Yirmi Birinci Lem'a/id: Revizyonlar arasındaki fark

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    ("Rahasianya adalah sebagai berikut. Setiap orang dari sepuluh orang yang benar-benar menyatu bisa melihat dengan mata saudara-saudaranya yang lain serta bisa mendengar dengan telinga mereka. Dengan kata lain, seolah-olah masing-masing mereka memiliki kekuatan maknawi dan kemampuan untuk melihat dengan dua puluh mata, berpikir dengan sepuluh akal, mendengar dengan dua puluh telinga, serta bekerja dengan dua puluh tangan.(*<ref>*Ya, sebagaimana solidaritas..." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    ("------ <center> CAHAYA KEDUA PULUH ⇐ | Al-Lama’ât | ⇒ CAHAYA KEDUA PULUH DUA </center> ------" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
     
    (Aynı kullanıcının aradaki diğer 50 değişikliği gösterilmiyor)
    50. satır: 50. satır:
    Rahasianya adalah sebagai berikut. Setiap orang dari sepuluh orang yang benar-benar menyatu bisa melihat dengan mata saudara-saudaranya yang lain serta bisa mendengar dengan telinga mereka. Dengan kata lain, seolah-olah masing-masing mereka memiliki kekuatan maknawi dan kemampuan untuk melihat dengan dua puluh mata, berpikir dengan sepuluh akal, mendengar dengan dua puluh telinga, serta bekerja dengan dua puluh tangan.(*<ref>*Ya, sebagaimana solidaritas yang hakiki dan persatuan yang utuh yang berasal dari keikhlasan memberikan banyak sekali keuntungan, ia juga merupakan sandaran yang kuat untuk menghadapi berbagai kecemasan. Bahkan dalam menghadapi kematian sekalipun. Sebab, kematian hanya merenggut satu ruh. Sementara orang yang telah mengikat tali persaudaraan yang tulus dengan saudara-saudaranya dalam hal-hal yang terkait dengan akhirat serta dalam rangka menggapai ridha-Nya memiliki roh lain sejumlah saudaranya. Sehingga ia menghadapi kematian dengan wajah tersenyum sambil berkata, “Ruhruhku yang lain selamat. Aku masih memiliki kehidupan mak- nawi di mana ia tetap menghasilkan pahala untukku. Dengan begitu aku belum mati.” Ia melepaskan ruhnya dengan tenang, sementara lisannya berucap, “Aku masih hidup dengan ruh-ruh tersebut dari sisi pahala. Kematianku hanya dari sisi dosa dan kesalah- an”―Penulis.</ref>)
    Rahasianya adalah sebagai berikut. Setiap orang dari sepuluh orang yang benar-benar menyatu bisa melihat dengan mata saudara-saudaranya yang lain serta bisa mendengar dengan telinga mereka. Dengan kata lain, seolah-olah masing-masing mereka memiliki kekuatan maknawi dan kemampuan untuk melihat dengan dua puluh mata, berpikir dengan sepuluh akal, mendengar dengan dua puluh telinga, serta bekerja dengan dua puluh tangan.(*<ref>*Ya, sebagaimana solidaritas yang hakiki dan persatuan yang utuh yang berasal dari keikhlasan memberikan banyak sekali keuntungan, ia juga merupakan sandaran yang kuat untuk menghadapi berbagai kecemasan. Bahkan dalam menghadapi kematian sekalipun. Sebab, kematian hanya merenggut satu ruh. Sementara orang yang telah mengikat tali persaudaraan yang tulus dengan saudara-saudaranya dalam hal-hal yang terkait dengan akhirat serta dalam rangka menggapai ridha-Nya memiliki roh lain sejumlah saudaranya. Sehingga ia menghadapi kematian dengan wajah tersenyum sambil berkata, “Ruhruhku yang lain selamat. Aku masih memiliki kehidupan mak- nawi di mana ia tetap menghasilkan pahala untukku. Dengan begitu aku belum mati.” Ia melepaskan ruhnya dengan tenang, sementara lisannya berucap, “Aku masih hidup dengan ruh-ruh tersebut dari sisi pahala. Kematianku hanya dari sisi dosa dan kesalah- an”―Penulis.</ref>)


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="Üçüncü_Düsturunuz"></span>
    == Üçüncü Düsturunuz ==
    ==Prinsip Ketiga==
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ketahuilah bahwa kekuatan kalian seluruhnya ada pada keikhlasan dan kebenaran.
    '''Bütün kuvvetinizi ihlasta ve hakta bilmelisiniz.'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ya, kekuatan terletak pada kebenaran dan keikhlasan. Sampai-sampai kaum yang batil pun memperoleh kekuatan karena mereka menampakkan ketulusan dan keikhlasan dalam hal kebatilan.
    Evet, kuvvet haktadır ve ihlastadır. Haksızlar dahi haksızlıkları içinde gösterdikleri ihlas ve samimiyet yüzünden kuvvet kazanıyorlar.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ya, pengabdian kita di jalan iman dan al-Qur’an menjadi bukti bahwa kekuatan terletak pada kebenaran dan keikhlasan. Sedikit keikhlasan yang ada pada pengabdian tersebut membuktikan per- nyataan di atas.
    Evet, kuvvet hakta ve ihlasta olduğuna bir delil, şu hizmetimizdir. Bu hizmetimizde bir parça ihlas, bu davayı ispat eder ve kendi kendine delil olur.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sebab, pengabdian di jalan agama dan ilmu yang dilakukan selama lebih dari dua puluh tahun di kotaku (Van) dan di Istanbul, bisa dilakukan di sini (Barla) bersama kalian dengan seratus kali lebih banyak dalam kurun waktu delapan tahun. Padahal, orang- orang yang membantuku di sana jumlahnya seratus kali, bahkan seribu kali, lebih banyak daripada di sini. Pengabdian yang dilakukan di sini selama delapan tahun dalam kondisi di mana aku sendirian, terasing, setengah ummi(*<ref>*Said Nursi menyebut dirinya “setengah ummi” karena tulisan tangannya sangat jelek.</ref>), serta di bawah pengawasan dan tekanan para petugas yang zalim, alhamdulillah telah memberikan kekuatan maknawi yang membuahkan taufik dan kesuksesan seratus kali lipat dari yang sebelumnya. Aku sangat yakin bahwa kesuksesan tersebut semata-mata berasal dari keikhlasan kalian.
    Çünkü yirmi seneden fazla kendi memleketimde ve İstanbul’da ettiğimiz hizmet-i ilmiye ve diniyeye mukabil, burada sizinle yedi sekiz senede yüz derece fazla edildi. Halbuki kendi memleketimde ve İstanbul’da burada benimle çalışan kardeşlerimden yüz, belki bin derece fazla yardımcılarım varken, burada ben yalnız, kimsesiz, garib, yarım ümmi, insafsız memurların tarassudat ve tazyikatları altında yedi sekiz sene sizinle ettiğim hizmet; yüz derece eski hizmetten fazla muvaffakiyeti gösteren manevî kuvvet, sizlerdeki ihlastan geldiğine kat’iyen şüphem kalmadı.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Aku mengakui bahwa kalian telah menyelamatkanku dengan keikhlasan kalian yang tulus dari sifat riya yang merupakan penyakit berbahaya yang merayu nafsu manusia di bawah bayang-bayang popularitas dan reputasi. Semoga Allah melimpahkan taufik kepada kalian semua untuk bisa meraih keikhlasan yang sempurna, dan aku berharap kalian menyertakanku bersama kalian dalam keikhlasan tersebut.
    Hem itiraf ediyorum ki samimi ihlasınızla, şan ve şeref perdesi altında nefsimi okşayan riyadan beni bir derece kurtardınız. İnşâallah tam ihlasa muvaffak olursunuz, beni de tam ihlasa sokarsınız.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ketahuilah bahwa Imam Ali d dan syekh Abdul Qadir al- Jailani telah memuji kalian dalam karamah mereka yang luar biasa. Selain itu, mereka menghibur kalian dan mengapresiasi pengabdian kalian secara maknawi. Kalian harus yakin bahwa pujian dan perhatian tersebut diberikan semata-mata berkat keikhlasan kalian. Jika kalian merusak keikhlasan tersebut secara sengaja, maka kalian layak mendapat “tamparan” dari mereka. Ingatlah selalu “tamparan kasih sayang” yang terdapat pada “Cahaya Kesepuluh”.
    Bilirsiniz ki Hazret-i Ali (ra) o mu’cizevari kerametiyle ve Hazret-i Gavs-ı A’zam (ks) o hârika keramet-i gaybiyesiyle, sizlere bu sırr-ı ihlasa binaen iltifat ediyorlar ve himayetkârane teselli verip hizmetinizi manen alkışlıyorlar. Evet, hiç şüphe etmeyiniz ki bu teveccühleri, ihlasa binaen gelir. Eğer bilerek bu ihlası kırsanız onların tokadını yersiniz. Onuncu Lem’a’daki şefkat tokatlarını tahattur ediniz.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Jika kalian ingin agar kedua sosok mulia tersebut tetap menjadi guru dan penolong kalian secara maknawi, maka milikilah sikap ikhlas yang sempurna dengan mengikuti petunjuk ayat al-Qur’an:“Mereka lebih mengutamakan orang lain ketimbang diri mereka sendiri.” (QS. al-Hasyr [59]: 9).Dengan kata lain, kalian harus mengutamakan saudara-saudara kalian daripada diri kalian sendiri dalam hal tingkatan, kedudukan,
    Böyle manevî kahramanları arkanızda zahîr, başınızda üstad bulmak isterseniz وَ يُؤ۟ثِرُونَ عَلٰٓى اَن۟فُسِهِم۟ sırrıyla ihlas-ı tammı kazanınız. Kardeşlerinizin nefislerini nefsinize; şerefte, makamda, teveccühte, hattâ menfaat-i maddiye gibi nefsin hoşuna giden şeylerde tercih ediniz.
    penghormatan, perhatian, serta dalam hal mendapatkan keuntungan materil yang biasanya disenangi oleh nafsu manusia.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Bahkan dalam hal meraih keuntungan yang bersifat tulus sekalipun, seperti me- nyampaikan hakikat-hakikat keimanan kepada orang lain. Janganlah kalian terlalu berambisi―semampu mungkin―untuk mewujudkan hal itu sendirian. Tetapi usahakan untuk bergembira dan merasa lapang karena ia terwujud berkat yang lain, agar rasa ujub tidak masuk ke dalam diri kalian. Tidak menutup kemungkinan ada di antara kalian yang berambisi untuk mendapatkan pahala sendirian sehingga berusaha agar dialah yang menyampaikan persoalan keimanan yang penting itu. Meskipun tidak ada dosa dan bahaya di dalamnya, numun hal itu bisa merusak keikhlasan di antara kalian.
    Hattâ en latîf ve güzel bir hakikat-i imaniyeyi muhtaç bir mü’mine bildirmek ki en masumane, zararsız bir menfaattir. Mümkün ise nefsinize bir hodgâmlık gelmemek için istemeyen bir arkadaş ile yaptırması hoşunuza gitsin. Eğer “Ben sevap kazanayım, bu güzel meseleyi ben söyleyeyim.” arzunuz varsa çendan onda bir günah ve zarar yoktur. Fakat mabeyninizdeki sırr-ı ihlasa zarar gelebilir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="Dördüncü_Düsturunuz"></span>
    == Dördüncü Düsturunuz ==
    ==Prinsip Keempat==
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Berbangga sambil bersyukur dengan keistimewaan yang dimiliki oleh saudara-saudara kalian, sekaligus memandang hal itu sebagai milik kalian, serta menganggap keutamaan mereka itu sebagai bagian dari keutamaan kalian.
    '''Kardeşlerinizin meziyetlerini şahıslarınızda ve faziletlerini kendinizde tasavvur edip onların şerefleriyle şâkirane iftihar etmektir.'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ada beberapa istilah yang beredar di kalangan para sufi, di antaranya al-Fanâ fî asy-Syaikh (lebur dalam diri Syekh) serta al-Fanâ fî ar-Rasûl (lebur dalam diri Rasul). Hanya saja aku bukanlah seorang sufi. Akan tetapi, al-Fana fî al-Ikhwân (lebur dalam persaudaraan) merupakan prinsip indah yang sangat sesuai dengan metode atau manhaj kita. Dengan kata lain, setiap orang harus meleburkan diri pada yang lain (tafâni). Yakni, ia harus melupakan perasaan nafsunya dan menganggap keutamaan saudaranya sebagai miliknya.
    Ehl-i tasavvufun mabeyninde “fena fi’ş-şeyh, fena fi’r-resul” ıstılahatı var. Ben sofi değilim. Fakat onların bu düsturu, bizim meslekte “fena fi’l-ihvan” suretinde güzel bir düsturdur. Kardeşler arasında buna “tefani” denilir. Yani birbirinde fâni olmaktır. Yani kendi hissiyat-ı nefsaniyesini unutup, kardeşlerinin meziyat ve hissiyatıyla fikren yaşamaktır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sebab, landasan manhaj kita adalah ukhuwwah (persaudaraan). Hubungan yang mengikat kita adalah persaudaraan yang hakiki. Bukan hubu- ngan antara anak dan ayah, serta bukan pula hubungan antara dan murid. Kalaupun ada, hubungan itu hanyalah hubungan dengan se- orang ustadz.Karena jalan kita adalah al-khalîliyah (persahabatan yang tulus), maka prinsip kita adalah al-khullah (kesetiakawanan). Al-Khullah tersebut mengharuskan adanya sahabat yang setia, teman yang rela berkorban, kawan yang menghargai, serta saudara yang selalu memberi semangat. Tentu saja dasar yang paling utama dari kesetiakawanan itu adalah adanya keikhlasan yang tulus. Siapa yang merusak keikhlasan tersebut, ia akan terjatuh dari atas “menara kesetiakawanan” yang tinggi. Dan barangkali ia terjatuh pada lembah yang sangat dalam, sebab tidak ada tempat yang dapat dipegang pada pertengahan.
    Zaten mesleğimizin esası uhuvvettir. Peder ile evlat, şeyh ile mürid mabeynindeki vasıta değildir. Belki hakiki kardeşlik vasıtalarıdır. Olsa olsa bir üstadlık ortaya girer. Mesleğimiz “Haliliye” olduğu için meşrebimiz “hıllet”tir. Hıllet ise en yakın dost ve en fedakâr arkadaş ve en güzel takdir edici yoldaş ve en civanmert kardeş olmak iktiza eder. Bu hılletin üssü’l-esası, samimi ihlastır. Samimi ihlası kıran adam, bu hılletin gayet yüksek kulesinin başından sukut eder. Gayet derin bir çukura düşmek ihtimali var. Ortada tutunacak yer bulamaz.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ya, terlihat ada dua jalan. Orang-orang yang meninggalkan manhaj kita yang merupakan jalan utama al-Qur’an kemungkinan mereka itu adalah orang-orang yang membantu aliran ateisme yang merupakan musuh al-Qur’an tanpa mereka sadari. Mereka yang masuk ke dalam kancah “khidmah al-Qur’an” yang suci lewat Risalah Nur, dengan izin Allah tidak akan terjatuh ke dalam lembah tadi. Mereka justru akan selalu memberikan kekuatan pada cahaya, keikhlasan, dan keimanan.
    Evet, yol iki görünüyor. Cadde-i kübra-yı Kur’aniye olan şu mesleğimizden şimdi ayrılanlar, bize düşman olan dinsizlik kuvvetine bilmeyerek yardım etmek ihtimali var. İnşâallah Risale-i Nur yoluyla Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan’ın daire-i kudsiyesine girenler; daima nura, ihlasa, imana kuvvet verecekler ve öyle çukurlara sukut etmeyeceklerdir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Sarana Meraih Keikhlasan'''
    Ey hizmet-i Kur’aniyede arkadaşlarım!
    '''Sarana Pertama:'''Râbithatul Maut (Mengingat Mati)
    </div>
    Wahai saudara-saudaraku yang mengabdikan diri pada al- Qur’an!


