On Üçüncü Mektup/id: Revizyonlar arasındaki fark

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    ("Kami adalah kaum yang tidak mau mengekor, Kami jadi pemimpin untuk semua, atau mati dalam kubur.(*<ref>* Karya Abu Firas al-Hamadani.</ref>)" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    ("Jadi, pengabdian kepada al-Qur’an membuatku tidak sempat memikirkan kehidupan sosial politik yang ada." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    58. satır: 58. satır:
    Kami adalah kaum yang tidak mau mengekor, Kami jadi pemimpin untuk semua, atau mati dalam kubur.(*<ref>*  Karya Abu Firas al-Hamadani.</ref>)
    Kami adalah kaum yang tidak mau mengekor, Kami jadi pemimpin untuk semua, atau mati dalam kubur.(*<ref>*  Karya Abu Firas al-Hamadani.</ref>)


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Jadi, pengabdian kepada al-Qur’an membuatku tidak sempat memikirkan kehidupan sosial politik yang ada.
    Belki hizmet-i Kur’an, beni hayat-ı içtimaiye-i siyasiye-i beşeriyeyi düşünmekten men’ediyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">

    10.22, 5 Ocak 2025 tarihindeki hâli

    Diğer diller:

    Semoga keselamatan dilimpahkan kepada mereka yang mengikuti petunjuk.

    Dan kecelakaan ditimpakan kepada mereka

    yang menuruti hawa nafsu.

    Saudara-saudaraku yang mulia!

    Kalian sering menanyakan kondisiku, mengapa aku tidak mendatangi pemerintah untuk mendapatkan surat putusan bebas, serta mengapa aku tidak peduli dengan kondisi dunia perpolitikan. Karena pertanyaan di atas sering berulang, di samping ia ditanyakan padaku secara maknawi, maka aku harus menjawab tiga pertanyaan tersebut lewat lisan “Said Lama”; bukan dengan lisan “Said Baru.”

    Pertanyaan Pertama:

    Bagaimana kabarmu? Apakah engkau baik-baik saja?

    Jawaban:Alhamdulillah. Segala puji yang tak terkira bagi Allah yang Maha Pengasih. Dia telah membalik berbagai jenis kezaliman dan kesulitan yang diberikan oleh pihak penguasa padaku menjadi karunia dan rahmat. Penjelasannya sebagai berikut:

    Ketika aku mengasingkan diri (berkhalwat) di gua sebuah gunung, saat aku telah memisahkan diri dari politik dan menjauh dari dunia dengan menyibukkan diri dengan urusan akhirat, pihak penguasa mengeluarkan diriku dari sana serta mengasingkanku secara sangat zalim. Namun Sang Pencipta Yang Maha Penyayang dan Mahabijak menjadikan pengasingan tersebut sebagai rahmat bagiku. Pasalnya, Dia mengubah kondisi menyepi di gunung yang berpotensi merusak keikhlasan dan keselamatan kepada khalwat di gunung Barla yang diliputi oleh rasa aman, tenang, dan ikhlas.Saat menjadi tawanan di Rusia, aku sudah bertekad dan berharap kepada Allah agar di akhir-akhir hidupku bisa mengasingkan diri di gua. Maka, Tuhan Yang Maha Penyayang menjadikan Barla sebagai gua sekaligus memudahkan diriku untuk mengambil manfaat darinya serta tidak membebani pundakku dengan berbagai kesulitan yang terdapat di gua.

    Hanya saja, ada sedikit masalah akibat ilusi dan anggapan sejumlah orang yang merupakan sahabat-sahabatku. Akibatnya, aku terzalimi. Mereka mengira sedang melakukan sesuatu untuk kepentinganku. Namun kenyataannya, mereka telah membuatku resah dan terganggu dalam berkhidmah pada al-Qur’an.

