Otuzuncu Söz/id: Revizyonlar arasındaki fark
("Adapun perspektif dan hikmah al-Qur’an melihat bahwa semua transformasi dan perubahan partikel memiliki banyak hikmah, tujuan tak terhingga, dan tugas yang tak terbatas. Hal ini seperti yang ditegaskan oleh ayat:" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) Etiketler: Mobil değişiklik Mobil ağ değişikliği |
("“Segala sesuatu bertabsbih memuji-Nya…” (QS. al-Isrâ [17]: 44) berikut ayat-ayat sejenis yang amat banyak. Di sini kami ingin menunjukkan sebagiannya saja sebagai contoh:" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) |
||
234. satır: | 234. satır: | ||
Adapun perspektif dan hikmah al-Qur’an melihat bahwa semua transformasi dan perubahan partikel memiliki banyak hikmah, tujuan tak terhingga, dan tugas yang tak terbatas. Hal ini seperti yang ditegaskan oleh ayat: | Adapun perspektif dan hikmah al-Qur’an melihat bahwa semua transformasi dan perubahan partikel memiliki banyak hikmah, tujuan tak terhingga, dan tugas yang tak terbatas. Hal ini seperti yang ditegaskan oleh ayat: | ||
“Segala sesuatu bertabsbih memuji-Nya…” (QS. al-Isrâ [17]: 44) berikut ayat-ayat sejenis yang amat banyak. | |||
Di sini kami ingin menunjukkan sebagiannya saja sebagai contoh: | |||
<div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr"> | <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr"> |
16.42, 26 Kasım 2024 tarihindeki hâli
Menyingkap Teka-teki dan Misteri Alam Semesta, Mengungkap Salah Satu Rahasia Agung al-Qur’an.
KALIMAT KETIGA PULUH
Sebuah huruf dari kitab “Ego” yang besar Setitik dari lautan “Partikel” yang agung.
Risalah ini berisi penjelasan tentang dua tujuan: Tujuan Pertama: Membahas Substansi dan Buah “Ego” Tujuan Kedua: Membahas Gerakan dan Tugas “Partikel”.
TUJUAN PERTAMA
“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung. Semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Lalu dipikullah amanah itu oleh manusia. Manusia amat zalim dan bodoh.” (QS. al-Ahzâb [33]: 72).
Kami akan menunjukkan salah satu permata dari perbenda- haraan ayat di atas.
Yaitu bahwa amanah yang enggan dipikul oleh langit, bumi, dan gunung memiliki sejumlah makna dan berbagai aspek. Di antara makna dan aspeknya adalah “ego”. Ya, “ego” merupakan benih yang menjadi asal-muasal pohon tuba yang bercahaya dan agung, sekaligus merupakan asal-muasal pohon zaqqum yang menakutkan.
Ranting-ranting dari keduanya membentang dan cabang-cabangnya menjalar ke seluruh penjuru dunia manusia dari sejak Adam hingga masa sekarang.Sebelum membicarakan hakikat yang luas ini, kami akan memberikan sebuah pendahuluan untuk memudahkan, yaitu sebagai berikut:
Pendahuluan “Ego” adalah kunci untuk membuka perbendaharaan nama-na- ma Allah yang tersembunyi dan rahasia alam yang terkunci. Ia me- rupakan misteri yang menakjubkan dan teka-teki yang mengheran- kan. Namun dengan memahami substansi “ego”, misteri menakjubkan tersebut akan terungkap dan teka-teki mengherankan itupun akan tersingkap. Serta dengan mengenali esensinya, teka-teki alam semesta dan perbendaharaan alam wujub akan terbuka.Persoalan ini telah kami bahas dalam risalah “Semerbak Hembu- san Petunjuk al-Qur’an” sebagai berikut:
Ketahuilah! Kunci alam berada di tangan manusia dan berada dalam dirinya. Meski secara lahiriah pintu seluruh entitas terbuka, namun sebenarnya tertutup. Allah menitipkan “kunci” kepada manu- sia sebagai amanah yang dengannya ia bisa membuka seluruh pintu alam serta “sandi” untuk membuka perbendaharaan milik Sang Pencipta alam. Kunci tersebut adalah “ego” yang terdapat dalam dirimu. Hanya saja, ego tersebut juga merupakan misteri dan teka-teki yang terkunci. Apabila engkau membuka “ego” dengan mengenali esensi asumtifnya serta memahami rahasia penciptaannya, maka teka-teki entitas akan terbuka untukmu. Berikut penjelasannya:
Allah menitipkan amanah kepada manusia berupa “ego” yang di dalamnya tersirat sejumlah isyarat dan sampel sebagai petunjuk atas berbagai hakikat sifat rububiyah yang agung dan kondisinya yang suci.Dengan kata lain, ego merupakan “satuan standar” untuk memahami sifat-sifat rububiyah dan urusan-urusan ilahi.Seperti diketahui “satuan standar” tidak harus memiliki wujud konkret. Namun, ia bisa terbentuk lewat asumsi dan imajinasi seperti garis-garis khayal dalam ilmu geometri. Artinya, ego tidak mesti memiliki wujud konkret lewat pengetahuan dan pembuktian.
Pertanyaan:Mengapa pengetahuan tentang sifat-sifat Allah dan nama-nama-Nya yang mulia terkait dengan “ego” manusia?
Jawaban:Sesuatu yang bersifat mutlak dan universal tidak memiliki batas dan ujung. Karenanya, ia tidak bisa digambarkan dan dinilai lantaran tidak memiliki wujud dan bentuk tertentu. Karena itu, hakikat substansinya tidak dapat dipahami.Misalnya, cahaya terang yang tidak dihiasi dengan kegelapan. Ia tidak dapat dirasakan dan wujudnya tidak dapat dikenali kecuali jika dibatasi dengan kegelapan, baik itu hakiki ataupun asumsi.
Demikian pula sifat-sifat Allah seperti ilmu dan qudrah, serta nama-nama-Nya yang mulia, seperti Mahabijaksana dan Maha Pe- nyayang. Karena ia bersifat mutlak, tidak terbatas, dan mencakup segala hal, tanpa ada sekutu bagi-Nya, ia tidak mungkin dijangkau atau dibatasi dengan sesuatu. Substansinya tidak dapat diketahui dan dirasakan. Karena itu, harus ada batasan asumtif atau imajinatif terhadap sifat-sifat dan nama-nama-Nya yang bersifat mutlak itu sebagai sarana untuk memahaminya karena ia tidak memiliki batasan konkret. Inilah yang dilakukan oleh ego atau “aku”. Ia membayangkan dalam diri- nya satu bentuk rububiyah asumtif berikut kepemilikan, kekuasaan, dan pengetahuan yang bersifat hipotesis. Ia memberikan batas-batas tertentu terhadap sifat-sifat komprehensif dan nama-nama-Nya yang bersifat mutlak. Misalnya ia berkata, “Dari sini sampai di sana adalah milikku. Selebihnya, kembali kepada sifat-sifat tersebut.” Yakni, ia meletakkan satu bentuk pembagian. Dan dengan ini ia menyiapkan diri untuk memahami substansi sifat-sifat yang tak terhingga itu se- dikit demi sedikit.
Yaitu lewat “satuan standar” yang ada padanya. Sebagai contoh, lewat rububiyah asumtif yang ia bayangkan da- lam wilayah kepemilikannya, ia memahami rububiyah Penciptanya yang bersifat mutlak dalam wilayah mumkinât (wilayah makhluk).Lewat kepemilikannya yang bersifat lahiriah, ia memahami kepemilikan Penciptanya yang bersifat hakiki. Ia berkata, “Jika aku pemilik dari rumah ini, Tuhan Sang Pencipta adalah Pemilik alam ini.”Lewat pengetahuannya yang terbatas, ia menyadari pengetahuan Allah yang tak terbatas. Lewat kemahiran yang didapat, ia mengenali indahnya kreasi Sang Pencipta Yang Mahaagung. Misalnya ia berkata, “Jika aku yang mendirikan dan menata rumah ini, tentu ada Dzat yang mendirikan dan menata dunia ini.”Demikianlah, di dalam diri dan ego tersimpan ribuan kondisi, sifat, dan perasaan yang mengandung ribuan rahasia tersembunyi di mana dalam batas tertentu ia dapat menunjukkan dan menjelaskan sejumlah sifat dan urusan ilahi yang penuh hikmah.
Dengan kata lain, ego tidak memiliki makna pada dirinya, tetapi menunjukkan makna pada selainnya (bersifat harfi). Ia ibarat cermin (yang dapat memantulkan cahaya), satuan standar, dan alat untuk menyingkap. Ia laksana seuntai benang halus dari tali wujud manusia yang besar. Ia merupakan benang mulia dari tenunan pakaian substansi manusia. Ia huruf alif dalam kitab sosok umat manusia di mana huruf tersebut memiliki dua sisi:
Sisi yang mengarah kepada kebaikan dan keberadaan (wujud). Dengannya, manusia hanya sebagai penerima limpahan karunia ila- hi. Pasalnya, ia tidak mampu menghadirkan apapun pada sisi ini. Ia bukan pelaku di dalamnya, karena tangannya terbatas; tak memiliki kemampuan mencipta.
Sisi yang lain mengarah kepada keburukan dan ketiadaan. Pada sisi ini ia berposisi sebagai pelaku.
Selanjutnya, substansi ego bersifat harfi (menunjukkan makna pada selainnya), rububiyah-nya bersifat imajiner, dan wujudnya sa- ngat lemah sehingga dirinya tak mampu memikul atau diberi beban apapun. Ia hanya laksana neraca untuk menjelaskan sifat-sifat Allah di mana ia mutlak dan komprehensif. Kondisinya seperti termometer, barometer, dan berbagai neraca lainnya yang mengukur kadar dan derajat sesuatu.
Orang yang mengetahui substansi ego dalam bentuk seperti itu lalu beramal sesuai dengannya, ia masuk ke dalam kabar gembira dari Allah yang berbunyi: “Sungguh beruntung orang yang menyucikannya.” (QS. asy-Syams [91]: 9). Dengan begitu, ia telah menunaikan amanah dengan benar.Lewat teropong ego, ia dapat memahami hakikat alam dan berbagai tugas yang dilaksanakannya. Ketika berbagai informasi dari luar datang ke dalam dirinya, ego akan membenarkannya. Maka, informasi itupun akan menjadi pengetahuan yang bercahaya dan hikmah yang benar. Ia tidak akan berbalik kepada gelapnya kesia-siaan.
Apabila ego telah menunaikan tugasnya dalam bentuk demikian, ia akan meninggalkan kekuasaan dan kepemilikannya yang bersifat imajinasi dan asumsi di mana ia hanya merupakan satuan standar.
Ego akan menyerahkan kekuasaan kepada Allah semata dengan berkata, “Segala kekuasaan, pujian, dan ketetapan hanya milik-Nya. Kepada-Nya kalian dikembalikan.” Ia mengenakan pakaian ubudiyahnya dan naik menuju derajat ahsan taqwîm (bentuk terbaik).
Namun, jika ego lupa akan hikmah penciptaannya lalu melihat dirinya dengan pandangan ismi (menunjukkan makna pada dirinya), seraya meninggalkan tugas fitrinya dengan merasa dirinya sebagai pemilik, berarti ia telah mengkhianati amanah. Iapun masuk ke dalam ancaman ilahi:“Sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. asy-Syams [91]:10).Demikianlah kekhawatiran langit, bumi, dan gunung dalam memikul amanah, serta rasa takutnya dari syirik yang bersifat asumsi tersebut adalah dari aspek ego di atas di mana akan melahirkan semua jenis kemusyrikan, keburukan, dan kesesatan.
