On Yedinci Lem'a/id: Revizyonlar arasındaki fark
("Sehingga setiap atom, setiap entitas, dan setiap yang bernyawa, semuanya ibarat prajurit dalam sebuah pasukan. Ia memiliki hubungan dan tugas yang berbeda-beda, serta mempunyai ikatan yang beraneka ragam dengan masing-masing lingkungannya. Atom yang terdapat di matamu, misalnya, ia mempunyai hubungan dengan sel-sel mata, dengan syaraf- syaraf mata yang ada di wajah, serta dengan urat-urat nadi yang terdapat di tubuh. Dengan hubungan dan ikatan tersebut,..." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) |
("------ <center> CAHAYA KEENAM BELAS ⇐ | Al-Lama’ât | ⇒ CAHAYA KEDELAPAN BELAS </center> ------" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) Etiketler: Mobil değişiklik Mobil ağ değişikliği |
||
(Aynı kullanıcının aradaki diğer 98 değişikliği gösterilmiyor) | |||
220. satır: | 220. satır: | ||
Sehingga setiap atom, setiap entitas, dan setiap yang bernyawa, semuanya ibarat prajurit dalam sebuah pasukan. Ia memiliki hubungan dan tugas yang berbeda-beda, serta mempunyai ikatan yang beraneka ragam dengan masing-masing lingkungannya. Atom yang terdapat di matamu, misalnya, ia mempunyai hubungan dengan sel-sel mata, dengan syaraf- syaraf mata yang ada di wajah, serta dengan urat-urat nadi yang terdapat di tubuh. Dengan hubungan dan ikatan tersebut, ada tugas tertentu baginya serta ada berbagai manfaat dan kemaslahatan yang didapatnya.Amatilah semua entitas yang ada dengan cara yang sama! | Sehingga setiap atom, setiap entitas, dan setiap yang bernyawa, semuanya ibarat prajurit dalam sebuah pasukan. Ia memiliki hubungan dan tugas yang berbeda-beda, serta mempunyai ikatan yang beraneka ragam dengan masing-masing lingkungannya. Atom yang terdapat di matamu, misalnya, ia mempunyai hubungan dengan sel-sel mata, dengan syaraf- syaraf mata yang ada di wajah, serta dengan urat-urat nadi yang terdapat di tubuh. Dengan hubungan dan ikatan tersebut, ada tugas tertentu baginya serta ada berbagai manfaat dan kemaslahatan yang didapatnya.Amatilah semua entitas yang ada dengan cara yang sama! | ||
Berdasarkan prinsip tersebut segala sesuatu yang ada di alam ini menjadi saksi atas keberadaan Dzat Yang Maha Berkuasa secara mutlak lewat dua sisi: | |||
Pertama, lewat pelaksanaan tugas-tugas yang ribuan kali melebihi kemampuannya yang terbatas. Maka, dengan ketidakberdayaan tersebut ia menjadi saksi atas keberadaan Yang Maha Berkuasa secara mutlak. | |||
Kedua, lewat kesesuaian geraknya dengan berbagai hukum yang membentuk tatanan alam, serta lewat keselarasan aksinya dengan berbagai aturan yang memelihara keseimbangan seluruh entitas. | |||
Maka, dengan kesesuaian dan keselarasan itu, ia menjadi saksi atas keberadaan Dzat Yang Maha Mengetahui dan Berkuasa. Sebab, benda mati seperti atom atau serangga seperti lebah, tidak dapat mengetahui tatanan dan keseimbangan tersebut di mana keduanya adalah bagian dari persoalan penting yang tertulis dalam lembaran kitab ketetapan Tuhan. Tentu saja atom dan lebah tak bisa membaca lembaran kitab yang berada di tangan Dzat yang berfirman:“Pada hari saat Kami melipat langit bagaikan melipat lembaran-lembaran kitab.” (QS. al-Anbiyâ [21]: 104).Tak ada satu pun yang menolak kesaksian atom, kecuali orang yang dengan sangat bodoh mengira bahwa atom tersebut memiliki mata penglihatan yang memungkinkannya untuk membaca huruf- huruf halus yang ada di dalam kitab tadi. | |||
Allah, Sang Maha Pencipta Yang Mahabijak memasukkan hukum-hukum kitab tersebut dengan sangat indah dan memperindahnya dengan sangat ringkas dalam sebuah kenikmatan dan kebutuhan yang secara khusus menjadi milik sesuatu. Maka ketika sesuatu itu berjalan sesuai dengan kenikmatan dan kebutuhan tadi secara tanpa disadari ia sedang melakukan hukum-hukum yang terdapat pada kitab ketentuan Tuhan di atas. | |||
Contohnya, ketika nyamuk lahir dan muncul ke dunia, ia akan beranjak dari sarangnya, lalu menyerang wajah manusia dan memukulnya dengan “tongkat panjangnya” dan “ekor halusnya”. Kemudian dengan itu ia mengeluarkan cairan yang ia serap. Dengan serangan tersebut nyamuk memperlihatkan kemampuan militer yang luar biasa. Makhluk kecil yang baru datang ke dunia tanpa pengala- man tersebut, siapa yang mengajarkan kepadanya kemahiran yang mengagumkan, sebuah teknik perang yang sempurna kecakapan dalam mengeluarkan cairan? Dari mana ia mendapatkan pengetahuan tersebut? Aku yang papa ini mengakui bahwa seandainya aku menggantikan posisinya, pastilah aku baru bisa menguasai keterampilan tersebut, memahami teknik serang dan lari, serta cara-cara mengeluarkan cairan darah setelah melalui pengalaman yang panjang, pelaja- ran yang banyak, dan waktu yang lama. | |||
Selain pada nyamuk, engkau juga akan mendapatkan hal yang sama pada lebah yang pintar, laba-laba, dan burung bulbul yang bisa membuat sarang dengan sangat indah. | |||
Ya, Dzat Yang Maha Dermawan dan Agung telah menyerah- kan kepada setiap entitas yang bernyawa “sebuah kartu catatan” yang ditulis dengan tinta kenikmatan dan kebutuhan. Allah titipkan padanya sistem awâmir takwîniyah-Nya serta daftar tugas yang harus dilakukannya. Mahasuci Allah Yang Mahabijak dan Maha Agung. Bagaimana Dia memasukkan hukum ketetapan yang menjadi milik lebah pada catatan kecil tadi. Lalu catatan tersebut dituliskan di kepala lebah. Lebah tersebut kemudian diberi kunci berupa kenikmatan yang khusus menjadi miliknya agar ia bisa membuka catatan yang ditempatkan di otaknya, bisa membaca sistem kerjanya, bisa memahami tugasnya, berupaya untuk menyesuaikan diri dengannya, serta bisa memperlihatkan hikmah yang terkandung dalam ayat al-Qur’an: “Tuhanmu telah memberi ilham kepada lebah.” (QS. an-Nahl [16]: 68). | |||
Wahai orang yang membaca dan mendengar memoar kedela- pan ini, jika engkau betul-betul memahaminya dengan benar, berarti engkau telah menangkap salah satu rahasia:“Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu”. (QS. al-A’raf [7]: 156).Dan berarti engkau telah mengetahui salah satu hakikat:“Segala sesuatu bertasbih memuji-Nya.” (QS. al-Isrâ [17]: 44). Juga, berarti engkau telah memahami salah satu kaidah:“Sesungguhnya jika Allah menghendaki sesuatu, cukup Dia ber- kata, Kun, maka jadilah apa yang dikehendaki-Nya itu.” (QS. Yâsîn [36]: 82).Serta, berarti engkau telah menyadari salah satu rahasia:“Mahasuci Allah Yang kekuasaan segala sesuatu berada di tangan-Nya. Dan kepada-Nya kalian akan dikembalikan.” (QS. Yâsîn [36]: 83). | |||
< | <span id="Dokuzuncu_Nota"></span> | ||
== | ==Memoar Kesembilan== | ||
Ketahuilah bahwa posisi kenabian pada umat manusia merupakan rangkuman kebaikan serta landasan kesempurnaan. Selain itu, agama yang benar merupakan indeks kebahagiaan serta iman merupakan kebaikan murni dan keindahan mutlak. Karena kebaikan yang cemerlang, limpahan yang luas dan mulia, serta kesempurnaan yang utama tampak di alam ini, tentulah hakikat kebenaran ada pada sisi kenabian dan pada para nabi. Sedangkan kesesatan, kejahatan, dan kerugian ada pada posisi yang berseberangan dengan mereka. | |||
Perhatikanlah salah satu dari ribuan contoh yang menggambarkan indahnya pengabdian seperti yang diajarkan oleh Nabi. Lewat ibadah, Nabi menyatukan para ahli tauhid dalam shalat hari Raya, dalam shalat Jum’at, dan dalam shalat berjamaah. Beliau juga meng- himpun lisan mereka di atas kalimat yang sama. Sehingga lewat itu, beliau merespon seruan agung yang berasal dari Tuhan itu dengan suara-suara kalbu dan lisan yang tak terhingga banyaknya sebagai sesuatu yang saling mendukung dan menguatkan. Sebab, semuanya memperlihatkan sebuah pengabdian yang sangat luas terhadap kea- gungan Tuhan. Seolah-olah seluruh bola bumi itulah yang mengucapkan zikir, yang memanjatkan doa, yang melakukan shalat kepada Allah, serta yang melaksanakan perintah shalat yang turun dengan penuh kemuliaan dan keagungan dari atas langit yang tujuh, yaitu:“Dan dirikanlah Shalat...” (QS. al-Baqarah [2]: 43).Dengan adanya kesatuan tersebut, manusia sebagai makhluk yang lemah dan kecil—layaknya biji atom yang ada di alam inimenjadi seorang hamba yang dicintai oleh Sang Pencipta langit dan bumi karena pengabdiannya yang agung tadi. Ia menjadi sosok khalifah dan penguasa bumi, pemimpin semua hewan, dan tujuan penciptaan seluruh alam. | |||
Bagaimana menurutmu jika di alam nyata inise- bagaimana di alam gaib—suara ratusan juta kaum mukminin bertakbir membaca Allahu Akbar selepas shalat, apalagi pada shalat Hari Raya, lalu semuanya berkumpul pada waktu yang sama, bukankah hal itu menyerupai suara takbir bumi dan sesuai dengan besarnya bumi yang seolah-olah seperti manusia besar. Sebab, dengan bersatunya takbir mereka pada satu waktu yang bersamaan ada takbir yang sangat besar yang seolah-olah diucapkan oleh bumi. | |||
Bahkan seolah-olah bumi berguncang dengan amat dahsyat ketika shalat hari Raya. Sebab, ia bertakbir mengagungkan Allah lewat takbir seluruh dunia Islam. Dan ia juga bertasbih lewat tasbih dan zikir mereka. Maka ia berniat dari kalbu Ka’bahnya yang suci, bertak- bir mengucapkan Allahu Akbar lewat lisan Arafah dari mulut Mekkah yang mulia. Maka, suara Allahu Akbar pun menggema di angkasa, menggambarkan seluruh suara kaum mukminin yang tersebar di seluruh alam. Bahkan takbir dan zikir-zikir tersebut bergema di seantero langit dan semua alam Barzakh. | |||
Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan bumi ini bersujud dan mengabdi kepada-Nya, lalu Dia menyiapkannya sebagai tempat ibadah dan tempat tinggal para makhluk-Nya. Karena itu, kami bertahmid, bertasbih, dan bertakbir mengagungkan Allah sejumlah bilangan atom yang ada di bumi. Segala puji bagi-Nya yang telah menjadikan kami sebagai salah satu bagian dari umat Muhammad. Karena beliaulah yang mengajar- kan kepada kami jenis ibadah ini. | |||
< | <span id="Onuncu_Nota"></span> | ||
== | ==Memoar Kesepuluh== | ||
Wahai Said (manusia) yang lalai dan bingung, ketahuilah bah- wa untuk sampai kepada cahaya makrifatullah, untuk bisa menyaksikan manifestasi-Nya dalam cermin tanda-tanda kekuasaan-Nya, serta untuk bisa melihat-Nya lewat berbagai bukti dan dalil yang ada, maka engkau tidak boleh mengkritik dan meragukan setiap cahaya yang mengarah kepadamu, yang masuk ke dalam kalbumu, dan yang tampak di akalmu. Janganlah kau ulurkan tanganmu untuk mengam- bil cahaya yang sudah menerangimu, tapi engkau harus melepaskan semua penyebab kelalaian untuk segera menerima dan mengarah ke- pada cahaya tadi. | |||
Aku bersaksi bahwa bukti dan dalil yang mengantarkan kepada makrifatullah ada tiga bagian, yaitu: | |||
Bagian pertama, ia seperti air. Ia bisa dilihat dan dirasakan, tetapi tidak bisa dipegang dengan jari-jemari. Pada bagian ini, engkau harus mengosongkan diri dari segala khayalan dan tenggelam ke dalamnya secara total. Engkau tidak boleh merabanya dengan jemari. Sebab, ia akan mengalir dan pergi. Air kehidupan tersebut tidak akan menetap pada jemari tadi. | |||
Bagian kedua, ia seperti udara. Ia bisa dirasakan tetapi tidak bisa dilihat dan dipegang. Maka, hadapkan dan arahkan wajahmu kepada hembusan rahmat tersebut. Terimalah ia dengan wajahmu, mulutmu, dan jiwamu. Jika engkau melihat bagian ini dengan penuh keraguan dan kritikan bukan dengan aktivitas spiritual, maka ia akan segera pergi. Sebab, ia tidak akan menetap dan tinggal di tanganmu. | |||
Bagian ketiga, ia seperti cahaya. Ia bisa dilihat tetapi tidak bisa dirasakan dan tidak bisa dipegang. Maka, hadapi dan terimalah ia dengan mata hati dan pandangan jiwamu. Lihatlah dengan matamu. Kemudian tunggulah, barangkali ia datang dengan substansinya. Sebab, cahaya tidak bisa dipegang dengan tangan dan tidak bisa diraih dengan jari-jemari, hanya bisa diraih dengan mata hati. Jika yang kau ulurkan adalah tangan materi yang tamak lalu kau timbang ia dengan timbangan materi, ia tidak akan tampak meskipun tidak padam. Se- bab, cahaya seperti ini tidak mau diikat dengan materi dan tidak mau dikuasai oleh orang yang tamak. | |||
< | <span id="On_Birinci_Nota"></span> | ||
== | ==Memoar Kesebelas== | ||
Lihatlah tingkatan kasih sayang al-Qur’an yang luas dan agung terhadap orang-orang awam. Serta renungkan pula bagaimana al- Qur’an memperhatikan pikiran mereka yang dangkal dan pandangan mereka tidak tajam terhadap permasalahan-permasalahan rumit. Perhatikan bagaimana al-Qur’an mengulang-ulang berbagai tanda kekuasaan-Nya yang jelas yang tertulis di permukaan langit dan bumi. Ia bacakan pada mereka huruf-huruf besar yang terbaca dengan sangat mudah itu. | |||
Misalnya penciptaan langit dan bumi, penurunan hujan dari langit, bagaimana menghidupkan bumi, dan lain sebagainya. Penglihatan tersebut tidak diarahkan untuk melihat huruf-huruf kecil yang tertulis di dalam huruf-huruf yang besar tadi kecuali hanya sesekali. Maksudnya agar mereka bisa memahaminya dengan mudah. | |||
Selanjutnya, lihatlah penjelasan dan gaya bahasa al-Qur’an yang fasih. Ia membacakan kepada manusia berbagai tanda kekuasaan yang ditulis oleh qudrah Ilahi dalam lembaran-lembaran alam. Sehingga seolah-olah al-Qur’an merupakan bacaan yang mencakup seluruh isi kitab alam dan tatanannya serta mencakup semua urusan Sang Pencipta dan segala perbuatan-Nya yang bijak. Karena itu, dengarkan dengan kalbu firman Allah yang berbunyi:“Tentang apa mereka bertanya-tanya.” (QS. an-Naba [78]: 1).“Katakanlah, wahai Allah Sang pemilik semua kerajaan.” (QS. Ali Imran [3]: 26), dan ayat-ayat yang serupa dengannya. | |||
< | <span id="On_İkinci_Nota"></span> | ||
== | ==Memoar Kedua Belas== | ||
Wahai para sahabatku yang menyimak memoar-memoar ini! | |||
Ketahuilah bahwa kadangkala aku menuliskan munajat hatiku kepada Tuhan—meskipun seharusnya dirahasiakan dan tidak diungkap—dengan mengharap dari rahmat-Nya semoga Dia menerima tutur tulisanku sebagai ganti dariku ketika kematian membungkam lisanku. Ya, taubat lisan di usiaku yang singkat tidak cukup untuk menebus dosaku yang begitu banyak. Maka, tutur buku ini kurasa lebih tepat dan lebih layak. | |||
Tiga belas tahun yang lalu, saat jiwaku berguncang hebat dan saat tawa “Said lama” berubah menjadi tangis “Said baru” aku terbangun dari malam masa muda di fajar masa tua. Ketika itulah, kutuliskan munajat ini dalam bahasa Arab dan kusajikan ia sebagaimana adanya: | |||
Wahai Tuhan Pencipta Yang Maha Penyayang. Wahai Tuhan Sembahan yang Maha Pemurah! | |||
Akibat ikhtiarku yang keliru, usia dan masa mudaku telah pergi begitu saja. Yang tersisa hanyalah dosa yang memalukan, penderitaan yang memilukan, dan bisikan yang merisaukan. Dengan beban yang berat, kalbu yang sakit, dan wajah yang malusecara sangat cepat, tanpa pernah menyimpang, dan tanpa disengaja sama seperti yang dialami oleh orang tua, kekasih, kerabat, dan para temanku—aku mendekati kubur yang merupakan tempat kesendirian di jalan menuju keabadian sebagai bentuk perpisahan abadi dari negeri yang fana dan pasti hancur ini, akan hilang dan pergi, serta sangat zalim dan pengkhianat bagi orang sepertiku yang memiliki nafsu ammârah. | |||
Wahai Tuhan Yang Maha Penyayang. Wahai Pencipta yang Maha Pemurah! | |||
Aku melihat diriku tidak lama lagi akan memakai kafanku, akan menaiki keranda jenazahku, dan terpisah dengan orang-orang yang kucintai. Ketika aku pergi menuju kubur, di pintu rahmat-Mu aku menyeru, ”Aku memohon keselamatan! Aku memohon keselamatan! Wahai Yang Maha Mengasihi (al-Hannân), wahai Yang Maha Memberi (al-Mannân). Selamatkanlah aku dari malu akibat dosa.” | |||
Oh, kafanku telah berada di leher dan aku sudah berdiri di tepi kubur. Kuangkat kepalaku menghadap pintu rahmat-Mu seraya menyeru, “Aku memohon keselamatan! Aku memohon keselamatan! Wahai Yang Maha Penyayang (ar-Rahmân) dan Maha Pemurah (al-Hannân), lepaskan aku dari beban dosa.” | |||
Oh, aku telah dibungkus dengan kain kafan dan masuk di kubur seraya ditinggal oleh mereka yang telah mengiringiku. Aku menantikan ampunan dan rahmat-Mu. Aku menyaksikan bahwa tidak ada tempat perlindungan dan keselamatan selain-Mu seraya menyeru, “Aku memohon keselamatan! Aku memohon keselamatan dari sempitnya tempat, buasnya maksiat, dan buruknya dosa. | |||
Wahai Yang Maha Penyayang dan Maha Pengasih, Maha Memberi! Wahai Yang Maha Mem- berikan balasan, selamatkan diriku dari sangkutan dosa dan maksiat!Wahai Tuhanku, hanya rahmat-Mu yang menjadi tempat perlindunganku. Dan hanya kepada-Mu kuadukan duka dan laraku.” | |||
Wahai Pencipta Yang Maha Pemurah, Wahai Tuhan Yang Maha Pengasih! | |||
Makhluk-Mu, ciptaan-Mu, hamba-Mu yang pendosa, tidak berdaya, lalai, bodoh, sakit, hina, dan celaka serta tua ini telah kembali ke pintu-Mu setelah empat puluh tahun berlalu. Ia mengakui dosa dan kesalahannya. Ia menderita penyakit lahir dan batin. Ia bersimpuh di hadapan-Mu. | |||
Jika Engkau menerima, mangampuni, dan mengasihi, Engkau memang layak untuk itu dan Engkau adalah Dzat Yang Maha Pengasih di antara semua yang pengasih. Jika tidak, pintu mana lagi yang akan dituju selain pintu-Mu. Engkaulah Tuhan Pencipta yang dituju dan Tuhan Maha Benar yang disembah. Tidak ada Tuhan selain-Mu dan tiada sekutu bagi-Mu. Ucapan terakhir di dunia serta ucapan pertama di akhirat dan di kubur adalah: | |||
“Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, | |||
dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” | |||
< | <span id="On_Üçüncü_Nota"></span> | ||
== | ==Memoar Ketiga Belas== | ||
Bagian ini berisi lima permasalahan yang seringkali kurang dipahami: | |||
'''Permasalahan Pertama''' | |||
''' | Orang-orang yang bekerja dan berjuang di jalan kebenaran, ketika seharusnya memikirkan kewajiban dan amal yang ada, mereka justru memikirkan berbagai urusan dan pengaturan yang menjadi hak Allah. Mereka membangun amal mereka di atas landasan terse- but sehingga terjerumus dalam kesalahan. | ||