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sesungguhnya sarana terpenting untuk mendapatkan keikhlasan dan sebab utama yang efektif untuk bisa memelihara keikhlasan tersebut adalah râbithatul maut.
    '''İhlası kazanmanın ve muhafaza etmenin en müessir bir sebebi, rabıta-i mevttir.'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Panjangnya agan-angan yang merupakan penyakit “lupa akhirat” dapat merusak keikhlasan serta mengantarkan manusia kepada cinta dunia dan riya, sementara “ingat mati” justru menjauhkan manusia dari riya dan menjadikan manusia mendapatkan keikhlasan. Pasalnya, dengan memikirkan kematiannya dan merenungkan musnahnya dunia, ia bisa selamat dari tipu daya nafsu ammârah.
    Evet, ihlası zedeleyen ve riyaya ve dünyaya sevk eden, tûl-i emel olduğu gibi; riyadan nefret veren ve ihlası kazandıran, rabıta-i mevttir. Yani ölümünü düşünüp, dünyanın fâni olduğunu mülahaza edip, nefsin desiselerinden kurtulmaktır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Karena itu, para ahli tarekat dan ahli hakikat menjadikan râbithatul maut sebagai landasan dalam suluk mereka sesuai dengan pelajaran yang mereka dapat dari ayat al-Qur’an berikut:“Setiap jiwa (diri) pasti merasakan kematian.” (QS. Ali Imrân [3]: 185).
    Evet ehl-i tarîkat ve ehl-i hakikat, Kur’an-ı Hakîm’in كُلُّ نَف۟سٍ ذَٓائِقَةُ ال۟مَو۟تِ ۝ اِنَّكَ مَيِّتٌ وَاِنَّهُم۟ مَيِّتُونَ gibi âyetlerinden aldığı dersle, rabıta-i mevti sülûklarında esas tutmuşlar; tûl-i emelin menşei olan tevehhüm-ü ebediyeti o rabıta ile izale etmişler. Onlar farazî ve hayalî bir surette kendilerini ölmüş tasavvur ve tahayyül edip ve yıkanıyor, kabre konuyor farz edip; düşüne düşüne nefs-i emmare o tahayyül ve tasavvurdan müteessir olup uzun emellerinden bir derece vazgeçer. Bu rabıtanın fevaidi pek çoktur. Hadîste اَك۟ثِرُوا ذِك۟رَ هَادِمِ اللَّذَّاتِ – اَو۟ كَمَا قَالَ – yani “Lezzetleri tahrip edip acılaştıran ölümü çok zikrediniz!” diye bu rabıtayı ders veriyor.
    “Sesungguhnya kamu akan mati dan mereka pun akan mati.” (QS. az-Zumar [39]: 30).Dengan mengingat mati, mereka tidak berpikir akan kekal abadi yang menyebabkan penyakit lupa akhirat. Mereka membayangkan diri mereka sebagai orang-orang mati. Selanjutnya mereka dimandikan, lalu diletakkan di kubur. Ketika sedang membayangkan hal tersebut, nafsu ammârah akan sangat tersentuh sehingga sedikit demi sedikit nafsu tersebut melepaskan angan-angannya yang panjang pada derajat tertentu. Dengan demikian, mengingat mati memberikan berbagai banyak manfaat. Cukuplah sebagai petunjuk kepada hal itu hadis Nabi yang berbunyi:
    </div>
    “Perbanyaklah mengingat sesuatu yang memotong segala kenikmatan (kematian).”(*<ref>*Lihat: at-Tirmidzi, Shifatul Qiyâmah, 26; az-Zuhd, 4; an-Nasâi, al- Janâiz, 3; Ibnu Majah, az-Zuhd, 31; Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, 2/292..</ref>)


