Dokuzuncu Söz/id: Revizyonlar arasındaki fark

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    ("==Nuktah Ketiga== Sebagaimana manusia adalah miniatur dari alam yang besar ini dan surah al-Fâtihah merupakan contoh bersinar dari al-Qur’an. Demikian pula salat merupakan daftar isi bercahaya yang mencakup seluruh bentuk ibadah dan peta suci yang menjelaskan seluruh model ibadah makhluk." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    ("Waktu Isya adalah waktu yang sisa-sisa siang lenyap di ufuk dan malam menaungi dunia. Hal itu mengingatkan perbuatan “Dzat yang membolak-balikkan siang dan malam.” Dia Mahakuasa dalam mem- balik lembaran putih ke lembaran hitam. Hal itu juga mengingatkan tindakan “Dzat yang menundukkan mentari dan rembulan.” Dia Dzat Mahabijak Yang Mahasempurna dalam membalik lembaran hijau yang menghias musim panas menjadi lembaran putih musim dingin. Pada waktu..." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    72. satır: 72. satır:
    Isya adalah waktu yang mengingatkan tindakan Ilahi, manifes- tasi keindahan Pencipta langit dan bumi, ketersingkapan alam akhirat yang luas, lapang, kekal, dan agung, serta kematian dunia yang sempit, fana, dan hina berikut kehancurannya secara total lewat sakaratnya. Ia merupakan saat atau kondisi yang menegaskan bahwa Pemilik Hakiki dari alam ini, bahkan sesembahan dan kekasih hakiki di dalamnya tidak lain adalah Dzat yang mampu membolak-balik siang dan malam, musim dingin dan musim panas, serta dunia dan akhirat dengan sa- ngat mudah sebagaimana membalik lembaran buku. Maka, Dia menu- lis, menetapkan, menghapus dan mengubah. Ini semua merupakan urusan Dzat Yang Mahakuasa yang kekuasaannya berlaku pada semua makhluk.
    Isya adalah waktu yang mengingatkan tindakan Ilahi, manifes- tasi keindahan Pencipta langit dan bumi, ketersingkapan alam akhirat yang luas, lapang, kekal, dan agung, serta kematian dunia yang sempit, fana, dan hina berikut kehancurannya secara total lewat sakaratnya. Ia merupakan saat atau kondisi yang menegaskan bahwa Pemilik Hakiki dari alam ini, bahkan sesembahan dan kekasih hakiki di dalamnya tidak lain adalah Dzat yang mampu membolak-balik siang dan malam, musim dingin dan musim panas, serta dunia dan akhirat dengan sa- ngat mudah sebagaimana membalik lembaran buku. Maka, Dia menu- lis, menetapkan, menghapus dan mengubah. Ini semua merupakan urusan Dzat Yang Mahakuasa yang kekuasaannya berlaku pada semua makhluk.


