Yedinci Lem'a/id: Revizyonlar arasındaki fark

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    ("Ya, sebagaimana ungkapan مِنَ النَّبِيّٖنَ ‘para nabi’ secara jelas mengarah pada Rasul, ungkapan وَالصِّدّٖيقٖينَ ‘para shiddîqîn’ mengarah pada Abu Bakar ash-Shiddiq d. Hal itu sebagai isyarat bahwa ia adalah sosok kedua sesudah Rasul sekaligus sebagai khalifah pertama yang menggantikan beliau. Kata ash-Shiddiq merupakan simbol istimewa yang menjadi gelar beliau dan nama tersebut sudah dikenal oleh semua umat I..." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    ("------ <center> CAHAYA KEENAM ⇐ | Al-Lama’ât | ⇒ CAHAYA KEDELAPAN </center> ------" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
     
    (Aynı kullanıcının aradaki bir diğer değişikliği gösterilmiyor)
    130. satır: 130. satır:
    Kemudian ungkapan وَالشُّهَدَٓاءِ‘orang-orang yang mati syahid’ mengarah pada Umar, Utsman, dan Ali. Sebagai informasi yang bersifat gaib, ayat tersebut menjelaskan bahwa ketiga orang tadi akan mendapatkan posisi kekhalifahan setelah ash-Shiddiq dan bahwa mereka akan mati syahid sehingga kemuliaan mereka bertambah.
    Kemudian ungkapan وَالشُّهَدَٓاءِ‘orang-orang yang mati syahid’ mengarah pada Umar, Utsman, dan Ali. Sebagai informasi yang bersifat gaib, ayat tersebut menjelaskan bahwa ketiga orang tadi akan mendapatkan posisi kekhalifahan setelah ash-Shiddiq dan bahwa mereka akan mati syahid sehingga kemuliaan mereka bertambah.


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Selanjutnya ungkapan  ‘orang-orang yang saleh’ mengarah pada para sahabat ahlu Suffah (yang tinggal di beranda Masjid Nabawi), para sahabat yang ikut dalam perang Badar, serta para sahabat yang melakukan Baiat ar-Ridwân. Sementara ungkapan ‘dan mereka itulah sebaik-baik teman’ secara jelas mengarah pada para pengikut mereka sekaligus menerangkan keindahan dan kebaikan sikap tabiin yang mengikuti golongan sebelumnya. Secara implisit, ungkapan itu juga tertuju pada Hasan sebagai khalifah kelima dan membenarkan keterangan hadis yang berbunyi, “Kekhalifahan sesudahku berlangsung selama tiga puluh tahun”.(*<ref>*Lihat: at-Tirmidzi, al-Fitan, 48; Abu Daud, as-Sunnah, 9; Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, 5/220; dan Ibnu Hajar, Fathu al-Bârî, 8/77.</ref>)Meskipun masa kekhalifahannya singkat, namun nilainya sangat besar.
    وَالصَّالِحٖينَ kelimesiyle Ashab-ı Suffa, Bedir, Rıdvan gibi mümtaz zevata işaret ederek وَ حَسُنَ اُولٰٓئِكَ رَفٖيقًا cümlesiyle mana-yı sarîhiyle onların ittibaına teşvik ve tabiînlerdeki tebaiyeti çok müşerref ve güzel göstermekle, mana-yı işarîsiyle hulefa-i erbaanın beşincisi olarak ve اِنَّ ال۟خِلَافَةَ بَع۟دٖى ثَلَاثُونَ سَنَةً hadîs-i şerifin hükmünü tasdik ettiren müddet-i hilafeti azlığıyla beraber kıymetini azîm göstermek için o mana-yı işarîsiyle Hazret-i Hasan radıyallahu anhı gösterir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kesimpulannya, jika ayat terakhir dari surat al-Fath mengarah pada khalifah yang empat sementara ayat ini mengarah pada masa depan posisi mereka, yang diperkuat oleh informasi yang bersifat gaib. Informasi tentang sesuatu yang gaib, sebagai salah satu sisi kemukjizatan al-Qur’an, mempunyai cahaya kemukjizatan yang sangat banyak hingga tak terhitung dan tak terbatas. Karena itu, sikap ulama zâhiri (yang berpegang pada lahiriah nash) yang membatasi informasi gaib pada empat puluh atau lima puluh ayat saja bersumber dari pengamatan lahiriah. Padahal sebenarnya jumlahnya lebih dari seribu. Bahkan satu ayat saja bisa mengandung empat atau lima informasi gaib.
    '''Elhasıl:''' Sure-i Feth’in âhirki âyeti, hulefa-i erbaaya baktığı gibi bu âyet dahi teyiden, ihbar-ı gayb nevinden onların istikbaldeki vaziyetlerine kısmen işaret suretiyle bakar. İşte Kur’an’ın enva-ı i’cazından olan ihbar-ı gayb nevinin lemaat-ı i’caziyesi âyât-ı Kur’aniyede o kadar çoktur ki hasra gelmez. Ehl-i zâhirin kırk elli âyete hasretmeleri, nazar-ı zâhirî iledir. Hakikatte ise binden geçer. Bazen bir âyette dört beş vecihle ihbar-ı gaybî bulunur.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذ۟نَٓا اِن۟ نَسٖينَٓا اَو۟ اَخ۟طَا۟نَا
    رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذ۟نَٓا اِن۟ نَسٖينَٓا اَو۟ اَخ۟طَا۟نَا
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    223. satır: 215. satır:




