KALIMAT KEENAM BELAS

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    14.21, 6 Kasım 2024 tarihinde Ferhat (mesaj | katkılar) tarafından oluşturulmuş 178450 numaralı sürüm ("Wahai diri yang penuh waswas dan melampaui batas! Engkau berkata bahwa firman Allah yang berbunyi:" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    Diğer diller:


    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

    “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu cukup berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ Maka terjadilah ia. Maka Mahasuci (Allah) yang di tangan-Nya terdapat kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nyalah kalian dikembalikan.” (QS. Yâsîn [36]: 82-83).

    Kalimat ini ditulis untuk memberikan basirah kepada jiwa yang buta ini, untuk menghapus kegelapan, serta untuk membuatnya ten- teram. Hal itu dengan cara memperlihatkan kepadanya empat kilau cahaya ayat al-Qur’an di atas.

    KILAU PERTAMA

    Wahai jiwaku yang bodoh, engkau berkata bahwa keesaan Dzat Allah dengan perbuatan-Nya yang bersifat universal, kesatuan Dzat-Nya dengan rububiyah-Nya yang bersifat integral tanpa ada pe- nolong, ketunggalan-Nya dengan aktivitas-Nya yang bersifat kom- prehensif tanpa ada sekutu, kehadiran-Nya pada setiap tempat tanpa terikat dengan tempat, dengan kemuliaan-Nya yang mutlak dekat dengan segala sesuatu, serta dengan keesaan-Nya segala sesuatu berada dalam genggaman-Nya, semuanya merupakan hakikat al-Qur’an. Lalu engkau berkata bahwa al-Qur’an bersifat hakîm (bijak dan penuh hikmah). Sementara sesuatu yang bijak tidak akan membebani akal dengan sesuatu yang tidak bisa ia terima. Dalam hal ini, akal melihat adanya kontradiksi secara lahiriah. Karena itu, aku meminta penjelas- an yang bisa membuat akal ini mau menerima.

    Jawaban: jika demikian keadaannya dan jika engkau meminta penjelasan tentang hal itu untuk mendapatkan ketenteraman, maka dengan mengacu kepada limpahan makna al-Qur’an kami ingin me- negaskan bahwa:Nama an-Nur sebagai salah satu Asmaul Husna telah memecah- kan banyak persoalan yang ada. Dengan izin Allah, ia juga akan me- mecahkan persoalan ini. Kami ingin menyatakan sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Rabbani Ahmad al-Faruqi as-Sirhindi, seraya memberikan perumpamaan yang jelas bagi akal dan penerang hati:

    “Aku bukan malam dan bukan penyembah malam. Aku pelayan mentari hakikat dan dari sana aku memberimu penjelasan”

    Karena perumpamaan merupakan cermin paling terang yang memantulkan kemukjizatan al-Qur’an, kami juga akan melihat rahasia ini lewat sebuah perumpamaan sebagai berikut:

    Seseorang memiliki sifat universal dengan perantaraan beragam cermin. Meski hakikatnya bersifat “parsial”, namun kemudian menjadi “universal” dengan memiliki berbagai sifat yang komprehensif. Sebagai contoh, matahari sejatinya bersifat parsial. Akan tetapi, dengan perantaraan sejumlah entitas yang transparan ia menjadi se- perti universal sehingga meliputi seluruh muka bumi lewat bayangan dan pantulannya. Bahkan ia memiliki manifestasi sebanyak tetesan air dan partikel yang berkilau. Panas dan cahaya matahari berikut tujuh warnanya masing-masing meliputi segala sesuatu yang ia sinari. Pada waktu yang sama, segala sesuatu yang transparan juga menyerap hawa panas, cahaya, dan tujuh warna tersebut. Ia menjadikan kalbunya yang suci sebagai singgasana baginya.

    Artinya, sebagaimana dengan sifat kesatuannya, matahari meli- puti segala sesuatu yang ada di hadapannya, dilihat dari ketunggalan- nya ia juga terwujud dalam satu jenis manifestasi zatnya pada segala sesuatu disertai beragam karakteristik dan sifatnya.