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Demikianlah, jiwa manusia yang demikian lemah, fakir dan papa, di mana ia bingung menghadapi gelapnya masa depan dan takut terhadap apa yang tersembunyi di balik perputaran siang dan malam, ini membuat manusia di saat melaksanakan salat Isya—dengan makna tadi—untuk tidak ragu-ragu mengulang-ulang ucapan nabi Ibrahim(لَٓا اُحِبُّ الْاٰفِل۪ينَ) ‘Aku tidak suka kepada segala yang tenggelam’ (QS.al-An`âm [6]: 76).Dengan salat, ia menuju pintu Tuhan Sesembahan dan Kekasih abadi seraya menyeru Dzat Yang Mahakekal tersebut di dunia dan alam yang fana, serta dalam kehidupan dan masa depan yang gelap ini. Hal itu untuk menerangi seluruh hidupnya dengan cahaya yang berasal dari kebersamaan dan munajat yang bersifat sementara. Juga, untuk menerangi masa depannya dan membalut luka pedih akibat berpisah dengan sesuatu dan orang-orang yang dicinta dengan menyaksikan rahmat (kasih sayang) Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang serta dengan meminta cahaya petunjuk-Nya. Lewat cara tersebut, ia melupakan dunia yang telah membuatnya terlena sekaligus melupa- kan sesuatu yang tersembunyi di balik Isya.
    İşte nihayetsiz âciz, zayıf hem nihayetsiz fakir, muhtaç hem nihayetsiz bir istikbal zulümatına dalmakta hem nihayetsiz hâdisat içinde çalkanmakta olan ruh-u beşer, yatsı namazını kılmak için şu manadaki işâda İbrahimvari لَٓا اُحِبُّ الْاٰفِل۪ينَ deyip Mabud-u Lemyezel, Mahbub-u Lâyezal’in dergâhına namaz ile iltica edip ve şu fâni âlemde ve fâni ömürde ve karanlık dünyada ve karanlık istikbalde, bir Bâki-i Sermedî ile münâcat edip bir parçacık bir sohbet-i bâkiye, birkaç dakikacık bir ömr-ü bâki içinde dünyasına nur serpecek, istikbalini ışıklandıracak, mevcudatın ve ahbabının firak ve zevalinden neş’et eden yaralarına merhem sürecek olan Rahman-ı Rahîm’in iltifat-ı rahmetini ve nur-u hidayetini görüp istemek…
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">

    13.42, 5 Kasım 2024 tarihindeki hâli

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

    “Bertasbihlah kepada Allah saat kamu berada di petang hari dan saat berada di waktu subuh. Bagi-Nya segala puji di langit dan di bumi serta di saat kamu berada pada petang haridan di saat kamu berada di waktu zuhur.”(QS. ar-Rûm [30]: 17-18).

    Wahai saudaraku! Engkau bertanya tentang hikmah penetapan salat pada lima waktu yang telah ditentukan. Kami akan menjelaskan satu hikmah saja di antara begitu banyak hikmah yang ada.

    Ya, sebagaimana waktu setiap salat merupakan awal perubah- an masa yang demikian penting, ia juga merupakan cermin kehen- dak Ilahi yang agung di mana ia memantulkan sejumlah karunia-Nya yang komprehensif di waktu tersebut. Karena itu, pada waktu-waktu tersebut salat diperintahkan, yaitu dengan memperbanyak tasbih dan penghormatan kepada Dzat Mahakuasa Yang Mahaagung, serta mem- perbanyak pujian dan rasa syukur atas nikmat-nikmat-Nya yang tak terhitung di mana ia terkumpul antara dua waktu tersebut. Agar mak- na yang mendalam ini dapat dipahami, mari kita sama-sama memper- hatikan lima nuktah(*[1])berikut:

    Nuktah Pertama Makna salat adalah menyucikan, mengagungkan, dan bersyukur kepada Allah . Yakni, menyucikan-Nya dengan mengucap sub- hânallâh dalam bentuk ucapan dan perbuatan terhadap kemuliaan- Nya. Mengagungkan-Nya dengan mengucap Allâhu Akbar dalam bentuk ucapan dan perbuatan terhadap kesempurnaan-Nya. Serta, bersyukur dengan mengucap alhamdulillâh dalam kalbu, lisan, dan fisik terhadap keindahan-Nya.

    Dengan kata lain, tasbih, takbir, dan tahmid laksana benih salat sehingga ia terdapat pada seluruh gerakan salat dan zikirnya. Oleh karena itu pula, ketiga kalimat baik tersebut diucapkan secara berulang sebanyak tiga puluh tiga kali seusai salat. Hal itu untuk menguatkan dan mengokohkan makna salat. Pasalnya, dengan kalimat singkat tersebut, makna dan esensi salat menjadi kuat.

    Nuktah Kedua

    Makna ibadah adalah bersujudnya seorang hamba dengan penuh cinta dan rasa kagum di hadapan kesempurnaan rububiyah, qudrah, dan rahmat Ilahi seraya menyaksikan kekurangan, kelemahan, dan ke- fakiran dirinya.

