CAHAYA KEENAM BELAS

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    23.59, 22 Aralık 2024 tarihinde Ferhat (mesaj | katkılar) tarafından oluşturulmuş 194887 numaralı sürüm ("Kemudian al-Qur’an berpindah dari satu peristiwa kepada peristiwa lainnya yang jauh karena melihat adanya korelasi dan keter- kaitan konteks pembicaraan. Sehingga orang yang tidak mengetahui adanya korelasi tersebut akan menduga bahwa masa terjadinya dua peristiwa tersebut berdekatan. Demikianlah, ketika al-Qur’an menceritakan tentang kedatangan hari kiamat setelah hancurnya dinding pembatas tersebut, hal itu bukan karena jangka waktu antara dua peri..." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    Diğer diller:

    بِاس۟مِهٖ وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَم۟دِهٖ

    اَلسَّلَامُ عَلَي۟كُم۟ وَ رَح۟مَةُ اللّٰهِ وَ بَرَكَاتُهُ

    Saudaraku-saudaraku yang mulia dan tulus: Sabri, Hafidz Mas’ud, para Mustafa, Husrev, Ra’fat, Bakir Bey, Rusydi, para Luthfi, al-hafidz Ahmad, syekh Mustafa, dan yang lainnya.

    Ada keinginan dalam kalbuku untuk menjelaskan secara singkat, kepada kalian semua, empat pertanyaan yang sederhana tetapi penting. Empat pertanyaan itulah yang seringkali muncul. Aku akan menerangkan hal tersebut untuk diketahui dan ditelaah.

    Pertanyaan Pertama

    Salah seorang saudara kita, yaitu Caprazzade Abdullah Afandi, juga beberapa orang lainnya memberitahukan bahwa menurut para ahli kasyaf, pada bulan Ramadhan yang lalu golongan Ahlu Sunnah wal Jamaah mendapatkan kabar gembira dan kemenangan serta mereka dijauhkan dari bencana. Namun kenyataannya tidak demikian. Maka dari itu, mereka kemudian bertanya kepadaku, “Mengapa para wali dan ahli kasyaf tersebut menginformasikan sesuatu yang ternyata tidak sesuai dengan realita?”Aku pun segera memberikan jawaban ringkas kepada mereka sesuai dengan apa yang terbesit dalam kalbu. Yaitu:

    Ada sebuah hadis Nabi yang maknanya berbunyi, “Musibah yang turun bisa ditolak oleh sedekah”.(*[1])Dari hadis di atas tampak jelas bahwa ketika takdir yang berasal dari alam gaib akan datang, ia terikat dengan beberapa syarat. Takdir itu tidak terjadi jika syaratnya tidak terpenuhi. Dengan demikian, seluruh takdir yang terlihat oleh para wali kasyaf itu sebe- narnya tidak bersifat mutlak, tetapi terikat oleh beberapa syarat. Ketika syarat-syaratnya tidak ada, maka peristiwanya juga tidak terjadi. Sebab, peristiwa tersebut ibarat waktu kejadian yang tergantung. Ia telah ditulis dalam “lembaran penghapusan dan penetapan” yang merupakan salah satu jenis catatan lembaran azali. Jarang sekali kasyaf seorang makhluk bisa menyingkap lembaran azali tadi. Bahkan sebagian besar tidak bisa naik sampai ke sana.

    Atas dasar itulah, berita-berita yang muncul pada bulan Ramadhan, hari Raya Idul Adha, dan waktu-waktu yang lainnya, bisa jadi tidak disertai oleh syarat-syarat yang terkait dengannya. Karena itu, ia tidak muncul sebagai realitas. Mereka yang memberitakannya tidak- lah berbohong. Sebab, peristiwa-peristiwa tersebut telah ditetapkan, namun tidak terjadi sebelum syarat-syaratnya terpenuhi.

    Memang benar bahwa doa tulus yang dipanjatkan oleh ka- langan ahli sunnah wal jamaah untuk penghapusan bid'ah pada bulan Ramadhan merupakan syarat dan sebab yang penting. Namun sayang sekali karena pada bulan penuh berkah itu perbuatan bid’ah telah masuk ke masjid-masjid sehingga membuat permohonan tadi tidak dikabulkan. Akibatnya, tidak tercapai kelapangan. Sebab, sebagaimana sedekah bisa menolak musibah seperti yang ditunjukkan oleh hadis di atas, doa yang tulus dari banyak orang juga bisa mendatangkan kelapangan umum. Namun, karena daya tarik doa itu belum terwujud, kelapangan juga belum diberikan.

