Yirmi Sekizinci Mektup/id: Revizyonlar arasındaki fark
("Al-Qur’an penuh dengan penjelasan yang menakjubkan serta di banyak ayat ia mendorong makhluk untuk bersyukur. Di antaranya adalah ayat-ayat berikut:" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) |
("Tujuan yang diharapkan dari keberadaan makhluk hidup biasanya terpusat pada manusia. Sang Pencipta Yang Mahamulia mengumpulkan seluruh makhluk hidup di seputar manusia dan menundukkan semuanya untuk melayani manusia. Dia menjadikan manusia sebagai pemimpin dan penguasa atas mereka. Jadi, Sang Pencipta Yang Mahaagung memilih manusia di antara sekian makhluk hidup. Bahkan Dia menjadikannya sebagai objek kehendak-Nya dan target keinginan-Nya.Selanjutnya, ki..." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) |
||
(Aynı kullanıcının aradaki diğer 6 değişikliği gösterilmiyor) | |||
365. satır: | 365. satır: | ||
Al-Qur’an penuh dengan penjelasan yang menakjubkan serta di banyak ayat ia mendorong makhluk untuk bersyukur. Di antaranya adalah ayat-ayat berikut: | Al-Qur’an penuh dengan penjelasan yang menakjubkan serta di banyak ayat ia mendorong makhluk untuk bersyukur. Di antaranya adalah ayat-ayat berikut: | ||
“Tidakkah mereka bersyukur? Tidakkah mereka bersyukur?” | |||
(QS. Yâsîn [36]: 35 dan 73).“Kami akan memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran [3]: 145).“Jika kalian bersyukur niscaya Kami tambahkan untuk kalian.” (QS. Ibrahim [14]: 7).“Tetapi sembahlah Allah dan jadilah orang yang bersyukur.” (QS. az-Zumar [39]: 66).Dari ayat-ayat di atas jelas bahwa amal paling mulia yang dituntut oleh Sang Pencipta Yang Maha Penyayang dari hamba adalah bersyukur. Secara tegas dan jelas, al-Qur’an mengajak manusia untuk bersyukur serta menempatkannya dalam posisi yang sangat penting sekaligus menjelaskan bahwa sikap enggan bersyukur merupakan bentuk pendustaan dan pengingkaran terhadap berbagai nikmat ilahi. Sebanyak 31 kali al-Qur’an memberikan ancaman menakutkan dalam surah ar-Rahman lewat ayat:“Maka, nikmat Tuhan yang manakah yang kalian dustakan?!”Al-Qur’an menunjukkan bahwa sikap enggan bersyukur merupakan bentuk pendustaan dan pengingkaran. | |||
Sebagaimana al-Qur’an al-Hakim menerangkan bahwa syukur adalah hasil dan tujuan penciptaan, demikian halnya dengan alam yang laksana al-Qur’an besar juga memperlihatkan bahwa hasil terpenting dari penciptaan seluruh entitas adalah syukur. | |||
Hal itu karena bila diperhatikan dengan seksama akan diketahui bahwa:Bentuk dan komposisi alam telah didesain dan dibuat dalam satu model dan corak tertentu di mana ia menghasilkan dan membuahkan syukur. Segala sesuatu dari satu sisi mengarah kepada syukur. Bahkan seolah-olah buah terpenting dari pohon penciptaan adalah syukur. | |||
Dan bahkan seolah-olah produk termulia yang dihasilkan oleh pabrik alam adalah syukur. Hal itu karena kita melihat bahwa “entitas alam” telah dibentuk dalam satu model dan pola yang menyerupai lingkaran besar, sementara kehidupan dicipta guna memerankan titik pusat di dalamnya. | |||
Maka kita melihat seluruh entitas melayani dan mengarah pada kehidupan. Ia menyediakan segala kebutuhan dan perlengkapannya. Jadi, Sang Pencipta alam memilih kehidupan di antara seluruh entitas-Nya.Kemudian kita melihat bahwa “dunia makhluk hidup” dihadirkan dalam bentuk lingkaran luas di mana di dalamnya manusia berperan sebagai titik pusat. | |||
Tujuan yang diharapkan dari keberadaan makhluk hidup biasanya terpusat pada manusia. Sang Pencipta Yang Mahamulia mengumpulkan seluruh makhluk hidup di seputar manusia dan menundukkan semuanya untuk melayani manusia. Dia menjadikan manusia sebagai pemimpin dan penguasa atas mereka. Jadi, Sang Pencipta Yang Mahaagung memilih manusia di antara sekian makhluk hidup. Bahkan Dia menjadikannya sebagai objek kehendak-Nya dan target keinginan-Nya.Selanjutnya, kita melihat bahwa “dunia manusia”, bahkan dunia hewan, juga terbentuk seperti lingkaran. Di tengahnya diletakkan rezeki. Kecintaan pada rezeki ditanamkan dalam diri manusia dan hewan. Karena itu, dengan kecintaan tersebut mereka semua menjadi pelayan rezeki dan tunduk padanya. Rezekilah yang mengontrol dan mengendalikan mereka. Rezeki itu sendiri dijadikan sebagai khaza- nah kekayaan besar yang luas dan berlimpah. Ia berisi nikmat yang tak terhingga.Bahkan kita melihat daya rasa yang terdapat di lisan telah dibekali dengan berbagai perangkat detail dan standar maknawi yang sensitif sebanyak makanan yang ada guna mengetahui rasa dari berbagai jenis rezeki yang berlimpah itu. Dengan demikian, hakikat rezeki merupakan hakikat paling menakjubkan, paling kaya, paling aneh, paling manis, dan paling komprehensif di alam ini. | |||
Di samping itu, kita melihat bahwa sebagaimana segala sesuatu membutuhkan rezeki dan mengarah kepadanya, rezeki itu sendiri dengan segala jenisnya akan selalu eksis dengan syukur, baik secara maknawi, materi, kondisi, maupun ucapan. Rezeki didapat dengan syukur, melahirkan syukur, dan menjelaskan sekaligus memperli- hatkan syukur. Pasalnya, kecintaan dan kesenangan terhadap rezeki adalah salah satu bentuk syukur alami. Menikmati dan merasakan- nya juga merupakan bentuk syukur, namun dalam bentuk yang tak disadari di mana seluruh hewan pun menikmati syukur jenis tersebut. Nah, manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengubah esensi syukur alami tadi—lewat sikap sesat dan kufurnya—sehingga jatuh pada kemusyrikan. | |||
<div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr"> | <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr"> |
11.54, 23 Ocak 2025 itibarı ile sayfanın şu anki hâli
(Surat ini Berisi delapan persoalan)
PERSOALAN PERTAMA
(Risalah Pertama)
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ
“Jika kamu memang dapat menakwilkan mimpi.” (QS. Yûsuf [12]: 43).
Kedua:saudaraku, engkau memintaku untuk menjelaskan mimpimu dulu tiga tahun yang lalu. Tiga hari setelah engkau bertemu denganku, takwilnya sudah terlihat. Tidakkah layak bagiku untuk mengomentari dan menjelaskan makna dari mimpi indah penuh berkah yang memberikan kabar gembira dan telah berlalu itu:
Aku adalah pelayan mentari yang meriwayatkan pembicaraannya Lalu mengapa aku harus meriwayatkan pembicaraan malam(*[1])
Khayalan yang merupakan tali sepatu para wali adalah cermin yang memantulkan wajah bersinar di taman ilahi(*[2])
Ya, saudaraku, kita sudah terbiasa bersama-sama menelaah pelajaran hakikat murni. Karena itu, mengkaji mimpi―yang pintunya terbuka bagi berbagai khayalan―secara ilmiah tidak sejalan dengan metode penelitian ilmiah secara utuh. Akan tetapi, terkait dengan kejadian parsial di saat tidur tersebut, kami akan menjelaskan enam nuktah yang membahas tentang tidur yang merupakan saudara kembar kematian. Kami akan menjelaskannya secara ilmiah berdasarkan sejumlah kaidah dan prinsip yang terambil dari hakikat dalam bentuk yang dijelaskan oleh ayat-ayat al-Qur’an. Pada bagian ketujuh, kami ketengahkan sebuah takwil singkat dari mimpimu.
Nuktah Pertama:
Banyak ayat dalam al-Qur’an seperti:“Kami jadikan tidurmu untuk istirahat,” (QS. an-Naba [78]: 9). Juga, mimpi yang dialami oleh Yusuf di mana ia menjadi landasan penting surah Yusuf, semua itu menjelaskan berbagai hakikat agung yang tersembunyi di balik tidur dan mimpi.
Nuktah Kedua:
Ahli hakikat tidak mau menarik kesimpulan “rasa optimis” dari al-Qur’an, serta tidak mau bergantung pada mimpi. Pasalnya, al- Qur’an al-Hakim sering mengancam kaum kafir dengan ancaman sangat keras. Kadang orang yang “optimis” dengan al-Qur’an menghadapi ayat-ayat ancaman yang keras tersebut sehingga membuatnya pesimis.
Begitu pula dengan mimpi. Kadang ia muncul dalam bentuk yang berlawanan dengan realita dan kenyataan sehingga manusia menganggapnya buruk meski sebetulnya baik. Hal itu membuatnya berprasangka buruk dan putus asa, serta meruntuhkan kekuatan morilnya. Banyak mimpi yang secara lahiriah tampak menakutkan, berbahaya, dan buruk. Namun takwilnya sangat baik dan maknanya bagus. Nah, karena manusia tidak mampu menemukan relasi antara gambaran mimpi dan hakikat maknanya, iapun merasa cemas, sedih, dan gundah tanpa alasan yang jelas.
Karena itu, di awal pembahasan aku berkata seperti ucapan Imam Rabbani dan kalangan ahli dalam penelitian ilmiah: Aku adalah pelayan mentari yang meriwayatkan pembicaraannya...
Nuktah Ketiga:
Dalam hadis sahih disebutkan bahwa mimpi yang benar adalah satu dari empat puluh bagian kenabian.(*[3])Artinya, mimpi yang benar itu adalah suatu kebenaran. Ia memiliki relasi dengan misi kenabian. Persoalan ketiga ini sangat penting, panjang, dan mendalam. Ia memiliki relasi dengan sejumlah tugas kenabian. Karena itu, kami tangguhkan pada waktu yang lain. Kita tutup bab ini sampai di sini.
Nuktah Keempat:
Mimpi ada tiga jenis.(*[4])Dua di antaranya termasuk dalam“mimpi kosong” seperti yang al-Qur’an ungkapkan.Keduanya tidak layak ditakwil dan tidak penting meskipun memiliki makna. Pasalnya, bisa jadi mimpi terjadi karena gambaran yang dilahirkan oleh kekuatan khayalan manusia yang mengalami suatu kecenderungan. Atau bisa pula terjadi karena lintasan khayalan atas sebuah peristiwa menakjubkan yang pernah dilihat seseorang di waktu siang, sehari sebelumnya, atau bahkan setahun atau dua tahun yang lalu. Hal itu tergambar dalam khayalannya lalu diberi bungkus tertentu. Kedua jenis mimpi tersebut termasuk “mimpi kosong” yang tak layak ditakwil.
Adapun jenis yang ketiga adalah mimpi yang benar (ru’ya shâdiqah). Perangkat Rabbani yang terdapat dalam substansi manusia memiliki relasi dengan alam gaib. Ia membuka celah yang mengarah kepadanya setelah indra dan perasaan yang terikat dengan alam nyata terputus serta setelah ia tidak bekerja. Lewat celah tadi, perangkat Rabbani tersebut melihat berbagai peristiwa yang akan terjadi. Bisa jadi seseorang menerima kilau lauhil mahfudz atau model-model tulisan takdir sehingga dapat melihat sejumlah peristiwa yang sebenarnya. Hanya saja, kadang khayalan berbuat sesuatu pada kejadian tersebut seraya membingkainya dengan pakaian tertentu.Mimpi seperti ini memiliki banyak ragam dan tingkatan. Kadangkala peristiwanya persis seperti yang dilihat seseorang. Kadangkala peristiwanya tampak di balik tirai halus. Kadangkala pula ia tersembunyi di balik tirai yang tebal.
Dalam hadis sahih disebutkan, “Mimpi yang dilihat oleh Rasul pada permulaan turunnya wahyu adalah jelas, benar, dan terang seperti fajar subuh.”(*[5])
Nuktah Kelima: Mimpi yang benar merupakan ekspresi dari adanya kelebihan pada kekuatan insting atau firasat (perasaan akan terjadinya sesuatu). Perasaan ini terdapat pada setiap manusia, baik secara parsial maupun universal, bahkan terdapat pada hewan.Pada satu waktu, aku menemukan bahwa terdapat dua indra dalam diri manusia dan hewan di luar indra lahir dan batin. Keduanya adalah indra yang bisa merasakan sesuatu sebelum terjadi, yaitu indra sâiqah (penggiring) dan indra syâiqah (perindu) seperti indra melihat dan mendengar di antara indra yang sudah dikenal. Dengan kata lain, yang satu menggiring dan yang lain membuat rindu.Karena kebodohan kalangan sesat dan filsuf, mereka secara keliru menyebut kedua indra tadi sebagai “insting alamiah”. Tidak! Ia bukanlah insting alamiah. Namun ia sejenis ilham fitri yang ditetap- kan oleh takdir ilahi pada manusia dan hewan.
Misalnya: kucing dan hewan yang lainnya, ketika tidak bisa melihat, maka dengan insting yang Allah berikan, ia akan mencari jenis tanaman tertentu dan meletakkannya di matanya sehingga bisa sembuh dari penyakitnya.
Begitu pula dengan burung elang dan burung pemangsa daging lainnya di mana mereka laksana petugas kesehatan yang bertugas membersihkan permukaan bumi dari bangkai hewan. Burung tersebut dapat mengetahui keberadaan bangkai hewan sejarak perjalanan satu hari. Hal itu bisa dilakukan lewat insting dan firasat (perasaan akan terjadinya sesuatu).
Demikian juga dengan anak lebah yang baru berusia satu hari. Ia bisa terbang ke jarak perjalanan satu hari di udara lalu kembali ke sarangnya tanpa kesasar. Hal itu terjadi berkat insting serta ilham yang menggiring dan mendorong tersebut.
Bahkan setiap orang pasti pernah mengalami banyak kejadian berulang. Ketika menyebut atau mengingat nama seseorang, tiba-tiba orang tersebut datang tanpa mereka prediksi kedatangannya. Sehingga dalam pepatah Kurdi disebutkan:Ketika engkau menyebut serigala, siapkan tongkat!Karena serigala itu datang.Artinya, perangkat halus (latifah) rabbani tersebut bisa merasakan kedatangan orang tersebut secara global. Namun karena tidak disertai dengan sentuhan akal, ia tergiring untuk menyebut orang itu tanpa sengaja.Ahli firasat menafsirkan hal tersebut seperti sebuah karamah.
Bahkan diriku juga memiliki kondisi seperti itu dalam bentuk yang istimewa. Aku pernah berkeinginan untuk meletakkan kondisi tersebut dalam satu kaidah seraya menetapkannya dalam sebuah hukum. Namun aku tidak mendapat taufik dan tidak mampu melakukannya. Yang jelas, pada orang bertakwa, orang salih, terutama para wali yang mulia, perasaan tersebut semakin kuat serta memperlihatkan jejak yang berhias karamah.
Begitulah, dalam mimpi yang benar terdapat satu jenis dari kewalian bagi orang awam. Pasalnya, di dalamnya mereka melihat sejumlah perkara masa mendatang dan perkara gaib seperti yang dilihat oleh para wali. Dilihat dari sisi mimpi yang benar, tidur laksana salah satu tingkatan kewalian bagi orang awam, sebagaimana ia juga merupakan tempat rekreasi yang indah bagi mereka guna melihat sejumlah tayangan ilahi, seperti tayangan film. Hanya saja, orang yang memiliki akhlak baik, ia akan berpikir secara baik pula. Ia melihat sejumlah tayangan dan pemandangan yang indah. Berbeda dengan orang berakhlak buruk. Yang tergambar selalu sesuatu yang buruk. Karena itu, ia hanya melihat pemandangan yang jelek dan buruk.
Selain itu, tidur merupakan jendela alam nyata yang mengarah ke alam gaib. Ia adalah medan yang bebas bagi manusia yang terikat dan fana. Ia memperoleh satu jenis keabadian sehingga masa lalu dan masa mendatang sama seperti masa sekarang. Tidur juga merupakan tempat istirahat bagi makhluk bernyawa yang berada dalam himpitan kesulitan dan beban hidup yang berat.
Karena sejumlah rahasia di atas dan yang sejenisnya, al-Qur’an menjelaskan hakikat tidur dalam sejumlah ayat. Misalnya dalam firman-Nya:“Kami jadikan tidurmu untuk istirahat.” (QS. an-Naba [78]: 9).
Nuktah Keenam: poin ini sangat penting.
Aku sangat yakin dan telah terbukti lewat sejumlah pengalaman hidup yang kualami bahwa mimpi yang benar merupakan bukti nyata bahwa takdir ilahi mencakup segala sesuatu.
Bagiku, mimpi tersebut―terutama dalam beberapa tahun belakangan―telah sampai pada tingkatan pasti dan yakin. Pasalnya, di suatu malam aku bermimpi melihat dialog paling sederhana, muamalah biasa, serta urusan kecil yang akan terjadi di esok hari. Di malam hari aku melihatnya secara langsung dengan mataku. Namun ia tak terucap oleh lisan. Dari sana aku yakin bahwa mimpi telah tertulis dan telah ditentukan sebelum ia terjadi. Pengalaman yang pernah terjadi padaku ini tidak sedikit dan tidak hanya sekali. Ia juga tidak hanya terjadi seratus kali. Namun ribuan kali. Bahkan dalam tidur aku bermimpi melihat sejumlah orang yang tak pernah terpikirkan dan sejumlah masalah yang tidak pernah terlintas dalam benak. Tiba-tiba orang-orang itu terlihat olehku di siang harinya. Perkara tersebut sering terjadi meski sedikit ada yang ditakwilkan.
Artinya, peristiwa terkecil dari sekian banyak peristiwa terikat dan tercatat dalam takdir ilahi sebelum ia terjadi. Ia bukanlah sebuah kebetulan. Berbagai peristiwa tersebut tidak terjadi tanpa kendali dan secara acak.