Ya, meskipun “ego” berupa huruf alif yang tipis, benang yang halus, dan sekadar garis khayal, namun jika substansinya tidak diketahui, ia akan tumbuh dalam kondisi samar laksana benih yang tumbuh di dalam tanah. Sedikit demi sedikit ia membesar hingga menyebar ke seluruh wujud manusia hingga menelannya seperti ular besar yang menelan. Maka, manusia secara totalitasnya berikut segala perangkat halus dan perasaannya menjadi ekspresi dari ego.
Kemudian ia didukung oleh ‘ego kelompok’ seraya menghembuskan semangat rasisme sehingga dengan bersandar pada ego tersebut, manusia akan bersikap keras sampai berwatak seperti setan yang menentang dan melawan perintah Allah.
Setelah itu, ia mulai mengukur manusia dan bahkan segala sesuatu dengan dirinya sendiri dan sesuai hawa nafsunya. Ia membagi kekuasaan Allah kepada sejumlah hal serta kepada sejumlah sebab sehingga terjatuh pada syirik yang besar. Di sini makna ayat al-Qur’an berikut menjadi jelas:“Sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang besar.” (QS. Luqmân [31]: 13).
Sebagaimana orang yang mencuri empat puluh dinar dari harta negara harus membiarkan semua sahabat yang bersamanya mengambil satu dirham darinya agar tindak pencuriannya dibenarkan, demikian pula dengan orang yang berkata, “Aku adalah pemilik diriku.” Orang tersebut harus berkata dan berkeyakinan bahwa segala sesuatu adalah pemilik bagi dirinya.
Demikianlah ego dalam kondisinya yang demikian, yang mengenakan busana pengkhianatan terhadap amanah, ia betul-betul sangat bodoh. Bahkan ia entitas yang paling bodoh. Ia jatuh ke dalam tingkatan Jahlul murakkab meskipun memiliki ribuan ilmu dan pengetahuan. Pasalnya, cahaya makrifat yang tersebar di alam yang ditangkap oleh indra dan pemikirannya tidak mendapatkan unsur untuk bisa membenarkan, menerangi, dan mengekalkannya.Karena itu, seluruh pengetahuan tersebut segera padam sehingga menjadi gelap gulita. Seluruh yang datang kepadanya tercelup dengan celupan dirinya yang demikian pekat. Bahkan meskipun sebuah hik- mah cemerlang masuk ke dalamnya, maka ia akan hilang percuma. Sebab, warna ego dalam kondisi tersebut berupa syirik, sikap melepas- kan Sang Pencipta dari sifat-sifat-Nya yang mulia, serta mengingkari wujud-Nya. Lebih dari itu, andaikan seluruh alam dipenuhi dengan sejumlah tanda yang demikian terang dan lentera petunjuk, titik gelap yang terdapat dalam ego akan menutupi semua cahaya yang datang itu sekaligus menghijabnya sehingga tidak tampak.
Dalam “Kalimat Kesebelas” telah kami jelaskan substansi ma- nusia dan ego yang terdapat dalam dirinya dilihat dari makna harfi. Di sana telah kami tegaskan bagaimana ia menjadi neraca alam yang sensitif, ukuran yang akurat, indeks yang integral dan komprehensif, peta yang sempurna, cermin yang universal, serta perhitungan yang lengkap. Pembaca bisa merujuk kepada risalah tersebut.Kami menutup pendahuluan ini sampai di sini dengan mencukupkan penjelasan yang terdapat pada risalah tersebut.
Wahai saudara pembaca, jika engkau telah memahami pendahuluan di atas, mari kita sama-sama masuk ke dalam hakikatnya.
Dalam sejarah umat manusia, sejak masa nabi Adam hingga sekarang, terdapat dua aliran besar dan dua rangkaian pemikiran. Keduanya berjalan melintasi bentang waktu dan zaman. Keduanya seperti dua pohon besar yang dahan dan cabang-cabangnya terurai pada setiap tingkatan dan jenjang manusia.Pertama, rangkaian kenabian dan agama.Kedua, rangkaian filsafat dan hikmah.Ketika keduanya menyatu dan berpadu, yakni manakala filsafat berlindung kepada agama serta tunduk dan taat kepadanya, umat manusia akan hidup bahagia dan bisa merasakan kehidupan sosial yang tenang. Namun, manakala muncul perpecahan di antara keduanya dan terpisah, cahaya dan seluruh kebaikan akan terkumpul di seputar rangkaian kenabian dan agama. Sebaliknya, keburukan dan kesesatan berkumpul di sekitar rangkaian filsafat.
Sekarang mari kita telusuri asalmuasal dari kedua rangkaian dan pilar tadi.
Rangkaian filsafat yang menentang agama, mengambil bentuk seperti pohon zaqqum yang buruk di mana ia menyebarkan kegelapan syirik dan menebarkan kesesatan di seputarnya. Bahkan ia telah mempersembahkan kepada akal manusia pada dahan “kekuatan rasionya” sejumlah buah berupa kaum ateis, materialis, dan naturalis. Ia juga melemparkan kepada kepala manusia pada dahan “kekuatan amarahnya” sejumlah buah berupa Namrud, Fir’aun, dan tiran.(*[1])Ia pun menumbuhkan pada dahan “kekuatan syahwatnya” sejumlah buah berupa tuhan-tuhan, berhala yang disembah, dan sosok yang mengaku sebagai tuhan.
Nah, disamping pohon buruk ini, pohon zaqqum, terdapat po- hon tuba ubudiyah kepada Allah. Ia merupakan rangkaian kenabian. Ia menghasilkan buah yang matang dan baik dalam kebun bola bumi. Lalu ia mengulurkannya kepada umat manusia sehingga terjulur dan mudah dipetik lewat dahan “kekuatan rasionya” yang berupa para nabi, rasul, kaum shiddiqin, dan wali yang saleh. Pada dahan “kekua- tan pendorong” ia menghasilkan para penguasa yang adil dan raja-ra- ja yang bersih laksana malaikat. Lalu pada dahan “kekuatan penarik” ia melahirkan orang-orang yang mulia dan dermawan yang memiliki sifat keberanian dan kesetiaan dalam perbuatan, penampilan, dan kesucian.Pada akhirnya pohon penuh berkah itu memperlihatkan bahwa manusia benar-benar merupakan buah termulia dari pohon alam.
Demikianlah asal-muasal dari pohon yang diberkahi dan pohon yang buruk di atas. Keduanya adalah sisi dan wajah ganda dari ego. Dengan kata lain, ego yang merupakan benih asli bagi kedua pohon tersebut kedua sisinya menjadi tempat tumbuh masing-masing. Penjelasan atas hal tersebut adalah sebagai berikut:
Kenabian berlalu dengan mengambil sebuah sisi dari ego. Sementara filsafat datang dengan mengambil sisi lain dari ego.
Sisi Ego yang Pertama Yaitu sisi ego yang mengarah kepada hakikat kenabian menja- di tempat tumbuhnya penghambaan (ubudiyah) yang tulus kepada Allah. Artinya, ego mengenali dirinya sebagai hamba Allah dan taat kepada Tuhannya. Ia memahami bahwa substansinya bermakna harfi. Yakni menunjukkan makna pada selainnya.Ia meyakini bahwa wujudnya hanya sebatas aksesori (penyerta). Yakni, ia tegak dengan keberadaan selainnya dan dengan penciptaan nya.Ia mengetahui bahwa kepemilikannya terhadap sesuatu bersifat asumsi. Artinya, bersifat sementara dan lahiriah sesuai dengan izin Sang Pemilik hakiki. Hakikatnya hanyalah bayangan, bukan asli. Artinya bersifat mungkin, ciptaan, kecil, dan bayangan lemah yang memantulkan manifestasi hakikat Dzat Wajibul wujud.Sementara tugasnya adalah taat kepada Tuhan secara total karena ia menjadi neraca untuk mengenali sifat-sifat Penciptanya dan stan- dar untuk mengetahui kondisi-Nya.
Demikianlah para nabi dan rasul, serta kalangan mulia dan para wali melihat ego lewat sisi tersebut. Mereka menyaksikannya sebagaimana hakikatnya. Karena itu, mereka menggapai hakikat yang benar. Mereka serahkan seluruh kekuasaan kepada Sang Pemiliknya, Allah . Mereka semua juga mengakui bahwa Sang Pemilik tersebut tidak memiliki sekutu dan tandingan, baik dalam kerajaan, pemeliharaan, atau dalam uluhiyah-Nya. Dia Mahatinggi Yang tidak membutuhkan sesuatu. Dia tidak memiliki pembantu atau menteri. Di tangan-Nya tergenggam kunci perbendaharaan segala sesuatu. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Adapun “sebab-sebab materi” tidak lain merupakan tirai dan hijab lahiriah yang menunjukkan kekuasaan dan keagungan-Nya. “Hukum alam” tidak lain merupakan syariah ala- miah serta kumpulan rambu-rambu-Nya yang berlaku di alam guna memperlihatkan kekuasaan dan keagungan-Nya.
Sisi terang yang bercahaya dan indah ini telah berposisi sebagai benih yang hidup di mana ia memiliki maksud dan hikmah. Darinya Allah menciptakan pohon tuba ubudiyah di mana dahan-dahannya yang penuh berkah membentang ke seluruh penjuru alam manusia.Ia dihiasi dengan buah yang baik dan terang yang menghapus seluruh kegelapan masa lalu.Ia juga menegaskan bahwa masa yang telah berlalu tidaklah seperti pandangan filsafat yang memosisikannya laksana pekuburan yang menyeramkan dan area eksekusi yang menakutkan. Namun, ia adalah salah satu taman cahaya bagi ruh yang telah menunaikan tugas berat guna berpisah meninggalkan dunia. Ia merupakan salah satu orbit cahaya dan tangga bersinar yang memiliki tingkatan beragam di mana ia dipersiapkan untuk ruh yang bergerak menuju akhirat, masa depan yang gemilang, dan kebahagiaan abadi.
Sisi Ego yang Kedua Adapun sisi kedua telah menjadi alat filsafat. Ia melihat ego de- ngan makna ismi. Dengan kata lain ia berkata, “Ego menunjukkan makna pada dirinya lewat dirinya.”Hal ini berarti bahwa makna dan esensinya terdapat pada dirinya dan bekerja untuk dirinya. Wujudnya dianggap otentik dan asli, bukan bayangan. Artinya, ia memiliki karakter pribadi yang khusus. Ia juga merasa dirinya memiliki hak dalam kehidupan serta sebagai pemilik hakiki dalam wilayah kekuasaannya. Ia menganggap dugaannya itu sebagai hakikat yang nyata.Selain itu, ia memahami bahwa tugasnya adalah peningkatan dan penyempurnaan diri di mana hal itu muncul dari kecintaan ter- hadap diri sendiri.