    Pertanyaan Kedua

    Ketika seharusnya ada usaha dan upaya untuk menghadapi kondisi politik yang sedang bergejolak pada dua bulan ini, di mana upaya tersebut kemungkinan besar akan melapangkan dan juga akan menyenangkan saudara-saudaraku, namun justru tidak memedulikan kondisi yang ada. Bahkan aku melakukan yang sebaliknya. Aku justru berpikir bagaimana cara memperbaiki ahli dunia yang telah menyulitkan hidupku itu. Karenanya, sebagian orang menjadi sangat bingung dengan tindakanku. Mereka bertanya, “Politik yang diprak- tikkan oleh pembuat bid’ah dan kawanan tokoh munafik tersebut jelas-jelas berseberangan dengan Anda. Tetapi mengapa Anda tidak menyerangnya?”

    Ringkasan Jawabanku: Bahaya paling hebat yang saat ini menimpa kaum muslimin adalah rusaknya kalbu dan rapuhnya iman akibat kesesatan yang berasal dari filsafat dan ilmu pengetahuan. Solusi satu-satunya untuk memperbaiki kalbu dan menyelamatkan iman adalah adanya cahaya dan bagaimana memperlihatkan cahaya tersebut.

    Jika bergerak dengan pentung politik dan mendapat kemenangan, maka hal itu menurunkan kaum kafir tersebut kepada tingkat munafik. Dan sebagaimana kita ketahui, orang munafik lebih berbahaya dan lebih rusak daripada orang kafir. Jadi, pada saat sekarang ini “pentung” tidak akan bisa memperbaiki kalbu. Ketika itu, kekufuran masuk dalam relung kalbu, lalu bersembunyi di sana, dan berubah menjadi sifat kemunafikan.

    Selain itu, orang lemah sepertiku tak mungkin mempergunakan cahaya dan “pentung” sekaligus. Karenanya, aku hanya bisa berpe- gang pada cahaya (jalan dakwah) sekuat tenaga dan harus berpaling dari pentung politik dalam bentuk apa pun.

    Adapun jihad fisik tidak serta-merta bergantung pada kami. Memang benar bahwa pentung (kekerasan) harus dipakai ketika orang kafir atau orang yang murtad sudah bertindak melampaui batas. Namun, kami hanya memiliki dua tangan. Bahkan seandainya kami memiliki seratus tangan, hal itu hanya cukup untuk cahaya. Kami tak mempunyai tangan lain untuk memegang pentung.

    Pertanyaan Ketiga

    Serangan negara asing, seperti Inggris dan Italia, terhadap pemerintah pada saat sekarang ini telah menyebabkan munculnya semangat keislaman yang merupakan pilar hakiki dan sumber kekuatan moral bagi beberapa pemerintahan yang sejak lama berlalu. Selain itu, ia akan menjadi sarana untuk membangkitkan syiar-syiar Islam guna melawan berbagai bid’ah. Anehnya, mengapa Anda sangat menen- tang peperangan tersebut dan memohon kepada Allah agar konflik yang ada bisa terselesaikan secara damai dan aman? Dengan begitu, Anda telah berpihak pada pemerintah yang dipimpin oleh para pem- buat bid’ah. Bukankah tindakan tersebut merupakan bentuk loyalitas kepada berbagai bid’ah?!

    Jawaban dari pertanyaan di atas adalah sebagai berikut: Kami memang meminta jalan keluar, kelapangan, dan kemenangan kepada Allah. Tetapi bukan lewat pedang orang-orang kafir. Bahkan kami berharap semoga pedang-pedang itu menghancurkan mereka. Kami tidak membutuhkan dan tidak mengharapkan keuntungan dari kekuatan mereka. Sebab, orang-orang asing itulah yang telah menggiring para munafik untuk menyerang kaum beriman. Mereka pula yang mendidik para zindik tersebut.

    Adapun musibah peperangan merupakan sesuatu yang sangat membahayakan pengabdian kami terhadap al-Qur’an. Sebab, usia sebagian besar saudara-saudara kami yang aktif bekerja dan berkorban tidak lebih dari empat puluh lima tahun. Mereka terpaksa pergi berperang meninggalkan pengabdian suci terhadap al-Qur’an. Seandainya aku mempunyai cukup uang, dengan sangat ridha akan kukeluarkan demi menyelamatkan mereka. Bahkan walaupun gantinya sebesar seribu lira. Bergabungnya saudara-saudara kami dalam militer, dan keikutsertaan mereka dalam jihad fisik merupakan kerugian besar bagi pengabdian kami. Aku merasa ia setara dengan lebih dari seratus ribu lira. Bahkan bergabungnya Zakâi ke dalam wamil selama kurang lebih dua tahun menyebabkan kami kehilangan lebih dari seribu lira diukur dari sisi maknawi.

    Namun demikian, Allah Dzat Yang Mahakuasa dan Agung Yang membersihkan wajah langit yang berawan dan menampakkan matahari yang terang juga sangat mampu untuk menghilangkan “awan hitam” yang gelap, serta sangat mampu untuk menampakkan berbagai hakikat syariah-Nya—seperti matahari yang bersinarde- ngan mudah. Kami mengharapkan hal ini dari rahmat-Nya yang luas. Kami memohon kepada-Nya agar hal itu tidak dibayar dengan harga mahal. Juga agar kepala para pimpinan itu diberi akal, dan kalbu mereka diberi iman. Inilah yang kami minta. Ketika ia terwujud, semua urusan akan menjadi stabil.

