Onuncu Lem'a/id: Revizyonlar arasındaki fark
("Selanjutnya pada hari itu pula, ia membawa minyak tanah ke masjid. Tapi tidak seperti biasanya, pintu masjid itu terus terbuka sehingga seekor kambing betina yang masih kecil bisa masuk ke dalam masjid dan mengotori satu tempat yang dekat dengan sajadahku. Lalu seseorang datang. Ia ingin membersihkan tempat yang kotor tadi. Di situ yang ia temukan hanyalah sebuah wadah minyak yang ia kira berisi air sehingga tanpa pikir panjang ia mulai menuangkan isi te..." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) Etiketler: Mobil değişiklik Mobil ağ değişikliği |
("------ <center> CAHAYA KESEMBILAN ⇐ | Al-Lama’ât | ⇒ CAHAYA KESEBELAS </center> ------" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) |
||
(Aynı kullanıcının aradaki diğer 8 değişikliği gösterilmiyor) | |||
136. satır: | 136. satır: | ||
Selanjutnya pada hari itu pula, ia membawa minyak tanah ke masjid. Tapi tidak seperti biasanya, pintu masjid itu terus terbuka sehingga seekor kambing betina yang masih kecil bisa masuk ke dalam masjid dan mengotori satu tempat yang dekat dengan sajadahku. Lalu seseorang datang. Ia ingin membersihkan tempat yang kotor tadi. Di situ yang ia temukan hanyalah sebuah wadah minyak yang ia kira berisi air sehingga tanpa pikir panjang ia mulai menuangkan isi tempat tadi ke pojok masjid. Anehnya, ia sama sekali tidak mencium baunya. | Selanjutnya pada hari itu pula, ia membawa minyak tanah ke masjid. Tapi tidak seperti biasanya, pintu masjid itu terus terbuka sehingga seekor kambing betina yang masih kecil bisa masuk ke dalam masjid dan mengotori satu tempat yang dekat dengan sajadahku. Lalu seseorang datang. Ia ingin membersihkan tempat yang kotor tadi. Di situ yang ia temukan hanyalah sebuah wadah minyak yang ia kira berisi air sehingga tanpa pikir panjang ia mulai menuangkan isi tempat tadi ke pojok masjid. Anehnya, ia sama sekali tidak mencium baunya. | ||
Seolah-olah masjid itu berkata kepada Mustafa Cavuş “Kami tidak lagi membutuhkan minyakmu. Engkau telah melakukan kesalahan besar.” Hal ini ditunjukkan oleh tidak terciumnya bau minyak, bahkan oleh ketidakhadiran Mustafa dalam shalat berjamaah pada sepanjang hari itu dan pada malam Jum’at yang penuh berkah padahal ia telah berupaya keras untuk hadir. Maka, ia pun menyatakan penyesalannya yang tulus kepada Allah. Ia terus meminta ampun kepada-Nya sehingga alhamdulillah, kalbunya kembali bersih. | |||
Dua sosok lainnya sama-sama bernama Mustafa. | |||
Pertama adalah Mustafa yang berasal dari desa Kuleonu. Ia termasuk murid yang sungguh-sungguh dan penting. Sementara yang satunya lagi adalah teman setianya, yaitu al-Hafidz Mustafa yang setia dan penuh pengorbanan.Aku telah memberitahu semua muridku untuk tidak datang mengunjungiku segera usai shalat Ied. Hal itu dimaksudkan agar pengabdian mereka pada al-Qur’an tidak melemah karena adanya pengawasan dan gangguan ahli dunia. Kecuali jika mereka datang sendiri-sendiri. Namun tiba-tiba aku dikagetkan oleh tiga orang yang datang mengunjungiku secara bersamaan di malam hari. Mere- ka memutuskan untuk pergi sebelum fajar tiba. Melihat kondisi yang ada, aku pun mengizinkan mereka untuk pergi. Namun aku, Sulaiman, dan Mustafa Cavuş tidak membuat siasat apa pun. Kami semua lupa karena masing-masing melepaskan tanggung jawab pada yang lain. Akhirnya, mereka pun meninggalkan kami sebelum fajar tiba. Tidak lama kemudian topan yang sangat keras menerpa mereka. Kami tak pernah melihat topan sekeras itu pada musim dingin ini. Dua jam telah berlalu. Kami sangat gelisah terhadap mereka. Menurut kami, mereka tidak akan selamat. Aku sangat sedih dengan apa yang menimpa mereka. Tak pernah aku sesedih itu sebelumnya. Kemudian, aku ingin mengutus Sulaiman—karena ia telah bertindak ceroboh—untuk mencari informasi tentang mereka seraya menginformasikan kepada kami tentang keselamatan dan sampai tidaknya mereka. Namun Mustafa Cavuş berkata, “Jika Sulaiman pergi, ia juga akan tertahan di sana tanpa bisa kembali. Aku pun demikian, dan Abdullah Cavuş juga akan mengikuti jejakku.” Karena itu, kami pun menyerahkan urusan tersebut kepada Allah Yang Mahatinggi dan Kuasa seraya berkata, “Kami bertawakkal kepada Allah dan kami serahkan urusan tersebut kepada-Nya.” | |||
'''Pertanyaan''' | |||
''' | Engkau menganggap semua musibah yang menimpa saudara dan teman-temanmu sebagai peringatan Tuhan dan tamparan teguran atas sikap futûr (lemah semangat) mereka dalam mengabdi pada al-Qur’an. Sementara, orang-orang yang menentang pengabdian tersebut dan memusuhi kalian bisa hidup dengan tenang dan aman. Mengapa para sahabat al-Qur’an mengalami tamparan sedangkan musuhnya tidak? | ||
'''Jawaban''' | |||
''' | Sebuah pepatah bijak berbunyi, “Kezaliman tidak akan aba- di, sementara kekufuran pasti abadi.” Dalam hal ini, kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang yang mengabdikan diri pada al-Qur’an berasal dari sikap zalim mereka terhadap pengabdian tersebut. Karena itu, mereka dengan cepat mendapatkan hukuman dan peringatan Tuhan. Mereka sadar jika memiliki akal sehat. | ||
Adapun tindakan musuh yang menjadi penghalang dari al- Qur’an dan menentang usaha pengabdian terhadap al-Qur’an—entah itu disadari atau tidak—berasal dari sikap kufur mereka. Dan karena kekufuran itu abadi, mereka tidak mendapatkan tamparan yang bersifat kontan dan cepat. | |||
Sama halnya dengan orang yang melakukan kesalahan kecil akan dihukum di daerah setempat. Sementara orang yang melakukan kejahatan besar akan digiring ke pengadilan tertinggi. | |||
Demikian pula dengan kesalahan kecil yang dilakukan oleh orang beriman dan sahabat al-Qur’an, mereka akan mendapatkan hukumannya di dunia untuk menghapus dan membersihkan kesalahan tadi. | |||
