On Altıncı Mektup/id: Revizyonlar arasındaki fark
("Poin ini terkait dengan lima persoalan kecil:" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) |
("===Persoalan Pertama:===" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) |
||
162. satır: | 162. satır: | ||
Poin ini terkait dengan lima persoalan kecil: | Poin ini terkait dengan lima persoalan kecil: | ||
< | <span id="Birincisi:"></span> | ||
=== | ===Persoalan Pertama:=== | ||
<div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr"> | <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr"> |
12.09, 6 Ocak 2025 tarihindeki hâli
(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian. Karena itu, takutlah kepada mereka!” Perkataan itu justru menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan Allah adalah Sebaik-baik Pelindung.”(QS. Ali Imran [3]: 173).Surat ini mendapatkan rahasia ayat yang berbunyi:
“Maka berbicaralah kalian berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut!” (QS. Thâhâ 20: 44), sehingga tidak ditulis dengan redaksi yang keras.
Ia adalah jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh banyak orang secara tersurat maupun tersirat.
Aku sama sekali tidak ingin menuliskan jawaban ini. Aku telah menyerahkan urusanku kepada Allah. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal. Akan tetapi, aku tidak dibiarkan merasa nyaman sendiri. Mereka mengalihkan perhatianku kepada dunia ini. Karena itu, aku terpaksa berkata lewat lisan “Said Lama”, bukan lewat lisan “Said Baru.” Hal itu bukan untuk menyelamatkan diriku pribadi, tetapi untuk menyelamatkan teman-temanku dan al-Kalimât dari berbagai syubhat yang dilontarkan oleh para penguasa dunia dan orang-orang yang menyakiti mereka. Akan kuceritakan kondisiku yang sebenarnya kepada teman-teman, para penguasa, dan para pejabat pemerin- tahan. Hal itu terangkum dalam lima poin:
Poin Pertama
Pertanyaan:Mengapa Anda meninggalkan pentas politik dan sama sekali tidak mau mendekatinya?
Jawaban:“Said Lama” sudah pernah terjun dalam pentas politik sekitar sepuluh tahun yang lalu dengan harapan bisa berkhidmah pada agama dan ilmu lewat jalur politik. Sayangnya, usaha tersebut hanya sia-sia. Pasalnya, jalur tersebut tampak memiliki banyak prob- lem dan masih diragukan. Bagiku, terjun di dalamnya ibarat melakukan sesuatu yang kurang berguna. Ia membuatku tak bisa menunaikan tugas yang lebih penting dan lebih wajib. Ia juga berbahaya. Sebagian besarnya menipu dan dusta. Sangat mungkin seseorang menjadi alat di tangan orang asing tanpa ia sadari.
Orang yang terjun dalam dunia politik bisa menjadi pendukung atau bisa pula menjadi oposisi. Jika aku termasuk pendukung, maka terjun di dalamnya bagiku hanya menghabiskan waktu dan tidak berguna. Sebab, aku bukan aparat pemerintah dan bukan pula wakil di parlemen. Dalam kondisi demikian, tidak ada artinya bagiku aktif dalam persoalan politik. Mereka tidak membutuhkan campur tanganku. Sementara jika aku termasuk dalam barisan oposisi yang menentang pemerintah, berarti aku harus terlibat lewat pemikiran atau lewat kekuatan. Jika lewat pemikiran, akupun tidak dibutuhkan karena persoalannya sangat jelas. Semua orang sudah mengetahui. Jadi, tidak perlu melakukan sesuatu yang sia-sia. Sementara jika dengan kekuatan, yaitu sikap opisisinya ditunjukkan dengan memun- culkan sejumlah problem guna mencapai tujuan yang masih diragu- kan. Hal itu membuka peluang untuk melakukan ribuan dosa. Sebab, banyak orang mendapat bencana lantaran kesalahan satu orang. Hati nuraniku tidak rela melakukan dosa dan menggiring orang-orang tak bersalah ke dalamnya hanya karena satu atau dua kemungkinan dari sepuluh kemungkinan yang ada. Karena itu, “Said Lama” meninggalkan pentas politik dan berbagai pertemuannya, serta tidak lagi mem- baca koran dan merokok.
Bukti jujur atas semua ini adalah bahwa sejak delapan tahun aku tidak pernah membaca satu koran pun dan tidak pernah menyimaknya dari siapapun. Silahkan tunjukkan kalau memang ada bukti bahwa aku pernah membaca atau menyimak koran dari siapapun. Padahal, delapan tahun yang lalu “Said Lama” telah membaca sekitar delapan koran setiap hari.
Selain itu, sejak lima tahun, kondisiku terus diawasi dengan ketat. Silahkan buktikan kalau memang ada orang yang melihat keterlibatanku dengan politik. Padahal, orang yang sensitif sepertiku, yang tidak memiliki relasi dengan siapapun, dan yang melihat tipu muslihat terbaik adalah dengan meninggalkan semua tipu daya se- suai dengan ungkapan:Meninggalkan semua siasat adalah siasat.Maka orang yang semacamku ini tidak mungkin bisa menyembunyikan pemikirannya meski hanya selama delapan hari; bukan delapan tahun. Andaikan ia memiliki kecenderungan pada politik, tentu hal tersebut akan segera diketahui sehingga tidak perlu melakukan investigasi.
Poin Kedua
Pertanyaan:Mengapa “Said Baru” sangat menghindari politik?
Jawaban:Agar upayanya untuk meraih kehidupan abadi yang lebih dari milyaran tahun tidak dikorbankan demi keterlibatan sia- sia yang hanya memakan waktu sekitar satu atau dua tahun kehidupan dunia yang masih diragukan. Selain itu, “Said Baru” menjauhi politik guna berkhidmah untuk iman dan al-Qur’an yang merupakan pengabdian paling agung, paling wajib, paling tulus, dan paling benar. Pasalnya ia berkata:
Aku sudah mulai tua. Aku tidak tahu berapa lama lagi akan bertahan hidup sesudah ini. Karena itu, lebih baik bagiku beramal untuk kehidupan abadi. Inilah yang semestinya dijadikan prioritas. Karena iman merupakan sarana untuk bisa sukses meraih kehidupan abadi dan kunci kebahagiaan yang kekal, maka ia harus diusahakan secara optimal.
Aku adalah seorang ulama. Secara agama, aku berke- wajiban untuk memberi manfaat kepada manusia. Karena itu, aku juga ingin melayani mereka dari sisi ini. Hanya saja, pengabdian ini manfaatnya untuk kehidupan sosial dan dunia. Inilah yang berada di luar kemampuanku. Apalagi sulit melakukan pengabdian yang lurus dan baik di masa yang sulit ini. Oleh sebab itu, aku meninggalkan as- pek ini. Aku lebih memilih jalan pengabdian iman yang paling penting, paling wajib, dan paling selamat. Kubiarkan pintu tersebut terbuka agar berbagai hakikat iman dan sejumlah obat maknawi yang sangat ampuh bagiku bisa dirasakan oleh orang lain. Semoga Allah menerima pengabdian ini sekaligus menjadikannya sebagai penebus dosa-dosaku di masa lalu.
