KALIMAT KEDUA PULUH LIMA
(Kemukjizatan al-Qur’an)
Tampaknya berlebihan kalau kita mencari dalil,
sementara di tangan ini terdapat sebuah mukjizat abadi seperti al-Quran.
Sulitkah kiranya bagiku membuat para pengingkar itu terdiam,
sementara di tangan ini terdapat argumen hakikat berupa al-Qur’an?
Perhatian:
Di awal penulisan Risalah ini kami bertekad menulis “lima obor”, akan tetapi di akhir obor pertama—dua bulan sebelum pengesahan huruf baru (aksara latin)—kami terpaksa mempercepat penulisannya untuk dicetak dengan huruf lama (aksara arab) sehingga dalam bebe- rapa hari, kami menulis sebanyak dua puluh atau tiga puluh halaman hanya dalam hitungan dua atau tiga jam. Oleh karenanya, kami men- cukupkan dengan tiga obor. Semuanya ditulis secara global dan ring- kas. Sementara dua obor yang tersisa, kami tinggalkan untuk waktu sekarang. Aku berharap para pembaca budiman bisa memaklumi serta memaafkan berbagai kekurangan, cacat, dan kesalahan yang berasal dari diriku.
Sebagian besar ayat yang dibahas dalam risalah mukjizat al- Qur’an ini adalah ayat-ayat yang menjadi bahan kritikan kaum ateis, yang sulit diterima ilmuwan modern, atau yang diragukan oleh setan dari kalangan jin dan manusia.
Risalah ini membahas ayat-ayat tersebut serta menjelaskan ber- bagai hakikat dan poin-poin penting darinya dalam bentuk terbaik dimana apa yang dianggap oleh kaum ateis dan ilmuwan sebagai titik kelemahan dan cacat dapat dibantah oleh risalah ini dengan sejumlah kaidah ilmiah bahwa semua itu justru merupakan kilau kemukjizatan dan sumber kesempurnaan balagah (retorika) al-Qur’an.Adapun keragu-raguan yang ada telah dijawab dengan jawaban yang memadai tanpa menyebutkan keraguan itu sendiri agar tidak mengotori pikiran.
Misalnya yang terdapat dalam ayat al-Qur’an beri- kut:“Matahari beredar...” (QS. Yâsîn [36]: 38).“Dan gunung-gunung yang menjadi pasak.” (QS. an-Naba’ [78]: 7). Kecuali syubhat di seputar beberapa ayat yang kami sebutkan pada kedudukan pertama dari “Kalimat Kedua Puluh”.
Kemudian, meskipun risalah Mukjizat al-Qur’an ini ditulis de- ngan sangat singkat dan cepat, namun ia menguraikan sisi balagah dan ilmu bahasa Arab secara apik serta dengan gaya bahasa yang ilmiah, kuat dan mendalam sehingga membuat takjub para ulama. Lalu, wa- laupun tidak setiap orang mampu menguasai semua bahasannya dan bisa menyerap maknanya secara utuh, namun masing-masing memili- ki bagian yang penting dalam ‘taman yang rimbun’ itu. Selanjutnya, sekalipun risalah ini ditulis dalam kondisi yang ti- dak stabil dan dengan terburu-buru serta tidak bisa memberikan pe- mahaman secara utuh, namun ia menjelaskan hakikat banyak persoa- lan penting dari sudut pandang ilmu pengetahuan.
Said Nursî
Mu’cizat-ı Kur’aniye Risalesi
“Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (QS. al-Isrâ [17]: 88).
Kami telah menunjukkan sekitar 40 aspek dari berbagai aspek kemukjizatan al-Qur’an yang tak terhingga di mana ia merupakan sum- ber kemukjizatan dan menjadi mukjizat Rasul x yang terbesar. Semua itu tertuang dalam risalah berbahasa Arab, dalam Risalah Nur yang ber- bahasa Arab, dalam tafsirku yang berjudul Isyârât al-I’Jâz Fî Mazhân al- Îjâz, serta dalam “Kalimat Kedua Puluh Empat” sebelumnya.Dalam risalah ini, kami akan menunjukkan lima dari sekian ba- nyak aspek tersebut lalu kami beri penjelasan yang agak rinci. Semen- tara aspek lainnya yang masih tersisa, kami masukkan di dalamnya secara global.Pada bagian pendahuluan, kami akan menjelaskan definisi dan substansi al-Qur’an al-Karim.
PENDAHULUAN
(Tiga Bagian)
Bagian Pertama
Apa itu al-Qur’an? Apa definisi al-Qur’an?
Pada “Kalimat Kesembilan Belas” dan pada sejumlah risalah lain telah dijelaskan bahwa
al-Qur’an
merupakan Terjemahan azali bagi kitab alam semesta;
Tafsiran abadi bagi ayat-ayat kauniyah;
Penafsir kitab alam gaib dan alam indrawi;
Penyingkap perbendaharaan na- ma-nama ilahi yang tersembunyi dalam lembaran langit dan bumi;
Kunci bagi hakikat yang terselubung dalam rangkaian peristiwa;
Lisan alam gaib di alam indrawi;
serta Khazanah kalam azali dan perhatian abadi Tuhan yang bersumber dari alam gaib yang tersembunyi di balik tirai alam indrawi ini.
Selain itu, al-Qur’an merupakan mentari dan pilar alam makna- wi Islam.
Ia juga merupakan peta suci bagi alam ukhrawi, ucapan dan penafsiran yang jelas,
serta argumen dan penerjemah yang tegas bagi Dzat, sifat, nama, dan kondisi Allah.
Ia merupakan pendidik alam manusia,
serta laksana air dan cahaya bagi Islam yang merupakan ke- manusiaan yang paling agung.
Al-Qur’an merupakan hikmah hakiki bagi manusia.
Al-Qur’an adalah pembimbing yang mengantar umat manusia menuju kebahagiaan.
Lalu bagi manusia, selain sebagai kitab syariah, al-Qur’an juga kitab hikmah. Selain sebagai kitab doa dan ubudiyah, al-Qur’an juga kitab perintah dan dakwah. Selain sebagai kitab zikir, al-Qur’an juga kitab pikir. Ia adalah kitab suci satu-satunya yang menghimpun seluruh kitab yang mewujudkan semua kebutuhan maknawi manusia.
Sehingga ia memperlihatkan kepada setiap aliran dari kelompok yang berbeda-beda yang terdiri dari para wali, kalangan shiddiqin, kaum arif, serta para ulama ahli peneliti sebuah risalah yang sesuai dengan kebutuhan setiap aliran tersebut. Kitab samawi ini menyerupai sebuah perpustakaan suci yang memuat banyak kitab.
Bagian Kedua
Pada ‘Kalimat Kedua Belas’ telah dijelaskan bahwa al-Qur’an diturunkan dari arasy yang paling agung, dari Ismul a’zham dan dari tingkatan nama-Nya yang paling mulia.
al-Qur’an
Ia merupakan kalam Allah dengan kedudukan-Nya sebagai Tuhan semesta alam.
Al-Qur’an ada- lah perintah Allah dengan kedudukan-Nya sebagai Sembahan seluruh entitas. Al-Qur’an adalah pesan Allah dengan kedudukan-Nya sebagai Pencipta langit dan bumi.
Al-Qur’an adalah bentuk pembicaraan yang mulia dengan sifat rububiyah mutlak.
Ia adalah pesan azali atas nama kekuasaan ilahi yang komprehensif dan agung.
Ia adalah catatan perhatian dan peng- hormatan ar-Rahman yang bersumber dari rahmat-Nya yang luas yang mencakup segala sesuatu.
Al-Qur’an merupakan kumpulan ri- salah komunikasi Rabbani yang menjelaskan keagungan uluhiyah di mana di permulaan sebagiannya ia berupa simbol-simbol dan tanda.
Ia adalah kitab suci yang menebarkan hikmah, yang turun dari ling- kup nama-Nya yang paling agung.
Ia menatap kepada apa yang dilipu- ti oleh arasy yang paling agung.
Dari rahasia ini, al-Qur’an selalu disebut dengan nama yang layak atasnya, yaitu “Kalâmullah”. Setelah al-Qur’an, terdapat sejumlah kitab suci dan suhuf para nabi. Adapun seluruh kalimat ilahi lainnya yang tak pernah habis, ada yang berupa komunikasi dalam bentuk ilham yang bersifat khusus, atas nama yang parsial, dan dengan manifestasi khusus milik nama yang spesifik, lewat rububiyah khusus, kekuasaan khusus, dan rahmat yang khusus pula. Ilham malaikat, manusia, dan hewan sangat berbeda dilihat dari sifatnya yang komprehensif dan khusus.
Bagian Ketiga
Al-Qur’an merupakan kitab samawi yang secara global berisi kitab-kitab seluruh nabi yang masanya berbeda-beda, risalah seluruh wali yang jalannya berbeda-beda, serta karya semua kalangan ashfiyâ (orang-orang saleh) yang pendekatan mereka beragam. Enam arah- nya bersinar terang dan bersih dari gelap ilusi serta suci dari noda syubhat. Sebab, titik sandarannya adalah wahyu samawi dan kalam azali. Tujuannya adalah kebahagiaan abadi lewat adanya penyaksian.Kandungannya jelas berupa petunjuk. Atasnya berupa cahaya iman, bawahnya berupa dalil dan argumen lewat ilmul yaqin. Sisi kanannya berupa kepasrahan kalbu dan nurani lewat pengalaman. Sisi kirinya berupa ketundukan akal lewat ainul yaqin. Buahnya berupa rahmat Tuhan dan negeri surga lewat haqqul yaqin. Kedudukannya diterima oleh malaikat, manusia, dan jin lewat intuisi yang benar.
Seluruh sifat yang disebutkan di atas terkait dengan definisi al- Qur’an berikut ketiga bagiannya telah dijelaskan secara meyakinkan di sejumlah tempat lain. Maka, pernyataan kami tidak sekadar memberi- kan pengakuan tanpa bukti. Namun setiap darinya diterangkan de- ngan argumen yang kuat.
