On Dokuzuncu Lem'a/id: Revizyonlar arasındaki fark
("Pertama, rezeki hakiki yang menjadi ketergantungan hidup seseorang. Rezeki tersebut dijamin oleh Allah sesuai dengan bunyi ayat di atas. Setiap orang bisa memperoleh rezeki tersebut jika ikhtiar buruk manusia tidak ikut campur, tidak sampai mengorbankan agamanya, serta tidak menggadaikan kehormatan dan harga dirinya." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) |
("Kedua, rezeki majasi. Orang yang menyalahgunakan reze- ki jenis ini akan terbelenggu oleh kebutuhan yang tidak penting di mana kemudian berubah menjadi kebutuhan pokok baginya akibat penyakit taklid (sikap meniru orang lain). Karena rezeki ini berada di luar jaminan Tuhan, maka biaya untuk memperolehnya sangat mahal, khususnya di zaman sekarang ini. Harta tersebut seringkali diperoleh dengan cara menggadaikan kehormatan. Bahkan meskipun dengan mencium ka..." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) |
||
70. satır: | 70. satır: | ||
Pertama, rezeki hakiki yang menjadi ketergantungan hidup seseorang. Rezeki tersebut dijamin oleh Allah sesuai dengan bunyi ayat di atas. Setiap orang bisa memperoleh rezeki tersebut jika ikhtiar buruk manusia tidak ikut campur, tidak sampai mengorbankan agamanya, serta tidak menggadaikan kehormatan dan harga dirinya. | Pertama, rezeki hakiki yang menjadi ketergantungan hidup seseorang. Rezeki tersebut dijamin oleh Allah sesuai dengan bunyi ayat di atas. Setiap orang bisa memperoleh rezeki tersebut jika ikhtiar buruk manusia tidak ikut campur, tidak sampai mengorbankan agamanya, serta tidak menggadaikan kehormatan dan harga dirinya. | ||
Kedua, rezeki majasi. Orang yang menyalahgunakan reze- ki jenis ini akan terbelenggu oleh kebutuhan yang tidak penting di mana kemudian berubah menjadi kebutuhan pokok baginya akibat penyakit taklid (sikap meniru orang lain). Karena rezeki ini berada di luar jaminan Tuhan, maka biaya untuk memperolehnya sangat mahal, khususnya di zaman sekarang ini. Harta tersebut seringkali diperoleh dengan cara menggadaikan kehormatan. Bahkan meskipun dengan mencium kaki orang. Lebih dari itu, kadangkala harta yang buruk dan tidak berkah tersebut harus dibayar dengan mengorbankan ke- sucian agama, padahal ia merupakan cahaya kehidupan yang abadi. | |||
<div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr"> | <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr"> |
19.55, 23 Aralık 2024 tarihindeki hâli
(Hidup Hemat)
Risalah ini menganjurkan agar hidup hemat dan qana’ah, sekaligus memperingatkan akan bahaya hidup berlebihan dan boros.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ
“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan.” (QS. al-A’râf [7]: 31).
Ayat al-Qur’an di atas memberikan sebuah pelajaran yang sangat penting dan petunjuk yang sangat bijak, dalam bentuk perintah, untuk hidup hemat, sekaligus secara tegas melarang hidup berlebih- an. Bagian ini berisi tujuh nuktah.
Nuktah Pertama
Allah Sang Pencipta Yang Maha Pengasih meminta manusia untuk bersyukur atas berbagai karunia yang diberikan kepadanya. Hidup boros dan berlebihan merupakan sikap yang berlawanan dengan rasa syukur serta merupakan sikap yang meremehkan nikmat tadi. Sementara hidup hemat adalah wujud penghormatan atasnya.
Ya, hidup hemat adalah wujud rasa syukur yang bersifat maknawi. Ia merupakan bentuk penghormatan terhadap rahmat Ilahi yang tersimpan dalam karunia dan kebaikan-Nya. Ia juga merupakan penyebab keberkahan yang bersifat pasti, sumber kesehatan jasmani layaknya diet, sarana kehormatan yang menyelamatkan manusia dari kehinaan meminta-minta, sarana utama agar kita bisa merasakan kelezatan yang terdapat dalam berbagai nikmat, serta menjadi perantara agar kita bisa mencicipi segala kenikmatan yang tersembunyi dalam karunia yang tampaknya tidak nikmat. Karena hidup boros dan berlebihan berlawanan dengan hikmahhikmah di atas, maka ia memberikan dampak-dampak yang buruk.