    Pertanyaan Keempat

    Mereka bertanya, “Selama di tangan Anda ada cahaya, bukan “pentung”, maka tidak bisa dilawan dengan cahaya tersebut, tidak bisa lari darinya dan tidak menimbulkan bahaya ketika disampaikan. Jika demikian, mengapa Anda masih menyuruh teman-teman Anda untuk bersikap waspada dan melarang mereka untuk memperlihatkan Risalah Nur kepada semua orang?”

    Jawaban dari pertanyaan di atas secara singkat adalah sebagai berikut: Kepala para pemimpin sedang linglung. Mereka tidak mem- baca. Jika membaca, mereka tidak bisa memahami. Akhirnya mereka akan menafsirkannya secara salah, lalu mereka menentang dan menyerang. Maka dari itu, agar terhindar dari serangan tersebut kami tidak boleh menyebarkan Risalah Nur kepada mereka sampai mereka kembali sadar.

    Selanjutnya, ada banyak orang yang rusak hati nuraninya yang mengingkari cahaya dan menutup mata terhadapnya akibat dendam, ketakutan atau tamak mereka. Oleh karena itu, aku menasihati saudara-saudaraku untuk bersikap waspada dan jangan memberikan hakikat-hakikat ini kepada orang-orang yang tidak layak serta tidak boleh melakukan sesuatu yang membuat mereka curiga.(*[2])

    Penutup

    Hari ini, aku menerima sebuah surat dari Ra’fat. Sehubungan dengan pertanyaannya mengenai janggut Nabi , aku menegaskan bahwa ada sebuah hadis yang mengatakan bahwa jumlah bulu yang jatuh dari dagu (janggut) beliau sangat terbatas, jumlahnya sedikit, yaitu sekitar empat puluh sampai lima puluh. Atau, tidak lebih dari lima puluh dan enam puluh rambut. Tetapi keberadaan rambut beliau di ribuan tempat kemudian membuatku berpikir dan merenung.

    Lalu ketika itu terlintas dalam pikiranku hal sebagai berikut:Janggut beliau yang sekarang ini ada di setiap tempat, bukan janggut beliau semata, tetapi bisa jadi termasuk rambut kepala beliau. Sebab, para sahabat yang tidak pernah menyia-nyiakan apa pun yang berasal dari beliau telah menjaga rambut-rambut yang bersinar, pe- nuh berkah, dan kekal itu. Rambut-rambut tersebut berjumlah lebih dari seribu. Inilah yang mungkin ada sekarang.

    Terlintas pula dalam pikiranku, apakah rambut yang ada di setiap masjid seperti terdapat dalam hadis sahih juga merupakan rambut beliau sehingga kunjungan kita kepadanya merupakan sesuatu yang maqbul?

    Tiba-tiba terbetik dalam benakku bahwa dorongan untuk mengunjungi rambut-rambut tersebut hanyalah merupakan perantara semata. la adalah sarana yang menyebabkan kita mengirimkan salawat kepada Rasul. Serta merupakan sumbu cinta dan penghormatan kita kepada beliau. Karena itu, jangan terfokus kepada sarananya semata. Tetapi posisikan ia sebagai sarana sehingga kalaupun ia bukan rambut beliau yang hakiki, ia tetap berfungsi sebagai sarana. Jadi, rambut tersebut merupakan sarana dan perantara untuk menghormati, mencintai, dan mengirimkan salawat kepada beliau.Dengan demikian, tidak perlu ada sanad kuat untuk memastikan dan menentukan keberadaan rambut tersebut. Yang penting tidak ada dalil kuat yang bertentangan dengannya. Sebab, apa yang diterima oleh orang-orang, serta apa yang direspon dan diridhai oleh umat sudah menjadi sejenis dalil. Bahkan meskipun ada sebagian orang yang keberatan dengan hal tersebut, entah karena ketakwaan mereka ataupun karena kehati-hatian mereka, keberatan tersebut hanya tertuju pada rambut-rambut tertentu saja. Meskipun mereka katakan bid’ah, maka ia termasuk ke dalam bid’ah hasanah (baik), sebab menjadi sarana untuk bersalawat kepada Rasul.

    Dalam surat tersebut, Ra’fat berkata bahwa masalah ini telah menjadi bahan perdebatan di antara saudara-saudara. Maka aku mewasiatkan kepada saudara-saudara semua untuk tidak berdebat dalam hal yang bisa menyebabkan timbulnya perpecahan. Yang wajib mereka lakukan adalah belajar berdiskusi tanpa disertai perselisihan dan dalam kerangka tukar pikiran.