Dalam buku Adab ad-Duniâ wa ad-Dîn disebutkan bahwa ke- tika Iblis muncul di hadapan Isa ibn Maryam ia berkata, “Bukankah engkau yang berkata bahwa tidak akan menimpamu kecuali apa yang sudah Allah tuliskan untukmu?” “Benar”, jawab Isa. Iblis lalu berkata lagi, “Kalau begitu, jatuhkan dirimu dari puncak gunung ini. Kalau Allah memang menakdirkanmu selamat, pasti engkau selamat”. | |||
Mendengar hal itu, Isa berkata, | |||
< | “Wahai makhluk terlaknat. Al- lahlah yang berhak menguji hamba-Nya. Bukan hamba yang menguji Tuhannya.”(*<ref>*Lihat: al-Mâwardi, Adab ad-Duniâ wa ad-Dîn, h.12; dan al-Kitab, Matius 4: 1-11.</ref>) | ||
</ | |||
Dengan kata lain, Allahlah yang layak menguji seorang hamba dan berkata, “Jika engkau melakukan hal itu, aku akan memberimu balasannya. Apakah engkau bisa melakukan?” Jadi Dia yang menguji. Seorang hamba sama sekali tidak berhak dan memang tidak akan mampu menguji Tuhannya dengan berkata, “Jika aku melakukan hal ini, apakah Engkau akan melakukan hal tersebut untukku?” Tentu saja ucapan tersebut termasuk sikap yang tidak etis terhadap Tuhan. | |||
Ia merupakan sikap yang bertolak belakang dengan prinsip pengabdian. Jika demikian, maka seorang manusia harus melakukan kewajibannya tanpa mencampuri urusan dan ketentuan Allah. | |||
< | Jalaluddin Khawarism Syah(*<ref>*Dia adalah penguasa ketujuh sekaligus terakhir dari kerajaan Khawarizm. Pertama kali ia menghadapi pasukan Jengis Khan, dan ia berhasil memporak-porandakan pasukan salah satu panglimanya. Pada tahun 1221, ia juga berhasil memecah pasukan Mongol yang berjumlah besar. Namun ia terpaksa mundur ke India karena gempuran yang terus-menerus. Pada tahun 1224, ia menghidupkan kerajaan Khawarizm di Iran. Berbagai kemenangan yang diraihnya membuat bangsa Saljuk dan pemerintahan Ayyûbiyah ketakutan. Tak ada yang bisa membantu mereka. Pada tahun 1231, ia dipaksa mundur oleh pasukan mongol ke pegunungan Turus. Di sanalah ia kemudian di bunuh.</ref>)adalah salah seorang pahlawan Islam yang berkali-kali berhasil mengalahkan pasukan Jengis Khan. Ketika pasukannya maju ke medan pertempuran, para menteri dan orang-orang dekatnya berkata kepadanya, “Allah akan membuat- mu unggul atas para musuhmu dan kau akan berhasil mengalahkan mereka.” Mendengar hal itu, ia berkata pada mereka, “Tugasku adalah berjihad di jalan Allah sebagai bentuk ketaatanku kepada perintah-Nya. Sama sekali aku tidak berhak mencampuri sesuatu yang bu- kan urusanku. Kemenangan dan kekalahan adalah ketentuan Allah.” Karena sang pahlawan agung itu memahami rahasia kepasrahan dan ketundukan kepada perintah Allah, maka ia seringkali mendapatkan kemenangan yang luar biasa. | ||
Ya, seharusnya ketika manusia sudah melakukan suatu upaya, ia tak usah memikirkan hasil yang akan Allah berikan padanya. Sebagai contoh, sebagian teman bertambah semangat dan bertambah rindu kepada Risalah Nur manakala melihat orang-orang mulai memberikan respon kepadanya. Mereka pun begitu bersemangat. Namun ketika orang-orang tidak meresponnya, kekuatan jiwa mereka melemah dan api kerinduan mereka padam. Hal ini tentu saja tidak dibenarkan. Nabi kita Muhammad sebagai seorang guru besar, teladan, dan pemimpin tertinggi semua manusia telah menjadikan perintah Ilahi yang berbunyi:“Kewajiban Rasul hanyalah menyampaikan secara jelas.” (QS. an-Nur [24]: 54), sebagai petunjuk dan pembimbing bagi beliau. Karenanya, setiap kali kaum yang lemah itu berpaling, beliau justru bertambah semangat dalam menyampaikan risalah. Sebab, beliau yakin betul bahwa hidayah adalah urusan Allah, sesuai dengan ayat yang berbunyi:“Engkau tidak akan bisa memberikan hidayah bagi orang yang kau cintai. Namun Allahlah yang memberikan hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. al-Qashas [28]: 56). Maka dari itu, beliau tidak ikut campur dalam urusan Allah. | |||
Dengan demikian, wahai saudara-saudaraku, janganlah kalian mencampuri segala perbuatan dan urusan yang bukan milik kalian. Janganlah kalian beramal atas dasar itu. Juga, jangan sekali-kali kalian menguji Pencipta kalian. | |||
'''Permasalahan Kedua''' | |||
''' | Tujuan dari ibadah adalah melaksanakan perintah Allah dan mendapat ridha-Nya. Karena itu, sebab yang membuat seseorang melakukan ibadah adalah perintah Ilahi, sementara hasil dari ibadah tersebut adalah menggapai ridha-Nya. Adapun buah dan keuntun- gannya bersifat ukhrawi. Hanya saja, nilai ibadah tersebut tidak hilang kalau buah dan keuntungannya sudah didapat di dunia dengan syarat hal itu bukan menjadi ilat dan tujuan utama. Berbagai keuntungan yang diraih di dunia beserta berbagai buahnya yang diberikan tanpa diminta tidaklah menghapus nilai ibadah. Bahkan ia berposisi sebagai perangsang bagi mereka yang lemah. Namun manakala man- faat dan keuntungan dunia menjadi ilat atau bagian dari ilat seseorang melakukan ibadah, wirid, dan zikir, maka ia akan membatalkan nilai ibadah yang ada. Bahkan wirid yang sebetulnya memiliki berbagai keistimewaan menjadi nihil tak berbuah. | ||
Mereka yang tidak memahami rahasia ini, ketika misalnya membaca wirid-wirid Naqsyabandiyah karya an-Naqsyabandi yang mempunyai berbagai keistimewaan atau membaca al-Jausyan al-Kabir yang memiliki seribu keutamaan, dengan tujuan untuk mendapatkan sebagian dari keuntungan duniawi tersebut, maka mereka tidak akan mendapatkan keuntungan tersebut. Bahkan mereka tidak akan mendapatkan dan menyaksikannya. Mereka sama sekali tidak berhak atasnya. Sebab, keuntungan-keuntungan tadi tidak terwujud karena pembacaan wirid semata. Manfaat tersebut tidak bisa menjadi tujuan. Ia merupakan bentuk karunia Ilahi atas sebuah wirid yang dibaca secara ikhlas. Adapun jika seseorang membaca wirid tersebut dengan niat mengharap manfaat duniawi, niat itu akan merusak keikhlasannya. Bahkan ia bisa membuatnya tidak lagi bernilai ibadah sehingga nilainya jatuh. | |||
Namun demikian ada hal lain yang perlu dicermati. Yaitu bahwa sebagian orang yang lemah selalu membutuhkan rangsangan dan dorongan. Sehingga ketika mereka membaca wirid-wirid tadi dengan ikhlas seraya mengingat keuntungan di balik wirid tersebut, hal itu tidak menjadi masalah. Ia tetap diterima. | |||
Karena hakikat ini tidak dipahami, banyak orang yang menjadi ragu dan bimbang ketika berbagai keuntungan duniawi seperti yang disebutkan oleh para wali qutub dan tokoh salaf tidak terwujud. Bahkan bisa jadi mereka mengingkarinya. | |||
'''Permasalahan Ketiga''' | |||
''' | “Berbahagialah orang yang mengetahui kapasitasnya dan tidak melampaui batasnya.”(*<ref>*Lihat: al-Bukhari, at-Târîkh al-Kabîr, 3/338; ath-Thabari, al-Mu’jam al-Kabîr, 5/71; dan al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubrâ, 4/182.</ref>) | ||
</ | |||
Pantulan matahari tampak pada segala sesuatu, mulai dari atom yang paling kecil, kristal kaca, setetes air, telaga yang besar, lautan yang luas, sampai kepada bulan, dan planet-planet. Masing-masing mengetahui kapasitasnya serta menerima pantulan dan gambar matahari sesuai dengan kemampuan penerimaannya. Setetes air bisa berkata, “Pada diriku ada bayangan matahari.” Tentu saja hal itu sesuai dengan kemampuan penerimaannya. Namun ia tidak bisa berkata, “Aku cermin bagi matahari sama seperti laut.” | |||
Demikian pula dengan kedudukan para wali. Di dalamnya ada banyak sekali tingkatan sesuai dengan pantulan manifestasi nama-nama Ilahi yang beragam. Masing-masing nama tersebut memiliki manifestasi sendiri, mulai dari kalbu sampai kepada arasy. Namun kalbu tidak bisa berkata, “Saya sama seperti arasy yang agung itu.” | |||
Dari sini kita bisa memahami bahwa seorang salik yang sombong dan lupa diri sebetulnya tidak mengerti. Ia menyamakan kalbunya yang sangat kecil seperti atom dengan arasy yang agung. la menganggap kedudukan dirinya yang seperti tetesan air setara dengan kedudukan para wali besar yang seperti laut. Maka, alih-alih memfokuskan perhatian pada prinsip-prinsip ibadah yang berupa penampakan kelemahan, kepapaan, kesadaran akan kelalaian dirinya di hadapan Tu- han, ketundukan di hadapan uluhiyah-Nya, serta sujud kepada-Nya dengan hina dina, ia malah langsung memaksakan diri untuk bisa menyejajarkan dirinya dengan kedudukan para wali yang mulia itu. Sebagai akibatnya, ia pun terjerumus pada sifat sombong, lupa diri, egoisme, dan berbagai persoalan pelik. | |||
'''Kesimpulan:''' | |||
''' | Ada sebuah hadis yang berbunyi:“Manusia sungguh celaka kecuali mereka yang berilmu. Yang berilmu pun celaka kecuali yang beramal. Yang beramal pun celaka kecuali yang ikhlas. Dan mereka yang ikhlas dihadapkan pada risiko besar”. (*<ref>*Dalam buku Kasyf al-Khafâ (2796).</ref>) | ||
</ | |||
Dengan kata lain, sumber keselamatan adalah ikhlas. Maka berbuat secara ikhlas merupakan sesuatu yang sangat penting. Sebab amal sekecil apa pun jika dilakukan dengan ikhlas lebih baik dalam pandangan Allah daripada amal berton-ton tetapi tidak ikhlas. Manusia baru menjadi ikhlas kalau ia menyadari bahwa yang membuatnya melakukan sebuah amal adalah perintah Ilahi, bukan yang lain- nya. Lalu hasil dari itu semua adalah mendapat ridha-Nya. Kemudian ia tidak mencampuri urusan Tuhan. | |||
Keikhlasan dan ketulusan ada pada segala sesuatu. Bahkan setitik cinta yang tulus lebih utama daripada segunung cinta formalitas. Jenis cinta tersebut digambarkan oleh sebuah syair sebagai berikut: | |||
Aku tidak mencari imbalan atas cinta.sungguh lemah suatu cinta yang mengharapkan balasan. | |||
Artinya, aku tidak menuntut upah, balasan, ganti, dan imbalan atas cinta tersebut. Sebab, cinta yang menuntut upah dan balasan adalah cinta yang lemah yang tidak akan abadi. | |||
Cinta yang tulus tersebut telah Allah tanamkan dalam fitrah manusia, terutama dalam diri ibu pada umumnya. Belas kasih ibu merupakan contoh ketulusan cinta yang paling nyata. Bukti bahwa seorang ibu sama sekali tidak menuntut balasan dan upah atas cintanya kepada anak-anaknya ditunjukkan oleh kebaikan dan pengorbanan yang diberikan demi anak-anak. Karena itu, engkau melihat bagaimana ayam betina akan menyerang anjing demi menyelamatkan sang anak dari terkamannya. Sebab, sang induk mengetahui bahwa kehidupan mereka merupakan modal satu-satunya. | |||
'''Permasalahan Keempat''' | |||
''' | Berbagai nikmat yang datang melalui perantara lahiriah jangan diterima semata-mata sebagai jasa dari perantara tersebut. Karena, perantara itu bisa jadi mempunyai kehendak atau bisa juga tidak. Jika tidak mempunyai kehendak—seperti binatang dan tumbuhan—pastilah ia memberimu atas izin dan nama Allah. Sebab, ia selalu menyebut nama Allah dengan lisan hal (keadaan). Dengan kata lain, ia mengucapkan bismillah dan ia serahkan nikmat tersebut kepadamu. Karena itu, ambillah dan makanlah ia dengan bismillah. Namun jika perantara tersebut mempunyai kehendak (manu- sia), ia harus terlebih dahulu menyebut nama Allah dan mengucap- kan bismillah. Janganlah engkau mengambil darinya kecuali setelah ia menyebut nama Allah. Sebab, selain makna lahiriahnya, makna simbolis dari firman Allah berikut:“Janganlah kalian memakan dari sesuatu yang tidak disebutkan nama Allah padanya.” (QS. al-An’am [6]: 121), menjelaskan agar kita tidak memakan sebuah nikmat yang nama pemiliknya yang hakiki (Allah) tidak disebutkan. | ||
Atas dasar itulah, si pemberi harus menyebut nama Allah. Serta si penerima juga harus menyebut nama Allah. Jika si pemberi tidak menyebut nama Allah sementara engkau berada dalam kondisi yang sangat membutuhkan, sebutlah nama Allah. Namun arahkan pandanganmu tinggi-tinggi, dan tataplah tangan kasih sayang Ilahi yang telah memberikan nikmat tersebut kepadanya dan kepadamu sekaligus, dan terimalah ia dengan rasa syukur. Artinya, pandanglah pemberian tersebut sebagai sebuah nikmat lalu ingatlah si Pemberi nikmat yang hakiki atas pemberian tersebut. Tatapan dan ingatan tersebut merupakan bentuk rasa syukur. Selanjutnya lihatlah wasilah dan perantara yang ada. Doakan dan pujilah ia karena nikmat terse- but datang lewat tangannya. | |||
Orang-orang yang mengagungkan perantara tertipu kare- na mereka memandang sesuatu sebagai sebab bagi yang lain ketika keduanya datang secara bersamaan atau ketika keduanya ada secara bersamaan. Inilah yang disebut dengan keterkaitan (iktirân). Karena ketiadaan sesuatu menjadi sebab ketiadaan nikmat, maka seseo- rang mengira bahwa keberadaan sesuatu itu merupakan sebab adanya nikmat. Akhirnya ia mulai memberikan rasa syukur dan terima kasihnya kepada sesuatu tadi. Tentu saja ia telah berbuat salah. Se- bab, keberadaan sebuah nikmat bergantung pada banyak faktor dan syarat-syarat tertentu. Sementara ketiadaan nikmat tersebut terjadi hanya karena ketiadaan satu faktor saja. | |||
Sebagai contoh, orang yang tidak membuka saluran air menuju kebun menjadi sebab dan ilat yang membuat kebun tersebut kering dan mati. Serta pada tahap selanjutnya ia membuat nikmat yang terdapat di dalamnya hilang. Namun demikian keberadaan berbagai nikmat di kebun tadi tidak bergantung pada perbuatan orang tersebut. Tetapi bergantung pada ratusan faktor lain. Bahkan semua nikmat tersebut hanya bisa diperoleh lewat sebab yang hakiki. Yaitu kekuasaan Tuhan dan kehendak Ilahi. Dari sini, engkau dapat mema- hami kesalahan yang ada dan mengetahui betapa bodohnya mereka yang menghamba kepada perantara. | |||
Ya, keterkaitan dan sebab (ilat) merupakan dua hal yang berbeda. Nikmat yang datang kepadamu seiring dengan niat seseorang untuk berbuat baik kepadamu sebabnya adalah rahmat Ilahi. Orang tadi hanya memiliki kaitan bukan sebagai sebab. Memang benar bahwa seandainya orang tersebut tidak berniat berbuat baik kepadamu, nikmat tadi tidak datang. Dengan kata lain, ketiadaan niatnya menjadi sebab tidak datangnya nikmat. | |||
Namun kecenderungan berbuat baik sama sekali bukanlah sebab bagi adanya nikmat. Tetapi bisa jadi hanya merupakan salah satu faktor di antara ratusan faktor lainnya. | |||
Hal inilah yang tidak dipahami oleh sebagian murid Nur yang diberi limpahan karunia oleh Allah (seperti Husrev dan Ra’fat). Mereka tidak bisa membedakan antara keterkaitan dan sebab. Mereka menampakkan ridha kepada guru mereka dan memujinya secara berlebihan. Yang benar, Allah telah mengaitkan antara nikmat kemampuan mereka mengambil manfaat dari pelajaran-pelajaran al-Qur’an dengan karunia nikmat pengajaran yang diberikan kepada guru mereka. | |||
Jadi, sebetulnya yang ada hanyalah sebuah keterkaitan. | |||
Mereka berkata, “Seandainya guru kami tidak datang ke sini, kami tidak akan mendapatkan pelajaran keimanan seperti ini. | |||
Pengajaran beliau menjadi sebab yang membuat kami sadar dan bisa mengambil manfaat.” Sementara aku berkata, “Wahai saudara-saudara yang kucintai. Sesungguhnya Allah telah mengaitkan nikmat yang Dia berikan kepadaku dengan nikmat yang Dia berikan pada kalian. Adapun yang menjadi sebab bagi datangnya kedua nikmat tersebut adalah rahmat Ilahi.” Pada suatu hari aku merasa mendapat karunia dari para murid yang memiliki keahlian menulis seperti kalian di mana mereka ingin mengabdi kepada Risalah Nur. Ketika itulah aku lalai membedakan antara keterkaitan dan sebab. Aku berkata, “Bagaimana mungkin orang yang tidak memiliki kepandaian menulis sepertiku bisa melakukan tugas pengabdian kepada al-Qur’an al-Karim kalau tidak karena mereka?” Namun kemudian aku sadar bahwa setelah memberikan karunia yang mulia kepada kalian berupa kepandaian menulis, Allah memberikan taufiknya kepadaku untuk berjalan di atas pengabdian tersebut. Sehingga dengan begitu ada keterkaitan antara dua karunia tersebut. Salah satunya sama sekali bukan merupakan sebab bagi yang lain. Karena itu, aku tidak akan mempersembahkan rasa syukur dan terima kasihku kepada kalian. Tetapi kuucapkan kabar gembira dan selamat kepada kalian. Demikian pula hendaknya kalian mendoakanku agar senantiasa diberi taufik dan keberkahan ketimbang memberikan ridha dan sanjungan. | |||
Di sinilah ada timbangan yang sangat akurat untuk mengukur tingkat kelalaian. | |||
'''Permasalahan Kelima''' | |||
''' | Merupakan sebuah kezaliman besar apabila milik kolektif (jamaah) hanya diberikan kepada seseorang. Atau sebuah kezaliman yang tak terpuji jika apa yang menjadi milik kolektif dirampas oleh seseorang. Demikian pula dengan berbagai pencapaian yang diperoleh lewat usaha kolektif serta kedudukan dan kemuliaan yang mereka dapat. Jika berbagai pencapaian, kedudukan, dan kemuliaan tersebut hanya disandarkan kepada pemimpin, guru, dan pembimbing mereka, maka ia merupakan suatu bentuk kezaliman terhadap hak jamaah, di samping terhadap guru itu sendiri. Sebab, hal itu akan membang- kitkan rasa egoismenya yang tersembunyi dan bisa membuatnya lupa diri. Padahal, ia tidak lain hanyalah penjaga pintu bagi jamaah. Pakaian kebesaran yang dikenakan kepadanya akan menzalimi dirinya. Bahkan bisa jadi membuka jalan baginya menuju syirik yang samar. Ya, seorang pemimpin pasukan tidak berhak untuk mendapatkan ba- rang rampasan perang yang didapat oleh para prajurit ketika mereka berhasil menduduki sebuah benteng yang kokoh. Ia juga tidak bisa menisbatkan kemenangan mereka kepada dirinya semata.Oleh karena itu, seorang guru atau pembimbing tidak boleh dianggap sebagai sumber dan asal. Tetapi ia harus diposisikan sebagai tempat pantulan semata. | ||
Ia ibarat cermin yang memantulkan panas dan cahaya matahari kepadamu. Adalah sangat bodoh kalau engkau memandang cermin tadi sebagai sumber panas dan cahaya dengan melupakan matahari itu sendiri. Akhirnya, engkau akan memberikan perhatian dan rasa senang kepada cermin tersebut, bukan kepada matahari. Memang benar bahwa cermin tersebut harus dipelihara, sebab ia menjadi sarana yang memantulkan sifat-sifat tadi. Jiwa dan kalbu sang guru merupakan cermin yang memantulkan limpahan karunia Ilahi yang diberikan oleh Tuhan. Dengan begitu, ia menjadi sarana yang mengantarkan pantulan karunia tadi kepada para muridnya. | |||