Demikianlah, mereka menyandarkan jalan mereka kepada pilar-pilar yang rusak. Mereka membangunnya di atas pilar-pilar yang rapuh dan lemah itu. Kami telah menunjukkan dengan sangat jelas kelemahan pilar-pilar tersebut berikut kerusakannya dalam berbagai risalah. Terutama dalam buku al-Kalimât. Lebih khusus lagi dalam “Kalimat Kedua Belas” dan “Kedua Puluh Lima” yang secara khusus berbicara tentang Mukjizat al-Qur’an. Berdasarkan pilar-pilar yang rusak tersebut, sejumlah tokoh filsafat dan para penganutnya seperti Plato, Aristoteles, Ibnu Sina, dan al-Farabi meyakini bahwa tujuan utama bagi kesempurnaan manusia adalah “bertindak seperti Sang Pencipta”. Akhirnya, mereka melahirkan hukum ala Fir’aun yang tiran. Mereka membukakan jalan bagi banyak kelompok yang dekat dengan beragam bentuk kemusyrikan seperti penyembah sebab, penyembah berhala, penyembah alam, dan penyembah bintang. Hal itu dengan cara merangsang ego mereka untuk berlari bebas dalam lembah kemusyrikan dan kesesatan. Mereka membendung jalan penghambaan kepada Allah. Mereka menutup pintu-pintu kelemahan, ketidakberdayaan, kefakiran, rasa butuh dan papa yang terdapat dalam fitrah manusia. Mereka tersesat dalam kubangan alam materi, tidak selamat dari lumpur kemusyrikan, serta tidak mendapat jalan menuju pintu syukur yang demikian luas.
Sebaliknya, mereka yang berada di jalan kenabian menetapkan hukum yang dipenuhi dengan penghambaan yang tulus kepada Allah semata. Mereka memutuskan bahwa tujuan utama umat manusia dan tugas fundamental mereka adalah “berakhlak sesuai perintah ilahi”. Yaitu menghias diri dengan berbagai perilaku mulia dan terpuji yang Allah perintahkan seraya menyadari kelemahan diri sebagai manusia sehingga bersandar pada kekuasaan-Nya, melihat ketidakberdayaan sehingga berlindung pada kekuatan-Nya, menyaksikan kefakiran se- hingga berharap akan rahmat-Nya, menatap kebutuhan sehingga ber- gantung kepada kekayaan-Nya, mengenali keterbatasan sehingga me- minta ampunan kepada-Nya, serta menginsafi kekurangan sehingga bertasbih dan menyucikan kesempurnaan-Nya.
Demikianlah, karena filsafat yang berlawanan dengan agama telah jauh tersesat, akhirnya ego memegang kendali dirinya serta menyeruak menuju berbagai bentuk kesesatan. Begitulah pohon zaqqum tumbuh di atas puncak sisi ego yang kedua ini. Dengan kesesatannya, ia menutupi setengah umat manusia dan menyimpangkan mereka dari jalan yang benar.
Lalu buah yang dipersembahkan oleh pohon buruk tersebut, pohon zaqqum, ke hadapan manusia adalah berhala di dahan kekuatan syahwat kebinatangan. Pasalnya, filsafat menyenangi kekuatan itu dan menjadikannya sebagai pilar dan landasan baku bagi jalannya. Bahkan prinsip “kekuasaan di tangan pemilik kekuatan” menjadi salah satu asasnya. Ia menja- dikan “kebenaran ada di balik kekuatan”(*[2])sebagai prinsip sehingga secara tidak langsung tertarik dengan kezaliman dan permusuhan. Ia mendorong para tiran dan para penguasa zalim yang durhaka untuk mengklaim diri sebagai tuhan.
Selanjutnya, ia menguasakan keindahan yang terdapat pada makhluk dan keapikan yang terdapat dalam bentuknya kepada makhluk itu sendiri serta kepada bentuknya. Ia mengabaikan hubungan keindahan tersebut dengan manifestasi keindahan suci milik Sang Pencipta Yang Mahaindah. Alih-alih berkata, “Betapa indah pencip- taannya!” ia malah berkata, “Betapa indahnya ia!” Dengan kata lain, keindahan tersebut diposisikan sebagai berhala yang layak disembah.
Kemudian, ia menyenangi berbagai bentuk popularitas dan penampilan lahiriah untuk mendapatkan perhatian dan sanjungan orang. Karena itu, ia mendorong orang-orang yang suka pamer dan riya untuk terus berada dalam kesesatan mereka seraya menjadikanya seperti berhala yang menyembah para penyembahnya.(*[3])
Di dahan “kekuatan amarah” terhadap kalangan jelata, ia menum- buhkan sosok-sosok Fir’aun, Namrud, dan tiran-tiran kecil dan besar.Sementara di dahan “kekuatan rasio”, ia telah melahirkan kalangan ateis, materialis, dan naturalis serta yang sejenis mereka sebagai buah buruknya, sehingga akal manusia menjadi tercerai-berai.
Nah, untuk memperjelas hakikat ini, kita akan melakukan komparasi antara hasil yang berasal dari pilar-pilar yang rusak milik pendekatan filsafat, dan hasil yang bersumber dari pondasi yang benar milik pendekatan kenabian. Kita akan membatasi pembahasan pada sejumlah contoh saja di antara ribuan perbandingan yang ada.
Contoh pertama: Di antara kaidah baku kenabian yang terdapat dalam kehidupan pribadi manusia adalah “Meniru akhlak Allah”. Yakni, jadilah hamba Allah yang tulus seraya menghias diri dengan akhlak Allah, berlindung kepada perlindungan-Nya, serta mengakui segala kelemahan, kepapaan, dan kekurangan yang ada.Kaidah agung ini sangat berbeda dengan perkataan filsafat, “Berbuatlah layaknya Tuhan!” di mana ini dijadikan sebagai tujuan utama umat manusia.Substansi manusia yang bercampur dengan kelemahan, ketidakberdayaan, kepapaan, dan kefakiran tak terhingga sangat berbeda dengan substansi Sang Wajibul wujud, Allah Yang Mahakuasa, Ma- hakuat, Mahakaya, dan Mahatinggi.
Contoh kedua: Di antara kaidah baku kenabian dalam kehidupan sosial adalah bahwa “Kerjasama” merupakan rambu penting yang mengontrol alam, mulai dari matahari, bulan, hingga tumbuhan dan hewan. Engkau bisa melihat bagaimana tumbuhan memberi bantuan kepada hewan, dan hewan memberi bantuan kepada manusia. Bahkan partikel-partikel makanan juga memberi bantuan kepada sel-sel tubuh.Prinsip ini, prinsip kerjasama dan tolong menolong, sangat berbeda dengan prinsip “Pertikaian dan persaingan” yang dikatakan oleh filsafat sebagai pengontrol kehidupan sosial. Apalagi pertikaian tersebut hanya dilakukan oleh kaum tiran dan makhluk buas lantaran salah dalam mempergunakan fitrah mereka. Dengan kesesatannya, filsafat telah menjadikan prinsip pertikaian dan persaingan ini sebagai pengontrol seluruh entitas. Sehingga dengan sangat bodoh ia berkata, “Kehidupan adalah persaingan dan pertikaian.”
Contoh ketiga: Di antara hasil ideal kenabian dan di antara kaidah tauhidnya yang mulia adalah, “Yang satu hanya bersumber dari yang satu”. Artinya, seluruh kesatuan hanya bersumber dari yang satu. Karena pada segala sesuatu terdapat sebuah kesatuan yang tampak nyata, tentu ia bersumber dari penciptaan Dzat Yang Esa. Sebaliknya, prinsip dan keyakinan filsafat kuno berbunyi, “Yang satu hanya dapat menghasilkan yang satu”. Maksudnya, yang bersumber dari Dzat Yang Esa hanya sesuatu yang satu. Adapun yang lainnya bersumber dari berbagai sarana dan perantara. Kaidah filsafat kuno ini memberikan kepada sejumlah sebab dan perantara satu bentuk keikutsertaan dalam rububiyah. Ia memperlihatkan bahwa Dzat Yang Mahakuasa atas segala sesuatu dan Mahakaya membutuhkan peran- tara yang lemah. Bahkan mereka sangat sesat dengan menyematkan kepada Tuhan sang pencipta nama makhluk, yaitu “akal pertama.” Mereka membagi seluruh kekuasaan-Nya dengan berbagai perantara sehingga membuka jalan menuju syirik besar.Prinsip tauhid kenabian sangat berbeda dengan prinsip filsafat kuno yang berlumur syirik dan kesesatan. Jika para filsuf dan ahli hikmah yang memiliki pemahaman paling tinggi saja melontarkan per- kataan semacam itu, lalu bagaimana dengan kalangan naturalis dan materialis yang ilmu filsafat dan hikmahnya berada di bawah mereka?!
Contoh keempat: Di antara prinsip kenabian yang bijak adalah bahwa segala se- suatu memiliki banyak hikmah dan manfaat. Bahkan buah memiliki hikmah sebanyak jumlah buah di pohon. Sebagaimana yang dipahami dari ayat yang berbunyi:“Segala sesuatu bertasbih memuji-Nya…”. (al-Isrâ [17]: 44). Jika ada satu hasil atau buah tertuju kepada makhluk itu sendiri serta sebuah hikmahnya kembali kepadanya, maka ribuan hasilnya kembali kepada Penciptanya Yang Mahabijak serta ribuan hikmahnya tertuju kepada penciptanya yang Mahaagung. Adapun prinsip filsafat berbunyi, “Hikmah dan manfaat pencipta- an setiap makhluk hidup kembali kepada dirinya. Atau, kembali kepada manfaat dan kemaslahatan manusia.” Kaidah ini melenyapkan banyak hikmah yang terkandung di dalam entitas. Ia hanya memberikan satu buah yang sangat kecil laksana sebiji sawi kepada pohon yang besar. Akhirnya, ia mengubah entitas menjadi sesuatu yang tidak berarti.Hikmah yang benar di atas sangat berbeda dengan kaidah filsafat yang rusak yang kosong dari hikmah di mana seluruh eksistensi dicelup dengan celupan kesia-siaan. Kami membatasi pembahasan sampai di sini karena hakikat tersebut telah kami bahas secara agak rinci pada ‘hakikat kesepuluh’ dari “Kalimat Kesepuluh”.
Selanjutnya, engkau bisa membandingkan ribuan contoh lainnya dengan keempat contoh di atas. Sebagiannya telah kami bahas dalam risalah al-Lawâmi (kilau-kilau cahaya).
Dengan melihat pada kondisi filsafat yang bersandar kepada landasan yang rusak serta kepada hasilnya yang rapuh, maka para filsuf Islam yang cerdas yang tertipu oleh tampilan filsafat sehingga terbawa oleh pendekatannya seperti Ibnu Sina dan al-Farabi, hanya mendapatkan tingkatan iman yang paling rendah; tingkatan mukmin biasa. Bahkan sang Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali, tidak memberikan tingkatan dan derajat itu sekalipun.
Demikian pula dengan para tokoh Mu’tazilah. Mereka adalah para ulama ilmu kalam. Karena mereka terlena dengan filsafat dan sangat terpaut dengannya, serta mendewakan akal, maka mereka hanya mendapatkan derajat mukmin pelaku bid’ah dan fasik.
Demikian halnya dengan Abu al-Alâ al-Ma’arri yang termasuk tokoh sastrawan Islam dan dikenal dengan sikap pesimisnya, Umar al-Khayyâm yang dikenal dengan ratapan dukanya, serta para tokoh satsrawan lainnya yang tertarik kepada filsafat. Mereka telah meneri- ma pelajaran dan tamparan penghinaan berikut pengkafiran dari para ahli hakikat.
