On Dokuzuncu Lem'a/id: Revizyonlar arasındaki fark

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    ("Seketika itu pula syekh Abdul Qadir al-Jailani berkata kepada ayam yang ada di hadapannya, “Bangkitlah dengan izin Allah!” Ayam itu pun bangkit melompat keluar dari tempatnya setelah hidup kembali. Berita ini diriwayatkan secara mutawatir maknawi oleh orang-orang yang bisa dipercaya(*<ref>*Menurut al-Yâfi’i, ada sebuah riwayat sahih yang sanadnya bersambung kepada Syekh Abdul Qadir al-Jailani yang isinya, “Ibu dari anak muda tersebut pergi menem..." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    ("------ <center> CAHAYA KEDELAPAN BELAS ⇐ | Al-Lama’ât | ⇒ CAHAYA KEDUA PULUH </center> ------" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    Etiketler: Mobil değişiklik Mobil ağ değişikliği
     
    (Aynı kullanıcının aradaki diğer 59 değişikliği gösterilmiyor)
    49. satır: 49. satır:
    Seketika itu pula syekh Abdul Qadir al-Jailani berkata kepada ayam yang ada di hadapannya, “Bangkitlah dengan izin Allah!” Ayam itu pun bangkit melompat keluar dari tempatnya setelah hidup kembali. Berita ini diriwayatkan secara mutawatir maknawi oleh orang-orang yang bisa dipercaya(*<ref>*Menurut al-Yâfi’i, ada sebuah riwayat sahih yang sanadnya bersambung kepada Syekh Abdul Qadir al-Jailani yang isinya, “Ibu dari anak muda tersebut pergi menemui Syekh yang sedang memakan ayam. Sang ibu tidak senang melihat sang Syekh memakan ayam sementara anaknya diberi makanan yang paling hina. Maka Syekh Abdul Qadir al- Jailani berkata kepadanya, “Jika anakmu sudah bisa berkata kepada ayam semacam ini, “Bangkitlah dengan izin Allah!” (Ayam itupun bangkit dengan sayapnya dan terbang), maka ia berhak memakannya.” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatâwâ al-Hadîtsah, h.80; al- Jailâni, Ganiyyah ath-Thâlibîn, h.502; an-Nabhâni, Jâmi’ Karâmât al-Auliyâ, 2/203).              </ref>)untuk memperlihatkan salah satu karamah yang dimiliki oleh pemilik karamah terkenal di dunia, syekh Abdul Qadir al-Jailani .
    Seketika itu pula syekh Abdul Qadir al-Jailani berkata kepada ayam yang ada di hadapannya, “Bangkitlah dengan izin Allah!” Ayam itu pun bangkit melompat keluar dari tempatnya setelah hidup kembali. Berita ini diriwayatkan secara mutawatir maknawi oleh orang-orang yang bisa dipercaya(*<ref>*Menurut al-Yâfi’i, ada sebuah riwayat sahih yang sanadnya bersambung kepada Syekh Abdul Qadir al-Jailani yang isinya, “Ibu dari anak muda tersebut pergi menemui Syekh yang sedang memakan ayam. Sang ibu tidak senang melihat sang Syekh memakan ayam sementara anaknya diberi makanan yang paling hina. Maka Syekh Abdul Qadir al- Jailani berkata kepadanya, “Jika anakmu sudah bisa berkata kepada ayam semacam ini, “Bangkitlah dengan izin Allah!” (Ayam itupun bangkit dengan sayapnya dan terbang), maka ia berhak memakannya.” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatâwâ al-Hadîtsah, h.80; al- Jailâni, Ganiyyah ath-Thâlibîn, h.502; an-Nabhâni, Jâmi’ Karâmât al-Auliyâ, 2/203).              </ref>)untuk memperlihatkan salah satu karamah yang dimiliki oleh pemilik karamah terkenal di dunia, syekh Abdul Qadir al-Jailani .


