CAHAYA KEDUA PULUH LIMA
(Dua Puluh Lima Obat)
[Kedua puluh lima obat ini merupakan balsam penyembuh, pelipur lara, dan resep maknawi bagi mereka yang sedang sakit. Ia ditulis sesuai ungkapan: “Derita telah pergi, segala puji bagi Allah atas keselamatan].”
Peringatan dan Permohonan Maaf
Resep Maknawi ini ditulis dengan kecepatan melebihi semua yang telah kami tulis.(*[1])Berbeda dengan tulisan lainnya, sempitnya waktu membuat koreksi dan verifikasinya dilakukan dengan sangat cepat, sehingga tampak tidak teratur layaknya draf sebuah tulisan. Tapi kami tidak melihat perlunya verifikasi ulang karena ilham rabbani yang terlintas dalam hati ini bersifat fitri sehingga sebaiknya jangan dirusak dengan keindahan bahasa, aturan seni tulis, dan verifikasi. Kami berharap semoga para pembaca, khususnya mereka yang sakit, tidak tersingung dengan frasa yang tidak biasa dan kalimat yang sulit dipahami, juga semoga mereka mendoakanku.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ
“Yaitu orang-orang yang jika kena musibah berkata: Sesungguhnya kami milik Allah dan hanya kepada-Nyalah kami kembali” (QS. al-Baqarah [2]: 156). “Dan Dialah yang memberiku makan dan minum, dan jika Aku sakit maka hanya Dialah yang memberiku kesembuhan” (QS. asy-Syu’arâ [26]: 79-80).
Dalam “cahaya” ini terdapat penjelasan singkat mengenai dua puluh lima obat yang dapat menjadi pelipur lara dan balsam penyembuh bagi mereka yang mendapatkan bala dan musibah serta mereka yang menderita penyakit, yang mana mereka merupakan sepersepuluh dari umat manusia.
Obat Pertama
Wahai penderita sakit yang tak berdaya! Jangan gelisah, bersabarlah! Karena sesungguhnya derita sakitmu itu bukanlah sebuah penyakit, tetapi justru sebuah obat. Sebab, umur manusia adalah modal yang terus berkurang. Jika tidak diinvestasikan, maka akan habis begitu saja. Apalagi jika usia tersebut dilalui dengan santai dan penuh kealpaan, maka akan berlalu dengan cepat. Dengan demikian, sakit tersebut dapat menghasilkan keuntungan yang besar bagi modal hidup tersebut dan tidak mengizinkan usia berlalu begitu saja dengan cepat. Ia tampak memperlambat langkah-langkah umur, menghentikan, serta memperpanjangnya hingga berbuah, kemudian menghilang.
Ungkapan “umur terasa panjang dengan penyakit” telah menjadi sebuah peribahasa sehingga dikatakan: “Betapa panjang masa derita dan betapa pendek waktu gembira!”
Obat Kedua
Wahai penderita sakit yang kehabisan kesabaran! Bersabarlah, bahkan bersyukurlah! Karena derita sakitmu ini bisa menjadikan detik-detik umurmu setara dengan berjam-jam ibadah.
Sebab, ibadah terbagi menjadi dua: Pertama, ibadah aktif (îjâbiah) yang terwujud dalam pelaksanaan shalat, doa, dan yang semisalnya. Kedua, ibadah pasif (salbiah) di mana penderita sakit bersimpuh menyerahkan diri kepada Sang Pencipta yang Maha Penyayang sembari mohon perlindungan dan bersujud pada-Nya.
Hal itu didasari dengan perasaan ketidakberdayaannya dihadapan penyakit dan musibah tersebut, sehingga ia mendapatkan ibadah maknawi yang tulus dan bersih dari segala bentuk riya.Ya, terdapat sejumlah riwayat sahih yang menyatakan bahwa umur yang dilalui dengan derita sakit dianggap sebagai ibadah bagi orang mukmin,(*[2])dengan syarat tidak mengeluh dan tidak putus asa. Bahkan telah dikonfirmasikan oleh berbagai riwayat yang sahih dan kasyaf (penyingkapan batiniah) yang benar bahwa satu menit derita mereka yang bersyukur dan bersabar setara dengan satu jam ibadah. Dan satu menit derita bagi Ahlullah al-Kâmilûn (mereka yang telah mencapai kesempurnaan rohani—Peny.) setara dengan ibadah satu hari penuh.
Oleh karena itu, wahai saudaraku, janganlah mengeluh- kan penyakit yang menjadikan derita satu menit setara dengan seribu menit sekaligus memberikan umur yang panjang kepadamu. Namun bersyukurlah atasnya!
Obat Ketiga
Wahai penderita sakit yang tak sanggup bertahan! Sesung- guhnya manusia datang ke dunia ini tidak untuk bersenang-senang. Hal tersebut dibuktikan dengan perginya semua yang telah datang, pemuda menjadi tua, dan keberadaan semua orang dalam pusaran perpisahan.
Sementara engkau menyaksikan manusia sebagai ciptaan paling sempurna, paling mulia, dan paling lengkap, bahkan manusia sebagai tuan atau pemimpin seluruh mahluk hidup, akhirnya menjalani hidup dengan susah dan penuh derita sembari menjatuhkan diri ke dalam tingkatan yang lebih hina dari binatang, karena memikirkan kesenangan yang telah berlalu dan musibah yang akan datang.
Oleh karena itu, manusia datang ke dunia ini tidak untuk menjalani hidup indah dan nyaman, yang dihiasi dengan ketenangan dan kejernihan. Akan tetapi, manusia datang untuk mendapatkan kebahagiaan hidup abadi lewat jalan perdangangan dengan modal besar, yaitu umur. Jika tidak ada penyakit, maka kesehatannya dapat membuat manusia tersebut jatuh ke dalam jurang kelalaian. Dunia akan tampak manis dan indah dalam pandangannya. Pada saat itu, ia terserang penyakit lupa akhirat sehingga tidak ingat kematian dan kubur, serta menyia-nyiakan modal umurnya yang sangat berharga. Dalam kondisi demikian, penyakit segera menyadarkannya. Seakan-akan penyakit tersebut berkata kepadanya, “Engkau tidak abadi dan dibiarkan begitu saja. Engkau memiliki kewajiban. Tinggalkan sifat sombong dan ingat Tuhan yang menciptakanmu. Ingat bahwa engkau akan masuk ke liang kubur, maka siapkan dirimu”.
Dengan demikian, derita sakit berperan sebagai mursyid (pembimbing) yang rajin memberikan nasihat dan peringatan. Karena itu, derita tersebut tidak perlu dikeluhkan, tetapi justru—dari sisi ini—ia wajib disyukuri. Jika rasa sakit semakin menjadi-jadi, mohonlah kesabaran dari Allah .
Obat Keempat
Wahai penderita sakit yang selalu mengeluh! Ketahuilah bahwa engkau tidak berhak mengeluh, tetapi justru engkau wajib bersyukur dan bersabar. Karena, jiwa dan ragamu bukanlah milikmu. Bukan engkau yang menciptakannya. Engkau juga tidak membelinya dari pabrik atau perusahaan manapun. Dengan demikian, ia milik pihak lain.
Sang Pemiliknya dapat berbuat sesuai kehendaknya dalam kerajaannya, sebagaimana yang tertera dalam “Kalimat Kedua Puluh Enam” yang khusus membahas tentang qadar (takdir), yaitu:Seorang perancang kaya dan cakap mempekerjakan seorang fakir sebagai model selama satu jam. Untuk memperlihatkan rancangannya yang indah dan kekayaannya yang luar biasa, dia pakaikan orang fakir tadi pakaian brokat yang dijahitnya sendiri, serta satu set baju yang ia tenun dengan sangat indah. Ia mempekerjakan orang tersebut dalam berbagai tugas serta menampilkan berbagai kondisi dan bentuk guna memperlihatkan rancangan yang luar biasa dan kehebatannya yang menakjubkan. Karena itu, ia memotong, mengganti, memanjangkan, memendekkan, dan seterusnya. Apakah menurutmu si fakir yang dipekerjakan ini berhak berkata kepada sang perancang yang cakap tersebut, “Engkau telah membuatku lelah dan payah dengan permintaan anda untuk membungkuk di satu waktu dan tegak di lain kesempatan. Engkau telah merusak keindahan yang terukir pada baju ini, yang sebenarnya mempercantik dan memperindah diriku, dengan menggunting dan memendekkannya?”
Demikian halnya dengan Sang Pencipta yang Maha Mulia, Allah—tanpa ada maksud menyerupakan Dia dengan apa dan siapapun—yang telah memberikan pakaian jasad kepadamu, wahai penderita sakit, dan menganugerahkan panca indra nuraniah seperti mata, telinga, dan akal. Maka demi memperlihatkan goresan nama-nama-Nya yang sangat indah, Dia pergilirkan berbagai kondisi dan situasi atas dirimu. Sehingga, seperti halnya engkau mengenal nama-Nya “ar-Razzâq” (Sang Pemberi rezeki) dengan menelan pa- hitnya rasa lapar, maka engkau juga akan mengenal nama Allah “Asy-Syâfî” (Sang Maha Penyembuh) melalui derita sakitmu itu.Kemunculan sebagian Asmaul Husna melalui sakit dan berbagai musibah, menunjukkan adanya percikan hikmah dan pancaran rahmat serta cahaya keindahan.
