Yirmi Altıncı Mektup/id: Revizyonlar arasındaki fark
("Pertama, ia mengambil permata al-Qur’an sebagai pelajaran dariku atau dari Risalah Nur yang merupakan penyeru kepada al- Qur’an meski hanya satu pelajaran." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) |
("===Persoalan Kesepuluh===" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) |
||
669. satır: | 669. satır: | ||
Ya Allah, Dzat Yang Mengabulkan doa Nuh dalam dakwanya; Yang memenangkan Ibrahim atas musuhnya; Yang mengembalikan Yusuf ke Ya’qub; Yang menyembuhkan penyakit Ayyub; Yang mengabulkan doa Zakariya; dan Yang mengampuni Yunus ibn Matta. Dengan rahasia pemilik doa-doa yang mustajab tersebut, kami memohon:Lindungi aku dan penyebar risalah ini berikut teman-teman mereka dari kejahatan setan golongan manusia dan jin; beri kami kemenangan atas musuh kami; jangan serahkan kami kepada diri kami; lapangkan dada kami dan dada mereka; sembuhkan penyakit hati kami dan hati mereka. Amin, amin, amin! | Ya Allah, Dzat Yang Mengabulkan doa Nuh dalam dakwanya; Yang memenangkan Ibrahim atas musuhnya; Yang mengembalikan Yusuf ke Ya’qub; Yang menyembuhkan penyakit Ayyub; Yang mengabulkan doa Zakariya; dan Yang mengampuni Yunus ibn Matta. Dengan rahasia pemilik doa-doa yang mustajab tersebut, kami memohon:Lindungi aku dan penyebar risalah ini berikut teman-teman mereka dari kejahatan setan golongan manusia dan jin; beri kami kemenangan atas musuh kami; jangan serahkan kami kepada diri kami; lapangkan dada kami dan dada mereka; sembuhkan penyakit hati kami dan hati mereka. Amin, amin, amin! | ||
------ | ------ | ||
<center> [[Yirmi Beşinci Mektup]] ⇐ | [[Mektubat]] | ⇒ [[Yirmi Yedinci Mektup]] </center> | <center> [[Yirmi Beşinci Mektup/id|SURAT KEDUA PULUH LIMA]] ⇐ | [[Mektubat/id|Al-Maktûbât]] | ⇒ [[Yirmi Yedinci Mektup/id|SURAT KEDUA PULUH TUJUH]] </center> | ||
------ | ------ | ||
09.08, 23 Ocak 2025 itibarı ile sayfanın şu anki hâli
(Surat Kedua Puluh Enam ini menjelaskan empat bahasan yang memiliki sedikit korelasi di antara masing-masingnya)
BAHASAN PERTAMA
بِاس۟مِهٖ سُب۟حَانَهُ وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَم۟دِهٖ
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ
“Jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Fushshilat [41]: 36).
Argumen al-Qur’an yang Membungkam Setan dan Sekutunya
Bahasan pertama ini yang memaksa iblis, setan, dan kaum pembangkang terdiam adalah hasil dari sebuah peristiwa nyata. Ia menangkal tipu daya setan yang menakutkan dalam sebuah diskusi rasional dan netral. Peristiwa tersebut telah kutulis sepuluh tahun yang lalu secara global dalam bab al-Lawâmi. Kisahnya sebagai berikut:
Sebelas tahun sebelum penulisan risalah ini, suatu hari aku menyimak bacaan al-Quran dari para penghafal al-Quran di Masjid Bayazid Istanbul. Waktu itu bertepatan pada bulan Ramadhan yang penuh berkah. Ketika itu, tiba-tiba aku mendengar suara maknawi yang menarik perhatianku tanpa melihat orang yang menuturkannya. Akupun menyimak dan mendengar suara tersebut.
Ia berkata,
“Engkau melihat al-Qur’an demikian mulia dan bersinar. Cobalah melihatnya secara netral. Lalu ukurlah dengan timbangan rasional dan objektif. Maksudku, asumsikan al-Qur’an sebagai perkataan manusia. Setelah itu, perhatikan masihkah ada sejumlah keistimewan itu padanya?”
Pada hakikatnya aku tertipu olehnya. Kuasumsikan al-Qur’an sebagai perkataan manusia. Lalu aku melihatnya dari sisi yang ia maksud. Seketika aku berada dalam kegelapan yang pekat. Cahaya al- Qur’an yang sangat terang langsung padam. Kegelapan menyelimuti seluruh sisi persis seperti ketika seseorang mematikan tombol listrik. Namun aku segera sadar bahwa yang berbicara denganku adalah setan. Ia ingin menjerumuskan diriku ke dalam jurang. Aku pun meminta pertolongan lewat al-Qur’an. Tiba-tiba cahaya memancar di dalam kalbuku. Dengan itu, aku memiliki kekuatan untuk melakukan pembelaan. Ketika itulah perdebatan dengan setan dimulai dalam bentuk sebagai berikut:
Aku berkata,
“Hai setan! Diskusi yang netral, tanpa berpihak kepada salah satu dari dua sisi, adalah dengan berada di tengah- tengah keduanya. Namun diskusi netral yang diserukan oleh dirimu dan para sekutumu dari kalangan manusia adalah berpihak pada sisi lawan. Hal ini tentu saja tidak netral; namun merupakan bentuk ateisme yang bersifat sementara. Pasalnya, memosisikan al-Qur’an sebagai perkataan manusia serta melakukan diskusi rasional dengan asumsi semacam itu berarti mengambil posisi yang berlawanan dan berpegang pada kebatilan. Ia tidak bisa disebut netral, tetapi berpihak dan menunjukkan loyalitas pada kebatilan.
Mendengar hal tersebut setan berkata,
“Baik, kalau begitu ambil jalan tengah; asumsikan ia bukan kalam Allah, bukan pula perkataan manusia.”
Kujawab,
“Ini juga tidak mungkin. Sebab, jika ada harta yang diperebutkan, lalu dua orang yang saling mengaku berada dalam posisi berdekatan, maka dalam kondisi demikian harta tadi ditempatkan di tangan orang lain selain mereka berdua, atau di tempat yang bisa dijangkau keduanya. Jika salah satu diantara keduanya bisa memberikan argumen paling kuat serta bisa membuktikan pengakuannya, ia berhak mengambil harta tersebut. Akan tetapi, kalau dua orang tadi berada di tempat yang saling berjauhan, misalkan yang satu di timur dan yang satu lagi di barat, dalam kondisi demikian harta dibiarkan berada di pihak yang sedang memegangnya. Pasalnya, ia tidak bisa dibiarkan berada di tengah-tengah di antara mereka.(*[1])
Demikianlah, al-Qur’an merupakan barang berharga dan harta bernilai. Sebagaimana jarak antara kalam Allah dan kalam manusia sangat jauh, begitu pula jauhnya jarak antara kedua sisi tersebut bersifat mutlak tak terhingga. Karena itu, harta tersebut tidak mungkin diletakkan di tengah-tengah antara keduanya. Pasalnya, tidak ada perantara antara keduanya sama sekali.Ia laksana ada dan tiada; tidak ada penengah di antara keduanya.
Dengan demikian, pemegang ken- dali al-Qur’an adalah pihak ilahi. Karena itu, penyelesaiannya harus seperti itu dan pemaparan argumennya berdasarkan hal tersebut. Dengan kata lain, al-Qur’an berada di tangan Allah. Terkecuali, jika ada pihak lain yang bisa mematahkan semua argumen yang menunjukkan bahwa ia merupakan kalam Allah. Ketika itulah, ia bisa ikut campur dengannya. Jika tidak, maka tidak bisa.Jangan harap hal itu mungkin terjadi. Siapa yang bisa menggoyang mutiara berharga di arasy agung yang dikokohkan oleh ribuan argumen mematikan. Adakah yang berani merobohkan pilar-pilar yang tegak dengan kokoh itu sehingga mutiara berharga tadi jatuh dari arasy yang tinggi?!
Hai setan! Ahlul haq dan orang yang objektif menimbang perkara di atas dengan timbangan akal yang sehat. Bahkan mereka semakin percaya kepada al-Qur’an dengan dalil yang paling kecil sekalipun.
Adapun jalan yang ditunjukkan olehmu dan oleh murid-muridmu, yaitu dengan mengasumsikan al-Quran sebagai kalam manusia, meskipun hanya sekali. Yakni, andaikan mutiara agung yang dengan kokoh berada di arasy itu dijatuhkan ke bumi, maka dibutuhkan sebuah argumen yang kuat yang bisa mengalahkan semua argumen dan dalil yang ada. Hal itu agar ia mampu naik dari bumi dan menempati arasy maknawi. Hanya dengan cara itu ia bisa selamat dari gelapnya kekufuran dan bisa mencapai cahaya iman. Sementara hal tersebut sangat sulit dicapai oleh siapa pun. Oleh sebab itu, banyak orang di zaman sekarang yang kehilangan iman akibat tipu dayamu dengan mengatasnamakan “pendekatan objektif ”.
Setan pun berujar,
“Konteks kalam dalam al-Qur’an menyeru- pai perkataan manusia. Bentuk dialognya seperti gaya bahasa manusia. Dengan demikian, ia merupakan perkataan manusia. Sebab, andaikan ia kalam Allah, tentu dalam segala aspeknya akan sangat luar biasa yang sesuai dengan kondisi Allah, dan tidak akan menyerupai perkataan manusia, sebagaimana kreasi Allah tidak sama dengan kreasi manusia.”
Jawabanku sebagai berikut:
Rasul tetap berada dalam kondisinya sebagai manusia pada seluruh perbuatan, kondisi, dan fase kehidupan beliau di luar mukjizat dan sejumlah keistimewaannya. Beliau tunduk dan taat pada semua sunnatullah dan perintah penciptaan-Nya sama seperti manusia yang lain. Beliau merasa kedinginan dan juga merasa sakit. Demikianlah, beliau tidak diberikan kondisi luar biasa dalam seluruh fase kehidupannya. Hal itu agar beliau bisa menjadi teladan bagi umat lewat seluruh perbuatannya, menjadi panutan lewat tingkah lakunya, serta menjadi rujukan bagi seluruh manusia lewat gerak langkahnya. Sebab, andaikan seluruh kondisi kehidupan beliau luar biasa, tentu beliau tidak bisa menjadi teladan dan panutan bagi semua manusia. Beliau pun tidak bisa menjadi pembimbing manusia dan tidak bisa menjadi rahmat bagi seluruh alam pada seluruh kon- disi beliau.
Begitu pula dengan al-Qur’an al-Hakim. Ia adalah panutan bagi makhluk berkesadaran, pembimbing bagi jin dan manusia, petunjuk bagi orang-orang yang mencapai derajat kesempurnaan, serta guru bagi ahli hakikat.(*[2])Karena itu, al-Qur’an harus dalam bentuk percakapan dan gaya bahasa manusia.
Pasalnya, manusia dan jin bisa mendapat inspirasi untuk bermunajat, belajar berdoa, menyebutkan sejumlah persoalan dengan bahasanya, dan mengenal adab-adab pergaulan darinya. Begitulah, setiap mukmin dapat menjadikannya sebagai rujukan.
Andaikan al-Qur’an dalam bentuk kalam ilahi yang sebenarnya seperti yang didengar oleh Musa di gunung Sinai, sudah pasti manusia tidak mampu mendengarnya, tidak kuasa menyimaknya, serta tidak bisa menjadikannya sebagai rujukan bagi seluruh kondisinya. Nabi Musa saja, yang termasuk rasul ulul azmi, tidak kuasa kecuali sebatas mendengar sebagian dari kalam-Nya di mana beliau berkata, “Seperti itukah kalam-Mu?” Allah menjawab, “Aku memiliki kekuatan seluruh lisan dan bahasa.”(*[3])
قَالَ اللّٰهُ : لٖى قُوَّةُ جَمٖيعِ ال۟اَل۟سِنَةِ
Lagi-lagi setan berkata,
“Banyak manusia yang menyebutkan sejumlah persoalan agama yang serupa dengan apa yang terdapat dalam al-Qur’an. Tidakkah mungkin manusia bisa mendatangkan sesuatu yang serupa dengan al-Qur’an atas nama agama?”
Dengan limpahan cahaya al-Qur’an al-Karim, kujelaskan:
Pertama, orang yang paham agama menjelaskan kebenaran dengan berkata, “Kebenaran adalah demikian, hakikatnya begini, dan perintah Allah seperti ini.” Hal itu didasari oleh dorongan cinta kepada agama, bukan berbicara atas nama Allah sesuai keinginan hawa nafsunya. Ia juga tidak melampaui batas dengan mengaku berbicara atas nama Allah atau berbicara tentang-Nya dengan meniru kalam-Nya. Namun ia merinding di hadapan firman-Nya:“Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah” (QS. az-Zumar [39]: 32).
Kedua, manusia sama sekali tidak mungkin melakukan perbuatan tersebut. Ini sangat mustahil. Hanya orang-orang yang “saling berdekatan” yang bisa saling meniru. Barangkali orang yang berasal dari satu jenis atau satu golongan bisa meniru sosok lain sehingga untuk sementara waktu bisa menipu manusia. Akan tetapi, ia tidak bisa menipu mereka untuk selamanya. Sebab, orang yang peka dapat mengetahui sikap dan perbuatannya yang dibuat-buat, dan pasti suatu hari kebohongannya akan terbongkar sehingga tipu dayanya tidak akan bertahan lama.
Jika orang yang ingin ditiru “sangat jauh”, misalnya orang yang awam ingin meniru Ibnu Sina dalam hal ilmu pengetahuan, atau seorang pengembala berlagak seperti raja, maka ia tidak akan bisa menipu siapapun. Justru ia akan diejek dan dihinakan orang. Sebab, seluruh kondisinya akan berkata, “Ini adalah penipu.”
Kondisinya sama seperti kunang-kunang bagi kalangan astronom tidak mungkin tampil seperti bintang selama seribu tahun tanpa terindikasi adanya unsur kepura-puraan. Atau, lalat bagi orang yang bisa melihat tidak mungkin tampil sebagai burung merak selama seribu tahun tanpa terindikasi adanya kebohongan. Juga, prajurit biasa tidak mungkin menyamar jadi Jenderal dalam waktu yang lama tanpa diketahui oleh siapapun. Seorang pendusta yang tidak beriman juga tidak mungkin menampilkan diri seperti orang yang paling jujur, paling beriman, dan paling kokoh akidahnya sepanjang hayat di hadapan kalangan yang cermat dan teliti di mana sikapnya itu tidak diketahui oleh orang-orang jenius.
Sebagaimana semua kondisi di atas seratus persen tidak mungkin terjadi serta tidak akan dipercaya oleh mereka yang masih memiliki akal, bahkan ia dianggap sebagai sikap gila dan tidak waras. Demikian pula ketika al-Qur’an diasumsikan sebagai perkataan ma- nusia.
Hal itu sama sekali tidak mungkin. Pasalnya, asumsi tersebut berarti menganggap al-Qur’an―yang merupakan bintang hakikat yang bersinar, bahkan mentari kesempurnaan yang cemerlang nan terus-menerus memancarkan cahaya hakikat kebenaran di langit dunia Islam sebagai kilau cahaya redup yang sengaja dibuat sendiri lewat berbagai khurafat, sementara orang-orang yang dekat dengannya dan mencermati kondisinya tidak bisa membedakan hal tersebut, bahkan justru mereka melihatnya sebagai bintang yang tinggi dan sumber segala hakikat.
Ini tentu saja sebuah kemustahilan. Di samping itu, wahai setan, jika engkau terus melakukan tipu daya dalam bentuk yang berkali-kali lipat dari yang sekarang, engkau tidak akan bisa menjadikan kemustahilan tersebut sebagai sesuatu yang mungkin terjadi. Engkau tidak akan bisa menipu akal yang masih sehat. Engkau hanya bisa menipu manusia dengan cara memperlihatkan persoalan kepada mereka dari jauh sehingga engkau memperlihatkan bintang bersinar menjadi kecil seperti kunang-kunang.
