SURAT KEDUA PULUH DUA

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    14.27, 20 Ocak 2025 tarihinde Ferhat (mesaj | katkılar) tarafından oluşturulmuş 207572 numaralı sürüm ("Tamak memperlihatkan dampak buruknya mulai dari wilayah makhluk hidup yang paling luas hingga individu yang paling kecil. Sebaliknya, mencari rezeki dengan sikap tawakkal mendatangkan kelapangan dan ketenangan. Ia memperlihatkan buahnya yang bermanfaat di setiap tempat." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)

    بِاس۟مِهٖ وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَم۟دِهٖ

    Surat kedua puluh dua ini terdiri atas dua pembahasan. Pembahasan pertama mengajak orang-orang beriman untuk menjalin rasa persaudaraan dan mencintai di antara sesama.

    PEMBAHASAN PERTAMA

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

    “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. Oleh karena itu, damaikanlah kedua saudaramu”.(QS. al-Hujurât [49]: 10).“Tolaklah (perbuatan buruk) dengan perbuatan yang lebih baik sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan menjadi seperti teman yang setia.”(QS. Fushshilat [41]: 34).“Dan (termasuk orang bertakwa) orang-orang yang menahan amarah dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Âli ‘Imrân [3]: 134).

    Fanatisme, keras kepala, dan kedengkian yang menyebabkan perpecahan, kebencian, dan permusuhan di antara orang-orang yang beriman adalah suatu keburukan dan kezaliman. Sifat-sifat itu tidak dapat dibenarkan dalam pandangan hakikat dan hikmah. Ia tidak sesuai dengan ajaran Islam, yang merupakan representasi dari spirit kemanusiaan yang agung. Di samping itu, sifat-sifat permusuhan itu bisa menghancurkan kehidupan pribadi, kehidupan sosial, dan kehidupan maknawi. Bahkan, itu merupakan racun mematikan bagi kehidupan seluruh umat manusia.Berikut ini akan kami jelaskan enam aspek di antara berbagai aspek yang berkaitan dengan kebenaran pernyataan di atas:

    Aspek Pertama:

    Permusuhan adalah Suatu Kezaliman dalam Pandangan Hakikat.

    Wahai orang-orang yang hatinya dipenuhi rasa kebencian dan permusuhan terhadap saudaranya yang beriman. Wahai orang yang tidak adil! Bayangkan engkau sedang berada di dalam sebuah kapal atau rumah bersama sembilan orang yang tak bersalah dan seorang pelaku kejahatan. Kemudian engkau melihat seseorang yang berusaha menenggelamkan kapal atau meruntuhkan rumah itu. Dengan serta-merta engkau pasti akan berteriak sekeras mungkin untuk memprotes kezaliman yang dilakukan orang itu. Sebab, tidak ada aturan yang membolehkan untuk menenggelamkan kapal itu selama ada satu orang yang tak bersalah, meskipun di dalamnya terdapat sembilan pelaku kejahatan.

    Sebagaimana menenggelamkan kapal di atas, memendam rasa permusuhan terhadap saudara seiman juga merupakan kezaliman dan kejahatan yang keji. Orang yang beriman adalah suatu “bangunan Rabbani” dan “perahu Ilahi”. Hanya karena ia mempunyai satu sifat buruk yang membuatmu tidak senang atau merasa dirugikan, sementara ia memiliki sembilan atau bahkan dua puluh sifat baik, seperti iman, Islam, dan tetangga, engkau tidak patut untuk memusuhi dan mendengkinya. Permusuhan dan kedengkian ini sudah pasti mendorongmu berkeinginan untuk menenggelamkan perahu eksistensinya dan membakar bangunan wujudnya. Inilah kezaliman dan kejahatan keji itu.

    Aspek Kedua:

    Permusuhan adalah Kezaliman dalam Pandangan Hikmah.

    Cinta dan permusuhan adalah dua hal yang berlawanan, seperti cahaya dan kegelapan. Pada dasarnya, keduanya tidak dapat bersatu.

    Jika sebab-sebab cinta lebih dominan dan cinta itu telah menancap di dalam hati, rasa permusuhan akan berubah menjadi permusuhan artifisial, bahkan bisa berubah wujud menjadi kasih sayang dan rasa iba. Pada dasarnya, seorang mukmin mencintai saudaranya, dan dia harus menyayanginya. Ketika saudaranya melakukan kesalahan, semestinya itu membuatnya iba dan berupaya memperbaikinya, tidak dengan kekuatan dan kekerasan, melainkan dengan perilaku yang lembut dan santun. Hal ini sebagaimana yang disabdakan Rasulullah:“Tidak dibenarkan bagi seorang muslim mendiamkan saudara- nya lebih dari tiga hari, di mana bila keduanya bertemu, masing-ma- sing berpaling dari saudaranya. Yang terbaik di antara keduanya adalah yang lebih dahulu mengucapkan salam.”(*[1])

    Sebaliknya, jika sebab-sebab permusuhan lebih menonjol dan telah menancap di dalam hati, cinta akan berubah menjadi cinta semu yang dibungkus dengan kepura-puraan dan sikap mencari muka.

    Maka ketahuilah wahai orang yang zalim. Betapa kebencian dan permusuhan terhadap saudara seiman merupakan kezaliman yang besar! Jika engkau mengatakan batu-batu kerikil yang tidak ada nilainya itu lebih berharga daripada Ka’bah yang mulia atau lebih besar daripada Gunung Uhud, tidak diragukan lagi bahwa engkau telah melakukan suatu kebodohan yang nyata. Juga termasuk kebodohan yang nyata jika engkau membesar-besarkan kesalahan kecil yang dilakukan saudaramu seiman dan lebih mengutamakannya daripa- da keimanan dan keislamannya. Bukankah kesalahannya itu laksana batu kerikil, sementara keimanan dan keislamannya bernilai seperti Ka’bah dan Gunung Uhud?! Sungguh sikapmu yang lebih memper- timbangkan perilaku-perilaku kecil saudaramu daripada keislaman dan keimanannya merupakan tindakan yang sangat zalim. Orang yang memiliki secuil akal pun, tentu bisa memahami hal ini.

    Ya, persatuan dalam iman menghendaki persatuan hati orang- orang mukmin, sementara kesatuan akidah menuntut kesatuan kehidupan sosial masyarakat. Engkau bisa merasakan adanya semacam ikatan dengan prajurit yang bersamamu dalam sebuah batalion; engkau bisa merasakan adanya hubungan yang akrab dengan seseorang yang bekerja dalam satu komando; engkau bahkan bisa merasakan eratnya tali persaudaraan dengannya lantaran engkau tinggal di satu kota yang sama; lalu bagaimana dengan ikatan keimanan yang memberimu cahaya dan kesadaran yang membuatmu dapat merasakan aneka ragam tali persatuan, kesatuan, dan persaudaraan sebanyak asma-asma Ilahi?!

