Otuz Birinci Söz/id: Revizyonlar arasındaki fark
("Sebagaimana dapat dipahami dari peristiwa mi’raj bahwa manusia merupakan salah satu buah alam yang berharga dan makhluk yang mulia sekaligus dicinta oleh Sang Pencipta. Buah yang baik ini dibawa oleh Rasul x lewat mi’raj sebagai hadiah bagi jin dan manu- sia. Buah tersebut mengangkat derajat manusia dari keberadaannya sebagai makhluk yang kecil dan lemah, serta memiliki perasaan tak berdaya menuju kedudukan yang tinggi dan mulia. Bahkan, menuju kedud..." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) |
(" Kita katakan padanya, “Robeklah pakaian ateismu dan buanglah jauh-jauh! Simaklah dengan pendengaran orang mukmin dan lihatlah dengan pandangan orang muslim. Aku akan menjelaskan kepadamu nilai dari sejumlah buah dalam dua perumpamaan berikut ini”:" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) |
||
367. satır: | 367. satır: | ||
Sebagaimana dapat dipahami dari peristiwa mi’raj bahwa manusia merupakan salah satu buah alam yang berharga dan makhluk yang mulia sekaligus dicinta oleh Sang Pencipta. Buah yang baik ini dibawa oleh Rasul x lewat mi’raj sebagai hadiah bagi jin dan manu- sia. Buah tersebut mengangkat derajat manusia dari keberadaannya sebagai makhluk yang kecil dan lemah, serta memiliki perasaan tak berdaya menuju kedudukan yang tinggi dan mulia. Bahkan, menuju kedudukan yang paling tinggi melebihi seluruh makhluk. Buah ini melahirkan rasa gembira, suka cita, dan bahagia kepada manusia yang sulit untuk dilukiskan. | Sebagaimana dapat dipahami dari peristiwa mi’raj bahwa manusia merupakan salah satu buah alam yang berharga dan makhluk yang mulia sekaligus dicinta oleh Sang Pencipta. Buah yang baik ini dibawa oleh Rasul x lewat mi’raj sebagai hadiah bagi jin dan manu- sia. Buah tersebut mengangkat derajat manusia dari keberadaannya sebagai makhluk yang kecil dan lemah, serta memiliki perasaan tak berdaya menuju kedudukan yang tinggi dan mulia. Bahkan, menuju kedudukan yang paling tinggi melebihi seluruh makhluk. Buah ini melahirkan rasa gembira, suka cita, dan bahagia kepada manusia yang sulit untuk dilukiskan. | ||
Pasalnya, jika ada yang berkata kepada seorang tentara, “Engkau menjadi panglima,” bayangkan betapa besar kegembiraan dan suka cita yang dirasakan? Tentu sulit untuk diukur. Nah, manusia yang me- rupakan ciptaan yang lemah, makhluk hidup yang berpikir, fana dan hina di hadapan terpaan perpisahan. Andaikan ada yang berkata ke- padanya, “Engkau akan masuk ke dalam surga yang kekal, menikmati rahmat Tuhan yang luas dan abadi, bersenang-senang di kerajaan dan alam malakut-Nya yang seluas langit dan bumi, menikmatinya dengan seluruh keinginan hati, secepat khayalan, seluas jiwa dan jangkauan pikiran. Lebih dari itu, engkau akan dapat melihat keindahan-Nya da- lam kebahagiaan abadi.” | |||
Setiap manusia yang nilai-nilai kemanusiaannya tidak jatuh da- pat memahami sejauh mana kegembiraan dan suka cita yang dirasakan oleh orang yang mendapat informasi semacam itu. | |||
Sekarang, mari kita beralih kepada sosok yang berada dalam posisi pendengar. | |||
Kita katakan padanya, “Robeklah pakaian ateismu dan buanglah jauh-jauh! Simaklah dengan pendengaran orang mukmin dan lihatlah dengan pandangan orang muslim. Aku akan menjelaskan kepadamu nilai dari sejumlah buah dalam dua perumpamaan berikut ini”: | |||
<div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr"> | <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr"> |
17.16, 27 Kasım 2024 tarihindeki hâli
(Mi’raj Nabi)
Catatan: Persoalan mi’raj merupakan buah dari prinsip dan pilar-pilar iman. Ia adalah cahaya yang sinarnya berasal dari cahaya rukun iman. Tentu saja, ia tidak bisa dibuktikan kepada kaum ateis yang menging- kari rukun iman. Bahkan, ia tidak perlu dibahas kepada orang yang tidak beriman kepada Allah dan yang tidak mempercayai Rasul yang mulia x, atau yang mengingkari malaikat dan keberadaan sejumlah langit, sebelum membuktikan rukun iman kepada mereka terlebih da- hulu. Karena itu, sasaran pembicaraan kami ini tertuju kepada mukmin yang sedang dilanda keragu-raguan dan ilusi sehingga menganggap peristiwa mi’raj tidak masuk akal. Kami akan menjelaskan untuknya sesuatu yang berguna dan bisa menyembuhkannya dengan izin Allah. Namun, di sejumlah bagian kami tetap memberikan perhatian kepada ateis yang berposisi sebagai pendengar, serta kami juga berikan pen- jelasan yang berguna baginya. Kilau dari hakikat mi’raj telah disebutkan dalam sejumlah risalah yang lain. Maka, kami memohon pertolongan Allah—disertai desakan dari saudara saudaraku—untuk mengumpulkan sejumlah kilau yang berserak tersebut dan menyatukannya dalam hakikat aslinya agar semua itu menjadi cermin yang memantulkan secara sekaligus ber- bagai kesempurnaan estetika Rasul x.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
“Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”(QS. al-Isrâ [17]: 1).“Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, yang mempunyai akal yang cerdas. (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli ketika Dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian Dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. Maka jadilah Dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi. Lalu Dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Dia wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka, apakah kaum (musyrik Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah ia lihat? Sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain. (yaitu) di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya Dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhan yang paling besar. (QS. an-Najm [53] : 4-18.)
Dari perbendaharaan ayat yang mulia di atas, kami akan menyebutkan dua petunjuk saja.
Keduanya merujuk kepada rambu reto- ris (balagah) yang terdapat dalam kata ganti اِنَّهُ “Sesungguhnya Dia”. Hal itu lantaran keduanya terkait dengan persoalan kita saat ini seperti yang telah kami jelaskan dalam risalah “Mukjizat al-Qur’an”.Al-Qur’an menutup ayat pertama dengan ungkapan:“Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” Hal itu setelah Dia menyebutkan isrâ (peristiwa diperjalankannya) Rasulullah x dari awal mi’raj—yakni dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha—dan akhir perjalanan beliau yang diterangkan oleh surah an-Najm.Kata ganti “Sesungguhnya Dia” bisa mengacu kepada Allah, atau mengacu kepada Rasulullah x.
Apabila mengacu kepada Rasul x, maka hukum retorika dan kesesuaian konteksnya menunjukkan bahwa perjalanan parsial ini termasuk di antara perjalanan umum dan mi’raj universal di mana beliau mendengar dan menyaksikan semua tanda kekuasaan Tuhan serta kreasi ilahi yang menakjubkan yang dijumpai oleh penglihatan dan pendengarannya pada saat naik dalam tingkatan nama-nama Tu- han yang komprehensif sampai ke Sidratul Muntaha hingga berjarak seukuran dua ujung busur (Qâba Qausain) atau lebih dekat lagi. Ini menunjukkan bahwa wisata parsial di atas (Isrâ) merupakan kun- ci bagi wisata universal yang mencakup berbagai kreasi ilahi yang menakjubkan.(*[1])
Apabila kata ganti tersebut mengacu kepada Allah, maka mak- nanya adalah, “Dia mengundang hamba-Nya untuk menghadap kepa- da-Nya serta berada di hadapannya untuk menyerahkan kepadanya sebuah tugas penting. Karena itu, Dia perjalankan beliau dari Masjid al-Haram menuju Masjid al-Aqsha yang merupakan tempat berkumpul para nabi. Setelah Dia mempertemukan Nabi x dengan mereka sekaligus menampakkannya sebagai pewaris mutlak bagi prinsip agama seluruh nabi, Dia memperjalankannya dalam satu perjalanan di dalam kerajaan-Nya dan wisata di dalam alam malakut-Nya sampai dengan Sidratul Muntaha hingga berjarak seukuran dua ujung busur atau lebih dekat lagi.
Demikianlah, wisata dan perjalanan tersebut, meskipun merupa- kan mi’raj parsial dan yang dimi’rajkan adalah seorang hamba, namun hamba tersebut membawa amanah agung yang terkait dengan seluruh alam. Bersamanya terdapat cahaya terang yang mengubah corak alam semesta. Di samping itu, padanya terdapat kunci yang bisa membuka pintu kebahagiaan abadi. Karena itulah, Allah menyifati diri-Nya dengan berkata: “Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.” Hal ini untuk menerangkan bahwa pada amanah, cahaya, dan kunci tersebut terdapat sejumlah hikmah mulia yang mencakup seluruh entitas, me- liputi semua makhluk, serta menjangkau alam seluruhnya.
Demikianlah, rahasia agung ini memiliki empat landasan:
Pertama: Apa rahasia keharusan mi’raj?
Kedua: Apa hakikat mi’raj?
Ketiga: Apa hikmah mi’raj?
Keempat: Apa buah dan manfaat mi’raj?
LANDASAN PERTAMA
Rahasia Keharusan Mi’raj
Pertanyaan: Allah—yang tidak memiliki fisik dan tidak dibatasi oleh ru- ang—lebih dekat kepada sesuatu daripada segala sesuatu sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:“Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qâf [50]: 16) sampai setiap wali Allah yang saleh bisa menghadap dan bermunajat dengan Tuhan dalam kalbunya. Nah, mengapa setiap wali bisa bermunajat kepada Tuhan dalam kalbunya, sementara nabi Mu- hammad x tidak bisa bermunajat seperti itu kecuali setelah melakukan perjalanan jauh dan wisata yang panjang lewat mi’raj?
Jawaban: Kami ingin mendekatkan rahasia yang sulit dipahami ini kepada pemahaman kita dengan menyebutkan dua perumpamaan beri- kut. Perhatikan baik-baik. Keduanya telah disebutkan dalam “Kalimat Kedua Belas” saat menjelaskan rahasia kemukjizatan al-Qur’an dan hikmah mi’raj.
Perumpamaan Pertama Raja memiliki dua bentuk komunikasi dan tatap muka, serta dua macam pembicaraan dan penghormatan.
Pertama, komunikasi khusus lewat sarana telepon pribadi dengan salah seorang rakyatnya dari kalangan umum terkait dengan persoalan parsial yang berhubungan dengan kebutuhan pribadi orang tersebut.
Kedua, komunikasi atas nama kerajaan agung dan atas nama khilafah yang mulia dalam kedudukannya sebagai penguasa terkait dengan persoalan penting dan mulia di mana ia memperlihatkan kea- gungannya dan menampakkan kemuliaannya. Dari sana raja ingin agar perintahnya tersebar ke seluruh penjuru. Komunikasi ini terjadi dengan salah seorang utusannya yang memiliki hubungan dengan persoalan tersebut, atau dengan salah seorang petingginya yang memiliki kaitan dengan perintah itu.
Demikianlah, seperti perumpamaan di atas—Allah memiliki perumpamaan yang paling mulia—Pencipta alam, Raja dari seluruh kerajaan dan alam malakut, serta Penguasa azali dan abadi memiliki dua bentuk komunikasi dan penghormatan:Pertama, yang bersifat parsial dan khusus. Kedua, yang bersifat universal dan umum. Mi’raj Nabi merupakan manifestasi istimewa dari tingkat kewalian Muhammad x. Ia tampak dalam bentuk yang komprehensif mengungguli semua bentuk kewalian yang ada serta demikian tinggi berada di atas yang lainnya. Beliau mendapatkan kehormatan untuk bisa berkomunikasi langsung dan bercakap-cakap dengan Allah se- bagai Tuhan semesta alam dengan kedudukan-Nya sebagai Pencipta seluruh entitas.
Perumpamaan Kedua Seseorang memegang cermin yang menghadap ke matahari. Sesuai dengan kapasitasnya, cermin tersebut menampung cahaya dan sinar yang mengandung tujuh warna matahari. Maka, orang tersebut bisa memiliki hubungan dengan matahari sesuai dengan kapasitas cermin tadi. Ia bisa mengambil manfaat darinya ketika cermin itu dia- rahkan ke kamarnya yang gelap dan ruangan kecilnya yang tertutup. Hanya saja, cahaya yang ia dapatkan terbatas pada kadar kemampuan cermin dalam memantulkan sinar matahari, tidak seperti kadar nilai matahari itu sendiri.Sementara, orang lain yang meninggalkan cermin dengan langsung menghadap matahari. Ia menyaksikan kebesaran matahari tersebut serta memahami keagungannya. Kemudian ia naik ke atas gunung yang sangat tinggi serta melihat kilau kerajaannya yang luas dan megah. Ia menghadap kepadanya secara langsung tanpa hijab. Setelah itu, ia kembali dan membuka sejumlah jendela yang luas pada rumahnya yang kecil atau pada ruangannya yang tertutup di mana jendela itu menghadap ke matahari yang berada di langit yang tinggi. Dari sana, terjalinlah sebuah kontak dengan cahaya matahari yang bersifat permanen dan hakiki.Demikianlah, orang ini bisa melakukan tatap muka dan kontak yang menyenangkan yang dihiasi dengan rasa syukur. Ia berkata kepa- da matahari:“Wahai matahari yang bersemayam di atas arasy keindahan alam! Wahai penghias dan kembang langit! Wahai yang melimpahkan cahaya dan sinar ke muka bumi serta membuat bunga tersenyum dan riang! Engkau telah melimpahkan kehangatan dan cahaya ke dalam rumah dan kediamanku yang kecil sebagaimana engkau telah memberikan cahaya dan kehangatan ke seluruh bumi.”Adapun pemilik cermin sebelumnya, ia tidak bisa melakukan kontak dan berkomunikasi dengan matahari seperti di atas lantaran pengaruh cahaya mataharinya sangat terbatas seukuran cermin dan sesuai dengan kemampuan cermin tersebut dalam menerima cahaya.
Demikianlah, manifestasi Dzat Allah Yang Mahaesa dan tempat bersandar (Shamad)—dimana Dia adalah Cahaya langit dan bumi serta Penguasa azali dan abadi—tampak dalam substansi manusia dalam dua bentuknya yang berisi berbagai tingkatan tak terhingga.
Bentuk pertama, penampakan di cermin kalbu lewat relasi dan afiliasi Rabbani dengan-Nya. Setiap manusia memiliki bagian dari cahaya azali tersebut. Ia bisa berkomunikasi dan melakukan kontak dengan-Nya, baik secara parsial ataupun universal, sesuai dengan ke- siapannya serta manifestasi sifat dan nama-Nya. Hal itu terdapat da- lam perjalanannya ketika meniti sejumlah tingkatan di atas. Derajat dari kewalian yang berjalan dalam bayangan dan tingkatan nama-na- ma dan sifat-Nya bersumber dari bagian ini.
