Yirmi Birinci Lem'a/id: Revizyonlar arasındaki fark

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    ("Karena jalan kita adalah jalan hakikat, bukan tarekat sufi, maka kita tidak perlu seperti mereka yang langsung mengingat mati dengan bayangan dan khayalan. Selain itu, manhaj tersebut tidak cocok dengan manhaj hakikat. Sebab, memikirkan akibat bukan dengan mendatangkan bayangan tentang masa depan ke masa sekarang. Tetapi, dalam sudut pandang hakikat, kita harus membawa pikiran dari masa sekarang ke masa mendatang dan menyaksikan masa de- pan lewat kenyat..." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    ("Jadi, tidak perlu berkhayal ataupun berasumsi. Sebab, manusia bisa menyaksikan jenazahnya sebagai buah dari pohon umurnya yang singkat. Ketika manusia sedikit saja mengalihkan pandangannya, ia tidak hanya menyaksikan kematian dirinya semata, tetapi juga akan menyaksikan kematian zamannya. Lebih dari itu, ia akan melihat kematian dan kehancuran dunia. Dari sini, terbukalah jalan baginya menuju keikhlasan yang sempurna." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    95. satır: 95. satır:
    Karena jalan kita adalah jalan hakikat, bukan tarekat sufi, maka kita tidak perlu seperti mereka yang langsung mengingat mati dengan bayangan dan khayalan. Selain itu, manhaj tersebut tidak cocok dengan manhaj hakikat. Sebab, memikirkan akibat bukan dengan mendatangkan bayangan tentang masa depan ke masa sekarang. Tetapi, dalam sudut pandang hakikat, kita harus membawa pikiran dari masa sekarang ke masa mendatang dan menyaksikan masa de- pan lewat kenyataan masa sekarang.
    Karena jalan kita adalah jalan hakikat, bukan tarekat sufi, maka kita tidak perlu seperti mereka yang langsung mengingat mati dengan bayangan dan khayalan. Selain itu, manhaj tersebut tidak cocok dengan manhaj hakikat. Sebab, memikirkan akibat bukan dengan mendatangkan bayangan tentang masa depan ke masa sekarang. Tetapi, dalam sudut pandang hakikat, kita harus membawa pikiran dari masa sekarang ke masa mendatang dan menyaksikan masa de- pan lewat kenyataan masa sekarang.


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Jadi, tidak perlu berkhayal ataupun berasumsi. Sebab, manusia bisa menyaksikan jenazahnya sebagai buah dari pohon umurnya yang singkat. Ketika manusia sedikit saja mengalihkan pandangannya, ia tidak hanya menyaksikan kematian dirinya semata, tetapi juga akan menyaksikan kematian zamannya. Lebih dari itu, ia akan melihat kematian dan kehancuran dunia. Dari sini, terbukalah jalan baginya menuju keikhlasan yang sempurna.
    Evet hiç hayale, faraza lüzum kalmadan bu kısa ömür ağacının başındaki tek meyvesi olan kendi cenazesine bakabilir. Onunla yalnız kendi şahsının mevtini gördüğü gibi bir parça öbür tarafa gitse asrının ölümünü de görür, daha bir parça öbür tarafa gitse dünyanın ölümünü de müşahede eder, ihlas-ı etemme yol açar.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">

    14.03, 24 Aralık 2024 tarihindeki hâli

    (Risalah Ikhlas II)

    [Tadinya cahaya ini merupakan masalah keempat dari tu- juh masalah yang terdapat pada memoar ketujuh belas dari “Cahaya Ketujuh Belas”. Hanya saja, ia kemudian menjadi catatan kedua dari “Cahaya Kedua Puluh”. Selanjutnya, karena sesuai dengan topiknya yaitu masalah ikhlas serta berdasarkan pencerahannya, ia menjadi “Cahaya Kedua Puluh Satu” dan masuk ke dalam kitab al-Lama’ât].

    (Cahaya ini dibaca minimal lima belas hari sekali)

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

    “Janganlah kalian berbantah-bantahan hingga menyebabkan kalian menjadi gentar dan kehilangan kekuatan.” (QS. al-Anfâl [8]: 46).

    “Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) secara khusyu.” (QS. al-Baqarah [2]: 238).

    “Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. asy-Syams [91]: 9-10).“Janganlah kalian menukar ayat-ayat-Kudengan harga yang rendah.”(QS. al-Baqarah [2]: 41).

    Pentingnya Keikhlasan Wahai saudara-saudara akhiratku, wahai teman-teman yang mengabdikan diri pada al-Qur’an! Ketahuilah—dan sebetulnya kalian mengetahui—bahwa ikhlas dalam amal dunia, apalagi amal ukhrawi, merupakan landasan paling penting, kekuatan paling besar, penolong yang paling bisa diharapkan, sandaran yang paling kokoh, jalan paling singkat menuju hakikat, doa maknawi yang paling makbul, sarana mencapai tujuan yang paling mulia, perangai yang paling utama, serta ubudiah yang paling murni.