    Dengan keimanan, engkau dapat memahami bahwa sesung- guhnya penciptamu satu, pemilikmu juga satu, sesembahanmu satu, pemberi rezekimu satu, demikian hitungan satu demi satu itu hingga mencapai seribu. Dengan keimanan pula, engkau mengetahui bahwa nabimu satu, agamamu satu, kiblatmu pun juga satu, demikian angka satu demi satu itu hingga mencapai seratus. Lalu, engkau pun tinggal bersama saudaramu seiman di satu desa yang sama, di bawah naungan satu negara yang sama, demikianlah angka satu itu merambah hingga sepuluh.

    Jika demikian halnya, bahwa terdapat banyak ikatan di antara sesama orang beriman yang menuntut persatuan dan kesatuan, kesesuaian dan keserasian, cinta dan persaudaraan, serta memiliki rantai maknawi yang mampu menghubungkan semua bagian alam semesta, maka betapa zalim orang yang berpaling dari tali-tali ikatan tersebut dan lebih mengedepankan sebab-sebab sepele yang lebih rapuh daripada sarang laba-laba, yang dapat melahirkan sifat-sifat semacam perpecahan, kemunafikan, kedengkian, dan permusuhan. Jika sebab-sebab sepele itu yang dikedepankan, akan muncul perasaan dendam dan permusuhan yang hebat terhadap saudara seiman. Bukankah ini merupakan suatu penghinaan terhadap tali ikatan yang semestinya menyatukan?! Bukankah ini merupakan sikap yang menyepelekan sebab-sebab yang semestinya melahirkan suatu cinta?! Bukankah ini juga merupakan sikap yang menghancurkan suatu hubungan yang semestinya menghendaki persaudaraan?! Jika hatimu masih hidup dan akalmu masih sehat, engkau akan memahami hal ini dengan baik.

    Aspek Ketiga:

    Permusuhan adalah Kezaliman dalam Pandangan al-Qur'an. Allah berfirman:“Dan seseorang yang berdosa, tidak akan memikul dosa orang lain.” (QS. al-An’âm [6]: 164). Ayat ini menjelaskan tentang keadilan mutlak (al-‘Adâlah al-Mahdhah), yaitu tidak boleh menghukum seseorang atas kesalahan orang lain.Ayat al-Qur’an di atas dan berbagai sumber ajaran Islam lainnya menegaskan bahwa memendam permusuhan dan kebencian terhadap orang mukmin adalah kezaliman yang besar. Sebab, ia seperti mencela semua sifat-sifat baik akibat satu kesalahannya. Ia menjadi sebuah kezaliman yang lebih besar lagi jika permusuhan tersebut merambat ke keluarga dan kerabatnya, sebagaimana yang digambar- kan oleh al-Qur’an berikut:“Sesungguhnya manusia sangat berlaku zalim.” (QS. Ibrâhîm [14]: 34).Apakah setelah mendengar penjelasan tentang kezaliman di atas, engkau masih mempunyai alasan untuk memusuhi saudaramu seiman dan menganggap dirimu benar?!

    Ketahuilah! Dalam pandangan hakikat, kejahatan-kejahatan yang menjadi sebab timbulnya permusuhan dan kebencian bersifat padat, seperti tanah dan kejahatan itu sendiri. Sifat benda padat tidak berpindah dan tidak memantul pada yang lain, kecuali kejahatan yang ditiru seseorang dari orang lain. Sedangkan kebaikan yang menjadi sebab timbulnya rasa cinta bersifat halus, seperti cahaya dan cinta itu sendiri. Sifat cahaya dapat berpindah dan memantul pada yang lain. Dari sinilah terlahir suatu pepatah: “Sahabatnya sahabat adalah sahabat.” Sebagaimana banyak orang sering mendengung-dengungkan: “Karena kebaikan satu orang, seribu orang dimuliakan.”

    Wahai orang yang tidak adil! Jika engkau mendambakan kebenaran, itulah hakikat yang sebenarnya. Karena itu, permusuhan dan kedengkianmu terhadap keluarga dan kerabat yang dicintai orang yang engkau benci sangat bertentangan dengan kebenaran.

    Aspek Keempat:

    Permusuhan adalah Kezaliman Dilihat dari Sudut Pandang Kehidupan Pribadi.

    Jika engkau ingin mengetahui hal tersebut, dengarkanlah beberapa prinsip yang merupakan pondasi aspek keempat ini.

    Prinsip Pertama:

    Ketika engkau menganggap bahwa manhaj dan pendapatmu benar, engkau berhak untuk berkata, “Manhaj atau pendapatku benar, atau lebih baik.” Akan tetapi, engkau tidak boleh berkata, “Hanya manhaj atau pendapatku yang benar.”

    Orang bijak mengatakan: “Mata cinta terlalu suram untuk melihat kesalahan,

    sementara mata benci menampakkan semua keburukan.”(*[2])

    Sebab, pandanganmu yang penuh dengan kebencian dan pikiranmu yang terbatas tidak bisa menjadi tolok ukur dan penentu yang menetapkan kekeliruan pendapat orang lain.

    Prinsip Kedua:

    “Engkau harus berkata benar dalam setiap perkataan, namun engkau tidak berhak untuk menyampaikan semua kebenaran. Engkau pun harus jujur dalam setiap ucapan, tetapi tidaklah benar jika engkau mengatakan semua kejujuran.” Sebab, orang yang tidak mempunyai niat ikhlas sepertimu bisa jadi membuat marah orang yang mendengar untaian nasihatmu. Maka, yang terjadi justru kebalikan dari apa yang diharapkan.

    Prinsip Ketiga:

    Jika engkau menginginkan permusuhan, musu- hilah rasa permusuhan yang ada di hatimu. Berjuanglah untuk me- madamkan api permusuhan itu dan cabutlah hingga akar-akarnya. Berusahalah memusuhi musuh yang paling tangguh dan paling berbahaya bagimu, yaitu hawa nafsu yang ada di dalam dirimu. Perangilah keinginan hawa nafsu dan berusahalah memperbaikinya; jangan malah engkau memusuhi orang-orang mukmin karena dorongan hawa nafsu itu. Jika engkau masih menginginkan permusuhan, musuhilah orang-orang kafir dan zindik. Jumlah mereka sangat banyak. Ketahuilah bahwa tabiat cinta adalah layak untuk dicintai, sebagaimana sifat permusuhan pantas dimusuhi sebelum yang lainnya.

    Jika engkau ingin mengalahkan musuhmu, balaslah perbuatan buruknya dengan kebaikan. Dengan itu, api permusuhan bisa padam. Sebaliknya, jika engkau membalas keburukannya dengan keburukan yang serupa, permusuhan di antara kalian akan bertambah kuat. Seandainya engkau secara lahiriah berhasil mengalahkan musuhmu dengan perbuatan buruk yang serupa, hatinya akan dipenuhi kebencian terhadapmu sehingga permusuhan akan terus berlanjut.