Ketiga, mengasumsikan al-Qur’an sebagai ucapan manusia berarti menjadikan berbagai hakikat dan rahasia al-Qur’an yang memiliki berbagai keistimewaan dan penjelasan menakjubkan, yang menghimpun semua yang kering dan basah, yang memiliki pengaruh istimewa di alam manusia serta dampak baik dan penuh berkah seperti yang terlihat di mana al-Qur’an itulah yang menghem- buskan ruh kepada umat manusia, membangkitkan kehidupan di dalamnya, serta mengantar mereka kepada kebahagiaan abadi.
Nah, asumsi tersebut berarti memosisikan al-Qur’an yang penuh hikmah dan hakikat mulia sebagai karya buatan manusia yang tidak memiliki ilmu dan pembantu. Hal itu juga berarti bahwa orang-orang cerdas dan dekat dengan beliau di mana mereka mengetahui betul kondisi beliau, tidak melihat sama sekali tanda-tanda penipuan. Namun mereka melihat ketulusan, keteguhan, dan kesungguhan beliau. Ini tentu saja sangat mustahil. Apalagi dengan asumsi tersebut sosok yang dalam seluruh kondisi, perkataan, dan geraknya sepanjang hidup memperlihatkan sikap amanah, iman, keikhlasan, kejujuran, dan istikamah, serta telah membimbing dan mendidik kalangan shid- diqin berdasarkan sifat-sifat mulia tersebut, haruslah berupa sosok yang tidak dipercaya, tidak ikhlas, dan tidak memiliki akidah. Hal itu berarti melihat setumpuk kemustahilan sebagai sebuah hakikat yang nyata. Ini adalah bentuk igauan yang setan sendiri malu untuk melakukannya. Sebab, tidak ada posisi tengah dalam persoalan ini.
Andaikan al-Qur’an diasumsikan sebagai bukan kalam Allah, berarti posisinya turun dari arasy yang agung menuju bumi. Ia tidak berada di tengah-tengah. Maka, iapun menjadi sumber berbagai khurafat, padahal ia merupakan kumpulan hakikat. Demikian halnya kalau sosok yang memperlihatkan kalam Allah yang luar biasa itu diasumsikan bukan seorang rasul. Dengan asumsi tersebut, berarti al-Qur’an jatuh dari tingkatan paling tinggi kepada tingkatan yang paling rendah, dari derajat sumber kesempurnaan dan kemuliaan menuju sumber tipu daya. Ia tidak berada di tengah. Pasalnya, orang yang berdusta atas nama Allah jatuh kepada tingkatan yang paling rendah.
Melihat lalat sebagai burung merak secara permanen, serta menyaksikan sifat-sifat burung merak yang tinggi pada lalat tersebut merupakan hal yang sangat mustahil. Demikian pula dengan persoalan ini. Tidak mungkin membuka kemungkinan tersebut kecuali orang gila yang sedang mabuk.
Keempat, al-Qur’an merupakan pembimbing suci dan cahaya petunjuk umat Muhammad yang merupakan komunitas terbesar dan pasukan di tengah-tengah manusia. Dengan hukumnya yang kokoh, konstitusinya yang mapan, dan perintahnya yang suci, al-Qur’an dengan pasukan tersebut bisa menyerang serta menguasai dunia dan akhirat lewat sistem yang menata kondisi mereka serta bekal maknawi dan materi yang diberikan kepada mereka. Al-Qur’an mengajari akal manusia sesuai dengan tingkatannya, mendidik kalbu mereka, menundukan jiwa mereka, membersihkan hati nurani mereka, serta menggerakkan tubuh mereka. Namun mengasumsikan al-Qur’an al-Karim sebagai ucapan manusia, berarti memosisikannya sebagai ucapan yang dibuat-buat yang tidak kuat, tidak penting, dan tidak memiliki landasan, itu sama sekali tidak mungkin. Hal itu berarti menerima ratusan kemustahilan.
Lebih dari itu, sosok tersebut (Muhammad) telah menghabiskan umurnya dalam mematuhi hukum-hukum Allah, menyeru manusia untuk mematuhinya, serta mengajarkan kepada manusia prinsip-prinsip hakikat lewat perbuatannya yang tulus. Beliau juga memperlihatkan sikap istikamah dan jalan kebahagiaan lewat perkataannya yang tulus dan logis. Beliau adalah sosok yang paling takut kepada Allah, sosok yang paling mengenal Allah, serta sosok yang memperkenalkan Allah kepada manusia lewat kesaksian biografinya sehingga seperlima umat manusia dan separuh penduduk bumi masuk ke dalam panjinya sepanjang seribu tiga ratus lima puluh tahun. Beliau menjadi pemimpin bagi umat sehingga beliau mengguncang dunia dan benar-benar menjadi kebanggaan umat manusia, bahkan kebanggaan dunia dan akhirat.Nah, dengan mengasumsikan al-Qur’an sebagai perkataan manusia berarti memosisikan beliau sebagai sosok yang tidak mengenal Allah, tidak takut kepada siksa-Nya, serta sederajat dengan orang awam. Ini berarti melakukan segudang kemustahilan. Pasalnya, persoalan ini tidak memiliki posisi tengah.
Andai al-Qur’an al-Karim bukan merupakan kalam Allah dan jatuh dari arasy yang agung, ia tidak mungkin berada di tengah-tengah. Namun harus menjadi barang milik salah seorang pendusta di bumi.Karena itu wahai setan, andaikan tipu dayamu bertambah seratus kali lipat, hal itu tetap tidak akan membuat asumsi tadi diterima orang yang akalnya masih sehat dan kalbunya tidak rusak.
Setan pun menjawab,
“Bagaimana mungkin aku tidak bisa menyesatkan mereka? Aku telah berhasil menggiring banyak manusia dan orang berakal, khususnya yang ternama, untuk mengingkari al-Qur’an dan kenabian Muhammad.”
Jawaban:
Pertama, jika sesuatu yang paling besar dilihat dari jarak yang sangat jauh, ia tampak seperti sangat kecil. Sehingga orang yang melihat bintang bisa berkata, “Cahayanya seperti lilin.”
Kedua, pandangan yang sangat dangkal melihat kemustahilan sebagai sesuatu yang mungkin. Diriwayatkan bahwa seorang kakek- kakek memandang ke langit untuk melihat hilal Ramadhan. Lalu ada sehelai alisnya yang sudah putih turun melengkung ke depan matanya. Ia mengira hal itu sebagai hilal. Seketika ia berkata, “Aku telah menyaksikan hilal.” Tentu saja sehelai alis mustahil menjadi hilal. Akan tetapi, karena tujuan utamanya ingin melihat hilal, lalu sehelai alis tadi terlihat di depannya dalam bentuk sekunder, seketika ia menerima kemustahilan itu sebagai sesuatu yang mungkin.
Ketiga, “mengingkari” berbeda dengan “tidak menerima” (menolak). Pasalnya, tidak menerima artinya tidak peduli. Ia adalah memejamkan mata di hadapan berbagai hakikat dan tindakan menafikan secara bodoh. Ia bukan pernyataan. Dengan begitu, banyak hal mustahil yang tersembunyi di balik hijab tersebut. Sebab, ia tidak memikirkan hal tersebut.Adapun “mengingkari” bukan “tidak menerima”. Tetapi, ia merupakan sikap menerima ketiadaan, dan hal itu merupakan sebuah pernyataan. Dalam hal ini pelakunya mau tidak mau harus menggunakan akal dan berpikir. Karena itu, setan sepertimu bisa merampas akalnya lalu menipunya dengan sikap ingkar.
Selanjutnya, wahai setan, engkau telah menipu binatang malang yang berwujud manusia. Engkau membentangkan kekufuran dan sikap ingkar yang melahirkan banyak kemustahilan kepada mereka lewat kelalaian, kesesatan, sikap keras kepala, sombong, angkuh, taklid buta, serta berbagai tipu daya sejenis di mana ia memperlihatkan kebatilan sebagai sebuah kebenaran, dan kemustahilan sebagai sesuatu yang mungkin.
Keempat, al-Qur’an adalah kitab yang membimbing kalangan ashfiya, shiddîqîn, dan wali qutub yang bersinar laksana bintang di langit manusia. Al-Qur’an dengan jelas mengajarkan kebenaran, keadilan, kejujuran, sikap istikamah, damai, dan rasa aman kepada seluruh kalangan yang menuju kesempurnaan. Al-Qur’an merealisa- sikan kebahagiaan dunia dan akhirat lewat hakikat rukun iman dan prinsip rukun Islam. Ia adalah kitab yang haq, hakikat yang suci, dan kalam kebenaran yang sungguh-sungguh. Dengan demikian, meng- asumsikan al-Qur’an sebagai perkataan manusia berarti al-Qur’an dipersepsikan dengan sesuatu yang berlawanan dengan sifat-sifat, pengaruh, dan cahayanya. Artinya, al-Qur’an dipersepsikan sebagai karangan dan buatan seorang pendusta. Hal ini adalah bentuk kemustahilan keji yang setan sendiri malu untuk melakukannya. Ia adalah igauan kufur yang mengerikan.
Di samping itu, Nabi adalah orang yang paling kokoh akidahnya, paling kuat imannya, paling jujur ucapannya, dan paling bersih kalbunya. Hal itu dibuktikan lewat kesaksian syariat yang beliau bawa dan petunjuk yang beliau perlihatkan seperti sifat takwa yang luar biasa, ubudiyah yang tulus, akhlak mulia beliau yang diakui oleh baik kawan maupun lawan, serta lewat pembenaran para ulama, ahli hakikat, dan para peniti kesempurnaan yang beliau bina. Nah, dengan asumsi di atas berarti beliau adalah sosok yang tidak punya akidah, tidak bisa dipercaya, dan tidak takut kepada Allah. Ini tidak lain adalah tindakan menerima kemustahilan yang paling keji serta kesesatan yang dibalut dalam kezaliman dan kegelapan.
Kesimpulan:sebagaimana telah disebutkan dalam ‘petunjuk ke delapan belas’ dari “Surat Kesembilan Belas” bahwa orang yang hanya memiliki kemampuan menyimak dalam memahami kemukjizatan al-Qur’an berkata, “Jika al-Qur’an dibandingkan dengan seluruh kitab yang pernah kudengar, al-Qur’an sama sekali berbeda. Ia tidak sama dengan seluruh kitab tersebut.” Karena itu, hanya ada dua kemungkinan: al-Qur’an berada di bawah semua itu, atau al-Qur’an berada di atas semuanya. Kemungkinan pertama, di samping musta- hil, juga musuh atau bahkan setan sekalipun tak dapat mengatakan hal tersebut. Kalau demikian berarti al-Qur’an lebih mulia dan lebih tinggi daripada seluruh kitab yang ada. Dengan kata lain, al-Qur’an merupakan mukjizat.
Atas dasar itu, dengan bersandar pada sebuah argumen mematikan yang dalam ushul fikih dan ilmu logika dikenal dengan istilah as-Sabru wa at-Taqsîm(*[4])(eskplorasi dan pembagian), kami ingin menegaskan:
Wahai setan dan para pengikutnya! Al-Qur’an al-Karim bisa jadi merupakan kalam Allah yang datang dari arasy yang agung dan dari nama yang agung, atau bisa pula merupakan karangan seseorang yang tidak takut kepada Allah, tidak mempercayai-Nya, dan tidak mengenal-Nya (Hasya lillah). Kemungkinan yang terakhir ini tidak mampu dan tidak akan pernah mampu kau utarakan sesuai dengan sejumlah argumen kuat sebelumnya. Karena itu, secara pasti dan tanpa sedikitpun keraguan, al-Qur’an merupakan kalam Tuhan semesta alam. Hal itu karena dalam masalah ini tidak ada posisi tengah. Ia sama sekali tidak mungkin seperti yang telah kami tegaskan dan telah kau saksikan sendiri.
Demikian halnya dengan Muhammad. Bisa jadi beliau adalah utusan Allah, pemimpin para rasul, dan makhluk terbaik, atau beliau diasumsikan sebagai manusia yang berani mengarang-ngarang atas nama Allah di mana beliau tidak mengenal, tidak meyakini, dan tidak mempercayai siksa-Nya sehingga jatuh ke derajat yang paling rendah (Hasya lillah).(*[5])Ini sesuatu yang tidak bisa diutarakan oleh engkau wahai iblis, serta oleh kalangan filsuf Eropa dan kaum munafik Asia yang kau banggakan. Pasalnya, tidak ada seorangpun di dunia ini yang mendengar perkataan ini darimu lalu mempercayainya. Karena itu, filsuf yang paling rusak dan orang munafik yang paling bejat sekalipun mengakui bahwa Muhammad adalah sosok luar biasa yang sangat jenius dan memiliki akhlak yang paling baik.
Selama persoalannya terbatas pada dua sisi tersebut, sementara sisi atau kemungkinan yang kedua mustahil, tidak ada yang menyatakannya, lalu dalam masalah ini tidak ada posisi tengah antara keduanya seperti yang telah kami jelaskan, berarti harus diterima secara jelas dan haqqul yaqin bahwa Muhammad adalah utusan Allah, pemimpin para rasul, kebanggaan alam, dan makhluk terbaik. Semoga salawat dan salam tercurah kepada beliau sebanyak jumlah malaikat, jin, dan manusia.
عَلَي۟هِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ بِعَدَدِ ال۟مَلَكِ وَال۟اِن۟سِ وَال۟جَانِّ
Protes Setan yang Kedua
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir. Datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya. Ditiuplah sangkakala. Itulah hari terlaksananya ancaman. Datanglah tiap-tiap diri, bersama dengannya, seorang Malaikat penggiring dan seorang Malaikat penyaksi. Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini. Maka Kami singkapkan darimu tutup (yang menutupi) matamu. Maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam. Yang menyertainya berkata, “Inilah (catatan amalnya) yang tersedia pada sisiku.” Allah berfirman, “Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala.” (QS. Qâf [50]: 18-24).
Ketika aku membaca ayat demi ayat dari surah Qaf di atas, setan berkata:“Kalian melihat kelugasan dan kejelasan al-Qur’an sebagai pilar kefasihannya yang paling penting. Sementara, pada ayat-ayat tersebut terdapat perpindahan dan lompatan yang sangat jauh. Ayat tersebut melintas dari sakaratul maut menuju kiamat. Ia berpindah dari peniupan sangkakala menuju hisab. Lalu dari sana tiba-tiba disebutkan pelemparan ke dalam neraka. Apakah kefasihan bahasa masih terdapat dalam perpindahan yang aneh tersebut? Pada sebagian besar tempat dalam al-Qur’an, kita melihat sejumlah persoalan semacam ini. Lalu di mana letak kefasihannya?”
Jawaban: Setelah balagahnya yang luar biasa, dasar terpenting dalam kemukjizatan al-Qur’an adalah simplifikasi (Îjâz). Simplifikasi tersebut adalah asas paling penting dan paling kuat dari kemukjizatan al- Qur’an. Simplifikasi al-Qur’an yang menakjubkan sangat banyak dan indah sehingga membuat banyak cendekiawan terkagum-kagum.
Misalnya, firman Allah yang berbunyi: Dan difirmankan, “Wahai bumi telanlah airmu, dan wahai langit (hujan) berhentilah!” Maka airpun disurutkan, perintah pun diselesaikan, dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi. Lalu dikatakan, “Binasalah orang-orang yang zalim.” (QS. Hûd [11]: 44).
Ayat di atas menjelaskan peristiwa badai besar berikut dampaknya hanya dalam beberapa kalimat pendek. Meskipun penjelasannya sangat ringkas, namun penuh dengan kemukjizatan. Hal tersebut membuat para ahli balagah mengakui keindahan balagahnya.
Contoh lain adalah firman-Nya: (Kaum) Tsamud telah mendustakan (rasulnya) karena mereka melampaui batas. Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka. Lalu Rasul Allah (Saleh ) berkata kepada mereka, “(Biarkanlah) unta betina Allah dan minumannya.” Lalu mereka mendustakannya dan menyembelih unta itu. Maka Tuhan membinasakan mereka disebabkan dosa mereka. Lalu Allah meratakan mereka (dengan tanah). Allah tidak takut terhadap akibat tindakan-Nya itu. (QS. asy- Syams [91]: 11-15).