Andai saja tirai kegaiban terbuka, niscaya engkau akan menemukan berbagai makna yang dalam dan indah serta menyenangkan di balik derita sakitmu.
Obat Kelima
Wahai orang yang diuji dengan derita sakit! Lewat pengalaman yang telah kudapatkan di zaman ini, aku yakin bahwa derita sakit— yang dialami oleh sebagian orang—adalah bentuk kemurahan ilahi dan hadiah rahmâni bagi sebagian orang.(*[3])Selama delapan atau sembilan tahun, beberapa pemuda menemuiku karena derita sakit yang mereka alami, dengan harapan mereka kudoakan kesembuhan, padahal itu bukan keahlianku.Kemudian kuperhatikan bahwa mereka yang menderita sakit, justru banyak bertafakkur dan mengingat akhirat, serta kelalaian masa muda tidak membuatnya lupa diri. Bahkan, sampai pada tahap tertentu, derita sakit tersebut menjaga diri mereka dari syahwat hewani.Kuingatkan mereka bahwa sesungguhnya aku melihat derita sakit tersebut—termasuk kemampuan mereka menahannya—merupakan kebaikan ilahi dan anugerah dariNya. Karenanya aku berkata, “Saudaraku, aku tidak bermusuhan dengan derita sakitmu ini. Karena itu, aku tidak merasa kasihan kepadamu yang membuatku merasa perlu mendoakan kesembuhanmu. Berusahalah menghias dirimu dengan sifat sabar dan tegar dalam menghadapi derita sakit, sampai engkau mendapatkan kesembuhan! Jika sakit tersebut telah menyelesaikan tugasnya, maka Allah Sang Pencipta yang Maha Penyayang akan menyembuhkanmu”.
Aku juga berkata padanya, “Sebagian orang sepertimu selalu mengguncang bahkan menghancurkan kehidupan abadinya demi menikmati kesenangan lahiriah sesaat dari kehidupan dunia. Dan itu disebabkan tenggelamnya mereka dalam kealpaan yang berasal dari ujian kesehatan. Mereka juga meninggalkan shalat fardhu, lupa akan mati, dan tidak mengingat Allah . Sementara lewat derita sa- kit itu, engkau melihat kuburan yang akan menjadi rumahmu yang pasti engkau tempati. Engkau juga akan melihat tingkatan-tingkatan ukhrawi yang lain dibaliknya sehingga engkau akan bergerak dan melangkah sesuai dengan hal tersebut.Dengan demikian, derita sakitmu merupakan kesehatan bagimu, sementara kesehatan yang dirasakan oleh sebagian orang seusia- mu merupakan penyakit bagi mereka”.
Obat Keenam
Wahai penderita sakit yang selalu mengeluh akibat rasa sakit! Aku meminta engkau untuk mengingat kembali umurmu yang telah berlalu. Mengenang masa-masa indah dan menyenangkan dalam umurmu yang telah kau lewati, serta hari-hari yang penuh derita dan menyakitkan di dalamnya.Maka tidak diragukan lagi bahwa engkau akan berkata “oh” atau “ah”. Artinya, boleh jadi engkau menarik napas sembari berkata: “Alhamdulillah, puji syukur bagi-Nya”, atau engkau berdesah seraya berkata, “Alangkah sedihnya!”
Lihatlah bagaimana rasa sakit dan derita yang dulu pernah engkau alami tatkala terlintas dalam pikiranmu, melahirkan kelezatan maknawi sehingga hatimu bergelora dengan, “Alhamdulillah, puji syukur bagi-Nya”. Sebab, sirnanya rasa sakit itu dapat melahirkan kelezatan dan perasaan gembira. Juga, karena hilangnya rasa sakit dan derita tersebut meninggalkan kelezatan maknawi dalam jiwa, yang jika terlintas dalam benak, akan terasa manis dan menyenang- kan sekaligus melahirkan rasa syukur.
Sedangkan kondisi nyaman dan tenang yang telah engkau lalui membuatmu berkata, “Alangkah sedihnya”. Sebab, hilangnya kenikmatan akan meninggalkan penderitaan yang mengakar dalam jiwa. Rasa sakit tersebut muncul ketika engkau berpikir tentang lenyapnya kenikmatan-kenikmatan tersebut. Akhirnya, membanjirlah air mata kesedihan dan kepiluan.
Oleh karena itu, selama kenikmatan satu hari yang tidak disyariatkan—terkadang—membuat manusia merasakan penderitaan batin sepanjang tahun, sedangkan derita sakit satu hari saja akan memberikan kenikmatan batin selama berhari-hari,
di samping kenikmatan yang dirasakan saat terbebas dari kondisi tersebut, maka ingatlah dengan baik efek positif atau manfaat dari derita sakit temporer yang engkau rasakan, dan pikirkan pahala yang diharapkan dari derita sakit tersebut. Karena itu, hendaklah selalu bersyukur dan jangan pernah mengeluh, lalu katakan, “Keadaan akan terus berganti”.
Obat Keenam
(*[4])
Wahai saudaraku yang sedang gelisah karena sakit akibat meng- ingat berbagai kenikmatan dunia! Seandainya dunia ini kekal abadi, lalu kematian menyingkir dari jalan kehidupan, kemudian setelah ini tidak ada lagi perpisahan, serta masa depan yang penuh dengan berbagai penderitaan terbebas dari ‘musim dingin’ maknawi, maka pastilah aku ikut berduka dan menangis melihat kondisimu. Namun karena dunia akan mengusir kita dengan berkata, “Ayo keluar!” sementara ia tuli, tak mendengar teriakan dan permintaan tolong kita. Maka sebelum ia mengusir kita, sejak sekarang kita harus membuang rasa cinta terhadapnya serta perasaan kekal di dalamnya lewat teguran sakit. Sebelum dunia itu melepaskan kita, kita yang lebih dulu meninggalkannya secara batiniah (dalam hati).
Ya, sakit beserta efeknya yang menyadarkan kita tentang makna yang tersembunyi dan mendalam tadi, membisiki relung-relung kalbu kita seraya berkata, “Struktur tubuhmu bukan dari benda padat dan besi. Tetapi ia berasal dari unsur-unsur yang beraneka ragam yang tersusun di dalam dirimu secara sangat sesuai untuk kemudian segera terpisah dan tercerai-berai. Karena itu, janganlah engkau sombong. Sadarilah kelemahanmu dan kenalilah Penciptamu. Selanjutnya, ketahuilah apa tugasmu dan apa tujuannya engkau datang ke dunia?”
Kemudian, selama keindahan dan kenikmatan dunia tidak akan abadi, khususnya jika tidak syar’i, bahkan menghembuskan derita ke dalam jiwa dan mengakibatkan dosa, maka janganlah engkau menangis karena tidak merasakan kenikmatan itu akibat derita sakit. Akan tetapi, renungkan makna ibadah maknawi yang dikandung penderitaanmu itu serta pahala ukhrawi yang disembunyikan oleh derita sakit tersebut. Berusahalah semampu mungkin untuk mendapatkan rasa yang suci bersih itu.
Obat Ketujuh
Wahai penderita sakit yang kehilangan nikmat kesehatan! Sesungguhnya derita sakitmu itu tidak akan menghilangkan kelezatan nikmat ilahi yang dirasakan saat sehat. Namun sebaliknya, derita sakit itu akan membuatmu merasakan, memperindah, dan menam- bahkan nikmat tersebut. Hal itu karena tanpa ada perubahan pada sesuatu, maka rasa dan pengaruhnya akan memudar, sehingga para ulama berkata:Segala sesuatu hanya bisa dikenal lewat kebalikannya.Sebagai contoh: Sekiranya tidak ada gelap, maka cahaya tidak akan dikenal dan tetap menjadi sesuatu yang tidak berarti. Sekiranya tidak ada dingin, maka panas tidak akan dikenal dan akan tetap menjadi hal yang tidak bernilai. Sekiranya rasa lapar tidak ada, maka makan tidak akan memberikan kelezatan dan rasa nikmat. Sekiranya bukan karena rasa haus, maka kita tak akan merasakan nikmatnya minum air. Sekiranya penyakit tidak ada, maka kondisi sehat tidak memberikan kelezatan.
Nah, ketika Sang Maha Pencipta yang Mahabijak ingin membuat manusia merasakan segala bentuk anugerah dan nikmat-Nya, agar selalu bersyukur, maka Allah merancang dan menyediakan begitu banyak alat dalam diri manusia agar dapat merasakan ribuan bentuk nikmat-nikmat-Nya. Oleh karena itu, Dia harus menurunkan derita sakit kepada para hamba-Nya, sebagaimana Dia memberikan kesehatan kepada mereka.
Aku mau bertanya, “Sekiranya bukan karena rasa sakit yang menimpa kepala, tangan, atau perutmu, apakah engkau mampu merasakan kelezatan yang tersirat di balik rasa nyaman (sehat) yang membentangkan bayangannya di atas kepala, tangan atau perutmu? Dan apakah engkau mampu mensyukuri nikmat ilahi yang di wujudkan oleh nikmat-nikmat tersebut? Justru yang biasanya terjadi pada diri anda adalah lalai bersyukur, atau menjalani hidup sehat tersebut dengan penuh dosa tanpa anda sadari”.
