SURAT KEDUA PULUH DUA

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    15.15, 20 Ocak 2025 tarihinde Ferhat (mesaj | katkılar) tarafından oluşturulmuş 207665 numaralı sürüm ("Pertama: mengeluhkan kezaliman orang. Orang yang dizalimi boleh bercerita tentang orang yang menzaliminya kepada pihak yang berwenang untuk membantunya mengatasi kezaliman dan kejahatan yang menimpanya." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)

    بِاس۟مِهٖ وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَم۟دِهٖ

    Surat kedua puluh dua ini terdiri atas dua pembahasan. Pembahasan pertama mengajak orang-orang beriman untuk menjalin rasa persaudaraan dan mencintai di antara sesama.

    PEMBAHASAN PERTAMA

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

    “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. Oleh karena itu, damaikanlah kedua saudaramu”.(QS. al-Hujurât [49]: 10).“Tolaklah (perbuatan buruk) dengan perbuatan yang lebih baik sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan menjadi seperti teman yang setia.”(QS. Fushshilat [41]: 34).“Dan (termasuk orang bertakwa) orang-orang yang menahan amarah dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Âli ‘Imrân [3]: 134).

    Fanatisme, keras kepala, dan kedengkian yang menyebabkan perpecahan, kebencian, dan permusuhan di antara orang-orang yang beriman adalah suatu keburukan dan kezaliman. Sifat-sifat itu tidak dapat dibenarkan dalam pandangan hakikat dan hikmah. Ia tidak sesuai dengan ajaran Islam, yang merupakan representasi dari spirit kemanusiaan yang agung. Di samping itu, sifat-sifat permusuhan itu bisa menghancurkan kehidupan pribadi, kehidupan sosial, dan kehidupan maknawi. Bahkan, itu merupakan racun mematikan bagi kehidupan seluruh umat manusia.Berikut ini akan kami jelaskan enam aspek di antara berbagai aspek yang berkaitan dengan kebenaran pernyataan di atas:

    Aspek Pertama:

    Permusuhan adalah Suatu Kezaliman dalam Pandangan Hakikat.

    Wahai orang-orang yang hatinya dipenuhi rasa kebencian dan permusuhan terhadap saudaranya yang beriman. Wahai orang yang tidak adil! Bayangkan engkau sedang berada di dalam sebuah kapal atau rumah bersama sembilan orang yang tak bersalah dan seorang pelaku kejahatan. Kemudian engkau melihat seseorang yang berusaha menenggelamkan kapal atau meruntuhkan rumah itu. Dengan serta-merta engkau pasti akan berteriak sekeras mungkin untuk memprotes kezaliman yang dilakukan orang itu. Sebab, tidak ada aturan yang membolehkan untuk menenggelamkan kapal itu selama ada satu orang yang tak bersalah, meskipun di dalamnya terdapat sembilan pelaku kejahatan.

    Sebagaimana menenggelamkan kapal di atas, memendam rasa permusuhan terhadap saudara seiman juga merupakan kezaliman dan kejahatan yang keji. Orang yang beriman adalah suatu “bangunan Rabbani” dan “perahu Ilahi”. Hanya karena ia mempunyai satu sifat buruk yang membuatmu tidak senang atau merasa dirugikan, sementara ia memiliki sembilan atau bahkan dua puluh sifat baik, seperti iman, Islam, dan tetangga, engkau tidak patut untuk memusuhi dan mendengkinya. Permusuhan dan kedengkian ini sudah pasti mendorongmu berkeinginan untuk menenggelamkan perahu eksistensinya dan membakar bangunan wujudnya. Inilah kezaliman dan kejahatan keji itu.

    Aspek Kedua:

    Permusuhan adalah Kezaliman dalam Pandangan Hikmah.

    Cinta dan permusuhan adalah dua hal yang berlawanan, seperti cahaya dan kegelapan. Pada dasarnya, keduanya tidak dapat bersatu.

    Jika sebab-sebab cinta lebih dominan dan cinta itu telah menancap di dalam hati, rasa permusuhan akan berubah menjadi permusuhan artifisial, bahkan bisa berubah wujud menjadi kasih sayang dan rasa iba. Pada dasarnya, seorang mukmin mencintai saudaranya, dan dia harus menyayanginya. Ketika saudaranya melakukan kesalahan, semestinya itu membuatnya iba dan berupaya memperbaikinya, tidak dengan kekuatan dan kekerasan, melainkan dengan perilaku yang lembut dan santun. Hal ini sebagaimana yang disabdakan Rasulullah:“Tidak dibenarkan bagi seorang muslim mendiamkan saudara- nya lebih dari tiga hari, di mana bila keduanya bertemu, masing-ma- sing berpaling dari saudaranya. Yang terbaik di antara keduanya adalah yang lebih dahulu mengucapkan salam.”(*[1])

    Sebaliknya, jika sebab-sebab permusuhan lebih menonjol dan telah menancap di dalam hati, cinta akan berubah menjadi cinta semu yang dibungkus dengan kepura-puraan dan sikap mencari muka.

    Maka ketahuilah wahai orang yang zalim. Betapa kebencian dan permusuhan terhadap saudara seiman merupakan kezaliman yang besar! Jika engkau mengatakan batu-batu kerikil yang tidak ada nilainya itu lebih berharga daripada Ka’bah yang mulia atau lebih besar daripada Gunung Uhud, tidak diragukan lagi bahwa engkau telah melakukan suatu kebodohan yang nyata. Juga termasuk kebodohan yang nyata jika engkau membesar-besarkan kesalahan kecil yang dilakukan saudaramu seiman dan lebih mengutamakannya daripa- da keimanan dan keislamannya. Bukankah kesalahannya itu laksana batu kerikil, sementara keimanan dan keislamannya bernilai seperti Ka’bah dan Gunung Uhud?! Sungguh sikapmu yang lebih memper- timbangkan perilaku-perilaku kecil saudaramu daripada keislaman dan keimanannya merupakan tindakan yang sangat zalim. Orang yang memiliki secuil akal pun, tentu bisa memahami hal ini.

    Ya, persatuan dalam iman menghendaki persatuan hati orang- orang mukmin, sementara kesatuan akidah menuntut kesatuan kehidupan sosial masyarakat. Engkau bisa merasakan adanya semacam ikatan dengan prajurit yang bersamamu dalam sebuah batalion; engkau bisa merasakan adanya hubungan yang akrab dengan seseorang yang bekerja dalam satu komando; engkau bahkan bisa merasakan eratnya tali persaudaraan dengannya lantaran engkau tinggal di satu kota yang sama; lalu bagaimana dengan ikatan keimanan yang memberimu cahaya dan kesadaran yang membuatmu dapat merasakan aneka ragam tali persatuan, kesatuan, dan persaudaraan sebanyak asma-asma Ilahi?!

    Dengan keimanan, engkau dapat memahami bahwa sesung- guhnya penciptamu satu, pemilikmu juga satu, sesembahanmu satu, pemberi rezekimu satu, demikian hitungan satu demi satu itu hingga mencapai seribu. Dengan keimanan pula, engkau mengetahui bahwa nabimu satu, agamamu satu, kiblatmu pun juga satu, demikian angka satu demi satu itu hingga mencapai seratus. Lalu, engkau pun tinggal bersama saudaramu seiman di satu desa yang sama, di bawah naungan satu negara yang sama, demikianlah angka satu itu merambah hingga sepuluh.