Nuktah Ketujuh:
Takwil mimpimu yang memberikan kabar gembira dan penuh berkah merupakan satu kebaikan bagi kita dan khidmah al-Qura’n. Zaman telah dan senantiasa menakwilkan mimpi tersebut. Untuk itu, kami tidak perlu lagi menakwilkannya. Apalagi sebagian takwilnya sudah terlihat dalam realitas nyata.Kalau engkau mencermati, engkau akan mengetahui hal tersebut. Hanya saja, kami ingin menunjukan sebagian poinnya. Dengan kata lain, kami ingin menjelaskan salah satu hakikatnya. Peristiwa yang merupakan bagian dari hakikat mimpi adalah cerminan dari hakikat tersebut.
Yaitu bahwa medan yang luas itu adalah dunia Islam. Sementara masjid yang berada di ujungnya merupakan wilayah Isparta. Air keruh yang berlumpur adalah kubangan saat ini yang terkena polusi kemaksiatan, kemalasan, dan bid’ah. Engkau sampai ke masjid dengan selamat tanpa terkena polusi. Hal itu menunjukkan bahwa engkau akan selamat dari lumpur, hatimu tidak rusak, dan meraih limpahan cahaya al-Qur’an sebelum yang lain. Adapun segelintir jamaah yang terdapat di masjid adalah para pengemban Risalah Nur seperti Haqqi, Khulusi, Sabri, Sulaiman, Rusydi, Bakir, Mustafa, Ali, Zuhdi, Lutfi, Khusrev, dan Ra’fat. Kursi kecilnya adalah kampung kecil seperti Barla. Lalu suara nyaringnya merupakan isyarat yang menunjukkan kekuatan Risalah Nur dan penyebarannya yang cepat. Kedudukan yang diberikan padamu di barisan pertama adalah posisi yang ditinggalkan oleh Abdurrahman. Jamaah yang menyerupai perangkat nirkabel menunjukkan penyebaran pelajaran iman ke seluruh penjuru dunia. Takwilnya akan terlihat dengan sempurna di masa mendatang insya Allah. Pasalnya, personil dari jamaah tersebut saat ini seperti benih kecil dan dengan izin Allah mereka akan menjadi seperti pohon besar dan pusat dakwah. Selanjutnya, pemuda yang memakai sorban itu adalah simbol pemuda yang berada di barisan penyebar dan Tullabunnur. Ia akan sejajar dengan Khulusi, bahkan bisa mengunggulinya. Kukira ia adalah salah seorang dari mereka, namun aku tidak bisa memastikan. Pemuda tersebut akan terlihat di lapangan dengan kekuatan kewalian. Adapun poin yang masih tersisa, engkau bisa menjelaskannya sebagai ganti dari diriku.
Berbicara dengan sahabat sepertimu, meski dalam waktu yang panjang, sangat nikmat dan menyenangkan. Karena itu, aku menerangkan masalah singkat ini dengan panjang lebar. Barangkali aku berlebihan di dalamnya. Akan tetapi karena aku membahasnya dengan niat menjelaskan tafsir ayat-ayat al-Qur’an yang terkait dengan tidur, semoga pembahasan yang panjang tersebut insya Allah bisa dimaklumi dan tidak dianggap sebagai sesuatu yang berlebihan.
PERSOALAN KEDUA (Risalah Kedua)
Risalah ini ditulis untuk memecahkan persoalan yang ada sekaligus menyudahi diskusi tentang hadis Nabi(*[6])bahwa Nabi Musa telah memukul mata malaikat Izrail.
Aku mendengar bahwa telah terjadi debat ilmiah di Egridir.(*[7])Menurutku debat tersebut keliru, terutama pada saat sekarang ini.Aku tidak mengetahui perihal debat tersebut. Namun aku termasuk yang ditanya tentangnya.
Mereka memperlihatkan padaku sebuah hadis Nabi yang terdapat dalam kitab terpercaya. Hadis tersebut ditandai dengan simbol qaf untuk menunjukkan bahwa riwayatnya muttafaq alayh (HR. Bukhari dan Muslim). Mereka menanyakan apakah ia hadis Nabi atau bukan? Kukatakan pada mereka, “Ya, ia adalah hadis Nabi. Kalian harus bersandar dan percaya pada hadis yang disepakati oleh Imam Bukhari dan Muslim tersebut. Hanya saja, sebagaimana dalam alQuran terdapat ayat-ayat mutasyabihat, begitupun dalam hadis Nabi juga terdapat yang mutasyabihat. Maknanya yang benar hanya diketahui oleh ulama khawas.” Kutegaskan pula, “Bisa jadi lahiriah hadis itu termasuk dalam jenis mutasyabihat yang termasuk bagian dari problematika hadis.” Seandainya aku memiliki pengetahuan tentang debat seputar hadis tersebut, tentu jawabanku tidak seringkas itu. Namun aku akan menjawab sebagai berikut:
Pertama, syarat utama dalam memperdebatkan persoalan semacam ini adalah:(1) Suasana harus tenang dan objektif; (2) dilakukan dengan niat mencapai kebenaran; (3) dalam nuansa yang tidak boleh mencerminkan sikap keras kepala; (4) dilakukan di antara kalangan yang ahli dalam bidangnya; (5) serta tidak menjadikannya sebagai sarana yang mengarah pada adanya kesalahpahaman. Selama memenuhi syarat-syarat di atas, berdebat tentang persoalan tersebut dan yang sejenisnya boleh dilakukan.
Bukti debat dalam rangka mencari kebenaran adalah peserta debat harus objektif serta tidak boleh kecewa dan emosi ketika kebenaran tampak pada pihak yang berseberangan dengannya. Ia harus siap menerima dan tenang. Sebab, paling tidak ia telah belajar sesuatu yang sebelumnya tidak ia ketahui. Kalau kebenaran muncul dari lisannya, berarti ilmunya tidak bertambah dan bisa jadi ia jatuh pada sikap sombong.
Kedua, apabila topik debat berupa hadis Nabi, berarti harus ada pengetahuan tentang tingkatan hadis, derajat wahyu yang bersifat implisit, dan jenis-jenis sabda Nabi.Tidak boleh memperdebatkan hadis yang sulit dipahami di antara mereka yang awam, tidak boleh pula membela pendapatnya demi memperlihatkan keunggulannya atas yang lain, serta tidak boleh mencari dalil yang menguatkan pendapatnya ketimbang mencari kebenaran dan objektivitas.
Namun karena sudah terlanjur dipermasalahkan dan sudah menjadi bahan perdebatan, maka dampak buruknya akan berimbas pada pemahaman masyarakat awam yang tidak mampu memahami hadis-hadis mutasyabihat semacam itu. Pasalnya, andai ada yang mengingkarinya berarti ia membuka pintu kebinasaan dan kerugian bagi dirinya. Sebab, sikap ingkarnya itu akan menggiringnya untuk mengingkari sejumlah hadis sahih yang lain. Sebaliknya, jika ia menerima makna lahiriah hadis serta menyebarkannya kepada orang lain, hal itu akan membuka pintu penolakan dari kalangan yang sesat terhadap hadis Nabi disertai ucapan buruk atasnya dengan berkata, “Ia adalah khurafat.”
Karena perhatian banyak orang tertuju kepada hadis Nabi yang mutasyabih tersebut tanpa ada alasan yang dibenarkan, atau bahkan mengandung bahaya; serta karena masih banyak lagi hadis-hadis lain yang mustasyabih, maka harus ada penjelasan tentang hakikat sebenarnya guna melenyapkan keraguan yang ada. Kutegaskan bahwa penjelasan tentang hakikat ini sangat penting tanpa melihat pada validitas hadisnya.
Kami akan menerangkan hakikat tersebut secara global dengan mencukupkan pada sejumlah penjelasan yang telah kami sebutkan dalam berbagai Risalah Nur (di antaranya dua belas landasan pada dahan ketiga dan keempat dari “Kalimat Kedua Puluh Empat” serta landasan yang secara khusus terkait dengan jenis- jenis wahyu dalam pendahuluan “Surat Kesembilan Belas”).
Hakikat dari hadis tersebut adalah bahwa malaikat tidak terbatas dalam satu bentuk seperti manusia. Mereka bersifat universal meskipun memiliki kepribadian khusus. Izrail merupakan pemimpin malaikat yang bertugas mencabut nyawa.
Pertanyaan: Apakah Izrail sendiri yang mencabut nyawa, atau ia memiliki pembantu yang mencabut nyawa? Jawaban: terkait dengan hal ini terdapat tiga pendekatan.
Pendekatan Pertama: Izrail yang mencabut nyawa setiap orang. Aksinya di satu tempat tidak menjadi penghalang untuk melakukan aksi di tempat lain. Pasalnya, ia berasal dari cahaya. Makhluk dari cahaya dapat hadir dan menjelma di berbagai tem- pat lewat sejumlah cermin yang tak terbatas. Penjelmaan “makhluk dari cahaya” memiliki karakter aslinya. Ia dianggap sebagai asli; bukan bayangan. Jika penjelmaan matahari di sejumlah cermin memperlihatkan sinar dan panasnya, demikian pula penjelmaan makhluk spiritual seperti malaikat. Ia juga memperlihatkan so- soknya dalam berbagai cermin di alam mitsal. Ia adalah sosok makhluk spiritual itu sendiri; bukan yang lain. Malaikat menjelma pada sejumlah cermin sesuai dengan kapasitas penerimaan cermin tersebut.
Misalnya: Ketika Jibril menjelma, di hadapan Rasul yang sedang berada di tengah majelis, dalam sosok sahabat Dihya al-Kalbi,(*[8])pada saat yang sama ia menjelma di ribuan tempat dalam beragam bentuk. Sebagaimana ia bersujud di bawah arasy yang agung dengan memenuhi cakrawala Timur dan Barat(*[9])lewat sayapnya yang luas, ia juga menjelma di setiap tempat sesuai dengan tingkat penerimaan tempat tersebut. Dalam satu waktu, ia bisa hadir pada ribuan tempat.
Begitulah. Berdasarkan pendekatan ini, sama sekali tidak aneh, tidak luar biasa, dan sangat logis jika sosok malaikat maut yang tampak di hadapan manusia saat mencabut nyawa—sebagai contoh parsial yang berbentuk manusia—mendapatkan pukulan Nabi Musa , sosok Rasul ulul azmi yang agung, lalu mata sosok jelmaan dari malaikat maut yang memakai busana tersebut tercungkil.
Pendekatan Kedua: Para malaikat agung seperti Jibril, Mikail, dan Izrail, masing-masing laksana pemimpin umum. Mereka memiliki sejumlah pembantu dari jenis mereka dan yang menyerupai mereka namun dalam tipe yang lebih kecil. Para pembantu tersebut berbeda-beda sesuai dengan jenis makhluk yang diamanahkan padanya. Malaikat yang mencabut nyawa orang salih(*[10])berbeda dengan malaikat yang mencabut nyawa ahli maksiat. Mereka adalah kumpulan malaikat yang beragam seperti yang Allah sebutkan dalam al-Qur’an:“Demi para malaikat yang mencabut nyawa dengan keras. Demi malaikat yang mencabut nyawa dengan lemah lembut.” (QS. an-Nâzi’ât [79]: 1-2).
Berdasarkan pendekatan ini, Nabi Musa tidak memukul malaikat Izrail . Namun ia memukul salah satu malaikat pembantu Izrail. Hal itu dengan kekuatan kenabian, kebugaran tubuh, kondisi fisiknya yang besar, serta kedudukannya di sisi Tuhan Yang Mahakuasa. Dengan begitu, masalahnya menjadi sangat logis.(*[11])
Pendekatan Ketiga: Dalam landasan keempat dari “Kalimat Kedua Puluh Sembilan” dan sesuai dengan petunjuk hadis-hadis Nabi telah kami jelaskan bahwa ada malaikat yang memiliki 40 ribu kepala.(*[12])Pada setiap kepala ada 40 ribu lisan. Dengan demikian mereka juga memiliki 80 ribu mata. Setiap lisan bertasbih lewat 40 ribu tasbih. Selama malaikat bertugas sesuai dengan jenis alam nyata, sementara mereka mewakili tasbih jenis tersebut di alam arwah, maka mereka juga memiliki bentuk.
Sebab, bumi misalnya, merupakan satu makhluk yang bertasbih kepada Allah. Ia memiliki 40 ribu jenis, bahkan ratusan ribu darinya di mana masing-masing sebagai kepala yang bertasbih untuknya. Setiap jenis memiliki ribuan anggota yang berposisi seperti lidah. Begitu seterusnya.
Jadi, malaikat yang bertugas di bumi mesti memiliki 40 ribu kepala, bahkan ratusan ribu kepala. Serta setiap kepala memiliki ratusan ribu lisan. Demikian seterusnya.Berdasarkan pendekatan ini, malaikat Izrail memiliki wajah yang mengarah ke setiap individu dan mata yang menatap ke setiap orang. Karena itu, pukulan Nabi Musa bukan pukulan terhadap esensi pribadi Izrail dan juga bukan pada bentuk hakikinya. Di dalamnya tidak ada unsur penghinaan, serta bukan bentuk penolakan. Akan tetapi, tindakan Musa lahir dari kondisinya yang ingin tetap menunaikan tugas kerasulan. Karena itu, ia memukul mata yang mengawasi ajalnya, dan yang hendak meng- hentikan tugasnya di muka bumi.
Wallahu a’lam. Yang mengetahui hal gaib hanya Dia. “Katakanlah, ‘Pengetahuan tentangnya hanya di sisi Allah.’” (QS. al-Mulk [67]: 26).
“Dialah yang menurunkan al-kitab (al-Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamât. Itulah pokok-pokok isi al-qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyâbihât. Adapun orang- orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyâbihât daripadanya un- tuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya di mana mereka berkata,“Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyâbihât, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imrân [3]: 7).
PERSOALAN KETIGA (Risalah Ketiga)
Persoalan ini merupakan jawaban yang bersifat sangat khusus. Di dalamnya terdapat sesuatu yang bersifat rahasia mengenai pertanyaan umum yang ditanyakan oleh ikhwah secara umum, baik lewat lisan yang terucap ataupun tidak terucap.
Pertanyaan: Engkau berkata kepada setiap orang yang mengunjungimu:“Jangan mengharap perhatian dan bantuan dari diriku. Jangan pernah menganggapku sebagai orang yang diberkahi. Aku bukan orang yang memiliki kedudukan istimewa. Sebagaimana seorang prajurit menyampaikan perintah perwira tinggi, aku juga hanya menyampaikan perintah para perwira maknawi yang memiliki kedudukan tinggi. Sebagaimana orang bangkrut yang tidak memiliki apa-apa hanya berperan sebagai penjaja di toko permata yang sangat mahal, aku juga penjaja di toko yang suci, yaitu al-Qur’an al-Karim.”
Seperti itulah yang engkau sampaikan kepada setiap orang yang mendatangimu. Namun akal kami membutuhkan ilmu, kalbu kami menginginkan limpahan karunia, dan jiwa kami mengharap cahaya. Kami membutuhkan banyak hal lewat beragam sisi. Kami mendatangimu dengan harapan engkau bisa memenuhi kebutuhan kami. Pasalnya, kami membutuhkan sosok wali serta sosok yang memiliki tekad dan kesempurnaan ketimbang sosok alim. Jika kondisinya seperti yang kau katakan, berarti kami keliru dalam mengunjungimu.” Begitulah ungkapan lisan hal mereka.
Jawaban:Simaklah lima poin berikut, lalu renungi kunjungan kalian! Apakah ia bermanfaat atau sama sekali tidak berguna? Setelah itu, silahkan dinilai sendiri!
Poin Pertama
Seorang pembantu atau prajurit raja yang berada di bawah komandonya menyampaikan hadiah dan medali raja kepada para komandan dan perwira tinggi sehingga membuat mereka senang. Jika para komandan dan perwira itu berkata, “Mengapa kita mau menerima anugerah dan penghargaan raja lewat tangan prajurit biasa ini?” tentu saja sikap seperti itu menunjukkan kesombongan. Sebaliknya, jika sang prajurit menjadi ujub dan tidak menghormati perwira tadi, serta merasa dirinya lebih mulia, hal itu tidak lain kecuali kebodohan.
Andaikan salah seorang dari komandan itu mau pergi ke rumah sang prajurit biasa itu di mana ia hanya bisa menyuguhkan sekerat roti untuk tamunya, niscaya raja yang mengetahui kondisi pelayannya yang amanah tersebut akan mengirimkan sepiring makanan lezat dari dapurnya untuk menghilangkan perasaan tidak nyaman darinya.
Nah, sebagaimana kondisi pelayan raja demikian, begitu pula dengan pelayan al-Qur’an yang tulus. Betapapun ia berasal dari kalangan awam, namun ia menyampaikan pesan-pesan al-Qur’an atas nama al-Qur’an itu sendiri kepada orang paling mulia tanpa ragu- ragu. Ia menjual permata al-Qur’an yang sangat berharga kepada orang paling kaya secara ruhiyah dengan penuh percaya diri tanpa merasa hina.Meskipun kedudukan mereka tinggi, mereka tidak boleh memperlihatkan kesombongan di hadapan pelayan sederhana tadi atas tugas yang ia tunaikan. Si pelayan juga tidak boleh menjadi sombong saat berhadapan dengan orang-orang mulia tersebut sehingga tidak melampaui batas.
Ketika sebagian orang, yang tertarik pada permata al-Qur’an yang suci, memandang si pelayan sebagai sosok wali yang salih dan mengagungkannya, maka kasih sayang suci milik hakikat al-Qur’an sepantasnya memberi bantuan dan limpahan dari khazanah ilahi yang khusus tanpa sepengatahuan dan campur tangan si pelayan tadi. Hal itu agar pelayan sang raja tidak malu di hadapan tamunya yang mulia.
Poin Kedua
Imam Rabbani Ahmad al-Faruqi as-Sirhindi, yang dijuluki pembaharu milenium kedua, berkata, “Tersingkapnya salah satu hakikat iman bagiku lebih utama daripada seribu dzauq dan karamah. Selain itu, hasil dan tujuan dari seluruh tarekat adalah tersingkapnya hakikat keimanan.”(*[13])Jika seorang tokoh besar tarekat memberikan pernyataan semacam itu, berarti al-Kalimat―yang menjelaskan secara gamblang berbagai hakikat keimanan yang merupakan percikan dari lautan rahasia al-Qur’an―dapat memberikan sejumlah hasil kewalian yang diharapkan.
