CAHAYA KESEBELAS
(Tingkatan Sunnah dan Obat Penyakit Bid’ah)
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, terasa berat olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan) bagimu, serta amat belas kasih dan penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. at-Taubah [9]: 128).
Bagian pertama dari ayat ini berisi penjelasan mengenai “konsep sunnah”. Sementara bagian kedua berisi penjelasan mengenai “tingkatan sunnah”.
“Jika mereka berpaling (dari keimanan), katakanlah, Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki arasy yang agung.” (QS. at-Taubah [9]: 129).“Katakanlah, Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian...” (QS. Ali Imrân [3]: 31)
Kami akan menjelaskan secara global “sebelas nuktah” dari sekitar seratus persoalan rinci yang terdapat pada dua ayat mulia di atas.
Nuktah Pertama
Rasulullah bersabda:
مَن۟ تَمَسَّكَ بِسُنَّتٖى عِن۟دَ فَسَادِ اُمَّتٖى فَلَهُ اَج۟رُ مِأَةِ شَهٖيدٍ
“Siapa yang mengikuti sunnahku di saat rusaknya umatku, ia akan mendapat pahala seratus orang yang mati syahid.”(*[1])
Ya, mengikuti Sunnah Nabi benar-benar memiliki nilai yang sangat tinggi. Apalagi di saat bid’ah menyebar luas. Mengikuti Sunnah dalam kondisi demikian memiliki nilai yang lebih tinggi dan lebih istimewa. Khususnya lagi, ketika umat berada dalam kerusakan. Mengikuti adab kecil dari Sunnah menunjukkan adanya ketakwaan yang agung serta iman yang kuat. Sebab, mengikuti sunnah Nabi yang suci secara langsung akan mengingatkan kita kepada Rasul yang paling agung itu. Ingatan dan kesadaran yang bersumber dari sikap mengikuti Sunnah tersebut akan berubah menjadi kesadaran akan adanya pengawasan Ilahi.
Bahkan, kebiasaan dan perbuatan alamiah yang paling sederhana seperti makan, minum, tidur, dan lainnya jika dilakukan dengan mengikuti sunnah akan berubah menjadi sebuah amal ibadah yang mendapat ganjaran pahala. Sebab, berbagai kebiasaan itu dilakukan dengan niat mengikuti Rasul sehingga yang terbayang adalah bahwa ia sedang menjalankan salah satu adab agama seraya menyadari posisi Nabi sebagai penggenggam syariat. Dari sana, kalbunya akan mengarah kepada Pembuat syariat hakiki, yaitu Allah . Sehingga ia pun akan mendapat ketenteraman, kedamaian, dan pahala ibadah.
Demikianlah, dari uraian di atas dapat dipahami bahwa siapa yang menjadikan peneladanan sunnah sebagai kebiasaannya, berarti ia telah mengubah kebiasaannya tersebut menjadi suatu ibadah sehingga ia bisa membuat semua usianya berbuah dan menghasilkan pahala.
Nuktah Kedua
Imam Rabbâni Ahmad al-Fâruq berkata, “Ketika aku melewati berbagai tahapan dalam perjalanan spiritual dan suluk rohani, aku melihat bahwa tingkatan kewalian yang paling bersinar, yang paling tinggi, yang paling lembut, yang paling aman, dan yang paling selamat adalah mereka yang melandaskan tarekatnya pada sunnah Nabi. Bahkan, para wali yang masih pemula yang berada di tingkatan tersebut tampak lebih mulia daripada wali khawas yang ada pada tingkatan lainnya.”(*[2])
Ya, Imam Rabbâni, sang pembaharu milenium kedua ini, telah berkata benar. Mereka yang menjadikan sunnah sebagai landasannya akan meraih tingkat mahbûbîyah (dicintai Allah) dalam naungan sosok yang dikasihi-Nya, Nabi.
Nuktah Ketiga
Ketika Said yang fakir ini, berusaha keluar dari kondisi “Said Lama”(*[3])akal dan kalbuku berguncang menghadapi terpaan “badai” yang menakutkan. Aku merasa seolah-olah akal dan kalbuku bergejolak. Kadangkala jatuh dari langit yang tinggi ke permukaan bumi atau sebaliknya, kadangkala naik dari bumi ke langit. Hal itu terjadi sebagai akibat dari ketiadaan pembimbing dan akibat tipuan nafsu ammârah.
Pada saat itulah, aku menyadari bahwa semua sunnah Nabi, bahkan dalam hal yang sederhana sekalipun, berposisi seperti kompas yang menuntun arah laju pada kapal. Semuanya seperti sakelar lampu yang menerangi jalan-jalan gelap yang tak terhingga banyaknya.
Ketika aku menyadari bahwa dalam perjalanan spiritual tersebut kadangkala aku terperosok di bawah himpitan berbagai kesulitan dan beban berat, pada saat itu pula aku merasa ringan karena mengikuti sunnah-sunnah Nabi yang terkait dengan kondisi tersebut. Seolah-olah ia melenyapkan semua beban tersebut. Lewat sikap pasrah untuk mengikuti sunnah, aku bisa selamat dari berbagai bisikan, keraguan, dan rasa was-was seperti, “Apakah aktivitas ini bermanfaat? Apakah ia berada di jalur yang benar?” Sebaliknya, ketika aku mengabaikan sunnah, maka gelombang kesulitan itu bertambah dahsyat dan jalan-jalan yang tak dikenal pun menjadi bertambah sulit dan samar.
Selain itu, beban yang ada menjadi berat, sementara aku betul- betul lemah, pandanganku menjadi sangat terbatas, dan jalannya menjadi gelap. Ketika aku berpegang kepada sunnah, ketika itu pula jalan di depanku menjadi terang dan tampak sebagai jalan yang aman dan selamat. Serta, beban yang ada menjadi ringan dan rintangannya pun menjadi sirna.Ya, seperti itulah yang kurasakan saat itu sehingga aku mengakui kebenaran pernyataan Imam Rabbâni di atas.
