KALIMAT KESEMBILAN

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    13.29, 5 Kasım 2024 tarihinde Ferhat (mesaj | katkılar) tarafından oluşturulmuş 177988 numaralı sürüm ("Ya, jika kekuasaan rububiyah menuntut adanya ubudiyah dan ketaatan, maka kesucian-Nya juga menuntut agar—di samping ber- istigfar dan mengakui kekurangan diri—seorang hamba mengakui keberadaan Tuhannya yang bersih dari segala kekurangan, jauh dari semua pandangan batil kaum sesat, dan suci dari seluruh cacat makh- luk. Dengan kata lain, ia mengutarakan semua itu dengan bertasbih mengucap subhânallâh." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

    “Bertasbihlah kepada Allah saat kamu berada di petang hari dan saat berada di waktu subuh. Bagi-Nya segala puji di langit dan di bumi serta di saat kamu berada pada petang haridan di saat kamu berada di waktu zuhur.”(QS. ar-Rûm [30]: 17-18).

    Wahai saudaraku! Engkau bertanya tentang hikmah penetapan salat pada lima waktu yang telah ditentukan. Kami akan menjelaskan satu hikmah saja di antara begitu banyak hikmah yang ada.

    Ya, sebagaimana waktu setiap salat merupakan awal perubah- an masa yang demikian penting, ia juga merupakan cermin kehen- dak Ilahi yang agung di mana ia memantulkan sejumlah karunia-Nya yang komprehensif di waktu tersebut. Karena itu, pada waktu-waktu tersebut salat diperintahkan, yaitu dengan memperbanyak tasbih dan penghormatan kepada Dzat Mahakuasa Yang Mahaagung, serta mem- perbanyak pujian dan rasa syukur atas nikmat-nikmat-Nya yang tak terhitung di mana ia terkumpul antara dua waktu tersebut. Agar mak- na yang mendalam ini dapat dipahami, mari kita sama-sama memper- hatikan lima nuktah(*[1])berikut:

    Nuktah Pertama Makna salat adalah menyucikan, mengagungkan, dan bersyukur kepada Allah . Yakni, menyucikan-Nya dengan mengucap sub- hânallâh dalam bentuk ucapan dan perbuatan terhadap kemuliaan- Nya. Mengagungkan-Nya dengan mengucap Allâhu Akbar dalam bentuk ucapan dan perbuatan terhadap kesempurnaan-Nya. Serta, bersyukur dengan mengucap alhamdulillâh dalam kalbu, lisan, dan fisik terhadap keindahan-Nya.

    Dengan kata lain, tasbih, takbir, dan tahmid laksana benih salat sehingga ia terdapat pada seluruh gerakan salat dan zikirnya. Oleh karena itu pula, ketiga kalimat baik tersebut diucapkan secara berulang sebanyak tiga puluh tiga kali seusai salat. Hal itu untuk menguatkan dan mengokohkan makna salat. Pasalnya, dengan kalimat singkat tersebut, makna dan esensi salat menjadi kuat.

    Nuktah Kedua

    Makna ibadah adalah bersujudnya seorang hamba dengan penuh cinta dan rasa kagum di hadapan kesempurnaan rububiyah, qudrah, dan rahmat Ilahi seraya menyaksikan kekurangan, kelemahan, dan ke- fakiran dirinya.

    Ya, jika kekuasaan rububiyah menuntut adanya ubudiyah dan ketaatan, maka kesucian-Nya juga menuntut agar—di samping ber- istigfar dan mengakui kekurangan diri—seorang hamba mengakui keberadaan Tuhannya yang bersih dari segala kekurangan, jauh dari semua pandangan batil kaum sesat, dan suci dari seluruh cacat makh- luk. Dengan kata lain, ia mengutarakan semua itu dengan bertasbih mengucap subhânallâh.

    Demikian pula qudrah rububiyah yang sempurna menuntut hamba agar melakukan rukuk dengan penuh khusyuk, berlindung dan bertawakkal pada-Nya lantaran melihat kelemahan dirinya dan ketidakberdayaan seluruh makhluk seraya mengucap Allâhu Akbar dengan penuh kekaguman dan penghormatan di hadapan tanda-tan- da kekuasaan-Nya.

