Yirmi Altıncı Mektup/id: Revizyonlar arasındaki fark

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    ("SURAT KEDUA PULUH ENAM" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
     
    ("===Persoalan Kesepuluh===" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
     
    (Aynı kullanıcının aradaki diğer 130 değişikliği gösterilmiyor)
    12. satır: 12. satır:
    “Jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Fushshilat [41]: 36).
    “Jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Fushshilat [41]: 36).


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Argumen al-Qur’an yang Membungkam Setan dan Sekutunya
    '''Hüccetü’l-Kur’an Ale’ş-şeytan ve Hizbihi'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Bahasan pertama ini yang memaksa iblis, setan, dan kaum pembangkang terdiam adalah hasil dari sebuah peristiwa nyata. Ia menangkal tipu daya setan yang menakutkan dalam sebuah diskusi rasional dan netral. Peristiwa tersebut telah kutulis sepuluh tahun yang lalu secara global dalam bab al-Lawâmi. Kisahnya sebagai berikut:
    İblisi ilzam, şeytanı ifham ( إفحام ), ehl-i tuğyanı iskât eden Birinci Mebhas; bîtarafane muhakeme içinde şeytanın müthiş bir desisesini kat’î bir surette reddeden bir vakıadır. O vakıanın mücmel bir kısmını on sene evvel Lemaat’ta yazmıştım. Şöyle ki:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sebelas tahun sebelum penulisan risalah ini, suatu hari aku menyimak bacaan al-Quran dari para penghafal al-Quran di Masjid Bayazid Istanbul. Waktu itu bertepatan pada bulan Ramadhan yang penuh berkah. Ketika itu, tiba-tiba aku mendengar suara maknawi yang menarik perhatianku tanpa melihat orang yang menuturkannya. Akupun menyimak dan mendengar suara tersebut.
    Bu risalenin telifinden on bir sene evvel ramazan-ı şerifte İstanbul’da Bayezid Cami-i Şerifi’nde hâfızları dinliyordum. Birden şahsını görmedim fakat manevî bir ses işittim gibi bana geldi. Zihnimi kendine çevirdi. Hayalen dinledim.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ia berkata,
    '''Baktım ki bana der:'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Engkau melihat al-Qur’an demikian mulia dan bersinar. Cobalah melihatnya secara netral. Lalu ukurlah dengan timbangan rasional dan objektif. Maksudku, asumsikan al-Qur’an sebagai perkataan manusia. Setelah itu, perhatikan masihkah ada sejumlah keistimewan itu padanya?
    Sen Kur’an’ı pek âlî, çok parlak görüyorsun. Bîtarafane muhakeme et, öyle bak. Yani bir beşer kelâmı farz et, bak. Acaba o meziyetleri, o ziynetleri görecek misin?
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Pada hakikatnya aku tertipu olehnya. Kuasumsikan al-Qur’an sebagai perkataan manusia. Lalu aku melihatnya dari sisi yang ia maksud. Seketika aku berada dalam kegelapan yang pekat. Cahaya al- Qur’an yang sangat terang langsung padam. Kegelapan menyelimuti seluruh sisi persis seperti ketika seseorang mematikan tombol listrik. Namun aku segera sadar bahwa yang berbicara denganku adalah setan. Ia ingin menjerumuskan diriku ke dalam jurang. Aku pun meminta pertolongan lewat al-Qur’an. Tiba-tiba cahaya memancar di dalam kalbuku. Dengan itu, aku memiliki kekuatan untuk melakukan pembelaan. Ketika itulah perdebatan dengan setan dimulai dalam bentuk sebagai berikut:
    Hakikaten ben de ona aldandım. Beşer kelâmı farz edip öyle baktım. Gördüm ki nasıl Bayezid’in elektrik düğmesi çevrilip söndürülünce ortalık karanlığa düşer. Öyle de o farz ile Kur’an’ın parlak ışıkları gizlenmeye başladı. O vakit anladım ki benim ile konuşan şeytandır. Beni vartaya yuvarlandırıyor. Kur’an’dan istimdad ettim. Birden bir nur kalbime geldi. Müdafaaya kat’î bir kuvvet verdi. O vakit şöylece şeytana karşı münazara başladı.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Aku berkata,
    '''Dedim:'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Hai setan! Diskusi yang netral, tanpa berpihak kepada salah satu dari dua sisi, adalah dengan berada di tengah- tengah keduanya. Namun diskusi netral yang diserukan oleh dirimu dan para sekutumu dari kalangan manusia adalah berpihak pada sisi lawan. Hal ini tentu saja tidak netral; namun merupakan bentuk ateisme yang bersifat sementara. Pasalnya, memosisikan al-Qur’an sebagai perkataan manusia serta melakukan diskusi rasional dengan asumsi semacam itu berarti mengambil posisi yang berlawanan dan berpegang pada kebatilan. Ia tidak bisa disebut netral, tetapi berpihak dan menunjukkan loyalitas pada kebatilan.
    Ey şeytan! Bîtarafane muhakeme, iki taraf ortasında bir vaziyettir. Halbuki hem senin hem insandaki senin şakirdlerin, dediğiniz bîtarafane muhakeme ise taraf-ı muhalifi iltizamdır, bîtaraflık değildir. Muvakkaten bir dinsizliktir. Çünkü Kur’an’a kelâm-ı beşer diye bakmak ve öyle muhakeme etmek, şıkk-ı muhalifi esas tutmaktır. Bâtılı iltizamdır, bîtarafane değildir, belki bâtıla tarafgirliktir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Mendengar hal tersebut setan berkata,
    '''Şeytan dedi ki:'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Baik, kalau begitu ambil jalan tengah; asumsikan ia bukan kalam Allah, bukan pula perkataan manusia.
    Öyle ise ne Allah’ın kelâmı ne de beşerin kelâmı deme. Ortada farz et, bak.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kujawab,
    '''Ben dedim:'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Ini juga tidak mungkin. Sebab, jika ada harta yang diperebutkan, lalu dua orang yang saling mengaku berada dalam posisi berdekatan, maka dalam kondisi demikian harta tadi ditempatkan di tangan orang lain selain mereka berdua, atau di tempat yang bisa dijangkau keduanya. Jika salah satu diantara keduanya bisa memberikan argumen paling kuat serta bisa membuktikan pengakuannya, ia berhak mengambil harta tersebut. Akan tetapi, kalau dua orang tadi berada di tempat yang saling berjauhan, misalkan yang satu di timur dan yang satu lagi di barat, dalam kondisi demikian harta dibiarkan berada di pihak yang sedang memegangnya. Pasalnya, ia tidak bisa dibiarkan berada di tengah-tengah di antara mereka.(*<ref>*Lihat: as-Sarkhasi dalam al-Mabsûth 11/8; al-Kasâni dalam Badâ-i’ ash-Shanâ-i’6/202; dan al-Marghani dalam al-Hadâyâ 2/177.  
    O da olamaz. Çünkü münâzaun fîh bir mal bulunsa eğer iki müddeî birbirine yakın ise ve kurbiyet-i mekân varsa; o vakit o mal, ikisinden başka birinin elinde veya ikisinin elleri yetişecek bir surette bir yere bırakılacak. Hangisi ispat etse o alır. Eğer o iki müddeî birbirinden gayet uzak, biri maşrıkta, biri mağribde ise o vakit kaideten sahibü’l-yed kim ise onun elinde bırakılacaktır. Çünkü ortada bırakmak kabil değildir.
    </ref>)
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Demikianlah, al-Qur’an merupakan barang berharga dan harta bernilai. Sebagaimana jarak antara kalam Allah dan kalam manusia sangat jauh, begitu pula jauhnya jarak antara kedua sisi tersebut bersifat mutlak tak terhingga. Karena itu, harta tersebut tidak mungkin diletakkan di tengah-tengah antara keduanya. Pasalnya, tidak ada perantara antara keduanya sama sekali.Ia laksana ada dan tiada; tidak ada penengah di antara keduanya.
    İşte Kur’an kıymettar bir maldır. Beşer kelâmı Cenab-ı Hakk’ın kelâmından ne kadar uzaksa o iki taraf o kadar, belki hadsiz birbirinden uzaktır. İşte, serâdan süreyyaya kadar birbirinden uzak o iki taraf ortasında bırakmak mümkün değildir. Hem ortası yoktur. Çünkü vücud ve adem gibi ve nakîzeyn gibi iki zıttırlar. Ortası olamaz.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Dengan demikian, pemegang ken- dali al-Qur’an adalah pihak ilahi. Karena itu, penyelesaiannya harus seperti itu dan pemaparan argumennya berdasarkan hal tersebut. Dengan kata lain, al-Qur’an berada di tangan Allah. Terkecuali, jika ada pihak lain yang bisa mematahkan semua argumen yang menunjukkan bahwa ia merupakan kalam Allah. Ketika itulah, ia bisa ikut campur dengannya. Jika tidak, maka tidak bisa.Jangan harap hal itu mungkin terjadi. Siapa yang bisa menggoyang mutiara berharga di arasy agung yang dikokohkan oleh ribuan argumen mematikan. Adakah yang berani merobohkan pilar-pilar yang tegak dengan kokoh itu sehingga mutiara berharga tadi jatuh dari arasy yang tinggi?!
    Öyle ise Kur’an için sahibü’l-yed, taraf-ı İlahîdir. Öyle ise onun elinde kabul edilip öylece delail-i ispata bakılacak. Eğer öteki taraf onun kelâmullah olduğuna dair bütün bürhanları birer birer çürütse elini ona uzatabilir. Yoksa uzatamaz. Heyhat! Binler berahin-i kat’iyenin mıhlarıyla arş-ı a’zama çakılan bu muazzam pırlantayı hangi el bütün o mıhları söküp o direkleri kesip onu düşürebilir?
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Hai setan! Ahlul haq dan orang yang objektif menimbang perkara di atas dengan timbangan akal yang sehat. Bahkan mereka semakin percaya kepada al-Qur’an dengan dalil yang paling kecil sekalipun.
    İşte ey şeytan! Senin rağmına ehl-i hak ve insaf bu suretteki hakikatli muhakeme ile muhakeme ederler. Hattâ en küçük bir delilde dahi Kur’an’a karşı imanlarını ziyadeleştirirler.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Adapun jalan yang ditunjukkan olehmu dan oleh murid-muridmu, yaitu dengan mengasumsikan al-Quran sebagai kalam manusia, meskipun hanya sekali. Yakni, andaikan mutiara agung yang dengan kokoh berada di arasy itu dijatuhkan ke bumi, maka dibutuhkan sebuah argumen yang kuat yang bisa mengalahkan semua argumen dan dalil yang ada. Hal itu agar ia mampu naik dari bumi dan menempati arasy maknawi. Hanya dengan cara itu ia bisa selamat dari gelapnya kekufuran dan bisa mencapai cahaya iman. Sementara hal tersebut sangat sulit dicapai oleh siapa pun. Oleh sebab itu, banyak orang di zaman sekarang yang kehilangan iman akibat tipu dayamu dengan mengatasnamakan “pendekatan objektif ”.
    Senin ve şakirdlerinin gösterdiği yol ise: Bir kere beşer kelâmı farz edilse yani arşa bağlanan o muazzam pırlanta yere atılsa; bütün mıhların kuvvetinde ve çok bürhanların metanetinde bir tek bürhan lâzım ki onu yerden kaldırıp arş-ı manevîye çaksın. Tâ küfrün zulümatından kurtulup imanın envarına erişsin. Halbuki buna muvaffak olmak pek güçtür. Onun için senin desisen ile şu zamanda, bîtarafane muhakeme sureti altında çokları imanlarını kaybediyorlar.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Setan pun berujar,
    '''Şeytan döndü ve dedi:'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Konteks kalam dalam al-Qur’an menyeru- pai perkataan manusia. Bentuk dialognya seperti gaya bahasa manusia. Dengan demikian, ia merupakan perkataan manusia. Sebab, andaikan ia kalam Allah, tentu dalam segala aspeknya akan sangat luar biasa yang sesuai dengan kondisi Allah, dan tidak akan menyerupai perkataan manusia, sebagaimana kreasi Allah tidak sama dengan kreasi manusia.
    Kur’an beşer kelâmına benziyor. Onların muhaveresi tarzındadır. Demek, beşer kelâmıdır. Eğer Allah’ın kelâmı olsa ona yakışacak, her cihetçe hârikulâde bir tarzı olacaktı. Onun sanatı nasıl beşer sanatına benzemiyor, kelâmı da benzememeli?
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Jawabanku sebagai berikut:
    '''Cevaben dedim:'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Rasul tetap berada dalam kondisinya sebagai manusia pada seluruh perbuatan, kondisi, dan fase kehidupan beliau di luar mukjizat dan sejumlah keistimewaannya. Beliau tunduk dan taat pada semua sunnatullah dan perintah penciptaan-Nya sama seperti manusia yang lain. Beliau merasa kedinginan dan juga merasa sakit.
    Nasıl ki Peygamberimiz (asm) mu’cizatından ve hasaisinden başka, ef’al ve ahval ve etvarında beşeriyette kalıp beşer gibi âdet-i İlahiyeye ve evamir-i tekviniyesine münkad ve mutî olmuş. O da soğuk çeker, elem çeker ve hâkeza… Her bir ahval ve etvarında hârikulâde bir vaziyet verilmemiş. Tâ ki ümmetine ef’aliyle imam olsun, etvarıyla rehber olsun, umum harekâtıyla ders versin. Eğer her etvarında hârikulâde olsa idi, bizzat her cihetçe imam olamazdı. Herkese mürşid-i mutlak olamazdı. Bütün ahvaliyle Rahmeten li’l-âlemîn olamazdı.
    Demikianlah, beliau tidak diberikan kondisi luar biasa dalam seluruh fase kehidupannya. Hal itu agar beliau bisa menjadi teladan bagi umat lewat seluruh perbuatannya, menjadi panutan lewat tingkah lakunya, serta menjadi rujukan bagi seluruh manusia lewat gerak langkahnya. Sebab, andaikan seluruh kondisi kehidupan beliau luar biasa, tentu beliau tidak bisa menjadi teladan dan panutan bagi semua manusia. Beliau pun tidak bisa menjadi pembimbing manusia dan tidak bisa menjadi rahmat bagi seluruh alam pada seluruh kon- disi beliau.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Begitu pula dengan al-Qur’an al-Hakim. Ia adalah panutan bagi makhluk berkesadaran, pembimbing bagi jin dan manusia, petunjuk bagi orang-orang yang mencapai derajat kesempurnaan, serta guru bagi ahli hakikat.(*<ref>*Lihat: ad-Darimi dalam al-Mukaddimah 57; dan al-Bayhaqi dalam syu’ab al- Iman 2/398.</ref>)Karena itu, al-Qur’an harus dalam bentuk percakapan dan gaya bahasa manusia.
    Aynen öyle de Kur’an-ı Hakîm ehl-i şuura imamdır, cin ve inse mürşiddir, ehl-i kemale rehberdir, ehl-i hakikate muallimdir. Öyle ise beşerin muhaveratı ve üslubu tarzında olmak zarurî ve kat’îdir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Pasalnya, manusia dan jin bisa mendapat inspirasi untuk bermunajat, belajar berdoa, menyebutkan sejumlah persoalan dengan bahasanya, dan mengenal adab-adab pergaulan darinya. Begitulah, setiap mukmin dapat menjadikannya sebagai rujukan.
    Çünkü cin ve ins münâcatını ondan alıyor, duasını ondan öğreniyor, mesailini onun lisanıyla zikrediyor, edeb-i muaşereti ondan taallüm ediyor ve hâkeza… Herkes onu merci yapıyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Andaikan al-Qur’an dalam bentuk kalam ilahi yang sebenarnya seperti yang didengar oleh Musa di gunung Sinai, sudah pasti manusia tidak mampu mendengarnya, tidak kuasa menyimaknya, serta tidak bisa menjadikannya sebagai rujukan bagi seluruh kondisinya. Nabi Musa  saja, yang termasuk rasul ulul azmi, tidak kuasa kecuali sebatas mendengar sebagian dari kalam-Nya di mana beliau berkata, “Seperti itukah kalam-Mu?” Allah menjawab, “Aku memiliki kekuatan seluruh lisan dan bahasa.”(*<ref>*Ahmad ibn Hambal dalam ar-Radd ala az-Zindiqah wal Jahamiyah 36; Abu Naim dalam Hilyatul Awliya 6/210; dan ath-Thabari dalam Jami al-Bayan 6/30.           </ref>)
    Öyle ise eğer Hazret-i Musa aleyhisselâmın Tûr-i Sina’da işittiği kelâmullah tarzında olsa idi, beşer bunu dinlemekte ve işitmekte tahammül edemezdi ve merci edemezdi. Hazret-i Musa aleyhisselâm gibi bir ulü’l-azm ancak birkaç kelâmı işitmeye tahammül etmiştir. Musa aleyhisselâm demiş: اَهٰكَذَا كَلَامُكَ ؟
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    قَالَ اللّٰهُ : لٖى قُوَّةُ جَمٖيعِ ال۟اَل۟سِنَةِ
    قَالَ اللّٰهُ : لٖى قُوَّةُ جَمٖيعِ ال۟اَل۟سِنَةِ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Lagi-lagi setan berkata,
    '''Şeytan yine döndü, dedi ki:'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Banyak manusia yang menyebutkan sejumlah persoalan agama yang serupa dengan apa yang terdapat dalam al-Qur’an. Tidakkah mungkin manusia bisa mendatangkan sesuatu yang serupa dengan al-Qur’an atas nama agama?
    Kur’an’ın mesaili gibi çok zatlar o çeşit mesaili din namına söylüyorlar. Onun için bir beşer, din namına böyle bir şey yapmak mümkün değil mi?
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Dengan limpahan cahaya al-Qur’an al-Karim, kujelaskan:
    '''Cevaben Kur’an’ın nuruyla dedim ki:'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Pertama, orang yang paham agama menjelaskan kebenaran dengan berkata, “Kebenaran adalah demikian, hakikatnya begini, dan perintah Allah seperti ini.” Hal itu didasari oleh dorongan cinta kepada agama, bukan berbicara atas nama Allah sesuai keinginan hawa nafsunya. Ia juga tidak melampaui batas dengan mengaku berbicara atas nama Allah atau berbicara tentang-Nya dengan meniru kalam-Nya. Namun ia merinding di hadapan firman-Nya:“Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah” (QS. az-Zumar [39]: 32).
    '''Evvela:''' Dindar bir adam din muhabbeti için “Hak böyledir. Hakikat budur. Allah’ın emri böyledir.” der. Yoksa Allah’ı kendi keyfine konuşturmaz. Hadsiz derece haddinden tecavüz edip Allah’ın taklidini yapıp onun yerinde konuşmaz. فَمَن۟ اَظ۟لَمُ مِمَّن۟ كَذَبَ عَلَى اللّٰهِ düsturundan titrer.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kedua, manusia sama sekali tidak mungkin melakukan perbuatan tersebut. Ini sangat mustahil. Hanya orang-orang yang “saling berdekatan” yang bisa saling meniru. Barangkali orang yang berasal dari satu jenis atau satu golongan bisa meniru sosok lain sehingga untuk sementara waktu bisa menipu manusia. Akan tetapi, ia tidak bisa menipu mereka untuk selamanya. Sebab, orang yang peka dapat mengetahui sikap dan perbuatannya yang dibuat-buat, dan pasti suatu hari kebohongannya akan terbongkar sehingga tipu dayanya tidak akan bertahan lama.
    '''Ve sâniyen:''' Bir beşer kendi başına böyle yapması ve muvaffak olması hiçbir cihetle mümkün değildir. Belki yüz derece muhaldir. Çünkü birbirine yakın zatlar birbirini taklit edebilirler. Bir cinsten olanlar, birbirinin suretine girebilirler. Mertebece birbirine yakın olanlar, birbirinin makamlarını taklit edebilirler. Muvakkaten insanları iğfal ederler fakat daimî iğfal edemezler. Çünkü ehl-i dikkat nazarında alâküllihal etvar ve ahvali içindeki tasannuatlar ve tekellüfatlar sahtekârlığını gösterecek, hilesi devam etmeyecek.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Jika orang yang ingin ditiru “sangat jauh”, misalnya orang yang awam ingin meniru Ibnu Sina dalam hal ilmu pengetahuan, atau seorang pengembala berlagak seperti raja, maka ia tidak akan bisa menipu siapapun. Justru ia akan diejek dan dihinakan orang. Sebab, seluruh kondisinya akan berkata, “Ini adalah penipu.
    Eğer sahtekârlıkla taklide çalışan; ötekinden gayet uzaksa mesela, âdi bir adam, İbn-i Sina gibi bir dâhîyi ilimde taklit etmek istese ve bir çoban bir padişahın vaziyetini takınsa elbette hiç kimseyi aldatamayacak. Belki kendi maskara olacak. Her bir hali bağıracak ki: Bu sahtekârdır!
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kondisinya sama seperti kunang-kunang bagi kalangan astronom tidak mungkin tampil seperti bintang selama seribu tahun tanpa terindikasi adanya unsur kepura-puraan. Atau, lalat bagi orang yang bisa melihat tidak mungkin tampil sebagai burung merak selama seribu tahun tanpa terindikasi adanya kebohongan. Juga, prajurit biasa tidak mungkin menyamar jadi Jenderal dalam waktu yang lama tanpa diketahui oleh siapapun. Seorang pendusta yang tidak beriman juga tidak mungkin menampilkan diri seperti orang yang paling jujur, paling beriman, dan paling kokoh akidahnya sepanjang hayat di hadapan kalangan yang cermat dan teliti di mana sikapnya itu tidak diketahui oleh orang-orang jenius.
    İşte –hâşâ yüz bin defa hâşâ– Kur’an, beşer kelâmı farz edildiği vakit nasıl ki bir yıldız böceği bin sene tekellüfsüz hakiki bir yıldız olarak rasad ehline görünsün. Hem bir sinek bir sene tamamen tavus suretini tasannusuz, temaşa ehline göstersin. Hem sahtekâr, âmî bir nefer; namdar, âlî bir müşirin tavrını takınsın, makamında otursun, çok zaman öyle kalsın, hilesini ihsas etmesin. Hem müfteri, yalancı, itikadsız bir adam; müddet-i ömründe daima en sadık en emin en mutekid bir zatın keyfiyetini ve vaziyetini en müdakkik nazarlara karşı telaşsız göstersin, dâhîlerin nazarında tasannuu saklansın?
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sebagaimana semua kondisi di atas seratus persen tidak mungkin terjadi serta tidak akan dipercaya oleh mereka yang masih memiliki akal, bahkan ia dianggap sebagai sikap gila dan tidak waras. Demikian pula ketika al-Qur’an diasumsikan sebagai perkataan ma- nusia.
    Bu ise yüz derece muhaldir, ona hiçbir zîakıl mümkün diyemez ve öyle de farz etmek, bedihî bir muhali vaki farz etmek gibi bir hezeyandır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Hal itu sama sekali tidak mungkin. Pasalnya, asumsi tersebut berarti menganggap al-Qur’an―yang merupakan bintang hakikat yang bersinar, bahkan mentari kesempurnaan yang cemerlang nan terus-menerus memancarkan cahaya hakikat kebenaran di langit dunia Islam sebagai kilau cahaya redup yang sengaja dibuat sendiri lewat berbagai khurafat, sementara orang-orang yang dekat dengannya dan mencermati kondisinya tidak bisa membedakan hal tersebut, bahkan justru mereka melihatnya sebagai bintang yang tinggi dan sumber segala hakikat.
    Aynen öyle de Kur’an’ı kelâm-ı beşer farz etmek; lâzım gelir ki âlem-i İslâm’ın semasında bilmüşahede pek parlak ve daima envar-ı hakaiki neşreden bir yıldız-ı hakikat, belki bir şems-i kemalât telakki edilen Kitab-ı Mübin’in mahiyeti –hâşâ sümme hâşâ– bir yıldız böceği hükmünde tasannucu bir beşerin hurafatlı bir düzmesi olsun ve en yakınında olanlar ve dikkatle ona bakanlar farkında bulunmasın ve onu daima âlî ve menba-ı hakaik bir yıldız bilsin.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ini tentu saja sebuah kemustahilan. Di samping itu, wahai setan, jika engkau terus melakukan tipu daya dalam bentuk yang berkali-kali lipat dari yang sekarang, engkau tidak akan bisa menjadikan kemustahilan tersebut sebagai sesuatu yang mungkin terjadi. Engkau tidak akan bisa menipu akal yang masih sehat. Engkau hanya bisa menipu manusia dengan cara memperlihatkan persoalan kepada mereka dari jauh sehingga engkau memperlihatkan bintang bersinar menjadi kecil seperti kunang-kunang.
    Bu ise yüz derece muhal olmakla beraber, sen ey şeytan! Yüz derece şeytanetinde ileri gitsen buna imkân verdiremezsin, bozulmamış hiçbir aklı kandıramazsın! Yalnız manen pek uzaktan baktırmakla aldatıyorsun! Yıldızı, yıldız böceği gibi küçük gösteriyorsun.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ketiga, mengasumsikan al-Qur’an sebagai ucapan manusia berarti menjadikan berbagai hakikat dan rahasia al-Qur’an yang memiliki berbagai keistimewaan dan penjelasan menakjubkan, yang menghimpun semua yang kering dan basah, yang memiliki pengaruh istimewa di alam manusia serta dampak baik dan penuh berkah seperti yang terlihat di mana al-Qur’an itulah yang menghem- buskan ruh kepada umat manusia, membangkitkan kehidupan di dalamnya, serta mengantar mereka kepada kebahagiaan abadi.
    '''Sâlisen:''' Hem Kur’an’ı beşer kelâmı farz etmek, lâzım gelir ki âsârıyla, tesiratıyla, netaiciyle âlem-i insaniyetin bilmüşahede en ruhlu ve hayat-feşan, en hakikatli ve saadet-resan, en cem’iyetli ve mu’ciz-beyan, âlî meziyetleriyle yaldızlı bir Furkan’ın gizli hakikati –hâşâ– muavenetsiz, ilimsiz bir tek insanın fikrinin tasniatı olsun ve yakınında onu temaşa eden ve merakla dikkat eden büyük zekâlar, ulvi dehalar onda hiçbir zaman hiçbir cihette sahtekârlık ve tasannu eserini görmesin; daima ciddiyeti, samimiyeti, ihlası bulsun!
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Nah, asumsi tersebut berarti memosisikan al-Qur’an yang penuh hikmah dan hakikat mulia sebagai karya buatan manusia yang tidak memiliki ilmu dan pembantu. Hal itu juga berarti bahwa orang-orang cerdas dan dekat dengan beliau di mana mereka mengetahui betul kondisi beliau, tidak melihat sama sekali tanda-tanda penipuan. Namun mereka melihat ketulusan, keteguhan, dan kesungguhan beliau. Ini tentu saja sangat mustahil. Apalagi dengan asumsi tersebut sosok yang dalam seluruh kondisi, perkataan, dan geraknya sepanjang hidup memperlihatkan sikap amanah, iman, keikhlasan, kejujuran, dan istikamah, serta telah membimbing dan mendidik kalangan shid- diqin berdasarkan sifat-sifat mulia tersebut, haruslah berupa sosok yang tidak dipercaya, tidak ikhlas, dan tidak memiliki akidah. Hal itu berarti melihat setumpuk kemustahilan sebagai sebuah hakikat yang nyata. Ini adalah bentuk igauan yang setan sendiri malu untuk melakukannya. Sebab, tidak ada posisi tengah dalam persoalan ini.
    Bu ise yüz derece muhal olmakla beraber, bütün ahvaliyle, akvaliyle, harekâtıyla bütün hayatında emaneti, imanı, emniyeti, ihlası, ciddiyeti, istikameti gösteren ve ders veren ve sıddıkînleri yetiştiren en yüksek en parlak en âlî haslet telakki edilen ve kabul edilen bir zatı; en emniyetsiz en ihlassız en itikadsız farz etmekle, muzaaf bir muhali vaki görmek gibi şeytanı dahi utandıracak bir hezeyan-ı fikrîdir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Andaikan al-Qur’an diasumsikan sebagai bukan kalam Allah, berarti posisinya turun dari arasy yang agung menuju bumi. Ia tidak berada di tengah-tengah. Maka, iapun menjadi sumber berbagai khurafat, padahal ia merupakan kumpulan hakikat. Demikian halnya kalau sosok yang memperlihatkan kalam Allah yang luar biasa itu diasumsikan bukan seorang rasul. Dengan asumsi tersebut, berarti al-Qur’an jatuh dari tingkatan paling tinggi kepada tingkatan yang paling rendah, dari derajat sumber kesempurnaan dan kemuliaan menuju sumber tipu daya. Ia tidak berada di tengah. Pasalnya, orang yang berdusta atas nama Allah jatuh kepada tingkatan yang paling rendah.
    Çünkü şu meselenin ortası yoktur. Zira farz-ı muhal olarak Kur’an, kelâmullah olmazsa arştan ferşe düşer gibi sukut eder. Ortada kalmaz. Mecma-ı hakaik iken, menba-ı hurafat olur. Ve o hârika fermanı gösteren zat, hâşâ sümme hâşâ eğer Resulullah olmazsa a’lâ-yı illiyyînden esfel-i safilîne sukut etmek ve menba-ı kemalât derecesinden maden-i desais makamına düşmek lâzım gelir. Ortada kalamaz. Zira Allah namına iftira eden, yalan söyleyen en edna bir dereceye düşer.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Melihat lalat sebagai burung merak secara permanen, serta menyaksikan sifat-sifat burung merak yang tinggi pada lalat tersebut merupakan hal yang sangat mustahil. Demikian pula dengan persoalan ini. Tidak mungkin membuka kemungkinan tersebut kecuali orang gila yang sedang mabuk.
    Bir sineği, daimî bir surette tavus görmek ve tavusun büyük evsafını onda her vakit müşahede etmek ne kadar muhal ise şu mesele de öyle muhaldir. Fıtraten akılsız, sarhoş bir divane lâzım ki buna ihtimal versin.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Keempat, al-Qur’an merupakan pembimbing suci dan cahaya petunjuk umat Muhammad yang merupakan komunitas terbesar dan pasukan di tengah-tengah manusia. Dengan hukumnya yang kokoh, konstitusinya yang mapan, dan perintahnya yang suci, al-Qur’an dengan pasukan tersebut bisa menyerang serta menguasai dunia dan akhirat lewat sistem yang menata kondisi mereka serta bekal maknawi dan materi yang diberikan kepada mereka. Al-Qur’an mengajari akal manusia sesuai dengan tingkatannya, mendidik kalbu mereka, menundukan jiwa mereka, membersihkan hati nurani mereka, serta menggerakkan tubuh mereka. Namun mengasumsikan al-Qur’an al-Karim sebagai ucapan manusia, berarti memosisikannya sebagai ucapan yang dibuat-buat yang tidak kuat, tidak penting, dan tidak memiliki landasan, itu sama sekali tidak mungkin. Hal itu berarti menerima ratusan kemustahilan.
    '''Râbian:''' Hem Kur’an’ı kelâm-ı beşer farz etmek lâzım gelir ki benî-Âdem’in en büyük ve muhteşem ordusu olan ümmet-i Muhammediyenin (asm) mukaddes bir kumandanı olan Kur’an, bilmüşahede kuvvetli kanunlarıyla, esaslı düsturlarıyla, nâfiz emirleriyle o pek büyük orduyu, iki cihanı fethedecek bir derecede bir intizam verdiği ve bir inzibat altına aldığı ve maddî ve manevî teçhiz ettiği ve umum efradın derecatına göre akıllarını talim ve kalplerini terbiye ve ruhlarını teshir ve vicdanlarını tathir, aza ve cevarihlerini istimal ve istihdam ettiği halde –hâşâ, yüz bin hâşâ– kuvvetsiz, kıymetsiz, asılsız bir düzme farz edip yüz derece muhali kabul etmek lâzım gelmekle beraber…
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Lebih dari itu, sosok tersebut (Muhammad) telah menghabiskan umurnya dalam mematuhi hukum-hukum Allah, menyeru manusia untuk mematuhinya, serta mengajarkan kepada manusia prinsip-prinsip hakikat lewat perbuatannya yang tulus. Beliau juga memperlihatkan sikap istikamah dan jalan kebahagiaan lewat perkataannya yang tulus dan logis. Beliau adalah sosok yang paling takut kepada Allah, sosok yang paling mengenal Allah, serta sosok yang memperkenalkan Allah kepada manusia lewat kesaksian biografinya sehingga seperlima umat manusia dan separuh penduduk bumi masuk ke dalam panjinya sepanjang seribu tiga ratus lima puluh tahun. Beliau menjadi pemimpin bagi umat sehingga beliau mengguncang dunia dan benar-benar menjadi kebanggaan umat manusia, bahkan kebanggaan dunia dan akhirat.Nah, dengan mengasumsikan al-Qur’an sebagai perkataan manusia berarti memosisikan beliau sebagai sosok yang tidak mengenal Allah, tidak takut kepada siksa-Nya, serta sederajat dengan orang
    Müddet-i hayatında ciddi harekâtıyla Hakk’ın kanunlarını benî-Âdem’e ders veren ve samimi ef’aliyle hakikatin düsturlarını beşere talim eden ve hâlis ve makul akvaliyle istikametin ve saadetin usûllerini gösteren ve tesis eden ve bütün tarihçe-i hayatının şehadetiyle Allah’ın azabından çok havf eden ve herkesten ziyade Allah’ı bilen ve bildiren ve nev-i beşerin beşten birisine ve küre-i arzın yarısına bin üç yüz elli sene kemal-i haşmetle kumandanlık eden ve cihanı velveleye veren şöhret-şiar şuunatıyla nev-i beşerin belki kâinatın –elhak– medar-ı fahri olan bir zatı –hâşâ yüz bin defa hâşâ– Allah’tan korkmaz ve bilmez ve yalandan çekinmez, haysiyetini tanımaz farz etmekle, yüz derece muhali birden irtikâb etmek lâzım gelir.
    awam. Ini berarti melakukan segudang kemustahilan. Pasalnya, persoalan ini tidak memiliki posisi tengah.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Andai al-Qur’an al-Karim bukan merupakan kalam Allah dan jatuh dari arasy yang agung, ia tidak mungkin berada di tengah-tengah. Namun harus menjadi barang milik salah seorang pendusta di bumi.Karena itu wahai setan, andaikan tipu dayamu bertambah seratus kali lipat, hal itu tetap tidak akan membuat asumsi tadi diterima orang yang akalnya masih sehat dan kalbunya tidak rusak.
    Çünkü şu meselenin ortası yoktur. Zira farz-ı muhal olarak Kur’an kelâmullah olmazsa arştan düşse orta yerde kalamaz. Belki yerde en yalancı birinin malı olduğunu kabul etmek lâzım gelir. Bu ise ey şeytan, yüz derece sen katmerli bir şeytan olsan bozulmamış hiçbir aklı kandıramazsın ve çürümemiş hiçbir kalbi ikna edemezsin.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Setan pun menjawab,
    '''Şeytan döndü, dedi:'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Bagaimana mungkin aku tidak bisa menyesatkan mereka? Aku telah berhasil menggiring banyak manusia dan orang berakal, khususnya yang ternama, untuk mengingkari al-Qur’an dan kenabian Muhammad.
    Nasıl kandıramam? Ekser insanlara ve insanın meşhur âkıllarına Kur’an’ı ve Muhammed’i inkâr ettirdim ve kandırdım.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Jawaban:
    '''Elcevap:'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Pertama, jika sesuatu yang paling besar dilihat dari jarak yang sangat jauh, ia tampak seperti sangat kecil. Sehingga orang yang melihat bintang bisa berkata, “Cahayanya seperti lilin.
    '''Evvela:''' Gayet uzak mesafeden bakılsa en büyük bir şey, en küçük bir şey gibi görünebilir. Bir yıldız, bir mum kadardır denilebilir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kedua, pandangan yang sangat dangkal melihat kemustahilan sebagai sesuatu yang mungkin. Diriwayatkan bahwa seorang kakek- kakek memandang ke langit untuk melihat hilal Ramadhan. Lalu ada sehelai alisnya yang sudah putih turun melengkung ke depan matanya. Ia mengira hal itu sebagai hilal. Seketika ia berkata, “Aku telah menyaksikan hilal.” Tentu saja sehelai alis mustahil menjadi hilal. Akan tetapi, karena tujuan utamanya ingin melihat hilal, lalu sehelai alis tadi terlihat di depannya dalam bentuk sekunder, seketika ia menerima kemustahilan itu sebagai sesuatu yang mungkin.
    '''Sâniyen:''' Hem tebeî ve sathî bir nazarla bakılsa gayet muhal bir şey, mümkün görünebilir. Bir zaman bir ihtiyar adam ramazan hilâlini görmek için semaya bakmış. Gözüne bir beyaz kıl inmiş. O kılı ay zannetmiş. “Ay’ı gördüm.” demiş. İşte muhaldir ki hilâl, o beyaz kıl olsun. Fakat kasden ve bizzat aya baktığı ve o saçı tebeî ve dolayısıyla ve ikinci derecede göründüğü için o muhali mümkün telakki etmiş.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ketiga, “mengingkari” berbeda dengan “tidak menerima” (menolak). Pasalnya, tidak menerima artinya tidak peduli. Ia adalah memejamkan mata di hadapan berbagai hakikat dan tindakan menafikan secara bodoh. Ia bukan pernyataan. Dengan begitu, banyak hal mustahil yang tersembunyi di balik hijab tersebut. Sebab, ia tidak memikirkan hal tersebut.Adapun “mengingkari” bukan “tidak menerima”. Tetapi, ia merupakan sikap menerima ketiadaan, dan hal itu merupakan sebuah pernyataan. Dalam hal ini pelakunya mau tidak mau harus menggunakan akal dan berpikir. Karena itu, setan sepertimu bisa merampas akalnya lalu menipunya dengan sikap ingkar.
    '''Sâlisen:''' Hem kabul etmemek başkadır, inkâr etmek başkadır. Adem-i kabul bir lâkaytlıktır, bir göz kapamaktır ve cahilane bir hükümsüzlüktür. Bu surette çok muhal şeyler onun içinde gizlenebilir. Onun aklı onlarla uğraşmaz. Amma inkâr ise o adem-i kabul değil belki o kabul-ü ademdir, bir hükümdür. Onun aklı hareket etmeye mecburdur. O halde senin gibi bir şeytan onun aklını elinden alır. Sonra inkârı ona yutturur.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Selanjutnya, wahai setan, engkau telah menipu binatang malang yang berwujud manusia. Engkau membentangkan kekufuran dan sikap ingkar yang melahirkan banyak kemustahilan kepada mereka lewat kelalaian, kesesatan, sikap keras kepala, sombong, angkuh, taklid buta, serta berbagai tipu daya sejenis di mana ia memperlihatkan kebatilan sebagai sebuah kebenaran, dan kemustahilan sebagai sesuatu yang mungkin.
    Hem ey şeytan! Bâtılı hak ve muhali mümkün gösteren gaflet ve dalalet ve safsata ve inat ve mağlata ve mükâbere ve iğfal ve görenek gibi şeytanî desiselerle, çok muhalatı intac eden küfür ve inkârı o bedbaht insan suretindeki hayvanlara yutturmuşsun.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Keempat, al-Qur’an adalah kitab yang membimbing kalangan ashfiya, shiddîqîn, dan wali qutub yang bersinar laksana bintang di langit manusia. Al-Qur’an dengan jelas mengajarkan kebenaran, keadilan, kejujuran, sikap istikamah, damai, dan rasa aman kepada seluruh kalangan yang menuju kesempurnaan. Al-Qur’an merealisa- sikan kebahagiaan dunia dan akhirat lewat hakikat rukun iman dan prinsip rukun Islam. Ia adalah kitab yang haq, hakikat yang suci, dan kalam kebenaran yang sungguh-sungguh. Dengan demikian, meng- asumsikan al-Qur’an sebagai perkataan manusia berarti al-Qur’an dipersepsikan dengan sesuatu yang berlawanan dengan sifat-sifat, pengaruh, dan cahayanya. Artinya, al-Qur’an dipersepsikan sebagai karangan dan buatan seorang pendusta. Hal ini adalah bentuk kemustahilan keji yang setan sendiri malu untuk melakukannya. Ia adalah igauan kufur yang mengerikan.
    '''Râbian:''' Hem Kur’an’ı kelâm-ı beşer farz etmek, lâzım gelir ki: Âlem-i insaniyetin semasında yıldızlar gibi parlayan asfiyalara, sıddıkînlere, aktablara bilmüşahede rehberlik eden ve bilbedahe mütemadiyen hak ve hakkaniyeti, sıdk ve sadakati, emn ve emaneti umum tabakat-ı ehl-i kemale talim eden ve erkân-ı imaniyenin hakaikiyle ve erkân-ı İslâmiyenin desatiriyle iki cihanın saadetini temin eden ve bu icraatının şehadetiyle bizzarure hâlis hak ve safi hakikat ve gayet doğru ve pek ciddi olmak lâzım gelen bir kitabı; kendi evsafının ve tesiratının ve envarının zıddıyla muttasıf tasavvur edip –hâşâ hâşâ– tasniat ve iftiraların mecmuası nazarıyla bakmak; sofestaîleri ve şeytanları dahi utandıracak ve titretecek şenî’ bir hezeyan-ı küfrî olmakla beraber…
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Di samping itu, Nabi adalah orang yang paling kokoh akidahnya, paling kuat imannya, paling jujur ucapannya, dan paling bersih kalbunya. Hal itu dibuktikan lewat kesaksian syariat yang beliau bawa dan petunjuk yang beliau perlihatkan seperti sifat takwa yang luar biasa, ubudiyah yang tulus, akhlak mulia beliau yang diakui oleh baik kawan maupun lawan, serta lewat pembenaran para ulama, ahli hakikat, dan para peniti kesempurnaan yang beliau bina. Nah, dengan asumsi di atas berarti beliau adalah sosok yang tidak punya akidah, tidak bisa dipercaya, dan tidak takut kepada Allah. Ini tidak lain adalah tindakan menerima kemustahilan yang paling keji serta kesesatan yang dibalut dalam kezaliman dan kegelapan.
    İzhar ettiği din ve şeriat-ı İslâmiyenin şehadetiyle ve müddet-i hayatında gösterdiği bi’l-ittifak fevkalâde takvasının ve hâlis ve safi ubudiyetinin delâletiyle ve bi’l-ittifak kendinde göründüğü ahlâk-ı hasenesinin iktizasıyla ve yetiştirdiği bütün ehl-i hakikatin ve sahib-i kemalâtın tasdikiyle en mutekid en metin en emin en sadık bir zatı –hâşâ sümme hâşâ yüz bin kere hâşâ– itikadsız, en emniyetsiz, Allah’tan korkmaz, yalandan çekinmez bir vaziyette farz edip muhalatın en çirkin ve menfur bir suretini ve dalaletin en zulümlü ve zulümatlı bir tarzını irtikâb etmek lâzım gelir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Kesimpulan:'''sebagaimana telah disebutkan dalam ‘petunjuk ke delapan belas’ dari “Surat Kesembilan Belas” bahwa orang yang hanya memiliki kemampuan menyimak dalam memahami kemukjizatan al-Qur’an berkata, “Jika al-Qur’an dibandingkan dengan seluruh kitab yang pernah kudengar, al-Qur’an sama sekali berbeda. Ia tidak sama dengan seluruh kitab tersebut.” Karena itu, hanya ada dua kemungkinan: al-Qur’an berada di bawah semua itu, atau al-Qur’an berada di atas semuanya. Kemungkinan pertama, di samping musta- hil, juga musuh atau bahkan setan sekalipun tak dapat mengatakan hal tersebut. Kalau demikian berarti al-Qur’an lebih mulia dan lebih tinggi daripada seluruh kitab yang ada. Dengan kata lain, al-Qur’an merupakan mukjizat.
    '''Elhasıl:''' On Dokuzuncu Mektup’un On Sekizinci İşaret’inde denildiği gibi nasıl kulaklı âmî tabakası i’caz-ı Kur’an fehminde demiş: Kur’an, bütün dinlediğim ve dünyada mevcud kitaplara kıyas edilse hiçbirisine benzemiyor ve onların derecesinde değildir. Öyle ise ya Kur’an umumun altındadır veya umumun fevkinde bir derecesi vardır. Umumun altındaki şık ise muhal olmakla beraber, hiçbir düşman hattâ şeytan dahi diyemez ve kabul etmez. Öyle ise Kur’an, umum kitapların fevkindedir. Öyle ise mu’cizedir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Atas dasar itu, dengan bersandar pada sebuah argumen mematikan yang dalam ushul fikih dan ilmu logika dikenal dengan istilah as-Sabru wa at-Taqsîm(*<ref>*Yaitu mengumpulkan semua sifat yang dikira merupakan alasan atau sebab dari sebuah hukum. Lalu satu persatu dibatalkan kecuali satu di antaranya di mana ia sudah jelas merupakan sebabnya.</ref>)(eskplorasi dan pembagian), kami ingin menegaskan:
    Aynen öyle de biz de ilm-i usûl ve fenn-i mantıkça sebr ü taksim denilen en kat’î hüccetle deriz:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Wahai setan dan para pengikutnya!
    Ey şeytan ve ey şeytanın şakirdleri! Kur’an, ya arş-ı a’zamdan ve ism-i a’zamdan gelmiş bir kelâmullahtır veyahut –hâşâ sümme hâşâ yüz bin kere hâşâ– yerde Allah’tan korkmaz ve Allah’ı bilmez, itikadsız bir beşerin düzmesidir. Bu ise ey şeytan! Sâbık hüccetlere karşı bunu sen diyemezsin ve diyemezdin ve diyemeyeceksin. Öyle ise bizzarure ve bilâ-şüphe Kur’an, Hâlık-ı kâinat’ın kelâmıdır. Çünkü ortası yoktur ve muhaldir ve olamaz. Nasıl ki kat’î bir surette ispat ettik, sen de gördün ve dinledin.
    Al-Qur’an al-Karim bisa jadi merupakan kalam Allah yang datang dari arasy yang agung dan dari nama yang agung, atau bisa pula merupakan karangan seseorang yang tidak takut kepada Allah, tidak mempercayai-Nya, dan tidak mengenal-Nya (Hasya lillah). Kemungkinan yang terakhir ini tidak mampu dan tidak akan pernah mampu kau utarakan sesuai dengan sejumlah argumen kuat sebelumnya. Karena itu, secara pasti dan tanpa sedikitpun keraguan, al-Qur’an merupakan kalam Tuhan semesta alam. Hal itu karena dalam masalah ini tidak ada posisi tengah. Ia sama sekali tidak mungkin seperti yang telah kami tegaskan dan telah kau saksikan sendiri.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Demikian halnya dengan Muhammad. Bisa jadi beliau adalah utusan Allah, pemimpin para rasul, dan makhluk terbaik, atau beliau diasumsikan sebagai manusia yang berani mengarang-ngarang atas nama Allah di mana beliau tidak mengenal, tidak meyakini, dan tidak mempercayai siksa-Nya sehingga jatuh ke derajat yang paling rendah
    Hem Muhammed aleyhissalâtü vesselâm, ya Resulullah’tır ve bütün resullerin ekmeli ve bütün mahlukatın efdalidir veyahut –hâşâ yüz bin defa hâşâ– Allah’a iftira ettiği ve Allah’ı bilmediği ve azabına inanmadığı için itikadsız, esfel-i safilîne sukut etmiş bir beşer farz etmek '''(Hâşiye<ref>'''Hâşiye:''' Kur’an-ı Hakîm, kâfirlerin küfriyatlarını ve galiz tabiratlarını iptal etmek için zikrettiğine istinaden, ehl-i dalaletin fikr-i küfrîlerinin bütün bütün muhaliyetini ve bütün bütün çürüklüğünü göstermek için şu tabiratı farz-ı muhal suretinde, titreyerek kullanmaya mecbur oldum.</ref>)''' lâzım gelir. Bu ise ey iblis! Ne sen ve ne de güvendiğin Avrupa feylesofları ve Asya münafıkları bunu diyemezsiniz ve diyememişsiniz ve diyemeyeceksiniz ve dememişsiniz ve demeyeceksiniz. Çünkü bu şıkkı dinleyecek ve kabul edecek dünyada yoktur. Onun içindir ki güvendiğin o feylesofların en müfsidleri ve o münafıkların en vicdansızları dahi diyorlar ki: “Muhammed-i Arabî (asm) çok akıllı idi ve çok güzel ahlâklı idi.
    (Hasya lillah).(*<ref>*Ungkapan ini terpaksa dipergunakan sebagai sebuah asumsi yang mustahil terjadi dan dengan perasaan takut. Hal itu tidak lain untuk memperlihatkan kemustahilan pandangan kaum yang sesat dengan merujuk pada keterangan al-Qur’an tentang keku- furan orang kafir dan ungkapan kotor mereka yang terhijab―Penulis.</ref>)Ini sesuatu yang tidak bisa diutarakan oleh engkau wahai iblis, serta oleh kalangan filsuf Eropa dan kaum munafik Asia yang kau banggakan. Pasalnya, tidak ada seorangpun di dunia ini yang mendengar perkataan ini darimu lalu mempercayainya.
    </div>
    Karena itu, filsuf yang paling rusak dan orang munafik yang paling bejat sekalipun mengakui bahwa Muhammad adalah sosok luar biasa yang sangat jenius dan memiliki akhlak yang paling baik.