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Karena jalan kita adalah jalan hakikat, bukan tarekat sufi, maka kita tidak perlu seperti mereka yang langsung mengingat mati dengan bayangan dan khayalan. Selain itu, manhaj tersebut tidak cocok dengan manhaj hakikat. Sebab, memikirkan akibat bukan dengan mendatangkan bayangan tentang masa depan ke masa sekarang. Tetapi, dalam sudut pandang hakikat, kita harus membawa pikiran dari masa sekarang ke masa mendatang dan menyaksikan masa de- pan lewat kenyataan masa sekarang.
    Fakat mesleğimiz tarîkat olmadığı belki hakikat olduğu için bu rabıtayı ehl-i tarîkat gibi farazî ve hayalî suretinde yapmaya mecbur değiliz. Hem meslek-i hakikate uygun gelmiyor. Belki âkıbeti düşünmek suretinde, müstakbeli zaman-ı hazıra getirmek değil belki hakikat noktasında zaman-ı hazırdan istikbale fikren gitmek, nazaran bakmaktır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Jadi, tidak perlu berkhayal ataupun berasumsi. Sebab, manusia bisa menyaksikan jenazahnya sebagai buah dari pohon umurnya yang singkat. Ketika manusia sedikit saja mengalihkan pandangannya, ia tidak hanya menyaksikan kematian dirinya semata, tetapi juga akan menyaksikan kematian zamannya. Lebih dari itu, ia akan melihat kematian dan kehancuran dunia. Dari sini, terbukalah jalan baginya menuju keikhlasan yang sempurna.
    Evet hiç hayale, faraza lüzum kalmadan bu kısa ömür ağacının başındaki tek meyvesi olan kendi cenazesine bakabilir. Onunla yalnız kendi şahsının mevtini gördüğü gibi bir parça öbür tarafa gitse asrının ölümünü de görür, daha bir parça öbür tarafa gitse dünyanın ölümünü de müşahede eder, ihlas-ı etemme yol açar.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Sarana Kedua:'''Tafakkur Imani Sarana kedua untuk bisa meraih keikhlasan adalah merasa kehadiran Tuhan melalui kekuatan keimanan hakiki dan cahaya yang berasal dari tafakkur imani terhadap ciptaan Tuhan. Bentuk tafakkur seperti ini akan menghasilkan makrifat (mengenal) Sang Pencipta, sehingga kalbu akan merasa tenang dan tenteram. Ya, jika pikiran manusia tercerahkan oleh tafakkur seperti ini, ia akan berpikir bahwa Sang Pencipta Maha Penyayang senantiasa hadir dan melihatnya sehingga tidak mencari perhatian selain-Nya serta tidak meminta tolong kecuali kepada-Nya. Sebab, melihat dan berpaling kepada selain-Nya dapat merusak etika “kehadiran” dan ketenangan kalbu. Dengan ini, manusia akan selamat dari penyakit riya sekaligus akan meraih keikhlasan. Namun demikian, tafakkur tersebut memiliki banyak tingkatan dan tahapan. Bagian seseorang bergantung pada apa yang diperolehnya. Keuntungan yang ia miliki adalah yang ia dapatkan dari perenungan tadi sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya.
    '''İkinci Sebep:''' İman-ı tahkikînin kuvvetiyle ve marifet-i Sâni’i netice veren masnuattaki tefekkür-ü imanîden gelen lemaat ile bir nevi huzur kazanıp, Hâlık-ı Rahîm’in hazır nâzır olduğunu düşünüp, ondan başkasının teveccühünü aramayarak; huzurunda başkalarına bakmak, meded aramak o huzurun edebine muhalif olduğunu düşünmek ile o riyadan kurtulup ihlası kazanır. Her ne ise bunda çok derecat, meratib var. Herkes kendi hissesine göre ne kadar istifade edebilse o kadar kârdır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Hal ini kita cukupkan sampai di sini dan kita bisa merujuk kepada Risalah Nur yang mengupas berbagai hakikat yang bisa mengantarkan seseorang untuk selamat dari riya dan bisa meraih keikhlasan.
    Risale-i Nur’da riyadan kurtaracak, ihlası kazandıracak çok hakaik zikredildiğinden ona havale edip burada kısa kesiyoruz.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Penghalang Keikhlasan'''
    '''İhlası kıran ve riyaya sevk eden pek çok esbabdan iki üçünü muhtasaran beyan edeceğiz:'''
    Secara singkat kami akan menjelaskan beberapa faktor yang bisa merusak dan menghalangi keikhlasan, serta mendatangkan sikap riya:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Penghalang Pertama:'''Persaingan yang Disebabkan oleh Keuntungan Materiil Hal ini bisa merusak keikhlasan secara perlahan-lahan. Bahkan ia akan merusak hasil pengabdian. Ia juga bisa menghapus keuntungan yang bersifat materi tadi.
    '''Birincisi:''' Menfaat-i maddiye cihetinden gelen rekabet, yavaş yavaş ihlası kırar. Hem netice-i hizmeti de zedeler. Hem o maddî menfaati de kaçırır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ya, umat ini selalu menghormati dan menghargai para juru dakwah yang dengan tekun bekerja demi hakikat dan akhirat. Umat ini juga senantiasa memberikan bantuan kepada mereka. Semua itu dilakukan dengan niat ikut berpartisipasi bersama mereka dalam melakukan amal dan pengabdian yang tulus, ikhlas karena Allah. Berbagai hadiah dan sedekah diberikan guna memenuhi kebutuhan materi mereka serta agar mereka tidak sibuk dengannya sehingga melupakan pengabdian agung tadi. Hanya saja, berbagai bantuan dan keuntungan tersebut sama sekali tidak boleh diminta, tetapi diberi. Ia tak boleh diminta meskipun dengan lisanul hal seperti orang yang selalu menantikan di dalam hatinya. Namun, ia diberikan secara tanpa diharapkan. Jika tidak, keikhlasan seseorang akan menjadi cacat serta nyaris termasuk ke dalam golongan orang-orang yang melanggar larangan Tuhan yang berbunyi, “Janganlah kalian menukar ayat-ayatKu dengan harga yang rendah” (QS. al-Baqarah [2]: 41), sehingga se- bagian amalnya terhapus.
    Evet, hakikat ve âhiret için çalışanlara karşı bu millet bir hürmet ve bir muavenet fikrini daima beslemiş. Ve bilfiil onların hakikat-i ihlaslarına ve sadıkane olan hizmetlerine bir cihette iştirak etmek niyetiyle, onların hâcat-ı maddiyelerinin tedarikiyle meşgul olup, vakitlerini zayi etmemek için sadaka ve hediye gibi maddî menfaatlerle yardım edip hürmet etmişler. Fakat bu muavenet ve menfaat istenilmez belki verilir. Hem kalben arzu edip muntazır kalmakla lisan-ı hal ile dahi istenilmez belki ummadığı bir halde verilir. Yoksa ihlası zedelenir. Hem وَلَا تَش۟تَرُوا بِاٰيَاتٖى ثَمَنًا قَلٖيلًا âyetinin nehyine yanaşır, ameli kısmen yanar.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Keinginan untuk memperoleh keuntungan materil atas dorongan nafsu ammârah bisa memunculkan benih-benih persaingan terhadap saudara dan sahabat seperjuangan demi tidak membiarkan keuntungan materil diambil oleh orang lain. Dengan begitu berarti ia merusak keikhlasannya, mengotori kesucian pengabdian, dan mengambil posisi yang membuat ahli hakikat menjauhinya, bahkan menghilangkan keuntungan materil itu sendiri.
    İşte bu maddî menfaati arzu edip muntazır kalmak, sonra nefs-i emmare hodgâmlık cihetiyle, o menfaati başkasına kaptırmamak için hakiki bir kardeşine ve o hususi hizmette arkadaşına karşı bir rekabet damarı uyandırır. İhlası zedelenir, hizmette kudsiyeti kaybeder. Ehl-i hakikat nazarında sakîl bir vaziyet alır. Ve maddî menfaati de kaybeder. Her ne ise...
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Bagaimanapun persoalan ini cukup panjang.
    Bu hamur çok su götürür, kısa kesip yalnız hakiki kardeşlerimin içinde sırr-ı ihlası ve samimi ittifakı kuvvetleştirecek '''iki misal''' söyleyeceğim.
    Aku akan menyebutkan sesuatu yang akan menambah keikhlasan sekaligus menguatkan persatuan yang tulus di antara saudara-sau- daraku yang hakiki. Hal itu aku paparkan dalam dua perumpamaan berikut:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Perumpamaan Pertama'''
    '''Birinci Misal:''' Ehl-i dünya, büyük bir servet ve şiddetli bir kuvvet elde etmek için hattâ bir kısım ehl-i siyaset ve hayat-ı içtimaiye-i beşeriyenin mühim âmilleri ve komiteleri, iştirak-i emval düsturunu kendilerine rehber etmişler. Bütün sû-i istimalat ve zararlarıyla beraber, hârika bir kuvvet, bir menfaat elde ediyorlar. Halbuki iştirak-i emvalin çok zararlarıyla beraber, iştirakle mahiyeti değişmez. Her birisi umuma –gerçi bir cihette ve nezarette– mâlik hükmündedir fakat istifade edemez. Her ne ise...
    Ahli dunia saat ini menjadikan “kerja kolektif ” sebagai sebuah kaidah untuk mendapatkan kekayaan atau kekuatan yang besar. Bahkan sebagian politikus, orang-orang besar dan komite-komite yang mempunyai pengaruh dalam kehidupan sosial menjadikannya sebagai sandaran mereka. Sebagai hasil dari mengikuti kaidah di atas, mereka mendapatkan kekuatan yang hebat serta memperoleh keun- tungan yang besar meskipun di dalamnya terdapat berbagai bahaya dan penyalahgunaan. Hal itu karena substansi dari “kerja kolektif ” tersebut tidak berubah hanya gara-gara keburukan dan bahaya yang terdapat di dalamnya. Di sini, dilihat dari sisi partisipasi dan pengawasannya atas harta tersebut, setiap orang memosisikan dirinya sebagai pemilik semua harta yang ada walaupun ia tidak bisa mem- pergunakan semua harta itu.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Dengan demikian, apabila kaidah tadi diterapkan dalam amal- amal ukhrawi, ia akan memberikan berbagai manfaat yang besar tanpa menimbulkan kerugian atau bahaya sama sekali. Sebab, semua harta ukhrawi tersebut menjadi milik setiap orang dari mereka tanpa dikurangi sedikitpun.Agar menjadi jelas, kami akan mengetengahkan contoh berikut:Misalkan ada lima orang yang ikut berpartisipasi dalam menyalakan lampu minyak. Ada yang menyediakan minyak, ada yang menyediakan sumbu, ada yang menyediakan kaca lampu, ada yang menyediakan lampu itu sendiri, serta ada yang menyediakan satu kotak korek api. Ketika mereka menyalakan lampu minyak tersebut, setiap orang dari mereka menjadi pemilik lampu itu. Seandainya masing-masing mereka memiliki sebuah cermin besar, lampu tersebut akan bisa masuk ke dalam cermin masing-masing secara utuh; tanpa berkurang sedikitpun.
    Bu iştirak-i emval düsturu a’mal-i uhreviyeye girse zararsız azîm menfaate medardır. Çünkü bütün emval, o iştirak eden her bir ferdin eline tamamen geçmesinin sırrını taşıyor. Çünkü nasıl ki dört beş adamdan iştirak niyetiyle biri gaz yağı, biri fitil, biri lamba, biri şişe, biri kibrit getirip lambayı yaktılar. Her biri tam bir lambaya mâlik oluyor. O iştirak edenlerin her birinin bir duvarda büyük bir âyinesi varsa her birinin noksansız, parçalanmadan birer lamba oda ile beraber âyinesine girer.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Demikian pula dengan “kerja kolektif ” atau partisipasi dalam amal-amal ukhrawi yang dilandasi oleh keikhlasan, solidaritas yang dilandasi oleh persaudaraan, dan kerja sama yang dilandasi oleh persatuan. Semua amal mereka yang terlibat di dalamnya dan semua cahaya yang bersumber darinya akan masuk secara sempurna ke dalam catatan amal setiap mereka. Ini tampak secara jelas dan nyata di antara ahli hakikat. Hal tersebut termasuk wujud dari luasnya rahmat Allah dan kemurahan-Nya yang mutlak.
    Aynen öyle de emval-i uhreviyede sırr-ı ihlas ile iştirak ve sırr-ı uhuvvet ile tesanüd ve sırr-ı ittihat ile teşrikü’l-mesai, o iştirak-i a’malden hasıl olan umum yekûn ve umum nur her birinin defter-i a’maline bitamamiha gireceği ehl-i hakikat mabeyninde meşhud ve vakidir ve vüs’at-i rahmet ve kerem-i İlahînin muktezasıdır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Wahai saudara-saudaraku! Aku berharap semoga berbagai keuntungan materil tidak memicu munculnya persaingan di antara kalian. Namun sebagaimana sebagian ahli tarekat tertipu dengan manfaat ukhrawi, mungkin juga kalian bisa tertipu oleh berbagai keuntungan ukhrawi. Karena itu, sadarlah bahwa pahala pribadi yang bersifat parsial tidak ada artinya dibandingkan dengan pahala besar yang bersumber dari adanya kerja kolektif dalam amal-amal ukhrawi. Tentu saja cahaya yang kecil tidak bisa diukur dengan cahaya yang terang benderang.
    İşte ey kardeşlerim! Sizleri inşâallah menfaat-i maddiye rekabete sevk etmeyecek. Fakat menfaat-i uhreviye noktasında bir kısım ehl-i tarîkat aldandıkları gibi sizin de aldanmanız mümkündür. Fakat şahsî, cüz’î bir sevap nerede; mezkûr misal hükmündeki iştirak-i a’mal noktasında tezahür eden sevap ve nur nerede?
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Perumpamaan Kedua'''
    '''İkinci Misal:''' Ehl-i sanat, netice-i sanatı ziyade kazanmak için iştirak-i sanat cihetinde mühim bir servet elde ediyorlar. Hattâ dikiş iğneleri yapan on adam, ayrı ayrı yapmaya çalışmışlar. O ferdî çalışmanın her günde yalnız üç iğne, o ferdî sanatın meyvesi olmuş. Sonra teşrikü’l-mesai düsturuyla on adam birleşmişler. Biri demir getirip, biri ocak yandırıp, biri delik açar, biri ocağa sokar, biri ucunu sivriltir ve hâkeza her birisi iğne yapmak sanatında yalnız cüz’î bir işle meşgul olup, iştigal ettiği hizmet basit olduğundan vakit zayi olmayıp, o hizmette meleke kazanarak gayet süratle işini görmüş. Sonra, o teşrik-i mesai ve taksim-i a’mal düsturuyla olan sanatın semeresini taksim etmişler. Her birisine bir günde üç iğneye bedel üç yüz iğne düştüğünü görmüşler. Bu hâdise ehl-i dünyanın sanatkârları arasında, onları teşrik-i mesaiye sevk etmek için dillerinde destan olmuştur.
    Para perajin bisa memperoleh hasil yang berlimpah dan kekayaan yang banyak karena mereka berpegang pada prinsip “pembagian tugas”.Contohnya adalah sebagai berikut:Sepuluh orang pembuat jarum jahit melakukan pekerjaan mereka. Masing-masing bekerja sendiri. Hasilnya hanya tiga jarum yang diperoleh oleh masing-masing mereka dalam satu hari. Kemudian mereka pun bergabung “menyatukan langkah dan membagi kerja”. Ada yang menghadirkan besi, ada yang menyediakan api, ada yang membuat lubang jarum, ada yang memasukkan ke dalam api, ada yang mulai membentuk, dan seterusnya. Sehingga tidak ada waktu yang terbuang percuma. Masing-masing mempunyai tugas tertentu dan semuanya bisa dilakukan dengan cepat. Sebab, selain tergolong pekerjaan sederhana, masing-masing memiliki pengalaman dan keahlian di dalamnya. Hasil dari pembagian tugas itu, bagian yang diperoleh oleh masing-masing mereka dalam satu hari adalah tiga ratus jarum padahal tadinya hanya tiga jarum. Kasus ini tentu saja menjadi pegangan para perajin yang menyeru kepada adanya partisi- pasi kerja dan pembagian tugas.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Wahai saudara-saudaraku! Kalau keuntungan besar di atas diperoleh dari adanya persatuan dan kebersamaan dalam urusan duniawi, lalu betapa besar pahala yang diperoleh atas amal-amal ukhrawi! Betapa besar ganjaran yang terpantul dari kerja kolektif pada cermin masing-masing! Amal-amal tersebut tidak perlu dibagi-bagi lagi. Kalian bisa memahami laba besar tersebut. Laba besar tersebut tentu saja tidak boleh dihapus dengan persaingan dan ketidak-ikhlasan.
    İşte ey kardeşlerim! Madem umûr-u dünyeviyede, kesif maddelerde böyle ittihat, ittifak ile neticeler, böyle azîm yekûn faydalar verir. Acaba uhrevî ve nurani ve tecezzi ve inkısama muhtaç olmayarak ve fazl-ı İlahî ile her birisinin âyinesine umum nur in’ikas etmek ve her biri umumun kazandığı misl-i sevaba mâlik olmak, ne kadar büyük bir kâr olduğunu kıyas edebilirsiniz. Bu azîm kâr, rekabetle ve ihlassızlık ile kaçırılmaz.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Penghalang Kedua:''' Cinta Kedudukan
    '''İhlası kıran ikinci mani:''' Hubb-u câhtan gelen şöhret-perestlik sâikasıyla ve şan ve şeref perdesi altında teveccüh-ü âmmeyi kazanmak, nazar-ı dikkati kendine celbetmekle enaniyeti okşamak ve nefs-i emmareye bir makam vermektir ki en mühim bir maraz-ı ruhî olduğu gibi “şirk-i hafî” tabir edilen riyakârlığa, hodfüruşluğa kapı açar, ihlası zedeler.
    Penghalang ikhlas yang kedua adalah membiarkan nafsu ammârah bersikap ego, mencari pangkat dan kedudukan agar menjadi perhatian manusia, serta senang kepada sanjungan orang karena motivasi ingin terkenal dan populer yang lahir dari cinta kedudukan dan adanya ambisi untuk mendapatkan kehormatan. Di samping
    </div>
    merupakan penyakit kejiwaan yang kronis, ia juga merupakan sifat yang membuka pintu menuju “syirik yang samar”, yaitu riya dan ujub, sekaligus merusak keikhlasan.


