On Birinci Lem'a/id: Revizyonlar arasındaki fark
("Sebagaimana Allah mempunyai rahmat yang tak terhingga, Dia juga memiliki kecintaan yang tak terkira. Sebagaimana Allah membuat diri-Nya dicintai dalam bentuk yang tak terbatas dengan keindahan yang terdapat pada alam semesta, Dia juga mencintai seluruh makhluk-Nya, terutama mereka yang memiliki perasaan yang mere- spon cinta Tuhan dengan cinta dan pengagungan. Karena itu, tujuan tertinggi manusia terletak pada sesuatu yang diridhai Tuhan serta usaha term..." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) |
("------ <center> CAHAYA KESEPULUH ⇐ | Al-Lama’ât | ⇒ CAHAYA KEDUA BELAS </center> ------" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) |
||
(Aynı kullanıcının aradaki diğer 12 değişikliği gösterilmiyor) | |||
194. satır: | 194. satır: | ||
==Nuktah Kesebalas== | ==Nuktah Kesebalas== | ||
Ia terdiri dari tiga persoalan: | |||
< | <span id="Birinci_Mesele:"></span> | ||
=== | ===Persoalan Pertama=== | ||
Sunnah Rasul berasal dari tiga sumber, yaitu perkataan, perbuatan, dan keadaan beliau. Tiga sumber ini juga terbagi lagi menjadi tiga, yaitu wajib, sunnah, dan adat yang merupakan kebiasaan beliau. Hal yang wajib tentu saja harus diikuti. | |||
Jika diabaikan atau diting- galkan, maka akan mengakibatkan azab dan hukuman. Sementara sunnah Nabi yang bersifat sunnah juga dibebankan kepada kaum mukmin dengan melihat pada sejauh mana ia dianjurkan. | |||
Memang meninggalkan sunnah Nabi yang bersifat sunnah tidak menyebabkan dosa. Hanya saja, jika dikerjakan dan diikuti akan menghasilkan pahala yang besar. Mengubah dan mengganti sesuatu yang sunnah, jelas merupakan perbuatan bid’ah, serta termasuk kesesatan dan kesalahan besar. | |||
Selanjutnya, setiap kebiasaan, gerakan, dan diamnya Rasul termasuk hal yang sangat baik untuk ditiru. Sebab, pada semua itu terdapat hikmah dan manfaat yang besar, baik bagi kehidupan pribadi maupun sosial. Selain itu, tindakan yang mengikuti sunnah beliau akan mengubah adab dan kebiasaan menjadi bernilai ibadah. | |||
Ya, Beliau memiliki akhlak paling mulia, seperti disepakati oleh baik kawan maupun lawan. Beliau adalah sosok pilihan di antara seluruh umat manusia, selain sebagai pribadi yang paling dikenal semua orang. Beliau juga pribadi paling sempurna, bahkan teladan dan pembimbing paling utuh dengan melihat pada ribuan mukjizat- nya, kesaksian dunia Islam yang dibentuknya, dan kesempurnaan pribadinya yang didukung oleh hakikat al-Qur’an yang disampaikan- nya. Jutaan orang-orang mulia bisa menapaki dan mencapai derajat kesempurnaan berkat sikap mengikuti beliau hingga akhirnya mere- ka mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika demikian, tentulah sunnah Nabi dan semua tingkah lakunya adalah contoh yang paling utama untuk diteladani, petunjuk yang paling sempurna untuk diikuti, serta prinsip yang paling bijak dan aturan yang paling agung untuk dijadikan landasan hidup seorang muslim. | |||
< | Orang yang bahagia adalah yang paling intens mengikuti sunnah Nabi. Sementara orang yang tidak mengikuti sunnah akan benar-benar merugi jika sikap tidak mengikuti tadi bersumber dari kemalasan, merupakan kejahatan jika tindakannya itu bersumber dari ketidakpedulian, serta merupakan kesesatan yang nyata jika disertai dengan kritikan yang mengandung pengingkaran terhadap sunnah tersebut.(*<ref>*Lihat: al-Bukhari, al-I’tishâm, 2, al-Ahkâm, 1, al-Jihâd, 109; Muslim, al-Imârah, 33; an-Nasa’i, al-Bai`ah, 27; Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, 2/361.</ref>) | ||
</ | |||
< | <span id="İkinci_Mesele:"></span> | ||
=== | ===Persoalan Kedua=== | ||
Dalam al-Qur’an, Allah menggambarkan sifat Rasul dengan firman-Nya: | |||
“Sesungguhnya Kamu benar-benar memiliki budi pekerti yang agung.” (QS. al-Qalam [68]: 4).Sementara para sahabat yang mulia menggambarkan beliau seperti yang dinyatakan oleh Aisyah:“Akhlak beliau adalah al-Qur’an”.(*<ref>*Lihat: Muslim, Shalâtul Musâfirîn, 139; Ibnu Majah, al-Ahkâm, 14; Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, 6/91, 163, 216.</ref>)Maksudnya, Nabi merupakan contoh ideal dari akhlak terpuji yang dipaparkan oleh alQur’an. Beliau adalah sosok terbaik yang mencerminkan semua akhlak mulia tersebut. Bahkan secara fitrah, beliau memang telah tercipta di atas kemuliaan itu. | |||
</ | |||
Karena setiap perbuatan, ucapan, keadaan, dan tingkah laku Nabi seharusnya menjadi teladan bagi umat manusia, maka alangkah malang umatnya yang beriman ketika mereka melalaikan sunnah beliau. Mereka tidak memedulikan atau bahkan menggantikan dengan yang lain. Betapa malang dan menderitanya mereka. | |||
< | <span id="Üçüncü_Mesele:"></span> | ||
=== | ===Persoalan Ketiga=== | ||
Karena Rasul diciptakan dalam kondisi terbaik dan dalam bentuk rupa yang paling sempurna, maka segala gerak-gerik dan diam beliau berjalan sesuai dengan sikap pertengahan dan istikamah. Sejarah perjalanan hidup beliau yang mulia secara tegas dan jelas menerangkan bahwa beliau memiliki sikap pertengahan dan istikamah pada setiap gerak-geriknya sekaligus menghindari sikap berlebihan dan ekstrem.Ya, karena beliau dengan sempurna mengaplikasikan firman Allah yang berbunyi: | |||
“Istikamahlah (bertindaklah secara lurus) sebagaimana engkau diperintahkan...” (QS. Hûd [11]: 112), maka istikamah tampak dalam semua perbuatan, ucapan, dan tingkah lakunya secara jelas. | |||
Misalnya “kekuatan rasio” beliau selalu berjalan dalam koridor kebijaksanaan yang merupakan poros keistikamahan dan sikap pertengahan sekaligus jauh dari dua sikap ekstrem yang merusak, yaitu sikap tolol dan menipu. | |||
“Kekuatan amarah” beliau selalu berjalan dalam koridor keberanian yang luhur, yang merupakan poros keistikamahan dan sikap pertengahan. Beliau terbebas dari dua sikap ekstrem yang merusak, yaitu sikap pengecut dan tidak takut apa pun. | |||