    Sementara itu, membalasnya dengan kebaikan akan membuatnya menyesal dan bisa pula ia menjadi sahabat karibmu.

    Sebab, pada dasarnya tabiat seorang mukmin adalah mulia. Jika engkau memuliakannya, ia akan tunduk kepadamu dan menjadi saudaramu. Bahkan seandainya ia hina secara lahiriah, ia tetaplah mulia dilihat dari sisi keimanannya.

    Seorang penyair mengatakan:Jika engkau memuliakan orang mulia, ia akan tunduk; Jika engkau memuliakan orang hina, ia akan memberontak.(*[3])Ya, kenyataan membuktikan bahwa ketika engkau berkata kepada orang jahat, “Engkau orang baik,” sering kali itu akan medorongnya menjadi baik. Sebaliknya, jika engkau mengatakan kepada orang baik, “Kamu orang jahat,” mungkin saja itu membuatnya menjadi jahat. Oleh karena itu, pasanglah telinga terhadap prinsip-prinsip suci al-Qur’an berikut ini:“Dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan yang tidak berguna, mereka berlalu dengan menjaga kehormatannya.” (QS. al-Furqân [25]: 72).“Dan jika kalian memaafkan, bersikap lapang, serta mengam- puni (mereka), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. at-Taghâbun [64]: 14).Dengan mengikuti prinsip al-Qur’an di atas dan yang lainnya, kesuksesan dan kebahagiaan akan tercapai.

    Prinsip Keempat:

    Orang yang hatinya dipenuhi dengan kedengkian dan permusuhan terhadap sesama mukmin, selain menzalimi saudaranya seiman, sesungguhnya ia sedang menzalimi dirinya sendiri. Lebih dari itu, ia melampaui batas kasih sayang Ilahi. Sebab, dengan kedengkian dan permusuhan tersebut, ia menjatuhkan diri ke dalam penderitaan yang pedih, dan penderitaan itu bertambah pedih bila melihat musuhnya mendapatkan kenikmatan; ia pun tersiksa akibat rasa takut terhadap sang musuh. Jika permusuhan itu muncul akibat kedengkian, balasannya adalah siksa yang pedih. Sebab, kedengkian membuat si pendengki lebih sakit daripada yang didengki. Kedengkian dapat membakar pelakunya dengan kobaran apinya, sementara orang yang didengki tidak dirugikan atau hanya menderita sedikit kerugian.

    Obat kedengkian adalah si pendengki harus merenungkan akibat dari kedengkiannya dan hendaknya ia menyadari bahwa kekayaan, kekuatan, kedudukan, dan hal-hal duniawi yang dinikmati orang yang didengkinya hanya bersifat sementara dan fana; manfaatnya pun sedikit, namun tantangannya besar.Adapun jika kedengkian timbul akibat faktor-faktor yang bersifat ukhrawi, sebenarnya itu bukanlah suatu kedengkian. Kalaupun ada perasaan dengki yang timbul pada hal-hal yang bersifat ukhrawi, bisa jadi si pendengki termasuk orang yang berlaku riya, di mana hal itu akan menghapus amal ukhrawinya di dunia. Atau, si pendengki berprasangka buruk terhadap orang yang didengkinya sehingga ia menzaliminya.

    Kemudian, orang yang mendengki sebenarnya tidak rela terhadap takdir dan rahmat Allah. Sebab, ia merasa kecewa atas karunia- Nya terhadap orang yang didengkinya dan merasa senang atas mala- petaka yang menimpanya. Artinya, ia seakan-akan mengkritik takdir dan rahmat Allah. Sebagaimana diketahui bahwa barangsiapa mengkritik takdir Allah, ia laksana orang yang menanduk gunung; dan barangsiapa memprotes rahmat dan karunia Ilahi, ia akan terhalang darinya.

    Apakah arif dan adil jika seorang mukmin memendam kebencian dan permusuhan selama setahun terhadap saudaranya hanya karena persoalan sepele yang sebenarnya tidak pantas menyebabkan timbulnya permusuhan selama sehari? Padahal keburukan saudaramu terhadapmu tidak pantas dinisbatkan hanya kepadanya sehingga dengan keburukan yang dilakukannya itu kamu menghukumnya. Sebab, ada beberapa hal lain yang ikut terlibat.

    1. Takdir ilahi ikut andil. Maka, hendaklah kamu menerima takdir itu dengan sikap rida dan pasrah.

    2. Setan dan nafsu ammârah juga ikut berperan. Jika engkau mengeluarkan kedua unsur tersebut (poin 1 dan 2), yang akan muncul adalah rasa belas kasih terhadap saudaramu sebagai ganti dari permusuhan. Sebab, ia dikalahkan oleh nafsu ammârah-nya. Setelah itu, nantikanlah penyesalan darinya akibat tindakannya itu.

    3. Kekurangan-kekurangan dan kecerobohanmu pun ikut terlibat. Inilah yang mungkin tidak engkau lihat atau engkau enggan mengakuinya. Singkirkan pula unsur ini bersama dua unsur sebelumnya.

    Dengan demikian, engkau akan melihat unsur-unsur yang tersisa (keburukan saudaramu) menjadi hal yang sepele. Jika engkau menyikapi keburukan saudaramu dengan sifat maaf dan budi luhur, engkau akan selamat dari perbuatan menzalimi dan menyakiti orang.

    Akan tetapi, jika engkau membalas keburukan saudaramu yang bersifat duniawi dan tak berharga itu dengan kebencian dan permusuhan tanpa akhir—seolah-olah engkau akan kekal di dunia,—maka engkau akan termasuk orang yang oleh al-Qur’an disebut zhalûman jahûlan (sangat zalim dan bodoh), serta lebih mirip dengan seorang Yahudi dungu yang menghabiskan banyak harta untuk ditukar dengan serpihan kaca yang mudah pecah dan kristal salju yang cepat menghilang lantaran mengiranya permata yang berharga.

    Demikianlah, kami telah menjelaskan berbagai kerugian yang ditimbulkan oleh permusuhan dan dendam terhadap kehidupan pribadi manusia.Jika engkau benar-benar mencintai dirimu, jangan berikan peluang bagi sifat permusuhan dan dendam yang sangat berbahaya bagi kehidupan pribadi untuk merasuk ke dalam hatimu. Kalaupun keduanya sudah terlanjur masuk dan telah bersemayam di dalamnya, hendaknya engkau mengabaikan keduanya. Renungkanlah ucapan al-Hâfizh Syirazî, sosok yang memilik basirah yang mampu menem- bus kedalaman hakikat, berikut ini:

    دُن۟يَا نَه مَتَاعٖيس۟تٖى كِه اَر۟زَد۟ بَنِزَاعٖى

    Sesungguhnya dunia beserta isinya bukanlah barang berharga yang pantas diperselisihkan.Jika dunia yang besar beserta isinya saja tidak bernilai seperti itu, apalagi dengan hal-hal kecil lainnya.