Tidak ada yang berhak menolak pengabdian ini entah ia mukmin, kafir, teman, atau zindik kecuali setan yang terkutuk. Pasalnya, ketiadaan iman merupakan kondisi yang tidak bisa dibandingkan dengan apapun. Bisa jadi kenikmatan setani masih bisa dirasakan saat melakukan kezaliman, kefasikan, dan dosa besar. Namun saat iman tidak ada, kenikmatan menjadi lenyap sama sekali. Bahkan, ia adalah derita dalam derita, siksa dalam siksa, dan kegelapan dalam kegelapan.
Demikianlah, tidak berusaha menggapai kehidupan abadi, berhenti meraih cahaya iman yang suci, serta masuk ke dalam permainan politik yang berbahaya dan tidak penting di masa tua seperti ini, sangat tidak rasional dan tidak arif bagi orang sepertiku yang tidak punya siapa-siapa lagi, yang hidup sendiri, dan yang sedang berusaha mencari penebus dosa-dosa masa lalu. Bahkan hal itu terbilang gila dan bodoh. Orang gila sekalipun dapat memahaminya.
Mungkin engkau bertanya, “Mengapa pengabdian terhadap al- Qur’an dan iman menghalangimu dari dunia politik?” Jawabannya: Berbagai hakikat iman dan al-Qur’an sangat berharga dan mahal laksana intan permata. Kalau aku sibuk dengan poli- tik, tentu akan terlintas dalam pandangan orang awam yang lengah “Mungkin orang ini ingin menjadikan kita bergabung dalam sayap politik tertentu. Bukankah orang yang mengajak dengan propagan- da politik tidak lain untuk mendapat pengikut?” Dengan kata lain, mereka melihat intan yang mahal itu laksana serpihan kaca murahan. Dengan begitu berarti aku telah berbuat zalim kepada hakikat berharga tersebut dan telah menjatuhkan nilainya lewat keterlibatanku dalam dunia politik.
Wahai ahli dunia! Mengapa kalian tidak membiarkan diriku dan masih terus mengusikku dengan berbagai macam cara?
Barangkali kalian berkata, “Para syekh sufi kadangkala masih ikut terlibat dalam urusan kita. Sementara orang-orang kadang menyebutmu dengan panggilan syekh.”
Jawaban: Wahai para pemimpin, aku bukan syekh sufi. Aku hanya seorang ulama agama. Andaikan aku mengajari mereka tarekat sufi selama empat tahun ini yang kuhabiskan di sini, kalian boleh curiga. Namun, aku selalu berkata kepada setiap orang yang datang kepadaku bahwa saat ini bukan zaman tarekat. Yang penting dan mendesak sekarang ini adalah iman dan Islam.
Barangkali kalian bertanya, “Engkau disebut “Said Kurdi” karena mungkin membawa isu rasial dan ajakan kepadanya. Ini tidak tepat bagi kami.”
Jawaban: Wahai para pemimpin, tulisan “Said Lama” dan “Said Baru” bisa kalian baca. Aku menjelaskannya sebagai saksi. Sejak lama aku memandang fanatisme kelompok dan rasisme sebagai racun mematikan. Sebab, ia merupakan penyakit bawaan dari Eropa yang sangat kotor. Nabi dengan tegas menyatakan bahwa Islam menghapus fanatisme jahiliyah.(*[1])Eropa telah melemparkan penyakit tersebut ke tengah-tengah umat Islam guna mencerai-beraikan mereka sehingga mudah untuk dilahap. Nah, aku berusaha sekuat tenaga mengobati penyakit ini. Para murid dan relasiku menjadi saksi atas hal tersebut.
Jika demikian wahai para pembesar, apa perlunya berusaha mengganggu dan menyakitiku di balik setiap peristiwa yang terjadi? Ini seperti menghukum prajurit di Barat lantaran kesalahan yang dilakukan oleh prajurit di Timur karena keduanya sama-sama prajurit. Atau, seperti menghukum pedagang di Bagdad karena kesalahan yang dilakukan oleh pedagang di Istanbul. Inilah yang kalian lakukan pada setiap peristiwa di mana hal itu dijadikan sebagai alasan untuk mengusikku. Perasaan seperti apa gerangan sehingga melahirkan sikap demikian? Hati nurani mana yang rela memberi keputusan seperti ini? Maslahat seperti apa yang didapat darinya?
Poin Ketiga
Para sahabat dan kolegaku memperhatikan kondisiku yang tenang dan lapang, merasa aneh dengan sikapku yang memilih diam dan sabar dalam menghadapi setiap musibah yang menimpa. Mereka bertanya-tanya, “Bagaimana engkau bisa menanggung tekanan dan kesulitan yang ada? Dulu, engkau sangat pemarah; tidak rela kalau ada yang menyentuh kehormatanmu. Engkau juga tidak pernah membiarkan penghinaan sekecil apapun.”
Jawaban: Perhatikan dua peristiwa dan kisah berikut. Kalian bisa mendapatkan jawaban dari keduanya.
Kisah Pertama: Dua tahun yang lalu, seorang direktur, tanpa sebab dan alasan yang jelas melontarkan kata-kata yang berisi penghinaan kepadaku di saat aku tidak ada di tempat. Ucapannya sampai kepadaku. Dengan perasaan “Said Lama” selama satu jam aku merasa sangat terpukul. Namun berkat rahmat Allah, sebuah hakikat yang melenyapkan kerisauan tersebut datang ke dalam kalbu. Ia mendorongku untuk memaafkan orang tadi. Hakikat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Aku berkata kepada diriku, “Jika penghinaan yang ia lakukan serta berbagai aib yang ia ungkap terkait dengan diriku pribadi, semoga Allah meridainya. Pasalnya, ia telah memperlihatkan aib diriku. Jika ia benar, kritik yang ia berikan akan membimbing nafsu ammarahku dan meyelamatkanku dari sikap sombong. Namun jika ia berdusta, ia tetap membantuku agar selamat dari penyakit riya dan popularitas palsu yang menjadi sebab munculnya riya.” Ya, aku belum pernah berdamai dengan nafsu ammarahku karena belum pernah mendidiknya. Kalau ada seseorang yang mengingatkanku akan adanya kalajengking yang terdapat di pundak atau tubuhku, sudah selayaknya aku berterima kasih, bukan malah marah.
Adapun kalau penghinaan yang ia berikan tertuju pada statusku sebagai pelayan Iman dan al-Qur’an, berarti penghinaan tersebut tidak mengarah kepadaku. Kuserahkan orang itu kepada Sang Pemilik al-Qur’an yang telah mempekerjakanku dalam tugas tersebut. Dia adalah al-‘Azîz (Yang Maha Perkasa) dan al-Hakîm (Yang Maha Bijaksana).
