Dokuzuncu Mektup/id: Revizyonlar arasındaki fark

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    ("Contoh lain: Manusia kadang begitu sabar, tekun, konsisten terhadap urusan sepele yang fana dengan sikap keras kepala. Lalu ia sadar betapa ia tabah menekuninya selama setahun padahal ia tidak layak untuk ditekuni meski hanya semenit. Sikap keras kepala itulah yang membuatnya tetap menekuni sejumlah hal yang bisa jadi berbahaya. Akan tetapi, ketika sadar bahwa perasaan tersebut tidak diberikan kepadanya untuk dipergunakan kepada urusan tidak penting sema..." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    ("Sebagaimana contoh-contoh di atas, apabila berbagai perangkat maknawi yang diberikan kepada manusia dipergunakan untuk memuaskan nafsu dan kepentingan dunia dalam kondisi lalai seolah-olah ia kekal di dalamnya, maka perangkat maknawi tersebut akan menjadi sumber dari munculnya akhlak tercela, sumber penyimpangan, serta sumber kesia-siaan. Namun apabila yang ringan darinya dipergunakan untuk dunia, lalu selebihnya dipergunakan untuk hari kemudian dan amal..." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    36. satır: 36. satır:
    Contoh lain: Manusia kadang begitu sabar, tekun, konsisten terhadap urusan sepele yang fana dengan sikap keras kepala. Lalu ia sadar betapa ia tabah menekuninya selama setahun padahal ia tidak layak untuk ditekuni meski hanya semenit. Sikap keras kepala itulah yang membuatnya tetap menekuni sejumlah hal yang bisa jadi berbahaya. Akan tetapi, ketika sadar bahwa perasaan tersebut tidak diberikan kepadanya untuk dipergunakan kepada urusan tidak penting semacam itu dan penggunaan dalam bidang tersebut bertentangan dengan hakikat dan hikmah, maka iapun segera mengarahkan sikap keras kepalanya tadi kepada sesuatu yang abadi dan mulia; yaitu hakikat iman, dasar-dasar Islam, dan amal ukhrawi. Ketika itulah, sikap keras kepala yang bersifat majasi―di mana ia merupakan sifat tercela―berubah menjadi sifat terpuji dan baik; yaitu sikap keras kepala hakiki berupa sikap teguh di atas kebenaran.
    Contoh lain: Manusia kadang begitu sabar, tekun, konsisten terhadap urusan sepele yang fana dengan sikap keras kepala. Lalu ia sadar betapa ia tabah menekuninya selama setahun padahal ia tidak layak untuk ditekuni meski hanya semenit. Sikap keras kepala itulah yang membuatnya tetap menekuni sejumlah hal yang bisa jadi berbahaya. Akan tetapi, ketika sadar bahwa perasaan tersebut tidak diberikan kepadanya untuk dipergunakan kepada urusan tidak penting semacam itu dan penggunaan dalam bidang tersebut bertentangan dengan hakikat dan hikmah, maka iapun segera mengarahkan sikap keras kepalanya tadi kepada sesuatu yang abadi dan mulia; yaitu hakikat iman, dasar-dasar Islam, dan amal ukhrawi. Ketika itulah, sikap keras kepala yang bersifat majasi―di mana ia merupakan sifat tercela―berubah menjadi sifat terpuji dan baik; yaitu sikap keras kepala hakiki berupa sikap teguh di atas kebenaran.


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sebagaimana contoh-contoh di atas, apabila berbagai perangkat maknawi yang diberikan kepada manusia dipergunakan untuk memuaskan nafsu dan kepentingan dunia dalam kondisi lalai seolah-olah ia kekal di dalamnya, maka perangkat maknawi tersebut akan menjadi sumber dari munculnya akhlak tercela, sumber penyimpangan, serta sumber kesia-siaan. Namun apabila yang ringan darinya dipergunakan untuk dunia, lalu selebihnya dipergunakan untuk hari kemudian dan amal-amal akhirat, maka ia akan menjadi sumber bagi munculnya akhlak mulia, jalan menuju kebahagiaan dunia akhirat, serta sejalan dengan hikmah dan hakikat.
    İşte şu üç misal gibi; insanlar, insana verilen cihazat-ı maneviyeyi, eğer nefsin ve dünyanın hesabıyla istimal etse ve dünyada ebedî kalacak gibi gafilane davransa ahlâk-ı rezileye ve israfat ve abesiyete medar olur. Eğer hafiflerini dünya umûruna ve şiddetlilerini vezaif-i uhreviyeye ve maneviyeye sarf etse ahlâk-ı hamîdeye menşe, hikmet ve hakikate muvafık olarak saadet-i dâreyne medar olur.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">

