KALIMAT KEDUA PULUH SATU
(Dua Kedudukan)
KEDUDUKAN PERTAMA
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
(Nasihat bagi Orang yang Malas Salat)“Sesungguhnya salat adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”(QS. an-Nisâ [4]:103).
Suatu hari salah seorang yang telah berusia lanjut, berbadan besar, dan berpangkat tinggi berkata kepadaku, “Melaksanakan salat adalah perbuatan yang baik. Namun ketika diulang-ulang setiap hari lima kali terasa banyak dan membosankan.”
Lama setelah perkataan itu diucapkan, aku mengamati diri ini. Ternyata ia juga mengucapkan hal yang sama. Akupun memikirkan- nya dalam-dalam. Ternyata diriku juga telah mengambil pelajaran yang sama dari setan. Ketika itulah aku sadar bahwa orang tersebut tampaknya menuturkan kalimat di atas dengan lisan nafsu ammârah. Aku pun berbisik dalam hati, “Selama diri dan nafsu ini memerintah- kan kepada keburukan, maka ia harus lebih dahulu diperbaiki. Sebab, orang yang tidak dapat memperbaiki dirinya, tidak mampu memper- baiki orang lain.” Aku pun berkata kepadanya:
Wahai diri, dengarkan ‘lima peringatan’ dariku sebagai jawaban atas ucapanmu yang kau lontarkan dengan penuh kebodohan, dalam tidur kelalaian, di atas kasur kemalasan.
Peringatan Pertama
Wahai diri yang malang! Apakah usiamu abadi? Apakah engkau memiliki jaminan yang pasti bahwa engkau bisa tetap hidup sampai tahun depan, bahkan sampai esok hari? Yang membuatmu merasa bosan dalam melaksanakan salat secara berulang-ulang adalah ilusi dan prasangkamu bahwa dirimu akan hidup selamanya. Lalu engkau memperlihatkan sebuah dalil seakan-akan dengan kemewahanmu engkau akan kekal di dunia. Apabila engkau menyadari bahwa usiamu sangat singkat dan ia akan lenyap, sudah barang tentu mempergu- nakan satu bagian dari dua puluh empat bagiannya untuk melakukan satu pengabdian indah dan tugas yang menyenangkan—di mana ia merupakan sarana untuk menggapai kebahagiaan abadi—tidak akan membosankan. Sebaliknya, ia menjadi sarana pembangkit rasa rindu yang tulus dan cita rasa yang mulia.
Peringatan Kedua
Wahai diri yang rakus! Setiap hari engkau makan nasi, minum air, dan menghirup udara. Apakah perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang itu membuatmu bosan? Tentu saja tidak. Sebab, me- ngulang apa yang dibutuhkan tidak membuat bosan. Justru ia mem- buatmu bisa terus merasa nikmat. Karena itu, salat yang mendatang- kan nutrisi bagi kalbu, air kehidupan bagi ruh, serta hembusan udara bagi perangkat rabbani yang tersimpan di tubuh, pasti membuatmu tidak bosan dan tidak jenuh.
Ya, kalbu yang rentan dengan berbagai duka dan derita tak ter- hingga, serta yang menyenangi banyak impian dan kesenangan tak terkira tidak mungkin meraih kekuatan dan nutrisi kecuali dengan mengetuk pintu Tuhan Yang Maha Penyayang dan Maha Pemurah, Yang Mahakuasa atas segala sesuatu dengan penuh pinta.
Ruh yang terpaut dengan sebagian besar entitas yang datang dan pergi dengan cepat di dunia yang fana ini tidak bisa mereguk air kehidupan kecuali dengan menghadap kepada sumber kasih sayang Tu- han, Sembahan yang kekal dan Kekasih yang abadi, lewat salat.
Jiwa manusia yang memiliki daya rasa yang halus di mana ia merupakan perangkat Ilahi yang bercahaya, yang dicipta untuk aba- di, yang secara fitrah merindukan keabadian, sekaligus cermin yang memantulkan berbagai manifestasi Dzat yang Mahaagung, tentu ia sa- ngat butuh bernapas di tengah desakan dan tekanan berbagai kondisi dunia yang mengimpit dan gelap. Hal itu hanya bisa dilakukan dengan menghirup dari jendela salat.
