CAHAYA KEDUA PULUH SATU
(Risalah Ikhlas II)
[Tadinya cahaya ini merupakan masalah keempat dari tu- juh masalah yang terdapat pada memoar ketujuh belas dari “Cahaya Ketujuh Belas”. Hanya saja, ia kemudian menjadi catatan kedua dari “Cahaya Kedua Puluh”. Selanjutnya, karena sesuai dengan topiknya yaitu masalah ikhlas serta berdasarkan pencerahannya, ia menjadi “Cahaya Kedua Puluh Satu” dan masuk ke dalam kitab al-Lama’ât].
(Cahaya ini dibaca minimal lima belas hari sekali)
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ
“Janganlah kalian berbantah-bantahan hingga menyebabkan kalian menjadi gentar dan kehilangan kekuatan.” (QS. al-Anfâl [8]: 46).
“Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) secara khusyu.” (QS. al-Baqarah [2]: 238).
“Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. asy-Syams [91]: 9-10).“Janganlah kalian menukar ayat-ayat-Kudengan harga yang rendah.”(QS. al-Baqarah [2]: 41).
Pentingnya Keikhlasan Wahai saudara-saudara akhiratku, wahai teman-teman yang mengabdikan diri pada al-Qur’an! Ketahuilah—dan sebetulnya kalian mengetahui—bahwa ikhlas dalam amal dunia, apalagi amal ukhrawi, merupakan landasan paling penting, kekuatan paling besar, penolong yang paling bisa diharapkan, sandaran yang paling kokoh, jalan paling singkat menuju hakikat, doa maknawi yang paling makbul, sarana mencapai tujuan yang paling mulia, perangai yang paling utama, serta ubudiah yang paling murni.
Karena ikhlas memiliki banyak cahaya dan kekuatan seperti yang disebutkan di atas, juga karena karunia Ilahi telah membebani kita dengan tugas keimanan dan khidmah al-Qur’an yang meru- pakan pengabdian suci berat, agung, dan bersifat umum, sementara jumlah kita sangat sedikit, lemah, dan papa, lalu kita menghada- pi musuh yang kuat dan berbagai kesulitan, ditambah lagi dengan banyaknya bid’ah dan kesesatan yang mengepung kita di masa yang sulit ini, maka kita harus meraih keikhlasan dengan segenap upaya ketimbang orang lain, serta kita sangat membutuhkan tertanamnya rahasia keikhlasan dalam diri kita.
Jika tidak, semua pengabdian suci yang kita lakukan akan menjadi sia-sia. Pengabdian kita tidak akan bertahan lama. Lalu kitapun akan bertanggung-jawab dengan berat.
Sebab, kita termasuk orang yang diancam Tuhan dengan firman-Nya yang berbunyi:“Janganlah kalian menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah.” (QS. al-Baqarah [2]: 41).Hal itu karena kita tidak bersikap ikhlas sehingga merusak ke- bahagiaan abadi hanya demi keinginan duniawi yang hina, rendah, berbahaya, keruh, dan tidak berguna, serta demi keuntungan pribadi yang tidak ada artinya, seperti kagum terhadap diri sendiri dan riya.Selain itu, kita termasuk orang yang melanggar hak-hak saudara kita sendiri dalam mengabdi, melanggar prinsip pengabdian kepada al- Qur’an, serta termasuk orang yang kurang adab dengan tidak meng- hormati kesucian dan ketinggian hakikat keimanan.
Wahai saudara-saudaraku! Sesuatu urusan kebaikan yang penting dan besar selalu dihadang oleh banyak penghalang yang berba- haya. Setan berjuang dengan sungguh-sungguh untuk menghadang para pengabdi dalam pengabdian itu. Karenanya, perlu bersandar pada keikhlasan terhadap rintangan dan setan tadi. Maka dari itu, hindarilah berbagai hal yang bisa menghilangkan keikhlasan se- bagaimana engkau menghindari kalajengking dan ular. Nafsu am- mârah sama sekali tidak bisa dipercaya sesuai dengan ucapan Nabi Yusuf dalam al-Qur’an:“Aku tidak menyatakan diriku bebas dari kesalahan. Sebab, sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada keburukan, kecuali (nafsu) yang dikasihi oleh Tuhanku.” (QS. Yûsuf [12]: 53).Jangan sekali-kali engkau tertipu oleh egoisme, kesombongan, dan nafsu yang selalu mendorong kepada keburukan.
Prinsip-prinsip Keikhlasan Untuk bisa mencapai dan memelihara keikhlasan, serta untuk menghilangkan segala penghalangnya, jadikanlah beberapa prinsip berikut sebagai semboyanmu:
Prinsip Pertama
Hanya mengharap ridha Allah dalam beramal.