Ayat di atas memberikan sebuah penjelasan menakjubkan secara sangat ringkas dalam beberapa kalimat pendek tentang peristiwa yang terjadi pada kaum Tsamud dan akibatnya. Meskipun penjelasannya sangat ringkas, namun tidak rancu, serta lugas dan jelas.
Contoh lain adalah firman-Nya: (Ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan menyulitkannya, maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap,“Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. al-Anbiyâ [21]: 87).
Antara frasa اَن۟ لَن۟ نَق۟دِرَ عَلَي۟هِ hingga فَنَادٰى فِى الظُّلُمَاتِ terdapat banyak kalimat yang tak disebutkan. Kalimat-kalimat yang tak terucap itu tidak membuatnya rancu dan tidak merusak kelugasan ayat. Pasalnya, ayat tersebut menyebutkan sejumlah peristiwa penting dalam kehidupan Nabi Yunus dan sisanya diserahkan kepada akal.
Begitu pula pada surah Yusuf. Antara kata فَاَر۟سِلُونِ hingga يُوسُفُ اَيُّهَا الصِّدّٖيقُ terdapat sekitar delapan kalimat yang tidak disebutkan. Namun ia tidak merusak makna dan kefasihan ayat.
Bentuk simplifikasi yang menakjubkan semacam itu sangat banyak dalam al- Qur’an. Pada saat bersamaan ia juga sangat indah.
Adapun ayat-ayat sebelumnya yang terdapat dalam surah Qâf, bentuk simplifikasinya sangat mengagumkan dan menakjubkan. Pasalnya, ia menjelaskan masa depan kaum kafir yang menakutkan dan membentang. Satu hari darinya setara dengan lima puluh ribu tahun. Ayat tersebut menyebutkan berbagai transformasi dan perubahan besar yang menimpa kaum kafir di masa depan mereka. Bahkan ia menjalankan pikiran dengan sangat cepat laksana kilat di atas berbagai peristiwa menakutkan tersebut. Ia juga menjadikan masa yang panjang itu seperti lembaran yang hadir di hadapan manusia. Adapun berbagai kejadian yang tak disebutkan diserahkan kepada imajinasi. Ia menjelaskannya dengan sangat fasih dan indah.
“Apabila al-Qur’an dibacakan, perhatikanlah ia dan diamlah agar kalian mendapat rahmat.” (QS. al-A’râf [7]: 204).
Wahai setan, apa lagi yang bisa kau katakan!
Setan berkata, “Aku tidak bisa menyanggah berbagai dalil dan argumen ini. Aku juga tidak bisa melawannya. Akan tetapi, banyak orang bodoh yang malah menyimak ucapanku. Juga banyak setan dari kalangan manusia yang malah membantuku, serta banyak filsuf yang egois dan sombong mengambil pelajaran dariku tentang berbagai persoalan yang memupuk kecongkakan mereka. Mereka beru- saha menghalangi penyebaran pemikiran yang tertuang dalam karya-karyamu. Karena itu, aku tidak menyerah dan tidak akan pernah menyerah.”
سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
BAHASAN KEDUA
(Bahasan ini ditulis karena rasa heran yang muncul pada mereka yang selalu melayaniku ketika melihat kepribadianku yang berbeda-beda, sekaligus untuk meluruskan prasangka baik berlebihan yang tak layak kuterima dari dua orang muridku)
Aku melihat bahwa sebagian keutamaan yang tertuju kepada hakikat al-Qur’an diberikan kepada perantara yang memerankan diri sebagai penyeru dan penjaja hakikat tersebut. Pandangan seperti itu salah. Sebab, kesucian dan kemuliaan rujukan itulah yang melahirkan pengaruh hebat, yang melebihi pengaruh argumen yang banyak. Masyarakat secara umum tunduk pada hukum-hukumnya lewat ke- sucian tadi. Ketika penyeru dan penjaja menampakkan eksistensi dirinya, yakni ketika perhatian tertuju kepadanya, pengaruh dari kesucian sumber tersebut menjadi lenyap. Karena itu, aku ingin menjelaskan hakikat berikut ini kepada saudara-saudaraku yang memberikan perhatian terhadapku melebihi kapasitasku. Kutegaskan bahwa:
Manusia memiliki sejumlah kepribadian. Kepribadian tersebut memiliki sejumlah akhlak yang berbeda-beda. Misalnya, pejabat tinggi memiliki kepribadian khusus saat menjalankan tugas dari posisinya yang tinggi. Kedudukan dan posisi ini menuntut adanya sikap wibawa untuk menjaga kemuliaan posisi dan kedudukannya. Maka, memperlihatkan sikap tawaduk kepada setiap orang yang mengunjunginya akan menjatuhkan posisinya. Namun demikian, ia juga memiliki kepribadian lain saat berada di rumah dan bersama keluarganya. Yang dituntut darinya adalah sikap dan akhlak yang berbeda dengan saat ia bekerja. Sebab, semakin tawaduk hal itu akan semakin baik dan indah. Sementara kalau memperlihatkan sikap wibawa, hal itu justru akan dianggap sebagai kesombongan.
Jadi, terdapat kepribadian khusus manusia dengan melihat pada tugasnya. Kepribadian ini berbeda dengan kepribadiannya yang hakiki dalam banyak hal. Jika pejabat tersebut layak dengan tugasnya serta memiliki kemampuan untuk menjalankan pekerjaannya, maka kedua kepribadian tersebut saling berdekatan. Namun jika ia tidak layak atas pekerjaan tersebut dan tidak memiliki kemampuan, misalnya seorang prajurit diberi posisi sebagai Jenderal, maka kedua kepribadian tadi akan saling berjauhan. Pasalnya, sifat-sifat prajurit yang biasa dan sederhana tidak sejalan dengan karakter mulia yang dimiliki posisi Jenderal.
Begitulah, pada diri saudara kalian yang fakir ini terdapat tiga kepribadian. Masing-masing sangat jauh berbeda.
Pertama, kepribadian temporer yang khusus untuk mengabdikan diri pada al-Qur’an. Hal itu sesuai dengan kedudukanku sebagai penjaja khazanah pengetahuan al-Qur’an yang penuh hikmah dan mulia. Akhlak mulia yang menjadi tuntutan tugas dakwah bukanlah milikku. Ia hanyalah tabiat mulia yang menjadi tuntutan dari posisi tinggi tersebut. Maka, akhlak dan berbagai kemuliaan yang kalian lihat tidak lain berasal dari jenis ini. Ia bukan milikku. Ia adalah milik kedudukan mulia tersebut. Karenanya, jangan kalian melihat diriku dari sisi itu.
Kedua, ketika aku bersimpuh di hadapan-Nya, Allah mem- beriku kepribadian khusus pada waktu ibadah. Kepribadian tersebut melahirkan berbagai pengaruh yang bersumber dari landasan makna ubudiyah. Landasan tersebut berupa pengakuan dan kesadaran akan kekurangan, kelemahan, dan kefakiran di hadapan Allah serta berlindung kepada-Nya dengan penuh kerendahan diri. Lewat kepriba- dian tersebut, aku melihat diriku sebagai orang yang paling malang, paling lemah, paling papa, dan paling lalai pada-Nya. Kalaupun seluruh dunia memberikan pujian dan sanjungan padaku, semua itu tidak akan pernah bisa membuatku merasa sudah salih dan baik.
Ketiga, kepribadianku yang sebenarnya. Yaitu kepribadianku yang merupakan cerminan dari “Said Lama”. Ia adalah tabiat yang merupakan warisan dari Said Lama. Kadangkala ia memperlihatkan keinginan untuk riya dan haus kedudukan. Di samping itu, ia memperlihatkan sejumlah akhlak buruk dengan sikap hemat yang mencapai derajat pelit, karena aku bukan berasal dari keluarga yang memiliki kedudukan dan jabatan.
Wahai saudaraku-saudaraku! Aku tidak akan mengungkap berbagai kekurangan dari kepribadianku ini serta sejumlah keburukannya agar kalian tidak menjauhiku.
Wahai saudaraku, aku tidak layak mendapatkan kedudukan tinggi dan tidak memiliki kesiapan untuknya. Kepribadianku ini sangat jauh dari akhlak pengemban dakwah dan pengemban misi ubudiyah.Allah telah memperlihatkan qudrah-Nya yang penuh kasih sesuai dengan kaidah: “Karunia ilahi tidak mensyaratkan adanya kelayakan pada diri seseorang.” Dialah yang menundukkan kepribdi- anku yang laksana prajurit terendah untuk mengabdikan diri pada rahasia al-Qur’an yang merupakan jabatan tertinggi dan termulia. Karena itu, beribu-ribu syukur kuucapkan kepada Allah.Diri ini lebih rendah dari semua, namun tugas yang diberikan lebih mulia dari seluruhnya.
Segala puji bagi Allah. Ini adalah karunia Tuhan.
BAHASAN KETIGA
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ
يَٓا اَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَق۟نَاكُم۟ مِن۟ ذَكَرٍ وَاُن۟ثٰى وَجَعَل۟نَاكُم۟ شُعُوبًا وَقَبَٓائِلَ لِتَعَارَفُوا
“Wahai manusia, Kami menciptakan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal.”(QS. al-Hujurât [49]: 13).
Maksudnya, Kami menciptakan kalian dalam beragam kelompok, kabilah, umat, dan bangsa agar kalian saling mengenal. Juga agar kalian mengetahui relasi sosial dan saling membantu di antara kalian. Kami menjadikan kalian bersuku-suku dan berkelompok-kelompok tidak untuk saling bertikai dan saling memusuhi.
Dalam bahasan ini terdapat tujuh persoalan:
Persoalan Pertama,
hakikat mulia yang dikandung oleh ayat di atas secara khusus berbicara tentang kehidupan sosial. Karena itu, aku merasa perlu menuliskan bahasan ini dengan niat mengabdikan diri untuk al-Qur’an serta dengan harapan bisa membangun benteng yang dapat menahan berbagai serangan zalim. Kutuliskan ia lewat lisan “Said Lama” yang memiliki relasi dengan kehidupan sosial Islam; bukan lewat lisan “Said Baru” yang ingin menjauhi kehidupan sosial.(*[6])
Persoalan Kedua,
sebagai penjelasan dari prinsip saling me- ngenal dan saling membantu seperti yang dikandung oleh ayat di atas, kami ingin menegaskan bahwa sebuah pasukan dibagi ke dalam sejumlah korps, kelompok, brigade, batalion, grup, detasemen, dan regu. Hal itu dimaksudkan agar setiap prajurit mengetahui tugas-tugasnya sesuai dengan relasi yang beragam tersebut, serta agar setiap anggota pasukan dapat menunaikan tugasnya sesuai dengan prinsip kerjasama sehingga kehidupan sosial mereka terlindungi dari serangan musuh. Pembagian kepada sejumlah kelompok tadi bukan untuk melahirkan persaingan antar batalion, melahirkan permusuhan antar detasemen, atau benturan antar regu.
Begitu pula kondisinya dalam komunitas Islam yang menyerupai pasukan besar. Ia dibagi ke dalam sejumlah kabilah dan kelompok meskipun sebenarnya mereka memiliki seribu satu sisi kesatuan dan kesamaan. Pasalnya, Pencipta mereka satu, Pemberi rezeki mereka satu, Rasul mereka satu, Kiblat mereka satu, kitab suci mereka satu, dan tanah air mereka satu.
Terdapat begitu banyak kesamaan yang jumlahnya mencapai ribuan sisi di mana hal itu menuntut terciptanya persaudaraan, cinta, dan kesatuan. Artinya, kondisi terbagi kepada berbagai kelompok dan kabilah seperti yang disebutkan ayat di atas, tidak lain adalah untuk saling mengenal dan saling menolong; bukan untuk saling bertikai dan saling memusuhi.
Persoalan Ketiga
paham nasionalisme pada abad ini telah menyebar luas dan tertanam kuat. Orang-orang zalim Eropa, khususnya mereka yang melakukan makar, menyebarkan paham ini dalam bentuk yang negatif ke tengah-tengah umat Islam guna memecah belah mereka dan guna memudahkan mereka untuk menelan umat Islam.
Karena pada paham nasionalisme ini terdapat sebuah rasa bagi jiwa, satu kenikmatan yang melenakan, serta kekuatan yang buruk, maka kita tidak bisa mengatakan kepada para aktivis sosial kemasyarakatan saat ini, “Tinggalkan paham nasionalisme tersebut!”
Namun harus dijelaskan bahwa nasionalisme itu sendiri terbagi dua: Pertama, nasionalisme negatif, buruk, dan berbahaya. Ia tumbuh dan berkembang dengan menghabisi pihak lain dan eksis dengan cara memusuhi orang-orang di luar mereka. Nasionalisme semacam ini melahirkan permusuhan dan pertikaian. Karena itu, dalam hadis disebutkan:
“Islam menghapus apa yang ada sebelumnya.” Islam menolak fanatisme jahiliyah.
Al-Qur’an juga menegaskan:
“Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan Jahiliyah. Lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin. Kemudian Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa. Mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Fath [48]: 26).
Ayat dan hadis di atas secara tegas menolak paham nasionalisme negatif dan rasisme. Sebab, semangat keislaman yang positif dan suci tidak membutuhkannya.
Nah, adakah satu ras di dunia yang jumlahnya sekitar 350 juta? Lalu rasisme manakah yang dapat memberikan jumlah pengikut sebanyak itu sebagai ganti dari Islam? Sepanjang sejarah tampak begitu banyak bahaya yang diakibatkan oleh nasionalisme negatif.
Di antaranya:Kalangan Umawiyah mencampur sedikit pandangan nasionalisme dalam politik dan kebijakan mereka. Hal ini membuat dunia Islam murka, di samping melahirkan begitu banyak bencana akibat fitnah internal.
Begitu pula dengan bangsa-bangsa Eropa. Ketika mereka menyerukan rasisme, muncul konflik historis yang penuh dengan peristiwa menakutkan antara Perancis dan Jerman. Ia juga melahirkan kerusakan parah akibat perang dunia. Inilah bahaya yang menyertai kemunculan nasionalisme negatif tersebut kepada umat manusia.
Hal yang sama terjadi pada kita. Di awal masa proklamasi konstitusi Turki Usmani, beragam organisasi imigran terbentuk. Pertama-tama adalah Yunani dan Armenia dengan nama kelompok yang sangat banyak. Hal itu kemudian menimbulkan perpecahan sebagaimana dengan runtuhnya menara Babilonia yang melahirkan sejumlah suku yang terpecah belah. Sebagai akibatnya, ada di antara mereka yang menjadi santapan asing, serta ada pula yang jatuh dan tersesat jauh. Semua itu menjelaskan dampak buruk dan bahaya dari nasionalisme negatif.
Sekarang kebencian dan permusuhan antar elemen dan kelompok Islam yang disebabkan oleh nasionalisme negatif menjadi bencana besar. Pasalnya, berbagai elemen tersebut, satu dengan yang lain saling membutuhkan akibat kezaliman, kesewenang-wenangan, dan kemiskinan yang mereka rasakan serta akibat hegemoni asing. Hal itu benar-benar menghancurkan mereka. Karenanya, sikap permusuhan antar mereka merupakan musibah besar yang sulit untuk digambarkan.
Bahkan ia merupakan sikap yang tidak rasional sama seperti orang yang sibuk dengan gigitan nyamuk; tetapi tidak peduli dengan ular-ular raksasa yang berada di sekitar mereka.Ya, ketika ambisi Eropa yang tak pernah surut dan puas laksana ular besar sedang membuka mulut siap untuk menelan, maka sikap tidak peduli dengan ancaman Eropa, bahkan membantu mereka se- cara tidak langsung lewat paham rasisme, serta menumbuhkan spirit permusuhan terhadap penduduk yang tinggal di wilayah Timur atau saudara seagama yang tinggal di Selatan, merupakan bentuk kebina- saan dan bencana besar. Pasalnya, di antara mereka tidak ada yang berhak dimusuhi. Sebaliknya, apa yang datang dari Selatan tidak lain merupakan cahaya al-Qur’an dan lentera Islam yang sinarnya menerangi sekitar kita dan seluruh tempat. Maka, memusuhi saudara seagama tersebut secara tidak langsung merupakan tindakan mencederai Islam dan al-Qur’an. Permusuhan terhadap Islam dan al-Qur’an adalah bentuk permusuhan terhadap semua penduduk berikut kehidupan dunia dan akhirat mereka.