    Jika demikian halnya, bahwa terdapat banyak ikatan di antara sesama orang beriman yang menuntut persatuan dan kesatuan, kesesuaian dan keserasian, cinta dan persaudaraan, serta memiliki rantai maknawi yang mampu menghubungkan semua bagian alam semesta, maka betapa zalim orang yang berpaling dari tali-tali ikatan tersebut dan lebih mengedepankan sebab-sebab sepele yang lebih rapuh daripada sarang laba-laba, yang dapat melahirkan sifat-sifat semacam perpecahan, kemunafikan, kedengkian, dan permusuhan. Jika sebab-sebab sepele itu yang dikedepankan, akan muncul perasaan dendam dan permusuhan yang hebat terhadap saudara seiman. Bukankah ini merupakan suatu penghinaan terhadap tali ikatan yang semestinya menyatukan?! Bukankah ini merupakan sikap yang menyepelekan sebab-sebab yang semestinya melahirkan suatu cinta?! Bukankah ini juga merupakan sikap yang menghancurkan suatu hubungan yang semestinya menghendaki persaudaraan?! Jika hatimu masih hidup dan akalmu masih sehat, engkau akan memahami hal ini dengan baik.

    Aspek Ketiga:

    Permusuhan adalah Kezaliman dalam Pandangan al-Qur'an. Allah berfirman:“Dan seseorang yang berdosa, tidak akan memikul dosa orang lain.” (QS. al-An’âm [6]: 164). Ayat ini menjelaskan tentang keadilan mutlak (al-‘Adâlah al-Mahdhah), yaitu tidak boleh menghukum seseorang atas kesalahan orang lain.Ayat al-Qur’an di atas dan berbagai sumber ajaran Islam lainnya menegaskan bahwa memendam permusuhan dan kebencian terhadap orang mukmin adalah kezaliman yang besar. Sebab, ia seperti mencela semua sifat-sifat baik akibat satu kesalahannya. Ia menjadi sebuah kezaliman yang lebih besar lagi jika permusuhan tersebut merambat ke keluarga dan kerabatnya, sebagaimana yang digambar- kan oleh al-Qur’an berikut:“Sesungguhnya manusia sangat berlaku zalim.” (QS. Ibrâhîm [14]: 34).Apakah setelah mendengar penjelasan tentang kezaliman di atas, engkau masih mempunyai alasan untuk memusuhi saudaramu seiman dan menganggap dirimu benar?!

    Ketahuilah! Dalam pandangan hakikat, kejahatan-kejahatan yang menjadi sebab timbulnya permusuhan dan kebencian bersifat padat, seperti tanah dan kejahatan itu sendiri. Sifat benda padat tidak berpindah dan tidak memantul pada yang lain, kecuali kejahatan yang ditiru seseorang dari orang lain. Sedangkan kebaikan yang menjadi sebab timbulnya rasa cinta bersifat halus, seperti cahaya dan cinta itu sendiri. Sifat cahaya dapat berpindah dan memantul pada yang lain. Dari sinilah terlahir suatu pepatah: “Sahabatnya sahabat adalah sahabat.” Sebagaimana banyak orang sering mendengung-dengungkan: “Karena kebaikan satu orang, seribu orang dimuliakan.”

    Wahai orang yang tidak adil! Jika engkau mendambakan kebenaran, itulah hakikat yang sebenarnya. Karena itu, permusuhan dan kedengkianmu terhadap keluarga dan kerabat yang dicintai orang yang engkau benci sangat bertentangan dengan kebenaran.

    Aspek Keempat:

    Permusuhan adalah Kezaliman Dilihat dari Sudut Pandang Kehidupan Pribadi.

    Jika engkau ingin mengetahui hal tersebut, dengarkanlah beberapa prinsip yang merupakan pondasi aspek keempat ini.

    Prinsip Pertama:

    Ketika engkau menganggap bahwa manhaj dan pendapatmu benar, engkau berhak untuk berkata, “Manhaj atau pendapatku benar, atau lebih baik.” Akan tetapi, engkau tidak boleh berkata, “Hanya manhaj atau pendapatku yang benar.”

    Orang bijak mengatakan: “Mata cinta terlalu suram untuk melihat kesalahan,

    sementara mata benci menampakkan semua keburukan.”(*[2])

    Sebab, pandanganmu yang penuh dengan kebencian dan pikiranmu yang terbatas tidak bisa menjadi tolok ukur dan penentu yang menetapkan kekeliruan pendapat orang lain.

    Prinsip Kedua:

    “Engkau harus berkata benar dalam setiap perkataan, namun engkau tidak berhak untuk menyampaikan semua kebenaran. Engkau pun harus jujur dalam setiap ucapan, tetapi tidaklah benar jika engkau mengatakan semua kejujuran.” Sebab, orang yang tidak mempunyai niat ikhlas sepertimu bisa jadi membuat marah orang yang mendengar untaian nasihatmu. Maka, yang terjadi justru kebalikan dari apa yang diharapkan.

    Prinsip Ketiga:

    Jika engkau menginginkan permusuhan, musu- hilah rasa permusuhan yang ada di hatimu. Berjuanglah untuk me- madamkan api permusuhan itu dan cabutlah hingga akar-akarnya. Berusahalah memusuhi musuh yang paling tangguh dan paling berbahaya bagimu, yaitu hawa nafsu yang ada di dalam dirimu. Perangilah keinginan hawa nafsu dan berusahalah memperbaikinya; jangan malah engkau memusuhi orang-orang mukmin karena dorongan hawa nafsu itu. Jika engkau masih menginginkan permusuhan, musuhilah orang-orang kafir dan zindik. Jumlah mereka sangat banyak. Ketahuilah bahwa tabiat cinta adalah layak untuk dicintai, sebagaimana sifat permusuhan pantas dimusuhi sebelum yang lainnya.

    Jika engkau ingin mengalahkan musuhmu, balaslah perbuatan buruknya dengan kebaikan. Dengan itu, api permusuhan bisa padam. Sebaliknya, jika engkau membalas keburukannya dengan keburukan yang serupa, permusuhan di antara kalian akan bertambah kuat. Seandainya engkau secara lahiriah berhasil mengalahkan musuhmu dengan perbuatan buruk yang serupa, hatinya akan dipenuhi kebencian terhadapmu sehingga permusuhan akan terus berlanjut.

    Sementara itu, membalasnya dengan kebaikan akan membuatnya menyesal dan bisa pula ia menjadi sahabat karibmu.

    Sebab, pada dasarnya tabiat seorang mukmin adalah mulia. Jika engkau memuliakannya, ia akan tunduk kepadamu dan menjadi saudaramu. Bahkan seandainya ia hina secara lahiriah, ia tetaplah mulia dilihat dari sisi keimanannya.

    Seorang penyair mengatakan:Jika engkau memuliakan orang mulia, ia akan tunduk; Jika engkau memuliakan orang hina, ia akan memberontak.(*[3])Ya, kenyataan membuktikan bahwa ketika engkau berkata kepada orang jahat, “Engkau orang baik,” sering kali itu akan medorongnya menjadi baik. Sebaliknya, jika engkau mengatakan kepada orang baik, “Kamu orang jahat,” mungkin saja itu membuatnya menjadi jahat. Oleh karena itu, pasanglah telinga terhadap prinsip-prinsip suci al-Qur’an berikut ini:“Dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan yang tidak berguna, mereka berlalu dengan menjaga kehormatannya.” (QS. al-Furqân [25]: 72).“Dan jika kalian memaafkan, bersikap lapang, serta mengam- puni (mereka), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. at-Taghâbun [64]: 14).Dengan mengikuti prinsip al-Qur’an di atas dan yang lainnya, kesuksesan dan kebahagiaan akan tercapai.