Sementara kejahatan kaum yang sesat sangatlah besar sehingga hukumannya tidak cukup kalau dilakukan di dunia yang singkat ini. Mereka ditunda ke alam baka dan dibawa ke pengadilan tertinggi di sana untuk mendapat hukuman dari Tuhan Yang Maha Adil. Karena itu, pada umumnya mereka tidak menerima hukuman di dunia. | |||
< | Dalam hadis Nabi disebutkan: “Dunia merupakan penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.”(*<ref>*HR. Muslim, az-Zuhd, 1; at-Tirmidzi, az-Zuhd, 16; Ibnu Majah, az-Zuhd, 3; danAhmad, al-Musnad, 2/197, 323, 389, 485.</ref>)Ini menjadi petunjuk atas hakikat yang baru saja kami jelaskan. Yaitu bahwa orang mukmin mendapatkan bagian hukuman dari hasil kesalahannya di dunia, sehingga dunia merupakan tempat hukuman bagi mereka. Jadi, dunia ini bagaikan penjara dan neraka bagi orang mukmin dibandingkan dengan akhirat mereka yang ba- hagia. | ||
</ | |||
Adapun orang-orang kafir, karena mereka akan kekal di neraka, maka dunia bagi mereka bagaikan tempat yang sangat nikmat. Sebab, di sana mereka akan mendapatkan siksa akhirat. Selanjutnya, di dunia ini orang mukmin mendapatkan kenikmatan batin yang tidak didapat oleh manusia yang paling bahagia sekalipun. | |||
Pada hakikatnya, ia jauh lebih bahagia ketimbang orang kafir. Seolah-olah keimanan orang mukmin sama seperti surga batiniah yang terdapat dalam jiwanya. Sedangkan kekufuran orang kafir sama seperti neraka jahim. | |||
سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ | سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ | ||
------ | ------ | ||
<center> [[Dokuzuncu Lem'a]] ⇐ [[Lem'alar]] | ⇒ [[On Birinci Lem'a]] </center> | <center> [[Dokuzuncu Lem'a/id|CAHAYA KESEMBILAN]] ⇐ | [[Lem'alar/id|Al-Lama’ât]] | ⇒ [[On Birinci Lem'a/id|CAHAYA KESEBELAS]] </center> | ||
------ | ------ | ||
00.19, 18 Aralık 2024 itibarı ile sayfanın şu anki hâli
(Tamparan Kasih Sayang)
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ
“Pada hari ketika tiap-tiap jiwa mendapati segala kebajikan dihadirkan di depannya demikian pula dengan kejahatan yang telah dilakukannya. la ingin andai antara ia dan hari itu ada masa yang jauh. Dan Allah mengingatkanmu tentang diri-Nya. Allah sangat kasih terhadap para hamba-Nya.” (QS. Ali Imrân [3]: 30) Cahaya Kesepuluh ini menjelaskan salah satu rahasia ayat al- Quran di atas. Ia akan menyebutkan “tamparan” penuh didikan dan “teguran” berisi pelajaran yang diterima oleh saudara-saudaraku tercinta yang telah bekerja mengabdi kepada al-Qur’an al-Karim. Tamparan dan teguran itu terjadi akibat kesalahan dan kelalaian mereka sebagai manusia. Pembahasan ini juga akan menjelaskan berbagai karamah (kemuliaan) yang Allah berikan kepada orang mengabdi pada Quran-Nya yang agung. Pembahasan ini juga akan memaparkan salah satu jenis kemuliaan syekh Abdul Qadir al-Jailani yang telah melengkapi pengabdian suci tersebut dengan doa dan perhatiannya sekaligus mengawasinya dengan izin Allah. Sengaja kami menerangkan berbagai kemuliaan tersebut agar mereka yang mengabdi di jalan al-Qur’an bertambah teguh, bertambah berani, bertambah gigih, dan bertambah ikhlas.
Karamah pengabdian kepada al-Qur’an ada tiga macam:
1. Menyiapkan berbagai sarana amal dan pengabdian, serta mengajak orang lain untuk melakukan pengabdian terhadapnya.
2. Melenyapkan segala penghalang di sekeliling, menangkal segala bahaya darinya, dan mendidik orang-orang yang tak mampu berjalan di atasnya dengan turunnya hukuman pada mereka.
Ada banyak sekali peristiwa di seputar dua masalah ini serta pembicaraan tentang keduanya cukup panjang.(*[1])Karena itu, kami menunda pembicaraan tentang hal tersebut untuk dibahas pada waktu yang lain karena khawatir membosankan. Kami akan langsung membahas masalah ketiga, yaitu yang paling ringan dan paling mudah untuk bisa dipahami.
3. Ketika para pengabdi al-Qur’an yang tulus, mengalami lemah semangat dan lalai dalam beramal, mereka mendapatkan tamparan bernuansa kasih sayang. Lalu setelah itu mereka sadar dari kelalaian dan kembali bersegera untuk mengabdi secara sungguh-sungguh. Berbagai kejadian yang terkait dengan masalah ini jumlahnya lebih dari seratus, namun aku hanya akan menyebutkan sekitar dua puluh kejadian yang menimpa saudara-saudara kita. Dua puluh lebih dari mereka mendapat tamparan kasih sayang. Sementara enam atau tujuh dari mereka menerima tamparan yang sangat keras.
Yang pertama
Yang pertama adalah “Said” yang tak berdaya ini. Kapan saja aku tidak sungguh-sungguh dalam pengabdian, atau ketika asyik dengan urusan-urusan pribadiku dan aku berkata, “Mengapa aku sibuk memikirkan orang lain?” ketika itu pula datang tamparan ke- padaku. Aku pun menjadi yakin bahwa hukuman ini tidak turun keadalah “Said” yang tak berdaya ini. Kapan saja aku tidak sungguh-sungguh dalam pengabdian, atau ketika asyik dengan urusan-urusan pribadiku dan aku berkata, “Mengapa aku sibuk memikirkan orang lain?” ketika itu pula datang tamparan kepadaku. Aku pun menjadi yakin bahwa hukuman ini tidak turun kecuali sebagai akibat dari kelalaian dan kemalasanku dalam mengabdi kepada al-Qur’an. Sebab, aku menerima tamparan itu sebagai teguran untuk kembali dari apa yang membawaku pada kelalaian.Lalu setelah itu aku bersama saudara-saudaraku yang tulus lainnya mulai mempelajari berbagai kejadian tersebut seraya mem- perhatikan berbagai peringatan Tuhan dan tamparan yang menerpa saudaraku-saudaraku lainnya. Kami terus mengamati hal tersebut serta mengkaji peristiwa demi peristiwa. Apabila mereka lalai dalam pengabdian, mereka mendapatkan tamparan seperti yang terjadi padaku. Karena itu, kami menyimpulkan bahwa semua kejadian dan hukuman itu merupakan salah satu kemuliaan mengabdi kepada al- Qur’an.