    Renungkan pula perkataan beliau:

    اٰسَايِشِ دُو گٖيتٖى تَف۟سٖيرِ اٖين۟ دُو حَر۟فَس۟ت۟

    بَادُوسِتَان۟ مُرُوَّت۟ بَادُش۟مَنَان۟ مُدَارَا

    Kedamaian dan keselamatan di kedua alam bergantung pada dua hal:keluhuran budi terhadap kawan, serta perlakuan bijak terhadap lawan.

    Barangkali engkau akan mengatakan, “Hal itu di luar kemampuanku. Sebab, rasa permusuhan telah terlanjur tertanam dalam fitrahku. Aku tidak punya pilihan lain. Di samping itu, mereka telah melukai perasaanku dan menyakitiku sehingga aku tidak bisa memaafkan mereka.”

    Jawabannya: Jika akhlak buruk tidak terwujud dalam bentuk perbuatan dan tidak menjadi dasar sebuah tindakan seperti gibah misalnya, serta pelakunya menyadari kesalahannya itu, maka hal itu tidak membahayakan. Selama engkau tidak memiliki pilihan lain dalam hal tersebut, dan engkau tidak bisa mengelak dari permusuhan tadi, maka kesadaran dalam hal menyadari kekurangan dan kesalahan itu akan membebaskanmu―dengan izin Allah―dari akibat buruk permusuhan yang tertanam dalam dirimu. Sebab, hal itu dianggap sebagai penyesalan yang tersirat, taubat yang tersembunyi, dan istigfar maknawi. Pembahasan ini kami tulis memang untuk memperoleh istigfar yang bersifat maknawi ini sehingga orang mukmin tidak menganggap kebatilan sebagai kebenaran, serta tidak memperlihatkan kebatilan lawannya yang sebenarnya berada di pihak yang benar.

    Aku pernah mengalami suatu kasus yang pantas untuk direnungkan.

    Suatu hari, aku melihat seorang ilmuwan mengkritik seorang ulama, sampai-sampai ia berani mengafirkannya. Kritiknya itu disebabkan adanya perselisihan di antara keduanya dalam persoalan politik. Namun, pada waktu yang sama, ilmuwan tersebut memuji seorang munafik yang memiliki kesamaan pandangan politik dengannya. Peristiwa ini benar-benar menggoncangku. Lalu aku katakan:Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan dan fitnah politik.Sejak saat itu, aku menarik diri dari kancah politik.

    Aspek Kelima:

    Permusuhan dan Perpecahan Membahayakan Kehidupan Sosial.

    Barangkali ada yang mengatakan bahwa ada hadis yang menyatakan bahwa perbedaan pendapat di antara umat Islam adalah rahmat. Hadis itu berbunyi:Perbedaan (pendapat) di antara umatku adalah rahmat.(*[4])Bukankah perbedaan pendapat itu akan menimbulkan perpecahan, sikap partisan, dan munculnya banyak pendapat?! (2) Di sisi lain, perbedaan ini bisa menyelamatkan kaum awam dari kezaliman kaum elit yang zalim. Jika kaum elit dari sebuah desa atau kota bersatu, mereka akan menindas kaum awam. Namun, jika terjadi perpecahan di antara kaum elit itu, orang awam yang terzalimi bisa berlindung kepada salah satu pihak. (3) Selanjutnya, hakikat kebenaran akan tampak jelas dengan adanya adu pemikiran dan perbedaan pendapat.

    Jawabannya:

    Sebagai jawaban atas pertanyaan pertama, kami ingin menegaskan bahwa perbedaan yang disebutkan dalam hadis adalah perbedaan yang bersifat positif dan membangun. Artinya, tiap-tiap pihak berusaha membenahi dan mempromosikan manhaj dan pendapatnya, tanpa berupaya menjatuhkan dan menolak manhaj orang lain. Setiap pihak pun berupaya menyempurnakan dan melakukan perbaikan terhadap manhaj pihak lain. Adapun perbedaan yang negatif adalah upaya untuk menghancurkan pihak lain dengan sikap partisan dan permusuhan. Bentuk perselisihan ini ditolak oleh hadis tersebut. Pasalnya, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tidak sanggup melakukan suatu hal yang positif dan konstruktif.

    Sebagai jawaban atas pertanyaan kedua, kami katakan bahwa jika sikap partisan dilakukan atas nama kebenaran, ini bisa menjadi tempat perlindungan bagi orang yang mencari haknya. Namun, pada zaman sekarang ini, sikap partisan hanya terjadi karena motif-motif pribadi dan atas nama nafsu ammârah sehingga menjadi tempat perlindungan bagi orang-orang yang tidak adil, bahkan menjadi sandaran bagi mereka. Seandainya setan mendatangi salah satu pihak yang berbeda pendapat, lalu ia mendukung dan sepakat dengan pen- dapat pihak tersebut, niscaya pihak tersebut akan memuji dan mendoakannya. Namun sebaliknya, jika pada pihak yang berseberangan dengannya terdapat sosok yang seperti malaikat, pihak tersebut akan melaknat dan menyudutkannya.

    Adapun jawaban atas pertanyaan ketiga, beradunya pemikiran dan tukar pandangan demi kebenaran dan untuk mencapai hakikat dapat terwujud jika perbedaannya terletak dalam hal sarana, sementara asas dan tujuan-tujuannya sama. Perbedaan ini mampu memberikan sumbangsih besar dalam menyingkap kebenaran dan menguak berbagai sisinya dengan jelas. Namun, jika tukar pikiran dilakukan demi motif-motif pribadi dan untuk bertindak sewenang-wenang, menyombongkan diri, memenuhi keinginan nafsu yang lalim, serta mengejar ketenaran dan popularitas, maka sinar kebenaran tidak akan berkilau dalam tukar pikiran seperti ini. Justru yang lahir hanyalah api fitnah.Seharusnya mereka bersatu dalam tujuan, namun karena bukan atas nama kebenaran, maka pemikiran mereka tidak menemukan titik temu di dunia ini, sehingga muncullah sikap melampaui batas dan lahirlah sejumlah perpecahan yang tidak bisa diatasi. Kondisi dunia saat ini menjadi buktinya.

    Kesimpulannya,

    jika tindakan dan perilaku seorang mukmin tidak sejalan dengan prinsip-prinsip mulia yang digariskan oleh hadis Nabi, yaitu:“Cinta karena Allah dan benci karena Allah,”(*[5])serta menyerahkan semua urusan kepada Allah, maka kemunafikan dan perpecahan akan terus mendominasi. Ya, siapa pun yang tidak menjadikan prinsip-prinsip dasar tersebut sebagai pedoman, ia justru akan melakukan kezaliman meskipun sedang mendambakan keadilan.

