CAHAYA KEEMPAT BELAS

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    22.02, 20 Aralık 2024 tarihinde Ferhat (mesaj | katkılar) tarafından oluşturulmuş 194727 numaralı sürüm ("Nah, sebagaimana setiap benda transparan memperlihatkan matahari berikut seluruh sifatnya sesuai potensinya, maka sifat-sifat matahari tersebut—berupa panas, cahaya, dan tujuh warnanya—juga meliputi benda yang mendapat sinarnya.Demikian halnya dengan Allah tanpa ada maksud menyerupakan Dia dengan apa dan siapapun. Sebagaimana keesaan Allah dan shamad-Nya tampak pada segala sesuatu dengan segala nama-nama-Nya yang muliaterutama pada makhluk hidup, khu..." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    Diğer diller:

    (Penjelasan Mengenai Dua Kedudukan)

    KEDUDUKAN PERTAMA

    (Jawaban atas Dua Pertanyaan)

    بِاس۟مِهٖ سُب۟حَانَهُ وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَم۟دِهٖ

    اَلسَّلَامُ عَلَي۟كُم۟ وَ رَح۟مَةُ اللّٰهِ وَ بَرَكَاتُهُ

    Saudaraku yang mulia, tulus, dan setia, Ra’fat.

    Sesungguhnya jawaban atas pertanyaanmu seputar “sapi jantan dan ikan” telah ada dalam beberapa risalah. Pada ranting ketiga dari “Kalimat Kedua Puluh Empat” aku telah menjelaskan dua belas kaidah penting yang tercakup dalam dua belas hal pokok seputar pertanyaan di atas. Kaidah-kaidah itu menjadi landasan yang penting untuk menolak semua keraguan dan tuduhan terhadap hadis-hadis Nabi. Setiap kaidah menjadi formula yang tepat untuk menjelaskan berbagai interpretasi yang berbeda seputar hadis Nabi. Wahai saudaraku, aku sedang disibukkan dengan lintasan-lintasan kalbu. Sekarang ini aku berada dalam kondisi lain sehingga sayang sekali aku tidak begitu memperhatikan persoalan-persoalan ilmiah. Karena itu, aku tidak bisa memberikan jawaban yang me- madai. Karena ketika Allah memberikan taufik serta membuka lin- tasan-lintasan kalbu tadi bagi kami, tentu aku akan sibuk dengannya. Pertanyaan-pertanyaan akan terjawab sesuai dengan apa yang terlintas dalam kalbu. Maka janganlah berkecil hati jikalau jawaban dari setiap pertanyaanmu tidak memadai.

    Kali ini aku akan menjawab pertanyaan tersebut sebagai berikut:

    Wahai saudaraku, dalam pertanyaan tersebut engkau mengutip pernyataan para ulama yang berpendapat bahwa bumi tegak di atas ‘ikan’ dan ‘sapi jantan’. Padahal dalam ilmu geografi kita mengetahui bahwa bumi merupakan sebuah planet yang beredar di langit seperti planet lainnya. Jadi, tidak ada ikan ataupun sapi jantan.

    Sebagai jawabannya, ada riwayat sahih berasal dari lbnu Abbas d yang berbunyi, “Rasul pernah ditanya, `Di atas apakah bumi ini tegak?’

    Beliau menjawab, “Di atas sapi jantan dan ikan.”

    Dalam riwayat lain disebutkan bahwa suatu kali Rasulullah menjawab di atas sapi jantan, sementara pada kali yang lain menjawab di atas ikan.(*[1])Hanya saja beberapa muhaddits (ahli hadis) merujukkan riwayat tersebut kepada cerita-cerita khurafat kuno yang tergolong israiliyyat, terutama para ulama Bani Israil yang masuk Islam. Mereka mengubah makna hadis di atas menjadi sangat aneh dan asing. Mereka menyesuaikan makna hadis tersebut dengan cerita-cerita tentang sapi jantan dan ikan yang mereka ketahui dari kitab-kitab terdahulu.

    Di sini dengan sangat singkat aku akan menjelaskan tiga landasan dan tiga aspek sebagai jawaban atas pertanyaanmu.

    Landasan Pertama

    Setelah masuk Islam, sebagian dari ulama Bani Israil telah membawa berbagai informasi dan pengetahuan mereka sebelumnya ke dalam Islam, sehingga informasi itu pun menjadi milik Islam atau menjadi salah satu bagian dari pengetahuan Islam. Padahal seperti yang kita ketahui, informasi-informasi yang ada di dalamnya men- gandung berbagai kesalahan. Kesalahan-kesalahan tersebut tentu saja kembali kepada mereka, bukan kepada Islam.

    Landasan Kedua

    Setiap kali penggunaan kiasan dan perumpamaan berpindah dari kalangan khawas ke kalangan awam, yakni ketika ia berpindah dari orang berilmu kepada orang yang tidak berilmu, perumpamaan itu pun dianggap sebagai hakikat nyata seiring dengan perjalanan waktu.

    Contohnya, ketika aku masih kecil terjadi gerhana bulan. Ketika itu, aku pun bertanya kepada ibu, “Apa yang terjadi dengan bulan?” ibu menjawab, “Ia ditelan oleh ular.” “Tetapi ia masih tampak,” sergahku. Kata ibu, “Ular yang terdapat di langit bening seperti kaca, sehingga apa yang ada di perutnya bisa terlihat.” Kejadian tersebut seringkali kurenungkan. Dan aku bertanya kepada diri sendiri, “Mengapa cerita khurafat semacam ini bisa terucap oleh lisan ibuku yang arif dan serius dalam bertutur kata?”

