Allah yang mengetahui hal gaib.
Sebab bukan Pelaku Hakiki
Kemuliaan dan keagungan uluhiyah menuntut sebab-sebab materi agar menjadi tirai bagi qudrah Allah di hadapan pandangan akal.
Sementara tauhid dan keagungan-Nya menuntut agar sebab-sebab materi tidak memberi pengaruh hakiki terhadap jejak qudrah ilahi.
Wujud tidak Terbatas pada Alam Fisik
Berbagai jenis wujud yang tidak terhingga tak terbatas pada alam ini; alam nyata.
Alam fisik (materi) laksana tirai dekorasi yang dihamparkan pada berbagai alam gaib yang bersinar.
Kesatuan dalam Pena Qudrah Memperlihatkan Tauhid
Terlihatnya jejak kreasi pada setiap sisi fitrah secara jelas menyangkal penciptaan sebab atasnya.
Ukiran pena dan qudrah itu sendiri secara tegas menolak keberadaan perantara pada setiap titik penciptaan.
Tidak ada Sesuatu Tanpa Yang Lain
Rahasia kekompakan dan keharmonisan yang tersembunyi dan tersebar di seluruh alam,
serta kemunculan spirit saling merespon dan bekerjasama dari semua aspek menerangkan bahwa terdapat qudrah yang meliputi seluruh
alam di mana ia menciptakan partikel dan meletakkannya di tempat yang sesuai dengannya.
Setiap huruf dan setiap baris dari kitab alam adalah hidup. Rasa butuh menggiringnya dan memperkenalkan antara yang satu dengan yang lain. Maka ia menyambut seruan di manapun terdengar.
Dengan rahasia tauhid, seluruh cakrawala saling merespon. Sebab, qudrah Tuhan mengarahkan setiap huruf yang hidup menuju setiap kalimat dalam kitab tersebut.
Gerakan Matahari Menciptakan Gravitasi untuk Menarik Tata Suryanya
Matahari bagaikan pohon yang berbuah. Ia bergerak agar buahnya yang beredar dan tertarik kepadanya tidak jatuh.
Andaikan ia diam, tentu daya tariknya lenyap dan rasa senangnya hilang. Karena rindu, seluruh benda yang ditariknya yang beredar secara rapi di angkasa luas menjadi menangis.
Sesuatu yang Kecil Terpaut dengan yang Besar
Dzat yang menciptakan mata nyamuk adalah Dzat yang menciptakan matahari dan galaksi.
Dzat yang menata perut kutu adalah Dzat yang menata tata surya.
Dzat yang memasukkan penglihatan ke dalam mata serta menanamkan rasa butuh di perut adalah Dzat yang menghias mata langit dengan sinar dan menghamparkan hidangan makanan di atas bumi.
Tatanan Alam Mengandung Kemukjizatan yang Agung
Perhatikan kemukjizatan dalam penciptaan alam.
Andaikan setiap sebab materi memiliki sifat berbuat, memilih, dan berkuasadi mana ini semuanya mustahiltentu sebab-sebab itu tak berdaya dan
tunduk di hadapan kemukjizatan di atas seraya berkata,
“Mahasuci Engkau. Kami tidak memiliki kekuatan. Wahai Tuhan, Engkau Mahakuasa, azali dan agung.”
Segala Sesuatu Sama di Hadapan Qudrah Tuhan
Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja (QS. Luqman [31]: 28).
Qudrah ilahi bersifat zati dan azali, tidak dihiasi oleh ketidakberdayaan, tidak ada tingkatan di dalamnya, serta tidak bisa diinfiltrasi oleh halangan sedikitpun.
Hal-hal yang bersifat universal dan parsial sama saja baginya. Sebab, setiap sesuatu terpaut dengan semua hal.
Siapa yang tidak mampu menciptakan segala sesuatu, ia tidak mampu menciptakan sesuatupun.
Siapa yang tidak Menggenggam Kendali Alam tidak Mampu Mencipta Partikel
Siapa yang tidak memiliki kekuatan untuk mengangkat bumi,
matahari dan bintang yang jumlahnya tak terhingga serta meletakkannya di atas angkasa dan di atas dadanya secara teratur dan rapi,
maka ia sama sekali tidak bisa mengaku sebagai pencipta.
* * *
Menghidupkan Spesies seperti Menghidupkan Individu
Sebagaimana menghidupkan seekor lalat yang mendengkur seperti mati di musim dingin tidak sulit bagi qudrah ilahi,
demikian pula menghidupkan dunia sesudah kematiannya, bahkan menghidupkan seluruh jiwa sangat mudah bagi-Nya.
Hukum Alam adalah Kreasi Ilahi
Hukum alam bukan pencipta, tetapi tempat penciptaan. Bukan pengukir, tetapi ukiran. Bukan pelaku, tetapi objek. Bukan arsitek, tetapi arsitektur.
Bukan penata, tetapi tatanan. Bukan qudrah, tetapi hukum. Ia adalah syariat kehendak Allah, bukan hakikat eksternal.
Hati Nurani Mengenal Allah lewat Getaran Cinta dan Luapan Rasa
Dalam hati nurani terdapat ketertarikan dan daya tarik. Keduanya selalu bercampur di dalamnya.
Karena itu, ia tertarik. Ia terwujud dengan adanya daya tarik dari sesuatu yang menarik. Pemiliki perasaan tertarik ketika Pemilik keindahan tampak dan terwujud dengan terang tanpa hijab.
Fitrah yang merasakan ini menjadi saksi yang kuat atas eksistensi Sang Wajibul wujud, Pemilik keagungan dan keindahan.
Bukti yang pertama adalah daya tarik tersebut dan yang kedua adalah adanya ketertarikan.
Kesaksian Fitrah itu Benar
Tidak ada dusta dalam fitrah. Yang dikatakannya itu benar.
Kecenderungan untuk tumbuh yang tersembunyi dalam benih berkata, “Aku akan tumbuh dan berbuah.” Ternyata realitas membenarkannya.
Dalam telur, kecenderungan hidup berkata dari balik kedalamannya,
“Aku akan menjadi anak ayam.” Dan ternyata dengan izin Allah ia benar-benar terwujud dan ucapannya benar.
Ketika segenggam air yang terdapat di dalam lubang besi hendak membeku, kecenderungan untuk terbentang di saat dingin berkata,
“Meluaslah wahai besi, aku butuh tempat yang lebih luas.”
Maka, besi yang keras itupun berusaha untuk tidak mengingkarinya.
Bahkan ketulusan dan kejujuran jiwa yang terdapat di dalamnya membelah besi tersebut.
Semua kecenderungan di atas merupakan perintah takwini, hukum ilahi, syariat fitri, serta manifestasi kehendak ilahi yang terdapat dalam penataan alam.
Setiap kecenderungan dan setiap ketaatan merupakan bentuk ketundukan terhadap perintah Rabbani.
Manifestasi dalam hati nurani demikian jelas di mana ketertarikan dan daya tarik merupakan dua hal yang bening laksana
cermin terang yang memantulkan cahaya iman dan manifestasi keindahan abadi.
Kenabian adalah Kebutuhan Utama Manusia
Qudrah ilahi yang tidak membiarkan semut tanpa keberadaan pimpinannya,
lebah tanpa keberadaan lebah jantan, tentu tidak membiarkan manusia tanpa keberadaan seorang nabi serta tanpa keberadaan syariat. Ya, demikianlah tuntutan rahasia tatanan alam.
Mi’raj adalah Mukjizat bagi Malaikat sebagaimana Terbelahnya Bulan adalah Mukjizat bagi Manusia
Mi’raj merupakan kewalian terbesar dalam kenabian yang diterima di mana malaikat melihatnya secara hakiki sebagai bentuk karamah.
Sang Nabi yang cemerlang menaiki Buraq dan pergi secepat kilat lalu mengelilingi alam wujud laksana bulan seraya menyaksikan alam cahaya pula.
Sebagaimana terbelahnya bulan merupakan mukjizat konkret dan agung bagi manusia di alam nyata,
maka mi’raj ini juga mukjizat terbesar bagi penduduk alam arwah.
Petunjuk Kalimat Syahadat terdapat di Dalamnya
Dua kalimat syahadat masing-masing menjadi saksi, petunjuk dan bukti bagi yang lain.
Yang pertama menjadi bukti limmi bagi yang kedua, sementara yang kedua menjadi bukti inni bagi yang pertama.(*[8])
Kehidupan adalah Model dari Manifestasi Kesatuan
Kehidupan adalah cahaya kesatuan. Tauhid terwujud lewat ke- hidupan dalam bentuk yang demikian banyak. Ya, salah satu manifestasi kesatuan adalah membuat entitas yang sangat banyak menjadi satu wujud.
Sebab, kehidupan membuat sesuatu yang satu memiliki segala sesuatu. Sebaliknya, segala sesuatu saat kehilangan kehidupan menjadi tiada.
Ruh adalah Hukum yang Dibungkus dengan Wujud Lahiri
Ruh adalah hukum bercahaya dan ketentuan yang dibungkus dengan wujud lahiri. Di dalamnya ditanamkan perasaan.
Ruh yang memiliki wujud lahiri ini serta hukum yang rasional— yang dapat ditangkap oleh akal—menjadi dua saudara dan dua teman.
Pasalnya, ruh datang dari alam perintah dan sifat kehendak-Nya laksana hukum fitrah yang baku dan permanen.
Qudrah ilahi membungkus ruh dengan wujud fisik serta menanamkan perasaan padanya sehingga menjadikannya sebagai unsur yang bergerak lembut sebagai kulit dari esensi tersebut.
Andaikan qudrah Sang Pencipta membungkus hukum yang mengalir pada berbagai spesies dengan wujud lahiri, tentu semuanya memiliki ruh.
Andaikan ruh tersebut mencabut wujud lahirinya serta mencampakkan perasaan darinya, tentu ia menjadi hukum yang abadi.
Wujud Tanpa Kehidupan seperti Tiada
Cahaya dan kehidupan, masing-masing menyingkap entitas. Jika tidak ada cahaya kehidupan, maka wujud menghadapi ketiadaan, bahkan seperti ketiadaan.
Ya, sesuatu yang tidak memiliki kehidupan adalah asing dan yatim meskipun berupa rembulan.
Semut yang Hidup Lebih Besar daripada Bumi
Jika engkau mengukur semut dengan neraca wujud, bumi kita ini tidak memadai bagi alam yang menjadi tempat hidup semut lewat rahasia kehidupan.
Andai kita membandingkan bumi—yang menurut kita hidup dan menurut yang lainnya matidengan semut tadi,
maka bumi tidak bisa menyamai separuh saja dari kepala entitas yang dilengkapi perasaan tersebut.
Nasrani akan Menyerahkan Urusannya kepada Islam
Nasrani akan menghadapi kondisi redup atau bersih. Ia akan menyerahkan senjata dan tunduk pada Islam.
Ia telah tercabik berkali-kali hingga mengarah pada pandangan Protestan. Namun ia juga tidak membantu.
Tirainya kembali tercabik. Ia jatuh pada kesesatan mutlak. Hanya saja, sebagian darinya mendekati tauhid. Ia akan menemukan keberuntungan padanya.
Sekarang ia nyaris tercabik.(*[9])Jika tidak redup, ia akan bersih dan menjadi kerajaan Islam (sebab ia sudah berada di hadapan sejumlah hakikat Islam yang mencakup seluruh prinsip Nasrani yang asli).
Ini merupakan rahasia agung yang ditunjukkan oleh Rasul x dengan turunnya Isa. Isa akan menjadi bagian umat beliau dan berbuat sesuai syariat beliau.(*[10])
Pandangan Konvensional Melihat yang Mustahil menjadi Mungkin
Ada sebuah peritiwa yang terkenal, yaitu ketika orang-orang menantikan hilal hari raya tanpa ada seorangpun yang melihatnya, tiba-tiba seseorang yang sudah lanjutusia bersumpah bahwa ia telah melihat hilal.
Namun ternyata yang ia lihat bukan hilal, tapi bulu putih yang melengkung dari alisnya sehingga bulu putih yang melengkung itu tampak sebagai hilal olehnya.
Tentu saja ia bukan hilal.Engkau paham apa maksudnya?
Gerakan partikel menjadi seperti rambut-rambut yang gelap bagi mata akal. Ia menutupi penglihatan sehingga membuatnya buta dan tidak bisa melihat.
Beginilah kesesatan terjadi. Tentu saja gerak partikel tidak bisa disamakan dengan Pengatur alam.
Dugaan bahwa berbagai hal bersumber dari gerak partikel adalah sangat mustahil.
Al-Qur’an tidak Butuh Wakil, tetapi Butuh Cermin
Kesucian rujukan itulah yang lebih mendorong mayoritas umat dan masyarakat untuk taat serta lebih menggiring mereka untuk mematuhi perintah daripada kekuatan argumen semata.
Sembilan puluh persen hukum syariat bersifat aksiomatis dan tuntutan agama yang laksana tiang permata.
Adapun persoalan ijtihadiyah, khilafiyah dan cabang hanya sekitar 10%.
Karena itu, jangan sampai 90 tiang permata berada di bawah sepuluh tangkai emas, serta tidak boleh ia mengikutinya.
Sumber permata dan kekayaannya adalah al-Qur’an dan Sunnah. Ia adalah milik keduanya dan hanya bisa diraih lewat keduanya. Adapun kitab-kitab yang lain serta berbagai persoalan ijtihad harus menjadi cermin yang memantulkan al-Qur’an atau pemandangan yang menghadap kepadanya. Sebab, matahari yang bersinar dan menakjub- kan itu tidak mau menjadi bayangan dan wakil darinya.
Orang Batil Menganggap Kebatilan sebagai Kebenaran Manusia menghendaki kebenaran dan senantiasa mencarinya sesuai dengan fitrah mulia yang terdapat pada dirinya. Kadang ia menemukan kebatilan lalu diduga sebagai kebenaran dan berusaha membelanya.
Kadangkala pula kesesatan jatuh padanya tanpa disengaja saat sedang mencari hakikat, lalu ia menganggapnya sebagai kebenaran dan mempercayainya.
Cermin Qudrah Sangat Banyak
Cermin qudrah ilahi sangat banyak. Masing-masing membuka jendela yang lebih bening dan lebih halus daripada yang lain untuk menuju ke salah satu alam mistal,
mulai dari air hingga udara, dari udara hingga eter, dari eter hingga alam mitsal, dari alam mistal hingga alam arwah, dari alam arwah hingga perjalanan zaman, dari perjalanan zaman hingga fantasi, serta dari fantasi hingga pikiran.
Semuanya merupakan cermin beragam yang menampakkan berbagai atribut ilahi. Simaklah cermin udara!
Pasti engkau melihat sebuah kata menjadi jutaan kata.
Demikianlah pena qudrah ilahi menuliskan rahasia perkembang-biakan dan kloning yang menakjubkan.
* * *
Ragam Bentuk Penjelmaan
Penjelmaan dalam cermin terbagi atas empat bentuk. Bisa beru- pa gambar yang mencerminkan identitasnya semata, atau juga karakteristiknya, atau identitas dan cahaya esensi, atau esensi identitas.
Sebagai contoh manusia dan matahari, serta malaikat dan kata.Jelmaan benda padat di cermin menjadi benda mati yang bergerak.
Jelmaan ruh bercahaya di sejumlah cerminnya masing-masing menjadi hidup dan terkait dengannya, serta cahaya yang terbentang.
Jika jelamaan itu bukan benda aslinya, ia juga bukan yang lainnya. Jika matahari memiliki kehidupan, maka panasnya adalah kehidupannya dan cahayanya adalah perasaannya. Bayangannya yang terpantul di cermin memiliki sejumlah karakteristik tersebut.
Berikut ini adalah kunci rahasianya:Saat berada di Sidratul Muntaha, Jibril tampil dalam sosok Dihyah al-Kalbi di majelis Nabi x serta di sejumlah tempat lain.(*[11])
Izrail mencabut nyawa di satu tempat dan di banyak tempat lain di mana tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah.
Rasul x muncul di hadapan umat dalam satu waktu, dalam kasyaf para wali, dalam mimpi yang benar, serta mendatangi mereka semua dengan syafaatnya di hari kiamat pada hari kebangkitan yang agung.
Para wali abdal juga muncul dengan cara sama di banyak tempat dalam waktu bersamaan.
==Orang yang Memiliki Kualifikasi Bisa Berijtihad untuk Dirinya, tetapi Tidak untuk Orang Lain== Setiap orang yang memiliki potensi dan kualifikasi untuk berijtihad bisa berijtihad untuk dirinya dalam hal-hal yang tidak diterangkan oleh nas tanpa boleh memaksakan ijtihadnya kepada orang lain.
Sebab, ia tidak dapat menetapkan hukum serta mengajak umat kepada pemahamannya.
Pasalnya, pemahamannya dianggap sebagai fikih atau pemahaman terhadap syariat, bukan syariat itu sendiri. Karena itu, bisa jadi manusia menjadi seorang mujtahid, tetapi bukan pembuat syariat. Dakwah kepada pemikiran apapun harus disertai penerimaan mayoritas ulama terhadapnya.
Jika tidak, ia merupakan bentuk bid’ah yang tertolak. Ia hanya terbatas pada pemiliknya. Sebab, ijmak dan jumhur ulama adalah pihak yang dapat mengidentifikasi stempel syariat atasnya.
Cahaya Akal Terpancar dari Kalbu
Para pemikir yang diselimuti kegelapan harus memahami perkataan berikut:
Pemikiran tidak akan bersinar tanpa adanya cahaya kalbu. Selama cahaya akal tidak bercampur dengan cahaya kalbu, pikiran menjadi gelap dengan memancarkan kebodohan dan kegelapan. Ia adalah gelap yang memakai pakaian cahaya pikiran yang palsu.
Di matamu terdapat siang, namun ia putih yang gelap. Di dalamnya juga terdapat warna hitam, namun bersinar.
Jika di dalamnya tidak ada warna hitam yang bersinar, tentu ia bukan lagi menjadi mata dan tidak bisa melihat.
Demikianlah, tidak ada nilainya penglihatan tanpa disertai basirah (mata hati). Jika hitam kalbu tidak ada dalam pikiran yang putih, hasilnya bukan merupakan pengetahuan dan basirah. Tidak ada akal tanpa disertai kalbu.