Nuktah Keempat
Pada suatu ketika, aku sempat tenggelam dalam “kondisi spiritual” yang bersumber dari perenungan terhadap râbitatul maût, keyakinan bahwa “mati itu pasti”, dan refleksi yang panjang terhadap fananya dunia. Ketika itu, aku merasa berada dalam alam yang ajaib. Aku saksikan diriku seolah-olah seonggok jenazah yang berada di hadapan tiga jenazah penting dan besar. Yaitu:
Pertama: Jenazah semua makhluk hidup yang terkait dengan kehidupan pribadiku, dan yang telah mati, telah berlalu, serta telah terkubur di kuburan masa lalu. Sementara aku hanyalah laksana batu nisan di atas jenazah tersebut.
Kedua: Jenazah besar yang mencakup keseluruhan spesies makhluk hidup yang terkait dengan kehidupan seluruh umat manusia, serta yang mati dan dikubur di kuburan masa lalu yang meliputi seluruh bumi. Sementara aku hanyalah satu titik yang segera lenyap dan seekor semut kecil yang segera mati pada wajah masa ini, yang tidak lain adalah batu nisan jenazah tersebut.
Ketiga: Jenazah besar yang mencakup alam ini saat kiamat tiba. Karena kematian alam semesta merupakan perkara yang pasti terjadi, maka dalam pandanganku ia merupakan realitas yang terjadi saat ini. Aku pun terperanjat melihat kedahsyatan sakarat yang dialami jenazah besar itu. Selain itu, tampak olehku kematianku yang pasti akan kualami, seolah-olah terjadi sekarang ini. Semua entitas dan seluruh yang dicintai berbalik dan pergi dariku dan meninggalkan aku sesuai dengan rahasia firman Allah dalam al-Qur’an: “Jika mereka berpaling...” (QS. at-Taubah [9]: 129). Aku merasa seo- lah-olah jiwaku digiring ke masa depan yang terbentang menuju keabadian, yang tampak seperti samudra yang tak bertepi. Dan mau tak mau jiwa ini harus jatuh ke dalam samudra itu.
Di saat aku berada dalam kegoncangan spiritual dan kesedihan mendalam yang menjerat kalbu, tiba-tiba bantuan dari al-Qur’an dan iman datang kepadaku. Al-Qur’an menghiburku dengan firman-Nya: “Jika mereka berpaling, maka katakan: Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia; hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki Arasy yang agung.” (QS. at-Taubah [9]: 129)Ayat ini pun kemudian bagaikan perahu penyelamat yang mem- berikan kedamaian dan ketenangan. Akhirnya, jiwa ini menjadi aman dan tenteram dalam naungan ayat yang mulia itu. Pada saat tersebut, aku memahami bahwa ada makna implisit (isyarat) yang dikandung oleh ayat di atas selain makna eksplisitnya. Makna itu menghibur jiwa, sehingga aku mendapat ketenteraman dan kebahagiaan.
Ya, makna eksplisit dari ayat tersebut menegaskan kepada Rasulullah, “Jika kaum yang sesat itu enggan mendengar al-Qur’an serta berpaling dari syariat dan sunnahmu, tidak usah kau bersedih dan risau. Katakanlah, “Cukuplah Allah bagiku”. Dia yang mencuku- piku dan aku pun pasrah kepada-Nya. Dialah yang menjamin akan menggantikan kalian dengan orang-orang yang mau mengikutiku. Arasy-Nya yang agung meliputi segala sesuatu. Tak ada pembangkang yang bisa lari dari-Nya. Serta, orang-orang yang meminta bantuan-Nya pasti akan dibantu-Nya.” Jika makna eksplisit ayat di atas menyebutkan hal tersebut, maka makna implisitnya berbunyi sebagai berikut:
“Wahai manusia, wahai yang menggenggam tongkat kepem- impinan dan petunjuk bagi manusia, andai semua entitas meninggalkanmu dan lenyap dalam kefanaan, andai semua makhluk hidup berpisah denganmu dan menuju jalan kematian, andai seluruh manusia pergi meninggalkanmu dan mendiami pekuburan, andai mereka yang lalai dan sesat berpaling tak mau mendengarkanmu serta terperosok ke dalam kegelapan, tidak usah pedulikan mereka dan janganlah kau risau! Tetapi ucapkan, “Cukuplah Allah bagiku. Dialah Dzat Yang Maha mencukupiku. Karena Dia eksis, segala sesuatu pun menjadi eksis.” Karena itu, mereka yang telah pergi sebenarnya tidak menuju ketiadaan, tapi pergi menuju kerajaan lain milik Tuhan Pemelihara alam semesta. Sebagai gantinya, Dia akan mengirim pasu- kan yang tak terhitung banyaknya. Kemudian, mereka yang mendiami kuburan sebenarnya tidak musnah. Namun berpindah ke alam lain. Lalu sebagai ganti dari mereka, Allah akan mengutus petugas lain yang akan menyelesaikan tugas yang ada. Dialah Yang berkuasa mengirim orang-orang yang taat meniti jalan yang lurus sebagai ganti dari kaum yang tersesat yang telah pergi dari dunia ini.Dengan demikian, Dia adalah Wakil dan Pengganti dari segala sesuatu. Sementara segala sesuatu tidak mungkin mengganti- kan-Nya, serta tidak mungkin bisa menggantikan salah satu bagian dari kelembutan dan kasih sayang-Nya terhadap para makhluk dan para hamba.”