Karena itu, ia cukup dipandang sebagai sebuah sarana dan perantara, tidak lebih. | |||
Bahkan bisa jadi, sang guru yang dianggap sebagai sumber tersebut bukan sebagai perantara maupun sumbernya. Hanya saja, si murid melihat limpahan karunia yang sebenarnya datang dari jalan lain tampak pada cermin jiwa gurunya. | |||
Hal itu terjadi karena si murid begitu ikhlas, begitu dekat, dan mempunyai ikatan yang kuat dengan sang guru sehingga pandangannya hanya tertuju kepada gurunya. Kondisi ini sama seperti orang yang terhipnotis. Setelah memperhatikan cermin tadi, terbuka dalam khayalannya sebuah jendela menuju alam misal. Dengan itu, ia bisa melihat berbagai pemandangan aneh dan mengagumkan. Namun perlu diketahui, pemandangan tadi bukan terdapat di cermin tetapi terdapat pada jendela khayalan di balik cermin yang terbuka sebagai akibat dari perhatiannya kepada cermin tersebut. | |||
Oleh sebab itu, bisa jadi seorang murid yang sangat tulus kepada seorang guru yang tidak sempurna menjadi lebih sempurna dari gurunya. Ia menerima pengajaran gurunya lalu kemudian menjadi guru bagi gurunya. | |||
< | <span id="On_Dördüncü_Nota"></span> | ||
== | ==Memoar Keempat Belas== | ||
Bagian ini berisi empat petunjuk singkat yang terkait dengan persoalan tauhid: | |||
'''Petunjuk Pertama''' | |||
''' | Wahai orang yang bersandar kepada sarana dan perantara, sungguh engkau telah tertipu. Bayangkan dirimu melihat sebuah istana menakjubkan yang terbuat dari permata yang ketika dibangun sebagian dari permata itu ada di Cina, sebagian lagi ada di Andalus, sebagian lagi ada di Yaman, dan sebagian lagi ada di Siberia. Lalu istana itu selesai dalam bentuk yang paling baik dengan batu-batu mulia yang didatangkan dari daerah Timur, Barat, Utara dan Selatan dalam waktu yang sangat cepat dan dengan cara yang sangat mudah pada hari yang sama. Apakah ketika itu engkau masih ragu bahwa yang membangun istana tersebut berkuasa penuh atas bumi? | ||
Demikianlah, setiap entitas yang terdapat di alam ini merupakan bangunan dan istana Ilahi. Terlebih-lebih manusia. Ia adalah istana yang paling indah dan paling mengagumkan. Sebab, sebagian batu mulia dari istana indah tersebut berasal dari alam arwah, sebagian lagi berasal dari alam lauhil mahfudz, sebagian dari alam udara, dari alam cahaya, dan dari alam berbagai unsur. Selain itu, kebutuhannya membentang sepanjang masa, impiannya tersebar di seantero langit dan bumi. Serta ikatan-ikatannya terpaut pada tataran dunia dan akhirat. | |||
Wahai manusia yang mengaku sebagai manusia. Engkau merupakan istana yang sangat menakjubkan dan bangunan yang sangat mengagumkan. Jika demikian, maka sesungguhnya Penciptamu adalah Dzat yang bisa berbuat apa saja, baik di dunia maupun di akhirat, secara sangat mudah. Dia berbuat apa saja di langit dan di bumi seperti sedang membolak-balik dua lembaran. Dia berkuasa melakukan apa pun di alam abadi dan fana ini seolah-olah keduanya kemarin dan esok. Tidak ada sesembahan yang layak bagimu, tidak ada tempat selamat untukmu, serta tidak ada yang bisa melindungimu kecuali Dzat Yang Berkuasa terhadap langit dan bumi dan yang menggenggam kendali dunia dan akhirat. | |||
'''Petunjuk Kedua''' | |||
''' | Sebagian orang yang dungu begitu senang menghadap ke cermin ketika gambar matahari tampak di dalamnya. Sebab, mereka tidak mengenali matahari itu sendiri. Ia jaga cermin tersebut dengan sungguh-sungguh agar gambar matahari tetap ada di dalamnya dan tidak hilang. Namun ketika ia mengetahui bahwa matahari itu tidak lenyap saat cerminnya lenyap, dan tidak hilang saat cerminnya rusak, maka ia pun mengarahkan perhatiannya pada matahari yang terdapat di langit. Ketika itulah ia mengetahui bahwa matahari yang tampak di cermin tidak mengikuti cermin dan bahwa kekekalannya tidak bergantung pada kekekalan cermin. Justru cermin itu menjadi tetap berguna dan bersinar karena adanya pantulan matahari. Dengan demikian, cermin itulah yang bergantung pada kekekalan matahari. | ||
Wahai manusia, kalbu, identitas, dan substansimu adalah cermin. Keinginan fitrahmu untuk bisa kekal bukan semata-mata karena cermin tadi, tetapi karena pada cermin itu terdapat pantulan nama Allah Yang Mahakekal dan Agung. Nama tersebut terpantul di dalamnya sesuai dengan kesiapan setiap manusia. Karenanya, ketika keinginan tadi diarahkan ke sisi yang lain, hal itu betul-betul merupakan kebodohan. Jika demikian keadaannya, ucapkanlah “Wahai Yang Mahakekal Engkaulah Yang Mahakekal. Selama Engkau Ada dan Kekal, apa pun yang dilakukan kefanaan pada kami, kami tidak peduli.” | |||
'''Petunjuk Ketiga''' | |||
''' | Wahai manusia, di antara hal menakjubkan yang Allah tanamkan dalam dirimu adalah bahwa ketika kadangkala dunia tidak bisa menampungmu sehingga engkau berkata, “Uh, uh!” dengan kesal seperti orang yang sedang tersudut dan tercekik, lalu engkau berusaha mencari tempat yang lebih luas, ternyata sebiji amal perbuatan dan lintasan pikiran yang lembut bisa terasa lapang sehingga engkau tenggelam di dalamnya. Dengan demikian, kalbu dan pikiranmu yang tidak bisa ditampung oleh dunia yang besar, bisa ditampung oleh partikel yang kecil. Karena itu, berkelilinglah dengan segenap perasaan dan emosimu pada lintasan pikiran yang lembut dan kecil itu. | ||
Allah telah menanamkan dalam dirimu berbagai organ dan perangkat spiritual yang lembut. Jika sebagiannya menyantap dunia ia tidak akan kenyang, sementara sebagian yang lain tak kuat menahan sehelai rambut tipis sekalipun. Misalnya mata yang tidak kuat menahan sehelai rambut yang masuk, sementara kepala bisa mena- han beban yang sangat berat. Perangkat yang lembut tersebut tidak bisa menahan beban seringan rambut. Dengan kata lain, ia tidak bisa menahan kondisi sangat ringan yang bersumber dari kesesatan dan kelalaian. Bahkan nyalanya bisa padam. | |||
Karena itu, berhati-hati dan waspadalah. Jangan sampai engkau berikut perangkat halusmu, yang telah menelan dunia, tenggelam dalam satu santapan, satu kata, satu kilau, satu kedipan, satu suap, atau satu ciuman. Sebab, ada banyak sekali sesuatu yang sangat kecil tetapi di satu sisi mampu menyerap sesuatu yang sangat besar. Sebagai contoh, lihatlah bagaimana langit beserta bintang gemintangnya termuat dalam cermin yang kecil, serta bagaimana Allah menuliskan dalam memorimu yang kecil sesuatu yang lebih banyak daripada lembaran amalmu dan lebih luas daripada lembaran umurmu. Mahasuci Allah Yang Maha Berkuasa dan Maha Berdiri Sendiri. | |||
'''Petunjuk Keempat''' | |||
''' | Wahai penyembah dunia! Dunia yang engkau anggap luas dan lapang sebetulnya hanyalah seperti kuburan yang sempit. Hanya saja dinding-dinding kuburan tersebut terbuat dari cermin yang bisa memantulkan berbagai gambar sehingga engkau melihatnya luas dan lapang sejauh mata memandang. Demikian pula dengan tempat yang engkau diami sekarang. Ia tak ubahnya seperti kuburan, namun engkau melihatnya seolah-olah luas seperti sebuah kota yang besar. Sebab, dinding kanan dan kiri dunia tersebut yang mencerminkan masa lalu dan mendatang seolah-olah seperti cermin yang memantulkan berbagai gambar. Hal itu membuat sisi-sisi zaman sekarang ini tampak luas padahal sebetulnya sangat singkat dan sempit. Akhirnya bercampurlah antara hakikat dan khayalan. Engkau melihat dunia yang sebetulnya tiada menjadi ada. | ||
Sebuah garis lurus yang sebetulnya sangat tipis, kalau digerakkan sedikit saja akan tampak luas menyerupai sebuah permukaan yang besar.Demikian pula dengan duniamu. Sebetulnya ia sangat sempit, namun dinding-dindingnya menjadi luas dan lebar akibat kealpaan dan sangkaan khayalmu. Baru ketika kepalamu bergerak karena sebuah musibah, ia akan membentur dinding yang kau anggap jauh tadi. Ia akan menghapus semua khayalanmu itu sekaligus membangunkanmu dari tidur panjang. Ketika itu, engkau akan mengetahui bahwa dunia yang kau anggap luas ternyata lebih sempit dari kubur. Putaran masa dan umurmu ternyata berlalu lebih cepat daripada kilat. Serta, hidupmu mengalir lebih cepat ketimbang air sungai. | |||
Karena kehidupan dunia, materi, dan hewani berlangsung demikian, maka keluarlah engkau dari kehidupan hewani, tinggalkanlah alam materi, serta masuklah ke dalam kehidupan kalbu. Di situlah engkau akan mendapatkan kehidupan yang lebih lapang, dan alam cahaya yang lebih luas daripada dunia yang kau anggap luas tadi. | |||
Kunci untuk memasuki alam yang lapang itu adalah mengenal Allah, membunyikan lisan, menggerakkan kalbu, serta menyibukkan jiwa dengan makna dan rahasia kalimat suci lâ ilâha illallâh (Tiada Tuhan selain Allah). | |||
< | <span id="ON_BEŞİNCİ_NOTA"></span> | ||
== | ==Memoar Kelima Belas== | ||
Ia berisi tiga persoalan: | |||
< | Persoalan Pertama(*<ref>*Adapun persoalan kedua dan ketiga, serta memoar selanjutnya yang masih ter- sisa oleh ustadz Said Nursi tidak digabung dengan risalah ini. Tetapi masing-masing di- jadikan risalah tersendiri dalam buku al-Lama’ât. Yaitu: risalah Ikhlas (cahaya ke-20 dan 21), tiga petunjuk (cahaya ke-22), risalah Thabi’ah (cahaya ke-23), risalah Hijab (cahaya ke-24), dan yang lainnya.</ref>)Wahai orang yang ingin mengetahui petunjuk tentang hakikat dua ayat mulia berikut:“Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat biji atom, ia akan melihatnya. Juga siapa yang mengerjakan kejahatan seberat biji atom, ia akan melihatnya.” (QS. az-Zalzalah [99]: 7-8).Keduanya menjelaskan manifestasi yang sempurna dari nama Allah, al-Hafîdz (Yang Maha Menjaga). Manifestasi nama al-Hafîdz tersebut serta contoh hakikat agung dari dua ayat di atas tampak de- ngan sangat jelas di seluruh pelosok alam. Engkau bisa mengetahuinya dengan melihat dan merenungkan lembaran kitab alam ini. | ||
Yaitu lembaran kitab yang tertulis sesuai dengan catatan, timbangan, dan ukuran yang terdapat pada lauhil mahfudz. Sebagai contoh, ambillah sejumput benih dari aneka bunga dan pohon. Tampak campuran benih yang beraneka ragam jenis dan macamnya itu serupa dari segi bentuk dan besarnya. Lalu tanamlah ia pada sebidang tanah. Sirami dengan air secara bersamaan tanpa dibeda-bedakan. | |||
Selanjutnya tengoklah ia kembali pada musim semi, sebagai ajang kebangkitan tahunan. Lihat dan perhatikan bagaimana malaikat “Ra’ad” (petir) meniupkan sangkakalanya di musim semi seperti tiupan malaikat Israfil seraya memanggil hujan dan memberikan kabar gembira kepada benih-benih yang tertanam di bawah tanah bahwa semuanya akan dibangkitkan setelah tadinya mati. Engkau akan menyaksikan bagaimana seluruh benih yang sangat serupa itu, di bawah cahaya manifestasi nama al-Hafîdz, secara sempurna meng- gambarkan awâmir takwîniyah (instruksi penciptaan) yang berasal dari Tuhannya. Semua aksi dan geraknya sesuai dengan instruksi tersebut. Ia menampakkan kilau kebijakan, pengetahuan, kehendak, tujuan, dan perasaan-Nya yang sempurna. | |||
Dengan jelas engkau melihat bagaimana benih-benih yang serupa itu muncul dalam bentuk yang berbeda-beda. Ada benih yang menjadi pohon tin. Sebuah pohon yang menghasilkan dan menebarkan nikmat Tuhan lewat ranting dan dahannya. Ada lagi dua benih serupa yang menghasilkan bunga matahari dan bunga pansy. Masih banyak lagi bunga-bunga indah yang berhias diri untuk kita serta menemui kita dengan wajah yang senyum dan ceria. Selain itu ada pula berbagai benih lain yang berubah menjadi buah yang nikmat, tangkai-tangkai yang besar, dan pohon-pohon yang tinggi. Rasa buahnya yang lezat, wanginya yang harum, serta bentuknya yang indah membangkitkan selera kita sekaligus mengundang kita untuk mendekatinya. Lalu ia mempersembahkan dirinya kepada kita agar bisa naik dari tingkatan nabati menuju tingkatan hewani. | |||
Benih-benih itu pun tumbuh berkembang secara hebat sehingga dengan izin Tuhannya, ia menjadi sebuah kebun rimbun dan taman indah berhias aneka macam pohon dan tumbuhan. Perhatikan, adakah kekurangan dan cacat di dalamnya;“Maka lihatlah kembali, adakah yang tidak seimbang di dalam- nya.” (QS. al-Mulk [67]: 3). | |||
Lewat manifestasi nama Allah al-Hafîdz serta lewat karunia- Nya, setiap benih memperlihatkan apa yang diwarisi dari induk dan asalnya tanpa kurang sedikit pun. | |||
Dengan semua itu, al-Hafîdz yang telah melakukan penjagaan mengagumkan tersebut, mengisyaratkan sifat penjagaan-Nya yang akan tampak secara sangat jelas di hari kebangkitan dan di hari kiamat yang agung nanti. | |||
Ya, penjagaan dan pengawasan Allah pada berbagai urusan yang sederhana itu merupakan bukti nyata bahwa Dia akan menjaga dan menghitung semua hal yang penting dan berpengaruh seperti amal perbuatan para khalifah di muka bumi berikut prestasinya, tingkah laku dan ucapan para pengemban amanah itu, serta berbagai kebajikan dan kejahatan para hamba Tuhan Yang Maha Esa.“Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja.” | |||
(QS. al-Qiyamah [75]: 36). | |||
Tentu saja manusia akan dibangkitkan menuju keabadian, akan diberikan kebahagiaan yang kekal atau kemalangan yang kekal, serta akan dihisab sehingga bisa mendapat pahala atau mendapat siksa. | |||
Demikianlah, ada banyak sekali bukti yang menunjukkan manifestasi nama Allah al-Hafîdz dan menerangkan hakikat ayat di atas. Contoh di atas baru sebagian kecil saja. Ia baru segenggam dari seonggok makanan, baru seciduk dari lautan, baru sebutir dari bebatuan yang banyak, baru setitik dari padang pasir yang luas, dan baru setetes dari air jernih yang turun dari langit. Maha suci Allah Yang Maha Menjaga, Maha Mengawasi, Maha Menyaksikan, dan Maha Menghitung. | |||
سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ | سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ | ||
------ | ------ | ||
<center> [[On Altıncı Lem'a]] ⇐ [[Lem'alar]] | ⇒ [[On Sekizinci Lem'a]] </center> | <center> [[On Altıncı Lem'a/id|CAHAYA KEENAM BELAS]] ⇐ | [[Lem'alar/id|Al-Lama’ât]] | ⇒ [[On Sekizinci Lem'a/id|CAHAYA KEDELAPAN BELAS]] </center> | ||
------ | ------ | ||
17.47, 23 Aralık 2024 itibarı ile sayfanın şu anki hâli
(Kumpulan Memoar)
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ
Pendahuluan
Dua belas tahun sebelum penulisan “cahaya” ini,(*[1]) berkat taufik dan pertolongan Allah, aku telah menulis berbagai persoalan tauhid serta beberapa hal yang terkait dengannya pada saat pikiranku sedang merenung, kalbuku sedang melanglang buana, dan jiwaku sedang naik dalam tangga makrifah ilahiah. Aku tuliskan itu semua dengan bahasa Arab dalam bentuk “memoar” yang terdapat pada berbagai risalah berjudul kemilau, nyala, aroma, benih, atom, butiran, dan sejenisnya.Karena semua memoar itu ditulis hanya untuk memperlihatkan pendahuluan sebuah hakikat agung dan luas, serta untuk menampakkan kilau cahaya yang cemerlang, maka ia berbentuk lintasan pikiran dan peringatan singkat. Aku menuliskannya untuk diriku sendiri se- hingga pemanfaatannya bersifat terbatas. Apalagi sebagian besar saudara-saudaraku yang tulus itu tidak memahami bahasa Arab. Tetapi setelah mereka meminta dan memaksa, akhirnya penjelasan tentang sebagian memoar dan cahaya itu kutuliskan dalam bahasa Turki. Dan bagian yang lain aku terjemahkan.
Terjemahan ke bahasa Turki tersebut dilakukan tanpa ada perubahan apa pun. Sebab, ide-ide yang terdapat pada berbagai risalah bahasa Arab tadi bagiku tampak seperti benar-benar nyata. Hal itu terjadi ketika aku mulai “menimba” dari telaga ilmu hakikat. Karena itu, ada sebagian kalimat yang disebutkan kembali walaupun telah disebutkan dalam risalah-risalah lain. Sementara sebagian lainnya disebutkan secara sangat singkat dan tidak dipaparkan seperti yang diminta agar roh aslinya tidak hilang.
Memoar Pertama
Aku berbisik kepada diriku sendiri, “Ketahuilah wahai Said yang lalai, kalbumu tidak pantas untuk diikat dan dikaitkan dengan sesuatu yang takkan menyertaimu setelah dunia ini musnah. Ia berpisah denganmu sejalan dengan musnahnya dunia. Sama sekali tidak masuk akal mengikat kalbu dengan sesuatu yang fana, yang mening- galkanmu dan berbalik membelakangimu dengan berlalunya umurmu, yang tidak menemanimu di alam barzakh, yang tidak mengan- tarkanmu ke pintu kubur, yang dalam setahun atau dua tahun akan berpisah selamanya denganmu seraya mewariskan dosanya padamu, dan yang akan meninggalkanmu padahal engkau senang ketika mendapatkannya.
“Jika engkau cerdas dan berakal, engkau tidak akan bersedih dan kecewa. Tinggalkan segala sesuatu yang tidak akan menyertaimu dalam perjalanan abadi itu, di mana ia bahkan hancur di bawah tekanan dan perubahan dunia, di bawah perkembangan alam barzakh, dan di bawah pecahnya alam akhirat.
“Tidakkah engkau mengetahui bahwa dalam dirimu ada latifah (perasaan) yang hanya bisa terpuaskan dengan keabadian, yang hanya mengarah pada Dzat Yang Kekal, dan melepaskan diri dari selain-Nya? Bahkan ketika seluruh dunia diberikan kepadanya, kebutuhan fitri tersebut tidak akan merasa tenteram. Itulah penguasa latifah dan perasaanmu. Patuhilah penguasa latifahmu yang tunduk kepada perintah Tuhannya Yang Mahabijak, dan selamatkanlah dirimu!”
Memoar Kedua
Aku menyaksikan dalam sebuah mimpi yang benar bahwa aku berkata kepada manusia; “Wahai manusia! Di antara prinsip-prinsip al-Qur’an adalah hendaknya engkau tidak menganggap sesuatu selain Allah lebih besar daripada dirimu sehingga engkau menyembahnya. Juga, hendaknya engkau tidak menganggap dirimu lebih besar daripada segala sesuatu sehingga engkau bersikap sombong padanya. Sebab, segala sesuatu selain Allah kedudukannya sama sebagai ciptaan yang tidak patut disembah, dan dari sisi penciptaan sama-sama sebagai makhluk.”
