KALIMAT KEDUA PULUH EMPAT

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    17.40, 12 Kasım 2024 tarihinde Ferhat (mesaj | katkılar) tarafından oluşturulmuş 181382 numaralı sürüm ("Kemudian, pahala dan upah berasal dari alam cahaya yang ke- kal di mana satu alam darinya bisa terhimpun pada satu benih, sama seperti bayangan matahari dengan semua bintangnya terhimpun dan terlihat pada satu potong kaca kecil. Demikianlah, membaca satu ayat atau zikir tertentu dengan niat yang ikhlas bisa melahirkan kebeni- ngan di dalam jiwa—laksana kaca—di mana ia dapat menyerap pahala berkilau seperti langit yang luas." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    Diğer diller:


    (Kalimat ini merupakan penjelasan tentang lima dahan. Perhatikan dengan cermat dahan keempat, berpeganglah pada dahan kelima, dan naiklah untuk memetik buahnya)

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

    “Allah, tiada Tuhan selain Dia. Dia memiliki nama-nama yang mulia”(QS. Thâha [20]: 8).

    Kami akan menjelaskan lima dahan dari salah satu hakikat besar yang berasal dari pohon bercahaya yang terkandung dalam ayat di atas:

    DAHAN PERTAMA

    Raja memiliki beragam gelar dalam wilayah kekuasaannya, be- ragam sifat dalam sejumlah strata rakyatnya, serta beragam nama da- lam berbagai tingkatan kerajaannya. Misalnya, ia memiliki nama “Pe- nguasa yang adil” dalam wilayah keadilan, gelar “Raja (Sultan)” dalam wilayah kerajaan, sementara ia juga memiliki nama “Panglima Ter- tinggi” dalam wilayah kemiliteran dan gelar “Khalifah” dalam wilayah kekhalifahan. Demikianlah ia memiliki seluruh nama dan gelar.Pada setiap wilayah kekuasaannya ia memiliki kedudukan dan singgasana laksana arasy maknawi baginya. Bisa saja raja tersebut memiliki seribu satu nama dalam berbagai wilayah kekuasaan dan da- lam sejumlah tingkat pemerintahan. Dengan kata lain, ia bisa memililiki seribu satu arasy atau singgasana yang saling berbaur sehingga seolah-olah sang penguasa itu hadir dalam setiap wilayah daulah- nya sekaligus mengetahui apa yang terjadi di dalamnya lewat sosok maknawinya. Ia menyaksikan dan menjadi saksi pada setiap tingka- tan hukum dan pemerintahannya. Dari balik tabir ia mengawasi dan memimpin semua tingkatan lewat hikmah, pengetahuan, dan kekua- tannya.

    Masing-masing wilayah memiliki markas dan tempat khusus untuknya di mana hukum dan kedudukannya berbeda-beda. Demikianlah, Tuhan Pemelihara semesta alam yang merupa- kan Raja azali dan abadi memiliki berbagai sifat dan gelar yang ber- beda-beda dalam seluruh tingkatan rububiyah-Nya, namun saling mengawasi. Dia memiliki beragam simbol dan nama dalam wilayah uluhiyah-Nya, namun semuanya saling menguatkan. Dia memiliki berbagai manifestasi dalam semua perbuatan dan aktivitas-Nya, na- mun semua saling menyerupai. Dia memiliki beragam simbol dalam wilayah tindakan qudrah-Nya, namun semua saling menopang. Dia memiliki berbagai tampilan suci dalam wilayah wujud sifat-Nya, na- mun semua saling mendukung. Dia memiliki beragam tindakan da- lam manifestasi perbuatan-Nya, namun yang satu dengan yang lain saling menyempurnakan. Serta Dia memiliki berbagai rububiyah yang menakjubkan dalam kreasi dan ciptaan-Nya, namun yang satu dengan yang lain saling menguatkan.

    Meski begitu, salah satu simbol nama Asmaul Husna terwujud dalam setiap alam dari seluruh kerajaan dan pada setiap kelompoknya. Nama tersebut berkuasa di wilayah tersebut, sementara nama-nama yang lain mengikutinya dan bahkan menjadi bagian darinya.

    Kemudian nama itu memiliki manifestasi dan rububiyah khusus pada seluruh tingkatan makhluk, baik yang kecil maupun yang besar, sedikit maupun banyak, khusus maupun umum. Artinya, meski nama tersebut meliputi segala sesuatu dan bersifat umum, hanya saja perha- tiannya juga tertuju kepada hal tertentu sehingga seolah-olah ia hanya mengarah padanya dan khusus untuknya.

    Selain itu, Sang Pencipta Yang Mahaagung sangat dekat dengan segala sesuatu meskipun memiliki tujuh puluh ribu tabir gaib. Engkau bisa menganalogikan, misalnya, dengan sejumlah tabir yang terdapat dalam nama al-Khâliq (Sang Pencipta), mulai dari manifestasi nama al-Khâliq sebagai Penciptamu yang bersifat parsial dan terkait dengan posisi makhluk di dalamnya hingga posisi-Nya sebagai Pencipta se- mesta alam di mana ia merupakan lambang yang paling agung. Arti- nya, engkau bisa mencapai puncak manifestasi nama al-Khâliq dan masuk ke dalamnya lewat pintu keberadaan diri sebagai makhluk. Syaratnya, engkau harus membelakangi seluruh entitas. Pada saat itu- lah engkau mendekat kepada wilayah sifat-sifat-Nya.

    Keberadaan sejumlah celah pada tabir, kemiripan pada sifat, pantulan pada nama, percampuran pada sejumlah kesamaan, per- paduan pada lambang, kesamaan pada tampilan, serta kondisi saling menopang pada perbuatan dan rububiyah-Nya, semua itu mengha- ruskan orang yang mengenal-Nya pada salah satu nama, lambang, dan rububiyah tersebut untuk tidak mengingkari seluruh nama dan sifat-Nya. Bahkan jika ia tidak dapat berpindah dari manifestasi satu nama kepada yang lain, maka ia akan merugi.Misalnya jika seseorang melihat jejak nama al-Khâliq al-Qadir (Pencipta Yanag Mahakuasa) sementara ia tidak melihat jejak nama al-‘Alîm (Yang Maha Mengetahui), maka ia bisa jatuh ke dalam ke- sesatan alam materi. Karena itu, ia harus mengarahkan pandangan ke sekitarnya, dan melihat bahwa Allah adalah Pencipta segalanya, me- nyaksikan manifestasi-Nya dalam segala sesuatu, serta telinganya se- lalu mendengar dari segala sesuatu ungkapan qul huwa Allâh ahad. Lisannya mengucap bersama seluruh alam lâ ilâha illa huwa seraya berikrar bahwa tiada Tuhan selain Dia.

    Demikianlah melalui ayat di atas (اَللّٰهُ لَٓا اِلٰهَ اِلَّا هُوَ لَهُ ال۟اَس۟مَٓاءُ ال۟حُس۟نٰى) ‘Allah, tiada Tuhan selain Dia. Dia memiliki nama-nama yang mulia’ (QS. Thâha [20]: 8), al-Qur’an dengan ayatnya menjelaskan berbagai hakikat yang telah kami sebutkan.

    Jika engkau ingin menyaksikan berbagai hakikat mulia itu dari dekat, pergilah ke laut yang berombak dan ke tanah yang bergetar oleh gempa. Tanyakan pada mereka, “Apa yang kalian katakan?” Eng- kau akan mendengar mereka berucap, ‘Wahai Yang Mahaagung, wahai Yang Mahaagung, wahai Yang Maha Perkasa, wahai Yang Mahagagah’. Kemudian pergilah ke anak bina- tang yang hidup di lautan atau di muka bumi yang dibesarkan dalam kasih sayang. Tanyakan pada mereka, “Apa yang kalian katakan?” Pas- ti mereka berucap,‘Wahai Yang Ma- haindah, wahai Yang Mahaindah, wahai Yang Maha Penyayang, wahai Yang Maha Penyayang’.(*[1])Kemudian aku memperhatikan langit bagaimana ia menyeru ‘Yang Mahaindah Pemilik keindahan’. Dengarlah bumi bagaimana ia mengucap ‘Yang Mahaindah Pemilik keindahan’. Lalu aku diam untuk menyimak ucapan hewan yang berkata ‘Wahai Yang Maha Pengasih, wahai Ma- ha Pemberi rezeki’. Kemudian tanyalah musim semi, ia pasti mengu- cap dan nama-nama serupa lainnya.Tanyakan pula pada manusia yang benar-benar manusia. Per- hatikan bagaimana ia membaca seluruh Asmaul Husna yang tertulis dalam dahinya sehingga ketika kau perhatikan engkau akan bisa mem- bacanya.Alam laksana musik yang mendendangkan zikir agung. Perpa- duan antara suara yang paling lemah dengan suara yang paling keras melahirkan sebuah alunan lagu yang indah.

    Hanya saja betapapun manusia memperlihatkan seluruh Asmaul Husna, namun keragamannya sampai batas tertentu menjadi sebab keragaman manusia sebagaimana keragaman entitas dan perbedaan ibadah malaikat. Bahkan dari keragaman tersebut lahir sejumlah syariat nabi yang berbeda-beda, jalan wali yang beragaman, dan aliran sejumlah kalangan yang beraneka macam. Misalnya yang dominan pada nabi Isa adalah manifestasi nama al-Qadîr (Mahakuasa) di samping nama-nama lainnya. Yang dominan pada kaum pecinta adalah nama al-Wadûd. Serta yang do- minan pada ahli tafakkur adalah nama al-Hakîm.

    Jika sekiranya ada seorang alim sekaligus sebagai pemimpin, penegak keadilan, dan pengawas di sejumlah wilayah pemerinta- han, maka pada setiap wilayah ia memiliki relasi, keterpautan, tugas, dan pekerjaan serta memiliki upah dan tanggung jawab padanya. Se- lain itu, ia memiliki kedudukan yang tinggi di samping para musuh yang dengki yang berusaha menghalangi pekerjaannya. Sebagaimana keadaan orang tersebut tampil di hadapan raja dengan sejumlah sim- bol yang sangat banyak di mana lewat berbagai simbol itu ia meminta pertolongan dan bantuan padanya dengan beragam lisan, ia juga me- minta perlindungan padanya dalam bentuk yang beragam agar selamat dari musuh, demikian pula dengan manusia yang memeroleh banyak manifestasi nama-Nya, yang diberi banyak tugas, dan diuji dengan ba- nyak musuh. Ia selalu berzikir mengingat nama-nama Allah dalam munajat dan pemintaan perlindungan yang ia ajukan.

    Ini seperti yang dilakukan oleh poros kebanggaan umat manusia, sang insan sempurna dan sejati, Muhammad x. Beliau senantiasa berdoa dan berlindung kepada Allah dari api neraka lewat seribu satu nama-Nya dalam doa- nya yang disebut al-Jawsyan al-Kabîr. Dari rahasia ini kita temukan al-Qur’an memberi perintah untuk meminta perlindungan dengan tiga simbol atau lambang. Hal itu ter- dapat dalam surah an-Nâs: “Katakanlah, ‘Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia, Raja manusia, Dzat yang disembah manusia, dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi’.” (QS. an-Nâs [114]: 1-4). Demikian pula pada ‘Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang’. Ia menjelaskan perminta- an pertolongan dengan tiga nama-Nya yang mulia.

    DAHAN KEDUA

    Dahan ini menjelaskan dua rahasia yang berisi kunci banyak rahasia

    Rahasia Pertama Mengapa para wali sering berbeda terkait dengan objek penyak- sian dan kasyaf yang mereka alami, padahal mereka memiliki kesa- maan dalam landasan iman di mana kasyaf mereka yang berada dalam tingkatan penyaksian kadangkala tampak berbeda dengan kenyataan dan bertentangan dengan kebenaran?Mengapa kalangan cendekia melihat dan menjelaskan hakikat dalam bentuk yang kontradiktif, padahal mereka menjelaskan kebe- naran yang ada lewat dalil yang kuat menurut pandangan masing-ma- sing? Mengapa hakikat yang satu tampak dalam bentuk yang beragam?

    Rahasia Kedua Pertanyaan: Mengapa para nabi terdahulu hanya menjelaskan sebagian rukun iman seperti pengumpulan jasad makhluk di hari kiamat secara global di mana mereka tidak menjelaskannya secara detail sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an sehingga sebagian umat me- reka pada akhirnya mengingkari rukun tersebut? Kemudian mengapa sebagian wali yang tergolong ahli makrifat dan hakikat hanya maju di bidang tauhid hingga mencapai tingkatan haqqul yaqin, sementa- ra sebagian dari rukun iman yang lain tampak demikian umum dan jarang mereka bahas. Karena itu, para pengikut mereka pada masa se- lanjutnya tidak memberikan perhatian yang seharusnya terhadap hal tersebut. Bahkan ada yang menyimpang dan tersesat.Selama kesempurnaan hakiki bisa digapai lewat ketersingkapan seluruh rukun iman, mengapa para ahli hakikat hanya membahas se- bagiannya dan meninggalkan sisanya. Padahal Rasulullah x yang me- rupakan imam seluruh rasul dan telah mencapai tingkatan tertinggi dari seluruh Asmaul Husna, demikian pula al-Qur’an al-Hakim yang merupakan induk seluruh kitab samawi menjelaskan seluruh rukun iman secara rinci dan jelas dalam bentuk yang serius dan sungguh- sungguh.

    Jawaban: Ya, sebab kesempurnaan hakiki sebenarnya memang seperti itu.

    Hikmah dari berbagai rahasia di atas adalah sebagai berikut:Meskipun manusia memiliki potensi untuk mencapai seluruh kesempurnaan dan menggapai cahaya seluruh Asmaul Husna, ia beru- saha meraih hakikat lewat ribuan tabir dan dinding pembatas. Sebab, kemampuan dan upayanya terbatas. Kesiapan dan kecenderungannya juga beragam.Oleh sebab itu, penyaksian hakikat dan kebenaran dipisah oleh sejumlah tabir dan dinding pembatas. Sebagian mereka tidak dapat me- nembus dinding tersebut. Karena kemampuan yang ada berbeda-be- da, sebagian tak dapat menyingkap sebagian rukun iman. Kemudian bentuk manifestasi nama-Nya juga beragam sesuai dengan tampilan yang ada. Sebagian orang yang meraih salah satu wujud tampilan na- ma-Nya tak bisa meraih manifetasinya secara sempurna, apalagi ma- nifestasi nama-nama-Nya terwujud dalam bentuk yang berbeda-beda dilihat dari kondisinya yang bersifat universal dan parsial serta bersifat bayangan dan asli. Sebagian potensi yang ada tak mampu menembus hal yang bersifat parsial dan keluar dari bayangan. Bisa jadi salah satu nama-Nya demikian dominan sehingga hanya hukum-Nya yang ber- laku dan sekaligus mengendalikan potensi tadi.Demikianlah, rahasia yang tersembunyi dan mendalam serta hikmah yang luas ini akan kami jelaskan lewat sejumlah petunjuk da- lam bentuk perumpamaan yang sampai pada tingkat tertentu bercam- pur dengan hakikat.

    Anggaplah “bunga” yang memilik sejumlah goresan, “tetesan” yang memiliki kehidupan yang merindukan bulan, serta “percikan” yang memiliki kebeningan yang mengarah kepada matahari, ma- sing-masing memiliki perasaan, bentuk kesempurnaan, serta kerindu- an menuju kesempurnaan tadi. Ketiga hal tersebut menjelaskan ba- nyak hakikat di samping menunjukkan perilaku jiwa, akal dan hati. Ia menjadi contoh bagi tiga tingkatan ahli hakikat:(*[2])

    Pertama: kalangan pemikir, kalangan wali, dan kalangan nabi.Semuanya mengarah kepada mereka.