Obat Kedelapan
Wahai penderita sakit yang selalu mengingat akhiratnya! Se-sungguhnya derita sakitmu itu mempunyai efek seperti sabun; membersihkan kotoran jiwamu, serta menghapus dosa dan kesalahanmu. Telah dikonfirmasikan bahwa derita sakit merupakan penebus dosa dan maksiat, sebagaimana yang terdapat dalam sebuah hadis sahih: “Tidaklah seorang muslim ditimpa musibah, melainkan Allah menggugurkan kesalahan-kesalahannya (menghapus dosa-dosanya) seperti halnya dedaunan pohon yang berguguran”.(*[5])
Dosa merupakan penyakit kekal di kehidupan akhirat. Namun dalam kehidupan dunia ini, ia merupakan penyakit maknawi yang terdapat di dalam kalbu dan jiwa manusia. Jika engkau bersabar dan tidak mengeluh, berarti dengan penyakit yang bersifat sementara itu engkau berhasil menyelamatkan dirimu dari berbagai penyakit yang kekal tadi.
Namun jika engkau tidak peduli dengan dosa-dosamu, melupakan akhiratmu, serta melalaikan Tuhanmu, kutegaskan bahwa engkau mengidap penyakit yang sangat berbahaya. Ia jutaan kali lebih parah, lebih kronis, dan lebih dahsyat daripada penyakit sementara tersebut. Karena itu, larilah darinya dan berteriaklah!
Sebab, kalbu, roh dan jiwamu terkait dengan seluruh entitas dunia. Ikatan-ikatan itu senantiasa terputus dengan pedang perpisahan dan kemusnahan di mana ini membukakan luka-luka yang dalam pada dirimu. Terutama jika engkau membayangkan kematian sebagai kemusnahan abadi lantaran tidak mengetahui adanya alam akhirat.
Seolah-olah engkau memiliki wujud yang sakit, yang lukanya sebesar dunia di mana ia menegaskan bahwa pertama-tama engkau harus mencari obat yang sempurna dan hakiki untuk wujud dirimu yang besar itu yang sedang terkoyak oleh berbagai penyakit dan luka. Menurutku, engkau hanya akan mendapatkannya dalam obat iman.Ketahuilah, jalan tersingkat untuk bisa sampai pada obat itu adalah lewat jendela ‘kelemahan dan kepapaan’ yang melekat pada setiap insan. Kedua jendela itulah yang akan merobek tirai kelalaian sekaligus mengantarkan manusia untuk mengenali kekuasaan Allah Yang Maha Mulia dan rahmat-Nya yang luas.
Ya, orang yang tidak mengenal Allah akan memikul segala kerisauan dan cobaan yang ada seluas dunia dan isinya. Namun orang yang mengenal Allah, dunianya akan terisi oleh cahaya dan kegem- biraan. Hal itu bisa dirasakan berkat kekuatan iman, sesuai dengan tingkatannya. Ya, penderitaan yang ditimbulkan oleh berbagai penyakit fisik akan larut dan lebur di bawah terpaan hujan kesenangan dan kesembuhan yang berasal dari iman.
Obat Kesembilan
Wahai penderita sakit yang percaya kepada Penciptanya! Engkau merasa sakit, ketakutan, dan gelisah dengan berbagai penyakit, karena kadangkala penyakit tadi menjadi sebab kematian. Juga, kare- na mati itu—dalam pandangan kelalaian—adalah sesuatu yang mena- kutkan dan mengerikan. Oleh sebab itu, berbagai penyakit yang bisa menjadi sebab kematian akan menyebabkan timbulnya kegelisahan dan kerisauan. Dari sini ada beberapa hal yang perlu diketahui:
Pertama, yakinlah bahwa ajal adalah perkara yang sudah ditentukan dan tak bisa berubah. Sering terjadi mereka yang meratapi orang yang sedang sakit parah tiba-tiba mati, sementara orang yang sakit parah tadi justru sehat kembali.
Kedua, kematian sebetulnya tidak menakutkan seperti yang tampak pada bentuk lahiriahnya. Lewat berbagai pancaran cahaya al-Qur’an, kami telah menegaskan dalam berbagai risalah bahwa kematian,
bagi seorang mukmin, merupakan akhir dari beban tugas kehidupan.
Ia adalah bentuk pembebasan dari pengabdian yang berupa pengajaran dan latihan di medan ujian dunia.
Ia adalah pintu untuk bisa berjumpa dengan sembilan puluh sembilan persen kekasih yang pergi ke alam akhirat.
Ia juga merupakan sarana untuk bisa memasuki tanah air hakiki dan tempat yang kekal guna menggapai kebahagiaan abadi.
Ia merupakan ajakan untuk berpindah dari penjara dunia ke taman-taman surga. Ia adalah kesempatan untuk menerima upah atas pengabdian yang telah ditunaikan;
upah yang berlimpah-limpah dari khazanah kemurahan Sang Pencipta Yang Maha Pengasih.
Jika esensi kematian pada hakikatnya demikian, maka ia tidak boleh dianggap sebagai perkara yang menakutkan. Tetapi sebaliknya, ia harus dilihat sebagai kabar gembira akan adanya rahmat dan kebahagiaan. Sehingga sebagian wali Allah bukan takut mati karena khawatir merana, tetapi mereka takut mati karena ingin menambah kebajikan lewat tugas kehidupan di dunia.
Ya, bagi orang yang beriman, kematian merupakan pintu rahmat. Sementara bagi kaum yang sesat, kematian merupakan sumur kegelapan abadi yang sangat pekat.
Obat Kesepuluh
Wahai penderita sakit yang sedang gelisah! Engkau gelisah karena tekanan penyakit. Sadarilah bahwa kegelisahanmu itu justru menambah beban penyakit. Jika engkau hendak meringankan penyakitmu, berusahalah sekuat tenaga untuk tenang. Dengan kata lain, renungi dan pikirkan berbagai manfaat dan pahala sakit serta dorongan untuk sembuh. Cabutlah akar-akar kegelisahan dari dirimu agar penyakit itu juga tercabut dari akar-akarnya.
Ya, kegelisahan (rasa was-was) yang terdapat di dalam jiwa akan melipat-gandakan penyakitmu serta membuat penyakitmu menjadi dua. Sebab, di bawah tekanan penyakit fisik, rasa gelisah akan menebarkan penyakit maknawi ke dalam kalbu sehingga penyakit fisik itupun terus ada dengan bersandar padanya. Jika engkau membuang kegelisahan dan bisikan jiwamu dengan menerima putusan Allah, ridha terhadap ketentuan-Nya, serta mengingat hikmah sakit, maka bagian penting dari penyakit fisikmu tersebut akan segera hilang dari akarnya hingga menjadi ringan.
Namun jika penyakit fisik tadi disertai oleh rasa gelisah (ilusi) dan bisikan jiwa, maka ia akan bertambah hebat. Sementara jika rasa gelisah itu hilang, penyakit fisik tadi akan jauh berkurang. Selain menambah penyakit, rasa gelisah akan membuat si sakit seolah-olah menggugat hikmah Ilahi, mengkritik rahmat Allah, serta mengeluhkan Penciptanya Yang Maha Pengasih.
Karena itu, orang yang sakit dididik dengan tamparan penuh kasih yang justru menambah penyakitnya. Sebagaimana rasa syukur menambah nikmat ilahi, demikian pula keluhan membuat derita sakit dan musibah itu semakin menjadi-jadi. Demikianlah, rasa gelisah sebetulnya merupakan penyakit, sedangkan obatnya adalah mengetahui hikmah sakit. Hapuslah rasa gelisahmu dengan salep tersebut dan selamatkan dirimu, lalu katakanlah, “Segala puji bagi Allah atas segalanya”, sebagai ganti rintihan, “Aduh…sakit!”
Obat Kesebelas
Wahai penderita sakit yang kehabisan kesabaran! Walaupun derita sakit itu telah memberikan rasa sakit, namun pada waktu yang sama ia juga memberikan kenikmatan jiwa yang muncul karena hilangnya penyakit yang telah berlalu disertai kenikmatan maknawi yang berasal dari pahala yang didapat atas upah penyakit tersebut. Masa yang datang sesudah hari ini, atau bahkan sesudah saat ini tidak memikul penyakit. Sudah pasti tak ada rasa sakit tanpa sebab.
Maka, selama tidak ada rasa sakit tak ada pula derita dan keluhan. Namun karena engkau mempunyai anggapan yang keliru, akhirnya kegelisahan menimpamu. Sebab, dengan berlalunya masa penyakit fisik, maka penderitaan masa tersebut juga lenyap, sedang yang tertinggal adalah pahala dan nikmat hilangnya penderitaan tersebut. Jadi, sungguh bodoh, bahkan gila, kalau setelah ini engkau masih mengingat penyakit yang sudah lewat, lalu merasa tersiksa dengannya. Sebagai akibatnya, engkau kehabisan kesabaran di saat seharusnya engkau merasa lapang karena ia telah sirna sementara pahalanya telah nyata.
Adapun hari-hari yang akan datang, ia belumlah tiba. Bukankah sungguh bodoh kalau kita menyibukkan diri dari sekarang dengan memikirkan sebuah hari yang belum tiba, penyakit yang belum turun, dan penderitaan yang belum terjadi? Pikiran semacam itu hanya akan membuat kita kurang sabar sekaligus menghadirkan tiga hal yang tiada. Bukankah ini gila? Karena masa-masa sakit yang telah berlalu mendatangkan kegembiraan dan kesenangan, serta karena waktu yang akan datang masih tiada, maka penyakit dan penderitaan tersebut sebetulnya tiada. Karena itu, wahai saudaraku! Janganlah engkau mencerai-beraikan kekuatan kesabaran yang Allah berikan padamu. Tetapi gabungkanlah semuanya untuk menghadapi penderitaan yang menimpamu pada saat ini. Kemudian ucapkan, “Yâ Shabûr” (Wahai yang Maha Penyabar) serta pikullah cobaan itu.