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Wahai saudara-saudaraku!
    Ey kardeşlerim! Kur’an-ı Hakîm’in hizmetindeki mesleğimiz hakikat ve uhuvvet olduğu ve uhuvvetin sırrı; şahsiyetini kardeşler içinde fâni edip '''(Hâşiye<ref>'''Hâşiye:''' Evet, bahtiyar odur ki kevser-i Kur’anîden süzülen tatlı, büyük bir havuzu kazanmak için bir buz parçası nevindeki şahsiyetini ve enaniyetini o havuz içine atıp eritendir.</ref>)''' onların nefislerini kendi nefsine tercih etmek olduğundan, mabeynimizde bu nevi hubb-u câhtan gelen rekabet tesir etmemek gerektir. Çünkü mesleğimize bütün bütün münafîdir. Madem kardeşlerin şerefi umumiyetle her ferde ait olabilir; o büyük şeref-i manevîyi, şahsî, hodfüruşane, rekabetkârane, cüz’î bir şerefe ve şöhrete feda etmek; Risale-i Nur şakirdlerinden yüz derece uzak olduğu ümidindeyim.
    Karena pengabdian yang kita lakukan ini berlandaskan pada hakikat dan persaudaraan, di mana rahasia persaudaraan itu baru terwujud ketika seseorang meleburkan dirinya dalam pribadi saudara-saudaranya(*<ref>*Ya, orang yang bahagia adalah orang yang bisa meleburkan diri dan egoismen- ya—yang laksana sepotong esdi telaga besar dan nikmat yang bersumber dari samudera al-Qur’an agar dapat memperoleh telaga tersebut—Penulis.</ref>)dan ketika ia lebih mengutamakan mereka, maka seharusnya persaingan yang bersumber dari cinta kedudukan tidak boleh mempengaruhi kita. Sebab, sifat tersebut sangat bertentangan dengan manhaj kita. Karena kemuliaan dan kehormatan seluruh saudara kembali kepada setiap orang dalam jamaah, maka kedudukan yang tinggi dan kemuliaan yang agung milik jamaah tersebut tidak mungkin dikorbankan demi popularitas dan kemuliaan pribadi yang berasal dari egoisme dan rasa iri. Aku percaya bahwa hal itu tidak dimiliki oleh para murid Nur.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ya, kalbu, akal, dan jiwa semua murid Nur tidak akan terjatuh pada hal-hal rendah semacam itu. Hanya saja, setiap orang memiliki nafsu ammârah. Kadang-kadang perasaan nafsu berpengaruh dan mengalahkan akal, kalbu, dan jiwa mereka. Dengan bersandar pada pengaruh yang diberikan oleh Risalah Nur, aku tidak mencurigai kalbu, akal, dan jiwa kalian. Namun demikian, nafsu, selera rendah, perasaan, dan angan-angan kadang-kadang menipu. Karenanya, peringatan yang diberikan kepada kalian kadangkala bersifat pedas dan keras. Kerasnya peringatan tersebut tidak lain ditujukan kepada nafsu, selera rendahan, perasaan, dan angan-angan tersebut. Maka dari itu, kalian senantiasa harus waspada.
    Evet, Risale-i Nur şakirdlerinin kalbi, aklı, ruhu; böyle aşağı, zararlı, süflî şeylere tenezzül etmez. Fakat herkeste nefs-i emmare bulunur. Bazı da hissiyat-ı nefsiye damarlara ilişir. Bir derece hükmünü; kalp, akıl ve ruhun rağmına olarak icra eder. Sizlerin kalp ve ruh ve aklınızı ittiham etmem. Risale-i Nur’un verdiği tesire binaen itimat ediyorum. Fakat nefis ve heva ve his ve vehim bazen aldatıyorlar. Onun için bazen şiddetli ikaz olunuyorsunuz. Bu şiddet, nefis ve heva ve his ve vehme bakıyor; ihtiyatlı davranınız.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ya, seandainya manhaj kita berbentuk tarekat khusus yang dipimpin oleh seorang syekh, tentu di dalamnya ada satu atau beberapa kedudukan yang bersifat terbatas. Juga, tentu akan ada banyak orang yang dicalonkan untuk menempati kedudukan tersebut. Ketika itulah muncul kedengkian dan egoisme pribadi. Namun manhaj kita ada- lah persaudaraan. Karena itu, tidak boleh ada di antara kalian yang mengembangkan paham paternalisme serta memosisikan dirinya sebagai mursyid. Dalam persaudaraan, kedudukan yang ada sangat luas sehingga tidak perlu saling mendengki. Justru seorang saudara harus membantu saudaranya, menyempurnakan tugasnya, serta menolongnya.
    Evet, eğer mesleğimiz şeyhlik olsa idi makam bir olurdu veyahut mahdud makamlar bulunurdu. O makama müteaddid istidatlar namzet olurdu. Gıptakârane bir hodgâmlık olabilirdi. Fakat mesleğimiz uhuvvettir. Kardeş kardeşe peder olamaz, mürşid vaziyetini takınamaz. Uhuvvetteki makam geniştir. Gıptakârane müzahameye medar olamaz. Olsa olsa, kardeş kardeşe muavin ve zahîr olur; hizmetini tekmil eder.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Di antara bukti bahwa dalam institusi yang memakai sistem paternalistik, mursyid, dan guru, tersimpan berbagai dampak buruk yang bersumber dari persaingan dan kedengkian karena rakus pada upah dan ganjaran adalah adanya berbagai perpecahan dan permusuhan di tengah-tengah keuntungan agung yang dirasakan oleh para ahli tarekat sufi itu di mana perpecahan tersebut menimbulkan dampak buruk yang menjadikan kekuatan utama mereka tak mampu berdiri tegak dalam menghadapi terpaan topan bid’ah.
    Pederane, mürşidane mesleklerdeki gıptakârane hırs-ı sevap ve ulüvv-ü himmet cihetiyle çok zararlı ve hatarlı neticeler vücuda geldiğine delil: Ehl-i tarîkatın o kadar mühim ve azîm kemalâtları ve menfaatleri içindeki ihtilafatın ve rekabetin verdiği vahim neticelerdir ki onların o azîm, kudsî kuvvetleri bid’a rüzgârlarına karşı dayanamıyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Penghalang Ketiga:'''Takut dan Tamak
    '''Üçüncü Mani:''' Korku ve tama’dır. Bu mani diğer bir kısım manilerle beraber Hücumat-ı Sitte’de tamamıyla izah edildiğinden ona havale edip, Cenab-ı Erhamü’r-Râhimîn’den bütün esma-i hüsnasını şefaatçi yapıp niyaz ediyoruz ki: Bizleri ihlas-ı tamme muvaffak eylesin, âmin!
    Dalam hal ini kita merujuk kepada risalah al-Hajamât as-Sitt (Enam Serangan).(*<ref>*Bagian keenam dari “Surat Kedua Puluh Sembilan” dalam buku al-Maktûbât.</ref>)Dalam risalah tersebut penghalang ini dijelaskan bersama penghalang-penghalang lainnya secara sangat jelas. Kami bermohon kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang seraya meminta syafaat dari semua namaNya yang mulia agar Dia memberikan taufik kepada kita seluruhnya untuk bisa meraih keikhlasan yang sempurna. Amin.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ya Allah, dengan kebenaran surah al-Ikhlas jadikanlah kami sebagai hamba-hamba-Mu yang bisa berbuat ikhlas dan dibuat ikhlas.Amin...amin.
    اَللّٰهُمَّ بِحَقِّ سُورَةِ ال۟اِخ۟لَاصِ اِج۟عَل۟نَا مِن۟ عِبَادِكَ ال۟مُخ۟لِصٖينَ ال۟مُخ۟لَصٖينَ اٰمٖينَ اٰمٖينَ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    ==SURAT KHUSUS UNTUK SEBAGIAN SAUDARA==
    == Bir kısım kardeşlerime hususi bir mektuptur ==
    Aku akan mengemukakan sebuah permasalahan penting yang terkandung dalam dua hadis Nabi untuk para saudaraku yang merasa jemu dan bosan dalam menuliskan Risalah Nur, serta untuk mereka yang lebih mementingkan membaca berbagai wirid pada tiga bulan ini—Rajab, Syaban dan Ramadhan—daripada menulis Risalah Nur yang terhitung setara dengan ibadah dilihat dari lima aspek.(*<ref>*Kami telah bertanya kepada ustadz kami tentang lima aspek dari ibadah yang beliau isyaratkan dalam risalah yang berharga ini. Berikut uraiannya:
    Yazıda usanan ve ibadet ayları olan şuhur-u selâsede sair evradı, beş cihetle ibadet sayılan '''(Hâşiye<ref>'''Hâşiye:''' Bu kıymetli mektupta Üstadımızın işaret ettiği beş nevi ibadetin kendilerinden izahını talep ettik. Aldığımız izah aşağıya yazılmıştır.
    1. Ia merupakan bentuk jihad maknawi yang merupakan perjuangan terpenting dalam menghadapi kaum yang sesat.
    <br>
    2. Ia merupakan pengabdian dalam bentuk bantuan bagi ustadz untuk menyebarluaskan kebenaran.
    1 - En mühim bir mücahede olan ehl-i dalalete karşı manen mücahede etmektir.  
    3. Ia merupakan pengabdian bagi seluruh kaum muslimin dari sisi keimanan.
    <br>
    4. Ia merupakan bentuk pemerolehan ilmu lewat tulisan.
    2 - Üstadına neşr-i hakikat cihetinde yardım suretiyle hizmet etmektir.  
    5. Ia merupakan bentuk ibadah tafakkur yang satu jam darinya senilai dengan satu tahun ibadah.
    <br>
    (Rusydi, Husrev, dan Ra’fat).</ref>)Yaitu:
    3 - Müslümanlara iman cihetinde hizmet etmektir.  
    <br>
    4 - Kalemle ilmi tahsil etmektir.  
    <br>
    5 - Bazen bir saati bir sene ibadet hükmüne geçen tefekkürî olan ibadeti yapmaktır.  
    <br>
    '''Rüşdü, Hüsrev, Re’fet'''</ref>)''' Risale-i Nur yazısına tercih eden kardeşlerime iki hadîs-i şerifin bir nüktesini söyleyeceğim.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Hadis yang pertama berbunyi:“Tinta para ulama ditimbang dengan darahnya kaum syuhada.”(*<ref>*Lihat: al-Gazali, Ihyâ ulûm ad-Dîn, 1/6, 7; Ibnu al-Jauzi, al-‘Ilal al-Mutanâhi- yah, 1/181; Ibnu Hajar, Lisân al-Mîzân, 5/225; al-Mânâwî, Faidh al-Qadîr, 6/466; dan al-‘Ajlûni, Kasyf al-Khafâ, 1/262, 543.</ref>)Dengan kata lain, tinta yang dipergunakan oleh para ulama hakikat akan ditimbang pada hari kiamat nanti bersama darahnya kaum syuhada dan menyamainya.
    '''Birincisi:''' – يُوزَنُ مِدَادُ ال۟عُلَمَاءِ بِدِمَاءِ الشُّهَدَاءِ – اَو۟ كَمَا قَالَ Yani '''“'''Mahşerde ulema-i hakikatin sarf ettikleri mürekkep, şehitlerin kanıyla muvazene edilir; o kıymette olur.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Hadis yang kedua: مَن۟ تَمَسَّكَ بِسُنَّتٖى عِن۟دَ فَسَادِ اُمَّتٖى فَلَهُ اَج۟رُ مِاَةِ شَهٖيدٍ – اَو۟ كَمَا قَالَ –
    '''İkincisi:''' مَن۟ تَمَسَّكَ بِسُنَّتٖى عِن۟دَ فَسَادِ اُمَّتٖى فَلَهُ اَج۟رُ مِاَةِ شَهٖيدٍ – اَو۟ كَمَا قَالَ –
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Siapa yang berpegang-teguh pada sunnahku di saat rusaknya umatku, ia mendapatkan pahala seratus orang yang mati syahid.”(*<ref>*Lihat takhrijnya pada Cahaya Kesebelas.</ref>)Artinya, siapa yang berpegang pada sunnah Nabi dan hakikat al- Qur’an, lalu ia mengamalkannya di saat bid’ah dan kesesatan menyebar luas, maka ia mendapatkan pahala seratus orang yang mati syahid.
    Yani “Bid’aların ve dalaletlerin istilası zamanında sünnet-i seniyeye ve hakikat-i Kur’aniyeye temessük edip hizmet eden, yüz şehit sevabını kazanabilir.”
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Karena itu, wahai saudara-saudaraku yang merasa jemu dan malas untuk menulis, yang cenderung ke arah tasawuf! Pengertian yang didapat dari kedua hadis di atas adalah bahwa satu gram tetesan “cahaya hitam” dan “air pembangkit kehidupan” yang berasal dari pena-pena berkah dan ikhlas milik mereka yang mengabdikan dirinya pada hakikat keimanan, rahasia syariah, dan sunnah Nabi  dalam kondisi semacam ini bisa menyamai seratus gram darah para syuhada di hari kebangkitan nanti. Dengan demikian, berusahalah kalian wahai para saudara untuk mendapatkan ganjaran besar tersebut.
    Ey tembellik damarıyla yazıdan usanan ve ey sofi-meşrep kardeşler! Bu iki hadîsin mecmuu gösterir ki böyle zamanda hakaik-i imaniyeye ve esrar-ı şeriat ve sünnet-i seniyeye hizmet eden mübarek hâlis kalemlerden akan siyah nur veya âb-ı hayat hükmünde olan mürekkeblerin bir dirhemi, şühedanın yüz dirhem kanı hükmünde yevm-i mahşerde size fayda verebilir. Öyle ise onu kazanmaya çalışınız.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Barangkali engkau berkata bahwa yang disebutkan dalam hadis di atas adalah para ulama sementara sebagian kita hanyalah penulis biasa.
    '''Eğer deseniz:''' Hadîste “âlim” tabiri var, bir kısmımız yalnız kâtibiz.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Pernyataan di atas dapat dijawab sebagai berikut: Orang yang membaca berbagai risalah dan pelajaran ini dalam setahun dengan memahami dan menerimanya bisa menjadi ulama penting di zaman sekarang. Kalaupun sudah membaca tetapi belum memahami semuanya, karena murid-murid Risalah Nur memiliki kepribadian kolektif yang bersifat maknawi, maka tak diragukan lagi kepribadian kolektif itulah merupakan ulama zaman ini.Pena-pena kalian merupakan jari-jemari dari kepribadian kolektif tersebut. Kalian telah mengikatkan diri kalian dengan al-faqir (Said Nursi) dan kalian juga berprasangka baik padanya dengan me- mosisikannya sebagai seorang ulama dan guru meskipun aku melihat diriku tidak berhak mendapatkannya. Namun karena aku seorang ummi yang tak pandai menulis, pena-pena kalian terhitung sebagai pena-penaku sehingga kalian mendapat pahala yang besar sesuai bunyi hadis di atas.
    '''Elcevap:''' Bir sene bu risaleleri ve bu dersleri anlayarak ve kabul ederek okuyan; bu zamanın mühim, hakikatli bir âlimi olabilir. Eğer anlamasa da madem Risale-i Nur şakirdlerinin bir şahs-ı manevîsi var, şüphesiz o şahs-ı manevî bu zamanın bir âlimidir. Sizin kalemleriniz ise o şahs-ı manevînin parmaklarıdır. Kendi nokta-i nazarımda liyakatsiz olduğum halde, haydi hüsn-ü zannınıza binaen bu fakire bir üstadlık ve tebaiyet noktasında bir âlim vaziyetini verdiğinizden bağlanmışsınız. Ben ümmi ve kalemsiz olduğum için sizin kalemleriniz benim kalemim sayılır, hadîste gösterilen ecri alırsınız.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Said Nursî'''
    '''Said Nursî'''
    </div>