Tingkatan Ilmu dalam Akal Beragam
Dalam akal terdapat sejumlah tingkatan yang saling berbaur. Sebagian hukumnya juga berbeda. Pertama-tama adalah khayalan atau imajinasi.
Kemudian persepsi. Setelah itu pemahaman. Lalu kepercayaan. Selanjutnya menjadi sebuah ketetapan hati.
Barulah komitmen muncul dan keyakinan. Keyakinanmu terhadap sesuatu berbeda dengan komitmenmu terhadapnya.
Setiap tingkatan tersebut menghasilkan sebuah keadaan. Keteguhan bersumber dari keyakinan. Fanatisme bersumber dari komitmen. Kepatuhan bersumber dari ketetapan hati.
Komitmen bersumber dari kepercayaan. Lalu sikap netral terdapat pada rasionalitas, objektivitas terdapat pada persepsi, irrasionalitas terdapat pada khayalan meski sulit untuk bercampur.
Deskripsi tentang sejumlah persoalan batil secara baik akan melukai dan menyesatkan akal pikiran yang bersih.
Ilmu yang tidak Dikuasai tidak bisa Diajarkan
Seorang alim dan mursyid hakiki seharusnya mengajarkan ilmunya kepada orang lain di jalan Allah tanpa menanti imbalan.
Ia seharusnya seperti domba, bukan seperti burung.
Domba memberikan kepada anaknya susu yang murni, sementara burung memberikan kepada anaknya makanan yang bercampur dengan liur.
Merusak lebih Mudah, dan Yang Lemah Bisa Menjadi Perusak
Keberadaan sesuatu bergantung pada keberadaan seluruh bagiannya. Sementara ketiadaan sesuatu terwujud dengan ketiadaan satu bagian darinya. Karena itu, merusak lebih mudah.
Dari sini pihak yang lemah cenderung merusak dan melakukan perbuatan negatif-destruktif. Bahkan mereka tidak pernah mendekati perbuatan yang positif.
Kekuatan harus Melayani Kebenaran
Jika rambu-rambu hikmah, hukum pemerintah, prinsip kebenaran, serta pilar kekuatan tidak saling bersatu dan tidak saling membantu, ia tidak akan berbuah dan tidak akan memberikan dampak kepada sebagian besar manusia.
Syiar syariat akan dicampakkan dan diabaikan sehingga manusia tidak menjadikannya sebagai sandaran dalam urusan mereka.
Terkadang Sesuatu Mengandung Kebalikannya
Akan datang suatu masa di mana sesuatu memuat kebalikannya. Kata menjadi berlawanan dengan maknanya dalam bahasa politik.
Kezaliman memakai topi keadilan. Pengkhianatan mengenakan pakaian nasionalisme dengan harga yang murah. Jihad di jalan Allah dianggap kekerasan. Perilaku kebinatangan dan kesewenang-wenangan dianggap kebebasan.
Demikianlah, kebalikan menjadi serupa, bentuk saling berganti, nama saling berhadapan, serta posisi saling bertukar.
Politik Opurtunis adalah Biadab
Politik yang berasaskan kepentingan saat ini demikian biadab dan menakutkan.
Menunjukkan sikap baik kepada binatang buas yang sedang lapar tidak akan membuatnya berbalik sayang, tetapi justru akan membangkitkan seleranya,
lalu kembali meminta darimu imbalan bagi taring dan cakarnya.
Kejahatan Manusia Membesar karena Potensinya tidak Dibatasi
Daya atau potensi yang tersimpan dalam diri manusia secara fitrah tidak terbatas; berbeda dengan hewan.
Kebaikan dan keburukan yang bersumber darinya tidak terhingga. Ketika hal itu disertai sifat ghurur dan membangkang maka akan melahirkan dosa besar(*[12])sampai-sampai manusia sulit untuk menemukan istilah untuknya.
Ini menjadi bukti atas keberadaan neraka Jahanam. Sebab, tidak ada balasan baginya kecuali neraka.
Misalnya, seseorang berharap agar kaum muslimin tertimpa musibah demi membenarkan ucapan dan prediksinya.
Fenomena zaman sekarang juga memperlihatkan bahwa surga itu mahal, dan neraka itu vital.
Kebaikan Bisa Menjadi Sarana Keburukan
Keistimewaan yang dimiliki kalangan khawas pada hakikatnya merupakan sebab yang mendorong mereka untuk bersikap tawaduk dan mengingkari diri.
Hanya saja sayangnya ia telah dijadikan sarana untuk mengendalikan pihak lain dan bersikap sombong kepada mereka.
Demikian pula dengan kelemahan kaum fakir dan kefakiran masyarakat awam, keduanya sebenarnya menjadi pendorong untuk mengasihi mereka. Hanya saja sayang sekali pada masa sekarang ini ia digiring menuju kehinaan dan kenistaan.
Andaikan kemuliaan dan berbagai kebaikan terwujud pada se- suatu, ia akan disandarkan kepada kalangan khawas dan para pimpinan. Namun jika yang terwujud adalah keburukan dan kejahatan, maka ia akan didistribusikan kepada orang-orang dan masyarakat awam.
Kemuliaan yang didapat oleh kelompok yang menang akan diapresiasi dengan: “Wahai pimpinan kelompok, engkau telah berbuat tepat.” Namun jika yang terjadi sebaliknya, yang terucap adalah, “Sung- guh buruk masyarakatnya.”
Ini adalah kejahatan yang menyakitkan bagi umat manusia.
Jika Suatu Komunitas tidak Memiliki Tujuan, Egoisme akan Menguat
Jika konsep suatu komunitas tidak memiliki tujuan ideal atau tujuan tersebut terlupakan atau pura-pura dilupakan, maka jiwa akan berubah menjadi egoisme individu.
Artinya, “aku” setiap individu akan menguat. Ia bahkan bisa mengeras sehingga tidak bisa ditembus untuk menjadi “kita”. Maka, orang-orang yang menyukai “aku” dirinya tidak bisa memberikan cin- tanya kepada orang lain.
Matinya Zakat dan Hidupnya Riba adalah Sumber Kekacauan
Sumber segala bentuk kekacauan, kerisauan,
dan kerusakan serta pencetus semua bentuk keburukan dan akhlak yang jelek adalah dua kata atau dua kalimat saja:
Kedua: Anda yang bekerja, saya yang menikmati hasilnya.
Obat mujarab yang bisa menawarkan racun mematikan pada kalimat pertama adalah zakat sebagai salah satu rukun Islam.
Sementara yang bisa mencabut akar pohon zaqqum yang terdapat pada kalimat kedua adalah pelarangan riba.
Jika umat manusia menginginkan kebaikan dan ingin hidup mulia, mereka harus mewajibkan zakat dan melenyapkan riba.
* * *
Umat Manusia harus Membunuh Seluruh Bentuk Riba jika Mereka Ingin Hidup
Hubungan kasih sayang antar kalangan khawas dan awam telah putus.
Kalangan awam pergi membawa berbagai kesulitan, teriakan untuk membalas dendam, serta benih kedengkian dan kebencian.
Dari kalangan khawas, mereka mendapatkan api kezaliman dan penghinaan, sikap takabbur, dan sejumlah kendali.
Padahal semestinya kalangan awam harus tunduk, cinta, hormat, dan patuh kepada kalangan khawas dengan syarat kalangan khawas menunjukkan kebaikan, kasih sayang, simpati dan pembinaan.
Nah, jika umat manusia ingin terus hidup, mereka harus berpegang pada zakat dan menolak riba.
Sebab, keadilan al-Qur’an tegak di pintu alam seraya berkata kepada riba, “Engkau dilarang. Eng- kau tidak boleh masuk! Kembalilah!”
Namun umat manusia tidak mengindahkan perintah ini sehingga mereka mendapatkan tamparan keras.(*[13])Karena itu, ia harus mendengarnya sebelum menerima tamparan lain yang lebih kuat dan lebih pahit.
==Manusia telah Memutus Ikatan Keluarga dan akan Memutus Ikatan Pahala== Dalam mimpi aku berkata, “Perang kecil antar bangsa dan suku meninggalkan sejumlah konflik yang lebih berbahaya di kalangan umat manusia.
Pasalnya, manusia dalam sejarahnya tidak mau menerima kungkungan. Namun ia memutuskan semua belenggu dengan darahnya. Namun sekarang ia menjadi buruh yang siap menerima beban sehingga suatu saat akan diputuskannya pula.
Kepala manusia sudah mulai beruban setelah melewati lima fase: Kebiadaban, keterbelakangan, perbudakan, tawanan feodalisme,dan sekarang buruh. Demikianlah berawal dan demikian pula ia berlalu.
Jalan yang Tidak Benar Mengantarkan pada Tujuan yang Salah
Kaidah “Pembunuh tidak bisa mewarisi”(*[14])merupakan rambu yang sangat agung. Orang yang menyusuri jalan tidak benar untuk mencapai tujuan biasanya akan mendapat yang sebaliknya.
Nah, mencintai Eropa bukan tindakan yang tepat. Sikap meniru dan menyukai mereka justru membuahkan permusuhan dari pihak yang dicintai disertai berbagai kajahatan.
Ya, orang fasik terhalang dari kebaikan. Ia tidak akan merasa nikmat dan tidak akan selamat.
Dalam Jabariyah dan Muktazilah Ada Satu Benih Hakikat
Wahai pencari hakikat! Syariat melihat masa lalu dan musibah tidak seperti melihat masa depan dan maksiat. Ia melihat masa lalu dan musibah sebagai takdir ilahi. Ini adalah pandangan Jabariyah.
Sementara masa depan dan maksiat dilihatnya sebagai bentuk taklif ilahi. Ini adalah pandangan Muktazilah. Beginilah cara mempertemukan Jabariyah dan Muktazilah.
Pada aliran yang batil ini terdapat sebuah benih hakikat yang memiliki posisi khusus. Kebatilan muncul saat ia digeneralisir.
Lemah dan Keluh kesah Sifat Kalangan Dhuafa
Jika engkau ingin hidup mulia, jangan merasa lemah dalam menghadapi sesuatu yang bisa diselesaikan.
Jika engkau ingin hidup lega, jangan berkeluh kesah dalam menghadapi sesuatu yang tidak ada solusinya.
Sesuatu yang Kecil bisa Mengantar pada Hal yang Besar
Akan ada banyak keadaan di mana gerakan sederhana akan menaikkan manusia ke tingkatan paling tinggi.
Demikian pula akan terjadi sejumlah kondisi di mana perbuatan sederhana akan menggiring pelakunya ke tingkatan yang paling rendah.
Sesaat bisa Menyamai Setahun bagi Sebagian Orang
Fitrah manusia ada dua bagian: satu bagian bersinar pada saat ini pula, dan sebagian lagi berproses di mana sedikit demi sedikit semakin meninggi. Tabiat manusia menyerupai keduanya.
Ia berganti sesuai dengan syarat dan kondisinya. Kadangkala ia berjalan secara bertahap dan kadangkala juga mengeluarkan api terang yang meletupkan serbuk mesiu.
Bisa jadi ada pandangan yang mengubah arang menjadi berlian.Bisa jadi ada sentuhan yang mengubah batu menjadi obat mujarab.
Tatapan Nabi x mengubah Arab badui yang bodoh menjadi sosok yang mengenal Allah.
Jika engkau ingin perbandingan, lihatlah Umar ibn al-Khattab sebelum dan setelah masuk Islam. Keduanya laksana benih dan pohon yang memberikan buah matang secara sekaligus.
Tatapan dan perhatian Nabi x tersebut telah mengubah fitrah yang hitam di jazirah Arab menjadi berlian yang bersinar terang.
Sifat gelap dan membakar—yang laksana serbuk mesiu—itu berubah menjadi sifat mulia yang bercahaya.
Dusta adalah Lafal Kafir
Sebuah benih kejujuran melenyapkan biara kedustaan. Sebuah hakikat kebenaran meruntuhkan menara khayalan. Kejujuran adalah landasan yang utama dan esensi yang terang.
Bisa jadi ia diganti dengan sikap diam ketika membahayakan. Namun, tidak ada tempat bagi dusta sama sekali meskipun berisi man- faat dan maslahat.
Hendaklah seluruh ucapanmu jujur, dan hendaklah semua per- nyataanmu benar. Akan tetapi, engkau harus memahami bahwa engkau tidak boleh mengungkap semua kebenaran.
Jadikan prinsip ini sebagai semboyanmu: “Ambil yang bersih dan tinggalkan yang keruh”
Lihatlah dengan cermat dan saksikan dengan baik agar pikiranmu juga baik. Hendaknya berbaik sangka dan berpikirlah yang baik agar engkau bisa menemukan kehidupan yang nikmat dan tenang.
Harapan yang termasuk dalam kerangka prasangka baik menghembuskan kehidupan dalam kehidupan. Sebaliknya, putus asa yang dibungkus dengan prasangka buruk merusak kebahagiaan manusia dan membunuh kehidupan.
Sebuah Majelis Pertemuan di Alam Mitsal
(Perbandingan antara Peradaban Modern dan Syariat yang Indah serta antara Kecerdasan Ilmiah dan Petunjuk Ilahi)
Di tengah gencatan senjata di akhir Perang Dunia Pertama pada salah satu malam Jumat, di alam mistal aku masuk ke dalam sebuah majelis besar dalam suatu mimpi yang benar.
Orang-orang bertanya kepadaku, “Apa yang akan terjadi pada dunia Islam setelah kekalahan ini?”
Akupun memberikan jawaban sesuai posisiku sebagai delegasi abad ini, sementara mereka menyimak dengan penuh antusias,
“Daulah ini adalah daulah yang memikul tanggungjawab untuk melindungi kemerdekaan dunia Islam dan meninggikan kalimat Allah dengan menunaikan kewajiban jihad—sebagai fardhu kifayah—serta rela berkorban demi membela dunia Islam yang laksana satu tubuh seraya membawa panji khilafah.
Aku tegaskan bahwa daulah ini dan umat Islam akan mengganti bencana yang menimpa mereka dengan kebahagiaan yang dirasakan dunia Islam serta dengan kebebasan yang bisa mereka nikmati.
Berbagai musibah dan bencana masa lalu pun akan lenyap. Yang mendapat tiga ratus dengan membayar tiga saja sudah tentu tidak merugi. Orang yang memiliki tekad akan mengganti kondisinya saat ini menuju masa depan yang cemerlang.
Musibah ini juga menerbitkan kasih sayang, persaudaraan dan ikatan antar kaum muslimin dalam bentuk yang luar biasa.
Tumbuhnya ukhuwah antarkaum muslimin mempercepat kekalahan peradaban saat ini dan mendekatkan pada kehancurannya. Gambarannya akan berubah dan tatanannya akan runtuh.
Ketika itulah peradaban Islam muncul dan kaum muslimin akan menjadi pihak pertama yang masuk ke dalamnya.
Jika engkau ingin membandingkan antara peradaban yang bersendikan agama dan peradaban saat ini, perhatikan dengan cermat landasan dari masing-masingnya. Lalu perhatikan sejumlah dampaknya.hal:Landasan dari peradaban saat ini bersifat negatif. Ia berupa lima Titik sandarannya berupa kekuatan, bukan kebenaran.
Sifat dari kektuaan adalah melampaui batas dan menyimpang. Dari sini muncul pengkhiatan.an Tujuannya adalah kepentingan yang rendah, bukan kemuliaan.
Sifat dari kepentingan itu adalah persaingan dan permusuhan. Dari sini lahir tindak kejahatan.
Rambu kehidupannya berupa perselisihan dan pertikaian, bukan kerjasama. Sifat dari pertikaian adalah saling berebutan. Dari sini lahir penindasan.
Ikatan solidaritasnya adalah rasisme yang tumbuh dengan mengorbankan pihak lain dan menguat dengan menalan yang lain.
Sifat dari nasionalisme negatif dan rasisme ini adalah konfrontasi seperti terlihat jelas. Dari sini lahir kerusakan dan kehancuran.
Kelima adalah pengabdiannya yang menarik berupa mengobarkan hawa nafsu, meremehkan hukuman dan memuaskan syahwat.
Tentu saja sifat dari hawa nafsu adalah membenamkan manusia dan mengubah tujuan hidupnya sehingga umat manusia pun berganti secara maknawi.
Sebagian besar pelaku peradaban itu, andai batin mereka dibalik hingga terlihat, tentu engkau akan melihat bentuk mereka seperti kera, serigala, ular, beruang dan babi.
Ya, imajinasimu akan menyentuh bulu dan kulit binatang tersebut. Jejak mereka menjadi petunjuk atas hal itu.
Sesungguhnya tidak ada tolok ukur di muka bumi selain neraca syariat. Ia merupakan rahmat yang dipersembahkan. Ia turun dari langit al-Qur’an yang agung. Adapun landasan peradaban al-Qur’an al-Karim bersifat positif. Kebahagiaannya beredar pada lima asas yang positif, yaitu sebagai berikut:
Titik sandarannya adalah kebenaran, bukan kekuatan. Di antara sifat kebenaran adalah keadilan dan keseimbangan. Dari sini kedamaian lahir dan penderitaan sirna.
Tujuannya adalah kemuliaan, bukan manfaat dan kepentingan. Sifat dari kemuliaan adalah cinta dan kedekatan. Dari sini kebahagiaan datang dan permusuhan sirna.
Rambu kehidupannya berupa kerjasama, bukan permusuhan. Sifat dari rambu ini adalah persatuan dan kekompakan yang dengan keduanya komunitas masyarakat menjadi hidup.
Pelayanannya terhadap masyarakat dengan petunjuk, bukan hawa nafsu. Sifat dari petunjuk adalah mengantar masyarakat kepada kondisi yang sesuai dengannya disertai pencerahan jiwa.
Ikatan solidaritasnya adalah ikatan agama, nasionalisme (positif), ikatan golongan, pekerjaan, dan persaudaran seiman.
Sifat dari ikatan ini adalah persaudaraan yang tulus serta menghilangkan semua unsur rasisme dan fanatisme kebangsaan yang negatif.
Dengan peradaban semacam ini, kedamaian akan menyebar rata. Sebab, ia selalu melindungi dari segala bentuk permusuhan dari luar.
Sekarang kita mengetahui mengapa dunia Islam berpaling dari peradaban saat ini, tidak mau menerimanya, dan kaum muslimin pun tidak mau masuk ke dalamnya. Sebab, ia tidak memberikan manfaat, namun justru malah membahayakan.