    Ketika berpindah dari perumpamaan menuju representasi, kami akan menjelaskan tiga jenis perumpamaan guna menjadi landasan untuk memahami perso- alan kita ini:

    Pertama, pantulan atau bayangan benda padat pada sesuatu yang bening bukan merupakan benda aslinya. Ia adalah benda mati dan bu- kan pemilik sifat tertentu selain identitas formalistik dan lahiriahnya. Misalnya, ketika engkau wahai Said masuk ke dalam gudang cermin, maka satu Said akan menjadi seribu Said. Namun yang hidup di antara yang seribu hanya engkau saja. Sementara sisanya tidak memiliki sifat kehidupan.

    Kedua, bayangan benda bercahaya pada sesuatu yang bening bukanlah wujud aslinya, tetapi bukan juga selainnya. Sebab, ia tidak dapat menyerap substansi materi yang bercahaya tersebut, akan teta- pi memiliki sebagian besar sifat darinya sehingga dianggap hidup sepertinya. Misalnya, ketika matahari menyebarkan sinarnya ke bumi, bayangannya tampak pada setiap cermin. Setiap bayangan yang ter- pantul darinya membawa sesuatu yang menyerupai karakteristik ma- tahari, baik cahaya maupun ketujuh warnanya. Andaikan matahari memiliki perasaan, lalu hawa panasnya menjadi sumber kekuatannya, cahayanya menjadi sumber pengetahuannya, dan ketujuh warnanya menjadi ketujuh sifatnya, tentu matahari yang tunggal dan unik itu terdapat pada setiap cermin pada waktu yang bersamaan. Ia pasti menjadikan setiap darinya sebagai singgasana khusus baginya di mana yang satu tidak menghalangi yang lain. Ia dapat mendatangi setiap kita lewat cermin yang ada di tangan kita. Meskipun kita jauh darinya, na- mun ia lebih dekat kepada kita daripada diri kita sendiri.

    Ketiga, bayangan roh bercahaya. Bayangan tersebut hidup dan pada waktu yang sama ia merupakan wujud aslinya. Akan tetapi, kare- na penampakannya sesuai dengan kapasitas banyak cermin, maka sebuah cermin tidak mampu menampung substansi roh tersebut. Misal- nya, pada saat Jibril  hadir di majelis Nabi x dalam sosok sahabat yang bernama Dihyah al-Kalbi, ia bersujud di hadapan Ilahi dengan sayapnya yang besar di depan arasy yang agung. Pada saat yang sama, ia juga terdapat di berbagai tempat yang tak terhingga di mana ia me- nyampaikan perintah-perintah Ilahi. Jadi, perbuatan yang satu tidak menghalangi perbuatan yang lain.

    Dari rahasia ini kita dapat memahami mengapa Rasul x men- dengar salawat seluruh umatnya di seluruh penjuru pada waktu yang bersamaan. Sebab, substansi dan sosok beliau adalah cahaya. Kita juga memahami mengapa Nabi x akan bertemu dengan para ulama di hari kiamat pada waktu bersamaan di mana yang satu tidak meng- halangi beliau dari yang lain. Bahkan disebutkan bahwa para wali yang mendapat limpahan cahaya dan para sosok yang disebut dengan al-Abdâl mereka dapat dilihat pada satu waktu di berbagai tempat. Diriwayatkan bahwa satu orang dapat menunaikan banyak pekerjaan yang berbeda.

    Pasalnya, sebagaimana kaca, air, dan materi sejenis merupakan cermin bagi fisik materi, begitu juga udara, eter, serta entitas dari alam mitsal juga ibarat cermin makhluk spiritual dan sarana perjalanan mereka yang dapat bergerak secepat kilat dan khayalan. Maka, makh- luk ruhaniyyûn itu dapat berkeliling dan berjalan di sejumlah tempat yang halus dan cermin yang suci secepat khayalan. Mereka masuk ke ribuan tempat pada waktu yang bersamaan.

    Sejumlah makhluk lemah dan ditundukkan seperti matahari, ser- ta makhluk “semicayaha” yang terikat dengan materi seperti ruhaniy- yûn (makhluk spiritual), jika mereka bisa terdapat di sejumlah tempat pada waktu bersamaan lewat rahasia cahaya—sebab meski parsial dan terikat, namun ia seperti bersifat universal di mana dengan kehendak parsialnya ia bisa melakukan banyak hal pada saat bersamaan—apala- gi sosok yang bersih dari ikatan materi serta jauh dari segala ikatan, kegelapan, dan kepadatan.