Nuktah Kedua
Sang Pencipta Yang Mahabijak menciptakan fisik manusia tak ubahnya seperti istana yang mempunyai struktur bangunan sempurna serta seperti sebuah kota yang tertata rapi. Dia menjadikan daya rasa yang terdapat di mulutnya layaknya penjaga, memosisikan syaraf-syaraf layaknya kabel telepon atau telegrap (alat tersebut menjadi sarana komunikasi yang peka antara daya rasa dan perut yang terdapat di pusat tubuh manusia). Sementara itu, daya rasa bertugas menyampaikan bahan-bahan yang masuk ke mulut sekaligus menghalangi masuknya barang berbahaya yang tidak dibutuhkan oleh tubuh. Seolah-olah ia berkata, “Dilarang masuk!”, dan mengusir makanan tersebut. Bahkan ia segera membuang dan mengeluarkan segala yang tidak bermanfaat dan berbahaya bagi tubuh.
Karena daya rasa yang terdapat di mulut berposisi sebagai penjaga, sementara perut ibarat pemimpin yang menguasai tubuh, maka ketika sang pemimpin istana itu diberi hadiah sebesar nilai seratus, hanya lima persen saja yang boleh diberikan kepada penjaga sebagai tip, tidak lebih. Hal itu agar si penjaga tadi tidak sombong, tidak lalai atas tugasnya, serta tidak memasukkan ke dalam istana itu benda berbahaya yang telah menyuapnya dengan tip yang lebih besar.
Berdasarkan hal tersebut, misalkan di hadapan kita ada dua potong makanan. Yang satu adalah makanan bergizi berupa keju dan telur, misalnya, yang harganya sepuluh ribu rupiah, sementara yang satunya lagi berupa kue mahal yang harganya seratus ribu rupiah. Sebelum masuk ke mulut, kedua potong makanan tersebut tidak ada perbedaan bagi tubuh. Juga, setelah masuk ke mulut dan turun ke perut, keduanya sama-sama baik untuk pertumbuhan. Bahkan, bisa jadi keju yang seharga sepuluh ribu rupiah lebih bergizi dan lebih baik bagi pertumbuhan badan. Jadi, tidak ada perbedaan antara keduanya kecuali kenikmatan yang diberikan kepada daya rasa selama kurang dari setengah menit. Kalau begitu, betapa boros dan betapa bodoh- nya kalau kita memilih untuk mengeluarkan uang senilai seratus ribu rupiah ketimbang sepuluh ribu rupiah demi kenikmatan yang hanya berlangsung selama setengah menit. Demikianlah, ketika si penjaga tadi diberi hadiah sebesar sembilan kali lipat dari apa yang diberikan kepada penguasa istana, hal itu tentu akan membuatnya lupa diri dan selanjutnya berkata, “Akulah yang berkuasa.” Siapa yang memberinya tip lebih besar dan kenikmatan lebih banyak, ia akan segera dibawa masuk sehingga merusak tatanan yang ada di dalamnya. Lalu ia akan menyalakan api yang siap membakar dan membuat si pemiliknya meminta tolong dengan berkata, “Tolong segera bawa aku ke dokter agar suhu badanku menurun.”
Jadi, hidup hemat dan qana’ah adalah dua hal yang sangat sejalan dengan hikmah ilahi. Keduanya menempatkan daya rasa di atas laksana penjaga, memosisikannya secara wajar, serta memberi upah kepadanya sesuai dengan tugas yang ada. Adapun hidup boros dan berlebihan bertentangan dengan hikmah Ilahi. Karena itu, orang yang boros akan cepat mendapat penyakit. Sebab, perut akan berisi dengan berbagai campuran berbahaya yang bisa menghilangkan selera makan hakiki. Ia pun makan dengan selera palsu yang muncul melalui berbagai jenis makanan yang menyebabkan kesulitan pencernaan.
Nuktah Ketiga
Pada nuktah kedua di atas kami telah mengatakan bahwa daya rasa bertugas sebagai penjaga. Ya, demikianlah kondisinya bagi mereka yang lalai yang belum mencapai jenjang spiritual yang tinggi serta bagi mereka yang belum sampai ke tangga syukur.
Seharusnya tidak boleh hidup boros seperti dengan mengeluarkan sepuluh kali lipat dari harga yang wajar hanya demi menuruti selera daya rasa tersebut. Namun bagi mereka yang benar-benar bisa bersyukur serta bagi para ahli hakikat dan orang-orang yang mempunyai ketajaman mata batin, daya rasa tadi laksana pengawas, pemeriksa, dan pengontrol perbendaharaan rahmat ilahi sebagaimana dijelaskan pada perumpamaan yang ada pada “Kalimat Keenam”. Proses penilaian dan pengenalan terhadap berbagai nikmat Tuhan secara detil yang dilakukan oleh daya rasa tadi bertujuan untuk memberitahukan kepada tubuh dan perut dalam bentuk syukur maknawi.Karena itu, tugas daya rasa tidak sekadar melindungi tubuh secara fisik, tetapi lebih dari itu ia juga bertugas melindungi dan memelihara kalbu, jiwa, dan akal.