    Peristiwa yang Penuh Ibrah

    Dalam suatu peperangan, Imam Ali d terlibat perang tanding dengan salah seorang jawara kaum musyrik. Ia berhasil mengungguli dan menjatuhkan lawannya. Ketika Imam Ali hendak membunuhnya, ia meludahi wajah Imam Ali. Akhirnya, Imam Ali membebaskan dan meninggalkannya. Orang musyrik itu pun memandang aneh sikap Imam Ali dan bertanya, “Mengapa engkau tidak membunuhku?” Imam Ali menjawab, “Awalnya, aku ingin membunuhmu karena Allah. Namun, ketika engkau meludahiku, aku pun marah. Karena pengaruh nafsu telah menodai keikhlasanku, aku pun tidak jadi membunuhmu.” “Semestinya kelakuanku lebih memancing kemarahanmu sehingga engkau segera membunuhku. Jika agamamu begitu suci dan tulus, sudah pasti ia adalah agama yang benar,” ujar orang musyrik itu.(*[6])

    Peristiwa yang Penuh Ibrah

    Dalam peristiwa yang lain, seorang penguasa yang adil memecat seorang hakim ketika melihatnya marah saat melakukan eksekusi potong tangan terhadap pencuri. Jika hakim itu memotong tangan pencuri demi tegaknya syariat dan hukum Ilahi, maka ia seharusnya menunjukkan rasa kasihan terhadapnya dan memotong tangannya tanpa menunjukkan kemarahan dan kasih sayang. Karena nafsu mempunyai andil dalam keputusan tersebut, sementara nafsu menafikan kemurnian keadilan, sang hakim pun dicopot dari jabatannya.

    Cây-ı teessüf bir halet-i içtimaiye ve kalb-i İslâm’ı ağlatacak müthiş bir maraz-ı hayat-ı içtimaî:

    Suku paling primitif pun bisa mengerti kondisi bahaya yang mengancam sehingga mereka melupakan konflik internal mereka dan menggalang persatuan untuk menghadapi serangan musuh dari luar. Jika mereka yang primitif saja bisa mewujudkan kemaslahatan sosial, mengapa mereka yang mengemban misi pengabdian dan dakwah Islam tidak dapat melupakan permusuhan sepele di antara mereka sehingga membuka jalan bagi musuh yang tak terhitung jumlahnya untuk menyerang umat Islam?! Padahal musuh telah menyatukan barisan dan mengepung umat Islam dari segala penjuru. Kondisi ini tentu sebuah kemunduran yang mencemaskan, kemerosotan yang memilukan, dan penghianatan terhadap kehidupan sosial umat Islam.

    Berkaitan dengan kondisi tersebut, akan kukisahkan sebuah cerita yang mengandung pelajaran.

    Terdapat dua marga dari suku Hasnan yang menyimpan rasa permusuhan hingga memakan korban lebih dari lima puluh orang. Akan tetapi, bila ancaman dari luar datang, yaitu dari suku Sabkan atau Haydaran, kedua marga tersebut bahu-membahu secara total dan melupakan permusuhan di antara mereka guna memukul mun- dur serangan musuh dari luar tersebut.

    Wahai orang-orang yang beriman! Tahukah kalian berapa banyak kelompok musuh yang siap menyerang kaum mukmin?! Terdapat lebih dari seratus kelompok yang mengepung Islam dan umat Islam, seperti rangkaian lingkaran yang saling bertautan. Namun, ketika kaum muslim seharusnya bahu-membahu untuk membendung serangan dari pihak musuh, setiap kelompok dalam umat Islam hanya mementingkan kepentingan kelompoknya, seakan-akan membuka jalan bagi terbukanya semua pintu untuk para musuh sehingga dapat menembus pertahanan Islam. Apakah hal ini pantas bagi umat Islam?

    Jika kalian ingin menghitung lingkaran musuh yang mengepung Islam, mereka adalah kaum sesat, kaum ateis, hingga dunia kaum kafir, bencana, dan kondisi dunia yang tidak stabil. Semuanya menjadi lingkaran yang saling bertautan dan membentuk tujuh puluh lingkaran. Semuanya hendak mencelakakan kalian dan ingin membalas dendam atas kalian. Untuk menghadapi musuh-musuh bebuyutan tersebut, kalian hanya memiliki satu senjata yang ampuh, satu parit pertahanan yang tepercaya, dan satu benteng yang kokoh, yaitu ukhuwah Islamiyah, persaudaraan antar-umat Islam. Jadi, sadarlah dan ketahuilah, wahai umat Islam, bahwa mengguncang benteng Islam dengan permusuhan dan alasan-alasan yang sepele sangat bertolak-belakang dengan hati nurani dan kemaslahatan umat Islam secara keseluruhan.

    Disebutkan dalam beberapa hadis Nabi bahwa orang-orang seperti Dajjal dan Sufyani, yang memimpin orang-orang zindik dan kaum ateis pada akhir zaman, memanfaatkan perselisihan di antara kaum muslim dan umat manusia serta memanfaatkan ambisi duniawi mereka sehingga mereka mampu menghancurkan umat manusia hanya dengan sedikit kekuatan, menebarkan kekacauan, serta membelenggu umat Islam.

    Wahai kaum mukmin! Jika kalian benar-benar menginginkan kehidupan yang mulia, dan menolak menjadi tawanan kehinaan, sadarlah dan kembalilah pada akal sehatmu. Masuklah ke dalam benteng suci ukhuwah Islamiyah yang diamanatkan firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman bersaudara.” (QS. al-Hujurât [49]: 10). Bentengilah dirimu dengannya dari serangan kaum zalim yang memanfaatkan perselisihan internal di antara kalian. Jika tidak, kalian tidak akan sanggup membela hak-hak kalian dan melindungi kehidupan kalian. Sebab, sangat jelas bahwa seorang anak kecil dapat memukul jatuh dua pendekar yang sedang bertarung; sebuah kerikil pun dapat menaik-turunkan timbangan yang berisi dua gunung yang sepadan.

    Wahai kaum mukmin! Kekuatanmu akan hilang akibat kepentingan pribadi, egoisme, dan sikap partisan. Kekuatan kecil pun sanggup membuat kalian mengalami kehinaan dan kehancuran. Jika kalian benar-benar mempunyai komitmen terhadap kehidupan sosial umat Islam, jadikanlah prinsip mulia berikut ini sebagai pedoman hidup: “Orang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan satu bangunan yang saling mendukung satu sama lain.(*[7])Dengan berpegang pada prinsip tersebut, engkau akan terbebas dari kehinaan dunia dan selamat dari kepedihan akhirat.

