Onuncu Lem'a/id: Revizyonlar arasındaki fark

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    ("==Yang kesebelas==" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    ("==Yang kedua belas==" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    Etiketler: Mobil değişiklik Mobil ağ değişikliği
    109. satır: 109. satır:
    tidak ditulis. Barangkali orangnya tidak rela.
    tidak ditulis. Barangkali orangnya tidak rela.


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="ON_İKİNCİSİ"></span>
    == ON İKİNCİSİ ==
    ==Yang kedua belas==
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">

    17.28, 17 Aralık 2024 tarihindeki hâli

    Diğer diller:

    (Tamparan Kasih Sayang)

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

    “Pada hari ketika tiap-tiap jiwa mendapati segala kebajikan dihadirkan di depannya demikian pula dengan kejahatan yang telah dilakukannya. la ingin andai antara ia dan hari itu ada masa yang jauh. Dan Allah mengingatkanmu tentang diri-Nya. Allah sangat kasih terhadap para hamba-Nya.” (QS. Ali Imrân [3]: 30) Cahaya Kesepuluh ini menjelaskan salah satu rahasia ayat al- Quran di atas. Ia akan menyebutkan “tamparan” penuh didikan dan “teguran” berisi pelajaran yang diterima oleh saudara-saudaraku tercinta yang telah bekerja mengabdi kepada al-Qur’an al-Karim. Tamparan dan teguran itu terjadi akibat kesalahan dan kelalaian mereka sebagai manusia. Pembahasan ini juga akan menjelaskan berbagai karamah (kemuliaan) yang Allah berikan kepada orang mengabdi pada Quran-Nya yang agung. Pembahasan ini juga akan memaparkan salah satu jenis kemuliaan syekh Abdul Qadir al-Jailani yang telah melengkapi pengabdian suci tersebut dengan doa dan perhatiannya sekaligus mengawasinya dengan izin Allah. Sengaja kami menerangkan berbagai kemuliaan tersebut agar mereka yang mengabdi di jalan al-Qur’an bertambah teguh, bertambah berani, bertambah gigih, dan bertambah ikhlas.

    Karamah pengabdian kepada al-Qur’an ada tiga macam:

    1. Menyiapkan berbagai sarana amal dan pengabdian, serta mengajak orang lain untuk melakukan pengabdian terhadapnya.

    2. Melenyapkan segala penghalang di sekeliling, menangkal segala bahaya darinya, dan mendidik orang-orang yang tak mampu berjalan di atasnya dengan turunnya hukuman pada mereka.

    Ada banyak sekali peristiwa di seputar dua masalah ini serta pembicaraan tentang keduanya cukup panjang.(*[1])Karena itu, kami menunda pembicaraan tentang hal tersebut untuk dibahas pada waktu yang lain karena khawatir membosankan. Kami akan langsung membahas masalah ketiga, yaitu yang paling ringan dan paling mudah untuk bisa dipahami.

    3. Ketika para pengabdi al-Qur’an yang tulus, mengalami lemah semangat dan lalai dalam beramal, mereka mendapatkan tamparan bernuansa kasih sayang. Lalu setelah itu mereka sadar dari kelalaian dan kembali bersegera untuk mengabdi secara sungguh-sungguh. Berbagai kejadian yang terkait dengan masalah ini jumlahnya lebih dari seratus, namun aku hanya akan menyebutkan sekitar dua puluh kejadian yang menimpa saudara-saudara kita. Dua puluh lebih dari mereka mendapat tamparan kasih sayang. Sementara enam atau tujuh dari mereka menerima tamparan yang sangat keras.

    Yang pertama

    Yang pertama adalah “Said” yang tak berdaya ini. Kapan saja aku tidak sungguh-sungguh dalam pengabdian, atau ketika asyik dengan urusan-urusan pribadiku dan aku berkata, “Mengapa aku sibuk memikirkan orang lain?” ketika itu pula datang tamparan ke- padaku. Aku pun menjadi yakin bahwa hukuman ini tidak turun keadalah “Said” yang tak berdaya ini. Kapan saja aku tidak sungguh-sungguh dalam pengabdian, atau ketika asyik dengan urusan-urusan pribadiku dan aku berkata, “Mengapa aku sibuk memikirkan orang lain?” ketika itu pula datang tamparan kepadaku. Aku pun menjadi yakin bahwa hukuman ini tidak turun kecuali sebagai akibat dari kelalaian dan kemalasanku dalam mengabdi kepada al-Qur’an. Sebab, aku menerima tamparan itu sebagai teguran untuk kembali dari apa yang membawaku pada kelalaian.Lalu setelah itu aku bersama saudara-saudaraku yang tulus lainnya mulai mempelajari berbagai kejadian tersebut seraya mem- perhatikan berbagai peringatan Tuhan dan tamparan yang menerpa saudaraku-saudaraku lainnya. Kami terus mengamati hal tersebut serta mengkaji peristiwa demi peristiwa. Apabila mereka lalai dalam pengabdian, mereka mendapatkan tamparan seperti yang terjadi padaku. Karena itu, kami menyimpulkan bahwa semua kejadian dan hukuman itu merupakan salah satu kemuliaan mengabdi kepada al- Qur’an.