Misalnya apa yang terjadi padaku, Said yang tak berdaya. Ke- tika aku sibuk menyampaikan pelajaran seputar hakikat al-Qur’an kepada murid-muridku di kota Van, aksi-aksi syekh Said(*[2])merisaukan pihak-pihak yang bertanggung jawab di pemerintahan. Meskipun mereka mencurigai setiap orang, namun mereka tidak memperlakukanku secara buruk. Mereka tidak menemukan alasan untuk melakukan hal itu sepanjang aku mengabdi kepada al-Qur’an. Na- mun, ketika aku hanya memikirkan diri sendiri dan pergi menyingkir ke Gunung Erek untuk berkhalwat di gua-guanya yang telah runtuh, sekaligus untuk menyelamatkan diriku di akhirat nanti, mereka mengambilku dari gua tersebut dan mengasingkanku dari wilayah timur ke wilayah barat, yaitu di daerah Burdur.
Pihak yang berwenang di kota itu melakukan pengawasan yang sangat ketat terhadap orang-orang dalam pengasingan. Mereka harus melaporkan keberadaan mereka dengan hadir pada setiap sore di kepolisian. Hanya saja, aku dan murid-muridku yang diperkecualikan untuk tidak melakukan hal tersebut ketika aku mengabdi pada al-Qur’an. Aku tidak pernah melaporkan kehadiranku dan aku tidak mengenali seorang pun dari pihak yang berwenang di sana. Sampai-sampai sang walikota mengadukan perbuatanku kepada Fauzi Pasya(*[3])
ketika ia datang ke kota tersebut. Namun ia malah berkata, “Hormatilah ia, jangan sekali-kali mengganggunya!” Tentu yang membuatnya berbicara seperti itu adalah kesucian mengabdi kepada al-Qur’an. Namun, ketika muncul keinginanku untuk menyelamatkan diri sendiri dan memperbaiki urusan akhirat, lalu untuk sementara aku malas mengabdi pada al-Qur’an, segera saja datang hukuman yang menarikku kembali dari keinginan tadi. Aku diasingkan lagi dari kota Burdur ke tempat pengasingan lainnya, Isparta.
Di sana, aku kembali mengajarkan al-Qur’an. Namun setelah dua puluh hari berlalu, datang peringatan dari beberapa orang yang cemas dan takut. Mereka berkata, “Pihak yang berwenang di daerah sini sepertinya tidak senang terhadap perbuatanmu. Mengapa tidak menunggu dulu?” Aku pun kemudian memperhatikan diri dan nasibku sendiri. Kuwasiatkan kepada beberapa teman untuk tidak menemuiku dan aku menyingkir dari medan amal. Maka, lagi-lagi aku diasingkan. Aku dibuang ke tempat pengasingan yang ketiga, yaitu Barla.
Di sana aku merasa malas untuk mengabdi pada al-Qur’an. Aku hanya berpikir tentang kondisi diriku sendiri dan bagaimana memperbaiki akhiratku. Akhirnya salah satu “ular ahli dunia” menceng- keramku dan seorang munafik menentangku. Sebetulnya saat ini aku siap untuk menceritakan kepada kalian sekitar delapan puluh kisah sejenis yang kualami selama delapan tahun berada di Desa Barla. Namun karena khawatir akan membosankan, aku batasi pada apa yang telah kuterangkan di atas.
Wahai saudara-saudaraku, aku telah menceritakan kepada kalian berbagai “tamparan kasih sayang” yang pernah menimpaku. Jika diizinkan, aku juga ingin menceritakan tamparan kasih yang pernah kalian terima. Aku akan menyebutkannya di sini. Aku harap kalian tidak keberatan. Kalaupun ada di antara kalian yang tak ingin disebutkan, akan kusembunyikan namanya.
Yang kedua
adalah saudara kandungku, “Abdul Majid”. Dia termasuk muridku yang aktif, tulus, dan mau berkorban. Ia memiliki sebuah rumah yang sangat bagus dan indah di kota Van. Kondisi hidupnya juga berkecukupan. Selain itu, ia berprofesi sebagai pengajar. Ketika pengabdian terhadap al-Qur’an mengharuskanku pergi ke tempat yang jauh dari kota, yaitu di perbatasan kota, aku in- gin ia menyertaiku. Namun ia tidak setuju. Seolah menurutnya lebih baik aku tidak pergi. Padahal, ketika itu tugas mengabdi terhadap al- Qur’an telah bercampur dengan persoalan politik dan ia pun menghadapi kemungkinan diasingkan. Namun, ia tetap memilih tidak pergi dan tidak ikut bersama kami. Ketika itulah tamparan kasih yang tidak diharapkan tiba-tiba menerpanya. Ia dikeluarkan dari kota, dijauhkan dari rumahnya yang indah, dan dipaksa pergi ke daerah Ergani.(*[4])
Yang ketiga
adalah “Khulusi”. Ia termasuk tokoh penting yang mengabdi kepada al-Qur’an. Ketika ia pergi dari Egridir ke kampungnya, ia mendapat kesempatan untuk menikmati berbagai kesenangan duniawi. Hal itulah yang membuatnya sedikit mengalami lemah semangat dalam mengabdi kepada al-Qur’an. Ia berjumpa dengan kedua orang tuanya yang telah ditinggalkan sejak lama. Ia pun tinggal di kotanya dengan pakaian militer lengkap dan dengan pangkat tinggi. Dunia begitu manis dan hijau baginya. Ya, mereka yang aktif mengabdi pada al-Qur’an memiliki dua kemungkinan, entah ia yang berpaling dari dunia atau dunia yang berpaling dari mereka. Hal itu agar mereka bisa bangkit bekerja secara sungguh-sungguh, penuh semangat, dan ikhlas.
Begitulah, walaupun Khulusi mempunyai kalbu yang mantap dan jiwa yang tegar, kesenangan dan keindahan itu membawanya pada kondisi lemah semangat ketika itulah tamparan kasih menerpanya. Selama dua tahun bertutut-turut ia dihadapkan pada sejumlah orang munafik. Mere- ka tidak memberikan kesempatan padanya untuk menikmati dunia. Bahkan mereka membuatnya jauh dari dunia, sementara dunia pun menghindar dan menjauh darinya. Pada saat itulah, ia berbalik ke arah panji pengabdian terhadap al-Qur’an serta berpegang padanya dengan sungguh-sungguh dan semangat.