    Kedua: para peniti hakikat yang berusaha mencapai kesempur- naan dengan sejumlah perangkat fisik (yakni lewat jalan indra).

    Mere- ka yang berjalan menuju hakikat dengan upaya pembersihan diri dan nalar, serta kalangan yang mendekati hakikat lewat pembersihan kal- bu,

    iman dan sikap taat, semua ini adalah contoh bagi mereka.

    Ketiga: orang-orang yang menuju hakikat lewat argumen mur- ni disertai perasaan ego,

    sikap bangga dan tenggelam dengan dunia, lalu mereka yang mencari hakikat dengan ilmu, hikmah,

    dan makri- fat, serta mereka yang mencapai hakikat secara cepat dengan iman, al-Qur’an, kefakiran, dan penghambaan, ketiga hal itu menjadi con- toh yang menunjukkan hikmah perbedaan di ketiga kelompok yang berbeda potensi tersebut.

    Rahasia yang cermat dan hikmah yang luas yang menjadi landasan naiknya ketiga kelompok itu akan kita bahas dalam sebuah perumpamaan di bawah tema “bunga”, “tetesan” dan “percikan”.

    Misalnya: dengan izin dan perintah Tuhan, matahari memiliki tiga bentuk manifestasi, pantulan dan limpahan yang berbeda.Salah satunya pada bunga, yang kedua pada bulan dan planet, serta ketiga pada sejumlah benda berkilau seperti kaca dan air.

    Pertama, darinya manifestasi, limpahan dan pantulan terwujud dalam tiga bentuk:

    Manifestasi dan pantulan yang bersifat umum. Yaitu sinarnya yang menerpa seluruh bunga.

    Manifestasi dan pantulan khusus sesuai dengan setiap jenisnya.

    Manifestasi parsial yang sesuai dengan keunikan masing-masing bunga.Demikianlah, perumpamaan tersebut berlandaskan pandangan yang mengatakan bahwa warna bunga yang cemerlang bersumber dari pantulan tujuh warna cahaya matahari. Atas dasar itu, bunga juga merupakan satu bentuk cermin yang memantulkan cahaya matahari.

    Kedua, ia adalah limpahan dan cahaya yang diberikan matahari kepada bulan dan planet dengan izin Sang Pencipta Yang Mahabijak. Bulan mengambil manfaat dari cahaya yang merupakan bayangan ca- haya matahari secara utuh setelah pantulan umum dan cahaya luas dilimpahkan kepadanya. Setelah itu, bulan dengan cahaya dalam ben- tuknya yang khusus memberikan manfaat kepada laut, udara, dan tanah yang berkilau. Lewat bentuk parsial ia mencurahkan cahaya ke- pada butiran air, tanah dan udara.

    Ketiga, pantulan matahari dengan perintah ilahi secara total tan- pa bayangan di mana ia menjadikan seluruh angkasa dan permukaan lautan menjadi cerminnya. Kemudian matahari tersebut memberikan bentuk dan contoh miniaturnya pada setiap butiran laut, tetesan air, gelembung udara, dan kristal es.

    Demikianlah keadaan matahari dilihat dari ketiga sisi yang telah disebutkan. Ia memiliki curahan kepada setiap bunga, setiap tetes yang mengarah ke bulan, dan setiap percikan lewat dua jalan:

    Jalan pertama: limpahan dan curahan secara langsung tanpa ha- rus melewati dinding pembatas dan tanpa tabir. Ini adalah jalan yang mencerminkan kenabian.

    Jalan kedua: dinding pembatas menjadi penengah. Sebab, poten- si dan kapasitas cermin memberikan warna bagi berbagai menifestasi matahari. Cara ini mencerminkan jalan kewalian.

    Begitulah, bunga, tetesan, dan percikan, masing-masing dapat berkata pada jalan yang pertama, “Aku adalah cermin matahari alam semesta.” Namun pada jalan yang kedua ia tidak bisa mengatakan semacam itu. Namun ia berkata, “Aku adalah cermin matahariku” atau “Aku adalah cermin matahari yang terwujud pada spesiesku.” Pasal- nya, ia mengenali matahari dalam kondisi demikian. Ia tidak bisa me- lihat matahari yang mengarah ke seluruh alam, sebab matahari sosok tersebut dan spesiesnya tampak dalam dinding pemisah yang sempit dan di bawah ikatan yang terbatas. Matahari terbatas itu tak mampu memberikan pengaruh sebagaimana matahari asli yang tak terhijab dinding. Ia tak mampu memberikan kehangatan kepada seluruh per- mukaan bumi, menyinarinya, menggerakkan kehidupan seluruh he- wan dan tumbuhan, menjadikan planet berputar di sekelilingnya, serta memberikan berbagai pengaruh luar biasa lainnya.Bahkan seandainya ketiga hal di atas bisa memberikan kepada matahari berbagai pengaruh menakjubkan yang signifikan di bawah keterbatasan yang ada, maka ia hanya bisa terwujud dalam benak dan iman saja disertai sikap percaya bahwa matahari yang terbatas itu ber- sifat mutlak.Mengaitkan berbagai pengaruh besar dari bunga, tetesan air, dan percikan yang kita anggap menyerupai manusia berakal kepada mataharinya hanya terdapat dalam benak dan tidak bisa disaksikan. Bahkan hukum-hukum keimanan padanya bisa berbenturan dengan apa yang terlihat di alam.

    Pembenarannya sangat sulit. Karena itu, kita bertiga harus masuk ke dalam perumpamaan yang bercampur dengan hakikat ini di mana ia sangat sempit yang pada sebagian sisinya ter- dapat sejumlah hakikat.Anggaplah kita bertiga adalah bunga, tetesan, dan percikan. Karena anggapan dan bayangan saja tidak cukup, maka akal perlu di- ikutsertakan padanya. Dengan kata lain, kita memahami bahwa keti- ga unsur itu, selain mendapat curahan dari matahari materi, ia juga mendapat curahan dari matahari maknawi.

    Wahai teman yang tidak pernah melupakan dunia, tenggelam dalam materi, dan memiliki jiwa yang kesat! Jadilah bunga, sebab po- tensimu serupa dengannya. Pasalnya, bunga tersebut menyerap warna dari cahaya matahari, yang mencampur bayangan matahari dengan warna itu, serta menghias diri dengannya dalam bentuk yang berkilau.

    Adapun filsuf yang belajar di sekolah-sekolah modern, yang ber- sandar kepada sebab, di mana ia menyerupai “Said lama”, hendaknya dirimu menjadi “tetesan air” yang merindukan bulan yang mendapat bayangan cahaya matahari sehingga matanya bersinar. Hanya saja, de- ngan sinar itu tetesan air tadi hanya bisa melihat bulan. Ia tidak bisa me- lihat matahari. Ia hanya bisa melihat matahari dengan pandangan iman.

    Kemudian sang fakir yang meyakini bahwa segala sesuatu lang- sung berasal dari Allah dan menganggap sebab sebagai tabir, hendak- nya menjadi percikan. Ia merupakan percikan atom yang fakir. Ia tidak memiliki sandaran dan pegangan seperti bunga. Ia juga tidak memiliki warna yang bisa dilihat. Ia tidak melihat sejumlah hal yang lain sebagai tempat menghadap. Ia memiliki kebeningan murni yang menyembu- nyikan bayangan matahari di pelupuk matanya.Sekarang, sepanjang kita menempati ketiga tempat tersebut, kita harus melihat kepada diri sendiri untuk melihat apa yang ada pada kita dan apa yang kita lakukan.

    Kita melihat Dzat Yang Maha Pemurah mencurahkan berbagai nikmat dan anugerah-Nya kepada kita. Dia menerangi, membesar- kan, dan menghias kita. Manusia adalah abdi kebajikan. Ia ingin dekat dengan Dzat yang layak disembah dan dicinta. Ia ingin melihat-Nya. Karena itu, masing-masing kita berjalan sesuai dengan potensi dan ta- rikan cinta tersebut.

    Wahai yang menyerupai bunga. Engkau berlalu dalam perjala- nanmu. Berjalanlah sebagai bunga. Engkau telah berlalu dan sedikit demi sedikit naik hingga mencapai tingkatan universal sehingga eng- kau laksana seluruh bunga. Karena bunga merupakan cermin yang bersifat padat, maka tujuh warna cahaya terurai di dalamnya. Maka gambar pantulan matahari menjadi samar sehingga engkau tidak bisa melihat wajah kekasihmu, yakni matahari. Sebab, warna-warna yang terbatas serta seluruh karakternya membuat cahaya matahari terurai dan terhijab.

    Dalam kondisi demikian, engkau tidak akan selamat dari berbagai perpisahan yang bersumber dari adanya sejumlah gam- bar dan dinding pembatas. Hanya saja, ada satu syarat untuk selamat. Yaitu engkau harus mengangkat kepalamu yang mencintai diri dan menghentikan pandangan yang menikmati berbagai keindahan diri serta tertipu dengannya. Lalu kau cermati wajah matahari yang terda- pat di langit. Kemudian kau arahkan wajahmu yang tadinya tertunduk ke tanah—mencari rezeki—menuju matahari di atas sana. Sebab, eng- kau adalah cermin bagi matahari tersebut. Tugasmu adalah menjadi cermin dan memperlihatkan manifestasinya. Adapun rezekimu akan menghampirimu dari pintu khazanah rahmat-Nya, yaitu tanah, baik disadari atau tidak.Sebagaimana bunga merupakan cermin kecil dari matahari, maka matahari besar tersebut juga merupakan cermin yang laksana satu tetes di tengah lautan langit di mana ia memantulkan kilau mani- festasi nama Allah, an-Nûr. Wahai kalbu manusia, dari sini pahamilah betapa agung matahari di mana engkau menjadi cerminnya.

    Setelah engkau menunaikan syarat di atas, engkau akan men- dapatkan kesempurnaanmu. Namun engkau tidak bisa serta-merta melihat matahari itu. Bahkan engkau tidak bisa memahami hakikat tersebut karena sifat-sifatmu memberinya sebuah warna, teropong ko- tormu memberinya sebuah gambaran, serta potensimu yang terbatas membuatnya terikat.

    Sekarang wahai filsuf yang masuk ke dalam “tetesan”, lewat tero- pong tetesan pikiranmu dan lewat tangga filsafat engkau naik hingga mencapai bulan. Engkau masuk ke dalam bulan. Lihatlah! Bulan ter- sebut demikian tebal dan gelap; tidak memiliki cahaya dan kehidupan. Usahamu menjadi sia-sia dan pengetahuanmu tidak berguna.

    Engkau bisa selamat dari gelapnya keputusasaan, kondisi nestapa, dan ganggu- an ruh jahat lewat syarat berikut: Jika engkau meninggalkan malam “alam” dan menghadap ke ma- tahari hakikat, engkau akan meyakini bahwa cahaya malam ini meru- pakan bayangan cahaya matahari siang.

    Jika engkau memenuhi syarat tersebut, engkau akan menemukan kesempurnaanmu. Engkau akan mendapati matahari yang besar itu sebagai ganti dari bulan yang fakir dan gelap. Hanya saja, engkau juga seperti temanmu yang sebelumnya.Engkau tidak akan melihat matahari secara murni. Engkau hanya bisa melihatnya terbungkus tirai yang sudah dikenal oleh akal dan filsafat- mu. Engkau melihatnya berada di balik hijab pengetahuan dan hik- mahmu. Ia berada dalam celupan yang diberikan oleh potensi dirimu.

    Temanmu yang ketiga yang menyerupai “percikan” miskin tak berwarna dengan cepat menguap oleh panas matahari. Ia meninggal- kan egonya dan menguap hingga naik ke angkasa. Materi padat yang berada di dalamnya berkobar oleh panas rasa rindu. Lewat sinar ia be- rubah menjadi cahaya. Ia menggenggam kilau yang bersumber dari manifestasi sinar tersebut dan sekaligus dekat dengannya.

    Wahai yang seperti percikan, selama engkau menunaikan tugas cermin bagi matahari, maka engkau bisa menemukan jendela bening yang melihat matahari secara ainul yaqin di sejumlah tingkatan di mana engkau berada. Engkau tidak merasa sulit dalam menyandarkan berbagai pengaruh matahari yang menakjubkan kepadanya. Pasalnya, engkau bisa menisbatkan sifat-sifat luar biasa kepadanya tanpa ragu sedikitpun. Tidak ada sesuatu yang dapat mencegahmu untuk menis- batkan pengaruh tersebut kepada kekuasaannya. Sempitnya dinding pembatas, keterbatasan kemampuan, dan kecilnya cermin tidak akan membuatmu bingung. Ia tidak akan menggiringmu untuk menging- kari hakikatnya karena engkau bening dan bersih sehingga dapat me- lihatnya secara langsung. Karena itu, engkau sadar bahwa pentas dan objek yang terlihat di cermin bukanlah matahari. Ia hanyalah satu ben- tuk manifestasinya dan bagian dari pantulannya. Sementara pantulan itu adalah bukti dan tanda darinya semata sehingga tidak bisa membe- rikan seluruh pengaruhnya yang luar biasa.

    Pada perumpamaan yang bercampur dengan hakikat ini, kesem- purnaan ditempuh melalui tiga cara yang berbeda. Ciri kesempurnaan dan detail tingkat penyaksian mereka berbeda-beda. Hanya saja dalam hasil, dalam mengikuti kebenaran, serta dalam membenarkan hakikat, mereka adalah sama.

    Demikianlah, sebagaimana manusia yang berada di malam hari tak dapat melihat matahari di mana ia hanya melihat bayangannya pada cermin bulan, ia juga tidak dapat menanamkan dalam akalnya serta ti- dak dalam menyerap hebatnya cahaya matahari dan gravitasinya yang besar. Ia hanya bisa mengekor pada orang yang melihatnya.

    Begitu pula orang yang tidak mencapai kedudukan tinggi dari nama al-Qadîr (Mahakuasa) dan al-Muhyî (Maha Menghidupkan) serta nama-nama lainnya lewat warisan kenabian. Ia hanya bisa melihat pengumpulan di hari akhir dan kiamat lewat sikap taklid dengan berkata, “Ia bu- kan wilayah akal.” Sebab hakikat kebangkitan dan kiamat merupakan fenomena manifestasi nama-Nya yang paling agung dan kedudukan tertinggi dari sebagian nama-Nya yang lain. Siapa yang pandangan- nya tidak bisa naik ke kedudukan tersebut ia hanya bisa mengikut dan bertaklid.

    Sementara yang pandangannya bisa tembus menuju ke sana, ia akan melihat kebangkitan dan kiamat dengan mudah sebagaimana mudahnya pergantian siang dan malam, musim dingin dan musim pa- nas. Dengan itu, kalbunya menjadi rida dan lapang.Demikianlah. Dari rahasia ini al-Qur’an al-Karim menyebutkan kebangkitan dan kiamat dalam kedudukan tertinggi dan dalam pen- jelasan yang paling sempurna. Rasul x yang memeroleh cahaya na- ma-Nya yang paling agung juga menjelaskannya. Adapun para nabi terdahulu tidak menjelaskan masalah kebangkitan secara detail, tetapi hanya secara global, karena hal tersebut sesuai dengan tuntutan hik- mah dalam berdakwah (menyampikan petunjuk) di mana umat mere- ka masih dalam kondisi sangat sederhana dan primitif.

    Dari rahasia ini pula sebagian wali tidak bisa melihat sejumlah rukun iman dalam kedudukannya yang paling agung atau mereka tak mampu menerangkannya seperti itu. Dari rahasia di atas juga dapat dipahami mengapa derajat kaum arif dalam mengenal Allah sangat berbeda. Begitulah hakikat banyak rahasia semacamnya menjadi jelas. Sekarang, kita cukupkan dengan perumpamaan di atas karena ia relatif bisa memberikan kesadaran tentang hakikat yang ada. Pasalnya, hakikatnya sangat luas dan men- dalam. Kita tidak akan masuk ke wilayah sejumlah rahasia yang bera- da di luar kemampuan kita.