Demikianlah tiga gambaran jenazah yang kudapat dari makna simbolis di atas berubah menjadi bentuk lain yang indah, yaitu bahwa seluruh entitas saling mengisi. Mereka datang dan pergi dalam sebuah perjalanan besar. Ada yang mengakhiri tugas, ada pula yang melanjutkan kewajiban yang terus terbaharui. Hal itu terjadi lewat sebuah wisata yang penuh hikmah, piknik yang penuh pelajaran, dan sebuah perjalanan yang penting dalam naungan pengaturan Sang Mahabijak, Maha Pengasih, Maha Adil, Maha Berkuasa yang memiliki keagungan, serta dalam lingkup pemeliharaan Tuhan Yang Agung, kebijaksanaan-Nya yang mendalam, dan rahmat-Nya yang luas.
Nuktah Kelima
Allah berfirman: “Katakanlah: Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian.” (QS. Âli Imrân [3]: 31) Ayat yang mulia ini secara tegas menyatakan betapa pentingnya dan betapa perlunya mengikuti sunnah Nabi. Ayat al-Qur’an tersebut berisi analogi yang paling tepat dan paling jelas dalam standar logika.
Contoh dari jenis analogi semacam itu adalah, “Jika matahari terbit, akan ada siang.” Konklusi positif dari pernyataan itu adalah, “Matahari terbit, maka siang pun ada.” Sementara konklusi negasi- nya adalah, “Siang tak ada, berarti matahari tak terbit.” Dua konklusi tersebut dikenal dan jelas dalam ilmu logika.
Demikian halnya dengan ayat tersebut. Ia menegaskan, “Jika kalian memiliki rasa cinta kepada Allah, kalian harus mengikuti kekasih-Nya. Jika tidak mau mengikutinya, berarti kalian tidak mencintai Allah. Sebab, kalau benar-benar ada rasa cinta, pasti rasa cinta itu melahirkan sikap peneladanan terhadap sunnah kekasih-Nya.”
Ya, orang yang beriman kepada Allah pasti menaati-Nya. Dan tak diragukan lagi, jalan yang paling singkat, yang paling bisa diterima, dan yang paling lurus di antara jalan ketaatan yang bisa mengantarkan manusia kepada-Nya adalah jalan yang ditempuh dan dijelaskan oleh kekasih Allah, yaitu Muhammad.
Sang Maha Pemurah, Pemilik keindahan, Yang telah memenuhi alam ini dengan berbagai nikmat dan karunia berlimpah, sangat layak mendapatkan rasa syukur dari mereka yang menyadari segala nikmat tersebut.
Sang Mahabijaksana Yang Agung yang telah menghiasi alam ini dengan berbagai mukjizat ciptaan-Nya tentu akan mengangkat orang pilihan dan istimewa sebagai penerima wahyu- Nya, penerjemah perintah-perintah-Nya, penyampai kepada para hamba-Nya, dan pemimpin bagi mereka.
Sang Mahaindah, Pemilik kesempurnaan, yang telah menjadikan alam ini sebagai manifestasi dari keindahan dan kesempurnaan-Nya yang tak terhingga tentu saja akan menganugerahkan kepada sosok yang paling menghimpun segala keindahan yang diciptakan-Nya dan paling bisa menampilkan estetika, kesempurnaan, dan nama-nama-Nya yang mulia; Dia akan memberikan kepadanya kondisi terbaik untuk menyembah kepada-Nya seraya menjadikan- nya sebagai teladan terbaik bagi orang lain dan mendorong mereka untuk mengikutinya. Hal itu dimaksudkan agar kelembutan dan keindahan-Nya tampak bagi mereka.
Kesimpulan: Cinta kepada Allah menghendaki adanya sikap mengikuti sunnah Nabi. Karena itu, berbahagialah mereka yang bisa mengikuti beliau. Sebaliknya, celakalah mereka yang tidak menghargai sunnah Nabi sehingga ia kemudian jatuh ke dalam perkara bid’ah.
Nuktah Keenam
Rasulullah bersabda:
“Setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan adalah di neraka”.(*[4])
Artinya, sesudah kaidah-kaidah syariat yang mengagumkan dan prinsip-prinsip sunnah yang suci itu terwujud dalam bentuk yang sempurna seperti yang ditunjukkan oleh bunyi firman Allah:“Pada hari ini telah kusempurnakan untukmu agamamu...” (QS. al-Maidah [5]: 3), maka menyepelekan prinsip-prinsip sunnah dengan melakukan sesuatu yang baru, atau menciptakan berbagai bid’ah yang mengisyaratkan kekurangan kaidah tadi merupakan sebuah kesesatan yang tempatnya adalah neraka.
Sunnah Nabi mempunyai beberapa tingkatan: Ada yang bersifat “wajib” yang tak boleh ditinggalkan. Jenis ini dijelaskan dalam syariat secara rinci. Ia termasuk al-muhkamât (perkara yang sudah jelas dan tegas). Artinya, ia sama sekali tidak bisa diganti atau diubah.Lalu, ada Sunnah Nabi yang bersifat “sunnah”. Ia terbagi lagi menjadi dua: 1. Sunnah-sunnah Nabi yang terkait dengan masalah ibadah. Ini juga dijelaskan dalam kitab-kitab syariat. Mengubah sunnah jenis ini termasuk perbuatan bid’ah. 2. Sunnah Nabi yang disebut dengan adab. Sunnah jenis ini dijabarkan dalam buku-buku sejarah perjalanan hidup beliau yang agung. Sikap yang berseberangan dengan adab tersebut tidaklah dipandang sebagai bid’ah. Hanya saja, sikap tersebut menyalahi adab Nabi, tidak mendapatkan limpahan cahayanya, serta tidak sesuai dengan adab yang hakiki. Cara mengaplikasikan sunnah Nabi jenis ini adalah dengan mengikuti segala perbuatan Rasul yang mutawatir terkait dengan adat, kebi- asaan, maupun interaksi alamiahnya.