Peringatan Ketiga
Wahai diri yang tidak sabar! Saat ini engkau gusar mengingat penatnya ibadah yang telah engkau lakukan pada hari-hari yang te- lah berlalu, serta sulitnya ibadah dan hantaman musibah sebelumnya. Lalu engkau memikirkan penunaian berbagai kewajiban, pelaksanaan salat, dan derita berbagai musibah pada masa yang akan datang. Kare- nanya engkau menjadi gelisah dan tidak sabar. Mungkinkah ini ber- sumber dari orang yang memiliki akal?
Orang yang tidak sabar sepertimu tak ubahnya seperti pemim- pin bodoh yang mengarahkan kekuatan pasukannya yang besar menu- ju sisi kanan musuh, padahal pada waktu yang sama sisi kanan musuh telah bergerak masuk ke dalam barisan sehingga berhasil mengalah- kannya. Kemudian sang pemimpin tadi mengarahkan sisa kekuatan- nya ke sisi kiri musuh di mana pada waktu itu tidak ada satu pun musuh di sana. Maka, musuh mengetahui titik kelemahannya hingga mengarahkan serangannya ke jantung pertahanan hingga menghan- curkan sang pemimpin dan pasukannya secara total.
Ya, engkau seperti sang pemimpin yang sembrono itu. Pasalnya, berbagai kesulitan dan kepenatan di masa lalu telah berubah menja- di rahmat. Kepedihannya telah hilang dengan menyisakan kenik- matan. Kesulitannya juga telah berubah menjadi pahala. Karena itu, semestinya ia tidak melahirkan rasa bosan. Sebaliknya, seharusnya ia melahirkan rasa rindu yang baru, perasaan yang segar, upaya yang sungguh-sungguh untuk terus-menerus mengerjakannya. Adapun hari-hari yang akan datang, ia masih belum tiba. Jika sudah dipikir- kan dari sekarang, maka sangat bodoh dan dungu. Sebab, hal itu sama seperti meratap dari sekarang karena mengkhawatirkan rasa haus dan lapar yang kemungkinan akan dirasakan di masa yang akan datang.
Jika kondisinya demikian, apabila engkau memiliki akal, maka renungkan ibadah pada hari ini saja. Ucapkan dalam hati, “Aku akan menyisihkan waktu satu jam untuk menunaikan kewajiban yang sa- ngat penting, nikmat, dan indah, serta mengerjakan satu pengabdian mulia yang mendatangkan pahala besar hanya dengan beban yang ri- ngan.” Ketika itulah, kemalasan dan ketiadaan semangatmu akan be- rubah menjadi satu tekad yang menyenangkan.
Wahai diri yang tidak sabar! Engkau harus memiliki tiga jenis kesabaran:
Pertama, sabar dalam melaksanakan perintah.
Kedua, sabar dalam meninggalkan maksiat.
Ketiga, sabar dalam menghadapi musibah.
Jika engkau cerdas, jadikan hakikat yang tampak dalam perum- paan di atas sebagai pelajaran dan petunjuk. Ucapkan dengan penuh semangat dan kesatria, “Wahai Yang Mahasabar!” Lalu pikullah keti- ga jenis sabar tersebut. Bersandarlah pada kekuatan sabar yang Allah tanamkan dalam dirimu dan berhiaslah dengannya. Sebab, ia sudah cukup untuk menghadapi berbagai kesulitan dan seluruh musibah se- lama ia tidak digunakan di jalan yang salah.
Peringatan Keempat
Wahai diri yang bingung! Apakah menurutmu penunaian ubudi- yah ini tidak ada hasilnya? Apakah balasannya sedikit sehingga engkau merasa bosan? Padahal, ada di antara kita yang bekerja hingga sore tanpa kenal lelah manakala dijanjikan harta atau mendapat ancaman.
Nah, apakah salat yang merupakan makanan dan penenang kalbumu yang lemah dan fakir dalam jamuan sementara bernama dunia; nutrisi dan cahaya bagi rumah yang pasti menjadi tempatmu, yaitu kubur; penolong dan pembela di Mahkamah yang pasti menja- di tempat di mana engkau akan diadili; serta cahaya dan burak saat melintasi Sirât al-Mustaqîm yang pasti kau lewati, tidak berbuah atau imbalannya sangat kecil?Ketika ada orang yang berjanji akan memberikan hadiah ke- padamu seharga sepuluh juta, dengan syarat engkau bekerja selama seratus hari, engkau tentu bekerja tanpa pernah bosan dan malas lantaran mengharap janjinya. Padahal bisa jadi ia ingkar janji. Lalu bagaimana dengan Dzat yang telah berjanji kepadamu, sementara Dia tidak pernah ingkar janji? Hal itu mustahil bagi-Nya!