Obat Kedua Belas
Wahai penderita sakit yang terhalang dari ibadah beserta berbagai wiridnya lantaran sakit! Wahai orang yang kecewa atas keterhalangan tersebut! Ketahuilah bahwa ada sebuah hadis(*[6])yang maknanya berbunyi, “Sesungguhnya seorang mukmin yang bertakwa akan tetap mendapatkan pahala ibadah yang biasa dilakukannya walau dalam keadaan sakit. Penyakit tidak menjadi penghalang untuk mendapatkan pahala”. Penderita sakit yang melaksanakan kewajiban—semampu mungkin—dengan bersabar dan bertawakal di tengah-tengah penderitaannya, maka derita sakitnya menempati posisi ibadah sunnahnya.
Demikian pula penyakit membuat manusia menyadari kelemahan dan ketidakberdayaannya. Sehingga dengan kelemahan tadi, orang yang sakit itupun bersimpuh meminta pertolongan Allah baik terucap maupun lisanul hal (keadaan).
Tidaklah Allah menanamkan kelemahan pada diri manusia, kecuali agar ia selalu merasakan kehadiran Allah dengan doa sambil berharap dan memohon. Sebab, hikmah dari penciptaan manusia dan faktor utama yang membuatnya unggul (dibanding makhluk lain) adalah doa yang tulus, sesuai dengan bunyi ayat:“Katakanlah, Tuhanku tidak mengindahkanmu, sekiranya bukan karena doamu.” (QS. Al-Furqân [25]: 77).Karena penyakit merupakan penyebab dipanjatkannya doa yang tulus, maka ia tidak sepantasnya dikeluhkan, tetapi harus disyukuri. Sebab, tidaklah pantas mengeringkan aliran mata air doa dengan memperoleh kesembuhan.
Obat Ketiga Belas
Wahai orang papa yang mengeluh karena sakit! Sesungguhnya bagi sebagian orang, penyakit berubah menjadi harta kekayaan dan anugerah Ilahi yang sangat berharga. Setiap yang sakit mempunyai kemampuan untuk memosisikan penyakitnya seperti itu.
Sebab, sesuai dengan hikmah Ilahi, ajal merupakan perkara yang tak diketahui kapan waktunya agar manusia bisa selamat dari keputusasaan dan kelalaian mutlak, agar ia tetap berada dalam kondisi takut dan rasa harap, serta agar dunia dan akhiratnya tidak terjatuh ke dalam jurang kerugian. Dengan kata lain, kedatangan ajal bisa terjadi setiap waktu. Jika ajal tersebut mendatangi manusia yang sedang lalai, hal itu akan mendatangkan kerugian besar baginya di kehidupan akhi- rat nanti. Penyakit menghilangkan kelalaian tersebut yang kemudian menjadikannya mengingat akhirat dan kematian sehingga ia bersiap untuk menghadapinya. Bahkan ia akan mendapatkan laba yang sa- ngat besar. Selama dua puluh hari dalam kondisi sakit itu ia memperoleh keuntungan yang sulit untuk diperoleh selama dua puluh tahun sekalipun.
Sebagai contoh, ada dua orang pemuda—semoga keduanya mendapat rahmat Allah—yang satu bernama Sabri berasal dari desa Ilâma, sementara yang lain bernama Mustafa Vezirzade dari Islamkoy. Meskipun di antara murid-muridku kedua orang tersebut tidak pandai menulis dan membaca, namun aku sangat kagum dengan kesetiaan dan ketulusan mereka yang luar biasa dalam mendukung dakwah. Saat itu aku belum mengetahui hikmah dan rahasia di ba- liknya. Namun setelah mereka meninggal dunia, aku baru mengetahui bahwa mereka pernah terserang penyakit yang sangat kronis. Penyakit itulah yang kemudian memberi petunjuk kepada mereka sehingga mereka menjadi orang yang sangat bertakwa. Mereka berusaha memberikan pengabdian yang istimewa yang bermanfaat bagi kehidupan akhiratnya. Hal ini berbeda dengan para pemuda lainnya yang lalai, bahkan dari kewajiban agama mereka. Kita berdoa kepa- da Allah semoga dua tahun masa sakit yang mereka derita di dunia berubah menjadi jutaan tahun kebahagiaan abadi. Sekarang aku baru paham bahwa doaku agar mereka sembuh menjadi doa yang mendatangkan bencana bagi mereka dari sisi dunia. Namun aku berharap semoga doaku tersebut dikabulkan dalam bentuk sehatnya mereka di akhirat sana.Demikianlah seperti yang kuyakini, kedua orang itu telah mendapatkan sebuah keuntungan yang menyerupai perolehan yang didapat manusia dengan amal dan takwa selama minimal sepuluh tahun”.(*[7])
Seandainya mereka bangga dengan kesehatan mereka seperti para pemuda lainnya, lalu terjun ke dalam kelalaian hingga ajal menjemputnya, sementara mereka berada dalam kubangan dosa, pastilah kubur mereka sekarang menjadi lubang yang berisi kalajengking dan ular. Jadi, tidak seperti sekarang yang berisi cahaya dan kelapangan.
Maka, karena penyakit menyimpan berbagai manfaat besar, ia tidak boleh dikeluhkan. Tetapi yang harus dilakukan di saat sakit adalah bersandar kepada rahmat Ilahi dengan sikap tawakkal dan sabar. Bahkan dengan pujian dan rasa syukur.
Obat Keempat Belas
Wahai penderita sakit yang tertutup kedua matanya! Jika engkau mengetahui bahwa ada cahaya dan ‘mata maknawi’ di balik tirai yang menutupi mata orang beriman, pasti engkau akan berkata, “Ribuan terima kasih kuucapkan kepada Tuhanku Yang Maha Pengasih”. Sebagai penjelasan atas hal itu, aku akan mengetengahkan ke- jadian berikut:
Bibi dari Sulaiman—seorang lelaki dari Barla yang telah setia menjadi pelayanku tanpa pernah bosan atau berkecil hati selama kurang lebih delapan tahun—telah terkena sebuah musibah. Bibi itu terkena penyakit buta sehingga matanya tak bisa melihat. Karena wanita salehah itu menaruh prasangka baik terhadapku, ia meminta tolong kepadaku ketika aku hendak pergi ke masjid dengan berkata, “Tolong doakan aku demi kesembuhan mataku ini”. Maka, aku pun menjadikan kesalehan wanita penuh berkah tadi sebagai penolong dan penyokong doaku. Aku berdoa, “Ya Allah, wahai Tuhan kami, dengan mulianya kesalehan wanita ini, bukakanlah penglihatannya!”.Pada hari berikutnya, seorang dokter spesialis mata dari daerah Burdur(*[8])datang dan mengobati wanita tadi sehingga Allah pun memulihkan penglihatannya. Empat puluh hari kemudian, matanya kembali buta seperti semula.
Hal itu membuatku sangat sedih dan banyak berdoa kepada Allah . Saat ini aku berharap semoga doaku terkabul untuk kebaikan akhiratnya. Jika tidak, doaku itu justru men- jadi doa keburukan atasnya tanpa disengaja. Sebab, hidupnya hanya bertahan empat puluh hari. Sesudah itu ia meninggal dunia. Semoga Allah merahmatinya! Begitulah, terhalangnya wanita tersebut untuk memperoleh nikmat penglihatan dengan mata yang sudah tua dan terhalangnya ia menikmati keindahan taman Barla selama empat puluh hari, saat ini telah digantikan di kuburnya, yaitu ia bisa melihat surga dan menyaksikan sekumpulan taman hijau selama empat ribu hari. Sebab, imannya sangat kuat dan kesalehannya bersinar terang.
Ya, ketika seorang mukmin meninggal dunia dan memasuki kubur dalam keadaan buta, ia bisa menyaksikan alam cahaya sesuai dengan tingkatannya lewat penglihatan yang lebih luas daripada penglihatan para penghuni kubur yang lain. Sebagaimana dengan mata ini kita lebih bisa melihat di dunia, sementara kaum mukmin yang buta tak bisa melihatnya, maka di kuburan nanti mereka yang buta itu, jika beriman, lebih bisa melihat daripada penghuni kubur lainnya. Mereka akan bisa menyaksikan kebun-kebun surga beserta segala kenikmatannya seolah-olah mereka dibekali semacam teropong yang bisa menerobos semua pemandangan di surga yang indah. Teropong itu juga menghamparkannya seperti layar bioskop di hadapan mata mereka yang buta saat di dunia.
Wahai saudaraku, engkau mampu memperoleh mata bercahaya yang bisa menyingkap surga yang terdapat di langit tertinggi—padahal engkau masih di bumi—berkat sikap sabar dan syukur atas tirai yang menutupi matamu. Ketahuilah bahwa “dokter spesialis mata” yang mampu menyingkap hijab tadi dari matamu agar engkau bisa melihat dengan “mata bercahaya” itu adalah al-Qur’an.