    Karena ikhlas memiliki banyak cahaya dan kekuatan seperti yang disebutkan di atas, juga karena karunia Ilahi telah membebani kita dengan tugas keimanan dan khidmah al-Qur’an yang meru- pakan pengabdian suci berat, agung, dan bersifat umum, sementara jumlah kita sangat sedikit, lemah, dan papa, lalu kita menghada- pi musuh yang kuat dan berbagai kesulitan, ditambah lagi dengan banyaknya bid’ah dan kesesatan yang mengepung kita di masa yang sulit ini, maka kita harus meraih keikhlasan dengan segenap upaya ketimbang orang lain, serta kita sangat membutuhkan tertanamnya rahasia keikhlasan dalam diri kita.

    Jika tidak, semua pengabdian suci yang kita lakukan akan menjadi sia-sia. Pengabdian kita tidak akan bertahan lama. Lalu kitapun akan bertanggung-jawab dengan berat.

    Sebab, kita termasuk orang yang diancam Tuhan dengan firman-Nya yang berbunyi:“Janganlah kalian menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah.” (QS. al-Baqarah [2]: 41).Hal itu karena kita tidak bersikap ikhlas sehingga merusak ke- bahagiaan abadi hanya demi keinginan duniawi yang hina, rendah, berbahaya, keruh, dan tidak berguna, serta demi keuntungan pribadi yang tidak ada artinya, seperti kagum terhadap diri sendiri dan riya.Selain itu, kita termasuk orang yang melanggar hak-hak saudara kita sendiri dalam mengabdi, melanggar prinsip pengabdian kepada al- Qur’an, serta termasuk orang yang kurang adab dengan tidak meng- hormati kesucian dan ketinggian hakikat keimanan.

    Wahai saudara-saudaraku! Sesuatu urusan kebaikan yang penting dan besar selalu dihadang oleh banyak penghalang yang berba- haya. Setan berjuang dengan sungguh-sungguh untuk menghadang para pengabdi dalam pengabdian itu. Karenanya, perlu bersandar pada keikhlasan terhadap rintangan dan setan tadi. Maka dari itu, hindarilah berbagai hal yang bisa menghilangkan keikhlasan se- bagaimana engkau menghindari kalajengking dan ular. Nafsu am- mârah sama sekali tidak bisa dipercaya sesuai dengan ucapan Nabi Yusuf dalam al-Qur’an:“Aku tidak menyatakan diriku bebas dari kesalahan. Sebab, sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada keburukan, kecuali (nafsu) yang dikasihi oleh Tuhanku.” (QS. Yûsuf [12]: 53).Jangan sekali-kali engkau tertipu oleh egoisme, kesombongan, dan nafsu yang selalu mendorong kepada keburukan.

    Prinsip-prinsip Keikhlasan Untuk bisa mencapai dan memelihara keikhlasan, serta untuk menghilangkan segala penghalangnya, jadikanlah beberapa prinsip berikut sebagai semboyanmu:

    Prinsip Pertama

    Hanya mengharap ridha Allah dalam beramal.

    Apabila Allah sudah ridha, biar pun seluruh alam berpaling tidak menjadi masalah. Kalau Allah sudah menerima, biar pun semua manusia menolak tidak akan berpengaruh. Setelah Dia ridha dan menerima amal kita, jika Dia berkehendak dan sesuai dengan hikmah-Nya, Dia menjadikan manusia menerimanya meskipun tanpa kalian minta. Karena itu, ridha Allah sajalah yang seharusnya menjadi tujuan utama dalam pengabdian ini.

    Prinsip Kedua

    Tidak mengkritik saudara-saudara yang mengabdi pada al- Qur’an serta tidak membangkitkan kedengkian mereka lewat sikap bangga diri dan perasaan lebih unggul.

    Karena sebagaimana kedua tangan manusia tak pernah bersaing, kedua matanya tak pernah mengkritik, lisannya tak pernah menentang telinganya, kalbunya tidak pernah melihat aib jiwanya. Tetapi masing-masing saling melengkapi kekurangan yang lain, menutupi aib yang lain, serta berusaha membantu dan menolongnya. Jika tidak, kehidupan tubuh itu pun menjadi rusak, mati, dan berantakan.

