KALIMAT KEDUA PULUH ENAM
(Risalah Takdir)
“Tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya. Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.” (QS. Al-Hijr [15]: 21)“Segala sesuatu kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh mahfuzh).” (QS. Yasin [36]: 12)
Takdir Ilahi dan ikhtiar manusia adalah dua persoalan penting. Kita mencoba untuk menganalisa sebagian dari rahasia keduanya dalam empat bahasan yang berkaitan dengan takdir.
BAHASAN PERTAMA
Takdir dan ikhtiar adalah bagian dari iman yang bersifat keadaan dan perasaan di mana ia menjelaskan akhir batasan iman dan Islam. Keduanya bukan kajian ilmiah dan teoritis. Artinya, seorang mukmin menyerahkan segala sesuatu hanya kepada Allah, dan menyandarkan semua perkara hanya kepada-Nya. Ia senantiasa dalam kondisi seperti ini hingga mengembalikan aktivitas dan dirinya kepada Allah. Agar pada akhirnya ia tidak terlepas dari beban dan tanggungjawab, maka di hadapannya nampak ikhtiar (usaha) dengan berkata: “Engkau ber-tanggungjawab, engkau mempunyai kewajiban!” Kemudian agar tidak sombong dengan kebaikan-kebaikan dan amal saleh yang ia lakukan, takdir menghampirinya seraya berkata, “Lihatlah batas kemampuan- mu, bukan engkau yang melakukannya!”
Ya, takdir dan ikhtiar berada pada tingkatan iman dan Islam yang paling tinggi. Keduanya masuk dalam pembahasan keimanan. Sebab, takdir menyelamatkan manusia dari sifat sombong, sedangkan ikhtiar menyelamatkannya dari perasaan bahwa ia tidak mempunyai tanggu- ngjawab. Keduanya bukan termasuk kajian ilmiah dan teoritis yang mengantarkan pada hal-hal yang secara total bertentangan dengan ra- hasia takdir dan hikmah ikhtiar; dengan bergantung pada takdir agar terbebas dari tanggungjawab perilaku buruk yang telah dilakukan oleh nafsu ammârah, dan bangga terhadap amal-amal kebaikan yang telah dianugerahkan kepadanya serta terbuai dengannya seraya menisbat- kannya pada ikhtiar dan upayanya.
Ya, kalangan awam, yang belum mencapai tingkat pemaha- man terhadap rahasia takdir, memiliki sejumlah posisi atau porsi dalam mempergunakannya.
Hanya saja, porsi tersebut terbatas pada perkara-perkara masa lalu, khususnya musibah dan malapetaka di mana takdir menjadi pe- lipur lara dari keputusasaan dan kesedihan; bukan untuk urusan ke- maksiatan atau masa yang akan datang di mana keberadaannya tidak untuk membantu melakukan dosa atau bermalas-malas dalam melak- sanakan kewajiban (taklif).
Dengan kata lain, takdir bukan bertujuan untuk menghindar dari kewajiban dan tanggungjawab, akan tetapi un- tuk menyelamatkan manusia dari sikap bangga dan sombong. Oleh karena itu, ia termasuk dalam pembahasan iman. Adapun ikhtiar, ia termasuk dalam pembahasan akidah, guna menjadi sumber perbuatan maksiat; bukan sumber perbuatan baik dan terpuji yang bisa menggi- ring manusia pada sifat sombong dan melampaui batas.Ya, al-Qur’an menjelaskan bahwa manusia bertanggungjawab se- cara penuh atas segala dosa yang dilakukannya. Sebab, manusia itulah yang menghendaki perbuatan dosa. Karena dosa termasuk hal yang bersifat merusak, manusia bisa membuat kerusakan yang besar dengan satu dosa saja. Misalnya, membakar sebuah rumah dengan sebatang korek api. Karena itu, ia berhak mendapatkan hukuman yang berat.
Adapun dalam hal kebaikan, manusia tidak berhak untuk som- bong dan bangga. Pasalnya, bagiannya dalam kebaikan sangatlah kecil karena rahmat Allah-lah yang menghendaki dan menuntut kebaikan tersebut. Qudrah Allah-lah yang telah menghadirkannya. Perminta- an dan pemberian, sebab dan faktor pemicu, semuanya berasal dari Allah. Manusia bisa menjadi pemilik dari kebaikan tersebut dengan berdoa, beriman, sadar dan rida terhadapnya.
Adapun yang meng- hendaki dosa dan keburukan adalah nafsu manusia, baik dengan po- tensi maupun upayanya secara sengaja. Sama seperti sejumlah benda yang menjadi busuk dan hitam setelah terkena cahaya matahari yang indah berkilau. Warna hitam tersebut kembali kepada potensi materi tersebut. Hanya saja, Dzat yang telah menghadirkan keburukan terse- but lewat aturan ilahi yang mengandung banyak kemaslahatan adalah Allah. Artinya, sebabnya berasal dari nafsu atau diri manusia di mana ia bertanggungjawab atasnya, sementara proses penciptaan dan peng- hadirannya yang terkait dengan Allah indah dan baik, sebab memiliki sejumlah buah dan hasil yang indah pula.
Dari rahasia inilah dapat disimpulkan bahwa menciptakan kebu- rukan bukanlah keburukan, akan tetapi melakukan keburukan adalah keburukan. Tidak pantas orang malas yang merasa dirugikan oleh hu- jan yang sebetulnya mengandung manfaat besar berkata, “Hujan bu- kanlah rahmat.” Sungguh dalam penciptaan terdapat banyak kebaikan walaupun di dalamnya ada sedikit keburukan. Meninggalkan kebaikan yang banyak untuk menghindari keburukan yang sedikit, tentu akan melahirkan keburukan yang besar. Oleh karena itu, keburukan parsial tadi dianggap sebagai kebaikan. Tidak ada bahaya dan keburukan da- lam penciptaan yang Allah lakukan. Namun, keburukan itu kembali kepada perilaku dan potensi hamba.
Sebagaimana takdir Ilahi bersih dari keburukan dan kezali- man dilihat dari sisi hasil dan buah, iapun bersih dari keburukan dan kezaliman dilihat dari sisi illat dan sebab. Pasalnya, takdir Ilahi selalu melihat sebab hakiki sehingga adil. Sementara manusia membangun hukum mereka dari sebab-sebab lahiri yang mereka lihat. Karenanya, mereka dapat melakukan kezaliman dalam keadilan takdir itu sendiri.Misalnya, seorang hakim memvonismu penjara dengan tuduhan pencurian, padahal dirimu tidak melakukannya. Akan tetapi, engkau mempunyai kasus pembunuhan yang tersembunyi yang hanya diketa- hui oleh Allah. Takdir Ilahi menetapkanmu masuk penjara. Dia telah berlaku adil lantaran pembunuhan tersebut yang tak diketahui oleh orang lain. Sementara sang hakim telah berbuat zalim, sebab menghu- kummu masuk penjara dengan tuduhan pencurian sedangkan engkau tidak melakukannya.Begitulah, dalam satu perkara terdapat dua sisi: sisi keadilan tak- dir (penciptaan ilahi) dan sisi kezaliman manusia (perbuatan manu- sia). Demikian pula dengan perkara lainnya. Dengan kata lain, dilihat dari awal dan akhir, pokok dan cabang, serta sebab dan akibat, maka takdir dan penciptaan Ilahi bersih dari keburukan, kejelekan, dan kezaliman.