    18.51, 4 Ocak 2025 tarihindeki hâli

    Diğer diller:

    بِاس۟مِهٖ سُب۟حَانَهُ وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَم۟دِهٖ

    (Potongan Surat yang Dikirim kepada Muridnya yang Tulus)

    Kedua: Taufik yang diberikan kepadamu dalam menyebarkan berbagai cahaya al-Qur’an, upaya dan semangatmu merupakan karunia Ilahi. Bahkan, ia adalah bentuk karamah Qur’ani dan inayah (pertolongan) rabbani. Kuucapkan selamat kepadamu wahai saudaraku. Terkait dengan karamah, ikrâm (karunia), dan inayah, maka aku akan menjelaskan perbedaan antara karamah dan ikrâm. Yaitu sebagai berikut:

    Memperlihatkan karamah mendatangkan bahaya apabila tidak ada keperluan mendesak. Sementara, memperlihatkan ikram Ilahi adalah bentuk pengungkapan nikmat.

    Orang yang mendapat karamah, ketika muncul dari dirinya sesuatu yang luar biasa yang ia sadari, bisa jadi hal itu merupakan bentuk istidraj manakala nafsu ammarahnya masih ada. Misalnya, ia menjadi kagum terhadap diri sendiri, bersandar pada kasyafnya, serta bisa pula bangga diri.

    Namun apabila sesuatu yang luar biasa muncul dari dirinya secara tanpa ia sadari, misalnya ketika datang orang yang menyimpan pertanyaan dalam hatinya lalu ia menjawabnya dengan jawaban yang tepat, maka setelah mengetahui duduk persoalannya, ia tidak me- ngandalkan dirinya. Namun ia justru semakin yakin kepada Allah seraya berkata, “Tuhan Yang Maha Menjaga dan Maha Mengawasi mendidikku lebih dari yang kulakukan.” Ia pun semakin bertawakkal kepada Allah. Jenis terakhir ini adalah karamah yang tidak berbahaya. Pemiliknya tidak harus menyembunyikannya. Akan tetapi, ia tidak boleh memperlihatkannya untuk tujuan berbangga diri. Sebab, bisa jadi ia menisbatkan hal luar biasa tersebut kepada dirinya karena di dalamnya secara lahiriah ada sedikit usaha manusia.

    Adapun ikrâm (karunia) Ilahi lebih selamat daripada jenis karamah kedua di atas. Menurutku, ia lebih tinggi dan lebih mulia. Memperlihatkannya adalah bagian dari mengungkap nikmat-Nya. Sebab, di dalamnya tidak ada bagian dari usaha manusia. Jiwa ini tidak bisa menyandarkan karunia tadi kepadanya.

    Begitulah wahai saudaraku, apa yang telah kupahami dan kutulis adalah bagian dari kebaikan dan karunia Ilahi untuk dirimu dan diriku. Terutama yang terkait dengan pengabdian terhadap al- Qur’an. Semuanya adalah bentuk karunia Ilahi. Memperlihatkannya termasuk bentuk pengungkapan nikmat. Karena itu, aku menulis untukmu tentang taufik Ilahi atas pengabdian kita ini sebagai ben- tuk pengungkapan nikmat. Aku yakin bahwa ia akan membuatmu bersyukur, bukan sombong.

    Ketiga: Menurutku, manusia yang paling bahagia di dunia adalah yang menganggapnya sebagai negeri jamuan keprajuritan, serta bekerja sesuai dengan kerangka tersebut. Dengan anggapan semacam itu, ia dapat meraih mardhâtillah (derajat rida) dan dapat mencapainya dengan cepat. Pasalnya, ia tidak mau menukar aset senilai berlian yang mahal dan kekal dengan serpihan kaca yang murah. Namun, ia menjadikan hidupnya berjalan dengan tenang dan istikamah.

