CAHAYA KESEMBILAN BELAS

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    10.29, 24 Aralık 2024 tarihinde Ferhat (mesaj | katkılar) tarafından oluşturulmuş 195689 numaralı sürüm ("------ <center> CAHAYA KEDELAPAN BELAS ⇐ | Al-Lama’ât | ⇒ CAHAYA KEDUA PULUH </center> ------" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    (fark) ← Önceki sürüm | Güncel sürüm (fark) | Sonraki sürüm → (fark)

    (Hidup Hemat)

    Risalah ini menganjurkan agar hidup hemat dan qana’ah, sekaligus memperingatkan akan bahaya hidup berlebihan dan boros.

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

    “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan.” (QS. al-A’râf [7]: 31).

    Ayat al-Qur’an di atas memberikan sebuah pelajaran yang sangat penting dan petunjuk yang sangat bijak, dalam bentuk perintah, untuk hidup hemat, sekaligus secara tegas melarang hidup berlebih- an. Bagian ini berisi tujuh nuktah.

    Nuktah Pertama

    Allah Sang Pencipta Yang Maha Pengasih meminta manusia untuk bersyukur atas berbagai karunia yang diberikan kepadanya. Hidup boros dan berlebihan merupakan sikap yang berlawanan dengan rasa syukur serta merupakan sikap yang meremehkan nikmat tadi. Sementara hidup hemat adalah wujud penghormatan atasnya.

    Ya, hidup hemat adalah wujud rasa syukur yang bersifat maknawi. Ia merupakan bentuk penghormatan terhadap rahmat Ilahi yang tersimpan dalam karunia dan kebaikan-Nya. Ia juga merupakan penyebab keberkahan yang bersifat pasti, sumber kesehatan jasmani layaknya diet, sarana kehormatan yang menyelamatkan manusia dari kehinaan meminta-minta, sarana utama agar kita bisa merasakan kelezatan yang terdapat dalam berbagai nikmat, serta menjadi perantara agar kita bisa mencicipi segala kenikmatan yang tersembunyi dalam karunia yang tampaknya tidak nikmat. Karena hidup boros dan berlebihan berlawanan dengan hikmahhikmah di atas, maka ia memberikan dampak-dampak yang buruk.

    Nuktah Kedua

    Sang Pencipta Yang Mahabijak menciptakan fisik manusia tak ubahnya seperti istana yang mempunyai struktur bangunan sempurna serta seperti sebuah kota yang tertata rapi. Dia menjadikan daya rasa yang terdapat di mulutnya layaknya penjaga, memosisikan syaraf-syaraf layaknya kabel telepon atau telegrap (alat tersebut menjadi sarana komunikasi yang peka antara daya rasa dan perut yang terdapat di pusat tubuh manusia). Sementara itu, daya rasa bertugas menyampaikan bahan-bahan yang masuk ke mulut sekaligus menghalangi masuknya barang berbahaya yang tidak dibutuhkan oleh tubuh. Seolah-olah ia berkata, “Dilarang masuk!”, dan mengusir makanan tersebut. Bahkan ia segera membuang dan mengeluarkan segala yang tidak bermanfaat dan berbahaya bagi tubuh.

    Karena daya rasa yang terdapat di mulut berposisi sebagai penjaga, sementara perut ibarat pemimpin yang menguasai tubuh, maka ketika sang pemimpin istana itu diberi hadiah sebesar nilai seratus, hanya lima persen saja yang boleh diberikan kepada penjaga sebagai tip, tidak lebih. Hal itu agar si penjaga tadi tidak sombong, tidak lalai atas tugasnya, serta tidak memasukkan ke dalam istana itu benda berbahaya yang telah menyuapnya dengan tip yang lebih besar.

    Berdasarkan hal tersebut, misalkan di hadapan kita ada dua potong makanan. Yang satu adalah makanan bergizi berupa keju dan telur, misalnya, yang harganya sepuluh ribu rupiah, sementara yang satunya lagi berupa kue mahal yang harganya seratus ribu rupiah. Sebelum masuk ke mulut, kedua potong makanan tersebut tidak ada perbedaan bagi tubuh. Juga, setelah masuk ke mulut dan turun ke perut, keduanya sama-sama baik untuk pertumbuhan. Bahkan, bisa jadi keju yang seharga sepuluh ribu rupiah lebih bergizi dan lebih baik bagi pertumbuhan badan. Jadi, tidak ada perbedaan antara keduanya kecuali kenikmatan yang diberikan kepada daya rasa selama kurang dari setengah menit. Kalau begitu, betapa boros dan betapa bodoh- nya kalau kita memilih untuk mengeluarkan uang senilai seratus ribu rupiah ketimbang sepuluh ribu rupiah demi kenikmatan yang hanya berlangsung selama setengah menit. Demikianlah, ketika si penjaga tadi diberi hadiah sebesar sembilan kali lipat dari apa yang diberikan kepada penguasa istana, hal itu tentu akan membuatnya lupa diri dan selanjutnya berkata, “Akulah yang berkuasa.” Siapa yang memberinya tip lebih besar dan kenikmatan lebih banyak, ia akan segera dibawa masuk sehingga merusak tatanan yang ada di dalamnya. Lalu ia akan menyalakan api yang siap membakar dan membuat si pemiliknya meminta tolong dengan berkata, “Tolong segera bawa aku ke dokter agar suhu badanku menurun.”