    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    ------
    ------
    <center> [[Altıncı Lem'a]] ⇐ [[Lem'alar]] | ⇒ [[Sekizinci Lem'a]] </center>
    <center> [[Altıncı Lem'a/id|CAHAYA KEENAM]] ⇐ | [[Lem'alar/id|Al-Lama’ât]] | ⇒ [[Sekizinci Lem'a/id|CAHAYA KEDELAPAN]] </center>
    ------
    ------
    </div>

    16.16, 17 Aralık 2024 itibarı ile sayfanın şu anki hâli

    Diğer diller:

    (Tujuh Macam Pemberitaan Gaib yang terdapat pada Akhir Surah al-Fath)

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

    “Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya. Yaitu bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjid al-Harâm insya Allah dalam keadaan aman dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, tanpa merasa takut. Allah mengetahui apa yang tidak kamu ketahui dan sebelum itu Dia memberikan kemenangan yang dekat. Dialah yang mengirim Ra- sul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar agama tersebut dimenangkan terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi. Muhammad itu adalah utusan Allah. Orang-orang yang bersama dia keras terhadap orang-orang kafir, dan kasih sayang ter- hadap sesama mereka. Kamu saksikan mereka rukuk dan sujud men- cari karunia Allah dan ridha-Nya. Tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka yang terdapat dalam Taurat dan sifat-sifat mereka yang terdapat dalam Injil. Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya. Maka tunas itu men- jadikan tanaman tersebut kuat lalu besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati para penanamnya karena Allah hendak membuat jengkel hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang mukmin). Kepada orang-orang beriman dan menger- jakan amal saleh Allah menjanjikan ampunan dan pahala yang besar. (QS. al-Fath [48]: 27-29).

    Tiga ayat yang terdapat dalam surat al-Fath tersebut mengan- dung berbagai aspek kemukjizatan. Sepuluh aspek kemukjizatan al-Qur’an di antaranya terkait dengan pemberitaan tentang hal gaib, yang pada ayat-ayat di atas terdapat tujuh atau delapan aspek:

    Aspek Pertama

    Firman Allah yang berbunyi:“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya. Yaitu bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman...”Ayat ini memberitahukan penaklukan Mekkah dengan pasti sebelum peristiwa itu terjadi. Dan ternyata dua tahun berikutnya peristiwa tersebut benar-benar terjadi seperti yang diberitakan ayat ini.

    Aspek Kedua

    Firman Allah yang berbunyi:“Dan sebelum itu Dia memberikan kemenangan yang dekat.”Ayat ini menjelaskan bahwa meskipun perjanjian Hudaibiyah terlihat tidak menguntungkan kaum muslimin dan relatif mengun- tungkan bangsa Quraisy, namun ia akan menjadi layaknya sebuah kemenangan yang nyata dan menjadi kunci pembuka bagi berbagai kemenangan lainnya.

    Walaupun secara realitas pedang-pedang mereka telah masuk ke dalam sarungnya, namun al-Qur’an yang mulia telah menghunus ‘pedang berlian’ yang bersinar terang, membuka kalbu dan akal manusia. Sebab, dengan adanya perjanjian tersebut para kabilah itu berbaur. Sifat keras kepala mereka itu pun lenyap oleh kemuliaan Islam dan tirai fanatisme kesukuan yang tercela hancur oleh cahaya al-Qur’an.

    Contohnya, ahli perang, Khalid ibn al-Walid, dan politikus ulung, Amru ibn Al-Ash, yang tidak pernah mau menyerah, ternyata mereka dikalahkan oleh pedang al-Qur’an yang bersinar yang terjelma melalui perjanjian Hudaibiyah. Sehingga kedua tokoh terse- but mau berjalan bersama menuju Madinah al-Munawwarah serta keduanya menyatakan masuk Islam. Mereka masuk ke dalam Islam dengan penuh ketundukan dan kepatuhan sampai kemudian Khalid ibn al-Walid menjadi “Pedang Allah yang terhunus” serta pedang penaklukan Islam.

    Ada sebuah pertanyaan, “Para sahabat Rasul telah dikalahkan oleh kaum musyrikin dalam akhir Perang Uhud dan permulaan perang Hunain. Apa hikmah di balik itu semua?”