Poin Ketiga
Tiga puluh tahun yang lalu, sejumlah “tamparan keras” mendarat di kepala “Said Lama” yang lalai. Lalu ia berpikir bahwa kematian adalah sesuatu yang pasti. Ia pun merasa dirinya terperosok ke dalam kubangan lumpur. Ia meminta pertolongan dan mencari jalan keluar. Ia mencari juru selamat yang bisa meraih tangannya. Lalu ia melihat beragam jalan di hadapannya. Ia bingung dan mulai membuka kitab Futuh al-Ghayb karya Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Ia membukanya dengan rasa optimis. Di sana ia menemukan ungkapan sebagai berikut:
Engkau berada di Darul Hikmah. Carilah dokter yang bisa mengobati hatimu...”(*[14])Sungguh menakjubkan!
Ketika itu aku adalah anggota Darul Hikmah al-Islamiyyah.(*[15])Seolah-olah aku datang ke sana untuk mengobati luka umat Islam. Padahal aku sendiri lebih sakit dan lebih membutuhkan pengobatan dibanding yang lain. Orang yang sakit terlebih dahulu harus mengobati dirinya, sebelum mengobati orang lain.
Ya, begitulah Syekh berpesan kepadaku, “Engkau sakit. Carilah dokter yang bisa mengobatimu.” “Wahai Syekh, jadilah engkau dokter bagiku,” ujarku. Akupun mulai membaca kitab tersebut. Seolah-olah ia berbicara dengan diriku pribadi. Redaksinya yang tegas menghancurkan kesombonganku. Ia pun melakukan operasi bedah yang dalam terhadap diriku. Namun aku tidak mampu. Aku merasa tidak kuat. Pasalnya, aku menganggap ucapannya tertuju padaku. Ya, begitulah ia kubaca hingga sekitar separuhnya. Aku tidak bisa menyelesaikannya. Kuletakkan kitab tersebut di lemari. Tidak lama setelah itu aku merasa bahwa pedihnya luka telah sirna digan- tikan oleh kenikmatan ruhiyah yang menakjubkan.
Lalu aku kembali membaca kitab “guru pertamaku” itu hingga selesai. Aku mendapatkan banyak manfaat. Aku memperhatikan wirid-wiridnya yang indah dan munajatnya yang lembut hingga mendapatkan limpahan karunia. Lalu aku menemukan kitab Maktûbat karya Imam al-Faruqi as-Sirhindi, sang pembaharu milenium kedua. Dengan rasa optimis yang tulus, aku membukanya dan di dalamnya aku menemukan sesuatu yang menakjukan. Pada dua risalahnya terdapat ungkapan “Mirza Badiuzzaman”.(*[16]) Aku merasa seakan-akan ia berbicara pada- ku dengan menyebut namaku. Pasalnya, nama ayahku adalah Mirza. Sementara kedua risalah tersebut tertuju kepada Mirza Badiuzzaman. Dalam hati aku berkata, “Subhanallah” luar biasa! Ia berbicara langsung pada diriku. Sebab, julukan “Said Lama” adalah Badiuzzaman. Meski yang kuketahui hanya al-Hamadzâni yang hidup di abad ke-4 H yang terkenal dengan julukan tersebut. Dengan demikian, pasti ada orang selainnya yang semasa dengan Imam Rabbani as-Sirhindi di mana ia diajak bicara dengan sebutan tersebut. Dan sudah pasti kondisinya sama dengan kondisiku sehingga aku merasa menemukan obat lewat kedua risalah itu.
Imam Rabbani dalam kedua risalahnya dan dalam sejumlah risalah yang lain berpesan, “Satukan kiblat!”(*[17])Maksudnya, ikutilah seorang imam dan mursyid; jangan sibuk dengan yang lain. Pesan tersebut saat itu tidak sejalan dengan potensi dan kondisi spiritualku. Aku mulai berpikir, “Mana yang harus kuikuti?! Apakah berjalan di belakang ini atau berjalan di belakang yang itu? Aku sangat bingung sebab masing-masing memiliki keistimewaan dan daya tarik tersendiri. Karena itu, aku tidak bisa merasa cukup dengan sa- lah satu dari keduanya.
Saat sedang dalam kondisi sangat bingung seperti ini, tiba-tiba lintasan pikiran ilahi yang berasal dari Allah terlintas dalam hatiku. Ia berkata kepadaku, “Permulaan seluruh jalan, sumber seluruh saluran, mentari bagi seluruh planet adalah al-Qur’an al-Karim. Jadi, penyatuan kiblat yang sesungguhnya hanya bisa terwujud lewat al- Qur’an. Pasalnya, al-Quran adalah mursyid paling utama dan guru paling suci.” Maka sejak saat itu aku berpegang teguh pada al-Qur’an. Potensiku yang terbatas tidak mampu menyerap―secara sempurna―limpahan sang mursyid hakiki yang laksana mata air salsabil dan yang membangkitkan kehidupan tersebut.
Akan tetapi, berkat limpahan karunia al-Qur’an, kami dapat menjelaskan limpahan karunia dan mata air salsabil itu kepada para pemilik kalbu dan ahwâl sesuai dengan tingkatan masing-masing. Jadi, al-Kalimât dan sejumlah cahaya yang berasal dari al-Qur’an (Risalah Nur) bukan hanya masalah ilmiah semata, tetapi juga merupakan masalah hati dan spiritual. Ia seperti ilmu dan makrifat ilahi yang sangat berharga.
Poin Keempat
Para sahabat, tabiin, dan pengikut tabiin, yang memiliki derajat tertinggi dan meraih posisi kewalian terbesar (wilâyah kubrâ), seluruh perangkat halus (latîfah) mereka telah menerima bagian dari al-Qur’an secara langsung. Karena itu, al-Qur’an menjadi mursyid hakiki dan memadai bagi mereka. Ini menunjukkan bahwa sebagaimana al-Qur’an al-Hakim menjelaskan berbagai hakikat pada setiap masa, ia juga terus memberikan limpahan kewalian terbesar kepada yang layak mendapatkannya di setiap zaman.
Ya, untuk menyeberang dari sisi lahir menuju hakikat hanya terwujud dalam dua bentuk:
Pertama, dengan masuk ke dunia tarekat dan menempuh sejumlah tingkatan di dalamnya lewat suluk hingga mencapai hakikat.
Kedua, menyeberang menuju hakikat secara langsung lewat rahmat ilahi tanpa masuk ke dalan dunia tarekat. Jalan ini bersifat khusus, istimewa, dan sangat singkat. Ia adalah jalan para sahabat dan tabiin .
Jadi, cahaya yang memancar dari hakikat al-Qur’an dan al- Kalimât yang menerjemahkan cahaya tersebut bisa memiliki keistimewaan tersebut. Bahkan ia benar-benar memilikinya.
Poin Kelima
Lewat lima contoh kecil, kami akan menjelaskan bahwa di samping mengajarkan berbagai hakikat al-Qur’an, al-Kalimât juga menunaikan tugas sebagai pembimbing (mursyid).
Contoh Pertama:
Setelah mendapatkan ribuan kali bukti dan pengalaman; bukan hanya puluhan atau ratusan kali, maka aku merasa yakin bahwa al-Kalimât dan cahaya yang bersumber dari al-Qur’an dapat mem- bimbing akal dan kalbuku lewat berbagai kondisi keimanan, serta memberi nutrisi berupa dzauq imani kepada jiwaku. Begitulah yang terjadi.
Sebagaimana dalam melaksanakan berbagai aktivitas duniawi aku seperti seorang murid yang menantikan bantuan dari syekhnya yang memiliki karamah, begitupun aku menantikan kebutuhanku dari rahasia al-Qur’an al-Hakim yang berisi karamah. Ia terwujud lewat cara yang tak kuduga sebelumnya.Aku akan menyebutkan dua contoh saja dari sekian contoh yang didapat lewat keberkahan rahasia al-Qur’an.
Pertama: yang dijelaskan secara rinci dalam “Surat Keenam Belas”. Yaitu: diperlihatkan kepada tamuku, Sulaiman, sepotong roti besar yang terletak di atas pohon. Kami makan dari hadiah ilahi tersebut selama dua hari. (Padahal ketika itu aku tidak memiliki apa-apa untuk disuguhkan kepadanya).
Kedua: persoalan yang sangat sederhana yang terjadi baru-baru ini. Yaitu:
Sebelum subuh, terlintas dalam benakku bahwa pernah kusampaikan kepada seseorang sebuah ucapan yang membuat dia waswas. Ketika itu aku berkata, “Andai saja aku bertemu dengannya, tentu kulenyapkan kekhawatiran yang terdapat di hatinya.” Saat itu juga aku teringat pada satu bagian dari kitabku yang telah dikirim ke Kota Nis.(*[18])“Andai saja aku bisa mendapatkannya,” ujarku. Setelah shalat subuh aku duduk. Tiba-tiba orang yang dimaksud datang sambil membawa bagian dari kitab yang kuinginkan. Ia datang menemuiku. Akupun bertanya: “Apa yang kau bawa?” “Aku tidak tahu. Ada yang memberikan kitab ini padaku di depan pintu. Ia datang dari Nis. Maka kubawalah buku ini kepadamu.” “Subhanallah!” ujarku dengan penuh takjub. “Keluarnya orang ini dari rumahnya dan datangnya bagian kitab al-Kalimât dari Nis bukanlah sebuah kebetulan. Ia terwujud karena bentuk pertolongan al-Qur’an yang telah menyerahkan bagian kitab tersebut pada saat yang sama kepada orang tadi sekaligus mengirimkannya kepadaku. Maka, akupun banyak bersyukur kepada Allah. Jadi, Dzat yang mengetahui keinginan kalbuku yang sederhana dan kecil melimpahkan rahmat-Nya kepadaku serta menjagaku dengan perlindungan-Nya. Karena itu, aku tidak terbebani dan tidak memikul jasa siapapun di dunia ini.
Contoh Kedua:
Sejak delapan tahun yang lalu, keponakanku, Abdurrahman, telah meninggalkanku. Meskipun bersentuhan dengan berbagai hal duniawi yang melenakan dan penuh syubhat, namun ia memiliki prasangka baik yang berlebihan kepadaku. Karena itu, ia memintaku untuk menolong dan membantunya dengan sesuatu yang tidak ku- miliki dan tidak mampu kulakukan. Namun pertolongan al-Qur’an al-Hakim telah membantunya. Kuberikan padanya “Kalimat Kesepuluh” yang membahas tentang al-Hasyr (hari kebangkitan). Tepatnya tiga bulan sebelum ia meninggal dunia.Risalah tersebut telah berperan dalam membersihkan dirinya dari polusi maknawi serta kotoran ilusi dan syubhat. Bahkan, seakan ia telah naik ke posisi yang menyerupai kewalian. Sebab, ia memperlihatkan tiga karamah yang jelas dalam surat yang ia tulis kepadaku sebelum ia wafat. Surat tersebut kumasukkan ke dalam bagian alinea “Surat Kedua Puluh Tujuh”. Silahkan merujuk kepadanya!(*[19])
Contoh Ketiga:
Aku memiliki saudara seiman dan sekaligus murid yang berhati baik dan bertakwa. Ia adalah Sayyid Hasan Afandi dari kota Burdur.(*[20])Ia mengharapkan dukungan dan kekuatan dari orang malang ini sebagaimana berharap dari seorang wali besar. Hal itu karena prasangka baiknya yang berlebihan kepadaku. Tiba-tiba dengan serta-merta kuberikan kepada salah seorang penduduk Burdur risalah “Kalimat Ketiga Puluh Dua” untuk ia baca. Kemudian aku teringat kepada Sayyid Hasan. Akupun berkata, “Jika engkau pergi ke Burdur, berikan risalah ini kepada Sayyid Hasan untuk ia baca selama beberapa hari.” Maka, orang itupun pergi. Ia langsung memberikan risalah tersebut kepada Sayyid Hasan 40 hari sebelum ajalnya datang.Ia menerima risalah itu dengan sangat antusias. Ia terus membaca dan menyerapnya seperti orang yang sedang haus terhadap mata air salsabil. Setiap kali ia menelaahnya, ia mendapatkan limpahan karunia ilahi. Iapun terus membacanya sampai menemukan sebuah obat bagi penyakitnya. Terutama dalam pembahasan mahabbatullah (Kecintaan kepada Allah) pada mauqif ketiga dari “Kalimat Ketiga Puluh Dua”. Bahkan di dalamnya ia mendapatkan limpahan karunia yang ia nantikan dari sosok wali qutub. Dalam kondisi sehat dan kuat ia pergi sendiri ke masjid Jami lalu menunaikan shalat. Setelah itu ia meninggal di sana. Semoga Allah memberinya rahmat yang luas!
Contoh Keempat:
Khulusi telah menemukan kekuatan, limpahan karunia, dan cahaya dalam al-Kalimât yang merupakan tafsiran dari rahasia-rahasia al-Qur’an, melebihi apa yang ia temukan di tarekat Naqsyabandi yang merupakan tarekat terpenting dan paling berpengaruh. Kesaksiannya tersebut telah kusebutkan dalam “Surat Kedua Puluh Tujuh”.
Contoh Kelima:
Saudara kandungku, Abdul Majid, benar-benar sangat terpukul dengan kematian anaknya yang bernama Abdurrahman. Karena duka yang dialaminya itu, ia meminta kekuatan dan dukungan moril kepadaku yang tak mampu kupenuhi. Meskipun aku tidak biasa melakukan korespondensi dengannya, namun tiba-tiba kukirimkan ia sejumlah risalah dari al-Kalimât. Setelah dibaca, ia menulis surat yang isinya, “Alhamdulillah, aku telah selamat. Aku hampir gila. Namun berkat anugerah Allah, setiap bagian dari kitab al-Kalimât menjadi mursyid bagiku. Meski aku berpisah dengan seorang mursyid, namun aku menemukan banyak mursyid sehingga aku selamat, alhamdulillah.” Sementara aku mengamati kondisinya. Kulihat ia benar-benar telah masuk ke dalam satu keadaan yang indah dan selamat dari kondisi sebelumnya.
Masih banyak lagi contoh lain yang serupa dengan kelima contoh di atas. Semuanya menjelaskan bahwa ilmu keimanan, terutama ketika melakukan pengobatan maknawi sesuai dengan kebutuhan serta ketika menjadi obat bagi sejumlah penyakit yang diambil dari rahasia al-Qur’an secara langsung, maka ilmu dan obat tersebut sudah cukup memadai bagi mereka yang merasa membutuhkan dan mempergunakannya dengan ikhlas. Kondisi apoteker yang menjual obat serta kondisi penjaja yang menjajakannya, tidak berpengaruh. Maksudnya, mau dia orang biasa dan bangkrut, orang miskin dan pembantu, atau orang kaya dan berpangkat, apapun kondisinya, tidak ada bedanya.
Ya, cahaya lilin tidak lagi dibutuhkan ketika sudah ada cahaya matahari. Ketika matahari telah kutunjukan, maka cahaya lilin dariku sudah tidak dibutuhkan. Apalagi jika diriku tidak memilikinya. Bahkan seharusnya mereka memberiku kekuatan maknawi lewat doa dan pertolongan mereka. Aku berhak mengharap dukungan dan pertolongan mereka. Hendaknya mereka merasa cukup dengan limpahan cahaya Risalah Nur yang mereka raih.
سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَاةً تَكُونُ لَكَ رِضَاءً وَ لِحَقِّهٖ اَدَاءً وَ عَلٰى اٰلِهٖ وَ صَح۟بِهٖ وَ سَلِّم۟
Surat Kecil dan Khusus
[Bisa dikatakan penyempurna dari ‘persoalan ketiga’ dari “Surat Kedua Puluh Delapan”]
Wahai saudara-saudara seiman, dan wahai dua muridku yang rajin, Khusrev Afandi dan Ra’fat Afandi.
Kita telah merasakan tiga karamah Qur’aniyah dalam kumpulan al-Kalimât yang merupakan limpahan cahaya al-Qur’an. Namun dengan tekad, usaha, dan semangat kalian, kalian telah menambahkan padanya karamah lain yang keempat. Adapun tiga karamah yang telah dikenal itu adalah sebagai berikut:
Pertama: Kemudahan dan kecepatan yang luar biasa dalam proses penulisannya. Bahkan “Surat Kesembilan Belas” yang terdiri dari lima bagian ditulis hanya sekitar 3 hari selama kurang lebih 4 jam sehari. Jadi totalnya hanya 12 jam. Ia ditulis di daerah pegunu- ngan dan kebun tanpa ada satupun buku referensi. “Kalimat Ketiga Puluh” ditulis saat sakit, selama lima atau enam jam. “Kalimat Kedua Puluh Delapan” yang membahas tentang surga ditulis selama kurang lebih satu atau dua jam, di kebun Sulaiman yang terletak di daerah lembah. Bahkan kami (Aku, Taufik, dan Sulaiman) merasa heran dengan proses penulisannya yang sangat cepat.
Demikianlah yang terjadi dalam penulisan karamah Qur’aniyah.
Kedua: Kemudahan yang luar biasa, semangat yang membara, dan tanpa rasa jenuh dalam proses penyalinannya. Padahal, terdapat begitu banyak faktor yang bisa membuat jenuh jiwa dan akal di masa sekarang. Akan tetapi, ketika salah satu bab dari al-Kalimât ditulis, iapun disalin di banyak tempat dengan penuh semangat, dan penyalinannya diutamakan dari kesibukan penting lainnya. Begitulah kondisinya.
Ketiga: membacanya juga tidak membosankan, khususnya ketika dibutuhkan. Bahkan semakin dibaca, ia terasa semakin nikmat, tanpa ada rasa bosan.
Demikian pula dengan kalian wahai saudaraku. Kalian berdua telah menghadirkan karamah Qur’aniyah yang keempat. Saudara kita Khusrev yang menyebut dirinya malas untuk menulis, sejak mendengar al-Kalimât, lima tahun yang lalu, maka proses penulisan yang dilakukannya selama satu bulan terhadap 14 buku dalam sebuah tulisan yang indah sudah pasti merupakan satu bentuk rahasia al-Qur’an. Terutama “Surat Ketiga Puluh Tiga”, yaitu risalah “Jendela Tauhid” di mana haknya telah terpenuhi sebab ditulis dalam tulisan yang paling indah.
Ya, risalah tersebut merupakan risalah tentang makrifatullah dan keimanan yang berbentuk sangat kuat dan bersinar. Hanya saja, sejumlah jendela pada bagian awal risalah sangat global dan singkat. Namun secara berangsur-angsur ia tersingkap dan menjadi terang di mana pendahuluan dari sebagian besar al-Kalimât memang berbentuk global lalu perlahan-lahan menjadi jelas dan bersinar; berbeda dengan seluruh tulisan yang lain.