Pasalnya, peradaban itu telah membelenggu mereka. Bahkan alih-alih sebagai obat penyembuh, ia semacam racun mematikan bagi umat manusia. Ia melemparkan delapan puluh persen umat manusia ke dalam penderitaan agar sepuluh persen darinya hidup dalam kebahagiaan palsu.
Adapun sepuluh persen sisanya berada dalam kebimbangan. Keuntungan bisnis terkumpul pada segelintir orang yang zalim, padahal kebahagiaan hakiki hanya terwujud ketika bisa membaha- giakan semua kalangan, atau paling tidak menjadi sumber keselamatan sebagian besar manusia.
Al-Qur’an yang turun sebagai rahmat bagi semesta alam tidak menerima kecuali model peradaban yang memberikan kebahagiaan bagi semua kalangan atau sebagian besar manusia.
Sementara peradaban sekarang telah melepas kendali hawa nafsu dan hasratnya. Hawa nafsu menjadi bebas merdeka seperti binatang.
Bahkan ia menjadi tiran. Syahwat juga demikian berkuasa. Keduanya membuat kebutuhan yang tidak penting menjadi seperti penting. Demikianlah kenyamanan umat manusia lenyap.
Sebab, manusia di pedalaman membutuhkan empat hal namun semua itu dilenyapkan oleh peradaban modern diganti dengan seratus satu kebutuhan.
Akhirnya usaha yang halal tidak memadai untuk menutupi nafkah. Peradaban umat manusia mendorong kepada praktek penipuan dan tenggelam dalam perbuatan haram.
Dari sini dasar-dasar akhlak menjadi rusak. Sebab, masyarakat dan umat manusia dikepung dengan ketakutan. Individu menjadi fakir dan kehilangan akhlak. Bukti atas hal tersebut sangat banyak.
Bahkan semua kezaliman, kejahatan, dan pengkhianatan yang dilakukan umat manusia di generasi-generasi awal telah dimuntahkan oleh peradaban sekarang secara sekaligus. Ia akan semakin sakit di hari-hari mendatang.(*[15])Dari sini, kita bisa memahami mengapa dunia Islam enggan menerimanya.
Penolakannya memiliki maksud yang menarik perhatian. Ya, cahaya ilahi dalam syariat yang mengagumkan ini memberinya keistimewaan khusus, yaitu kebebasan yang mengantar pada sikap merasa cukup.
Keistimewaan ini tidak memberikan ruang bagi paham materialisme Romawi—sebagai wakil dari spirit peradaban modernuntuk berkuasa pada cahaya tersebut.
Ia tidak bisa bercampur. Syariat tidak akan pernah mengekor kepada paham mereka.Pasalnya, syariat mendidik cinta kasih dan kemuliaan iman dalam spirit Islam.
Al-Qur’an telah membawa sejumlah hakikat syariat. Setiap hakikat laksana tongkat Musa.
Peradaban yang menipu itu akan bersujud kepadanya dengan penuh hormat.
Sekarang perhatikanlah hal berikut: Romawi kuno dan Yunani memiliki pandangan materialis yang kembar di mana keduanya bersumber dari satu asal. Yang satu didominasi oleh khayalan dan yang satu lagi didominasi oleh materi.
Akan tetapi, keduanya tidak bisa bercampur sebagaimana minyak dan air. Masing-masing melindungi kebebasannya meski waktu terus berjalan dan meski peradaban saat ini berusaha menyatukan ditambah dengan upaya kalangan Nasrani terhadapnya.
Hanya saja, semua upaya tersebut berakhir dengan kegagalan.Sekarang kedua spirit itu telah berganti fisik. Jerman menjadi salah satu fisiknya dan Perancis menjadi fisik yang lain. Keduanya seperti reinkarnasi dari mereka.
Perjalanan waktu memperlihatkan bagaimana kedua konsep kembar itu telah menolak adanya percampuran dengan sangat keras. Keduanya tidak bisa bersatu sampai sekarang.
Kalau dua anak kembar yang berteman dan bersaudara terus bertikai dan tidak bisa bersatu,
lalu bagaimana mungkin petunjuk alQur’ansebagai sumber yang berbeda—akan bercampur dengan pemikiran dan filsafat Romawi?
Pemikiran manusia tersebut dan petunjuk al-Qur’an berbeda dilihat dari sumbernya.
Petunjuk al-Qur’an turun dari langit, sementara pemikiran manusia muncul dari bumi.
Petunjuk al-Qur’an bekerja di kalbu dengan mendorong otak untuk aktif dan semangat, sementara pemikiran manusia bekerja di otak seraya mengotori kebeningan kalbu.
Petunjuk al-Qur’an menyinari jiwa sehingga benihnya membuahkan tangkai sehingga alam materi yang gelap menjadi terang dan potensi yang ada mengarah pada kesempurnaan.
Ia menjadikan fisik sebagai pelayan yang taat sehingga manusia yang bekerja keras tampil dalam bentuk malaikat. Adapun pemikiran manusia pertamatama mengarah ke diri dan fisik serta berkubang di alam materi.
Ia menjadikan fisik materi sebagai ladang untuk menumbuhkan berbagai potensi nafsu, sementara jiwa dijadikan sebagai pelayannya sehingga benihnya kering. Pada akhirnya, manusia tampil dalam bentuk setan.
Petunjuk memberikan kebahagiaan bagi kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Ia menyebarkan cahaya pada keduanya serta mendorong manusia pada kemuliaan. Adapun pemikiran manusia yang bermata satu seperti Dajjal yang memosisikan kehidupan sebagai satu-satunya negeri. Karena itu, ia mendorong manusia untuk menjadi hamba materi dan tamak terhadap dunia sehingga menjadikannya sebagai binatang buas pemangsa.
Ya, pemikiran manusia menyembah alam materi yang tuli dan mematuhi kekuatan yang buta. Adapun petunjuk al-Qur’an mengetahui kreasi yang memiliki cita rasa dan memuliakan qudrah-Nya yang penuh hikmah.Pemikiran manusia membungkus bumi dengan tirai kekufuran. Sementara petunjuk al-Qur’an menyebarkan cahaya syukur dan pujian atasnya.
Dari sini kita mengetahui mengapa pemikiran manusia buta dan tuli, sementara petunjuk al-Qur’an mendengar dan melihat.
Sebab, dalam pandangan “pemikiran manusia”, tidak ada tuan yang memiliki semua nikmat yang tersebar di bumi sehingga ia boleh dirampas tanpa perlu berterima kasih. Sebab, memburu materi melahirkan perasaan hewani.
Adapun dalam pandangan petunjuk al-Qur’an, semua nikmat yang terhampar di muka bumi merupakan buah kasih sayang ilahi. Di balik setiap karunia terdapat tangan Dzat yang baik hati dan pemurah. Inilah yang mendorong manusia untuk menerima semua nikmat tersebut dengan rasa syukur dan hormat.
Selanjutnya, di antara hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa dalam peradaban saat ini terdapat banyak kebaikan. Hanya saja, ia bukan kreasi masa kini.
Namun ia merupakan buah alam dan milik semua kalangan. Ia tumbuh seiring berkat perkembangan pemikiran, dorongan syariat langit—terutama syariat Muhammad—serta kebutuhan fitrah manusia.
Ia merupakan dagangan yang bersumber dari transformasi yang dihadirkan oleh Islam. Karenanya, ia bukan milik siapapun.”Di sini ketua majelis pertemuan bertanya,
“Wahai pemangku abad ini, bencana terus turun akibat pengkhianatan, dan itu menjadi ladang pahala. Takdir telah memberikan tamparan dan qadha telah turun pada umat ini.
Lalu karena amal perbuatan apa sehingga takdir dan qadha ilahi menimpakan bencana kepada kalian? Bukankah turunnya berbagai musibah umum adalah disebabkan kesalahan sebagian besar manusia?”
Jawabanku: kesesatan umat manusia, pembangkangan ala Namrud, dan kesombongan ala Firaun semakin membesar hingga mencapai langit dan menyentuh hikmah penciptaan.
Nah, inilah kemudian mengundang bencana dari langit yang serupa dengan angin topan, wabah penyakit, bala dan musibah.
Bencana tersebut adalah Perang Dunia yang saat ini terjadi. Allah menurunkan tamparan keras kepada kaum Nasrani, bahkan kepada semua umat manusia.
Sebab, salah satu sebab yang diwujudkan oleh seluruh manusia adalah kesesatan yang bersumber dari pemikiran materialis, kebebasan hewani dan dominasi hawa nafsu.
Adapun sebab yang mengarah kepada kita adalah sikap kita yang mengabaikan rukun Islam dan meninggalkan berbagai kewajiban. Pasalnya, Allah menuntut dari kita satu jam dari dua puluh empat jam
untuk menunaikan salat lima waktu yang manfaatnya kembali kepada kita, namun kita malah mengabaikan.
Maka Dia memberikan balasan dengan sebuah latihan berat selama dua puluh empat jam selama lima tahun berturut-turut. Artinya, Dia memaksa kita untuk melaksanakan semacam salat.
Dia juga menuntut dari kita sebulan dari setahun untuk berpuasa sebagai bentuk rahmat-Nya kepada kita.
Namun kita merasa berat sehingga akhirnya dipaksa untuk berpuasa selama lima tahun untuk membersihkan dosa kita. Dia pun menuntut kita untuk berzakat sebanyak sepersepuluh atau 2,5 % dari harta yang Allah berikan kepada kita.
Namun kita malah bakhil, zalim dan mencampurnya dengan yang haram tanpa mau memberikannya. Maka Dia memaksa kita untuk mengeluarkan zakat akumulatif dan menyelamatkan kita dari yang haram. Jadi, balasan yang diberikan sesuai dengan jenis amal perbuatan. Amal saleh ada dua:
yang satu bersifat aktif dan pilihan, semen- tara yang lainnya bersifat pasif dan memaksa.Bencana dan musibah merupakan amal saleh yang bersifat pasif dan tidak bisa ditolak sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi x.
Di dalamnya terhadap pelipur lara.(*[16])Karena itu, umat yang penuh dosa ini telah bersuci dan berwudhu. Mereka melakukan tobat secara praktis. Maka balasan yang segera turun adalah terangkatnya seperlima umat Utsmaniyah—Empat juta manusia—menuju tingkatan kewalian.
Mereka diberi kedudukan sebagai syahid dan mujahid. Ini tentu saja membersihkan dosa.Orang yang duduk di majelis pertemuan yang tinggi itu menga- presiasi ucapan ini.
Akupun terbangun dari tidur. Bahkan aku tidur untuk bangun kembali. Sebab, aku yakina bhwa kondisi terjaga merupakan mimpi, dan mimpi adalah satu bentuk dari kondisi terjaga.
Said Nursi di sini, delegasi abad ini di sana.
Kebodohan Mengubah Kiasan Menjadi Kenyataan
Jika kiasan berpindah dari tangan pengetahuan ke tangan kebodohan ia akan berubah menjadi hakikat kebenaran serta membuka sejumlah pintu menuju khurafat.
Saat kecil aku pernah melihat gerhana bulan. Ketika aku bertanya kepada ibuku tentang sebab terjadinya, ia berkata, “Ular menelannya.” “Kalau begitu mengapa masih bisa terlihat?”
tanyaku lagi. Ia menjawab, “Di sana ularnya setengah transparan.” Demikianlah, kiasan dianggap sebagai fakta.
Padahal, bulan mengalami gerhana karena kehendak ilahi di mana bumi berada di antara matahari dan bulan tepat berada di kedua titik perpotongan antara orbitnya, yaitu kepala dan ekor.
Kedua busur imajinatif itu akhirnya disebut dengan naga. Namun itu hanya istilah sebagai perumpamaan saja yang kemudian berubah menjadi hakikat nyata.
Ungkapan Berlebihan adalah Makian Tersirat
Jika engkau menggambarkan sesuatu, gambarkanlah apa adanya. Sadarilah bahwa ungkapan berlebihan merupakan makian tersirat. Tidak ada kebaikan melebihi kebaikan ilahi.
Popularitas adalah Kezaliman
Popularitas bersifat tiran dan diktator. Sebab, ia memberikan kepada pemiliknya sesuatu yang sebenarnya tidak ia miliki.Khawajah Nasrudidin (Joha) hanya memiliki sepersepuluh dari berbagai kisah uniknya yang tersebar luas.
Lingkaran imajinasi yang dibuat di seputar Rustum asSistani menyerang kebanggaan Iran selama satu masa.
Khayalan tentangnya menguat hingga bercampur dengan khurafat dan mencampakkan manusia ke dalamnya.
- * *
Memisahkan Agama dari Kehidupan berarti Menanti Kebinasaan Kesalahan Turki Muda(*[17])bersumber dari ketidaktahuan mereka bahwa agama merupakan landasan kehidupan. Mereka mengira bahwa umat dan Islam adalah dua hal yang berbeda.
Pemikiran tersebut muncul akibat pengaruh peradaban modern yang berkata bahwa kebahagiaan terletak pada kehidupan itu sendiri.
Namun, perjalanan waku memperlihatkan bagaimana sistem peradaban tersebut merusak dan berbahaya.(*[18])Berbagai pengalaman secara tegas memperlihatkan bahwa agama merupakan sumber, cahaya dan landasan kehidupan.
Menghidupkan agama berarti menghidupkan umat. Islam sangat memahami hal ini.
Kemajuan umat terkait dengan sejauh mana ia berpegang pada agama. Sebaliknya, kemunduran umat bergantung pada sejauh mana ia mengabaikannya;
berbeda dengan agama lain. Inilah hakikat historis yang terlupakan.
Kematian Tidak Menakutkan seperti yang Diduga
Kematian hanya perpindahan tempat dan pergantian posisi, serta proses keluar dari penjara ke taman.
Maka, siapa yang ingin hidup hendaknya mengharap syahid. Al-Qur’an al-Karim menjelaskan kehidupan seorang syahid.
Syahid yang tidak merasakan pedihnya sakarat menganggap dirinya hidup. Ia melihat dirinya demikian. Hanya saja, ia merasakan kehidupannya yang baru jauh lebih bersih dan suci dari sebelumnya. Ia merasa dirinya tidak mati. Perbandingan antara orang yang mati dan syahid seperti perumpamaan berikut ini:
Dua orang dalam mimpi sedang berjalan-jalan di sebuah taman rindang yang berhias segala macam kenikmatan. Salah satu dari mereka mengetahui bahwa yang ia lihat dalam mimpi tersebut adalah se- buah mimpi belaka. Ia tidak banyak menikmatinya.
Bahkan bisa jadi menderita. Sementara yang satunya lagi melihatnya sebagai sebuah kenyataan. Maka, ia menikmatinya sebagai sebuah kenyataan.
Mimpi merupakan bayangan alam mitsal. Selanjutnya alam mitsal merupakan bayangan dari alam barzakh. Dari sini sejumlah rambu alam tersebut sangat mirip.
* * *
Politik sekarang adalah Setan di Alam Pikiran yang Harus Dihindari
Politik peradaban saat ini mengorbankan mayoritas demi minoritas. Bahkan ia mengorbankan sebagian besar kalangan awam untuk kalangan zalim guna mendapatkan maksud dan tujuan mereka.
Adapun keadilan al-Qur’an al-Karim, ia tidak mengorbankan kehidupan seorang yang tidak bersalah dan tidak menumpahkan darah- nya untuk tujuan apapun, baik demi kemaslahatan mayoritas ataupun untuk kepentingan seluruh umat manusia.
Ayat al-Qur’an menyatakan:“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh seluruh manusia.” (QS. al-Maidah [5]: 32).Ayat tersebut memberikan dua rahasia agung kepada manusia:
Pertama: keadilan mutlak, yaitu sebuah rambu agung yang melihat pribadi, jamaah, individu dan komunitas dengan satu pandangan. Dalam perspektif keadilan ilahi mereka sama seperti dalam perspektif qudrah ilahi. Ini merupakan sunnah yang bersifat permanen.
Namun, individu dengan kemauannya sendiri dapat mengorbankan dirinya tanpa boleh dikorbankan bahkan meski untuk kepentingan seluruh manusia.
Sebab, merusak hidup dan menumpahkan darahnya dengan menafikan hak seluruh manusia sama dengan menumpahkan seluruh darah mereka.
Kedua: andaikan orang yang lupa diri membunuh pihak yang tidak bersalah tanpa ada sikap hati-hati guna memenuhi keinginan, kecenderungan dan selera pribadinya berarti ia berpotensi menghancurkan alam dan umat manusia jika memiliki kemampuan.
Kelemahan Membuat Musuh Berani
Wahai orang penakut yang lemah! Rasa takut dan lemahmu tidak berguna, bahkan justru bisa mencelakakanmu, tidak memberikan keuntungan padamu. Sebab, ia hanya membuat pihak lain berani untuk memangsamu.
Wahai orang yang bimbang! Kemaslahatan yang sudah pasti tidak boleh dikorbankan hanya karena bahaya yang masih bersifat asumsi. Kewajibanmu adalah berusaha, sementara hasilnya serahkan kepada Allah .
Allah yang berhak menguji hamba-Nya dan berkata, “Jika engkau melakukan ini, Aku akan membalasmu dengan ini.”
Akan tetapi, hamba tidak boleh menguji Tuhannya dengan berkata, “Hendaknya Allah memberiku taufik dalam hal ini agar aku bisa melakukan ini dan itu.” Jika ia mengatakan demikian, berarti ia telah melampaui batas.
Suatu hari Iblis berkata kepada Isa ibn Maryam, “Jika semua urusan ada di tangan Allah, tentu tidak akan menimpamu kecuali yang sudah Allah tuliskan untukmu. Kalau begitu, terjunlah dari puncak gunung ini! Lalu lihat apa yang Dia lakukan terhadapmu?”
Isa menjawab, “Wahai makhluk terkutuk, hanya Allah yang berhak menguji hamba-Nya, dan hamba tidak ada hak menguji Tuhannya.”
Jangan Berlebihan terhadap Apa yang Kau Senangi
Bisa jadi obat bagi sebuah penyakit adalah penyakit bagi penyakit lain. Balsam penyembuh bisa menjadi racun mematikan. Pasalnya, jika obat melebihi dosis ia akan menjadi racun.
Mata Benci Melihat Malaikat sebagai Setan
Kebencian dapat dilihat ketika setan membantu seseorang, ia akan menganggap setan itu sebagai malaikat seraya mendoakannya.
