CAHAYA KEDUA PULUH TIGA

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    11.00, 25 Aralık 2024 tarihinde Ferhat (mesaj | katkılar) tarafından oluşturulmuş 196381 numaralı sürüm ("Wahai para penyembah sebab dan hukum alam! Selama karakter segala sesuatu adalah makhluk karena ia bersifat baru dan ada tanda padanya bahwa ia tercipta, serta sebab keberadaan sesuatu yang tampak secara lahiriah juga sama-sama makhluk dan bersifat baru. Selain itu, selama keberadaan segala sesuatu membutuhkan berbagai sarana, perangkat, dan peralatan yang sangat banyak, maka pastilah ada Dzat Yang Maha Berkuasa secara mutlak yang menciptakan karakter te..." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)

    Risalah Thabi’ah (Hukum Alam)

    [Risalah ini tadinya merupakan ‘memoar keenam belas’ dari “Cahaya Ketujuh Belas”. Tetapi karena mempunyai kedudukan yang sangat penting, ia diletakkan pada “Cahaya Kedua Puluh Tiga”. Risalah ini menghantam habis gelombang kekufuran yang lahir dari paham naturalisme sekaligus menghancurkan batu fondasinya].

    Peringatan

    Pembahasan ini menjelaskan esensi ideologi para naturalis ateis, sejauh mana ideologi mereka menyimpang dari timbangan nalar, serta betapa buruk dan dusta (khurafat) ideologi tersebut. Penjelasan tersebut berupa “sembilan kemustahilan” yang disarikan dari setidaknya sembilan puluh kemustahilan. Namun, karena sebagian kemustahilan sudah pernah dijelaskan pada risalah-risalah yang lain, maka ia dimasukkan dalam pembahasan tentang kemustahilan yang lain atau dipaparkan secara ringkas.Sebuah pertanyaan yang terlintas di benak ini ialah: Mengapa para filsuf dan ilmuwan ternama itu menerima begitu saja kebohongan-kebohongan (khurafat) tersebut? Bagaimana akal mereka bisa menerimanya?

    Jawabannya adalah: Karena mereka tidak memahami hakikat ideologi yang mereka anut(*[1])serta tidak mengetahui esensinya. Selain itu, mereka tidak mampu menangkap berbagai kemustahilan yang muncul sebagai konsekuensi dari ideologi mereka serta berbagai hal yang tidak logis seperti yang disebutkan di permulaan setiap kemustahilan dalam risalah ini.Aku siap mengetengahkan berbagai argumen yang kuat dan dalil yang sangat jelas untuk membuktikan hal itu kepada mereka yang masih ragu. Aku akan menjelaskannya kepada mereka secara detil dan rinci.

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

    “Para rasul itu berkata: Apa ada keraguan tentang Allah, Dzat Pencipta langit dan bumi?” (QS. Ibrâhim [14]: 10).

    Ayat al-Qur’an berikut pertanyaan retoris yang ada padanya secara tegas dan jelas menunjukkan eksistensi dan keesaan Allah sampai ke tingkat aksiomatik.

    Sebelum menjelaskan rahasia ini, kami ingin menjelaskan beberapa hal berikut:

    Pada tahun 1338 H (1922 M), aku mengunjungi kota Ankara. Aku menyaksikan bagaimana kaum mukminin senang dan gembira dengan kemenangan pasukan Islam terhadap Yunani. Hanya saja, di tengah-tengah gelombang kegembiraan tersebut aku menyaksikan riak-riak ateisme menyusup dengan kekejian dan tipu dayanya. Ideologi tersebut beserta berbagai pahamnya masuk ke dalam keyakinan kaum mukmin guna merusak dan meracuni mereka. Aku sangat sedih melihat hal itu seraya berteriak memohon pertolongan kepada Allah Yang Mahatinggi dan Mahakuasa serta bersandar kepada ayat al-Qur’an di atas dari momok menakutkan yang hendak menghancurkan sendi-sendi keimanan tersebut. Lalu aku pun menuliskan sebuah argumen kuat dan tajam yang bisa memenggal “kepala” ateisme tersebut dalam sebuah risalah berbahasa Arab. Pokok-pokok pikiran dan inti sarinya aku ambil dari cahaya ayat al-Qur’an di atas untuk membuktikan secara jelas eksistensi dan keesaan Allah . Kemudian risalah tersebut dicetak di percetakan Yenigun, Ankara. Namun sayangnya, penjelasan dan argumentasiku yang sangat kuat itu tidak berhasil melawan paham ateisme dan menghadang lajunya sehingga banyak yang menerima paham tersebut. Hal itu disebabkan oleh bentuk risalahnya yang sangat ringkas, di samping karena jumlah orang Turki yang memahami bahasa Arab ketika itu sangat sedikit. Karena itu, paham tersebut berhasil menyebar di tengah-tengah masyarakat. Hal itu membuatku terpaksa menuliskan kembali risalah tadi berikut argumen-argumennya dalam bahasa Turki, ditambah dengan sedikit penjelasan dan keterangan.Karena sebagian dari argumen tadi telah dijelaskan secara luas dalam beberapa risalah, maka di sini hanya akan disebutkan secara global. Juga, sebagian dari argumen lain yang terdapat pada beberapa risalah lainnya tertuang dalam risalah ini. Seakan-akan setiap argumen darinya merupakan bagian dari risalah ini.

    Pendahuluan

    Wahai manusia! Ketahuilah bahwa ada beberapa ungkapan yang keluar dari mulut manusia dan mengandung kekufuran. Ungkapan tersebut juga beredar di mulut kaum beriman tanpa menyadari bahayanya. Kami akan menjelaskan tiga ungkapan yang paling berbahaya darinya sebagai berikut:

    Pertama: Ungkapan “terwujud oleh sebab”. Dengan kata lain, sebab-lah yang menjadikan entitas tertentu ada.

    Kedua: Ungkapan “terbentuk dengan sendirinya”. Dengan kata lain, sesuatu terbentuk dengan sendirinya serta mewujudkan dirinya sendiri hingga menjadi seperti apa adanya.

    Ketiga: Ungkapan “tuntutan alam”. Dengan kata lain, sesuatu bersifat alamiah. Alamlah yang mewujudkan dan menuntut keberadaannya.

    Ya, selama segala entitas yang ada di hadapan kita dan keberadaannya sama sekali tak bisa dipungkiri serta karena setiap en- titas muncul ke dunia ini dengan sangat teratur dan penuh hikmah, maka entitas-entitas tersebut tidak bersifat qadim, tetapi baru. Oleh karena itu, wahai orang ateis, anda boleh jadi berpendapat bahwa: (1) Entitas tersebut—hewan misalnya—terwujud oleh sebab-sebab alam. Dengan kata lain, hewan tersebut menjadi ada sebagai hasil dari berkumpulnya sebab-sebab yang bersifat materi; (2) Atau, engkau berpendapat bahwa ia terbentuk dengan sendirinya; (3) Atau, ia muncul ke dunia karena tuntutan dan pengaruh alam; (4) Atau, engkau dapat berkata bahwa kekuasaan Sang Pencipta Yang Maha Berkuasa dan Agung itulah yang telah menciptakannya.

    Sebab menurut logika, hanya dari empat jalan inilah entitas tersebut bisa muncul ke dunia.Ketika secara tegas terbukti bahwa tiga jalan yang pertama mustahil, batil, dan tidak mungkin, maka dengan sangat nyata dan gamblang, jalan keempatlah yang benar. Jalan tersebut adalah jalan menuju keesaan Sang Pencipta yang bersifat pasti tanpa ada keraguan di dalamnya.

    Jalan Pertama:

    Terwujud oleh sebab.
    

    Terbentuknya sesuatu dan penciptaan makhluk terjadi dengan terkumpulnya sebab-sebab Alam.

    Kami hanya akan menyebutkan tiga dari sekian banyak kemustahilan di dalamnya.

    Kemustahilan Pertama Kami akan menjelaskannya dengan perumpamaan berikut: Sebuah apotek memiliki ratusan wadah dan botol berisi berbagai bahan kimia. Karena sebab tertentu, kita membutuhkan salep dan obat antibiotik. Ketika masuk ke apotek tersebut, kita menemukan banyak sekali salep dan antibiotik tersebut. Setelah dianalisa, salep itu tersusun dari bahan-bahan berbeda sesuai dengan komposisi yang telah ditentukan. Ia terambil dari satu gram bahan ini, kemudian tiga gram bahan itu, sepuluh gram bahan yang lain, dan seterus- nya. Masing-masing diambil dengan ukuran yang berbeda-beda. Jika masing-masing ukurannya kurang atau kelebihan, maka khasiat dari salep tersebut akan hilang. Sekarang kita berpindah ke “obat antibiotik”. Kita teliti obat tersebut lewat pengamatan kimiawi. Ternyata, ia tersusun dengan komposisi tertentu yang diambil dari botol-botol kimia tadi sesuai dengan takarannya. Khasiatnya tentu akan hilang jika kita salah dalam mengukur sehingga bahan-bahannya sedikit berlebih atau berkurang.Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa bahan yang beraneka macam itu didatangkan dengan takaran yang berbe- da-beda sesuai dengan ukurannya.

