On Üçüncü Lem'a/id: Revizyonlar arasındaki fark
("Inilah sebabnya mengapa kaum yang sesat yang sebenarnya berada dalam kelemahan bisa melawan dan mengalahkan, secara temporer, kaum yang benar dan kuat yang berada di belakang para nabi." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) |
("Adapun rahasia di balik adanya perlawanan aneh di atas adalah bahwa di dalam kesesatan dan kekufuran terdapat ketiadaan, peng- abaian yang sangat mudah dan tidak perlu bergerak. Di dalamnya juga terdapat perusakan yang sama ringan dan sepelenya, sebab bisa dihadapi hanya dengan sedikit pergerakan saja. Serta, di dalam- nya terdapat pelanggaran dan sikap melampaui batas. Pelanggaran yang ringan dan kecil ini memang bisa menimbulkan bahaya bagi banyak oran..." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) |
||
196. satır: | 196. satır: | ||
Inilah sebabnya mengapa kaum yang sesat yang sebenarnya berada dalam kelemahan bisa melawan dan mengalahkan, secara temporer, kaum yang benar dan kuat yang berada di belakang para nabi. | Inilah sebabnya mengapa kaum yang sesat yang sebenarnya berada dalam kelemahan bisa melawan dan mengalahkan, secara temporer, kaum yang benar dan kuat yang berada di belakang para nabi. | ||
Adapun rahasia di balik adanya perlawanan aneh di atas adalah bahwa di dalam kesesatan dan kekufuran terdapat ketiadaan, peng- abaian yang sangat mudah dan tidak perlu bergerak. Di dalamnya juga terdapat perusakan yang sama ringan dan sepelenya, sebab bisa dihadapi hanya dengan sedikit pergerakan saja. Serta, di dalam- nya terdapat pelanggaran dan sikap melampaui batas. Pelanggaran yang ringan dan kecil ini memang bisa menimbulkan bahaya bagi banyak orang. Sehingga mereka menyangka bahwa kelompok sesat tadi memiliki kekuatan. Akibatnya, mereka direndahkan dan dikua- sai lewat teror dan tindakan fir’aunisme-nya. Lalu di sisi lain, dalam diri manusia tersimpan perasaan materialistik serta kekuatan hewani yang tidak mampu melihat dan memikirkan kesudahan yang ada. Ia tertipu dan terlena oleh kenikmatan yang bersifat sementara. Hal inilah yang kemudian membuat perangkat lunak manusia yaitu akal dan kalbunya, menyimpang dari tugas-tugasnya yang utama. | |||
<div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr"> | <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr"> |
16.05, 20 Aralık 2024 tarihindeki hâli
(Hikmah Isti’âdzah) “Wahai Tuhanku, aku berlindung kepada-Mu dari bisikan-bisikan setan dan aku berlindung kepada-Mu dari kedatangan mereka kepadaku. (QS. al-Mu’minûn [23]: 97-98).
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ
وَقُل۟ رَبِّ اَعُوذُ بِكَ مِن۟ هَمَزَاتِ الشَّيَاطٖينِ وَاَعُوذُ بِكَ رَبِّ اَن۟ يَح۟ضُرُونِ
Cahaya ini membahas tentang hikmah isti’âdzah (permohon- an perlindungan) dari setan. Secara global akan dibahas 13 isyarat di mana sebagiannya telah dijelaskan pada “Kalimat Kedua Puluh Enam” pada risalah-risalah lainnya secara terpisah.
Isyarat Pertama
Pertanyaan:Meskipun setan tidak turut campur dalam masalah penciptaan dalam kehidupan, Allah dengan rahmat dan perlindungan-Nya membantu para pencinta kebenaran. Indahnya kebenaran beserta kebaikannya pun memperkokoh dan memotivasi mereka. Kesesatan beserta keburukannya membuat orang-orang sesat dimusuhi. Oleh karena itu, apa hikmah dari kemenangan golongan setan terhadap manusia dalam banyak hal? Apa rahasia dari permohonan perlindungan pencinta kebenaran kepada Allah dari godaan setan setiap saat?
Jawaban: Hikmah dan rahasianya adalah sebagai berikut:Pada umumnya kesesatan dan keburukan adalah suatu kenegatifan, perusakan dan penghancuran serta bersifat nihil. Sedangkan hidayah (petunjuk) dan kebaikan bersifat positif, memperbaiki, membentuk, dan membangun.
Seperti kita ketahui, bahwa suatu bangunan yang didirikan oleh dua puluh orang dalam dua puluh hari bisa saja dihancurkan oleh satu orang dalam sehari! Berfungsinya seluruh anggota tubuh utama manusia adalah syarat berlangsungnya kehidupan manusia tersebut meskipun tetap terikat dengan qudrah dari Allah terkecuali ketika manusia matiyang merupakan suatu ketiadaandan jika salah satunya tidak dirusak oleh orang zalim. Dalam hal ini berlaku pepatah “menghancur- kan lebih mudah daripada membangun dan memelihara.”
Inilah rahasianya mengapa kadang-kadang golongan sesat dengan tipu dayanya yang sebenarnya lemah dapat mengalahkan golongan orang-orang yang benar. Namun para pecinta kebenaran memiliki benteng yang kokoh untuk berlindung dan mempertahankan diri. Oleh karena itu, musuh tidak berani mendekati mereka dan tidak dapat mencelakakan mereka. Meskipun beberapa dapat menimpa mereka dalam sesaat namun kemenangan dan pahala abadi yang menunggu mereka berupa kabar gembira dalam al-Qur’an:“Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-A’râf [7]: 128). dapat mengusir pengaruh keburukan tersebut. Benteng kokoh itu adalah syariat Allah dan sunnah Rasulullah.
Isyarat Kedua
Beberapa pertanyaan yang sering muncul di benak kebanyakan orang: Penciptaan setan yang merupakan keburukan nyata dan serangannya terhadap orang beriman adalah hal yang buruk dan menakutkan. Karena keberadaan setan, kebanyakan manusia masuk kekufuran dan terjerumus ke neraka.
Lalu bagaimana bisa Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang dan Maha Indah mengizinkan adanya keburukan yang tiada akhir dan musibah besar ini?
Jawaban:Sesungguhnya di balik kejahatan-kejahatan yang tersembunyi dalam diri setan terdapat maksud-maksud terbaik yang lebih besar serta terkandung kesempurnaan yang dapat meningkatkan derajat manusia menuju kesempurnaan. Ya, seperti adanya banyak fase pada tumbuhan yang dimulai dari biji hingga menjadi pohon yang tinggi. Begitu pula potensi yang ada dalam diri manusia berupa tingkatan atau derajat yang lebih banyak daripada tumbuhan dari atom hingga matahari. Agar potensi tersebut berkembang, maka dia harus “bergerak” dan berinteraksi. Gerakan yang dapat menca- pai ketinggian derajat tersebut adalah dengan mujâhadah atau perjuangan yang sungguh-sungguh. Mujahadah hanya akan muncul jika ada setan dan sesuatu yang mengancam. Tanpa mujahadah tersebut martabat manusia pasti statis seperti layaknya malaikat. Pada titik ini tidak akan muncul manusia-manusia pilihan. Adalah bertentangan dengan hikmah dan keadilan jika seribu kebaikan diabaikan hanya karena suatu keburukan parsial.
Meskipun kebanyakan manusia terjerumus dalam kesesatan akibat tipu daya setan, namun kepentingan dan nilai pada umumnya tergantung pada kualitas tanpa melihat kuantitas kecuali sedikit saja atau malah diabaikan. Contoh mengenai hal ini adalah adanya seseorang yang mempunyai 1.010 benih lalu ditanam. Lalu 10 benih tumbuh dan 1.000 benih rusak. Manfaat 10 benih yang tumbuh dan berbuah menghilangkan kerugian 1.000 benih yang rusak.
Begitulah manfaat dan derajat yang diperoleh manusia jika ada 10 “manusia sempurna” yang bercahaya laksana bintang gemintang di langit, yang memimpin manusia menuju ketinggian dan kesuksesan, menerangi jalan di hadapan manusia, mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya dengan bermujahadah untuk diri mereka dan godaan setan maka pasti manfaat kedudukannya itu mampu menghapus keburukan-keburukan dari orang-orang malang yang berkubang dalam lumpur kekafiran. Orang-orang yang sesat itu seperti serangga-serangga yang tak berharga saja layaknya. Karena itu, keadilan serta kasih sayang ilahi meridhai keberadaan setan serta kemampuannya menguasai manusia.
Wahai orang-orang beriman! Pelindung kalian dari serangan musuh-musuh itu adalah takwa yang terbentuk dalam keteduhan ayat-ayat al-Qur’an; parit-parit pertahanan kalian adalah sunnah nabi kalian; sedangkan senjata kalian adalah ta’awudz dan istigfar kepada Allah.
Isyarat Ketiga
Pertanyaan:Ancaman keras dalam al-Qur’an terhadap orang- orang sesat tidak sesuai dengan akal, balagah yang adil dan saling ber- kaitan serta bersifat jalan tengah dan istikamah yang terdapat dalam gaya bahasa al-Qur’an. Karena seolah-olah al-Qur’an menggerakkan tentara-tentara untuk menghadapi satu orang yang tidak memiliki kekuasaan apa pun. Mengancam gerakannya yang parsial seolah-olah melakukan ribuan kriminal. Meskipun orang tersebut bangkrut dan tidak memiliki bagian dari harta, al-Qur’an memberikan kedudukan kepadanya seperti seorang sekutu dan mengeluhkannya. Apa rahasia dan hikmah hal ini?