Apabila Allah sudah ridha, biar pun seluruh alam berpaling tidak menjadi masalah. Kalau Allah sudah menerima, biar pun semua manusia menolak tidak akan berpengaruh. Setelah Dia ridha dan menerima amal kita, jika Dia berkehendak dan sesuai dengan hikmah-Nya, Dia menjadikan manusia menerimanya meskipun tanpa kalian minta. Karena itu, ridha Allah sajalah yang seharusnya menjadi tujuan utama dalam pengabdian ini.
Prinsip Kedua
Tidak mengkritik saudara-saudara yang mengabdi pada al- Qur’an serta tidak membangkitkan kedengkian mereka lewat sikap bangga diri dan perasaan lebih unggul.
Karena sebagaimana kedua tangan manusia tak pernah bersaing, kedua matanya tak pernah mengkritik, lisannya tak pernah menentang telinganya, kalbunya tidak pernah melihat aib jiwanya. Tetapi masing-masing saling melengkapi kekurangan yang lain, menutupi aib yang lain, serta berusaha membantu dan menolongnya. Jika tidak, kehidupan tubuh itu pun menjadi rusak, mati, dan berantakan.
Contoh lainnya adalah antara gerigi dan roda pabrik yang tak pernah bersaing, tak pernah saling mendahului, dan tak pernah saling menimbulkan kerusakan lewat kritikan, tindakan yang menyakiti, serta mencari aib dan cacat. Selain itu, yang satu tidak berusaha untuk menghentikan kerja lainnya. Tetapi mereka saling membantu seoptimal mungkin guna mengarah pada tujuan yang diharapkan. Sehingga semuanya berjalan sesuai fungsinya dengan saling mendukung dan saling beriringan. Jika ada unsur asing yang masuk ke dalamnya, meskipun hanya sebesar biji atom, maka pabrik itupun akan mengalami kerusakan. Dan si pemilik akan segera membong- kar pabrik itu secara keseluruhan.
Wahai para murid Nur serta para pelayan al-Qur’an! Kita semua merupakan bagian atau organ dalam sosok maknawi yang layak disebut dengan “insan kamil” (manusia sempurna). Kita semua berposisi sebagai gerigi dan roda pabrik yang sedang merajut kebahagiaan abadi di kehidupan yang kekal nanti. Kita adalah para pelayan yang bekerja dalam sebuah “perahu rabbani” yang membawa umat Muhammad ke pantai keselamatan; Dârussalâm (tempat kedamaian). Kalau begitu, kita sangat membutuhkan adanya persatuan, kerja sama, dan rahasia keikhlasan yang mengantarkan pada kekuatan maknawi senilai seribu seratus sebelas (1111) sebagai hasil kerja empat orang.
Ya, jika tiga “huruf alif ” tidak bersatu, maka nilainya hanya tiga. Tetapi manakala bersatu dan bekerja sama lewat rahasia bilangan, nilainya akan menjadi seratus sebelas (111). Demikian pula dengan empat angka empat. Kalau masing-masing angka empat (4) ditulis secara terpisah, totalnya hanya berjumlah enam belas (16). Tetapi jika angka-angka tersebut menyatu lewat rahasia persaudaraan, serta tujuan dan misi yang sama dalam satu baris, ia akan senilai empat ribu empat ratus empat puluh empat (4444). Ada banyak peristiwa dan kejadian sejarah yang membuktikan bahwa enam belas orang yang saling bersaudara, bersatu, dan berkorban, berkat keikhlasan yang penuh, maka kekuatan maknawi mereka bertambah menjadi senilai dengan empat ribu orang.
Rahasianya adalah sebagai berikut. Setiap orang dari sepuluh orang yang benar-benar menyatu bisa melihat dengan mata saudara-saudaranya yang lain serta bisa mendengar dengan telinga mereka. Dengan kata lain, seolah-olah masing-masing mereka memiliki kekuatan maknawi dan kemampuan untuk melihat dengan dua puluh mata, berpikir dengan sepuluh akal, mendengar dengan dua puluh telinga, serta bekerja dengan dua puluh tangan.(*[1])
Prinsip Ketiga
Ketahuilah bahwa kekuatan kalian seluruhnya ada pada keikhlasan dan kebenaran.
Ya, kekuatan terletak pada kebenaran dan keikhlasan. Sampai-sampai kaum yang batil pun memperoleh kekuatan karena mereka menampakkan ketulusan dan keikhlasan dalam hal kebatilan.
Ya, pengabdian kita di jalan iman dan al-Qur’an menjadi bukti bahwa kekuatan terletak pada kebenaran dan keikhlasan. Sedikit keikhlasan yang ada pada pengabdian tersebut membuktikan per- nyataan di atas.
