On Dördüncü Söz/id: Revizyonlar arasındaki fark

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    ("Surah mulia di atas menegaskan bahwa gempa dan gerakan bumi tidak terlepas dari wahyu dan perintah Allah." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    Değişiklik özeti yok
    100. satır: 100. satır:
    Surah mulia di atas menegaskan bahwa gempa dan gerakan bumi tidak terlepas dari wahyu dan perintah Allah.
    Surah mulia di atas menegaskan bahwa gempa dan gerakan bumi tidak terlepas dari wahyu dan perintah Allah.


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Berkat peringatan maknawi, sejumlah jawaban terhadap beberapa pertanyaan seputar gempa yang baru saja terjadi datang ke dalam kalbu. Meskipun beberapa kali aku bertekad untuk menuliskan jawaban tersebut secara rinci, namun kesempatan itu tidak kunjung tiba. Karenanya, ia akan dituliskan secara singkat dan global.
    Manevî ve ehemmiyetli bir canibden şimdiki zelzele münasebetiyle altı yedi cüz’î suale karşı, yine manevî ihtar yardımıyla cevapları kalbe geldi. Tafsilen yazmak kaç defa niyet ettimse de izin verilmedi. Yalnız icmalen kısacık yazılacak.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">

    16.29, 5 Aralık 2024 tarihindeki hâli

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

    “Alif lâm ra. (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Mahabijaksana lagi Mahatahu.”(QS. Hûd [11]: 1).

    Kami akan menjelaskan contoh sebagian hakikat mulia dari al- Qur’an berikut penafsirnya yang hakiki yang berupa hadis Nabi x. Hal ini agar ia bisa menjadi anak tangga untuk naik menuju berbagai hakikat yang ada guna menyembuhkan kalbu yang kurang tunduk dan patuh. Pada akhir “kalimat” ini akan dijelaskan pula sebuah pelaja- ran dan salah satu rahasia pertolongan Ilahi. Di sini kita hanya akan menjelaskan sejumlah contoh dari lima persoalan dari berbagai hakikat mulia tersebut. Pasalnya, beberapa contoh yang terkait dengan kebangkitan dan kiamat telah disebutkan dalam “Kalimat Kesepuluh”, terutama dalam hakikat kesembilan darinya. Karena itu ia tidak perlu dijelaskan lagi.

    Pertama Allah berfirman:“Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari (masa).” (QS. al-A’râf [7]: 54).Ayat tersebut menunjukkan bahwa dunia manusia dan dunia he- wan hidup dalam enam hari dari hari-hari al-Qur’an di mana ia merupakan zaman yang terbentang panjang. Barangkali ia seperti seribu tahun atau lima puluh ribu tahun. Nah, agar kalbu dapat menerima hakikat mulia ini, kami akan menjelaskan sejumlah alam yang mengalir, entitas yang berjalan, dan dunia yang melintas pada setiap hari, setiap tahun, dan setiap masa yang seukuran satu hari. Ya, semua du- nia itu ibarat tamu yang melintas seperti manusia sehingga setiap mu- sim alam terisi dan kosong sesuai dengan perintah Sang Pencipta Yang Mahamulia.

    Kedua Allah berfirman:“Tidak ada sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertu- lis dalam kitab yang nyata (Kitâb mubîn).” (QS. al-An’âm [6]: 59).”Segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab Induk yang nyata (Imâm mubîn).” (QS. Yâsîn [36]: 12). “Tidak ada yang tersembunyi dari pada-Nya sebesar zarrah pun yang ada di langit dan yang ada di bumi tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam kitab yang nyata (Kitâb mubîn).” (QS. Saba [34]: 3).Selain itu, masih banyak lagi ayat-ayat sejenis yang maknanya adalah segala sesuatu dengan semua kondisinya telah tertulis, baik sebelum ada, setelah ada, ataupun setelah hilang dari wujud. Kami akan menjelaskan hal berikut agar kalbu menjadi tenang, yaitu bahwa Tuhan Sang Pencipta Yang Mahamulia memasukkan indeks wujud makhluk yang rapi dalam jumlah tak terhingga berikut sejarah hidup dan rancangan aktivitasnya. Dia memasukkannya secara maknawi dengan menjaganya pada benih dan asal makhluk tersebut meskipun kemudian diganti pada setiap musim di atas lembaran seluruh bumi, terutama pada musim semi. Allah juga memasukkan lewat pena qadar yang sama di dalam buahnya setelah makhluk itu lenyap, sehingga Dia menulis makhluk musim semi, baik yang basah maupun yang kering, dalam benihnya yang telah ditentukan dalam bentuk penulisan yang baik seraya menjaganya dengan sangat rapi. Pada akhirnya musim semi laksana bunga yang simetris dan indah di mana ia diletakkan oleh tangan Tuhan di atas muka bumi lalu dipetik.