Jawaban:Rahasia dan hikmahnya adalah bahwa setan dan antek-anteknya mampu melakukan penghancuran besar-besaran dengan satu aksi sederhana. Karena mereka menempuh jalan kesesatan, maka satu perbuatan buruk yang kecil akan disusul dengan kerusakan besar yang menyangkut hak orang banyak.
Dalam hal ini, mereka seperti orang yang naik sebuah kapal lalu melubangi kapal itu dengan satu lubang atau dia meninggalkan kewajiban yang harus ditunaikannya sehingga perbuatannya ini merusak jerih payah orang-orang yang ada di kapal itu. Oleh karena itu, nakhoda kapal itu pasti akan mengancamnya dengan keras atas nama semua yang menjadi tanggungan perlindungannya serta atas nama kepentingan orang-orang di kapal tersebut. Ia pun akan menghukum orang yang melubangi tersebut dengan hukuman berat bukan karena perbuatan menyimpangnya itu atau karena ia melalaikan kewajiban, tapi karena akibat-akibat yang akan ditimbulkan dari perbuatan dan kelalaiannya.
Bukan pula karena ia melampaui wewenang nakhoda, namun karena ia melanggar hak-hak semua penumpang kapal. Demikian pula “kapal” bumi ini. Di samping dihuni oleh orang-orang beriman juga dihuni oleh orang-orang sesat pengikut setan yang mengabaikan akibat-akibat dari fungsi-fungsi alam yang harmonis bahkan menganggap sebagai suatu kesia-siaan yang tidak bermanfaat serta sebagai suatu kebatilan. Mereka menyepelekan hal tersebut hingga melahirkan kesalahan-kesalahan dan kemaksiatan yang jelas merupakan suatu bentuk perlawanan dan pelampauan batas terhadap hak-hak kehidupan. Oleh karena itu, Allah, Sang pemilik keabadian, memberikan ancaman-ancaman yang menakutkan untuk orang-orang yang sesat yang melakukan perusakan. Hal itu merupakan sebuah keserasian sempurna dalam metode al-Qur’an. Hal itu juga merupakan hikmah yang tinggi dan suci yang tersembunyi dalam jiwa ungkapan sastra qurani yang merupakan penyesuaian antara susunan perkataan dengan objek yang dituju.
Suatu ungkapan yang bersih dan jauh dari sikap berlebih-lebihan. Karena itulah, betapa hancur dan ruginya orang yang tidak membentengi diri secara kokoh dari musuh-musuh yang melakukan perusakan dan penghancuran melalui gerakan-gerakan mereka yang sederhana. Wahai orang-orang beriman! Di hadapan kalian ada benteng samawi yang kokoh, yaitu al-Qur’an. Masuklah ke dalamnya dan se- lamatkanlah diri kalian!
Isyarat Keempat
Para ulama dan wali telah sepakat bahwa “ketiadaan” adalah suatu keburukan yang nyata, sementara “keberadaan” adalah suatu kebaikan yang nyata. Ya, pada umumnya kebaikan dan kesempurnaan bersandar pada keberadaan dan kembali kepadanya, maka asasnya merupakan suatu hal yang positif dan realistis, meskipun kehampaan dan sisi negatif kadang muncul. Dasar dari kesesatan, keburukan, kemaksiatan dan sebagainya adalah ketiadaan dan kenegatifan. Karena itu, kejahatan dan kejelekan muncul dari ketiadaan tersebut. Meskipun bentuk lahiriahnya terlihat positif dan realistis, namun asasnya ada- lah ketiadaan dan pengingkaran.
Suatu bangunan yang kokoh dengan semua bagian-bagiannya dapat dirusak hanya dengan menghancurkan salah satu tiangnya. Dengan kata lain, “keberadaan” membutuhkan suatu sebab yang nyata dan sebab tersebut haruslah sebab yang hakiki; sementara “ketiadaan” dapat saja berlandaskan pada hal-hal yang tidak riil yang men- jadi sebab ketiadaannya.
Berdasarkan dua hal tersebut maka setan, baik dari jenis jin maupun manusia, tidak memiliki kekuasaan apa pun dalam hal penciptaan dan tidak memiliki porsi dalam kekuasaan Ilahi, meskipun mereka melakukan penghancuran, beragam kekafiran, kesesatan, dan kejahatan. Mereka tidak melakukan hal tersebut berdasarkan kemampuan dan kekuatan, tetapi dari meninggalkan suatu perbuatan dan bersikap lalai. Karena itu, mereka berbuat buruk dengan menghalangi kebaikan.
Karena keburukan adalah suatu bentuk penghancuran, maka tidak semestinya sebabnya berasal dari suatu keberadaan yang aktif, tidak juga dari suatu kemampuan yang diadakan, melainkan peng- hancuran itu mungkin dari suatu “ketiadaan” dan dari satu pelang- garan terhadap suatu syarat kebaikan. Karena ketidaktahuan mengenai hal inilah maka orang-orang Majusi meyakini adanya tuhan kebaikan yang mereka sebut sebagai “yazdan” dan tuhan keburukan yang disebut “ahriman” yang sebenarnya tidak lain setan yang men- jadi sebab dan sarana terjadinya keburukan melalui kehendak untuk menyempal atau melalui suatu aksi, bukan melalui suatu penciptaan.
Demikianlah, wahai orang-orang yang beriman! Pedang kalian yang paling tajam melawan setan serta sarana terpenting untuk mem- bangun dan memelihara kehidupan adalah istigfar dan ta’awudz, serta ketahuilah bahwa benteng kalian adalah sunnah rasul kalian.
Isyarat Kelima
Orang-orang beriman dapat dikalahkan oleh tipu daya setan yang lemah meskipun sebab-sebab hidayah, istikamah, dan sarana-sarana bimbingan telah dijelaskan oleh Allah dalam kitab suci al- Qur’an berupa pahala, yaitu surga, dan siksa yang pedih, yaitu neraka. Allah pun sering mengulang-ulang pengarahan, peringatan, dan kabar gembira. Hal ini banyak menyita pikiranku. Bagaimana orang beriman bisa tidak memperhatikan ancaman Allah yang menakutkan? Bagaimana keimanan seseorang tidak luntur padahal ia memberontak kepada Allah karena mengikuti langkah-langkah dan tipu daya setan yang lemah seperti dalam firman Allah pada surat an-Nisa: 76.
“Sesungguhnya tipu daya setan itu lemah.” Bahkan meskipun beberapa sahabat dekatku setelah mende- ngar pelajaran mengenai hakikat iman dan membenarkannya serta berprasangka baik padaku telah terbawa untuk memberi pujian pada seseorang yang rusak dan mati hatinya lalu sahabatku itu terpikat olehnya sampai akhirnya mereka memusuhiku.
Maka aku berkata pada diriku sendiri: Subhanallah mungkinkah seorang manusia meluncur turun ke dalam kerendahan seperti itu? Betapa murahnya modal yang dimiliki orang itu? Aku pun menggungjingnya dan berbuat dosa.
Alhamdulillah, kemudian terungkaplah hakikat-hakikat dari permasalahan tadi sehingga hakikat-hakikat tersebut menerangi hal-hal yang masih samar. Dengan cahaya itu aku memahami bahwa dorongan dan motivasi yang terdapat dalam al-Qur’an sangat sesuai; terpedayanya orang beriman oleh tipu daya setan tidak terjadi karena ketiadaan iman, bukan pula karena kelemahannya; mereka yang melakukan dosa besar tidak masuk dalam kekufuran. Golongan mu’tazilah dan suatu sekte dalam khawarij telah keliru ketika mereka mengafirkan pelaku dosa besar dan memosisikan mereka di hari kia- mat pada suatu tempat khusus yang bukan surga dan neraka (manzilah baina manzilatain). Temanku yang mengorbankan seratus pelajaran keimanan untuk memuji seseorang yang sesat, tidaklah jatuh terlampau jauh dalam kerendahan yang kubayangkan. Oleh karena itu, aku bersyukur kepada Allah yang telah menyelamatkanku dari situasi yang sulit itu.
Hal tersebut terjadi karena setan seperti yang telah kusebutkan dengan tindakan perusakan yang kecil membawa manusia dalam bahaya. Nafsu manusia selalu mendengarkan setan dan syahwat serta kemarahan manusia seperti layaknya alat penerima dan pengirim bagi tipu daya setan.
Oleh karena itu, Allah memiliki dua nama khusus dari Asmaul Husna yaitu al-Gaffâr (Maha Pengampun) dan ar-Rahîm (Maha Penyayang) agar tampak jelas sejelas-jelasnya bagi orang beriman bahwa kebaikan terbesar dari Allah yang disampaikan kepada para nabi adalah ampunan, maka Allah menyeru mereka untuk beristigfar. Allah, dengan menjadikan kalimat sebagai pembuka tiap surat al-Qur’an serta pembuka setiap perbuatan baik, menunjukkan rahmat-Nya yang meliputi alam semesta sebagai tempat perlindungan bagi orang beriman. Dengan perintah ta’awudz Allah menjadikan kalimat sebagai benteng bagi orang beriman.