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Di antara yang dikatakan oleh syekh Abdul Qadir al-Jailani ketika itu adalah, “Kalau anakmu sudah sampai ke jenjang ini, barulah ia boleh makan ayam.”
    Hazret-i Gavs demiş: “Ne vakit senin oğlun da bu dereceye gelirse o zaman o da tavuk yesin.”
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Maksud dari ungkapan tersebut adalah, “Jika jiwa anakmu sudah bisa menguasai jasadnya, jika kalbunya sudah bisa mendomi- nasi nafsunya, jika akalnya bisa mengalahkan perutnya, serta ia bisa merasakan kenikmatan tersebut dalam rangka bersyukur, ketika itu ia boleh memakan makanan yang enak dan lezat.”
    İşte Hazret-i Gavs’ın bu emrinin manası şudur ki: Ne vakit senin oğlun da ruhu cesedine, kalbi nefsine, aklı midesine hâkim olsa ve lezzeti şükür için istese o vakit leziz şeyleri yiyebilir…
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="Dördüncü_Nükte"></span>
    == Dördüncü Nükte ==
    ==Nuktah Keempat==
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Orang yang hemat tidak akan ditimpa oleh kemiskinan dan kelaparan sebagaimana hal itu disebutkan oleh hadis Nabi :“Orang yang hidup hemat tidak akan miskin”.(*<ref>*Lihat: Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, 1/447; ath-Thabrâni, al-Mu’jam al-Kabîr, 10/108; al-Mu’jam al-Ausath, 5/206, 6/365; al-Baihaqi, syuab al-Îmân, 5/255. Lihat pula: al-Ajlûni, Kasyful Khafâ, 1/158, 2/189.</ref>)Ya, ada berbagai bukti nyata yang menunjukkan bahwa hidup hemat menjadi sebab diturunkannya keberkahan dan sebagai asas kehidupan yang lebih baik.
    “İktisat eden, maişetçe aile belasını çekmez.” mealinde لَا يَعُولُ مَنِ اق۟تَصَدَ hadîs-i şerifi sırrıyla: İktisat eden, maişetçe aile zahmet ve meşakkatini çok çekmez. Evet iktisat, kat’î bir sebeb-i bereket ve medar-ı hüsn-ü maişet olduğuna o kadar kat’î deliller var ki hadd ü hesaba gelmez.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Di antaranya adalah pengalamanku sendiri serta pengakuan orang-orang yang telah membantu dan menemaniku dalam menjalankan tugasku. Kadangkala aku dan beberapa teman mendapatkan sepuluh kali lipat keberkahan karena sikap hemat tadi. Bahkan sembilan tahun yang lalu,90 ketika beberapa pimpinan suku yang diasingkan bersamaku ke Burdur memaksaku untuk menerima zakat harta mereka dengan tujuan agar aku tidak jatuh miskin kare- na uangku yang sedikit, kukatakan kepada para pimpinan yang kaya raya itu, “Meskipun uangku sangat sedikit, namun aku bisa hidup hemat. Aku terbiasa merasa cukup sehingga aku tidak membutuhkan bantuan kalian.” Akhirnya, kutolak tawaran mereka yang beru- lang-ulang tersebut. Dan patut untuk diperhatikan, ternyata sebagian besar orang-orang yang telah menawarkan zakat mereka kepadaku itu dua tahun kemudian dililit utang karena tidak mau bersikap hemat. Sebaliknya, berkat sikap hemat, uangku yang sedikit tadi alham- dulillah masih cukup hingga tujuh tahun berikutnya. Aku tidak perlu menjatuhkan harga diriku, tidak sampai meminta bantuan orang, dan masih tetap bisa berpegang pada prinsip hidupku, yaitu al-istigh- nâ (tidak bergantung kepada orang lain).
    Ezcümle, ben kendi şahsımda gördüğüm ve bana hizmet ve arkadaşlık eden zatların şehadetleriyle diyorum ki: İktisat vasıtasıyla bazen bire on bereket gördüm ve arkadaşlarım gördüler. Hattâ dokuz sene –şimdi otuz sene– evvel benimle beraber Burdur’a nefyedilen reislerden bir kısmı, parasızlıktan zillet ve sefalete düşmemekliğim için zekâtlarını bana kabul ettirmeye çok çalıştılar. O zengin reislere dedim: “Gerçi param pek azdır fakat iktisadım var, kanaate alışmışım. Ben sizden daha zenginim.” Mükerrer ve musırrane tekliflerini reddettim. Cây-ı dikkattir ki iki sene sonra, bana zekâtlarını teklif edenlerin bir kısmı iktisatsızlık yüzünden borçlandılar. Lillahi’l-hamd onlardan yedi sene sonra, o az para iktisat bereketiyle bana kâfi geldi; benim yüzsuyumu döktürmedi, beni halklara arz-ı hâcete mecbur etmedi. Hayatımın bir düsturu olan “nâstan istiğna” mesleğimi bozmadı.
    besar orang-orang yang telah menawarkan zakat mereka kepadaku itu dua tahun kemudian dililit utang karena tidak mau bersikap hemat. Sebaliknya, berkat sikap hemat, uangku yang sedikit tadi alham- dulillah masih cukup hingga tujuh tahun berikutnya. Aku tidak perlu menjatuhkan harga diriku, tidak sampai meminta bantuan orang, dan masih tetap bisa berpegang pada prinsip hidupku, yaitu al-istighnâ (tidak bergantung kepada orang lain).
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ya, orang yang tidak bersikap hemat akan jatuh pada kehinaan serta akan tergelincir ke dalam jurang kerendahan. Harta yang dipergunakan untuk hidup berlebihan pada zaman kita sekarang ini merupakan harta yang mahal dan sangat berharga. Sebab, kadangkala ia harus dibayar dengan kehormatan dan harga diri. Bahkan seringkali kesucian agama dipertaruhkan hanya untuk mendapatkan uang yang sial. Dengan kata lain, seseorang berusaha mendapat beberapa rupiah lewat cara menggadaikan ratusan juta harta maknawinya.
    Evet iktisat etmeyen, zillete ve manen dilenciliğe ve sefalete düşmeye namzettir. Bu zamanda israfata medar olacak para, çok pahalıdır. Mukabilinde bazen haysiyet, namus rüşvet alınıyor. Bazen mukaddesat-ı diniye mukabil alınıyor, sonra menhus bir para veriliyor. Demek, manevî yüz lira zarar ile maddî yüz paralık bir mal alınır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Padahal kalau manusia mau membatasi diri pada kebutuhan pokoknya dan hanya berkonsentrasi padanya, ia akan mendapatkan rezeki yang akan menjamin kelangsungan hidupnya dari tempat yang tak disangka-sangka sesuai dengan kandungan firman Allah:“Sesungguhnya Allahlah Yang Maha Memberi rezeki dan memiliki kekuatan yang kokoh.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 58).
    Eğer iktisat edip hâcat-ı zaruriyeye iktisar ve ihtisar ve hasretse اِنَّ اللّٰهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو ال۟قُوَّةِ ال۟مَتٖينُ sırrıyla وَمَا مِن۟ دَٓابَّةٍ فِى ال۟اَر۟ضِ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ رِز۟قُهَا sarahatiyle, ummadığı tarzda yaşayacak kadar rızkını bulacak. Çünkü şu âyet taahhüd ediyor.
    Bahkan secara tegas dan pasti ayat berikut memberikan jaminan tersebut:“Tiada satu pun binatang melata di bumi ini kecuali atas Allahl- ah rezekinya.” (QS. Hud [11]: 6).
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ya, rezeki terbagi dua:
    Evet rızık ikidir:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Pertama, rezeki hakiki yang menjadi ketergantungan hidup seseorang. Rezeki tersebut dijamin oleh Allah sesuai dengan bunyi ayat di atas. Setiap orang bisa memperoleh rezeki tersebut jika ikhtiar buruk manusia tidak ikut campur, tidak sampai mengorbankan agamanya, serta tidak menggadaikan kehormatan dan harga dirinya.
    '''Biri:''' Hakiki rızıktır ki onunla yaşayacak. Bu âyetin hükmü ile o rızık, taahhüd-ü Rabbanî altındadır. Beşerin sû-i ihtiyarı karışmazsa o zarurî rızkı herhalde bulabilir. Ne dinini, ne namusunu, ne izzetini feda etmeye mecbur olmaz.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kedua, rezeki majasi. Orang yang menyalahgunakan reze- ki jenis ini akan terbelenggu oleh kebutuhan yang tidak penting di mana kemudian berubah menjadi kebutuhan pokok baginya akibat penyakit taklid (sikap meniru orang lain). Karena rezeki ini berada di luar jaminan Tuhan, maka biaya untuk memperolehnya sangat mahal, khususnya di zaman sekarang ini. Harta tersebut seringkali diperoleh dengan cara menggadaikan kehormatan. Bahkan meskipun dengan mencium kaki orang. Lebih dari itu, kadangkala harta yang buruk dan tidak berkah tersebut harus dibayar dengan mengorbankan ke- sucian agama, padahal ia merupakan cahaya kehidupan yang abadi.
    '''İkincisi:''' Rızk-ı mecazîdir ki sû-i istimalat ile hâcat-ı gayr-ı zaruriye, hâcat-ı zaruriye hükmüne geçip, görenek belasıyla tiryaki olup terk edemiyor. İşte bu rızık, taahhüd-ü Rabbanî altında olmadığı için bu rızkı tahsil etmek, hususan bu zamanda çok pahalıdır. Başta izzetini feda edip zilleti kabul etmek, bazen alçak insanların ayaklarını öpmek kadar manen bir dilencilik vaziyetine düşmek, bazen hayat-ı ebediyesinin nuru olan mukaddesat-ı diniyesini feda etmek suretiyle o bereketsiz menhus malı alır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Selanjutnya, kepedihan yang lahir dari rasa kasihan kepada sesama lantaran kondisi yang dialami orang-orang lapar pada zaman di mana kemiskinan merajalela membuat para pemilik hati nurani merasa sedih jika masih memiliki hati nurani sehingga kenikmatan yang didapatkan dari harta haram menjadi pahit.
    Hem bu fakr u zaruret zamanında, aç ve muhtaç olanların elemlerinden ehl-i vicdana rikkat-i cinsiye vasıtasıyla gelen teellüm; o gayr-ı meşru bir surette kazandığı para ile aldığı lezzeti, vicdanı varsa acılaştırıyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Pada zaman yang aneh ini, seseorang harus membatasi diri dengan bingkai darurat dalam mempergunakan harta yang masih meragukan. Sebab, ada kaidah yang berbunyi:“Darurat dihitung sesuai kadarnya.
    Böyle acib bir zamanda, şüpheli mallarda, zaruret derecesinde iktifa etmek lâzımdır. Çünkü اِنَّ الضَّرُورَةَ تُقَدَّرُ بِقَد۟رِهَا sırrıyla: Haram maldan mecburiyetle zaruret derecesini alabilir, fazlasını alamaz. Evet muztar adam, murdar etten tok oluncaya kadar yiyemez. Belki ölmeyecek kadar yiyebilir. Hem yüz aç adamın huzurunda, kemal-i lezzet ile fazla yenilmez.
    Atas dasar itu, harta yang haram bisa diterima secara terpaksa dalam batas darurat, tidak lebih dari itu. Seseorang yang terpaksa tidak boleh memakan bangkai hingga kenyang. Tetapi ia boleh memakan bangkai tersebut untuk sekadar bertahan hidup. Selain itu, tidak boleh memakan makanan secara lahap di hadapan ratusan orang lapar.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Di sini kami akan mengetengahkan sebuah kejadian nyata yang menunjukkan bahwa hidup hemat adalah penyebab kemuliaan dan kesempurnaan.
    '''İktisat, sebeb-i izzet ve kemal olduğuna delâlet eden bir vakıa:'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Hatim ath-Thâ’i yang terkenal dermawan pada suatu hari mengadakan sebuah jamuan. Ia berikan berbagai hadiah berharga kepada para tamunya. Lalu ia keluar berjalan-jalan di padang pasir. Di tengah jalan ia melihat seorang lelaki tua miskin sedang memikul beban berat berupa kayu, ranting, dan duri-durian di pundaknya.
    Bir zaman, dünyaca sehavetle meşhur Hâtem-i Tâî, mühim bir ziyafet veriyor. Misafirlerine gayet fazla hediyeler verdiği vakit, çölde gezmeye çıkıyor. Bakar ki bir ihtiyar fakir adam, bir yük dikenli çalı ve gevenleri beline yüklemiş; cesedine batıyor, kanatıyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sementara darah mengucur dari sebagian tubuhnya. Ia pun segera memanggil orang tua tersebut, “Wahai orang tua, hari ini Hatim ath-Thâ’i sedang menyelenggarakan jamuan besar dan membagi-bagikan hadiah berharga. Cepatlah pergi ke sana, barangkali engkau juga mendapatkan harta yang nilainya berkali-kali lipat lebih banyak daripada apa yang kau dapatkan dari beban yang kau pikul itu!
    Hâtem ona dedi: “Hâtem-i Tâî, hediyelerle beraber mühim bir ziyafet veriyor. Sen de oraya git; beş kuruşluk bu çalı yüküne bedel, beş yüz kuruş alırsın.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Namun orang tua yang hemat tadi berkata, “Aku akan memikul barang ini dengan ke- hormatan diriku. Aku tidak mau menjatuhkan harga diriku untuk mendapatkan pemberian Hatim ath-Thâ’i.”
    O muktesid ihtiyar demiş ki: “Ben, bu dikenli yükümü izzetimle çekerim, kaldırırım. Hâtem-i Tâî’nin minnetini almam.”
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ketika pada suatu hari Hatim ath-Thâ’i ditanya, “Siapakah orang yang lebih mulia darimu?” ia menjawab,
    Sonra, Hâtem-i Tâî’den sormuşlar: “Sen kendinden daha civanmert, aziz, kimi bulmuşsun?”
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Orang tua sederhana yang aku temui di padang pasir. Aku saksikan orang tua tersebut betul-betul lebih mulia daripada diriku.”
    Demiş: “İşte o sahrada rast geldiğim o muktesid ihtiyarı benden daha aziz, daha yüksek, daha civanmert gördüm.”
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="Beşinci_Nükte"></span>
    == Beşinci Nükte ==
    ==Nuktah Kelima==
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Di antara kesempurnaan kemurahan-Nya, Allah  membuat orang yang paling miskin dapat merasakan kelezatan berbagai nikmat-Nya, sebagaimana yang dirasakan oleh orang yang paling kaya. Sehingga, orang miskin bisa merasakan kelezatan tersebut layaknya penguasa.
    Cenab-ı Hak kemal-i kereminden, en fakir adama en zengin adam gibi ve gedaya (yani fakire) padişah gibi lezzet-i nimetini ihsas ettiriyor. Evet bir fakirin, kuru bir parça siyah ekmekten açlık ve iktisat vasıtasıyla aldığı lezzet, bir padişahın ve bir zenginin israftan gelen usanç ve iştahsızlık ile yediği en a’lâ baklavadan aldığı lezzetten daha ziyade lezzetlidir.
    Ya, kelezatan yang dirasakan oleh orang miskin ketika ia memakan sepotong roti kering karena lapar dan hemat melebihi kenikmatan yang dirasakan oleh penguasa atau orang kaya ketika mereka memakan kue mahal dalam kondisi bosan dan tanpa selera akibat berlebihan.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Namun sungguh mengherankan, ada sebagian orang yang hidup boros dan berlebihan menuduh orang-orang yang hemat se- bagai orang pelit. Tidak, sama sekali! Hidup hemat merupakan kehormatan dan kedermawanan. Sementara kehinaan dan sifat pelit ada di balik kedermawanan lahiriah orang-orang yang berlebihan dan boros.
    Cây-ı hayrettir ki bazı müsrif ve mübezzir insanlar, böyle iktisatçıları “hısset” ile ittiham ediyorlar. Hâşâ… '''İktisat, izzet ve cömertliktir. Hısset ve zillet, ehl-i israf ve tebzirin zâhirî merdane keyfiyetlerinin içyüzüdür.''' Bu hakikati teyid eden, bu risalenin telifi senesinde Isparta’da hücremde cereyan eden bir vakıa var. Şöyle ki:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ada sebuah peristiwa yang berlangsung di rumahku di Isparta pada tahun selesainya penulisan risalah ini yang menguatkan hakikat di atas.Salah seorang muridku terus-menerus memaksa agar aku menerima hadiah sekitar tiga kilogram madu di mana hal tersebut menyalahi prinsip hidup yang kupegang selama ini.(*<ref>*Yakni, Ustadz Nursi tidak mau menerima berbagai hadiah yang diberikan secara cuma-cuma.</ref>)Walaupun aku telah berupaya sekuat tenaga menjelaskan pentingnya berpegang pada prinsipku itu, ia tetap tidak merasa puas dengan penjelasanku tersebut. Akhirnya, aku terpaksa menerimanya dengan niat agar tiga orang saudaraku yang tinggal sekamar bisa bersama-sama memakan madu tersebut secara hemat sepanjang empat puluh hari bulan Sya’ban dan Ramadhan sehingga si pemberi tadi mendapatkan ganjaran pahala yang besar, juga agar mereka bertiga bisa menikmati sesuatu yang manis. Begitulah aku wasiatkan mereka untuk menerima hadiah tadi, mengingat aku sendiri masih mempunyai sekitar satu kilogram madu.