Perlu diketahui bahwa daya rasa tersebut boleh mendapatkan kenikmatan dengan syarat tidak berlebihan, semata-mata melaksanakan tugas syukur, dengan niat mengenali berbagai macam nikmat Tuhan, serta dengan syarat halal dan tidak menjadi wasilah untuk mengemis. Dengan kata lain, kita bisa mem- pergunakan lisan yang memiliki daya rasa ini untuk bersyukur kare- na ia bisa memilah-milah di antara berbagai makanan yang nikmat dan lezat.
Terkait dengan hal tersebut, kami akan mengetengahkan sebuah kejadian menarik di seputar karamah syekh Abdul Qadir al-Jailani.Kejadiannya sebagai berikut: Seorang wanita tua memiliki anak satu-satunya yang diasuh oleh syekh Abdul Qadir al-Jailani. Pada suatu hari, wanita tersebut pergi menemui anaknya. Ia melihat anaknya sedang memakan sepotong roti kering berwarna coklat dalam rangka melakukan latihan spiritual (riyâdhah rûhiyah) sehingga badannya lemah dan kurus. Kondisi tersebut tentu saja menggugah hati sang ibu. Ia sangat kasihan dengan keadaan anaknya. Ia pun segera pergi mengadukan hal itu kepada syekh Abdul Qadir al-Jailani. Ketika sampai, ia melihat Sang sedang memakan seekor ayam panggang.
Karena rasa kasihan yang amat sangat, dengan terus terang ia berkata kepada sang syekh, “Wahai syekh, anakku hampir mati kelaparan sedangkan engkau dengan enaknya makan ayam?!”
Seketika itu pula syekh Abdul Qadir al-Jailani berkata kepada ayam yang ada di hadapannya, “Bangkitlah dengan izin Allah!” Ayam itu pun bangkit melompat keluar dari tempatnya setelah hidup kembali. Berita ini diriwayatkan secara mutawatir maknawi oleh orang-orang yang bisa dipercaya(*[1])untuk memperlihatkan salah satu karamah yang dimiliki oleh pemilik karamah terkenal di dunia, syekh Abdul Qadir al-Jailani .
Di antara yang dikatakan oleh syekh Abdul Qadir al-Jailani ketika itu adalah, “Kalau anakmu sudah sampai ke jenjang ini, barulah ia boleh makan ayam.”
Maksud dari ungkapan tersebut adalah, “Jika jiwa anakmu sudah bisa menguasai jasadnya, jika kalbunya sudah bisa mendomi- nasi nafsunya, jika akalnya bisa mengalahkan perutnya, serta ia bisa merasakan kenikmatan tersebut dalam rangka bersyukur, ketika itu ia boleh memakan makanan yang enak dan lezat.”
Nuktah Keempat
Orang yang hemat tidak akan ditimpa oleh kemiskinan dan kelaparan sebagaimana hal itu disebutkan oleh hadis Nabi :“Orang yang hidup hemat tidak akan miskin”.(*[2])Ya, ada berbagai bukti nyata yang menunjukkan bahwa hidup hemat menjadi sebab diturunkannya keberkahan dan sebagai asas kehidupan yang lebih baik.
Di antaranya adalah pengalamanku sendiri serta pengakuan orang-orang yang telah membantu dan menemaniku dalam menjalankan tugasku. Kadangkala aku dan beberapa teman mendapatkan sepuluh kali lipat keberkahan karena sikap hemat tadi. Bahkan sembilan tahun yang lalu,90 ketika beberapa pimpinan suku yang diasingkan bersamaku ke Burdur memaksaku untuk menerima zakat harta mereka dengan tujuan agar aku tidak jatuh miskin kare- na uangku yang sedikit, kukatakan kepada para pimpinan yang kaya raya itu, “Meskipun uangku sangat sedikit, namun aku bisa hidup hemat. Aku terbiasa merasa cukup sehingga aku tidak membutuhkan bantuan kalian.” Akhirnya, kutolak tawaran mereka yang beru- lang-ulang tersebut. Dan patut untuk diperhatikan, ternyata sebagian besar orang-orang yang telah menawarkan zakat mereka kepadaku itu dua tahun kemudian dililit utang karena tidak mau bersikap hemat. Sebaliknya, berkat sikap hemat, uangku yang sedikit tadi alham- dulillah masih cukup hingga tujuh tahun berikutnya. Aku tidak perlu menjatuhkan harga diriku, tidak sampai meminta bantuan orang, dan masih tetap bisa berpegang pada prinsip hidupku, yaitu al-istigh- nâ (tidak bergantung kepada orang lain). besar orang-orang yang telah menawarkan zakat mereka kepadaku itu dua tahun kemudian dililit utang karena tidak mau bersikap hemat. Sebaliknya, berkat sikap hemat, uangku yang sedikit tadi alham- dulillah masih cukup hingga tujuh tahun berikutnya. Aku tidak perlu menjatuhkan harga diriku, tidak sampai meminta bantuan orang, dan masih tetap bisa berpegang pada prinsip hidupku, yaitu al-istighnâ (tidak bergantung kepada orang lain).
