CAHAYA KEDUA BELAS

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    10.52, 20 Aralık 2024 tarihinde Ferhat (mesaj | katkılar) tarafından oluşturulmuş 194257 numaralı sürüm ("Meskipun bumi sangat kecil jika diukur dengan langit, namun ia menyamai langit dilihat dari fungsinya sebagai galeri, pameran, dan pusat bagi ciptaan-ciptaan Tuhan yang tak terhitung banyaknya. Dalam hal ini ia setara dengan langit yang besar itu. Sebab, bumi ibarat jantung dan sentral langit, sebagaimana jantung manusia setara dengan tubuhnya." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    Diğer diller:

    [Bagian ini secara khusus membahas dua hal terkait dengan al-Qur’an, yaitu dua pertanyaan sederhana yang diajukan oleh saudara Ra’fat].

    بِاس۟مِهٖ سُب۟حَانَهُ

    وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَم۟دِهٖ

    اَلسَّلَامُ عَلَي۟كُم۟ وَ عَلٰى اِخ۟وَانِكُم۟ وَ رَح۟مَةُ اللّٰهِ وَ بَرَكَاتُهُ

    Saudaraku yang tulus dan mulia, Ra’fat.(*[1])

    Pertanyaan-pertanyaanmu di waktu sulit sekarang ini membuatku berada dalam posisi sukar. Sebab, dua pertanyaanmu kali ini meskipun sederhana tetapi menurutku cukup penting. Keduanya mempunyai korelasi dengan dua persoalan yang terdapat di dalam al-Qur’an. Selain itu, pertanyaanmu mengenai bola bumi mengarah pada adanya keraguan di seputar geografi dan astronomi, khususnya yang berkenaan dengan tujuh lapis bumi. Karenanya, di sini kami akan menjelaskan dua persoalan tersebut secara ilmiah, komprehensif, dan global tanpa melihat pada sederhananya pertanyaan tersebut. Kamu akan mendapat bagian dari jawaban.

    Nuktah Pertama

    Berisi penjelasan tentang dua poin, yaitu:

    Poin Pertama

    Allah berfirman: “Betapa banyak binatang melata yang tidak dapat membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allahlah yang menjamin rezeki padanya dan kepadamu.” (QS. al-Ankabût [29]: 60).Allah juga berfirman:“Sesungguhnya Allah-lah Maha Pemberi rezeki Yang mempunyai kekuatan dan Mahakokoh.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 58).Berdasarkan kedua ayat al-Qur’an di atas, rezeki hanya ada di tangan Dzat yang Maha Kuasa dan Mahaagung, serta berasal dari perbendaharaan rahmat-Nya tanpa ada perantara. Karena rezeki setiap makhluk hidup dijamin oleh Tuhan, maka seharusnya tidak ada seorang pun yang mati kelaparan. Namun demikian, kelihatannya orang yang mati kelaparan atau karena tidak mendapat rezeki jumlahnya banyak. Rahasia dan kenyataan ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

    Jaminan Tuhan secara langsung terhadap rezeki para makhluk merupakan hakikat yang mutlak. Tak ada seorangpun yang mati karena tidak mendapat rezeki. Sebab, rezeki yang dikirimkan oleh Dzat yang Maha Bijaksana dan Agung ke tubuh makhluk sebagiannya disimpan sebagai cadangan dalam bentuk lemak yang ada di dalam tubuh. Bahkan sebagian dari rezeki yang dikirim ke sudut-sudut rongga tubuh di simpan untuk kemudian disalurkan ke bagian tubuh yang membutuhkan di saat rezeki yang berasal dari luar tidak datang.

    Dengan demikian, mereka yang mati itu sebetulnya mati sebelum rezeki cadangan yang tersimpan belum habis. Artinya, kematian tersebut tidak terjadi karena ketiadaan rezeki, tetapi karena penyakit yang timbul akibat kesalahan ikhtiar dan meninggalkan kebiasaan.