Bentuk kedua, penampakan Allah pada individu paling mulia dari jenis manusia dalam wujud Dzat-Nya serta dalam tingkatan na- ma-Nya yang paling agung lantaran sosok manusia tersebut mampu memperlihatkan manifestasi nama-nama-Nya yang mulia yang tam- pak di seluruh alam secara sekaligus pada cermin ruhnya. Pasalnya, ia merupakan buah pohon alam yang paling bersinar dan paling sempurna dilihat dari sifat dan kesiapannya. Penampakan dan manifestasi tersebut merupakan rahasia mi’raj Muhammad x di mana kewalian- nya merupakan titik tolak dari risalahnya.
Kewalian yang berjalan dalam bayangan, seperti orang pertama pada perumpamaan kedua. Sementara tidak ada bayangan dalam risalah atau kerasulan. Namun, ia langsung mengarah kepada keesaan Dzat-Nya, seperti orang kedua pada perumpamaan kedua. Adapun mi’raj, karena ia merupakan karamah terbesar dan tingkatan terting- gi dari kewalian Muhammad x, maka ia berubah menjadi tingkatan kerasulan.
Aspek batiniah mi’raj adalah kewalian. Pasalnya, ia naik dari makhluk menuju Khalik, Allah .
Sementara aspek lahiriah mi’raj adalah kerasulan di mana ia datang dari Khalik menuju makhluk. Jadi, kewalian adalah suatu bentuk perjalanan spiritual dalam menapaki tangga (tingkatan) “kedekatan hamba kepada Allah”. Ia membutuhkan waktu dan perlu melewati banyak tingkatan. Adapun kerasulan—yang merupakan cahaya terbesar—mengarah kepada ketersingkapan rahasia “kedekatan Allah kepada hamba” yang hanya membutuhkan waktu sekejap. Karena itu, dalam hadis Nabi x disebutkan bagaimana beliau kembali pada saat itu pula.
Sekarang kami arahkan pembicaraan kepada orang ateis yang berposisi sebagai pendengar:
Selama alam ini serupa dengan sebuah kerajaan yang sangat teratur; sebuah kota yang sangat rapi; dan sebuah istana yang sangat indah, sudah pasti ada penguasa, pemilik, dan pen- ciptanya.
Karena Pemilik yang Mahamulia, Penguasa yang Maha Sempur- na, dan Pencipta yang Mahaindah itu ada, serta terdapat sosok manu- sia yang memiliki pandangan komprehensif dan hubungan yang ber- sifat universal lewat indra dan perasaannya terhadap alam, kerajaan, dan istana tersebut, maka Sang Pencipta Yang Mahamulia itu pasti memiliki hubungan istimewa dan kuat dengan sosok yang memiliki pandangan komprehensif dan perasaan universal tadi. Sudah pasti Dia memiliki percakapan suci dan hubungan istimewa dengannya.
Karena Muhammad x telah memperlihatkan hubungan mulia tersebut—di antara orang yang diberi kehormatan atasnya sejak zaman Nabi Adam—dalam bentuk yang paling agung dan mulia lewat kesaksian jejak-jejaknya, yakni dengan kekuasaannya (pengaruhnya) atas separuh muka bumi dan seperlima umat manusia, serta dengan pencerahan dan perubahan corak alam yang dilakukannya, maka beliau merupakan sosok yang paling layak dan paling pantas mendapatkan kehormatan mi’raj yang merupakan tingkat hubungan yang paling agung.
LANDASAN KEDUA
Apa Hakikat Mi’raj?
Jawaban:Ia merupakan perjalanan atau suluk pribadi Muhammad x dalam menyusuri tingkatan kesempurnaan. Hal ini berarti bahwa tanda-tanda dan jejak rububiyah yang Allah perlihatkan dalam menata seluruh makhluk lewat beragam nama, serta keagungan rububiyah yang Dia perlihatkan lewat proses penciptaan dan pengaturan di langit setiap wilayah yang Dia hadirkan di mana setiap langit me- rupakan orbit agung bagi arasy rububiyah-Nya dan pusat kekuasaan uluhiyah-Nya, semua itu Allah perlihatkan satu persatu kepada hamba pilihan tersebut.Allah menaikkannya ke buraq dan menempuhkannya berbagai tingkatan yang ada secepat kilat dari satu wilayah ke wilayah yang lain, dari satu tempat ke tempat yang lain seperti titik tempat beredarnya bulan guna diperlihatkan kepada rububiyah ilahi yang terdapat di langit. Dia mempertemukan beliau dengan saudara-saudara- nya sesama nabi satu persatu pada kedudukan masing-masing di la- ngit sampai kemudian dinaikkan kepada kedudukan sejarak dua ujung busur. Beliau mendapat kehormatan untuk berbicara dan melihat-Nya dengan rahasia keesaan agar menjadi seorang hamba yang mengum- pulkan seluruh kesempurnaan manusia, meraih semua manifestasi ilahi, menyaksikan semua tingkatan alam, menyeru kekuasaan rububi- yah-Nya, serta menyampaikan segala hal yang diridai Tuhan dengan menyingkap misteri alam.
Şu yüksek hakikate iki temsil dürbünü ile bakılabilir.
Perumpamaan Pertama Seperti yang telah kami jelaskan dalam “Kalimat Kedua Puluh Empat” bahwa sebagaimana penguasa memiliki beragam gelar pada berbagai wilayah kekuasaannya, beragam sifat dalam berbagai tingkatan rakyatnya, serta beragam nama pada tingkatan kekuasaannya.
Misalnya dia memiliki nama “penguasa yang adil” dalam wilayah pengadilan dan gelar sultan pada wilayah pemerintahan, sementara ia bernama “panglima tertinggi” pada wilayah kemiliteran dan nama sebagai khalifah dalam wilayah agama. Demikianlah, ia memiliki se- jumlah nama dan gelar. Pada setiap wilayah kekuasaannya, ia memiliki kedudukan dan jabatan yang laksana tahta maknawi miliknya.Atas dasar itu, penguasa tunggal tersebut bisa memiliki seribu nama dan gelar dalam berbagai wilayah kekuasaan dan pada sejumlah tingkatan pemerintahan. Artinya, ia bisa memiliki seribu tahta yang saling berbaur antara yang satu dengan yang lain. Seakan-akan ia ada dan hadir pada setiap wilayah kekuasaannya lewat sosok mak- nawinya. Ia mengetahui apa yang terjadi di dalamnya lewat telepon pribadinya. Ia tampak dan ada pada setiap tingkatan lewat hukum, aturan, dan perwakilannya. Dari balik hijab, ia mengawasi dan menata semua tingkatan lewat hukum, pengetahuan, dan kekuatannya. Setiap wilayah memiliki pusat dan tempat yang khusus, di mana hukum dan tingkatannya berbeda-beda.
Penguasa semacam itu memperjalankan siapa yang ia kehen- daki untuk melakukan perjalanan panjang menyusuri semua wilayah kekuasaan seraya memperlihatkan padanya keagungan kekuasaannya pada setiap wilayah sekaligus menampakkan padanya sejumlah perin- tah-Nya yang bijaksana yang terkait dengan setiap wilayah. Kemudian penguasa memperjalankan orang tersebut dari satu wilayah ke wilayah yang lain dan dari satu tingkatan ke tingkatan yang lain hingga sam- pai ke hadapannya. Setelah itu, ia mengutusnya kepada umat manusia seraya menitipkan padanya perintah yang bersifat universal dan kom- prehensif terkait dengan semua wilayah yang ada.
Demikianlah, lewat perumpamaan di atas kita bisa mengatakan bahwa Tuhan Pemelihara semesta alam yang merupakan Penguasa azali dan abadi, dalam tingkatan rububiyah-Nya memiliki beragam sifat dan atribut. Namun, masing-masing sejalan dan serupa. Dalam wilayah uluhiyah-Nya Dia juga memiliki sejumlah alamat dan nama yang berbeda-beda namun saling menguatkan. Dalam prosedur-Nya yang agung Dia memiliki beragam manifestasi dan perwujudan, na- mun masing-masing saling menyerupai. Dalam wilayah tindakan kekuasaan-Nya Dia memiliki aneka gelar, namun satu dengan yang lain saling terpaut. Dalam manifestasi sifat-sifat-Nya Dia memiliki beragam tampilan suci, namun satu dengan yang lain saling mendukung.Dalam manifestasi perbuatan-Nya Dia memiliki beragam aksi, namun satu dengan yang lain saling menyempurnakan. Dalam kreasi dan ciptaan-Nya Dia memiliki rububiyah menakjubkan yang saling berbeda, namun satu dengan lainnya saling terkait.
Dengan rahasia agung tersebut, Allah menata alam sesuai pengaturan mencengangkan yang melahirkan rasa takjub. Pasalnya, dari atom—yang dianggap sebagai tingkatan makhluk terkecil—hingga langit, serta dari tingkatan langit yang pertama hingga arasy yang agung terdapat sejumlah langit yang berlapis-lapis. Setiap langit men- jadi atap alam yang lain serta berposisi sebagai arasy rububiyah dan pusat kekuasaan ilahi.Meski semua nama bisa terwujud dan semua gelar terjelma pada berbagai wilayah dan tingkatan yang ada dari aspek keesaan-Nya, na- mun sebagaimana gelar “penguasa yang adil” merupakan gelar yang dominan dan orisinal dalam wilayah pengadilan, sementara sejumlah gelar yang lain hanya mengikuti dan mengawasi perintahnya. Demikian pula salah satu nama dan gelar ilahi mendominasi pada setiap ting- katan makhluk dan pada setiap langitnya, sementara semua gelar yang lain berada di dalamnya.
Misalnya pada tingkatan langit, Nabi Isa yang mendapat- kan kehormatan dengan nama “al-Qadîr” berjumpa dengan Rasul x. Maka, Allah menjelma pada wilayah langit tersebut dengan gelar “al-Qadîr” (Yang Mahakuasa).Contoh yang lain, gelar “al-Mutakallim” (yang berbicara) yang didapat oleh Nabi Musa adalah gelar yang mendominasi wilayah langit yang merupakan kedudukan Nabi Musa.
Demikianlah, karena Rasulullah x mendapat bagian dari nama Allah Yang Mahaagung (Ismul A’zham) serta karena kenabiannya bersifat umum dan komprehensif, juga karena beliau mendapatkan seluruh manifestasi nama-Nya, maka beliau memiliki relasi dengan seluruh wilayah rububiyah.Karena itu, hakikat mi’raj yang beliau lakukan menuntut adanya pertemuan dengan para nabi yang merupakan pemilik kedudukan di berbagai wilayah tadi, serta melewati semua tingkatan yang ada.
Perumpamaan Kedua Gelar “panglima”, yang merupakan salah satu gelar penguasa, memiliki wujud dan tampilan pada setiap wilayah militer, mulai dari wilayah jenderal yang bersifat luas dan komprehensif hingga wilayah kopral yang merupakan wilayah parsial dan khusus. Misalnya, seorang tentara melihat profil kepemimpinan terbe- sar terdapat pada sosok kopral sehingga ia menghadap dan menerima perintah darinya. Sementara, kopral itu sendiri melihat kepemimpinan tersebut berada pada wilayah sersan, sehingga mengarah kepadanya. Kemudian ketika ia menjadi sersan, ia melihat profil kepemimpinan umum terdapat di wilayah letnan. Ia memiliki kursi khusus pada kedudukan tersebut. Demikianlah, gelar kepemimpinan agung itu terlihat pada setiap wilayah pemimpin, kelompok, dan pengawas sesuai dengan luas dan sempitnya wilayah yang ada.
Sekarang, apabila seorang panglima itu ingin menyerahkan se- buah tugas yang terkait dengan semua jenjang militer lewat seorang tentara serta ingin menaikkannya kepada kedudukan yang tinggi, di mana bisa dilihat dari semua wilayah sekaligus bisa menyaksikan semuanya sehingga seperti pengawas atasnya, maka sang panglima tentu akan memperjalankan tentara itu dalam keseluruhan wilayah, mulai dari jenjang kopral hingga berakhir kepada jenjang yang paling tinggi satu persatu. Hal itu agar ia bisa menyaksikan dan disaksikan darinya. Kemudian panglima menerima tentara tersebut di hadapan- nya, memberikan kehormatan untuk berkomunikasi dengannya, dan memuliakan dengan sejumlah tanda jasa dan perintahnya, lalu meng- utus kembali ke tempat asal dalam sekejap.
Dalam perumpamaan di atas ada satu hal yang harus kita perha- tikan. Yaitu, jika penguasa memiliki kemampuan spiritual dan maknawi di samping memiliki kekuatan fisik, tentu ia tidak akan mendelegasikan kepada orang-orang seperti jenderal, letnan, atau sersan. Namun ia akan hadir sendiri pada setiap tempat. Ia mengeluarkan perintah secara langsung dengan menyembunyikan diri di balik tirai dan di belakang sejumlah orang yang memiliki kedudukan tertentu. Seperti diriwayatkan bahwa para penguasa yang mencapai tingkat kewalian sempurna dapat melaksanakan perintah dalam banyak wilayah dalam wujud sejumlah orang.
Adapun hakikat yang bisa kita lihat lewat perspektif perumpamaan di atas adalah: karena tidak adanya ketidakberdayaan di dalamnya, maka perintah dan hukum datang secara langsung dari pemimpin umum kepada setiap wilayah. Hukum tersebut terlaksana lewat perintah, kehendak, dan kekuatannya.
Sehubungan dengan itu, maka pada setiap tingkatan makh- luk dan kelompok entitasmulai dari atom hingga planet, dan dari serangga hingga langit—yang di dalamnya berbagai perintah Pemimpin azali dan abadi serta segala urusan Penguasa langit dan bumi, yang memiliki perintah kun fayakûn dilaksanakan secara sempurna, pada setiap bagiannya wilayah rububiyah yang agung dan tingkatan kekuasaan yang mengendalikan menjadi terlihat lewat tingkatan yang berbeda-beda, besar atau kecil, parsial atau universal, di mana setiap bagiannya mengarah kepada yang lain.