Misalnya sunnah yang menerangkan tentang tata cara berbicara, makan, minum, tidur, atau yang terkait dengan pergaulan. Siapa yang berupaya memperhatikan dan mengikuti sunnah-sunnah beliau yang disebut dengan adab tadi, berarti ia telah mengubah kebiasaan- nya menjadi ibadah, sekaligus menyerap cahaya adab Nabi .
Sebab, sikap memperhatikan adab yang paling sederhana atau yang paling kecil sekalipun akan mengingatkan kita kepada sosok Rasul yang agung, sehingga akan memantulkan cahaya ke dalam kalbu.Dalam hal ini, sunnah Nabi yang paling penting adalah sunnah Nabi yang menjadi perlambang dan syiar-syiar Islam. Sebab, syiar-syiar tersebut merupakan ibadah umum yang berhubungan dengan masyarakat. Jika dilakukan, ia akan bermanfaat bagi seluruh masyarakat. Sementara jika ditinggalkan akan membuat seluruh masyarakat bertanggung jawab. Syiar-syiar semacam ini mesti ditampakkan dan riya tak masuk ke dalamnya. Ia lebih penting daripada kewajiban-kewajiban yang bersifat pribadi meskipun termasuk jenis perbuatan yang bersifat sunnah.
Nuktah Ketujuh
Sunnah Nabi yang suci tersebut pada hakikatnya merupakan adab yang agung. Setiap detail persoalan di dalamnya pasti mengan- dung adab dan cahaya. Rasul bersabda:“Tuhanku telah mengajarkan adab padaku dan Dia telah memperbagus adabku.”(*[5])Ya, siapa yang memperhatikan secara saksama sejarah perjalanan hidup Nabi dan mempelajari sunnah beliau yang suci, pasti akan mengetahui dengan yakin bahwa Allah telah mengumpul- kan seluruh pokok-pokok dan kaidah-kaidah adab pada diri Nabi. Sehingga, orang yang meninggalkan sunnahnya berarti telah meninggalkan adab tadi. Akibatnya, ia terhalang dari kebaikan yang besar, tidak mendapat kelembutan Tuhan yang Maha Pemurah, serta terperosok dalam adab yang buruk.
Pertanyaan: Bagaimana cara menampilkan adab di hadapan Dzat Yang Maha Mengetahui hal yang gaib, Yang Maha Melihat, Yang tak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya? Sebab, ada beberapa kondisi yang membuat manusia merasa malu dan kondisi itu tidak mungkin disembunyikan dari-Nya, sementara menyembunyikan kondisi-kondisi yang tak disukai semacam itu termasuk adab pula.
Jawaban:
Pertama, sebagaimana Allah Sang Maha Pencipta Yang Agung ingin memperlihatkan ciptaan-Nya dengan bentuk yang indah dalam pandangan makhluk-Nya, meletakkan hal-hal yang tidak disukai dalam tirai hijab-Nya, serta menghiasi nikmat-nikmat-Nya agar disenangi oleh penglihatan manusia, maka Allah juga meminta kepa- da para makhluk dan hamba-Nya untuk tampil dalam bentuk terbaik. Sebab, kalau mereka tampil dalam kondisi yang buruk, maka hal itu bertentangan dengan adab yang indah serta bertentangan dengan kesucian nama-nama-Nya, seperti Yang Mahaindah, Yang Maha Menghiasi, Yang Mahalembut, dan Yang Mahabijaksana.
Demikianlah, adab-adab yang terdapat dalam sunnah Nabi merupakan ekspresi adab yang suci seperti yang terkandung dalam nama-nama Tuhan yang mulia.
Kedua, seorang dokter tentu diperbolehkan untuk melihat bagian-bagian tubuh pasien yang terlarang dilihat dari perspektif pengobatan. Bahkan dalam kondisi darurat, ia boleh menyingkap bagian tubuh tersebut. Tindakan tersebut tidak dianggap sebagai tindakan yang melanggar adab. Tetapi dianggap sebagai konsekuensi dari sebuah pengobatan. Hanya saja, dokter tersebut tidak boleh melihat bagian-bagian terlarang tadi dalam kapasitasnya sebagai orang biasa, juru nasihat, atau ulama. Ia dilarang keras untuk menyingkap bagian tubuh tersebut jika dalam kondisi seperti tadi. Bahkan, tinda- kan tersebut termasuk tindakan yang tidak punya rasa malu.
Demikian halnya dengan Allah , tanpa menyerupakan Dia dengan apa dan siapa pun. Dia, Sang Pencipta Yang Agung, memiliki banyak nama yang baik. Setiap nama mempunyai tampilan sendiri. Misalnya, nama al-Ghaffâr (Yang Maha Mengampuni) menghendaki adanya dosa, nama as-Sattâr (Yang Maha Menutupi) mengharuskan adanya kesalahan, maka nama al-Jamîl (Yang Mahaindah) menun- jukkan bahwa Tuhan tidak senang melihat keburukan. Nama-nama Tuhan yang indah seperti al-Lathîf (Yang Ma- halembut), al-Karîm (Yang Mahamulia), al-Hakîm (Yang Mahabijaksana), dan ar-Rahîm (Yang Maha Pengasih) mengharuskan semua entitas tampil dalam bentuk yang paling bagus dan kondisi yang sebaik-baiknya. Nama-nama yang indah dan sempurna itu meng- haruskan adanya penampakan keindahan-Nya dengan memberikan berbagai atribut indah pada setiap entitas serta bagaimana mere- ka memiliki adab-adab yang mulia di hadapan para malaikat, para makhluk spiritual, jin, dan manusia.