OBOR PERTAMA
(Tiga Kilau)
KILAU PERTAMA
Balagah Al-Qur’an Berada pada Tingkat Kemukjizatan
Balagah (retorika) yang menakjubkan ini bersumber dari keindahan susunan al-Qur’an dan kerapian konstruksinya, keapikan dan keistimewaan gaya bahasanya, kecemerlangan dan keunggulan penjelasannya, kekuatan dan kebenaran maknanya, serta dari kefasi- han lafalnya. Dengan balagah yang luar biasa tersebut, al-Qur’an al-Karim— sejak 1300(*[1]) tahun yang lalu—menantang kaum yang paling fasih, kalangan yang paling pandai beretorika, serta cendekiawan yang pa- ling terkemuka. Namun mereka tak mampu menghadapi tantangan al- Qur’an. Meski telah ditantang, tak ada sepatah katapun yang terucap. Mereka tertunduk hina seraya menundukkan kepala. Padahal ada di antara mereka yang berdiri dengan congkak.
Kami akan menunjukkan aspek kemukjizatan balagahnya dalam dua bentuk:
Bentuk Pertama
Sebagian besar penduduk jazirah Arab ketika itu adalah buta huruf. Oleh karena itu, mereka mengabadikan kebanggaan, berbagai kejadian historis, serta peribahasa, ungkapan bijak, dan kebaikan akh- lak mereka dalam bentuk syair dan perkataan retoris lainnya yang ditransfer lewat lisan sebagai ganti dari tulisan. Ungkapan bijak ter- tanam dalam benak dan diriwayatkan secara turun-temurun.
Kebutu- han alamiah ini telah mendorong mereka untuk menjadikan kefasihan dan retorika sebagai barang yang paling laku di pasar. Sampai-sampai orang yang paling fasih di tengah kabilahnya menjadi pahlawan dan simbol kebanggaan.
Kaum yang akhirnya memimpin dunia dengan kecerdasannya setelah masuk Islam tersebut sebelumnya merupakan orang-orang yang paling unggul dalam bidang balagah di seantero dunia. Maka, balagah menjadi sesuatu yang sangat berkembang dan sangat mereka butuhkan sehingga menjadi hal yang paling membanggakan. Bahkan perang dan damai bisa terjadi antar dua kabilah hanya dengan sebuah perkataan yang terucap dari orang paling fasih di antara mereka. Lebih dari itu, mereka menulis tujuh kasidah (kumpulan syair) dengan tinta emas karya para penyair mereka yang paling fasih lalu menggantung- kannya di dinding Ka’bah. Ketujuh kumpulan syair (al-mu’allaqât al- sab’ah) itu yang kemudian menjadi simbol kebanggan mereka.
Nah, dalam kondisi seperti itulah di mana balagah mencapai puncaknya dan menjadi sesuatu yang sangat digemari, al-Qur’an di- turunkan. Sama seperti mukjizat nabi Musa (tentang sihir), dan mukjizat masa Isa (tentang pengobatan), karena yang berkembang pada saat itu adalah ilmu sihir (di masa Musa ) dan ilmu kedok- teran (di masa Isa ). Dengan balagahnya, al-Qur’an turun untuk menantang balagah yang terdapat pada masa itu dan masa-masa selan- jutnya. Al-Qur’an mengajak orang-orang fasih di kalangan Arab untuk menghadapinya dan membuat meski surah terpendek yang sama de- ngannya. Al-Qur’an menantang mereka dengan berkata: “Jika kalian ragu dengan apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami, buatlah satu surah semisalnya...” (QS. al-Baqarah [2]: 23).Al-Qur’an bahkan mengeraskan tantangannya dengan berkata:“Jika kalian tidak mampu dan kalian memang tidak akan mampu, maka takutlah kepada nereka...” (QS. al-Baqarah [2]: 24). Artinya, kalian akan digiring ke neraka Jahanam dan itu adalah tempat kembali yang paling buruk. Hal ini tentu menghancurkan ke- sombongan mereka, menghinakan akal mereka, melenyapkan mim- pi mereka, serta membinasakan mereka di dunia sebagaimana hal itu juga akan terjadi di akhirat. Dengan kata lain, kalian bisa membuat semisalnya, atau jiwa dan harta kalian berada dalam kondisi bahaya selama kalian tetap mempertahankan kekufuran.
Demikianlah, jika sikap menghadapi tantangan itu bisa dilaku- kan, mana mungkin yang dipilih jalan perang; yang lebih berbahaya dan sulit, sementara di hadapan mereka ada jalan yang mudah dan lapang. Yaitu menghadapi tantangan tadi dengan sejumlah ayat semi- sal al-Qur’an untuk membatalkan klaim dan tantangan yang ada.Ya, mungkinkah kalangan cerdik pandai yang memimpin dunia dengan politik dan kecerdasan mereka itu meninggalkan jalan ter- mudah dan paling selamat, serta memilih jalan berat yang mencam- pakkan jiwa dan harta mereka pada kebinasaan?! Sebab, seandainya orang-orang fasih dari mereka bisa menghadapi al-Qur’an dengan se- jumlah huruf, tentu klaim al-Qur’an menjadi batal. Mereka pun akan selamat dari kehancuran moril dan materiil. Kenyataannya, mereka malah memilih jalan perang yang panjang.
Artinya, menghadapi tan- tangan al-Qur’an tadi sama sekali tak bisa mereka lakukan. Akhirnya mereka menyerang dengan pedang.
Kemudian terdapat dua faktor pendorong yang sangat kuat un- tuk menghadapi tantangan al-Qur’an dan mendatangkan yang serupa dengannya, yaitu sebagai berikut: Pertama: Keinginan lawan untuk menghadapinya. Kedua: Keinginan kawan untuk menirunya. Di bawah pengaruh dua faktor di atas telah ditulis jutaan buku berbahasa Arab, namun tak ada satu kitab pun yang bisa menyerupai al-Qur’an. Setiap orang yang melihatnya—entah berilmu ataupun bodoh—pasti akan berkata, “Al-Qur’an berbeda dengan kitab lain.” Ti- dak ada seorang pun yang bisa membuat seperti al-Qur’an. Bisa jadi hal itu lantaran retorika al-Qur’an lebih rendah dari semuanya. Ini ten- tu saja mustahil sebagaimana yang dinyatakan oleh baik kawan mau- pun lawan. Atau, hal itu karena al-Qur’an berada di atas semuanya di mana ia lebih mulia dan lebih tinggi.
Barangkali engkau berkata, “Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa tidak ada yang berusaha menghadapinya? Tidakkah ada yang mengandalkan bakat dan potensinya untuk tampil menyambut tanta- ngan yang ada? Apakah kerjasama dan upaya saling bahu-membahu di antara mereka tidak berguna?”
Jawabannya:Andaikan mereka bisa menghadapi al-Qur’an, ten- tu hal itu sudah mereka lakukan. Sebab, di sini ada persoalan kehor- matan dan harga diri di samping kebinasaan jiwa dan harta. Andaikata upaya untuk menghadapi tantangan al-Qur’an benar-benar dilakukan, tentu banyak yang cenderung kepadanya. Pasalnya, para penentang kebenaran selalu banyak jumlahnya. Andaikan ada yang mendukung upaya penentangan tadi, tentu ia akan dikenal. Sebab, untuk mengha- dapi tantangan yang sepele saja, mereka membuat kasidah yang kemu- dian dijadikan sebagai kebanggaan atau karya besar yang diabadikan. Apalagi menghadapi tantangan al-Qur’an yang lebih hebat lagi, tentu tidak mungkin diabaikan oleh sejarah.Terdapat sejumlah propaganda dan serangan paling buruk ter- hadap Islam yang disebutkan dalam riwayat. Namun terkait dengan upaya meniru al-Qur’an, yang ada hanya sejumlah kalimat yang diu- capkan oleh Musailimah al-Kazzâb. Sebenarnya Musailimah itu ahli retorika. Namun saat dibandingkan dengan retorika al-Qur’an yang mengungguli semua keindahan dan estetika, retorika yang ia miliki menjadi semacam igauan. Seperti itulah ucapannya diriwayatkan da- lam lembaran sejarah. Begitulah, kemukjizatan retorika al-Qur’an adalah sebuah kepas- tian, sama seperti kepastian hasil (perkalian) dua kali dua sama de- ngan empat. Demikianlah keadaan yang sebenarnya.
Bentuk Kedua
Kami akan menjelaskan hikmah kemukjizatan retorika atau ba- lagah al-Qur’an dalam lima poin:
Poin Pertama:Kefasihan yang luar biasa dalam konstruksi al- Qur’an.
Kitab Isyârât al-I’jâz fî Mazhân al-Îjâz telah menjelaskan dari awal hingga akhir tentang kefasihan dan keapikan konstruksi al- Qur’an. Sebagaimana jarum jam yang menunjukkan hitungan detik, menit, dan jam masing-masing saling menyempurnakan, demikian pula dengan struktur pada setiap kata dan kalimat al-Qur’an, serta konstruksi pada kesesuaian setiap kalimat terhadap yang lain. Semua itu telah dipaparkan secara sangat jelas dalam ‘kitab tafsir’ di atas. Siapapun bisa merujuk kepadanya agar dapat melihat kefasihan luar biasa itu dalam berbagai bentuknya yang paling indah.
Di sini kami hanya akan menyebutkan dua contoh darinya untuk menerangkan konstruk- si kata yang saling terpaut di mana kesesuaian dan kesempurnaanya tidak bisa digantikan oleh yang lain.
Contoh pertama: “Sesungguhnya jika mereka disentuh sedikit saja dari azab Tu- hanmu...” (QS. al-Anbiyâ [21]: 46).
Kalimat di atas diungkapkan untuk memperlihatkan hebatnya sik- sa, namun dengan menampakkan dampak yang hebat dari siksa yang paling kecil. Oleh karena itu, semua bentuk redaksi tersebut yang me- ngandung makna sedikit dan kecil menatap kepada makna tersebut di- sertai adanya kekuatan agar menampakkan kondisi yang menakutkan.
Kata (لَئِن۟) untuk menunjukkan ketidakpastian.
Hal ini menyi- ratkan sesuatu yang sedikit. Kata (مَسَّ)bermakna sentuhan yang juga bermakna sedikit.