Isyarat Keenam
Skenario setan yang paling berbahaya adalah mencampurkan ide-ide mengenai kekufuran ke dalam perasaan orang yang memiliki hati yang bersih dan sensitif dengan membenarkan kekufuran itu sendiri. Setan juga menunjukkan bahwa mengkhayalkan kesesatan sebagai pembenaran terhadap kesesatan itu sendiri. Selain itu, setan juga memberikan lintasan-lintasan pemikiran yang jelek dalam hal- hal yang sakral serta ia menunjukkan imkan dzati (kemungkinan yang bersifat potensial) dalam bentuk imkan aqli (kemungkinan yang bersifat rasional) dan menumbuhkan keragu-raguan yang bertentangan dengan keyakinan imannya. Pada saat hal itu terjadi, maka orang tersebut merasa bahwa dirinya telah jatuh ke dalam kekufuran dan kesesatan, serta menganggap bahwa keimanannya telah luntur hingga ia merasa putus asa. Dengan keputusasaannya ini ia menja- di bahan tertawaan setan yang selalu memberikan bisikan dengan mempermainkan serta membuat perasaan menjadi gamang dalam keputusasaannya, hingga jika tidak diluruskan hal itu bisa menghancurkan jasmani dan rohaninya atau menjatuhkannya ke lembah ke- sesatan.
Dalam beberapa risalah, kami telah menjelaskan esensi bisikan serta godaan setan ini serta penjelasan bahwa godaan tidak memiliki sandaran. Di sini aku hanya akan menjelaskan secara global saja. Sebagaimana bayangan ular dalam cermin tidak bisa menggigit, pantulan api di cermin tidak membakar, bayangan kotor di cermin tidak mengotori, begitu pula kekafiran dan kesesatan yang terefleksikan dalam khayalan dan pikiran tidaklah merusak akidah dan keimanan karena adanya kaidah “membayangkan caci maki bukanlah caci maki,
mengkhayalkan suatu kekafiran bukanlah kekafiran, dan berpikir tentang kesesatan bukanlah kesesatan itu sendiri”.
Adapun masalah keragu-raguan dalam hal keimanan, kemungkinan yang berasal imkan dzati tidak bertentangan dengan keyakinan itu dan tidak merusaknya. Dalam ilmu ushuluddin ada sebuah kaidah “imkan dzati (kemungkinan yang bersifat potensial) tidak bertentangan dengan keyakinan yang diperoleh melalui pengetahuan”.
اِنَّ ال۟اِم۟كَانَ الذَّاتِىَّ لَا يُنَافِى ال۟يَقٖينَ ال۟عِل۟مِىَّ
Contohnya adalah bahwa kita yakin bahwa Danau Barla dipe- nuhi air dan tetap pada posisinya. Namun demikian mungkin saja danau itu mengering hingga “hilang”. Tetapi karena hal itu tidak berdasar pada indikasi-indikasi atau argumentasi yang logis, maka hal itu tidak dapat disebut sebagai “kemungkinan logis”, sehingga tidak ada keraguan terhadap keberadaan danau tersebut.
Dalam ushuluddin ada prinsip bahwa “kemungkinan yang tidak beralasan, tidak dapat dijadikan pegangan.
لَا عِب۟رَةَ لِل۟اِح۟تِمَالِ ال۟غَي۟رِ النَّاشِئِ عَن۟ دَلٖيلٍ
Artinya, pikiran subjektif yang tidak dilandasi argumentasi dan indikasi-indikasi logis patut diragukan. Demikianlah orang malang yang terkena bisikan setan mengira bahwa keyakinannya terhadap hakikat-hakikat iman telah hilang dengan imkan dzati.
Misalnya terlintas dalam benaknya sesuatu yang mungkin terjadi mengenai Nabi sebagai manusia, tentu hal ini tidak merugikan keyakinan imannya. Tetapi dia mengira ada kerugian baginya dan terjerumus dalam kerugian.
Terkadang setan menggoda hati manusia untuk mengeluarkan kata-kata yang tidak sesuai dengan kemuliaan Allah lalu ia menganggap bahwa hatinyalah yang sakit yang membuatnya mengeluarkan kata-kata tersebut sehingga hal ini membuatnya gamang dan menderita. Padahal kegamangan, ketakutan, serta ketidaksukaannya terhadap kata-kata jeleknya itu menunjukkan bahwa hal itu tidak muncul dari hati nuraninya, namun berasal dari bisikan setan dengan memberikannya suatu gambaran mengenai kata itu dan mengingatkan orang tersebut akan kata-kata buruk itu.
Oleh karena itu, ada dua perasaan manusia yang tidak bisa kudeskripsikan, tidak terkendali oleh kehendak dan ikhtiar, mungkin mereka tidak bertanggung jawab hingga hal itu mempengaruhi diri manusia tanpa mengindahkan seruan kebenaran lalu membuat mereka terjerumus pada kesalahan. Pada saat itulah setan membisikkan pada manusia ini, “Fitrahmu sudah rusak, bertentangan dengan nilai-nilai iman dan kebenaran. Tidakkah kamu sadari bahwa fitrahmu meluncur tanpa kendali dalam kebatilan-kebatilan seperti ini? Karena itu, kamu ditakdirkan hidup dalam kemalangan dan pen- deritaan.” Maka orang yang malang itu hancur dalam keputusasaan.
Demikianlah sesungguhnya benteng kokoh seorang mukmin dari tipu daya setan seperti contoh pertama adalah petunjuk-petunjuk al-Qur’an serta hakikat-hakikat keimanan yang batas-batas- nya telah dijelaskan oleh para ulama yang saleh. Adapun benteng untuk godaan seperti contoh yang kedua adalah dengan memohon perlindungan kepada Allah dan mengabaikan bisikan-bisikan tersebut karena tabiat bisikan setan adalah semakin kita memperhatikan bisikannya maka semakin gencar bisikan tersebut. Karena itu, sunnah rasul adalah obat bagi penyakit-penyakit ruhani.
Isyarat Ketujuh
Pertanyaan: Karena para tokoh Mu’tazilah berpendapat bahwa penciptaan keburukan adalah suatu keburukan, maka mereka tidak mengembalikan penciptaan kekufuran dan kesesatan kepada Allah. Seolah-olah dengan pendapatnya itu mereka mensucikan Allah. Mereka menuju kesesatan dengan ucapan, “Manusia adalah pencipta bagi perbuatannya sendiri.”
Mereka juga berpendapat bahwa pelaku dosa besar batal keimanannya karena percaya kepada Allah dan membenarkan adanya neraka tidak bisa dibarengi dengan dosa-dosa besar. Manusia yang melindungi dirinya dari segala hal yang melanggar hukum karena khawatir dipenjara, sementara melakukan dosa-dosa besar tanpa memperhatikan murka Allah dan siksa neraka jahannam, maka hal itu menjadi dalil hilangnya keimanan dalam diri mereka.
Jawaban
terhadap soal bagian pertama adalah seperti apa yang kami jelaskan pada risalah tentang qadar yaitu bahwa penciptaan keburukan bukanlah keburukan, tetapi melakukan keburukan itulah keburukan. Sebab, penciptaan tergantung pada hasil-hasil globalnya. Karena keberadaan keburukan menjadi permulaan untuk menghasilkan kebaikan-kebaikan yang banyak, maka penciptaannya menjadi suatu kebaikan dari sisi hasilnya atau dihitung sebagai suatu kebaikan.
Contohnya adalah api. Api memiliki banyak sekali manfaat, maka tidak pantas seseorang mengatakan bahwa penciptaan api adalah sebuah kejahatan, kecuali jika api itu disalahgunakan untuk berbuat kejahatan.
Begitu pula penciptaan setan. Di balik penciptaan setan terdapat dampak-dampak yang mengandung banyak hikmah bagi manusia, seperti upaya manusia untuk meningkat ke derajat yang lebih tinggi dan sempurna karena menghindari godaan-godaan setan. Oleh karena itu, orang-orang yang takluk pada setan karena ikhtiar dan perbuatannya yang keliru, tidak bisa dibenarkan untuk mengatakan bahwa penciptaan setan adalah sebuah kejahatan. Sebab, mereka sendirilah yang berikhtiar melakukan kejahatan.Adapun karena kasb (usaha) merupakan permulaan suatu perbuatan yang parsial, maka ia menjadi sarana untuk hasil kejahatan-kejahatan tertentu yang bersifat khusus, sehingga melakukan keburukan adalah keburukan. Tetapi karena penciptaan terkait dengan hasil-hasil yang bersifat umum, maka penciptaan keburukan bukanlah kejahatan, melainkan suatu kebaikan.
Demikianlah, karena Mu’tazilah tidak dapat memahami ra- hasia ini, maka mereka mengatakan bahwa penciptaan keburukan dan kejahatan adalah suatu kejahatan dan keburukan. Mereka tidak mengembalikan penciptaan keburukan ini kepada Allah dan terjerumus dalam kesesatan. Mereka mentakwilkan prinsip “qadar baik dan buruk berasal dari Allah” yang merupakan salah satu rukun iman.
Adapun pertanyaan kedua mengenai bagaimana bisa pelaku dosa besar tetap mukmin?
Pertama, kesalahan mereka dapat dipahami secara pasti pada isyarat-isyarat sebelumnya, maka tidak perlu diulangi.