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Selama persoalannya terbatas pada dua sisi tersebut, sementara sisi atau kemungkinan yang kedua mustahil, tidak ada yang menyatakannya, lalu dalam masalah ini tidak ada posisi tengah antara keduanya seperti yang telah kami jelaskan, berarti harus diterima secara jelas dan haqqul yaqin bahwa Muhammad adalah utusan Allah, pemimpin para rasul, kebanggaan alam, dan makhluk terbaik. Semoga salawat dan salam tercurah kepada beliau sebanyak jumlah malaikat, jin, dan manusia.
    Madem şu mesele iki şıkka münhasırdır ve madem ikinci şık muhaldir ve hiçbir kimse buna sahip çıkmıyor ve madem kat’î hüccetlerle ispat ettik ki ortası yoktur. Elbette ve bizzarure senin ve hizbü’ş-şeytanın rağmına olarak bilbedahe ve bihakkalyakîn, Muhammed-i Arabî aleyhissalâtü vesselâm Resulullah’tır ve bütün resullerin ekmelidir ve bütün mahlukatın efdalidir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    عَلَي۟هِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ بِعَدَدِ ال۟مَلَكِ وَال۟اِن۟سِ وَال۟جَانِّ
    عَلَي۟هِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ بِعَدَدِ ال۟مَلَكِ وَال۟اِن۟سِ وَال۟جَانِّ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="Şeytanın_İkinci_Küçük_Bir_İtirazı"></span>
    === Şeytanın İkinci Küçük Bir İtirazı ===
    ===Protes Setan yang Kedua===
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir. Datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya. Ditiuplah sangkakala. Itulah hari terlaksananya ancaman. Datanglah tiap-tiap diri, bersama dengannya, seorang Malaikat penggiring dan seorang Malaikat penyaksi. Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini. Maka Kami singkapkan darimu tutup (yang menutupi) matamu. Maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam. Yang menyertainya berkata, “Inilah (catatan amalnya) yang tersedia pada sisiku.” Allah berfirman, “Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala.” (QS. Qâf [50]: 18-24).
    Sure-i قٓ وَ ال۟قُر۟اٰنِ ال۟مَجٖيدِ i okurken مَا يَل۟فِظُ مِن۟ قَو۟لٍ اِلَّا لَدَي۟هِ رَقٖيبٌ عَتٖيدٌ ۝ وَجَٓاءَت۟ سَك۟رَةُ ال۟مَو۟تِ بِال۟حَقِّ ذٰلِكَ مَا كُن۟تَ مِن۟هُ تَحٖيدُ ۝ وَ نُفِخَ فِى الصُّورِ ذٰلِكَ يَو۟مُ ال۟وَعٖيدِ ۝ وَ جَٓاءَت۟ كُلُّ نَف۟سٍ مَعَهَا سَٓائِقٌ وَ شَهٖيدٌ ۝ لَقَد۟ كُن۟تَ فٖى غَف۟لَةٍ مِن۟ هٰذَا فَكَشَف۟نَا عَن۟كَ غِطَٓاءَكَ فَبَصَرُكَ ال۟يَو۟مَ حَدٖيدٌ ۝ وَ قَالَ قَرٖينُهُ هٰذَا مَا لَدَىَّ عَتٖيدٌ ۝ اَل۟قِيَا فٖى جَهَنَّمَ كُلَّ كَفَّارٍ عَنٖيدٍ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ketika aku membaca ayat demi ayat dari surah Qaf di atas, setan berkata:“Kalian melihat kelugasan dan kejelasan al-Qur’an sebagai pilar kefasihannya yang paling penting. Sementara, pada ayat-ayat tersebut terdapat perpindahan dan lompatan yang sangat jauh. Ayat tersebut melintas dari sakaratul maut menuju kiamat. Ia berpindah dari peniupan sangkakala menuju hisab. Lalu dari sana tiba-tiba disebutkan pelemparan ke dalam neraka. Apakah kefasihan bahasa masih terdapat dalam perpindahan yang aneh tersebut? Pada sebagian besar tempat dalam al-Qur’an, kita melihat sejumlah persoalan semacam ini. Lalu di mana letak kefasihannya?”
    '''Şu âyetleri okurken şeytan dedi ki:''' “Kur’an’ın en mühim fesahatini, siz onun selasetinde ve vuzuhunda buluyorsunuz. Halbuki şu âyette nereden nereye atlıyor? Sekerattan tâ kıyamete atlıyor. Nefh-i Sûr’dan muhasebenin hitamına intikal ediyor ve ondan cehenneme idhali zikrediyor. Bu acib atlamaklar içinde hangi selaset kalır? Kur’an’ın ekser yerlerinde, böyle birbirinden uzak meseleleri birleştiriyor. Böyle münasebetsiz vaziyetle selaset, fesahat nerede kalır?”
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Jawaban:'''
    '''Elcevap:''' Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan’ın esas-ı i’cazı, en mühimlerinden belâgatından sonra îcazdır. Îcaz, i’caz-ı Kur’an’ın en metin ve en mühim bir esasıdır. Kur’an-ı Hakîm’de şu mu’cizane îcaz, o kadar çoktur ve o kadar güzeldir ki ehl-i tetkik, karşısında hayrettedirler.
    Setelah balagahnya yang luar biasa, dasar terpenting dalam kemukjizatan al-Qur’an adalah simplifikasi (Îjâz). Simplifikasi tersebut adalah asas paling penting dan paling kuat dari kemukjizatan al- Qur’an. Simplifikasi al-Qur’an yang menakjubkan sangat banyak dan indah sehingga membuat banyak cendekiawan terkagum-kagum.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Misalnya, firman Allah yang berbunyi:
    '''Mesela'''
    Dan difirmankan, “Wahai bumi telanlah airmu, dan wahai langit (hujan) berhentilah!” Maka airpun disurutkan, perintah pun diselesaikan, dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi. Lalu dikatakan, “Binasalah orang-orang yang zalim.” (QS. Hûd [11]: 44).
    وَ قٖيلَ يَٓا اَر۟ضُ اب۟لَعٖى مَٓاءَكِ وَيَا سَمَٓاءُ اَق۟لِعٖى وَغٖيضَ ال۟مَٓاءُ وَقُضِىَ ال۟اَم۟رُ وَاس۟تَوَت۟ عَلَى ال۟جُودِىِّ وَقٖيلَ بُع۟دًا لِل۟قَو۟مِ الظَّالِمٖينَ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ayat di atas menjelaskan peristiwa badai besar berikut dampaknya hanya dalam beberapa kalimat pendek. Meskipun penjelasannya sangat ringkas, namun penuh dengan kemukjizatan. Hal tersebut membuat para ahli balagah mengakui keindahan balagahnya.
    Kısa birkaç cümle ile Tufan hâdise-i azîmesini netaiciyle öyle îcazkârane ve mu’cizane beyan ediyor ki çok ehl-i belâgatı, belâgatına secde ettirmiş.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Contoh lain adalah firman-Nya:
    '''Hem mesela'''
    (Kaum) Tsamud telah mendustakan (rasulnya) karena mereka melampaui batas. Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka. Lalu Rasul Allah (Saleh  ) berkata kepada mereka, “(Biarkanlah) unta betina Allah dan minumannya.” Lalu mereka mendustakannya dan menyembelih unta itu. Maka Tuhan membinasakan mereka disebabkan dosa mereka. Lalu Allah meratakan mereka (dengan tanah). Allah tidak takut terhadap akibat tindakan-Nya itu. (QS. asy- Syams [91]: 11-15).
    كَذَّبَت۟ ثَمُودُ بِطَغ۟وٰيهَا ۝ اِذِ ان۟بَعَثَ اَش۟قٰيهَا ۝ فَقَالَ لَهُم۟ رَسُولُ اللّٰهِ نَاقَةَ اللّٰهِ وَسُق۟يٰيهَا ۝ فَكَذَّبُوهُ فَعَقَرُوهَا ۝ فَدَم۟دَمَ عَلَي۟هِم۟ رَبُّهُم۟ بِذَن۟بِهِم۟ فَسَوّٰيهَا ۝ وَلَا يَخَافُ عُق۟بٰيهَا
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ayat di atas memberikan sebuah penjelasan menakjubkan secara sangat ringkas dalam beberapa kalimat pendek tentang peristiwa yang terjadi pada kaum Tsamud dan akibatnya. Meskipun penjelasannya sangat ringkas, namun tidak rancu, serta lugas dan jelas.
    İşte kavm-i Semud’un acib ve mühim hâdisatını ve netaicini ve sû-i âkıbetlerini, böyle kısa birkaç cümle ile îcaz içinde bir i’caz ile selasetli ve vuzuhlu ve fehmi ihlâl etmez bir tarzda beyan ediyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Contoh lain adalah firman-Nya:
    '''Hem mesela'''
    (Ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan menyulitkannya, maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap,“Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. al-Anbiyâ [21]: 87).
    وَذَا النُّونِ اِذ۟ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ اَن۟ لَن۟ نَق۟دِرَ عَلَي۟هِ فَنَادٰى فِى الظُّلُمَاتِ اَن۟ لَٓا اِلٰهَ اِلَّٓا اَن۟تَ سُب۟حَانَكَ اِنّٖى كُن۟تُ مِنَ الظَّالِمٖينَ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Antara frasa اَن۟ لَن۟ نَق۟دِرَ عَلَي۟هِ hingga فَنَادٰى فِى الظُّلُمَاتِ
    İşte اَن۟ لَن۟ نَق۟دِرَ عَلَي۟هِ cümlesinden فَنَادٰى فِى الظُّلُمَاتِ cümlesine kadar çok cümleler matvîdir. O mezkûr olmayan cümleler; fehmi ihlâl etmiyor, selasete zarar vermiyor. Hazret-i Yunus aleyhisselâmın kıssasından mühim esasları zikreder. Mütebâkisini akla havale eder.
    terdapat banyak kalimat yang tak disebutkan. Kalimat-kalimat yang tak terucap itu tidak membuatnya rancu dan tidak merusak kelugasan ayat. Pasalnya, ayat tersebut menyebutkan sejumlah peristiwa penting dalam kehidupan Nabi Yunus dan sisanya diserahkan kepada akal.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Begitu pula pada surah Yusuf. Antara kata فَاَر۟سِلُونِ hingga يُوسُفُ اَيُّهَا الصِّدّٖيقُ terdapat sekitar delapan kalimat yang tidak disebutkan. Namun ia tidak merusak makna dan kefasihan ayat.
    '''Hem mesela,''' Sure-i Yusuf’ta فَاَر۟سِلُونِ kelimesinden يُوسُفُ اَيُّهَا الصِّدّٖيقُ ortasında yedi sekiz cümle îcaz ile tayyedilmiş. Hiç fehmi ihlâl etmiyor, selasetine zarar vermiyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Bentuk simplifikasi yang menakjubkan semacam itu sangat banyak dalam al- Qur’an. Pada saat bersamaan ia juga sangat indah.
    Bu çeşit mu’cizane îcazlar Kur’an’da pek çoktur. Hem pek güzeldir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Adapun ayat-ayat sebelumnya yang terdapat dalam surah Qâf, bentuk simplifikasinya sangat mengagumkan dan menakjubkan. Pasalnya, ia menjelaskan masa depan kaum kafir yang menakutkan dan membentang. Satu hari darinya setara dengan lima puluh ribu tahun. Ayat tersebut menyebutkan berbagai transformasi dan perubahan besar yang menimpa kaum kafir di masa depan mereka. Bahkan ia menjalankan pikiran dengan sangat cepat laksana kilat di atas berbagai peristiwa menakutkan tersebut. Ia juga menjadikan masa yang panjang itu seperti lembaran yang hadir di hadapan manusia. Adapun berbagai kejadian yang tak disebutkan diserahkan kepada imajinasi. Ia menjelaskannya dengan sangat fasih dan indah.
    Amma Sure-i Kaf’ın âyeti ise ondaki îcaz pek acib ve mu’cizanedir. Çünkü kâfirin pek müthiş ve çok uzun ve bir günü elli bin sene olan istikbaline ve o istikbalin dehşetli inkılabatında kâfirin başına gelecek elîm ve mühim hâdisata birer birer parmak basıyor. Şimşek gibi fikri, onlar üstünde gezdiriyor. O pek çok uzun zamanı, hazır bir sahife gibi nazara gösterir. Zikredilmeyen hâdisatı hayale havale edip ulvi bir selasetle beyan eder.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Apabila al-Qur’an dibacakan, perhatikanlah ia dan diamlah agar kalian mendapat rahmat.” (QS. al-A’râf [7]: 204).
    وَاِذَا قُرِئَ ال۟قُر۟اٰنُ فَاس۟تَمِعُوا لَهُ وَاَن۟صِتُوا لَعَلَّكُم۟ تُر۟حَمُونَ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Wahai setan, apa lagi yang bisa kau katakan!
    İşte ey şeytan! Şimdi bir sözün daha varsa söyle…
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Setan berkata, “Aku tidak bisa menyanggah berbagai dalil dan argumen ini. Aku juga tidak bisa melawannya. Akan tetapi, banyak orang bodoh yang malah menyimak ucapanku. Juga banyak setan dari kalangan manusia yang malah membantuku, serta banyak filsuf yang egois dan sombong mengambil pelajaran dariku tentang berbagai persoalan yang memupuk kecongkakan mereka. Mereka beru- saha menghalangi penyebaran pemikiran yang tertuang dalam karya-karyamu. Karena itu, aku tidak menyerah dan tidak akan pernah menyerah.
    Şeytan der: Bunlara karşı gelemem, müdafaa edemem. Fakat çok ahmaklar var, beni dinliyorlar ve insan suretinde çok şeytanlar var, bana yardım ediyorlar ve feylesoflardan çok firavunlar var, enaniyetlerini okşayan meseleleri benden ders alıyorlar. Senin bu gibi sözlerin neşrine set çekerler. Bunun için sana teslim-i silah etmem!
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="İkinci_Mebhas"></span>
    == İkinci Mebhas ==
    ==BAHASAN KEDUA==
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    (Bahasan ini ditulis karena rasa heran yang muncul pada mereka yang selalu melayaniku ketika melihat kepribadianku yang berbeda-beda, sekaligus untuk meluruskan prasangka baik berlebihan yang tak layak kuterima dari dua orang muridku)
    Şu Mebhas, bana daimî hizmet edenlerin, ahlâkımda gördükleri acib ihtilaftan gelen hayretlerine karşı hem iki talebemin benim hakkımda haddimden fazla hüsn-ü zanlarını ta’dil etmek için yazılmıştır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Aku melihat bahwa sebagian keutamaan yang tertuju kepada hakikat al-Qur’an diberikan kepada perantara yang memerankan diri sebagai penyeru dan penjaja hakikat tersebut. Pandangan seperti itu salah. Sebab, kesucian dan kemuliaan rujukan itulah yang melahirkan pengaruh hebat, yang melebihi pengaruh argumen yang banyak. Masyarakat secara umum tunduk pada hukum-hukumnya lewat ke- sucian tadi. Ketika penyeru dan penjaja menampakkan eksistensi dirinya, yakni ketika perhatian tertuju kepadanya, pengaruh dari kesucian sumber tersebut menjadi lenyap. Karena itu, aku ingin menjelaskan hakikat berikut ini kepada saudara-saudaraku yang memberikan perhatian terhadapku melebihi kapasitasku. Kutegaskan bahwa:
    Ben görüyorum ki Kur’an-ı Hakîm’in hakaikine ait bazı kemalât, o hakaike dellâllık eden vasıtalara veriliyor. Şu ise yanlıştır. Çünkü '''me’hazin kudsiyeti, çok bürhanlar kuvvetinde tesirat gösteriyor; onun ile ahkâmı umuma kabul ettiriyor. Ne vakit dellâl ve vekil gölge etse yani onlara teveccüh edilse o me’hazdeki kudsiyetin tesiri kaybolur.''' Bu sır içindir ki bana karşı haddimden çok fazla teveccüh gösteren kardeşlerime bir hakikati beyan edeceğim. Şöyle ki:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Manusia memiliki sejumlah kepribadian. Kepribadian tersebut memiliki sejumlah akhlak yang berbeda-beda.
    Bir insanın müteaddid şahsiyeti olabilir. O şahsiyetler ayrı ayrı ahlâkı gösteriyorlar. Mesela, büyük bir memurun, memuriyet makamında bulunduğu vakit bir şahsiyeti var ki vakar iktiza ediyor, makamın izzetini muhafaza edecek etvar istiyor. Mesela, her ziyaretçi için tevazu göstermek tezellüldür, makamı tenzildir. Fakat kendi hanesindeki şahsiyeti, makamın aksiyle bazı ahlâkı istiyor ki ne kadar tevazu etse iyidir. Az bir vakar gösterse tekebbür olur. Ve hâkeza…
    Misalnya, pejabat tinggi memiliki kepribadian khusus saat menjalankan tugas dari posisinya yang tinggi. Kedudukan dan posisi ini menuntut adanya sikap wibawa untuk menjaga kemuliaan posisi dan kedudukannya. Maka, memperlihatkan sikap tawaduk kepada setiap orang yang mengunjunginya akan menjatuhkan posisinya. Namun demikian, ia juga memiliki kepribadian lain saat berada di rumah dan bersama keluarganya. Yang dituntut darinya adalah sikap dan akhlak yang berbeda dengan saat ia bekerja. Sebab, semakin tawaduk hal itu akan semakin baik dan indah. Sementara kalau memperlihatkan sikap wibawa, hal itu justru akan dianggap sebagai kesombongan.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Jadi, terdapat kepribadian khusus manusia dengan melihat pada tugasnya. Kepribadian ini berbeda dengan kepribadiannya yang hakiki dalam banyak hal. Jika pejabat tersebut layak dengan tugasnya serta memiliki kemampuan untuk menjalankan pekerjaannya, maka kedua kepribadian tersebut saling berdekatan. Namun jika ia tidak layak atas pekerjaan tersebut dan tidak memiliki kemampuan, misalnya seorang prajurit diberi posisi sebagai Jenderal, maka kedua kepribadian tadi akan saling berjauhan. Pasalnya, sifat-sifat prajurit yang biasa dan sederhana tidak sejalan dengan karakter mulia yang dimiliki posisi Jenderal.
    Demek bir insanın, vazifesi itibarıyla bir şahsiyeti bulunur ki hakiki şahsiyeti ile çok noktalarda muhalif düşer. Eğer o vazife sahibi, o vazifeye hakiki lâyıksa ve tam müstaid ise o iki şahsiyeti birbirine yakın olur. Eğer müstaid değilse mesela bir nefer, bir müşir makamında oturtulsa o iki şahsiyet birbirinden uzak düşer; o neferin şahsî, âdi, küçük hasletleri; makamın iktiza ettiği âlî, yüksek ahlâk ile kabil-i telif olamıyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Begitulah, pada diri saudara kalian yang fakir ini terdapat tiga kepribadian. Masing-masing sangat jauh berbeda.
    İşte bu bîçare kardeşinizde '''üç şahsiyet''' var. Birbirinden çok uzak hem de pek çok uzaktırlar.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Pertama, kepribadian temporer yang khusus untuk mengabdikan diri pada al-Qur’an. Hal itu sesuai dengan kedudukanku sebagai penjaja khazanah pengetahuan al-Qur’an yang penuh hikmah dan mulia. Akhlak mulia yang menjadi tuntutan tugas dakwah bukanlah milikku. Ia hanyalah tabiat mulia yang menjadi tuntutan dari posisi tinggi tersebut. Maka, akhlak dan berbagai kemuliaan yang kalian lihat tidak lain berasal dari jenis ini. Ia bukan milikku. Ia adalah milik kedudukan mulia tersebut. Karenanya, jangan kalian melihat diriku dari sisi itu.
    '''Birincisi:''' Kur’an-ı Hakîm’in hazine-i âlîsinin dellâlı cihetindeki muvakkat, sırf Kur’an’a ait bir şahsiyetim var. O dellâllığın iktiza ettiği pek yüksek ahlâk var ki o ahlâk benim değil, ben sahip değilim. Belki o makamın ve o vazifenin iktiza ettiği seciyelerdir. Bende bu neviden ne görseniz benim değil, onunla bana bakmayınız, o makamındır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kedua, ketika aku bersimpuh di hadapan-Nya, Allah mem- beriku kepribadian khusus pada waktu ibadah. Kepribadian tersebut melahirkan berbagai pengaruh yang bersumber dari landasan makna ubudiyah. Landasan tersebut berupa pengakuan dan kesadaran akan kekurangan, kelemahan, dan kefakiran di hadapan Allah serta berlindung kepada-Nya dengan penuh kerendahan diri. Lewat kepriba- dian tersebut, aku melihat diriku sebagai orang yang paling malang, paling lemah, paling papa, dan paling lalai pada-Nya. Kalaupun seluruh dunia memberikan pujian dan sanjungan padaku, semua itu tidak akan pernah bisa membuatku merasa sudah salih dan baik.
    '''İkinci şahsiyet:''' Ubudiyet vaktinde dergâh-ı İlahiyeye müteveccih olduğum vakit, Cenab-ı Hakk’ın ihsanıyla bir şahsiyet veriliyor ki o şahsiyet bazı âsârı gösteriyor. O âsâr, mana-yı ubudiyetin esası olan: “Kusurunu bilmek, fakr ve aczini anlamak, tezellül ile dergâh-ı İlahiyeye iltica etmek” noktalarından geliyor ki o şahsiyetle, kendimi herkesten ziyade bedbaht, âciz, fakir ve kusurlu görüyorum. Bütün dünya beni medh ü sena etse beni inandıramaz ki ben iyiyim ve sahib-i kemalim.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ketiga, kepribadianku yang sebenarnya. Yaitu kepribadianku yang merupakan cerminan dari “Said Lama”. Ia adalah tabiat yang merupakan warisan dari Said Lama. Kadangkala ia memperlihatkan keinginan untuk riya dan haus kedudukan. Di samping itu, ia memperlihatkan sejumlah akhlak buruk dengan sikap hemat yang mencapai derajat pelit, karena aku bukan berasal dari keluarga yang memiliki kedudukan dan jabatan.
    '''Üçüncüsü:''' Hakiki şahsiyetim, yani Eski Said’in bozması bir şahsiyetim var ki o da Eski Said’den irsiyet kalma bazı damarlardır. Bazen riyaya, hubb-u câha bir arzu bulunuyor. Hem asil bir hanedandan olmadığımdan, hısset derecesinde bir iktisat ile düşkün ve pest ahlâklar görünüyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Wahai saudaraku-saudaraku!
    Ey kardeşler! Sizi bütün bütün kaçırmamak için bu şahsiyetimin gizli çok fenalıklarını ve sû-i hallerini söylemeyeceğim.
    Aku tidak akan mengungkap berbagai kekurangan dari kepribadianku ini serta sejumlah keburukannya agar kalian tidak menjauhiku.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Wahai saudaraku, aku tidak layak mendapatkan kedudukan tinggi dan tidak memiliki kesiapan untuknya. Kepribadianku ini sangat jauh dari akhlak pengemban dakwah dan pengemban misi ubudiyah.Allah telah memperlihatkan qudrah-Nya yang penuh kasih sesuai dengan kaidah: “Karunia ilahi tidak mensyaratkan adanya kelayakan pada diri seseorang.” Dialah yang menundukkan kepribdi- anku yang laksana prajurit terendah untuk mengabdikan diri pada rahasia al-Qur’an yang merupakan jabatan tertinggi dan termulia. Karena itu, beribu-ribu syukur kuucapkan kepada Allah.Diri ini lebih rendah dari semua, namun tugas yang diberikan lebih mulia dari seluruhnya.
    İşte kardeşlerim, ben müstaid ve makam sahibi olmadığım için şu şahsiyetim, dellâllık ve ubudiyet vazifelerindeki ahlâktan ve âsârdan çok uzaktır. Hem دَادِ حَق۟ رَا قَابِلِيَّت۟ شَر۟ط۟ نٖيس۟ت۟ kaidesince Cenab-ı Hak, merhametkârane kudretini benim hakkımda böyle göstermiş ki en edna bir nefer gibi bu şahsiyetimi, en a’lâ bir makam-ı müşiriyet hükmünde olan hizmet-i esrar-ı Kur’aniyede istihdam ediyor. Yüz binler şükür olsun. '''Nefis cümleden süflî, vazife cümleden a’lâ.'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Segala puji bagi Allah. Ini adalah karunia Tuhan.
    اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ هٰذَا مِن۟ فَض۟لِ رَبّٖى
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="Üçüncü_Mebhas"></span>
    == Üçüncü Mebhas ==
    ==BAHASAN KETIGA==
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ
    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    يَٓا اَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَق۟نَاكُم۟ مِن۟ ذَكَرٍ وَاُن۟ثٰى وَجَعَل۟نَاكُم۟ شُعُوبًا وَقَبَٓائِلَ لِتَعَارَفُوا
    يَٓا اَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَق۟نَاكُم۟ مِن۟ ذَكَرٍ وَاُن۟ثٰى وَجَعَل۟نَاكُم۟ شُعُوبًا وَقَبَٓائِلَ لِتَعَارَفُوا
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Wahai manusia, Kami menciptakan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal.”(QS. al-Hujurât [49]: 13).
    Yani
    لِتَعَارَفُوا مُنَاسَبَاتِ ال۟حَيَاةِ ال۟اِج۟تِمَاعِيَّةِ فَتَعَاوَنُوا عَلَي۟هَا لَا لِتَنَاكَرُوا فَتَخَاصَمُوا
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Maksudnya, Kami menciptakan kalian dalam beragam kelompok, kabilah, umat, dan bangsa agar kalian saling mengenal. Juga agar kalian mengetahui relasi sosial dan saling membantu di antara kalian. Kami menjadikan kalian bersuku-suku dan berkelompok-kelompok tidak untuk saling bertikai dan saling memusuhi.
    Yani “Sizi taife taife, millet millet, kabile kabile yaratmışım; tâ birbirinizi tanımalısınız ve birbirinizdeki hayat-ı içtimaiyeye ait münasebetlerinizi bilesiniz, birbirinize muavenet edesiniz. Yoksa sizi kabile kabile yaptım ki yekdiğerinize karşı inkâr ile yabani bakasınız, husumet ve adâvet edesiniz değildir!”
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Dalam bahasan ini terdapat tujuh persoalan:
    Şu mebhas '''yedi mesele'''dir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="Birinci_Mesele"></span>
    === Birinci Mesele ===
    ===Persoalan Pertama,===
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    hakikat mulia yang dikandung oleh ayat di atas secara khusus berbicara tentang kehidupan sosial. Karena itu, aku merasa perlu menuliskan bahasan ini dengan niat mengabdikan diri untuk al-Qur’an serta dengan harapan bisa membangun benteng yang dapat menahan berbagai serangan zalim. Kutuliskan ia lewat lisan “Said Lama” yang memiliki relasi dengan kehidupan sosial Islam; bukan lewat lisan “Said Baru” yang ingin menjauhi kehidupan sosial.(*<ref>*Maksudnya adalah sejumlah urusan yang terkait dengan politik.</ref>)
    Şu âyet-i kerîmenin ifade ettiği hakikat-i âliye, hayat-ı içtimaiyeye ait olduğu için hayat-ı içtimaiyeden çekilmek isteyen Yeni Said lisanıyla değil belki İslâm’ın hayat-ı içtimaiyesiyle münasebettar olan Eski Said lisanıyla, Kur’an-ı Azîmüşşan’a bir hizmet maksadıyla ve haksız hücumlara bir siper teşkil etmek fikriyle yazmaya mecbur oldum.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="İkinci_Mesele"></span>
    === İkinci Mesele ===
    ===Persoalan Kedua,===
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    sebagai penjelasan dari prinsip saling me- ngenal dan saling membantu seperti yang dikandung oleh ayat di atas, kami ingin menegaskan bahwa sebuah pasukan dibagi ke dalam sejumlah korps, kelompok, brigade, batalion, grup, detasemen, dan regu. Hal itu dimaksudkan agar setiap prajurit mengetahui tugas-tugasnya sesuai dengan relasi yang beragam tersebut, serta agar setiap anggota pasukan dapat menunaikan tugasnya sesuai dengan prinsip kerjasama sehingga kehidupan sosial mereka terlindungi dari serangan musuh. Pembagian kepada sejumlah kelompok tadi bukan untuk melahirkan persaingan antar batalion, melahirkan permusuhan antar detasemen, atau benturan antar regu.
    Şu âyet-i kerîmenin işaret ettiği “tearüf ve teavün düsturu”nun beyanı için deriz ki: Nasıl ki bir ordu fırkalara, fırkalar alaylara, alaylar taburlara, bölüklere, tâ takımlara kadar tefrik edilir. Tâ ki her neferin muhtelif ve müteaddid münasebatı ve o münasebata göre vazifeleri tanınsın, bilinsin. Tâ o ordunun efradları, düstur-u teavün altında, hakiki bir vazife-i umumiye görsün ve hayat-ı içtimaiyeleri, a’danın hücumundan masûn kalsın. Yoksa tefrik ve inkısam; bir bölük bir bölüğe karşı rekabet etsin, bir tabur bir tabura karşı muhasamet etsin, bir fırka bir fırkanın aksine hareket etsin değildir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Begitu pula kondisinya dalam komunitas Islam yang menyerupai pasukan besar. Ia dibagi ke dalam sejumlah kabilah dan kelompok meskipun sebenarnya mereka memiliki seribu satu sisi kesatuan dan kesamaan. Pasalnya, Pencipta mereka satu, Pemberi rezeki mereka satu, Rasul mereka satu, Kiblat mereka satu, kitab suci mereka satu, dan tanah air mereka satu.
    Aynen öyle de heyet-i içtimaiye-i İslâmiye büyük bir ordudur, kabail ve tavaife inkısam edilmiş. Fakat bin bir bir birler adedince cihet-i vahdetleri var. Hâlıkları bir, Rezzakları bir, Peygamberleri bir, kıbleleri bir, kitapları bir, vatanları bir, bir bir bir binler kadar bir, bir…
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Terdapat begitu banyak kesamaan yang jumlahnya mencapai ribuan sisi di mana hal itu menuntut terciptanya persaudaraan, cinta, dan kesatuan. Artinya, kondisi terbagi kepada berbagai kelompok dan kabilah seperti yang disebutkan ayat di atas, tidak lain adalah untuk saling mengenal dan saling menolong; bukan untuk saling bertikai dan saling memusuhi.
    İşte bu kadar bir, birler; uhuvveti, muhabbeti ve vahdeti iktiza ediyorlar. '''Demek kabail ve tavaife inkısam, şu âyetin ilan ettiği gibi tearüf içindir, teavün içindir; tenakür için değil, tahasum için değildir!..'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="Üçüncü_Mesele"></span>
    === Üçüncü Mesele ===
    ===Persoalan Ketiga===
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    paham nasionalisme pada abad ini telah menyebar luas dan tertanam kuat. Orang-orang zalim Eropa, khususnya mereka yang melakukan makar, menyebarkan paham ini dalam bentuk yang negatif ke tengah-tengah umat Islam guna memecah belah mereka dan guna memudahkan mereka untuk menelan umat Islam.
    Fikr-i milliyet, şu asırda çok ileri gitmiş. Hususan dessas Avrupa zalimleri, bunu İslâmlar içinde menfî bir surette uyandırıyorlar; tâ ki parçalayıp onları yutsunlar.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Karena pada paham nasionalisme ini terdapat sebuah rasa bagi jiwa, satu kenikmatan yang melenakan, serta kekuatan yang buruk, maka kita tidak bisa mengatakan kepada para aktivis sosial kemasyarakatan saat ini, “Tinggalkan paham nasionalisme tersebut!”
    Hem fikr-i milliyette bir zevk-i nefsanî var, gafletkârane bir lezzet var, şeametli bir kuvvet var. Onun için şu zamanda hayat-ı içtimaiye ile meşgul olanlara “Fikr-i milliyeti bırakınız!” denilmez.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Namun harus dijelaskan bahwa nasionalisme itu sendiri terbagi dua: Pertama, nasionalisme negatif, buruk, dan berbahaya. Ia tumbuh dan berkembang dengan menghabisi pihak lain dan eksis dengan cara memusuhi orang-orang di luar mereka. Nasionalisme semacam ini melahirkan permusuhan dan pertikaian. Karena itu, dalam hadis disebutkan:
    Fakat fikr-i milliyet iki kısımdır. Bir kısmı menfîdir, şeametlidir, zararlıdır; başkasını yutmakla beslenir, diğerlerine adâvetle devam eder, müteyakkız davranır. Şu ise muhasamet ve keşmekeşe sebeptir. Onun içindir ki hadîs-i şerifte ferman etmiş:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Islam menghapus apa yang ada sebelumnya.” Islam menolak fanatisme jahiliyah.
    اَل۟اِس۟لَامِيَّةُ جَبَّتِ ال۟عَصَبِيَّةَ ال۟جَاهِلِيَّةَ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Al-Qur’an juga menegaskan:
    Ve Kur’an da ferman etmiş:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan Jahiliyah. Lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin. Kemudian Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa. Mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Fath [48]: 26).
    اِذ۟ جَعَلَ الَّذٖينَ كَفَرُوا فٖى قُلُوبِهِمُ ال۟حَمِيَّةَ حَمِيَّةَ ال۟جَاهِلِيَّةِ فَاَن۟زَلَ اللّٰهُ سَكٖينَتَهُ عَلٰى رَسُولِهٖ وَعَلَى ال۟مُؤ۟مِنٖينَ وَاَل۟زَمَهُم۟ كَلِمَةَ التَّق۟وٰى وَكَانُٓوا اَحَقَّ بِهَا وَاَه۟لَهَا وَكَانَ اللّٰهُ بِكُلِّ شَى۟ءٍ عَلٖيمًا
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ayat dan hadis di atas secara tegas menolak paham nasionalisme negatif dan rasisme. Sebab, semangat keislaman yang positif dan suci tidak membutuhkannya.
    İşte şu hadîs-i şerif ve şu âyet-i kerîme, kat’î bir surette menfî bir milliyeti ve fikr-i unsuriyeti kabul etmiyorlar. Çünkü müsbet ve mukaddes İslâmiyet milliyeti, ona ihtiyaç bırakmıyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Nah, adakah satu ras di dunia yang jumlahnya sekitar 350 juta? Lalu rasisme manakah yang dapat memberikan jumlah pengikut sebanyak itu sebagai ganti dari Islam?
    Evet, acaba hangi unsur var ki üç yüz elli milyon vardır? Ve o İslâmiyet yerine o unsuriyet fikri, fikir sahibine o kadar kardeşleri hem ebedî kardeşleri kazandırsın? Evet, menfî milliyetin tarihçe pek çok zararları görülmüş.
    Sepanjang sejarah tampak begitu banyak bahaya yang diakibatkan oleh nasionalisme negatif.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Di antaranya:Kalangan Umawiyah mencampur sedikit pandangan nasionalisme dalam politik dan kebijakan mereka. Hal ini membuat dunia Islam murka, di samping melahirkan begitu banyak bencana akibat fitnah internal.
    '''Ezcümle:''' Emevîler bir parça fikr-i milliyeti siyasetlerine karıştırdıkları için hem âlem-i İslâm’ı küstürdüler hem kendileri de çok felaketler çektiler.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Begitu pula dengan bangsa-bangsa Eropa. Ketika mereka menyerukan rasisme, muncul konflik historis yang penuh dengan peristiwa menakutkan antara Perancis dan Jerman. Ia juga melahirkan kerusakan parah akibat perang dunia. Inilah bahaya yang menyertai kemunculan nasionalisme negatif tersebut kepada umat manusia.
    Hem Avrupa milletleri, şu asırda unsuriyet fikrini çok ileri sürdükleri için Fransız ve Alman’ın çok şeametli ebedî adâvetlerinden başka, Harb-i Umumî’deki hâdisat-ı müthişe dahi menfî milliyetin nev-i beşere ne kadar zararlı olduğunu gösterdi.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Hal yang sama terjadi pada kita. Di awal masa proklamasi konstitusi Turki Usmani, beragam organisasi imigran terbentuk. Pertama-tama adalah Yunani dan Armenia dengan nama kelompok yang sangat banyak. Hal itu kemudian menimbulkan perpecahan sebagaimana dengan runtuhnya menara Babilonia yang melahirkan sejumlah suku yang terpecah belah. Sebagai akibatnya, ada di antara mereka yang menjadi santapan asing, serta ada pula yang jatuh dan tersesat jauh. Semua itu menjelaskan dampak buruk dan bahaya dari nasionalisme negatif.
    Hem bizde iptida-i Hürriyet’te, –Babil Kale’sinin harabiyeti zamanında “tebelbül-ü akvam” tabir edilen “teşaub-u akvam” ve o teşaub sebebiyle dağılmaları gibi– menfî milliyet fikriyle, başta Rum ve Ermeni olarak pek çok “kulüpler” namında sebeb-i tefrika-i kulûb, muhtelif milletçiler cemiyetleri teşekkül etti. Ve onlardan şimdiye kadar, ecnebilerin boğazına gidenlerin ve perişan olanların halleri, menfî milliyetin zararını gösterdi.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sekarang kebencian dan permusuhan antar elemen dan kelompok Islam yang disebabkan oleh nasionalisme negatif menjadi bencana besar. Pasalnya, berbagai elemen tersebut, satu dengan yang lain saling membutuhkan akibat kezaliman, kesewenang-wenangan, dan kemiskinan yang mereka rasakan serta akibat hegemoni asing. Hal itu benar-benar menghancurkan mereka. Karenanya, sikap permusuhan antar mereka merupakan musibah besar yang sulit untuk digambarkan.
    Şimdi ise en ziyade birbirine muhtaç ve birbirinden mazlum ve birbirinden fakir ve ecnebi tahakkümü altında ezilen anâsır ve kabail-i İslâmiye içinde, fikr-i milliyetle birbirine yabani bakmak ve birbirini düşman telakki etmek, öyle bir felakettir ki tarif edilmez.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Bahkan ia merupakan sikap yang tidak rasional sama seperti orang yang sibuk dengan gigitan nyamuk; tetapi tidak peduli dengan ular-ular raksasa yang berada di sekitar mereka.Ya, ketika ambisi Eropa yang tak pernah surut dan puas laksana ular besar sedang membuka mulut siap untuk menelan, maka sikap tidak peduli dengan ancaman Eropa, bahkan membantu mereka se- cara tidak langsung lewat paham rasisme, serta menumbuhkan spirit permusuhan terhadap penduduk yang tinggal di wilayah Timur atau saudara seagama yang tinggal di Selatan, merupakan bentuk kebina- saan dan bencana besar.
    Âdeta bir sineğin ısırmaması için müthiş yılanlara arka çevirip sineğin ısırmasına karşı mukabele etmek gibi bir divanelikle; büyük ejderhalar hükmünde olan Avrupa’nın doymak bilmez hırslarını, pençelerini açtıkları bir zamanda, onlara ehemmiyet vermeyip belki manen onlara yardım edip menfî unsuriyet fikriyle şark vilayetlerindeki vatandaşlara veya cenup tarafındaki dindaşlara adâvet besleyip onlara karşı cephe almak, çok zararları ve mehaliki ile beraber; o cenup efradları içinde düşman olarak yoktur ki onlara karşı cephe alınsın. Cenuptan gelen Kur’an nuru var, İslâmiyet ziyası gelmiş; o içimizde vardır ve her yerde bulunur.
    Pasalnya, di antara mereka tidak ada yang berhak dimusuhi. Sebaliknya, apa yang datang dari Selatan tidak lain merupakan cahaya al-Qur’an dan lentera Islam yang sinarnya menerangi sekitar kita dan seluruh tempat. Maka, memusuhi saudara seagama tersebut secara tidak langsung merupakan tindakan mencederai Islam dan al-Qur’an. Permusuhan terhadap Islam dan al-Qur’an adalah bentuk permusuhan terhadap semua penduduk berikut kehidupan dunia dan akhirat mereka.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Karena itu, propaganda semangat nasionalisme dengan niat berkhidmah kepada masyarakat justru menghancurkan landasan kehidupan dunia dan akhirat mereka secara bersamaan. Ia adalah sikap yang sangat bodoh; sama sekali bukan bentuk pembelaan dan semangat yang benar.
    İşte o dindaşlara adâvet ise dolayısıyla İslâmiyet’e, Kur’an’a dokunur. İslâmiyet ve Kur’an’a karşı adâvet ise bütün bu vatandaşların hayat-ı dünyeviye ve hayat-ı uhreviyesine bir nevi adâvettir. '''Hamiyet namına hayat-ı içtimaiyeye hizmet edeyim diye iki hayatın temel taşlarını harap etmek; hamiyet değil, hamakattir!'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="Dördüncü_Mesele"></span>
    === Dördüncü Mesele ===
    ===Persoalan Keempat===
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    nasionalisme positif bersumber dari adanya kebutuhan internal terhadap kehidupan sosial. Ia melahirkan sikap saling kerjasama dan saling membantu. Ia juga mewujudkan kekuatan yang bermanfaat bagi masyarakat, di samping menjadi sarana yang menopang ukhuwah Islamiyah.
    Müsbet milliyet, hayat-ı içtimaiyenin ihtiyac-ı dâhilîsinden ileri geliyor; teavüne, tesanüde sebeptir; menfaatli bir kuvvet temin eder; uhuvvet-i İslâmiyeyi daha ziyade teyid edecek bir vasıta olur.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Nasionalisme positif ini harus menjadi pelayan Islam, harus menjadi benteng yang kokoh baginya, serta menjadi pagar yang melindunginya; bukan malah menggantikan posisi Islam. Sebab, persaudaraan yang dipersembahkan oleh Islam mengandung ribuan macam persaudaraan. Ia kekal di alam abadi dan alam barzakh. Jadi, sekuat apapun bentuk persaudaraan sebangsa dan setanah air, ia hanyalah merupakan hijab bagi ukhuwah Islamiyah. Sebaliknya, penegakan nasionalisme sebagai alternatif bagi Islam merupakan kejahatan bodoh, sama seperti tindakan meletakkan batu benteng di tempat penyimpanan berlian lalu membuang berlian tersebut ke luar benteng.
    Şu müsbet fikr-i milliyet İslâmiyet’e hâdim olmalı, kale olmalı, zırhı olmalı; yerine geçmemeli. Çünkü İslâmiyet’in verdiği uhuvvet içinde bin uhuvvet var, âlem-i bekada ve âlem-i berzahta o uhuvvet bâki kalıyor. Onun için uhuvvet-i milliye ne kadar da kavî olsa onun bir perdesi hükmüne geçebilir. Yoksa onu onun yerine ikame etmek; aynı kalenin taşlarını, kalenin içindeki elmas hazinesinin yerine koyup o elmasları dışarı atmak nevinden ahmakane bir cinayettir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Wahai putra-putri bangsa pencinta al-Qur’an!
    İşte ey ehl-i Kur’an olan şu vatanın evlatları! Altı yüz sene değil belki Abbasîler zamanından beri bin senedir Kur’an-ı Hakîm’in bayraktarı olarak, bütün cihana karşı meydan okuyup Kur’an’ı ilan etmişsiniz. Milliyetinizi, Kur’an’a ve İslâmiyet’e kale yaptınız. Bütün dünyayı susturdunuz, müthiş tehacümatı def’ettiniz,
    Sejak enam ratus tahun, bahkan seribu tahun yang lalu, dari masa Abbasiyah, kalian telah menantang seluruh dunia sebagai pembawa dan pengibar panji al-Qur’an ke seluruh penjuru dunia. Kalian telah menjadikan spirit nasionalisme kalian sebagai benteng bagi al- Qur’an dan Islam. Kalian telah membuat dunia terdiam dan tunduk. Kalian telah menyingkirkan bencana besar yang nyaris menghancurkan kehidupan dunia Islam sehingga kalian menjadi bukti yang baik dari kebenaran ayat al-Qur’an:
    يَا۟تِى اللّٰهُ بِقَو۟مٍ يُحِبُّهُم۟ وَيُحِبُّونَهُٓ اَذِلَّةٍ عَلَى ال۟مُؤ۟مِنٖينَ اَعِزَّةٍ عَلَى ال۟كَافِرٖينَ يُجَاهِدُونَ فٖى سَبٖيلِ اللّٰهِ
    “Kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum; yang dicintai oleh- Nya dan merekapun mencintai Allah; yang bersikap lemah lembut terhadap orang mukmin dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir; yang berjihad di jalan Allah. (QS. al-Mâidah [5]: 54).
    âyetine güzel bir mâsadak oldunuz. Şimdi Avrupa’nın ve Frenk-meşrep münafıkların desiselerine uyup şu âyetin evvelindeki hitaba mâsadak olmaktan çekinmelisiniz ve korkmalısınız!
    Karena itu, jangan kalian tertipu dan mengikuti tipu daya bangsa Eropa. Jangan sampai kalian menjadi bagian dari awal ayat di atas.(*<ref>*Yaitu firman Allah yang berbunyi:Wahai orang-orang yang beriman, siapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang dicintai oleh-Nya ....</ref>)
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kondisi yang Menarik Perhatian Bangsa Turki merupakan bangsa muslim terbanyak dibanding bangsa muslim lainnya di mana mereka beragama Islam di manapun mereka berada. Sementara bangsa-bangsa lain ada yang muslim dan ada yang non-muslim. Karena itu, bangsa Turki tidak terpecah sebagaimana bangsa-bangsa lainnya. Di manapun sekelompok orang Turki berada, mereka adalah muslim. Adapun yang keluar dari Islam atau yang memang bukan muslim, sesungguhnya mereka tidak bisa disebut sebagai orang Turki seperti Hungaria. Sementara bang- sa-bangsa lain, bahkan yang kecil sekalipun, terdiri dari muslim dan non-muslim.
    '''Cây-ı dikkat bir hal:''' Türk milleti anâsır-ı İslâmiye içinde en kesretli olduğu halde, dünyanın her tarafında olan Türkler ise Müslüman’dır. Sair unsurlar gibi müslim ve gayr-ı müslim olarak iki kısma inkısam etmemiştir. Nerede Türk taifesi varsa Müslüman’dır. Müslümanlıktan çıkan veya Müslüman olmayan Türkler, Türklükten dahi çıkmışlardır (Macarlar gibi). Halbuki küçük unsurlarda dahi hem müslim ve hem de gayr-ı müslim var.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Wahai saudaraku yang berkebangsaan Turki!
    Ey Türk kardeş! Bilhassa sen dikkat et! Senin milliyetin İslâmiyet’le imtizaç etmiş. Ondan kabil-i tefrik değil. Tefrik etsen mahvsın! Bütün senin mazideki mefahirin, İslâmiyet defterine geçmiş. Bu mefahir, zemin yüzünde hiçbir kuvvetle silinmediği halde, sen şeytanların vesveseleriyle, desiseleriyle o mefahiri kalbinden silme!