“Kekuatan syahwat” beliau juga selalu berada dalam garis istikamah, yaitu yang terwujud dalam sifat iffah (menjaga kehormatan). Secara konsisten, kekuatan syahwat beliau berada dalam koridor sifat tersebut dengan tingkatan ishmah yang paling mulia. Sehingga beliau jauh dari dua hal ekstrem, yaitu tidak bergairah kepada wanita dan berbuat zina. | |||
Demikianlah, Nabi telah memilih sikap istikamah dalam semua sunnah beliau, dalam semua kondisi alamiah beliau, serta dalam semua hukum-hukum syariat beliau. Di sisi lain, beliau menjauhi sikap zalim, yaitu berupa ifrât dan tafrît (sikap ekstrim dari dua sisi). Bahkan beliau telah meniti jalan hemat yang jauh dari pemborosan, baik dalam berbicara, makan, maupun minum. | |||
Dalam menjelaskan masalah tersebut telah ditulis ribuan jilid buku. Hanya saja kami mencukupkan diri membahas setetes saja dari lautan yang ada. Sebab, “Orang cerdas cukup diberi isyarat”. | |||
“Ya Allah, limpahkanlah salawat atas pribadi yang memiliki seluruh akhlak mulia, yang telah memperlihatkan rahasia, “Sesungguhnya kamu benar-benar memiliki budi pekerti yang agung”, | |||
serta yang telah bersabda, “Siapa yang berpegang pada sunnahku di saat rusaknya umatku, ia mendapat pahala seratus orang yang mati syahid.” | |||
“Mereka berkata, Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami pada jalan ini. Kami tidak akan mendapat petunjuk jika sekiranya Allah tidak menunjuki kami, Sungguh para utusan Tuhan itu telah datang | |||
dengan membawa kebenaran.” | |||
سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ | سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ | ||
------ | ------ | ||
<center> [[Onuncu Lem'a]] ⇐ [[Lem'alar]] | ⇒ [[On İkinci Lem'a]] </center> | <center> [[Onuncu Lem'a/id|CAHAYA KESEPULUH]] ⇐ | [[Lem'alar/id|Al-Lama’ât]] | ⇒ [[On İkinci Lem'a/id|CAHAYA KEDUA BELAS]] </center> | ||
------ | ------ | ||
10.14, 20 Aralık 2024 itibarı ile sayfanın şu anki hâli
(Tingkatan Sunnah dan Obat Penyakit Bid’ah)
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, terasa berat olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan) bagimu, serta amat belas kasih dan penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. at-Taubah [9]: 128).
Bagian pertama dari ayat ini berisi penjelasan mengenai “konsep sunnah”. Sementara bagian kedua berisi penjelasan mengenai “tingkatan sunnah”.
“Jika mereka berpaling (dari keimanan), katakanlah, Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki arasy yang agung.” (QS. at-Taubah [9]: 129).“Katakanlah, Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian...” (QS. Ali Imrân [3]: 31)
Kami akan menjelaskan secara global “sebelas nuktah” dari sekitar seratus persoalan rinci yang terdapat pada dua ayat mulia di atas.
Nuktah Pertama
Rasulullah bersabda:
مَن۟ تَمَسَّكَ بِسُنَّتٖى عِن۟دَ فَسَادِ اُمَّتٖى فَلَهُ اَج۟رُ مِأَةِ شَهٖيدٍ
“Siapa yang mengikuti sunnahku di saat rusaknya umatku, ia akan mendapat pahala seratus orang yang mati syahid.”(*[1])
Ya, mengikuti Sunnah Nabi benar-benar memiliki nilai yang sangat tinggi. Apalagi di saat bid’ah menyebar luas. Mengikuti Sunnah dalam kondisi demikian memiliki nilai yang lebih tinggi dan lebih istimewa. Khususnya lagi, ketika umat berada dalam kerusakan. Mengikuti adab kecil dari Sunnah menunjukkan adanya ketakwaan yang agung serta iman yang kuat. Sebab, mengikuti sunnah Nabi yang suci secara langsung akan mengingatkan kita kepada Rasul yang paling agung itu. Ingatan dan kesadaran yang bersumber dari sikap mengikuti Sunnah tersebut akan berubah menjadi kesadaran akan adanya pengawasan Ilahi.
Bahkan, kebiasaan dan perbuatan alamiah yang paling sederhana seperti makan, minum, tidur, dan lainnya jika dilakukan dengan mengikuti sunnah akan berubah menjadi sebuah amal ibadah yang mendapat ganjaran pahala. Sebab, berbagai kebiasaan itu dilakukan dengan niat mengikuti Rasul sehingga yang terbayang adalah bahwa ia sedang menjalankan salah satu adab agama seraya menyadari posisi Nabi sebagai penggenggam syariat. Dari sana, kalbunya akan mengarah kepada Pembuat syariat hakiki, yaitu Allah . Sehingga ia pun akan mendapat ketenteraman, kedamaian, dan pahala ibadah.
Demikianlah, dari uraian di atas dapat dipahami bahwa siapa yang menjadikan peneladanan sunnah sebagai kebiasaannya, berarti ia telah mengubah kebiasaannya tersebut menjadi suatu ibadah sehingga ia bisa membuat semua usianya berbuah dan menghasilkan pahala.
Nuktah Kedua
Imam Rabbâni Ahmad al-Fâruq berkata, “Ketika aku melewati berbagai tahapan dalam perjalanan spiritual dan suluk rohani, aku melihat bahwa tingkatan kewalian yang paling bersinar, yang paling tinggi, yang paling lembut, yang paling aman, dan yang paling selamat adalah mereka yang melandaskan tarekatnya pada sunnah Nabi. Bahkan, para wali yang masih pemula yang berada di tingkatan tersebut tampak lebih mulia daripada wali khawas yang ada pada tingkatan lainnya.”(*[2])
Ya, Imam Rabbâni, sang pembaharu milenium kedua ini, telah berkata benar. Mereka yang menjadikan sunnah sebagai landasannya akan meraih tingkat mahbûbîyah (dicintai Allah) dalam naungan sosok yang dikasihi-Nya, Nabi.
Nuktah Ketiga
Ketika Said yang fakir ini, berusaha keluar dari kondisi “Said Lama”(*[3])akal dan kalbuku berguncang menghadapi terpaan “badai” yang menakutkan. Aku merasa seolah-olah akal dan kalbuku bergejolak. Kadangkala jatuh dari langit yang tinggi ke permukaan bumi atau sebaliknya, kadangkala naik dari bumi ke langit. Hal itu terjadi sebagai akibat dari ketiadaan pembimbing dan akibat tipuan nafsu ammârah.
Pada saat itulah, aku menyadari bahwa semua sunnah Nabi, bahkan dalam hal yang sederhana sekalipun, berposisi seperti kompas yang menuntun arah laju pada kapal. Semuanya seperti sakelar lampu yang menerangi jalan-jalan gelap yang tak terhingga banyaknya.