Demikianlah, adab-adab yang terdapat dalam sunnah Nabi menjadi petunjuk atas adab-adab yang mulia tersebut berikut prinsip dan contoh-contohnya.
Nuktah Kedelapan
Allah berfirman: “Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri...” (QS. at-Taubah [9]: 128). Ayat di atas menunjukkan kesempurnaan kasih sayang Rasul terhadap umatnya. Sementara ayat berikutnya: “Maka jika mereka berpaling (dari keimanan), katakanlah (Muhammad), ‘Cukuplah Allah bagiku’...” (QS. at-Taubah [9]: 129). Ayat tersebut menegaskan: “Wahai manusia, wahai kaum mus- limin, ketahuilah! Sungguh kalian tidak memiliki perasaan dan akal apabila kalian berpaling dari sunnah Nabi yang sangat penyayang ini serta berpaling dari hukum-hukum yang beliau sampaikan. Sebab, sikap tersebut berarti mengingkari sifat belas kasih beliau yang sangat jelas dan menentang sifat sayang beliau yang begitu nyata. Dialah sosok yang telah memberikan petunjuk kepada kalian dengan kasihnya yang luas. Dialah yang telah mencurahkan apa yang diberikan kepadanya demi kemaslahatan kalian seraya mengobati luka-luka yang ada pada kalian dengan balsam sunnah yang suci dan dengan hukum-hukum yang dibawanya.
“Sementara engkau, wahai Rasul yang pengasih dan penyayang, apabila mereka tidak mengetahui kasih sayangmu yang besar itu karena kebodohan mereka, serta apabila mereka tidak menghargai cintamu yang luas ini lalu berpaling; tidak peduli denganmu, maka jangan hiraukan mereka serta jangan engkau risau. Tuhan Pemeliharan arasy yang agung; Yang menguasai tentara langit dan bumi; dan Yang kekuasaan rububiyah-Nya mencakup arasy agung yang meliputi segala sesuatu, telah cukup bagimu. Dia akan mengumpulkan di sekitarmu orang-orang yang taat kepadamu, serta menjadikan mereka sebagai orang-orang yang mau mendengarkanmu dan ridha dengan hukummu.”
Ya, tidak ada satu pun perkara dalam syariat dan sunnah Nabi melainkan mengandung berbagai hikmah. Aku yang fakir ini mengakui hal tersebut dengan segala kekuranganku. Aku siap membuktikan pernyataanku ini. Apa yang telah kutulis hingga saat ini, yaitu lebih dari tujuh puluh risalah ibarat tujuh puluh saksi jujur terhadap hikmah dan hakikat yang dikandung oleh sunnah dan syariat Nabi Muhammad . Andaikan topik tersebut diberi penilaian, lalu ditulis tujuh puluh risalah bahkan tujuh ribu risalah sekalipun, niscaya tak- kan cukup menampung semua hikmah yang ada di dalamnya.
Selain itu, aku telah merasakan dan menyaksikan secara langsung, bahkan aku memiliki seribu pengalaman bahwa prin- sip-prinsip persoalan syariat dan sunnah Nabi merupakan obat terbaik dan paling mujarab untuk berbagai penyakit rohani, mental, dan kalbu. Terutama yang terkait dengan aspek sosial kemasyarakatan. Lewat penyaksian dan perasaan yang kualami, aku nyatakan hal ini. Dalam sejumlah risalah, aku telah membuat yang lainnya ikut merasakan sebagian darinya bahwa masalah-masalah filsafat dan hikmah tidak bisa menggantikan posisi persoalan tersebut. Bagi mereka yang meragukan pernyataanku ini, bisa menelaah kembali beberapa bagian dari Risalah Nur.
Dengan mengikuti sunnah Nabi semampu mungkin, kita akan mendapatkan keuntungan yang besar, kebahagiaan hidup yang abadi, serta kesuksesan di dunia.
Nuktah Kesembilan
Sünnet-i seniyenin her bir nevine tamamen bilfiil ittiba etmek, ehass-ı havassa dahi ancak müyesser olur. Ona bilfiil olmasa da bi’n-niyet, bi’l-kasd taraftarane ve iltizamkârane talip olmak, herkesin elinden gelir. Farz ve vâcib kısımlara zaten ittibaa mecburiyet var. Ve ubudiyetteki müstehab olan sünnet-i seniyenin terkinde günah olmasa dahi büyük sevabın zayiatı var. Tağyirinde ise büyük hata vardır. Âdât ve muamelattaki sünnet-i seniye ise ittiba ettikçe o âdât, ibadet olur. Etmese itab yok. Fakat Habibullah’ın âdab-ı hayatiyesinin nurundan istifadesi azalır.
Ahkâm-ı ubudiyette yeni icadlar bid’attır. Bid’atlar ise اَل۟يَو۟مَ اَك۟مَل۟تُ لَكُم۟ دٖينَكُم۟ sırrına münafî olduğu için merduddur. Fakat tarîkatta evrad ve ezkâr ve meşrepler nevinden olsa ve asılları Kitap ve Sünnetten ahzedilmek şartıyla ayrı ayrı tarzda, ayrı ayrı surette olmakla beraber, mukarrer olan usûl ve esasat-ı sünnet-i seniyeye muhalefet ve tağyir etmemek şartıyla, bid’a değillerdir. Lâkin bir kısım ehl-i ilim, bunlardan bir kısmını bid’aya dâhil edip fakat “bid’a-i hasene” namını vermiş.
İmam-ı Rabbanî Müceddid-i Elf-i Sânî (ra) diyor ki: “Ben seyr ü sülûk-u ruhanîde görüyordum ki Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâmdan mervî olan kelimat nurludur, sünnet-i seniye şuâı ile parlıyor. Ondan mervî olmayan parlak ve kuvvetli virdleri ve halleri gördüğüm vakit, üstünde o nur yoktu. Bu kısmın en parlağı, evvelkinin en azına mukabil gelmiyordu. Bundan anladım ki sünnet-i seniyenin şuâı, bir iksirdir. Hem o sünnet, nur isteyenlere kâfidir, hariçte nur aramaya ihtiyaç yoktur.”