    Namun ketika aku menelaah ilmu astronomi, aku menyadari bahwa mereka yang mempunyai pendapat sama dengan ibuku itu telah menerima perumpamaan dan kiasan sebagai sebuah realitas. Sebab, para astronom mengkiaskan dua busur yang muncul akibat pertemuan daerah matahari dan daerah bulan sebagai dua ular besar yang mereka sebut dengan naga.

    Salah satu titik temu antara dua lingkaran tadi disebut kepala, sementara yang satunya lagi disebut ekor. Ketika bulan mencapai kepala dan matahari mencapai ekor, bumi secara sempurna berada di tengah-tengah. Ketika itulah terjadi gerhana bulan, yaitu seolah-olah bulan masuk ke dalam mulut naga seperti perumpamaan orang-orang dulu. Demikianlah, ketika perumpamaan ilmiah yang tinggi itu— seiring dengan perjalanan waktu—diterima oleh orang-orang awam, ia berubah menjadi naga besar yang menelan bulan.

    Hal yang serupa berlaku pada dua malaikat besar yang disebut dengan sapi jantan dan ikan.

    Dua nama tersebut diberikan kepada mereka sebagai bentuk permisalan yang sangat halus dan tinggi serta sebagai isyarat yang mempunyai maksud tertentu. Namun ketika isyarat yang halus tersebut berpindah dari lisan Nabi yang fasih kelisan orang awam, seiring dengan perjalanan waktu, ia berubah menjadi sebuah hakikat yang nyata, sehingga kedua malaikat tadi digam- barkan dalam bentuk sapi jantan dan ikan besar.

    Landasan Ketiga

    Sebagaimana al-Qur’an al-Karim memiliki ayat-ayat mutasya- bihat yang menjelaskan persoalan-persoalan samar dan mendalam kepada masyarakat awam dengan menggunakan perumpamaan dan kiasan, demikian pula hadis Nabi memiliki mutasyabihat yang menjelaskan berbagai hakikat yang luas lewat sesuatu yang dikenal oleh orang awam.

    Contohnya, seperti yang telah kami jelaskan dalam risalah-risalah lain. Ketika terdengar suara gema di majelis Rasul, beliau berkata, “Ini adalah batu yang sejak tujuh puluh tahun menggelinding di neraka jahannam. Sekarang ia telah sampai ke dasarnya.”(*[2])Setelah beberapa saat, ada seseorang datang dan berkata, “Seorang munafik bernama fulan yang kita kenal bersama, yang berusia 70 tahun, telah meninggal dunia.” Orang tersebut telah menginformasikan sebuah realitas nyata dari perumpamaan mendalam yang disebutkan oleh Rasul.

    Adapun terhadap pertanyaanmu, kami akan menjelaskannya dalam tiga aspek:

    Aspek Pertama

    Allah telah menetapkan empat malaikat agung di arasy dan di langit dengan tugas mengawasi kekuasaan rububiyah-Nya. Nama salah satu dari mereka adalah an-Nasr (burung rajawali), sementara yang lain bernama ats-Tsaur (sapi jantan).(*[3])Adapun bumi sebagai saudara kandung langit dan sahabat setia planet telah diserahkan kepada dua malaikat pengawas untuk membawanya. Yang satu disebut sapi jantan, sedangkan yang lainnya disebut ikan.

    Hikmah penamaan kedua malaikat tersebut dengan dua nama di atas adalah karena bumi terdiri atas dua bagian: daratan dan lautan, yakni daerah yang kering dan daerah berair. Yang memak- murkan lautan atau air adalah ikan, sementara yang memakmurkan daratan dan tanah adalah sapi jantan. Sebab, poros kehidupan manusia terletak pada bidang pertanian yang dikerjakan oleh sapi. Jika demikian, kedua malaikat yang diserahi bumi itu merupakan pemimpin dan pengawasnya. Karena itu, dari satu sisi mereka memiliki keterkaitan, ikatan, serta hubungan dengan kawanan ikan dan jenis sapi jantan. Wallahu a’lam, barangkali di alam malakut dan alam misal mereka tampak dalam bentuk ikan dan sapi jantan.

    (*[4])

    Isyarat tentang adanya hubungan dan keterkaitan tersebut, serta tanda tentang keberadaan dua jenis makhluk bumi ditunjukkan oleh sosok yang diberi kefasihan berbicara, Nabi, lewat sabdanya, “Bumi tegak di atas sapi jantan dan ikan”. Beliau menerangkan hanya dengan satu kalimat singkat dan padat tentang sebuah hakikat yang sangat mendalam dan mungkin tak bisa dijelaskan dengan satu halaman penuh.

    Aspek Kedua

    Apabila muncul pertanyaan, “Dengan apa negara bisa tegak?” Jawabannya adalah dengan pedang dan pena. Maksudnya, pemerintahan tersebut bersumber pada kekuatan pedang tentara beserta keberaniannya dan pada pena para pegawai beserta keadilan mereka.

    Karena bumi merupakan tempat tinggal makhluk hidup, sementara makhluk hidup yang paling utama adalah manusia, dan sebagian besar mereka mendiami pantai serta penghidupan mereka bergantung pada ikan, lalu sisanya bergantung pada pertanian yang terkait erat dengan peran sapi, maka seperti ungkapan “pemerintah bisa tegak di atas pedang dan pena”, bisa juga dikatakan bahwa bumi tegak di atas ikan dan sapi jantan. Sebab, ketika sapi tidak bekerja dan ikan tidak lagi menghasilkan jutaan telur dalam satu waktu, manusia tidak akan bisa hidup. Pada saat itu kehidupan akan menjadi goyah dan Sang Maha Pencipta Yang Mahabijak akan menghancurkan bumi tersebut.