Ya, orang yang tidak bersikap hemat akan jatuh pada kehinaan serta akan tergelincir ke dalam jurang kerendahan. Harta yang dipergunakan untuk hidup berlebihan pada zaman kita sekarang ini merupakan harta yang mahal dan sangat berharga. Sebab, kadangkala ia harus dibayar dengan kehormatan dan harga diri. Bahkan seringkali kesucian agama dipertaruhkan hanya untuk mendapatkan uang yang sial. Dengan kata lain, seseorang berusaha mendapat beberapa rupiah lewat cara menggadaikan ratusan juta harta maknawinya.
Padahal kalau manusia mau membatasi diri pada kebutuhan pokoknya dan hanya berkonsentrasi padanya, ia akan mendapatkan rezeki yang akan menjamin kelangsungan hidupnya dari tempat yang tak disangka-sangka sesuai dengan kandungan firman Allah:“Sesungguhnya Allahlah Yang Maha Memberi rezeki dan memiliki kekuatan yang kokoh.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 58). Bahkan secara tegas dan pasti ayat berikut memberikan jaminan tersebut:“Tiada satu pun binatang melata di bumi ini kecuali atas Allahl- ah rezekinya.” (QS. Hud [11]: 6).
Ya, rezeki terbagi dua:
Pertama, rezeki hakiki yang menjadi ketergantungan hidup seseorang. Rezeki tersebut dijamin oleh Allah sesuai dengan bunyi ayat di atas. Setiap orang bisa memperoleh rezeki tersebut jika ikhtiar buruk manusia tidak ikut campur, tidak sampai mengorbankan agamanya, serta tidak menggadaikan kehormatan dan harga dirinya.
Kedua, rezeki majasi. Orang yang menyalahgunakan reze- ki jenis ini akan terbelenggu oleh kebutuhan yang tidak penting di mana kemudian berubah menjadi kebutuhan pokok baginya akibat penyakit taklid (sikap meniru orang lain). Karena rezeki ini berada di luar jaminan Tuhan, maka biaya untuk memperolehnya sangat mahal, khususnya di zaman sekarang ini. Harta tersebut seringkali diperoleh dengan cara menggadaikan kehormatan. Bahkan meskipun dengan mencium kaki orang. Lebih dari itu, kadangkala harta yang buruk dan tidak berkah tersebut harus dibayar dengan mengorbankan ke- sucian agama, padahal ia merupakan cahaya kehidupan yang abadi.
Hem bu fakr u zaruret zamanında, aç ve muhtaç olanların elemlerinden ehl-i vicdana rikkat-i cinsiye vasıtasıyla gelen teellüm; o gayr-ı meşru bir surette kazandığı para ile aldığı lezzeti, vicdanı varsa acılaştırıyor.
Böyle acib bir zamanda, şüpheli mallarda, zaruret derecesinde iktifa etmek lâzımdır. Çünkü اِنَّ الضَّرُورَةَ تُقَدَّرُ بِقَد۟رِهَا sırrıyla: Haram maldan mecburiyetle zaruret derecesini alabilir, fazlasını alamaz. Evet muztar adam, murdar etten tok oluncaya kadar yiyemez. Belki ölmeyecek kadar yiyebilir. Hem yüz aç adamın huzurunda, kemal-i lezzet ile fazla yenilmez.
İktisat, sebeb-i izzet ve kemal olduğuna delâlet eden bir vakıa:
Bir zaman, dünyaca sehavetle meşhur Hâtem-i Tâî, mühim bir ziyafet veriyor. Misafirlerine gayet fazla hediyeler verdiği vakit, çölde gezmeye çıkıyor. Bakar ki bir ihtiyar fakir adam, bir yük dikenli çalı ve gevenleri beline yüklemiş; cesedine batıyor, kanatıyor.
Hâtem ona dedi: “Hâtem-i Tâî, hediyelerle beraber mühim bir ziyafet veriyor. Sen de oraya git; beş kuruşluk bu çalı yüküne bedel, beş yüz kuruş alırsın.”