    Jika demikian, bukankah aneh jika manusia masih tersesat dengan menyebut tulisan fitri, bentuk yang indah, serta hikmah yang digariskan di atas seluruh bumi itu di mana ia merupakan cermin manifestasi dari yang tertulis di Lauhil mahfudz dengan sebutan hukum kausalitas. Bukankah aneh jika manusia meyakini hukum kausalitas sebagai unsur dan sumber yang memberikan pengaruh? Mana mungkin hakikat agung tersebut dibandingkan dengan sangkaan kalangan yang lalai itu? Perbedaannya sangat jauh!

    Ketiga Pemberi informasi yang jujur, Nabi x, telah menggambarkan malaikat yang bertugas memikul arasy, misalnya, juga malaikat pemikul langit dan bumi, atau malaikat yang lain, bahwa malaikat memiliki 40 ribu kepala. Pada setiap kepala terdapat 40 ribu lisan. Setiap lisan bertasbih dengan 40 ribu jenis tasbih. Hakikat mulia ini termasuk dalam hadis-hadis yang mengung- kapkan keteraturan dan komprehensivitas ibadah para malaikat. Guna memahami hakikat tersebut, kami akan menjelaskan sejumlah ayat mulia berikut untuk direnungkan, yaitu:“Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah...” (QS. al-Isrâ [17]: 44).“Sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung untuk bertas- bih bersama Dia (Daud) di waktu petang dan pagi.” (QS. Shâd [38]: 18).“Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung...” (QS. al-Ahzâb [33]: 72).Selain itu, masih terdapat sejumlah ayat sejenis lainnya yang menjelaskan bahwa entitas paling besar dan paling luas bertasbih secara khusus sesuai dengan kebesaran dan keagungannya. Persoalannya sangat jelas.

    Sebab, langit yang besar dan jauh bertasbih kepada Allah. Untaian tasbihnya berupa matahari, bulan, dan bintang gemintang. Bumi yang terbang di angkasa juga bertasbih memuji Allah. Lafal pujiannya berupa hewan, tumbuhan, dan pepohonan.Artinya, setiap pohon dan setiap bintang memiliki tasbih khusus sebagaimana bumi juga memiliki tasbih khusus miliknya. Ia berupa tasbih komprehensif yang berisi tasbih semua bagiannya. Termasuk setiap lembah, gunung, lautan, dan daratan yang terdapat di dalamnya. Sebagaimana bumi memiliki tasbih khusus lewat semua bagiannya, demikian pula dengan langit, gugusan bintang, dan cakrawala. Mereka memiliki tasbih komprehensif sendiri.Bumi yang memiliki ribuan kepala dan ratusan ribu lisan pada setiap kepala, tentu memiliki malaikat yang bertugas padanya. Ia menerjemahkan bunga tasbih setiap lisan dan buah pujiannya yang lebih dari seratus ribu bentuk tasbih dan pujian. Ia menerjemahkan dan menjelaskannya di alam mitsal serta mengungkapkannya di alam arwah.

    Sebab, ketika berbagai hal yang beragam masuk dalam bentuk satu kumpulan, ia pasti akan membentuk sebuah sosok maknawi. Ketika kumpulan itu bercampur dan menyatu akan terwujud satu sosok maknawi baginya, satu jenis ruhnya yang bersifat maknawi, serta malaikat yang menunaikan tugas tasbihnya.

    Perhatikan, misalnya, sebuah pohon yang tegak di depan kamar kita. Ia berupa pohon yang memiliki tiga ranting. Ia mencerminkan sebuah kata besar yang diucapkan oleh lisan gunung yang terdapat di mulut Barla. Tidakkah engkau melihat ratusan lisan ranting pada setiap pangkal pohon yang tiga itu dan ratusan buah kata yang tersusun di setiap lisannya? Ratusan huruf benih terangkai di setiap buah. Bukankah setiap pangkal dan lisan itu bertasbih kepada Pemilik malaikat yang memiliki perintah kun fayakun? Bukankah ia bertasbih dengan ucapan yang fasih dan dengan pujian yang sangat jelas sehingga engkau dapat menyaksikan dan mendengar tasbihnya? Malaikat yang ada padanya mewakili tasbih tersebut di alam makna dengan lisan yang beragam. Bahkan demikianlah yang dituntut oleh hikmah.

    Keempat Allah berfirman:“Keaadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanya berkata, ‘Jadilah!’ Maka terjadilah ia.” (QS. Yâsîn [36]: 82).“Kejadian kiamat itu hanya seperti sekejap mata...” (QS. an-Nahl [16]: 77).“Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qâf [50]: 16).“Para malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.” (QS. al-Ma’ârij [70]: 4).Ayat-ayat seperti di atas menegaskan sebuah hakikat yang mulia sebagai berikut:Allah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu menciptakan segala sesuatu dengan sangat mudah dan cepat tanpa sentuhan langsung sehingga seolah-olah segalanya terwujud dengan sekadar perintah. Kemudian Sang Pencipta Yang Mahakuasa sangat dekat kepada ciptaan, sementara ciptaan itu sendiri sangat jauh dari-Nya. Lalu dengan keagungan-Nya yang bersifat mutlak Dia tidak membiarkan makhluk yang paling hina sekalipun berada di luar keteraturan dan kreasi apik-Nya.