    DAHAN KETIGA

    Adanya absurditas dalam memahami sejumlah hadis Nabi x yang berbicara tentang “tanda-tanda dan peristiwa hari kiamat” serta tentang “keutamaan dan pahala amal”, hal itu membuat sejumlah pe- mikir yang bersandar pada logika mendaifkannya, sebagian lain me- nganggapnya sebagai hadis maudhu (palsu), bahkan sebagian lainnya yang lemah iman dan tertipu oleh akal mereka bersikap ekstrim de- ngan langsung mengingkarinya.Di sini kita tidak ingin mendebat mereka secara detil. Namun kita hanya ingin menegaskan “dua belas” prinsip dan kaidah umum yang bisa dijadikan pegangan dalam memahami hadis-hadis Nabi yang menjadi topik bahasan kita saat ini.

    Prinsip Pertama Yaitu persoalan yang telah kami jelaskan saat menjawab perta- nyaan yang terdapat pada akhir “Kalimat Kedua Puluh”. Ringkasnya adalah sebagai berikut:

    Agama adalah ujian dan cobaan. Dengan ujian, jiwa yang mu- lia akan dibedakan dengan jiwa yang hina. Karena itu, ia membahas sejumlah kejadian yang akan disaksikan oleh manusia di masa depan dengan cara yang tidak kabur yang sulit dipahami, dan juga tidak jelas sekali yang membuatnya segera dipercaya. Namun, ia menyajikannya secara terbuka dan tidak sulit dipahami akal, serta membuka ruang untuk memilih.Andaikan tanda-tanda hari kiamat demikian jelas seperti se- buah aksioma sehingga manusia mau tidak mau harus membenarkan- nya, maka dalam kondisi demikian potensi fitri yang buruk seperti arang akan sama dengan potensi fitri yang berharga yang laksana ber- lian. Rahasia pemberian tugas oleh Tuhan dan hasil ujiannya menjadi sia-sia.Karena itu, ada banyak perbedaan dalam sejumlah persoalan.Misalnya dalam persoalan Imam (*[3])dan Sufyânî.(*[4])Begitu ba- nyak penilaian yang berseberangan lantaran keragaman riwayat yang ada.

    Prinsip Kedua Berbagai persoalan Islam memiliki sejumlah tingkatan dan kedudukan. Ketika salah satunya membutuhkan dalil yang kuat—se- perti dalam masalah akidah—maka yang lain cukup dengan dugaan kuat, serta yang lain dengan sikap taat, menerima, tanpa penolakan.Karena itu, tidak dibutuhkan dalil yang kuat pada setiap perso- alan cabang atau pada berbagai peristiwa zaman yang tidak termasuk pondasi iman. Ia cukup dengan sikap taat dan tidak menolak.

    Prinsip Ketiga Banyak ulama dari kalangan Bani Israil dan Nasrani pada masa sahabat yang masuk Islam. Mereka masuk Islam dengan membawa se- jumlah informasi yang dimiliki sebelumnya. Tidak sedikit dari infor- masi yang bertentangan dengan kenyataan yang kemudian dianggap sebagai bagian dari Islam.

    Prinsip Keempat Terdapat pernyataan para perawi atau makna yang mereka ambil dari matan hadis yang dimasukkan ke dalam hadis. Nah, karena manusia tidak terlepas dari kekeliruan, ada dari perkataan atau kesim- pulan tersebut yang bertentangan dengan realitas sehingga melemah- kan kedudukan hadisnya.

    Prinsip Kelima Sejumlah makna yang terilhami bagi para ahli hadis dari kala- ngan wali dan ahli kasyaf dianggap sebagai hadis. Hal itu dikarenakan adanya riwayat bahwa di kalangan umat ada yang berposisi sebagai orang-orang yang mendapat ilham.(*[5])Seperti diketahui bahwa ilham para wali bisa keliru karena sejumlah hal. Maka, bisa saja muncul sesu- atu yang bertentangan dengan kenyataan pada jenis riwayat seperti itu.

    Prinsip Keenam Terdapat sejumlah cerita yang dikenal di tengah-tengah masyara- kat. Cerita tersebut menjadi semacam perumpamaan. Sementara yang dilihat pada perumpamaan bukan makna yang sebenarnya, namun tujuan yang ada di baliknya. Karena itu, pada sejumlah hadis terdapat penyebutan sejumlah kisah dan cerita yang telah dikenal luas dalam bentuk majas dan perumpamaan sebagai bimbingan dan pengarahan. Jika ada kekurangan pada makna hakikinya dalam persoalan tersebut, maka dikembalikan kepada urf dan kebiasaan yang ada serta dikem- balikan pada cerita yang berkembang luas di tengah-tengah mereka.

    Prinsip Ketujuh Banyak tasybih dan perumpamaan retoris yang diposisikan se- bagai hakikat yang rill. Hal itu terjadi entah karena perjalanan waktu atau karena berpindah dari orang yang berilmu ke orang yang bodoh sehingga mengasumsikan perumpamaan tersebut sebagai sebuah ke- nyataan yang sebenarnya.

    Misalnya, dua malaikat yang disebut “banteng” dan “ikan” yang terwujud dalam bentuk mereka di alam mitsâl di mana keduanya ter- masuk malaikat Allah yang mengawasi hewan darat dan laut. Mereka berubah menjadi lembu besar dan ikan raksasa dalam sangkaan dan persepsi keliru manusia. Hal itulah yang menjadi sebab lahirnya sikap penentangan terhadap hadis.Contoh lain, dalam majelis bersama Rasulullah x terdengar se- buah suara. Lalu beliau bersabda, “Ini adalah suara batu yang jatuh ke neraka Jahanam sejak tujuh puluh tahun yang lalu. Sekarang ia telah sampai ke dasarnya(*[6])

    Orang yang mendengar hadis ini tanpa menge- tahui hakikatnya akan bersikap ingkar sehingga tersesat. Akan tetapi, jika ia mengetahui sebuah fakta nyata bahwa tidak lama kemudian sa- lah seorang dari mereka datang memberitakan kepada Nabi x bahwa seorang munafik yang terkenal baru saja meninggal dunia. Ketika itu, dapat diketahui bahwa lewat retorika yang luar biasa, Rasul x meng- gambarkan sosok munafik yang telah berusia tujuh puluh tahun itu ibarat batu yang bergelinding menuju dasar neraka di mana seluruh kehidupannya merupakan bentuk kejatuhan dalam kekafiran dan ke- rendahan menuju tingkatan yang paling bawah. Allah memperde- ngarkan suara itu persis di saat kematian sang munafik sekaligus men- jadikan hal itu sebagai tanda atasnya.
    

    Prinsip Kedelapan Dzat Yang Mahabijak dan Maha mengetahui menyembunyikan di negeri ujian ini sejumlah persoalan yang sangat penting di anta- ra begitu banyak persoalan yang ada. Penyembunyian tersebut terkait dengan sejumlah hikmah dan maslahat.Misalnya, Allah menyembunyikan Lailatul qadar di bulan Ra- madhan, waktu mustajab di hari jumat, para wali saleh di antara selu- ruh manusia, ajal dalam usia manusia, serta kiamat pada umur dunia. Demikian seterusnya.Andaikata ajal manusia sudah ditentukan dan diketahui wak- tunya, tentu manusia yang malang ini akan menghabiskan setengah usianya dalam kelalaian, dan setengahnya lagi dalam ketakutan seperti orang yang digiring selangkah demi selangkah menuju tiang gantu- ngan. Nah, untuk memelihara keseimbangan antara dunia dan akhirat serta untuk menjaga kemaslahatan abadi manusia di mana kalbunya berada di antara rasa harap dan takut, maka setiap saat manusia diha- dapkan pada kemungkinan mati atau tetap hidup. Dengan demikian, dua puluh tahun dari usia yang ajalnya tidak diketahui lebih utama daripada usia seribu tahun yang ajalnya diketahui.

    Demikian pula dengan kedatangan kiamat. Ia merupakan ajal kehidupan dunia yang laksana manusia besar. Andaikata waktunya sudah ditentukan, maka abad-abad pertama dan pertengahan akan dilalui dalam tidur kelalaian. Sementara abad-abad terakhir dilalui da- lam ketakutan. Hal itu karena sesuai dengan kehidupan sosialnya, ma- nusia memiliki ikatan yang kuat dengan tempat tinggal dan negerinya yang terbesar—yaitu dunia—sebagaimana sesuai dengan kehidupan pribadinya ia juga memiliki hubungan dengan rumah dan kampung halamannya. Dari sini kita memahami bahwa kedekatan yang disebutkan dalam ayat al-Qur’an: (kiamat sudah dekat) tidak ber- tentangan dengan waktu seribu lima ratus tahun yang telah berlalu. Sebab, kiamat adalah ajal dunia. Sementara waktu seribu atau dua ribu tahun jika diukur dengan usia dunia hanyalah seperti satu dua hari atau satu dan dua menit dari tahunan usia yang ada. Selain itu, kita tidak boleh lupa bahwa hari kiamat bukan hanya ajal umat manusia sehingga jauh dan dekatnya diukur dengan usianya. Namun ia merupakan ajal seluruh entitas, langit dan bumi yang me- miliki usia panjang yang sulit untuk dihitung.

    Karena itu, Allah Yang Mahabijak dan Maha mengetahui sengaja menyembunyikan saat kedatangan kiamat dalam pengetahuan-Nya di antara lima hal gaib bagi manusia. Di antara hikmahnya adalah agar manusia pada seluruh generasinya selalu takut terhadap datangnya ki- amat. Bahkan, para sahabat yang mulia sangat khawatir kiamat akan datang pada masa mereka, padahal mereka hidup pada era generasi terbaik; era kebahagiaan dan ketersingkapan berbagai hakikat. Lebih dari itu, sebagian mereka berkata bahwa kiamat dan tanda-tandanya telah terwujud.

    Orang-orang yang tidak memahami hikmah dan hakikat pe- nyembunyian di saat ini berkata, “Mengapa para sahabat yang mu- lia itu menduga kedatangan “hakikat besar” yang akan terjadi seribu empat ratus tahun kemudian sebagai sesuatu yang dekat dengan masa mereka padahal mereka adalah muslim yang paling mengetahui mak- na akhirat, mukmin yang memiliki basirah paling tajam, serta memi- liki perasaan paling sensitif terkait dengan sejumlah informasi yang akan datang? Seakan-akan pikiran mereka telah menyimpang dari ha- kikat kebenaran selama seribu tahun.

    Jawaban: Karena para sahabat yang mulia adalah orang-orang yang paling banyak merenungkan akhirat, paling meyakini kefanaan dunia, serta paling memahami hikmah penyembunyian waktu terjadinya kiamat karena mendapatkan limpahan dan cahaya persahabatan dengan Nabi x, maka mereka selalu menantikan ajal dan kematian dunia seperti menantikan ajalnya sendiri. Dengan upaya keras, mereka pun bekerja untuk akhirat. Kemudian, ketika Rasulullah x berulangkali berkata, “Nanti- kanlah hari kiamat!”(*[7])

    hal itu bersumber dari hikmah ini, yaitu hik- mah penyembunyian. Di dalamnya terdapat petunjuk kenabian yang sangat mendalam. Ia tidak berarti menentukan saat kiamat lewat wah- yu sehingga dianggap jauh dari kenyataan. Sebab, hikmah berbeda dengan illat.
    

    Begitulah, sejumlah hadis Nabi x yang sejenis bersumber dari hikmah penyembunyian.

    Atas dasar hikmah tersebut, manusia sejak zaman dahulu bahkan sejak zaman tabi`in, menantikan kemunculan Imam Mahdi dan Dajjâl as-Sufyânî dengan harapan bisa menyusul mereka. Bahkan, sebagian wali menganggap waktunya telah lewat.Hikmah tidak disebutkannya waktu kemunculan mereka secara pasti, sama seperti hikmah tidak ditetapkannya waktu kejadian kia- mat. Kesimpulannya sebagai berikut:Setiap waktu dan setiap masa membutuhkan esensi keberadaan “Mahdi” yang menjadi landasan kekuatan maknawi dan agar terle- pas dari sikap putus asa.

    Karena itu, setiap masa memiliki bagian atas esensi tersebut. Demikianlah, setiap saat manusia juga harus senantia- sa berjaga-jaga dan waspada dari sosok-sosok jahat yang menjadi pim- pinan kemunafikan serta mengendalikan gelombang kejahatan. Hal itu supaya kendali jiwa tidak menjadi longgar lantaran sikap acuh tak acuh dan kurang peduli. Andaikan waktu kemunculan Imam Mahdi, Dajjal, dan sosok sejenis telah pasti, tentu maslahat dalam memberi- kan petunjuk dan arahan menjadi sia-sia.

    Adapun rahasia perbedaan riwayat yang terkait dengan kedua- nya adalah sebagai berikut:

    Orang-orang yang menafsirkan sejumlah hadis Nabi x men- campur konklusi dan ijtihad pribadi mereka dengan bunyi teks hadis. Misalnya, mereka menafsirkan bahwa berbagai peristiwa yang terkait dengan Imam Mahdi dan Dajjal berlangsung di sekitar Syam, Bashrah, dan Kufah sesuai dengan persepsi mereka. Sebab, kota-kota itu terle- tak di sekitar pusat kekhalifahan ketika itu, yaitu Madinah dan Syam.Atau, mereka menafsirkan berbagai peristiwa di dalamnya de- ngan anggapan bahwa sejumlah dampak yang sangat besar yang men- cerminkan kepribadian maknawi sosok-sosok itu bersumber dari pribadi mereka secara individual. Hal itu memberikan pemahaman bahwa sosok-sosok itu akan datang dalam kondisi yang luar biasa se- hingga dikenal oleh seluruh manusia. Padahal sebenarnya seperti yang telah kami sebutkan bahwa dunia merupakan negeri ujian dan cobaan. Allah  ketika menguji manusia, tetap memberikan pilihan dan ke- hendak padanya, serta memberi ruang bagi akal untuk memilih.

    Karena itu, sosok-sosok tersebut—yakni Dajjal dan Imam Mah- di—tidak dikenal oleh orang banyak di saat kemunculannya. Bahkan, Dajjal itu sendiri pada mulanya juga tidak mengetahui jikalau dirinya adalah Dajjal. Ia hanya dikenal oleh orang yang melihat dengan cahaya iman yang sangat tajam.Dajjal yang merupakan salah satu tanda kiamat telah ditegaskan oleh Rasulullah x bahwa satu hari dari hari-hari yang dilewatkannya sama seperti satu tahun. Ada pula satu hari yang laksana satu bulan, satu hari yang laksana satu pekan, serta keseluruhan harinya seperti hari yang kalian jalani.(*[8])Dunia mendengar suaranya dan ia mengeli- lingi bumi dalam empat puluh hari.Orang-orang tidak objektif berkata, “Riwayat tersebut mustahil.” Mereka pun mengingkarinya. Hal itu sama sekali tidak benar. Hakikatnya—wallahu a’lam—adalah sebagai berikut:

    Dalam hadis Nabi tersebut terdapat petunjuk akan kemunculan satu sosok dari arah utara yang merupakan wilayah kekufuran yang paling pekat. Ia memimpin aliran materialisme yang sangat besar se- raya menyerukan kekufuran dan mengingkari keberadaan Sang Pen- cipta. Jadi, makna hadis itu berisi petunjuk tentang kemunculan sosok Dajjal dari arah utara. Petunjuk ini mengandung satu isyarat yang memiliki hikmah. Yaitu bahwa daerah yang dekat dengan kutub utara hitungan tahunnya berupa satu hari dan satu malam. Pasalnya, enam bulan darinya beru- pa malam, sementara enam bulan lainnya berupa siang. Dengan kata lain, hari yang dilewati Dajjal adalah satu tahun sebagaimana bunyi hadis tadi, “satu hari seperti satu tahun.” Ini adalah petunjuk kemun- culannya yang dekat dari wilayah tersebut.Adapun yang dimaksud dengan “satu hari seperti satu bulan” adalah bahwa setiap kali kita datang dari arah utara menuju wilayah kita ini (Turki), maka siangnya kadangkala laksana sebulan penuh di mana matahari tidak terbenam dalam satu bulan di musim panas. Ini juga menjadi petunjuk bahwa Dajjal menjelajahi dunia peradaban se- telah kemunculannya di utara. Petunjuk ini lahir ketika menisbatkan hari ke Dajjal.Demikianlah, semakin menjauh dari utara menuju selatan, ma- tahari tidak terbenam selama sepekan. Hingga akhirnya perbedaan- nya terbit dan terbenamnya matahari hanya tiga jam. Yakni seperti ha- ri-hari yang biasa kita lewati. Aku pernah berada di tempat semacam itu saat menjadi tawanan di Rusia. Matahari tidak terbenam selama sepekan di tempat yang dekat dengan kami sehingga orang-orang ke- luar untuk menyaksikan fenomena unik itu.Selanjutnya, terdengarnya suara Dajjal hingga ke seluruh pelosok dunia dan bagaimana ia berkeliling di bumi dalam empat puluh hari telah dibuktikan oleh perangkat radio dan alat telekomunikasi serta sarana transportasi modern seperti kereta dan pesawat. Nah, kaum ateis yang kemarin mengingkari dua keadaan di atas di mana mereka menganggapnya sebagai sebuah kemustahilan, maka pada hari ini me- reka menganggapnya sebagai suatu hal yang biasa.