    Contoh lainnya adalah antara gerigi dan roda pabrik yang tak pernah bersaing, tak pernah saling mendahului, dan tak pernah saling menimbulkan kerusakan lewat kritikan, tindakan yang menyakiti, serta mencari aib dan cacat. Selain itu, yang satu tidak berusaha untuk menghentikan kerja lainnya. Tetapi mereka saling membantu seoptimal mungkin guna mengarah pada tujuan yang diharapkan. Sehingga semuanya berjalan sesuai fungsinya dengan saling mendukung dan saling beriringan. Jika ada unsur asing yang masuk ke dalamnya, meskipun hanya sebesar biji atom, maka pabrik itupun akan mengalami kerusakan. Dan si pemilik akan segera membong- kar pabrik itu secara keseluruhan.

    Wahai para murid Nur serta para pelayan al-Qur’an! Kita semua merupakan bagian atau organ dalam sosok maknawi yang layak disebut dengan “insan kamil” (manusia sempurna). Kita semua berposisi sebagai gerigi dan roda pabrik yang sedang merajut kebahagiaan abadi di kehidupan yang kekal nanti. Kita adalah para pelayan yang bekerja dalam sebuah “perahu rabbani” yang membawa umat Muhammad ke pantai keselamatan; Dârussalâm (tempat kedamaian). Kalau begitu, kita sangat membutuhkan adanya persatuan, kerja sama, dan rahasia keikhlasan yang mengantarkan pada kekuatan maknawi senilai seribu seratus sebelas (1111) sebagai hasil kerja empat orang.

    Ya, jika tiga “huruf alif ” tidak bersatu, maka nilainya hanya tiga. Tetapi manakala bersatu dan bekerja sama lewat rahasia bilangan, nilainya akan menjadi seratus sebelas (111). Demikian pula dengan empat angka empat. Kalau masing-masing angka empat (4) ditulis secara terpisah, totalnya hanya berjumlah enam belas (16). Tetapi jika angka-angka tersebut menyatu lewat rahasia persaudaraan, serta tujuan dan misi yang sama dalam satu baris, ia akan senilai empat ribu empat ratus empat puluh empat (4444). Ada banyak peristiwa dan kejadian sejarah yang membuktikan bahwa enam belas orang yang saling bersaudara, bersatu, dan berkorban, berkat keikhlasan yang penuh, maka kekuatan maknawi mereka bertambah menjadi senilai dengan empat ribu orang.

    Rahasianya adalah sebagai berikut. Setiap orang dari sepuluh orang yang benar-benar menyatu bisa melihat dengan mata saudara-saudaranya yang lain serta bisa mendengar dengan telinga mereka. Dengan kata lain, seolah-olah masing-masing mereka memiliki kekuatan maknawi dan kemampuan untuk melihat dengan dua puluh mata, berpikir dengan sepuluh akal, mendengar dengan dua puluh telinga, serta bekerja dengan dua puluh tangan.(*[1])

    Prinsip Ketiga

    Ketahuilah bahwa kekuatan kalian seluruhnya ada pada keikhlasan dan kebenaran.

    Ya, kekuatan terletak pada kebenaran dan keikhlasan. Sampai-sampai kaum yang batil pun memperoleh kekuatan karena mereka menampakkan ketulusan dan keikhlasan dalam hal kebatilan.

    Ya, pengabdian kita di jalan iman dan al-Qur’an menjadi bukti bahwa kekuatan terletak pada kebenaran dan keikhlasan. Sedikit keikhlasan yang ada pada pengabdian tersebut membuktikan per- nyataan di atas.

    Sebab, pengabdian di jalan agama dan ilmu yang dilakukan selama lebih dari dua puluh tahun di kotaku (Van) dan di Istanbul, bisa dilakukan di sini (Barla) bersama kalian dengan seratus kali lebih banyak dalam kurun waktu delapan tahun. Padahal, orang- orang yang membantuku di sana jumlahnya seratus kali, bahkan seribu kali, lebih banyak daripada di sini. Pengabdian yang dilakukan di sini selama delapan tahun dalam kondisi di mana aku sendirian, terasing, setengah ummi(*[2]), serta di bawah pengawasan dan tekanan para petugas yang zalim, alhamdulillah telah memberikan kekuatan maknawi yang membuahkan taufik dan kesuksesan seratus kali lipat dari yang sebelumnya. Aku sangat yakin bahwa kesuksesan tersebut semata-mata berasal dari keikhlasan kalian.

    Aku mengakui bahwa kalian telah menyelamatkanku dengan keikhlasan kalian yang tulus dari sifat riya yang merupakan penyakit berbahaya yang merayu nafsu manusia di bawah bayang-bayang popularitas dan reputasi. Semoga Allah melimpahkan taufik kepada kalian semua untuk bisa meraih keikhlasan yang sempurna, dan aku berharap kalian menyertakanku bersama kalian dalam keikhlasan tersebut.