Barangkali ada yang bertanya, “Kalau ikhtiar manusia tidak mempunyai peran dalam penciptaan, serta yang berada di tangan ma- nusia hanyalah perbuatan yang bersifat relatif, lalu mengapa al-Qur’an sangat mengeluhkan kemaksiatan yang dilakukan manusia kepada Pencipta langit dan bumi, sehingga seakan-akan al-Qur’an memo- sisikannya sebagai musuh yang durhaka. Bahkan, Allah mengirimkan pasukannya dari golongan malaikat untuk membantu hamba beriman dalam melawan orang yang durhaka. Lebih dari itu, Allah Sang Pen- cipta langit dan bumi yang secara langsung membantunya. Mengapa sampai demikian?”
Jawaban: Sebab, kekufuran, kedurhakaan, dan perbuatan dosa, semua- nya merupakan bentuk perusakan dan ketiadaan (kenihilan). Satu hal yang bersifat relatif dan tiada bisa melahirkan berbagai kerusakan be- sar dan ketiadaan yang tak terbatas. Sebagaimana ketika seorang awak kapal besar tidak menunaikan tugasnya, hal itu akan membuat kapal tenggelam serta menghancurkan hasil karya seluruh pekerja yang lain. Demikian pula, dengan kekufuran dan kemaksiatan. Keduanya me- rupakan bentuk ketiadaan dan perusakan. Keduanya bisa digerakkan oleh ikhtiar manusia yang bersifat relatif sehingga menyebabkan aki- bat yang fatal. Pasalnya, meskipun hanya sebuah dosa, kekufuran ada- lah bentuk penghinaan terhadap seluruh alam karena menganggapnya percuma dan sia-sia, bentuk pengingkaran atas seluruh entitas yang menunjukkan keesaan-Nya, serta pendustaan terhadap semua mani- festasi Asmaul Husna.
Karena itu, ancaman dan keluhan keras Allah atas nama seluruh alam, entitas, dan Asmaul Husna terhadap orang kafir merupakan bentuk hikmah yang tepat, serta penyiksaan-Nya dengan memberikan siksa abadi merupakan bentuk keadilan.Saat manusia berpihak kepada sisi penghancuran lewat kekufu- ran dan pembangkangannya, hal itu akan melahirkan kerusakan besar hanya lantaran sebuah perbuatan parsial. Karena itu, dalam mengha- dapi para perusak itu kalangan beriman membutuhkan pertolongan ilahi yang besar. Sebab, ketika sepuluh orang kuat berusaha menjaga dan membangun sebuah rumah, maka manakala ada seorang anak na- kal yang berupaya membakar rumah tadi, hal itu sudah cukup mem- buat sepuluh orang di atas untuk pergi mengadu kepada orang tua anak tersebut. Bahkan, meminta tolong kepada penguasa. Karenanya, kaum beriman sangat membutuhkan pertolongan Tuhan agar tetap bisa bertahan melawan kaum pembangkang yang tidak beradab.
Kesimpulan: Dari penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa jika orang yang berbicara tentang takdir dan ikhtiar memiliki iman yang sempurna dan hati yang tenang serta merasakan kehadiran Allah, pasti akan menyerahkan semua urusan alam dan juga dirinya kepada Allah. Ia percaya bahwa seluruh urusan berjalan di bawah kendali dan penga- turan Allah. Orang seperti itulah yang layak berbicara tentang takdir dan ikhtiar. Karena, ia mengetahui bahwa dirinya dan segala sesuatu berasal dari Allah. Maka, ia memikul tanggungjawab dengan merujuk kepada ikhtiar yang dipandang sebagai sumber perbuatan dosa. De- ngan demikian, ia tetap menyucikan Tuhan, berada di bawah wilayah ubudiyah, serta tunduk dan menjalankan taklif ilahi. Ia melihat ber- bagai kebaikan dan kemuliaan yang bersumber darinya sebagai takdir agar tidak sombong sehingga bersyukur kepada Tuhan. Ia juga melihat sejumlah musibah yang menimpanya sebagai takdir sehingga bersabar.
Akan tetapi, jika yang berbicara tentang takdir dan ikhtiar adalah orang lalai, maka ia tidak layak membincangkan keduanya. Sebab, naf- su ammârah-nya—dengan dorongan kelalaian dan kesesatan—akan mengembalikan alam kepada sebab, sehingga menjadikan apa yang menjadi milik Allah untuk sebab. Ia melihat dirinya berkuasa penuh, mengembalikan seluruh perbuatan kepada diri sendiri dan menyan- darkannya kepada sebab. Di sisi lain, ia membebani tanggungjawab dan segala kekurangan kepada takdir. Dalam kondisi demikian, pem- bahasan tentang takdir dan ikhtiar menjadi sia-sia; tidak memiliki lan- dasan. Ia hanyalah tipu daya nafsu yang berusaha melepaskan diri dari tanggungjawab yang mana hal tersebut menafikan hikmah takdir dan ikhtiar.
BAHASAN KEDUA
Bahasan ini merupakan kajian ilmiah yang mendalam dan khusus untuk para ulama.(*[1])
Jika engkau bertanya, “Bagaimana cara memadukan antara takdir dan ikhtiar?”
maka jawabannya adalah dengan tujuh cara:
Pertama:Dzat Yang Mahaadil dan Bijaksana yang hikmah dan keadilan-Nya disaksikan oleh seluruh alam lewat lisan keteraturan dan keseimbangan telah memberikan kepada manusia ikhtiar yang esen- sinya tidak diketahui guna menjadi sumber pahala dan hukuman. Se- bagaimana Dzat Yang Mahabijak dan Adil memiliki banyak hikmah yang tidak kita ketahui, demikian pula kita tidak mengetahui cara me- madukan takdir dan ikhtiar. Namun, ketidaktahuan kita terhadap cara memadukannya bukan berarti ia tidak ada.
Kedua:Setiap manusia menyadari bahwa dirinya memiliki kehendak dan ikhtiar. Ia mengetahui keberadaan ikhtiar tersebut secara naluriah. Pengetahuan tentang esensi sesuatu berbeda dengan pengetahuan tentang keberadaannya. Banyak hal yang wujudnya jelas bagi kita, namun esensinya tidak diketahui. Nah, ikhtiar parsial ini bisa masuk ke dalam kategori tersebut. Segala sesuatu tidak terbatas pada ruang lingkup wawasan kita. Ketidaktahuan kita tentangnya bukan berarti ia tidak ada.
Ketiga:Ikhtiar tidak berseberangan dengan takdir. Sebaliknya, takdir justru mendukung ikhtiar manusia. Sebab, takdir adalah bagian dari pengetahuan ilahi. Pengetahuan ilahi tersebut terpaut dengan ikhtiar kita. Karena itu, ia mendukung ikhtiar dan tidak membatalkannya.
Keempat:Takdir adalah bagian dari pengetahuan. Sementara pengetahuan mengikuti objeknya. Artinya, dalam kondisi apapun, ob- jek pengetahuan tercakup dalam pengetahuan dan terpaut dengannya. Jadi, bukan objek pengetahuan yang mengikuti pengetahuan. Mak- sudnya, dilihat dari wujud eksternal, kaidah pengetahuan bukan lan- dasan untuk menata objek pengetahuan, sebab objek pengetahuan dan wujud eksternal bersandar kepada iradah dan qudrah Tuhan.
