Yirminci Mektup/id: Revizyonlar arasındaki fark

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    ("===Klausa Kesembilan:===" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    Etiketler: Mobil değişiklik Mobil ağ değişikliği
    ("Juga, semua entitas yang tertata dan terukur dengan ukuran yang teliti, serta setiap bentuk yang terukur dan telah ditentukan kadarnya. Semua itu menunjukkan adanya pengetahuan Tuhan yang komprehensif. Sebab, pelaksanaan amal dengan rapi hanya bisa terwujud dengan pengetahuan." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
     
    (Aynı kullanıcının aradaki diğer 7 değişikliği gösterilmiyor)
    460. satır: 460. satır:
    ===Klausa Kesembilan:===
    ===Klausa Kesembilan:===


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    بِيَدِهِ ال۟خَي۟رُ
    بِيَدِهِ ال۟خَي۟رُ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Artinya, seluruh kebaikan berada di tangan-Nya; seluruh amal kebajikan berada dalam lembaran catatan-Nya; dan seluruh karunia berada dalam simpanan kekayaan-Nya. Karena itu, siapa yang menginginkan kebaikan, hendaknya meminta kepada-Nya. Siapa yang mengharap karunia, hendaknya bersimpuh di hadapan-Nya.
    Yani bütün hayrat onun elinde, bütün hasenat onun defterinde, bütün ihsanat onun hazinesindedir. Öyle ise hayır isteyen ondan istemeli, iyilik arzu eden ona yalvarmalı.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kami akan menunjukkan sejumlah dalil yang sangat luas dan kilau dari petunjuk ilmu ilahi yang tak terhingga untuk memperlihatkan hakikat “klausa” di atas dengan jelas. Yaitu sebagai berikut:
    Şu kelimenin hakikatini kat’î bir surette göstermek için ilm-i İlahînin hadsiz delillerinden bir geniş delilin emarelerine ve lem’alarına şöyle işaret eder ve deriz ki:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sang Pencipta yang Maha menghadirkan dan yang dengan perbuatan lahiriah-Nya mengendalikan alam ini, memiliki ilmu yang meliputi segala hal. Ilmu tersebut khusus dimiliki oleh-Nya semata; tanpa pernah terlepas dari-Nya. Sebab, sebagaimana keberadaan matahari tidak mungkin tanpa cahaya, demikian pula Sang Pencipta Mahaagung yang menghadirkan makhluk dengan sangat rapi jauh lebih tidak mungkin ilmu-Nya terlepas dari-Nya.
    Şu kâinatta görünen ef’al ile tasarruf edip icad eden Sâni’in bir muhit ilmi var. Ve o ilim, onun zatının hâssa-i lâzıme-i zaruriyesidir, infikâki muhaldir. Nasıl ki güneşin zatı bulunup ziyası bulunmamak kabil değil, öyle de binler derece ondan ziyade kabil değildir ki şu muntazam mevcudatı icad eden zatın ilmi ondan infikâk etsin. Şu ilm-i muhit, o zata lâzım olduğu gibi taalluk cihetiyle her şeye dahi lâzımdır. Yani, hiçbir şey ondan gizlenmesi kabil değildir. Perdesiz, güneşe karşı zemin yüzündeki eşya, güneşi görmemesi kabil olmadığı gibi; o Alîm-i Zülcelal’in nur-u ilmine karşı eşyanın gizlenmesi, bin derece daha gayr-ı kabildir, muhaldir. Çünkü huzur var. Yani her şey daire-i nazarındadır ve mukabildir ve daire-i şuhudundadır ve her şeye nüfuzu var. Şu camid güneş, şu âciz insan, şu şuursuz röntgen şuâı gibi zînurlar; hâdis, nâkıs ve ârızî oldukları halde, onların nurları, mukabilindeki her şeyi görüp nüfuz ederlerse; elbette vâcib ve muhit ve zatî olan nur-u ilm-i ezelîden hiçbir şey gizlenemez ve haricinde kalamaz.
    Ilmu yang meliputi segala hal itu sangat penting dan fundamen- tal bagi-Nya. Ia juga fundamental bagi segala sesuatu dilihat dari sisi keterkaitan. Maksudnya, tidak mungkin ada yang tersembunyi dariNya dalam kondisi apapun. Sebab, sebagaimana segala sesuatu yang terhampar di muka bumi tidak mungkin tak melihat matahari yang berada di hadapan mereka tanpa hijab, maka jauh lebih tidak mungkin lagi segala sesuatu terhijab dari pengetahuan Dzat Yang Maha Mengetahui dan Mahaagung. Hal itu karena kondisinya yang tampak. Artinya, segala sesuatu berada dalam jangkauan penglihatan dan penyaksian-Nya, serta pengetahuan-Nya menembus segala sesuatu.Apabila sinar matahari yang tak bernyawa itu, cahaya manusia yang lemah ini, cahaya sinar Rontgen (sinar X) yang tak memiliki perasaan, dan sinar sejenis lainnya yang bersifat baru, terbatas, dan fana, dapat menyaksikan dan menembus segala sesuatu yang berada di hadapannya, apalagi dengan cahaya pengetahuan azali yang bersifat wajib, komprehensif, dan berdiri sendiri.Jadi, tidak mungkin ada yang tersembunyi dari-Nya dan tidak ada yang berada di luar pengetahuan-Nya.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Di alam terdapat tanda dan petunjuk yang terhampar yang jumlahnya tak terhingga. Semuanya menunjukkan hakikat ini. Di antaranya sebagai berikut:
    Şu hakikate işaret eden kâinatın hadd ü hesaba gelmez alâmetleri, âyetleri vardır. Ezcümle:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Seluruh hikmah yang terdapat pada makhluk menunjukkan adanya pengetahuan Tuhan yang komprehensif tersebut. Pasalnya, pelaksanaan amal dengan hikmah hanya bisa terwujud dengan adanya pengetahuan.
    Bütün mevcudatta görünen bütün hikmetler, o ilme işaret eder. Çünkü hikmet ile iş görmek ilim ile olur.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Begitu pula dengan perhatian dan penghiasan pada makhluk. Ia juga menunjukkan adanya pengetahuan Tuhan yang komprehensif. Pasalnya, Dzat yang bekerja dengan halus dan penuh perhatian pasti mengetahui. Ia bekerja berdasarkan pengetahuan.
    Hem bütün inayetler, tezyinatlar o ilme işaret eder. İnayetkârane, lütufkârane iş gören; elbette bilir ve bilerek yapar.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Juga, semua entitas yang tertata dan terukur dengan ukuran yang teliti, serta setiap bentuk yang terukur dan telah ditentukan kadarnya. Semua itu menunjukkan adanya pengetahuan Tuhan yang komprehensif. Sebab, pelaksanaan amal dengan rapi hanya bisa terwujud dengan pengetahuan.
    Hem her biri birer mizan içindeki bütün intizamlı mevcudat ve her biri birer intizam içindeki bütün mizanlı ve ölçülü hey’at, yine o ilm-i muhite işaret eder. Çünkü intizam ile iş görmek, ilim ile olur. Ölçü ile tartı ile sanatkârane yapan, elbette kuvvetli bir ilme istinaden yapar.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">

    11.03, 16 Ocak 2025 itibarı ile sayfanın şu anki hâli

    بِاس۟مِهٖ سُب۟حَانَهُ

    وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَم۟دِهٖ

    (Tiada Tuhan selain Allah semata. Tiada sekutu bagi-Nya. Dia pemilik seluruh kerajaaan dan pujian. Dia menghidupkan dan mematikan. Dia Mahahidup; tidak mati. Di tangan-Nya tergenggam segala kebaikan. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu dan kepada-Nya semua kembali)(*[1])

    Kalimat di atas yang berisi rangkuman tauhid menjelaskan sebelas frasa. Membacanya selepas shalat subuh dan magrib mendatangkan banyak keutamaan. Sampai-sampai dalam sebuah riwayat sahih disebutkan bahwa ia membawa tingkatan ismul a’zham.(*[2])Jadi, tidak aneh kalau setiap frasa darinya membersitkan harapan dan kabar gembira serta membawa salah satu tingkatan tauhid rububiyah yang agung. Dari sisi ismul a’zham ia menjelaskan keesaan dan kesempurnaan tauhid.

    Karena hakikat yang luas dan mulia ini telah dijelaskan secara terang benderang dalam seluruh al-Kalimât, pembaca bisa merujuk kepadanya. Di sini kami hanya akan mengemukakan daftar darinya seperti yang telah dijanjikan sebelumnya dalam bentuk yang ringkas dan sangat global terdiri dari dua kedudukan dan sebuah pendahuluan.

    Pendahuluan

    Ketahuilah dengan yakin bahwa tujuan penciptaan yang paling utama dan buah fitrah yang paling agung adalah “Iman kepada Allah”.

    Ketahuilah bahwa tingkatan kemanusian yang paling tinggi dan derajat basyariyah yang paling baik adalah “Mengenal Allah” (makrifatullah) yang terkandung dalam keimanan di atas.

    Ketahui pula bahwa kebahagiaan dan nikmat terindah bagi jin dan manusia adalah “Cinta kepada Allah” yang lahir dari makrifat tadi.

    Serta ketahuilah bahwa kegembiraan jiwa yang paling bening dan suka cita kalbu yang paling murni adalah “Kenikmatan Spiritual” yang tepercik dari cinta tadi.

    Ya, seluruh jenis kebahagiaan sejati, kegembiraan murni, dan kenikmatan tiada tara hanya terdapat dalam ‘makrifatullah’ dan ‘cinta kepada Allah’. Tidak ada kebahagiaan, kegembiraan, dan kenikmatan yang sebenarnya tanpa makrifatullah.

    Setiap orang yang benar-benar mengenal Allah lalu mengisi kalbunya dengan cahaya cinta pada-Nya, pasti ia layak mendapatkan kebahagiaan yang tak pernah berakhir, kenikmatan yang tak pernah habis, serta cahaya dan rahasia yang tak pernah pudar.

    Ia akan meraihnya secara nyata, atau dalam bentuk potensi.

    Sementara, orang yang tidak mengenal Penciptanya dengan benar dan tidak memiliki perasaan cinta yang layak, akan sengsara secara materiil dan moril. Ia juga senantiasa mengalami penderitaan dan kesulitan yang tak terhingga.

    Ya, orang malang tersebut yang menderita akibat tidak menemukan Tuhan dan Pelindungnya serta gelisah lantaran hidupnya yang hina dan tak bermakna, sementara ia dalam kondisi lemah di tengah-tengah manusia yang tidak bahagia, apa yang bisa membantunya dalam menghadapi kondisi yang ia hadapi, meskipun ia penguasa seluruh dunia?

    Betapa malangnya orang tersebut yang terombang-ambing da- lam kehidupan yang fana dan berada di antara kumpulan manusia liar jika tidak menemukan Tuhan yang Mahabenar, serta tidak mengenal Pemilik dan Rabbnya dengan benar. Namun kalau ia menemukan Tuhannya dan mengenal Pemiliknya, tentu ia menuju kepada dekapan rahmat-Nya yang luas dan bersandar pada keagungan qudrah-Nya yang mutlak, maka dunia yang buas ini akan berubah baginya menjadi taman yang menyenangkan dan pasar bisnis yang menguntungkan.

    KEDUDUKAN PERTAMA

    Setiap Frasa dari kalimat tauhid yang menakjubkan tersebut memberikan kabar gembira dan mengembuskan harapan hangat. Pada setiap kabar gembira terdapat obat dan balsam penyembuh. Serta pada setiap balsam terdapat kenikmatan dan kesenangan maknawi.

    Frasa Pertama:

    لَٓا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ Frasa ini memberikan kabar gembira dan harapan sebagai berikut:

    Jiwa manusia yang mendambakan kebutuhan tak terhingga dan pada waktu bersamaan menjadi sasaran dari musuh yang tak terbilang, jiwa yang diuji dengan kebutuhan tak terhingga dan musuh tak terbilang itu, menemukan sumber bantuan dari frasa yang agung di atas di mana ia membukakan untuknya sejumlah pintu khazanah rahmat yang luas yang mengalirkan sesuatu yang dapat memenuhi dan menjamin segala kebutuhan. Di dalamnya ia juga menemukan sandaran yang kokoh yang bisa menangkal semua kejahatan dan menyingkirkan mara bahaya. Yaitu dengan memperlihatkan kekuatan Tuhannya Yang Mahabenar kepada manusia, membimbing kepada Pemiliknya Yang Mahakuasa, serta menunjukkan kepada Pencipta dan Dzat yang disembahnya. Lewat pandangan yang lurus tersebut dan pengenalan terhadap Allah Yang Mahaesa, frasa di atas menyelamatkan kalbu manusia dari gelap sunyi dan ilusi serta menolong jiwanya dari pedihnya kesedihan. Bahkan ia mendatangkan kegembiraan abadi.

    Frasa Kedua:

    وَح۟دَهُ

    Frasa ini memberikan harapan dan kabar gembira sebagai berikut:

    Jiwa dan kalbu manusia yang tertekan, bahkan tenggelam hingga sulit bernafas karena terikat kuat dengan sebagian besar entitas, pada frasa di atas menemukan jalan keluar yang aman yang bisa menyelamatkannya dari sejumlah kebinasaan. Dengan kata lain, frasa menegaskan bahwa: Allah Mahaesa.

    Karena itu, jangan kau penatkan dirimu wahai manusia dengan terus-menerus merujuk kepada makhluk. Jangan merendah kepada mereka sehingga tertawan oleh jasa dan perilaku buruk mereka. Jangan kau tundukkan kepala di hadapan mereka dan mencari muka pada mereka. Jangan membebani dirimu sehingga engkau bergantung pada mereka. Serta jangan takut kepada mereka. Pasalnya, Penguasa alam adalah satu. Di tangan-Nya tergenggam kunci segala sesuatu. Di tangan-Nya terdapat kendali atas segala sesuatu. Seluruh ikatan bisa lepas dengan perintah-Nya. Semua kesulitan bisa lenyap dengan izin-Nya. Jika engkau “menemukan-Nya”, maka engkau berkuasa atas segala sesuatu, bisa meraih apa yang kau inginkan, selamat dari segala beban jasa, serta bebas dari tawanan ketakutan.

    Frasa Ketiga:

    لَا شَرٖيكَ لَهُ

    Yakni, sebagaimana tidak ada sekutu dalam uluhiyah-Nya karena Allah Mahaesa. Rububiyah, tindakan, dan penciptaan-Nya terhadap segala sesuatu juga bersih dari sekutu. Berbeda dengan para penguasa di muka bumi. Bisa jadi ada penguasa yang tunggal dalam kekuasaannya. Hanya saja, tidak satu dan sendirian dalam bertindak. Sebab, para pegawai dan pembantunya terhitung sebagai sekutu baginya dalam menjalankan berbagai urusan. Bahkan, mereka bisa menjadi hijab antara rakyat dan penguasa. Rakyat bisa merujuk kepada mereka terlebih dulu. Namun, Allah sebagai Penguasa azali dan abadi Mahaesa; tidak ada sekutu dalam kekuasaan-Nya. Dia sama sekali tidak membutuhkan keberadaan sekutu dan pembantu dalam prosedur rububiyah-Nya. Sebab, sesuatu tidak berpengaruh apa- apa tanpa izin dan kekuatan dari-Nya. Semua bisa langsung merujuk kepada-Nya tanpa perlu perantara karena tidak ada sekutu dan pembantu bagi-Nya. Karenanya, tidak ada ungkapan, “Engkau tidak boleh masuk ke hadapan ilahi.”

    Begitulah, frasa di atas mengandung harapan dan kabar gembira yang mencerahkan. Seolah ia menegaskan:

    Manusia yang jiwanya tersinari oleh cahaya iman dapat mengemukakan seluruh kebutuhannya tanpa ada penghalang di hadapan Sang Mahaindah yang Mahaagung, Sang Mahakuasa Yang Maha Sempurna. Ia dapat meminta sesuatu yang bisa mewujudkan keinginannya di mana dan kapan saja ia berada. Ia bisa mengungkap hajat dan seluruh kebutuhannya di hadapan Sang Mahakasih yang memiliki khazanah rahmat yang luas dengan bersandar pada kekuatan-Nya yang mutlak. Dengan begitu, ia menjadi sangat gembira dan bahagia.

    Frasa Keempat:

    لَهُ ال۟مُل۟كُ

    Yakni, seluruh kerajaan adalah miliknya tanpa kecuali. Engkau juga milik-Nya. Di samping merupakan hamba-Nya, Engkau pun pekerja dalam kerajaan-Nya.

    Frasa ini mengandung harapan dan mendatangkan kabar gembira. Ia menegaskan:

    Wahai manusia, jangan mengira engkau pemilik dirimu. Tidak. Pasalnya, engkau tidak mampu mengurus dirimu sendiri. Hal itu merupakan beban yang berat. Engkau tidak mampu menjaganya agar terbebas dari berbagai ujian dan musibah, serta tidak mampu memenuhi apa yang menjadi kebutuhan hidupmu. Karena itu, jangan menyeng- sarakan dirimu sendiri dengan sia-sia sehingga menjadi gelisah dan risau tanpa guna. Kerajaan ini bukan milikmu; tetapi milik selainmu. Pemiliknya Mahakuasa. Dia juga Maha Penyayang. Maka, bersandarlah pada qudrah-Nya. Jangan pernah meragukan rahmat-Nya. Ting- galkan yang keruh, ambil yang jernih! Buanglah kesulitan dan sesuatu yang menyesakkan. Lalu ambillah nafas dalam-dalam! Raih kelapangan dan kebahagiaan!