    Perhatikan! Nasionalisme yang kau miliki telah menyatu de- ngan Islam dalam satu bentuk yang tidak bisa dipisahkan. Ketika engkau berusaha memisahkannya dari Islam, engkau akan binasa. Tidakkah engkau melihat bahwa semua kebanggaanmu di masa lalu tercatat dalam memori Islam?! Seluruh kebanggaan tersebut tidak bisa dihapus dengan kekuatan apapun di muka bumi ini. Karena itu, jangan kau hapus dari hatimu dengan mendengarkan berbagai syubhat yang dilontarkan oleh para setan dari kalangan manusia!
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="Beşinci_Mesele"></span>
    === Beşinci Mesele ===
    ===Persoalan Kelima,===
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    sejumlah bangsa yang bangkit di Asia berpegang pada nasionalisme dan mengikuti Eropa dalam segala aspek. Bahkan demi sikap taklid tersebut mereka rela mengorbankan banyak hal yang bersifat sakral dan suci.
    Asya’da uyanan akvam, fikr-i milliyete sarılıp aynen Avrupa’yı her cihetle taklit ederek, hattâ çok mukaddesatları o yolda feda ederek hareket ediyorlar. Halbuki her milletin kamet-i kıymeti başka bir elbise ister. Bir cins kumaş bile olsa tarzı, ayrı ayrı olmak lâzım gelir. Bir kadına, bir jandarma elbisesi giydirilmez. Bir ihtiyar hocaya, tango bir kadın libası giydirilmediği gibi… Körü körüne taklit dahi çok defa maskaralık olur. Çünkü:
    Sebenarnya setiap bangsa cocok dengan pakaian yang sesuai dengan bentuk dan posturnya. Meskipun jenis kainnya sama, model bisa jadi berbeda. Sebab, tidak mungkin wanita mengenakan pakaian polisi militer. Juga tidak mungkin seorang ulama dikenakan pakaian yang terbuka. Sikap taklid buta seringkali mengantar pada kehinaan dan kerendahan. Pasalnya:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Pertama, jika Eropa merupakan kedai atau barak militer, Asia laksana ladang atau masjid. Bila pemilik kedai kadang pergi ke teater, petani tidak tertarik padanya. Demikian pula dengan kondisi barak dan masjid.
    '''Evvela:''' Avrupa bir dükkân, bir kışla ise Asya bir mezraa, bir cami hükmündedir. Bir dükkâncı dansa gider, bir çiftçi gidemez. Kışla vaziyeti ile mescid vaziyeti bir olmaz.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Lalu kemunculan sebagian besar nabi di Asia, serta kemunculan sebagian besar filsuf di Eropa menjadi perlambang dan petunjuk takdir ilahi bahwa yang membangkitkan dan memajukan bangsa Asia serta yang mewujudkan kelangsungan hidup bernegara mereka adalah agama dan kalbu. Adapun filsafat dan hikmah harus mendukung agama dan kalbu; bukan menggantikan keduanya.
    Hem ekser enbiyanın Asya’da zuhuru, ağleb-i hükemanın Avrupa’da gelmesi, kader-i ezelînin bir remzi, bir işaretidir ki Asya akvamını intibaha getirecek, terakki ettirecek, idare ettirecek; din ve kalptir. Felsefe ve hikmet ise din ve kalbe yardım etmeli, yerine geçmemeli.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kedua, agama Islam tidak bisa disamakan dengan agama Kristen. Pasalnya, sikap bertaklid buta kepada Eropa dalam mengabaikan agama merupakan kesalahan besar. Sebab, sebenarnya kalangan Eropa berpegang pada agama mereka. Sebagai buktinya, para pemimpin Barat seperti Wilson,(*<ref>*Thomas Woodrow Wilson (1856-1924 M) adalah Presiden Amerika Serikat yang ke-28 (1913-1921 M). Ia berasal dari partai Demokrat dan dikenal sebagai politisi yang religius (Wikipedia)―Peny.</ref>)Lloyd George,(*<ref>*David Lloyd George (1863-1945 M) adalah Perdana Menteri Britania Raya, Ing- gris, pada tahun 1916-1922 M (Wikipedia)―Peny.</ref>)Venizelos,(*<ref>*Eleftherios Kyriakou Venizelos (1964-1936 M) adalah Perdana Menteri Yunani, yang menjabat dari tahun 1910-1920 dan 1928-1932 M (Wikipedia)―Peny.</ref>)dan yang lainnya. Mereka adalah orang-orang yang sangat berpegang teguh pada agama layaknya seorang pastur yang fanatik. Mereka menjadi bukti yang kuat bahwa Eropa memiliki agama; bahkan tergolong fanatik.
    '''Sâniyen:''' Din-i İslâm’ı Hristiyan dinine kıyas edip Avrupa gibi dine lâkayt olmak, pek büyük bir hatadır. Evvela: Avrupa, dinine sahiptir. Başta Wilson, Loid George, Venizelos gibi Avrupa büyükleri, papaz gibi dinlerine mutaassıp olmaları şahittir ki Avrupa dinine sahiptir, belki bir cihette mutaassıptır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ketiga, menyamakan Islam dengan Kristen adalah satu analogi yang bersifat paradoks. Ia merupakan analogi yang tidak tepat. Pasalnya, ketika Eropa berpegang teguh, bahkan fanatik terhadap agamanya, mereka tidak maju. Namun ketika tidak fanatik, mereka menjadi bangsa yang maju dan berperadaban.
    '''Sâlisen:''' İslâmiyet’i Hristiyan dinine kıyas etmek, kıyas-ı maalfârıktır, o kıyas yanlıştır. Çünkü Avrupa, dinine mutaassıp olduğu zaman medeni değildi; taassubu terk etti, medenileşti.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Fanatisme agama pada bangsa Eropa memicu terjadinya berbagai konflik internal selama 300 tahun. Para penguasa tiran memperalat agama untuk menindas masyarakat, kalangan marjinal, para pemikir dan ilmuwan sehingga membuat mereka marah pada agama.
    Hem din, onların içinde üç yüz sene muharebe-i dâhiliyeyi intac etmiş. Müstebit zalimlerin elinde avamı, fukarayı ve ehl-i fikri ezmeye vasıta olduğundan; onların umumunda muvakkaten dine karşı bir küsmek hasıl olmuştu.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Adapun dalam Islam, dan sejarah menjadi saksinya, agama tidak menjadi pemicu konflik internal kecuali satu kali.
    İslâmiyet’te ise tarihler şahittir ki bir defadan başka dâhilî muharebeye sebebiyet vermemiş.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Diukur dengan kondisi masa itu, umat Islam mengalami kemajuan yang luar biasa ketika mereka berpegang teguh pada agama. Sebagai buktinya adalah Daulah Islam di Andalusia yang menjadi guru besar bagi Eropa.
    Hem ne vakit ehl-i İslâm, dine ciddi sahip olmuşlarsa o zamana nisbeten yüksek terakki etmişler. Buna şahit, Avrupa’nın en büyük üstadı, Endülüs Devlet-i İslâmiyesidir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Akan tetapi, ketika umat Islam meninggalkan agama, mereka tertinggal dan mengalami kejatuhan.
    Hem ne vakit, cemaat-i İslâmiye dine karşı lâkayt vaziyeti almışlar, perişan vaziyete düşerek tedenni etmişler.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Selain itu, Islam menjadi pelindung bagi kalangan marjinal dan masyarakat awam. Yaitu dengan adanya kewajiban zakat dan pengharaman riba, serta ribuan hal sejenis yang menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya kepada rakyat jelata. Lalu Islam juga melindungi orang-orang yang berilmu. Islam memberikan argumen dengan menggunakan akal dan ilmu pengetahuan serta membangunkan keduanya dalam jiwa lewat ayat-ayat seperti berikut: Apakah mereka tidak merenungkan.
    Hem İslâmiyet, vücub-u zekât ve hurmet-i riba gibi binler şefkat-perverane mesail ile fukarayı ve avamı himaye ettiği اَفَلَا يَع۟قِلُونَ ۝ اَفَلَا يَتَفَكَّرُونَ ۝ اَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ gibi kelimatıyla aklı ve ilmi istişhad ve ikaz ettiği ve ehl-i ilmi himaye ettiği cihetle daima İslâmiyet, fukaraların ve ehl-i ilmin kalesi ve melcei olmuştur. Onun için İslâmiyet’e karşı küsmeye hiçbir sebep yoktur.
    Apakah kalian tidak berpikir.Apakah mereka tidak berakal.Islam selalu menjadi benteng yang melindungi kalangan fakir dan ilmuwan. Karena itu, tidak ada faktor yang melahirkan kebencian terhadap Islam.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Rahasia dan perbedaan mendasar antara Islam dan agama lain, termasuk Kristen adalah:
    '''İslâmiyet’in Hristiyanlık ve sair dinlere cihet-i farkının sırr-ı hikmeti şudur ki:'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Landasan Islam adalah tauhid murni. Karena itu, pengaruh hakiki tidak disandarkan kepada sebab dan perantara. Dalam agama Islam, sebab tidak memiliki peranan dalam mencipta.
    İslâmiyet’in esası, mahz-ı tevhiddir; vesait ve esbaba tesir-i hakiki vermiyor, icad ve makam cihetiyle kıymet vermiyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Adapun dalam agama Kristen, paham “Anak Tuhan” yang mereka anut memberikan peran kepada perantara dan sebab. Karena itu, ia melahirkan sikap angkuh dan sombong. Bahkan ia memberikan sebagian dari sifat rububiyah ilahi kepada para rahib dan pendeta sehingga ini sesuai dengan bunyi firman-Nya:
    Hristiyanlık ise “velediyet” fikrini kabul ettiği için vesait ve esbaba bir kıymet verir, enaniyeti kırmaz. Âdeta rububiyet-i İlahiyenin bir cilvesini azizlerine, büyüklerine verir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Mereka menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.” (QS. at-Taubah [9]: 31).Dari sini tidak aneh jika para pembesar agama Kristen sangat fanatik terhadap agama mereka. Mereka memelihara kedudukan dan ego mereka meski menjabat tugas duniawi yang tinggi. Misalnya presiden Amerika, Wilson, yang merupakan tokoh agama yang fanatik.
    اِتَّخَذُٓوا اَح۟بَارَهُم۟ وَرُه۟بَانَهُم۟ اَر۟بَابًا مِن۟ دُونِ اللّٰهِ âyetine mâsadak olmuşlar. Onun içindir ki Hristiyanların dünyaca en yüksek mertebede olanları, gurur ve enaniyetlerini muhafaza etmekle beraber sâbık Amerika Reisi Wilson gibi mutaassıp bir dindar olur.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sementara dalam Islam yang merupakan agama tauhid murni, orang-orang yang menduduki jabatan tinggi negara harus mening- galkan ego mereka. Jika tidak, mereka menunjukkan sikap kebera- gamaan yang tidak benar. Karena itu, sebagian mereka mengabaikan urusan agama. Bahkan kadang ada dari mereka yang keluar dari agama.
    Mahz-ı tevhid dini olan İslâmiyet içinde, dünyaca yüksek mertebede olanlar, ya enaniyeti ve gururu bırakacak veya dindarlığı bir derece bırakacak. Onun için bir kısmı lâkayt kalıyorlar, belki dinsiz oluyorlar.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="Altıncı_Mesele"></span>
    === Altıncı Mesele ===
    ===Persoalan Keenam===
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    kami ingin menegaskan kepada mereka yang berlebihan dalam menunjukkan sikap rasis dan nasionalisme negatif:
    Menfî milliyette ve unsuriyet fikrinde ifrat edenlere deriz ki:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Pertama, begitu banyak migrasi terjadi di seluruh penjuru dunia, terutama di negeri kita sejak dahulu. Sejumlah kaum dan suku bangsa mengalami banyak perubahan dan transformasi. Migrasi ke negeri kita semakin meningkat setelah ia menjadi pusat pemerintahan Islam sehingga semua suku bangsa berhimpun di sekitarnya seperti kupu-kupu. Mereka tinggal di dalamnya sekaligus menjadi penduduk setempat. Dalam kondisi demikian, tidak mungkin memilah-milah ras sebenarnya dari masing-masing mereka kecuali dengan terbukanya lauhil mahfudz.
    '''Evvela:''' Şu dünya yüzü, hususan şu memleketimiz, eski zamandan beri çok muhaceretlere ve tebeddülata maruz olmakla beraber; merkez-i hükûmet-i İslâmiye bu vatanda teşkil olduktan sonra, akvam-ı saireden pervane gibi çokları içine atılıp tavattun etmişler. İşte bu halde Levh-i Mahfuz açılsa ancak hakiki unsurlar birbirinden tefrik edilebilir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Karena itu, membangun semangat dan pergerakan atas dasar rasisme sama sekali tidak berguna, justru melahirkan bahaya. Oleh karenanya, salah seorang propagandis rasisme dan nasionalisme negatif yang mengabaikan nilai agama terpaksa harus mengakui dengan berkata, “Bila agama dan bahasa menyatu, bangsa akan bersatu.” Jika demikian, bahasa, agama, dan ikatan kebangsaan harus menjadi perhatian; bukan rasisme. Jika ketiga hal itu menyatu, dengan sendirinya bangsa akan menjadi kuat. Namun jika salah satu dari ketiganya tidak ada, ia akan masuk pada nasionalisme negatif.
    Öyle ise hakiki unsuriyet fikrine, hareketi ve hamiyeti bina etmek, manasız ve hem pek zararlıdır. Onun içindir ki: Menfî milliyetçilerin ve unsuriyet-perverlerin reislerinden ve dine karşı pek lâkayt birisi, mecbur olmuş, demiş: “Dil, din bir ise millet birdir.” Madem öyledir. Hakiki unsuriyete değil; belki dil, din, vatan münasebatına bakılacak. Eğer üçü bir ise zaten kuvvetli bir millet, eğer biri noksan olursa tekrar milliyet dairesine dâhildir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kedua, kami akan menjelaskan dua manfaat―sebagai contohdari ratusan manfaat yang bisa didapat dari semangat keislaman yang suci untuk putra-putri bangsa.
    '''Sâniyen:''' İslâmiyet’in mukaddes milliyeti, bu vatan evladının hayat-ı içtimaiyesine kazandırdığı yüzer faydadan iki faydayı misal olarak beyan edeceğiz:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="Birincisi:"></span>
    ==== Birincisi: ====
    ====Manfaat pertama:====
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Yang memelihara kehidupan dan eksistensi Daulah Islamiyah― meski jumlahnya 20 atau 30 juta―dalam menghadapi seluruh negara Eropa yang besar adalah konsep al-Qur’an yang dibawa oleh prajuritnya. Yaitu, “Jika aku terbunuh berarti aku mati syahid, jika aku membunuh berarti aku mujahid.” Konsep ini mendorong putra-putri bangsa untuk menyambut kematian dengan senyuman; sesuatu yang menggentarkan hati bangsa Eropa.
    Şu devlet-i İslâmiye yirmi otuz milyon iken, bütün Avrupa’nın büyük devletlerine karşı hayatını ve mevcudiyetini muhafaza ettiren, şu devletin ordusundaki nur-u Kur’an’dan gelen şu fikirdir: “Ben ölsem şehidim, öldürsem gaziyim.” Kemal-i şevk ile ve aşk ile ölümün yüzüne gülerek istikbal etmiş. Daima Avrupa’yı titretmiş. Acaba dünyada basit fikirli, safi kalpli olan neferatın ruhunda şöyle ulvi fedakârlığa sebebiyet verecek, hangi şey gösterilebilir? Hangi hamiyet onun yerine ikame edilebilir? Ve hayatını ve bütün dünyasını severek ona feda ettirebilir?
    Apakah gerangan yang bisa membangkitkan semangat pengorbanan semacam itu pada jiwa prajurit, sementara mereka adalah orang-orang yang memiliki pemikiran sederhana dan hati yang bersih?! Semangat apa yang bisa menggantikan prinsip mulia tersebut dan dapat membuat seseorang mau mengorbankan hidup dan dunianya secara suka rela?
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="İkincisi:"></span>
    ==== İkincisi: ====
    ====Manfaat kedua:====
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Begitu negara-negara besar Eropa menyakiti daulah Islam dan terus menghantamnya, hal itu membuat 350 juta umat Islam di seluruh dunia menangis dan meratapi kezaliman mereka. Kondisi tersebut menjadikan negara-negara Imperialis itu menarik diri dengan tidak lagi menyakiti dan menyerang guna mencegah munculnya amarah umat Islam secara umum.Mungkinkah kekuatan maknawi yang dominan dan permanen itu diremehkan? Mungkinkah ia diingkari dan tidak diakui? Adakah kekuatan lain yang bisa menggantikannya? Ini adalah tantangan. Hendaknya mereka bisa menunjukkan kekuatan tersebut. Karena itu, tidak semestinya kita mengabaikan kekuatan besar tersebut demi mengadopsi paham nasionalisme negatif dan semangat yang lepas dari agama.
    Avrupa’nın ejderhaları (büyük devletleri) her ne vakit şu devlet-i İslâmiyeye bir tokat vurmuşlarsa üç yüz elli milyon İslâm’ı ağlatmış ve inletmiş. Ve o müstemlekat sahipleri, onları inletmemek ve sızlatmamak için elini çekmiş, elini kaldırırken indirmiş. Şu hiçbir cihette istisgar edilmeyecek manevî ve daimî bir kuvvetü’z-zahr yerine hangi kuvvet ikame edilebilir? Gösterilsin! Evet, o azîm manevî kuvvetü’z-zahrı, menfî milliyet ile ve istiğnakârane hamiyet ile gücendirmemeli!
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="Yedinci_Mesele"></span>
    === Yedinci Mesele ===
    ===Persoalan Ketujuh===
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    kami ingin menegaskan kepada mereka yang menunjukkan semangat nasionalisme negatif yang kuat:Jika kalian memang benar-benar mencintai dan menyayangi bangsa ini, kalian harus memiliki semangat yang diiringi kasih sayang terhadap mayoritas bangsa. Pasalnya, mengabdikan diri pada kehidupan sosial kaum minoritas dari bangsa ini yang bersifat temporer―padahal mereka tidak layak dikasihani―dengan tidak memperhatikan mayoritas, sama sekali bukan merupakan semangat nasionalisme ataupun patriotisme.
    Menfî milliyette fazla hamiyet-perverlik gösterenlere deriz ki: Eğer şu milleti ciddi severseniz, onlara şefkat ederseniz öyle bir hamiyet taşıyınız ki onların ekserisine şefkat sayılsın. Yoksa ekserisine merhametsizcesine bir tarzda, şefkate muhtaç olmayan bir kısm-ı kalilin muvakkat gafletkârane hayat-ı içtimaiyelerine hizmet ise hamiyet değildir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Hal itu karena sikap patriotik dengan pengertian rasisme hanya memberikan manfaat untuk dua dari setiap delapan orang. Itupun dengan manfaat yang bersifat temporer. Mereka memperoleh kasih sayang dari sikap patriotik tersebut, padahal mereka tidak layak mendapatkannya. Sementara enam lainnya, bisa jadi mereka sudah tua, sakit, tertimpa musibah, anak-anak, orang yang sangat lemah atau orang bertakwa yang memikirkan akhirat secara sungguh-sungguh. Mereka mencari pelipur dan cahaya yang memberikan harapan. Pasalnya, mereka berorientasi pada kehidupan barzakh dan akhirat ketimbang kehidupan dunia. Mereka membutuhkan tangan-tangan penuh kasih yang mau memberikan pertolongan. Semangat macam apa yang tega memadamkan cahaya harapan mereka serta tidak memedulikan kondisi mereka yang membutuhkan pelipur lara? Itu sama sekali bukan semangat patriotisme. Mana belas kasih pada bangsa dan mana pengorbanan untuk mereka?!
    Çünkü menfî unsuriyet fikriyle yapılacak hamiyetkârlığın, milletin sekizden ikisine muvakkat faydası dokunabilir. Lâyık olmadıkları o hamiyetin şefkatine mazhar olurlar. O sekizden altısı, ya ihtiyardır ya hastadır ya musibetzededir ya çocuktur ya çok zayıftır ya pek ciddi olarak âhireti düşünür müttakidirler ki bunlar hayat-ı dünyeviyeden ziyade müteveccih oldukları hayat-ı berzahiyeye ve uhreviyeye karşı bir nur, bir teselli, bir şefkat isterler ve hamiyetkâr mübarek ellere muhtaçtırlar. Bunların ışıklarını söndürmeye ve tesellilerini kırmaya hangi hamiyet müsaade eder? Heyhat! Nerede millete şefkat, nerede millet yolunda fedakârlık?
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kita tidak boleh putus asa dari rahmat Allah. Sejak seribu tahun yang lalu, Allah telah menyeru putra-putri bangsa ini, elemen masyarakat, dan tentaranya untuk berkhidmah pada al-Qur’an sekaligus menjadikan mereka sebagai pengibar panjinya. Karena itu, kita sangat berharap dari rahmat ilahi agar tidak membinasakan mereka dengan hambatan yang bersifat sementara insya Allah. Allah akan terus memberi bantuan kepada “cahaya tersebut” serta menjadikannya lebih terang sehingga mereka dapat melanjutkan tugas suci tersebut.
    '''Rahmet-i İlahiyeden ümit kesilmez. Çünkü Cenab-ı Hak, bin seneden beri Kur’an’ın hizmetinde istihdam ettiği ve ona bayraktar tayin ettiği bu vatandaşların muhteşem ordusunu ve muazzam cemaatini, muvakkat arızalarla inşâallah perişan etmez. Yine o nuru ışıklandırır ve vazifesini idame ettirir…'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="Dördüncü_Mebhas"></span>
    == Dördüncü Mebhas ==
    ==BAHASAN KEEMPAT==
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Catatan:'''
    '''Tenbih:''' Yirmi Altıncı Mektup’un dört mebhası, birbiri ile münasebettar olmadığı gibi bu Dördüncü Mebhas’ın '''on mesaili''' dahi birbiriyle münasebettar değildir. Onun için münasebeti aramamalı. Nasıl gelmiş, öyle yazılmış. Mühim bir talebesine gönderdiği mektubun bir parçasıdır. O talebenin beş altı suallerine verilen cevaplardır.
    Sebagaimana empat bahasan pada “Surat Kedua Puluh Enam” tidak saling terkait, demikian pula dengan sepuluh persoalan dalam bahasan ini. Karena itu, tidak perlu mencari relasi dan keterkaitan antar bagiannya. Ia ditulis sebagaimana yang terlintas. Bahasan ini adalah bagian dari surat yang ustadz Said Nursi kirim kepada salah seorang murid pentingnya. Ia berisi jawaban terhadap lima atau enam persoalan.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="Birincisi"></span>
    === Birincisi ===
    ===Persoalan Pertama===
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kedua: Saudaraku, engkau berkata dalam suratmu bahwa menurut para mufassir dalam menafsirkan terdapat delapan belas ribu alam.(*<ref>*Lihat: ath-Thabari, Jâmi al-Bayân 1/63; al-Qurthubi, al-Jâmi li Ahkâm al-Qur’an 1/138; dan al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl 1/40.</ref>)Engkau menanyakan hikmah dari bilangan tersebut?
    '''Sâniyen:''' Mektubunda diyorsun: رَبُّ ال۟عَالَمٖينَ tabir ve tefsirinde “on sekiz bin âlem” demişler. O adedin hikmetini soruyorsun.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Saudaraku, saat ini aku tidak mengetahui apa hikmah darinya.Akan tetapi aku hanya ingin mengatakan sebagai berikut:Kalimat-kalimat al-Qur’an al-Hakîm tidak hanya terbatas pada satu makna. Akan tetapi, ia bersifat universal; berisi sejumlah makna untuk setiap tingkatan manusia. Hal itu karena al-Qur’an al-Karim merupakan pesan untuk semua tingkatan manusia. Oleh sebab itu, berbagai makna yang menjelaskannya laksana bagian dari prinsip universal tersebut. Di sini setiap mufassir dan setiap kalangan arif menyebutkan bagian dari makna universal yang ada. Dalam menafsirkan, ia bersandar kepada hasil kasyaf, dalil, atau manhajnya sehingga memilih salah satu maknanya. Di sini sekelompok orang juga menyingkap satu makna yang sesuai dengan bilangan di atas.
    Kardeşim, ben şimdi o adedin hikmetini bilmiyorum fakat bu kadar derim ki: '''Kur’an-ı Hakîm’in cümleleri, birer manaya münhasır değil belki nev-i beşerin umum tabakatına hitap olduğu için her tabakaya karşı birer manayı tazammun eden bir küllî hükmündedir.''' Beyan olunan manalar, o küllî kaidenin cüz’iyatları hükmündedirler. Her bir müfessir, her bir ârif, o küllîden bir cüzü zikrediyor. Ya keşfine, ya deliline veyahut meşrebine istinad edip bir manayı tercih ediyor. İşte bunda dahi bir taife, o adede muvafık bir mana keşfetmiş.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Misalnya, dalam wirid mereka, para wali menyebut dan membaca secara berulang-ulang dengan penuh perhatian firman Allah yang berbunyi:Ayat al-Qur’an tersebut memiliki sejumlah makna parsial, mulai dari lautan rububiyah di wilayah al-wujûb, lautan ubudiyah di wilayah al-imkân, hingga berakhir di lautan dunia dan akhirat, laut alam nyata dan alam gaib, samudera Timur dan Barat, Utara dan Selatan, lautan Romawi, lautan Persia, Laut Tengah dan Laut Hitam, serta celah di antara keduanya yang mengeluarkan ikan bernama al-Marjan. Lalu ke laut tengah, laut Merah, terusan Sues, serta di laut air tawar dan asin, laut air segar yang terpencar dan laut asin yang terdapat di muka bumi di mana bagian-bagiannya saling bersambung. Serta yang disebut laut kecil dan segar berupa sungai-sungai besar seperti Nil, Tigris dan Eufrat, berikut laut asin yang bercampur dengannya.
    Mesela, ehl-i velayetin ehemmiyetle virdlerinde zikir ve tekrar ettikleri مَرَجَ ال۟بَح۟رَي۟نِ يَل۟تَقِيَانِ ۝ بَي۟نَهُمَا بَر۟زَخٌ لَا يَب۟غِيَانِ cümlesinde; daire-i vücub ile daire-i imkândaki bahr-i rububiyet ve bahr-i ubudiyetten tut, tâ dünya ve âhiret bahirlerine, tâ âlem-i gayb ve âlem-i şehadet bahirlerine, tâ şark ve garp, şimal ve cenuptaki bahr-i muhitlerine, tâ Bahr-i Rum ve Fars bahrine, tâ Akdeniz ve Karadeniz ve Boğazına –ki mercan denilen balık ondan çıkıyor– tâ Akdeniz ve Bahr-i Ahmer’e ve Süveyş Kanalı’na, tâ tatlı ve tuzlu sular denizlerine, tâ toprak tabakası altındaki tatlı ve müteferrik su denizleriyle, üstündeki tuzlu ve muttasıl denizlerine, Nil ve Dicle ve Fırat gibi büyük ırmaklar denilen küçük tatlı denizler ile onların karıştığı tuzlu büyük denizlerine kadar, manasındaki cüz’iyatları var. Bunlar umumen murad ve maksud olabilir ve onun hakiki ve mecazî manalarıdır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Seluruh bagian tersebut terdapat dalam kandungan makna ayat di atas. Seluruhnya bisa menjadi makna yang dimaksud. Kesemuanya merupakan makna hakiki dan majasi dari ayat itu.Begitulah, juga mencakup banyak hakikat seperti yang telah disebutkan. Kalangan ahli kasyaf dan hakikat menjelaskannya dengan keterangan yang berbeda-beda sesuai kasyaf mereka.
    İşte onun gibi اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ رَبِّ ال۟عَالَمٖينَ dahi pek çok hakaiki câmi’dir. Ehl-i keşif ve hakikat, keşiflerine göre ayrı ayrı beyan ederler.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sementara yang kupahami dari ayat tersebut adalah sebagai berikut:Di langit terdapat ribuan alam. Setiap bintang dalam kumpulannya bisa merupakan alam tersendiri. Di bumi juga terdapat setiap jenis makhluk yang merupakan alam tersendiri. Bahkan manusia merupakan alam kecil.Kata bermakna bahwa setiap alam ditata, dipelihara, dan diatur secara langsung lewat rububiyah Allah.
    Ben de böyle fehmederim ki: Semavatta binler âlem var. Yıldızların bir kısmı her biri birer âlem olabilir. Yerde de her bir cins mahlukat, birer âlemdir. Hattâ her bir insan dahi küçük bir âlemdir. رَبِّ ال۟عَالَمٖينَ tabiri ise '''“Doğrudan doğruya her âlem, Cenab-ı Hakk’ın rububiyetiyle idare ve terbiye ve tedbir edilir.”''' demektir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ketiga, Rasul bersabda:
    '''Sâlisen:''' Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâm ferman etmiş:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi satu kaum, Dia memperlihatkan kepada mereka aib diri mereka.”(*<ref>*HR. ad-Daylami, al-Musnad 1/242; Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf 6/240; dan Ibnu al-Mubârak, az-Zuhd 96.</ref>)
    اِذَا اَرَادَ اللّٰهُ بِقَو۟مٍ خَي۟رًا اَب۟صَرَهُم۟ بِعُيُوبِ اَن۟فُسِهِم۟
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Dalam al-Qur’an, Nabi Yusuf berkata:
    Kur’an-ı Hakîm’de Hazret-i Yusuf aleyhisselâm demiş:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Aku tidak menyatakan diriku bebas dari kesalahan. Sebab, sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada keburukan.” (QS. Yûsuf [12]: 53).
    وَمَٓا اُبَرِّئُ نَف۟سٖى اِنَّ النَّف۟سَ لَاَمَّارَةٌ بِالسُّٓوءِ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ya, orang yang kagum terhadap dirinya adalah orang malang. Sementara orang yang bisa melihat aib dirinya sangat beruntung. Karena itu, engkau beruntung wahai saudaraku. Namun kadang-kadang nafsu ammârah bisa berubah menjadi nafsu lawwâmah atau muthmainnah. Hanya saja ia menyerahkan senjata dan perlengka- pannya kepada saraf sehingga ia menunaikan tugas tersebut hingga akhir usia. Meskipun nafsu ammârah sudah mati sejak lama, jejak dan pengaruhnya masih tetap ada.
    '''Evet, nefsini beğenen ve nefsine itimat eden, bedbahttır. Nefsinin ayıbını gören, bahtiyardır.''' Öyle ise sen bahtiyarsın. Fakat bazen olur ki nefs-i emmare, ya levvameye veya mutmainneye inkılab eder fakat silahlarını ve cihazatını âsaba devreder. Âsab ve damarlar ise o vazifeyi âhir ömre kadar görür. Nefs-i emmare çoktan öldüğü halde, onun âsârı yine görünür.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Banyak wali dan orang salih ternama mengeluhkan nafsu ammârah meskipun sudah mencapai tingkatan muthmainnah. Mereka berlindung kepada Allah dari berbagai penyakit hati meskipun hati mereka sehat dan bercahaya. Para tokoh mulia itu sebenarnya tidak mengeluhkan nafsu ammârah.
    Çok büyük asfiya ve evliya var ki nüfusları mutmainne iken, nefs-i emmareden şekva etmişler. Kalpleri gayet selim ve münevver iken, emraz-ı kalpten vaveylâ etmişler. İşte bu zatlardaki, nefs-i emmare değil belki âsaba devredilen nefs-i emmarenin vazifesidir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Namun mereka mengeluhkan tugas nafsu ammârah yang diserahkan kepada saraf. Penyakitnya bukan di hati; akan tetapi bersifat imajinasi. Yang melancarkan serangan kepadamu wahai saudaraku, bukan nafsu dan bukan pula penyakit hatimu. Namun ia adalah kondisi yang berpindah ke saraf guna terus melakukan mujahadah hingga akhir usia sesuai dengan kondisi manusia di mana ia menjadi sebab adanya peningkatan spiritual.
    Maraz ise kalbî değil belki maraz-ı hayalîdir. İnşâallah aziz kardeşim, size hücum eden nefsiniz ve emraz-ı kalbiniz değil belki mücahedenin devamı için beşeriyet itibarıyla âsaba intikal eden ve terakkiyat-ı daimîye sebebiyet veren, dediğimiz gibi bir halettir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="İkinci_Mesele"></span>
    === İkinci Mesele ===
    ===Persoalan Kedua===
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Penjelasan mengenai tiga persoalan yang ditanyakan oleh ulama terdahulu terdapat pada sejumlah bagian dari Risalah Nur. Namun di sini kami akan menjelaskan secara global:
    Eski hocanın sual ettiği üç meselenin izahatı, Risale-i Nur’un eczalarında vardır. Şimdilik icmalî bir işaret edeceğiz:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Pertanyaan pertama: Dalam risalahnya yang ditujukan kepada Fakhruddin ar-Râzi, Muhyiddin ibn Arabi menyatakan, “Pengetahuan tentang Allah berbeda dengan pengetahuan tentang keberadaan-Nya.”(*<ref>*Lihat: al-Futûhât al-Makkiyyah, juz I hal 241 dalam bab ke-42.</ref>)Apa maksud dari pernyataan Ibnu Arabi tersebut?
    '''Birinci Suali:''' Muhyiddin-i Arabî, Fahreddin-i Râzî’ye mektubunda demiş: “Allah’ı bilmek, varlığını bilmenin gayrıdır.” Bu ne demektir, maksat nedir? Soruyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Pertama, perbedaan antara tauhid hakiki dan tauhid lahiriah yang disebutkan dalam pendahuluan “Kalimat Kedua Puluh Dua” menjelaskan maksud dari pertanyaan tersebut. Lebih jelas lagi terdapat pada mauqif kedua dan ketiga dari “Kalimat Ketiga Puluh Dua”.
    '''Evvela:''' Ona okuduğun Yirmi İkinci Söz’ün Mukaddime’sinde, tevhid-i hakiki ile tevhid-i zâhirînin farkındaki misal ve temsil, maksada işaret eder. Otuz İkinci Söz’ün İkinci ve Üçüncü Mevkıfları ve Makasıdları, o maksadı izah eder.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kedua, yang mendorong Muhyiddin Ibn Arabi mengucapkan pernyataan di atas kepada Fakhruddin ar-Razi, salah seorang imam ahli kalam, adalah karena apa yang dijelaskan oleh para imam ushuluddin dan ulama ahli kalam terkait dengan persoalan akidah, keberadaan Allah, dan tauhid dalam pandangan Ibnu Arabi tidak memadai.
    '''Ve sâniyen:''' Usûlü’d-din imamları ve ulema-i ilm-i kelâmın akaide dair ve vücud-u Vâcibü’l-vücud ve tevhid-i İlahîye dair beyanatları, Muhyiddin-i Arabî’nin nazarında kâfi gelmediği için ilm-i kelâmın imamlarından Fahreddin-i Râzî’ye öyle demiş.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Benar! Pengetahuan tentang Allah (makrifati ilahi) yang diperoleh dari dalil-dalil ilmu kalam bukan merupakan pengetahuan yang sempurna. Ia tidak mendatangkan ketenangan kalbu. Di sisi lain, ketika pengetahuan tersebut sejalan dengan manhaj al-Quran, ia menjadi pengetahuan yang sempurna dan mendatangkan ketenangan sempurna dalam kalbu. Kita berharap semoga Allah menjadikan setiap bagian dari Risalah Nur sebagai lentera yang menerangi jalan al-Quran yang lurus dan bercahaya.
    Evet, ilm-i kelâm vasıtasıyla kazanılan marifet-i İlahiye, marifet-i kâmile ve huzur-u tam vermiyor. Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan’ın tarzında olduğu vakit hem marifet-i tammeyi verir hem huzur-u etemmi kazandırır ki inşâallah Risale-i Nur’un bütün eczaları, o Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan’ın cadde-i nuranisinde birer elektrik lambası hizmetini görüyorlar.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kemudian makrifat ilahi yang diperoleh oleh ar-Razi dari ilmu kalam tampak cacat dalam pandangan Ibnu Arabi. Begitu pula makrifat ilahi yang dihasilkan dari jalan tasawuf juga cacat dan tidak sempurna jika dibandingkan dengan makrifat ilahi yang diraih oleh para pewaris nabi dari al-Quran secara langsung. Dalam hal ini, Ibnu Arabi mengatakan,لَا مَو۟جُودَ اِلَّا هُوَ “Tiada yang ada selain Dia,” hal itu agar ia senantiasa merasakan kehadiran Allah, hingga pada akhirnya ia mengingkari wujud seluruh entitas.Adapun yang lain, untuk menghadirkan hati bersama Tuhan, mereka berkata, لَا مَو۟جُودَ اِلَّا هُوَ “Tiada yang terlihat selain Dia.” Mereka menutupi entitas dengan tirai kealpaan mutlak dan menem- puh satu metode yang aneh.
    Hem Muhyiddin-i Arabî’nin nazarına, Fahreddin-i Râzî’nin ilm-i kelâm vasıtasıyla aldığı marifetullah ne kadar noksan görülüyor; öyle de tasavvuf mesleğiyle alınan marifet dahi Kur’an-ı Hakîm’den doğrudan doğruya veraset-i nübüvvet sırrıyla alınan marifete nisbeten o kadar noksandır. Çünkü Muhyiddin-i Arabî mesleği, huzur-u daimîyi kazanmak için لَا مَو۟جُودَ اِلَّا هُوَ deyip kâinatın vücudunu inkâr edecek bir tarza kadar gelmiş. Ve sairleri ise yine huzur-u daimîyi kazanmak için لَا مَش۟هُودَ اِلَّا هُوَ deyip kâinatı nisyan-ı mutlak altına almak gibi acib bir tarza girmişler.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sementara makrifat yang didapat dari al-Quran melahirkan kehadiran kalbu yang bersifat permanen, di samping tidak menafikan wujud entitas dan tidak memenjarakannya dalam penjara kealpaan mutlak. Namun ia menyelamatkannya dari pengabaian dan kesia-siaan serta mempergunakannya di jalan Allah dengan mejadikan segala sesuatu sebagai cermin yang memantulkan makrifat ilahi. Ia membuka pada segala sesuatu sebuah jendela menuju makrifat-Nya sebagaimana syair yang disebutkan oleh Sa’di asy-Syirazi:
    Kur’an-ı Hakîm’den alınan marifet ise huzur-u daimîyi vermekle beraber, ne kâinatı mahkûm-u adem eder, ne de nisyan-ı mutlakta hapseder. Belki başıbozukluktan çıkarıp Cenab-ı Hak namına istihdam eder. Her şey mir’at-ı marifet olur. Sa’dî-i Şirazî’nin dediği gibi:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    دَر۟ نَظَرِ هُوشِيَار۟ هَر۟ وَرَقٖى دَف۟تَرٖيس۟ت۟ اَز۟ مَع۟رِفَتِ كِر۟دِگَار۟
    دَر۟ نَظَرِ هُوشِيَار۟ هَر۟ وَرَقٖى دَف۟تَرٖيس۟ت۟ اَز۟ مَع۟رِفَتِ كِر۟دِگَار۟
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Dalam sejumlah kalimat lain dari Risalah Nur, kami telah memberikan perumpamaan untuk menjelaskan perbedaan antara mereka yang mengambil petunjuk dari al-Quran al-Karim—sebuah jalan yang lurus—dan mereka yang meniti jalan para ulama ahli kalam. Perumpamaannya sebagai berikut:
    Her şeyde Cenab-ı Hakk’ın marifetine bir pencere açar.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Untuk mendapatkan air, ada yang mendatangkannya melalui pipa dari tempat yang jauh yang ia gali di kaki gunung. Sementara yang lain menemukan air di tempat yang mereka gali seraya memancarkannya di mana pun mereka berada. Yang pertama adalah meniti jalan terjal dan panjang. Belum lagi aliran airnya bisa jadi tersumbat atau terputus di tengah jalan. Sementara mereka yang menggali sumur mendapatkan air di mana saja mereka berada tanpa menemui kesulitan dan kepenatan yang berarti.
    Bazı Sözlerde ulema-i ilm-i kelâmın mesleğiyle, Kur’an’dan alınan minhac-ı hakikinin farkları hakkında şöyle bir temsil söylemişiz ki mesela, bir su getirmek için bazıları küngân (su borusu) ile uzak yerden, dağlar altında kazar, su getirir. Bir kısım da her yerde kuyu kazar, su çıkarır. Birinci kısım çok zahmetlidir; tıkanır, kesilir. Fakat her yerde kuyuları kazıp su çıkarmaya ehil olanlar, zahmetsiz her bir yerde suyu buldukları gibi; aynen öyle de ulema-i ilm-i kelâm, esbabı nihayet-i âlemde teselsül ve devrin muhaliyeti ile kesip sonra Vâcibü’l-vücud’un vücudunu onunla ispat ediyorlar. Uzun bir yolda gidiliyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Nah, para ulama ahli kalam memutus rangkaian sebab-akibat dengan membuktikan kemustahilan daûr wa at-Tasalsul (kausalitas dan rangkaian sebab-akibat di alam). Dari sana mereka menetapkan eksistensi Sang Wajibul wujud (Tuhan). Adapun manhaj al-Qur’an yang hakiki, ia menemukan air pada setiap tempat dan menggalinya di mana saja ia berada. Setiap ayatnya yang agung laksana tongkat Musa yang memancarkan air di mana saja dipukulkan.
    Amma Kur’an-ı Hakîm’in minhac-ı hakikisi ise her yerde suyu buluyor, çıkarıyor. Her bir âyeti, birer asâ-yı Musa gibi nereye vursa âb-ı hayat fışkırtıyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Manhaj tersebut membuat orang lain membaca prinsip berikut pada segala sesuatu:Pada segala sesuatu terdapat bukti atas-Nya Yang menunjukkan bahwa Dia adalah Esa.(*<ref>*Lihat: al-Asfahani, al-Aghânî 4/39; al-Qalqasyandi, Shubhul A’sya 12/413; dan al-Absyihi, al-Mustathraf 1/61, 2/280.</ref>)
    وَ فٖى كُلِّ شَى۟ءٍ لَهُ اٰيَةٌ تَدُلُّ عَلٰى اَنَّهُ وَاحِدٌ düsturunu, her şeye okutturuyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Selanjutnya, iman tidak hanya diperoleh dengan ilmu. Sebab, banyak perangkat halus pada manusia yang memiliki bagian dari iman. Sebagaimana ketika makanan masuk ke dalam lambung, ia terbagi dan terdistribusi ke sejumlah urat sesuai dengan masing-masing organ. Demikian pula dengan persoalan iman yang datang dari jalur ilmu. Ketika ia masuk ke dalam akal dan pemahaman, setiap perangkat halus tubuh―seperti ruh, kalbu, sirr, jiwa dan sejenisnya― mengambil bagian darinya serta menyerapnya sesuai dengan tingka- tannya. Jika salah satu dari perangkat halus tersebut tidak mendapat nutrisi yang sesuai, maka pengetahuannya menjadi cacat dan tidak sempurna.
    Hem iman yalnız ilim ile değil, imanda çok letaifin hisseleri var. Nasıl ki bir yemek mideye girse o yemek muhtelif âsaba, muhtelif bir surette inkısam edip tevzi olunuyor. İlim ile gelen mesail-i imaniye dahi akıl midesine girdikten sonra, derecata göre ruh, kalp, sır, nefis ve hâkeza letaif kendine göre birer hisse alır, masseder. Eğer onların hissesi olmazsa noksandır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Demikianlah, Ibnu Arabi memperingatkan dan mengarahkan perhatian Fakhruddin ar-Razi kepada masalah penting ini.
    İşte Muhyiddin-i Arabî, Fahreddin-i Râzî’ye bu noktayı ihtar ediyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="Üçüncü_Mesele"></span>
    === Üçüncü Mesele ===
    ===Persoalan Ketiga===
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <div class="mw-translate-fuzzy">
    وَلَقَد۟ كَرَّم۟نَا بَنٖٓى اٰدَمَ âyetinin اِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا âyetiyle vech-i tevfiki nedir?
    Pertanyaan: apa korelasi antara kedua ayat al-Qur’an berikut ini:“Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam.” (QS. al-Isrâ [17]: 70).“Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. al-Ahzâb [33}: 72)?
    </div>
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Jawaban:
    '''Elcevap:''' On Birinci Söz’de ve Yirmi Üçüncü Söz’de ve Yirmi Dördüncü’nün Beşinci Dal’ının İkinci Meyvesi’nde izahı vardır. Sırr-ı icmalîsi budur ki:
    Penjelasan tentang pertanyaan ini terdapat dalam “Kalimat Kesebelas, Kedua Puluh Tiga, dan buah kedua dari ranting kelima dalam Kalimat Kedua Puluh Empat”. Ringkasnya sebagai berikut:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Dengan qudrah-Nya yang sempurna, Allah menciptakan banyak hal dari sesuatu yang satu, sebagaimana Dia menggiring sesuatu yang satu itu untuk menunaikan banyak tugas. Dia pun menulis seribu satu kitab dalam satu halaman.Nah, Allah juga menciptakan manusia sebagai spesies yang menggabungkan banyak hal. Dengan kata lain, lewat spesies manusia Dia hendak menampilkan apa yang telah ditampilkan oleh berbagai tingkatan spesies hewan. Hal itu dilakukan dengan cara tidak membatasi kekuatan dan kecenderungan manusia dengan batasan fitri. Namun ia dibiarkan bebas merdeka. Di sisi lain, Dia membatasi kekuatan dan kecenderungan seluruh hewan. Yaitu dengan berada di bawah batasan fitrinya.