    Kaideme ve düstur-u hayatıma muhalif bir surette, bir talebem iki buçuk okkaya yakın bir balı, bana hediye kabul ettirmeye ısrar etti. Ne kadar kaidemi ileri sürdüm, kanmadı. Bilmecburiye, yanımdaki üç kardeşime yedirmek ve şaban-ı şerif ve ramazanda o baldan iktisat ile otuz kırk gün üç adam yesin ve getiren de sevap kazansın ve kendileri de tatlısız kalmasın diyerek “Alınız!” dedim. Bir okka bal da benim vardı. O üç arkadaşım, gerçi müstakim ve iktisadı takdir edenlerdendi. Fakat her ne ise birbirine ikram etmek ve her biri ötekinin nefsini okşamak ve kendi nefsine tercih etmek olan bir cihette ulvi bir haslet ile iktisadı unuttular. Üç gecede iki buçuk okka balı bitirdiler. Ben gülerek dedim:
    Meskipun teman-temanku yang tiga orang itu betul-betul istikamah dan hidup hemat, namun mereka melupakan wasiatku tadi sebagai buah dari sikap saling memuliakan, sikap untuk menjaga perasaan orang, dan sikap itsar (mengutamakan orang lain), serta sifat-sifat terpuji lainnya.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Mereka pun menghabiskan madu yang mereka miliki hanya dalam tiga malam. Sambil tersenyum kukatakan kepada mereka, “Tadinya aku berharap kalian bisa merasakan nikmatnya madu tersebut selama tiga puluh hari atau lebih. Namun ternyata kalian menghabiskannya dalam tiga malam saja. Kuucapkan selamat kepada kalian.” Sementara aku mempergunakan madu yang kumiliki secara hemat. Aku bisa mengonsumsinya sepanjang bulan Sya’ban dan Ramadhan, di samping alhamdulillah ia menjadi sebab bagi datangnya pahala yang besar. Sebab, aku bisa memberikan kepada masing-masing mereka sesendok(*<ref>*Sendok teh yang agak besar―Penulis.</ref>)
    “Sizi, otuz kırk gün o bal ile tatlandıracaktım. Siz, otuz günü üçe indirdiniz. Âfiyet olsun.” dedim. Fakat, ben kendi o bir okka balımı iktisat ile sarf ettim. Bütün şaban ve ramazanda hem ben yedim hem lillahi’l-hamd o kardeşlerimin her birisine iftar vaktinde birer kaşık '''(Hâşiye<ref>'''Hâşiye:''' Yani, büyükçe bir çay kaşığı iledir.</ref>)''' verip mühim sevaba medar oldu.
    madu di saat berbuka.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Barangkali orang-orang yang menyaksikan kondisiku meng- anggap apa yang kulakukan sebagai sikap pelit, sementara tindakan yang dilakukan oleh teman-teman pada tiga malam itu sebagai sebuah kedermewanan. Namun ternyata kita menyaksikan di balik sikap pelit lahiriah tersebut ada kemuliaan yang tinggi, keberkahan yang luas, dan pahala yang besar. Sebaliknya, di balik kemuliaan dan hidup berlebihan itu ada sikap meminta-minta dan mengharap bantuan orang. Tentu saja hal ini jauh lebih hina daripada sikap pelit di atas.ntuan orang. Tentu saja hal ini jauh lebih hina daripada sikap pelit di atas.
    Benim halimi görenler, o vaziyetimi belki hısset telakki etmişlerdir. Öteki kardeşlerimin üç gecelik vaziyetlerini bir civanmertlik telakki edebilirler. Fakat hakikat noktasında, o zâhirî hısset altında ulvi bir izzet ve büyük bir bereket ve yüksek bir sevap gizlendiğini gördük. Ve o civanmertlik ve israf altında, eğer vazgeçilmese idi, bir dilencilik ve gayrın eline tama’kârane ve muntazırane bakmak gibi hıssetten çok aşağı bir haleti netice verir idi.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="Altıncı_Nükte"></span>
    == Altıncı Nükte ==
    ==Nuktah Keenam==
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ada perbedaan yang sangat jauh antara sikap hemat dan pelit. Sebagaimana sifat rendah hati (tawadhu) yang merupakan akhlak terpuji berbeda dengan rendah diri yang merupakan akhlak tercela meskipun bentuk keduanya serupa. Juga, sebagaimana kewibawaan yang merupakan perilaku terpuji berbeda dengan kesombongan yang merupakan perilaku tercela, meskipun bentuk keduanya sama.
    İktisat ve hıssetin çok farkı var. Tevazu, nasıl ki ahlâk-ı seyyieden olan tezellülden manen ayrı ve sureten benzer bir haslet-i memduhadır. Ve vakar, nasıl ki kötü hasletlerden olan tekebbürden manen ayrı ve sureten benzer bir haslet-i memduhadır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Demikian halnya dengan sikap hemat. Ia merupakan perilaku kenabian yang mulia. Bahkan ia termasuk sumber tatanan hikmah Ilahi yang berlaku di alam ini. Ia tidak ada kaitannya dengan sikap pelit yang merupakan gabungan dari kerendahan, kebakhilan, keserakahan, dan ketamakan. Bahkan tidak ada hubungan sama sekali antara keduanya. Yang ada hanyalah kemiripan lahiriah semata. Berikut ini akan kami berikan sebuah contoh yang menguatkan hakikat tersebut.
    Öyle de ahlâk-ı âliye-i Peygamberiyeden olan ve belki kâinattaki nizam-ı hikmet-i İlahiyenin medarlarından olan iktisat ise sefillik ve bahillik ve tama’kârlık ve hırsın bir halitası olan hısset ile hiç münasebeti yok. Yalnız, sureten bir benzeyiş var. Bu hakikati teyid eden bir vakıa:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Pada suatu hari, Abdullah ibn Umar ibn al-Khattab yang merupakan anak sulung al-Faruq Khalifah Rasulullah , salah satu di antara tujuh orang sahabat terkenal yang bernama “Abdullah”,(*<ref>*Mereka adalah: (1)Abdullah ibn Abbas, (2)Abdullah ibn Umar, (3)Abdullah ibn Mas’ûd, (4)Abdullah ibn Rawâhah,f(5)Abdullah ibn Salam, (6)Abdullah ibn Amr ibn Ash, dan (7)Abdullah ibn Abi Aufâ</ref>)dan termasuk ulama terkemuka di kalangan sahabat, terlibat dalam sebuah tawar-menawar yang cukup alot ketika melakukan transaksi di pasar hanya karena uang yang nilainya tidak lebih dari seribu ru- piah. Hal itu dilakukan untuk menjaga prinsip hemat, serta untuk menjaga sifat amanah dan istikamah yang merupakan modal sebuah bisnis.Pada saat itu ada seorang sahabat lain yang melihatnya. Sahabat tersebut mengira bahwa Abdullah ibn Umar memiliki sifat pelit sehingga hal itu aneh baginya. Sebab, bagaimana mungkin sifat tersebut melekat pada diri Abdullah ibn Umar, putra Amirul Mukminin dan putra seorang khalifah. Maka, ia pun membuntuti beliau hingga ke rumahnya untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. Tidak lama kemudian, ia saksikan Abdullah ibn Umar sedang bersama seorang fakir di depan pintu rumah. Mereka berdua saling berbicara dengan santun dan ramah. Setelah itu, Abdullah keluar dari pintu yang kedua dan berbicara dengan seorang fakir lainnya di sana. Hal ini tentu saja membuat sahabat tadi semakin penasaran.
    Sahabenin Abâdile-i Seb’a-yı Meşhure’sinden olan Abdullah İbn-i Ömer Hazretleri ki halife-i Resulullah olan Faruk-u A’zam Hazret-i Ömer’in (ra) en mühim ve büyük mahdumu ve sahabe âlimlerinin içinde en mümtazlarından olan o zat-ı mübarek çarşı içinde, alışverişte, kırk paralık bir meseleden, iktisat için ve ticaretin medarı olan emniyet ve istikameti muhafaza için şiddetli münakaşa etmiş. Bir sahabe ona bakmış. Rûy-i zeminin halife-i zîşanı olan Hazret-i Ömer’in mahdumunun kırk para için münakaşasını acib bir hısset tevehhüm ederek o imamın arkasına düşüp ahvalini anlamak ister. Baktı ki Hazret-i Abdullah hane-i mübareğine girdi. Kapıda bir fakir adam gördü. Bir parça eğlendi; ayrıldı, gitti. Sonra hanesinin ikinci kapısından çıktı, diğer bir fakiri orada da gördü. Onun yanında da bir parça eğlendi; ayrıldı, gitti. Uzaktan bakan o sahabe merak etti.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Lalu ia pun segera menemui dua orang fakir tadi guna meminta penjelasan dari mereka, “Bolehkah aku mengetahui apa yang telah dilakukan oleh Ibnu Umar kepada kalian berdua?”
    Gitti o fakirlere sordu: “İmam sizin yanınızda durdu, ne yaptı?”
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Ia telah memberi masing-masing kami sepotong emas,” jawab keduanya.
    Her birisi dedi: “Bana bir altın verdi.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Mendengar hal tersebut, ia sangat terkejut sambil berkata, “Subhanallah! Di pasar beliau terlibat dalam perdebatan sengit hanya gara-gara uang senilai seribu rupiah, tapi di rumahnya beliau menyedekahkan ratusan kali lipat kepada dua orang yang sangat membutuhkan secara tulus tanpa ada yang mengetahui.” Kemudian
    O sahabe dedi: “Fesübhanallah! Çarşı içinde kırk para için böyle münakaşa etsin de sonra hanesinde iki yüz kuruşu kimseye sezdirmeden kemal-i rıza-yı nefisle versin!” diye düşündü, gitti, Hazret-i Abdullah İbn-i Ömer’i gördü.
    ia beranjak menuju rumah Ibnu Umar d untuk menanyakan hal itu
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    kepadanya, “Wahai Imam, tolong jelaskan kepadaku misteri ini. Di pasar engkau telah melakukan hal demikian, tetapi di rumah engkau melakukan hal yang berbeda.”
    Dedi: “Yâ İmam! Bu müşkülümü hallet. Sen çarşıda böyle yaptın, hanende de şöyle yapmışsın.”
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Abdullah ibn Umar menjawab, “Apa yang terjadi di pasar hanyalah wujud dari sikap hemat dan bijak. Aku sengaja melakukan hal tersebut untuk menjaga sifat amanah dan kejujuran sebagai modal utama dalam jual-beli. Ia sama sekali bukan merupakan cerminan dari sifat pelit dan bakhil. Sementara yang terjadi di rumah adalah berasal dari rasa kasihan, simpati, dan kemurahan jiwa. Jadi, yang tadi bukan sikap pelit, dan yang ini bukan sikap berlebihan.”
    Ona cevaben dedi ki: “Çarşıdaki vaziyet iktisattan ve kemal-i akıldan ve alışverişin esası ve ruhu olan emniyetin, sadakatin muhafazasından gelmiş bir halettir; hısset değildir. Hanemdeki vaziyet, kalbin şefkatinden ve ruhun kemalinden gelmiş bir halettir. Ne o hıssettir ve ne de bu israftır.”
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Hal tersebut sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Abu Hanifah di mana beliau berkata:“Tidak ada kata berlebihan pada sebuah kebaikan, dan tidak ada kebaikan pada sesuatu yang berlebihan.”(*<ref>*Lihat: al-Ghazali, ihyâ ulûm ad-Dîn, 1/262; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li ahkâm al- Qur’ân, 7/110; al-Manâwi, Faidh al-Qadîr, 5/454.</ref>)Maksudnya, berbuat baik kepada orang yang berhak menerimanya tidaklah disebut berlebihan. Sementara berlebihan sama sekali bukan merupakan kebaikan.
    İmam-ı A’zam, bu sırra işaret olarak لَا اِس۟رَافَ فِى ال۟خَي۟رِ كَمَا لَا خَي۟رَ فِى ال۟اِس۟رَافِ demiş. Yani '''“Hayırda ve ihsanda (fakat müstahak olanlara) israf olmadığı gibi israfta da hiçbir hayır yoktur.”'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="Yedinci_Nükte"></span>
    == Yedinci Nükte ==
    ==Nuktah Ketujuh==
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sikap boros dan berlebihan menimbulkan ketamakan. Sementara ketamakan melahirkan tiga hal:
    İsraf, hırsı intac eder. Hırs, '''üç netice'''yi verir:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    1. Tidak Pernah Merasa Cukup.
    '''Birincisi:''' Kanaatsizliktir. Kanaatsizlik ise sa’ye, çalışmaya şevki kırar. Şükür yerine şekva ettirir, tembelliğe atar. Ve meşru, helâl, az malı '''(Hâşiye<ref>'''Hâşiye:''' İktisatsızlık yüzünden müstehlikler çoğalır, müstahsiller azalır. Herkes gözünü hükûmet kapısına diker. O vakit hayat-ı içtimaiyenin medarı olan “sanat, ticaret, ziraat” tenakus eder. O millet de tedenni edip sukut eder, fakir düşer.</ref>)''' terk edip; gayr-ı meşru, külfetsiz bir malı arar. Ve o yolda izzetini, belki haysiyetini feda eder.
    Kondisi ini menyebabkan seseorang enggan berusaha dan bekerja, membuatnya selalu mengeluh tanpa mau bersyukur, serta melemparkannya ke dalam jurang kemalasan. Sebagai akibatnya, ia tidak mau menerima uang sedikit yang diperoleh dari usaha halal.(*<ref>*Karena tidak mau berhemat, banyak orang yang konsumtif, sedikit yang mau berproduksi, serta semua orang mulai memusatkan perhatian untuk menjadi pegawai negeri. Ketika itulah industri, bisnis, dan pertanian sebagai landasan kehidupan sosial menjadi lumpuh. Akhirnya masyarakat menjadi miskin dan sengsara–Penulis.</ref>)Tetapi, ia menoleh kepada uang haram yang diperoleh tanpa perlu capek dan lelah. Serta demi itu, ia rela mengorbankan harga diri dan kehormatannya.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    2. Malang dan Merugi.
    '''Hırsın ikinci neticesi:''' Haybet ve hasarettir. Maksudunu kaçırmak ve istiskale maruz kalıp, teshilat ve muavenetten mahrum kalmaktır. Hattâ اَل۟حَرٖيصُ خَائِبٌ خَاسِرٌ yani “Hırs, hasaret ve muvaffakiyetsizliğin sebebidir.” olan darb-ı mesele mâsadak olur.
    Orang yang tamak tidak akan pernah mencapai tujuannya, selalu merasa sulit, tidak pernah merasa ditolong dan dibantu sehingga seperti bunyi sebuah ungkapan terkenal:“Orang yang tamak selalu malang dan merugi.”
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sifat tamak dan qana’ah tersebut memberikan dampak tertentu pada kehidupan makhluk sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku.
    Hırs ve kanaatin tesiratı, zîhayat âleminde gayet geniş bir düstur ile cereyan ediyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Contoh: Datangnya rezeki kepada tumbuhan disebabkan oleh sifat qana’ah alamiahnya, serta upaya keras dan ketamakan binatang untuk memperoleh rezekinya dengan bersusah payah, keduanya memperlihatkan kepada kita betapa bahayanya sifat tamak dan beta- pa untungnya sifat qana’ah.
    '''Ezcümle,''' rızka muhtaç ağaçların fıtrî kanaatleri, onların rızkını onlara koşturduğu gibi hayvanatın hırs ile meşakkat ve noksaniyet içinde rızka koşmaları, hırsın büyük zararını ve kanaatin azîm menfaatini gösterir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Mengalirnya susu ke mulut para bayi yang masih kecil dan lemah secara tidak mereka sangka akibat sifat qana’ah yang ditunjukkan oleh kondisi mereka, serta serangan binatang buas dengan penuh ketamakan guna mencengkeram rezekinya, keduanya menguatkan apa yang telah kami kemukakan.
    Hem zayıf umum yavruların lisan-ı halleriyle kanaatleri, süt gibi latîf bir gıdanın ummadığı bir yerden onlara akması ve canavarların hırs ile noksan ve mülevves rızıklarına saldırması; davamızı parlak bir surette ispat ediyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kemudian, gemuknya ikan yang dungu berkat sifat qana’ah karena rezekinya yang datang sendiri kepadanya secara sempurna, serta ketidakmampuan berbagai binatang cerdik seperti rubah dan kera dalam memperoleh makanan padahal mereka telah antusias dan berupaya keras, semua itu menegaskan akibat buruk dari sifat tamak berupa kepenatan dan kesulitan, serta dampak positif dari sifat qana’ah berupa kelapangan dan kemudahan.