    Ya, berbagai hal yang terkait dengan dunia ibarat serpihan kaca yang mudah pecah. Sementara, sesuatu yang kekal abadi yang terkait dengan akhirat senilai berlian yang kuat dan berharga.Keinginan yang kuat, kecintaan yang bergelora, ketamakan yang sangat besar, permintaan yang intens, serta berbagai perasaan semacam itu lainnya yang terdapat dalam fitrah manusia demikian kuat dan mengakar. Semua itu diberikan untuk meraih berbagai urusan ukhrawi. Karena itu, mengarahkan dan mengerahkan perasaan tersebut untuk urusan duniawi yang fana sama saja dengan memberikan aset senilai berlian untuk ditukar dengan serpihan kaca yang tidak berharga. Terkait dengan persoalan ini, ada satu poin yang terlintas dalam benak yang ingin kuutarakan kepadamu. Yaitu:

    Al-Isyq merupakan cinta yang sangat kuat. Ketika mengarah kepada kekasih yang bersifat fana, perasaan tersebut bisa membuat pemiliknya sangat tersiksa, atau bisa pula mendorongnya mencari kekasih hakiki di mana kekasih fana tidak layak mendapat cinta semacam itu. Pada saat itulah cinta majasi beralih kepada cinta hakiki.

    İşte insanda binlerle hissiyat var. Her birisinin aşk gibi iki mertebesi var: Biri mecazî, biri hakiki.

    Contoh: Kecemasan terhadap masa depan. Perasaan ini terdapat pada setiap orang. Ketika sangat cemas memikirkan masa depan, ia sadar bahwa dirinya tidak memiliki jaminan untuk bisa sampai ke masa depan yang dicemaskan. Apalagi masa depan yang singkat itu rezekinya sudah ditanggung oleh ar-Razzaq (Sang Maha Pemberi rezeki). Karenanya, ia tidak layak dicemaskan. Ketika itulah, ia mengalihkan perhatian darinya menuju masa depan hakiki yang terbentang jauh. Yaitu masa depan yang berada di balik kubur, yang tidak ada jaminan bagi kaum yang lalai.

    Selanjutnya, manusia memperlihatkan rasa tamak terhadap harta dan kedudukan. Akan tetapi, ia sadar bahwa harta yang fana yang berada di tangannya bersifat sementara. Kedudukan yang menjadi sumber popularitas bisa menjadi musibah dan sumber munculnya penyakit riya yang membinasakan. Karenanya, kedua hal tersebut tidak layak mendapat rasa tamak semacam itu. Pada saat itulah, ia mengarah pada kedudukan hakiki yang berupa tingkatan maknawi, kedekatan Ilahi, dan bekal ukhrawi. Ia juga mengarah kepada harta hakiki yang berupa amal saleh. Dari sana ketamakan majasi tadi yang merupakan akhlak tercela, berubah menjadi ketamakan hakiki yang merupakan akhlak mulia dan terpuji.

    Contoh lain: Manusia kadang begitu sabar, tekun, konsisten terhadap urusan sepele yang fana dengan sikap keras kepala. Lalu ia sadar betapa ia tabah menekuninya selama setahun padahal ia tidak layak untuk ditekuni meski hanya semenit. Sikap keras kepala itulah yang membuatnya tetap menekuni sejumlah hal yang bisa jadi berbahaya. Akan tetapi, ketika sadar bahwa perasaan tersebut tidak diberikan kepadanya untuk dipergunakan kepada urusan tidak penting semacam itu dan penggunaan dalam bidang tersebut bertentangan dengan hakikat dan hikmah, maka iapun segera mengarahkan sikap keras kepalanya tadi kepada sesuatu yang abadi dan mulia; yaitu hakikat iman, dasar-dasar Islam, dan amal ukhrawi. Ketika itulah, sikap keras kepala yang bersifat majasi―di mana ia merupakan sifat tercela―berubah menjadi sifat terpuji dan baik; yaitu sikap keras kepala hakiki berupa sikap teguh di atas kebenaran.

    Sebagaimana contoh-contoh di atas, apabila berbagai perangkat maknawi yang diberikan kepada manusia dipergunakan untuk memuaskan nafsu dan kepentingan dunia dalam kondisi lalai seolah-olah ia kekal di dalamnya, maka perangkat maknawi tersebut akan menjadi sumber dari munculnya akhlak tercela, sumber penyimpangan, serta sumber kesia-siaan. Namun apabila yang ringan darinya dipergunakan untuk dunia, lalu selebihnya dipergunakan untuk hari kemudian dan amal-amal akhirat, maka ia akan menjadi sumber bagi munculnya akhlak mulia, jalan menuju kebahagiaan dunia akhirat, serta sejalan dengan hikmah dan hakikat.