    Prinsip Keempat:

    Orang yang hatinya dipenuhi dengan kedengkian dan permusuhan terhadap sesama mukmin, selain menzalimi saudaranya seiman, sesungguhnya ia sedang menzalimi dirinya sendiri. Lebih dari itu, ia melampaui batas kasih sayang Ilahi. Sebab, dengan kedengkian dan permusuhan tersebut, ia menjatuhkan diri ke dalam penderitaan yang pedih, dan penderitaan itu bertambah pedih bila melihat musuhnya mendapatkan kenikmatan; ia pun tersiksa akibat rasa takut terhadap sang musuh. Jika permusuhan itu muncul akibat kedengkian, balasannya adalah siksa yang pedih. Sebab, kedengkian membuat si pendengki lebih sakit daripada yang didengki. Kedengkian dapat membakar pelakunya dengan kobaran apinya, sementara orang yang didengki tidak dirugikan atau hanya menderita sedikit kerugian.

    Obat kedengkian adalah si pendengki harus merenungkan akibat dari kedengkiannya dan hendaknya ia menyadari bahwa kekayaan, kekuatan, kedudukan, dan hal-hal duniawi yang dinikmati orang yang didengkinya hanya bersifat sementara dan fana; manfaatnya pun sedikit, namun tantangannya besar.Adapun jika kedengkian timbul akibat faktor-faktor yang bersifat ukhrawi, sebenarnya itu bukanlah suatu kedengkian. Kalaupun ada perasaan dengki yang timbul pada hal-hal yang bersifat ukhrawi, bisa jadi si pendengki termasuk orang yang berlaku riya, di mana hal itu akan menghapus amal ukhrawinya di dunia. Atau, si pendengki berprasangka buruk terhadap orang yang didengkinya sehingga ia menzaliminya.

    Kemudian, orang yang mendengki sebenarnya tidak rela terhadap takdir dan rahmat Allah. Sebab, ia merasa kecewa atas karunia- Nya terhadap orang yang didengkinya dan merasa senang atas mala- petaka yang menimpanya. Artinya, ia seakan-akan mengkritik takdir dan rahmat Allah. Sebagaimana diketahui bahwa barangsiapa mengkritik takdir Allah, ia laksana orang yang menanduk gunung; dan barangsiapa memprotes rahmat dan karunia Ilahi, ia akan terhalang darinya.

    Apakah arif dan adil jika seorang mukmin memendam kebencian dan permusuhan selama setahun terhadap saudaranya hanya karena persoalan sepele yang sebenarnya tidak pantas menyebabkan timbulnya permusuhan selama sehari? Padahal keburukan saudaramu terhadapmu tidak pantas dinisbatkan hanya kepadanya sehingga dengan keburukan yang dilakukannya itu kamu menghukumnya. Sebab, ada beberapa hal lain yang ikut terlibat.

    1. Takdir ilahi ikut andil. Maka, hendaklah kamu menerima takdir itu dengan sikap rida dan pasrah.

    2. Setan dan nafsu ammârah juga ikut berperan. Jika engkau mengeluarkan kedua unsur tersebut (poin 1 dan 2), yang akan muncul adalah rasa belas kasih terhadap saudaramu sebagai ganti dari permusuhan. Sebab, ia dikalahkan oleh nafsu ammârah-nya. Setelah itu, nantikanlah penyesalan darinya akibat tindakannya itu.

    3. Kekurangan-kekurangan dan kecerobohanmu pun ikut terlibat. Inilah yang mungkin tidak engkau lihat atau engkau enggan mengakuinya. Singkirkan pula unsur ini bersama dua unsur sebelumnya.

    Dengan demikian, engkau akan melihat unsur-unsur yang tersisa (keburukan saudaramu) menjadi hal yang sepele. Jika engkau menyikapi keburukan saudaramu dengan sifat maaf dan budi luhur, engkau akan selamat dari perbuatan menzalimi dan menyakiti orang.

    Akan tetapi, jika engkau membalas keburukan saudaramu yang bersifat duniawi dan tak berharga itu dengan kebencian dan permusuhan tanpa akhir—seolah-olah engkau akan kekal di dunia,—maka engkau akan termasuk orang yang oleh al-Qur’an disebut zhalûman jahûlan (sangat zalim dan bodoh), serta lebih mirip dengan seorang Yahudi dungu yang menghabiskan banyak harta untuk ditukar dengan serpihan kaca yang mudah pecah dan kristal salju yang cepat menghilang lantaran mengiranya permata yang berharga.

    Demikianlah, kami telah menjelaskan berbagai kerugian yang ditimbulkan oleh permusuhan dan dendam terhadap kehidupan pribadi manusia.Jika engkau benar-benar mencintai dirimu, jangan berikan peluang bagi sifat permusuhan dan dendam yang sangat berbahaya bagi kehidupan pribadi untuk merasuk ke dalam hatimu. Kalaupun keduanya sudah terlanjur masuk dan telah bersemayam di dalamnya, hendaknya engkau mengabaikan keduanya. Renungkanlah ucapan al-Hâfizh Syirazî, sosok yang memilik basirah yang mampu menem- bus kedalaman hakikat, berikut ini:

    دُن۟يَا نَه مَتَاعٖيس۟تٖى كِه اَر۟زَد۟ بَنِزَاعٖى

    Sesungguhnya dunia beserta isinya bukanlah barang berharga yang pantas diperselisihkan.Jika dunia yang besar beserta isinya saja tidak bernilai seperti itu, apalagi dengan hal-hal kecil lainnya.

    Renungkan pula perkataan beliau:

    اٰسَايِشِ دُو گٖيتٖى تَف۟سٖيرِ اٖين۟ دُو حَر۟فَس۟ت۟

    بَادُوسِتَان۟ مُرُوَّت۟ بَادُش۟مَنَان۟ مُدَارَا

    Kedamaian dan keselamatan di kedua alam bergantung pada dua hal:keluhuran budi terhadap kawan, serta perlakuan bijak terhadap lawan.

    Barangkali engkau akan mengatakan, “Hal itu di luar kemampuanku. Sebab, rasa permusuhan telah terlanjur tertanam dalam fitrahku. Aku tidak punya pilihan lain. Di samping itu, mereka telah melukai perasaanku dan menyakitiku sehingga aku tidak bisa memaafkan mereka.”

    Jawabannya: Jika akhlak buruk tidak terwujud dalam bentuk perbuatan dan tidak menjadi dasar sebuah tindakan seperti gibah misalnya, serta pelakunya menyadari kesalahannya itu, maka hal itu tidak membahayakan. Selama engkau tidak memiliki pilihan lain dalam hal tersebut, dan engkau tidak bisa mengelak dari permusuhan tadi, maka kesadaran dalam hal menyadari kekurangan dan kesalahan itu akan membebaskanmu―dengan izin Allah―dari akibat buruk permusuhan yang tertanam dalam dirimu. Sebab, hal itu dianggap sebagai penyesalan yang tersirat, taubat yang tersembunyi, dan istigfar maknawi. Pembahasan ini kami tulis memang untuk memperoleh istigfar yang bersifat maknawi ini sehingga orang mukmin tidak menganggap kebatilan sebagai kebenaran, serta tidak memperlihatkan kebatilan lawannya yang sebenarnya berada di pihak yang benar.

    Aku pernah mengalami suatu kasus yang pantas untuk direnungkan.

    Suatu hari, aku melihat seorang ilmuwan mengkritik seorang ulama, sampai-sampai ia berani mengafirkannya. Kritiknya itu disebabkan adanya perselisihan di antara keduanya dalam persoalan politik. Namun, pada waktu yang sama, ilmuwan tersebut memuji seorang munafik yang memiliki kesamaan pandangan politik dengannya. Peristiwa ini benar-benar menggoncangku. Lalu aku katakan:Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan dan fitnah politik.Sejak saat itu, aku menarik diri dari kancah politik.