    Lalu Ya`juj dan Ma`juj serta Tembok yang menjadi salah satu tanda kiamat telah kubahas secara detail dalam risalah lain. Anda bisa merujuk kepadanya. Di sini aku hanya ingin menegaskan bahwa:Sebagaimana kabilah Manchuria dan Mongolia beberapa waktu lalu menghancurkan sejumlah komunitas dan mereka menjadi sebab pembangunan tembok Cina, terdapat sejumlah riwayat yang menun- jukkan bahwa dengan semakin dekatnya kiamat peradaban baru juga akan jatuh karena pandangan mereka yang anarki.

    Di sini sejumlah orang ateis bertanya-tanya, “Di mana keberada- an kelompok manusia yang telah dan akan melakukan hal-hal seperti itu?”

    Jawabannya:sebagaimana belalang menjadi hama pertani- an yang bisa merusak area tertentu di musim tertentu, kemudian ia menghilang seiring pergantian musim, maka pembesar spesies terse- but yang membinasakan area tadi tersembunyi di sejumlah individu yang terbatas. Dengan kehendak Tuhan, hama tersebut muncul di mu- sim tertentu dalam jumlah yang banyak. Yakni hakikat spesiesnya me- nepi, namun tidak punah. Ia akan muncul kembali di musim tertentu.Jika demikian kondisi yang terjadi pada belalang, maka beberapa kaum yang menebarkan kerusakan di dunia pada waktu tertentu juga akan muncul pada waktu yang telah ditentukan guna membinasakan umat manusia dengan izin dan kehendak-Nya. Mereka kembali meng- hancurkan peradaban umat manusia. Hanya saja, agitasi dan pergera- kan mereka muncul dalam bentuk lain.

    Perkara gaib hanya diketahui oleh Allah.

    Prinsip Kesembilan Hasil dari sebagian persoalan iman mengarah kepada sejumlah hal yang terkait dengan alam yang sempit dan terbatas ini. Sementara yang lainnya mengarah kepada alam ukhrawi yang luas dan tak terba- tas. Karena sebagian dari hadis Nabi yang terkait dengan fadilah amal dideskripsikan oleh Rasul dengan gaya bahasa retoris seba- gai bentuk motivasi dan ancaman, maka orang yang kurang cermat mengira bahwa sejumlah hadis Nabi itu berlebihan. Sebenarnya tidak demikian. Semuanya benar dan merupakan sebuah hakikat. Tidak ada sesuatu yang berlebihan di dalamnya.

    Sebagai contoh adalah hadis berikut yang menyulitkan dan menyindir para pembangkang:

    “Andaikan dunia di sisi Allah setara dengan sayap nyamuk, maka orang kafir tidak akan bisa minum darinya meski hanya seteguk.”(*[9])

    Hakikatnya adalah: Kata “di sisi Allah” menggambarkan alam baka (akhirat). Cahaya yang terbersit dari alam baka meski seukuran sayap nyamuk lebih luas dan lebih komprehensif, sebab bersifat abadi, daripada cahaya yang bersifat sementara meski sepenuh bumi. Dengan kata lain, hadis di atas tidak sedang memberikan perbandingan antara sayap nyamuk dan alam yang besar ini. Namun perbandingannya antara dunia setiap individu—yang terbatas pada usianya yang singkat—dan cahaya abadi yang bersumber dari limpahan dan kebaikan ilahi yang bersifat kom- prehensif meski seukuran sayap nyamuk.
    

    Selanjutnya, dunia memiliki dua sisi, bahkan tiga sisi: Pertama, sisi seperti cermin. Ia memantulkan manifestasi Asma- ul Husna.Kedua, sisi yang menatap kepada akhirat. Artinya, dunia menjadi ladang akhirat.Ketiga, sisi yang mengarah pada ketiadaan dan kefanaan. Sisi te- rakhir ini adalah dunia yang tidak diridai di sisi Allah. Ia dikenal seba- gai dunia kaum sesat.Dengan demikian, dunia yang disebutkan pada hadis Nabi di atas bukan dunia besar yang laksana cermin Asmaul Husna dan risa- lah shamdaniyah. Ia juga bukan dunia yang menjadi ladang akhirat. Namun ia adalah dunia yang menjadi lawan akhirat, sarang berba- gai dosa dan kesalahan, serta sumber semua bencana dan musibah.Ia merupakan dunia para hamba dunia di mana tidak bisa menyamai satu atom pun dari alam akhirat yang abadi yang Allah berikan kepa- da kaum beriman. Jadi, hakikat yang lurus ini sangat berbeda dengan pemahaman kaum ateis yang zalim ketika menganggap hadis tersebut berlebihan.

    Contoh lain adalah pandangan kaum ateis dan pembangkang yang beranggapan bahwa riwayat tentang pahala amal dan fadilah ber- bagai surah dalam al-Qur’an sangat berlebihan; tidak logis.

    Bahkan, mereka menyebutnya mustahil. Misalnya, diriwayatkan bahwa surah al-Fatihah mendatangkan pahala senilai al-Qur’an,(*[10])

    surah al-Ikhlas menyamai sepertiga al-Qur’an,(*[11])surah az-Zalzalah seperempat al- Qur’an,(*[12])surah al-Kâfirun seperempat al-Qur’an,(*[13])surah Yâsîn me- miliki pahala sebanyak sepuluh kali al-Qur’an.(*[14])
    

    Nah orang-orang yang tidak cermat dan tidak objektif mengang- gap semua riwayat tadi mustahil. Mereka berkata, “Bagaimana mung- kin surah Yâsîn memiliki fadilah semacam itu, sementara ia hanyalah sebuah surah dari al-Qur’an dan masih banyak surah lain yang juga memiliki keutamaan?”

    Hakikat dari riwayat tersebut adalah sebagai berikut: Setiap huruf al-Qur’an memiliki pahala. Ia berupa satu kebai- kan.(*[15])Hanya saja dengan karunia dan kemurahan Allah, pahala dari huruf-huruf itu menjadi berlipat ganda. Kadangkala ia membuahkan sepuluh kebaikan, kadangkala tujuh puluh kebaikan, kadangkala tu- juh ratus kebaikan (sebagaimana huruf-huruf ayat al-Kursi), seribu lima ratus kebaikan (sebagaimana pada huruf-huruf surah al-Ikh- las), sepuluh ribu kebaikan (seperti ketika sejumlah ayat dibaca pada waktu-waktu utama dan malam Nisfu sya’ban), serta tiga puluh ribu kebaikan (seperti ketika dibaca pada malam Lailatul qadar) sehing- ga kebaikan itu berlipat ganda demikian banyak laksana benih apiun. Keberlipatan pahala hingga mencapai tiga puluh ribu bisa dipahami lewat ayat yang berbunyi ‘Ia lebih baik daripada seribu bulan’. (QS. al-Qadr [97]: 3).Demikianlah, jadi tidak mungkin menganalogikan dan mem- bandingkan al-Qur’an dengan pelipatgandaan bilangan kumulatif dari pahala yang disebutkan. Ia hanya bisa dilakukan terhadap pahala asli dari sejumlah surah.

    Kami akan menjelaskannya dengan sebuah contoh berikut: Misalnya ada sepetak sawah yang ditanami seribu benih jagung. Andaikan sebagian benihnya menumbuhkan tujuh bulir, lalu pada setiap bulir terdapat seratus biji, maka satu benih jagung saja sudah menyamai dua pertiga dari yang terdapat di sawah.Andaikan—misalnya—benih lain menumbuhkan sepuluh bulir, lalu pada setiap bulirnya terdapat seratus biji, maka satu benih itu saja sudah dua kali lipat benih yang ditanam. Demikian seterusnya.

    Sekarang kita anggap al-Qur’an sebagai ladang samawi yang suci. Setiap huruf berikut pahala aslinya—tanpa melihat bulirnya—laksa- na satu benih. Jika engkau menerapkan contoh di atas padanya, eng- kau bisa mengetahui fadilah berbagai surah yang disebutkan dalam hadis-hadis tersebut, yaitu dengan membandingkannya dengan huruf al-Qur’an aslinya.

    Misalnya: huruf-huruf al-Qur’an berjumlah tiga ratus ribu enam ratus dua puluh huruf. Huruf surah al-Ikhlas disertai basmalah ada- lah enam puluh sembilan huruf. Maka, tiga kali lipat dari enam pu- luh sembilan sama dengan dua ratus tujuh huruf. Artinya, kebaikan dari setiap huruf surah al-Ikhlas berjumlah sekitar seribu lima ratus.(*[16])Demikian pula jika engkau menghitung huruf-huruf surah Yâsîn, lalu membandingkannya dengan keseluruhan huruf al-Qur’an.

    Kalau peli- patgandaannya hingga sepuluh kali, maka setiap huruf yang terdapat di dalamnya berjumlah sekitar lima ratus kebaikan.

    Jika fadilah surah-surah yang lain dihitung dengan cara demiki- an, engkau akan memahami keberadaannya sebagai sesuatu yang be- nar dan tepat serta sama sekali tidak berlebihan.

    Prinsip Kesepuluh Kadangkala sejumlah individu memiliki kemampuan luar bia- sa seperti yang terjadi pada sebagian besar kelompok makhluk. Jika sosok luar biasa itu mengungguli yang lain dalam hal kebaikan dan kesalehan, ia akan menjadi kebanggan bagi kalangannya. Jika tidak, ia akan menjadi peringatan yang menginformasikan bencana dan kesi- alan atas mereka. Masing-masing individu yang istimewa itu tumbuh sebagai sosok maknawi di setiap tempat di masyarakat. Yang lain beru- saha meniru sikap dan perbuatannya seraya berusaha untuk mencapai tujuannya. Bisa jadi ada di antara mereka yang berhasil meniru satu amal perbuatannya. Jadi, persoalannya dari sisi logika adalah persoa- lan adanya “kemungkinan” bagi adanya sosok luar biasa semacam itu di setiap tempat secara tersembunyi. Artinya, dengan amalnya ini ia menjadi sosok universal. Yakni, amal semacam ini bisa dan mungkin menghasilkan buah seperti itu.

    Dengan contoh di atas, perhatikan sejumlah hadis Nabi yang maknanya kurang lebih seperti ini, “Siapa yang salat dua rakaat ini, ia akan mendapatkan pahala haji.”(*[17])Yakni, pahala salat dua rakaat di waktu tertentu bisa menyerupai pahala haji. Ini adalah hakikat yang pasti. Jadi, bisa saja salat dua rakaat itu mengandung makna di atas.Hanya saja, ia tidak selalu demikian dan tidak berlaku secara umum. Pasalnya, agar diterima ada sejumlah syarat tertentu yang harus dipe- nuhi. Karena itu, riwayat semacam di atas tidak berlaku umum. Ia bisa bersifat sementara atau bisa pula hanya bersifat mungkin. Keumuman pada hadis semacam itu hanya dilihat dari sisi kemungkinannya.

    Mi- salnya dalam riwayat disebutkan: “Gibah seperti membunuh”.(*[18])Yakni, dengan perbuatan gibah seseorang bisa menjadi racun yang memati- kan. Contoh lainnya adalah: “Ungkapan yang baik adalah sedekah se- perti membebaskan budak.”(*[19])

    Hikmah penyebutan hadis-hadis dalam bentuk seperti itu adalah untuk mengungkapkan kemungkinan terjadinya sifat maknawi yang sempurna pada setiap tempat dan dalam bentuknya yang bersifat mut- lak. Sebab, ia sangat ampuh dalam memberikan motivasi dan anca- man, serta lebih mendorong jiwa untuk mau melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan.

    Kemudian urusan alam abadi tidak bisa diukur dengan ukuran alam kita saat ini. Sebab, milik kita yang paling besar bisa jadi ada- lah sesuatu yang paling kecil di sana. Nah, karena pahala amal saleh mengarah kepada alam abadi tersebut, maka pandangan duniawi kita yang sempit tidak mampu menjangkaunya. Kita tidak mampu mema- haminya dengan akal kita yang terbatas. Misalnya, terdapat riwayat yang menjadi perhatian orang-orang yang tidak cermat dan tidak objektif dalam memberikan penilaian. Riwayat tersebut berbunyi, “Siapa yang membaca ini ia akan mendapat pahala seperti pahala nabi Musa dan nabi Harun .” Yaitu:مَن۟ قَرَاَ هٰذَا اُع۟طِىَ لَهُ مِث۟لُ ثَوَابِ مُوسٰى وَ هَارُونَ اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ رَبِّ السَّمٰوَاتِ وَ رَبِّ ال۟اَرَضٖينَ رَبِّ ال۟عَالَمٖينَ، وَلَهُ ال۟كِب۟رِيَاءُ فِى السَّمٰوَاتِ وَال۟اَر۟ضِ وَ هُوَ ال۟عَزٖيزُ ال۟حَكٖيمُ ۝ اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ رَبِّ السَّمٰوَاتِ وَ رَبِّ ال۟اَرَضٖينَ رَبِّ ال۟عَالَمٖينَ، وَلَهُ ال۟عَظَمَةُ فِى السَّمٰوَاتِ وَال۟اَر۟ضِ وَ هُوَ ال۟عَزٖيزُ ال۟حَكٖيمُ ۝ وَلَهُ ال۟مُل۟كُ رَبُّ السَّمٰوَاتِ وَ هُوَ ال۟عَزٖيزُ ال۟حَكٖيمُ

    Hakikat dari hadis-hadis yang menggugah pikiran tersebut dan yang sejenisnya adalah sebagai berikut: Kita tidak memahami sejauh mana pahala yang didapat oleh Nabi Musa dan Nabi Harun kecuali sesuai dengan persespsi kita, sesuai dengan paradigma kita yang sempit, serta sesuai pandangan kita yang terbatas. Karena itu, hakikat pahala yang diraih oleh hamba yang sangat lemah dari Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Pemberi rah- mat lewat membaca wirid di atas pada kehidupan yang kekal abadi bisa sesuai dengan pahala kedua nabi agung itu yang kita asumsikan dengan akal kita yang terbatas. Hal itu sesuai dengan wilayah pengeta- huan dan cakrawala berpikir yang kita miliki.

