Yirmi Dördüncü Lem'a/id: Revizyonlar arasındaki fark
("Ketika aku menyaksikan di beberapa daerah besarnya perhatian para perempuan terhadap Risalah Nur dan mereka menerima semua pelajaran yang kuberikan, aku datang untuk ketiga kalinya ke Madrasah maknawi az-Zahra, kota yang penuh berkah, Isparta. Aku mendengar bahwa para perempuan baik-baik itu, saudari-saudariku di akhirat, sedang menantiku memberikan pengajian. Mereka ingin agar aku memberikan pengajian seperti ceramah dan tausiyah yang disampaikan di mas..." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) Etiketler: Mobil değişiklik Mobil ağ değişikliği |
("===Nuktah Pertama===" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) |
||
81. satır: | 81. satır: | ||
Karena lintasan pikiran itulah, meskipun aku sedang sakit, lemah, dan lelah, dengan sangat ringkas aku pun menuliskan untuk para saudariku yang diberkahi itu sekaligus untuk anak-anakku yang masih remaja beberapa hal yang harus mereka perhatikan dalam tiga nuktah sebagai berikut: | Karena lintasan pikiran itulah, meskipun aku sedang sakit, lemah, dan lelah, dengan sangat ringkas aku pun menuliskan untuk para saudariku yang diberkahi itu sekaligus untuk anak-anakku yang masih remaja beberapa hal yang harus mereka perhatikan dalam tiga nuktah sebagai berikut: | ||
< | <span id="Birinci_Nükte"></span> | ||
=== | ===Nuktah Pertama=== | ||
<div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr"> | <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr"> |
14.30, 25 Aralık 2024 tarihindeki hâli
(Risalah Hijab)
(*[1])
Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’.” (QS. al-Ahzâb [33]: 59).Ayat al-Qur’an di atas memerintahkan hijab, sementara peradaban modern memiliki pandangan yang berseberangan dengan ketetapan Ilahi di atas. Hijab tidak dilihat sebagai fitrah bagi perem- puan, tetapi justru dianggap sebagai sesuatu yang membatasi ruang gerak mereka.(*[2])
Kami akan mengetengahkan empat dari sekian banyak hikmah yang menunjukkan bahwa ketetapan al-Qur’an tersebut memang merupakan tuntutan fitrah perempuan. Sementara yang menjadi kebalikannya bukan termasuk fitrah.
Hikmah Pertama
Hijab adalah fitrah bagi perempuan sehingga mereka membutuhkannya. Pasalnya, perempuan diciptakan dalam kondisi lemah dan lembut. Mereka sadar bahwa mereka membutuhkan keberadaan seorang lelaki yang bisa melindungi mereka dan anak-anak yang sangat mereka cintai lebih dari diri sendiri. Oleh karena itu, perem- puan memiliki kecenderungan fitrah untuk membuat dirinya dicintai, tidak dibenci, dan tidak ditolak secara kasar oleh orang lain.
Di samping itu, sekitar tujuh dari sepuluh perempuan, terutama yang tua atau kurang cantik, biasanya enggan untuk memperlihatkan uban atau kekurangan mereka. Mereka mempunyai rasa cemburu yang sangat besar sehingga mereka khawatir kalau ada perempuan cantik lainnya yang mengalahkan mereka atau khawatir kalau dilecehkan dan dicela orang. Karena itu, secara fitrah mereka meng- inginkan hijab untuk menjaga diri agar tidak dilecehkan orang dan agar tidak dituduh suaminya dengan pengkhianatan. Bahkan, kita melihat para perempuan yang sudah berusia lanjut lebih semangat untuk berhijab dibanding yang lainnya. Barangkali tidak lebih dari dua atau tiga saja dari sepuluh perempuan remaja cantik yang tidak merasa sungkan untuk memperlihatkan aurat mereka. Karena seperti yang kita ketahui, biasanya ma- nusia tidak suka jika dilihat oleh orang yang tidak ia sukai. Bahkan, ketika misalnya ada perempuan cantik yang berpakaian tidak sopan, karena ingin dilihat oleh dua atau tiga orang pria yang bukan mahramnya, ia tetap akan keberatan dan merasa risih jika dilihat oleh tujuh atau delapan pria lainnya.