Selanjutnya, zaman azali bukan pangkal dari rangkaian masa lalu sehingga dapat dijadikan sebagai landasan bagi keberadaan segala sesuatu. Namun zaman azali meliputi masa lalu, masa sekarang, dan masa mendatang sebagaimana langit meliputi bumi. Ia laksana cermin yang menatap dari arah atas. Karena itu, mengkhayalkan pangkal dan awal masa lalu bagi zaman yang membentang di wilayah makhluk lalu menyebutnya dengan nama azali, serta masuknya sejumlah hal secara berangsur ke dalam ilmu azali tersebut, dan membayangkan diri be- rada di luarnya, lalu atas dasar itu kita melakukan penilaian rasional sama sekali tidak benar.
Engkau bisa melihat contoh berikut untuk menyingkap rahasia di atas:Jika di tanganmu ada sebuah cermin, lalu jarak sebelah kanan cermin diumpamakan masa lalu dan sebelah kiri adalah masa depan, maka cermin itu hanya bisa memantulkan apa yang berada di hada- pannya serta mencakup kedua sisi dengan tatanan tertentu di mana ia tidak bisa menyerap sebagian besarnya. Sebab, semakin rendah cermin itu semakin sedikit yang bisa dipantulkan. Sebaliknya, ketika diangkat maka wilayah yang berada di hadapannya meluas. Demiki- anlah, dengan naik secara perlahan-lahan, cermin bisa menyerap jarak antara kedua sisi secara bersamaan dalam satu waktu. Selain itu, tergambar pula dalam cermin tersebut semua kondisi yang terjadi di antara kedua jarak itu. Tentu saja, berbagai kondisi yang terjadi pada salah satunya tidak bisa disebut lebih dulu, lebih belakangan, sesuai, atau berlawanan dengan yang lain.
Begitulah, karena takdir ilahi termasuk pengetahuan azali, se- mentara pengetahuan azali berada pada kedudukan tinggi yang meli- puti seluruh yang telah dan akan terjadi seperti ungkapan hadis Nabi, maka kita dan penilaian rasional kita tidak berada di luar pengetahuan tersebut sehingga kita tidak bisa membayangkan ia sebagai cermin yang berada di jarak masa lalu.
Kelima:Takdir berkaitan dengan sebab dan akibat secara ber- samaan. Karena itu, kehendak Tuhan tidak terpaut dengan akibat dan sebab dalam dua waktu yang berbeda. Artinya, akibat ini akan terjadi dengan sebab tersebut. Karena itu, tidak bisa dikatakan bahwa selama kematian seseorang ditakdirkan pada waktu tertentu, maka apa dosa orang yang menembaknya dengan senapan lewat kehendak parsial- nya?! Sebab, andaikan ia tidak menembak tentu orang tadi juga mati.
Pertanyaan: “Mengapa tidak bisa dikatakan demikian?”
Jawaban:Sebab, takdir telah menetapkan kematiannya dengan senapan tersebut. Jika engkau mengasumsikan kematiannya bukan karena ditembak, berarti engkau menganggap ketidakterkaitan takdir. Lalu, dari mana engkau bisa memastikan kematiannya?! Terkecuali engkau meninggalkan pendekatan Ahlu Sunnah lalu masuk ke dalam berbagai kelompok sesat yang menganggap adanya takdir bagi sebab dan takdir bagi akibat seperti kalangan Jabariyah. Atau, engkau meng- ingkari adanya takdir seperti kalangan Muktazilah. Adapun kita se- bagai ahlul haq berpendapat bahwa andaikan ia tidak ditembak, maka kematian orang tersebut tidak kita ketahui. Sementara kalangan Ja- bariyah berpendapat bahwa andaikan ia tidak ditembak, ia tetap mati. Sedangkan kalangan Muktazilah berpendapat bahwa andaikan ia ti- dak ditembak, ia tidak mati.
Keenam:(*[2])“Kecenderungan” yang merupakan inti landasan ikh- tiar adalah persoalan yang bersifat maknawi menurut kalangan al-Mâturidiyah. Ia bisa berada di tangan hamba. Akan tetapi, bagi kalangan al-Asy’ariyah, kecenderungan tersebut benar-benar ada. Ia tidak ber- ada di tangan hamba. Namun mereka berpendapat bahwa penggunaan kecenderungan tersebut merupakan persoalan yang bersifat maknawi di tangan hamba. Karena itu, kecenderungan dan penggunaannya me- rupakan dua hal yang bersifat maknawi. Keduanya tidak memiliki wu- jud lahiriah yang nyata. Sesuatu yang bersifat maknawi, keberadaannya tidak membutuhkan sebab sempurna yang menuntut adanya kebutu- han yang bisa meniadakan ikhtiar. Namun, ketika sebab dari sesuatu yang bersifat maknawi itu menempati sebuah posisi yang cukup kuat, keberadaannya bisa menjadi jelas dan bisa ditinggalkan. Ketika itulah al-Qur’an berkata kepadanya, “Ini buruk, jangan kau lakukan!”
Ya, andaikan manusia yang mencipta semua perbuatannya serta ia yang memiliki kemampuan untuk mencipta, tentu ikhtiar menjadi tiada. Sebab, seperti kaidah baku dalam ilmu ushul dan hikmah, “Se- suatu yang tidak wajib, tidak akan ada.” Artinya, sesuatu tidak berwu- jud selama wujudnya tidak wajib. Dengan kata lain, harus ada sebab sempurna terlebih dahulu, baru kemudian ia ada. Adapun sebab yang sempurna mengharuskan keberadaan akibat. Ketika itulah tidak ada ikhtiar.
Barangkali engkau berkata:“Memilih” tanpa sebab adalah mus- tahil. Sementara perbuatan manusia yang disebut sesuatu yang bersifat maknawi di mana kadang disertai usaha dan kadang tidak, menuntut adanya pilihan tanpa sebab jika sebab tersebut memang tidak ada. Ini menghancurkan salah satu prinsip ilmu kalam yang paling utama.”
Jawaban:“Mengutamakan” tanpa ada sebab adalah mustahil. Berbeda dengan “memilih” tanpa sebab adalah boleh dan nyata. Ke- hendak ilahi adalah salah satu sifat Allah. Ia melakukan perbuatan semacam itu (yakni pilihan Allah adalah sebab).
Barangkali engkau bertanya:“Selama yang menciptakan pembunuhan adalah Allah, lalu mengapa manusia disebut sebagai pembunuh?”
Jawaban:Sesuai kaidah ilmu sharaf (sintaksis), partisipel aktif (isim fâ`il) adalah kata bentukan dari nomina verbal (masdar = kata dasar) yang bersifat relatif. Ia tidak terbentuk dari (akibat) yang di- hasilkan lewat masdar yang jelas ada. Dalam hal ini, masdar adalah perbuatan kita. Dengan itu, kita menyandang gelar sebagai pelaku (pembunuh). Sementara yang dihasilkan lewat masdar (akibat) adalah ciptaan Allah. Tanggungjawab yang dipikul pelaku tidak diambil dari akibat.