Para ahli hakikat tersebut berkata, “Wahai orang-orang bodoh, kalian melakukan kebodohan dan perilaku yang buruk. Kalian meniti jalan kaum zindik dan mengembangkan pemikiran mereka dalam ruang lingkup adab dan sastra kalian.”Kemudian di antara hasil dari pilar filsafat yang rusak adalah bahwa ego yang sebenarnya merupakan substansi yang lemah laksana udara atau asap, namun karena pandangan filsafat yang keliru dan karena dilihat dengan makna ismi, akhirnya ia menjadi lembap (cair). Lalu karena tenggelam dalam dunia materi dan syahwat, ia pun mengeras. Setelah itu ia dihadapkan pada kondisi lalai dan ingkar sehingga ego tadi membatu. Selanjutnya, dengan sikap membangkang kepada perintah Allah, ego mengeruh dan kehilangan kebeningannya, ia pun menjadi hitam pekat. Secara perlahan-lahan ia menjadi keras dan besar hingga menelan pemiliknya. Bahkan, tidak hanya sampai di situ. Ia juga semakin berkembang dan meluas dengan berbagai pemikiran manusia. Ia mulai menganalogikan manusia, bahkan ber- bagai sebab kepada dirinya sendiri. Ia memberinya sifat Fir’aun yang tiran meski ia sendiri menolak dan berlindung darinya. Ketika itulah ia memasuki fase memusuhi berbagai perintah ilahi. Ia berkata, “Sia- pa yang menghidupkan tulang-belulang yang sudah hancur ini?” (QS. Yâsîn [36]: 78).
Seakan-akan ia menantang Allah dan menuduh-Nya tidak kuasa, bahkan sampai ikut campur dalam sifat-sifat-Nya. Ia pun mengingkari atau mengubah atau bahkan menolak semua yang tidak sesuai dengan keinginan hawa nafsunya, atau tidak disenangi oleh sifat Fir’aun yang terdapat dalam dirinya.
Misalnya, sekelompok filsuf menyebut Allah dengan al-Mûjibu bi adz-Dzât (Dzat Yang meniscayakan diri sendiri). Dengan demikian, mereka menafikan kehendak dan pilihan Allah. Mereka mendustakan kesaksian seluruh alam akan adanya kehendak Allah yang bersifat mutlak. Sungguh mengherankan, betapa anehnya manusia! Seluruh entitas, mulai dari atom hingga matahari, secara sangat jelas menunjukkan kehendak Sang Pencipta Yang Mahabijak dengan ketentuan, ketera- turan, dan timbangan yang ada pada masing-masingnya. Bagaimana mungkin hal itu tidak terlihat oleh filsafat? Sungguh Allah telah mem- butakan penglihatan mereka.
Sekelompok filsafat lainnya menyatakan bahwa “pengetahuan ilahi tidak terkait dengan hal-hal kecil”. Mereka menafikan pengeta- huan-Nya yang bersifat komprehensif.
Mereka menolak kesaksian yang jujur dari seluruh entitas akan pengetahuan-Nya yang meliputi segala sesuatu.Selanjutnya, filsafat menganggap sebab memiliki pengaruh, serta mengangap alam bisa mencipta. Ia tidak melihat sejumlah tanda yang demikian terang pada setiap entitas yang menunjukkan Sang Pencipta Yang Mahaagung, sebagaimana telah kami tegaskan dalam “Kalimat Kedua Puluh Dua”. Di samping itu, filsafat juga menisbatkan pencip- taan sejumlah makhluk yang merupakan hasil goresan ilahi kepada alam yang lemah, mati, dan tidak memiliki perasaan di mana yang ada padanya hanya proses kebetulan dan kekuatan buta. Filsafat menjadikan alam sebagai sumber penciptaan segala sesuatu dan faktor yang memberikan pengaruh. Dengan demikian, ia menghijab ribuan hik- mah yang tersimpan di dalam entitas.
Lalu, filsafat tidak mendapat petunjuk menuju pintu akhirat yang luas. Ia mengingkari kebangkitan dan mengakui keazalian ruh. Padahal, Allah dengan seluruh nama-Nya, alam dengan seluruh hakikatnya, para nabi dan rasul yang mulia dengan seluruh kebenaran yang mereka bawa, serta kitab-kitab suci dengan seluruh ayatnya yang mulia menjelaskan adanya kebangkitan dan akhirat, sebagaimana telah kami tegaskan dalam “Kalimat Kesepuluh” (Risalah Kebangkitan).
Demikianlah, engkau bisa menganalogikan semua persoalan filsafat dengan berbagai khurafat rendah di atas. Ya, seakan-akan setan telah mencabut akal para filsuf ateis dngan pangkur “ego” seraya melemparkannya ke lembah kesesatan dan mengoyaknya hingga hancur. “Ego” di dalam diri manusia seperti “hukum alam” di jagat raya.Keduanya termasuk tagut.
Allah berfirman: “Barangsiapa yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali buhul yang amat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 256).
Delapan tahun sebelum memulai penulisan risalah ini, aku me- nyaksikan sebuah peristiwa imajiner. Yaitu ketika aku berada di Istan- bul pada bulan Ramadhan yang penuh berkah. Ketika itu “Said lama” yang sibuk dengan filsafat sudah hampir memasuki fase “Said baru”.
Pada masa tersebut dan ketika sedang merenungkan tiga jalan yang disebutkan pada penutup surah al-Fatihah:
“Jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat; bukan jalan orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang yang sesat,” aku menyaksikan kejadian imajiner tersebut. Ia merupakan kejadian yang menyerupai mimpi. Ketika itu ia kutulis dalam buku al-Lawâmi’ dalam bentuk per- jalanan imajiner dan menyerupai nadzam (untaian puisi). Sekarang tiba saatnya untuk menguraikan dan menjelaskannya karena ia akan memperjelas hakikat di atas.
Aku membayangkan diriku berada di tengah padang pasir yang sangat luas. Sementara langit tertutupi awan tebal dan gelap. Napas mulai terengah-engah. Tidak ada hembusan angin, cahaya, dan air. Semuanya tidak ada. Kubayangkan bahwa bumi ini dipenuhi dengan binatang buas dan makhluk yang berbahaya. Terlintas dalam benakku bahwa pada sisi bumi yang lain terdapat hembusan angin sepoi-sepoi, air yang segar, dan cahaya yang indah. Maka, tidak ada jalan lain kecuali pergi ke tempat tersebut. Kemudian tanpa disengaja aku merasa diriku tergiring ke sana. Aku masuk ke dalam sebuah gua bawah tanah yang menyerupai terowongan di bawah gunung. Aku berjalan di rongga bumi tersebut selangkah demi selangkah seraya menyaksikan bahwa banyak orang yang telah lebih dulu menyusuri jalan ini tanpa pernah menyelesaikan perjalanan karena tercekik di tengah jalan. Aku melihat jejak kaki mereka serta kadangkala mendengar suara sebagian dari mereka lalu suara itu hilang.
Wahai sahabat yang imajinasinya sedang bersamaku dalam perjalanan imajiner di atas!Bumi tersebut adalah alam dan filsafat naturalisme. Sementara terowongannya berupa jalan yang dilalui para filsuf lewat berbagai pemikiran mereka untuk sampai kepada hakikat. Jejak kaki yang kulihat adalah milik tokoh-tokoh filsafat ternama seperti Plato dan Aristote- les.(*[4])Lalu suara yang kudengar berupa suara sekelompok orang jenius seperti Ibnu Sina dan al-Farabi. Ya, aku menemukan sejumlah perkataan Ibnu Sina dan berbagai hukumnya pada sejumlah tempat. Hanya saja suara-suara itu sudah lenyap. Artinya, ia tidak lagi bisa melangkah. Dengan kata lain ia tercekik. Bagaimanapun aku telah menjelaskan padamu sejumlah hakikat tersembunyi di bawah khayalan agar rasa penasaranmu bisa berkurang. Sekarang aku ingin mengajak kembali kepada perjalanan imajinerku.
Aku terus berjalan. Tiba-tiba dua hal berada di tanganku.Pertama, lampu listrik yang menerangi gelapnya alam di bawah tanah.Kedua, alat berat yang bisa menghancurkan karang sebesar gunung.Jalan itupun terbuka untukku. Ketika itu ada yang berbisik di tel- ingaku, “lampu dan alat ini telah diberikan kepadamu dari khazanah al-Qur’an.”Demikianlah, selama beberapa saat aku terus berjalan sampai akhirnya aku sampai di sisi gunung yang lain. Tiba-tiba matahari bersinar terang di langit yang cerah dan indah tak berawan. Saat itu adalah musim semi yang indah. Angin berhembus dengan perlahan. Air salsabil yang segar mengalir. Aku menyaksikan sebuah alam yang penuh dengan keindahan dan suka cita. Maka, akupun bersyukur memuji Allah.
Setelah itu, kuperhatikan diri ini. Ternyata ia bukan milikku dan aku tidak mampu menguasainya. Seolah-olah ada yang mengujiku. Tiba-tiba aku kembali melihat diriku berada di gurun yang luas itu. Awan yang tebal telah menutupi sehingga langit menjadi gelap. Na- pas pun terasa sesak. Aku merasa ada yang menggiringku menuju jalan lain. Pasalnya, kali ini aku melihat diriku berjalan di atas permu- kaan bumi, bukan lagi di bawah tanah. Dalam perjalanan, aku melihat berbagai urusan yang menakjubkan dan sejumlah pemandangan yang aneh yang sulit digambarkan. Laut marah kepadaku. Topan pun membuatku takut. Segala sesuatu yang berada di hadapanku berupa hambatan dan kesulitan. Hanya saja, berbagai persoalan dapat ditun- dukkan berkat sarana yang dianugerahkan kepadaku lewat al-Qur’an. Dengan sarana tersebut, aku bisa melewati berbagai kesulitan yang ada. Aku mulai menempuh perjalanan tersebut selangkah demi selangkah. Kusaksikan jasad dan jenazah para pelancong tergeletak di kedua sisi jalan, di sana-sini. Hanya satu dari seribu yang bisa menyelesaikan perjalanan.Bagaimanapun, aku telah selamat dari gelap awan tadi. Akhirnya aku sampai ke sisi bumi yang lain. Kutatap matahari yang hakiki dan indah. Kuhirup udara yang sepoi-sepoi. Akupun mulai berjalan mengitari alam indah laksana surga itu seraya terus mengucap alham- dulillah.
Setelah itu, aku sadar bahwa diriku tidak akan dibiarkan berada di sini. Di sana ada orang yang seakan ingin memperlihatkan jalan lain sekaligus mengembalikanku kepada kondisi semula; ke padang pasir yang luas. Ketika kulihat, ternyata ada sejumlah sarana yang turun dari atas seperti lift yang sedang turun dengan jenis yang berbeda-beda. Sebagian menyerupai pesawat, sebagian lagi menyerupai mobil, serta sebagian lainnya menyerupai keranjang yang bergelayutan. Siapapun dapat bergantung dengan salah satu darinya sesuai dengan kemam- puan dan kekuatannya. Ia dapat dinaikkan dengannya menuju tempat yang lebih tinggi. Aku pun menaiki salah satunya. Dalam sekejap saja aku sudah berada di atas awan dan berada di atas gunung yang indah. Bahkan, awan tersebut tidak sampai setengah dari gunung yang besar tadi. Pada setiap tempat tampak cahaya yang paling indah, air yang paling segar, dan hembusan angin yang paling lembut. Ketika kuarahkan pandangan ke semua sisi, aku menyaksikan sejumlah tempat berca- haya—yang menyerupai lifttersebar di mana-mana. Hal yang sama pernah kusaksikan di sisi bumi yang lain pada kedua perjalanan sebelumnya. Hanya saja, aku sama sekali tidak memahaminya. Namun sekarang aku memahami bahwa tempat tersebut tidak lain merupakan manifestasi dari ayat-ayat al-Qur’an yang penuh hikmah.