    Hakikat al-Qur’an ini dibuktikan oleh adanya keter- aturan yang paling sempurna pada seluruh entitas dengan sangat mudah. Nah, perumpamaan berikut menerangkan rahasia di baliknya:Misalnya berbagai tugas yang diberikan perintah Ilahi dan penundukkan Ilahi terhadap matahari—yang merepresentasikan nama Allah, an-Nur—mendekatkan hakikat di atas kepada pemahaman kita, yaitu bahwa meski matahari itu sangat tinggi, namun ia sangat dekat dengan materi transparan yang berkilau. Bahkan ia lebih dekat dengan materi tersebut daripada dirinya sendiri.

    Meskipun matahari membuat segala sesuatu terpengaruh oleh sinar dan aktivitasnya, namun materi tersebut sangat jauh darinya sejauh ribuan tahun perjalanan. Ia sama sekali tidak bisa memberikan pengaruh kepada matahari, bahkan tidak dapat mengaku dekat dengannya.

    Begitulah yang kita pahami dari pantulan sinar matahari pada setiap partikel sesuai dengan tingkat penerimaan dan warnanya. Seolah-olah matahari hadir pada setiap partikel dan menatapnya di mana pun sinarnya sampai. Di samping itu, pengaruh kilau matahari dan cakupannya terus bertambah sesuai dengan besar cahayanya.

    Cahayanya yang besar itulah yang meliputi segala sesuatu yang berada dalam ruang lingkupnya sehingga sesuatu sekecil apapun ia tidak dapat bersembunyi atau lari darinya. Dengan kata lain, kebesarannya tidak membuat benda kecil sekalipun berada di luar lingkupnya. Sebaliknya, dengan rahasia cahayanya, ia tetap mencakup semuanya dalam wilayah cakupannya.

    Andaikan matahari memiliki kehendak dalam melakukan berbagai tugas dan manifestasi yang ia miliki, dengan izin Allah berbagai aktivitasnya mengalir dengan sangat mudah dan luas, mulai dari partikel hingga tetesan air, permukaan laut, dan semua planet yang beredar. Dengan demikian, partikel dan planet memiliki kedudukan yang sama baginya. Sebab, limpahan cahaya yang ia sebarkan ke permukaan laut, juga dilakukan dengan sangat rapi kepada sebuah partikel sesuai dengan kapasitasnya.

    Matahari yang merupakan gelembung kecil itu bersinar terang di permukaan lautan langit. Ia merupakan cermin kecil dan tebal yang memantulkan manifestasi nama an-Nur milik Tuhan Yang Mahakuasa atas segala sesuatu. Matahari tersebut menerangkan contoh tiga pilar asasi dari hakikat al-Qur’an. Tentu saja cahaya dan panas matahari itu padat sepadat tanah jika dibandingkan dengan pengetahuan dan qudrah Dzat yang merupakan Cahaya dari segala cahaya, Penerang cahaya, dan Penentu cahaya.Jadi, Dzat Yang Mahaindah dan Mulia tersebut sangat dekat dengan segala sesuatu lewat pengetahuan dan qudrah-Nya. Dia hadir dan menatapnya, sementara segala sesuatu sangat jauh dari-Nya. Dia menangani segala sesuatu tanpa ada kesulitan sedikit pun dan tanpa interaksi langsung dengan sangat mudah. Dapat dipahami bahwa de- ngan sekadar perintah, segala sesuatu sudah terwujud dengan mudah dan cepat. Pada hakikatnya tidak ada sesuatu pun, baik parsial atau integral, kecil atau besar, yang berada di luar wilayah qudrah-Nya dan jauh dari jangkauan kebesaran-Nya. Begitulah kita memahami dan mengimani dengan yakin dan sampai pada tingkat penyaksian. Bahkan demikianlah seharusnya keimanan kita.

    Kelima Berbagai ayat seperti berikut ini menjelaskan keagungan dan kebesaran Allah , yaitu mulai dari firman-Nya yang berbunyi:“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat. Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya...” (QS. az-Zumar [39]: 67).“Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah membatasi (mengetahui) antara manusia dan hatinya...” (QS. al-Anfâl [8]: 24). “Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (QS. az-Zumar[39]: 62).Hingga firman-Nya yang berbunyi: “Dia mengetahui yang mereka sembunyikan dan yang mereka tampakkan.” (QS. al-Baqarah [2]: 77). Kemudian dari firman-Nya yang berbunyi:“Dia menciptakan langit dan bumi...” (QS. al-A’râf [7]: 54). Hingga firman-Nya yang berbunyi:“Dia menciptakan kalian berikut apa yang kalian perbuat.” (QS. ash-Shâffât [37]: 96). Lalu dari firman-Nya yang berbunyi:“Atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah…” (QS. al-Kahfi [18]: 39). Hingga firman-Nya yang berbunyi:“Tidaklah kalian berkehendak kecuali jika dikehendaki oleh Allah.” (QS. al-Insân [76]: 30).Ayat-ayat tersebut menegaskan integralitas keagungan rububi- yah dan uluhiyah Allah terhadap segala sesuatu. Penguasa agung, azali, dan abadi itu memberikan peringatan dan ancaman kepada manusia yang sangat lemah, fakir, dan tak berdaya, di mana ia hanya memiliki sedikit kehendak dan kemampuan tanpa memiliki kekuasaan untuk mencipta. Lalu pertanyaan yang muncul, “Apa landasan hikmah dari peri- ngatan dan ancaman tersebut yang bersumber dari kebesaran-Nya terhadap manusia yang lemah? Bagaimana menyelaraskan dan memadukan antara keduanya? Agar kalbu menjadi tenang, kutegaskan: perhatikan hakikat yang sangat mendalam dan mulia ini lewat dua perumpamaan sebagai berikut:

    Perumpamaan pertama: Ada sebuah kebun luas yang berisi buah matang dan bunga indah yang tak terhingga. Sejumlah pekerja ditugaskan untuk mengawasi kebun tersebut. Hanya saja seorang yang ditugaskan membuka saluran air untuk menyirami kebun agak malas dalam menunaikan tugasnya. Ia tidak membuka saluran itu sehingga air tidak mengalir. Artinya, tindakannya membuat seluruh yang terdapat di kebun menjadi rusak dan kering. Maka, semua pekerja di kebun mengeluhkan orang yang tidak menunaikan tugasnya tadi. Di samping itu, semua ciptaan Tuhan dan semua yang berada di bawah tatapan penyaksian-Nya ikut mengeluh. Bahkan tanah, udara, dan cahaya juga mengeluhkan orang malas ini. Sebab, ia telah membuat tugas dan pengabdian mereka tidak berjalan dengan baik. Atau, minimal terganggu.

    Perumpamaan kedua: Ada sebuah kapal milik raja. Jika seorang pekerja meninggalkan pekerjaan kecilnya, hal itu akan membuat aktivitas seluruh pekerja di kapal tersebut terganggu. Karena itu, pemilik kapal, yaitu sang raja mengancam pekerja yang lalai tadi atas nama seluruh pekerja di kapal. Orang yang lalai tadi tidak dapat berkata, “Mengapa aku harus mendapat ancaman keras semacam ini, padahal yang kulakukan hanya sebatas pengabaian hal yang sepele?” Hal ini lantaran satu “ketiadaan” menyebabkan banyak ketiadaan. Sementara “keberadaan” melahirkan berbagai buah sesuai dengan jenisnya. Sebab, wujud dan keberadaan sesuatu bergantung pada keberadaan seluruh sebab dan syarat. Sebaliknya, ketiadaan sesuatu dari sisi hasil terwujud dengan ketiadaan satu syarat dan satu bagian darinya. Dari sini “merusak lebih mudah daripada membangun” menjadi satu kaidah yang dikenal oleh manusia.

    Ketika landasan kekufuran, kesesatan, dan maksiat merupakan bentuk pengingkaran, pengabaian, dan penolakan, meski gambaran lahiriahnya tampak positif dan berwujud, namun hakikatnya merupakan bentuk ketiadaan. Karena itu, ia adalah kejahatan besar. Di samping merusak seluruh hasil kerja yang ada, ia juga menghijab berbagai manifiestasi Asmaul Husna yang indah dan membuatnya tak terlihat.

    Demikianlah, seluruh entitas memiliki hak untuk mengeluh tanpa terkecuali. Atas dasar itu, Penguasanya yang agung mengancam manusia yang berbuat maksiat dengan ancaman keras. Ini adalah hikmah yang sesungguhnya, sebab pelaku maksiat memang layak mendapat ancaman keras dan menakutkan.


    PENUTUP

    (Pelajaran dan Tamparan Keras bagi Orang Lalai)

    “Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (QS. Ali Imran [3]: 185).

    Wahai diriku yang terjerumus ke dalam kelalaian! Wahai yang menganggap kehidupan ini sebagai sesuatu yang manis dan nikmat sehingga mengejar dunia, dan melupakan akhirat. Tahukah seperti apa engkau? Engkau seperti burung unta. Ketika melihat pemburu ia tidak dapat terbang. Namun ia memasukkan kepalanya ke dalam pa- sir, sementara badannya yang besar tetap terlihat di luar. Ia mengira bahwa si pemburu tidak melihatnya. Padahal pemburu itu melihatnya, sementara ia sendiri yang tidak melihat si pemburu.

    Wahai diri! Perhatikan perumpamaan ini dan renungkanlah bagaimana membatasi perhatian pada dunia mengubah nikmat menjadi derita.