Yang keempat
adalah “al-Hafidz Ahmad Muhajir”. Ia akan menceritakan sendiri kepada kalian tentang apa yang telah menimpanya:“Aku telah salah berijtihad dalam mengabdi terhadap al- Qur’an. Aku hanya berpikir bagaimana menyelamatkan akhiratku sendiri. Aku memiliki sebuah keinginan yang melemahkan semangat pengabdianku. Saat itulah datang tamparan kasih kepadaku.
Meskipun sangat kuat dan keras, namun aku berharap semoga Allah menjadikan hal itu sebagai penebus kelalaianku. Kejadiannya adalah sebagai berikut: “Ustadz Nursi tidak pernah setuju terhadap munculnya ber- bagai bid’ah.(*[5])Masjid Jami tempat aku melaksanakan shalat berjamaah berada di samping rumah Ustadz. Sementara bulan-bulan yang penuh berkah—Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan—telah tiba. Lalu aku pun bergumam seperti ini:“Jika aku tidak melakukan shalat dalam bentuk yang bercampur dengan bid’ah, aku akan dilarang melakukan tugasku. Kemudian jika aku tinggalkan masjid ini dan tidak lagi menjadi imam shalat, hilanglah kesempatan bagiku mendapatkan pahala yang besar, terutama di bulan-bulan yang penuh berkah tersebut. Selain itu, penduduk setempat pun akan terbiasa meninggalkan shalat berjamaah. Maka muncullah keinginan dalam diriku agar Ustadz—sebagai orang yang lebih kucintai dari diriku sendiri—meninggalkan kampung Barla ini untuk sementara waktu agar aku bisa melaksanakan shalat sesuai dengan bid’ah yang ada. Saat itu aku tidak sadar bahwa seandainya Ustadz pergi meninggalkan kampung ini, pengabdianku terhadap al- Qur’an akan menjadi lemah meskipun hanya sementara waktu. Keti- ka itulah datang tamparan kepadaku. Tamparan tersebut keras sekali, namun di dalamnya ada belaian kasih sayang. Karena sangat keras, sampai-sampai aku tidak bisa bangun selama tiga bulan.“Maka, aku sangat mengharap rahmat Allah yang luas agar Dia menjadikan setiap menit dari musibah yang menimpaku senilai iba- dah satu hari penuh seperti ucapan Ustadz, berdasarkan ilham yang Allah berikan padanya. Sebab, kesalahan tersebut bukan berasal dari dorongan pribadi, tetapi merupakan kesalahan ijtihadku dalam ber- pikir. Itu adalah akibat dari sikapku yang hanya memikirkan akhiratku semata.
Yang kelima
adalah “Haqqi Afandi”. Karena ia tidak hadir ber- sama kami, aku akan mewakilinya seperti ketika bercerita tentang Khulusi. Kisahnya sebagai berikut: Haqqi Afandi adalah sosok yang menjalankan tugasnya dalam mengabdi kepada al-Qur’an sebagaimana mestinya. Namun ketika seorang bupati yang berakhlak bejat datang ke kota di mana Haqqi Afandi berada, Haqqi Afandi sempat berpikir untuk menyembunyikan sejumlah risalah yang ada padanya karena khawatir ia dan gurunya akan diperlakukan buruk oleh orang tadi. Maka, untuk semen- tara waktu ia meninggalkan tugas khidmahnya. Namun, seketika datanglah tamparan kasih sayang kepadanya. Ia terkena tuntutan yang nyaris membuatnya harus membayar seribu lira untuk bisa be- bas dari tuntutan tersebut. Akhirnya ia harus berada dalam tekanan intimidasi selama setahun penuh sampai ia datang kepada kami kem- bali ke tugas semula untuk mengabdi pada al-Qur’an. Maka Allah menyelamatkannya dari bencana tersebut dan ia terbebas dari huku- man tadi.
Lalu ketika di hadapan murid-murid terbuka peluang amal baru, yaitu menyalin al-Qur’an dengan tulisan indah dan model baru, Haqqi Afandi juga diberi bagian untuk menyalinnya. Ia kerjakan tugas tersebut dengan baik. Ia menulis satu juz al-Qur’an al-Karim dengan tulisan yang bagus. Namun karena ia melihat dirinya berada dalam kondisi yang sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup, ia pun melamar kerja di kantor kejaksaan tanpa sepengetahuan kami. Saat itulah ia kembali mendapat tamparan kasih sayang. Jari yang ia pakai untuk menuliskan al-Qur’an patah. Karena kami tidak mengetahui kesibukannya dalam pekerjaan itu, kami pun bingung melihat mu- sibah yang menimpa jarinya sehingga tidak bisa meneruskan tugas menulis al-Qur’an. Kemudian kami sadar bahwa pengabdian suci ini tidak rela kalau jari-jari suci tersebut bergelut dalam berbagai urusan yang lain. Seolah-olah jari yang patah itu berkata, “Kamu tidak boleh menyelimutiku dengan cahaya al-Qur’an kemudian melibatkanku dalam perkara pengadilan.” Bagaimanapun, di sini aku hanya mewakili Khulusi. Aku berbicara sebagai wakil darinya. Sama seperti yang aku lakukan terhadap Haqqi Afandi. Jika ia tidak senang dengan hal ini, ia bisa menulis sendiri tentang tamparan yang pernah ia alami.
Yang keenam
adalah “Bakir Afandi”.(*[6])Karena ia tidak hadir bersama kami, aku akan berbicara atas namanya sebagaimana aku berbicara atas nama saudara kandungku, Abdul Majid. Aku mewakilinya dengan melihat pada keikhlasan, kesetiaan, dan persahabatannya yang tulus, serta keteguhannya dalam beramal. Dalam hal ini aku bersandar pada apa yang diriwayatkan oleh Sulaiman Afandi,(*[7])
al-Hafidz Taufiq asy-Syami,(*[8])serta saudara-saudara tercinta lainnya.Bakir Afandi telah mencetak Kalimat Kesepuluh (Risalah Ke- bangkitan) di Istanbul. Maka, kami pun ingin mencetak tulisan tentang Risalah al-Mukjizat al-Qur’aniyyah di sana pula sebelum pemakaian huruf latin baru. Aku kirimkan sebuah surat kepadanya yang berbunyi, “Kami akan mengirimkan kepadamu biaya pencetakan risalah ini bersama risalah sebelumnya.” Namun ketika ia mengetahui bahwa pencetakan tersebut akan memakan biaya empat ratus lira, sementara ia mengetahui kondisiku yang miskin, ia pun ingin menutupi biaya tersebut dari uang miliknya. Terbesit dalam benak- nya bahwa aku tidak menyukai hal itu. Maka, ia tertipu oleh dirinya sendiri dengan tidak segera mencetaknya. Akibat dari pertimbangannya tersebut, tugas itu pun terlunta-lunta. Dua bulan berikutnya uangnya sebesar sembilan ratus lira dicuri orang. Hal itu merupakan tamparan kasih yang sangat keras kepadanya. Kami berharap semoga Allah menjadikan uang yang hilang itu sebagai sedekah darinya.