Karena perempuan mempunyai tabiat halus dan sensitif, ia sangat menghindari—selama perangainya tidak rusak—pandangan jahat dan pandangan yang menimbulkan efek konkret seperti racun.Bahkan, kita mendengar sebagian besar perempuan di Eropa—padahal dikenal sebagai lingkungan yang bebas buka aurat—mengadu ke polisi karena ada orang-orang yang terus menerus memperhatikan mereka. Mereka berkata, “Orang-orang yang hina itu terus menerus mengikuti dan mengganggu kami.”
Kesimpulan:Peradaban modern yang mencampakkan hijab betul-betul berlawanan dengan fitrah manusia. Sesungguhnya perintah al-Qur’an untuk berhijab, di samping merupakan fitrah, ia melindungi perempuan—yang merupakan sumber kasih sayang dan teman setia abadi bagi suaminya—dari kerendahan, kehinaan, dan keremehan.
Selain itu, secara fitrah, perempuan mempunyai kekhawatiran terhadap pria asing sehingga mereka perlu berhijab. Sebab, kenikmatan yang berlangsung selama sembilan menit menjadi pahit dengan adanya beban untuk mengandung janin selama sembilan bulan, dilanjutkan dengan keharusan memelihara anak yang tak mempunyai ayah selama sembilan tahun. Karena peluang kepada hal itu sangat besar, perempuan sangat khawatir kepada pria yang bukan mahram dan secara naluri menjauhi mereka. Fitrahnya yang lemah akan mengingatkannya untuk segera melindungi diri dan memakai hijab agar tidak membangkitkan syahwat para pria yang bukan mahramnya dan tidak membuka peluang untuk diganggu. Fitrahnya menunjukkan bahwa hijab merupakan benteng dan parit pengaman.
Kami pernah mendengar bahwa ada seorang tukang semir sepatu mengusik istri pejabat tinggi yang membuka auratnya. Si tukang semir tadi merayunya secara terang-terangan pada siang hari di jantung ibu kota, Ankara. Bukankah perlakuan buruk itu merupakan tamparan keras bagi wajah mereka yang tidak tahu malu menentang hijab?!
Hikmah Kedua
Hubungan erat dan kecintaan mendalam antara seorang laki-laki dan perempuan tidak hanya lahir dari kebutuhan yang menjadi tuntutan kehidupan dunia semata. Seorang perempuan tidak hanya menjadi pendamping suami di dunia saja, tetapi ia juga menjadi pendampingnya di dalam kehidupan yang abadi. Oleh karena itu, ia harus berusaha agar tidak menarik perhatian orang lain pada kecantikan dirinya, selain suaminya yang merupakan sahabat dan pendampingnya. Di samping itu, ia juga harus berusaha agar suaminya tidak terusik, murka, dan cemburu.
Selain itu, dengan keimanannya, seorang suami yang beriman tidak hanya mencintai istrinya di kehidupan dunia ini saja, dan tidak membatasi cintanya hanya ketika istrinya cantik. Namun, mencintai dan menghormatinya dengan tulus dan serius yang tidak hanya terbatas pada masa muda dan cantik, tetapi juga pada masa tua, bahkan ketika kecantikan istri telah sirna. Sebab, istrinya akan menjadi pen- dampingnya di kehidupan yang abadi. Oleh karena itu, seorang istri harus mempersembahkan kecantikan dan cintanya hanya kepada suami, sebagaimana hal itu merupakan tuntutan fitrah kemanusiaannya. Jika tidak, ia akan kehilangan banyak hal.
Selanjutnya, syariat juga menuntut seorang suami harus sepadan dengan istri. Artinya, yang satu harus sesuai dan sejalan dengan lainnya. Dalam hal ini, kesepadanan yang terpenting tentunya adalah kesepadanan agama.
Betapa bahagianya seorang suami yang melihat istrinya begitu religius, sehingga ia pun berusaha mengikutinya dan menjadi orang yang taat agar tidak kehilangan istri setianya di kehidupan akhirat nanti.
Demikian halnya, betapa beruntungnya seorang istri yang melihat suaminya begitu religius, lalu ia tidak ingin kehilangan pendamping setianya itu di akhirat nanti sehingga ia menjadi orang yang bertakwa.
Sebaliknya, sungguh sangat celaka bagi seorang pria yang terjerumus dalam kemaksiatan yang membuatnya kehilangan istri yang salehah selamanya.
