Üçüncü Lem'a/id: Revizyonlar arasındaki fark
("رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذ۟نَٓا اِن۟ نَسٖينَٓا اَو۟ اَخ۟طَا۟نَا" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) |
("Karena itu, kebahagiaan dan kewajiban manusia yang paling mendasar adalah terletak pada bagaimana ia menghadapkan wajah kepada Dzat Yang Mahakekal dengan segenap upaya, raga, dan seluruh potensi fitrahnya, seraya berjalan melangkah dalam naungan ridha-Nya, berpegang pada nama-nama-Nya, dan dengan seluruh latifah-nya yang berupa kalbu, roh, dan akal mengulang-ulang seperti yang dilakukan lisannya “Yâ Bâqî Anta al-Bâqî”:" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) |
||
63. satır: | 63. satır: | ||
Ketika manusia sangat mendambakan umur yang panjang dan merindukan keabadian, sementara ada sebuah sarana di hadapannya untuk mengubah umur yang fana menjadi umur yang kekal, makaselama sifat manusiawinya masih adaia pasti akan mencari sarana tersebut. Ia akan segera berusaha mengubah “harapan” itu menjadi sebuah kenyataan. Dan tentu segala upaya akan dikerahkan demi mencapai tujuan tersebut. | Ketika manusia sangat mendambakan umur yang panjang dan merindukan keabadian, sementara ada sebuah sarana di hadapannya untuk mengubah umur yang fana menjadi umur yang kekal, makaselama sifat manusiawinya masih adaia pasti akan mencari sarana tersebut. Ia akan segera berusaha mengubah “harapan” itu menjadi sebuah kenyataan. Dan tentu segala upaya akan dikerahkan demi mencapai tujuan tersebut. | ||
Karena itu, pergunakanlah sarana tersebut! Berbuatlah untuk Allah, bersualah demi Allah, serta berusahalah karena Allah. Jadikan semua gerakanmu dalam naungan ridha Allah (untuk Allah, demi Allah, dan karena Allah). Dari situ engkau akan menyaksikan bahwa menit demi menit dari umurmu yang singkat menjadi senilai tahunan. | |||
Hakikat ini ditunjukkan oleh Laylatul Qadar. Meskipun ia hanya satu malam, tetapi ia lebih baik daripada seribu bulan sesuai dengan bunyi ayat al-Qur’an.(*<ref>*QS. al-Qadr [97]: 3.</ref>)Artinya, ia senilai delapan puluh tahun lebih.Petunjuk lainnya adalah sebuah kaidah yang telah ditetap- kan oleh para wali dan ahli hakikat. Yaitu masalah “pembentangan waktu” yang ditunjukkan secara nyata oleh peristiwa Mi’raj Nabi. Dalam peristiwa tersebut, hitungan detik dibentangkan menjadi hitungan tahun. Hitungan jamnya menjadi begitu luas dan panjang seukuran ribuan tahun. | Hakikat ini ditunjukkan oleh Laylatul Qadar. Meskipun ia hanya satu malam, tetapi ia lebih baik daripada seribu bulan sesuai dengan bunyi ayat al-Qur’an.(*<ref>*QS. al-Qadr [97]: 3.</ref>)Artinya, ia senilai delapan puluh tahun lebih.Petunjuk lainnya adalah sebuah kaidah yang telah ditetap- kan oleh para wali dan ahli hakikat. Yaitu masalah “pembentangan waktu” yang ditunjukkan secara nyata oleh peristiwa Mi’raj Nabi. Dalam peristiwa tersebut, hitungan detik dibentangkan menjadi hitungan tahun. Hitungan jamnya menjadi begitu luas dan panjang seukuran ribuan tahun. | ||
83. satır: | 81. satır: | ||
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذ۟نَٓا اِن۟ نَسٖينَٓا اَو۟ اَخ۟طَا۟نَا | رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذ۟نَٓا اِن۟ نَسٖينَٓا اَو۟ اَخ۟طَا۟نَا | ||
------ | ------ | ||
<center> [[İkinci Lem'a]] ⇐ [[Lem'alar]] | ⇒ [[Dördüncü Lem'a]] </center> | <center> [[İkinci Lem'a/id|CAHAYA KEDUA]] ⇐ | [[Lem'alar/id|Al-Lama’ât]] | ⇒ [[Dördüncü Lem'a/id|CAHAYA KEEMPAT]] </center> | ||
------ | ------ | ||
11.58, 16 Aralık 2024 itibarı ile sayfanın şu anki hâli
[Pada cahaya ini, unsur emosi dan perasaan terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, kami berharap ia tidak diukur dengan standar ilmu logika. Sebab, luapan perasaan biasanya tidak memperhatikan kaidah berpikir dan standar rasio].