    Ia juga menegaskan bahwa dunia ini yang secara maknawi kau inginkan dan kau cintai, yang membuatmu sakit dan risau karena derita di dalamnya, serta tak mampu kau perbaiki, semuanya adalah kerajaan milik Sang Mahakuasa Yang Maha Penyayang. Karena itu, serahkan kerajaan ini pada-Nya. Biarkan Dia yang menangani- nya. Bergembiralah dengan segala kesenangan dan kelapangannya tanpa mau dikeruhkan oleh penderitaan dan kesulitan yang ada. Tuhan Mahabijak dan Maha Penyayang. Dia bertindak di kerajaan-Nya terserah kehendak-Nya sesuai dengan hikmah dan rahmat-Nya. Jika engkau merasa takut, pandanglah dari jendela lalu ucapkan seperti yang diucapkan oleh penyair Ibrahim Haqqi:Mari kita melihat apa yang Tuhan lakukan Yang Dia lakukan pastilah yang paling indah.

    Frasa Kelima:

    وَ لَهُ ال۟حَم۟دُ

    Yakni, segala sanjungan, pujian, dan karunia adalah milik-Nya semata dan hanya pantas untuk-Nya. Sebab, semua karunia dan nikmat berasal dari-Nya. Ia bersumber dari khazanah kekayaan-Nya yang luas. Sementara khazanah kekayaan-Nya tak pernah habis.

    Begitulah frasa di atas memberikan kabar gembira yang halus dan indah. Ia menegaskan:

    Wahai manusia, jangan merasa sakit dengan hilangnya nikmat. Sebab, khazanah rahmat-Nya tak pernah habis. Jangan meradang dengan lenyapnya karunia, karena ia tidak lain merupakan buah rahmat-Nya yang luas tak terhingga. Buah akan terus datang secara silih berganti selama pohonnya tetap ada.Ketahuilah wahai manusia bahwa engkau mampu menjadikan manisnya nikmat seratus kali lebih banyak dari yang ada.

    Yaitu dengan melihat curahan rahmat dan pemberian karunia-Nya yang tertuju padamu. Hal itu terwujud dengan bersyukur dan memuji-Nya. Sebab, sebagaimana ketika seorang penguasa besar memberikan hadiah kepadamu—apel misalnya—maka hadiah tersebut berisi nikmat yang berkali-kali lebih nikmat dibandingkan lezatnya apel itu sendiri. Yaitu nikmat adanya perhatian dari sang penguasa yang dibungkus dengan kebaikan dan karunianya. Begitu pula dengan frasa . Ia membukakan untukmu pintu yang luas yang mengalirkan kenikmatan maknawi murni di mana ia jauh lebih nikmat daripada nikmat itu sendiri. Hal itu terwujud dengan pujian dan syukur pada-Nya. Yakni, dengan merasakan karunia-Nya lewat nikmat yang Dia berikan. Yaitu dengan mengenal Sang Pemberi nikmat lewat cara merenungkan pemberian nikmat tersebut. Dengan kata lain, lewat cara merenungkan dan melihat rahmat dan kasih sayang-Nya yang terus tercurah kepadamu.

    Frasa Keenam:

    يُح۟يٖى

    Dia-lah yang menganugerahkan kehidupan, Dia pula yang menjaganya dengan rezeki yang diberikan. Dia yang menjamin seluruh hajat dan kebutuhannya. Dia pula yang menyiapkan semua faktor penopangnya. Berbagai tujuan kehidupan yang mulia kembali kepada-Nya. Serta berbagai hasil penting dari kehidupan menuju kepada-Nya. Sembilan puluh sembilan persen (99%) buah dan hasilnya mengarah dan kembali kepada-Nya.

    Begitulah, frasa di atas menyeru manusia yang fana dan lemah serta memberikan kabar gembira seraya menghembuskan harapan kepadanya. Ia berkata:

    Wahai manusia, jangan penatkan dirimu dengan membawa beban kehidupan yang berat di atas pundakmu yang lemah. Jangan sam- pai dirimu menyedihkan fananya kehidupan. Jangan pernah menyesali kedatanganmu ke dunia setiap kali melihat lenyapnya sejumlah nikmat dan buahnya. Ketahuilah bahwa hidupmu yang membangun eksistensimu hanya akan kembali kepada Dzat Yang Mahahidup dan Berdiri sendiri. Dia yang menjamin seluruh kebutuhan dan penopangnya. Kehidupan hanya akan kembali kepada-Nya berikut seluruh tujuan dan hasilnya yang banyak. Engkau hanyalah pekerja biasa yang berada dalam bahtera kehidupan. Karena itu, laksanakan kewajibanmu dengan sebaik-baiknya. Lalu raih upahmu dan nikmati. Ingatlah selalu betapa agungnya kehidupan yang menggerakkan gelombang wujud, berikut hasil dan buahnya, serta kemurahan Pemiliknya dan keluasan rahmat-Nya yang terlimpah. Renungkan semua itu dan terbanglah di angkasa suka cita. Bergembiralah dengannya dan tunaikan syukur yang harus kau persembahkan kepada Tuhan. Ketahuilah bahwa selama dirimu istikamah, hasil dari bahtera kehidupan ini pertama-tama akan dituliskan dalam lembaran amalmu. Lalu engkau akan diberi kehidupan yang kekal abadi.

    Frasa Ketujuh:

    وَ يُمٖيتُ

    Artinya, Dia-lah yang menganugerahkan kematian. Yakni, Dia yang membebaskanmu dari tugas kehidupan, mengganti posisimu di dunia yang fana ini, menyelamatkanmu dari beban pengabdian, serta membebaskanmu dari tanggung jawab yang ada. Dengan kata lain, Dia menarikmu dari kehidupan yang fana menuju kehidupan yang abadi. Demikianlah, frasa ini meneriakkan ke telinga manusia dan jin yang fana dan berkata:

    Kabar gembira bagi kalian! Kematian bukan kemusnahan, kesia-siaan, kefanaan, kepadaman, dan perpisahan abadi. Kematian bukan ketiadaan dan bukan pula sebuah kebetulan. Ia bukan kelenyapan tanpa ada yang berbuat. Namun ia adalah pembebasan tugas yang dilakukan oleh Dzat Yang Maha Berbuat, Maha Bijaksana, dan Maha Penyayang. Ia adalah perpindahan tempat, pergantian posisi, dan perjalanan menuju kebahagiaan abadi; tanah air yang asli. Artinya, kematian adalah pintu menuju alam barzakh; alam yang meng- himpun 99% orang-orang tercinta.

    Frasa Kedelapan:

    وَ هُوَ حَىٌّ لَا يَمُوتُ

    Artinya, kesempurnaan, keindahan, dan kebaikan lahiriah yang terdapat pada entitas merupakan sarana menuju cinta. Ia terwujud lewat sesuatu yang tak bisa dideskripsikan dan digambarkan yang berasal dari Sang Pemilik keindahan, kesempurnaan, dan kebaikan. Secercah manifestasi keindahan-Nya menyamai seluruh hal yang dicintai di dunia ini. Tuhan yang dicinta dan disembah memiliki kehidupan abadi dan kekal yang bersih dari kelenyapan dan bayangan kefanaan. Kehidupannya sempurna; jauh dari segala bentuk aib dan cacat.

    Jadi, frasa di atas menegaskan hal berikut kepada semua makhluk, baik dari kalangan jin, manusia, maupun seluruh pemilik perasaan, kecerdasan, dan cinta:

    Kabar gembira untuk kalian! Kalian mendapatkan hembusan harapan dan kebaikan. Kalian memiliki Kekasih azali dan abadi yang bisa mengobati semua luka menganga akibat perpisahan abadi dengan orang-orang dunia yang kalian cintai. Ia memberikan balsam penyembuh lewat salep rahmat-Nya. Selama Dia ada dan kekal, segala sesuatu menjadi ringan. Karena itu, jangan risau dan kece- wa. Keindahan, kebaikan, dan kesempurnaan yang membuat kalian mencintai sejumlah orang hanyalah kilasan bayangan lemah yang bersumber dari naungan tirai yang sangat tebal di mana ia merupakan salah satu manifestasi keindahan Sang Kekasih abadi. Maka, jangan kalian tersiksa oleh adanya perpisahan dengan mereka. Sebab, mereka semua hanyalah satu bentuk dari cermin yang memberi pantulan. Perubahan dan pergantian cermin akan memperbaharui dan memperindah pantulan manifestasi keindahan yang cemerlang. Selama Dia ada, segala sesuatu juga ada.

    Frasa Kesembilan:

    بِيَدِهِ ال۟خَي۟رُ

    Artinya, seluruh kebaikan berada di tangan-Nya. Semua amal baik kalian dicatat dalam kitab-Nya. Seluruh amal salih yang kalian lakukan ada padanya.

    Frasa di atas menyeru jin dan manusia, memberikan kabar gembira kepada mereka, serta menghembuskan harapan dan kerinduan. Ia berkata:

    Wahai orang-orang malang! Ketika kalian meninggalkan dunia menuju kubur, jangan berujar, “Oh, sungguh sangat sedih. Harta kami lenyap begitu saja. Amal kami hilang percuma. Kami masuk ke dalam kubur yang sempit setelah berada di dunia yang luas...” Jangan... Jangan kalian meratap putus asa. Pasalnya, semua milik kalian terpelihara di sisi-Nya. Semua amal yang kalian kerjakan telah dicatat pada-Nya. Jadi, tidak ada yang hilang. Tidak ada usaha yang terlupa- kan. Sebab, Allah Yang Mahaagung yang menggenggam segala kebai- kan akan membalas amal kalian. Dia akan memanggil kalian untuk menghadap kepada-Nya setelah Dia meletakkan kalian di dalam tanah, tempat sementara kalian. Maka, betapa kalian sangat bahagia! Kalian telah menunaikan pengabdian dan telah menyelesaikan tugas. Kalian telah bebas. Hari- hari penat dan lelah telah berakhir. Sekarang kalian berjalan untuk mendapatkan upah dan menerima keuntungan.

    Ya, Sang Mahakuasa dan Mahaagung yang memelihara seluruh benih dan biji yang merupakan lembaran amal, daftar pengabdian, dan ruang tugas musim semi masa lalu, kemudian Dia menebarkannya di musim semi yang indah saat ini dalam bentuk yang istimewa, sangat berkilau, penuh berkah, dan menakjubkan. Tuhan Yang Mahakuasa dan Mahaindah tersebut sudah pasti juga menjaga hasil kehidupan dan amal kalian. Lalu Dia akan memberikan balasan dalam bentuk yang terbaik dan berlimpah.

    Frasa Kesepuluh:

    وَ هُوَ عَلٰى كُلِّ شَى۟ءٍ قَدٖيرٌ

    Artinya, Dia Mahaesa, Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada yang berat bagi-Nya. Tidak ada yang membuat-Nya penat dan sulit. Menciptakan musim semi yang sempurna—misalnya—begitu mudah dan gampang bagi-Nya sama seperti menciptakan sekuntum bunga. Menciptakan surga bagi-Nya semudah menciptakan musim semi. Makhluk yang jumlahnya tak terhingga yang Dia hadirkan dan Dia perbaharui setiap hari, setiap tahun, dan setiap masa, semuanya menjadi bukti akan qudrah-Nya yang tak terbatas.

    Frasa di atas juga memberikan sebuah harapan dan kabar gembira sebagai berikut:

    Wahai manusia! Amal-amal yang telah kau tunaikan, dan ubudiyah yang telah kau kerjakan tidak akan hilang begitu saja. Terdapat negeri balasan yang kekal dan tempat kebahagiaan yang sudah disiapkan untukmu. Di hadapanmu terdapat surga kekal yang menantikan kedatanganmu. Percayalah dengan janji Penciptamu Yang Mahaagung yang kepada-Nya engkau bersujud dan menyembah. Yakinlah kepada-Nya. Mustahil Dia mengingkari janji yang sudah Dia tetapkan atas diri-Nya. Sebab, qudrah-Nya tak bercampur dengan aib dan cacat. Perbuatan-Nya tidak disertai oleh kelemahan dan ketidakberdayaan. Sebagaimana Dia telah menciptakan dan menghidupkan taman kecil untukmu, Dia mampu untuk menciptakan surga yang luas. Bahkan Dia benar-benar telah melakukannya, lalu menjanjikannya untukmu. Oleh karena Dia telah berjanji, maka pasti akan menepatinya. Dia akan mengantarkanmu menuju surga tersebut.

    Selama pada setiap tahun kita melihat bagaimana Dia mengumpulkan dan menebarkan lebih dari 300 ribu spesies tumbuhan dan hewan di muka bumi dengan sangat rapi dan terukur serta dengan sangat cepat dan mudah, maka sudah pasti Tuhan Yang Mahakuasa dan Mahaagung tersebut juga mampu mewujudkan janji-Nya.

    Selama Tuhan Yang Mahakuasa mutlak pada setiap tahun menghadirkan ribuan model kebangkitan dan surga dalam bentuk yang beragam; selama Dia menginformasikan surga yang dijanjikan, dan menjanjikan kebahagiaan abadi pada semua perintah samawi-Nya; selama seluruh urusan-Nya benar, nyata, dan jujur; selama semua jejak-Nya menjadi saksi bahwa seluruh kesempurnaan adalah petunjuk bahwa Dia bersih dari segala cacat;

    selama mengingkari janji, berdusta, dan sikap menangguhkan adalah sifat paling buruk di samping aib, maka sudah pasti Sang Mahakuasa yang Mahaagung, Sang Mahabijak yang Maha Sempurna, Sang Maha Penyayang Yang Mahaindah akan melaksanakan janji-Nya. Dia akan membuka pintu-pintu kebahagiaan abadi dan memasukkan kalian wahai kaum beriman ke dalam surga, tanah air ayah kalian, Adam .

    Frasa Kesebelas:

    وَ اِلَي۟هِ ال۟مَصٖيرُ

    Artinya, orang-orang yang dikirim ke negeri dunia—negeri ujian—untuk berbisnis dan menunaikan sejumlah tugas, akan kembali lagi kepada Dzat yang telah mengirim mereka, Pencipta Yang Mahaa- gung. Hal itu setelah mereka melaksanakan tugas, menyempurnakan bisnis mereka, dan menyelesaikan berbagai pengabdian. Mereka akan bertemu dengan Tuhan Maha pemurah yang telah mengirim mereka. Dengan kata lain, mereka akan mendapatkan kehormatan untuk berada di hadapan Tuhan Yang Maha Penyayang dalam kedudukan yang disenangi di sisi Raja Yang Mahakuasa; tanpa ada hijab antara mereka dan diri-Nya. Mereka telah lepas dari ikatan sebab, hijab dan perantara. Masing-masing mereka akan menemukan dan mengenal secara sempurna Pencipta, Tuhan, dan Pemiliknya.

    Frasa di atas membersitkan harapan dan kabar gembira melebihi seluruh harapan dan kabar gembira lainnya. Ia menegaskan:

    Wahai manusia! Tahukah engkau kemana akan kembali? Dan kemana engkau akan digiring?”Pada penutup ‘Kalimat Ketiga Puluh Dua’ disebutkan bahwa menghabiskan seribu tahun dari kehidupan dunia yang bahagia tidak bisa menyamai sesaat dari kehidupan surga. Serta menghabiskan seribu satu tahun yang penuh kesenangan dalam kenikmatan surga tidak bisa menyamai sesaat dari kegembiraan melihat keindahan Sang Mahaindah, Allah.(*[3])Jadi, wahai manusia, engkau akan kembali ke medan rahmat-Nya, dan akan menuju hadirat-Nya. Keindahan yang kau lihat pada para kekasih majasi sehingga kau cintai dan tergila-gila padanya, bahkan keindahan yang terdapat pada seluruh entitas dunia tidak lain merupakan semacam bayangan dari manifestasi keindahan Allah dan nama-nama-Nya. Surga dengan seluruh perangkat, kenikmatan, bidadari, dan istananya hanyalah salah satu manifestasi dari rahmat-Nya. Semua bentuk rindu, cinta, dan ketertarikan tidak lain merupakan kilau dari cinta Tuhan dan Kekasih abadi. Jadi, kalian akan pergi ke hadirat-Nya yang agung. Kalian akan diundang ke negeri jamuan yang kekal, yaitu menuju surga yang abadi.Karena itu, jangan bersedih dan menangis saat masuk ke dalam kubur. Namun bergembiralah dan hadapi ia dengan senyum dan rasa senang.

    Frasa di atas melanjutkan tugasnya dalam memberikan cahaya harapan dan kabar gembira dengan berkata:

    Wahai manusia! Jangan membayangkan engkau akan pergi menuju kefanaan, ketiadaan, kesia-siaan, kegelapan, kealpaan, kehancuran, dan tenggelam dalam ketiadaan. Akan tetapi, engkau akan pergi menuju keabadian; bukan pada kefanaan. Engkau digiring menuju wujud yang kekal; bukan ketiadaan. Engkau mendatangi alam cahaya; bukan kegelapan. Engkau berjalan menuju Tuhan dan Pemilikmu yang haq. Engkau akan kembali kepada tempat Penguasa alam; Penguasa wujud. Engkau akan istirahat dan merasa lapang di medan tauhid tanpa tenggelam dalam pluralitas. Engkau mengarah pada adanya pertemuan; bukan perpisahan.