Sebab, pengabdian di jalan agama dan ilmu yang dilakukan selama lebih dari dua puluh tahun di kotaku (Van) dan di Istanbul, bisa dilakukan di sini (Barla) bersama kalian dengan seratus kali lebih banyak dalam kurun waktu delapan tahun. Padahal, orang- orang yang membantuku di sana jumlahnya seratus kali, bahkan seribu kali, lebih banyak daripada di sini. Pengabdian yang dilakukan di sini selama delapan tahun dalam kondisi di mana aku sendirian, terasing, setengah ummi(*[2]), serta di bawah pengawasan dan tekanan para petugas yang zalim, alhamdulillah telah memberikan kekuatan maknawi yang membuahkan taufik dan kesuksesan seratus kali lipat dari yang sebelumnya. Aku sangat yakin bahwa kesuksesan tersebut semata-mata berasal dari keikhlasan kalian.
Aku mengakui bahwa kalian telah menyelamatkanku dengan keikhlasan kalian yang tulus dari sifat riya yang merupakan penyakit berbahaya yang merayu nafsu manusia di bawah bayang-bayang popularitas dan reputasi. Semoga Allah melimpahkan taufik kepada kalian semua untuk bisa meraih keikhlasan yang sempurna, dan aku berharap kalian menyertakanku bersama kalian dalam keikhlasan tersebut.
Ketahuilah bahwa Imam Ali d dan syekh Abdul Qadir al- Jailani telah memuji kalian dalam karamah mereka yang luar biasa. Selain itu, mereka menghibur kalian dan mengapresiasi pengabdian kalian secara maknawi. Kalian harus yakin bahwa pujian dan perhatian tersebut diberikan semata-mata berkat keikhlasan kalian. Jika kalian merusak keikhlasan tersebut secara sengaja, maka kalian layak mendapat “tamparan” dari mereka. Ingatlah selalu “tamparan kasih sayang” yang terdapat pada “Cahaya Kesepuluh”.
Jika kalian ingin agar kedua sosok mulia tersebut tetap menjadi guru dan penolong kalian secara maknawi, maka milikilah sikap ikhlas yang sempurna dengan mengikuti petunjuk ayat al-Qur’an:“Mereka lebih mengutamakan orang lain ketimbang diri mereka sendiri.” (QS. al-Hasyr [59]: 9).Dengan kata lain, kalian harus mengutamakan saudara-saudara kalian daripada diri kalian sendiri dalam hal tingkatan, kedudukan, penghormatan, perhatian, serta dalam hal mendapatkan keuntungan materil yang biasanya disenangi oleh nafsu manusia.
Bahkan dalam hal meraih keuntungan yang bersifat tulus sekalipun, seperti me- nyampaikan hakikat-hakikat keimanan kepada orang lain. Janganlah kalian terlalu berambisi―semampu mungkin―untuk mewujudkan hal itu sendirian. Tetapi usahakan untuk bergembira dan merasa lapang karena ia terwujud berkat yang lain, agar rasa ujub tidak masuk ke dalam diri kalian. Tidak menutup kemungkinan ada di antara kalian yang berambisi untuk mendapatkan pahala sendirian sehingga berusaha agar dialah yang menyampaikan persoalan keimanan yang penting itu. Meskipun tidak ada dosa dan bahaya di dalamnya, numun hal itu bisa merusak keikhlasan di antara kalian.
Prinsip Keempat
Berbangga sambil bersyukur dengan keistimewaan yang dimiliki oleh saudara-saudara kalian, sekaligus memandang hal itu sebagai milik kalian, serta menganggap keutamaan mereka itu sebagai bagian dari keutamaan kalian.
Ada beberapa istilah yang beredar di kalangan para sufi, di antaranya al-Fanâ fî asy-Syaikh (lebur dalam diri Syekh) serta al-Fanâ fî ar-Rasûl (lebur dalam diri Rasul). Hanya saja aku bukanlah seorang sufi. Akan tetapi, al-Fana fî al-Ikhwân (lebur dalam persaudaraan) merupakan prinsip indah yang sangat sesuai dengan metode atau manhaj kita. Dengan kata lain, setiap orang harus meleburkan diri pada yang lain (tafâni). Yakni, ia harus melupakan perasaan nafsunya dan menganggap keutamaan saudaranya sebagai miliknya.
Sebab, landasan manhaj kita adalah ukhuwwah (persaudaraan). Hubungan yang mengikat kita adalah persaudaraan yang hakiki. Bukan hubu- ngan antara anak dan ayah, serta bukan pula hubungan antara dan murid. Kalaupun ada, hubungan itu hanyalah hubungan dengan se- orang ustadz.Karena jalan kita adalah al-khalîliyah (persahabatan yang tulus), maka prinsip kita adalah al-khullah (kesetiakawanan). Al-Khullah tersebut mengharuskan adanya sahabat yang setia, teman yang rela berkorban, kawan yang menghargai, serta saudara yang selalu memberi semangat. Tentu saja dasar yang paling utama dari kesetiakawanan itu adalah adanya keikhlasan yang tulus. Siapa yang merusak keikhlasan tersebut, ia akan terjatuh dari atas “menara kesetiakawanan” yang tinggi. Dan barangkali ia terjatuh pada lembah yang sangat dalam, sebab tidak ada tempat yang dapat dipegang pada pertengahan.