    بِاس۟مِهٖ سُب۟حَانَهُ وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَم۟دِهٖ

    اَلسَّلَامُ عَلَي۟كُم۟ وَ رَح۟مَةُ اللّٰهِ وَ بَرَكَاتُهُ

    Saudara-saudaraku yang mulia yang berasal dari Senirkent:(*[3])Ibrahim, Syukri, Hafidz Bakir, Hafidz Husein, dan Hafidz Rajab.

    Tiga persoalan (pertanyaan) yang kalian kirimkan lewat Hafidz Taufiq sudah sejak lama dibantah oleh para ateis:

    Pertama

    makna lahiriah dari firman Allah:“Ketika dia (Dzulqarnain) telah sampai ke tempat terbenam matahari, ia mendapati matahari tersebut terbenam pada air yang keruh.” (QS. al-Kahfi [18]: 86), adalah bahwa Dzulqarnain telah melihat terbenamnya matahari di sumber air yang keruh dan hangat.

    Kedua

    di mana letak dinding Dzulqarnain?

    Ketiga

    tentang turunnya Nabi Isa , serta bagaimana Ia mem- bunuh Dajjal di akhir zaman nanti.

    Jawaban atas berbagai pertanyaan di atas cukup panjang. Namun, kami akan menjelaskannya secara singkat sebagai berikut:

    Ayat-ayat al-Qur’an tersusun dalam gaya bahasa Arab dan dengan bentuk lahiriah yang bisa dipahami oleh manusia pada umumnya. Karena itu, banyak sekali persoalan yang dipaparkan lewat permisalan dan kiasan.

    Demikianlah, maksud dari firman Allah yang berbunyi:تَغ۟رُبُ فٖى عَي۟نٍ حَمِئَةٍadalah bahwa Dzulqarnain telah menyaksikan matahari terbenam di suatu tempat yang menyerupai mata air yang keruh dan hangat, di pantai Laut Barat. Atau, ia menyaksikan terbenamnya matahari di mata air gunung vulkanik yang berapi dan berasap. Dengan kata lain, secara lahiriah, Dzulqarnain menyaksikan terbenamnya matahari di pantai Laut Barat dan di salah satu bagian darinya yang dari jauh tampak seperti kubangan air yang luas. Jadi, ia menyaksikan matahari tersebut terbenam dari balik asap tebal yang menguap dari air yang berada di pantai Laut Barat disebabkan oleh hawa panas matahari musim kemarau. Atau, Dzulqarnain menyak- sikan matahari itu tertutup oleh mata air yang menyembur di atas puncak gunung berapi yang menumpahkan lava bercampur tanah, batu, dan barang tambang cair.

    Dengan kalimat di atas, al-Qur’an ingin menunjukkan banyak hal: Pertama, perjalanan Dzulqarnain ke arah Barat, di waktu yang sangat panas, ke wilayah yang berair, searah dengan terbenamnya matahari, dan pada saat meletusnya gunung berapi, semua itu dimaksudkan oleh al-Qur’an untuk menunjukkan berbagai persoalan yang penuh dengan pelajaran. Di antaranya adalah pendudukan Dzulqarnain atas Afrika.

    Seperti yang kita ketahui, gerakan matahari adalah gerakan yang bisa terlihat secara lahiriah. Ia menjadi petunjuk adanya gerakan bumi yang tersembunyi dan tak terasa sekaligus memberitakan tentang adanya gerakan tersebut. Jadi, yang dimaksud di sini bukan hakikat terbenamnya matahari.(*[4])Selanjutnya, kata “mata air” adalah kiasan. Sebab, laut luas yang terlihat dari jauh itu seperti telaga kecil. Maka, menyerupakan laut yang terlihat dari balik uap yang berasal dari genangan air dan di- sertai hawa panas dengan mata air yang keruh mengandung rahasia mendalam dan kaitan yang sangat kuat.(*[5])

    Sebagaimana terbenamnya matahari dari jauh bagi Dzulqarnain tampak seperti itu, maka ungkapan al-Qur’an yang turun dari arasy-Nya yang agung tersebut sangat sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya. Di situ disebutkan bahwa matahari yang berposisi sebagai penerang tempat jamuan Tuhan bersembunyi di balik “mata” Ilahi yang berupa Laut Barat sekaligus—dengan gaya bahasanya yang mengagumkan—ditegaskan bahwa laut adalah “mata air” panas. Demikianlah kondisi laut terlihat bagi “mata-mata langit”.

    Kesimpulan Penyebutan Laut Barat dengan air yang keruh hanya berlaku bagi Dzulqarnain yang dari jauh ia melihat laut tersebut seperti sumber mata air. Adapun pandangan al-Qur’an yang dekat dengan segala sesuatu, ia tidak melihatnya dalam perspektif Dzulqarnain yang penglihatannya telah tertipu. Tetapi, karena al-Qur’an turun dari langit sekaligus melihatnya, serta karena ia menyaksikan bumi sebagai lapangan, istana, atau kadangkala sebagai hamparan, maka penggu- naan kata “mata air” untuk lautan luas tersebut, yaitu Lautan Atlantik, yang tertutup oleh asap adalah untuk menjelaskan ketinggian, kemuliaan, dan keagungannya.