    Ya, rezeki alamiah yang tersimpan dalam bentuk lemak di tubuh makhluk hidup bisa bertahan selama kira-kira empat puluh hari. Bahkan bisa bertahan dua kali masa tersebut jika seseorang terserang penyakit atau tenggelam dalam kehidupan rohani. Bahkan 39 tahun yang lalu,(*[2]) koran-koran menulis bahwa ada seseorang yang mendekam di penjara London selama 70 hari tanpa memakan apa pun. Namun orang tersebut tetap segar bugar.

    Rezeki alamiah yang bisa bertahan empat puluh hari atau bahkan delapan puluh hari tersebut menjadikan manifestasi nama Allah sebagai Dzat yang Maha Memberi rezeki terlihat dengan jelas. Rezeki tersebut mengalir dari arah yang tak diduga, yaitu dari puting ibu dan keluar dari kelopak-kelopak bunga. Tentu saja, nama tersebut (Allah) menyokong, membantu, dan menghalangi makhluk itu dari kematian akibat lapar sebelum rezekinya berakhir selama hal-hal yang buruk tidak masuk ke dalamnya akibat perilaku yang salah.

    Karena itu, mereka yang mati karena lapar sebelum empat puluh hari, sebetulnya tidak mati karena ketiadaan rezeki, tetapi karena kebiasaan yang muncul akibat buruknya ikhtiar lantaran meninggalkan kebiasaan yang ada. Sebab, ada kaidah yang berbunyi, “Meninggalkan kebiasaan termasuk di antara faktor yang membinasakan.” Dengan demikian, pernyataan yang mengatakan bahwa tak ada kematian akibat kelaparan adalah benar.

    Ya, kenyataan yang kita lihat menunjukkan bahwa urusan rezeki berbanding terbalik dengan kekuatan dan ikhtiar manusia. Sebagai contoh, janin yang belum lahir yang masih berada di rahim ibunya, ia tidak mempunyai kemampuan usaha dan ikhtiar. Tetapi, rezeki janin tersebut mengalir tanpa perlu melakukan tindakan apa- apa, meskipun untuk sekadar menggerakkan kedua bibirnya.

    Lalu ketika ia sudah bisa membuka kedua matanya dan lahir ke dunia di mana ia masih tidak memiliki kemampuan apa-apa kecuali sekadar manifestasi naluri alamiah dan perasaannya, ketika itu sumber-sumber makanan yang terdapat di payudara segera memancarkan rezeki berupa makanan yang paling sempurna dan paling mudah ditelan dalam bentuk yang paling halus dan mengagungkan dengan gerakan berupa memasang mulutnya pada payudara ibunya.

    Selanjutnya, setiap kali kemampuan usaha dan ikhtiarnya berkembang, setiap itu pula rezeki yang tadinya datang dengan mudah itu sedikit demi sedikit tertutup. Lalu dikirimlah rezekinya dari berbagai tempat yang lain. Namun karena kemampuan usahanya belum siap untuk mencari rezeki, Allah Sang Maha Pemberi rezeki menjadikan kasih sayang kedua orang tuanya sebagai bantuan baginya.

    Dan ketika kapasitas kemampuan usahanya mulai sempurna, rezeki tersebut tidak lagi menemuinya dan tidak lagi mengalir kepadanya. Tetapi ia diam sambil berkata, “Mari carilah aku!”

    Dengan demikian, rezeki berbanding terbalik dengan kekuatan dan ikhtiar manusia. Karenanya, binatang yang tidak mempunyai kemampuan usaha seperti manusia bisa hidup secara lebih baik ketimbang makhluk lainnya seperti yang telah kami jelaskan dalam beberapa risalah.