Untuk memahami semua maksud ilahi yang luhur serta ber- bagai hasil yang mulia yang terdapat di alam lewat cara menyaksikan berbagai tugas ibadah semua tingkatan; untuk memahami sesuatu yang membuat Tuhan rida dengan melihat kekuasaan rububiyah-Nya yang mulia dan keagungan kendali-Nya yang mulia; dan untuk men- jadi seorang da`i yang menyerukan kekuasaan Allah ; harus ada perjalanan melewati sejumlah tingkatan di atas dan berbagai wilayah tersebut hingga masuk ke dalam arasy yang paling agung yang me- rupakan simbol wilayah Allah serta masuk ke dalam daerah sejarak “dua (ujung) busur”. Yakni, masuk ke dalam kedudukan antara wilayah “mungkin (makhluk) dan wilayah wajib (Allah)” yang diisyaratkan oleh kata Qâba Qausain (dua busur). Di sana beliau bertemu dengan Dzat Yang Mahaagung dan indah. Nah, perjalanan dan pertemuan itu- lah yang menjadi hakikat mi’raj.
Sebagaimana setiap manusia bisa berjalan dengan akalnya sece- pat khayalan, setiap wali bisa berkeliling dengan kalbunya secepat kilat, setiap malaikat bisa bepergian dengan fisiknya yang berupa cahaya se- cepat ruh dari arasy menuju bumi serta dari bumi menuju arasy, serta sebagaimana penduduk surga bisa naik secepat buraq dari mahsyar menuju surga dan ke tempat yang jaraknya lebih dari lima ratus tahun perjalanan, maka demikian pula dengan jasad Muhammad x yang merupakan wadah dari berbagai perangkatnya dan orbit dari berbagai tugas ruhnya yang tak terhingga. Jasad beliau menyertai ruhnya yang berupa cahaya, berkapasitas cahaya, lebih lembut daripada kalbu para wali, lebih ringan daripada ruh orang mati, lebih halus daripada jasad malaikat, serta lebih indah daripada fisiknya yang mulia dan badannya yang bercahaya. Jasad tersebut sudah pasti menyertai ruhnya untuk naik menuju arasy yang paling agung.
Sekarang, mari kita melihat si ateis yang berposisi sebagai pendengar.
Terlintas dalam benak bahwa orang ateis itu berkata dalam hatinya, “Aku tidak percaya kepada Allah dan tidak mengenal Rasul. Maka, bagaimana mungkin aku mempercayai peristiwa mi’raj?!”
Kita jelaskan padanya: Selama alam ini dan entitas ada serta di dalamya berbagai perbuatan dan penciptaan bisa disaksikan, sementara perbuatan yang teratur tidak mungkin terwujud tanpa ada pelaku, kitab yang penuh makna tidak mungkin ada tanpa ada penulis, ukiran indah tidak mungkin terwujud tanpa ada pengukir, maka sudah pasti ada pihak yang melakukan semua perbuatan yang penuh hikmah yang me- menuhi alam ini. Sudah pasti ada pengukir dan penulis bagi berbagai ukiran mengagumkan dan risalah penuh makna yang memenuhi per- mukaan bumi ini di mana ia terus terbaharui pada setiap musim.
Lalu, karena keberadaan dua penguasa pada satu persoalan akan merusak tatanannya, sementara terdapat satu tatanan yang sempurna mulai dari sayap lalat hingga bintang di langit, dengan demikian tentu penguasanya hanya satu. Pasalnya, kreasi dan hikmah yang terdapat pada segala sesuatu sangat indah dan rapi di mana Penciptanya pas- ti mahakuasa mutlak serta berkuasa dan mengetahui segala sesuatu. Andaikan Dia tidak satu, berarti ada banyak tuhan sebanyak jumlah entitas serta tentu setiap tuhan akan menjadi lawan dari tuhan yang lain. Dalam kondisi demikian, sudah dapat dipastikan bahwa keru- sakan akan terjadi.
Selanjutnya, karena berbagai lapisan entitas jauh lebih teratur dan lebih taat kepada perintah daripada sebuah pasukan yang rapi sebagaimana tampak secara jelas di mana setiap gerakan teratur dari bintang, matahari, bulan hingga bunga dan kembang memperlihatkan keteraturan yang sangat indah dan sempurna. Hal itu tampak pada tanda yang diberikan oleh Dzat Yang Mahakuasa dan azali, pakaian baru yang Dia pakaikan padanya, serta gerakan dan perbuatan yang Dia tentukan padanya di mana semuanya jauh mengungguli kerapi- an dan ketaatan yang ditunjukkan oleh sebuah pasukan. Karena itu, alam ini pasti memiliki Penguasa yang Mahabijak yang tersembunyi di balik tirai gaib di mana seluruh entitas menantikan perintah-Nya untuk segera dilaksanakan.
Selama Penguasa tersebut adalah Penguasa Yang Mahaagung le- wat kesaksian seluruh perbuatan-Nya yang penuh hikmah dan lewat berbagai jejak-Nya yang agung; selama Dia Tuhan Pemelihara Yang Maha Pengasih lewat berbagai karunia dan kebaikan-Nya yang ditam- pakkan; Selama Dia Pencipta Yang sangat mencintai kreasi-Nya lewat galeri kreasi yang Dia tampilkan; selama Dia Pencipta Yang Maha Bijak yang hendak menggugah rasa takjub makhluk dan apresiasi mereka lewat hiasan indah dan ciptaan menakjubkan yang Dia sebarkan dan lewat keindahan yang Dia buat dalam penciptaan alam dapat dipaha- mi bahwa Dia ingin memberitahukan kepada semua makhluk yang memiliki kesadaran tentang maksud dari berbagai hiasan itu berikut dari mana makhluk datang serta ke mana akan kembali, sudah pasti Sang Penguasa Yang Mahabijak dan Pencipta Yang Maha Mengetahui tersebut ingin memperlihatkan rububiyah-Nya.
Karena Dia ingin memperkenalkan diri serta ingin dicintai oleh makhluk berkesadaran, lewat jejak kelembutan dan kasih sayang yang Dia tampakkan serta lewat berbagai ciptaan indah yang Dia hamparkan, tentu Dia akan memberitahukan sesuatu yang Dia kehendaki dari mereka serta yang Dia ridai lewat perantaraan seorang penyampai yang amanah.Jika demikian, tentu Dia akan memproklamirkan rububiyah-Nya lewat makhluk berkesadaran yang Dia pilih. Dia akan memberinya ke- hormatan seraya memanggilnya untuk mendekat kepada-Nya serta menjadikannya sebagai sosok perantara yang memberitahukan tentang berbagai ciptaan-Nya yang Dia senangi. Dia akan mengangkat seorang pengajar yang menerangkan sejumlah kesempurnaan-Nya dengan mengajarkan berbagai tujuan-Nya yang mulia kepada seluruh makhluk. Dia akan menunjuk seorang pembimbing yang menjelaskan esensi alam agar tidak ada misteri yang Dia masukkan ke alam ini yang tidak tersingkap serta tidak ada urusan rububiyah di alam ini yang tan- pa guna. Dia pun akan mengangkat seorang guru yang mengajarkan berbagai tujuan-Nya agar keindahan kerasi yang Dia perlihatkan dan Dia hamparkan di hadapan makhluk tidak ada yang sia-sia. Serta, Dia akan mengangkat seseorang kepada kedudukan tertinggi, lebih ting- gi dari semua makhluk seraya mengajarinya tentang hal-hal yang Dia ridai agar disampaikan kepada seluruh makhluk, lalu mengutusnya kepada mereka.
Ketika hakikat dan hikmah yang ada menuntut hal tersebut, maka orang yang paling layak menunaikan tugas ini adalah Muham- mad x. Beliau benar-benar telah menunaikan semua tugas di atas se- cara sangat sempurna. Bukti yang adil dan jujur atas hal itu adalah dunia Islam yang beliau bangun dan cahaya Islam yang beliau perlihat- kan. Karena itu, nabi mulia ini harus menuju kedudukan mulia yang melebihi seluruh alam serta melampaui seluruh entitas agar dapat berhadapan langsung dengan Sang Pencipta semesta alam. Peristiwa mi’raj mengetengahkan hakikat ini.
Kesimpulan:Tuhan Yang Mahabijak telah menghiasi alam yang agung ini dan menatanya untuk berbagai maksud dan tujuan mulia seperti itu. Nah, pada entitas terdapat jenis manusia yang dapat menyaksikan rububiyah yang bersifat menyeluruh dengan seluruh detailnya berikut kekuasaan uluhiyah dengan semua hakikatnya. Karena itu, sudah pasti Penguasa Mutlak tersebut akan berbicara dengan manusia seraya mengajarkan sejumlah tujuan-Nya.
Karena tidak setiap manusia dapat naik menuju kedudukan universal yang paling tinggi seraya berlepas diri dari sifat parsial dan rendah, maka pasti ada di antara mereka yang akan diberi tugas tersebut agar memiliki hubungan dengan dua sisi sekaligus. Yakni, di satu sisi sebagai manusia yang mengajari umat manusia dan di sisi lain se- bagai sosok yang memiliki ruh paling tinggi untuk mendapat kehormatan sebagai mitra bicara Tuhan secara langsung.
Selanjutnya, karena sosok terbaik di antara manusia yang bisa menyampaikan maksud-maksud Pencipta alam, bisa menyingkap misteri alam semesta dan memecahkan teka-teki penciptaan, serta so- sok paling sempurna yang menyerukan keagungan rububiyah adalah Muhammad x, maka sudah pasti beliau akan memiliki perjalanan maknawi dan mulia di mana ia menjadi mi’raj bagi beliau dalam bentuk perjalanan di alam fisik. Beliau akan menempuh sejumlah tingkatan menuju alam di balik entitas, menuju dinding pemisah nama, serta manifestasi sifat dan perbuatan-Nya yang diungkapkan dengan istilah “tujuh puluh ribu tabir”. Inilah yang disebut dengan mi’raj.
Terlintas pula dalam benak ini bahwa engkau wahai pendengar bertanya-tanya dalam hati,
“Tuhan lebih dekat dengan kita daripa- da segala sesuatu, lalu apa maksudnya menghadap kepada-Nya dengan menempuh jarak ribuan tahun dan menembus tujuh puluh ribu tabir?” Bagaimana aku dapat mempercayainya?
Kami jelaskan bahwa Allah lebih dekat kepada segala sesuatu daripada segala sesuatu. Hanya saja, segala sesuatu sangat jauh dari-Nya.Seandainya matahari bisa merasa dan bisa berbicara, maka ia dapat berbicara denganmu lewat cermin yang terdapat di tanganmu serta berbuat apa saja kepadamu. Ketika ia lebih dekat kepadamu dari- pada pupil matamu yang menyerupai cermin, di sisi lain engkau jauh darinya sejarak kira-kira empat ribu tahun (perjalanan). Engkau tidak bisa mendekatinya dari aspek apapun. Bahkan, seandainya engkau naik ke bulan dan ke titik di mana engkau bisa berhadapan dengan matahari secara langsung, engkau hanya menjadi sejenis cermin yang memantulkan cahayanya.
Demikianlah. Dzat Yang Mahaagung yang merupakan Matahari azali dan abadi lebih dekat kepada segala sesuatu daripada segala sesuatu. Sementara itu, segala sesuatu sangat jauh dari-Nya. Terkecuali orang yang melewati seluruh lapisan entitas alam, berlepas dari sisi parsialitasnya, lalu naik kepada jenjang totalitas secara berangsur-ang- sur, kemudian menembus ribuan tabir, dan mendekat kepada nama yang mencakup semua entitas, serta melewati banyak tingkatan untuk kemudian mendekat kepada-Nya.
Contoh lain: Seorang tentara sangat jauh dengan kepribadian maknawi dari panglima. Ia melihat panglimanya dari jarak yang sangat jauh dan dari banyak sekat. Ia melihatnya dalam bentuk miniatur dalam jenjang kopral. Adapun agar bisa dekat dengan sang panglima tersebut dari sisi maknawi adalah dengan melewati banyak jenjang seperti sersan, letnan, kapten dan seterusnya. Sementara, panglima berada di sisinya serta melihatnya lewat perintah, hukum, penga- wasan, hikmah, dan pengetahuannya. Ia berada di hadapannya sebagai pemimpin secara maknawi maupun secara lahiriah. Karena hakikat ini telah ditegaskan dalam “Kalimat Keenam Belas”, maka kami cukupkan sampai di sini.
Terlintas dalam benak bahwa engkau (si ateis) berkata dalam hati,
“Aku mengingkari keberadaan langit dan tidak beriman kepada malaikat. Bagaimana mungkin aku akan mempercayai perjalanan seo- rang manusia di langit dan pertemuannya dengan malaikat?”
Ya, tentu memperlihatkan dan memberikan pemahaman kepada orang sepertimu yang penglihatannya telah tertutup kabut dan akalnya telah turun ke mata sehingga hanya bisa melihat materi merupakan sesuatu yang sangat sulit. Akan tetapi, kebenaran yang demikian terang dan jelas membuatnya dapat dilihat meski oleh orang buta. Karena itu, kami ingin mengatakan hal sebagai berikut:
Seperti yang diketahui bahwa angkasa penuh dengan eter, cahaya, listrik, kalor dan sejenisnya menjadi bukti yang menunjukkan keberadaan materi yang memenuhi angkasa. Jika buah menunjukkan keberadaan pohonnya, bunga menunjukkan keberadaan kebunnya, tangkai menunjukkan keberadaan ladang, serta ikan menunjukkan keberadaan laut, maka bintang-gemintang juga mendesak pandangan akal dan dengan sangat jelas menunjukkan keberadaan taman, tempat tumbuh, ladang, dan lautnya.
Karena “alam atas” dibangun dalam beragam bentuk di mana masing-masing darinya terlihat aneka hukum dalam kondisi yang berbeda-beda, maka asal dari hukum tersebut, yakni langit, juga berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Sebab, sebagaimana da- lam diri manusia terdapat beragam wujud maknawi selain fisik materi seperti akal, kalbu, ruh, khayalan, dan daya ingat, di alam yang juga merupakan bentuk manusia yang lebih besar, serta pada entitas yang merupakan pohon buah manusia, terdapat sejumlah alam lain di luar alam fisik. Di samping itu, setiap alam memiliki langit sendiri mulai dari alam bumi hingga alam surga.
Terkait dengan malaikat, kami ingin menjelaskan bahwa bumi sebagai planet yang bentuknya sedang, namun kecil dan padat jika dibandingkan dengan bintang, dipenuhi berbagai bentuk kehidupan dan perasaan yang merupakan sesuatu yang paling berharga dan paling bersinar di alam. Jika demikian, apalagi dengan langit yang merupakan lautan luas yang di dalamnya bintang bertasbih laksana ba- ngunan yang terhias rapi dan istana megah jika diukur dengan bumi yang merupakan rumah gelap dan kecil. Jadi, langit merupakan tempat makhluk berkesadaran dan makhluk hidup dengan jenis yang be- ragam dan dengan jumlah tak terhingga. Mereka adalah malaikat dan makhluk spiritual lainnya. Karena keberadaan langit berikut jumlahnya telah kami tegas- kan secara gamblang dalam tafsir kami yang berjudul Isyârât al-I’jâz fî Mazhân al-Îjâz, tepatnya ketika menafsirkan firman Allah yang berbunyi:“Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit...” (QS. al-Baqarah [2]: 29). Keberadaan malaikat juga telah kami buktikan dengan satu penegasan yang tak diragukan sedikitpun pada “Kalimat Kedua Puluh Sembilan”. Oleh karena itu, di sini kami hanya membahasnya secara singkat dengan mencukupkan pembahasan pada kedua risalah di atas.