Jika ucapannya ditujukan untuk menghina dan merendahkan diriku pribadi, itu juga sebenarnya tidak tertuju padaku. Sebab, aku hanyalah tawanan dan orang asing di wilayah ini. Aku tidak memiliki hak untuk membela kehormatanku. Namun ia tertuju kepada penguasa kampung dan wilayah ini. Sebab, aku hanya tamu di dalamnya. Penghinaan kepada seorang tawanan sebenarnya mengarah kepada pemimpinnya. Ia yang akan memberikan pembelaan untuknya.
Dengan hakikat tersebut aku merasa tenang. Kubaca fir- man-Nya:“Kuserahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.” (QS. Ghafir [40]: 44).Akupun melupakan kejadian tersebut lalu kuanggap tidak pernah terjadi. Akan tetapi, setelah itu terlihat bahwa al-Qur’an tidak memaafkannya dan memberikan hukuman kepadanya.
Kisah Kedua: Tahun ini aku mendengar sebuah peristiwa telah terjadi. Aku hanya mendengarnya secara global setelah ia terjadi. Akan tetapi, aku dianggap sebagai orang yang memiliki hubungan dengan peristiwa tersebut. Padahal, aku tidak pernah melakukan korespondensi dengan siapapun. Kalaupun menulis surat, hal itu sangat jarang kulakukan, dan itupun hanya kepada seorang teman dan terkait dengan persoalan iman. Bahkan kepada saudara kandungku sekalipun aku hanya menulis satu surat selama empat tahun. Aku menahan diri untuk tidak berkomunikasi dan melakukan kontak dengan mereka. Apalagi pihak penguasa melarangku melakukan hal itu. Aku hanya sesekali bertemu dengan satu atau dua orang kolega dekatku dalam satu pekan. Adapun para tamu yang datang jumlahnya tidak lebih dari satu atau dua orang. Mereka hanya menemuiku selama satu atau dua menit sepanjang satu bulan untuk menanyakan persoalan ukhrawi. Aku benar-benar terasing. Aku tidak bisa melakukan kontak dengan siapapun dan dari apapun.
Aku hidup sebatang kara tanpa ada kolega di sebuah kampung yang di dalamnya tidak ada penghasilan untukku. Bahkan semenjak empat tahun yang lalu kuperbaiki masjid yang sudah rusak bersama masyarakat sekaligus aku menjadi imam di dalamnya di mana aku memang memiliki ijazah sebagai imam dan juru dakwah dari kotaku. Semoga Allah menerima amalku. Namun demikian, bulan Ramadhan yang lalu aku tidak bisa pergi ke masjid. Kadang-kadang aku melaksanakan shalat sendirian sehingga tidak mendapat pahala shalat berjamaah yang pahalanya dua puluh lima kali lipat.
Menyikapi dua peristiwa di atas itulah aku berusaha bersabar dan seperti sikap yang kuperlihatkan dua tahun yang lalu saat menghadapi sang direktur tersebut. Dengan izin Allah, Aku akan terus bersabar seperti ini.
Yang terlintas dalam benakku dan ingin kuutarakan adalah jika sikap keras, tekanan dan perlakuan buruk yang ditunjukkan oleh pihak penguasa kepada diriku yang penuh kekurangan dan aib, maka kumaafkan. Semoga dengan begitu diriku menjadi lebih baik di mana ia menjadi penebus dosa. Jika aku merasakan kepedihan aki- bat tindakan buruk yang kuterima di dunia yang merupakan tempat jamuan ini, maka aku tetap bersyukur karena aku telah merasakan kesenangan dan kenikmatannya.
Akan tetapi, jika pihak penguasa menyiksaku lantaran aku melakukan pengabdian terhadap persoalan iman dan al-Qur’an, bukan tugasku untuk memberikan pembelaan. Namun kuserahkan ia kepada Dzat al-‘Aziz (Yang Maha Perkasa) dan al-Jabbâr (Yang Maha- gagah).
Jika tindakan buruk itu dimaksudkan agar orang-orang tidak mendatangi dan menaruh hormat padaku; dengan kata lain untuk membendung popularitas palsu yang sangat rapuh; bahkan ia menjadi sebab munculnya penyakit riya dan merusak keikhlasan, maka jika benar begitu, semoga mereka mendapatkan rahmat dan berkah Allah. Sebab, menurutku, meraih popularitas dan penghormatan manusia sangat berbahaya bagi orang-orang sepertiku. Pihak-pihak yang memiliki hubungan denganku sangat mengetahui bahwa aku tidak menerima penghormatan yang ditujukan padaku, bahkan aku membencinya. Sampai-sampai seorang sahabat yang baik dan mulia pernah kubentak lebih dari lima puluh kali karena terlalu menghormatiku.
Namun, jika tindakan mereka yang merendahkan diriku di mata manusia tertuju pada berbagai hakikat iman dan al-Qur’an yang kusampaikan, maka tindakan mereka sia-sia. Sebab, bintang- gemintang al-Qur’an tidak akan pernah terhijab oleh apapun. Siapa yang memejamkan mata, siang akan menjadi malam baginya semata; tidak bagi yang lainnya.
Poin Keempat
Jawaban atas sejumlah pertanyaan yang mendatangkan keraguan:
Pertanyaan pertama:
Pihak penguasa bertanya kepadaku, “Bagaimana engkau hidup? Bagaimana dengan urusan nafkahmu, sementara engkau tidak bekerja? Di sini kami tidak bisa menerima orang-orang yang menganggur dan malas, yang hanya makan dari usaha dan jerih payah orang lain?”
Jawaban:Aku hidup dengan cara hemat dan berkah. Aku tidak mau berhutang budi kepada siapapun selain Dzat Yang memberiku rezeki, Allah. Karena itu, aku memutuskan untuk tidak pernah menerimanya sepanjang hidupku.Ya, orang yang biasa hidup dengan sekian sen, enggan untuk berhutang budi kepada orang lain. Sebenarnya aku tidak mau menceritakan masalah ini karena khawatir akan melahirkan sikap sombong dan ego. Aku tidak mau mengungkapnya karena sangat berat bagiku. Akan tetapi, karena dari pertanyaan mereka tersirat adanya rasa curiga padaku, maka kukatakan bahwa dalam hidup aku memiliki prinsip untuk tidak menerima pemberian orang.