    Jawabannya, karena ketika itu di kalangan kaum musyrikin banyak orang-orang seperti Khalid ibn al-Walid yang pada masa selanjutnya akan menjadi sahabat Nabi. Agar kehormatan mereka tidak tercoreng, maka dengan kebijaksanaan-Nya, Allah memberikan balasan yang cepat mendahului kebaikan mereka di masa mendatang.

    Artinya, para sahabat generasi masa lalu dikalahkan oleh para sahabat generasi mendatang agar para sahabat generasi mendatang itu tidak masuk Islam karena takut pada kilatan pedang, namun karena rindu pada kebenaran. Serta, agar sifat kesatria mereka itu tidak menjadi lemah dan hina.

    Aspek Ketiga

    Firman Allah yang berbunyi:“Tanpa merasa takut...” Dengan ungkapan tersebut, ayat di atas menjelaskan bahwa kalian akan memasuki Masjid al-Harâm dan akan bertawaf di seputar Ka’bah dengan sangat aman. Padahal sebagaimana diketahui, sebagian besar kabilah yang tinggal di Jazirah Arab, orang-orang yang berada di sekitar Mekkah, serta mayoritas bangsa Quraisy, semuanya merupakan musuh-musuh Islam. Namun informasi tadi menegaskan bahwa sebentar lagi kalian akan memasuki Masjid al-Harâm dan bertawaf tanpa rasa takut sedikit pun. Sementara itu, mereka yang tinggal di Jazirah Arab akan tunduk padamu secara sukarela, bang- sa Quraisy juga akan masuk ke dalam bangunan Islam, serta keselamatan dan keamanan itu pun tersebar. Semua itu terwujud sesuai dengan informasi ayat di atas.

    Aspek Keempat

    Firman Allah yang berbunyi:“Dialah yang mengirim Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar agama tersebut dimenangkan terhadap semua agama.”

    Ayat ini secara tegas menjelaskan bahwa agama yang dibawa oleh Rasul akan mengalahkan semua agama. Padahal, seperti yang diketahui, pada masa itu agama Nasrani, Yahudi, dan Majusi yang dianut oleh ratusan juta orang merupakan agama resmi Negara Cina, Iran, dan Romawi. Sementara di sisi lain Rasul dalam kabilahnya sendiri saja belum menonjol benar. Namun ayat di atas mengin- formasikan bahwa agamanya akan mengungguli semua agama dan semua bangsa. Bahkan secara tegas dan meyakinkan, ayat tersebut menginformasikan semua itu sebagai sesuatu yang pasti terjadi. Ternyata, masa selanjutnya membenarkan informasi yang bersifat gaib tersebut dengan terbentangnya pedang Islam mulai dari Samudera Atlantik sampai Samudera Pasifik.

    Aspek Kelima

    Allah berfirman:“Muhammad itu adalah utusan Allah. Orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, dan kasih sayang terhadap sesama mereka. Kamu saksikan mereka rukuk dan sujud men- cari karunia Allah dan ridha-Nya. Tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.”

    Makna ayat tersebut dengan sangat jelas memberitahukan sifat mulia dan akhlak luhur yang menyebabkan para sahabat menjadi manusia-manusia yang paling mulia setelah para nabi. Pada waktu yang bersamaan, ayat di atas juga menjelaskan berbagai karakter istimewa yang secara khusus dimiliki oleh para sahabat di waktu yang akan datang. Juga, bagi para ahli hakikat, ayat itu menerangkan dengan makna isyari (secara implisit) urutan para khalifah yang akan meng- gantikan kedudukan Nabi setelah beliau wafat. Lebih dari itu, ia menjelaskan sifat paling menonjol yang dimiliki oleh masing-masing mereka sehingga dengan itu mereka dikenal.

    Allah Misalnya, firman Allah yang berbunyi وَالَّذٖينَ مَعَهُ ‘Orang-orang yang bersama dia’ mengarah pada Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai sosok yang secara khusus mendampingi beliau dan menjadi sahabat istimewa beliau.

    Lalu firman Allah yang berbunyi اَشِدَّٓاءُ عَلَى ال۟كُفَّارِ ‘Mereka keras terhadap orang-orang kafir’ mengarah pada Sayyidina Umar yang akan menghancurkan dan membuat takut berbagai negara dengan berbagai pendudukannya, serta yang dengan keadilannya terhadap kaum zalim akan dikenal seperti halilintar.

    Kemudian ungkapan رُحَمَٓاءُ بَي۟نَهُم۟ ‘Kasih sayang terhadap ses- ama mereka’ tentang Sayyidina Utsman d yang tidak rela dengan adanya pertumpahan darah antara kaum muslimin ketika fitnah terbesar dalam sejarah siap terjadi. Dengan sifat kasih dan sayangnya, ia korbankan jiwanya serta ia serahkan dirinya menuju kematian. Ia pun lalu menjadi syahid secara teraniaya di saat sedang membaca al- Qur’an al-Karim.