    KEDUDUKAN KEDUA

    (Petunjuk Singkat tentang Tauhid Dilihat dari Ismul A’zham)

    Klausa Pertama:

    Klausa di atas berisi tauhid ulûhiyah dan tauhid ma’bûdiyah. Kami akan menunjukkan keduanya dengan sebuah argumen yang kuat sebagai berikut:

    Di alam ini, terutama di lembaran muka bumi, aktivitas yang sangat rapi terlihat dengan jelas. Kita menyaksikan proses penciptaan yang penuh hikmah. Kita menyaksikan dengan ainul yaqin proses “pembukaan” yang sangat teratur. Yakni, proses pemberian bentuk dan busana yang tepat pada segala sesuatu. Kita menyaksikan pula proses pemberian karunia yang penuh cinta dan kasih sayang. Seluruh kondisi tersebut dengan jelas menegaskan keberadaan Tuhan Yang Mahaagung, Yang Maha Berbuat, Maha Mencipta, Maha Membuka, dan Maha Memberi. Bahkan ia menunjukkan keesaan-Nya.

    Ya, entitas yang senantiasa lenyap dan terbaharui secara terus-menerus menjelaskan bahwa mereka merupakan manifestasi nama-nama Sang Pencipta Yang Mahakuasa, bayangan cahaya nama-Nya yang mulia, jejak perbuatan-Nya, ukiran pena qadar-Nya dan lembaran qudrah-Nya, serta cermin keindahan kesempurnaan-Nya.

    Tuhan semesta alam menjelaskan hakikat agung di atas dan tingkatan tauhid tertinggi tersebut lewat seluruh kitab suci dan lembaran wahyu yang Dia turunkan. Para ahli peneliti dari kalangan ulama dan al-Kâmilûn (orang-orang yang mencapai derajat kesempurnaan) juga menegaskan tingkatan tauhid tersebut lewat pembuktian ilmiah dan kasyaf mereka. Alam berikut kelemahan dan kepapaannya pun menunjukkan tingkatan tauhid itu lewat sejumlah kreasi yang menakjubkan, tanda kekuasaan yang luar biasa, dan khazanah kekayaan yang ia miliki.

    Artinya, Allah—sebagai saksi azali—dengan seluruh kitab suci dan lembaran wahyu, kalangan ahli syuhûd (orang-orang yang mencapai tingkatan penyaksian) dengan seluruh pembuktian dan kasyaf mereka, serta alam nyata dengan seluruh urusan penuh hik- mah dan kondisinya yang rapi, semuanya sepakat dengan keberadaan tingkatan tauhid tersebut.

    Siapa yang tidak menerima Dzat Yang Mahaesa sebagai Tuhan dan sembahan, ia harus menerima tuhan-tuhan yang tak terhingga jumlahnya. Atau, harus mengingkari dirinya dan seluruh alam seperti sikap kalangan sofis yang dungu.

    Klausa Kedua:

    وَح۟دَهُ

    Klausa di atas menjelaskan tingkatan tauhid yang jelas. Kami akan menunjukkan sebuah argumen sangat kuat yang menegaskan tingkatan ini secara sempurna sebagai berikut:

    Setiap kali membuka mata dan mengarahkan pandangan pada entitas, perhatian kita pertama-tama tertuju pada tatanan yang bersifat umum dan sempurna serta neraca yang cermat dan komprehensif. Segala sesuatu berada dalam suatu aturan yang teliti. Semuanya ditimbang dengan timbangan yang akurat. Seluruhnya dihitung dengan sebuah perhitungan yang cermat.

    Apabila kita cermati, penglihatan kita akan tertuju pada tatanan dan neraca yang terus terbaharui. Yakni, Dzat Yang Mahaesa mengu- bah tatanan tersebut secara teratur dan memperbaharui neraca yang ada dengan ukuran tertentu. Sehingga segala sesuatu menjadi model ukuran bagi berbagai bentuk yang tertata rapi yang jumlahnya sangat banyak.

    Jika kita perhatikan lebih cermat, keadilan dan hikmah Tuhan akan terlihat di balik penataan dan neraca tersebut sehingga setiap gerakan diikuti oleh hikmah dan maslahat serta disertai oleh sebuah kebenaran dan manfaat.

    Kalau kita perhatikan lebih cermat lagi, pandangan perasaan kita tertuju pada manifestasi qudrah Tuhan dalam bentuk aktivitas penuh hikmah yang sangat bijaksana serta wujud pengetahuan yang mencakup segala hal. Bahkan ia mencakup semua kondisinya.

    Yakni, tatanan dan neraca yang terdapat pada seluruh entitas menerangkan pengaturan dan timbangan yang bersifat umum dan menyeluruh; lalu pengaturan dan timbangan tersebut memperlihatkan hikmah dan keadilan yang komprehensif; kemudian hikmah dan keadilannya menjelaskan sebuah qudrah dan pengetahuan kepada pandangan kita. Dengan kata lain, Sang Mahakuasa atas segala sesuatu dan Dzat Yang Maha Mengetahui segala sesuatu terlihat oleh akal dari balik tirai yang ada.

    Kemudian kita melihat pada awal dan akhir dari segala sesuatu, terutama pada makhluk hidup. Kita melihat bahwa awal, pangkal, dan akarnya begitu pula dengan buah dan hasilnya berwujud pada sebuah bentuk dan pola tertentu di mana seolah-olah benih dan pangkal tersebut merupakan program, katalog, dan pengenalan yang berisi semua perangkat makhluk. Ia juga terkumpul pada hasil dan buahnya. Di dalamnya terkandung seluruh eksistensi dari makhluk hidup tadi. Ia tanamkan di sana perjalanan hidupnya. Seakan-akan benih makhluk hidup tersebut yang merupakan asal-muasalnya adalah buku kecil berisi semua rambu-rambu penciptaan dan pemben- tukannya. Adapun buahnya laksana katalog bagi perintah pembentukannya. Kemudian kita melihat pada sisi lahir dan batin makhluk hidup tersebut. Kita menyaksikan pengelolaan dan pengaturan dari qudrah ilahi yang penuh hikmah, serta deskripsi dan penataan dari iradah-Nya yang pasti berlaku. Artinya, kekuatan dan qudrah ilahi yang menghadirkan entitas tersebut serta perintah dan iradah-Nya yang memberinya bentuk.

    Begitulah setiap kali mencermati pangkal dan awal dari seluruh entitas, kita melihat sesuatu yang menunjukkan pengetahuan Dzat Yang Maha Mengetahui. Setiap kali menelaah akhir dan penghujungnya, kita juga menyaksikan program dari Sang Pencipta. Setiap kali memperhatikan sisi lahiriah sesuatu, kita melihat busana indah yang sangat rapi hasil kreasi Tuhan Yang Maha Berbuat, Memilih, dan Berkehendak. Serta, setiap kali melihat sisi batin sesuatu, kita menyaksikan perangkat yang sangat teratur hasil kreasi Pencipta Yang Mahakuasa.

    Seluruh kondisi dan keadaan tersebut menjelaskan secara aksiomatis bahwa tidak mungkin sesuatu, waktu, dan ruang berada di luar genggaman Sang Pencipta Yang Mahaagung dan Mahaesa. Juga tidak mungkin berada di luar kendali dan pengaturan-Nya. Namun segala sesuatu dan seluruh urusan ditata dalam genggaman Tuhan Mahakuasa Yang Maha Berkehendak. Ia diperindah dan ditata lewat sentuhan Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ia dibuat bagus dan indah lewat rahmat Tuhan Yang Mahakasih dan Maha Memberi.

    Ya, tatanan, neraca, pengaturan, dan timbangan pada seluruh alam secara jelas menunjukkan keberadaan Dzat Yang Mahaesa, Mahatunggal, Mahakuasa, Maha Berkehendak, Maha Mengetahui, dan Maha Bijaksana. Dia memperlihatkan tingkatan keesaan yang agung kepada seluruh makhluk yang memiliki perasaan dan penglihatan.

    Ya, pada segala sesuatu terdapat sebuah kesatuan, sementara kesatuan menunjukkan keberadaan Dzat Yang Mahasatu dan esa. Sebagai contoh, mentari yang merupakan lentera dunia adalah satu. Artinya, Pemilik dunia ini juga satu. Udara, api, dan air misalnya— yang merupakan pelayan makhluk hidup di bumi—juga satu. Artinya, Dzat yang mempekerjakan dan menundukkan materi tersebut untuk kita juga Satu.

    Klausa Ketiga:

    لَا شَرٖيكَ لَهُ

    Klausa ini telah diterangkan secara sangat gamblang dalam ‘mauqif pertama’ dari “Kalimat Ketiga Puluh Dua’’. Karena itu, Anda bisa merujuk padanya. Sebab, tidak ada penjelasan yang mengunggu- li penjelasannya. Ia tidak membutuhkan penjelasan yang lain. Sebab, tidak ada penjelasan yang menyamainya.

    Klausa Keempat:

    لَهُ ال۟مُل۟كُ

    Artinya, langit dan bumi, dunia dan akhirat, serta semua makhluk dari tanah hingga arasy, dari bumi hingga planet, dari partikel hingga mentari, dari yang azali hingga yang abadi, semua merupakan kerajaan-Nya. Dia pemilik tingkat kekuasaan paling agung yang terwujud dalam tingkatan tauhid paling mulia.

    Dalam benak hamba yang lemah ini terlintas sebuah lintasan pikiran yang indah pada saat yang indah lewat ungkapan bahasa Arab. Kutuliskan ia sebagaimana adanya. Lalu aku akan menjelaskannya sebagai hujjah terbesar bagi tingkatan kekuasaan Tuhan yang agung dan kedudukan tauhid-Nya yang paling mulia.

    Dia Pemilik kerajaan. Sebab, alam yang besar itu seperti alam yang kecil ini (manusia) di mana ia merupakan kreasi qudrah-Nya dan tulisan qadar-Nya.

    Penciptaannya terhadap alam dijadikannya sebagai masjid, pembentukannya terhadap manusia dijadikannya sebagai entitas yang bersujud. Penghadirannya terhadap alam dijadikannya sebagai kerajaan, sementara pembentukannya terhadap manusia dijadikannya sebagai budak. Kreasinya pada alam terlihat sebagai sebuah kitab, goresan-Nya pada manusia tampak sebagai sebuah pesan. Qudrah-Nya pada alam memperlihatkan keagungan-Nya, rahmat-Nya pada manusia menata nikmat-Nya. Keagungan-Nya pada alam menjadi saksi bahwa Dia Esa, nikmatnya pada manusia memperlihatkan bahwa Dia Tunggal.

    Jejak-Nya dalam hal itu pada keseluruhan dan semua bagian, stempel-Nya dalam hal ini pada fisik dan semua organ.

    Bagian Pertama:

    Dia Pemilik kerajaan. Sebab, alam yang besar itu seperti alam yang kecil ini di mana ia merupakan kreasi qudrah-Nya dan tulisan qadar-Nya.Alam yang besar, yaitu jagat raya, dan manusia yang merupakan alam kecil dan miniatur jagat raya, keduanya memperlihatkan bukti-bukti keesaan yang tertulis di cakrawala dan diri lewat pena qadar dan qudrah-Nya.

    Ya, dalam diri manusia terdapat contoh miniatur dari kreasi rapi yang terdapat di alam. Ketika kreasi pada wilayah yang besar itu menjadi saksi atas Tuhan Pencipta Yang Mahaesa, kreasi rapi dan mikro yang terdapat dalam diri manusia juga menunjukkan keberadaan Sang Pencipta dan keesaan-Nya.

    Sebagaimana manusia merupakan tulisan Rabbani yang memiliki tujuan mendalam serta untaian takdir ilahi yang rapi, seluruh entitas juga merupakan untaian takdir yang dihias dengan pena yang sama dan ukuran yang diperbesar.

    Jika demikian, mungkinkah ada selain Dzat Yang Mahaesa yang ikut terlibat dalam stempel tauhid—tanda-tanda pembeda—yang terdapat di wajah manusia dan mengarah kepada manusia yang jumlahnya tak terhingga. Atau, mungkinkah ada selain Allah yang ikut terlibat dalam stempel keesaan yang terdapat pada entitas di mana ia menjadikan seluruh makhluk bekerjasama dan bahu-membahu?

    Bagian Kedua:

    Penciptaannya terhadap jagat raya dijadikannya sebagai masjid, pembentukannya terhadap manusia dijadikannya sebagai entitas yang bersujud. Sang Pencipta Yang Mahabijak telah menciptakan alam yang besar dalam bentuk yang indah dan menghiasinya dengan ukiran tanda kebesaran-Nya di mana hal itu menjadikan jagat raya seperti masjid yang megah. Lalu Dia menciptakan manusia dalam bentuk terbaik seraya memberinya akal di mana hal itu menjadikannya bersujud penuh kagum di hadapan mukjizat kreasi-Nya dan keindahan qudrah-Nya.

    Dia juga menyuruh manusia membaca tanda-tanda kebesaran-Nya sehingga menjadikannya sebagai hamba yang bersujud di masjid megah itu lewat ubudiyah dan ketundukan yang ditanamkan pada fitrahnya. Nah, mungkinkah Tuhan hakiki yang disembah oleh mereka yang bersujud dan beribadah di dalam masjid megah ini bukan Sang Pencipta Yang Mahaesa?

    Bagian Ketiga:

    Penghadirannya terhadap jagat raya dijadikannya sebagai kerajaan, sementara pembentukannya terhadap manusia dijadikannya sebagai budak.Sang Raja Diraja Yang Mahaagung telah membangun alam yang besar ini, terutama permukaan bumi, seperti wilayah yang saling terkait dalam jumlah tak terhingga. Setiap wilayah laksana sawah atau ladang tempat bercocok tanam pada setiap saat, setiap musim, dan setiap masa. Dari sana muncul hasil dan panenan. Begitulah Dia mengisi kerajaan-Nya secara terus-menerus dan menata urusan-Nya setiap waktu.

    Bahkan Dia menjadikan wilayah paling besar darinya, yaitu partikel di jagat raya, sebagai ladang luas tempat menanam dan menuai hasil lewat qudrah dan hikmah-Nya. Dia kirimkan hasilnya dari alam indrawi ke alam gaib dan dari wilayah qudrah ke wilayah pengetahuan.

    Dia juga menjadikan permukaan bumi—yang merupakan wilayah sedang—sebagai ladang. Di dalamnya pada setiap musim dan secara kontinyu ditanam berbagai spesies. Lalu darinya pada setiap musim diperoleh sejumlah hasil dan panenan maknawi yang dikirim menuju alam gaib dan alam ukhrawi.

    Selanjutnya, Dia mengisi kebun di bumi—yang merupakan wilayah kecil—secara berulang-ulang, bahkan seribu kali lewat qudrah-Nya, lalu mengosongkannya dengan hikmah-Nya.

    Kemudian dari entitas hidup yang merupakan wilayah terkecil—seperti pohon dan manusia—Allah mendatangkan seratus kali lipat hasil dan panenan.

    Artinya, Sang Maha Diraja Yang Mahaagung membentuk se- gala sesuatu—baik yang bersifat parsial maupun universal, baik kecil maupun besar—laksana “model” yang diberi ratusan pakaian kreasinya yang terukir dengan ukiran yang terus terbaharui lewat ratusan bentuk dan pola. Dengan itu, Dia memperlihatkan sejumlah manifestasi nama-nama-Nya dan mukjizat qudrah-Nya. Dia menghadirkan segala sesuatu dalam kerajaan-Nya laksana lembaran yang padanya Dia goreskan sejumlah tulisan penuh makna lewat ratusan bentuk. Dengannya, Dia juga memperlihatkan sejumlah tanda-tanda kekuasaan-Nya yang penuh hikmah seraya menyuruh makhluk yang memiliki perasaan untuk membacanya.

    Sebagaimana Dia telah membangun alam yang besar ini sebagai kerajaan-Nya, Dia juga menciptakan manusia sebagai budak-Nya. Dia memberinya sejumlah perangkat, organ, indra, dan perasaan, terutama nafsu ammarah, keinginan, rasa butuh, selera, dan harapan di mana Dia menjadikannya berada di kerajaan yang luas sebagai budak, hamba, dan sosok yang membutuhkan seluruh kerajaan-Nya.

    Maka, mungkinkah yang mengendalikan kerajaan tersebut lalu menjadi Tuan atas budak tadi adalah sosok selain Sang Raja Diraja yang menjadikan seluruh entitas mulai dari jagat raya yang luas hingga sayap nyamuk sebagai kerajaan dan ladang, serta menjadikan manu- sia yang kecil sebagai sosok yang melihat dan mengawasi kerajaan luas ini sekaligus sebagai petani, pedagang, pemandu, dan budak serta menjadikannya sebagai tamu mulia dan mitra bicara yang dicinta?

    Bagian Keempat:

    Kreasinya pada jagat raya terlihat sebagai sebuah kitab, goresan-Nya pada manusia tampak sebagai sebuah pesan.Kreasi Sang Pencipta Yang Mahaagung di alam besar me- ngandung banyak makna yang Dia perlihatkan laksana kitab indah di mana hal itu mendorong akal manusia untuk mencari hikmah pengetahuan hakiki darinya serta menulis pustaka sesuai dengannya. Kitab indah dan penuh hikmah tersebut sangat terkait dengan hakikat yang ada dan merujuk kepadanya sampai-sampai ia disebut sebagai “al-Qur’an visual” penuh hikmah yang merupakan salinan dari kitab mubîn.