Kata (نَف۟حَةٌ) adalah materi berupa aroma atau hem- busan kecil yang bermakna sedikit.
Di samping itu, bentuknya juga memiliki arti satu, yakni satu yang kecil. Dalam gramatika, ia disebut mashdar al-marrah yang bermakna sedikit.
Bentuk indefinit (nakirah) dari kata juga untuk menunjukkan sedikit.
Artinya, ia adalah se- suatu yang kecil dalam batas yang tidak diketahui sehingga disebutkan secara indefinit.
Selanjutnya kata untuk menunjukkan arti ‘sebagian’ se- hingga bermakna sedikit. Kata juga semacam balasan kecil jika dibandingkan dengan kata atau . Kata (رَبِّكَ) sebagai ganti dari (Yang Mahagagah), (Yang Maha Perkasa), (Yang Maha Membalas) menunjukkan sesuatu yang sedikit.
Yaitu dengan adanya sifat kasih sayang dan rahmat padanya.Jadi, redaksi ayat di atas menunjukkan bahwa jika siksa yang ada sudah luar biasa padahal baru sedikit, apalagi jika berupa hukuman ilahi yang dahsyat.
Perhatikan redaksi di atas dengan cermat agar eng- kau bisa melihat bagaimana contoh yang kami berikan itu memperha- tikan redaksi dan makna yang dituju.
Contoh kedua:
“Dan menginfakkan (sebagian) dari apa yang telah Kami anuge- rahkan kepada mereka.” (QS. al-Baqarah [2]: 3).
Redaksi ayat di atas menunjukkan lima syarat diterimanya se- dekah, yaitu sebagai berikut:
Pertama, dari kata مِن۟ yang menunjukkan arti ‘sebagian’ pada kata (وَمِمَّا) ‘sebagian dari apa atau sesuatu’. Artinya, orang yang berse- dekah tidak boleh memberikan semua yang ada di tangannya sehingga membutuhkan sedekah pula.
Kedua, dari kata (رَزَق۟نَاهُم۟) ‘yang Kami anugerahkan kepada mere- ka’. Artinya, tidak mengambil dari Zaid lalu menyedekahkannya kepa- da Amar. Namun sedekah tersebut harus berasal dari hartanya. Yakni, sedekahkan sebagian dari rezeki milik kalian.
Ketiga, dari kata نَا‘Kami’ dalam kata رَزَق۟نَا ‘yang telah Kami anuge- rahkan’. Artinya, tidak mengungkit dan tidak merasa berjasa. Sebab, tidak ada jasa kalian dalam sedekah itu. Aku yang memberikan rezeki kepada kalian. Lalu kalian menginfakkan sebagian dari harta-Ku ke- pada hamba yang lain.
Keempat, dari kata (يُن۟فِقُونَ) ‘menginfakkan’. Artinya, sedekah itu diinfakkan kepada orang yang mempergunakan untuk kebutuhan yang penting. Sebab, sedekah tidak diterima jika diberikan kepada orang yang mempergunakannya dalam keburukan.
Kelima, dari kata (رَزَق۟نَاهُم۟) ‘yang telah Kami anugerahkan kepada mereka’. Artinya, sedekah itu atas nama Allah. Yakni, harta tersebut adalah harta-Ku. Kalian harus memberikannya atas nama-Ku.
Di samping syarat dan kriteria di atas, terdapat pemaknaan se- dekah secara umum. Yakni, sebagaimana sedekah bisa dilakukan de- ngan harta, ia juga bisa dengan ilmu, ucapan, perbuatan, dan nasihat. Hal ini diisyaratkan oleh kata ‘sesuatu’ dalam kata ‘dari sesuatu’ yang bermakna umum.
Demikianlah, kalimat singkat yang berbicara tentang sedekah ini mempersembahkan kepada akal manusia lima syarat dan kriteria se- dekah disertai penjelasan mengenai wilayahnya yang luas.Begitulah redaksi kalimat al-Qur’an memiliki konstruksi yang sangat banyak seperti contoh di atas.
Kosakata al-Qur’an juga memi- liki wilayah konstruksi yang luas semacam itu. Demikian pula dengan klausa dan kalimat al-Qur’an.
firman Allah yang berbunyi:
Contoh,
“Katakanlah: Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya. Dia tiada beranak dan ti- dak pula diperanakkan. Tidak ada satupun yang setara dengan Dia.” (QS. al-Ikhlâs [112]: 1-4).Ayat-ayat mulia di atas berisi enam kalimat. Tiga darinya bersi- fat menetapkan (afirmasi) dan tiga lagi bersifat menafikan (negasi). Ia menetapkan enam tingkatan tauhid sekaligus menafikan enam bentuk kemusyrikan. Setiap kalimatnya merupakan dalil bagi kalimat-kalimat yang lain di samping sebagai konklusi darinya. Sebab, setiap kalimat memiliki dua makna di mana salah satunya merupakan konklusi dan yang satunya lagi adalah dalil atau petunjuk.Dengan kata lain, surah al-Ikhlas berisi tiga puluh surah dari surah al-Ikhlâs. Yaitu surah-surah yang tersusun dan terbentuk dari berbagai dalil yang saling menguatkan.
Misalnya sebagai berikut:
‘Katakan bahwa Dialah Allah’. Sebab, Dia Ma- haesa, Dzat tempat bergantung, tiada beranak, tiada diperanakkan, dan tiada yang setara dengan-Nya. ‘Tiada yang setara dengan-Nya’. Sebab, Dia tidak diperanakkan, tidak beranak, Dzat tempat bergantung, Esa, dan Dia adalah Allah.
‘Dialah Allah’. Dia Mahaesa, Dia tempat bergantung. Oleh karena itu, Dia tidak beranak, tidak diperanakkan, serta tiada yang setara dengan-Nya. Demikian seterusnya.
Contoh lain adalah firman Allah yang berbunyi:
“Alif lâm mîm. Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah [2]: 1-2).
Masing-masing dari keempat kalimat di atas memiliki dua mak- na. Dengan melihat salah satunya, ia menjadi petunjuk atau dalil bagi kalimat lain dan dengan melihat yang lain, ia menjadi hasil darinya. Dari situ dapat dihasilkan sebuah konstruksi menakjubkan yang terdi- ri dari enam belas garis korelasi dan kesesuaian.Hal itu telah dijelaskan dalam kitab Isyârât al-I’jâz sehingga se- olah-olah setiap ayat memiliki mata yang menatap kepada sebagian besar ayat serta wajah yang menghadap kepadanya sehingga terdapat garis korelasi dan keterkaitan antara masing-masingnya yang merang- kai sebuah goresan kemukjizatan. Hal itu seperti yang dijelaskan pada “Kalimat Ketiga Belas”. Buku tafsir, Isyârât al-I’jâz, telah menjelaskan bentuk kefasihan dan keapikan konstruksinya.
Poin Kedua: Balagah yang luar biasa dari sisi maknanya.
Engkau bisa mencicipinya pada ayat berikut: “Semua yang terdapat di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah. Dia Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.” (QS. al-Hadîd [57]: 1).Perhatikan contoh di atas yang dijelaskan dalam “Kalimat Ketiga Belas”. Bayangkan dirimu berada dalam kondisi sebelum cahaya al- Qur’an turun, yaitu pada era jahiliyah, pada masa primitif dan bodoh. Segala sesuatu dibungkus dengan tirai kelalaian dan gelapnya kebodo- han. Ia diselimuti oleh sikap jumud dan kebendaan. Tiba-tiba engkau menyaksikan gema firman-Nya:“Semua yang terdapat di langit dan bumi bertasbih kepada Allah...” (QS. al-Hadîd [57]: 1). Atau:“Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya ber- tasbih kepada Allah...” (QS. Al-Isrâ [17]: 44).Kehidupan mengalir pada entitas yang mati lewat gema (سَبَّحَ ) dan (تُسَبِّحُ) ‘bertasbih’ di seluruh telinga pendengar sehingga mereka bangkit seraya bertasbih menyebut Allah.Wajah langit yang gelap di mana bintang-gemintang tak ber- nyawa bersinar terang padanya serta bumi yang dihuni oleh makhluk yang lemah, lewat gema dan cahaya (تُسَبِّحُ) “tasbih”, berubah dalam benak pendengar menjadi mulut yang berzikir kepada Allah. Setiap bintang memancarkan cahaya hakikat dan menebarkan hikmah yang sangat bijak. Lewat gema dan cahaya samawi itu, wajah bumi berubah menjadi kepala yang besar, serta darat dan laut menjadi dua lisan yang mengucap tasbih. Juga, seluruh tumbuhan dan hewan berubah menja- di untaian kalimat yang berzikir dan bertasbih sehingga seluruh bumi seolah-olah berdenyut hidup.
Contoh: Lihatlah contoh berikut, yang disebutkan pada “Kalimat Kelima Belas”. Yaitu firman Allah yang berbunyi:
“Wahai golongan jin dan manusia! Jika kalian sanggup menem- bus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka tembuslah. Kalian ti- dak akan mampu menembusnya kecuali dengan kekuatan (dari Allah). Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Kepada kamu (jin dan manusia) akan dikirim nyala api dan cairan tembaga (panas) sehingga kamu tidak dapat menyelamatkan diri (darinya). Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. ar-Rahmân [55]: 33-36). “Dan sungguh telah Kami hiasi langit yang dekat, dengan bin- tang-bintang dan Kami jadikan ia (bintang-bintang itu) sebagai alat- alat pelempar setan...” (QS. al-Mulk [67]: 5).Perhatikan ayat-ayat di atas dan renungkan apa yang dikatakan- nya. Ia berkata, “Wahai manusia dan jin yang sombong dalam keti- dakberdayaan dan kehinaannya. Wahai yang keras kepala dan pem- bangkang dengan kondisinya yang miskin dan papa. Jika kalian tidak mematuhi perintah-Ku, silahkan keluar dari batas-batas kerajaan dan kekuasaan-Ku jika mampu. Bagaimana mungkin kalian berani me- nentang perintah Sang Raja yang agung. Bintang, bulan, dan matahari berada dalam genggaman-Nya. Mereka melaksanakan perintah-Nya bagaikan pasukan yang selalu siap siaga. Dengan sikap pembang- kangan tersebut, kalian sebenarnya sedang menentang Sang Pengua- sa Yang Mahaagung dan Mulia di mana Dia memiliki pasukan yang taat dan selalu siap siaga.