    Jadi, hidup hemat dan qana’ah adalah dua hal yang sangat sejalan dengan hikmah ilahi. Keduanya menempatkan daya rasa di atas laksana penjaga, memosisikannya secara wajar, serta memberi upah kepadanya sesuai dengan tugas yang ada. Adapun hidup boros dan berlebihan bertentangan dengan hikmah Ilahi. Karena itu, orang yang boros akan cepat mendapat penyakit. Sebab, perut akan berisi dengan berbagai campuran berbahaya yang bisa menghilangkan selera makan hakiki. Ia pun makan dengan selera palsu yang muncul melalui berbagai jenis makanan yang menyebabkan kesulitan pencernaan.

    Nuktah Ketiga

    Pada nuktah kedua di atas kami telah mengatakan bahwa daya rasa bertugas sebagai penjaga. Ya, demikianlah kondisinya bagi mereka yang lalai yang belum mencapai jenjang spiritual yang tinggi serta bagi mereka yang belum sampai ke tangga syukur.

    Seharusnya tidak boleh hidup boros seperti dengan mengeluarkan sepuluh kali lipat dari harga yang wajar hanya demi menuruti selera daya rasa tersebut. Namun bagi mereka yang benar-benar bisa bersyukur serta bagi para ahli hakikat dan orang-orang yang mempunyai ketajaman mata batin, daya rasa tadi laksana pengawas, pemeriksa, dan pengontrol perbendaharaan rahmat ilahi sebagaimana dijelaskan pada perumpamaan yang ada pada “Kalimat Keenam”. Proses penilaian dan pengenalan terhadap berbagai nikmat Tuhan secara detil yang dilakukan oleh daya rasa tadi bertujuan untuk memberitahukan kepada tubuh dan perut dalam bentuk syukur maknawi.Karena itu, tugas daya rasa tidak sekadar melindungi tubuh secara fisik, tetapi lebih dari itu ia juga bertugas melindungi dan memelihara kalbu, jiwa, dan akal.

    Perlu diketahui bahwa daya rasa tersebut boleh mendapatkan kenikmatan dengan syarat tidak berlebihan, semata-mata melaksanakan tugas syukur, dengan niat mengenali berbagai macam nikmat Tuhan, serta dengan syarat halal dan tidak menjadi wasilah untuk mengemis. Dengan kata lain, kita bisa mem- pergunakan lisan yang memiliki daya rasa ini untuk bersyukur kare- na ia bisa memilah-milah di antara berbagai makanan yang nikmat dan lezat.

    Terkait dengan hal tersebut, kami akan mengetengahkan sebuah kejadian menarik di seputar karamah syekh Abdul Qadir al-Jailani.Kejadiannya sebagai berikut: Seorang wanita tua memiliki anak satu-satunya yang diasuh oleh syekh Abdul Qadir al-Jailani. Pada suatu hari, wanita tersebut pergi menemui anaknya. Ia melihat anaknya sedang memakan sepotong roti kering berwarna coklat dalam rangka melakukan latihan spiritual (riyâdhah rûhiyah) sehingga badannya lemah dan kurus. Kondisi tersebut tentu saja menggugah hati sang ibu. Ia sangat kasihan dengan keadaan anaknya. Ia pun segera pergi mengadukan hal itu kepada syekh Abdul Qadir al-Jailani. Ketika sampai, ia melihat Sang sedang memakan seekor ayam panggang.

    Karena rasa kasihan yang amat sangat, dengan terus terang ia berkata kepada sang syekh, “Wahai syekh, anakku hampir mati kelaparan sedangkan engkau dengan enaknya makan ayam?!”

    Seketika itu pula syekh Abdul Qadir al-Jailani berkata kepada ayam yang ada di hadapannya, “Bangkitlah dengan izin Allah!” Ayam itu pun bangkit melompat keluar dari tempatnya setelah hidup kembali. Berita ini diriwayatkan secara mutawatir maknawi oleh orang-orang yang bisa dipercaya(*[1])untuk memperlihatkan salah satu karamah yang dimiliki oleh pemilik karamah terkenal di dunia, syekh Abdul Qadir al-Jailani .

    Di antara yang dikatakan oleh syekh Abdul Qadir al-Jailani ketika itu adalah, “Kalau anakmu sudah sampai ke jenjang ini, barulah ia boleh makan ayam.”

    Maksud dari ungkapan tersebut adalah, “Jika jiwa anakmu sudah bisa menguasai jasadnya, jika kalbunya sudah bisa mendomi- nasi nafsunya, jika akalnya bisa mengalahkan perutnya, serta ia bisa merasakan kenikmatan tersebut dalam rangka bersyukur, ketika itu ia boleh memakan makanan yang enak dan lezat.”