    Demikianlah Rasul memberikan jawaban atas pertanyaan di atas dengan hikmah yang mulia dan mendalam serta hanya dengan dua kalimat yang bisa menjelaskan hakikat yang luas terkait dengan sejauh mana hubungan antara kehidupan manusia dan hewan. Beliau bersabda, “Bumi tegak di atas sapi dan ikan.”

    Aspek Ketiga

    Dalam pandangan para ahli astronomi kuno, matahari ber- putar dan bumi diam. Mereka menyebut setiap tiga puluh derajat matahari dengan zodiak. Jika dibuat garis-garis khayalan di antara bintang-bintang yang terdapat di zodiak tersebut, akan terbentuk gambar yang kadangkala serupa dengan singa, timbangan, sapi, atau ikan. Karena itu, mereka menjelaskan zodiak-zodiak tadi dengan nama-nama tersebut.

    Sementara ilmu astronomi modern berpendapat bahwa mata- hari tidak berputar di sekeliling bumi, tetapi sebaliknya bumilah yang berputar mengelilingi matahari. Artinya, pekerjaan zodiak tadi tidak ada sehingga dengan demikian zodiak-zodiak yang tak beker- ja itu memiliki daerah-daerah dengan ukuran yang lebih kecil dalam putaran tahunan bumi. Dengan kata lain, zodiak atau rasi-rasi langit menjadi terlihat dalam putaran tahunan bumi. Maka dari itu, pada setiap bulan, bumi masuk ke dalam naungan salah satu zodiak tersebut dan berada dalam bayangannya. Jadi seolah-olah putaran tahunan bumi merupakan cermin yang menampilkan gambar zodiak-zodiak langit.

    Atas dasar itulah seperti yang telah kami jelaskan, Rasul pada satu waktu menjawab di atas sapi jantan, tapi pada waktu yang lain menjawab di atas ikan. Wajarlah jika lisan Nabi yang mengagumkan itu suatu kali menjawab di atas sapi jantan. Hal itu menunjukkan adanya suatu hakikat mendalam yang baru bisa dipahami beberapa abad kemudian. Sebab, ketika itu, bumi sedang dalam bentuk seperti zodiak sapi. Sementara ketika sebulan sesudahnya ditanya dengan pertanyaan yang sama, beliau menjawab di atas ikan. Sebab, bumi ketika itu berada dalam bayangan zodiak ikan.

    Demikianlah, dengan sabdanya, “Di atas sapi jantan dan ikan,” beliau memberikan isyarat tentang sebuah hakikat agung yang akan tampak di masa mendatang. Dengan sabda tersebut, beliau meng- isyaratkan adanya gerakan perputaran bumi dan bahwa zodiak-zodiak langit yang sebenarnya adalah yang terdapat pada putaran tahunan bumi. Bumilah yang bekerja dan melanglang buana di zodiak-zodiak itu. Wallahu a’lam.

    Adapun cerita-cerita seperti yang terdapat di beberapa buku-buku Islam seputar sapi jantan dan ikan, bisa jadi hal itu berasal dari Israiliyyat, hanya merupakan perumpamaan, atau merupakan hasil interpretasi dari beberapa periwayat. Namun kemudian orang- orang yang tidak teliti menganggapnya sebagai hadis itu sendiri, serta menyandarkannya kepada Nabi.

    Wahai Tuhan, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa dan berbuat salah.

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ

    Pertanyaan Kedua

    Terkait dengan Ahlul ‘Abâ (Mereka yang berada dalam naungan serban Nabi)

    Wahai Saudaraku! Kami akan menyebutkan satu hikmah saja dari sekian banyak hikmah yang terkandung dalam pertanyaanmu seputar ahlul ‘abâ yang masih tak terjawab. Yaitu bahwa banyak sekali rahasia dan hikmah mengapa Rasul menyelimuti Ali, Fatimah, Hasan, dan Husein f dengan jubahnnya yang sedang dipakai, seraya berdoa: “Sesungguhnya Dia hendak menghilangkan dosa darimu, wahai Ahlul Bait, dan Dia hendak membersihkanmu sebersih-bersihnya.” (QS. al-Ahzâb [33]:33). Namun di sini kami tidak akan masuk ke dalam berbagai rahasianya. Kami hanya akan menyebutkan salah satu hikmah yang terkait dengan misi kerasulan sebagai berikut:

    Melalui pandangan kenabian yang menembus alam gaib dan masa depan, Rasul mengetahui bahwa sekitar tiga puluh atau empat puluh tahun kemudian akan terjadi berbagai fitnah besar di kalangan sahabat dan tabi’in, serta darah-darah yang suci akan ditumpahkan. Beliau menyaksikan bahwa tokoh yang paling menonjol di dalamnya adalah tiga orang yang berada dalam naungan serban Nabi tersebut. Maka dari itu, untuk menegaskan ketidakbersalahan mereka dalam pandangan umat, untuk menghibur Husein d,untuk memperlihatkan kemuliaan, kedudukan, dan posisi Hasan dyang telah berhasil menghapus fitnah besar dengan melakukan per- damaian, serta untuk menampakkan kesucian, kehormatan, dan ke- layakan keturunan Fatimah g atas gelar ahlul bait sebagai gelar yang mulia, untuk itu semua Rasul menaungi mereka berempat beserta dirinya sendiri dengan serban beliau sekaligus memberikan sebuah alamat mulia: “Lima orang yang berada di bawah serban (Âlu al-‘Abâ al-Khamsah).”(*[5])

    Memang benar bahwa Imam Ali d merupakan khalifah bagi kaum muslimin. Tetapi karena darah yang tumpah begitu banyak, maka pernyataan ketidakbersalahannya merupakan sesuatu yang penting dalam tugas risalah. Karenanya, Rasul memberikan rekomendasi bahwa Ali terbebas dari kesalahan lewat cara semacam itu. Melalui pernyataan di atas beliau mengajak kaum Khawarij dan orang-orang Umayyah yang melampaui batas, yang mengkritik, menyalahkan, dan mengatakan sesat terhadap Imam Ali d untuk diam.Ya, sikap keterlaluan kaum Khawarij dan pendukung Umayyah yang fanatik yang telah merampas hak Ali d sekaligus menyatakannya sebagai orang sesat, juga sikap melampaui batas yang ditunjukkan kaum Syiah dengan mencela Abu Bakar d dan Umar d, di sam- ping terjadinya musibah menyedihkan yang menimpa Husein d, benar-benar sangat mengkhawatirkan bagi kaum muslimin.