Memoar Ketiga
Wahai Said yang lalai, engkau melihat dunia yang cepat berlalu ini seolah-olah kekal abadi. Ketika engkau menatap cakrawala di sekitarmu yang dalam batas tertentu senantiasa canggung, baik secara kualitas maupun kuantitas, maka dengan perspektif yang sama engkau menganggap dirimu yang fana ini abadi pula. Karena itu, engkau baru tercengang oleh dahsyatnya hari kiamat, seolah-olah engkau akan kekal sampai kiamat tiba.
Sadarlah! Engkau dan duniamu pada setiap saat sangat rentan terhadap perpisahan dan kemusnahan. Perasaan dan asumsimu yang salah itu tak ubahnya seperti orang yang ditangannya terdapat cermin yang menghadap ke sebuah istana, negeri, atau taman seh- ingga istana, negeri, dan taman tersebut tampak di cermin tadi. Namun jika cermin itu digerakkan dan diubah sedikit saja, akan terjadi kekacauan pada gambar cermin tadi.
Maka, tak ada gunanya engkau berlama-lama dengan istana, negeri, dan taman itu, sebab kesemuanya hanya merupakan gambar yang dipantulkan oleh cermin sesuai dengan ukuran cermin tersebut. Ketahuilah bahwa hidup dan umurmu hanyalah ibarat cermin. Perhatikan cerminmu itu, beserta kemungkinan kemusnahannya dan kerusakan isinya pada setiap saat.
Ia memberikan gambaran bahwa seolah-olah kiamatmu bisa datang setiap saat. Jika demikian, janganlah engkau bebani hidup dan duniamu di luar kapasitasnya.
Memoar Keempat
Ketahuilah, di antara hukum Sang Pencipta Yang Mahabijak pada umumnya adalah bahwa Dia mengembalikan sesuatu yang penting, bernilai, dan mahal dengan yang serupa, bukan dengan sesuatu yang menyerupainya. Maka, ketika Dia memperbaharui sebagian besar entitas dengan sesuatu yang serupa—sejalan dengan perputaran waktu dan perubahan masa—maka Dia mengembalikan sesuatu yang bernilai dengan menghadirkan wujudnya. Perhatikanlah pada apa yang muncul pada setiap hari, setiap tahun, dan setiap masa. Engkau saksikan kaidah baku tersebut sangat jelas tampak pada semuanya.
Atas dasar itulah, kita dapat mengatakan bahwa ilmu pengetahuan telah mengakui manusia sebagai buah pohon penciptaan yang paling sempurna. Ia merupakan makhluk terpenting di antara semua makhluk yang ada, entitas termahal di antara seluruh entitas yang ada, dan setiap individu darinya senilai dengan satu spesies makhluk hidup yang ada.
Karena itu, dapat dipastikan bahwa setiap individu manusia akan dikembalikan pada hari kebangkitan yang agung nanti dengan wujud, jasad, nama, dan bentuknya sendiri.
Memoar Kelima
Ketika “Said Baru” melakukan perenungan dan refleksi, berbagai pengetahuan filosofis Barat beserta berbagai disiplinnya yang tadinya sempat bersemayam di pikiran “Said Lama” berubah menjadi penyakit-penyakit kalbu yang menyebabkan munculnya berbagai problem dan dilema di dalam perjalanan spiritual tersebut. Yang bisa dilakukan “Said Baru” hanyalah membersihkan pikirannya dari filsafat palsu dan peradaban yang berhura-hura itu. Ia melihat dirinya harus melakukan dialog baru dengan sosok Barat guna menekan hasrat jiwanya yang condong kepada Barat. Kadangkala dialog tersebut singkat, tetapi kadangkala pula panjang.
Agar tidak salah paham, kami harus menegaskan bahwa Barat ada dua:
Pertama, Barat yang memberikan manfaat bagi umat manusia, yang berisi agama Nasrani yang benar, serta yang telah melayani kehidupan sosial mereka dengan beragam industri dan pengetahuan yang mengabdi pada keadilan dan kejujuran. Dalam dialog ini, aku tidak akan berbicara dengan bagian pertama tersebut.
Tetapi aku akan berbicara dengan Barat yang kedua, yaitu Barat yang telah rusak oleh gelapnya filsafat ateisme dan hancur oleh filsafat materialisme di mana ia menganggap keburukan sebagai kebaikan, dan menempatkan kejahatan sebagai keutamaan.
Dengan begitu ia telah menggiring umat manusia menuju kebodohan dan menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan dan derita.Dalam perjalanan spiritual tersebut, setelah terlebih dahulu mengecualikan hal-hal baik dari peradabannya dan hasil-hasil pengetahuannya yang bermanfaat, aku pun berdialog dengan sosok Barat. Pembicaraanku ditujukan kepada sosok yang menggenggam filsafat berbahaya dan peradaban yang rusak itu. Aku berkata kepadanya:
Wahai Barat kedua, ketahuilah bahwa tangan kananmu tengah menggenggam filsafat yang sesat dan beracun, sementara tangan kirimu sedang menggenggam kebudayaan yang berbahaya dan hina. Namun kemudian engkau mengklaim bahwa kebahagiaan manusia bergantung pada keduanya. Sungguh kedua tanganmu telah cacat, pemberianmu adalah pemberian yang paling buruk, dan bencana akan segera menimpamu. Itu pasti terjadi.
Wahai jiwa jahat yang menebarkan kekufuran! Apakah menurutmu manusia bisa bahagia karena sekadar mempunyai harta kekayaan melimpah yang ia pakai sebagai hiasan lahiriah yang menipu, padahal jiwa, perasaan, akal, dan kalbunya sedang terserang oleh berbagai musibah? Apakah kita bisa menyebutnya sebagai orang yang bahagia?
Apakah engkau tidak melihat bahwa karena keputusasaan seseorang akibat perintah parsial, tidak adanya harapan akibat angan-angan yang palsu dan kekecewaan orang akibat sebuah urusan yang tidak penting, maka khayalan-khayalan manis menjadi pahit baginya, kondisi-kondisi baik menganiayanya, dan dunia terasa sempit baginya seperti penjara.
Kebahagiaan macam apa yang kau jaminkan bagi orang malang yang relung-relung kalbu dan fondasi jiwanya ditimpa oleh tamparan kesesatan, sehingga semua harapannya menjadi hilang, berubah menjadi penderitaan akibat kesialanmu? Orang yang jiwa dan kalbunya tersiksa di neraka, sementara hanya fisiknya yang berada di surga yang dusta dan fana ini, apakah ia bisa dikatakan bahagia?Demikianlah engkau menyesatkan manusia yang tak berdaya seperti ini. Engkau membuat mereka mengecap siksa neraka dalam kenikmatan surga yang penuh dusta.
Wahai jiwa yang memerintah umat manusia! Perhatikan contoh berikut ini dan pahamilah ke mana sebenarnya engkau mengajak umat manusia. Misalnya di hadapan kita ada dua jalan. Kita meniti salah satunya. Pada setiap langkah di jalan tersebut kita menyaksikan orang-orang malang yang lemah sedang diserang oleh kaum zalim. Kaum lalim itu merampas harta dan kekayaan mereka, serta meng- hancurkan rumah-rumah dan gubuk-gubuk mereka. Bahkan kaum tersebut melukai mereka secara kejam sehingga langitpun nyaris menangisi kondisi mereka yang menyedihkan. Sejauh mata memandang, kondisi inilah yang tampak. Yang terdengar di jalan ini hanyalah kegaduhan dan keributan kaum lalim, serta rintihan orang-orang yang teraniaya. Seolah-olah upacara duka sedang menyelimuti jalan tersebut.Sesuai dengan naluri kemanusiaannya yang ikut merasa sakit dengan penderitaan yang dialami orang lain, manusia tidak akan tahan dengan siksaan luar biasa yang dilihatnya di jalan itu. Karena itu, orang yang meniti jalan tersebut pastilah melakukan salah satu dari dua hal berikut: entah ia melepaskan naluri kemanusiaannya lalu membawa kalbu yang kesat dan sangat kasar sehingga tidak merasa pilu dengan hancurnya masyarakat selama ia sendiri bisa aman dan selamat. Atau, ia menanggalkan apa yang menjadi tuntutan kalbu dan akal.
Wahai Barat yang telah menjauh dari agama Nasrani serta tenggelam dalam kebodohan dan kesesatan. Dengan tipu muslihatmu yang keji seperti Dajjal, engkau telah mempersembahkan kondisi jahannam kepada jiwa umat manusia. Selanjutnya engkau mengetahui bahwa kondisi tersebut merupakan penyakit kronis yang tidak ada obatnya. Sebab, ia membuat manusia terjatuh dari puncak yang paling tinggi ke dasar yang paling bawah dan ke tingkat binatang yang paling rendah.
Penyakit kronis ini tidak ada obatnya, kecuali permainanmu yang menarik yang, untuk sementara waktu, bisa mematikan perasaan dan kesadaran di samping seleramu yang membuai. Dengan demikian, binasalah engkau beserta obat yang sebetulnya akan menghancurkanmu itu. Ya, jalan yang ada di hadapan umat manusia sekarang ini seperti contoh di atas.
Sementara jalan yang kedua adalah jalan yang dipersembahkan al-Qur’an kepada seluruh manusia. Ia menunjukkan jalan yang lurus kepada mereka. Kami menyaksikan pada setiap rumah, pada setiap tempat, dan pada setiap kota yang ada di jalan tersebut sejumlah prajurit yang patuh terhadap penguasa yang adil. Mereka berjalan dan menyebar ke setiap sisinya. Setiap waktu utusan dan pesuruh raja yang adil itu datang. Para pesuruh tersebut membebaskan sebagian prajurit tadi dari tugas-tugasnya atas perintah raja sekaligus menerima senjata, tank-tank, dan perlengkapan khusus mereka, seraya memberikan kartu pembebasan tugas kepada mereka. Para prajurit yang mendapat ampunan itu betul-betul sangat gembira dan senang karena bisa kembali ke hadapan raja dan ke kediamannya, meskipun secara lahiriah mereka bersedih atas diambilnya tank dan perlengkapan tadi.
Kita juga menyaksikan bagaimana para pesuruh raja tersebut menemui prajurit yang tidak dikenal. Ketika mereka berkata, “Serahkanlah senjatamu!” sang prajurit menjawab, “Aku adalah prajurit raja yang agung. Aku tunduk pada perintahnya dan mengabdi padanya. Juga, kepadanya aku kembali. Lalu siapa kalian sehingga mau mengambil pemberian raja agung itu dariku? Jika engkau datang atas izin dan ridhanya, tunjukkanlah padaku perintahnya itu. Jika tidak, menyingkirlah dariku. Aku akan memerangi kalian meskipun aku hanya seorang diri dan kalian berjumlah ribuan. Sebab, aku tidak berperang untuk diriku, karena ia memang bukan milikku. Tetapi aku berperang demi menjaga amanat penguasa dan majikanku serta demi melindungi kemuliaan dan keagungannya. Karena itu, aku tidak akan tunduk pada kalian.”
Ambillah satu contoh sumber kebahagiaan dari ribuan contoh yang ada di jalan kedua itu. Lalu ikutilah. Sepanjang jalan yang kedua dan selama perjalanan menyusuri jalan tersebut, kita melihat misi pengiriman menuju ke medan keprajuritan yang berlangsung dalam nuansa bahagia, senang, dan suka cita. Itulah yang disebut dengan “kelahiran”. Selain itu, ada pembebasan dari tugas keprajuritan yang juga berlangsung secara bahagia, diiringi ucapan tahlil dan takbir. Itulah yang disebut dengan “kematian”. Inilah yang dipersembahkan oleh al-Qur’an kepada umat manusia. Siapa berpegang padanya, niscaya ia bahagia, baik di dunia maupun di akhirat. Ia akan berjalan di jalannya yang kedua dalam bentuk yang indah tadi tanpa bersedih dan menyesali apa-apa yang hilang darinya. Serta, tanpa takut dan gentar dengan apa yang akan datang kepadanya sehingga persis seperti bunyi ayat al-Qur’an: “Mereka tidak khawatir dan juga tidak bersedih.” (QS. al-Baqa- rah [2]: 62).
Wahai Barat kedua yang rusak, engkau bersandar pada pilar-pilar yang rapuh. Engkau berpendapat bahwa setiap makhluk hidup berhak mengatur dirinya sendiri, mulai dari malaikat yang paling besar hingga ikan yang paling kecil. Masing-masing berbuat hanya untuk dirinya sendiri. Seseorang berusaha hanya untuk pribadinya sendiri. Karena itu, ia memiliki hak untuk hidup. Yang menjadi per- hatian dan tujuan utamanya adalah bagaimana agar hidupnya tetap abadi. Lalu engkau juga melihat hukum kerjasama yang terjadi di antara makhluk yang sebetulnya merupakan bentuk kepatuhan kepada perintah Tuhan yang sangat jelas tampak di seluruh pelosok alam— seperti tumbuhan yang disediakan untuk hewan dan hewan yang disediakan untuk manusia—sayangnya sunnatullah dan wujud kasih sayang yang berasal dari adanya kerjasama umum itu engkau anggap sebagai permusuhan dan pertarungan. Sehingga dengan sangat dungu engkau menetapkan hidup ini sebagai ajang pertarungan.
Luar biasa! Bagaimana mungkin makanan yang dengan penuh kasih disediakan untuk memberi nutrisi kepada sel-sel tubuh dianggap sebagai pertarungan? Sebaliknya, ia justru merupakan sebuah bentuk tolong-menolong yang berlangsung atas perintah Tuhan Yang Mahabijak dan Mulia.
Keyakinanmu bahwa “setiap sesuatu berkuasa atas dirinya sendiri” jelas salah. Bukti paling nyata yang menunjukkan hal itu adalah bahwa makhluk yang paling utama dan memiliki kehendak paling luas adalah manusia. Meskipun begitu ia tetap tidak memiliki kuasa dan kehendak atas beberapa perbuatan lahiriahnya yang paling kelihatan, seperti makan, berbicara, dan berpikir, kecuali hanya satu persen dan itu pun masih tidak jelas. Jika demikian, bagaimana dengan makhluk yang tidak berkuasa atas satu persen perbuatan lahiriahnya, apakah ia berkuasa mengatur dirinya?! Kalau manusia sebagai makhluk yang paling mulia dan paling memiliki kehendak luas masih terbelenggu, dalam arti tidak memiliki kepemilikan yang hakiki serta tidak berkuasa penuh, apalagi dengan hewan dan tumbuhan? Bukankah orang yang menyatakan bahwa hewan berkuasa atas kendali dirinya lebih sesat ketimbang binatang ternak dan lebih tidak berperasaan ketimbang tumbuhan?
Wahai Barat, yang membuatmu terjerumus ke dalam kesalahan memalukan itu adalah kecerdasanmu yang sangat memprihatinkan. Dengan kecerdasan tersebut engkau telah melupakan Tuhan dan Pencipta segala sesuatu. Sebab, engkau menyandarkan tanda-tanda kekuasaan-Nya yang menakjubkan kepada sebab dan kepada alam. Dan engkau telah membagi kekuasaan Sang Pencipta Yang Mulia itu kepada para tagut yang dijadikan sesembahan selain-Nya. Dengan kerangka berpikir semacam itu, setiap makhluk hidup dan setiap manusia memerangi sendiri para musuh yang tak terhitung banyaknya, serta memperoleh sendiri berbagai kebutuhan yang tak terbatas lewat kemampuannya yang kecil seperti atom, lewat kehendaknya yang seperti helai rambut, lewat perasaannya yang seperti kilau ca- haya yang segera hilang, lewat kehidupannya yang seperti nyala api yang cepat padam, serta lewat umurnya yang seperti satu menit ber- lalu. Padahal, semua yang ada di tangannya tak memadai meskipun untuk sekadar memenuhi salah satu kebutuhannya. Maka ketika misalnya ia terkena suatu penyakit, ia hanya akan mengharap obat atas penyakitnya itu dari sebab-sebab yang tuli ini. Sehingga benarlah apa yang dikatakan oleh al-Qur’an: “Dan permohonan orang-orang kafir itu hanyalah sia-sia belaka. (QS. ar-Ra’ad [13]: 14)
Kecerdasanmu yang gelap itu telah mengubah siangnya umat manusia manjadi malam pekat yang diselimuti oleh berbagai kelaliman. Lalu engkau ingin menerangi kegelapan yang menakutkan itu dengan lampu-lampu tipuan yang bersifat sementara. Lampu-lampu tersebut tidak tersenyum kepada manusia. Tetapi ia justru menghina dan meremehkan manusia lewat tawa yang keluar dari mulutnya secara bodoh. Ia berkutat dalam lumpur yang menyakitkan dan menyedihkan.
Dalam pandangan murid-muridmu, setiap makhluk hidup berada dalam kondisi yang malang dan diuji oleh berbagai musibah yang berasal dari serangan orang-orang lalim. Dunia ibarat kerumunan orang yang sedang berduka. Suara yang terdengar darinya berupa ucapan bela sungkawa, rintihan kesakitan, dan tangisan anak-anak yatim.
Orang yang menerima pelajaran darimu dan meminta petunjukmu menjadi “sosok Firaun” yang kejam. Bahkan ia adalah seorang Firaun yang hina, sebab ia menyembah sesuatu yang paling rendah dan menjadikan setiap yang bermanfaat sebagai tuhannya.
Muridmu itu juga adalah “sosok pembangkang”. Tetapi ia adalah pembangkang yang malang. Sebab, demi sebuah kenikmatan yang tak ada artinya ia menciumi kaki setan, dan demi sebuah manfaat yang sedikit ia rela merendahkan diri.
Ia adalah “sosok yang bengis”. Tetapi di balik kebengisannya sebetulnya ia lemah. Sebab, di dalam kalbunya ia tak memiliki tempat untuk bersandar.
Yang menjadi kecenderungan dan perhatian utama muridmu adalah bagaimana memenuhi selera dan hawa nafsunya. Bahkan ia merupakan pembuat makar yang mencari keuntungan pribadi di balik nasionalisme dan pengorbanan. Dengan makar dan kebusukannya, ia menuruti ketamakan dan kerakusannya. Yang ia cintai hanyalah dirinya sendiri. Bahkan untuk itu ia mau mengorbankan segala sesuatu.
Adapun murid al-Qur’an yang ikhlas dan tulus, ia adalah “sosok hamba”. Tetapi ia adalah hamba yang tidak mengabdi pada makhluk yang paling besar sekalipun. Ia merupakan hamba yang mulia. Ia tidak mau menjadikan surga—kenikmatan yang agung itu—sebagai tujuannya. Sebab ia telah menghambakan diri kepada Allah . Ia sosok yang “lemah lembut”.
Tetapi ia tidak mau menghinakan diri kepada selain Tuhannya dan kepada selain perintah-Nya. Ia adalah pemilik tujuan luhur dan tekad yang jujur.
Ia “sosok yang miskin”. Tetapi di balik kemiskinannya ia tidak membutuhkan segala sesuatu karena merasa cukup dengan pahala besar yang Allah sediakan untuknya.
Ia juga “sosok yang lemah”. Namun ia bersandar pada kekuatan Majikan yang bersifat mutlak. Murid al-Qur’an yang tulus itu tidak mau menjadikan surga sebagai tujuan utamanya.
Apalagi dengan dunia yang fana ini. Dari sini, pahamilah perbedaan kedua murid tersebut!
Demikian pula kalian bisa mengukur jauhnya perbedaan antara para murid filsafat yang sakit itu dan para murid al-Qur’an yang bijak dari sisi pengorbanan mereka masing-masing sebagai berikut:
Murid filsafat Barat tersebut menjauh dari saudaranya karena lebih mementingkan dirinya sendiri. Bahkan sesudah itu ia memberikan tuduhan buruk kepada saudaranya tadi.
Adapun murid al- Qur’an, ia melihat semua hamba Allah yang saleh yang berada di muka bumi ini sebagai saudara baginya. Dari relung-relung jiwanya muncul rasa rindu yang menariknya untuk mendekat kepada mere- ka. Lalu ia mendoakan mereka secara tulus, bersumber dari kalbunya yang tulus dengan mengucapkan‘Ya Allah, ampunilah kaum beriman, baik yang laki-laki maupun yang perempuan’. Ia turut bahagia dengan bahagianya mereka. Bahkan ia me- mandang benda-benda agung seperti arasy dan matahari sebagai makhluk yang diperintah dan ditundukkan sepertinya.