    Lalu, kasih sayang Tuhan yang demikian luas juga menuntut hamba untuk memperlihatkan berbagai kebutuhannya dan kebutuhan seluruh makhluk lewat meminta dan berdoa, serta menampakkan ke- baikan Tuhan dan berbagai karunia-Nya yang melimpah lewat syukur, sanjungan dan pujian dengan mengucap alhamdulillah.

    Dengan kata lain, seluruh perbuatan dan ucapan dalam salat ber- isi makna-makna tersebut. Karena itulah salat diwajibkan oleh-Nya.

    Nuktah Ketiga

    Sebagaimana manusia adalah miniatur dari alam yang besar ini dan surah al-Fâtihah merupakan contoh bersinar dari al-Qur’an. Demikian pula salat merupakan daftar isi bercahaya yang mencakup seluruh bentuk ibadah dan peta suci yang menjelaskan seluruh model ibadah makhluk.

    Nuktah Keempat

    Jarum jam yang menghitung detik, menit, jam, dan hari, masing- masing saling terkait dan mewakili yang lain. Demikian pula di alam dunia yang merupakan jam Ilahi terbesar. Putaran siang dan malam yang berposisi sebagai detik jam, tahun demi tahun yang seperti menit, tahapan umur manusia yang terhitung sebagai jam, serta putaran usia alam yang terhitung sebagai hari, masing-masing saling menyerupai dan saling mengingatkan.

    Sebagai contoh: waktu fajar hingga terbit matahari. Ia menyerupai sekaligus mengingatkan awal musim semi, saat terjadinya pembuahan di dalam rahim ibu, serta hari pertama dalam penciptaan langit dan bumi. Waktu ini mengingatkan manusia pada sejumlah kondisi agung Ilahi yang terdapat pada waktu-waktu tersebut.

    Adapun waktu zuhur, ia menyerupai dan menunjukkan per- tengahan musim panas, penyempurnaan masa muda, rentang waktu penciptaan manusia dalam umur dunia, serta mengingatkan berbagai manifestasi rahmat dan limpahan karunia yang terdapat pada seluruh masa tersebut.

    Selanjutnya waktu Asar, ia menyerupai musim gugur, masa senja, dan era kebahagiaan yang merupakan era penutup para rasul, Mu- hammad x. Ia mengingatkan berbagai kondisi agung Ilahi dan kemu- rahan rahmat yang terdapat pada keseluruhannya.

    Lalu waktu Magrib, ia mengingatkan terbenamnya sebagian be- sar makhluk pada akhir musim gugur. Ia juga mengingatkan kematian manusia dan kehancuran dunia di saat kiamat tiba. Di samping itu, ia menunjukkan sejumlah manifestasi Ilahi dan membangunkan manu- sia dari tidur kelalaian.

    Sementara waktu Isya mengingatkan akan tersebarnya alam kegelapan di mana ia menutupi alam siang dengan kain hitamnya. Ia juga mengingatkan musim dingin yang menutupi muka bumi yang su- dah mati dengan kafan putih, mengingatkan akan kematian bahkan jejak manusia yang mati berikut bagaimana ia dilupakan, serta meng- ingatkan bahwa pada akhirnya pintu-pintu negeri ujian dunia akan tertutup. Pada semua itu, ia memberitahukan kehendak dan perbuatan Ilahi Yang Mahaperkasa dan Mahaagung.

    Selanjutnya waktu malam, ia mengingatkan musim dingin, kubur, dan alam barzakh. Di samping itu, ia mengingatkan betapa jiwa manusia sangat membutuhkan kasih sayang Tuhan Yang Maha Penyayang.Tahajjud di waktu malam mengingatkan urgensinya sebagai ca- haya bagi malam kubur dan gelapnya alam barzakh. Ia juga mengingat- kan berbagai nikmat yang tak terhingga dari Sang Pemberi nikmat hakiki sepanjang perubahan yang terjadi. Ia juga menginformasikan tentang kelayakan Pemberi nikmat hakiki untuk disanjung dan dipuji.