    Bahkan, cahaya dan makhluk bercahaya tersebut tidak lain merupakan bayangan dari cahaya nama-Nya. Le- bih dari itu, semua wujud dan kehidupan, serta alam roh dan mitsal tidak lain merupakan cermin semitransparan untuk memperlihat- kan keindahan Dzat Yang Mahasuci dan Mulia yang sifat-sifat-Nya meliputi segala sesuatu serta atribut-Nya mencakup segala hal. Jadi, adakah gerangan sesuatu yang dapat bersembunyi dari keesaan-Nya di mana ia merupakan manifestasi sifat-sifat-Nya yang komprehensif dan manifestasi perbuatan-Nya lewat kehendak-Nya yang bersifat uni- versal, qudrah-Nya yang bersifat mutlak, dan pengetahuan-Nya yang integral? Adakah sesuatu yang sulit bagi-Nya? Adakah sesuatu yang bisa bersembunyi dari-Nya? Adakah yang jauh dari-Nya? Adakah so- sok yang dapat mendekatinya tanpa mendapat sifat universalitas?

    Ya, lewat cahayanya yang tak terikat dan lewat pantulannya yang berupa pantulan immateri, matahari lebih dekat kepadamu daripada pelupuk matamu sendiri. Namun demikian, engkau sangat jauh dari- nya. Sebab, engkau terikat sehingga harus melepaskan diri dari ba- nyak ikatan dan menempuh banyak tingkatan untuk dapat mendekat dengannya. Sementara untuk mencapai hal ini engkau harus sebesar bumi dan melampaui ketinggian bulan. Setelah itu, barulah engkau bisa mendekat kepada tingkatan asli matahari dan berhadapan de- ngannya secara langsung tanpa hijab.Jika demikian kondisinya terkait dengan matahari, demikian pula dengan Dzat Mahaagung pemilik keindahan dan Dzat Mahain- dah pemilik kesempurnaan. Dia lebih dekat kepadamu daripada sega- la sesuatu. Sementara engkau sangat jauh dari-Nya.

    Jika kalbumu kuat dan akalmu hebat, cobalah menerapkan hal-hal yang telah disebutkan pada perumpamaan di atas dalam hakikat.

    KILAU KEDUA

    Allah berfirman:

    “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ Maka terjadilah ia.” (QS. Yâsîn [36]: 82).“Teriakan itu hanyalah sekali saja, maka tiba-tiba mereka semua dikumpulkan kepada Kami.” (QS. Yâsîn [36]: 53).Wahai diri yang lalai! Engkau berpendapat bahwa ayat di atas dan yang sejenisnya berisi pelajaran bahwa segala sesuatu tercipta hanya dengan sekadar perintah Ilahi. Ia tampil di alam wujud secara sekaligus. Sementara ayat lain yang berbunyi:“Perbuatan Allah yang membuat segala sesuatu menjadi sempur- na...” (QS. an-Naml [28]: 88).“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baik- nya...” (QS. as-Sajadah [32]: 7). Ayat di atas dan yang sejenisnya menjelaskan bahwa segala se- suatu terwujud secara bertahap dengan sebuah qudrah yang agung, pengetahuan yang komprehensif, dan kreasi yang akurat dalam se- buah hikmah yang mendalam. Lalu bagaimana menggabungkan an- tara keduanya?

    Jawaban: berdasarkan limpahan al-Qur’an, kami ingin menegaskan sejumlah hal:

    Pertama, tidak ada kontradiksi antar-ayat di atas. Sebab, seba- gian entitas tercipta sebagaimana pada ayat-ayat pertama, misalnya terkait dengan awal penciptaan. Sementara yang lain terwujud seperti ayat-ayat kedua, misalnya dalam pengulangan ciptaan.