Lalu engkau bisa mengukur ketinggian dan kelapangan jiwa kedua murid tersebut dengan penjelasan berikut: Al-Qur’an al-Karim memberikan ketinggian dan kelapangan jiwa kepada para muridnya. Sebab, sebagai ganti dari sembilan puluh sembilan butiran tasbih—sebuah rangkaian yang tersusun dari biji-biji itu—diberikan ke tangan mereka sembilan puluh sembilan alam wujud yang memperlihatkan sembilan puluh sembilan nama-nama-Nya yang mulia seraya berkata, “Bacalah wirid-wiridmu dengan rangkaian tasbih itu!” Sesuai dengan perannya, mereka pun membaca wirid-wirid mereka dengan tasbih itu dan mereka mengingat Tuhan mereka dengan bilangannya yang tak terbatas.Engkau bisa melihat para murid al-Qur’an yang terdiri dari para wali saleh semacam syekh Abdul Qadir al-Jailani, syekh ar-Rifâ’i,(*[2])dan syekh asy-Syâdzili,(*[3])lalu dengarkanlah bacaan wirid mereka. Lihatlah bagaimana tangan mereka memegang rangkaian tasbih lalu mereka mengingat Allah, bertasbih, dan mensucikan-Nya.
Perhatikan bagaimana manusia yang kurus dan kecil itu, yang bisa dikalahkan oleh mikroba paling kecil dan oleh derita yang paling ringan, bisa naik menjadi tinggi. Perhatikan bagaimana ia bisa menjadi mulia lewat didikan al-Qur’an yang luar biasa sehingga jiwanya menjadi lapang dan bersinar berkat limpahan petunjuk al-Qur’an. Karena itu, ia menganggap kecil entitas alam yang paling besar sekalipun dengan tidak menjadikannya sebagai tasbih wirid-wiridnya. Bahkan ia tidak mau menjadikan surga yang besar itu sebagai tujuan zikirnya kepada Allah . Meskipun pada waktu yang sama, ia tidak merasa dirinya lebih mulia dari makhluk Allah yang paling rendah sekalipun. Ia sisipkan sikap tawadhu di dalam kemuliaannya. Dari sini, engkau bisa menilai hinanya para murid filsafat Barat itu.
Demikianlah, berbagai hakikat yang dilihat oleh filsafat Barat sebagai sesuatu yang kabur dan palsu dapat dilihat oleh petunjuk al- Qur’an secara sangat jelas. Cahaya itulah yang melihat dua alam itu sekaligus dengan dua mata yang terang dan tembus ke alam gaib. Dan dengan dua tangannya ia menunjukkan dua kebahagiaan seraya bersabda kepada umat manusia: Wahai manusia, jiwa dan harta yang kalian miliki sebetulnya bukan merupakan milk kalian. Tetapi ia merupakan amanat yang ada padamu. Pemilik amanat tersebut Maha Berkuasa atas segala sesuatu, Maha Mengetahui segala sesuatu, serta Maha Menyayangi dan Maha Mulia. Dia membeli milik-Nya darimu untuk dijaga agar tidak hilang di tanganmu. Dengan itu, Dia juga akan memberikan harga yang tinggi kepadamu. Engkau hanyalah seorang prajurit yang dibebani tugas. Bekerjalah untuk-Nya dan berusahalah atas nama-Nya. Dialah yang mengirimkan rezeki yang kamu butuhkan serta Dia pula yang memeliharamu dari sesuatu yang tak bisa kau hadapi.
Tujuan dan akhir hidupmu adalah bagaimana engkau menjadi sosok yang memperlihatkan manifestasi nama-nama Sang Pemilik itu sekaligus memantulkan segala urusan-Nya yang penuh hikmah. Apabila engkau mendapat musibah, ucapkan:
“Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.” (QS. al-Baqarah [2]: 156). Maksudnya, aku tunduk pada semua kehendak Majikanku. Jika engkau, wahai musibah, datang atas izin dan nama Allah, kuucap- kan selamat datang padamu. Kami memang pasti kembali dan menghadap kepada-Nya. Kami benar-benar rindu kepada-Nya. Kalau pada suatu hari Dia akan membebaskanku dari beban kehidupan ini lewat tanganmu, wahai musibah, aku pasrah dan ridha. Tetapi kalau Dia mengirimkan perintah dan kehendak-Nya kepadamu untuk sekadar menguji sejauh mana aku bisa menjaga amanah dan sejauh mana aku melaksanakan tugasku, maka aku pun sekuat tenaga tidak akan menyerahkan amanat Majikanku itu kepada orang yang tidak amanah. Aku tidak akan tunduk kepada selain perintah dan ridha- Nya.
Engkau bisa mengambil contoh lain dari ribuan contoh yang ada untuk mengetahui nilai ajaran filsafat Barat dan kedudukan ajaran-ajaran al-Qur’an. Ya, kondisi hakiki dari masing-masing pihak di atas berjalan di atas koridor tersebut. Hanya saja kemudian tingkatan petunjuk dan kesesatan yang dimiliki manusia berbeda-beda. Tingkat kealpaan yang ada juga beragam.
Karena itulah, tidak semua orang mengetahui hakikat pada setiap tingkatan itu. Sebab, kealpaan bisa menghilangkan perasaan dan kesadaran manusia. Pada masa sekarang ini, ia juga telah membius perasaan dan kesadaran manusia hingga pada tingkat di mana mereka yang berjalan dalam kereta peradaban modern ini tidak lagi merasakan sakit dan pahitnya siksaan yang pedih itu. Namun, tirai kealpaan tersebut mulai koyak sejalan dengan berkem-bangnya kesadaran ilmiah, disamping adanya ancaman berupa kematian yang memperlihatkan jenazah sekitar tiga ribu orang setiap hari.
Betapa kasihan dan malang orang yang tersesat oleh para tagut asing dan oleh pengetahuan mereka yang bersifat materialis dan ateis itu. Betapa rugi orang-orang yang bertaklid buta dan mengekor ke- pada Barat.
Wahai putra-putri bangsa, janganlah kalian mengekor kepada Barat. Apakah setelah menyaksikan kezaliman dan permusuhan Barat yang keji, kalian masih mau mengikuti kedunguan mereka dan mengikuti kerangka berpikir mereka yang salah? Apakah secara tidak sadar kalian mau menyusul barisan mereka dan bergabung di bawah panji mereka? Dengan begitu berarti kalian telah menghukum mati diri kalian sendiri dan saudara-saudara kalian. Jadilah orang yang sadar dan cerdas. Setiap kali kalian mengikuti kedunguan dan kesesatan mereka berarti pengorbanan yang kalian tampakkan hanyalah dusta belaka. Sebab, sikap tersebut merupakan bentuk peng- hinaan terhadap umat dan agama kalian. Semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita dan kalian semua ke jalan yang lurus.
هَدٰينَا اللّٰهُ وَ اِيَّاكُم۟ اِلَى الصِّرَاطِ ال۟مُس۟تَقٖيمِ
Memoar Keenam
Wahai orang yang gundah dan gelisah melihat banyaknya kaum kafir. Wahai orang yang terguncang oleh kesamaan sikap mereka dalam mengingkari hakikat keimanan. Ketahuilah, wahai orang yang malang: Pertama, bahwa yang dinilai dan dilihat bukanlah besarnya kuantitas dan banyaknya jumlah. Jika seorang manusia tidak menjadi manusia yang sebenarnya, berarti ia telah berubah menjadi binatang dan setan. Setiap kali tercebur dalam selera hewani, manusia akan memiliki sifat kebinatangan yang jauh lebih buruk dari binatang itu sendiri. Seperti itulah sebagian orang Barat dan orang-orang yang mengikuti mereka. kemudian engkau bisa menyaksikan manusia yang berjumlah sedikit—jika diukur dengan banyaknya jumlah binatang—bisa berkuasa dan menguasai semua jenis binatang yang ada. Mereka menjadi khalifah di muka bumi ini.
Kaum kafir beserta orang-orang yang mengikuti langkah mereka dalam kebodohan merupakan salah satu jenis binatang kotor yang Allah ciptakan untuk memakmurkan dunia. Allah menjadikan merka sebagai “satuan standar” untuk mengukur beragam nikmat yang Allah berikan kepada para hamba-Nya yang beriman. Kemudian ketika kiamat tiba, Allah memasukkan mereka ke dalam neraka jahannam; seburuk-buruk tempat kembali yang berhak mereka dapatkan.
Kedua, pengingkaran kaum kafir dan kaum yang sesat terhadap hakikat keimanan tidaklah memiliki kekuatan. Penolakan mereka itu sama sekali tidak memiliki pegangan. Juga, kesepakatan mereka tidak bernilai karena berupa peniadaan. Seribu orang yang menging- kari nilainya sama dengan satu orang. Contohnya adalah ketika semua penduduk Istanbul tidak melihat hilal (bulan sabit) di awal Ramadan yang penuh berkah, maka pengakuan dua orang yang melihat bulan akan menjatuhkan nilai kesepakatan mereka semua. Dengan demikian, kesepakatan kaum kafir yang berjumlah banyak itu tidak ada artinya karena substansi kekufuran dan kesesatan adalah penyangkalan, penolakan, kebodohan, dan ketiadaan. Dari sini, nilai dua orang mukmin yang bersandar pada penyaksian terhadap hakikat keimanan yang permanen mengungguli dan mengalahkan kesepakatan kaum yang sesat dan ingkar yang jumlahnya tak terbatas.
Rahasianya adalah sebagai berikut: Pernyataan kaum yang ingkar itu beragam meskipun kelihatannya hanya satu. Sebab, antara yang satu dengan yang lain tidak bisa menyatu untuk saling menguatkan dan mendukung. Sebaliknya, pernyataan mereka yang mengakui kebenaran itu adalah satu, saling mendukung, saling menyokong, dan saling menguatkan. Orang yang tidak melihat hilal Ramadhan berkata, “Hilal tersebut dalam pandanganku tidak ada”, “Menurutku ia tidak ada”, dan yang lain juga mengatakan hal yang serupa. Masing-masing meniadakan dari sudut pandangnya sendiri, bukan berdasarkan kenyataan yang ada. Karena itu, perbedaan pandangan mereka, keragaman sebab yang membuat mereka tidak melihat bulan, serta banyaknya faktor penghalang pada masing-masing pribadi membuat klaim mereka berbeda-beda dan tidak saling menguatkan. Adapun mereka yang mengaku melihat bulan tidak ada yang berkata, “Dalam pandanganku, hilal itu ada.” Juga, tidak ada yang berkata, “Menurutku...” Tetapi ia berkata, “Hilal itu benar-benar ada. Ia ada di langit.” Semua orang yang menyaksikan akan membenarkan pernyataannya itu dan akan ikut menguatkan dengan berkata, “Hilal tersebut benar-benar ada.” Artinya, semua pernyataan yang ada sama.
Karena pandangan orang yang tidak melihat itu berbeda-beda, maka pernyataan mereka juga berbeda-beda. Penilaian mereka sama sekali tidak akan mempengaruhi kenyataan yang ada. Sebab, tidak mungkin menetapkan ketiadaan pada sebuah hakikat yang memang ada. Karena itu, ada kaidah pokok yang berbunyi, “Ketiadaan mutlak hanya bisa ditetapkan lewat berbagai kesulitan yang hebat.”
Ya, jika engkau mengatakan bahwa benda tertentu terdapat di dunia. Maka pernyataan tersebut cukup bisa dibuktikan dengan sekadar melihatnya. Namun jika engkau mengatakan bahwa hal itu tidak ada di dunia. Artinya, engkau meniadakan keberadaannya. Maka, untuk membuktikan ketiadaannya engkau harus mencari, melihat, dan menyaksikannya ke seluruh pelosok dunia.
Berdasarkan hal itu maka penolakan kaum kafir terhadap sebuah hakikat adalah satu walaupun berjumlah seribu. Sebab penolakan tersebut tidak memiliki pegangan. Hal itu sama seperti memecahkan persoalan rasional, melewati lubang, dan melompat di atas parit yang tidak ada pegangan di dalamnya.Adapun orang-orang yang mengakui keberadaan sesuatu, mereka melihat kenyataan yang ada secara langsung. Pengakuan mereka satu dan saling menguatkan seperti adanya kerjasama di dalam mengangkat batu karang yang besar. Semakin banyak tangan yang membantu, semakin mudah pula dalam mengangkatnya di mana masing-masing mendapat kekuatan dari yang lain.
Memoar Ketujuh
Wahai yang mendorong kaum muslimin untuk mencintai harta dunia serta menggiring mereka dengan paksa untuk memilih produk asing dan mengekor pada kemajuan mereka. Wahai yang mengaku memiliki semangat nasionalisme, wahai orang yang malang, berhentilah dan renungkanlah! Jangan sampai kendali dan ikatan agama setiap individu umat terputus. Sebab, ketika ikatan sebagian mereka terputus akibat pengaruh sikap taklid buta dan perilaku yang tolol, mereka akan menjadi sosok-sosok ateis yang berbahaya bagi masyarakat dan merusak kehidupan sosial seperti racun mematikan. Sebab, orang yang murtad adalah racun mematikan bagi masyarakat. Perasaan dan seluruh kepribadiannya telah rusak. Karena itu, dalam ilmu ushul disebutkan, “Orang yang murtad tidak memiliki hak dalam hidup, berbeda dengan orang kafir dzimmi atau orang kafir yang telah membuat perjanjian. Mereka masih memiliki hak dalam hidup.” Kesaksian orang kafir dzimmi masih bisa diterima menurut mazhab Imam Hanafi, sementara kesaksian orang fasik tertolak(*[4])karena suka berkhianat.
Wahai orang fasik yang celaka, janganlah engkau bangga dengan banyaknya orang fasik. Juga, jangan engkau berkata, “Pikiran kebanyakan orang mendukung dan menyokongku.” Sebab, seorang fasik tidak menjadi fasik karena keinginannya sendiri atau karena permintaannya. Tetapi ia terjerumus ke dalamnya tanpa bisa keluar. Setiap orang fasik pasti berkeinginan untuk menjadi orang yang bertakwa dan saleh. Di samping itu, ia pun berharap agar pemimpinnya juga seorang yang saleh. Kecuali, orang yang hati nuraninya busuk. Ia akan menikmati, menggigit, dan menyakiti orang seperti layaknya ular.
Wahai akal yang bodoh dan kalbu yang rusak, apakah engkau menduga kaum muslimin tidak menginginkan dan memikirkan dunia sehingga mereka menjadi fakir miskin. Sehingga, menurutmu perlu ada yang membangunkan mereka dari tidurnya agar tidak lupa akan bagian mereka di dunia? Tidak, dugaanmu sungguh salah. Tetapi yang ada adalah ketamakan yang amat sangat. Mereka berada dalam kefakiran dan kelaparan sebagai akibat dari ketamakan. Sebab, ketamakan orang mukmin adalah faktor penyebab kegagalan dan kemiskinan.
Ada perumpamaan yang berbunyi, “Orang yang tamak selalu gagal dan merugi.”
Ya, faktor-faktor yang mengajak manusia kepada dunia sangat banyak dan sarana-sarana yang mengantar manusia kepadanya beragam. Yang pertama-tama adalah nafsu ammârah, lalu hawa nafsu, kebutuhan, indra, perasaan, setan, dan teman-teman jahat sepertimu, kenikmatan yang bersifat sementara, ditambah oleh banyak- nya jumlah orang yang menyeru kepadanya. Sementara orang-orang yang menyerukan alam akhirat dan orang-orang yang membimbing manusia menuju kehidupan abadi sangat sedikit.Jika engkau memiliki benih semangat nasionalisme dan kehor- matan untuk umat ini, jika engkau jujur dalam pengakuanmu un- tuk berkorban dan mementingkan orang lain, maka engkau harus mengulurkan bantuan bagi mereka yang menyeru ke alam keabadi- an yang berjumlah sedikit itu. Namun jika engkau justru membantu yang banyak tadi, lalu membungkam mulut para da’i yang sedikit itu, berarti engkau telah menjadi teman setan.
Dan sungguh ia merupakan teman yang buruk. Atau, apakah engkau mengira bahwa kemiskinan kami bersumber dari sifat zuhud atau dari kemalasan yang diakibatkan oleh sikap meninggalkan dunia? Perkiraanmu itu lebih salah lagi. Tidakkah engkau melihat bahwa orang Majusi, para Brahma yang ada di Cina dan India, orang-orang Negro yang ada di Afrika, serta bangsa-bangsa lemah lainnya yang jatuh ke dalam kekuasaan Eropa; mereka lebih malang dari kami.
Tidakkah engkau melihat bahwa yang bisa dilakukan kaum muslimin hanyalah bagaimana untuk bisa bertahan hidup. Sebab kaum kafir Barat yang lalim itu telah menjarah harta mereka, serta kaum munafik Asia dengan tipu muslihatnya yang keji telah mencuri kekayaan mereka.
Jika tujuan kalian menggiring kaum mukminin secara paksa kepada peradaban yang hina itu untuk memudahkan mengatur roda pemerintahan dan untuk menebarkan rasa aman di seantero kerajaan, maka engkau telah salah besar. Sebenarnya engkau sedang menggiring umat ini menuju jurang jalan yang rusak. Sebab, mengatur dan menebarkan rasa aman di antara seratus orang fasik yang berakhlak rusak jauh lebih sulit daripada mengatur dan menebarkan rasa aman di antara ribuan orang saleh yang bertakwa.
Karena itu, kaum muslimin tidak membutuhkan adanya rangsangan dan dorongan untuk cinta dan tamak terhadap dunia. Sebab dengan cara itu, kemajuan dan perkembangan tidak akan dapat diraih, serta rasa aman dan keteraturan di seluruh wilayah kerajaan takkan tersebar. Yang mereka butuhkan adalah pengaturan usaha, penumbuhan rasa percaya diri, dan penerapan prinsip tolong menolong di antara mereka. Tentu saja semua itu hanya bisa terlaksana dengan mengikuti semua perintah agama, teguh di atasnya, serta senantiasa bertakwa kepada Allah dan mencari ridha-Nya.
Memoar Kedelapan
Wahai orang yang tidak mendapat kenikmatan dan kebaha- giaan dalam berusaha dan bekerja. Wahai orang yang malas, ketahuilah bahwa Allah —dengan kesempurnaan rahmat-Nya—telah memasukkan upah dari sebuah pengabdian ke dalam pengabdian itu sendiri, dan meleburkan balasan dari sebuah amal ke dalam amal itu sendiri. Oleh karena itu, segala yang ada di alam ini termasuk benda-benda mati—dari perspektif tertentu—melaksanakan perintah-perintah Tuhan dengan penuh kecintaan. Mereka melakukan tugas-tugasnya yang disebut dengan awâmir takwîniyah dengan rasa senang. Seluruh makhluk, mulai dari lebah, semut, dan burung sampai kepada matahari dan bulan, semuanya melakukan tugas mereka dengan sangat senang. Dengan kata lain, kenikmatan dan kesenang- an tersebut menghiasi tugas mereka. Yaitu mereka mengerjakan tugas yang ada dengan sangat rapi, meskipun tidak mengetahui apa yang sedang dilakukan dan tidak memahami tujuannya.
Barangkali engkau bertanya, Kalau makhluk hidup merasakan kenikmatan, itu masih mungkin. Tetapi kalau benda mati, apakah ia juga merasakan rasa cinta dan kenikmatan yang sama?
Pertanyaan di atas bisa dijawab sebagai berikut: Semua ben- da mati menginginkan kehormatan, kedudukan, kesempurnaan, keindahan, dan keteraturan. Bahkan ia mencari dan membutuhkan semua itu untuk memperlihatkan nama-nama Tuhan yang tampak padanya, bukan untuk dirinya sendiri. Karena itu, di saat memeran- kan tugas alamiah tersebut kedudukannya menjadi bersinar, mulia, dan tinggi di mana ia berposisi sebagai cermin yang memantulkan manifestasi nama-nama “Cahaya segala cahaya”, Allah .Sebagai contoh adalah setetes air dan sepotong kaca. Meskipun benda itu sepele dan berwarna gelap, namun ketika dengan kalbunya yang bersih ia menghadap ke matahari, ia akan berubah menjadi semacam singgasana matahari tersebut. Ia akan menjumpaimu dengan wajah bersinar. Demikian pula dengan atom dan seluruh entitas yang ada.
Dilihat dari tugasnya sebagai cermin yang meman- tulkan manifestasi nama-nama Allah Yang Agung, Yang Indah, dan Yang Sempurna, kedudukan mereka pun naik ke jenjang yang sangat tinggi. Sebab, tetesan dan potongan kegelapan itu naik ke tingkat yang paling jelas dan terang. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa semua entitas mengerjakan semua tugas mereka dengan sangat nikmat dan senang karena dengan itu mereka mendapatkan kedudukan yang bersinar dan tinggi. Bukti paling jelas bahwa kenikmatan itu terdapat dalam tugas dan peran mereka adalah sebagai berikut:
Renungkanlah tugas-tugas organ dan seluruh indramu. Engkau akan melihat bahwa masing-masing merasakan kenikmatan yang beraneka ragam di saat melaksanakan tugasnya dalam menjaga kelangsungan hidup seseorang. Pengabdian dan tugas tersebut merupakan semacam kenikmatan dan kesenangan baginya. Sebaliknya, meninggalkan tugas dan peran yang ada merupakan siksaan menyakitkan bagi organ tersebut.