    Aspek Kelima:

    Permusuhan dan Perpecahan Membahayakan Kehidupan Sosial.

    Barangkali ada yang mengatakan bahwa ada hadis yang menyatakan bahwa perbedaan pendapat di antara umat Islam adalah rahmat. Hadis itu berbunyi:Perbedaan (pendapat) di antara umatku adalah rahmat.(*[4])Bukankah perbedaan pendapat itu akan menimbulkan perpecahan, sikap partisan, dan munculnya banyak pendapat?! (2) Di sisi lain, perbedaan ini bisa menyelamatkan kaum awam dari kezaliman kaum elit yang zalim. Jika kaum elit dari sebuah desa atau kota bersatu, mereka akan menindas kaum awam. Namun, jika terjadi perpecahan di antara kaum elit itu, orang awam yang terzalimi bisa berlindung kepada salah satu pihak. (3) Selanjutnya, hakikat kebenaran akan tampak jelas dengan adanya adu pemikiran dan perbedaan pendapat.

    Jawabannya:

    Sebagai jawaban atas pertanyaan pertama, kami ingin menegaskan bahwa perbedaan yang disebutkan dalam hadis adalah perbedaan yang bersifat positif dan membangun. Artinya, tiap-tiap pihak berusaha membenahi dan mempromosikan manhaj dan pendapatnya, tanpa berupaya menjatuhkan dan menolak manhaj orang lain. Setiap pihak pun berupaya menyempurnakan dan melakukan perbaikan terhadap manhaj pihak lain. Adapun perbedaan yang negatif adalah upaya untuk menghancurkan pihak lain dengan sikap partisan dan permusuhan. Bentuk perselisihan ini ditolak oleh hadis tersebut. Pasalnya, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tidak sanggup melakukan suatu hal yang positif dan konstruktif.

    Sebagai jawaban atas pertanyaan kedua, kami katakan bahwa jika sikap partisan dilakukan atas nama kebenaran, ini bisa menjadi tempat perlindungan bagi orang yang mencari haknya. Namun, pada zaman sekarang ini, sikap partisan hanya terjadi karena motif-motif pribadi dan atas nama nafsu ammârah sehingga menjadi tempat perlindungan bagi orang-orang yang tidak adil, bahkan menjadi sandaran bagi mereka. Seandainya setan mendatangi salah satu pihak yang berbeda pendapat, lalu ia mendukung dan sepakat dengan pen- dapat pihak tersebut, niscaya pihak tersebut akan memuji dan mendoakannya. Namun sebaliknya, jika pada pihak yang berseberangan dengannya terdapat sosok yang seperti malaikat, pihak tersebut akan melaknat dan menyudutkannya.

    Adapun jawaban atas pertanyaan ketiga, beradunya pemikiran dan tukar pandangan demi kebenaran dan untuk mencapai hakikat dapat terwujud jika perbedaannya terletak dalam hal sarana, sementara asas dan tujuan-tujuannya sama. Perbedaan ini mampu memberikan sumbangsih besar dalam menyingkap kebenaran dan menguak berbagai sisinya dengan jelas. Namun, jika tukar pikiran dilakukan demi motif-motif pribadi dan untuk bertindak sewenang-wenang, menyombongkan diri, memenuhi keinginan nafsu yang lalim, serta mengejar ketenaran dan popularitas, maka sinar kebenaran tidak akan berkilau dalam tukar pikiran seperti ini. Justru yang lahir hanyalah api fitnah.Seharusnya mereka bersatu dalam tujuan, namun karena bukan atas nama kebenaran, maka pemikiran mereka tidak menemukan titik temu di dunia ini, sehingga muncullah sikap melampaui batas dan lahirlah sejumlah perpecahan yang tidak bisa diatasi. Kondisi dunia saat ini menjadi buktinya.

    Kesimpulannya,

    jika tindakan dan perilaku seorang mukmin tidak sejalan dengan prinsip-prinsip mulia yang digariskan oleh hadis Nabi, yaitu:“Cinta karena Allah dan benci karena Allah,”(*[5])serta menyerahkan semua urusan kepada Allah, maka kemunafikan dan perpecahan akan terus mendominasi. Ya, siapa pun yang tidak menjadikan prinsip-prinsip dasar tersebut sebagai pedoman, ia justru akan melakukan kezaliman meskipun sedang mendambakan keadilan.

    Peristiwa yang Penuh Ibrah

    Dalam suatu peperangan, Imam Ali d terlibat perang tanding dengan salah seorang jawara kaum musyrik. Ia berhasil mengungguli dan menjatuhkan lawannya. Ketika Imam Ali hendak membunuhnya, ia meludahi wajah Imam Ali. Akhirnya, Imam Ali membebaskan dan meninggalkannya. Orang musyrik itu pun memandang aneh sikap Imam Ali dan bertanya, “Mengapa engkau tidak membunuhku?” Imam Ali menjawab, “Awalnya, aku ingin membunuhmu karena Allah. Namun, ketika engkau meludahiku, aku pun marah. Karena pengaruh nafsu telah menodai keikhlasanku, aku pun tidak jadi membunuhmu.” “Semestinya kelakuanku lebih memancing kemarahanmu sehingga engkau segera membunuhku. Jika agamamu begitu suci dan tulus, sudah pasti ia adalah agama yang benar,” ujar orang musyrik itu.(*[6])

    Peristiwa yang Penuh Ibrah

    Dalam peristiwa yang lain, seorang penguasa yang adil memecat seorang hakim ketika melihatnya marah saat melakukan eksekusi potong tangan terhadap pencuri. Jika hakim itu memotong tangan pencuri demi tegaknya syariat dan hukum Ilahi, maka ia seharusnya menunjukkan rasa kasihan terhadapnya dan memotong tangannya tanpa menunjukkan kemarahan dan kasih sayang. Karena nafsu mempunyai andil dalam keputusan tersebut, sementara nafsu menafikan kemurnian keadilan, sang hakim pun dicopot dari jabatannya.

    Cây-ı teessüf bir halet-i içtimaiye ve kalb-i İslâm’ı ağlatacak müthiş bir maraz-ı hayat-ı içtimaî:

    Suku paling primitif pun bisa mengerti kondisi bahaya yang mengancam sehingga mereka melupakan konflik internal mereka dan menggalang persatuan untuk menghadapi serangan musuh dari luar. Jika mereka yang primitif saja bisa mewujudkan kemaslahatan sosial, mengapa mereka yang mengemban misi pengabdian dan dakwah Islam tidak dapat melupakan permusuhan sepele di antara mereka sehingga membuka jalan bagi musuh yang tak terhitung jumlahnya untuk menyerang umat Islam?! Padahal musuh telah menyatukan barisan dan mengepung umat Islam dari segala penjuru. Kondisi ini tentu sebuah kemunduran yang mencemaskan, kemerosotan yang memilukan, dan penghianatan terhadap kehidupan sosial umat Islam.

    Berkaitan dengan kondisi tersebut, akan kukisahkan sebuah cerita yang mengandung pelajaran.

    Terdapat dua marga dari suku Hasnan yang menyimpan rasa permusuhan hingga memakan korban lebih dari lima puluh orang. Akan tetapi, bila ancaman dari luar datang, yaitu dari suku Sabkan atau Haydaran, kedua marga tersebut bahu-membahu secara total dan melupakan permusuhan di antara mereka guna memukul mun- dur serangan musuh dari luar tersebut.