    Pertanyaan Kedua

    Di mana letak dinding Dzulqarnain? Dan siapa itu Ya’juj dan Ma’juj?

    Sebagai jawabannya, dulu aku pernah menulis risalah seputar hal ini. Ketika itu, aku mengetengahkan argumen yang kuat. Namun, sekarang aku tidak lagi memiliki risalah tersebut dan aku pun sudah tak mampu lagi mengingatnya secara utuh. Selain itu, persoalan ini juga telah sedikit disinggung dalam ranting ketiga dari “Kalimat Kedua Puluh Empat” dalam buku al-Kalimât. Karenanya, secara sangat singkat, di sini kami akan menjelaskan dua atau tiga hal yang mengacu kepada persoalan tersebut. Yaitu:

    Berdasarkan penjelasan para peneliti serta dengan melihat nama sejumlah raja Yaman yang selalu dimulai dengan kata Dzul, maka yang dimaksud dengan Dzulqarnain di sini bukanlah Iskandar ar-Rumi yang berasal dari Makedonia. Tetapi ia adalah salah seorang raja Yaman(*[6])yang hidup semasa dengan Nabi Ibrahim (*[7])dan telah menerima pelajaran dari Nabi Khidir .(*[8])Sedangkan Iskandar ar-Rumi (berasal dari Romawi) hidup tiga ratus tahun sebelum masehi dan belajar pada Aristoteles.(*[9])

    Sejarah manusia hanya mampu mencatat sampai tiga ribu tahun yang lalu. Tinjauan sejarah yang terbatas ini tidak mampu menetapkan secara tepat berbagai peristiwa yang terjadi sebelum masa Ibrahim. Berbagai peristiwa tersebut bisa jadi disebutkan dalam kondisi bercampur dengan khurafat, atau sebagai penolakan, atau ia hanya dipaparkan secara sangat singkat.Adapun faktor penyebab yang membuat nama Dzulqarnain selalu diidentikkan dengan Iskandar di atas dalam berbagai kitab tafsir dikarenakan salah satu nama Dzulqarnain adalah Iskandar. Dialah Iskandar agung dan Iskandar Kuno.

    Atau juga alasannya karena al-Qur’an ketika menyebutkan sebuah peristiwa parsial, ia menyebutkannya sebagai bagian dari berbagai peristiwa yang bersifat umum. Iskandar Agung yang merupakan Dzulqarnain, sebagaimana lewat petunjuk kenabian telah membuat tembok Cina yang terkenal sebagai pembatas antara kaum penganiaya dan kaum yang teraniaya sekaligus untuk membendung invasi mereka, maka para pemimpin besar lainnya seperti Iskandar ar-Rumi dan raja-raja kuat lainnya telah mengikuti langkah Dzulqarnain dari sisi fisik dan materi. Sementara beberapa nabi dan wali yang merupakan pemimpin spiritual bagi umat manusia mengikuti jejak beliau dari sisi spiritual dan pe- ngajaran. Mereka mendirikan berbagai dinding pembatas di antara pegunungan sebagai salah satu sarana penting untuk menyelamatkan orang-orang yang teraniaya dari kejahatan manusia zalim. Mereka juga membangun benteng-benteng di puncak pegunungan. Lalu benteng tersebut mereka perkuat dengan kekuatan mereka atau dengan berbagai instruksi, pengarahan, dan perencanaan. Bahkan mereka juga membangun pagar-pagar di sekitar kota, benteng, dan di tengah-tengah kota. Hingga pada akhirnya mereka juga memakai fasilitas lain berupa artileri berat dan sejenis mobil lapis baja.

    Dinding yang dibangun oleh Dzulqarnain merupakan dinding paling terkenal di dunia. Panjang dinding yang disebut Tembok Cina sejarak perjalanan beberapa hari. Dinding tersebut dibangun untuk menahan serangan bangsa-bangsa jahat yang oleh al-Qur’an diberi nama Ya’juj dan Ma’juj. Sementara sejarah menyebut mereka dengan bangsa Mongolia dan Manchuria yang selalu merusak peradaban umat manusia. Mereka muncul dari balik Pegunungan Himalaya. Lalu mereka membinasakan rakyat jelata serta merusak berbagai negeri, baik yang ada di Barat maupun di Timur. Maka, keberadaan dinding yang dibangun di antara dua rangkaian Pegunungan Himalaya menjadi penahan serangan kaum yang buas itu sekaligus menjadi penghalang dari serangan yang seringkali mereka lakukan terhadap bangsa yang teraniaya di China dan India. Sebagaimana Dzulqar- nain membangun dinding tersebut, banyak pula dinding-dinding lainnya yang dibangun atas keinginan para penguasa Iran Kuno di pegunungan Kaukasus di celah sempit untuk berlindung dari perampasan, pendudukan, dan invasi Bangsa Tatar. Dan masih banyak sekali dinding-dinding pembatas semacam itu.Karena al-Qur’an berbicara kepada seluruh umat manusia, maka ia secara tegas menyebutkan satu peristiwa yang dengan itu ia mengingatkan berbagai peristiwa serupa Iainnya.