Kedua, sesungguhnya nafsu manusia lebih memilih satu ons kenikmatan “sekarang” yang sesaat daripada satu kuintal kenikmatan “mendatang” yang kekal. Nafsu lebih suka mengeluhkan penderitaan yang bersifat duniawi dibanding azab Allah di kemudian hari. Dan ketika perasaan manusia itu terusik, ia tidak tunduk pada pertim- bangan-pertimbangan akal sehingga hawa nafsulah yang mengen- dalikannya. Pada saat itu, mereka lebih memilih kenikmatan sesaat dibanding pahala di akhirat, lebih menjauhi kesempitan duniawi dibanding menjauhi azab Allah yang pedih.Ketika hawa nafsu dan perasaan tidak melihat masa depan, bahkan mengingkarinya, sesungguhnya akal dan kalbu yang merupakan tempat bersemainya iman diam tak berkutik sehingga keduanya dikalahkan.
Maka ketika itu perbuatan dosa besar tidaklah muncul dari ketiadaan iman, tetapi muncul dari dominasi dan kemenangan perasaan dan hawa nafsu atas akal dan hati.
Dari isyarat-isyarat sebelumnya, telah dipahami bahwa jalan bagi hawa nafsu dan keburukan amat mudah ditempuh karena ia berupa penghancuran. Oleh karena itu, setan dari jenis jin dan ma- nusia amat mudah mengarahkan manusia ke jalan tersebut. Karena itu, amat mengherankan jika anda perhatikan ada sebagian manusia yang mengikuti langkah-langkah setan dengan lebih mendahulukan kenikmatan duniawi sesaat yang hanya seukuran sayap nyamuk dibanding mendahulukan kenikmatan akhirat yang abadi. Padahal cahaya abadi yang berasal dari alam akhirat meski seukuran sayap nyamuk melampaui seluruh kenikmatan duniawi yang diperoleh ma- nusia seperti tertera dalam sebuah hadis.
Demikianlah karena rahasia-rahasia dan hikmah-hikmah inilah al-Qur’an selalu mengulang-ulang kabar gembira dan ancaman untuk menjauhkan orang-orang beriman dari dosa-dosa dan kesalahan serta mendorong mereka pada kebaikan.
Suatu hari, pernah terpikir olehku satu pertanyaan mengenai pengulangan-pengulangan al-Qur’an mengenai bimbingan dan pengarahan-pengarahan yaitu tidakkah peringatan yang terus-menerus itu melukai perasaan orang beriman dalam hal keteguhan hati dan keikhlasannya sehingga menodai kehormatannya sebagai manusia? Suatu perintah yang diulang-ulang oleh atasan kepada pegawai bawahannya membuat pegawai itu menganggap bahwa seolah loyalitasnya diragukan dan tidak becus bekerja, namun al-Qur’an selalu mengulang-ulang perintah-perintah-Nya kepada orang-orang ber- iman yang ikhlas.
Ketika pertanyaan itu menggayuti pikiran, bersamaku ada teman-teman yang ikhlas yang selalu kuingatkan agar mereka jangan terpedaya oleh godaan-godaan setan dari jenis manusia. Mereka tidak tampak gusar dan menentang peringatan-peringatanku itu. Tidak ada satu pun yang berkata, “Anda meragukan keikhlasan kami?” Namun demikian, aku selalu berkata pada diri sendiri, “Aku khawatir telah membuat mereka marah disebabkan arahan-arahan dariku yang selalu berulang seolah-olah aku meragukan kesetiaan dan keteguhan hati mereka.”
Dalam kondisi demikian terungkaplah dengan jelas hakikat dari isyarat-isyarat sebelumnya dan aku mengetahui bahwa gaya al-Qur’an dalam mengulang-ulang peringatan tersebut sesuai dengan keadaan objeknya. Hal itu amat penting dan tidak ada sedikit pun yang berlebihan dan tidak ada dakwaan terhadap objeknya. Hal ini adalah suatu hikmah yang amat bernilai serta menunjukkan betapa tingginya gaya ungkapan al-Qur’an. Dengan demikian, aku mengetahui mengapa teman-teman tidak marah dan menentangku ketika aku selalu mengulang-ulang nasehat kepada mereka.
Kesimpulan dari hakikat tersebut adalah bahwa sesungguhnya perbuatan menyimpang yang muncul dari setan meskipun remeh dapat menyebabkan banyak keburukan, sebab hal itu merupakan suatu bentuk perusakan dan penghancuran. Oleh karena itu, orang- orang yang menempuh jalan kebenaran dan petunjuk agar berha- tihati dan menjauh darinya serta selalu memohon perlindungan Allah mengingat betapa butuhnya manusia akan hal itu. Karena itu, Allah mendahulukan, dalam pengulangan tersebut, pertolongan dan dukungan kepada orang-orang yang benar dengan seribu nama dari Asmaul Husna serta memberi dukungan kepada mereka dengan be- rita kasih sayang dan perhatian untuk menyokong mereka. Dengan demikian, maka kehormatan seorang mukmin tidaklah ternodai bahkan Allah menjaga dan memeliharanya. Allah tidak meremehkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi manusia bahkan menunjukkan besarnya bahaya godaan setan.
Wahai ahli haq dan orang-orang yang mendapatkan hidayah! Cara untuk menyelamatkan diri dari bisikan-bisikan yang bersumber dari setan jin dan manusia adalah menjadikan jalan ahli haq yang merupakan ahlu sunnah wal jamaah sebagai markas besar, masuk ke dalam benteng kokoh al-Qur’an, serta menjadikan sunnah nabi sebagai teladanmu. Dengan izin Allah, niscaya kalian selamat!
Isyarat Kedelapan
Pertanyaan:Dalam isyarat-isyarat sebelumnya telah anda jelaskan bahwa karena jalan kesesatan adalah bentuk pelampauan batas, penghancuran, serta penentangan, maka kebanyakan orang mudah menempuh jalan itu. Namun, anda telah sebutkan dalam risalah-risalah lainnya bahwa jalan kekufuran dan kesesatan sulit ditempuh sehingga seseorang tidak mungkin mampu menempuhnya. Sebaliknya, jalan keimanan dan petunjuk sangatlah mudah, semestinya semua orang dapat menempuhnya.
Jawabannya adalah bahwa kekafiran dan kesesatan itu ada dua macam.Pertama: penolakan terhadap hal-hal yang menyangkut keimanan yang bersifat amali dan cabang. Kesesatan seperti ini mudah dilakukan karena merupakan sikap tidak menerima terhadap kebe- naran, semata-mata tidak menerima dan meninggalkan. Kesesatan semacam inilah yang mudah dilakukan sebagaimana dijelaskan dalam Risalah Nur.
Kedua: Kesesatan yang tidak bersifat amali dan cabang, tetapi merupakan ketetapan hati yang terkait dengan akidah dan pemikiran. Bukan sekadar menafikan keimanan, melainkan juga upaya untuk menempuh jalan yang bertentangan dengan keimanan, menerima kebatilan, serta melakukan perlawanan terhadap kebenaran. Hal ini merupakan penentangan dan perlawanan terhadap keimanan, karena itu ini bukanlah urusan “tidak menerima” semata, tapi “menerima ketiadaan iman”, sementara hal itu bisa diterima dengan pembuktian ketiadaan. Tentu tidaklah mudah pembuktian ketiadaan sesuai dengan kaidah “ketiadaan tidak bisa dibuktikan.”
Itulah jenis kekufuran dan kesesatan yang dijelaskan dalam seluruh risalah bahwa jalan itu sulit ditempuh. Orang yang memiliki kesadaran secuil pun tidak akan menempuh jalan itu. Sebagaimana dibuktikan dengan tegas dalam berbagai risalah, di jalan tersebut ada penderitaan yang pedih dan kegelapan yang menakutkan, sehingga orang yang memiliki akal sedikit pun tidak ingin menempuh jalan itu.
Mungkin ada yang bertanya, jika jalan kesesatan itu gelap, menakutkan, dan menyakitkan lalu mengapa banyak yang mengikutinya?
Maka jawabannya adalah bahwa mereka telah terjerumus dalam kesesatan, tidak bisa keluar. Karena naluri manusia yang bersifat hewani dan nabati tidak melihat dan berpikir akibat kesesatan dan mereka mengalahkan perasaan manusia yang lainnya, maka mereka tidak ingin keluar dari kesasatan dan merasa terhibur dengan kenikmatan sesaat.
Pertanyaan: Jika dalam kekafiran terdapat kepedihan dan rasa takut yang dahsyat, dan orang kafir—sebagai manusia—sangat menyenangi kehidupannya dan merindukan sesuatu yang tak terhingga, sementara dengan kekufurannya itu dia menyadari bahwa kematiannya merupakan ketiadaan (kemusnahan) dan perpisahan abadi. Dengan matanya, dia senantiasa melihat bahwa segala entitas dan semua orang yang dia cintai berjalan menuju kemusnahan dan perpisahan abadi. Dengan demikian, segala sesuatu baginya berjalan menuju kemusnahan. Maka, bagaimana hatinya tidak remuk dan mengapa tidak merasa terpukul dengan kondisi yang dialaminya? Bahkan, bagaimana dia bisa menikmati kehidupan?