    Meskipun pihak penguasa telah memberikan jaminan, untuk bisa kembali, kepada mereka yang diasingkan serta membebaskan orang-orang yang bersalah dari penjara, namun dengan tidak adil aku tidak mendapatkan pembebasan tersebut. Hanya saja Rabb Yang Maha Penyayang ingin agar aku tetap berada dalam pengasi- ngan, agar bisa terus berkhidmah pada al-Qur’an dan menuliskan cahaya-cahaya al-Qur’an yang kusebut dengan al-Kalimât lebih banyak lagi. Dia membuatku tetap berada dalam pengasingan tanpa dihiasi kebisingan dan gangguan. Sehingga hal itu menjadi rahmat bagiku.

    Meskipun pihak penguasa membolehkan kalangan yang memi- liki pengaruh, para syekh, dan pimpinan kabilah yang bisa ikut campur dalam dunia mereka berada di kecamatan dan kota-kota besar serta membolehkan para karib kerabat dan semua kenalan untuk mengunjungi mereka, namun pihak penguasa dengan zalim tetap mengisolasi diriku dan mengirimku ke sebuah desa kecil. Mereka tidak membolehkan karib kerabatku dan orang-orang kampungku—kecuali satu atau dua orang—untuk mengunjungiku. Hanya saja, Sang Pencipta Yang Maha Penyayang mengubah isolasi ini menjadi rahmat yang berlimpah untukku. Pasalnya, Dia menjadikan isolasi tersebut sebagai sarana yang membersihkan pikiranku dari berbagai urusan yang tidak penting sekaligus mengarahkannya untuk menerima limpahan dari al-Qur’an al-Hakim secara bersih dan murni.

    Selanjutnya, pihak penguasa awalnya tidak senang ketika aku menulis satu atau dua surat dalam jangka waktu dua tahun. Bahkan sampai sekarang mereka tidak senang ketika ada satu atau dua orang tamu datang mengunjungiku sekali dalam sepuluh hari, dua puluh hari, atau dalam sebulan, padahal tujuan mereka hanya untuk urusan ukhrawi semata. Pihak penguasa betul-betul menzalimiku. Hanya saja, Sang Pencipta Yang Maha Penyayang dan Mahabijak mengubah kezaliman mereka menjadi rahmat untukku. Sebab, aku bisa berkhal- wat dan beruzlah selama tiga bulan yang di dalamnya seorang hamba dapat memperoleh 90 tahun kehidupan maknawi.

    Segala puji bagi Allah atas setiap kondisi yang ada.

    Inilah keadaanku dan kondisi kesehatanku.

    Pertanyaan Kedua:

    Mengapa engkau tidak mendatangi pemerintah untuk mendapatkan sertifikat (surat putusan bebas)?

    Elcevap: Şu meselede ben kaderin mahkûmuyum, ehl-i dünyanın mahkûmu değilim. Kadere müracaat ediyorum. Ne vakit izin verirse rızkımı buradan ne vakit keserse o vakit giderim.

    Hakikat dari ungkapan di atas adalah bahwa segala yang menimpa manusia mengandung dua sebab, yaitu sebab lahiriah dan sebab hakiki.Pihak penguasa menjadi sebab lahiriah dan membawaku ke tempat ini. Adapun takdir Ilahi merupakan sebab hakiki. Dia yang menetapkanku untuk beruzlah seperti ini. “Sebab lahiriah” telah ber- buat zalim, sementara “sebab hakiki” berbuat adil. Pihak penguasa berpikir seperti ini: “Orang ini berlebihan dalam mengabdi pada ilmu dan agama. Bisa jadi ia ikut campur dalam urusan dunia kita.” Dengan kemungkinan tersebut, mereka menga- singkan diriku. Mereka benar-benar berbuat zalim kepadaku lewat tiga sisi.Adapun takdir Ilahi melihat diriku belum mengabdi pada ilmu dan agama dengan tulus. Karena itu, ia menghukumku dengan cara diasingkan. Dia mengubah kezaliman mereka yang berlebihan dengan rahmat yang berlipat ganda.