    Poin Kedua

    Ada tiga jenis kemungkinan, yaitu kemungkinan yang bersifat rasional, kemungkinan yang bersifat urf (dikenal bersama), dan kemungkinan yang bersifat kebiasaan. Jika sebuah peristiwa yang terjadi tidak tergolong ke dalam kemungkinan yang bersifat rasional, ia akan tertolak. Sedangkan jika juga tidak termasuk urf, maka ia bisa digolongkan sebagai mukjizat dan tidak mudah disebut sebagai karamah. Lalu jika tidak pernah ada dalam urf dan keluar dari kaidah umum yang berlaku, ia akan tertolak kecuali apabila disertai oleh bukti yang kuat dan kesaksian langsung.

    Karena itu, sesungguhnya kondisi-kondisi luar biasa yang pernah dialami oleh Sayyid Ahmad al-Badawi(*[3])di mana beliau pernah tidak mengecap sepotong makanan pun selama empat puluh hari merupakan kemungkinan yang tergolong urf dan termasuk karamah baginya. Bahkan hal itu merupakan kebiasaan yang istimewa.Ya, berbagai riwayat mutawatir yang berbicara tentang Sayyid Ahmad al-Badawi menjelaskan bahwa ketika tengah tenggelam dalam kehidupan spiritual, ia hanya makan satu kali selama empat puluh hari. Hal tersebut benar-benar terjadi. Namun tidak senantiasa demikian. Itu hanya terjadi dalam waktu-waktu tertentu sebagai sebuah karamah. Ada kemungkinan bahwa ketika sedang asyik teng- gelam dalam kehidupan spiritual makanan tidak lagi dibutuhkan sehingga baginya hal itu termasuk sesuatu yang biasa.Banyak sekali peristiwa luar biasa yang bisa dipercaya yang berasal dari para wali semacam Sayyid Ahmad al-Badawi.

    Jika rezeki yang tersimpan bisa bertahan selama empat puluh hari seperti yang telah kami jelaskan pada bagian pertama, jika terputusnya makanan selama waktu tersebut merupakan hal yang biasa terjadi, serta jika telah ada berbagai cerita tentang kondisi tersebut yang pernah dialami oleh para sosok istimewa, maka kondisi tersebut tak bisa dibantah.

    Nuktah Kedua Berbicara tentang persoalan kedua ini, kami akan menjelaskan dua persoalan penting. Ketika para ahli geografi dan astronomi, dengan kaidah-kaidah mereka yang singkat, prinsip-prinsip mereka yang sempit, dan analisa mereka yang terbatas, tak mampu menapaki ketinggian al-Qur’an dan menyingkap maksud dari tujuh lapis yang terdapat dalam ayatnya yang agung, mereka segera berusaha menentang dan mengingkari ayat-ayat tersebut secara bodoh dan gegabah.

    Persoalan Pertama

    Terkait dengan bumi yang mempunyai tujuh lapis seperti langit. Persoalan ini bagi para filsuf modern merupakan persoalan abstrak, tak dapat diterima oleh pengetahuan mereka tentang langit dan bumi. Persoalan ini kemudian dijadikan kesempatan bagi mereka untuk menyangkal berbagai hakikat al-Qur’an. Karena itu, dalam kesempatan ini kami tuliskan beberapa isyarat singkat yang berkaitan dengan persoalan tersebut.

    Isyarat Pertama

    Pertama: makna ayat, bagian-bagian dari makna, dan kandungan dari kesulurahan makna bagian tadi adalah tiga hal yang berbeda. Jika salah satu bagian dari makna keseluruhan tidak ditemukan, maka makna keseluruhannya tidak boleh diingkari. Perlu diketahui bahwa ada tujuh bagian makna yang tampak dengan jelas membenarkan banyak bagian dari makna keseluruhan dari tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi.