Dia berjanji akan memberimu ganjaran besar berupa surga, dan hadiah agung berupa kebahagiaan abadi, agar engkau menunaikan kewajiban dan tugas yang sangat menyenangkan hanya dalam beberapa saat. Apakah eng- kau tidak berpikir bahwa jika engkau tidak menunaikan tugas ringan tersebut atau menunaikannya tanpa semangat dan setengah hati, eng- kau berarti telah meremehkan hadiah-Nya dan tidak percaya kepada janji-Nya?! Tidakkah engkau layak mendapatkan hukuman yang keras dan siksa yang pedih?! Tidakkah engkau tergerak untuk menunaikan tugas yang sangat mudah dan ringan ini karena takut kepada penjara abadi, yaitu neraka?! Padahal engkau telah menunaikan berbagai tugas berat dan sulit tanpa kenal lelah karena takut kepada penjara dunia. Sementara penjara dunia tidak ada apa-apanya dibanding neraka yang abadi!
Peringatan Kelima
Wahai diri yang berkutat dengan dunia! Apakah sikap malasmu dalam beribadah dan kelalaianmu dalam mengerjakan salat karena terlalu sibuk dengan urusan dunia? Atau, engkau sudah tidak sempat karena sibuk mencari nafkah?
Apakah menurutmu engkau diciptakan hanya untuk hidup di dunia sehingga engkau menghabiskan waktumu untuknya? Renung- kanlah! Engkau tidak bisa menyamai kekuatan burung pipit yang pa- ling kecil dalam memperoleh kebutuhan hidup di dunia meski secara fitrah engkau lebih mulia dari seluruh hewan.
Mengapa dari sini eng- kau tidak dapat memahami bahwa tugas utamamu bukan tenggelam dalam kehidupan dunia dan sibuk dengannya seperti hewan. Mesti- nya usaha dan ketekunanmu ditujukan untuk kehidupan yang kekal sebagai manusia hakiki. Terlebih lagi, kesibukan duniawi yang eng- kau sebutkan adalah persoalan yang tidak berguna bagimu. Akhirnya waktumu yang sangat berharga habis dalam urusan yang tidak penting dan tidak berguna. Misalnya, mempelajari jumlah ayam di Amerika atau jenis lingkaran di seputar Saturnus. Seolah-olah dengan itu eng- kau mendapat sesuatu dari ilmu falak dan statistika sehingga engkau mengabaikan urusan yang lebih penting dan lebih urgen seolah-olah engkau akan hidup ribuan tahun.
Barangkali engkau berkata, “Yang membuatku enggan dan malas menunaikan salat dan ibadah bukan hal-hal sepele seperti di atas. Akan tetapi, persoalan penting yang terkait dengan mencari nafkah.”
Jika demikian, perhatikan perumpamaan berikut: Jika upah harian seseorang sekitar seratus ribu lalu ada yang ber- kata, “Galilah tempat ini selama sepuluh menit, niscaya engkau akan mendapatkan batu mulia seperti zamrud yang bernilai seratus juta.” Bukankah alasannya sangat sepele, bahkan tidak waras, jika ia meno- lak dengan berkata, “Tidak, aku tidak akan melakukannya. Sebab, hal itu akan mengurangi upah harianku.”
Demikianlah kondisimu. Jika engkau meninggalkan salat wajib, maka seluruh hasil usaha dan pekerjaanmu di kebun ini hanya terbatas pada nafkah duniawi yang sangat murah tanpa memetik keuntungan dan keberkahannya. Sementara jika engkau sisihkan waktu istirahatmu di antara waktu kerja untuk menunaikan salat yang merupakan sara- na penenteram jiwa dan penenang kalbu, maka di samping mendapat hasil ukhrawi, bekal akhirat, dan upah duniawi yang penuh berkah, engkau juga mendapatkan dua sumber kekayaan maknawi yang besar dan abadi, yaitu:
Pertama, engkau akan mendapatkan bagian dan jatahmu dari ‘tasbih’ setiap bunga, buah, dan tumbuhan yang kau tanam dengan niat tulus di kebunmu.(*[1])
Kedua, hasil kebunmu yang dimakan, baik oleh hewan, manu- sia, ataupun pencuri, akan menjadi ‘sedekah jariah’ untukmu dengan syarat engkau memosisikan dirimu sebagai wakil dan pegawai yang mendistribusikan harta Allah kepada makhluk-Nya. Artinya, engkau bertindak atas nama Dzat Pemberi rezeki hakiki dan dalam lingkup rida-Nya.