    Maka, dengan doa dan serban tersebut, Rasul membebaskan Ali dan Husein dari segala tanggung jawab dan tuntutan, menyelamatkan umatnya agar tidak memiliki prasangka buruk terhadap mereka, memberi ucapan selamat kepada Hasan d yang telah berbuat baik kepada umat dengan melakukan perdamaian, serta menginformasikan bahwa keturunan yang berasal dari Fatimah g akan mendapat kemuliaan, sekaligus Fatimah akan menjadi wanita terhormat ditin- jau dari keturunannya, sebagaimana ucapan Ibu Maryam dalam firman-Nya:“Aku meminta kepada-Mu agar melindunginya serta anak keturunannya dari setan yang terkutuk.” (QS. Ali Imran [3]: 36).

    Ya Allah limpahkan salawat atas junjungan kami, Muhammad, juga atas keluarganya yang baik, suci, dan mulia. Serta atas para sahabatnya yang merupakan sosok-sosok mujahid, mulia, dan istimewa!

    KEDUDUKAN KEDUA

    Bagian ini berisi enam dari ribuan rahasia

    Catatan Dari kejauhan tampak oleh akalku yang redup ini cahaya terang yang berasal dari cakrawala rahmat Allah yang terdapat dalam kalimat Basmalah. Maka, aku ingin menuliskan cahaya tersebut dalam bentuk catatan pribadiku. Aku berusaha menyerap cahaya yang cemerlang itu dengan cara mengelilinginya dengan ‘pagar’ rahasia yang mendalam yang kira-kira berjumlah tiga puluh. Hanya saja sayang sekali, sekarang ini aku belum diberi taufik untuk bisa menyelesai- kannya secara sempurna sehingga yang ada hanya enam rahasia.

    Apabila ada ungkapan yang berbunyi, “Wahai manusia!” hal itu maksudnya adalah diriku. Meskipun pelajaran dalam bagian ini secara khusus tertuju kepada diriku sendiri. Namun, sengaja kukemukakan dengan harapan bisa memberi manfaat bagi mereka yang mempunyai ikatan spiritual denganku, serta bagi mereka yang jiwanya lebih hidup dan lebih perhatian ketimbang diriku. Pelajaran ini lebih banyak tertuju kepada kalbu dibanding akal, serta lebih mengarah kepada rasa spiritual dibanding dalil rasional.

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

    “Ia (Balqis) berkata, Wahai para pembesar, aku telah menerima sebuah surat mulia. Surat tersebut berasal dari Sulaiman dan isinya adalah, Bismillâhirrahmânirrahîm” (QS. an-Naml [27]: 29-30).

    Dalam bagian ini, aku akan menyebutkan beberapa rahasia.

    Rahasia Pertama

    Saat merenungkan kalimat Basmalah, aku menyaksikan salah satu cahayanya dalam bentuk berikut: Ada tiga stempel rubûbiyah pada wajah alam semesta, pada muka bumi, serta pada tubuh manusia. Stempel-stempel itu saling berbaur sehingga yang satu menggambarkan yang lain.

    Stempel Pertama Stempel Ulûhiyah yang merupakan tanda terbesar. Tanda tersebut muncul dari adanya tolong-menolong, saling mendukung, dan kerjasama pada seluruh bagian alam semesta. Kata “اللّٰهِ” dalam kalimat “ بِس۟مِ اللّٰهِ” tertuju pada makna tersebut.

    Stempel Kedua Stempel Rahmâniyah yang merupakan tanda paling agung. Tanda ini muncul dari adanya kemiripan, kesesuaian, keteraturan, keselarasan, kelembutan, dan kasih sayang dalam pendidikan dan pengaturan tumbuhan dan hewan di bumi. Kata “ الرَّح۟مٰنِ” dalam kalimat “ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ” tertuju pada makna tersebut.

    Stempel Ketiga Stempel Rahîmiyah yang merupakan tanda termulia. Tanda ini muncul dari adanya kelembutan belas Ilahi, kehalusan kasih sayang- Nya, serta pancaran rahmat-Nya dalam substansi keseluruhan manusia, seperti yang ditunjukkan oleh kata “ الرَّح۟مٰنِ ” pada ungkapan “بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ ”.

    Dengan demikian, kalimat Bismillâhirrahmânirrahîm meru- pakan perlambang suci bagi tiga tanda keesaan Allah di atas. Bahkan, membentuk sebuah garis bercahaya dalam kitab alam semesta, menorehkan tulisan yang bersinar terang dalam lembaran dunia, serta berperan sebagai tali buhul yang kukuh antara Sang Khalik dan makhluk. Dengan kata lain, kalimat Bismillâhirrahmânirrahîm turun dari ‘arasy di mana ujungnya bersambung dengan manusia yang merupakan buah segala entitas dan salinan miniatur alam. Dengan begitu, ia menghubungkan alas dengan ‘arasy, serta menjadi jalan yang terbuka bagi manusia untuk bisa naik menuju ‘arasy kesempurnaan- nya.