    Dilihat dari perspektif ini, banyak sekali riwayat dan komentar para ahli tafsir seputar dinding, Ya’juj, dan Ma’juj.

    Kemudian al-Qur’an berpindah dari satu peristiwa kepada peristiwa lainnya yang jauh karena melihat adanya korelasi dan keter- kaitan konteks pembicaraan. Sehingga orang yang tidak mengetahui adanya korelasi tersebut akan menduga bahwa masa terjadinya dua peristiwa tersebut berdekatan. Demikianlah, ketika al-Qur’an menceritakan tentang kedatangan hari kiamat setelah hancurnya dinding pembatas tersebut, hal itu bukan karena jangka waktu antara dua peristiwa di atas berdekatan, tetapi karena keduanya mempunyai korelasi. Yaitu, sebagaimana dinding itu akan hancur, demikian pula dengan dunia.

    Yani bu set nasıl harap olacak, öyle de dünya harap olacaktır. Hem nasıl ki fıtrî ve İlahî setler olan dağlar metindir ancak kıyametin kopmasıyla harap olurlar, öyle de bu set dahi dağ gibi metindir ancak dünyanın harap olmasıyla hâk ile yeksan olabilir. İnkılabat-ı zaman tahribat yapsa da çoğu sağlam kalır demektir. Evet, Sedd-i Zülkarneyn’in külliyetinden bir ferdi olan Sedd-i Çinî binler sene yaşadığı halde daha meydanda duruyor. İnsanın eliyle zemin sahifesinde yazılan, mücessem, mütehaccir, manidar tarih-i kadîmden uzun bir satır olarak okunuyor.

    Üçüncü Sualiniz

    Hazret-i İsa aleyhisselâmın Deccal’ı öldürmesi hem Birinci Mektup’ta ve hem On Beşinci Mektup’ta gayet muhtasar ve size kâfi bir cevap vardır.


    بِاس۟مِهٖ وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَم۟دِهٖ

    اَلسَّلَامُ عَلَي۟كُم۟ وَ رَح۟مَةُ اللّٰهِ وَ بَرَكَاتُهُ

    Aziz, fedakâr, sıddık, vefadar kardeşlerim Hoca Sabri (rh) ve Hâfız Ali (rh)

    Mugayyebat-ı Hamseye dair

    Sure-i Lokman’ın âhirindeki âyetin hakkında mühim sualiniz gayet mühim bir cevap isterken, maatteessüf şimdiki halet-i ruhiyem ve ahval-i maddiyem o cevaba müsait değildir. Yalnız sualinizin temas ettiği bir iki noktaya gayet mücmel işaret edeceğiz.

    Şu sualinizin meali gösteriyor ki ehl-i ilhad tarafından tenkit suretinde mugayyebat-ı hamseden yağmurun gelmek vaktine ve rahm-ı maderdeki ceninin keyfiyetine itiraz edilmiş.

    Demişler ki: “Rasathanelerde bir âletle yağmurun vakt-i nüzulü keşfediliyor. Onu da Allah’tan başkası da biliyor. Hem röntgen şuâıyla rahm-ı maderdeki ceninin müzekker, müennes olduğu anlaşılıyor. Demek, mugayyebat-ı hamseye ıttıla kabildir?”

    Elcevap: Yağmurun vakt-i nüzulü bir kaideye merbut olmadığı için doğrudan doğruya meşiet-i hâssa-i İlahiye ile bağlı ve hazine-i rahmetten hususi iradeye tabi olduğunun bir sırr-ı hikmeti şudur ki:

    Kâinatta en mühim hakikat ve en kıymettar mahiyet; nur, vücud ve hayat ve rahmettir ki bu dört şey perdesiz, vasıtasız, doğrudan doğruya kudret-i İlahiye ve meşiet-i hâssa-i İlahiyeye bakar. Sair masnuatta zâhirî esbab, kudretin tasarrufuna perde oluyorlar. Ve muttarid kanunlar ve kaideler, bir derece irade ve meşiete hicab oluyor. Fakat vücud, hayat ve nur ve rahmette o perdeler konulmamış. Çünkü perdelerin sırr-ı hikmeti o işte cereyan etmiyor.