    Kedua, puncak keteraturan dan kerapian yang terlihat pada enti- tas serta keindahan kreasi dan kesempurnaan penciptaan dalam kemu- dahan, kecepatan, kemurahan, dan keluasan menjadi saksi secara pasti atas hakikat dari kedua bagian ayat di atas. Karena itu, ia tidak perlu dijadikan bahan diskusi dan dibuktikan lagi. Yang tepat untuk ditanya- kan adalah apa hikmah di balik dua jenis proses penciptaan tersebut? Untuk itulah kami akan menjelaskan hikmah ini dengan pe- rumpamaan sebagai berikut:

    Seorang kreator yang mahirmisalnya penjahit—mengerah- kan harta, tenaga, dan keahliannya agar bisa menghasilkan kreasi yang indah. Ia membuat sejumlah model untuk kreasinya sehingga ia bisa membuat hal serupa tanpa membutuhkan biaya dan beban lagi dalam waktu yang sangat cepat. Bahkan kadang kala prosesnya demikian mudah hingga seakan-akan ketika menyuruh, pekerjaannya langsung selesai. Sebab, semuanya telah berjalan dengan rapi seperti keteratur- an jam. Seakan-akan pekerjaan yang ada selesai hanya dengan sebuah perintah.

    Nah, Allah lebih daripada itu. Sang Pencipta Yang Mahabijak dan Pembentuk Yang Maha Mengetahui telah mencipta istana alam berikut semua isinya, lalu menghadirkan segala sesuatu di dalamnya, baik yang bersifat parsial maupun universal, dengan takaran tertentu secara sangat rapi menyerupai model tadi.

    Jika engkau memerhatikan karya-Nya di mana Dia Pencipta Yang Mahaazali, pada setiap masa Dia menciptakan model yang Dia pasangkan kepada alam baru yang halus dan berhias mukjizat qudrah- Nya. Pada setiap tahun Dia menghadirkan ukuran atau standar untuk membuat entitas baru lewat rahmat-Nya yang luar biasa. Pada setiap hari Dia menghadirkan tulisan berisi berbagai entitas baru yang ber- hias detail-detail hikmah-Nya.

    Kemudian Dzat Yang Mahakuasa itu di samping menghadirkan model pada setiap masa, tahun, dan hari, Dia menghadirkan muka bumi, bahkan setiap gunung, padang pasir, kebun, pohon, dan bunga sebagai model lalu menciptakan berbagai entitas baru yang serupa di atas bumi. Jadi, Dia menciptakan dunia yang baru lalu mendatangkan alam yang sangat tertata rapi sesudah menarik alam yang sebelumnya.Demikianlah pada setiap musim Allah memperlihatkan berbagai mukjizat kekuasaan-Nya yang bersifat mutlak serta menampakkan se- jumlah hadiah rahmat-Nya yang terus terbarui pada setiap taman dan kebun. Dia menulis sebuah kitab hikmah yang baru, menghadirkan dapur rahmat-Nya, menghias wujud dengan pakaian indah yang baru, sekaligus melepaskan bekas-bekas brokat dan menghiasnya dengan hiasan baru laksana bintang yang gemerlap, dan mengisi tangan-ta- ngannya dengan hadiah rahmat.

    Dzat yang mengerjakan aktivitas di atas dengan sangat rapi dan sempurna, serta Dzat yang mengganti sejumlah alam yang beredar dan tersebar sepanjang zaman secara bergantian dengan penuh hikmah dan kuasa, sudah pasti Mahakuasa, bijak, melihat, dan mengetahui.Unsur kebetulan tidak mungkin campur tangan dalam urusan-Nya. Karena itu, Sang Pencipta Yang Mahaagung berfirman:

    “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ Maka terjadilah ia.” (QS. Yâsîn [36]: 82).“Kejadian kiamat itu hanyalah seperti sekejap mata.” (QS. an- Nahl [16]: 77).Al-Qur’an mengumumkan kesempurnaan qudrah-Nya dan men- jelaskan bahwa kebangkitan dan kiamat sangat mudah bagi qudrah- Nya. Perintah penciptaan-Nya mengandung qudrah dan iradah. Sega- la sesuatu tunduk pada perintah-Nya. Al-Qur’an mengatakan bahwa Dia berbuat apa yang Dia kehendaki dengan sekadar perintah, untuk menjelaskan kemudahan mutlak dalam penciptaan karena Dia men- ciptakan segala sesuatu tanpa keterlibatan dan sentuhan langsung.

    Kesimpulan:Sebagian ayat al-Qur’an mengungkap puncak kerapian dan hik- mah dalam penciptaan segala sesuatu, terutama di awal penciptaan. Sementara sebagian lagi menerangkan kondisi sangat mudah, cepat, dan taat tanpa ada kesulitan sedikit pun dalam menghadirkan segala sesuatu, terutama dalam pengulangan penciptaan.