Demikianlah, jalan yang pertama adalah jalan kaum yang sesat yang disebut وَلَا الضَّٓالّٖينَ Ia adalah jalan orang-orang yang tergelincir kedalam paham naturalisme dan menganut pemikiran kaum naturalis. Kalian tentu dapat merasakan tingkat kesulitan untuk bisa sampai ke- pada hakikat kebenaran lewat perjalanan yang penuh dengan berbagai rintangan dan hambatan.
Jalan yang kedua adalah jalan orang-orang yang dimurkai yang disebut غَي۟رِ ال۟مَغ۟ضُوبِ Ia adalah jalan penyembah sebab dan orang- orang yang menisbatkan penciptaan kepada berbagai perantara. Mereka ingin mencapai inti dari berbagai hakikat serta ingin mengenal Allah lewat jalan akal dan pemikiran semata seperti para ahli hikmah.
Adapun jalan yang ketiga adalah jalan “orang-orang yang telah diberi nikmat” yang disebut اَلَّذٖينَ اَن۟عَم۟تَ عَلَي۟هِم۟ Ia adalah jalan lurus dan bercahaya yang diperuntukkan bagi mereka yang berpegang pada al- Qur’an. Ia merupakan jalan paling singkat, paling selamat, dan paling mudah. Ia terbuka bagi semua orang untuk dilalui. Ia merupakan jalan samawi yang bercahaya.
TUJUAN KEDUA
(Transformasi Partikel)
Bahasan ini menjelaskan sebiji partikel dari perbendaharaan ayat berikut:
“Orang-orang kafir berkata, ‘Hari kiamat itu tidak akan datang kepada kami.’ Katakanlah, ‘Ia pasti datang demi Tuhanku yang mengetahui yang gaib. Sesungguhnya kiamat itu pasti akan datang kepadamu.Tidak ada satu partikel pun yang tersembunyi daripada-Nya, baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi. Tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar melainkan tersebut dalam kitab yang nyata (Lauhil Mahfuzh).’” (QS. Saba [34]: 3).
(Tujuan ini menerangkan hal seberat partikel dari khazanah ayat al-Qur’an yang agung di atas. Dengan kata lain, ia menerangkan hakikat yang berisi kotak partikel serta membahas bagian yang amat kecil dari gerakan dan tugas partikel. Hal itu ditulis dalam tiga bagian diser- tai sebuah pendahuluan).
Pendahuluan
Transformasi partikel merupakan penjelasan dari pergerakan dan perpindahannya saat pena qudrah ilahi menuliskan ayat-ayat penciptaan dalam kitab alam semesta. Ia tidak seperti sangkaan kaum materialis dan naturalis bahwa transformasi tersebut merupakan pro- ses kebetulan dalam sebuah gerakan yang tidak memiliki makna dan tujuan. Sebab, setiap partikel dan benih pada permulaan gerakannya selalu mengucap bismillâh sebagaimana seluruh entitas mengucap- kannya. Ia memikul sejumlah beban besar yang melampaui kemam- puannya yang terbatas. Misalnya benih pohon cemara yang memikul pohonnya yang besar.
Kemudian ketika selesai bertugas ia mengucap alhamdulillâh. Ia memperlihatkan jejak menakjubkan seakan-akan ia mendendangkan satu untaian bait yang indah dalam memuji Sang Pencipta Yang Mahamulia karena di dalammnya terdapat keindahan tatanan yang penuh hikmah serta keindahan bentuk yang mence- ngangkan akal. Engkau bisa mengamati buah delima dan buah jagung.
Ya, transformasi dan perubahan partikel adalah ekspresi dari gerakan yang memiliki maksud mendalam. Ia bersumber dari penulisan dan penghapusan kalimat qudrah ilahi di Lauhil-mahwi wal-itsbât (lembaran penghapusan dan penetapan), di mana ia merupakan hakikat zaman yang mengalir dan lembaran imajiner bagi perjalanan waktu, sebagai bentuk salinan dari kitâb Mubîn yang menjadi “perlambang qudrah dan iradah ilahi” serta poros perbuatan-Nya dalam mencipta dan membentuk sesuatu di alam nyata dan di masa sekarang sesuai dengan aturan imâm mubîn yang merupakan kumpulan bahan segala sesuatu dalam pokok dan cabangnya. Dengan kata lain, ia me- rupakan pangkal dari segala sesuatu yang telah berlalu dan yang akan datang di mana ia dihijab oleh hal gaib berikut karakternya serta menjadi “perlambang pengetahuan dan perintah ilahi”.(*[5])
Bagian Pertama
Terdiri atas dua bahasan:
Bahasan Pertama:
Pada gerak dan diam setiap partikel terdapat dua cahaya tauhid yang berkilau, seakan-akan keduanya merupakan matahari yang terang.
Telah kami tegaskan secara global dalam petunjuk pertama dari ‘Kalimat Kesepuluh’ serta telah kami jelaskan dalam ‘Kalimat Kedua Puluh Dua’ bahwa jika setiap partikel bukan merupakan pesuruh Allah, jika tidak bergerak dengan izin-Nya, serta jika tidak berubah dengan pengetahuan dan kekuasaan-Nya, berarti masing-masing partikel memiliki pengetahuan yang tak terhingga, kekuasaan yag tak terbatas, penglihatan yang bisa melihat segala sesuatu, wajah yang me- ngarah kepada segala sesuatu, serta perintah yang pasti berlaku pada segala sesuatu.Pasalnya, setiap partikel sebuah unsur bekerja atau dapat melaku- kan sebuah pekerjaan yang teratur pada tubuh setiap makhluk hidup. Apalagi sistem yang terdapat pada segala sesuatu serta rambu-rambu konstruksinya berbeda dengan yang lainnya. Sementara sesuatu tidak mungkin dilakukan jika sistemnya tidak diketahui. Bahkan, kalaupun partikel melakukan sebuah pekerjaan, ia tidak akan terlepas dari keke- liruan. Namun kenyataannya berbagai pekerjaan terlaksana tanpa ada kekeliruan.
Dengan demikian, jika partikel-partikel yang bekerja itu tidak berbuat sesuai dengan perintah Dzat yang memiliki pengetahuan yang mencakup segala sesuatu, serta tidak dengan izin, ilmu, dan kehen- dak-Nya, berarti ia harus memiliki pengetahuan komprehensif dan kekuasaan mutlak seperti itu.Lalu, setiap partikel udara bisa masuk ke dalam tubuh setiap makhluk hidup, buah setiap bunga, dan bangunan setiap daun, serta dapat bekerja pada masing-masingnya. Padahal, bangunan dan tata- nan masing-masingnya berbeda. Andaikan pabrik buah Tin, misalnya, menyerupai pabrik tekstil, tentu pabrik buah delima serupa dengan pabrik gula. Jadi, desain dan sistem masing-masingnya berbeda antara yang satu dengan yang lain.Partikel udara masuk ke masing-masingnyaatau dapat masuk ke dalamnya—sekaligus bekerja dengan kecakapan luar biasa dan dengan penuh hikmah. Di dalamnya ia mengambil posisi tertentu. Lalu ketika tugasnya telah berakhir, ia pergi meninggalkannya begitu saja.
Demikianlah partikel yang bergerak di udara yang juga bergerak, ada dua kemungkinan; boleh jadi ia mengetahui bentuk yang dike- nakan kepada hewan dan tumbuhan berikut buah dan bunganya, serta mengetahui ukuran dan desain masing-masingnya. Atau, partikel tersebut diperintah oleh Dzat yang mengetahui semua itu lalu bekerja sesuai kehendak-Nya.Demikian halnya dengan setiap partikel yang tenang di dalam tanah yang juga tenang. Ia siap untuk menjadi tempat tumbuh semua benih tumbuhan yang berbunga dan pepohonan yang berbuah. An- daikan benih tumbuhan dan pepohonan tersebut ditanam di setum- puk tanah—yang tersusun dari sejumlah partikel sejenislalu bertemu dengan partikel yang berada di dalamnya, maka ada beberapa kemungkinan. Boleh jadi ia mendapati sebuah pabrik yang khusus untuknya berikut semua kebutuhan yang dibutuhkan untuk tumbuh. Dengan kata lain, di dalam setumpuk tanah itu terdapat sejumlah pabrik maknawi yang canggih dan banyak sebanyak jenis tumbuhan, pohon, dan buah. Atau, terdapat pengetahuan yang luas dan kekuasaan yang mencakup segala sesuatu di mana ia dapat mencipta sega- la sesuatu dari tiada. Atau, berbagai pekerjaan itu terlaksana dengan daya dan kekuatan Allah Yang Mahakuasa dan Maha Mengetahui atas segala sesuatu.
Andaikan seseorang pergi ke Eropa, sementara ia sama sekali tidak mengetahui tentang sarana dan fasilitas peradaban saat ini. Lebih dari itu, ia buta; tidak bisa melihat. Lalu di sana ia masuk ke seluruh pabrik serta melakukan sejumlah pekerjaan menakjubkan dalam berbagai bidang produksi serta berbagai jenis bangunan secara sangat rapi dan mahir yang mencengangkan akal, sudah pasti orang yang memiliki kesadaran akan mengetahui bahwa orang tersebut tidak melaksanakannya sendiri. Namun ada guru yang cerdas yang menga- jari dan mempekerjakannya.Demikian pula kalau ada orang yang lemah, buta, dan lumpuh hanya berdiam di rumahnya yang kecil dan tidak bisa bergerak. Dalam kondisi demikian, sejumlah kerikil, beberapa potong tulang, dan secarik kapas diberikan kepadanya. Kemudian tidak lama sesudah itu beberapa ton gula, sejumlah lembaran tenunan, serta ribuan biji permata berikut pakaian yang dihias dengan perhiasan indah dan berbagai makanan lezat dihasilkan dari rumah tersebut. Tentu saja orang yang memiliki sedikit akal saja akan berkata, “Orang buta dan lumpuh itu hanya penjaga yang lemah dari pabrik yang menakjubkan tersebut. Ia hanya pelayan dari pemiliknya yang memiliki sejumlah kelu- arbiasaan.”
Hal yang sama berlaku pada gerakan partikel udara dan tugasnya pada tumbuhan, pohon, bunga, dan buah yang masing-masingnya merupakan goresan ilahi, bagian dari kreasi Tuhan yang menakjub- kan, salah satu mukjizat qudrah ilahi, dan salah satu hikmah-Nya yang luar biasa. Semua partikel itu tidak bisa bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain kecuali dengan perintah Sang Pencipta Yang Mahabijak dan Agung serta dengan kehendak Tuhan Yang Maha Pemurah dan Mahaindah.Bandingkan hal tersebut di atas dengan partikel tanah yang merupakan tempat tumbuh bagi bulir-bulir benih dan biji yang masing-masingnya laksana mesin menakjubkan, percetakan, khazanah perbendaharaan, serta papan pengumuman yang menginformasikan nama-nama Allah dan untaian bait yang menyanjung kesempurnaan-Nya di mana masing-masingnya berbeda-beda dengan yang lainnya. Sudah pasti benih tersebut tidak akan bisa menjadi tempat tumbuh dari pohon dan tumbuhan tadi kecuali lewat perintah Allah Sang Pemilik perintah kun fayakun. Semuanya tunduk pada perintah-Nya, tidak bekerja kecuali dengan izin, kehendak, dan kekuatan-Nya. Ini adalah satu keyakinan yang pasti. Kami pun beriman atasnya.