Mereka dapat melemparkan benda sebesar gunung kepada setan kalian sekalipun.
Dengan sikap ingkar kalian, sebenarnya kalian sedang membangkang dalam kerajaan Sang Raja Agung dan Mulia di mana Dia memiliki pasukan besar yang dapat melempari para musuh yang ingkar meski sebesar bumi dan gunung dengan peluru yang menyala dan kepingan kobaran api seukuran bumi dan gunung sehingga bisa menghancurkan kalian.
Jika demiki- an, apalagi makhluk lemah seperti kalian. Kalian menentang hukum permanen yang terkait dengan Tuhan yang mampu melempari kalian dengan peluru seperti bintang-gemintang.Lewat contoh di atas engkau bisa mengukur kekuatan makna, ke- fasihan retorika, dan ketinggian pelajaran yang terdapat pada seluruh ayat al-Qur’an.
Poin Ketiga:Keindahan luar biasa dalam gaya bahasanya.
Ya, gaya bahasa al-Qur’an al-Karim unik dan istimewa serta menakjubkan dan meyakinkan. Al-Quran tidak meniru sesuatu atau seseorang, dan tak seorangpun yang bisa menirunya. Al-Qur’an telah dan senantiasa menjaga kelembutan dan kesegaran gaya bahasanya seperti ketika pertama kali diturunkan.
Ya, gaya bahasa al-Qur’an al-Karim unik dan istimewa serta menakjubkan dan meyakinkan. Al-Quran tidak meniru sesuatu atau seseorang, dan tak seorangpun yang bisa menirunya. Al-Qur’an telah dan senantiasa menjaga kelembutan dan kesegaran gaya bahasanya seperti ketika pertama kali diturunkan.Sebagai contoh, huruf-huruf muqatta’ah (terputus) yang disebut- kan di permulaan sejumlah surah menyerupai kode rahasia. Misalnya:Kami telah menuliskan sekitar enam cahaya kemukjizatannya dalam buku Isyârât al-I’jâz. Di antaranya adalah sebagai berikut:Huruf-huruf yang disebutkan di permulaan surah itu membagi dua setiap pasangan karakter huruf hijaiyah. Yaitu huruf yang beraspi- rasi dan jelas (mahmûsah dan majhûrah), serta yang keras dan lunak(*[2])(syadîdah dan rakhwah) dan berbagai pembagian lainnya. Adapun bunyi yang tidak bisa terbagi, maka yang berat kurang dari setengah seperti qalqalah dan yang ringan lebih sedikit seperti dzalâqah (huruf- huruf yang bermakhraj ujung lidah). Cara al-Qur’an yang samar dan tak terjangkau oleh akal tersebut di antara sekian banyak cara yang berisi ratusan kemungkinan, kemudian cara penyajiannya dalam me- dan luas yang rambu-rambunya serupa, tentu saja bukan sebuah kebe- tulan dan bukan berasal dari manusia.
Huruf-huruf muqatta’ah (terputus) yang terdapat di permulaan surah di mana ia merupakan kode dan rumus-rumus ilahi menjelas- kan lima atau enam rahasia cahaya kemukjizatan yang lain. Bahkan para ulama ahli rahasia huruf serta para wali ahli peneliti telah me- ngungkap banyak rahasia dari huruf-huruf tersebut. Mereka menemu- kan sejumlah hakikat mulia yang menegaskan bahwa huruf-huruf ter- putus itu merupakan mukjizat cemerlang. Adapun kita tidak mampu membuka pintu itu karena tidak mampu menggapai rahasia yang ada. Selain itu, kita tidak mampu menetapkan secara meyakinkan dalam bentuk yang diakui oleh semua kalangan. Oleh karena itu, cukup bagi kita merujuk kepada lima atau enam kilau kemukjizatan terkait de- ngan huruf-huruf terputus itu yang terdapat dalam buku Isyârât al- I’jâz.
Sekarang kita akan menyebutkan sejumlah petunjuk tentang gaya bahasa al-Qur’an dengan melihat surah, ayat, klausa, dan kalimatnya.
Misalnya surah an-Naba’ (عَمَّ) dan seterusnya. Jika diper- hatikan secara seksama, surah tersebut menggambarkan dan menetap- kan berbagai kondisi akhirat, kebangkitan, surga dan neraka dengan gaya bahasa yang indah yang menenangkan hati. Pasalnya, ia mene- rangkan bahwa berbagai perbuatan ilahi dan jejak Rabbani yang terdapat di dunia mengarah kepada setiap kondisi ukhrawi di atas. Kare- na penjelasan tentang gaya bahasa surah tersebut sangat panjang, kita akan menjelaskan satu atau dua hal saja darinya.
Di permulaan surah tersebut, ia menegaskan keberadaan hari kiamat dengan berkata, “Kami menjadikan bumi untuk kalian sebagai hamparan yang telah dibentangkan dengan sangat indah. Lalu Kami jadikan gunung sebagai pilar dan pasak yang penuh dengan kekayaan untuk tempat tinggal dan kehidupan kalian. Kami pun menciptakan kalian berpasangan-pasangan di mana kalian saling mencintai dan menyayangi. Kami jadikan malam sebagai tirai agar kalian bisa ber- istirahat, siang sebagai medan untuk mencari penghidupan, serta ma- tahari sebagai lentera yang terang dan penghangat untuk kalian. Dari awan, Kami turunkan air yang membangkitkan kehidupan di mana ia mengalir laksana mata air. Selain itu, dengan mudah Kami tumbuh- kan dari air tersebut berbagai tanaman yang berbunga dan berbuah di mana ia membawa rezeki untuk kalian. Kalau demikian, hari keputu- san, yaitu hari kiamat, sedang menantikan kalian. Proses mendatang- kannya bukan hal yang sulit.
Selanjutnya, secara implisit ia menerangkan apa yang akan terja- di pada hari kiamat, seperti gunung yang berjalan dan berhamburan, langit terbelah, neraka yang siap siaga, serta bagaimana surga membe- rikan taman yang indah bagi para penghuninya. Seakan-akan ia berka- ta, “Dzat yang melakukan semua perbuatan itu terhadap gunung dan bumi seperti yang kalian lihat akan melakukan hal serupa di akhirat.” Artinya, gunung yang terdapat di awal surah menunjukkan sejumlah kondisi gunung di hari kiamat. Taman yang terdapat di permulaan surah mengisyaratkan keberadaan taman surga di akhirat. Engkau bisa membandingkan yang lainnya pula guna menyaksikan ketinggian dan kehalusan gaya bahasa al-Qur’an.
Sebagai contoh:“Katakanlah: Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Eng- kau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau ke- luarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Engkau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas).” (QS. Âli `Imrân [3]: 26-27).
Dengan gaya bahasa yang tinggi, ayat di atas menerangkan ber- bagai perbuatan ilahi yang terdapat dalam diri manusia, manifestasi ilahi yang terdapat dalam pergantian siang dan malam, tindakan ilahi dalam peralihan musim, serta ketentuan ilahi yang terdapat dalam ke- hidupan, kematian, pengumpulan, dan kebangkitan duniawi di muka bumi. Gaya bahasa yang tinggi dan indah itu sampai ke tingkat yang menundukkan akal para pakar. Karena ketinggian bahasanya demiki- an terang di mana ia bisa terlihat meski hanya dengan penglihatan yang paling sederhana, maka kami tidak membuka ‘khazanah’ tersebut untuk saat ini.
Contoh lain:
“Apabila langit terbelah, patuh kepada Tuhannya, dan sudah se- mestinya langit itu patuh, serta apabila bumi diratakan, dan apa yang ada di dalamnya dilemparkan dan menjadi kosong, patuh kepada Tu- hannya, dan sudah semestinya bumi itu patuh.” (QS. al-Insyiqâq [84]: 1-5).
Ayat al-Qur’an di atas menerangkan sejauh mana ketundukan langit dan bumi serta ketaatan mereka dalam menunaikan perintah Allah. Ia menerangkan semuanya dengan gaya bahasa yang tinggi dan mulia.
Sebab, sebagaimana seorang panglima besar membentuk dua divisi militer untuk melaksanakan tuntutan jihad, seperti manuver (la- tihan perang) dan mobilisasi (perekrutan tentara). Nah, ketika waktu jihad selesai, ia mengarah kepada kedua divisi tersebut guna dipergu- nakan untuk tugas lain lantaran tugas mereka telah usai. Seakan-akan masing-masing berkata dengan lisan para petugas dan pelayannya:“Wahai panglima, beri kami waktu luang sejenak agar kami bisa mempersiapkan diri dan membersihkan tempat ini dari berbagai sisa aktivitas kami sebelumnya. Setelah itu, kami siap menjalankan tugas kembali.” Tidak lama kemudian ia berkata, “Kami telah membuang si- sa-sisa tadi keluar. Kami taat kepada perintahmu. Lakukan apa yang engkau inginkan. Kami mematuhi perintahmu. Semua yang engkau perbuat adalah benar, indah, dan baik.”
Demikian pula langit dan bumi merupakan dua divisi atau wilayah yang dibuka untuk menjadi tempat tugas (taklif) dan medan ujian. Ketika waktunya selesai, langit dan bumi itu pun meninggalkan tugasnya dengan izin Allah. Keduanya berkata, “Wahai Tuhan, tugas- kan kami pada sesuatu yang Kau kehendaki. Sikap patuh wajib kami perlihatkan. Semua yang Kau perbuat adalah benar.” Lihat dan per- hatikan dengan cermat ketinggian gaya bahasa dalam kalimat di atas.
Contoh lain:“Dan difirmankan, ‘Wahai bumi, telanlah airmu! Dan wahai langit (hujan), berhentilah! Air pun disurutkan, perintah pun disele- saikan, dan bahtera itu pun berlabuh di atas bukit Judi’. Lalu dikatakan, ‘Binasalah orang-orang yang zalim’.” (QS. Hûd [11]: 44).