    Cenab-ı Hak kemal-i kudretiyle nasıl bir tek şeyden çok şeyleri yapıyor, çok vazifeleri gördürüyor, bir sahifede bin kitabı yazıyor. Öyle de insanı, pek çok enva yerinde bir nev-i câmi’ halk etmiş. Yani, bütün enva-ı hayvanatın muhtelif derecatı kadar, bir tek nevi olan insan ile o vezaifi gördürmek irade etmiş ki insanların kuvalarına ve hissiyatlarına fıtraten bir had bırakmamış; fıtrî bir kayıt koymamış, serbest bırakmış. Sair hayvanatın kuvaları ve hissiyatları mahduddur, fıtrî bir kayıt altındadır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Jadi, setiap kekuatan manusia berada dalam ruang lingkup yang sangat luas; tak terhingga. Pasalnya, manusia adalah cermin bagi manifestasi tak terhingga dari nama-nama Tuhan semesta alam. Karena itu, kekuatan manusia diberikan potensi dalam bentuk yang tak terhingga.
    Halbuki insanın her kuvası, hadsiz bir mesafede cevelan eder gibi gayr-ı mütenahî canibine gider. Çünkü insan, Hâlık-ı kâinat’ın esmasının nihayetsiz tecellilerine bir âyine olduğu için kuvalarına nihayetsiz bir istidat verilmiş.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Contoh: andaikan manusia diberi seluruh dunia, tentu dengan sifat tamaknya ia tetap menginginkan tambahan. Ia rela membuat ribuan orang menderita demi kepentingan dirinya.Begitulah, di hadapan manusia terdapat tingkatan akhlak tercela yang tak terhingga sampai akhirnya mengantar pada tingkatan Namrud dan Fir’aun. Di situ manusia benar-benar menyandang sifat sangat zalim dalam bentuk mubâlagah. Di hadapannya juga tersingkap sejumlah derajat kemuliaan yang tak terhingga pada akhlak terpuji hingga mengantarnya menuju derajat para nabi dan kaum shiddiqin.
    Mesela, insan hırs ile bütün dünya ona verilse هَل۟ مِن۟ مَزٖيدٍ diyecek. Hem hodgâmlığıyla, kendi menfaatine binler adamın zararını kabul eder ve hâkeza… Ahlâk-ı seyyiede hadsiz derecede inkişafları olduğu ve Nemrutlar ve Firavunlar derecesine kadar gittikleri ve sîga-i mübalağa ile zalûm olduğu gibi ahlâk-ı hasenede dahi hadsiz bir terakkiyata mazhar olur, enbiya ve sıddıkîn derecesine terakki eder.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Manusia berbeda dengan hewan. Ia tidak memiliki pengetahuan tentang segala sesuatu yang terkait dengan kehidupan, karenanya ia harus belajar segala hal. Dari situ manusia disebut sangat bodoh  dalam bentuk mubâlagah karena memang membutuhkan banyak hal yang tak terhingga.Adapun hewan, ketika datang ke dunia, ia hanya membutuhkan sejumlah hal. Di samping itu, ia hanya butuh waktu sebulan atau dua bulan, sehari atau dua hari, bahkan sejam atau dua jam dalam mempelajari seluk-beluk kehidupannya. Seakan-akan ia sudah sempurna di alam lain lalu datang ke dunia. Sementara manusia, ia baru bisa berdiri setelah berumur setahun atau dua tahun. Ia tidak bisa membedakan yang baik dan yang buruk (manfaat dan bahaya) kecuali setelah berumur lima belas tahun.
    Hem insan –hayvanların aksine olarak– hayata lâzım her şeye karşı cahildir, her şeyi öğrenmeye mecburdur. Hadsiz eşyaya muhtaç olduğu için sîga-i mübalağa ile cehûldür. Hayvan ise dünyaya geldiği vakit hem az şeylere muhtaç hem muhtaç olduğu şeyleri bir iki ayda belki bir iki günde, bazen bir iki saatte bütün şerait-i hayatını öğrenir. Güya bir başka âlemde tekemmül etmiş, öyle gelmiş. İnsan ise bir iki senede ancak ayağa kalkar, on beş senede ancak menfaat ve zararı fark eder.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Jadi, bentuk mubâlagah di atas juga menjelaskan hal ini.
    İşte cehûl mübalağası, buna da işaret eder.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="Dördüncü_Mesele"></span>
    === Dördüncü Mesele ===
    ===Persoalan Keempat===
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Saudaraku, engkau bertanya tentang hikmah hadis Nabi
    جَدِّدُوا اٖيمَانَكُم۟ بِلَٓا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ ın hikmetini soruyorsunuz. Onun hikmeti, çok Sözlerde zikredilmiştir. Bir sırr-ı hikmeti şudur ki: '''İnsanın hem şahsı hem âlemi her zaman teceddüd ettikleri için her zaman tecdid-i imana muhtaçtır.'''
    yang berbunyi:“Perbaharuilah iman kalian dengan lâ ilâha illallâh.”(*<ref>*HR. at-Tirmidzi dalam Nawâdir al-Ushûl 2/204; Ahmad ibn Hambal dalam al-Musnad 2/359; dan Abdu ibn Humaid dalam al-Musnad 1/417.</ref>)Kami telah menjelaskannya dalam banyak bagian pada “al-Kalimat”. Di sini, kami ingin menyebutkan satu hikmah saja darinya: Karena diri dan alam manusia terus terbaharui, maka ia juga senantiasa membutuhkan pembaharuan iman.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Pasalnya, manusia sebagai individu tidak lain merupakan wujud dari banyak individu secara maknawi. Ia adalah individu sebanyak bilangan tahun usianya, sebanyak jumlah harinya, bahkan sebanyak hitungan jam yang ia lewati. Sebab, setiap individu dianggap sebagai sosok yang berbeda lantaran ketika perjalanan waktu melintasinya ia menjadi seperti model yang setiap hari memakai bentuk individu baru yang berbeda.
    Zira insanın her bir ferdinin manen çok efradı var. Ömrünün seneleri adedince, belki günleri adedince, belki saatleri adedince birer ferd-i âher sayılır. Çünkü zaman altına girdiği için o ferd-i vâhid bir model hükmüne geçer, her gün bir ferd-i âher şeklini giyer.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Selain itu, sebagaimana manusia mengalami perubahan dan pembaruan seperti itu, alam yang ia huni juga terus berjalan; tidak tetap dalam satu kondisi. Ia berlalu kemudian digantikan oleh yang lain. Ia terus dalam kondisi beragam. Setiap hari pintu alam yang baru terbuka.
    Hem insanda bu taaddüd ve teceddüd olduğu gibi tavattun ettiği âlem dahi seyyardır. O gider, başkası yerine gelir, daima tenevvü ediyor; her gün başka bir âlem kapısını açıyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Nah, iman merupakan cahaya bagi kehidupan setiap individu dari sosok tersebut. Di sisi lain, iman juga cahaya bagi sejumlah alam yang ia masuki. Sementara lâ ilâha illallâh merupakan kunci yang membuka cahaya tersebut.
    İman ise hem o şahıstaki her ferdin nur-u hayatıdır hem girdiği âlemin ziyasıdır. لَٓا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ ise o nuru açar bir anahtardır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kemudian dalam diri manusia terdapat nafsu, selera, ilusi, dan setan. Mereka mengeksploitasi kealpaannya guna mempersempit imannya sehingga celah-celah bagi masuknya cahaya iman tersumbat lewat penyebaran syubhat dan ilusi.
    Hem insanda madem nefis, heva ve vehim ve şeytan hükmediyorlar, çok vakit imanını rencide etmek için gafletinden istifade ederek çok hileleri ederler, şüphe ve vesveselerle iman nurunu kaparlar.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Selain itu, alam manusia tidak lepas dari perkataan dan perbuatan yang bertentangan dengan lahiriah syariat. Bahkan menurut sebagian imam ia masuk dalam kategori kufur. Karena itu, terdapat kebutuhan untuk memperbaharui iman setiap waktu, bahkan setiap saat dalam sehari.
    Hem zâhir-i şeriata muhalif düşen ve hattâ bazı imamlar nazarında küfür derecesinde tesir eden kelimat ve harekât eksik olmuyor. Onun için her vakit, her saat, her gün tecdid-i imana bir ihtiyaç vardır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Pertanyaan:'''
    '''Sual:''' Mütekellimîn uleması; âlemi, imkân ve hudûsun unvan-ı icmalîsi içinde sarıp zihnen üstüne çıkar, sonra vahdaniyeti ispat ederler. Ehl-i tasavvufun bir kısmı, tevhid içinde tam huzuru kazanmak için لَا مَش۟هُودَ اِلَّا هُوَ deyip kâinatı unutur, nisyan perdesini üstüne çeker, sonra tam huzuru bulur. Ve diğer bir kısmı hakiki tevhidi ve tam huzuru bulmak için لَا مَو۟جُودَ اِلَّا هُوَ diyerek kâinatı hayale sarar, ademe atar, sonra huzur-u tam bulur.
    Ulama ahli kalam menetapkan tauhid setelah kemunculan mereka di atas seluruh alam yang mereka beri label imkân (mungkin) dan hudûts (baru). Agar kalbu bisa tenang dan merasakan kehadiran Allah, sebagian kalangan tasawuf berkata, “Tiada yang terlihat selain Dia.” Hal itu setelah mereka melupakan dan mengabaikan entitas. Sebagian lainnya berkata, “Tiada yang ada selain Dia.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Mereka memosisikan entitas sebagai khayalan dan menganggapnya tiada agar sesudah itu kalbu mereka bisa tenang dan merasakan kehadiran Allah. Akan tetapi, engkau meniti jalan yang berbeda dari itu semua. Engkau menjelaskan sebuah manhaj lurus dari al-Qur’an. Engkau menjadikan perlambang dari manhaj ini berupa, “Tiada yang Dituju kecuali Dia. Tiada yang Disembah selain Dia.” Kuharap engkau bisa menjelaskan kepada kami secara singkat satu argumen tentang tauhid dalam manhaj Qur’ani tersebut.
    Halbuki sen, bu üç meşrepten hariç bir cadde-i kübrayı Kur’an’da gösteriyorsun. Ve onun şiarı olarak لَا مَع۟بُودَ اِلَّا هُوَ ، لَا مَق۟صُودَ اِلَّا هُوَ diyorsun. Bu caddenin tevhide dair bir bürhanını ve bir muhtasar yolunu icmalen göster.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Jawaban:'''
    '''Elcevap:''' Bütün Sözler ve bütün Mektuplar, o caddeyi gösterir. Şimdilik istediğiniz gibi azîm bir hüccetine ve geniş ve uzun bir bürhanına muhtasaran işaret ederiz. Şöyle ki:
    Seluruh kandungan buku al-Kalimât dan al-Maktûbât menjelaskan manhaj lurus tersebut. Sekarang untuk memenuhi permintaanmu, aku hanya ingin menjelaskan secara sangat singkat satu argumen yang kuat, luas, dan panjang di antara sekian banyak argumen yang ada.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Segala sesuatu di alam ini menisbatkan segalanya kepada Sang Pencipta. Setiap jejak yang terdapat di dunia menunjukkan bahwa semua jejak bersumber dari Pemberi jejak. Setiap kreasi di alam ini menegaskan bahwa semua kreasi yang ada berasal dari perbuatan Penciptanya. Setiap nama dari nama-nama-Nya yang mulia yang ter- manifestasi pada entitas menunjukkan bahwa seluruh nama merujuk pada Pemilik nama. Dengan kata lain, segala sesuatu merupakan bukti keesaan secara langsung dan jendela yang mengarah pada makrifat ilahiyah.
    Âlemde her bir şey, bütün eşyayı kendi Hâlık’ına verir. Ve dünyada her bir eser, bütün âsârı kendi müessirinin eserleri olduğunu gösterir. Ve kâinatta her bir fiil-i icadî, bütün ef’al-i icadiyeyi kendi fâilinin fiilleri olduğunu ispat eder. Ve mevcudata tecelli eden her bir isim, bütün esmayı kendi müsemmasının isimleri ve unvanları olduğuna işaret eder. Demek her bir şey, doğrudan doğruya bir bürhan-ı vahdaniyettir ve marifet-i İlahiyenin bir penceresidir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ya, tidak ada jejak, apalagi makhluk hidup, kecuali ia merupakan miniatur dari seluruh entitas. Ia laksana benih alam dan buah dari bola bumi. Karena itu, Pencipta miniatur, benih, dan buah tersebut sudah pasti juga merupakan Pencipta seluruh entitas. Hal itu karena tidak mungkin Dzat yang menghadirkan buah bukan merupakan Dzat yang menghadirkan pohonnya.
    Evet her bir '''eser''', hususan zîhayat olsa kâinatın küçük bir misal-i musağğarıdır ve âlemin bir çekirdeğidir ve küre-i arzın bir meyvesidir. Öyle ise o misal-i musağğarı, o çekirdeği, o meyveyi icad eden, herhalde bütün kâinatı icad eden yine odur. Çünkü meyvenin mûcidi, ağacının mûcidinden başkası olamaz.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Karena itu, sebagaimana setiap jejak menyandarkan seluruh jejak kepada Pemberi jejak, setiap perbuatan juga mengembalikan seluruh perbuatan kepada Pelakunya. Pasalnya, kita mengetahui bahwa setiap kreasi apapun, pastilah ia memperlihatkan sisi dari hukum penciptaan yang meliputi seluruh alam di mana hukum dan dimensinya membentang mulai dari partikel hingga galaksi. Artinya, Dzat Pemilik dan pelaku dari kreasi parsial itu sudah pasti juga merupakan Pelaku dari semua perbuatan yang terpaut dengan hukum kom- prehensif yang meliputi seluruh alam yang luas, mulai dari partikel hingga matahari.
    Öyle ise her bir eser, bütün âsârı müessirine verdiği gibi her bir '''fiil''' dahi bütün ef’ali, fâiline isnad eder. Çünkü görüyoruz ki her bir fiil-i icadî, ekser mevcudatı ihata edecek derecede geniş ve zerreden şümusa kadar uzun birer kanun-u hallakıyetin ucu olarak görünüyor. Demek, o cüz’î fiil-i icadî sahibi kim ise o mevcudatı ihata eden ve zerreden şümusa kadar uzanan kanun-u küllî ile bağlanan bütün ef’alin fâili olmak gerektir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Dzat yang menghidupkan nyamuk, pasti juga Dzat yang menghidupkan seluruh serangga, seluruh hewan, bahkan seluruh bumi. Kemudian Dzat yang menjadikan partikel berputar seperti pengikut tarekat Maulawi, pasti juga Dzat yang menggerakkan seluruh entitas secara berantai bahkan juga matahari berikut planet-planetnya.
    Evet, bir sineği ihya eden, bütün hevamı ve küçük hayvanatı icad eden ve arzı ihya eden zat olacaktır. Hem mevlevî gibi zerreyi döndüren kim ise müteselsilen mevcudatı tahrik edip tâ şemsi seyyaratıyla gezdiren aynı zat olmak gerektir. Çünkü kanun bir silsiledir, ef’al onun ile bağlıdır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Pasalnya, hukum yang berlaku pada entitas adalah sebuah rangkaian dan seluruh perbuatan terpaut dengannya.
    Demek nasıl her bir eser, bütün âsârı müessirine verir ve her bir fiil-i icadî, bütün ef’ali fâiline mal eder. Aynen öyle de kâinattaki tecelli eden her bir '''isim''', bütün isimleri kendi müsemmasına isnad eder ve onun unvanları olduğunu ispat eder. Çünkü kâinatta tecelli eden isimler, devair-i mütedâhile gibi ve ziyadaki elvan-ı seb’a gibi birbiri içine giriyor, birbirine yardım ediyor, birbirinin eserini tekmil ediyor, tezyin ediyor.
    Artinya, setiap jejak menisbatkan semua jejak kepada pemilik jejak. Setiap kreasi menisbatkan seluruh kreasi kepada pelakunya. Begitu pula setiap nama yang termanifestasi pada entitas menisbatkan semua nama kepada Pemilik namanya sekaligus menegaskan bahwa ia merupakan atribut-Nya. Hal itu karena nama yang termanifestasikan di alam saling terpaut laksana lingkaran yang saling berpautan dan tujuh warna cahaya yang saling bercampur. Masing-masing saling mengait dan berpautan. Setiap jejak saling menyempurnakan dan saling memperindah.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Misalnya: nama al-Muhyî (Yang Maha Menghidupkan). Ketika ia terwujud pada sesuatu dan ketika ia memberikan kehidupan padanya, nama al-Hakîm (Yang Mahabijak) juga tampak sehingga ia menata fisik makhluk hidup tersebut yang merupakan wadah bagi ruhnya. Pada saat yang sama nama al-Karîm (Yang Maha Pemurah) juga terlihat. Ia menghias sangkar dan wadah tersebut. Padanya juga terdapat nama ar-Rahîm (Yang Maha Penyayang) di mana ia menyiapkan seluruh kebutuhan fisik itu. Pada saat yang sama nama ar-Razzaq (Maha Pemberi rezeki) terwujud padanya di mana ia memberi rezeki materil dan immateril yang dibutuhkan makhluk tersebut dari jalan yang tak disangka-sangka. Begitu seterusnya.
    Mesela, Muhyî ismi bir şeye tecelli ettiği vakit ve hayat verdiği dakikada Hakîm ismi dahi tecelli ediyor, o zîhayatın yuvası olan cesedini hikmetle tanzim ediyor. Aynı halde Kerîm ismi dahi tecelli ediyor, yuvasını tezyin eder. Aynı anda Rahîm isminin dahi tecellisi görünüyor, o cesedin şefkatle havaicini ihzar eder. Aynı zamanda Rezzak ismi tecellisi görünüyor, o zîhayatın bekasına lâzım maddî ve manevî rızkını ummadığı tarzda veriyor ve hâkeza…
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Artinya, Dzat yang memiliki nama al-Muhyî juga memiliki nama al-Hakîm yang menerangi dan meliputi seluruh alam. Dia pun memiliki nama ar-Rahîm yang memelihara seluruh entitas dengan rahmat dan kasih sayang. Dia juga memiliki nama ar-Razzâq yang memberi nutrisi pada seluruh makhluk. Demikian seterusnya.
    Demek Muhyî kimin ismi ise kâinatta nurlu ve muhit olan Hakîm ismi de onundur ve bütün mahlukatı şefkatle terbiye eden Rahîm ismi de onundur ve bütün zîhayatları keremiyle iaşe eden Rezzak ismi dahi onun ismidir, unvanıdır ve hâkeza…
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Dengan kata lain, setiap nama, setiap perbuatan, dan setiap jejak, merupakan bukti keesaan, stempel tauhid, dan cap ketunggalan-Nya di mana ia menunjukkan bahwa seluruh kalimat yang merupakan entitas yang tertulis pada lembaran alam dan pada baris zaman tidak lain adalah tulisan pena Penulis dan Pelukisnya.
    Demek her bir isim her bir fiil her bir eser öyle bir bürhan-ı vahdaniyettir ki kâinatın sahifelerinde ve asırların satırlarında yazılan ve mevcudat denilen bütün kelimatı, kâtibinin nakş-ı kalemi olduğuna delâlet eden birer mühr-ü vahdaniyet, birer hâtem-i ehadiyettir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ya Allah, limpahkan salawat dan salam kepada sosok yang bersabda: “Sebaik-baik perkataan yang pernah terucap olehku dan oleh para nabi sebelumku adalah lâ ilâha illallâh. Juga, kepada keluarga dan para sahabatnya.
    اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى مَن۟ قَالَ «اَف۟ضَلُ مَا قُل۟تُ اَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِن۟ قَب۟لٖى لَٓا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ» وَ عَلٰى اٰلِهٖ وَصَح۟بِهٖ وَسَلِّم۟
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="Beşinci_Mesele"></span>
    === Beşinci Mesele ===
    ===Persoalan Kelima===
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Kedua:''' saudaraku, dalam suratmu engkau bertanya apakah seseorang bisa selamat dengan cukup menyebut tanpa disertai? Jawaban atas pertanyaan ini cukup panjang.
    '''Sâniyen:''' Mektubunuzda “Mücerred لَٓا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ kâfi midir? Yani مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللّٰهِ demezse ehl-i necat olabilir mi?” diye diğer bir maksadı soruyorsunuz. Bunun cevabı uzundur. Yalnız şimdi bu kadar deriz ki:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Hanya saja saat ini aku ingin menegaskan bahwa dua kalimat syahadat, satu dengan lainnya, tidak bisa dipisahkan. Namun satu sama lain mengandung makna dan saling menguatkan. Yang satu hanya terwujud dengan yang lain. Karena Rasul merupakan penutup para nabi dan pewaris seluruh rasul, tentu beliau berada di pangkal seluruh jalan menuju Allah. Tidak ada jalan yang benar dan jalan selamat di luar jalan lurus yang beliau lewati. Seluruh imam ahli makrifat dan hakikat menyebutkan seperti yang disebutkan oleh Sa’di asy-Syirâzi:
    Kelime-i şehadetin iki kelâmı birbirinden ayrılmaz, birbirini ispat eder, birbirini tazammun eder, biri birisiz olmaz. Madem Peygamber aleyhissalâtü vesselâm Hâtemü’l-enbiya’dır, bütün enbiyanın vârisidir; elbette bütün vusul yollarının başındadır. Onun cadde-i kübrasından hariç, hakikat ve necat yolu olamaz. Umum ehl-i marifetin ve tahkikin imamları, Sa’dî-i Şirazî gibi derler:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Wahai Sa’di, mustahil melewati jalan yang lurus tanpa mengikuti Nabi al-Mustafa. Mereka juga menyebutkan:
    مُحَالَس۟ت۟ سَع۟دٖى بَرَاهِ نَجَات۟ ظَفَر۟ بُر۟دَن۟ جُز۟ دَر۟ پَىِ مُص۟طَفٰى
    “Seluruh jalan tertutup kecuali manhaj Muhammad.
    Hem كُلُّ الطُّرُقِ مَس۟دُودٌ اِلَّا ال۟مِن۟هَاجَ ال۟مُحَمَّدِىَّ demişler.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Hanya saja, kadangkala sebagian orang meniti jalan Muhammad, namun mereka tidak sadar kalau mereka sedang berada di dalamnya.
    Fakat bazen oluyor ki cadde-i Ahmediyede (asm) gittikleri halde, bilmiyorlar ki cadde-i Ahmediyedir ve cadde-i Ahmediye dâhilindedir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kadangkala juga sebagian orang tidak mengenal Nabi , namun jalan yang mereka lalui adalah bagian dari jalan beliau.
    Hem bazen oluyor ki Peygamber’i bilmiyorlar fakat gittikleri yol, cadde-i Ahmediyenin eczasındandır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kadang mereka tidak berpikir tentang jalan Muhammad karena merasa cukup dengan lâ ilâha illallâh entah karena kondisi “majdzub” atau “tenggelam” bersama Tuhan, atau karena pengaruh sejenis kondisi uzlah.
    Hem bazen oluyor ki bir keyfiyet-i meczubane veya bir halet-i istiğrakkârane veya bir vaziyet-i münzeviyane ve bedeviyane suretinde cadde-i Muhammediyeyi düşünmeyerek yalnız لَٓا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ onlara kâfi geliyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Meski demikian, sisi terpenting dalam masalah ini adalah:“Tidak menerima” dan “menerima ketiadaan” adalah dua hal yang berbeda. Orang-orang yang sedang dalam kondisi “majdzub” dan beruzlah, atau orang yang tidak mendengar dan tidak mengetahui, serta orang-orang yang tidak mengenal Nabi dan tidak berpikir tentang beliau agar menerima dan rida pada beliau seperti mereka, sebetulnya mereka dalam kondisi bodoh pada titik tersebut. Yang mereka ketahui dalam hal makrifatullah hanya lâ ilâha illallâh. Bisa jadi mereka tergolong kelompok yang selamat.
    Fakat bununla beraber, en mühim bir cihet budur ki: “adem-i kabul” başkadır “kabul-ü adem” başkadır. Bu çeşit ehl-i cezbe ve ehl-i uzlet veya işitmeyen veya bilmeyen adamlar, Peygamber’i bilmiyorlar veya düşünmüyorlar ki kabul etsinler. O noktada cahil kalıyorlar. Marifet-i İlahiyeye karşı, yalnız لَٓا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ biliyorlar. Bunlar ehl-i necat olabilirler.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Akan tetapi, jika mereka yang mendengar tentang Nabi dan mengetahui dakwahnya tetapi tidak membenarkannya, maka mereka termasuk orang yang mengenal Allah namun tidak beriman kepada-Nya. Pasalnya, ucapan lâ ilâha ilallâh untuk orang-orang semacam mereka tidak melahirkan tauhid yang merupakan sebab keselamatan.
    Fakat Peygamber’i işiten ve davasını bilen adamlar onu tasdik etmezse Cenab-ı Hakk’ı tanımaz. Onun hakkında, yalnız لَٓا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ kelâmı, sebeb-i necat olan tevhidi ifade edemez. Çünkü o hal, bir derece medar-ı özür olan cahilane adem-i kabul değil belki o kabul-ü ademdir ve o inkârdır. Mu’cizatıyla, âsârıyla kâinatın medar-ı fahri ve nev-i beşerin medar-ı şerefi olan Muhammed aleyhissalâtü vesselâmı inkâr eden adam, elbette hiçbir cihette hiçbir nura mazhar olamaz ve Allah’ı tanımaz. Her ne ise şimdilik bu kadar yeter.
    Kondisi tersebut bukan kondisi yang bersumber dari sikap “tidak menerima” akibat bodoh yang dianggap sebagai uzur. Namun ia bersumber dari sikap “menerima ketiadaan”, yaitu berupa pengingkaran. Orang yang mengingkari Muhammad yang merupakan poros kebanggaan alam dan kemuliaan umat manusia dengan mukjizat dan pengaruhnya yang besar, sudah pasti tidak mendapat cahaya dan tidak disebut beriman kepada Allah. Kita cukupkan sampai di sini.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="Altıncı_Mesele"></span>
    === Altıncı Mesele ===
    ===Persoalan Keenam===
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Ketiga:'''terdapat sejumlah ungkapan terkait dengan jalan setan saat melakukan dialog dengan setan pada ‘bahasan pertama’. Meskipun telah diluruskan dan diperhalus dengan kalimat “Mahasuci Allah dari semua itu” serta ditampakkan dalam bentuk asumsi, namun aku masih takut dan gemetar dengannya.Lalu terdapat sedikit perbaikan pada bagian yang kukirim padamu. Apakah engkau telah mengoreksi salinan yang terkait dengannya? Aku menyerahkan hal itu kepadamu sehingga engkau dapat menghapus ungkapan yang menurutmu tidak perlu.
    '''Sâlisen:''' Şeytanla münazara namındaki Birinci Mebhas’taki şeytanın mesleğine ait bazı tabirat çok galiz düşmüş. “Hâşâ, hâşâ!” kelimesiyle ve farz-ı muhal suretindeki kayıtlarla ta’dil edildiği halde, yine beni titretiyor. Sonra size gönderilen parçada bazı ufak tadilat vardı, nüshanızı onunla tashih edebildiniz mi? Fikrinizi tevkil ediyorum, o tabirattan lüzumsuz gördüklerinizi tayyedebilirsiniz.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Saudaraku yang mulia!
    Aziz kardeşim, o mebhas çok mühimdir. Çünkü ehl-i zındıkanın üstadı, şeytandır. Şeytan ilzam edilmezse onun mukallidleri kanmazlar. Kur’an-ı Hakîm, kâfirlerin galiz tabirlerini reddetmek için zikrettiğinden bana bir cesaret verildi ki bu şeytanî olan mesleğin bütün bütün çürüklüğünü göstermek için –farz-ı muhal suretinde– hizbü’ş-şeytanın efradı, mesleklerinin iktizasıyla kabul etmeye mecbur oldukları ve ister istemez manen meslek diliyle diyecekleri ahmakane tabiratlarını titreyerek istimal ettim. Fakat o istimal ile onları kuyu dibine sıkıştırıp meydanı baştan başa Kur’an hesabına zapt ettik, onların foyalarını meydana çıkardık.
    Bahasan tersebut sangat penting. Pasalnya, setan adalah guru bagi kalangan zindik. Jika setan tidak diserang dan dibungkam dengan argumen yang jelas, pasti para pengikutnya tidak bisa menerima. Al-Quran al-Hakim telah menggunakan sejumlah ungkapan kaum kafir yang keji dalam memberikan bantahan. Hal itu membuatku berani memperlihatkan kekeliruan jalan setan tersebut. Meski gemetar dan takut, aku tetap mempergunakan ungkapan yang menunjukkan kebodohan tersebut di mana ia diterima oleh kelompok setan sesuai dengan tuntutan jalan mereka serta mereka sebut sesuai dengan tabiat jalan mereka. Maka di sini aku menyebutkannya dalam bentuk “asumsi mustahil” guna menjelaskan kekeliruan jalan mereka. Dengan cara tersebut, aku berhasil membelenggu mereka di dasar sumur sekaligus menguasai medan atas nama al-Quran. Berbagai kebatilan mereka berhasil kusingkap.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Engkau bisa melihat kemenangan tersebut lewat perumpamaan berikut: Misalkan terdapat menara tinggi yang menjulang ke langit. Tepat di bawahnya terdapat sumur yang dalam di mana dasarnya berada di pusat bumi. Lalu ada dua kelompok manusia yang berdiskusi tentang posisi muazzin di mana suaranya terdengar oleh seluruh orang di seluruh negeri. Yakni, di tingkatan tangga menara yang mana muazzin berdiri jika melihat letak langit ke pusat bumi?
    Şu muzafferiyete, şu temsil içinde bak. Mesela, semavata başı temas etmiş pek yüksek bir minare ve o minarenin altında küre-i arzın merkezine kadar bir kuyu kazılmış farz ediyoruz. İşte ezanı umum memlekette umum ahaliye işitilen bir zat, minare başından tâ kuyu dibine kadar hangi mevkide bulunduğunu ispat etmek için iki fırka münakaşa ediyorlar.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kelompok pertama berkata, “Muazzin tersebut berdiri di puncak menara.Ia mengumandangkan azan dari sana sehingga terdengar oleh semua orang. Pasalnya, kita bisa mendengar azan yang keras dan menggema tersebut. Meskipun setiap kita tidak bisa melihatnya di sana, namun masing-masing kita bisa melihat sang muazzin sesuai dengan tingkatannya saat ia naik dan turun dari menara. Dari sana diketahui bahwa muazzin tersebut naik menara. Di manapun berada, ia memiliki kedudukan yang tinggi.”
    Birinci fırka der ki: “Minare başındadır, kâinata ezan okuyor. Çünkü ezanını işitiyoruz; hayattardır, ulvidir. Çendan herkes onu o yüksek yerde görmüyor fakat herkes derecesine göre onu, çıktığı ve indiği vakit bir makamda, bir basamakta görür ve onunla bilir ki: O, yukarı çıkar ve nerede görünürse görünsün o, yüksek makam sahibidir.”
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Namun kelompok lain yang merupakan kelompok setan yang bodoh berkata, “Tidak. Posisi muazzin di dasar sumur; bukan di puncak menara.”
    Diğer şeytanî ve ahmak güruh ise der: “Yok, makamı minare başı değil; nerede görünürse görünsün, makamı kuyu dibidir.”
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Padahal, tak seorang pun yang melihatnya di dasar sumur, dan tidak ada yang bisa melihatnya di sana kecuali ia berupa batu besar yang tidak memiliki ikhtiar. Hanya dengan asumsi seperti itu, muazzin tersebut bisa dilihat.
    Halbuki hiç kimse ne onu kuyu dibinde görmüş ve ne de görebilir. Faraza eğer taş gibi sakîl, ihtiyarsız olsaydı elbette kuyu dibinde bulunacaktı, birisi görecekti.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Jadi, wilayah diskusi dan perseteruan antara dua kelompok yang saling bertentangan itu berupa jarak yang membentang antara puncak menara hingga dasar sumur.
    Şimdi bu iki muarız fırkanın muharebe meydanı, o minare başından tâ kuyu dibine kadar uzun bir mesafedir. Hizbullah denilen ehl-i Nur cemaati, yüksek nazarlı olanlara o müezzin zatı minare başında gösteriyorlar. Ve nazarları o dereceye çıkmayanlara ve kāsıru’n-nazar olanlara, derecelerine göre birer basamakta o müezzin-i a’zamı gösteriyorlar. Küçük bir emare, onlara kâfi gelir ve ispat eder ki: O zat, taş gibi camid bir cisim değil belki istediği vakit yukarı çıkar, görünür, ezan okur bir insan-ı kâmildir.
    Nah, kelompok pemilik cahaya yang merupakan hizbullah (golongan Allah) menjelaskan posisi muazzin di puncak menara kepada orang yang jangkauan pandangannya sampai ke sana. Mereka juga menjelaskan bahwa muazzin tersebut memiliki kedudukan tinggi di sejumlah tingkatan tangga menara kepada orang yang pandangannya terbatas yang tak bisa melihat ke tempat tinggi. Dengan kata lain, mereka menjelaskan kedudukannya yang tinggi pada setiap orang sesuai dengan jangkauan pandangannya. Karena itu, petunjuk yang kecil sudah cukup bagi mereka bahwa sang muazzin itu bukan benda seperti batu tak bernyawa. Namun ia seperti manusia sempurna yang dapat naik ke tingkatan paling tinggi dan bisa terlihat saat mengumandangkan azan di tingkatan tersebut.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Namun kelompok lain, yaitu kelompok setan, berkata, “Jika ia memang berada di puncak menara, perlihatkanlah kepada kami. jika tidak, berarti posisinya di dasar sumur.” Mereka mengatakan hal itu dengan penuh kebodohan.Karena kebodohannya, mereka tidak mengetahui bahwa kondisi muazzin yang tak terlihat oleh setiap manusia saat berada di pun- cak menara adalah karena pandangan mereka tidak mampu menjangkau kedudukan yang tinggi itu. Kemudian kelompok setan itu ingin menimbulkan kerancuan agar dapat menguasai seluruh jarak yang ada, kecuali puncak menara.
    Diğer hizbü’ş-şeytan denilen güruh ise derler: “Ya minare başında herkese gösteriniz veyahut makamı kuyu dibidir.” diye ahmakane hükmederler. Ahmaklıklarından bilmiyorlar ki: Minare başında herkese gösterilmemesi, herkesin nazarı oraya çıkmamasından ileri geliyor. Hem mugalata suretinde, minare başı hariç olarak bütün mesafeyi zapt etmek istiyorlar.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Guna menutup dialog dan debat antara dua kelompok di atas, salah seorang dari mereka maju ke depan dan berbicara kepada kelompok setan:Wahai kelompok yang malang! Jika posisi sang muazzin agung itu berada di dasar sumur, ia harus berupa benda mati seperti batu yang tak bernyawa dan tidak memiliki kekuatan. Juga, tidak mungkin ia terlihat di tingkatan manapun dari menara atau sumur. Akan tetapi, selama kalian bisa melihatnya di setiap tingkatan, berarti ia bukan benda mati yang tak bernyawa. Namun posisinya pasti di puncak menara. Karena itu, kalian bisa memperlihatkannya di dasar sumur, dan ini tidak mungkin bisa kalian lakukan dan tidak bisa diterima oleh siapapun. Atau jika tidak, hendaknya kalian diam. Sebab, wilayah pembelaan kalian terbatas di dasar sumur. Adapun wilayah lain dan jarak yang panjang itu dimiliki oleh jamaah ini; jamaah yang penuh berkah. Di manapun mereka memperlihatkannya―selain dasar sumur―mereka menang dan berkuasa.
    İşte o iki cemaatin münakaşasını halletmek için biri çıkar, o hizbü’ş-şeytana der ki: Ey menhus güruh! Eğer o müezzin-i a’zamın makamı kuyu dibi olsa taş gibi camid, hayatsız, kuvvetsiz olmak lâzım gelir. Ve kuyu basamaklarında ve minarenin derecelerinde görünen o olmamak lâzım gelir. Madem öyle görüyorsunuz; elbette o, kuvvetsiz, hakikatsiz, camid olmayacak. Minare başı onun makamı olacak. Öyle ise ya siz onu kuyu dibinde göstereceksiniz –ki hiçbir cihette bunu gösteremezsiniz ve hiçbir kimseye orada bulunmasını dinletemezsiniz– veyahut susunuz! Meydan-ı müdafaanız kuyu dibidir. Sair meydan ve uzun mesafe ise şu mübarek cemaatin meydanıdır; kuyu dibinden başka, o zatı nerede gösterseler davayı kazanırlar.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Begitulah, bahasan tentang dialog dengan setan serupa dengan perumpamaan di atas. Ia mengambil alih jarak yang membentang dari Arasy hingga bumi, dari tangan kelompok setan sekaligus membatasi mereka pada wilayah yang paling sempit, yaitu dasar sumur. Ia membungkam mereka pada celah yang paling sempit yang tak mungkin dimasuki. Bahkan ia mustahil dan tidak logis. Pada saat bersamaan ia dapat menguasai seluruh wilayah atas nama al-Qur’an.
    İşte şu temsil gibi münazara-i şeytanî mebhası, arştan ferşe kadar olan uzun mesafeyi hizbü’ş-şeytanın elinden alıyor ve hizbü’ş-şeytanı mecbur ediyor, sıkıştırıyor. En gayr-ı makul en muhal en menfur mevkii onlara bırakıyor. En dar ve kimse giremeyecek bir deliğe onları sokuyor, bütün mesafeyi Kur’an namına zapt ediyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Jika kelompok setan itu ditanya, “Bagaimana kalian memandang kedudukan al-Qur’an?”.Mereka menjawab: ia adalah kitab humanis yang mengajarkan akhlak yang baik.
    Eğer onlara denilse: “Kur’an nasıldır?” Derler: “Güzel ve ahlâk dersini veren bir insan kitabıdır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ketika itulah dikatakan kepada mereka, “Kalau begitu, ia adalah kalam Allah. Kalian harus menerima hal ini. Sebab, kalian tidak bisa mengatakan ‘baik’ sesuai manhaj kalian.”
    O vakit onlara denilir: “Öyle ise Allah’ın kelâmıdır ve böyle kabul etmeye mecbursunuz. Çünkü siz mesleğinizce ‘güzel’ diyemeyeceksiniz!
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Begitu pula kalau mereka ditanya, “Bagaimana kalian memandang Rasul?”Mereka akan menjawab, “Beliau adalah manusia yang memiliki akhlak baik dan akal cerdas.”
    Hem eğer onlara denilse: “Peygamber’i nasıl bilirsiniz?” Derler: “Güzel ahlâklı, çok akıllı bir adam.”
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ketika itulah dikatakan kepada mereka, “Kalau begitu, kalian harus beriman kepadanya. Pasalnya, apabila beliau memiliki akhlak yang baik dan akal yang cerdas, beliau pasti utusan Allah. Sebab, istilah ‘baik’ tidak ada dalam kamus kalian. Demikianlah, seluruh sisi hakikat dapat diterapkan pada petunjuk perumpamaan yang lain.
    O vakit onlara denilecek: “Öyle ise imana geliniz. Çünkü güzel ahlâklı, akıllı olsa alâküllihal Resulullah’tır. Çünkü sizin bu ‘güzel’ sözünüz, hududunuz dâhilinde değil; mesleğinizce böyle diyemezsiniz.” Ve hâkeza… Temsildeki sair işaretlere, hakikatin sair cihetleri tatbik edilebilir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Atas dasar itu, ‘bahasan pertama’ yang berisi dialog dengan setan menyelamatkan iman kaum mukmin lewat petunjuk yang paling sederhana sekalipun tanpa perlu mengetahui mukjizat Muhammad berikut berbagai buktinya yang kuat. Pasalnya, setiap kondisi dan sifat Muhammad serta setiap fase kenabiannya laksana salah satu mukjizat beliau. Ia menjelaskan dan menegaskan bahwa kedudukan beliau berada di tingkatan paling tinggi; bukan di dasar sumur.
    İşte bu sırra binaen o şeytan ile münazara edilen Birinci Mebhas, ehl-i imanın imanını muhafaza etmek için mu’cizat-ı Ahmediyeyi bilmeye ve kat’î bürhanlarını öğrenmeye muhtaç etmiyor. Edna bir emare, küçük bir delil, onların imanlarını kurtarıyor. Kuyu dibindeki esfel-i safilînde olmadığına, her bir hal-i Ahmediye (asm), her bir haslet-i Muhammediye (asm), her bir tavr-ı Nebevî (asm) birer mu’cize hükmüne geçer, a’lâ-yı illiyyînde bir makamı bulunduğunu ispat eder.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="Yedinci_Mesele"></span>
    === Yedinci Mesele ===
    ===Persoalan Ketujuh===
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Persoalan yang Berisi Pelajaran:
    '''Medar-ı ibret bir mesele'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Berdasarkan tujuh petunjuk yang memperkokoh kekuatan maknawi sebagian sahabatku saat ditimpa keraguan dan lemah semangat dalam berkhidmah untuk al-Qur’an, aku terpaksa menjelaskan ikram rabbani dan perlindungan ilahi yang terkait dengan khidmah al-Qur’an semata. Hal itu agar aku bisa menyelamatkan sejumlah sahabatku yang berjiwa sensitif.
    Vehme maruz, fütura düşen bazı dostlarıma kuvve-i maneviyeyi teyid edecek yedi emarenin delâletiyle, sırf hizmet-i Kur’an’a ait bir ikram-ı Rabbanîyi ve bir himayet-i İlahiyeyi beyan etmeye mecburum ki o zayıf damarlı bir kısım dostlarımı kurtarayım.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Dari tujuh petunjuk tersebut, empat di antaranya mengarah kepada beberapa orang yang tadinya merupakan sahabatku namun kemudian menjadi musuh terhadap diriku sebagai pelayan al-Qur’an; bukan sebagai diri pribadiku. Mereka mengambil posisi semacam itu untuk mendapatkan keuntungan duniawi. Sebagai akibatnya, alih-alih memperoleh apa yang diharapkan, mereka malah mendapat tamparan keras.
    O yedi emarenin dördü; dost iken, sırf birer maksad-ı dünyevî için şahsıma değil, Kur’an’a hâdimliğim cihetinde düşman vaziyeti almalarıyla, o maksatlarının aksiyle tokat yediler.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Adapun tiga petunjuk sisanya mengarah kepada beberapa sahabat yang tulus di mana kondisi mereka masih tetap sebagai sahabat. Hanya saja mereka tidak memperlihatkan sikap berani yang merupakan tuntutan dari kesetiaan dan persahabatan. Hal itu lantaran mereka ingin mendapat simpati para ahli dunia agar memperoleh keuntungan duniawi serta lantaran ingin selamat dari berbagai cobaan. Hanya saja, ketiga sahabatku itu justru mendapat teguran; bukan mendapat apa yang mereka inginkan.
    O yedi emarenin üçü ise ciddi dost idiler ve daima da dostturlar fakat dostluğun iktiza ettiği merdane vaziyeti muvakkaten göstermediler, tâ ki ehl-i dünyanın teveccühünü kazanıp birer maksad-ı dünyevî kazansınlar ve başlarından emin olsunlar. Halbuki o üç dostum, maatteessüf o maksatlarının aksiyle birer itab gördüler.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sosok pertama adalah orang yang tadinya secara lahiriah termasuk sahabat lalu berbalik menjadi musuh.
    Evvelki dört zâhirî dost, sonra düşman vaziyeti gösterenlerin
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ia adalah sosok seorang pemimpin. Dengan penuh harap, ia meminta padaku salinan dari buku “Kalimat Kesepuluh” lewat sejumlah perantara. Maka, akupun memberikannya. Namun kemudian ia malah berbalik menjadi musuh dan meninggalkan persahabatan denganku dengan harapan bisa naik jabatan. Ia mengirim surat kepada gubernur dengan mengadukan dan memberikan informasi tentang diriku. Sayangnya, alih-alih naik jabatan, ia malah dicopot dari tugasnya sebagai salah satu karunia ilahi atas khidmah al-Qur’an.
    '''Birincisi:''' Bir müdür, kaç vasıta ile yalvardı. Onuncu Söz’den bir nüsha istedi. Ona verdim. O ise terfi için dostluğumu bırakıp düşmanlık vaziyeti aldı. Valiye şekva ve ihbar suretinde verdi. Hizmet-i Kur’aniyenin bir eser-i ikramı olarak terfi değil, azledildi.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sosok kedua adalah seorang pemimpin yang lain. Tadinya sebagai sahabat, namun kemudian berbalik menjadi musuh dan pesaing bukan bagi diri pribadiku; tetapi bagi kedudukanku sebagai pelayan al-Qur’an. Hal itu ia lakukan agar disenangi oleh atasannya guna memperoleh simpati para ahli dunia. Akan tetapi ia malah mendapatkan teguran; bukan mendapat apa yang dia inginkan. Ia diadili atas perkara yang sama sekali tidak diharapkan, sehingga mendapat hukuman selama dua setengah tahun. Kemudian ia meminta doa dari seorang pelayan al-Qur’an agar Allah menyelamatkannya. Iapun didoakan.
    '''İkincisi:''' Diğer bir müdür, dost iken, âmirlerinin hatırı için ve ehl-i dünyanın teveccühünü kazanmak fikriyle şahsıma değil, hizmetkârlığım cihetinde rakibane ve düşmanane vaziyet aldı, kendi maksadının aksiyle tokat yedi. Ümit edilmediği bir meselede, iki buçuk seneye mahkûm edildi. Sonra Kur’an’ın bir hizmetkârından dua istedi. İnşâallah belki kurtulacak çünkü ona dua edildi.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ketiga adalah seorang guru sekolah. Ia bersikap seperti seorang sahabat terhadapku. Akupun menunjukkan persahabatan yang tulus kepadanya. Namun ia malah berbalik menjadi musuh agar dipindah-tugaskan ke Barla. Akibatnya, alih-alih mendapat apa yang diinginkan, ia malah mendapat teguran keras. Ia malah direkrut sebagai prajurit dan dijauhkan dari Barla.