    Madem vücudda en mühim hakikat, rahmet ve hayattır; yağmur, hayata menşe ve medar-ı rahmet, belki ayn-ı rahmettir. Elbette vesait perde olmayacak. Kaide ve yeknesaklık dahi meşiet-i hâssa-i İlahiyeyi setretmeyecek; tâ ki her vakit, herkes, her şeyde şükür ve ubudiyete ve sual ve duaya mecbur olsun. Eğer bir kaide dâhilinde olsaydı o kaideye güvenip şükür ve rica kapısı kapanırdı. Güneşin tulûunda ne kadar menfaatler olduğu malûmdur. Halbuki muttarid bir kaideye tabi olduğundan güneşin çıkması için dua edilmiyor ve çıkmasına dair şükür yapılmıyor. Ve ilm-i beşerî o kaidenin yoluyla yarın güneşin çıkacağını bildiği için gaibden sayılmıyor.

    Fakat yağmurun cüz’iyatı bir kaideye tabi olmadığı için her vakit insanlar rica ve dua ile dergâh-ı İlahiyeye ilticaya mecbur oluyorlar. Ve ilm-i beşerî, vakt-i nüzulünü tayin edemediği için sırf hazine-i rahmetten bir nimet-i hâssa telakki edip hakiki şükrediyorlar.

    İşte bu âyet, bu nokta-i nazardan yağmurun vakt-i nüzulünü, mugayyebat-ı hamseye idhal ediyor.

    Rasathanelerdeki âletle, bir yağmurun mukaddimatını hissedip vaktini tayin etmek, gaibi bilmek değil belki gaibden çıkıp âlem-i şehadete takarrubu vaktinde bazı mukaddimatına ıttıla suretinde bilmektir. Nasıl, en hafî umûr-u gaybiye vukua geldikte veyahut vukua yakın olduktan sonra hiss-i kable’l-vukuun bir neviyle bilinir. O, gaybı bilmek değil belki o, mevcudu veya mukarrebü’l-vücudu bilmektir. Hattâ ben kendi âsabımda bir hassasiyet cihetiyle yirmi dört saat evvel, gelecek yağmuru bazen hissediyorum. Demek yağmurun mukaddimatı, mebâdileri var. O mebâdiler, rutubet nevinden kendini gösteriyor, arkasından yağmurun geldiğini bildiriyor. Bu hal, aynen kaide gibi ilm-i beşerin gaibden çıkıp daha şehadete girmeyen umûra vusule bir vesile olur.

    Fakat daha âlem-i şehadete ayak basmayan ve meşiet-i hâssa ile rahmet-i hâssadan çıkmayan yağmurun vakt-i nüzulünü bilmek, ilm-i Allâmü’l-guyub’a mahsustur.

    Kaldı ikinci mesele

    Röntgen şuâıyla rahm-ı maderdeki çocuğun erkek ve dişisini bilmek ile وَ يَع۟لَمُ مَا فِى ال۟اَر۟حَامِ âyetinin meal-i gaybîsine münafî olamaz. Çünkü âyet yalnız zükûret ve ünûset keyfiyetine değil belki o çocuğun acib istidad-ı hususisi ve istikbalde kesbedeceği vaziyetine medar olan mukadderat-ı hayatiyesinin mebâdileri, hattâ simasındaki gayet acib olan sikke-i samediyet muraddır ki çocuğun o tarzda bilinmesi, ilm-i Allâmü’l-guyub’a mahsustur. Yüz bin röntgen-misal fikr-i beşerî birleşse yine o çocuğun umum efrad-ı beşeriyeye karşı birer alâmet-i farikası bulunan yalnız hakiki sima-yı vechiyesini keşfedemez. Nerede kaldı ki sima-yı vechî sikkesinden yüz defa daha hârika olan istidadındaki sima-yı manevîyi keşfedebilsin.

    Başta dedik ki vücud ve hayat ve rahmet, bu kâinatta en mühim hakikatlerdir ve en mühim makam onlarındır. İşte onun için o câmi’ hakikat-i hayatiye, bütün incelikleriyle ve dekaikiyle irade-i hâssaya ve rahmet-i hâssaya ve meşiet-i hâssaya bakmalarının bir sırrı şudur ki: Hayat, bütün cihazatıyla ve cihatıyla şükür ve ubudiyet ve tesbihin menşe ve medarı olduğundandır ki irade-i hâssaya hicab olan yeknesaklık ve kaidelik ve rahmet-i hâssaya perde olan vesait-i zâhiriye konulmamıştır.

    Cenab-ı Hakk’ın rahm-ı maderdeki çocukların sima-yı maddî ve manevîlerinde iki cilvesi var:

    Birisi: Vahdetini ve ehadiyetini ve samediyetini gösterir ki o çocuk, aza-yı esasîde ve cihazat-ı insaniyenin envaında sair insanlarla muvafık ve mutabık olduğu cihetle, Hâlık ve Sâni’inin vahdetine şehadet ediyor. O cenin bu lisan ile bağırıyor ki: “Bana bu sima ve azayı veren kim ise bütün esasat-ı azada bana benzeyen bütün insanların sâni’i dahi odur. Ve hem bütün zîhayatın sâni’i odur.”