Yang ketujuh
adalah “al-Hafidz Taufiq asy-Syami”. Ia akan menceritakan sendiri kisahnya sebagai berikut:Ya, aku telah melakukan berbagai pekerjaan yang membuat- ku kelem semangat dalam mengabdi. Maka, aku pun mendapatkan sebuah tamparan peringatan. Aku yakin sekali bahwa tamparan tersebut pasti berasal dari sana. Yaitu akibat kesalahanku dalam berpikir dan kebodohanku dalam memberi keputusan.
Tamparan pertama adalah ketika Ustadz membagi-bagikan beberapa juz al-Qur’an kepada kami. Aku mendapat tugas menulis tiga juz. Allah memberikan anugerah kepadaku berupa kemampuan menulis huruf Arab secara baik seperti tulisan al-Qur’an al-Karim. Kecintaan menuliskan al-Qur’an membuatku sedikit malas dalam menuliskan rancangan dan salinan dari beberapa risalah. Selain itu, muncul kesombongan dalam diri ini dengan menganggap diriku leb- ih unggul dari teman-temanku dalam melakukan tugas tadi. Sebab, aku merasa mempunyai kemampuan menulis tulisan Arab dengan baik. Bahkan ketika Ustadz ingin memberikan arahan yang terkait dengan tulisan Arab, aku berkata padanya dengan sedikit sombong, “Ini adalah pekerjaanku. Aku tahu tentang hal ini. Karena itu, aku tak membutuhkan arahan.” Akibat kesalahanku tersebut, aku mendapatkan tamparan kasih sayang. Yaitu aku tak mampu mengejar teman-temanku dalam hal penulisan. Tulisan mereka lebih baik daripada tulisanku. Aku pun terheran-heran, mengapa aku bisa kalah dari mereka padahal aku dikenal hebat? Sekarang aku sadar bahwa itu merupakan tamparan.
Tamparan kedua kudapatkan akibat dua kondisi yang menodai ketulusanku dalam mengabdi terhadap al-Qur’an. Akibat dari dua kondisi tersebut aku mendapat tamparan yang sangat keras. Kedua kondisi yang dimaksud adalah sebagai berikut:Aku merasa diriku terasing dari masyarakat. Bahkan aku merasa betul-betul asing. Untuk menghilangkan perasaan tersebut, akhirnya aku duduk dengan orang-orang yang terlena oleh dunia. Dari mereka aku belajar sikap riya dan ingin dipuji. Selain itu, tanpa mengeluh sedikit pun aku pun memiliki kondisi kepribadian yang buruk. Aku tidak lagi memperhatikan aturan dari Ustadz untuk berhemat dan bersikap qana’ah. Padahal Ustadz sudah mengingatkanku mengenai hal ini. Bahkan tidak jarang ia juga mencelaku. Namun sayang sekali, aku tidak bisa menyelamatkan diri dari bencana ini. Semoga Allah memberikan maaf dan ampunan-Nya. Setan dari bangsa jin dan manusia memanfaatkan kondisiku yang bertentangan dengan spirit pengabdian pada al-Qur’an ini dan melemahkan semangat- ku untuk mengabdi pada al-Qur’an.
Aku pun menerima tamparan keras. Namun aku tahu bahwa itu adalah tamparan kasih sayang. Aku sangat yakin tanpa ada keraguan sedikit pun bahwa tamparan ini berasal dari kondisi tadi. Bentuk tamparannya adalah sebagai berikut: Meskipun aku telah menjadi murid Ustadz sekaligus penulis draf dan salinan risalah-risalahnya selama delapan tahun, sayang se- kali aku belum memperoleh cahaya risalah tersebut. Padahal cahaya itu telah mengalir kepada orang lain dalam delapan bulan. Aku dan Ustadz merasa bingung dengan kondisi tersebut. Kami bertanya-tanya, mengapa? Mengapa cahaya hakikat kebenaran al-Qur’an tidak bisa masuk ke dalam relung kalbuku? Kami terus mencari sebab-se- babnya.
Sampai aku dapatkan hal itu sekarang bahwa hakikat tersebut adalah sinar dan cahaya. Cahaya tak mungkin bisa berkumpul dengan gelapnya riya, sikap kepura-puraan, dan basa-basi terhadap orang. Hal itulah yang menyebabkan makna hakikat cahaya tersebut menjauh dariku sehingga seolah-olah asing dariku. Aku memo- hon kepada Allah agar menganugerahkan kepadaku keikhla- san yang sempurna yang sejalan dengan pengabdian ini, serta agar menyelamatkanku dari sikap riya dan sikap merendahkan diri di hadapan ahli dunia.(*[9])Aku juga berharap agar kalian semua—terutama Ustadz—mendoakanku secara sungguh-sungguh.
Hamba-Nya yang lalai,
al-Hafidz Taufiq asy-Syami
Yang ke delapan
adalah “Sayrani”. Ia saudara kandung Husrev,(*[10])
termasuk orang yang tertarik kepada Risalah Nur. Ia salah satu muridku yang cerdas dan bersemangat.Suatu hari aku ingin mengetahui pendapat para murid Isparta tentang adanya koherensi yang dianggap sebagai kunci penting dalam menyingkap rahasia al-Qur’an dan ilmu huruf. Semua murid dengan semangat ikut serta dalam diskusi tersebut, kecuali orang ini. Ia tidak hanya absen dalam diskusi tersebut, tetapi juga ingin memalingkanku dari hakikat kebenaran yang kuketahui secara yakin. Ia mempunyai perhatian terhadap urusan lain. Kemudian ia men- girim surat yang sangat menyakitkan hati. Aku pun berkata, “Aduh alangkah sayangnya! Aku telah kehilangan muridku ini.” Meskipun aku telah berusaha memberikan penjelasan kepadanya, namun ada hal lain yang mencampurinya. Akhirnya ia mendapatkan tamparan kasih. Ia masuk penjara selama kira-kira satu tahun.