Untuk menunjukkan setetes dari lautan balagah ayat di atas, kami hanya akan menjelaskan satu gaya bahasa darinya dalam ben- tuk perumpamaan.
Yaitu, seorang panglima besar dalam perang dunia setelah memperoleh kemenangan memerintahkan pasukannya, “Ber- hentilah melepaskan tembakan!” Lalu ia menyuruh pasukan yang lain, “Berhenti menyerang!” Seketika itu pula tembakan dan serangan langsung berhenti. Kemudian ia menemui mereka seraya berkata, “Semua sudah usai. Kita sudah mengalahkan musuh. Panji kita telah tegak berkibar. Kaum yang zalim itu telah menerima balasan mereka dan jatuh ke dalam lembah kehinaan, asfalu sâfilîn.”
Demikian pula Sang Raja yang tiada tandingan-Nya telah me- merintahkan langit dan bumi untuk membinasakan kaum nabi Nuh. Setelah mereka mengerjakan perintah tersebut, Dia berkata ke- pada keduanya, “Wahai bumi, telanlah airmu! Wahai langit, diamlah! Tugas kalian telah selesai.” Seketika air surut dan kapal “produk ilahi” itu pun berlabuh laksana kemah yang tegak di atas puncak gunung. Sementara kaum yang zalim menerima balasan mereka.Perhatikanlah ketinggian gaya bahasa di atas. Bumi dan la- ngit laksana dua prajurit yang taat dan siap untuk menerima perin- tah. Dengan gaya bahasa tersebut, ayat di atas menunjukkan bahwa seluruh entitas bisa murka ketika manusia membangkang. Langit dan bumi bisa marah karenanya. Dengan petunjuk di atas, ia menegaskan bahwa Dzat yang dipatuhi oleh langit dan bumi tidak boleh ditentang dan tidak sepatutnya ditentang. Hal itu memberikan satu peringatan keras bagi manusia.
Engkau melihat betapa ayat tersebut dengan sa- ngat singkat hanya dalam beberapa kalimat menggabungkan antara peristiwa angin topan yang bersifat komprehensif dengan dampak dan hakikatnya. Anda bisa menganalogikan satu tetes (ayat) ini dengan te- tesan lautan (ayat-ayat) lainnya.
Sekarang perhatikan gaya bahasa yang diperlihatkan oleh al- Qur’an dari jendela kosa katanya. Misalnya kata ‘tandan tua’ dalam ayat yang berbunyi:
“Telah Kami tetapkan sejumlah kedudukan bagi bulan sehingga (setelah ia sampai kepada kedudukan yang terakhir) kembalilah ia se- perti tandan yang tua.” (QS. Yâsîn [36]: 39).Kata tersebut memperlihatkan satu gaya bahasa yang sangat in- dah. Hal itu karena bulan memiliki tempat berupa garis edar. Keti- ka bulan di tempat itu berbentuk seperti sabit, ia menyerupai tandan tua yang berwarna putih. Dengan perumpamaan tersebut, ayat di atas mengetengahkan ke hadapan imajinasi pendengar bahwa seakan-akan di balik tirai langit ini terdapat sebuah pohon yang salah satu dahan- nya yang berwarna putih membelah tirai itu lalu mengeluarkan ujungnya. Nah, bintang kejora seperti satu ranting yang bergantung padanya. Sementara bintang-bintang yang lain laksana buah bercahaya dari pohon penciptaan yang tersembunyi. Jadi, tidak salah jika bulan sabit digambarkan dengan perumpamaan di atas kepada mereka yang sum- ber penghidupan dan sebagian besar kekuatannya berasal dari pohon kurma. Ia merupakan gaya bahasa yang sangat tepat dan indah ser- ta sangat relevan. Jika memiliki daya rasa, engkau pasti dapat mema- haminya.
Contoh lain adalah kata (تَج۟رٖى) ‘berjalan’ pada ayat berikut:“Matahari berjalan di tempat peredarannya...” (QS. Yâsîn [36]: 38). Kata di atas membuka jendela bagi sebuah gaya bahasa yang sangat tinggi seperti yang ditegaskan dalam penutup “Kalimat Kesembi- lan Belas”. Yaitu bahwa kata (تَج۟رٖى) ‘berjalan’ yang mengarah kepada berputarnya matahari menerangkan keagungan Sang Pencipta Yang Mahaagung di mana Dia mengingatkan pada perbuatan qudrah ila- hi yang tertata rapi dalam pergantian musim panas dan dingin serta pergantian siang dan malam. Ia mengarahkan perhatian pada seluruh risalah Tuhan yang ditulis dengan pena qudrah ilahi dalam lembaran antar musim. Dengan begitu, ia mengajarkan hikmah Sang Pencipta Yang Maha Agung.
Selanjutnya firman Allah :“Dan kami jadikan matahari sebagai lentera.” (QS. Nûh [71]: 16). Kata (سِرَاجًا)‘lentera’ membuka sebuah jendela bagi gaya bahasa seperti di atas. Yaitu ia menerangkan keagungan Sang Pencipta dan kebaikan Sang Khalik di mana Dia mengingatkan bahwa alam ini lak- sana istana. Berbagai kebutuhan, makanan, dan perhiasan yang terdapat di dalamnya sengaja disediakan untuk manusia dan makhluk hidup. Sementara matahari hanyalah lentera yang ditundukkan untuk manusia. Dengan begitu, ia menerangkan sebuah dalil tauhid. Pasal- nya, matahari yang oleh kaum musyrik dianggap sebagai sesembahan mereka yang paling besar dan paling terang, tidak lain adalah lentera yang ditundukkan dan makhluk tak bernyawa.Jadi, pengungkapan kata (سِرَاجًا) ‘lentera’ mengingatkan kepada rahmat Khalik dalam keagungan rububiyah-Nya serta menjelaskan kemurahan-Nya dalam keluasan rahmat-Nya. Dengan cara itu, Dia menyadarkan akan kemurahan-Nya dalam keagungan kekuasaan-Nya sekaligus menerangkan keesaan-Nya. Seolah-olah Dia berkata, “Len- tera yang ditundukkan dan lampu tak bernyawa itu sama sekali tak layak disembah.”
Kemudian peredaran matahari lewat penggunaan kata (تَج۟رٖى) ‘berjalan’ mengingatkan pada sejumlah perbuatan yang tertata rapi dan menakjubkan dalam peralihan musim semi dan panas serta siang dan malam. Ia juga menjelaskan keagungan qudrah Sang Pencipta yang Esa dalam rububiyah-Nya. Artinya, ungkapan tersebut mengarahkan benak manusia dari matahari dan bulan menuju lembaran siang dan malam serta musim panas dan dingin. Selain itu, ia mengalihkan per- hatiannya pada goresan berbagai peristiwa yang tertulis dalam lemba- ran tersebut.Ya, al-Qur’an tidak membahas matahari hanya semata-ma- ta untuk substansi matahari. Namun untuk Dzat yang membuatnya bersinar dan menjadikannya sebagai lentera. Ia tidak membahas esen- sinya yang tidak dibutuhkan oleh manusia. Namun membahas tugas dan fungsinya di mana ia menunaikan fungsi pegas bagi tatanan kreasi ilahi, pusat keteraturan penciptaan rabbani, serta kumparan bagi kese- larasan ciptaan-Nya dalam segala sesuatu yang dirangkai oleh Pencip- ta azali lewat benang-benang siang dan malam.
Engkau bisa menganalogikan hal ini dengan keseluruhan ko- sakata al-Qur’an. Meskipun tampak seperti kata yang sudah dikenal dan sederhana, namun ia menunaikan tugas sebagai kunci bagi ber- bagai gudang makna yang halus.
Demikianlah. Karena ketinggian gaya bahasa al-Qur’an, seperti disebutkan dalam berbagai aspek di atas, maka seorang Arab badui terpukau oleh kadangkala hanya sebuah ungkapan darinya sehingga bersujud sebelum beriman. Misalnya, salah seorang dari mereka men- dengar ayat yang berbunyi:“Maka sampaikanlah secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu)...” (QS. al-Hijr [15]: 94).Seketika ia tersungkur bersujud. Saat ditanya, “Apakah engkau masuk Islam?” Ia menjawab, “Tidak, aku bersujud karena balagah yang terdapat pada ungkapan tersebut.”
Poin Keempat: Kefasihan luar biasa dalam redaksinya.
Ya, di samping mengandung aspek balagah yang sangat tinggi dilihat dari sisi gaya bahasa dan penjelasan maknanya, redaksinya juga sangat fasih. Dalil paling kuat yang menunjukkan kefasihannya adalah bahwa ia tidak melahirkan rasa bosan dan jenuh. Selain itu, kesak- sian para ahli ilmu bayan dan semantik juga menjadi bukti yang sangat jelas atas kefasihannya. Ya, andaikan al-Qur’an diulang ribuan kali, hal itu tidak akan membuat bosan. Bahkan ia akan bertambah nikmat. Selanjutnya, al- Qur’an juga tidak berat bagi akal anak kecil sehingga mudah mereka hafal. Telinga orang yang terkena penyakit kronis, di mana ia sangat terganggu dengan ucapan pelan, juga tidak akan jenuh dengan al- Qur’an. Sebaliknya ia akan merasa nikmat. Ia laksana minuman segar yang berada di mulut orang sakarat. Ia terasa nyaman di telinga dan otaknya seperti air zam-zam yang terasa segar saat berada di mulut.