O muktesid ihtiyar demiş ki: “Ben, bu dikenli yükümü izzetimle çekerim, kaldırırım. Hâtem-i Tâî’nin minnetini almam.”
Sonra, Hâtem-i Tâî’den sormuşlar: “Sen kendinden daha civanmert, aziz, kimi bulmuşsun?”
Demiş: “İşte o sahrada rast geldiğim o muktesid ihtiyarı benden daha aziz, daha yüksek, daha civanmert gördüm.”
Beşinci Nükte
Cenab-ı Hak kemal-i kereminden, en fakir adama en zengin adam gibi ve gedaya (yani fakire) padişah gibi lezzet-i nimetini ihsas ettiriyor. Evet bir fakirin, kuru bir parça siyah ekmekten açlık ve iktisat vasıtasıyla aldığı lezzet, bir padişahın ve bir zenginin israftan gelen usanç ve iştahsızlık ile yediği en a’lâ baklavadan aldığı lezzetten daha ziyade lezzetlidir.
Cây-ı hayrettir ki bazı müsrif ve mübezzir insanlar, böyle iktisatçıları “hısset” ile ittiham ediyorlar. Hâşâ… İktisat, izzet ve cömertliktir. Hısset ve zillet, ehl-i israf ve tebzirin zâhirî merdane keyfiyetlerinin içyüzüdür. Bu hakikati teyid eden, bu risalenin telifi senesinde Isparta’da hücremde cereyan eden bir vakıa var. Şöyle ki:
Kaideme ve düstur-u hayatıma muhalif bir surette, bir talebem iki buçuk okkaya yakın bir balı, bana hediye kabul ettirmeye ısrar etti. Ne kadar kaidemi ileri sürdüm, kanmadı. Bilmecburiye, yanımdaki üç kardeşime yedirmek ve şaban-ı şerif ve ramazanda o baldan iktisat ile otuz kırk gün üç adam yesin ve getiren de sevap kazansın ve kendileri de tatlısız kalmasın diyerek “Alınız!” dedim. Bir okka bal da benim vardı. O üç arkadaşım, gerçi müstakim ve iktisadı takdir edenlerdendi. Fakat her ne ise birbirine ikram etmek ve her biri ötekinin nefsini okşamak ve kendi nefsine tercih etmek olan bir cihette ulvi bir haslet ile iktisadı unuttular. Üç gecede iki buçuk okka balı bitirdiler. Ben gülerek dedim:
“Sizi, otuz kırk gün o bal ile tatlandıracaktım. Siz, otuz günü üçe indirdiniz. Âfiyet olsun.” dedim. Fakat, ben kendi o bir okka balımı iktisat ile sarf ettim. Bütün şaban ve ramazanda hem ben yedim hem lillahi’l-hamd o kardeşlerimin her birisine iftar vaktinde birer kaşık (Hâşiye[3]) verip mühim sevaba medar oldu.
Benim halimi görenler, o vaziyetimi belki hısset telakki etmişlerdir. Öteki kardeşlerimin üç gecelik vaziyetlerini bir civanmertlik telakki edebilirler. Fakat hakikat noktasında, o zâhirî hısset altında ulvi bir izzet ve büyük bir bereket ve yüksek bir sevap gizlendiğini gördük. Ve o civanmertlik ve israf altında, eğer vazgeçilmese idi, bir dilencilik ve gayrın eline tama’kârane ve muntazırane bakmak gibi hıssetten çok aşağı bir haleti netice verir idi.
Altıncı Nükte
İktisat ve hıssetin çok farkı var. Tevazu, nasıl ki ahlâk-ı seyyieden olan tezellülden manen ayrı ve sureten benzer bir haslet-i memduhadır. Ve vakar, nasıl ki kötü hasletlerden olan tekebbürden manen ayrı ve sureten benzer bir haslet-i memduhadır.
Öyle de ahlâk-ı âliye-i Peygamberiyeden olan ve belki kâinattaki nizam-ı hikmet-i İlahiyenin medarlarından olan iktisat ise sefillik ve bahillik ve tama’kârlık ve hırsın bir halitası olan hısset ile hiç münasebeti yok. Yalnız, sureten bir benzeyiş var. Bu hakikati teyid eden bir vakıa:
Sahabenin Abâdile-i Seb’a-yı Meşhure’sinden olan Abdullah İbn-i Ömer Hazretleri ki halife-i Resulullah olan Faruk-u A’zam Hazret-i Ömer’in (ra) en mühim ve büyük mahdumu ve sahabe âlimlerinin içinde en mümtazlarından olan o zat-ı mübarek çarşı içinde, alışverişte, kırk paralık bir meseleden, iktisat için ve ticaretin medarı olan emniyet ve istikameti muhafaza için şiddetli münakaşa etmiş. Bir sahabe ona bakmış. Rûy-i zeminin halife-i zîşanı olan Hazret-i Ömer’in mahdumunun kırk para için münakaşasını acib bir hısset tevehhüm ederek o imamın arkasına düşüp ahvalini anlamak ister. Baktı ki Hazret-i Abdullah hane-i mübareğine girdi. Kapıda bir fakir adam gördü. Bir parça eğlendi; ayrıldı, gitti. Sonra hanesinin ikinci kapısından çıktı, diğer bir fakiri orada da gördü. Onun yanında da bir parça eğlendi; ayrıldı, gitti. Uzaktan bakan o sahabe merak etti.