    Kedua: Allah berfirman:

    Allahlah yang menciptakan tujuh langit, dan bumi juga demikian.” (QS. ath-Thalaq [65]: 12).Secara eksplisit, ayat ini tidak menyatakan bahwa bumi terdiri dari tujuh lapis. Tetapi, ia menegaskan bahwa Allah menciptakan bumi dan menjadikannya sebagai tempat tinggal bagi para makhlukNya sebagaimana tujuh lapis langit. Ayat itu tidak mengatakan bahwa bumi diciptakan dalam tujuh lapis. Adapun ketika bumi diserupakan dengan langit seperti yang terdapat pada ayat di atas, maka penyeru- paan tersebut adalah dari sisi di mana keduanya merupakan sama-sama makhluk dan sama-sama tempat tinggal bagi para makhluk.

    Isyarat Kedua

    Meskipun bumi sangat kecil jika diukur dengan langit, namun ia menyamai langit dilihat dari fungsinya sebagai galeri, pameran, dan pusat bagi ciptaan-ciptaan Tuhan yang tak terhitung banyaknya. Dalam hal ini ia setara dengan langit yang besar itu. Sebab, bumi ibarat jantung dan sentral langit, sebagaimana jantung manusia setara dengan tubuhnya.

    Zeminin küçük mikyasta eskiden beri yedi (*[4]) iklimi

    hem Avrupa, Afrika, Okyanusya, iki Asya, iki Amerika namlarıyla maruf yedi kıtası

    hem denizle beraber şark, garp, şimal, cenup, bu yüzdeki ve Yeni Dünya yüzündeki malûm yedi kıtası

    hem merkezinden tâ kışr-ı zâhirîye kadar hikmeten, fennen sabit olan muttasıl ve mütenevvi yedi tabakası

    hem zîhayat için medar-ı hayat olmuş yetmiş basit ve cüz’î unsurları tazammun edip ve “yedi kat” tabir edilen meşhur yedi nevi küllî unsuru

    hem dört unsur denilen su, hava, nâr, toprak (türab) ile beraber “mevalid-i selâse” denilen maadin, nebatat ve hayvanatın yedi tabakaları ve yedi kat âlemleri

    hem cin ve ifrit ve sair muhtelif zîşuur ve zîhayat mahlukların âlemleri ve meskenleri olduğu, çok kesretli ehl-i keşif ve ashab-ı şuhudun şehadetiyle sabit yedi kat arzın âlemleri

    hem küre-i arzımıza benzeyen yedi küre-i uhra dahi bulunmasına, zîhayata makarr ve mesken olmasına işareten yedi tabaka yani yedi küre-i arziye bulunmasına işareten küre-i arz dahi yedi tabaka âyât-ı Kur’aniyeden fehmedilmiştir.

    İşte yedi nevi ile yedi tarzda, arzın yedi tabakası mevcud olduğu tahakkuk ediyor. Sekizincisi olan âhirki mana, başka nokta-i nazarda ehemmiyetlidir; o yedide dâhil değildir.

    Üçüncüsü:

    Madem Hakîm-i Mutlak israf etmiyor, abes şeyleri yaratmıyor. Ve madem mahlukatın vücudları, zîşuur içindir ve zîşuurla kemalini bulur ve zîşuurla şenlenir ve zîşuurla abesiyetten kurtulur. Ve madem bilmüşahede o Hakîm-i Mutlak, o Kadîr-i Zülcelal, hava unsurunu, su âlemini, toprak tabakasını hadsiz zîhayatlarla şenlendiriyor. Ve madem hava ve su, hayvanatın cevelanına mani olmadığı gibi toprak, taş gibi kesif maddeler, elektrik ve röntgen gibi maddelerin seyrine mani olmuyorlar.

    Elbette o Hakîm-i Zülkemal, o Sâni’-i Bîzeval, küre-i arzımızın merkezinden tut tâ meskenimiz ve merkezimiz olan bu kışr-ı zâhirîye kadar birbirine muttasıl yedi küllî tabakayı ve geniş meydanlarını ve âlemlerini ve mağaralarını boş ve hâlî bırakmaz. Elbette onları şenlendirmiş. O âlemlerin şenlenmesine münasip ve muvafık zîşuur mahlukları halk edip orada iskân etmiştir. O zîşuur mahluklar, mademki melâike ecnasından ve ruhanî envalarından olmak lâzım gelir. Elbette en kesif ve en sert tabaka, onlara nisbeten, balığa nisbeten deniz ve kuşa nisbeten hava gibidir. Hattâ zeminin merkezindeki müthiş ateş dahi o zîşuur mahluklara nisbeti, bizlere nisbeten güneşin harareti gibi olmak iktiza eder. O zîşuur ruhanîler nurdan oldukları için nâr onlara nur gibi olur.