Karena itu, propaganda semangat nasionalisme dengan niat berkhidmah kepada masyarakat justru menghancurkan landasan kehidupan dunia dan akhirat mereka secara bersamaan. Ia adalah sikap yang sangat bodoh; sama sekali bukan bentuk pembelaan dan semangat yang benar.
Persoalan Keempat
nasionalisme positif bersumber dari adanya kebutuhan internal terhadap kehidupan sosial. Ia melahirkan sikap saling kerjasama dan saling membantu. Ia juga mewujudkan kekuatan yang bermanfaat bagi masyarakat, di samping menjadi sarana yang menopang ukhuwah Islamiyah.
Nasionalisme positif ini harus menjadi pelayan Islam, harus menjadi benteng yang kokoh baginya, serta menjadi pagar yang melindunginya; bukan malah menggantikan posisi Islam. Sebab, persaudaraan yang dipersembahkan oleh Islam mengandung ribuan macam persaudaraan. Ia kekal di alam abadi dan alam barzakh. Jadi, sekuat apapun bentuk persaudaraan sebangsa dan setanah air, ia hanyalah merupakan hijab bagi ukhuwah Islamiyah. Sebaliknya, penegakan nasionalisme sebagai alternatif bagi Islam merupakan kejahatan bodoh, sama seperti tindakan meletakkan batu benteng di tempat penyimpanan berlian lalu membuang berlian tersebut ke luar benteng.
Wahai putra-putri bangsa pencinta al-Qur’an! Sejak enam ratus tahun, bahkan seribu tahun yang lalu, dari masa Abbasiyah, kalian telah menantang seluruh dunia sebagai pembawa dan pengibar panji al-Qur’an ke seluruh penjuru dunia. Kalian telah menjadikan spirit nasionalisme kalian sebagai benteng bagi al- Qur’an dan Islam. Kalian telah membuat dunia terdiam dan tunduk. Kalian telah menyingkirkan bencana besar yang nyaris menghancurkan kehidupan dunia Islam sehingga kalian menjadi bukti yang baik dari kebenaran ayat al-Qur’an: “Kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum; yang dicintai oleh- Nya dan merekapun mencintai Allah; yang bersikap lemah lembut terhadap orang mukmin dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir; yang berjihad di jalan Allah. (QS. al-Mâidah [5]: 54). Karena itu, jangan kalian tertipu dan mengikuti tipu daya bangsa Eropa. Jangan sampai kalian menjadi bagian dari awal ayat di atas.(*[7])
Kondisi yang Menarik Perhatian Bangsa Turki merupakan bangsa muslim terbanyak dibanding bangsa muslim lainnya di mana mereka beragama Islam di manapun mereka berada. Sementara bangsa-bangsa lain ada yang muslim dan ada yang non-muslim. Karena itu, bangsa Turki tidak terpecah sebagaimana bangsa-bangsa lainnya. Di manapun sekelompok orang Turki berada, mereka adalah muslim. Adapun yang keluar dari Islam atau yang memang bukan muslim, sesungguhnya mereka tidak bisa disebut sebagai orang Turki seperti Hungaria. Sementara bang- sa-bangsa lain, bahkan yang kecil sekalipun, terdiri dari muslim dan non-muslim.
Wahai saudaraku yang berkebangsaan Turki! Perhatikan! Nasionalisme yang kau miliki telah menyatu de- ngan Islam dalam satu bentuk yang tidak bisa dipisahkan. Ketika engkau berusaha memisahkannya dari Islam, engkau akan binasa. Tidakkah engkau melihat bahwa semua kebanggaanmu di masa lalu tercatat dalam memori Islam?! Seluruh kebanggaan tersebut tidak bisa dihapus dengan kekuatan apapun di muka bumi ini. Karena itu, jangan kau hapus dari hatimu dengan mendengarkan berbagai syubhat yang dilontarkan oleh para setan dari kalangan manusia!
Persoalan Kelima,
sejumlah bangsa yang bangkit di Asia berpegang pada nasionalisme dan mengikuti Eropa dalam segala aspek. Bahkan demi sikap taklid tersebut mereka rela mengorbankan banyak hal yang bersifat sakral dan suci. Sebenarnya setiap bangsa cocok dengan pakaian yang sesuai dengan bentuk dan posturnya. Meskipun jenis kainnya sama, model bisa jadi berbeda. Sebab, tidak mungkin wanita mengenakan pakaian polisi militer. Juga tidak mungkin seorang ulama dikenakan pakaian yang terbuka. Sikap taklid buta seringkali mengantar pada kehinaan dan kerendahan. Pasalnya:
Pertama, jika Eropa merupakan kedai atau barak militer, Asia laksana ladang atau masjid. Bila pemilik kedai kadang pergi ke teater, petani tidak tertarik padanya. Demikian pula dengan kondisi barak dan masjid.
Lalu kemunculan sebagian besar nabi di Asia, serta kemunculan sebagian besar filsuf di Eropa menjadi perlambang dan petunjuk takdir ilahi bahwa yang membangkitkan dan memajukan bangsa Asia serta yang mewujudkan kelangsungan hidup bernegara mereka adalah agama dan kalbu. Adapun filsafat dan hikmah harus mendukung agama dan kalbu; bukan menggantikan keduanya.
Kedua, agama Islam tidak bisa disamakan dengan agama Kristen. Pasalnya, sikap bertaklid buta kepada Eropa dalam mengabaikan agama merupakan kesalahan besar. Sebab, sebenarnya kalangan Eropa berpegang pada agama mereka. Sebagai buktinya, para pemimpin Barat seperti Wilson,(*[8])Lloyd George,(*[9])Venizelos,(*[10])dan yang lainnya. Mereka adalah orang-orang yang sangat berpegang teguh pada agama layaknya seorang pastur yang fanatik. Mereka menjadi bukti yang kuat bahwa Eropa memiliki agama; bahkan tergolong fanatik.
Ketiga, menyamakan Islam dengan Kristen adalah satu analogi yang bersifat paradoks. Ia merupakan analogi yang tidak tepat. Pasalnya, ketika Eropa berpegang teguh, bahkan fanatik terhadap agamanya, mereka tidak maju. Namun ketika tidak fanatik, mereka menjadi bangsa yang maju dan berperadaban.
Fanatisme agama pada bangsa Eropa memicu terjadinya berbagai konflik internal selama 300 tahun. Para penguasa tiran memperalat agama untuk menindas masyarakat, kalangan marjinal, para pemikir dan ilmuwan sehingga membuat mereka marah pada agama.
Adapun dalam Islam, dan sejarah menjadi saksinya, agama tidak menjadi pemicu konflik internal kecuali satu kali.
Diukur dengan kondisi masa itu, umat Islam mengalami kemajuan yang luar biasa ketika mereka berpegang teguh pada agama. Sebagai buktinya adalah Daulah Islam di Andalusia yang menjadi guru besar bagi Eropa.
Akan tetapi, ketika umat Islam meninggalkan agama, mereka tertinggal dan mengalami kejatuhan.
Selain itu, Islam menjadi pelindung bagi kalangan marjinal dan masyarakat awam. Yaitu dengan adanya kewajiban zakat dan pengharaman riba, serta ribuan hal sejenis yang menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya kepada rakyat jelata. Lalu Islam juga melindungi orang-orang yang berilmu. Islam memberikan argumen dengan menggunakan akal dan ilmu pengetahuan serta membangunkan keduanya dalam jiwa lewat ayat-ayat seperti berikut: Apakah mereka tidak merenungkan. Apakah kalian tidak berpikir.Apakah mereka tidak berakal.Islam selalu menjadi benteng yang melindungi kalangan fakir dan ilmuwan. Karena itu, tidak ada faktor yang melahirkan kebencian terhadap Islam.
Rahasia dan perbedaan mendasar antara Islam dan agama lain, termasuk Kristen adalah:
Landasan Islam adalah tauhid murni. Karena itu, pengaruh hakiki tidak disandarkan kepada sebab dan perantara. Dalam agama Islam, sebab tidak memiliki peranan dalam mencipta.
Adapun dalam agama Kristen, paham “Anak Tuhan” yang mereka anut memberikan peran kepada perantara dan sebab. Karena itu, ia melahirkan sikap angkuh dan sombong. Bahkan ia memberikan sebagian dari sifat rububiyah ilahi kepada para rahib dan pendeta sehingga ini sesuai dengan bunyi firman-Nya:
“Mereka menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.” (QS. at-Taubah [9]: 31).Dari sini tidak aneh jika para pembesar agama Kristen sangat fanatik terhadap agama mereka. Mereka memelihara kedudukan dan ego mereka meski menjabat tugas duniawi yang tinggi. Misalnya presiden Amerika, Wilson, yang merupakan tokoh agama yang fanatik.
Sementara dalam Islam yang merupakan agama tauhid murni, orang-orang yang menduduki jabatan tinggi negara harus mening- galkan ego mereka. Jika tidak, mereka menunjukkan sikap kebera- gamaan yang tidak benar. Karena itu, sebagian mereka mengabaikan urusan agama. Bahkan kadang ada dari mereka yang keluar dari agama.
Persoalan Keenam
kami ingin menegaskan kepada mereka yang berlebihan dalam menunjukkan sikap rasis dan nasionalisme negatif:
Pertama, begitu banyak migrasi terjadi di seluruh penjuru dunia, terutama di negeri kita sejak dahulu. Sejumlah kaum dan suku bangsa mengalami banyak perubahan dan transformasi. Migrasi ke negeri kita semakin meningkat setelah ia menjadi pusat pemerintahan Islam sehingga semua suku bangsa berhimpun di sekitarnya seperti kupu-kupu. Mereka tinggal di dalamnya sekaligus menjadi penduduk setempat. Dalam kondisi demikian, tidak mungkin memilah-milah ras sebenarnya dari masing-masing mereka kecuali dengan terbukanya lauhil mahfudz.
Karena itu, membangun semangat dan pergerakan atas dasar rasisme sama sekali tidak berguna, justru melahirkan bahaya. Oleh karenanya, salah seorang propagandis rasisme dan nasionalisme negatif yang mengabaikan nilai agama terpaksa harus mengakui dengan berkata, “Bila agama dan bahasa menyatu, bangsa akan bersatu.” Jika demikian, bahasa, agama, dan ikatan kebangsaan harus menjadi perhatian; bukan rasisme. Jika ketiga hal itu menyatu, dengan sendirinya bangsa akan menjadi kuat. Namun jika salah satu dari ketiganya tidak ada, ia akan masuk pada nasionalisme negatif.
Kedua, kami akan menjelaskan dua manfaat―sebagai contohdari ratusan manfaat yang bisa didapat dari semangat keislaman yang suci untuk putra-putri bangsa.
Manfaat pertama:
Yang memelihara kehidupan dan eksistensi Daulah Islamiyah― meski jumlahnya 20 atau 30 juta―dalam menghadapi seluruh negara Eropa yang besar adalah konsep al-Qur’an yang dibawa oleh prajuritnya. Yaitu, “Jika aku terbunuh berarti aku mati syahid, jika aku membunuh berarti aku mujahid.” Konsep ini mendorong putra-putri bangsa untuk menyambut kematian dengan senyuman; sesuatu yang menggentarkan hati bangsa Eropa. Apakah gerangan yang bisa membangkitkan semangat pengorbanan semacam itu pada jiwa prajurit, sementara mereka adalah orang-orang yang memiliki pemikiran sederhana dan hati yang bersih?! Semangat apa yang bisa menggantikan prinsip mulia tersebut dan dapat membuat seseorang mau mengorbankan hidup dan dunianya secara suka rela?
Manfaat kedua:
Begitu negara-negara besar Eropa menyakiti daulah Islam dan terus menghantamnya, hal itu membuat 350 juta umat Islam di seluruh dunia menangis dan meratapi kezaliman mereka. Kondisi tersebut menjadikan negara-negara Imperialis itu menarik diri dengan tidak lagi menyakiti dan menyerang guna mencegah munculnya amarah umat Islam secara umum.Mungkinkah kekuatan maknawi yang dominan dan permanen itu diremehkan? Mungkinkah ia diingkari dan tidak diakui? Adakah kekuatan lain yang bisa menggantikannya? Ini adalah tantangan. Hendaknya mereka bisa menunjukkan kekuatan tersebut. Karena itu, tidak semestinya kita mengabaikan kekuatan besar tersebut demi mengadopsi paham nasionalisme negatif dan semangat yang lepas dari agama.
Persoalan Ketujuh
kami ingin menegaskan kepada mereka yang menunjukkan semangat nasionalisme negatif yang kuat:Jika kalian memang benar-benar mencintai dan menyayangi bangsa ini, kalian harus memiliki semangat yang diiringi kasih sayang terhadap mayoritas bangsa. Pasalnya, mengabdikan diri pada kehidupan sosial kaum minoritas dari bangsa ini yang bersifat temporer―padahal mereka tidak layak dikasihani―dengan tidak memperhatikan mayoritas, sama sekali bukan merupakan semangat nasionalisme ataupun patriotisme.
Hal itu karena sikap patriotik dengan pengertian rasisme hanya memberikan manfaat untuk dua dari setiap delapan orang. Itupun dengan manfaat yang bersifat temporer. Mereka memperoleh kasih sayang dari sikap patriotik tersebut, padahal mereka tidak layak mendapatkannya. Sementara enam lainnya, bisa jadi mereka sudah tua, sakit, tertimpa musibah, anak-anak, orang yang sangat lemah atau orang bertakwa yang memikirkan akhirat secara sungguh-sungguh. Mereka mencari pelipur dan cahaya yang memberikan harapan. Pasalnya, mereka berorientasi pada kehidupan barzakh dan akhirat ketimbang kehidupan dunia. Mereka membutuhkan tangan-tangan penuh kasih yang mau memberikan pertolongan. Semangat macam apa yang tega memadamkan cahaya harapan mereka serta tidak memedulikan kondisi mereka yang membutuhkan pelipur lara? Itu sama sekali bukan semangat patriotisme. Mana belas kasih pada bangsa dan mana pengorbanan untuk mereka?!
Kita tidak boleh putus asa dari rahmat Allah. Sejak seribu tahun yang lalu, Allah telah menyeru putra-putri bangsa ini, elemen masyarakat, dan tentaranya untuk berkhidmah pada al-Qur’an sekaligus menjadikan mereka sebagai pengibar panjinya. Karena itu, kita sangat berharap dari rahmat ilahi agar tidak membinasakan mereka dengan hambatan yang bersifat sementara insya Allah. Allah akan terus memberi bantuan kepada “cahaya tersebut” serta menjadikannya lebih terang sehingga mereka dapat melanjutkan tugas suci tersebut.
BAHASAN KEEMPAT
Catatan: Sebagaimana empat bahasan pada “Surat Kedua Puluh Enam” tidak saling terkait, demikian pula dengan sepuluh persoalan dalam bahasan ini. Karena itu, tidak perlu mencari relasi dan keterkaitan antar bagiannya. Ia ditulis sebagaimana yang terlintas. Bahasan ini adalah bagian dari surat yang ustadz Said Nursi kirim kepada salah seorang murid pentingnya. Ia berisi jawaban terhadap lima atau enam persoalan.
Persoalan Pertama
Kedua: Saudaraku, engkau berkata dalam suratmu bahwa menurut para mufassir dalam menafsirkan terdapat delapan belas ribu alam.(*[11])Engkau menanyakan hikmah dari bilangan tersebut?
Saudaraku, saat ini aku tidak mengetahui apa hikmah darinya.Akan tetapi aku hanya ingin mengatakan sebagai berikut:Kalimat-kalimat al-Qur’an al-Hakîm tidak hanya terbatas pada satu makna. Akan tetapi, ia bersifat universal; berisi sejumlah makna untuk setiap tingkatan manusia. Hal itu karena al-Qur’an al-Karim merupakan pesan untuk semua tingkatan manusia. Oleh sebab itu, berbagai makna yang menjelaskannya laksana bagian dari prinsip universal tersebut. Di sini setiap mufassir dan setiap kalangan arif menyebutkan bagian dari makna universal yang ada. Dalam menafsirkan, ia bersandar kepada hasil kasyaf, dalil, atau manhajnya sehingga memilih salah satu maknanya. Di sini sekelompok orang juga menyingkap satu makna yang sesuai dengan bilangan di atas.