    Jika demikian, mungkinkah racikan kimia yang unsur-unsurnya tersusun dengan sangat akurat itu terbentuk secara kebetulan? Atau, mungkinkah ia terbentuk karena adanya benturan antar botol- botol yang ada akibat gempa dahsyat yang terjadi di apotek tersebut sehingga masing-masing bahan kimia tadi mengalir dengan ukuran tertentu dan saling menyatu, lalu membentuk racikan berkhasiat? Adakah yang lebih mustahil dan lebih tidak logis dari hal itu? Adakah khurafat yang lebih hebat darinya? Serta, adakah kebatilan yang lebih batil dari itu semua? Bahkan keledai yang sangat bodoh pun, sean- dainya bisa berbicara, akan berkata, “Betapa dungunya orang yang mengatakan hal semacam ini!”

    Atas dasar itulah, kita bisa mengatakan bahwa setiap makhluk hidup merupakan komposisi dan racikan yang hidup. Setiap tumbuhan serupa dengan obat antibiotik, sebab ia tersusun dari unsur-unsur yang berbeda dan dari bahan-bahan yang beraneka macam sesuai dengan ukurannya yang sangat akurat. Tentu saja, menyandarkan penciptaan makhluk yang sangat indah itu kepada sebab-sebab dan unsur materi, serta bahwa ia terwujud oleh sebab adalah batil, mustahil, dan sangat tidak logis. Ia sama tidak logisnya dengan racikan obat yang terbentuk sendiri lewat mengalirnya bahan-bahan kimia dari botol tadi.

    Kesimpulannya:Bahan-bahan yang terambil dari timbangan qada dan qadar yang dimiliki Allah Yang Mahabijaksana dan Maha Mengetahui yang terdapat di alam, yang merupakan apotek besar dan mengagumkan ini, hanya bisa terwujud lewat kebijaksanaan dan pengetahuan yang tak terkira, serta lewat kehendak-Nya yang mencakup segala sesuatu. Karena itu, betapa malangnya orang yang menyangka bahwa semua entitas ini merupakan produk alam—padahal alam merupakan benda yang bergerak secara buta dan tuli—atau ia termasuk sesuatu yang bersifat alamiah, atau ia terwujud akibat krea- si sebab-sebab materi. Tentu saja, mereka yang mempunyai anggapan semacam itu merupakan orang yang paling malang, paling bodoh, dan lebih tidak waras ketimbang orang gila yang berpikir bahwa racikan obat mujarab tersebut terbentuk dengan sendirinya akibat botol- botol yang beradu yang kemudian mengalirkan isinya. Ya, kekufuran tersebut merupakan igauan orang bodoh dan ocehan orang gila.

    Kemustahilan Kedua Jika penciptaan seluruh entitas tidak disandarkan kepada Allah Yang Maha Esa, Yang Mahakuasa, dan Mahaagung, tetapi disandarkan kepada sebab-sebab materi, tentu sebagian besar sebab-sebab dan unsur alam mempunyai andil dan pengaruh dalam penciptaan seluruh makhluk hidup. Padahal, berkumpulnya sebab-sebab alam yang berbeda secara sangat teratur dengan ukuran yang sangat akurat dan tepat dalam fisik makhluk yang kecil—seperti lalat misalnya— merupakan sesuatu yang mustahil. Orang yang mempunyai akal seukuran sayap lalat sekalipun akan menolak hal itu dengan berkata, “Ini mustahil, batil, dan tidak mungkin.”

    Hal itu dikarenakan fisik lalat yang kecil itu mempunyai hubungan dengan sebagian besar unsur alam, bahkan ia merupakan rang- kuman darinya. Jika penciptaannya tidak disandarkan kepada Dzat Yang Maha Kuasa dan Azali, maka semua sebab-sebab alam harus hadir dan berkumpul secara langsung di samping fisik kecil tersebut ketika ia tercipta. Bahkan, ia harus masuk ke dalam fisiknya dan masuk ke dalam sel mata. Karena, jika sebab-sebab tersebut berupa materi ia harus dekat dan masuk ke dalam bendanya. Sebagai konse- kuensinya, semua unsur di seluruh bagian alam berikut sifatnya yang berbeda-beda harus bisa diterima masuk ke dalam entitas yang dikenal sebab tadi, di samping harus bisa bekerja di dalam sel yang sangat kecil dengan mahir dan terampil.

    Sofis yang paling bodoh pun malu dengan ungkapan di atas!

    Kemustahilan Ketiga Jika entitas merupakan satu kesatuan, pastilah ia bersumber dari sebab dan tangan yang sama sesuai dengan kaidah aksiomatik yang berbunyi, “Yang satu hanya berasal dari yang satu.” Jika entitas tersebut sangat teratur dan akurat, serta memiliki kehidupan yang kompherensif, dapat dipastikan bahwa ia tidak berasal dari banyak tangan yang bisa memicu munculnya pertentangan. Tetapi, ia berasal dari satu tangan yang sangat berkuasa dan bijaksana. Karena itu, menyandarkan alam yang teratur, harmonis, seimbang, dan satu kepada sebab-sebab alam yang tuli, buta, tak berperasaan, dan tak berakal, kemudian menganggap sebab-sebab tersebut sebagai pencipta entitas mengagumkan ini, serta menjadikannya sebagai pilihan di antara berbagai kemungkinan yang lain, hal itu berarti menerima seratus satu kemustahilan karena semua itu sangat tidak logis.

    Mari sejenak kita tinggalkan kemustahilan ini untuk melihat pengaruh sebab-sebab materi yang terjadi lewat adanya kontak dan sentuhan. Kita melihat bahwa sentuhan antara sebab-sebab alamiah itu merupakan sentuhan dengan bentuk lahiriah alam. Padahal aspek batiniahnya yang tak tersentuh oleh sebab materi tadi dan tak bisa disentuh oleh apa pun jauh lebih teratur dan lebih harmonis. Bahkan, penciptaannya lebih halus dan lebih sempurna.

    Lebih dari itu, seluruh makhluk hidup yang kecil dan halus yang sama sekali tak mungkin dijangkau oleh sebab-sebab materi di atas mempunyai struktur penciptaan yang lebih menakjubkan daripada makhluk-makhluk besar.Karena itu, penciptaannya tidak mungkin dinisbatkan kepada sebab-sebab alam yang buta, tuli, bodoh, keras, dan saling kontradiktif, kecuali bagi orang yang sangat buta dan sangat tuli.

    Jalan Kedua:

    Terbentuk dengan Sendirinya.
    

    Berkenaan dengan pendapat yang menyatakan bahwa sesuatu terbentuk dengan sendirinya.

    Pendapat ini mengandung banyak kemustahilan. Kebatilan dan ketidakmungkinannya sangat jelas ditinjau dari berbagai aspek. Namun kami hanya akan mengemukakan tiga hal sebagai contoh:

    Kemustahilan Pertama Wahai orang ingkar yang keras kepala! Sifat angkuhmu yang keterlaluan itu telah membuatmu terjerumus ke dalam kebodohan tak terkira sehingga mau menerima seratus satu kemustahilan.Tak diragukan lagi bahwa engkau ada. Engkau bukanlah unsur yang sederhana dan benda mati yang tidak akan berubah. Tetapi, engkau bagaikan pabrik besar yang sangat teratur di mana perala- tannya senantiasa terbaharui. Engkau juga ibarat istana megah yang sisi-sisinya selalu berubah. Atom-atom yang ada di tubuhmu selalu bekerja dan aktif setiap saat. Ia memiliki hubungan dengan alam semesta, khususnya dalam kaitannya dengan rezeki dan bagaimana menjaga kelangsungan hidup.Atom-atom yang bekerja di dalam tubuhmu senantiasa menjaga agar ikatan dan hubungan tadi tidak rusak dan tidak lepas. Dalam hal ini, mereka sangat berhati-hati. Ia mengambil posisi yang tepat sejalan dengan hubungan tersebut seolah-olah ia melihat dan menyaksikan semua entitas yang ada. Selain itu, ia juga mengawasi posisimu darinya.

    Tentu saja, tugasmu adalah mengambil manfaat dan keuntungan sesuai dengan kondisi atom-atom tersebut serta merasa nikmat dengan segenap perasaanmu baik lahir maupun batin.Jika engkau tidak percaya bahwa atom-atom di atas merupakan pegawai yang bergerak sesuai dengan peraturan Dzat Yang Mahakuasa, atau tentara bersenjata dalam pasukan-Nya yang teratur, atau ujung pena qadar ilahi, atau tulisan pena qudrah ilahi, maka berarti menurutmu setiap atom yang bekerja itu memiliki mata lebar yang bisa melihat semua bagian tubuhmu. Ia bisa menyaksikan segala entitas yang terkait dengannya, mengetahui masa lalu dan masa depanmu, serta mengenali asal-usulmu, ayahmu, nenek moyangmu, serta keturunan dan cucu-cucumu. Selain itu, ia mengetahui asal-muasal unsurmu dan perbendaharaan rezekimu. Dengan demikian, atom tersebut memiliki akal yang hebat.Wahai yang mencampakkan akalnya dalam persoalan-persoalan semacam ini, bukankah menisbatkan pengetahuan, perasaan, dan akal―yang memuat seribu orang seperti Plato―kepada atom di akal orang yang tidak memilikinya seperti dirimu merupakan khurafat dan kebodohan yang amat sangat?