    Lalu firman Allah yang berbunyi:“Kamu saksikan mereka ruku dan sujud mencari karunia Allah dan ridha-Nya.” Mengarah pada Sayyidina Ali. Meskipun beliau menggenggam tugas kekhalifahan dengan layak dan sempurna, beliau adalah seorang yang zuhud, ahli ibadah, fakir, dan memilih untuk terus bersujud dan rukuk sebagaimana ia dipercaya oleh banyak orang. Selain itu, ayat di atas juga menginformasikan bahwa ia tidak bertanggung jawab atas berbagai peperangan yang terjadi di masa kekhalifahannya nanti. Yang ia cari darinya hanyalah karunia dan ridha Allah .

    Aspek Keenam

    Firman Allah yang berbunyi:“Demikianlah sifat-sifat mereka yang terdapat dalam Taurat.” Memberikan informasi gaib dalam dua sisi:

    Yang pertama,

    ia memberitahukan sifat-sifat sahabat yang terdapat dalam Taurat. Tentu saja hal itu termasuk berita gaib bagi seo- rang Rasul yang ummi. Sebagaimana dijelaskan pada “Surat Kesembilan Belas” bahwa dalam kitab Taurat terdapat keterangan mengenai sifat para sahabat Rasul yang akan tiba di akhir zaman. Bunyinya adalah, “Bersamanya bendera orang-orang suci”.(*[1])Artinya, para sahabat Nabi tersebut adalah orang-orang yang taat, ahli ibadah, saleh, dan wali Allah. Sampai-sampai mereka dilukiskan sebagai orang yang suci.Meskipun Taurat yang ada telah mengalami berbagai penyim- pangan akibat banyaknya penerjemahan ke dalam beragam bahasa, namun ia masih tetap membenarkan banyak ayat al-Qur’an. Di antaranya, ayat terakhir dari surat al-Fath ini,مَثَلُهُم۟ فِى التَّو۟رٰيةِ ‘Demikianlah sifat-sifat mereka yang terdapat dalam Taurat’.

    Yang kedua,

    ayat tersebut juga menginformasikan bahwa para sahabat yang mulia dan para tabiin akan mencapai suatu tahap iba- dah di mana cahaya yang terdapat dalam jiwa mereka memancar ke wajah mereka dan terlihat pada dahi mereka sebagai tanda yang dihasilkan dari banyaknya bersujud kepada Allah.

    Ya, secara tegas dan jelas, perjalanan waktu kemudian membuktikan hal itu. Zainal Abidin yang telah melakukan shalat seribu rakaat dalam sehari semalam, juga Thawus al-Yamani yang telah melakukan shalat subuh dengan wudhu shalat isya selama empat puluh tahun di tengah-tengah banyaknya perubahan politik dan situasi yang tak menentu, serta banyak lagi orang-orang seperti mereka telah menjelaskan salah satu rahasia dari ayat ini مَثَلُهُم۟ فِى التَّو۟رٰيةِ ‘Demikianlah sifat-sifat mereka yang terdapat dalam Taurat’.

    Aspek Ketujuh

    Allah berfirman: “Dan sifat-sifat mereka yang terdapat dalam Injil. Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya. Maka tunas itu menjadikan tanaman tersebut kuat lalu besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati para penanamnya karena Allah hendak membuat jengkel hati orang-orang yang kafir.” Bagian ini juga menerangkan beberapa informasi gaib dalam dua aspek:

    Pertama,

    berbagai informasi tentang sifat-sifat sahabat yang terdapat dalam kitab Injil, tergolong masalah gaib (tersembunyi) bagi Rasul. Ya, ada beberapa ayat dalam kitab Injil yang menggambarkan kondisi Rasul yang akan datang di akhir zaman. Misalnya, “Bersama beliau ada sepotong besi. Demikian pula dengan umatnya.” Artinya, beliau berpedang dan menyuruh berjihad. Demikian pula dengan kondisi para sahabat beliau. Mereka adalah orang-orang yang berpedang dan diperintah untuk berjihad. Tidak seperti Isa yang tidak berpedang. Selain itu, sosok Nabi yang digambarkan mempunyai sebatang besi, menunjukkan bahwa beliau nantinya akan menjadi pemimpin dunia. Sebab, ada sebuah ayat dalam kitab Injil yang berbunyi, “Aku akan pergi agar datang seorang pemimpin dunia.”(*[2])

    Dari dua ungkapan kitab Injil di atas kita dapat memahami bahwa meskipun pada mulanya para sahabat sangat lemah dan sedikit, namun mereka akan tumbuh seperti benih. Mereka akan tumbuh tinggi dan kuat. Ketika kaum kafir pun benci pada mereka, para sahabat itu akan menundukkan dunia dengan pedang-pedang mereka. Dengan itu, mereka memantapkan kedudukan pimpinan mereka, Rasul , sebagai pemimpin dunia. Makna yang dikandung oleh ayat Injil di atas sejalan dengan makna ayat terakhir dari Surah al-Fath.