    Wahai orang-orang yang beriman! Tahukah kalian berapa banyak kelompok musuh yang siap menyerang kaum mukmin?! Terdapat lebih dari seratus kelompok yang mengepung Islam dan umat Islam, seperti rangkaian lingkaran yang saling bertautan. Namun, ketika kaum muslim seharusnya bahu-membahu untuk membendung serangan dari pihak musuh, setiap kelompok dalam umat Islam hanya mementingkan kepentingan kelompoknya, seakan-akan membuka jalan bagi terbukanya semua pintu untuk para musuh sehingga dapat menembus pertahanan Islam. Apakah hal ini pantas bagi umat Islam?

    Jika kalian ingin menghitung lingkaran musuh yang mengepung Islam, mereka adalah kaum sesat, kaum ateis, hingga dunia kaum kafir, bencana, dan kondisi dunia yang tidak stabil. Semuanya menjadi lingkaran yang saling bertautan dan membentuk tujuh puluh lingkaran. Semuanya hendak mencelakakan kalian dan ingin membalas dendam atas kalian. Untuk menghadapi musuh-musuh bebuyutan tersebut, kalian hanya memiliki satu senjata yang ampuh, satu parit pertahanan yang tepercaya, dan satu benteng yang kokoh, yaitu ukhuwah Islamiyah, persaudaraan antar-umat Islam. Jadi, sadarlah dan ketahuilah, wahai umat Islam, bahwa mengguncang benteng Islam dengan permusuhan dan alasan-alasan yang sepele sangat bertolak-belakang dengan hati nurani dan kemaslahatan umat Islam secara keseluruhan.

    Disebutkan dalam beberapa hadis Nabi bahwa orang-orang seperti Dajjal dan Sufyani, yang memimpin orang-orang zindik dan kaum ateis pada akhir zaman, memanfaatkan perselisihan di antara kaum muslim dan umat manusia serta memanfaatkan ambisi duniawi mereka sehingga mereka mampu menghancurkan umat manusia hanya dengan sedikit kekuatan, menebarkan kekacauan, serta membelenggu umat Islam.

    Wahai kaum mukmin! Jika kalian benar-benar menginginkan kehidupan yang mulia, dan menolak menjadi tawanan kehinaan, sadarlah dan kembalilah pada akal sehatmu. Masuklah ke dalam benteng suci ukhuwah Islamiyah yang diamanatkan firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman bersaudara.” (QS. al-Hujurât [49]: 10). Bentengilah dirimu dengannya dari serangan kaum zalim yang memanfaatkan perselisihan internal di antara kalian. Jika tidak, kalian tidak akan sanggup membela hak-hak kalian dan melindungi kehidupan kalian. Sebab, sangat jelas bahwa seorang anak kecil dapat memukul jatuh dua pendekar yang sedang bertarung; sebuah kerikil pun dapat menaik-turunkan timbangan yang berisi dua gunung yang sepadan.

    Wahai kaum mukmin! Kekuatanmu akan hilang akibat kepentingan pribadi, egoisme, dan sikap partisan. Kekuatan kecil pun sanggup membuat kalian mengalami kehinaan dan kehancuran. Jika kalian benar-benar mempunyai komitmen terhadap kehidupan sosial umat Islam, jadikanlah prinsip mulia berikut ini sebagai pedoman hidup: “Orang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan satu bangunan yang saling mendukung satu sama lain.(*[7])Dengan berpegang pada prinsip tersebut, engkau akan terbebas dari kehinaan dunia dan selamat dari kepedihan akhirat.

    Aspek Keenam:

    Permusuhan dan sifat keras kepala merusak kehidupan spiritual dan kemurnian ubudiyah kepada Allah. Sebab, keikhlasan yang merupakan sarana untuk mencapai keselamatan telah hilang. Hal demikian disebabkan orang berkepala batu yang hanya berpihak pada pendapat dan kelompoknya senantiasa berharap dapat mengungguli musuhnya, bahkan dalam perbuatan-perbuatan baik yang dia lakukan sehingga ia tidak mendapatkan taufik untuk beramal tulus hanya karena Allah. Selain itu, ia tidak mampu bersikap adil karena lebih mengutamakan orang yang memihak pada pendapatnya dalam keputusan dan muamalah. Dengan demikian, keikhlasan dan keadilan yang merupakan dua dasar utama dalam berbuat kebaikan akan hilang akibat permusuhan dan kebencian.Pembahasan aspek ini bisa sangat panjang sehingga dalam kesempatan ini hanya akan diuraikan sekadarnya. Karena itu, kami cukupkan sampai di sini.


    PEMBAHASAN KEDUA

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

    “Allah adalah Dzat pemberi rezeki dan pemilik kekuatan yang kokoh.”(QS. adz-Dzâriyât [51]: 58). “Dan berapa banyak makhluk bergerak yang bernyawa yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberikan rezeki kepadanya dan kepadamu. Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-‘Ankabût [29]: 60).

    Wahai orang mukmin! Dari uraian sebelumnya engkau telah mengetahui bahaya besar yang diakibatkan oleh permusuhan dan kebencian. Maka ketahuilah bahwa sikap tamak juga merupakan penyakit yang sama seperti rasa permusuhan, bahkan ia lebih berbahaya bagi kehidupan Islami. Ya, tamak adalah sebab kegagalan dan kerugian. Ia adalah penyakit, kenistaan, dan kehinaan. Tamak itulah yang menyebabkan ketidaksuksesan dan kerendahan. Bukti nyata atas hal tersebut adalah kehinaan dan kenistaan yang dialami oleh bangsa Yahudi, bangsa yang paling rakus terhadap dunia.

    Tamak memperlihatkan dampak buruknya mulai dari wilayah makhluk hidup yang paling luas hingga individu yang paling kecil. Sebaliknya, mencari rezeki dengan sikap tawakkal mendatangkan kelapangan dan ketenangan. Ia memperlihatkan buahnya yang bermanfaat di setiap tempat.

    Sebagai contoh, berbagai tumbuhan dan pohon berbuah yang membutuhkan rezeki—di mana ia termasuk kategori makhluk hidup—mendapatkan rezeki dengan sangat cepat meskipun ia tetap diam di tempatnya disertai tawakkal dan sikap qanaah, tanpa menunjukkan tanda ketamakan. Ia mengalahkan hewan dilihat dari sisi pemberian nutrisi kepada buahnya.

    Adapun hewan mendapatkan rezeki setelah melakukan berbagai upaya; rezeki yang didapatkannya juga sedikit dan terbatas. Hal itu lantaran ia memburunya dengan sikap tamak. Bahkan, dalam dunia hewan pun kita melihat bagaimana rezeki dilimpahkan kepada yang masih kecil, yang menunjukkan rasa tawakkal kepada Allah lewat kondisi mereka yang lemah.

    Rezeki mereka yang lembut dan sempurna dikirim dari perbendaharaan rahmat Ilahi. Sementara berbagai hewan buas yang memangsa buruannya dengan sangat tamak baru mendapatkan rezeki setelah melakukan usaha keras. Dua kondisi tersebut menjelaskan secara sangat gamblang bahwa sikap tamak menyebabkan keterhalangan. Sebaliknya, sikap tawakkal dan qanaah menjadi sarana pembuka rahmat dan karunia Tuhan.