Hikmah mengapa al-Qur’an tidak membuat bosan dan jenuh adalah karena al-Qur’an merupakan makanan dan nutrisi bagi kalbu, sumber kekuatan dan kekayaan bagi akal, air dan cahaya bagi ruh, serta obat bagi jiwa manusia. Oleh karena itu, ia tidak akan melahirkan rasa bosan. Ia seperti nasi yang kita makan setiap hari di mana kita tidak merasa bosan dengannya. Sementara, jika kita makan buah yang paling nikmat setiap hari pasti akan merasa bosan. Jadi, karena al-Qur’an me- rupakan sebuah kebenaran, hakikat, kejujuran, petunjuk, dan terus tam- pak segar dan manis sehingga salah seorang tokoh Quraisy dan ahli retorika mereka saat mendatangi Nabi x untuk mendengar al-Qur’an berkomentar setelah mendengarkannya, “Demi Allah, ia demikian manis dan indah. Ia bukan ucapan manusia.” Setelah itu ia berujar ke- pada kaumnya, “Demi Allah, tidak ada seorangpun dari kalian yang lebih paham tentang syair daripada diriku. Demi Allah, ucapannya itu tidak sama dengan ucapanku.” Akhirnya mereka hanya bisa berkata bahwa beliau adalah tukang sihir guna memperdaya pengikut mere- ka sehingga tidak mengikuti Nabi x. Demikianlah musuh al-Qur’an yang paling keras sekalipun tercengang di hadapan kefasihannya.
memiliki kefasihan luar biasa, ia tidak melahirkan rasa bosan. Ia akanMenjelaskan sebab-sebab kefasihan yang terdapat dalam ayat- ayat al-Qur’an, pada klausa dan kalimatnya sangat panjang. Maka un- tuk membatasi pembicaraan, kita hanya akan memperlihatkan kilau kemukjizatan yang bersinar dari kondisi dan susunan huruf-huruf hijaiyah dalam sebuah ayat sebagai contoh, yaitu firman Allah yang berbunyi:
ثُمَّ اَن۟زَلَ عَلَي۟كُم۟ مِن۟ بَع۟دِ ال۟غَمِّ اَمَنَةً نُعَاسًا يَغ۟شٰى طَٓائِفَةً مِن۟كُم۟ …اِلٰى اٰخِرهِ
Ayat di atas menggabungkan semua huruf hijaiyah dan berbagai bentuk huruf yang berat. Namun demikian, semua itu tidak mem- buatnya kehilangan kefasihan. Bahkan ia semakin memperindah dan menambahkan satu bentuk kefasihan yang bersumber dari bunyi yang selaras dan beragam.
Perhatikan dengan cermat kilau yang memiliki sisi kemukjizatan ini. Karena huruf alif (ا) dan yâ (ي) merupakan huruf hijaiyah yang paling ringan di mana yang satu bisa berbalik menjadi yang lain seper- ti dua orang saudara, maka masing-masing terulang sebanyak dua pu- luh satu kali. Sementara karena huruf mîm (م) dan nûn (ن) bersauda- ra,(*[3])serta dapat saling menggantikan, masing-masing disebutkan sebanyak tiga puluh tiga kali.
Kemudian huruf shâd (ص), sîn (س), dan syîn (ش) saling bersaudara dilihat dari titik artikulasi (makhraj), sifat, dan bunyinya sehingga masing-masing darinya disebutkan tiga kali. Setelah itu, huruf `aîn (ع) dan ghaîn (غ) juga bersaudara sehingga `aîn disebutkan sebanyak enam kali karena ringan,
sementara ghaîn yang agak berat disebutkan tiga kali atau setengahnya. Huruf thâ (ط), zhâ (ظ), dzâl (ذ), dan zây (ز) bersaudara dilihat dari titik artikulasi, sifat, dan bunyinya, masing-masing disebutkan sebanyak dua kali. Huruf lâm (ل) dan alif (ا) menyatu dalam pola Lâ (لا). Bagian alif setengah dari pola لا. Dalam hal ini, lâm disebutkan sebanyak 42 kali dan alif disebutkan setengahnya, yaitu sebanyak 21 kali. Huruf hamzah (ء) dan hâ (هـ) bersaudara dilihat dari titik artikulasinya. Dalam hal ini, hamzah disebutkan 13 kali,149 sementara hâ sebanyak 14 kali karena ia satu de- rajat lebih ringan daripada hamzah. Huruf qâf (ق), fâ (ف), dan kâf (ك) bersaudara. Huruf qâf disebut- kan sebanyak sepuluh kali karena tambahan titik padanya, lalu huruf fâ disebutkan sembilan kali, dan kâf juga sembilan kali. Kemudian huruf bâ (ب) disebutkan sembilan kali, sementara tâ (ت) disebutkan dua belas kali karena derajatnya tiga. Huruf râ (ر) saudara dari lâm. Hanya saja râ berjumlah dua ratus, dan lâm tiga puluh sesuai dengan nilai “gematria abjad arab”. Yakni bahwa râ enam derajat di atas lâm se- hingga ia enam derajat lebih rendah darinya. Begitu pula râ sering ter- ucap sehingga terasa berat. Karenanya, ia hanya disebutkan sebanyak enam kali.
Selanjutnya, karena khâ (خ), hâ (ح), tsâ (ث), dan dhâd (ض) berat, sementara di antara mereka terdapat keselarasan, masing-ma- sing disebutkan satu kali. Karena huruf wâw (و) lebih ringan dari huruf hâ dan hamzah, serta lebih berat daripada huruf yâ dan alif, maka ia disebutkan sebanyak tujuh belas kali. Yaitu 4 derajat di atas hamzah yang berat dan 4 derajat di bawah alif yang ringan.
Demikianlah huruf-huruf yang diletakkan dengan sangat rapi itu, disertai keselarasannya, keteraturannya yang indah, dan tatanan- nya yang cermat menetapkan dengan sangat pasti seperti pastinya ha- sil perkalian (2 x 2 = 4) bahwa ia bukan merupakan kreasi manusia dan tak mungkin dilakukan olehnya. Proses kebetulan juga mustahil ikut campur di dalamnya.Jadi, keteraturan menakjubkan dan tatanan istimewa yang ter- dapat pada kondisi huruf-huruf tersebut di samping menjadi sumber kefasihan redaksinya, bisa jadi ia memiliki banyak hikmah yang lain. Selama huruf-huruf tersebut mengandung keteraturan semacam itu, tentu keteraturan penuh rahasia dan keselarasan bercahaya yang ter- dapat pada kosakata, kalimat, dan maknanya juga diperhatikan. An- daikan mata melihat, sudah pasti ia kagum seraya mengucap mâsyâ Allâh. Apabila akal memahaminya, sudah pasti ia menjadi takjub de- ngan mengucap bârakallâh.
Poin Kelima:Keapikan bayân (penjelasan).
Yaitu keunggulan, kekuatan, dan keistimewaan dari sisi penjela- sannya. Sebagaimana sebagian besar konstruksi dan redaksi al-Qur’an mengandung kefasihan, maknanya berisi balagah, gaya bahasanya menampilkan keindahan, maka sisi bayannya juga berisi keunggulan yang luar biasa.Ya, bayan atau cara penjelasan al-Qur’an berada pada tingkat tu- turan yang paling tinggi. Misalnya dalam hal memberikan motivasi dan ancaman, pujian dan celaan, penetapan dan petunjuk, serta dalam memberikan pemahaman dan argumen.
Di antara ribuan contoh tentang “pemberian motivasi dan an- juran” adalah surah al-Insân. Sebab, penjelasan al-Qur’an pada surah tersebut demikian indah seperti telaga kautsar; apik mengalir seperti mata air salsabil; nikmat seperti buah surga; dan indah seperti perhi- asan bidadari.(*[4])
Di antara contoh yang tak terhingga terkait dengan “pemberian ancaman dan peringatan” adalah pendahuluan surah al-Ghâsyiyah. Se- bab, penjelasan al-Qur’an pada surah tersebut memberikan pengaruh mendalam seperti tembakan peluru di telinga kaum yang sesat, laksa- na kobaran api di akal mereka, serta ibarat pohon zaqqum di tenggoro- kan, nyala neraka di wajah, serta makanan berduri di perut mereka. Ya, jika “yang diberi perintah untuk menyiksa” saja, yaitu neraka “nyaris pecah karena murka” (QS. Al-Mulk [67]: 8), apalagi dengan ancaman Dzat “yang memberi perintah untuk menyiksa”, Allah .
Di antara ribuan contoh tentang “pujian” adalah lima surah yang diawali dengan kalimat Z [. Sebab, penjelasan al-Qur’an pada surah-surah tersebut demikian terang laksana matahari,(*[5])in- dah laksana bintang, menakjubkan laksana langit dan bumi, dicinta dan disenangi laksana malaikat, lembut laksana kasih sayang terhadap anak-anak di dunia, serta menyenangkan laksana surga di akhirat.
Di antara ribuan contoh tentang “kecaman dan celaan” adalah ayat yang berbunyi:“Adakah seorang di antara kalian yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?...” (QS. al-Hujurât [49]: 12).Ayat ini melarang dan mengecam dengan sangat keras perbuatan gibah (menggunjing) dalam enam tingkatan. Karena pesan ayat di atas ditujukan kepada mereka yang suka menggunjing, maka ayat tersebut bermakna sebagai berikut: Huruf hamzah (ﺃ) yang terdapat di awal digunakan untuk memberikan sebuah pertanyaan retoris (istifhâm inkârî). Makna pertanyaan tersebut menembus dan mengalir seperti air ke semua kata dalam ayat di atas sehingga setiap kata mengandung makna.(*[6])
Kata pertama dalam ayat tersebut adalah huruf hamzah (ﺃ). De- ngan hamzah (pertanyaan), ayat tersebut bermaksud menegur pem- bacanya: “Apakah kalian tidak memiliki akal—yang bisa berpikir—se- hingga dapat memahami betapa buruknya perilaku gibah ini?”.
Dalam kata kedua, yaitu Z ‘suka’, ayat tersebut bermaksud menegur dengan pertanyaan: “Apakah hati kalian—yang merupakan tempat rasa cinta dan benci—telah rusak sehingga mencintai sesuatu yang paling buruk dan menjijikkan?”.
Dalam kata ketiga, yakni (اَحَدُكُم۟) ‘salah seorang di antara ka- lian’, ayat tersebut bermaksud menegur dengan pertanyaan: “Apa yang telah terjadi dengan kehidupan sosial dan peradaban kalian—yang vitalitasnya bersumber dari vitalitas jamaah—sehingga ia rela dengan suatu perbuatan yang bisa meracuni kehidupan kalian?”.
Dalam kata keempat, yakni (اَن۟ يَا۟كُلَ لَح۟مَ) ‘memakan daging’, ayat tersebut bermaksud menegur dengan pertanyaan: “Ada apa de- ngan rasa kemanusiaan kalian sehingga kalian tega memangsa teman akrab kalian sendiri?”.