    '''Üçüncüsü:''' Bir muallim, dost görünürken ben de ona dost baktım. Sonra Barla’ya nakledip yerleşmek için düşmanane bir vaziyeti ihtiyar etti, o maksadının aksiyle tokat yedi. Muallimlikten askerliğe atıldı. Barla’dan uzaklaştırıldı.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Keempat, juga seorang guru sekolah. Aku melihatnya sebagai orang yang taat dan hafal al-Qur’an. Karena itu, aku menunjukkan persahabatan yang tulus padanya agar Allah mengaruniakan padanya kemauan untuk berkhidmah pada al-Qur’an. Namun, hanya karena ucapan seorang pegawai negeri, ia kemudian menunjukkan sikap yang tidak simpatik pada kami guna memperoleh tempat di hati para ahli dunia. Akhirnya, bukan mendapatkan apa yang diinginkan, ia malah mendapatkan teguran. Ia mendapat teguran keras dari pengawasnya lalu dipecat dari tugasnya.
    '''Dördüncüsü:''' Bir muallim (hâfız hem mütedeyyin gördüğüm için) Kur’an’ın hizmetinde bana bir dostluk edecek niyetiyle ona samimane bir dostluk gösterdim. Sonra o, ehl-i dünyanın teveccühünü kazanmak için bir memurun bir tek kelâmıyla bize karşı çok soğuk ve korkak vaziyeti aldı. Sonra o maksadının aksiyle tokat yedi. Müfettişinden şiddetli bir tekdir yedi ve azledildi.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Keempat orang di atas mendapatkan teguran karena mereka menjadi musuh bagi para pelayan al-Qur’an. Adapun tiga sahabatku yang lainnya mendapatkan peringatan; bukan teguran seperti di atas, lantaran mereka tidak mau bersikap berani yang merupakan tuntutan dari sebuah persahabatan dan kesetiaan.
    İşte bu dört adam düşman vaziyeti almakla böyle tokat yedikleri gibi üç dostum da ciddi dostluğun iktiza ettiği merdane vaziyeti göstermedikleri için tokat değil, bir nevi ihtar nevinde aks-i maksatlarıyla ikaz edildiler:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Pertama, salah seorang murid sejatiku yang giat dan tulus serta memiliki peran penting dalam khidmah al-Qur’an. Ia memiliki kepribadian yang mulia dan terhormat serta telah menulis al-Kalimât secara terus-menerus sekaligus menyebarkannya. Hanya saja, untuk beberapa waktu ia menyembunyikan al-Kalimât yang ia tulis serta tidak lagi menyalinnya saat seorang pejabat tinggi datang dan saat terjadi kasus tertentu. Hal itu ia lakukan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dari penguasa serta agar selamat dari kejahatan mereka. Faktanya, kesalahan akibat tidak menunaikan tugas pengabdian terhadap al-Qur’an membuatnya harus membayar den- da seribu lira untuk setahun. Namun saat ia berniat untuk menyalin dan kembali kepada kondisi semula ia terbebas dari dakwaan yang diarahkan padanya. Alhamdulillah, ia menjadi bebas dan tidak perlu membayar seribu lira, karena memang kondisinya termasuk fakir.
    '''Birincisi:''' Gayet mühim ve ciddi ve hakiki bir talebem olan bir zat-ı muhterem, mütemadiyen Sözleri yazar, neşrederdi. Müşevveş, büyük bir memurun gelmesiyle ve bir hâdisenin vukuu ile; yazdığı Sözleri sakladı, muvakkaten istinsahı da terk etti. Tâ ki ehl-i dünyadan bir zahmet görmesin ve bir sıkıntı çekmesin ve onların şerlerinden emin olsun. Halbuki o hizmet-i Kur’aniyenin muvakkaten tatilinden gelen bir eser-i hata olarak, bir sene mütemadiyen bin liraya mahkûmiyet gibi bir bela, gözü önüne konuldu. Ne vakit istinsaha niyet etti ve eski vaziyetine döndü; o davasından tebrie etti, lillahi’l-hamd beraet kazandı. Fakr-ı haliyle beraber bin liradan kurtuldu.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kedua, seorang sahabat yang tulus, pemberani, dan murah hati. Sudah lima tahun ia menjadi tetanggaku. Namun selama beberapa bulan ia tidak bertemu denganku. Bahkan pada bulan Ramadhan dan hari raya pun ia juga tidak mengunjungiku karena dianggap tidak penting. Hal itu ia lakukan untuk mendapat simpati ahli dunia, terutama dari pemimpin yang baru datang. Namun harapannya menjadi sirna dan keinginannya tidak tercapai. Sebab, ia tidak lagi dianggap memiliki pengaruh seperti sebelumnya karena persoalan kampung sudah selesai.
    '''İkincisi:''' Beş seneden beri mert ve ciddi ve cesur bir dostum, ehl-i dünyanın ve yeni gelen bir âmirin hüsn-ü zannını ve teveccühünü kazanmak için komşum iken, düşünmeyerek, ihtiyarsız, birkaç ay benim ile görüşmedi. Hattâ bayramda ve ramazanda uğramadı. Halbuki maksadının aksiyle karye meselesi neticelendi, nüfuzu kırıldı.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ketiga, seorang yang hafal al-Qur’an. Ia biasa mengunjungiku sekali atau dua kali dalam seminggu. Ia ditunjuk sebagai imam di masjid. Kemudian ia meninggalkanku agar bisa memakai serban imam dan tidak pernah datang bahkan di saat hari raya. Namun tidak seperti yang ia inginkan, ia tidak bisa memakai serban tersebut meski sudah menjadi imam selama kurang lebih delapan bulan.
    '''Üçüncüsü:''' Haftada bir iki defa benimle görüşen bir hâfız, imam olmuş. Sarık sarmak için iki ay beni terk etti. Hattâ bayramda yanıma gelmedi. Hilaf-ı me’mul olarak, maksadının aksiyle yedi sekiz ay imamlık ettiği halde hilaf-ı âdet bir surette ona sarık bağlattırılmadı.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Nah, peristiwa seperti di atas sangat sering terjadi. Aku tidak akan menyebutkannya agar tidak melukai perasaan yang lain. Hanya saja, betapapun kasusnya bersifat individual sehingga mungkin dianggap sebagai petunjuk yang lemah, namun ketika semuanya dikumpulkan, ia menyiratkan kekuatan dan melahirkan keyakinan bahwa kita bekerja dalam naungan karunia ilahi dan di bawah perlindungan-Nya ditinjau dari sisi khidmah al-Qur’an; bukan dari sisi pribadiku. Pasalnya, aku merasa diriku tidak layak untuk mendapatkan karunia ilahi tersebut.
    İşte bu gibi vukuatlar çok var. Fakat bazılarının hatırlarını kırmamak için zikretmiyorum. Bunlar ne kadar zayıf birer emare ise de fakat içtimaında bir kuvvet hissedilir. Onunla kanaat gelir ki: Şahsıma karşı değil –çünkü nefsimi hiçbir ikrama lâyık görmüyorum– belki hizmet-i Kur’an noktasında sırf o cihette bir ikram-ı İlahî ve bir himayet-i Rabbaniye altında hizmet ettiğimiz anlaşılıyor. Dostlarım bunu düşünmeli, evhama kapılmamalı.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Oleh karena itu, para sahabatku yang tercinta, kalian harus memahami hal ini dengan baik. Kalian tidak boleh menghiraukan sejumlah keraguan dan ilusi yang ada. Hal ini sengaja kujelaskan kepada kalian secara khusus karena karunia ilahi itu diberikan atas pengabdian terhadap al-Qur’an. Jadi, ini bukan untuk kesombongan; namun dalam rangka bersyukur kepada Allah sesuai dengan firman-Nya:“Terkait dengan nikmat Tuhanmu, ungkapkanlah!” (QS. adh-Dhuhâ [93]: 11)
    Madem hizmetkârlığıma bir ikram-ı İlahîdir ve madem fahre değil belki şükre sebeptir ve madem وَ اَمَّا بِنِع۟مَةِ رَبِّكَ فَحَدِّث۟ fermanı var. Bu sırlara binaen, hususi bir surette dostlarıma beyan ediyorum.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="Sekizinci_Mesele"></span>
    === Sekizinci Mesele ===
    ===Persoalan Kedelapan===
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    [Catatan kaki contoh ketiga dari ‘poin ketiga’ pada ‘sebab kelima’ di antara sebab-sebab yang menghalangi upaya ijtihad di masa sekarang, dalam “Kalimat Kedua Puluh Tujuh”.]
    Yirmi Yedinci Söz’ün içtihada mani esbabın beşinci sebebinin üçüncü noktasının üçüncü misalinin hâşiyesidir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Pertanyaan penting:''' Sejumlah ulama dan ahli hakikat berkata: “Ketika lafal-lafal al-Qur’an, zikir-zikir yang ma’tsur, serta tasbih yang memiliki riwayat yang valid menerangi seluruh sisi perangkat halus manusia serta memberinya nutrisi spiritual, bukankah lebih baik bila setiap kaum membentuk lafal-lafal tersebut sesuai dengan bahasa mereka sehingga maknanya bisa dipahami? Pasalnya, lafal semata tidak bisa memenuhi maksud yang dituju karena ia hanya merupa- kan bungkus?
    '''Mühim bir sual:''' Bazı ehl-i tahkik derler ki: Elfaz-ı Kur’aniye ve zikriye ve sair tesbihlerin her biri müteaddid cihetlerle insanın letaif-i maneviyesini tenvir eder, manevî gıda verir. Manaları bilinmezse yalnız lafız ifade etmiyor, kâfi gelmiyor. Lafız bir libastır, değiştirilse her taife kendi lisanıyla o manalara elfaz giydirse daha nâfi’ olmaz mı?
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Jawaban:'''lafal al-Qur’an dan tasbih dari Nabi bukan pakaian atau bungkus yang mati yang bisa diganti dan diubah. Ia seperti kulit hidup bagi tubuh. Bahkan ia benar-benar seperti kulit yang hidup seiring perjalanan waktu. Tidak bisa dibantah bahwa mengganti dan mengubah kulit, pasti berbahaya bagi tubuh.Selanjutnya, lafal yang penuh berkah dalam shalat, zikir, dan azan sudah menjadi sebuah nama dan identitas bagi maknanya secara ‘urfi ataupun syar’i. Sementara itu, nama dan identitas tersebut tidak bisa diganti.
    '''Elcevap:''' Elfaz-ı Kur’aniye ve tesbihat-ı Nebeviyenin lafızları camid libas değil; cesedin hayattar cildi gibidir, belki mürur-u zamanla cilt olmuştur. Libas değiştirilir fakat cilt değişse vücuda zarardır. Belki namazda ve ezandaki gibi elfaz-ı mübarekeler, mana-yı örfîlerine alem ve nam olmuşlar. Alem ve isim ise değiştirilmez.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Aku bisa sampai pada hakikat ini setelah melakukan refleksi dan penelaahan terhadap satu kondisi yang terjadi pada diriku:
    Ben kendi nefsimde tecrübe ettiğim bir haleti çok defa tetkik ettim gördüm ki o halet, hakikattir. O halet şudur ki:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ketika di hari arafah aku membaca surah al-Ikhlas seratus kali secara berulang-ulang, aku memperhatikan bagaimana sebagian indra batinku yang halus merasa jenuh setelah mendapatkan nutrisi secara terus-menerus. Daya pikirku tertuju pada maknanya. Namun sesudah itu ia berhenti dan jenuh. Kalbu yang ikut merasakan sejumlah makna ruhiyah juga mulai terdiam.
    Sure-i İhlas’ı arefe gününde yüzer defa tekrar edip okuyordum. Gördüm ki bendeki manevî duyguların bir kısmı birkaç defada gıdasını alır, vazgeçer, durur. Ve kuvve-i müfekkire gibi bir kısım dahi bir zaman mana tarafına müteveccih olur, hissesini alır, o da durur. Ve kalp gibi bir kısım, manevî bir zevke medar bazı mefhumlar cihetinde hissesini alır, o da sükût eder ve hâkeza…
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Berbeda halnya ketika tekun dan terus membaca. Sejumlah indra tersebut tidak cepat bosan. Ia tidak dipengaruhi oleh kealpaan yang mempengaruhi daya pikir. Namun ia dapat terus mengambil bagiannya tanpa perlu mendalami dan merenungkan maknanya. Sebab, makna umum yang menjadi perlambangnya sudah cukup serta makna global dari lafalnya yang kaya sudah memadai. Barangkali ia akan mendatangkan rasa jenuh ketika proses tafakkur mulai meng- arah kepada maknanya. Pasalnya, berbagai perangkat halus tersebut tidak membutuhkan pembelajaran dan pemberian pemahaman sebanyak kebutuhannya terhadap peringatan, pengarahan dan dorongan. Oleh karena itu, lafal yang serupa dengan kulit itu cukup untuk berbagai perangkat halus tersebut dan cukup untuk menunaikan fungsi maknanya. Terutama karena lafal berbahasa Arab tersebut menjadi sumber limpahan karunia ilahi yang permanen. Pasalnya, ia mengingatkan pada kalam dan perkataan ilahi.
    Gitgide o tekrarda yalnız bir kısım letaif kalır ki pek geç usanıyor, devam eder, daha manaya ve tetkikata hiç ihtiyaç bırakmıyor. Gaflet kuvve-i müfekkireye zarar verdiği gibi ona zarar vermiyor. Lafız ve lafz-ı müşebbi’ olduğu bir meal-i icmalî ile ve isim ve alem bulundukları mana-yı örfî, onlara kâfi geliyor. Eğer manayı o vakit düşünse zararlı bir usanç verir. Ve o devam eden latîfeler, taallüme ve tefehhüme muhtaç değiller; belki tahattura, teveccühe ve teşvike ihtiyaç gösterirler. Ve o cilt hükmündeki lafızları onlara kâfi geliyor ve mana vazifesini görüyorlar. Ve bilhassa o Arabî lafızlar ile kelâmullah ve tekellüm-ü İlahî olduğunu tahattur etmekle, daimî bir feyze medardır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kondisi yang kualami ini menjelaskan kepada kita bahwa ungkapan azan, tasbih shalat, surah al-Ikhlas dan al-Fatihah, yang selalu berulang, dengan bahasa manapun selain bahasa Arab sangat berba- haya.
    İşte kendim tecrübe ettiğim şu halet gösteriyor ki ezan gibi ve namazın tesbihatı gibi ve her vakit tekrar edilen Fatiha ve Sure-i İhlas gibi hakaikleri, başka lisan ile ifade etmek çok zararlıdır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sebab, perangkat yang permanen itu tetap tidak bisa mendapatkan bagiannya setelah kehilangan sumber hakiki yang bersifat permanen yang tidak lain berupa lafal ilahi dan nabawi. Di samping itu, paling tidak sepuluh pahala pada setiap hurufnya menjadi hilang. Lalu karena tidak ada tumakninah dan kehadiran kalbu bagi setiap orang dalam shalat, maka ungkapan buatan manusia yang sudah diterjemahkan itu di saat lalai hanya menebarkan kegelapan dalam jiwa, serta berbagai bahaya lain yang sejenis.
    Çünkü menba-ı daimî olan elfaz-ı İlahiye ve Nebeviye kaybolduktan sonra, o daimî letaifin daimî hisseleri de kaybolur. Hem her harfin lâekall on sevabı zayi olması ve huzur-u daimî, bütün namazda herkes için devam etmediğinden gaflet içinde, tercüme vasıtasıyla insanların tabiratı, ruha zulmet vermesi gibi zararlar olur.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ya, sebagaimana Imam Abu Hanifah berkata bahwa “لَٓا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰه merupakan lambang atau simbol tauhid, demikian
    Evet, nasıl İmam-ı A’zam demiş: “لَٓا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰه ُ tevhide alem ve isimdir.” Biz de deriz: Kelimat-ı tesbihiye ve zikriyenin, hususan ezanda ve namazda olanların ekseriyet-i mutlakası, alem ve isim hükmüne geçmişler. Alem gibi mana-yı lügavîsinden ziyade, mana-yı örfî-i şer’îsine bakılır. Öyle ise değişmeleri şer’an mümkün değildir.
    pula kita mengatakan bahwa sebagian besar kalimat tasbih, zikir, terutama azan, shalat, dan zikir sudah seperti nama dan simbol. Ia lebih mengarah kepada makna urfnya yang bersifat syar’i daripada kepada makna bahasanya. Karena itu, ia sama sekali tidak mungkin diganti.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Adapun maknanya yang harus dipahami oleh setiap mukmin, maka setiap orang awam dapat memahami dan mempelajari maknanya secara umum dalam waktu singkat. Bagaimana mungkin dimaklumi seorang muslim yang menjalani hidupnya dengan memikirkan banyak hal yang tak penting, namun tidak mau mempergunakan sedikit waktunya untuk memahami makna-makna itu di mana ia merupakan kunci bagi kehidupan dan kebahagiaan abadinya. Bahkan bagaimana mungkin ia bisa dikatakan sebagai muslim dan bagaimana ia akan disebut sebagai orang berakal? Logiskah jika lafal yang merupakan tempat penyimpanan sumber cahaya tersebut rusak lantaran sikap lambat orang-orang malas itu?
    Her mü’mine bilmesi lâzım olan mücmel manaları, yani muhtasar bir meali ise en âmî bir adam dahi çabuk öğrenir. Bütün ömrünü İslâmiyet’le geçiren ve kafasını binler malayaniyat ile dolduran adamlar, bir iki haftada hayat-ı ebediyesinin anahtarı olan şu kelimat-ı mübarekenin meal-i icmalîsini öğrenmemesine nasıl mazur olabilirler, nasıl Müslüman olurlar, nasıl “akıllı adam” denilirler? Ve öyle heriflerin tembelliklerinin hatırı için o nur menbalarının mahfazalarını bozmak kâr-ı akıl değildir!
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Selanjutnya, ketika seorang mukmin, yang berbicara dengan bahasa manapun, mengucap “Sübhanallah” ia sadar bahwa dirinya sedang menyucikan Tuhan. Tidakkah ini sudah cukup?! Namun bila ia memfokuskan perhatian pada makna semata lewat bahasanya sendiri, ia hanya belajar sesuai dengan pemikiran dan akalnya, di mana hal itu mengambil bagiannya dan mendapat pemahaman satu kali. Namun jika ia mengulang-ulang kalimat penuh berkah itu lebih dari seratus kali, maka di samping pemahaman logis tersebut, makna global yang masuk ke dalam lafal dan bercampur di dalamnya melahirkan cahaya dan limpahan karunia yang sangat banyak. Terutama, karena lafal berbahasa Arab itu memiliki kedudukan penting, suci, dan bercahaya di mana ia merupakan kalam ilahi.
    Hem “Sübhanallah” diyen, hangi milletten olursa olsun, Cenab-ı Hakk’ı takdis ettiğini anlar. İşte bu kadar kâfi gelmez mi? Eğer manasına kendi lisanıyla müteveccih olsa akıl noktasında bir defa taallüm eder. Halbuki günde yüz defa tekrar eder. O yüz defa, aklın hisse-i taallümünden başka, lafızdan ve lafza sirayet eden ve imtizaç eden meal-i icmalî, çok nurlara ve feyizlere medardır. Bâhusus tekellüm-ü İlahî haysiyetiyle aldığı kudsiyet ve o kudsiyetten gelen feyizler ve nurlar, çok ehemmiyetlidir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ringkasnya, lafal mana pun tidak mungkin bisa menggantikan kedudukan lafal al-Qur’an tersebut di mana ia merupakan sumber ajaran agama yang fundamental. Sama sekali tidak ada lafal lain yang bisa menggantikan posisinya. Tidak ada yang bisa menunaikan tujuannya karena kedudukannya yang suci, tinggi, dan abadi, meskipun mungkin untuk sementara waktu bisa menunaikan sebagian kecil darinya. Adapun lafal-lafal suci yang tidak termasuk pokok ajaran, juga tidak perlu diganti.
    '''Elhasıl,''' zaruriyat-ı diniye mahfazaları olan elfaz-ı kudsiye-i İlahiyenin yerine hiçbir şey ikame edilemez ve yerlerini tutamaz ve vazifelerini göremez. Ve muvakkat ifade etseler de daimî, ulvi, kudsî ifade edemezler.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sebab, kebutuhan terhadapnya terpenuhi dengan tekun dalam memberikan nasihat, bimbingan, dan wejangan.
    Amma nazariyat-ı diniyenin mahfazaları olan elfazlar ise değiştirilmeye lüzum kalmaz. Çünkü nasihat ile ve sair tedris ve talim ve vaaz ile o ihtiyaç mündefi olur.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kesimpulan: Integralitas dan keluasan bahasa Arab yang fasih, serta penjelasan lafal al-Qur’an yang merupakan mukjizat menghalangi upaya proses penerjemahan lafal yang ada. Karena itu, ia sama sekali tidak mungkin diterjemahkan. Bahkan ia mustahil. Siapa yang masih ragu tentang hal ini bisa merujuk kepada “Kalimat Kedua Puluh Lima” yang berbicara tentang mukjizat al-Qur’an agar ia bisa melihat kedudukan ayat al-Qur’an lewat kemukjizatannya, cabang-cabangnya, integralitasnya, keindahannya, dan maknanya yang mulia. Ini tidak bisa didapat pada bentuk terjemahan yang maknanya ringkas, bahkan cacat dan tidak sempurna.
    '''Elhasıl:''' Lisan-ı nahvî olan lisan-ı Arabînin câmiiyeti ve elfaz-ı Kur’aniyenin i’cazı öyle bir tarzdadır ki kabil-i tercüme değildir! Belki “Muhaldir.” diyebilirim. Kimin şüphesi varsa i’caza dair Yirmi Beşinci Söz’e müracaat etsin. Tercüme dedikleri şeyler ise gayet muhtasar ve nâkıs bir mealdir. Böyle meal nerede; hayattar, çok cihetlerle teşaub etmiş âyâtın hakiki manaları nerede?
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="Dokuzuncu_Mesele"></span>
    === Dokuzuncu Mesele ===
    ===Persoalan Kesembilan===
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    (Persoalan Penting dan Khusus yang Menyingkap Salah Satu Rahasia Kewalian)
    '''Mühim ve mahrem bir mesele ve bir sırr-ı velayet'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kalangan haq dan istikamah yang disebut dengan ahlu sunnah wal jamaah di mana mereka yang mewakili kelompok mayoritas umat Islam telah menjaga sejumlah hakikat al-Qur’an dan iman dalam wilayah istikamah dengan sikap mereka yang mengikuti seluruh sunnah yang mulia, tanpa pengurangan atau penambahan. Dari kelompok inilah kemudian bermunculan sebagian besar wali yang salih. Namun tampak wali lain di jalan yang berbeda dengan prinsip-prinsip ahlu sunnah wal jamaah, dan di luar sebagian ketentuannya. Karena itu, orang-orang yang mencermati keberadaan para wali tersebut terbagi dalam dua kelompok:
    Âlem-i İslâm’da Ehl-i Sünnet ve Cemaat denilen ehl-i hak ve istikamet fırka-i azîmesi, hakaik-i Kur’aniyeyi ve imaniyeyi istikamet dairesinde hüve hüvesine sünnet-i seniyeye ittiba ederek muhafaza etmişler. Ehl-i velayetin ekseriyet-i mutlakası, o daireden neş’et etmişler. Diğer bir kısım ehl-i velayet, Ehl-i Sünnet ve Cemaat’in bazı desatirleri haricinde ve usûllerine muhalif bir caddede görünmüş. İşte şu kısım ehl-i velayete bakanlar iki şıkka ayrıldılar:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Pertama, kelompok yang mengingkari kewalian dan kesalehan mereka. Hal itu karena mereka meniti jalan yang berbeda dengan prinsip ahlu sunnah wal jamaah. Bahkan, kelompok ini melakukan pengingkaran yang sangat jauh dengan mengafirkan sebagian mereka.
    Bir kısmı ise Ehl-i Sünnet’in usûlüne muhalif oldukları için velayetlerini inkâr ettiler. Hattâ onlardan bir kısmının tekfirine kadar gittiler.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kedua, kelompok yang mengikuti dan mengakui kewalian mereka. Karena itu, mereka berkata, “kebenaran tidak hanya terbatas pada jalan ahlu sunnah wal jamaah.” Dengan pernyataan ini, mereka membentuk satu kelompok baru dari ahli bid’ah dan tergelincir dalam kesesatan. Mereka lupa bahwa orang yang mendapat petunjuk untuk dirinya, tidak selalu bisa memberi petunjuk kepada yang lainnya. Para syekh mereka bisa dimaklumi ketika melakukan kesalahan karena mereka termasuk dalam kalangan yang tenggelam dalam kecintaan kepada Allah (majdzûb), namun tidak dibenarkan mengikuti mereka.
    Diğer kısım ki onlara ittiba edenlerdir. Onların velayetlerini kabul ettikleri için derler ki: “Hak yalnız Ehl-i Sünnet ve Cemaat’in mesleğine münhasır değil.” Ehl-i bid’adan bir fırka teşkil ettiler, hattâ dalalete kadar gittiler. Bilmediler ki her hâdî zat, mühdî olamaz. Şeyhleri hatasından mazurdur, çünkü meczuptur. Kendileri ise mazur olamazlar.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Terdapat kelompok ketiga yang meniti jalan pertengahan. Kelompok ini tidak mengingkari kewalian dan kesalehan mereka. Akan tetapi, mereka tidak menerima jalan dan manhaj para wali tersebut. Menurut mereka, sejumlah ucapan wali yang bertentangan dengan prinsip syariat bisa bersumber dari dominasi kondisi spiritual sehingga mereka melakukan kekeliruan. Atau, ia hanya syathahât (ungkapan seorang sufi dalam kondisi dimabuk cinta) yang menyerupai hal mutasyâbihât yang makna dan maksudnya tidak dipahami.
    Mutavassıt bir kısım ise o velilerin velayetlerini inkâr etmediler fakat yollarını ve mesleklerini kabul etmediler. Diyorlar ki: “Hilaf-ı usûl olan sözleri, ya hale mağlup olup hata ettiler veyahut manası bilinmez müteşabihat misillü şatahattır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sangat disayangkan kelompok pertama, terutama ulama ahli zahir, mengingkari kewalian banyak wali besar dengan niat untuk memelihara manhaj ahlu sunnah. Bahkan kemudian mereka terpaksa memvonis mereka sesat.  
    Maatteessüf birinci kısım, hususan ulema-i ehl-i zâhir, meslek-i Ehl-i Sünnet’i muhafaza niyetiyle, çok mühim evliyayı inkâr, hattâ tadlil etmeye mecbur olmuşlar. İkinci kısım olan taraftarları ise o çeşit şeyhlere ziyade hüsn-ü zan ettikleri için hak mesleğini bırakıp bid’ate hattâ dalalete girdikleri olmuş.
    Sementara kelompok lain yang mendukung para wali tadi meninggalkan jalan kebenaran dan masuk ke dalam bid’ah, bahkan sebagian mereka jatuh dalam kesesatan.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Hal itu karena sikap baik sangka mereka yang berlebihan terhadap para syekh mereka. Atas dasar itu, terdapat satu kondisi yang membuatku sering berpikir. Yaitu:
    İşte şu sırra dair, pek çok zaman zihnimi işgal eden bir halet vardı: Bir zaman ben, bir kısım ehl-i dalalete mühim bir vakitte kahr ile dua ettim. Bedduama karşı müthiş bir kuvvet-i maneviye çıktı. Hem duamı geri veriyordu hem beni men’etti.
    Aku telah berdoa kepada Allah agar sebagian kaum yang sesat dibinasakan. Akan tetapi, kekuatan maknawi yang besar menahan doaku atas mereka. Ia menolak doa tersebut. Ia mencegahku melakukan hal semacam itu.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kemudian aku melihat bagaimana sebagian tokoh sesat itu sangat semangat melakukan kebatilan mereka dan terus menyelisihi kebenaran. Dengan kekuatan maknawi, mereka menyeret banyak orang di belakang mereka ke lembah kebinasaan dengan sangat mudah. Mereka seakan mendapat restu dalam melakukan hal itu; bukan dengan paksaan semata. Bahkan, sebagian kaum mukmin ikut dan tertipu dengan mereka karena kondisi mereka yang memiliki sisi kewalian. Maka, sebagian kaum mukmin bersikap toleran kepada mereka dan tidak melihat mereka berada dalam kerusakan yang besar.
    Sonra gördüm ki o kısım ehl-i dalalet, hilaf-ı hak icraatında bir kuvve-i maneviyenin teshilatıyla, arkasına aldığı halkı sürükleyip gidiyor. Muvaffak oluyor. Yalnız cebir ile değil belki velayet kuvvetinden gelen bir arzu ile imtizaç ettiği için ehl-i imanın bir kısmı o arzuya kapılıp hoş görüyorlar, çok fena telakki etmiyorlar.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ketika merasakan dua rahasia di atas, aku diselimuti rasa takut. Akupun berkata, “Subhanallah!, mungkinkah ada kewalian yang berada di luar jalan kebenaran? Mungkinkah ahli hakikat dan wali loyal dengan aliran sesat?Lalu di salah satu hari yang diberkahi di antara hari-hari Arafah, aku membaca surah al-Ikhlas seratus kali. Aku mengulangnya berkali-kali mengikuti tradisi keislaman yang dianggap baik. Ketika itu, hakikat berikut serta jawaban dari sebuah persoalan penting masuk ke dalam kalbuku dari rahmat ilahi lewat keberkahan bacaan Qur’an tersebut:
    İşte bu iki sırrı hissettiğim vakit dehşet aldım, fesübhanallah dedim. “Tarîk-i haktan başka velayet bulunabilir mi? Hususan müthiş bir cereyan-ı dalalete ehl-i hakikat taraftar çıkar mı?” dedim. Sonra bir mübarek arefe gününde müstahsen bir âdet-i İslâmiyeye binaen Sure-i İhlas’ı yüzer defa tekrar ederek okuyup onun bereketiyle “Mühim Bir Suale Cevap” namında yazılan mesele ile beraber şöyle bir hakikat dahi rahmet-i İlahiye ile kalb-i âcizaneme gelmiş. Hakikat şudur ki:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Hakikat yang dimaksud adalah bahwa sebagian para wali meskipun terlihat memiliki kearifan dan petunjuk, serta memiliki pertimbangan akal yang rasional namun mereka majdzûb (ekstase).Mereka seperti Jibali Baba yang kisahnya terdapat di masa Sultan Muhammad al-Fatih; sebuah kisah terkenal yang mengandung pelajaran.(*<ref>*Dikisahkan bahwa seorang wali salih yang disebut Jibali Baba tinggal di Kon- stantinopel. Ia sangat mencintai penduduknya yang beragama Nasrani. Mereka punmencintainya, terutama anak-anak mereka. Ia sangat mengasihi mereka. Ketika Sultan Muhammad al-Fatih mengepung kota tersebut, sang wali salih tersebut berdoa kepada Allah agar peluru Sultan tidak mengenai sasaran serta agar anak-anak kecil diselamatkan. Ternyata benar, kota tersebut tidak segera bisa dikuasai. Sultan meminta arahan dari gurunya, Ak Syamsuddin; seorang alim yang mengamalkan ilmunya dan wali yang salih. Ak Syamsuddin pun berdoa untuk mendapat kemenangan. Sementara Jibali Baba berdoa sebaliknya. Hal itu membuat Ak Syamsuddin berdoa agar Jibali Baba binasa sehingga kemenangan segera terwujud. Tidak lama kemudian, Jibali Baba wafat dan Konstanstinopel berhasil ditaklukkan.</ref>)
    Sultan Mehmed Fatih’in zamanında hikâye edilen meşhur ve manidar “Cibali Baba kıssası” nevinden olarak bir kısım ehl-i velayet, zâhiren muhakemeli ve âkıl görünürken, meczupturlar.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sebagian wali lain, meskipun mereka berada dalam wilayah rasional, sadar, dan mendapat petunjuk, namun kadangkala mereka berada dalam kondisi di luar nalar dan tidak rasional.
    Ve bir kısmı dahi bazen sahvede ve daire-i akılda görünür, bazen aklın ve muhakemenin haricinde bir hale girer.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sebagian dari kelompok ini merupakan kalangan yang rancu. Yakni, persoalannya menjadi kabur bagi mereka sehingga tidak bisa membedakan. Persoalan tertentu yang mereka lihat di saat ekstase (tidak sadar) mereka te- rapkan pada kondisi sadar. Akibatnya, mereka melakukan kekeliruan tanpa sadar kalau mereka keliru.
    Şu kısımdan bir sınıfı ehl-i iltibastır, tefrik etmiyor. Sekir halinde gördüğü bir meseleyi halet-i sahvede tatbik eder, hata eder ve hata ettiğini bilmez.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Adapun kalangan majdzûb, sebagian dari mereka mendapat penjagaan di sisi Allah di mana mereka tidak tersesat, namun sebagian lain tidak mendapat penjagaan.
    Meczupların bir kısmı ise indallah mahfuzdur, dalalete sülûk etmez.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Barangkali mereka berada dalam lingkungan ahli bid’ah dan sesat. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan mereka berada dalam barisan orang-orang kafir.
    Diğer bir kısmı ise mahfuz değiller, bid’at ve dalalet fırkalarında bulunabilirler. Hattâ kâfirler içinde bulunabileceği ihtimal verilmiş.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Begitulah. Karena mereka majdzûb, entah bersifat temporer atau permanen, mereka seperti orang gila yang baik dan diberkahi. Artinya, hukum tidak bisa diterapkan kepada mereka. Karena gila, mereka bebas tidak mendapat beban taklif. Karena tidak mendapat taklif, mereka tidak mendapat hukuman atas tindakan mereka. Meskipun kewalian mereka yang bersifat majdzub itu terlindungi, mereka loyal kepada kalangan ahli bid’ah dan sesat sehingga mengembangkan cara-cara kalangan ahli bid’ah tersebut sampai pada tingkat di mana mereka menjadi sebab buruk bagi masuknya sebagian mukmin dan ahlul haq kepada kehidupan ahli bid’ah tadi.
    İşte muvakkat veya daimî meczup olduklarından manen “mübarek mecnun” hükmünde oluyorlar. Ve mübarek ve serbest mecnun hükmünde oldukları için mükellef değiller. Ve mükellef olmadıkları için muaheze olunmuyorlar. Kendi velayet-i meczubaneleri bâki kalmakla beraber, ehl-i dalalete ve ehl-i bid’aya taraftar çıkarlar. Mesleklerine bir derece revaç verip bir kısım ehl-i imanı ve ehl-i hakkı, o mesleğe girmeye meş’umane bir sebebiyet verirler.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="Onuncu_Mesele"></span>
    === Onuncu Mesele ===
    ===Persoalan Kesepuluh===
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    [Persoalan ini ditulis karena permintaan sejumlah sahabat untuk membuat sebuah prinsip bagi para pengunjung yang ingin menemuiku.]
    Ziyaretçilere ait, bazı dostlar tarafından ihtar ile bir düstur izah edilmek istenilmiştir. Onun için yazılmıştır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Perlu diketahui oleh semua bahwa di antara yang mengunjungi kami, ada yang datang untuk urusan dunia. Hanya saja pintu tersebut tertutup.
    Malûm olsun ki: Bizi ziyaret eden, ya hayat-ı dünyeviye cihetinde gelir; o kapı kapalıdır. Veya hayat-ı uhreviye cihetinde gelir. O cihette iki kapı var: Ya şahsımı mübarek ve makam sahibi zannedip gelir, o kapı dahi kapalıdır. Çünkü ben kendimi beğenmiyorum, beni beğenenleri de beğenmiyorum. Cenab-ı Hakk’a çok şükür, beni kendime beğendirmemiş. İkinci cihet, sırf Kur’an-ı Hakîm’in dellâlı olduğum cihetledir. Bu kapıdan girenleri, ale’r-re’si ve’l-ayn kabul ediyorum.
    Ada pula yang datang untuk urusan akhirat. Terkait dengan itu terdapat dua pintu: pertama, seseorang yang menganggap diriku sebagai orang yang diberkahi dan mempunya maqam di sisi Allah, karena itu ia datang. Pintu ini juga tertutup. Pasalnya, aku tidak ujub dengan diriku dan tidak senang dengan orang yang kagum padaku. Alhamdulillah aku tidak dijadikan orang yang mengagumi diri sendiri. Adapun yang kedua, seseorang yang datang padaku karena aku sebagai pelayan dan penjaja al-Qur’an sekaligus sebagai penyeru kepadanya. Selamat datang kuucapkan bagi yang datang kepada kami lewat pintu ini.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Mereka ini juga terdiri dari tiga jenis. Ada yang merupakan sahabat, saudara, dan ada yang merupakan murid.
    Onlar da üç tarzda olur: Ya dost olur ya kardeş olur ya talebe olur.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ciri dan syarat sahabat adalah memberikan dukungan yang serius atas pengabdian kami dalam menyebarkan cahaya al-Qur’an (Risalah Nur); tidak condong kepada kebatilan, bid’ah, dan kesesatan; serta berusaha untuk memberi manfaat kepada dirinya sendiri.
    '''Dostun hâssası ve şartı budur ki:''' Kat’iyen, Sözler’e ve envar-ı Kur’aniyeye dair olan hizmetimize ciddi taraftar olsun ve haksızlığa ve bid’alara ve dalalete kalben taraftar olmasın, kendine de istifadeye çalışsın.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ciri dan syarat saudara adalah mengerahkan upaya yang sungguh-sungguh untuk menyebarkan Risalah Nur, serta ia menunaikan salat lima waktu dan menghindari tujuh dosa besar.
    '''Kardeşin hâssası ve şartı şudur ki:''' Hakiki olarak Sözler’in neşrine ciddi çalışmakla beraber, beş farz namazını eda etmek, yedi kebairi işlememektir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ciri dan syarat murid adalah menganggap Risalah Nur seola olah karya tulisnya sendiri; menganggap secara khusus diperun- tukkan baginya sehingga membelanya seolah-olah miliknya sendiri; serta menganggap penyebaran dan pengabdian terhadap Risalah Nur merupakan tugas hidup yang paling mulia.
    '''Talebeliğin hâssası ve şartı şudur ki:''' Sözler’i kendi malı ve telifi gibi hissedip sahip çıksın ve en mühim vazife-i hayatiyesini, onun neşir ve hizmeti bilsin.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Tiga tingkatan tersebut terkait dengan tiga sisi pribadiku. Sahabat terkait dengan diri pribadiku. Saudara terpaut dengan so-sok pribadiku sebagai hamba, yakni sosok yang menunaikan tugas ubudiyah kepada Allah. Murid terkait dengan diriku dilihat dari keberadaanku sebagai penyeru dan penjaja sekaligus sebagai pembimbing kepada al-Qur’an.
    İşte şu üç tabaka benim üç şahsiyetimle alâkadardır. Dost, benim şahsî ve zatî şahsiyetimle münasebettar olur. Kardeş, abdiyetim ve ubudiyet noktasındaki şahsiyetimle alâkadar olur. Talebe ise Kur’an-ı Hakîm’in dellâlı cihetinde ve hocalık vazifesindeki şahsiyetimle münasebettardır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Relasi semacam ini melahirkan tiga buah:
    Şu görüşmenin de '''üç meyvesi''' var:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Pertama, ia mengambil permata al-Qur’an sebagai pelajaran dariku atau dari Risalah Nur yang merupakan penyeru kepada al- Qur’an meski hanya satu pelajaran.
    '''Birincisi:''' Dellâllık itibarıyla mücevherat-ı Kur’aniyeyi benden veya Sözlerden ders almak. Velev bir ders de olsa.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kedua, ia ikut mendapatkan ganjaran ukhrawi bersamaku. Ini dilihat dari sisi ubudiyah kepada Allah.
    '''İkincisi:''' İbadet itibarıyla uhrevî kazancıma hissedar olur.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ketiga, kita sama-sama mengharap rahmat ilahi di mana hati ini terpaut dan saling mendukung dalam khidmah al-Qur’an sekaligus mengharap taufik dan hidayah dari-Nya.
    '''Üçüncüsü:''' Beraber dergâh-ı İlahiyeye müteveccih olup rabt-ı kalp ederek, Kur’an-ı Hakîm’in hizmetinde el ele verip tevfik ve hidayet istemek.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Jika ia sebagai murid, ia hadir pada setiap pagi bersamaku dengan namanya, dan kadangkala dengan khayalannya.
    Eğer talebe ise her sabah mütemadiyen ismiyle, bazen hayaliyle dahi yanımda hazır olur, hissedar olur.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Jika ia sebagai saudara, ia hadir pada sejumlah momen bersamaku dalam doaku dengan namanya dan gambarannya sehingga ia ikut mendapatkan pahala dan doa. Kemudian ia tergabung bersama seluruh saudara yang lain, lalu kuserahkan ia kepada rahmat ilahi. Sebab, ketika dalam doa aku mengucap “Ikhwati wa ikhwâni (saudara-saudariku),” ia termasuk dari mereka. Meski aku pribadi tidak mengenalnya, rahmat ilahi lebih mengetahui dan lebih melihat.
    Eğer kardeş ise birkaç defa hususi ismiyle ve suretiyle dua ve kazancımda hazır olup hissedar olur. Sonra umum ihvanlar içinde dâhil olup rahmet-i İlahiyeye teslim ediyorum ki dua vaktinde “ihvetî ve ihvanî” dediğim vakit onlar içinde bulunur. Ben bilmezsem rahmet-i İlahiye onları biliyor ve görüyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Jika ia sebagai sahabat, ia termasuk dalam doaku dengan kedudukannya sebagai saudara secara umum selama ia menunaikan kewajiban dan menjauhi dosa besar.
    Eğer dost ise ve feraizi kılar ve kebairi terk ederse umumiyet-i ihvan itibarıyla duamda dâhildir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Aku juga berharap dari ketiga tingkatan di atas agar memasukkanku sebagai bagian dari doa dan pahala mereka.
    Bu üç tabaka dahi beni manevî dua ve kazançlarında dâhil etmek şarttır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى مَن۟ قَالَ «اَل۟مُؤ۟مِنُ لِل۟مُؤ۟مِنِ كَال۟بُن۟يَانِ ال۟مَر۟صُوصِ يَشُدُّ بَع۟ضُهُ بَع۟ضًا» وَعَلٰى اٰلِهٖ وَصَح۟بِهٖ وَسَلِّم۟
    اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى مَن۟ قَالَ «اَل۟مُؤ۟مِنُ لِل۟مُؤ۟مِنِ كَال۟بُن۟يَانِ ال۟مَر۟صُوصِ يَشُدُّ بَع۟ضُهُ بَع۟ضًا» وَعَلٰى اٰلِهٖ وَصَح۟بِهٖ وَسَلِّم۟
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ الَّذٖى هَدٰينَا لِهٰذَا وَمَا كُنَّا لِنَه۟تَدِىَ لَو۟لَٓا اَن۟ هَدٰينَا اللّٰهُ لَقَد۟ جَٓاءَت۟ رُسُلُ رَبِّنَا بِال۟حَقِّ
    اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ الَّذٖى هَدٰينَا لِهٰذَا وَمَا كُنَّا لِنَه۟تَدِىَ لَو۟لَٓا اَن۟ هَدٰينَا اللّٰهُ لَقَد۟ جَٓاءَت۟ رُسُلُ رَبِّنَا بِال۟حَقِّ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    اَللّٰهُمَّ يَا مَن۟ اَجَابَ نُوحًا فٖى قَو۟مِهٖ وَ يَا مَن۟ نَصَرَ اِب۟رَاهٖيمَ عَلٰى اَع۟دَائِهٖ
    اَللّٰهُمَّ يَا مَن۟ اَجَابَ نُوحًا فٖى قَو۟مِهٖ وَ يَا مَن۟ نَصَرَ اِب۟رَاهٖيمَ عَلٰى اَع۟دَائِهٖ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    وَ يَا مَن۟ اَر۟جَعَ يُوسُفَ اِلٰى يَع۟قُوبَ وَ يَا مَن۟ كَشَفَ الضُّرَّ عَن۟ اَيُّوبَ
    وَ يَا مَن۟ اَر۟جَعَ يُوسُفَ اِلٰى يَع۟قُوبَ وَ يَا مَن۟ كَشَفَ الضُّرَّ عَن۟ اَيُّوبَ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ya Allah, Dzat Yang Mengabulkan doa Nuh dalam dakwanya; Yang memenangkan Ibrahim atas musuhnya; Yang mengembalikan Yusuf ke Ya’qub; Yang menyembuhkan penyakit Ayyub; Yang mengabulkan doa Zakariya; dan Yang mengampuni Yunus ibn Matta. Dengan rahasia pemilik doa-doa yang mustajab tersebut, kami memohon:Lindungi aku dan penyebar risalah ini berikut teman-teman mereka dari kejahatan setan golongan manusia dan jin; beri kami kemenangan atas musuh kami; jangan serahkan kami kepada diri kami; lapangkan dada kami dan dada mereka; sembuhkan penyakit hati kami dan hati mereka. Amin, amin, amin!
    وَ يَا مَن۟ اَجَابَ دَع۟وَةَ زَكَرِيَّا وَ يَا مَن۟ تَقَبَّلَ يُونُسَ اب۟نَ مَتّٰى نَس۟ئَلُكَ بِاَس۟رَارِ اَص۟حَابِ هٰذِهِ الدَّع۟وَاتِ ال۟مُس۟تَجَابَاتِ اَن۟ تَح۟فَظَنٖى وَ تَح۟فَظَ نَاشِرَ هٰذِهِ الرَّسَائِلِ وَ رُفَقَائِهِم۟ مِن۟ شَرِّ شَيَاطٖينِ ال۟اِن۟سِ وَ ال۟جِنِّ وَ ان۟صُر۟نَا عَلٰى اَع۟دَائِنَا وَ لَا تَكِل۟نَا اِلٰى اَن۟فُسِنَا وَ اك۟شِف۟ كُر۟بَتَنَا وَ كُر۟بَتَهُم۟ وَاش۟فِ اَم۟رَاضَ قُلُوبِنَا وَ قُلُوبِهِم۟ اٰمٖينَ اٰمٖينَ اٰمٖينَ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    ------
    ------
    <center> [[Yirmi Beşinci Mektup]] ⇐ | [[Mektubat]] | ⇒ [[Yirmi Yedinci Mektup]] </center>
    <center> [[Yirmi Beşinci Mektup/id|SURAT KEDUA PULUH LIMA]] ⇐ | [[Mektubat/id|Al-Maktûbât]] | ⇒ [[Yirmi Yedinci Mektup/id|SURAT KEDUA PULUH TUJUH]] </center>
    ------
    ------
    </div>