    Hem semiz balıkların vaziyet-i kanaatkâranesi, mükemmel rızıklarına medar olması; ve tilki ve maymun gibi zeki hayvanların hırs ile rızıkları peşinde dolaşmakla beraber kâfi derecede bulmamalarından cılız ve zayıf kalmaları, yine hırs ne derece sebeb-i meşakkat ve kanaat ne derece medar-ı rahat olduğunu gösterir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Selain itu, bangsa Yahudi dalam memperoleh rezeki mereka dengan cara yang tidak dibenarkan disertai kehinaan akibat dari kerakusan, transaksi ribawi, praktek manipulasi dan tipu muslihat mereka, serta bagaimana masyarakat Badui merasa cukup dengan rezeki dan kehidupan mereka yang mulia, juga mendukung per- nyataan kami di atas.
    Hem Yahudi milleti hırs ile riba ile hile dolabı ile rızıklarını zilletli ve sefaletli, gayr-ı meşru ve ancak yaşayacak kadar rızıklarını bulması ve sahra-nişinlerin (yani bedevîlerin) kanaatkârane vaziyetleri, izzetle yaşaması ve kâfi rızkı bulması; yine mezkûr davamızı kat’î ispat eder.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Contoh lain dapat dilihat pada banyaknya para ulama96 dan sastrawan(*<ref>*Ada sebuah kejadian yang menguatkan hakikat ini, yaitu bahwa para sastrawan di Perancis diberi piagam pengemis karena mahirnya mereka dalam pengemisan itu–Sulaiman Rusydi.</ref>)yang karena sifat rakus dan tamak mereka pun jatuh ke dalam kehidupan yang sangat miskin. Sementara orang-orang yang bodoh dan lemah karena mempunyai watak qana’ah, mereka hidup dalam kondisi berkecukupan. Hal itu menegaskan bahwa rezeki halal datang sesuai dengan kelemahan dan kebutuhan kita, bukan de- ngan usaha dan ikhtiar. Bahkan ia berbanding terbalik dengan upaya dan ikhtiar tersebut. Sebab, rezeki seorang anak sedikit demi sedikit berkurang, menjauh, dan bertambah sulit untuk diperoleh seiring dengan pertumbuhan ikhtiar, kehendak, dan kemampuan usahanya.Ya, sifat qana’ah merupakan modal untuk menggapai kehidupan yang lapang dan nyaman, serta penyebab ketenteraman dalam hidup. Sebaliknya, sifat tamak merupakan ladang kerugian dan kehinaan. Hal tersebut dapat dipahami dari hadis Nabi :“Qana’ah merupakan kekayaan yang tak pernah musnah.(*<ref>*Lihat: ath-Thabrâni, al-Mu’jam al-Ausath, 7/84; dan al-Baihaqi, az-Zuhd, 2/88.</ref>)
    Hem çok âlimlerin '''(Hâşiye<ref>'''Hâşiye-1:''' İran’ın âdil padişahlarından Nuşirevan-ı Âdil’in veziri, akılca meşhur âlim olan Büzürücumhur’dan (Büzürg-Mihr) sormuşlar: “Neden ulema, ümera kapısında görünüyor da ümera ulema kapısında görünmüyor. Halbuki ilim, emaretin fevkindedir?”
    <br />
    Cevaben demiş ki: “Ulemanın ilminden, ümeranın cehlindendir.” Yani ümera, cehlinden ilmin kıymetini bilmiyorlar ki ulemanın kapısına gidip ilmi arasınlar. Ulema ise marifetlerinden mallarının kıymetini dahi bildikleri için ümera kapısında arıyorlar. İşte Büzürücumhur, ulemanın arasında fakr ve zilletlerine sebep olan zekâvetlerinin neticesi bulunan hırslarını zarif bir surette tevil ederek nazikane cevap vermiştir.
    <br />
    '''Hüsrev'''</ref>)''' ve ediblerin '''(Hâşiye<ref>'''Hâşiye-2:''' Bunu teyid eden bir hâdise: Fransa’da ediblere, iyi dilencilik yaptıkları için dilencilik vesikası veriliyor.
    <br />
    '''Süleyman Rüşdü'''</ref>)''' zekâvetlerinin verdiği bir hırs sebebiyle fakr-ı hale düşmeleri ve çok aptal ve iktidarsızların fıtrî, kanaatkârane vaziyetleri ile zenginleşmeleri kat’î bir surette ispat eder ki: '''Rızk-ı helâl, acz ve iftikara göre gelir; iktidar ve ihtiyar ile değil. Belki o rızk-ı helâl, iktidar ve ihtiyar ile makûsen mütenasiptir.''' Çünkü çocukların iktidar ve ihtiyarı geldikçe rızkı azalır, uzaklaşır, sakîlleşir. اَل۟قَنَاعَةُ كَن۟زٌ لَا يَف۟نٰى hadîsinin sırrıyla kanaat, bir define-i hüsn-ü maişet ve rahat-ı hayattır. Hırs ise bir maden-i hasaret ve sefalettir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    3. Ketamakan menodai keikhlasan dan merusak amal ukhrawi.Sebab, jika pada diri seorang mukmin yang bertakwa terdapat ketamakan, pastilah ia sangat berkeinginan untuk dihargai orang. Sementara siapa yang mengharap dan menantikan penghargaan orang, ia tidak akan mencapai tingkatan ikhlas yang sempurna. Akibat yang sangat penting ini hendaknya diperhatikan.
    '''Üçüncü Netice:''' Hırs ihlası kırar, amel-i uhreviyeyi zedeler. Çünkü bir ehl-i takvanın hırsı varsa teveccüh-ü nâsı ister. Teveccüh-ü nâsı müraat eden, ihlas-ı tammı bulamaz. Bu netice çok ehemmiyetli, çok cây-ı dikkattir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kesimpulannya, sikap berlebihan melahirkan perasaan tidak pernah cukup. Hal itu membuat seseorang enggan bekerja, menjadikannya malas, serta membuatnya selalu mengeluh dan menderita dalam hidup. Sebagai akibatnya, ia senantiasa merintih di bawah derita keluhan.(*<ref>*Ya, jika engkau menjumpai seorang yang berlebihan dan boros, engkau pasti akan mendengar banyak keluhan darinya. Meskipun kaya, pasti lisannya selalu mengeluh dan mengaduh. Sementara jika engkau menjumpai orang miskin yang qana’ah, engkau tidak akan mendengar keluhannya. Yang ada, hanyalah pujian dan rasa syukur kepada Allah Ta’ala.</ref>)Selain itu, sifat merasa tidak cukup akan merusak keikhlasan seseorang dan akan membuka peluang bagi sifat riya dan kepura-puraan yang pada tahap selanjutnya akan menghancurkan kemuliaannya dan menjerumuskannya pada sikap meminta-minta.
    '''Elhasıl:''' İsraf, kanaatsizliği intac eder. Kanaatsizlik ise çalışmanın şevkini kırar, tembelliğe atar; hayatından şekva kapısını açar, mütemadiyen şekva ettirir. '''(Hâşiye<ref>'''Hâşiye-3:''' Evet, hangi müsrif ile görüşsen şekvalar işiteceksin. Ne kadar zengin olsa da yine dili şekva edecektir. En fakir fakat kanaatkâr bir adamla görüşsen şükür işiteceksin.</ref>)''' Hem ihlası kırar, riya kapısını açar. Hem izzetini kırar, dilencilik yolunu gösterir. İktisat ise kanaati intac eder.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sebaliknya, hidup hemat membuahkan sifat qana’ah. Dan qana’ah itu sendiri melahirkan kemuliaan sebagaimana bunyi hadis Nabi:“Sungguh mulia orang yang qana’ah, dan sungguh hina orang yang tamak.”(*<ref>*Lihat: Ibnu al-Atsîr, an-Nihâyah fî Gharâib al-Hadîts, 4/114; dan az-Zubaidi, Tâj al-‘Ârûs, bagian (ع ن ق).</ref>)Selain itu, ia menumbuhkan rasa senang bekerja dan berusaha serta menambah semangat kerja.
    عَزَّ مَن۟ قَنَعَ ذَلَّ مَن۟ طَمَعَ hadîsin sırrıyla kanaat, izzeti intac eder. Hem sa’ye ve çalışmaya teşci eder. Şevkini ziyadeleştirir, çalıştırır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sebab, ketika pada suatu hari seseo- rang bekerja dan sore harinya menerima upah, pada hari berikutnya
    Çünkü mesela, bir gün çalıştı. Akşamda aldığı cüz’î bir ücrete kanaat sırrıyla, ikinci gün yine çalışır. Müsrif ise kanaat etmediği için ikinci gün daha çalışmaz. Çalışsa da şevksiz çalışır. Hem iktisattan gelen kanaat; şükür kapısını açar, şekva kapısını kapatır. Hayatında daima şâkir olur. Hem kanaat vasıtasıyla insanlardan istiğna etmek cihetinde teveccühlerini aramaz. İhlas kapısı açılır, riya kapısı kapanır.
    ia juga akan berusaha berkat prinsip qana’ah yang ia miliki. Sementara orang yang hidup boros dan berlebihan, pada hari berikutnya ia tidak akan bekerja karena merasa tidak puas. Bahkan meskipun ia bekerja, hal itu dilakukannya tanpa semangat.Demikianlah, sifat qana’ah yang muncul dari hidup hemat akan membukakan pintu syukur sekaligus menutup pintu keluhan sehingga manusia akan selalu bersyukur dan mengucapkan pujian sepanjang hidupnya. Dengan qana’ah, ia takkan meminta penghargaan manusia karena merasa tidak butuh kepada mereka. Sehingga ia pun bersikap ikhlas dan tidak memiliki sifat riya.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Aku telah menyaksikan berbagai bahaya nyata dan kerugian besar akibat hidup yang berlebihan dan tidak hemat. Hal itu kusaksikan secara konkret dalam wilayah yang luas sebagai berikut:Sembilan tahun yang lalu, aku mendatangi sebuah kota yang penuh berkah. Ketika itu sedang musim dingin sehingga aku tidak bisa melihat berbagai sumber kekayaan alam dan berbagai hal yang dihasilkan oleh kota tersebut. Mufti kota itu kemudian berkata ke- padaku, “Penduduk kami hidup miskin.” Ia berkali-kali mengulang perkataan tersebut. Mendengar hal itu, aku menjadi sangat tersentuh dan tergugah. Aku pun ikut merasakan kepedihan penduduk kota tersebut selama hampir enam tahun. Delapan tahun kemudian, aku kembali ke sana. Kebetulan saat itu musim panas. Kupandangi kebun-kebun yang ada di kota tersebut. Lalu seketika aku teringat dengan ucapan almarhum mufti di atas. Kuucapkan, “Subhânallah! Hasil panen kebun-kebun ini melebihi kebutuhan seluruh penduduk kota. Mereka sangat mungkin menjadi orang-orang kaya!” Aku pun terdiam heran. Namun beberapa saat kemudian aku mulai mema- hami hakikat sebenarnya yang tak bisa ditipu oleh kenyataan lahiriah. Yaitu bahwa keberkahan telah diangkat dari kota ini akibat pola hidup boros dan berlebihan serta tidak mau hidup hemat. Sehingga pantaslah kalau mufti tadi berkata, “Penduduk kami hidup miskin,meskipun sumber kekayaan alam yang mereka miliki sangat banyak.
    İktisatsızlık ve israfın dehşetli zararlarını geniş bir dairede müşahede ettim. Şöyle ki: Ben, dokuz sene evvel mübarek bir şehre geldim. Kış münasebetiyle o şehrin menabi-i servetini göremedim. –Allah rahmet etsin– oranın müftüsü birkaç defa bana dedi: “Ahalimiz fakirdir.” Bu söz benim rikkatime dokundu. Beş altı sene sonraya kadar daima o şehir ahalisine acıyordum. Sekiz sene sonra yazın yine o şehre geldim. Bağlarına baktım. Merhum Müftünün sözü hatırıma geldi. Fesübhanallah dedim, bu bağların mahsulatı şehrin hâcetinin pek fevkindedir. Bu şehir ahalisi pek çok zengin olmak lâzım gelir. Hayret ettim. Beni aldatmayan ve hakikatlerin derkinde bir rehberim olan bir hatıra-i hakikatle anladım: İktisatsızlık ve israf yüzünden bereket kalkmış ki o kadar menabi-i servetle beraber o merhum Müftü “Ahalimiz fakirdir.” diyordu.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ya, pengalaman dan kenyataan menunjukkan bahwa memba- yar zakat dan hidup hemat adalah faktor penyebab datangnya keber- kahan dan tambahan nikmat.(*<ref>*Lihat: ath-Thabrâni, al-Mu’jam al-Kabîr, 10/128; ath-Thabrâni, al-Mu’jam al-Ausath, 2/161; dan al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubrâ, 3/382, 484.</ref>)Sebaliknya, hidup berlebihan dan keengganan membayar zakat merupakan faktor penyebab hilangnya keberkahan.
    Evet, zekât vermek ve iktisat etmek, malda bi’t-tecrübe sebeb-i bereket olduğu gibi; israf etmek ile zekât vermemek, sebeb-i ref’-i bereket olduğuna hadsiz vakıat vardır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ayat al-Qur’an yang berbunyi:“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan” (QS. al-A’râf [7]: 31), ditafsirkan oleh Ibnu Sina, Platonya kaum muslimin, rujukan para dokter, dan guru besar filsafat, dari sudut pandang kedok- teran, lewat bait-bait di bawah ini:
    İslâm hükemasının Eflatun’u ve hekimlerin şeyhi ve feylesofların üstadı, dâhî-i meşhur Ebu Ali İbn-i Sina, yalnız tıp noktasında كُلُوا وَ اش۟رَبُوا وَ لَا تُس۟رِفُوا âyetini şöyle tefsir etmiş. Demiş:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kukumpulkan inti pengobatan hanya pada dua bait kata-kata yang baik terletak pada ungkapan singkat
    <nowiki>:</nowiki> جَمَع۟تُ الطِّبَّ فِى ال۟بَي۟تَي۟نِ جَم۟عًا وَ حُس۟نُ ال۟قَو۟لِ فٖى قَص۟رِ ال۟كَلَامِ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kurangi makanmu dan berhentilah sesudah itu kesehatan tubuh terletak pada perut yang kempis
    فَقَلِّل۟ اِن۟ اَكَل۟تَ وَ بَع۟دَ اَك۟لٍ تَجَنَّب۟ وَ الشِّفَاءُ فِى ال۟اِن۟هِضَامِ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kondisi yang paling membebani diri ini kalau ia diisi makanan terus-menerus.
    وَ لَي۟سَ عَلَى النُّفُوسِ اَشَدُّ حَالًا مِن۟ اِد۟خَالِ الطَّعَامِ عَلَى الطَّعَامِ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Berikut ini akan kami ketengahkan sebuah kesesuaian aneh yang mengundang keheranan dan perlu diambil sebagai pelajaran:(*<ref>*Maksudnya, yang paling membahayakan tubuh kalau ia tidak diberi waktu jeda bagi masuknya makanan, yaitu antara empat sampai lima jam. Dengan kata lain, perut terus diisi makanan demi memenuhi selera semata–Penulis.</ref>)
    Yani “İlm-i tıbbı iki satırla topluyorum. Sözün güzelliği kısalığındadır: '''Yediğin vakit az ye. Yedikten sonra dört beş saat kadar daha yeme. Şifa, hazımdadır. Yani kolayca hazmedeceğin miktarı ye. Nefse ve mideye en ağır ve yorucu hal, taam taam üstüne yemektir.” (Hâşiye<ref>'''Hâşiye:''' Yani vücuda en muzır, dört beş saat fâsıla vermeden yemek yemek veyahut telezzüz için mütenevvi yemekleri birbiri üstüne mideye doldurmaktır.</ref>)'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    279. satır: 177. satır:
    </div>
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Meskipun ada lima atau enam orang berbeda—tiga di antaranya tidak pandai menulis—yang melakukan penyalinan terhadap Risalah al-Iqtishâd (Hemat) ini, namun anehnya pada setiap salinan naskah yang tidak disertai doa ada 51 huruf alif, sementara pada setiap salinan naskah yang disertai doa ada 53 huruf alif. Padahal tempat tinggal mereka yang melakukan penyalinan itu berbeda-beda, naskah rujukannya juga berbeda-beda, serta kualitas tulisan mereka juga berbeda-beda. Selain itu, mereka sama sekali tidak pernah berpikir tentang huruf alif tersebut.Huruf alif itu sesuai dengan waktu penulisan dan penyalinan Risalah al-Iqtishâd. Yaitu jika menggunakan penanggalan Romawi jatuh pada tahun 1351, sementara menurut penanggalan Hijriah jatuh pada tahun 1353. Tentu saja hal itu bukan hanya sekadar kebe- tulan. Tetapi ia menjadi isyarat bahwa keberkahan yang terdapat dalam hidup hemat naik ke jenjang karamah. Karena itu, sangat pantas kalau tahun ini disebut dengan tahun penghematan.
    İktisat Risalesi’ni, üçü acemi olarak beş altı ayrı ayrı müstensih ayrı ayrı yerde ayrı ayrı nüshadan yazıp birbirinden uzak, hatları birbirinden ayrı, hiç elifleri düşünmeyerek yazdıkları her bir nüshanın elifleri; duasız elli bir, dua ile beraber elli üçte tevafuk etmekle beraber; İktisat Risalesi’nin tarih-i telif ve istinsahı olan Rumîce elli bir ve Arabî elli üç tarihinde tevafuku ise şüphesiz tesadüf olamaz. İktisaddaki bereketin keramet derecesine çıktığına bir işarettir. Ve bu seneye “Sene-i İktisat” tesmiyesi lâyıktır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ya, zaman sekarang ini betul-betul membuktikan mulianya hidup hemat. Tepatnya ketika umat manusia, pasca perang dunia kedua, menyaksikan perang yang telah menebarkan kelaparan, kerusakan, dan berbagai bentuk keborosan di seluruh dunia. Kondisi tersebut tentu saja mengharuskan mereka untuk hemat dan hidup sederhana.
    Evet, zaman iki sene sonra bu keramet-i iktisadiyeyi, İkinci Harb-i Umumî’de her taraftaki açlık ve tahribat ve israfatla ve nev-i beşer ve herkes iktisada mecbur olmasıyla ispat etti.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
    </div>