PERSOALAN KEEMPAT (Risalah Keempat)
بِاس۟مِهٖ وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَم۟دِهٖ
(Jawaban atas sebuah pertanyaan tentang kejadian sepele yang menarik perhatian saudara-saudaraku)
Saudaraku yang mulia!
Kalian bertanya:Masjidmu yang penuh berkah, pada malam Jumat, telah diserang tanpa sebab. Yaitu saat ada tamu yang datang. Mengapa ini bisa terjadi? Mengapa mereka mengganggumu?”
Jawaban: Aku terpaksa menjelaskan empat poin dengan lisan “Said Lama”, semoga ia bisa dipahami dan kalian bisa mendapatkan jawaban darinya.
Poin Pertama
Hakikat dari kejadian tersebut adalah makar setan dan tindak nifak untuk mengambil simpati kelompok zindik, meski menyalahi hukum dan sekadar mengikuti hawa nafsu. Tujuannya untuk mem- buat kami risau di malam jumat tersebut dan membuat jamaah patah semangat sehingga para tamu tidak jadi menemuiku. Anehnya, sehari sebelumnya, yakni hari kamis, aku pergi ke salah satu tempat untuk tamasya. Saat kembali aku melihat seekor ular hitam yang panjang di mana ia seperti dua ekor ular yang bersambung. Ular tersebut datang dari arah kiri. Ia berjalan di antara diriku dan temanku. Karena ingin mengetahui sejauh mana keterkejutannya saat melihat ular itu, akupun bertanya:
“Apakah engkau melihat?”
“Melihat apa?” tanyanya.
“Ular yang menakutkan itu!”
“Mana? Aku tidak melihatnya.”
Mendengar jawaban tersebut aku menjadi heran sambil berkata, “Subhanallah! Bagaimana engkau tidak melihat ular besar yang telah lewat di tengah-tengah kita?”
Ketika itu tidak ada sesuatu yang terlintas dalam benakku. Akan tetapi, setelah beberapa waktu terlintas dalam hatiku, “Ini adalah isyarat untukmu. Waspadalah!” Akupun merenung. Aku sadar bahwa ia termasuk ular yang kulihat dalam mimpi. Maksudku, aku melihat pejabat berwenang yang datang dengan niat jahat dalam ben- tuk ular. Bahkan dalam satu kesempatan aku mengutarakan hal itu kepada kepala desa. Kukatakan padanya, “Ketika engkau datang dengan niat jahat, aku melihatmu dalam bentuk ular. Waspadalah!”
Sebenarnya aku sering melihat pendahulunya dalam bentuk tersebut. Dengan kata lain, ular yang kulihat secara nyata merupakan isyarat yang menunjukkan bahwa pengkhianatan mereka kali ini adalah dalam bentuk aksi nyata terhadap diriku; tidak lagi sekadar niat terpendam.Meskipun penyerangan mereka yang kali ini berskala kecil, dan mereka berusaha menganggapnya sepele, akan tetapi ia terjadi de- ngan dukungan dan keterlibatan seorang guru yang kehilangan nu- rani. Pihak yang bertanggung jawab memberikan perintah kepada polisi, “Tangkap para tamu itu!” Ketika itu kami sedang berzikir seusai shalat di masjid. Tindakan tersebut dilakukan untuk membuatku marah dengan harapan bahwa aku akan menolak dan mengusir mereka seperti sikap “Said Lama” ketika menghadapi tindakan sewenang-wenang dan non-konstitusional.Orang malang itu tidak mengetahui kalau Said tidak membela dengan tongkat patah yang ada di tangannya, sementara di mulutnya ada pedang berlian dari pabrik al-Qur’an. Sudah pasti ia mempergu- nakan pedang tersebut.Hanya saja, para anggota polisi itu bersikap tenang dan sadar. Mereka menunggu hingga shalat dan zikir berakhir. Sebab, pemerintah manapun tidak akan masuk ke dalam masjid selama shalat dan zikir belum selesai. Sang pimpinan marah dengan sikap mereka. Ia mengirimkan lagi seorang petugas keamanan seraya berkata, “Para polisi itu tidak mematuhiku.”
Akan tetapi, Allah tidak menyibukkanku dengan ular-ular seperti mereka. Aku berpesan kepada para saudaraku, “Jangan kalian disibukkan oleh mereka selama tidak ada kondisi yang memaksa. Bahkan tidak usah berbicara dengan mereka. Sebab, jawaban bagi orang bodoh adalah diam.
Namun, hendaknya kalian memerhatikan hal berikut: Sebagaimana memperlihatkan sikap lemah di hadapan binatang buas akan membuatnya lebih berani untuk menyerang, demikian pula ketika memperlihatkan sikap lemah kepada orang yang berwatak binatang buas akan membuatnya lebih berani untuk menyerang. Jadi, teman-teman hendaknya bersikap waspada agar kalangan yang loyal kepada kafir zindik tidak memanfaatkan sikap lengah kalian.
Poin Kedua
Allah berfirman:“Janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka. (QS. Hûd [11]: 113).Ayat di atas berisi sebuah ancaman keras. Yakni bahwa orang- orang yang menjadi alat kaum zalim, serta memberikan loyalitas kepada mereka, condong kepada mereka, bahkan hanya sekadar simpati sekalipun, mereka mendapat ancaman yang menakutkan. Pasalnya, rida dengan kekufuran merupakan bentuk kekufuran, sebagaimana rida dengan kezaliman juga merupakan kezaliman.
Salah seorang dari ulama salih memberikan satu gambaran yang sempurna tentang salah satu hakikat ayat di atas lewat dua bait berikut:
Orang yang membantu si zalim atas kezalimannya termasuk orang yang hina di dunia
Orang yang merasa nikmat dalam mengabdi kepada pemburu yang zalim sama seperti anjing.
Ya, sebagian mereka bertingkah seperti ular dan sebagian lagi seperti anjing. Orang yang mencari-cari kesalahan kita di malam penuh berkah seperti itu, serta terhadap tamu yang mulia, saat sedang berdoa dan bermunajat kepada Allah, lalu menceritakan tentang kita seakan kita telah melakukan tindak kejahatan, lalu kemudian melakukan penyerangan semacam ini, pasti akan mendapat kecaman seperti yang terdapat dalam makna dua bait di atas.
Poin Ketiga
Pertanyaan:selama engkau bersandar pada kekuatan dan pertolongan al-Qur’an, serta mengambil ilham dari limpahan karunianya untuk memberi petunjuk kepada orang-orang ateis yang paling keras kepala guna memperbaiki mereka seperti yang telah dan terus eng- kau lakukan, lalu mengapa engkau tidak mendakwahi orang-orang di sekitarmu yang melampaui batas serta membimbing mereka ke jalan yang benar?
Jawaban:Di antara salah satu kaidah penting dalam prinsip syariat adalah:
“Orang yang rela menerima bahaya (mudharat) tidak layak mendapat perhatian.”(*[21])Maksudnya, orang yang rela menerima bahaya atas keinginan dan sepengetahuannya, tidak layak dikasihani. Nah, dengan bersandar kepada al-Qur’an al-Hakim aku berdakwah dan sanggup membungkam orang-orang ateis yang keras kepala hanya dalam beberapa jam meskipun belum bisa membuatnya sadar, dengan syarat ia bukan orang yang sangat hina dan senang menyebarkan racun kesesatan sebagaimana ular yang senang menyebarkan racunnya.
Sebab, berbicara kepada “ular” yang berbentuk manusia serta berkomunikasi dengan orang yang benar-benar tersesat dan tenggelam dalam nifak di mana ia rela menjual agama secara sadar dengan dunia, serta menukar berlian yang mahal dengan serpihan kaca tak berharga. Kutegaskan bahwa berbicara dengan mereka lalu menerangkan hakikat kebenaran atas mereka berarti merendahkan derajat kebenaran tersebut karena hal itu seperti kata pepatah “Mengalungkan intan pada leher sapi jantan”.
Pasalnya, orang-orang yang melakukan perbuatan semacam itu sebenarnya telah berkali-kali mendengar hakikat kebenaran dari Risalah Nur. Namun mereka ingin menjatuhkan nilai kebenaran meski- pun mengetahui karena senang dengan kesesatan yang ada. Mereka seperti ular yang menikmati racun.
Poin Keempat
Bentuk perlakuan terhadapku selama tujuh tahun ini tidak lain adalah tindakan sewenang-wenang berdasarkan hawa nafsu. Ia merupakan tindakan yang bertentangan dengan undang-undang. Sebab, hukum dan peraturan bagi orang-orang yang diasingkan, ditahan, dan dipenjara sudah sangat jelas. Sesuai undang-undang, mereka boleh berjumpa dengan kerabat dan tidak ada larangan untuk bergaul dengan siapa saja. Hak untuk beribadah dan melakukan ketaatan kepada Allah terpelihara di setiap negara dan bangsa. Orang- orang yang diasingkan sepertiku masih bisa berada di tengah kerabat dan orang-orang yang dicinta. Tidak ada larangan bagi mereka untuk berbaur, surat-menyurat, bahkan bertamasya dan seterusnya. Hanya aku yang dikecualikan. Aku terhalang untuk melakukan semua itu. Bahkan ibadahku diganggu dan masjidku diserang. Mereka berusaha menghalangiku untuk menyebut kalimat tauhid selepas shalat seperti yang disunnahkan dalam mazhab Syâfi’i.
Ketika seorang buta huruf bernama “Syabab” datang bersama para pengawalnya ke sini (Barla) lalu mendatangiku karena sudah kenal lantaran satu kampung denganku, ia dipanggil dari masjid oleh tiga orang polisi bersenjata. Sang pimpinan berusaha untuk menutupi tindakannya yang melanggar hukum itu dengan berkata, “Mohon maaf. Jangan tersinggung dengan tindakan kami. Ini hanya tuntutan tugas!” Lalu ia membolehkannya pergi.Apabila kejadian ini dibandingkan dengan seluruh tindakan dan perlakuan yang ada, dapat diketahui bahwa perlakuan mereka terhadapku adalah tindakan sewenang-wenang. Sebab mereka mengirim “ular” dan “anjing” untuk menggangguku. Sementara aku tidak peduli dengan mereka serta menyerahkan semua urusan mereka kepada Allah Yang Mahakuasa guna menangkal kejahatan mereka.
Sebenarnya, orang-orang yang memprovokasi kejadian tersebut yang menjadi sebab pengusiran, sekarang ini berada di kota mereka. Para pimpinan yang mengeksekusi juga menjadi para pemimpin kabilah. Semuanya dibebaskan, kecuali aku dan dua saudara seiman. Kami dikecualikan dari yang lain dan tidak dibebaskan. Padahal, aku tidak memiliki keterpautan dengan dunia sama sekali. Aku menerima semua ini dengan penuh kerelaan dan kukatakan, “Tidak apa-apa.” Akan tetapi, salah seorang saudara seiman telah ditunjuk sebagai mufti di salah satu kota. Ia pergi dengan bebas ke seluruh pen- juru negeri kecuali ke kotanya sendiri. Bahkan ia bisa pergi ke ibu kota, Ankara. Sementara yang satunya diberi kebebasan untuk berkumpul dengan ribuan orang-orang yang mereka cintai di Istanbul. Ia diizinkan untuk berjumpa dengan siapapun. Padahal, kedua orang tersebut tidak hidup sebatang kara seperti diriku yang tidak memiliki keluarga. Bahkan mereka memiliki pengaruh yang besar. Demikian adanya.
Adapun diriku, mereka mengirimku ke sebuah kampung dan menempatkanku di tengah-tengah orang yang sama sekali tidak memiliki hati nurani. Bahkan, aku tidak bisa pergi ke kampung yang dekat yang jaraknya hanya sekitar 20 menit dari Barla, kecuali dua kali selama 6 tahun. Mereka tidak memberikan izin kepadaku untuk pergi ke kampung tersebut untuk mencari suasana baru selama be- berapa hari.Begitulah. Mereka berusaha menekanku di bawah satu intimidasi yang luar biasa. Padahal negara manapun pasti memiliki satu undang-undang. Tidak ada aturan dan undang-undang yang hanya berlaku untuk perorangan, kampung, dan wilayah tertentu.
Artinya, hukum yang mereka terapkan atas diriku bukanlah hukum. Namun ia sudah keluar dari ketentuan hukum. Pihak yang bertanggung-jawab di sini memanfaatkan otoritas pemerintah untuk kepentingan pribadi. Akan tetapi, ribuan alhamdulillah. Sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat yang dilimpahkan, kusampaikan bahwa seluruh kekerasan dan intimidasi yang mereka lakukan menjadi seperti kayu bakar yang menyalakan api semangat sehingga menambah terang ca- haya al-Qur’an.Cahaya al-Qur’an yang dihadapi dengan tindakan kekerasan tersebut menjadi tersebar luas lewat semangat yang membara. Ia membuat seluruh wilayah, bahkan seluruh kota laksana sebuah madrasah sehingga tidak hanya terbatas di Barla. Mereka menyangka telah memenjarakan diriku di sebuah desa. Namun sebenarnya desa tersebut, Barla, justru dengan izin Allah menjadi tempat mengajar, tidak seperti harapan mereka. Bahkan banyak tempat seperti Isparta menjadi madrasah.
Alhamdulillah. Ini semua berkat karunia Tuhanku.
PERSOALAN KELIMA (Risalah Kelima) Risalah tentang Syukur
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ
Al-Qur’an penuh dengan penjelasan yang menakjubkan serta di banyak ayat ia mendorong makhluk untuk bersyukur. Di antaranya adalah ayat-ayat berikut:
“Tidakkah mereka bersyukur? Tidakkah mereka bersyukur?” (QS. Yâsîn [36]: 35 dan 73).“Kami akan memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran [3]: 145).“Jika kalian bersyukur niscaya Kami tambahkan untuk kalian.” (QS. Ibrahim [14]: 7).“Tetapi sembahlah Allah dan jadilah orang yang bersyukur.” (QS. az-Zumar [39]: 66).Dari ayat-ayat di atas jelas bahwa amal paling mulia yang dituntut oleh Sang Pencipta Yang Maha Penyayang dari hamba adalah bersyukur. Secara tegas dan jelas, al-Qur’an mengajak manusia untuk bersyukur serta menempatkannya dalam posisi yang sangat penting sekaligus menjelaskan bahwa sikap enggan bersyukur merupakan bentuk pendustaan dan pengingkaran terhadap berbagai nikmat ilahi. Sebanyak 31 kali al-Qur’an memberikan ancaman menakutkan dalam surah ar-Rahman lewat ayat:“Maka, nikmat Tuhan yang manakah yang kalian dustakan?!”Al-Qur’an menunjukkan bahwa sikap enggan bersyukur merupakan bentuk pendustaan dan pengingkaran.
Sebagaimana al-Qur’an al-Hakim menerangkan bahwa syukur adalah hasil dan tujuan penciptaan, demikian halnya dengan alam yang laksana al-Qur’an besar juga memperlihatkan bahwa hasil terpenting dari penciptaan seluruh entitas adalah syukur.
Hal itu karena bila diperhatikan dengan seksama akan diketahui bahwa:Bentuk dan komposisi alam telah didesain dan dibuat dalam satu model dan corak tertentu di mana ia menghasilkan dan membuahkan syukur. Segala sesuatu dari satu sisi mengarah kepada syukur. Bahkan seolah-olah buah terpenting dari pohon penciptaan adalah syukur.
Dan bahkan seolah-olah produk termulia yang dihasilkan oleh pabrik alam adalah syukur. Hal itu karena kita melihat bahwa “entitas alam” telah dibentuk dalam satu model dan pola yang menyerupai lingkaran besar, sementara kehidupan dicipta guna memerankan titik pusat di dalamnya.
Maka kita melihat seluruh entitas melayani dan mengarah pada kehidupan. Ia menyediakan segala kebutuhan dan perlengkapannya. Jadi, Sang Pencipta alam memilih kehidupan di antara seluruh entitas-Nya.Kemudian kita melihat bahwa “dunia makhluk hidup” dihadirkan dalam bentuk lingkaran luas di mana di dalamnya manusia berperan sebagai titik pusat.
Tujuan yang diharapkan dari keberadaan makhluk hidup biasanya terpusat pada manusia. Sang Pencipta Yang Mahamulia mengumpulkan seluruh makhluk hidup di seputar manusia dan menundukkan semuanya untuk melayani manusia. Dia menjadikan manusia sebagai pemimpin dan penguasa atas mereka. Jadi, Sang Pencipta Yang Mahaagung memilih manusia di antara sekian makhluk hidup. Bahkan Dia menjadikannya sebagai objek kehendak-Nya dan target keinginan-Nya.Selanjutnya, kita melihat bahwa “dunia manusia”, bahkan dunia hewan, juga terbentuk seperti lingkaran. Di tengahnya diletakkan rezeki. Kecintaan pada rezeki ditanamkan dalam diri manusia dan hewan. Karena itu, dengan kecintaan tersebut mereka semua menjadi pelayan rezeki dan tunduk padanya. Rezekilah yang mengontrol dan mengendalikan mereka. Rezeki itu sendiri dijadikan sebagai khaza- nah kekayaan besar yang luas dan berlimpah. Ia berisi nikmat yang tak terhingga.Bahkan kita melihat daya rasa yang terdapat di lisan telah dibekali dengan berbagai perangkat detail dan standar maknawi yang sensitif sebanyak makanan yang ada guna mengetahui rasa dari berbagai jenis rezeki yang berlimpah itu. Dengan demikian, hakikat rezeki merupakan hakikat paling menakjubkan, paling kaya, paling aneh, paling manis, dan paling komprehensif di alam ini.
Di samping itu, kita melihat bahwa sebagaimana segala sesuatu membutuhkan rezeki dan mengarah kepadanya, rezeki itu sendiri dengan segala jenisnya akan selalu eksis dengan syukur, baik secara maknawi, materi, kondisi, maupun ucapan. Rezeki didapat dengan syukur, melahirkan syukur, dan menjelaskan sekaligus memperli- hatkan syukur. Pasalnya, kecintaan dan kesenangan terhadap rezeki adalah salah satu bentuk syukur alami. Menikmati dan merasakan- nya juga merupakan bentuk syukur, namun dalam bentuk yang tak disadari di mana seluruh hewan pun menikmati syukur jenis tersebut. Nah, manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengubah esensi syukur alami tadi—lewat sikap sesat dan kufurnya—sehingga jatuh pada kemusyrikan.