Ketika aku menyadari bahwa dalam perjalanan spiritual tersebut kadangkala aku terperosok di bawah himpitan berbagai kesulitan dan beban berat, pada saat itu pula aku merasa ringan karena mengikuti sunnah-sunnah Nabi yang terkait dengan kondisi tersebut. Seolah-olah ia melenyapkan semua beban tersebut. Lewat sikap pasrah untuk mengikuti sunnah, aku bisa selamat dari berbagai bisikan, keraguan, dan rasa was-was seperti, “Apakah aktivitas ini bermanfaat? Apakah ia berada di jalur yang benar?” Sebaliknya, ketika aku mengabaikan sunnah, maka gelombang kesulitan itu bertambah dahsyat dan jalan-jalan yang tak dikenal pun menjadi bertambah sulit dan samar.
Selain itu, beban yang ada menjadi berat, sementara aku betul- betul lemah, pandanganku menjadi sangat terbatas, dan jalannya menjadi gelap. Ketika aku berpegang kepada sunnah, ketika itu pula jalan di depanku menjadi terang dan tampak sebagai jalan yang aman dan selamat. Serta, beban yang ada menjadi ringan dan rintangannya pun menjadi sirna.Ya, seperti itulah yang kurasakan saat itu sehingga aku mengakui kebenaran pernyataan Imam Rabbâni di atas.
Nuktah Keempat
Pada suatu ketika, aku sempat tenggelam dalam “kondisi spiritual” yang bersumber dari perenungan terhadap râbitatul maût, keyakinan bahwa “mati itu pasti”, dan refleksi yang panjang terhadap fananya dunia. Ketika itu, aku merasa berada dalam alam yang ajaib. Aku saksikan diriku seolah-olah seonggok jenazah yang berada di hadapan tiga jenazah penting dan besar. Yaitu:
Pertama: Jenazah semua makhluk hidup yang terkait dengan kehidupan pribadiku, dan yang telah mati, telah berlalu, serta telah terkubur di kuburan masa lalu. Sementara aku hanyalah laksana batu nisan di atas jenazah tersebut.
Kedua: Jenazah besar yang mencakup keseluruhan spesies makhluk hidup yang terkait dengan kehidupan seluruh umat manusia, serta yang mati dan dikubur di kuburan masa lalu yang meliputi seluruh bumi. Sementara aku hanyalah satu titik yang segera lenyap dan seekor semut kecil yang segera mati pada wajah masa ini, yang tidak lain adalah batu nisan jenazah tersebut.
Ketiga: Jenazah besar yang mencakup alam ini saat kiamat tiba. Karena kematian alam semesta merupakan perkara yang pasti terjadi, maka dalam pandanganku ia merupakan realitas yang terjadi saat ini. Aku pun terperanjat melihat kedahsyatan sakarat yang dialami jenazah besar itu. Selain itu, tampak olehku kematianku yang pasti akan kualami, seolah-olah terjadi sekarang ini. Semua entitas dan seluruh yang dicintai berbalik dan pergi dariku dan meninggalkan aku sesuai dengan rahasia firman Allah dalam al-Qur’an: “Jika mereka berpaling...” (QS. at-Taubah [9]: 129). Aku merasa seo- lah-olah jiwaku digiring ke masa depan yang terbentang menuju keabadian, yang tampak seperti samudra yang tak bertepi. Dan mau tak mau jiwa ini harus jatuh ke dalam samudra itu.
Di saat aku berada dalam kegoncangan spiritual dan kesedihan mendalam yang menjerat kalbu, tiba-tiba bantuan dari al-Qur’an dan iman datang kepadaku. Al-Qur’an menghiburku dengan firman-Nya: “Jika mereka berpaling, maka katakan: Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia; hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki Arasy yang agung.” (QS. at-Taubah [9]: 129)Ayat ini pun kemudian bagaikan perahu penyelamat yang mem- berikan kedamaian dan ketenangan. Akhirnya, jiwa ini menjadi aman dan tenteram dalam naungan ayat yang mulia itu. Pada saat tersebut, aku memahami bahwa ada makna implisit (isyarat) yang dikandung oleh ayat di atas selain makna eksplisitnya. Makna itu menghibur jiwa, sehingga aku mendapat ketenteraman dan kebahagiaan.
Ya, makna eksplisit dari ayat tersebut menegaskan kepada Rasulullah, “Jika kaum yang sesat itu enggan mendengar al-Qur’an serta berpaling dari syariat dan sunnahmu, tidak usah kau bersedih dan risau. Katakanlah, “Cukuplah Allah bagiku”. Dia yang mencuku- piku dan aku pun pasrah kepada-Nya. Dialah yang menjamin akan menggantikan kalian dengan orang-orang yang mau mengikutiku. Arasy-Nya yang agung meliputi segala sesuatu. Tak ada pembangkang yang bisa lari dari-Nya. Serta, orang-orang yang meminta bantuan-Nya pasti akan dibantu-Nya.” Jika makna eksplisit ayat di atas menyebutkan hal tersebut, maka makna implisitnya berbunyi sebagai berikut:
“Wahai manusia, wahai yang menggenggam tongkat kepem- impinan dan petunjuk bagi manusia, andai semua entitas meninggalkanmu dan lenyap dalam kefanaan, andai semua makhluk hidup berpisah denganmu dan menuju jalan kematian, andai seluruh manusia pergi meninggalkanmu dan mendiami pekuburan, andai mereka yang lalai dan sesat berpaling tak mau mendengarkanmu serta terperosok ke dalam kegelapan, tidak usah pedulikan mereka dan janganlah kau risau! Tetapi ucapkan, “Cukuplah Allah bagiku. Dialah Dzat Yang Maha mencukupiku. Karena Dia eksis, segala sesuatu pun menjadi eksis.” Karena itu, mereka yang telah pergi sebenarnya tidak menuju ketiadaan, tapi pergi menuju kerajaan lain milik Tuhan Pemelihara alam semesta. Sebagai gantinya, Dia akan mengirim pasu- kan yang tak terhitung banyaknya. Kemudian, mereka yang mendiami kuburan sebenarnya tidak musnah. Namun berpindah ke alam lain. Lalu sebagai ganti dari mereka, Allah akan mengutus petugas lain yang akan menyelesaikan tugas yang ada. Dialah Yang berkuasa mengirim orang-orang yang taat meniti jalan yang lurus sebagai ganti dari kaum yang tersesat yang telah pergi dari dunia ini.Dengan demikian, Dia adalah Wakil dan Pengganti dari segala sesuatu. Sementara segala sesuatu tidak mungkin mengganti- kan-Nya, serta tidak mungkin bisa menggantikan salah satu bagian dari kelembutan dan kasih sayang-Nya terhadap para makhluk dan para hamba.”
Demikianlah tiga gambaran jenazah yang kudapat dari makna simbolis di atas berubah menjadi bentuk lain yang indah, yaitu bahwa seluruh entitas saling mengisi. Mereka datang dan pergi dalam sebuah perjalanan besar. Ada yang mengakhiri tugas, ada pula yang melanjutkan kewajiban yang terus terbaharui. Hal itu terjadi lewat sebuah wisata yang penuh hikmah, piknik yang penuh pelajaran, dan sebuah perjalanan yang penting dalam naungan pengaturan Sang Mahabijak, Maha Pengasih, Maha Adil, Maha Berkuasa yang memiliki keagungan, serta dalam lingkup pemeliharaan Tuhan Yang Agung, kebijaksanaan-Nya yang mendalam, dan rahmat-Nya yang luas.