Demikian pula, sungguh malang seorang istri yang tidak mencontoh suaminya yang bertakwa sehingga ia berpisah dengan pendamping abadinya yang mulia.
Sungguh ribuan celaka pula bagi suami-istri yang saling mencontoh keburukan dan kemak siatan yang ada sehingga keduanya saling menolong menuju neraka.
Hikmah Ketiga
Kebahagiaan dan kelanggengan rumah tangga dalam hidup ini bergantung pada adanya rasa saling percaya di antara suami-istri, serta adanya rasa hormat yang layak dan cinta yang tulus di antara keduanya. Sementara mempertontonkan aurat tentu saja merusak kepercayaan, penghormatan, dan kecintaan di antara mereka. Sebab, sembilan dari sepuluh perempuan yang menampakkan aurat itu akan menjumpai para pria yang lebih tampan dibanding suami mereka. Sementara hanya satu orang yang melihat pria yang kalah ganteng dari suaminya sekaligus tidak ia senangi. Hal yang sama terjadi pada kaum pria. Hanya satu dari dua puluh orang dari mereka yang melihat perempuan yang kalah cantik dari istrinya. Sementara yang lain melihat para perempuan yang lebih cantik dibanding istri mereka. Kondisi ini sangat berpotensi untuk membangkitkan hasrat kotor di dalam jiwa, selain bisa melenyapkan kecintaan yang tulus dan penghormatan yang ada.
Hal itu karena secara fitrah, manusia tidak akan mempunyai pikiran kotor terhadap mahram, saudara perempuan misalnya, karena wajah mahram memunculkan rasa kasih sayang dan kecintaan yang bersumber dari adanya hubungan kekeluargaan. Perasaan mulia itu tentu akan membendung keinginan syahwat. Hanya saja, mem- perlihatkan bagian tubuh yang tidak boleh dilihat bagi mahram pun, seperti betis, bisa membangkitkan hasrat kotor orang-orang yang berkepribadian buruk. Wajah mahram menyadarkan akan adanya hubungan kekera- batan dan status kemahram-an yang berbeda dengan orang lain. Tetapi, menyingkap bagian-bagian tubuh yang terlarang seperti betis adalah sama saja berbahaya, baik bagi mahram ataupun bukan, sebab dalam betis tidak ada tanda pembeda yang memberitahukan kemahram-an, sehingga bisa menyebabkan selera pandangan hewani mahram yang bermartabat rendah bergejolak. Pandangan seperti ini tentu saja merupakan bentuk kejatuhan martabat manusia yang membuat kita merinding.
Hikmah Keempat
Seperti diketahui bersama, banyaknya keturunan diinginkan oleh semua orang. Tidak ada satu umat atau bangsa pun yang tidak mendukung banyaknya keturunan. Rasul bersabda:
“Nikahlah dan perbanyaklah jumlah kalian, sebab aku bangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain pada Hari Kiamat.”(*[3])
Akan tetapi, membuka aurat tentu saja membatasi pernikahan, bahkan menguranginya karena betapa pun bejatnya seorang pemuda, ia tetap menginginkan pasangan hidup yang suci dan menjaga diri. Ia tidak mau pasangan hidupnya buka-bukaan seperti dirinya. Karenanya, ia lebih memilih hidup membujang ketimbang menikah sehingga ia dapat terjerumus dalam kemaksiatan.
Sementara itu, perempuan tidak seperti pria. Ia tidak bisa leluasa menentukan suaminya. Karena perempuan bertugas mengurus rumah tangga, di samping menjaga anak, harta, dan semua milik suami, maka sifat paling utama yang melekat padanya adalah setia dan bisa dipercaya. Hanya saja, membuka aurat tentu akan merusak kesetiaan tadi dan mengoyak kepercayaan suami terhadap istri sehingga sang suami pun akan merasa sakit dan tersiksa.Bahkan, sifat keberanian dan kedermawanan yang merupakan tabiat terpuji bagi pria, jika keduanya terdapat pada perempuan, hal itu justru dianggap sebagai sifat tercela. Kedua sifat itu bisa merusak kepercayaan dan kesetiaan sehingga menjadi akhlak yang buruk. Namun, karena tugas suami tidak hanya terbatas pada memercaya- kan harta dan mengikat hubungan dengan istri, tetapi juga melindungi, mengasihi, dan menghormatinya, maka ia tidak seperti istri, yakni pilihannya tidak terikat hanya pada seorang istri sehingga bisa menikah dengan perempuan yang lain.