Jawaban: Sesungguhnya ia menipu dirinya sendiri dengan kebohongan-kebohongan setan. Ia menganggap bahwa kenikmatan duniawi harus direguk seluruhnya. Kami akan ungkapkan hakikat hal ini dengan perumpamaan yang umum diberikan seperti ini:
Dikisahkan bahwa ada burung unta yang ditanya, mengapa ia tidak terbang padahal memiliki sayap. Lalu ia menjawab, “Saya bukan burung, tapi unta. Lalu ia memasukkan kepalanya ke dalam pasir dan membiarkan badannya yang besar di atas pasir sehingga menjadi sasaran pemburu. Kemudian ia ditanya, “Jika kamu unta, maka bawalah beban ini.” Saat itu pula ia mengepakkan sayapnya dan mematuk-matukkan paruhnya karena mengetahui beratnya beban tersebut lalu ia pun berkata, “Saya adalah seekor burung.” Lalu ia pun ditinggalkan sendirian tanpa makanan dan perlindungan sehingga menjadi sasaran pemburu.
Demikianlah halnya dengan orang kafir. Ia meninggalkan kekafiran mutlak akibat peringatan-peringatan dari al-Qur’an dan pindah ke kekafiran yang ragu-ragu. Jika ia ditanya bagaimana ia bisa enak-enakan hidup padahal kematian menghadangnya? Dan apakah orang yang akan diseret ke tiang gantungan dapat hidup tenang? maka ia menjawab, “Tidak... kematian bukanlah kehampaan karena kemungkinan ada keabadiaan.” Hal ini terjadi setelah orang-orang kafir menyadari keuniversalan al-Qur’an dan kebesaran rahmat Allah yang membuatnya bimbang dalam kekafirannya. Atau ia memasuk- kan kepalanya dalam lumpur kelalaian seperti burung unta agar ajal tidak menjemputnya, kubur tidak melihatnya, dan kefanaan tidak mengejarnya.
Kesimpulannya, keadaan orang kafir bagaikan burung unta. Ketika ia melihat kematian sebagai lenyapnya eksistensi dirinya, ia pun berupaya menyelamatkan diri dengan meyakini adanya ke- hidupan akhirat, sebagaimana telah diberitakan secara tegas oleh al- Qur’an dan kitab-kitab samawi. Keyakinan inilah yang melahirkan optimisme baginya bahwa ia bakal tetap hidup sesudah mati.Namun ketika dikatakan kepadanya, “Jika kamu menyadari bahwa tempat kembali adalah alam akhirat, lalu mengapa kamu tidak melaksanakan perintah-perintah agama yang telah diwajibkan kepadamu agar kamu bahagia di alam itu?”
Maka ia, didasari kebimbangan dalam kekafiran, menjawab, “Mungkin tidak ada alam lain selain alam dunia ini, jadi untuk apa saya menyusahkan diri sendiri?”. Artinya, ia menyelamatkan diri dari getirnya ketiadaan eksistensi diri setelah kematian dengan berpegang pada janji al-Qur’an tentang hari akhirat yang kekal. Namun, ketika kewajiban-kewajiban agama disodorkan kepadanya, ia mengangkat tangan dan mengabaikan kewajiban-kewajiban itu karena masih adanya kekufuran yang bimbang itu.
Dari sisi ini maka orang kafir menyangka bahwa ia menikmati kehidupan dunia lebih banyak dari orang mukmin karena ia tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban agama dan pada saat yang sama ia terhindar dari siksa neraka karena ia juga merasa beriman. Namun, sebenarnya hal ini adalah kesalahan yang berasal dari bisikan setan yang tidak memiliki manfaat dan semu.
Dengan demikian, al-Qur’an memiliki sisi rahmat bagi orang- orang kafir di mana pada derajat tertentu menyelamatkan mereka, kehidupan dunia mereka tidak menjadi neraka dengan memberikan sejenis keraguan, sehingga mereka hidup dalam kebimbangan. Jika tidak, mereka tersiksa azab neraka maknawi di dunia ini bagaikan neraka di akhirat dan mereka terpaksa bunuh diri.
Oleh karena itu, wahai orang-orang yang beriman! Berlindunglah di bawah naungan al-Qur’an yang telah menyelamatkan kalian dari kehampaan dan dari penderitaan dunia dan akhirat dengan pe- nuh keyakinan, rasa percaya diri, dan ketenangan. Dan serahkanlah diri kalian sepenuhnya dalam naungan sunnah Nabi Muhammad. Selamatkanlah diri kalian dari penderitaan dunia dan azab akhirat.
Isyarat Kesembilan
Pertanyaan: Mengapa seringkali kelompok yang mendapat petunjuk bisa dikalahkan oleh kelompok sesat yang tergabung dalam golongan setan? Padahal, kelompok yang mendapat petunjuk itu mendapat pertolongan dan rahmat Tuhan, berada di belakang para nabi yang mulia, serta dibimbing oleh pemimpin alam semesta, Nabi Muhammad.
Lalu mengapa sekelompok penduduk Madinah bersikap mu- nafik, tetap berada dalam kesesatan, serta tidak mau meniti jalan yang benar, padahal mereka hidup berdampingan dengan Rasul yang kenabian dan kerasulannya begitu terang seperti mentari? Beliau terus mengingatkan mereka dengan mukjizat al-Qur’an yang bisa mempengaruhi jiwa layaknya obat mujarab, dan mengajarkan mereka dengan berbagai hakikatnya yang bisa menarik segala sesuatu dengan hebat layaknya daya gravitasi.
Jawaban: Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama kami akan menjelaskan sebuah landasan yang mendalam sebagai berikut:
Karena Pencipta alam semesta memiliki dua jenis nama yang bersifat jalâli (agung) dan bersifat jamâli (indah). Karena masing- masing dari nama tersebut tampil dengan manifestasi yang berbeda-beda antara yang satu dengan lainnya, maka Sang Maha Pencipta pun telah mencampur segala sesuatu dengan lawannya, menghadap- kan yang satu dengan lainnya, sekaligus memberikan kepada mereka sifat saling membela diri dan melanggar.Dengan kondisi tersebut terciptalah sebuah pertarungan penuh hikmah dan manfaat disertai berbagai perbedaan dan perubahan yang muncul akibat pelanggaran yang satu terhadap lainnya. Di sana tampak kebijaksanaan Allah . Dia menjalankan roda alam ini dalam aturan yang tinggi dan sempurna serta sesuai dengan kaidah perubahan. Karena itu, Dia menjadikan manusia—sebagai buah yang menghimpun pohon kekhalifahan—mengikuti kaidah tadi. Yaitu kaidah untuk membela diri dan bertarung. Allah membuka di hadapan manusia pintu perjuangan yang menjadi poros seluruh kesempurnaannya. Maka dari itu, Allah berikan kepada golongan setan berbagai perangkat dan sarana untuk bisa menghadapi golongan Allah dalam medan pertempuran.
Inilah sebabnya mengapa kaum yang sesat yang sebenarnya berada dalam kelemahan bisa melawan dan mengalahkan, secara temporer, kaum yang benar dan kuat yang berada di belakang para nabi.
Adapun rahasia di balik adanya perlawanan aneh di atas adalah bahwa di dalam kesesatan dan kekufuran terdapat ketiadaan, peng- abaian yang sangat mudah dan tidak perlu bergerak. Di dalamnya juga terdapat perusakan yang sama ringan dan sepelenya, sebab bisa dihadapi hanya dengan sedikit pergerakan saja. Serta, di dalam- nya terdapat pelanggaran dan sikap melampaui batas. Pelanggaran yang ringan dan kecil ini memang bisa menimbulkan bahaya bagi banyak orang. Sehingga mereka menyangka bahwa kelompok sesat tadi memiliki kekuatan. Akibatnya, mereka direndahkan dan dikua- sai lewat teror dan tindakan fir’aunisme-nya. Lalu di sisi lain, dalam diri manusia tersimpan perasaan materialistik serta kekuatan hewani yang tidak mampu melihat dan memikirkan kesudahan yang ada. Ia tertipu dan terlena oleh kenikmatan yang bersifat sementara. Hal inilah yang kemudian membuat perangkat lunak manusia yaitu akal dan kalbunya, menyimpang dari tugas-tugasnya yang utama.
Ehl-i hidayet ve başta ehl-i nübüvvet ve başta Habib-i Rabbü’l-âlemîn olan Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâmın meslek-i kudsîsi; hem vücudî hem sübutî hem tamir hem hareket hem hudutta istikamet hem âkıbeti düşünmek hem ubudiyet hem nefs-i emmarenin firavuniyetini, serbestliğini kırmak gibi esasat-ı mühimme bulunduğundandır ki Medine-i Münevvere’de bulunan o zamanın münafıkları, o parlak güneşe karşı yarasa kuşu gibi gözlerini yumup, o cazibe-i azîmeye karşı şeytanî bir kuvve-i dâfiaya kapılıp dalalette kalmışlar.
Eğer denilirse: Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâm madem Habib-i Rabbü’l-âlemîn’dir. Hem elindeki hak ve lisanındaki hakikattir. Ve ordusundaki askerlerin bir kısmı melâikedir. Ve bir avuç su ile bir orduyu sular. Ve dört avuç buğday ve bir oğlağın etiyle bin adamı doyuracak bir ziyafet verir. Ve küffar ordusunun gözlerine bir avuç toprak atmakla o bir avuç topraktan her küffarın gözüne bir avuç toprak girmesiyle onları kaçırır. Ve daha bunun gibi bin mu’cizat sahibi olan bir Kumandan-ı Rabbanî, nasıl oluyor Uhud’un nihayetinde ve Huneyn’in bidayetinde mağlup oluyor?