Misalnya, dalam wirid mereka, para wali menyebut dan membaca secara berulang-ulang dengan penuh perhatian firman Allah yang berbunyi:Ayat al-Qur’an tersebut memiliki sejumlah makna parsial, mulai dari lautan rububiyah di wilayah al-wujûb, lautan ubudiyah di wilayah al-imkân, hingga berakhir di lautan dunia dan akhirat, laut alam nyata dan alam gaib, samudera Timur dan Barat, Utara dan Selatan, lautan Romawi, lautan Persia, Laut Tengah dan Laut Hitam, serta celah di antara keduanya yang mengeluarkan ikan bernama al-Marjan. Lalu ke laut tengah, laut Merah, terusan Sues, serta di laut air tawar dan asin, laut air segar yang terpencar dan laut asin yang terdapat di muka bumi di mana bagian-bagiannya saling bersambung. Serta yang disebut laut kecil dan segar berupa sungai-sungai besar seperti Nil, Tigris dan Eufrat, berikut laut asin yang bercampur dengannya.
Seluruh bagian tersebut terdapat dalam kandungan makna ayat di atas. Seluruhnya bisa menjadi makna yang dimaksud. Kesemuanya merupakan makna hakiki dan majasi dari ayat itu.Begitulah, juga mencakup banyak hakikat seperti yang telah disebutkan. Kalangan ahli kasyaf dan hakikat menjelaskannya dengan keterangan yang berbeda-beda sesuai kasyaf mereka.
Sementara yang kupahami dari ayat tersebut adalah sebagai berikut:Di langit terdapat ribuan alam. Setiap bintang dalam kumpulannya bisa merupakan alam tersendiri. Di bumi juga terdapat setiap jenis makhluk yang merupakan alam tersendiri. Bahkan manusia merupakan alam kecil.Kata bermakna bahwa setiap alam ditata, dipelihara, dan diatur secara langsung lewat rububiyah Allah.
Ketiga, Rasul bersabda:
“Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi satu kaum, Dia memperlihatkan kepada mereka aib diri mereka.”(*[12])
Dalam al-Qur’an, Nabi Yusuf berkata:
“Aku tidak menyatakan diriku bebas dari kesalahan. Sebab, sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada keburukan.” (QS. Yûsuf [12]: 53).
Ya, orang yang kagum terhadap dirinya adalah orang malang. Sementara orang yang bisa melihat aib dirinya sangat beruntung. Karena itu, engkau beruntung wahai saudaraku. Namun kadang-kadang nafsu ammârah bisa berubah menjadi nafsu lawwâmah atau muthmainnah. Hanya saja ia menyerahkan senjata dan perlengka- pannya kepada saraf sehingga ia menunaikan tugas tersebut hingga akhir usia. Meskipun nafsu ammârah sudah mati sejak lama, jejak dan pengaruhnya masih tetap ada.
Banyak wali dan orang salih ternama mengeluhkan nafsu ammârah meskipun sudah mencapai tingkatan muthmainnah. Mereka berlindung kepada Allah dari berbagai penyakit hati meskipun hati mereka sehat dan bercahaya. Para tokoh mulia itu sebenarnya tidak mengeluhkan nafsu ammârah.
Namun mereka mengeluhkan tugas nafsu ammârah yang diserahkan kepada saraf. Penyakitnya bukan di hati; akan tetapi bersifat imajinasi. Yang melancarkan serangan kepadamu wahai saudaraku, bukan nafsu dan bukan pula penyakit hatimu. Namun ia adalah kondisi yang berpindah ke saraf guna terus melakukan mujahadah hingga akhir usia sesuai dengan kondisi manusia di mana ia menjadi sebab adanya peningkatan spiritual.
Persoalan Kedua
Penjelasan mengenai tiga persoalan yang ditanyakan oleh ulama terdahulu terdapat pada sejumlah bagian dari Risalah Nur. Namun di sini kami akan menjelaskan secara global:
Pertanyaan pertama: Dalam risalahnya yang ditujukan kepada Fakhruddin ar-Râzi, Muhyiddin ibn Arabi menyatakan, “Pengetahuan tentang Allah berbeda dengan pengetahuan tentang keberadaan-Nya.”(*[13])Apa maksud dari pernyataan Ibnu Arabi tersebut?
Pertama, perbedaan antara tauhid hakiki dan tauhid lahiriah yang disebutkan dalam pendahuluan “Kalimat Kedua Puluh Dua” menjelaskan maksud dari pertanyaan tersebut. Lebih jelas lagi terdapat pada mauqif kedua dan ketiga dari “Kalimat Ketiga Puluh Dua”.
Kedua, yang mendorong Muhyiddin Ibn Arabi mengucapkan pernyataan di atas kepada Fakhruddin ar-Razi, salah seorang imam ahli kalam, adalah karena apa yang dijelaskan oleh para imam ushuluddin dan ulama ahli kalam terkait dengan persoalan akidah, keberadaan Allah, dan tauhid dalam pandangan Ibnu Arabi tidak memadai.
Benar! Pengetahuan tentang Allah (makrifati ilahi) yang diperoleh dari dalil-dalil ilmu kalam bukan merupakan pengetahuan yang sempurna. Ia tidak mendatangkan ketenangan kalbu. Di sisi lain, ketika pengetahuan tersebut sejalan dengan manhaj al-Quran, ia menjadi pengetahuan yang sempurna dan mendatangkan ketenangan sempurna dalam kalbu. Kita berharap semoga Allah menjadikan setiap bagian dari Risalah Nur sebagai lentera yang menerangi jalan al-Quran yang lurus dan bercahaya.
Kemudian makrifat ilahi yang diperoleh oleh ar-Razi dari ilmu kalam tampak cacat dalam pandangan Ibnu Arabi. Begitu pula makrifat ilahi yang dihasilkan dari jalan tasawuf juga cacat dan tidak sempurna jika dibandingkan dengan makrifat ilahi yang diraih oleh para pewaris nabi dari al-Quran secara langsung. Dalam hal ini, Ibnu Arabi mengatakan,لَا مَو۟جُودَ اِلَّا هُوَ “Tiada yang ada selain Dia,” hal itu agar ia senantiasa merasakan kehadiran Allah, hingga pada akhirnya ia mengingkari wujud seluruh entitas.Adapun yang lain, untuk menghadirkan hati bersama Tuhan, mereka berkata, لَا مَو۟جُودَ اِلَّا هُوَ “Tiada yang terlihat selain Dia.” Mereka menutupi entitas dengan tirai kealpaan mutlak dan menem- puh satu metode yang aneh.
Sementara makrifat yang didapat dari al-Quran melahirkan kehadiran kalbu yang bersifat permanen, di samping tidak menafikan wujud entitas dan tidak memenjarakannya dalam penjara kealpaan mutlak. Namun ia menyelamatkannya dari pengabaian dan kesia-siaan serta mempergunakannya di jalan Allah dengan mejadikan segala sesuatu sebagai cermin yang memantulkan makrifat ilahi. Ia membuka pada segala sesuatu sebuah jendela menuju makrifat-Nya sebagaimana syair yang disebutkan oleh Sa’di asy-Syirazi:
دَر۟ نَظَرِ هُوشِيَار۟ هَر۟ وَرَقٖى دَف۟تَرٖيس۟ت۟ اَز۟ مَع۟رِفَتِ كِر۟دِگَار۟
Dalam sejumlah kalimat lain dari Risalah Nur, kami telah memberikan perumpamaan untuk menjelaskan perbedaan antara mereka yang mengambil petunjuk dari al-Quran al-Karim—sebuah jalan yang lurus—dan mereka yang meniti jalan para ulama ahli kalam. Perumpamaannya sebagai berikut:
Untuk mendapatkan air, ada yang mendatangkannya melalui pipa dari tempat yang jauh yang ia gali di kaki gunung. Sementara yang lain menemukan air di tempat yang mereka gali seraya memancarkannya di mana pun mereka berada. Yang pertama adalah meniti jalan terjal dan panjang. Belum lagi aliran airnya bisa jadi tersumbat atau terputus di tengah jalan. Sementara mereka yang menggali sumur mendapatkan air di mana saja mereka berada tanpa menemui kesulitan dan kepenatan yang berarti.
Nah, para ulama ahli kalam memutus rangkaian sebab-akibat dengan membuktikan kemustahilan daûr wa at-Tasalsul (kausalitas dan rangkaian sebab-akibat di alam). Dari sana mereka menetapkan eksistensi Sang Wajibul wujud (Tuhan). Adapun manhaj al-Qur’an yang hakiki, ia menemukan air pada setiap tempat dan menggalinya di mana saja ia berada. Setiap ayatnya yang agung laksana tongkat Musa yang memancarkan air di mana saja dipukulkan.
Manhaj tersebut membuat orang lain membaca prinsip berikut pada segala sesuatu:Pada segala sesuatu terdapat bukti atas-Nya Yang menunjukkan bahwa Dia adalah Esa.(*[14])
Selanjutnya, iman tidak hanya diperoleh dengan ilmu. Sebab, banyak perangkat halus pada manusia yang memiliki bagian dari iman. Sebagaimana ketika makanan masuk ke dalam lambung, ia terbagi dan terdistribusi ke sejumlah urat sesuai dengan masing-masing organ. Demikian pula dengan persoalan iman yang datang dari jalur ilmu. Ketika ia masuk ke dalam akal dan pemahaman, setiap perangkat halus tubuh―seperti ruh, kalbu, sirr, jiwa dan sejenisnya― mengambil bagian darinya serta menyerapnya sesuai dengan tingka- tannya. Jika salah satu dari perangkat halus tersebut tidak mendapat nutrisi yang sesuai, maka pengetahuannya menjadi cacat dan tidak sempurna.
Demikianlah, Ibnu Arabi memperingatkan dan mengarahkan perhatian Fakhruddin ar-Razi kepada masalah penting ini.
Persoalan Ketiga
Pertanyaan: apa korelasi antara kedua ayat al-Qur’an berikut ini:“Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam.” (QS. al-Isrâ [17]: 70).“Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. al-Ahzâb [33}: 72)?
Jawaban: Penjelasan tentang pertanyaan ini terdapat dalam “Kalimat Kesebelas, Kedua Puluh Tiga, dan buah kedua dari ranting kelima dalam Kalimat Kedua Puluh Empat”. Ringkasnya sebagai berikut:
Dengan qudrah-Nya yang sempurna, Allah menciptakan banyak hal dari sesuatu yang satu, sebagaimana Dia menggiring sesuatu yang satu itu untuk menunaikan banyak tugas. Dia pun menulis seribu satu kitab dalam satu halaman.Nah, Allah juga menciptakan manusia sebagai spesies yang menggabungkan banyak hal. Dengan kata lain, lewat spesies manusia Dia hendak menampilkan apa yang telah ditampilkan oleh berbagai tingkatan spesies hewan. Hal itu dilakukan dengan cara tidak membatasi kekuatan dan kecenderungan manusia dengan batasan fitri. Namun ia dibiarkan bebas merdeka. Di sisi lain, Dia membatasi kekuatan dan kecenderungan seluruh hewan. Yaitu dengan berada di bawah batasan fitrinya.
Jadi, setiap kekuatan manusia berada dalam ruang lingkup yang sangat luas; tak terhingga. Pasalnya, manusia adalah cermin bagi manifestasi tak terhingga dari nama-nama Tuhan semesta alam. Karena itu, kekuatan manusia diberikan potensi dalam bentuk yang tak terhingga.
Contoh: andaikan manusia diberi seluruh dunia, tentu dengan sifat tamaknya ia tetap menginginkan tambahan. Ia rela membuat ribuan orang menderita demi kepentingan dirinya.Begitulah, di hadapan manusia terdapat tingkatan akhlak tercela yang tak terhingga sampai akhirnya mengantar pada tingkatan Namrud dan Fir’aun. Di situ manusia benar-benar menyandang sifat sangat zalim dalam bentuk mubâlagah. Di hadapannya juga tersingkap sejumlah derajat kemuliaan yang tak terhingga pada akhlak terpuji hingga mengantarnya menuju derajat para nabi dan kaum shiddiqin.
Manusia berbeda dengan hewan. Ia tidak memiliki pengetahuan tentang segala sesuatu yang terkait dengan kehidupan, karenanya ia harus belajar segala hal. Dari situ manusia disebut sangat bodoh dalam bentuk mubâlagah karena memang membutuhkan banyak hal yang tak terhingga.Adapun hewan, ketika datang ke dunia, ia hanya membutuhkan sejumlah hal. Di samping itu, ia hanya butuh waktu sebulan atau dua bulan, sehari atau dua hari, bahkan sejam atau dua jam dalam mempelajari seluk-beluk kehidupannya. Seakan-akan ia sudah sempurna di alam lain lalu datang ke dunia. Sementara manusia, ia baru bisa berdiri setelah berumur setahun atau dua tahun. Ia tidak bisa membedakan yang baik dan yang buruk (manfaat dan bahaya) kecuali setelah berumur lima belas tahun.
Jadi, bentuk mubâlagah di atas juga menjelaskan hal ini.
Persoalan Keempat
Saudaraku, engkau bertanya tentang hikmah hadis Nabi yang berbunyi:“Perbaharuilah iman kalian dengan lâ ilâha illallâh.”(*[15])Kami telah menjelaskannya dalam banyak bagian pada “al-Kalimat”. Di sini, kami ingin menyebutkan satu hikmah saja darinya: Karena diri dan alam manusia terus terbaharui, maka ia juga senantiasa membutuhkan pembaharuan iman.
Pasalnya, manusia sebagai individu tidak lain merupakan wujud dari banyak individu secara maknawi. Ia adalah individu sebanyak bilangan tahun usianya, sebanyak jumlah harinya, bahkan sebanyak hitungan jam yang ia lewati. Sebab, setiap individu dianggap sebagai sosok yang berbeda lantaran ketika perjalanan waktu melintasinya ia menjadi seperti model yang setiap hari memakai bentuk individu baru yang berbeda.
Selain itu, sebagaimana manusia mengalami perubahan dan pembaruan seperti itu, alam yang ia huni juga terus berjalan; tidak tetap dalam satu kondisi. Ia berlalu kemudian digantikan oleh yang lain. Ia terus dalam kondisi beragam. Setiap hari pintu alam yang baru terbuka.
Nah, iman merupakan cahaya bagi kehidupan setiap individu dari sosok tersebut. Di sisi lain, iman juga cahaya bagi sejumlah alam yang ia masuki. Sementara lâ ilâha illallâh merupakan kunci yang membuka cahaya tersebut.
Kemudian dalam diri manusia terdapat nafsu, selera, ilusi, dan setan. Mereka mengeksploitasi kealpaannya guna mempersempit imannya sehingga celah-celah bagi masuknya cahaya iman tersumbat lewat penyebaran syubhat dan ilusi.
Selain itu, alam manusia tidak lepas dari perkataan dan perbuatan yang bertentangan dengan lahiriah syariat. Bahkan menurut sebagian imam ia masuk dalam kategori kufur. Karena itu, terdapat kebutuhan untuk memperbaharui iman setiap waktu, bahkan setiap saat dalam sehari.
Pertanyaan: Ulama ahli kalam menetapkan tauhid setelah kemunculan mereka di atas seluruh alam yang mereka beri label imkân (mungkin) dan hudûts (baru). Agar kalbu bisa tenang dan merasakan kehadiran Allah, sebagian kalangan tasawuf berkata, “Tiada yang terlihat selain Dia.” Hal itu setelah mereka melupakan dan mengabaikan entitas. Sebagian lainnya berkata, “Tiada yang ada selain Dia.”