Bukti nyata lain adalah ayam jantan misalnya. Ia lebih mementingkan ayam betina daripada dirinya sendiri. Ia tinggalkan rezeki yang ia peroleh untuk ayam betina tanpa ada yang dimakannya. Ia melakukan tugasnya yang penting itu dengan sangat senang, bangga, dan nikmat. Dengan begitu, kenikmatan yang ada pada pengabdian tersebut lebih besar daripada kenikmatan pada makan itu sendiri.
Demikian pula dengan ayam betina yang menjaga anak-anaknya. Ia lebih mementingkan mereka ketimbang dirinya sendiri. Ia membiarkan dirinya lapar demi mengenyangkan anak-anaknya. Bahkan ia juga rela berkorban demi mereka. Ia hadapi anjing yang menyerang demi menjaga kelangsungan hidup anaknya.Dengan demikian, di dalam pengabdian terdapat kenikmatan yang melebihi segala sesuatu. Bahkan kenikmatan tersebut mengalahkan rasa lapar dan sakitnya mati. Para induk hewan merasakan kenikmatan yang luar biasa tatkala bisa memberikan perlindungan kepada anak-anaknya yang masih kecil. Namun ketika anaknya itu tumbuh dewasa sehingga tugas sang induk pun selesai, maka kenikmatan tadi menjadi hilang. Sang induk mulai memukul anak yang tadinya ia jaga bahkan kadangkala ia juga merebut makanan anaknya. Inilah hukum Tuhan yang berlaku pada hewan. Tentu saja hal ini berbeda dengan manusia. Dalam kehidupan manusia tugas seorang ibu dengan kualitas tertentu terus berlangsung. Sebab, sifat kekanakan senantiasa terdapat dalam diri manusia di mana kelemahan dan ketidakberdayaan selalu menyertainya sepanjang hidup. Karena itu, ia membutuhkan rasa kasih sayang setiap waktu.
Demikianlah, semua hewan jantan akan sama seperti ayam jantan tadi, sementara semua induknya sama seperti ayam betina. Perhatikan bagaimana mereka tidak melaksanakan tugas dan tidak mengerjakan apa pun untuk dirinya sendiri atau untuk kesempurnaannya pribadi. Tetapi ia melaksanakan tugas demi Sang Pemberi nikmat Yang Mahamulia yang telah memberi berbagai karunia kepadanya, dan demi Sang Pencipta Yang Agung yang telah memberinya tugas tersebut.
Maka, dengan rahmat-Nya yang luas, Allah tanamkan rasa nikmat di balik tugas mereka dan rasa senang dalam pengabdian mereka. Ada bukti lain yang menunjukkan bahwa balasan pahala berada di balik amal itu sendiri. Yaitu aneka ragam tumbuhan dan pohon semuanya melakukan perintah Penciptanya Yang Agung dengan penuh kecintaan dan kenikmatan. Sebab, bau harum yang disebarkan olehnya, keindahan yang ia tampilkan, serta pengorbanan yang ia tunjukkan hingga nafas terakhir demi tangkai dan buahnya, semua itu menginformasikan kepada mereka yang cerdas bahwa:Tumbuhan mendapatkan kenikmatan yang luar biasa, melebihi kenikmatan lainnya, tatkala ia melaksanakan perintah yang ada. Bahkan ia rela membiarkan dirinya hancur dan binasa demi kenikmatan tersebut.
Contohnya pohon kelapa dan pohon tin. Pohon tersebut memberi makan buahnya dengan “susu murni” yang ia minta dan ia terima dari kekayaan rahmat Tuhan. Sementara dirinya hanya memakan tanah. Demikian pula dengan pohon delima. Pohon tersebut memberi minum buahnya dengan minuman yang segar yang ia terima dari Tuhan, sementara ia merasa puas dan cukup dengan air yang keruh. Bahkan hal yang sama dapat engkau jumpai pada biji-bijian.
Ia memperlihatkan kerinduan yang besar agar bulirnya bisa keluar seperti kerinduan seorang tahanan pada kehidupan yang lapang.
Berdasarkan rahasia yang berlaku pada berbagai entitas alam yang disebut dengan sunnatullah itu dan dari aturan agung tersebut kita dapat mengatakan bahwa seseorang yang menganggur, yang malas, yang hanya berbaring di ranjang istirahatnya, kondisinya lebih malang dan dadanya lebih sempit daripada orang yang tekun bekerja. Sebab, seorang yang menganggur hanya mengeluhkan umurnya. Ia ingin umurnya cepat berlalu dalam permainan dan senda gurau. Sementara seorang pekerja yang tekun ia selalu bersyukur dan memuji Allah . Ia tidak ingin menghabiskan waktunya dengan sia-sia.
Karena itu, ada prinsip umum dalam kehidupan yang berbunyi, “Orang yang beristirahat dan menganggur selalu mengeluhkan umurnya. Sedangkan orang yang bekerja dan tekun selalu bersyukur.” Ada pula peribahasa yang artinya sebagai berikut, “Kelapangan ada pada kesusahan dan kesusahan ada pada kelapangan.”
Ya, jika kita memperhatikan benda-benda mati, di situ hukum Tuhan terlihat dengan jelas. Benda mati yang potensinya tidak tampak dan karena itu dari sisi ini ia mempunyai kekurangan, maka ia akan berusaha dan berupaya sekuat tenaga untuk membuka diri dan berpindah dari fase “potensi” ke fase “aksi”. Ketika itu tampak sesuatu yang mengindikasikan bahwa dalam tugas alamiah tersebut tersimpan sebuah kerinduan, dan pada perpindahan itu terdapat kenikmatan yang berjalan sesuai dengan hukum Allah.
Bahkan dari sini kita bisa mengatakan bahwa air yang bening begitu menerima perintah untuk membeku, ia akan melaksanakan perintah tersebut dengan kuat dan senang sampai ke tingkat di mana ia dapat memecahkan dan menghancurkan besi yang ada. Jadi, ketika suhu dingin dan tingkat kebekuan itu menyampaikan perintah Tuhan untuk mengembang kepada air yang terdapat di bola besi yang tertutup, maka air itupun segera melaksanakan perintah tadi dengan kuat dan rasa senang sehingga menghancurkan bola besi tersebut serta membeku.
Berdasarkan hal tersebut, lihatlah semua pergerakan yang terdapat di alam, mulai dari perputaran matahari di porosnya sampai kepada perputaran, gerakan, dan guncangan atom. Karena itu, setiap orang berjalan di atas hukum ketetapan Ilahi. Ia muncul ke alam ini lewat amr takwini yang berasal dari kekuasaan Ilahi dan yang meliputi pengetahuan, perintah, dan kehendak-Nya.
Sehingga setiap atom, setiap entitas, dan setiap yang bernyawa, semuanya ibarat prajurit dalam sebuah pasukan. Ia memiliki hubungan dan tugas yang berbeda-beda, serta mempunyai ikatan yang beraneka ragam dengan masing-masing lingkungannya. Atom yang terdapat di matamu, misalnya, ia mempunyai hubungan dengan sel-sel mata, dengan syaraf- syaraf mata yang ada di wajah, serta dengan urat-urat nadi yang terdapat di tubuh. Dengan hubungan dan ikatan tersebut, ada tugas tertentu baginya serta ada berbagai manfaat dan kemaslahatan yang didapatnya.Amatilah semua entitas yang ada dengan cara yang sama!
Berdasarkan prinsip tersebut segala sesuatu yang ada di alam ini menjadi saksi atas keberadaan Dzat Yang Maha Berkuasa secara mutlak lewat dua sisi:
Pertama, lewat pelaksanaan tugas-tugas yang ribuan kali melebihi kemampuannya yang terbatas. Maka, dengan ketidakberdayaan tersebut ia menjadi saksi atas keberadaan Yang Maha Berkuasa secara mutlak.
Kedua, lewat kesesuaian geraknya dengan berbagai hukum yang membentuk tatanan alam, serta lewat keselarasan aksinya dengan berbagai aturan yang memelihara keseimbangan seluruh entitas.
Maka, dengan kesesuaian dan keselarasan itu, ia menjadi saksi atas keberadaan Dzat Yang Maha Mengetahui dan Berkuasa. Sebab, benda mati seperti atom atau serangga seperti lebah, tidak dapat mengetahui tatanan dan keseimbangan tersebut di mana keduanya adalah bagian dari persoalan penting yang tertulis dalam lembaran kitab ketetapan Tuhan. Tentu saja atom dan lebah tak bisa membaca lembaran kitab yang berada di tangan Dzat yang berfirman:“Pada hari saat Kami melipat langit bagaikan melipat lembaran-lembaran kitab.” (QS. al-Anbiyâ [21]: 104).Tak ada satu pun yang menolak kesaksian atom, kecuali orang yang dengan sangat bodoh mengira bahwa atom tersebut memiliki mata penglihatan yang memungkinkannya untuk membaca huruf- huruf halus yang ada di dalam kitab tadi.
Allah, Sang Maha Pencipta Yang Mahabijak memasukkan hukum-hukum kitab tersebut dengan sangat indah dan memperindahnya dengan sangat ringkas dalam sebuah kenikmatan dan kebutuhan yang secara khusus menjadi milik sesuatu. Maka ketika sesuatu itu berjalan sesuai dengan kenikmatan dan kebutuhan tadi secara tanpa disadari ia sedang melakukan hukum-hukum yang terdapat pada kitab ketentuan Tuhan di atas.
Contohnya, ketika nyamuk lahir dan muncul ke dunia, ia akan beranjak dari sarangnya, lalu menyerang wajah manusia dan memukulnya dengan “tongkat panjangnya” dan “ekor halusnya”. Kemudian dengan itu ia mengeluarkan cairan yang ia serap. Dengan serangan tersebut nyamuk memperlihatkan kemampuan militer yang luar biasa. Makhluk kecil yang baru datang ke dunia tanpa pengala- man tersebut, siapa yang mengajarkan kepadanya kemahiran yang mengagumkan, sebuah teknik perang yang sempurna kecakapan dalam mengeluarkan cairan? Dari mana ia mendapatkan pengetahuan tersebut? Aku yang papa ini mengakui bahwa seandainya aku menggantikan posisinya, pastilah aku baru bisa menguasai keterampilan tersebut, memahami teknik serang dan lari, serta cara-cara mengeluarkan cairan darah setelah melalui pengalaman yang panjang, pelaja- ran yang banyak, dan waktu yang lama.
Selain pada nyamuk, engkau juga akan mendapatkan hal yang sama pada lebah yang pintar, laba-laba, dan burung bulbul yang bisa membuat sarang dengan sangat indah.
Ya, Dzat Yang Maha Dermawan dan Agung telah menyerah- kan kepada setiap entitas yang bernyawa “sebuah kartu catatan” yang ditulis dengan tinta kenikmatan dan kebutuhan. Allah titipkan padanya sistem awâmir takwîniyah-Nya serta daftar tugas yang harus dilakukannya. Mahasuci Allah Yang Mahabijak dan Maha Agung. Bagaimana Dia memasukkan hukum ketetapan yang menjadi milik lebah pada catatan kecil tadi. Lalu catatan tersebut dituliskan di kepala lebah. Lebah tersebut kemudian diberi kunci berupa kenikmatan yang khusus menjadi miliknya agar ia bisa membuka catatan yang ditempatkan di otaknya, bisa membaca sistem kerjanya, bisa memahami tugasnya, berupaya untuk menyesuaikan diri dengannya, serta bisa memperlihatkan hikmah yang terkandung dalam ayat al-Qur’an: “Tuhanmu telah memberi ilham kepada lebah.” (QS. an-Nahl [16]: 68).
Wahai orang yang membaca dan mendengar memoar kedela- pan ini, jika engkau betul-betul memahaminya dengan benar, berarti engkau telah menangkap salah satu rahasia:“Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu”. (QS. al-A’raf [7]: 156).Dan berarti engkau telah mengetahui salah satu hakikat:“Segala sesuatu bertasbih memuji-Nya.” (QS. al-Isrâ [17]: 44). Juga, berarti engkau telah memahami salah satu kaidah:“Sesungguhnya jika Allah menghendaki sesuatu, cukup Dia ber- kata, Kun, maka jadilah apa yang dikehendaki-Nya itu.” (QS. Yâsîn [36]: 82).Serta, berarti engkau telah menyadari salah satu rahasia:“Mahasuci Allah Yang kekuasaan segala sesuatu berada di tangan-Nya. Dan kepada-Nya kalian akan dikembalikan.” (QS. Yâsîn [36]: 83).
Memoar Kesembilan
Ketahuilah bahwa posisi kenabian pada umat manusia merupakan rangkuman kebaikan serta landasan kesempurnaan. Selain itu, agama yang benar merupakan indeks kebahagiaan serta iman merupakan kebaikan murni dan keindahan mutlak. Karena kebaikan yang cemerlang, limpahan yang luas dan mulia, serta kesempurnaan yang utama tampak di alam ini, tentulah hakikat kebenaran ada pada sisi kenabian dan pada para nabi. Sedangkan kesesatan, kejahatan, dan kerugian ada pada posisi yang berseberangan dengan mereka.
Perhatikanlah salah satu dari ribuan contoh yang menggambarkan indahnya pengabdian seperti yang diajarkan oleh Nabi. Lewat ibadah, Nabi menyatukan para ahli tauhid dalam shalat hari Raya, dalam shalat Jum’at, dan dalam shalat berjamaah. Beliau juga meng- himpun lisan mereka di atas kalimat yang sama. Sehingga lewat itu, beliau merespon seruan agung yang berasal dari Tuhan itu dengan suara-suara kalbu dan lisan yang tak terhingga banyaknya sebagai sesuatu yang saling mendukung dan menguatkan. Sebab, semuanya memperlihatkan sebuah pengabdian yang sangat luas terhadap kea- gungan Tuhan. Seolah-olah seluruh bola bumi itulah yang mengucapkan zikir, yang memanjatkan doa, yang melakukan shalat kepada Allah, serta yang melaksanakan perintah shalat yang turun dengan penuh kemuliaan dan keagungan dari atas langit yang tujuh, yaitu:“Dan dirikanlah Shalat...” (QS. al-Baqarah [2]: 43).Dengan adanya kesatuan tersebut, manusia sebagai makhluk yang lemah dan kecil—layaknya biji atom yang ada di alam inimenjadi seorang hamba yang dicintai oleh Sang Pencipta langit dan bumi karena pengabdiannya yang agung tadi. Ia menjadi sosok khalifah dan penguasa bumi, pemimpin semua hewan, dan tujuan penciptaan seluruh alam.
Bagaimana menurutmu jika di alam nyata inise- bagaimana di alam gaib—suara ratusan juta kaum mukminin bertakbir membaca Allahu Akbar selepas shalat, apalagi pada shalat Hari Raya, lalu semuanya berkumpul pada waktu yang sama, bukankah hal itu menyerupai suara takbir bumi dan sesuai dengan besarnya bumi yang seolah-olah seperti manusia besar. Sebab, dengan bersatunya takbir mereka pada satu waktu yang bersamaan ada takbir yang sangat besar yang seolah-olah diucapkan oleh bumi. Bahkan seolah-olah bumi berguncang dengan amat dahsyat ketika shalat hari Raya. Sebab, ia bertakbir mengagungkan Allah lewat takbir seluruh dunia Islam. Dan ia juga bertasbih lewat tasbih dan zikir mereka. Maka ia berniat dari kalbu Ka’bahnya yang suci, bertak- bir mengucapkan Allahu Akbar lewat lisan Arafah dari mulut Mekkah yang mulia. Maka, suara Allahu Akbar pun menggema di angkasa, menggambarkan seluruh suara kaum mukminin yang tersebar di seluruh alam. Bahkan takbir dan zikir-zikir tersebut bergema di seantero langit dan semua alam Barzakh.
Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan bumi ini bersujud dan mengabdi kepada-Nya, lalu Dia menyiapkannya sebagai tempat ibadah dan tempat tinggal para makhluk-Nya. Karena itu, kami bertahmid, bertasbih, dan bertakbir mengagungkan Allah sejumlah bilangan atom yang ada di bumi. Segala puji bagi-Nya yang telah menjadikan kami sebagai salah satu bagian dari umat Muhammad. Karena beliaulah yang mengajar- kan kepada kami jenis ibadah ini.
Memoar Kesepuluh
Wahai Said (manusia) yang lalai dan bingung, ketahuilah bah- wa untuk sampai kepada cahaya makrifatullah, untuk bisa menyaksikan manifestasi-Nya dalam cermin tanda-tanda kekuasaan-Nya, serta untuk bisa melihat-Nya lewat berbagai bukti dan dalil yang ada, maka engkau tidak boleh mengkritik dan meragukan setiap cahaya yang mengarah kepadamu, yang masuk ke dalam kalbumu, dan yang tampak di akalmu. Janganlah kau ulurkan tanganmu untuk mengam- bil cahaya yang sudah menerangimu, tapi engkau harus melepaskan semua penyebab kelalaian untuk segera menerima dan mengarah ke- pada cahaya tadi.
Aku bersaksi bahwa bukti dan dalil yang mengantarkan kepada makrifatullah ada tiga bagian, yaitu:
Bagian pertama, ia seperti air. Ia bisa dilihat dan dirasakan, tetapi tidak bisa dipegang dengan jari-jemari. Pada bagian ini, engkau harus mengosongkan diri dari segala khayalan dan tenggelam ke dalamnya secara total. Engkau tidak boleh merabanya dengan jemari. Sebab, ia akan mengalir dan pergi. Air kehidupan tersebut tidak akan menetap pada jemari tadi.
Bagian kedua, ia seperti udara. Ia bisa dirasakan tetapi tidak bisa dilihat dan dipegang. Maka, hadapkan dan arahkan wajahmu kepada hembusan rahmat tersebut. Terimalah ia dengan wajahmu, mulutmu, dan jiwamu. Jika engkau melihat bagian ini dengan penuh keraguan dan kritikan bukan dengan aktivitas spiritual, maka ia akan segera pergi. Sebab, ia tidak akan menetap dan tinggal di tanganmu.
Bagian ketiga, ia seperti cahaya. Ia bisa dilihat tetapi tidak bisa dirasakan dan tidak bisa dipegang. Maka, hadapi dan terimalah ia dengan mata hati dan pandangan jiwamu. Lihatlah dengan matamu. Kemudian tunggulah, barangkali ia datang dengan substansinya. Sebab, cahaya tidak bisa dipegang dengan tangan dan tidak bisa diraih dengan jari-jemari, hanya bisa diraih dengan mata hati. Jika yang kau ulurkan adalah tangan materi yang tamak lalu kau timbang ia dengan timbangan materi, ia tidak akan tampak meskipun tidak padam. Se- bab, cahaya seperti ini tidak mau diikat dengan materi dan tidak mau dikuasai oleh orang yang tamak.
Memoar Kesebelas
Lihatlah tingkatan kasih sayang al-Qur’an yang luas dan agung terhadap orang-orang awam. Serta renungkan pula bagaimana al- Qur’an memperhatikan pikiran mereka yang dangkal dan pandangan mereka tidak tajam terhadap permasalahan-permasalahan rumit. Perhatikan bagaimana al-Qur’an mengulang-ulang berbagai tanda kekuasaan-Nya yang jelas yang tertulis di permukaan langit dan bumi. Ia bacakan pada mereka huruf-huruf besar yang terbaca dengan sangat mudah itu.
Misalnya penciptaan langit dan bumi, penurunan hujan dari langit, bagaimana menghidupkan bumi, dan lain sebagainya. Penglihatan tersebut tidak diarahkan untuk melihat huruf-huruf kecil yang tertulis di dalam huruf-huruf yang besar tadi kecuali hanya sesekali. Maksudnya agar mereka bisa memahaminya dengan mudah.
Selanjutnya, lihatlah penjelasan dan gaya bahasa al-Qur’an yang fasih. Ia membacakan kepada manusia berbagai tanda kekuasaan yang ditulis oleh qudrah Ilahi dalam lembaran-lembaran alam. Sehingga seolah-olah al-Qur’an merupakan bacaan yang mencakup seluruh isi kitab alam dan tatanannya serta mencakup semua urusan Sang Pencipta dan segala perbuatan-Nya yang bijak. Karena itu, dengarkan dengan kalbu firman Allah yang berbunyi:“Tentang apa mereka bertanya-tanya.” (QS. an-Naba [78]: 1).“Katakanlah, wahai Allah Sang pemilik semua kerajaan.” (QS. Ali Imran [3]: 26), dan ayat-ayat yang serupa dengannya.
Memoar Kedua Belas
Wahai para sahabatku yang menyimak memoar-memoar ini! Ketahuilah bahwa kadangkala aku menuliskan munajat hatiku kepada Tuhan—meskipun seharusnya dirahasiakan dan tidak diungkap—dengan mengharap dari rahmat-Nya semoga Dia menerima tutur tulisanku sebagai ganti dariku ketika kematian membungkam lisanku. Ya, taubat lisan di usiaku yang singkat tidak cukup untuk menebus dosaku yang begitu banyak. Maka, tutur buku ini kurasa lebih tepat dan lebih layak.