Sekarang perhatikan orang yang meninggalkan salat. Betapa ia sangat merugi! Betapa ia kehilangan kekayaan yang demikian be- sar! Ia akan terus dalam kondisi terhalang dan tidak mendapatkan dua harta kekayaan abadi yang memberi kekuatan maknawi kepada ma- nusia untuk bekerja sekaligus menyegarkan semangatnya. Lalu ketika mencapai usia senja ia akan merasa bosan dan gusar dengan peker- jaannya seraya berbisik kepada dirinya, “Dalam waktu yang dekat aku akan meninggalkan dunia. Mengapa aku memenatkan diri? Untuk apa aku bekerja?” Ia terjerumus ke dalam pangkuan kemalasan. Sebalik- nya, orang pertama berkata, “Aku akan bekerja keras untuk usaha yang halal di samping terus melaksanakan ibadah agar kuburku lebih terang dan tabungan akhiratku makin banyak.”
Kesimpulannya, ketahuilah wahai diri! Hari kemarin telah berla- lu, sementara hari esok masih belum tiba dan tidak ada jaminan eng- kau dapat menggapainya. Karena itu, berharaplah dari umurmu yang hakiki, yaitu hari ini (sekarang). Paling tidak engkau sisihkan sesaat darinya untuk simpanan akhirat, yaitu dengan berada di masjid atau di atas sajadah guna menjamin masa depan hakiki yang abadi.
Ketahui pula bahwa setiap hari yang baru merupakan pintu bagi datangnya alam baru untukmu dan untuk yang lain. Jika engkau tidak menunaikan salat di dalamnya, maka alam harimu pergi menuju alam gaib dalam kondisi gelap, mengeluh dan sedih. Ia akan menjadi saksi yang memberatkanmu. Setiap kita memiliki alam sendiri dari alam tersebut. Kualitasnya sesuai dengan amal dan kondisi kalbu. Ia laksa- na cermin di mana gambarnya mengikuti warna dan kualitasnya. Jika gelap, maka gambarnya juga menjadi gelap. Jika bening, gambarnya juga menjadi jelas. Jika tidak, berarti terjadi distorsi di mana ia mem- buat besar sesuatu yang paling kecil. Demikian pula dengan dirimu. Dengan kalbu, akal, dan amalmu, engkau dapat mengubah gambaran alammu. Serta dengan usaha dan kehendakmu, engkau dapat menjadi- kan alam tersebut sebagai saksi yang menguntungkan atau memberat- kanmu.
Demikianlah, jika engkau menunaikan salat dan menghadap kepada Tuhan Sang Pencipta alam Yang Mahaagung dengan salat- mu, maka seketika alam yang mengarah kepadamu itu akan bersinar terang. Seolah-olah dengan niat salat, engkau menekan sakelar sehing- ga lampu salatmu menyala dan menerangi alammu. Ketika itu, seluruh pergolakan dan kesedihan yang menyelimutimu di dunia akan beru- bah menjadi laksana tatanan penuh hikmah dan tulisan penuh makna yang ditulis dengan pena qudrah Ilahi. Maka, salah satu cahaya dari ayat:
“Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi” (QS. An-Nûr [24]: 35) masuk ke dalam kalbumu sehingga alam harimu itu menja- di terang. Cahayanya akan menjadi saksi untukmu di sisi Allah .
Wahai saudaraku, jangan engkau berkata, “Salatku masih jauh dari hakikat tersebut.” Sebab, sebagaimana benih kurma membawa sifat-si- fat pohon kurma yang akan menjulang di mana yang membedakan hanya rincian dan garis besarnya. Demikian pula dengan salat orang awam seperti diriku dan dirimu. Ia mengandung bagian cahaya terse- but dan rahasia hakikat di atas sebagaimana yang terdapat pada salat wali Allah yang saleh meskipun perasaannya tidak terpaut dengan itu. Adapun terang cahayanya berbeda-beda sebagaimana perbedaan ting- katan yang terdapat antara benih kurma sampai pada pohonnya. Wa- laupun salat memiliki tingkatan yang lebih banyak, namun seluruhnya mengandung asas dari hakikat cahaya tersebut.
Ya Allah, limpahkan salawat dan salam-Mu kepada sosok yang bersabda, “Salat adalah tiang agama,”(*[2])juga kepada keluarga dan seluruh sahabatnya.
KEDUDUKAN KEDUA
(Penyakit Waswas dan Obatnya)
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
“Katakanlah: Ya Tuhanku, aku berlindung kepada-Mu dari bisikan setan. Dan aku juga berlindung kepada-Mu wahai Tuhan dari ke- datangan mereka kepadaku.” (QS. al-Mu’minûn [23]: 97-98).