Sejak kecil aku tidak terbiasa menerima dari siapapun, bahkan meskipun berupa zakat. Lalu sikapku yang menolak gaji pemerintah kecuali yang diberikan oleh negara kepadaku selama dua tahun di Darul Hikmah al-Islamiyyah setelah teman-temanku mendesakku hingga akhirnya aku terpaksa menerimanya, namun secara maknawi aku kembalikan kepada masyarakat. Sikapku untuk tidak menerima pemberian orang dalam memenuhi kebutuhan hidup merupakan prinsip hidupku. Orang-orang di kotaku dan semua kenalanku di kota lain menge- tahui hal tersebut dengan baik. Banyak orang yang berusaha dengan berbagai cara agar aku mau menerima hadiah mereka sepanjang lima tahun ini saat aku berada dalam pengasingan. Namun aku menolaknya.
Jika ada yang bertanya : “Bagaimana kamu bertahan hidup?”
Jawabannya:Aku hidup dengan berkah dan ikram (kemurahan) Ilahi. Meskipun nafsu ammarahku ini layak dihinakan, namun dalam urusan rezeki aku mendapatkan keberkahan di mana ia merupakan bentuk ikram Ilahi sebagai salah satu kemuliaan berkhidmah pada al-Qur’an.
Aku akan memberikan sejumlah contoh sebagai bentuk syukur maknawi atas berbagai nikmat yang Allah berikan padaku dengan rahasia ayat yang berbunyi:“Terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu ungkapkan.” (QS. adh-Dhuhâ [93]: 11).Akan tetapi, meskipun demikian aku khawatir syukur maknawi tersebut bercampur dengan perasaan riya dan sombong sehingga keberkahannya menjadi hilang. Pasalnya, memperlihatkan keberkahan yang tersembunyi dengan rasa bangga bisa menjadi sebab terputusnya keberkahan. Namun apa daya, aku terpaksa harus menyebutkan keberkahan tersebut.
Pertama: Selama enam bulan ini aku tercukupi dengan 36 kerat roti yang terbuat dari 40 liter gandum. Bahkan roti tersebut masih tersisa dan aku tidak tahu kapan akan habis.(*[2])
Kedua: Pada bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, makanan tidak datang kecuali dari dua rumah. Ternyata keduanya telah membuatku sakit. Dari sini aku sadar bahwa aku tidak boleh menerima makanan dari orang lain. 1,3 kg beras dan tiga kerat roti sudah cukup untuk beberapa hari Ramadhan yang tersisa. Teman yang tulus, Abdullah Cavuş, pemilik rumah yang penuh berkah yang telah menyediakan makanan untukku menjadi saksi atasnya. Bahkan beras tadi masih ada sampai lima belas hari sesudah Ramadhan.
Ketiga: 1,3 kg mentega cukup untukku dan untuk para tamuku yang mulia padahal ia dimakan setiap hari dengan roti selama 3 bulan di gunung. Suatu ketika, aku kedatangan seorang tamu, Sulaiman, yang dijuluki Mubarak (orang yang penuh berkah). Saat itu roti hampir habis dan bertepatan pada hari Rabu. “Pergilah ke kampung dan carilah roti untuk dibawa kemari!” ujarku padanya. Pasalnya, di sekitar kami, bahkan sejauh dua jam perjalanan, tidak ada seorangpun yang menjual roti yang bisa kami beli. Ia menjawab, “Malam Jumat ini aku ingin tinggal bersamamu di puncak gunung ini untuk ikut berdoa kepada Allah.” “Kalau begitu, engkau boleh tinggal bersamaku dan kita berta- wakkal kepada Allah.”
Kemudian kami berjalan bersama dan naik ke puncak gunung meski sebetulnya tidak perlu dan tidak ada kebutuhan untuk itu. Kami membawa sedikit air serta sedikit teh dan gula.“Wahai saudaraku, tolong buatkan teh!” ujarku. Iapun mulai membuatnya.Aku duduk di bawah pohon menatap sebuah lembah yang dalam. Aku merenung dengan rasa pilu, “Kami hanya punya sekerat roti yang sudah berjamur, yang mungkin hanya cukup untuk sore ini. Tidak tahu bagaimana untuk dua hari berikutnya. Apa yang harus kukatakan untuk orang yang baik hati ini.”Saat sedang merenungkan hal tersebut, tiba-tiba kepalaku seolah diarahkan ke sebuah pohon katran. Seketika aku melihat sepotong roti besar di atas pohon tersebut yang sedang menatap kami. Aku pun berkata, “Bergembiralah wahai Sulaiman! Allah memberi rezeki kepada kita.” Kami mengambil roti tersebut seraya melihat barangkali ada jejak hewan atau burung padanya. Ternyata ia bersih; tidak ada jejak padanya. Apalagi sudah selama tiga bulan ini tidak ada seorangpun yang naik ke gunung ini. Roti itu cukup untuk kami makan selama dua hari. Ketika hampir habis, seorang lelaki jujur, Sulaiman Kervanci, yang telah menjadi sahabat yang setia selama empat tahun, datang membawa roti untuk kami.
Keempat: Jaket ini kubeli dalam kondisi bekas tujuh tahun yang lalu. 4,5 lira sudah cukup untuk biaya pakaian, sepatu, dan kaos kaki selama lima tahun. Alhamdulilah, keberkahan hidup hemat dan rahmat Ilahi telah memberikan kecukupan padaku.
Banyak contoh lain yang serupa dengan di atas di mana berkah Ilahi memiliki banyak sisi. Penduduk kampung ini mengetahui dengan baik berbagai bentuk keberkahan yang ada. Hanya saja, jangan pernah berpikir bahwa aku menceritakan hal tersebut dengan rasa bangga. Namun aku menceritakannya karena terpaksa. Juga, jangan pernah berpikir bahwa peristiwa di atas adalah bukti yang menun- jukkan kesalehanku. Tidak, akan tetapi keberkahan tersebut adalah bentuk kebaikan Ilahi kepada para sahabat dan tamuku yang tulus yang datang menemuiku. Atau, ia bisa merupakan karunia Ilahi atas pengabdian terhadap al-Qur’an, hasil penuh berkah dari sikap hemat, serta bisa pula rezeki untuk empat kucing yang senantiasa menyertai kami di sini di mana suara geramnya berisi zikir, “Yâ Rahîm, yâ Rahîm, yâ Rahîm...” Jadi, ia merupakan rezeki mereka yang datang dalam bentuk berkah. Sementara aku hanya mendapat manfaat darinya.Ya, apabila mendengarkan suara geramnya yang menyiratkan kesedihan, engkau pasti mengetahui dengan baik bahwa ia sedang berzikir mengucap, “Yâ Rahîm, yâ Rahîm, yâ Rahîm.”