Elcevap: Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâm, nev-i beşere mukteda ve imam ve rehber olarak gönderilmiştir. Tâ ki o nev-i insanî, hayat-ı içtimaiye ve şahsiyedeki düsturları ondan öğrensin ve Hakîm-i Zülkemal’in kavanin-i meşietine itaate alışsınlar ve desatir-i hikmetine tevfik-i hareket etsinler. Eğer Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâm, hayat-ı içtimaiye ve şahsiyesinde daima hârikulâdelere ve mu’cizelere istinad etseydi, o vakit imam-ı mutlak ve rehber-i ekber olamazdı.
İşte bu sır içindir ki yalnız davasını tasdik ettirmek için ara sıra inde’l-hace, münkirlerin inkârını kırmak için mu’cizeler gösterirdi. Sair vakitlerde nasıl ki herkesten ziyade evamir-i İlahiyeye itaat etmiştir. Öyle de hikmet-i Rabbaniye ile ve meşiet-i Sübhaniye ile tesis edilen âdetullah kavaninine herkesten ziyade müraat ve itaat ederdi. Düşmana karşı zırh giyerdi “Sipere giriniz!” emrederdi. Yara alırdı, zahmet çekerdi. Tâ tamamıyla hikmet-i İlahiye kanununa ve kâinattaki şeriat-ı fıtriye-i kübraya müraat ve itaati göstersin.
Onuncu İşaret
İblisin en mühim bir desisesi: Kendini, kendine tabi olanlara inkâr ettirmektir. Şu zamanda, hususan maddiyyunların felsefeleriyle zihni bulananlar, bu bedihî meselede tereddüt gösterdikleri için şeytanın bu desisesine karşı bir iki söz söyleyeceğiz. Şöyle ki:
İnsanlarda şeytan vazifesini gören cesetli ervah-ı habîse bilmüşahede bulunduğu gibi cinnîden cesetsiz ervah-ı habîse dahi bulunduğu, o kat’iyettedir. Eğer onlar maddî ceset giyseydiler, bu şerir insanların aynı olacaktılar. Hem eğer bu insan suretindeki insî şeytanlar cesetlerini çıkarabilse idiler o cinnî iblisler olacaktılar. Hattâ bu şiddetli münasebete binaendir ki bir mezheb-i bâtıl hükmetmiş ki: “İnsan suretindeki gayet şerir ervah-ı habîse, öldükten sonra şeytan olur.”
Malûmdur ki a’lâ bir şey bozulsa, edna bir şeyin bozulmasından daha ziyade bozuk olur. Mesela, nasıl ki süt ve yoğurt bozulsalar yine yenilebilir. Yağ bozulsa yenilmez, bazen zehir gibi olur. Öyle de mahlukatın en mükerremi, belki en a’lâsı olan insan, eğer bozulsa bozuk hayvandan daha ziyade bozuk olur. Müteaffin maddelerin kokusuyla telezzüz eden haşerat gibi ve ısırmakla zehirlendirmekten lezzet alan yılanlar gibi dalalet bataklığındaki şerler ve habîs ahlâklar ile telezzüz ve iftihar eder ve zulmün zulümatındaki zararlardan ve cinayetlerden lezzet alırlar, âdeta şeytanın mahiyetine girerler. Evet, cinnî şeytanın vücuduna kat’î bir delili, insî şeytanın vücududur.
Sâniyen: Yirmi Dokuzuncu Söz’de yüzer delil-i kat’î ile ruhanî ve meleklerin vücudunu ispat eden umum o deliller, şeytanların dahi vücudunu ispat ederler. Bu ciheti o Söz’e havale ediyoruz.
Sâlisen: Kâinattaki umûr-u hayriyedeki kanunların mümessili, nâzırı hükmünde olan meleklerin vücudu, ittifak-ı edyan ile sabit olduğu gibi umûr-u şerriyenin mümessilleri ve mübaşirleri ve o umûrdaki kavaninin medarları olan ervah-ı habîse ve şeytaniye bulunması, hikmet ve hakikat noktasında kat’îdir; belki umûr-u şerriyede zîşuur bir perdenin bulunması daha ziyade lâzımdır. Çünkü Yirmi İkinci Söz’ün başında denildiği gibi:
Herkes, her şeyin hüsn-ü hakikisini göremediği için zâhirî şerriyet ve noksaniyet cihetinde Hâlık-ı Zülcelal’e karşı itiraz etmemek ve rahmetini ittiham etmemek ve hikmetini tenkit etmemek ve haksız şekva etmemek için zâhirî bir vasıtayı perde ederek tâ itiraz ve tenkit ve şekva, o perdelere gidip Hâlık-ı Kerîm ve Hakîm-i Mutlak’a teveccüh etmesin. Nasıl ki vefat eden ibadın küsmesinden Hazret-i Azrail’i kurtarmak için hastalıkları ecele perde etmiş. Öyle de Hazret-i Azrail’i (as) kabz-ı ervaha perde edip, tâ merhametsiz tevehhüm edilen o haletlerden gelen şekvalar, Cenab-ı Hakk’a teveccüh etmesin.
Öyle de daha ziyade bir kat’iyetle şerlerden ve fenalıklardan gelen itiraz ve tenkit, Hâlık-ı Zülcelal’e teveccüh etmemek için hikmet-i Rabbaniye, şeytanın vücudunu iktiza etmiştir.
Râbian: İnsan küçük bir âlem olduğu gibi âlem dahi büyük bir insandır. Bu küçük insan, o büyük insanın bir fihristesi ve hülâsasıdır. İnsanda bulunan numunelerin büyük asılları, insan-ı ekberde bizzarure bulunacaktır. Mesela, nasıl ki insanda kuvve-i hâfızanın vücudu, âlemde Levh-i Mahfuz’un vücuduna kat’î delildir.
Öyle de insanda kalbin bir köşesinde lümme-i şeytaniye denilen bir âlet-i vesvese ve kuvve-i vâhimenin telkinatıyla konuşan bir şeytanî lisan ve ifsad edilen kuvve-i vâhime, küçük bir şeytan hükmüne geçtiğini ve sahiplerinin ihtiyarına zıt ve arzusuna muhalif hareket ettiklerini hissen ve hadsen herkes nefsinde görmesi, âlemde büyük şeytanların vücuduna kat’î bir delildir.
Ve bu lümme-i şeytaniye ve şu kuvve-i vâhime, bir kulak ve bir dil olduklarından, ona üfleyen ve bunu konuşturan haricî bir şahs-ı şerirenin vücudunu ihsas ederler.
On Birinci İşaret
Ehl-i dalaletin şerrinden kâinatın kızdıklarını ve anâsır-ı külliyenin hiddet ettiklerini ve umum mevcudatın galeyana geldiklerini, Kur’an-ı Hakîm mu’cizane ifade ediyor. Yani kavm-i Nuh’un başına gelen tufan ile semavat ve arzın hücumunu ve kavm-i Semud ve Âd’in inkârından hava unsurunun hiddetini ve kavm-i Firavun’a karşı su unsurunun ve denizin galeyanını ve Karun’a karşı toprak unsurunun gayzını ve ehl-i küfre karşı âhirette تَكَادُ تَمَيَّزُ مِنَ ال۟غَي۟ظِ sırrıyla cehennemin gayzını ve öfkesini ve sair mevcudatın ehl-i küfür ve dalalete karşı hiddetini gösterip ilan ederek gayet müthiş bir tarzda ve i’cazkârane ehl-i dalalet ve isyanı zecrediyor.
Sual: Ne için böyle ehemmiyetsiz insanların ehemmiyetsiz amelleri ve şahsî günahları, kâinatın hiddetini celbediyor?
Elcevap: Bazı risalelerde ve sâbık işaretlerde ispat edildiği gibi küfür ve dalalet, müthiş bir tecavüzdür ve umum mevcudatı alâkadar edecek bir cinayettir. Çünkü hilkat-i kâinatın bir netice-i a’zamı, ubudiyet-i insaniyedir ve rububiyet-i İlahiyeye karşı iman ve itaatle mukabeledir.
Halbuki ehl-i küfür ve dalalet ise küfürdeki inkârıyla, mevcudatın ille-i gayeleri ve sebeb-i bekaları olan o netice-i a’zamı reddettikleri için umum mahlukatın hukukuna bir nevi tecavüz olduğu gibi umum masnuatın âyinelerinde cilveleri tezahür eden ve masnuatın kıymetlerini, âyinedarlık cihetinde âlî eden esma-i İlahiyenin cilvelerini inkâr ettikleri için o esma-i kudsiyeye karşı bir tezyif olduğu gibi umum masnuatın kıymetini tenzil ile o masnuata karşı bir tahkir-i azîmdir. Hem umum mevcudatın her biri birer vazife-i âliye ile muvazzaf birer memur-u Rabbanî derecesinde iken, küfür vasıtasıyla sukut ettirip camid, fâni, manasız bir mahluk menzilesinde gösterdiğinden, umum mahlukatın hukukuna karşı bir nevi tahkirdir.
İşte enva-ı dalalet derecatına göre az çok kâinatın yaratılmasındaki hikmet-i Rabbaniyeye ve dünyanın bekasındaki makasıd-ı Sübhaniyeye zarar verdiği için ehl-i isyana ve ehl-i dalalete karşı kâinat hiddete geliyor, mevcudat kızıyor, mahlukat öfkeleniyor.