    Ketahuilah bahwa Imam Ali d dan syekh Abdul Qadir al- Jailani telah memuji kalian dalam karamah mereka yang luar biasa. Selain itu, mereka menghibur kalian dan mengapresiasi pengabdian kalian secara maknawi. Kalian harus yakin bahwa pujian dan perhatian tersebut diberikan semata-mata berkat keikhlasan kalian. Jika kalian merusak keikhlasan tersebut secara sengaja, maka kalian layak mendapat “tamparan” dari mereka. Ingatlah selalu “tamparan kasih sayang” yang terdapat pada “Cahaya Kesepuluh”.

    Jika kalian ingin agar kedua sosok mulia tersebut tetap menjadi guru dan penolong kalian secara maknawi, maka milikilah sikap ikhlas yang sempurna dengan mengikuti petunjuk ayat al-Qur’an:“Mereka lebih mengutamakan orang lain ketimbang diri mereka sendiri.” (QS. al-Hasyr [59]: 9).Dengan kata lain, kalian harus mengutamakan saudara-saudara kalian daripada diri kalian sendiri dalam hal tingkatan, kedudukan, penghormatan, perhatian, serta dalam hal mendapatkan keuntungan materil yang biasanya disenangi oleh nafsu manusia.

    Bahkan dalam hal meraih keuntungan yang bersifat tulus sekalipun, seperti me- nyampaikan hakikat-hakikat keimanan kepada orang lain. Janganlah kalian terlalu berambisi―semampu mungkin―untuk mewujudkan hal itu sendirian. Tetapi usahakan untuk bergembira dan merasa lapang karena ia terwujud berkat yang lain, agar rasa ujub tidak masuk ke dalam diri kalian. Tidak menutup kemungkinan ada di antara kalian yang berambisi untuk mendapatkan pahala sendirian sehingga berusaha agar dialah yang menyampaikan persoalan keimanan yang penting itu. Meskipun tidak ada dosa dan bahaya di dalamnya, numun hal itu bisa merusak keikhlasan di antara kalian.

    Prinsip Keempat

    Berbangga sambil bersyukur dengan keistimewaan yang dimiliki oleh saudara-saudara kalian, sekaligus memandang hal itu sebagai milik kalian, serta menganggap keutamaan mereka itu sebagai bagian dari keutamaan kalian.

    Ada beberapa istilah yang beredar di kalangan para sufi, di antaranya al-Fanâ fî asy-Syaikh (lebur dalam diri Syekh) serta al-Fanâ fî ar-Rasûl (lebur dalam diri Rasul). Hanya saja aku bukanlah seorang sufi. Akan tetapi, al-Fana fî al-Ikhwân (lebur dalam persaudaraan) merupakan prinsip indah yang sangat sesuai dengan metode atau manhaj kita. Dengan kata lain, setiap orang harus meleburkan diri pada yang lain (tafâni). Yakni, ia harus melupakan perasaan nafsunya dan menganggap keutamaan saudaranya sebagai miliknya.

    Sebab, landasan manhaj kita adalah ukhuwwah (persaudaraan). Hubungan yang mengikat kita adalah persaudaraan yang hakiki. Bukan hubu- ngan antara anak dan ayah, serta bukan pula hubungan antara dan murid. Kalaupun ada, hubungan itu hanyalah hubungan dengan se- orang ustadz.Karena jalan kita adalah al-khalîliyah (persahabatan yang tulus), maka prinsip kita adalah al-khullah (kesetiakawanan). Al-Khullah tersebut mengharuskan adanya sahabat yang setia, teman yang rela berkorban, kawan yang menghargai, serta saudara yang selalu memberi semangat. Tentu saja dasar yang paling utama dari kesetiakawanan itu adalah adanya keikhlasan yang tulus. Siapa yang merusak keikhlasan tersebut, ia akan terjatuh dari atas “menara kesetiakawanan” yang tinggi. Dan barangkali ia terjatuh pada lembah yang sangat dalam, sebab tidak ada tempat yang dapat dipegang pada pertengahan.

    Ya, terlihat ada dua jalan. Orang-orang yang meninggalkan manhaj kita yang merupakan jalan utama al-Qur’an kemungkinan mereka itu adalah orang-orang yang membantu aliran ateisme yang merupakan musuh al-Qur’an tanpa mereka sadari. Mereka yang masuk ke dalam kancah “khidmah al-Qur’an” yang suci lewat Risalah Nur, dengan izin Allah tidak akan terjatuh ke dalam lembah tadi. Mereka justru akan selalu memberikan kekuatan pada cahaya, keikhlasan, dan keimanan.

    Sarana Meraih Keikhlasan Sarana Pertama:Râbithatul Maut (Mengingat Mati) Wahai saudara-saudaraku yang mengabdikan diri pada al- Qur’an!