“Segala sesuatu hancur binasa kecuali Dzat-Nya. Segala ketetapan adalah milik-Nya. Dan kepada-Nya kalian dikembalikan.” (QS. al-Qashash [28]: 88). Ayat al-Qur’an di atas ditafsirkan oleh dua kalimat yang menjelaskan dua hakikat penting. Oleh sekelompok guru Tarekat Naqsya- bandiyah, kedua kalimat itu dijadikan sebagai esensi wirid mereka ketika mereka melakukan khataman tertentu. Kedua kalimat tersebut adalah:Wahai Yang Mahakekal, hanya Engkaulah yang Kekal. Wahai Yang Mahakekal, hanya Engkaulah yang Kekal.Karena kedua kalimat tersebut mencakup sejumlah makna yang dikandung ayat di atas, maka kami akan menyebutkan beberapa nuktah untuk menjelaskan dua hakikat yang menggambarkan keduanya.
Nuktah Pertama
Pengulangan kalimat Yâ Bâqî Anta al-Bâqî pada bagian yang pertama adalah untuk mengosongkan kalbu dari segala sesuatu selain Allah . Dalam hal ini, ia menyerupai sebuah operasi pembedahan dengan memutuskan kalbu dari segala hal selain Allah. Jelasnya adalah sebagai berikut:
Dengan substansi universal yang dianugerahkan Allah, manusia memiliki beraneka macam ikatan dengan sebagian besar entitas. Dalam substansi tersebut terdapat potensi cinta tak terbatas yang bisa membuat manusia memiliki kecintaan yang mendalam terhadap en- titas pada umumnya. Ia mencintai dunia yang besar ini sebagaimana ia mencintai rumahnya. Ia juga mencintai surga yang kekal sebagaimana ia mencintai tamannya. Sementara seluruh entitas yang dicintai manusia itu tidaklah langgeng. Semuanya akan pudar dan lenyap. Karena itu, manusia senantiasa merasa tersiksa akibat pedih- nya perpisahan. Dari sinilah kecintaan yang amat sangat itu menjadi faktor utama yang membuat batinnya begitu tersiksa. Sebab, ia telah ceroboh dalam menempatkan rasa cintanya itu. Berbagai derita yang dialaminya bersumber dari kecerobohannya sendiri.
Padahal, Allah sengaja membekali manusia dengan perasaan cinta di atas untuk diarahkan kepada Pemilik keindahan yang benar-benar abadi (Allah). Namun, manusia justru mengarahkan cintanya pada entitas yang fana. Akhirnya, ia pun merasakan berbagai penderitaan akibat pedihnya perpisahan.
Ketika seseorang mengulang-ulang Yâ Bâqî Anta al-Bâqî, maksudnya adalah ia membebaskan diri dari kecerobohan di atas, memutuskan ikatan cinta terhadap sesuatu yang bersifat fana, dan melepaskan semua yang ia cintai sebelum semua yang dicintainya itu melepaskannya. Selanjutnya, ia memusatkan perhatian hanya kepada Kekasih yang kekal abadi, yaitu Allah .