    Lalu, subuh yang kedua mengingatkan keberadaan hari kebang- kitan(*[2])(al-Hasyr). Ya, apabila kedatangan subuh setelah malam hari, serta kedatangan musim semi setelah musim dingin merupakan se- suatu yang rasional dan pasti, maka kedatangan ‘subuh kebangkitan’ dan ‘musim semi barzakh’ juga merupakan sesuatu yang pasti.

    Jadi, setiap waktu—dari kelima waktu yang ada—merupakan awal perubahan besar serta mengingatkan kepada berbagai peruba- han besar lainnya. Ia juga mengingatkan pada mukjizat qudrah dan hadiah rahmat-Nya, baik yang berskala tahunan ataupun abad, lewat petunjuk perbuatan harian qudrah Ilahi yang agung. Dengan demiki- an, salat wajib yang merupakan tugas fitrah dan landasan ubudiyah sangat tepat jika dilakukan pada waktu-waktu tersebut.

    Nuktah Kelima

    Secara fitrah, manusia sangat lemah. Namun demikian, segala sesuatu dapat membuatnya sedih dan menderita. Pada waktu yang sama, ia sangat tak berdaya, namun musuh dan musibahnya sangat banyak. Ia juga sangat miskin, namun kebutuhannya tak terhitung. Ia pun malas dan tak memiliki kekuatan, namun beban hidup demikian berat atasnya. Unsur kemanusiaannya menjadikannya terpaut dengan seluruh alam, padahal perpisahan dengan apa yang ia cintai begitu menyakitkan. Akalnya memperlihatkan sejumlah tujuan mulia dan buah abadi, namun kemampuan, usia, kekuatan, dan kesabarannya terbatas.

    Maka jiwa manusia dalam kondisi demikian, di waktu fajar, sangat perlu mengetuk pintu Dzat Yang Mahakuasa dan Maha Pe- nyayang dengan doa dan salat. Ia perlu menampakkan keadaannya di hadapan Tuhan seraya meminta taufik dan pertolongan dari-Nya. Betapa jiwa manusia sangat membutuhkan titik tempat bersandar agar dapat menghadapi sejumlah pekerjaan yang sudah menantikannya serta berbagai tugas yang berada di pundaknya di waktu siang. Bu- kankah hal ini dapat dipahami dengan jelas?

    Pada waktu zuhur, yaitu saat puncak kesempurnaan siang, di saat amal aktivitas sehari-hari mulai sempurna dikerjakan, dan saat istirahat sebentar setelah penat bekerja. Itu adalah waktu di mana jiwa butuh bernapas dan beristirahat setelah dunia yang fana dan kesibu- kan yang melelahkan membuatnya lalai dan bingung. Di samping itu, ia juga merupakan saat datangnya sejumlah nikmat Ilahi.

    Jiwa manusia baru terlepas dari berbagai kesulitan dan kelalaian, serta keluar dari berbagai urusan yang sepele dan fana ini dengan ber- simpuh di hadapan pintu Dzat Yang Mahakekal sebagai Pemberi Haki- ki. Yaitu dengan merendah dan meminta pada-Nya dengan tangan yang bersedekap seraya bersyukur dan memuji sejumlah nikmat-Nya, meminta pertolongan pada-Nya semata disertai upaya menampak- kan ketidakberdayaan di hadapan keagungan-Nya lewat rukuk. Juga menampakkan kekaguman, cinta dan kerendahan hati melalui sujud di hadapan kesempurnaan-Nya yang abadi dan di hadapan keinda- han-Nya yang kekal. Inilah pelaksanaan salat zuhur. Betapa ia sangat indah, sangat nikmat, sangat layak, dan sangat penting! Karena itu, orang yang tidak bisa memahami hal ini tidak patut disebut sebagai manusia.

    Asr vaktinde –ki o vakit– hem güz mevsim-i hazînanesini ve ihtiyarlık halet-i mahzunanesini ve âhir zaman mevsim-i elîmanesini andırır ve hatırlattırır. Hem yevmî işlerin neticelenmesi zamanı hem o günde mazhar olduğu sıhhat ve selâmet ve hayırlı hizmet gibi niam-ı İlahiyenin bir yekûn-ü azîm teşkil ettiği zamanı hem o koca güneşin ufûle meyletmesi işaretiyle insan, bir misafir memur ve her şey geçici, bîkarar olduğunu ilan etmek zamanıdır.