    Rahasia Kedua

    Al-Qur’an al-Karim senantiasa menjelaskan wujud ahadiyah Allah dalam manifestasi wâhidiyah-Nya agar akal kita tidak bingung mengenai sifat wâhidiyah Allah yang tampak pada pluralitas makhluk yang tak terhitung jumlahnya.Agar menjadi jelas, kami akan memberikan contoh sebagai berikut:Dengan sinarnya, matahari bisa menjangkau segala sesuatu. Untuk melihat esensi matahari pada keseluruhan cahayanya dibutuhkan tinjauan yang luas dan pandangan yang komprehensif. Karena itu, dengan perantaraan pantulan cahayanya, matahari menampakkan diri pada semua benda yang transparan. Dengan kata lain, sesuai de- ngan potensinya, setiap kilau memperlihatkan tampilan matahari be- serta sifat-sifatnya yang berupa cahaya dan panas dengan tujuan agar esensi matahari itu tidak terlupakan.

    Nah, sebagaimana setiap benda transparan memperlihatkan matahari berikut seluruh sifatnya sesuai potensinya, maka sifat-sifat matahari tersebut—berupa panas, cahaya, dan tujuh warnanya—juga meliputi benda yang mendapat sinarnya.Demikian halnya dengan Allah tanpa ada maksud menyerupakan Dia dengan apa dan siapapun. Sebagaimana keesaan Allah dan shamad-Nya tampak pada segala sesuatu dengan segala nama-nama-Nya yang muliaterutama pada makhluk hidup, khususnya pada cermin substansi manusia—demikian pula setiap nama Allah yang terkait dengan setiap entitas meliputi semua entitas tersebut dari sisi kesatuan dan wâhidiyah-Nya.

    Allah memperlihatkan stempel ahadiyah-Nya dalam wâhid- iyahNya agar akal manusia tidak tenggelam dalam samudera wâhidiyah dan hatinya tidak lupa terhadap Dzat Allah yang suci. Jadi, Bismillâhirrahmânirrahîm menunjukkan dan menjelaskan tiga ikatan penting dari cap tadi.

    Üçüncü Sır

    Şu hadsiz kâinatı şenlendiren, bilmüşahede rahmettir. Ve bu karanlıklı mevcudatı ışıklandıran, bilbedahe yine rahmettir. Ve bu hadsiz ihtiyacat içinde yuvarlanan mahlukatı terbiye eden, bilbedahe yine rahmettir. Ve bir ağacın bütün heyetiyle meyvesine müteveccih olduğu gibi bütün kâinatı insana müteveccih eden ve her tarafta ona baktıran ve muavenetine koşturan, bilbedahe rahmettir. Ve bu hadsiz fezayı ve boş ve hâlî âlemi dolduran, nurlandıran ve şenlendiren, bilmüşahede rahmettir. Ve bu fâni insanı ebede namzet eden ve ezelî ve ebedî bir zata muhatap ve dost yapan, bilbedahe rahmettir.

    Ey insan, madem rahmet böyle kuvvetli ve cazibedar ve sevimli ve mededkâr bir hakikat-i mahbubedir. “Bismillahirrahmanirrahîm” de, o hakikate yapış ve vahşet-i mutlakadan ve hadsiz ihtiyacatın elemlerinden kurtul ve o Sultan-ı ezel ve ebed’in tahtına yanaş ve o rahmetin şefkatiyle ve şefaatiyle ve şuâatıyla o Sultan’a muhatap ve halil ve dost ol!

    Evet, kâinatın envaını hikmet dairesinde insanın etrafında toplayıp bütün hâcatına kemal-i intizam ve inayet ile koşturmak, bilbedahe iki haletten birisidir:

    Ya kâinatın her bir nev’i kendi kendine insanı tanıyor, ona itaat ediyor, muavenetine koşuyor. Bu ise yüz derece akıldan uzak olduğu gibi çok muhalatı intac ediyor. İnsan gibi bir âciz-i mutlakta, en kuvvetli bir Sultan-ı Mutlak’ın kudreti bulunmak lâzım geliyor. Veyahut bu kâinatın perdesi arkasında bir Kadîr-i Mutlak’ın ilmi ile bu muavenet oluyor. Demek kâinatın envaı, insanı tanıyor değil; belki insanı bilen ve tanıyan, merhamet eden bir zatın tanımasının ve bilmesinin delilleridir.

    Ey insan! Aklını başına al. Hiç mümkün müdür ki: Bütün enva-ı mahlukatı sana müteveccihen muavenet ellerini uzattıran ve senin hâcetlerine “Lebbeyk!” dedirten Zat-ı Zülcelal seni bilmesin, tanımasın, görmesin? Madem seni biliyor, rahmetiyle bildiğini bildiriyor. Sen de onu bil, hürmetle bildiğini bildir ve kat’iyen anla ki: Senin gibi zayıf-ı mutlak, âciz-i mutlak, fakir-i mutlak, fâni, küçük bir mahluka bu koca kâinatı musahhar etmek ve onun imdadına göndermek; elbette hikmet ve inayet ve ilim ve kudreti tazammun eden hakikat-i rahmettir. Elbette böyle bir rahmet, senden küllî ve hâlis bir şükür ve ciddi ve safi bir hürmet ister. İşte o hâlis şükrün ve o safi hürmetin tercümanı ve unvanı olan Bismillahirrahmanirrahîm’i de. O rahmetin vusulüne vesile ve o Rahman’ın dergâhında şefaatçi yap.