    Kemustahilan Kedua Wahai manusia! Tubuhmu seperti istana besar yang memiliki seribu kubah. Pada setiap kubahnya ada bebatuan yang saling berkaitan dan berhubungan dalam sebuah bangunan rapi tanpa tiang. Bahkan, tubuhmu ribuan kali lebih menakjubkan dari istana tersebut. Sebab, istana tubuhmu senantiasa diperbaharui dengan keteraturan dan keindahan yang sempurna.Jika kita memperhatikan ruh, kalbu, dan berbagai perangkat halus yang dibawanya sebagai sebuah mukjizat tersendiri, lalu kita merenungkan dan mencermati sebuah organ saja dari banyak organ yang ada di tubuhmu, kita akan menyaksikannya serupa dengan rumah yang memiliki kubah. Atom-atom yang terdapat di dalamnya saling bekerjasama, saling berpautan dengan sangat teratur dan seimbang seperti bebatuan yang terdapat di kubah-kubah itu, lalu membentuk sebuah bangunan istimewa, kreasi yang indah dan menakjubkan, serta memperlihatkan salah satu mukjizat Tuhan yang mengagumkan. Contohnya adalah mata dan lisan.

    Seandainya atom-atom tersebut bukan merupakan pegawai suruhan yang tunduk kepada perintah Sang Maha Pencipta, pastilah setiap atom tersebut berkuasa penuh terhadap atom-atom lainnya yang terdapat di tubuh sekaligus dikuasai secara penuh pula. Juga, ia tentu mempunyai sifat-sifat mulia yang hanya dimiliki oleh Allah, serta akan terikat dan bebas secara total dalam waktu yang sama.Sebuah ciptaan teratur dan terkoordinir yang pasti merupakan salah satu tanda kekuasaan Dzat Yang Maha Esa mustahil untuk dinisbatkan kepada atom-atom yang tak terhingga itu. Tentu saja hal tersebut hanya bisa ditangkap oleh mereka yang mempunyai akal pikiran.

    Kemustahilan Ketiga Jika wujudmu ini tidak ditulis dengan pena Dzat Yang Maha Esa, Kuasa, dan Azali, tetapi dibentuk oleh alam dan aneka sebab, pastilah ada cetakan alam sebanyak ribuan konstruksi yang teratur dan bekerja di tubuhmu yang tak terhitung jumlahnya, mulai dari sel yang paling kecil sampai organ yang paling luas yang bekerja di dalamnya.

    Untuk memahami kemustahilan di atas, kita jadikan buku yang ada di hadapan kita ini sebagai contohnya. Jika menurutmu buku ini disalin dengan tangan, maka untuk menyalinnya cukup diperlukan satu pena saja yang digerakkan oleh pengetahuan penulisnya guna ditulis semaunya. Tetapi, kalau menurutmu ia tidak disalin dengan tangan dan bukan hasil kreasi pena si penulis, melainkan terbentuk dengan sendirinya atau dihasilkan oleh alam, berarti setiap hurufnya memiliki pena tersendiri. Jumlah pena yang ada sama dengan jumlah huruf tersebut. Dengan kata lain, harus ada pena sebanyak hurufnya sebagai ganti dari sebuah pena yang dipakai untuk menyalinnya. Juga, bisa jadi dalam huruf-huruf tersebut terdapat sejumlah huruf besar yang tertulis dengan tulisan kecil dalam satu halaman penuh. Dengan begitu, untuk menuliskan huruf-huruf besar tersebut harus ada ribuan pena kecil. Nah, bagaimana seandainya huruf-huruf tadi saling berbaur secara teratur dengan bentuk seperti tubuhmu? Tentulah setiap bagian dari masing-masing daerah mempunyai cetakan sebanyak konstruksi tersebut yang tak terhitung jumlahnya.

    Jika kondisi yang sangat mustahil ini engkau katakan mungkin, berarti untuk membuat pena-pena itu berikut proses kerja cetakan dan huruf-hurufnya diperlukan pena, cetakan, dan huruf dengan jumlah yang sama untuk dituangkan ke dalamnya. Sebab, semuanya terbuat dan tercipta secara rapi, serta membutuhkan adanya kreator untuk membuat dan mengadakannya. Demikian seterusnya tanpa akhir. Dari uraian tersebut, engkau bisa memahami cacatnya pemikiran di atas, di mana ia mengandung banyak kemustahilan dan khurafat sebanding dengan jumlah atom yang ada di tubuhmu.

    Wahai pembangkang yang keras kepala! Sadarlah dan tinggalkan kesesatan yang memalukan ini!

    Jalan Ketiga:

    Tuntutan Alam.

    Ungkapan bahwa segala sesuatu ada karena tuntutan alam mengandung banyak sekali kemustahilan.

    Sekadar contoh, kami akan menyebutkan tiga saja darinya sebagai berikut:

    Kemustahilan Pertama Kreasi dan penciptaan yang dilandasi oleh pengetahuan dan kebijaksanaan seperti tampak pada seluruh entitas secara jelas, terutama pada makhluk hidup, jika tidak dinisbatkan kepada pena “Qadar Ilahi” dan Qudrah-Nya yang bersifat mutlak, lalu dinisbatkan kepada “alam” yang buta, tuli, dan bodoh, serta dinisbatkan kepada “sebuah kekuatan”, berarti untuk mencipta, alam harus menghadirkan ber- bagai cetakan dengan jumlah tak terbatas dalam segala sesuatu. Atau, alam harus memberikan kekuasaan yang mampu mencipta seluruh alam serta kebijaksanaan yang mengatur semua urusan.

    Contohnya, tampilan matahari dan pantulan sinarnya serta kilau cahayanya yang tampak pada tetesan air yang bening, atau di atas serpihan kaca yang bertebaran di permukaan bumi, akan membuat seseorang beranggapan bahwa ia merupakan bentuk representasi dari matahari. Jika pantulan dan cahaya tersebut tidak dinisbatkan kepada matahari yang sebenarnya, berarti kita harus meyakini adanya matahari alamiah yang kecil yang memiliki sifat-sifat matahari dan benar-benar ada di dalam serpihan kaca tadi. Dengan kata lain, kita harus meyakini adanya sejumlah matahari sebanyak partikel serpihan kaca tersebut.

    Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa jika penciptaan seluruh entitas dan makhluk hidup tidak dinisbatkan secara langsung kepada manifestasi nama-nama Sang Mentari Azali, Allah , berarti kita meyakini keberadaan alam dan adanya kekuatan yang memiliki kekuasaan dan kehendak mutlak disamping pengetahuan dan kebijaksanaannya yang juga bersifat mutlak pada semua entitas, terutama pada makhluk hidup. Artinya, kita harus meyakini adanya sifat ketu- hanan pada segala sesuatu.Pemikiran menyimpang tersebut merupakan bentuk kemusta- hilan yang paling batil dan paling banyak mengandung khurafat. Orang yang menisbatkan ciptaan Allah yang sangat mengagumkan kepada alam yang tak memiliki perasaan, tentu saja ia terjerumus dengan pemikirannya itu ke dalam tingkatan yang lebih sesat daripada binatang.

    Kemustahilan Kedua Jika seluruh entitas yang sangat teratur, terukur, sempurna, dan penuh hikmah ini tidak dinisbatkan kepada Dzat Yang Maha Berkuasa secara mutlak dan Mahabijak, tetapi dinisbatkan kepada alam, maka pada setiap genggam tanah, alam harus menyediakan pabrik dan percetakan sebanyak pabrik dan percetakan yang ada di Eropa agar segenggam tanah tersebut bisa menjadi tempat tumbuh bunga dan buah yang indah.

    Sebab, segenggam tanah yang menjadi tempat tumbuh berbagai bunga itu bisa menumbuhkan sekaligus membentuk berbagai benih bunga dan buah yang diletakkan di dalamnya secara bergantian, berikut bentuknya yang beraneka ragam dan warna-warnanya yang cemerlang.

    Apabila kemampuan tersebut tidak dinisbatkan kepada Dzat Pencipta Yang Maha Agung Yang berkuasa atas segala sesuatu, berarti di dalam segenggam tanah itu terdapat mesin alamiah yang khusus untuk masing-masing bunga. Jika tidak, tak mungkin berbagai bunga dan buah itu muncul ke permukaan.Sebab, benih-benih itu sama seperti sperma ataupun sel telur. Ia terdiri dari beberapa unsur yang bentuknya serupa dan sebagi- annya bercampur dengan yang lain tanpa bentuk yang jelas, yaitu hidrogen, oksigen, karbon, dan nitrogen. Sementara, udara, air, kalor, dan cahaya merupakan unsur-unsur yang tak mempunyai akal ataupun perasaan. Semuanya mengalir seperti aliran air pada segala sesuatu tanpa ada kontrol.