    KILAU KETIGA

    Wahai diri yang penuh waswas dan melampaui batas! Engkau berkata bahwa firman Allah yang berbunyi:

    بِيَدِهٖ مَلَكُوتُ كُلِّ شَى۟ءٍ ۝ مَا مِن۟ دَٓابَّةٍ اِلَّا هُوَ اٰخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا ۝ وَ نَح۟نُ اَق۟رَبُ اِلَي۟هِ مِن۟ حَب۟لِ ال۟وَرٖيدِ gibi âyetler, nihayet derecede kurbiyet-i İlahiyeyi gösteriyor.

    وَ اِلَي۟هِ تُر۟جَعُونَ ۝ تَع۟رُجُ ال۟مَلٰٓئِكَةُ وَالرُّوحُ اِلَي۟هِ فٖى يَو۟مٍ كَانَ مِق۟دَارُهُ خَم۟سٖينَ اَل۟فَ سَنَةٍ ve hadîste vârid olan “Cenab-ı Hak, yetmiş bin hicab arkasındadır.” ve mi’rac gibi hakikatler, nihayet derecede bu’diyetimizi gösteriyor. Şu sırr-ı gamızı fehme takrib edecek bir izah isterim.

    Elcevap: Öyle ise dinle:

    Evvela, Birinci Şuâ’nın âhirinde demiştik: Nasıl ki güneş, kayıtsız nuruyla ve maddesiz aksi cihetiyle sana, senin ruhun penceresi ve onun âyinesi olan göz bebeğinden daha yakın olduğu halde; sen, mukayyed ve maddede mahpus olduğun için ondan gayet uzaksın. Onun yalnız bir kısım akisleriyle, gölgeleriyle temas edebilirsin ve bir nevi cilveleriyle ve cüz’î tecellileriyle görüşebilirsin ve bir sınıf sıfatları hükmünde olan elvanlarına ve bir taife isimleri hükmünde olan şuâlarına ve mazharlarına yanaşabilirsin.

    Eğer, güneşin mertebe-i aslîsine yanaşmak ve bizzat doğrudan doğruya güneşin zatı ile görüşmek istersen o vakit pek çok kayıtlardan tecerrüd etmekliğin ve pek çok meratib-i külliyetten geçmekliğin lâzım gelir. Âdeta sen, manen tecerrüd cihetiyle küre-i arz kadar büyüyüp, hava gibi ruhen inbisat edip ve kamer kadar yükselip, bedir gibi mukabil geldikten sonra bizzat perdesiz onunla görüşüp bir derece yanaşmak dava edebilirsin.

    Öyle de o Celil-i pür-kemal, o Cemil-i bîmisal, o Vâcibü’l-vücud, o Mûcid-i külli mevcud, o Şems-i sermed, o Sultan-ı ezel ve ebed, sana senden yakındır. Sen, ondan nihayetsiz uzaksın. Kuvvetin varsa temsildeki dekaikı tatbik et.

    Sâniyen: Mesela وَ لِلّٰهِ ال۟مَثَلُ ال۟اَع۟لٰى bir padişahın çok isimleri içinde “kumandan” ismi çok mütedâhil dairelerde tezahür eder. Serasker daire-i külliyesinden tut, müşiriyet ve ferikiyet, tâ yüzbaşı tâ onbaşıya kadar geniş ve dar, küllî ve cüz’î dairelerde de zuhur ve tecellisi vardır. Şimdi bir nefer, hizmet-i askeriyesinde onbaşı makamında tezahür eden cüz’î kumandanlık noktasını merci tutar, kumandan-ı a’zamına şu cüz’î cilve-i ismiyle temas eder ve münasebettar olur. Eğer asıl ismiyle temas etmek, ona o unvan ile görüşmek istese onbaşılıktan tâ serasker mertebe-i külliyesine çıkmak lâzım gelir.

    Demek padişah, o nefere ismiyle, hükmüyle, kanunuyla ve ilmiyle, telefonuyla ve tedbiriyle ve eğer o padişah, evliya-i ebdaliyeden nurani olsa bizzat huzuruyla gayet yakındır. Hiçbir şey mani olup hâil olamaz. Halbuki o nefer gayet uzaktır. Binler mertebeler hâil, binler hicablar fâsıldır. Fakat bazen merhamet eder, hilaf-ı âdet bir neferi huzuruna alır, lütfuna mazhar eder.