İşte böyle hakikat ve şeriatın bir kahramanı olan bir zatın bu hükmü gösteriyor ki: Sünnet-i seniye, saadet-i dâreynin temel taşıdır ve kemalâtın madeni ve menbaıdır.
اَللّٰهُمَّ ار۟زُق۟نَا اتِّبَاعَ السُّنَّةِ السَّنِيَّةِ
رَبَّنَٓا اٰمَنَّا بِمَٓا اَن۟زَل۟تَ وَاتَّبَع۟نَا الرَّسُولَ فَاك۟تُب۟نَا مَعَ الشَّاهِدٖينَ
Onuncu Nükte
قُل۟ اِن۟ كُن۟تُم۟ تُحِبُّونَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُونٖى يُح۟بِب۟كُمُ اللّٰهُ âyetinde i’cazlı bir îcaz vardır. Çünkü çok cümleler, bu üç cümlenin içinde dercedilmiştir. Şöyle ki şu âyet diyor ki “Allah’a (Celle Celalühü) imanınız varsa elbette Allah’ı seveceksiniz. Madem Allah’ı seversiniz, Allah’ın sevdiği tarzı yapacaksınız. Ve o sevdiği tarz ise Allah’ın sevdiği zata benzemelisiniz. Ona benzemek ise ona ittiba etmektir. Ne vakit ona ittiba etseniz Allah da sizi sevecek. Zaten siz Allah’ı seversiniz tâ ki Allah da sizi sevsin.”
İşte bütün bu cümleler, şu âyetin yalnız mücmel ve kısa bir mealidir. Demek oluyor ki insan için en mühim âlî maksat, Cenab-ı Hakk’ın muhabbetine mazhar olmasıdır. Bu âyetin nassıyla gösteriyor ki o matlab-ı a’lânın yolu, Habibullah’a ittibadır ve sünnet-i seniyesine iktidadır. Bu makamda üç nokta ispat edilse, mezkûr hakikat tamamıyla tezahür eder.
Birinci Nokta:
Beşer, fıtraten şu kâinatın Hâlık’ına karşı hadsiz bir muhabbet üzerine yaratılmıştır. Çünkü fıtrat-ı beşeriyede cemale karşı bir muhabbet ve kemale karşı perestiş etmek ve ihsana karşı sevmek vardır. Cemal ve kemal ve ihsan derecatına göre, o muhabbet tezayüd eder. Aşkın en münteha derecesine kadar gider. Hem bu küçük insanın küçücük kalbinde, kâinat kadar bir aşk yerleşir. Evet, kalbin mercimek kadar bir sandukçası olan kuvve-i hâfıza, bir kütüphane hükmünde binler kitap kadar yazı, içinde yazılması gösteriyor ki kalb-i insan, kâinatı içine alabilir ve o kadar muhabbet taşıyabilir.
Madem fıtrat-ı beşeriyede ihsan ve cemal ve kemale karşı böyle hadsiz bir istidad-ı muhabbet vardır. Ve madem bu kâinatın Hâlık’ı, kâinatta tezahür eden âsârıyla, bilbedahe tahakkuku sabit olan hadsiz cemal-i mukaddesi; bu mevcudatta tezahür eden nukuş-u sanatıyla bizzarure sübutu tahakkuk eden hadsiz kemal-i kudsîsi ve bütün zîhayatlarda tezahür eden hadsiz enva-ı ihsan ve in’amatıyla bi’l-yakîn ve belki bilmüşahede vücudu tahakkuk eden hadsiz ihsanatı vardır. Elbette zîşuurların en câmii ve en muhtacı ve en mütefekkiri ve en müştakı olan beşerden, hadsiz bir muhabbeti iktiza ediyor.
Evet her bir insan, o Hâlık-ı Zülcelal’e karşı hadsiz bir muhabbete müstaid olduğu gibi o Hâlık dahi herkesten ziyade cemal ve kemal ve ihsanına karşı hadsiz bir mahbubiyete müstahaktır. Hattâ insan-ı mü’minde hayatına ve bekasına ve vücuduna ve dünyasına ve nefsine ve mevcudata karşı türlü türlü muhabbetleri ve şedit alâkaları, o istidad-ı muhabbet-i İlahiyenin tereşşuhatıdır. Hattâ insanın mütenevvi hissiyat-ı şedidesi, o istidad-ı muhabbetin istihaleleridir ve başka şekillere girmiş reşhalarıdır.
Malûmdur ki insan kendi saadetiyle mütelezziz olduğu gibi alâkadar olduğu zatların saadetleriyle dahi mütelezziz oluyor. Ve kendini beladan kurtaranı sevdiği gibi sevdiklerini de kurtaranı öyle sever.
İşte bu halet-i ruhiyeye binaen insan, eğer her insana ait enva-ı ihsanat-ı İlahiyeden yalnız bunu düşünse ki benim Hâlık’ım, beni zulümat-ı ebediye olan ademden kurtarıp bu dünyada bir güzel dünyayı bana verdiği gibi; ecelim geldiği zaman beni idam-ı ebedî olan ademden ve mahvdan yine kurtarıp bâki bir âlemde ebedî ve çok şaşaalı bir âlemi bana ihsan ve o âlemin umum enva-ı lezaiz ve mehasininden istifade edecek ve cevelan edip tenezzüh edecek zâhirî ve bâtınî hâsseleri, duyguları bana in’am ettiği gibi çok sevdiğim ve çok alâkadar olduğum bütün akarib ve ahbap ve ebna-yı cinsimi dahi öyle hadsiz ihsanlara mazhar ediyor ve o ihsanlar bir cihette bana ait oluyor. Zira onların saadetleriyle mesud ve mütelezziz oluyorum.