Obat Kelima Belas
Wahai penderita sakit yang merintih kepedihan! Jangan engkau merintih karena melihat bentuk rupa penyakitmu yang buruk. Tetapi lihatlah makna dan tujuannya, lalu bergembiralah dengan mengucap alhamdulillah. Seandainya penyakit itu tidak memiliki makna dan tujuan yang baik, tentu Allah tidak akan menguji kekasih-Nya yang paling dicintai dengan berbagai penyakit. Nabi bersabda:“Manusia yang paling hebat ujiannya adalah para nabi, kemudian para wali, lalu seterusnya dan seterusnya.”(*[9])Sebagai penghulu orang-orang yang mendapat ujian adalah Nabi yang sangat penyabar, Ayyub , lalu disusul para nabi yang lainnya, kemudian para wali, dan selanjutnya orang-orang yang saleh. Mereka semua menerima berbagai penyakit yang mereka derita sebagai ibadah semata dan anugerah Ilahi. Karena itu, mereka bersyukur dengan penuh kesabaran. Mereka menganggapnya sebagai sejenis operasi bedah yang dipersembahkan kepada mereka dari sisi Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Engkau, wahai yang sedang sakit dan merintih! Apabila engkau ingin bergabung bersama rombongan maknawi itu, bersyukurlah di tengah-tengah kesabaranmu. Jika tidak, keluhan-keluhanmu akan membuat mereka menolakmu untuk bergabung ke dalam rombongan mereka sekaligus akan membuatmu terjerumus ke dalam jurang orang-orang yang lalai. Dengan begitu, engkau akan meniti jalan yang penuh kegelapan.
Ya, ada beberapa penyakit yang jika berakhir dengan kematian, akan menjadikan si penderitanya memperoleh derajat mati syahid yang membuatnya meraih tingkatan kewalian. Di antaranya adalah sakit di saat melahirkan,(*[10])sakit perut, tenggelam, terbakar, dan penyakit pes. Jika para penderita sakit ini kemudian meninggal dunia, ia akan naik ke derajat mati syahid. Selain itu, ada banyak penyakit penuh berkah yang mengantarkan penderitanya memperoleh derajat kewalian ketika mati akibat penyakit tersebut.(*[11])
Karena penyakit bisa membuat seseorang mengurangi cintanya terhadap dunia dan kemegahannya, pada saat yang sama ia juga membuat perpisahannya dengan dunia tidak begitu pedih. Bahkan bisa jadi perpisahan atau kematian tersebut merupakan sesuatu yang mereka senangi.
Obat Keenam Belas
Wahai penderita sakit yang sedang mengeluh karena risau! Sesungguhnya derita sakit akan mengajarkan rasa hormat dan cinta yang memiliki peran penting dalam kehidupan sosial umat manusia. Sebab, keduanya akan menyelamatkan manusia dari sifat acuh yang mengarahkan manusia untuk berwatak keras dan jauh dari sifat kasih sayang.
Allah berfirman:“Sesungguhnya manusia melampaui batas dengan melihat dirinya serba cukup.” (QS. al-`Alaq [96]: 6-7).Ayat di atas menegaskan bahwa nafsu ammârah yang terdapat dalam sifat acuh—akibat dari adanya kesehatan—akan membuatnya tidak menghormati saudara sendiri. Disamping akan membuatnya tidak memiliki rasa sayang dan simpati terhadap mereka yang terkena musibah dan penyakit.
Namun, manakala manusia terkena penyakit dan mengetahui kelemahan dan kepapaannya di bawah tekanan derita sakit, ketika itulah muncul rasa hormatnya kepada saudaranya yang mukmin, yang merawatnya atau yang datang menjenguknya. Pada saat yang sama, ia memiliki rasa kemanusiaan terhadap mereka yang terkena bencana dan musibah seperti dirinya. Dari kalbunya muncul rasa belas kasihan terhadap mereka semua. Jika mampu, ia akan segera mengulurkan bantuan dan pertolongan. Sementara jika tidak mampu, ia akan berdoa untuk mereka atau mengunjungi dan menghibur mereka sebagai wujud pelaksanaan sunnah sehingga ia pun mendapatkan pahala yang besar.(*[12])
Obat Ketujuh Belas
Wahai penderita sakit yang sedang mengeluh karena tidak mampu melakukan kebajikan! Bersyukurlah! Sebab, kuberikan kabar gembira kepadamu bahwa yang membuka pintu-pintu kebajikan yang paling tulus adalah penyakit itu sendiri. Selain memberikan pahala yang terus-menerus kepada penderitanya dan kepada mereka yang merawatnya, penyakit juga merupakan sarana terpenting dikabulkannya doa.
Ya, merawat dan memerhatikan para penderita sakit mendatangkan pahala yang besar. Selain itu, menjenguk dan menanyakan keadaan mereka tanpa membuat mereka terganggu merupakan bagian dari sunnah Nabi .(*[13])
Pada saat yang sama, ia merupakan penebus dosa.
Ada sebuah hadis yang maknanya kurang lebih seperti ini: “Mintalah doa orang yang sakit, sebab doanya terkabul”.(*[14])Terutama jika si sakit termasuk keluarga dekat. Apalagi kalau ia adalah ayah atau ibu sendiri. Melayani kedua orang tua merupakan sebuah ibadah penting dan akan mendapat pahala yang besar. Menenangkan dan menghibur orang yang sedang sakit termasuk sedekah.
Betapa bahagianya para anak yang mau merawat dan menghibur ayah dan ibu mereka di saat sakitnya sehingga mereka mendapatkan doa dari keduanya. Ya, hakikat yang lebih pantas mendapat penghormatan dan perhatian dalam kehidupan sosial adalah kasih sayang orang tua serta sikap anak untuk membalas budi baik mereka dengan memberikan penghormatan dan kasih sayang yang tulus kepada keduanya ketika mereka sedang sakit. Itu merupakan wujud kesetiaan yang menggambarkan bakti sang anak serta ketinggian budi pekertinya yang membuat takjub seluruh makhluk, bahkan para malaikat. Para makhluk itu memberikan ucapan selamat kepada mereka seraya bertahlil, bertakbir, dan berucap, “Mâsya Allâh, Bârakallâh”.
Ya, rasa simpati dan kasih sayang yang tertuju kepada si sakit akan menghapuskan penderitaannya untuk kemudian berubah menjadi kenikmatan yang manis dan menyenangkan.
serta sikap anak untuk membalas budi baik mereka dengan memberikan penghormatan dan kasih sayang yang tulus kepada keduanya ketika mereka sedang sakit. Itu merupakan wujud kesetiaan yang menggambarkan bakti sang anak serta ketinggian budi pekertinya yang membuat takjub seluruh makhluk, bahkan para malaikat. Para makhluk itu memberikan ucapan selamat kepada mereka seraya bertahlil, bertakbir, dan berucap, “Mâsya Allâh, Bârakallâh”.Ya, rasa simpati dan kasih sayang yang tertuju kepada si sakit akan menghapuskan penderitaannya untuk kemudian berubah menjadi kenikmatan yang manis dan menyenangkan. Proses penerimaan dan pengabulan doa orang yang sakit merupakan persoalan penting yang patut untuk diperhatikan. Sekitar 40 tahun yang lalu aku berdoa kepada Tuhan agar Dia menyembuhkan penyakit di punggungku. Namun kemudian aku menyadari bahwa penyakit tersebut sengaja diberikan agar aku tetap selalu berdoa. Sebagaimana doa tidak bisa menghapus doa, atau karena doa tidak bisa melenyapkan dirinya sendiri, maka hasil darinya bersifat ukhrawi.(*[15])Doa sebetulnya merupakan salah satu bentuk ibadah. Sebab, orang yang sakit akan segera memohon perlindungan Ilahi ketika ia merasa tak berdaya.Karena itu, jika secara lahiriah doaku untuk sembuh selama 30 tahun tidak terkabul, hal itu sama sekali tidak membuatku berpikir untuk meninggalkannya walau sehari saja.
Sebab, sakit merupakan waktu untuk berdoa, sementara kesembuhan bukan merupakan hasil dari doa. Namun jika Allah Yang Mahabijak dan Penyayang memberikan kesembuhan, sesungguhnya itu semua berkat karunia dan kemurahan-Nya.
Tidak terkabulnya doa dalam bentuk yang kita ing- inkan, tidak bisa menjadi alasan untuk berkata bahwa doa atau permintaan tidak terpenuhi. Sang Pencipta Yang Mahabijak mengetahui apa yang terbaik buat kita, sedangkan kita tidak mengetahuinya. Allah memberikan kepada kita apa yang terbaik dan paling bermanfaat untuk kita. Seringkali Allah menyimpan doa dan permintaan kita yang terkait dengan dunia untuk bisa dimanfaatkan di akhirat nanti. Demikianlah Allah menerima sebuah doa.
Bagaimanapun, doa yang diiringi keikhlasan dan bersumber dari rahasia penyakit, serta atas dasar ketidakberdayaan dan kebutuhan sangat berpeluang untuk dikabulkan. Penyakit merupakan pilar pokok bagi munculnya doa yang tulus semacam itu. Karena itu, orang yang sakit dan kaum mukminin yang merawatnya harus bisa mengambil manfaat dari doa tadi.