    Ya, jika kekuasaan rububiyah menuntut adanya ubudiyah dan ketaatan, maka kesucian-Nya juga menuntut agar—di samping ber- istigfar dan mengakui kekurangan diri—seorang hamba mengakui keberadaan Tuhannya yang bersih dari segala kekurangan, jauh dari semua pandangan batil kaum sesat, dan suci dari seluruh cacat makh- luk. Dengan kata lain, ia mengutarakan semua itu dengan bertasbih mengucap subhânallâh.

    Demikian pula qudrah rububiyah yang sempurna menuntut hamba agar melakukan rukuk dengan penuh khusyuk, berlindung dan bertawakkal pada-Nya lantaran melihat kelemahan dirinya dan ketidakberdayaan seluruh makhluk seraya mengucap Allâhu Akbar dengan penuh kekaguman dan penghormatan di hadapan tanda-tan- da kekuasaan-Nya.

    Lalu, kasih sayang Tuhan yang demikian luas juga menuntut hamba untuk memperlihatkan berbagai kebutuhannya dan kebutuhan seluruh makhluk lewat meminta dan berdoa, serta menampakkan ke- baikan Tuhan dan berbagai karunia-Nya yang melimpah lewat syukur, sanjungan dan pujian dengan mengucap alhamdulillah.

    Dengan kata lain, seluruh perbuatan dan ucapan dalam salat ber- isi makna-makna tersebut. Karena itulah salat diwajibkan oleh-Nya.

    Nuktah Ketiga

    Sebagaimana manusia adalah miniatur dari alam yang besar ini dan surah al-Fâtihah merupakan contoh bersinar dari al-Qur’an. Demikian pula salat merupakan daftar isi bercahaya yang mencakup seluruh bentuk ibadah dan peta suci yang menjelaskan seluruh model ibadah makhluk.

    Nuktah Keempat

    Jarum jam yang menghitung detik, menit, jam, dan hari, masing- masing saling terkait dan mewakili yang lain. Demikian pula di alam dunia yang merupakan jam Ilahi terbesar. Putaran siang dan malam yang berposisi sebagai detik jam, tahun demi tahun yang seperti menit, tahapan umur manusia yang terhitung sebagai jam, serta putaran usia alam yang terhitung sebagai hari, masing-masing saling menyerupai dan saling mengingatkan.

    Sebagai contoh: waktu fajar hingga terbit matahari. Ia menyerupai sekaligus mengingatkan awal musim semi, saat terjadinya pembuahan di dalam rahim ibu, serta hari pertama dalam penciptaan langit dan bumi. Waktu ini mengingatkan manusia pada sejumlah kondisi agung Ilahi yang terdapat pada waktu-waktu tersebut.

    Adapun waktu zuhur, ia menyerupai dan menunjukkan per- tengahan musim panas, penyempurnaan masa muda, rentang waktu penciptaan manusia dalam umur dunia, serta mengingatkan berbagai manifestasi rahmat dan limpahan karunia yang terdapat pada seluruh masa tersebut.

    Selanjutnya waktu Asar, ia menyerupai musim gugur, masa senja, dan era kebahagiaan yang merupakan era penutup para rasul, Mu- hammad x. Ia mengingatkan berbagai kondisi agung Ilahi dan kemu- rahan rahmat yang terdapat pada keseluruhannya.

    Lalu waktu Magrib, ia mengingatkan terbenamnya sebagian be- sar makhluk pada akhir musim gugur. Ia juga mengingatkan kematian manusia dan kehancuran dunia di saat kiamat tiba. Di samping itu, ia menunjukkan sejumlah manifestasi Ilahi dan membangunkan manu- sia dari tidur kelalaian.