Negara kita tidak bisa dibandingkan dengan negara-negara Eropa. Pada tahap tertentu, di sana kehormatan bisa lebih mudah dijaga dalam keadaaan aurat terbuka dibanding di sini. Orang yang melihat istri orang lain yang terhormat dengan pandangan kotor, sama saja dengan menyiapkan kafannya sendiri. Di samping itu, tabiat bangsa Eropa adalah dingin (tak acuh) sama seperti iklim mereka. Adapun di Asia, khususnya negara-negara Islam, ia termasuk negara yang beriklim panas jika dibandingkan dengan Eropa. Seperti diketahui, kondisi iklim dan lingkungan sangat mempengaruhi akhlak manusia. Pada daerah yang dingin dan bagi orang- orang yang “dingin”, membuka aurat yang merangsang syahwat bisa jadi tidak sampai menimbulkan tindakan yang melampui batas.
Sementara bagi orang-orang sensitif yang cepat terangsang yang tinggal di daerah panas, membuka aurat akan menyebabkan munculnya perbuatan yang melanggar dan melampaui batas.Membuka aurat yang merangsang hawa nafsu dan syahwat tentu saja bisa memicu timbulnya pelanggaran, lemahnya keturunan, dan rusaknya kekuatan. Pasalnya, seorang pria yang membutuhkan pemenuhan hasrat alamiahnya dalam sebulan atau dua puluh hari akan beranggapan bahwa nafsunya harus disalurkan pada setiap beberapa hari. Lalu, karena ada penghalang fitri, seperti haid, yang menghalanginya untuk berhubungan dengan istri selama kira-kira 15 hari, ia pun akan terjerumus ke dalam perbuatan nista ketika nafsunya sudah mendominasi.
Penduduk kota tidak mesti melepaskan hijab dengan mengikuti penduduk desa dan orang-orang kampung. Sebab ketika bekerja, penduduk desa harus mengeluarkan tenaga fisik yang kuat untuk mencari nafkah dan seringkali para perempuannya ikut-serta dalam berbagai pekerjaan berat sehingga tubuh keras mereka pun terbuka. Namun, pekerja perempuan ini tidaklah menarik perhatian lawan jenis dan merangsang syahwat pria, sebagaimana perempuan kota. Di samping itu, jumlah pengangguran di desa tidak sebanyak jumlah yang ada di kota, maka kerusakan yang ada di desa tidak melebihi sepuluh persen dari apa yang ada di kota. Karenanya, kota tak bisa dibandingkan dengan desa.
بِاس۟مِهٖ سُب۟حَانَهُ
DIALOG DENGAN PARA PEREMPUAN SAUDARI SEIMAN
Ketika aku menyaksikan di beberapa daerah besarnya perhatian para perempuan terhadap Risalah Nur dan mereka menerima semua pelajaran yang kuberikan, aku datang untuk ketiga kalinya ke Madrasah maknawi az-Zahra, kota yang penuh berkah, Isparta. Aku mendengar bahwa para perempuan baik-baik itu, saudari-saudariku di akhirat, sedang menantiku memberikan pengajian. Mereka ingin agar aku memberikan pengajian seperti ceramah dan tausiyah yang disampaikan di masjid-masjid. Padahal, aku sedang menderita berbagai penyakit, di samping kondisiku yang sangat lemah dan lelah, bahkan tidak mampu berbicara dan berpikir. Namun demikian, pada malam ini muncul dalam benakku sebuah lintasan pikiran yang sangat kuat sebagai berikut: “Lima belas tahun yang lalu, engkau telah menulis risalah “Tuntunan Generasi Muda” atas permintaan mere- ka. Sudah banyak yang mengambil manfaat dari risalah tersebut. Sementara para perempuan lebih membutuhkan “tuntunan” semacam itu pada masa sekarang ini .” Karena lintasan pikiran itulah, meskipun aku sedang sakit, lemah, dan lelah, dengan sangat ringkas aku pun menuliskan untuk para saudariku yang diberkahi itu sekaligus untuk anak-anakku yang masih remaja beberapa hal yang harus mereka perhatikan dalam tiga nuktah sebagai berikut:
Nuktah Pertama
Risale-i Nur’un en mühim bir esası şefkat olmasından nisa taifesi, şefkat kahramanları bulunmaları cihetiyle daha ziyade Risale-i Nur’la fıtraten alâkadardırlar. Ve lillahi’l-hamd, bu fıtrî alâkadarlık çok yerlerde hissediliyor. Bu şefkatteki fedakârlık, hakiki bir ihlası ve mukabelesiz bir fedakârlık manasını ifade ettiğinden şimdi bu zamanda pek çok ehemmiyeti var.