Nuktah Kelima
Allah berfirman: “Katakanlah: Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian.” (QS. Âli Imrân [3]: 31) Ayat yang mulia ini secara tegas menyatakan betapa pentingnya dan betapa perlunya mengikuti sunnah Nabi. Ayat al-Qur’an tersebut berisi analogi yang paling tepat dan paling jelas dalam standar logika.
Contoh dari jenis analogi semacam itu adalah, “Jika matahari terbit, akan ada siang.” Konklusi positif dari pernyataan itu adalah, “Matahari terbit, maka siang pun ada.” Sementara konklusi negasi- nya adalah, “Siang tak ada, berarti matahari tak terbit.” Dua konklusi tersebut dikenal dan jelas dalam ilmu logika.
Demikian halnya dengan ayat tersebut. Ia menegaskan, “Jika kalian memiliki rasa cinta kepada Allah, kalian harus mengikuti kekasih-Nya. Jika tidak mau mengikutinya, berarti kalian tidak mencintai Allah. Sebab, kalau benar-benar ada rasa cinta, pasti rasa cinta itu melahirkan sikap peneladanan terhadap sunnah kekasih-Nya.”
Ya, orang yang beriman kepada Allah pasti menaati-Nya. Dan tak diragukan lagi, jalan yang paling singkat, yang paling bisa diterima, dan yang paling lurus di antara jalan ketaatan yang bisa mengantarkan manusia kepada-Nya adalah jalan yang ditempuh dan dijelaskan oleh kekasih Allah, yaitu Muhammad.
Sang Maha Pemurah, Pemilik keindahan, Yang telah memenuhi alam ini dengan berbagai nikmat dan karunia berlimpah, sangat layak mendapatkan rasa syukur dari mereka yang menyadari segala nikmat tersebut.
Sang Mahabijaksana Yang Agung yang telah menghiasi alam ini dengan berbagai mukjizat ciptaan-Nya tentu akan mengangkat orang pilihan dan istimewa sebagai penerima wahyu- Nya, penerjemah perintah-perintah-Nya, penyampai kepada para hamba-Nya, dan pemimpin bagi mereka.
Sang Mahaindah, Pemilik kesempurnaan, yang telah menjadikan alam ini sebagai manifestasi dari keindahan dan kesempurnaan-Nya yang tak terhingga tentu saja akan menganugerahkan kepada sosok yang paling menghimpun segala keindahan yang diciptakan-Nya dan paling bisa menampilkan estetika, kesempurnaan, dan nama-nama-Nya yang mulia; Dia akan memberikan kepadanya kondisi terbaik untuk menyembah kepada-Nya seraya menjadikan- nya sebagai teladan terbaik bagi orang lain dan mendorong mereka untuk mengikutinya. Hal itu dimaksudkan agar kelembutan dan keindahan-Nya tampak bagi mereka.
Kesimpulan: Cinta kepada Allah menghendaki adanya sikap mengikuti sunnah Nabi. Karena itu, berbahagialah mereka yang bisa mengikuti beliau. Sebaliknya, celakalah mereka yang tidak menghargai sunnah Nabi sehingga ia kemudian jatuh ke dalam perkara bid’ah.
Nuktah Keenam
Rasulullah bersabda:
“Setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan adalah di neraka”.(*[4])
Artinya, sesudah kaidah-kaidah syariat yang mengagumkan dan prinsip-prinsip sunnah yang suci itu terwujud dalam bentuk yang sempurna seperti yang ditunjukkan oleh bunyi firman Allah:“Pada hari ini telah kusempurnakan untukmu agamamu...” (QS. al-Maidah [5]: 3), maka menyepelekan prinsip-prinsip sunnah dengan melakukan sesuatu yang baru, atau menciptakan berbagai bid’ah yang mengisyaratkan kekurangan kaidah tadi merupakan sebuah kesesatan yang tempatnya adalah neraka.
Sunnah Nabi mempunyai beberapa tingkatan: Ada yang bersifat “wajib” yang tak boleh ditinggalkan. Jenis ini dijelaskan dalam syariat secara rinci. Ia termasuk al-muhkamât (perkara yang sudah jelas dan tegas). Artinya, ia sama sekali tidak bisa diganti atau diubah.Lalu, ada Sunnah Nabi yang bersifat “sunnah”. Ia terbagi lagi menjadi dua: 1. Sunnah-sunnah Nabi yang terkait dengan masalah ibadah. Ini juga dijelaskan dalam kitab-kitab syariat. Mengubah sunnah jenis ini termasuk perbuatan bid’ah. 2. Sunnah Nabi yang disebut dengan adab. Sunnah jenis ini dijabarkan dalam buku-buku sejarah perjalanan hidup beliau yang agung. Sikap yang berseberangan dengan adab tersebut tidaklah dipandang sebagai bid’ah. Hanya saja, sikap tersebut menyalahi adab Nabi, tidak mendapatkan limpahan cahayanya, serta tidak sesuai dengan adab yang hakiki. Cara mengaplikasikan sunnah Nabi jenis ini adalah dengan mengikuti segala perbuatan Rasul yang mutawatir terkait dengan adat, kebi- asaan, maupun interaksi alamiahnya.
Misalnya sunnah yang menerangkan tentang tata cara berbicara, makan, minum, tidur, atau yang terkait dengan pergaulan. Siapa yang berupaya memperhatikan dan mengikuti sunnah-sunnah beliau yang disebut dengan adab tadi, berarti ia telah mengubah kebiasaan- nya menjadi ibadah, sekaligus menyerap cahaya adab Nabi .
Sebab, sikap memperhatikan adab yang paling sederhana atau yang paling kecil sekalipun akan mengingatkan kita kepada sosok Rasul yang agung, sehingga akan memantulkan cahaya ke dalam kalbu.Dalam hal ini, sunnah Nabi yang paling penting adalah sunnah Nabi yang menjadi perlambang dan syiar-syiar Islam. Sebab, syiar-syiar tersebut merupakan ibadah umum yang berhubungan dengan masyarakat. Jika dilakukan, ia akan bermanfaat bagi seluruh masyarakat. Sementara jika ditinggalkan akan membuat seluruh masyarakat bertanggung jawab. Syiar-syiar semacam ini mesti ditampakkan dan riya tak masuk ke dalamnya. Ia lebih penting daripada kewajiban-kewajiban yang bersifat pribadi meskipun termasuk jenis perbuatan yang bersifat sunnah.
Nuktah Ketujuh
Sunnah Nabi yang suci tersebut pada hakikatnya merupakan adab yang agung. Setiap detail persoalan di dalamnya pasti mengan- dung adab dan cahaya. Rasul bersabda:“Tuhanku telah mengajarkan adab padaku dan Dia telah memperbagus adabku.”(*[5])Ya, siapa yang memperhatikan secara saksama sejarah perjalanan hidup Nabi dan mempelajari sunnah beliau yang suci, pasti akan mengetahui dengan yakin bahwa Allah telah mengumpul- kan seluruh pokok-pokok dan kaidah-kaidah adab pada diri Nabi. Sehingga, orang yang meninggalkan sunnahnya berarti telah meninggalkan adab tadi. Akibatnya, ia terhalang dari kebaikan yang besar, tidak mendapat kelembutan Tuhan yang Maha Pemurah, serta terperosok dalam adab yang buruk.