    Anggaplah di kampung ini (Barla) terdapat dua orang lelaki. Sembilan puluh sembilan persen sahabat orang pertama telah pergi ke Istanbul di mana di sana mereka hidup tenang dan bahagia. Semen- tara yang tersisa di sini hanya satu orang yang sebentar lagi juga akan menyusul mereka. Tentu orang ini sangat merindukan Istanbul. Bah- kan ia memikirkan dan selalu ingin berjumpa dengan para kekasihnya tersebut. Jika pada suatu saat ada yang berkata, “Ayo pergi ke sana!” ia pasti akan pergi dengan perasaan gembira.Adapun orang yang kedua telah ditinggalkan oleh sembilan puluh sembilan persen kekasihnya. Ia mengira sebagian mereka lenyap dan sebagian lagi tinggal di tempat yang tidak terlihat. Menurutnya, mereka telah binasa dan bercerai-berai. Maka, tentu saja orang malang ini dalam kondisi sakit kronis. Ia mencari pelipur lara bahkan dengan seorang pelancong sekalipun sebagai ganti dari mereka semua. Dengannya, ia ingin menutupi derita akibat perpisahan.

    Wahai diri! Seluruh orang yang kau cintai, terutama sang kekasih Allah, Nabi x, mereka semua sekarang berada di penghujung alam kubur. Yang tersisa di sini hanya satu atau dua orang. Mereka pun sedang bersiap-siap pergi. Karena itu, jangan engkau memalingkan kepala karena takut mati dan cemas menghadapi kubur. Namun perhatikan kubur dan lihatlah lubangnya dengan penuh ketegaran. Perhatikan apa yang diminta. Lalu tersenyumlah di hadapan kematian dengan penuh kesatria. Lihat apa yang ia inginkan. Jangan sekali-kali lalai sehingga menjadi seperti orang kedua di atas!

    Wahai diri! Jangan pernah berkata bahwa waktu telah berubah, sementara manusia sibuk dengan dunia dan tertipu dengan kehidupan mereka sehingga mabuk olehnya. Sebab, kematian tidak berubah dan perpisahan juga tetap ada. Kelemahan dan kepapaan manusia merupakan dua unsur yang tidak berubah bahkan semakin bertambah. Perjalanan manusia tidak terputus, namun terus berlanjut.

    Kemudian jangan pula berkata, “Aku hidup seperti yang lain.” Sebab, tidak ada yang akan menyertaimu kecuali hanya sampai pintu kubur. Kalaupun engkau pergi mencari pelipur lara lewat keberadaan orang lain yang sama-sama mendapatkan musibah, itu juga tidak ada gunanya sama sekali saat berada di kubur.

    Jangan mengira dirimu bebas merdeka. Sebab, jika engkau melihat negeri jamuan dunia dengan pandangan hikmah dan cermat, tidak ada sesuatu yang tanpa aturan dan tujuan. Lalu bagaimana mungkin engkau akan tetap bertahan tanpa aturan dan tujuan?

    Bahkan berbagai kejadian alam dan peristiwa yang menyerupai gempa bumi bukanlah sesuatu yang bersifat kebetulan.Misalnya, pada saat engkau menyaksikan sebagian bumi dihias dengan berbagai tumbuhan dan hewan secara sangat rapi dan indah, lalu engkau melihat semuanya mulai dari kepala hingga kaki dibungkus dengan hikmah dan tujuan; pada saat ia berputar menyerupai sebuah tarikan cinta dan kerinduan Maulawi(*[1])dengan sangat cermat dan rapi dibingkai dengan sejumlah tujuan mulia; pada saat engkau menyaksikan hal ini dan mengetahui bagaimana gempa bumi yang serupa dengan hentakan bola bumi di mana ia menampakkan keti- daksenangannya terhadap kesempitan maknawi yang bersumber dari perilaku manusia, terutama kaum beriman, bagaimana mungkin peristiwa yang berisi kematian itu terjadi tanpa tujuan sebagaimana dinyatakan oleh ateis yang menganggapnya sebagai proses kebetulan sehingga dengan begitu ia melakukan kesalahan besar? Pasalnya, ia menjadikan seluruh harta dan nyawa yang lenyap dari tangan mereka sebagai hal yang percuma seraya mencampakkan mereka dalam keputusasaan yang pahit. Padahal berbagai kejadian semacam itu sebenarnya menyimpan aset kaum beriman dengan mengubahnya menjadi sedekah bagi mereka. Ia menjadi penebus dosa yang bersumber dari sikap kufur nikmat.

    Hari di mana engkau melihat wajah bumi demikian buruk akan tiba di mana keindahannya dirusak oleh perbuatan syirik dan kekufuran manusia. Ketika itu, wajahnya akan dihapus oleh gempa yang besar sesuai perintah Sang Pencipta. Ia membersihkannya seraya memasukkan kaum musyrik ke dalam neraka dan menyeru kaum yang bersyukur, “Mari masuklah ke dalam surga!”


    LAMPIRAN KALIMAT KEEMPAT BELAS

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

    “Apabila bumi diguncangkan dengan guncangan (yang dahsyat). Dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)-nya. Manusia bertanya: ‘Mengapa bumi (menjadi begini)?’ Pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya. Pada hari itu, ma- nusia keluar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah sekalipun, niscaya ia akan melihat (balasan)-nya. Barangsiapa yangmengerjakan kejahatan sebesar zarah sekalipun, niscaya akan melihat (balasan)-nya pula.” (QS. az-Zalzalah [99]: 1-8).