Makna dari ucapan tersebut adalah, “Tidak ada yang benar-benar kekal, kecuali Engkau, wahai Tuhanku. Segala sesuatu selain-Mu bersifat fana dan akan lenyap. Sementara sesuatu yang bersifat fana tidak layak dengan cinta yang kekal dan rasa rindu yang abadi, serta tidak pantas diikatkan secara kuat kepada kalbu yang pada dasarnya telah dicipta untuk kekal abadi.” Karena semua entitas yang ada bersifat fana dan akan pergi meninggalkanku, maka aku akan meninggalkannya sebelum ia meninggalkanku dengan mengucap secara berulang-ulang, “Yâ Bâqî Anta al-Bâqî.” Artinya, aku yakin dan percaya bahwa tidak ada yang kekal, kecuali Engkau, wahai Tuhanku. Kekalnya entitas bergantung pada bagaimana Engkau membuatnya kekal. Jadi, ia hanya boleh dicintai lewat cahaya cintaMu dan dalam naungan ridha-Mu. Jika tidak demikian, ia tidak layak menjadi pautan hati.
Kondisi di atas akan membuat kalbu melepaskan segala sesuatu yang tadinya sangat ia cintai. Sebab, ia menyaksikan stempel kefanaan pada segala sesuatu yang terlihat indah dan memposona. Ketika itulah, ikatan yang tadinya mengikat kalbu dengan segala entitas akan terputus. Namun jika kalbu tidak melepaskan segala sesuatu yang dicintai, maka berbagai luka, derita, dan penyesalan akan memancar dari kedalaman kalbu sesuai dengan kadar entitas fana yang dicintainya.
Lalu kalimat kedua yang berbunyi sama, Yâ Bâqî Anta al-Bâqî, berposisi sebagai salep penyembuh dan balsam ampuh yang dioleskan pada operasi bedah yang dilakukan kalimat pertama terhadap kalbu beserta segala ikatannya. Makna dari kalimat kedua tersebut adalah, “Cukuplah Engkau wahai Tuhanku sebagai Dzat Yang Ma- hakekal. Kekekalan-Mu menggantikan segala sesuatu. Karena Engkau ada, segala sesuatu pun menjadi ada.” Segala sesuatu yang terlihat indah, baik, dan sempurna—sehingga dicintai oleh manusiatidak lain merupakan petunjuk akan keindahan, kebaikan, dan kesempurnaan Dzat Yang Mahakekal. Ia tidak lain adalah bayangan suram dari keindahan, kebaikan, dan kesempurnaan tersebut yang tembus dari balik tirai yang tebal. Bah- kan, ia adalah bayangan dari bayangan manifestasi nama-nama Allah yang mulia.
Nuktah Kedua
Dalam fitrah manusia ada hasrat yang sangat kuat terhadap keabadian. Sampai-sampai ia mengangan-angankan sifat keabadian pada semua yang ia cintai. Bahkan, ia hanya mau mencintai sesuatu yang disangkanya abadi. Akan tetapi, ketika ia menyadari bahwa apa yang dicintainya hanya bersifat sementara atau ia menyaksikan bahwa apa yang dicintainya itu musnah, ia akan segera mengalami kesedihan yang mendalam. Ya, semua ratapan yang muncul akibat adanya perpisahan merupakan ungkapan kesedihan yang lahir dari adanya hasrat terhadap keabadian. Seandainya manusia tidak mengangan-angankan adanya keabadian, ia tidak akan mencintai sesuatu.
Bahkan bisa dikatakan bahwa yang menjadi salah satu sebab adanya alam keabadian dan surga yang kekal adalah karena hasrat yang sangat kuat terhadap keabadian yang tertanam pada fitrah manusia, serta karena doanya yang umum dan menyeluruh untuk bisa kekal. Maka, Allah Yang Mahakekal mengabulkan hasrat dan doa tersebut. Allah pun menciptakan bagi manusia yang fana sebuah alam yang kekal dan abadi.
Sang Pencipta Yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih mengabulkan doa perut, yang berukuran kecil, yang dipanjatkan lewat lisânul hâl (keadaan) dengan menciptakan untuknya beragam makanan lezat yang tak terhingga. Maka, mungkinkah Dia tidak mengabulkan doa yang dipanjatkan oleh seluruh umat manusia lewat ucapan dan lisânul hâl, secara terus-menerus, bersifat menyeluruh, dan tulus yang bersumber dari kebutuhan fitrinya? Hal itu sama sekali tidak mungkin bagi Allah. Karena itu, sangat mustahil Allah mengabaikan doa manusia. Sebab, sikap mengabaikan doa tidak sesuai dengan ke- bijaksanaan, keadilan, rahmat, dan kemahakuasaan-Nya.