    09.08, 23 Ocak 2025 itibarı ile sayfanın şu anki hâli

    Diğer diller:

    (Surat Kedua Puluh Enam ini menjelaskan empat bahasan yang memiliki sedikit korelasi di antara masing-masingnya)

    BAHASAN PERTAMA

    بِاس۟مِهٖ سُب۟حَانَهُ وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَم۟دِهٖ

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

    “Jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Fushshilat [41]: 36).

    Argumen al-Qur’an yang Membungkam Setan dan Sekutunya

    Bahasan pertama ini yang memaksa iblis, setan, dan kaum pembangkang terdiam adalah hasil dari sebuah peristiwa nyata. Ia menangkal tipu daya setan yang menakutkan dalam sebuah diskusi rasional dan netral. Peristiwa tersebut telah kutulis sepuluh tahun yang lalu secara global dalam bab al-Lawâmi. Kisahnya sebagai berikut:

    Sebelas tahun sebelum penulisan risalah ini, suatu hari aku menyimak bacaan al-Quran dari para penghafal al-Quran di Masjid Bayazid Istanbul. Waktu itu bertepatan pada bulan Ramadhan yang penuh berkah. Ketika itu, tiba-tiba aku mendengar suara maknawi yang menarik perhatianku tanpa melihat orang yang menuturkannya. Akupun menyimak dan mendengar suara tersebut.

    Ia berkata,

    “Engkau melihat al-Qur’an demikian mulia dan bersinar. Cobalah melihatnya secara netral. Lalu ukurlah dengan timbangan rasional dan objektif. Maksudku, asumsikan al-Qur’an sebagai perkataan manusia. Setelah itu, perhatikan masihkah ada sejumlah keistimewan itu padanya?”

    Pada hakikatnya aku tertipu olehnya. Kuasumsikan al-Qur’an sebagai perkataan manusia. Lalu aku melihatnya dari sisi yang ia maksud. Seketika aku berada dalam kegelapan yang pekat. Cahaya al- Qur’an yang sangat terang langsung padam. Kegelapan menyelimuti seluruh sisi persis seperti ketika seseorang mematikan tombol listrik. Namun aku segera sadar bahwa yang berbicara denganku adalah setan. Ia ingin menjerumuskan diriku ke dalam jurang. Aku pun meminta pertolongan lewat al-Qur’an. Tiba-tiba cahaya memancar di dalam kalbuku. Dengan itu, aku memiliki kekuatan untuk melakukan pembelaan. Ketika itulah perdebatan dengan setan dimulai dalam bentuk sebagai berikut:

    Aku berkata,

    “Hai setan! Diskusi yang netral, tanpa berpihak kepada salah satu dari dua sisi, adalah dengan berada di tengah- tengah keduanya. Namun diskusi netral yang diserukan oleh dirimu dan para sekutumu dari kalangan manusia adalah berpihak pada sisi lawan. Hal ini tentu saja tidak netral; namun merupakan bentuk ateisme yang bersifat sementara. Pasalnya, memosisikan al-Qur’an sebagai perkataan manusia serta melakukan diskusi rasional dengan asumsi semacam itu berarti mengambil posisi yang berlawanan dan berpegang pada kebatilan. Ia tidak bisa disebut netral, tetapi berpihak dan menunjukkan loyalitas pada kebatilan.

    Mendengar hal tersebut setan berkata,

    “Baik, kalau begitu ambil jalan tengah; asumsikan ia bukan kalam Allah, bukan pula perkataan manusia.”

    Kujawab,

    “Ini juga tidak mungkin. Sebab, jika ada harta yang diperebutkan, lalu dua orang yang saling mengaku berada dalam posisi berdekatan, maka dalam kondisi demikian harta tadi ditempatkan di tangan orang lain selain mereka berdua, atau di tempat yang bisa dijangkau keduanya. Jika salah satu diantara keduanya bisa memberikan argumen paling kuat serta bisa membuktikan pengakuannya, ia berhak mengambil harta tersebut. Akan tetapi, kalau dua orang tadi berada di tempat yang saling berjauhan, misalkan yang satu di timur dan yang satu lagi di barat, dalam kondisi demikian harta dibiarkan berada di pihak yang sedang memegangnya. Pasalnya, ia tidak bisa dibiarkan berada di tengah-tengah di antara mereka.(*[1])

    Demikianlah, al-Qur’an merupakan barang berharga dan harta bernilai. Sebagaimana jarak antara kalam Allah dan kalam manusia sangat jauh, begitu pula jauhnya jarak antara kedua sisi tersebut bersifat mutlak tak terhingga. Karena itu, harta tersebut tidak mungkin diletakkan di tengah-tengah antara keduanya. Pasalnya, tidak ada perantara antara keduanya sama sekali.Ia laksana ada dan tiada; tidak ada penengah di antara keduanya.

    Dengan demikian, pemegang ken- dali al-Qur’an adalah pihak ilahi. Karena itu, penyelesaiannya harus seperti itu dan pemaparan argumennya berdasarkan hal tersebut. Dengan kata lain, al-Qur’an berada di tangan Allah. Terkecuali, jika ada pihak lain yang bisa mematahkan semua argumen yang menunjukkan bahwa ia merupakan kalam Allah. Ketika itulah, ia bisa ikut campur dengannya. Jika tidak, maka tidak bisa.Jangan harap hal itu mungkin terjadi. Siapa yang bisa menggoyang mutiara berharga di arasy agung yang dikokohkan oleh ribuan argumen mematikan. Adakah yang berani merobohkan pilar-pilar yang tegak dengan kokoh itu sehingga mutiara berharga tadi jatuh dari arasy yang tinggi?!

    Hai setan! Ahlul haq dan orang yang objektif menimbang perkara di atas dengan timbangan akal yang sehat. Bahkan mereka semakin percaya kepada al-Qur’an dengan dalil yang paling kecil sekalipun.

    Adapun jalan yang ditunjukkan olehmu dan oleh murid-muridmu, yaitu dengan mengasumsikan al-Quran sebagai kalam manusia, meskipun hanya sekali. Yakni, andaikan mutiara agung yang dengan kokoh berada di arasy itu dijatuhkan ke bumi, maka dibutuhkan sebuah argumen yang kuat yang bisa mengalahkan semua argumen dan dalil yang ada. Hal itu agar ia mampu naik dari bumi dan menempati arasy maknawi. Hanya dengan cara itu ia bisa selamat dari gelapnya kekufuran dan bisa mencapai cahaya iman. Sementara hal tersebut sangat sulit dicapai oleh siapa pun. Oleh sebab itu, banyak orang di zaman sekarang yang kehilangan iman akibat tipu dayamu dengan mengatasnamakan “pendekatan objektif ”.

    Setan pun berujar,

    “Konteks kalam dalam al-Qur’an menyeru- pai perkataan manusia. Bentuk dialognya seperti gaya bahasa manusia. Dengan demikian, ia merupakan perkataan manusia. Sebab, andaikan ia kalam Allah, tentu dalam segala aspeknya akan sangat luar biasa yang sesuai dengan kondisi Allah, dan tidak akan menyerupai perkataan manusia, sebagaimana kreasi Allah tidak sama dengan kreasi manusia.”

    Jawabanku sebagai berikut:

    Rasul tetap berada dalam kondisinya sebagai manusia pada seluruh perbuatan, kondisi, dan fase kehidupan beliau di luar mukjizat dan sejumlah keistimewaannya. Beliau tunduk dan taat pada semua sunnatullah dan perintah penciptaan-Nya sama seperti manusia yang lain. Beliau merasa kedinginan dan juga merasa sakit. Demikianlah, beliau tidak diberikan kondisi luar biasa dalam seluruh fase kehidupannya. Hal itu agar beliau bisa menjadi teladan bagi umat lewat seluruh perbuatannya, menjadi panutan lewat tingkah lakunya, serta menjadi rujukan bagi seluruh manusia lewat gerak langkahnya. Sebab, andaikan seluruh kondisi kehidupan beliau luar biasa, tentu beliau tidak bisa menjadi teladan dan panutan bagi semua manusia. Beliau pun tidak bisa menjadi pembimbing manusia dan tidak bisa menjadi rahmat bagi seluruh alam pada seluruh kon- disi beliau.

    Begitu pula dengan al-Qur’an al-Hakim. Ia adalah panutan bagi makhluk berkesadaran, pembimbing bagi jin dan manusia, petunjuk bagi orang-orang yang mencapai derajat kesempurnaan, serta guru bagi ahli hakikat.(*[2])Karena itu, al-Qur’an harus dalam bentuk percakapan dan gaya bahasa manusia.

    Pasalnya, manusia dan jin bisa mendapat inspirasi untuk bermunajat, belajar berdoa, menyebutkan sejumlah persoalan dengan bahasanya, dan mengenal adab-adab pergaulan darinya. Begitulah, setiap mukmin dapat menjadikannya sebagai rujukan.

    Andaikan al-Qur’an dalam bentuk kalam ilahi yang sebenarnya seperti yang didengar oleh Musa di gunung Sinai, sudah pasti manusia tidak mampu mendengarnya, tidak kuasa menyimaknya, serta tidak bisa menjadikannya sebagai rujukan bagi seluruh kondisinya. Nabi Musa saja, yang termasuk rasul ulul azmi, tidak kuasa kecuali sebatas mendengar sebagian dari kalam-Nya di mana beliau berkata, “Seperti itukah kalam-Mu?” Allah menjawab, “Aku memiliki kekuatan seluruh lisan dan bahasa.”(*[3])

    قَالَ اللّٰهُ : لٖى قُوَّةُ جَمٖيعِ ال۟اَل۟سِنَةِ

    Lagi-lagi setan berkata,

    “Banyak manusia yang menyebutkan sejumlah persoalan agama yang serupa dengan apa yang terdapat dalam al-Qur’an. Tidakkah mungkin manusia bisa mendatangkan sesuatu yang serupa dengan al-Qur’an atas nama agama?”

    Dengan limpahan cahaya al-Qur’an al-Karim, kujelaskan:

    Pertama, orang yang paham agama menjelaskan kebenaran dengan berkata, “Kebenaran adalah demikian, hakikatnya begini, dan perintah Allah seperti ini.” Hal itu didasari oleh dorongan cinta kepada agama, bukan berbicara atas nama Allah sesuai keinginan hawa nafsunya. Ia juga tidak melampaui batas dengan mengaku berbicara atas nama Allah atau berbicara tentang-Nya dengan meniru kalam-Nya. Namun ia merinding di hadapan firman-Nya:“Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah” (QS. az-Zumar [39]: 32).

    Kedua, manusia sama sekali tidak mungkin melakukan perbuatan tersebut. Ini sangat mustahil. Hanya orang-orang yang “saling berdekatan” yang bisa saling meniru. Barangkali orang yang berasal dari satu jenis atau satu golongan bisa meniru sosok lain sehingga untuk sementara waktu bisa menipu manusia. Akan tetapi, ia tidak bisa menipu mereka untuk selamanya. Sebab, orang yang peka dapat mengetahui sikap dan perbuatannya yang dibuat-buat, dan pasti suatu hari kebohongannya akan terbongkar sehingga tipu dayanya tidak akan bertahan lama.

    Jika orang yang ingin ditiru “sangat jauh”, misalnya orang yang awam ingin meniru Ibnu Sina dalam hal ilmu pengetahuan, atau seorang pengembala berlagak seperti raja, maka ia tidak akan bisa menipu siapapun. Justru ia akan diejek dan dihinakan orang. Sebab, seluruh kondisinya akan berkata, “Ini adalah penipu.”

    Kondisinya sama seperti kunang-kunang bagi kalangan astronom tidak mungkin tampil seperti bintang selama seribu tahun tanpa terindikasi adanya unsur kepura-puraan. Atau, lalat bagi orang yang bisa melihat tidak mungkin tampil sebagai burung merak selama seribu tahun tanpa terindikasi adanya kebohongan. Juga, prajurit biasa tidak mungkin menyamar jadi Jenderal dalam waktu yang lama tanpa diketahui oleh siapapun. Seorang pendusta yang tidak beriman juga tidak mungkin menampilkan diri seperti orang yang paling jujur, paling beriman, dan paling kokoh akidahnya sepanjang hayat di hadapan kalangan yang cermat dan teliti di mana sikapnya itu tidak diketahui oleh orang-orang jenius.

    Sebagaimana semua kondisi di atas seratus persen tidak mungkin terjadi serta tidak akan dipercaya oleh mereka yang masih memiliki akal, bahkan ia dianggap sebagai sikap gila dan tidak waras. Demikian pula ketika al-Qur’an diasumsikan sebagai perkataan ma- nusia.

    Hal itu sama sekali tidak mungkin. Pasalnya, asumsi tersebut berarti menganggap al-Qur’an―yang merupakan bintang hakikat yang bersinar, bahkan mentari kesempurnaan yang cemerlang nan terus-menerus memancarkan cahaya hakikat kebenaran di langit dunia Islam sebagai kilau cahaya redup yang sengaja dibuat sendiri lewat berbagai khurafat, sementara orang-orang yang dekat dengannya dan mencermati kondisinya tidak bisa membedakan hal tersebut, bahkan justru mereka melihatnya sebagai bintang yang tinggi dan sumber segala hakikat.

    Ini tentu saja sebuah kemustahilan. Di samping itu, wahai setan, jika engkau terus melakukan tipu daya dalam bentuk yang berkali-kali lipat dari yang sekarang, engkau tidak akan bisa menjadikan kemustahilan tersebut sebagai sesuatu yang mungkin terjadi. Engkau tidak akan bisa menipu akal yang masih sehat. Engkau hanya bisa menipu manusia dengan cara memperlihatkan persoalan kepada mereka dari jauh sehingga engkau memperlihatkan bintang bersinar menjadi kecil seperti kunang-kunang.

    Ketiga, mengasumsikan al-Qur’an sebagai ucapan manusia berarti menjadikan berbagai hakikat dan rahasia al-Qur’an yang memiliki berbagai keistimewaan dan penjelasan menakjubkan, yang menghimpun semua yang kering dan basah, yang memiliki pengaruh istimewa di alam manusia serta dampak baik dan penuh berkah seperti yang terlihat di mana al-Qur’an itulah yang menghem- buskan ruh kepada umat manusia, membangkitkan kehidupan di dalamnya, serta mengantar mereka kepada kebahagiaan abadi.

    Nah, asumsi tersebut berarti memosisikan al-Qur’an yang penuh hikmah dan hakikat mulia sebagai karya buatan manusia yang tidak memiliki ilmu dan pembantu. Hal itu juga berarti bahwa orang-orang cerdas dan dekat dengan beliau di mana mereka mengetahui betul kondisi beliau, tidak melihat sama sekali tanda-tanda penipuan. Namun mereka melihat ketulusan, keteguhan, dan kesungguhan beliau. Ini tentu saja sangat mustahil. Apalagi dengan asumsi tersebut sosok yang dalam seluruh kondisi, perkataan, dan geraknya sepanjang hidup memperlihatkan sikap amanah, iman, keikhlasan, kejujuran, dan istikamah, serta telah membimbing dan mendidik kalangan shid- diqin berdasarkan sifat-sifat mulia tersebut, haruslah berupa sosok yang tidak dipercaya, tidak ikhlas, dan tidak memiliki akidah. Hal itu berarti melihat setumpuk kemustahilan sebagai sebuah hakikat yang nyata. Ini adalah bentuk igauan yang setan sendiri malu untuk melakukannya. Sebab, tidak ada posisi tengah dalam persoalan ini.

    Andaikan al-Qur’an diasumsikan sebagai bukan kalam Allah, berarti posisinya turun dari arasy yang agung menuju bumi. Ia tidak berada di tengah-tengah. Maka, iapun menjadi sumber berbagai khurafat, padahal ia merupakan kumpulan hakikat. Demikian halnya kalau sosok yang memperlihatkan kalam Allah yang luar biasa itu diasumsikan bukan seorang rasul. Dengan asumsi tersebut, berarti al-Qur’an jatuh dari tingkatan paling tinggi kepada tingkatan yang paling rendah, dari derajat sumber kesempurnaan dan kemuliaan menuju sumber tipu daya. Ia tidak berada di tengah. Pasalnya, orang yang berdusta atas nama Allah jatuh kepada tingkatan yang paling rendah.

    Melihat lalat sebagai burung merak secara permanen, serta menyaksikan sifat-sifat burung merak yang tinggi pada lalat tersebut merupakan hal yang sangat mustahil. Demikian pula dengan persoalan ini. Tidak mungkin membuka kemungkinan tersebut kecuali orang gila yang sedang mabuk.

    Keempat, al-Qur’an merupakan pembimbing suci dan cahaya petunjuk umat Muhammad yang merupakan komunitas terbesar dan pasukan di tengah-tengah manusia. Dengan hukumnya yang kokoh, konstitusinya yang mapan, dan perintahnya yang suci, al-Qur’an dengan pasukan tersebut bisa menyerang serta menguasai dunia dan akhirat lewat sistem yang menata kondisi mereka serta bekal maknawi dan materi yang diberikan kepada mereka. Al-Qur’an mengajari akal manusia sesuai dengan tingkatannya, mendidik kalbu mereka, menundukan jiwa mereka, membersihkan hati nurani mereka, serta menggerakkan tubuh mereka. Namun mengasumsikan al-Qur’an al-Karim sebagai ucapan manusia, berarti memosisikannya sebagai ucapan yang dibuat-buat yang tidak kuat, tidak penting, dan tidak memiliki landasan, itu sama sekali tidak mungkin. Hal itu berarti menerima ratusan kemustahilan.

    Lebih dari itu, sosok tersebut (Muhammad) telah menghabiskan umurnya dalam mematuhi hukum-hukum Allah, menyeru manusia untuk mematuhinya, serta mengajarkan kepada manusia prinsip-prinsip hakikat lewat perbuatannya yang tulus. Beliau juga memperlihatkan sikap istikamah dan jalan kebahagiaan lewat perkataannya yang tulus dan logis. Beliau adalah sosok yang paling takut kepada Allah, sosok yang paling mengenal Allah, serta sosok yang memperkenalkan Allah kepada manusia lewat kesaksian biografinya sehingga seperlima umat manusia dan separuh penduduk bumi masuk ke dalam panjinya sepanjang seribu tiga ratus lima puluh tahun. Beliau menjadi pemimpin bagi umat sehingga beliau mengguncang dunia dan benar-benar menjadi kebanggaan umat manusia, bahkan kebanggaan dunia dan akhirat.Nah, dengan mengasumsikan al-Qur’an sebagai perkataan manusia berarti memosisikan beliau sebagai sosok yang tidak mengenal Allah, tidak takut kepada siksa-Nya, serta sederajat dengan orang awam. Ini berarti melakukan segudang kemustahilan. Pasalnya, persoalan ini tidak memiliki posisi tengah.

    Andai al-Qur’an al-Karim bukan merupakan kalam Allah dan jatuh dari arasy yang agung, ia tidak mungkin berada di tengah-tengah. Namun harus menjadi barang milik salah seorang pendusta di bumi.Karena itu wahai setan, andaikan tipu dayamu bertambah seratus kali lipat, hal itu tetap tidak akan membuat asumsi tadi diterima orang yang akalnya masih sehat dan kalbunya tidak rusak.

    Setan pun menjawab,

    “Bagaimana mungkin aku tidak bisa menyesatkan mereka? Aku telah berhasil menggiring banyak manusia dan orang berakal, khususnya yang ternama, untuk mengingkari al-Qur’an dan kenabian Muhammad.”

    Jawaban:

    Pertama, jika sesuatu yang paling besar dilihat dari jarak yang sangat jauh, ia tampak seperti sangat kecil. Sehingga orang yang melihat bintang bisa berkata, “Cahayanya seperti lilin.”

    Kedua, pandangan yang sangat dangkal melihat kemustahilan sebagai sesuatu yang mungkin. Diriwayatkan bahwa seorang kakek- kakek memandang ke langit untuk melihat hilal Ramadhan. Lalu ada sehelai alisnya yang sudah putih turun melengkung ke depan matanya. Ia mengira hal itu sebagai hilal. Seketika ia berkata, “Aku telah menyaksikan hilal.” Tentu saja sehelai alis mustahil menjadi hilal. Akan tetapi, karena tujuan utamanya ingin melihat hilal, lalu sehelai alis tadi terlihat di depannya dalam bentuk sekunder, seketika ia menerima kemustahilan itu sebagai sesuatu yang mungkin.

    Ketiga, “mengingkari” berbeda dengan “tidak menerima” (menolak). Pasalnya, tidak menerima artinya tidak peduli. Ia adalah memejamkan mata di hadapan berbagai hakikat dan tindakan menafikan secara bodoh. Ia bukan pernyataan. Dengan begitu, banyak hal mustahil yang tersembunyi di balik hijab tersebut. Sebab, ia tidak memikirkan hal tersebut.Adapun “mengingkari” bukan “tidak menerima”. Tetapi, ia merupakan sikap menerima ketiadaan, dan hal itu merupakan sebuah pernyataan. Dalam hal ini pelakunya mau tidak mau harus menggunakan akal dan berpikir. Karena itu, setan sepertimu bisa merampas akalnya lalu menipunya dengan sikap ingkar.

    Selanjutnya, wahai setan, engkau telah menipu binatang malang yang berwujud manusia. Engkau membentangkan kekufuran dan sikap ingkar yang melahirkan banyak kemustahilan kepada mereka lewat kelalaian, kesesatan, sikap keras kepala, sombong, angkuh, taklid buta, serta berbagai tipu daya sejenis di mana ia memperlihatkan kebatilan sebagai sebuah kebenaran, dan kemustahilan sebagai sesuatu yang mungkin.

    Keempat, al-Qur’an adalah kitab yang membimbing kalangan ashfiya, shiddîqîn, dan wali qutub yang bersinar laksana bintang di langit manusia. Al-Qur’an dengan jelas mengajarkan kebenaran, keadilan, kejujuran, sikap istikamah, damai, dan rasa aman kepada seluruh kalangan yang menuju kesempurnaan. Al-Qur’an merealisa- sikan kebahagiaan dunia dan akhirat lewat hakikat rukun iman dan prinsip rukun Islam. Ia adalah kitab yang haq, hakikat yang suci, dan kalam kebenaran yang sungguh-sungguh. Dengan demikian, meng- asumsikan al-Qur’an sebagai perkataan manusia berarti al-Qur’an dipersepsikan dengan sesuatu yang berlawanan dengan sifat-sifat, pengaruh, dan cahayanya. Artinya, al-Qur’an dipersepsikan sebagai karangan dan buatan seorang pendusta. Hal ini adalah bentuk kemustahilan keji yang setan sendiri malu untuk melakukannya. Ia adalah igauan kufur yang mengerikan.

    Di samping itu, Nabi adalah orang yang paling kokoh akidahnya, paling kuat imannya, paling jujur ucapannya, dan paling bersih kalbunya. Hal itu dibuktikan lewat kesaksian syariat yang beliau bawa dan petunjuk yang beliau perlihatkan seperti sifat takwa yang luar biasa, ubudiyah yang tulus, akhlak mulia beliau yang diakui oleh baik kawan maupun lawan, serta lewat pembenaran para ulama, ahli hakikat, dan para peniti kesempurnaan yang beliau bina. Nah, dengan asumsi di atas berarti beliau adalah sosok yang tidak punya akidah, tidak bisa dipercaya, dan tidak takut kepada Allah. Ini tidak lain adalah tindakan menerima kemustahilan yang paling keji serta kesesatan yang dibalut dalam kezaliman dan kegelapan.

    Kesimpulan:sebagaimana telah disebutkan dalam ‘petunjuk ke delapan belas’ dari “Surat Kesembilan Belas” bahwa orang yang hanya memiliki kemampuan menyimak dalam memahami kemukjizatan al-Qur’an berkata, “Jika al-Qur’an dibandingkan dengan seluruh kitab yang pernah kudengar, al-Qur’an sama sekali berbeda. Ia tidak sama dengan seluruh kitab tersebut.” Karena itu, hanya ada dua kemungkinan: al-Qur’an berada di bawah semua itu, atau al-Qur’an berada di atas semuanya. Kemungkinan pertama, di samping musta- hil, juga musuh atau bahkan setan sekalipun tak dapat mengatakan hal tersebut. Kalau demikian berarti al-Qur’an lebih mulia dan lebih tinggi daripada seluruh kitab yang ada. Dengan kata lain, al-Qur’an merupakan mukjizat.

    Atas dasar itu, dengan bersandar pada sebuah argumen mematikan yang dalam ushul fikih dan ilmu logika dikenal dengan istilah as-Sabru wa at-Taqsîm(*[4])(eskplorasi dan pembagian), kami ingin menegaskan:

    Wahai setan dan para pengikutnya! Al-Qur’an al-Karim bisa jadi merupakan kalam Allah yang datang dari arasy yang agung dan dari nama yang agung, atau bisa pula merupakan karangan seseorang yang tidak takut kepada Allah, tidak mempercayai-Nya, dan tidak mengenal-Nya (Hasya lillah). Kemungkinan yang terakhir ini tidak mampu dan tidak akan pernah mampu kau utarakan sesuai dengan sejumlah argumen kuat sebelumnya. Karena itu, secara pasti dan tanpa sedikitpun keraguan, al-Qur’an merupakan kalam Tuhan semesta alam. Hal itu karena dalam masalah ini tidak ada posisi tengah. Ia sama sekali tidak mungkin seperti yang telah kami tegaskan dan telah kau saksikan sendiri.

    Demikian halnya dengan Muhammad. Bisa jadi beliau adalah utusan Allah, pemimpin para rasul, dan makhluk terbaik, atau beliau diasumsikan sebagai manusia yang berani mengarang-ngarang atas nama Allah di mana beliau tidak mengenal, tidak meyakini, dan tidak mempercayai siksa-Nya sehingga jatuh ke derajat yang paling rendah (Hasya lillah).(*[5])Ini sesuatu yang tidak bisa diutarakan oleh engkau wahai iblis, serta oleh kalangan filsuf Eropa dan kaum munafik Asia yang kau banggakan. Pasalnya, tidak ada seorangpun di dunia ini yang mendengar perkataan ini darimu lalu mempercayainya. Karena itu, filsuf yang paling rusak dan orang munafik yang paling bejat sekalipun mengakui bahwa Muhammad adalah sosok luar biasa yang sangat jenius dan memiliki akhlak yang paling baik.

    Selama persoalannya terbatas pada dua sisi tersebut, sementara sisi atau kemungkinan yang kedua mustahil, tidak ada yang menyatakannya, lalu dalam masalah ini tidak ada posisi tengah antara keduanya seperti yang telah kami jelaskan, berarti harus diterima secara jelas dan haqqul yaqin bahwa Muhammad adalah utusan Allah, pemimpin para rasul, kebanggaan alam, dan makhluk terbaik. Semoga salawat dan salam tercurah kepada beliau sebanyak jumlah malaikat, jin, dan manusia.

    عَلَي۟هِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ بِعَدَدِ ال۟مَلَكِ وَال۟اِن۟سِ وَال۟جَانِّ

    Protes Setan yang Kedua

    “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir. Datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya. Ditiuplah sangkakala. Itulah hari terlaksananya ancaman. Datanglah tiap-tiap diri, bersama dengannya, seorang Malaikat penggiring dan seorang Malaikat penyaksi. Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini. Maka Kami singkapkan darimu tutup (yang menutupi) matamu. Maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam. Yang menyertainya berkata, “Inilah (catatan amalnya) yang tersedia pada sisiku.” Allah berfirman, “Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala.” (QS. Qâf [50]: 18-24).

    Ketika aku membaca ayat demi ayat dari surah Qaf di atas, setan berkata:“Kalian melihat kelugasan dan kejelasan al-Qur’an sebagai pilar kefasihannya yang paling penting. Sementara, pada ayat-ayat tersebut terdapat perpindahan dan lompatan yang sangat jauh. Ayat tersebut melintas dari sakaratul maut menuju kiamat. Ia berpindah dari peniupan sangkakala menuju hisab. Lalu dari sana tiba-tiba disebutkan pelemparan ke dalam neraka. Apakah kefasihan bahasa masih terdapat dalam perpindahan yang aneh tersebut? Pada sebagian besar tempat dalam al-Qur’an, kita melihat sejumlah persoalan semacam ini. Lalu di mana letak kefasihannya?”

    Jawaban: Setelah balagahnya yang luar biasa, dasar terpenting dalam kemukjizatan al-Qur’an adalah simplifikasi (Îjâz). Simplifikasi tersebut adalah asas paling penting dan paling kuat dari kemukjizatan al- Qur’an. Simplifikasi al-Qur’an yang menakjubkan sangat banyak dan indah sehingga membuat banyak cendekiawan terkagum-kagum.

    Misalnya, firman Allah yang berbunyi: Dan difirmankan, “Wahai bumi telanlah airmu, dan wahai langit (hujan) berhentilah!” Maka airpun disurutkan, perintah pun diselesaikan, dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi. Lalu dikatakan, “Binasalah orang-orang yang zalim.” (QS. Hûd [11]: 44).

    Ayat di atas menjelaskan peristiwa badai besar berikut dampaknya hanya dalam beberapa kalimat pendek. Meskipun penjelasannya sangat ringkas, namun penuh dengan kemukjizatan. Hal tersebut membuat para ahli balagah mengakui keindahan balagahnya.

    Contoh lain adalah firman-Nya: (Kaum) Tsamud telah mendustakan (rasulnya) karena mereka melampaui batas. Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka. Lalu Rasul Allah (Saleh ) berkata kepada mereka, “(Biarkanlah) unta betina Allah dan minumannya.” Lalu mereka mendustakannya dan menyembelih unta itu. Maka Tuhan membinasakan mereka disebabkan dosa mereka. Lalu Allah meratakan mereka (dengan tanah). Allah tidak takut terhadap akibat tindakan-Nya itu. (QS. asy- Syams [91]: 11-15).

    Ayat di atas memberikan sebuah penjelasan menakjubkan secara sangat ringkas dalam beberapa kalimat pendek tentang peristiwa yang terjadi pada kaum Tsamud dan akibatnya. Meskipun penjelasannya sangat ringkas, namun tidak rancu, serta lugas dan jelas.

    Contoh lain adalah firman-Nya: (Ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan menyulitkannya, maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap,“Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. al-Anbiyâ [21]: 87).

    Antara frasa اَن۟ لَن۟ نَق۟دِرَ عَلَي۟هِ hingga فَنَادٰى فِى الظُّلُمَاتِ terdapat banyak kalimat yang tak disebutkan. Kalimat-kalimat yang tak terucap itu tidak membuatnya rancu dan tidak merusak kelugasan ayat. Pasalnya, ayat tersebut menyebutkan sejumlah peristiwa penting dalam kehidupan Nabi Yunus dan sisanya diserahkan kepada akal.

    Begitu pula pada surah Yusuf. Antara kata فَاَر۟سِلُونِ hingga يُوسُفُ اَيُّهَا الصِّدّٖيقُ terdapat sekitar delapan kalimat yang tidak disebutkan. Namun ia tidak merusak makna dan kefasihan ayat.

    Bentuk simplifikasi yang menakjubkan semacam itu sangat banyak dalam al- Qur’an. Pada saat bersamaan ia juga sangat indah.

    Adapun ayat-ayat sebelumnya yang terdapat dalam surah Qâf, bentuk simplifikasinya sangat mengagumkan dan menakjubkan. Pasalnya, ia menjelaskan masa depan kaum kafir yang menakutkan dan membentang. Satu hari darinya setara dengan lima puluh ribu tahun. Ayat tersebut menyebutkan berbagai transformasi dan perubahan besar yang menimpa kaum kafir di masa depan mereka. Bahkan ia menjalankan pikiran dengan sangat cepat laksana kilat di atas berbagai peristiwa menakutkan tersebut. Ia juga menjadikan masa yang panjang itu seperti lembaran yang hadir di hadapan manusia. Adapun berbagai kejadian yang tak disebutkan diserahkan kepada imajinasi. Ia menjelaskannya dengan sangat fasih dan indah.

    “Apabila al-Qur’an dibacakan, perhatikanlah ia dan diamlah agar kalian mendapat rahmat.” (QS. al-A’râf [7]: 204).

    Wahai setan, apa lagi yang bisa kau katakan!

    Setan berkata, “Aku tidak bisa menyanggah berbagai dalil dan argumen ini. Aku juga tidak bisa melawannya. Akan tetapi, banyak orang bodoh yang malah menyimak ucapanku. Juga banyak setan dari kalangan manusia yang malah membantuku, serta banyak filsuf yang egois dan sombong mengambil pelajaran dariku tentang berbagai persoalan yang memupuk kecongkakan mereka. Mereka beru- saha menghalangi penyebaran pemikiran yang tertuang dalam karya-karyamu. Karena itu, aku tidak menyerah dan tidak akan pernah menyerah.”

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ

    BAHASAN KEDUA

    (Bahasan ini ditulis karena rasa heran yang muncul pada mereka yang selalu melayaniku ketika melihat kepribadianku yang berbeda-beda, sekaligus untuk meluruskan prasangka baik berlebihan yang tak layak kuterima dari dua orang muridku)

    Aku melihat bahwa sebagian keutamaan yang tertuju kepada hakikat al-Qur’an diberikan kepada perantara yang memerankan diri sebagai penyeru dan penjaja hakikat tersebut. Pandangan seperti itu salah. Sebab, kesucian dan kemuliaan rujukan itulah yang melahirkan pengaruh hebat, yang melebihi pengaruh argumen yang banyak. Masyarakat secara umum tunduk pada hukum-hukumnya lewat ke- sucian tadi. Ketika penyeru dan penjaja menampakkan eksistensi dirinya, yakni ketika perhatian tertuju kepadanya, pengaruh dari kesucian sumber tersebut menjadi lenyap. Karena itu, aku ingin menjelaskan hakikat berikut ini kepada saudara-saudaraku yang memberikan perhatian terhadapku melebihi kapasitasku. Kutegaskan bahwa:

    Manusia memiliki sejumlah kepribadian. Kepribadian tersebut memiliki sejumlah akhlak yang berbeda-beda. Misalnya, pejabat tinggi memiliki kepribadian khusus saat menjalankan tugas dari posisinya yang tinggi. Kedudukan dan posisi ini menuntut adanya sikap wibawa untuk menjaga kemuliaan posisi dan kedudukannya. Maka, memperlihatkan sikap tawaduk kepada setiap orang yang mengunjunginya akan menjatuhkan posisinya. Namun demikian, ia juga memiliki kepribadian lain saat berada di rumah dan bersama keluarganya. Yang dituntut darinya adalah sikap dan akhlak yang berbeda dengan saat ia bekerja. Sebab, semakin tawaduk hal itu akan semakin baik dan indah. Sementara kalau memperlihatkan sikap wibawa, hal itu justru akan dianggap sebagai kesombongan.

    Jadi, terdapat kepribadian khusus manusia dengan melihat pada tugasnya. Kepribadian ini berbeda dengan kepribadiannya yang hakiki dalam banyak hal. Jika pejabat tersebut layak dengan tugasnya serta memiliki kemampuan untuk menjalankan pekerjaannya, maka kedua kepribadian tersebut saling berdekatan. Namun jika ia tidak layak atas pekerjaan tersebut dan tidak memiliki kemampuan, misalnya seorang prajurit diberi posisi sebagai Jenderal, maka kedua kepribadian tadi akan saling berjauhan. Pasalnya, sifat-sifat prajurit yang biasa dan sederhana tidak sejalan dengan karakter mulia yang dimiliki posisi Jenderal.

    Begitulah, pada diri saudara kalian yang fakir ini terdapat tiga kepribadian. Masing-masing sangat jauh berbeda.

    Pertama, kepribadian temporer yang khusus untuk mengabdikan diri pada al-Qur’an. Hal itu sesuai dengan kedudukanku sebagai penjaja khazanah pengetahuan al-Qur’an yang penuh hikmah dan mulia. Akhlak mulia yang menjadi tuntutan tugas dakwah bukanlah milikku. Ia hanyalah tabiat mulia yang menjadi tuntutan dari posisi tinggi tersebut. Maka, akhlak dan berbagai kemuliaan yang kalian lihat tidak lain berasal dari jenis ini. Ia bukan milikku. Ia adalah milik kedudukan mulia tersebut. Karenanya, jangan kalian melihat diriku dari sisi itu.