Kesimpulan: keberadaan langit yang terbentuk dari eter dan menjadi tempat peredaran cahaya, kalor, gravitasi, dan berbagai ma- teri lainnya, serta senantiasa sesuai dengan gerakan bintang dan planet seperti yang disebutkan dalam hadis:“Langit adalah gelombang yang tertutup (tertahan),”(*[2])telah mengambil bentuk yang beragam—mulai dari galaksi bimasakti hingga planet yang paling dekat dengan kitadalam tujuh tingkatan (tujuh lapis) di mana masing-masing laksana atap bagi alam yang lain, mulai dari alam bumi hingga alam barzakh, alam mitsal (alam yang tak terindra), dan alam akhirat. Demikianlah menurut hikmah dan logika.
Dalam benak juga terlintas:
Wahai ateis, engkau berkata bahwa kita bisa naik hanya sampai ketinggian tertentu lewat pesawat dengan susah payah. Lalu bagaimana mungkin manusia bisa menempuh jarak ribuan tahun dengan fisiknya kemudian kembali ke tempat semula hanya dalam beberapa menit?!
Kami ingin menjelaskan bahwa benda yang berat seperti bumi bisa menempuh jarak sekitar 188 jam (perjalanan) dengan gerakan tahunannya hanya dalam satu menit seperti yang kalian ketahui. De- ngan kata lain, bumi menempuh jarak seukuran 25.000 tahun (perjala- nan) dalam setahun.Jika demikian, bukankah Dzat Yang Mahakuasa—yang telah menjalankan bumi dengan gerakan teratur dan cermat serta memutar-mutarnya bagaikan batu di ujung seutas talimampu membawa manusia ke arasy? Bukankah hikmah yang telah memperjalankan bumi yang berat itu dengan hukum rabbani yang disebut dengan gravitasi matahari mampu membuat fisik manusia naik menuju arasy Tuhan laksana kilat lewat gravitasi kasih sayang Tuhan dan tarikan cinta Mentari Azali?!
Terlintas pula bahwa engkau berkata,
“Anggaplah ia mampu naik menuju langit. Namun, mengapa harus dinaikkan? Dan untuk apa? Bukankah cukup baginya naik dengan kalbu dan ruhnya seperti yang dilakukan oleh para wali yang saleh?”
Kami katakan: Ketika Sang Pencipta Yang Mahaagung ingin memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya yang menakjubkan dalam kerajaan dan alam malakut-Nya, hendak memperlihatkan sumber-sumber dan pabrik alam, serta ingin memperlihatkan berbagai hasil ukhrawi dari amal perbuatan manusia, maka sudah barang tentu mata Nabi x yang berposisi sebagai kunci untuk melihat “alam visual”, dan telinganya yang menangkap tanda-tanda di “alam audio” harus menyertainya sampai ke Arasy. Selain itu, akal dan hikmah menuntut agar ketika menuju arasy beliau disertai oleh fisiknya yang penuh berkah yang berposisi sebagai mesin dan perangkat tempat berbagai aktivitas ruhnya bekerja.
Pasalnya, sebagaimana hikmah ilahi menjadikan fisik sebagai pendamping bagi ruh di dalam surga di mana fisik merupakan wadah bagi banyak tugas ubudiyah serta berbagai kenikmatan dan kepedi- han yang tak terhingga, maka fisik penuh berkah tersebut sudah pasti akan menyertai ruhnya. Lalu, karena fisik masuk ke dalam surga ber- sama ruh, maka di antara tuntutan hikmah Dia menjadikan fisik beliau sebagai pendamping bagi pribadi Muhammad x yang dimi’rajkan menuju Sidratul Muntaha yang merupakan jasad dari surga Ma’wâ.
Setelah itu terbayang bahwa engkau akan berkata,
“Menempuh jarak ribuan tahun hanya dalam beberapa menit merupakan sesuatu yang mustahil secara akal.”
Tanggapan: Gerakan pada ciptaan Sang Pencipta Yang Mahaagung sangat berbeda-beda. Misalnya perbedaan kecepatan suara, cahaya, listrik, ruh, dan khayalan, kita ketahui bersama. Secara ilmiah, kecepatan planet juga berbeda-beda yang membuat akal tercengang. Lalu bagaimana mungkin tidak masuk akal ketika fisik beliau yang halus mengikuti ruhnya yang mulia yang bisa melakukan mi’raj dengan sangat cepat di mana gerakannya secepat ruh?Ketika tidur selama sepuluh menit, engkau bisa mendapati berbagai kondisi yang tak mungkin didapat saat terjaga selama setahun. Bahkan apa yang dilihat oleh manusia dalam mimpi dalam satu menit serta ucapan yang ia dengar dan berbagai perkataan yang terlontar jika semuanya dikumpulkan akan membutuhkan waktu sehari atau lebih di saat terjaga. Jadi, satu waktu bagi dua orang yang berbeda bisa seperti sehari bagi yang satu dan bisa seperti satu tahun bagi yang lain.
Lihatlah makna di atas lewat contoh berikut: Anggaplah ada satu buah jam untuk mengukur kecepatan gerakan manusia, peluru, suara, cahaya, listrik, ruh, dan khayalan. Pada jam tersebut terdapat sepuluh jarum. Ada jarum yang menunjukkan hitungan jam, ada yang menunjukkan hitungan menit dalam wilayah yang enam puluh kali lebih luas daripada pertama, ada jarum yang menunjukkan hitungan detik pada wilayah yang enam puluh kali lebih luas, serta demikian seterusnya. Dengan kata lain, jam tersebut memiliki jarum-jarum menakjubkan yang berputar di wilayah yang enam puluh kali lipat lebih luas daripada sebelumnya. Andaikan wilayah jarum penunjuk jam seukuran jam tangan kecil, berarti wilayah jarum penunjuk eksponen kesepuluh (0,00000000001 detik) seukuran putaran tahunan bumi atau lebih besar.
Sekarang anggaplah ada dua orang; yang satu seolah-olah sedang menaiki jarum penunjuk jam seraya mengawasi dan mencermati sekitarnya, sementara yang lain seakan sedang menaiki jarum penunjuk eksponen kesepuluh (0,00000000001 detik) serta menyaksikan sekitarnya. Perbedaan antara berbagai hal yang dilihat oleh dua orang di atas dalam satu waktu seperti perbedaan antara jam tangan kita dan putaran tahunan bumi. Dengan kata lain, perbedaannya sangat jauh. Demikianlah, karena waktu merupakan ekspresi dari beragam bentuk “gerakan”, maka hukum yang berlaku dalam gerakan juga berlaku pada “waktu”.
Dalam satu jam kita bisa menyaksikan seukuran apa yang di- saksikan oleh orang yang menaiki jarum jam. Hakikat umurnya sesuai dengan kadar ukurannya.Rasul x pada masa yang sama ibarat orang yang menaiki jarum penunjuk 0,00000000001 detik. Beliau menaiki buraq taufik ilahi dan menempuh semua wilayah makhluk secepat kilat seraya melihat tanda-tanda kekuasaan dan alam malakut. Beliau naik menuju titik wilayah Tuhan. Beliau mendapat kehormatan bertemu dan berbicara dengan-Nya. Serta beliau berkesempatan melihat keindahan ilahi, menerima firman dan perintah ilahi, lalu kembali untuk melaksanakan tugasnya. Beliau pun benar-benar telah kembali, dan seperti itulah kenyataannya.
Terbayang dalam benak bahwa kalian berkata,
“Ya, hal itu mungkin saja terjadi. Namun tidak semua yang bersifat mungkin itu benar-benar terjadi. Pasalnya, bagaimana sesuatu yang tidak ada padanannya bisa diterima secara pasti, sementara ia hanya sekadar mungkin terjadi?”
Sebagai jawabannya, “Peristiwa seperti mi’raj sebetulnya sangat banyak; tak terhingga. Setiap orang yang memiliki penglihatanmi- salnya—bisa naik dengan matanya dari bumi menuju planet Neptunus hanya dalam satu detik. Setiap orang berilmu bisa pergi dengan akal- nya lewat ilmu astronomi menuju apa yang berada di balik bintang dan planet hanya dalam satu menit. Setiap orang beriman menaikkan pikirannya di atas sejumlah gerakan dan rukun-rukun salat dengan meninggalkan alam di belakangnya untuk pergi menuju hadapan ilahi sama seperti mi’raj. Setiap wali dan pemilik kalbu yang sempurna mampu melakukan perjalan spiritual dari arasy serta dari wilayah nama dan sifat-Nya dalam empat puluh hari. Bahkan, tokoh-tokoh seperti Syekh Abdul Qadir al-Jailani dan Imam Rabbânî telah melakukan mi’raj spiritual menuju arasy dalam satu menit sebagaimana yang disebutkan dalam sejumlah riwayat yang valid. Sementara, malaikat yang merupakan fisik yang berasal dari cahaya bisa pergi dan kembali dari arasy menuju bumi dan dari bumi menuju arasy hanya dalam waktu yang sangat singkat. Serta penduduk surga bisa naik dari mahsyar menuju taman-taman surga hanya dalam waktu yang singkat.
Berbagai contoh di atas menjelaskan secara tegas bahwa priba- di Muhammad x yang merupakan pemimpin seluruh wali dan rasul, imam bagi orang-orang beriman, junjungan para ahli surga dan dite- rima oleh seluruh malaikat, pasti telah melakukan mi’raj yang tujuan perjalanannya adalah menuju Allah sesuai dengan kedudukan beliau yang mulia. Inilah hikmah yang sesungguhnya, sangat masuk akal, dan benar-benar terjadi tanpa ada keraguan sedikitpun.
LANDASAN KETIGA
Apa Hikmah Mi’raj?
Jawaban:Hikmah mi’raj demikian tinggi dan mulia sehingga akal manusia tak mampu menjangkaunya. Ia sangatlah dalam sehing- ga sulit diraih. Ia juga sangat halus sehingga sulit ditangkap dengan akal semata. Meskipun hakikat hikmahnya tidak bisa dijangkau, namun keberadaannya dapat diketahui lewat sejumlah isyarat berikut ini:
Untuk memperlihatkan cahaya keesaan-Nya dan manifestasi ketunggalan-Nya dalam berbagai tingkatan makhluk, Pencipta alam ini memilih satu sosok istimewa untuk melakukan mi’raj sebagai tali penghubung yang bersinar antara puncak tingkatan pluralitas makhluk menuju dasar kesatuan (keesaan). Allah memilihnya dengan menjadi- kannya sebagai objek penerima pesan-Nya atas nama seluruh makhluk seraya memberitahukan berbagai maksud ilahi atas nama semua makhluk berkesadaran. Hal itu agar sosok istimewa tersebut bisa me- nyaksikan dengan penglihatannya keindahan kreasi dan kesempur- naan rububiyah-Nya dalam cermin makhluk sekaligus memperlihat- kan kepada yang lain jejak keindahan dan kesempurnaan tersebut.
Karena Tuhan semesta alam memiliki keindahan dan kesem- purnaan mutlak lewat kesaksian jejak dan ciptaan-Nya, sementara keindahan dan kesempurnaan tersebut menjadi sesuatu yang dicintai, maka Sang Pemilik keindahan dan kesempurnaan tersebut memiliki rasa cinta tak terhingga terhadap keindahan dan kesempurnaan-Nya. Rasa cinta yang tiada batas tersebut tampak lewat beragam bentuk dan wujud dalam ciptaan. Allah mencintai ciptaan-Nya, karena Dia melihat jejak keindahan dan kesempurnaan-Nya di dalam ciptaan tersebut.Nah, karena ciptaan yang paling dicinta dan paling mulia bagi-Nya adalah makhluk hidup, sementara makhluk hidup yang paling dicinta dan paling mulia adalah yang memiliki perasaan, lalu makhluk pemilik perasaan yang paling dicinta adalah manusia dengan melihat potensinya yang kompherensif, maka manusia yang paling dicinta adalah sosok yang potensinya tersingkap secara sempurna sehingga bisa memperlihatkan berbagai bentuk kesempurnaan-Nya yang terse- bar dan tampak dalam ciptaan.
Demikianlah, untuk menyaksikan seluruh bentuk manifestasi cinta yang tersebar di semua entitas pada satu titik dalam satu cermin, serta untuk memperlihatkan semua jenis keindahan-Nya dengan rahasia keesaan, maka Sang Pencipta semua entitas memilih sosok yang menjadi buah bersinar dari pohon penciptaan, yang kalbunya ibarat benih yang mengandung berbagai hakikat fundamental dari pohon tersebut. Dia memilihnya untuk melakukan mi’raj—laksana tali peng- hubung antara benih yang merupakan asal dan buah yang merupa- kan akhirguna memperlihatkan rasa cinta kepada sosok istimewa itu atas nama seluruh entitas. Dia pun memanggilnya untuk meng- hadap kepada-Nya, memberikan kehormatan melihat keindahan-Nya, memuliakan dengan ucapan-Nya, serta menyerahkan tugas dengan perintah-Nya agar hikmah suci di sisinya mengalir kepada yang lain.
Kita akan meneropong hikmah ilahi ini lewat dua perumpamaan berikut ini:
Perumpamaan Pertama Seperti yang dijelaskan secara rinci dalam “Kalimat Kesebelas”, yaitu sebagai berikut: Jika seorang penguasa memiliki khazanah (gudang) yang sangat banyak yang penuh dengan permata berharga dan intan yang jum- lahnya tak terhingga, sementara ia memiliki keahlian dalam melaku- kan kreasi menakjubkan, memiliki pengetahuan luas dan sempurna dalam berbagai hal yang mengagumkan, disertai wawasan yang luas dalam sejumlah bidang ilmu, maka tidak aneh kalau penguasa tersebut ingin membuka sebuah galeri (pameran) yang bersifat umum untuk mempertunjukkan berbagai karyanya yang berharga di mana setiap pemilik keindahan dan kesempurnaan tentu ingin menyaksikan dan mempersaksikan keindahan dan kesempurnaannya.Galeri tersebut bertujuan untuk menarik perhatian manusia guna melihat keagungan kekuasaannya serta untuk memperlihatkan kilau kekayaannya, kehebatan kreasinya, serta keajaiban makrifatnya. Hal itu agar Dia bisa menyaksikan keindahan dan kesempurnaannya yang bersifat maknawi dari dua sisi: Pertama, lewat pandangannya yang tajam. Kedua, lewat pandangan pihak lain. Atas dasar hikmah tersebut, tentu sang penguasa mulai mem- bangun istana yang megah dan luas itu. Dia membaginya secara me- ngagumkan menjadi sejumlah wilayah, tingkatan, dan kedudukan seraya menghias setiap bagian dengan permata kekayaannya yang be- ragam, memperindah dengan hasil kreasinya yang paling halus, serta menatanya dengan seni dan hikmah yang paling lembut. Lalu dia melengkapi dan menyempurnakan istana itu dengan karya-karya menak- jubkan yang berasal dari ilmunya. Setelah itu, ia akan menghamparkan sejumlah hidangan besar yang sesuai dengan setiap kelompok seraya menyiapkan jamuan umum yang dipenuhi berbagai karunia dan jenis makanan lezat.