    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    ------
    ------
    <center> [[On Sekizinci Lem'a]] ⇐ [[Lem'alar]] | ⇒ [[Yirminci Lem'a]] </center>
    <center> [[On Sekizinci Lem'a/id|CAHAYA KEDELAPAN BELAS]] ⇐ | [[Lem'alar/id|Al-Lama’ât]] | ⇒ [[Yirminci Lem'a/id|CAHAYA KEDUA PULUH]] </center>
    ------
    ------
    </div>

    10.29, 24 Aralık 2024 itibarı ile sayfanın şu anki hâli

    (Hidup Hemat)

    Risalah ini menganjurkan agar hidup hemat dan qana’ah, sekaligus memperingatkan akan bahaya hidup berlebihan dan boros.

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

    “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan.” (QS. al-A’râf [7]: 31).

    Ayat al-Qur’an di atas memberikan sebuah pelajaran yang sangat penting dan petunjuk yang sangat bijak, dalam bentuk perintah, untuk hidup hemat, sekaligus secara tegas melarang hidup berlebih- an. Bagian ini berisi tujuh nuktah.

    Nuktah Pertama

    Allah Sang Pencipta Yang Maha Pengasih meminta manusia untuk bersyukur atas berbagai karunia yang diberikan kepadanya. Hidup boros dan berlebihan merupakan sikap yang berlawanan dengan rasa syukur serta merupakan sikap yang meremehkan nikmat tadi. Sementara hidup hemat adalah wujud penghormatan atasnya.

    Ya, hidup hemat adalah wujud rasa syukur yang bersifat maknawi. Ia merupakan bentuk penghormatan terhadap rahmat Ilahi yang tersimpan dalam karunia dan kebaikan-Nya. Ia juga merupakan penyebab keberkahan yang bersifat pasti, sumber kesehatan jasmani layaknya diet, sarana kehormatan yang menyelamatkan manusia dari kehinaan meminta-minta, sarana utama agar kita bisa merasakan kelezatan yang terdapat dalam berbagai nikmat, serta menjadi perantara agar kita bisa mencicipi segala kenikmatan yang tersembunyi dalam karunia yang tampaknya tidak nikmat. Karena hidup boros dan berlebihan berlawanan dengan hikmahhikmah di atas, maka ia memberikan dampak-dampak yang buruk.

    Nuktah Kedua

    Sang Pencipta Yang Mahabijak menciptakan fisik manusia tak ubahnya seperti istana yang mempunyai struktur bangunan sempurna serta seperti sebuah kota yang tertata rapi. Dia menjadikan daya rasa yang terdapat di mulutnya layaknya penjaga, memosisikan syaraf-syaraf layaknya kabel telepon atau telegrap (alat tersebut menjadi sarana komunikasi yang peka antara daya rasa dan perut yang terdapat di pusat tubuh manusia). Sementara itu, daya rasa bertugas menyampaikan bahan-bahan yang masuk ke mulut sekaligus menghalangi masuknya barang berbahaya yang tidak dibutuhkan oleh tubuh. Seolah-olah ia berkata, “Dilarang masuk!”, dan mengusir makanan tersebut. Bahkan ia segera membuang dan mengeluarkan segala yang tidak bermanfaat dan berbahaya bagi tubuh.

    Karena daya rasa yang terdapat di mulut berposisi sebagai penjaga, sementara perut ibarat pemimpin yang menguasai tubuh, maka ketika sang pemimpin istana itu diberi hadiah sebesar nilai seratus, hanya lima persen saja yang boleh diberikan kepada penjaga sebagai tip, tidak lebih. Hal itu agar si penjaga tadi tidak sombong, tidak lalai atas tugasnya, serta tidak memasukkan ke dalam istana itu benda berbahaya yang telah menyuapnya dengan tip yang lebih besar.