    Surah mulia di atas menegaskan bahwa gempa dan gerakan bumi tidak terlepas dari wahyu dan perintah Allah.

    Berkat peringatan maknawi, sejumlah jawaban terhadap beberapa pertanyaan seputar gempa yang baru saja terjadi datang ke dalam kalbu. Meskipun beberapa kali aku bertekad untuk menuliskan jawaban tersebut secara rinci, namun kesempatan itu tidak kunjung tiba. Karenanya, ia akan dituliskan secara singkat dan global.

    Birinci Sual: Bu büyük zelzelenin maddî musibetinden daha elîm manevî bir musibeti olarak şu zelzelenin devamından gelen korku ve meyusiyet, ekser halkın ekser memlekette gece istirahatini selbederek dehşetli bir azap vermesi nedendir?

    Yine manevî cevap: Şöyle denildi ki ramazan-ı şerifin teravih vaktinde kemal-i neşe ve sürur ile sarhoşçasına gayet heveskârane şarkıları ve bazen kızların sesleriyle, radyo ağzıyla bu mübarek merkez-i İslâmiyet’in her köşesinde cazibedarane işittirilmesi, bu korku azabını netice verdi.

    İkinci Sual: Niçin gâvurların memleketlerinde bu semavî tokat başlarına gelmiyor, bu bîçare Müslümanlara iniyor?

    Elcevap: Büyük hatalar ve cinayetler tehir ile büyük merkezlerde ve küçücük cinayetler tacil ile küçük merkezlerde verildiği gibi; mühim bir hikmete binaen ehl-i küfrün cinayetlerinin kısm-ı a’zamı, mahkeme-i kübra-yı haşre tehir edilerek ehl-i imanın hataları, kısmen bu dünyada cezası verilir. (Hâşiye[2])

    Üçüncü Sual: Bazı eşhasın hatasından gelen bu musibet, bir derece memlekette umumî şekle girmesinin sebebi nedir?

    Elcevap: Umumî musibet, ekseriyetin hatasından ileri gelmesi cihetiyle, ekser nâsın o zalim eşhasın harekâtına fiilen veya iltizamen veya iltihaken taraftar olmasıyla manen iştirak eder, musibet-i âmmeye sebebiyet verir.

    Dördüncü Sual: Madem bu zelzele musibeti, hataların neticesi ve keffaretü’z-zünubdur. Masumların ve hatasızların o musibet içinde yanması nedendir? Adaletullah nasıl müsaade eder?

    Yine manevî canibden elcevap: Bu mesele sırr-ı kadere taalluk ettiği için Risale-i Kader’e havale edip yalnız burada bu kadar denildi:

    وَاتَّقُوا فِت۟نَةً لَا تُصٖيبَنَّ الَّذٖينَ ظَلَمُوا مِن۟كُم۟ خَاصَّةً

    Yani “Bir bela, bir musibetten çekininiz ki geldiği vakit yalnız zalimlere mahsus kalmayıp masumları da yakar.”

    Şu âyetin sırrı şudur ki: Bu dünya bir meydan-ı tecrübe ve imtihandır ve dâr-ı teklif ve mücahededir. İmtihan ve teklif iktiza ederler ki hakikatler perdeli kalıp tâ müsabaka ve mücahede ile Ebubekirler a’lâ-yı illiyyîne çıksınlar ve Ebucehiller esfel-i safilîne girsinler. Eğer masumlar böyle musibetlerde sağlam kalsaydılar Ebucehiller aynen Ebubekirler gibi teslim olup mücahede ile manevî terakki kapısı kapanacaktı ve sırr-ı teklif bozulacaktı.

    Madem mazlum, zalim ile beraber musibete düşmek, hikmet-i İlahîce lâzım geliyor. Acaba o bîçare mazlumların rahmet ve adaletten hisseleri nedir?

    Bu suale karşı cevaben denildi ki: O musibetteki gazap ve hiddet içinde onlara bir rahmet cilvesi var. Çünkü o masumların fâni malları, onların hakkında sadaka olup bâki bir mal hükmüne geçtiği gibi fâni hayatları dahi bir bâki hayatı kazandıracak derecede bir nevi şehadet hükmünde olarak, nisbeten az ve muvakkat bir meşakkat ve azaptan büyük ve daimî bir kazancı kazandıran bu zelzele, onlar hakkında ayn-ı gazap içinde bir rahmettir.

    Beşinci Sual: Âdil ve Rahîm, Kadîr ve Hakîm, neden hususi hatalara hususi ceza vermeyip koca bir unsuru musallat eder. Bu hal cemal-i rahmetine ve şümul-ü kudretine nasıl muvafık düşer?