    Misalnya apa yang terjadi padaku, Said yang tak berdaya. Ke- tika aku sibuk menyampaikan pelajaran seputar hakikat al-Qur’an kepada murid-muridku di kota Van, aksi-aksi syekh Said(*[2])merisaukan pihak-pihak yang bertanggung jawab di pemerintahan. Meskipun mereka mencurigai setiap orang, namun mereka tidak memperlakukanku secara buruk. Mereka tidak menemukan alasan untuk melakukan hal itu sepanjang aku mengabdi kepada al-Qur’an. Na- mun, ketika aku hanya memikirkan diri sendiri dan pergi menyingkir ke Gunung Erek untuk berkhalwat di gua-guanya yang telah runtuh, sekaligus untuk menyelamatkan diriku di akhirat nanti, mereka mengambilku dari gua tersebut dan mengasingkanku dari wilayah timur ke wilayah barat, yaitu di daerah Burdur.

    Pihak yang berwenang di kota itu melakukan pengawasan yang sangat ketat terhadap orang-orang dalam pengasingan. Mereka harus melaporkan keberadaan mereka dengan hadir pada setiap sore di kepolisian. Hanya saja, aku dan murid-muridku yang diperkecualikan untuk tidak melakukan hal tersebut ketika aku mengabdi pada al-Qur’an. Aku tidak pernah melaporkan kehadiranku dan aku tidak mengenali seorang pun dari pihak yang berwenang di sana. Sampai-sampai sang walikota mengadukan perbuatanku kepada Fauzi Pasya(*[3])

    ketika ia datang ke kota tersebut. Namun ia malah berkata, “Hormatilah ia, jangan sekali-kali mengganggunya!” Tentu yang membuatnya berbicara seperti itu adalah kesucian mengabdi kepada al-Qur’an. Namun, ketika muncul keinginanku untuk menyelamatkan diri sendiri dan memperbaiki urusan akhirat, lalu untuk sementara aku malas mengabdi pada al-Qur’an, segera saja datang hukuman yang menarikku kembali dari keinginan tadi. Aku diasingkan lagi dari kota Burdur ke tempat pengasingan lainnya, Isparta.
    

    Di sana, aku kembali mengajarkan al-Qur’an. Namun setelah dua puluh hari berlalu, datang peringatan dari beberapa orang yang cemas dan takut. Mereka berkata, “Pihak yang berwenang di daerah sini sepertinya tidak senang terhadap perbuatanmu. Mengapa tidak menunggu dulu?” Aku pun kemudian memperhatikan diri dan nasibku sendiri. Kuwasiatkan kepada beberapa teman untuk tidak menemuiku dan aku menyingkir dari medan amal. Maka, lagi-lagi aku diasingkan. Aku dibuang ke tempat pengasingan yang ketiga, yaitu Barla.

    Di sana aku merasa malas untuk mengabdi pada al-Qur’an. Aku hanya berpikir tentang kondisi diriku sendiri dan bagaimana memperbaiki akhiratku. Akhirnya salah satu “ular ahli dunia” menceng- keramku dan seorang munafik menentangku. Sebetulnya saat ini aku siap untuk menceritakan kepada kalian sekitar delapan puluh kisah sejenis yang kualami selama delapan tahun berada di Desa Barla. Namun karena khawatir akan membosankan, aku batasi pada apa yang telah kuterangkan di atas.

    Wahai saudara-saudaraku, aku telah menceritakan kepada kalian berbagai “tamparan kasih sayang” yang pernah menimpaku. Jika diizinkan, aku juga ingin menceritakan tamparan kasih yang pernah kalian terima. Aku akan menyebutkannya di sini. Aku harap kalian tidak keberatan. Kalaupun ada di antara kalian yang tak ingin disebutkan, akan kusembunyikan namanya.

    Yang kedua

    adalah saudara kandungku, “Abdul Majid”. Dia termasuk muridku yang aktif, tulus, dan mau berkorban. Ia memiliki sebuah rumah yang sangat bagus dan indah di kota Van. Kondisi hidupnya juga berkecukupan. Selain itu, ia berprofesi sebagai pengajar. Ketika pengabdian terhadap al-Qur’an mengharuskanku pergi ke tempat yang jauh dari kota, yaitu di perbatasan kota, aku in- gin ia menyertaiku. Namun ia tidak setuju. Seolah menurutnya lebih baik aku tidak pergi. Padahal, ketika itu tugas mengabdi terhadap al- Qur’an telah bercampur dengan persoalan politik dan ia pun menghadapi kemungkinan diasingkan. Namun, ia tetap memilih tidak pergi dan tidak ikut bersama kami. Ketika itulah tamparan kasih yang tidak diharapkan tiba-tiba menerpanya. Ia dikeluarkan dari kota, dijauhkan dari rumahnya yang indah, dan dipaksa pergi ke daerah Ergani.(*[4])