    Nuktah Keempat

    Orang yang hemat tidak akan ditimpa oleh kemiskinan dan kelaparan sebagaimana hal itu disebutkan oleh hadis Nabi :“Orang yang hidup hemat tidak akan miskin”.(*[2])Ya, ada berbagai bukti nyata yang menunjukkan bahwa hidup hemat menjadi sebab diturunkannya keberkahan dan sebagai asas kehidupan yang lebih baik.

    Di antaranya adalah pengalamanku sendiri serta pengakuan orang-orang yang telah membantu dan menemaniku dalam menjalankan tugasku. Kadangkala aku dan beberapa teman mendapatkan sepuluh kali lipat keberkahan karena sikap hemat tadi. Bahkan sembilan tahun yang lalu,90 ketika beberapa pimpinan suku yang diasingkan bersamaku ke Burdur memaksaku untuk menerima zakat harta mereka dengan tujuan agar aku tidak jatuh miskin kare- na uangku yang sedikit, kukatakan kepada para pimpinan yang kaya raya itu, “Meskipun uangku sangat sedikit, namun aku bisa hidup hemat. Aku terbiasa merasa cukup sehingga aku tidak membutuhkan bantuan kalian.” Akhirnya, kutolak tawaran mereka yang beru- lang-ulang tersebut. Dan patut untuk diperhatikan, ternyata sebagian besar orang-orang yang telah menawarkan zakat mereka kepadaku itu dua tahun kemudian dililit utang karena tidak mau bersikap hemat. Sebaliknya, berkat sikap hemat, uangku yang sedikit tadi alham- dulillah masih cukup hingga tujuh tahun berikutnya. Aku tidak perlu menjatuhkan harga diriku, tidak sampai meminta bantuan orang, dan masih tetap bisa berpegang pada prinsip hidupku, yaitu al-istigh- nâ (tidak bergantung kepada orang lain). besar orang-orang yang telah menawarkan zakat mereka kepadaku itu dua tahun kemudian dililit utang karena tidak mau bersikap hemat. Sebaliknya, berkat sikap hemat, uangku yang sedikit tadi alham- dulillah masih cukup hingga tujuh tahun berikutnya. Aku tidak perlu menjatuhkan harga diriku, tidak sampai meminta bantuan orang, dan masih tetap bisa berpegang pada prinsip hidupku, yaitu al-istighnâ (tidak bergantung kepada orang lain).

    Ya, orang yang tidak bersikap hemat akan jatuh pada kehinaan serta akan tergelincir ke dalam jurang kerendahan. Harta yang dipergunakan untuk hidup berlebihan pada zaman kita sekarang ini merupakan harta yang mahal dan sangat berharga. Sebab, kadangkala ia harus dibayar dengan kehormatan dan harga diri. Bahkan seringkali kesucian agama dipertaruhkan hanya untuk mendapatkan uang yang sial. Dengan kata lain, seseorang berusaha mendapat beberapa rupiah lewat cara menggadaikan ratusan juta harta maknawinya.

    Padahal kalau manusia mau membatasi diri pada kebutuhan pokoknya dan hanya berkonsentrasi padanya, ia akan mendapatkan rezeki yang akan menjamin kelangsungan hidupnya dari tempat yang tak disangka-sangka sesuai dengan kandungan firman Allah:“Sesungguhnya Allahlah Yang Maha Memberi rezeki dan memiliki kekuatan yang kokoh.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 58). Bahkan secara tegas dan pasti ayat berikut memberikan jaminan tersebut:“Tiada satu pun binatang melata di bumi ini kecuali atas Allahl- ah rezekinya.” (QS. Hud [11]: 6).

    Ya, rezeki terbagi dua:

    Pertama, rezeki hakiki yang menjadi ketergantungan hidup seseorang. Rezeki tersebut dijamin oleh Allah sesuai dengan bunyi ayat di atas. Setiap orang bisa memperoleh rezeki tersebut jika ikhtiar buruk manusia tidak ikut campur, tidak sampai mengorbankan agamanya, serta tidak menggadaikan kehormatan dan harga dirinya.

    Kedua, rezeki majasi. Orang yang menyalahgunakan reze- ki jenis ini akan terbelenggu oleh kebutuhan yang tidak penting di mana kemudian berubah menjadi kebutuhan pokok baginya akibat penyakit taklid (sikap meniru orang lain). Karena rezeki ini berada di luar jaminan Tuhan, maka biaya untuk memperolehnya sangat mahal, khususnya di zaman sekarang ini. Harta tersebut seringkali diperoleh dengan cara menggadaikan kehormatan. Bahkan meskipun dengan mencium kaki orang. Lebih dari itu, kadangkala harta yang buruk dan tidak berkah tersebut harus dibayar dengan mengorbankan ke- sucian agama, padahal ia merupakan cahaya kehidupan yang abadi.

    Selanjutnya, kepedihan yang lahir dari rasa kasihan kepada sesama lantaran kondisi yang dialami orang-orang lapar pada zaman di mana kemiskinan merajalela membuat para pemilik hati nurani merasa sedih jika masih memiliki hati nurani sehingga kenikmatan yang didapatkan dari harta haram menjadi pahit.