    Dördüncüsü:

    On Sekizinci Mektup’ta tabakat-ı arzın acayibine dair ehl-i keşfin tavr-ı akıl haricinde beyan ettikleri tasvirata dair bir temsil zikredilmiştir. Hülâsası şudur ki: Küre-i arz, âlem-i şehadette bir çekirdektir; âlem-i misaliye ve berzahiyede bir büyük ağaç gibi semavata omuz omuza vuracak bir azamettedir. Ehl-i keşfin küre-i arzda ifritlere mahsus tabakasını bin senelik bir mesafe görmeleri, âlem-i şehadete ait küre-i arzın çekirdeğinde değil belki âlem-i misalîdeki dallarının ve tabakalarının tezahürüdür.

    Madem küre-i arzın zâhiren ehemmiyetsiz bir tabakasının böyle başka âlemde azametli tezahüratı var; elbette yedi kat semavata mukabil yedi kat denilebilir ve mezkûr noktaları ihtar için îcaz ile i’cazkârane bir tarzda âyât-ı Kur’aniye, semavatın yedi tabakasına karşı bu küçücük arzı mukabil göstermekle işaret ediyor.

    İkinci Mesele-i Mühimme’dir:

    تُسَبِّحُ لَهُ السَّمٰوَاتُ السَّب۟عُ وَال۟اَر۟ضُ وَمَن۟ فٖيهِنَّ ... اِلٰى اٰخِرِ

    ثُمَّ اس۟تَوٰٓى اِلَى السَّمَٓاءِ فَسَوّٰيهُنَّ سَب۟عَ سَمٰوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَى۟ءٍ عَلٖيمٌ

    Şu âyet-i kerîme gibi müteaddid âyetler, semavatı yedi sema olarak beyan ediyor. İşaratü’l-İ’caz tefsirinde Eski Harb-i Umumî’nin birinci senesinde cephe-i harpte ihtisar mecburiyetiyle gayet mücmel beyan ettiğimiz o meselenin yalnız bir hülâsasını yazmak münasiptir. Şöyle ki:

    Eski hikmet, semavatı dokuz tasavvur edip lisan-ı şer’îde, arş ve Kürsî yedi semavat ile beraber kabul edip acib bir suretle semavatı tasvir etmiştiler. O eski hikmetin dâhî hükemasının şaşaalı ifadeleri, nev-i beşeri çok asırlar müddetince tahakkümleri altında tutmuşlar. Hattâ çok ehl-i tefsir, âyâtın zâhirlerini onların mezhebine göre tevfik etmeye mecbur kalmışlar. O suretle Kur’an-ı Hakîm’in i’cazına bir derece perde çekilmişti.

    Ve hikmet-i cedide namı verilen yeni felsefe ise eski felsefenin mürur ve ubûra ve hark ve iltiyama kabil olmayan semavat hakkındaki ifratına mukabil tefrit edip, semavatın vücudunu âdeta inkâr ediyorlar. Evvelkiler ifrat, sonrakiler tefrit edip hakikati tamamıyla gösterememişler.

    Kur’an-ı Hakîm’in hikmet-i kudsiyesi ise o ifrat ve tefriti bırakıp hadd-i vasatı ihtiyar edip der ki Sâni’-i Zülcelal, yedi kat semavatı halk etmiştir. Hareket eden yıldızlar ise balıklar gibi sema içinde gezerler ve tesbih ederler. Hadîste اَلسَّمَاءُ مَو۟جٌ مَك۟فُوفٌ denilmiş. Yani “Sema, emvacı karar-dâde olmuş bir denizdir.”