Lalu ia mengundang rakyatnya untuk menghadiri jamuan mulia dan pertunjukan kesempurnaannya yang luar biasa tersebut. Ia me- ngangkat salah seorang dari mereka sebagai utusan, lalu mengundang- nya untuk melewati tingkatan paling rendah ke tingkatan yang paling tinggi. Ia perjalankan utusan tersebut dari satu wilayah ke wilayah yang lain seraya memperlihatkan padanya “pabrik” dari kreasi menak- jubkan tersebut serta “gudang” dari simpanan yang bersumber dari tingkatan bawah sampai mencapai wilayah khususnya. Sang penguasa menyambutnya seraya memperlihatkan dirinya yang penuh berkah yang merupakan pangkal dari segala kesempur- naannya. Dia menginformasikan kepada utusan tersebut sejumlah ke- sempurnaan dirinya dan berbagai hakikat istana. Lalu dia menunjuk utusan tersebut sebagai pembimbing bagi rakyatnya dan mengutus ke- pada mereka agar memperkenalkan pembuat istana berikut pilar-pilar ukiran dan keajaiban kreasi yang terdapat di dalamnya.Sang utusan tersebut mengajarkan sejumlah simbol yang terdapat pada ukiran yang ada serta sejumlah isyarat yang terdapat dalam ciptaan. Ia memperkenalkan kepada mereka yang masuk ke dalam istana makna dari dekorasi dan ukiran yang tertata rapi serta bagaima- na ia menunjukkan kesempurnaan dan kreasi pemilik istana. Ia mem- bimbing mereka terkait dengan cara berjalan dan berkeliling di istana serta mendiktekan cara-cara penghormatan terhadap penguasa agung yang tak terlihat. Semua itu sesuai dengan apa yang ia inginkan dan ia minta.
Begitu pula dengan Allah yang memiliki perumpaaan tertinggi. Sang Pencipta Yang Mahaagung, Penguasa azali dan abadi, ingin melihat dan memperlihatkan keindahan dan kesempurnaan-Nya yang bersifat mutlak. Karena itu, Dia membangun istana alam ini dalam bentuk paling menakjubkan di mana setiap entitas yang berada di dalamnya menyebut-nyebut kesempurnaan-Nya dengan banyak lisan sekaligus menunjukkan keindahan-Nya dengan berbagai isyarat. Bahkan alam ini beserta seluruh entitasnya memperlihatkan begitu banyak kekayaan maknawiyah yang tersimpan dalam setiap nama Allah dan begitu ba- nyak kelembutan yang tersimpan dalam setiap gelar suci-Nya.Lebih dari itu, petunjuknya sangat jelas dan terang sehingga seluruh ilmu pengetahuan berikut prinsip-prinsipnya tidak mampu menandingi keajaiban petunjuk kitab alam sejak Adam. Padahal, kitab tersebut belum menyingkap seperseratus dari makna nama-nama dan kesempurnaan ilahi.
Demikianlah, Tuhan Pencipta Yang memiliki keagungan, keindahan, dan kesempurnaan membangun istana indah tersebut sebagai galeri untuk melihat dan memperlihatkan keindahan serta kesempurnaan maknawi-Nya. Hikmah-Nya menuntut agar salah satu makhluk yang memiliki perasaan di muka bumi mengajarkan berbagai makna “ayat kauniyah” (tanda kekuasaan) dari istana tersebut agar makna-makna tadi tidak sia-sia. Hikmah-Nya juga menuntut agar Dia menaikkannya ke “alam atas” yang merupakan sumber keajaiban yang terdapat dalam istana serta gudang kekayaan yang terdapat di dalamnya. Hikmah-Nya menuntut agar Dia menaikkannya ke derajat yang tinggi yang berada di atas seluruh makhluk sekaligus memberinya ke- hormatan untuk bisa dekat dengan-Nya, menjalankannya di sejum- lah alam akhirat, seraya membebaninya berbagai tugas dan misi guna menjadi guru bagi semua hamba, da`i yang mengajak mereka kepada kekuasaan rububiyah-Nya, penyampai informasi tentang apa yang di- ridai Allah, penafsir bagi berbagai ayat kauniyah yang terdapat di istana-Nya, serta sejumlah tugas semisal lainnya. Allah menunjukkan kepada seluruh alam keutamaan manusia pilihan ini dengan memberikan medali mukjizat. Dia juga memberitahukan kepada mereka le- wat al-Qur’an bahwa ia merupakan muballig yang jujur dan juru bicara yang amanah bagi-Nya.
Demikianlah, kami telah menjelaskan sejumlah hikmah di antara sekian banyak hikmah mi’raj. Hal itu sebagaimana dijelaskan da- lam perspektif perumpamaan di atas. Engkau bisa menganalogikan hikmah-hikmah yang lain dengannya.
Perumpamaan kedua Seorang ilmuwan menulis sebuah buku yang menakjubkan di mana setiap halaman darinya penuh dengan hakikat seperti yang ter- dapat pada seratus buku. Setiap baris darinya berisi sejumlah makna yang terdapat pada seratus halaman. Setiap kata darinya berisi sejum- lah makna yang terdapat pada seratus baris. Sementara setiap huruf darinya menjelaskan sejumlah makna yang terdapat pada seratus kata. Lalu semua makna dan hakikat buku tersebut menerangkan kesempurnaan maknawi penulisnya yang mengagumkan.Jika demikian kondisinya, tentu penulis tersebut tidak akan membiarkan buku yang ditulisnya itu tanpa guna, serta tidak akan menutup “gudang ilmu” yang tak pernah habis tersebut, bahkan mus- tahil ia biarkan sia-sia begitu saja. Pasti ia akan mengajari sejumlah orang tentang berbagai makna yang terdapat dalam buku itu agar buku yang berharga itu tidak terabaikan, serta agar kesempurnaannya yang tersembunyi menjadi terlihat, lalu keindahan maknawinya dapat disaksikan sehingga ia akan disukai dan membuat penulisnya dicintai. Dengan kata lain, penulis tersebut akan mengajari seseorang menge- nai sejumlah kosakata dalam buku tersebut berikut semua makna dan hakikatnya seraya mendiktekan kepadanya pelajaran demi pelajaran dari awal hingga akhir halaman sampai kemudian ia memberikannya ijazah.
Demikian pula Pengukir Yang Mahaindah, Allah , yang menu- lis entitas alam ini sedemikian rupa dalam rangka menunjukkan ke- sempurnaan-Nya dan memperlihatkan keindahan berikut hakikat na- ma-Nya yang suci. Dia menulisnya secara luar biasa; tidak ada yang bisa menandinginya di mana semua entitas lewat berbagai arah yang tak terhingga menunjukkan nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan ke- sempurnaan-Nya yang tak terbatas. Seperti diketahui, jika makna sebuah buku tidak diketahui, maka ia akan lenyap begitu saja atau tidak memiliki nilai sama sekali. Nah, apalagi dengan buku seperti ini yang setiap hurufnya berisi ribuan makna. Tidak mungkin nilainya jatuh dan tidak mungkin lenyap be- gitu saja. Penulis buku menakjubkan ini pasti akan mengajarkannya serta menerangkan bagian-bagiannya sesuai dengan potensi setiap kelompok. Dia akan mengajarkan buku tersebut kepada sosok yang memiliki pandangan paling universal, perasaan paling komprehensif, serta kesiapan paling sempurna. Guna mengajarkan buku semacam itu secara keseluruhan dan mencakup seluruh hakikatnya, secara hikmah harus ada perjalanan dalam bentuk yang sangat mulia dan tinggi. Dengan kata lain, harus ada penyaksian dan perjalanan mulai dari tingkatan entitas yang sangat banyak—yang merupakan halaman pertama dari buku ini—dan berakhir pada wilayah keesaan yang merupakan halaman terakhir darinya. Demikianlah engkau bisa menyaksikan sebagian dari hikmah mi’raj yang mulia lewat perspektif perumpamaan tadi.
Sekarang marilah kita menoleh kepada si ateis yang berposisi sebagai pendengar. Kita perhatikan apa yang terlintas dalam benaknya guna menyaksikan hal apa yang masih tidak jelas.
Yang terbayang dalam benak bahwa hatinya berbisik: “Aku telah mulai percaya. Namun, terdapat tiga permasalahan yang tidak bisa ku- pecahkan dan kupahami:
Pertama, mengapa mi’raj yang demikian agung tersebut dikhususkan kepada Muhammad x?
Kedua, bagaimana Nabi mulia tersebut menjadi benih dari semua entitas? Pasalnya, engkau berkata bahwa alam tercipta dari cahayanya.Sementara pada waktu yang sama ia merupakan buah alam yang pa- ling akhir dan paling bersinar. Apa maksud dari perkataan ini?
Ketiga, dalam penjelasan yang kau berikan sebelumnya engkau berkata bahwa naik ke “alam atas” dimaksudkan untuk menyaksikan sejumlah “pabrik” dari berbagai jejak yang terdapat di alam serta un- tuk melihat sejumlah “gudang” dari hasil jejak tersebut. Apa maksud dari ucapan ini?”
Permasalahan Pertama
Sebagai jawabannya: permasalahan pertamamu ini telah dibahas secara panjang lebar pada ketiga puluh kalimat dalam buku al-Kalimât. Di sini kami hanya akan menerangkannya secara singkat dalam bentuk daftar ringkas tentang kesempurnaan pribadi nabi x berikut dalil kenabiannya serta mengapa beliau yang paling layak untuk mendapa- tkan mi’raj yang agung tersebut.
Pertama: Sejumlah kitab suci, Taurat, Injil, dan Zabur berisi sejumlah kabar gembira dan isyarat yang memberitakan kenabian Rasul x meski semua kitab suci tersebut mengalami penyimpangan (deviasi) sepanjang perjalanannya. Di masa sekarang ini seorang ulama peneliti, Husein al-Jisr, telah menemukan seratus empat belas kabar gembira darinya. Semua itu ia tuangkan dalam bukunya yang berjudul ar-Risâlah al-Hamîdiyyah.
Kedua:Dalam sejarah dan dalam berbagai riwayat yang valid terdapat begitu banyak kabar gembira yang diberikan oleh sejumlah peramal terkenal seperti Syiq dan Satih sebelum kedatangan Nabi x di mana mereka memberikan informasi bahwa beliau adalah nabi ak- hir zaman.
Ketiga:Tumbangnya sejumlah berhala di Ka’bah pada malam kelahiran beliau serta runtuhnya istana terkenal milik Kisra berikut ratusan kejadian luar biasa yang disebut irhasat tertera dalam sejumlah buku sejarah.
Keempat:Memancarnya air dari jari-jemari beliau serta bagaimana beliau bisa memberikan air kepada pasukan dengannya, lalu rintihan batang pohon yang kering yang berada di Masjid Nabawi di hadapan jamaah besar lantaran berpisah dengan Rasul x, serta terbelahnya bulan sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, “dan bulan pun terbelah,”(*[3])dan berbagai mukjizat sejenis lainnya yang dianggap valid oleh para ulama peneliti yang jumlahnya mencapai seribu di mana ia dibuktikan oleh sejumlah buku sirah dan sejarah.
Kelima:Baik kawan maupun lawan telah sepakat tanpa keraguan sedikitpun bahwa berbagai akhlak mulia yang dimiliki beliau berada dalam tingkatan yang paling tinggi serta berbagai tabiat terpuji yang melekat padanya dalam berdakwah berada dalam tingkatan yang paling mulia. Hal itu ditunjukkan oleh sejumlah interaksi dan perilaku beliau dengan manusia. Syariat beliau yang istimewa berisi berbagai perilaku baik yang sempurna yang dibuktikan oleh akhlak terpuji dalam agama Islam.
Keenam:Dalam isyarat kedua dari “Kalimat Kesepuluh”, kami telah menjelaskan bahwa:Rasul x adalah sosok yang memperlihatkan tingkatan ubudiyah yang paling tinggi dan mulia lewat pengabdian agung dalam agamanya sebagai respon terhadap kehendak Allah dalam penampakan uluhiyah-Nya sesuai tuntutan hikmah.
Beliau x adalah sosok terbaik yang memperlihatkan keindahan dalam kesempurnaan yang mutlak milik Sang Pencipta alam, serta sosok terbaik yang telah memenuhi kehendak Allah dalam memperlihatkan keindahan tersebut lewat perantaraan seorang utusan, sebagaimana tuntutan hikmah dan hakikat.
Beliau x adalah sosok terbaik yang menunjukkan kesempurnaan kreasi dalam keindahan mutlak milik Sang Pencipta alam, serta penyeru dengan suara yang paling tinggi. Dengan demikian, beliau telah mengabulkan kehendak Allah dalam mengarahkan perhatian makhluk kepada kesempurnaan kreasi-Nya.
Beliau x adalah sosok paling sempurna yang menyuarakan seluruh tingkatan tauhid. Dengan demikian, beliau telah menuruti kehendak Tuhan semesta alam dalam mendeklarasikan keesaan-Nya kepada berbagai tingkatan makhluk.
Beliau x adalah cermin paling bening yang memantulkan keindahan dan kehalusan estetika Sang pemilik alam seperti ditunjukkan oleh tanda-tanda kekuasaan-Nya, serta sosok terbaik yang mencintai dan membuat dirinya dicintai oleh-Nya. Dengan demikian, beliau telah memenuhi kehendak Ilahi dalam melihat sekaligus memperlihatkan keindahan suci tersebut sesuai tuntutan hikmah dan hakikat.
Beliau x adalah sosok terbaik yang memperkenalkan dan mem- beritahukan khazanah gaib yang berisi mukjizat paling indah dan per- mata paling berharga milik Sang Pencipta alam. Dengan demikian, beliau telah mengabulkan kehendak Tuhan dalam memperlihatkan perbendaharaan gaib tersebut.
Beliau x adalah sosok paling sempurna yang membimbing jin dan manusia, bahkan ruhâniyyûn (makhluk spiritual) dan malaikat lewat al-Qur’an al-Karim, serta sosok paling agung yang menjelaskan makna kreasi Sang Pencipta semesta alam yang telah Dia hiasi dengan perhiasan yang paling indah sekaligus membuat para makhluknya yang memiliki kesadaran memperhatikan dan mengambil pelajaran darinya. Dengan demikian, beliau telah menuruti kehendak Ilahi da- lam menjelaskan makna kreasi-Nya kepada makhluk yang berakal.