Madem اَل۟اِن۟سَانُ عَبٖيدُ ال۟اِح۟سَانِ sırrıyla, herkeste ihsana karşı perestiş var. Elbette böyle hadsiz ebedî ihsanata karşı, kâinat kadar bir kalbim olsa o ihsana karşı muhabbetle dolmak iktiza eder ve doldurmak isterim. Ben bilfiil o muhabbeti etmezsem de bi’l-istidat, bi’l-iman, bi’n-niyye, bi’l-kabul, bi’t-takdir, bi’l-iştiyak, bi’l-iltizam, bi’l-irade suretinde ediyorum, diyecek ve hâkeza… Cemal ve kemale karşı insanın göstereceği muhabbet ise icmalen işaret ettiğimiz ihsana karşı muhabbete kıyas edilsin. Kâfir ise küfür cihetiyle hadsiz bir adâvet eder. Hattâ kâinata ve mevcudata karşı zalimane ve tahkirkârane bir adâvet taşıyor.
İkinci Nokta:
Muhabbetullah, ittiba-ı sünnet-i Muhammediye aleyhissalâtü vesselâmı istilzam eder. Çünkü Allah’ı sevmek, onun marziyatını yapmaktır. Marziyatı ise en mükemmel bir surette Zat-ı Muhammediye’de (asm) tezahür ediyor. Zat-ı Ahmediye’ye (asm) harekât ve ef’alde benzemek, iki cihetledir:
Birisi: Cenab-ı Hakk’ı sevmek cihetinde emrine itaat ve marziyatı dairesinde hareket etmek, o ittibaı iktiza ediyor. Çünkü bu işte en mükemmel imam, Zat-ı Muhammediye’dir (asm).
İkincisi: Madem Zat-ı Ahmediye (asm), insanlara olan hadsiz ihsanat-ı İlahiyenin en mühim bir vesilesidir. Elbette Cenab-ı Hak hesabına, hadsiz bir muhabbete lâyıktır. İnsan, sevdiği zata eğer benzemek kabil ise fıtraten benzemek ister. İşte Habibullah’ı sevenlerin, sünnet-i seniyesine ittiba ile ona benzemeye çalışmaları, kat’iyen iktiza eder.
Üçüncü Nokta:
Cenab-ı Hakk’ın hadsiz merhameti olduğu gibi hadsiz bir muhabbeti de vardır. Bütün kâinattaki masnuatın mehasini ile ve süslendirmesiyle kendini hadsiz bir surette sevdirdiği gibi masnuatını, hususan sevdirmesine sevmek ile mukabele eden zîşuur mahlukatı sever. Cennetin bütün letaif ve mehasini ve lezaizi ve niamatı, bir cilve-i rahmeti olan bir zatın nazar-ı muhabbetini kendine celbe çalışmak, ne kadar mühim ve âlî bir maksat olduğu bilbedahe anlaşılır.
Madem nass-ı kelâmıyla; onun muhabbetine, yalnız ittiba-ı sünnet-i Ahmediye (asm) ile mazhar olunur. Elbette ittiba-ı sünnet-i Ahmediye (asm), en büyük bir maksad-ı insanî ve en mühim bir vazife-i beşeriye olduğu tahakkuk eder.
On Birinci Nükte
Üç meseledir.
Birinci Mesele:
Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâmın sünnet-i seniyesinin menbaı üçtür: Akvali, ef’ali, ahvalidir. Bu üç kısım dahi üç kısımdır: Feraiz, nevafil, âdât-ı hasenesidir.
Farz ve vâcib kısmında ittibaa mecburiyet var; terkinde, azap ve ikab vardır. Herkes ona ittibaa mükelleftir.
Nevafil kısmında, emr-i istihbabî ile yine ehl-i iman mükelleftir. Fakat terkinde azap ve ikab yoktur. Fiilinde ve ittibaında azîm sevaplar var ve tağyir ve tebdili bid’a ve dalalettir ve büyük hatadır.
Âdât-ı seniyesi ve harekât-ı müstahsenesi ise hikmeten, maslahaten, hayat-ı şahsiye ve neviye ve içtimaiye itibarıyla onu taklit ve ittiba etmek, gayet müstahsendir. Çünkü her bir hareket-i âdiyesinde, çok menfaat-i hayatiye bulunduğu gibi mutabaat etmekle o âdab ve âdetler, ibadet hükmüne geçer.
Evet, madem dost ve düşmanın ittifakıyla, Zat-ı Ahmediye (asm) mehasin-i ahlâkın en yüksek mertebelerine mazhardır. Ve madem bi’l-ittifak nev-i beşer içinde en meşhur ve mümtaz bir şahsiyettir. Ve madem binler mu’cizatın delâletiyle ve teşkil ettiği âlem-i İslâmiyet’in ve kemalâtının şehadetiyle ve mübelliğ ve tercüman olduğu Kur’an-ı Hakîm’in hakaikinin tasdikiyle, en mükemmel bir insan-ı kâmil ve bir mürşid-i ekmeldir. Ve madem semere-i ittibaıyla milyonlar ehl-i kemal, meratib-i kemalâtta terakki edip saadet-i dâreyne vâsıl olmuşlardır. Elbette o zatın sünneti, harekâtı, iktida edilecek en güzel numunelerdir ve takip edilecek en sağlam rehberlerdir ve düstur ittihaz edilecek en muhkem kanunlardır. Bahtiyar odur ki bu ittiba-ı sünnette hissesi ziyade ola.