Sebaliknya, jika melihat malaikat membantu orang yang berbeda pandangan dengannya, maka ia menganggap malaikat itu sebagai setan yang menyamar sehingga ia memusuhi dan melaknatnya.
Jangan Hidupkan Perpecahan untuk mendapat yang lebih benar setelah Engkau Menemukan Kebenaran
Wahai pemburu hakikat! Jika kesepakatan pada “hal yang benar” menjadi perpecahan dalam “hal yang paling benar”, maka dalam kondisi demikian “yang benar” lebih benar daripada “yang paling benar”. Serta “yang baik” menjadi lebih baik daripada “yang paling baik”.
Islam adalah Agama Keselamatan dan Kedamaian yang Menolak Konflik dan Permusuhan Internal
Wahai dunia Islam, hidupmu terwujud dalam persatuan. Jika engkau mencari persatuan, jadikan ini sebagai semboyanmu:
Hendaknya dikatakan “Itu adalah benar”, bukan “Itulah yang benar”. Hendanya juga dikatakan “Itu adalah baik”, bukan “Itulah yang baik”.
Pasalnya, setiap muslim boleh berkata terkait dengan manhaj dan mazhabnya, “Mazhabku ini adalah benar, dan saya tidak menentang mazhab yang lain. Jika mazhab yang lain baik, mazhabku lebih baik.”
Namun ia tidak boleh berkata, “Mazhabku inilah yang benar, sementara yang lain batil. Hanya milikku yang baik, sementara yang lain buruk dan salah.”
Keterbatasan pikiran dan sempitnya wawasan melahirkan kecintaan pada diri dan kemudian menjadi sebuah penyakit. Dari sana muncul konflik dan permusuhan.
Obat sangat beragam sesuai dengan keragaman penyakitnya, dan keragaman tersebut adalah benar (nyata). Demikian pula kebenaran bisa beragam. Kebutuhan dan nutrisi itu bervariasi, dan variasi tersebut adalah benar. Demikian pula kebenaran bisa bervariasi.
Potensi dan sarana tarbiyah memiliki sejumlah cabang. Keberadaan sejumlah cabang tersebut adalah benar. Demikian pula kebenaran bisa bercabang.Sebuah materi bisa menjadi penyakit (racun) sekaligus obat se- suai dengan campurannya.
Pasalnya, ia memberikan kadar ukuran tertentu sesuai dengan kondisi orangnya. Demikianlah ia terwujud dan terbentuk.
Pemilik setiap mazhab menetapkan sebuah ketentuan mutlak tanpa menentukan batas-batas mazhabnya. Ia membiarkannya sesuai dengan perbendaan kondisi yang ada.
Akan tetapi, sikap fanatik pada sebuah mazhab bisa melahirkan generalisasi. Dan generalisasi itulah yang melahirkan perpecahan.
Sebelum Islam datang terdapat gap yang sangat besar di antara tingkatan manusia di mana jarak antara keduanya sangat jauh.
Hal itu menghendaki diutusnya beberapa nabi dalam waktu bersamaan, sebagaimana juga menghendaki keragaman syariat dan mazhab.
Akan tetapi, Islam menghadirkan perubahan pada umat manusia. Manusia menjadi berdekatan, syariatnya menyatu, dan Rasulnya pun satu.
Selama tingkatan mereka tidak sama, maka mazhabnya akan beragam. Namun ketika sama dan satu pembinaan bisa memenuhi kebutuhan seluruh manusia, maka mazhab akan menyatu.
Menghadirkan dan Menyatukan Sejumlah Hal yang Berlawanan terdapat Hikmah yang Besar. Atom dan Matahari dalam Genggaman Qudrah Ilahi adalah Sama
Wahai saudaraku, wahai pemilik kalbu yang terjaga! Qudrah Allah tampak dalam perpaduan hal yang berlawanan.
Adanya kepedihan dalam kenikmatan, keburukan dalam kebaikan, kejelakan dalam keindahan, bahaya dalam manfaat, bencana dalam nikmat, dan api dalam cahaya, semuanya memuat rahasia agung. Tahukah engkau mengapa demikian?
Hal itu agar semua hakikat yang bersifat relatif menjadi jelas dan tetap serta agar banyak entitas lahir dari satu hal di mana ia mendapat wujud dan dapat terlihat,
maka satu titik bisa berubah menjadi sebuah garis katika digerakkan dengan cepat, dan satu kilau bisa berubah menjadi lingkaran cahaya lewat sebuah putaran. Fungsi dari berbagai hakikat yang bersifat relatif itu di dunia adalah sebagai benih yang me- munculkan banyak bulir.
Sebab, ia yang membentuk potongan entitas, ikatan sistemnya serta hubungan antar ukirannya. Adapun di akhirat seluruh perintah relatif ini menjadi hakikat nyata.
Tingkatan hawa panas bersumber dari adanya hawa dingin. Tingkatan kebaikan lahir dari adanya keburukan. Jadi, sebab menjadi illat.
Ada terang karena ada gelap. Ada kenikmatan karena ada penderitaan. Tidak ada nikmat sehat tanpa rasa sakit. Tanpa surga tak ada siksa ne- raka. Ia menjadi sempurna dengan rasa dingin yang menyengat.
Bahkan tanpa surga, neraka tidak akan membakar dengan sempurna.Sang Pencipta Yang Maha tak bermula memerlihatkan hikmah-Nya yang agung dalam menciptakan segala sesuatu yang berlawanan sehingga kebesaran dan kemuliaannya tampak jelas.
Sang Mahakuasa Yang Maha Abadi memerlihatkan qudrah-Nya dalam segala hal yang berlawanan sehingga keagungan-Nya terlihat.Selama qudrah ilahi melekat pada Dzat yang mulia tersebut, maka tidak ada lawan bagi dzat-Nya.
Dia juga tidak dimasuki oleh ketidakberdayaan dan tidak ada tingkatan dalam qudrah-Nya. Bagi qudrah-Nya segala sesuatu adalah sama. Tidak ada yang berat bagi-Nya.
Matahari menjadi lentera bagi cahaya qudrah tersebut serta permukaan bumi menjadi cermin bagi lentera tadi. Bahkan butiran embun menjadi cermin baginya.
Permukaan laut yang luas adalah cermin yang memperlihatkan matahari sebagaimana diperlihatkan oleh buihnya. Embun juga bersinar laksana bintang. Bahkan masing-masing menjelaskan identitasnya. Bagi matahari, laut dan embun adalah sama.
Demikian pula dengan qudrah-Nya. Pasalnya pupil mata embun laksana matahari kecil yang berkilau.
Sebaliknya, matahari yang besar laksana embun yang kecil. Pupil matanya menerima cahaya dari matahari qudrah ilahi lalu berputar seperti bulan di seputar qudrah-Nya.
Langit merupakan samudra yang tak bertepi. Atas perintah Tuhan Yang Maha Penyayang, sejumlah “buih” yang berupa matahari dan bintang-gemintang bergerak di permukaan samudra langit.
Begitulah qudrah ilahi terwujud dan bertebaran pada semua butir kilau cahaya. Seluruh matahari adalah butiran, semua bintang laksana embun, dan setiap kilau laksana gambar.
Matahari besar yang seperti butiran itu—merupakan pantulan suram dari limpahan karunia-Nya yang agung. Kilau darinya mengubah matahari sebagai bintang yang bercahaya.
Bintang yang menyerupai embun mengokohkan kilau tadi dari matanya dan menjadi lentera. Matanya laksana kaca dan membuat lentera tersebut semakin bercahaya.
Tanamlah Keistimewaanmu di Tanah ketersembunyian Agar Ia Bisa Tumbuh
Wahai pemilik keistimewaan! Jangan berbuat zalim dengan cara tampil diri dan terlihat unggul dari yang lain. Andaikan engkau tetap di bawah tirai ketersembunyian, pasti engkau bisa memberikan keber- kahan dan kebaikan kepada saudara-saudaramu.
Sebab, engkau bisa tampil dan hadir di hadapan setiap saudaramu dengan sosokmu yang sebenarnya. Dengan cara seperti itu, engkau akan memperhatikan dan menghormati semua saudaramu.
Sementara ketika engkau melemparkan bayangan di sini dengan cara tampil dan ingin dilihat setelah sebelumnya menjadi matahari di sana, maka posisi saudara-saudaramu menjadi rendah dan kurang kau hormati.
Artinya, keinginan untuk tampil dan teridentifikasi merupakan sebuah kezaliman.
Jika kondisi keistimewaan yang benar seperti itu di mana pemiliknya jujur dan bisa kau lihat langsung, apalagi dengan popularitas yang dicapai dengan cara dibuat-buat dan pura-pura?!
Jadi, hal ini merupakan rahasia agung, hikmah ilahi, dan tatanan yang sempurna. Yakni, sosok yang istimewa dalam kelompoknya memberikan nilai dan perhatian kepada semua individu lainnya dengan ketersembunyian.
Contohnya adalah sosok wali di kalangan manusia dan ajal dalam bentangan umur. Keduanya tersembunyi.
Begitu pula waktu mustajab di hari Jumat, lailatul qadar di bulan Ramadhan, serta al-ism al-A’zham di antara Asmaul Husna.
Rahasia halus dalam berbagai contoh di atas berikut nilainya yang agung terletak pada kenyataan bahwa dalam ketidakjelasan terdapat penampakan dan dalam ketersembunyian terdapat penetapan.
Sebagai contoh: dalam ketidakjelasan datangnya ajal terdapat perimbangan indah antara rasa takut dan harap; perimbangan antara keinginan kekal di dunia dan pahala akhirat.
Usia yang tidak diketahui ujungnya di mana ia membentang selama dua puluh tahun lebih utama daripada seribu tahun yang ujungnya telah diketahui.
Sebab, setelah menempuh setengah usia tadi seseorang seakan sedang melangkah menuju tiang gantungan. Kesedihan yang terus-menerus membuat seseorang tidak pernah merasa lapang dan bahagia.
Tiada Kasih Sayang yang melebihi Kasih Sayang Allah dan Tiada Murka yang Melebihi Murka-Nya
Tidak ada kasih sayang yang mengungguli kasih sayang Allah dan tidak ada murka yang mengalahkan murka-Nya.
Karena itu, serahkan urusan kepada Dzat Yang Mahaadil dan Penyayang. Sebab, kasih sayang yang melampaui batas sangat pedih dan murka yang berlebihan juga tercela.
Boros adalah Pintu Kebodohan dan mengantar pada Kerendahan
Wahai saudaraku yang boros! Dua suapan bisa menjadi nutrisi. Yang satu seharga satu qirsy dan satunya lagi seharga sepuluh qirsy.
Sebelum masuk mulut keduanya sama. Begitu pula ketika melewati tenggorokan. Tidak ada perbedaan kecuali rasa yang hanya berlangsung beberapa detik bagi orang lalai yang bodoh.
Pasalnya, ia selalu ditipu oleh indra kecap yang merasakan perbedaan kecil tadi.Indra tersebut adalah penjaga tubuh sekaligus pemeriksa perut.
Ia memiliki pengaruh negatif; bukan positif, jika tugasnya hanya membuat senang si penjaga agar terus memberikan kenikmatan kepada orang yang lalai.
Kebeningan tugasnya menjadi keruh dengan membayar sebelas qirsy padahal semestinya cukup dengan satu qirsy. Akhirnya, ia membuatnya mengikuti setan.
Jangan engkau mendekati kondisi ini. Sebab, ia akan mengantarkan pada jenis boros yang paling buruk dan sikap mubazir yang paling jelek.
Indra Pengecap adalah Pegawai Pos Jangan Jadikan Kelezatan sebagai Perhatiannya sebab hal itu akan Merusak
(*[19])Berkat anugerah rububiyah, hikmah, dan perhatian-Nya, Allah menghadirkan dalam mulut dan hidung manusia dua titik pusat.
Dia letakkan pada keduanya sejumlah penjaga tapal batas dari alam yang kecil itu berikut mata-matanya. Dia jadikan setiap urat sebagai telepon dan setiap saraf sebagai telegraf.
Dia juga menjadikan indra penciu- man sebagai pegawai yang mengirimkan pembicaraan telepon dan indra pengecap sebagai pegawai yang mengirimkan telegram.
Di antara rahmat Tuhan Pemberi rezeki hakiki, Dia sertakan daftar harga pada seluruh makanan.
Yaitu berupa rasa, warna, dan aroma. Ketiga ciri tersebut dilihat dari sisi pemberian rezeki menjadi papan iklan, kartu undangan, tiket masuk, pengundang pelanggan, dan pemikat mereka yang membutuhkan.
Sang pemberi rezeki yang pemurah memberikan kepada makhluk hidup yang diberi rezeki sejumlah organ untuk bisa merasa, melihat dan mencium. Dia menghias makanan dengan berbagai warna menarik dan indah guna memikat hati perindu dan membangkitkan keinginan orang yang kurang perhatian.
Ketika makanan masuk ke dalam mulut, indra pengecap memberikan informasi telegram kepada seluruh tubuh. Lalu penciuman juga menyampaikan jenis makanan yang masuk.
Hewan yang rezeki dan kebutuhannya beragam berbuat sesuai dengan informasi tersebut dan memiliki kesiapan sesuai kondisinya. Atau, bisa pula ia menolak dan mengeluarkan makanan tersebut, bahkan kadang memuntahkannya.
Karena indra pengecap adalah pegawai suruhan Allah, maka jangan merusaknya dengan menyuruhnya untuk terus mengecap.
Ja- ngan pula menipunya dengan terus merasakan nikmat. Sebab, hal itu akan membuatnya lupa kepada selera yang sebenarnya karena telah dipenuhi oleh selera palsu yang terus ia terima.
Akibatnya, sang pemilik dihukum dengan penyakit akibat kesalahan yang dilakukannya.Ketahuilah bahwa kelezatan hakiki hanya diperoleh dengan mengikuti selera yang sebenarnya. Sementara selera yang sebenarnya mengikuti kebutuhan hakiki yang jujur.
Nah, pada kelezatan yang sebenarnya inidi mana ia mencukupi kebutuhan manusia—kondisinya sama antara penguasa dan pengemis.
Sudut Pandang seperti Niat
(Mengubah Kebiasaan Menjadi Ibadah) Perhatikan bagian ini dengan cermat: Sebagaimana kebiasaan yang dibolehkan bisa bernilai ibadah dengan niat, demikian pula ilmu- ilmu alam bisa menjadi makrifat ilahi dengan sudut pandang.
Jika engkau melihat ilmu-ilmu tadi dengan pandangan harfiyah disertai perhatian dan perenungan yang mendalam dilihat dari sisi kreasi dan kerapiannya, yaitu dengan berkata, “Betapa penciptaan ini sangat menakjubkan! Betapa indah kreasi Sang Pencipta Yang Maha- agung!”
daripada sekadar berkata, “Betapa ia sangat indah!” maka jika engkau melihat alam dengan cara demikian, engkau pasti akan memahami bagaimana ukiran Sang Pembentuk Yang Mahaindah berikut kilau tujuan dan kerapian tatanannya serta hikmah-Nya menyinari dan melenyapkan segala keraguan.
Dari sana ilmu-ilmu alam berubah menjadi makrifat ilahiyah.Akan tetapi, kalau engkau melihat entitas dengan makna ismiyah serta dari sisi hukum alam semata di mana ia muncul dengan sendirinya, maka pada saat itu wilayah ilmu berubah menjadi medan kebodohan.
Betapa banyak hakikat yang lenyap di tangan-tangan yang rendah dan betapa banyak contoh yang menjadi bukti atas hakikat yang ada.
Di Zaman seperti ini Agama tidak Mengizinkan Kita Hidup Mewah
Setiap kali berbagai kenikmatan memanggil, jawaban yang harus diberikan adalah, “Tampaknya aku sudah makan.” Siapa yang menjadikan ungkapan tersebut sebagai prinsipnya, ia tidak akan memakan masjid (ia mampu membangun masjid).(*[20])
Sebagian besar umat Islam pada masa lalu tidak dalam kelaparan. Karena itu, hidup mewah bisa menjadi pilihan.
Namun sekarang sebagian besar umat Islam berada dalam kondisi lapar sehingga tidak ada izin secara syar’i bagi kita untuk hidup dalam kenikmatan.
Pasalnya, kehidupan sebagian besar umat dan kaum muslimin sangat sederhana. Kita harus meniru mereka dalam mengonsumsi makanan yang sederhana.
Ini jauh lebih utama daripada mengikuti kehidupan minoritas yang boros dan segolongan kaum bodoh yang menampakkan kemewahan dalam urusan makan.
- * *
Ketiadaan Nikmat bisa Menjadi Nikmat
Daya ingat adalah nikmat. Akan tetapi, lebih utama lupa pada orang bodoh dan di masa ujian.
Lupa juga merupakan nikmat, sebab dengan lupa orang hanya merasakan derita satu hari saja dan melupakan sejumlah hari penderitaan yang ada.
Dalam Setiap Musibah terdapat Sisi Kebaikan
Wahai yang sedang mendapat ujian, sebuah nikmat terdapat dalam setiap musibah. Perhatikan dan saksikanlah ia dengan cermat. Sebagaimana pada segala sesuatu terdapat derajat panas (suhu), maka pada setiap musibah juga terdapat derajat nikmat.
Perhatikan derajat nikmat tersebut dalam sebuah musibah kecil. Renungkan musibah yang besar lalu bersyukurlah kepada Tuhan Yang Maha Pengasih.
Jika tidak, setiap kali engkau membesar-besarkan musibah tersebut engkau akan takut padanya. Pasalnya, ketika engkau mencemaskannya, ia menjadi bertambah besar dan semakin menguat sehingga engkau ketakutan.
Manakala engkau bertambah gelisah, musibahnya menjadi ganda setelah tadinya satu. Sebab, gambaran ilusinya yang terdapat di hati berubah menjadi kenyataan.
Kemudian ia kembali dengan membawa pukulan menyakitkan ke dalam hati.
Jangan Tampil dengan Pakaian Orang Besar Sebab Engkau Akan Menjadi Kecil
Wahai yang memikul beban “aku” serta membawa sikap sombong dan takabbur di kepalanya. Engkau harus mengetahui timbangan berikut:
Setiap orang memiliki jendela yang mengarah kepada masyarakat untuk melihat dan memperlihatkan. Ia disebut dengan martabat atau kedudukan.