Pertanyaan: Bagaimana cara menampilkan adab di hadapan Dzat Yang Maha Mengetahui hal yang gaib, Yang Maha Melihat, Yang tak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya? Sebab, ada beberapa kondisi yang membuat manusia merasa malu dan kondisi itu tidak mungkin disembunyikan dari-Nya, sementara menyembunyikan kondisi-kondisi yang tak disukai semacam itu termasuk adab pula.
Jawaban:
Pertama, sebagaimana Allah Sang Maha Pencipta Yang Agung ingin memperlihatkan ciptaan-Nya dengan bentuk yang indah dalam pandangan makhluk-Nya, meletakkan hal-hal yang tidak disukai dalam tirai hijab-Nya, serta menghiasi nikmat-nikmat-Nya agar disenangi oleh penglihatan manusia, maka Allah juga meminta kepa- da para makhluk dan hamba-Nya untuk tampil dalam bentuk terbaik. Sebab, kalau mereka tampil dalam kondisi yang buruk, maka hal itu bertentangan dengan adab yang indah serta bertentangan dengan kesucian nama-nama-Nya, seperti Yang Mahaindah, Yang Maha Menghiasi, Yang Mahalembut, dan Yang Mahabijaksana.
Demikianlah, adab-adab yang terdapat dalam sunnah Nabi merupakan ekspresi adab yang suci seperti yang terkandung dalam nama-nama Tuhan yang mulia.
Kedua, seorang dokter tentu diperbolehkan untuk melihat bagian-bagian tubuh pasien yang terlarang dilihat dari perspektif pengobatan. Bahkan dalam kondisi darurat, ia boleh menyingkap bagian tubuh tersebut. Tindakan tersebut tidak dianggap sebagai tindakan yang melanggar adab. Tetapi dianggap sebagai konsekuensi dari sebuah pengobatan. Hanya saja, dokter tersebut tidak boleh melihat bagian-bagian terlarang tadi dalam kapasitasnya sebagai orang biasa, juru nasihat, atau ulama. Ia dilarang keras untuk menyingkap bagian tubuh tersebut jika dalam kondisi seperti tadi. Bahkan, tinda- kan tersebut termasuk tindakan yang tidak punya rasa malu.
Demikian halnya dengan Allah , tanpa menyerupakan Dia dengan apa dan siapa pun. Dia, Sang Pencipta Yang Agung, memiliki banyak nama yang baik. Setiap nama mempunyai tampilan sendiri. Misalnya, nama al-Ghaffâr (Yang Maha Mengampuni) menghendaki adanya dosa, nama as-Sattâr (Yang Maha Menutupi) mengharuskan adanya kesalahan, maka nama al-Jamîl (Yang Mahaindah) menun- jukkan bahwa Tuhan tidak senang melihat keburukan. Nama-nama Tuhan yang indah seperti al-Lathîf (Yang Ma- halembut), al-Karîm (Yang Mahamulia), al-Hakîm (Yang Mahabijaksana), dan ar-Rahîm (Yang Maha Pengasih) mengharuskan semua entitas tampil dalam bentuk yang paling bagus dan kondisi yang sebaik-baiknya. Nama-nama yang indah dan sempurna itu meng- haruskan adanya penampakan keindahan-Nya dengan memberikan berbagai atribut indah pada setiap entitas serta bagaimana mere- ka memiliki adab-adab yang mulia di hadapan para malaikat, para makhluk spiritual, jin, dan manusia.
Demikianlah, adab-adab yang terdapat dalam sunnah Nabi menjadi petunjuk atas adab-adab yang mulia tersebut berikut prinsip dan contoh-contohnya.
Nuktah Kedelapan
Allah berfirman: “Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri...” (QS. at-Taubah [9]: 128). Ayat di atas menunjukkan kesempurnaan kasih sayang Rasul terhadap umatnya. Sementara ayat berikutnya: “Maka jika mereka berpaling (dari keimanan), katakanlah (Muhammad), ‘Cukuplah Allah bagiku’...” (QS. at-Taubah [9]: 129). Ayat tersebut menegaskan: “Wahai manusia, wahai kaum mus- limin, ketahuilah! Sungguh kalian tidak memiliki perasaan dan akal apabila kalian berpaling dari sunnah Nabi yang sangat penyayang ini serta berpaling dari hukum-hukum yang beliau sampaikan. Sebab, sikap tersebut berarti mengingkari sifat belas kasih beliau yang sangat jelas dan menentang sifat sayang beliau yang begitu nyata. Dialah sosok yang telah memberikan petunjuk kepada kalian dengan kasihnya yang luas. Dialah yang telah mencurahkan apa yang diberikan kepadanya demi kemaslahatan kalian seraya mengobati luka-luka yang ada pada kalian dengan balsam sunnah yang suci dan dengan hukum-hukum yang dibawanya.
“Sementara engkau, wahai Rasul yang pengasih dan penyayang, apabila mereka tidak mengetahui kasih sayangmu yang besar itu karena kebodohan mereka, serta apabila mereka tidak menghargai cintamu yang luas ini lalu berpaling; tidak peduli denganmu, maka jangan hiraukan mereka serta jangan engkau risau. Tuhan Pemeliharan arasy yang agung; Yang menguasai tentara langit dan bumi; dan Yang kekuasaan rububiyah-Nya mencakup arasy agung yang meliputi segala sesuatu, telah cukup bagimu. Dia akan mengumpulkan di sekitarmu orang-orang yang taat kepadamu, serta menjadikan mereka sebagai orang-orang yang mau mendengarkanmu dan ridha dengan hukummu.”
Ya, tidak ada satu pun perkara dalam syariat dan sunnah Nabi melainkan mengandung berbagai hikmah. Aku yang fakir ini mengakui hal tersebut dengan segala kekuranganku. Aku siap membuktikan pernyataanku ini. Apa yang telah kutulis hingga saat ini, yaitu lebih dari tujuh puluh risalah ibarat tujuh puluh saksi jujur terhadap hikmah dan hakikat yang dikandung oleh sunnah dan syariat Nabi Muhammad . Andaikan topik tersebut diberi penilaian, lalu ditulis tujuh puluh risalah bahkan tujuh ribu risalah sekalipun, niscaya tak- kan cukup menampung semua hikmah yang ada di dalamnya.
Selain itu, aku telah merasakan dan menyaksikan secara langsung, bahkan aku memiliki seribu pengalaman bahwa prin- sip-prinsip persoalan syariat dan sunnah Nabi merupakan obat terbaik dan paling mujarab untuk berbagai penyakit rohani, mental, dan kalbu. Terutama yang terkait dengan aspek sosial kemasyarakatan. Lewat penyaksian dan perasaan yang kualami, aku nyatakan hal ini. Dalam sejumlah risalah, aku telah membuat yang lainnya ikut merasakan sebagian darinya bahwa masalah-masalah filsafat dan hikmah tidak bisa menggantikan posisi persoalan tersebut. Bagi mereka yang meragukan pernyataanku ini, bisa menelaah kembali beberapa bagian dari Risalah Nur.