Gitti o fakirlere sordu: “İmam sizin yanınızda durdu, ne yaptı?”
Her birisi dedi: “Bana bir altın verdi.”
O sahabe dedi: “Fesübhanallah! Çarşı içinde kırk para için böyle münakaşa etsin de sonra hanesinde iki yüz kuruşu kimseye sezdirmeden kemal-i rıza-yı nefisle versin!” diye düşündü, gitti, Hazret-i Abdullah İbn-i Ömer’i gördü.
Dedi: “Yâ İmam! Bu müşkülümü hallet. Sen çarşıda böyle yaptın, hanende de şöyle yapmışsın.”
Ona cevaben dedi ki: “Çarşıdaki vaziyet iktisattan ve kemal-i akıldan ve alışverişin esası ve ruhu olan emniyetin, sadakatin muhafazasından gelmiş bir halettir; hısset değildir. Hanemdeki vaziyet, kalbin şefkatinden ve ruhun kemalinden gelmiş bir halettir. Ne o hıssettir ve ne de bu israftır.”
İmam-ı A’zam, bu sırra işaret olarak لَا اِس۟رَافَ فِى ال۟خَي۟رِ كَمَا لَا خَي۟رَ فِى ال۟اِس۟رَافِ demiş. Yani “Hayırda ve ihsanda (fakat müstahak olanlara) israf olmadığı gibi israfta da hiçbir hayır yoktur.”
Yedinci Nükte
İsraf, hırsı intac eder. Hırs, üç neticeyi verir:
Birincisi: Kanaatsizliktir. Kanaatsizlik ise sa’ye, çalışmaya şevki kırar. Şükür yerine şekva ettirir, tembelliğe atar. Ve meşru, helâl, az malı (Hâşiye[4]) terk edip; gayr-ı meşru, külfetsiz bir malı arar. Ve o yolda izzetini, belki haysiyetini feda eder.
Hırsın ikinci neticesi: Haybet ve hasarettir. Maksudunu kaçırmak ve istiskale maruz kalıp, teshilat ve muavenetten mahrum kalmaktır. Hattâ اَل۟حَرٖيصُ خَائِبٌ خَاسِرٌ yani “Hırs, hasaret ve muvaffakiyetsizliğin sebebidir.” olan darb-ı mesele mâsadak olur.
Hırs ve kanaatin tesiratı, zîhayat âleminde gayet geniş bir düstur ile cereyan ediyor.
Ezcümle, rızka muhtaç ağaçların fıtrî kanaatleri, onların rızkını onlara koşturduğu gibi hayvanatın hırs ile meşakkat ve noksaniyet içinde rızka koşmaları, hırsın büyük zararını ve kanaatin azîm menfaatini gösterir.
Hem zayıf umum yavruların lisan-ı halleriyle kanaatleri, süt gibi latîf bir gıdanın ummadığı bir yerden onlara akması ve canavarların hırs ile noksan ve mülevves rızıklarına saldırması; davamızı parlak bir surette ispat ediyor.
Hem semiz balıkların vaziyet-i kanaatkâranesi, mükemmel rızıklarına medar olması; ve tilki ve maymun gibi zeki hayvanların hırs ile rızıkları peşinde dolaşmakla beraber kâfi derecede bulmamalarından cılız ve zayıf kalmaları, yine hırs ne derece sebeb-i meşakkat ve kanaat ne derece medar-ı rahat olduğunu gösterir.
Hem Yahudi milleti hırs ile riba ile hile dolabı ile rızıklarını zilletli ve sefaletli, gayr-ı meşru ve ancak yaşayacak kadar rızıklarını bulması ve sahra-nişinlerin (yani bedevîlerin) kanaatkârane vaziyetleri, izzetle yaşaması ve kâfi rızkı bulması; yine mezkûr davamızı kat’î ispat eder.