    Sesungguhnya sarana terpenting untuk mendapatkan keikhlasan dan sebab utama yang efektif untuk bisa memelihara keikhlasan tersebut adalah râbithatul maut.

    Panjangnya agan-angan yang merupakan penyakit “lupa akhirat” dapat merusak keikhlasan serta mengantarkan manusia kepada cinta dunia dan riya, sementara “ingat mati” justru menjauhkan manusia dari riya dan menjadikan manusia mendapatkan keikhlasan. Pasalnya, dengan memikirkan kematiannya dan merenungkan musnahnya dunia, ia bisa selamat dari tipu daya nafsu ammârah.

    Karena itu, para ahli tarekat dan ahli hakikat menjadikan râbithatul maut sebagai landasan dalam suluk mereka sesuai dengan pelajaran yang mereka dapat dari ayat al-Qur’an berikut:“Setiap jiwa (diri) pasti merasakan kematian.” (QS. Ali Imrân [3]: 185). “Sesungguhnya kamu akan mati dan mereka pun akan mati.” (QS. az-Zumar [39]: 30).Dengan mengingat mati, mereka tidak berpikir akan kekal abadi yang menyebabkan penyakit lupa akhirat. Mereka membayangkan diri mereka sebagai orang-orang mati. Selanjutnya mereka dimandikan, lalu diletakkan di kubur. Ketika sedang membayangkan hal tersebut, nafsu ammârah akan sangat tersentuh sehingga sedikit demi sedikit nafsu tersebut melepaskan angan-angannya yang panjang pada derajat tertentu. Dengan demikian, mengingat mati memberikan berbagai banyak manfaat. Cukuplah sebagai petunjuk kepada hal itu hadis Nabi yang berbunyi: “Perbanyaklah mengingat sesuatu yang memotong segala kenikmatan (kematian).”(*[3])

    Karena jalan kita adalah jalan hakikat, bukan tarekat sufi, maka kita tidak perlu seperti mereka yang langsung mengingat mati dengan bayangan dan khayalan. Selain itu, manhaj tersebut tidak cocok dengan manhaj hakikat. Sebab, memikirkan akibat bukan dengan mendatangkan bayangan tentang masa depan ke masa sekarang. Tetapi, dalam sudut pandang hakikat, kita harus membawa pikiran dari masa sekarang ke masa mendatang dan menyaksikan masa de- pan lewat kenyataan masa sekarang.

    Jadi, tidak perlu berkhayal ataupun berasumsi. Sebab, manusia bisa menyaksikan jenazahnya sebagai buah dari pohon umurnya yang singkat. Ketika manusia sedikit saja mengalihkan pandangannya, ia tidak hanya menyaksikan kematian dirinya semata, tetapi juga akan menyaksikan kematian zamannya. Lebih dari itu, ia akan melihat kematian dan kehancuran dunia. Dari sini, terbukalah jalan baginya menuju keikhlasan yang sempurna.

    İkinci Sebep: İman-ı tahkikînin kuvvetiyle ve marifet-i Sâni’i netice veren masnuattaki tefekkür-ü imanîden gelen lemaat ile bir nevi huzur kazanıp, Hâlık-ı Rahîm’in hazır nâzır olduğunu düşünüp, ondan başkasının teveccühünü aramayarak; huzurunda başkalarına bakmak, meded aramak o huzurun edebine muhalif olduğunu düşünmek ile o riyadan kurtulup ihlası kazanır. Her ne ise bunda çok derecat, meratib var. Herkes kendi hissesine göre ne kadar istifade edebilse o kadar kârdır.

    Risale-i Nur’da riyadan kurtaracak, ihlası kazandıracak çok hakaik zikredildiğinden ona havale edip burada kısa kesiyoruz.

    İhlası kıran ve riyaya sevk eden pek çok esbabdan iki üçünü muhtasaran beyan edeceğiz:

    Birincisi: Menfaat-i maddiye cihetinden gelen rekabet, yavaş yavaş ihlası kırar. Hem netice-i hizmeti de zedeler. Hem o maddî menfaati de kaçırır.

    Evet, hakikat ve âhiret için çalışanlara karşı bu millet bir hürmet ve bir muavenet fikrini daima beslemiş. Ve bilfiil onların hakikat-i ihlaslarına ve sadıkane olan hizmetlerine bir cihette iştirak etmek niyetiyle, onların hâcat-ı maddiyelerinin tedarikiyle meşgul olup, vakitlerini zayi etmemek için sadaka ve hediye gibi maddî menfaatlerle yardım edip hürmet etmişler. Fakat bu muavenet ve menfaat istenilmez belki verilir. Hem kalben arzu edip muntazır kalmakla lisan-ı hal ile dahi istenilmez belki ummadığı bir halde verilir. Yoksa ihlası zedelenir. Hem وَلَا تَش۟تَرُوا بِاٰيَاتٖى ثَمَنًا قَلٖيلًا âyetinin nehyine yanaşır, ameli kısmen yanar.