Ya, terlihat ada dua jalan. Orang-orang yang meninggalkan manhaj kita yang merupakan jalan utama al-Qur’an kemungkinan mereka itu adalah orang-orang yang membantu aliran ateisme yang merupakan musuh al-Qur’an tanpa mereka sadari. Mereka yang masuk ke dalam kancah “khidmah al-Qur’an” yang suci lewat Risalah Nur, dengan izin Allah tidak akan terjatuh ke dalam lembah tadi. Mereka justru akan selalu memberikan kekuatan pada cahaya, keikhlasan, dan keimanan.
Sarana Meraih Keikhlasan Sarana Pertama:Râbithatul Maut (Mengingat Mati) Wahai saudara-saudaraku yang mengabdikan diri pada al- Qur’an!
Sesungguhnya sarana terpenting untuk mendapatkan keikhlasan dan sebab utama yang efektif untuk bisa memelihara keikhlasan tersebut adalah râbithatul maut.
Panjangnya agan-angan yang merupakan penyakit “lupa akhirat” dapat merusak keikhlasan serta mengantarkan manusia kepada cinta dunia dan riya, sementara “ingat mati” justru menjauhkan manusia dari riya dan menjadikan manusia mendapatkan keikhlasan. Pasalnya, dengan memikirkan kematiannya dan merenungkan musnahnya dunia, ia bisa selamat dari tipu daya nafsu ammârah.
Karena itu, para ahli tarekat dan ahli hakikat menjadikan râbithatul maut sebagai landasan dalam suluk mereka sesuai dengan pelajaran yang mereka dapat dari ayat al-Qur’an berikut:“Setiap jiwa (diri) pasti merasakan kematian.” (QS. Ali Imrân [3]: 185). “Sesungguhnya kamu akan mati dan mereka pun akan mati.” (QS. az-Zumar [39]: 30).Dengan mengingat mati, mereka tidak berpikir akan kekal abadi yang menyebabkan penyakit lupa akhirat. Mereka membayangkan diri mereka sebagai orang-orang mati. Selanjutnya mereka dimandikan, lalu diletakkan di kubur. Ketika sedang membayangkan hal tersebut, nafsu ammârah akan sangat tersentuh sehingga sedikit demi sedikit nafsu tersebut melepaskan angan-angannya yang panjang pada derajat tertentu. Dengan demikian, mengingat mati memberikan berbagai banyak manfaat. Cukuplah sebagai petunjuk kepada hal itu hadis Nabi yang berbunyi: “Perbanyaklah mengingat sesuatu yang memotong segala kenikmatan (kematian).”(*[3])
Karena jalan kita adalah jalan hakikat, bukan tarekat sufi, maka kita tidak perlu seperti mereka yang langsung mengingat mati dengan bayangan dan khayalan. Selain itu, manhaj tersebut tidak cocok dengan manhaj hakikat. Sebab, memikirkan akibat bukan dengan mendatangkan bayangan tentang masa depan ke masa sekarang. Tetapi, dalam sudut pandang hakikat, kita harus membawa pikiran dari masa sekarang ke masa mendatang dan menyaksikan masa de- pan lewat kenyataan masa sekarang.
Jadi, tidak perlu berkhayal ataupun berasumsi. Sebab, manusia bisa menyaksikan jenazahnya sebagai buah dari pohon umurnya yang singkat. Ketika manusia sedikit saja mengalihkan pandangannya, ia tidak hanya menyaksikan kematian dirinya semata, tetapi juga akan menyaksikan kematian zamannya. Lebih dari itu, ia akan melihat kematian dan kehancuran dunia. Dari sini, terbukalah jalan baginya menuju keikhlasan yang sempurna.