    İşte rahm-ı maderdeki ceninin bu lisanı, gaybî değil, kaideye ve ıttırada ve nevine tabi olduğu için malûmdur, bilinebilir. Âlem-i şehadetten âlem-i gayba girmiş bir daldır ve bir dildir.

    İkinci cihet: Sima-yı istidadiye-i hususiyesi ve sima-yı vechiye-i şahsiyesi lisanıyla Sâni’inin ihtiyarını, iradesini ve meşietini ve rahmet-i hâssasını ve hiçbir kayıt altında olmadığını, bağırıp gösteriyor. Fakat bu lisan, gaybü’l-gaybdan geliyor. İlm-i ezelîden başkası, kable’l-vücud bunu göremiyor ve ihata edemiyor. Rahm-ı maderde iken bu simanın binde bir cihazatı görünmekle bilinmiyor!

    Elhasıl, ceninin sima-yı istidadîsinde ve sima-yı vechiyesinde hem delil-i vahdaniyet var hem ihtiyar ve irade-i İlahiyenin hücceti vardır.

    Eğer Cenab-ı Hak muvaffak etse mugayyebat-ı hamseye dair bazı nükteler yazılacaktır. Şimdilik bundan fazla vaktim ve halim müsaade etmedi, hâtime veriyorum.

    اَل۟بَاقٖى هُوَ ال۟بَاقٖى

    Said Nursî

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ


    1. *Lihat (seputar “sedikit sedekah bisa menolak banyak bala”) al-‘Ajlûni, Kasyf al- Khafâ, 2/30.
    2. *Sebuah peristiwa kecil yang bisa menimbulkan masalah besar: Dua hari yang lalu, Muhammad (Ipar salah seorang saudara kita) mengunjungiku. Dengan perasaan senang, ia menyampaikan kabar gembira, “Orang-orang di Isparta mencetak salah satu bukumu, dan banyak yang membacanya”. Aku menjawab, “Pencetakan tersebut tidaklah terlarang. Ia diambil dari salinan yang ada. Pemerintah juga tidak berkeberatan. Selanjutnya, aku berkata kepadanya, “Jangan beritahukan berita ini kepada dua orang temanmu yang munafik itu. Sebab, keduanya mencari-cari hal-hal semacam ini untuk dijadikan sebagai alasan menyerang.” Demikianlah wahai saudara-saudaraku, meskipun orang ini ipar dari saudara kita sehingga dengan hubungan tersebut ia termasuk orang yang kucintai. Namun sebagai tukang cukur, ia adalah sahabat bagi seorang guru yang tidak memiliki hati nurani dan seorang pemimpin munafik. Salah seorang dari saudara kita di sana telah menyampaikan informasi tersebut kepadanya tanpa sepengetahuannya. Untung saja dia memberitahukan kepadaku sebelumnya sehingga aku mengingatkannya. Dalam hal ini, aku juga mengingatkan saudara-saudaraku yang lain sehingga dampak negatifnya bisa dihindarkan. Akhirnya, mesin cetak mencetak ribuan salinan di bawah tabir ini—Penulis.
    3. *Sebuah Kecamatan yang dekat dengan perkampungan Barla; tempat pengasingan ustadz Said Nursi.
    4. *Dalam tafsir al-Baidhâwi disebutkan, “Barangkali Dzulqarnain mencapai pan- tai, lalu di sana ia melihatnya seperti itu. Pasalnya, dalam pandangannya yang terlihat hanyalah air. Karena itu, al-Qur’an mengatakan ‘ia mendapati matahari terse- but terbenam’, bukan ‘matahari tersebut terbenam’.
    5. *Penggunaan kata عَيْنٍ dalam ayat عَيْنٍ حَمِئَةٍ menyiratkan makna indah dan ra- hasia balagah yang mendalam. Yaitu bahwa dengan matahari, langit bisa menyaksikan keindahan Allah di bumi, dan sebaliknya dengan mata (laut) bumi bisa melihat keagungan Allah di langit. Ketika keduanya (mata langit dan mata bumi) bekerja, maka seluruh mata yang ada di permukaan bumi berfungsi. Jadi, hanya dengan satu kata dan dengan sangat singkat, ayat al-Qur’an di atas menjelaskan makna indah tersebut seraya menunjukkan apa yang bisa mengakhiri fungsi seluruh mata—Penulis.
    6. *Lihat: Abu as-Su’ûd, Tafsir Abu as-Su’ûd, 5/239-240; Ibnu Hajar, Fath al-Bârî, 6/385; dan al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, 16/27.
    7. *Lihat: al-Faqîhi, Akhbâru Makkah, 3/221; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al- Qur’ân, 11/47; Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân, 1/180; 3/101; dan Ibnu Hajar, Fath al-Bârî, 6/382.
    8. *Lihat: al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 11/47.
    9. *Lihat: Ibnu Hajar, Fath al-Bârî, 6/382-383; asy-Syaukâni, Fath al-Qadîr, 3/307; al-Hamawi, Mu’jam al-Buldân, 1/184.