    Elcevap: Kadîr-i Zülcelal, her bir unsura çok vazifeler vermiş ve her bir vazifede çok neticeler verdiriyor. Bir unsurun bir tek vazifesinde, bir tek neticesi çirkin ve şer ve musibet olsa da sair güzel neticeler, bu neticeyi de güzel hükmüne getirir. Eğer bu tek çirkin netice vücuda gelmemek için insana karşı hiddete gelmiş o unsur, o vazifeden men’edilse o vakit o güzel neticeler adedince hayırlar terk edilir. Ve lüzumlu bir hayrı yapmamak, şer olması haysiyetiyle; o hayırlar adedince şerler yapılır. Tâ bir tek şer gelmesin gibi gayet çirkin ve hilaf-ı hikmet ve hilaf-ı hakikat bir kusurdur. Kudret ve hikmet ve hakikat kusurdan münezzehtirler.

    Madem bir kısım hatalar, unsurları ve arzı hiddete getirecek derecede bir şümullü isyandır ve çok mahlukatın hukukuna bir tahkirli tecavüzdür. Elbette o cinayetin fevkalâde çirkinliğini göstermek için koca bir unsura, küllî vazifesi içinde “Onları terbiye et!” diye emir verilmesi ayn-ı hikmettir ve adalettir ve mazlumlara ayn-ı rahmettir.

    Altıncı Sual: Zelzele, küre-i arzın içinde inkılabat-ı madeniyenin neticesi olduğunu ehl-i gaflet işaa edip âdeta tesadüfî ve tabiî ve maksatsız bir hâdise nazarıyla bakarlar. Bu hâdisenin manevî esbabını ve neticelerini görmüyorlar tâ ki intibaha gelsinler. Bunların istinad ettiği maddenin bir hakikati var mıdır?

    Elcevap: Dalaletten başka hiçbir hakikati yoktur. Çünkü her sene elli milyondan ziyade münakkaş, muntazam gömlekleri giyen ve değiştiren küre-i arzın üstünde binler envaın bir tek nev’i olan, mesela, sinek taifesinden hadsiz efradından bir tek ferdin yüzer azasından bir tek uzvu olan kanadının kasd ve irade ve meşiet ve hikmet cilvesine mazhariyeti ve ona lâkayt kalmaması ve başıboş bırakmaması gösteriyor ki değil hadsiz zîşuurun beşiği ve anası ve mercii ve hâmisi olan koca küre-i arzın ehemmiyetli ef’al ve ahvali belki hiçbir şeyi –cüz’î olsun küllî olsun– irade ve ihtiyar ve kasd-ı İlahî haricinde olmaz.

    Fakat Kadîr-i Mutlak hikmetinin muktezasıyla zâhir esbabı tasarrufatına perde ediyor. Zelzeleyi irade ettiği vakit, bazen de bir madeni harekete emredip, ateşlendiriyor. Haydi madenî inkılabat dahi olsa yine emir ve hikmet-i İlahî ile olur, başka olamaz.

    Mesela, bir adam bir tüfek ile birisini vurdu. Vuran adama hiç bakılmasa yalnız fişekteki barutun ateş alması noktasına hasr-ı nazar edip bîçare maktûlün büsbütün hukukunu zayi etmek, ne derece belâhet ve divaneliktir.

    Aynen öyle de Kadîr-i Zülcelal’in musahhar bir memuru, belki bir gemisi, bir tayyaresi olan küre-i arzın içinde bulunan ve hikmet ve irade ile iddihar edilen bir bombayı, ehl-i gaflet ve tuğyanı uyandırmak için “Ateşlendir!” diye olan emr-i Rabbanîyi unutmak ve tabiata sapmak, hamakatin en eşneidir.

    Altıncı Sualin Tetimmesi ve Hâşiyesi: Ehl-i dalalet ve ilhad, mesleklerini muhafaza ve ehl-i imanın intibahlarına mukabele ve mümanaat etmek için o derece garib bir temerrüd ve acib bir hamakat gösteriyorlar ki insanı insaniyetten pişman eder.

    Mesela, bu âhirde beşerin bir derece umumiyet şeklini alan zulümlü, zulümatlı isyanından, kâinat ve anâsır-ı külliye kızdıklarından ve Hâlık-ı arz ve semavat dahi değil hususi bir rububiyet belki bütün kâinatın, bütün âlemlerin Rabb’i ve Hâkim’i haysiyetiyle, küllî ve geniş bir tecelli ile kâinatın heyet-i mecmuasında ve rububiyetin daire-i külliyesinde nev-i insanı uyandırmak ve dehşetli tuğyanından vazgeçirmek ve tanımak istemedikleri kâinat Sultanı’nı tanıttırmak için emsalsiz, kesilmeyen bir su, hava ve elektrikten; zelzeleyi, fırtınayı ve Harb-i Umumî gibi umumî ve dehşetli âfatı nev-i insanın yüzüne çarparak onunla hikmetini, kudretini, adaletini, kayyumiyetini, iradesini ve hâkimiyetini pek zâhir bir surette gösterdiği halde; insan suretinde bir kısım ahmak şeytanlar ise o küllî işarat-ı Rabbaniyeye ve terbiye-i İlahiyeye karşı eblehane bir temerrüd ile mukabele edip diyorlar ki: “Tabiattır, bir madenin patlamasıdır, tesadüfîdir. Güneşin harareti elektrikle çarpmasıdır ki Amerika’da beş saat bütün makineleri durdurmuş ve Kastamonu vilayeti cevvinde ve havasında semayı kızartmış, yangın suretini vermiş.” diye manasız hezeyanlar ediyorlar.