Sarana Kedua:Tafakkur Imani Sarana kedua untuk bisa meraih keikhlasan adalah merasa kehadiran Tuhan melalui kekuatan keimanan hakiki dan cahaya yang berasal dari tafakkur imani terhadap ciptaan Tuhan. Bentuk tafakkur seperti ini akan menghasilkan makrifat (mengenal) Sang Pencipta, sehingga kalbu akan merasa tenang dan tenteram. Ya, jika pikiran manusia tercerahkan oleh tafakkur seperti ini, ia akan berpikir bahwa Sang Pencipta Maha Penyayang senantiasa hadir dan melihatnya sehingga tidak mencari perhatian selain-Nya serta tidak meminta tolong kecuali kepada-Nya. Sebab, melihat dan berpaling kepada selain-Nya dapat merusak etika “kehadiran” dan ketenangan kalbu. Dengan ini, manusia akan selamat dari penyakit riya sekaligus akan meraih keikhlasan. Namun demikian, tafakkur tersebut memiliki banyak tingkatan dan tahapan. Bagian seseorang bergantung pada apa yang diperolehnya. Keuntungan yang ia miliki adalah yang ia dapatkan dari perenungan tadi sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya.
Hal ini kita cukupkan sampai di sini dan kita bisa merujuk kepada Risalah Nur yang mengupas berbagai hakikat yang bisa mengantarkan seseorang untuk selamat dari riya dan bisa meraih keikhlasan.
Penghalang Keikhlasan Secara singkat kami akan menjelaskan beberapa faktor yang bisa merusak dan menghalangi keikhlasan, serta mendatangkan sikap riya:
Penghalang Pertama:Persaingan yang Disebabkan oleh Keuntungan Materiil Hal ini bisa merusak keikhlasan secara perlahan-lahan. Bahkan ia akan merusak hasil pengabdian. Ia juga bisa menghapus keuntungan yang bersifat materi tadi.
Ya, umat ini selalu menghormati dan menghargai para juru dakwah yang dengan tekun bekerja demi hakikat dan akhirat. Umat ini juga senantiasa memberikan bantuan kepada mereka. Semua itu dilakukan dengan niat ikut berpartisipasi bersama mereka dalam melakukan amal dan pengabdian yang tulus, ikhlas karena Allah. Berbagai hadiah dan sedekah diberikan guna memenuhi kebutuhan materi mereka serta agar mereka tidak sibuk dengannya sehingga melupakan pengabdian agung tadi. Hanya saja, berbagai bantuan dan keuntungan tersebut sama sekali tidak boleh diminta, tetapi diberi. Ia tak boleh diminta meskipun dengan lisanul hal seperti orang yang selalu menantikan di dalam hatinya. Namun, ia diberikan secara tanpa diharapkan. Jika tidak, keikhlasan seseorang akan menjadi cacat serta nyaris termasuk ke dalam golongan orang-orang yang melanggar larangan Tuhan yang berbunyi, “Janganlah kalian menukar ayat-ayatKu dengan harga yang rendah” (QS. al-Baqarah [2]: 41), sehingga se- bagian amalnya terhapus.
Keinginan untuk memperoleh keuntungan materil atas dorongan nafsu ammârah bisa memunculkan benih-benih persaingan terhadap saudara dan sahabat seperjuangan demi tidak membiarkan keuntungan materil diambil oleh orang lain. Dengan begitu berarti ia merusak keikhlasannya, mengotori kesucian pengabdian, dan mengambil posisi yang membuat ahli hakikat menjauhinya, bahkan menghilangkan keuntungan materil itu sendiri.
Bagaimanapun persoalan ini cukup panjang. Aku akan menyebutkan sesuatu yang akan menambah keikhlasan sekaligus menguatkan persatuan yang tulus di antara saudara-sau- daraku yang hakiki. Hal itu aku paparkan dalam dua perumpamaan berikut:
Perumpamaan Pertama Ahli dunia saat ini menjadikan “kerja kolektif ” sebagai sebuah kaidah untuk mendapatkan kekayaan atau kekuatan yang besar. Bahkan sebagian politikus, orang-orang besar dan komite-komite yang mempunyai pengaruh dalam kehidupan sosial menjadikannya sebagai sandaran mereka. Sebagai hasil dari mengikuti kaidah di atas, mereka mendapatkan kekuatan yang hebat serta memperoleh keun- tungan yang besar meskipun di dalamnya terdapat berbagai bahaya dan penyalahgunaan. Hal itu karena substansi dari “kerja kolektif ” tersebut tidak berubah hanya gara-gara keburukan dan bahaya yang terdapat di dalamnya. Di sini, dilihat dari sisi partisipasi dan pengawasannya atas harta tersebut, setiap orang memosisikan dirinya sebagai pemilik semua harta yang ada walaupun ia tidak bisa mem- pergunakan semua harta itu.