Ketika membahas kucing, terlintas pula dalam benak ini tentang ayam.Aku memiliki seekor ayam. Hampir setiap hari pada musim dingin ini, ia memberiku sebutir telur yang berasal dari perbendaharaan rahmat Ilahi. Suatu hari ia bertelur dua butir sekaligus. Akupun terheran. Aku bertanya kepada para kolegaku, “Apakah hal seperti ini bisa terjadi?” “Barangkali ini karunia Ilahi,” ujar mereka.Ayam tersebut juga memiliki seekor anak di musim panas. Si anak mulai bertelur pada awal Ramadhan yang penuh berkah. Ia terus bertelur selama empat puluh hari. Aku dan orang-orang yang melayaniku sangat percaya bahwa telur yang dihasilkan di musim dingin serta yang dihasilkan oleh si anak pada musim Ramadhan merupakan bentuk karunia Ilahi. Lalu anak ayam itu mulai bertelur saat ibunya sudah berhenti bertelur. Dengan begitu, ia tidak pernah membiarkanku tanpa telur, alhamdulillah.
Pertanyaan Kedua:
Pihak penguasa berkata, “Bagaimana kami bisa percaya kepadamu bahwa engkau tidak ikut campur dalam urusan dunia kami? Bisa jadi kalau kami membebaskanmu, engkau akan ikut campur dalam urusan kami. Kemudian bagaimana kami mengetahui bahwa engkau tidak menipu kami? Pasalnya, engkau menampilkan diri seperti orang yang tidak tertarik pada dunia. Secara lahir engkau tidak mengambil harta mereka, namun bisa jadi mengambilnya secara sembunyi-sembunyi. Bagaimana kami bisa memastikan bahwa tindakanmu bukan tipu daya?”
Jawaban:Kondisiku dua puluh tahun yang lalu di pengadilan militer serta perjalanan hidupku sebelum deklarasi parlementer,(*[3])serta pembelaan yang terdapat dalam buku Syahâdatu Madrasatae al-Mushîbah, semuanya sudah diketahui oleh orang-orang yang mengenalku. Semuanya menjelaskan bahwa aku telah menjalani hidup ini tanpa pernah melakukan tipu daya, bahkan sekecil apapun.
Andai melakukan tipu daya, tentu aku sudah meminta bantuan kalian disertai sanjungan dan pujian kepada kalian sepanjang lima tahun ini. Sebab, penipu biasanya selalu ingin mendapat simpati manusia, bahkan berusaha memperdaya mereka. Ia tidak akan menjauhi mereka. Sementara faktanya aku tidak pernah tunduk dan merendah kepada siapapun meskipun semua serangan dan kritikan diarahkan kepadaku. Sebaliknya, aku malah berpaling dari pihak penguasa dengan hanya bertawakkal kepada Allah.
Lalu, orang yang mengetahui hakikat akhirat dan menyingkap hakikat dunia tidak akan pernah menyesal, selama ia punya akal. Ia tidak akan pernah menoleh kepada dunia. Kemudian orang yang hidup sendirian tanpa memiliki relasi dengan siapa-siapa, tidak akan pernah mengorbankan kehidupan abadinya dengan permain- an duniawi dan senda guraunya sekadar untuk satu atau dua tahun. Apalagi usianya sudah lebih dari lima puluh tahun. Bahkan andaikan mengorbankan kehidupan abadi di atas, ia bukanlah seorang penipu; melainkan orang yang hilang akal. Lalu apa gunanya memperhatikan orang yang hilang akal?
Adapun syubhat tentang keberadaanku sebagai orang yang dicurigai memburu dunia secara samar, meskipun secara lahir tampak lari darinya, maka jawabannya terkandung dalam firman Allah yang berbunyi:“Aku tidak menyatakan nafsuku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu selalu menyuruh kepada kejahatan.” (QS. Yûsuf [12]: 53).Aku tidak pernah menganggap nafsuku bersih dari dosa. Nafsu ini cenderung kepada berbagai keburukan. Hanya saja, kehilangan kehidupan dan kebahagiaan abadi demi meraih kenikmatan sesaat di dunia yang fana ini, di negeri jamuan yang bersifat sementara, serta di masa yang telah tua dan usia yang singkat, bukanlah karakter orang yang berakal dan orang yang memiliki kesadaran. Karena itu, nafsu ammarah-ku, mau tidak mau, tunduk kepada akal.
Pertanyaan Ketiga:
Pihak penguasa berkata, “Apakah engkau mencintai kami? Apakah engkau suka dan senang kepada kami?
Jika ya, lantas mengapa engkau berpaling dan tidak mau bergabung bersama kami? Namun jika tidak suka dan tidak senang kepada kami, berarti engkau menentang kami sehingga layak kami binasakan.”
Jawaban:Jika aku mencintai kalian dan dunia kalian, tentu aku tidak akan berpaling darinya. Aku tidak menyukai kalian dan dunia kalian. Juga, aku tidak mau mencampuri urusan kalian dan tidak mau bergabung dengan kalian, karena aku memiliki tujuan yang berbeda dengan tujuan kalian. Kalbuku telah dipenuhi oleh sejumlah urusan yang tidak bisa diisi dengan yang lain. Tugas kalian hanya melihat kondisi lahiriah; bukan melihat kalbu manusia. Oleh karena kalian ingin melanggengkan pemerintahan dan memperkuat keamanan, sementara aku tidak terlibat di dalamnya, maka kalian tidak boleh memaksa kalbu ini untuk mencintainya juga. Kalian tidak layak untuk mendapatkan cinta tersebut.
Jika kalian ikut campur dalam urusan kalbu, maka kukatakan, “Sebagaimana mengharap datangnya musim semi di saat musim dingin di mana hal itu tidak mungkin kulakukan, aku juga berharap dan berdoa untuk kondisi dunia yang baik dan damai serta menginginkan sadarnya pihak penguasa. Hanya saja hal itu berada di luar kemampuanku. Oleh sebab itu, aku tidak ikut campur secara langsung. Hal itu bukan tugasku dan diluar kemampuanku.
Pertanyaan Keempat:
Mereka berkata, “Kami mendapatkan banyak bencana dan musibah. Kami tidak lagi percaya kepada siapapun. Lalu bagaimana kami bisa percaya kepadamu? Jika ada kesempatan, tidakkah mungkin engkau akan ikut campur dalam urusan kami dengan caramu?
Jawaban:Sebenarnya sejumlah poin di atas sudah cukup untuk membuat kalian yakin dan percaya. Hanya saja aku ingin mengatakan bahwa saat aku tidak ikut terlibat dalam urusan kalian, sedang aku berada di kotaku dikelilingi oleh para murid dan kerabatku. Saat itu aku bersama mereka yang mau mendengar dan mengikuti petunjukku. Namun aku tidak mau ikut campur dalam dunia kalian; bahkan dalam mengobarkan sejumlah kejadian yang mengundang perhatian. Kalau demikian, mungkinkah akan ikut campur di dalamnya orang yang sedang berada dalam pengasingan di mana ia tinggal seorang diri, lemah, tak berdaya, mengarahkan perhatian hanya kepada akhirat, tidak bisa berkomunikasi dengan siapapun kecuali segelintir orang di jalan menuju akhirat? Ia terasing dari manusia sebagaimana manusia juga terasing darinya. Bahkan ia melihat mereka demikian. Nah, orang semacam itu jika ikut campur dalam dunia kalian yang berbahaya dan tanpa hasil, benar-benar sangat gila dan kurang waras.