    Şimdi ebediyeti isteyen ve ebed için halk olunan ve ihsana karşı perestiş eden ve firaktan müteellim olan ruh-u insan, kalkıp abdest alıp şu asr vaktinde ikindi namazını kılmak için Kadîm-i Bâki ve Kayyum-u Sermedî’nin dergâh-ı Samedaniyesine arz-ı münâcat ederek, zevalsiz ve nihayetsiz rahmetinin iltifatına iltica edip hesapsız nimetlerine karşı şükür ve hamdederek, izzet-i rububiyetine karşı zelilane rükûya gidip sermediyet-i uluhiyetine karşı mahviyetkârane secde ederek, hakiki bir teselli-i kalp, bir rahat-ı ruh bulup huzur-u kibriyasında kemer-beste-i ubudiyet olmak demek olan asr namazını kılmak, ne kadar ulvi bir vazife, ne kadar münasip bir hizmet, ne kadar yerinde bir borc-u fıtrat eda etmek, belki gayet hoş bir saadet elde etmek olduğunu insan olan anlar.

    Mağrib vaktinde –ki o zaman– hem kışın başlamasından yaz ve güz âleminin nâzenin ve güzel mahlukatının veda-i hazînanesi içinde gurûb etmesinin zamanını andırır. Hem insanın vefatıyla bütün sevdiklerinden bir firak-ı elîmane içinde ayrılıp kabre girmek zamanını hatırlatır. Hem dünyanın zelzele-i sekerat içinde vefatıyla bütün sekenesi başka âlemlere göçmesi ve bu dâr-ı imtihan lambasının söndürülmesi zamanını andırır, hatırlatır ve zevalde gurûb eden mahbublara perestiş edenleri şiddetle ikaz eder bir zamandır.

    İşte akşam namazı için böyle bir vakitte, fıtraten bir Cemal-i Bâki’ye âyine-i müştak olan ruh-u beşer, şu azîm işleri yapan ve bu cesîm âlemleri çeviren, tebdil eden Kadîm-i Lemyezel ve Bâki-i Lâyezal’in arş-ı azametine yüzünü çevirip bu fânilerin üstünde اَللّٰهُ اَك۟بَرُ  deyip onlardan ellerini çekip hizmet-i Mevla için el bağlayıp Daim-i Bâki’nin huzurunda kıyam edip اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ demekle; kusursuz kemaline, misilsiz cemaline, nihayetsiz rahmetine karşı hamd ü sena edip اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ اِيَّاكَ نَسْتَع۪ينُ demekle, muînsiz rububiyetine, şeriksiz uluhiyetine, vezirsiz saltanatına karşı arz-ı ubudiyet ve istiane etmek…

    Hem nihayetsiz kibriyasına, hadsiz kudretine ve aczsiz izzetine karşı rükûya gidip bütün kâinatla beraber zaaf ve aczini, fakr ve zilletini izhar etmekle سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمُ deyip Rabb-i Azîm’ini tesbih edip hem zevalsiz cemal-i zatına, tagayyürsüz sıfât-ı kudsiyesine, tebeddülsüz kemal-i sermediyetine karşı secde edip hayret ve mahviyet içinde terk-i mâsiva ile muhabbet ve ubudiyetini ilan edip hem bütün fânilere bedel bir Cemil-i Bâki, bir Rahîm-i Sermedî bulup سُبْحَانَ رَبِّيَ الْاَعْلٰ demekle zevalden münezzeh, kusurdan müberra Rabb-i A’lâsını takdis etmek…

    Sonra teşehhüd edip oturup bütün mahlukatın tahiyyat-ı mübarekelerini ve salavat-ı tayyibelerini kendi hesabına o Cemil-i Lemyezel ve Celil-i Lâyezal’e hediye edip ve Resul-i Ekrem’ine selâm etmekle biatını tecdid ve evamirine itaatini izhar edip ve imanını tecdid ile tenvir etmek için şu kasr-ı kâinatın intizam-ı hakîmanesini müşahede edip Sâni’-i Zülcelal’in vahdaniyetine şehadet etmek…

    Hem saltanat-ı rububiyetin dellâlı ve mübelliğ-i marziyatı ve kitab-ı kâinatın tercüman-ı âyâtı olan Muhammed-i Arabî aleyhissalâtü vesselâmın risaletine şehadet etmek demek olan mağrib namazını kılmak ne kadar latîf, nazif bir vazife, ne kadar aziz, leziz bir hizmet, ne kadar hoş ve güzel bir ubudiyet, ne kadar ciddi bir hakikat ve bu fâni misafirhanede bâkiyane bir sohbet ve daimane bir saadet olduğunu anlamayan adam, nasıl adam olabilir!