    Evet, rahmetin vücudu ve tahakkuku, güneş kadar zâhirdir. Çünkü nasıl merkezî bir nakış, her taraftan gelen atkı ve iplerin intizamından ve vaziyetlerinden hasıl oluyor. Öyle de bu kâinatın daire-i kübrasında bin bir ism-i İlahînin cilvesinden uzanan nurani atkılar, kâinat simasında öyle bir sikke-i rahmet içinde bir hâtem-i rahîmiyeti ve bir nakş-ı şefkati dokuyor ve öyle bir hâtem-i inayeti nescediyor ki güneşten daha parlak kendini akıllara gösteriyor.

    Evet, şems ve kameri, anâsır ve maadini, nebatat ve hayvanatı bir nakş-ı a’zamın atkı ipleri gibi o bin bir isimlerin şuâlarıyla tanzim eden ve hayata hâdim eden ve nebatî ve hayvanî olan umum validelerin gayet şirin ve fedakârane şefkatleriyle şefkatini gösteren ve zevi’l-hayatı hayat-ı insaniyeye musahhar eden ve ondan rububiyet-i İlahiyenin gayet güzel ve şirin bir nakş-ı a’zamını ve insanın ehemmiyetini gösteren ve en parlak rahmetini izhar eden o Rahman-ı Zülcemal, elbette kendi istiğna-i mutlakına karşı, rahmetini ihtiyac-ı mutlak içindeki zîhayata ve insana makbul bir şefaatçi yapmış.

    Ey insan, eğer insan isen Bismillahirrahmanirrahîm de, o şefaatçiyi bul!

    Evet, rûy-i zeminde dört yüz bin muhtelif ayrı ayrı nebatatın ve hayvanatın taifelerini, hiçbirini unutmayarak, şaşırmayarak, vakti vaktine kemal-i intizam ile hikmet ve inayet ile terbiye ve idare eden ve küre-i arzın simasında hâtem-i ehadiyeti vaz’eden, bilbedahe belki bilmüşahede rahmettir. Ve o rahmetin vücudu, bu küre-i arzın simasındaki mevcudatın vücudları kadar kat’î olduğu gibi o mevcudat adedince tahakkukunun delilleri var.

    Evet, zeminin yüzünde öyle bir hâtem-i rahmet ve sikke-i ehadiyet bulunduğu gibi insanın mahiyet-i maneviyesinin simasında dahi öyle bir sikke-i rahmet vardır ki küre-i arz simasındaki sikke-i merhamet ve kâinat simasındaki sikke-i uzma-yı rahmetten daha aşağı değil. Âdeta bin bir ismin cilvesinin bir nokta-i mihrakıyesi hükmünde bir câmiiyeti var.

    Ey insan, hiç mümkün müdür ki: Sana bu simayı veren ve o simada böyle bir sikke-i rahmeti ve bir hâtem-i ehadiyeti vaz’eden zat, seni başıboş bıraksın, sana ehemmiyet vermesin, senin harekâtına dikkat etmesin, sana müteveccih olan bütün kâinatı abes yapsın, hilkat şeceresini meyvesi çürük, bozuk, ehemmiyetsiz bir ağaç yapsın? Hem hiçbir cihetle şüphe kabul etmeyen ve hiçbir vechile noksaniyeti olmayan, güneş gibi zâhir olan rahmetini ve ziya gibi görünen hikmetini inkâr ettirsin. Hâşâ!

    Ey insan! Bil ki o rahmetin arşına yetişmek için bir mi’rac var. O mi’rac ise Bismillahirrahmanirrahîm’dir. Ve bu mi’rac ne kadar ehemmiyetli olduğunu anlamak istersen, Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan’ın yüz on dört surelerinin başlarına ve hem bütün mübarek kitapların iptidalarına ve umum mübarek işlerin mebdelerine bak. Ve Besmele’nin azamet-i kadrine en kat’î bir hüccet şudur ki İmam-ı Şafiî (ra) gibi çok büyük müçtehidler demişler: “Besmele tek bir âyet olduğu halde, Kur’an’da yüz on dört defa nâzil olmuştur.”

    Dördüncü Sır

    Hadsiz kesret içinde vâhidiyet tecellisi, hitab-ı اِيَّاكَ نَع۟بُدُ demekle herkese kâfi gelmiyor. Fikir dağılıyor. Mecmuundaki vahdet arkasında Zat-ı Ehadiyeti mülahaza edip اِيَّاكَ نَع۟بُدُ وَ اِيَّاكَ نَس۟تَعٖينُ demeye, küre-i arz vüs’atinde bir kalp bulunmak lâzım geliyor. Ve bu sırra binaen cüz’iyatta zâhir bir surette sikke-i ehadiyeti gösterdiği gibi her bir nevide sikke-i ehadiyeti göstermek ve Zat-ı Ehad’i mülahaza ettirmek için hâtem-i rahmaniyet içinde bir sikke-i ehadiyeti gösteriyor; tâ külfetsiz herkes her mertebede اِيَّاكَ نَع۟بُدُ وَ اِيَّاكَ نَس۟تَعٖينُ deyip doğrudan doğruya Zat-ı Akdes’e hitap ederek müteveccih olsun.

    İşte Kur’an-ı Hakîm, bu sırr-ı azîmi ifade içindir ki kâinatın daire-i a’zamından mesela, semavat ve arzın hilkatinden bahsettiği vakit, birden en küçük bir daireden ve en dakik bir cüz’îden bahseder; tâ ki zâhir bir surette hâtem-i ehadiyeti göstersin. Mesela, hilkat-i semavat ve arzdan bahsi içinde hilkat-i insandan ve insanın sesinden ve simasındaki dekaik-ı nimet ve hikmetten bahis açar; tâ ki fikir dağılmasın, kalp boğulmasın, ruh mabudunu doğrudan doğruya bulsun. Mesela وَمِن۟ اٰيَاتِهٖ خَل۟قُ السَّمٰوَاتِ وَال۟اَر۟ضِ وَاخ۟تِلَافُ اَل۟سِنَتِكُم۟ وَ اَل۟وَانِكُم۟ âyeti mezkûr hakikati mu’cizane bir surette gösteriyor.