    Dalam hal ini, kita seperti orang badui yang belum pernah me- lihat raja dan tidak memahami keagungannya. Dalam pandangan dan pikirannya yang sempit, raja adalah sosok seperti syekh yang ada di kampung atau sedikit lebih tua darinya. Bahkan di bagian Timur Ana- tolia terdapat orang-orang kampung yang polos yang berkata, “Raja duduk di dekat tungku dan mengawasi masakannya sendiri.” Artinya, asumsi orang badui tentang keagungan raja tidak lebih dari sosok pe- mimpin batalion tentara. Jika dikatakan kepada mereka, “Apabila eng- kau melakukan pekerjaan ini untukku, aku akan menjadikanmu seba- gai raja,” yaitu laksana pemimpin batalion, maka perkataan ini benar. Sebab, raja dalam pandangan dan pikiran si pendengar hanya laksana pemimpin batalion.

    Demikianlah, kita nyaris tidak memahami berbagai hakikat yang terkait dengan pahala amal yang mengarah pada akhirat dengan akal kita yang sempit dan pandangan kita yang terbatas seperti orang badui tadi. Pasalnya, kandungan hadis Nabi tersebut bukan dalam rangka membuat perbandingan antara pahala hakiki yang didapatkan Musa dan Harun yang tidak kita ketahui, dengan pahala yang didapat oleh hamba yang membaca wirid di atas. Sebab, kaidah tasybih adalah menganalogikan yang tak diketahui dengan sesuatu yang diketahui. Yakni, membandingkan antara pahala keduanya “yang kita ketahui” sesuai dengan persepsi kita, dengan pahala hakiki sang hamba pem- baca wirid di atas “yang tidak kita ketahui”.

    Kemudian, bayangan matahari yang terpantul dari permukaan laut dan tetesan air adalah sama. Perbedaannya terletak pada kualitasnya saja. Keduanya memantulkan bayangan dan cahaya matahari. Ka- rena itu, ruh Musa dan Harun yang merupakan cermin bening laksana lautan memantulkan esensi pahala seperti pantulan ruh hamba pezikir tadi yang laksana tetesan air. Pahala keduanya sama dilihat dari sisi esensi dan kuantitas.

    Namun berbeda dari sisi kualitas. Sebab, masing- masing sesuai dengan potensinya.Selanjutnya, pengulangan zikir dan tasbih tertentu atau pembaca- an sebuah ayat bisa membuka pintu rahmat dan kebahagiaan di mana ia tidak bisa dibuka oleh ibadah selama enam puluh tahun. Artinya, terdapat sejumlah kondisi di mana satu ayat di dalamnya memberikan sejumlah manfaat seperti yang dimiliki keseluruhan al-Qur’an.

    Lalu, limpahan karunia ilahi yang tampak pada Rasul x dengan membaca satu ayat bisa menyamai limpahan karunia ilahi yang sem- purna yang diberikan pada nabi lain. Sebab, Nabi x adalah tempat menifestasi Ismul a’zham (nama Allah yang paling agung). Jika ada yang berkata bahwa hamba yang berzikir bisa mendapatkan hembu- san naungan Ismul a’zham berkat pewarisan kenabian dan mempero- leh pahala sesuai dengan potensi penerimaannya seperti karunia yang diberikan pada nabi yang lain, maka hal ini sama sekali tidak bersebe- rangan dengan hakikat yang ada.

    Kemudian, pahala dan upah berasal dari alam cahaya yang ke- kal di mana satu alam darinya bisa terhimpun pada satu benih, sama seperti bayangan matahari dengan semua bintangnya terhimpun dan terlihat pada satu potong kaca kecil. Demikianlah, membaca satu ayat atau zikir tertentu dengan niat yang ikhlas bisa melahirkan kebeni- ngan di dalam jiwa—laksana kaca—di mana ia dapat menyerap pahala berkilau seperti langit yang luas.

    Netice-i Kelâm: Ey insafsız ve dikkatsiz ve imanı zayıf, felsefesi kavî, hodbin, münekkid adam! Şu on aslı nazara al. Sonra sen hilaf-ı hakikat ve kat’î muhalif-i vaki gördüğün bir rivayeti bahane ederek ehadîs-i şerifeye ve dolayısıyla Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâmın mertebe-i ismetine halel verecek itiraz parmağını uzatma! Zira evvela o on aslın on dairesi, seni inkârdan vazgeçirir. “Hakiki bir kusur varsa bize aittir.” derler, hadîse râci olamaz. “Eğer hakiki değilse senin sû-i fehmine aittir.” derler.

    Elhasıl: İnkâr ve redde gitmek için şu on aslı tekzip ve iptal etmek lâzım gelir. Şimdi insafın varsa bu on usûlü kemal-i dikkatle düşündükten sonra, o aklın hilaf-ı hakikat gördüğü bir hadîsin inkârına kalkışma! “Ya bir tefsiri ya bir tevili ya bir tabiri vardır.” de, ilişme!

    On Birinci Asıl: Nasıl Kur’an-ı Hakîm’in müteşabihatı var; tevile muhtaçtır veyahut mutlak teslim istiyor. Ehadîsin de Kur’an’ın müteşabihatı gibi müşkülatı vardır. Bazen çok dikkatli tefsire ve tabire muhtaçtır. Geçmiş misallerle iktifa edebilirsiniz.

    Evet, nasıl ki hüşyar olan adam, yatmış olan adamın rüyasını tabir eder. Öyle de bazen uykuda olan bir adam, yanında uyanık olan konuşanların sözlerini işitiyor fakat kendi âlem-i menamına tatbik eder bir tarzda mana veriyor, tabir ediyor. Öyle de ey gaflet ve felsefe uykusu içinde tenvim edilen insafsız adam! Sırr-ı مَا زَاغَ ال۟بَصَرُ وَمَا طَغٰى ve تَنَامُ عَي۟نٖى وَلَا يَنَامُ قَل۟بٖى hükmüne mazhar ve hakiki hüşyar ve yakzan olan zatın gördüğünü sen kendi rüyanda inkâr değil, tabir et. Evet, uykuda bir adamı bir sinek ısırsa müthiş bir harpte yaralar alır gibi bir hakikat-i nevmiye bazen telakki eder. Ondan sorulsa “Hakikaten ben yaralandım. Bana top tüfek atıldı.” diyecek. Yanında oturanlar onun uykusundaki ızdırabına gülüyorlar. İşte bu nevm-âlûd nazar-ı gaflet ve fikr-i felsefe, elbette hakaik-i nübüvvete mihenk olamazlar.

    On İkinci Asıl: Nazar-ı nübüvvet ve tevhid ve iman; vahdete, âhirete, uluhiyete baktığı için hakaiki ona göre görür. Ehl-i felsefe ve hikmetin nazarı; kesrete, esbaba, tabiata bakar, ona göre görür. Nokta-i nazar birbirinden çok uzaktır. Ehl-i felsefenin en büyük bir maksadı, ehl-i usûlü’d-din ve ulema-i ilm-i kelâmın makasıdı içinde görünmeyecek bir derecede küçük ve ehemmiyetsizdir.

    İşte onun içindir ki mevcudatın tafsil-i mahiyetinde ve ince ahvallerinde ehl-i hikmet çok ileri gitmişler. Fakat hakiki hikmet olan ulûm-u âliye-i İlahiye ve uhreviyede o kadar geridirler ki en basit bir mü’minden daha geridirler. Bu sırrı fehmetmeyenler, muhakkikîn-i İslâmiyeyi, hükemalara nisbeten geri zannediyorlar. Halbuki akılları gözlerine inmiş, kesrette boğulmuş olanların ne haddi var ki veraset-i nübüvvet ile makasıd-ı âliye-i kudsiyeye yetişenlere yetişebilsinler.

    Hem bir şey iki nazar ile bakıldığı vakit, iki muhtelif hakikati gösteriyor. İkisi de hakikat olabilir. Fennin hiçbir hakikat-i kat’iyesi, Kur’an’ın hakaik-i kudsiyesine ilişemez. Fennin kısa eli, onun münezzeh ve muallâ dâmenine erişemez. Numune olarak bir misal zikrederiz:

    Mesela küre-i arz, ehl-i hikmet nazarıyla bakılsa hakikati şudur ki: Güneş etrafında mutavassıt bir seyyare gibi hadsiz yıldızlar içinde döner. Yıldızlara nisbeten küçük bir mahluk. Fakat ehl-i Kur’an nazarıyla bakıldığı vakit –On Beşinci Söz’de izah edildiği gibi– hakikati şöyledir ki: Semere-i âlem olan insan, en câmi’ en bedî’ ve en âciz en aziz en zayıf en latîf bir mu’cize-i kudret olduğundan, beşik ve meskeni olan zemin; semaya nisbeten maddeten küçüklüğüyle ve hakaretiyle beraber manen ve sanaten bütün kâinatın kalbi, merkezi; bütün mu’cizat-ı sanatının meşheri, sergisi; bütün tecelliyat-ı esmasının mazharı, nokta-i mihrakıyesi; nihayetsiz faaliyet-i Rabbaniyenin mahşeri, ma’kesi; hadsiz hallakıyet-i İlahiyenin hususan nebatat ve hayvanatın kesretli enva-ı sağiresinden cevvadane icadın medarı, çarşısı ve pek geniş âhiret âlemlerindeki masnuatın küçük mikyasta numunegâhı ve mensucat-ı ebediyenin süratle işleyen tezgâhı ve menazır-ı sermediyenin çabuk değişen taklitgâhı ve besatin-i daimenin tohumcuklarına süratle sümbüllenen dar ve muvakkat mezraası ve terbiyegâhı olmuştur.

    İşte arzın bu azamet-i maneviyesinden ve ehemmiyet-i san’aviyesindendir ki Kur’an-ı Hakîm; semavata nisbeten büyük bir ağacın küçük bir meyvesi hükmünde olan arzı, bütün semavata karşı küçücük kalbi, büyük kalıba mukabil tutmak gibi denk tutuyor. Onu bir kefede, bütün semavatı bir kefede koyuyor, mükerreren رَبُّ السَّمٰوَاتِ وَ ال۟اَر۟ضِ diyor.

    İşte sair mesaili buna kıyas et ve anla ki felsefenin ruhsuz, sönük hakikatleri; Kur’an’ın parlak, ruhlu hakikatleriyle müsademe edemez. Nokta-i nazar ayrı ayrı olduğu için ayrı ayrı görünür.

    DÖRDÜNCÜ DAL

    اَلَم۟ تَرَ اَنَّ اللّٰهَ يَس۟جُدُ لَهُ مَن۟ فِى السَّمٰوَاتِ وَمَن۟ فِى ال۟اَر۟ضِ وَالشَّم۟سُ وَال۟قَمَرُ وَالنُّجُومُ وَال۟جِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَٓابُّ وَكَثٖيرٌ مِنَ النَّاسِ وَكَثٖيرٌ حَقَّ عَلَي۟هِ ال۟عَذَابُ وَمَن۟ يُهِنِ اللّٰهُ فَمَا لَهُ مِن۟ مُك۟رِمٍ اِنَّ اللّٰهَ يَف۟عَلُ مَا يَشَٓاءُ

    Şu büyük ve geniş âyetin hazinesinden yalnız bir tek cevherini göstereceğiz. Şöyle ki:

    Kur’an-ı Hakîm tasrih ediyor ki arştan ferşe, yıldızlardan sineklere, meleklerden semeklere, seyyarattan zerrelere kadar her şey Cenab-ı Hakk’a secde ve ibadet ve hamd ve tesbih eder. Fakat ibadetleri, mazhar oldukları esmalara ve kabiliyetlerine göre ayrı ayrıdır, çeşit çeşittir. Biz onların ibadetlerinin tenevvüünün bir nevini bir temsil ile beyan ederiz.

    Mesela وَ لِلّٰهِ ال۟مَثَلُ ال۟اَع۟لٰى azîm bir Mâlikü’l-mülk, büyük bir şehri veya muhteşem bir sarayı bina ettiği vakit, o zat dört nevi ameleyi onun binasında istihdam ve istimal eder:

    Birinci nevi: Onun memlûk ve köleleridir. Bu nev’in, ne maaşı var ve ne de ücreti var. Belki onlar seyyidlerinin emriyle işledikleri her amelde, onların gayet latîf bir zevk ve hoş bir şevkleri vardır. Seyyidlerinin medhinden ve vasfından ne deseler onların zevkini ve şevkini ziyade eder. Onlar o mukaddes seyyidlerine intisaplarını büyük bir şeref bilerek onunla iktifa ediyorlar. Hem o seyyidin namıyla, hesabıyla, nazarıyla işlere bakmalarından da manevî lezzet buluyorlar. Ücret ve rütbeye ve maaşa muhtaç olmuyorlar.

    İkinci kısım ki bazı âmî hizmetkârlardır. Bilmiyorlar niçin işliyorlar. Belki o mâlik-i zîşan onları istimal ediyor, kendi fikriyle ve ilmiyle onları çalıştırıyor. Onlara lâyık bir cüz’î ücret dahi veriyor. O hizmetkârlar bilmiyorlar ki amellerine ne çeşit küllî gayeler, âlî maslahatlar terettüp ediyor. Hattâ bazıları tevehhüm ediyorlar ki onların amelleri yalnız kendilerine ait o ücret ve maaşından başka gayesi yoktur.

    Üçüncü kısım: O Mâlikü’l-mülk’ün bir kısım hayvanatı var. Onları o şehrin, o sarayın binasında bazı işlerde istihdam ediyor. Onlara yalnız bir yem veriyor. Onların da istidatlarına muvafık işlerde çalışmaları onlara bir telezzüz veriyor. Çünkü bi’l-kuvve bir kabiliyet ve bir istidat, fiil ve amel suretine girse inbisat ile teneffüs eder, bir lezzet verir ve bütün faaliyetlerdeki lezzet bu sırdandır. Şu kısım hizmetkârların ücret ve maaşları, yalnız yem ve şu lezzet-i maneviyedir. Onunla iktifa ederler.

    Dördüncü kısım: Öyle amelelerdir ki biliyorlar ne işliyorlar ve ne için işliyorlar ve kimin için işliyorlar ve sair ameleler ne için işliyorlar ve o Mâlikü’l-mülk’ün maksadı nedir, ne için işlettiriyor. İşte bu nevi amelelerin sair amelelere bir riyaset ve nezaretleri var. Onların derecat ve rütbelerine göre derece derece maaşları var.

    Aynen bunun gibi semavat ve arzın Mâlik-i Zülcelali ve dünya ve âhiretin Bâni-i Zülcemali olan Rabbü’l-âlemîn değil ihtiyaç için –çünkü her şeyin Hâlık’ı odur– belki izzet ve azamet ve rububiyetin şuunatı gibi bazı hikmetler için şu kâinat sarayında, şu daire-i esbab içinde hem melâikeyi hem hayvanatı hem cemadat ve nebatatı hem insanları istihdam ediyor. Onlara ibadet ettiriyor.

    Şu dört nev’i, ayrı ayrı vezaif-i ubudiyetle mükellef etmiştir:

    Birinci Kısım: Temsilde memlûklere misal, melâikelerdir. Melâikeler ise onlarda mücahede ile terakkiyat yoktur. Belki her birinin sabit bir makamı, muayyen bir rütbesi vardır. Fakat onların nefs-i amellerinde bir zevk-i mahsusaları var. Nefs-i ibadetlerinde derecatlarına göre tefeyyüzleri var. Demek, o hizmetkârlarının mükâfatı, hizmetlerinin içindedir. Nasıl insan mâ, hava ve ziya ve gıda ile tagaddi edip telezzüz eder. Öyle de melekler, zikir ve tesbih ve hamd ve ibadet ve marifet ve muhabbetin envarıyla tagaddi edip telezzüz ediyorlar. Çünkü onlar nurdan mahluk oldukları için gıdalarına nur kâfidir. Hattâ nura yakın olan rayiha-i tayyibe dahi onların bir nevi gıdalarıdır ki ondan hoşlanıyorlar. Evet ervah-ı tayyibe, revayih-i tayyibeyi sever.