Beliau x adalah sosok terbaik yang menyingkap maksud dan tujuan dari pergolakan alam lewat sejumlah hakikat al-Qur’an, serta sosok paling sempurna yang memecahkan tiga pertanyaan misterius yang terdapat di alam. Yaitu, siapa engkau? Dari mana engkau berasal? Dan hendak ke mana? Dengan demikian, beliau telah memenuhi kehendak Ilahi dalam menyingkap teka-teki misterius tersebut kepada makhluk yang memiliki kesadaran lewat seorang utusan.Beliau x sosok paling sempurna dalam menjelaskan berbagai maksud ilahi lewat al-Qur’an serta sosok terbaik dalam menerangkan jalan menuju keridaan Tuhan semesta alam.
Dengan demikian, Beliau telah memenuhi kehendak Ilahi dalam memperkenalkan apa yang Dia inginkan dari makhluk yang berakal dan apa yang Dia ridai atas mereka lewat seorang utusan, setelah memperkenalkan diri-Nya sendiri kepada mereka lewat semua ciptaan-Nya yang menakjubkan sekaligus menanamkan kecintaan kepadanya lewat sejumlah nikmat-Nya yang berharga.Beliau x adalah sosok paling agung yang menyampaikan tugas kerasulan lewat al-Qur’an sekaligus menunaikannya dalam tingkatanpaling tinggi dan dalam bentuk yang paling baik.
Dengan demikian, beliau telah memenuhi kehendak Tuhan semesta alam dalam menga- lihkan wajah manusia dari pluralitas makhluk kepada keesaan, dan dari sesuatu yang fana menuju sesuatu yang abadi. Sosok manusia yang Allah ciptakan sebagai buah alam, lalu menganugerahkan padanya sejumlah potensi yang mampu menjangkau seluruh alam seraya menyiapkannya untuk melakukan pengabdian secara total serta me- ngujinya dengan berbagai perasaan yang mengarah kepada pluralitas makhluk dan kemegahan dunia.
Karena entitas terbaik adalah makhluk hidup, sementara makhluk hidup yang paling mulia adalah yang memiliki perasaan, lalu makhluk berperasaan yang paling utama adalah manusia yang hakiki. Karena itu, sosokdi antara manusia yang paling mulia—yang menunaikan tugas tersebut lalu melaksanakannya dalam bentuk terbaik dan dalam tingkatan paling tinggi, tidak diragukan lagi akan mencapai jarak seukuran dua (ujung) busur atau lebih dekat lagi melalui mi’raj. Ia akan mengetuk pintu kebahagiaan abadi dan akan membuka perbenda- haraan rahmat yang demikian luas, serta akan melihat berbagai haki- kat iman secara langsung. Siapa gerangan sosok tersebut kalau bukan Nabi Muhammad x?!
Ketujuh:Orang yang merenungkan berbagai ciptaan yang terse- bar di alam akan menyadari bahwa di dalamnya terdapat proses peng- hiasan dalam bentuk yang paling indah dan menakjubkan. Tentu saja, proses tersebut menunjukkan keberadaan kehendak untuk memper- indah dan mempercantik pada diri Pencipta alam. Kehendak kuat tersebut secara jelas membuktikan adanya keinginan kuat dan mulia serta cinta yang suci pada diri Pencipta terhadap ciptaan-Nya. Karena itu, tentu saja makhluk yang paling dicinta oleh Pencipta Yang Maha Pemurah yang mencintai ciptaan-Nya adalah sosok yang merangkum sejumlah sifat di atas, sosok yang menampakkan pada dirinya berbagai kelembutan kreasi (pencipta) secara sempurna, so- sok yang mengenal dan memperkenalkan kreasi tersebut, sosok yang membuat dirinya dicintai, serta sosok yang dengan penuh penghar- gaan mengapresiasi keindahan berbagai ciptaan lainnya.
Siapakah yang membuat langit dan bumi mendendangkan ka- limat subhânallâh, mâsyâ Allâh, Allâhu akbar, yang merupakan zikir penyucian, ketakjuban, dan pengagungan terkait dengan keistime- waan hiasan, tampilan keindahan, dan kesempurnaan kecerahan yang melekat pada makhluk? Siapa yang menghentak alam dengan lantunan al-Qur’an sehingga daratan dan lautan tertarik kepada-Nya dengan penuh kerinduan yang disertai penghargaan dan apresiasi saat melakukan perenungan, pengungkapan, zikir, dan tahlil? Siapakah gerangan sosok penuh berkah itu kalau bukan Muhammad x yang amanah?!
Nabi mulia semacam ini yang akan ditambahkan kepada timbangan kebaikannya pahala sebanyak kebaikan yang dilakukan oleh umatnya sesuai kaidah, “Perantara sama seperti pelaku”; sosok yang akan ditambahkan kepada kesempurnaan maknawinya limpahan salawat yang dicurahkan oleh seluruh umatnya; dan sosok yang diberi curahan rahmat dan cinta ilahi yang tak terhingga di samping buah dari tugas risalah yang berupa ganjaran maknawi yang agung, sudah pasti kepergiannya menuju surga, Sidratul Muntaha, dan arasy yang paling agung hingga sejarak dua busur atau lebih dekat lagi melalui tangga miraj, merupakan kebenaran mutlak, sebuah hakikat, dan suatu hikmah.
Permasalahan Kedua Wahai yang sedang duduk sebagai pendengar! Hakikat yang sulit kau pahami ini memiliki dasar yang sangat dalam. Ia demikian tinggi sampai pada batas yang tak bisa dijangkau oleh akal; bahkan tidak bisa didekati. Namun demikian, ia tetap bisa terlihat lewat cahaya iman. Di sini kami berusaha mendekatkan sebagian dari hakikat tinggi tersebut kepada pemahaman lewat sejumlah perumpamaan yang bisa membantu.
Yaitu sebagai berikut: Jika alam ini dilihat dengan pandangan hikmah seolah-olah ia seperti sebuah pohon besar. Sebagaimana pohon memiliki ranting, daun, bunga, dan buah, maka di “alam bawah” yang merupakan bagian dari pohon penciptaan ini juga bisa disaksikan bahwa unsur-unsurnya berposisi seperti ranting, tumbuhan dan pepohonannya berposisi se- bagai daun, hewan laksana bunga, sementara manusia ibarat buah.Hukum Sang Pencipta Agung yang berlaku pada pohon harus berlaku pula pada pohon besar ini sesuai dengan konsekuensi nama Allah al-Hakîm (Yang Maha Bijaksana). Nah, di antara bentuk hikmah dan kebijaksanaan-Nya adalah bagaimana pohon penciptaan tersebut juga tumbuh dari benih, sementara benihnya mencakup semua model dan pilar-pilar seluruh alam di samping berisi alam fisik. Pasalnya, benih asli entitas yang berisi ribuan alam dan menjadi tempat tum- buhnya tidak mungkin berupa materi yang mati.
Tidak ada satu po- hon tanpa didahului oleh keberadaan jenis pohon entitas. Esensi dan cahaya yang berposisi sebagai tempat tumbuh dan benih telah berwu- jud buah pada pohon penciptaan dan dipakaikan busana buah. Sebab, benih tidak selamanya dalam kondisi benih yang telanjang. Pasalnya, selama ia tidak memakai pakaian buah (berwujud buah) di awal penciptaan, maka ia akan memakainya di akhir.
Selama manusia merupakan buah tersebut, sementara buah je- nis manusia yang paling terkenal dan istimewa adalah Muhammad x—sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya—di mana beliau yang menarik perhatian makhluk secara umum lewat berbagai keutamaan- nya, membatasi penglihatan separuh bumi dan seperlima umat manusia pada dirinya yang penuh berkah, serta mengalihkan perhatian seluruh alam kepada sejumlah kebaikan maknawinya dengan rasa cinta, penghormatan, dan rasa kagum, maka sudah pasti cahaya yang merupakan benih terbentuknya alam semesta akan terwujud pada diri Muhammad x dalam bentuk buah penutup.
Wahai pendengar, jangan merasa aneh jika penciptaan entitas alam yang agung dan menakjubkan ini berasal dari susbstansi parsial seorang manusia. Dzat Yang Mahakuasa pemilik keagungan yang telah menciptakan pohon cemara yang besar—yang laksana alam itu sendi- ridari benih kecilnya, bagaimana mungkin Dia tidak bisa mencipta entitas dari cahaya Muhammad x?
Ya, pohon alam serupa dengan pohon tuba yang berada di surga. Batang dan akarnya menjalar ke “alam atas”, sementara ranting dan buahnya menggelayut ke “alam bawah”. Karena itu, terdapat tali cahaya yang menghubungkan mulai dari kedudukan buah di “alam bawah” hingga pada kedudukan benih yang asli.
Mi’raj nabawi merupakan wujud dan bungkus dari tali cahaya penghubung tersebut. Rasul x membuka jalan tersebut kemudian naik dengan kewaliannya, namun kembali dengan kerasulannya. Be- liau membiarkan pintu tadi terbuka agar bisa dilewati oleh para wali di kalangan umatnya yang mengikuti jalannya dengan ruh dan kalbu sehingga mereka bisa melewati jalan bercahaya itu di bawah naungan mi’raj Nabi. Mereka naik menuju kedudukan yang tinggi sesuai de- ngan kesiapan dan potensi masing-masing.
Sebelumnya telah kami jelaskan bahwa Pencipta Yang Mahaa gung telah menciptakan dan menghias alam ini laksana istana indah untuk sejumlah maksud dan tujuan mulia. Nah, Rasul x yang merupakan poros tujuan tersebut pasti menjadi objek perhatian-Nya sebelum menciptakan seluruh alam, sekaligus menjadi makhluk pertama yang mendapat manifestasi-Nya. Sebab, buah atau hasil dari sesuatu pasti dipikirkan di awal. Dengan demikian, secara maknawi (esensi) beliau merupakan yang pertama, namun secara wujud beliau merupakan yang terakhir. Karena Rasul x merupakan buah penciptaan yang paling sempurna, sumber dari nilai seluruh buah, dan poros kemunculan semua tujuan, maka cahayanya merupakan yang pertama kali mendapat manifestasi penciptaan.
Permasalahan Ketiga Hakikat ini demikian luas di mana akal manusia yang sempit tidak dapat menjangkau dan menyerapnya. Namun demikian, kita dapat melihatnya dari kejauhan.
Ya, pabrik maknawi dari “alam bawah” berikut hukum-hukumnya yang bersifat universal terdapat di “alam atas”. Hasil perbuatan makhluk yang jumlahnya tak terhingga yang merupakan penghuni bumi serta buah dari perbuatan yang dilakukan oleh jin dan manusia, semuanya terwujud di “alam atas” tersebut.Bahkan sejumlah isyarat al-Qur’an, tuntutan dari nama al-Hakîm (Yang Mahabijaksana) berikut hikmah yang terdapat di alam disertai bukti berbagai riwayat dan tanda-tanda yang tak terhingga, semuanya menunjukkan bahwa kebaikan terwujud dalam bentuk buah surga, sementara kejahatan terwujud dalam bentuk pohon zaqqum neraka.Ya, entitas yang demikian banyak telah tersebar di muka bumi secara luas. Model dan bentuk penciptaan telah bercabang dalam ting- katan yang besar di mana berbagai jenis makhluk dan kelompok cip- taan yang terus berganti, memenuhi, dan menghilang dari bumi jauh melebihi ciptaan yang tersebar di seluruh alam.
Demikianlah, sumber-sumber dari makhluk yang demikian banyak pastilah hukum yang bersifat universal serta merupakan mani- festasi dari nama-nama-Nya yang mulia. Wujud hukum, manifestasi, dan nama-nama-Nya yang bersifat universal tersebut berupa langit yang sangat sederhana—tidak kompleks—serta relatif bersih di mana masing-masingnya berposisi sebagai arasy dan atap alam, serta pusat operasional. Bahkan salah satu alam tersebut adalah Surga Ma’wâ yang berada di Sidratul Muntahâ.Pembawa berita yang jujur, Nabi x, telah menginformasikan yang maknanya bahwa tasbih dan tahmid yang disebutkan di bumi akan berwujud dalam bentuk buah surga.(*[4])Ketiga hal di atas menjelaskan kepada kita bahwa perbenda- haraan hasil dan buah dari apa yang terdapat di bumi sebenarnya be- rada di sana. Hasilnya juga mengarah ke sana.
Wahai si pendengar! Jangan engkau berkata, “Bagaimana mungkin kalimat alhamdulillah yang kusebutkan akan berwujud buah di surga?”
Sebab, ketika menyebut ucapan yang baik dalam kondisi sadar di waktu siang ia bisa terlihat olehmu dalam mimpi laksana apel segar yang kau makan. Demikian pula dengan ucapan yang buruk, ia bisa kau makan dalam mimpi laksana sesuatu yang pahit. Jika menggun- jing orang, engkau akan melihat dipaksa memakan jasad orang mati. Jadi, ucapan baik atau buruk yang kau ucapkan di alam dunia yang merupakan alam tidur, bisa dimakan sebagai buah di alam akhi- rat yang merupakan alam sadar. Karena itu, hendaknya engkau tidak merasa aneh dengannya.
LANDASAN KEEMPAT
Apa Buah dan Manfaat Mi’raj?
Jawaban: Peristiwa mi’raj yang agung yang merupakan pohon Tuba maknawi memiliki sejumlah manfaat yang sangat besar dan buah yang banyak. Pohon tersebut menghasilkan lebih dari lima ratus buah dan manfaat. Namun di sini kami hanya akan menyebutkan lima darinya sebagai contoh.
Buah Pertama
Ia merupakan penyaksian sejumlah hakikat rukun iman secara langsung dengan mata kepala. Yaitu menyaksikan malaikat, surga dan akhirat, bahkan melihat Dzat-Nya yang agung. Penyaksian tersebut mempersembahkan sebuah perbendaharaan agung, cahaya azali, dan hadiah abadi kepada seluruh alam, khususnya kepada umat manu- sia. Pasalnya, cahaya tersebut telah mengeluarkan seluruh entitas dari anggapan bahwa semua akan jatuh ke tempat yang fana, lenyap, dan menyakitkan. Cahaya tersebut memperlihatkan entitas dalam hakikat yang sebenarnya di mana semua merupakan tulisan shamadani, risalah Rabbani, dan cermin indah yang memantulkan keindahan ke- esaan-Nya. Hal itu mendatangkan kegembiraan dan suka cita ke dalam hati semua makhluk berkesadaran, bahkan ia membuat bahagia semua entitas.