Ey cirmi ve cismi küçük ve cürmü ve zulmü büyük ve ayb ve zenbi azîm bîçare insan! Kâinatın hiddetinden, mahlukatın nefretinden, mevcudatın öfkesinden kurtulmak istersen, işte kurtulmanın çaresi; Kur’an-ı Hakîm’in daire-i kudsiyesine girmektir ve Kur’an’ın mübelliği olan Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâmın sünnet-i seniyesine ittibadır. Gir ve tabi ol!
On İkinci İşaret
Dört sual ve cevaptır.
Birinci Sual:
Mahdud bir hayatta, mahdud günahlara mukabil, hadsiz bir azap ve nihayetsiz bir cehennem nasıl adalet olur?
Elcevap: Sâbık işaretlerde, hususan bundan evvelki On Birinci İşaret’te kat’iyen anlaşıldı ki küfür ve dalalet cinayeti, nihayetsiz bir cinayettir ve hadsiz bir hukuka tecavüzdür.
İkinci Sual:
Şeriatta denilmiştir ki: “Cehennem ceza-yı ameldir fakat cennet fazl-ı İlahî iledir.” Bunun sırr-ı hikmeti nedir?
Elcevap: Sâbık işaretlerde tebeyyün etti ki insan, icadsız bir cüz-i ihtiyarî ile ve cüz’î bir kesb ile bir emr-i ademî veya bir emr-i itibarî teşkil ile ve sübut vermekle müthiş tahribata ve şerlere sebebiyet verdiği gibi; nefsi ve hevası daima şerlere ve zararlara meyyal olduğu için o küçük kesbin neticesinden hasıl olan seyyiatın mes’uliyetini, o çeker. Çünkü onun nefsi istedi ve kendi kesbiyle sebebiyet verdi. Ve şer ademî olduğu için abd ona fâil oldu. Cenab-ı Hak da halk etti. Elbette o hadsiz cinayetin mes’uliyetini, nihayetsiz bir azap ile çekmeye müstahak olur.
Amma hasenat ve hayrat ise mademki vücudîdirler, kesb-i insanî ve cüz-i ihtiyarî onlara illet-i mûcide olamaz. İnsan, onda hakiki fâil olamaz. Ve nefs-i emmaresi de hasenata taraftar değildir, belki rahmet-i İlahiye onları ister ve kudret-i Rabbaniye icad eder. Yalnız insan, iman ile arzu ile niyet ile sahip olabilir. Ve sahip olduktan sonra, o hasenat ise ona evvelce verilmiş olan vücud ve iman nimetleri gibi sâbık hadsiz niam-ı İlahiyeye bir şükürdür, geçmiş nimetlere bakar. Vaad-i İlahî ile verilecek cennet ise fazl-ı Rahmanî ile verilir. Zâhirde bir mükâfattır, hakikatte fazıldır.
Demek seyyiatta sebep, nefistir; mücazata bizzat müstahaktır. Hasenatta ise sebep Hak’tandır, illet de Hak’tandır. Yalnız, insan iman ile tesahub eder. “Mükâfatını isterim.” diyemez “Fazlını beklerim.” diyebilir.
Üçüncü Sual:
Beyanat-ı sâbıkadan da anlaşılıyor ki seyyiat, intişar ve tecavüz ile taaddüd ettiğinden, bir seyyie bin yazılmalı, hasene ise vücudî olduğu için maddeten taaddüd etmediğinden ve abdin icadıyla ve nefsin arzusuyla olmadığından hiç yazılmamalı veya bir yazılmalı idi. Neden seyyie bir yazılır, hasene on ve bazen bin yazılır?
Elcevap: Cenab-ı Hak, kemal-i rahmet ve cemal-i rahîmiyetini o suretle gösteriyor.
Dördüncü Sual:
Ehl-i dalaletin kazandıkları muvaffakiyet ve gösterdikleri kuvvet ve ehl-i hidayete galebeleri gösteriyor ki onlar bir kuvvete ve bir hakikate istinad ediyorlar. Demek, ya ehl-i hidayette zaaf var ya onlarda bir hakikat var?
Elcevap: Hâşâ! Ne onlarda hakikat var, ne ehl-i hakta zaaf vardır. Fakat maatteessüf kāsıru’n-nazar muhakemesiz bir kısım avam tereddüde düşüp vesvese ediyorlar, akidelerine halel geliyor.
Çünkü diyorlar: “Eğer ehl-i hakta tam hak ve hakikat olsaydı bu derece mağlubiyet ve zillet olmamak gerekti. Çünkü hakikat kuvvetlidir. اَل۟حَقُّ يَع۟لُو وَلَا يُع۟لٰى عَلَي۟هِ olan kaide-i esasiye ile kuvvet haktadır. Eğer o ehl-i hakka mukabil galibane gelen ehl-i dalaletin hakiki bir kuvveti ve bir nokta-i istinadı olmasaydı bu derece galibiyet ve muvaffakiyet olmamak lâzım gelecekti?”
Elcevap: Ehl-i hakkın mağlubiyeti kuvvetsizlikten, hakikatsizlikten gelmediği, sâbık işaretlerle kat’î ispat edildiği gibi; ehl-i dalaletin galebesi kuvvetlerinden ve iktidarlarından ve nokta-i istinad bulmalarından gelmediği, yine o işaretlerle kat’î ispat edildiğinden bu sualin cevabı, sâbık işaretlerin heyet-i mecmuasıdır. Yalnız burada desiselerinden ve istimal ettikleri bir kısım silahlarına işaret edeceğiz. Şöyle ki:
Ben kendim mükerreren müşahede etmişim ki: Yüzde on ehl-i fesat, yüzde doksan ehl-i salahı mağlup ediyordu. Hayretle merak ettim, tetkik ederek kat’iyen anladım ki o galebe kuvvetten, kudretten gelmiyor, belki fesattan ve alçaklıktan ve tahripten ve ehl-i hakkın ihtilafından istifade etmesinden ve içlerine ihtilaf atmaktan ve zayıf damarları tutmaktan ve aşılamaktan ve hissiyat-ı nefsaniyeyi ve ağraz-ı şahsiyeyi tahrik etmekten ve insanın mahiyetinde muzır madenler hükmünde bulunan fena istidatları işlettirmekten ve şan ve şeref namıyla riyakârane nefsin firavuniyetini okşamaktan ve vicdansızca tahribatlarından herkes korkmasından geliyor. Ve o misillü şeytanî desiseler vasıtasıyla muvakkaten ehl-i hakka galebe ederler.
Fakat وَال۟عَاقِبَةُ لِل۟مُتَّقٖينَ sırrıyla اَل۟حَقُّ يَع۟لُو وَلَا يُع۟لٰى عَلَي۟هِ düsturuyla onların o muvakkat galebeleri, menfaat cihetinden onlar için ehemmiyetsiz olmakla beraber, cehennemi kendilerine ve cenneti ehl-i hakka kazandırmalarına sebeptir.
İşte dalalette, iktidarsızlar muktedir görünmeleri ve ehemmiyetsizler şöhret kazanmaları içindir ki hodfüruş, şöhret-perest, riyakâr insanlar ve az bir şeyle iktidarlarını göstermek ve ihafe ve ızrar cihetinden bir mevki kazanmak için ehl-i hakka muhalefet vaziyetine girerler. Tâ görünsün ve nazar-ı dikkat ona celbolunsun. Ve iktidar ve kudretle değil belki terk ve ataletle sebebiyet verdiği tahribat ona isnad edilip ondan bahsedilsin. Nasıl ki böyle şöhret divanelerinden birisi, namazgâhı telvis etmiş tâ herkes ondan bahsetsin. Hattâ ondan lanetle de bahsedilmiş de şöhret-perestlik damarı kendisine bu lanetli şöhreti hoş göstermiş diye darb-ı mesel olmuş.
Ey âlem-i beka için yaratılan ve fâni âleme müptela olan bîçare insan! فَمَا بَكَت۟ عَلَي۟هِمُ السَّمَٓاءُ وَ ال۟اَر۟ضُ âyetinin sırrına dikkat et, kulak ver! Bak ne diyor? Mefhum-u sarîhiyle ferman ediyor ki: “Ehl-i dalaletin ölmesiyle insan ile alâkadar olan semavat ve arz, onların cenazeleri üstünde ağlamıyorlar, yani onların ölmesiyle memnun oluyorlar.”
Ve mefhum-u işarîsiyle ifade ediyor ki: “Ehl-i hidayetin ölmesiyle semavat ve arz, onların cenazeleri üstünde ağlıyorlar, firaklarını istemiyorlar.” Çünkü ehl-i iman ile bütün kâinat alâkadardır, ondan memnundur. Zira iman ile Hâlık-ı kâinat’ı bildikleri için kâinatın kıymetini takdir edip hürmet ve muhabbet ederler. Ehl-i dalalet gibi tahkir ve zımnî adâvet etmezler.
Ey insan, düşün! Sen alâküllihal öleceksin. Eğer nefis ve şeytana tabi isen senin komşuların, belki akrabaların senin şerrinden kurtulmak için mesrur olacaklar. Eğer اَعُوذُ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّي۟طَانِ الرَّجٖيمِ deyip Kur’an’a ve Habib-i Rahman’a tabi isen o vakit semavat ve arz ve mevcudat, herkesin derecesine nisbeten, senin derecene göre senin firakından müteessir olup manen ağlarlar. Ulvi bir matem ile ve haşmetli bir teşyi ile kabir kapısıyla girdiğin beka âleminde senin derecene nisbeten senin için bir hüsn-ü istikbal var olduğuna işaret ederler.