Hem rızık olan nimetlerde gayet güzel süslü suretler, gayet güzel kokular, gayet güzel tatmaklar; şükrün davetçileridir, zîhayatı şevke davet eder ve şevk ile bir nevi istihsan ve ihtirama sevk eder, bir şükr-ü manevî ettirir. Ve zîşuurun nazarını dikkate celbeder, istihsana tergib eder. Nimetleri ihtirama onu teşvik eder, onun ile kālen ve fiilen şükre irşad eder ve şükrettirir ve şükür içinde en âlî ve tatlı lezzeti ve zevki ona tattırır.
Yani gösterir ki şu lezzetli rızık ve nimet, kısa ve muvakkat bir lezzet-i zâhiriyesiyle beraber daimî, hakiki, hadsiz bir lezzeti ve zevki taşıyan iltifat-ı Rahmanîyi şükür ile kazandırır. Yani rahmet hazinelerinin Mâlik-i Kerîm’inin hadsiz lezzetli olan iltifatını düşündürüp şu dünyada dahi cennetin bâki bir zevkini manen tattırır.
İşte rızık, şükür vasıtasıyla o kadar kıymettar ve zengin bir hazine-i câmia olduğu halde, şükürsüzlük ile nihayet derecede sukut eder.
Altıncı Söz’de beyan edildiği gibi lisandaki kuvve-i zaika Cenab-ı Hak hesabına, yani manevî vazife-i şükraniye ile rızka müteveccih olduğu vakit, o dildeki kuvve-i zaika, rahmet-i bînihaye-i İlahiyenin hadsiz matbahlarına şâkir bir müfettiş, hâmid bir nâzır-ı âlîkadr hükmündedir.
Eğer nefis hesabına olsa yani rızkı in’am edenin şükrünü düşünmeyerek müteveccih olsa o dildeki kuvve-i zaika, bir nâzır-ı âlîkadr makamından batn fabrikasının yasakçısı ve mide tavlasının bir kapıcısı derecesine sukut eder. Nasıl rızkın şu hizmetkârı şükürsüzlük ile bu dereceye sukut eder, öyle de rızkın mahiyeti ve sair hademeleri dahi sukut ediyorlar. En yüksek makamdan en edna makama inerler. Kâinat Hâlık’ının hikmetine zıt ve muhalif bir vaziyete düşerler.
Şükrün mikyası, kanaattir ve iktisattır ve rızadır ve memnuniyettir.
Şükürsüzlüğün mizanı; hırstır ve israftır, hürmetsizliktir, haram helâl demeyip rast geleni yemektir.
Evet hırs, şükürsüzlük olduğu gibi hem sebeb-i mahrumiyettir hem vasıta-i zillettir. Hattâ hayat-ı içtimaiyeye sahip olan mübarek karınca dahi güya hırs vasıtasıyla ayaklar altında kalmış, ezilir. Çünkü kanaat etmeyip senede birkaç tane buğday kâfi gelirken, elinden gelse binler taneyi toplar. Güya mübarek arı, kanaatinden dolayı başlar üstünde uçar. Kanaat ettiğinden balı insanlara emr-i İlahî ile ihsan eder, yedirir.
Evet, Zat-ı Akdes’in alem-i zatîsi ve en a’zamî ismi olan lafzullahtan sonra en a’zam ismi olan Rahman, rızka bakar ve rızıktaki şükür ile ona yetişilir. Hem Rahman’ın en zâhir manası Rezzak’tır.
Hem şükrün envaı var. O nevilerin en câmii ve fihriste-i umumiyesi, namazdır.
Hem şükür içinde safi bir iman var, hâlis bir tevhid bulunur. Çünkü bir elmayı yiyen ve “Elhamdülillah” diyen adam, o şükür ile ilan eder ki “O elma, doğrudan doğruya dest-i kudretin yadigârı ve doğrudan doğruya hazine-i rahmetin hediyesidir.” demesi ile ve itikad etmesi ile her şeyi –cüz’î olsun, küllî olsun– onun dest-i kudretine teslim ediyor. Ve her şeyde rahmetin cilvesini bilir. Hakiki bir imanı ve hâlis bir tevhidi, şükür ile beyan ediyor.
İnsan-ı gafil, küfran-ı nimet ile ne derece hasarete düştüğünü, çok cihetlerden yalnız bir vechini söyleyeceğiz. Şöyle ki:
Lezzetli bir nimeti insan yese, eğer şükretse o yediği nimet o şükür vasıtasıyla bir nur olur, uhrevî bir meyve-i cennet olur. Verdiği lezzet ile, Cenab-ı Hakk’ın iltifat-ı rahmetinin eseri olduğunu düşünmekle, büyük ve daimî bir lezzet ve zevk veriyor. Bu gibi manevî lübleri ve hülâsaları ve manevî maddeleri ulvi makamlara gönderip maddî ve tüflî (posa) ve kışrî, yani vazifesini bitiren ve lüzumsuz kalan maddeleri füzulât olup aslına, yani anâsıra inkılab etmeye gidiyor.
Eğer şükretmezse o muvakkat lezzet, zeval ile bir elem ve teessüf bırakır ve kendisi dahi kazurat olur. Elmas mahiyetindeki nimet, kömüre kalbolur.
Şükür ile zâil rızıklar; daimî lezzetler, bâki meyveler verir.
Şükürsüz nimet, en güzel bir suretten çirkin bir surete döner. Çünkü o gafile göre rızkın âkıbeti, muvakkat bir lezzetten sonra füzulâttır.
Evet, rızkın aşka lâyık bir sureti var, o da şükür ile o suret görünür. Yoksa ehl-i gaflet ve dalaletin rızka aşkları bir hayvanlıktır. Daha buna göre kıyas et ki ehl-i dalalet ve gaflet ne derece hasaret ediyorlar.
Enva-ı zîhayat içinde en ziyade rızkın envaına muhtaç, insandır. Cenab-ı Hak, insanı bütün esmasına câmi’ bir âyine ve bütün rahmetinin hazinelerinin müddeharatını tartacak, tanıyacak cihazata mâlik bir mu’cize-i kudret ve bütün esmasının cilvelerinin ve sanatlarının inceliklerini mizana çekecek âletleri hâvi bir halife-i arz suretinde halk etmiştir. Onun için hadsiz bir ihtiyaç verip maddî ve manevî rızkın hadsiz envaına muhtaç etmiştir. İnsanı, bu câmiiyete göre en a’lâ bir mevki olan ahsen-i takvime çıkarmak vasıtası, şükürdür. Şükür olmazsa esfel-i safilîne düşer, bir zulm-ü azîmi irtikâb eder.
Elhasıl: En a’lâ ve en yüksek tarîk olan tarîk-i ubudiyet ve mahbubiyetin dört esasından en büyük esası şükürdür ki o dört esas şöyle tabir edilmiş:
“Der tarîk-i acz-mendî lâzım âmed çâr çîz:
Acz-i mutlak, fakr-ı mutlak, şevk-i mutlak, şükr-ü mutlak ey aziz.”
اَللّٰهُمَّ اج۟عَل۟نَا مِنَ الشَّاكِرٖينَ بِرَح۟مَتِكَ يَا اَر۟حَمَ الرَّاحِمٖينَ
سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّم۟ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ سَيِّدِ الشَّاكِرٖينَ وَ ال۟حَامِدٖينَ وَ عَلٰى اٰلِهٖ وَ صَح۟بِهٖ اَج۟مَعٖينَ اٰمٖينَ
وَ اٰخِرُ دَع۟وٰيهُم۟ اَنِ ال۟حَم۟دُ لِلّٰهِ رَبِّ ال۟عَالَمٖينَ
Altıncı Risale Olan Altıncı Mesele
Hatt-ı Kur’an Mektubat mecmuasında neşredildiğinden buraya dercedilmedi.
Yedinci Risale Olan Yedinci Mesele
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ
قُل۟ بِفَض۟لِ اللّٰهِ وَبِرَح۟مَتِهٖ فَبِذٰلِكَ فَل۟يَف۟رَحُوا هُوَ خَي۟رٌ مِمَّا يَج۟مَعُونَ
Şu mesele yedi işarettir.
Evvela tahdis-i nimet suretinde birkaç sırr-ı inayetin izharına yedi sebebi beyan ederiz:
Birinci Sebep:
Eski Harb-i Umumî’den evvel ve evâilinde, bir vakıa-i sadıkada görüyorum ki: Ararat Dağı denilen meşhur Ağrı Dağı’nın altındayım. Birden o dağ, müthiş infilak etti. Dağlar gibi parçaları, dünyanın her tarafına dağıttı. O dehşet içinde baktım ki merhum validem yanımdadır. Dedim: “Ana korkma! Cenab-ı Hakk’ın emridir, o Rahîm’dir ve Hakîm’dir.” Birden o halette iken baktım ki mühim bir zat, bana âmirane diyor ki: “İ’caz-ı Kur’an’ı beyan et.”
Uyandım, anladım ki: Bir büyük infilak olacak. O infilak ve inkılabdan sonra, Kur’an etrafındaki surlar kırılacak. Doğrudan doğruya Kur’an kendi kendine müdafaa edecek. Ve Kur’an’a hücum edilecek, i’cazı onun çelik bir zırhı olacak. Ve şu i’cazın bir nevini şu zamanda izharına, haddimin fevkinde olarak benim gibi bir adam namzet olacak ve namzet olduğumu anladım.
Madem i’caz-ı Kur’an’ı bir derece beyan, Sözler’le oldu. Elbette o i’cazın hesabına geçen ve onun reşehatı ve berekâtı nevinden olan hizmetimizdeki inayatı izhar etmek, i’caza yardımdır ve izhar etmek gerektir.
İkinci Sebep:
Kur’an-ı Hakîm mürşidimizdir, üstadımızdır, imamımızdır, her bir âdabda rehberimizdir. O, kendi kendini medhediyor. Biz de onun dersine ittibaen, onun tefsirini medhedeceğiz.
Hem madem yazılan Sözler onun bir nevi tefsiridir ve o risalelerdeki hakaik ise Kur’an’ın malıdır ve hakikatleridir. Ve madem Kur’an-ı Hakîm ekser surelerde, hususan الٰرٓ larda حٰمٓ lerde kendi kendini kemal-i haşmetle gösteriyor, kemalâtını söylüyor, lâyık olduğu medhi kendi kendine ediyor. Elbette Sözler’de in’ikas etmiş Kur’an-ı Hakîm’in lemaat-ı i’caziyesinden ve o hizmetin makbuliyetine alâmet olan inayat-ı Rabbaniyenin izharına mükellefiz. Çünkü o üstadımız öyle eder ve öyle ders verir.
Üçüncü Sebep:
Sözler hakkında tevazu suretinde demiyorum, belki bir hakikati beyan etmek için derim ki: Sözler’deki hakaik ve kemalât, benim değil Kur’an’ındır ve Kur’an’dan tereşşuh etmiştir. Hattâ Onuncu Söz, yüzer âyât-ı Kur’aniyeden süzülmüş bazı katarattır. Sair risaleler dahi umumen öyledir.
Madem ben öyle biliyorum ve madem ben fâniyim, gideceğim; elbette bâki olacak bir şey ve bir eser, benimle bağlanmamak gerektir ve bağlanmamalı. Ve madem ehl-i dalalet ve tuğyan, işlerine gelmeyen bir eseri, eser sahibini çürütmekle eseri çürütmek âdetleridir; elbette sema-yı Kur’an’ın yıldızlarıyla bağlanan risaleler, benim gibi çok itirazata ve tenkidata medar olabilen ve sukut edebilen çürük bir direk ile bağlanmamalı.
Hem madem örf-i nâsta, bir eserdeki mezaya, o eserin masdarı ve menbaı zannettikleri müellifinin etvarında aranılıyor ve bu örfe göre, o hakaik-i âliyeyi ve o cevahir-i gâliyeyi kendim gibi bir müflise ve onların binde birini kendinde gösteremeyen şahsiyetime mal etmek, hakikate karşı büyük bir haksızlık olduğu için risaleler kendi malım değil, Kur’an’ın malı olarak Kur’an’ın reşehat-ı meziyatına mazhar olduklarını izhar etmeye mecburum.
Evet, lezzetli üzüm salkımlarının hâsiyetleri, kuru çubuğunda aranılmaz. İşte ben de öyle bir kuru çubuk hükmündeyim.
Dördüncü Sebep:
Bazen tevazu, küfran-ı nimeti istilzam ediyor belki küfran-ı nimet olur. Bazen de tahdis-i nimet, iftihar olur. İkisi de zarardır. Bunun çare-i yegânesi ki ne küfran-ı nimet çıksın, ne de iftihar olsun. Meziyet ve kemalâtları ikrar edip fakat temellük etmeyerek, Mün’im-i Hakiki’nin eser-i in’amı olarak göstermektir.
Mesela, nasıl ki murassa ve müzeyyen bir elbise-i fâhireyi biri sana giydirse ve onunla çok güzelleşsen, halk sana dese: “Mâşâallah çok güzelsin, çok güzelleştin.” Eğer sen tevazukârane desen: “Hâşâ! Ben neyim, hiç... Bu nedir, nerede güzellik?” O vakit küfran-ı nimet olur ve hulleyi sana giydiren mahir sanatkâra karşı hürmetsizlik olur. Eğer müftehirane desen: “Evet, ben çok güzelim, benim gibi güzel nerede var, benim gibi birini gösteriniz.” O vakit, mağrurane bir fahirdir.
İşte fahirden, küfrandan kurtulmak için demeli ki: “Evet, ben güzelleştim fakat güzellik libasındır ve dolayısıyla libası bana giydirenindir, benim değildir.”
İşte bunun gibi ben de sesim yetişse bütün küre-i arza bağırarak derim ki: Sözler güzeldirler, hakikattirler fakat benim değildirler, Kur’an-ı Kerîm’in hakaikinden telemmu etmiş şuâlardır.
وَ مَا مَدَح۟تُ مُحَمَّدًا بِمَقَالَتٖى وَ لٰكِن۟ مَدَح۟تُ مَقَالَتٖى بِمُحَمَّدٍ
düsturuyla derim ki:
وَ مَا مَدَح۟تُ ال۟قُر۟اٰنَ بِكَلِمَاتٖى وَ لٰكِن۟ مَدَح۟تُ كَلِمَاتٖى بِال۟قُر۟اٰنِ
Yani “Kur’an’ın hakaik-i i’cazını ben güzelleştiremedim, güzel gösteremedim; belki Kur’an’ın güzel hakikatleri, benim tabiratlarımı da güzelleştirdi, ulvileştirdi.”
Madem böyledir; hakaik-i Kur’an’ın güzelliği namına, Sözler namındaki âyinelerinin güzelliklerini ve o âyinedarlığa terettüp eden inayat-ı İlahiyeyi izhar etmek, makbul bir tahdis-i nimettir.
Beşinci Sebep:
Çok zaman evvel bir ehl-i velayetten işittim ki o zat, eski velilerin gaybî işaretlerinden istihraç etmiş ve kanaati gelmiş ki: “Şark tarafından bir nur zuhur edecek, bid’alar zulümatını dağıtacak.” Ben, böyle bir nurun zuhuruna çok intizar ettim ve ediyorum. Fakat çiçekler baharda gelir. Öyle kudsî çiçeklere zemin hazır etmek lâzım gelir. Ve anladık ki bu hizmetimizle o nurani zatlara zemin ihzar ediyoruz.
Madem kendimize ait değil, elbette Sözler namındaki Nurlara ait olan inayat-ı İlahiyeyi beyan etmekte medar-ı fahir ve gurur olamaz; belki medar-ı hamd ve şükür ve tahdis-i nimet olur.
Altıncı Sebep:
Sözler’in telifi vasıtasıyla Kur’an’a hizmetimize bir mükâfat-ı âcile ve bir vasıta-i teşvik olan inayat-ı Rabbaniye, bir muvaffakiyettir. Muvaffakiyet ise izhar edilir. Muvaffakiyetten geçse, olsa olsa bir ikram-ı İlahî olur. İkram-ı İlahî ise izharı bir şükr-ü manevîdir. Ondan dahi geçse olsa olsa hiç ihtiyarımız karışmadan bir keramet-i Kur’aniye olur. Biz mazhar olmuşuz. Bu nevi ihtiyarsız ve habersiz gelen bir kerametin izharı, zararsızdır. Eğer âdi keramatın fevkine çıksa o vakit olsa olsa Kur’an’ın i’caz-ı manevîsinin şuleleri olur.
Madem i’caz izhar edilir, elbette i’caza yardım edenin dahi izharı i’caz hesabına geçer; hiç medar-ı fahir ve gurur olamaz, belki medar-ı hamd ve şükrandır.
Yedinci Sebep:
Nev-i insanın yüzde sekseni ehl-i tahkik değildir ki hakikate nüfuz etsin ve hakikati hakikat tanıyıp kabul etsin. Belki surete, hüsn-ü zanna binaen, makbul ve mutemed insanlardan işittikleri mesaili takliden kabul ederler. Hattâ kuvvetli bir hakikati, zayıf bir adamın elinde zayıf görür ve kıymetsiz bir meseleyi, kıymettar bir adamın elinde görse kıymettar telakki eder.
İşte ona binaen, benim gibi zayıf ve kıymetsiz bir bîçarenin elindeki hakaik-i imaniye ve Kur’aniyenin kıymetini, ekser nâsın nokta-i nazarında düşürmemek için bilmecburiye ilan ediyorum ki:
İhtiyarımız ve haberimiz olmadan birisi bizi istihdam ediyor, biz bilmeyerek bizi mühim işlerde çalıştırıyor. Delilimiz de şudur ki: Şuurumuz ve ihtiyarımızdan hariç bir kısım inayata ve teshilata mazhar oluyoruz.
Öyle ise o inayetleri bağırarak ilan etmeye mecburuz.
İşte geçmiş yedi esbaba binaen, küllî birkaç inayet-i Rabbaniyeye işaret edeceğiz.
Birinci İşaret:
Yirmi Sekizinci Mektup’un Sekizinci Mesele’sinin Birinci Nüktesi’nde beyan edilmiştir ki “tevafukat”tır.
Ezcümle: Mu’cizat-ı Ahmediye Mektubatında, Üçüncü İşaret’inden tâ On Sekizinci İşaret’ine kadar altmış sahife; habersiz, bilmeyerek bir müstensihin nüshasında iki sahife müstesna olmak üzere mütebâki bütün sahifelerde –kemal-i muvazenetle– iki yüzden ziyade “Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâm” kelimeleri birbirine bakıyorlar. Kim insaf ile iki sahifeye dikkat etse tesadüf olmadığını tasdik edecek. Halbuki tesadüf, olsa olsa bir sahifede, kesretli emsal kelimeleri bulunsa yarı yarıya tevafuk olur ancak bir iki sahifede tamamen tevafuk edebilir. O halde böyle umum sahifelerde Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâm kelimesi; iki olsun, üç olsun, dört olsun veya daha ziyade olsun, kemal-i mizan ile birbirinin yüzüne baksa elbette tesadüf olması mümkün değildir. var Hem sekiz ayrı ayrı müstensihin bozamadığı bir tevafukun, kuvvetli bir işaret-i gaybiye, içinde olduğunu gösterir.