    İşte bu hakikat-i Kur’aniyeyi yedi kaide ve yedi vecih mana ile gayet muhtasar bir surette ispat edeceğiz.

    Birinci Kaide:

    Fennen ve hikmeten sabittir ki bu haddi yok feza-yı âlem, nihayetsiz bir boşluk değil belki “esîr” dedikleri madde ile doludur.

    İkincisi:

    Fennen ve aklen, belki müşahedeten sabittir ki ecram-ı ulviyenin cazibe ve dâfia gibi kanunlarının rabıtası ve ziya ve hararet ve elektrik gibi maddelerdeki kuvvetlerin nâşiri ve nâkili, o fezayı dolduran bir madde mevcuddur.

    Üçüncüsü:

    Madde-i esîriye, esîr kalmakla beraber, sair maddeler gibi muhtelif teşekkülata ve ayrı ayrı suretlerde bulunduğu tecrübeten sabittir. Evet nasıl ki buhar, su, buz gibi havaî, mayi, camid üç nevi eşya, aynı maddeden oluyor. Öyle de madde-i esîriyeden dahi yedi nevi tabakat olmasına hiçbir mani-i aklî olmadığı gibi hiçbir itiraza medar olmaz.

    Dördüncüsü:

    Ecram-ı ulviyeye dikkat edilse görünüyor ki o ulvi âlemlerin tabakatında muhalefet var. Mesela, Nehrü’s-Sema ve Kehkeşan namıyla maruf, Türkçe “Samanyolu” tabir olunan bulut şeklindeki daire-i azîmenin bulunduğu tabaka, elbette sevabit yıldızların tabakasına benzemiyor. Güya tabaka-i sevabit yıldızları, yaz meyveleri gibi yetişmiş, ermişler. Ve o Kehkeşan’daki bulut şeklinde görülen hadsiz yıldızlar ise yeniden yeniye çıkıp ermeye başlıyorlar. Tabaka-i sevabit dahi sadık bir hads ile manzume-i şemsiyenin tabakasına muhalefeti görünüyor. Ve hâkeza yedi manzumat ve yedi tabaka, birbirine muhalif bulunması, his ve hads ile derk olunur.

    Beşincisi:

    Hadsen ve hissen ve istikraen ve tecrübeten sabit olmuştur ki bir maddede tanzim ve teşkil düşse ve o maddeden başka masnuat yapılsa elbette muhtelif tabaka ve şekillerde olur.

    Mesela, elmas madeninde teşkilat başladığı vakit, o maddeden hem ramad yani hem kül hem kömür hem elmas nevileri tevellüd ediyor. Hem mesela ateş, teşekküle başladığı vakit hem alev hem duman hem kor tabakalarına ayrılıyor. Hem mesela müvellidü’l-mâ, müvellidü’l-humuza ile mezcedildiği vakit, o mezcden hem su hem buz hem buhar gibi tabakalar teşekkül ediyor.

    Demek anlaşılıyor ki bir madde-i vâhidde teşkilat düşse tabakata ayrılıyor. Öyle ise madde-i esîriyede kudret-i Fâtıra teşkilata başladığı için elbette ayrı ayrı tabaka olarak فَسَوّٰيهُنَّ سَب۟عَ سَمٰوَاتٍ sırrıyla yedi nevi semavatı ondan halk etmiştir.

    Altıncısı:

    Şu mezkûr emareler, bizzarure semavatın hem vücuduna hem taaddüdüne delâlet ederler. Madem kat’iyen semavat müteaddiddir ve Muhbir-i Sadık, Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan’ın lisanıyla yedidir der; elbette yedidir.

    Yedincisi:

    Yedi, yetmiş, yedi yüz gibi tabirat, üslub-u Arabîde kesreti ifade ettiği için o küllî yedi tabaka çok kesretli tabakaları hâvi olabilir.