    Sebagaimana kreasi-Nya di seluruh alam berubah menjadi kitab yang fasih karena sangat rapi, demikian pula dengan goresan dan ukiran hikmah-Nya pada diri manusia terurai menjadi “bunga pesan ilahi”. Artinya, kreasi indah tersebut sarat dengan makna di mana ia bisa membuat berbicara sejumlah perangkat yang terdapat dalam mesin hidup itu. Sementara goresan Rabbani yang Dia torehkan menjadikannya berada dalam bentuk terbaik sehingga menjadi bunga bayan dan pesan-Nya; bunga vitalitas gaib yang terdapat pada kepala materi tak bernyawa itu. Jadi, Allah memberikan pada kepala ma- nusia kemampuan berbicara dan memberikan penjelasan sehingga perangkat mulia dan maknawi yang terdapat di dalamnya menyingkap banyak tingkatan yang membuatnya layak untuk mendapat pesan Penguasa Azali Yang Mahaagung. Dari sana manusia meraih posisi tinggi dan mulia.Dengan kata lain, goresan Rabbani yang terdapat dalam fitrah manusia telah membuka dan memekarkan bunga pesan ilahi.

    Kalau begitu, mungkinkah ada selain Dzat Yang Mahaesa yang terlibat dalam kreasi seluruh makhluk yang sangat rapi dan teratur itu di mana ia laksana sebuah kitab? Mungkinkah ada selain-Nya yang ikut terlibat dalam goresan yang terdapat pada fitrah manusia di mana ia membuatnya layak mendapat pesan ilahi? Tentu saja tidak ada.

    Bagian Kelima:

    Qudrah-Nya pada jagat raya memperlihatkan keagungan-Nya, rahmat-Nya pada manusia menata nikmat-Nya. Qudrah ilahi memperlihatkan keagungan rububiyah di alam besar ini. Sementara rahmat rabbani menata berbagai karunia dalam diri manusia; yang merupakan alam kecil (mikrokosmos).

    Dengan kata lain, dilihat dari sisi kebesaran dan keagungan, qudrah Sang Pencipta telah menghadirkan seluruh alam laksana sebuah istana megah. Dia menjadikan matahari yang terdapat di dalamnya sebagai lentera yang terang benderang, bulan sebagai lampu sedang, dan bintang sebagai lampu kecil. Dia menjadikan muka bumi sebagai hidangan makanan yang terhampar, sawah yang indah, dan kebun yang rimbun. Dia menjadikan gunung sebagai khazanah dan simpanan kekayaan-Nya, pasak peneguh, dan benteng yang kokoh. Begitulah Dia menjadikan segala sesuatu sebagai landasan dan penopang istana megah itu dengan skala yang lebih besar.

    Keagungan rububiyah-Nya memperlihatkan—sebagaimana dilihat dari sisi keindahan, rah- mat-Nya mencelup—berbagai jenis karunia yang Dia berikan kepada seluruh makhluk, bahkan kepada yang paling kecil. Dia menata dan memperindah entitas lewat berbagai karunia serta menghiasnya dengan kelembutan dan kemurahan seraya mendorong lisan kecil yang menuturkan keindahan rahmat ilahi untuk menyamai lisan agung yang menuturkan kebesaran keagungan-Nya.

    Dengan kata lain, ben- da-benda langit yang besar seperti matahari dan arasy, saat dengan lisan keagungan mengucap, “Yâ Jalîl (wahai Yang Maha Mulia), yâ Kabîr (wahai Yang Maha Besar), yâ Azhîm (wahai Maha Agung)..” maka lisan rahmat yang terdapat pada lalat, ikan, dan hewan kecil mengucap, “Yâ Jamîl (wahai Yang Maha Indah), Ya Rahîm (wahai Yang Maha Penyayang), Ya Karîm (wahai Yang Maha Pemurah)...” Dengan itu, ia membentuk alunan musik yang indah yang disertai dengan kenikmatan.

    Maka, mungkinkah ada selain Dzat Yang Mahaagung pemilik keindahan serta Dzat yang Mahaindah pemilik keagungan yang terlibat dalam penciptaan alam besar dan kecil di atas? Tentu saja tidak ada.

    Bagian Keenam:

    Keagungan-Nya pada jagat raya menjadi saksi bahwa Dia Esa, nikmat-Nya dalam diri manusia memperlihatkan bahwa Dia Tunggal.Keagungan rububiyah yang terlihat pada keseluruhan alam menegaskan dan menunjukkan wahdâniyah ilâhiyah, sebagaimana nikmat rabbaniyah yang menebarkan karunia yang tersebar, bahkan kepada seluruh bagian makhluk hidup, menegaskan dan menunjukkan ahadiyah ilâhiyah.

    Yang dimaksud dengan wâhidiyah adalah bahwa seluruh entitas merupakan milik Sang Pencipta Yang Mahaesa dan mengarah kepada Pencipta Yang Mahaesa. Seluruhnya adalah hasil kreasi Tuhan Yang Mahaesa.

    Sementara maksud dari ahadiyah adalah bahwa sebagian besar nama Tuhan Pencipta segala sesuatu termanifestasi pada segala sesuatu.

    Sebagai contoh: Sinar matahari yang meliputi seluruh permukaan bumi menjadi contoh wâhidiyah, sementara keberadaan sinar matahari, spektrum cahayanya, panasnya, serta bayangannya pada segala benda bening dan pada setiap tetes air menjadi contoh ahadiyah. Demikian pula, manifestasi sebagian besar nama Tuhan Pencipta segala sesuatu, terutama pada setiap makhluk hidup, lebih khusus lagi pada manusia, merupakan contoh ahadiyah.

    Begitulah, bagian keenam ini menunjukkan keagungan rububiyah yang mengendalikan semua urusan di alam di mana ia menjadikan matahari besar tersebut sebagai lentera terang dan pelayan bagi seluruh makhluk hidup di bumi; bola bumi yang besar sebagai pijakan, tempat menetap, dan tempat niaga makhluk; api sebagai juru masak dan teman yang siap untuk menunaikan pekerjaan di setiap tempat; awan sebagai penyaring udara dan pemberi air bagi makhluk; gunung sebagai gudang dan tempat penyimpanan; udara sebagai penyegar nafas dan jiwa; serta air sebagai penopang kehidupan dan laksana ibu yang penyayang bagi seluruh makhluk baru. Rububiyah ilâhiyah tersebut menjelaskan wahdaniyah ilâhiyah secara sangat jelas.

    Ya, siapakah yang dapat menjadikan matahari tunduk pada penduduk bumi selain Tuhan Sang Pencipta yang tunggal? Siapakah selain Dzat yang maha tunggal dan esa yang mampu mengendalikan udara, menugaskannya dengan beragam tugas dan menjadikannya sebagai pelayan dimuka bumi? Siapakah selain Sang Mahaesa yang mampu mempekerjakan api sebagai juru masak bagi makhluk dan menjadikannya dapat melahap sesuatu yang ukurannya ribuan kali lebih besar darinya? Begitulah, segala sesuatu, setiap elemen, dan setiap benda langit menunjukkan kebaradaan Sang Yang Mahaesa pemilik keagungan dilihat dari sisi rububiyah tersebut.

    Jika sifat wâhidiyah tampak dari sisi keagungan-Nya, nikmat dan karunia Tuhan memperlihatkan ahadiyah ilâhiyah dilihat dari sisi keindahan dan rahmat-Nya. Sebab, makhluk hidup, terutama manusia, dilihat dari sisi kreasi yang komprehensif dan rapi, memiliki berbagai perangkat dan organ yang memperkenalkan beragam karunia Tuhan yang tak terhingga. Dengan itulah manusia mendapat manifestasi seluruh nama Allah yang mulia sebagaimana ia terwujud pada seluruh alam. Manusia laksana titik pusat yang memperlihatkan semua nama Allah yang mulia secara sekaligus dalam cermin esensinya. Dengan itu, ia memperlihatkan ahadiyah ilâhiyah.

    Bagian Ketujuh:

    سِكَّتُهُ فٖى ذَاكَ فِى ال۟كُلِّ وَال۟اَج۟زَاءِ ٠ خَاتَمُهُ فٖى هٰذَا فِى ال۟جِس۟مِ وَال۟اَع۟ضَاءِ

    Jejak-Nya dalam jagat raya pada keseluruhan dan semua bagian, stempel-Nya dalam diri manusia pada fisik dan semua organ.Artinya, sebagaimana Pencipta Yang Mahaagung memiliki jejak dan tanda yang sangat nyata pada seluruh alam, Dia juga meletakkan tanda wahdâniyah pada setiap bagian alam dan setiap spesiesnya. Sebagaimana Dia memberi stempel wahdâniyah pada wajah manusia yang merupakan alam kecil dan pada tubuhnya, Dia juga memberi stempel yang sama pada setiap anggota tubuhnya.

    Ya, Sang Yang Mahakuasa pemilik keagungan memberi tanda tauhid yang jelas pada segala sesuatu; pada keseluruhan dan pada setiap bagian. Karena itu, bintang dan atom menjadi saksi atas-Nya. Dia memberi stempel wahdâniyah pada segala sesuatu untuk menjadi petunjuk atas-Nya. Karena hakikat yang agung ini telah ditegaskan pada “Kalimat Kedua Puluh Dua”, “Kalimat Ketiga Puluh Dua”, dan “Surat Ketiga Puluh Tiga”, maka pembahasannya bisa dilihat pada semua “kalimat” tersebut. Untuk itu, kami cukupkan sampai di sini.

    Klausa Kelima:

    لَهُ ال۟حَم۟دُ

    Artinya, kesempurnaan yang merupakan penyebab datangnya pujian dan sanjungan pada seluruh makhluk, khusus milik Allah. Karena itu, pujian tersebut juga hanya untuk-Nya. Semua pujian dan sanjungan yang telah dan akan ada, dari azali hingga abadi, dari siapa ia keluar dan kepada siapa diberikan, semua itu adalah milik Allah semata. Pasalnya, kesempurnaan dan keindahan, nikmat dan karunia yang menjadi sebab datangnya pujian dan sanjungan, serta apa saja yang menjadi orbit pujian, semuanya milik Allah semata.

    Ya, ubudiyah, sujud, doa, pujian, dan sanjungan makhluk terus-menerus naik kepada-Nya menuju hadirat-Nya yang suci. Hal ini sebagaimana yang dipahami dari sejumlah isyarat Al-Qur’an.(*[4])Kami akan menunjukkan sebuah hujjah yang menegaskan hakikat tauhid tersebut:

    Ketika melihat alam, kita menyaksikannya laksana sebuah kebun besar. Atapnya dihiasi bintang-gemintang. Tanahnya dihiasi berbagai entitas yang indah. Sejumlah benda langit yang bersinar dan rapi serta entitas bumi yang penuh hikmah dan indah dalam kebun besar tersebut, semuanya menegaskan lewat lisan masing-masing: “Kami adalah mukjizat qudrah Sang Mahakuasa Yang Mahaa- gung. Kami bersaksi atas keesaan Sang Pencipta Yang Mahabijak dan Pencipta Yang Mahakuasa.”

    Dalam taman alam ini, kita melihat bumi seperti kebun yang berisi ratusan ribu kelompok tumbuhan berwarna-warni dan bentuk yang indah, serta berisi ratusan ribu kelompok hewan yang beranekaragam. Bentuknya yang rapi dan modelnya yang terukur menegaskan:

    “Kami merupakan mukjizat dan kreasi luar biasa Sang Pencipta Yang Mahaesa lagi Mahabijak, serta petunjuk dan saksi atas keesaan- Nya.”

    Kita juga melihat puncak pohon yang terdapat dalam kebun besar tersebut. Kita melihat betapa buah dan bunganya tercipta sebagai hasil dari puncak pengetahuan dan hikmah, serta merupakan puncak kemurahan, kelembutan, dan keindahan. Dengan bentuk dan warnanya yang beragam, seluruh buah dan bunga indah itu menegaskan lewat lisan yang sama:“Kami mukjizat persembahan Tuhan Maha Pengasih pemilik keindahan, serta karunia luar biasa dari Tuhan Maha Penyayang pemilik kesempurnaan.”

    Berbagai benda langit dan entitas yang terdapat di kebun alam, tumbuhan dan hewan yang terdapat di taman bumi, bunga dan buah yang terdapat di atas pohon, semuanya menjadi saksi bahkan dengan suara nyaring menegaskan:

    “Pencipta dan Pembentuk kami—yang telah mempersembah- kan kami kepada kalian—Yang Mahakuasa dan Mahaindah, Mahabijak dan Pemurah, Mahakuasa atas segala sesuatu, tidak ada sesuatu pun yang berat bagi-Nya, serta tidak ada sesuatu yang berada di luar wilayah kekuasaan-Nya. Bintang dan atom sama saja bagi kekuasaan-Nya. Sesuatu yang bersifat universal sangat mudah baginya sama seperti yang bersifat parsial. Yang parsial dan kecil sangat berharga sama seperti keseluruhan. Yang paling besar mudah baginya sama seperti yang paling kecil. Yang kecil tercipta dengan rapi sama seperti yang besar. Bisa jadi yang kecil lebih cermat dan rapi daripada yang besar.

    Seluruh kejadian masa lalu yang merupakan bentuk kea- jaiban qudrah-Nya menjadi saksi bahwa Sang Mahakuasa mutlak itu mampu mencipta berbagai hal menakjubkan lainnya yang akan terjadi di masa mendatang. Sebagaimana Dzat yang menciptakan hari kemarin mampu mendatangkan hari esok, maka Sang Mahakuasa yang menciptakan masa lalu itu juga mampu menghadirkan masa depan. Sang Pencipta Mahabijak yang telah menciptakan dunia tersebut mampu untuk menghadirkan akhirat. Ya, sebagaimana Sang Mahakuasa Yang Mahaagung adalah Tuhan sembahan hakiki, Dzat yang layak dipuji juga hanya Dia semata. Sebagaimana ibadah hanya milik-Nya, pujian dan sanjungan juga hanya layak disandang oleh-Nya.

    Maka, mungkinkah Sang Pencipta Mahabijak yang telah menciptakan langit dan bumi membiarkan manusia sia-sia, padahal Dia yang telah menciptakannya sebagai hasil terbesar dari langit dan bumi serta buah alam yang paling sempurna? Tentu saja tidak mungkin.

    Logiskah Sang Mahabijak Yang Maha Mengetahui yang telah memelihara pohon serta menata urusannya dengan penuh perhatian sekaligus membesarkannya dengan penuh hikmah akan mengabaikan buah dari pohon tersebut yang merupakan buah dan manfaatnya sehingga berserakan dan dibiarkan diambil para pencuri sehingga sia-sia? Tentu saja tidak adanya perhatian semacam itu mustahil terjadi. Sebab, perhatian terhadap pohon adalah demi buahnya.

    Demikianlah, buah alam paling sempurna serta tujuan dan hasilnya yang memiliki perasaan adalah manusia. Lalu mungkinkah Sang Pencipta alam Yang Mahabijak mempersembahkan pujian, ibadah, syukur, dan cinta yang merupakan inti buah yang memiliki perasaan dan kesadaran kepada selain-Nya? Mungkinkah Dia menyianyiakan hikmah-Nya yang cemerlang dan menjatuhkannya pada tingkat ketiadaan? Atau, Dia membalik qudrah-Nya yang mutlak kepada ketidakberdayaan serta mengubah pengetahuan-Nya yang komprehensif menjadi kebodohan? Tentu saja tidak mungkin.

    Mungkinkah syukur dan ibadah yang dipersembahkan oleh makhluk yang memiliki kesadaran—di mana mereka merupakan orbit tujuan ilahi dalam membangun istana alam, terutama manu- sia yang merupakan makhluk terbaik—sebagai balasan atas nikmat yang mereka peroleh sampai kepada selain Pembuat istana tersebut?

    Mungkinkah Sang Pencipta Yang Mahaagung membiarkan syukur dan ibadah yang merupakan puncak tujuan dipersembahkan kepada selain-Nya?Mungkinkah Dzat yang membuat diri-Nya dicintai makhluk lewat beragam nikmat yang jumlahnya tak terhingga serta memperkenalkan diri kepada mereka lewat mukjizat kreasi-Nya yang tak terkira membiarkan syukur, ibadah, pujian, cinta, makrifat, dan rida mereka diberikan kepada sebab dan alam, lalu Dia tidak peduli dengannya sehingga mendorong mereka untuk mengingkari hikmah-Nya yang mutlak serta merendahkan kekuasaan rububiyah-Nya hingga ke tingkat tiada? Tentu saja hal itu sangat tidak mungkin.

    Mungkinkah makhluk yang tak mampu mencipta musim semi, menghadirkan buah, dan mencipta buah apel—yang memiliki tanda yang samadi seluruh bumi menjadi sekutu dalam pujian bersama Dzat Yang layak mendapat pujian secara mutlak dengan mencipta satu buah apel kemudian mempersembahkan kepada salah seorang dari mereka, lalu mendapatkan pujian darinya? Tentu saja tidak mungkin. Sebab, Dzat yang menciptakan satu buah apel juga merupakan Pencipta buah apel yang terdapat di seluruh alam. Pasalnya, tanda dan stempelnya sama. Kemudian, Dzat yang menciptakan seluruh apel di dunia adalah Dzat yang menghadirkan benih dan buah yang merupakan sumber rezeki.

    Artinya, Dzat yang memberikan nikmat terkecil pada makhluk hidup yang paling kecil adalah Pencipta alam di mana Dialah satu-satunya Pemberi rezeki Yang Mahaagung. Jadi, pujian dan syukur hanya layak disandang oleh-Nya. Hakikat alam selalu bertutur lewat lisan kebenaran:

    “Segala puji dari setiap orang adalah milik-Nya, mulai dari zaman azali hingga abadi.”

    Klausa Keenam:

    يُح۟يٖى

    Artinya, Dia yang menganugerahkan kehidupan. Jadi, hanya Dia Pencipta segala sesuatu. Sebab, kehidupan merupakan ruh, cahaya, hasil dan intisari alam. Siapa yang menganugerahkan dan memberikan kehidupan berarti Dia Pencipta seluruh alam. Dialah Maha menghidupkan, Mahahidup, dan Maha Berdiri sendiri.