    Pada zaman yang aneh ini, seseorang harus membatasi diri dengan bingkai darurat dalam mempergunakan harta yang masih meragukan. Sebab, ada kaidah yang berbunyi:“Darurat dihitung sesuai kadarnya.” Atas dasar itu, harta yang haram bisa diterima secara terpaksa dalam batas darurat, tidak lebih dari itu. Seseorang yang terpaksa tidak boleh memakan bangkai hingga kenyang. Tetapi ia boleh memakan bangkai tersebut untuk sekadar bertahan hidup. Selain itu, tidak boleh memakan makanan secara lahap di hadapan ratusan orang lapar.

    Di sini kami akan mengetengahkan sebuah kejadian nyata yang menunjukkan bahwa hidup hemat adalah penyebab kemuliaan dan kesempurnaan.

    Hatim ath-Thâ’i yang terkenal dermawan pada suatu hari mengadakan sebuah jamuan. Ia berikan berbagai hadiah berharga kepada para tamunya. Lalu ia keluar berjalan-jalan di padang pasir. Di tengah jalan ia melihat seorang lelaki tua miskin sedang memikul beban berat berupa kayu, ranting, dan duri-durian di pundaknya.

    Sementara darah mengucur dari sebagian tubuhnya. Ia pun segera memanggil orang tua tersebut, “Wahai orang tua, hari ini Hatim ath-Thâ’i sedang menyelenggarakan jamuan besar dan membagi-bagikan hadiah berharga. Cepatlah pergi ke sana, barangkali engkau juga mendapatkan harta yang nilainya berkali-kali lipat lebih banyak daripada apa yang kau dapatkan dari beban yang kau pikul itu!”

    Namun orang tua yang hemat tadi berkata, “Aku akan memikul barang ini dengan ke- hormatan diriku. Aku tidak mau menjatuhkan harga diriku untuk mendapatkan pemberian Hatim ath-Thâ’i.”

    Ketika pada suatu hari Hatim ath-Thâ’i ditanya, “Siapakah orang yang lebih mulia darimu?” ia menjawab,

    “Orang tua sederhana yang aku temui di padang pasir. Aku saksikan orang tua tersebut betul-betul lebih mulia daripada diriku.”

    Nuktah Kelima

    Di antara kesempurnaan kemurahan-Nya, Allah membuat orang yang paling miskin dapat merasakan kelezatan berbagai nikmat-Nya, sebagaimana yang dirasakan oleh orang yang paling kaya. Sehingga, orang miskin bisa merasakan kelezatan tersebut layaknya penguasa. Ya, kelezatan yang dirasakan oleh orang miskin ketika ia memakan sepotong roti kering karena lapar dan hemat melebihi kenikmatan yang dirasakan oleh penguasa atau orang kaya ketika mereka memakan kue mahal dalam kondisi bosan dan tanpa selera akibat berlebihan.

    Namun sungguh mengherankan, ada sebagian orang yang hidup boros dan berlebihan menuduh orang-orang yang hemat se- bagai orang pelit. Tidak, sama sekali! Hidup hemat merupakan kehormatan dan kedermawanan. Sementara kehinaan dan sifat pelit ada di balik kedermawanan lahiriah orang-orang yang berlebihan dan boros.

    Ada sebuah peristiwa yang berlangsung di rumahku di Isparta pada tahun selesainya penulisan risalah ini yang menguatkan hakikat di atas.Salah seorang muridku terus-menerus memaksa agar aku menerima hadiah sekitar tiga kilogram madu di mana hal tersebut menyalahi prinsip hidup yang kupegang selama ini.(*[3])Walaupun aku telah berupaya sekuat tenaga menjelaskan pentingnya berpegang pada prinsipku itu, ia tetap tidak merasa puas dengan penjelasanku tersebut. Akhirnya, aku terpaksa menerimanya dengan niat agar tiga orang saudaraku yang tinggal sekamar bisa bersama-sama memakan madu tersebut secara hemat sepanjang empat puluh hari bulan Sya’ban dan Ramadhan sehingga si pemberi tadi mendapatkan ganjaran pahala yang besar, juga agar mereka bertiga bisa menikmati sesuatu yang manis. Begitulah aku wasiatkan mereka untuk menerima hadiah tadi, mengingat aku sendiri masih mempunyai sekitar satu kilogram madu. Meskipun teman-temanku yang tiga orang itu betul-betul istikamah dan hidup hemat, namun mereka melupakan wasiatku tadi sebagai buah dari sikap saling memuliakan, sikap untuk menjaga perasaan orang, dan sikap itsar (mengutamakan orang lain), serta sifat-sifat terpuji lainnya.