    Elhasıl: Kadîr-i Zülcelal, esîr maddesinden yedi kat semavatı halk edip tesviye ederek, gayet dakik ve acib bir nizam ile tanzim etmiş ve yıldızları içinde zer’edip ekmiştir. Madem Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan, umum ins ve cinnin umum tabakalarına karşı konuşan bir hutbe-i ezeliyedir. Elbette nev-i beşerin her bir tabakası, her bir âyât-ı Kur’aniyeden hissesini alacak ve âyât-ı Kur’aniye, her tabakanın fehmini tatmin edecek surette ayrı ayrı ve müteaddid manaları zımnen ve işareten bulunacaktır. Evet, hitabat-ı Kur’aniyenin vüs’ati ve maânî ve işaratındaki genişliği ve en âmî bir avamdan en has bir havassa kadar derecat-ı fehimlerini müraat ve mümaşat etmesi gösterir ki her bir âyetin her bir tabakaya bir vechi var, bakıyor.

    İşte bu sırra binaen “yedi semavat” mana-yı küllîsinde yedi tabaka-i beşeriye, muhtelif yedi kat manayı fehmetmişler. Şöyle ki:

    فَسَوّٰيهُنَّ سَب۟عَ سَمٰوَاتٍ âyetinde, kısa nazarlı ve dar fikirli bir tabaka-i insaniye, hava-yı nesîmînin tabakatını fehmeder.

    Ve kozmoğrafya ile sersemleşmiş diğer bir tabaka-i insaniye dahi elsine-i enamda seb’a-i seyyare ile meşhur yıldızları ve medarlarını fehmeder.

    Daha bir kısım insanlar küremize benzer zevi’l-hayatın makarrı olmuş semavî yedi küre-i âheri fehmeder.

    Diğer bir taife-i beşeriye, manzume-i şemsiyenin yedi tabakaya ayrılmasını hem manzume-i şemsiyemizle beraber yedi manzumat-ı şümusiyeyi fehmeder.

    Daha diğer bir taife-i beşeriye, madde-i esîriyenin teşekkülatı yedi tabakaya ayrılmasını fehmeder.

    Daha geniş fikirli bir tabaka-i beşeriye, yıldızlarla yaldızlanıp bütün görünen gökleri bir sema sayıp, onu bu dünyanın semasıdır diyerek, bundan başka altı tabaka-i semavat var olduğunu fehmeder.

    Ve nev-i beşerin yedinci tabakası ve en yüksek taifesi ise semavat-ı seb’ayı, âlem-i şehadete münhasır görmüyor. Belki avâlim-i uhreviye ve gaybiye ve dünyeviye ve misaliyenin birer muhit zarfı ve ihatalı birer sakfı olan yedi semavatın var olduğunu fehmeder.

    Ve hâkeza bu âyetin külliyetinde mezkûr yedi kat tabakanın yedi kat manaları gibi daha çok cüz’î manaları vardır. Herkes fehmine göre hissesini alır ve o maide-i semaviyeden herkes rızkını bulur.

    Madem o âyetin böyle pek çok sadık mâsadakları var. Şimdiki akılsız feylesofların ve serseri kozmoğrafyalarının, inkâr-ı semavat bahanesiyle böyle âyete taarruz etmesi, haylaz ahmak çocukların semavattaki yıldızlara bir yıldızı düşürmek niyetiyle taş atmasına benzer. Çünkü âyetin mana-yı küllîsinden bir tek mâsadak sadıksa, o küllî mana sadık ve hak olur. Hattâ vakide bulunmayan fakat umumun lisanında mütedavil bulunan bir ferdi, umumun efkârını müraat için o küllîde dâhil olabilir. Halbuki, hak ve hakiki çok efradını gördük.