Bahasan Kedua
Bahasan ini berupa penjelasan tentang petunjuk sederhana mengenai tugas dan hikmah yang terdapat pada gerakan partikel.
Kaum materialis yang akal mereka telah beralih ke mata hanya bisa melihat sesuatu yang bersifat materi. Dengan hikmah yang kosong dari hikmah dan dengan filsafat yang dibangun di atas landasan kesia-siaan wujud, mereka berpandangan bahwa transformasi partikel terikat dengan proses kebetulan. Bahkan mereka menjadikan proses kebetulan tersebut sebagai kaidah baku bagi seluruh prinsip mereka seraya menjadikannya sebagai sumber penciptaan seluruh makhluk Tuhan.Orang yang memiliki sedikit kesadaran saja akan menyadari secara pasti betapa mereka demikian jauh dari logika akal sehat tatkala menyandarkan makhluk yang penuh hikmah kepada proses kebetulan yang kosong dari esensi dan hikmah.
Adapun perspektif dan hikmah al-Qur’an melihat bahwa semua transformasi dan perubahan partikel memiliki banyak hikmah, tujuan tak terhingga, dan tugas yang tak terbatas. Hal ini seperti yang ditegaskan oleh ayat:
“Segala sesuatu bertabsbih memuji-Nya…” (QS. al-Isrâ [17]: 44) berikut ayat-ayat sejenis yang amat banyak. Di sini kami ingin menunjukkan sebagiannya saja sebagai contoh:
Birincisi: Cenab-ı Vâcibü’l-vücud’un tecelliyat-ı icadiyesini tecdid ve tazelendirmek için her bir tek ruhu model gibi ederek, her sene mu’cizat-ı kudretinden taze birer ceset giydirmek ve her bir tek kitaptan ayrı ayrı bin muhtelif kitabı, hikmetiyle istinsah etmek ve bir tek hakikati başka başka surette göstermek ve kâinatların ve âlemlerin ve mevcudatların, taife taife arkasından gelmelerine yer vermek ve zemin hazırlamak için Fâtır-ı Zülcelal kudretiyle zerratı tahrik ve tavzif etmiştir.
İkincisi: Mâlikü’l-mülki Zülcelal; şu dünyayı, bâhusus rûy-i zemin tarlasını bir mülk suretinde yaratmıştır. Yani neşv ü nemaya, taze taze mahsulat vermeye kabil bir surette müheyya etmiştir. Tâ ki nihayetsiz mu’cizat-ı kudretini orada ekip biçsin. İşte şu zemin yüzündeki tarlasında, zerratı hikmetle tahrik ederek, intizam dairesinde tavzif edip her asırda her fasılda her ayda belki her günde belki her saatte mu’cizat-ı kudretinden yeni yeni birer kâinat gösterir, yeryüzü avlusuna başka başka mahsulat verdirir. Nihayetsiz hazine-i rahmetinin hedâyâsını, nihayetsiz kudretinin mu’cizatının numunelerini harekât-ı zerrat ile izhar eder.
Üçüncüsü: Nihayetsiz tecelliyat-ı esma-i İlahiyenin nakışlarını göstermekle, o esmanın cilvelerini ifade için mahdud bir zeminde hadsiz nukuş göstermek, küçük bir sahifede nihayetsiz maânîleri ifade edecek olan hadsiz âyâtları yazmak için Nakkaş-ı Ezelî zerratı, kemal-i hikmetle tahrik edip kemal-i intizamla tavzif etmiştir. Evet, geçen senenin mahsulatıyla şu senenin mahsulatının mahiyetleri bir hükmündedir. Fakat maânîleri başka başkadır. Taayyünat-ı itibariyeyi değiştirmekle, maânîleri değişir ve çoğalır. Taayyünat-ı itibariye ve teşahhusat-ı muvakkate, tebdil edildikleri ve zâhiren fâni oldukları halde; onların maânî-i cemileleri muhafaza olunup sabit ve bâki kalır. Şu ağacın geçen bahardaki yaprak ve çiçek ve meyvelerinin ruhları olmadığından, şu bahardaki emsalinin, hakikatçe aynılarıdır. Yalnız teşahhusat-ı itibariyede fark var. Fakat o itibarî teşahhuslar, her vakit tecelliyatı tazelenmekte olan şuunat-ı esma-i İlahiyenin maânîlerini ifade için şu bahardakiler ayrı teşahhusatla onların yerine geldiler.
Dördüncüsü: Hadsiz âlem-i misal gibi gayet geniş âlem-i melekût ve gayr-ı mahdud sair uhrevî âlemlere birer mahsulat veya tezyinat veya levazımat gibi onlara münasip şeyleri yetiştirmek için şu dar mezraa-i dünyada, zemin yüzünün tezgâhında ve tarlasında Hakîm-i Zülcelal, zerratı tahrik edip kâinatı seyyale ve mevcudatı seyyare ederek, şu küçük zeminde o pek büyük âlemlere pek çok mahsulat-ı maneviye yetiştiriyor. Nihayetsiz hazine-i kudretinden nihayetsiz bir seyli, dünyadan akıttırıp âlem-i gayba ve bir kısmını âhiret âlemlerine döküyor.
Beşincisi: Nihayetsiz kemalât-ı İlahiyeyi, hadsiz celevat-ı cemaliyeyi ve gayetsiz tecelliyat-ı celaliyeyi ve gayr-ı mütenahî tesbihat-ı Rabbaniyeyi şu dar ve mahdud zeminde ve mütenahî ve az bir zamanda göstermek için zerratı kemal-i hikmetle kudretiyle tahrik edip, kemal-i intizamla tavzif ederek mütenahî bir zamanda, mahdud bir zeminde gayr-ı mütenahî tesbihat yaptırıyor. Gayr-ı mahdud tecelliyat-ı cemaliye ve celaliye ve kemaliyesini gösteriyor. Çok hakaik-i gaybiye ve çok semerat-ı uhreviye ve fânilerin bâki olan hüviyet ve suretlerinden pek çok nukuş-u misaliye ve çok manidar nüsuc-u levhiyeyi icad ediyor. Demek, zerreyi tahrik eden; şu makasıd-ı azîmeyi, şu hikem-i cesîmeyi gösteren bir zattır. Yoksa her bir zerrede, güneş gibi bir dimağ bulunması lâzım gelir.
Daha bu beş numune gibi belki beş bin hikmetle tahrik olunan zerratın tahavvülatını, o akılsız feylesoflar hikmetsiz zannetmişler ve hakikatte biri enfüsî, diğeri âfakî iki hareket-i cezbekâranede zikir ve tesbih-i İlahî ile Mevlevî gibi zikreden ve deverana kalkan o zerreleri, kendi kendine, sersem gibi dönüp oynuyorlar zu’metmişler.
İşte bundan anlaşılıyor ki onların ilimleri ilim değil, cehildir. Hikmetleri, hikmetsizliktir.
(Üçüncü Nokta’da altıncı uzun bir hikmet daha söylenecektir.)
İKİNCİ NOKTA
Her bir zerrede, Vâcibü’l-vücud’un vücuduna ve vahdetine iki şahid-i sadık vardır.
Evet zerre, acz ve cümuduyla beraber şuurkârane büyük vazifeleri yapmakla, büyük yükleri kaldırmakla Vâcibü’l-vücud’un vücuduna kat’î şehadet ettiği gibi harekâtında nizamat-ı umumiyeye tevfik-i hareket edip her girdiği yerde ona mahsus nizamatı müraat etmekle, her yerde kendi vatanı gibi yerleşmesiyle Vâcibü’l-vücud’un vahdetine ve mülk ve melekûtun mâliki olan zatın ehadiyetine şehadet eder. Yani zerre kimin ise gezdiği bütün yerler de onundur. Demek zerre –çünkü âcizdir, yükü nihayetsiz ağırdır ve vazifeleri nihayetsiz çoktur– bir Kadîr-i Mutlak’ın ismiyle, emriyle kaim ve müteharrik olduğunu bildirir. Hem kâinatın nizamat-ı külliyesini bilir bir tarzda tevfik-i hareket etmesi ve her yere manisiz girmesi; tek bir Alîm-i Mutlak’ın kudretiyle, hikmetiyle işlediğini gösterir.
Evet, nasıl ki bir nefer; takımında, bölüğünde, taburunda, alayında, fırkasında ve hâkeza her bir dairede birer nisbeti ve o nisbete göre birer vazifesi olduğunu ve o nisbetleri, o vazifeleri bilmekle tevfik-i hareket etmek, nizamat-ı askeriye tahtında talim ve talimat görmekle bütün o dairelere kumanda eden bir tek kumandan-ı a’zamın emrine ve kanununa tebaiyetle oluyor.
Öyle de her bir zerre, birbiri içindeki mürekkebatta birer münasip vaziyeti, ayrı ayrı maslahatlı birer nisbeti, ayrı ayrı muntazam birer vazifesi, ayrı ayrı hikmetli neticeleri bulunduğundan elbette o zerreyi, o mürekkebatta bütün nisbet ve vazifelerini muhafaza edip netice ve hikmetleri bozmayacak bir tarzda yerleştirmek; bütün kâinat kabza-i tasarrufunda olan bir zata mahsustur.
Mesela, Tevfik’in (*[6]) göz bebeğinde yerleşen zerre, gözün âsab-ı muharrike ve hassase ve şerayin ve evride gibi damarlara karşı münasip vaziyet alması ve yüzde ve sonra başta ve gövdede, daha sonra heyet-i mecmua-i insaniyede her birisine karşı birer nisbeti, birer vazifesi, birer faydası kemal-i hikmetle bulunması gösteriyor ki bütün o cismin bütün azasını icad eden bir zat, o zerreyi o yerde yerleştirebilir. Ve bilhassa rızık için gelen zerreler, rızık kafilesinde seyr ü sefer eden o zerreler, o kadar hayret-feza bir intizam ve hikmetle seyr ü seyahat ederler ve öyle tavırlarda, tabakalarda intizam-perverane geçip gelirler ve öyle şuurkârane ayak atıp hiç şaşırmayarak gele gele tâ beden-i zîhayatta dört süzgeçle süzülüp rızka muhtaç aza ve hüceyratın imdadına yetişmek için kandaki küreyvat-ı hamraya yüklenip bir kanun-u keremle imdada yetişirler. Ondan bilbedahe anlaşılır ki şu zerreleri binler muhtelif menzillerden geçiren, sevk eden; elbette ve elbette bir Rezzak-ı Kerîm, bir Hallak-ı Rahîm’dir ki kudretine nisbeten zerreler, yıldızlar omuz omuza müsavidirler.
Hem her bir zerre, öyle bir nakş-ı sanatta işler ki ya bütün zerratla münasebettar, her birisine ve umumuna hem hâkim ve hem her birisine ve umumuna mahkûm bir vaziyette bulunmakla, o hayret-feza sanatlı nakşı ve hikmet-nüma nakışlı sanatı bilir ve icad eder. Bu ise binler defa muhaldir. Veya bir Sâni’-i Hakîm’in kanun-u kader ve kalem-i kudretinden çıkan, harekete memur birer noktadır.