Wahai saudara yang sedang terserang penyakit waswas! Tahukah engkau waswas ini seperti apa? Ia seperti musibah. Awalnya ia kecil, namun sedikit demi sedikit membesar seiring dengan tingkat perha- tianmu padanya. Sebaliknya, sejauh mana engkau mengabaikannya, sejauh itu pula ia akan menghilang. Ia menjadi besar tatkala engkau anggap besar, dan menjadi kecil tatkala kau remehkan. Ketika engkau takut padanya, ia akan menginjak dan menyerangmu dengan berbagai penyakit. Namun jika engkau tidak takut, ia pun mengecil dan meng- hilang. Apabila engkau tidak mengetahui hakikatnya, ia akan terus ek- sis. Sebaliknya, apabila engkau mengetahui hakikat dan esensinya, ia akan pudar.Jika demikian, aku akan menjelaskan kepadamu lima aspek dari sekian banyak aspek yang sering terjadi. Semoga dengan izin Allah penjelasan tentangnya bisa menjadi obat bagi seluruh kalbu kita. Hal ini karena kebodohan dapat mendatangkan rasa waswas, sementara pengetahuan bisa menangkal keburukannya. Apabila engkau tidak mengetahuinya, ia akan datang dan mendekat. Namun jika engkau mengetahui dan mengenalinya, rasa waswas tadi akan lari dan pergi.
Aspek Pertama
Pertama-tama setan melemparkan keragu-raguan ke dalam kalbu. Jika kalbu tidak menerimanya, maka keragu-raguan itu pun berubah menjadi makian dan cacian. Terbayang padanya sejumlah lintasan pikiran buruk dan bisikan yang bertentangan dengan adab. Hal ini membuat kalbu yang malang tadi merintih di bawah tekanan keputusasaan serta berteriak, “Oh, celaka!” Orang yang terkena was- was ini mengira kalbunya penuh dosa dan merasa telah berbuat buruk terhadap Tuhannya. Ia merasa gusar, resah, dan gelisah. Akibatnya, ia tidak tenang dan tidak tenteram serta berusaha tenggelam dalam ge- lombang kelalaian.
Salep untuk luka ini sebagai berikut:
Wahai orang yang terkena waswas dan malang! Jangan takut dan resah. Sebab, apa yang terlintas pada cermin pikiranmu bukanlah ca- cian ataupun makian. Ia hanyalah ilusi dan sekadar khayalan. Karena membayangkan kekufuran bukanlah kekufuran, maka membayang- kan makian juga bukan makian. Sebab, sebagaimana diketahui secara aksiomatis bahwa membayangkan bukanlah sebuah pernyataan, se- dangkan makian adalah pernyataan. Lebih dari itu, sejumlah ungkapan yang tidak layak itu bukan ke- luar dari dalam kalbumu. Kalbumu malah merasa sedih dan tersiksa. Barangkali ia bersumber dari bisikan setan yang dekat dengan kalbu.Karena itu, bahaya waswas terletak pada asumsi adanya bahaya. Dengan kata lain, yang berbahaya bagi kalbu adalah asumsi kita akan bahayanya. Sebab, awalnya seseorang mengkhayalkan sesuatu yang ti- dak berdasar yang seolah-olah kenyataan, lalu dinisbatkanlah padanya sejumlah perbuatan setan yang sebetulnya tidak ia lakukan. Maka, dari sana ia mengira bahwa bisikan setan tersebut adalah lintasan kalbunya. Ia juga membayangkan bahayanya sehingga terjatuh padanya. Inilah sebenarnya yang diinginkan oleh setan.
Aspek Kedua
Ketika sejumlah makna keluar dari kalbu, ia menuju khayalan dalam kondisi bersih dari semua gambaran. Di khayalan dan imajina- si ini ia baru mendapat bentuk. Khayalan inilah yang senantiasa, dan karena sebab tertentu, menyusun satu gambar seraya menghamparkan bentuk yang menjadi perhatiannya di jalan. Makna apa pun yang keluar akan dibungkus oleh khayalan dengan bentuk tadi, dikaitkan padanya, dihias, atau ditutup dengannya. Jika makna atau isinya bersih, semen- tara bentuk dan gambarnya kotor, ia tidak dapat dibungkus. Yang ada hanyalah sekadar menyentuh. Dari sini, orang yang terkena waswas rancu dalam memahami sentuhan di atas sehingga ia mengira sebagai bungkus yang dipakaikan. Akhirnya ia berkata, “Oh, celaka! Kalbuku telah terjerumus ke dalam jurang. Dengan ini, diriku termasuk orang yang jauh dari rahmat Allah.” Maka, setan pun memanfaatkan kondisi ini secara maksimal.