    Yang ketiga

    adalah “Khulusi”. Ia termasuk tokoh penting yang mengabdi kepada al-Qur’an. Ketika ia pergi dari Egridir ke kampungnya, ia mendapat kesempatan untuk menikmati berbagai kesenangan duniawi. Hal itulah yang membuatnya sedikit mengalami lemah semangat dalam mengabdi kepada al-Qur’an. Ia berjumpa dengan kedua orang tuanya yang telah ditinggalkan sejak lama. Ia pun tinggal di kotanya dengan pakaian militer lengkap dan dengan pangkat tinggi. Dunia begitu manis dan hijau baginya. Ya, mereka yang aktif mengabdi pada al-Qur’an memiliki dua kemungkinan, entah ia yang berpaling dari dunia atau dunia yang berpaling dari mereka. Hal itu agar mereka bisa bangkit bekerja secara sungguh-sungguh, penuh semangat, dan ikhlas.

    Begitulah, walaupun Khulusi mempunyai kalbu yang mantap dan jiwa yang tegar, kesenangan dan keindahan itu membawanya pada kondisi lemah semangat ketika itulah tamparan kasih menerpanya. Selama dua tahun bertutut-turut ia dihadapkan pada sejumlah orang munafik. Mere- ka tidak memberikan kesempatan padanya untuk menikmati dunia. Bahkan mereka membuatnya jauh dari dunia, sementara dunia pun menghindar dan menjauh darinya. Pada saat itulah, ia berbalik ke arah panji pengabdian terhadap al-Qur’an serta berpegang padanya dengan sungguh-sungguh dan semangat.

    Yang keempat

    adalah “al-Hafidz Ahmad Muhajir”. Ia akan menceritakan sendiri kepada kalian tentang apa yang telah menimpanya:“Aku telah salah berijtihad dalam mengabdi terhadap al- Qur’an. Aku hanya berpikir bagaimana menyelamatkan akhiratku sendiri. Aku memiliki sebuah keinginan yang melemahkan semangat pengabdianku. Saat itulah datang tamparan kasih kepadaku.

    Meskipun sangat kuat dan keras, namun aku berharap semoga Allah menjadikan hal itu sebagai penebus kelalaianku. Kejadiannya adalah sebagai berikut: “Ustadz Nursi tidak pernah setuju terhadap munculnya ber- bagai bid’ah.(*[5])Masjid Jami tempat aku melaksanakan shalat berjamaah berada di samping rumah Ustadz. Sementara bulan-bulan yang penuh berkah—Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan—telah tiba. Lalu aku pun bergumam seperti ini:“Jika aku tidak melakukan shalat dalam bentuk yang bercampur dengan bid’ah, aku akan dilarang melakukan tugasku. Kemudian jika aku tinggalkan masjid ini dan tidak lagi menjadi imam shalat, hilanglah kesempatan bagiku mendapatkan pahala yang besar, terutama di bulan-bulan yang penuh berkah tersebut. Selain itu, penduduk setempat pun akan terbiasa meninggalkan shalat berjamaah. Maka muncullah keinginan dalam diriku agar Ustadz—sebagai orang yang lebih kucintai dari diriku sendiri—meninggalkan kampung Barla ini untuk sementara waktu agar aku bisa melaksanakan shalat sesuai dengan bid’ah yang ada. Saat itu aku tidak sadar bahwa seandainya Ustadz pergi meninggalkan kampung ini, pengabdianku terhadap al- Qur’an akan menjadi lemah meskipun hanya sementara waktu. Keti- ka itulah datang tamparan kepadaku. Tamparan tersebut keras sekali, namun di dalamnya ada belaian kasih sayang. Karena sangat keras, sampai-sampai aku tidak bisa bangun selama tiga bulan.“Maka, aku sangat mengharap rahmat Allah yang luas agar Dia menjadikan setiap menit dari musibah yang menimpaku senilai iba- dah satu hari penuh seperti ucapan Ustadz, berdasarkan ilham yang Allah berikan padanya. Sebab, kesalahan tersebut bukan berasal dari dorongan pribadi, tetapi merupakan kesalahan ijtihadku dalam ber- pikir. Itu adalah akibat dari sikapku yang hanya memikirkan akhiratku semata.

    Yang kelima

    adalah “Haqqi Afandi”. Karena ia tidak hadir ber- sama kami, aku akan mewakilinya seperti ketika bercerita tentang Khulusi. Kisahnya sebagai berikut: Haqqi Afandi adalah sosok yang menjalankan tugasnya dalam mengabdi kepada al-Qur’an sebagaimana mestinya. Namun ketika seorang bupati yang berakhlak bejat datang ke kota di mana Haqqi Afandi berada, Haqqi Afandi sempat berpikir untuk menyembunyikan sejumlah risalah yang ada padanya karena khawatir ia dan gurunya akan diperlakukan buruk oleh orang tadi. Maka, untuk semen- tara waktu ia meninggalkan tugas khidmahnya. Namun, seketika datanglah tamparan kasih sayang kepadanya. Ia terkena tuntutan yang nyaris membuatnya harus membayar seribu lira untuk bisa be- bas dari tuntutan tersebut. Akhirnya ia harus berada dalam tekanan intimidasi selama setahun penuh sampai ia datang kepada kami kem- bali ke tugas semula untuk mengabdi pada al-Qur’an. Maka Allah menyelamatkannya dari bencana tersebut dan ia terbebas dari huku- man tadi.