    Evet, hadsiz mahlukatta ve nihayetsiz bir kesrette vahdet sikkeleri, mütedâhil daireler gibi en büyüğünden en küçük sikkeye kadar envaı ve mertebeleri vardır. Fakat o vahdet ne kadar olsa yine kesret içinde bir vahdettir, hakiki hitabı tam temin edemiyor. Onun için vahdet arkasında ehadiyet sikkesi bulunmak lâzımdır. Tâ ki kesreti hatıra getirmesin. Doğrudan doğruya Zat-ı Akdes’e karşı kalbe yol açsın.

    Hem sikke-i ehadiyete nazarları çevirmek ve kalpleri celbetmek için o sikke-i ehadiyet üstünde gayet cazibedar bir nakış ve gayet parlak bir nur ve gayet şirin bir halâvet ve gayet sevimli bir cemal ve gayet kuvvetli bir hakikat olan rahmet sikkesini ve rahîmiyet hâtemini koymuştur. Evet, o rahmetin kuvvetidir ki zîşuurun nazarlarını celbeder, kendine çeker ve ehadiyet sikkesine îsal eder ve Zat-ı Ehadiyeyi mülahaza ettirir ve ondan اِيَّاكَ نَع۟بُدُ وَ اِيَّاكَ نَس۟تَعٖينُ deki hakiki hitaba mazhar eder.

    İşte Bismillahirrahmanirrahîm Fatiha’nın fihristesi ve Kur’an’ın mücmel bir hülâsası olduğu cihetle, bu mezkûr sırr-ı azîmin unvanı ve tercümanı olmuş. Bu unvanı eline alan, rahmetin tabakatında gezebilir. Ve bu tercümanı konuşturan, esrar-ı rahmeti öğrenir ve envar-ı rahîmiyeti ve şefkati görür.

    Beşinci Sır

    Bir hadîs-i şerifte vârid olmuş ki:

    اِنَّ اللّٰهَ خَلَقَ ال۟اِن۟سَانَ عَلٰى صُورَةِ الرَّح۟مٰنِ – اَو۟ كَمَا قَالَ –

    Bu hadîs-i şerifi, bir kısım ehl-i tarîkat, akaid-i imaniyeye münasip düşmeyen acib bir tarzda tefsir etmişler. Hattâ onlardan bir kısım ehl-i aşk, insanın sima-yı manevîsine bir suret-i Rahman nazarıyla bakmışlar. Ehl-i tarîkatın bir kısm-ı ekserinde sekr ve ehl-i aşkın çoğunda istiğrak ve iltibas olduğundan, hakikate muhalif telakkilerinde belki mazurdurlar. Fakat aklı başında olanlar, fikren onların esas-ı akaide münafî olan manalarını kabul edemez. Etse hata eder.

    Evet, bütün kâinatı bir saray, bir ev gibi muntazam idare eden ve yıldızları zerreler gibi hikmetli ve kolay çeviren ve gezdiren ve zerratı muntazam memurlar gibi istihdam eden Zat-ı Akdes-i İlahî’nin şeriki, naziri, zıddı, niddi olmadığı gibi لَي۟سَ كَمِث۟لِهٖ شَى۟ءٌ وَهُوَ السَّمٖيعُ ال۟بَصٖيرُ sırrıyla sureti, misli, misali, şebihi dahi olamaz. Fakat وَلَهُ ال۟مَثَلُ ال۟اَع۟لٰى فِى السَّمٰوَاتِ وَال۟اَر۟ضِ وَهُوَ ال۟عَزٖيزُ ال۟حَكٖيمُ sırrıyla, mesel ve temsil ile şuunatına ve sıfât ve esmasına bakılır. Demek mesel ve temsil, şuunat nokta-i nazarında vardır.

    Şu mezkûr hadîs-i şerifin çok makasıdından birisi şudur ki insan, ism-i Rahman’ı tamamıyla gösterir bir surettedir. Evet, sâbıkan beyan ettiğimiz gibi kâinatın simasında bin bir ismin şuâlarından tezahür eden ism-i Rahman göründüğü gibi zemin yüzünün simasında rububiyet-i mutlaka-i İlahiyenin hadsiz cilveleriyle tezahür eden ism-i Rahman gösterildiği gibi insanın suret-i câmiasında küçük bir mikyasta zeminin siması ve kâinatın siması gibi yine o ism-i Rahman’ın cilve-i etemmini gösterir demektir.

    Hem işarettir ki: Zat-ı Rahmanu’r-Rahîm’in delilleri ve âyineleri olan zîhayat ve insan gibi mazharlar o kadar o Zat-ı Vâcibü’l-vücud’a delâletleri kat’î ve vâzıh ve zâhirdir ki güneşin timsalini ve aksini tutan parlak bir âyine parlaklığına ve delâletinin vuzuhuna işareten “O âyine güneştir.” denildiği gibi “İnsanda suret-i Rahman var.” vuzuh-u delâletine ve kemal-i münasebetine işareten denilmiş ve denilir. Ve ehl-i vahdetü’l-vücudun mutedil kısmı “Lâ mevcude illâ hû” bu sırra binaen, bu delâletin vuzuhuna ve bu münasebetin kemaline bir unvan olarak demişler.