    Sementara waktu Isya mengingatkan akan tersebarnya alam kegelapan di mana ia menutupi alam siang dengan kain hitamnya. Ia juga mengingatkan musim dingin yang menutupi muka bumi yang su- dah mati dengan kafan putih, mengingatkan akan kematian bahkan jejak manusia yang mati berikut bagaimana ia dilupakan, serta meng- ingatkan bahwa pada akhirnya pintu-pintu negeri ujian dunia akan tertutup. Pada semua itu, ia memberitahukan kehendak dan perbuatan Ilahi Yang Mahaperkasa dan Mahaagung.

    Selanjutnya waktu malam, ia mengingatkan musim dingin, kubur, dan alam barzakh. Di samping itu, ia mengingatkan betapa jiwa manusia sangat membutuhkan kasih sayang Tuhan Yang Maha Penyayang.Tahajjud di waktu malam mengingatkan urgensinya sebagai ca- haya bagi malam kubur dan gelapnya alam barzakh. Ia juga mengingat- kan berbagai nikmat yang tak terhingga dari Sang Pemberi nikmat hakiki sepanjang perubahan yang terjadi. Ia juga menginformasikan tentang kelayakan Pemberi nikmat hakiki untuk disanjung dan dipuji.

    Lalu, subuh yang kedua mengingatkan keberadaan hari kebang- kitan(*[2])(al-Hasyr). Ya, apabila kedatangan subuh setelah malam hari, serta kedatangan musim semi setelah musim dingin merupakan se- suatu yang rasional dan pasti, maka kedatangan ‘subuh kebangkitan’ dan ‘musim semi barzakh’ juga merupakan sesuatu yang pasti.

    Jadi, setiap waktu—dari kelima waktu yang ada—merupakan awal perubahan besar serta mengingatkan kepada berbagai peruba- han besar lainnya. Ia juga mengingatkan pada mukjizat qudrah dan hadiah rahmat-Nya, baik yang berskala tahunan ataupun abad, lewat petunjuk perbuatan harian qudrah Ilahi yang agung. Dengan demiki- an, salat wajib yang merupakan tugas fitrah dan landasan ubudiyah sangat tepat jika dilakukan pada waktu-waktu tersebut.

    Nuktah Kelima

    Secara fitrah, manusia sangat lemah. Namun demikian, segala sesuatu dapat membuatnya sedih dan menderita. Pada waktu yang sama, ia sangat tak berdaya, namun musuh dan musibahnya sangat banyak. Ia juga sangat miskin, namun kebutuhannya tak terhitung. Ia pun malas dan tak memiliki kekuatan, namun beban hidup demikian berat atasnya. Unsur kemanusiaannya menjadikannya terpaut dengan seluruh alam, padahal perpisahan dengan apa yang ia cintai begitu menyakitkan. Akalnya memperlihatkan sejumlah tujuan mulia dan buah abadi, namun kemampuan, usia, kekuatan, dan kesabarannya terbatas.

    Maka jiwa manusia dalam kondisi demikian, di waktu fajar, sangat perlu mengetuk pintu Dzat Yang Mahakuasa dan Maha Pe- nyayang dengan doa dan salat. Ia perlu menampakkan keadaannya di hadapan Tuhan seraya meminta taufik dan pertolongan dari-Nya. Betapa jiwa manusia sangat membutuhkan titik tempat bersandar agar dapat menghadapi sejumlah pekerjaan yang sudah menantikannya serta berbagai tugas yang berada di pundaknya di waktu siang. Bu- kankah hal ini dapat dipahami dengan jelas?

    Pada waktu zuhur, yaitu saat puncak kesempurnaan siang, di saat amal aktivitas sehari-hari mulai sempurna dikerjakan, dan saat istirahat sebentar setelah penat bekerja. Itu adalah waktu di mana jiwa butuh bernapas dan beristirahat setelah dunia yang fana dan kesibu- kan yang melelahkan membuatnya lalai dan bingung. Di samping itu, ia juga merupakan saat datangnya sejumlah nikmat Ilahi.