    İşte bu maddî menfaati arzu edip muntazır kalmak, sonra nefs-i emmare hodgâmlık cihetiyle, o menfaati başkasına kaptırmamak için hakiki bir kardeşine ve o hususi hizmette arkadaşına karşı bir rekabet damarı uyandırır. İhlası zedelenir, hizmette kudsiyeti kaybeder. Ehl-i hakikat nazarında sakîl bir vaziyet alır. Ve maddî menfaati de kaybeder. Her ne ise...

    Bu hamur çok su götürür, kısa kesip yalnız hakiki kardeşlerimin içinde sırr-ı ihlası ve samimi ittifakı kuvvetleştirecek iki misal söyleyeceğim.

    Birinci Misal: Ehl-i dünya, büyük bir servet ve şiddetli bir kuvvet elde etmek için hattâ bir kısım ehl-i siyaset ve hayat-ı içtimaiye-i beşeriyenin mühim âmilleri ve komiteleri, iştirak-i emval düsturunu kendilerine rehber etmişler. Bütün sû-i istimalat ve zararlarıyla beraber, hârika bir kuvvet, bir menfaat elde ediyorlar. Halbuki iştirak-i emvalin çok zararlarıyla beraber, iştirakle mahiyeti değişmez. Her birisi umuma –gerçi bir cihette ve nezarette– mâlik hükmündedir fakat istifade edemez. Her ne ise...

    Bu iştirak-i emval düsturu a’mal-i uhreviyeye girse zararsız azîm menfaate medardır. Çünkü bütün emval, o iştirak eden her bir ferdin eline tamamen geçmesinin sırrını taşıyor. Çünkü nasıl ki dört beş adamdan iştirak niyetiyle biri gaz yağı, biri fitil, biri lamba, biri şişe, biri kibrit getirip lambayı yaktılar. Her biri tam bir lambaya mâlik oluyor. O iştirak edenlerin her birinin bir duvarda büyük bir âyinesi varsa her birinin noksansız, parçalanmadan birer lamba oda ile beraber âyinesine girer.

    Aynen öyle de emval-i uhreviyede sırr-ı ihlas ile iştirak ve sırr-ı uhuvvet ile tesanüd ve sırr-ı ittihat ile teşrikü’l-mesai, o iştirak-i a’malden hasıl olan umum yekûn ve umum nur her birinin defter-i a’maline bitamamiha gireceği ehl-i hakikat mabeyninde meşhud ve vakidir ve vüs’at-i rahmet ve kerem-i İlahînin muktezasıdır.

    İşte ey kardeşlerim! Sizleri inşâallah menfaat-i maddiye rekabete sevk etmeyecek. Fakat menfaat-i uhreviye noktasında bir kısım ehl-i tarîkat aldandıkları gibi sizin de aldanmanız mümkündür. Fakat şahsî, cüz’î bir sevap nerede; mezkûr misal hükmündeki iştirak-i a’mal noktasında tezahür eden sevap ve nur nerede?

    İkinci Misal: Ehl-i sanat, netice-i sanatı ziyade kazanmak için iştirak-i sanat cihetinde mühim bir servet elde ediyorlar. Hattâ dikiş iğneleri yapan on adam, ayrı ayrı yapmaya çalışmışlar. O ferdî çalışmanın her günde yalnız üç iğne, o ferdî sanatın meyvesi olmuş. Sonra teşrikü’l-mesai düsturuyla on adam birleşmişler. Biri demir getirip, biri ocak yandırıp, biri delik açar, biri ocağa sokar, biri ucunu sivriltir ve hâkeza her birisi iğne yapmak sanatında yalnız cüz’î bir işle meşgul olup, iştigal ettiği hizmet basit olduğundan vakit zayi olmayıp, o hizmette meleke kazanarak gayet süratle işini görmüş. Sonra, o teşrik-i mesai ve taksim-i a’mal düsturuyla olan sanatın semeresini taksim etmişler. Her birisine bir günde üç iğneye bedel üç yüz iğne düştüğünü görmüşler. Bu hâdise ehl-i dünyanın sanatkârları arasında, onları teşrik-i mesaiye sevk etmek için dillerinde destan olmuştur.