    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    ------
    ------
    <center> [[Yirminci Lem'a]] ⇐ [[Lem'alar]] | ⇒ [[Yirmi İkinci Lem'a]] </center>
    <center> [[Yirminci Lem'a/id|CAHAYA KEDUA PULUH]] ⇐ | [[Lem'alar/id|Al-Lama’ât]] | ⇒ [[Yirmi İkinci Lem'a/id|CAHAYA KEDUA PULUH DUA]] </center>
    ------
    ------
    </div>

    16.06, 24 Aralık 2024 itibarı ile sayfanın şu anki hâli

    (Risalah Ikhlas II)

    [Tadinya cahaya ini merupakan masalah keempat dari tu- juh masalah yang terdapat pada memoar ketujuh belas dari “Cahaya Ketujuh Belas”. Hanya saja, ia kemudian menjadi catatan kedua dari “Cahaya Kedua Puluh”. Selanjutnya, karena sesuai dengan topiknya yaitu masalah ikhlas serta berdasarkan pencerahannya, ia menjadi “Cahaya Kedua Puluh Satu” dan masuk ke dalam kitab al-Lama’ât].

    (Cahaya ini dibaca minimal lima belas hari sekali)

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

    “Janganlah kalian berbantah-bantahan hingga menyebabkan kalian menjadi gentar dan kehilangan kekuatan.” (QS. al-Anfâl [8]: 46).

    “Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) secara khusyu.” (QS. al-Baqarah [2]: 238).

    “Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. asy-Syams [91]: 9-10).“Janganlah kalian menukar ayat-ayat-Kudengan harga yang rendah.”(QS. al-Baqarah [2]: 41).

    Pentingnya Keikhlasan Wahai saudara-saudara akhiratku, wahai teman-teman yang mengabdikan diri pada al-Qur’an! Ketahuilah—dan sebetulnya kalian mengetahui—bahwa ikhlas dalam amal dunia, apalagi amal ukhrawi, merupakan landasan paling penting, kekuatan paling besar, penolong yang paling bisa diharapkan, sandaran yang paling kokoh, jalan paling singkat menuju hakikat, doa maknawi yang paling makbul, sarana mencapai tujuan yang paling mulia, perangai yang paling utama, serta ubudiah yang paling murni.

    Karena ikhlas memiliki banyak cahaya dan kekuatan seperti yang disebutkan di atas, juga karena karunia Ilahi telah membebani kita dengan tugas keimanan dan khidmah al-Qur’an yang meru- pakan pengabdian suci berat, agung, dan bersifat umum, sementara jumlah kita sangat sedikit, lemah, dan papa, lalu kita menghada- pi musuh yang kuat dan berbagai kesulitan, ditambah lagi dengan banyaknya bid’ah dan kesesatan yang mengepung kita di masa yang sulit ini, maka kita harus meraih keikhlasan dengan segenap upaya ketimbang orang lain, serta kita sangat membutuhkan tertanamnya rahasia keikhlasan dalam diri kita.

    Jika tidak, semua pengabdian suci yang kita lakukan akan menjadi sia-sia. Pengabdian kita tidak akan bertahan lama. Lalu kitapun akan bertanggung-jawab dengan berat.

    Sebab, kita termasuk orang yang diancam Tuhan dengan firman-Nya yang berbunyi:“Janganlah kalian menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah.” (QS. al-Baqarah [2]: 41).Hal itu karena kita tidak bersikap ikhlas sehingga merusak ke- bahagiaan abadi hanya demi keinginan duniawi yang hina, rendah, berbahaya, keruh, dan tidak berguna, serta demi keuntungan pribadi yang tidak ada artinya, seperti kagum terhadap diri sendiri dan riya.Selain itu, kita termasuk orang yang melanggar hak-hak saudara kita sendiri dalam mengabdi, melanggar prinsip pengabdian kepada al- Qur’an, serta termasuk orang yang kurang adab dengan tidak meng- hormati kesucian dan ketinggian hakikat keimanan.