Dalam kata kelima, yaitu (اَخٖيهِ) ‘saudaranya’, ayat tersebut ber- maksud menegur dengan pertanyaan: “Tidakkah kalian mempunyai belas kasihan terhadap sesama manusia?! Apakah kalian tidak memi- liki hubungan kekerabatan yang mengikat kalian dengan mereka se- hingga kalian tega menerkam saudara kalian—dilihat dari bebera- pa sisi—secara biadab?! Apakah orang yang tega menggigit anggota badannya sendiri bisa dikatakan memiliki akal?! Bukankah orang se- perti itu adalah orang gila?”.
Dalam kata keenam, yaitu (مَي۟تًا) ‘yang sudah mati’, ayat terse- but bermaksud menegur dengan pertanyaan: “Di mana nurani kalian? Apakah fitrah kalian telah rusak sehingga melakukan tindakan yang paling buruk dan menjijikkan, yaitu memakan daging saudara kalian, padahal mereka adalah orang yang layak kalian hormati?!”.
Dari ayat yang mulia ini—dan lewat berbagai dalil dalam ungka- pannya yang telah kami sebutkan—dapat dipahami bahwa gibah ada- lah perbuatan yang tercela dilihat dari sudut pandang akal, kalbu, rasa kemanusiaan, perasaan, fitrah, dan hubungan sosial.Renungkan makna ayat mulia di atas dan lihatlah bagaimana ayat tersebut mengutuk perbuatan gibah dalam enam tingkatan de- ngan bahasa yang penuh mukjizat dan sangat ringkas.
Selanjutnya, di antara ribuan contoh tentang “penetapan” adalah ayat yang berbunyi:“Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Al- lah menghidupkan bumi yang sudah mati. Sesungguhnya (Tuhan yang berkuasa seperti) demikian benar-benar (berkuasa) menghidupkan orang-orang yang telah mati. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. ar-Rûm [30]: 50).Ayat di atas menetapkan kebangkitan dan menghapus keraguan tentangnya dengan penjelasan yang sangat memadai. Hal ini se- bagaimana yang telah kami sebutkan dalam ‘hakikat kesembilan’ dari “Kalimat Kesepuluh” serta pada ‘kilau kelima’ dari “Kalimat Kedua Pu- luh Dua”. Yaitu bahwa setiap kali musim semi tiba, seakan-akan bumi dibangkitkan kembali dengan kemunculan 300 ribu bentuk kebang- kitan secara sangat rapi dan istimewa, padahal ia demikian bercam- pur dan berbaur, sehingga proses menghidupkan dan membangkit- kan tersebut demikian jelas bagi semua yang melihat. Seakan-akan ia berkata, “Dzat yang menghidupkan bumi semacam ini tidak sulit untuk membangkitkan manusia di hari akhir”. Kemudian penulisan ratusan ribu jenis makhluk hidup di atas lembaran bumi lewat pena qudrah tanpa ada yang keliru dan cacat merupakan stempel Dzat Yang Maha Esa. Di samping membuktikan tauhid, ayat itu juga membukti- kan kiamat dan kebangkitan seraya menjelaskan bahwa pengumpulan dan kebangkitan makhluk sangat mudah bagi kekuasaan-Nya. Ia ada- lah sesuatu yang pasti sebagaimana kepastian terbit dan terbenamnya matahari.Selain itu, ayat di atas ketika menjelaskan hakikat yang ada de- ngan redaksi (كَي۟فَ ) ‘bagaimana’, yakni dari sisi cara, maka surah- surah yang lain merinci cara yang dimaksud.
Misalnya surah Qâf. Ia menegaskan keberadaan kebangkitan dengan penjelasan indah dan cemerlang yang memberikan pelajaran bahwa kedatangan kebang- kitan tidak diragukan seperti kedatangan musim semi. Perhatikan bagaimana al-Qur’an menjawab kaum kafir yang ingkar dan sikap heran mereka terhadap proses menghidupkan tulang-belulang berikut perubahannya menjadi makhluk yang baru.Al-Qur’an berkata:“Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikan dan menghiasinya serta bagaimana langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun? Kami hamparkan bumi dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali (mengingat Allah). Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya. Lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam, juga pohon kur- ma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun. Hal itu untuk menjadi rezeki bagi hamba. Kami hidupkan dengan air tanah yang mati (kering). Seperti itulah terjadinya kebangkitan.” (QS. Qâf [50]: 6-11).Penjelasan di atas mengalir seperti air yang deras. Ia bersinar laksana bintang yang terang. Ia memberi makan dan nutrisi kepada kalbu dengan makanan yang manis dan nikmat laksana kurma. Maka, ia menjadi nutrisi sekaligus makanan yang nikmat.
Di antara contoh paling tepat tentang ‘penetapan’ adalah ayat berikut:“Yâ sîn. Demi al-Qur’an yang penuh hikmah. Engkau termasuk rasul yang diutus.” (QS. Yâsîn [36]: 1-3).Sumpah di atas menunjukkan bukti dan dalil kerasulan dengan sangat kuat dan jelas sehingga dalam hal kebenaran dan kejujuran ia mencapai tingkat penghormatan. Karenanya, ia menjadi alat sumpah. Dengan petunjuk tersebut, al-Qur’an al-Karim ingin berkata, “Engkau adalah rasul karena di tanganmu terdapat al-Qur’an yang penuh hikmah. Al-Qur’an itu sendiri adalah sesuatu yang haq dan perkataan yang benar. Pasalnya, ia berisi hikmah hakiki dan terdapat stempel kemukjizatan.
Dari sekian contoh ‘penetapan’ yang menakjubkan adalah ayat al-Qur’an berikut:قَالَ مَن۟ يُح۟يِى ال۟عِظَامَ وَهِىَ رَمٖيمٌ قُل۟ يُح۟يٖيهَا الَّذٖٓى اَن۟شَاَهَٓا اَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَل۟قٍ عَلٖيمٌ
“Ia berkata: Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh?” Katakanlah: Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali pertama. Dia Maha mengetahui tentang se- gala makhluk.” (QS. Yâsîn [36]: 78-79).
Pada contoh ketiga dari ‘hakikat kesembilan’ dalam “Kalimat Kesepuluh” terdapat deskripsi indah tentang persoalan ini, kurang lebih seperti ilustrasi berikut: Seorang pembesar dapat membentuk pasukan besar hanya dalam satu hari. Lalu ada seseorang yang berka- ta, “Orang ini mampu mengumpulkan prajurit yang bertebaran untuk istirahat hanya dengan satu tiupan. Seketika satu batalion berbaris rapi di hadapannya.” Nah wahai manusia jika engkau berkata, “Aku tidak percaya,” maka engkau dapat memahami betapa sikap ingkarmu terse- but sangat mengada-ada.
Demikian pula dengan Dzat yang mencip- takan jasad seluruh makhluk hidup dari tiada laksana pasukan besar dengan sangat rapi dan penuh hikmah, lalu mengumpulkan semua partikel jasad lewat perintah kun fayakûn pada setiap masa, bahkan pada setiap musim semi, di seluruh permukaan bumi, kemudian Dia menghadirkan ratusan ribu contoh makhluk hidup sejenis, sudah pas- ti Dzat Mahakuasa dan Maha Mengetahui yang melakukan semua itu tidak sulit untuk mengumpulkan partikel-partikel dasar dan bagian utama dalam satu sistem tubuh laksana pasukan besar yang rapi hanya dengan tiupan malaikat Israfil. Sikap tidak percaya kepada kemam- puan Dzat Yang Mahakuasa dan Maha Mengetahui itu tentu merupa- kan sikap tidak waras.
Dalam hal ‘petunjuk dan bimbingan’, maka penjelasan al-Qur’an sangat efektif, mulia, dan halus sehingga membuat jiwa dipenuhi oleh rasa rindu, akal dipenuhi oleh keingintahuan, serta membuat mata berlinang.
Dari sekian ribu contoh yang ada, kita ambil ayat berikut:“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang men- jadi sumber aliran sungai, di antaranya ada yang terbelah lalu keluarlah mata air darinya, serta di antaranya ada yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah. Allah sekali-sekali tidak lengah terhadap apa yang kalian kerjakan.” (QS. al-Baqarah [2]: 74).
Seperti telah kami jelaskan dalam pembahasan ayat ketiga dari ‘kedudukan pertama’ dalam “Kalimat Kedua Puluh”, ayat di atas ber- bicara kepada Bani Israil: “Apa yang terjadi pada kalian wahai Bani Israil sehingga tidak peduli dengan semua mukjizat Musa . Mata kalian kering; tak bisa menangis. Kalbu kalian kesat dan keras; tak ada rasa rindu. Padahal, batu yang keras saja bisa mengeluarkan air dari dua belas mata air dengan satu kali pukulan tongkat Musa . Ini merupakan salah satu dari sekian banyak mukjizat yang ia miliki”. Kita cukupkan sampai di sini dan untuk mendapatkan penjela- san yang lebih rinci, silakan merujuk kepada “kalimat” tersebut. Di dalamnya terdapat penjelasan yang cukup memadai.
Terkait dengan ‘pemberian argumen mematikan’ perhatikan dua contoh berikut di antara ribuan contoh yang ada.
Contoh pertama:وَاِن۟ كُن۟تُم۟ فٖى رَي۟بٍ مِمَّا نَزَّل۟نَا عَلٰى عَب۟دِنَا فَا۟تُوا بِسُورَةٍ مِن۟ مِث۟لِهٖ وَاد۟عُوا شُهَدَٓاءَكُم۟ مِن۟ دُونِ اللّٰهِ اِن۟ كُن۟تُم۟ صَادِقٖينَ
“Jika kalian (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), datangkan satu surah (saja) yang semisal al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu se- lain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. al-Baqarah [2]: 23). Di sini kami hanya akan memberikan sebuah petunjuk global, sebab hal itu telah kami jelaskan dalam buku Isyârât al-I’jâz. Yaitu bahwa al-Qur’an al-Mu’jizul Bayân berkata,
“Wahai seluruh jin dan manusia, jika kalian masih ragu bahwa al-Qur’an merupakan ka- lam Allah serta kalian menyangka bahwa ia adalah ucapan manusia, maka marilah menuju medan tantangan. Datangkan al-Qur’an seperti ini yang bersumber dari sosok buta huruf yang tidak tahu baca tulis seperti Muhammad yang kalian sebut ummi.