    Jadi, pembentukan berbagai bunga dari segenggam tanah dalam bentuk yang beraneka ragam dan indah dengan sangat rapi tentu saja mengharuskan adanya banyak pabrik dan percetakan maknawi agar ia bisa memintal dan menenun “tenunan- tenunan hidup” yang tak terhingga banyaknya, serta bisa menghasilkan berbagai ukiran cemerlang.Sungguh tidak rasional pemikiran yang dikemukakan oleh kaum naturalis di atas. Pahamilah hal ini, lalu ukurlah sejauh mana kekeliruan orang-orang yang menganggap dirinya berilmu dengan mengatakan bahwa alamlah yang menciptakan segala sesuatu. Mereka menjadikan khurafat yang sama sekali tidak benar sebagai jalan mereka. Dengan demikian, mereka pantas diejek dan dihinakan.

    Barangkali ada yang bertanya:Memang benar, banyak sekali permasalahan dan kemustahilan ketika kita mengatakan bahwa alamlah yang menciptakan semua entitas. Namun apakah problematika ini bisa lenyap kalau kita menisbatkan proses penciptaan tersebut kepada Sang Pencipta Yang Maha Esa? Bagaimana sesuatu yang sulit dan rumit itu menjadi mudah?”

    Jawaban:Sebagaimana telah diterangkan pada kemustahilan yang pertama, manifestasi dan pantulan matahari menampakkan dirinya secara sangat mudah pada seluruh benda, mulai dari benda padat yang sangat kecil—seperti serpihan kacahingga permukaan laut yang luas. Matahari menampakkan jejak dan pengaruhnya pada segala sesuatu secara sangat gampang. Seandainya semua pantulan tadi tidak dinisbatkan kepada matahari, berarti ada wujud matahari hakiki pada setiap atom. Tentu saja ini tidak bisa diterima oleh akal. Bahkan, hal ini sangat mustahil dan tidak mungkin.

    Sama seperti di atas, menisbatkan penciptaan semua entitas secara langsung kepada Tuhan Yang Maha Esa sangat bisa diterima bahkan merupakan sesuatu yang wajib (mutlak). Kita bisa menghubungkan setiap entitas kepada-Nya secara mudah. Yaitu lewat penisbatan dan lewat manifestasi.

    Sebaliknya, jika penisbatan itu dipu- tuskan, lalu pengabdian, penugasan, dan kepatuhan berubah menjadi pembangkangan, kemudian setiap entitas dibiarkan bebas pergi sesukanya, atau ia dinisbatkan kepada alam, maka akan timbul ratusan ribu persoalan yang sulit diterima hingga sampai ke tingkat mustahil. Contohnya pada penciptaan lalat kecil di mana “alam buta” yang berkuasa penuh di dalamnya harus memiliki kemampuan untuk menciptakan seluruh alam disamping harus memiliki kebijaksanaan luas untuk bisa mengelolanya. Sebab, meskipun kecil, lalat tersebut merupakan makhluk luar biasa yang memuat sebagian besar komposisi alam. Ia laksana indeks ringkas bagi alam semesta.Ini bukan satu-satunya kemustahilan yang ada. Tetapi masih ada seribu satu kemustahilan lainnya.

    Kesimpulan:Sebagaimana tidak mungkin dan mustahil ada sekutu bagi Allah, sebagai Sang Wajibul Wujud, dalam uluhiyah-Nya, demikian pula mustahil ada yang ikut campur dalam rububiyah-Nya atau ikut serta dalam mencipta sesuatu.

    Adapun berbagai kerumitan yang terdapat pada ‘kemustahilan kedua’ seperti yang kami tegaskan dalam berbagai risalah adalah bahwa jika penciptaan seluruh makhluk dinisbatkan kepada Dzat Yang Maha Esa, maka penciptaan tersebut berjalan secara mudah seperti mudahnya penciptaan sebuah entitas. Sementara jika penciptaan tersebut dinisbatkan kepada sebab-sebab materi dan kepada alam, maka proses penciptaan sebuah entitas sekalipun menjadi sulit dan rumit seperti proses penciptaan semua entitas. Karena semua itu telah kami tegaskan dengan berbagai bukti yang kuat, di sini kami hanya akan mengetengahkan sebuah bukti ringkas, yaitu:

    Jika seseorang berafiliasi dengan sultan karena posisinya sebagai prajurit atau pejabat pemerintah, maka ia jauh lebih bisa melaksanakan semua urusan dan tugasnya daripada kalau hanya bersandar pada kemampuannya sendiri. Sebab, ada kekuatan yang muncul dari afiliasinya dengan sultan. Contohnya, ia bisa menawan seorang pem- impin besar atas nama sultan tadi, meskipun ia hanyalah seorang prajurit. Ketika melakukan tugas, yang membawa segala perlengkapan dan peralatan adalah beberapa unit pasukan. Jadi, bukan ia seorang diri dan tidak harus ia yang membawanya. Semua itu terwujud berkat afiliasinya dengan sultan. Karena itu, ia bisa melakukan pekerjaan- pekerjaan luar biasa seperti pekerjaan seorang sultan besar. Ia juga mempunyai pengaruh dan kekuatan yang tidak seperti biasanya seperti kekuatan pasukan besar meskipun ia hanya seorang diri.

    Dengan tugas dan jabatan tersebut, “semut” mampu menghancurkan istana Fir’aun, serta dengan adanya afiliasi tersebut “nyamuk” bisa membinasakan Namrud. Selain itu, dengan adanya hubungan tersebut, benih pohon pinus yang serupa dengan benih gandum bisa menumbuhkan semua perangkat pohon pinus yang besar.(*[2])

    Seandainya hubungan tadi terputus, atau ia diberhentikan dari tugasnya, maka ia harus memikul sendiri semua pekerjaannya yang berat dan ia pun hanya akan bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan kekuatannya yang minim dan terbatas, serta sesuai dengan volume perangkat dan peralatan sederhana yang ada padanya. Apabila ia diminta untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tadinya bisa dikerjakan dengan mudah seperti dalam kondisi pertama, ia akan segera menampakkan ketidakberdayaannya, kecuali kalau ia mampu memikul kekuatan seluruh pasukan dan semua peralatan perang negara. Orang yang mengkhayalkan hal ini serta terbang di angkasa khurafat tersebut, akan tertunduk malu oleh ucapannya sendiri.

    Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menyerahkan urusan semua entitas dan menghubungkannya kepada Sang Wajibul wujud (Allah ) mengandung kemudahan yang bersifat wajib. Sementara, menyandarkan proses penciptaan kepada alam adalah sesuatu yang sulit untuk diterima, bahkan sampai ke tingkat tidak mungkin dan mustahil.

    Kemustahilan Ketiga Kami akan menjelaskan hal ini dengan dua contoh yang telah kami jelaskan dalam beberapa risalah, yaitu:

    1. Orang Dusun Masuk Istana Orang dusun yang polos masuk ke dalam sebuah istana yang besar, yang indah, yang gemerlap oleh berbagai dekorasinya, yang megah oleh berbagai perangkat modern mengagumkan di dalamnya, dibangun di padang pasir yang sepi dan buas. Ia menuju ke istana tersebut, lalu mengelilingi setiap sisinya, dan terkagum-kagum oleh keindahan bangunannya, berbagai ukiran yang terdapat di dindingnya, dan kesempurnaan bentuknya. Karena sangat polos dan sangat dungu, ia menganggap pastilah salah satu barang yang ada di istana itulah yang membuat seluruh isi bangunan tanpa campur tangan orang luar. Apa pun yang dia lihat dianggapnya sebagai pencipta yang menciptakan istana megah tersebut.

    Kakinya melangkah menuju salah satu sisi istana, dan tiba-tiba di situ ia menemukan sebuah buku acuan berisi rancangan rinci proses pembangunan istana. Selain itu, dituliskan pula di dalam- nya penjelasan mengenai benda-benda di dalamnya berikut aturan pengelolaannya. Meskipun buku tadi hanya semacam daftar isidi mana ia tidak ikut membangun dan memperindah istana, sebab tidak memiliki tangan untuk bekerja atau mata untuk melihat—tetapi hanya mempunyai kaitan dengannya, sesuai dengan isinya, serta sejalan dengan cara kerjanya—karena memang merupakan perlambang sunnatullah yang bersifat ilmiah—namun orang dusun itu kemudian berkata, “Buku inilah yang telah membangun, menyusun, dan mem- buat istana tersebut dengan indah. Dialah yang telah menghadirkan semua isi istana sekaligus mengaturnya secara rapi.” Dari pernyataan ini tampak dengan jelas betapa bodohnya orang dusun tadi.

    Sama dengan contoh itu, ada yang masuk ke istana alam yang besar ini, yang jauh lebih teratur, lebih rapi, lebih indah, dan lebih megah daripada istana kecil di atas yang sebetulnya tidak bisa di- bandingkan dengannya. Setiap sisi-sisi alam menampakkan berbagai mukjizat mencengangkan dan hikmah yang istimewa. Ya, salah seorang naturalis-ateis yang mengingkari keberadaan Tuhan masuk ke dalam istana alam ini. Belum apa-apa ia langsung berpaling dari tanda-tanda ciptaan Allah yang bertebaran di hadapannya. Lalu ia mulai mencari sebab yang menciptakan alam di antara para makhluk. Ia pun menyaksikan berbagai aturan sunnatullah dan daftar penciptaan Tuhan yang secara sangat keliru disebut dengan “hukum alam” atau hukum kausalitas. Hukum alam tersebut laksana lembaran buku ca- tatan “perubahan dan pergantian” bagi qudrah ilahi.