    Kedua,

    bagian ini juga memberikan pengertian bahwa meskipun para sahabat telah menerima perjanjian Hudaibiyah karena kondisi mereka yang ketika itu berjumlah sedikit dan lemah, namun tidak lama kemudian dengan cepat mereka bisa memperoleh kekuatan dan kemuliaan. Umat manusia yang ditumbuhkan oleh “Tangan kekuasaan Ilahi” dalam sebuah ladang bumi, bulirnya sangat pendek dan lemah. Akibat kelalaian, mereka binasa di hadapan bulir yang tinggi, besar, kuat, berbuah, dan penuh berkah. Sehingga bulir-bulir itulah yang kemudian menjadi kuat dan banyak yang membuat negara-negara besar benci dan dengki kepadanya. Ya, perjalanan waktu telah membuktikan kebenaran informasi tersebut dengan sangat jelas.

    Dalam informasi gaib itu, terselip sebuah isyarat yang samar. Yaitu: Ketika Allah memuji para sahabat karena mereka memiliki perangai yang mulia, hal itu membuat mereka layak untuk memperoleh janji Allah berupa pahala yang besar dan ganjaran yang mulia. Namun adanya kata maghfirah (ampunan) menunjukkan bahwa mereka juga akan jatuh pada berbagai kesalahan dengan fitnah yang terjadi di antara sahabat. Di sini, kata maghfirah menunjukkan pada adanya kelalaian dalam suatu hal sehingga dalam kondisi tersebut permintaan yang paling agung dan pemberian yang paling mulia adalah maghfirah. Sebab, ganjaran yang terbesar adalah maaf Allah dan selamat dari hukuman-Nya.

    Lalu, sebagaimana kata maghfirah mengarah pada pengertiannya yang halus tersebut, ia juga memiliki korelasi dengan permulaan surat al-Fath: “Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang.” (QS. al-Fath [48]: 2). Ampunan yang dimaksudkan di sini bukanlah ampunan terhadap dosa dalam pengertian sebenarnya. Sebab, Nabi mempunyai sifat ishmah (terpelihara dari kesalahan) sehingga tidak pernah ada dosa baginya. Namun, yang dimaksud ampunan di sini adalah ampunan yang sesuai dengan kedudukan kenabian. Kabar gembira bagi para sahabat bahwa mereka akan mendapat ampunan Allah seperti yang terdapat di penghujung surat tersebut mengandung isyarat halus lain selain isyarat di atas.

    Demikianlah, sepuluh aspek kemukjizatan yang terdapat pada tiga ayat di penghujung surat al-Fath tersebut baru kami bahas dari sisi pemberitaan gaibnya. Bahkan kami baru membahas tujuh sisi dari banyak sisi informasi di dalamnya.Sekilas tentang masalah kemukjizatan al-Qur’an dijelaskan dalam pembahasan mengenai penempatan huruf-huruf ayat terakhir itu di penutup “Kalimat Kedua Puluh Enam” yang secara khusus terkait dengan masalah qadar dan ikhtiyar. Ayat tersebut secara rinci berbicara mengenai kondisi para sahabat. Sebagaimana dengan lafal-Iafalnya, ayat tersebut menjelaskan karakter para sahabat, dengan huruf-huruf dan pengulangan bilangannya, ia juga menunjukkan para sahabat yang ikut dalam perang Badar, perang Uhud, perang Hunain, para sahabat ahlu Suffah, para sahabat yang melakukan baiat ar-Ridwan, serta para sahabat lainnya. Selain itu, ia menjelaskan banyak rahasia huruf abjad yang ada dan menerangkan adanya kesesuaian yang mencerminkan satu bentuk ilmu (ilmu jifr).

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ

    Informasi tentang hal gaib yang disampaikan oleh beberapa ayat terakhir dari surat al-Fath di atas dengan makna implisit, juga disampaikan oleh ayat berikut ini dengan makna yang sama. Karena itu, di sini kami akan menyinggungnya.

    Lampiran

    “Pasti Kami tunjuki mereka ke jalan yang lurus. Barangsiapa menaati Allah dan Rasul, mereka itu akan bersama orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah,yaitu para nabi, para shiddiqin, orang- orang yang mati syahid, dan orang-orang yang saleh. Dan mereka itulah sebaik-baik teman. (QS. an-Nisa [4]: 68-69).

    Kami hanya akan menyampaikan dua hal dari ribuan persoalan yang terkait dengan ayat al-Qur’an di atas:

    Persoalan Pertama

    Selain menjelaskan berbagai hakikat dengan pemahaman dan makna yang eksplisit, al-Qur’an juga menunjukkan banyak isyarat maknawi melalui susunan dan gaya bahasanya. Setiap ayat memiliki banyak lapisan makna. Dan karena al-Qur’an al-Karim berasal dari pengetahuan yang bersifat komprehensif, semua maknanya dapat dibenarkan. Sebab, makna yang dikandung oleh al-Qur’an tidak terbatas pada satu atau dua pengertian.

    la tidak seperti ucapan ma- nusia yang bersifat terbatas karena ucapan tersebut dihasilkan oleh keinginan dan pemikiran pribadi yang bersifat parsial dan terbatas. Atas dasar itulah, para ahli tafsir menjelaskan berbagai hakikat yang tak terhingga dari ayat-ayat al-Qur’an. Namun, ada banyak sekali hakikat yang belum dijelaskan oleh para ahli tafsir, khususnya huruf-huruf dan isyarat al-Qur’an, yang mengandung berbagai pengetahuan penting di samping makna eksplisitnya.