Evet, bir valide veledini tehlikeden kurtarmak için hiçbir ücret istemeden ruhunu feda etmesi ve hakiki bir ihlas ile vazife-i fıtriyesi itibarıyla kendini evladına kurban etmesi gösteriyor ki hanımlarda gayet yüksek bir kahramanlık var. Bu kahramanlığın inkişafı ile hem hayat-ı dünyeviyesini hem hayat-ı ebediyesini onunla kurtarabilir. Fakat bazı fena cereyanlarla, o kuvvetli ve kıymettar seciye inkişaf etmez veyahut sû-i istimal edilir.
Yüzer numunelerinden bir küçük numunesi şudur: O şefkatli valide, çocuğunun hayat-ı dünyeviyede tehlikeye girmemesi, istifade ve fayda görmesi için her fedakârlığı nazara alır, onu öyle terbiye eder. “Oğlum paşa olsun.” diye bütün malını verir; hâfız mektebinden alır, Avrupa’ya gönderir. Fakat o çocuğun hayat-ı ebediyesi tehlikeye girdiğini düşünmüyor ve dünya hapsinden kurtarmaya çalışıyor, cehennem hapsine düşmesini nazara almıyor. Fıtrî şefkatin tam zıddı olarak o masum çocuğunu, âhirette şefaatçi olmak lâzım gelirken davacı ediyor. O çocuk “Niçin benim imanımı takviye etmeden bu helâketime sebebiyet verdin?” diye şekva edecek. Dünyada da terbiye-i İslâmiyeyi tam almadığı için validesinin hârika şefkatinin hakkına karşı lâyıkıyla mukabele edemez, belki de çok kusur eder.
Eğer hakiki şefkat sû-i istimal edilmeyerek bîçare veledini, haps-i ebedî olan cehennemden ve idam-ı ebedî olan dalalet içinde ölmekten kurtarmaya o şefkat sırrı ile çalışsa; o veledin bütün ettiği hasenatının bir misli, validesinin defter-i a’maline geçeceğinden validesinin vefatından sonra her vakit hasenatları ile ruhuna nurlar yetiştirdiği gibi âhirette de değil davacı olmak, bütün ruh u canı ile şefaatçi olup ebedî hayatta ona mübarek bir evlat olur.
Evet, insanın en birinci üstadı ve tesirli muallimi, onun validesidir. Bu münasebetle ben kendi şahsımda kat’î ve daima hissettiğim bu manayı beyan ediyorum:
Ben, bu seksen sene ömrümde, seksen bin zatlardan ders aldığım halde, kasem ediyorum ki en esaslı ve sarsılmaz ve her vakit bana dersini tazeler gibi merhum validemden aldığım telkinat ve manevî derslerdir ki o dersler fıtratımda, âdeta maddî vücudumda çekirdekler hükmünde yerleşmiş. Sair derslerimin o çekirdekler üzerine bina edildiğini aynen görüyorum. Demek, bir yaşımdaki fıtratıma ve ruhuma, merhum validemin ders ve telkinatını, şimdi bu seksen yaşımdaki gördüğüm büyük hakikatler içinde birer çekirdek-i esasiye müşahede ediyorum.
Ezcümle: Meslek ve meşrebimin dört esasından en mühimmi olan şefkat etmek ve Risale-i Nur’un da en büyük hakikati olan acımak ve merhamet etmeyi, o validemin şefkatli fiil ve halinden ve o manevî derslerinden aldığımı yakînen görüyorum. Evet, bu hakiki ihlas ile hakiki bir fedakârlık taşıyan validelik şefkati, sû-i istimal edilip masum çocuğunun elmas hazinesi hükmünde olan âhiretini düşünmeyerek, muvakkat fâni şişeler hükmünde olan dünyaya o çocuğun masum yüzünü çevirmek ve bu şekilde ona şefkat göstermek, o şefkati sû-i istimal etmektir.