    Kedua, ketika aku bersimpuh di hadapan-Nya, Allah mem- beriku kepribadian khusus pada waktu ibadah. Kepribadian tersebut melahirkan berbagai pengaruh yang bersumber dari landasan makna ubudiyah. Landasan tersebut berupa pengakuan dan kesadaran akan kekurangan, kelemahan, dan kefakiran di hadapan Allah serta berlindung kepada-Nya dengan penuh kerendahan diri. Lewat kepriba- dian tersebut, aku melihat diriku sebagai orang yang paling malang, paling lemah, paling papa, dan paling lalai pada-Nya. Kalaupun seluruh dunia memberikan pujian dan sanjungan padaku, semua itu tidak akan pernah bisa membuatku merasa sudah salih dan baik.

    Ketiga, kepribadianku yang sebenarnya. Yaitu kepribadianku yang merupakan cerminan dari “Said Lama”. Ia adalah tabiat yang merupakan warisan dari Said Lama. Kadangkala ia memperlihatkan keinginan untuk riya dan haus kedudukan. Di samping itu, ia memperlihatkan sejumlah akhlak buruk dengan sikap hemat yang mencapai derajat pelit, karena aku bukan berasal dari keluarga yang memiliki kedudukan dan jabatan.

    Wahai saudaraku-saudaraku! Aku tidak akan mengungkap berbagai kekurangan dari kepribadianku ini serta sejumlah keburukannya agar kalian tidak menjauhiku.

    Wahai saudaraku, aku tidak layak mendapatkan kedudukan tinggi dan tidak memiliki kesiapan untuknya. Kepribadianku ini sangat jauh dari akhlak pengemban dakwah dan pengemban misi ubudiyah.Allah telah memperlihatkan qudrah-Nya yang penuh kasih sesuai dengan kaidah: “Karunia ilahi tidak mensyaratkan adanya kelayakan pada diri seseorang.” Dialah yang menundukkan kepribdi- anku yang laksana prajurit terendah untuk mengabdikan diri pada rahasia al-Qur’an yang merupakan jabatan tertinggi dan termulia. Karena itu, beribu-ribu syukur kuucapkan kepada Allah.Diri ini lebih rendah dari semua, namun tugas yang diberikan lebih mulia dari seluruhnya.

    Segala puji bagi Allah. Ini adalah karunia Tuhan.

    BAHASAN KETIGA

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

    يَٓا اَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَق۟نَاكُم۟ مِن۟ ذَكَرٍ وَاُن۟ثٰى وَجَعَل۟نَاكُم۟ شُعُوبًا وَقَبَٓائِلَ لِتَعَارَفُوا

    “Wahai manusia, Kami menciptakan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal.”(QS. al-Hujurât [49]: 13).

    Maksudnya, Kami menciptakan kalian dalam beragam kelompok, kabilah, umat, dan bangsa agar kalian saling mengenal. Juga agar kalian mengetahui relasi sosial dan saling membantu di antara kalian. Kami menjadikan kalian bersuku-suku dan berkelompok-kelompok tidak untuk saling bertikai dan saling memusuhi.

    Dalam bahasan ini terdapat tujuh persoalan:

    Persoalan Pertama,

    hakikat mulia yang dikandung oleh ayat di atas secara khusus berbicara tentang kehidupan sosial. Karena itu, aku merasa perlu menuliskan bahasan ini dengan niat mengabdikan diri untuk al-Qur’an serta dengan harapan bisa membangun benteng yang dapat menahan berbagai serangan zalim. Kutuliskan ia lewat lisan “Said Lama” yang memiliki relasi dengan kehidupan sosial Islam; bukan lewat lisan “Said Baru” yang ingin menjauhi kehidupan sosial.(*[6])

    Persoalan Kedua,

    sebagai penjelasan dari prinsip saling me- ngenal dan saling membantu seperti yang dikandung oleh ayat di atas, kami ingin menegaskan bahwa sebuah pasukan dibagi ke dalam sejumlah korps, kelompok, brigade, batalion, grup, detasemen, dan regu. Hal itu dimaksudkan agar setiap prajurit mengetahui tugas-tugasnya sesuai dengan relasi yang beragam tersebut, serta agar setiap anggota pasukan dapat menunaikan tugasnya sesuai dengan prinsip kerjasama sehingga kehidupan sosial mereka terlindungi dari serangan musuh. Pembagian kepada sejumlah kelompok tadi bukan untuk melahirkan persaingan antar batalion, melahirkan permusuhan antar detasemen, atau benturan antar regu.

    Begitu pula kondisinya dalam komunitas Islam yang menyerupai pasukan besar. Ia dibagi ke dalam sejumlah kabilah dan kelompok meskipun sebenarnya mereka memiliki seribu satu sisi kesatuan dan kesamaan. Pasalnya, Pencipta mereka satu, Pemberi rezeki mereka satu, Rasul mereka satu, Kiblat mereka satu, kitab suci mereka satu, dan tanah air mereka satu.

    Terdapat begitu banyak kesamaan yang jumlahnya mencapai ribuan sisi di mana hal itu menuntut terciptanya persaudaraan, cinta, dan kesatuan. Artinya, kondisi terbagi kepada berbagai kelompok dan kabilah seperti yang disebutkan ayat di atas, tidak lain adalah untuk saling mengenal dan saling menolong; bukan untuk saling bertikai dan saling memusuhi.

    Persoalan Ketiga

    paham nasionalisme pada abad ini telah menyebar luas dan tertanam kuat. Orang-orang zalim Eropa, khususnya mereka yang melakukan makar, menyebarkan paham ini dalam bentuk yang negatif ke tengah-tengah umat Islam guna memecah belah mereka dan guna memudahkan mereka untuk menelan umat Islam.

    Karena pada paham nasionalisme ini terdapat sebuah rasa bagi jiwa, satu kenikmatan yang melenakan, serta kekuatan yang buruk, maka kita tidak bisa mengatakan kepada para aktivis sosial kemasyarakatan saat ini, “Tinggalkan paham nasionalisme tersebut!”

    Namun harus dijelaskan bahwa nasionalisme itu sendiri terbagi dua: Pertama, nasionalisme negatif, buruk, dan berbahaya. Ia tumbuh dan berkembang dengan menghabisi pihak lain dan eksis dengan cara memusuhi orang-orang di luar mereka. Nasionalisme semacam ini melahirkan permusuhan dan pertikaian. Karena itu, dalam hadis disebutkan:

    “Islam menghapus apa yang ada sebelumnya.” Islam menolak fanatisme jahiliyah.

    Al-Qur’an juga menegaskan:

    “Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan Jahiliyah. Lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin. Kemudian Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa. Mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Fath [48]: 26).

    Ayat dan hadis di atas secara tegas menolak paham nasionalisme negatif dan rasisme. Sebab, semangat keislaman yang positif dan suci tidak membutuhkannya.

    Nah, adakah satu ras di dunia yang jumlahnya sekitar 350 juta? Lalu rasisme manakah yang dapat memberikan jumlah pengikut sebanyak itu sebagai ganti dari Islam? Sepanjang sejarah tampak begitu banyak bahaya yang diakibatkan oleh nasionalisme negatif.

    Di antaranya:Kalangan Umawiyah mencampur sedikit pandangan nasionalisme dalam politik dan kebijakan mereka. Hal ini membuat dunia Islam murka, di samping melahirkan begitu banyak bencana akibat fitnah internal.

    Begitu pula dengan bangsa-bangsa Eropa. Ketika mereka menyerukan rasisme, muncul konflik historis yang penuh dengan peristiwa menakutkan antara Perancis dan Jerman. Ia juga melahirkan kerusakan parah akibat perang dunia. Inilah bahaya yang menyertai kemunculan nasionalisme negatif tersebut kepada umat manusia.

    Hal yang sama terjadi pada kita. Di awal masa proklamasi konstitusi Turki Usmani, beragam organisasi imigran terbentuk. Pertama-tama adalah Yunani dan Armenia dengan nama kelompok yang sangat banyak. Hal itu kemudian menimbulkan perpecahan sebagaimana dengan runtuhnya menara Babilonia yang melahirkan sejumlah suku yang terpecah belah. Sebagai akibatnya, ada di antara mereka yang menjadi santapan asing, serta ada pula yang jatuh dan tersesat jauh. Semua itu menjelaskan dampak buruk dan bahaya dari nasionalisme negatif.

    Sekarang kebencian dan permusuhan antar elemen dan kelompok Islam yang disebabkan oleh nasionalisme negatif menjadi bencana besar. Pasalnya, berbagai elemen tersebut, satu dengan yang lain saling membutuhkan akibat kezaliman, kesewenang-wenangan, dan kemiskinan yang mereka rasakan serta akibat hegemoni asing. Hal itu benar-benar menghancurkan mereka. Karenanya, sikap permusuhan antar mereka merupakan musibah besar yang sulit untuk digambarkan.

    Bahkan ia merupakan sikap yang tidak rasional sama seperti orang yang sibuk dengan gigitan nyamuk; tetapi tidak peduli dengan ular-ular raksasa yang berada di sekitar mereka.Ya, ketika ambisi Eropa yang tak pernah surut dan puas laksana ular besar sedang membuka mulut siap untuk menelan, maka sikap tidak peduli dengan ancaman Eropa, bahkan membantu mereka se- cara tidak langsung lewat paham rasisme, serta menumbuhkan spirit permusuhan terhadap penduduk yang tinggal di wilayah Timur atau saudara seagama yang tinggal di Selatan, merupakan bentuk kebina- saan dan bencana besar. Pasalnya, di antara mereka tidak ada yang berhak dimusuhi. Sebaliknya, apa yang datang dari Selatan tidak lain merupakan cahaya al-Qur’an dan lentera Islam yang sinarnya menerangi sekitar kita dan seluruh tempat. Maka, memusuhi saudara seagama tersebut secara tidak langsung merupakan tindakan mencederai Islam dan al-Qur’an. Permusuhan terhadap Islam dan al-Qur’an adalah bentuk permusuhan terhadap semua penduduk berikut kehidupan dunia dan akhirat mereka.

    Karena itu, propaganda semangat nasionalisme dengan niat berkhidmah kepada masyarakat justru menghancurkan landasan kehidupan dunia dan akhirat mereka secara bersamaan. Ia adalah sikap yang sangat bodoh; sama sekali bukan bentuk pembelaan dan semangat yang benar.

    Persoalan Keempat

    nasionalisme positif bersumber dari adanya kebutuhan internal terhadap kehidupan sosial. Ia melahirkan sikap saling kerjasama dan saling membantu. Ia juga mewujudkan kekuatan yang bermanfaat bagi masyarakat, di samping menjadi sarana yang menopang ukhuwah Islamiyah.

    Nasionalisme positif ini harus menjadi pelayan Islam, harus menjadi benteng yang kokoh baginya, serta menjadi pagar yang melindunginya; bukan malah menggantikan posisi Islam. Sebab, persaudaraan yang dipersembahkan oleh Islam mengandung ribuan macam persaudaraan. Ia kekal di alam abadi dan alam barzakh. Jadi, sekuat apapun bentuk persaudaraan sebangsa dan setanah air, ia hanyalah merupakan hijab bagi ukhuwah Islamiyah. Sebaliknya, penegakan nasionalisme sebagai alternatif bagi Islam merupakan kejahatan bodoh, sama seperti tindakan meletakkan batu benteng di tempat penyimpanan berlian lalu membuang berlian tersebut ke luar benteng.

    Wahai putra-putri bangsa pencinta al-Qur’an! Sejak enam ratus tahun, bahkan seribu tahun yang lalu, dari masa Abbasiyah, kalian telah menantang seluruh dunia sebagai pembawa dan pengibar panji al-Qur’an ke seluruh penjuru dunia. Kalian telah menjadikan spirit nasionalisme kalian sebagai benteng bagi al- Qur’an dan Islam. Kalian telah membuat dunia terdiam dan tunduk. Kalian telah menyingkirkan bencana besar yang nyaris menghancurkan kehidupan dunia Islam sehingga kalian menjadi bukti yang baik dari kebenaran ayat al-Qur’an: “Kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum; yang dicintai oleh- Nya dan merekapun mencintai Allah; yang bersikap lemah lembut terhadap orang mukmin dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir; yang berjihad di jalan Allah. (QS. al-Mâidah [5]: 54). Karena itu, jangan kalian tertipu dan mengikuti tipu daya bangsa Eropa. Jangan sampai kalian menjadi bagian dari awal ayat di atas.(*[7])

    Kondisi yang Menarik Perhatian Bangsa Turki merupakan bangsa muslim terbanyak dibanding bangsa muslim lainnya di mana mereka beragama Islam di manapun mereka berada. Sementara bangsa-bangsa lain ada yang muslim dan ada yang non-muslim. Karena itu, bangsa Turki tidak terpecah sebagaimana bangsa-bangsa lainnya. Di manapun sekelompok orang Turki berada, mereka adalah muslim. Adapun yang keluar dari Islam atau yang memang bukan muslim, sesungguhnya mereka tidak bisa disebut sebagai orang Turki seperti Hungaria. Sementara bang- sa-bangsa lain, bahkan yang kecil sekalipun, terdiri dari muslim dan non-muslim.

    Wahai saudaraku yang berkebangsaan Turki! Perhatikan! Nasionalisme yang kau miliki telah menyatu de- ngan Islam dalam satu bentuk yang tidak bisa dipisahkan. Ketika engkau berusaha memisahkannya dari Islam, engkau akan binasa. Tidakkah engkau melihat bahwa semua kebanggaanmu di masa lalu tercatat dalam memori Islam?! Seluruh kebanggaan tersebut tidak bisa dihapus dengan kekuatan apapun di muka bumi ini. Karena itu, jangan kau hapus dari hatimu dengan mendengarkan berbagai syubhat yang dilontarkan oleh para setan dari kalangan manusia!

    Persoalan Kelima,

    sejumlah bangsa yang bangkit di Asia berpegang pada nasionalisme dan mengikuti Eropa dalam segala aspek. Bahkan demi sikap taklid tersebut mereka rela mengorbankan banyak hal yang bersifat sakral dan suci. Sebenarnya setiap bangsa cocok dengan pakaian yang sesuai dengan bentuk dan posturnya. Meskipun jenis kainnya sama, model bisa jadi berbeda. Sebab, tidak mungkin wanita mengenakan pakaian polisi militer. Juga tidak mungkin seorang ulama dikenakan pakaian yang terbuka. Sikap taklid buta seringkali mengantar pada kehinaan dan kerendahan. Pasalnya:

    Pertama, jika Eropa merupakan kedai atau barak militer, Asia laksana ladang atau masjid. Bila pemilik kedai kadang pergi ke teater, petani tidak tertarik padanya. Demikian pula dengan kondisi barak dan masjid.

    Lalu kemunculan sebagian besar nabi di Asia, serta kemunculan sebagian besar filsuf di Eropa menjadi perlambang dan petunjuk takdir ilahi bahwa yang membangkitkan dan memajukan bangsa Asia serta yang mewujudkan kelangsungan hidup bernegara mereka adalah agama dan kalbu. Adapun filsafat dan hikmah harus mendukung agama dan kalbu; bukan menggantikan keduanya.

    Kedua, agama Islam tidak bisa disamakan dengan agama Kristen. Pasalnya, sikap bertaklid buta kepada Eropa dalam mengabaikan agama merupakan kesalahan besar. Sebab, sebenarnya kalangan Eropa berpegang pada agama mereka. Sebagai buktinya, para pemimpin Barat seperti Wilson,(*[8])Lloyd George,(*[9])Venizelos,(*[10])dan yang lainnya. Mereka adalah orang-orang yang sangat berpegang teguh pada agama layaknya seorang pastur yang fanatik. Mereka menjadi bukti yang kuat bahwa Eropa memiliki agama; bahkan tergolong fanatik.

    Ketiga, menyamakan Islam dengan Kristen adalah satu analogi yang bersifat paradoks. Ia merupakan analogi yang tidak tepat. Pasalnya, ketika Eropa berpegang teguh, bahkan fanatik terhadap agamanya, mereka tidak maju. Namun ketika tidak fanatik, mereka menjadi bangsa yang maju dan berperadaban.

    Fanatisme agama pada bangsa Eropa memicu terjadinya berbagai konflik internal selama 300 tahun. Para penguasa tiran memperalat agama untuk menindas masyarakat, kalangan marjinal, para pemikir dan ilmuwan sehingga membuat mereka marah pada agama.

    Adapun dalam Islam, dan sejarah menjadi saksinya, agama tidak menjadi pemicu konflik internal kecuali satu kali.

    Diukur dengan kondisi masa itu, umat Islam mengalami kemajuan yang luar biasa ketika mereka berpegang teguh pada agama. Sebagai buktinya adalah Daulah Islam di Andalusia yang menjadi guru besar bagi Eropa.

    Akan tetapi, ketika umat Islam meninggalkan agama, mereka tertinggal dan mengalami kejatuhan.

    Selain itu, Islam menjadi pelindung bagi kalangan marjinal dan masyarakat awam. Yaitu dengan adanya kewajiban zakat dan pengharaman riba, serta ribuan hal sejenis yang menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya kepada rakyat jelata. Lalu Islam juga melindungi orang-orang yang berilmu. Islam memberikan argumen dengan menggunakan akal dan ilmu pengetahuan serta membangunkan keduanya dalam jiwa lewat ayat-ayat seperti berikut: Apakah mereka tidak merenungkan. Apakah kalian tidak berpikir.Apakah mereka tidak berakal.Islam selalu menjadi benteng yang melindungi kalangan fakir dan ilmuwan. Karena itu, tidak ada faktor yang melahirkan kebencian terhadap Islam.

    Rahasia dan perbedaan mendasar antara Islam dan agama lain, termasuk Kristen adalah:

    Landasan Islam adalah tauhid murni. Karena itu, pengaruh hakiki tidak disandarkan kepada sebab dan perantara. Dalam agama Islam, sebab tidak memiliki peranan dalam mencipta.

    Adapun dalam agama Kristen, paham “Anak Tuhan” yang mereka anut memberikan peran kepada perantara dan sebab. Karena itu, ia melahirkan sikap angkuh dan sombong. Bahkan ia memberikan sebagian dari sifat rububiyah ilahi kepada para rahib dan pendeta sehingga ini sesuai dengan bunyi firman-Nya:

    “Mereka menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.” (QS. at-Taubah [9]: 31).Dari sini tidak aneh jika para pembesar agama Kristen sangat fanatik terhadap agama mereka. Mereka memelihara kedudukan dan ego mereka meski menjabat tugas duniawi yang tinggi. Misalnya presiden Amerika, Wilson, yang merupakan tokoh agama yang fanatik.

    Sementara dalam Islam yang merupakan agama tauhid murni, orang-orang yang menduduki jabatan tinggi negara harus mening- galkan ego mereka. Jika tidak, mereka menunjukkan sikap kebera- gamaan yang tidak benar. Karena itu, sebagian mereka mengabaikan urusan agama. Bahkan kadang ada dari mereka yang keluar dari agama.

    Persoalan Keenam

    kami ingin menegaskan kepada mereka yang berlebihan dalam menunjukkan sikap rasis dan nasionalisme negatif:

    Pertama, begitu banyak migrasi terjadi di seluruh penjuru dunia, terutama di negeri kita sejak dahulu. Sejumlah kaum dan suku bangsa mengalami banyak perubahan dan transformasi. Migrasi ke negeri kita semakin meningkat setelah ia menjadi pusat pemerintahan Islam sehingga semua suku bangsa berhimpun di sekitarnya seperti kupu-kupu. Mereka tinggal di dalamnya sekaligus menjadi penduduk setempat. Dalam kondisi demikian, tidak mungkin memilah-milah ras sebenarnya dari masing-masing mereka kecuali dengan terbukanya lauhil mahfudz.

    Karena itu, membangun semangat dan pergerakan atas dasar rasisme sama sekali tidak berguna, justru melahirkan bahaya. Oleh karenanya, salah seorang propagandis rasisme dan nasionalisme negatif yang mengabaikan nilai agama terpaksa harus mengakui dengan berkata, “Bila agama dan bahasa menyatu, bangsa akan bersatu.” Jika demikian, bahasa, agama, dan ikatan kebangsaan harus menjadi perhatian; bukan rasisme. Jika ketiga hal itu menyatu, dengan sendirinya bangsa akan menjadi kuat. Namun jika salah satu dari ketiganya tidak ada, ia akan masuk pada nasionalisme negatif.

    Kedua, kami akan menjelaskan dua manfaat―sebagai contohdari ratusan manfaat yang bisa didapat dari semangat keislaman yang suci untuk putra-putri bangsa.

    Manfaat pertama:

    Yang memelihara kehidupan dan eksistensi Daulah Islamiyah― meski jumlahnya 20 atau 30 juta―dalam menghadapi seluruh negara Eropa yang besar adalah konsep al-Qur’an yang dibawa oleh prajuritnya. Yaitu, “Jika aku terbunuh berarti aku mati syahid, jika aku membunuh berarti aku mujahid.” Konsep ini mendorong putra-putri bangsa untuk menyambut kematian dengan senyuman; sesuatu yang menggentarkan hati bangsa Eropa. Apakah gerangan yang bisa membangkitkan semangat pengorbanan semacam itu pada jiwa prajurit, sementara mereka adalah orang-orang yang memiliki pemikiran sederhana dan hati yang bersih?! Semangat apa yang bisa menggantikan prinsip mulia tersebut dan dapat membuat seseorang mau mengorbankan hidup dan dunianya secara suka rela?

    Manfaat kedua:

    Begitu negara-negara besar Eropa menyakiti daulah Islam dan terus menghantamnya, hal itu membuat 350 juta umat Islam di seluruh dunia menangis dan meratapi kezaliman mereka. Kondisi tersebut menjadikan negara-negara Imperialis itu menarik diri dengan tidak lagi menyakiti dan menyerang guna mencegah munculnya amarah umat Islam secara umum.Mungkinkah kekuatan maknawi yang dominan dan permanen itu diremehkan? Mungkinkah ia diingkari dan tidak diakui? Adakah kekuatan lain yang bisa menggantikannya? Ini adalah tantangan. Hendaknya mereka bisa menunjukkan kekuatan tersebut. Karena itu, tidak semestinya kita mengabaikan kekuatan besar tersebut demi mengadopsi paham nasionalisme negatif dan semangat yang lepas dari agama.

    Persoalan Ketujuh

    kami ingin menegaskan kepada mereka yang menunjukkan semangat nasionalisme negatif yang kuat:Jika kalian memang benar-benar mencintai dan menyayangi bangsa ini, kalian harus memiliki semangat yang diiringi kasih sayang terhadap mayoritas bangsa. Pasalnya, mengabdikan diri pada kehidupan sosial kaum minoritas dari bangsa ini yang bersifat temporer―padahal mereka tidak layak dikasihani―dengan tidak memperhatikan mayoritas, sama sekali bukan merupakan semangat nasionalisme ataupun patriotisme.

    Hal itu karena sikap patriotik dengan pengertian rasisme hanya memberikan manfaat untuk dua dari setiap delapan orang. Itupun dengan manfaat yang bersifat temporer. Mereka memperoleh kasih sayang dari sikap patriotik tersebut, padahal mereka tidak layak mendapatkannya. Sementara enam lainnya, bisa jadi mereka sudah tua, sakit, tertimpa musibah, anak-anak, orang yang sangat lemah atau orang bertakwa yang memikirkan akhirat secara sungguh-sungguh. Mereka mencari pelipur dan cahaya yang memberikan harapan. Pasalnya, mereka berorientasi pada kehidupan barzakh dan akhirat ketimbang kehidupan dunia. Mereka membutuhkan tangan-tangan penuh kasih yang mau memberikan pertolongan. Semangat macam apa yang tega memadamkan cahaya harapan mereka serta tidak memedulikan kondisi mereka yang membutuhkan pelipur lara? Itu sama sekali bukan semangat patriotisme. Mana belas kasih pada bangsa dan mana pengorbanan untuk mereka?!

    Kita tidak boleh putus asa dari rahmat Allah. Sejak seribu tahun yang lalu, Allah telah menyeru putra-putri bangsa ini, elemen masyarakat, dan tentaranya untuk berkhidmah pada al-Qur’an sekaligus menjadikan mereka sebagai pengibar panjinya. Karena itu, kita sangat berharap dari rahmat ilahi agar tidak membinasakan mereka dengan hambatan yang bersifat sementara insya Allah. Allah akan terus memberi bantuan kepada “cahaya tersebut” serta menjadikannya lebih terang sehingga mereka dapat melanjutkan tugas suci tersebut.

    BAHASAN KEEMPAT

    Catatan: Sebagaimana empat bahasan pada “Surat Kedua Puluh Enam” tidak saling terkait, demikian pula dengan sepuluh persoalan dalam bahasan ini. Karena itu, tidak perlu mencari relasi dan keterkaitan antar bagiannya. Ia ditulis sebagaimana yang terlintas. Bahasan ini adalah bagian dari surat yang ustadz Said Nursi kirim kepada salah seorang murid pentingnya. Ia berisi jawaban terhadap lima atau enam persoalan.

    Persoalan Pertama

    Kedua: Saudaraku, engkau berkata dalam suratmu bahwa menurut para mufassir dalam menafsirkan terdapat delapan belas ribu alam.(*[11])Engkau menanyakan hikmah dari bilangan tersebut?

    Saudaraku, saat ini aku tidak mengetahui apa hikmah darinya.Akan tetapi aku hanya ingin mengatakan sebagai berikut:Kalimat-kalimat al-Qur’an al-Hakîm tidak hanya terbatas pada satu makna. Akan tetapi, ia bersifat universal; berisi sejumlah makna untuk setiap tingkatan manusia. Hal itu karena al-Qur’an al-Karim merupakan pesan untuk semua tingkatan manusia. Oleh sebab itu, berbagai makna yang menjelaskannya laksana bagian dari prinsip universal tersebut. Di sini setiap mufassir dan setiap kalangan arif menyebutkan bagian dari makna universal yang ada. Dalam menafsirkan, ia bersandar kepada hasil kasyaf, dalil, atau manhajnya sehingga memilih salah satu maknanya. Di sini sekelompok orang juga menyingkap satu makna yang sesuai dengan bilangan di atas.

    Misalnya, dalam wirid mereka, para wali menyebut dan membaca secara berulang-ulang dengan penuh perhatian firman Allah yang berbunyi:Ayat al-Qur’an tersebut memiliki sejumlah makna parsial, mulai dari lautan rububiyah di wilayah al-wujûb, lautan ubudiyah di wilayah al-imkân, hingga berakhir di lautan dunia dan akhirat, laut alam nyata dan alam gaib, samudera Timur dan Barat, Utara dan Selatan, lautan Romawi, lautan Persia, Laut Tengah dan Laut Hitam, serta celah di antara keduanya yang mengeluarkan ikan bernama al-Marjan. Lalu ke laut tengah, laut Merah, terusan Sues, serta di laut air tawar dan asin, laut air segar yang terpencar dan laut asin yang terdapat di muka bumi di mana bagian-bagiannya saling bersambung. Serta yang disebut laut kecil dan segar berupa sungai-sungai besar seperti Nil, Tigris dan Eufrat, berikut laut asin yang bercampur dengannya.

    Seluruh bagian tersebut terdapat dalam kandungan makna ayat di atas. Seluruhnya bisa menjadi makna yang dimaksud. Kesemuanya merupakan makna hakiki dan majasi dari ayat itu.Begitulah, juga mencakup banyak hakikat seperti yang telah disebutkan. Kalangan ahli kasyaf dan hakikat menjelaskannya dengan keterangan yang berbeda-beda sesuai kasyaf mereka.

    Sementara yang kupahami dari ayat tersebut adalah sebagai berikut:Di langit terdapat ribuan alam. Setiap bintang dalam kumpulannya bisa merupakan alam tersendiri. Di bumi juga terdapat setiap jenis makhluk yang merupakan alam tersendiri. Bahkan manusia merupakan alam kecil.Kata bermakna bahwa setiap alam ditata, dipelihara, dan diatur secara langsung lewat rububiyah Allah.

    Ketiga, Rasul bersabda:

    “Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi satu kaum, Dia memperlihatkan kepada mereka aib diri mereka.”(*[12])

    Dalam al-Qur’an, Nabi Yusuf berkata:

    “Aku tidak menyatakan diriku bebas dari kesalahan. Sebab, sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada keburukan.” (QS. Yûsuf [12]: 53).

    Ya, orang yang kagum terhadap dirinya adalah orang malang. Sementara orang yang bisa melihat aib dirinya sangat beruntung. Karena itu, engkau beruntung wahai saudaraku. Namun kadang-kadang nafsu ammârah bisa berubah menjadi nafsu lawwâmah atau muthmainnah. Hanya saja ia menyerahkan senjata dan perlengka- pannya kepada saraf sehingga ia menunaikan tugas tersebut hingga akhir usia. Meskipun nafsu ammârah sudah mati sejak lama, jejak dan pengaruhnya masih tetap ada.

    Banyak wali dan orang salih ternama mengeluhkan nafsu ammârah meskipun sudah mencapai tingkatan muthmainnah. Mereka berlindung kepada Allah dari berbagai penyakit hati meskipun hati mereka sehat dan bercahaya. Para tokoh mulia itu sebenarnya tidak mengeluhkan nafsu ammârah.

    Namun mereka mengeluhkan tugas nafsu ammârah yang diserahkan kepada saraf. Penyakitnya bukan di hati; akan tetapi bersifat imajinasi. Yang melancarkan serangan kepadamu wahai saudaraku, bukan nafsu dan bukan pula penyakit hatimu. Namun ia adalah kondisi yang berpindah ke saraf guna terus melakukan mujahadah hingga akhir usia sesuai dengan kondisi manusia di mana ia menjadi sebab adanya peningkatan spiritual.

    Persoalan Kedua

    Penjelasan mengenai tiga persoalan yang ditanyakan oleh ulama terdahulu terdapat pada sejumlah bagian dari Risalah Nur. Namun di sini kami akan menjelaskan secara global:

    Pertanyaan pertama: Dalam risalahnya yang ditujukan kepada Fakhruddin ar-Râzi, Muhyiddin ibn Arabi menyatakan, “Pengetahuan tentang Allah berbeda dengan pengetahuan tentang keberadaan-Nya.”(*[13])Apa maksud dari pernyataan Ibnu Arabi tersebut?

    Pertama, perbedaan antara tauhid hakiki dan tauhid lahiriah yang disebutkan dalam pendahuluan “Kalimat Kedua Puluh Dua” menjelaskan maksud dari pertanyaan tersebut. Lebih jelas lagi terdapat pada mauqif kedua dan ketiga dari “Kalimat Ketiga Puluh Dua”.

    Kedua, yang mendorong Muhyiddin Ibn Arabi mengucapkan pernyataan di atas kepada Fakhruddin ar-Razi, salah seorang imam ahli kalam, adalah karena apa yang dijelaskan oleh para imam ushuluddin dan ulama ahli kalam terkait dengan persoalan akidah, keberadaan Allah, dan tauhid dalam pandangan Ibnu Arabi tidak memadai.

    Benar! Pengetahuan tentang Allah (makrifati ilahi) yang diperoleh dari dalil-dalil ilmu kalam bukan merupakan pengetahuan yang sempurna. Ia tidak mendatangkan ketenangan kalbu. Di sisi lain, ketika pengetahuan tersebut sejalan dengan manhaj al-Quran, ia menjadi pengetahuan yang sempurna dan mendatangkan ketenangan sempurna dalam kalbu. Kita berharap semoga Allah menjadikan setiap bagian dari Risalah Nur sebagai lentera yang menerangi jalan al-Quran yang lurus dan bercahaya.

    Kemudian makrifat ilahi yang diperoleh oleh ar-Razi dari ilmu kalam tampak cacat dalam pandangan Ibnu Arabi. Begitu pula makrifat ilahi yang dihasilkan dari jalan tasawuf juga cacat dan tidak sempurna jika dibandingkan dengan makrifat ilahi yang diraih oleh para pewaris nabi dari al-Quran secara langsung. Dalam hal ini, Ibnu Arabi mengatakan,لَا مَو۟جُودَ اِلَّا هُوَ “Tiada yang ada selain Dia,” hal itu agar ia senantiasa merasakan kehadiran Allah, hingga pada akhirnya ia mengingkari wujud seluruh entitas.Adapun yang lain, untuk menghadirkan hati bersama Tuhan, mereka berkata, لَا مَو۟جُودَ اِلَّا هُوَ “Tiada yang terlihat selain Dia.” Mereka menutupi entitas dengan tirai kealpaan mutlak dan menem- puh satu metode yang aneh.

    Sementara makrifat yang didapat dari al-Quran melahirkan kehadiran kalbu yang bersifat permanen, di samping tidak menafikan wujud entitas dan tidak memenjarakannya dalam penjara kealpaan mutlak. Namun ia menyelamatkannya dari pengabaian dan kesia-siaan serta mempergunakannya di jalan Allah dengan mejadikan segala sesuatu sebagai cermin yang memantulkan makrifat ilahi. Ia membuka pada segala sesuatu sebuah jendela menuju makrifat-Nya sebagaimana syair yang disebutkan oleh Sa’di asy-Syirazi:

    دَر۟ نَظَرِ هُوشِيَار۟ هَر۟ وَرَقٖى دَف۟تَرٖيس۟ت۟ اَز۟ مَع۟رِفَتِ كِر۟دِگَار۟

    Dalam sejumlah kalimat lain dari Risalah Nur, kami telah memberikan perumpamaan untuk menjelaskan perbedaan antara mereka yang mengambil petunjuk dari al-Quran al-Karim—sebuah jalan yang lurus—dan mereka yang meniti jalan para ulama ahli kalam. Perumpamaannya sebagai berikut:

    Untuk mendapatkan air, ada yang mendatangkannya melalui pipa dari tempat yang jauh yang ia gali di kaki gunung. Sementara yang lain menemukan air di tempat yang mereka gali seraya memancarkannya di mana pun mereka berada. Yang pertama adalah meniti jalan terjal dan panjang. Belum lagi aliran airnya bisa jadi tersumbat atau terputus di tengah jalan. Sementara mereka yang menggali sumur mendapatkan air di mana saja mereka berada tanpa menemui kesulitan dan kepenatan yang berarti.

    Nah, para ulama ahli kalam memutus rangkaian sebab-akibat dengan membuktikan kemustahilan daûr wa at-Tasalsul (kausalitas dan rangkaian sebab-akibat di alam). Dari sana mereka menetapkan eksistensi Sang Wajibul wujud (Tuhan). Adapun manhaj al-Qur’an yang hakiki, ia menemukan air pada setiap tempat dan menggalinya di mana saja ia berada. Setiap ayatnya yang agung laksana tongkat Musa yang memancarkan air di mana saja dipukulkan.

    Manhaj tersebut membuat orang lain membaca prinsip berikut pada segala sesuatu:Pada segala sesuatu terdapat bukti atas-Nya Yang menunjukkan bahwa Dia adalah Esa.(*[14])

    Selanjutnya, iman tidak hanya diperoleh dengan ilmu. Sebab, banyak perangkat halus pada manusia yang memiliki bagian dari iman. Sebagaimana ketika makanan masuk ke dalam lambung, ia terbagi dan terdistribusi ke sejumlah urat sesuai dengan masing-masing organ. Demikian pula dengan persoalan iman yang datang dari jalur ilmu. Ketika ia masuk ke dalam akal dan pemahaman, setiap perangkat halus tubuh―seperti ruh, kalbu, sirr, jiwa dan sejenisnya― mengambil bagian darinya serta menyerapnya sesuai dengan tingka- tannya. Jika salah satu dari perangkat halus tersebut tidak mendapat nutrisi yang sesuai, maka pengetahuannya menjadi cacat dan tidak sempurna.

    Demikianlah, Ibnu Arabi memperingatkan dan mengarahkan perhatian Fakhruddin ar-Razi kepada masalah penting ini.

    Persoalan Ketiga

    Pertanyaan: apa korelasi antara kedua ayat al-Qur’an berikut ini:“Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam.” (QS. al-Isrâ [17]: 70).“Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. al-Ahzâb [33}: 72)?

    Jawaban: Penjelasan tentang pertanyaan ini terdapat dalam “Kalimat Kesebelas, Kedua Puluh Tiga, dan buah kedua dari ranting kelima dalam Kalimat Kedua Puluh Empat”. Ringkasnya sebagai berikut:

    Dengan qudrah-Nya yang sempurna, Allah menciptakan banyak hal dari sesuatu yang satu, sebagaimana Dia menggiring sesuatu yang satu itu untuk menunaikan banyak tugas. Dia pun menulis seribu satu kitab dalam satu halaman.Nah, Allah juga menciptakan manusia sebagai spesies yang menggabungkan banyak hal. Dengan kata lain, lewat spesies manusia Dia hendak menampilkan apa yang telah ditampilkan oleh berbagai tingkatan spesies hewan. Hal itu dilakukan dengan cara tidak membatasi kekuatan dan kecenderungan manusia dengan batasan fitri. Namun ia dibiarkan bebas merdeka. Di sisi lain, Dia membatasi kekuatan dan kecenderungan seluruh hewan. Yaitu dengan berada di bawah batasan fitrinya.

    Jadi, setiap kekuatan manusia berada dalam ruang lingkup yang sangat luas; tak terhingga. Pasalnya, manusia adalah cermin bagi manifestasi tak terhingga dari nama-nama Tuhan semesta alam. Karena itu, kekuatan manusia diberikan potensi dalam bentuk yang tak terhingga.

    Contoh: andaikan manusia diberi seluruh dunia, tentu dengan sifat tamaknya ia tetap menginginkan tambahan. Ia rela membuat ribuan orang menderita demi kepentingan dirinya.Begitulah, di hadapan manusia terdapat tingkatan akhlak tercela yang tak terhingga sampai akhirnya mengantar pada tingkatan Namrud dan Fir’aun. Di situ manusia benar-benar menyandang sifat sangat zalim dalam bentuk mubâlagah. Di hadapannya juga tersingkap sejumlah derajat kemuliaan yang tak terhingga pada akhlak terpuji hingga mengantarnya menuju derajat para nabi dan kaum shiddiqin.

    Manusia berbeda dengan hewan. Ia tidak memiliki pengetahuan tentang segala sesuatu yang terkait dengan kehidupan, karenanya ia harus belajar segala hal. Dari situ manusia disebut sangat bodoh dalam bentuk mubâlagah karena memang membutuhkan banyak hal yang tak terhingga.Adapun hewan, ketika datang ke dunia, ia hanya membutuhkan sejumlah hal. Di samping itu, ia hanya butuh waktu sebulan atau dua bulan, sehari atau dua hari, bahkan sejam atau dua jam dalam mempelajari seluk-beluk kehidupannya. Seakan-akan ia sudah sempurna di alam lain lalu datang ke dunia. Sementara manusia, ia baru bisa berdiri setelah berumur setahun atau dua tahun. Ia tidak bisa membedakan yang baik dan yang buruk (manfaat dan bahaya) kecuali setelah berumur lima belas tahun.

    Jadi, bentuk mubâlagah di atas juga menjelaskan hal ini.

    Persoalan Keempat

    Saudaraku, engkau bertanya tentang hikmah hadis Nabi yang berbunyi:“Perbaharuilah iman kalian dengan lâ ilâha illallâh.”(*[15])Kami telah menjelaskannya dalam banyak bagian pada “al-Kalimat”. Di sini, kami ingin menyebutkan satu hikmah saja darinya: Karena diri dan alam manusia terus terbaharui, maka ia juga senantiasa membutuhkan pembaharuan iman.

    Pasalnya, manusia sebagai individu tidak lain merupakan wujud dari banyak individu secara maknawi. Ia adalah individu sebanyak bilangan tahun usianya, sebanyak jumlah harinya, bahkan sebanyak hitungan jam yang ia lewati. Sebab, setiap individu dianggap sebagai sosok yang berbeda lantaran ketika perjalanan waktu melintasinya ia menjadi seperti model yang setiap hari memakai bentuk individu baru yang berbeda.

    Selain itu, sebagaimana manusia mengalami perubahan dan pembaruan seperti itu, alam yang ia huni juga terus berjalan; tidak tetap dalam satu kondisi. Ia berlalu kemudian digantikan oleh yang lain. Ia terus dalam kondisi beragam. Setiap hari pintu alam yang baru terbuka.

    Nah, iman merupakan cahaya bagi kehidupan setiap individu dari sosok tersebut. Di sisi lain, iman juga cahaya bagi sejumlah alam yang ia masuki. Sementara lâ ilâha illallâh merupakan kunci yang membuka cahaya tersebut.

    Kemudian dalam diri manusia terdapat nafsu, selera, ilusi, dan setan. Mereka mengeksploitasi kealpaannya guna mempersempit imannya sehingga celah-celah bagi masuknya cahaya iman tersumbat lewat penyebaran syubhat dan ilusi.

    Selain itu, alam manusia tidak lepas dari perkataan dan perbuatan yang bertentangan dengan lahiriah syariat. Bahkan menurut sebagian imam ia masuk dalam kategori kufur. Karena itu, terdapat kebutuhan untuk memperbaharui iman setiap waktu, bahkan setiap saat dalam sehari.

    Pertanyaan: Ulama ahli kalam menetapkan tauhid setelah kemunculan mereka di atas seluruh alam yang mereka beri label imkân (mungkin) dan hudûts (baru). Agar kalbu bisa tenang dan merasakan kehadiran Allah, sebagian kalangan tasawuf berkata, “Tiada yang terlihat selain Dia.” Hal itu setelah mereka melupakan dan mengabaikan entitas. Sebagian lainnya berkata, “Tiada yang ada selain Dia.”

    Mereka memosisikan entitas sebagai khayalan dan menganggapnya tiada agar sesudah itu kalbu mereka bisa tenang dan merasakan kehadiran Allah. Akan tetapi, engkau meniti jalan yang berbeda dari itu semua. Engkau menjelaskan sebuah manhaj lurus dari al-Qur’an. Engkau menjadikan perlambang dari manhaj ini berupa, “Tiada yang Dituju kecuali Dia. Tiada yang Disembah selain Dia.” Kuharap engkau bisa menjelaskan kepada kami secara singkat satu argumen tentang tauhid dalam manhaj Qur’ani tersebut.

    Jawaban: Seluruh kandungan buku al-Kalimât dan al-Maktûbât menjelaskan manhaj lurus tersebut. Sekarang untuk memenuhi permintaanmu, aku hanya ingin menjelaskan secara sangat singkat satu argumen yang kuat, luas, dan panjang di antara sekian banyak argumen yang ada.

    Segala sesuatu di alam ini menisbatkan segalanya kepada Sang Pencipta. Setiap jejak yang terdapat di dunia menunjukkan bahwa semua jejak bersumber dari Pemberi jejak. Setiap kreasi di alam ini menegaskan bahwa semua kreasi yang ada berasal dari perbuatan Penciptanya. Setiap nama dari nama-nama-Nya yang mulia yang ter- manifestasi pada entitas menunjukkan bahwa seluruh nama merujuk pada Pemilik nama. Dengan kata lain, segala sesuatu merupakan bukti keesaan secara langsung dan jendela yang mengarah pada makrifat ilahiyah.

    Ya, tidak ada jejak, apalagi makhluk hidup, kecuali ia merupakan miniatur dari seluruh entitas. Ia laksana benih alam dan buah dari bola bumi. Karena itu, Pencipta miniatur, benih, dan buah tersebut sudah pasti juga merupakan Pencipta seluruh entitas. Hal itu karena tidak mungkin Dzat yang menghadirkan buah bukan merupakan Dzat yang menghadirkan pohonnya.

    Karena itu, sebagaimana setiap jejak menyandarkan seluruh jejak kepada Pemberi jejak, setiap perbuatan juga mengembalikan seluruh perbuatan kepada Pelakunya. Pasalnya, kita mengetahui bahwa setiap kreasi apapun, pastilah ia memperlihatkan sisi dari hukum penciptaan yang meliputi seluruh alam di mana hukum dan dimensinya membentang mulai dari partikel hingga galaksi. Artinya, Dzat Pemilik dan pelaku dari kreasi parsial itu sudah pasti juga merupakan Pelaku dari semua perbuatan yang terpaut dengan hukum kom- prehensif yang meliputi seluruh alam yang luas, mulai dari partikel hingga matahari.

    Dzat yang menghidupkan nyamuk, pasti juga Dzat yang menghidupkan seluruh serangga, seluruh hewan, bahkan seluruh bumi. Kemudian Dzat yang menjadikan partikel berputar seperti pengikut tarekat Maulawi, pasti juga Dzat yang menggerakkan seluruh entitas secara berantai bahkan juga matahari berikut planet-planetnya.