    Aspek Keenam:

    Permusuhan dan sifat keras kepala merusak kehidupan spiritual dan kemurnian ubudiyah kepada Allah. Sebab, keikhlasan yang merupakan sarana untuk mencapai keselamatan telah hilang. Hal demikian disebabkan orang berkepala batu yang hanya berpihak pada pendapat dan kelompoknya senantiasa berharap dapat mengungguli musuhnya, bahkan dalam perbuatan-perbuatan baik yang dia lakukan sehingga ia tidak mendapatkan taufik untuk beramal tulus hanya karena Allah. Selain itu, ia tidak mampu bersikap adil karena lebih mengutamakan orang yang memihak pada pendapatnya dalam keputusan dan muamalah. Dengan demikian, keikhlasan dan keadilan yang merupakan dua dasar utama dalam berbuat kebaikan akan hilang akibat permusuhan dan kebencian.Pembahasan aspek ini bisa sangat panjang sehingga dalam kesempatan ini hanya akan diuraikan sekadarnya. Karena itu, kami cukupkan sampai di sini.


    PEMBAHASAN KEDUA

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

    “Allah adalah Dzat pemberi rezeki dan pemilik kekuatan yang kokoh.”(QS. adz-Dzâriyât [51]: 58). “Dan berapa banyak makhluk bergerak yang bernyawa yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberikan rezeki kepadanya dan kepadamu. Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-‘Ankabût [29]: 60).

    Wahai orang mukmin! Dari uraian sebelumnya engkau telah mengetahui bahaya besar yang diakibatkan oleh permusuhan dan kebencian. Maka ketahuilah bahwa sikap tamak juga merupakan penyakit yang sama seperti rasa permusuhan, bahkan ia lebih berbahaya bagi kehidupan Islami. Ya, tamak adalah sebab kegagalan dan kerugian. Ia adalah penyakit, kenistaan, dan kehinaan. Tamak itulah yang menyebabkan ketidaksuksesan dan kerendahan. Bukti nyata atas hal tersebut adalah kehinaan dan kenistaan yang dialami oleh bangsa Yahudi, bangsa yang paling rakus terhadap dunia.

    Tamak memperlihatkan dampak buruknya mulai dari wilayah makhluk hidup yang paling luas hingga individu yang paling kecil. Sebaliknya, mencari rezeki dengan sikap tawakkal mendatangkan kelapangan dan ketenangan. Ia memperlihatkan buahnya yang bermanfaat di setiap tempat.

    İşte bir nevi zîhayat ve rızka muhtaç olan meyvedar ağaçlar ve nebatlar, tevekkülvari, kanaatkârane yerlerinde durup hırs göstermediklerinden rızıkları onlara koşup geliyor. Hayvanlardan pek fazla evlat besliyorlar. Hayvanat ise hırs ile rızıkları peşinde koştukları için pek çok zahmet ve noksaniyet ile rızıklarını elde edebiliyorlar.

    Hem hayvanat dairesi içinde zaaf ve acz lisan-ı haliyle tevekkül eden yavruların meşru ve mükemmel ve latîf rızıkları hazine-i rahmetten verilmesi ve hırs ile rızıklarına saldıran canavarların gayr-ı meşru ve pek çok zahmet ile kazandıkları nâhoş rızıkları gösteriyor ki: Hırs, sebeb-i mahrumiyettir; tevekkül ve kanaat ise vesile-i rahmettir.

    Hem daire-i insaniye içinde her milletten ziyade hırs ile dünyaya yapışan ve aşk ile hayat-ı dünyeviyeye bağlanan Yahudi milleti pek çok zahmet ile kazandığı, kendine faydası az, yalnız hazinedarlık ettiği gayr-ı meşru bir servet-i ribaî ile bütün milletlerden yedikleri sille-i zillet ve sefalet, katl ve ihanet gösteriyor ki: Hırs, maden-i zillet ve hasarettir.

    Hem harîs bir insan, her vakit hasarete düştüğüne dair o kadar vakıalar var ki اَل۟حَرٖيصُ خَائِبٌ خَاسِرٌ darb-ı mesel hükmüne geçmiş, umumun nazarında bir hakikat-i âmme olarak kabul edilmiştir. Madem öyledir, eğer malı çok seversen hırs ile değil belki kanaat ile malı talep et, tâ çok gelsin.

    Ehl-i kanaat ile ehl-i hırs, iki şahsa benzer ki büyük bir zatın divanhanesine giriyorlar. Birisi kalbinden der: “Beni yalnız kabul etsin, dışarıdaki soğuktan kurtulsam bana kâfidir. En aşağıdaki iskemleyi de bana verseler lütuftur.” İkinci adam güya bir hakkı varmış gibi ve herkes ona hürmet etmeye mecbur imiş gibi mağrurane der ki: “Bana en yukarı iskemleyi vermeli.” O hırs ile girer, gözünü yukarı mevkilere diker, onlara gitmek ister. Fakat divanhane sahibi onu geri döndürüp aşağı oturtur. Ona teşekkür lâzımken, teşekküre bedel kalbinden kızıyor. Teşekkür değil, bilakis hane sahibini tenkit ediyor. Hane sahibi de ondan istiskal ediyor. Birinci adam mütevaziane giriyor, en aşağıdaki iskemleye oturmak istiyor. Onun o kanaati, divanhane sahibinin hoşuna gidiyor. “Daha yukarı iskemleye buyurun.” der. O da gittikçe teşekküratını ziyadeleştirir, memnuniyeti tezayüd eder.

    İşte dünya bir divanhane-i Rahman’dır. Zemin yüzü, bir sofra-yı rahmettir. Derecat-ı erzak ve meratib-i nimet dahi iskemleler hükmündedir.

    Hem en cüz’î işlerde de herkes hırsın sû-i tesirini hissedebilir.

    Mesela, iki dilenci bir şey istedikleri vakit, hırs ile ilhah eden dilenciden istiskal edip vermemek; diğer sakin dilenciye merhamet edip vermek, herkes kalbinde hisseder.

    Hem mesela, gecede uykun kaçmış, sen yatmak istesen, lâkayt kalsan uykun gelebilir. Eğer hırs ile uyku istesen: “Aman yatayım, aman yatayım.” dersen, bütün bütün uykunu kaçırırsın.

    Hem mesela, mühim bir netice için birisini hırs ile beklersin “Aman gelmedi, aman gelmedi.” deyip en nihayet hırs senin sabrını tüketip kalkar gidersin, bir dakika sonra o adam gelir fakat beklediğin o mühim netice bozulur.

    Şu hâdisatın sırrı şudur ki: Nasıl ki bir ekmeğin vücudu; tarla, harman, değirmen, fırına terettüp eder. Öyle de tertib-i eşyada bir teenni-i hikmet vardır. Hırs sebebiyle teenni ile hareket etmediği için o tertipli eşyadaki manevî basamakları müraat etmez; ya atlar düşer veyahut bir basamağı noksan bırakır, maksada çıkamaz.