    Berdasarkan hal tersebut, misalkan di hadapan kita ada dua potong makanan. Yang satu adalah makanan bergizi berupa keju dan telur, misalnya, yang harganya sepuluh ribu rupiah, sementara yang satunya lagi berupa kue mahal yang harganya seratus ribu rupiah. Sebelum masuk ke mulut, kedua potong makanan tersebut tidak ada perbedaan bagi tubuh. Juga, setelah masuk ke mulut dan turun ke perut, keduanya sama-sama baik untuk pertumbuhan. Bahkan, bisa jadi keju yang seharga sepuluh ribu rupiah lebih bergizi dan lebih baik bagi pertumbuhan badan. Jadi, tidak ada perbedaan antara keduanya kecuali kenikmatan yang diberikan kepada daya rasa selama kurang dari setengah menit. Kalau begitu, betapa boros dan betapa bodoh- nya kalau kita memilih untuk mengeluarkan uang senilai seratus ribu rupiah ketimbang sepuluh ribu rupiah demi kenikmatan yang hanya berlangsung selama setengah menit. Demikianlah, ketika si penjaga tadi diberi hadiah sebesar sembilan kali lipat dari apa yang diberikan kepada penguasa istana, hal itu tentu akan membuatnya lupa diri dan selanjutnya berkata, “Akulah yang berkuasa.” Siapa yang memberinya tip lebih besar dan kenikmatan lebih banyak, ia akan segera dibawa masuk sehingga merusak tatanan yang ada di dalamnya. Lalu ia akan menyalakan api yang siap membakar dan membuat si pemiliknya meminta tolong dengan berkata, “Tolong segera bawa aku ke dokter agar suhu badanku menurun.”

    Jadi, hidup hemat dan qana’ah adalah dua hal yang sangat sejalan dengan hikmah ilahi. Keduanya menempatkan daya rasa di atas laksana penjaga, memosisikannya secara wajar, serta memberi upah kepadanya sesuai dengan tugas yang ada. Adapun hidup boros dan berlebihan bertentangan dengan hikmah Ilahi. Karena itu, orang yang boros akan cepat mendapat penyakit. Sebab, perut akan berisi dengan berbagai campuran berbahaya yang bisa menghilangkan selera makan hakiki. Ia pun makan dengan selera palsu yang muncul melalui berbagai jenis makanan yang menyebabkan kesulitan pencernaan.

    Nuktah Ketiga

    Pada nuktah kedua di atas kami telah mengatakan bahwa daya rasa bertugas sebagai penjaga. Ya, demikianlah kondisinya bagi mereka yang lalai yang belum mencapai jenjang spiritual yang tinggi serta bagi mereka yang belum sampai ke tangga syukur.

    Seharusnya tidak boleh hidup boros seperti dengan mengeluarkan sepuluh kali lipat dari harga yang wajar hanya demi menuruti selera daya rasa tersebut. Namun bagi mereka yang benar-benar bisa bersyukur serta bagi para ahli hakikat dan orang-orang yang mempunyai ketajaman mata batin, daya rasa tadi laksana pengawas, pemeriksa, dan pengontrol perbendaharaan rahmat ilahi sebagaimana dijelaskan pada perumpamaan yang ada pada “Kalimat Keenam”. Proses penilaian dan pengenalan terhadap berbagai nikmat Tuhan secara detil yang dilakukan oleh daya rasa tadi bertujuan untuk memberitahukan kepada tubuh dan perut dalam bentuk syukur maknawi.Karena itu, tugas daya rasa tidak sekadar melindungi tubuh secara fisik, tetapi lebih dari itu ia juga bertugas melindungi dan memelihara kalbu, jiwa, dan akal.

    Perlu diketahui bahwa daya rasa tersebut boleh mendapatkan kenikmatan dengan syarat tidak berlebihan, semata-mata melaksanakan tugas syukur, dengan niat mengenali berbagai macam nikmat Tuhan, serta dengan syarat halal dan tidak menjadi wasilah untuk mengemis. Dengan kata lain, kita bisa mem- pergunakan lisan yang memiliki daya rasa ini untuk bersyukur kare- na ia bisa memilah-milah di antara berbagai makanan yang nikmat dan lezat.

    Terkait dengan hal tersebut, kami akan mengetengahkan sebuah kejadian menarik di seputar karamah syekh Abdul Qadir al-Jailani.Kejadiannya sebagai berikut: Seorang wanita tua memiliki anak satu-satunya yang diasuh oleh syekh Abdul Qadir al-Jailani. Pada suatu hari, wanita tersebut pergi menemui anaknya. Ia melihat anaknya sedang memakan sepotong roti kering berwarna coklat dalam rangka melakukan latihan spiritual (riyâdhah rûhiyah) sehingga badannya lemah dan kurus. Kondisi tersebut tentu saja menggugah hati sang ibu. Ia sangat kasihan dengan keadaan anaknya. Ia pun segera pergi mengadukan hal itu kepada syekh Abdul Qadir al-Jailani. Ketika sampai, ia melihat Sang sedang memakan seekor ayam panggang.

    Karena rasa kasihan yang amat sangat, dengan terus terang ia berkata kepada sang syekh, “Wahai syekh, anakku hampir mati kelaparan sedangkan engkau dengan enaknya makan ayam?!”

    Seketika itu pula syekh Abdul Qadir al-Jailani berkata kepada ayam yang ada di hadapannya, “Bangkitlah dengan izin Allah!” Ayam itu pun bangkit melompat keluar dari tempatnya setelah hidup kembali. Berita ini diriwayatkan secara mutawatir maknawi oleh orang-orang yang bisa dipercaya(*[1])untuk memperlihatkan salah satu karamah yang dimiliki oleh pemilik karamah terkenal di dunia, syekh Abdul Qadir al-Jailani .

    Di antara yang dikatakan oleh syekh Abdul Qadir al-Jailani ketika itu adalah, “Kalau anakmu sudah sampai ke jenjang ini, barulah ia boleh makan ayam.”

    Maksud dari ungkapan tersebut adalah, “Jika jiwa anakmu sudah bisa menguasai jasadnya, jika kalbunya sudah bisa mendomi- nasi nafsunya, jika akalnya bisa mengalahkan perutnya, serta ia bisa merasakan kenikmatan tersebut dalam rangka bersyukur, ketika itu ia boleh memakan makanan yang enak dan lezat.”

    Nuktah Keempat

    Orang yang hemat tidak akan ditimpa oleh kemiskinan dan kelaparan sebagaimana hal itu disebutkan oleh hadis Nabi :“Orang yang hidup hemat tidak akan miskin”.(*[2])Ya, ada berbagai bukti nyata yang menunjukkan bahwa hidup hemat menjadi sebab diturunkannya keberkahan dan sebagai asas kehidupan yang lebih baik.

    Di antaranya adalah pengalamanku sendiri serta pengakuan orang-orang yang telah membantu dan menemaniku dalam menjalankan tugasku. Kadangkala aku dan beberapa teman mendapatkan sepuluh kali lipat keberkahan karena sikap hemat tadi. Bahkan sembilan tahun yang lalu,90 ketika beberapa pimpinan suku yang diasingkan bersamaku ke Burdur memaksaku untuk menerima zakat harta mereka dengan tujuan agar aku tidak jatuh miskin kare- na uangku yang sedikit, kukatakan kepada para pimpinan yang kaya raya itu, “Meskipun uangku sangat sedikit, namun aku bisa hidup hemat. Aku terbiasa merasa cukup sehingga aku tidak membutuhkan bantuan kalian.” Akhirnya, kutolak tawaran mereka yang beru- lang-ulang tersebut. Dan patut untuk diperhatikan, ternyata sebagian besar orang-orang yang telah menawarkan zakat mereka kepadaku itu dua tahun kemudian dililit utang karena tidak mau bersikap hemat. Sebaliknya, berkat sikap hemat, uangku yang sedikit tadi alham- dulillah masih cukup hingga tujuh tahun berikutnya. Aku tidak perlu menjatuhkan harga diriku, tidak sampai meminta bantuan orang, dan masih tetap bisa berpegang pada prinsip hidupku, yaitu al-istigh- nâ (tidak bergantung kepada orang lain). besar orang-orang yang telah menawarkan zakat mereka kepadaku itu dua tahun kemudian dililit utang karena tidak mau bersikap hemat. Sebaliknya, berkat sikap hemat, uangku yang sedikit tadi alham- dulillah masih cukup hingga tujuh tahun berikutnya. Aku tidak perlu menjatuhkan harga diriku, tidak sampai meminta bantuan orang, dan masih tetap bisa berpegang pada prinsip hidupku, yaitu al-istighnâ (tidak bergantung kepada orang lain).

    Ya, orang yang tidak bersikap hemat akan jatuh pada kehinaan serta akan tergelincir ke dalam jurang kerendahan. Harta yang dipergunakan untuk hidup berlebihan pada zaman kita sekarang ini merupakan harta yang mahal dan sangat berharga. Sebab, kadangkala ia harus dibayar dengan kehormatan dan harga diri. Bahkan seringkali kesucian agama dipertaruhkan hanya untuk mendapatkan uang yang sial. Dengan kata lain, seseorang berusaha mendapat beberapa rupiah lewat cara menggadaikan ratusan juta harta maknawinya.

    Padahal kalau manusia mau membatasi diri pada kebutuhan pokoknya dan hanya berkonsentrasi padanya, ia akan mendapatkan rezeki yang akan menjamin kelangsungan hidupnya dari tempat yang tak disangka-sangka sesuai dengan kandungan firman Allah:“Sesungguhnya Allahlah Yang Maha Memberi rezeki dan memiliki kekuatan yang kokoh.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 58). Bahkan secara tegas dan pasti ayat berikut memberikan jaminan tersebut:“Tiada satu pun binatang melata di bumi ini kecuali atas Allahl- ah rezekinya.” (QS. Hud [11]: 6).

    Ya, rezeki terbagi dua:

    Pertama, rezeki hakiki yang menjadi ketergantungan hidup seseorang. Rezeki tersebut dijamin oleh Allah sesuai dengan bunyi ayat di atas. Setiap orang bisa memperoleh rezeki tersebut jika ikhtiar buruk manusia tidak ikut campur, tidak sampai mengorbankan agamanya, serta tidak menggadaikan kehormatan dan harga dirinya.

    Kedua, rezeki majasi. Orang yang menyalahgunakan reze- ki jenis ini akan terbelenggu oleh kebutuhan yang tidak penting di mana kemudian berubah menjadi kebutuhan pokok baginya akibat penyakit taklid (sikap meniru orang lain). Karena rezeki ini berada di luar jaminan Tuhan, maka biaya untuk memperolehnya sangat mahal, khususnya di zaman sekarang ini. Harta tersebut seringkali diperoleh dengan cara menggadaikan kehormatan. Bahkan meskipun dengan mencium kaki orang. Lebih dari itu, kadangkala harta yang buruk dan tidak berkah tersebut harus dibayar dengan mengorbankan ke- sucian agama, padahal ia merupakan cahaya kehidupan yang abadi.

    Selanjutnya, kepedihan yang lahir dari rasa kasihan kepada sesama lantaran kondisi yang dialami orang-orang lapar pada zaman di mana kemiskinan merajalela membuat para pemilik hati nurani merasa sedih jika masih memiliki hati nurani sehingga kenikmatan yang didapatkan dari harta haram menjadi pahit.

    Pada zaman yang aneh ini, seseorang harus membatasi diri dengan bingkai darurat dalam mempergunakan harta yang masih meragukan. Sebab, ada kaidah yang berbunyi:“Darurat dihitung sesuai kadarnya.” Atas dasar itu, harta yang haram bisa diterima secara terpaksa dalam batas darurat, tidak lebih dari itu. Seseorang yang terpaksa tidak boleh memakan bangkai hingga kenyang. Tetapi ia boleh memakan bangkai tersebut untuk sekadar bertahan hidup. Selain itu, tidak boleh memakan makanan secara lahap di hadapan ratusan orang lapar.