Hem çok âlimlerin (Hâşiye[5]) ve ediblerin (Hâşiye[6]) zekâvetlerinin verdiği bir hırs sebebiyle fakr-ı hale düşmeleri ve çok aptal ve iktidarsızların fıtrî, kanaatkârane vaziyetleri ile zenginleşmeleri kat’î bir surette ispat eder ki: Rızk-ı helâl, acz ve iftikara göre gelir; iktidar ve ihtiyar ile değil. Belki o rızk-ı helâl, iktidar ve ihtiyar ile makûsen mütenasiptir. Çünkü çocukların iktidar ve ihtiyarı geldikçe rızkı azalır, uzaklaşır, sakîlleşir. اَل۟قَنَاعَةُ كَن۟زٌ لَا يَف۟نٰى hadîsinin sırrıyla kanaat, bir define-i hüsn-ü maişet ve rahat-ı hayattır. Hırs ise bir maden-i hasaret ve sefalettir.
Üçüncü Netice: Hırs ihlası kırar, amel-i uhreviyeyi zedeler. Çünkü bir ehl-i takvanın hırsı varsa teveccüh-ü nâsı ister. Teveccüh-ü nâsı müraat eden, ihlas-ı tammı bulamaz. Bu netice çok ehemmiyetli, çok cây-ı dikkattir.
Elhasıl: İsraf, kanaatsizliği intac eder. Kanaatsizlik ise çalışmanın şevkini kırar, tembelliğe atar; hayatından şekva kapısını açar, mütemadiyen şekva ettirir. (Hâşiye[7]) Hem ihlası kırar, riya kapısını açar. Hem izzetini kırar, dilencilik yolunu gösterir. İktisat ise kanaati intac eder.
عَزَّ مَن۟ قَنَعَ ذَلَّ مَن۟ طَمَعَ hadîsin sırrıyla kanaat, izzeti intac eder. Hem sa’ye ve çalışmaya teşci eder. Şevkini ziyadeleştirir, çalıştırır.
Çünkü mesela, bir gün çalıştı. Akşamda aldığı cüz’î bir ücrete kanaat sırrıyla, ikinci gün yine çalışır. Müsrif ise kanaat etmediği için ikinci gün daha çalışmaz. Çalışsa da şevksiz çalışır. Hem iktisattan gelen kanaat; şükür kapısını açar, şekva kapısını kapatır. Hayatında daima şâkir olur. Hem kanaat vasıtasıyla insanlardan istiğna etmek cihetinde teveccühlerini aramaz. İhlas kapısı açılır, riya kapısı kapanır.
İktisatsızlık ve israfın dehşetli zararlarını geniş bir dairede müşahede ettim. Şöyle ki: Ben, dokuz sene evvel mübarek bir şehre geldim. Kış münasebetiyle o şehrin menabi-i servetini göremedim. –Allah rahmet etsin– oranın müftüsü birkaç defa bana dedi: “Ahalimiz fakirdir.” Bu söz benim rikkatime dokundu. Beş altı sene sonraya kadar daima o şehir ahalisine acıyordum. Sekiz sene sonra yazın yine o şehre geldim. Bağlarına baktım. Merhum Müftünün sözü hatırıma geldi. Fesübhanallah dedim, bu bağların mahsulatı şehrin hâcetinin pek fevkindedir. Bu şehir ahalisi pek çok zengin olmak lâzım gelir. Hayret ettim. Beni aldatmayan ve hakikatlerin derkinde bir rehberim olan bir hatıra-i hakikatle anladım: İktisatsızlık ve israf yüzünden bereket kalkmış ki o kadar menabi-i servetle beraber o merhum Müftü “Ahalimiz fakirdir.” diyordu.
Evet, zekât vermek ve iktisat etmek, malda bi’t-tecrübe sebeb-i bereket olduğu gibi; israf etmek ile zekât vermemek, sebeb-i ref’-i bereket olduğuna hadsiz vakıat vardır.