On Üçüncü İşaret
Üç noktadır.
Birinci Nokta:
Şeytanın en büyük bir desisesi: Hakaik-i imaniyenin azameti cihetinde dar kalpli ve kısa akıllı ve kāsır fikirli insanları aldatır, der ki: “Bir tek zat, umum zerrat ve seyyarat ve nücumu ve sair mevcudatı bütün ahvaliyle tedbir-i rububiyetinde çeviriyor, idare ediyor deniliyor. Böyle hadsiz acib büyük meseleye nasıl inanılabilir? Nasıl kalbe yerleşir? Nasıl fikir kabul edebilir?” der. Acz-i insanî noktasında bir hiss-i inkârî uyandırıyor.
Elcevap: Şeytanın bu desisesini susturan sır: “Allahu ekber”dir. Ve cevab-ı hakikisi de “Allahu ekber”dir. Evet “Allahu ekber”in ziyade kesretle şeair-i İslâmiyede tekrarı, bu desiseyi mahvetmek içindir. Çünkü insanın âciz kuvveti ve zayıf kudreti ve dar fikri, böyle hadsiz büyük hakikatleri “Allahu ekber” nuruyla görüp tasdik ediyor ve “Allahu ekber” kuvvetiyle o hakikatleri taşıyor ve “Allahu ekber” dairesinde yerleştiriyor ve vesveseye düşen kalbine diyor ki: Bu kâinatın gayet muntazamca tedbir ve tedviri bilmüşahede görünüyor. Bunda iki yol var:
Birinci yol: Mümkündür fakat gayet azîmdir ve hârikadır. Zaten böyle hârika bir eser, bir hârika sanat ile çok acib bir yol ile olur. O yol ise mevcudat belki zerrat adedince vücudunun şahitleri bulunan bir Zat-ı Ehad ve Samed’in rububiyetiyle ve irade ve kudretiyle olmasıdır.
İkinci yol: Hiçbir cihet-i imkânı olmayan ve imtina derecesinde müşkülatlı ve hiçbir cihette makul olmayan şirk ve küfür yoludur. Çünkü Yirminci Mektup ve Yirmi İkinci Söz gibi çok risalelerde gayet kat’î ispat edildiği üzere: O vakit kâinatın her bir mevcudunda ve hattâ her bir zerresinde bir uluhiyet-i mutlaka ve bir ilm-i muhit ve hadsiz bir kudret bulunmak lâzım geliyor. Tâ ki mevcudatta bilmüşahede görünen nihayet derecede nizam ve intizam ve gayet hassas mizan ve imtiyaz ile mükemmel ve müzeyyen olan nukuş-u sanat vücud bulabilsin.
Elhasıl, eğer tam lâyık ve tam yerinde olan azametli ve kibriyalı rububiyet olmazsa, o vakit her cihetçe gayr-ı makul ve mümteni bir yol takip etmek lâzım gelecek. Lâyık ve lâzım olan azametten kaçmakla, muhal ve imtinaa girmeyi, şeytan dahi teklif edemez.
İkinci Nokta:
Şeytanın mühim bir desisesi: İnsana kusurunu itiraf ettirmemektir. Tâ ki istiğfar ve istiaze yolunu kapasın. Hem nefs-i insaniyenin enaniyetini tahrik edip tâ ki nefis kendini avukat gibi müdafaa etsin âdeta taksirattan takdis etsin.
Evet şeytanı dinleyen bir nefis, kusurunu görmek istemez; görse de yüz tevil ile tevil ettirir. وَ عَي۟نُ الرِّضَا عَن۟ كُلِّ عَي۟بٍ كَلٖيلَةٌ sırrıyla: Nefsine nazar-ı rıza ile baktığı için ayıbını görmez. Ayıbını görmediği için itiraf etmez, istiğfar etmez, istiaze etmez; şeytana maskara olur. Hazret-i Yusuf aleyhisselâm gibi bir Peygamber-i Âlîşan وَمَٓا اُبَرِّئُ نَف۟سٖٓى اِنَّ النَّف۟سَ لَاَمَّارَةٌ بِالسُّٓوءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبّٖى dediği halde, nasıl nefse itimat edilebilir?
Nefsini ittiham eden, kusurunu görür. Kusurunu itiraf eden, istiğfar eder. İstiğfar eden, istiaze eder. İstiaze eden, şeytanın şerrinden kurtulur. Kusurunu görmemek o kusurdan daha büyük bir kusurdur. Ve kusurunu itiraf etmemek, büyük bir noksanlıktır. Ve kusurunu görse o kusur, kusurluktan çıkar; itiraf etse affa müstahak olur.
Üçüncü Nokta:
İnsanın hayat-ı içtimaiyesini ifsad eden bir desise-i şeytaniye şudur ki: Bir mü’minin bir tek seyyiesiyle, bütün hasenatını örter. Şeytanın bu desisesini dinleyen insafsızlar, mü’mine adâvet ederler. Halbuki Cenab-ı Hak haşirde adalet-i mutlaka ile mizan-ı ekberinde a’mal-i mükellefîni tarttığı zaman, hasenatı seyyiata galibiyeti, mağlubiyeti noktasında hükmeyler. Hem seyyiatın esbabı çok ve vücudları kolay olduğundan, bazen bir tek hasene ile çok seyyiatını örter. Demek bu dünyada, o adalet-i İlahiye noktasında muamele gerektir. Eğer bir adamın iyilikleri fenalıklarına kemiyeten veya keyfiyeten ziyade gelse o adam muhabbete ve hürmete müstahaktır. Belki kıymettar bir tek hasene ile çok seyyiatına nazar-ı af ile bakmak lâzımdır.
Halbuki insan, fıtratındaki zulüm damarıyla, şeytanın telkiniyle, bir zatın yüz hasenatını bir tek seyyie yüzünden unutur, mü’min kardeşine adâvet eder, günahlara girer. Nasıl bir sinek kanadı göz üstüne bırakılsa bir dağı setreder, göstermez. Öyle de insan garaz damarıyla, sinek kanadı kadar bir seyyie ile dağ gibi hasenatı örter, unutur; mü’min kardeşine adâvet eder, insanların hayat-ı içtimaiyesinde bir fesat âleti olur.
Şeytanın bu desisesine benzer diğer bir desise ile insanın selâmet-i fikrini ifsad ediyor, hakaik-i imaniyeye karşı sıhhat-i muhakemeyi bozuyor ve istikamet-i fikriyeyi ihlâl ediyor. Şöyle ki:
Bir hakikat-i imaniyeye dair yüzer delail-i ispatiyenin hükmünü, nefyine delâlet eden bir emare ile kırmak ister. Halbuki kaide-i mukarreredir ki: “Bir ispat edici, çok nefyedicilere tereccuh ediyor.” Bir davaya müsbit bir şahidin hükmü, yüz nâfîlere râcih olur. Bu hakikate bu temsil ile bak. Şöyle ki:
Bir saray, yüzer kapalı kapıları var. Bir tek kapı açılmasıyla o saraya girilebilir, öteki kapılar da açılır. Eğer bütün kapılar açık olsa, bir iki tanesi kapansa o saraya girilemeyeceği söylenemez.
İşte hakaik-i imaniye o saraydır. Her bir delil, bir anahtardır, ispat ediyor, kapıyı açıyor. Bir tek kapının kapalı kalmasıyla o hakaik-i imaniyeden vazgeçilmez ve inkâr edilemez. Şeytan ise bazı esbaba binaen ya gaflet veya cehalet vasıtasıyla kapalı kalmış olan bir kapıyı gösterir, ispat edici bütün delilleri nazardan ıskat ediyor. “İşte bu saraya girilmez, belki saray değildir, içinde bir şey yoktur.” der kandırır.
İşte ey şeytanın desiselerine müptela olan bîçare insan! Hayat-ı diniye, hayat-ı şahsiye ve hayat-ı içtimaiyenin selâmetini dilersen ve sıhhat-i fikir ve istikamet-i nazar ve selâmet-i kalp istersen; muhkemat-ı Kur’aniyenin mizanlarıyla ve sünnet-i seniyenin terazileriyle a’mal ve hatıratını tart ve Kur’an’ı ve sünnet-i seniyeyi daima rehber yap ve اَعُوذُ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّي۟طَانِ الرَّجٖيمِ de, Cenab-ı Hakk’a ilticada bulun.
İşte bu on üç işaret, on üç anahtardır. Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan’ın en âhirki suresi ve اَعُوذُ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّي۟طَانِ الرَّجٖيمِ in mufassalı ve madeni olan
اَس۟تَعٖيذُ بِاللّٰهِ بِس۟مِ اللّٰهِ الرَّح۟مٰنِ الرَّحٖيمِ
قُل۟ اَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ مَلِكِ النَّاسِ اِلٰهِ النَّاسِ مِن۟ شَرِّ ال۟وَس۟وَاسِ ال۟خَنَّاسِ اَلَّذٖى يُوَس۟وِسُ فٖى صُدُورِ النَّاسِ مِنَ ال۟جِنَّةِ وَ النَّاسِ
suresinin hısn-ı hasîni ve kale-i metininin kapısını o on üç anahtarla aç, gir, selâmeti bul!
سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
رَبِّ اَعُوذُ بِكَ مِن۟ هَمَزَاتِ الشَّيَاطٖينِ وَاَعُوذُ بِكَ رَبِّ اَن۟ يَح۟ضُرُونِ