Jika jendela tersebut lebih tinggi dari bentuk (nilai) sebenarnya, ia akan tampil menyombongkan diri. Namun jika lebih rendah, ia akan tawaduk dengan merendah sehingga tampak pada tingkatan itu.
Nah, standar kemuliaan pada orang-orang yang sempurna adalah sikap tawaduk. Adapun bagi orang cacat, standar kerendahan mereka adalah kesombongan.
Perangai Berubah sesuai dengan Perubahan Kedudukan
Satu perangai yang terdapat dalam beragam tempat kadang bisa menjadi binatang jahat dan kadang pula menjadi malaikat yang lembut, bisa menjadi baik dan bisa pula menjadi buruk. Contohnya adalah sebagai berikut:
Kemuliaan jiwa yang dimiliki oleh orang lemah di hadapan orang kuat jika terdapat pada orang kuat, maka akan berubah menjadi kesombongan.
Sebaliknya, sikap tawaduk yang dimiliki orang kuat di hadapan orang lemah, kalau ia terdapat pada orang lemah, akan berubah menjadi kehinaan dan kepura-puraan.
Kesungguhan ulil amri dalam kedudukannya merupakan kewibawaan. Namun sikap lunaknya merupakan bentuk kerendahan.
Kesungguhannya di rumahnya menunjukkan kesombongan, sementara sikap lunaknya menunjukkan ketawadukan.
Maaf yang diberikan seseorang kepada orang yang menjahatinya serta pengorbanan harta miliknya merupakan bentuk kesalehan, namun ia menjadi pengkhianatan dan keburukan jika mengatasna- makan jamaah.
Sikap tawakkal sebelum berusaha adalah kemalasan, sementara menyerahkan urusan kepada Allah dalam menantikan hasil (setelah berusaha) adalah bentuk tawakkal yang diperintahkan agama.
Puasnya seseorang atas hasil upayanya merupakan wujud sikap qanaah yang terpuji di mana ia memotivasinya untuk melanjutkan upayanya.
Sementara merasa cukup dengan yang ada adalah bentuk qanaah yang tidak baik, bahkan bentuk kurangnya semangat, serta masih banyak contoh lain.
Al-Qur’an menyebutkan sejumlah amal saleh dan ketakwaan secara umum. Hal itu menunjukkan pengaruh sejumlah kedudukan.
Simplifikasinya merupakan bentuk penjabaran, sementara diamnya merupakan bentuk perkataan yang luas.
Kebenaran Selalu Unggul
(*[21])Wahai teman! Salah seorang dari mereka bertanya kepadaku, selama “kebenaran selalu unggul” merupakan persoalan yang hak dan tidak diragukan, lalu mengapa orang kafir menang atas muslim serta kebenaran terkalahkan?
Jawabannya: perhatikan empat poin berikut ini, persoalan tersebut akan terpecahkan:Poin Pertama Sarana kebenaran tidak selalu benar, sebagaimana sarana kebatilan tidak selalu batil.
Jadi, sarana yang benar (meskipun dalam kebatilan) bisa mengalahkan sarana kebatilan (meskipun dalam kebenaran).
Dalam hal ini, kebenaran yang kalah oleh kebatilan sebenarnya kalah lantaran sarananya yang batil. Dengan kata lain, kekalahannya bersifat sementara.
Ia tidak kalah secara substansial dan tidak sela- manya kalah. Sebab, pada akhirnya yang menang adalah kebenaran.Adapun kekuatan, ia memiliki bagian dari kebenaran. Di dalamnya terdapat rahasia “keunggulan” yang tersimpan di dalam dirinya.Poin Kedua
Sifat seorang muslim seharusnya islami, namun dalam kenyataan tidak demikian dan tidak selalu demikian.
Sebaliknya, sifat orang kafir tidak seluruhnya berisi kekufuran dan tidak semuanya bersumber dari kekufurannya.
Hal yang sama berlaku pada sifat orang fasik. Tidak seluruhnya harus berupa kefasikan dan bersumber dari kefasikannya.
Jadi, sifat islami yang dimiliki oleh orang kafir bisa mengalahkan sifat tidak baik yang dimilik seorang muslim. Dengan sarana yang be- nar ini orang kafir tadi bisa mengalahkan sang muslim yang memiliki sifat tidak baik.
Selanjutnya, hak hidup di dunia berlaku secara umum dan mencakup semua kalangan. Kekufuran bukan penghalang untuk mendapatkan hak hidup yang merupakan manifestasi dari rahmat yang bersifat umum dan berisi rahasia hikmah dalam penciptaan.
Poin Ketiga Allah memiliki dua manifestasi yang terlihat pada makhluk.
Keduanya merupakan manifestasi syar’i yang bersumber dari dua sifat dan sekian sifat kesempurnaan-Nya.
Pertama: Syariat alamiah (takwiniyah) yang berupa kehendak dan takdir ilahi yang bersumber dari sifat “Iradah Ilahiyah”.
Kedua: Syariat kalamiah yang dikenal bersama di mana ia bersumber dari sifat “Kalam Rabbani”.
Sebagaimana perintah syariat kalamiah ditaati dan dilanggar, hal yang sama berlaku pada syariat alamiah. Biasanya balasan bagi kondisi pertama (yang taat dan membangkang kepada syariat kalamiah) terdapat di negeri akhirat. Sementara hukuman dan ganjaran bagi kondisi kedua (yang taat dan membangkang pada syariat alamiah) terdapat di dunia.Sebagaimana balasan kesabaran berupa kemenangan, maka ba- lasan bagi pengangguran adalah kehinaan.Balasan kerja keras adalah kekayaan, dan balasan bagi keteguhan adalah kemenangan. Sebagaimana buah dari racun berupa penyakit, maka hasil dari terapi dan obat adalah kesembuhan dan kesehatan.
Kadangkala kedua syariat tersebut berkumpul dalam suatu hal.Jadi, masing-masing memiliki sisinya sendiri. Mematuhi syariat alamiah yang merupakan sebuah kebenaran— karena berarti mematuhi ketentuan ilahi—maka kepatuhan tersebut bisa mengalahkan pembangkangan terhadapnya.
Sebab, sikap membangkang termasuk dalam kebatilan dan menjadi bagian darinya.
Maka, apabila kebenaran menjadi sarana kebatilan, ia akan mengalahkan kebatilan yang menjadi sarana kebenaran.
Kesimpulannya: kebenaran bisa kalah oleh kebatilan. Namun tidak kalah secara substansial, tetapi kalah dalam hal sarana. Jadi, “kebenaran pasti unggul” maksudnya unggul dalam hal substansi. Sebab, hasil akhir akan diperoleh di akhirat; bukan terbatas di dunia. Karena itu, mengaitkan diri dengan cara-cara yang benar merupakan sebuah keniscayaan. Poin Keempat
Selama kebenaran tersimpan dalam bingkai kekuatan (yakni tidak keluar menuju bingkai perbuatan yang terlihat jelas) atau tercam- pur dengan yang lain, atau dipalsukan, serta ia membutuhkan penying- kapan kebenaran dan pembekalan dengan kekuatan lain, maka pada kondisi semacam itu untuk sementara waktu ia dikuasai oleh kebatilan hingga kebenaran menjadi bersih dari segala noda sebagai hasil dari proses pertarungan.
Iapun menjadi baik dan nilai dari kebenaran yang demikian berharga akan tampak.
Ketika kebatilan menang di dunia—pada tempat dan waktu tertentu—maka sebenarnya ia menang dalam sebuah perang; bukan pada seluruh perang. Sebab “hasil akhir untuk kaum bertakwa” merupakan muara yang menjadi tempat kembali kebenaran.
Demikianlah, bahkan secara umum kebatilan kalah. Dalam “kebenaran pasti unggul” terdapat rahasia mendalam yang mengantar ke- batilan menuju hukuman dunia dan akhirat. Ia mengarah kepadanya. Begitulah, kebenaran mendapatkan kemenangan betapapun secara lahir ia tampak kalah.
Hukum Sosial
Jika engkau menghendaki hukum yang berlaku di masyarakat, ia adalah sebagai berikut: Keadilan yang tidak egaliter pada hakikatnya bukan keadilan.
Kemiripan adalah sebab penting adanya oposisi, sementara kesesuaian adalah landasan kondisi yang saling menopang.Sumber kesombongan adalah upaya memerlihatkan kekerdilan jiwa, serta sumber ketertipuan adalah lemahnya kalbu.Kelemahan menjadi sumber perpecahan.
Rasa ingin tahu adalah guru pengetahuan. Kebutuhan adalah induk inovasi.Kesempitan merupakan pengajar kebodohan.Kesempitan juga menjadi sumber kebodohan, sementara sumber kesempitan itu sendiri adalah keputusasaan dan buruk sangka.Kesesatan merupakan bentuk kesesatan berpikir. Kegelapan meliputi kalbu.
Boros terjadi pada urusan fisik atau jasmani.
Wanita Keluar Rumah Menyesatkan Umat Manusia
Jika laki-laki bodoh menyerupai wanita dengan kegilaan,
maka wanita durhaka menyerupai laki-laki karena kelancangan.(*[22])
Peradaban yang bodoh ini telah membuat para wanita keluar dari tempat mereka, menjadikan kehormatan mereka direndahkan, dan menjadi alat kesenangan murahan.
Sementara syariat Islam mengajak wanita untuk kembali ke rumah sebagai bentuk kasih sayang atas mereka.
Kehormatan dan kemuliaan mereka terdapat di dalamnya. Kelapangan mereka terdapat di rumah. Serta kehidupan mereka tegak dengan senantiasa bersama keluarga.
Kesucian adalah perhiasan mereka, akhlak adalah kehormatan mereka, menjaga kehormatan adalah wujud keindahan mereka, kasih sayang adalah tanda kesempurnaan mereka, serta anak-anak adalah tempat senda gurau mereka.
Yang membuat bisa bertahan dari semua faktor perusak adalah kehendak yang sangat kuat.
Setiap kali para wanita cantik berada di tempat pertemuan yang didominasi oleh para lelaki, mereka akan membangkitkan keinginan pamer, persaingan, kedengkian, dan sikap ego sehingga hawa nafsu yang tadinya tidur menjadi terbangun.Jika para wanita menyingkap dirinya secara bebas, hal itu akan menjadi sebab rusaknya akhlak.Foto yang merupakan jenazah-jenazah kecil dan mayat tersenyum sangat berbahaya bagi jiwa manusia saat ini. Bahkan pengaruhnya sangat menakutkan.(*[23])
Patung dan gambar yang dilarang oleh agama bisa merupakan bentuk kezaliman yang membatu, riya yang mewujud, hawa nafsu yang mengeras, atau misteri yang menarik perhatian jiwa yang buruk.
Kewenangan Qudrah Menolak adanya Perantara
Matahari laksana partikel bagi qudrah Yang Mahakuasa dan Mahaagung.
Wilayah cakupan qudrah-Nya yang agung pada satu spesies saja demikian luas.
Ambillah gaya tarik di antara dua partikel lalu letakkanlah ia di dekat gaya tarik yang terdapat di pusat matahari dan di bima sakti.
Tariklah malaikat yang membawa bulir embun bersama malaikat yang menyerupai matahari di mana ia membawa matahari.
Letakkan ikan yang paling kecil—sekecil jarum—di sisi paus yang besar. Setelah itu, bayangkan keluasan manifestasi wujud Dzat Yang Mahakuasa dan agung berikut kreasi-Nya yang sempurna pada entitas yang paling ke- cil dan paling besar.
Ketika itulah engkau bisa mengetahui bahwa gaya tarik dan seluruh hukum alam merupakan sarana dan perintah-Nya. Ia hanya nama dan lambang bagi manifestasi qudrah dan hikmah-Nya.
Demikianlah penjelasannya. Renungkan masalah di atas, tentu engkau akan memahami bahwa sebab hakiki, perantara tertentu serta sejumlah sekutu merupakan sesuatu yang batil, bersifat imajiner, dan mustahil dalam pandangan qudrah-Nya yang mulia.
Kehidupan merupakan wujud yang sempurna. Karena kedudu- kannya sangat mulia, maka yang menjadi pertanyaan, “Mengapa bumi dan alam kita ini tunduk serta taat laksana hewan?”
Allah memiliki hewan terbang semacam itu yang tersebar di angkasa luas. Ia menyebarkan keagungan, keindahan, kebesaran dan kehormatan-Nya.
Dialah yang menata dan menjalankannya di kebun ciptaan.
Senandung yang dikeluarkan oleh berbagai entitas dan sejumlah gerakan yang dilakukan burung, semuanya merupakan tasbih dan bentuk pengabdian terhadap Tuhan Yang Tak Bermula dan Sang Mahabijak yang kekal.
Bumi kita ini sangat mirip dengan hewan. Pasalnya, ia memerlihatkan jejak-jejak kehidupan. Andaikan ia kecil seperti telur—sebuah pengandaian yang tidak mungkin—tentu ia menjadi seperti hewan kecil.
Sebaliknya, andaikan hewan yang kecil laksana bola bumi tentu ia akan serupa dengannya. Andaikan alam ini kecil seperti manusia lalu bintang-gemintangnya berubah menjadi seperti atom, barangkali ia akan seperti hewan yang memiliki perasaan. Akal menemukan ruang bagi semua kemungkinan di atas.
Jadi, alam adalah entitas yang beribadah dan bertasbih dengan seluruh pilarnya.
Setiap pilar merupakan makhuk yang tunduk dan taat kepada Sang Pencipta Yang Mahakuasa dan Maha Tak Bermula.
Sesuatu yang besar secara kuantitas belum tentu besar secara kualitas. Nyatanya jam yang berukuran kecil lebih indah dan detail daripada yang berukuran seperti Hagia Sophia.
Karena itu, penciptaan lalat lebih menakjubkan daripada penciptaan gajah.
Andaikan al-Qur’an ditulis dengan pena qudrah lewat permata istimewa di atas bagian yang unik, maka kehalusan lembarannya me- nyamai kreasi al-Qur’an yang ditulis dengan tinta bintang di lembaran langit. Keduanya sama-sama fasih dan menakjubkan.
Kreasi Pencipta azali yang demikian indah dan sempurna terhampar di semua sisi. Kesatuan yang utuh dalam kesempurnaanya menegaskan manifestasi tauhid.
Camkan penjelasan yang terang ini!
- * *
Malaikat adalah Bangsa yang Diperintah untuk Melaksanakan Syariah Alamiah
Syariat ilahi ada dua. Keduanya datang dari dua sifat ilahi. Sementara yang menjadi mitra bicara adalah dua manusia yang mendapat tugas untuk mengemban keduanya.
Pertama: syariat penciptaan (Syariah Alamiah) yang bersumber dari sifat kehendak ilahi. Ia merupakan syariat dan kehendak Tuhan yang menata seluruh keadaan alam berikut geraknya yang sudah ditetapkan di mana secara keliru ia disebut dengan hukum alam.
Kedua, syariat yang bersumber dari kalam ilahi (Syariah Kalamiah). Syariat ini menata seluruh perbuatan manusia yang bersifat sukarela (ikhtiyari).
Kadangkala kedua syariat tersebut bertemu. Malaikat merupakan bangsa yang besar, pasukan Allah, pengemban syariat pertama (syariah alamiah) sekaligus sebagai pemerannya.
Sebagian mereka adalah hamba yang bertasbih, sementara sebagian lagi larut dalam ibadah dan dekat dengan arasy yang agung.
Semakin Halus Materi, Semakin Memancarkan Kehidupan
Kehidupan adalah landasan eksistensi dan pondasi wujud. Sementara materi mengikuti dan tegak dengan kehidupan tersebut.
Jika engkau membandingkan kelima indra manusia dengan hewan mikro, tentu engkau akan memahami betapa manusia jauh lebih besar. Namun indranya kalah.
Sebab, hewan kecil tadi bisa mendengar suara suadara-saudaranya dan melihat makanannya. Andaikan ia be- sar seperti manusia, tentu indranya memiliki kemampuan yang mencengangkan. Kehidupannya menebarkan kilau cahaya, dan pengliha- tannya laksana cahaya langit yang menandingi kilat.
Manusia sendiri bukan entitas yang memiliki kehidupan yang tersusun dari sejumlah benda mati. Namun ia adalah sel besar yang tersusun dari ratusan juta sel hidup. Manusia bagaikan pola يٰسٓ yang memuat tulisan surah Yasin. Mahaagung Allah, Sebaik-baik Pencipta.
اِنَّ ال۟اِن۟سَانَ كَصُورَةِ ( يٰسٓ ) كُتِبَت۟ فٖيهَا سُورَةُ ( يٰسٓ )
فَتَبَارَكَ اللّٰهُ اَح۟سَنُ ال۟خَالِقٖينَ
Filsafat Materialisme adalah Wabah Maknawi
Filsafat materialisme merupakan wabah maknawi di mana ia seperti demam yang bisa menyebabkan kebinasaan bagi umat manusia,(*[24])serta mendatangkan murka ilahi.
Ketika potensi pembangkangan meningkat lewat sikap taklid, maka semakin luas pula penyebaran wabah tersebut.
Keterpikatan manusia terhadap sains dan kesenangannya mengikuti peradaban modern telah memberinya ruang kebebasan, sikap taklid dan pembangkangan. Dari kesombongannya muncul kesesatan.
==Tidak ada yang tidak Bekerja di Alam Yang tidak Bekerja Sebenarnya Berjalan menuju Ketiadaan== Manusia yang paling celaka, resah, dan menderita adalah yang tidak bekerja. Sebab, menganggur berarti “ketiadaan atau kenihilan” dalam bingkai wujud, atau kematian yang dibungkus dengan kehidupan.
Adapun “bekerja dan berusaha” merupakan bentuk kehidupan wujud dan kesadaran hidup.
Riba adalah Bahaya Total bagi Islam
Riba melahirkan kemalasan dan memadamkan semangat kerja. Pintu-pintu riba berikut sejumlah sarananya (bank-bank konvensional) membawa keuntungan bagi manusia terburuk yaitu orang- orang kafir;
kepada kalangan paling jahat di antara mereka yaitu kaum yang zalim; serta kepada kalangan yang paling jelek yaitu yang terbodoh dari mereka.
Bahaya riba bagi dunia Islam adalah mutlak. Sementara syariat tidak melihat kesejahteraan seluruh umat manusia pada setiap saat.