Sebagaimana cahaya tersebut telah mengeluarkan entitas dari kondisi pedih, ia juga mengeluarkan manusia yang lemah di hadapan musuh tak terhingga serta yang fakir terhadap sesuatu yang tak terkira dari kondisi fana dan sesat. Ia menyingkap wujudnya yang hakiki sebagai salah satu mukjizat kekuasaan Allah, makhluk-Nya yang berada dalam bentuk terbaik, salinan komprehensif dari risalah-Nya, mitra bicara yang dapat menangkap kekuasaan azali dan abadi, hamba-Nya yang istimewa, sosok yang dapat mengapresiasi kesempurnaan-Nya, kekasih-Nya tercinta, yang kagum dengan keindahan-Nya yang suci, tamu istimewa-Nya, serta calon penghuni surga-Nya yang abadi.Cahaya tersebut memberikan kegembiraan yang tak terhingga dan kerinduan yang tak terkira kepada setiap orang yang menganggap dirinya sebagai manusia.
Buah Kedua
Nabi x datang dengan membawa pilar-pilar Islam, terutama “Salat”. Pilar-pilar tersebut yang mencerminkan keridaan Tuhan semesta alam, Sang Penguasa azali dan abadi, diberikan sebagai hadiah berharga dan persembahan mulia kepada seluruh jin dan manusia.Mengetahui semua hal yang diridai Tuhan itu betapa memicu keingintahuan manusia untuk memahaminya dan melahirkan keba- hagiaan di mana ia merupakan sesuatu yang sulit untuk dilukiskan. Di samping itu, ia mendatangkan kebahagiaan dan ketenangan. Tidak aneh lantaran setiap manusia memiliki keinginan yang sangat besar untuk mengetahui apa yang diminta oleh penguasa yang telah memberi karunia padanya. Manusia juga sangat ingin mengetahui apa yang dikehendaki oleh penguasa yang telah memberi nikmat dan berbuat baik padanya. Ketika mengetahui apa yang disenangi olehnya manusia akan sangat gembira dan merasa tenteram. Bahkan, ia berangan-angan dengan berkata dalam hati, “Andai saja ada perantara antara diriku dan penguasa guna mengetahui apa yang Dia inginkan dariku serta apa yang menjadi kewajibanku atas-Nya.”
Ya, manusia yang setiap waktu dan setiap keadaan senantiasa sa- ngat membutuhkan Tuhannya, sementara ia telah mendapatkan berbagai karunia dan nikmat-Nya yang berlimpah tak terhitung banyak- nya di mana ia yakin bahwa seluruh makhluk berada dalam genggaman kekuasaan-Nya serta cahaya keindahan dan kesempurnaan yang me- mancar pada entitas tidak lain merupakan bayangan dari keindahan dan kesempurnaan-Nya.
Dari sini pastilah manusia sangat ingin me- ngetahui sesuatu yang disenangi Tuhan sekaligus ingin menangkap apa yang Dia minta darinya.Nah, Rasul x telah mendengar berbagai hal yang diridai Penguasa azali dan abadi secara langsung dengan haqqul yaqin dari balik tujuh puluh ribu tabir sebagai salah satu buah mi’raj. Beliau persem- bahkan itu sebagai hadiah bagi seluruh umat manusia.(*[5])
Ya, manusia yang ingin mengetahui apa yang terjadi di bulan, ketika salah seorang di antara mereka pergi ke sana lalu kembali se- raya memberitahukan tentang sesuatu yang ada padanya, barangkali ia akan mengorbankan banyak hal guna mendapat informasi tersebut. Kemudian ia terkagum-kagum dan takjub manakala mengetahui in- formasi yang terdapat di sana. Jika kondisinya demikian, bahwa manusia begitu perhatian de- ngan informasi dari orang yang pernah ke bulan, lalu bagaimana dengan perhatian dan kerinduannya untuk mendapatkan informasi orang yang datang dari sisi Raja Diraja Yang Maha Agung di mana bu- lan bagi kekuasaan-Nya hanyalah ibarat lalat yang terbang di seputar kupu-kupu.(*[6])Kupu-kupu tersebut terbang mengitari salah satu dari ribuan lampu(*[7])yang menerangi tempat jamuannya.
Ya, Rasul x telah melihat berbagai sifat Dzat yang Mahaagung ini serta menyaksikan keindahan kreasi-Nya dan perbendaharaan rah- mat-Nya di alam yang abadi. Setelah melihatnya, beliau kembali dan menceritakan kepada manusia mengenai apa yang beliau lihat dan saksikan. Jika manusia tidak mau mendengar Rasul x dengan penuh keingintahuan dan rasa takjub, maka dapat dipahami betapa mereka sangat bodoh dan jauh dari hikmah.
Buah Ketiga
Rasul x menyaksikan khazanah kebahagiaan abadi dan meneri- ma kuncinya, lalu memberikannya sebagai hadiah kepada jin dan ma- nusia.Ya, dalam peristiwa mi’raj beliau menyaksikan surga dengan penglihatannya. Beliau menyaksikan manifestasi rahmat Dzat yang Maha Pengasih dan Maha agung. Dengan haqqul yaqin dan secara pasti, beliau mengenali kebahagiaan abadi. Karena itu, beliau informasikan kabar gembira adanya kebahagiaan abadi itu kepada jin dan manusia. Itulah kabar gembira yang agung yang tak mampu dilukiskan oleh manusia. Pasalnya, di saat kondisi pilu menyelimuti jin dan manusia di mana seluruh entitas mengalami keadaan lenyap dan berpi- sah dengan dunia. Selain itu, perjalanan waktu dan gerakan partikel melemparkannya ke laut ketiadaan dan perpisahan abadi.Ya, di saat kondisi pedih yang menghentak perasaan jin dan manusia menyelimuti mereka dari segala penjuru, tiba-tiba kabar gembira itu hadir di hadapan mereka. Bayangkan betapa kabar gembira itu melahirkan kebahagiaan, kelapangan, dan suka cita pada jin dan manusia yang mengira akan mengalami kemusnahan abadi serta akan lenyap untuk selamanya! Kemudian setelah itu, pahamilah betapa besar nilai kabar gembira tersebut!Andaikan orang yang telah mendapat vonis mati saat berjalan menuju tiang gantungan mendapat berita bahwa raja telah memberi- nya ampunan serta menyiapkan istana untuknya, bayangkan betapa informasi tersebut melahirkan suka cita dan kegembiraan yang luar biasa pada diri orang yang mendapat vonis mati tadi. Agar engkau bisa membayangkan nilai dari buah dan kabar gembira tersebut, kumpul- kan semua kegembiraan di atas sebanyak jumlah jin dan manusia guna mengukur sejauh mana nilai kabar itu.
Buah Keempat
Yaitu melihat keindahan Allah . Di samping hal itu telah didapat oleh Nabi x, beliau juga memberitakan bahwa setiap muk- min juga bisa mendapatkan buah abadi itu. Beliau mempersembah- kan hadiah agung tersebut kepada jin dan manusia. Barangkali engkau bisa mengukur sejauh mana kenikmatan yang tersembunyi pada buah yang dipersembahkan itu serta sejauh mana manis, indah, dan nilai- nya lewat contoh berikut:Setiap orang yang memiliki kalbu, tentu mencintai orang yang memiliki keindahan, kesempurnaan dan sifat baik. Cinta ini bertam- bah besar sesuai dengan tingkat keindahan, kesempurnaan dan ke- baikan yang ada hingga mencapai derajat cinta yang amat sangat dan penghambaan. Pemiliknya rela mengorbankan apa yang ia miliki demi melihat keindahan tersebut. Bahkan, bisa jadi ia rela mengorbankan seluruh dunianya untuk melihatnya walau hanya sekali. Padahal jika keindahan, kesempurnaan dan kebaikan yang terdapat pada makhluk dibandingkan dengan keindahan, kesempurnaan dan kebaikan Allah, tentu ia tidak lebih dari kilau cahaya yang redup dibandingkan dengan matahari yang terang benderang.
Jadi, jika benar-benar manusia, engkau bisa mengetahui tingkat kebahagiaan abadi yang dihasilkannya serta tingkat kegembiraan dan kenikmatan yang terwujud ketika mendapat taufik melihat Dzat yang layak mendapat cinta tak terkira, rindu tak terhingga, penyaksian yang tak berujung dalam kebahagiaan tak bertepi.
Buah Kelima
Sebagaimana dapat dipahami dari peristiwa mi’raj bahwa manusia merupakan salah satu buah alam yang berharga dan makhluk yang mulia sekaligus dicinta oleh Sang Pencipta. Buah yang baik ini dibawa oleh Rasul x lewat mi’raj sebagai hadiah bagi jin dan manu- sia. Buah tersebut mengangkat derajat manusia dari keberadaannya sebagai makhluk yang kecil dan lemah, serta memiliki perasaan tak berdaya menuju kedudukan yang tinggi dan mulia. Bahkan, menuju kedudukan yang paling tinggi melebihi seluruh makhluk. Buah ini melahirkan rasa gembira, suka cita, dan bahagia kepada manusia yang sulit untuk dilukiskan.
Pasalnya, jika ada yang berkata kepada seorang tentara, “Engkau menjadi panglima,” bayangkan betapa besar kegembiraan dan suka cita yang dirasakan? Tentu sulit untuk diukur. Nah, manusia yang me- rupakan ciptaan yang lemah, makhluk hidup yang berpikir, fana dan hina di hadapan terpaan perpisahan. Andaikan ada yang berkata ke- padanya, “Engkau akan masuk ke dalam surga yang kekal, menikmati rahmat Tuhan yang luas dan abadi, bersenang-senang di kerajaan dan alam malakut-Nya yang seluas langit dan bumi, menikmatinya dengan seluruh keinginan hati, secepat khayalan, seluas jiwa dan jangkauan pikiran. Lebih dari itu, engkau akan dapat melihat keindahan-Nya da- lam kebahagiaan abadi.” Setiap manusia yang nilai-nilai kemanusiaannya tidak jatuh da- pat memahami sejauh mana kegembiraan dan suka cita yang dirasakan oleh orang yang mendapat informasi semacam itu.
Sekarang, mari kita beralih kepada sosok yang berada dalam posisi pendengar.
Kita katakan padanya, “Robeklah pakaian ateismu dan buanglah jauh-jauh! Simaklah dengan pendengaran orang mukmin dan lihatlah dengan pandangan orang muslim. Aku akan menjelaskan kepadamu nilai dari sejumlah buah dalam dua perumpamaan berikut ini”:
Mesela: Senin ile biz beraber bir memlekette bulunuyoruz. Görüyoruz ki her şey bize ve birbirine düşman ve bize yabancı, her taraf müthiş cenazelerle dolu, işitilen sesler yetimlerin ağlayışı, mazlumların vaveylâsıdır. İşte biz, şöyle bir vaziyette olduğumuz vakitte; biri gitse, o memleketin padişahından bir müjde getirse, o müjde ile bize yabancı olanlar ahbap şekline girse düşman gördüğümüz kimseler, kardeşler suretine dönse o müthiş cenazeler, huşû ve huzûda, zikir ve tesbihte birer ibadetkâr şeklinde görünse o yetimane ağlayışlar, senakârane “yaşasın”lar hükmüne girse ve o ölümler ve o soymaklar, garatlar terhisat suretine dönse kendi sürurumuz ile beraber, herkesin süruruna müşterek olsak; o müjde ne kadar mesrurane olduğunu elbette anlarsın.
İşte mi’rac-ı Ahmediyenin (asm) bir meyvesi olan nur-u imandan evvel, şu kâinatın mevcudatı, nazar-ı dalaletle bakıldığı vakit; yabancı, muzır, müz’iç, muvahhiş ve dağ gibi cirmler birer müthiş cenaze, ecel herkesin başını kesip adem-âbâd kuyusuna atar. Bütün sadâlar, firak ve zevalden gelen vaveylâlar olduğu halde, dalaletin öyle tasvir ettiği hengâmda; meyve-i mi’rac olan hakaik-i erkân-ı imaniye nasıl mevcudatı sana kardeş, dost ve Sâni’-i Zülcelal’ine zâkir ve müsebbih; ve mevt ve zeval, bir nevi terhis ve vazifeden âzad etmek; ve sadâlar, birer tesbihat hakikatinde olduğunu sana gösterir. Bu hakikati tamam görmek istersen İkinci ve Sekizinci Sözlere bak.
İkinci Temsil: Senin ile biz, sahra-yı kebir gibi bir mevkideyiz. Kum denizi fırtınasında, gece o kadar karanlık olduğundan elimizi bile göremiyoruz. Kimsesiz, hâmisiz, aç ve susuz, meyus ve ümitsiz bir vaziyette olduğumuz dakikada, birden bir zat, o karanlık perdesinden geçip; sonra gelip, bir otomobil hediye getirse ve bizi bindirse, birden cennet-misal bir yerde istikbalimiz temin edilmiş, gayet merhametkâr bir hâmimiz bulunmuş, yiyecek ve içecek ihzar edilmiş bir yerde bizi koysa ne kadar memnun oluruz, bilirsin.
İşte o sahra-yı kebir, bu dünya yüzüdür. O kum denizi, bu hâdisat içinde harekât-ı zerrat ve seyl-i zaman tahrikiyle çalkanan mevcudat ve bîçare insandır. Her insan, endişesiyle kalbi dağdar olan istikbali; müthiş zulümat içinde, nazar-ı dalaletle görüyor. Feryadını işittirecek kimseyi bilmiyor. Nihayetsiz aç, nihayetsiz susuzdur.
İşte semere-i mi’rac olan marziyat-ı İlahiye ile şu dünya, gayet kerîm bir zatın misafirhanesi, insanlar dahi onun misafirleri, memurları, istikbal dahi cennet gibi güzel, rahmet gibi şirin ve saadet-i ebediye gibi parlak göründüğü vakit; ne kadar hoş, güzel, şirin bir meyve olduğunu anlarsın.
Makam-ı istima’da olan zat diyor ki: “Cenab-ı Hakk’a yüz binler hamd ve şükür olsun ki ilhaddan kurtuldum, tevhide girdim, tamamıyla inandım ve kemal-i imanı kazandım.”
Biz de deriz: Ey kardeş! Seni tebrik ediyoruz. Cenab-ı Hak bizleri, Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâmın şefaatine mazhar etsin, âmin!