Mereka memosisikan entitas sebagai khayalan dan menganggapnya tiada agar sesudah itu kalbu mereka bisa tenang dan merasakan kehadiran Allah. Akan tetapi, engkau meniti jalan yang berbeda dari itu semua. Engkau menjelaskan sebuah manhaj lurus dari al-Qur’an. Engkau menjadikan perlambang dari manhaj ini berupa, “Tiada yang Dituju kecuali Dia. Tiada yang Disembah selain Dia.” Kuharap engkau bisa menjelaskan kepada kami secara singkat satu argumen tentang tauhid dalam manhaj Qur’ani tersebut.
Jawaban: Seluruh kandungan buku al-Kalimât dan al-Maktûbât menjelaskan manhaj lurus tersebut. Sekarang untuk memenuhi permintaanmu, aku hanya ingin menjelaskan secara sangat singkat satu argumen yang kuat, luas, dan panjang di antara sekian banyak argumen yang ada.
Segala sesuatu di alam ini menisbatkan segalanya kepada Sang Pencipta. Setiap jejak yang terdapat di dunia menunjukkan bahwa semua jejak bersumber dari Pemberi jejak. Setiap kreasi di alam ini menegaskan bahwa semua kreasi yang ada berasal dari perbuatan Penciptanya. Setiap nama dari nama-nama-Nya yang mulia yang ter- manifestasi pada entitas menunjukkan bahwa seluruh nama merujuk pada Pemilik nama. Dengan kata lain, segala sesuatu merupakan bukti keesaan secara langsung dan jendela yang mengarah pada makrifat ilahiyah.
Ya, tidak ada jejak, apalagi makhluk hidup, kecuali ia merupakan miniatur dari seluruh entitas. Ia laksana benih alam dan buah dari bola bumi. Karena itu, Pencipta miniatur, benih, dan buah tersebut sudah pasti juga merupakan Pencipta seluruh entitas. Hal itu karena tidak mungkin Dzat yang menghadirkan buah bukan merupakan Dzat yang menghadirkan pohonnya.
Karena itu, sebagaimana setiap jejak menyandarkan seluruh jejak kepada Pemberi jejak, setiap perbuatan juga mengembalikan seluruh perbuatan kepada Pelakunya. Pasalnya, kita mengetahui bahwa setiap kreasi apapun, pastilah ia memperlihatkan sisi dari hukum penciptaan yang meliputi seluruh alam di mana hukum dan dimensinya membentang mulai dari partikel hingga galaksi. Artinya, Dzat Pemilik dan pelaku dari kreasi parsial itu sudah pasti juga merupakan Pelaku dari semua perbuatan yang terpaut dengan hukum kom- prehensif yang meliputi seluruh alam yang luas, mulai dari partikel hingga matahari.
Dzat yang menghidupkan nyamuk, pasti juga Dzat yang menghidupkan seluruh serangga, seluruh hewan, bahkan seluruh bumi. Kemudian Dzat yang menjadikan partikel berputar seperti pengikut tarekat Maulawi, pasti juga Dzat yang menggerakkan seluruh entitas secara berantai bahkan juga matahari berikut planet-planetnya.
Pasalnya, hukum yang berlaku pada entitas adalah sebuah rangkaian dan seluruh perbuatan terpaut dengannya. Artinya, setiap jejak menisbatkan semua jejak kepada pemilik jejak. Setiap kreasi menisbatkan seluruh kreasi kepada pelakunya. Begitu pula setiap nama yang termanifestasi pada entitas menisbatkan semua nama kepada Pemilik namanya sekaligus menegaskan bahwa ia merupakan atribut-Nya. Hal itu karena nama yang termanifestasikan di alam saling terpaut laksana lingkaran yang saling berpautan dan tujuh warna cahaya yang saling bercampur. Masing-masing saling mengait dan berpautan. Setiap jejak saling menyempurnakan dan saling memperindah.
Misalnya: nama al-Muhyî (Yang Maha Menghidupkan). Ketika ia terwujud pada sesuatu dan ketika ia memberikan kehidupan padanya, nama al-Hakîm (Yang Mahabijak) juga tampak sehingga ia menata fisik makhluk hidup tersebut yang merupakan wadah bagi ruhnya. Pada saat yang sama nama al-Karîm (Yang Maha Pemurah) juga terlihat. Ia menghias sangkar dan wadah tersebut. Padanya juga terdapat nama ar-Rahîm (Yang Maha Penyayang) di mana ia menyiapkan seluruh kebutuhan fisik itu. Pada saat yang sama nama ar-Razzaq (Maha Pemberi rezeki) terwujud padanya di mana ia memberi rezeki materil dan immateril yang dibutuhkan makhluk tersebut dari jalan yang tak disangka-sangka. Begitu seterusnya.
Artinya, Dzat yang memiliki nama al-Muhyî juga memiliki nama al-Hakîm yang menerangi dan meliputi seluruh alam. Dia pun memiliki nama ar-Rahîm yang memelihara seluruh entitas dengan rahmat dan kasih sayang. Dia juga memiliki nama ar-Razzâq yang memberi nutrisi pada seluruh makhluk. Demikian seterusnya.
Dengan kata lain, setiap nama, setiap perbuatan, dan setiap jejak, merupakan bukti keesaan, stempel tauhid, dan cap ketunggalan-Nya di mana ia menunjukkan bahwa seluruh kalimat yang merupakan entitas yang tertulis pada lembaran alam dan pada baris zaman tidak lain adalah tulisan pena Penulis dan Pelukisnya.
Ya Allah, limpahkan salawat dan salam kepada sosok yang bersabda: “Sebaik-baik perkataan yang pernah terucap olehku dan oleh para nabi sebelumku adalah lâ ilâha illallâh. Juga, kepada keluarga dan para sahabatnya.
Persoalan Kelima
Kedua: saudaraku, dalam suratmu engkau bertanya apakah seseorang bisa selamat dengan cukup menyebut tanpa disertai? Jawaban atas pertanyaan ini cukup panjang.
Hanya saja saat ini aku ingin menegaskan bahwa dua kalimat syahadat, satu dengan lainnya, tidak bisa dipisahkan. Namun satu sama lain mengandung makna dan saling menguatkan. Yang satu hanya terwujud dengan yang lain. Karena Rasul merupakan penutup para nabi dan pewaris seluruh rasul, tentu beliau berada di pangkal seluruh jalan menuju Allah. Tidak ada jalan yang benar dan jalan selamat di luar jalan lurus yang beliau lewati. Seluruh imam ahli makrifat dan hakikat menyebutkan seperti yang disebutkan oleh Sa’di asy-Syirâzi:
Wahai Sa’di, mustahil melewati jalan yang lurus tanpa mengikuti Nabi al-Mustafa. Mereka juga menyebutkan: “Seluruh jalan tertutup kecuali manhaj Muhammad.”
Hanya saja, kadangkala sebagian orang meniti jalan Muhammad, namun mereka tidak sadar kalau mereka sedang berada di dalamnya.
Kadangkala juga sebagian orang tidak mengenal Nabi , namun jalan yang mereka lalui adalah bagian dari jalan beliau.
Kadang mereka tidak berpikir tentang jalan Muhammad karena merasa cukup dengan lâ ilâha illallâh entah karena kondisi “majdzub” atau “tenggelam” bersama Tuhan, atau karena pengaruh sejenis kondisi uzlah.
Meski demikian, sisi terpenting dalam masalah ini adalah:“Tidak menerima” dan “menerima ketiadaan” adalah dua hal yang berbeda. Orang-orang yang sedang dalam kondisi “majdzub” dan beruzlah, atau orang yang tidak mendengar dan tidak mengetahui, serta orang-orang yang tidak mengenal Nabi dan tidak berpikir tentang beliau agar menerima dan rida pada beliau seperti mereka, sebetulnya mereka dalam kondisi bodoh pada titik tersebut. Yang mereka ketahui dalam hal makrifatullah hanya lâ ilâha illallâh. Bisa jadi mereka tergolong kelompok yang selamat.
Akan tetapi, jika mereka yang mendengar tentang Nabi dan mengetahui dakwahnya tetapi tidak membenarkannya, maka mereka termasuk orang yang mengenal Allah namun tidak beriman kepada-Nya. Pasalnya, ucapan lâ ilâha ilallâh untuk orang-orang semacam mereka tidak melahirkan tauhid yang merupakan sebab keselamatan. Kondisi tersebut bukan kondisi yang bersumber dari sikap “tidak menerima” akibat bodoh yang dianggap sebagai uzur. Namun ia bersumber dari sikap “menerima ketiadaan”, yaitu berupa pengingkaran. Orang yang mengingkari Muhammad yang merupakan poros kebanggaan alam dan kemuliaan umat manusia dengan mukjizat dan pengaruhnya yang besar, sudah pasti tidak mendapat cahaya dan tidak disebut beriman kepada Allah. Kita cukupkan sampai di sini.
Persoalan Keenam
Ketiga:terdapat sejumlah ungkapan terkait dengan jalan setan saat melakukan dialog dengan setan pada ‘bahasan pertama’. Meskipun telah diluruskan dan diperhalus dengan kalimat “Mahasuci Allah dari semua itu” serta ditampakkan dalam bentuk asumsi, namun aku masih takut dan gemetar dengannya.Lalu terdapat sedikit perbaikan pada bagian yang kukirim padamu. Apakah engkau telah mengoreksi salinan yang terkait dengannya? Aku menyerahkan hal itu kepadamu sehingga engkau dapat menghapus ungkapan yang menurutmu tidak perlu.
Saudaraku yang mulia! Bahasan tersebut sangat penting. Pasalnya, setan adalah guru bagi kalangan zindik. Jika setan tidak diserang dan dibungkam dengan argumen yang jelas, pasti para pengikutnya tidak bisa menerima. Al-Quran al-Hakim telah menggunakan sejumlah ungkapan kaum kafir yang keji dalam memberikan bantahan. Hal itu membuatku berani memperlihatkan kekeliruan jalan setan tersebut. Meski gemetar dan takut, aku tetap mempergunakan ungkapan yang menunjukkan kebodohan tersebut di mana ia diterima oleh kelompok setan sesuai dengan tuntutan jalan mereka serta mereka sebut sesuai dengan tabiat jalan mereka. Maka di sini aku menyebutkannya dalam bentuk “asumsi mustahil” guna menjelaskan kekeliruan jalan mereka. Dengan cara tersebut, aku berhasil membelenggu mereka di dasar sumur sekaligus menguasai medan atas nama al-Quran. Berbagai kebatilan mereka berhasil kusingkap.
Engkau bisa melihat kemenangan tersebut lewat perumpamaan berikut: Misalkan terdapat menara tinggi yang menjulang ke langit. Tepat di bawahnya terdapat sumur yang dalam di mana dasarnya berada di pusat bumi. Lalu ada dua kelompok manusia yang berdiskusi tentang posisi muazzin di mana suaranya terdengar oleh seluruh orang di seluruh negeri. Yakni, di tingkatan tangga menara yang mana muazzin berdiri jika melihat letak langit ke pusat bumi?
Kelompok pertama berkata, “Muazzin tersebut berdiri di puncak menara.Ia mengumandangkan azan dari sana sehingga terdengar oleh semua orang. Pasalnya, kita bisa mendengar azan yang keras dan menggema tersebut. Meskipun setiap kita tidak bisa melihatnya di sana, namun masing-masing kita bisa melihat sang muazzin sesuai dengan tingkatannya saat ia naik dan turun dari menara. Dari sana diketahui bahwa muazzin tersebut naik menara. Di manapun berada, ia memiliki kedudukan yang tinggi.”
Namun kelompok lain yang merupakan kelompok setan yang bodoh berkata, “Tidak. Posisi muazzin di dasar sumur; bukan di puncak menara.”
Padahal, tak seorang pun yang melihatnya di dasar sumur, dan tidak ada yang bisa melihatnya di sana kecuali ia berupa batu besar yang tidak memiliki ikhtiar. Hanya dengan asumsi seperti itu, muazzin tersebut bisa dilihat.
Jadi, wilayah diskusi dan perseteruan antara dua kelompok yang saling bertentangan itu berupa jarak yang membentang antara puncak menara hingga dasar sumur. Nah, kelompok pemilik cahaya yang merupakan hizbullah (golongan Allah) menjelaskan posisi muazzin di puncak menara kepada orang yang jangkauan pandangannya sampai ke sana. Mereka juga menjelaskan bahwa muazzin tersebut memiliki kedudukan tinggi di sejumlah tingkatan tangga menara kepada orang yang pandangannya terbatas yang tak bisa melihat ke tempat tinggi. Dengan kata lain, mereka menjelaskan kedudukannya yang tinggi pada setiap orang sesuai dengan jangkauan pandangannya. Karena itu, petunjuk yang kecil sudah cukup bagi mereka bahwa sang muazzin itu bukan benda seperti batu tak bernyawa. Namun ia seperti manusia sempurna yang dapat naik ke tingkatan paling tinggi dan bisa terlihat saat mengumandangkan azan di tingkatan tersebut.
Namun kelompok lain, yaitu kelompok setan, berkata, “Jika ia memang berada di puncak menara, perlihatkanlah kepada kami. jika tidak, berarti posisinya di dasar sumur.” Mereka mengatakan hal itu dengan penuh kebodohan.Karena kebodohannya, mereka tidak mengetahui bahwa kondisi muazzin yang tak terlihat oleh setiap manusia saat berada di pun- cak menara adalah karena pandangan mereka tidak mampu menjangkau kedudukan yang tinggi itu. Kemudian kelompok setan itu ingin menimbulkan kerancuan agar dapat menguasai seluruh jarak yang ada, kecuali puncak menara.
Guna menutup dialog dan debat antara dua kelompok di atas, salah seorang dari mereka maju ke depan dan berbicara kepada kelompok setan:Wahai kelompok yang malang! Jika posisi sang muazzin agung itu berada di dasar sumur, ia harus berupa benda mati seperti batu yang tak bernyawa dan tidak memiliki kekuatan. Juga, tidak mungkin ia terlihat di tingkatan manapun dari menara atau sumur. Akan tetapi, selama kalian bisa melihatnya di setiap tingkatan, berarti ia bukan benda mati yang tak bernyawa. Namun posisinya pasti di puncak menara. Karena itu, kalian bisa memperlihatkannya di dasar sumur, dan ini tidak mungkin bisa kalian lakukan dan tidak bisa diterima oleh siapapun. Atau jika tidak, hendaknya kalian diam. Sebab, wilayah pembelaan kalian terbatas di dasar sumur. Adapun wilayah lain dan jarak yang panjang itu dimiliki oleh jamaah ini; jamaah yang penuh berkah. Di manapun mereka memperlihatkannya―selain dasar sumur―mereka menang dan berkuasa.”
Begitulah, bahasan tentang dialog dengan setan serupa dengan perumpamaan di atas. Ia mengambil alih jarak yang membentang dari Arasy hingga bumi, dari tangan kelompok setan sekaligus membatasi mereka pada wilayah yang paling sempit, yaitu dasar sumur. Ia membungkam mereka pada celah yang paling sempit yang tak mungkin dimasuki. Bahkan ia mustahil dan tidak logis. Pada saat bersamaan ia dapat menguasai seluruh wilayah atas nama al-Qur’an.
Jika kelompok setan itu ditanya, “Bagaimana kalian memandang kedudukan al-Qur’an?”.Mereka menjawab: ia adalah kitab humanis yang mengajarkan akhlak yang baik.
Ketika itulah dikatakan kepada mereka, “Kalau begitu, ia adalah kalam Allah. Kalian harus menerima hal ini. Sebab, kalian tidak bisa mengatakan ‘baik’ sesuai manhaj kalian.”
Begitu pula kalau mereka ditanya, “Bagaimana kalian memandang Rasul?”Mereka akan menjawab, “Beliau adalah manusia yang memiliki akhlak baik dan akal cerdas.”
Ketika itulah dikatakan kepada mereka, “Kalau begitu, kalian harus beriman kepadanya. Pasalnya, apabila beliau memiliki akhlak yang baik dan akal yang cerdas, beliau pasti utusan Allah. Sebab, istilah ‘baik’ tidak ada dalam kamus kalian. Demikianlah, seluruh sisi hakikat dapat diterapkan pada petunjuk perumpamaan yang lain.