Ketujuh:Kehendak dan ikhtiar parsial manusia sangat lemah dan bersifat relatif. Namun Allah sebagai Dzat Yang Mahabijak te- lah menjadikan kehendak yang parsial dan lemah tadi sebagai syarat bagi kehendak-Nya yang bersifat universal. Seolah-olah secara implisit Dia berkata, “Wahai hamba-Ku, jalan mana saja yang kau pilih untuk dilalui, Aku akan menggiringmu kepadanya. Karena itu, tanggung- jawab ada padamu.” Sebagai contoh: suatu saat engkau menggendong seorang anak kecil yang lemah seraya memberikan pilihan kepadanya, “Ke mana saja engkau ingin pergi, aku akan membawamu kepadanya.” Lalu si anak kecil itu ingin naik ke atas gunung yang tinggi, dan engkau pun membawanya ke sana.
Hanya saja, ia kemudian sakit atau terjatuh. Ketika itu engkau pasti berkata kepadanya, “Engkau sendiri yang me- minta!” Engkau pun memberi teguran dan peringatan keras kepada- nya. Begitu pula Allah Dzat Yang Mahabijak. Dia menjadikan kehen- dak hamba-Nya yang lemah sebagai syarat lazim bagi kehendak-Nya yang bersifat universal.
Kesimpulan: Wahai manusia, engkau memiliki kehendak yang sangat lemah. Namun, ia sangat mampu berbuat buruk dan merusak, tapi lemah da- lam berbuat baik. Kehendak inilah yang disebut dengan ikhtiar. Maka, persembahkan doa untuk salah satu dari kedua tangan kehendak itu, agar bisa menggapai surga yang merupakan buah dari rangkaian ke- baikan dan bisa meraih kebahagiaan abadi yang merupakan salah satu bunganya. Lalu, persembahkan istigfar untuk tangan yang lain agar tangannya tak mampu melakukan keburukan dan tak dapat meraih buah pohon terlaknat; zaqqum neraka.
Dengan kata lain, doa dan tawakkal menopang kecenderungan yang positif dengan kekuatan besar, sebagaimana istigfar dan taubat memutus dan membatasi kecenderungan yang negatif.
BAHASAN KETIGA
Beriman kepada takdir termasuk salah satu rukun iman. Artinya, segala sesuatu terwujud dengan takdir Allah. Berbagai bukti yang menunjukkan takdir Allah sangat banyak; tak terhitung. Di sini, kami akan menjelaskan sejauh mana kekuatan dan keluasan rukun iman ini dalam bentuk sederhana dan jelas pada pendahuluan berikut.
Pendahuluan Segala sesuatu, sebelum dan sesudah keberadaannya, tertulis dalam satu kitab. Hal ini ditegaskan oleh al-Qur’an dalam banyak ayat. Di antaranya adalah: “Tidak ada yang basah dan yang kering kecuali terdapat dalam kitab yang nyata (lauhil mahfudz).” (QS. al-An’am [6]: 59).Ketentuan al-Qur’an tersebut dibenarkan oleh seluruh alam yang merupakan qur’an qudrah ilahi yang besar lewat ayat-ayat tatanan, keseimbangan, keteraturan, keistimewaan, pembentukan, penghiasan, dan berbagai ayat penciptaan lainnya.
Ya, tulisan kitab alam yang tertata dan keteraturan ayat-ayatnya menjadi saksi bahwa segala sesuatu tertulis.
Adapun dalil yang menun- jukkan bahwa segala sesuatu tertulis dan ditentukan sebelum berwu- jud adalah seluruh permulaan, benih, ukuran, dan bentuknya. Semua itu menjadi saksi yang jujur atasnya. Pasalnya, benih tidak lain me- rupakan kotak kecil yang dibuat oleh pabrik kâf nûn (kun). Di dalam- nya, takdir (qadar) merancang konsep atau desainnya, lalu berdasar- kan konsep qadar itu qudrah ilahi membangun berbagai mukjizatnya yang agung pada benih-benih tadi dengan perantaraan partikel. Arti- nya, segala sesuatu yang akan terjadi pada pohon berikut berbagai fase yang dilaluinya telah tertulis dalam benihnya. Sebab, benih secara ma- teri sangat sederhana dan serupa.
Kemudian ukuran yang tertata rapi untuk segala sesuatu me- nerangkan takdir secara jelas. Jika kita mencermati makhluk hidup, tentu akan diketahui bahwa ia memiliki sebuah bentuk dan ukuran, seakan-akan ia keluar dari satu cetakan yang penuh hikmah dan rapi di mana pemberian ukuran, bentuk, dan rupa tersebut bisa bersumber dari sebuah cetakan materi yang luar biasa atau qudrah ilahi mengurai bentuk dan rupa tadi, lalu memakaikannya dengan cetakan maknawi yang tersusun rapi yang berasal dari takdir.
Sekarang, perhatikanlah pohon dan binatang. Partikel yang tuli, buta, dan tak bernyawa di mana ia tidak memiliki perasaan dan sa- ling serupa, bergerak dalam perkembangan segala sesuatu. Setelah itu, ia berhenti pada batas-batas tertentu layaknya orang yang menge- tahui betul tentang manfaat dan buahnya. Lalu ia mengubah sejum- lah posisinya seakan-akan ia mengarah kepada tujuan besar. Dengan kata lain, partikel tadi bergerak sesuai dengan ukuran maknawi yang datang dari takdir serta sesuai dengan urusan maknawi darinya.
Nah, selama manifestasi takdir terdapat pada sejumlah materi sampai pada tingkatan semacam itu, tentu berbagai kondisi yang ter- jadi, bentuk yang diberikan padanya, serta gerakan yang dilakukan sepanjang waktu, semuanya juga mengikuti tatanan takdir.Ya, dalam benih terdapat dua manifestasi takdir:
Pertama, manifestasi “aksiomatis” di mana ia menginformasikan dan mengarah kepada al-kitâb al-mubîn yang merupakan perlambang kehendak dan perintah penciptaan Ilahi.
Kedua, manifestasi “teoritis” dan rasional di mana ia menginfor- masikan dan mengarah kepada al-imâm al-mubîn yang merupakan perlambang perintah dan ilmu ilahi. Jadi, “takdir aksiomatis” berisi kondisi, cara, dan bentuk materi pohon yang dikandung oleh benih serta yang akan disaksikan nantinya.Sementara “takdir teoritis” adalah sejumlah kondisi, bentuk, dan gerakan sepanjang kehidupan pohon yang akan tercipta dari benih tadi di mana ia disebut dengan sejarah kehidupan pohon. Kondisi, bentuk, dan berbagai aktivitas tersebut selalu berubah-ubah. Namun ia memiliki ukuran yang sudah ditentukan dengan rapi seperti yang tampak pada ranting pohon dan daun-daunnya.
Jika takdir memiliki manifestasi semacam itu pada berbagai hal yang sederhana, ini berarti bahwa segala sesuatu sebelum penciptaan dan keberadaannya tertulis dalam sebuah kitab. Hal itu dapat dipahami dengan sedikit melakukan perenungan.