    Kami ingin menunjukkan argumen kuat tentang tingkatan tauhid ini dengan uraian sebagai berikut: Kita menyaksikan sejumlah kemah yang tegak di atas bumi di mana ia merupakan tempat bagi pasukan makhluk hidup yang jumlahnya sangat besar. Kita juga menyaksikan sebuah pasukan baru dari banyak pasukan Tuhan Mahahidup yang jumlahnya tak terhingga. Mereka datang dari alam gaib dengan sejumlah perlengkapan dan perangkatnya pada setiap musim semi.Ketika mencermati pasukan besar tersebut, kita melihat kelompok tumbuhan mencapai dua ratus ribu spesies. Sementara kelompok hewan sekitar seratus ribu spesies yang berbeda. Setiap jenis dan setiap kelompok mengenakan pakaian khusus. Mereka juga memiliki makanan tertentu, latihan tertentu, dilengkapi dengan senjata dan perangkat yang sesuai, serta jangka waktu pengabdian yang khusus. Namun meski berbeda-beda, lewat qudrah-Nya yang mutlak, hikmah-Nya yang tak terbatas, pengetahuan-Nya yang tak terhingga, kehendaknya yang tak bertepi, rahmatnya yang luas serta simpanan kekayaannya yang tak pernah habis, pemimpin besar mereka tidak melupakan seorang prajurit pun. Ia tidak pernah merasa bingung dengan urusan mereka serta tidak pernah menangguhkan apa yang menjadi kebutuhan mereka. Namun setiap kelompok dan setiap jenis yang jumlahnya lebih dari 300 ribu diberi rezeki, pakaian, dan senjata yang berbeda-beda. Mereka diberi latihan khusus serta dibebastugaskan pada waktu yang berbeda. Semuanya berjalan dengan rapi, terukur, dan pada waktu yang tepat. Hal itu bisa dilihat oleh setiap orang yang mempunyai mata yang melihat dan diketahui oleh setiap pemilik hati yang hidup dengan ainul yaqin, sebagaimana telah kami sebutkan dalam “kalimat” lain.

    Kalau demikian, apakah mungkin ada yang ikut serta dalam menghidupkan dan berkehendak, serta mendidik dan menyuplai rezeki selain Pemilik pengetahuan yang meliputi seluruh kondisi pasukan, serta Pemilik kekuasaan yang menata urusannya dengan seluruh kebutuhannya? Tentu saja tidak mungkin.

    Sebab, seperti diketahui, apabila dalam sebuah pasukan terdapat sepuluh jenis prajurit, maka proses melengkapi setiap prajurit dengan beragam perlengkapan sepuluh kali lebih sulit daripada melengkapi semua pasukan dengan perlengkapan yang sama. Dari sini manusia yang lemah tersebut melengkapi mereka dengan pakaian dan perlengkapan yang sama, sementara Sang Mahahidup dan Berdiri Sendiri melengkapi pasukan besar itu yang jumlah spesiesnya lebih dari 300 ribu jenis dengan sejumlah perlengkapan hidup yang kesatuannya berbeda-beda. Semua itu terwujud dengan sangat mudah, tanpa merasa penat, dengan sangat rapi, dan penuh hikmah. Sehingga setiap individu dari pasukan di atas digiring untuk bertutur dengan lisanul hal (keadaan), “Dialah Yang menghidupkan.” Bahkan, ia menjadikan jamaah besar itu di masjid alam yang besar ini mengucap:“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. al-Baqarah [2]: 255).

    Klausa Ketujuh:

    وَ يُمٖيتُ

    Artinya, Dia yang mendatangkan kematian. Yakni, sebagaimana Dia menganugerahkan kehidupan, Dia juga yang akan mereng- gutnya sekaligus memberikan kematian. Ya, kematian bukan penghancuran dan kepadaman sehingga dinisbatkan kepada sebab dan disandarkan kepada alam. Tetapi, meski kelihatannya sebuah kehancuran dan kepadaman, namun sebenarnya ia merupakan awal dan permulaan dari kehidupan abadi manusia serta perlambang dari kehidupan tersebut. Sebagaimana benih ditanam di bawah tanah dan secara lahir tampak mati, namun secara batin ia menjalani kehidupan benih yang parsial menuju kehidupan bulir yang universal.Karena itu, Sang Mahakuasa mutlak yang menganugerahkan dan mengendalikan kehidupan, sudah pasti juga Dzat yang menciptakan kematian.

    Kami ingin memberikan penjelasan tentang tingkatan tauhid agung yang dikandung oleh klausa di atas:

    Dalam “jendela kedua puluh empat” dari “Surat Ketiga Puluh Tiga” kami telah menjelaskan bahwa seluruh entitas berjalan sesuai dengan kehendak ilahi. Seluruh alam berlalu sesuai perintah-Nya. Seluruh makhluk mengalir secara terus-menerus di sungai zaman dengan izin Allah. Ia dikirim dari alam gaib dan diberi wujud lahiri di alam nyata. Kemudian secara rapi ia diturunkan ke alam gaib. Ia terus-menerus datang dari masa depan lewat perintah ilahi, berjalan menyusuri kondisi saat ini dan hidup di dalamnya, kemudian di- tuang ke masa lalu.

    Aliran makhluk dalam wilayah rahmat dan karunia-Nya terwujud dengan penuh hikmah. Perjalanannya dalam lingkup hikmah dan keteraturan terwujud dalam puncak pengetahuan. Berlalunya ia dalam wilayah kasih sayang dan neraca-Nya terwujud dalam bingkai rahmat yang luas. Demikianlah makhluk berjalan sejak awal hingga akhir disertai dengan berbagai hikmah, maslahat, hasil, dan tujuan agung.

    Artinya, Sang Mahakuasa Yang Mahaagung dan Sang Mahabijak Yang Mahasempurna memberikan kehidupan secara terus-menerus lewat qudrah-Nya yang mutlak serta menugaskan berbagai jenis entitas berikut seluruh bagian-bagiannya, serta alam yang terbentuk pada berbagai jenis tersebut. Kemudian Dia mengistirahatkannya dengan hikmah seraya memperlihatkan kematian padanya. Lalu mengirimnya ke alam gaib. Dengan kata lain, Dia memindahkannya dari wilayah qudrah (kekuasaan) ke wilayah ilmu (pengetahuan).

    Siapa yang tidak mampu menata jagat raya, serta kekuasaannya tidak berlaku pada seluruh zaman, qudrah-nya tidak bisa mendatangkan kematian dan kehidupan kepada seluruh alam—sebagaimana yang diberikan kepada satu individu—serta tidak dapat menjadikan musim semi seperti sebuah bunga yang diberi kehidupan, ditempatkan di atas bumi, lalu dipetik lewat kematian. Nah, yang tidak mampu melakukan semua itu tidak akan mungkin bisa mematikan dan menghidupkan. Artinya, kematian makhluk hidup— betapapun kecilnya—harus seperti kehidupannya. Yakni, semua harus terwujud lewat hukum Tuhan Yang Mahaagung. Dia yang meng- genggam seluruh hakikat kehidupan dan seluruh jenis kematian. Dia menjalankan semua dengan izin, kekuatan, dan pengetahuan-Nya.

    Klausa Kedelapan:

    وَ هُوَ حَىٌّ لَا يَمُوتُ

    Yakni, kehidupan-Nya bersifat permanen, azali, dan abadi; tidak mengalami kematian, kefanaan, dan ketiadaan. Sebab, kehidupan itu sendiri adalah sifat yang menyatu dengan Dzat-Nya (dzati). Sementara yang bersifat dzati itu tidak akan mungkin lenyap.

    Ya, Dzat yang bersifat azali tentu abadi, yang tak bermula pasti tak berakhir, dan yang wujudnya bersifat wajib pasti kekal selamanya.

    Ya, kehidupan; yang seluruh wujud berikut cahayanya merupakan bayangan dari bayangan kehidupan-Nya, bagaimana mungkin akan tiada.

    Ya, kehidupan; yang semua wujud menjadi tanda darinya, tidak akan pernah fana dan tiada.

    Ya, kehidupan; yang lewat manifestasinya semua jenis kehidupan menjadi tampak secara terus-menerus di mana ia menjadi sandaran semua hakikat entitas, sudah pasti tidak akan pernah fana dan lenyap.

    Ya, kehidupan; yang kilau manifestasi darinya melahirkan kesatuan bagi segala sesuatu yang banyak yang bisa fana, yang menjadikannya kekal, yang menyelematkannya dari keterserakan, yang menjaga wujudnya, serta menjadikannya sebagai bentuk keabadian, tentu saja kefanaan tidak akan pernah mendekati kehidupan yang bersifat wajib ini di mana seluruh kilau kehidupan terhitung sebagai manifestasi wujud-Nya.

    Bukti kuat atas hakikat di atas adalah lenyap dan fananya entitas. Yakni, sebagaimana entitas lewat beragam wujud dan jenis kehidupannya menjadi petunjuk dan saksi atas kehidupan Tuhan Yang Mahahidup yang tidak pernah mati, serta atas wujud kehidupan tersebut,(*[5])ia juga menjadi petunjuk dan saksi, lewat beragam bentuk kematian dan jenisnya, atas abadinya kehidupan Tuhan. Pasalnya, setelah entitas lenyap maka yang semisal dengannya datang untuk mendapatkan kehidupan yang sama sekaligus menggantikan posisinya. Ini menunjukkan bahwa Tuhan Yang Mahahidup secara permanen ada. Dia yang memperbaharui manifestasi kehidupan secara terusmenerus.

    Sebagaimana buih yang berada di permukaan sungai dan menghadap matahari tampak berkilau lalu menghilang digantikan oleh buih yang lain. Demikianlah seterusnya yang terjadi pada kelompok entitas. Masing-masing berkilau lalu padam dan kembali pada kondisi semula. Kondisi berkilau dan padam yang terjadi secara bergiliran tersebut menunjukkan keberadaan matahari yang permanen dan tinggi. Demikian pula pergiliran hidup dan mati yang berlangsung secara bergantian di antara entitas menunjukkan keabadian Dzat Yang Mahahidup.

    Ya, entitas laksana cermin. Akan tetapi, sebagaimana gelap menjadi cermin bagi cahaya di mana semakin gelap maka cahaya tadi semakin terang, maka dilihat dari kebalikannya dan dari banyak sisi, entitas juga berposisi sebagai cermin.Misalnya: entitas menunaikan tugas cermin dengan memperlihatkan qudrah Sang Pencipta lewat kelemahan yang terdapat pada dirinya, menjelaskan kekayaan Tuhan lewat kefakirannya, serta ia menunjukkan keabadian-Nya lewat kondisi fana yang dialaminya.Ya, kondisi kefakiran yang terdapat dipermukaan bumi serta pepohonan yang berada di atasnya di musim dingin, lalu pergantian kondisi tersebut dengan kekayaan musim semi yang cemerlang, menunjukkan keberadaan Dzat Mahakuasa yang kekuasaan-Nya bersifat mutlak, keberadaan Dzat Mahakaya yang kekayaannya tak terhingga, serta bahwa entitas merupakan cermin bening yang memperlihatkan qudrah dan rahmat-Nya.

    Ya, seolah-olah dengan lisânul hal seluruh entitas berkata dan bermunajat kepada Tuhan dengan munajat Uwais al-Qarani sebagai berikut:

    Ya Ilahi... Engkau Tuhan kami. Sementara Kami adalah hamba-Mu yang tak berdaya mendidik diri sendiri. Engkaulah yang mendidik kami.

    Engkau Pencipta, sementara kami adalah makhluk dan ciptaan.

    Engkau Pemberi rezeki, sementara kami yang membutuhkan rezeki.Tangan kami terbatas.

    Engkaulah yang mencipta dan memberi rezeki kepada kami. Engkau Penguasa, sementara kami adalah budak. Yang mengendalikan urusan kami bukan kami.

    Engkaulah penguasa kami. Engkau Mahamulia dan Mahaagung, sementara kami adalah makhluk yang hina. Akan tetapi, pada kami terdapat manifestasi kemuliaan. Kami adalah cermin kemuliaan-Mu.

    Engkau Mahakaya mutlak, sementara kami adalah makhluk yang fakir. Kepada tangan kami yang fakir diserahkan kekayaan yang berada di luar kuasa kami. Engkau Mahakaya dan Maha Pemberi.

    Engkau Mahahidup dan Maha Abadi, sementara kami adalah makhluk yang akan mati. Kami lihat manifestasi kehidupan yang abadi dalam mati dan hidup kami.

    Engkau Mahakekal, sementara kami adalah makhluk yang fana.Kami melihat kekekalan dan keabadaian-Mu dalam kefanaan dan kepergian kami.

    Engkau Maha Mengabulkan dan Maha Memberi, sementara kami, seluruh makhluk, meminta dengan lisan ucapan dan kondisi kami.Kami meratap, bersimpuh, dan memohon pertolongan. Engkau kabulkan pinta kami. Kau penuhi keinginan kami. Kau wujudkan harapan kami. Engkaulah Yang Maha Mengabulkan wahai ilahi.

    Demikianlah, seluruh entitas, baik secara parsial maupun universal, bermunajat kepada Tuhan seperti Uwais al-Qarani dengan munajat maknawi. Masing-masing menunaikan tugas cermin. Lewat kelemahan, kefakiran, dan ketidakberdayaannya, setiap entitas memproklamirkan qudrah dan kesempurnaan Allah.

    Klausa Kesembilan:

    بِيَدِهِ ال۟خَي۟رُ

    Artinya, seluruh kebaikan berada di tangan-Nya; seluruh amal kebajikan berada dalam lembaran catatan-Nya; dan seluruh karunia berada dalam simpanan kekayaan-Nya. Karena itu, siapa yang menginginkan kebaikan, hendaknya meminta kepada-Nya. Siapa yang mengharap karunia, hendaknya bersimpuh di hadapan-Nya.

    Kami akan menunjukkan sejumlah dalil yang sangat luas dan kilau dari petunjuk ilmu ilahi yang tak terhingga untuk memperlihatkan hakikat “klausa” di atas dengan jelas. Yaitu sebagai berikut:

    Sang Pencipta yang Maha menghadirkan dan yang dengan perbuatan lahiriah-Nya mengendalikan alam ini, memiliki ilmu yang meliputi segala hal. Ilmu tersebut khusus dimiliki oleh-Nya semata; tanpa pernah terlepas dari-Nya. Sebab, sebagaimana keberadaan matahari tidak mungkin tanpa cahaya, demikian pula Sang Pencipta Mahaagung yang menghadirkan makhluk dengan sangat rapi jauh lebih tidak mungkin ilmu-Nya terlepas dari-Nya. Ilmu yang meliputi segala hal itu sangat penting dan fundamen- tal bagi-Nya. Ia juga fundamental bagi segala sesuatu dilihat dari sisi keterkaitan. Maksudnya, tidak mungkin ada yang tersembunyi dariNya dalam kondisi apapun. Sebab, sebagaimana segala sesuatu yang terhampar di muka bumi tidak mungkin tak melihat matahari yang berada di hadapan mereka tanpa hijab, maka jauh lebih tidak mungkin lagi segala sesuatu terhijab dari pengetahuan Dzat Yang Maha Mengetahui dan Mahaagung. Hal itu karena kondisinya yang tampak. Artinya, segala sesuatu berada dalam jangkauan penglihatan dan penyaksian-Nya, serta pengetahuan-Nya menembus segala sesuatu.Apabila sinar matahari yang tak bernyawa itu, cahaya manusia yang lemah ini, cahaya sinar Rontgen (sinar X) yang tak memiliki perasaan, dan sinar sejenis lainnya yang bersifat baru, terbatas, dan fana, dapat menyaksikan dan menembus segala sesuatu yang berada di hadapannya, apalagi dengan cahaya pengetahuan azali yang bersifat wajib, komprehensif, dan berdiri sendiri.Jadi, tidak mungkin ada yang tersembunyi dari-Nya dan tidak ada yang berada di luar pengetahuan-Nya.

    Di alam terdapat tanda dan petunjuk yang terhampar yang jumlahnya tak terhingga. Semuanya menunjukkan hakikat ini. Di antaranya sebagai berikut:

    Seluruh hikmah yang terdapat pada makhluk menunjukkan adanya pengetahuan Tuhan yang komprehensif tersebut. Pasalnya, pelaksanaan amal dengan hikmah hanya bisa terwujud dengan adanya pengetahuan.

    Begitu pula dengan perhatian dan penghiasan pada makhluk. Ia juga menunjukkan adanya pengetahuan Tuhan yang komprehensif. Pasalnya, Dzat yang bekerja dengan halus dan penuh perhatian pasti mengetahui. Ia bekerja berdasarkan pengetahuan.

    Juga, semua entitas yang tertata dan terukur dengan ukuran yang teliti, serta setiap bentuk yang terukur dan telah ditentukan kadarnya. Semua itu menunjukkan adanya pengetahuan Tuhan yang komprehensif. Sebab, pelaksanaan amal dengan rapi hanya bisa terwujud dengan pengetahuan.

    Hem bütün mevcudatta görünen muntazam miktarlar, hikmet ve maslahata göre biçilmiş şekiller, bir kazanın düsturuyla ve kaderin pergârıyla tanzim edilmiş gibi meyvedar vaziyetler ve heyetler, bir ilm-i muhiti gösteriyor. Evet, eşyaya ayrı ayrı muntazam suretler vermek, her şeyin mesalih-i hayatiyesine ve vücuduna lâyık mahsus bir şekil vermek, bir ilm-i muhit ile olur, başka surette olamaz.