    Mereka pun menghabiskan madu yang mereka miliki hanya dalam tiga malam. Sambil tersenyum kukatakan kepada mereka, “Tadinya aku berharap kalian bisa merasakan nikmatnya madu tersebut selama tiga puluh hari atau lebih. Namun ternyata kalian menghabiskannya dalam tiga malam saja. Kuucapkan selamat kepada kalian.” Sementara aku mempergunakan madu yang kumiliki secara hemat. Aku bisa mengonsumsinya sepanjang bulan Sya’ban dan Ramadhan, di samping alhamdulillah ia menjadi sebab bagi datangnya pahala yang besar. Sebab, aku bisa memberikan kepada masing-masing mereka sesendok(*[4])

    madu di saat berbuka.”
    

    Barangkali orang-orang yang menyaksikan kondisiku meng- anggap apa yang kulakukan sebagai sikap pelit, sementara tindakan yang dilakukan oleh teman-teman pada tiga malam itu sebagai sebuah kedermewanan. Namun ternyata kita menyaksikan di balik sikap pelit lahiriah tersebut ada kemuliaan yang tinggi, keberkahan yang luas, dan pahala yang besar. Sebaliknya, di balik kemuliaan dan hidup berlebihan itu ada sikap meminta-minta dan mengharap bantuan orang. Tentu saja hal ini jauh lebih hina daripada sikap pelit di atas.ntuan orang. Tentu saja hal ini jauh lebih hina daripada sikap pelit di atas.

    Nuktah Keenam

    Ada perbedaan yang sangat jauh antara sikap hemat dan pelit. Sebagaimana sifat rendah hati (tawadhu) yang merupakan akhlak terpuji berbeda dengan rendah diri yang merupakan akhlak tercela meskipun bentuk keduanya serupa. Juga, sebagaimana kewibawaan yang merupakan perilaku terpuji berbeda dengan kesombongan yang merupakan perilaku tercela, meskipun bentuk keduanya sama.

    Demikian halnya dengan sikap hemat. Ia merupakan perilaku kenabian yang mulia. Bahkan ia termasuk sumber tatanan hikmah Ilahi yang berlaku di alam ini. Ia tidak ada kaitannya dengan sikap pelit yang merupakan gabungan dari kerendahan, kebakhilan, keserakahan, dan ketamakan. Bahkan tidak ada hubungan sama sekali antara keduanya. Yang ada hanyalah kemiripan lahiriah semata. Berikut ini akan kami berikan sebuah contoh yang menguatkan hakikat tersebut.

    Pada suatu hari, Abdullah ibn Umar ibn al-Khattab yang merupakan anak sulung al-Faruq Khalifah Rasulullah , salah satu di antara tujuh orang sahabat terkenal yang bernama “Abdullah”,(*[5])dan termasuk ulama terkemuka di kalangan sahabat, terlibat dalam sebuah tawar-menawar yang cukup alot ketika melakukan transaksi di pasar hanya karena uang yang nilainya tidak lebih dari seribu ru- piah. Hal itu dilakukan untuk menjaga prinsip hemat, serta untuk menjaga sifat amanah dan istikamah yang merupakan modal sebuah bisnis.Pada saat itu ada seorang sahabat lain yang melihatnya. Sahabat tersebut mengira bahwa Abdullah ibn Umar memiliki sifat pelit sehingga hal itu aneh baginya. Sebab, bagaimana mungkin sifat tersebut melekat pada diri Abdullah ibn Umar, putra Amirul Mukminin dan putra seorang khalifah. Maka, ia pun membuntuti beliau hingga ke rumahnya untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. Tidak lama kemudian, ia saksikan Abdullah ibn Umar sedang bersama seorang fakir di depan pintu rumah. Mereka berdua saling berbicara dengan santun dan ramah. Setelah itu, Abdullah keluar dari pintu yang kedua dan berbicara dengan seorang fakir lainnya di sana. Hal ini tentu saja membuat sahabat tadi semakin penasaran.

    Lalu ia pun segera menemui dua orang fakir tadi guna meminta penjelasan dari mereka, “Bolehkah aku mengetahui apa yang telah dilakukan oleh Ibnu Umar kepada kalian berdua?”

    “Ia telah memberi masing-masing kami sepotong emas,” jawab keduanya.

    Mendengar hal tersebut, ia sangat terkejut sambil berkata, “Subhanallah! Di pasar beliau terlibat dalam perdebatan sengit hanya gara-gara uang senilai seribu rupiah, tapi di rumahnya beliau menyedekahkan ratusan kali lipat kepada dua orang yang sangat membutuhkan secara tulus tanpa ada yang mengetahui.” Kemudian ia beranjak menuju rumah Ibnu Umar d untuk menanyakan hal itu

    kepadanya, “Wahai Imam, tolong jelaskan kepadaku misteri ini. Di pasar engkau telah melakukan hal demikian, tetapi di rumah engkau melakukan hal yang berbeda.”

    Abdullah ibn Umar menjawab, “Apa yang terjadi di pasar hanyalah wujud dari sikap hemat dan bijak. Aku sengaja melakukan hal tersebut untuk menjaga sifat amanah dan kejujuran sebagai modal utama dalam jual-beli. Ia sama sekali bukan merupakan cerminan dari sifat pelit dan bakhil. Sementara yang terjadi di rumah adalah berasal dari rasa kasihan, simpati, dan kemurahan jiwa. Jadi, yang tadi bukan sikap pelit, dan yang ini bukan sikap berlebihan.”