Yang kesembilan
adalah “al-Hafidz Zuhdi Besar”. Ia bertugas mengawasi pekerjaan para murid Nur di daerah Aghrus. Namun sepertinya ia tidak merasa cukup dengan kedudukan yang tinggi dan mulia itu, padahal murid-murid Nur lainnya menikmati hal tersebut karena mereka mengikuti Sunnah dan menghindari bid’ah. Maka, ia pun kemudian berusaha mendapatkan kedudukan dari ahli dunia. Ia menerima tugas untuk mengajar bid’ah. Ia benar- benar melakukan suatu kesalahan dengan melanggar jalan kami, jalan Sunnah. Akhirnya ia mendapat tamparan yang sangat menakutkan. Ia dihadapkan pada sebuah insiden yang nyaris melenyapkan kehormatannya dan kehormatan keluarganya. Sangat disayangkan, insiden tersebut juga menimpa al-Hafidz Zuhdi Kecil, padahal ia tidak berhak menda- patkan tamparan itu. Semoga Allah menjadikan insiden yang menyakitkan tersebut layaknya operasi bedah yang bisa memalingkan kalbunya dari dunia dan mengembalikannya untuk mau mengabdi pada al-Qur’an.
Yang kesepuluh
adalah “al-Hafidz Ahmad”. Ia adalah orang yang menyalin beberapa risalah sekaligus mereguk cahayanya selama tiga tahun. Ia adalah orang yang tekun dan gemar beramal. Namun kemudian ia berinteraksi dengan ahli dunia dengan harapan bisa menangkal perbuatan buruk mereka dan bisa menyampaikan dakwah kepada mereka sehingga mendapat tempat di hati mereka. Pada waktu yang sama, dengan begitu ia juga ingin agar hidupnya yang sulit menjadi lapang. Akan tetapi, perhatiannya mulai berkurang dan mereka membuatnya sibuk dengan urusan ini. Ketika itulah, semangatnya dalam mengabdi kepada al-Qur’an melemah sehingga ia terkena dua tamparan sekaligus, yaitu:Pertama, keluarganya bertambah lima orang padahal kehidupannya sudah sempit sehingga ia betul-betul berada dalam kesulitan. Kedua, meskipun ia orang yang sangat sensitif dan tidak bisa bersabar dalam menerima ucapan seseorang, namun secara tidak disadari ia telah menjadi mediator bagi orang yang licik, sehingga ia kehilangan kehormatan sembilan puluh persen (90%). Banyak orang yang pergi meninggalkannya. Mereka memutuskan persahabatan dengannya bahkan memusuhinya. Namun demikian, kami berharap semoga Allah memberikan ampunan kepadanya. Kami juga berharap semoga ia diberi taufik untuk bisa sadar dari kelalaiannya serta kembali kepada tugasnya dalam mengabdi kepada al-Qur’an.
Yang kesebelas
tidak ditulis. Barangkali orangnya tidak rela.
Yang kedua belas
adalah Muallim Ghalib.(*[11])Dengan tulus dan jujur, ia telah mengabdi dengan menyalin risalah-risalah yang ada. Ia tak pernah terlihat lemah dalam menghadapi kesulitan sebesar apa pun. Ia menghadiri sebagian besar pengajian dengan penuh perha- tian dan kecintaan. Ia juga menyalin berbagai risalah untuk dirinya sendiri. Sampai-sampai ia menyalin sendiri al-Kalimât dan al-Mak- tûbât dengan biaya senilai tiga puluh lira. Penyalinan tersebut sengaja dilakukan untuk menyebarluaskan risalah-risalah tersebut di kotanya sekaligus untuk membimbing teman-temannya. Namun setelah itu, ia mulai patah semangat. Ia tidak lagi menyebar-luaskan risalah seperti biasanya. Hal itu disebabkan oleh berbagai lintasan pikiran yang ada dalam dirinya. Akhirnya cahaya risalah tadi tidak lagi tampak. Di saat alpa itulah ia mengalami sebuah insiden yang sangat pedih. Dengan adanya insiden tersebut ia mendapat berbagai kerisauan selama satu tahun penuh. Ia menghadapi banyak sekali musuh yang zalim sebagai ganti dari segelintir pegawai yang memusuhinya ketika ia menyebarluaskan risalah. Ia pun kehilangan teman-teman yang ia cintai.
Yang ketiga belas
adalah “al-Hafidz Khalid”.(*[12])Ia akan menceritakan sendiri kejadian yang dialaminya sebagai berikut:Ketika aku menuliskan draf Risalah Nur dengan penuh semangat, ada lowongan pekerjaan, yaitu menjadi imam masjid di tempat kami. Ketika itu aku sangat berminat untuk mengenakan jubah dan serban intelektualku. Selama beberapa saat aku malas untuk melakukan tugas yang ada. Perhatian dan kecenderunganku untuk mengabdi kepada al-Qur’an mulai berkurang. Akibat kebodohanku, akhirnya kutinggalkan pekerjaan tersebut. Namun tiba-tiba aku mendapat tamparan kasih sayang. Meskipun mufti sudah seringkali berjanji dan aku telah menjalani tugas tersebut sejak kurang lebih sembilan bulan, namun aku tetap tidak bisa mengenakan jubah dan serban itu. Ketika itulah aku yakin bahwa tamparan tersebut diakibatkan oleh kelalaianku dalam mengabdi pada al-Qur’an. Padahal, ketika itu Ustadz sedang mengajarku dan aku sendiri sedang memiliki tugas menulis draf risalah. jadi, berhentinya aku dari pengabdian tersebut terutama dari menulis draf risalah telah menyulitkan mereka. Na- mun demikian, kami bersyukur kepada Allah yang telah membuat kami benar-benar memahami kelalaian kami serta membuat kami mengetahui mulianya pengabdian tersebut. Kami pun mempercayai guru mursyid seperti syekh Abdul Qadir al-Jailani sebagai pembantu kami layaknya malaikat penjaga.
Hamba-Nya yang paling lemah
Hâfız Hâlid
Yang keempat belas
ada tiga tamparan kasih berskala kecil yang menimpa tiga orang yang semuanya bernama Mustafa.
Pertama adalah Mustafa Cavuş.(*[13])Ia bertugas mengabdi pada masjid kecil kami, menyediakan minyak untuk pemanas ruangannya, bahkan ia pula yang memberikan sekotak korek api untuk masjid. Ia mengabdi selama delapan tahun. Semua urusan di atas ia biayai dari hartanya sendiri, sebagaimana kita ketahui kemudian. Ia tidak pernah absen dalam shalat-shalat berjamaah. Apalagi di malam- malam yang penuh berkah, kecuali jika sangat terpaksa karena ada pekerjaan yang sangat penting.