    Öyle de “Emr-i kün feyekûn”e mâlik, güneşler ve yıldızlar emirber neferi hükmünde olan Zat-ı Zülcelal, her şeye her şeyden daha ziyade yakın olduğu halde, her şey ondan nihayetsiz uzaktır. Onun huzur-u kibriyasına perdesiz girmek istenilse zulmanî ve nurani, yani maddî ve ekvanî ve esmaî ve sıfâtî yetmiş binler hicabdan geçmek, her ismin binler hususi ve küllî derecat-ı tecellisinden çıkmak, gayet yüksek tabakat-ı sıfâtında mürur edip tâ ism-i a’zamına mazhar olan arş-ı a’zamına urûc etmek; eğer cezb ve lütuf olmazsa binler seneler çalışmak ve sülûk etmek lâzım gelir.

    Mesela sen, ona Hâlık ismiyle yanaşmak istersen; senin hâlıkın hususiyetiyle, sonra bütün insanların hâlıkı cihetiyle, sonra bütün zîhayatların hâlıkı unvanıyla, sonra bütün mevcudatın hâlıkı ismiyle münasebettarlık lâzım gelir. Yoksa zıllde kalırsın, yalnız cüz’î bir cilveyi bulursun.

    Bir ihtar: Temsildeki padişah, aczi için kumandanlık isminin meratibinde müşir ve ferik gibi vasıtalar koymuştur. Fakat بِيَدِهٖ مَلَكُوتُ كُلِّ شَى۟ءٍ olan Kadîr-i Mutlak, vasıtalardan müstağnidir. Vasıtalar, sırf zâhirîdirler; perde-i izzet ve azamettirler. Ubudiyet ve hayret ve acz ve iftikar içinde saltanat-ı rububiyetine dellâldırlar, temaşagerdirler. Muîni değiller, şerik-i saltanat-ı rububiyet olamazlar.

    Dördüncü Şuâ

    İşte ey tembel nefsim! Bir nevi mi’rac hükmünde olan namazın hakikati; sâbık temsilde bir nefer, mahz-ı lütuf olarak huzur-u şahaneye kabulü gibi; mahz-ı rahmet olarak Zat-ı Celil-i Zülcemal ve Mabud-u Cemil-i Zülcelal’in huzuruna kabulündür. “Allahu ekber” deyip, manen ve hayalen veya niyeten iki cihandan geçip, kayd-ı maddiyattan tecerrüd edip bir mertebe-i külliye-i ubudiyete veya küllînin bir gölgesine veya bir suretine çıkıp, bir nevi huzura müşerref olup اِيَّاكَ نَع۟بُدُ hitabına, herkesin kabiliyeti nisbetinde bir mazhariyet-i azîmedir.

    Âdeta, harekât-ı salâtiyede tekrarla “Allahu ekber, Allahu ekber” demekle kat’-ı meratibe ve terakkiyat-ı maneviyeye ve cüz’iyattan devair-i külliyeye çıkmasına bir işarettir ve marifetimiz haricindeki kemalât-ı kibriyasının mücmel bir unvanıdır. Güya her bir “Allahu ekber” bir basamak-ı mi’raciyeyi kat’ına işarettir.

    İşte şu hakikat-i salâttan manen veya niyeten veya tasavvuren veya hayalen bir gölgesine, bir şuâına mazhariyet dahi büyük bir saadettir.

    İşte hacda pek kesretli “Allahu ekber” denilmesi, şu sırdandır. Çünkü hacc-ı şerif bi’l-asale herkes için bir mertebe-i külliyede bir ubudiyettir. Nasıl ki bir nefer, bayram gibi bir yevm-i mahsusta ferik dairesinde bir ferik gibi padişahın bayramına gider ve lütfuna mazhar olur. Öyle de bir hacı, ne kadar âmî de olsa kat’-ı meratib etmiş bir veli gibi umum aktar-ı arzın Rabb-i Azîm’i unvanıyla Rabb’ine müteveccihtir. Bir ubudiyet-i külliye ile müşerreftir.