    İşte tahmin ederim ki nâsihlerin nasihatleri şu zamanda tesirsiz kaldığının bir sebebi şudur ki: Ahlâksız insanlara derler: “Hased etme! Hırs gösterme! Adâvet etme! İnat etme! Dünyayı sevme!” Yani fıtratını değiştir gibi zâhiren onlarca, mâlâyutak bir teklifte bulunurlar. Eğer deseler ki: “Bunların yüzlerini hayırlı şeylere çeviriniz, mecralarını değiştiriniz.” Hem nasihat tesir eder hem daire-i ihtiyarlarında bir emr-i teklif olur.

    Râbian: Ulema-i İslâm ortasında “İslâm” ve “iman”ın farkları çok medar-ı bahis olmuş. Bir kısmı “İkisi birdir.” diğer kısmı “İkisi bir değil fakat biri birisiz olmaz.” demişler ve bunun gibi çok muhtelif fikirler beyan etmişler. Ben şöyle bir fark anladım ki:

    İslâmiyet iltizamdır, iman iz’andır. Tabir-i diğerle İslâmiyet, hakka tarafgirlik ve teslim ve inkıyaddır; iman ise hakkı kabul ve tasdiktir. Eskide bazı dinsizleri gördüm ki ahkâm-ı Kur’aniyeye şiddetli tarafgirlik gösteriyorlardı. Demek o dinsiz, bir cihette hakkın iltizamıyla İslâmiyet’e mazhardı; “dinsiz bir Müslüman” denilirdi. Sonra bazı mü’minleri gördüm ki ahkâm-ı Kur’aniyeye tarafgirlik göstermiyorlar, iltizam etmiyorlar “gayr-ı müslim bir mü’min” tabirine mazhar oluyorlar.

    Acaba, İslâmiyetsiz iman, medar-ı necat olabilir mi?

    Elcevap: İmansız İslâmiyet, sebeb-i necat olmadığı gibi; İslâmiyetsiz iman da medar-ı necat olamaz.

    Felillahi’l-hamdü ve’l-minnetü, Kur’an’ın i’caz-ı manevîsinin feyziyle Risale-i Nur mizanları, din-i İslâm’ın ve hakaik-i Kur’aniyenin meyvelerini ve neticelerini öyle bir tarzda göstermişlerdir ki dinsiz dahi onları anlasa taraftar olmamak kabil değil. Hem iman ve İslâm’ın delil ve bürhanlarını o derece kuvvetli göstermişlerdir ki gayr-ı müslim dahi anlasa herhalde tasdik edecektir. Gayr-ı müslim kaldığı halde, iman eder.

    Evet Sözler, Tûba-i cennetin meyveleri gibi tatlı ve güzel olan iman ve İslâmiyet’in meyvelerini ve saadet-i dâreynin mehasini gibi hoş ve şirin öyle neticelerini göstermişler ki görenlere ve tanıyanlara nihayetsiz bir tarafgirlik ve iltizam ve teslim hissini verir. Ve silsile-i mevcudat gibi kuvvetli ve zerrat gibi kesretli iman ve İslâm’ın bürhanlarını göstermişler ki nihayetsiz bir iz’an ve kuvvet-i iman verirler.

    Hattâ bazı defa Evrad-ı Şah-ı Nakşibendî’de şehadet getirdiğim vakit عَلٰى ذٰلِكَ نَح۟يٰى وَ عَلَي۟هِ نَمُوتُ وَ عَلَي۟هِ نُب۟عَثُ غَدًا dediğim zaman, nihayetsiz bir tarafgirlik hissediyorum. Eğer bütün dünya bana verilse bir hakikat-i imaniyeyi feda edemiyorum. Bir hakikatin bir dakika aksini farz etmek, bana gayet elîm geliyor. Bütün dünya benim olsa bir tek hakaik-i imaniyenin vücud bulmasına bilâ-tereddüt vermesine, nefsim itaat ediyor.

    وَ اٰمَنَّا بِمَا اَر۟سَل۟تَ مِن۟ رَسُولٍ وَ اٰمَنَّا بِمَا اَن۟زَل۟تَ مِن۟ كِتَابٍ وَ صَدَّق۟نَا dediğim vakit nihayetsiz bir kuvvet-i iman hissediyorum. Hakaik-i imaniyenin her birisinin aksini aklen muhal telakki ediyorum, ehl-i dalaleti nihayetsiz ebleh ve divane görüyorum.

    Senin valideynine pek çok selâm ve arz-ı hürmet ederim. Onlar da bana dua etsinler. Sen benim kardeşim olduğun için onlar da benim peder ve validem hükmündedirler. Hem köyünüze, hususan senden “Sözler”i işitenlere umumen selâm ediyorum.

    اَل۟بَاقٖى هُوَ ال۟بَاقٖى

    Said Nursî