    Pasalnya, hukum yang berlaku pada entitas adalah sebuah rangkaian dan seluruh perbuatan terpaut dengannya. Artinya, setiap jejak menisbatkan semua jejak kepada pemilik jejak. Setiap kreasi menisbatkan seluruh kreasi kepada pelakunya. Begitu pula setiap nama yang termanifestasi pada entitas menisbatkan semua nama kepada Pemilik namanya sekaligus menegaskan bahwa ia merupakan atribut-Nya. Hal itu karena nama yang termanifestasikan di alam saling terpaut laksana lingkaran yang saling berpautan dan tujuh warna cahaya yang saling bercampur. Masing-masing saling mengait dan berpautan. Setiap jejak saling menyempurnakan dan saling memperindah.

    Misalnya: nama al-Muhyî (Yang Maha Menghidupkan). Ketika ia terwujud pada sesuatu dan ketika ia memberikan kehidupan padanya, nama al-Hakîm (Yang Mahabijak) juga tampak sehingga ia menata fisik makhluk hidup tersebut yang merupakan wadah bagi ruhnya. Pada saat yang sama nama al-Karîm (Yang Maha Pemurah) juga terlihat. Ia menghias sangkar dan wadah tersebut. Padanya juga terdapat nama ar-Rahîm (Yang Maha Penyayang) di mana ia menyiapkan seluruh kebutuhan fisik itu. Pada saat yang sama nama ar-Razzaq (Maha Pemberi rezeki) terwujud padanya di mana ia memberi rezeki materil dan immateril yang dibutuhkan makhluk tersebut dari jalan yang tak disangka-sangka. Begitu seterusnya.

    Artinya, Dzat yang memiliki nama al-Muhyî juga memiliki nama al-Hakîm yang menerangi dan meliputi seluruh alam. Dia pun memiliki nama ar-Rahîm yang memelihara seluruh entitas dengan rahmat dan kasih sayang. Dia juga memiliki nama ar-Razzâq yang memberi nutrisi pada seluruh makhluk. Demikian seterusnya.

    Dengan kata lain, setiap nama, setiap perbuatan, dan setiap jejak, merupakan bukti keesaan, stempel tauhid, dan cap ketunggalan-Nya di mana ia menunjukkan bahwa seluruh kalimat yang merupakan entitas yang tertulis pada lembaran alam dan pada baris zaman tidak lain adalah tulisan pena Penulis dan Pelukisnya.

    Ya Allah, limpahkan salawat dan salam kepada sosok yang bersabda: “Sebaik-baik perkataan yang pernah terucap olehku dan oleh para nabi sebelumku adalah lâ ilâha illallâh. Juga, kepada keluarga dan para sahabatnya.

    Persoalan Kelima

    Kedua: saudaraku, dalam suratmu engkau bertanya apakah seseorang bisa selamat dengan cukup menyebut tanpa disertai? Jawaban atas pertanyaan ini cukup panjang.

    Hanya saja saat ini aku ingin menegaskan bahwa dua kalimat syahadat, satu dengan lainnya, tidak bisa dipisahkan. Namun satu sama lain mengandung makna dan saling menguatkan. Yang satu hanya terwujud dengan yang lain. Karena Rasul merupakan penutup para nabi dan pewaris seluruh rasul, tentu beliau berada di pangkal seluruh jalan menuju Allah. Tidak ada jalan yang benar dan jalan selamat di luar jalan lurus yang beliau lewati. Seluruh imam ahli makrifat dan hakikat menyebutkan seperti yang disebutkan oleh Sa’di asy-Syirâzi:

    Wahai Sa’di, mustahil melewati jalan yang lurus tanpa mengikuti Nabi al-Mustafa. Mereka juga menyebutkan: “Seluruh jalan tertutup kecuali manhaj Muhammad.”

    Hanya saja, kadangkala sebagian orang meniti jalan Muhammad, namun mereka tidak sadar kalau mereka sedang berada di dalamnya.

    Kadangkala juga sebagian orang tidak mengenal Nabi , namun jalan yang mereka lalui adalah bagian dari jalan beliau.

    Kadang mereka tidak berpikir tentang jalan Muhammad karena merasa cukup dengan lâ ilâha illallâh entah karena kondisi “majdzub” atau “tenggelam” bersama Tuhan, atau karena pengaruh sejenis kondisi uzlah.

    Meski demikian, sisi terpenting dalam masalah ini adalah:“Tidak menerima” dan “menerima ketiadaan” adalah dua hal yang berbeda. Orang-orang yang sedang dalam kondisi “majdzub” dan beruzlah, atau orang yang tidak mendengar dan tidak mengetahui, serta orang-orang yang tidak mengenal Nabi dan tidak berpikir tentang beliau agar menerima dan rida pada beliau seperti mereka, sebetulnya mereka dalam kondisi bodoh pada titik tersebut. Yang mereka ketahui dalam hal makrifatullah hanya lâ ilâha illallâh. Bisa jadi mereka tergolong kelompok yang selamat.

    Akan tetapi, jika mereka yang mendengar tentang Nabi dan mengetahui dakwahnya tetapi tidak membenarkannya, maka mereka termasuk orang yang mengenal Allah namun tidak beriman kepada-Nya. Pasalnya, ucapan lâ ilâha ilallâh untuk orang-orang semacam mereka tidak melahirkan tauhid yang merupakan sebab keselamatan. Kondisi tersebut bukan kondisi yang bersumber dari sikap “tidak menerima” akibat bodoh yang dianggap sebagai uzur. Namun ia bersumber dari sikap “menerima ketiadaan”, yaitu berupa pengingkaran. Orang yang mengingkari Muhammad yang merupakan poros kebanggaan alam dan kemuliaan umat manusia dengan mukjizat dan pengaruhnya yang besar, sudah pasti tidak mendapat cahaya dan tidak disebut beriman kepada Allah. Kita cukupkan sampai di sini.

    Persoalan Keenam

    Ketiga:terdapat sejumlah ungkapan terkait dengan jalan setan saat melakukan dialog dengan setan pada ‘bahasan pertama’. Meskipun telah diluruskan dan diperhalus dengan kalimat “Mahasuci Allah dari semua itu” serta ditampakkan dalam bentuk asumsi, namun aku masih takut dan gemetar dengannya.Lalu terdapat sedikit perbaikan pada bagian yang kukirim padamu. Apakah engkau telah mengoreksi salinan yang terkait dengannya? Aku menyerahkan hal itu kepadamu sehingga engkau dapat menghapus ungkapan yang menurutmu tidak perlu.

    Saudaraku yang mulia! Bahasan tersebut sangat penting. Pasalnya, setan adalah guru bagi kalangan zindik. Jika setan tidak diserang dan dibungkam dengan argumen yang jelas, pasti para pengikutnya tidak bisa menerima. Al-Quran al-Hakim telah menggunakan sejumlah ungkapan kaum kafir yang keji dalam memberikan bantahan. Hal itu membuatku berani memperlihatkan kekeliruan jalan setan tersebut. Meski gemetar dan takut, aku tetap mempergunakan ungkapan yang menunjukkan kebodohan tersebut di mana ia diterima oleh kelompok setan sesuai dengan tuntutan jalan mereka serta mereka sebut sesuai dengan tabiat jalan mereka. Maka di sini aku menyebutkannya dalam bentuk “asumsi mustahil” guna menjelaskan kekeliruan jalan mereka. Dengan cara tersebut, aku berhasil membelenggu mereka di dasar sumur sekaligus menguasai medan atas nama al-Quran. Berbagai kebatilan mereka berhasil kusingkap.

    Engkau bisa melihat kemenangan tersebut lewat perumpamaan berikut: Misalkan terdapat menara tinggi yang menjulang ke langit. Tepat di bawahnya terdapat sumur yang dalam di mana dasarnya berada di pusat bumi. Lalu ada dua kelompok manusia yang berdiskusi tentang posisi muazzin di mana suaranya terdengar oleh seluruh orang di seluruh negeri. Yakni, di tingkatan tangga menara yang mana muazzin berdiri jika melihat letak langit ke pusat bumi?

    Kelompok pertama berkata, “Muazzin tersebut berdiri di puncak menara.Ia mengumandangkan azan dari sana sehingga terdengar oleh semua orang. Pasalnya, kita bisa mendengar azan yang keras dan menggema tersebut. Meskipun setiap kita tidak bisa melihatnya di sana, namun masing-masing kita bisa melihat sang muazzin sesuai dengan tingkatannya saat ia naik dan turun dari menara. Dari sana diketahui bahwa muazzin tersebut naik menara. Di manapun berada, ia memiliki kedudukan yang tinggi.”

    Namun kelompok lain yang merupakan kelompok setan yang bodoh berkata, “Tidak. Posisi muazzin di dasar sumur; bukan di puncak menara.”

    Padahal, tak seorang pun yang melihatnya di dasar sumur, dan tidak ada yang bisa melihatnya di sana kecuali ia berupa batu besar yang tidak memiliki ikhtiar. Hanya dengan asumsi seperti itu, muazzin tersebut bisa dilihat.

    Jadi, wilayah diskusi dan perseteruan antara dua kelompok yang saling bertentangan itu berupa jarak yang membentang antara puncak menara hingga dasar sumur. Nah, kelompok pemilik cahaya yang merupakan hizbullah (golongan Allah) menjelaskan posisi muazzin di puncak menara kepada orang yang jangkauan pandangannya sampai ke sana. Mereka juga menjelaskan bahwa muazzin tersebut memiliki kedudukan tinggi di sejumlah tingkatan tangga menara kepada orang yang pandangannya terbatas yang tak bisa melihat ke tempat tinggi. Dengan kata lain, mereka menjelaskan kedudukannya yang tinggi pada setiap orang sesuai dengan jangkauan pandangannya. Karena itu, petunjuk yang kecil sudah cukup bagi mereka bahwa sang muazzin itu bukan benda seperti batu tak bernyawa. Namun ia seperti manusia sempurna yang dapat naik ke tingkatan paling tinggi dan bisa terlihat saat mengumandangkan azan di tingkatan tersebut.

    Namun kelompok lain, yaitu kelompok setan, berkata, “Jika ia memang berada di puncak menara, perlihatkanlah kepada kami. jika tidak, berarti posisinya di dasar sumur.” Mereka mengatakan hal itu dengan penuh kebodohan.Karena kebodohannya, mereka tidak mengetahui bahwa kondisi muazzin yang tak terlihat oleh setiap manusia saat berada di pun- cak menara adalah karena pandangan mereka tidak mampu menjangkau kedudukan yang tinggi itu. Kemudian kelompok setan itu ingin menimbulkan kerancuan agar dapat menguasai seluruh jarak yang ada, kecuali puncak menara.

    Guna menutup dialog dan debat antara dua kelompok di atas, salah seorang dari mereka maju ke depan dan berbicara kepada kelompok setan:Wahai kelompok yang malang! Jika posisi sang muazzin agung itu berada di dasar sumur, ia harus berupa benda mati seperti batu yang tak bernyawa dan tidak memiliki kekuatan. Juga, tidak mungkin ia terlihat di tingkatan manapun dari menara atau sumur. Akan tetapi, selama kalian bisa melihatnya di setiap tingkatan, berarti ia bukan benda mati yang tak bernyawa. Namun posisinya pasti di puncak menara. Karena itu, kalian bisa memperlihatkannya di dasar sumur, dan ini tidak mungkin bisa kalian lakukan dan tidak bisa diterima oleh siapapun. Atau jika tidak, hendaknya kalian diam. Sebab, wilayah pembelaan kalian terbatas di dasar sumur. Adapun wilayah lain dan jarak yang panjang itu dimiliki oleh jamaah ini; jamaah yang penuh berkah. Di manapun mereka memperlihatkannya―selain dasar sumur―mereka menang dan berkuasa.”

    Begitulah, bahasan tentang dialog dengan setan serupa dengan perumpamaan di atas. Ia mengambil alih jarak yang membentang dari Arasy hingga bumi, dari tangan kelompok setan sekaligus membatasi mereka pada wilayah yang paling sempit, yaitu dasar sumur. Ia membungkam mereka pada celah yang paling sempit yang tak mungkin dimasuki. Bahkan ia mustahil dan tidak logis. Pada saat bersamaan ia dapat menguasai seluruh wilayah atas nama al-Qur’an.

    Jika kelompok setan itu ditanya, “Bagaimana kalian memandang kedudukan al-Qur’an?”.Mereka menjawab: ia adalah kitab humanis yang mengajarkan akhlak yang baik.

    Ketika itulah dikatakan kepada mereka, “Kalau begitu, ia adalah kalam Allah. Kalian harus menerima hal ini. Sebab, kalian tidak bisa mengatakan ‘baik’ sesuai manhaj kalian.”

    Begitu pula kalau mereka ditanya, “Bagaimana kalian memandang Rasul?”Mereka akan menjawab, “Beliau adalah manusia yang memiliki akhlak baik dan akal cerdas.”

    Ketika itulah dikatakan kepada mereka, “Kalau begitu, kalian harus beriman kepadanya. Pasalnya, apabila beliau memiliki akhlak yang baik dan akal yang cerdas, beliau pasti utusan Allah. Sebab, istilah ‘baik’ tidak ada dalam kamus kalian. Demikianlah, seluruh sisi hakikat dapat diterapkan pada petunjuk perumpamaan yang lain.

    Atas dasar itu, ‘bahasan pertama’ yang berisi dialog dengan setan menyelamatkan iman kaum mukmin lewat petunjuk yang paling sederhana sekalipun tanpa perlu mengetahui mukjizat Muhammad berikut berbagai buktinya yang kuat. Pasalnya, setiap kondisi dan sifat Muhammad serta setiap fase kenabiannya laksana salah satu mukjizat beliau. Ia menjelaskan dan menegaskan bahwa kedudukan beliau berada di tingkatan paling tinggi; bukan di dasar sumur.

    Persoalan Ketujuh

    Persoalan yang Berisi Pelajaran:

    Berdasarkan tujuh petunjuk yang memperkokoh kekuatan maknawi sebagian sahabatku saat ditimpa keraguan dan lemah semangat dalam berkhidmah untuk al-Qur’an, aku terpaksa menjelaskan ikram rabbani dan perlindungan ilahi yang terkait dengan khidmah al-Qur’an semata. Hal itu agar aku bisa menyelamatkan sejumlah sahabatku yang berjiwa sensitif.

    Dari tujuh petunjuk tersebut, empat di antaranya mengarah kepada beberapa orang yang tadinya merupakan sahabatku namun kemudian menjadi musuh terhadap diriku sebagai pelayan al-Qur’an; bukan sebagai diri pribadiku. Mereka mengambil posisi semacam itu untuk mendapatkan keuntungan duniawi. Sebagai akibatnya, alih-alih memperoleh apa yang diharapkan, mereka malah mendapat tamparan keras.

    Adapun tiga petunjuk sisanya mengarah kepada beberapa sahabat yang tulus di mana kondisi mereka masih tetap sebagai sahabat. Hanya saja mereka tidak memperlihatkan sikap berani yang merupakan tuntutan dari kesetiaan dan persahabatan. Hal itu lantaran mereka ingin mendapat simpati para ahli dunia agar memperoleh keuntungan duniawi serta lantaran ingin selamat dari berbagai cobaan. Hanya saja, ketiga sahabatku itu justru mendapat teguran; bukan mendapat apa yang mereka inginkan.

    Sosok pertama adalah orang yang tadinya secara lahiriah termasuk sahabat lalu berbalik menjadi musuh.

    Ia adalah sosok seorang pemimpin. Dengan penuh harap, ia meminta padaku salinan dari buku “Kalimat Kesepuluh” lewat sejumlah perantara. Maka, akupun memberikannya. Namun kemudian ia malah berbalik menjadi musuh dan meninggalkan persahabatan denganku dengan harapan bisa naik jabatan. Ia mengirim surat kepada gubernur dengan mengadukan dan memberikan informasi tentang diriku. Sayangnya, alih-alih naik jabatan, ia malah dicopot dari tugasnya sebagai salah satu karunia ilahi atas khidmah al-Qur’an.

    Sosok kedua adalah seorang pemimpin yang lain. Tadinya sebagai sahabat, namun kemudian berbalik menjadi musuh dan pesaing bukan bagi diri pribadiku; tetapi bagi kedudukanku sebagai pelayan al-Qur’an. Hal itu ia lakukan agar disenangi oleh atasannya guna memperoleh simpati para ahli dunia. Akan tetapi ia malah mendapatkan teguran; bukan mendapat apa yang dia inginkan. Ia diadili atas perkara yang sama sekali tidak diharapkan, sehingga mendapat hukuman selama dua setengah tahun. Kemudian ia meminta doa dari seorang pelayan al-Qur’an agar Allah menyelamatkannya. Iapun didoakan.

    Ketiga adalah seorang guru sekolah. Ia bersikap seperti seorang sahabat terhadapku. Akupun menunjukkan persahabatan yang tulus kepadanya. Namun ia malah berbalik menjadi musuh agar dipindah-tugaskan ke Barla. Akibatnya, alih-alih mendapat apa yang diinginkan, ia malah mendapat teguran keras. Ia malah direkrut sebagai prajurit dan dijauhkan dari Barla.

    Keempat, juga seorang guru sekolah. Aku melihatnya sebagai orang yang taat dan hafal al-Qur’an. Karena itu, aku menunjukkan persahabatan yang tulus padanya agar Allah mengaruniakan padanya kemauan untuk berkhidmah pada al-Qur’an. Namun, hanya karena ucapan seorang pegawai negeri, ia kemudian menunjukkan sikap yang tidak simpatik pada kami guna memperoleh tempat di hati para ahli dunia. Akhirnya, bukan mendapatkan apa yang diinginkan, ia malah mendapatkan teguran. Ia mendapat teguran keras dari pengawasnya lalu dipecat dari tugasnya.

    Keempat orang di atas mendapatkan teguran karena mereka menjadi musuh bagi para pelayan al-Qur’an. Adapun tiga sahabatku yang lainnya mendapatkan peringatan; bukan teguran seperti di atas, lantaran mereka tidak mau bersikap berani yang merupakan tuntutan dari sebuah persahabatan dan kesetiaan.

    Pertama, salah seorang murid sejatiku yang giat dan tulus serta memiliki peran penting dalam khidmah al-Qur’an. Ia memiliki kepribadian yang mulia dan terhormat serta telah menulis al-Kalimât secara terus-menerus sekaligus menyebarkannya. Hanya saja, untuk beberapa waktu ia menyembunyikan al-Kalimât yang ia tulis serta tidak lagi menyalinnya saat seorang pejabat tinggi datang dan saat terjadi kasus tertentu. Hal itu ia lakukan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dari penguasa serta agar selamat dari kejahatan mereka. Faktanya, kesalahan akibat tidak menunaikan tugas pengabdian terhadap al-Qur’an membuatnya harus membayar den- da seribu lira untuk setahun. Namun saat ia berniat untuk menyalin dan kembali kepada kondisi semula ia terbebas dari dakwaan yang diarahkan padanya. Alhamdulillah, ia menjadi bebas dan tidak perlu membayar seribu lira, karena memang kondisinya termasuk fakir.

    Kedua, seorang sahabat yang tulus, pemberani, dan murah hati. Sudah lima tahun ia menjadi tetanggaku. Namun selama beberapa bulan ia tidak bertemu denganku. Bahkan pada bulan Ramadhan dan hari raya pun ia juga tidak mengunjungiku karena dianggap tidak penting. Hal itu ia lakukan untuk mendapat simpati ahli dunia, terutama dari pemimpin yang baru datang. Namun harapannya menjadi sirna dan keinginannya tidak tercapai. Sebab, ia tidak lagi dianggap memiliki pengaruh seperti sebelumnya karena persoalan kampung sudah selesai.

    Ketiga, seorang yang hafal al-Qur’an. Ia biasa mengunjungiku sekali atau dua kali dalam seminggu. Ia ditunjuk sebagai imam di masjid. Kemudian ia meninggalkanku agar bisa memakai serban imam dan tidak pernah datang bahkan di saat hari raya. Namun tidak seperti yang ia inginkan, ia tidak bisa memakai serban tersebut meski sudah menjadi imam selama kurang lebih delapan bulan.

    Nah, peristiwa seperti di atas sangat sering terjadi. Aku tidak akan menyebutkannya agar tidak melukai perasaan yang lain. Hanya saja, betapapun kasusnya bersifat individual sehingga mungkin dianggap sebagai petunjuk yang lemah, namun ketika semuanya dikumpulkan, ia menyiratkan kekuatan dan melahirkan keyakinan bahwa kita bekerja dalam naungan karunia ilahi dan di bawah perlindungan-Nya ditinjau dari sisi khidmah al-Qur’an; bukan dari sisi pribadiku. Pasalnya, aku merasa diriku tidak layak untuk mendapatkan karunia ilahi tersebut.

    Oleh karena itu, para sahabatku yang tercinta, kalian harus memahami hal ini dengan baik. Kalian tidak boleh menghiraukan sejumlah keraguan dan ilusi yang ada. Hal ini sengaja kujelaskan kepada kalian secara khusus karena karunia ilahi itu diberikan atas pengabdian terhadap al-Qur’an. Jadi, ini bukan untuk kesombongan; namun dalam rangka bersyukur kepada Allah sesuai dengan firman-Nya:“Terkait dengan nikmat Tuhanmu, ungkapkanlah!” (QS. adh-Dhuhâ [93]: 11)

    Persoalan Kedelapan

    [Catatan kaki contoh ketiga dari ‘poin ketiga’ pada ‘sebab kelima’ di antara sebab-sebab yang menghalangi upaya ijtihad di masa sekarang, dalam “Kalimat Kedua Puluh Tujuh”.]

    Pertanyaan penting: Sejumlah ulama dan ahli hakikat berkata: “Ketika lafal-lafal al-Qur’an, zikir-zikir yang ma’tsur, serta tasbih yang memiliki riwayat yang valid menerangi seluruh sisi perangkat halus manusia serta memberinya nutrisi spiritual, bukankah lebih baik bila setiap kaum membentuk lafal-lafal tersebut sesuai dengan bahasa mereka sehingga maknanya bisa dipahami? Pasalnya, lafal semata tidak bisa memenuhi maksud yang dituju karena ia hanya merupa- kan bungkus?”

    Jawaban:lafal al-Qur’an dan tasbih dari Nabi bukan pakaian atau bungkus yang mati yang bisa diganti dan diubah. Ia seperti kulit hidup bagi tubuh. Bahkan ia benar-benar seperti kulit yang hidup seiring perjalanan waktu. Tidak bisa dibantah bahwa mengganti dan mengubah kulit, pasti berbahaya bagi tubuh.Selanjutnya, lafal yang penuh berkah dalam shalat, zikir, dan azan sudah menjadi sebuah nama dan identitas bagi maknanya secara ‘urfi ataupun syar’i. Sementara itu, nama dan identitas tersebut tidak bisa diganti.

    Aku bisa sampai pada hakikat ini setelah melakukan refleksi dan penelaahan terhadap satu kondisi yang terjadi pada diriku:

    Ketika di hari arafah aku membaca surah al-Ikhlas seratus kali secara berulang-ulang, aku memperhatikan bagaimana sebagian indra batinku yang halus merasa jenuh setelah mendapatkan nutrisi secara terus-menerus. Daya pikirku tertuju pada maknanya. Namun sesudah itu ia berhenti dan jenuh. Kalbu yang ikut merasakan sejumlah makna ruhiyah juga mulai terdiam.

    Berbeda halnya ketika tekun dan terus membaca. Sejumlah indra tersebut tidak cepat bosan. Ia tidak dipengaruhi oleh kealpaan yang mempengaruhi daya pikir. Namun ia dapat terus mengambil bagiannya tanpa perlu mendalami dan merenungkan maknanya. Sebab, makna umum yang menjadi perlambangnya sudah cukup serta makna global dari lafalnya yang kaya sudah memadai. Barangkali ia akan mendatangkan rasa jenuh ketika proses tafakkur mulai meng- arah kepada maknanya. Pasalnya, berbagai perangkat halus tersebut tidak membutuhkan pembelajaran dan pemberian pemahaman sebanyak kebutuhannya terhadap peringatan, pengarahan dan dorongan. Oleh karena itu, lafal yang serupa dengan kulit itu cukup untuk berbagai perangkat halus tersebut dan cukup untuk menunaikan fungsi maknanya. Terutama karena lafal berbahasa Arab tersebut menjadi sumber limpahan karunia ilahi yang permanen. Pasalnya, ia mengingatkan pada kalam dan perkataan ilahi.

    Kondisi yang kualami ini menjelaskan kepada kita bahwa ungkapan azan, tasbih shalat, surah al-Ikhlas dan al-Fatihah, yang selalu berulang, dengan bahasa manapun selain bahasa Arab sangat berba- haya.

    Sebab, perangkat yang permanen itu tetap tidak bisa mendapatkan bagiannya setelah kehilangan sumber hakiki yang bersifat permanen yang tidak lain berupa lafal ilahi dan nabawi. Di samping itu, paling tidak sepuluh pahala pada setiap hurufnya menjadi hilang. Lalu karena tidak ada tumakninah dan kehadiran kalbu bagi setiap orang dalam shalat, maka ungkapan buatan manusia yang sudah diterjemahkan itu di saat lalai hanya menebarkan kegelapan dalam jiwa, serta berbagai bahaya lain yang sejenis.

    Ya, sebagaimana Imam Abu Hanifah berkata bahwa “لَٓا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰه merupakan lambang atau simbol tauhid, demikian pula kita mengatakan bahwa sebagian besar kalimat tasbih, zikir, terutama azan, shalat, dan zikir sudah seperti nama dan simbol. Ia lebih mengarah kepada makna urfnya yang bersifat syar’i daripada kepada makna bahasanya. Karena itu, ia sama sekali tidak mungkin diganti.

    Adapun maknanya yang harus dipahami oleh setiap mukmin, maka setiap orang awam dapat memahami dan mempelajari maknanya secara umum dalam waktu singkat. Bagaimana mungkin dimaklumi seorang muslim yang menjalani hidupnya dengan memikirkan banyak hal yang tak penting, namun tidak mau mempergunakan sedikit waktunya untuk memahami makna-makna itu di mana ia merupakan kunci bagi kehidupan dan kebahagiaan abadinya. Bahkan bagaimana mungkin ia bisa dikatakan sebagai muslim dan bagaimana ia akan disebut sebagai orang berakal? Logiskah jika lafal yang merupakan tempat penyimpanan sumber cahaya tersebut rusak lantaran sikap lambat orang-orang malas itu?

    Selanjutnya, ketika seorang mukmin, yang berbicara dengan bahasa manapun, mengucap “Sübhanallah” ia sadar bahwa dirinya sedang menyucikan Tuhan. Tidakkah ini sudah cukup?! Namun bila ia memfokuskan perhatian pada makna semata lewat bahasanya sendiri, ia hanya belajar sesuai dengan pemikiran dan akalnya, di mana hal itu mengambil bagiannya dan mendapat pemahaman satu kali. Namun jika ia mengulang-ulang kalimat penuh berkah itu lebih dari seratus kali, maka di samping pemahaman logis tersebut, makna global yang masuk ke dalam lafal dan bercampur di dalamnya melahirkan cahaya dan limpahan karunia yang sangat banyak. Terutama, karena lafal berbahasa Arab itu memiliki kedudukan penting, suci, dan bercahaya di mana ia merupakan kalam ilahi.

    Ringkasnya, lafal mana pun tidak mungkin bisa menggantikan kedudukan lafal al-Qur’an tersebut di mana ia merupakan sumber ajaran agama yang fundamental. Sama sekali tidak ada lafal lain yang bisa menggantikan posisinya. Tidak ada yang bisa menunaikan tujuannya karena kedudukannya yang suci, tinggi, dan abadi, meskipun mungkin untuk sementara waktu bisa menunaikan sebagian kecil darinya. Adapun lafal-lafal suci yang tidak termasuk pokok ajaran, juga tidak perlu diganti.

    Sebab, kebutuhan terhadapnya terpenuhi dengan tekun dalam memberikan nasihat, bimbingan, dan wejangan.

    Kesimpulan: Integralitas dan keluasan bahasa Arab yang fasih, serta penjelasan lafal al-Qur’an yang merupakan mukjizat menghalangi upaya proses penerjemahan lafal yang ada. Karena itu, ia sama sekali tidak mungkin diterjemahkan. Bahkan ia mustahil. Siapa yang masih ragu tentang hal ini bisa merujuk kepada “Kalimat Kedua Puluh Lima” yang berbicara tentang mukjizat al-Qur’an agar ia bisa melihat kedudukan ayat al-Qur’an lewat kemukjizatannya, cabang-cabangnya, integralitasnya, keindahannya, dan maknanya yang mulia. Ini tidak bisa didapat pada bentuk terjemahan yang maknanya ringkas, bahkan cacat dan tidak sempurna.

    Persoalan Kesembilan

    (Persoalan Penting dan Khusus yang Menyingkap Salah Satu Rahasia Kewalian)

    Kalangan haq dan istikamah yang disebut dengan ahlu sunnah wal jamaah di mana mereka yang mewakili kelompok mayoritas umat Islam telah menjaga sejumlah hakikat al-Qur’an dan iman dalam wilayah istikamah dengan sikap mereka yang mengikuti seluruh sunnah yang mulia, tanpa pengurangan atau penambahan. Dari kelompok inilah kemudian bermunculan sebagian besar wali yang salih. Namun tampak wali lain di jalan yang berbeda dengan prinsip-prinsip ahlu sunnah wal jamaah, dan di luar sebagian ketentuannya. Karena itu, orang-orang yang mencermati keberadaan para wali tersebut terbagi dalam dua kelompok:

    Pertama, kelompok yang mengingkari kewalian dan kesalehan mereka. Hal itu karena mereka meniti jalan yang berbeda dengan prinsip ahlu sunnah wal jamaah. Bahkan, kelompok ini melakukan pengingkaran yang sangat jauh dengan mengafirkan sebagian mereka.

    Kedua, kelompok yang mengikuti dan mengakui kewalian mereka. Karena itu, mereka berkata, “kebenaran tidak hanya terbatas pada jalan ahlu sunnah wal jamaah.” Dengan pernyataan ini, mereka membentuk satu kelompok baru dari ahli bid’ah dan tergelincir dalam kesesatan. Mereka lupa bahwa orang yang mendapat petunjuk untuk dirinya, tidak selalu bisa memberi petunjuk kepada yang lainnya. Para syekh mereka bisa dimaklumi ketika melakukan kesalahan karena mereka termasuk dalam kalangan yang tenggelam dalam kecintaan kepada Allah (majdzûb), namun tidak dibenarkan mengikuti mereka.

    Terdapat kelompok ketiga yang meniti jalan pertengahan. Kelompok ini tidak mengingkari kewalian dan kesalehan mereka. Akan tetapi, mereka tidak menerima jalan dan manhaj para wali tersebut. Menurut mereka, sejumlah ucapan wali yang bertentangan dengan prinsip syariat bisa bersumber dari dominasi kondisi spiritual sehingga mereka melakukan kekeliruan. Atau, ia hanya syathahât (ungkapan seorang sufi dalam kondisi dimabuk cinta) yang menyerupai hal mutasyâbihât yang makna dan maksudnya tidak dipahami.

    Sangat disayangkan kelompok pertama, terutama ulama ahli zahir, mengingkari kewalian banyak wali besar dengan niat untuk memelihara manhaj ahlu sunnah. Bahkan kemudian mereka terpaksa memvonis mereka sesat. Sementara kelompok lain yang mendukung para wali tadi meninggalkan jalan kebenaran dan masuk ke dalam bid’ah, bahkan sebagian mereka jatuh dalam kesesatan.

    Hal itu karena sikap baik sangka mereka yang berlebihan terhadap para syekh mereka. Atas dasar itu, terdapat satu kondisi yang membuatku sering berpikir. Yaitu: Aku telah berdoa kepada Allah agar sebagian kaum yang sesat dibinasakan. Akan tetapi, kekuatan maknawi yang besar menahan doaku atas mereka. Ia menolak doa tersebut. Ia mencegahku melakukan hal semacam itu.

    Kemudian aku melihat bagaimana sebagian tokoh sesat itu sangat semangat melakukan kebatilan mereka dan terus menyelisihi kebenaran. Dengan kekuatan maknawi, mereka menyeret banyak orang di belakang mereka ke lembah kebinasaan dengan sangat mudah. Mereka seakan mendapat restu dalam melakukan hal itu; bukan dengan paksaan semata. Bahkan, sebagian kaum mukmin ikut dan tertipu dengan mereka karena kondisi mereka yang memiliki sisi kewalian. Maka, sebagian kaum mukmin bersikap toleran kepada mereka dan tidak melihat mereka berada dalam kerusakan yang besar.

    Ketika merasakan dua rahasia di atas, aku diselimuti rasa takut. Akupun berkata, “Subhanallah!, mungkinkah ada kewalian yang berada di luar jalan kebenaran? Mungkinkah ahli hakikat dan wali loyal dengan aliran sesat?Lalu di salah satu hari yang diberkahi di antara hari-hari Arafah, aku membaca surah al-Ikhlas seratus kali. Aku mengulangnya berkali-kali mengikuti tradisi keislaman yang dianggap baik. Ketika itu, hakikat berikut serta jawaban dari sebuah persoalan penting masuk ke dalam kalbuku dari rahmat ilahi lewat keberkahan bacaan Qur’an tersebut:

    Hakikat yang dimaksud adalah bahwa sebagian para wali meskipun terlihat memiliki kearifan dan petunjuk, serta memiliki pertimbangan akal yang rasional namun mereka majdzûb (ekstase).Mereka seperti Jibali Baba yang kisahnya terdapat di masa Sultan Muhammad al-Fatih; sebuah kisah terkenal yang mengandung pelajaran.(*[16])

    Sebagian wali lain, meskipun mereka berada dalam wilayah rasional, sadar, dan mendapat petunjuk, namun kadangkala mereka berada dalam kondisi di luar nalar dan tidak rasional.

    Sebagian dari kelompok ini merupakan kalangan yang rancu. Yakni, persoalannya menjadi kabur bagi mereka sehingga tidak bisa membedakan. Persoalan tertentu yang mereka lihat di saat ekstase (tidak sadar) mereka te- rapkan pada kondisi sadar. Akibatnya, mereka melakukan kekeliruan tanpa sadar kalau mereka keliru.

    Adapun kalangan majdzûb, sebagian dari mereka mendapat penjagaan di sisi Allah di mana mereka tidak tersesat, namun sebagian lain tidak mendapat penjagaan.

    Barangkali mereka berada dalam lingkungan ahli bid’ah dan sesat. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan mereka berada dalam barisan orang-orang kafir.

    Begitulah. Karena mereka majdzûb, entah bersifat temporer atau permanen, mereka seperti orang gila yang baik dan diberkahi. Artinya, hukum tidak bisa diterapkan kepada mereka. Karena gila, mereka bebas tidak mendapat beban taklif. Karena tidak mendapat taklif, mereka tidak mendapat hukuman atas tindakan mereka. Meskipun kewalian mereka yang bersifat majdzub itu terlindungi, mereka loyal kepada kalangan ahli bid’ah dan sesat sehingga mengembangkan cara-cara kalangan ahli bid’ah tersebut sampai pada tingkat di mana mereka menjadi sebab buruk bagi masuknya sebagian mukmin dan ahlul haq kepada kehidupan ahli bid’ah tadi.

    Persoalan Kesepuluh

    [Persoalan ini ditulis karena permintaan sejumlah sahabat untuk membuat sebuah prinsip bagi para pengunjung yang ingin menemuiku.]

    Perlu diketahui oleh semua bahwa di antara yang mengunjungi kami, ada yang datang untuk urusan dunia. Hanya saja pintu tersebut tertutup. Ada pula yang datang untuk urusan akhirat. Terkait dengan itu terdapat dua pintu: pertama, seseorang yang menganggap diriku sebagai orang yang diberkahi dan mempunya maqam di sisi Allah, karena itu ia datang. Pintu ini juga tertutup. Pasalnya, aku tidak ujub dengan diriku dan tidak senang dengan orang yang kagum padaku. Alhamdulillah aku tidak dijadikan orang yang mengagumi diri sendiri. Adapun yang kedua, seseorang yang datang padaku karena aku sebagai pelayan dan penjaja al-Qur’an sekaligus sebagai penyeru kepadanya. Selamat datang kuucapkan bagi yang datang kepada kami lewat pintu ini.

    Mereka ini juga terdiri dari tiga jenis. Ada yang merupakan sahabat, saudara, dan ada yang merupakan murid.

    Ciri dan syarat sahabat adalah memberikan dukungan yang serius atas pengabdian kami dalam menyebarkan cahaya al-Qur’an (Risalah Nur); tidak condong kepada kebatilan, bid’ah, dan kesesatan; serta berusaha untuk memberi manfaat kepada dirinya sendiri.

    Ciri dan syarat saudara adalah mengerahkan upaya yang sungguh-sungguh untuk menyebarkan Risalah Nur, serta ia menunaikan salat lima waktu dan menghindari tujuh dosa besar.

    Ciri dan syarat murid adalah menganggap Risalah Nur seola olah karya tulisnya sendiri; menganggap secara khusus diperun- tukkan baginya sehingga membelanya seolah-olah miliknya sendiri; serta menganggap penyebaran dan pengabdian terhadap Risalah Nur merupakan tugas hidup yang paling mulia.

    Tiga tingkatan tersebut terkait dengan tiga sisi pribadiku. Sahabat terkait dengan diri pribadiku. Saudara terpaut dengan so-sok pribadiku sebagai hamba, yakni sosok yang menunaikan tugas ubudiyah kepada Allah. Murid terkait dengan diriku dilihat dari keberadaanku sebagai penyeru dan penjaja sekaligus sebagai pembimbing kepada al-Qur’an.

    Relasi semacam ini melahirkan tiga buah:

    Pertama, ia mengambil permata al-Qur’an sebagai pelajaran dariku atau dari Risalah Nur yang merupakan penyeru kepada al- Qur’an meski hanya satu pelajaran.

    Kedua, ia ikut mendapatkan ganjaran ukhrawi bersamaku. Ini dilihat dari sisi ubudiyah kepada Allah.

    Ketiga, kita sama-sama mengharap rahmat ilahi di mana hati ini terpaut dan saling mendukung dalam khidmah al-Qur’an sekaligus mengharap taufik dan hidayah dari-Nya.

    Jika ia sebagai murid, ia hadir pada setiap pagi bersamaku dengan namanya, dan kadangkala dengan khayalannya.

    Jika ia sebagai saudara, ia hadir pada sejumlah momen bersamaku dalam doaku dengan namanya dan gambarannya sehingga ia ikut mendapatkan pahala dan doa. Kemudian ia tergabung bersama seluruh saudara yang lain, lalu kuserahkan ia kepada rahmat ilahi. Sebab, ketika dalam doa aku mengucap “Ikhwati wa ikhwâni (saudara-saudariku),” ia termasuk dari mereka. Meski aku pribadi tidak mengenalnya, rahmat ilahi lebih mengetahui dan lebih melihat.

    Jika ia sebagai sahabat, ia termasuk dalam doaku dengan kedudukannya sebagai saudara secara umum selama ia menunaikan kewajiban dan menjauhi dosa besar.

    Aku juga berharap dari ketiga tingkatan di atas agar memasukkanku sebagai bagian dari doa dan pahala mereka.

    اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى مَن۟ قَالَ «اَل۟مُؤ۟مِنُ لِل۟مُؤ۟مِنِ كَال۟بُن۟يَانِ ال۟مَر۟صُوصِ يَشُدُّ بَع۟ضُهُ بَع۟ضًا» وَعَلٰى اٰلِهٖ وَصَح۟بِهٖ وَسَلِّم۟

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ

    اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ الَّذٖى هَدٰينَا لِهٰذَا وَمَا كُنَّا لِنَه۟تَدِىَ لَو۟لَٓا اَن۟ هَدٰينَا اللّٰهُ لَقَد۟ جَٓاءَت۟ رُسُلُ رَبِّنَا بِال۟حَقِّ

    اَللّٰهُمَّ يَا مَن۟ اَجَابَ نُوحًا فٖى قَو۟مِهٖ وَ يَا مَن۟ نَصَرَ اِب۟رَاهٖيمَ عَلٰى اَع۟دَائِهٖ

    وَ يَا مَن۟ اَر۟جَعَ يُوسُفَ اِلٰى يَع۟قُوبَ وَ يَا مَن۟ كَشَفَ الضُّرَّ عَن۟ اَيُّوبَ

    Ya Allah, Dzat Yang Mengabulkan doa Nuh dalam dakwanya; Yang memenangkan Ibrahim atas musuhnya; Yang mengembalikan Yusuf ke Ya’qub; Yang menyembuhkan penyakit Ayyub; Yang mengabulkan doa Zakariya; dan Yang mengampuni Yunus ibn Matta. Dengan rahasia pemilik doa-doa yang mustajab tersebut, kami memohon:Lindungi aku dan penyebar risalah ini berikut teman-teman mereka dari kejahatan setan golongan manusia dan jin; beri kami kemenangan atas musuh kami; jangan serahkan kami kepada diri kami; lapangkan dada kami dan dada mereka; sembuhkan penyakit hati kami dan hati mereka. Amin, amin, amin!


    SURAT KEDUA PULUH LIMA ⇐ | Al-Maktûbât | ⇒ SURAT KEDUA PULUH TUJUH

    1. *Lihat: as-Sarkhasi dalam al-Mabsûth 11/8; al-Kasâni dalam Badâ-i’ ash-Shanâ-i’6/202; dan al-Marghani dalam al-Hadâyâ 2/177.
    2. *Lihat: ad-Darimi dalam al-Mukaddimah 57; dan al-Bayhaqi dalam syu’ab al- Iman 2/398.
    3. *Ahmad ibn Hambal dalam ar-Radd ala az-Zindiqah wal Jahamiyah 36; Abu Naim dalam Hilyatul Awliya 6/210; dan ath-Thabari dalam Jami al-Bayan 6/30.
    4. *Yaitu mengumpulkan semua sifat yang dikira merupakan alasan atau sebab dari sebuah hukum. Lalu satu persatu dibatalkan kecuali satu di antaranya di mana ia sudah jelas merupakan sebabnya.
    5. *Ungkapan ini terpaksa dipergunakan sebagai sebuah asumsi yang mustahil terjadi dan dengan perasaan takut. Hal itu tidak lain untuk memperlihatkan kemustahilan pandangan kaum yang sesat dengan merujuk pada keterangan al-Qur’an tentang keku- furan orang kafir dan ungkapan kotor mereka yang terhijab―Penulis.
    6. *Maksudnya adalah sejumlah urusan yang terkait dengan politik.
    7. *Yaitu firman Allah yang berbunyi:Wahai orang-orang yang beriman, siapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang dicintai oleh-Nya ....
    8. *Thomas Woodrow Wilson (1856-1924 M) adalah Presiden Amerika Serikat yang ke-28 (1913-1921 M). Ia berasal dari partai Demokrat dan dikenal sebagai politisi yang religius (Wikipedia)―Peny.
    9. *David Lloyd George (1863-1945 M) adalah Perdana Menteri Britania Raya, Ing- gris, pada tahun 1916-1922 M (Wikipedia)―Peny.
    10. *Eleftherios Kyriakou Venizelos (1964-1936 M) adalah Perdana Menteri Yunani, yang menjabat dari tahun 1910-1920 dan 1928-1932 M (Wikipedia)―Peny.
    11. *Lihat: ath-Thabari, Jâmi al-Bayân 1/63; al-Qurthubi, al-Jâmi li Ahkâm al-Qur’an 1/138; dan al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl 1/40.
    12. *HR. ad-Daylami, al-Musnad 1/242; Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf 6/240; dan Ibnu al-Mubârak, az-Zuhd 96.
    13. *Lihat: al-Futûhât al-Makkiyyah, juz I hal 241 dalam bab ke-42.
    14. *Lihat: al-Asfahani, al-Aghânî 4/39; al-Qalqasyandi, Shubhul A’sya 12/413; dan al-Absyihi, al-Mustathraf 1/61, 2/280.
    15. *HR. at-Tirmidzi dalam Nawâdir al-Ushûl 2/204; Ahmad ibn Hambal dalam al-Musnad 2/359; dan Abdu ibn Humaid dalam al-Musnad 1/417.
    16. *Dikisahkan bahwa seorang wali salih yang disebut Jibali Baba tinggal di Kon- stantinopel. Ia sangat mencintai penduduknya yang beragama Nasrani. Mereka punmencintainya, terutama anak-anak mereka. Ia sangat mengasihi mereka. Ketika Sultan Muhammad al-Fatih mengepung kota tersebut, sang wali salih tersebut berdoa kepada Allah agar peluru Sultan tidak mengenai sasaran serta agar anak-anak kecil diselamatkan. Ternyata benar, kota tersebut tidak segera bisa dikuasai. Sultan meminta arahan dari gurunya, Ak Syamsuddin; seorang alim yang mengamalkan ilmunya dan wali yang salih. Ak Syamsuddin pun berdoa untuk mendapat kemenangan. Sementara Jibali Baba berdoa sebaliknya. Hal itu membuat Ak Syamsuddin berdoa agar Jibali Baba binasa sehingga kemenangan segera terwujud. Tidak lama kemudian, Jibali Baba wafat dan Konstanstinopel berhasil ditaklukkan.