    اَللّٰهُمَّ يَا رَح۟مٰنُ يَا رَحٖيمُ بِحَقِّ بِس۟مِ اللّٰهِ الرَّح۟مٰنِ الرَّحٖيمِ اِر۟حَم۟نَا كَمَا يَلٖيقُ بِرَحٖيمِيَّتِكَ وَ فَهِّم۟نَا اَس۟رَارَ بِس۟مِ اللّٰهِ الرَّح۟مٰنِ الرَّحٖيمِ كَمَا يَلٖيقُ بِرَح۟مَانِيَّتِكَ اٰمٖينَ

    Altıncı Sır

    Ey hadsiz acz ve nihayetsiz fakr içinde yuvarlanan bîçare insan! Rahmet, ne kadar kıymettar bir vesile ve ne kadar makbul bir şefaatçi olduğunu bununla anla ki o rahmet, öyle bir Sultan-ı Zülcelal’e vesiledir ki yıldızlarla zerrat beraber olarak kemal-i intizam ve itaatle –beraber– ordusunda hizmet ediyorlar. Ve o Zat-ı Zülcelal’in ve o Sultan-ı ezel ve ebed’in istiğna-i zatîsi var ve istiğna-i mutlak içindedir. Hiçbir cihetle kâinata ve mevcudata ihtiyacı olmayan bir Ganiyy-i Ale’l-ıtlak’tır. Ve bütün kâinat taht-ı emir ve idaresinde ve heybet ve azameti altında nihayet itaatte, celaline karşı tezellüldedir.

    İşte rahmet seni ey insan! O Müstağni-i Ale’l-ıtlak’ın ve Sultan-ı Sermedî’nin huzuruna çıkarır ve ona dost yapar ve ona muhatap eder ve sevgili bir abd vaziyetini verir. Fakat nasıl sen güneşe yetişemiyorsun, çok uzaksın, hiçbir cihetle yanaşamıyorsun. Fakat güneşin ziyası, güneşin aksini, cilvesini senin âyinen vasıtasıyla senin eline verir. Öyle de o Zat-ı Akdes’e ve o Şems-i ezel ve ebed’e biz çendan nihayetsiz uzağız, yanaşamayız. Fakat onun ziya-yı rahmeti, onu bize yakın ediyor.

    İşte ey insan! Bu rahmeti bulan, ebedî tükenmez bir hazine-i nur buluyor. O hazineyi bulmasının çaresi: Rahmetin en parlak bir misali ve mümessili ve o rahmetin en beliğ bir lisanı ve dellâlı olan ve Rahmeten li’l-âlemîn unvanıyla Kur’an’da tesmiye edilen Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâmın sünnetidir ve tebaiyetidir. Ve bu Rahmeten li’l-âlemîn olan rahmet-i mücessemeye vesile ise salavattır. Evet, salavatın manası, rahmettir. Ve o zîhayat mücessem rahmete, rahmet duası olan salavat ise o Rahmeten li’l-âlemîn’in vusulüne vesiledir. Öyle ise sen salavatı kendine, o Rahmeten li’l-âlemîn’e ulaşmak için vesile yap ve o zatı da rahmet-i Rahman’a vesile ittihaz et. Umum ümmetin Rahmeten li’l-âlemîn olan Aleyhissalâtü vesselâm hakkında hadsiz bir kesretle rahmet manasıyla salavat getirmeleri, rahmet ne kadar kıymettar bir hediye-i İlahiye ve ne kadar geniş bir dairesi olduğunu parlak bir surette ispat eder.

    Elhasıl: Hazine-i rahmetin en kıymettar pırlantası ve kapıcısı Zat-ı Ahmediye aleyhissalâtü vesselâm olduğu gibi en birinci anahtarı dahi Bismillahirrahmanirrahîm’dir. Ve en kolay bir anahtarı da salavattır.

    اَللّٰهُمَّ بِحَقِّ اَس۟رَارِ بِس۟مِ اللّٰهِ الرَّح۟مٰنِ الرَّحٖيمِ صَلِّ وَ سَلِّم۟ عَلٰى مَن۟ اَر۟سَل۟تَهُ رَح۟مَةً لِل۟عَالَمٖينَ كَمَا يَلٖيقُ بِرَح۟مَتِكَ وَ بِحُر۟مَتِهٖ وَ عَلٰى اٰلِهٖ وَ اَص۟حَابِهٖ اَج۟مَعٖينَ وَ ار۟حَم۟نَا رَح۟مَةً تُغ۟نٖينَا بِهَا عَن۟ رَح۟مَةِ مَن۟ سِوَاكَ مِن۟ خَل۟قِكَ اٰمٖينَ

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ


    1. *HR. al-Hâkim (4/636, nomor: 8756).
    2. *Lihat: Muslim, al-Jannah, 12; dan Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, 3/315, 341,346.
    3. *Lihat: al-Baihaqi, al-Asmâ wa ash-Shifât, h.403; dan as-Suyûthi, ad-Dâr al- Mantsûr, 1/329; 6/261.
    4. *Ya, bola bumi tak ubahnya seperti kapal yang mengarungi samudra angkasa. Nah, kapten kapal tersebut adalah malaikat yang bernama al-Hût (ikan). Selain itu, bumi juga ibarat ladang untuk negeri akhirat sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis. Yang mengawasi ladang tersebut dengan izin Tuhan adalah malaikat yang bernama ats-Tsaur (sapi jantan). Dengan demikian, tampak sekali adanya korelasi yang sangat sesuai dalam penamaan tersebut—Penulis.
    5. *Lihat: Muslim, fadhâil ash-Shahâbah, 61; Ibnu Abî Syaibah, al-Mushannaf, 6/370.