Dengan mengikuti sunnah Nabi semampu mungkin, kita akan mendapatkan keuntungan yang besar, kebahagiaan hidup yang abadi, serta kesuksesan di dunia.
Nuktah Kesembilan
Mengikuti setiap jenis sunnah Nabi secara keseluruhan hanya dapat dilaksanakan oleh orang-orang pilihan yang istimewa. Namun, setiap orang bisa mengikutinya dengan niat dan tekad untuk berkomitmen dan menerimanya. Seperti telah diketahui bersama, kita harus berkomitmen dalam menjalankan sunnah yang bersifat wajib. Sementara sunnah yang bersifat sunnah jika ditinggalkan dan diabaikan, meskipun tidak berdosa, merupakan tindakan menyianyiakan ganjaran yang besar, serta jika diubah akan menjadi kesalahan besar. Adapun sunnah Nabi yang terkait dengan persoalan adat dan muamalah, jika diikuti akan mengubah adat tersebut menjadi sebuah ibadah. Orang yang meninggalkannya memang tidak tercela, hanya saja dengan begitu ia tidak mendapat cahaya kehidupan kekasih Allah, Nabi.
Adapun perbuatan bid’ah adalah tindakan membuat-buat hal baru dalam urusan ibadah. Tindakan tersebut tentu saja tertolak, sebab bertentangan dengan ayat yang berbunyi:“Pada hari ini telah kusempurnakan untukmu agamamu...” (QS. al-Maidah [5]: 3).Tetapi, jika hal-hal baru itu terkait dengan masalah wirid, zikir, dan bacaan—seperti yang terdapat dalam tarekat sufiia tidak termasuk bid’ah selama landasan utamanya terambil dari al-Qur’an dan Sunnah. Yaitu yang memenuhi syarat dengan tidak menyalahi dan mengubah sunnah Nabi. Memang ada sebagian ulama yang memasukkan sebagian dari hal semacam itu sebagai bid’ah. Namun mereka menyebutnya sebagai “bid’ah hasanah”.
Hanya saja, Imam Rabbâni berpendapat, “Dalam perjalananku mengarungi suluk rohani, aku melihat bahwa bacaan-bacaan yang bersumber dari Rasul memantulkan kilau dan cahaya berkat pancaran sunnah beliau. Sedangkan wirid-wirid yang hebat dan keadaan menakjubkan yang tidak bersumber dari beliau sama sekali tidak memantulkan kilau dan cahaya tersebut. Dari sini aku kemudian memahami bahwa pancaran cahaya sunnah merupakan eliksir(*[6]) atau obat yang ampuh. Sunnah telah cukup bagi mereka yang mencari cahaya. Jadi, tidak perlu lagi mencari cahaya diluar itu.” Pernyataan sang tokoh ahli hakikat dan syariat ini menjelaskan kepada kita bahwa sunnah merupakan pilar utama kebahagiaan seseorang, baik di dunia maupun di akhirat.
Selain itu, ia merupakan sumber kesempurnaan dan kebaikan.
Ya Allah, karuniakanlah kepada kami kemampuan untuk mengikuti sunnah yang mulia!
“Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang Engkau turunkan dan kami telah mengikuti Rasul. Karena itu, tetapkanlah kami bersama golongan orang-orang yang memberikan kesaksian.”
Nuktah Kesepuluh
Allah berfirman: “Katakanlah: Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian.” (QS. Âli Imrân [3]: 31).Pada ayat di atas terdapat bentuk simplifikasi redaksi yang mengagumkan. Makna yang begitu banyak dirangkum hanya oleh tiga kalimat.Ayat itu menegaskan, “Jika kalian beriman kepada Allah, pasti kalian mencintai-Nya. Selama kalian mencintai-Nya, pasti kalian beramal sesuai dengan apa yang dicintai-Nya. Hal itu berarti kalian harus meneladani pribadi yang Dia cintai. Dan itu bisa terwujud dengan cara kalian mengikuti pribadi tersebut. Jika kalian mengikutinya, Allah akan cinta kepada kalian. Tentu saja kalian mencintai Allah agar juga dicintai oleh-Nya.”
Demikianlah, kalimat-kalimat di atas baru sebagian saja dari makna ringkas ayat tersebut. Bisa dikatakan bahwa tujuan utama manusia adalah menjadi orang yang pantas dicintai Allah. Redaksi ayat tersebut menunjukkan bahwa jalan menuju tujuan utama itu adalah dengan mengikuti orang yang dikasihi Allah (Nabi ) dan mengaplikasikan sunnahnya yang suci. Ketika kita mengarahkan perhatian pada tiga poin berikut, hakikat yang terkandung di dalamnya akan tampak dengan jelas.
Poin Pertama
Manusia telah diberi naluri tak terbatas untuk mencintai Sang Maha Pencipta alam. Sebab, fitrah manusia menyimpan rasa cinta pada keindahan, rasa senang pada kesempurnaan, dan rasa rindu pada kebaikan. Rasa cinta tersebut bertambah besar sesuai dengan tingkat keindahan, kesempurnaan, dan kebaikan yang ada hingga mencapai puncaknya. Ya, di dalam kalbu yang kecil milik manusia yang kerdil tertanam kerinduan sebesar alam. Kemampuan manusia untuk memindahkan dan menyimpan isi berbagai buku di sebuah perpustakaan besar ke dalam “daya hafal” yang ada di kalbunya—yang hanya sebesar biji kacang adas—menunjukkan bahwa kalbu manusia mempunyai kemampuan untuk menghimpun alam serta bisa menyimpan rasa cinta sebesar alam.
Selama fitrah manusia memiliki kecenderungan tak terhingga untuk mencintai kebaikan, keindahan, dan kesempurnaan, sementara Sang Pencipta alam memiliki keindahan suci yang tak terbatas. Hal itu secara jelas terwujud lewat tanda-tanda lahiriah yang terdapat di alam. Dia juga mempunyai kesempurnaan tak terbatas. Hal itu tampak secara nyata lewat goresan ciptaan-Nya yang terlihat jelas di dunia ini. Dia juga mempunyai kebaikan tak terhingga yang terasa dan tampak dalam karunia dan nikmat-Nya kepada seluruh makhluk. Tentu saja, Allah menuntut rasa cinta yang tak terbatas dari manu- sia yang merupakan makhluk paling sempurna penciptaannya, paling banyak kebutuhannya, paling dalam perenungannya, serta yang paling rindu kepada-Nya.
Ya, sebagaimana setiap manusia memiliki potensi luar biasa untuk mencintai Sang Pencipta Yang Agung itu, begitu juga Dia memang layak untuk dicintai karena keindahan, kesempurnaan, dan kebaikan-Nya yang tak tertandingi. Bahkan, kecintaan seorang mukmin terhadap orang-orang yang mempunyai hubungan tertentu dengannya, terutama kecintaan terhadap kehidupan dan keabadiannya, terhadap wujud dan dunianya, serta terhadap diri dan seluruh entitas, tidak lain merupakan pancaran dari potensi cintanya kepada Tuhan.