    Hal tersebut sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Abu Hanifah di mana beliau berkata:“Tidak ada kata berlebihan pada sebuah kebaikan, dan tidak ada kebaikan pada sesuatu yang berlebihan.”(*[6])Maksudnya, berbuat baik kepada orang yang berhak menerimanya tidaklah disebut berlebihan. Sementara berlebihan sama sekali bukan merupakan kebaikan.

    Nuktah Ketujuh

    Sikap boros dan berlebihan menimbulkan ketamakan. Sementara ketamakan melahirkan tiga hal:

    1. Tidak Pernah Merasa Cukup. Kondisi ini menyebabkan seseorang enggan berusaha dan bekerja, membuatnya selalu mengeluh tanpa mau bersyukur, serta melemparkannya ke dalam jurang kemalasan. Sebagai akibatnya, ia tidak mau menerima uang sedikit yang diperoleh dari usaha halal.(*[7])Tetapi, ia menoleh kepada uang haram yang diperoleh tanpa perlu capek dan lelah. Serta demi itu, ia rela mengorbankan harga diri dan kehormatannya.

    2. Malang dan Merugi. Orang yang tamak tidak akan pernah mencapai tujuannya, selalu merasa sulit, tidak pernah merasa ditolong dan dibantu sehingga seperti bunyi sebuah ungkapan terkenal:“Orang yang tamak selalu malang dan merugi.”

    Sifat tamak dan qana’ah tersebut memberikan dampak tertentu pada kehidupan makhluk sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku.

    Contoh: Datangnya rezeki kepada tumbuhan disebabkan oleh sifat qana’ah alamiahnya, serta upaya keras dan ketamakan binatang untuk memperoleh rezekinya dengan bersusah payah, keduanya memperlihatkan kepada kita betapa bahayanya sifat tamak dan beta- pa untungnya sifat qana’ah.

    Mengalirnya susu ke mulut para bayi yang masih kecil dan lemah secara tidak mereka sangka akibat sifat qana’ah yang ditunjukkan oleh kondisi mereka, serta serangan binatang buas dengan penuh ketamakan guna mencengkeram rezekinya, keduanya menguatkan apa yang telah kami kemukakan.

    Kemudian, gemuknya ikan yang dungu berkat sifat qana’ah karena rezekinya yang datang sendiri kepadanya secara sempurna, serta ketidakmampuan berbagai binatang cerdik seperti rubah dan kera dalam memperoleh makanan padahal mereka telah antusias dan berupaya keras, semua itu menegaskan akibat buruk dari sifat tamak berupa kepenatan dan kesulitan, serta dampak positif dari sifat qana’ah berupa kelapangan dan kemudahan.

    Selain itu, bangsa Yahudi dalam memperoleh rezeki mereka dengan cara yang tidak dibenarkan disertai kehinaan akibat dari kerakusan, transaksi ribawi, praktek manipulasi dan tipu muslihat mereka, serta bagaimana masyarakat Badui merasa cukup dengan rezeki dan kehidupan mereka yang mulia, juga mendukung per- nyataan kami di atas.

    Contoh lain dapat dilihat pada banyaknya para ulama96 dan sastrawan(*[8])yang karena sifat rakus dan tamak mereka pun jatuh ke dalam kehidupan yang sangat miskin. Sementara orang-orang yang bodoh dan lemah karena mempunyai watak qana’ah, mereka hidup dalam kondisi berkecukupan. Hal itu menegaskan bahwa rezeki halal datang sesuai dengan kelemahan dan kebutuhan kita, bukan de- ngan usaha dan ikhtiar. Bahkan ia berbanding terbalik dengan upaya dan ikhtiar tersebut. Sebab, rezeki seorang anak sedikit demi sedikit berkurang, menjauh, dan bertambah sulit untuk diperoleh seiring dengan pertumbuhan ikhtiar, kehendak, dan kemampuan usahanya.Ya, sifat qana’ah merupakan modal untuk menggapai kehidupan yang lapang dan nyaman, serta penyebab ketenteraman dalam hidup. Sebaliknya, sifat tamak merupakan ladang kerugian dan kehinaan. Hal tersebut dapat dipahami dari hadis Nabi :“Qana’ah merupakan kekayaan yang tak pernah musnah.”(*[9])

    3. Ketamakan menodai keikhlasan dan merusak amal ukhrawi.Sebab, jika pada diri seorang mukmin yang bertakwa terdapat ketamakan, pastilah ia sangat berkeinginan untuk dihargai orang. Sementara siapa yang mengharap dan menantikan penghargaan orang, ia tidak akan mencapai tingkatan ikhlas yang sempurna. Akibat yang sangat penting ini hendaknya diperhatikan.