    Hal yang sama kita dapati dalam dunia manusia. Bangsa Yahudi yang merupakan manusia paling rakus terhadap dunia dan lebih mencintai dunia ketimbang akhirat, bahkan mereka tergila-gila kepadanya melebihi bangsa lain, telah ditimpa kehinaan dan kenistaan. Mereka menjadi sasaran pembunuhan bangsa lain.Semua itu terjadi akibat aset ribawi yang mereka peroleh setelah melalui perjuangan panjang. Mereka tidak mau mengeluarkannya kecuali hanya sedikit. Seolah-olah tugas mereka hanya mengumpulkan dan menyimpan kekayaan. Kondisi tersebut menjelaskan kepada kita bahwa tamak merupakan sumber kehinaan dan kerugian bagi umat manusia.Terdapat banyak kejadian dan peristiwa yang jumlahnya tak terhitung bahwa ketamakan selalu mengarah pada kerugian dan penyesalan sehingga ada pepatah yang berbunyi:“Orang yang tamak selalu gagal dan merugi.”(*[8]) Semua orang menganggap pepatah tersebut benar adanya. Jika demikian, apabila engkau sangat mencintai harta, burulah ia dengan sikap qanaah tanpa disertai sikap rakus agar ia datang kepadamu dalam jumlah besar.

    Kita bisa mengumpamakan orang yang merasa cukup (qanaah) dan orang yang tamak seperti dua orang yang masuk ke dalam jamuan besar yang disediakan oleh seseorang yang terpandang. Salah seorang dari keduanya berharap, “Kalau tuan rumah memberiku tempat berteduh sehingga aku bisa terbebas dari cuaca dingin di luar, hal itu sudah cukup. Kalau kemudian ia memberiku tempat duduk seadanya di tempat yang paling rendah sekalipun, hal itu merupakan bentuk kebaikan dan kemurahannya.” Sementara orang yang kedua bersikap seolah-olah memiliki hak yang harus dipenuhi pihak lain dan semua orang tampak harus memberikan penghormatan kepadanya. Melihat hal itu ia pun berbisik dalam hatinya dengan sombong, “Tuan rumah harus memberiku posisi yang paling tinggi dan paling baik.” Begitulah, ia masuk ke dalam rumah dengan membawa sikap tamak dan mengharapkan posisi yang tinggi. Namun ternyata tuan rumah justru mengembalikan dan menurunkannya ke posisi yang paling rendah. Maka, ia merasa tidak nyaman dengan kondisi tersebut dan dadanya dipenuhi oleh kemarahan terhadap tuan rumah. Pada saat di mana ia semestinya berterima kasih, ia melakukan yang sebaliknya. Ia mengkritik tuan rumah sehingga si tuan rumah kesal kepadanya. Sebaliknya, orang pertama masuk ke rumah dan menunjukkan sikap tawaduk dengan berusaha duduk di tempat yang paling rendah. Tuan rumah senang dengan sikap qanaah yang ia tunjukkan. Ia menaikkan orang pertama tersebut ke posisi yang paling tinggi. Orang itu pun semakin menunjukkan rasa syukur dan rida setiap kali naik ke tingkatan yang lebih tinggi.

    Begitulah adanya. Dunia ini adalah negeri jamuan Tuhan (ar- Rahmân). Permukaan bumi adalah hidangan rahmat-Nya. Berbagai macam rezeki dan nikmat di dalamnya laksana tempat duduk yang posisinya beragam.

    Dampak buruk dan akibat dari sikap tamak dapat dirasakan oleh setiap orang, bahkan meskipun sikap tamak tersebut terkait dengan hal yang paling kecil dan sepele.

    Sebagai contoh: semua orang merasa tidak nyaman menghadapi pengemis yang terus-menerus meminta sehingga ia terpaksa mengusirnya. Sebaliknya, semua orang merasa kasihan melihat pengemis yang tidak banyak bicara dan bersikap qanaah sehingga mereka pun memberikan uang kepadanya.

    Contoh lain: misalkan suatu saat engkau susah tidur malam. Perlahan-lahan engkau bisa tertidur jika menghadapinya dengan santai dan tidak gelisah memikirkannya. Akan tetapi, jika engkau sangat ingin tidur dan gelisah dengannya sehingga terus berujar, “Kapan aku bisa tidur? Kenapa tidak bisa tidur?” tentu engkau tidak akan bisa tidur.

    Contoh berikutnya: misalkan dengan tidak sabar engkau sedang menunggu seseorang. Engkau pun bersikap tamak (terburu-buru) ingin menemuinya karena ada urusan penting. Dalam kondisi demikian, engkau merasa gelisah seraya berujar, “Mengapa ia belum datang? Mengapa ia datang terlambat?” Pada akhirnya, rasa tamak dan keinginan untuk bertemu itu melenyapkan kesabaran yang ada pada dirimu, sehingga engkau putus asa lalu pergi meninggalkan tempat tersebut. Namun, tiba-tiba orang yang ditunggu tidak lama kemudian datang. Akan tetapi, hasil yang diharapkan telah sirna.

    Rahasia dan hikmah di balik berbagai peristiwa di atas adalah bahwa sebagaimana keberadaan roti merupakan hasil dari sebuah proses; dipetik, ditimbun, digiling, dan dipanggang, demikian halnya dengan segala sesuatu. Ia terwujud berkat adanya proses yang bertahap. Adapun sifat tamak tidak bisa bergerak secara bertahap dan perlahan-lahan. Ia tidak memperhatikan tahapan dan tingkatan maknawi yang terdapat dalam segala hal. Ia ingin segera melompat sehingga akhirnya terjatuh atau meninggalkan salah satu tahapan sehingga tidak bisa mencapai tujuan yang diharapkan.

    Wahai saudara-saudaraku yang risau memikirkan kesulitan hidup dan mabuk akibat sifat rakus terhadap dunia! Mengapa engkau menerima kehinaan atas diri kalian demi sikap tamak, padahal ia mendatangkan sejumlah bahaya dan bencana, lalu engkau menerima setiap harta tanpa peduli apakah ia halal atau haram?! Untuk itu kalian rela mengorbankan berbagai urusan penting yang dibu- tuhkan untuk kehidupan ukhrawi. Bahkan, karena sikap tamak itu kalian meninggalkan salah satu rukun Islam yang penting, yaitu zakat, padahal ia merupakan pintu keberkahan bagi setiap manusia serta cara untuk menangkal bala dan musibah. Orang-orang yang tidak menunaikan zakat harta mereka, pasti akan kehilangan harta sebanyak kadar tersebut, atau mengeluarkannya untuk hal yang tidak penting, atau mendapatkan musibah yang datang tiba-tiba.

    Dalam mimpi imajiner yang benar, yang terjadi pada tahun kelima dari Perang Dunia I, aku mendapatkan suatu pertanyaan:

    mengapa kelaparan menimpa umat Islam? Mengapa harta mereka musnah dan tubuh mereka berada dalam kepenatan luar biasa?

    Dalam mimpiku itu aku memberikan jawabannya seperti ini:

    Allah mewajibkan kita untuk mengeluarkan sepersepuluh(*[9]) dari harta yang kita terima dalam sebagian harta, serta seperempat puluh(*[10])dalam sebagian yang lain. Hal itu agar kita bisa mendapatkan doa tulus yang dipanjatkan oleh kaum fakir miskin, sekaligus untuk menghilangkan kebencian dan kedengkian yang terdapat di hati mereka. Namun, karena ketamakan, harta tersebut justru kita pegang terus dan tidak kita bayarkan zakatnya. Nah, Allah telah mengambil zakat kita yang bertumpuk itu dengan rasio 30/40 dan 8/10.

    Allah memerintahkan kepada kita untuk berpuasa dan menahan lapar yang mengandung sejumlah manfaat dan hikmah yang jumlahnya mencapai 70 manfaat. Kewajiban tersebut hanya berlangsung selama sebulan dalam setahun. Namun, kita merasa iba pada diri sendiri. Kita enggan menahan rasa lapar yang membuahkan kenikmatan dan bersifat sementara. Maka sebagai balasannya, Allah berikan kepada kita satu bentuk puasa dan rasa lapar yang beratnya menjadi tujuh puluh kali lipat. Hal itu kita rasakan selama lima tahun berturut-turut.