Dengan demikian, apabila kaidah tadi diterapkan dalam amal- amal ukhrawi, ia akan memberikan berbagai manfaat yang besar tanpa menimbulkan kerugian atau bahaya sama sekali. Sebab, semua harta ukhrawi tersebut menjadi milik setiap orang dari mereka tanpa dikurangi sedikitpun.Agar menjadi jelas, kami akan mengetengahkan contoh berikut:Misalkan ada lima orang yang ikut berpartisipasi dalam menyalakan lampu minyak. Ada yang menyediakan minyak, ada yang menyediakan sumbu, ada yang menyediakan kaca lampu, ada yang menyediakan lampu itu sendiri, serta ada yang menyediakan satu kotak korek api. Ketika mereka menyalakan lampu minyak tersebut, setiap orang dari mereka menjadi pemilik lampu itu. Seandainya masing-masing mereka memiliki sebuah cermin besar, lampu tersebut akan bisa masuk ke dalam cermin masing-masing secara utuh; tanpa berkurang sedikitpun.
Demikian pula dengan “kerja kolektif ” atau partisipasi dalam amal-amal ukhrawi yang dilandasi oleh keikhlasan, solidaritas yang dilandasi oleh persaudaraan, dan kerja sama yang dilandasi oleh persatuan. Semua amal mereka yang terlibat di dalamnya dan semua cahaya yang bersumber darinya akan masuk secara sempurna ke dalam catatan amal setiap mereka. Ini tampak secara jelas dan nyata di antara ahli hakikat. Hal tersebut termasuk wujud dari luasnya rahmat Allah dan kemurahan-Nya yang mutlak.
Wahai saudara-saudaraku! Aku berharap semoga berbagai keuntungan materil tidak memicu munculnya persaingan di antara kalian. Namun sebagaimana sebagian ahli tarekat tertipu dengan manfaat ukhrawi, mungkin juga kalian bisa tertipu oleh berbagai keuntungan ukhrawi. Karena itu, sadarlah bahwa pahala pribadi yang bersifat parsial tidak ada artinya dibandingkan dengan pahala besar yang bersumber dari adanya kerja kolektif dalam amal-amal ukhrawi. Tentu saja cahaya yang kecil tidak bisa diukur dengan cahaya yang terang benderang.
Perumpamaan Kedua Para perajin bisa memperoleh hasil yang berlimpah dan kekayaan yang banyak karena mereka berpegang pada prinsip “pembagian tugas”.Contohnya adalah sebagai berikut:Sepuluh orang pembuat jarum jahit melakukan pekerjaan mereka. Masing-masing bekerja sendiri. Hasilnya hanya tiga jarum yang diperoleh oleh masing-masing mereka dalam satu hari. Kemudian mereka pun bergabung “menyatukan langkah dan membagi kerja”. Ada yang menghadirkan besi, ada yang menyediakan api, ada yang membuat lubang jarum, ada yang memasukkan ke dalam api, ada yang mulai membentuk, dan seterusnya. Sehingga tidak ada waktu yang terbuang percuma. Masing-masing mempunyai tugas tertentu dan semuanya bisa dilakukan dengan cepat. Sebab, selain tergolong pekerjaan sederhana, masing-masing memiliki pengalaman dan keahlian di dalamnya. Hasil dari pembagian tugas itu, bagian yang diperoleh oleh masing-masing mereka dalam satu hari adalah tiga ratus jarum padahal tadinya hanya tiga jarum. Kasus ini tentu saja menjadi pegangan para perajin yang menyeru kepada adanya partisi- pasi kerja dan pembagian tugas.
Wahai saudara-saudaraku! Kalau keuntungan besar di atas diperoleh dari adanya persatuan dan kebersamaan dalam urusan duniawi, lalu betapa besar pahala yang diperoleh atas amal-amal ukhrawi! Betapa besar ganjaran yang terpantul dari kerja kolektif pada cermin masing-masing! Amal-amal tersebut tidak perlu dibagi-bagi lagi. Kalian bisa memahami laba besar tersebut. Laba besar tersebut tentu saja tidak boleh dihapus dengan persaingan dan ketidak-ikhlasan.
Penghalang Kedua: Cinta Kedudukan Penghalang ikhlas yang kedua adalah membiarkan nafsu ammârah bersikap ego, mencari pangkat dan kedudukan agar menjadi perhatian manusia, serta senang kepada sanjungan orang karena motivasi ingin terkenal dan populer yang lahir dari cinta kedudukan dan adanya ambisi untuk mendapatkan kehormatan. Di samping merupakan penyakit kejiwaan yang kronis, ia juga merupakan sifat yang membuka pintu menuju “syirik yang samar”, yaitu riya dan ujub, sekaligus merusak keikhlasan.
Wahai saudara-saudaraku! Karena pengabdian yang kita lakukan ini berlandaskan pada hakikat dan persaudaraan, di mana rahasia persaudaraan itu baru terwujud ketika seseorang meleburkan dirinya dalam pribadi saudara-saudaranya(*[4])dan ketika ia lebih mengutamakan mereka, maka seharusnya persaingan yang bersumber dari cinta kedudukan tidak boleh mempengaruhi kita. Sebab, sifat tersebut sangat bertentangan dengan manhaj kita. Karena kemuliaan dan kehormatan seluruh saudara kembali kepada setiap orang dalam jamaah, maka kedudukan yang tinggi dan kemuliaan yang agung milik jamaah tersebut tidak mungkin dikorbankan demi popularitas dan kemuliaan pribadi yang berasal dari egoisme dan rasa iri. Aku percaya bahwa hal itu tidak dimiliki oleh para murid Nur.