Sünnete ittiba etmeyen, tembellik eder ise hasaret-i azîme; ehemmiyetsiz görür ise cinayet-i azîme; tekzibini işmam eden tenkit ise dalalet-i azîmedir.
İkinci Mesele:
Cenab-ı Hak Kur’an-ı Hakîm’de:
وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظٖيمٍ ferman eder. Rivayat-ı sahiha ile Hazret-i Âişe-i Sıddıka (r.anha) gibi sahabe-i güzin, Hazret-i Peygamber aleyhissalâtü vesselâmı tarif ettikleri zaman “Hulukuhu’l-Kur’an” diye tarif ediyorlardı. Yani Kur’an’ın beyan ettiği mehasin-i ahlâkın misali, Muhammed aleyhissalâtü vesselâmdır. Ve o mehasini en ziyade imtisal eden ve fıtraten o mehasin üstünde yaratılan odur.
İşte böyle bir zatın ef’al, ahval, akval ve harekâtının her birisi, nev-i beşere birer model hükmüne geçmeye lâyık iken, ona iman eden ve ümmetinden olan gafillerin (sünnetine ehemmiyet vermeyen veyahut tağyir etmek isteyen), ne kadar bedbaht olduğunu divaneler de anlar.
Üçüncü Mesele:
Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâm, hilkaten en mutedil bir vaziyette ve en mükemmel bir surette halk edildiğinden, harekât ve sekenatı, itidal ve istikamet üzerine gitmiştir. Siyer-i seniyesi, kat’î bir surette gösterir ki her hareketinde istikamet ve itidal üzere gitmiş, ifrat ve tefritten içtinab etmiştir. Evet, Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâm فَاس۟تَقِم۟ كَمَٓا اُمِر۟تَ emrini tamamıyla imtisal ettiği için bütün ef’al ve akval ve ahvalinde istikamet, kat’î bir surette görünüyor.
Mesela, kuvve-i akliyenin fesat ve zulmeti hükmündeki ifrat ve tefriti olan gabavet ve cerbezeden müberra olarak, hadd-i vasat ve medar-ı istikamet olan hikmet noktasında kuvve-i akliyesi daima hareket ettiği gibi…
Kuvve-i gazabiyenin fesadı ve ifrat ve tefriti olan korkaklık ve tehevvürden münezzeh olarak, kuvve-i gazabiyenin medar-ı istikameti ve hadd-i vasatı olan şecaat-i kudsiye ile kuvve-i gazabiyesi hareket etmekle beraber…
Kuvve-i şeheviyenin fesadı ve ifrat ve tefriti olan humud ve fücurdan musaffâ olarak, o kuvvenin medar-ı istikameti olan iffette, kuvve-i şeheviyesi daima iffeti, a’zamî masumiyet derecesinde rehber ittihaz etmiştir. Ve hâkeza…
Bütün sünen-i seniyesinde, ahval-i fıtriyesinde ve ahkâm-ı şer’iyesinde, hadd-i istikameti ihtiyar edip zulüm ve zulümat olan ifrat ve tefritten, israf ve tebzirden içtinab etmiştir. Hattâ tekellümünde ve ekl ve şürbünde, iktisadı rehber ve israftan kat’iyen içtinab etmiştir. Bu hakikatin tafsilatına dair binler cilt kitap telif edilmiştir. اَل۟عَارِفُ تَك۟فٖيهِ ال۟اِشَارَةُ sırrınca, bu denizden bu katre ile iktifa edip kıssayı kısa keseriz.
- اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى جَامِعِ مَكَارِمِ ال۟اَخ۟لَاقِ وَ مَظ۟هَرِ سِرِّ «وَ اِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظٖيمٍ» اَلَّذٖى قَالَ
مَن۟ تَمَسَّكَ بِسُنَّتٖى عِن۟دَ فَسَادِ اُمَّتٖى فَلَهُ اَج۟رُ مِاَةِ شَهٖيدٍ
اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ الَّذٖى هَدٰينَا لِهٰذَا وَ مَا كُنَّا لِنَه۟تَدِىَ لَو۟ لَٓا اَن۟ هَدٰينَا اللّٰهُ لَقَد۟ جَٓائَت۟ رُسُلُ رَبِّنَا بِال۟حَقِّ
سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
- ↑ *Lihat: At-Thabrani, al-Mu’jam al-Ausath, 5/315; Ibnu ‘Adiy, al-Kâmil, 2/327; al-Baihaqi, az-Zuhd, 118; Abu Nu’aim, Hilyatul Auliyâ, 8/200; al-Munziri, at-Targîb wa at-Tarhîb, 1/4; al-Manâwi, Faidhul Qadîr, 6/261.
- ↑ *Imam Rabbâni, al-Maktûbât, Maktub ke-260.
- ↑ *Said Lama adalah istilah yang dipergunakan oleh Ustadz Said Nursi untuk dirinya sendiri. Yaitu mengacu pada masa sebelum beliau menulis Risalah Nur (sebelum tahun 1926 M), sebelum ia mengemban misi penyelamatan iman umat, serta sebelum ia mendapat inspirasi dari pancaran cahaya al-Qur’an untuk menerbitkan Risalah Nur.
- ↑ *Lihat: Muslim, bab al-Jumu`ah, 43; Abu Daud, as-Sunnah, 5; an-Nasa’i, al-`Îdain,22; Ibnu Majah, al-Muqaddimah, 6; ad-Dârimi, al-Muqaddimah, 16 dan 23; dan al-Musnad, 3/310, 371;4/126, 127.
- ↑ *Lihat: al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 18/228; as-Silmi, Adab ash-Shi- hhah, 124; Ibnu al-Jauzi, Shifah ash-Shafwah, 1/201; al-Manâwi, Faidh al-Qadîr, 1/225; al-`Ajlûni, Kasyf al- Khafâ, 1/27.