    Lalu ketika di hadapan murid-murid terbuka peluang amal baru, yaitu menyalin al-Qur’an dengan tulisan indah dan model baru, Haqqi Afandi juga diberi bagian untuk menyalinnya. Ia kerjakan tugas tersebut dengan baik. Ia menulis satu juz al-Qur’an al-Karim dengan tulisan yang bagus. Namun karena ia melihat dirinya berada dalam kondisi yang sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup, ia pun melamar kerja di kantor kejaksaan tanpa sepengetahuan kami. Saat itulah ia kembali mendapat tamparan kasih sayang. Jari yang ia pakai untuk menuliskan al-Qur’an patah. Karena kami tidak mengetahui kesibukannya dalam pekerjaan itu, kami pun bingung melihat mu- sibah yang menimpa jarinya sehingga tidak bisa meneruskan tugas menulis al-Qur’an. Kemudian kami sadar bahwa pengabdian suci ini tidak rela kalau jari-jari suci tersebut bergelut dalam berbagai urusan yang lain. Seolah-olah jari yang patah itu berkata, “Kamu tidak boleh menyelimutiku dengan cahaya al-Qur’an kemudian melibatkanku dalam perkara pengadilan.” Bagaimanapun, di sini aku hanya mewakili Khulusi. Aku berbicara sebagai wakil darinya. Sama seperti yang aku lakukan terhadap Haqqi Afandi. Jika ia tidak senang dengan hal ini, ia bisa menulis sendiri tentang tamparan yang pernah ia alami.

    Yang keenam

    adalah “Bakir Afandi”.(*[6])Karena ia tidak hadir bersama kami, aku akan berbicara atas namanya sebagaimana aku berbicara atas nama saudara kandungku, Abdul Majid. Aku mewakilinya dengan melihat pada keikhlasan, kesetiaan, dan persahabatannya yang tulus, serta keteguhannya dalam beramal. Dalam hal ini aku bersandar pada apa yang diriwayatkan oleh Sulaiman Afandi,(*[7])

    al-Hafidz Taufiq asy-Syami,(*[8])serta saudara-saudara tercinta lainnya.Bakir Afandi telah mencetak Kalimat Kesepuluh (Risalah Ke- bangkitan) di Istanbul. Maka, kami pun ingin mencetak tulisan tentang Risalah al-Mukjizat al-Qur’aniyyah di sana pula sebelum pemakaian huruf latin baru. Aku kirimkan sebuah surat kepadanya yang berbunyi, “Kami akan mengirimkan kepadamu biaya pencetakan risalah ini bersama risalah sebelumnya.” Namun ketika ia mengetahui bahwa pencetakan tersebut akan memakan biaya empat ratus lira, sementara ia mengetahui kondisiku yang miskin, ia pun ingin menutupi biaya tersebut dari uang miliknya. Terbesit dalam benak- nya bahwa aku tidak menyukai hal itu. Maka, ia tertipu oleh dirinya sendiri dengan tidak segera mencetaknya. Akibat dari pertimbangannya tersebut, tugas itu pun terlunta-lunta. Dua bulan berikutnya uangnya sebesar sembilan ratus lira dicuri orang. Hal itu merupakan tamparan kasih yang sangat keras kepadanya. Kami berharap semoga Allah menjadikan uang yang hilang itu sebagai sedekah darinya.
    

    Yang ketujuh

    adalah “al-Hafidz Taufiq asy-Syami”. Ia akan menceritakan sendiri kisahnya sebagai berikut:Ya, aku telah melakukan berbagai pekerjaan yang membuat- ku kelem semangat dalam mengabdi. Maka, aku pun mendapatkan sebuah tamparan peringatan. Aku yakin sekali bahwa tamparan tersebut pasti berasal dari sana. Yaitu akibat kesalahanku dalam berpikir dan kebodohanku dalam memberi keputusan.

    Tamparan pertama adalah ketika Ustadz membagi-bagikan beberapa juz al-Qur’an kepada kami. Aku mendapat tugas menulis tiga juz. Allah memberikan anugerah kepadaku berupa kemampuan menulis huruf Arab secara baik seperti tulisan al-Qur’an al-Karim. Kecintaan menuliskan al-Qur’an membuatku sedikit malas dalam menuliskan rancangan dan salinan dari beberapa risalah. Selain itu, muncul kesombongan dalam diri ini dengan menganggap diriku leb- ih unggul dari teman-temanku dalam melakukan tugas tadi. Sebab, aku merasa mempunyai kemampuan menulis tulisan Arab dengan baik. Bahkan ketika Ustadz ingin memberikan arahan yang terkait dengan tulisan Arab, aku berkata padanya dengan sedikit sombong, “Ini adalah pekerjaanku. Aku tahu tentang hal ini. Karena itu, aku tak membutuhkan arahan.” Akibat kesalahanku tersebut, aku mendapatkan tamparan kasih sayang. Yaitu aku tak mampu mengejar teman-temanku dalam hal penulisan. Tulisan mereka lebih baik daripada tulisanku. Aku pun terheran-heran, mengapa aku bisa kalah dari mereka padahal aku dikenal hebat? Sekarang aku sadar bahwa itu merupakan tamparan.