Atas dasar itu, ‘bahasan pertama’ yang berisi dialog dengan setan menyelamatkan iman kaum mukmin lewat petunjuk yang paling sederhana sekalipun tanpa perlu mengetahui mukjizat Muhammad berikut berbagai buktinya yang kuat. Pasalnya, setiap kondisi dan sifat Muhammad serta setiap fase kenabiannya laksana salah satu mukjizat beliau. Ia menjelaskan dan menegaskan bahwa kedudukan beliau berada di tingkatan paling tinggi; bukan di dasar sumur.
Persoalan Ketujuh
Persoalan yang Berisi Pelajaran:
Berdasarkan tujuh petunjuk yang memperkokoh kekuatan maknawi sebagian sahabatku saat ditimpa keraguan dan lemah semangat dalam berkhidmah untuk al-Qur’an, aku terpaksa menjelaskan ikram rabbani dan perlindungan ilahi yang terkait dengan khidmah al-Qur’an semata. Hal itu agar aku bisa menyelamatkan sejumlah sahabatku yang berjiwa sensitif.
Dari tujuh petunjuk tersebut, empat di antaranya mengarah kepada beberapa orang yang tadinya merupakan sahabatku namun kemudian menjadi musuh terhadap diriku sebagai pelayan al-Qur’an; bukan sebagai diri pribadiku. Mereka mengambil posisi semacam itu untuk mendapatkan keuntungan duniawi. Sebagai akibatnya, alih-alih memperoleh apa yang diharapkan, mereka malah mendapat tamparan keras.
Adapun tiga petunjuk sisanya mengarah kepada beberapa sahabat yang tulus di mana kondisi mereka masih tetap sebagai sahabat. Hanya saja mereka tidak memperlihatkan sikap berani yang merupakan tuntutan dari kesetiaan dan persahabatan. Hal itu lantaran mereka ingin mendapat simpati para ahli dunia agar memperoleh keuntungan duniawi serta lantaran ingin selamat dari berbagai cobaan. Hanya saja, ketiga sahabatku itu justru mendapat teguran; bukan mendapat apa yang mereka inginkan.
Sosok pertama adalah orang yang tadinya secara lahiriah termasuk sahabat lalu berbalik menjadi musuh.
Ia adalah sosok seorang pemimpin. Dengan penuh harap, ia meminta padaku salinan dari buku “Kalimat Kesepuluh” lewat sejumlah perantara. Maka, akupun memberikannya. Namun kemudian ia malah berbalik menjadi musuh dan meninggalkan persahabatan denganku dengan harapan bisa naik jabatan. Ia mengirim surat kepada gubernur dengan mengadukan dan memberikan informasi tentang diriku. Sayangnya, alih-alih naik jabatan, ia malah dicopot dari tugasnya sebagai salah satu karunia ilahi atas khidmah al-Qur’an.
Sosok kedua adalah seorang pemimpin yang lain. Tadinya sebagai sahabat, namun kemudian berbalik menjadi musuh dan pesaing bukan bagi diri pribadiku; tetapi bagi kedudukanku sebagai pelayan al-Qur’an. Hal itu ia lakukan agar disenangi oleh atasannya guna memperoleh simpati para ahli dunia. Akan tetapi ia malah mendapatkan teguran; bukan mendapat apa yang dia inginkan. Ia diadili atas perkara yang sama sekali tidak diharapkan, sehingga mendapat hukuman selama dua setengah tahun. Kemudian ia meminta doa dari seorang pelayan al-Qur’an agar Allah menyelamatkannya. Iapun didoakan.
Ketiga adalah seorang guru sekolah. Ia bersikap seperti seorang sahabat terhadapku. Akupun menunjukkan persahabatan yang tulus kepadanya. Namun ia malah berbalik menjadi musuh agar dipindah-tugaskan ke Barla. Akibatnya, alih-alih mendapat apa yang diinginkan, ia malah mendapat teguran keras. Ia malah direkrut sebagai prajurit dan dijauhkan dari Barla.
Keempat, juga seorang guru sekolah. Aku melihatnya sebagai orang yang taat dan hafal al-Qur’an. Karena itu, aku menunjukkan persahabatan yang tulus padanya agar Allah mengaruniakan padanya kemauan untuk berkhidmah pada al-Qur’an. Namun, hanya karena ucapan seorang pegawai negeri, ia kemudian menunjukkan sikap yang tidak simpatik pada kami guna memperoleh tempat di hati para ahli dunia. Akhirnya, bukan mendapatkan apa yang diinginkan, ia malah mendapatkan teguran. Ia mendapat teguran keras dari pengawasnya lalu dipecat dari tugasnya.
Keempat orang di atas mendapatkan teguran karena mereka menjadi musuh bagi para pelayan al-Qur’an. Adapun tiga sahabatku yang lainnya mendapatkan peringatan; bukan teguran seperti di atas, lantaran mereka tidak mau bersikap berani yang merupakan tuntutan dari sebuah persahabatan dan kesetiaan.
Pertama, salah seorang murid sejatiku yang giat dan tulus serta memiliki peran penting dalam khidmah al-Qur’an. Ia memiliki kepribadian yang mulia dan terhormat serta telah menulis al-Kalimât secara terus-menerus sekaligus menyebarkannya. Hanya saja, untuk beberapa waktu ia menyembunyikan al-Kalimât yang ia tulis serta tidak lagi menyalinnya saat seorang pejabat tinggi datang dan saat terjadi kasus tertentu. Hal itu ia lakukan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dari penguasa serta agar selamat dari kejahatan mereka. Faktanya, kesalahan akibat tidak menunaikan tugas pengabdian terhadap al-Qur’an membuatnya harus membayar den- da seribu lira untuk setahun. Namun saat ia berniat untuk menyalin dan kembali kepada kondisi semula ia terbebas dari dakwaan yang diarahkan padanya. Alhamdulillah, ia menjadi bebas dan tidak perlu membayar seribu lira, karena memang kondisinya termasuk fakir.
Kedua, seorang sahabat yang tulus, pemberani, dan murah hati. Sudah lima tahun ia menjadi tetanggaku. Namun selama beberapa bulan ia tidak bertemu denganku. Bahkan pada bulan Ramadhan dan hari raya pun ia juga tidak mengunjungiku karena dianggap tidak penting. Hal itu ia lakukan untuk mendapat simpati ahli dunia, terutama dari pemimpin yang baru datang. Namun harapannya menjadi sirna dan keinginannya tidak tercapai. Sebab, ia tidak lagi dianggap memiliki pengaruh seperti sebelumnya karena persoalan kampung sudah selesai.
Ketiga, seorang yang hafal al-Qur’an. Ia biasa mengunjungiku sekali atau dua kali dalam seminggu. Ia ditunjuk sebagai imam di masjid. Kemudian ia meninggalkanku agar bisa memakai serban imam dan tidak pernah datang bahkan di saat hari raya. Namun tidak seperti yang ia inginkan, ia tidak bisa memakai serban tersebut meski sudah menjadi imam selama kurang lebih delapan bulan.
Nah, peristiwa seperti di atas sangat sering terjadi. Aku tidak akan menyebutkannya agar tidak melukai perasaan yang lain. Hanya saja, betapapun kasusnya bersifat individual sehingga mungkin dianggap sebagai petunjuk yang lemah, namun ketika semuanya dikumpulkan, ia menyiratkan kekuatan dan melahirkan keyakinan bahwa kita bekerja dalam naungan karunia ilahi dan di bawah perlindungan-Nya ditinjau dari sisi khidmah al-Qur’an; bukan dari sisi pribadiku. Pasalnya, aku merasa diriku tidak layak untuk mendapatkan karunia ilahi tersebut.
Oleh karena itu, para sahabatku yang tercinta, kalian harus memahami hal ini dengan baik. Kalian tidak boleh menghiraukan sejumlah keraguan dan ilusi yang ada. Hal ini sengaja kujelaskan kepada kalian secara khusus karena karunia ilahi itu diberikan atas pengabdian terhadap al-Qur’an. Jadi, ini bukan untuk kesombongan; namun dalam rangka bersyukur kepada Allah sesuai dengan firman-Nya:“Terkait dengan nikmat Tuhanmu, ungkapkanlah!” (QS. adh-Dhuhâ [93]: 11)
Persoalan Kedelapan
[Catatan kaki contoh ketiga dari ‘poin ketiga’ pada ‘sebab kelima’ di antara sebab-sebab yang menghalangi upaya ijtihad di masa sekarang, dalam “Kalimat Kedua Puluh Tujuh”.]
Pertanyaan penting: Sejumlah ulama dan ahli hakikat berkata: “Ketika lafal-lafal al-Qur’an, zikir-zikir yang ma’tsur, serta tasbih yang memiliki riwayat yang valid menerangi seluruh sisi perangkat halus manusia serta memberinya nutrisi spiritual, bukankah lebih baik bila setiap kaum membentuk lafal-lafal tersebut sesuai dengan bahasa mereka sehingga maknanya bisa dipahami? Pasalnya, lafal semata tidak bisa memenuhi maksud yang dituju karena ia hanya merupa- kan bungkus?”
Jawaban:lafal al-Qur’an dan tasbih dari Nabi bukan pakaian atau bungkus yang mati yang bisa diganti dan diubah. Ia seperti kulit hidup bagi tubuh. Bahkan ia benar-benar seperti kulit yang hidup seiring perjalanan waktu. Tidak bisa dibantah bahwa mengganti dan mengubah kulit, pasti berbahaya bagi tubuh.Selanjutnya, lafal yang penuh berkah dalam shalat, zikir, dan azan sudah menjadi sebuah nama dan identitas bagi maknanya secara ‘urfi ataupun syar’i. Sementara itu, nama dan identitas tersebut tidak bisa diganti.
Aku bisa sampai pada hakikat ini setelah melakukan refleksi dan penelaahan terhadap satu kondisi yang terjadi pada diriku:
Ketika di hari arafah aku membaca surah al-Ikhlas seratus kali secara berulang-ulang, aku memperhatikan bagaimana sebagian indra batinku yang halus merasa jenuh setelah mendapatkan nutrisi secara terus-menerus. Daya pikirku tertuju pada maknanya. Namun sesudah itu ia berhenti dan jenuh. Kalbu yang ikut merasakan sejumlah makna ruhiyah juga mulai terdiam.
Berbeda halnya ketika tekun dan terus membaca. Sejumlah indra tersebut tidak cepat bosan. Ia tidak dipengaruhi oleh kealpaan yang mempengaruhi daya pikir. Namun ia dapat terus mengambil bagiannya tanpa perlu mendalami dan merenungkan maknanya. Sebab, makna umum yang menjadi perlambangnya sudah cukup serta makna global dari lafalnya yang kaya sudah memadai. Barangkali ia akan mendatangkan rasa jenuh ketika proses tafakkur mulai meng- arah kepada maknanya. Pasalnya, berbagai perangkat halus tersebut tidak membutuhkan pembelajaran dan pemberian pemahaman sebanyak kebutuhannya terhadap peringatan, pengarahan dan dorongan. Oleh karena itu, lafal yang serupa dengan kulit itu cukup untuk berbagai perangkat halus tersebut dan cukup untuk menunaikan fungsi maknanya. Terutama karena lafal berbahasa Arab tersebut menjadi sumber limpahan karunia ilahi yang permanen. Pasalnya, ia mengingatkan pada kalam dan perkataan ilahi.
Kondisi yang kualami ini menjelaskan kepada kita bahwa ungkapan azan, tasbih shalat, surah al-Ikhlas dan al-Fatihah, yang selalu berulang, dengan bahasa manapun selain bahasa Arab sangat berba- haya.
Sebab, perangkat yang permanen itu tetap tidak bisa mendapatkan bagiannya setelah kehilangan sumber hakiki yang bersifat permanen yang tidak lain berupa lafal ilahi dan nabawi. Di samping itu, paling tidak sepuluh pahala pada setiap hurufnya menjadi hilang. Lalu karena tidak ada tumakninah dan kehadiran kalbu bagi setiap orang dalam shalat, maka ungkapan buatan manusia yang sudah diterjemahkan itu di saat lalai hanya menebarkan kegelapan dalam jiwa, serta berbagai bahaya lain yang sejenis.
Ya, sebagaimana Imam Abu Hanifah berkata bahwa “لَٓا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰه merupakan lambang atau simbol tauhid, demikian pula kita mengatakan bahwa sebagian besar kalimat tasbih, zikir, terutama azan, shalat, dan zikir sudah seperti nama dan simbol. Ia lebih mengarah kepada makna urfnya yang bersifat syar’i daripada kepada makna bahasanya. Karena itu, ia sama sekali tidak mungkin diganti.
Adapun maknanya yang harus dipahami oleh setiap mukmin, maka setiap orang awam dapat memahami dan mempelajari maknanya secara umum dalam waktu singkat. Bagaimana mungkin dimaklumi seorang muslim yang menjalani hidupnya dengan memikirkan banyak hal yang tak penting, namun tidak mau mempergunakan sedikit waktunya untuk memahami makna-makna itu di mana ia merupakan kunci bagi kehidupan dan kebahagiaan abadinya. Bahkan bagaimana mungkin ia bisa dikatakan sebagai muslim dan bagaimana ia akan disebut sebagai orang berakal? Logiskah jika lafal yang merupakan tempat penyimpanan sumber cahaya tersebut rusak lantaran sikap lambat orang-orang malas itu?
Selanjutnya, ketika seorang mukmin, yang berbicara dengan bahasa manapun, mengucap “Sübhanallah” ia sadar bahwa dirinya sedang menyucikan Tuhan. Tidakkah ini sudah cukup?! Namun bila ia memfokuskan perhatian pada makna semata lewat bahasanya sendiri, ia hanya belajar sesuai dengan pemikiran dan akalnya, di mana hal itu mengambil bagiannya dan mendapat pemahaman satu kali. Namun jika ia mengulang-ulang kalimat penuh berkah itu lebih dari seratus kali, maka di samping pemahaman logis tersebut, makna global yang masuk ke dalam lafal dan bercampur di dalamnya melahirkan cahaya dan limpahan karunia yang sangat banyak. Terutama, karena lafal berbahasa Arab itu memiliki kedudukan penting, suci, dan bercahaya di mana ia merupakan kalam ilahi.
Ringkasnya, lafal mana pun tidak mungkin bisa menggantikan kedudukan lafal al-Qur’an tersebut di mana ia merupakan sumber ajaran agama yang fundamental. Sama sekali tidak ada lafal lain yang bisa menggantikan posisinya. Tidak ada yang bisa menunaikan tujuannya karena kedudukannya yang suci, tinggi, dan abadi, meskipun mungkin untuk sementara waktu bisa menunaikan sebagian kecil darinya. Adapun lafal-lafal suci yang tidak termasuk pokok ajaran, juga tidak perlu diganti.
Sebab, kebutuhan terhadapnya terpenuhi dengan tekun dalam memberikan nasihat, bimbingan, dan wejangan.
Kesimpulan: Integralitas dan keluasan bahasa Arab yang fasih, serta penjelasan lafal al-Qur’an yang merupakan mukjizat menghalangi upaya proses penerjemahan lafal yang ada. Karena itu, ia sama sekali tidak mungkin diterjemahkan. Bahkan ia mustahil. Siapa yang masih ragu tentang hal ini bisa merujuk kepada “Kalimat Kedua Puluh Lima” yang berbicara tentang mukjizat al-Qur’an agar ia bisa melihat kedudukan ayat al-Qur’an lewat kemukjizatannya, cabang-cabangnya, integralitasnya, keindahannya, dan maknanya yang mulia. Ini tidak bisa didapat pada bentuk terjemahan yang maknanya ringkas, bahkan cacat dan tidak sempurna.