    Jiwa manusia baru terlepas dari berbagai kesulitan dan kelalaian, serta keluar dari berbagai urusan yang sepele dan fana ini dengan ber- simpuh di hadapan pintu Dzat Yang Mahakekal sebagai Pemberi Haki- ki. Yaitu dengan merendah dan meminta pada-Nya dengan tangan yang bersedekap seraya bersyukur dan memuji sejumlah nikmat-Nya, meminta pertolongan pada-Nya semata disertai upaya menampak- kan ketidakberdayaan di hadapan keagungan-Nya lewat rukuk. Juga menampakkan kekaguman, cinta dan kerendahan hati melalui sujud di hadapan kesempurnaan-Nya yang abadi dan di hadapan keinda- han-Nya yang kekal. Inilah pelaksanaan salat zuhur. Betapa ia sangat indah, sangat nikmat, sangat layak, dan sangat penting! Karena itu, orang yang tidak bisa memahami hal ini tidak patut disebut sebagai manusia.

    Saat salat Asar, waktu ini mengingatkan kepada musim gugur yang lara, kondisi masa tua yang menyedihkan, saat-saat akhir zaman yang pedih, serta waktu terlihatnya hasil amal sehari-hari. Ia me- rupakan saat diraihnya keseluruhan nikmat Ilahi yang demikian be- sar, seperti kesehatan, keselamatan, dan pelaksanaan berbagai tugas mulia. Ia juga waktu pemberitahuan bahwa manusia hanyalah tamu dan hamba suruhan, serta bahwa segala sesuatu akan berakhir. Hal itu seperti ditunjukkan oleh condongnya matahari yang besar menuju tempat terbenamnya.

    Ya, ruh manusia yang mendambakan keabadian, diciptakan un- tuk kekal, dan merindukan kebaikan, serta merasa sakit dengan adanya perpisahan membuat manusia bangkit di waktu Asar dan mengambil wudhu guna menunaikan salat Asar untuk bermunajat dengan me- rendahkan diri di hadapan pintu Tuhan Yang Maha tak bermula dan Berdiri Sendiri. Juga untuk meminta karunia dan rahmat-Nya yang luas, serta untuk mempersembahkan rasa syukur dan pujian atas nik- mat-Nya yang tak terhingga. Maka, ia pun rukuk dengan penuh ke- tundukan di hadapan keagungan rububiyah-Nya dan sujud dengan penuh tawaduk di hadapan keabadian uluhiyah-Nya. Ia merasakan kenikmatan dan kelapangan sempurna dengan menunjukkan pengab- dian total di hadapan keagungan kebesaran-Nya. Betapa tugas melak- sanakan salat Asar dengan makna ini adalah suatu tugas yang sangat mulia! Betapa ia merupakan pengabdian yang sangat tepat! Bahkan, betapa ia waktu yang sangat tepat untuk membayar utang fitrah! Serta betapa ia merupakan kebahagiaan penuh nikmat! Siapa yang betul- betul manusia, pasti memahami hal ini.

    Waktu Magrib mengingatkan saat menghilangnya sejumlah makhluk yang indah dalam perpisahan yang menyedihkan di musim kemarau dan musim gugur karena mulai musim dingin. Ia juga meng- ingatkan saat manusia masuk ke dalam kubur ketika wafat dan ber- pisah dengan seluruh kekasih. Serta, mengingatkan kematian seluruh dunia dengan guncangannya dan perpindahan seluruh penghuninya menuju alam lain. Selain itu, ia mengingatkan padamnya lentera nege-ri ujian ini. Ia adalah waktu yang memperingati orang-orang yang mencintai makhluk yang fana.