    Kesimpulannya, sikap berlebihan melahirkan perasaan tidak pernah cukup. Hal itu membuat seseorang enggan bekerja, menjadikannya malas, serta membuatnya selalu mengeluh dan menderita dalam hidup. Sebagai akibatnya, ia senantiasa merintih di bawah derita keluhan.(*[10])Selain itu, sifat merasa tidak cukup akan merusak keikhlasan seseorang dan akan membuka peluang bagi sifat riya dan kepura-puraan yang pada tahap selanjutnya akan menghancurkan kemuliaannya dan menjerumuskannya pada sikap meminta-minta.

    Sebaliknya, hidup hemat membuahkan sifat qana’ah. Dan qana’ah itu sendiri melahirkan kemuliaan sebagaimana bunyi hadis Nabi:“Sungguh mulia orang yang qana’ah, dan sungguh hina orang yang tamak.”(*[11])Selain itu, ia menumbuhkan rasa senang bekerja dan berusaha serta menambah semangat kerja.

    Sebab, ketika pada suatu hari seseo- rang bekerja dan sore harinya menerima upah, pada hari berikutnya ia juga akan berusaha berkat prinsip qana’ah yang ia miliki. Sementara orang yang hidup boros dan berlebihan, pada hari berikutnya ia tidak akan bekerja karena merasa tidak puas. Bahkan meskipun ia bekerja, hal itu dilakukannya tanpa semangat.Demikianlah, sifat qana’ah yang muncul dari hidup hemat akan membukakan pintu syukur sekaligus menutup pintu keluhan sehingga manusia akan selalu bersyukur dan mengucapkan pujian sepanjang hidupnya. Dengan qana’ah, ia takkan meminta penghargaan manusia karena merasa tidak butuh kepada mereka. Sehingga ia pun bersikap ikhlas dan tidak memiliki sifat riya.

    Aku telah menyaksikan berbagai bahaya nyata dan kerugian besar akibat hidup yang berlebihan dan tidak hemat. Hal itu kusaksikan secara konkret dalam wilayah yang luas sebagai berikut:Sembilan tahun yang lalu, aku mendatangi sebuah kota yang penuh berkah. Ketika itu sedang musim dingin sehingga aku tidak bisa melihat berbagai sumber kekayaan alam dan berbagai hal yang dihasilkan oleh kota tersebut. Mufti kota itu kemudian berkata ke- padaku, “Penduduk kami hidup miskin.” Ia berkali-kali mengulang perkataan tersebut. Mendengar hal itu, aku menjadi sangat tersentuh dan tergugah. Aku pun ikut merasakan kepedihan penduduk kota tersebut selama hampir enam tahun. Delapan tahun kemudian, aku kembali ke sana. Kebetulan saat itu musim panas. Kupandangi kebun-kebun yang ada di kota tersebut. Lalu seketika aku teringat dengan ucapan almarhum mufti di atas. Kuucapkan, “Subhânallah! Hasil panen kebun-kebun ini melebihi kebutuhan seluruh penduduk kota. Mereka sangat mungkin menjadi orang-orang kaya!” Aku pun terdiam heran. Namun beberapa saat kemudian aku mulai mema- hami hakikat sebenarnya yang tak bisa ditipu oleh kenyataan lahiriah. Yaitu bahwa keberkahan telah diangkat dari kota ini akibat pola hidup boros dan berlebihan serta tidak mau hidup hemat. Sehingga pantaslah kalau mufti tadi berkata, “Penduduk kami hidup miskin,” meskipun sumber kekayaan alam yang mereka miliki sangat banyak.

    Ya, pengalaman dan kenyataan menunjukkan bahwa memba- yar zakat dan hidup hemat adalah faktor penyebab datangnya keber- kahan dan tambahan nikmat.(*[12])Sebaliknya, hidup berlebihan dan keengganan membayar zakat merupakan faktor penyebab hilangnya keberkahan.

    Ayat al-Qur’an yang berbunyi:“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan” (QS. al-A’râf [7]: 31), ditafsirkan oleh Ibnu Sina, Platonya kaum muslimin, rujukan para dokter, dan guru besar filsafat, dari sudut pandang kedok- teran, lewat bait-bait di bawah ini:

    Kukumpulkan inti pengobatan hanya pada dua bait kata-kata yang baik terletak pada ungkapan singkat

    Kurangi makanmu dan berhentilah sesudah itu kesehatan tubuh terletak pada perut yang kempis

    Kondisi yang paling membebani diri ini kalau ia diisi makanan terus-menerus.

    Berikut ini akan kami ketengahkan sebuah kesesuaian aneh yang mengundang keheranan dan perlu diambil sebagai pelajaran:(*[13])

    Cây-ı hayret ve medar-ı ibret bir tevafuk

    Meskipun ada lima atau enam orang berbeda—tiga di antaranya tidak pandai menulis—yang melakukan penyalinan terhadap Risalah al-Iqtishâd (Hemat) ini, namun anehnya pada setiap salinan naskah yang tidak disertai doa ada 51 huruf alif, sementara pada setiap salinan naskah yang disertai doa ada 53 huruf alif. Padahal tempat tinggal mereka yang melakukan penyalinan itu berbeda-beda, naskah rujukannya juga berbeda-beda, serta kualitas tulisan mereka juga berbeda-beda. Selain itu, mereka sama sekali tidak pernah berpikir tentang huruf alif tersebut.Huruf alif itu sesuai dengan waktu penulisan dan penyalinan Risalah al-Iqtishâd. Yaitu jika menggunakan penanggalan Romawi jatuh pada tahun 1351, sementara menurut penanggalan Hijriah jatuh pada tahun 1353. Tentu saja hal itu bukan hanya sekadar kebe- tulan. Tetapi ia menjadi isyarat bahwa keberkahan yang terdapat dalam hidup hemat naik ke jenjang karamah. Karena itu, sangat pantas kalau tahun ini disebut dengan tahun penghematan.