Obat Kedelapan Belas
Wahai penderita sakit yang tidak bersyukur dan hanya mengeluh! Sesungguhnya keluhan itu boleh kalau berasal dari adanya hak, sementara hakmu sama sekali tidak hilang dengan sia-sia sehingga engkau berhak mengeluh. Padahal di pundakmu masih banyak hak yang belum kau syukuri. Engkau belum menunaikan hak Allah di atas pundakmu. Lebih dari itu, engkau mengeluhkan sesuatu den- gan batil seolah-olah benar. Engkau memang akan mengeluh kalau melihat orang-orang yang lebih sehat darimu. Tetapi lihatlah orang- orang yang lebih sakit darimu. Dengan begitu engkau akan banyak bersyukur. Apabila tanganmu terluka, lihatlah tangan-tangan yang terputus. Apabila engkau kehilangan satu mata, lihatlah orang-orang yang kehilangan dua matanya sehingga engkau bisa bersyukur kepada Allah .
Ya, dalam hal kenikmatan tak seorangpun dibenarkan melihat yang di atasnya agar keluhan tidak bergejolak pada dirinya. Namun dalam hal musibah, seseorang harus melihat orang yang lebih hebat musibahnya dan lebih parah penyakitnya agar ia bisa bersyukur dan rela dengannya. Rahasia ini telah dijelaskan dalam beberapa risalah berikut contohnya yang tepat semacam berikut:
Ada seseorang yang membawa orang miskin untuk naik ke puncak menara. Pada setiap tingkat menara, orang tadi memberinya sebuah hadiah. Terakhir ia memberikan hadiah yang sangat berharga yang diberikan di puncak menara. Seharusnya si miskin tadi bersyukur dan berterima kasih atas pemberian hadiah tadi, tetapi ia justru meremehkan hadiah-hadiah tersebut, atau ia menganggapnya sebagai sesuatu yang tak berharga sehingga ia tidak bersyukur. Ia malah melihat orang yang lebih tinggi darinya sembari mengeluh dan berkata, “Andaikan menara ini lebih tinggi, aku bisa mencapai tempat yang lebih tinggi dari ini! Mengapa ia tidak seperti gunung yang menjulang itu atau menara di sebelahnya?” Seperti itulah kondisinya, ketika orang tersebut mengeluh, betapa ia yang sangat kufur nikmat, dan betapa ia sangat melampaui batas!
Demikian pula keadaan manusia yang berasal dari tiada menjadi ada, tidak menjadi batu, pohon, dan hewan, bahkan justru menjadi manusia muslim dan telah banyak menikmati keadaan sehat dan afiat, serta telah mendapatkan derajat yang tinggi. Namun ironisnya, manusia masih sering memperlihatkan keluhan lantaran tidak menikmati kesehatan dan kesegaran karena beberapa faktor, atau karena telah menyia-nyiakan nikmat tersebut yang disebabkan oleh kesalahan ikhtiyar, atau salah penggunaan, atau karena tidak mampu mendapatkannya, kemudian ia melontarkan sebuah ungkapan yang seolah-olah mengkritik Rububiyah Ilahi, “Aduh! Apa yang telah kuperbuat sehingga aku mengalami semua ini?” Maka ketahuilah bahwa kondisi tersebut adalah penyakit maknawi dan musibah besar, lebih besar dari penyakit fisik dan lebih besar dari musibah yang dialaminya. Dengan sikap tersebut (mengeluh), ia justru menambah derita sakitnya laksana orang yang berkelahi dengan tangan yang terluka.
Namun orang yang berakal akan selalu mengamalkan ayat suci yang berbunyi :“Yaitu orang-orang yang jika ditimpa musibah, mereka mengucapkan: sesungguhnya kami milik Allah dan hanya kepada-Nyalah kami kembali.” (QS. al-Baqarah [2]: 156).Akhirnya ia menyerahkan semua urusannya kepada Allah dengan penuh kesabaran sampai penyakit tersebut selesai melaksanakan tugasnya.
Obat Kesembilan Belas
Penamaan “Asmaul Husna” pada seluruh nama Allah Yang Maha Indah dan Agung menunjukkan bahwa semua nama tersebut indah. Karena hidup ini merupakan cermin Tuhan yang paling indah, paling halus, dan paling menyeluruh pada seluruh entitas; cermin Sang Mahaindah tadi juga menjadi indah; cermin yang memantulkan segala keindahan Sang Maha Indah menjadi indah pula; dan segala sesuatu yang termuat pada cermin itupun menjadi indah, maka dilihat dari sudut pandang hakikat, semua yang ada dalam hidup ini juga indah. Sebab, ia memperlihatkan goresan-goresan indah milik Asmaul Husna yang indah itu.
Jika kehidupan ini hanya berisi sehat saja, ia akan menjadi cermin yang cacat. Bahkan dilihat dari sisi tertentu, ia bisa menyiratkan ketiadaan dan kesia-siaan, mendatangkan siksa dan kesempitan, menjatuhkan nilai kehidupan, serta kebahagiaan hidup pun berubah menjadi penderitaan dan kerisauan. Dengan demikian, manusia akan melemparkan dirinya ke dalam lumpur kebodohan atau kerangkeng kelalaian untuk menghabiskan waktunya dengan cepat.
Ia tak ubahnya seperti tahanan yang memusuhi umurnya yang berharga karena hendak mengakhiri masa tahanannya di penjara. Namun kehidupan yang dihiasi oleh berbagai perubahan dan pergerakan serta dilalui oleh aneka macam tahapan dan perkembangan menyadarkan kita bahwa kehidupan tersebut bernilai, sekaligus penting dan memberikan kenikmatan. Bahkan dalam kondisi demikian, seseorang tidak ingin umurnya berlalu meskipun ia menghadapi berbagai kesulitan dan musibah. Ia tidak akan merintih dan menyesal dengan berkata, “Kapan matahari terbenam dan kapan malam itu tiba?”.
Ya, jika engkau mau, silakan tanyakan pada orang kaya yang sedang menganggur di mana segala impian ada padanya. Tanyakan, “Bagaimana kabar Anda?” Engkau pasti mendengarnya mengeluarkan keluhan dan penyesalan, “Aduh, mengapa lama sekali waktu berlalu? Kita bisa mencari permainan untuk menghabiskan waktu. Mari kita bermain dadu sejenak!” Atau engkau akan mendengar keluhan yang bersumber dari angan-angannya yang panjang, seperti, “Coba seandainya aku bisa melakukan ini dan itu”.
Adapun apabila engkau bertanya kepada orang miskin yang berada dalam kesulitan atau kepada seorang pekerja keras, “Bagaimana kabarmu?” Jika berpikiran waras, tentu ia akan berkata, “Alhamdulillah, aku baik-baik saja. Ribuan terima kasih kuucapkan kepada Tuhan. Aku tetap terus berusaha. Alangkah indah seandainya matahari tidak cepat terbenam agar aku bisa menyelesaikan pekerjaan. Waktu berlalu dengan cepat dan umur terus berjalan tanpa henti. Meskipun aku sibuk, semua ini akan berlalu. Segala sesuatu berjalan dalam bentuk serupa”. Dengan ucapan tersebut, ia menggambarkan nilai dan urgensi umur disertai penyesalan atas umur yang pergi darinya.
Jadi, ia menyadari bahwa nikmat umur dan nilai hidup dapat dirasakan saat bekerja keras dan dalam kondisi sulit. Adapun kelapangan, kesenangan, dan kesehatan membuat umur dan hidup manusia menjadi pahit dan berat. Sebab, ia selalu berangan-angan agar bisa cepat terlepas darinya.
Wahai saudaraku yang sedang sakit, ketahuilah bahwa segala musibah, keburukan, bahkan dosa pada dasarnya adalah “ketiadaan” atau tidak ada, sebagaimana hal itu telah ditegaskan dalam bebe- rapa risalah. Selanjutnya ketiadaan merupakan keburukan murni dan kegelapan yang pekat. Berhenti, istirahat, dan diam sama-sama merupakan kondisi yang dekat dengan ketiadaan. Adanya kedekatan itulah yang memunculkan kegelapan yang terdapat pada ketiadaan itu sekaligus mendatangkan kegelisahan dan kesempitan. Adapun pergerakan dan perubahan merupakan dua wujud yang menunjukkan keberadaan. Sementara keberadaan merupakan kebaikan murni dan cahaya.
Dengan demikian, penyakit yang engkau derita sebenarnya merupakan tamu yang sengaja dikirim kepadamu untuk melakukan berbagai tugas. Ia berfungsi membersihkan, menguatkan, dan memuliakan hidupmu yang bernilai. Selain itu, ia berfungsi menga- rahkan seluruh organ lainnya yang ada dalam tubuhmu untuk mem- bantu bagian yang sakit tadi, serta memperlihatkan goresan-goresan nama-nama Tuhan Yang Mahabijak. Dalam waktu dekat, insya Allah tugasnya akan berakhir. Ia pun berlalu seraya bergumam kepada si ‘sehat’, “Sekarang, silakan engkau menggantikan posisiku dan kerja- kan tugasmu kembali. Ini adalah tempatmu. Terimalah dan tinggallah di dalamnya dengan nyaman”.
Obat Kedua Puluh
mengenai penyakit hakiki: Allah telah menciptakan obat untuk setiap penyakit dan menyimpannya di apotek besar-Nya, yaitu bumi. Obat-obat tersebut menuntut adanya penyakit. Karena Allah telah menciptakan obat bagi setiap penyakit,(*[16])maka meminum obat untuk tujuan berobat adalah perbuatan yang disyariatkan oleh agama. Tetapi harus diketahui bahwa kesembuhan dan reaksi obat tersebut berada di tangan Allah. Sebagaimana Dia telah memberikan obatnya, Dia pula yang memberikan kesembuhan.