    Selanjutnya, Allah meminta kita untuk menunaikan perintah yang penuh kebaikan, keberkahan, kemuliaan, dan bercahaya, yang hanya memakan waktu satu jam dari 24 jam yang ada. Namun, kita enggan melakukan shalat lima waktu, berdoa, dan berzikir akibat sifat malas. Kita menyia-nyiakan satu jam tersebut bersama dengan sisa waktu lainnya. Maka, sebagai tebusannya, Allah menghukum kelalaian dan dosa kita dengan dipaksa untuk melaksanakan satu ben- tuk ibadah dan shalat lewat cara pemberian intruksi, latihan, perang, penyerangan, dan seterusnya selama lima tahun berturut-turut. Ya, begitulah yang kujelaskan dalam mimpi tersebut. Lalu aku terbangun dan kemudian merenung. Aku pun memahami bahwa terdapat hakikat penting dalam mimpi imajiner di atas.

    Ada dua kalimat yang menjadi sumber kemerosotan akhlak dan kekacauan dalam kehidupan sosial umat manusia. Keduanya telah kami jelaskan dalam “Kalimat Kedua Puluh Lima” saat membandingkan antara peradaban modern dan ketetapan al-Qur’an. Kedua kalimat tersebut adalah:

    1. “Yang penting aku kenyang, tidak peduli yang lain mati kelaparan.”

    2. “Anda yang bekerja, saya yang menikmati hasilnya.”

    Yang membuat kedua kalimat tersebut tetap eksis dan tumbuh subur adalah tersebarnya riba dan tidak ditunaikannya zakat.

    Adapun solusi satu-satunya dan obat yang ampuh untuk kedua penyakit sosial tersebut adalah penerapan kewajiban membayar zakat kepada masyarakat secara umum dan pengharaman riba.

    Sebab, urgensi zakat tidak terbatas hanya pada individu atau sejumlah kelompok. Ia adalah pilar penting dalam membangun kehidupan yang bahagia dan sejahtera bagi umat manusia. Bahkan, ia merupakan landasan utama bagi langgengnya kehidupan hakiki manusia. Hal itu dikarenakan di dalam masyarakat terdapat dua tingkatan: kaya dan miskin. Zakat adalah bentuk kasih sayang dan kebaikan kalangan kaya kepada kalangan miskin. Sebaliknya, ia menjamin sikap hormat dan taat kalangan miskin kepada kalangan kaya.Jika zakat tidak ditunaikan, akan terjadi kezaliman dari kalangan kaya kepada kalangan miskin. Sebagai akibatnya, akan timbul kedengkian dan pembangkangan dari kalangan miskin terhadap kalangan kaya. Akhirnya, kedua kalangan tersebut senantiasa berada dalam konflik permanen. Keduanya terus berada dalam perselisihan yang sengit sehingga secara bertahap mengarah pada benturan nyata dan konfrontasi di seputar pekerjaan dan kapital, seperti yang terjadi di Rusia.

    Karena itu, wahai teman-teman yang pemurah dan pemilik nurani, wahai para dermawan!

    Jika berbagai kebaikan yang kalian berikan tidak diniatkan sebagai zakat, ia akan mendatangkan tiga bahaya. Bahkan ia akan lenyap begitu saja tanpa memberikan manfaat. Sebab, ketika kalian tidak memberikannya atas nama Allah, pasti kalian merasa berjasa dan bermurah hati sehingga si miskin tertawan oleh kebaikanmu. Akibatnya, kalian terhalang mendapatkan doa tulus dari si miskin yang mustajab, di samping kalian telah mengingkari nikmat Allah dengan mengira bahwa harta tersebut adalah milik kalian. Pa- dahal sebenarnya kalian hanya diserahi amanah dan disuruh untuk mendistribusikan harta Allah kepada hamba-hamba-Nya.

    Akan tetapi, jika kalian menunaikan kebaikan di jalan Allah atas nama zakat, kalian akan mendapatkan pahala yang besar. Dengan cara itu, kalian memperlihatkan rasa syukur terhadap nikmat yang Allah berikan. Kalian juga akan mendapatkan doa tulus dari pihak yang menerima, di mana ia sama sekali tidak riya dan menjilat kepada kalian sehingga harga dirinya tetap terjaga dan doanya menjadi tulus.

    Ya, pemberian harta sebanyak zakat atau bahkan lebih, penunaian sejumlah amal saleh dalam berbagai bentuknya, dan pemberian sedekah yang disertai sejumlah bahaya besar, seperti sikap riya, perasaan berjasa, dan penghinaan, tidak bisa dibandingkan dengan pembayaran zakat, pelaksanaan sejumlah amal saleh dengan niat di jalan Allah, keutamaan melaksanakan salah satu kewajiban-Nya, serta kesuksesan untuk bisa ikhlas dan mendapat doa mustajab. Ya, kedua pemberian tersebut sangat jauh berbeda.

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ

    Ya Allah, limpahkan salawat dan salam kepada junjungan kami, Muhammad, yang telah bersabda,“Mukmin yang satu dengan mukmin lainnya ibarat bangunan yang saling menguatkan,” yang juga telah bersabda, “Sikap qanaah merupakan kekayaan yang tidak akan pernah habis.”(*[11])

    Semoga salawat tersebut juga tercurah kepada keluarga beliau dan seluruh sahabatnya. Amin.

    PENUTUP

    Gibah (Bergunjing)

    بِاس۟مِهٖ

    وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَم۟دِهٖ

    Perumpamaan yang bernada celaan dan teguran yang terdapat pada poin kelima, kilau pertama, obor pertama, dari “Kalimat Kedua Puluh Lima”, menyebutkan sebuah ayat mulia yang menjelaskan betapa buruknya gibah dalam pandangan al-Qur’an. Ayat tersebut menjelaskan dengan penuh kemukjizatan betapa gibah merupakan hal yang dibenci oleh manusia dilihat dari enam aspek. Penjelasan ayat al-Qur’an tersebut sudah sangat jelas sehingga tidak membutuhkan penjelasan lagi. Benar, tidak ada lagi penjelasan yang diperlukan setelah penjelasan al-Qur’an.

    Allah berfirman: “Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?” (QS. al-Hujurât [49]: 12).Ayat ini mencela dan mengecam dengan sangat keras perilaku menggunjing keburukan orang lain dalam enam tahapan. Karena ditujukan kepada mereka yang menggunjing orang lain, maka ayat tersebut bermakna sebagai berikut:

    Huruf hamzah pada awal ayat digunakan untuk membentuk pertanyaan retoris (istifhâm inkârî). Makna pertanyaan tersebut menembus ke semua kata dalam ayat di atas bagaikan air sehingga setiap kata menyiratkan pertanyaan yang melahirkan sebuah hukum.(*[12])

    Kata pertama dalam ayat tersebut ialah hamzah. Ayat tersebut bermaksud menegur pembacanya dengan hamzah (pertanyaan): “Apakah engkau tidak mempunyai akal―yang bisa engkau gunakan untuk berpikir―sehingga engkau bisa mengerti betapa buruknya perilaku gibah ini?!”

    Dalam kata kedua, yaitu “suka”. Ayat tersebut bermaksud menegur dengan pertanyaan: “Apakah hati yang engkau gunakan untuk mencintai atau membenci telah rusak sehingga engkau mencintai perilaku yang paling buruk dan sangat menjijikkan?!”

    Dalam kata ketiga, yakni “salah seorang di antara kalian”. Ayat tersebut bermaksud menegur dengan pertanyaan: “Apa yang telah terjadi dengan kehidupan sosial dan peradaban kalian, yang mengambil vitalitasnya dari jamaah, sehingga kalian menerima sesuatu yang begitu meracuni kehidupan sosial kalian?!”