Seperti kita ketahui, sebagaimana manusia menikmati kebahagiaan pribadinya, ia juga menikmati kebahagiaan orang-orang yang mempunyai hubungan dengannya. Selain itu, sebagaimana ia mencintai Dzat yang telah menolongnya dari bencana, ia juga mencintai Dzat yang telah menyelamatkan orang-orang yang ia cintai dari berbagai musibah.
Demikianlah, ketika jiwa manusia menyadari karunia Allah lalu berpikir tentang satu kebaikan saja dari kebaikan-Nya yang tak terhitung, pasti ia akan merenung sebagai berikut:“Penciptaku yang telah menyelamatkanku dari gelapnya kefanaan abadi, memberiku anugerah penciptaan dan wujud, serta menghadiahkan sebuah kehidupan yang indah sehingga aku bisa menikmati keindahan di muka bumi ini. Dia juga akan menyelamat- kanku dari gelapnya ketiadaan dan kefanaan abadi ketika ajalku tiba. Dia akan memberikan sebuah alam abadi yang cemerlang di alam baka di akhirat nanti. Selain itu, Dia akan menganugerahkan kepadaku indra dan perasaan, yang bersifat lahiriah maupun batiniah, agar aku bisa menikmati dan merasakan perpindahan di antara berbagai jenis kenikmatan yang terdapat di alam yang indah dan suci itu.“Selanjutnya, Allah juga akan menjadikan semua kerabat dan semua anak keturunanku yang kucintai serta yang mempunyai hubungan dekat denganku sebagai orang-orang yang layak menerima berbagai karunia dan kebaikan-Nya yang tak terhingga. Di satu sisi kebaikan tersebut juga kembali kepadaku. Sebab, aku juga turut merasakan kebahagiaan mereka.”
Selama dalam diri manusia terdapat kecintaan dan kerinduan yang mendalam terhadap kebaikan seperti bunyi sebuah pepatah, “Manusia adalah pemuja kebaikan”, maka setiap kali mendapat kebaikan abadi yang tak terhingga, ia akan berucap, “Andaikata aku memiliki kalbu seluas alam, tentu akan kuisi dengan rasa cinta dan rindu terhadap kebaikan Ilahi itu. Aku ingin mengisi kalbuku dengannya. Namun, meski aku belum mencapai tingkat cinta yang semacam itu, aku tetap layak untuk memilikinya dengan bermodal- kan kesiapan, keyakinan, niat, penerimaan, penghormatan, kerinduan, komitmen, dan kemauan.”Demikianlah, kecintaan manusia terhadap keindahan dan kesempurnaan harus diukur dengan kecintaannya terhadap kebaikan Tuhan seperti yang telah kami terangkan secara global. Adapun orang kafir, mereka menyimpan rasa permusuhan tak terbatas. Bahkan, memusuhi dan meremehkan alam semesta berikut entitasnya.
Poin Kedua
Sesungguhnya kecintaan kepada Allah menghendaki adanya sikap mengikuti sunnah Nabi Muhammad. Sebab, kecintaan kepada Allah baru terwujud dengan melakukan perbuatan yang diridhai oleh-Nya. Sementara itu, ridha-Nya dalam bentuk yang paling utama tampak pada pribadi Muhammad. Meneladani pribadi beliau yang penuh berkah dalam hal gerakan ataupun perbuatan, bisa terwujud dengan dua aspek:
1. Aspek cinta kepada Allah, menaati segala perintah-Nya, dan berbuat sesuai dengan ridha-Nya. Aspek ini mengharuskan kita mengikuti Nabi. Sebab, pemimpin yang paling sempurna dalam urusan tersebut adalah Muhammad.
2. Aspek pribadi Nabi Muhammad yang merupakan perantara yang paling mulia bagi umat manusia untuk mendapatkan kebaikan Ilahi yang tak terhingga. Tentu saja, beliau layak mendapatkan cinta yang tak terkira atas nama dan karena Allah.Secara fitrah, manusia mempunyai keinginan untuk mencontoh sosok yang dicintainya semampu mungkin. Maka, mereka yang berusaha mencintai kekasih Allah, haruslah berupaya meneladani dan mencontoh beliau dengan cara mengikuti semua sunnahnya yang mulia.
Poin Ketiga
Sebagaimana Allah mempunyai rahmat yang tak terhingga, Dia juga memiliki kecintaan yang tak terkira. Sebagaimana Allah membuat diri-Nya dicintai dalam bentuk yang tak terbatas dengan keindahan yang terdapat pada alam semesta, Dia juga mencintai seluruh makhluk-Nya, terutama mereka yang memiliki perasaan yang mere- spon cinta Tuhan dengan cinta dan pengagungan. Karena itu, tujuan tertinggi manusia terletak pada sesuatu yang diridhai Tuhan serta usaha termulia manusia adalah bagaimana caranya agar ia dicintai oleh-Nya; Dzat yang telah menciptakan surga dengan segala kelembutan, kebaikan, kenikmatan, dan karunia-Nya lewat manifestasi rahmat-Nya.
Karena cinta-Nya hanya bisa didapatkan dengan mengikuti sunnah Muhammad seperti disebutkan oleh firman Allah di atas, maka mengikuti sunah Muhammad merupakan tujuan termulia sekaligus merupakan tugas terpenting manusia.
Nuktah Kesebalas
Ia terdiri dari tiga persoalan:
Persoalan Pertama
Sunnah Rasul berasal dari tiga sumber, yaitu perkataan, perbuatan, dan keadaan beliau. Tiga sumber ini juga terbagi lagi menjadi tiga, yaitu wajib, sunnah, dan adat yang merupakan kebiasaan beliau. Hal yang wajib tentu saja harus diikuti.
Jika diabaikan atau diting- galkan, maka akan mengakibatkan azab dan hukuman. Sementara sunnah Nabi yang bersifat sunnah juga dibebankan kepada kaum mukmin dengan melihat pada sejauh mana ia dianjurkan.
Memang meninggalkan sunnah Nabi yang bersifat sunnah tidak menyebabkan dosa. Hanya saja, jika dikerjakan dan diikuti akan menghasilkan pahala yang besar. Mengubah dan mengganti sesuatu yang sunnah, jelas merupakan perbuatan bid’ah, serta termasuk kesesatan dan kesalahan besar.
Selanjutnya, setiap kebiasaan, gerakan, dan diamnya Rasul termasuk hal yang sangat baik untuk ditiru. Sebab, pada semua itu terdapat hikmah dan manfaat yang besar, baik bagi kehidupan pribadi maupun sosial. Selain itu, tindakan yang mengikuti sunnah beliau akan mengubah adab dan kebiasaan menjadi bernilai ibadah.
Ya, Beliau memiliki akhlak paling mulia, seperti disepakati oleh baik kawan maupun lawan. Beliau adalah sosok pilihan di antara seluruh umat manusia, selain sebagai pribadi yang paling dikenal semua orang. Beliau juga pribadi paling sempurna, bahkan teladan dan pembimbing paling utuh dengan melihat pada ribuan mukjizat- nya, kesaksian dunia Islam yang dibentuknya, dan kesempurnaan pribadinya yang didukung oleh hakikat al-Qur’an yang disampaikan- nya. Jutaan orang-orang mulia bisa menapaki dan mencapai derajat kesempurnaan berkat sikap mengikuti beliau hingga akhirnya mere- ka mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika demikian, tentulah sunnah Nabi dan semua tingkah lakunya adalah contoh yang paling utama untuk diteladani, petunjuk yang paling sempurna untuk diikuti, serta prinsip yang paling bijak dan aturan yang paling agung untuk dijadikan landasan hidup seorang muslim.