    Di sini kami akan mengetengahkan sebuah kejadian nyata yang menunjukkan bahwa hidup hemat adalah penyebab kemuliaan dan kesempurnaan.

    Hatim ath-Thâ’i yang terkenal dermawan pada suatu hari mengadakan sebuah jamuan. Ia berikan berbagai hadiah berharga kepada para tamunya. Lalu ia keluar berjalan-jalan di padang pasir. Di tengah jalan ia melihat seorang lelaki tua miskin sedang memikul beban berat berupa kayu, ranting, dan duri-durian di pundaknya.

    Sementara darah mengucur dari sebagian tubuhnya. Ia pun segera memanggil orang tua tersebut, “Wahai orang tua, hari ini Hatim ath-Thâ’i sedang menyelenggarakan jamuan besar dan membagi-bagikan hadiah berharga. Cepatlah pergi ke sana, barangkali engkau juga mendapatkan harta yang nilainya berkali-kali lipat lebih banyak daripada apa yang kau dapatkan dari beban yang kau pikul itu!”

    Namun orang tua yang hemat tadi berkata, “Aku akan memikul barang ini dengan ke- hormatan diriku. Aku tidak mau menjatuhkan harga diriku untuk mendapatkan pemberian Hatim ath-Thâ’i.”

    Ketika pada suatu hari Hatim ath-Thâ’i ditanya, “Siapakah orang yang lebih mulia darimu?” ia menjawab,

    “Orang tua sederhana yang aku temui di padang pasir. Aku saksikan orang tua tersebut betul-betul lebih mulia daripada diriku.”

    Nuktah Kelima

    Di antara kesempurnaan kemurahan-Nya, Allah membuat orang yang paling miskin dapat merasakan kelezatan berbagai nikmat-Nya, sebagaimana yang dirasakan oleh orang yang paling kaya. Sehingga, orang miskin bisa merasakan kelezatan tersebut layaknya penguasa. Ya, kelezatan yang dirasakan oleh orang miskin ketika ia memakan sepotong roti kering karena lapar dan hemat melebihi kenikmatan yang dirasakan oleh penguasa atau orang kaya ketika mereka memakan kue mahal dalam kondisi bosan dan tanpa selera akibat berlebihan.

    Namun sungguh mengherankan, ada sebagian orang yang hidup boros dan berlebihan menuduh orang-orang yang hemat se- bagai orang pelit. Tidak, sama sekali! Hidup hemat merupakan kehormatan dan kedermawanan. Sementara kehinaan dan sifat pelit ada di balik kedermawanan lahiriah orang-orang yang berlebihan dan boros.

    Ada sebuah peristiwa yang berlangsung di rumahku di Isparta pada tahun selesainya penulisan risalah ini yang menguatkan hakikat di atas.Salah seorang muridku terus-menerus memaksa agar aku menerima hadiah sekitar tiga kilogram madu di mana hal tersebut menyalahi prinsip hidup yang kupegang selama ini.(*[3])Walaupun aku telah berupaya sekuat tenaga menjelaskan pentingnya berpegang pada prinsipku itu, ia tetap tidak merasa puas dengan penjelasanku tersebut. Akhirnya, aku terpaksa menerimanya dengan niat agar tiga orang saudaraku yang tinggal sekamar bisa bersama-sama memakan madu tersebut secara hemat sepanjang empat puluh hari bulan Sya’ban dan Ramadhan sehingga si pemberi tadi mendapatkan ganjaran pahala yang besar, juga agar mereka bertiga bisa menikmati sesuatu yang manis. Begitulah aku wasiatkan mereka untuk menerima hadiah tadi, mengingat aku sendiri masih mempunyai sekitar satu kilogram madu. Meskipun teman-temanku yang tiga orang itu betul-betul istikamah dan hidup hemat, namun mereka melupakan wasiatku tadi sebagai buah dari sikap saling memuliakan, sikap untuk menjaga perasaan orang, dan sikap itsar (mengutamakan orang lain), serta sifat-sifat terpuji lainnya.

    Mereka pun menghabiskan madu yang mereka miliki hanya dalam tiga malam. Sambil tersenyum kukatakan kepada mereka, “Tadinya aku berharap kalian bisa merasakan nikmatnya madu tersebut selama tiga puluh hari atau lebih. Namun ternyata kalian menghabiskannya dalam tiga malam saja. Kuucapkan selamat kepada kalian.” Sementara aku mempergunakan madu yang kumiliki secara hemat. Aku bisa mengonsumsinya sepanjang bulan Sya’ban dan Ramadhan, di samping alhamdulillah ia menjadi sebab bagi datangnya pahala yang besar. Sebab, aku bisa memberikan kepada masing-masing mereka sesendok(*[4])

    madu di saat berbuka.”
    

    Barangkali orang-orang yang menyaksikan kondisiku meng- anggap apa yang kulakukan sebagai sikap pelit, sementara tindakan yang dilakukan oleh teman-teman pada tiga malam itu sebagai sebuah kedermewanan. Namun ternyata kita menyaksikan di balik sikap pelit lahiriah tersebut ada kemuliaan yang tinggi, keberkahan yang luas, dan pahala yang besar. Sebaliknya, di balik kemuliaan dan hidup berlebihan itu ada sikap meminta-minta dan mengharap bantuan orang. Tentu saja hal ini jauh lebih hina daripada sikap pelit di atas.ntuan orang. Tentu saja hal ini jauh lebih hina daripada sikap pelit di atas.

    Nuktah Keenam

    Ada perbedaan yang sangat jauh antara sikap hemat dan pelit. Sebagaimana sifat rendah hati (tawadhu) yang merupakan akhlak terpuji berbeda dengan rendah diri yang merupakan akhlak tercela meskipun bentuk keduanya serupa. Juga, sebagaimana kewibawaan yang merupakan perilaku terpuji berbeda dengan kesombongan yang merupakan perilaku tercela, meskipun bentuk keduanya sama.

    Demikian halnya dengan sikap hemat. Ia merupakan perilaku kenabian yang mulia. Bahkan ia termasuk sumber tatanan hikmah Ilahi yang berlaku di alam ini. Ia tidak ada kaitannya dengan sikap pelit yang merupakan gabungan dari kerendahan, kebakhilan, keserakahan, dan ketamakan. Bahkan tidak ada hubungan sama sekali antara keduanya. Yang ada hanyalah kemiripan lahiriah semata. Berikut ini akan kami berikan sebuah contoh yang menguatkan hakikat tersebut.

    Pada suatu hari, Abdullah ibn Umar ibn al-Khattab yang merupakan anak sulung al-Faruq Khalifah Rasulullah , salah satu di antara tujuh orang sahabat terkenal yang bernama “Abdullah”,(*[5])dan termasuk ulama terkemuka di kalangan sahabat, terlibat dalam sebuah tawar-menawar yang cukup alot ketika melakukan transaksi di pasar hanya karena uang yang nilainya tidak lebih dari seribu ru- piah. Hal itu dilakukan untuk menjaga prinsip hemat, serta untuk menjaga sifat amanah dan istikamah yang merupakan modal sebuah bisnis.Pada saat itu ada seorang sahabat lain yang melihatnya. Sahabat tersebut mengira bahwa Abdullah ibn Umar memiliki sifat pelit sehingga hal itu aneh baginya. Sebab, bagaimana mungkin sifat tersebut melekat pada diri Abdullah ibn Umar, putra Amirul Mukminin dan putra seorang khalifah. Maka, ia pun membuntuti beliau hingga ke rumahnya untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. Tidak lama kemudian, ia saksikan Abdullah ibn Umar sedang bersama seorang fakir di depan pintu rumah. Mereka berdua saling berbicara dengan santun dan ramah. Setelah itu, Abdullah keluar dari pintu yang kedua dan berbicara dengan seorang fakir lainnya di sana. Hal ini tentu saja membuat sahabat tadi semakin penasaran.

    Lalu ia pun segera menemui dua orang fakir tadi guna meminta penjelasan dari mereka, “Bolehkah aku mengetahui apa yang telah dilakukan oleh Ibnu Umar kepada kalian berdua?”

    “Ia telah memberi masing-masing kami sepotong emas,” jawab keduanya.

    Mendengar hal tersebut, ia sangat terkejut sambil berkata, “Subhanallah! Di pasar beliau terlibat dalam perdebatan sengit hanya gara-gara uang senilai seribu rupiah, tapi di rumahnya beliau menyedekahkan ratusan kali lipat kepada dua orang yang sangat membutuhkan secara tulus tanpa ada yang mengetahui.” Kemudian ia beranjak menuju rumah Ibnu Umar d untuk menanyakan hal itu

    kepadanya, “Wahai Imam, tolong jelaskan kepadaku misteri ini. Di pasar engkau telah melakukan hal demikian, tetapi di rumah engkau melakukan hal yang berbeda.”

    Abdullah ibn Umar menjawab, “Apa yang terjadi di pasar hanyalah wujud dari sikap hemat dan bijak. Aku sengaja melakukan hal tersebut untuk menjaga sifat amanah dan kejujuran sebagai modal utama dalam jual-beli. Ia sama sekali bukan merupakan cerminan dari sifat pelit dan bakhil. Sementara yang terjadi di rumah adalah berasal dari rasa kasihan, simpati, dan kemurahan jiwa. Jadi, yang tadi bukan sikap pelit, dan yang ini bukan sikap berlebihan.”

    Hal tersebut sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Abu Hanifah di mana beliau berkata:“Tidak ada kata berlebihan pada sebuah kebaikan, dan tidak ada kebaikan pada sesuatu yang berlebihan.”(*[6])Maksudnya, berbuat baik kepada orang yang berhak menerimanya tidaklah disebut berlebihan. Sementara berlebihan sama sekali bukan merupakan kebaikan.

    Nuktah Ketujuh

    Sikap boros dan berlebihan menimbulkan ketamakan. Sementara ketamakan melahirkan tiga hal:

    1. Tidak Pernah Merasa Cukup. Kondisi ini menyebabkan seseorang enggan berusaha dan bekerja, membuatnya selalu mengeluh tanpa mau bersyukur, serta melemparkannya ke dalam jurang kemalasan. Sebagai akibatnya, ia tidak mau menerima uang sedikit yang diperoleh dari usaha halal.(*[7])Tetapi, ia menoleh kepada uang haram yang diperoleh tanpa perlu capek dan lelah. Serta demi itu, ia rela mengorbankan harga diri dan kehormatannya.

    2. Malang dan Merugi. Orang yang tamak tidak akan pernah mencapai tujuannya, selalu merasa sulit, tidak pernah merasa ditolong dan dibantu sehingga seperti bunyi sebuah ungkapan terkenal:“Orang yang tamak selalu malang dan merugi.”

    Sifat tamak dan qana’ah tersebut memberikan dampak tertentu pada kehidupan makhluk sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku.

    Contoh: Datangnya rezeki kepada tumbuhan disebabkan oleh sifat qana’ah alamiahnya, serta upaya keras dan ketamakan binatang untuk memperoleh rezekinya dengan bersusah payah, keduanya memperlihatkan kepada kita betapa bahayanya sifat tamak dan beta- pa untungnya sifat qana’ah.

    Mengalirnya susu ke mulut para bayi yang masih kecil dan lemah secara tidak mereka sangka akibat sifat qana’ah yang ditunjukkan oleh kondisi mereka, serta serangan binatang buas dengan penuh ketamakan guna mencengkeram rezekinya, keduanya menguatkan apa yang telah kami kemukakan.

    Kemudian, gemuknya ikan yang dungu berkat sifat qana’ah karena rezekinya yang datang sendiri kepadanya secara sempurna, serta ketidakmampuan berbagai binatang cerdik seperti rubah dan kera dalam memperoleh makanan padahal mereka telah antusias dan berupaya keras, semua itu menegaskan akibat buruk dari sifat tamak berupa kepenatan dan kesulitan, serta dampak positif dari sifat qana’ah berupa kelapangan dan kemudahan.