    İşâ vaktinde –ki o vakit– gündüzün ufukta kalan bakiyye-i âsârı dahi kaybolup gece âlemi kâinatı kaplar. مُقَلِّبُ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ olan Kadîr-i Zülcelal’in o beyaz sahifeyi bu siyah sahifeye çevirmesindeki tasarrufat-ı Rabbaniyesiyle yazın müzeyyen yeşil sahifesini, kışın bârid beyaz sahifesine çevirmesindeki مُسَخِّرُ الشَّمْسِ وَالْقَمَرِ olan Hakîm-i Zülkemal’in icraat-ı İlahiyesini hatırlatır. Hem mürur-u zamanla ehl-i kuburun bakiyye-i âsârı dahi şu dünyadan kesilmesiyle bütün bütün başka âleme geçmesindeki Hâlık-ı mevt ve hayat’ın şuunat-ı İlahiyesini andırır. Hem dar ve fâni ve hakir dünyanın tamamen harap olup azîm sekeratıyla vefat edip geniş ve bâki ve azametli âlem-i âhiretin inkişafında Hâlık-ı arz ve semavat’ın tasarrufat-ı celaliyesini ve tecelliyat-ı cemaliyesini andırır, hatırlattırır bir zamandır. Hem şu kâinatın Mâlik ve Mutasarrıf-ı Hakiki’si, Mabud ve Mahbub-u Hakiki’si o zat olabilir ki gece gündüzü, kış ve yazı, dünya ve âhireti, bir kitabın sahifeleri gibi suhuletle çevirir, yazar bozar, değiştirir. Bütün bunlara hükmeder bir Kadîr-i Mutlak olduğunu ispat eden bir vaziyettir.

    İşte nihayetsiz âciz, zayıf hem nihayetsiz fakir, muhtaç hem nihayetsiz bir istikbal zulümatına dalmakta hem nihayetsiz hâdisat içinde çalkanmakta olan ruh-u beşer, yatsı namazını kılmak için şu manadaki işâda İbrahimvari لَٓا اُحِبُّ الْاٰفِل۪ينَ deyip Mabud-u Lemyezel, Mahbub-u Lâyezal’in dergâhına namaz ile iltica edip ve şu fâni âlemde ve fâni ömürde ve karanlık dünyada ve karanlık istikbalde, bir Bâki-i Sermedî ile münâcat edip bir parçacık bir sohbet-i bâkiye, birkaç dakikacık bir ömr-ü bâki içinde dünyasına nur serpecek, istikbalini ışıklandıracak, mevcudatın ve ahbabının firak ve zevalinden neş’et eden yaralarına merhem sürecek olan Rahman-ı Rahîm’in iltifat-ı rahmetini ve nur-u hidayetini görüp istemek…

    Hem muvakkaten onu unutan ve gizlenen dünyayı, o dahi unutup dertlerini kalbin ağlamasıyla dergâh-ı rahmette döküp hem ne olur ne olmaz, ölüme benzeyen uykuya girmeden evvel, son vazife-i ubudiyetini yapıp yevmiye defter-i amelini hüsn-ü hâtime ile bağlamak için salâta kıyam etmek, yani bütün fâni sevdiklerine bedel bir Mabud ve Mahbub-u Bâki’nin ve bütün dilencilik ettiği âcizlere bedel bir Kadîr-i Kerîm’in ve bütün titrediği muzırların şerrinden kurtulmak için bir Hafîz-i Rahîm’in huzuruna çıkmak…