Nasıl ki ehl-i belâgatın kitaplarında, belâgatın derecatı bulunduğu halde; Kur’an-ı Hakîm’deki belâgat, derece-i i’caza çıkmış. Kimsenin haddi değil ki ona yetişsin. Öyle de mu’cizat-ı Ahmediyenin bir âyinesi olan On Dokuzuncu Mektup ve mu’cizat-ı Kur’aniyenin bir tercümanı olan Yirmi Beşinci Söz ve Kur’an’ın bir nevi tefsiri olan Risale-i Nur eczalarında tevafukat, umum kitapların fevkinde bir derece-i garabet gösteriyor. Ve ondan anlaşılıyor ki mu’cizat-ı Kur’aniye ve mu’cizat-ı Ahmediyenin bir nevi kerametidir ki o âyinelerde tecelli ve temessül ediyor.
İkinci İşaret:
Hizmet-i Kur’aniyeye ait inayat-ı Rabbaniyenin ikincisi şudur ki: Cenab-ı Hak; benim gibi kalemsiz, yarım ümmi, diyar-ı gurbette, kimsesiz, ihtilattan men’edilmiş bir tarzda; kuvvetli, ciddi, samimi, gayyur, fedakâr ve kalemleri birer elmas kılınç olan kardeşleri bana muavin ihsan etti. Zayıf ve âciz omuzuma çok ağır gelen vazife-i Kur’aniyeyi, o kuvvetli omuzlara bindirdi. Kemal-i kereminden, yükümü hafifleştirdi.
O mübarek cemaat ise –Hulusi’nin tabiriyle– telsiz telgrafın âhizeleri hükmünde ve –Sabri’nin tabiriyle– nur fabrikasının elektriklerini yetiştiren makineler hükmünde ayrı ayrı meziyetleri ve kıymettar muhtelif hâsiyetleriyle beraber –yine Sabri’nin tabiriyle– bir tevafukat-ı gaybiye nevinden olarak, şevk ve sa’y ü gayret ve ciddiyette birbirine benzer bir surette esrar-ı Kur’aniyeyi ve envar-ı imaniyeyi etrafa neşretmeleri ve her yere eriştirmeleri ve şu zamanda yani hurufat değişmiş, matbaa yok, herkes envar-ı imaniyeye muhtaç olduğu bir zamanda ve fütur verecek ve şevki kıracak çok esbab varken, bunların fütursuz, kemal-i şevk ve gayretle bu hizmetleri, doğrudan doğruya bir keramet-i Kur’aniye ve zâhir bir inayet-i İlahiyedir.
Evet, velayetin kerameti olduğu gibi niyet-i hâlisenin dahi kerameti vardır. Samimiyetin dahi kerameti vardır. Bâhusus lillah için olan bir uhuvvet dairesindeki kardeşlerin içinde ciddi, samimi tesanüdün çok kerametleri olabilir. Hattâ şöyle bir cemaatin şahs-ı manevîsi bir veliyy-i kâmil hükmüne geçebilir, inayata mazhar olur.
İşte ey kardeşlerim ve ey hizmet-i Kur’an’da arkadaşlarım! Bir kaleyi fetheden bir bölüğün çavuşuna bütün şerefi ve bütün ganimeti vermek nasıl zulümdür, bir hatadır. Öyle de şahs-ı manevînizin kuvvetiyle ve kalemleriniz ile hasıl olan fütuhattaki inayatı benim gibi bir bîçareye veremezsiniz. Elbette böyle mübarek bir cemaatte, tevafukat-ı gaybiyeden daha ziyade kuvvetli bir işaret-i gaybiye var ve ben görüyorum fakat herkese ve umuma gösteremiyorum.
Üçüncü İşaret:
Risale-i Nur eczaları, bütün mühim hakaik-i imaniye ve Kur’aniyeyi hattâ en muannide karşı dahi parlak bir surette ispatı, çok kuvvetli bir işaret-i gaybiye ve bir inayet-i İlahiyedir. Çünkü hakaik-i imaniye ve Kur’aniye içinde öyleleri var ki en büyük bir dâhî telakki edilen İbn-i Sina, fehminde aczini itiraf etmiş “Akıl buna yol bulamaz!” demiş. Onuncu Söz Risalesi, o zatın dehasıyla yetişemediği hakaiki; avamlara da çocuklara da bildiriyor.
Hem mesela, sırr-ı kader ve cüz-i ihtiyarînin halli için koca Sa’d-ı Taftazanî gibi bir allâme; kırk elli sahifede, meşhur Mukaddimat-ı İsna Aşer namıyla Telvih nam kitabında ancak hallettiği ve ancak havassa bildirdiği aynı mesaili, kadere dair olan Yirmi Altıncı Söz’de, İkinci Mebhas’ın iki sahifesinde tamamıyla hem herkese bildirecek bir tarzda beyanı, eser-i inayet olmazsa nedir?
Hem bütün ukûlü hayrette bırakan ve hiçbir felsefenin eliyle keşfedilemeyen ve sırr-ı hilkat-i âlem ve tılsım-ı kâinat denilen ve Kur’an-ı Azîmüşşan’ın i’cazıyla keşfedilen o tılsım-ı müşkül-küşa ve o muamma-yı hayret-nüma, Yirmi Dördüncü Mektup ve Yirmi Dokuzuncu Söz’ün âhirindeki remizli nüktede ve Otuzuncu Söz’ün tahavvülat-ı zerratın altı adet hikmetinde keşfedilmiştir. Kâinattaki faaliyet-i hayret-nümanın tılsımını ve hilkat-i kâinatın ve âkıbetinin muammasını ve tahavvülat-ı zerrattaki harekâtın sırr-ı hikmetini keşif ve beyan etmişlerdir, meydandadır, bakılabilir.
Hem sırr-ı ehadiyet ile şeriksiz vahdet-i rububiyeti hem nihayetsiz kurbiyet-i İlahiye ile nihayetsiz bu’diyetimiz olan hayret-engiz hakikatleri kemal-i vuzuh ile On Altıncı Söz ve Otuz İkinci Söz beyan ettikleri gibi; kudret-i İlahiyeye nisbeten zerrat ve seyyarat müsavi olduğunu ve haşr-i a’zamda umum zîruhun ihyası, bir nefsin ihyası kadar o kudrete kolay olduğunu ve şirkin hilkat-i kâinatta müdahalesi, imtina derecesinde akıldan uzak olduğunu kemal-i vuzuh ile gösteren Yirminci Mektup’taki وَ هُوَ عَلٰى كُلِّ شَى۟ءٍ قَدٖيرٌ kelimesi beyanında ve üç temsili hâvi onun zeyli, şu azîm sırr-ı vahdeti keşfetmiştir.
Hem hakaik-i imaniye ve Kur’aniyede öyle bir genişlik var ki en büyük zekâ-i beşerî ihata edemediği halde; benim gibi zihni müşevveş, vaziyeti perişan, müracaat edilecek kitap yokken, sıkıntılı ve süratle yazan bir adamda, o hakaikin ekseriyet-i mutlakası dekaikiyle zuhuru; doğrudan doğruya Kur’an-ı Hakîm’in i’caz-ı manevîsinin eseri ve inayet-i Rabbaniyenin bir cilvesi ve kuvvetli bir işaret-i gaybiyedir.
Dördüncü İşaret:
Elli altmış risaleler (*[22]) öyle bir tarzda ihsan edilmiş ki değil benim gibi az düşünen ve zuhurata tebaiyet eden ve tetkike vakit bulamayan bir insanın; belki büyük zekâlardan mürekkeb bir ehl-i tetkikin sa’y ü gayretiyle yapılmayan bir tarzda telifleri, doğrudan doğruya bir eser-i inayet olduklarını gösteriyor. Çünkü bütün bu risalelerde, bütün derin hakaik, temsilat vasıtasıyla, en âmî ve ümmi olanlara kadar ders veriliyor. Halbuki o hakaikin çoğunu büyük âlimler “Tefhim edilmez.” deyip değil avama, belki havassa da bildiremiyorlar.
İşte en uzak hakikatleri, en yakın bir tarzda, en âmî bir adama ders verecek derecede; benim gibi Türkçesi az, sözleri muğlak, çoğu anlaşılmaz ve zâhir hakikatleri dahi müşkülleştiriyor diye eskiden beri iştihar bulmuş ve eski eserleri o sû-i iştiharı tasdik etmiş bir şahsın elinde bu hârika teshilat ve suhulet-i beyan; elbette bilâ-şüphe bir eser-i inayettir ve onun hüneri olamaz ve Kur’an-ı Kerîm’in i’caz-ı manevîsinin bir cilvesidir ve temsilat-ı Kur’aniyenin bir temessülüdür ve in’ikasıdır.
Beşinci İşaret:
Risaleler umumiyetle pek çok intişar ettiği halde, en büyük âlimden tut, tâ en âmî adama kadar ve ehl-i kalp büyük bir veliden tut, tâ en muannid dinsiz bir feylesofa kadar olan tabakat-ı nâs ve taifeler o risaleleri gördükleri ve okudukları ve bir kısmı tokatlarını yedikleri halde tenkit edilmemesi ve her taife derecesine göre istifade etmesi, doğrudan doğruya bir eser-i inayet-i Rabbaniye ve bir keramet-i Kur’aniye olduğu gibi çok tetkikat ve taharriyatın neticesiyle ancak husul bulan o çeşit risaleler, fevkalâde bir süratle hem idrakimi ve fikrimi müşevveş eden sıkıntılı inkıbaz vakitlerinde yazılması dahi bir eser-i inayet ve bir ikram-ı Rabbanîdir.
Evet, ekser kardeşlerim ve yanımdaki umum arkadaşlarım ve müstensihler biliyorlar ki On Dokuzuncu Mektup’un beş parçası, birkaç gün zarfında her gün iki üç saatte ve mecmuu on iki saatte hiçbir kitaba müracaat edilmeden yazılması; hattâ en mühim bir parça ve o parçada lafz-ı Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâm kelimesinde zâhir bir hâtem-i nübüvveti gösteren dördüncü cüz, üç dört saatte, dağda, yağmur altında ezber yazılmış. Ve Otuzuncu Söz gibi mühim ve dakik bir risale, altı saat içinde bir bağda yazılmış. Ve Yirmi Sekizinci Söz, Süleyman’ın bahçesinde bir, nihayet iki saat içinde yazılması gibi ekser risaleler böyle olması ve eskiden beri sıkıntılı ve münkabız olduğum zaman, en zâhir hakikatleri dahi beyan edemediğimi, belki bilemediğimi yakın dostlarım biliyorlar. Hususan o sıkıntıya hastalık da ilâve edilse daha ziyade beni dersten, teliften men’etmekle beraber; en mühim Sözler ve risaleler, en sıkıntılı ve hastalıklı zamanımda en süratli bir tarzda yazılması; doğrudan doğruya bir inayet-i İlahiye ve bir ikram-ı Rabbanî ve bir keramet-i Kur’aniye olmazsa nedir?
Hem hangi kitap olursa olsun, böyle hakaik-i İlahiyeden ve imaniyeden bahsetmiş ise alâküllihal bir kısım mesaili, bir kısım insanlara zarar verir ve zarar verdikleri için her mesele herkese neşredilmemiş. Halbuki şu risaleler ise şimdiye kadar hiç kimsede –çoklardan sorduğum halde– sû-i tesir ve aksü’l-amel ve tahdiş-i ezhan gibi bir zarar vermedikleri, doğrudan doğruya bir işaret-i gaybiye ve bir inayet-i Rabbaniye olduğu bizce muhakkaktır.
Altıncı İşaret:
Şimdi bence kat’iyet peyda etmiştir ki ekser hayatım ihtiyar ve iktidarımın, şuur ve tedbirimin haricinde öyle bir tarzda geçmiş ve öyle garib bir surette ona cereyan verilmiş; tâ Kur’an-ı Hakîm’e hizmet edecek olan bu nevi risaleleri netice versin. Âdeta bütün hayat-ı ilmiyem, mukaddimat-ı ihzariye hükmüne geçmiş. Ve Sözler ile i’caz-ı Kur’an’ın izharı, onun neticesi olacak bir surette olmuştur.
Hattâ şu yedi sene nefyimde ve gurbetimde ve sebepsiz ve arzumun hilafında tecerrüdüm ve meşrebime muhalif yalnız, bir köyde imrar-ı hayat etmekliğim ve eskiden beri ülfet ettiğim hayat-ı içtimaiyenin çok rabıtalarından ve kaidelerinden nefret edip terk etmekliğim; doğrudan doğruya bu hizmet-i Kur’aniyeyi hâlis, safi bir surette yaptırmak için bu vaziyet verildiğine şüphem kalmamıştır.
Hattâ çok defa bana verilen sıkıntı ve zulmen bana karşı olan tazyikat perdesi altında, bir dest-i inayet tarafından merhametkârane, Kur’an’ın esrarına hasr-ı fikr ettirmek ve nazarı dağıtmamak için yapılmıştır kanaatindeyim.
Hattâ eskiden mütalaaya çok müştak olduğum halde; bütün bütün sair kitapların mütalaasından bir men’, bir mücanebet ruhuma verilmişti. Böyle gurbette medar-ı teselli ve ünsiyet olan mütalaayı bana terk ettiren, anladım ki doğrudan doğruya âyât-ı Kur’aniyenin üstad-ı mutlak olmaları içindir.
Hem yazılan eserler, risaleler –ekseriyet-i mutlakası– hariçten hiçbir sebep gelmeyerek ruhumdan tevellüd eden bir hâcete binaen, âni ve def’î olarak ihsan edilmiş. Sonra bazı dostlarıma gösterdiğim vakit demişler: “Şu zamanın yaralarına devadır.” İntişar ettikten sonra ekser kardeşlerimden anladım ki tam şu zamandaki ihtiyaca muvafık ve derde lâyık bir ilaç hükmüne geçiyor.
İşte ihtiyar ve şuurumun dairesi haricinde, mezkûr haletler ve sergüzeşt-i hayatım ve ulûmların envalarındaki hilaf-ı âdet ihtiyarsız tetebbuatım; böyle bir netice-i kudsiyeye müncer olmak için kuvvetli bir inayet-i İlahiye ve bir ikram-ı Rabbanî olduğuna bende şüphe bırakmamıştır.
Yedinci İşaret:
Bu hizmetimiz zamanında, beş altı sene zarfında, bilâ-mübalağa yüz eser-i ikram-ı İlahî ve inayet-i Rabbaniye ve keramet-i Kur’aniyeyi gözümüzle gördük. Bir kısmını, On Altıncı Mektup’ta işaret ettik; bir kısmını, Yirmi Altıncı Mektup’un Dördüncü Mebhası’nın mesail-i müteferrikasında; bir kısmını, Yirmi Sekizinci Mektup’un Üçüncü Mesele’sinde beyan ettik. Benim yakın arkadaşlarım bunu biliyorlar. Daimî arkadaşım Süleyman Efendi çoklarını biliyor. Hususan Sözler’in ve risalelerin neşrinde ve tashihatında ve yerlerine yerleştirmekte ve tesvid ve tebyizinde, fevka’l-me’mul kerametkârane bir teshilata mazhar oluyoruz. Keramet-i Kur’aniye olduğuna şüphemiz kalmıyor. Bunun misalleri yüzlerdir.
Hem maişet hususunda o kadar şefkatle besleniyoruz ki en küçük bir arzu-yu kalbimizi, bizi istihdam eden sahib-i inayet tatmin etmek için fevka’l-me’mul bir surette ihsan ediyor ve hâkeza…
İşte bu hal gayet kuvvetli bir işaret-i gaybiyedir ki biz istihdam olunuyoruz. Hem rıza dairesinde hem inayet altında bize hizmet-i Kur’aniye yaptırılıyor.
اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ هٰذَا مِن۟ فَض۟لِ رَبّٖى
سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَاةً تَكُونُ لَكَ رِضَاءً وَ لِحَقِّهٖ اَدَاءً وَ عَلٰى اٰلِهٖ وَ صَح۟بِهٖ وَ سَلِّم۟ تَس۟لٖيمًا كَثٖيرًا اٰمٖينَ
Mahrem Bir Suale Cevaptır
Şu sırr-ı inayet eskiden mahremce yazılmış, On Dördüncü Söz’ün âhirine ilhak edilmişti. Her nasılsa ekser müstensihler unutup yazmamışlardı. Demek münasip ve lâyık mevkii burası imiş ki gizli kalmış.
Benden sual ediyorsun: “Neden senin Kur’an’dan yazdığın Sözler’de bir kuvvet, bir tesir var ki müfessirlerin ve âriflerin sözlerinde nadiren bulunur. Bazen bir satırda, bir sahife kadar kuvvet var; bir sahifede, bir kitap kadar tesir bulunuyor?”
Elcevap: –Güzel bir cevaptır– Şeref, i’caz-ı Kur’an’a ait olduğundan ve bana ait olmadığından bilâ-perva derim: Ekseriyet itibarıyla öyledir. Çünkü yazılan Sözler tasavvur değil tasdiktir, teslim değil imandır, marifet değil şehadettir, şuhuddur, taklit değil tahkiktir, iltizam değil iz’andır, tasavvuf değil hakikattir, dava değil dava içinde bürhandır.
Şu sırrın hikmeti budur ki: Eski zamanda, esasat-ı imaniye mahfuzdu, teslim kavî idi. Teferruatta, âriflerin marifetleri delilsiz de olsa beyanatları makbul idi, kâfi idi. Fakat şu zamanda dalalet-i fenniye, elini esasata ve erkâna uzatmış olduğundan, her derde lâyık devayı ihsan eden Hakîm-i Rahîm olan Zat-ı Zülcelal, Kur’an-ı Kerîm’in en parlak mazhar-ı i’cazından olan temsilatından bir şulesini; acz ve zaafıma, fakr ve ihtiyacıma merhameten hizmet-i Kur’an’a ait yazılarıma ihsan etti.
Felillahi’l-hamd sırr-ı temsil dürbünüyle, en uzak hakikatler gayet yakın gösterildi.