    Dalam kata keempat, yakni “memakan daging”. Ayat tersebut bermaksud menegur dengan pertanyaan: “Apa yang terjadi dengan rasa kemanusiaan kalian sehingga kalian tega memangsa teman akrab kalian sendiri?!”

    Dalam kata kelima, yaitu “saudaranya”. Ayat tersebut bermaksud menegur dengan pertanyaan: “Tidakkah engkau mempunyai belas kasihan terhadap sesama manusia?! Apakah engkau tidak memiliki hubungan silaturahim yang mengikatmu dengan sesamamu sehingga engkau tega menerkam saudaramu sendiri—dilihat dari beberapa sisi—secara biadab?! Apakah orang yang tega menggigit anggota badan saudaranya sendiri bisa dikatakan memili- ki akal? Bukankah orang seperti itu adalah orang gila?!”

    Dalam kata keenam, yaitu “yang sudah mati”. Ayat tersebut bermaksud menegur dengan pertanyaan: “Di manakah hati nuranimu? Apakah fitrahmu telah rusak sehingga engkau melakukan suatu tindakan yang paling buruk dan menjijikkan, yaitu memakan daging saudaramu sendiri yang telah mati, yang selayaknya mendapatkan penghormatan?!”

    Dari ayat yang mulia ini dan petunjuk-petunjuk yang terdapat pada setiap kata dalam ayat tersebut, bisa dipahami bahwa gibah adalah perbuatan yang tercela, baik dilihat dari sudut pandang akal, kalbu, rasa kemanusiaan, hati nurani, fitrah, dan hubungan sosial. Renungkanlah makna ayat yang mulia ini dan lihatlah bahwa ayat tersebut mengutuk pergunjingan dalam enam tingkatan dengan bahasa yang penuh mukjizat dan sangat ringkas.

    Benar, gibah adalah senjata hina yang umumnya digunakan oleh orang-orang yang memiliki rasa permusuhan, kedengkian, dan keras kepala. Orang yang terhormat tidak akan mau menggunakan senjata yang sangat hina ini.Seorang penyair ternama pernah mengatakan:

    اُكَبِّرُ نَف۟سٖى عَن۟ جَزَاءٍ بِغِي۟بَةٍ فَكُلُّ اِغ۟تِيَابٍ جَه۟دُ مَن۟ لَا لَهُ جَه۟دٌ

    Aku masih memiliki harga diri sehingga tidak menghukum (musuhku) dengan menjelek-jelekkannya.Sebab, membicarakan kejelekan musuh adalah senjata orang yang lemah dan hina.(*[13])

    Gibah adalah membicarakan orang lain mengenai sesuatu yang tidak ia senangi. Jika kata-kata yang engkau sampaikan itu benar, berarti engkau telah menggunjingnya. Jika tidak benar, berarti engkau telah memfitnahnya. Artinya, engkau melakukan dosa yang berlipat ganda.(*[14])

    Meskipun pada dasarnya diharamkan, gibah dibenarkan dalam sejumlah kondisi tertentu.(*[15])

    Pertama: mengeluhkan kezaliman orang. Orang yang dizalimi boleh bercerita tentang orang yang menzaliminya kepada pihak yang berwenang untuk membantunya mengatasi kezaliman dan kejahatan yang menimpanya.

    Birisi de: Bir adam onunla teşrik-i mesai etmek ister. Senin ile meşveret eder. Sen de sırf maslahat için garazsız olarak, meşveretin hakkını eda etmek için desen: “Onun ile teşrik-i mesai etme. Çünkü zarar göreceksin.”

    Birisi de: Maksadı, tahkir ve teşhir değil; belki maksadı, tarif ve tanıttırmak için dese: “O topal ve serseri adam filan yere gitti.”

    Birisi de: O gıybet edilen adam fâsık-ı mütecahirdir. Yani fenalıktan sıkılmıyor, belki işlediği seyyiatla iftihar ediyor; zulmü ile telezzüz ediyor, sıkılmayarak aşikâre bir surette işliyor.

    İşte bu mahsus maddelerde garazsız ve sırf hak ve maslahat için gıybet caiz olabilir. Yoksa gıybet, nasıl ateş odunu yer bitirir; gıybet dahi a’mal-i salihayı yer bitirir.

    Eğer gıybet etti veyahut isteyerek dinledi; o vakit اَللّٰهُمَّ اغ۟فِر۟لَنَا وَ لِمَنِ اغ۟تَب۟نَاهُ demeli, sonra gıybet edilen adama ne vakit rast gelse “Beni helâl et.” demeli.

    اَل۟بَاقٖى هُوَ ال۟بَاقٖى

    Said Nursî

    1. *Lihat: al-Bukhârî, al-Âdâb, 57 dan 62, al-Isti’dzân, 9; Muslim, al-Birr,23, 25, dan 26.
    2. *Syair karya Abdullâh ibn Mu‘âwiyah ibn Abdullâh ibn Ja‘far ibn Abî Thâlib (Adab ad-Dunyâ wa ad-Dîn, h.37). Bait tersebut juga dinisbatkan kepada Imam asy-Syâfi‘î; lihat Dîwân asy-Syâfi‘î (Beirut: Dar an-Nûr, t.t.), h. 91, dengan redaksi: “…sebagaimana mata benci….”
    3. *Karya al-Mutanabbî. Lihat: al-‘Urf ath-Thayyib fî Syarh Dîwân Abî ath-Thayyib (Beirut: Dâr al-Qalam, t.t.), h.387.
    4. *Lihat: an-Nawawî, Syarh Shahîh Muslim, j.11, h.91; al-Qurthubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, j.4, h.159; dan as-Suyûthî, Tadrîb ar-râwî, j.2, h.175.
    5. *Lihat: Abu Daud, as-Sunnah, h.2; Ahmad bin Hambal, al-Musnad, j.5, h.146; al-Bazzâr, al-Musnad, j.9, h.461. Lihat pula: ath-Thayâlisî, al-Musnad,h.101; Ibnu Abî Syaibah, al-Mushannaf, j.6, h.170, j.6, h.172; dan j.7, h.80.
    6. *Lihat: al-Matsnawî ar-Rûmî, terj. al-Kafâfî, j.1, h.443.
    7. *Lihat: al-Bukhârî, ash-Shalâh, 88; dan Muslim, al-Birr, 65.
    8. *al-Maidanî, Majma`ul Amtsâl, j.1, h.214.
    9. *Sepersepuluh, maksudnya satu dari sepuluh bagian yang didapat, misalnya zakat pertanian–Penulis.
    10. *Seperempat puluh, maksudnya satu dari empat puluh bagian yang ada, seperti zakat harta perniagaan dan zakat binatang ternak yang biasanya Allah hadirkan pada setiap tahun sepuluh anak hewan baru–Penulis.
    11. *Lihat: ath-Thabrânî, al-Mu’jam al-Ausath, j.7, h.84; dan al-Baihaqî, bab az-Zuhd, j.2, h.88.
    12. *Maksudnya, setiap kata dari ayat al-Qur’an tersebut menyiratkan teguran dalam bentuk pertanyaan―Peny.
    13. *Lihat: Dîwân al-Mutanabbî, (Penerbit Dâr Shâdir), h.198.
    14. *Lihat: Muslim, bab al-Birr, 70; at-Tirmidzî, bab al-Birr, 23; dan Abû Dâwud, bab al-Adab, 35.
    15. *Lihat: an-Nawawî, al-Adzkâr, h.360–362, 366.