    Ia juga laksana lembaran “penghapusan dan penetapan” bagi qadar ilahi. Namun orang tersebut malah berkata: “Karena semua entitas membutuhkan adanya sebab yang mencipta, sementara yang paling terkait erat dengannya hanyalah buku catatan (lembaran) tadi, maka aku berkesimpulan bahwa buku itulah yang menciptakan semua entitas. Sebab, aku tidak percaya kepada Tuhan Pencipta Yang Maha Agung.” Padahal, secara jujur, akal manusia sangat menolak kalau semua pengaturan Tuhan yang bersifat mutlak dinisbatkan kepada “buku” yang buta, tuli, dan lemah itu.

    Kami tegaskan, “Wahai orang yang lebih bodoh dari si Pandir, angkatlah kepalamu dari bawah kubangan alam agar engkau bisa melihat Pencipta Agung di mana semua entitas, dari atom hingga planet, dengan bahasa yang berbeda-beda, menjadi saksi atas-Nya. Lihatlah manifestasi Sang Pencipta Agung yang telah membangun istana alam yang megah ini, serta telah menuliskan rancangan, rencana, dan semua aturan-Nya pada “buku” tersebut. Dengarkan pesan al-Qur’an dan selamatkan dirimu dari igauan yang hina itu.

    2. Orang Primitif Masuk Barak Militer atau Masjid Seseorang yang sama sekali tak mengenal budaya dan peradaban masuk ke tengah-tengah kampung militer besar. Ia tercengang tatkala melihat berbagai latihan yang dengan sangat teratur dan penuh disiplin dilakukan oleh para prajurit di kampung tersebut. Gerakan mereka yang seragam itu tampak seolah-olah seperti satu gerakan. Semua prajurit secara serempak bergerak dengan gerakan salah seorang di antara mereka dan mereka juga diam dengan diamnya ia. Lalu semua prajurit melepaskan tembakan segera setelah orang tadi mengeluarkan perintah. Orang yang tak mengenal budaya dan peradaban itu pun terheran-heran melihatnya. Akalnya yang polos tak mampu memahami bagaimana mungkin kepemimpinan seorang panglima dipatuhi sedemikian rupa dan dilaksanakan secara rapi. Lalu ia mengasumsikan adanya seutas tali yang mengikat masing-masing prajurit.

    Kemudian ia mulai merenungkan kehebatan tali yang diasumsikan tadi sehingga ia pun bertambah heran dan bingung. Lalu Ia pergi.Selanjutnya pada hari jumat ia masuk ke sebuah masjid besar seperti Hagia Sophia(*[3]) . Di sana ia menyaksikan begitu banyak orang yang shalat di belakang imam. Orang-orang itu berdiri, duduk, sujud, dan ruku mengikuti gerakan dan seruan seorang imam. Karena orang tadi sama sekali tidak mengetahui tentang syariat Tuhan serta tidak mengetahui aturan yang ada di balik perintah-Nya, ia berasumsi bahwa kelompok orang yang shalat tadi saling diikat dengan tali. Tali itulah yang mengatur gerakan mereka. Serta, tali itu pula yang membuat mereka bergerak dan diam. Demikianlah. Ia pun pergi dengan pikiran dan anggapan keliru yang nyaris menjadi bahan ejekan dan tertawaan, bahkan oleh orang yang paling kejam dan buas.

    Sama dengan perumpamaan di atas, seorang ateis datang ke dunia yang merupakan markas besar para prajurit Sultan Yang Mulia sekaligus merupakan masjid yang teratur milik Dzat Azali yang disembah. Orang ateis tersebut datang dengan membawa paham naturalismenya. Ia menganggap “hukum-hukum abstrak” yang tanda-tandanya tampak pada ikatan keteraturan alam dan bersumber dari hikmah kebijaksanaan Tuhan sebagai hukum-hukum materi. Maka, dalam melakukan berbagai penelitian ia pun berinteraksi dengan hukum-hukum tadi sebagaimana berinteraksi dengan materi dan benda-benda mati. Ia menganggap hukum-hukum rububiyah Tuhan yang merupakan hukum dan aturan syariat alam milik Tuhan yang bersifat abstrak dan hanya ada dalam wujud pengetahuan se- bagai entitas dan benda.Ia memosisikan hukum-hukum yang bersumber dari ilmu ilahi dan kalam rabbani itu seperti qudrah ilahi yang bisa mencipta. Lalu semua itu disebutnya dengan “hukum alam” seraya menganggap kekuatan yang merupakan salah satu wujud manifestasi qudrah ilahi sebagai pemilik kekuasaan penuh. Hal ini merupakan kebodohan yang seribu kali lebih dahsyat daripada contoh di atas!

    Kesimpulan Jika “hukum alam” yang menjadi sandaran kaum naturalis itu memiliki wujud hakiki yang tampak secara lahiri, maka sesungguh- nya wujud tersebut hanyalah ciptaan, bukan pencipta. Ia hanyalah ukiran, bukan si pengukir. Ia hanyalah kumpulan hukum, bukan si pembuat hukum. Ia hanyalah syariat alamiah, bukan si pembuat sya- riat. Ia hanyalah tirai yang tercipta, bukan si pencipta. Ia hanyalah objek, bukan pelaku. Ia hanyalah kumpulan aturan, bukan si pembuat aturan. Serta, ia hanyalah penggaris, bukan sosok yang menggaris.

    Karena entitas benar-benar ada, sementara akal kita hanya mampu memahami empat jalan untuk sampai kepada munculnya entitas tersebut sebagaimana hal itu telah kami jelaskan dalam pendahuluan, lalu karena kita juga telah membuktikan kebatilan tiga jalan di antaranya yaitu dengan penjelasan mengenai tiga kemustahilan yang tampak secara nyata dari setiap jalan tadi, maka kita harus mempercayai dengan seyakin-yakinnya bahwa yang benar adalah jalan keempat. Yaitu jalan keesaan Tuhan di mana al-Qur’an mengatakan:“Para rasul itu berkata, Apa ada keraguan tentang Allah, Dzat Pencipta langit dan bumi.” (QS. Ibrâhîm [14]: 10).Ayat tersebut dengan tegas menjelaskan eksistensi Sang Wajibul wujud (Allah ), uluhiyah-Nya yang menguasai alam, kemunculan segala sesuatu yang berasal dari kekuasaan-Nya, serta kunci-kunci langit dan bumi yang berada di tangan-Nya.

    Wahai para penyembah sebab dan hukum alam! Selama karakter segala sesuatu adalah makhluk karena ia bersifat baru dan ada tanda padanya bahwa ia tercipta, serta sebab keberadaan sesuatu yang tampak secara lahiriah juga sama-sama makhluk dan bersifat baru. Selain itu, selama keberadaan segala sesuatu membutuhkan berbagai sarana, perangkat, dan peralatan yang sangat banyak, maka pastilah ada Dzat Yang Maha Berkuasa secara mutlak yang menciptakan karakter tersebut pada sesuatu berikut se- babnya. Di samping itu, Dzat Yang Maha Berkuasa mutlak tersebut sama sekali tidak membutuhkan sesuatu sehingga tidak ada sekutu yang ikutserta dalam proses penciptaan dan rububiyah-Nya.Sungguh tidak ada sekutu bagi-Nya. Dialah Dzat yang mencipta sebab dan akibatnya sekaligus secara langsung. Lalu Dia letakkan di antara sebab dan akibat tadi proses kausalitas yang tampak secara lahiriah dengan terangkai dalam bentuk yang rapi. Dia jadikan sebab-sebab dan hukum alam tersebut sebagai tirai yang menutupi tangan qudrah-Nya yang mulia, hijab bagi kemuliaan dan kebesaran-Nya, sekaligus agar kemuliaan-Nya tetap bersih dan suci.

    Acaba bir saatçi, saatin çarklarını yapsın; sonra saati çarklarla tertip edip tanzim etsin, daha mı kolaydır? Yoksa hârika bir makineyi, o çarklar içinde yapsın; sonra saatin yapılmasını o makinenin camid ellerine versin, tâ saati yapsın, daha mı kolaydır? Acaba imkân haricinde değil midir? Haydi o insafsız aklınla sen söyle, sen hâkim ol!

    Veyahut bir kâtip; mürekkep, kalem, kâğıdı getirdi. Onunla kendi bizzat o kitabı yazsa daha mı kolaydır? Yoksa o kâğıt, mürekkep, kalem içinde o kitaptan daha sanatlı, daha zahmetli, yalnız o tek kitaba mahsus olarak bir yazı makinesi icad etsin; sonra o şuursuz makineye “Haydi sen yaz!” desin de kendi karışmasın, daha mı kolaydır? Acaba yüz defa yazıdan daha müşkül değil midir?