    Elbette hac miftahıyla açılan meratib-i külliye-i rububiyet ve dürbünüyle nazarına görünen âfak-ı azamet-i uluhiyet ve şeairiyle kalbine ve hayaline gittikçe genişlenen devair-i ubudiyet ve meratib-i kibriya ve ufk-u tecelliyatın verdiği hararet, hayret ve dehşet ve heybet-i rububiyet “Allahu ekber, Allahu ekber” ile teskin edilebilir ve onunla o meratib-i münkeşife-i meşhude veya mutasavvire ilan edilebilir.

    Hacdan sonra şu manayı, ulvi ve küllî muhtelif derecelerde bayram namazında, yağmur namazında, husuf küsuf namazında, cemaatle kılınan namazda bulunur. İşte şeair-i İslâmiyenin velev sünnet kabîlinden dahi olsa ehemmiyeti şu sırdandır.

    سُب۟حَانَ مَن۟ جَعَلَ خَزَائِنُهُ بَي۟نَ ال۟كَافِ وَ النُّونِ

    فَسُب۟حَانَ الَّذٖى بِيَدِهٖ مَلَكُوتُ كُلِّ شَى۟ءٍ وَاِلَي۟هِ تُر۟جَعُونَ

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ

    رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذ۟نَٓا اِن۟ نَسٖينَٓا اَو۟ اَخ۟طَا۟نَا

    رَبَّنَا لَا تُزِغ۟ قُلُوبَنَا بَع۟دَ اِذ۟ هَدَي۟تَنَا وَهَب۟ لَنَا مِن۟ لَدُن۟كَ رَح۟مَةً اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟وَهَّابُ وَصَلِّ وَ سَلِّم۟ عَلٰى رَسُولِكَ ال۟اَك۟رَمِ مَظ۟هَرِ اِس۟مِكَ ال۟اَع۟ظَمِ وَ عَلٰى اٰلِهٖ وَ اَص۟حَابِهٖ وَ اِخ۟وَانِهٖ وَ اَت۟بَاعِهٖ

    اٰمٖينَ يَا اَر۟حَمَ الرَّاحِمٖينَ


    Küçük Bir Zeyl

    Kadîr-i Alîm ve Sâni’-i Hakîm, kanuniyet şeklindeki âdâtının gösterdiği nizam ve intizamla, kudretini ve hikmetini ve hiçbir tesadüf işine karışmadığını izhar ettiği gibi; şüzuzat-ı kanuniye ile âdetinin hârikalarıyla, tagayyürat-ı suriye ile teşahhusatın ihtilafatıyla, zuhur ve nüzul zamanının tebeddülüyle meşietini, iradetini, fâil-i muhtar olduğunu ve ihtiyarını ve hiçbir kayıt altında olmadığını izhar edip yeknesak perdesini yırtarak ve her şey, her anda her şe’nde her şeyinde ona muhtaç ve rububiyetine münkad olduğunu i’lam etmekle gafleti dağıtıp, ins ve cinnin nazarlarını esbabdan Müsebbibü’l-esbab’a çevirir. Kur’an’ın beyanatı şu esasa bakıyor.

    Mesela, ekser yerlerde bir kısım meyvedar ağaçlar bir sene meyve verir, yani rahmet hazinesinden ellerine verilir, o da verir. Öbür sene, bütün esbab-ı zâhiriye hazırken meyveyi alıp vermiyor.

    Hem mesela, sair umûr-u lâzımeye muhalif olarak yağmurun evkat-ı nüzulü o kadar mütehavvildir ki mugayyebat-ı hamsede dâhil olmuştur. Çünkü vücudda en mühim mevki, hayat ve rahmetindir. Yağmur ise menşe-i hayat ve mahz-ı rahmet olduğu için elbette o âb-ı hayat, o mâ-i rahmet, gaflet veren ve hicab olan yeknesak kaidesine girmeyecek. Belki doğrudan doğruya Cenab-ı Mün’im-i Muhyî ve Rahman ve Rahîm olan Zat-ı Zülcelal perdesiz, elinde tutacak; tâ her vakit dua ve şükür kapılarını açık bırakacak.

    Hem mesela, rızık vermek ve muayyen bir sima vermek, birer ihsan-ı mahsus eseri gibi ummadığı tarzda olması; ne kadar güzel bir surette meşiet ve ihtiyar-ı Rabbaniyeyi gösteriyor.

    Daha tasrif-i hava ve teshir-i sehab gibi şuunat-ı İlahiyeyi bunlara kıyas et.