Adapun dalil bahwa sejarah kehidupan segala sesuatu—setelah berwujud dan tertulis—adalah semua buah yang menginformasikan keberadaan kitab mubîn dan imam mubîn, serta memori manusia yang menjelaskan keberadaan lauhil mahfûdz. Semuanya menjadi saksi yang jujur dan menjadi petunjuk atasnya. Ya, setiap buah telah ditu- liskan dalam benihnya—yang berposisi sebagai jantungnya—sejum- lah ketentuan hidup pohon berikut masa depannya. Memori manusia—yang ukurannya sekecil benih—berisi sejarah kehidupannya dan berbagai peristiwa alam di masa lalu yang ditulis oleh tangan qudrah lewat pena qadar (takdir) secara sangat cermat. Ia laksana dokumen dan catatan kecil dari lembaran amal yang diberi- kan oleh qudrah ilahi kepada manusia serta diletakkan di satu sisi dari otaknya agar dengannya ia bisa mengingat saat hisab dilakukan serta agar ia yakin bahwa penciptaan kekacauan, kefanaan, dan kelenyap- an merupakan cermin keabadian yang padanya Dzat Yang Mahakuasa dan Mahabijak menggoreskan esensi dari berbagai hal yang lenyap, serta merupakan lembaran-lembaran keabadian yang padanya Dzat Yang Maha Memelihara dan Mengetahui mencatat substansi dari se- gala hal yang fana.
Dari penjelasan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa ketika kehidupan tumbuhan tunduk pada aturan takdir meski ia merupakan kehidupan yang paling sederhana, maka kehidupan manusia yang be- rada pada tingkatan kehidupan yang paling tinggi, sudah pasti telah digariskan berikut semua cabang-cabangnya lewat ukuran takdir dan telah ditulis lewat pena takdir. Ya, sebagaimana tetesan air hujan menginformasikan ke- beradaan awan, percikan air menunjukkan adanya pancuran, dan dokumen menunjukkan adanya catatan besar. Demikian pula dengan buah, benih, dan beragam bentuk yang tampak jelas di hadapan kita. Ia berposisi sebagai percikan takdir aksiomatis (yaitu tatanan materi pada makhluk hidup), tetesan takdir teoritis (tatanan maknawi pada- nya), dan dokumennya di mana dengan sangat jelas menunjukkan keberadaan al-kitâb al-mubîn sebagai catatan kehendak dan perintah penciptaan, serta menunjukkan keberadaan lauhil mahfudz sebagai ki- tab ilmu ilahi yang disebut sebagai al-imâm al-mubîn.
Kesimpulan: selama kita melihat bahwa partikel setiap makhluk hidup, saat tumbuh berkembang, pergi menuju batas dan akhir yang ditetapkan lalu berhenti padanya di mana kemudian ia mengubah jalannya di akhir perkembangan tadi untuk menghasilkan sejumlah hikmah, manfaat, dan maslahat, maka jelas bahwa ukuran dan keteta- pan lahiriah pada sesuatu tersebut telah digariskan dengan pena takdir.Demikianlah, takdir aksiomatis yang tampak juga menunjukkan batas-batas yang rapi dan membuahkan serta penghujung yang mem- berikan makna yang terdapat pada kondisi maknawiyah makhluk tersebut di mana ia digariskan lewat pena takdir. Jadi, qudrah Tuhan menjadi masdar (sosok yang menggaris), sementara qadar (takdir) adalah mistar (penggaris). Qudrah menggaris pada kitab tersebut se- suai dengan pola qadar untuk menunjukkan sejumlah makna.
Selama kita bisa memahami dengan benar bahwa batas, buah, dan akhir penuh hikmah yang digariskan hanya terwujud dengan pena takdir materi dan maknawi, maka berbagai kondisi dan fase yang dija- lani oleh makhluk sepanjang hidup terwujud karena pena takdir terse- but.
Sebab, sejarah hidupnya berjalan sesuai dengan sebuah sistem dan tatanan yang rapi disertai perubahan bentuk yang dialaminya. Selama pena takdir mengendalikan seluruh makhluk, tentu sejarah kehidupan manusia—yang merupakan buah alam yang paling sempurna, khali- fah di muka bumi, dan pengemban amanat besar—lebih tunduk pada rambu takdir daripada yang lain.
Barangkali ada yang bertanya, “Takdir telah membelenggu dan merampas kebebasan kita. Tidakkah engkau bisa melihat bahwa iman kepada takdir mendatangkan beban terhadap kalbu dan melahirkan kesempitan dalam jiwa, padahal keduanya menginginkan kelapa- ngan?”
Jawaban:sama sekali tidak benar. Di samping tidak melahirkan kesempitan, ia justru memberikan keringanan tak bertepi, kelapangan tak terhingga, serta kesenangan dan cahaya yang dapat mewujudkan rasa aman, damai, dan tenteram. Sebab, jika manusia tidak beriman ke- pada takdir, tentu ia harus memikul beban seberat dunia pada jiwanya yang lemah dalam sebuah wilayah yang sempit dan kebebasan parsial yang terbatas. Pasalnya, manusia memiliki relasi dengan seluruh alam. Ia juga memiliki tujuan dan impian tak terhingga. Namun kekuatan, kehendak, dan kebebasannya tidak memadai untuk memenuhi satu saja dari impian dan tujuan tersebut. Dari sini, dapat dipahami beban maknawi yang dirasakan manusia saat tidak beriman kepada takdir. Betapa ia melahirkan ketakutan dan kecemasan.
Sementara iman kepada takdir mengantar manusia untuk mele- takkan seluruh beban tadi ke perahu takdir sehingga membuatnya merasa lapang. Sebab, medan yang luas terbuka di hadapan ruh dan kalbu sehingga keduanya bisa berjalan di jalan kesempurnaannya se- cara sangat bebas. Hanya saja, iman ini memang akan membuat nafsu ammârah kehilangan kebebasan parsialnya. Ia juga menghancurkan egoisme dan kekuasaannya serta menghambat gerakannya yang bebas.
Ingatlah bahwa iman kepada takdir merupakan puncak kenik- matan dan kebahagiaan. Karena tidak mampu menjelaskan kenik- matan dan kebahagiaan tersebut, kami akan menunjukkannya dengan contoh berikut:
Ada dua orang yang sama-sama melakukan perjalanan menuju markas seorang penguasa besar. Mereka masuk ke dalam istana sang penguasa yang memiliki banyak keajaiban. Salah satu di antara me- reka tidak mengenal sang penguasa dan ingin tinggal sejenak di istana seraya menjalani hidupnya dengan mencuri harta. Akan tetapi, proses penataan dan pengaturan taman dan istana tersebut, cara menjalan- kan sejumlah mesinnya, serta pemberian makanan kepada hewan-he- wannya yang unik membuatnya selalu berada dalam kondisi gelisah dan risau sehingga taman indah yang menyerupai surga itu menjadi seperti neraka. Sebab, ia sedih dengan segala hal yang tak mampu ia lakukan. Maka ia menghabiskan waktunya dengan keluhan dan penye- salan. Akhirnya, iapun dilemparkan ke penjara sebagai hukuman atas sikap dan perilakunya yang buruk.Adapun orang yang kedua mengenal sang penguasa. Ia memo- sisikan dirinya sebagai tamu. Ia percaya bahwa semua pekerjaan di istana dan taman itu bisa dikendalikan dengan mudah lewat aturan yang rapi serta sesuai dengan program dan perencanaan yang ada. Ia pun menyerahkan seluruh kesulitan dan beban kepada hukum dan ketentuan penguasa. Dengan nyaman ia menikmati semua hal yang terdapat di taman hijau laksana surga itu. Ia melihat semuanya benar-benar indah seraya bersandar kepada kasih sayang penguasa dan bergantung kepada ketentuan tatanannya yang indah. Ia menghabiskan hidupnya dalam kenikmatan dan kebahagiaan yang sempurna. Dari sini engkau bisa memahami rahasia:“Siapa yang beriman kepada takdir, ia selamat dari kesedihan.”