    Persoalan Kedua

    Potongan ayat berikut: “Yaitu para nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang yang saleh. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.” Menjelaskan bahwa yang benar-benar berada di atas shirât al- Mustaqîm dan diberi karunia Tuhan adalah para nabi, kelompok shiddîqîn, golongan syahid, kaum yang saleh, serta para tabiin. Selain menjelaskan hakikat tersebut, ayat di atas secara tegas juga menerangkan siapa saja orang-orang yang berada dalam lima golong- an itu dalam dunia Islam, serta menunjukkan para imam dari lima golongan tersebut dengan menyebutkan karakter istimewa mereka. Selanjutnya, dengan cahaya kemukjizatan, ayat tersebut menentukan para imam dari masing-masing golongan itu di masa yang akan datang beserta posisi mereka dalam bentuk informasi yang bersifat gaib.

    Ya, sebagaimana ungkapan مِنَ النَّبِيّٖنَ ‘para nabi’ secara jelas mengarah pada Rasul, ungkapan وَالصِّدّٖيقٖينَ ‘para shiddîqîn’ mengarah pada Abu Bakar ash-Shiddiq d. Hal itu sebagai isyarat bahwa ia adalah sosok kedua sesudah Rasul sekaligus sebagai khalifah pertama yang menggantikan beliau. Kata ash-Shiddiq merupakan simbol istimewa yang menjadi gelar beliau dan nama tersebut sudah dikenal oleh semua umat Islam. Ia akan menjadi pimpinan bagi orang-orang yang shiddiq.

    Kemudian ungkapan وَالشُّهَدَٓاءِ‘orang-orang yang mati syahid’ mengarah pada Umar, Utsman, dan Ali. Sebagai informasi yang bersifat gaib, ayat tersebut menjelaskan bahwa ketiga orang tadi akan mendapatkan posisi kekhalifahan setelah ash-Shiddiq dan bahwa mereka akan mati syahid sehingga kemuliaan mereka bertambah.

    Selanjutnya ungkapan ‘orang-orang yang saleh’ mengarah pada para sahabat ahlu Suffah (yang tinggal di beranda Masjid Nabawi), para sahabat yang ikut dalam perang Badar, serta para sahabat yang melakukan Baiat ar-Ridwân. Sementara ungkapan ‘dan mereka itulah sebaik-baik teman’ secara jelas mengarah pada para pengikut mereka sekaligus menerangkan keindahan dan kebaikan sikap tabiin yang mengikuti golongan sebelumnya. Secara implisit, ungkapan itu juga tertuju pada Hasan sebagai khalifah kelima dan membenarkan keterangan hadis yang berbunyi, “Kekhalifahan sesudahku berlangsung selama tiga puluh tahun”.(*[3])Meskipun masa kekhalifahannya singkat, namun nilainya sangat besar.

    Kesimpulannya, jika ayat terakhir dari surat al-Fath mengarah pada khalifah yang empat sementara ayat ini mengarah pada masa depan posisi mereka, yang diperkuat oleh informasi yang bersifat gaib. Informasi tentang sesuatu yang gaib, sebagai salah satu sisi kemukjizatan al-Qur’an, mempunyai cahaya kemukjizatan yang sangat banyak hingga tak terhitung dan tak terbatas. Karena itu, sikap ulama zâhiri (yang berpegang pada lahiriah nash) yang membatasi informasi gaib pada empat puluh atau lima puluh ayat saja bersumber dari pengamatan lahiriah. Padahal sebenarnya jumlahnya lebih dari seribu. Bahkan satu ayat saja bisa mengandung empat atau lima informasi gaib.

    رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذ۟نَٓا اِن۟ نَسٖينَٓا اَو۟ اَخ۟طَا۟نَا

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ

    BU TETİMMEYE İKİNCİ BİR İZAH (*[4])