Selama manusia sangat mendambakan keabadian, pastilah semua kesempurnaan dan perasaannya bergantung pada keabadian itu. Selama kekekalan tersebut menjadi sifat istimewa Dzat Yang Ma- hakekal Pemilik Keagungan, seluruh nama-Nya yang mulia bersifat kekal, dan semua cermin yang memantulkan manifestasi nama-nama tersebut diwarnai keabadian dan mengambil hukumnya—maksud- nya, semua nama tersebut juga memperoleh sejenis keabadian—maka tentu yang paling utama untuk dilakukan manusia serta tugasnya paling agung adalah menguatkan ikatan dan hubungan dengan Dzat Yang Mahakekal dan Agung, serta berpegang teguh pada nama-nama-Nya yang mulia.
Sebab, apa yang dikorbankan di jalan Dzat Yang Mahakekal, akan memperoleh sejenis sifat kekal. Hakikat ini dijelaskan oleh kalimat yang kedua, Yâ Bâqî Anta al-Bâqî. Ia tidak hanya menyembuhkan luka maknawi manusia yang tak terhingga, tetapi juga memenuhi hasratnya yang kuat untuk bisa kekal seperti yang tertanam dalam fitrahnya.
Nuktah Ketiga
Dalam kehidupan dunia ini, pengaroh waktu terhadap mus- nahnya segala sesuatu berbeda-beda. Walaupun semua entitas, antara yang satu dengan lainnya, saling mengitari seperti lingkaran yang saling bersambung, namun dilihat dari kemusnahannya ada perbedaan yang sangat mencolok.Sebagaimana pergerakan jarum jam yang menunjukkan detik, menit, dan jam berbeda kecepatan meskipun bentuk lahiriahnya sama, demikian pula dengan kondisi manusia.
Pengaruh waktu terhadap kondisi jasmani, jiwa, kalbu, dan roh manusia berbeda-beda. Anda menyaksikan bahwa kehidupan, keabadian, dan keberadaan wujud jasmani hanya terbatas pada hari atau pada saat ia hidup. Ia terputus dari masa lalu dan masa depan. Lalu Anda menyaksikan bahwa kehidupan dan domain keberadaan kalbu membentang luas hingga mencakup beberapa hari sebelum dan sesudahnya. Bahkan, kehidupan dan domain roh jauh lebih besar dan jauh lebih luas. Ia mencakup beberapa tahun sebelumnya dan sesudahnya.
Demikianlah. Atas dasar itu, sesungguhnya di samping umur manusia yang fana terdapat umur lain yang bersifat kekal ditinjau dari sisi kehidupan kalbu dan rohaninya. Keduanya akan terus hidup lewat makrifat ilahi, cinta rabbani, ubudiyah subhâni, serta keridhaan rahmâni. Bahkan, umur kekal ini akan mengantarkan kepada alam yang abadi sehingga umur yang fana tadi akan berposisi seperti umur yang kekal abadi.
Ya, satu detik yang dihabiskan manusia di jalan Dzat Yang Mahakekal, demi meraih cinta-Nya, menggapai makrifat-Nya, dan dalam rangka mencari ridha-Nya, akan terhitung satu tahun penuh. Bahkan, ia akan kekal selamanya. Sementara, usia satu tahun yang tidak dipergunakan di jalan-Nya, terhitung satu detik. Maka, betapapun panjangnya umur orang-orang yang lalai, ia hanya terhitung sekejap; tidak lebih dari satu detik.