    Hem melekler, Mabudlarının emriyle işledikleri işlerde ve onun hesabıyla işledikleri amellerde ve onun namıyla ettikleri hizmette ve onun nazarıyla yaptıkları nezarette ve onun intisabıyla kazandıkları şerefte ve onun mülk ve melekûtunun mütalaasıyla aldıkları tenezzühte ve onun tecelliyat-ı cemaliye ve celaliyesinin müşahedesiyle kazandıkları tena’umda öyle bir saadet-i azîme vardır ki akl-ı beşer anlamaz, melek olmayan bilemez.

    Meleklerin bir kısmı âbiddirler, diğer bir kısmının ubudiyetleri ameldedir. Melâike-i arziyenin amele kısmı bir nevi insan gibidir. Tabir caiz ise bir nevi çobanlık ederler, bir nevi de çiftçilik ederler. Yani rûy-i zemin, umumî bir mezraadır. İçindeki bütün hayvanatın taifelerine Hâlık-ı Zülcelal’in emriyle, izniyle, hesabıyla, havl ve kuvvetiyle bir melek-i müekkel nezaret eder. Ondan daha küçük her bir nevi hayvanata mahsus bir nevi çobanlık edecek bir melâike-i müekkel var.

    Hem de rûy-i zemin bir tarladır, umum nebatat onun içinde ekilir. Umumuna Cenab-ı Hakk’ın namıyla, kuvvetiyle nezaret edecek müekkel bir melek vardır. Ondan daha aşağı bir melek, bir taife-i mahsusaya nezaret etmekle Cenab-ı Hakk’a ibadet ve tesbih eden melekler var. Rezzakıyet arşının hamelesinden olan Hazret-i Mikâil aleyhisselâm, şunların en büyük nâzırlarıdır.

    Meleklerin çoban ve çiftçiler mesabesinde olanlarının insanlara müşabehetleri yoktur. Çünkü onların nezaretleri sırf Cenab-ı Hakk’ın hesabıyladır ve onun namıyla ve kuvvetiyle ve emriyledir. Belki nezaretleri, yalnız rububiyetin tecelliyatını, memur olduğu nevide müşahede etmek ve kudret ve rahmetin cilvelerini o nevide mütalaa etmek ve evamir-i İlahiyeyi o nev’e bir nevi ilham etmek ve o nev’in ef’al-i ihtiyariyesini bir nevi tanzim etmekten ibarettir.

    Ve bilhassa zeminin tarlasındaki nebatata nezaretleri, onların tesbihat-ı maneviyelerini melek lisanıyla temsil etmek ve onların hayatlarıyla Fâtır-ı Zülcelal’e karşı takdim ettiği tahiyyat-ı maneviyelerini melek lisanıyla ilan etmek hem onlara verilen cihazatı, hüsn-ü istimal etmek ve bazı gayelere tevcih etmek ve bir nevi tanzim etmekten ibarettir.

    Melâikelerin şu hizmetleri, cüz-i ihtiyarîleriyle bir nevi kesbdir. Belki bir nevi ubudiyet ve ibadettir. Tasarruf-u hakikileri yoktur. Çünkü her şeyde Hâlık-ı külli şey’e has bir sikke vardır. Başkaları parmağını icada karıştıramaz. Demek, melâikelerin şu nevi amelleri ise onların ibadetidir. İnsan gibi âdetleri değildir.

    Ve bu saray-ı kâinatta ikinci kısım amele: Hayvanattır. Hayvanat dahi iştiha sahibi bir nefis ve bir cüz-i ihtiyarîleri olduğundan amelleri hâlisen livechillah olmuyor. Bir derece nefislerine de bir hisse çıkarıyorlar. Onun için Mâlikü’l-mülki Zülcelali ve’l-ikram, Kerîm olduğundan onların nefislerine bir hisse vermek için amellerinin zımnında onlara bir maaş ihsan ediyor. Mesela, meşhur bülbül kuşu (Hâşiye[20]) gülün aşkıyla maruf o hayvancığı, Fâtır-ı Hakîm istihdam ediyor. Beş gaye için onu istimal ediyor:

    Birincisi: Hayvanat kabileleri namına, nebatat taifelerine karşı olan münasebat-ı şedideyi ilana memurdur.

    İkincisi: Rahman’ın rızka muhtaç misafirleri hükmünde olan hayvanat tarafından bir hatib-i Rabbanîdir ki Rezzak-ı Kerîm tarafından gönderilen hediyeleri alkışlamakla ve ilan-ı sürur etmekle muvazzaftır.

    Üçüncüsü: Ebna-yı cinsine imdat için gönderilen nebatata karşı hüsn-ü istikbali, herkesin başında izhar etmektir.

    Dördüncüsü: Nev-i hayvanatın nebatata derece-i aşka vâsıl olan şiddet-i ihtiyacını, nebatatın güzel yüzlerine karşı mübarek başları üstünde beyan etmektir.

    Beşincisi: Mâlikü’l-mülki Zülcelali ve’l-cemali ve’l-ikram’ın bârgâh-ı merhametine en latîf bir tesbihi, en latîf bir şevk içinde, gül gibi en latîf bir yüzde takdim etmektir.

    İşte şu beş gayeler gibi başka manalar da vardır. Şu manalar ve şu gayeler, bülbülün Hak Sübhanehu ve Teâlâ’nın hesabına ettiği amelin gayesidir. Bülbül kendi diliyle konuşur. Biz şu manaları onun hazîn sözlerinden fehmediyoruz –melâike ve ruhaniyatın fehmettikleri gibi– kendisi kendi nağamatının manasını tamamen bilmese de fehmimize zarar vermez. “Dinleyen söyleyenden daha iyi anlar.” meşhurdur. Hem bülbül, şu gayeleri tafsilatıyla bilmemesinden olmamasına delâlet etmiyor. Lâekall saat gibi sana evkatını bildirir, kendisi bilmiyor ne yapıyor. Bilmemesi senin bildiğine zarar vermez.

    Amma o bülbülün cüz’î maaşı ise o tebessüm eden ve gülen güzel gül çiçeklerinin müşahedesiyle aldığı zevk ve onlarla muhavere ve konuşmak ve dertlerini dökmekle aldığı telezzüzdür. Demek onun nağamat-ı hazînesi, hayvanî teellümattan gelen teşekkiyat değil belki atâyâ-yı Rahmaniyeden gelen bir teşekkürattır.

    Bülbüle; nahli, fahli, ankebut ve nemli, yani arı ve vasıta-i nesil erkek hayvan ve örümcek ve karınca ve hevam ve küçük hayvanların bülbüllerini kıyas et. Her birinin amellerinin bülbül gibi çok gayeleri var. Onlar için de birer maaş-ı cüz’î hükmünde birer zevk-i mahsus, hizmetlerinin içinde dercedilmiştir. O zevk ile sanat-ı Rabbaniyedeki mühim gayelere hizmet ediyorlar. Nasıl ki bir sefine-i Sultaniyede bir nefer dümencilik edip bir cüz’î maaş alır. Öyle de hizmet-i Sübhaniyede bulunan bu hayvanatın birer cüz’î maaşları vardır.

    Bülbül bahsine bir tetimme

    Sakın zannetme ki bu ilan ve dellâllık ve tesbihatın nağamatıyla teganni, bülbüle mahsustur. Belki ekser envaın her bir nevinin bülbül-misali bir sınıfı var ki o nev’in en latîf hissiyatını, en latîf bir tesbih ile en latîf sec’alarla temsil edecek birer latîf ferdi veya efradı bulunur. Hususan sinek ve böceklerin bülbülleri hem çoktur hem çeşit çeşittirler ki onlar bütün kulağı bulunanların en küçük hayvandan en büyüğüne kadar olanların başlarında tesbihatlarını güzel sec’alarla onlara işittirip onları mütelezziz ediyorlar.

    Onlardan bir kısmı leylîdir. Gecede sükûta dalan ve sükûnete giren bütün küçük hayvanların kasidehân enisleri, gecenin sükûnetinde ve mevcudatın sükûtunda onların tatlı sözlü nutuk-hânlarıdır. Ve o meclis-i halvette olan zikr-i hafînin dairesinde birer kutubdur ki her birisi onu dinler, kendi kalpleriyle Fâtır-ı Zülcelallerine bir nevi zikir ve tesbih ederler.

    Diğer bir kısmı neharîdir. Gündüzde ağaçların minberlerinde, bütün zîhayatların başlarında, yaz ve bahar mevsimlerinde yüksek âvâzlarıyla, latîf nağamat ile sec’alı tesbihat ile Rahmanu’r-Rahîm’in rahmetini ilan ediyorlar. Güya bir zikr-i cehrî halkasının bir reisi gibi işitenlerin cezbelerini tahrik ediyorlar ki o vakit işitenlerin her birisi lisan-ı mahsusuyla ve bir âvâz-ı hususi ile Fâtır-ı Zülcelalinin zikrine başlar. Demek, her bir nevi mevcudatın hattâ yıldızların da bir serzâkiri ve nur-efşan bir bülbülü var.

    Fakat bütün bülbüllerin en efdali ve en eşrefi ve en münevveri ve en bâhiri ve en azîmi ve en kerîmi ve sesçe en yüksek ve vasıfça en parlak ve zikirce en etem ve şükürce en eamm ve mahiyetçe en ekmel ve suretçe en ecmel, kâinat bostanında, arz ve semavatın bütün mevcudatını latîf secaatıyla, leziz nağamatıyla, ulvi tesbihatıyla vecde ve cezbeye getiren, nev-i beşerin andelib-i zîşanı ve benî-Âdem’in bülbül-ü zü’l-Kur’an’ı: Muhammed-i Arabî’dir.

    عَلَي۟هِ وَ عَلٰى اٰلِهٖ وَ اَم۟ثَالِهٖ اَف۟ضَلُ الصَّلَاةِ وَ اَج۟مَلُ التَّس۟لٖيمَاتِ

    Elhasıl: Kâinat sarayında hizmet eden hayvanat, kemal-i itaatle evamir-i tekviniyeye imtisal edip, fıtratlarındaki gayeleri güzel bir vecihle ve Cenab-ı Hakk’ın namıyla izhar ederek hayatlarının vazifelerini bedî’ bir tarz ile Cenab-ı Hakk’ın kuvvetiyle işlemekle ettikleri tesbihat ve ibadat, onların hedâya ve tahiyyatlarıdır ki Fâtır-ı Zülcelal ve Vâhib-i Hayat dergâhına takdim ediyorlar.

    Üçüncü kısım ameleleri: Nebatat ve cemadattır. Onların cüz-i ihtiyarîleri olmadığı için maaşları yoktur. Amelleri hâlisen livechillahtır ve Cenab-ı Hakk’ın iradesiyle ve ismiyle ve hesabıyla ve havl ve kuvvetiyledir. Fakat nebatatın gidişatlarından hissolunuyor ki onların vezaif-i telkîh ve tevlidde ve meyvelerin terbiyesinde bir çeşit telezzüzatları var. Fakat hiç teellümata mazhar değiller. Hayvan muhtar olduğu için lezzet ile beraber elemi de var. Cemadat ve nebatatın amellerinde ihtiyar gelmediği için eserleri de ihtiyar sahibi olan hayvanların amellerinden daha mükemmel oluyor. İhtiyar sahibi olanların içinde, arı emsali gibi vahiy ve ilham ile tenevvür edenlerin amelleri, cüz-i ihtiyarîsine itimat edenlerin amellerinden daha mükemmeldir.

    Yeryüzünün tarlasında nebatatın her bir taifesi, lisan-ı hal ve istidat diliyle Fâtır-ı Hakîm’den sual ediyorlar, dua ediyorlar ki: “Yâ Rabbenâ! Bize kuvvet ver ki yeryüzünün her bir tarafında taifemizin bayrağını dikmekle saltanat-ı rububiyetini lisanımızla ilan edelim. Ve rûy-i arz mescidinin her bir köşesinde sana ibadet etmek için bize tevfik ver. Ve meşhergâh-ı arzın her bir tarafında senin esma-i hüsnanın nakışlarını, senin bedî’ ve antika sanatlarını kendi lisanımızla teşhir etmek için bize bir revaç ve seyahate iktidar ver.” derler.

    Fâtır-ı Hakîm onların manevî dualarını kabul edip ki bir taifenin tohumlarına kıldan kanatçıklar verir, her tarafa uçup gidiyorlar. Taifeleri namına esma-i İlahiyeyi okutturuyorlar (Ekser dikenli nebatat ve bir kısım sarı çiçeklerin tohumları gibi). Ve bir kısmına da insana lâzım veya hoşuna gidecek güzel et veriyor. İnsanı ona hizmetkâr edip her tarafa ekiyor. Bazı taifelerine de hazmolmayacak sert bir kemik üstünde hayvanlar yutacak bir et veriyor ki hayvanlar onu çok taraflara dağıtıyorlar. Bazılara da çengelcikleri verip her temas edene yapışıyor. Başka yerlere giderek taifesinin bayrağını dikerler, Sâni’-i Zülcelal’in antika sanatını teşhir ediyorlar. Ve bir kısmına da acı düğelek denilen nebatat gibi saçmalı tüfek gibi bir kuvvet verir ki vakti geldiği zaman onun meyvesi olan hıyarcık düşer, saçmalar gibi birkaç metre yerlere tohumcuklarını atar, zer’eder. Fâtır-ı Zülcelal’in zikir ve tesbihini kesretli lisanlarla söylettirmeye çalışırlar ve hâkeza kıyas et.

    Fâtır-ı Hakîm ve Kādir-i Alîm, kemal-i intizamla her şeyi güzel yaratmış, güzel teçhiz etmiş, güzel gayelere tevcih etmiş, güzel vazifelerle tavzif etmiş, güzel tesbihat yaptırıyor, güzel ibadet ettiriyor. Ey insan! İnsan isen şu güzel işlere, tabiatı, tesadüfü, abesiyeti, dalaleti karıştırma; çirkin etme, çirkin yapma, çirkin olma.

    Dördüncü kısım: İnsandır. Şu kâinat sarayında bir nevi hademe olan insanlar hem melâikeye benzer hem hayvanata benzer. Melâikeye ubudiyet-i külliyede, nezaretin şümulünde, marifetin ihatasında, rububiyetin dellâllığında meleklere benzer. Belki insan daha câmi’dir. Fakat insanın şerire ve iştihalı bir nefsi bulunduğundan melâikenin hilafına olarak pek mühim terakkiyat ve tedenniyata mazhardır. Hem insan, amelinde nefsi için bir haz ve zatı için bir hisse aradığı için hayvana benzer. Öyle ise insanın iki maaşı var: Biri; cüz’îdir, hayvanîdir, muacceldir. İkincisi; melekîdir, küllîdir, müecceldir.

    Şimdi, insanın vazifesiyle maaşı ve terakkiyat ve tedenniyatı, geçen yirmi üç adet Sözlerde kısmen geçmiştir. Hususan On Birinci ve Yirmi Üçüncü’de daha ziyade beyan edilmiş. Onun için şurada ihtisar ederek kapıyı kapıyoruz. Erhamü’r-Râhimîn’den rahmet kapılarını bize açmasını ve şu Söz’ün tekmiline tevfikini refik eylemesini niyaz ile kusurumuzun ve hatamızın affını talep ile hatmediyoruz.

    BEŞİNCİ DAL

    Beşinci Dal’ın beş meyvesi var.

    BİRİNCİ MEYVE

    Ey nefis-perest nefsim, ey dünya-perest arkadaşım! Muhabbet, şu kâinatın bir sebeb-i vücududur. Hem şu kâinatın rabıtasıdır. Hem şu kâinatın nurudur hem hayatıdır. İnsan, kâinatın en câmi’ bir meyvesi olduğu için kâinatı istila edecek bir muhabbet, o meyvenin çekirdeği olan kalbine dercedilmiştir. İşte şöyle nihayetsiz bir muhabbete lâyık olacak, nihayetsiz bir kemal sahibi olabilir.