    İşte ey derd-i maişetle sersem olmuş ve hırs-ı dünya ile sarhoş olmuş kardeşler! Hırs bu kadar muzır ve belalı bir şey olduğu halde, nasıl hırs yolunda her zilleti irtikâb ve haram helâl demeyip her malı kabul ve hayat-ı uhreviyeye lâzım çok şeyleri feda ediyorsunuz? Hattâ erkân-ı İslâmiyenin mühim bir rüknü olan zekâtı, hırs yolunda terk ediyorsunuz? Halbuki zekât, her şahıs için sebeb-i bereket ve dâfi-i beliyyattır. Zekâtı vermeyenin herhalde elinden zekât kadar bir mal çıkacak, ya lüzumsuz yerlere verecektir ya bir musibet gelip alacaktır.

    Hakikatli bir rüya-yı hayaliyede, Birinci Harb-i Umumî’nin beşinci senesinde, bir acib rüyada benden soruldu:

    “Müslümanlara gelen bu açlık, bu zayiat-ı maliye ve meşakkat-i bedeniye nedendir?”

    Rüyada demiştim:

    “Cenab-ı Hak, bir kısım maldan onda bir (Hâşiye[8]) veya bir kısım maldan kırkta bir (Hâşiye[9]) kendi verdiği malından birisini bizden istedi; tâ bize fukaraların dualarını kazandırsın ve kin ve hasedlerini men’etsin. Biz hırsımız için tama’kârlık edip vermedik. Cenab-ı Hak, müterakim zekâtını kırkta otuz, onda sekizini aldı.

    Hem her senede yalnız bir ayda yetmiş hikmetli bir açlık bizden istedi. Biz nefsimize acıdık, muvakkat ve lezzetli bir açlığı çekmedik. Cenab-ı Hak ceza olarak yetmiş cihetle belalı bir nevi orucu beş sene cebren bize tutturdu.

    Hem yirmi dört saatte bir tek saati, hoş ve ulvi, nurani ve faydalı bir nevi talimat-ı Rabbaniyeyi bizden istedi. Biz tembellik edip o namazı ve niyazı yerine getirmedik. O tek saati diğer saatlere katarak zayi ettik. Cenab-ı Hak onun keffareti olarak beş sene talim ve talimat ve koşturmakla bize bir nevi namaz kıldırdı.” demiştim. Sonra ayıldım, düşündüm, anladım ki o rüya-yı hayaliyede pek mühim bir hakikat vardır.

    Yirmi Beşinci Söz’de, medeniyetle hükm-ü Kur’an’ı muvazene bahsinde ispat ve beyan edildiği üzere; beşerin hayat-ı içtimaîsinde bütün ahlâksızlığın ve bütün ihtilalatın menşei iki kelimedir:

    Birisi: “Ben tok olduktan sonra, başkası açlıktan ölse bana ne?”

    İkincisi: “Sen çalış, ben yiyeyim.”

    Bu iki kelimeyi de idame eden, cereyan-ı riba ve terk-i zekâttır.

    Bu iki müthiş maraz-ı içtimaîyi tedavi edecek tek çare, zekâtın bir düstur-u umumî suretinde icrasıyla vücub-u zekât ve hurmet-i ribadır.

    Hem değil yalnız eşhasta ve hususi cemaatlerde, belki umum nev-i beşerin saadet-i hayatı için en mühim bir rükün belki devam-ı hayat-ı insaniye için en mühim bir direk, zekâttır. Çünkü beşerde, havas ve avam iki tabaka var. Havastan avama merhamet ve ihsan ve avamdan havassa karşı hürmet ve itaati temin edecek, zekâttır. Yoksa yukarıdan avamın başına zulüm ve tahakküm iner, avamdan zenginlere karşı kin ve isyan çıkar. İki tabaka-i beşer daimî bir mücadele-i maneviyede, bir keşmekeş-i ihtilafta bulunur. Gele gele tâ Rusya’da olduğu gibi sa’y ve sermaye mücadelesi suretinde boğuşmaya başlar.

    Ey ehl-i kerem ve vicdan ve ey ehl-i sehavet ve ihsan!

    İhsanlar, zekât namına olmazsa üç zararı var. Bazen de faydasız gider. Çünkü Allah namına vermediğin için manen minnet ediyorsun, bîçare fakiri minnet esareti altında bırakıyorsun. Hem makbul olan duasından mahrum kalıyorsun. Hem hakikaten Cenab-ı Hakk’ın malını ibadına vermek için bir tevziat memuru olduğun halde, kendini sahib-i mal zannedip bir küfran-ı nimet ediyorsun.

    Eğer zekât namına versen Cenab-ı Hak namına verdiğin için bir sevap kazanıyorsun, bir şükran-ı nimet gösteriyorsun. O muhtaç adam dahi sana tabasbus etmeye mecbur olmadığı için izzet-i nefsi kırılmaz ve duası senin hakkında makbul olur.

    Evet, zekât kadar belki daha ziyade nâfile ve ihsan, yahut sair suretlerde verip riya ve şöhret gibi minnet ve tezlil gibi zararları kazanmak nerede? Zekât namına o iyilikleri yapıp hem farzı eda etmek hem sevabı hem ihlası hem makbul bir duayı kazanmak nerede?

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ

    اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّم۟ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ نِ الَّذٖى قَالَ «اَل۟مُؤ۟مِنُ لِل۟مُؤ۟مِنِ كَال۟بُن۟يَانِ ال۟مَر۟صُوصِ يَشُدُّ بَع۟ضُهُ بَع۟ضًا» وَ قَالَ «اَل۟قَنَاعَةُ كَن۟زٌ لَا يَف۟نٰى»

    وَعَلٰى اٰلِهٖ وَصَح۟بِهٖ اَج۟مَعٖينَ اٰمٖينَ وَال۟حَم۟دُ لِلّٰهِ رَبِّ ال۟عَالَمٖينَ

    HÂTİME

    Gıybet hakkındadır

    بِاس۟مِهٖ

    وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَم۟دِهٖ

    Yirmi Beşinci Söz’ün Birinci Şule’sinin Birinci Şuâ’ının Beşinci Noktası’nın makam-ı zem ve zecrin misallerinden olan bir tek âyetin, mu’cizane altı tarzda gıybetten tenfir etmesi; Kur’an’ın nazarında gıybet ne kadar şenî bir şey olduğunu tamamıyla gösterdiğinden, başka beyana ihtiyaç bırakmamış. Evet, Kur’an’ın beyanından sonra beyan olamaz, ihtiyaç da yoktur.