    Selama takdir yang menjadi penentu bagi pengasingan diriku, sementara takdir pasti adil, maka kukembalikan kepadanya dan kuserahkan diriku padanya. Sementara sebab lahiriah hanyalah argumen dan alasan yang tidak berharga. Artinya, mendatangi pihak penguasa sama sekali tidak berguna. Andai mereka memiliki hak atau sebab yang kuat, tentu mereka layak untuk didatangi.

    Aku sudah meninggalkan dunia mereka. Pada saat aku meninggalkan politik mereka secara total, maka segala keraguan dan dugaan mereka menjadi tidak berdasar. Karena itu, aku tidak ingin dugaan dan keragu-raguan mereka menjadi kenyataan dengan mendatangi mereka. Andaikan aku memiliki keinginan untuk ikut serta dalam politik keduniaan mereka yang kendalinya berada di tangan kaum asing, tentu hal itu akan diketahui dalam 8 jam; bukan 8 tahun. Apalagi aku tidak punya keinginan membaca satu koran pun dan tidak membacanya selama 8 tahun. Sejak 4 tahun yang lalu aku ber- ada di sini di bawah pengawasan, namun tidak ada satupun indikasi dariku yang mengarah kepadanya.

    Artinya, pengabdian kepada al- Qur’an merupakan pekerjaan mulia dan luhur yang mengungguli semua bentuk politik. Hal inilah yang membuatku tidak mau ikut masuk ke dalam dunia politik yang didominasi oleh kebohongan.

    Sebab kedua mengapa aku tidak mendatangi mereka adalah bahwa sikap merasa benar dan memiliki hak di hadapan orang yang menganggap kebatilan sebagai sebuah kebenaran adalah satu bentuk kebatilan. Karena itu, aku tidak mau melakukan ketidakadilan seperti itu.

    Pertanyaan Ketiga:

    Mengapa sejauh ini engkau tidak memiliki perhatian kepada kondisi politik dunia saat ini. Engkau sama sekali tidak mengubah sikap dalam melihat berbagai peristiwa yang terjadi di dunia. Apakah engkau merasa senang dengannya? Atau engkau merasa takut sehingga hanya bisa diam?

    Jawaban:Pengabdian diri kepada al-Qur’an itulah yang membuatku tidak masuk ke dalam dunia politik. Ia telah membuatku lupa bahkan untuk sekadar memikirkannya. Jika bukan karena itu, seluruh perjalanan hidupku menjadi saksi betapa rasa takut tidak pernah membelenggu dan mencegah diriku untuk terus meniti jalan yang kuanggap benar.

    Lalu apa yang harus kutakuti? Tidak ada relasi antara diriku dengan dunia kecuali ajal. Sebab, aku tidak memiliki keluarga dan anak yang harus kupikirkan. Aku juga tidak memiliki harta serta sama sekali tidak pernah memikirkan kemuliaan keturunan dan nasabku. Semoga Allah merahmati orang yang berusaha menghancurkan reputasi sosial yang merupakan riya dan popularitas palsu. Yang tersisa hanya ajalku. Dan ia berada di tangan Sang Pencipta yang Mahaagung semata. Adakah yang berani campur tangan sebelum saatnya tiba?! Tentu saja kami memilih mati mulia daripada hidup hina. Ada yang berujar seperti “Said Lama”:

    Kami adalah kaum yang tidak mau mengekor, Kami jadi pemimpin untuk semua, atau mati dalam kubur.(*[1])

    Jadi, pengabdian kepada al-Qur’an membuatku tidak sempat memikirkan kehidupan sosial politik yang ada.