Sebab, orang kafir yang memerangi Islam; diri dan darah mereka tidak layak mendapat perlindungan.
De………m.
Al-Qur’an Melindungi Dirinya Sendiri dan Menerapkan Hukumnya
(*[25])
Aku menyaksikan seseorang yang mengalami keputusasaan dan merasa pesimis. Ia berkata, “Saat ini ulama sudah langka. Kualitasnya juga sangat menurun. Kami khawatir pada satu saat agama ini akan padam.”
Mendengar hal tersebut akupun menjawab, “Sebagaimana cahaya alam dan keimanan kita tidak mungkin padam, demikian pula Islam akan terus bersinar setiap masa selama menara agama, tempat ibadah, dan rambu-rambu syariat tidak padam.
Semua itu merupakan syiar Islam laksana pasak bumi yang kokoh.
Setiap tempat ibadah secara alami menjadi guru yang mengajarkan berbagai sunnah-Nya. Setiap rambu syariat menjadi ustadz yang mengajarkan agama lewat kondisi lahiriahnya tanpa salah dan keliru.
Setiap syiar Islam juga menjadi sosok alim yang bijak yang mengajarkan spirit Islam serta menerangkannya di hadapan mata yang melihatnya sepanjang zaman.
Bahkan spirit Islam seakan-akan terwujud dalam berbagai syiarnya. Seolah-olah kemurnian Islam tertancap kuat di tempat ibadahnya sebagai sandaran iman.
Hukum Islam telah terwujud dalam berbagai rambunya. Seakan-akan rukun Islam tertanam dalam berbagai dunia- nya. Setiap pilar penyangga yang berasal dari berlian menghubungkan bumi dengan langit;
terutama al-Qur’an al-Karim, sang khatib yang memiliki kemampuan menerangkan yang luar biasa, memberikan pe- san azali di seluruh dunia Islam. Tidak ada satu sisi dan satu sudutpun kecuali telah mendengar dan menerima petunjuknya.
Sehingga penjagaan al-Qur’an menjadi sebuah kedudukan mulia yang berisi rahasia ayat, “Dan Kami yang menjaganya.” (QS. al-Hijr [15]: 9). Membacanya terhitung sebagai ibadah bagi manusia dan jin.
Ia berisi pengajaran dan berisi peringatan tentang sejumlah hal yang bersifat aksiomatis. Pasalnya, seiring dengan berjalannya waktu sejumlah teori berubah menjadi perkara aksiomatis.
Kemudian ia menjadi kenyataan yang tak terbantahkan sehingga tidak lagi membutuhkan penjelasan.
Segala hal yang bersifat pasti dalam agama keluar dari kerangka teoritis. Karena itu, mengingatkan kepadanya sudah cukup memadai. Al-Qur’an sudah mencakup setiap waktu dan zaman. Sebab, di dalam- nya terdapat peringatan.
Kesadaran dan kebangkitan sosial umat Islam memberikan kepada setiap individu sejumlah dalil yang ditujukan untuk masyarakat secara umum seraya menetapkan standar untuk mereka.
Keimanan setiap orang tidak terbatas pada dalil yang dimiliknya, namun juga mencakup sebab-sebab tak terbatas yang terdapat dalam kalbu jamaah.
Jika menolak aliran yang lemah saja sulit dilakukan seiring dengan perkembangan zaman, apalagi dengan Islam yang demikian dominan sepanjang zaman di mana ia bersandar kepada dua landasan agung: wahyu ilahi dan fitrah yang sehat.
Islam telah merasuk dan mengakar di setengah bumi lewat dasar-dasarnya yang kokoh serta jejaknya yang cemerlang. Ia mengalir di dalamnya laksana ruh fitri. Bagaimana mungkin ia tertutupi oleh gerhana, sementara gerhana itu sendiri menjauh darinya.
Hanya saja sayangnya, sebagian orang kafir yang bodoh berusa- ha menerjang pilar-pilar istana yang megah ini setiap kali kesempatan terbuka bagi mereka.
Namun hal itu tidak mungkin dilakukan. Pilar-pilar tersebut tidak pernah goyah.
Ateisme dan kekufuran saat ini terdiam dan para mucikari pun telah gagal.Tidakkah upaya untuk menentang dan mengobarkan dusta sudah cukup.Tempat ini sebagai tempat berbagai disiplin ilmu (universitas) telah menjadi benteng utama dunia Islam dalam menghadapi kekufuran.
Namun sikap tidak peduli, lalai, dan permusuhan sebagai tabiat ular yang menentang fitrah telah membuka celah sehingga menjadi sasaran serangan ateisme dan membuat keyakinan umat goyah.
Maka dari itu, benteng-benteng yang disinari dengan spirit Islam tersebut harus lebih kokoh dan lebih memiliki perhatian. Demikianlah seharusnya. Jika tidak kuat, maka ia bisa hancur. Kaum muslim tidak boleh tertipu.
Kalbu adalah pusat iman, sementara otak adalah cermin cahayanya. Ia bisa memperlihatkan kesungguhan sekaligus menyapu berbagai syubhat dan noda ilusi. Jika syubhat yang terdapat dalam otak tidak masuk ke dalam kalbu, ia tidak akan merusak keimanan jiwa.
Namun jika iman terdapat di otak—seperti anggapan sebagian orang—maka berbagai kemungkinan dan keraguan itu bisa menjadi musuh utama spirit iman yang merupakan haqqul yaqin.
Kalbu dan nurani adalah wadah iman. Intuisi dan ilham merupakan bukti iman. Indra keenam merupakan jalan iman.Pikiran dan otak adalah penjaga iman.
Kebutuhan untuk mengingatkan sejumlah perkara aksiomatis lebih besar daripada mengajarkan hal-hal yang bersifat teoritis.Berbagai kepastian agama serta hal yang bersifat aksiomatis telah tertanam dalam kalbu.
Tujuan tercapai dengan sekadar menyadarkan untuk yakin dan mengingatkan kembali. Ungkapan bahasa Arab dalam hal ini bisa memberikan penyadaran dalam bentuk yang paling baik.
Karenanya, khutbah Jumat dengan bahasa Arab sudah mencukupi dan memadai untuk mengingatkan sejumlah hal yang bersifat pasti dan aksiomatis. Sementara mengajarkan masalah teoritis bukanlah tujuan khutbah.
Di samping itu, ungkapan bahasa Arab mencerminkan syiar persatuan Islam dalam relung jiwa Islam yang menolak perpecahan.
Hadis berkata kepada Ayat, “Mustahil Menyaingimu.” Jika engkau membandingkan antara hadis dan ayat, pasti tampak jelas bahwa manusia yang paling fasih (sekaligus penyampai wahyu ilahi) juga tidak mampu menandingi kefasihan ayat al-Qur’an. Hadis tidak bisa menyerupainya.
Dengan kata lain, perkataan yang bersumber dari lisan kenabian tidak selalu merupakan perkataan Nabi x.
Penjelasan Singkat tentang Kemukjizatan Al-Qur’an
Pada masa lalu aku melihat diriku dalam mimpi sedang berada di bawah gunung Ararat. Secara tiba-tiba gunung itu meletus. Ia melemparkan sejumlah batu karang sebesar gunung ke seluruh penjuru. Maka bumi bergetar.
Tiba-tiba seseorang berdiri di sampingku. Ia berkata, “Terangsecara singkat berbagai bentuk kemukjizatan al-Qur’an yang kau ketahui secara umum.”
Akupun merenungkan tafsir dari mimpi tersebut, sementara aku masih berada di dalamnya. Menurutku, letusan yang terjadi di sini adalah perumpamaan dari transformasi yang terjadi pada umat manusia, sehingga petunjuk al-Qur’an sudah pasti akan memimpin dan mengendalikan transformasi itu.
Pada suatu hari kemukjizatannya akan terlihat jelas. Akupun memberikan penjelasan pada si penanya di atas dengan berkata sebagai berikut:
Kemukjizatan al-Qur’an terwujud pada tujuh sumber universal dan tersusun dari tujuh unsur.Sumber PertamaKeindahan bahasanya yang bersumber dari kefasihan lafal.
Kecemerlangan penjelasannya berasal dari keapikan susunannya, retorika maknanya, keindahan pengertiannya, keajaiban kandungannya, dan keanehan gaya bahasanya.
Ia melahirkan ukiran penjelasan yang menakjubkan, kreasi bahasa yang indah, berupa gabungan dari semuanya dalam bentuk kemukjizatan yang tidak membosankan ketika terus diulang-ulang.
Unsur Kedua Pemberitaan langit tentang berbagai persoalan tersembunyi di seputar hakikat alam dan rahasia hakikat ilahi yang bersifat gaib.
Di antara urusan gaib yang terlipat di masa lalu, dan di antara berbagai kondisi yang tersembunyi di masa depan, lahirlah khazanah pengetahuan gaib.
Ia merupakan lisan alam gaib yang berbicara dengan alam nyata tentang rukun-rukun iman. Ia menjelaskan hal tersebut dengan sejumlah simbol. Yang menjadi tujuan adalah manusia. Semua ini merupakan bentuk kilau mukjizat yang bercahaya.
Sumber Ketiga Al-Qur’an memiliki komprehensivitas yang menakjubkan ditinjau dari lima sisi: lafal, makna, hukum, pengetahuan, dan tujuannya.
Dari sisi lafal, ia mengandung sejumlah kemungkinan yang luas dan banyak sisi di mana setiap sisi mengandung retorika yang indah, ilmu bahasa Arab yang benar, dan sejalan dengan rahasia penetapan syariat.
Ditinjau dari sisi makna, penjelasannya yang menakjubkan mencakup berbagai aliran para wali, cita rasa kalangan arif, mazhab para salik, pendekatan para ahli kalam, dan metode para ahli hikmah.
Bahkan ia mencakup semuanya. Petunjuk-petunjuknya bersifat komprehensif dan maknanya demikian luas. Wilayah ini sangat luas jika masuk lewat celah tersebut.
Dilihat dari penyerapan hukumnya, syariat yang menakjubkan ini terambil darinya.
Gaya penjelasannya mengandung seluruh hukum kebahagiaan dunia akhirat, faktor kedamaian dan ketenangan, ikatan sosial masyarakat, sarana pendidikan, dan hakikat seluruh kondisi.
Dilihat dari integralitas ilmunya, kandungan surat-suratnya berisi berbagai pengetahuan alam, pengetahuan ilahiyah, sejumlah ting- katan, petunjuk, simbol dan isyarat.
Dilihat dari tujuan dan maksudnya, ia sangat memerhatikan keseimbangan dan keselarasan seluruh kaidah fitrah serta kesatuan tujuan sehingga keseimbangannya terjaga.
Begitulah, komprehensivitas yang cemerlang tampak dalam lafalnya yang mencakup, maknanya yang luas, hukum yang integral, pengetahuan yang menyeluruh, serta sejumlah tujuannya yang selaras.
Unsur Keempat Limpahan cahayanya sesuai dengan tingkat pemahaman setiap masa, tingkatan adab setiap golongan, serta sejalan dengan potensi dan derajat penerimaannya.
Pintunya selalu terbuka untuk setiap era dan setiap golongan. Sehingga kalam ilahi tersebut seolah-olah turun pada setiap tempat dan setiap waktu.
Semakin hari, al-Qur’an justru semakin berseri dan petunjuknya semakin jelas. Pesan ilahi itu menyingkap tirai alam dan tabir sebab.
Ia memancarkan cahaya tauhid lewat setiap ayat pada setiap waktu. Ia mengangkat panji kesaksian tauhid atas sesuatu yang gaib.Ketinggian pesannya menarik perhatian manusia serta menga- jaknya untuk merenung.
Pasalnya, ia adalah lisan gaib yang berbicara dengan alam nyata (kasat mata).Dari sini dapat disimpulkan bahwa kesegarannya yang luar biasa sangat komprehensif dan mencakup segala hal.
Keindahannya menjadikan al-Qur’an disenangi jin dan manusia. Hal itu terwujud lewat turunnya wahyu ilahi kepada akal manusia agar dekat dengan akal. Ia juga beragam seberagam cara turunnya.
Sumber KelimaInformasi dan beritanya terwujud dalam bentuk indah penuh makna.
Ia menginformasikan sejumlah hal mendasar dari berbagai berita yang benar laksana saksi yang hadir menyaksikannya. Ia menginformasikan dengan cara tersebut untuk menyadarkan manusia.
Berita yang disampaikannya meliputi berita tentang generasi pertama dan kondisi generasi akhir, rahasia surga dan neraka, hakikat alam gaib, rahasia alam nyata, rahasia ilahiyah, serta sejumlah ikatan alam.
Berbagai berita tersebut seolah menyaksikan secara langsung sehingga tidak bisa didustakan oleh realita yang ada dan tidak bisa diingkari oleh logika. Bahkan ia tidak bisa dibantah meski tidak bisa dipahami.
Ia menjadi inspirasi orang yang mengetahui kitab-kitab samawi. Pasalnya, ia menginformasikan berbagai berita tentangnya seraya membenarkannya dalam bentuk yang sangat selaras serta meluruskan sejumlah tema yang diperselisihkan.Datangnya berbagai persoalan informatif semacam itu dari seorang yang buta huruf sungguh merupakan mukjizat masa kini.
Unsur Keenam Ia membangun dan mengandung ajaran agama Islam. Anda tidak akan menemukan ajaran seperti Islam di setiap zaman dan tempat, baik di masa lalu ataupun di masa mendatang. Ia adalah tali Allah yang kokoh. Ia menggenggam bumi agar tidak terlepas.
Ia menatanya dalam putaran tahun dan hari. Kedudukan dan bobotnya demikian jelas di atas bumi. Ia juga mengarahkan agar tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan.
Sumber Ketujuh Enam cahaya yang tercurah dari keenam sumber di atas saling bercampur. Ia mengeluarkan kilau yang sangat indah dan melahirkan intuisi yang merupakan sarana bercahaya.
Yang muncul darinya adalah cita rasa. Dengannya kemukjizatan al-Qur’an bisa ditangkap.Lisan kita tidak mampu menjelaskannya dan akal kita tidak berdaya untuk menuturkannya.Bintang-gemintang langit bisa dilihat tetapi tidak bisa disentuh.
Sepanjang tiga belas abad, para musuh al-Qur’an membawa spirit penentangan.Sementara di kalangan wali dan pecintanya, ia justru melahirkan spirit peledanan dan kerinduan.Ini saja sudah merupakan bukti kemukjizatan.
Jika dari dua keinginan tersebut dituliskan jutaan kitab berbahasa Arab, lalu jutaan kitab tersebut dikomparasikan dengan al-Qur’an, tentu semua orang yang melihat dan mendengar,
bahkan sebagian besar manusia, apalagi yang cerdas dan pandai, akan berkata, “Semua kitab ini karya manusia, sementara al-Qur’an bersifat samawi.”
Akan lahir sebuah ketetapan bahwa semua kitab itu tidak bisa menyerupai al-Qur’an dan tidak akan mampu mencapai tujuannya sama sekali. Hal itu bisa jadi karena al-Qur’an lebih rendah, namun hal ini jelas batil dan keliru.
Kalau demikian, ia mengungguli semuanya. Ia telah membuka pintu bagi umat manusia serta menyebarkan kandungannya di hadapan mereka sepanjang waktu yang lama ini.
Ia mengajak semua jiwa dan pikiran untuk mengkajinya. Namun demikian tidak ada yang mampu menentangnya. Masa ujian telah selesai.Al-Qur’an tidak bisa dibandingkan dan diserupakan dengan seluruh kitab yang lain.
Ia turun dalam jangka waktu dua puluh sekian tahun secara berangsur-angsur sesuai hikmah ilahi karena sejumlah kepentingan, karena sebab nuzulnya yang juga beragam, sebagai jawaban untuk persoalan yang beragam, sebagai penjelasan atas berbagai peristiwa hukum yang berbeda-beda,
dalam kurun waktu turunnya yang tidak sama, dalam kondisi penerimaan yang bervariasi, untuk sejumlah pemahaman manusia yang berbeda-beda, serta untuk tujuan dan petunjuk yang tidak sama.
Meskipun demikian, ia memerlihatkan kesempurnaan kefasihan, ketepatan, kesesuaian, dan keterpaduan penjelasan, jawaban dan pesannya, di samping ilmu bayan dan maknanya.
Al-Qur’an berisi keistimewaan yang tidak ditemukan dalam perkataan lainnya.
Sebab, ketika mendengar perkataan seseorang, di balik itu engkau melihat penuturnya sehingga gaya bahasa menjadi cerminan manusia.
Ey sâil-i misalî! Sen ki îcaz istedin, ben de işaret ettim. Eğer tafsil istersen, haddimin haricinde!.. Sinek seyretmez âsumanı.
Kitab Isyârât al-I’jâz telah menerangkan salah satu dari empat puluh jenis kemukjizatan. Seratus halaman penjelasan masih belum bisa menjelaskan satu saja darinya.
Justru aku yang menginginkan penjelasan darimu. Tuhan telah memberimu limpahan ilham spiritual.
Karya Sastra Barat yang Dipenuhi Nafsu, Ambisi, dan Tipu Daya Tidak Bisa Menjangkau
Kedudukan Sastra Al-Qur’an yang Kekal yang Dipenuhi Cahaya, Petunjuk dan Obat.
Kondisi yang menghendaki cita rasa tinggi untuk para insan kamil tidak membuat senang para pemilik nafsu kekanak-kanakan dan pemilik tabiat rendahan.
Atas dasar itu, cita rasa yang rendah tenggelam dalam kubangan keinginan nafsu sama sekali tidak bisa menikmati dan mengenal cita rasa spiritual.
Maka sastra modern yang bersumber dari sastra Eropa tidak mampu melihat berbagai kandungan al-Qur’an yang istimewa dan karakternya yang tinggi, bahkan tidak dapat mengecapnya.
Karena itu, ia tidak bisa menjadikan standarnya sebagai ukuran.Sastra (adab) berkisar dalam tiga wilayah:
Wilayah semangat dan kemuliaan jiwa, wilayah keindahan dan kerinduan, serta wilayah penggambaran hakikat dan realita.Dalam wilayah semangat, sastra asing tidak menyuarakan kebenaran.
Ia justru mengajarkan rasa bangga terhadap kekuatan yang dimiliki dengan mengagungkannya dalam bentuk yang lalim dan melampaui batas.Dalam wilayah keindahan dan kerinduan, sastra asing tidak mengenal kerinduan dan cinta hakiki.