    İşte ey kardeşlerim! Madem umûr-u dünyeviyede, kesif maddelerde böyle ittihat, ittifak ile neticeler, böyle azîm yekûn faydalar verir. Acaba uhrevî ve nurani ve tecezzi ve inkısama muhtaç olmayarak ve fazl-ı İlahî ile her birisinin âyinesine umum nur in’ikas etmek ve her biri umumun kazandığı misl-i sevaba mâlik olmak, ne kadar büyük bir kâr olduğunu kıyas edebilirsiniz. Bu azîm kâr, rekabetle ve ihlassızlık ile kaçırılmaz.

    İhlası kıran ikinci mani: Hubb-u câhtan gelen şöhret-perestlik sâikasıyla ve şan ve şeref perdesi altında teveccüh-ü âmmeyi kazanmak, nazar-ı dikkati kendine celbetmekle enaniyeti okşamak ve nefs-i emmareye bir makam vermektir ki en mühim bir maraz-ı ruhî olduğu gibi “şirk-i hafî” tabir edilen riyakârlığa, hodfüruşluğa kapı açar, ihlası zedeler.

    Ey kardeşlerim! Kur’an-ı Hakîm’in hizmetindeki mesleğimiz hakikat ve uhuvvet olduğu ve uhuvvetin sırrı; şahsiyetini kardeşler içinde fâni edip (Hâşiye[4]) onların nefislerini kendi nefsine tercih etmek olduğundan, mabeynimizde bu nevi hubb-u câhtan gelen rekabet tesir etmemek gerektir. Çünkü mesleğimize bütün bütün münafîdir. Madem kardeşlerin şerefi umumiyetle her ferde ait olabilir; o büyük şeref-i manevîyi, şahsî, hodfüruşane, rekabetkârane, cüz’î bir şerefe ve şöhrete feda etmek; Risale-i Nur şakirdlerinden yüz derece uzak olduğu ümidindeyim.

    Evet, Risale-i Nur şakirdlerinin kalbi, aklı, ruhu; böyle aşağı, zararlı, süflî şeylere tenezzül etmez. Fakat herkeste nefs-i emmare bulunur. Bazı da hissiyat-ı nefsiye damarlara ilişir. Bir derece hükmünü; kalp, akıl ve ruhun rağmına olarak icra eder. Sizlerin kalp ve ruh ve aklınızı ittiham etmem. Risale-i Nur’un verdiği tesire binaen itimat ediyorum. Fakat nefis ve heva ve his ve vehim bazen aldatıyorlar. Onun için bazen şiddetli ikaz olunuyorsunuz. Bu şiddet, nefis ve heva ve his ve vehme bakıyor; ihtiyatlı davranınız.

    Evet, eğer mesleğimiz şeyhlik olsa idi makam bir olurdu veyahut mahdud makamlar bulunurdu. O makama müteaddid istidatlar namzet olurdu. Gıptakârane bir hodgâmlık olabilirdi. Fakat mesleğimiz uhuvvettir. Kardeş kardeşe peder olamaz, mürşid vaziyetini takınamaz. Uhuvvetteki makam geniştir. Gıptakârane müzahameye medar olamaz. Olsa olsa, kardeş kardeşe muavin ve zahîr olur; hizmetini tekmil eder.

    Pederane, mürşidane mesleklerdeki gıptakârane hırs-ı sevap ve ulüvv-ü himmet cihetiyle çok zararlı ve hatarlı neticeler vücuda geldiğine delil: Ehl-i tarîkatın o kadar mühim ve azîm kemalâtları ve menfaatleri içindeki ihtilafatın ve rekabetin verdiği vahim neticelerdir ki onların o azîm, kudsî kuvvetleri bid’a rüzgârlarına karşı dayanamıyor.

    Üçüncü Mani: Korku ve tama’dır. Bu mani diğer bir kısım manilerle beraber Hücumat-ı Sitte’de tamamıyla izah edildiğinden ona havale edip, Cenab-ı Erhamü’r-Râhimîn’den bütün esma-i hüsnasını şefaatçi yapıp niyaz ediyoruz ki: Bizleri ihlas-ı tamme muvaffak eylesin, âmin!

    اَللّٰهُمَّ بِحَقِّ سُورَةِ ال۟اِخ۟لَاصِ اِج۟عَل۟نَا مِن۟ عِبَادِكَ ال۟مُخ۟لِصٖينَ ال۟مُخ۟لَصٖينَ اٰمٖينَ اٰمٖينَ

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ

    Bir kısım kardeşlerime hususi bir mektuptur

    Yazıda usanan ve ibadet ayları olan şuhur-u selâsede sair evradı, beş cihetle ibadet sayılan (Hâşiye[5]) Risale-i Nur yazısına tercih eden kardeşlerime iki hadîs-i şerifin bir nüktesini söyleyeceğim.