Nah, salep yang dapat menyembuhkan luka parah ini adalah sebagai berikut:
Sebagaimana najis yang terdapat di dalam perutmu tidak mem- pengaruhi dan tidak merusak kebersihan lahiriah yang merupakan perantara untuk mencapai kesucian salat, demikian pula dengan ke- beradaan berbagai gambaran kotor di dekat makna yang suci dan bersih. Ia tidak memberikan bahaya.Sebagai contoh: Bisa jadi engkau sedang merenungkan salah satu tanda kekuasaan Allah. Tiba-tiba penyakit atau sejumlah keburukan membayang-bayangi dirimu. Dalam kondisi demikian, tentu saja kha- yalanmu terdorong untuk mencari obat atau memenuhi kebutuhan dengan merangkai berbagai gambaran buruk yang diakibatkan oleh- nya. Maka, sejumlah makna yang bersumber dari perenungannya akan melewati berbagai bayangan buruk tadi. Biarkan ia berlalu. Ia sama sekali tidak berbahaya dan tidak menimbulkan dampak apa-apa. Yang berbahaya ialah jika ia terus dipikirkan dan dianggap mendatangkan bahaya.
Aspek Ketiga
Terdapat sejumlah korelasi samar antar-sejumlah hal. Dan bisa jadi terdapat sejumlah garis hubungan bahkan antara segala hal yang tidak kita prediksi. Garis ini dapat bersifat asli atau hakiki, dan dapat pula merupakan hasil imajinasi sesuai dengan aktivitas yang dige- luti. Inilah yang kadang kala menjadi penyebab datangnya berbagai khayalan dan imajinasi buruk ketika mencermati sejumlah persoalan suci.
Pasalnya, kontradiksi yang menjadi sebab jauhnya jarak di luar justru memicu kedekatan dalam bayangan dan khayalan. Ini seper- ti yang dipahami dalam ilmu bayan. Artinya, yang menggabungkan antara dua gambaran sesuatu kontradiktif tidak lain adalah khayalan. Lintasan pikiran yang bersumber darinya disebut “pertautan pikiran.”Sebagai contoh: Ketika engkau bermunajat kepada Tuhan dalam salatmu dengan sikap khusyuk, tunduk, dengan kalbu yang hadir dan menghadap kiblat, tiba-tiba pertautan pikiran ini menggiringmu ke- pada hal-hal memalukan yang tidak berguna.
Wahai saudaraku, jika engkau diuji dengannya, jangan sampai resah dan gelisah. Namun kembalilah kepada kondisi fitrimu. Jangan kau sibukkan pikiranmu dengan berkata, “Aku telah banyak berbuat salah,” lalu mencari penyebabnya. Akan tetapi, abaikan ia agar ber- bagai bayangan yang lemah tersebut tidak menjadi kuat lantaran kau perhatikan. Sebab, ketika engkau memperlihatkan rasa putus asa, penyesalan, dan perhatian kepadanya, lintasan pikiran ini berubah menjadi kebiasaan yang secara berangsur-angsur mengakar dan beru- bah menjadi penyakit khayalan. Namun jangan pernah cemas. Ia bu- kan penyakit kalbu. Sebab, sebagian besar lintasan pikiran ini muncul di luar kehendak manusia. Biasanya ia terjadi pada orang-orang yang sensitif. Nah, setan berusaha sekuat tenaga memanfaatkan rasa was- was tersebut.
Obat dari penyakit tersebut adalah sebagai berikut:
Tedai-yi efkâr, galiben ihtiyarsızdır. Onda mes’uliyet yoktur. Hem tedaide, mücaveret var; temas ve ihtilat yoktur. Onun için efkârın keyfiyetleri, birbirine sirayet etmez, birbirine zarar vermez. Nasıl ki şeytan ile melek-i ilham, kalp taraflarında mücaveretleri var ve füccar ve ebrarın karabetleri ve bir meskende durmaları, zarar vermez. Öyle de tedai-yi efkâr sâikasıyla istemediğin pis hayalat, gelip nezih efkârın içine girse zarar vermez. Meğer kasden olsa veya zarar zannıyla onunla ziyade meşgul olsa. Hem bazen kalp yoruluyor. Fikir, kendini eğlendirmek için rastgele bir şeyle meşgul olur. Şeytan fırsat bulur, pis şeyleri önüne serpiyor, sürüyor.