    Eğer desen: Evet, bir kitabı yazan makinenin icadı, o kitaptan yüz defa daha müşküldür. Fakat o makine, aynı kitabın birçok nüshalarını yazmasına vasıta olmak cihetiyle, belki bir kolaylık var?

    Elcevap: Nakkaş-ı Ezelî, hadsiz kudretiyle nihayetsiz cilve-i esmasını her vakit tazelendirmekle, ayrı ayrı şekilde göstermek için eşyadaki teşahhusları ve hususi simaları öyle bir surette halk etmiştir ki hiçbir mektub-u Samedanî ve hiçbir kitab-ı Rabbanî, diğer kitapların aynı aynına olamıyor. Alâküllihal, ayrı manaları ifade etmek için ayrı bir siması bulunacak.

    Eğer gözün varsa insanın simasına bak, gör ki zaman-ı Âdem’den şimdiye kadar, belki ebede kadar, bu küçük simada, aza-yı esasîde ittifak ile beraber her bir sima, umum simalara nisbeten, her birisine karşı birer alâmet-i farikası var olduğu kat’iyen sabittir.

    Bunun için her bir sima, ayrı bir kitaptır. Yalnız sanatın tanzimi için ayrı bir yazı takımı ve ayrı bir tertip ve telif ister. Ve maddelerini hem getirmek hem yerleştirmek ve hem de vücuda lâzım olan her şeyi dercetmek için bütün bütün başka bir tezgâh ister.

    Haydi, farz-ı muhal olarak tabiata bir matbaa nazarıyla baktık. Fakat bir matbaaya ait olan tanzim ve basmak, yani muayyen intizamını kalıba sokmaktan başka, o tanzimin icadından, icadları yüz derece daha müşkül bir zîhayatın cismindeki maddeleri, aktar-ı âlemden mizan-ı mahsusla ve has bir intizamla icad etmek ve getirmek ve matbaa eline vermek için yine o matbaayı icad eden Kadîr-i Mutlak’ın kudret ve iradesine muhtaçtır. Demek, bu matbaalık ihtimali ve farzı, bütün bütün manasız bir hurafedir.

    İşte bu saat ve kitap misalleri gibi Sâni’-i Zülcelal, Kādir-i külli şey’, esbabı halk etmiş; müsebbebatı da halk ediyor. Hikmetiyle, müsebbebatı esbaba bağlıyor. Kâinatın harekâtının tanzimine dair kavanin-i âdetullahtan ibaret olan şeriat-ı fıtriye-i kübra-yı İlahiyenin bir cilvesini ve eşyadaki o cilvesine yalnız bir âyine ve bir ma’kes olan tabiat-ı eşyayı, iradesiyle tayin etmiştir. Ve o tabiatın vücud-u haricîye mazhar olan vechini, kudretiyle icad etmiş ve eşyayı o tabiat üzerinde halk etmiş, birbirine mezcetmiş. Acaba gayet derecede makul ve hadsiz bürhanların neticesi olan bu hakikatin kabulü mü daha kolaydır? –Acaba vücub derecesinde lâzım değil midir?– Yoksa camid, şuursuz, mahluk, masnû, basit olan o sebep ve tabiat dediğiniz maddelere, her bir şeyin vücuduna lâzım hadsiz cihazat ve âlâtı verip hakîmane, basîrane olan işleri kendi kendilerine yaptırmak mı daha kolaydır? –Acaba imtina derecesinde, imkân haricinde değil midir?– Senin, o insafsız aklının insafına havale ediyoruz.

    Münkir ve tabiat-perest diyor ki:

    Madem beni insafa davet ediyorsun. Ben de diyorum ki şimdiye kadar yanlış gittiğimiz yol hem yüz derece muhal hem gayet zararlı ve nihayet derecede çirkin bir meslek olduğunu itiraf ediyorum. Sâbık tahkikatınızdan zerre miktar şuuru bulunan anlayacak ki esbaba, tabiata icad vermek mümtenidir, muhaldir. Ve her şeyi doğrudan doğruya Vâcibü’l-vücud’a vermek vâcibdir, zarurîdir. Elhamdülillahi ale’l-iman deyip iman ediyorum.

    Yalnız bir şüphem var: Cenab-ı Hakk’ın Hâlık olduğunu kabul ediyorum fakat bazı cüz’î esbabın ehemmiyetsiz şeylerde icada müdahaleleri ve bir parça medh ü sena kazanmaları, saltanat-ı rububiyetine ne zarar verir? Saltanatına noksaniyet gelir mi?

    Elcevap: Bazı risalelerde gayet kat’î ispat ettiğimiz gibi; hâkimiyetin şe’ni, müdahaleyi reddetmektir. Hattâ en edna bir hâkim, bir memur; daire-i hâkimiyetinde oğlunun müdahalesini kabul etmiyor. Hattâ hâkimiyetine müdahale tevehhümüyle, bazı dindar padişahlar –halife oldukları halde– masum evlatlarını katletmeleri, bu “redd-i müdahale kanunu”nun hâkimiyette ne kadar esaslı hükmettiğini gösteriyor. Bir nahiyede iki müdürden tut tâ bir memlekette iki padişaha kadar, hâkimiyetteki istiklaliyetin iktiza ettiği “men’-i iştirak kanunu” tarih-i beşerde çok acib herc ü merc ile kuvvetini göstermiş.

    Acaba âciz ve muavenete muhtaç insanlardaki âmiriyet ve hâkimiyetin bir gölgesi, bu derece müdahaleyi reddetmeyi ve başkasının müdahalesini men’etmeyi ve hâkimiyetinde iştirak kabul etmemeyi ve makamında istiklaliyetini nihayet taassupla muhafazaya çalışmayı gör, sonra hâkimiyet-i mutlaka rububiyet derecesinde ve âmiriyet-i mutlaka uluhiyet derecesinde ve istiklaliyet-i mutlaka ehadiyet derecesinde ve istiğna-yı mutlak kādiriyet-i mutlaka derecesinde bir Zat-ı Zülcelal’de, bu redd-i müdahale ve men’-i iştirak ve tard-ı şerik, ne derece o hâkimiyetin zarurî bir lâzımı ve vâcib bir muktezası olduğunu kıyas edebilirsen et.

    Amma ikinci şık şüphen ki: Bazı esbab, bazı cüz’iyatın bazı ubudiyetlerine merci olsa, o Mabud-u Mutlak olan Zat-ı Vâcibü’l-vücud’a müteveccih zerrattan seyyarata kadar mahlukatın ubudiyetlerinden ne noksan gelir?

    Elcevap: Şu kâinatın Hâlık-ı Hakîm’i, kâinatı bir ağaç hükmünde halk edip en mükemmel meyvesini zîşuur ve zîşuurun içinde en câmi’ meyvesini insan yapmıştır. Ve insanın en ehemmiyetli, belki insanın netice-i hilkati ve gaye-i fıtratı ve semere-i hayatı olan şükür ve ibadeti; o Hâkim-i Mutlak ve Âmir-i Müstakil, kendini sevdirmek ve tanıttırmak için kâinatı halk eden o Vâhid-i Ehad, bütün kâinatın meyvesi olan insanı ve insanın en yüksek meyvesi olan şükür ve ibadetini başka ellere verir mi? Bütün bütün hikmetine zıt olarak, netice-i hilkati ve semere-i kâinatı abes eder mi? Hâşâ ve kellâ… Hem hikmetini ve rububiyetini inkâr ettirecek bir tarzda mahlukatın ibadetlerini başkalara vermeye rıza gösterir mi, hiç müsaade eder mi? Ve hem hadsiz bir derecede kendini sevdirmeyi ve tanıttırmayı ef’aliyle gösterdiği halde, en mükemmel mahlukatının şükür ve minnettarlıklarını, tahabbüb ve ubudiyetlerini başka esbaba vermekle kendini unutturup kâinattaki makasıd-ı âliyesini inkâr ettirir mi? Ey tabiat-perestlikten vazgeçen arkadaş! Haydi sen söyle!

    O diyor: Elhamdülillah, bu iki şüphem hallolmakla beraber, vahdaniyet-i İlahiyeye dair ve Mabud-u Bi’l-hak o olduğuna ve ondan başkaları ibadete lâyık olmadığına o kadar parlak ve kuvvetli iki delil gösterdin ki onları inkâr etmek, güneşi ve gündüzü inkâr etmek gibi bir mükâberedir.

    Hâtime

    Tabiat fikr-i küfrîsini terk eden ve imana gelen zat diyor ki: Elhamdülillah, benim şüphelerim kalmadı; yalnız merakımı mûcib olan birkaç sualim var.

    Birinci Sual: Çok tembellerden ve târikü’s-salâtlardan işitiyoruz, diyorlar ki: Cenab-ı Hakk’ın bizim ibadetimize ne ihtiyacı var ki Kur’an’da çok şiddet ve ısrar ile ibadeti terk edeni zecredip cehennem gibi dehşetli bir ceza ile tehdit ediyor. İtidalli ve istikametli ve adaletli olan ifade-i Kur’aniyeye nasıl yakışıyor ki ehemmiyetsiz bir cüz’î hataya karşı, nihayet şiddeti gösteriyor?