    Birincisi: – يُوزَنُ مِدَادُ ال۟عُلَمَاءِ بِدِمَاءِ الشُّهَدَاءِ – اَو۟ كَمَا قَالَ Yani Mahşerde ulema-i hakikatin sarf ettikleri mürekkep, şehitlerin kanıyla muvazene edilir; o kıymette olur.”

    İkincisi: مَن۟ تَمَسَّكَ بِسُنَّتٖى عِن۟دَ فَسَادِ اُمَّتٖى فَلَهُ اَج۟رُ مِاَةِ شَهٖيدٍ – اَو۟ كَمَا قَالَ –

    Yani “Bid’aların ve dalaletlerin istilası zamanında sünnet-i seniyeye ve hakikat-i Kur’aniyeye temessük edip hizmet eden, yüz şehit sevabını kazanabilir.”

    Ey tembellik damarıyla yazıdan usanan ve ey sofi-meşrep kardeşler! Bu iki hadîsin mecmuu gösterir ki böyle zamanda hakaik-i imaniyeye ve esrar-ı şeriat ve sünnet-i seniyeye hizmet eden mübarek hâlis kalemlerden akan siyah nur veya âb-ı hayat hükmünde olan mürekkeblerin bir dirhemi, şühedanın yüz dirhem kanı hükmünde yevm-i mahşerde size fayda verebilir. Öyle ise onu kazanmaya çalışınız.

    Eğer deseniz: Hadîste “âlim” tabiri var, bir kısmımız yalnız kâtibiz.

    Elcevap: Bir sene bu risaleleri ve bu dersleri anlayarak ve kabul ederek okuyan; bu zamanın mühim, hakikatli bir âlimi olabilir. Eğer anlamasa da madem Risale-i Nur şakirdlerinin bir şahs-ı manevîsi var, şüphesiz o şahs-ı manevî bu zamanın bir âlimidir. Sizin kalemleriniz ise o şahs-ı manevînin parmaklarıdır. Kendi nokta-i nazarımda liyakatsiz olduğum halde, haydi hüsn-ü zannınıza binaen bu fakire bir üstadlık ve tebaiyet noktasında bir âlim vaziyetini verdiğinizden bağlanmışsınız. Ben ümmi ve kalemsiz olduğum için sizin kalemleriniz benim kalemim sayılır, hadîste gösterilen ecri alırsınız.

    Said Nursî


    1. *Ya, sebagaimana solidaritas yang hakiki dan persatuan yang utuh yang berasal dari keikhlasan memberikan banyak sekali keuntungan, ia juga merupakan sandaran yang kuat untuk menghadapi berbagai kecemasan. Bahkan dalam menghadapi kematian sekalipun. Sebab, kematian hanya merenggut satu ruh. Sementara orang yang telah mengikat tali persaudaraan yang tulus dengan saudara-saudaranya dalam hal-hal yang terkait dengan akhirat serta dalam rangka menggapai ridha-Nya memiliki roh lain sejumlah saudaranya. Sehingga ia menghadapi kematian dengan wajah tersenyum sambil berkata, “Ruhruhku yang lain selamat. Aku masih memiliki kehidupan mak- nawi di mana ia tetap menghasilkan pahala untukku. Dengan begitu aku belum mati.” Ia melepaskan ruhnya dengan tenang, sementara lisannya berucap, “Aku masih hidup dengan ruh-ruh tersebut dari sisi pahala. Kematianku hanya dari sisi dosa dan kesalah- an”―Penulis.
    2. *Said Nursi menyebut dirinya “setengah ummi” karena tulisan tangannya sangat jelek.
    3. *Lihat: at-Tirmidzi, Shifatul Qiyâmah, 26; az-Zuhd, 4; an-Nasâi, al- Janâiz, 3; Ibnu Majah, az-Zuhd, 31; Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, 2/292..
    4. Hâşiye: Evet, bahtiyar odur ki kevser-i Kur’anîden süzülen tatlı, büyük bir havuzu kazanmak için bir buz parçası nevindeki şahsiyetini ve enaniyetini o havuz içine atıp eritendir.
    5. Hâşiye: Bu kıymetli mektupta Üstadımızın işaret ettiği beş nevi ibadetin kendilerinden izahını talep ettik. Aldığımız izah aşağıya yazılmıştır.
      1 - En mühim bir mücahede olan ehl-i dalalete karşı manen mücahede etmektir.
      2 - Üstadına neşr-i hakikat cihetinde yardım suretiyle hizmet etmektir.
      3 - Müslümanlara iman cihetinde hizmet etmektir.
      4 - Kalemle ilmi tahsil etmektir.
      5 - Bazen bir saati bir sene ibadet hükmüne geçen tefekkürî olan ibadeti yapmaktır.
      Rüşdü, Hüsrev, Re’fet