Nasıl ki mesela, Ayasofya kubbesindeki taşlar, eğer mimarının emrine ve sanatına tabi olmazlarsa her bir taşı, Mimar Sinan gibi dülgerlik sanatında bir mahareti ve sair taşlara hem mahkûm hem hâkim olmak, yani “Geliniz, düşmemek, sukut etmemek için baş başa vereceğiz.” diye bir hüküm sahibi olması lâzımdır.
Öyle de binler defa Ayasofya kubbesinden daha sanatlı, daha hayretli ve hikmetli olan masnuattaki zerreler, kâinat ustasının emrine tabi olmazlarsa her birine Sâni’-i kâinat’ın evsafı kadar evsaf-ı kemal verilmesi lâzım gelir.
Feyâ Sübhanallah! Zındık maddiyyun gâvurlar bir Vâcibü’l-vücud’u kabul etmediklerinden, zerrat adedince bâtıl âliheleri kabul etmeye mezheplerine göre muztar kalıyorlar. İşte şu cihette münkir kâfir ne kadar feylesof, âlim de olsa nihayet derecede bir cehl-i azîm içindedir, bir echel-i mutlaktır.
ÜÇÜNCÜ NOKTA
Şu nokta, Birinci Nokta’nın âhirinde vaad olunan altıncı hikmet-i azîmeye bir işarettir.
Şöyle ki: Yirmi Sekizinci Söz’ün İkinci Suali’nin cevabındaki hâşiyede denilmişti ki: Tahavvülat-ı zerratın ve zîhayat cisimlerde zerrat harekâtının binler hikmetlerinden bir hikmeti dahi zerreleri nurlandırmaktır ve âlem-i uhreviye binasına lâyık zerreler olmak için hayattar ve manidar olmaktır. Güya cism-i hayvanî ve insanî hattâ nebatî; terbiye dersini almak için gelenlere bir misafirhane, bir kışla, bir mektep hükmündedir ki camid zerreler ona girerler, nurlanırlar. Âdeta bir talim ve talimata mazhar olurlar, letafet peyda ederler. Birer vazifeyi görmekle âlem-i bekaya ve bütün eczasıyla hayattar olan dâr-ı âhirete zerrat olmak için liyakat kesbederler.
Sual: Zerratın harekâtında şu hikmetin bulunması ne ile bilinir?
Elcevap:
Evvela: Bütün masnuatın bütün intizamatıyla ve hikmetleriyle sabit olan Sâni’in hikmetiyle bilinir. Çünkü en cüz’î bir şeye küllî hikmetleri takan bir hikmet, seyl-i kâinatın içinde en büyük faaliyet gösteren ve hikmetli nakışlara medar olan harekât-ı zerratı hikmetsiz bırakmaz. Hem en küçük mahlukatı, vazifelerinde ücretsiz, maaşsız, kemalsiz bırakmayan bir hikmet, bir hâkimiyet; en kesretli ve esaslı memurlarını, hizmetkârlarını nursuz, ücretsiz bırakmaz.
Sâniyen: Sâni’-i Hakîm, anâsırı tahrik edip tavzif ederek (onlara bir ücret-i kemal hükmünde) madeniyat derecesine çıkarmasıyla ve madeniyata mahsus tesbihatları onlara bildirmesiyle ve madeniyatı tahrik ve tavzif edip nebatat mertebe-i hayatiyesinin makamını vermesiyle ve nebatatı rızık ederek tahrik ve tavzif ile hayvanat mertebe-i letafetini onlara ihsan etmesiyle ve hayvanattaki zerratı tavzif edip rızık yoluyla hayat-ı insaniye derecesine çıkarmasıyla ve insanın vücudundaki zerratı süze süze tasfiye ve taltif ederek tâ dimağın ve kalbin en nazik ve latîf yerinde makam vermesiyle bilinir ki harekât-ı zerrat hikmetsiz değil belki kendine lâyık bir nevi kemalâta koşturuluyor.
Sâlisen: Zîhayat cisimlerin zerratı içinde çekirdek ve tohumdaki gibi bir kısım zerreler öyle manevî bir nura, bir letafete, bir meziyete mazhar oluyorlar ki sair zerrelere ve o koca ağaca bir ruh, bir sultan hükmüne geçer. İşte azîm bir ağacın bütün zerratı içinde bir kısım zerrelerin şu mertebeye çıkmaları, o ağacın tabaka-i hayatında çok devirleri ve nazik vazifeleri görmesiyle olduğundan gösteriyor ki Sâni’-i Hakîm’in emriyle vazife-i fıtrat içinde zerratın enva-ı harekâtına göre onlara tecelli eden esmanın hesabına ve şerefine olarak birer manevî letafet, birer manevî nur, birer makam, birer manevî ders almalarını gösteriyor.
Elhasıl:
Madem Sâni’-i Hakîm, her şey için o şeye münasip bir nokta-i kemal ve ona lâyık bir mertebe-i feyz-i vücud tayin edip ve o şeye, o nokta-i kemale sa’y edip gitmek için bir istidat vererek ona sevk ediyor. Ve bütün nebatat ve hayvanatta şu kanun-u rububiyet cari olmakla beraber, cemadatta dahi caridir ki âdi toprağa, elmas derecesine ve cevahir-i âliye mertebesine bir terakkiyat veriyor ve şu hakikatte muazzam bir kanun-u rububiyetin ucu görünüyor.
Hem madem o Hâlık-ı Kerîm, tenasül kanun-u azîminde istihdam ettiği hayvanata ücret olarak birer maaş gibi birer lezzet-i cüz’iye veriyor. Ve arı ve bülbül gibi sair hidemat-ı Rabbaniyede istihdam olunan hayvanlara birer ücret-i kemal verir. Şevk ve lezzete medar birer makam veriyor ve şunda bir muazzam kanun-u keremin ucu görünüyor.
Hem madem her şeyin hakikati, Cenab-ı Hakk’ın bir isminin tecellisine bakar, ona bağlıdır, ona âyinedir. O şey, ne kadar güzel bir vaziyet alsa o ismin şerefinedir; o isim öyle ister. O şey bilse, bilmese o güzel vaziyet, hakikat nazarında matlubdur. Ve şu hakikatten gayet muazzam bir kanun-u tahsin ve cemalin ucu görünüyor.
Hem madem Fâtır-ı Kerîm, düstur-u kerem iktizasıyla bir şeye verdiği makamı ve kemali, o şeyin müddeti ve ömrü bitmesiyle o kemali geriye almıyor. Belki o zîkemalin meyvelerini, neticelerini, manevî hüviyetini ve manasını, ruhlu ise ruhunu ibka ediyor. Mesela, dünyada insanı mazhar ettiği kemalâtın manalarını, meyvelerini ibka ediyor. Hattâ müteşekkir bir mü’minin yediği zâil meyvelerin şükrünü, hamdini mücessem bir meyve-i cennet suretinde tekrar ona veriyor. Ve şu hakikatte muazzam bir kanun-u rahmetin ucu görünüyor.
Hem madem Hallak-ı Bîmisal israf etmiyor, abes işleri yapmıyor. Hattâ güz mevsiminde vazifesi bitmiş, vefat etmiş mahlukların enkaz-ı maddiyesini bahar masnuatında istimal ediyor; onların binalarında dercediyor. Elbette يَو۟مَ تُبَدَّلُ ال۟اَر۟ضُ غَي۟رَ ال۟اَر۟ضِ sırrıyla وَاِنَّ الدَّارَ ال۟اٰخِرَةَ لَهِىَ ال۟حَيَوَانُ işaretiyle şu dünyada camid, şuursuz ve mühim vazifeler gören zerrat-ı arziyenin elbette taşı, ağacı, her şeyi zîhayat ve zîşuur olan âhiretin bazı binalarında derc ve istimali mukteza-yı hikmettir. Çünkü harap olmuş dünyanın zerratını dünyada bırakmak veya ademe atmak israftır. Ve şu hakikatten pek muazzam bir kanun-u hikmetin ucu görünüyor.
Hem madem şu dünyanın pek çok âsârı ve maneviyatı ve meyveleri ve cin ve ins gibi mükellefînin mensucat-ı amelleri, sahaif-i ef’alleri, ruhları, cesetleri âhiret pazarına gönderiliyor. Elbette o semerata ve manalara hizmet eden ve arkadaşlık eden zerrat-ı arziye dahi vazife noktasında kendine göre tekemmül ettikten sonra, yani nur-u hayata çok defa hizmet ve mazhar olduktan sonra ve hayatî tesbihata medar olduktan sonra şu harap olacak dünyanın enkazı içinde, şu zerratı dahi öteki âlemin binasında dercetmek, mukteza-yı adl ve hikmettir. Ve şu hakikatten pek muazzam bir kanun-u adlin ucu görünüyor.
Hem madem ruh cisme hâkim olduğu gibi camid maddelerde dahi kaderin yazdığı evamir-i tekviniye, o maddelere hâkimdir. O maddeler, kaderin manevî yazısına göre mevki ve nizam alabilirler. Mesela, yumurtaların envaında ve nutfelerin aksamında ve çekirdeklerin esnafında ve tohumların ecnasında kaderin ayrı ayrı yazdığı evamir-i tekviniye cihetiyle ayrı ayrı makam ve nur sahibi oluyorlar. Ve o madde itibarıyla mahiyetleri (Hâşiye[7]) bir hükmünde olan o maddeler, hadsiz muhtelif mevcudata menşe oluyorlar. Ayrı ayrı makam ve nur sahibi oluyorlar. Elbette hidemat-ı hayatiye ve hayattaki tesbihat-ı Rabbaniyede defaatle bir zerre bulunmuş ise ve hizmet etmiş ise o zerrenin manevî alnında o manaların hikmetlerini, hiçbir şeyi kaybetmeyen kader kalemiyle kaydetmesi; mukteza-yı ihata-i ilmîdir. Ve şunda pek muazzam bir kanun-u ilm-i muhitin ucu görünüyor.
Öyle ise zerreler (Hâşiye-1[8]) başıboş değiller.
Netice-i Kelâm: Geçmiş yedi kanun, yani kanun-u rububiyet, kanun-u kerem, kanun-u cemal, kanun-u rahmet, kanun-u hikmet, kanun-u adl, kanun-u ihata-i ilmî gibi pek çok muazzam kanunların görünen uçları arkalarında birer ism-i a’zam ve o ism-i a’zamın tecelli-i a’zamını gösteriyor. Ve o tecelliden anlaşılıyor ki sair mevcudat gibi şu dünyadaki tahavvülat-ı zerrat dahi gayet âlî hikmetler için kaderin çizdiği hudut üzerine kudretin verdiği evamir-i tekviniyeye göre hassas bir mizan-ı ilmî ile cevelan ediyorlar. Âdeta başka yüksek bir âleme (Hâşiye-2[9]) gitmeye hazırlanıyorlar. Öyle ise zîhayat cisimler, o seyyah zerrelere güya birer mektep, birer kışla, birer misafirhane-i terbiye hükmündedir. Ve öyle olduğuna bir hads-i sadıkla hükmedilebilir.
Elhasıl: Birinci Söz’de denildiği ve ispat edildiği gibi her şey “Bismillah” der. İşte bütün mevcudat gibi her bir zerre ve zerratın her bir taifesi ve mahsus her bir cemaati, lisan-ı hal ile “Bismillah” der, hareket eder.