    Wahai saudara-saudaraku! Sesuatu urusan kebaikan yang penting dan besar selalu dihadang oleh banyak penghalang yang berba- haya. Setan berjuang dengan sungguh-sungguh untuk menghadang para pengabdi dalam pengabdian itu. Karenanya, perlu bersandar pada keikhlasan terhadap rintangan dan setan tadi. Maka dari itu, hindarilah berbagai hal yang bisa menghilangkan keikhlasan se- bagaimana engkau menghindari kalajengking dan ular. Nafsu am- mârah sama sekali tidak bisa dipercaya sesuai dengan ucapan Nabi Yusuf dalam al-Qur’an:“Aku tidak menyatakan diriku bebas dari kesalahan. Sebab, sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada keburukan, kecuali (nafsu) yang dikasihi oleh Tuhanku.” (QS. Yûsuf [12]: 53).Jangan sekali-kali engkau tertipu oleh egoisme, kesombongan, dan nafsu yang selalu mendorong kepada keburukan.

    Prinsip-prinsip Keikhlasan Untuk bisa mencapai dan memelihara keikhlasan, serta untuk menghilangkan segala penghalangnya, jadikanlah beberapa prinsip berikut sebagai semboyanmu:

    Prinsip Pertama

    Hanya mengharap ridha Allah dalam beramal.

    Apabila Allah sudah ridha, biar pun seluruh alam berpaling tidak menjadi masalah. Kalau Allah sudah menerima, biar pun semua manusia menolak tidak akan berpengaruh. Setelah Dia ridha dan menerima amal kita, jika Dia berkehendak dan sesuai dengan hikmah-Nya, Dia menjadikan manusia menerimanya meskipun tanpa kalian minta. Karena itu, ridha Allah sajalah yang seharusnya menjadi tujuan utama dalam pengabdian ini.

    Prinsip Kedua

    Tidak mengkritik saudara-saudara yang mengabdi pada al- Qur’an serta tidak membangkitkan kedengkian mereka lewat sikap bangga diri dan perasaan lebih unggul.

    Karena sebagaimana kedua tangan manusia tak pernah bersaing, kedua matanya tak pernah mengkritik, lisannya tak pernah menentang telinganya, kalbunya tidak pernah melihat aib jiwanya. Tetapi masing-masing saling melengkapi kekurangan yang lain, menutupi aib yang lain, serta berusaha membantu dan menolongnya. Jika tidak, kehidupan tubuh itu pun menjadi rusak, mati, dan berantakan.

    Contoh lainnya adalah antara gerigi dan roda pabrik yang tak pernah bersaing, tak pernah saling mendahului, dan tak pernah saling menimbulkan kerusakan lewat kritikan, tindakan yang menyakiti, serta mencari aib dan cacat. Selain itu, yang satu tidak berusaha untuk menghentikan kerja lainnya. Tetapi mereka saling membantu seoptimal mungkin guna mengarah pada tujuan yang diharapkan. Sehingga semuanya berjalan sesuai fungsinya dengan saling mendukung dan saling beriringan. Jika ada unsur asing yang masuk ke dalamnya, meskipun hanya sebesar biji atom, maka pabrik itupun akan mengalami kerusakan. Dan si pemilik akan segera membong- kar pabrik itu secara keseluruhan.

    Wahai para murid Nur serta para pelayan al-Qur’an! Kita semua merupakan bagian atau organ dalam sosok maknawi yang layak disebut dengan “insan kamil” (manusia sempurna). Kita semua berposisi sebagai gerigi dan roda pabrik yang sedang merajut kebahagiaan abadi di kehidupan yang kekal nanti. Kita adalah para pelayan yang bekerja dalam sebuah “perahu rabbani” yang membawa umat Muhammad ke pantai keselamatan; Dârussalâm (tempat kedamaian). Kalau begitu, kita sangat membutuhkan adanya persatuan, kerja sama, dan rahasia keikhlasan yang mengantarkan pada kekuatan maknawi senilai seribu seratus sebelas (1111) sebagai hasil kerja empat orang.

    Ya, jika tiga “huruf alif ” tidak bersatu, maka nilainya hanya tiga. Tetapi manakala bersatu dan bekerja sama lewat rahasia bilangan, nilainya akan menjadi seratus sebelas (111). Demikian pula dengan empat angka empat. Kalau masing-masing angka empat (4) ditulis secara terpisah, totalnya hanya berjumlah enam belas (16). Tetapi jika angka-angka tersebut menyatu lewat rahasia persaudaraan, serta tujuan dan misi yang sama dalam satu baris, ia akan senilai empat ribu empat ratus empat puluh empat (4444). Ada banyak peristiwa dan kejadian sejarah yang membuktikan bahwa enam belas orang yang saling bersaudara, bersatu, dan berkorban, berkat keikhlasan yang penuh, maka kekuatan maknawi mereka bertambah menjadi senilai dengan empat ribu orang.

    Rahasianya adalah sebagai berikut. Setiap orang dari sepuluh orang yang benar-benar menyatu bisa melihat dengan mata saudara-saudaranya yang lain serta bisa mendengar dengan telinga mereka. Dengan kata lain, seolah-olah masing-masing mereka memiliki kekuatan maknawi dan kemampuan untuk melihat dengan dua puluh mata, berpikir dengan sepuluh akal, mendengar dengan dua puluh telinga, serta bekerja dengan dua puluh tangan.(*[1])

    Prinsip Ketiga

    Ketahuilah bahwa kekuatan kalian seluruhnya ada pada keikhlasan dan kebenaran.

    Ya, kekuatan terletak pada kebenaran dan keikhlasan. Sampai-sampai kaum yang batil pun memperoleh kekuatan karena mereka menampakkan ketulusan dan keikhlasan dalam hal kebatilan.

    Ya, pengabdian kita di jalan iman dan al-Qur’an menjadi bukti bahwa kekuatan terletak pada kebenaran dan keikhlasan. Sedikit keikhlasan yang ada pada pengabdian tersebut membuktikan per- nyataan di atas.

    Sebab, pengabdian di jalan agama dan ilmu yang dilakukan selama lebih dari dua puluh tahun di kotaku (Van) dan di Istanbul, bisa dilakukan di sini (Barla) bersama kalian dengan seratus kali lebih banyak dalam kurun waktu delapan tahun. Padahal, orang- orang yang membantuku di sana jumlahnya seratus kali, bahkan seribu kali, lebih banyak daripada di sini. Pengabdian yang dilakukan di sini selama delapan tahun dalam kondisi di mana aku sendirian, terasing, setengah ummi(*[2]), serta di bawah pengawasan dan tekanan para petugas yang zalim, alhamdulillah telah memberikan kekuatan maknawi yang membuahkan taufik dan kesuksesan seratus kali lipat dari yang sebelumnya. Aku sangat yakin bahwa kesuksesan tersebut semata-mata berasal dari keikhlasan kalian.

    Aku mengakui bahwa kalian telah menyelamatkanku dengan keikhlasan kalian yang tulus dari sifat riya yang merupakan penyakit berbahaya yang merayu nafsu manusia di bawah bayang-bayang popularitas dan reputasi. Semoga Allah melimpahkan taufik kepada kalian semua untuk bisa meraih keikhlasan yang sempurna, dan aku berharap kalian menyertakanku bersama kalian dalam keikhlasan tersebut.

    Ketahuilah bahwa Imam Ali d dan syekh Abdul Qadir al- Jailani telah memuji kalian dalam karamah mereka yang luar biasa. Selain itu, mereka menghibur kalian dan mengapresiasi pengabdian kalian secara maknawi. Kalian harus yakin bahwa pujian dan perhatian tersebut diberikan semata-mata berkat keikhlasan kalian. Jika kalian merusak keikhlasan tersebut secara sengaja, maka kalian layak mendapat “tamparan” dari mereka. Ingatlah selalu “tamparan kasih sayang” yang terdapat pada “Cahaya Kesepuluh”.

    Jika kalian ingin agar kedua sosok mulia tersebut tetap menjadi guru dan penolong kalian secara maknawi, maka milikilah sikap ikhlas yang sempurna dengan mengikuti petunjuk ayat al-Qur’an:“Mereka lebih mengutamakan orang lain ketimbang diri mereka sendiri.” (QS. al-Hasyr [59]: 9).Dengan kata lain, kalian harus mengutamakan saudara-saudara kalian daripada diri kalian sendiri dalam hal tingkatan, kedudukan, penghormatan, perhatian, serta dalam hal mendapatkan keuntungan materil yang biasanya disenangi oleh nafsu manusia.

    Bahkan dalam hal meraih keuntungan yang bersifat tulus sekalipun, seperti me- nyampaikan hakikat-hakikat keimanan kepada orang lain. Janganlah kalian terlalu berambisi―semampu mungkin―untuk mewujudkan hal itu sendirian. Tetapi usahakan untuk bergembira dan merasa lapang karena ia terwujud berkat yang lain, agar rasa ujub tidak masuk ke dalam diri kalian. Tidak menutup kemungkinan ada di antara kalian yang berambisi untuk mendapatkan pahala sendirian sehingga berusaha agar dialah yang menyampaikan persoalan keimanan yang penting itu. Meskipun tidak ada dosa dan bahaya di dalamnya, numun hal itu bisa merusak keikhlasan di antara kalian.

    Prinsip Keempat

    Berbangga sambil bersyukur dengan keistimewaan yang dimiliki oleh saudara-saudara kalian, sekaligus memandang hal itu sebagai milik kalian, serta menganggap keutamaan mereka itu sebagai bagian dari keutamaan kalian.

    Ada beberapa istilah yang beredar di kalangan para sufi, di antaranya al-Fanâ fî asy-Syaikh (lebur dalam diri Syekh) serta al-Fanâ fî ar-Rasûl (lebur dalam diri Rasul). Hanya saja aku bukanlah seorang sufi. Akan tetapi, al-Fana fî al-Ikhwân (lebur dalam persaudaraan) merupakan prinsip indah yang sangat sesuai dengan metode atau manhaj kita. Dengan kata lain, setiap orang harus meleburkan diri pada yang lain (tafâni). Yakni, ia harus melupakan perasaan nafsunya dan menganggap keutamaan saudaranya sebagai miliknya.

    Sebab, landasan manhaj kita adalah ukhuwwah (persaudaraan). Hubungan yang mengikat kita adalah persaudaraan yang hakiki. Bukan hubu- ngan antara anak dan ayah, serta bukan pula hubungan antara dan murid. Kalaupun ada, hubungan itu hanyalah hubungan dengan se- orang ustadz.Karena jalan kita adalah al-khalîliyah (persahabatan yang tulus), maka prinsip kita adalah al-khullah (kesetiakawanan). Al-Khullah tersebut mengharuskan adanya sahabat yang setia, teman yang rela berkorban, kawan yang menghargai, serta saudara yang selalu memberi semangat. Tentu saja dasar yang paling utama dari kesetiakawanan itu adalah adanya keikhlasan yang tulus. Siapa yang merusak keikhlasan tersebut, ia akan terjatuh dari atas “menara kesetiakawanan” yang tinggi. Dan barangkali ia terjatuh pada lembah yang sangat dalam, sebab tidak ada tempat yang dapat dipegang pada pertengahan.