    İşte ey nefis ve ey arkadaş! İnsanın havfa ve muhabbete âlet olacak iki cihaz, fıtratında dercolunmuştur. Alâküllihal o muhabbet ve havf, ya halka veya Hâlık’a müteveccih olacak. Halbuki halktan havf ise elîm bir beliyyedir. Halka muhabbet dahi belalı bir musibettir. Çünkü sen öylelerden korkarsın ki sana merhamet etmez veya senin istirhamını kabul etmez. Şu halde havf, elîm bir beladır.

    Muhabbet ise sevdiğin şey, ya seni tanımaz, Allah’a ısmarladık demeyip gider –gençliğin ve malın gibi– ya muhabbetin için seni tahkir eder. Görmüyor musun ki mecazî aşklarda yüzde doksan dokuzu, maşukundan şikâyet eder. Çünkü Samed âyinesi olan bâtın-ı kalp ile sanem-misal dünyevî mahbublara perestiş etmek, o mahbubların nazarında sakîldir ve istiskal eder, reddeder. Zira fıtrat, fıtrî ve lâyık olmayan şeyi reddeder, atar. (Şehvanî sevmekler bahsimizden hariçtir.)

    Demek, sevdiğin şeyler ya seni tanımıyor ya seni tahkir ediyor ya sana refakat etmiyor. Senin rağmına müfarakat ediyor. Madem öyledir; bu havf ve muhabbeti, öyle birisine tevcih et ki senin havfın lezzetli bir tezellül olsun. Muhabbetin zilletsiz bir saadet olsun.

    Evet, Hâlık-ı Zülcelal’inden havf etmek, onun rahmetinin şefkatine yol bulup iltica etmek demektir. Havf, bir kamçıdır; onun rahmetinin kucağına atar. Malûmdur ki bir valide, mesela, bir yavruyu korkutup sinesine celbediyor. O korku, o yavruya gayet lezzetlidir. Çünkü şefkat sinesine celbediyor. Halbuki bütün validelerin şefkatleri, rahmet-i İlahiyenin bir lem’asıdır.

    Demek, havfullahta bir azîm lezzet vardır. Madem havfullahın böyle lezzeti bulunsa muhabbetullahta ne kadar nihayetsiz lezzet bulunduğu malûm olur. Hem Allah’tan havf eden, başkaların kasavetli, belalı havfından kurtulur. Hem Allah hesabına olduğu için mahlukata ettiği muhabbet dahi firaklı, elemli olmuyor.

    Evet, insan evvela nefsini sever. Sonra akaribini, sonra milletini, sonra zîhayat mahlukları, sonra kâinatı, dünyayı sever. Bu dairelerin her birisine karşı alâkadardır. Onların lezzetleriyle mütelezziz ve elemleriyle müteellim olabilir. Halbuki şu herc ü merc âlemde ve rüzgâr deveranında hiçbir şey kararında kalmadığından bîçare kalb-i insan, her vakit yaralanıyor. Elleri yapıştığı şeylerle, o şeyler gidip ellerini paralıyor, belki koparıyor. Daima ızdırap içinde kalır, yahut gaflet ile sarhoş olur.

    Madem öyledir, ey nefis! Aklın varsa bütün o muhabbetleri topla, hakiki sahibine ver, şu belalardan kurtul. Şu nihayetsiz muhabbetler, nihayetsiz bir kemal ve cemal sahibine mahsustur. Ne vakit hakiki sahibine verdin, o vakit bütün eşyayı onun namıyla ve onun âyinesi olduğu cihetle ızdırapsız sevebilirsin. Demek şu muhabbet, doğrudan doğruya kâinata sarf edilmemek gerektir. Yoksa muhabbet en leziz bir nimet iken, en elîm bir nıkmet olur.

    Bir cihet kaldı ki en mühimmi de odur ki ey nefis! Sen, muhabbetini kendi nefsine sarf ediyorsun. Sen, kendi nefsini kendine mabud ve mahbub yapıyorsun. Her şeyi nefsine feda ediyorsun, âdeta bir nevi rububiyet veriyorsun. Halbuki muhabbetin sebebi, ya kemaldir; zira kemal zatında sevilir. Yahut menfaattir, yahut lezzettir veyahut hayriyettir, ya bunlar gibi bir sebep tahtında muhabbet edilir.

    Şimdi ey nefis! Birkaç Söz’de kat’î ispat etmişiz ki asıl mahiyetin kusur, naks, fakr, aczden yoğrulmuştur ki zulmet, karanlığın derecesi nisbetinde nurun parlaklığını gösterdiği gibi zıddiyet itibarıyla sen, onlarla Fâtır-ı Zülcelal’in kemal, cemal, kudret ve rahmetine âyinedarlık ediyorsun.

    Demek ey nefis! Nefsine muhabbet değil belki adâvet etmelisin veyahut acımalısın veyahut mutmainne olduktan sonra şefkat etmelisin. Eğer nefsini seversen –çünkü senin nefsin lezzet ve menfaatin menşeidir, sen de lezzet ve menfaatin zevkine meftunsun– o zerre hükmünde olan lezzet ve menfaat-i nefsiyeyi, nihayetsiz lezzet ve menfaatlere tercih etme. Yıldız böceği gibi olma. Çünkü o, bütün ahbabını ve sevdiği eşyayı karanlığın vahşetine gark eder, nefsinde bir lem’acık ile iktifa eder. Zira nefsî olan lezzet ve menfaatinle beraber bütün alâkadar olduğun ve bütün menfaatleriyle intifa’ ettiğin ve saadetleriyle mesud olduğun mevcudatın ve bütün kâinatın menfaatleri, nimetleri, iltifatına tabi bir Mahbub-u Ezelî’yi sevmekliğin lâzımdır. Tâ hem kendinin hem bütün onların saadetleriyle mütelezziz olasın. Hem Kemal-i Mutlak’ın muhabbetinden aldığın nihayetsiz bir lezzeti alasın.

    Zaten sana, sende senin nefsine olan şedit muhabbetin, onun zatına karşı muhabbet-i zatiyedir ki sen sû-i istimal edip kendi zatına sarf ediyorsun. Öyle ise nefsindeki eneyi yırt, hüveyi göster. Ve kâinata dağınık bütün muhabbetlerin, onun esma ve sıfâtına karşı verilmiş bir muhabbettir. Sen sû-i istimal etmişsin, cezasını da çekiyorsun. Çünkü yerinde sarf olunmayan bir muhabbet-i gayr-ı meşruanın cezası, merhametsiz bir musibettir. Rahmanu’r-Rahîm ismiyle, hurilerle müzeyyen cennet gibi senin bütün arzularına câmi’ bir meskeni, senin cismanî hevesatına ihzar eden ve sair esmasıyla senin ruhun, kalbin, sırrın, aklın ve sair letaifin arzularını tatmin edecek ebedî ihsanatını o cennette sana müheyya eden ve her bir isminde manevî çok hazine-i ihsan ve kerem bulunan bir Mahbub-u Ezelî’nin elbette bir zerre muhabbeti, kâinata bedel olabilir. Kâinat onun bir cüz’î tecelli-i muhabbetine bedel olamaz. Öyle ise o Mahbub-u Ezelî’nin kendi Habib’ine söylettirdiği şu ferman-ı ezelîyi dinle, ittiba et:

    اِن۟ كُن۟تُم۟ تُحِبُّونَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُونٖى يُح۟بِب۟كُمُ اللّٰهُ

    İKİNCİ MEYVE

    Ey nefis! Ubudiyet, mukaddime-i mükâfat-ı lâhika değil belki netice-i nimet-i sâbıkadır. Evet, biz ücretimizi almışız. Ona göre hizmetle ve ubudiyetle muvazzafız.

    Çünkü ey nefis! Hayr-ı mahz olan vücudu sana giydiren Hâlık-ı Zülcelal, sana iştihalı bir mide verdiğinden Rezzak ismiyle bütün mat’umatı bir sofra-i nimet içinde senin önüne koymuştur.

    Sonra sana hassasiyetli bir hayat verdiğinden o hayat dahi bir mide gibi rızık ister. Göz, kulak gibi bütün duyguların, eller gibidir ki rûy-i zemin kadar geniş bir sofra-i nimeti, o ellerin önüne koymuştur.

    Sonra manevî çok rızık ve nimetler isteyen insaniyeti sana verdiğinden âlem-i mülk ve melekût gibi geniş bir sofra-i nimet, o mide-i insaniyetin önüne ve aklın eli yetişecek nisbette sana açmıştır.

    Sonra nihayetsiz nimetleri isteyen ve hadsiz rahmetin meyveleriyle tagaddi eden ve insaniyet-i kübra olan İslâmiyet’i ve imanı sana verdiğinden, daire-i mümkinat ile beraber esma-i hüsna ve sıfât-ı mukaddesenin dairesine şâmil bir sofra-i nimet ve saadet ve lezzet sana fethetmiştir.

    Sonra imanın bir nuru olan muhabbeti sana vermekle, gayr-ı mütenahî bir sofra-i nimet ve saadet ve lezzet sana ihsan etmiştir.

    Yani, cismaniyetin itibarıyla küçük, zayıf, âciz, zelil, mukayyed, mahdud bir cüzsün. Onun ihsanıyla cüz’î bir cüzden, küllî bir küll-ü nurani hükmüne geçtin. Zira hayatı sana vermekle, cüz’iyetten bir nevi külliyete ve insaniyeti vermekle hakiki külliyete ve İslâmiyet’i vermekle ulvi ve nurani bir külliyete ve marifet ve muhabbeti vermekle muhit bir nura seni çıkarmış.

    İşte ey nefis! Sen bu ücreti almışsın. Ubudiyet gibi lezzetli, nimetli, rahatlı, hafif bir hizmetle mükellefsin. Halbuki buna da tembellik ediyorsun. Eğer yarım yamalak yapsan da güya eski ücretleri kâfi gelmiyormuş gibi çok büyük şeyleri mütehakkimane istiyorsun. Ve hem “Niçin duam kabul olmadı?” diye nazlanıyorsun. Evet, senin hakkın naz değil, niyazdır. Cenab-ı Hak cenneti ve saadet-i ebediyeyi, mahz-ı fazl ve keremiyle ihsan eder. Sen, daima rahmet ve keremine iltica et. Ona güven ve şu fermanı dinle:

    قُل۟ بِفَض۟لِ اللّٰهِ وَبِرَح۟مَتِهٖ فَبِذٰلِكَ فَل۟يَف۟رَحُوا هُوَ خَي۟رٌ مِمَّا يَج۟مَعُونَ

    Eğer desen: Şu küllî hadsiz nimetlere karşı, nasıl şu mahdud ve cüz’î şükrümle mukabele edebilirim?

    Elcevap: Küllî bir niyetle, hadsiz bir itikad ile…

    Mesela, nasıl ki bir adam beş kuruş kıymetinde bir hediye ile bir padişahın huzuruna girer ve görür ki her biri milyonlara değer hediyeler, makbul adamlardan gelmiş, orada dizilmiş. Onun kalbine gelir: “Benim hediyem hiçtir, ne yapayım?” Birden der: “Ey seyyidim! Bütün şu kıymettar hediyeleri kendi namıma sana takdim ediyorum. Çünkü sen onlara lâyıksın. Eğer benim iktidarım olsaydı bunların bir mislini sana hediye ederdim.” İşte hiç ihtiyacı olmayan ve raiyetinin derece-i sadakat ve hürmetlerine alâmet olarak hediyelerini kabul eden o padişah, o bîçarenin o büyük ve küllî niyetini ve arzusunu ve o güzel ve yüksek itikad liyakatini, en büyük bir hediye gibi kabul eder.

    Aynen öyle de âciz bir abd, namazında اَلتَّحِيَّاتُ لِلّٰهِ der. Yani bütün mahlukatın hayatlarıyla sana takdim ettikleri hediye-i ubudiyetlerini, ben kendi hesabıma, umumunu sana takdim ediyorum. Eğer elimden gelseydi onlar kadar tahiyyeler sana takdim edecektim. Hem sen onlara hem daha fazlasına lâyıksın. İşte şu niyet ve itikad, pek geniş bir şükr-ü küllîdir. Nebatatın tohumları ve çekirdekleri, onların niyetleridir.

    Hem mesela kavun, kalbinde nüveler suretinde bin niyet eder ki “Yâ Hâlık’ım! Senin esma-i hüsnanın nakışlarını yerin birçok yerlerinde ilan etmek isterim.” Cenab-ı Hak gelecek şeylerin nasıl geleceklerini bildiği için onların niyetlerini bilfiil ibadet gibi kabul eder. “Mü’minin niyeti, amelinden hayırlıdır.” şu sırra işaret eder. Hem سُب۟حَانَكَ وَ بِحَم۟دِكَ عَدَدَ خَل۟قِكَ وَ رِضَاءَ نَف۟سِكَ وَ زِنَةِ عَر۟شِكَ وَ مِدَادِ كَلِمَاتِكَ وَ نُسَبِّحُكَ بِجَمٖيعِ تَس۟بٖيحَاتِ اَن۟بِيَائِكَ وَ اَو۟لِيَائِكَ وَ مَلٰئِكَتِكَ gibi hadsiz adetle tesbih etmenin hikmeti şu sırdan anlaşılır.

    Hem nasıl bir zabit, bütün neferatının yekûn hizmetlerini kendi namına padişaha takdim eder. Öyle de mahlukata zabitlik eden ve hayvanat ve nebatata kumandanlık yapan ve mevcudat-ı arziyeye halifelik etmeye kabil olan ve kendi hususi âleminde kendini herkese vekil telakki eden insan اِيَّاكَ نَع۟بُدُ وَاِيَّاكَ نَس۟تَعٖينُ der. Bütün halkın ibadetlerini ve istianelerini, kendi namına Mabud-u Zülcelal’e takdim eder. Hem سُب۟حَانَكَ بِجَمٖيعِ تَس۟بٖيحَاتِ جَمٖيعِ مَخ۟لُوقَاتِكَ وَ بِاَل۟سِنَةِ جَمٖيعِ مَص۟نُوعَاتِكَ der. Bütün mevcudatı kendi hesabına söylettirir. Hem اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ ذَرَّاتِ ال۟كَائِنَاتِ وَ مُرَكَّبَاتِهَا der. Her şey namına bir salavat getirir. Çünkü her şey, nur-u Ahmedî (asm) ile alâkadardır. İşte tesbihatta, salavatlarda hadsiz adetlerin hikmetini anla.

    ÜÇÜNCÜ MEYVE

    Ey nefis! Az bir ömürde hadsiz bir amel-i uhrevî istersen ve her bir dakika-i ömrünü bir ömür kadar faydalı görmek istersen ve âdetini ibadete ve gafletini huzura kalbetmeyi seversen sünnet-i seniyeye ittiba et. Çünkü bir muamele-i şer’iyeye tatbik-i amel ettiğin vakit, bir nevi huzur veriyor. Bir nevi ibadet oluyor. Uhrevî çok meyveler veriyor.

    Mesela, bir şeyi satın aldın. İcab ve kabul-ü şer’iyeyi tatbik ettiğin dakikada, o âdi alışverişin bir ibadet hükmünü alır. O tahattur-u hükm-ü şer’î bir tasavvur-u vahiy verir. O dahi Şâri’i düşünmekle bir teveccüh-ü İlahî verir. O dahi bir huzur verir.

    Demek, sünnet-i seniyeye tatbik-i amel etmekle bu fâni ömür, bâki meyveler verecek ve bir hayat-ı ebediyeye medar olacak olan faydalar elde edilir.