    İşte اَيُحِبُّ اَحَدُكُم۟ اَن۟ يَا۟كُلَ لَح۟مَ اَخٖيهِ مَي۟تًا âyetinde altı derece zemmi, zemmeder. Gıybetten altı mertebe şiddetle zecreder. Şu âyet bilfiil gıybet edenlere müteveccih olduğu vakit, manası gelecek tarzda oluyor. Şöyle ki:

    Malûmdur: Âyetin başındaki hemze, sormak (âyâ) manasındadır. O sormak manası, su gibi âyetin bütün kelimelerine girer. Her kelimede bir hükm-ü zımnî var.

    İşte birincisi, hemze ile der: Âyâ, sual ve cevap mahalli olan aklınız yok mu ki bu derece çirkin bir şeyi anlamıyor?

    İkincisi يُحِبُّ lafzıyla der: Âyâ, sevmek ve nefret etmek mahalli olan kalbiniz bozulmuş mu ki en menfur bir işi sever?

    Üçüncüsü اَحَدُكُم۟ kelimesiyle der: Cemaatten hayatını alan hayat-ı içtimaiye ve medeniyetiniz ne olmuş ki böyle hayatınızı zehirleyen bir ameli kabul eder?

    Dördüncüsü اَن۟ يَا۟كُلَ لَح۟مَ kelâmıyla der: İnsaniyetiniz ne olmuş ki böyle canavarcasına arkadaşınızı diş ile parçalamayı yapıyorsunuz?

    Beşincisi اَخٖيهِ kelimesiyle der: Hiç rikkat-i cinsiyeniz, hiç sıla-i rahminiz yok mu ki böyle çok cihetlerle kardeşiniz olan bir mazlumun şahs-ı manevîsini insafsızca dişliyorsunuz? Ve hiç aklınız yok mu ki kendi azanızı kendi dişinizle divane gibi ısırıyorsunuz?

    Altıncısı مَي۟تًا kelâmıyla der: Vicdanınız nerede? Fıtratınız bozulmuş mu ki en muhterem bir halde bir kardeşinize karşı, etini yemek gibi en müstekreh bir işi yapıyorsunuz?

    Demek şu âyetin ifadesiyle ve kelimelerin ayrı ayrı delâletiyle zem ve gıybet, aklen ve kalben ve insaniyeten ve vicdanen ve fıtraten ve milliyeten mezmumdur. İşte bak nasıl şu âyet, îcazkârane altı mertebe zemmi zemmetmekle, i’cazkârane altı derece o cürümden zecreder.

    Gıybet, ehl-i adâvet ve hased ve inadın en çok istimal ettikleri alçak bir silahtır. İzzet-i nefis sahibi, bu pis silaha tenezzül edip istimal etmez. Nasıl meşhur bir zat demiş:

    اُكَبِّرُ نَف۟سٖى عَن۟ جَزَاءٍ بِغِي۟بَةٍ فَكُلُّ اِغ۟تِيَابٍ جَه۟دُ مَن۟ لَا لَهُ جَه۟دٌ

    Yani “Düşmanıma gıybetle ceza vermekten nefsimi yüksek tutuyorum ve tenezzül etmiyorum. Çünkü gıybet, zayıf ve zelil ve aşağıların silahıdır.”

    Gıybet odur ki: Gıybet edilen adam hazır olsa idi ve işitse idi, kerahet edip darılacaktı. Eğer doğru dese zaten gıybettir. Eğer yalan dese hem gıybet hem iftiradır. İki katlı çirkin bir günahtır.

    Gıybet, mahsus birkaç maddede caiz olabilir:

    Birisi: Şekva suretinde bir vazifedar adama der, tâ yardım edip o münkeri, o kabahati ondan izale etsin ve hakkını ondan alsın.

    Birisi de: Bir adam onunla teşrik-i mesai etmek ister. Senin ile meşveret eder. Sen de sırf maslahat için garazsız olarak, meşveretin hakkını eda etmek için desen: “Onun ile teşrik-i mesai etme. Çünkü zarar göreceksin.”

    Birisi de: Maksadı, tahkir ve teşhir değil; belki maksadı, tarif ve tanıttırmak için dese: “O topal ve serseri adam filan yere gitti.”

    Birisi de: O gıybet edilen adam fâsık-ı mütecahirdir. Yani fenalıktan sıkılmıyor, belki işlediği seyyiatla iftihar ediyor; zulmü ile telezzüz ediyor, sıkılmayarak aşikâre bir surette işliyor.

    İşte bu mahsus maddelerde garazsız ve sırf hak ve maslahat için gıybet caiz olabilir. Yoksa gıybet, nasıl ateş odunu yer bitirir; gıybet dahi a’mal-i salihayı yer bitirir.

    Eğer gıybet etti veyahut isteyerek dinledi; o vakit اَللّٰهُمَّ اغ۟فِر۟لَنَا وَ لِمَنِ اغ۟تَب۟نَاهُ demeli, sonra gıybet edilen adama ne vakit rast gelse “Beni helâl et.” demeli.

    اَل۟بَاقٖى هُوَ ال۟بَاقٖى

    Said Nursî

    1. *Lihat: al-Bukhârî, al-Âdâb, 57 dan 62, al-Isti’dzân, 9; Muslim, al-Birr,23, 25, dan 26.
    2. *Syair karya Abdullâh ibn Mu‘âwiyah ibn Abdullâh ibn Ja‘far ibn Abî Thâlib (Adab ad-Dunyâ wa ad-Dîn, h.37). Bait tersebut juga dinisbatkan kepada Imam asy-Syâfi‘î; lihat Dîwân asy-Syâfi‘î (Beirut: Dar an-Nûr, t.t.), h. 91, dengan redaksi: “…sebagaimana mata benci….”
    3. *Karya al-Mutanabbî. Lihat: al-‘Urf ath-Thayyib fî Syarh Dîwân Abî ath-Thayyib (Beirut: Dâr al-Qalam, t.t.), h.387.
    4. *Lihat: an-Nawawî, Syarh Shahîh Muslim, j.11, h.91; al-Qurthubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, j.4, h.159; dan as-Suyûthî, Tadrîb ar-râwî, j.2, h.175.
    5. *Lihat: Abu Daud, as-Sunnah, h.2; Ahmad bin Hambal, al-Musnad, j.5, h.146; al-Bazzâr, al-Musnad, j.9, h.461. Lihat pula: ath-Thayâlisî, al-Musnad,h.101; Ibnu Abî Syaibah, al-Mushannaf, j.6, h.170, j.6, h.172; dan j.7, h.80.
    6. *Lihat: al-Matsnawî ar-Rûmî, terj. al-Kafâfî, j.1, h.443.
    7. *Lihat: al-Bukhârî, ash-Shalâh, 88; dan Muslim, al-Birr, 65.
    8. Hâşiye: Yani her sene taze verdiği buğday gibi mallardan onda bir.
    9. Hâşiye: Yani eskiden verdiği kırktan ki her senede galiben ve lâekall ribh-i ticarî ve nesl-i hayvanî cihetiyle o kırktan taze olarak on adet verir.