    Ya, terlihat ada dua jalan. Orang-orang yang meninggalkan manhaj kita yang merupakan jalan utama al-Qur’an kemungkinan mereka itu adalah orang-orang yang membantu aliran ateisme yang merupakan musuh al-Qur’an tanpa mereka sadari. Mereka yang masuk ke dalam kancah “khidmah al-Qur’an” yang suci lewat Risalah Nur, dengan izin Allah tidak akan terjatuh ke dalam lembah tadi. Mereka justru akan selalu memberikan kekuatan pada cahaya, keikhlasan, dan keimanan.

    Sarana Meraih Keikhlasan Sarana Pertama:Râbithatul Maut (Mengingat Mati) Wahai saudara-saudaraku yang mengabdikan diri pada al- Qur’an!

    Sesungguhnya sarana terpenting untuk mendapatkan keikhlasan dan sebab utama yang efektif untuk bisa memelihara keikhlasan tersebut adalah râbithatul maut.

    Panjangnya agan-angan yang merupakan penyakit “lupa akhirat” dapat merusak keikhlasan serta mengantarkan manusia kepada cinta dunia dan riya, sementara “ingat mati” justru menjauhkan manusia dari riya dan menjadikan manusia mendapatkan keikhlasan. Pasalnya, dengan memikirkan kematiannya dan merenungkan musnahnya dunia, ia bisa selamat dari tipu daya nafsu ammârah.

    Karena itu, para ahli tarekat dan ahli hakikat menjadikan râbithatul maut sebagai landasan dalam suluk mereka sesuai dengan pelajaran yang mereka dapat dari ayat al-Qur’an berikut:“Setiap jiwa (diri) pasti merasakan kematian.” (QS. Ali Imrân [3]: 185). “Sesungguhnya kamu akan mati dan mereka pun akan mati.” (QS. az-Zumar [39]: 30).Dengan mengingat mati, mereka tidak berpikir akan kekal abadi yang menyebabkan penyakit lupa akhirat. Mereka membayangkan diri mereka sebagai orang-orang mati. Selanjutnya mereka dimandikan, lalu diletakkan di kubur. Ketika sedang membayangkan hal tersebut, nafsu ammârah akan sangat tersentuh sehingga sedikit demi sedikit nafsu tersebut melepaskan angan-angannya yang panjang pada derajat tertentu. Dengan demikian, mengingat mati memberikan berbagai banyak manfaat. Cukuplah sebagai petunjuk kepada hal itu hadis Nabi yang berbunyi: “Perbanyaklah mengingat sesuatu yang memotong segala kenikmatan (kematian).”(*[3])

    Karena jalan kita adalah jalan hakikat, bukan tarekat sufi, maka kita tidak perlu seperti mereka yang langsung mengingat mati dengan bayangan dan khayalan. Selain itu, manhaj tersebut tidak cocok dengan manhaj hakikat. Sebab, memikirkan akibat bukan dengan mendatangkan bayangan tentang masa depan ke masa sekarang. Tetapi, dalam sudut pandang hakikat, kita harus membawa pikiran dari masa sekarang ke masa mendatang dan menyaksikan masa de- pan lewat kenyataan masa sekarang.

    Jadi, tidak perlu berkhayal ataupun berasumsi. Sebab, manusia bisa menyaksikan jenazahnya sebagai buah dari pohon umurnya yang singkat. Ketika manusia sedikit saja mengalihkan pandangannya, ia tidak hanya menyaksikan kematian dirinya semata, tetapi juga akan menyaksikan kematian zamannya. Lebih dari itu, ia akan melihat kematian dan kehancuran dunia. Dari sini, terbukalah jalan baginya menuju keikhlasan yang sempurna.

    Sarana Kedua:Tafakkur Imani Sarana kedua untuk bisa meraih keikhlasan adalah merasa kehadiran Tuhan melalui kekuatan keimanan hakiki dan cahaya yang berasal dari tafakkur imani terhadap ciptaan Tuhan. Bentuk tafakkur seperti ini akan menghasilkan makrifat (mengenal) Sang Pencipta, sehingga kalbu akan merasa tenang dan tenteram. Ya, jika pikiran manusia tercerahkan oleh tafakkur seperti ini, ia akan berpikir bahwa Sang Pencipta Maha Penyayang senantiasa hadir dan melihatnya sehingga tidak mencari perhatian selain-Nya serta tidak meminta tolong kecuali kepada-Nya. Sebab, melihat dan berpaling kepada selain-Nya dapat merusak etika “kehadiran” dan ketenangan kalbu. Dengan ini, manusia akan selamat dari penyakit riya sekaligus akan meraih keikhlasan. Namun demikian, tafakkur tersebut memiliki banyak tingkatan dan tahapan. Bagian seseorang bergantung pada apa yang diperolehnya. Keuntungan yang ia miliki adalah yang ia dapatkan dari perenungan tadi sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya.

    Hal ini kita cukupkan sampai di sini dan kita bisa merujuk kepada Risalah Nur yang mengupas berbagai hakikat yang bisa mengantarkan seseorang untuk selamat dari riya dan bisa meraih keikhlasan.

    Penghalang Keikhlasan Secara singkat kami akan menjelaskan beberapa faktor yang bisa merusak dan menghalangi keikhlasan, serta mendatangkan sikap riya:

    Penghalang Pertama:Persaingan yang Disebabkan oleh Keuntungan Materiil Hal ini bisa merusak keikhlasan secara perlahan-lahan. Bahkan ia akan merusak hasil pengabdian. Ia juga bisa menghapus keuntungan yang bersifat materi tadi.

    Ya, umat ini selalu menghormati dan menghargai para juru dakwah yang dengan tekun bekerja demi hakikat dan akhirat. Umat ini juga senantiasa memberikan bantuan kepada mereka. Semua itu dilakukan dengan niat ikut berpartisipasi bersama mereka dalam melakukan amal dan pengabdian yang tulus, ikhlas karena Allah. Berbagai hadiah dan sedekah diberikan guna memenuhi kebutuhan materi mereka serta agar mereka tidak sibuk dengannya sehingga melupakan pengabdian agung tadi. Hanya saja, berbagai bantuan dan keuntungan tersebut sama sekali tidak boleh diminta, tetapi diberi. Ia tak boleh diminta meskipun dengan lisanul hal seperti orang yang selalu menantikan di dalam hatinya. Namun, ia diberikan secara tanpa diharapkan. Jika tidak, keikhlasan seseorang akan menjadi cacat serta nyaris termasuk ke dalam golongan orang-orang yang melanggar larangan Tuhan yang berbunyi, “Janganlah kalian menukar ayat-ayatKu dengan harga yang rendah” (QS. al-Baqarah [2]: 41), sehingga se- bagian amalnya terhapus.

    Keinginan untuk memperoleh keuntungan materil atas dorongan nafsu ammârah bisa memunculkan benih-benih persaingan terhadap saudara dan sahabat seperjuangan demi tidak membiarkan keuntungan materil diambil oleh orang lain. Dengan begitu berarti ia merusak keikhlasannya, mengotori kesucian pengabdian, dan mengambil posisi yang membuat ahli hakikat menjauhinya, bahkan menghilangkan keuntungan materil itu sendiri.

    Bagaimanapun persoalan ini cukup panjang. Aku akan menyebutkan sesuatu yang akan menambah keikhlasan sekaligus menguatkan persatuan yang tulus di antara saudara-sau- daraku yang hakiki. Hal itu aku paparkan dalam dua perumpamaan berikut:

    Perumpamaan Pertama Ahli dunia saat ini menjadikan “kerja kolektif ” sebagai sebuah kaidah untuk mendapatkan kekayaan atau kekuatan yang besar. Bahkan sebagian politikus, orang-orang besar dan komite-komite yang mempunyai pengaruh dalam kehidupan sosial menjadikannya sebagai sandaran mereka. Sebagai hasil dari mengikuti kaidah di atas, mereka mendapatkan kekuatan yang hebat serta memperoleh keun- tungan yang besar meskipun di dalamnya terdapat berbagai bahaya dan penyalahgunaan. Hal itu karena substansi dari “kerja kolektif ” tersebut tidak berubah hanya gara-gara keburukan dan bahaya yang terdapat di dalamnya. Di sini, dilihat dari sisi partisipasi dan pengawasannya atas harta tersebut, setiap orang memosisikan dirinya sebagai pemilik semua harta yang ada walaupun ia tidak bisa mem- pergunakan semua harta itu.

    Dengan demikian, apabila kaidah tadi diterapkan dalam amal- amal ukhrawi, ia akan memberikan berbagai manfaat yang besar tanpa menimbulkan kerugian atau bahaya sama sekali. Sebab, semua harta ukhrawi tersebut menjadi milik setiap orang dari mereka tanpa dikurangi sedikitpun.Agar menjadi jelas, kami akan mengetengahkan contoh berikut:Misalkan ada lima orang yang ikut berpartisipasi dalam menyalakan lampu minyak. Ada yang menyediakan minyak, ada yang menyediakan sumbu, ada yang menyediakan kaca lampu, ada yang menyediakan lampu itu sendiri, serta ada yang menyediakan satu kotak korek api. Ketika mereka menyalakan lampu minyak tersebut, setiap orang dari mereka menjadi pemilik lampu itu. Seandainya masing-masing mereka memiliki sebuah cermin besar, lampu tersebut akan bisa masuk ke dalam cermin masing-masing secara utuh; tanpa berkurang sedikitpun.

    Demikian pula dengan “kerja kolektif ” atau partisipasi dalam amal-amal ukhrawi yang dilandasi oleh keikhlasan, solidaritas yang dilandasi oleh persaudaraan, dan kerja sama yang dilandasi oleh persatuan. Semua amal mereka yang terlibat di dalamnya dan semua cahaya yang bersumber darinya akan masuk secara sempurna ke dalam catatan amal setiap mereka. Ini tampak secara jelas dan nyata di antara ahli hakikat. Hal tersebut termasuk wujud dari luasnya rahmat Allah dan kemurahan-Nya yang mutlak.

    Wahai saudara-saudaraku! Aku berharap semoga berbagai keuntungan materil tidak memicu munculnya persaingan di antara kalian. Namun sebagaimana sebagian ahli tarekat tertipu dengan manfaat ukhrawi, mungkin juga kalian bisa tertipu oleh berbagai keuntungan ukhrawi. Karena itu, sadarlah bahwa pahala pribadi yang bersifat parsial tidak ada artinya dibandingkan dengan pahala besar yang bersumber dari adanya kerja kolektif dalam amal-amal ukhrawi. Tentu saja cahaya yang kecil tidak bisa diukur dengan cahaya yang terang benderang.

    Perumpamaan Kedua Para perajin bisa memperoleh hasil yang berlimpah dan kekayaan yang banyak karena mereka berpegang pada prinsip “pembagian tugas”.Contohnya adalah sebagai berikut:Sepuluh orang pembuat jarum jahit melakukan pekerjaan mereka. Masing-masing bekerja sendiri. Hasilnya hanya tiga jarum yang diperoleh oleh masing-masing mereka dalam satu hari. Kemudian mereka pun bergabung “menyatukan langkah dan membagi kerja”. Ada yang menghadirkan besi, ada yang menyediakan api, ada yang membuat lubang jarum, ada yang memasukkan ke dalam api, ada yang mulai membentuk, dan seterusnya. Sehingga tidak ada waktu yang terbuang percuma. Masing-masing mempunyai tugas tertentu dan semuanya bisa dilakukan dengan cepat. Sebab, selain tergolong pekerjaan sederhana, masing-masing memiliki pengalaman dan keahlian di dalamnya. Hasil dari pembagian tugas itu, bagian yang diperoleh oleh masing-masing mereka dalam satu hari adalah tiga ratus jarum padahal tadinya hanya tiga jarum. Kasus ini tentu saja menjadi pegangan para perajin yang menyeru kepada adanya partisi- pasi kerja dan pembagian tugas.