    Hem bütün zîhayata, her birisine lâyık bir tarzda, münasip vakitte, ummadığı yerde rızıklarını vermek; bir ilm-i muhit ile olur. Çünkü rızkı gönderen; rızka muhtaç olanları bilecek, tanıyacak, vaktini bilecek, ihtiyacını idrak edecek, sonra rızkını lâyık bir tarzda verebilir.

    Hem umum zîhayatın, ibham unvanı altında bir kanun-u taayyüne bağlı olan ecelleri, ölümleri bir ilm-i muhiti gösteriyor. Çünkü her taifenin, gerçi fertlerin zâhiren muayyen bir vakt-i eceli görünmüyor fakat o taifenin iki had ortasında mahdud bir zamanda ecelleri muayyendir. O ecel hengâmında, o şeyin arkasında vazifesini idame edecek olan neticesinin, meyvesinin, çekirdeğinin muhafazası ve bir taze hayata inkılab ettirmesi; yine o ilm-i muhiti gösteriyor.

    Hem bütün mevcudata şâmil, her bir mevcuda lâyık bir surette rahmetin taltifatı; bir rahmet-i vâsia içinde bir ilm-i muhiti gösteriyor. Çünkü mesela, zîhayatın etfallerini süt ile iaşe eden ve zeminin suya muhtaç nebatatına yağmur ile yardım eden; elbette etfali tanır, ihtiyaçlarını bilir ve o nebatatı görür ve yağmurun onlara lüzumunu derk eder, sonra gönderir ve hâkeza… Bütün hikmetli, inayetli rahmetinin hadsiz cilveleri; bir ilm-i muhiti gösteriyor.

    Hem bütün eşyanın sanatındaki ihtimamat ve sanatkârane tasvirat ve mahirane tezyinat, bir ilm-i muhiti gösteriyor. Çünkü binler vaziyet-i muhtemele içinde, muntazam ve müzeyyen, sanatlı ve hikmetli bir vaziyeti intihab etmek, derin bir ilim ile olur. Bütün eşyadaki şu tarz-ı intihabat, bir ilm-i muhiti gösteriyor.

    Hem icad ve ibda-ı eşyada kemal-i suhulet, bir ilm-i ekmele delâlet eder. Çünkü bir işte kolaylık ve bir vaziyette suhulet, derece-i ilim ve maharetle mütenasiptir. Ne kadar ziyade bilse o derece kolay yapar.

    İşte şu sırra binaen her biri birer mu’cize-i sanat olan mevcudata bakıyoruz ki hayret-nüma bir derecede suhuletle, kolaylıkla, külfetsiz, dağdağasız, kısa bir zamanda fakat mu’ciz-nüma bir surette icad edilir. Demek, hadsiz bir ilim vardır ki hadsiz suhuletle yapılır ve hâkeza…

    Mezkûr emareler gibi binler alâmet-i sadıka var ki şu kâinatta tasarruf eden zatın muhit bir ilmi vardır. Ve her şeyi bütün şuunatıyla bilir, sonra yapar.

    Madem şu kâinat sahibinin böyle bir ilmi vardır; elbette insanları ve insanların amellerini görür ve insanlar neye lâyık ve müstahak olduklarını bilir, hikmet ve rahmetin muktezasına göre onlarla muamele eder ve edecek.

    Ey insan! Aklını başına al, dikkat et! Nasıl bir zat seni bilir ve bakar, bil ve ayıl!..

    Eğer denilse: Yalnız ilim kâfi değildir, irade dahi lâzımdır. İrade olmazsa ilim kâfi gelmez?

    Elcevap: Bütün mevcudat nasıl ki bir ilm-i muhite delâlet ve şehadet eder. Öyle de o ilm-i muhit sahibinin irade-i külliyesine dahi delâlet eder. Şöyle ki:

    Her bir şeye, hususan her bir zîhayata pek çok müşevveş ihtimalat içinde, muayyen bir ihtimal ile ve pek çok akîm yollar içinde neticeli bir yol ile ve pek çok imkânat içinde mütereddid iken gayet muntazam bir teşahhus verilmesi; hadsiz cihetlerle bir irade-i külliyeyi gösteriyor.

    Çünkü her şeyin vücudunu ihata eden hadsiz imkânat ve ihtimalat içinde ve semeresiz akîm yollarda ve karışık ve yeknesak sel gibi mizansız akan camid unsurlardan gayet hassas bir ölçü ile nazik bir tartı ile ve gayet ince bir intizam ile nâzenin bir nizam ile verilen mevzun şekil ve muntazam teşahhus; bizzarure ve bilbedahe belki bilmüşahede, bir irade-i külliyenin eseri olduğunu gösterir.

    Çünkü hadsiz vaziyetler içinde bir vaziyeti intihab etmek; bir tahsis, bir tercih, bir kasd ve bir irade ile olur ve amd ve arzu ile tahsis edilir. Elbette tahsis, bir muhassısı iktiza eder. Tercih, bir müreccihi ister. Muhassıs ve müreccih ise iradedir.

    Mesela, insan gibi yüzler muhtelif cihazat ve âlâtın makinesi hükmünde olan bir vücudun, bir katre sudan ve yüzer muhtelif azası bulunan bir kuşun, basit bir yumurtadan ve yüzer muhtelif kısımlara ayrılan bir ağacın, basit bir çekirdekten icadları; kudret ve ilme şehadet ettikleri gibi gayet kat’î ve zarurî bir tarzda onların Sâni’inde bir irade-i külliyeye delâlet ederler ki o irade ile o şeyin her şeyini tahsis eder ve o irade ile her cüzüne, her uzvuna, her kısmına ayrı, has bir şekil verir, bir vaziyet giydirir.

    Elhasıl: Nasıl ki eşyada, mesela hayvanattaki ehemmiyetli azanın esasat ve netaic itibarıyla birbirlerine benzeyişleri ve tevafukları ve bir tek sikke-i vahdet izhar etmeleri, nasıl kat’î olarak delâlet ediyor ki umum hayvanatın Sâni’i birdir, Vâhid’dir, Ehad’dir. Öyle de o hayvanatın ayrı ayrı teşahhusları ve simalarındaki başka başka hikmetli taayyün ve temeyyüzleri delâlet eder ki onların Sâni’-i Vâhid’i fâil-i muhtardır ve iradelidir; istediğini yapar, istemediğini yapmaz; kasd ve irade ile işler.

    Madem ilm-i İlahîye ve irade-i Rabbaniyeye mevcudat adedince, belki mevcudatın şuunatı adedince delâlet ve şehadet vardır. Elbette bir kısım feylesofların irade-i İlahiyeyi nefiy ve bir kısım ehl-i bid’atın kaderi inkâr ve bir kısım ehl-i dalaletin, cüz’iyata adem-i ıttılaını iddia etmeleri ve tabiiyyunun, bir kısım mevcudatı tabiat ve esbaba isnad etmeleri; mevcudat adedince muzaaf bir yalancılıktır ve mevcudatın şuunatı adedince muzaaf bir dalalet divaneliğidir. Çünkü hadsiz şehadet-i sadıkayı tekzip eden, hadsiz bir yalancılık işlemiş olur.

    İşte, meşiet-i İlahiye ile vücuda gelen işlerde “İnşâallah inşâallah” yerinde, bilerek “Tabiî tabiî” demek, ne kadar hata ve muhalif-i hakikat olduğunu kıyas et…

    ONUNCU KELİME

    وَ هُوَ عَلٰى كُلِّ شَى۟ءٍ قَدٖيرٌ

    Yani hiçbir şey ona ağır gelemez. Daire-i imkânda ne kadar eşya var, o eşyaya gayet kolay vücud giydirebilir. Ve o derece ona kolay ve rahattır ki:

    اِنَّمَٓا اَم۟رُهُٓ اِذَٓا اَرَادَ شَي۟ئًا … الخ sırrıyla, güya yalnız emreder, yapılır.

    Nasıl ki gayet mahir bir sanatkâr; ziyade kolay bir tarzda, elini işe dokundurur dokundurmaz, makine gibi işler. Ve o sürat ve mahareti ifade için denilir ki o iş ve sanat, ona o kadar musahhardır ki güya emriyle, dokunmasıyla işler oluyor; sanatlar vücuda geliyor.

    Öyle de Kadîr-i Zülcelal’in kudretine karşı eşyanın nihayet derecede musahhariyet ve itaatine ve o kudretin nihayet derecede külfetsiz ve suhuletle iş gördüğüne işareten اِنَّمَٓا اَم۟رُهُٓ اِذَٓا اَرَادَ شَي۟ئًا اَن۟ يَقُولَ لَهُ كُن۟ فَيَكُونُ ferman eder. Şu hakikat-i uzmanın hadsiz esrarından beş sırrını beş nüktede beyan edeceğiz:

    Birincisi

    Kudret-i İlahiyeye nisbeten en büyük şey, en küçük şey kadar kolaydır. Bir nev’in umum efradıyla icadı, bir fert kadar külfetsiz ve rahattır. Cenneti halk etmek, bir bahar kadar kolaydır. Bir baharı icad etmek, bir çiçek kadar rahattır.

    Şu sırrı izah ve ispat eden haşre dair Onuncu Söz’ün âhirinde hem melâike ve beka-i ruh ve haşre dair Yirmi Dokuzuncu Söz’de haşir meselesinde, İkinci Esas’ın beyanında zikredilen “nuraniyet sırrı”, “şeffafiyet sırrı”, “mukabele sırrı”, “muvazene sırrı”, “intizam sırrı”, “itaat sırrı” altı temsil ile ispat edilerek gösterilmiştir ki kudret-i İlahiyeye nisbeten yıldızlar, zerreler gibi kolaydır; hadsiz efrad bir fert kadar külfetsiz ve rahatça icad edilir. Madem o iki Söz’de bu altı sır ispat edilmiş, onlara havale ederek burada kısa keseriz.

    İkincisi

    Kudret-i İlahiyeye nisbeten her şey müsavi olduğuna delil-i kātı’ ve bürhan-ı sâtı’ şudur ki:

    Hayvanat ve nebatatın icadında, gözümüzle görüyoruz, hadsiz bir sehavet ve kesret içinde nihayet derecede bir itkan, bir hüsn-ü sanat bulunuyor.

    Hem nihayet derecede karışıklık ve ihtilat içinde, nihayet derecede bir imtiyaz ve tefrik görünüyor.

    Hem nihayet derecede mebzuliyet ve vüs’at içinde, nihayet derecede sanatça kıymettarlık ve hilkatçe güzellik bulunuyor.

    Hem nihayet derecede sanatkârane bir surette, çok cihazata ve çok zamana muhtaç olmakla beraber; gayet derecede suhuletle ve süratle icad ediliyor. Âdeta birden ve hiçten o mu’cizat-ı sanat vücuda geliyor.

    İşte bilmüşahede her mevsimde rûy-i zeminde gördüğümüz bu faaliyet-i kudret, kat’iyen delâlet eder ki şu ef’alin menbaı olan kudrete nisbeten en büyük şey, en küçük şey kadar kolaydır ve hadsiz efradın icadı ve idareleri, bir fert kadar rahatça icad ve idare edilir.

    Üçüncüsü

    Şu kâinatta, şu görünen tasarrufat ve ef’al ile hükmeden Sâni’-i Kadîr’in kudretine nisbeten en büyük küll, en küçük cüz kadar kolay gelir. Efradca kesretli bir küllînin icadı, bir tek cüz’înin icadı kadar suhuletlidir. Ve en âdi bir cüz’îde, en yüksek bir kıymet-i sanat gösterilebilir. Şu hakikatin sırr-ı hikmeti üç menbadan çıkar:

    Evvela: İmdad-ı vâhidiyetten.

    Sâniyen: Yüsr-ü vahdetten.

    Sâlisen: Tecelli-i ehadiyetten.

    Birinci menba olan imdad-ı vâhidiyet: Yani her şey ve bütün eşya, bir tek zatın mülkü olsa o vakit vâhidiyet cihetiyle her bir şeyin arkasında, bütün eşyanın kuvvetini tahşid edebilir. Ve bütün eşya, bir tek şey gibi kolayca idare edilir. Şu sırrı, şöyle bir temsil ile fehme takrib için deriz:

    Mesela, nasıl ki bir memleketin tek bir padişahı bulunsa o padişah o vahdet-i saltanat kanunu cihetiyle, her bir neferin arkasında bir ordu kuvvet-i maneviyesini tahşid edebilir ve edebildiği için o tek nefer, bir şahı esir edebilir ve şahın fevkinde padişahı namına hükmedebilir. Hem o padişah, vâhidiyet-i saltanat sırrıyla, bir neferi ve bir memuru istihdam ve idare ettiği gibi bütün orduyu ve bütün memurlarını idare edebilir. Güya vâhidiyet-i saltanat sırrıyla herkesi, her şeyi, bir ferdin imdadına gönderebilir. Ve her bir ferdi, bütün efrad kadar bir kuvvete istinad edebilir yani ondan meded alabilir.

    Eğer o vâhidiyet-i saltanat ipi çözülse ve başıbozukluğa dönse o vakit her bir nefer, hadsiz bir kuvveti birden kaybedip yüksek bir makam-ı nüfuzdan sukut eder, âdi bir adam makamına gelir. Ve onların idare ve istihdamları, efrad adedince müşkülat peyda eder.

    Aynen öyle de وَلِلّٰهِ ال۟مَثَلُ ال۟اَع۟لٰى şu kâinatın Sâni’i, Vâhid olduğundan her bir şeye karşı, bütün eşyaya müteveccih olan esmayı tahşid eder. Ve nihayetsiz bir sanatla, kıymettar bir surette icad eder. Lüzum olsa bütün eşya ile bir tek şeye bakar, baktırır, meded verir ve kuvvetli yapar. Ve bütün eşyayı dahi o vâhidiyet sırrıyla bir tek şey gibi icad eder, tasarruf eder, idare eder.

    İşte şu imdad-ı vâhidiyet sırrıyladır ki şu kâinatta nihayet derecede mebzuliyet ve ucuzluk içinde, nihayet derecede sanatça ve kıymetçe yüksek ve âlî bir keyfiyet görünüyor.

    İkinci menba olan yüsr-ü vahdet: Yani birlik usûlüyle bir merkezde, bir elden, bir kanunla olan işler; gayet derecede kolaylık veriyor. Müteaddid merkezlere, müteaddid kanuna, müteaddid ellere dağılsa müşkülat peyda eder.

    Mesela, nasıl ki bir ordunun bütün neferatının bir merkezden, bir kanunla, bir kumandan-ı a’zam emriyle esasat-ı teçhiziyeleri yapılsa bir tek nefer kadar kolay olur. Eğer ayrı ayrı fabrikalarda, ayrı ayrı merkezlerde teçhizatları yapılsa bir ordunun teçhizine lâzım olan bütün askerî fabrikalar, bir tek neferin teçhizatı için lâzım gelir. Demek, eğer vahdete istinad edilse bir ordu, bir nefer kadar kolay olur. Eğer vahdet olmazsa bir nefer, bir ordu kadar teçhizin esasatı cihetinde müşkülat peyda eder.

    Hem bir ağacın meyvelerine –vahdet noktasında– bir merkeze, bir kanuna, bir köke istinaden madde-i hayatiye verilse binler meyveler, tek bir meyve gibi kolay olur. Eğer her bir meyve, ayrı ayrı merkeze rabtedilse ve ayrı ayrı yerden mevadd-ı hayatiyeleri gönderilse her bir meyve, bütün ağaç kadar müşkülat peyda eder. Çünkü bütün ağaca lâzım olan mevadd-ı hayatiye, her bir meyve için dahi lâzımdır.

    İşte şu iki temsil gibi وَلِلّٰهِ ال۟مَثَلُ ال۟اَع۟لٰى şu kâinatın Sâni’i, Vâhid-i Ehad olduğu için vahdetle iş görür ve vahdetle iş gördüğü için bütün eşya bir tek şey kadar kolay olur. Hem bir tek şeyi, sanatça bütün eşya kadar kıymetli yapabilir. Ve hadsiz efradı, gayet kıymettar bir surette icad ederek şu görünen hadsiz mebzuliyet ve nihayetsiz ucuzluk lisanıyla, cûd-u mutlakını gösterir ve hadsiz sehavetini ve nihayetsiz hallakıyetini izhar eder.

    Üçüncü menba olan tecelli-i ehadiyet: Yani Sâni’-i Zülcelal cisim ve cismanî olmadığı için zaman ve mekân onu kayıt altına alamaz. Ve kevn ü mekân, onun şuhuduna ve huzuruna müdahale edemez. Ve vesait ve ecram, onun fiiline perde çekemez. Teveccühünde tecezzi ve inkısam olmaz. Bir şey, bir şeye mani olmaz. Hadsiz ef’ali, bir fiil gibi yapar. Onun içindir ki bir çekirdekte koca bir ağacı manen dercettiği gibi bir âlemi bir tek fertte dercedebilir. Bütün âlem, bir tek fert gibi dest-i kudretinde çevrilir. Şu sırrı başka Sözlerde izah ettiğimiz gibi deriz ki:

    Nasıl ki nuraniyet itibarıyla bir derece kayıtsız olan güneşin timsali, her bir cilâlı parlak şeyde temessül eder. Binlerle, milyonlarla âyineler nuruna mukabil gelse bir tek âyine gibi inkısam etmeden bizzat her birinde cilve-i misaliyesi bulunur. Eğer âyinenin istidadı olsa güneş, azametiyle onda âsârını gösterebilir. Bir şey, bir şeye mani olamaz. Binler, bir gibi ve binler yere, bir yer gibi kolay girer. Her bir yer, binler yer kadar o güneşin cilvesine mazhar olur.