Namun, ia menanamkan kerinduan syahwati yang demikian melekat dalam jiwa. Dalam wilayah penggambaran hakikat dan realita, sastra asing tidak melihat entitas sebagai kreasi ilahi dan tidak memandangnya sebagai celupan-Nya.
Namun ia membatasi perhatiannya pada sisi alam materi dan menggambarkan hakikat dalam bingkainya tanpa bisa melepaskan diri darinya.
Karena itu, ajarannya untuk merindukan alam dan menuhankan materi hingga kecintaan padanya mengakar dalam kalbu tidak membuat manusia mampu selamat darinya dengan mudah.
Lalu sastra yang berhias kebodohan itu sama sekali tidak bisa melenyapkan kerisauan ruh yang bersumber dari kesesatan. Justru ia mengembangkan dan membesarkannya.
Dalam anggapannya ia telah menemukan solusi. Seolah-olah obat satu-satunya yang merupakan riwayatnya adalah: - Terdapat dalam kitabnya; benda hidup yang mati itu. - Dalam bioskop; benda mati yang bergerak.
- Dalam teater di mana sejumlah bayangan bangkit di dalamnya dan keluar dengan cepat dari kubur luas masa lalu. Itulah berbagai bentuk riwayatnya. Mana mungkin benda mati menghembuskan kehidupan?! Tanpa rasa malu, sastra asing meletakkan lisan dusta dalam mulut manusia.
Ia memasang mata yang fasik pada wajahnya. Serta memakaikan dunia sebagai busana penari murahan. Lalu dari mana sastra tersebut akan mengetahui kebaikan?
Bahkan andaikan ia ingin memerlihatkan matahari kepada pem- baca, ia akan mengingatkannya dengan artis pirang yang cantik. Secara lahiriah ia berkata, “Kebodohan memberikan akibat bu- ruk yang tidak layak bagi manusia.”
Kemudian ia mengungkap sejum- lah dampaknya yang berbahaya. Hanya saja, ia menggambarkannya secara menarik dan menggiurkan serta membuat akal kehilangan kendali.
Pasalnya, ia tenggelam dalam gelora syahwat hingga tak sadar dibawa kemana.
Adapun sastra al-Qur’an, ia tidak menggerakkan dan membangkitkan orang yang hawa nafsunya tenang.
Namun memberikan kepada manusia hasrat menyuarakan dan mencintai kebenaran, kesenangan pada kebaikan, kerinduan pada keindahan, serta keinginan untuk mencintai hakikat kebenaran. Ia tidak pernah tertipu.
Ia tidak melihat entitas sebagai materi. Namun mengingatnya sebagai kreasi ilahi, celupan Rabbani, tanpa membingungkan akal. Ia diktekan cahaya makrifat tentang Sang Pencipta serta menerangkan tanda-tanda kekuasaan-Nya dalam segala hal.Kedua sastra tersebut melahirkan kesedihan yang memberikan efek tertentu. Akan tetapi keduanya tidak sama.
Yang dilahirkan oleh sastra Barat adalah kesedihan yang merisaukan, yang bersumber dari kehilangan para kekasih dan pelindung. Sastra Barat tidak mampu memberikan kesedihan yang mulia.
Pasalnya, perasaan yang dilahirkan terilhami dari alam materi yang buta, kekuatan yang tak melihat yang penuh dengan derita dan kegalauan. Akhirnya alam hanya berisi nestapa.
Ia melemparkan manusia di tengah orang-orang asing tanpa ada yang melindungi. Maka, ia pun senantiasa berada dalam ratapan dan duka cita. Seluruh harapan pun di hadapannya menjadi sirna.
Perasaan yang penuh dengan kesedihan dan derita ini menguasai diri manusia sehingga mengantarnya pada kesesatan, kekufuran, dan pengingkaran sang Khalik. Akhirnya, sulit baginya untuk kembali kepada kebenaran. Bahkan bisa jadi ia tidak kembali lagi selamanya.
Adapun sastra Al-Qur’an memberikan kesedihan yang mulia. Yaitu kesedihan sang perindu, bukan kesedihan sang yatim. Kesedihan tersebut bersumber dari perpisahan dengan para kekasih, bukan akibat kehilangan mereka.
Ia melihat entitas sebagai kreasi ilahi di mana ia mengasihi dan melihat, bukan materi yang buta.
Ia juga memperlihatkan qudrah ilahi yang penuh hikmah dan berhias perhatian yang komprehensif sebagai ganti dari kekuatan buta.
Ia juga tidak membungkus entitas dengan gambaran duka cita yang memilukan. Namun di hadapan yang melihatnya ia berubah seperti kumpulan orang yang saling mencinta.
Sebab, pada setiap sisi terdapat respon positif, cinta dan keakraban; bukan kekeruhan dan kegalauan. Inilah kondisi kesedihan sang perindu.Di tengah-tengah majelis tersebut manusia mendapatkan perasaan mulia; bukan kesedihan yang menyesakkan dada.
Kedua sastra tersebut memberikan kerinduan dan kegembiraan. Kerinduan yang diberikan oleh sastra asing adalah kerinduan yang merangsang nafsu dan menghamparkan kegilaan tanpa membuat jiwa senang dan gembira.
Sebaliknya, kerinduan yang dihembus- kan oleh al-Qur’an adalah kerinduan yang menggetarkan jiwa hingga naik menuju sejumlah kemuliaan.
Atas dasar itu, syariah yang menakjubkan ini melarang kesiasiaan dan seluruh hal yang melenakan. Ia mengharamkan sejumlah sarananya serta membolehkan yang lain.
Artinya, alat atau perangkat yang melahirkan kesedihan dan kerinduan qurani tidaklah berbahaya. Ia diharamkan manakala melahirkan nestapa dan membangkitkan kerinduan syahwati.Kondisi ini bisa berubah tergantung orangnya. Sebab, respon orang berbeda-beda.
Dahan Memberikan Buah atas nama Rahmat Ilahi
Dahan pohon penciptaan mempersembahkan buah nikmat seraya mengantarkannya ke tangan makhluk hidup di seluruh penjuru alam.
Bahkan ia memberikan buah tersebut kepadamu lewat dahan-dahan itu dari tangan rahmat dan qudrah-Nya. Maka, balaslah rahmat tersebut dengan rasa syukur.
Muliakan tangan qudrah tersebut dengan senantiasa mengingat karunia-Nya.
Penjelasan tentang Tiga Jalan yang Disebutkan dalam Penutup Surat al-Fatihah
Wahai saudaraku, wahai yang dadanya penuh dengan harapan yang bersinar! Genggam khayalanmu dan mari bersamaku. Kita sekarang berada di tanah yang luas. Kita melihat berbagai hal di sekitar kita tanpa ada satupun yang melihat kita.
Namun mendung yang hitam pekat dilemparkan pada kita. Ia jatuh di atas gunung yang tinggi sehingga menutupi wajah bumi kita dengan kegelapan.
Bahkan ia seperti atap yang tebal. Hanya saja, ia adalah atap yang memperlihatkan matahari dari sisi yang lain.
Kita yang berada di bawah mendung yang tebal itu nyaris tak mampu menghadapi sempitnya kegelapan itu. Kita dicekik oleh kegalauan dan ketiadaan udara mematikan.
Dalam kondisi sempit dan tercekik itu, tiba-tiba terbuka tiga jalan di hadapan kita yang mengantar menuju alam bersinar. Kita pernah mendatangi dan menyaksikannya sebelumnya. Maka kitapun menyusuri ketiga jalan itu satu persatu.Jalan pertama: sebagian besar manusia melewatinya. Ia adalah wisata di sekitar alam. Wisata tersebut menarik kita kepadanya.
Kita berada di dalamnya dengan berjalan kaki. Kita dihadapkan pada lautan pasir di padang yang luas ini. Lihat bagaimana ia marah kepada kita. Ia demikian marah dan membuat kita gelisah.
Lihatlah gelombang laut yang laksana gunung itu. Ia murka kepada kita. Sekarang kita berada di sisi lain. Alhamdulillah kita bisa bernafas lega. Kita melihat wajah matahari yang bersinar.
Akan tetapi, tidak ada satupun yang mampu mengukur berbagai derita yang kita rasakan. Hanya saja, sangat disayangkan kita kembali lagi ke bumi yang merisaukan di mana ia ditutupi oleh mendung yang gelap. Kita sangat membutuhkan alam yang bersinar yang membuka basirah (mata hati) kita.
Jika engkau memiliki keberanian luar biasa, sertai diriku di jalan yang penuh bahaya ini. Kita akan melintasinya dengan gagah berani. Ia adalah:
Jalan kedua: Kita menembus tabiat alam. Kita tembus ia agar kita bisa sampai ke sisi lain. Kita melalui berbagai terowongan alamiah yang terdapat di bumi dalam kondisi takut. Pada suatu saat aku pernah menyaksikan jalan ini dan melaluinya dengan rasa takut dan gundah.
Namun di tanganku terdapat alat dan perangkat yang bisa meluluhkan tanah alam materi sekaligus menembus dan melapangkan jalan. Perangkat tersebut diberikan oleh al-Qur’an di jalan ketiga.
Wahai saudaraku, jangan tinggalkan diriku. Ikuti aku dan jangan pernah takut. Lihatlah di depanmu terdapat sejumlah goa seperti te- rowongan bawah tanah. Ia menantikan kita dan akan melapangkan jalan kita menuju sisi lain.
Jangan takut dengan kerasnya alam. Sebab, di balik wajah masam dan dingin terdapat wajah di mana pemiliknya tersenyum. Materi al- Qur’an tersebut adalah materi yang memancarkan kilau seperti radium.
Kabar gembira wahai saudaraku. Kita telah keluar menuju alam yang bersinar. Lihatlah bumi yang indah ini dan langit yang indah.
Tidakkah engkau mau mengangkat kepala untuk menyaksikan hal ini yang menutup seluruh permukaan langit.
Ia adalah al-Qur’an al- Karim; Pohon Tuba surga. Ia membentangkan dahan-dahannya ke seluruh penjuru alam. Yang harus kita lakukan hanyalah bergantung kepada ranting yang bergelayutan. Ia berada di dekat kita untuk mengantar kita menuju ke sana.
Yaitu menuju pohon samawi yang tinggi. Syariat yang mulia adalah miniatur dari pohon penuh berkah itu. Kita mampu mencapai alam yang bersinar itu lewat jalan tersebut, jalan syariat, tanpa ada kesulitan.
Hanya saja kita salah jalan. Marilah kita kembali ke tempat semula untuk meniti jalan yang lurus tersebut. Lihat, ia adalah:Jalan ketiga: Sang da’i agung berdiri tegak di atas puncak yang tinggi.
Ia menyeru dengan berkata, “Marilah menuju alam cahaya!” Ia mensyaratkan doa dan salat. Ia tidak lain sang penyeru agung, Muhammad x.
Lihatlah gunung itu. Gunung petunjuk. Ia menembus awan dan langit. Lihatlah gunung syariat yang menjulang. Ia memperindah dan menghias wajah bumi kita.
Kita harus terbang dengan penuh tekad untuk melihat cahaya di sana dan melihat kilau keindahan. Ya, di sini terdapat Uhud Tauhid; gunung yang dicinta dan mulia.
Di sana juga terdapat gunung Judi Islam; gunung yang paling tinggi; gunung keselamatan dan kedamaian. Ini adalah gunung Qamar (Qumr); al-Qur’an yang bersinar. Darinya mengalir air Nil yang segar. Minumlah air segar dan salsabil itu dengan penuh nikmat.
Maha mulia Allah; Pencipta yang paling baik.
Akhirnya kami ucapkan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
Wahai saudaraku, sekarang lemparkan khayalan tersebut dan pergunakan akalmu.Jalan yang pertama dan kedua adalah jalan “Orang-orang yang dimurkai dan jalan orang yang sesat.” Keduanya berisi banyak bahaya. Keduanya selalu dalam kondisi musim dingin tanpa ada musim semi. Bahkan barangkali hanya satu dari seratus orang yang melewati jalan itu yang selamat, seperti Plato dan Socrates.
Adapun jalan ketiga adalah jalan yang lapang dan singkat. Sebab, ia lurus dan istikamah. Orang yang lemah atau yang kuat sama saja, semuanya bisa melewatinya. Jalan yang paling baik dan paling selamat adalah ketika Allah memberimu mati syahid dan kemuliaan jihad.
Sekarang kita berada di ambang hasil. Kelicikan meniti dua jalan pertama.Sementara petunjuk al-Qur’an; jalan yang lurus, adalah jalan ketiga. Itulah yang mengantar kita ke sana.
Ya Allah, tunjukkan kami ke jalan yang lurus. Jalan orang-orang yang kau beri nikmat.
Bukan jalan orang yang dimurka dan bukan pula jalan orang yang sesat. Amin.
==Seluruh Derita terdapat dalam Kesesatan dan Semua Nikmat terdapat dalam Iman== (Hakikat Agung yang Memakai Busana Khayalan)
Wahai sahabat yang cerdas, jika engkau ingin melihat perbedaan yang jelas antara “jalan yang lurus”; jalan yang bersinar itu, dengan jalan orang yang Allah murkai dan jalan orang yang sesat;
jalan yang gelap tersebut, marilah ambil ilusimu dan naiki khayalanmu. Kita akan pergi bersama-sama menuju gelapnya ketiadaan; kuburan besar yang penuh orang mati. Dzat Mahakuasa yang Mahaagung telah mengelu- arkan kita dari kegelapan tersebut lewat tangan qudrah-Nya serta menaikkan kita kepada wujud ini.
Dia menghadirkan kita ke dunia yang kosong dari kenikmatan hakiki.
Sekarang kita telah datang ke alam ini; alam wujud, sebuah padang yang luas. Mata kita telah terbuka. Kita melihat enam penjuru arah. Kita luruskan pandangan kita ke depan.
Tiba-tiba sejumlah bencana dan derita hendak menyambar kita laksana musuh. Kitapun menjadi takut kepadanya dan mundur.
Lalu kita melihat ke sisi kanan dan kiri seraya meminta belas kasih dari sejumlah unsur dan alam. Namun mereka berhati kesat, tidak memiliki kasih sayang. Mereka memperlihatkan giginya menatap kita dengan tatapan jahat.
Mereka tidak bisa mendengar seruan dan tidak melunak ketika terus diminta. Maka, kitapun mengangkat penglihatan kita ke atas untuk meminta bantuan dari benda-benda langit.Akan tetapi, kita melihat mereka demikian menakutkan dan sedang memberikan ancaman.
Pasalnya, mereka laksana bom yang meluncur dengan sangat cepat menembus angkasa tanpa ada benturan.
Andaikan mereka salah jalan dan menyimpang, tentu akan membelah jantung alam, alam nyata. Wal’iyâdzu billah. Bukankah urusannya diserahkan kepada proses kebetulan. Apakah ada kebaikan yang berasal darinya.
Kitapun mengalihkan perhatian dari arah ini dengan rasa putus asa. Kita berada dalam kondisi sangat bingung. Kita tundukkan kepala kita seraya melihat ke dalam diri guna melihat isinya.
Seketika kita men- dengar ribuan teriakan rasa butuh dan rintihan kepapaan. Semuanya bersumber dari diri yang lemah ini. Akhirnya, saat membutuhkan pelipur lara kita malah berada dalam kegalauan. Jadi, arah ini juga tidak memberikan manfaat.
Lalu kita pergi ke dalam jiwa. Kita mencari sebuah obat. Akan tetapi, sungguh sangat disayangkan, di sana tidak ada obat. Padahal obat harus ada. Sebab ribuan harapan, keinginan, serta ribuan perasaan berbaur membentang ke sisi-sisi alam.
Semuanya mendatangi kita dalam kondisi ketakutan. Kita lemah tak mampu memberikan pertolongan.
Berbagai harapan berbaur dalam diri manusia hingga sisi-sisinya membentang dari alam azali menuju keaba- dian. Bahkan andai ia melumat seluruh dunia, tetap takkan pernah kenyang.
Begitulah kemanapun kita mengarah, ujian dan bencana selalu menghadang. Itulah jalan orang yang sesat dan dimurkai. Sebab, pandangan mereka mengarah kepada proses kebetulan dan kesesatan.
Kalau kita mengikuti pandangan tersebut, kita akan jatuh ke dalam kondisi yang sama. Kita akan melupakan waktu yang ditentukan oleh Sang Pencipta berikut kebangkitan, awal dan tempat kembali.
Hal itu lebih menyakitkan jiwa ketimbang neraka Jahanam dan lebih membakar. Apa yang kita peroleh dari keenam arah di atas hanyalah kondisi yang tersusun dari ketakutan, keterkejutan, kelemahan, kerisauan, disertai keputusasaan.
Itulah yang melukai jiwa. Maka, marilah kita berusaha menolak dan menghadapinya.
Pertama-tama kita mulai dengan melihat kemampuan kita. Sungguh sangat menyedihkan! Ia sangat lemah dan papa.
Kemudian kita berusaha memenuhi berbagai kebutuhan diri yang sedang dahaga.
Ia terus berteriak, namun tidak ada yang mau mendengar dan menolong untuk memenuhi berbagai harapan yang ia minta.
Kita mengira seluruh yang berada di sekitar kita sebagai musuh. Semuanya asing. Kita tidak merasa bersahabat dan dekat. Tidak ada yang membuat diri menjadi tenang. Tak ada kesenangan dan kenik- matan hakiki.
Râbian: Biz ecram-ı ulviyeye baktıkça onlar nazara verir bir havf ile dehşeti. Hem vicdanın müz’ici bir tevahhuş geliyor: Akılsûz, evhamsâz!
İşte ey birader! Bu dalaletin yolu, mahiyeti şöyledir. Küfürdeki zulmeti, bu yolda tamam gördük. Şimdi de gel kardeşim, o ademe döneriz.
Tekrar yine geliriz. Bu kere tarîkımız sırat-ı müstakimdir hem imanın yoludur. Delil ve imamımız, inayet ve Kur’an’dır, şehbaz-ı edvar-pervaz.
İşte Sultan-ı ezel’in rahmet ve inayeti, vaktâ bizi istedi, kudret bizi çıkardı, lütfen bizi bindirdi kanun-u meşiete: Etvar üstünde perdaz.