    Dalaletten gelen hadsiz bir cehalet ve zındıkadan neş’et eden çirkin bir temerrüd sebebiyle bilmiyorlar ki esbab yalnız birer bahanedirler, birer perdedirler. Dağ gibi bir çam ağacının cihazatını dokumak ve yetiştirmek için bir köy kadar yüz fabrika ve tezgâh yerine küçücük çekirdeği gösterir: “İşte bu ağaç bundan çıkmış.” diye Sâni’inin o çamdaki gösterdiği bin mu’cizatı inkâr eder misillü bazı zâhirî sebepleri irae eder. Hâlık’ın ihtiyar ve hikmet ile işlenen pek büyük bir fiil-i rububiyetini hiçe indirir.

    Bazen gayet derin ve bilinmez ve çok ehemmiyetli, bin cihette de hikmeti olan bir hakikate fennî bir nam takar. Güya o nam ile mahiyeti anlaşıldı, âdileşti, hikmetsiz, manasız kaldı. İşte gel! Belâhet ve hamakatin nihayetsiz derecelerine bak ki yüz sahife ile tarif edilse ve hikmetleri beyan edilse ancak tamamıyla bilinecek derin ve geniş bir hakikat-i meçhuleye bir nam takar, malûm bir şey gibi: “Bu budur.” der. Mesela “Güneşin bir maddesi, elektrikle çarpmasıdır.”

    Hem birer irade-i külliye ve birer ihtiyar-ı âmm ve birer hâkimiyet-i neviyenin unvanları bulunan ve “âdetullah” namıyla yâd edilen fıtrî kanunların birisine, hususi ve kasdî bir hâdise-i rububiyeti ircâ eder. O ircâ ile onun nisbetini irade-i ihtiyariyeden keser; sonra tutar tesadüfe, tabiata havale eder. Ebucehil’den ziyade muzaaf bir echeliyet gösterir. Bir neferin veya bir taburun zaferli harbini bir nizam ve kanun-u askeriyeye isnad edip kumandanından, padişahından, hükûmetinden ve kasdî harekâttan alâkasını keser misillü âsi bir divane olur.

    Hem meyvedar bir ağacın bir çekirdekten icadı gibi bir tırnak kadar bir odun parçasından çok mu’cizatlı bir usta, yüz okka muhtelif taamları, yüz arşın muhtelif kumaşları yapsa bir adam o odun parçasını gösterip dese: “Bu işler, tabiî ve tesadüfî olarak bundan olmuş.” o ustanın hârika sanatlarını, hünerlerini hiçe indirse ne derece bir hamakattir. Aynen öyle de…

    Yedinci Sual: Bu hâdise-i arziye, bu memleketin ahali-i İslâmiyesine bakması ve onları hedef etmesi ne ile anlaşılıyor ve neden Erzincan ve İzmir taraflarına daha ziyade ilişiyor?

    Elcevap: Bu hâdise hem şiddetli kışta hem karanlıklı gecede hem dehşetli soğukta hem ramazanın hürmetini tutmayan bu memlekete mahsus olması hem tahribatından intibaha gelmediklerinden, hafifçe gafilleri uyandırmak için o zelzelenin devam etmesi gibi çok emarelerin delâletiyle bu hâdise ehl-i imanı hedef edip, onlara bakıp namaza ve niyaza uyandırmak için sarsıyor ve kendisi de titriyor. Bîçare Erzincan gibi yerlerde daha ziyade sarsmasının iki vechi var:

    Biri: Hataları az olmak cihetiyle temizlemek için tacil edildi.

    İkincisi: O gibi yerlerde kuvvetli ve hakikatli iman muhafızları ve İslâmiyet hâmileri az veya tam mağlup olmak fırsatıyla, ehl-i zındıkanın orada tesirli bir merkez-i faaliyet tesisleri cihetiyle en evvel oraları tokatladı ihtimali var.

    لَا يَع۟لَمُ ال۟غَي۟بَ اِلَّا اللّٰهُ

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ


    1. *Sebuah perumpamaan yang tepat di mana ia diserupakan dengan para pengikut Maulawi yang berputar di sekitar dirinya (seperti rotasi bumi) dan di sekitar lingkaran zikir (seperti revolusi bumi) dengan khusyuk dan ingat kepada Tuhan. Maulawiyah me- rupakan tarekat sufi yang tersebar di Turki (Ihsan Qasim ash-Shalihi)—Peny.
    2. Hâşiye: Hem Rus gibi olanlar, mensuh ve tahrif edilmiş bir dini terk etmekle, hak ve ebedî ve kabil-i nesh olmayan bir dine ihanet etmek derecesinde gayretullaha dokunmadığından, zemin şimdilik onları bırakıp bunlara hiddet ediyor.