Poin Kelima
Poin ini terkait dengan lima persoalan kecil:
Persoalan Pertama:
Ehl-i dünya bana diyorlar ki: Bizim usûl-ü medeniyetimizi, tarz-ı hayatımızı ve suret-i telebbüsümüzü ne için sen kendine tatbik etmiyorsun? Demek bize muarızsın.
Ben de derim: Hey efendiler! Ne hak ile bana usûl-ü medeniyetinizi teklif ediyorsunuz? Halbuki siz, beni hukuk-u medeniyetten ıskat etmiş gibi, haksız olarak beş sene bir köyde muhabereden ve ihtilattan memnû bir tarzda ikamet ettirdiniz. Her menfîyi şehirlerde dost ve akrabasıyla beraber bıraktınız ve sonra vesika verdiğiniz halde, sebepsiz beni tecrit edip bir iki tane müstesna hiçbir hemşehri ile görüştürmediniz. Demek, beni efrad-ı milletten ve raiyetten saymıyorsunuz. Nasıl kanun-u medeniyetinizin bana tatbikini teklif ediyorsunuz? Dünyayı bana zindan ettiniz. Zindanda olan bir adama böyle şeyler teklif edilmez. Siz bana dünya kapısını kapadınız; ben de âhiret kapısını çaldım, rahmet-i İlahiye açtı. Âhiret kapısında bulunan bir adama, dünyanın karmakarışık usûl ve âdâtı ona nasıl teklif edilir? Ne vakit beni serbest bırakıp memleketime iade edip hukukumu verdiniz, o vakit usûlünüzün tatbikini isteyebilirsiniz.
İkinci Mesele:
Ehl-i dünya diyorlar ki: Bize ahkâm-ı diniyeyi ve hakaik-i İslâmiyeyi talim edecek resmî bir dairemiz var. Sen ne salahiyetle neşriyat-ı diniye yapıyorsun? Sen madem nefye mahkûmsun, bu işlere karışmaya hakkın yok.
Elcevap: Hak ve hakikat inhisar altına alınmaz! İman ve Kur’an nasıl inhisar altına alınabilir? Siz dünyanızın usûlünü, kanununu inhisar altına alabilirsiniz. Fakat hakaik-i imaniye ve esasat-ı Kur’aniye, resmî bir şekilde ve ücret mukabilinde dünya muamelatı suretine sokulmaz. Belki bir mevhibe-i İlahiye olan o esrar, hâlis bir niyet ile ve dünyadan ve huzuzat-ı nefsaniyeden tecerrüd etmek vesilesiyle o feyizler gelebilir. Hem de sizin o resmî daireniz dahi memlekette iken beni vaiz kabul etti, tayin etti. Ben o vaizliği kabul ettim fakat maaşını terk ettim. Elimde vesikam var. Vaizlik, imamlık vesikasıyla her yerde amel edebilirim çünkü benim nefyim haksız olmuştur. Hem menfîler madem iade edildi, eski vesikalarımın hükmü bâkidir.
Sâniyen, yazdığım hakaik-i imaniyeyi doğrudan doğruya nefsime hitap etmişim. Herkesi davet etmiyorum. Belki ruhları muhtaç ve kalpleri yaralı olanlar, o edviye-i Kur’aniyeyi arayıp buluyorlar. Yalnız medar-ı maişetim için yeni huruf çıkmadan evvel, haşre dair bir risalemi tabettirdim. Bunu da bana karşı insafsız eski vali, o risaleyi tetkik edip tenkit edecek bir cihet bulamadığı için ilişemedi.
Üçüncü Mesele:
Benim bazı dostlarım, ehl-i dünya bana şüpheli baktıkları için ehl-i dünyaya hoş görünmek için; benden zâhiren teberri ediyorlar, belki tenkit ediyorlar. Halbuki kurnaz ehl-i dünya, bunların teberrisini ve bana karşı içtinablarını, o ehl-i dünyaya sadakate değil belki bir nevi riyaya, vicdansızlığa hamledip o dostlarıma karşı fena nazarla bakıyorlar.
Ben de derim: Ey âhiret dostlarım! Benim Kur’an’a hizmetkârlığımdan teberri edip kaçmayınız. Çünkü inşâallah benden size zarar gelmez. Eğer faraza musibet gelse veya bana zulmedilse siz benden teberri ile kurtulamazsınız. O hal ile musibete ve tokada daha ziyade istihkak kesbedersiniz. Hem ne var ki evhama düşüyorsunuz?
Dördüncü Mesele:
Şu nefiy zamanımda görüyorum ki hodfüruş ve siyaset bataklığına düşmüş bazı insanlar, bana tarafgirane, rakibane bir nazarla bakıyorlar. Güya ben de onlar gibi dünya cereyanlarıyla alâkadarım.
Hey efendiler! Ben imanın cereyanındayım. Karşımda imansızlık cereyanı var. Başka cereyanlarla alâkam yok. O adamlardan ücret mukabilinde iş görenler, belki kendini bir derece mazur görüyor. Fakat ücretsiz, hamiyet namına bana karşı tarafgirane, rakibane vaziyet almak ve ilişmek ve eziyet etmek; gayet fena bir hatadır. Çünkü sâbıkan ispat edildiği gibi siyaset-i dünya ile hiç alâkadar değilim; yalnız bütün vaktimi ve hayatımı, hakaik-i imaniye ve Kur’aniyeye hasr ve vakfetmişim. Madem böyledir, bana eziyet verip rakibane ilişen adam düşünsün ki o muamelesi zındıka ve imansızlık namına imana ilişmek hükmüne geçer.
Beşinci Mesele:
Dünya madem fânidir.
Hem madem ömür kısadır.
Hem madem gayet lüzumlu vazifeler çoktur.
Hem madem hayat-ı ebediye burada kazanılacaktır.
Hem madem dünya sahipsiz değil.
Hem madem şu misafirhane-i dünyanın gayet Hakîm ve Kerîm bir Müdebbiri var.
Hem madem ne iyilik ve ne fenalık, cezasız kalmayacaktır.
Hem madem لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَف۟سًا اِلَّا وُس۟عَهَا sırrınca teklif-i mâlâyutak yoktur.
Hem madem zararsız yol, zararlı yola müreccahtır.
Hem madem dünyevî dostlar ve rütbeler, kabir kapısına kadardır.