    Karenanya, manusia yang memiliki jiwa—yang bersih laksa- na cermin yang terang—yang secara fitrah merindukan manifesta- si keindahan Tuhan Yang Mahaabadi, maka guna menunaikan salat Magrib di saat seperti ini, ia mengarahkan wajahnya ke arasy keagu- ngan Dzat Yang Maha tak bermula, abadi, dan Dzat yang menata uru- san alam ini. Ia mengucap Allâhu akbar di hadapan seluruh makh- luk yang fana dengan melepaskan tangannya dari mereka, serta terus mengabdi kepada Tuhannya dengan berdiri tegak di hadapan-Nya. Lalu ia memuji kesempurnaan-Nya yang tanpa cacat, keindahan-Nya yang tak tertandingi, dan rahmat-Nya yang luas dengan mengucap alhamdulillah. Ia kemudian mengucap اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ اِيَّاكَ نَسْتَع۪ينُ‘Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya meminta pertolongan’ guna memperlihatkan ubudiyahnya dan sikapnya yang memohon pertolongan kepada rububiyah Tuhannya yang tidak mem- butuhkan pembantu, kepada uluhiyah-Nya yang tak memiliki sekutu, serta kepada kekuasaan-Nya yang tak memiliki menteri.

    Ia melakukan rukuk guna memperlihatkan kelemahan, keti- dakberdayaan, dan kefakirannya bersama seluruh entitas di hadapan kebesaran-Nya yang tak terhingga, di hadapan qudrah-Nya yang tak terbatas, serta di hadapan keperkasaan-Nya yang tak mengandung kelemahan. Ia pun bertasbih menyucikan Tuhannya Yang agung de- ngan berkata (سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمُ) ‘Mahasuci Tuhanku Yang Mahaagung’.Setelah itu, ia bersujud di hadapan keindahan Dzat-Nya yang tidak akan hilang, di hadapan sifat-sifat-Nya yang suci dan tak per- nah berubah, serta di hadapan kesempurnaan keabadian-Nya yang tidak berganti seraya menunjukkan cinta dan pengabdiannya dengan penuh kekaguman dan tawaduk sambil meninggalkan segala sesuatu selain-Nya. Kemudian ia berkata (سُبْحَانَ رَبِّيَ الْاَعْلٰ) ‘Mahasuci Tuhanku Yang Mahatinggi’.Ia menemukan Dzat Yang Mahaindah, Mahaabadi, Mahakasih, dan Mahakekal sebagai ganti dari semua yang fana. Karena itu, ia menyucikan Tuhannya Yang Mahatinggi serta bersih dari kesirnaan dan kekurangan.

    Kemudian ia duduk tasyahud. Ia mempersembahkan penghormatan dan salawat yang baik dari seluruh makhluk sebagai hadiah atas namanya kepada Dzat Yang Mahaindah dan Mahaagung. Ia terus memperbaharui sumpah setianya kepada Rasul yang mulia dengan memberikan salam kepadanya seraya memperlihatkan sikap taat atas seluruh perintahnya. Ia pun melihat keteraturan yang penuh hikmah pada istana alam ini, lalu bersaksi atas keesaan Sang Pencipta yang Mahaagung. Ia memperbaharui imannya, kemudian ia bersaksi atas sosok yang menunjukkan kekuasaan rububiyah-Nya, penyampai hal-hal yang diridai-Nya, serta penafsir ayat-ayat kitab alam yang be- sar ini; yaitu Muhammad x.

    Betapa lembut dan suci melaksanakan salat Magrib dan betapa ia merupakan tugas yang paling agung dengan kandungan makna di atas! Betapa ia merupakan kewajiban yang sangat mulia dan nikmat! Betapa ia merupakan ubudiyah yang sangat indah dan menyenang- kan! Betapa ia merupakan hakikat yang benar! Begitulah kita melihat bagaimana ia merupakan bentuk persahabatan yang mulia, majelis penuh berkah, serta kebahagiaan yang kekal di dalam jamuan fana semacam ini. Layakkah orang yang tidak memahami hal ini mengang- gap dirinya sebagai manusia?