    Tamparan kedua kudapatkan akibat dua kondisi yang menodai ketulusanku dalam mengabdi terhadap al-Qur’an. Akibat dari dua kondisi tersebut aku mendapat tamparan yang sangat keras. Kedua kondisi yang dimaksud adalah sebagai berikut:Aku merasa diriku terasing dari masyarakat. Bahkan aku merasa betul-betul asing. Untuk menghilangkan perasaan tersebut, akhirnya aku duduk dengan orang-orang yang terlena oleh dunia. Dari mereka aku belajar sikap riya dan ingin dipuji. Selain itu, tanpa mengeluh sedikit pun aku pun memiliki kondisi kepribadian yang buruk. Aku tidak lagi memperhatikan aturan dari Ustadz untuk berhemat dan bersikap qana’ah. Padahal Ustadz sudah mengingatkanku mengenai hal ini. Bahkan tidak jarang ia juga mencelaku. Namun sayang sekali, aku tidak bisa menyelamatkan diri dari bencana ini. Semoga Allah memberikan maaf dan ampunan-Nya. Setan dari bangsa jin dan manusia memanfaatkan kondisiku yang bertentangan dengan spirit pengabdian pada al-Qur’an ini dan melemahkan semangat- ku untuk mengabdi pada al-Qur’an.

    Aku pun menerima tamparan keras. Namun aku tahu bahwa itu adalah tamparan kasih sayang. Aku sangat yakin tanpa ada keraguan sedikit pun bahwa tamparan ini berasal dari kondisi tadi. Bentuk tamparannya adalah sebagai berikut: Meskipun aku telah menjadi murid Ustadz sekaligus penulis draf dan salinan risalah-risalahnya selama delapan tahun, sayang se- kali aku belum memperoleh cahaya risalah tersebut. Padahal cahaya itu telah mengalir kepada orang lain dalam delapan bulan. Aku dan Ustadz merasa bingung dengan kondisi tersebut. Kami bertanya-tanya, mengapa? Mengapa cahaya hakikat kebenaran al-Qur’an tidak bisa masuk ke dalam relung kalbuku? Kami terus mencari sebab-se- babnya.

    Sampai aku dapatkan hal itu sekarang bahwa hakikat tersebut adalah sinar dan cahaya. Cahaya tak mungkin bisa berkumpul dengan gelapnya riya, sikap kepura-puraan, dan basa-basi terhadap orang. Hal itulah yang menyebabkan makna hakikat cahaya tersebut menjauh dariku sehingga seolah-olah asing dariku. Aku memo- hon kepada Allah agar menganugerahkan kepadaku keikhla- san yang sempurna yang sejalan dengan pengabdian ini, serta agar menyelamatkanku dari sikap riya dan sikap merendahkan diri di hadapan ahli dunia.(*[9])Aku juga berharap agar kalian semua—terutama Ustadz—mendoakanku secara sungguh-sungguh.

    Hamba-Nya yang lalai,

    al-Hafidz Taufiq asy-Syami

    Yang ke delapan

    adalah “Sayrani”. Ia saudara kandung Husrev,(*[10])

    termasuk orang yang tertarik kepada Risalah Nur. Ia salah satu muridku yang cerdas dan bersemangat.Suatu hari aku ingin mengetahui pendapat para murid Isparta tentang adanya koherensi yang dianggap sebagai kunci penting dalam menyingkap rahasia al-Qur’an dan ilmu huruf. Semua murid dengan semangat ikut serta dalam diskusi tersebut, kecuali orang ini. Ia tidak hanya absen dalam diskusi tersebut, tetapi juga ingin memalingkanku dari hakikat kebenaran yang kuketahui secara yakin. Ia mempunyai perhatian terhadap urusan lain. Kemudian ia men- girim surat yang sangat menyakitkan hati. Aku pun berkata, “Aduh alangkah sayangnya! Aku telah kehilangan muridku ini.” Meskipun aku telah berusaha memberikan penjelasan kepadanya, namun ada hal lain yang mencampurinya. Akhirnya ia mendapatkan tamparan kasih. Ia masuk penjara selama kira-kira satu tahun.
    