DÖRDÜNCÜ VECİH
Amelin en iyi suretini taharriden neş’et eden bir vesvesedir ki takva zannıyla teşeddüd ettikçe hal ona şiddetlenir. Hattâ bir dereceye varır ki o adam amelin daha evlâsını ararken harama düşer. Bazen bir sünnetin araması, bir vâcibi terk ettiriyor. “Acaba amelim sahih oldu mu?” der, iade eder. Bu hal devam eder. Gayet yeise düşer. Şeytan şu halinden istifade eder, onu yaralar.
Şu yaranın iki merhemi var:
Birinci merhem: Bu gibi vesvese Ehl-i İtizal’e lâyıktır. Çünkü onlar derler: “Medar-ı teklif olan ef’al ve eşya, kendi zatında, âhiret itibarıyla ya hüsnü var; sonra o hüsne binaen emredilmiş veya kubhu var; sonra ona binaen nehyedilmiş. Demek eşyada, âhiret ve hakikat nokta-i nazarında olan hüsün ve kubuh zatîdir; emir ve nehy-i İlahî ona tabidir.” Bu mezhebe göre insan, her işlediği amelde şöyle bir vesvese gelir: “Acaba amelim nefsü’l-emirdeki güzel surette yapılmış mıdır?”
Amma mezheb-i hak olan Ehl-i Sünnet ve Cemaat derler ki: Cenab-ı Hak bir şeye emreder, sonra hasen olur. Nehyeder, sonra kabih olur. Demek emir ile güzellik, nehiy ile çirkinlik tahakkuk eder. Hüsün ve kubuh mükellefin ıttılaına bakar ve ona göre takarrur eder. Şu hüsün ve kubuh ise surî ve dünyaya bakan yüzünde değil belki âhirete bakan yüzdedir.
Mesela, sen namaz kıldın veya abdest aldın. Halbuki namazını ve abdestini fesada verecek bir sebep, nefsü’l-emirde varmış. Lâkin sen ona hiç muttali olmadın. Senin namazın ve abdestin hem sahihtir hem hasendir. Mutezile der: “Hakikatte kabih ve fâsiddir. Lâkin senden kabul edilir. Çünkü cehlin var, bilmedin ve özrün var.” Öyle ise Ehl-i Sünnet mezhebine göre, zâhir-i şeriata muvafık olarak işlediğin ameline: “Acaba sahih olmuş mu?” deyip vesvese etme. Fakat “Kabul olmuş mu?” de; gururlanma, ucbe girme.
İkinci merhem: Dinde harec yoktur. لَا حَرَجَ فِى الدّٖينِ Madem dört mezhep haktır. Madem istiğfara müncer olan derk-i kusur ise gurura müncer olan hüsn-ü amelin rü’yetine –böyle vesveseli adama– müreccahtır. Yani böyle vesveseli adam, amelini güzel görüp gurura düşmektense amelini kusurlu görse, istiğfar etse daha evlâdır.
Madem böyledir, sen vesveseyi at. Şeytana de ki: Şu hal, bir harecdir. Hakikat-i hale muttali olmak güçtür. Dindeki yüsre münafîdir. لَا حَرَجَ فِى الدّٖينِ اَلدّٖينُ يُس۟رٌ esasına muhaliftir. Elbette böyle amelim bir mezheb-i hakka muvafık gelir. O bana kâfidir. Hem lâekall ben aczimi itiraf ederek ibadeti lâyık-ı vechile eda edemediğimden istiğfar ve tazarru ile merhamet-i İlahiyeye dehalet edip kusurum affolunmak, kusurlu amelim kabul olunmak için mütezellilane bir niyaza vesiledir.
BEŞİNCİ VECİH
Mesail-i imaniyede şüphe suretinde gelen vesvesedir. Bîçare vesveseli adam, bazen tahayyülü, taakkul ile iltibas eder. Yani hayale gelen bir şüpheyi, akla girmiş bir şüphe tevehhüm edip itikadına halel gelmiş zanneder. Hem bazen tevehhüm ettiği bir şüpheyi, imana zarar veren bir şek zanneder. Hem bazen tasavvur ettiği bir şüpheyi, tasdik-i aklîye girmiş bir şüphe zanneder. Hem bazen bir emr-i küfrîde tefekkürü, küfür zanneder. Yani dalaletin esbabını anlamak suretinde kuvve-i müfekkirenin cevelanını ve tetkikatını ve bîtarafane muhakemesini, hilaf-ı iman zanneder.