    Şu âhir-i Feth’in işaret-i gaybiyesini teyid eden hem Fatiha-i Şerife’deki sırat-ı müstakim ehli ve صِرَاطَ الَّذٖينَ اَن۟عَم۟تَ عَلَي۟هِم۟ âyetindeki murad kimler olduğunu beyan eden hem ebedü’l-âbâdın pek uzun yolunda en nurani, ünsiyetli, kesretli, cazibedar bir kafile-i rüfekayı gösteren ve ehl-i iman ve ashab-ı şuuru şiddetle o kafileye tebaiyet noktasında iltihak ve refakate mu’cizane sevk eden şu âyet فَاُولٰٓئِكَ مَعَ الَّذٖينَ اَن۟عَمَ اللّٰهُ عَلَي۟هِم۟ مِنَ النَّبِيّٖنَ وَ الصِّدّٖيقٖينَ وَ الشُّهَدَٓاءِ وَ الصَّالِحٖينَ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِكَ رَفٖيقًا yine âhir-i Feth’in âhirki âyeti gibi ilm-i belâgatta “maârîzu’l-kelâm” ve “müstetbeatü’t-terakib” tabir edilen mana-yı maksuddan başka işarî ve remzî manalarla hulefa-i erbaa ve beşinci halife olan Hazret-i Hasan’a (ra) işaret ediyor. Gaybî umûrdan birkaç cihette haber veriyor. Şöyle ki:

    Nasıl ki şu âyet, mana-yı sarîhi ile nev-i beşerde niam-ı âliye-i İlahiyeye mazhar olan ehl-i sırat-ı müstakim olan kafile-i enbiya ve taife-i sıddıkîn ve cemaat-i şüheda ve enva-ı salihîn ve sınıf-ı tabiîn “muhsinîn” olduğunu ifade ettiği gibi âlem-i İslâm’da dahi o taifelerin en ekmeli ve en efdali bulunduğunu ve Nebiyy-i âhir zaman’ın sırr-ı veraset-i nübüvvetten teselsül eden taife-i verese-i enbiya ve Sıddık-ı Ekber’in maden-i sıddıkıyetinden teselsül eden kafile-i sıddıkîn ve hulefa-yı selâsenin şehadet mertebesiyle merbut bulunan kafile-i şüheda وَ الَّذٖينَ اٰمَنُوا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ sırrıyla bağlanan cemaat-i salihîn ve اِن۟ كُن۟تُم۟ تُحِبُّونَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُونٖى يُح۟بِب۟كُمُ اللّٰهُ sırrını imtisal eden ve sahabelerin ve Hulefa-yı Raşidîn’in refakatinde giden esnaf-ı tabiîni ihbar-ı gaybî nevinden gösterdiği gibi…

    وَالصِّدّٖيقٖينَ kelimesiyle mana-yı işarî cihetinde Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâmdan sonra makamına geçecek ve halifesi olacak ve ümmetçe “Sıddık” unvanıyla şöhret bulacak ve sıddıkîn kafilesinin reisi olacak Hazret-i Ebubekiri’s-Sıddık’ı ihbar ediyor.

    وَالشُّهَدَٓاءِ kelimesiyle Hulefa-yı Raşidîn’den üçünün şehadetini haber veriyor ve Sıddık’tan sonra üç şehit, halife olacaklar. Çünkü “şüheda” cem’dir. Cem’in ekalli üçtür. Demek Hazret-i Ömer, Hazret-i Osman, Hazret-i Ali radıyallahu anhüm Sıddık’tan sonra riyaset-i İslâmiyet’e geçecekler ve şehit olacaklar. Aynı haber-i gaybî vuku bulmuştur.

    Hem وَالصَّالِحٖينَ kaydıyla Ehl-i Suffa gibi taat ve ibadette Tevrat’ın senasına mazhar olmuş ehl-i salahat ve takva ve ibadet, istikbalde kesretle bulunacağını ihbar etmekle beraber…

    وَ حَسُنَ اُولٰٓئِكَ رَفٖيقًا cümlesi sahabeye, ilim ve amelde refakat ve tebaiyet eden tabiînlerin tebaiyetini tahsin etmekle, ebed yolunda o dört kafilenin refakatlerini hasen ve güzel göstermekle beraber…

    Hazret-i Hasan’ın (ra) birkaç ay gibi kısacık müddet-i hilafeti, çendan az idi. Fakat اِنَّ ال۟خِلَافَةَ بَع۟دٖى ثَلَاثُونَ سَنَةً hükmüyle ve o ihbar-ı gaybiye-i Nebeviyenin tasdiki ile ve اِنَّ اب۟نٖى حَسَنٌ هٰذَا سَيِّدٌ سَيُص۟لِحُ اللّٰهُ بِهٖ بَي۟نَ فِئَتَي۟نِ عَظٖيمَتَي۟نِ hadîsindeki mu’cizane ihbar-ı gaybi-yi Nebevîyi tasdik eden ve iki büyük ordu, iki cemaat-i azîme-i İslâmiyenin musalahasını temin eden ve nizâı ortalarından kaldıran Hazret-i Hasan’ın (ra) kısacık müddet-i hilafetini ehemmiyetli gösterip, hulefa-i erbaaya bir beşinci halife göstermek için ihbar-ı gaybî nevinden mana-yı işarîsiyle ve وَ حَسُنَ اُولٰٓئِكَ رَفٖيقًا kelimesinde beşinci halifenin ismine ilm-i belâgatta “müstetbeatü’t-terakib” tabir edilen bir sır ile işaret ediyor.