Hem sırr-ı temsil cihetü’l-vahdetiyle, en dağınık meseleler toplattırıldı.
Hem sırr-ı temsil merdiveniyle, en yüksek hakaike kolaylıkla yetiştirildi.
Hem sırr-ı temsil penceresiyle; hakaik-i gaybiyeye, esasat-ı İslâmiyeye şuhuda yakın bir yakîn-i imaniye hasıl oldu. Akıl ile beraber vehm ü hayal, hattâ nefis ve heva teslime mecbur olduğu gibi şeytan dahi teslim-i silaha mecbur oldu.
Elhasıl: Yazılarımda ne kadar güzellik ve tesir bulunsa ancak temsilat-ı Kur’aniyenin lemaatındandır. Benim hissem, yalnız şiddet-i ihtiyacımla taleptir ve gayet aczimle tazarruumdur. Dert benimdir, deva Kur’an’ındır.
Yedinci Mesele’nin Hâtimesidir
Sekiz inayet-i İlahiye suretinde gelen işarat-ı gaybiyeye dair gelen veya gelmek ihtimali olan evhamı izale etmek ve bir sırr-ı azîm-i inayeti beyan etmeye dairdir.
Şu Hâtime dört nüktedir:
Birinci Nükte: Yirmi Sekizinci Mektup’un Yedinci Mesele’sinde yedi sekiz küllî ve manevî inayat-ı İlahiyeden hissettiğimiz bir işaret-i gaybiyeyi “Sekizinci İnayet” namıyla “tevafukat” tabiri altındaki nakışta o işaratın cilvesini gördüğümüzü iddia etmiştik. Ve iddia ediyoruz ki: Bu yedi sekiz küllî inayatlar, o derece kuvvetli ve kat’îdirler ki her birisi tek başıyla o işarat-ı gaybiyeyi ispat eder. Farz-ı muhal olarak bir kısmı zayıf görülse hattâ inkâr edilse o işarat-ı gaybiyenin kat’iyetine halel vermez. O sekiz inayatı inkâr edemeyen, o işaratı inkâr edemez.
Fakat tabakat-ı nâs muhtelif olduğu hem kesretli tabaka olan tabaka-i avam gözüne daha ziyade itimat ettiği için; o sekiz inayatın içinde en kuvvetlisi değil belki en zâhirîsi tevafukat olduğundan –çendan ötekiler daha kuvvetli fakat bu daha umumî olduğu için– ona gelen evhamı def’etmek maksadıyla bir muvazene nevinden, bir hakikati beyan etmeye mecbur kaldım. Şöyle ki:
O zâhirî inayet hakkında demiştik: Yazdığımız risalelerde, Kur’an kelimesi ve Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâm kelimesinde öyle bir derece tevafukat görünüyor; hiçbir şüphe bırakmıyor ki bir kasd ile tanzim edilip muvazi bir vaziyet verilir. Kasd ve irade ise bizlerin olmadığına delilimiz, üç dört sene sonra muttali olduğumuzdur. Öyle ise bu kasd ve irade, bir inayet eseri olarak gaybîdir. Sırf i’caz-ı Kur’an ve i’caz-ı Ahmediyeyi teyid suretinde o iki kelimede tevafuk suretinde o garib vaziyet verilmiştir.
Bu iki kelimenin mübarekiyeti, i’caz-ı Kur’an ve i’caz-ı Ahmediyeye bir hâtem-i tasdik olmakla beraber; sair misil kelimeleri dahi ekseriyet-i azîme ile tevafuka mazhar etmişler. Fakat onlar, birer sahifeye mahsus. Şu iki kelime, bir iki risalenin umumunda ve ekser risalelerde görünüyor. Fakat mükerrer demişiz: Bu tevafukun aslı, sair kitaplarda da çok bulunabilir; amma kasd ve irade-i âliyeyi gösterecek bu derece garabette değildir.
Şimdi bu davamızı çürütmek kabil olmadığı halde, zâhir nazarlarda çürümüş gibi görmekte bir iki cihet olabilir:
Birisi: “Sizler düşünüp öyle bir tevafuku rast getirmişsiniz.” diyebilirler. “Böyle bir şey yapmak kasd ile olsa rahat ve kolay bir şeydir.”
Buna karşı deriz ki: Bir davada iki şahid-i sadık kâfidir. Bu davamızdaki kasd ve irademiz taalluk etmeyerek, üç dört sene sonra muttali olduğumuza yüz şahid-i sadık bulunabilir.
Bu münasebetle bir nokta söyleyeceğim: Bu keramet-i i’caziye, Kur’an-ı Hakîm belâgat cihetinde derece-i i’cazda olduğu nevinden değildir. Çünkü i’caz-ı Kur’an’da, kudret-i beşer o yolda giderek o dereceye yetişemiyor. Şu keramet-i i’caziye ise kudret-i beşerle olamıyor; kudret, o işe karışamıyor. Karışsa sun’î olur, bozulur. (Hâşiye[23])
Üçüncü Nükte: İşaret-i hâssa, işaret-i âmme münasebetiyle bir sırr-ı dakik-i rububiyet ve Rahmaniyete işaret edeceğiz:
Bir kardeşimin güzel bir sözü var. O sözü, bu meseleye mevzu edeceğim. Sözü de şudur ki: Bir gün güzel bir tevafukatı ona gösterdim, dedi: “Güzel! Zaten her hakikat güzeldir. Fakat bu Sözler’deki tevafukat ve muvaffakiyet daha güzeldir.”
Ben de dedim: Evet, her şey ya hakikaten güzeldir ya bizzat güzeldir veya neticeleri itibarıyla güzeldir. Ve bu güzellik, rububiyet-i âmmeye ve şümul-ü rahmete ve tecelli-i âmmeye bakar. Dediğin gibi bu muvaffakiyetteki işaret-i gaybiye daha güzeldir. Çünkü bu, rahmet-i hâssaya ve rububiyet-i hâssaya ve tecelli-i hâssaya bakar bir surettedir. Bunu bir temsil ile fehme takrib edeceğiz. Şöyle ki:
Bir padişahın umumî saltanatı ve kanunu ile merhamet-i şahanesi umum efrad-ı millete teşmil edilebilir. Her fert, doğrudan doğruya o padişahın lütfuna, saltanatına mazhardır. O suret-i umumiyede, efradın çok münasebat-ı hususiyesi vardır.
İkinci cihet, padişahın ihsanat-ı hususiyesidir ve evamir-i hâssasıdır ki umumî kanunun fevkinde, bir ferde ihsan eder, iltifat eder, emir verir.
İşte bu temsil gibi Zat-ı Vâcibü’l-vücud ve Hâlık-ı Hakîm ve Rahîm’in umumî rububiyet ve şümul-ü rahmeti noktasında her şey hissedardır. Her şeyin hissesine isabet eden cihette, hususi onunla münasebettardır. Hem kudret ve irade ve ilm-i muhitiyle her şeye tasarrufatı, her şeyin en cüz’î işlerine müdahalesi, rububiyeti vardır. Her şey, her şe’ninde ona muhtaçtır. Onun ilim ve hikmetiyle işleri görülür, tanzim edilir. Ne tabiatın haddi var ki o daire-i tasarruf-u rububiyetinde saklansın ve tesir sahibi olup müdahale etsin ve ne de tesadüfün hakkı var ki o hassas mizan-ı hikmet dairesindeki işlerine karışsın. Risalelerde yirmi yerde kat’î hüccetlerle tesadüfü ve tabiatı nefyetmişiz ve Kur’an kılıncıyla idam etmişiz, müdahalelerini muhal göstermişiz.
Fakat rububiyet-i âmmedeki daire-i esbab-ı zâhiriyede, ehl-i gafletin nazarında hikmeti ve sebebi bilinmeyen işlerde, tesadüf namını vermişler. Ve hikmetleri ihata edilmeyen bazı ef’al-i İlahiyenin kanunlarını –tabiat perdesi altında gizlenmiş– görememişler, tabiata müracaat etmişler.
İkincisi, hususi rububiyetidir ve has iltifat ve imdad-ı Rahmanîsidir ki umumî kanunların tazyikatı altında tahammül edemeyen fertlerin imdadına Rahmanu’r-Rahîm isimleri imdada yetişirler. Hususi bir surette muavenet ederler, o tazyikattan kurtarırlar. Onun için her zîhayat, hususan insan, her anda ondan istimdad eder ve meded alabilir.
İşte bu hususi rububiyetindeki ihsanatı, ehl-i gaflete karşı da tesadüf altına gizlenmez ve tabiata havale edilmez.
İşte bu sırra binaendir ki İ’caz-ı Kur’an ve Mu’cizat-ı Ahmediye’deki işarat-ı gaybiyeyi, hususi bir işaret telakki ve itikad etmişiz. Ve bir imdad-ı hususi ve muannidlere karşı kendini gösterecek bir inayet-i hâssa olduğunu yakîn ettik. Ve sırf lillah için ilan ettik. Kusur etmişsek Allah affetsin, âmin!
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذ۟نَٓا اِن۟ نَسٖينَٓا اَو۟ اَخ۟طَا۟نَا
Sözler’in tebyizinde kıymettar hizmeti sebkat eden Muallim Ahmed Galib’in fıkrasıdır.
“Elde Kur’an gibi bürhan-ı hakikat varken
Münkiri ilzam için gönlüme sıklet mi gelir?”
Sözün özdür ey can, tekellüf değil
Ledün ilminin zübde-i pâkidir
Bu, sümme’t-tedarik tasannuf değil
Bu bir hikmet-i nur-u irfandır
Ki ehva ve lağv ve tefelsüf değil
Müzekkî-i nefis ve musaffi-i ruh
Mürebbi-i dildir, tasavvuf değil
O Sözler bütün marifet şemsidir
Sözüm doğrudur, bir teellüf değil
İçin nurudur, lafza akseylemiş
Bir iki satırda teradüf değil
Mutabık lafızlar birbirine
Bu aslâ tasannu, tesadüf değil
Dizilmiş nizamla bütün harfleri
Tevafuktur, aslâ tehalüf değil
Bu bir cilve-i sırr-ı i’cazdır
Ki Kur’an’dandır, tecevvüf değil
Bu hüsn-ü tesadüf güzeldir güzel
Bu babda ne dense tezauf değil
Said-i Bediüzzaman-ı Nursî
Beyanı bedî’dir, taattuf değil
Teselliye ermemiş elinde kalem
Eder arz-ı dîdar, taharrüf değil
İsabet buna savb-ı Hak’tan gelir
Bu kasdî değildir, tasarruf değil
Bunu görmeyen bed nazarlar için
Telehhüf derim ben, teessüf değil
Ki var manevî hayretim galiben
Beyanım bu yolda tazarruf değil
Tevafuk, sözünde ona çok mudur
Tefevvuk, onun için teşerrüf değil
Çok işte Hak onu muvaffak ede
Tevafuk, makam-ı tevakkuf değil!
Ahmed Galib
(Rahmetullahi aleyh)
Merhum Binbaşı Âsım Bey’in fıkrasıdır.
Kasem ederim, doğrudur sözü özüyle beraber
Bu hakikati kabul ve tasdik etmeyen bed-mâyeler
Kalır dalalet ve vâdi-i hüsranda nice seneler
Bunları irşad edip kurtarmaktır hüner
Hidayet erişse eğer, o vakit boyun eğer
Cümlenin ıslahını niyaz edip Hâlık’a yalvaralım
Hep envar-ı Kur’aniye olan Sözler’i okuyup anlatalım
Bu yolda bizler de feyz alıp dilşâd olalım
Fenayı bekaya tebdilde rıza-yı Bâri’ye kavuşalım
Sad-hezar tahsine lâyık bîbaha fıkra-i Galib
Bu hakikatleri söylemekle olur şüphesiz galip.
Binbaşı Âsım
(Rahmetullahi aleyh)
Sekizinci Risale olan Sekizinci Mesele
Şu Mesele, altı sualin cevabı olup sekiz nüktedir.
Birinci Nükte
Bir dest-i inayet altında hizmet-i Kur’aniyede istihdam edildiğimize dair çok enva-ı işarat-ı gaybiyeyi hissettik ve bazılarını gösterdik. Şimdi o işaratın bir yenisi daha şudur ki:
Ekser Sözler’de tevafukat-ı gaybiye var. (Hâşiye[24]) Ezcümle: Resul-i Ekrem kelimesinde ve aleyhissalâtü vesselâm ibaresinde ve Kur’an lafz-ı mübarekesinde, bir nevi cilve-i i’caz temessül ettiğine bir işaret var.
İşarat-ı gaybiye ne kadar gizli ve zayıf da olsa hizmetin makbuliyetine ve meselelerin hakkaniyetine delâlet ettiği için bence çok ehemmiyetlidir ve çok kuvvetlidir.
Hem gururumu kırar ve sırf bir tercüman olduğumu kat’iyen bana gösterdi.
Hem hiç medar-ı iftihar benim için bir şey bırakmıyor, yalnız medar-ı şükran olan şeyleri gösteriyor.
Hem madem Kur’an’a aittir ve i’caz-ı Kur’an hesabına geçiyor ve kat’iyen cüz-i ihtiyarîmiz karışmıyor ve hizmette tembellik edenleri teşvik ediyor ve risalenin hak olduğuna kanaat veriyor ve bizlere bir nevi ikram-ı İlahîdir ve izharı tahdis-i nimettir. Ve aklı gözüne inmiş mütemerridleri iskât ediyor; elbette izharı lâzımdır, inşâallah zararsızdır.
İşte şu işarat-ı gaybiyenin birisi de şudur ki: Cenab-ı Hak kemal-i rahmet ve kereminden, Kur’an’a ve imana hizmet ile meşgul olan bizleri teşvik ve kulûbümüzü tatmin için; bir ikram-ı Rabbanî ve bir ihsan-ı İlahî suretinde hizmetimizin makbuliyetine alâmet ve yazdığımız hak olduğuna işaret-i gaybiye nevinden, bütün risalelerimizde ve bilhassa Mu’cizat-ı Ahmediye ve İ’caz-ı Kur’an ve Pencereler Risalelerinde, tevafukat-ı gaybiye nevinden bir letafet ihsan etmiştir. Yani bir sahifede, misil olarak gelen kelimeleri birbirine baktırıyor.
Bunda bir işaret-i gaybiye veriliyor ki: “Bir irade-i gaybî ile tanzim edilir. İhtiyarınıza ve şuurunuza güvenmeyiniz. İhtiyarınızın haberi olmadan ve şuurunuz yetişmeden, hârika nakışlar ve intizamlar yapılıyor.”
Bâhusus Mu’cizat-ı Ahmediye Risalesi’nde lafz-ı Resul-i Ekrem ve lafz-ı salavat bir âyine hükmüne geçip o tevafukat-ı gaybiye işaretini sarîh gösteriyor. Yeni, acemi bir müstensihin yazısında, beş sahife müstesna, mütebâki iki yüzden fazla salavat-ı şerife birbirine muvazi olarak bakıyorlar.
Şu tevafukat ise şuursuz, yalnız on adette bir iki tevafuka sebep olabilen tesadüfün işi olmadığı gibi sanatta maharetsiz, yalnız manaya hasr-ı nazar ederek gayet süratle bir iki saatte, otuz kırk sahifeyi telif eden ve kendi yazmayan ve yazdıran benim gibi bir bîçarenin düşünüşü dahi elbette değildir.
İşte altı sene sonra, yine Kur’an’ın irşadıyla ve İşaratü’l-İ’caz olan tefsirin dokuz اِنَّا nın tevafuk suretiyle gelen irşadıyla sonra muttali olmuşum. Müstensihler ise benden işittikleri vakit, hayret içinde hayrette kaldılar.
Nasıl ki lafz-ı Resul-i Ekrem ve lafz-ı salavat; On Dokuzuncu Mektup’ta, mu’cizat-ı Ahmediyenin bir nevinin bir nevi küçük âyinesi hükmüne geçti. Öyle de Yirmi Beşinci Söz olan İ’caz-ı Kur’an’da ve On Dokuzuncu Mektup’un On Sekizinci İşaret’inde lafz-ı Kur’an dahi kırk tabakadan, yalnız gözüne itimat eden tabakasına karşı, bir nevi mu’cizat-ı Kur’aniyenin, o nev’in kırk cüzünden bir cüzü, tevafukat-ı gaybiye suretinde bütün risalelerde tecelli etmekle beraber, o cüzün kırk cüzünden bir cüzü, lafz-ı Kur’an içinde tezahür etmiş. Şöyle ki:
Yirmi Beşinci Söz’de ve On Dokuzuncu Mektup’un On Sekizinci İşaret’inde yüz defa “Kur’an” lafzı tekerrür etmiş; pek nadir olarak bir iki kelime hariç kalmış, mütebâkisi bütün birbirine bakıyor.
İşte mesela, İkinci Şuâ’nın kırk üçüncü sahifesinde yedi “Kur’an” lafzı var, birbirine bakıyor. Ve sahife elli altıda sekizi birbirine bakıyor, yalnız dokuzuncu müstesna kalmış.
İşte şu –şimdi gözümüzün önünde– altmış dokuzuncu sahifedeki beş lafz-ı Kur’an, birbirine bakıyor ve hâkeza… Bütün sahifelerde gelen mükerrer lafz-ı Kur’an, birbirine bakıyor. Pek nadir olarak beş altı taneden bir tane hariç kalıyor.
Sair tevafukat ise –işte gözümüzün önünde– sahife otuz üçte, on beş adet اَم۟ lafzı var; on dördü birbirine bakıyor. Hem gözümüzün önünde şu sahifede dokuz iman lafzı var, birbirine bakıyor; yalnız birisi, müstensihin fâsıla vermesiyle az inhiraf etmiş. Hem şu gözümüzün önündeki sahifede iki “mahbub” var –biri üçüncü satırda, biri on beşinci satırdadır– kemal-i mizanla birbirine bakıyor. Onların ortasında dört “aşk” dizilmiş, birbirine bakıyorlar. Daha sair tevafukat-ı gaybiye bunlara kıyas edilsin.
Hangi müstensih olursa olsun; satırları, sahifeleri ne şekilde olursa olsun alâküllihal bu tevafukat-ı gaybiye öyle bir derecede var ki şüphe bırakmıyor ki ne tesadüfün işi ve ne de müellifin ve müstensihlerin düşünüşüdür. Fakat bazı hatta daha ziyade tevafukat göze çarpıyor. Demek, şu risalelere mahsus bir hatt-ı hakiki vardır. Bazıları, o hatta yakınlaşıyor. Garaibdendir ki en mahir müstensihlerin değil belki acemilerin yazılarında daha ziyade görülür.