    İşte وَلِلّٰهِ ال۟مَثَلُ ال۟اَع۟لٰى şu kâinat Sâni’-i Zülcelal’inin nur olan bütün sıfâtıyla ve nurani olan bütün esmasıyla, teveccüh-ü ehadiyet sırrıyla öyle bir tecellisi var ki hiçbir yerde olmadığı halde, her yerde hazır ve nâzırdır. Teveccühünde inkısam olmaz. Aynı anda, her yerde; külfetsiz, müzahamesiz her işi yapar.

    İşte şu imdad-ı vâhidiyet ve yüsr-ü vahdet ve tecelli-i ehadiyet sırrıyladır ki bütün mevcudat, bir tek Sâni’e verildiği vakit; o bütün mevcudat, bir tek mevcud gibi kolay ve suhuletli olur. Ve her bir mevcud, hüsn-ü sanatça, bütün mevcudat kadar kıymetli olabilir. Nasıl ki mevcudatın hadsiz mebzuliyeti içinde, her bir fertte hadsiz dekaik-ı sanatın bulunması bu hakikati gösteriyor.

    Eğer o mevcudat, doğrudan doğruya bir tek Sâni’e verilmezse o zaman her bir mevcud, bütün mevcudat kadar müşkülatlı olur ve bütün mevcudat, bir tek mevcud kıymetine sukut eder, iner. Şu halde ya hiçbir şey vücuda gelmeyecek veya gelse de kıymetsiz, hiçe inecektir.

    İşte şu sırdandır ki ehl-i felsefenin en ziyade ileri gidenleri olan sofestaîler, tarîk-i haktan yüzlerini çevirdiklerinden küfür ve dalalet tarîkına bakmışlar, görmüşler ki şirk yolu; tarîk-i haktan ve tevhid yolundan yüz bin defa daha müşkülatlıdır, nihayet derecede gayr-ı makuldür. Onun için bilmecburiye her şeyin vücudunu inkâr ederek akıldan istifa etmişler.

    Dördüncüsü

    Şu kâinatta şu görünen ef’al ile tasarruf eden Zat-ı Kadîr’in kudretine nisbeten cennetin icadı, bir bahar kadar kolay ve bir baharın icadı, bir çiçek kadar kolaydır. Ve bir çiçeğin mehasin-i sanatı ve letaif-i hilkati, bir bahar kadar letafetli ve kıymetli olabilir. Şu hakikatin sırrı üç şeydir:

    Birincisi: Sâni’deki vücub ile tecerrüd.

    İkincisi: Mahiyetinin mübayenetiyle adem-i takayyüd.

    Üçüncüsü: Adem-i tahayyüz ile adem-i tecezzidir.

    Birinci Sır: Vücub ve tecerrüdün hadsiz kolaylığa ve nihayetsiz suhulete sebebiyet vermeleri, gayet derin bir sırdır. Onu bir temsil ile fehme takrib edeceğiz. Şöyle ki:

    Vücud mertebeleri muhteliftir. Ve vücud âlemleri ayrı ayrıdır. Ayrı ayrı oldukları için vücudda rüsuhu bulunan bir tabaka-i vücudun bir zerresi, o tabakadan daha hafif bir tabaka-i vücudun bir dağı kadardır ve o dağı istiab eder.

    Mesela, âlem-i şehadetten olan kafadaki hardal kadar kuvve-i hâfıza, âlem-i manadan bir kütüphane kadar vücudu içine alır. Ve âlem-i haricîden olan tırnak kadar bir âyine, vücudun âlem-i misal tabakasından koca bir şehri içine alır. Ve o âlem-i haricîden olan o âyine ve o hâfızanın şuurları ve kuvve-i icadiyeleri olsaydı, bir zerrecik vücud-u haricîleri kuvvetiyle, o vücud-u manevîde ve misalîde hadsiz tasarrufat ve tahavvülat yapabilirlerdi.

    Demek vücud, rüsuh peyda ettikçe kuvvet ziyadeleşir; az bir şey, çok hükmüne geçer. Hususan vücud, rüsuh-u tam kazandıktan sonra maddeden mücerred ise kayıt altına girmezse; o vakit cüz’î bir cilvesi, sair hafif tabakat-ı vücudun çok âlemlerini çevirebilir.

    İşte وَلِلّٰهِ ال۟مَثَلُ ال۟اَع۟لٰى şu kâinatın Sâni’-i Zülcelali, Vâcibü’l-vücud’dur. Yani onun vücudu zatîdir, ezelîdir, ebedîdir, ademi mümtenidir, zevali muhaldir ve tabakat-ı vücudun en râsihi, en esaslısı, en kuvvetlisi, en mükemmelidir. Sair tabakat-ı vücud, onun vücuduna nisbeten gayet zayıf bir gölge hükmündedir. Ve o derece vücud-u Vâcib râsih ve hakikatli ve vücud-u mümkinat o derece hafif ve zayıftır ki Muhyiddin-i Arabî gibi çok ehl-i tahkik, sair tabakat-ı vücudu, evham ve hayal derecesine indirmişler; لَا مَو۟جُودَ اِلَّا هُوَ demişler. Yani vücud-u Vâcib’e nisbeten başka şeylere vücud denilmemeli; onlar, vücud unvanına lâyık değillerdir, diye hükmetmişler.

    İşte Vâcibü’l-vücud’un hem vâcib hem zatî olan kudretine karşı, mevcudatın hem hâdis hem ârızî vücudları ve mümkinatın hem kararsız hem kuvvetsiz sübutları, elbette nihayet derecede kolay ve hafif gelir. Bütün ruhları haşr-i a’zamda ihya edip muhakeme etmek; bir baharda, belki bir bahçede, belki bir ağaçta haşir ve neşrettiği yaprak ve çiçek ve meyveler kadar kolaydır.

    İkinci Sır: Mübayenet-i mahiyet ve adem-i takayyüdün kolaylığa sebebiyeti ise şudur ki:

    Sâni’-i kâinat, elbette kâinat cinsinden değildir. Mahiyeti, hiçbir mahiyete benzemez. Öyle ise kâinat dairesindeki manialar, kayıtlar onun önüne geçemez; onun icraatını takyid edemez. Bütün kâinatı birden tasarruf edip çevirebilir. Eğer kâinat yüzündeki görünen tasarrufat ve ef’al, kâinata havale edilse o kadar müşkülat ve karışıklığa sebebiyet verir ki hiçbir intizam kalmadığı gibi hiçbir şey dahi vücudda kalmaz, belki vücuda gelemez.

    Mesela, nasıl ki kemerli kubbelerdeki ustalık sanatı, o kubbedeki taşlara havale edilse ve bir taburun zabite ait idaresi, neferata bırakılsa ya hiç vücuda gelmez veyahut çok müşkülat ve karışıklık içinde intizamsız bir vaziyet alacak. Halbuki o kubbelerdeki taşlara vaziyet vermek için taş nevinden olmayan bir ustaya verilse ve taburdaki neferatın idaresi, mertebe itibarıyla zabitlik mahiyetini haiz olan bir zabite havale edilse hem sanat kolay olur hem tedbir ve idare suhuletli olur. Çünkü taşlar ve neferler birbirine mani olurlar; usta ve zabit ise manisiz her noktaya bakar, idare eder.

    İşte وَلِلّٰهِ ال۟مَثَلُ ال۟اَع۟لٰى Vâcibü’l-vücud’un mahiyet-i kudsiyesi, mahiyat-ı mümkinat cinsinden değildir. Belki bütün hakaik-i kâinat, o mahiyetin esma-i hüsnasından olan Hak isminin şuâlarıdır. Madem mahiyet-i mukaddesesi hem Vâcibü’l-vücud’dur hem maddeden mücerreddir hem bütün mahiyata muhaliftir; misli, misali, mesîli yoktur. Elbette o Zat-ı Zülcelal’in o kudret-i ezeliyesine nisbeten bütün kâinatın idaresi ve terbiyesi, bir bahar belki bir ağaç kadar kolaydır. Haşr-i a’zam ve dâr-ı âhiret, cennet ve cehennemin icadı; bir güz mevsiminde ölmüş ağaçların yeniden bir baharda ihyaları kadar kolaydır.

    Üçüncü Sır: Adem-i tahayyüz ve adem-i tecezzinin nihayet derecede olan kolaylığa sebebiyet vermelerinin sırrı ise şudur ki:

    Madem Sâni’-i Kadîr mekândan münezzehtir, elbette kudretiyle her mekânda hazır sayılır. Ve madem tecezzi ve inkısam yoktur; elbette her şeye karşı, bütün esmasıyla müteveccih olabilir. Ve madem her yerde hazır ve her şeye müteveccih olur. Öyle ise mevcudat ve vesait ve ecram onun ef’aline mümanaat etmez, ta’vik etmez, belki –hiç lüzum yok faraza lüzum olsa– elektriğin telleri gibi ve ağacın dalları gibi ve insanın damarları gibi; eşya, vesile-i teshilat ve vasıta-i vusul-ü hayat ve sebeb-i sürat-i ef’al hükmüne geçer. Ta’vik, takyid, men’ ve müdahale şöyle dursun; belki teshil ve tesri’ ve îsale vesile hükmüne geçer.

    Demek, Kadîr-i Zülcelal’in tasarrufat-ı kudretine her şey itaat ve inkıyad cihetinde –ihtiyaç yok eğer ihtiyaç olsa– kolaylığa vesile olur.

    Elhasıl: Sâni’-i Kadîr külfetsiz, mualecesiz, süratle, suhuletle her şeyi o şeye lâyık bir surette halk eder. Külliyatı, cüz’iyat kadar kolay icad eder. Cüz’iyatı, külliyat kadar sanatlı halk eder.

    Evet, külliyatı ve semavatı ve arzı halk eden kim ise semavat ve arzda olan cüz’iyatı ve efrad-ı zîhayatiyeyi halk eden elbette yine odur ve ondan başka olamaz. Çünkü o küçük cüz’iyat; o külliyatın meyveleri, çekirdekleri, misal-i musağğarlarıdır.

    Hem o cüz’iyatı icad eden kim ise cüz’iyatı ihata eden unsurları ve semavat ve arzı dahi o halk etmiştir. Çünkü görüyoruz ki cüz’iyat külliyata nisbeten birer çekirdek, birer küçük nüsha hükmündedir. Öyle ise o cüz’îleri halk eden zatın elinde, anâsır-ı külliye ve semavat ve arz bulunmalıdır. Tâ ki hikmetinin düsturlarıyla ve ilminin mizanlarıyla o küllî ve muhit mevcudatın hülâsalarını, manalarını, numunelerini; o küçücük misal-i musağğarlar hükmünde olan cüz’iyatta dercedebilsin.

    Evet, acayib-i sanat ve garaib-i hilkat noktasında cüz’iyat, külliyattan geri değil; çiçekler, yıldızlardan aşağı değil; çekirdekler, ağaçların mâdûnunda değil; belki çekirdekteki nakş-ı kader olan manevî ağaç, bağdaki nesc-i kudret olan mücessem ağaçtan daha acibdir. Ve hilkat-i insaniye, hilkat-i âlemden daha acibdir.

    Nasıl ki bir cevher-i fert üstünde, esîr zerratıyla bir Kur’an-ı hikmet yazılsa semavat yüzündeki yıldızlarla yazılan bir Kur’an-ı azametten kıymetçe daha ehemmiyetli olabilir. Öyle de çok küçük cüz’iyatlar var, mu’cizat-ı sanatça külliyattan üstündür.

    Beşincisi

    Sâbık beyanatımızda, icad-ı mahlukatta görünen hadsiz kolaylık, gayet derecede çabukluk, nihayetsiz sürat-i ef’al, nihayetsiz suhuletle icad-ı eşyanın sırlarını, hikmetlerini bir derece gösterdik. İşte şu nihayetsiz sürat ve hadsiz suhuletle vücud-u eşya, ehl-i hidayete şöyle kat’î bir kanaat verir ki:

    Mahlukatı icad eden zatın kudretine nisbeten; cennetler baharlar kadar, baharlar bahçeler kadar, bahçeler çiçekler kadar kolay gelir.

    مَا خَل۟قُكُم۟ وَلَا بَع۟ثُكُم۟ اِلَّا كَنَف۟سٍ وَاحِدَةٍ sırrıyla, nev-i beşerin haşir ve neşri, bir tek nefsin imate ve ihyası gibi suhuletlidir.

    اِن۟ كَانَت۟ اِلَّا صَي۟حَةً وَاحِدَةً فَاِذَاهُم۟ جَمٖيعٌ لَدَي۟نَا مُح۟ضَرُونَ tasrihiyle, bütün insanları haşirde ihya etmek; istirahat için dağılan bir orduyu bir boru sesiyle toplamak kadar kolaydır.

    İşte şu hadsiz sürat ve nihayetsiz suhulet, bilbedahe kudret-i Sâni’in kemaline ve her şey ona nisbeten kolay olduğuna delil-i kat’î ve bürhan-ı yakînî olduğu halde; ehl-i dalaletin nazarında, Sâni’in kudretiyle eşyanın teşkili ve icadı –ki vücub derecesinde suhuletlidir– bin derece muhal olan kendi kendine teşekkül ile iltibasa sebep olmuştur. Yani bazı âdi şeylerin vücuda gelmelerini çok kolay gördükleri için onların teşkilini, teşekkül tevehhüm ediyorlar. Yani icad edilmiyorlar, belki kendi kendine vücud buluyorlar.

    İşte gel, ahmaklığın nihayetsiz derecatına bak ki nihayetsiz bir kudretin delilini, onun ademine delil yapar; nihayetsiz muhalat kapısını açar. Çünkü o halde Sâni’-i âleme lâzım olan nihayetsiz kudret ve muhit ilim gibi evsaf-ı kemal, her mahlukun her zerresine verilmek lâzım gelir; tâ kendi kendine teşekkül edebilsin.

    ON BİRİNCİ KELİME

    وَ اِلَي۟هِ ال۟مَصٖيرُ

    Yani dâr-ı fâniden dâr-ı bâkiye dönülecek ve Kadîm-i Bâki’nin makarr-ı saltanat-ı ebediyesine gidilecek ve kesret-i esbabdan Vâhid-i Zülcelal’in daire-i kudretine gidilecek, dünyadan âhirete geçilecek. Merciiniz onun dergâhıdır, melceiniz onun rahmetidir ve hâkeza…

    Şu kelimenin bunlar gibi ifade ettiği pek çok hakikatler var. Şu hakikatlerin içinde, saadet-i ebediye ile cennete döneceğinizi ifade eden hakikat ise Onuncu Söz’ün on iki bürhan-ı kat’î-yi yakîniyle ve Yirmi Dokuzuncu Söz’ün pek çok delail-i kātıayı tazammun eden altı esasıyla o derece kat’î ispat edilmiştir ki başka beyana hâcet bırakmıyor. Gurûb eden güneşin ertesi sabah yeniden tulû edeceği kat’iyetinde, o iki Söz ispat etmişler ki:

    Şu dünyanın manevî güneşi olan hayat dahi harab-ı dünya ile gurûbundan sonra haşrin sabahında bâki bir surette tulû edecektir. Ve cin ve insin bir kısmı saadet-i ebediyeye ve bir kısmı da şakavet-i ebediyeye mazhar olacaktır. Madem Onuncu ve Yirmi Dokuzuncu Sözler bu hakikati kemaliyle ispat etmişler, sözü onlara havale edip yalnız deriz ki:

    Sâbık beyanatta kat’î ispat edildiği üzere nihayetsiz bir ilm-i muhit ve hadsiz bir irade-i külliye ve nihayetsiz bir kudret-i mutlaka sahibi olan şu kâinatın Sâni’-i Hakîm’i ve şu insanların Hâlık-ı Rahîm’i, bütün semavî kitapları ve fermanlarıyla cenneti ve saadet-i ebediyeyi nev-i beşerin ehl-i imanına vaad etmiştir. Madem vaad etmiştir, elbette yapacaktır. Çünkü vaadinde hulf etmek ona muhaldir. Çünkü vaadini îfa etmemek, gayet çirkin bir noksandır. Kâmil-i Mutlak noksandan münezzeh ve mukaddestir. Vaad ettiğini yapmamak, ya cehlinden veya aczinden yapamaz. Halbuki o Kadîr-i Mutlak ve Alîm-i külli şey hakkında cehil ve acz muhal olduğundan, hulf-ü vaad dahi muhaldir.

    Hem başta Fahr-i Âlem aleyhissalâtü vesselâm olarak bütün enbiya ve evliya ve asfiya ve ehl-i iman mütemadiyen o Rahîm-i Kerîm’den, vaad ettiği saadet-i ebediyeyi rica edip yalvarıyorlar ve niyaz edip istiyorlar. Hem bütün esma-i hüsna ile beraber istiyorlar. Çünkü başta şefkati ve rahmeti, adaleti ve hikmeti ve Rahman ve Rahîm, Âdil ve Hakîm isimleri ve rububiyeti ve saltanatı ve Rab ve Allah isimleri gibi ekser esma-i hüsnası, daire-i âhireti ve saadet-i ebediyeyi iktiza ve istilzam ederler ve tahakkukuna şehadet ve delâlet ediyorlar. Belki –Onuncu Söz’de ispat edildiği gibi– bütün mevcudat bütün hakaikiyle dâr-ı âhirete işaret ediyorlar.