    Ve şimdi bu insafsız ve haksız coğrafyaya ve sersem ve sermest ve sarhoş kozmoğrafyaya bak! Nasıl bu iki fen hata ederek, hak ve hakikat ve sadık olan küllî manadan gözlerini yumup ve çok sadık olan mâsadakları görmeyerek; hayalî bir acib ferdi, mana-yı âyet tevehhüm ederek âyete taş attılar; kendi başlarını kırdılar, imanlarını uçurdular!

    Elhasıl: Kıraât-ı seb’a, vücuh-u seb’a ve mu’cizat-ı seb’a ve hakaik-i seb’a ve erkân-ı seb’a üzerine nâzil olan Kur’an semasının o yedişer tabakalarına, cin ve şeyatîn hükmündeki itikadsız maddî fikirler çıkamadıklarından âyâtın nücumunda ne var ne yok bilmeyip yalan ve yanlış haber verirler. Ve onların başlarına o âyâtın nücumundan mezkûr tahkikat gibi şahaplar inerler ve onları yakarlar.

    Evet, cin fikirli feylesofların felsefesiyle o semavat-ı Kur’aniyeye çıkılmaz. Belki âyâtın yıldızlarına, hikmet-i hakikiyenin mi’racıyla ve iman ve İslâmiyet’in kanatlarıyla çıkılabilir.

    اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى شَم۟سِ سَمَاءِ الرِّسَالَةِ وَ قَمَرِ فَلَكِ النُّبُوَّةِ وَ عَلٰى اٰلِهٖ وَ صَح۟بِهٖ نُجُومِ ال۟هُدٰى لِمَنِ اه۟تَدٰى

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ

    اَللّٰهُمَّ يَا رَبَّ السَّمٰوَاتِ وَ ال۟اَر۟ضِ زَيِّن۟ قُلُوبَ كَاتِبِ هٰذِهِ الرِّسَالَةِ وَ رُفَقَائِهٖ بِنُجُومِ حَقَائِقِ ال۟قُر۟اٰنِ وَ ال۟اٖيمَانِ اٰمٖينَ


    1. *Ra’fat Barutcu (1886–1975) adalah seorang pensiunan tentara. Ia termasuk generasi pertama yang belajar kepada Ustadz Nursi. Ia menyertai Ustadz ketika sedang berada di penjara Eskisyehir dan Denizli. Ia menjadi imam di kota Istanbul dan mahir dalam mengajar al-Qur’an.
    2. *Yang dimaksud adalah tahun 1920 M.
    3. *Sayyid al-Badawi (596-675 H / 1200-1276 M), nama lengkapnya adalah Ahmad ibn Ali ibn Ibrahim al-Husaini, Abul Abbas al-Badawi. Ia adalah seorang sufi terkenal di negeri Mesir. Asalnya adalah Maroko. Ia dilahirkan di Fas dan berkeliling ke berbagai negeri serta pernah menetap di Makkah dan Madinah. Ia masuk ke Mesir pada masa raja azh-Zhâhir Pipris. Sang raja dan tentaranya segera menyambut kedatangannya serta menempatkannya di tempat khusus untuk para tamu kehormatan. Sayyid Ahmad juga pernah mengunjungi Syiria dan Irak pada tahun 634 H. Di Mesir ia begitu dihormati serta banyak masyarakat yang mengikuti tarekatnya, termasuk sang raja. Ia wafat dan dimakamkan di Tanta. Di situ pada setiap tahun diselenggarakan pasar besar yang dikunjungi banyak orang dari seluruh penjuru Mesir sebagai peringatan atas kelahiran beliau. Karyanya yang disebutkan oleh para penulis biografinya hanyalah Hizb (manuskrip), Washâyâ, dan Shalawat. Sebagian orang menuliskan riwayat hidupnya secara khusus dalam beberapa buku. Di antaranya adalah as-Sayyid al-Badawi oleh Muhammad Fahmi Abdul Latif (Lihat: al-A’lam oleh az-Zarkili 1:175).
    4. (*) Seb’a ile beraber yedi kelimesi yedi kere tevafuku pek güzel düşmüş.