    Waktu Isya adalah waktu yang sisa-sisa siang lenyap di ufuk dan malam menaungi dunia. Hal itu mengingatkan perbuatan “Dzat yang membolak-balikkan siang dan malam.” Dia Mahakuasa dalam mem- balik lembaran putih ke lembaran hitam. Hal itu juga mengingatkan tindakan “Dzat yang menundukkan mentari dan rembulan.” Dia Dzat Mahabijak Yang Mahasempurna dalam membalik lembaran hijau yang menghias musim panas menjadi lembaran putih musim dingin. Pada waktu yang sama, hal itu mengingatkan urusan “Pencipta kema- tian dan kehidupan”. Yaitu lewat hilangnya jejak penghuni kubur yang tersisa—seiring dengan berjalannya waktu—dari dunia ini serta lewat perpindahannya menuju alam lain. Isya adalah waktu yang mengingatkan tindakan Ilahi, manifes- tasi keindahan Pencipta langit dan bumi, ketersingkapan alam akhirat yang luas, lapang, kekal, dan agung, serta kematian dunia yang sempit, fana, dan hina berikut kehancurannya secara total lewat sakaratnya. Ia merupakan saat atau kondisi yang menegaskan bahwa Pemilik Hakiki dari alam ini, bahkan sesembahan dan kekasih hakiki di dalamnya tidak lain adalah Dzat yang mampu membolak-balik siang dan malam, musim dingin dan musim panas, serta dunia dan akhirat dengan sa- ngat mudah sebagaimana membalik lembaran buku. Maka, Dia menu- lis, menetapkan, menghapus dan mengubah. Ini semua merupakan urusan Dzat Yang Mahakuasa yang kekuasaannya berlaku pada semua makhluk.

    Demikianlah, jiwa manusia yang demikian lemah, fakir dan papa, di mana ia bingung menghadapi gelapnya masa depan dan takut terhadap apa yang tersembunyi di balik perputaran siang dan malam, ini membuat manusia di saat melaksanakan salat Isya—dengan makna tadi—untuk tidak ragu-ragu mengulang-ulang ucapan nabi Ibrahim(لَٓا اُحِبُّ الْاٰفِل۪ينَ) ‘Aku tidak suka kepada segala yang tenggelam’ (QS.al-An`âm [6]: 76).Dengan salat, ia menuju pintu Tuhan Sesembahan dan Kekasih abadi seraya menyeru Dzat Yang Mahakekal tersebut di dunia dan alam yang fana, serta dalam kehidupan dan masa depan yang gelap ini. Hal itu untuk menerangi seluruh hidupnya dengan cahaya yang berasal dari kebersamaan dan munajat yang bersifat sementara. Juga, untuk menerangi masa depannya dan membalut luka pedih akibat berpisah dengan sesuatu dan orang-orang yang dicinta dengan menyaksikan rahmat (kasih sayang) Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang serta dengan meminta cahaya petunjuk-Nya. Lewat cara tersebut, ia melupakan dunia yang telah membuatnya terlena sekaligus melupa- kan sesuatu yang tersembunyi di balik Isya.

    Hem muvakkaten onu unutan ve gizlenen dünyayı, o dahi unutup dertlerini kalbin ağlamasıyla dergâh-ı rahmette döküp hem ne olur ne olmaz, ölüme benzeyen uykuya girmeden evvel, son vazife-i ubudiyetini yapıp yevmiye defter-i amelini hüsn-ü hâtime ile bağlamak için salâta kıyam etmek, yani bütün fâni sevdiklerine bedel bir Mabud ve Mahbub-u Bâki’nin ve bütün dilencilik ettiği âcizlere bedel bir Kadîr-i Kerîm’in ve bütün titrediği muzırların şerrinden kurtulmak için bir Hafîz-i Rahîm’in huzuruna çıkmak…

    Hem Fatiha ile başlamak, yani bir şeye yaramayan ve yerinde olmayan nâkıs, fakir mahlukları medih ve minnettarlığa bedel, bir Kâmil-i Mutlak ve Ganiyy-i Mutlak ve Rahîm-i Kerîm olan Rabbü’l-âlemîn’i medh ü sena etmek…