İslâm hükemasının Eflatun’u ve hekimlerin şeyhi ve feylesofların üstadı, dâhî-i meşhur Ebu Ali İbn-i Sina, yalnız tıp noktasında كُلُوا وَ اش۟رَبُوا وَ لَا تُس۟رِفُوا âyetini şöyle tefsir etmiş. Demiş:
: جَمَع۟تُ الطِّبَّ فِى ال۟بَي۟تَي۟نِ جَم۟عًا وَ حُس۟نُ ال۟قَو۟لِ فٖى قَص۟رِ ال۟كَلَامِ
فَقَلِّل۟ اِن۟ اَكَل۟تَ وَ بَع۟دَ اَك۟لٍ تَجَنَّب۟ وَ الشِّفَاءُ فِى ال۟اِن۟هِضَامِ
وَ لَي۟سَ عَلَى النُّفُوسِ اَشَدُّ حَالًا مِن۟ اِد۟خَالِ الطَّعَامِ عَلَى الطَّعَامِ
Yani “İlm-i tıbbı iki satırla topluyorum. Sözün güzelliği kısalığındadır: Yediğin vakit az ye. Yedikten sonra dört beş saat kadar daha yeme. Şifa, hazımdadır. Yani kolayca hazmedeceğin miktarı ye. Nefse ve mideye en ağır ve yorucu hal, taam taam üstüne yemektir.” (Hâşiye[8])
Cây-ı hayret ve medar-ı ibret bir tevafuk
İktisat Risalesi’ni, üçü acemi olarak beş altı ayrı ayrı müstensih ayrı ayrı yerde ayrı ayrı nüshadan yazıp birbirinden uzak, hatları birbirinden ayrı, hiç elifleri düşünmeyerek yazdıkları her bir nüshanın elifleri; duasız elli bir, dua ile beraber elli üçte tevafuk etmekle beraber; İktisat Risalesi’nin tarih-i telif ve istinsahı olan Rumîce elli bir ve Arabî elli üç tarihinde tevafuku ise şüphesiz tesadüf olamaz. İktisaddaki bereketin keramet derecesine çıktığına bir işarettir. Ve bu seneye “Sene-i İktisat” tesmiyesi lâyıktır.
Evet, zaman iki sene sonra bu keramet-i iktisadiyeyi, İkinci Harb-i Umumî’de her taraftaki açlık ve tahribat ve israfatla ve nev-i beşer ve herkes iktisada mecbur olmasıyla ispat etti.
سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
- ↑ *Menurut al-Yâfi’i, ada sebuah riwayat sahih yang sanadnya bersambung kepada Syekh Abdul Qadir al-Jailani yang isinya, “Ibu dari anak muda tersebut pergi menemui Syekh yang sedang memakan ayam. Sang ibu tidak senang melihat sang Syekh memakan ayam sementara anaknya diberi makanan yang paling hina. Maka Syekh Abdul Qadir al- Jailani berkata kepadanya, “Jika anakmu sudah bisa berkata kepada ayam semacam ini, “Bangkitlah dengan izin Allah!” (Ayam itupun bangkit dengan sayapnya dan terbang), maka ia berhak memakannya.” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatâwâ al-Hadîtsah, h.80; al- Jailâni, Ganiyyah ath-Thâlibîn, h.502; an-Nabhâni, Jâmi’ Karâmât al-Auliyâ, 2/203).
- ↑ *Lihat: Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, 1/447; ath-Thabrâni, al-Mu’jam al-Kabîr, 10/108; al-Mu’jam al-Ausath, 5/206, 6/365; al-Baihaqi, syuab al-Îmân, 5/255. Lihat pula: al-Ajlûni, Kasyful Khafâ, 1/158, 2/189.
- ↑ Hâşiye: Yani, büyükçe bir çay kaşığı iledir.
- ↑ Hâşiye: İktisatsızlık yüzünden müstehlikler çoğalır, müstahsiller azalır. Herkes gözünü hükûmet kapısına diker. O vakit hayat-ı içtimaiyenin medarı olan “sanat, ticaret, ziraat” tenakus eder. O millet de tedenni edip sukut eder, fakir düşer.
- ↑ Hâşiye-1: İran’ın âdil padişahlarından Nuşirevan-ı Âdil’in veziri, akılca meşhur âlim olan Büzürücumhur’dan (Büzürg-Mihr) sormuşlar: “Neden ulema, ümera kapısında görünüyor da ümera ulema kapısında görünmüyor. Halbuki ilim, emaretin fevkindedir?”
Cevaben demiş ki: “Ulemanın ilminden, ümeranın cehlindendir.” Yani ümera, cehlinden ilmin kıymetini bilmiyorlar ki ulemanın kapısına gidip ilmi arasınlar. Ulema ise marifetlerinden mallarının kıymetini dahi bildikleri için ümera kapısında arıyorlar. İşte Büzürücumhur, ulemanın arasında fakr ve zilletlerine sebep olan zekâvetlerinin neticesi bulunan hırslarını zarif bir surette tevil ederek nazikane cevap vermiştir.
Hüsrev - ↑ Hâşiye-2: Bunu teyid eden bir hâdise: Fransa’da ediblere, iyi dilencilik yaptıkları için dilencilik vesikası veriliyor.
Süleyman Rüşdü - ↑ Hâşiye-3: Evet, hangi müsrif ile görüşsen şekvalar işiteceksin. Ne kadar zengin olsa da yine dili şekva edecektir. En fakir fakat kanaatkâr bir adamla görüşsen şükür işiteceksin.
- ↑ Hâşiye: Yani vücuda en muzır, dört beş saat fâsıla vermeden yemek yemek veyahut telezzüz için mütenevvi yemekleri birbiri üstüne mideye doldurmaktır.