Ya, kalbu, akal, dan jiwa semua murid Nur tidak akan terjatuh pada hal-hal rendah semacam itu. Hanya saja, setiap orang memiliki nafsu ammârah. Kadang-kadang perasaan nafsu berpengaruh dan mengalahkan akal, kalbu, dan jiwa mereka. Dengan bersandar pada pengaruh yang diberikan oleh Risalah Nur, aku tidak mencurigai kalbu, akal, dan jiwa kalian. Namun demikian, nafsu, selera rendah, perasaan, dan angan-angan kadang-kadang menipu. Karenanya, peringatan yang diberikan kepada kalian kadangkala bersifat pedas dan keras. Kerasnya peringatan tersebut tidak lain ditujukan kepada nafsu, selera rendahan, perasaan, dan angan-angan tersebut. Maka dari itu, kalian senantiasa harus waspada.
Ya, seandainya manhaj kita berbentuk tarekat khusus yang dipimpin oleh seorang syekh, tentu di dalamnya ada satu atau beberapa kedudukan yang bersifat terbatas. Juga, tentu akan ada banyak orang yang dicalonkan untuk menempati kedudukan tersebut. Ketika itulah muncul kedengkian dan egoisme pribadi. Namun manhaj kita ada- lah persaudaraan. Karena itu, tidak boleh ada di antara kalian yang mengembangkan paham paternalisme serta memosisikan dirinya sebagai mursyid. Dalam persaudaraan, kedudukan yang ada sangat luas sehingga tidak perlu saling mendengki. Justru seorang saudara harus membantu saudaranya, menyempurnakan tugasnya, serta menolongnya.
Di antara bukti bahwa dalam institusi yang memakai sistem paternalistik, mursyid, dan guru, tersimpan berbagai dampak buruk yang bersumber dari persaingan dan kedengkian karena rakus pada upah dan ganjaran adalah adanya berbagai perpecahan dan permusuhan di tengah-tengah keuntungan agung yang dirasakan oleh para ahli tarekat sufi itu di mana perpecahan tersebut menimbulkan dampak buruk yang menjadikan kekuatan utama mereka tak mampu berdiri tegak dalam menghadapi terpaan topan bid’ah.
Penghalang Ketiga:Takut dan Tamak Dalam hal ini kita merujuk kepada risalah al-Hajamât as-Sitt (Enam Serangan).(*[5])Dalam risalah tersebut penghalang ini dijelaskan bersama penghalang-penghalang lainnya secara sangat jelas. Kami bermohon kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang seraya meminta syafaat dari semua namaNya yang mulia agar Dia memberikan taufik kepada kita seluruhnya untuk bisa meraih keikhlasan yang sempurna. Amin.
Ya Allah, dengan kebenaran surah al-Ikhlas jadikanlah kami sebagai hamba-hamba-Mu yang bisa berbuat ikhlas dan dibuat ikhlas.Amin...amin.
سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
SURAT KHUSUS UNTUK SEBAGIAN SAUDARA
Aku akan mengemukakan sebuah permasalahan penting yang terkandung dalam dua hadis Nabi untuk para saudaraku yang merasa jemu dan bosan dalam menuliskan Risalah Nur, serta untuk mereka yang lebih mementingkan membaca berbagai wirid pada tiga bulan ini—Rajab, Syaban dan Ramadhan—daripada menulis Risalah Nur yang terhitung setara dengan ibadah dilihat dari lima aspek.(*[6])Yaitu:
Hadis yang pertama berbunyi:“Tinta para ulama ditimbang dengan darahnya kaum syuhada.”(*[7])Dengan kata lain, tinta yang dipergunakan oleh para ulama hakikat akan ditimbang pada hari kiamat nanti bersama darahnya kaum syuhada dan menyamainya.
Hadis yang kedua: مَن۟ تَمَسَّكَ بِسُنَّتٖى عِن۟دَ فَسَادِ اُمَّتٖى فَلَهُ اَج۟رُ مِاَةِ شَهٖيدٍ – اَو۟ كَمَا قَالَ –
“Siapa yang berpegang-teguh pada sunnahku di saat rusaknya umatku, ia mendapatkan pahala seratus orang yang mati syahid.”(*[8])Artinya, siapa yang berpegang pada sunnah Nabi dan hakikat al- Qur’an, lalu ia mengamalkannya di saat bid’ah dan kesesatan menyebar luas, maka ia mendapatkan pahala seratus orang yang mati syahid.