Kemudian ahli dunia memanfaatkan kebersihan kalbunya dan mereka berkata: “Sampaikan kepada al-Hafidz—yang termasuk penulis Risalah Nur—untuk melepaskan jubahnya sebelum ia disakiti dan dipaksa untuk melepaskannya. Juga, beritahukan kepada para jamaah agar mereka meninggalkan azan sir.”(*[14])Orang tadi tidak mengetahui bahwa sangat berat bagi sosok seperti Mustafa Cavuş yang memiliki tingkat spiritual tinggi untuk menyampaikan berita tersebut. Namun ia sampaikan berita itu kepada sahabatnya.
Pada malam itulah, tatkala tidur aku bermimpi menyaksikan tangan Mustafa Cavuş bernoda sementara ia berjalan di belakang seorang pejabat tinggi setempat. Mereka berdua bersama-sama memasuki kamarku. Pada hari berikutnya, aku berkata padanya, “Wahai saudaraku, Mustafa, siapa yang kau temui hari ini? Dalam mimpi aku melihat tanganmu bernoda seraya berjalan di belakang pejabat tinggi setempat.” Mendengar hal tersebut ia berkata, “Sungguh aku sangat menyesal. Ia telah memberiku sebuah berita yang kemudian aku sampaikan kepada al-Hafidz. Aku sama sekali tidak mengetahui kalau di balik itu ada rekayasa.”
Selanjutnya pada hari itu pula, ia membawa minyak tanah ke masjid. Tapi tidak seperti biasanya, pintu masjid itu terus terbuka sehingga seekor kambing betina yang masih kecil bisa masuk ke dalam masjid dan mengotori satu tempat yang dekat dengan sajadahku. Lalu seseorang datang. Ia ingin membersihkan tempat yang kotor tadi. Di situ yang ia temukan hanyalah sebuah wadah minyak yang ia kira berisi air sehingga tanpa pikir panjang ia mulai menuangkan isi tempat tadi ke pojok masjid. Anehnya, ia sama sekali tidak mencium baunya.
Seolah-olah masjid itu berkata kepada Mustafa Cavuş “Kami tidak lagi membutuhkan minyakmu. Engkau telah melakukan kesalahan besar.” Hal ini ditunjukkan oleh tidak terciumnya bau minyak, bahkan oleh ketidakhadiran Mustafa dalam shalat berjamaah pada sepanjang hari itu dan pada malam Jum’at yang penuh berkah padahal ia telah berupaya keras untuk hadir. Maka, ia pun menyatakan penyesalannya yang tulus kepada Allah. Ia terus meminta ampun kepada-Nya sehingga alhamdulillah, kalbunya kembali bersih.
Dua sosok lainnya sama-sama bernama Mustafa. Pertama adalah Mustafa yang berasal dari desa Kuleonu. Ia termasuk murid yang sungguh-sungguh dan penting. Sementara yang satunya lagi adalah teman setianya, yaitu al-Hafidz Mustafa yang setia dan penuh pengorbanan.Aku telah memberitahu semua muridku untuk tidak datang mengunjungiku segera usai shalat Ied. Hal itu dimaksudkan agar pengabdian mereka pada al-Qur’an tidak melemah karena adanya pengawasan dan gangguan ahli dunia. Kecuali jika mereka datang sendiri-sendiri. Namun tiba-tiba aku dikagetkan oleh tiga orang yang datang mengunjungiku secara bersamaan di malam hari. Mere- ka memutuskan untuk pergi sebelum fajar tiba. Melihat kondisi yang ada, aku pun mengizinkan mereka untuk pergi. Namun aku, Sulaiman, dan Mustafa Cavuş tidak membuat siasat apa pun. Kami semua lupa karena masing-masing melepaskan tanggung jawab pada yang lain. Akhirnya, mereka pun meninggalkan kami sebelum fajar tiba. Tidak lama kemudian topan yang sangat keras menerpa mereka. Kami tak pernah melihat topan sekeras itu pada musim dingin ini. Dua jam telah berlalu. Kami sangat gelisah terhadap mereka. Menurut kami, mereka tidak akan selamat. Aku sangat sedih dengan apa yang menimpa mereka. Tak pernah aku sesedih itu sebelumnya. Kemudian, aku ingin mengutus Sulaiman—karena ia telah bertindak ceroboh—untuk mencari informasi tentang mereka seraya menginformasikan kepada kami tentang keselamatan dan sampai tidaknya mereka. Namun Mustafa Cavuş berkata, “Jika Sulaiman pergi, ia juga akan tertahan di sana tanpa bisa kembali. Aku pun demikian, dan Abdullah Cavuş juga akan mengikuti jejakku.” Karena itu, kami pun menyerahkan urusan tersebut kepada Allah Yang Mahatinggi dan Kuasa seraya berkata, “Kami bertawakkal kepada Allah dan kami serahkan urusan tersebut kepada-Nya.”
Pertanyaan Engkau menganggap semua musibah yang menimpa saudara dan teman-temanmu sebagai peringatan Tuhan dan tamparan teguran atas sikap futûr (lemah semangat) mereka dalam mengabdi pada al-Qur’an. Sementara, orang-orang yang menentang pengabdian tersebut dan memusuhi kalian bisa hidup dengan tenang dan aman. Mengapa para sahabat al-Qur’an mengalami tamparan sedangkan musuhnya tidak?
Jawaban Sebuah pepatah bijak berbunyi, “Kezaliman tidak akan aba- di, sementara kekufuran pasti abadi.” Dalam hal ini, kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang yang mengabdikan diri pada al-Qur’an berasal dari sikap zalim mereka terhadap pengabdian tersebut. Karena itu, mereka dengan cepat mendapatkan hukuman dan peringatan Tuhan. Mereka sadar jika memiliki akal sehat. Adapun tindakan musuh yang menjadi penghalang dari al- Qur’an dan menentang usaha pengabdian terhadap al-Qur’an—entah itu disadari atau tidak—berasal dari sikap kufur mereka. Dan karena kekufuran itu abadi, mereka tidak mendapatkan tamparan yang bersifat kontan dan cepat.
Sama halnya dengan orang yang melakukan kesalahan kecil akan dihukum di daerah setempat. Sementara orang yang melakukan kejahatan besar akan digiring ke pengadilan tertinggi.
Demikian pula dengan kesalahan kecil yang dilakukan oleh orang beriman dan sahabat al-Qur’an, mereka akan mendapatkan hukumannya di dunia untuk menghapus dan membersihkan kesalahan tadi.
Sementara kejahatan kaum yang sesat sangatlah besar sehingga hukumannya tidak cukup kalau dilakukan di dunia yang singkat ini. Mereka ditunda ke alam baka dan dibawa ke pengadilan tertinggi di sana untuk mendapat hukuman dari Tuhan Yang Maha Adil. Karena itu, pada umumnya mereka tidak menerima hukuman di dunia.