    Hem  اِيَّاكَ نَعْبُدُ   hitabına terakki etmek, yani küçüklüğü, hiçliği, kimsesizliği ile beraber, ezel ve ebed sultanı olan Mâlik-i Yevmi’d-din’e intisabıyla şu kâinatta nazdar bir misafir ve ehemmiyetli bir vazifedar makamına girip اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ اِيَّاكَ نَسْتَع۪ينُ demekle bütün mahlukat namına kâinatın cemaat-i kübrası ve cemiyet-i uzmasındaki ibadat ve istianatı ona takdim etmek…

    Hem اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَق۪يمَ  demekle, istikbal karanlığı içinde saadet-i ebediyeye giden, nurani yolu olan sırat-ı müstakime hidayeti istemek…

    Hem şimdi yatmış nebatat, hayvanat gibi gizlenmiş güneşler, hüşyar yıldızlar, birer nefer misillü emrine musahhar ve bu misafirhane-i âlemde birer lambası ve hizmetkârı olan Zat-ı Zülcelal’in kibriyasını düşünüp اَللّٰهُ اَك۟بَرُ deyip rükûya varmak…

    Hem bütün mahlukatın secde-i kübrasını düşünüp, yani şu gecede yatmış mahlukat gibi her senede, her asırdaki enva-ı mevcudat, hattâ arz, hattâ dünya, birer muntazam ordu, belki birer mutî nefer gibi vazife-i ubudiyet-i dünyeviyesinden "Emr-i kün feyekûn" ile terhis edildiği zaman, yani âlem-i gayba gönderildiği vakit, nihayet intizam ile zevalde gurûb seccadesinde اَللّٰهُ اَك۟بَرُ deyip secde ettikleri…

    Hem "Emr-i kün feyekûn"den gelen bir sayha-i ihya ve ikaz ile yine baharda kısmen aynen, kısmen mislen haşrolup kıyam edip kemer-beste-i hizmet-i Mevla oldukları gibi şu insancık onlara iktidaen o Rahman-ı Zülkemal’in, o Rahîm-i Zülcemal’in bârgâh-ı huzurunda hayret-âlûd bir muhabbet, beka-âlûd bir mahviyet, izzet-âlûd bir tezellül içinde اَللّٰهُ اَك۟بَرُ deyip sücuda gitmek, yani bir nevi mi’raca çıkmak demek olan işâ namazını kılmak, ne kadar hoş, ne kadar güzel, ne kadar şirin, ne kadar yüksek, ne kadar aziz ve leziz, ne kadar makul ve münasip bir vazife, bir hizmet, bir ubudiyet, bir ciddi hakikat olduğunu elbette anladın.

    Demek şu beş vakit, her biri birer inkılab-ı azîmin işaratı ve icraat-ı cesîme-i Rabbaniyenin emaratı ve in’amat-ı külliye-i İlahiyenin alâmatı olduklarından, borç ve zimmet olan farz namazın o zamanlara tahsisi, nihayet hikmettir.

    سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا اِنَّكَ اَنْتَ الْعَل۪يمُ الْحَك۪يمُ

    اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى مَنْ اَرْسَلْتَهُ مُعَلِّمًا لِعِبَادِكَ لِيُعَلِّمَهُمْ كَيْفِيَّةَ مَعْرِفَتِكَ وَالْعُبُودِيَّةِ لَكَ وَمُعَرِّفًا لِكُنُوزِ اَسْمَائِكَ وَتَرْجُمَانًا لِآيَاتِ كِتَابِ كَائِنَاتِكَ وَمِرْآةً بِعُبُودِيَّتِهِ لِجَمَالِ رُبُوبِيَّتِكَ وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِينَ وَارْحَمْنَا وَارْحَمِ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ آمِينَ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ


    1. *Nuktah adalah persoalan ilmiah yang terinspirasi dari pengamatan yang cermat dan pemikiran yang mendalam―at-Ta’rîfât karya al-Jurjâni.
    2. *Kebangkitan setelah kematian―Peny.