Evet, geçmiş üç nokta sırrıyla her bir zerre, mebde-i hareketinde lisan-ı hal ile بِس۟مِ اللّٰهِ الرَّح۟مٰنِ الرَّحٖيمِ der. Yani “Ben, Allah’ın namıyla, hesabıyla, ismiyle, izniyle, kuvvetiyle hareket ediyorum.” Sonra netice-i hareketinde, her bir masnû gibi her bir zerre, her bir taifesi, lisan-ı hal ile اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ رَبِّ ال۟عَالَمٖينَ der ki bir kaside-i medhiye hükmünde olan sanatlı bir mahlukun nakşında, kudretin küçük bir kalem ucu hükmünde kendini gösterir. Belki her biri; manevî, Rabbanî, muazzam, hadsiz başlı bir fonoğrafın birer plağı hükmünde olan masnuların üstünde dönen ve tahmidat-ı Rabbaniye kasideleriyle o masnuatı konuşturan ve tesbihat-ı İlahiye neşidelerini okutturan birer iğne başı suretinde kendini gösteriyorlar.
دَع۟وٰيهُم۟ فٖيهَا سُب۟حَانَكَ اللّٰهُمَّ وَتَحِيَّتُهُم۟ فٖيهَا سَلَامٌ
وَ اٰخِرُ دَع۟وٰيهُم۟ اَنِ ال۟حَم۟دُ لِلّٰهِ رَبِّ ال۟عَالَمٖينَ
سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
رَبَّنَا لَا تُزِغ۟ قُلُوبَنَا بَع۟دَ اِذ۟ هَدَي۟تَنَا وَهَب۟ لَنَا مِن۟ لَدُن۟كَ رَح۟مَةً اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟وَهَّابُ
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَاةً تَكُونُ لَكَ رِضَاءً وَ لِحَقِّهٖ اَدَاءً وَ عَلٰى اٰلِهٖ وَ صَح۟بِهٖ وَ اِخ۟وَانِهٖ وَ سَلِّم۟ وَسَلِّم۟نَا وَ سَلِّم۟ دٖينَنَا اٰمٖينَ يَا رَبَّ ال۟عَالَمٖينَ
- ↑ *Ya, filsafat kuno di Mesir dan di Babilonia yang sampai pada tingkatan sihir, atau dinggap sebagai sihirlantaran hanya terbatas pada kelompok tertentu―adalah filsafat yang menyusui dan mendidik sosok Fir’aun dan Namrud. Sebagaimana lumpur filsafat-naturalis menanamkan ketuhanan dalam akal filsuf Yunani kuno, yang kemudian melahirkan berhala dan tuhan-tuhan yang disembah. Benar, orang yang terhijab dari ca- haya Allah dengan tabir “alam”, akan memberikan sifat ketuhanan kepada segala sesuatu, kemudian dikuasakan kepada dirinya―Penulis.
- ↑ *Adapun kenabian, ia menegaskan bahwa kekuatan ada di balik kebenaran; bukan kebenaran di balik kekuatan. Dari sini kezaliman akan terhapus dan keadilan akan terwujud―Penulis.
- ↑ *Dengan kata lain, mereka yang menyerupai berhala tersebut memperlihatkan kondisi yang serupa dengan penyembahan di hadapan para pengagumnya guna meng- harap sambutan mereka dan guna mendapatkan apa yang diinginkan oleh hawa nafsu mereka. Dengan demikian, di satu sisi mereka menyembah, sementara di sisi lain mereka disembah―Penulis.
- ↑ *Barangkali ada yang berkata, “Anda ini siapa sehingga berani merendahkan para tokoh tersebut? Apakah Anda sudah seperti lalat sehingga berani terbang bersama elang? Kujawab, “Karena guruku bersifat azali, yaitu al-Qur’an al-Karim, maka aku merasa tidak perlu menghiraukan sedikitpun, di jalan hakikat dan makrifat, para “elang” tersebut yang merupakan murid filsafat yang berlumur kesesatan, dan berguru pada akal yang penuh dengan ilusi. Meskipun aku satu tingkat di bawah mereka, namun guru mereka jauh lebih rendah daripada guruku. Nah, berkat kemuliaan guruku, materi yang membuat mereka tenggelam tidak mampu mengotori kedua kakiku sedikitpun. Ya, seorang prajurit biasa yang membawa perintah raja yang agung dapat melakukan pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh panglima dari raja yang kecil―Penulis.
- ↑ *Istilah Imâm Mubîn dan Kitâb Mubin disebutkan dalam al-Qur’an dalam sejumlah tempat. Sebagian mufassir berpendapat bahwa keduanya mempunyai makna yang sama. Sementara menurut sebagian yang lain makna keduanya berbeda. Mereka menafsirkan hakikat keduanya dengan beragam aspek yang kontradiktif. Kesimpulan dari pernyataan mereka adalah bahwa keduanya merupakan lambang pengetahuan ilahi. Dengan curahan nikmat al-Qur’an, aku merasa yakin bahwa Imâm Mubîn merupakan lambang dari salah satu jenis pengetahuan dan perintah ilahi di mana ia lebih mengarah kepada alam gaib daripada mengarah kepada alam nyata. Yakni, ia lebih mengarah ke masa lalu dan masa depan daripada ke masa sekarang. Dengan kata lain, ia merupakan catatan qadar ilahi yang lebih melihat ke pangkal dan buah dari segala sesuatu, akar dan benihnya, daripada ke wujud lahiriahnya. Keberadaan catatan ini telah ditegaskan dalam ‘Kalimat Kedua Puluh Enam’ dan dalam catatan kaki ‘Kalimat Kesepuluh’. Ya, Imâm Mubîn merupakan lambang dari salah satu jenis pengetahuan dan perintah ilahi. Ini berarti penciptaan pangkal dan akar sesuatu dalam bentuk yang sangat indah dan cermat menunjukkan bahwa penataan tersebut berlangsung sesuai dengan catatan rambu pengetahuan ilahi. Sebagaimana hasil dan buah segala sesuatu merupakan catatan kecil dari perintah ilahi di mana ia berisi sejumlah program dan indeks dari apa yang akan terwujud dari entitas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa benih, misalnya, merupakan penjelasan dari program dan indeks konkret yamg kecil bagi semua yang mengatur konstruksi pohon yang besar serta bagi perintah penciptaan yang menentukan desainnya. Kesimpulannya, Imâm Mubîn laksana indeks dan program pohon penciptaan, yang akar, dahan, dan cabangnya terbentang di sekitar masa lalu, masa depan, dan alam gaib. Nah, Imâm Mubîn dalam pengertian tersebut merupakan catatan qadar ilahi atau catatan rambu-rambu qadar-Nya. Partikel digiring menuju gerakan dan tugasnya dalam segala hal lewat pendiktean rambu-rambu tersebut.Adapun Kitâb Mubin, ia lebih mengarah kepada alam nyata daripada ke dalam gaib. Artinya, ia lebih melihat ke masa sekarang daripada ke masa lalu dan mendatang. Ia lebih merupakan lambang qudrah dan iradah ilahi daripada lambang pengetahuan dan perin- tah-Nya. Dengan kata lain, apabila Imâm Mubîn merupakan catatan qadar ilahi, maka Kitâb Mubin merupakan catatan qudrah ilahi. Artinya, keteraturan dan kerapian yang terdapat pada segala sesuatu, baik pada wujudnya, substansinya, sifatnya, atau pada kondisinya, keduanya menunjukkan bahwa wujud tersebut dilekatkan pada sesuatu, bentuknya ditentukan, ukurannya ditetapkan, dan model khususnya diberikan lewat rambu qudrah yang sempurna dan hukum kehendak yang berlaku. Dengan demikian, qudrah dan iradah ilahi tersebut memiliki hukum yang bersifat universal dan tersimpan dalam catatan agung di mana pakaian model wujud khusus segala sesuatu dipotong, dijahit, dan dike- nakan padanya dalam bentuk tertentu sesuai dengan hukum tadi. Keberadaan catatan itu telah ditegaskan dalam risalah “Takdir Ilahi dan Ikhtiar Manusia” (Kalimat Kedua Puluh Enam). Di dalamnya juga ditegaskan tentang Imâm Mubîn.Lihatlah kebodohan para filsuf serta kaum yang sesat dan lalai. Mereka telah me- nyadari keberadaan Lauhil Mahfudz yang berisi qudrah ilahi yang mencipta. Mereka me- ngetahui berbagai bentuk manifestasi kitab tersebut yang melihat hikmah rabbani berikut kehendak-Nya yang berlaku pada segala sesuatu. Mereka menangkap bentuk dan model- modelnya. Hanya saja, mereka menyebut semua itu dengan nama ‘hukum alam’ sehingga memadamkan cahayanya. Demikianlah, lewat pendiktean Imâm Mubîn, atau lewat hukum qadar dan rambu ilahi yang berlaku, qudrah ilahi dalam mewujudkannya menuliskan rangkaian entitas yang masing-masingnya merupakan tanda kekuasaan Tuhan. Ia menghadirkan dan menggerakkan partikel di lauhil-mahwi wal-itsbât (catatan penghapusan dan penetapan) yang merupakan lembaran imajiner bagi perjalanan waktu. Dengan kata lain, gerakan berbagai partikel merupakan gerakan bagaimana entitas melintas dari tulisan tadi, dari salinan tersebut, dan dari alam gaib menuju alam nyata. Artinya, dari ‘ilmu’ menuju ‘qudrah’. Adapun lauhil-mahwi wal-itsbât tersebut merupakan catatan yang terus berganti bagi lauhil mahfudz yang paling agung dan permanen. Lembar ‘penulisan dan penghapusan’ berada di wilayah makhluk yang bersifat mungkin. Artinya, ia adalah catatan segala sesuatu; yang senantiasa berhadapan dengan kematian dan kehidupan, serta kefanaan dan keberadaan (wujud). Itulah hakikat zaman. Sebagaimana setiap sesuatu memiliki hakikat, maka apa yang kita sebut dengan zaman yang terus me- ngalir seperti aliran sungai panjang di alam ini hakikatnya laksana lembaran dan tinta tu- lisan qudrah ilahi dalam lembar penghapusan dan penetapan. Yang mengetahui persoalan gaib hanyalah Allah―Penulis.
- ↑ * Nur’un birinci kâtibidir.
- ↑ Hâşiye: Evet, bütün onlar dört unsurdan mürekkebdir. Müvellidü’l-mâ, müvellidü’l-humuza, azot, karbon gibi maddelerden teşkil olunuyorlar. Maddece bir sayılabilirler. Farkları yalnız kaderin manevî yazısındadır.
- ↑ Hâşiye-1: Şu cevap, yedi “madem” kelimelerine bakar.
- ↑ Hâşiye-2: Çünkü bilmüşahede gayet cevvadane bir faaliyetle şu âlem-i kesif ve süflîde pek kesretle nur-u hayatı serpmek ve iş’al etmek, hattâ en hasis maddelerde ve taaffün etmiş cisimlerde kesretle taze bir nur-u hayatı ışıklandırmak, o kesif ve hasis maddeleri nur-u hayatla letafetlendirmek, cilâlandırmak sarahate yakın işaret ediyor ki gayet latîf, ulvi, nazif, hayattar diğer bir âlemin hesabına şu kesif, camid âlemi; zerratın hareketiyle, hayatın nuruyla cilâlandırıyor, eritiyor, güzelleştiriyor. Güya latîf bir âleme gitmek için ziynetlendiriyor.
İşte beşer haşrini aklına sığıştıramayan dar akıllı adamlar, Kur’an’ın nuruyla rasad etseler görecekler ki bütün zerratı bir ordu gibi haşredecek kadar muhit bir kanun-u Kayyumiyet görünüyor, bilmüşahede tasarruf ediyor.