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى مَنِ ان۟شَقَّ بِاِشَارَتِهِ ال۟قَمَرُ وَ نَبَعَ مِن۟ اَصَابِعِهِ ال۟مَاءُ كَال۟كَو۟ثَرِ صَاحِبُ ال۟مِع۟رَاجِ وَ مَا زَاغَ ال۟بَصَرُ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلٰى اٰلِهٖ وَ اَص۟حَابِهٖ اَج۟مَعٖينَ مِن۟ اَوَّلِ الدُّن۟يَا اِلٰى اٰخِرِ ال۟مَح۟شَرِ
سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
رَبَّنَا تَقَبَّل۟ مِنَّا اِنَّكَ اَن۟تَ السَّمٖيعُ ال۟عَلٖيمُ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذ۟نَٓا اِن۟ نَسٖينَٓا اَو۟ اَخ۟طَا۟نَا رَبَّنَا لَا تُزِغ۟ قُلُوبَنَا بَع۟دَ اِذ۟ هَدَي۟تَنَا رَبَّنَٓا اَت۟مِم۟ لَنَا نُورَنَا وَاغ۟فِر۟لَنَا اِنَّكَ عَلٰى كُلِّ شَى۟ءٍ قَدٖيرٌ
وَ اٰخِرُ دَع۟وٰيهُم۟ اَنِ ال۟حَم۟دُ لِلّٰهِ رَبِّ ال۟عَالَمٖينَ
ON DOKUZUNCU VE OTUZ BİRİNCİ SÖZLERİN ZEYLİ
“Şakk-ı kamer” mu’cizesine dairdir
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
اِق۟تَرَبَتِ السَّاعَةُ وَ ان۟شَقَّ ال۟قَمَرُ وَاِن۟ يَرَو۟ا اٰيَةً يُع۟رِضُوا وَ يَقُولُوا سِح۟رٌ مُس۟تَمِرٌّ
Kamer gibi parlak bir mu’cize-i Ahmediye (asm) olan inşikak-ı kameri, evham-ı fâside ile inhisafa uğratmak isteyen feylesoflar ve onların muhakemesiz mukallidleri diyorlar ki: “Eğer inşikak-ı kamer vuku bulsa idi umum âleme malûm olurdu. Bütün tarih-i beşerin nakletmesi lâzım gelirdi.”
Elcevap: İnşikak-ı kamer, dava-yı nübüvvete delil olmak için o davayı işiten ve inkâr eden hazır bir cemaate, gecede, vakt-i gaflette âni olarak gösterildiğinden hem ihtilaf-ı metali’ ve sis ve bulutlar gibi rü’yete mani esbabın vücuduyla beraber, o zamanda medeniyet taammüm etmediğinden ve hususi kaldığından ve tarassudat-ı semaviye pek az olduğundan bütün etraf-ı âlemde görülmek, umum tarihlere geçmek, elbette lâzım değildir.
Şakk-ı kamer yüzünden bu evham bulutlarını dağıtacak çok noktalardan şimdilik beş noktayı dinle:
Birinci Nokta: O zaman, o zemindeki küffarın gayet şedit derecede inatları tarihen malûm ve meşhur olduğu halde, Kur’an-ı Hakîm’in وَ ان۟شَقَّ ال۟قَمَرُ demesiyle şu vak’ayı umum âleme ihbar ettiği halde, Kur’an’ı inkâr eden o küffardan hiçbir kimse, şu âyetin tekzibine, yani ihbar ettiği şu vakıanın inkârına ağız açmamışlar. Eğer o zamanda o hâdise, o küffarca kat’î ve vaki bir hâdise olmasa idi, şu sözü serrişte ederek gayet dehşetli bir tekzibe ve Peygamber’in (asm) iptal-i davasına hücum göstereceklerdi.
Halbuki şu vak’aya dair siyer ve tarih, o vak’a ile münasebettar küffarın adem-i vukuuna dair hiçbir şeyini nakletmemişlerdir. Yalnız وَ يَقُولُوا سِح۟رٌ مُس۟تَمِرٌّ âyetinin beyan ettiği gibi tarihçe menkul olan şudur ki: O hâdiseyi gören küffar “Sihirdir.” demişler ve “Bize sihir gösterdi. Eğer sair taraflardaki kervan ve kafileler görmüşlerse hakikattir. Yoksa bize sihir etmiş.” demişler. Sonra sabahleyin Yemen ve başka taraflardan gelen kafileler ihbar ettiler ki: “Böyle bir hâdiseyi gördük.” Sonra küffar, Fahr-i Âlem (asm) hakkında –hâşâ– “Yetim-i Ebu Talib’in sihri semaya da tesir etti.” dediler.
İkinci Nokta: Sa’d-ı Taftazanî gibi eâzım-ı muhakkikînin ekseri demişler ki: İnşikak-ı kamer; parmaklarından su akması umum bir orduya su içirmesi, camide hutbe okurken dayandığı kuru direğin müfarakat-ı Ahmediyeden (asm) ağlaması umum cemaatin işitmesi gibi mütevatirdir. Yani öyle tabakadan tabakaya bir cemaat-i kesîre nakletmiştir ki kizbe ittifakları muhaldir. “Hâle” gibi meşhur bir kuyruklu yıldızın bin sene evvel çıkması gibi mütevatirdir. Görmediğimiz Serendip Adası’nın vücudu gibi tevatürle vücudu kat’îdir, demişler. İşte böyle gayet kat’î ve şuhudî mesailde teşkikat-ı vehmiye yapmak, akılsızlıktır. Yalnız muhal olmamak kâfidir. Halbuki şakk-ı kamer, bir volkanla inşikak eden bir dağ gibi mümkündür.
Üçüncü Nokta: Mu’cize, dava-yı nübüvvetin ispatı için münkirleri ikna etmek içindir, icbar için değildir. Öyle ise dava-yı nübüvveti işitenler için ikna edecek bir derecede mu’cize göstermek lâzımdır. Sair taraflara göstermek veyahut icbar derecesinde bir bedahetle izhar etmek, Hakîm-i Zülcelal’in hikmetine münafî olduğu gibi sırr-ı teklife dahi muhaliftir. Çünkü “Akla kapı açmak, ihtiyarı elinden almamak” sırr-ı teklif iktiza ediyor.
Eğer Fâtır-ı Hakîm inşikak-ı kameri, feylesofların hevesatına göre bütün âleme göstermek için bir iki saat öyle bıraksa idi ve beşerin umum tarihlerine geçse idi o vakit sair hâdisat-ı semaviye gibi; ya dava-yı nübüvvete delil olmazdı, risalet-i Ahmediyeye (asm) hususiyeti kalmazdı veyahut bedahet derecesinde öyle bir mu’cize olacaktı ki aklı icbar edecek, aklın ihtiyarını elinden alacak, ister istemez nübüvveti tasdik edecek. Ebucehil gibi kömür ruhlu, Ebubekir-i Sıddık gibi elmas ruhlu adamlar bir seviyede kalıp sırr-ı teklif zayi olacaktı.
İşte bu sır içindir ki hem âni hem gece hem vakt-i gaflet hem ihtilaf-ı metali’, sis ve bulut gibi sair mevanii perde ederek umum âleme gösterilmedi veyahut tarihlere geçirilmedi.
Dördüncü Nokta: Şu hâdise, gece vakti herkes gaflette iken âni bir surette vuku bulduğundan etraf-ı âlemde elbette görülmeyecek. Bazı efrada görünse de gözüne inanmayacak. İnandırsa da elbette böyle mühim bir hâdise, haber-i vâhid ile tarihlere bâki bir sermaye olmayacak.
Bazı kitaplarda: “Kamer, iki parça olduktan sonra yere inmiş.” ilâvesi ise ehl-i tahkik reddetmişler. “Şu mu’cize-i bâhireyi kıymetten düşürmek niyetiyle, belki bir münafık ilhak etmiş.” demişler.
Hem mesela o vakit, cehalet sisiyle muhat İngiltere, İspanya’da yeni gurûb; Amerika’da gündüz; Çin’de, Japonya’da sabah olduğu gibi başka yerlerde başka esbab-ı maniaya binaen elbette görülmeyecek. Şimdi bu akılsız muterize bak, diyor ki: “İngiltere, Çin, Japon, Amerika gibi akvamın tarihleri bundan bahsetmiyor. Öyle ise vuku bulmamış.” Bin nefrin onun gibi Avrupa kâselislerinin başına…
Beşinci Nokta: İnşikak-ı kamer, kendi kendine bazı esbaba binaen vuku bulmuş, tesadüfî, tabiî bir hâdise değil ki âdi ve tabiî kanunlarına tatbik edilsin. Belki şems ve kamerin Hâlık-ı Hakîm’i, resulünün risaletini tasdik ve davasını tenvir için hârikulâde olarak o hâdiseyi îka etmiştir. Sırr-ı irşad ve sırr-ı teklif ve hikmet-i risaletin iktizasıyla, hikmet-i rububiyetin istediği insanlara ilzam-ı hüccet için gösterilmiştir.
O sırr-ı hikmetin iktiza etmedikleri, istemedikleri ve dava-yı nübüvveti henüz işitmedikleri aktar-ı zemindeki insanlara göstermemek için sis ve bulut ve ihtilaf-ı metali’ haysiyetiyle; bazı memleketin kameri daha çıkmaması ve bazıların güneşleri çıkması ve bir kısmının sabahı olması ve bir kısmının güneşi yeni gurûb etmesi gibi o hâdiseyi görmeye mani pek çok esbaba binaen gösterilmemiş.
Eğer umum onlara dahi gösterilse idi o halde ya işaret-i Ahmediyenin (asm) neticesi ve mu’cize-i nübüvvet olarak gösterilecekti; o vakit risaleti, bedahet derecesine çıkacaktı. Herkes tasdike mecbur olurdu, aklın ihtiyarı kalmazdı. İman ise aklın ihtiyarıyladır. Sırr-ı teklif zayi olurdu. Eğer sırf bir hâdise-i semaviye olarak gösterilse idi risalet-i Ahmediye (asm) ile münasebeti kesilirdi ve onunla hususiyeti kalmazdı.
Elhasıl: Şakk-ı kamerin imkânında şüphe kalmadı. Kat’î ispat edildi. Şimdi vukuuna delâlet eden çok bürhanlarından altısına (Hâşiye[8]) işaret ederiz. Şöyle ki:
Ehl-i adalet olan sahabelerin vukuuna icmaı.
Ve ehl-i tahkik umum müfessirlerin وَ ان۟شَقَّ ال۟قَمَرُ tefsirinde onun vukuuna ittifakı.
Ve ehl-i rivayet-i sadıka bütün muhaddisînin pek çok senetlerle ve muhtelif tarîklerle vukuunu nakletmesi.
Ve ehl-i keşif ve ilham bütün evliya ve sıddıkînin şehadeti.
Ve ilm-i kelâmın meslekçe birbirinden çok uzak olan imamların ve mütebahhir ulemanın tasdiki.
Ve nass-ı kat’î ile dalalet üzerine icmaları vaki olmayan ümmet-i Muhammediyenin (asm) o vak’ayı telakki-i bi’l-kabul etmesi, güneş gibi inşikak-ı kameri ispat eder.
Elhasıl: Buraya kadar tahkik namına ve hasmı ilzam hesabına idi. Bundan sonraki cümleler, hakikat namına ve iman hesabınadır. Evet tahkik öyle dedi, hakikat ise diyor ki:
Sema-yı risaletin kamer-i müniri olan Hâtem-i Divan-ı Nübüvvet, nasıl ki mahbubiyet derecesine çıkan ubudiyetindeki velayetin keramet-i uzması ve mu’cize-i kübrası olan mi’rac ile yani bir cism-i arzı semavatta gezdirmekle semavatın sekenesine ve âlem-i ulvi ehline rüçhaniyeti ve mahbubiyeti gösterildi ve velayetini ispat etti.
Öyle de arza bağlı, semaya asılı olan kameri, bir arzlının işaretiyle iki parça ederek arzın sekenesine, o arzlının risaletine öyle bir mu’cize gösterildi ki Zat-ı Ahmediye (asm) kamerin açılmış iki nurani kanadı gibi risalet ve velayet gibi iki nurani kanadıyla, iki ziyadar cenah ile evc-i kemalâta uçmuş; tâ Kab-ı Kavseyn’e çıkmış hem ehl-i semavat hem ehl-i arza medar-ı fahir olmuştur.
عَلَيْهِ وَعَلٰى آلِهِ الصَّلَاةُ وَالتَّسْلِيمَاتُ مِلْاَ الْاَرْضِ وَالسَّمٰوَاتِ
سُبْحَانَكَ لَاعِلْمَ لَنَٓا اِلَّا مَاعَلَّمْتَنَا اِنَّكَ اَنْتَ الْعَل۪يمُ الْحَك۪يمُ
اَللّٰهُمَّ بِحَقِّ مَنِ انْشَقَّ الْقَمَرُ بِاِشَارَتِهِ اجْعَلْ قَلْبِي وَقُلُوبَ طَلَبَةِ رَسَائِلِ النُّورِ الصَّادِقِينَ كَالْقَمَرِ فِي مُقَابَلَةِ شَمْسِ الْقُرْآنِ آمِينَ آمِينَ
- ↑ *Dalam tafsir Rûh al-Ma’ânî karya al-Alûsî (j.15/h.14), disebutkan sebagai beri- kut: “Kata ganti di atas diasumsikan mengacu kepada Nabi x sebagaimana yang dinukil oleh Abu al-Baqâ dari sebagian mereka. Ia berkata, “Maksudnya, ia mendengar perkataan Kami dan melihat diri Kami.” Menurut al-Jalbi, “Hal itu tidak aneh. Jadi, maknanya, ‘Ham- ba-Ku yang mendapatkan penghormatan tersebut sangat layak atasnya. Ia mendengar pe- rintah-perintah-Ku dan larangan-Ku, mengamalkannya, serta melihat di mana ia melihat makhluk-makhluk-Ku dengan mengambil pelajaran darinya atau melihat berbagai tanda kekuasaan yang kami perlihatkan padanya.’” Lihat pula Tafsir Ismail al-Qanawi ala al- Baidhâwî jilid 4/224 (Ihsan Qasim as-Shalihi).
- ↑ *Lihat: Ahmad ibn Hambal, al-Musnad 2/370; at-Tirmidzi, Tafsir surah al-Hadîd: 1; at-Thabrâni, al-Mu’jam al-Ausath 6/15.
- ↑ *QS. al-Qamar [54]: 1.
- ↑ *Lihat: Ibnu Hibban, as-Shahih 3/109; al-Hâkim, al-Mustadrak 1/680; al-Baihaqi,as-Sunan al-Kubrâ 6/207; Abu Ya’lâ, al-Musnad 4/165.
- ↑ *Lihat: al-Bukhari, Manâqib al-Anshâr 42; Muslim, bab Iman 279 dan bab tentang Musafir 253; at-Tirmidzi, Tafsir Surah an-Najm 1; an-Nasa’i, dalam bab shalat 1 dan bab iftitah 25; Ahmad ibn Hambal, al-Musnad 1/387 dan 422.
- ↑ *Kiasan untuk bola bumi—Peny.
- ↑ *Kiasan untuk Matahari—Peny.
- ↑ Hâşiye: Yani altı defa icma suretinde, vukuuna dair altı hüccet vardır. Bu makam çok izaha lâyık iken maatteessüf kısa kalmıştır.