    Hem ferman-ı a’zam olan Kur’an-ı Hakîm binler âyât ve beyyinatıyla ve berahin-i sadıka-i kat’iyesiyle o hakikati gösteriyor ve talim ediyor. Ve nev-i beşerin mâbihi’l-iftiharı olan Habib-i Ekrem binler mu’cizat-ı bâhireye istinad ederek bütün hayatında, bütün kuvvetiyle o hakikati ders vermiş, ispat etmiş, ilan etmiş, görmüş ve göstermiş.

    اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّم۟ وَ بَارِك۟ عَلَي۟هِ وَ عَلٰى اٰلِهٖ وَ صَح۟بِهٖ بِعَدَدِ اَن۟فَاسِ اَه۟لِ ال۟جَنَّةِ فِى ال۟جَنَّةِ وَ اح۟شُر۟نَا وَ نَاشِرَهُ وَ رُفَقَائَهُ وَ صَاحِبَهُ سَعٖيدًا وَ وَالِدٖينَا وَ اِخ۟وَانَنَا وَ اَخَوَاتِنَا تَح۟تَ لِوَائِهٖ وَار۟زُق۟نَا شَفَاعَتَهُ وَ اَد۟خِل۟نَا ال۟جَنَّةَ مَعَ اٰلِهٖ وَ اَص۟حَابِهٖ بِرَح۟مَتِكَ يَا اَر۟حَمَ الرَّاحِمٖينَ

    اٰمٖينَ اٰمٖينَ

    رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذ۟نَٓا اِن۟ نَسٖينَٓا اَو۟ اَخ۟طَا۟نَا ۝ رَبَّنَا لَا تُزِغ۟ قُلُوبَنَا بَع۟دَ اِذ۟ هَدَي۟تَنَا وَهَب۟ لَنَا مِن۟ لَدُن۟كَ رَح۟مَةً اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟وَهَّابُ ۝ رَبِّ اش۟رَح۟ لٖى صَد۟رٖى ۝ وَيَسِّر۟ لٖٓى اَم۟رٖى ۝ وَاح۟لُل۟ عُق۟دَةً مِن۟ لِسَانٖى ۝ يَف۟قَهُوا قَو۟لٖى ۝ رَبَّنَا تَقَبَّل۟ مِنَّا اِنَّكَ اَن۟تَ السَّمٖيعُ ال۟عَلٖيمُ ۝ وَ تُب۟ عَلَي۟نَا اِنَّكَ اَن۟تَ التَّوَّابُ الرَّحٖيمُ

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ

    YİRMİNCİ MEKTUP’UN  ONUNCU KELİMESİNE ZEYLDİR

    بِاس۟مِهٖ سُب۟حَانَهُ وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَم۟دِهٖ

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

    اَلَا بِذِك۟رِ اللّٰهِ تَط۟مَئِنُّ ال۟قُلُوبُ ۝

    ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا رَجُلًا فٖيهِ شُرَكَٓاءُ مُتَشَاكِسُونَ

    Sual: Sen çok yerlerde demişsin ki: “Vahdette nihayet derecede kolaylık var, kesrette ve şirkte nihayet müşkülat oluyor. Vahdette vücub derecesinde bir suhulet var, şirkte imtina derecesinde bir suubet var.” diyorsun. Halbuki gösterdiğin müşkülat ve muhalat, vahdet tarafında da cereyan eder. Mesela, diyorsun: “Eğer zerreler memur olmazlarsa her bir zerrede, ya bir ilm-i muhit veya bir kudret-i mutlaka veya hadsiz manevî makineler, matbaalar bulunmak lâzım gelir. Bu ise yüz derece muhaldir.” Halbuki o zerreler memur-u İlahî de olsalar yine öyle bir mazhariyet lâzım gelir tâ hadsiz muntazam vazifelerini yapabilsinler. Bunun hallini isterim.

    Elcevap: Çok Sözlerde izah ve ispat etmişiz ki: Bütün mevcudat bir tek Sâni’e verilse bir tek mevcud gibi kolay ve suhuletli olur. Eğer müteaddid esbaba ve tabiata isnad edilse bir tek sinek, semavat kadar; bir çiçek, bir bahar kadar; bir meyve, bir bahçe kadar müşkülatlı ve suubetli olur. Madem şu mesele başka Sözlerde izah ve ispat edilmiş, onlara havale edip şurada yalnız üç işaret ile o hakikate karşı nefsin itminanını temin edecek üç temsil beyan edeceğiz:

    Birinci Temsil:

    Mesela, şeffaf parlak bir zerrecik, bizzat kendi başıyla kalsa bir kibrit başı kadar bir nur içinde yerleşmez ve ona masdar olamaz. Kendi cirmi kadar ve mahiyeti miktarınca bi’l-asale cüz’î zerre gibi bir nuru olabilir. Fakat o zerrecik, güneşe intisap edip ona karşı gözünü açıp baksa o vakit o koca güneşi ziyasıyla, elvan-ı seb’asıyla, hararetiyle hattâ mesafesiyle içine alabilir ve bir nevi tecelli-i a’zamına mazhar olur. Demek, o zerre kendi kendine kalsa bir zerre kadar ancak iş görebilir. Eğer güneşe memur ve mensup ve mir’at sayılsa güneş gibi, güneşin icraatındaki bir kısım cüz’î numunelerini gösterebilir.

    İşte وَلِلّٰهِ ال۟مَثَلُ ال۟اَع۟لٰى her bir mevcud, hattâ her bir zerre, eğer kesrete ve şirke ve esbaba ve tabiata ve kendi kendine isnad edilse o vakit her bir zerre, her bir mevcud, ya bir ilm-i muhit ve kudret-i mutlaka sahibi olmalı veyahut hadsiz manevî makine ve matbaalar, içinde teşekkül etmeli tâ ona tevdi edilen acib vazifeleri yapabilsin.

    Eğer o zerreler Vâhid-i Ehad’e isnad edilse o vakit her bir masnû, her bir zerre ona mensup olur, onun memuru hükmüne geçer. Şu intisabı onu tecelliye mazhar eder. Bu mazhariyet ve intisapla, nihayetsiz bir ilim ve kudrete istinad eder. Hâlık’ının kuvvetiyle, milyonlar defa kuvvet-i zatîsinden fazla işleri, vazifeleri; o intisap ve istinad sırrıyla yapar.

    İkinci Temsil:

    Mesela, iki kardeş var. Birisi cesur, kendine güvenir. Diğeri hamiyetli, milliyet-perverdir. Bir muharebe zamanında kendine güvenen adam devlete intisap etmez, kendi başıyla iş görmek ister. Kendi kuvvetinin menbalarını belinde taşımaya mecbur olur. Teçhizatını, cephanelerini kendi kuvvetine göre çekmeye muztardır. O şahsî ve küçük kuvvet miktarınca, düşman ordusunun bir onbaşısıyla ancak mücadele eder; fazla bir şey elinden gelmez.

    Öteki kardeş kendine güvenmiyor ve kendisini âciz, kuvvetsiz biliyor; padişaha intisap etti, askere kaydedildi. O intisap ile koca bir ordu ona nokta-i istinad oldu. Ve o istinad ile arkasında, padişahın himmetiyle bir ordunun manevî kuvveti tahşid edilebilir bir kuvve-i maneviye ile harbe atıldı. Tâ düşmanın mağlup ordusu içindeki şahın büyük bir müşirine rast geldi, kendi padişahı namına “Seni esir ediyorum, gel!” der. Esir eder, getirir.

    Şu halin sırrı ve hikmeti şudur ki:

    Evvelki başıbozuk, kendi menba-ı kuvvetini ve teçhizatını kendisi taşımaya mecbur olduğu için gayet cüz’î iş görebildi. Şu memur ise kendi kuvvetinin menbaını taşımaya mecbur değil belki onu ordu ve padişah taşıyor. Mevcud telgraf ve telefon teline makinesini küçük bir tel ile rabtetmek gibi şu adam bu intisapla kendini o hadsiz kuvvete rabteder.

    İşte وَلِلّٰهِ ال۟مَثَلُ ال۟اَع۟لٰى eğer her mahluk, her zerre doğrudan doğruya Vâhid-i Ehad’e isnad edilse ve onlar ona intisap etseler; o vakit o intisap kuvvetiyle ve seyyidinin havliyle, emriyle; karınca, Firavun’un sarayını başına yıkar, baş aşağı atar. Sinek, Nemrut’u gebertip cehenneme atar. Bir mikrop, en cebbar bir zalimi kabre sokar. Buğday tanesi kadar çam çekirdeği, bir dağ gibi bir çam ağacının destgâhı ve makinesi hükmüne geçer. Havanın zerresi, bütün çiçeklerin, meyvelerin ayrı ayrı işlerinde, teşekkülatlarında muntazaman, güzelce çalışabilir. Bütün bu kolaylık, bilbedahe memuriyet ve intisaptan ileri geliyor.

    Eğer iş başıbozukluğa dönse esbaba ve kesrete ve kendi kendilerine bırakılıp şirk yolunda gidilse o vakit her şey, cirmi kadar ve şuuru miktarınca iş görebilir.

    Üçüncü Temsil:

    Mesela, iki arkadaş var. Hiç görmedikleri bir memleketin ahvaline dair istatistikli bir nevi coğrafya yazmak istiyorlar.

    Birisi, o memleketin padişahına intisap edip telgraf ve telefon dairesine girer. On paralık bir tel ile kendi telefon makinesini devletin teline rabteder. Her yer ile görüşür, muhabere eder, malûmat alır. Gayet muntazam ve mükemmel coğrafya istatistiğine ait sanatkârane bir eser yapar.

    Öteki arkadaş ise ya elli sene mütemadiyen gezecek ve müşkülatla her yeri görüp her hâdiseyi işitecek veyahut milyonlarla lirayı sarf edip devletin tel ve telefon temdidatı kadar ve padişah gibi telgraf sahibi olacak. Tâ evvelki arkadaşı gibi o mükemmel eseri yapsın.

    Öyle de وَلِلّٰهِ ال۟مَثَلُ ال۟اَع۟لٰى eğer hadsiz eşya ve mahlukat Vâhid-i Ehad’e verilse o vakit, o irtibat ile her şey birer mazhar olur. O Şems-i Ezelî’nin tecellisine mazhariyetle, kavanin-i hikmetine ve desatir-i ilmiyesine ve nevamis-i kudretine irtibat peyda eder. O vakit havl ve kuvvet-i İlahiye ile her şeyi görür bir gözü ve her yere bakar bir yüzü ve her işe geçer bir sözü hükmünde bir cilve-i Rabbaniyeye mazhar olur.

    Eğer o intisap kesilse o şey, bütün eşyadan dahi inkıta eder, cirmi kadar bir küçüklüğe sığışır. O halde bir uluhiyet-i mutlaka sahibi olmalı ki evvelki vaziyette gördüğü işleri görebilsin.

    Elhasıl, vahdet ve iman yolunda, vücub derecesinde bir suhulet ve kolaylık var. Şirk ve esbabda, imtina derecesinde müşkülat ve suubet var. Çünkü bir vâhid, külfetsiz olarak kesîr eşyaya bir vaziyet verir ve bir neticeyi istihsal eder. Eğer o vaziyeti almayı ve o neticeyi istihsal etmeyi, o eşya-yı kesîreye havale edilse o vakit pek çok külfetle ve pek çok hareketlerle ancak o vaziyet alınır ve o netice istihsal edilir.

    Mesela, Üçüncü Mektup’ta denildiği gibi semavat meydanında, şems ve kamer kumandası altında yıldızlar ordusunu harekete getirmekle, her gece ve her sene, şaşaalı tesbihkârane bir seyeran ve cereyan vermek demek olan cazibedar, sevimli vaziyet-i semaviye ve mevsimlerin değişmesi gibi büyük maslahatların vücud bulması demek olan o ulvi, hikmetli netice-i arziye, eğer vahdete verilse o Sultan-ı ezel kolayca küre-i arz gibi bir neferi, o vaziyet ve o netice için ecram-ı ulviyeye kumandan tayin eder. O vakit arz, emir aldıktan sonra, memuriyet neşesinden mevlevî gibi zikir ve semâa kalkar; az bir masrafla o güzel vaziyet hasıl olur, o mühim netice vücud bulur.

    Eğer arza “Sen dur, karışma!” denilse ve o netice ve o vaziyetin istihsali de semavata havale edilse ve vahdetten, kesrete ve şirke gidilse; her gün ve her sene, binler derece küre-i arzdan büyük olan milyonlar adedince yıldızlar hareket etmek, milyarlar sene mesafeyi yirmi dört saatte ve bir senede kestirmek lâzımdır.

    Netice-i Meram:

    Kur’an ve ehl-i iman, hadsiz masnuatı bir Sâni’-i Vâhid’e verir. Doğrudan doğruya her işi ona isnad eder. Vücub derecesinde suhuletli bir yolda gider, sevk eder. Ve ehl-i şirk ve tuğyan, bir masnû-u vâhidi hadsiz esbaba isnad ederek imtina derecesinde suubetli bir yolda gider. Şu halde Kur’an yolunda, bütün masnuatla; dalalet yolunda, bir masnû-u vâhid beraberdirler. Hattâ belki bütün eşyanın vâhidden sudûru, bir vâhidin hadsiz eşyadan sudûrundan çok derece eshel ve kolaydır. Nasıl ki bir zabit, bin neferin tedbirini, bir nefer gibi kolay yapar ve bir neferin tedbiri, bin zabite havale edilse bin nefer kadar müşkülatlı olur, keşmekeşe sebebiyet verir.

    İşte şu hakikati şu âyet-i azîme, ehl-i şirkin başına vuruyor, dağıtıyor:

    ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا رَجُلًا فٖيهِ شُرَكَٓاءُ مُتَشَاكِسُونَ وَرَجُلًا سَلَمًا لِرَجُلٍ هَل۟ يَس۟تَوِيَانِ مَثَلًا اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ بَل۟ اَك۟ثَرُهُم۟ لَا يَع۟لَمُونَ

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ

    اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّم۟ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ ذَرَّاتِ ال۟كَائِنَاتِ وَ عَلٰى اٰلِهٖ وَ صَح۟بِهٖ اَج۟مَعٖينَ اٰمٖينَ وَال۟حَم۟دُ لِلّٰهِ رَبِّ ال۟عَالَمٖينَ

    اَللّٰهُمَّ يَا اَحَدُ يَا وَاحِدُ يَا صَمَدُ يَا مَن۟ لَٓا اِلٰهَ اِلَّا هُوَ وَح۟دَهُ لَا شَرٖيكَ لَهُ يَا مَن۟ لَهُ ال۟مُل۟كُ وَ لَهُ ال۟حَم۟دُ وَ يَا مَن۟ يُح۟يٖى وَ يُمٖيتُ يَا مَن۟ بِيَدِهِ ال۟خَي۟رُ يَا مَن۟ هُوَ عَلٰى كُلِّ شَى۟ءٍ قَدٖيرٌ يَا مَن۟ اِلَي۟هِ ال۟مَصٖيرُ بِحَقِّ اَس۟رَارِ هٰذِهِ ال۟كَلِمَاتِ اِج۟عَل۟ نَاشِرَ هٰذِهِ الرِّسَالَةِ وَ رُفَقَائَهُ وَ صَاحِبَهَا سَعٖيدًا مِنَ ال۟مُوَحِّدٖينَ ال۟كَامِلٖينَ وَ مِنَ الصِّدّٖيقٖينَ ال۟مُحَقِّقٖينَ وَ مِنَ ال۟مُؤ۟مِنٖينَ ال۟مُتَّقٖينَ اٰمٖينَ

    اَللّٰهُمَّ بِحَقِّ سِرِّ اَحَدِيَّتِكَ اِج۟عَل۟ نَاشِرَ هٰذَا ال۟كِتَابِ نَاشِرًا لِاَس۟رَارِ التَّو۟حٖيدِ وَ قَل۟بَهُ مَظ۟هَرًا لِاَن۟وَارِ ال۟اٖيمَانِ وَ لِسَانَهُ نَاطِقًا بِحَقَائِقِ ال۟قُر۟اٰنِ

    اٰمٖينَ اٰمٖينَ اٰمٖينَ


    1. *HR. Ahmad ibn Hambal, al-Musnad 4/227; Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf 6/27 dan 7/171; al-Bazzâr, al-Musnad 3/260; ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir 20/65.
    2. *Lihat at-Tirmidzi, bab ad-Da’awât 63; Abu daud dalam al-Witr 23; an-Nasai dalam as-Sahw 58; Ibnu Majah dalam ad-Du’a 9, Ahmad ibn Hambal, al-Musnad 1/230 dan 3/120.
    3. *Lihat: HR. Muslim bab Iman 297; at-Tirmidzi dalam tafsir surah ke-10; dan Ibnu Majah dalam al-Mukaddimah 13.
    4. *Barangkali salah satu ayat yang dimaksud adalah QS. Fâthir [35]: 10:“Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.” (Peny.)
    5. *Pengalihan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim saat memberikan argumen kepada Namrud terkait dengan proses mematikan dan menghidupkan, kepada kemam- puan Allah yang mendatangkan matahari dari Timur dan ketidakmampuan Namrud mendatangkannya dari Barat, hal itu merupakan bentuk pengalihan menuju tingkat yang lebih tinggi. Yakni, dari proses mematikan dan menghidupkan yang bersifat parsial kepada proses mematikan dan menghidupkan yang bersifat universal. Artinya, pengalihan ke wilayah yang lebih luas dari dalil pertama; bukan naik ke dalil nyata dengan meninggalkan dalil yang tersembunyi, seperti yang disebutkan sebagian mufassir— Penulis.