    Yang kesembilan

    adalah “al-Hafidz Zuhdi Besar”. Ia bertugas mengawasi pekerjaan para murid Nur di daerah Aghrus. Namun sepertinya ia tidak merasa cukup dengan kedudukan yang tinggi dan mulia itu, padahal murid-murid Nur lainnya menikmati hal tersebut karena mereka mengikuti Sunnah dan menghindari bid’ah. Maka, ia pun kemudian berusaha mendapatkan kedudukan dari ahli dunia. Ia menerima tugas untuk mengajar bid’ah. Ia benar- benar melakukan suatu kesalahan dengan melanggar jalan kami, jalan Sunnah. Akhirnya ia mendapat tamparan yang sangat menakutkan. Ia dihadapkan pada sebuah insiden yang nyaris melenyapkan kehormatannya dan kehormatan keluarganya. Sangat disayangkan, insiden tersebut juga menimpa al-Hafidz Zuhdi Kecil, padahal ia tidak berhak menda- patkan tamparan itu. Semoga Allah menjadikan insiden yang menyakitkan tersebut layaknya operasi bedah yang bisa memalingkan kalbunya dari dunia dan mengembalikannya untuk mau mengabdi pada al-Qur’an.

    Yang kesepuluh

    adalah “al-Hafidz Ahmad”. Ia adalah orang yang menyalin beberapa risalah sekaligus mereguk cahayanya selama tiga tahun. Ia adalah orang yang tekun dan gemar beramal. Namun kemudian ia berinteraksi dengan ahli dunia dengan harapan bisa menangkal perbuatan buruk mereka dan bisa menyampaikan dakwah kepada mereka sehingga mendapat tempat di hati mereka. Pada waktu yang sama, dengan begitu ia juga ingin agar hidupnya yang sulit menjadi lapang. Akan tetapi, perhatiannya mulai berkurang dan mereka membuatnya sibuk dengan urusan ini. Ketika itulah, semangatnya dalam mengabdi kepada al-Qur’an melemah sehingga ia terkena dua tamparan sekaligus, yaitu:Pertama, keluarganya bertambah lima orang padahal kehidupannya sudah sempit sehingga ia betul-betul berada dalam kesulitan. Kedua, meskipun ia orang yang sangat sensitif dan tidak bisa bersabar dalam menerima ucapan seseorang, namun secara tidak disadari ia telah menjadi mediator bagi orang yang licik, sehingga ia kehilangan kehormatan sembilan puluh persen (90%). Banyak orang yang pergi meninggalkannya. Mereka memutuskan persahabatan dengannya bahkan memusuhinya. Namun demikian, kami berharap semoga Allah memberikan ampunan kepadanya. Kami juga berharap semoga ia diberi taufik untuk bisa sadar dari kelalaiannya serta kembali kepada tugasnya dalam mengabdi kepada al-Qur’an.

    Yang kesebelas

    tidak ditulis. Barangkali orangnya tidak rela.

    Yang kedua belas

    Muallim Galib’dir (rh). Evet bu zat, sadıkane ve takdirkârane, risalelerin tebyizinde çok hizmet etti ve hiçbir müşkülat karşısında zaaf göstermedi. Ekser günlerde geliyordu, kemal-i şevk ile dinliyordu ve istinsah ediyordu. Sonra kendine, otuz lira ücret mukabilinde umum Sözler’i ve Mektubat’ı yazdırdı. Onun maksadı, memleketinde neşretmek ve hem hemşehrilerini tenvir etmek idi. Sonra bazı düşünceler neticesinde risaleleri tasavvur ettiği gibi neşretmedi, sandığa bıraktı. Birden elîm bir hâdise yüzünden bir sene gam ve gussa çekti. Risalelerin neşri ile ona adâvet edecek resmî birkaç düşmanlara bedel; zalim, insafsız çok düşmanları buldu; bir kısım dostlarını kaybetti.

    ON ÜÇÜNCÜSÜ

    Hâfız Hâlid’dir (rh). Kendisi der: Evet itiraf ediyorum, Üstadımın hizmet-i Kur’aniyede neşrettiği âsârın tesvidinde hararetli bir surette bulunduğum zaman mahallemizde bir cami imamlığı vardı. Eski kisve-i ilmiyemi, sarığı bağlamak niyetiyle muvakkaten o hizmete fütur verip, bilmeyerek çekildim. Maksadımın aksiyle şefkatli bir tokat yedim. Sekiz dokuz ay imamlık ettiğim halde, müftünün çok vaadlerine rağmen, fevkalâde bir surette sarığı saramadım. Şüphemiz kalmadı ki o kusurdan bu şefkatli tokat geldi. Ben Üstadımın hem bir muhatabı hem bir müsevvidi idim. Benim çekilmem ile tesvid hususunda sıkıntı çekmişti. Her ne ise… Yine şükür ki kusurumuzu anladık ve bu hizmetin de ne kadar kudsî olduğunu bildik ve Şah-ı Geylanî gibi arkamızda melek-i sıyanet gibi bir Üstad bulunduğuna itimat ettik.

    Ez’afü’l-ibad

    Hâfız Hâlid

    ON DÖRDÜNCÜSÜ

    Üç Mustafa’nın küçücük “üç tokat” yemeleridir.