    Şöyle ki: Hayat-ı beşeriye bir yolculuktur. Şu zamanda, Kur’an’ın nuruyla gördüm ki o yol bir bataklığa girdi. Mülevves ve ufunetli bir çamur içinde kafile-i beşer düşe kalka gidiyor. Bir kısmı, selâmetli bir yolda gider. Bir kısmı, mümkün olduğu kadar çamurdan, bataklıktan kurtulmak için bazı vasıtaları bulmuş. Bir kısm-ı ekseri o ufunetli, pis, çamurlu bataklık içinde karanlıkta gidiyor. Yüzde yirmisi sarhoşluk sebebiyle, o pis çamuru misk ü amber zannederek yüzüne gözüne bulaştırıyor. Düşerek kalkarak gider, tâ boğulur. Yüzde sekseni ise bataklığı anlar; ufunetli, pis olduğunu hisseder fakat mütehayyirdirler, selâmetli yolu göremiyorlar.

    İşte bunlara karşı iki çare var:

    Birisi: Topuz ile o sarhoş yirmisini ayıltmaktır.

    İkincisi: Bir nur göstermekle mütehayyirlere selâmet yolunu irae etmektir.

    Ben bakıyorum ki yirmiye karşı seksen adam, elinde topuz tutuyor. Halbuki o bîçare ve mütehayyir olan seksene karşı hakkıyla nur gösterilmiyor. Gösterilse de bir elinde hem sopa hem nur olduğu için emniyetsiz oluyor. Mütehayyir adam “Acaba nurla beni celbedip topuzla dövmek mi istiyor?” diye telaş eder. Hem de bazen arızalarla topuz kırıldığı vakit, nur dahi uçar veya söner.

    İşte o bataklık ise gafletkârane ve dalalet-pîşe olan sefihane hayat-ı içtimaiye-i beşeriyedir. O sarhoşlar, dalaletle telezzüz eden mütemerridlerdir. O mütehayyir olanlar, dalaletten nefret edenlerdir fakat çıkamıyorlar; kurtulmak istiyorlar, yol bulamıyorlar, mütehayyir insanlardır. O topuzlar ise siyaset cereyanlarıdır. O nurlar ise hakaik-i Kur’aniyedir. Nura karşı kavga edilmez, ona karşı adâvet edilmez. Sırf şeytan-ı racîmden başka ondan nefret eden olmaz.

    İşte ben de nur-u Kur’an’ı elde tutmak için اَعُوذُ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّي۟طَانِ وَ السِّيَاسَةِ deyip siyaset topuzunu atarak, iki elim ile nura sarıldım. Gördüm ki siyaset cereyanlarında hem muvafıkta hem muhalifte o nurların âşıkları var. Bütün siyaset cereyanlarının ve tarafgirliklerin çok fevkinde ve onların garazkârane telakkiyatlarından müberra ve safi olan bir makamda verilen ders-i Kur’an ve gösterilen envar-ı Kur’aniyeden hiçbir taraf ve hiçbir kısım çekinmemek ve ittiham etmemek gerektir. Meğer dinsizliği ve zındıkayı siyaset zannedip ona tarafgirlik eden insan suretinde şeytanlar ola veya beşer kıyafetinde hayvanlar ola.

    Elhamdülillah, siyasetten tecerrüd sebebiyle Kur’an’ın elmas gibi hakikatlerini propaganda-i siyaset ittihamı altında cam parçalarının kıymetine indirmedim. Belki gittikçe o elmaslar kıymetlerini her taifenin nazarında parlak bir tarzda ziyadeleştiriyor.

    اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ الَّذٖى هَدٰينَا لِهٰذَا وَمَا كُنَّا لِنَه۟تَدِىَ لَو۟لَٓا اَن۟ هَدٰينَا اللّٰهُ لَقَد۟ جَٓاءَت۟ رُسُلُ رَبِّنَا بِال۟حَقِّ

    اَل۟بَاقٖى هُوَ ال۟بَاقٖى

    Said Nursî

    1. * Karya Abu Firas al-Hamadani.