    Hem Fatiha ile başlamak, yani bir şeye yaramayan ve yerinde olmayan nâkıs, fakir mahlukları medih ve minnettarlığa bedel, bir Kâmil-i Mutlak ve Ganiyy-i Mutlak ve Rahîm-i Kerîm olan Rabbü’l-âlemîn’i medh ü sena etmek…

    Hem  اِيَّاكَ نَعْبُدُ   hitabına terakki etmek, yani küçüklüğü, hiçliği, kimsesizliği ile beraber, ezel ve ebed sultanı olan Mâlik-i Yevmi’d-din’e intisabıyla şu kâinatta nazdar bir misafir ve ehemmiyetli bir vazifedar makamına girip اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ اِيَّاكَ نَسْتَع۪ينُ demekle bütün mahlukat namına kâinatın cemaat-i kübrası ve cemiyet-i uzmasındaki ibadat ve istianatı ona takdim etmek…

    Hem اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَق۪يمَ  demekle, istikbal karanlığı içinde saadet-i ebediyeye giden, nurani yolu olan sırat-ı müstakime hidayeti istemek…

    Hem şimdi yatmış nebatat, hayvanat gibi gizlenmiş güneşler, hüşyar yıldızlar, birer nefer misillü emrine musahhar ve bu misafirhane-i âlemde birer lambası ve hizmetkârı olan Zat-ı Zülcelal’in kibriyasını düşünüp اَللّٰهُ اَك۟بَرُ deyip rükûya varmak…

    Hem bütün mahlukatın secde-i kübrasını düşünüp, yani şu gecede yatmış mahlukat gibi her senede, her asırdaki enva-ı mevcudat, hattâ arz, hattâ dünya, birer muntazam ordu, belki birer mutî nefer gibi vazife-i ubudiyet-i dünyeviyesinden "Emr-i kün feyekûn" ile terhis edildiği zaman, yani âlem-i gayba gönderildiği vakit, nihayet intizam ile zevalde gurûb seccadesinde اَللّٰهُ اَك۟بَرُ deyip secde ettikleri…

    Hem "Emr-i kün feyekûn"den gelen bir sayha-i ihya ve ikaz ile yine baharda kısmen aynen, kısmen mislen haşrolup kıyam edip kemer-beste-i hizmet-i Mevla oldukları gibi şu insancık onlara iktidaen o Rahman-ı Zülkemal’in, o Rahîm-i Zülcemal’in bârgâh-ı huzurunda hayret-âlûd bir muhabbet, beka-âlûd bir mahviyet, izzet-âlûd bir tezellül içinde اَللّٰهُ اَك۟بَرُ deyip sücuda gitmek, yani bir nevi mi’raca çıkmak demek olan işâ namazını kılmak, ne kadar hoş, ne kadar güzel, ne kadar şirin, ne kadar yüksek, ne kadar aziz ve leziz, ne kadar makul ve münasip bir vazife, bir hizmet, bir ubudiyet, bir ciddi hakikat olduğunu elbette anladın.

    Demek şu beş vakit, her biri birer inkılab-ı azîmin işaratı ve icraat-ı cesîme-i Rabbaniyenin emaratı ve in’amat-ı külliye-i İlahiyenin alâmatı olduklarından, borç ve zimmet olan farz namazın o zamanlara tahsisi, nihayet hikmettir.

    سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا اِنَّكَ اَنْتَ الْعَل۪يمُ الْحَك۪يمُ

    اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى مَنْ اَرْسَلْتَهُ مُعَلِّمًا لِعِبَادِكَ لِيُعَلِّمَهُمْ كَيْفِيَّةَ مَعْرِفَتِكَ وَالْعُبُودِيَّةِ لَكَ وَمُعَرِّفًا لِكُنُوزِ اَسْمَائِكَ وَتَرْجُمَانًا لِآيَاتِ كِتَابِ كَائِنَاتِكَ وَمِرْآةً بِعُبُودِيَّتِهِ لِجَمَالِ رُبُوبِيَّتِكَ وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِينَ وَارْحَمْنَا وَارْحَمِ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ آمِينَ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ


    1. *Nuktah adalah persoalan ilmiah yang terinspirasi dari pengamatan yang cermat dan pemikiran yang mendalam―at-Ta’rîfât karya al-Jurjâni.
    2. *Kebangkitan setelah kematian―Peny.