Bundan anlaşılıyor ki Kur’an’ın bir nevi tefsiri olan Sözler’deki hüner ve zarafet ve meziyet kimsenin değil; belki muntazam, güzel hakaik-i Kur’aniyenin mübarek kametlerine yakışacak mevzun, muntazam üslup libasları, kimsenin ihtiyar ve şuuruyla biçilmez ve kesilmez. Belki onların vücududur ki öyle ister ve bir dest-i gaybîdir ki o kamete göre keser, biçer, giydirir. Biz ise içinde bir tercüman, bir hizmetkârız.
Dördüncü Nükte
Beş altı suali tazammun eden birinci sualinizde: “Meydan-ı haşre cem’ ve keyfiyet nasıl ve üryan mı olacak? Ve dostlarla görüşmek için ve Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâmı şefaat için nasıl bulacağız? Hadsiz insanlarla bir tek zat nasıl görüşecek? Ehl-i cennet ve cehennemin libasları nasıl olacak? Ve bize kim yol gösterecek?” diyorsunuz.
Elcevap: Şu sualin cevabı, gayet mükemmel ve vâzıh olarak kütüb-ü ehadîsiyede vardır. Meşrep ve mesleğimize ait yalnız bir iki nükteyi söyleyeceğiz. Şöyle ki:
Evvela: Bir mektupta; meydan-ı haşir, küre-i arzın medar-ı senevîsinde olduğunu ve küre-i arz şimdiden manevî mahsulatını o meydanın elvahlarına gönderdiği gibi; senevî hareketiyle, bir daire-i vücudun temessül ve o daire-i vücudun mahsulatıyla bir meydan-ı haşrin teşekkülüne bir mebde olduğu ve küre-i arz denilen şu sefine-i Rabbaniyenin merkezindeki cehennem-i suğrayı cehennem-i kübraya boşalttığı gibi sekenesini de meydan-ı haşre boşaltacağı beyan edilmiştir.
Sâniyen: Onuncu ve Yirmi Dokuzuncu Sözler başta olarak sair Sözlerde, gayet kat’î bir surette o haşrin meydanı ile beraber vücudu kat’î olarak ispat edilmiştir.
Sâlisen: Görüşmek ise On Altıncı Söz’de ve Otuz Bir ve Otuz İki’de kat’iyen ispat edilmiştir ki bir zat nuraniyet sırrıyla, bir dakikada binler yerde bulunup milyonlar adamlarla görüşebilir.
Râbian: Cenab-ı Hak, insandan başka zîruh mahlukatına fıtrî birer libas giydirdiği gibi; meydan-ı haşirde sun’î libaslardan üryan olarak fakat fıtrî bir libas giydirmesi, ism-i Hakîm muktezasıdır. Dünyada sun’î libasın hikmeti, yalnız soğuk ve sıcaktan muhafaza ve ziynet ve setr-i avrete münhasır değildir; belki mühim bir hikmeti, insanın sair nevilerdeki tasarruf ve münasebetine ve kumandanlığına işaret eden bir fihriste ve bir liste hükmündedir. Yoksa kolay ve ucuz, fıtrî bir libas giydirebilirdi. Çünkü bu hikmet olmazsa muhtelif paçavraları vücuduna sarıp giyen insan, şuurlu hayvanatın nazarında ve onlara nisbeten bir maskara olur, manen onları güldürür. Meydan-ı haşirde, o hikmet ve münasebet yok. O liste de olmaması lâzım gelir.
Hâmisen: Rehber ise senin gibi Kur’an’ın nuru altına girenlere, Kur’an’dır. الٓمٓ lerin الٰرٓ ların حٰمٓ lerin başlarına bak, anla ki Kur’an ne kadar makbul bir şefaatçi ne kadar doğru bir rehber ne kadar kudsî bir nur olduğunu gör!
Sâdisen: Ehl-i cennet ve ehl-i cehennemin libasları ise Yirmi Sekizinci Söz’de hurilerin yetmiş hulle giymesine dair beyan edilen düstur burada da caridir. Şöyle ki:
Ehl-i cennet olan bir insan, cennetin her nevinden her vakit istifade etmek, elbette arzu eder. Cennetin gayet muhtelif enva-ı mehasini var. Her vakit bütün cennetin envaıyla mübaşeret eder. Öyle ise cennetin mehasininin numunelerini, küçük bir mikyasta kendine ve hurilerine giydirir. Kendisi ve hurileri birer küçük cennet hükmüne geçer.
Nasıl ki bir insan, bir memlekette münteşir bulunan çiçekler envaını, numunegâh küçük bir bahçesinde cem’eder ve bir dükkâncı, bütün mallarındaki numuneleri bir listede cem’eder ve bir insan, tasarruf ettiği ve hükmettiği ve münasebettar olduğu enva-ı mahlukatın numunelerini, kendine bir elbise ve bir levazımat-ı beytiye yapıyor; öyle de ehl-i cennet olan bir insan, hususan bütün duygularıyla ve cihazat-ı maneviyesiyle ubudiyet etmiş ve cennetin lezaizine istihkak kesbetmiş ise her bir duygusunu memnun edecek, her bir cihazatını okşayacak, her bir letaifini zevklendirecek bir tarzda, cennetin her bir nevinden birer mehasini gösterecek bir tarz-ı libası, kendilerine ve hurilerine rahmet-i İlahiye tarafından giydirilecek.
Ve o müteaddid hulleler bir cinsten, bir neviden olmadığına delil, şu mealdeki hadîstir ki: “Huriler yetmiş hulle giydikleri halde, bacaklarındaki ilikleri görünür, setretmiyor.” Demek, en üstündeki hulleden tâ en alttaki hulleye kadar ayrı ayrı mehasinle, ayrı ayrı tarzda, hissiyatı ve duyguları zevklendirecek, memnun edecek mertebeler var.
Ehl-i cehennem ise nasıl ki dünyada gözüyle, kulağıyla, kalbiyle, eliyle, aklıyla ve hâkeza bütün cihazatıyla günahlar işlemiş; elbette cehennemde onlara göre elem verecek, azap çektirecek ve küçük bir cehennem hükmüne gelecek muhtelifü’l-cins parçalardan yapılmış elbise giydirilmek, hikmete ve adalete münafî görünmüyor.
Beşinci Nükte
Sual ediyorsunuz ki: Zaman-ı fetrette, Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâmın ecdadı bir din ile mütedeyyin mi idiler?
Elcevap: Hazret-i İbrahim aleyhisselâmın, bilâhare gaflet ve manevî zulümat perdeleri altında kalan ve hususi bazı insanlarda cereyan eden bakiyye-i dini ile mütedeyyin olduğuna rivayat vardır. Elbette Hazret-i İbrahim aleyhisselâmdan gelen ve Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâmı netice veren bir silsile-i nuraniyeyi teşkil eden efrad, elbette din-i hak nurundan lâkayt kalmamışlar ve zulümat-ı küfre mağlup olmamışlar.
Fakat zaman-ı fetrette وَمَا كُنَّا مُعَذِّبٖينَ حَتّٰى نَب۟عَثَ رَسُولًا sırrıyla; ehl-i fetret, ehl-i necattırlar. Bi’l-ittifak, teferruattaki hatîatlarından muahezeleri yoktur. İmam-ı Şafiî ve İmam-ı Eş’arîce küfre de girse, usûl-ü imanîde bulunmazsa yine ehl-i necattır. Çünkü teklif-i İlahî, irsal ile olur ve irsal dahi ıttıla ile teklif takarrur eder. Madem gaflet ve mürur-u zaman, enbiya-i sâlifenin dinlerini setretmiş; o ehl-i fetret zamanına hüccet olamaz. İtaat etse sevap görür, etmezse azap görmez. Çünkü mahfî kaldığı için hüccet olamaz.
Altıncı Nükte
Dersiniz ki: Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâmın ecdadlarından nebi gelmiş midir?
Elcevap: Hazret-i İsmail aleyhisselâmdan sonra bir nass-ı kat’î yoktur. Ecdadlarından olmayan, yalnız Hâlid İbn-i Sinan ve Hanzele namında iki nebi gelmiştir. Fakat ecdad-ı Nebi’den, Kâ’b İbn-i Lüeyy’in meşhur ve sarîh ve tansis tarzındaki bu şiiri ki:
عَلٰى غَف۟لَةٍ يَا۟تِى النَّبِىُّ مُحَمَّدٌ فَيُخ۟بِرُ اَخ۟بَارًا صَدُوقًا خَبٖيرُهَا demesi, mu’cizekârane ve nübüvvettarane bir söze benzer. İmam-ı Rabbanî hem delile hem keşfe istinaden demiş ki: Hindistan’da çok nebiler gelmiştir. Fakat bazılarının ya hiç ümmeti olmamış veyahut mahdud birkaç adama münhasır kaldığı için iştihar bulmamışlar veyahut nebi ismi verilmemiş.
İşte İmam’ın bu düsturuna binaen, ecdad-ı Nebi’den bu nevi nebilerin bulunması mümkün.
Yedinci Nükte
Diyorsunuz ki: Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâmın peder ve valideleri ve ceddi Abdülmuttalib’in imanları hakkında akvâ ve esahh olan haber hangisidir?
Elcevap: Yeni Said on senedir yanında başka kitapları bulundurmuyor, bana Kur’an yeter diyor. Böyle teferruat mesailinde, bütün kütüb-ü ehadîsi tetkik edip en akvasını yazmaya vaktim müsaade etmiyor. Yalnız bu kadar derim ki: Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâmın peder ve valideleri ehl-i necattır ve ehl-i cennettir ve ehl-i imandır. Cenab-ı Hak, Habib-i Ekrem’inin mübarek kalbini ve o kalbin taşıdığı ferzendane şefkatini, elbette rencide etmez.
Eğer denilse: Madem öyledir, neden onlar Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâma imana muvaffak olamadılar? Neden bi’setine yetişemediler?
Elcevap: Cenab-ı Hak, Habib-i Ekrem’inin peder ve validesini, kendi keremiyle, Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâmın ferzendane hissini memnun etmek için valideynini minnet altında bulundurmuyor. Valideynlik mertebesinden, manevî evlat mertebesine getirmemek için hâlis kendi minnet-i rububiyeti altına alıp onları mesud etmek ve Habib-i Ekrem’ini de memnun etmekliği rahmeti iktiza etmiş ki valideynini ve ceddini, ona zâhirî ümmet etmemiş. Fakat ümmetin meziyetini, faziletini, saadetini onlara ihsan etmiştir.
Evet, âlî bir müşirin yüzbaşı rütbesinde olan pederi huzuruna girmesi, birbirine zıt iki hissin taht-ı tesirinde bulunur. Padişah o müşir olan Yaver-i Ekrem’ine merhameten, pederini onun maiyetine vermiyor.
Sekizinci Nükte
Diyorsunuz ki: Amcası Ebu Talib’in imanı hakkında esahh nedir?
Elcevap: Ehl-i Teşeyyu’, imanına kail; Ehl-i Sünnet’in ekserisi, imanına kail değiller. Fakat benim kalbime gelen budur ki: Ebu Talib, Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâmın risaletini değil; şahsını, zatını gayet ciddi severdi. Onun o gayet ciddi, o şahsî şefkati ve muhabbeti, elbette zayie gitmeyecektir.
Evet, ciddi bir surette Cenab-ı Hakk’ın Habib-i Ekrem’ini sevmiş ve himaye etmiş ve taraftarlık göstermiş olan Ebu Talib’in; inkâra ve inada değil belki hicab ve asabiyet-i kavmiye gibi hissiyata binaen, makbul bir iman getirmemesi üzerine cehenneme gitse de yine cehennem içinde bir nevi hususi cenneti, onun hasenatına mükâfaten halk edebilir. Kışta bazı yerde baharı halk ettiği ve zindanda –uyku vasıtasıyla– bazı adamlara zindanı saraya çevirdiği gibi hususi cehennemi, hususi bir nevi cennete çevirebilir…
وَال۟عِل۟مُ عِن۟دَ اللّٰهِ لَا يَع۟لَمُ ال۟غَي۟بَ اِلَّا اللّٰهُ
سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
- ↑ *Al-Maktûbât karya Imam Rabbani, jilid 1, maktub 130; jilid 2, maktub 58.
- ↑ *Syair karya Jalaluddin Rumi, jilid 1/hal 3, cetakan Bombay 1310 H.
- ↑ *at-Tirmidzi, ar-Ru’ya 6; at-Thayâlisi, al-Musnad hal 147; Abu Ya’la, al-Musnad 12/63; ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir 19/205.
- ↑ *Lihat: al-Bukhari, at-Ta’bir 26; Muslim, ar-Ru’ya 6.
- ↑ *Lihat: al-Bukhari, bab bad`ul wahy 3, Tafsir Surah al-Alaq 1, at-Ta’bir 1; Muslim, bab al-Iman 252.
- ↑ *Teks hadis yang menjadi bahan perdebatan adalah sebagai berikut:Abu Hurairah d berkata, “Suatu hari malaikat maut diutus kepada Musa. Ketika menemuinya, Nabi Musa memukul matanya. Maka malaikat maut kembali kepada Tuhan dan berkata, ‘Engkau telah mengutusku kepada hamba yang tidak menginginkan mati.” Lalu Allah menyembuhkan matanya (yang terluka karena pukulan Musa) seraya berfirman, ‘Kembalilah kepada Musa dan katakan kepadanya agar dia meletakkan tangannya di atas punggung sapi jantan. Maka bulu sapi yang tertutup oleh tangannya itulah sisa umurnya, satu bulu satu tahun.’ Musa berkata, ‘Wahai Tuhan, setelah itu apa?’ Al- lah berfirman, ‘Kematian.’ Musa berkata, ‘Sekaranglah waktunya.’ Kemudian Nabi Musa memohon kepada Allah adgar didekatkan dengan tanah suci dalam jarak sejauh lemparan batu. Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda, ‘Seandainya aku di sana, pasti akan aku tunjukkan kuburnya kepada kalian yang ada di pinggir jalan, di bawah tumpukan pasir merah.’” (HR. al-Bukhari, dalam bab al-Jana’iz 68, al-Anbiya 31; dan Muslim, dalam bab al-Fadha’il 157).
- ↑ *Salah satu kecamatan di provinsi Isparta, dekat Barla tempat pengasingan Ustadz Nursi.
- ↑ *Lihat: al-Bukhari, al-Manaqib 25, Fadha’il al-Quran 1; Muslim, Fadha’il ash-sha- habah 100.
- ↑ *Lihat: al-Bukhari, bad’ul wahy 3, Bad’ul khalq 7, tafsir surat al-Muddatstsir 3-5; Muslim, bab al-Iman 255, 257, dan 258.
- ↑ *Ketika, di daerah kami, seorang wali agung yang dijuluki “Sida” mengalami sa- karatul maut dan didatangi oleh malaikat yang ditugaskan untuk mencabut nyawanya, ia memohon kepada Allah seraya berteriak, “Hendaklah malaikat yang ditugaskan un- tuk mencabut nyawa para penuntut ilmu yang mencabut nyawaku, aku sangat mencintai mereka.” Peristiwa tersebut disaksikan oleh mereka yang hadir saat kematiannya―Penulis.
- ↑ *Di kota kami terdapat seorang pemberani. Saat kematian akan menjemput ia berkata kepada malaikat maut, “Akankah engkau mencabut nyawaku dalam kondisiku terbaring di atas kasur?!” Iapun segera bangkit dari kasur, menaiki kudanya, lalu meng- hunuskan pedang. Seakan ia berada di medan jihad dan akan duel dengannya. Setelah itu, ia menyerahkan nyawanya saat berada di punggung kuda. Iapun wafat dengan terhormat.”(penulis).
- ↑ *Lihat ath-Thabari, Jami al-Bayan 15/156, Abu asy-Syaikh dalam al-Azhamah 2/547, 740, 742, 747, dan 3/868, serta Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur’an 3/62.
- ↑ *Lihat: Imam Rabbani, al-Maktûbât (maktub ke-210).
- ↑ *Lihat: Abdul Qadir al-Jailani, al-Fath ar-Rabbani, majelis keenam puluh dua. Redaksi aslinya, “Wahai hamba Allah, kalian berada di Darul Hikmah. Engkau harus memiliki perantara. Mintalah kepada Tuhan seorang dokter yang bisa menyembuhkan penyakit hati kalian...”
- ↑ *Ia merupakan majelis ilmiah tertinggi yang merupakan bagian dari Dewan Ulama Islam di Daulah Utsmaniyah.
- ↑ *Imam Rabbani, al-Maktûbât jilid 1 (maktub ke-74, 75).
- ↑ *Bunyi redaksinya, “Karena engkau menginginkan tekad yang kuat dalam memberikan perhatian, bergembiralah karena engkau kembali dalam kondisi selamat dan mendapat keberuntungan. Akan tetapi, engkau harus memperhatikan satu syarat: menyatukan kiblat (arah) orientasi. Sebab, banyaknya arah orientasi membuat diri sang salik tidak terarah. Di antara pepatah yang terkenal, “Orang yang tinggal di satu tempat sebenarnya tinggal di setiap tempat. Namun yang berpindah-pindah di antara berbagai tempat sebenarnya tidak berada di satu tempat.” Al-Maktub ke-25 dari al-Maktubat karya Imam Rabbani 1/87.
- ↑ *Pulau yang terdapat di danau Agridir, dekat Barla.
- ↑ *Malâhiq, Mulhaq Barla.
- ↑ *Salah satu provinsi di sebelah Barat Daya Turki.
- ↑ *Lihat: Imam Rabbani, al-Maktubat, Maktub ke-49 jilid 2.
- ↑ * Şimdi yüz otuzdur.
- ↑ Hâşiye: On Dokuzuncu Mektup’un On Sekizinci İşaret’inde; bir nüshada, bir sahifede dokuz Kur’an tevafuk suretinde bulunduğu halde birbirine hat çektik, mecmuunda Muhammed lafzı çıktı. O sahifenin mukabilindeki sahifede sekiz Kur’an tevafukla beraber, mecmuunda lafzullah çıktı. Tevafukatta böyle bedî’ şeyler çok var.
Bu hâşiyenin mealini gözümüzle gördük.
Bekir, Tevfik, Süleyman,
Galib, Said - ↑ Hâşiye: Tevafukat ise ittifaka işarettir; ittifak ise ittihada emaredir, vahdete alâmettir; vahdet ise tevhidi gösterir; tevhid ise Kur’an’ın dört esasından en büyük esasıdır.