Tiga belas tahun yang lalu, saat jiwaku berguncang hebat dan saat tawa “Said lama” berubah menjadi tangis “Said baru” aku terbangun dari malam masa muda di fajar masa tua. Ketika itulah, kutuliskan munajat ini dalam bahasa Arab dan kusajikan ia sebagaimana adanya:
Wahai Tuhan Pencipta Yang Maha Penyayang. Wahai Tuhan Sembahan yang Maha Pemurah!
Akibat ikhtiarku yang keliru, usia dan masa mudaku telah pergi begitu saja. Yang tersisa hanyalah dosa yang memalukan, penderitaan yang memilukan, dan bisikan yang merisaukan. Dengan beban yang berat, kalbu yang sakit, dan wajah yang malusecara sangat cepat, tanpa pernah menyimpang, dan tanpa disengaja sama seperti yang dialami oleh orang tua, kekasih, kerabat, dan para temanku—aku mendekati kubur yang merupakan tempat kesendirian di jalan menuju keabadian sebagai bentuk perpisahan abadi dari negeri yang fana dan pasti hancur ini, akan hilang dan pergi, serta sangat zalim dan pengkhianat bagi orang sepertiku yang memiliki nafsu ammârah.
Wahai Tuhan Yang Maha Penyayang. Wahai Pencipta yang Maha Pemurah!
Aku melihat diriku tidak lama lagi akan memakai kafanku, akan menaiki keranda jenazahku, dan terpisah dengan orang-orang yang kucintai. Ketika aku pergi menuju kubur, di pintu rahmat-Mu aku menyeru, ”Aku memohon keselamatan! Aku memohon keselamatan! Wahai Yang Maha Mengasihi (al-Hannân), wahai Yang Maha Memberi (al-Mannân). Selamatkanlah aku dari malu akibat dosa.”
Oh, kafanku telah berada di leher dan aku sudah berdiri di tepi kubur. Kuangkat kepalaku menghadap pintu rahmat-Mu seraya menyeru, “Aku memohon keselamatan! Aku memohon keselamatan! Wahai Yang Maha Penyayang (ar-Rahmân) dan Maha Pemurah (al-Hannân), lepaskan aku dari beban dosa.”
Oh, aku telah dibungkus dengan kain kafan dan masuk di kubur seraya ditinggal oleh mereka yang telah mengiringiku. Aku menantikan ampunan dan rahmat-Mu. Aku menyaksikan bahwa tidak ada tempat perlindungan dan keselamatan selain-Mu seraya menyeru, “Aku memohon keselamatan! Aku memohon keselamatan dari sempitnya tempat, buasnya maksiat, dan buruknya dosa.
Wahai Yang Maha Penyayang dan Maha Pengasih, Maha Memberi! Wahai Yang Maha Mem- berikan balasan, selamatkan diriku dari sangkutan dosa dan maksiat!Wahai Tuhanku, hanya rahmat-Mu yang menjadi tempat perlindunganku. Dan hanya kepada-Mu kuadukan duka dan laraku.”
Wahai Pencipta Yang Maha Pemurah, Wahai Tuhan Yang Maha Pengasih!
Makhluk-Mu, ciptaan-Mu, hamba-Mu yang pendosa, tidak berdaya, lalai, bodoh, sakit, hina, dan celaka serta tua ini telah kembali ke pintu-Mu setelah empat puluh tahun berlalu. Ia mengakui dosa dan kesalahannya. Ia menderita penyakit lahir dan batin. Ia bersimpuh di hadapan-Mu.
Jika Engkau menerima, mangampuni, dan mengasihi, Engkau memang layak untuk itu dan Engkau adalah Dzat Yang Maha Pengasih di antara semua yang pengasih. Jika tidak, pintu mana lagi yang akan dituju selain pintu-Mu. Engkaulah Tuhan Pencipta yang dituju dan Tuhan Maha Benar yang disembah. Tidak ada Tuhan selain-Mu dan tiada sekutu bagi-Mu. Ucapan terakhir di dunia serta ucapan pertama di akhirat dan di kubur adalah:
“Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”
Memoar Ketiga Belas
Bagian ini berisi lima permasalahan yang seringkali kurang dipahami:
Permasalahan Pertama Orang-orang yang bekerja dan berjuang di jalan kebenaran, ketika seharusnya memikirkan kewajiban dan amal yang ada, mereka justru memikirkan berbagai urusan dan pengaturan yang menjadi hak Allah. Mereka membangun amal mereka di atas landasan terse- but sehingga terjerumus dalam kesalahan.
Dalam buku Adab ad-Duniâ wa ad-Dîn disebutkan bahwa ke- tika Iblis muncul di hadapan Isa ibn Maryam ia berkata, “Bukankah engkau yang berkata bahwa tidak akan menimpamu kecuali apa yang sudah Allah tuliskan untukmu?” “Benar”, jawab Isa. Iblis lalu berkata lagi, “Kalau begitu, jatuhkan dirimu dari puncak gunung ini. Kalau Allah memang menakdirkanmu selamat, pasti engkau selamat”.
Mendengar hal itu, Isa berkata,
“Wahai makhluk terlaknat. Al- lahlah yang berhak menguji hamba-Nya. Bukan hamba yang menguji Tuhannya.”(*[5])
Dengan kata lain, Allahlah yang layak menguji seorang hamba dan berkata, “Jika engkau melakukan hal itu, aku akan memberimu balasannya. Apakah engkau bisa melakukan?” Jadi Dia yang menguji. Seorang hamba sama sekali tidak berhak dan memang tidak akan mampu menguji Tuhannya dengan berkata, “Jika aku melakukan hal ini, apakah Engkau akan melakukan hal tersebut untukku?” Tentu saja ucapan tersebut termasuk sikap yang tidak etis terhadap Tuhan.
Ia merupakan sikap yang bertolak belakang dengan prinsip pengabdian. Jika demikian, maka seorang manusia harus melakukan kewajibannya tanpa mencampuri urusan dan ketentuan Allah.
Jalaluddin Khawarism Syah(*[6])adalah salah seorang pahlawan Islam yang berkali-kali berhasil mengalahkan pasukan Jengis Khan. Ketika pasukannya maju ke medan pertempuran, para menteri dan orang-orang dekatnya berkata kepadanya, “Allah akan membuat- mu unggul atas para musuhmu dan kau akan berhasil mengalahkan mereka.” Mendengar hal itu, ia berkata pada mereka, “Tugasku adalah berjihad di jalan Allah sebagai bentuk ketaatanku kepada perintah-Nya. Sama sekali aku tidak berhak mencampuri sesuatu yang bu- kan urusanku. Kemenangan dan kekalahan adalah ketentuan Allah.” Karena sang pahlawan agung itu memahami rahasia kepasrahan dan ketundukan kepada perintah Allah, maka ia seringkali mendapatkan kemenangan yang luar biasa.
Ya, seharusnya ketika manusia sudah melakukan suatu upaya, ia tak usah memikirkan hasil yang akan Allah berikan padanya. Sebagai contoh, sebagian teman bertambah semangat dan bertambah rindu kepada Risalah Nur manakala melihat orang-orang mulai memberikan respon kepadanya. Mereka pun begitu bersemangat. Namun ketika orang-orang tidak meresponnya, kekuatan jiwa mereka melemah dan api kerinduan mereka padam. Hal ini tentu saja tidak dibenarkan. Nabi kita Muhammad sebagai seorang guru besar, teladan, dan pemimpin tertinggi semua manusia telah menjadikan perintah Ilahi yang berbunyi:“Kewajiban Rasul hanyalah menyampaikan secara jelas.” (QS. an-Nur [24]: 54), sebagai petunjuk dan pembimbing bagi beliau. Karenanya, setiap kali kaum yang lemah itu berpaling, beliau justru bertambah semangat dalam menyampaikan risalah. Sebab, beliau yakin betul bahwa hidayah adalah urusan Allah, sesuai dengan ayat yang berbunyi:“Engkau tidak akan bisa memberikan hidayah bagi orang yang kau cintai. Namun Allahlah yang memberikan hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. al-Qashas [28]: 56). Maka dari itu, beliau tidak ikut campur dalam urusan Allah.
Dengan demikian, wahai saudara-saudaraku, janganlah kalian mencampuri segala perbuatan dan urusan yang bukan milik kalian. Janganlah kalian beramal atas dasar itu. Juga, jangan sekali-kali kalian menguji Pencipta kalian.
Permasalahan Kedua Tujuan dari ibadah adalah melaksanakan perintah Allah dan mendapat ridha-Nya. Karena itu, sebab yang membuat seseorang melakukan ibadah adalah perintah Ilahi, sementara hasil dari ibadah tersebut adalah menggapai ridha-Nya. Adapun buah dan keuntun- gannya bersifat ukhrawi. Hanya saja, nilai ibadah tersebut tidak hilang kalau buah dan keuntungannya sudah didapat di dunia dengan syarat hal itu bukan menjadi ilat dan tujuan utama. Berbagai keuntungan yang diraih di dunia beserta berbagai buahnya yang diberikan tanpa diminta tidaklah menghapus nilai ibadah. Bahkan ia berposisi sebagai perangsang bagi mereka yang lemah. Namun manakala man- faat dan keuntungan dunia menjadi ilat atau bagian dari ilat seseorang melakukan ibadah, wirid, dan zikir, maka ia akan membatalkan nilai ibadah yang ada. Bahkan wirid yang sebetulnya memiliki berbagai keistimewaan menjadi nihil tak berbuah.
Mereka yang tidak memahami rahasia ini, ketika misalnya membaca wirid-wirid Naqsyabandiyah karya an-Naqsyabandi yang mempunyai berbagai keistimewaan atau membaca al-Jausyan al-Kabir yang memiliki seribu keutamaan, dengan tujuan untuk mendapatkan sebagian dari keuntungan duniawi tersebut, maka mereka tidak akan mendapatkan keuntungan tersebut. Bahkan mereka tidak akan mendapatkan dan menyaksikannya. Mereka sama sekali tidak berhak atasnya. Sebab, keuntungan-keuntungan tadi tidak terwujud karena pembacaan wirid semata. Manfaat tersebut tidak bisa menjadi tujuan. Ia merupakan bentuk karunia Ilahi atas sebuah wirid yang dibaca secara ikhlas. Adapun jika seseorang membaca wirid tersebut dengan niat mengharap manfaat duniawi, niat itu akan merusak keikhlasannya. Bahkan ia bisa membuatnya tidak lagi bernilai ibadah sehingga nilainya jatuh.
Namun demikian ada hal lain yang perlu dicermati. Yaitu bahwa sebagian orang yang lemah selalu membutuhkan rangsangan dan dorongan. Sehingga ketika mereka membaca wirid-wirid tadi dengan ikhlas seraya mengingat keuntungan di balik wirid tersebut, hal itu tidak menjadi masalah. Ia tetap diterima.
Karena hakikat ini tidak dipahami, banyak orang yang menjadi ragu dan bimbang ketika berbagai keuntungan duniawi seperti yang disebutkan oleh para wali qutub dan tokoh salaf tidak terwujud. Bahkan bisa jadi mereka mengingkarinya.
Permasalahan Ketiga “Berbahagialah orang yang mengetahui kapasitasnya dan tidak melampaui batasnya.”(*[7])
Pantulan matahari tampak pada segala sesuatu, mulai dari atom yang paling kecil, kristal kaca, setetes air, telaga yang besar, lautan yang luas, sampai kepada bulan, dan planet-planet. Masing-masing mengetahui kapasitasnya serta menerima pantulan dan gambar matahari sesuai dengan kemampuan penerimaannya. Setetes air bisa berkata, “Pada diriku ada bayangan matahari.” Tentu saja hal itu sesuai dengan kemampuan penerimaannya. Namun ia tidak bisa berkata, “Aku cermin bagi matahari sama seperti laut.”
Demikian pula dengan kedudukan para wali. Di dalamnya ada banyak sekali tingkatan sesuai dengan pantulan manifestasi nama-nama Ilahi yang beragam. Masing-masing nama tersebut memiliki manifestasi sendiri, mulai dari kalbu sampai kepada arasy. Namun kalbu tidak bisa berkata, “Saya sama seperti arasy yang agung itu.”
Dari sini kita bisa memahami bahwa seorang salik yang sombong dan lupa diri sebetulnya tidak mengerti. Ia menyamakan kalbunya yang sangat kecil seperti atom dengan arasy yang agung. la menganggap kedudukan dirinya yang seperti tetesan air setara dengan kedudukan para wali besar yang seperti laut. Maka, alih-alih memfokuskan perhatian pada prinsip-prinsip ibadah yang berupa penampakan kelemahan, kepapaan, kesadaran akan kelalaian dirinya di hadapan Tu- han, ketundukan di hadapan uluhiyah-Nya, serta sujud kepada-Nya dengan hina dina, ia malah langsung memaksakan diri untuk bisa menyejajarkan dirinya dengan kedudukan para wali yang mulia itu. Sebagai akibatnya, ia pun terjerumus pada sifat sombong, lupa diri, egoisme, dan berbagai persoalan pelik.
Kesimpulan: Ada sebuah hadis yang berbunyi:“Manusia sungguh celaka kecuali mereka yang berilmu. Yang berilmu pun celaka kecuali yang beramal. Yang beramal pun celaka kecuali yang ikhlas. Dan mereka yang ikhlas dihadapkan pada risiko besar”. (*[8])
Dengan kata lain, sumber keselamatan adalah ikhlas. Maka berbuat secara ikhlas merupakan sesuatu yang sangat penting. Sebab amal sekecil apa pun jika dilakukan dengan ikhlas lebih baik dalam pandangan Allah daripada amal berton-ton tetapi tidak ikhlas. Manusia baru menjadi ikhlas kalau ia menyadari bahwa yang membuatnya melakukan sebuah amal adalah perintah Ilahi, bukan yang lain- nya. Lalu hasil dari itu semua adalah mendapat ridha-Nya. Kemudian ia tidak mencampuri urusan Tuhan.
Keikhlasan dan ketulusan ada pada segala sesuatu. Bahkan setitik cinta yang tulus lebih utama daripada segunung cinta formalitas. Jenis cinta tersebut digambarkan oleh sebuah syair sebagai berikut:
Aku tidak mencari imbalan atas cinta.sungguh lemah suatu cinta yang mengharapkan balasan.
Artinya, aku tidak menuntut upah, balasan, ganti, dan imbalan atas cinta tersebut. Sebab, cinta yang menuntut upah dan balasan adalah cinta yang lemah yang tidak akan abadi.
Cinta yang tulus tersebut telah Allah tanamkan dalam fitrah manusia, terutama dalam diri ibu pada umumnya. Belas kasih ibu merupakan contoh ketulusan cinta yang paling nyata. Bukti bahwa seorang ibu sama sekali tidak menuntut balasan dan upah atas cintanya kepada anak-anaknya ditunjukkan oleh kebaikan dan pengorbanan yang diberikan demi anak-anak. Karena itu, engkau melihat bagaimana ayam betina akan menyerang anjing demi menyelamatkan sang anak dari terkamannya. Sebab, sang induk mengetahui bahwa kehidupan mereka merupakan modal satu-satunya.
Permasalahan Keempat Berbagai nikmat yang datang melalui perantara lahiriah jangan diterima semata-mata sebagai jasa dari perantara tersebut. Karena, perantara itu bisa jadi mempunyai kehendak atau bisa juga tidak. Jika tidak mempunyai kehendak—seperti binatang dan tumbuhan—pastilah ia memberimu atas izin dan nama Allah. Sebab, ia selalu menyebut nama Allah dengan lisan hal (keadaan). Dengan kata lain, ia mengucapkan bismillah dan ia serahkan nikmat tersebut kepadamu. Karena itu, ambillah dan makanlah ia dengan bismillah. Namun jika perantara tersebut mempunyai kehendak (manu- sia), ia harus terlebih dahulu menyebut nama Allah dan mengucap- kan bismillah. Janganlah engkau mengambil darinya kecuali setelah ia menyebut nama Allah. Sebab, selain makna lahiriahnya, makna simbolis dari firman Allah berikut:“Janganlah kalian memakan dari sesuatu yang tidak disebutkan nama Allah padanya.” (QS. al-An’am [6]: 121), menjelaskan agar kita tidak memakan sebuah nikmat yang nama pemiliknya yang hakiki (Allah) tidak disebutkan.
Atas dasar itulah, si pemberi harus menyebut nama Allah. Serta si penerima juga harus menyebut nama Allah. Jika si pemberi tidak menyebut nama Allah sementara engkau berada dalam kondisi yang sangat membutuhkan, sebutlah nama Allah. Namun arahkan pandanganmu tinggi-tinggi, dan tataplah tangan kasih sayang Ilahi yang telah memberikan nikmat tersebut kepadanya dan kepadamu sekaligus, dan terimalah ia dengan rasa syukur. Artinya, pandanglah pemberian tersebut sebagai sebuah nikmat lalu ingatlah si Pemberi nikmat yang hakiki atas pemberian tersebut. Tatapan dan ingatan tersebut merupakan bentuk rasa syukur. Selanjutnya lihatlah wasilah dan perantara yang ada. Doakan dan pujilah ia karena nikmat terse- but datang lewat tangannya.
Orang-orang yang mengagungkan perantara tertipu kare- na mereka memandang sesuatu sebagai sebab bagi yang lain ketika keduanya datang secara bersamaan atau ketika keduanya ada secara bersamaan. Inilah yang disebut dengan keterkaitan (iktirân). Karena ketiadaan sesuatu menjadi sebab ketiadaan nikmat, maka seseo- rang mengira bahwa keberadaan sesuatu itu merupakan sebab adanya nikmat. Akhirnya ia mulai memberikan rasa syukur dan terima kasihnya kepada sesuatu tadi. Tentu saja ia telah berbuat salah. Se- bab, keberadaan sebuah nikmat bergantung pada banyak faktor dan syarat-syarat tertentu. Sementara ketiadaan nikmat tersebut terjadi hanya karena ketiadaan satu faktor saja.
Sebagai contoh, orang yang tidak membuka saluran air menuju kebun menjadi sebab dan ilat yang membuat kebun tersebut kering dan mati. Serta pada tahap selanjutnya ia membuat nikmat yang terdapat di dalamnya hilang. Namun demikian keberadaan berbagai nikmat di kebun tadi tidak bergantung pada perbuatan orang tersebut. Tetapi bergantung pada ratusan faktor lain. Bahkan semua nikmat tersebut hanya bisa diperoleh lewat sebab yang hakiki. Yaitu kekuasaan Tuhan dan kehendak Ilahi. Dari sini, engkau dapat mema- hami kesalahan yang ada dan mengetahui betapa bodohnya mereka yang menghamba kepada perantara.
Ya, keterkaitan dan sebab (ilat) merupakan dua hal yang berbeda. Nikmat yang datang kepadamu seiring dengan niat seseorang untuk berbuat baik kepadamu sebabnya adalah rahmat Ilahi. Orang tadi hanya memiliki kaitan bukan sebagai sebab. Memang benar bahwa seandainya orang tersebut tidak berniat berbuat baik kepadamu, nikmat tadi tidak datang. Dengan kata lain, ketiadaan niatnya menjadi sebab tidak datangnya nikmat. Namun kecenderungan berbuat baik sama sekali bukanlah sebab bagi adanya nikmat. Tetapi bisa jadi hanya merupakan salah satu faktor di antara ratusan faktor lainnya.
Hal inilah yang tidak dipahami oleh sebagian murid Nur yang diberi limpahan karunia oleh Allah (seperti Husrev dan Ra’fat). Mereka tidak bisa membedakan antara keterkaitan dan sebab. Mereka menampakkan ridha kepada guru mereka dan memujinya secara berlebihan. Yang benar, Allah telah mengaitkan antara nikmat kemampuan mereka mengambil manfaat dari pelajaran-pelajaran al-Qur’an dengan karunia nikmat pengajaran yang diberikan kepada guru mereka.
Jadi, sebetulnya yang ada hanyalah sebuah keterkaitan. Mereka berkata, “Seandainya guru kami tidak datang ke sini, kami tidak akan mendapatkan pelajaran keimanan seperti ini.
Pengajaran beliau menjadi sebab yang membuat kami sadar dan bisa mengambil manfaat.” Sementara aku berkata, “Wahai saudara-saudara yang kucintai. Sesungguhnya Allah telah mengaitkan nikmat yang Dia berikan kepadaku dengan nikmat yang Dia berikan pada kalian. Adapun yang menjadi sebab bagi datangnya kedua nikmat tersebut adalah rahmat Ilahi.” Pada suatu hari aku merasa mendapat karunia dari para murid yang memiliki keahlian menulis seperti kalian di mana mereka ingin mengabdi kepada Risalah Nur. Ketika itulah aku lalai membedakan antara keterkaitan dan sebab. Aku berkata, “Bagaimana mungkin orang yang tidak memiliki kepandaian menulis sepertiku bisa melakukan tugas pengabdian kepada al-Qur’an al-Karim kalau tidak karena mereka?” Namun kemudian aku sadar bahwa setelah memberikan karunia yang mulia kepada kalian berupa kepandaian menulis, Allah memberikan taufiknya kepadaku untuk berjalan di atas pengabdian tersebut. Sehingga dengan begitu ada keterkaitan antara dua karunia tersebut. Salah satunya sama sekali bukan merupakan sebab bagi yang lain. Karena itu, aku tidak akan mempersembahkan rasa syukur dan terima kasihku kepada kalian. Tetapi kuucapkan kabar gembira dan selamat kepada kalian. Demikian pula hendaknya kalian mendoakanku agar senantiasa diberi taufik dan keberkahan ketimbang memberikan ridha dan sanjungan.