Evet, kadınların şefkat cihetiyle bu kahramanlıklarını hiçbir ücret ve hiçbir mukabele istemeyerek, hiçbir faide-i şahsiye, hiçbir gösteriş manası olmayarak ruhunu feda ettiklerine; o şefkatin küçücük bir numunesini taşıyan bir tavuğun yavrusunu kurtarmak için arslana saldırması ve ruhunu feda etmesi ispat ediyor.
Şimdi terbiye-i İslâmiyeden ve a’mal-i uhreviyeden en kıymetli ve en lüzumlu esas, ihlastır. Bu çeşit şefkatteki kahramanlıkta o hakiki ihlas bulunuyor.
Eğer bu iki nokta, o mübarek taifede inkişafa başlasa daire-i İslâmiyede pek büyük bir saadete medar olur. Halbuki erkeklerin kahramanlıkları mukabelesiz olamıyor, belki yüz cihette mukabele istiyorlar. Hiç olmazsa şan ve şeref istiyorlar. Fakat maatteessüf bîçare mübarek taife-i nisaiye, zalim erkeklerinin şerlerinden ve tahakkümlerinden kurtulmak için başka bir tarzda, zafiyetten ve aczden gelen başka bir nevide riyakârlığa giriyorlar.
İkinci Nükte
Bu sene inzivada iken ve hayat-ı içtimaiyeden çekildiğim halde bazı Nurcu kardeşlerimin ve hemşirelerimin hatırları için dünyaya baktım. Benimle görüşen ekseri dostlardan, kendi ailevî hayatlarından şekvalar işittim. “Eyvah!” dedim. “İnsanın hususan Müslüman’ın tahassungâhı ve bir nevi cenneti ve küçük bir dünyası aile hayatıdır. Bu da mı bozulmaya başlamış.” dedim. Sebebini aradım. Bildim ki nasıl, İslâmiyet’in hayat-ı içtimaiyesine ve dolayısıyla din-i İslâm’a zarar vermek için gençleri yoldan çıkarmak ve gençlik hevesatıyla sefahete sevk etmek için bir iki komite çalışıyormuş. Aynen öyle de bîçare nisa taifesinin gafil kısmını dahi yanlış yollara sevk etmek için bir iki komitenin tesirli bir surette perde altında çalıştığını hissettim. Ve bildim ki bu millet-i İslâm’a bir dehşetli darbe, o cihetten geliyor.
Ben de siz hemşirelerime ve gençleriniz olan manevî evlatlarıma kat’iyen beyan ediyorum ki: Kadınların saadet-i uhreviyesi gibi saadet-i dünyeviyeleri de ve fıtratlarındaki ulvi seciyeleri de bozulmaktan kurtulmanın çare-i yegânesi, daire-i İslâmiyedeki terbiye-i diniyeden başka yoktur! Rusya’da o bîçare taifenin ne hale girdiğini işitiyorsunuz.
Risale-i Nur’un bir parçasında denilmiş ki: Aklı başında olan bir adam; refikasına muhabbetini ve sevgisini, beş on senelik fâni ve zâhirî hüsn-ü cemaline bina etmez. Belki kadınların hüsn-ü cemalinin en güzeli ve daimîsi, onun şefkatine ve kadınlığa mahsus hüsn-ü sîretine sevgisini bina etmeli. Tâ ki o bîçare ihtiyarladıkça kocasının muhabbeti ona devam etsin. Çünkü onun refikası, yalnız dünya hayatındaki muvakkat bir yardımcı refika değil belki hayat-ı ebediyesinde ebedî ve sevimli bir refika-i hayat olduğundan, ihtiyarlandıkça daha ziyade hürmet ve merhamet ile birbirine muhabbet etmek lâzım geliyor. Şimdiki terbiye-i medeniye perdesi altındaki hayvancasına muvakkat bir refakatten sonra ebedî bir müfarakata maruz kalan o aile hayatı, esasıyla bozuluyor.