    Birincisi: Mustafa Çavuş (rh) sekiz senedir bizim hususi küçük camiye hem sobasına hem gaz yağına hem kibritine kadar hizmet ediyordu. Hattâ gaz yağını ve kibritini sekiz senedir kendi kesesinden sarf ettiğini sonra öğrendik. Cemaate, hususan cuma gecelerinde gayet zarurî bir iş olmayınca geri kalmıyordu.

    Sonra ehl-i dünya onun safvet-i kalbinden istifade ederek dediler ki: “Sözler’in bir kâtibi olan Hâfız’ın sarığına ilişecekler. Hem gizli ezan, muvakkaten terk edilsin. Sen kâtibe söyle, cebir görmeden evvel sarığı çıkarsın.” O bilmiyordu ki hizmet-i Kur’aniyede bulunan birisinin sarığını çıkarmaya dair sözü tebliğ etmek, Mustafa Çavuş gibi yüksek ruhlulara pek ağırdır. Onların sözlerini tebliğ etmiş.

    O gece rüyada ben görüyordum ki Mustafa Çavuş’un elleri kirli, kaymakam arkasında olarak odama geldi. İkinci gün ona dedim: “Mustafa Çavuş, sen bugün kim ile görüştün? Seni elin mülevves bir surette kaymakamın arkasında gördüm.” Dedi: “Eyvah! Bana böyle bir söz, muhtar söyledi, kâtibe söyle. Ben arkasında ne olduğunu bilmedim.”

    Hem aynı günde bir okkaya yakın gaz yağını camiye getirmiş. Hiç vuku bulmayan, o gün kapı açık kalmış, bir keçi yavrusu içeriye girmiş, büyük bir adam gelmiş, keçi yavrusunun seccademe yakın bıraktığı muzahrefatı yıkamak için ibrikteki gaz yağını su zannedip bütün o gaz yağını temizlik yapıyorum diye caminin her tarafına serpmiş. Acayiptir ki kokusunu duymamış. Demek, o mescid lisan-ı hal ile Mustafa Çavuş’a diyor: “Senin gaz yağın bize lâzım değil. Ettiğin hata için gaz yağını kabul etmedim.” diye işaret vermek için o adama koku işittirilmedi.

    Hattâ o hafta içinde cuma gecesinde ve birkaç mühim namazda, o kadar çalıştığı halde cemaate yetişemiyordu. Sonra ciddi bir nedamet, bir istiğfar ettikten sonra safvet-i asliyesini buldu.

    İkinci Mustafalar: Kuleönü’ndeki kıymettar, çalışkan mühim bir talebem olan Mustafa ile onun çok sadık ve fedakâr arkadaşı Hâfız Mustafa’dır (r.aleyhima). Ben bayramdan sonra, ehl-i dünya bize sıkıntı verip hizmet-i Kur’aniyeye fütur vermemek için şimdilik gelmesinler diye haber göndermiştim. Şayet gelecek olurlarsa birer birer gelsinler. Halbuki bunlar üç adam birden, bir gece geldiler. Fecirden evvel hava müsait ise gitmek niyet edildi. Hiç vuku bulmadığı bir tarzda hem Mustafa Çavuş hem Süleyman Efendi hem ben hem onlar, zâhir bir tedbiri düşünemedik, bize unutturuldu. Her birimiz ötekine bırakıp ihtiyatsızlık etti. Onlar fecirden evvel gittiler. Öyle bir fırtına onları iki saat mütemadiyen tokatladı ki bu fırtınadan kurtulmayacaklar diye telaş ettim. Şimdiye kadar bu kışta ne öyle bir fırtına olmuş ve ne de bu kadar kimseye acımıştım. Sonra Süleyman’ı, ihtiyatsızlığının cezası olarak arkalarından gönderip sıhhat ve selâmetlerini anlamak için gönderecektim. Mustafa Çavuş dedi: “O gitse o da kalacak. Ben de onun arkasından gidip aramak lâzım. Benim arkamdan da Abdullah Çavuş gelmek lâzım.” Bu hususta “Tevekkelnâ alallah” dedik, intizar ettik.

    Sual: Has dostlarınıza gelen musibetleri, tokat eseri deyip hizmet-i Kur’aniyede füturları cihetinde bir itab telakki ediyorsun. Halbuki size ve hizmet-i Kur’aniyeye hakiki düşmanlık edenler, selâmette kalıyorlar. Neden dosta tokat vuruluyor, düşmana ilişilmiyor?

    Elcevap: اَلظُّل۟مُ لَا يَدُومُ وَال۟كُف۟رُ يَدُومُ sırrınca dostların hataları, hizmetimizde bir nevi zulüm hükmüne geçtiği için çabuk çarpılıyor. Şefkatli tokat yer, aklı varsa intibaha gelir. Düşman ise hizmet-i Kur’aniyeye zıddiyeti, mümanaatı, dalalet hesabına geçer. Bilerek veya bilmeyerek hizmetimize tecavüzü, zındıka hesabına geçer. Küfür devam ettiği için onlar ekseriyetle çabuk tokat yemiyorlar.

    Nasıl ki küçük kabahatleri işleyenlerin, nahiyelerde cezaları verilir. Büyük kabahatleri de büyük mahkemelere gönderilir.