    Elcevap: Evet, Cenab-ı Hak senin ibadetine, belki hiçbir şeye muhtaç değil. Fakat sen ibadete muhtaçsın, manen hastasın. İbadet ise manevî yaralarına tiryaklar hükmünde olduğunu çok risalelerde ispat etmişiz. Acaba bir hasta, o hastalık hakkında, şefkatli bir hekimin ona nâfi’ ilaçları içirmek hususunda ettiği ısrara mukabil, hekime dese: “Senin ne ihtiyacın var, bana böyle ısrar ediyorsun?” Ne kadar manasız olduğunu anlarsın.

    Amma Kur’an’ın terk-i ibadet hakkında şiddetli tehdidatı ve dehşetli cezaları ise nasıl ki bir padişah, raiyetinin hukukunu muhafaza etmek için âdi bir adamın, raiyetinin hukukuna zarar veren bir hatasına göre, şiddetli cezaya çarpar.

    Öyle de ibadeti ve namazı terk eden adam, Sultan-ı ezel ve ebed’in raiyeti hükmünde olan mevcudatın hukukuna ehemmiyetli bir tecavüz ve manevî bir zulmeder. Çünkü mevcudatın kemalleri, Sâni’e müteveccih yüzlerinde tesbih ve ibadet ile tezahür eder. İbadeti terk eden, mevcudatın ibadetini görmez ve göremez, belki de inkâr eder. O vakit ibadet ve tesbih noktasında yüksek makamda bulunan ve her biri birer mektub-u Samedanî ve birer âyine-i esma-i Rabbaniye olan mevcudatı; âlî makamlarından tenzil ettiğinden ve ehemmiyetsiz, vazifesiz, camid, perişan bir vaziyette telakki ettiğinden mevcudatı tahkir eder; kemalâtını inkâr ve tecavüz eder.

    Evet herkes, kâinatı kendi âyinesiyle görür. Cenab-ı Hak insanı kâinat için bir mikyas, bir mizan suretinde yaratmıştır. Her insan için bu âlemden hususi bir âlem vermiş. O âlemin rengini, o insanın itikad-ı kalbîsine göre gösteriyor.

    Mesela, gayet meyus ve matemli olarak ağlayan bir insan, mevcudatı ağlar ve meyus suretinde görür; gayet sürurlu ve neşeli, müjdeli ve kemal-i neşesinden gülen bir adam, kâinatı neşeli, güler gördüğü gibi; mütefekkirane ve ciddi bir surette ibadet ve tesbih eden adam, mevcudatın hakikaten mevcud ve muhakkak olan ibadet ve tesbihatlarını bir derece keşfeder ve görür. Gafletle veya inkârla ibadeti terk eden adam; mevcudatı, hakikat-i kemalâtına tamamıyla zıt ve muhalif ve hata bir surette tevehhüm eder ve manen onların hukukuna tecavüz eder.

    Hem o târikü’s-salât, kendi kendine mâlik olmadığı için kendi mâlikinin bir abdi olan kendi nefsine zulmeder. Onun mâliki, o abdinin hakkını, onun nefs-i emmaresinden almak için dehşetli tehdit eder. Hem netice-i hilkati ve gaye-i fıtratı olan ibadeti terk ettiğinden, hikmet-i İlahiye ve meşiet-i Rabbaniyeye karşı bir tecavüz hükmüne geçer. Onun için cezaya çarpılır.

    Elhasıl: İbadeti terk eden hem kendi nefsine zulmeder –nefsi ise Cenab-ı Hakk’ın abdi ve memlûküdür– hem kâinatın hukuk-u kemalâtına karşı bir tecavüz, bir zulümdür. Evet nasıl ki küfür, mevcudata karşı bir tahkirdir; terk-i ibadet dahi kâinatın kemalâtını bir inkârdır. Hem hikmet-i İlahiyeye karşı bir tecavüz olduğundan, dehşetli tehdide, şiddetli cezaya müstahak olur.

    İşte bu istihkakı ve mezkûr hakikati ifade etmek için Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan, mu’cizane bir surette o şiddetli tarz-ı ifadeyi ihtiyar ederek, tam tamına hakikat-i belâgat olan mutabık-ı mukteza-yı hale mutabakat ediyor.

    İkinci Sual: Tabiattan vazgeçen ve imana gelen zat diyor ki:

    Her mevcud, her cihette, her işinde ve her şeyinde ve her şe’ninde meşiet-i İlahiyeye ve kudret-i Rabbaniyeye tabi olması, çok azîm bir hakikattir. Azameti cihetinde dar zihinlerimize sıkışmıyor. Halbuki gözümüzle gördüğümüz bu nihayet derecede mebzuliyet hem hilkat ve icad-ı eşyadaki hadsiz suhulet hem sâbık bürhanlarınızla tahakkuk eden vahdet yolundaki icad-ı eşyada nihayet derecede kolaylık ve suhulet hem nass-ı Kur’an ile beyan edilen مَا خَل۟قُكُم۟ وَلَا بَع۟ثُكُم۟ اِلَّا كَنَف۟سٍ وَاحِدَةٍ ۝ وَمَٓا اَم۟رُ السَّاعَةِ اِلَّا كَلَم۟حِ ال۟بَصَرِ اَو۟ هُوَ اَق۟رَبُ gibi âyetlerin sarahaten gösterdikleri nihayet derecede kolaylık, o hakikat-i azîmeyi, en makbul ve en makul bir mesele olduğunu gösteriyorlar. Bu kolaylığın sırrı ve hikmeti nedir?

    Elcevap: Yirminci Mektup’un Onuncu Kelimesi olan وَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَى۟ءٍ قَدٖيرٌ beyanında, o sır gayet vâzıh ve kat’î ve mukni bir tarzda beyan edilmiş. Hususan o mektubun zeylinde daha ziyade vuzuh ile ispat edilmiş ki bütün mevcudat, Sâni’-i Vâhid’e isnad edildiği vakit, bir tek mevcud hükmünde kolaylaşır. Eğer Vâhid-i Ehad’e verilmezse bir tek mahlukun icadı, bütün mevcudat kadar müşkülleşir ve bir çekirdek, bir ağaç kadar suubetli olur.

    Eğer Sâni’-i Hakiki’sine verilse kâinat bir ağaç gibi ve ağaç bir çekirdek gibi ve cennet bir bahar gibi ve bahar bir çiçek gibi kolaylaşır, suhulet peyda eder. Ve bilmüşahede görünen hadsiz mebzuliyet ve ucuzluğun ve her nev’in suhuletle kesret-i efradı bulunmasının ve kesret-i suhulet ve süratle muntazam, sanatlı, kıymetli mevcudatın kolayca vücuda gelmesinin sırlarına medar olan ve hikmetlerini gösteren yüzer delillerinden ve başka risalelerde tafsilen beyan edilen bir ikisine muhtasar bir işaret ederiz.

    Mesela, nasıl ki yüz nefer, bir zabitin idaresine verilse; bir neferin, yüz zabitin idarelerine verilmesinden yüz derece daha kolay olduğu gibi; bir ordunun teçhizat-ı askeriyesi bir merkez, bir kanun, bir fabrika ve bir padişahın emrine verildiği vakit, âdeta kemiyeten bir neferin teçhizatı kadar kolaylaştığı gibi; bir neferin teçhizat-ı askeriyesi müteaddid merkezlere, müteaddid fabrikalara, müteaddid kumandanlara havalesi de âdeta bir ordunun teçhizatı kadar kemiyeten müşkülatlı oluyor. Çünkü bir tek neferin teçhizatı için bütün orduya lâzım olan fabrikaların bulunması gerektir.

    Hem bir ağacın sırr-ı vahdet cihetiyle, bir kökte, bir merkezde, bir kanun ile mevadd-ı hayatiyesi verildiğinden binler meyve veren o ağaç, bir meyve kadar suhuletli olduğu bilmüşahede görünür. Eğer vahdetten kesrete gidilse, her bir meyveye lâzım mevadd-ı hayatiye başka yerden verilse her bir meyve, bir ağaç kadar müşkülat peyda eder. Belki ağacın bir enmuzeci ve fihristesi olan bir tek çekirdek dahi o ağaç kadar suubetli olur. Çünkü bir ağacın hayatına lâzım olan bütün mevadd-ı hayatiye, bir tek çekirdek için de lâzım oluyor.

    İşte bu misaller gibi yüzler misaller var gösteriyorlar ki vahdette, nihayet derecede suhuletle vücuda gelen binler mevcud, şirkte ve kesrette, bir tek mevcuddan daha ziyade kolay olur.

    Sair risalelerde bu hakikat iki kere iki dört eder derecede ispat edildiğinden, onlara havale edip, burada yalnız bu suhulet ve kolaylığın ilim ve kader-i İlahî ve kudret-i Rabbaniye nokta-i nazarında gayet mühim bir sırrını beyan edeceğiz. Şöyle ki:

    Sen bir mevcudsun. Eğer Kadîr-i Ezelî’ye kendini versen; bir kibrit çakar gibi hiçten, yoktan, bir emirle, hadsiz kudretiyle, seni bir anda halk eder. Eğer sen kendini ona vermezsen, belki esbab-ı maddiyeye ve tabiata isnad etsen o vakit sen, kâinatın muntazam bir hülâsası, meyvesi ve küçük bir fihristesi ve listesi olduğundan; seni yapmak için kâinatı ve anâsırı ince elek ile eleyip hassas ölçülerle aktar-ı âlemden senin vücudundaki maddeleri toplamak lâzım gelir.