Seorang muslim wajib mengikuti petunjuk dan arahan dokter muslim yang ahli. la merupakan bagian dari proses pengobatan yang penting. Sebab, sebagian besar penyakit timbul karena salah penggunaan, tidak berpantang (tidak mengenal pantangan), mengabaikan petunjuk dokter, sikap berlebihan, perbuatan dosa, tindakan yang buruk, serta tidak hati-hati. Dokter yang religius pasti akan memberikan nasihat yang sesuai dengan syariat di samping mengingatkan untuk bersikap benar, tidak berlebihan, serta menghibur dan memberikan pengharapan. Jika si penderita sakit mau menerima nasihat dan arahan dokter tersebut, pasti penyakitnya akan menjadi ringan dan ia pun menjadi lapang.
Adapun penyakit khayali, yaitu rasa was-was, obatnya yang paling ampuh adalah mengabaikannya. Sebab, rasa was-was akan men- jadi hebat jika terus dipikirkan. Tetapi kalau tidak dipedulikan ia akan mengecil dan menghilang. Sama seperti jika manusia mendekati dan menyentuh sarang lebah. Lebah-lebah tersebut pasti akan berkumpul dan menyerangnya. Namun jika tidak dihiraukan, mereka akan terbang berpencar. Juga seperti orang yang di saat gelap ketika melihat tali yang bergantung, ia mengkhayalkan yang tidak-tidak. Khayalannya itu bertambah hebat sehingga membuatnya lari seperti orang gila. Padahal jika tidak risau dan tidak takut, ia akan segera mengetahui bahwa ia hanyalah seutas tali, bukan seekor ular. Akhirnya ia mengejek pikirannya yang takut dan was-was tadi.
Penyakit was-was juga demikian. Jika terus ada dalam pikiran, ia akan berubah menjadi penyakit hakiki. Rasa was-was bagi orang yang sensitif merupakan penyakit yang sangat kronis. Ia membuat sesuatu yang kecil menjadi besar sehingga kekuatan jiwanya menjadi hilang. Terutama kalau orang tadi berhadapan dengan sejumlah dokter garang yang tidak memiliki rasa kasih sayang atau dokter-dokter yang tidak baik yang membangkitkan rasa was-was si sakit tadi hingga uangnya habis, hilang akal, atau kesehatannya bertambah parah.
Obat Kedua Puluh Satu
Wahai saudaraku yang sedang sakit! Memang benar, dalam dirimu ada penderitaan fisik, namun kelezatan maknawi yang mengitarimu bisa menghapuskan semua pengaruh penderitaan fisik tadi. Sebab, penderitaan fisik tersebut tidak bisa menandingi nikmatnya kasih sayang yang kau lupakan sejak kecil dan sekarang memancar kembali di hati orang tua dan karib kerabatmu jika engkau masih memiliki orang tua dan karib kerabat. Rasa kasih sayang dan tatapan cinta orang tua yang ketika kecil pernah kau terima akan didapatkan kembali. Selain itu, para karib kerabatmu juga akan kembali memerhatikan sekaligus mencintaimu karena daya tarik penyakitmu.
Betapa ringannya penderitaan fisik yang kau hadapi jika dibandingkan dengan pelayanan agung dalam nuansa kasih sayang yang diberikan oleh orang-orang yang kau harapkan ridhanya. Engkau pun menjadi tuan dan majikan mereka, di samping dengan sakit tersebut engkau berhasil memperoleh tambahan kekasih yang mau membantu dan para karib yang mencintai. Engkau telah menghim- pun mereka untuk mencintai dan mengasihi sebagai dua sifat alamiah manusia.Selanjutnya, dengan penyakitmu engkau bisa beristirahat dari berbagai tugas yang berat dan membuat penat.
Sekarang, engkau terbebas dan terlepas darinya. Karena itu, janganlah penderitaanmu yang sepele itu membuatmu mengeluh. Sebaliknya, engkau harus bersyukur menerima berbagai kenikmatan maknawi tadi.
Obat Kedua Puluh Dua
Wahai yang terkena penyakit kronis (menahun) seperti kelumpuhan! Kuberikan kabar gembira padamu bahwa kelumpuhan termasuk penyakit yang penuh berkah bagi seorang mukmin. Aku pernah mendengar hal ini sejak lama dari para wali yang saleh. Tadinya aku tidak memahami rahasia di baliknya. Namun sekarang salah satu rahasianya terlintas di kalbuku, yaitu:
Atas inisiatif sendiri, para wali meniti dua sendi penting untuk sampai kepada Tuhan agar bisa selamat dari bahaya besar yang bersumber dari dunia sekaligus agar bisa bahagia di akhirat nanti. Kedua sendi tersebut adalah:
Pertama, mengingat mati. Artinya, mereka berusaha demi kebahagiaan di kehidupan yang kekal nanti dengan menyadari kefanaan dunia dan bahwa mereka merupakan para tamu yang sedang dipekerjakan untuk tugas-tugas yang bersifat sementara.
Kedua, mematikan nafsu ammârah lewat perjuangan dan latihan spiritual agar bisa selamat dari bahaya nafsu tersebut sekaligus selamat dari berbagai perasaan yang tidak melihat akibat.
Wahai saudaraku yang kehilangan setengah dari kesehatannya. Engkau diamanahkan dua sendi atau dua jalan yang singkat dan mudah. Keduanya meretas jalan bagimu menuju kebahagiaan abadi disamping selalu mengingatkanmu akan musnahnya dunia dan fananya manusia. Di saat itu, dunia tak lagi mampu memenjarakan dirimu dan kelalaian tidak berani menutupi matamu. Nafsu ammârah, dengan selera rendahnya, tidak mampu memperdaya orang yang sudah menjadi setengah manusia. Sehingga dengan cepat ia bisa selamat dari ujian dan keburukannya.
Lewat rahasia keimanan, penyerahan, dan tawakkalnya, seorang mukmin mengambil manfaat dari penyakit menahun—seperti lumpuh—sebagaimana perjuangan yang dilakukan para wali lewat latihan spiritual di tempat-tempat i’tikaf. Akhirnya, penyakit tadi berangsurangsur mengecil dan menyusut.
Obat Kedua Puluh Tiga
Wahai penderita sakit yang sedang sendirian, terasing, dan tak berdaya! Jika keterasinganmu, ketiadaan orang yang menanggungmu, serta penyakitmu mengundang simpati dan rasa kasihan orang- orang yang berhati keras, apalagi dengan kasih sayang Tuhan yang memperkenalkan diri-Nya padamu di permulaan setiap surah al-Qur’an dengan sifat mulia ‘Yang Maha Pengasih dan Penyayang’. Dzat yang dengan secercah kasih sayang-Nya yang luar biasa telah menjadikan semua ibu mau mendidik anak-anak mereka. Dzat yang memenuhi dan mencelup dunia pada setiap musim semi dengan manifestasi rahmat-Nya serta mengisinya dengan berbagai nikmat dan karunia. Dengan manifestasi rahmat-Nya pula, surga yang bersinar itu terwujud berikut seluruh keindahannya.Karena itu, ketika engkau beriman dan berlindung kepada-Nya lewat ketidakberdayaanmu yang bersumber dari penyakit tadi, serta ketika engkau berharap dan bersimpuh di hadapannya, maka semua itu menjadikan derita sakit yang kau rasakan dalam keterasingan dan kesendirian sebagai tujuan sekaligus sarana bagi datangnya tatapan kasih sayang Allah. Tatapan tersebut telah menyamai segala sesuatu. Oleh sebab itu, karena Dia ada dan menatapmu, maka segala sesuatu juga ada untukmu. Sebenarnya yang merasa asing dan sendirian adalah orang yang tidak “mengikatkan” dirinya kepada Allah melalui iman dan penyerahan diri, atau memang tidak mau memerhatikan ikatan itu.
Obat Kedua Puluh Empat
Wahai para perawat yang mengurus anak-anak yang sedang sakit dan para orang tua yang seperti anak-anak karena lemah dan tak berdaya. Di hadapan kalian ada bisnis ukhrawi yang sangat penting. Raihlah bisnis tersebut segera! Tanamkan kecintaan yang besar kepadanya dan berusahalah dengan penuh semangat!
Penyakit yang diderita oleh anak-anak yang masih suci itu merupakan “suntikan tarbiah” yang diberikan Tuhan untuk tubuh mereka yang lembut agar terbiasa dengannya dan terlatih dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup di masa mendatang. Penyakit tersebut mengandung berbagai hikmah dan manfaat yang sangat penting untuk kehidup- an dunia dan akhirat mereka. Ia membersihkan kehidupan anak-anak sebagaimana kehidupan para orang tua menjadi bersih lewat penebusan dosa. Suntikan tersebut menjadi sendi-sendi pertumbuhan maknawi untuk masa depan anak atau untuk akhirat mereka.Pahala yang didapat dari penyakit semacam ini dimasukkan ke dalam catatan amal kedua orang tua dan khususnya lembaran kebaikan ibu yang lebih mengutamakan kesehatan anaknya atas dirinya sendiri sebagaimana hal itu tampak jelas bagi para ahli hakikat.
Adapun merawat, mengurus, membahagiakan, dan melayani orang tua secara tulus, di samping menjadi ladang pahala yang besar, juga akan mengantarkan pelakunya pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Hal ini seperti yang ditegaskan dalam berbagai riwayat sahih dan dalam berbagai kejadian sejarah. Anak yang bahagia dan berbakti kepada kedua orang tuanya yang sudah lemah akan menyaksikan ketaatan yang serupa pada anak-anaknya. Sementara anak yang durhaka yang senantiasa menyakiti orang tuanya, di samping mendapat siksa akhirat, ia pun akan mendapatkan berbagai kesulitan di dunia.