    Selain itu, bangsa Yahudi dalam memperoleh rezeki mereka dengan cara yang tidak dibenarkan disertai kehinaan akibat dari kerakusan, transaksi ribawi, praktek manipulasi dan tipu muslihat mereka, serta bagaimana masyarakat Badui merasa cukup dengan rezeki dan kehidupan mereka yang mulia, juga mendukung per- nyataan kami di atas.

    Contoh lain dapat dilihat pada banyaknya para ulama96 dan sastrawan(*[8])yang karena sifat rakus dan tamak mereka pun jatuh ke dalam kehidupan yang sangat miskin. Sementara orang-orang yang bodoh dan lemah karena mempunyai watak qana’ah, mereka hidup dalam kondisi berkecukupan. Hal itu menegaskan bahwa rezeki halal datang sesuai dengan kelemahan dan kebutuhan kita, bukan de- ngan usaha dan ikhtiar. Bahkan ia berbanding terbalik dengan upaya dan ikhtiar tersebut. Sebab, rezeki seorang anak sedikit demi sedikit berkurang, menjauh, dan bertambah sulit untuk diperoleh seiring dengan pertumbuhan ikhtiar, kehendak, dan kemampuan usahanya.Ya, sifat qana’ah merupakan modal untuk menggapai kehidupan yang lapang dan nyaman, serta penyebab ketenteraman dalam hidup. Sebaliknya, sifat tamak merupakan ladang kerugian dan kehinaan. Hal tersebut dapat dipahami dari hadis Nabi :“Qana’ah merupakan kekayaan yang tak pernah musnah.”(*[9])

    3. Ketamakan menodai keikhlasan dan merusak amal ukhrawi.Sebab, jika pada diri seorang mukmin yang bertakwa terdapat ketamakan, pastilah ia sangat berkeinginan untuk dihargai orang. Sementara siapa yang mengharap dan menantikan penghargaan orang, ia tidak akan mencapai tingkatan ikhlas yang sempurna. Akibat yang sangat penting ini hendaknya diperhatikan.

    Kesimpulannya, sikap berlebihan melahirkan perasaan tidak pernah cukup. Hal itu membuat seseorang enggan bekerja, menjadikannya malas, serta membuatnya selalu mengeluh dan menderita dalam hidup. Sebagai akibatnya, ia senantiasa merintih di bawah derita keluhan.(*[10])Selain itu, sifat merasa tidak cukup akan merusak keikhlasan seseorang dan akan membuka peluang bagi sifat riya dan kepura-puraan yang pada tahap selanjutnya akan menghancurkan kemuliaannya dan menjerumuskannya pada sikap meminta-minta.

    Sebaliknya, hidup hemat membuahkan sifat qana’ah. Dan qana’ah itu sendiri melahirkan kemuliaan sebagaimana bunyi hadis Nabi:“Sungguh mulia orang yang qana’ah, dan sungguh hina orang yang tamak.”(*[11])Selain itu, ia menumbuhkan rasa senang bekerja dan berusaha serta menambah semangat kerja.

    Sebab, ketika pada suatu hari seseo- rang bekerja dan sore harinya menerima upah, pada hari berikutnya ia juga akan berusaha berkat prinsip qana’ah yang ia miliki. Sementara orang yang hidup boros dan berlebihan, pada hari berikutnya ia tidak akan bekerja karena merasa tidak puas. Bahkan meskipun ia bekerja, hal itu dilakukannya tanpa semangat.Demikianlah, sifat qana’ah yang muncul dari hidup hemat akan membukakan pintu syukur sekaligus menutup pintu keluhan sehingga manusia akan selalu bersyukur dan mengucapkan pujian sepanjang hidupnya. Dengan qana’ah, ia takkan meminta penghargaan manusia karena merasa tidak butuh kepada mereka. Sehingga ia pun bersikap ikhlas dan tidak memiliki sifat riya.

    Aku telah menyaksikan berbagai bahaya nyata dan kerugian besar akibat hidup yang berlebihan dan tidak hemat. Hal itu kusaksikan secara konkret dalam wilayah yang luas sebagai berikut:Sembilan tahun yang lalu, aku mendatangi sebuah kota yang penuh berkah. Ketika itu sedang musim dingin sehingga aku tidak bisa melihat berbagai sumber kekayaan alam dan berbagai hal yang dihasilkan oleh kota tersebut. Mufti kota itu kemudian berkata ke- padaku, “Penduduk kami hidup miskin.” Ia berkali-kali mengulang perkataan tersebut. Mendengar hal itu, aku menjadi sangat tersentuh dan tergugah. Aku pun ikut merasakan kepedihan penduduk kota tersebut selama hampir enam tahun. Delapan tahun kemudian, aku kembali ke sana. Kebetulan saat itu musim panas. Kupandangi kebun-kebun yang ada di kota tersebut. Lalu seketika aku teringat dengan ucapan almarhum mufti di atas. Kuucapkan, “Subhânallah! Hasil panen kebun-kebun ini melebihi kebutuhan seluruh penduduk kota. Mereka sangat mungkin menjadi orang-orang kaya!” Aku pun terdiam heran. Namun beberapa saat kemudian aku mulai mema- hami hakikat sebenarnya yang tak bisa ditipu oleh kenyataan lahiriah. Yaitu bahwa keberkahan telah diangkat dari kota ini akibat pola hidup boros dan berlebihan serta tidak mau hidup hemat. Sehingga pantaslah kalau mufti tadi berkata, “Penduduk kami hidup miskin,” meskipun sumber kekayaan alam yang mereka miliki sangat banyak.

    Ya, pengalaman dan kenyataan menunjukkan bahwa memba- yar zakat dan hidup hemat adalah faktor penyebab datangnya keber- kahan dan tambahan nikmat.(*[12])Sebaliknya, hidup berlebihan dan keengganan membayar zakat merupakan faktor penyebab hilangnya keberkahan.

    Ayat al-Qur’an yang berbunyi:“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan” (QS. al-A’râf [7]: 31), ditafsirkan oleh Ibnu Sina, Platonya kaum muslimin, rujukan para dokter, dan guru besar filsafat, dari sudut pandang kedok- teran, lewat bait-bait di bawah ini:

    Kukumpulkan inti pengobatan hanya pada dua bait kata-kata yang baik terletak pada ungkapan singkat

    Kurangi makanmu dan berhentilah sesudah itu kesehatan tubuh terletak pada perut yang kempis

    Kondisi yang paling membebani diri ini kalau ia diisi makanan terus-menerus.

    Berikut ini akan kami ketengahkan sebuah kesesuaian aneh yang mengundang keheranan dan perlu diambil sebagai pelajaran:(*[13])

    Cây-ı hayret ve medar-ı ibret bir tevafuk

    Meskipun ada lima atau enam orang berbeda—tiga di antaranya tidak pandai menulis—yang melakukan penyalinan terhadap Risalah al-Iqtishâd (Hemat) ini, namun anehnya pada setiap salinan naskah yang tidak disertai doa ada 51 huruf alif, sementara pada setiap salinan naskah yang disertai doa ada 53 huruf alif. Padahal tempat tinggal mereka yang melakukan penyalinan itu berbeda-beda, naskah rujukannya juga berbeda-beda, serta kualitas tulisan mereka juga berbeda-beda. Selain itu, mereka sama sekali tidak pernah berpikir tentang huruf alif tersebut.Huruf alif itu sesuai dengan waktu penulisan dan penyalinan Risalah al-Iqtishâd. Yaitu jika menggunakan penanggalan Romawi jatuh pada tahun 1351, sementara menurut penanggalan Hijriah jatuh pada tahun 1353. Tentu saja hal itu bukan hanya sekadar kebe- tulan. Tetapi ia menjadi isyarat bahwa keberkahan yang terdapat dalam hidup hemat naik ke jenjang karamah. Karena itu, sangat pantas kalau tahun ini disebut dengan tahun penghematan.

    Ya, zaman sekarang ini betul-betul membuktikan mulianya hidup hemat. Tepatnya ketika umat manusia, pasca perang dunia kedua, menyaksikan perang yang telah menebarkan kelaparan, kerusakan, dan berbagai bentuk keborosan di seluruh dunia. Kondisi tersebut tentu saja mengharuskan mereka untuk hemat dan hidup sederhana.

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ



    CAHAYA KEDELAPAN BELAS ⇐ | Al-Lama’ât | ⇒ CAHAYA KEDUA PULUH

    1. *Menurut al-Yâfi’i, ada sebuah riwayat sahih yang sanadnya bersambung kepada Syekh Abdul Qadir al-Jailani yang isinya, “Ibu dari anak muda tersebut pergi menemui Syekh yang sedang memakan ayam. Sang ibu tidak senang melihat sang Syekh memakan ayam sementara anaknya diberi makanan yang paling hina. Maka Syekh Abdul Qadir al- Jailani berkata kepadanya, “Jika anakmu sudah bisa berkata kepada ayam semacam ini, “Bangkitlah dengan izin Allah!” (Ayam itupun bangkit dengan sayapnya dan terbang), maka ia berhak memakannya.” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatâwâ al-Hadîtsah, h.80; al- Jailâni, Ganiyyah ath-Thâlibîn, h.502; an-Nabhâni, Jâmi’ Karâmât al-Auliyâ, 2/203).
    2. *Lihat: Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, 1/447; ath-Thabrâni, al-Mu’jam al-Kabîr, 10/108; al-Mu’jam al-Ausath, 5/206, 6/365; al-Baihaqi, syuab al-Îmân, 5/255. Lihat pula: al-Ajlûni, Kasyful Khafâ, 1/158, 2/189.
    3. *Yakni, Ustadz Nursi tidak mau menerima berbagai hadiah yang diberikan secara cuma-cuma.
    4. *Sendok teh yang agak besar―Penulis.
    5. *Mereka adalah: (1)Abdullah ibn Abbas, (2)Abdullah ibn Umar, (3)Abdullah ibn Mas’ûd, (4)Abdullah ibn Rawâhah,f(5)Abdullah ibn Salam, (6)Abdullah ibn Amr ibn Ash, dan (7)Abdullah ibn Abi Aufâ
    6. *Lihat: al-Ghazali, ihyâ ulûm ad-Dîn, 1/262; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li ahkâm al- Qur’ân, 7/110; al-Manâwi, Faidh al-Qadîr, 5/454.
    7. *Karena tidak mau berhemat, banyak orang yang konsumtif, sedikit yang mau berproduksi, serta semua orang mulai memusatkan perhatian untuk menjadi pegawai negeri. Ketika itulah industri, bisnis, dan pertanian sebagai landasan kehidupan sosial menjadi lumpuh. Akhirnya masyarakat menjadi miskin dan sengsara–Penulis.
    8. *Ada sebuah kejadian yang menguatkan hakikat ini, yaitu bahwa para sastrawan di Perancis diberi piagam pengemis karena mahirnya mereka dalam pengemisan itu–Sulaiman Rusydi.
    9. *Lihat: ath-Thabrâni, al-Mu’jam al-Ausath, 7/84; dan al-Baihaqi, az-Zuhd, 2/88.
    10. *Ya, jika engkau menjumpai seorang yang berlebihan dan boros, engkau pasti akan mendengar banyak keluhan darinya. Meskipun kaya, pasti lisannya selalu mengeluh dan mengaduh. Sementara jika engkau menjumpai orang miskin yang qana’ah, engkau tidak akan mendengar keluhannya. Yang ada, hanyalah pujian dan rasa syukur kepada Allah Ta’ala.
    11. *Lihat: Ibnu al-Atsîr, an-Nihâyah fî Gharâib al-Hadîts, 4/114; dan az-Zubaidi, Tâj al-‘Ârûs, bagian (ع ن ق).
    12. *Lihat: ath-Thabrâni, al-Mu’jam al-Kabîr, 10/128; ath-Thabrâni, al-Mu’jam al-Ausath, 2/161; dan al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubrâ, 3/382, 484.
    13. *Maksudnya, yang paling membahayakan tubuh kalau ia tidak diberi waktu jeda bagi masuknya makanan, yaitu antara empat sampai lima jam. Dengan kata lain, perut terus diisi makanan demi memenuhi selera semata–Penulis.