Orang yang bahagia adalah yang paling intens mengikuti sunnah Nabi. Sementara orang yang tidak mengikuti sunnah akan benar-benar merugi jika sikap tidak mengikuti tadi bersumber dari kemalasan, merupakan kejahatan jika tindakannya itu bersumber dari ketidakpedulian, serta merupakan kesesatan yang nyata jika disertai dengan kritikan yang mengandung pengingkaran terhadap sunnah tersebut.(*[7])
Persoalan Kedua
Dalam al-Qur’an, Allah menggambarkan sifat Rasul dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya Kamu benar-benar memiliki budi pekerti yang agung.” (QS. al-Qalam [68]: 4).Sementara para sahabat yang mulia menggambarkan beliau seperti yang dinyatakan oleh Aisyah:“Akhlak beliau adalah al-Qur’an”.(*[8])Maksudnya, Nabi merupakan contoh ideal dari akhlak terpuji yang dipaparkan oleh alQur’an. Beliau adalah sosok terbaik yang mencerminkan semua akhlak mulia tersebut. Bahkan secara fitrah, beliau memang telah tercipta di atas kemuliaan itu.
Karena setiap perbuatan, ucapan, keadaan, dan tingkah laku Nabi seharusnya menjadi teladan bagi umat manusia, maka alangkah malang umatnya yang beriman ketika mereka melalaikan sunnah beliau. Mereka tidak memedulikan atau bahkan menggantikan dengan yang lain. Betapa malang dan menderitanya mereka.
Persoalan Ketiga
Karena Rasul diciptakan dalam kondisi terbaik dan dalam bentuk rupa yang paling sempurna, maka segala gerak-gerik dan diam beliau berjalan sesuai dengan sikap pertengahan dan istikamah. Sejarah perjalanan hidup beliau yang mulia secara tegas dan jelas menerangkan bahwa beliau memiliki sikap pertengahan dan istikamah pada setiap gerak-geriknya sekaligus menghindari sikap berlebihan dan ekstrem.Ya, karena beliau dengan sempurna mengaplikasikan firman Allah yang berbunyi: “Istikamahlah (bertindaklah secara lurus) sebagaimana engkau diperintahkan...” (QS. Hûd [11]: 112), maka istikamah tampak dalam semua perbuatan, ucapan, dan tingkah lakunya secara jelas.
Misalnya “kekuatan rasio” beliau selalu berjalan dalam koridor kebijaksanaan yang merupakan poros keistikamahan dan sikap pertengahan sekaligus jauh dari dua sikap ekstrem yang merusak, yaitu sikap tolol dan menipu.
“Kekuatan amarah” beliau selalu berjalan dalam koridor keberanian yang luhur, yang merupakan poros keistikamahan dan sikap pertengahan. Beliau terbebas dari dua sikap ekstrem yang merusak, yaitu sikap pengecut dan tidak takut apa pun.
“Kekuatan syahwat” beliau juga selalu berada dalam garis istikamah, yaitu yang terwujud dalam sifat iffah (menjaga kehormatan). Secara konsisten, kekuatan syahwat beliau berada dalam koridor sifat tersebut dengan tingkatan ishmah yang paling mulia. Sehingga beliau jauh dari dua hal ekstrem, yaitu tidak bergairah kepada wanita dan berbuat zina.
Demikianlah, Nabi telah memilih sikap istikamah dalam semua sunnah beliau, dalam semua kondisi alamiah beliau, serta dalam semua hukum-hukum syariat beliau. Di sisi lain, beliau menjauhi sikap zalim, yaitu berupa ifrât dan tafrît (sikap ekstrim dari dua sisi). Bahkan beliau telah meniti jalan hemat yang jauh dari pemborosan, baik dalam berbicara, makan, maupun minum. Dalam menjelaskan masalah tersebut telah ditulis ribuan jilid buku. Hanya saja kami mencukupkan diri membahas setetes saja dari lautan yang ada. Sebab, “Orang cerdas cukup diberi isyarat”.
“Ya Allah, limpahkanlah salawat atas pribadi yang memiliki seluruh akhlak mulia, yang telah memperlihatkan rahasia, “Sesungguhnya kamu benar-benar memiliki budi pekerti yang agung”,
serta yang telah bersabda, “Siapa yang berpegang pada sunnahku di saat rusaknya umatku, ia mendapat pahala seratus orang yang mati syahid.”
“Mereka berkata, Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami pada jalan ini. Kami tidak akan mendapat petunjuk jika sekiranya Allah tidak menunjuki kami, Sungguh para utusan Tuhan itu telah datang dengan membawa kebenaran.”
سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
- ↑ *Lihat: At-Thabrani, al-Mu’jam al-Ausath, 5/315; Ibnu ‘Adiy, al-Kâmil, 2/327; al-Baihaqi, az-Zuhd, 118; Abu Nu’aim, Hilyatul Auliyâ, 8/200; al-Munziri, at-Targîb wa at-Tarhîb, 1/4; al-Manâwi, Faidhul Qadîr, 6/261.
- ↑ *Imam Rabbâni, al-Maktûbât, Maktub ke-260.
- ↑ *Said Lama adalah istilah yang dipergunakan oleh Ustadz Said Nursi untuk dirinya sendiri. Yaitu mengacu pada masa sebelum beliau menulis Risalah Nur (sebelum tahun 1926 M), sebelum ia mengemban misi penyelamatan iman umat, serta sebelum ia mendapat inspirasi dari pancaran cahaya al-Qur’an untuk menerbitkan Risalah Nur.
- ↑ *Lihat: Muslim, bab al-Jumu`ah, 43; Abu Daud, as-Sunnah, 5; an-Nasa’i, al-`Îdain,22; Ibnu Majah, al-Muqaddimah, 6; ad-Dârimi, al-Muqaddimah, 16 dan 23; dan al-Musnad, 3/310, 371;4/126, 127.
- ↑ *Lihat: al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 18/228; as-Silmi, Adab ash-Shi- hhah, 124; Ibnu al-Jauzi, Shifah ash-Shafwah, 1/201; al-Manâwi, Faidh al-Qadîr, 1/225; al-`Ajlûni, Kasyf al- Khafâ, 1/27.
- ↑ *Eliksir adalah zat cair yg oleh para ahli zaman dahulu (abad pertengahan) diharapkan dapat mengubah logam menjadi emas, dan dapat memperpanjang kehidupan tanpa batas (usia)—KBBI.
- ↑ *Lihat: al-Bukhari, al-I’tishâm, 2, al-Ahkâm, 1, al-Jihâd, 109; Muslim, al-Imârah, 33; an-Nasa’i, al-Bai`ah, 27; Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, 2/361.
- ↑ *Lihat: Muslim, Shalâtul Musâfirîn, 139; Ibnu Majah, al-Ahkâm, 14; Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, 6/91, 163, 216.