    Öyle de ehl-i imanın ve has dostların hükmen küçük hataları, çabuk onları temizlemek için kısmen dünyada ve süraten verilir.

    Ehl-i dalaletin cinayetleri, o kadar büyüktür ki kısacık hayat-ı dünyeviyeye cezaları sığışmadığından, mukteza-yı adalet olarak âlem-i bekadaki mahkeme-i kübraya havale edildiği için ekseriyetle burada cezaya çarpılmıyorlar.

    İşte hadîs-i şerifte اَلدُّن۟يَا سِج۟نُ ال۟مُؤ۟مِنِ وَجَنَّةُ ال۟كَافِرِ mezkûr hakikate dahi işaret ediyor. Yani dünyada şu mü’min, kısmen kusuratından cezasını gördüğü için dünya onun hakkında bir dâr-ı cezadır. Dünya, onların saadetli âhiretlerine nisbeten bir zindan ve cehennemdir.

    Ve kâfirler madem cehennemden çıkmayacaklar. Hasenatlarının mükâfatlarını kısmen dünyada gördükleri ve büyük seyyiatları tehir edildiği cihetle, onların âhiretine nisbeten dünya, cennetleridir.

    Yoksa mü’min bu dünyada dahi kâfirden manen ve hakikat nokta-i nazarında çok ziyade mesuddur. Âdeta mü’minin imanı, mü’minin ruhunda bir cennet-i maneviye hükmüne geçiyor; kâfirin küfrü, kâfirin mahiyetinde manevî bir cehennemi ateşlendiriyor.

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ

    1. *Contohnya, mereka yang menyiksa, menghinakan, dan bersikap keras terhadap murid-murid Risalah Nur telah mendapatkan hukuman yang setimpal bahkan lebih keras lagi—Penulis.
    2. *Dia adalah Syekh Said yang terkenal dengan Biran Kurdi, salah seorang Syekh dalam tarekat Naqsyabandiyah. Kakeknya termasuk salah satu wakil Maulana Khalid asy-Syahrazwari. Ia memimpin revolusi di wilayah timur Turki melawan pemerintah yang sedang berkuasa karena sikapnya yang melawan agama. Revolusi yang ia lakukan terjadi pada tanggal 1 Februari 1925, namun berhasil ditumpas pada tanggal 15 April 1925. Syekh akhirnya dibawa ke Mahkamah Revolusi. Ia beserta 47 orang teman dekat- nya divonis hukuman mati. Eksekusi dilakukan di Diyarbakir tanggal 29 Juni 1925.
    3. *Marsekal Mustafa Fevzi Çakmak selaku Kepala staf angkatan bersenjata Turki ketika itu.
    4. *Kota yang berjarak sekitar 500 km ke arah barat dari kota Van.
    5. *Yaitu melakukan iqamat dan mengeraskan azan dengan bahasa Turki, serta sejenisnya sebagai bagian dari bid’ah yang muncul sejak 1920-an dan terus berlangsung hingga tahun 1950.
    6. *Bekir Afandi adalah salah satu murid pertama an-Nur. Ia lahir tahun 1898 M di Barla dan meninggal dunia pada tahun 1954 di kota Istanbul. Semoga Allah memberi- kan rahmat padanya.
    7. *Dialah yang melayani Ustadz Nursi ketika berada dalam pengasingannya di Barla selama delapan tahun. Ia adalah teladan dalam kejujuran, kesetiaan, dan keikhlasan. Ia meninggal dunia pada tahun 1965. Semoga Allah memberikan rahmat yang luas kepadanya.
    8. *al-Hafidz Taufiq (1887-1965 M) termasuk murid dan juru tulis pertama an- Nur. Ia diberi gelar al-Hafidz karena hafal al-Qur’an al-Karim, dan diberi gelar asy-Syami karena tinggal lama di negeri Syam untuk menyertai ayahnya yang menjadi panglima di sana. Ia dikenal sebagai orang yang saleh, berilmu, dan bertakwa. Ia senantiasa menyer- tai Ustadz, baik ketika di Barla maupun ketika berada di penjara Eskisyehir dan Denizli. Semoga Allah memberikan rahmat padanya.
    9. *Istilah “ahli dunia” dipakai oleh Ustadz Nursi bagi orang-orang yang menga- gungkan dunia dan melupakan akhirat serta memusuhi Islam—Peny.
    10. *Husrev termasuk orang pertama yang menyalin dan menyebarkan ratusan risalah dalam situasi yang paling buruk. Ia habiskan sebagian besar hidupnya bersama Ustadz di penjara Eskisyehir, Denizli, dan Afyon. Dialah yang menulis sebuah mushaf dibawah bimbingan Ustadz Nursi. Mushaf tersebut ditulis untuk memperlihatkan kemukjizatan al-Qur’an dilihat dari adanya koherensi yang sangat halus pada lafadz al-Jalalah. Ia lahir di Isparta tahun 1899 dan meninggal dunia di Istanbul pada tahun 1977. Semoga Allah memberikan rahmat yang luas kepadanya.