Elbette en bahtiyar odur ki: Dünya için âhireti unutmasın, âhiretini dünyaya feda etmesin, hayat-ı ebediyesini hayat-ı dünyeviye için bozmasın, malayani şeylerle ömrünü telef etmesin, kendini misafir telakki edip misafirhane sahibinin emirlerine göre hareket etsin, selâmetle kabir kapısını açıp saadet-i ebediyeye girsin. (Hâşiye[4])
- * *
On Altıncı Mektup’un Zeyli
بِاس۟مِهٖ وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَم۟دِهٖ
Ehl-i dünya sebepsiz, benim gibi âciz, garib bir adamdan tevehhüm edip binler adam kuvvetinde tahayyül ederek beni çok kayıtlar altına almışlar. Barla’nın bir mahallesi olan Bedre’de ve Barla’nın bir dağında, bir iki gece kalmaklığıma müsaade etmemişler. İşittim ki diyorlar:
“Said elli bin nefer kuvvetindedir, onun için serbest bırakmıyoruz.”
Ben de derim ki: Ey bedbaht ehl-i dünya! Bütün kuvvetinizle dünyaya çalıştığınız halde, neden dünyanın işini dahi bilmiyorsunuz? Divane gibi hükmediyorsunuz. Eğer korkunuz şahsımdan ise elli bin nefer değil belki bir nefer elli defa benden ziyade işler görebilir. Yani, odamın kapısında durup bana “Çıkmayacaksın!” diyebilir.
Eğer korkunuz mesleğimden ve Kur’an’a ait dellâllığımdan ve kuvve-i maneviye-i imaniyeden ise elli bin nefer değil, yanlışsınız! Meslek itibarıyla elli milyon kuvvetindeyim, haberiniz olsun! Çünkü Kur’an-ı Hakîm’in kuvvetiyle sizin dinsizleriniz dâhil olduğu halde, bütün Avrupa’ya meydan okuyorum. Bütün neşrettiğim envar-ı imaniye ile onların fünun-u müsbete ve tabiat dedikleri muhkem kalelerini zîr ü zeber etmişim. Onların en büyük dinsiz feylesoflarını, hayvandan aşağı düşürmüşüm. Dinsizleriniz dahi içinde bulunan bütün Avrupa toplansa Allah’ın tevfikiyle beni o mesleğimin bir meselesinden geri çeviremezler, inşâallah mağlup edemezler!
Madem böyledir, ben sizin dünyanıza karışmıyorum, siz de benim âhiretime karışmayınız! Karışsanız da beyhudedir.
Takdir-i Hudâ, kuvvet-i bâzu ile dönmez
Bir şem’a ki Mevla yaka, üflemekle sönmez.
Benim hakkımda, müstesna bir surette, pek ziyade ehl-i dünya tevehhüm edip âdeta korkuyorlar. Bende bulunmayan ve bulunsa dahi siyasî bir kusur teşkil etmeyen ve ittihama medar olmayan şeyhlik, büyüklük, hanedan, aşiret sahibi, nüfuzlu, etbaı çok, hemşehrileriyle görüşmek, dünya ahvaliyle alâkadar olmak, hattâ siyasete girmek, hattâ muhalif olmak gibi bende bulunmayan emirleri tahayyül ederek evhama düşmüşler. Hattâ hapiste ve hariçteki, yani kendilerince kabil-i af olmayanların dahi aflarını müzakere ettikleri sırada, beni âdeta her şeyden men’ettiler. Fena ve fâni bir adamın, güzel ve bâki şöyle bir sözü var:
Zulmün topu var, güllesi var, kalesi varsa
Hakkın da bükülmez kolu, dönmez yüzü vardır.
Ben de derim:
Ehl-i dünyanın hükmü var, şevketi var, kuvveti varsa
Kur’an’ın feyziyle, hâdiminde de
Şaşırmaz ilmi, susmaz sözü vardır;
Yanılmaz kalbi, sönmez nuru vardır.
Çok dostlarla beraber bana nezaret eden bir kumandan, mükerreren sual ettiler:
“Neden vesika için müracaat etmiyorsun? İstida vermiyorsun?”
Elcevap: Beş altı sebep için müracaat etmiyorum ve edemiyorum:
Birincisi: Ben ehl-i dünyanın dünyasına karışmadım ki onların mahkûmu olayım, onlara müracaat edeyim. Ben, kader-i İlahînin mahkûmuyum ve ona karşı kusurum var, ona müracaat ediyorum.
İkincisi: Bu dünya çabuk tebeddül eder bir misafirhane olduğunu yakînen iman edip bildim. Onun için hakiki vatan değil, her yer birdir. Madem vatanımda bâki kalmayacağım; beyhude ona karşı çabalamak, oraya gitmek bir şeye yaramıyor. Madem her yer misafirhanedir; eğer misafirhane sahibinin rahmeti yâr ise herkes yârdır, her yer yarar. Eğer yâr değilse her yer kalbe bârdır ve herkes düşmandır.
Üçüncüsü: Müracaat, kanun dairesinde olur. Halbuki bu altı senedir bana karşı muamele, keyfî ve fevka’l-kanundur. Menfîler kanunuyla bana muamele edilmedi. Hukuk-u medeniyetten ve belki hukuk-u dünyeviyeden ıskat edilmiş bir tarzda bana baktılar. Bu fevka’l-kanun muamele edenlere, kanun namına müracaat manasız olur.
Dördüncüsü: Bu sene buranın müdürü, benim namıma, Barla’nın bir mahallesi hükmünde olan Bedre karyesinde, tebdil-i hava için birkaç gün kalmaya dair müracaat etti; müsaade etmediler. Böyle ehemmiyetsiz bir ihtiyacıma cevab-ı red verenlere nasıl müracaat edilir? Müracaat edilse zillet içinde faydasız bir tezellül olur.
Beşincisi: Haksızlığı hak iddia edenlere karşı hak dava etmek ve onlara müracaat etmek; bir haksızlıktır, hakka karşı bir hürmetsizliktir. Ben bu haksızlığı ve hakka karşı hürmetsizliği irtikâb etmek istemem vesselâm.
Altıncı Sebep: Bana karşı ehl-i dünyanın verdikleri sıkıntı, siyaset için değil çünkü onlar da bilirler ki siyasete karışmıyorum, siyasetten kaçıyorum. Belki bilerek veya bilmeyerek zındıka hesabına, benim dine merbutiyetimden beni tazip ediyorlar. Öyle ise onlara müracaat etmek, dinden pişmanlık göstermek ve meslek-i zındıkayı okşamak demektir.
Hem ben onlara müracaat ve dehalet ettikçe; âdil olan kader-i İlahî, beni onların zalim eliyle tazip edecektir. Çünkü onlar diyanete merbutiyetimden beni sıkıyorlar. Kader ise benim diyanette ve ihlasta noksaniyetim var, ara sıra ehl-i dünyaya riyakârlıklarımdan için beni sıkıyor.
Öyle ise şimdilik şu sıkıntıdan kurtuluşum yok. Eğer ehl-i dünyaya müracaat etsem kader der: “Ey riyakâr! Bu müracaatın cezasını çek!” Eğer müracaat etmezsem ehl-i dünya der: “Bizi tanımıyorsun, sıkıntıda kal!”