    İşte mezkûr işarî ihbarlar gibi daha çok sırlar var. Sadedimize gelmediği için şimdilik kapı açılmadı. Kur’an-ı Hakîm’in çok âyâtı var ki her bir âyet çok vecihlerle ihbar-ı gaybî nevindendir. Bu nevi ihbarat-ı gaybiye-i Kur’aniye binlerdir.

    رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذ۟نَٓا اِن۟ نَسٖينَٓا اَو۟ اَخ۟طَا۟نَا

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ

    Hâtime

    Kur’an-ı Hakîm’in tevafuk cihetinden tezahür eden i’cazî nüktelerinden bir nüktesi şudur ki: Kur’an-ı Hakîm’de ism-i Allah, Rahman, Rahîm, Rab ve ism-i Celal yerindeki Hüve’nin mecmuu, dört bin küsurdur. بِس۟مِ اللّٰهِ الرَّح۟مٰنِ الرَّحٖيمِ (Hesab-ı ebcedin ikinci nev’i ki huruf-u heca tertibiyledir) o da dört bin küsur eder. Büyük adetlerde küçük kesirler, tevafuku bozmadığından küçük kesirlerden kat’-ı nazar edildi. Hem الٓمٓ tazammun ettiği iki vav-ı atıf ile beraber iki yüz seksen küsur eder. Aynen Sure-i El-Bakara’nın iki yüz seksen küsur ism-i Celal’ine ve hem iki yüz seksen küsur âyâtın adedine tevafuk etmekle beraber, ebcedin hecaî tarzındaki ikinci hesabıyla, yine dört bin küsur eder. O da yukarıda zikri geçmiş beş esma-i meşhurenin adedine tevafuk etmekle beraber بِس۟مِ اللّٰهِ الرَّح۟مٰنِ الرَّحٖيمِ in kesirlerinden kat’-ı nazar, adedine tevafuk ediyor.

    Demek, bu sırr-ı tevafuka binaen الٓمٓ hem müsemmasını tazammun eden bir isimdir hem El-Bakara’ya isim hem Kur’an’a isim hem ikisine muhtasar bir fihriste hem ikisinin enmuzeci ve hülâsası ve çekirdeği hem بِس۟مِ اللّٰهِ الرَّح۟مٰنِ الرَّحٖيمِ in mücmelidir. Ebcedin meşhur hesabıyla بِس۟مِ اللّٰهِ الرَّح۟مٰنِ الرَّحٖيمِ ism-i Rab adedine müsavi olmakla beraber اَلرَّح۟مٰنِ الرَّحٖيمِ deki müşedded ر iki ر sayılsa o vakit dokuz yüz doksan olup pek çok esrar-ı mühimmeye medar olup on dokuz harfiyle on dokuz bin âlemin miftahıdır.

    Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan’da lafza-i Celal’in tevafukat-ı latîfesindendir ki bütün Kur’an’da sahifenin âhirki satırın yukarı kısmında seksen lafza-i Celal, birbirine tevafukla baktığı gibi aşağıki kısımda da aynen seksen lafza-i Celal, birbirine tevafukla bakar. Tam o âhirki satırın ortasında yine elli beş lafza-i Celal, birbiri üstüne düşüp ittihat ederek güya elli beş lafza-i Celal’den terekküp etmiş bir tek lafza-i Celal’dir. Âhirki satırın başında yalnız ve bazı üç harfli kısa bir kelime fâsıla ile yirmi beş tam tevafukla tam ortadaki elli beşin tam tevafukuna zammedilince seksen tevafuk olup, o satırın nısf-ı evvelindeki seksen tevafuka ve nısf-ı âhirdeki yine seksen tevafuka tevafuk ediyor.

    Acaba böyle latîf, zarif, muntazam, mevzun, i’cazlı bu tevafukat; nüktesiz, hikmetsiz olur mu? Hâşâ, olamaz. Belki o tevafukatın ucuyla mühim bir define açılabilir.

    رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذ۟نَٓا اِن۟ نَسٖينَٓا اَو۟ اَخ۟طَا۟نَا

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ

    Said Nursî



    CAHAYA KEENAM ⇐ | Al-Lama’ât | ⇒ CAHAYA KEDELAPAN

    1. *Al-Kitab, Perjanjian Lama, Ulangan 33: 2;, as-Sîrah al-Halabiyah 1/218 oleh al-Halabi; dan Hujjatullah ‘alâ al-‘Âlamîn, h. 113 oleh an-Nabhâni.
    2. *Al-Kitab, Perjanjian Baru, Yohanes 16: 7; as-Sîrah al-Halabiyah 1/218 oleh al-Halabi.
    3. *Lihat: at-Tirmidzi, al-Fitan, 48; Abu Daud, as-Sunnah, 9; Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, 5/220; dan Ibnu Hajar, Fathu al-Bârî, 8/77.
    4. (*) Kardeşlerim her ikisini faydalı bulmasından iki izahı beraber kaydetmişler, yoksa biri kâfi idi.