    Ya, zaman sekarang ini betul-betul membuktikan mulianya hidup hemat. Tepatnya ketika umat manusia, pasca perang dunia kedua, menyaksikan perang yang telah menebarkan kelaparan, kerusakan, dan berbagai bentuk keborosan di seluruh dunia. Kondisi tersebut tentu saja mengharuskan mereka untuk hemat dan hidup sederhana.

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ



    CAHAYA KEDELAPAN BELAS ⇐ | Al-Lama’ât | ⇒ CAHAYA KEDUA PULUH

    1. *Menurut al-Yâfi’i, ada sebuah riwayat sahih yang sanadnya bersambung kepada Syekh Abdul Qadir al-Jailani yang isinya, “Ibu dari anak muda tersebut pergi menemui Syekh yang sedang memakan ayam. Sang ibu tidak senang melihat sang Syekh memakan ayam sementara anaknya diberi makanan yang paling hina. Maka Syekh Abdul Qadir al- Jailani berkata kepadanya, “Jika anakmu sudah bisa berkata kepada ayam semacam ini, “Bangkitlah dengan izin Allah!” (Ayam itupun bangkit dengan sayapnya dan terbang), maka ia berhak memakannya.” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatâwâ al-Hadîtsah, h.80; al- Jailâni, Ganiyyah ath-Thâlibîn, h.502; an-Nabhâni, Jâmi’ Karâmât al-Auliyâ, 2/203).
    2. *Lihat: Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, 1/447; ath-Thabrâni, al-Mu’jam al-Kabîr, 10/108; al-Mu’jam al-Ausath, 5/206, 6/365; al-Baihaqi, syuab al-Îmân, 5/255. Lihat pula: al-Ajlûni, Kasyful Khafâ, 1/158, 2/189.
    3. *Yakni, Ustadz Nursi tidak mau menerima berbagai hadiah yang diberikan secara cuma-cuma.
    4. *Sendok teh yang agak besar―Penulis.
    5. *Mereka adalah: (1)Abdullah ibn Abbas, (2)Abdullah ibn Umar, (3)Abdullah ibn Mas’ûd, (4)Abdullah ibn Rawâhah,f(5)Abdullah ibn Salam, (6)Abdullah ibn Amr ibn Ash, dan (7)Abdullah ibn Abi Aufâ
    6. *Lihat: al-Ghazali, ihyâ ulûm ad-Dîn, 1/262; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li ahkâm al- Qur’ân, 7/110; al-Manâwi, Faidh al-Qadîr, 5/454.
    7. *Karena tidak mau berhemat, banyak orang yang konsumtif, sedikit yang mau berproduksi, serta semua orang mulai memusatkan perhatian untuk menjadi pegawai negeri. Ketika itulah industri, bisnis, dan pertanian sebagai landasan kehidupan sosial menjadi lumpuh. Akhirnya masyarakat menjadi miskin dan sengsara–Penulis.
    8. *Ada sebuah kejadian yang menguatkan hakikat ini, yaitu bahwa para sastrawan di Perancis diberi piagam pengemis karena mahirnya mereka dalam pengemisan itu–Sulaiman Rusydi.
    9. *Lihat: ath-Thabrâni, al-Mu’jam al-Ausath, 7/84; dan al-Baihaqi, az-Zuhd, 2/88.
    10. *Ya, jika engkau menjumpai seorang yang berlebihan dan boros, engkau pasti akan mendengar banyak keluhan darinya. Meskipun kaya, pasti lisannya selalu mengeluh dan mengaduh. Sementara jika engkau menjumpai orang miskin yang qana’ah, engkau tidak akan mendengar keluhannya. Yang ada, hanyalah pujian dan rasa syukur kepada Allah Ta’ala.
    11. *Lihat: Ibnu al-Atsîr, an-Nihâyah fî Gharâib al-Hadîts, 4/114; dan az-Zubaidi, Tâj al-‘Ârûs, bagian (ع ن ق).
    12. *Lihat: ath-Thabrâni, al-Mu’jam al-Kabîr, 10/128; ath-Thabrâni, al-Mu’jam al-Ausath, 2/161; dan al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubrâ, 3/382, 484.
    13. *Maksudnya, yang paling membahayakan tubuh kalau ia tidak diberi waktu jeda bagi masuknya makanan, yaitu antara empat sampai lima jam. Dengan kata lain, perut terus diisi makanan demi memenuhi selera semata–Penulis.