Ya, tidak hanya merawat orang tua dan orang papa yang masih mempunyai hubungan kerabat semata, tetapi jika seorang mukmin menjumpai orang tua yang sedang sakit dan membutuhkan pertolongan, selama rasa ukhuwah masih ada, ia juga harus membantunya secara sungguh-sungguh dan tulus. Inilah yang dituntut oleh ajaran Islam.
Obat Kedua Puluh Lima
Wahai saudara-saudaraku yang sedang sakit! Jika kalian merasa butuh dengan pengobatan suci yang sangat bermanfaat serta obat segala penyakit yang mengandung kenikmatan hakiki, perkuatlah keimananmu dan buatlah ia cemerlang. Dengan kata lain, asahlah dengan taubat dan istigfar serta shalat dan ibadah. Semuanya merupakan pengobatan suci yang terdapat dalam iman.
Ya, karena disebabkan cinta dan ketergantungan yang begitu hebat terhadap dunia, kaum yang lalai seolah-olah memiliki jiwa yang sakit sebesar dunia. Ketika itu, iman mempersembahkan kepada jiwa yang sakit dan terluka akibat pukulan perpisahan itu suatu balsam penyembuh yang bisa menolongnya dari luka dan pendara- han. Dalam berbagai risalah, kami telah menegaskan bahwa iman memberikan kesembuhan hakiki. Agar tidak berpanjang lebar, aku akan menyingkat penjelasanku sebagai berikut:
Pengobatan iman tampak jelas pengaruhnya dengan melakukan berbagai kewajiban dan dengan menjaga pengamalannya semampu mungkin. Sementara kelalaian, perbuatan bodoh, hawa nafsu, dan hiburan yang tidak syar`i akan menghapus pengaruh dari pengobatan tersebut.Karena penyakit bisa melenyapkan kelalaian, mematikan selera syahwat, serta menghalangi masuknya berbagai kenikmatan yang diharamkan agama, maka manfaatkanlah ia sebaik mungkin serta pergunakan obat keimanan hakiki dan cahayanya yang suci lewat taubat dan istighfar, serta doa dan harapan.
Semoga Allah Yang Mahabenar memberikan kepada kalian kesembuhan dan menjadikan sakit tersebut sebagai penebus dosa, amin, amin, amin!
“Mereka berkata, Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami ke jalan ini. Kami tentu tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberikan petunjuk kepada kami. Telah datang para utusan Tuhan dengan membawa kebenaran”.
سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
“Ya Allah, limpahkanlah salawat dan salam kepada junjungan kami Muhammad, obat dan penawar kalbu, penyehat dan penyembuh badan, serta sinar dan cahaya penglihatan. Juga kepada keluarga dan para sahabat beliau”.
وَهُوَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ
Meali: “Bu kitap her derde dermandır.”
Tevafukat-ı latîfedendir ki Re’fet Bey’in birinci tesvidden gayet süratle yazdığı nüsha ile beraber, Hüsrev’in yazdığı diğer bir nüshada, ihtiyarsız hiç düşünmeden satır başlarında gelen elifleri saydık; aynen bu وَهُوَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ cümlesine tevafuk ediyor. (Hâşiye[17]) Hem bu risalenin müellifinin Said ismine, bir tek fark ile yine tevafuk ediyor. (Hâşiye[18]) Yalnız risalenin unvanına ait yazıdaki bir elif hesaba dâhil edilmemiştir.
Cây-ı hayrettir ki Süleyman Rüşdü’nün yazdığı nüsha, hiç elif hatıra gelmeden ve düşünmeden, yüz on dört elif, yüz on dört şifa-yı kudsiyeyi tazammun eden yüz on dört suver-i Kur’aniyenin adedine tevafukla beraber وَهُوَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ şeddeli lâm bir sayılmak cihetiyle yüz on dört harfine tam tamına tevafuk ediyor.
Lampiran Cahaya Kedua Puluh Lima
On Yedinci Mektup olup Mektubat mecmuasına idhal edildiğinden buraya dercedilmedi.
- ↑ *Ya, kami—Rusydi, Ra’fat, Husrev, dan Said—menyaksikan bahwa penulisan risalah ini berlangsung selama empat jam tiga puluh menit—Penulis.(Rusydi, Ra’fat, Husrev termasuk di antara pendahulu yang belajar Risalah Nur dan menyalinnya dengan tangan mereka, semoga Allah selalu merahmati mereka—Peny.).
- ↑ *Lihat: al-Bukhari, al-Jihâd, 134; Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, 4/410; dan al-Baihaqi, Syu`ab al-îmân, 7/182.
- ↑ *Dari Abu Hurairah , sesungguhnya Nabi bersabda: “Siapa yang Allah kehen- daki kebaikan atas dirinya, maka Allah menimpakan musibah kepadanya”. (HR. Bukhari, al-Mardhâ, 1).
- ↑ *Karena cahaya ini muncul dengan sendirinya tanpa dibuat-buat dan tanpa disengaja, pada bagian yang keenam ini ditulis dua obat. Untuk menjaga kefitriannya, kami biarkan ia sebagaimana adanya. Kami juga tidak berani mengganti sedikitpun darinya karena khawatir ada rahasia tertentu di dalamnya—Penulis.
- ↑ *Lihat: al-Bukhari, al-Mardhâ, 1, 2, 13, 16; Muslim, al-Birru, 14; ad-Dârimi, ar- Riqâq, 57; dan Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, 1/371, 441; 2/303, 335; 3/3, 18, 38, 48, 61, 81.
- ↑ *Dari Abu Musa al-Asy`ari d, sesungguhnya Nabi bersabda: “Jika seorang hamba sedang sakit atau bepergian, Allah tetap menuliskan pahala untuknya seperti pahala ibadah yang biasa ia lakukan di waktu sehat atau tidak bepergian”. (Lihat: Bukhari, al-Jihâd, 134; Abu Daud, al-Janâiz,1; dan Ahmad ibnu Hambal, al-Musnad, 4/410, 418).
- ↑ *Dari Abu Hurairah d, Sesungguhnya Nabi bersabda: “Sesungguhnya agar seseorang mendapat tingkatan atau maqam di sisi Allah, maka ketahuilah bahwa ia tidak mendapatkannya hanya dengan amalnya, sehingga Allah senantiasa mengujinya dengan apa yang tidak disukainya hingga ia dapat mencapai maqam tersebut dengan izin-Nya”. (Lihat: Abu Ya’lâ, al-Musnad, 4/1447; lbnu Hibbân, ash-Shahîh, 693; dan Al-Hâkim, al-Mustadrak, 1/344).
- ↑ *Kota yang terletak di Turki Selatan.
- ↑ *Terdapat banyak riwayat hadis yang semakna dengan ini, semuanya dinyatakan sahih. Namun kami hanya memilih salah satu darinya, yaitu sebagai berikut:Diriwayatkan dari saudari Huzhaifah Bahwasanya Rasulullah bersabda,“Manusia yang paling hebat penderitaannya adalah para nabi, kemudian orang-orang saleh, lalu seterusnya dan seterusnya.” Hadis ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabîr. (lihat: Shahih al-Jâmi’ ash-Shagîr, nomor 1005).
- ↑ *Jangka waktu penyakit ini untuk bisa memperoleh derajat syahid maknawi berlangsung hingga akhir batas nifas, yaitu 40 hari—Penulis
- ↑ *Lihat: al-Bukhari, al-Adzân, 32; al-Jihad, 30; Muslim, al-Imârah, 164; Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, 2/324, 533, 5/446; dan al-Hâkim, al-Mustadrak, 1/503.
- ↑ *Lihat: Muslim, al-Birru, 40; Abu Daud, al-Janâiz, 7; Ibnu Majah, al-Janâiz, 1, 2; Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, 2/344, 354; Ibnu Hibbân, ash-Sahih, 7/228; dan al-Bai- haqi, Syu`ab al-Îmân, 6/493.
- ↑ *Lihat: al-Bukhari, al-Ilmu, 39; al-Jizyah, 6; al-Mardhâ, 4,5,9,11,17; Muslim, as-Salâm, 47; al-Birru, 39-43; Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, 1/120, 138, 195; dan Ibnu Hibbân, ash-Sahih, 7/6, 222, 240.
- ↑ *Ibnu Majah, al-Janâiz, 1; dan al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, 6/541,
- ↑ *Meskipun sebagian penyakit merupakan sebab bagi munculnya doa, namun ke- tika ia menjadi sebab hilangnya penyakit, seolah-olah doa tersebut menjadi penyebab hilangnya dirinya sendiri. Tentu saja ini tidak mungkin—Penulis.
- ↑ *Lihat: al-Bukhari, ath-Thib, 1; Muslim, as-Salâm, 69; dan Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, 1/377, 3/335.
- ↑ Hâşiye: Sonradan yazılan ihtarın iki elifi bu hesaba dâhil olamayacağı için dâhil edilmemiştir.
- ↑ Hâşiye: Madem Keramet-i Aleviye’de ve Gavsiye’de, Said’in âhirinde nida için vaz’edilmiş bir elif var (Saidâ) olmuş belki fazla olan bu elif, o elife bakıyor.
Re’fet, Hüsrev