Dalam hadis Nabi disebutkan: “Dunia merupakan penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.”(*[15])Ini menjadi petunjuk atas hakikat yang baru saja kami jelaskan. Yaitu bahwa orang mukmin mendapatkan bagian hukuman dari hasil kesalahannya di dunia, sehingga dunia merupakan tempat hukuman bagi mereka. Jadi, dunia ini bagaikan penjara dan neraka bagi orang mukmin dibandingkan dengan akhirat mereka yang ba- hagia.
Adapun orang-orang kafir, karena mereka akan kekal di neraka, maka dunia bagi mereka bagaikan tempat yang sangat nikmat. Sebab, di sana mereka akan mendapatkan siksa akhirat. Selanjutnya, di dunia ini orang mukmin mendapatkan kenikmatan batin yang tidak didapat oleh manusia yang paling bahagia sekalipun.
Pada hakikatnya, ia jauh lebih bahagia ketimbang orang kafir. Seolah-olah keimanan orang mukmin sama seperti surga batiniah yang terdapat dalam jiwanya. Sedangkan kekufuran orang kafir sama seperti neraka jahim.
سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
- ↑ *Contohnya, mereka yang menyiksa, menghinakan, dan bersikap keras terhadap murid-murid Risalah Nur telah mendapatkan hukuman yang setimpal bahkan lebih keras lagi—Penulis.
- ↑ *Dia adalah Syekh Said yang terkenal dengan Biran Kurdi, salah seorang Syekh dalam tarekat Naqsyabandiyah. Kakeknya termasuk salah satu wakil Maulana Khalid asy-Syahrazwari. Ia memimpin revolusi di wilayah timur Turki melawan pemerintah yang sedang berkuasa karena sikapnya yang melawan agama. Revolusi yang ia lakukan terjadi pada tanggal 1 Februari 1925, namun berhasil ditumpas pada tanggal 15 April 1925. Syekh akhirnya dibawa ke Mahkamah Revolusi. Ia beserta 47 orang teman dekat- nya divonis hukuman mati. Eksekusi dilakukan di Diyarbakir tanggal 29 Juni 1925.
- ↑ *Marsekal Mustafa Fevzi Çakmak selaku Kepala staf angkatan bersenjata Turki ketika itu.
- ↑ *Kota yang berjarak sekitar 500 km ke arah barat dari kota Van.
- ↑ *Yaitu melakukan iqamat dan mengeraskan azan dengan bahasa Turki, serta sejenisnya sebagai bagian dari bid’ah yang muncul sejak 1920-an dan terus berlangsung hingga tahun 1950.
- ↑ *Bekir Afandi adalah salah satu murid pertama an-Nur. Ia lahir tahun 1898 M di Barla dan meninggal dunia pada tahun 1954 di kota Istanbul. Semoga Allah memberi- kan rahmat padanya.
- ↑ *Dialah yang melayani Ustadz Nursi ketika berada dalam pengasingannya di Barla selama delapan tahun. Ia adalah teladan dalam kejujuran, kesetiaan, dan keikhlasan. Ia meninggal dunia pada tahun 1965. Semoga Allah memberikan rahmat yang luas kepadanya.
- ↑ *al-Hafidz Taufiq (1887-1965 M) termasuk murid dan juru tulis pertama an- Nur. Ia diberi gelar al-Hafidz karena hafal al-Qur’an al-Karim, dan diberi gelar asy-Syami karena tinggal lama di negeri Syam untuk menyertai ayahnya yang menjadi panglima di sana. Ia dikenal sebagai orang yang saleh, berilmu, dan bertakwa. Ia senantiasa menyer- tai Ustadz, baik ketika di Barla maupun ketika berada di penjara Eskisyehir dan Denizli. Semoga Allah memberikan rahmat padanya.
- ↑ *Istilah “ahli dunia” dipakai oleh Ustadz Nursi bagi orang-orang yang menga- gungkan dunia dan melupakan akhirat serta memusuhi Islam—Peny.
- ↑ *Husrev termasuk orang pertama yang menyalin dan menyebarkan ratusan risalah dalam situasi yang paling buruk. Ia habiskan sebagian besar hidupnya bersama Ustadz di penjara Eskisyehir, Denizli, dan Afyon. Dialah yang menulis sebuah mushaf dibawah bimbingan Ustadz Nursi. Mushaf tersebut ditulis untuk memperlihatkan kemukjizatan al-Qur’an dilihat dari adanya koherensi yang sangat halus pada lafadz al-Jalalah. Ia lahir di Isparta tahun 1899 dan meninggal dunia di Istanbul pada tahun 1977. Semoga Allah memberikan rahmat yang luas kepadanya.
- ↑ *Muallim Ahmad Ghalib adalah termasuk murid Nur generasi awal. Ia merupa- kan seorang kaligrafer sekaligus penyair. Ia memillki sebuah kumpulan syair yang ditulis dengan tulisan indah. Lahir di Yalwaj tahun 1900 dan meninggal dunia pada tahun 1940. Semoga Allah memberikan rahmat yang luas kepadanya.
- ↑ *Nama lengkap dari al-Hafidz Khalid adalah Khalid Umar Lutfi Afandi. Ia terma- suk murid Nur generasi awal dan penulis risalah. Lahir tahun 1891 di Barla dan wafat tahun 1946 di Istanbul. Ia bertugas mengajar kemudian tugas tersebut ditinggalkan. Ia menjadi imam di salah satu masjid di Barla. Ustadz pernah mengirimkan risalah kepadanya yang berisi belasungkawa atas kematian anaknya, Anwar, di tahun 1930 setelah terkena penyakit batuk rejan di saat umurnya mendekati delapan tahun. Risalah tersebut dimasukkan ke dalam al-Maktûbât. Tepatnya surat ketujuh belas.
- ↑ *Nama sebenarnya dari Mustafa Cavuş adalah Hulusi Mustafa. Ia lahir pada tahun 1886. Kemudian mengabdi pada Ustadz Nursi di Barla dan pada tahun 1939 meninggal dunia dalam usia 57 tahun. Semoga Allah menyelimuti beliau dengan rahmat-Nya.
- ↑ *Biasanya mereka mengumandangkan adzan syar’i (berbahasa arab) dengan suara sirr (sembunyi-sembunyi) dan mereka mengumandangkan adzan bid’ah (berbahasa Turki) dengan suara jahr (terang-terangan).
- ↑ *HR. Muslim, az-Zuhd, 1; at-Tirmidzi, az-Zuhd, 16; Ibnu Majah, az-Zuhd, 3; danAhmad, al-Musnad, 2/197, 323, 389, 485.