İşte telkinat-ı şeytaniyenin eseri olan şu zanlardan ürkerek “Eyvah! Kalbim bozulmuş, itikadıma halel gelmiş.” der. O haller, galiben ihtiyarsız olduğundan cüz-i ihtiyarîsiyle ıslah edemediğinden yeise düşer.
Bu yaranın merhemi şudur ki:
Tahayyül-ü küfür, küfür olmadığı gibi tevehhüm-ü küfür dahi küfür değildir. Tasavvur-u dalalet, dalalet olmadığı gibi tefekkür-ü dalalet dahi dalalet değildir. Çünkü hem tahayyül hem tevehhüm hem tasavvur hem tefekkür; tasdik-i aklîden ve iz’an-ı kalbîden ayrıdırlar, başkadırlar. Onlar bir derece serbesttirler. Cüz-i ihtiyariyeyi pek dinlemiyorlar. Teklif-i dinî altına çok giremiyorlar. Tasdik ve iz’an, öyle değiller. Bir mizana tabidirler. Hem tahayyül, tevehhüm, tasavvur, tefekkür nasıl ki tasdik ve iz’an değiller. Öyle de şüphe ve tereddüt sayılmazlar. Fakat eğer lüzumsuz tekrar ede ede müstekar bir hale gelse o vakit hakiki bir nevi şüphe, ondan tevellüd edebilir. Hem bîtarafane muhakeme namıyla veya insaf namına deyip şıkk-ı muhalifi iltizam ede ede, tâ öyle bir hale gelir ki ihtiyarsız taraf-ı muhalifi iltizam eder. Ona vâcib olan hakkın iltizamı kırılır. O da tehlikeye düşer. Hasmın veya şeytanın bir vekil-i fuzulîsi olacak bir halet, zihninde takarrur eder.
Şu nevi vesvesenin en mühimmi budur ki: Vesveseli adam, imkân-ı zatî ile imkân-ı zihnîyi birbiriyle iltibas eder. Yani bir şeyi zatında mümkün görse o şeyi zihnen dahi mümkün ve aklen meşkuk tevehhüm eder. Halbuki ilm-i kelâmın kaidelerindendir ki imkân-ı zatî ise yakîn-i ilmîye münafî değil ve zaruret-i zihniyeye zıddiyeti yoktur. Mesela, şu dakikada Karadeniz’in yere batması, zatında mümkündür ve o imkân-ı zatî ile muhtemeldir. Halbuki yakînen, o denizin yerinde olduğunu hükmediyoruz, şüphesiz biliyoruz. Ve o ihtimal-i imkânî ve o imkân-ı zatî, bize şek vermez, bir şüphe getirmez, yakînimizi bozmaz. Mesela, şu güneş zatında mümkündür ki bugün gurûb etmesin veya yarın tulû etmesin. Halbuki bu imkân yakînimize zarar vermez, şüphe getirmez.
İşte bunun gibi mesela, hakaik-i imaniyeden olan hayat-ı dünyeviyenin gurûbuna ve hayat-ı uhreviyenin tulûuna, imkân-ı zatî cihetinde gelen vehimler, yakîn-i imanîye zarar vermez. Hem لَا عِب۟رَةَ لِل۟اِح۟تِمَالِ ال۟غَي۟رِ النَّاشِئِ عَن۟ دَلٖيلٍ yani “Bir delilden neş’et etmeyen bir ihtimalin hiç ehemmiyeti yoktur.” olan kaide-i meşhure hem usûlü’d-din hem usûlü’l-fıkhın kaide-i mukarreresindendir.
Eğer desen: Bu derece mü’minlere muzır ve müz’iç olan vesvese, ne hikmete binaen bize bela olmuş?
Elcevap: İfrata varmamak hem galebe çalmamak şartıyla asl-ı vesvese; teyakkuza sebeptir, taharriye dâîdir, ciddiyete vesiledir. Lâkaytlığı atar, tehavünü def’eder. Onun için Hakîm-i Mutlak, şu dâr-ı imtihanda, şu meydan-ı müsabakada bize bir kamçı-yı teşvik olarak vesveseyi şeytanın eline vermiş. Beşerin başına vuruyor. Şayet ziyade incitse Hakîm-i Rahîm’e şekva etmeli اَعُوذُ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّي۟طَانِ الرَّجٖيمِ demeli.