Ey tembellik damarıyla yazıdan usanan ve ey sofi-meşrep kardeşler! Bu iki hadîsin mecmuu gösterir ki böyle zamanda hakaik-i imaniyeye ve esrar-ı şeriat ve sünnet-i seniyeye hizmet eden mübarek hâlis kalemlerden akan siyah nur veya âb-ı hayat hükmünde olan mürekkeblerin bir dirhemi, şühedanın yüz dirhem kanı hükmünde yevm-i mahşerde size fayda verebilir. Öyle ise onu kazanmaya çalışınız.
Eğer deseniz: Hadîste “âlim” tabiri var, bir kısmımız yalnız kâtibiz.
Elcevap: Bir sene bu risaleleri ve bu dersleri anlayarak ve kabul ederek okuyan; bu zamanın mühim, hakikatli bir âlimi olabilir. Eğer anlamasa da madem Risale-i Nur şakirdlerinin bir şahs-ı manevîsi var, şüphesiz o şahs-ı manevî bu zamanın bir âlimidir. Sizin kalemleriniz ise o şahs-ı manevînin parmaklarıdır. Kendi nokta-i nazarımda liyakatsiz olduğum halde, haydi hüsn-ü zannınıza binaen bu fakire bir üstadlık ve tebaiyet noktasında bir âlim vaziyetini verdiğinizden bağlanmışsınız. Ben ümmi ve kalemsiz olduğum için sizin kalemleriniz benim kalemim sayılır, hadîste gösterilen ecri alırsınız.
Said Nursî
- ↑ *Ya, sebagaimana solidaritas yang hakiki dan persatuan yang utuh yang berasal dari keikhlasan memberikan banyak sekali keuntungan, ia juga merupakan sandaran yang kuat untuk menghadapi berbagai kecemasan. Bahkan dalam menghadapi kematian sekalipun. Sebab, kematian hanya merenggut satu ruh. Sementara orang yang telah mengikat tali persaudaraan yang tulus dengan saudara-saudaranya dalam hal-hal yang terkait dengan akhirat serta dalam rangka menggapai ridha-Nya memiliki roh lain sejumlah saudaranya. Sehingga ia menghadapi kematian dengan wajah tersenyum sambil berkata, “Ruhruhku yang lain selamat. Aku masih memiliki kehidupan mak- nawi di mana ia tetap menghasilkan pahala untukku. Dengan begitu aku belum mati.” Ia melepaskan ruhnya dengan tenang, sementara lisannya berucap, “Aku masih hidup dengan ruh-ruh tersebut dari sisi pahala. Kematianku hanya dari sisi dosa dan kesalah- an”―Penulis.
- ↑ *Said Nursi menyebut dirinya “setengah ummi” karena tulisan tangannya sangat jelek.
- ↑ *Lihat: at-Tirmidzi, Shifatul Qiyâmah, 26; az-Zuhd, 4; an-Nasâi, al- Janâiz, 3; Ibnu Majah, az-Zuhd, 31; Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, 2/292..
- ↑ *Ya, orang yang bahagia adalah orang yang bisa meleburkan diri dan egoismen- ya—yang laksana sepotong esdi telaga besar dan nikmat yang bersumber dari samudera al-Qur’an agar dapat memperoleh telaga tersebut—Penulis.
- ↑ *Bagian keenam dari “Surat Kedua Puluh Sembilan” dalam buku al-Maktûbât.
- ↑ *Kami telah bertanya kepada ustadz kami tentang lima aspek dari ibadah yang beliau isyaratkan dalam risalah yang berharga ini. Berikut uraiannya: 1. Ia merupakan bentuk jihad maknawi yang merupakan perjuangan terpenting dalam menghadapi kaum yang sesat. 2. Ia merupakan pengabdian dalam bentuk bantuan bagi ustadz untuk menyebarluaskan kebenaran. 3. Ia merupakan pengabdian bagi seluruh kaum muslimin dari sisi keimanan. 4. Ia merupakan bentuk pemerolehan ilmu lewat tulisan. 5. Ia merupakan bentuk ibadah tafakkur yang satu jam darinya senilai dengan satu tahun ibadah. (Rusydi, Husrev, dan Ra’fat).
- ↑ *Lihat: al-Gazali, Ihyâ ulûm ad-Dîn, 1/6, 7; Ibnu al-Jauzi, al-‘Ilal al-Mutanâhi- yah, 1/181; Ibnu Hajar, Lisân al-Mîzân, 5/225; al-Mânâwî, Faidh al-Qadîr, 6/466; dan al-‘Ajlûni, Kasyf al-Khafâ, 1/262, 543.
- ↑ *Lihat takhrijnya pada Cahaya Kesebelas.