Persoalan Kesembilan
(Persoalan Penting dan Khusus yang Menyingkap Salah Satu Rahasia Kewalian)
Kalangan haq dan istikamah yang disebut dengan ahlu sunnah wal jamaah di mana mereka yang mewakili kelompok mayoritas umat Islam telah menjaga sejumlah hakikat al-Qur’an dan iman dalam wilayah istikamah dengan sikap mereka yang mengikuti seluruh sunnah yang mulia, tanpa pengurangan atau penambahan. Dari kelompok inilah kemudian bermunculan sebagian besar wali yang salih. Namun tampak wali lain di jalan yang berbeda dengan prinsip-prinsip ahlu sunnah wal jamaah, dan di luar sebagian ketentuannya. Karena itu, orang-orang yang mencermati keberadaan para wali tersebut terbagi dalam dua kelompok:
Pertama, kelompok yang mengingkari kewalian dan kesalehan mereka. Hal itu karena mereka meniti jalan yang berbeda dengan prinsip ahlu sunnah wal jamaah. Bahkan, kelompok ini melakukan pengingkaran yang sangat jauh dengan mengafirkan sebagian mereka.
Kedua, kelompok yang mengikuti dan mengakui kewalian mereka. Karena itu, mereka berkata, “kebenaran tidak hanya terbatas pada jalan ahlu sunnah wal jamaah.” Dengan pernyataan ini, mereka membentuk satu kelompok baru dari ahli bid’ah dan tergelincir dalam kesesatan. Mereka lupa bahwa orang yang mendapat petunjuk untuk dirinya, tidak selalu bisa memberi petunjuk kepada yang lainnya. Para syekh mereka bisa dimaklumi ketika melakukan kesalahan karena mereka termasuk dalam kalangan yang tenggelam dalam kecintaan kepada Allah (majdzûb), namun tidak dibenarkan mengikuti mereka.
Terdapat kelompok ketiga yang meniti jalan pertengahan. Kelompok ini tidak mengingkari kewalian dan kesalehan mereka. Akan tetapi, mereka tidak menerima jalan dan manhaj para wali tersebut. Menurut mereka, sejumlah ucapan wali yang bertentangan dengan prinsip syariat bisa bersumber dari dominasi kondisi spiritual sehingga mereka melakukan kekeliruan. Atau, ia hanya syathahât (ungkapan seorang sufi dalam kondisi dimabuk cinta) yang menyerupai hal mutasyâbihât yang makna dan maksudnya tidak dipahami.
Sangat disayangkan kelompok pertama, terutama ulama ahli zahir, mengingkari kewalian banyak wali besar dengan niat untuk memelihara manhaj ahlu sunnah. Bahkan kemudian mereka terpaksa memvonis mereka sesat. Sementara kelompok lain yang mendukung para wali tadi meninggalkan jalan kebenaran dan masuk ke dalam bid’ah, bahkan sebagian mereka jatuh dalam kesesatan.
Hal itu karena sikap baik sangka mereka yang berlebihan terhadap para syekh mereka. Atas dasar itu, terdapat satu kondisi yang membuatku sering berpikir. Yaitu: Aku telah berdoa kepada Allah agar sebagian kaum yang sesat dibinasakan. Akan tetapi, kekuatan maknawi yang besar menahan doaku atas mereka. Ia menolak doa tersebut. Ia mencegahku melakukan hal semacam itu.
Kemudian aku melihat bagaimana sebagian tokoh sesat itu sangat semangat melakukan kebatilan mereka dan terus menyelisihi kebenaran. Dengan kekuatan maknawi, mereka menyeret banyak orang di belakang mereka ke lembah kebinasaan dengan sangat mudah. Mereka seakan mendapat restu dalam melakukan hal itu; bukan dengan paksaan semata. Bahkan, sebagian kaum mukmin ikut dan tertipu dengan mereka karena kondisi mereka yang memiliki sisi kewalian. Maka, sebagian kaum mukmin bersikap toleran kepada mereka dan tidak melihat mereka berada dalam kerusakan yang besar.
Ketika merasakan dua rahasia di atas, aku diselimuti rasa takut. Akupun berkata, “Subhanallah!, mungkinkah ada kewalian yang berada di luar jalan kebenaran? Mungkinkah ahli hakikat dan wali loyal dengan aliran sesat?Lalu di salah satu hari yang diberkahi di antara hari-hari Arafah, aku membaca surah al-Ikhlas seratus kali. Aku mengulangnya berkali-kali mengikuti tradisi keislaman yang dianggap baik. Ketika itu, hakikat berikut serta jawaban dari sebuah persoalan penting masuk ke dalam kalbuku dari rahmat ilahi lewat keberkahan bacaan Qur’an tersebut:
Hakikat yang dimaksud adalah bahwa sebagian para wali meskipun terlihat memiliki kearifan dan petunjuk, serta memiliki pertimbangan akal yang rasional namun mereka majdzûb (ekstase).Mereka seperti Jibali Baba yang kisahnya terdapat di masa Sultan Muhammad al-Fatih; sebuah kisah terkenal yang mengandung pelajaran.(*[16])
Sebagian wali lain, meskipun mereka berada dalam wilayah rasional, sadar, dan mendapat petunjuk, namun kadangkala mereka berada dalam kondisi di luar nalar dan tidak rasional.
Sebagian dari kelompok ini merupakan kalangan yang rancu. Yakni, persoalannya menjadi kabur bagi mereka sehingga tidak bisa membedakan. Persoalan tertentu yang mereka lihat di saat ekstase (tidak sadar) mereka te- rapkan pada kondisi sadar. Akibatnya, mereka melakukan kekeliruan tanpa sadar kalau mereka keliru.
Adapun kalangan majdzûb, sebagian dari mereka mendapat penjagaan di sisi Allah di mana mereka tidak tersesat, namun sebagian lain tidak mendapat penjagaan.
Barangkali mereka berada dalam lingkungan ahli bid’ah dan sesat. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan mereka berada dalam barisan orang-orang kafir.
Begitulah. Karena mereka majdzûb, entah bersifat temporer atau permanen, mereka seperti orang gila yang baik dan diberkahi. Artinya, hukum tidak bisa diterapkan kepada mereka. Karena gila, mereka bebas tidak mendapat beban taklif. Karena tidak mendapat taklif, mereka tidak mendapat hukuman atas tindakan mereka. Meskipun kewalian mereka yang bersifat majdzub itu terlindungi, mereka loyal kepada kalangan ahli bid’ah dan sesat sehingga mengembangkan cara-cara kalangan ahli bid’ah tersebut sampai pada tingkat di mana mereka menjadi sebab buruk bagi masuknya sebagian mukmin dan ahlul haq kepada kehidupan ahli bid’ah tadi.
Persoalan Kesepuluh
[Persoalan ini ditulis karena permintaan sejumlah sahabat untuk membuat sebuah prinsip bagi para pengunjung yang ingin menemuiku.]
Perlu diketahui oleh semua bahwa di antara yang mengunjungi kami, ada yang datang untuk urusan dunia. Hanya saja pintu tersebut tertutup. Ada pula yang datang untuk urusan akhirat. Terkait dengan itu terdapat dua pintu: pertama, seseorang yang menganggap diriku sebagai orang yang diberkahi dan mempunya maqam di sisi Allah, karena itu ia datang. Pintu ini juga tertutup. Pasalnya, aku tidak ujub dengan diriku dan tidak senang dengan orang yang kagum padaku. Alhamdulillah aku tidak dijadikan orang yang mengagumi diri sendiri. Adapun yang kedua, seseorang yang datang padaku karena aku sebagai pelayan dan penjaja al-Qur’an sekaligus sebagai penyeru kepadanya. Selamat datang kuucapkan bagi yang datang kepada kami lewat pintu ini.
Mereka ini juga terdiri dari tiga jenis. Ada yang merupakan sahabat, saudara, dan ada yang merupakan murid.
Ciri dan syarat sahabat adalah memberikan dukungan yang serius atas pengabdian kami dalam menyebarkan cahaya al-Qur’an (Risalah Nur); tidak condong kepada kebatilan, bid’ah, dan kesesatan; serta berusaha untuk memberi manfaat kepada dirinya sendiri.
Ciri dan syarat saudara adalah mengerahkan upaya yang sungguh-sungguh untuk menyebarkan Risalah Nur, serta ia menunaikan salat lima waktu dan menghindari tujuh dosa besar.
Ciri dan syarat murid adalah menganggap Risalah Nur seola olah karya tulisnya sendiri; menganggap secara khusus diperun- tukkan baginya sehingga membelanya seolah-olah miliknya sendiri; serta menganggap penyebaran dan pengabdian terhadap Risalah Nur merupakan tugas hidup yang paling mulia.
Tiga tingkatan tersebut terkait dengan tiga sisi pribadiku. Sahabat terkait dengan diri pribadiku. Saudara terpaut dengan so-sok pribadiku sebagai hamba, yakni sosok yang menunaikan tugas ubudiyah kepada Allah. Murid terkait dengan diriku dilihat dari keberadaanku sebagai penyeru dan penjaja sekaligus sebagai pembimbing kepada al-Qur’an.
Relasi semacam ini melahirkan tiga buah:
Pertama, ia mengambil permata al-Qur’an sebagai pelajaran dariku atau dari Risalah Nur yang merupakan penyeru kepada al- Qur’an meski hanya satu pelajaran.
Kedua, ia ikut mendapatkan ganjaran ukhrawi bersamaku. Ini dilihat dari sisi ubudiyah kepada Allah.
Ketiga, kita sama-sama mengharap rahmat ilahi di mana hati ini terpaut dan saling mendukung dalam khidmah al-Qur’an sekaligus mengharap taufik dan hidayah dari-Nya.
Jika ia sebagai murid, ia hadir pada setiap pagi bersamaku dengan namanya, dan kadangkala dengan khayalannya.
Jika ia sebagai saudara, ia hadir pada sejumlah momen bersamaku dalam doaku dengan namanya dan gambarannya sehingga ia ikut mendapatkan pahala dan doa. Kemudian ia tergabung bersama seluruh saudara yang lain, lalu kuserahkan ia kepada rahmat ilahi. Sebab, ketika dalam doa aku mengucap “Ikhwati wa ikhwâni (saudara-saudariku),” ia termasuk dari mereka. Meski aku pribadi tidak mengenalnya, rahmat ilahi lebih mengetahui dan lebih melihat.
Jika ia sebagai sahabat, ia termasuk dalam doaku dengan kedudukannya sebagai saudara secara umum selama ia menunaikan kewajiban dan menjauhi dosa besar.
Aku juga berharap dari ketiga tingkatan di atas agar memasukkanku sebagai bagian dari doa dan pahala mereka.
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى مَن۟ قَالَ «اَل۟مُؤ۟مِنُ لِل۟مُؤ۟مِنِ كَال۟بُن۟يَانِ ال۟مَر۟صُوصِ يَشُدُّ بَع۟ضُهُ بَع۟ضًا» وَعَلٰى اٰلِهٖ وَصَح۟بِهٖ وَسَلِّم۟
سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ الَّذٖى هَدٰينَا لِهٰذَا وَمَا كُنَّا لِنَه۟تَدِىَ لَو۟لَٓا اَن۟ هَدٰينَا اللّٰهُ لَقَد۟ جَٓاءَت۟ رُسُلُ رَبِّنَا بِال۟حَقِّ
اَللّٰهُمَّ يَا مَن۟ اَجَابَ نُوحًا فٖى قَو۟مِهٖ وَ يَا مَن۟ نَصَرَ اِب۟رَاهٖيمَ عَلٰى اَع۟دَائِهٖ
وَ يَا مَن۟ اَر۟جَعَ يُوسُفَ اِلٰى يَع۟قُوبَ وَ يَا مَن۟ كَشَفَ الضُّرَّ عَن۟ اَيُّوبَ
Ya Allah, Dzat Yang Mengabulkan doa Nuh dalam dakwanya; Yang memenangkan Ibrahim atas musuhnya; Yang mengembalikan Yusuf ke Ya’qub; Yang menyembuhkan penyakit Ayyub; Yang mengabulkan doa Zakariya; dan Yang mengampuni Yunus ibn Matta. Dengan rahasia pemilik doa-doa yang mustajab tersebut, kami memohon:Lindungi aku dan penyebar risalah ini berikut teman-teman mereka dari kejahatan setan golongan manusia dan jin; beri kami kemenangan atas musuh kami; jangan serahkan kami kepada diri kami; lapangkan dada kami dan dada mereka; sembuhkan penyakit hati kami dan hati mereka. Amin, amin, amin!
- ↑ *Lihat: as-Sarkhasi dalam al-Mabsûth 11/8; al-Kasâni dalam Badâ-i’ ash-Shanâ-i’6/202; dan al-Marghani dalam al-Hadâyâ 2/177.
- ↑ *Lihat: ad-Darimi dalam al-Mukaddimah 57; dan al-Bayhaqi dalam syu’ab al- Iman 2/398.
- ↑ *Ahmad ibn Hambal dalam ar-Radd ala az-Zindiqah wal Jahamiyah 36; Abu Naim dalam Hilyatul Awliya 6/210; dan ath-Thabari dalam Jami al-Bayan 6/30.
- ↑ *Yaitu mengumpulkan semua sifat yang dikira merupakan alasan atau sebab dari sebuah hukum. Lalu satu persatu dibatalkan kecuali satu di antaranya di mana ia sudah jelas merupakan sebabnya.
- ↑ *Ungkapan ini terpaksa dipergunakan sebagai sebuah asumsi yang mustahil terjadi dan dengan perasaan takut. Hal itu tidak lain untuk memperlihatkan kemustahilan pandangan kaum yang sesat dengan merujuk pada keterangan al-Qur’an tentang keku- furan orang kafir dan ungkapan kotor mereka yang terhijab―Penulis.
- ↑ *Maksudnya adalah sejumlah urusan yang terkait dengan politik.
- ↑ *Yaitu firman Allah yang berbunyi:Wahai orang-orang yang beriman, siapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang dicintai oleh-Nya ....
- ↑ *Thomas Woodrow Wilson (1856-1924 M) adalah Presiden Amerika Serikat yang ke-28 (1913-1921 M). Ia berasal dari partai Demokrat dan dikenal sebagai politisi yang religius (Wikipedia)―Peny.
- ↑ *David Lloyd George (1863-1945 M) adalah Perdana Menteri Britania Raya, Ing- gris, pada tahun 1916-1922 M (Wikipedia)―Peny.
- ↑ *Eleftherios Kyriakou Venizelos (1964-1936 M) adalah Perdana Menteri Yunani, yang menjabat dari tahun 1910-1920 dan 1928-1932 M (Wikipedia)―Peny.
- ↑ *Lihat: ath-Thabari, Jâmi al-Bayân 1/63; al-Qurthubi, al-Jâmi li Ahkâm al-Qur’an 1/138; dan al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl 1/40.
- ↑ *HR. ad-Daylami, al-Musnad 1/242; Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf 6/240; dan Ibnu al-Mubârak, az-Zuhd 96.
- ↑ *Lihat: al-Futûhât al-Makkiyyah, juz I hal 241 dalam bab ke-42.
- ↑ *Lihat: al-Asfahani, al-Aghânî 4/39; al-Qalqasyandi, Shubhul A’sya 12/413; dan al-Absyihi, al-Mustathraf 1/61, 2/280.
- ↑ *HR. at-Tirmidzi dalam Nawâdir al-Ushûl 2/204; Ahmad ibn Hambal dalam al-Musnad 2/359; dan Abdu ibn Humaid dalam al-Musnad 1/417.
- ↑ *Dikisahkan bahwa seorang wali salih yang disebut Jibali Baba tinggal di Kon- stantinopel. Ia sangat mencintai penduduknya yang beragama Nasrani. Mereka punmencintainya, terutama anak-anak mereka. Ia sangat mengasihi mereka. Ketika Sultan Muhammad al-Fatih mengepung kota tersebut, sang wali salih tersebut berdoa kepada Allah agar peluru Sultan tidak mengenai sasaran serta agar anak-anak kecil diselamatkan. Ternyata benar, kota tersebut tidak segera bisa dikuasai. Sultan meminta arahan dari gurunya, Ak Syamsuddin; seorang alim yang mengamalkan ilmunya dan wali yang salih. Ak Syamsuddin pun berdoa untuk mendapat kemenangan. Sementara Jibali Baba berdoa sebaliknya. Hal itu membuat Ak Syamsuddin berdoa agar Jibali Baba binasa sehingga kemenangan segera terwujud. Tidak lama kemudian, Jibali Baba wafat dan Konstanstinopel berhasil ditaklukkan.