    فَاٰمِنُوا بِاللّٰهِ وَرَسُولِهِ النَّبِىِّ ال۟اُمِّىِّ الَّذٖى يُؤ۟مِنُ بِاللّٰهِ وَكَلِمَاتِهٖ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُم۟ تَه۟تَدُونَ fermanını dinle. Şeriat ve sünnet-i seniyenin ahkâmları içinde cilveleri intişar eden esma-i hüsnanın her bir isminin feyz-i tecellisine bir mazhar-ı câmi’ olmaya çalış.

    DÖRDÜNCÜ MEYVE

    Ey nefis! Ehl-i dünyaya, hususan ehl-i sefahete, hususan ehl-i küfre bakıp surî ziynet ve aldatıcı gayr-ı meşru lezzetlerine aldanıp taklit etme. Çünkü sen onları taklit etsen onlar gibi olamazsın. Pek çok sukut edeceksin. Hayvan dahi olamazsın. Çünkü senin başındaki akıl, meş’um bir âlet olur. Senin başını daima dövecektir.

    Mesela, nasıl ki bir saray bulunsa büyük bir dairesinde büyük bir elektrik lambası bulunur. O elektrikten teşaub etmiş ve onunla bağlı küçük küçük elektrikler, küçük menzillere taksim edilmiş. Şimdi birisi o büyük elektrik lambasının düğmesini çevirip ziyayı kapatsa bütün menziller, derin bir karanlık içine ve bir vahşete düşer. Ve başka sarayda büyük elektrik lambasıyla merbut olmayan küçük elektrik lambaları, her menzilde bulunuyor. O saray sahibi büyük elektrik lambasının düğmesini çevirerek kapatsa sair menzillerde ışıklar bulunabilir. Onunla işini görebilir, hırsızlar istifade edemezler.

    İşte ey nefsim! Birinci saray, bir Müslüman’dır. Hazret-i Peygamber aleyhissalâtü vesselâm, onun kalbinde o büyük elektrik lambasıdır. Eğer onu unutsa, el-iyazü billah kalbinden onu çıkarsa, hiçbir peygamberi daha kabul edemez. Belki hiçbir kemalâtın yeri ruhunda kalamaz, hattâ Rabb’ini de tanımaz. Mahiyetindeki bütün menziller ve latîfeler, karanlığa düşer ve kalbinde müthiş bir tahribat ve vahşet oluyor. Acaba bu tahribat ve vahşete mukabil hangi şeyi kazanıp ünsiyet edebilirsin? Hangi menfaati bulup o tahribat zararını onunla tamir edersin?

    Halbuki ecnebiler, o ikinci saraya benzerler ki Hazret-i Peygamber aleyhissalâtü vesselâmın nurunu kalplerinden çıkarsalar da kendilerince bazı nurlar kalabilir veya kalabilir zannederler. Onların manevî kemalât-ı ahlâkiyelerine medar olacak Hazret-i Musa ve İsa aleyhimesselâma bir nevi imanları ve Hâlıklarına bir çeşit itikadları kalabilir.

    Ey nefs-i emmare! Eğer desen: “Ben, ecnebi değil hayvan olmak isterim.” Sana kaç defa söylemiştim: “Hayvan gibi olamazsın. Zira kafandaki akıl olduğu için o akıl geçmiş elemleri ve gelecek korkuları tokadıyla senin yüzüne, gözüne, başına çarparak dövüyor. Bir lezzet içinde bin elem katıyor. Hayvan ise elemsiz güzel bir lezzet alır, zevk eder. Öyle ise evvela aklını çıkar at, sonra hayvan ol. Hem كَال۟اَن۟عَامِ بَل۟ هُم۟ اَضَلُّ sille-i te’dibini gör.”

    BEŞİNCİ MEYVE

    Ey nefis! Mükerreren söylediğimiz gibi insan, şecere-i hilkatin meyvesi olduğundan meyve gibi en uzak ve en câmi’ ve umuma bakar ve umumun cihetü’l-vahdetini içinde saklar bir kalp çekirdeğini taşıyan ve yüzü kesrete, fenaya, dünyaya bakan bir mahluktur. Ubudiyet ise onun yüzünü fenadan bekaya, halktan Hakk’a, kesretten vahdete, müntehadan mebdee çeviren bir hayt-ı vuslat, yahut mebde ve münteha ortasında bir nokta-i ittisaldir.

    Nasıl ki tohum olacak kıymettar bir meyve-i zîşuur, ağacın altındaki zîruhlara baksa, güzelliğine güvense, kendini onların ellerine atsa veya gaflet edip düşse onların ellerine düşecek, parçalanacak, âdi bir tek meyve gibi zayi olacak. Eğer o meyve, nokta-i istinadını bulsa içindeki çekirdek, bütün ağacın cihetü’l-vahdetini tutmakla beraber ağacın bekasına ve hakikatinin devamına vasıta olacağını düşünebilse, o vakit o tek meyve içinde bir tek çekirdek, bir hakikat-i külliye-i daimeye, bir ömr-ü bâki içinde mazhar oluyor.

    Öyle de insan, eğer kesrete dalıp kâinat içinde boğulup dünyanın muhabbetiyle sersem olarak fânilerin tebessümlerine aldansa, onların kucaklarına atılsa elbette nihayetsiz bir hasarete düşer. Hem fena hem fâni hem ademe düşer. Hem manen kendini idam eder. Eğer lisan-ı Kur’an’dan kalp kulağıyla iman derslerini işitip başını kaldırsa, vahdete müteveccih olsa ubudiyetin mi’racıyla arş-ı kemalâta çıkabilir. Bâki bir insan olur.

    Ey nefsim! Madem hakikat böyledir ve madem millet-i İbrahimiyedensin (as), İbrahimvari لَٓا اُحِبُّ ال۟اٰفِلٖينَ de ve Mahbub-u Bâki’ye yüzünü çevir ve benim gibi şöyle ağla:

    (Buradaki Farisî beyitler, On Yedinci Söz’ün İkinci Makamı’nda yazılmakla burada yazılmamıştır.)

    1. *Bahkan aku melihat dan memperhatikan sejumlah kucing, ketika selesai makan dan bermain iapun tidur. Maka yang terlintas dalam pikiran sebuah pertanyaan, “Mengapa hewan setengah buas ini disebut sebagai binatang yang baik dan penuh berkah?” Kemu- dian aku berbaring untuk tidur. Tiba-tiba salah satu anak kucing itu datang dan bersan- dar ke bantalku serta mendekatkan mulutnya ke telingaku. Lalu ia berzikir kepada Allah dengan menyebut, “Ya Rahîm, ya Rahîm (wahai Yang Maha Penyayang).” Seolah-olah ia menjawab penghinaan atas nama kelompoknya. Seketika aku berpikir, “Apakah zikir ini hanya diucapkan oleh kucing ini saja atau seluruh kucing? Lalu apakah yang mendengar hanya diriku dan orang yang bertanya-tanya sepertiku atau semua orang bisa mende- ngar jika mau menyimaknya.” Di waktu pagi akupun mendengarkan ucapan kucing-ku- cing yang lain. Ternyata mereka mengucap zikir yang sama dalam bentuk yang berbeda meskipun tidak sejelas yang pertama. Awalnya zikir tersebut tidak jelas namun kemudian menjadi jelas, “Ya Rahîm, ya Rahîm (wahai Yang Maha Penyayang).” Lalu suara geramnya berubah menjadi, “Ya Rahîm seutuhnya.” Mereka mengucap zikir yang sedih dan fasih tanpa mengeluarkan suara di mana mulutnya tertutup dan berzikir dengan suara yang halus, “Ya Rahîm.”Aku menceritakan peristiwa itu kepada mereka yang datang berkunjung. Mereka pun mulai menyimak. Mereka berkata, “Kami mendengar zikir itu dalam tingkat tertentu.” Kemudian terlintas dalam hati, “Mengapa yang disebut nama Rahîm?” Mengapa kucing- kucing itu menyebut nama itu dengan suara seperti manusia; tidak dengan suara hewan.” Jawabannya, “Kucing adalah hewan yang halus dan lembut seperti anak kecil. Ia berbaur dengan manusia di setiap sudut rumahnya sehingga laksana teman baginya. Jadi, ia mem- butuhkan tambahan kasih sayang. Ketika ia diperlakukan dengan kasih sayang ia memu- ji-Nya dengan menanggalkan sebab—tidak seperti anjing. Ia memperlihatkan di alamnya rahmat Sang Pencipta Yang Maha Penyayang. Dengan zikir itu ia membangunkan manu- sia yang berada dalam tidur kelalaian dan dengan seruan ya Rahîm ia mengingatkan para penyembah sebab dengan berkata, “Dari mana datangnya semua karunia dan bantuan ini? Dari mana rahmat itu tiba?”—Penulis.
    2. *Pada setiap tingkatan juga terdapat tiga kelompok. Ketiga contoh yang terdapat dalam perumpamaan mengarah kepada ketiga tingkatan yang terdapat pada setiap ting- katan. Bahkan kepada sembilan tingkatan yang terdapat di dalamnya; tidak hanya kepada tiga tingkatan—Penulis.
    3. *Lihat: Muslim, al-Iman, h.247; at-Tirmidzi, al-Fitan, h.53; Abu Daud, al-Mahdi, h.4, 6, 7; Ibnu Majah, al-Fitan, h.25, 34; Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, j.1, h.99. Menurut asy-Syaukânî dalam al-Taudhîh, hadis-hadis yang terkait dengan Imam Mahdi yang ber- jumlah sekitar lima puluhan ada yang sahih, hasan, dan daif. Hadis-hadisnya mutawatir tanpa ada keraguan sedikitpun. Bahkan istilah mutawatir bisa dilekatkan pada yang ku- rang daripada itu menurut istilah yang disebutkan dalam ilmu ushul. Adapun atsar yang berasal dari sahabat yang menyebutkan tentang Imam Mahdi juga berjumlah banyak. Ia memiliki kedudukan marfu, sehingga tidak ada lagi peluang untuk berijtihad dalam per- soalan semacam itu, dan seterusnya. (al-Idzâ’ah karya Muhammad Shiddîq Hasan Khân h.113-114).
    4. *Lihat: al-Hakim, al-Mustadrak, j.4, h.520; as-Suyûthi, al-La’âlî, j.2, h.388; dan al-Isfarâyini, j.2, h.75. Lihat pula: al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsîr, dan Kitab Tazkirah karya Imam al-Qurthubi.
    5. *Abu Hurairah d meriwayatkan bahwa Rasulullah x bersabda, “Pada umat-umat sebelum kalian terdapat sejumlah orang yang mendapat ilham di mana mereka bukanlah nabi. Jikalau di kalangan umatku ada yang seperti itu, maka ia adalah Umar.” HR. Bukhârî dalam Fadhâ`il Ashâbi an-Nabiy, h.6; dan Muslim, Fadhâil ash-Shahâbah, h.23.
    6. *Lihat: Muslim, bab tentang surga, h.31; Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, j.3, h.341 dan h.346.
    7. *Lihat: al-Bukhari, bab tentang ilmu, h.2; bab tentang ar-Riqâq, h.35; Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, j.2, h.361.
    8. *Hadis-hadis tentang hal ini sangat banyak. Di antaranya, riwayat Muslim yang berbunyi, “Kami bertanya, ‘Ya Rasulullah, berapa lama ia tinggal di bumi?’Beliau men- jawab, ‘Empat puluh hari. Satu hari seperti satu tahun, satu hari seperti satu bulan, satu hari seperti satu pekan, serta keseluruhan harinya seperti hari-hari yang kalian jalani.” (Muslim, dalam bab al-Fitan, h.110; Abu Daud, al-Malâhim, h.14; at-Tirmidzi, dalam bab al-Fitan, h.59; Ibnu Majah, dalam bab al-Fitan, h.33; dan Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, j.3, h.367; j.4, 181).
    9. *Lihat: at-Tirmidzi, bab tentang zuhud, h.13; Ibnu Majah, bab tentang zuhud, h.3; dan al-Hakim, al-Mustadrak, j.4, h.341.
    10. *Hadis, “Alhamdulillah Rabbil `alamin (al-Fatihah) merupakan tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan al-Qur’an al-Azhîm.” (Lihat: al-Bukhari, penafsiran surah al-Fatihah, h.1; fadhail al-Qur’an, h.9; at-Tirmidzi, Tsawâb al-Qur’an, h.1; dan Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, j.4, h.221).
    11. *Hadis, “Qul Huwa Allahu ahad (al-Ikhlas) menyamai sepertiga al-Qur’an.” (Lihat: al-Bukhari, Fadhâil al-Qur’an, h.13; at-Tirmidzi, Tsawâb al-Qur’an, h.10, h.11; Abu Daud, al-Witr, h.18; an-Nasai, al-Iftitâh, h.69; dan Ibnu Majah, al-Adab, h.52.
    12. *Anas ibn Mâlik d meriwayatkan bahwa Rasulullah x bertanya kepada salah seorang sahabat, “Wahai Fulan, apakah engkau telah berkeluarga?” Ia menjawab, “Tidak, aku tidak memiliki modal untuk berkeluarga.” Beliau melanjutkan, “Bukankah engkau memiliki Qul Huwa Allahu ahad?” “Ya”. “Itu adalah sepertiga al-Qur’an,” ujar Nabi. Beliau kembali bertanya, “Apakah engkau memiliki idzâ jâ’a nashrullâh wal fath?” “Ya”. Beliau melanjutkan, “Ia adalah seperempat al-Qur’an.” Beliau kembali bertanya, “Bukankah eng- kau telah memiliki Qul yâ ayyuhal kâfirûn?” “Ya”. Beliau melanjutkan, “Ia adalah seperem- pat al-Qur’an.” Beliau kembali bertanya, “Bukankah engkau memiliki surat az-Zalzalah?” “Ya”. Beliau melanjutkan, “Ia setara dengan seperempat al-Qur’an. Maka menikahlah, me- nikahlah!” (Lihat: at-Tirmidzi, Tsawâb al-Qur’an, h.10; dan Ahmad ibn Hambal, al-Mus- nad, j.3, h.147, h.221).
    13. *Hadis Ibnu Umar yang berbunyi, “Qul Huwa Allahu ahad menyamai seperti- ga al-Qur’an, sementara Qul yâ ayyuhal kâfirûn menyamai seperempat al-Qur’an.” (Li- hat: at-Tirmidzi, Tsawâb al-Qur’an, h.10; dan Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, j.3, h.147, h.221).
    14. *Diriwayatkan dari Anas ibn Mâlik bahwa Rasulullah x bersabda, “Segala sesuatu memiliki jantung, dan jantung al-Qur’an adalah surah Yâsîn. Siapa yang membaca Yâsîn, maka dengan bacaan tersebut Allah tuliskan untuknya pahala membaca al-Qur’an seba- nyak sepuluh kali.” (Lihat: at-Tirmidzi, Tsawâb al-Qur’an, h.7).
    15. *Lihat: at-Tirmidzi, Fadhâil al-Qur’an, h.16; dan Ad-Dârimi, Fadhâil al-Qur’an, h.1.
    16. *Total huruf al-Qur’an (300.620). Sementara total huruf surah al-Ikhlas (69 x 3) = 207. Jadi, jumlah kesuruhan pahala surah al-Ikhlas (207 x 1.500) = 310.500. Jumlah terse- but mendekati total huruf keseluruhan al-Qur’an—Peny.
    17. *Lihat: at-Tirmidzi, bab tentang al-Jumu’ah, h.59.
    18. *Lihat: ad-Dailami, al-Musnad, j.3, h.116.
    19. *Lihat: at-Tabrâni, al-Mu’jam al-Kabîr, j.7, h.230; dan al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, j.6, h.124.
    20. Hâşiye: Bülbül şairane konuştuğu için şu bahsimiz de bir parça şairane düşüyor. Fakat hayal değil, hakikattir.