    Çünkü esbab-ı maddiye yalnız terkip eder, toplar. Kendilerinde bulunmayanı; hiçten, yoktan yapamadıkları, bütün ehl-i akıl yanında musaddaktır. Öyle ise küçük bir zîhayatın cismini aktar-ı âlemden toplamaya mecbur olurlar.

    İşte vahdette ve tevhidde ne kadar kolaylık ve şirkte ve dalalette ne kadar müşkülat var olduğunu anla!

    İkincisi, ilim noktasında hadsiz bir suhulet vardır. Şöyle ki:

    Kader, ilmin bir nev’idir ki her şeyin manevî ve mahsus kalıbı hükmünde bir miktar tayin eder. Ve o miktar-ı kaderî, o şeyin vücuduna bir plan, bir model hükmüne geçer. Kudret icad ettiği vakit, gayet suhuletle o kaderî miktar üstünde icad eder.

    Eğer o şey muhit ve hadsiz ve ezelî bir ilmin sahibi olan Kadîr-i Zülcelal’e verilmezse –sâbıkan geçtiği gibi– binler müşkülat değil belki yüz muhalat ortaya düşer. Çünkü o miktar-ı kaderî ve miktar-ı ilmî olmazsa binler haricî ve maddî kalıplar, küçücük bir hayvanın cesedinde istimal edilmek lâzım gelir.

    İşte vahdette nihayetsiz kolaylık ve dalalette ve şirkte hadsiz müşkülatın bir sırrını anla وَمَٓا اَم۟رُ السَّاعَةِ اِلَّا كَلَم۟حِ ال۟بَصَرِ اَو۟ هُوَ اَق۟رَبُ âyeti, ne kadar hakikatli ve doğru ve yüksek bir hakikati ifade ettiğini bil!

    Üçüncü Sual: Eskiden düşman, şimdi dost olan mühtedi diyor ki: Şu zamanda çok ileri giden feylesoflar diyorlar ki: “Hiçten hiçbir şey icad edilmiyor ve hiçbir şey idam edilmiyor yalnız bir terkip bir tahlildir ki kâinat fabrikasını işlettiriyor.”

    Elcevap: Nur-u Kur’an ile mevcudata bakmayan feylesofların en ileri gidenleri bakmışlar ki tabiat ve esbab vasıtasıyla bu mevcudatın teşekkülat ve vücudlarını –sâbıkan ispat ettiğimiz tarzda– imtina derecesinde müşkülatlı gördüklerinden, iki kısma ayrıldılar.

    Bir kısmı sofestaî olup, insanın hâssası olan akıldan istifa ederek, ahmak hayvanlardan daha aşağı düşerek, kâinatın vücudunu inkâr etmeyi; hattâ kendilerinin vücudlarını dahi inkâr etmesini; dalalet mesleğinde esbab ve tabiatın icad sahibi olmalarından daha ziyade kolay gördüklerinden hem kendilerini hem kâinatı inkâr edip, cehl-i mutlaka düşmüşler.

    İkinci güruh bakmışlar ki dalalette, esbab ve tabiat mûcid olmak noktasında, bir sinek ve bir çekirdeğin icadı, hadsiz müşkülatı var ve tavr-ı aklın haricinde bir iktidar iktiza ediyor. Onun için bilmecburiye icadı inkâr ediyorlar “Yoktan var olmaz.” diyorlar ve idamı da muhal görüyorlar “Var yok olmaz.” hükmediyorlar. Yalnız harekât-ı zerrat ile tesadüf rüzgârlarıyla bir terkip ve tahlil ve dağılmak ve toplanmak suretinde bir vaziyet-i itibariye tahayyül ediyorlar.

    İşte sen gel, ahmaklığın ve cehaletin en aşağı derecesinde, en yüksek akıllı kendini zanneden adamları gör ve dalalet, insanı ne kadar maskara ve süflî ve echel yaptığını bil, ibret al!

    Acaba her senede, dört yüz bin envaı birden zemin yüzünde icad eden ve semavat ve arzı altı günde halk eden ve altı haftada, her baharda, kâinattan daha sanatlı, hikmetli zîhayat bir kâinatı inşa eden bir kudret-i ezeliye, bir ilm-i ezelînin dairesinde, planları ve miktarları taayyün eden mevcudat-ı ilmiyeyi göze göstermeyen bir ecza ile yazılan ve görünmeyen bir yazıyı göstermek için sürülen bir ecza misillü, gayet kolay o ma’dumat-ı hariciye olan mevcudat-ı ilmiyeye vücud-u haricî vermeyi o kudret-i ezeliyeden uzak görmek ve icadı inkâr etmek; evvelki güruh olan sofestaîlerden daha ziyade ahmakane ve cahilanedir.

    Bu bedbahtlar, âciz-i mutlak ve yalnız bir cüz-i ihtiyarîden başka ellerinde olmayan firavunlaşmış kendi nefisleri, hiçbir şeyi idam ve yok edemediklerinden ve hiçbir zerreyi, bir maddeyi, hiçten, yoktan icad edemediklerinden ve güvendikleri esbab ve tabiatın ellerinde hiçten icad gelmediği cihetle, ahmaklıklarından diyorlar: “Yoktan var olmaz, var da yok olmaz.” deyip bu bâtıl ve hata düsturu, Kadîr-i Mutlak’a teşmil etmek istiyorlar.

    Evet, Kadîr-i Zülcelal’in iki tarzda icadı var. Biri, ihtira ve ibda iledir. Yani hiçten, yoktan vücud veriyor ve ona lâzım her şeyi de hiçten icad edip eline veriyor. Diğeri, inşa ile sanat iledir. Yani kemal-i hikmetini ve çok esmasının cilvelerini göstermek gibi çok dakik hikmetler için kâinatın anâsırından bir kısım mevcudatı inşa ediyor. Her emrine tabi olan zerratları ve maddeleri, rezzakıyet kanunuyla onlara gönderir ve onlarda çalıştırır.

    Evet, Kādir-i Mutlak’ın iki tarzda hem ibda hem inşa suretinde icadı var. Varı yok etmek ve yoğu var etmek; en kolay en suhuletli, belki daimî, umumî bir kanunudur. Bir baharda, üç yüz bin enva-ı zîhayat mahlukatın şekillerini, sıfatlarını, belki zerratlarından başka bütün keyfiyat ve ahvallerini hiçten var eden bir kudrete karşı “Yoğu var edemez!” diyen adam, yok olmalı!

    Tabiatı bırakan ve hakikate geçen zat diyor ki: Cenab-ı Hakk’a zerrat adedince şükür ve hamd ü sena ediyorum ki kemal-i imanı kazandım, evham ve dalaletlerden kurtuldum ve hiçbir şüphem de kalmadı.

    اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ عَلٰى دٖينِ ال۟اِس۟لَامِ وَ كَمَالِ ال۟اٖيمَانِ

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ


    1. *Faktor utama mengapa risalah ini ditulis adalah karena aku merasakan adanya serangan yang sangat kuat terhadap al-Qur’an dan hakikat keimanan, pengaitan antara paham ateisme dan naturalisme, serta penggunaan khurafat dalam setiap hal yang takdipahami oleh akal mereka yang terbatas dan rusak. Serangan tersebut tentu saja menimbulkan kemarahan di dalam qalbu sehingga memancarkan lava yang tertuang dalam bentuk risalah seperti ini. Lava dan peringatan keras ini hanya tertuju kepada para ateis dan para penganut aliran batil yang menentang kebenaran tersebut. Jika tidak demikian, biasanya Risalah Nur mempergunakan ungkapan yang lemah lembut dalam bertutur kata—Penulis.
    2. *Ya, ketika ada afiliasi, benih tersebut menerima sebuah perintah dari qadar ilahi dan bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan yang luar biasa. Namun,manakala afiliasi tadi terputus, penciptaan benih itu mengharuskan adanya berbagai perangkat, kekuasaan, dan kemampuan yang jauh lebih besar dari apa yang dibutuhkan dalam penciptaan pohon pinus besar. Sebab, semua bagian pohon pinus yang menyelimuti dan memperindah pegunungan, serta yang mencerminkan wujud rill bagi qudrah ilahi harus ada pada pohon maknawi yang merupakan jejak qadar di benih tersebut dengan seluruh organ dan peralatannya. Sebab, pabrik untuk mencipta pohon besar itu tersembunyi di dalam benih itu sendiri. Lalu dengan qudrah ilahi, pohon qadar yang terdapat di dlam benih itu tampak secara konkret di luar benih untuk kemudian membentuk pohon pinus besar—Penulis.
    3. *Ketika itu Hagia Sophia masih berfungsi sebagai masjid, sebelum ia kemudian dialih-fungsikan menjadi museum pada tahun 1935 M sampai sekarang―Peny.