BAHASAN KEEMPAT
Barangkali engkau bertanya,“Dalam bahasan pertama engkau telah menegaskan bahwa semua yang ada pada takdir adalah indah dan baik. Bahkan, keburukan yang datang darinya juga baik dan in- dah. Namun, musibah dan bencana yang turun ke dunia membantah pernyataan tersebut?”
Jawaban:Wahai diri dan wahai sahabatku yang tersiksa akibat besarnya kasih sayang yang kalian pikul. Ketahuilah bahwa wujud atau eksistensi merupakan kebaikan mutlak, sementara ketiadaan merupa- kan keburukan mutlak. Dalilnya adalah kembalinya seluruh kebaikan, kesempurnaan, dan keutamaan kepada alam wujud serta kondisi ketiadaan yang menjadi landasan dari semua kemaksiatan, musibah, dan cacat.Ketika ketiadaan merupakan keburukan mutlak, maka berbagai kondisi yang mengalir menuju ketiadaan atau beraroma tiada, juga mengandung keburukan. Karena itu, kehidupan yang merupakan cahaya wujud paling terang menjadi kuat lewat keadaannya yang berubah-ubah dalam kondisi yang beragam; menjadi bersih lewat keadaannya yang masuk ke dalam beragam kondisi; melahirkan berbagai buah yang diharapkan lewat kondisinya yang mengalami perubahan banyak bentuk; serta menerangkan secara jelas dan indah ukiran nama-nama Pemberi kehidupan lewat kondisinya yang bertransformasi dalam beragam fase.
Atas dasar itulah, berbagai kondisi dihamparkan kepada makhuk dalam bentuk kepedihan, musibah, kesulitan, dan bencana agar dengan berbagai kondisi itu cahaya wujud dalam kehidupan mereka menjadi terbaharui, dan sebaliknya gelap ketiadaan semakin jauh. Seketika hidup mereka bersih dan bening. Hal itu karena keterhentian, diam, kevakuman, kemalasan dan keadaan monoton, semuanya adalah ketiadaan dalam beragam bentuk dan kondisi. Bahkan, kenikmatan terbesar sekalipun menjadi berkurang dan lenyap dalam keadaan yang monoton.
Dari sana dapat disimpulkan bahwa selama kehidupan menjelaskan ukiran Asmaul Husna, maka semua yang menimpa kehidupan adalah indah dan baik.
Mesela gayet zengin, nihayet derecede sanatkâr ve çok sanatlarda mahir bir zat; âsâr-ı sanatını hem kıymettar servetini göstermek için âdi bir miskin adamı, modellik vazifesini gördürmek için bir ücrete mukabil bir saatte murassa, musanna yaptığı gömleği giydirir, onun üstünde işler ve vaziyetler verir, tebdil eder. Hem her nevi sanatını göstermek için keser, değiştirir, uzaltır, kısaltır. Acaba şu ücretli miskin adam o zata dese: “Bana zahmet veriyorsun. Eğilip kalkmakla vaziyet veriyorsun. Beni güzelleştiren bu gömleği kesip kısaltmakla güzelliğimi bozuyorsun.” demeye hak kazanabilir mi? “Merhametsizlik, insafsızlık ettin.” diyebilir mi?
İşte onun gibi Sâni’-i Zülcelal, Fâtır-ı Bîmisal; zîhayata göz, kulak, akıl, kalp gibi havas ve letaif ile murassa olarak giydirdiği vücud gömleğini esma-i hüsnanın nakışlarını göstermek için çok hâlât içinde çevirir, çok vaziyetlerde değiştirir. Elemler, musibetler nevinde olan keyfiyat; bazı esmasının ahkâmını göstermek için lemaat-ı hikmet içinde bazı şuâat-ı rahmet ve o şuâat-ı rahmet içinde latîf güzellikler vardır.
Hâtime
Eski Said’in serkeş, müftehir, mağrur, ucublu, riyakâr nefsini susturan, teslime mecbur eden beş fıkradır.
Birinci Fıkra: Madem eşya var ve sanatlıdır. Elbette bir ustaları var. Yirmi İkinci Söz’de gayet kat’î ispat edildiği gibi eğer her şey birinin olmazsa o vakit her bir şey, bütün eşya kadar müşkül ve ağır olur. Eğer her şey birinin olsa o zaman bütün eşya, bir şey kadar âsân ve kolay olur. Madem zemin ve âsumanı birisi yapmış, yaratmış. Elbette o pek hikmetli ve çok sanatkâr zat, zemin ve âsumanın meyveleri ve neticeleri ve gayeleri olan zîhayatları başkalara bırakıp işi bozmayacak. Başka ellere teslim edip bütün hikmetli işlerini abes etmeyecek, hiçe indirmeyecek, şükür ve ibadetlerini başkasına vermeyecektir.
İkinci Fıkra: Sen ey mağrur nefsim! Üzüm ağacına benzersin. Fahirlenme! Salkımları o ağaç kendi takmamış, başkası onları ona takmış.
Üçüncü Fıkra: Sen ey riyakâr nefsim! “Dine hizmet ettim.” diye gururlanma. اِنَّ اللّٰهَ لَيُؤَيِّدُ هٰذَا الدّٖينَ بِالرَّجُلِ ال۟فَاجِرِ sırrınca: Müzekkâ olmadığın için belki sen kendini o recül-ü fâcir bilmelisin. Hizmetini, ubudiyetini; geçen nimetlerin şükrü ve vazife-i fıtrat ve farîza-i hilkat ve netice-i sanat bil, ucub ve riyadan kurtul!
Dördüncü Fıkra: Hakikat ilmini, hakiki hikmeti istersen Cenab-ı Hakk’ın marifetini kazan. Çünkü bütün hakaik-i mevcudat, ism-i Hakk’ın şuâatı ve esmasının tezahüratı ve sıfâtının tecelliyatıdırlar. Maddî ve manevî, cevherî, arazî her bir şeyin, her bir insanın hakikati, birer ismin nuruna dayanır ve hakikatine istinad eder. Yoksa hakikatsiz, ehemmiyetsiz bir surettir. Yirminci Söz’ün âhirinde, şu sırra dair bir nebze bahsi geçmiştir.
Ey nefis! Eğer şu dünya hayatına müştaksan, mevtten kaçarsan kat’iyen bil ki: Hayat zannettiğin hâlât, yalnız bulunduğun dakikadır. O dakikadan evvel bütün zamanın ve o zaman içindeki eşya-i dünyeviye, o dakikada meyyittir, ölmüştür. O dakikadan sonra bütün zamanın ve onun mazrufu, o dakikada ademdir, hiçtir. Demek, güvendiğin hayat-ı maddiye, yalnız bir dakikadır. Hattâ bir kısım ehl-i tetkik “Bir âşiredir belki bir ân-ı seyyaledir.” demişler. İşte şu sırdandır ki bazı ehl-i velayet, dünyanın dünya cihetiyle ademine hükmetmişler.
Madem böyledir, hayat-ı maddiye-i nefsiyeyi bırak. Kalp ve ruh ve sırrın derece-i hayatlarına çık, bak; ne kadar geniş bir daire-i hayatları var. Senin için meyyit olan mazi, müstakbel; onlar için haydır, hayattar ve mevcuddur. Ey nefsim! Madem öyledir, sen dahi kalbim gibi ağla ve bağır ve de ki:
“Fâniyim, fâni olanı istemem. Âcizim, âciz olanı istemem. Ruhumu Rahman’a teslim eyledim, gayr istemem. İsterim fakat bir yâr-ı bâki isterim. Zerreyim fakat bir şems-i sermed isterim. Hiç-ender hiçim fakat bu mevcudatı birden isterim.”