Di sinilah ada timbangan yang sangat akurat untuk mengukur tingkat kelalaian.
Permasalahan Kelima Merupakan sebuah kezaliman besar apabila milik kolektif (jamaah) hanya diberikan kepada seseorang. Atau sebuah kezaliman yang tak terpuji jika apa yang menjadi milik kolektif dirampas oleh seseorang. Demikian pula dengan berbagai pencapaian yang diperoleh lewat usaha kolektif serta kedudukan dan kemuliaan yang mereka dapat. Jika berbagai pencapaian, kedudukan, dan kemuliaan tersebut hanya disandarkan kepada pemimpin, guru, dan pembimbing mereka, maka ia merupakan suatu bentuk kezaliman terhadap hak jamaah, di samping terhadap guru itu sendiri. Sebab, hal itu akan membang- kitkan rasa egoismenya yang tersembunyi dan bisa membuatnya lupa diri. Padahal, ia tidak lain hanyalah penjaga pintu bagi jamaah. Pakaian kebesaran yang dikenakan kepadanya akan menzalimi dirinya. Bahkan bisa jadi membuka jalan baginya menuju syirik yang samar. Ya, seorang pemimpin pasukan tidak berhak untuk mendapatkan ba- rang rampasan perang yang didapat oleh para prajurit ketika mereka berhasil menduduki sebuah benteng yang kokoh. Ia juga tidak bisa menisbatkan kemenangan mereka kepada dirinya semata.Oleh karena itu, seorang guru atau pembimbing tidak boleh dianggap sebagai sumber dan asal. Tetapi ia harus diposisikan sebagai tempat pantulan semata.
Ia ibarat cermin yang memantulkan panas dan cahaya matahari kepadamu. Adalah sangat bodoh kalau engkau memandang cermin tadi sebagai sumber panas dan cahaya dengan melupakan matahari itu sendiri. Akhirnya, engkau akan memberikan perhatian dan rasa senang kepada cermin tersebut, bukan kepada matahari. Memang benar bahwa cermin tersebut harus dipelihara, sebab ia menjadi sarana yang memantulkan sifat-sifat tadi. Jiwa dan kalbu sang guru merupakan cermin yang memantulkan limpahan karunia Ilahi yang diberikan oleh Tuhan. Dengan begitu, ia menjadi sarana yang mengantarkan pantulan karunia tadi kepada para muridnya. Karena itu, ia cukup dipandang sebagai sebuah sarana dan perantara, tidak lebih.
Bahkan bisa jadi, sang guru yang dianggap sebagai sumber tersebut bukan sebagai perantara maupun sumbernya. Hanya saja, si murid melihat limpahan karunia yang sebenarnya datang dari jalan lain tampak pada cermin jiwa gurunya.
Hal itu terjadi karena si murid begitu ikhlas, begitu dekat, dan mempunyai ikatan yang kuat dengan sang guru sehingga pandangannya hanya tertuju kepada gurunya. Kondisi ini sama seperti orang yang terhipnotis. Setelah memperhatikan cermin tadi, terbuka dalam khayalannya sebuah jendela menuju alam misal. Dengan itu, ia bisa melihat berbagai pemandangan aneh dan mengagumkan. Namun perlu diketahui, pemandangan tadi bukan terdapat di cermin tetapi terdapat pada jendela khayalan di balik cermin yang terbuka sebagai akibat dari perhatiannya kepada cermin tersebut. Oleh sebab itu, bisa jadi seorang murid yang sangat tulus kepada seorang guru yang tidak sempurna menjadi lebih sempurna dari gurunya. Ia menerima pengajaran gurunya lalu kemudian menjadi guru bagi gurunya.
Memoar Keempat Belas
Bagian ini berisi empat petunjuk singkat yang terkait dengan persoalan tauhid:
Petunjuk Pertama Wahai orang yang bersandar kepada sarana dan perantara, sungguh engkau telah tertipu. Bayangkan dirimu melihat sebuah istana menakjubkan yang terbuat dari permata yang ketika dibangun sebagian dari permata itu ada di Cina, sebagian lagi ada di Andalus, sebagian lagi ada di Yaman, dan sebagian lagi ada di Siberia. Lalu istana itu selesai dalam bentuk yang paling baik dengan batu-batu mulia yang didatangkan dari daerah Timur, Barat, Utara dan Selatan dalam waktu yang sangat cepat dan dengan cara yang sangat mudah pada hari yang sama. Apakah ketika itu engkau masih ragu bahwa yang membangun istana tersebut berkuasa penuh atas bumi?
Demikianlah, setiap entitas yang terdapat di alam ini merupakan bangunan dan istana Ilahi. Terlebih-lebih manusia. Ia adalah istana yang paling indah dan paling mengagumkan. Sebab, sebagian batu mulia dari istana indah tersebut berasal dari alam arwah, sebagian lagi berasal dari alam lauhil mahfudz, sebagian dari alam udara, dari alam cahaya, dan dari alam berbagai unsur. Selain itu, kebutuhannya membentang sepanjang masa, impiannya tersebar di seantero langit dan bumi. Serta ikatan-ikatannya terpaut pada tataran dunia dan akhirat.
Wahai manusia yang mengaku sebagai manusia. Engkau merupakan istana yang sangat menakjubkan dan bangunan yang sangat mengagumkan. Jika demikian, maka sesungguhnya Penciptamu adalah Dzat yang bisa berbuat apa saja, baik di dunia maupun di akhirat, secara sangat mudah. Dia berbuat apa saja di langit dan di bumi seperti sedang membolak-balik dua lembaran. Dia berkuasa melakukan apa pun di alam abadi dan fana ini seolah-olah keduanya kemarin dan esok. Tidak ada sesembahan yang layak bagimu, tidak ada tempat selamat untukmu, serta tidak ada yang bisa melindungimu kecuali Dzat Yang Berkuasa terhadap langit dan bumi dan yang menggenggam kendali dunia dan akhirat.
Petunjuk Kedua Sebagian orang yang dungu begitu senang menghadap ke cermin ketika gambar matahari tampak di dalamnya. Sebab, mereka tidak mengenali matahari itu sendiri. Ia jaga cermin tersebut dengan sungguh-sungguh agar gambar matahari tetap ada di dalamnya dan tidak hilang. Namun ketika ia mengetahui bahwa matahari itu tidak lenyap saat cerminnya lenyap, dan tidak hilang saat cerminnya rusak, maka ia pun mengarahkan perhatiannya pada matahari yang terdapat di langit. Ketika itulah ia mengetahui bahwa matahari yang tampak di cermin tidak mengikuti cermin dan bahwa kekekalannya tidak bergantung pada kekekalan cermin. Justru cermin itu menjadi tetap berguna dan bersinar karena adanya pantulan matahari. Dengan demikian, cermin itulah yang bergantung pada kekekalan matahari.
Wahai manusia, kalbu, identitas, dan substansimu adalah cermin. Keinginan fitrahmu untuk bisa kekal bukan semata-mata karena cermin tadi, tetapi karena pada cermin itu terdapat pantulan nama Allah Yang Mahakekal dan Agung. Nama tersebut terpantul di dalamnya sesuai dengan kesiapan setiap manusia. Karenanya, ketika keinginan tadi diarahkan ke sisi yang lain, hal itu betul-betul merupakan kebodohan. Jika demikian keadaannya, ucapkanlah “Wahai Yang Mahakekal Engkaulah Yang Mahakekal. Selama Engkau Ada dan Kekal, apa pun yang dilakukan kefanaan pada kami, kami tidak peduli.”
Petunjuk Ketiga Wahai manusia, di antara hal menakjubkan yang Allah tanamkan dalam dirimu adalah bahwa ketika kadangkala dunia tidak bisa menampungmu sehingga engkau berkata, “Uh, uh!” dengan kesal seperti orang yang sedang tersudut dan tercekik, lalu engkau berusaha mencari tempat yang lebih luas, ternyata sebiji amal perbuatan dan lintasan pikiran yang lembut bisa terasa lapang sehingga engkau tenggelam di dalamnya. Dengan demikian, kalbu dan pikiranmu yang tidak bisa ditampung oleh dunia yang besar, bisa ditampung oleh partikel yang kecil. Karena itu, berkelilinglah dengan segenap perasaan dan emosimu pada lintasan pikiran yang lembut dan kecil itu.
Allah telah menanamkan dalam dirimu berbagai organ dan perangkat spiritual yang lembut. Jika sebagiannya menyantap dunia ia tidak akan kenyang, sementara sebagian yang lain tak kuat menahan sehelai rambut tipis sekalipun. Misalnya mata yang tidak kuat menahan sehelai rambut yang masuk, sementara kepala bisa mena- han beban yang sangat berat. Perangkat yang lembut tersebut tidak bisa menahan beban seringan rambut. Dengan kata lain, ia tidak bisa menahan kondisi sangat ringan yang bersumber dari kesesatan dan kelalaian. Bahkan nyalanya bisa padam.
Karena itu, berhati-hati dan waspadalah. Jangan sampai engkau berikut perangkat halusmu, yang telah menelan dunia, tenggelam dalam satu santapan, satu kata, satu kilau, satu kedipan, satu suap, atau satu ciuman. Sebab, ada banyak sekali sesuatu yang sangat kecil tetapi di satu sisi mampu menyerap sesuatu yang sangat besar. Sebagai contoh, lihatlah bagaimana langit beserta bintang gemintangnya termuat dalam cermin yang kecil, serta bagaimana Allah menuliskan dalam memorimu yang kecil sesuatu yang lebih banyak daripada lembaran amalmu dan lebih luas daripada lembaran umurmu. Mahasuci Allah Yang Maha Berkuasa dan Maha Berdiri Sendiri.
Petunjuk Keempat Wahai penyembah dunia! Dunia yang engkau anggap luas dan lapang sebetulnya hanyalah seperti kuburan yang sempit. Hanya saja dinding-dinding kuburan tersebut terbuat dari cermin yang bisa memantulkan berbagai gambar sehingga engkau melihatnya luas dan lapang sejauh mata memandang. Demikian pula dengan tempat yang engkau diami sekarang. Ia tak ubahnya seperti kuburan, namun engkau melihatnya seolah-olah luas seperti sebuah kota yang besar. Sebab, dinding kanan dan kiri dunia tersebut yang mencerminkan masa lalu dan mendatang seolah-olah seperti cermin yang memantulkan berbagai gambar. Hal itu membuat sisi-sisi zaman sekarang ini tampak luas padahal sebetulnya sangat singkat dan sempit. Akhirnya bercampurlah antara hakikat dan khayalan. Engkau melihat dunia yang sebetulnya tiada menjadi ada.
Sebuah garis lurus yang sebetulnya sangat tipis, kalau digerakkan sedikit saja akan tampak luas menyerupai sebuah permukaan yang besar.Demikian pula dengan duniamu. Sebetulnya ia sangat sempit, namun dinding-dindingnya menjadi luas dan lebar akibat kealpaan dan sangkaan khayalmu. Baru ketika kepalamu bergerak karena sebuah musibah, ia akan membentur dinding yang kau anggap jauh tadi. Ia akan menghapus semua khayalanmu itu sekaligus membangunkanmu dari tidur panjang. Ketika itu, engkau akan mengetahui bahwa dunia yang kau anggap luas ternyata lebih sempit dari kubur. Putaran masa dan umurmu ternyata berlalu lebih cepat daripada kilat. Serta, hidupmu mengalir lebih cepat ketimbang air sungai.
Karena kehidupan dunia, materi, dan hewani berlangsung demikian, maka keluarlah engkau dari kehidupan hewani, tinggalkanlah alam materi, serta masuklah ke dalam kehidupan kalbu. Di situlah engkau akan mendapatkan kehidupan yang lebih lapang, dan alam cahaya yang lebih luas daripada dunia yang kau anggap luas tadi. Kunci untuk memasuki alam yang lapang itu adalah mengenal Allah, membunyikan lisan, menggerakkan kalbu, serta menyibukkan jiwa dengan makna dan rahasia kalimat suci lâ ilâha illallâh (Tiada Tuhan selain Allah).
Memoar Kelima Belas
Ia berisi tiga persoalan:
Persoalan Pertama(*[9])Wahai orang yang ingin mengetahui petunjuk tentang hakikat dua ayat mulia berikut:“Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat biji atom, ia akan melihatnya. Juga siapa yang mengerjakan kejahatan seberat biji atom, ia akan melihatnya.” (QS. az-Zalzalah [99]: 7-8).Keduanya menjelaskan manifestasi yang sempurna dari nama Allah, al-Hafîdz (Yang Maha Menjaga). Manifestasi nama al-Hafîdz tersebut serta contoh hakikat agung dari dua ayat di atas tampak de- ngan sangat jelas di seluruh pelosok alam. Engkau bisa mengetahuinya dengan melihat dan merenungkan lembaran kitab alam ini.
Yaitu lembaran kitab yang tertulis sesuai dengan catatan, timbangan, dan ukuran yang terdapat pada lauhil mahfudz. Sebagai contoh, ambillah sejumput benih dari aneka bunga dan pohon. Tampak campuran benih yang beraneka ragam jenis dan macamnya itu serupa dari segi bentuk dan besarnya. Lalu tanamlah ia pada sebidang tanah. Sirami dengan air secara bersamaan tanpa dibeda-bedakan.
Selanjutnya tengoklah ia kembali pada musim semi, sebagai ajang kebangkitan tahunan. Lihat dan perhatikan bagaimana malaikat “Ra’ad” (petir) meniupkan sangkakalanya di musim semi seperti tiupan malaikat Israfil seraya memanggil hujan dan memberikan kabar gembira kepada benih-benih yang tertanam di bawah tanah bahwa semuanya akan dibangkitkan setelah tadinya mati. Engkau akan menyaksikan bagaimana seluruh benih yang sangat serupa itu, di bawah cahaya manifestasi nama al-Hafîdz, secara sempurna meng- gambarkan awâmir takwîniyah (instruksi penciptaan) yang berasal dari Tuhannya. Semua aksi dan geraknya sesuai dengan instruksi tersebut. Ia menampakkan kilau kebijakan, pengetahuan, kehendak, tujuan, dan perasaan-Nya yang sempurna.
Dengan jelas engkau melihat bagaimana benih-benih yang serupa itu muncul dalam bentuk yang berbeda-beda. Ada benih yang menjadi pohon tin. Sebuah pohon yang menghasilkan dan menebarkan nikmat Tuhan lewat ranting dan dahannya. Ada lagi dua benih serupa yang menghasilkan bunga matahari dan bunga pansy. Masih banyak lagi bunga-bunga indah yang berhias diri untuk kita serta menemui kita dengan wajah yang senyum dan ceria. Selain itu ada pula berbagai benih lain yang berubah menjadi buah yang nikmat, tangkai-tangkai yang besar, dan pohon-pohon yang tinggi. Rasa buahnya yang lezat, wanginya yang harum, serta bentuknya yang indah membangkitkan selera kita sekaligus mengundang kita untuk mendekatinya. Lalu ia mempersembahkan dirinya kepada kita agar bisa naik dari tingkatan nabati menuju tingkatan hewani.
Benih-benih itu pun tumbuh berkembang secara hebat sehingga dengan izin Tuhannya, ia menjadi sebuah kebun rimbun dan taman indah berhias aneka macam pohon dan tumbuhan. Perhatikan, adakah kekurangan dan cacat di dalamnya;“Maka lihatlah kembali, adakah yang tidak seimbang di dalam- nya.” (QS. al-Mulk [67]: 3). Lewat manifestasi nama Allah al-Hafîdz serta lewat karunia- Nya, setiap benih memperlihatkan apa yang diwarisi dari induk dan asalnya tanpa kurang sedikit pun.
Dengan semua itu, al-Hafîdz yang telah melakukan penjagaan mengagumkan tersebut, mengisyaratkan sifat penjagaan-Nya yang akan tampak secara sangat jelas di hari kebangkitan dan di hari kiamat yang agung nanti.
Ya, penjagaan dan pengawasan Allah pada berbagai urusan yang sederhana itu merupakan bukti nyata bahwa Dia akan menjaga dan menghitung semua hal yang penting dan berpengaruh seperti amal perbuatan para khalifah di muka bumi berikut prestasinya, tingkah laku dan ucapan para pengemban amanah itu, serta berbagai kebajikan dan kejahatan para hamba Tuhan Yang Maha Esa.“Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja.” (QS. al-Qiyamah [75]: 36).
Tentu saja manusia akan dibangkitkan menuju keabadian, akan diberikan kebahagiaan yang kekal atau kemalangan yang kekal, serta akan dihisab sehingga bisa mendapat pahala atau mendapat siksa.
Demikianlah, ada banyak sekali bukti yang menunjukkan manifestasi nama Allah al-Hafîdz dan menerangkan hakikat ayat di atas. Contoh di atas baru sebagian kecil saja. Ia baru segenggam dari seonggok makanan, baru seciduk dari lautan, baru sebutir dari bebatuan yang banyak, baru setitik dari padang pasir yang luas, dan baru setetes dari air jernih yang turun dari langit. Maha suci Allah Yang Maha Menjaga, Maha Mengawasi, Maha Menyaksikan, dan Maha Menghitung.
سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
- ↑ *Maksudnya pada tahun 1340 H (1921 M). Sebab, risalah ini ditulis pada tahun 1352 H (1933 M).
- ↑ *ar-Rifâ’i (512 – 518 H). Nama lengkapnya Ahmad ibn Ali ibn Yahya ar-Rifâ’i, Abul Abbas. Ia adalah seorang imam yang zuhud. Pendiri tarekat ar-Rifâ’iyyah. Ia lahir di Desa Hasan, daerah Wâsith, Irak pada tahun 512 H. Ia belajar ilmu agama dan akhlak di daerah Wâsith. Ia tinggal di kampung Ummu Ubaidah yang terletak di Bathâih (antara Wâsith dan Basrah), dan juga wafat di sana pada tahun 578 H.
- ↑ *asy-Syâdzili (591 – 656 H). Nama lengkapnya Ali ibn Abdullah ibn Abdul Jabbâr asy-Syâdzili. Syâzilah adalah nama sebuah desa di Afrika. Ia adalah orang yang buta, zuhud, pendatang di Iskandaria, pembimbing spiritual kelompok asy-Syâdziliyah, dan penulis wirid yang berjudul “Hizb asy-Syâdziliyah”.
- ↑ *Lihat: at-Tirmidzi, asy-Syahâdah, 2; Abu Daud, al-Aqdhiyah, 16; Ibnu Majah,al-Ahkâm, 30; dan Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, 2/181, 204, 208.
- ↑ *Lihat: al-Mâwardi, Adab ad-Duniâ wa ad-Dîn, h.12; dan al-Kitab, Matius 4: 1-11.
- ↑ *Dia adalah penguasa ketujuh sekaligus terakhir dari kerajaan Khawarizm. Pertama kali ia menghadapi pasukan Jengis Khan, dan ia berhasil memporak-porandakan pasukan salah satu panglimanya. Pada tahun 1221, ia juga berhasil memecah pasukan Mongol yang berjumlah besar. Namun ia terpaksa mundur ke India karena gempuran yang terus-menerus. Pada tahun 1224, ia menghidupkan kerajaan Khawarizm di Iran. Berbagai kemenangan yang diraihnya membuat bangsa Saljuk dan pemerintahan Ayyûbiyah ketakutan. Tak ada yang bisa membantu mereka. Pada tahun 1231, ia dipaksa mundur oleh pasukan mongol ke pegunungan Turus. Di sanalah ia kemudian di bunuh.
- ↑ *Lihat: al-Bukhari, at-Târîkh al-Kabîr, 3/338; ath-Thabari, al-Mu’jam al-Kabîr, 5/71; dan al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubrâ, 4/182.
- ↑ *Dalam buku Kasyf al-Khafâ (2796).
- ↑ *Adapun persoalan kedua dan ketiga, serta memoar selanjutnya yang masih ter- sisa oleh ustadz Said Nursi tidak digabung dengan risalah ini. Tetapi masing-masing di- jadikan risalah tersendiri dalam buku al-Lama’ât. Yaitu: risalah Ikhlas (cahaya ke-20 dan 21), tiga petunjuk (cahaya ke-22), risalah Thabi’ah (cahaya ke-23), risalah Hijab (cahaya ke-24), dan yang lainnya.