    Wahai saudara-saudaraku! Kalau keuntungan besar di atas diperoleh dari adanya persatuan dan kebersamaan dalam urusan duniawi, lalu betapa besar pahala yang diperoleh atas amal-amal ukhrawi! Betapa besar ganjaran yang terpantul dari kerja kolektif pada cermin masing-masing! Amal-amal tersebut tidak perlu dibagi-bagi lagi. Kalian bisa memahami laba besar tersebut. Laba besar tersebut tentu saja tidak boleh dihapus dengan persaingan dan ketidak-ikhlasan.

    Penghalang Kedua: Cinta Kedudukan Penghalang ikhlas yang kedua adalah membiarkan nafsu ammârah bersikap ego, mencari pangkat dan kedudukan agar menjadi perhatian manusia, serta senang kepada sanjungan orang karena motivasi ingin terkenal dan populer yang lahir dari cinta kedudukan dan adanya ambisi untuk mendapatkan kehormatan. Di samping merupakan penyakit kejiwaan yang kronis, ia juga merupakan sifat yang membuka pintu menuju “syirik yang samar”, yaitu riya dan ujub, sekaligus merusak keikhlasan.

    Wahai saudara-saudaraku! Karena pengabdian yang kita lakukan ini berlandaskan pada hakikat dan persaudaraan, di mana rahasia persaudaraan itu baru terwujud ketika seseorang meleburkan dirinya dalam pribadi saudara-saudaranya(*[4])dan ketika ia lebih mengutamakan mereka, maka seharusnya persaingan yang bersumber dari cinta kedudukan tidak boleh mempengaruhi kita. Sebab, sifat tersebut sangat bertentangan dengan manhaj kita. Karena kemuliaan dan kehormatan seluruh saudara kembali kepada setiap orang dalam jamaah, maka kedudukan yang tinggi dan kemuliaan yang agung milik jamaah tersebut tidak mungkin dikorbankan demi popularitas dan kemuliaan pribadi yang berasal dari egoisme dan rasa iri. Aku percaya bahwa hal itu tidak dimiliki oleh para murid Nur.

    Ya, kalbu, akal, dan jiwa semua murid Nur tidak akan terjatuh pada hal-hal rendah semacam itu. Hanya saja, setiap orang memiliki nafsu ammârah. Kadang-kadang perasaan nafsu berpengaruh dan mengalahkan akal, kalbu, dan jiwa mereka. Dengan bersandar pada pengaruh yang diberikan oleh Risalah Nur, aku tidak mencurigai kalbu, akal, dan jiwa kalian. Namun demikian, nafsu, selera rendah, perasaan, dan angan-angan kadang-kadang menipu. Karenanya, peringatan yang diberikan kepada kalian kadangkala bersifat pedas dan keras. Kerasnya peringatan tersebut tidak lain ditujukan kepada nafsu, selera rendahan, perasaan, dan angan-angan tersebut. Maka dari itu, kalian senantiasa harus waspada.

    Ya, seandainya manhaj kita berbentuk tarekat khusus yang dipimpin oleh seorang syekh, tentu di dalamnya ada satu atau beberapa kedudukan yang bersifat terbatas. Juga, tentu akan ada banyak orang yang dicalonkan untuk menempati kedudukan tersebut. Ketika itulah muncul kedengkian dan egoisme pribadi. Namun manhaj kita ada- lah persaudaraan. Karena itu, tidak boleh ada di antara kalian yang mengembangkan paham paternalisme serta memosisikan dirinya sebagai mursyid. Dalam persaudaraan, kedudukan yang ada sangat luas sehingga tidak perlu saling mendengki. Justru seorang saudara harus membantu saudaranya, menyempurnakan tugasnya, serta menolongnya.

    Di antara bukti bahwa dalam institusi yang memakai sistem paternalistik, mursyid, dan guru, tersimpan berbagai dampak buruk yang bersumber dari persaingan dan kedengkian karena rakus pada upah dan ganjaran adalah adanya berbagai perpecahan dan permusuhan di tengah-tengah keuntungan agung yang dirasakan oleh para ahli tarekat sufi itu di mana perpecahan tersebut menimbulkan dampak buruk yang menjadikan kekuatan utama mereka tak mampu berdiri tegak dalam menghadapi terpaan topan bid’ah.

    Penghalang Ketiga:Takut dan Tamak Dalam hal ini kita merujuk kepada risalah al-Hajamât as-Sitt (Enam Serangan).(*[5])Dalam risalah tersebut penghalang ini dijelaskan bersama penghalang-penghalang lainnya secara sangat jelas. Kami bermohon kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang seraya meminta syafaat dari semua namaNya yang mulia agar Dia memberikan taufik kepada kita seluruhnya untuk bisa meraih keikhlasan yang sempurna. Amin.

    Ya Allah, dengan kebenaran surah al-Ikhlas jadikanlah kami sebagai hamba-hamba-Mu yang bisa berbuat ikhlas dan dibuat ikhlas.Amin...amin.

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ

    SURAT KHUSUS UNTUK SEBAGIAN SAUDARA

    Aku akan mengemukakan sebuah permasalahan penting yang terkandung dalam dua hadis Nabi untuk para saudaraku yang merasa jemu dan bosan dalam menuliskan Risalah Nur, serta untuk mereka yang lebih mementingkan membaca berbagai wirid pada tiga bulan ini—Rajab, Syaban dan Ramadhan—daripada menulis Risalah Nur yang terhitung setara dengan ibadah dilihat dari lima aspek.(*[6])Yaitu:

    Hadis yang pertama berbunyi:“Tinta para ulama ditimbang dengan darahnya kaum syuhada.”(*[7])Dengan kata lain, tinta yang dipergunakan oleh para ulama hakikat akan ditimbang pada hari kiamat nanti bersama darahnya kaum syuhada dan menyamainya.

    Hadis yang kedua: مَن۟ تَمَسَّكَ بِسُنَّتٖى عِن۟دَ فَسَادِ اُمَّتٖى فَلَهُ اَج۟رُ مِاَةِ شَهٖيدٍ – اَو۟ كَمَا قَالَ –

    “Siapa yang berpegang-teguh pada sunnahku di saat rusaknya umatku, ia mendapatkan pahala seratus orang yang mati syahid.”(*[8])Artinya, siapa yang berpegang pada sunnah Nabi dan hakikat al- Qur’an, lalu ia mengamalkannya di saat bid’ah dan kesesatan menyebar luas, maka ia mendapatkan pahala seratus orang yang mati syahid.

    Karena itu, wahai saudara-saudaraku yang merasa jemu dan malas untuk menulis, yang cenderung ke arah tasawuf! Pengertian yang didapat dari kedua hadis di atas adalah bahwa satu gram tetesan “cahaya hitam” dan “air pembangkit kehidupan” yang berasal dari pena-pena berkah dan ikhlas milik mereka yang mengabdikan dirinya pada hakikat keimanan, rahasia syariah, dan sunnah Nabi dalam kondisi semacam ini bisa menyamai seratus gram darah para syuhada di hari kebangkitan nanti. Dengan demikian, berusahalah kalian wahai para saudara untuk mendapatkan ganjaran besar tersebut.

    Barangkali engkau berkata bahwa yang disebutkan dalam hadis di atas adalah para ulama sementara sebagian kita hanyalah penulis biasa.

    Pernyataan di atas dapat dijawab sebagai berikut: Orang yang membaca berbagai risalah dan pelajaran ini dalam setahun dengan memahami dan menerimanya bisa menjadi ulama penting di zaman sekarang. Kalaupun sudah membaca tetapi belum memahami semuanya, karena murid-murid Risalah Nur memiliki kepribadian kolektif yang bersifat maknawi, maka tak diragukan lagi kepribadian kolektif itulah merupakan ulama zaman ini.Pena-pena kalian merupakan jari-jemari dari kepribadian kolektif tersebut. Kalian telah mengikatkan diri kalian dengan al-faqir (Said Nursi) dan kalian juga berprasangka baik padanya dengan me- mosisikannya sebagai seorang ulama dan guru meskipun aku melihat diriku tidak berhak mendapatkannya. Namun karena aku seorang ummi yang tak pandai menulis, pena-pena kalian terhitung sebagai pena-penaku sehingga kalian mendapat pahala yang besar sesuai bunyi hadis di atas.

    Said Nursî



    CAHAYA KEDUA PULUH ⇐ | Al-Lama’ât | ⇒ CAHAYA KEDUA PULUH DUA

    1. *Ya, sebagaimana solidaritas yang hakiki dan persatuan yang utuh yang berasal dari keikhlasan memberikan banyak sekali keuntungan, ia juga merupakan sandaran yang kuat untuk menghadapi berbagai kecemasan. Bahkan dalam menghadapi kematian sekalipun. Sebab, kematian hanya merenggut satu ruh. Sementara orang yang telah mengikat tali persaudaraan yang tulus dengan saudara-saudaranya dalam hal-hal yang terkait dengan akhirat serta dalam rangka menggapai ridha-Nya memiliki roh lain sejumlah saudaranya. Sehingga ia menghadapi kematian dengan wajah tersenyum sambil berkata, “Ruhruhku yang lain selamat. Aku masih memiliki kehidupan mak- nawi di mana ia tetap menghasilkan pahala untukku. Dengan begitu aku belum mati.” Ia melepaskan ruhnya dengan tenang, sementara lisannya berucap, “Aku masih hidup dengan ruh-ruh tersebut dari sisi pahala. Kematianku hanya dari sisi dosa dan kesalah- an”―Penulis.
    2. *Said Nursi menyebut dirinya “setengah ummi” karena tulisan tangannya sangat jelek.
    3. *Lihat: at-Tirmidzi, Shifatul Qiyâmah, 26; az-Zuhd, 4; an-Nasâi, al- Janâiz, 3; Ibnu Majah, az-Zuhd, 31; Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, 2/292..
    4. *Ya, orang yang bahagia adalah orang yang bisa meleburkan diri dan egoismen- ya—yang laksana sepotong esdi telaga besar dan nikmat yang bersumber dari samudera al-Qur’an agar dapat memperoleh telaga tersebut—Penulis.
    5. *Bagian keenam dari “Surat Kedua Puluh Sembilan” dalam buku al-Maktûbât.
    6. *Kami telah bertanya kepada ustadz kami tentang lima aspek dari ibadah yang beliau isyaratkan dalam risalah yang berharga ini. Berikut uraiannya: 1. Ia merupakan bentuk jihad maknawi yang merupakan perjuangan terpenting dalam menghadapi kaum yang sesat. 2. Ia merupakan pengabdian dalam bentuk bantuan bagi ustadz untuk menyebarluaskan kebenaran. 3. Ia merupakan pengabdian bagi seluruh kaum muslimin dari sisi keimanan. 4. Ia merupakan bentuk pemerolehan ilmu lewat tulisan. 5. Ia merupakan bentuk ibadah tafakkur yang satu jam darinya senilai dengan satu tahun ibadah. (Rusydi, Husrev, dan Ra’fat).
    7. *Lihat: al-Gazali, Ihyâ ulûm ad-Dîn, 1/6, 7; Ibnu al-Jauzi, al-‘Ilal al-Mutanâhi- yah, 1/181; Ibnu Hajar, Lisân al-Mîzân, 5/225; al-Mânâwî, Faidh al-Qadîr, 6/466; dan al-‘Ajlûni, Kasyf al-Khafâ, 1/262, 543.
    8. *Lihat takhrijnya pada Cahaya Kesebelas.