Yedinci Sebep: Malûmdur ki bir memurun vazifesi, heyet-i içtimaiyeye muzır eşhasa meydan vermemek ve nâfi’lere yardım etmektir. Halbuki beni nezaret altına alan memur, kabir kapısına gelen misafir bir ihtiyar adama “Lâ ilahe illallah”taki imanın latîf bir zevkini izah ettiğim vakit –bir cürm-ü meşhud halinde beni yakalamak gibi– çok zaman yanıma gelmediği halde, o vakit güya bir kabahat işliyorum gibi yanıma geldi. İhlas ile dinleyen o bîçareyi de mahrum bıraktı, beni de hiddete getirdi. Halbuki burada bazı adamlar vardı, o onlara ehemmiyet vermiyordu. Sonra edepsizliklerde ve köydeki hayat-ı içtimaiyeye zehir verecek surette bulundukları vakit, onlara iltifat etmeye ve takdir etmeye başladı.
Hem malûmdur ki: Zindanda yüz cinayeti bulunan bir adam, nezarete memur zabit olsun, nefer olsun, her zaman onlarla görüşebilir. Halbuki bir senedir hem âmir hem nezarete memur hükûmet-i milliyece iki mühim zat kaç defa odamın yanından geçtikleri halde, kat’â ve aslâ ne benim ile görüştüler ve ne de halimi sordular. Ben evvel zannettim ki adâvetlerinden yanaşmıyorlar. Sonra tahakkuk etti ki evhamlarından… Güya ben onları yutacağım gibi kaçıyorlar.
İşte şu adamlar gibi eczası ve memurları bulunan bir hükûmeti, hükûmet diyerek merci tanıyıp müracaat etmek, kâr-ı akıl değil, beyhude bir zillettir. Eski Said olsaydı Antere gibi diyecekti:
مَاءُ ال۟حَيَاةِ بِذِلَّةٍ كَجَهَنَّمَ وَ جَهَنَّمُ بِال۟عِزِّ فَخ۟رُ مَن۟زِلٖى
Eski Said yok, Yeni Said ise ehl-i dünya ile konuşmayı manasız görüyor. Dünyaları başlarını yesin! Ne yaparlarsa yapsınlar! Mahkeme-i kübrada onlarla muhakeme olacağız der, sükût eder.
Adem-i müracaatımın sebeplerinden sekizincisi: “Gayr-ı meşru bir muhabbetin neticesi, merhametsiz bir adâvet olduğu” kaidesince, âdil olan kader-i İlahî, lâyık olmadıkları halde meylettiğim şu ehl-i dünyanın zalim eliyle beni tazip ediyor. Ben de bu azaba müstahakım deyip sükût ediyorum.
Çünkü Harb-i Umumî’de Gönüllü Alay Kumandanı olarak iki sene çalıştım, çarpıştım. Ordu Kumandanı ve Enver Paşa takdiratı altında kıymettar talebelerimi, dostlarımı feda ettim. Yaralanıp esir düştüm. Esaretten geldikten sonra Hutuvat-ı Sitte gibi eserlerimle kendimi tehlikeye atıp İngilizlerin İstanbul’a tasallutu altında, İngilizlerin başlarına vurdum. Şu beni işkenceli ve sebepsiz esaret altına alanlara yardım ettim. İşte onlar da bana, o yardım cezasını böyle veriyorlar. Üç sene Rusya’da esaretimde çektiğim zahmet ve sıkıntıyı, burada bu dostlarım bana üç ayda çektirdiler.
Halbuki Ruslar, beni Kürt Gönüllü Kumandanı suretinde, Kazakları ve esirleri kesen gaddar adam nazarıyla bana baktıkları halde, beni dersten men’etmediler. Arkadaşım olan doksan esir zabitlerin kısm-ı ekserisine ders veriyordum. Bir defa Rus Kumandanı geldi, dinledi. Türkçe bilmediği için siyasî ders zannetti; bir defa beni men’etti, sonra yine izin verdi. Hem aynı kışlada bir odayı cami yaptık. Ben imamlık yapıyordum. Hiç müdahale etmediler, ihtilattan men’etmediler, beni muhabereden kesmediler.
Halbuki bu dostlarım güya vatandaşlarım ve dindaşlarım ve onların menfaat-i imaniyelerine uğraştığım adamlar, hiçbir sebep yokken, siyasetten ve dünyadan alâkamı kestiğimi bilirlerken üç sene değil belki beni altı sene sıkıntılı bir esaret altına aldılar; ihtilattan men’ettiler. Vesikam olduğu halde dersten, hattâ odamda hususi dersimi de men’ettiler; muhabereye set çektiler. Hattâ vesikam olduğu halde, kendim tamir ettiğim ve dört sene imamlık ettiğim mescidimden beni men’ettiler. Şimdi dahi cemaat sevabından beni mahrum etmek için –daimî cemaatim ve âhiret kardeşlerim– mahsus üç adama dahi imamet etmemi kabul etmiyorlar.
Hem istemediğim halde, birisi bana iyi dese bana nezaret eden memur kıskanarak kızıyor, nüfuzunu kırayım diye vicdansızcasına tedbirler yapıyor, âmirlerinden iltifat görmek için beni taciz ediyor.
İşte böyle vaziyette bir adam, Cenab-ı Hak’tan başka kime müracaat eder? Hâkim, kendi müddeî olsa elbette ona şekva edilmez. Gel sen söyle, bu hale ne diyeceğiz? Sen ne dersen de. Ben derim ki: Bu dostlarım içinde çok münafıklar var. Münafık kâfirden eşeddir. Onun için kâfir Rus’un bana çektirmediğini çektiriyorlar.
Hey bedbahtlar! Ben size ne yaptım ve ne yapıyorum? İmanınızın kurtulmasına ve saadet-i ebediyenize hizmet ediyorum! Demek hizmetim hâlis, lillah için olmamış ki aksü’l-amel oluyor. Siz ona mukabil, her fırsatta beni incitiyorsunuz. Elbette mahkeme-i kübrada sizinle görüşeceğiz.
حَس۟بُنَا اللّٰهُ وَنِع۟مَ ال۟وَكٖيلُ نِع۟مَ ال۟مَو۟لٰى وَنِع۟مَ النَّصٖيرُ derim.
اَل۟بَاقٖى هُوَ ال۟بَاقٖى
Said Nursî
- ↑ *Takhrijnya telah disebutkan pada “Surat Kelima Belas”.
- ↑ *Ia bertahan sampai satu tahun penuh―Penulis.
- ↑ *32 Yaitu deklarasi parlementer di Daulah Utsmani pada 23 Juli 1908.
- ↑ Hâşiye: Bu mademler içindir ki şahsıma karşı olan zulümlere, sıkıntılara aldırmıyorum ve ehemmiyet vermiyorum. “Meraka değmiyor.” diyorum ve dünyaya karışmıyorum.