Şimdi bizi getirdi, şefkat ile giydirdi şu hil’at-ı vücudu, emanet rütbesini bize tevcih eyledi. Nişanı niyaz ve namaz.
Şu edvar ve etvarın, bu uzun yolumuzda birer menzil-i nazdır. Yolumuzda teshilat içindir ki kaderden bir emirname vermiş, sahifede cephemiz.
Her nereye geliriz, herhangi taifeye misafir oluyoruz, pek uhuvvetkârane istikbal görüyoruz. Malımızdan veririz, mallarından alırız.
Ticaret muhabbeti, onlar bizi beslerler, hediyelerle süslerler hem de teşyi ederler. Gele gele işte geldik, dünya kapısındayız, işitiyoruz âvâz.
Bak girdik şu zemine, ayağımızı bastık şehadet âlemine: Şehrâyine-i Rahman, gürültühane-i insan. Hiçbir şey bilmeyiz, delil ve imamımız
Meşiet-i Rahman’dır. Vekil-i delilimiz, nâzenin gözlerimiz. Gözlerimizi açtık, dünya içine saldık. Hatırına gelir mi evvelki gelişimiz?
Garib, yetim olmuştuk; düşmanlarımız çoktu, bilmezdik hâmimizi. Şimdi nur-u iman ile o düşmanlara karşı bir rükn-ü metînimiz
İstinadî noktamız hem himayetkârımız def’eder düşmanları. O iman-ı billahtır ki ziya-yı ruhumuz hem nur-u hayatımız hem de ruh-u ruhumuz.
İşte kalbimiz rahat, düşmanları aldırmaz, belki düşman tanımaz. Evvelki yolumuzda, vaktâ vicdana girdik; işittik ondan binlerle feryad u fîzar ve âvâz.
Ondan belaya düştük. Zira âmâl, arzular, istidat ve hissiyat; daim ebedi ister. Onun yolunu bilmezdik, bizden yol bilmemezlik, onda fîzar ve niyaz.
Fakat elhamdülillah, şimdi gelişimizde bulduk nokta-i istimdad, ki daim hayat verir o istidat, âmâle; tâ ebedü’l-âbâda onları eder pervaz.
Onlara yol gösterir, o noktadan istidat hem istimdad ediyor hem âb-ı hayatı içer hem kemaline koşuyor; o nokta-i istimdad, o şevk-engiz remz ü naz.
İkinci kutb-u iman ki tasdik-i haşirdir. Saadet-i ebedî, o sadefin cevheri. İman bürhanı, Kur’an. Vicdan-ı insanî bir râz.
Şimdi başını kaldır, şu kâinata bir bak, onun ile bir konuş. Evvelki yolumuzda pek müthiş görünürdü. Şimdi de mütebessim her tarafa gülüyor, nâzenînane niyaz ve âvâz.
Görmez misin gözümüz arı-misal olmuştur, her tarafa uçuyor. Kâinat bostanıdır, her tarafta çiçekler, her çiçek de veriyor ona bir âb-ı leziz.
Hem ünsiyet, teselli, tahabbübü veriyor. O da alır, getirir; şehd-i şehadet yapar. Balda bir bal akıtır, o esrarengiz şehbaz.
Harekât-ı ecrama ya nücum ya şümusa nazarımız kondukça ellerine verirler Hâlık’ın hikmetini. Hem mâye-i ibreti hem cilve-i rahmeti alır ediyor pervaz.
Güya şu güneş bizlerle konuşuyor, der: “Ey kardeşlerimiz! Tevahhuşla sıkılmayınız, ehlen sehlen merhaba, hoş teşrif ettiniz. Menzil sizin, ben bir mumdar-ı şehnaz.
Ben de sizin gibiyim fakat safi, isyansız, mutî bir hizmetkârım. O Zat-ı Ehad-i Samed ki mahz-ı rahmetiyle hizmetinize beni musahhar-ı pür-nur etmiş. Benden hararet, ziya; sizden namaz ve niyaz.”
Yahu, bakın kamere! Yıldızlarla denizler her biri de kendine mahsus birer lisanla: “Ehlen sehlen merhaba!” derler. “Hoş geldiniz, bizi tanımaz mısınız?”
Sırr-ı teavünle bak, remz-i nizamla dinle. Her birisi söylüyor: “Biz de birer hizmetkâr, rahmet-i Zülcelal’in birer âyinedarıyız; hiç de üzülmeyiniz, bizden sıkılmayınız.”
Zelzele na’raları, hâdisat sayhaları sizi hiç korkutmasın, vesvese de vermesin. Zira onlar içinde bir zemzeme-i ezkâr, bir demdeme-i tesbih, velvele-i naz u niyaz.
Sizi bize gönderen o Zat-ı Zülcelal, ellerinde tutmuştur bunların dizginlerini. İman gözü okuyor yüzlerinde âyet-i rahmet, her biri birer âvâz.
Ey mü’min-i kalbi hüşyar! Şimdi gözlerimiz bir parça dinlensinler, onların bedeline hassas kulağımızı imanın mübarek eline teslim ederiz, dünyaya göndeririz. Dinlesin leziz bir saz.
Evvelki yolumuzda bir matem-i umumî hem vaveylâ-yı mevtî zannolunan o sesler, şimdi yolumuzda birer nevaz u namaz, birer âvâz u niyaz, birer tesbihe âğâz.
Dinle, havadaki demdeme, kuşlardaki civcive, yağmurdaki zemzeme, denizdeki gamgama, ra’dlardaki rakraka, taşlardaki tıktıka birer manidar nevaz…
Terennümat-ı hava, naarat-ı ra’diye, nağamat-ı emvac, birer zikr-i azamet. Yağmurun hezecatı, kuşların seceatı birer tesbih-i rahmet, hakikate bir mecaz.
Eşyada olan asvat, birer savt-ı vücuddur: Ben de varım derler. O kâinat-ı sâkit, birden söze başlıyor: “Bizi camid zannetme, ey insan-ı boşboğaz!”
Tuyûrları söylettirir ya bir lezzet-i nimet ya bir nüzul-ü rahmet. Ayrı ayrı seslerle, küçük âğâzlarıyla rahmeti alkışlarlar, nimet üstünde iner, şükür ile eder pervaz.
Remzen onlar derler: “Ey kâinat kardeşler! Ne güzeldir halimiz, şefkatle perverdeyiz, halimizden memnunuz.” Sivri dimdikleriyle fezaya saçıyorlar birer âvâz-ı pür-naz.
Güya bütün kâinat ulvi bir musikîdir, iman nuru işitir ezkâr ve tesbihleri. Zira hikmet reddeder tesadüf vücudunu, nizam ise tard eder ittifak-ı evhamsâz.
Ey yoldaş! Şimdi şu âlem-i misalîden çıkarız, hayalî vehimden ineriz, akıl meydanında dururuz, mizana çekeriz, ederiz yolları ber-endaz.
Evvelki elîm yolumuz mağdub ve dâllîn yolu, o yol verir vicdana, tâ en derin yerine hem bir hiss-i elîmi hem bir şedit elemi. Şuur onu gösterir. Şuura zıt olmuşuz.
Hem kurtulmak için de muztar ve hem muhtacız; ya o teskin edilsin ya ihsas da olmasın; yoksa dayanamayız, feryad u fîzar dinlenmez.
Hüda ise şifadır; heva, iptal-i histir. Bu da teselli ister, bu da tegafül ister, bu da meşgale ister, bu da eğlence ister. Hevesat-ı sihirbaz.
Tâ vicdanı aldatsın, ruhu tenvim edilsin, tâ elem hissolmasın. Yoksa o elem-i elîm, vicdanı ihrak eder; fîzara dayanılmaz, elem-i yeis çekilmez.
Demek, sırat-ı müstakimden ne kadar uzak düşse o derece nisbeten şu halet tesir eder, vicdanı bağırttırır. Her lezzetin içinde elemi var, birer iz.
Demek heves, heva, eğlence, sefahetten memzuç olan şaşaa-i medeni, bu dalaletten gelen şu müthiş sıkıntıya bir yalancı merhem, uyutucu zehirbaz.
Ey aziz arkadaşım! İkinci yolumuzda, o nurani tarîkte bir haleti hissettik; o haletle oluyor hayat, maden-i lezzet. Âlâm, olur lezaiz.
Onunla bunu bildik ki mütefavit derecede, kuvvet-i iman nisbetinde ruha bir halet verir. Ceset ruhla mültezdir, ruh vicdanla mütelezziz.
Bir saadet-i âcile, vicdanda mündericdir; bir firdevs-i manevî, kalbinde mündemicdir. Düşünmekse deşmektir, şuur ise şiar-ı râz.
Şimdi ne kadar kalp ikaz edilirse, vicdan tahrik edilse, ruha ihsas verilse lezzet ziyade olur hem de döner ateşi nur, şitası yaz.
Vicdanda firdevslerin kapıları açılır, dünya olur bir cennet. İçinde ruhlarımız, eder pervaz u perdaz, olur şehbaz u şehnaz, yelpez namaz u niyaz.
Ey aziz yoldaşım! Şimdi Allah’a ısmarladık. Gel, beraber bir dua ederiz, sonra da buluşmak üzere ayrılırız…
اَللّٰهُمَّ اِه۟دِنَا الصِّرَاطَ ال۟مُس۟تَقٖيمَ اٰمٖينَ
Anglikan Kilisesine Cevap
Bir zaman bîaman İslâm’ın düşmanı, siyasî bir dessas, yüksekte kendini göstermek isteyen vesvas bir papaz, desise niyetiyle hem inkâr suretinde
Hem de boğazımızı pençesiyle sıktığı bir zaman-ı elîmde pek şematetkârane bir istifham ile dört şey sordu bizden.
Altı yüz kelime istedi. Şematetine karşı yüzüne “Tuh!” demek, desisesine karşı küsmekle sükût etmek, inkârına karşı da
Tokmak gibi bir cevab-ı müskit vermek lâzımdı. Onu muhatap etmem. Bir hakperest adama böyle cevabımız var. O dedi birincide:
“Muhammed aleyhissalâtü vesselâm dini nedir?” Dedim: “İşte Kur’an’dır. Erkân-ı sitte-i iman, erkân-ı hamse-i İslâm, esas maksad-ı Kur’an.” Der ikincisinde:
“Fikir ve hayata ne vermiş?” Dedim: “Fikre tevhid, hayata istikamet. Buna dair şahidim:
فَاس۟تَقِم۟ كَمَٓا اُمِر۟تَ قُل۟ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌ
Der üçüncüsünde: “Mezahim-i hazıra nasıl tedavi eder?” Derim: “Hurmet-i riba hem vücub-u zekâtla. Buna dair şahidim:
يَم۟حَقُ اللّٰهُ الرِّبٰوا da.
وَاَحَلَّ اللّٰهُ ال۟بَي۟عَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا وَاَقٖيمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ
Der dördüncüsünde:
“İhtilal-i beşere ne nazarla bakıyor?” Derim: “Sa’y, asıl esastır. Servet-i insaniye, zalimlerde toplanmaz, saklanmaz ellerinde.
Buna dair şahidim:
لَي۟سَ لِل۟اِن۟سَانِ اِلَّا مَا سَعٰى وَالَّذٖينَ يَك۟نِزُونَ الذَّهَبَ وَال۟فِضَّةَ
وَلَا يُن۟فِقُونَهَا فٖى سَبٖيلِ اللّٰهِ فَبَشِّر۟هُم۟ بِعَذَابٍ اَلٖيمٍ
(Yüz mâşâallah bu cevaba.)
- ↑ *Catatan: Kumpulan tulisan yang menyerupai karya syair ini adalah tulisan Said Lama yang terakhir. Ia dicetak dan diterbitkan tahun 1337 (1921 M). Setelah penulisan berbagai Risalah Nur dan setelah ia tersebar luas, beliau memberikan pesan kepada para muridnya untuk menyertakannya dengan kumpulan al-Kalimat setelah sejumlah bahasan dan paragrafnya ditiadakan. Pada awal lima puluhan, beliau memberikan beberapa catatan kaki yang baru serta menyuruh untuk menyebarkannya dalam bentuk terakhir ini.
- ↑ *Sebuah perumpamaan Turki. Diceritakanya bahwa seorang lelaki yang membuat syair telah rela mengorbankan isterinya yang bernama Shafiyah serta menceraikannya hanya agar sajak syair yang ditulisnya tepat.
- ↑ *Kumpulan syair panjang yang hampir berjumlah 400 bait di mana ia menggambarkan peperangan para sahabat. Ditulis dalam bahasa Kurdi Utara. Ditulis oleh al-Mala Khalid Agha az-Zaybari yang dikenal zuhud dan bertakwa.
- ↑ *Bahkan tanggal penulisannya hadir dalam ungkapan berikut:نَجْمُ اَدَبٍ وُلِدَ لِهِلاَلَىْ رَمَضَانَ “Bintang Sastra yang lahir di antara dua hilal Ramadhan.” Secara gematria arab, total nilainya: 1337—Penulis.
- ↑ *Penguasa ketika itu telah mengeluarkan mayatnya dan menguburnya di tempat yang tak diketahui. Hal itu berlangsung 4 bulan setelah beliau wafat pada tahun 1960 M.
- ↑ *Maksudnya, dua Said mati pada tahun yang sama di mana tubuhnya terbaharui sebanyak dua kali dalam setahun. Selain itu, ada Said yang akan hidup hingga tanggal ini. Yakni hingga tahun ini, tahun ke-79 di mana Said setiap tahun meninggal dunia—Penulis.
- ↑ *Kondisi ini telah dirasakan dua puluh tahun sebelum terjadinya—Penulis.
- ↑ *Konklusi dari sebab menuju akibat disebut bukti limmi, sementara dari akibat menuju sebab disebut bukti inni (at-Ta’rîfât karya al-Jurjânî).
- ↑ *Maksudnya, berbagai akibat Perang Dunia Pertama yang menakutkan, bahkan menginformasikan adanya Perang Dunia Kedua—Penulis.
- ↑ *Lihat: al-Bukhari, al-Anbiyâ 49, al-Buyu’ 102, al-Mazhalim 31, al-Iman 24-247; Abu Daud, al-Malahim 14; al-Tirmidzi, al-Fitan 54; Ibnu Majah, al-Fitan 33; Ahmad bin Hambal, al-Musnad 2/240-272; Ibnu Majah, ash-Shahih 16/377; al-Hakim, al-Mustadrak 2/651.
- ↑ *Lihat: al-Bukhari, al-Manâqib 25, Fadha’il al-Qur’an 1; Muslim, al-Iman 271 dan Fadha’il ash-Shahabah 100; at-Tirmidzi, al-Manâqib 12; an-Nasai, al-Iman 6; Ahmad ibn Hambal, al-Musnad 2/107 3/334.
- ↑ *Di dalamnya terdapat isyarat tentang apa yang akan terjadi nanti—Penulis.
- ↑ *Petunjuk tentang masa depan ketika manusia tidak mendengar seruan ini sehingga mendapat tamparan keras lewat terjadinya Perang Dunia Kedua—Penulis.
- ↑ *HR. Abu Daud, Diyat 18; at-Tirmidzi, Farâidh 17; Ibnu Majah, Farâid 8 dan Diyat 14; ad-Darimi, Farâid 41; Ahmad ibn Hambal, al-Musnad 49/1.
- ↑ *Ya, peradaban modern telah memuntahkan dua perang dunia sehingga mengotori darat, laut dan udara dengan darah—Penulis.
- ↑ *Lihat: Muslim bab zuhud 64; al-Darimi bab raqâiq 61; Ahmad ibn Hambal dalam al-Musnad 4/332 dan 5/24; Ibnu Hibban dalam ash-Shahih 7/155; ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir 8/40.
- ↑ *Turki Muda adalah sebutan untuk sejumlah perkumpulan dan pihak oposisi pada masa daulah Utsmani sejak masa Sultan Abdul Aziz dan hingga Sultan Abdul Hamid II lengser (1909) di mana organisasi persatuan dan kemajuan menempati posisinya. Lewat kerjasama dengan kekuatan eksternal dan lewat sokongan negara-negara besar, organisasi ini dapat melengserkan Sultan Abdul Hamid II. Maka, Turki Muda menjadi simbol perla- wanan politik saat itu. Karena itu, nama tersebut juga bisa diberikan kepada mereka yang juga berafiliasi kepada persatuan dan kemajuan.
- ↑ *Petunjuk yang secara jelas mengarah kepada peradaban zalim dan ateis yang sedang mabuk—Penulis.
- ↑ *Bagian ini adalah benih dari risalah hemat. Seakan-akan risalah tersebut dirangkum dalam untaian kalimat di atas—Penulis.
- ↑ *Masjid yang dimaksud terletak di perkampungan Sultan Muhammad al-Fatih di Istanbul. Ia dibangun oleh pemiliknya lewat harta yang memang diperuntukkan untuk membangunnya. Setiap kali dirinya menginginkan sesuatu ia berkata, “Kelihatannya aku sudah makan!” Dari sini istilah tersebut muncul—Penulis.
- ↑ *Islam unggul dan tidak diungguli. Lihat al-Daraquthni, as-Sunan 3/252; al-Bay- haqi, as-Sunan al-Kubra 6/205; al-Thabrani, al-Mu’jam al-Awsath 6/128, al-Mu’jam al- Shaghir 2/155. Riwayat terkenal yang sering diucapkan berbunyi, “Kebenaran unggul dan tidak diungguli.” Kasyf al-Khafâ 1/127.
- ↑ *Bagian ini adalah landasan dari risalah Hijab yang dijadikan oleh pengadilan sebagai bahan tuntutan untuk menghukum penulisnya. Namun sebenarnya ia menghukum dirinya sendiri dan menghukum sang hakim untuk selamanya sekaligus menjadi hujjah atas mereka—Penulis.
- ↑ *Sebagaimana melihat bangkai wanita dengan pandangan syahwat merupakan bukti kerendahan jiwa, maka melihat gambar wanita cantik, yang sudah mati dan perlu dikasihani, dengan tatapan syahwat melenyapkan perasaan jiwa yang mulia—Penulis.
- ↑ *Mengarah kepada Perang Dunia Pertama—Penulis.
- ↑ *Kajian yang telah ditulis 35 tahun lalu ini seolah-olah baru ditulis sekarang. Ia merupakan petunjuk tentang kondisi masa depan yang didiktekan oleh keberkahan bulan Ramadhan—Penulis.