Ada sebuah ungkapan terkenal yang menjelaskan hakikat tersebut, yaitu:
“Sekejap berpisah seolah-olah satu tahun. Sementara, satu tahun bersua seolah-olah sekejap.” Maksudnya, berpisah satu detik saja terasa sangat lama sehingga seolah-olah satu tahun. Sedangkan bersua selama satu tahun terasa sangat singkat seolah-olah hanya satu detik.Hanya saja, aku mempunyai pandangan yang berbeda dengan ungkapan di atas. Menurutku, satu detik yang dipergunakan manusia dalam sesuatu yang diridhai Allah , serta di jalan Dzat Yang Mahakekal Pemilik keagungan—yakni satu detik perjumpaantidak hanya seperti satu tahun. Tetapi ia seperti sebuah jendela yang mengarah kepada kehidupan yang kekal abadi. Adapun perpisahan yang bersumber dari kelalaian dan kesesatan, tidak hanya membuat waktu satu tahun menjadi seperti satu detik. Bahkan, ribuan tahun pun menjadi seperti satu detik.Ada lagi pepatah yang lebih terkenal daripada sebelumnya yang memperkuat penjelasan di atas, yaitu:
“Tanah lapang jika bersama musuh seolah seluas cangkir. Sementara, lubang jarum jika bersama kekasih seolah seperti lapangan.”
Jika kita ingin menjelaskan sisi kebenaran dari pepatah di atas, berikut penjelasannya: Perjumpaan segala entitas fana sangatlah singkat, sebab ia bersifat fana. Betapapun lamanya, ia hanya berlangsung sekilas lalu berubah menjadi kenangan yang menyedihkan dan mimpi yang menyebabkan duka. Kalbu manusia yang mendambakan keabadian hanya menikmati kelezatan yang hanya seukuran satu detik saja dalam satu tahun perjumpaan dengan entitas tersebut. Sementara, saat perpisahan dengannya terasa sangat panjang dan luas. Satu detik saja mencakup berbagai macam perpisahan selama satu tahun, bahkan selama bertahun-tahun. Kalbu yang merindukan keabadian akan merasa sakit ketika berpisah satu detik saja, seolah-olah ia diterpa oleh berbagai derita akibat perpisahan selama bertahun-tahun. Sebab, perpisahan tersebut mengingatkannya pada aneka macam perpisahan yang tak terhitung banyaknya. Demikianlah, masa lalu dan masa depan dari semua bentuk kecintaan terhadap materi penuh dengan aneka macam perpisahan.
Terkait dengan hal itu, kami ingin bertanya, “Wahai manusia, apakah engkau ingin mengubah umurmu yang singkat menjadi umur yang kekal, panjang, bermanfaat, dan menghasilkan keuntungan?”Jika jawabannya “ya”, dan itu memang sesuai dengan fitrah manusia, Maka pergunakanlah umurmu di jalan Allah Yang Mahakekal. Sebab, apa saja yang mengarah pada Dzat Yang Mahakekal akan memperoleh bagian dari manifestasi-Nya yang kekal.
Ketika manusia sangat mendambakan umur yang panjang dan merindukan keabadian, sementara ada sebuah sarana di hadapannya untuk mengubah umur yang fana menjadi umur yang kekal, makaselama sifat manusiawinya masih adaia pasti akan mencari sarana tersebut. Ia akan segera berusaha mengubah “harapan” itu menjadi sebuah kenyataan. Dan tentu segala upaya akan dikerahkan demi mencapai tujuan tersebut.
Karena itu, pergunakanlah sarana tersebut! Berbuatlah untuk Allah, bersualah demi Allah, serta berusahalah karena Allah. Jadikan semua gerakanmu dalam naungan ridha Allah (untuk Allah, demi Allah, dan karena Allah). Dari situ engkau akan menyaksikan bahwa menit demi menit dari umurmu yang singkat menjadi senilai tahunan.
Hakikat ini ditunjukkan oleh Laylatul Qadar. Meskipun ia hanya satu malam, tetapi ia lebih baik daripada seribu bulan sesuai dengan bunyi ayat al-Qur’an.(*[1])Artinya, ia senilai delapan puluh tahun lebih.Petunjuk lainnya adalah sebuah kaidah yang telah ditetap- kan oleh para wali dan ahli hakikat. Yaitu masalah “pembentangan waktu” yang ditunjukkan secara nyata oleh peristiwa Mi’raj Nabi. Dalam peristiwa tersebut, hitungan detik dibentangkan menjadi hitungan tahun. Hitungan jamnya menjadi begitu luas dan panjang seukuran ribuan tahun.