Hem Risale-i Nur’un bir cüzünde denilmiş ki: Bahtiyardır o adam ki refika-i ebediyesini kaybetmemek için saliha zevcesini taklit eder, o da salih olur. Hem bahtiyardır o kadın ki kocasını mütedeyyin görür, ebedî dostunu ve arkadaşını kaybetmemek için o da tam mütedeyyin olur; saadet-i dünyeviyesi içinde saadet-i uhreviyesini kazanır. Bedbahttır o adam ki sefahete girmiş zevcesine ittiba eder; vazgeçirmeye çalışmaz, kendisi de iştirak eder. Bedbahttır o kadın ki zevcinin fıskına bakar, onu başka bir surette taklit eder. Veyl o zevc ve zevceye ki birbirini ateşe atmakta yardım eder. Yani medeniyet fanteziyelerine birbirini teşvik eder.
İşte, Risale-i Nur’un bu mealdeki cümlelerinin manası budur ki: Bu zamanda aile hayatının ve dünyevî ve uhrevî saadetinin ve kadınlarda ulvi seciyelerin inkişafının sebebi, yalnız daire-i şeriattaki âdab-ı İslâmiyet’le olabilir.
Şimdi aile hayatında en mühim nokta budur ki: Kadın, kocasında fenalık ve sadakatsizlik görse, o da kocasının inadına kadının vazife-i ailevîsi olan sadakat ve emniyeti bozsa aynen askerîdeki itaatin bozulması gibi o aile hayatının fabrikası zîr ü zeber olur. Belki o kadın, elinden geldiği kadar kocasının kusurunu ıslaha çalışmalıdır ki ebedî arkadaşını kurtarsın. Yoksa o da kendini açıklık ve saçıklıkla başkalara göstermeye ve sevdirmeye çalışsa her cihetle zarar eder. Çünkü hakiki sadakati bırakan, dünyada da cezasını görür. Çünkü nâmahremlerin nazarından fıtratı korkar, sıkılır, çekilir. Nâmahrem yirmi erkeğin on sekizinin nazarından istiskal eder. Erkek ise nâmahrem yüz kadından ancak birisinden istiskal eder, bakmasından sıkılır. Kadın o cihette azap çektiği gibi sadakatsizlik ittihamı altına girer, zafiyetiyle beraber hukukunu muhafaza edemez.
Elhasıl: Nasıl ki kadınlar kahramanlıkta, ihlasta şefkat itibarıyla erkeklere benzemedikleri gibi erkekler de o kahramanlıkta onlara yetişemiyorlar; öyle de o masum hanımlar dahi sefahette hiçbir vecihle erkeklere yetişemezler. Onun için fıtratlarıyla ve zayıf hilkatleriyle nâmahremlerden şiddetli korkarlar ve çarşaf altında saklanmaya kendilerini mecbur bilirler. Çünkü erkek, sekiz dakika zevk ve lezzet için sefahete girse ancak sekiz lira kadar bir şey zarar eder. Fakat kadın sekiz dakika sefahetteki zevkin cezası olarak dünyada dahi sekiz ay ağır bir yükü karnında taşır ve sekiz sene de o hâmisiz çocuğun terbiyesinin meşakkatine girdiği için sefahette erkeklere yetişemez, yüz derece fazla cezasını çeker. Az olmayan bu nevi vukuat da gösteriyor ki mübarek taife-i nisaiye, fıtraten yüksek ahlâka menşe olduğu gibi fısk ve sefahette dünya zevki için kabiliyetleri yok hükmündedir.
Demek onlar, daire-i terbiye-i İslâmiye içinde mesud bir aile hayatını geçirmeye mahsus bir nevi mübarek mahlukturlar. Bu mübarekleri ifsad eden komiteler kahrolsunlar! Allah bu hemşirelerimi de bu serserilerin şerlerinden muhafaza eylesin, âmin!
Hemşirelerim! Mahremce bu sözümü size söylüyorum: Maişet derdi için serseri, ahlâksız, Frenk-meşrep bir kocanın tahakkümü altına girmektense fıtratınızdaki iktisat ve kanaatle, köylü masum kadınların nafakalarını kendileri çıkarmak için çalışmaları nevinden kendinizi idareye çalışınız, satmaya çalışmayınız. Şayet size münasip olmayan bir erkek kısmet olsa siz kısmetinize razı olunuz ve kanaat ediniz. İnşâallah rızanız ve kanaatinizle o da ıslah olur. Yoksa şimdiki işittiğim gibi mahkemelere boşanmak için müracaat edeceksiniz. Bu da haysiyet-i İslâmiye ve şeref-i milliyemize yakışmaz!