Beşinci Fıkra: Şu fıkra, Arabî geldiği için Arabî yazıldı. Hem şu fıkra-i Arabiye, “Allahu ekber” zikrinde otuz üç mertebe-i tefekkürden bir mertebeye işarettir.
اَللّٰهُ اَكْبَرُ اِذْ هُوَ الْقَدِيرُ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ الْكَرِيمُ الرَّحِيمُ الْجَمِيلُ النَّقَّاشُ الْاَزَلِىُّ الَّذِي مَاحَقِيقَةُ هٰذِهِ الْكَائِنَاتِ كُلًّا وَجُزْءًا وَصَحَائِفَ وَطَبَقَاتٍ، وَمَا حَقَائِقُ هٰذِهِ الْمَوْجُودَاتِ كُلِّيًّا وَجُزْئِيًّا وَوُجُودًا وَبَقَاءً، اِلَّا خُطُوطُ قَلَمِ قَضَائِهِ وَقَدَرِهِ، وَتنْظِيمِهِ وَتقْدِيرِهِ بِعِلْمٍ وَحِكْمَةٍ، وَنقُوشُ پَرْكَارِ عِلْمِهِ وَحِكْمَتِهِ وَتصْوِيرِهِ وَتدْبِيرِهِ بِصُنْعٍ وَعِنَايَةٍ، وَتزْيِينَاتُ يَدِ بَيْضَاءِ صُنْعِهِ وَعِنَايَتِهِ وَتَزْيِينِهِ وَتَنْوِيرِهِ بِلُطْفٍ وَكَرَمٍ، وَاَزَاهِيرُ لَطَائِفِ لُطْفِهِ وَكَرَمِهِ وَتَوَدُّدِهِ وَتَعَرُّفِهِ بِرَحْمَةٍ وَنِعْمَةٍ، وَثَمَرَاتُ فَيَّاضِ رَحْمَتِهِ وَنِعْمَتِهِ وَتَرَحُّمِهِ وَتَحَنُّنِهِ بِجَمَالٍ وَكَمَالٍ، وَلمَعَاتُ وَتَجَلِّيَاتُ جَمَالِهِ وَكَمَالِهِ بِشَهَادَاتِ تَفَانِيَةِ الْمَرَايَا، وَسَيَّالِيَةِ الْمَظَاهِرِ مَعَ بَقَاءِ الْجَمَالِ الْمُجَرَّدِ السَّرْمَدِىِّ الدَّائِمِ التَّجَلِّى، وَالظُّهُورِ عَلٰى مَرِّ الْفُصُولِ وَالْعُصُورِ وَالدُّهُورِ، وَدَائِمِ الْاِنْعَامِ عَلٰى مَرِّ الْاَنَامِ وَالْاَيَّامِ وَالْاَعْوَامِ
نَعَمْ فَالْاَثَرُ الْمُكَمَّلُ يَدُلُّ ذَا عَقْلٍ عَلٰى الْفِعْلِ الْمُكَمَّلِ، ثُمَّ الْفِعْلُ الْمُكَمَّلُ يَدُلُّ ذَا فَهْمٍ عَلٰى الْاِسْمِ الْمُكَمَّلِ، ثُمَّ الْاِسْمُ الْمُكَمَّلُ يَدُلُّ بِالْبَدَاهَةِ عَلٰى الْوَصْفِ الْمُكَمَّلِ، ثُمَّ الْوَصْفُ الْمُكَمَّلُ يَدُلُّ بِالضَّرُورَةِ عَلٰى الشَّأْنِ الْمُكَمَّلِ، ثُمَّ الشَّأْنُ الْمُكَمَّلُ يَدُلُّ بِالْيَقِينِ عَلٰى كَمَالِ الذَّاتِ بِمَا يَلِيقُ بِالذَّاتِ وَهُوَ الْحَقُّ الْيَقِينِ نَعَمْ تَفَانِي الْمِرْآةِ، زَوَالُ الْمَوْجُودَاتِ مَعَ التَّجَلِّى الدَّائِمِ مَعَ الْفَيْضِ الْمُلَازِمِ، مِنْ اَظْهَرِ الظَّوَاهِرِ، اَنَّ الْجَمَالَ الظَّاهِرَ لَيْسَ مُلْكُ الْمَظَاهِرِ، مِنْ اَفْصَحِ تِبْيَانٍ، مِنْ اَوْضَحِ بُرْهَانٍ لِلْجَمَالِ الْمُجَرَّدِ لِلْاِحْسَانِ الْمُجَدَّدِ لِلْوَاجِبِ الْوُجُودِ، لِلْبَاقِي الْوَدُودِ اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ مِنَ الْاَزَلِ اِلَى الْاَبَدِ عَدَدَ مَا فِي عِلْمِ اللّٰهِ وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ
ZEYL
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
(Bu küçücük zeylin büyük bir ehemmiyeti var. Herkese menfaatlidir.)
Cenab-ı Hakk’a vâsıl olacak tarîkler pek çoktur. Bütün hak tarîkler Kur’an’dan alınmıştır. Fakat tarîkatların bazısı, bazısından daha kısa, daha selâmetli, daha umumiyetli oluyor. O tarîkler içinde, kāsır fehmimle Kur’an’dan istifade ettiğim acz ve fakr ve şefkat ve tefekkür tarîkıdır.
Evet, acz dahi aşk gibi belki daha eslem bir tarîktir ki ubudiyet tarîkıyla mahbubiyete kadar gider.
Fakr dahi Rahman ismine îsal eder.
Hem şefkat dahi aşk gibi belki daha keskin ve daha geniş bir tarîktir ki Rahîm ismine îsal eder.
Hem tefekkür dahi aşk gibi belki daha zengin, daha parlak, daha geniş bir tarîktir ki Hakîm ismine îsal eder.
Şu tarîk, hafî tarîkler misillü “Letaif-i Aşere” gibi on hatve değil ve tarîk-i cehriye gibi “Nüfus-u Seb’a” yedi mertebeye atılan adımlar değil belki dört hatveden ibarettir. Tarîkattan ziyade hakikattir, şeriattır. Yanlış anlaşılmasın, acz ve fakr ve kusurunu Cenab-ı Hakk’a karşı görmek demektir. Yoksa onları yapmak veya halka göstermek demek değildir.
Şu kısa tarîkın evradı: İttiba-ı sünnettir, feraizi işlemek, kebairi terk etmektir. Ve bilhassa namazı ta’dil-i erkân ile kılmak, namazın arkasındaki tesbihatı yapmaktır.
Birinci hatveye فَلَا تُزَكُّٓوا اَن۟فُسَكُم۟ âyeti işaret ediyor.
İkinci hatveye وَلَا تَكُونُوا كَالَّذٖينَ نَسُوا اللّٰهَ فَاَن۟سٰيهُم۟ اَن۟فُسَهُم۟ âyeti işaret ediyor.
Üçüncü hatveye مَٓا اَصَابَكَ مِن۟ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ وَمَٓا اَصَابَكَ مِن۟ سَيِّئَةٍ فَمِن۟ نَف۟سِكَ âyeti işaret ediyor.