Sebab, dengan peristiwa Mi’raj tersebut, Nabi memasuki alam baka (keabadian). Beberapa menit dari alam kea- badian senilai ribuan tahun ukuran dunia. Adanya “pembentangan waktu” tersebut juga diperkuat oleh berbagai peristiwa yang pernah dialami oleh para wali yang saleh. Ada di antara mereka yang melakukan amal-amal perbuatan satu hari hanya dalam satu detik. Ada lagi yang menyelesaikan tugas dan kewajiban satu tahun hanya dalam satu jam. Serta ada pula di antara mereka yang mengkhatamkan al-Qur’an hanya dalam satu menit.Demikianlah, berbagai riwayat di atas dan yang sejenisnya, tidak diragukan lagi adanya. Sebab, para penyampai riwayat tersebut adalah orang-orang yang jujur dan saleh. Mereka tidak memiliki sifat bohong. Apalagi peristiwanya sudah mutawatir dan seringkali terjadi. Mereka menyampaikan riwayat tersebut seolah-olah menyaksikannya secara langsung. Jadi, ia tidak bisa diragukan.
Pem- bentangan waktu tersebut merupakan sebuah kenyataan yang tak terbantahkan.(*[2])Pembentangan waktu dapat terlihat pada mimpi yang dibenarkan oleh semua orang. Bisa jadi seseorang bermimpi tidak sampai satu menit, namun ia dapat mengalami berbagai kondisi, bisa berbincang-bincang, merasakan aneka kenikmatan, serta merasakan siksa, yang dalam waktu sadar membutuhkan waktu satu hari, atau bahkan membutuhkan waktu berhari-hari.
Sebagai kesimpulan: Meskipun manusia merupakan makhluk yang fana, namun ia tercipta untuk kekal abadi. Allah, Sang Pencipta Yang Mahamulia, menciptakan manusia laksana cermin yang memantulkan manifestasi-Nya yang kekal. Allah juga membebaninya dengan berbagai kewajiban yang membuahkan hasil yang kekal, serta memberinya bentuk yang paling baik agar bisa menjadi tempat terukirnya berbagai manifestasi Asmaul Husna yang kekal.
Karena itu, kebahagiaan dan kewajiban manusia yang paling mendasar adalah terletak pada bagaimana ia menghadapkan wajah kepada Dzat Yang Mahakekal dengan segenap upaya, raga, dan seluruh potensi fitrahnya, seraya berjalan melangkah dalam naungan ridha-Nya, berpegang pada nama-nama-Nya, dan dengan seluruh latifah-nya yang berupa kalbu, roh, dan akal mengulang-ulang seperti yang dilakukan lisannya “Yâ Bâqî Anta al-Bâqî”:Dialah Yang Maha Kekal. Dialah Yang Azali dan Abadi. Dialah Yang Tak pernah berakhir. Dialah Yang Maha Permanen. Dialah Yang Maha Diminta. Dialah Yang Maha Dicinta. Dialah Yang Maha Dituju. Serta Dialah Yang Maha Disembah.
سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذ۟نَٓا اِن۟ نَسٖينَٓا اَو۟ اَخ۟طَا۟نَا
- ↑ *QS. al-Qadr [97]: 3.
- ↑ *Allah berfirman:“Salah seorang dari mereka bertanya, ‘Sudah berapa lama kamu berada di sini?’ mereka menjawab: ‘Kita berada (disini) sehari atau setengah hari’.” (QS. al-Kahfi [18]: 19).“Mereka tinggal dalam gua selama tiga ratus tahun ditambah sembilan tahun lagi.” (QS. al-Kahfi [18]: 25).Dua ayat di atas menunjukkan adanya “pelipatan waktu” sebagaimana ayat berikut ini menunjukkan adanya “pembentangan waktu”.“Sesungguhnya satu hari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS. al-Hajj [22]: 47)Penulis.