Üçüncü Nükte
Aziz hemşirelerim! Kat’iyen biliniz ki daire-i meşruanın haricindeki zevklerde, lezzetlerde; on derece onlardan ziyade elemler ve zahmetler bulunduğunu Risale-i Nur yüzer kuvvetli delillerle, hâdisatlarla ispat etmiştir. Uzun tafsilatı Risale-i Nur’da bulabilirsiniz.
Ezcümle, Küçük Sözler’den Altıncı, Yedinci, Sekizinci Sözler ve Gençlik Rehberi benim bedelime sizlere tam bu hakikati gösterecek. Onun için daire-i meşruadaki keyfe iktifa ediniz ve kanaat getiriniz. Sizin hanenizdeki masum evlatlarınızla masumane sohbet, yüzer sinemadan daha ziyade zevklidir.
Hem kat’iyen biliniz ki bu hayat-ı dünyeviyede hakiki lezzet, iman dairesindedir ve imandadır. Ve a’mal-i salihanın her birisinde bir manevî lezzet var. Ve dalalet ve sefahette, bu dünyada dahi gayet acı ve çirkin elemler bulunduğunu Risale-i Nur yüzer kat’î delillerle ispat etmiştir. Âdeta imanda bir cennet çekirdeği ve dalalette ve sefahette bir cehennem çekirdeği bulunduğunu, ben kendim çok tecrübelerle ve hâdiselerle aynelyakîn görmüşüm ve Risale-i Nur’da bu hakikat tekrar ile yazılmış. En şedit muannid ve muterizlerin eline girip hem resmî ehl-i vukuflar ve mahkemeler o hakikati cerh edememişler. Şimdi sizin gibi mübarek ve masum hemşirelerime ve evlatlarım hükmünde küçüklerinize, başta Tesettür Risalesi ve Gençlik Rehberi ve Küçük Sözler benim bedelime sizlere ders versin.
Ben işittim ki benim size camide ders vermekliğimi arzu ediyorsunuz. Fakat benim perişaniyetimle beraber hastalığım ve çok esbab, bu vaziyete müsaade etmiyor. Ben de sizin için yazdığım bu dersimi okuyan ve kabul eden bütün hemşirelerimi, bütün manevî kazançlarıma ve dualarıma Nur şakirdleri gibi dâhil etmeye karar verdim. Eğer siz benim bedelime Risale-i Nur’u kısmen elde edip okusanız veya dinleseniz, o vakit kaidemiz mûcibince bütün kardeşleriniz olan Nur şakirdlerinin manevî kazançlarına ve dualarına da hissedar oluyorsunuz.
Ben, şimdi daha ziyade yazacaktım fakat çok hasta ve çok zayıf ve çok ihtiyar ve tashihat gibi çok vazifelerim bulunduğundan şimdilik bu kadarla iktifa ettim.
اَل۟بَاقٖى هُوَ ال۟بَاقٖى
Duanıza muhtaç kardeşiniz
Said Nursî
- ↑ *Tadinya risalah ini merupakan persoalan kedua dan ketiga dari Memoar Kelima Belas dari Cahaya Ketujuh Belas. Namun melihat urgensinya, ia kemudian termuat sebagai Cahaya tersendiri, yaitu Cahaya Kedua Puluh Empat, dalam buku yang sama.
- ↑ *Paragraf ini merupakan bagian dari dakwaan yang pernah diadukan ke Penga- dilan Tingkat Kasasi dan membuat mereka terdiam ketika dikemukakan. Ia pun menjadi catatan kaki bagi risalah ini. Aku berkata kepada pihak Pengadilan Tingkat Banding (Pengadilan Tinggi), “Menghukum orang yang menafsirkan undang-undang ilahi secara benar di mana undang-undang tersebut menjadi pegangan 350 juta kaum muslimin pada setiap masa di dalam kehidupan sosial mereka selama kurang lebih 1350 tahun. Selain itu, mufassir tersebut dalam menafsirkannya telah bersandar pada apa yang telah disepakati oleh 350 ribu mufassir serta berpegang pada akidah para pendahulu kita selama 1350 tahun. Kutegaskan bahwa menghukum mufassir tadi merupakan sebuah keputusan yang zalim dan harus ditolak oleh keadilan, jika keadilan itu memang masih ada di muka bumi ini—Penulis.
- ↑ *Abdurrazzâq, al-Mushannaf, 6/173; dan al-Ajlûni, Kasyf al-Khafâ, 1/380.