Dördüncü hatveye كُلُّ شَى۟ءٍ هَالِكٌ اِلَّا وَج۟هَهُ âyeti işaret ediyor.
Şu dört hatvenin kısa bir izahı şudur ki:
Birinci hatvede فَلَا تُزَكُّٓوا اَن۟فُسَكُم۟ âyeti işaret ettiği gibi: Tezkiye-i nefis etmemek. Zira insan, cibilliyeti ve fıtratı hasebiyle nefsini sever. Belki evvela ve bizzat yalnız zatını sever, başka her şeyi nefsine feda eder. Mabuda lâyık bir tarzda nefsini medheder. Mabuda lâyık bir tenzih ile nefsini meayibden tenzih ve tebrie eder. Elden geldiği kadar kusurları kendine lâyık görmez ve kabul etmez. Nefsine perestiş eder tarzında şiddetle müdafaa eder. Hattâ fıtratında tevdi edilen ve Mabud-u Hakiki’nin hamd ve tesbihi için ona verilen cihazat ve istidadı, kendi nefsine sarf ederek مَنِ اتَّخَذَ اِلٰهَهُ هَوٰيهُ sırrına mazhar olur. Kendini görür, kendine güvenir, kendini beğenir.
İşte şu mertebede, şu hatvede tezkiyesi, tathiri: Onu tezkiye etmemek, tebrie etmemektir.
İkinci hatvede وَلَا تَكُونُوا كَالَّذٖينَ نَسُوا اللّٰهَ فَاَن۟سٰيهُم۟ اَن۟فُسَهُم۟ dersini verdiği gibi: Kendini unutmuş, kendinden haberi yok. Mevti düşünse başkasına verir. Fena ve zevali görse kendine almaz. Ve külfet ve hizmet makamında nefsini unutmak fakat ahz-ı ücret ve istifade-i huzuzat makamında nefsini düşünmek, şiddetle iltizam etmek, nefs-i emmarenin muktezasıdır.
Şu makamda tezkiyesi, tathiri, terbiyesi şu haletin aksidir. Yani nisyan-ı nefis içinde nisyan etmemek. Yani huzuzat ve ihtirasatta unutmak ve mevtte ve hizmette düşünmek.
Üçüncü hatvede مَٓا اَصَابَكَ مِن۟ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ وَمَٓا اَصَابَكَ مِن۟ سَيِّئَةٍ فَمِن۟ نَف۟سِكَ dersini verdiği gibi: Nefsin muktezası, daima iyiliği kendinden bilip fahir ve ucbe girer. Bu hatvede nefsinde yalnız kusuru ve naksı ve aczi ve fakrı görüp bütün mehasin ve kemalâtını, Fâtır-ı Zülcelal tarafından ona ihsan edilmiş nimetler olduğunu anlayıp, fahir yerinde şükür ve temeddüh yerinde hamdetmektir.
Şu mertebede tezkiyesi قَد۟ اَف۟لَحَ مَن۟ زَكّٰيهَا sırrıyla şudur ki: Kemalini kemalsizlikte, kudretini aczde, gınasını fakrda bilmektir.
Dördüncü hatvede كُلُّ شَى۟ءٍ هَالِكٌ اِلَّا وَج۟هَهُ dersini verdiği gibi: Nefis, kendini serbest ve müstakil ve bizzat mevcud bilir. Ondan bir nevi rububiyet dava eder. Mabud’una karşı adâvetkârane bir isyanı taşır. İşte gelecek şu hakikati derk etmekle ondan kurtulur.
Hakikat şöyledir ki: Her şey nefsinde mana-yı ismiyle fânidir, mefkuddur, hâdistir, ma’dumdur. Fakat mana-yı harfiyle ve Sâni’-i Zülcelal’in esmasına âyinedarlık cihetiyle ve vazifedarlık itibarıyla şahittir, meşhuddur, vâciddir, mevcuddur.
Şu makamda tezkiyesi ve tathiri şudur ki: Vücudunda adem, ademinde vücudu vardır. Yani kendini bilse, vücud verse kâinat kadar bir zulümat-ı adem içindedir. Yani vücud-u şahsîsine güvenip Mûcid-i Hakiki’den gaflet etse yıldız böceği gibi bir şahsî ziya-yı vücudu, nihayetsiz zulümat-ı adem ve firaklar içinde bulunur, boğulur. Fakat enaniyeti bırakıp, bizzat nefsi hiç olduğunu ve Mûcid-i Hakiki’nin bir âyine-i tecellisi bulunduğunu gördüğü vakit, bütün mevcudatı ve nihayetsiz bir vücudu kazanır. Zira bütün mevcudat, esmasının cilvelerine mazhar olan Zat-ı Vâcibü’l-vücud’u bulan, her şeyi bulur.
HÂTİME
Şu acz, fakr, şefkat, tefekkür tarîkındaki dört hatvenin izahatı; hakikatin ilmine, şeriatın hakikatine, Kur’an’ın hikmetine dair olan yirmi altı adet Sözlerde geçmiştir. Yalnız şurada bir iki noktaya kısa bir işaret edeceğiz. Şöyle ki:
Evet, şu tarîk daha kısadır. Çünkü dört hatvedir. Acz, elini nefisten çekse doğrudan doğruya Kadîr-i Zülcelal’e verir. Halbuki en keskin tarîk olan aşk, nefisten elini çeker fakat maşuk-u mecazîye yapışır. Onun zevalini bulduktan sonra Mahbub-u Hakiki’ye gider.
Hem şu tarîk daha eslemdir. Çünkü nefsin şatahat ve bâlâ-pervazane davaları bulunmaz. Çünkü acz ve fakr ve kusurdan başka nefsinde bulmuyor ki haddinden fazla geçsin.
Hem bu tarîk daha umumî ve cadde-i kübradır. Çünkü kâinatı ehl-i vahdetü’l-vücud gibi huzur-u daimî kazanmak için idama mahkûm zannedip لَا مَو۟جُودَ اِلَّا هُوَ hükmetmeye veyahut ehl-i vahdetü’ş-şuhud gibi huzur-u daimî için kâinatı nisyan-ı mutlak hapsinde hapse mahkûm tahayyül edip لَا مَش۟هُودَ اِلَّا هُوَ demeye mecbur olmuyor. Belki idamdan ve hapisten gayet zâhir olarak Kur’an affettiğinden, o da sarf-ı nazar edip ve mevcudatı kendileri hesabına hizmetten azlederek Fâtır-ı Zülcelal hesabına istihdam edip, esma-i hüsnasının mazhariyet ve âyinedarlık vazifesinde istimal ederek mana-yı harfî nazarıyla onlara bakıp, mutlak gafletten kurtulup huzur-u daimîye girmektir; her şeyde Cenab-ı Hakk’a bir yol bulmaktır.
Elhasıl: Mevcudatı mevcudat hesabına hizmetten azlederek, mana-yı ismiyle bakmamaktır.
- ↑ *Bahasan kedua ini berisi persoalan takdir yang lebih dalam dan lebih rumit. Ia merupakan persoalan akidah dalam ilmu kalam di mana sangat penting dan diperdebat- kan oleh para ulama. Risalah Nur telah menjelaskannya secara sempurna—Penulis.
- ↑ *Sebuah hakikat yang khusus untuk pakar ulama—Penulis.