Jika kalian tak mampu melakukannya, datangkan dari orang yang tidak buta huruf, ahli re- torika atau berilmu.
Jika kalian tidak mampu juga, datangkan ia dari sekelompok ahli retorika; bukan hanya dari satu orang. Bahkan kum- pulkan semua orang fasih, ahli pidato, serta karya terbaik generasi ter- dahulu dan bantuan generasi mendatang berikut sekutu kalian selain Allah. Curahkan semua yang kalian miliki sehingga kalian dapat men- datangkan yang sejenis al-Qur’an.
Jika kalian tidak mampu, datangkan satu kitab yang seperti balagah dan susunan al-Qur’an tanpa melihat berbagai hakikatnya yang agung dan mukjizat maknawiyahnya.”Bahkan al-Qur’an menantang yang lebih rendah daripada itu dengan berkata:
“Datangkan sepuluh surah semisalnya yang dibuat-buat...” (QS. Hûd [11]: 13).Maksudnya, kebenaran maknanya tidak penting. Ia boleh berisi kebohongan yang dibuat-buat.
Jika kalian masih tidak mampu, hen- daknya sepuluh surah saja; tidak perlu seluruh al-Qur’an.
Jika kalian masih tidak mampu, datangkan satu surah saja.
Jika kalian melihat ini tetap sulit, ia bisa berupa surah yang pendek. Akhirnya, jika kalian lemah tak mampu dan tidak akan mampu meski sangat butuh men- datangkan semisalnya karena kehormatan, kemuliaan, agama, fa- natisme kesukuan, harta, jiwa, dunia, dan akhirat kalian hanya bisa terlindungi dengan mendatangkan semisalnya, Sebab jika tidak, di dunia kehormatan dan agama kalian berada dalam bahaya di samping kehinaan akan menyelimuti kalian dan harta kalian akan musnah, be- lum lagi di akhirat kalian akan menjadi kayu bakar neraka bersama patung kalian
di mana kalian diputuskan untuk berada di penjara aba- di, maka:“Maka jagalah diri dari neraka yang bahan bakarnya berupa ma- nusia dan bebatuan...” (QS. Al-Baqarah [2]: 24).Jika kalian mengakui ketidakmampuan kalian lewat delapan tingkatan yang ada, maka kalian harus mengetahui bahwa al-Qur’an merupakan mukjizat lewat delapan tingkatan. Kalian bisa beriman ke- padanya atau tetap tidak bergeming sehingga neraka menjadi tempat kalian.
Setelah mengetahui penjelasan al-Qur’an di atas dan penetapan- nya dalam memberikan argumen mematikan, ucapkanlah, لَي۟سَ بَع۟دَ بَيَانِ ال۟قُر۟اٰنِ بَيَانٌ
“Benar bahwa tidak ada penjelasan yang mengungguli penjelasan al-Qur’an.”
Contoh kedua:
فَذَكِّر۟ فَمَٓا اَن۟تَ بِنِع۟مَتِ رَبِّكَ بِكَاهِنٍ وَلَا مَج۟نُونٍ اَم۟ يَقُولُونَ شَاعِرٌ نَتَرَبَّصُ بِهٖ رَي۟بَ ال۟مَنُونِ قُل۟ تَرَبَّصُوا فَاِنّٖى مَعَكُم۟ مِنَ ال۟مُتَرَبِّصٖينَ اَم۟ تَا۟مُرُهُم۟ اَح۟لَامُهُم۟ بِهٰذَٓا اَم۟ هُم۟ قَو۟مٌ طَاغُونَ اَم۟ يَقُولُونَ تَقَوَّلَهُ بَل۟ لَا يُؤ۟مِنُونَ فَل۟يَا۟تُوا بِحَدٖيثٍ مِث۟لِهٖٓ اِن۟ كَانُوا صَادِقٖينَ اَم۟ خُلِقُوا مِن۟ غَي۟رِ شَى۟ءٍ اَم۟ هُمُ ال۟خَالِقُونَ اَم۟ خَلَقُوا السَّمٰوَاتِ وَال۟اَر۟ضَ بَل۟ لَا يُوقِنُونَ اَم۟ عِن۟دَهُم۟ خَزَٓائِنُ رَبِّكَ اَم۟ هُمُ ال۟مُصَي۟طِرُونَ اَم۟ لَهُم۟ سُلَّمٌ يَس۟تَمِعُونَ فٖيهِ فَل۟يَا۟تِ مُس۟تَمِعُهُم۟ بِسُل۟طَانٍ مُبٖينٍ اَم۟ لَهُ ال۟بَنَاتُ وَلَكُمُ ال۟بَنُونَ اَم۟ تَس۟ئَلُهُم۟ اَج۟رًا فَهُم۟ مِن۟ مَغ۟رَمٍ مُث۟قَلُونَ اَم۟ عِن۟دَهُمُ ال۟غَي۟بُ فَهُم۟ يَك۟تُبُونَ اَم۟ يُرٖيدُونَ كَي۟دًا فَالَّذٖينَ كَفَرُوا هُمُ ال۟مَكٖيدُونَ اَم۟ لَهُم۟ اِلٰهٌ غَي۟رُ اللّٰهِ سُب۟حَانَ اللّٰهِ عَمَّا يُش۟رِكُونَ
Di antara ribuan hakikat yang dikandung oleh ayat-ayat di atas, kami hanya akan menjelaskan sebuah hakikat sebagai contoh dari pemberian argumen yang bisa mematahkan musuh, yaitu sebagai berikut:Ayat-ayat di atas membungkam semua kaum sesat sekaligus menutup dan melenyapkan celah-celah keraguan. Hal itu dengan re- daksi اَم۟ - اَم۟ ‘Ataukah...Ataukah’ sebanyak lima belas tingkatan per- tanyaan retoris (istifhâm inkâri). Tidak ada satupun celah yang men- jadi sandaran kaum sesat kecuali segera ditutup. Tidak satupun tirai yang mereka jadikan tempat bersembunyi kecuali disingkap.
Tidak satupun kebohongan mereka kecuali dibantah. Setiap bagian darinya membatalkan rangkuman konsep kekufuran yang dibawa oleh kaum kafir. Baik dengan penjelasan singkat atau dengan mendiamkannya, atau mengembalikannya kepada intuisi karena jelas menyimpang, atau dengan memberikan petunjuk umum. Sebab, semua konsep kekufu- ran itu telah terjawab dan disanggah di bagian lain secara rinci.Misalnya:Bagian pertama mengarah kepada ayat yang berbunyi:“Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah pantas baginya...” (QS. Yâsîn [36]: 69). Sementara bagian kelima belas mengarah kepada ayat yang berbunyi:“Andaikan di dalamnya terdapat tuhan-tuhan selain Allah, tentu ia akan rusak...” (QS. al-Anbiyâ [21]: 22). Semua bagian atau paragraf juga demikian adanya.Pada pendahuluan ayat di atas berbunyi:
“Maka peringatkanlah, karena dengan nikmat Tuhanmu engkau (Muhammad) bukanlah seorang tukang tenung dan bukan pula orang gila.” Yakni, sampaikan semua hukum ilahi. Engkau bukan dukun. Se- bab, ucapan dukun dibuat-buat, rancu dan hanya bersifat dugaan. Se- mentara ucapanmu adalah benar dan meyakinkan. Sampaikan hukum ilahi itu. Engkau tidak gila sama sekali. Para musuh sekalipun menga- kui kesempurnaan akalmu.”
“Ataukah mereka mengatakan: Dia adalah seorang penyair yang kami nantikan kecelakaan menimpanya”.
Luar biasa! Apakah mere- ka menganggapmu penyair seperti kaum kafir yang awam yang tidak merujuk kepada akal? Ataukah mereka sebenarnya sedang menanti- kan kebinasaan dan kematianmu?! Jawablah mereka, “Tunggulah, aku juga sedang menunggu bersama kalian.” Berbagai hakikatmu yang agung dan cemerlang bersih dari segala khayalan dan hiasan syair.
“Ataukah mereka diperintah oleh pikiran mereka untuk mengucap- kan tuduhan-tuduhan ini”.
Atau, mereka enggan mengikutimu seperti para filsuf yang bersandar pada akalnya yang kosong? Di mana mereka berkata, “Cukuplah bagi kami akal pikiran kami.” Padahal justru akal tersebut menyuruh untuk mengikutimu. Apa saja yang kau ucapkan adalah rasional. Namun ia tidak bisa dicapai hanya dengan akal.
“Ataukah mereka kaum yang melampaui batas?”.
Atau, sebab dari sikap ingkar mereka karena mereka tidak mau tunduk pada kebenaran seperti kaum tiran yang zalim? Padahal kesudahan dari para tiran yang sombong seperti Fir’aun dan Namrud telah diketahui.
“Ataukah mereka berkata, ‘Ia (Muhammad) membuat-buatnya’. Sebenarnya mereka tidak beriman”.
Atau, mereka menuduhmu dengan menganggap al-Qur’an sebagai hasil karyamu seperti yang dikatakan oleh orang-orang munafik pendusta yang tidak memiliki hati nura- ni? Padahal, mereka itulah yang telah memanggilmu dengan sebutan “Muhammad al-Amîn” (yang amanah) karena kejujuranmu. Jadi, me- reka sama sekali tidak ada niat untuk beriman. Jika tidak, hendaklah mereka menemukan hal yang sepadan dengan al-Qur’an dalam karya manusia.
“Ataukah mereka diciptakan tanpa sesuatupun”.
Atau, mereka menganggap diri mereka lepas begitu saja, tercipta secara sia-sia tan- pa tujuan dan tugas, serta tidak ada yang mencipta mereka? Apakah mereka mengira alam ini seluruhnya sia-sia seperti yang diyakini oleh para filsuf?! Atau, apakah mata mereka buta? Apakah mereka tidak melihat seluruh alam ini dari ujung ke ujung bagaimana ia terhias de- ngan berbagai hikmah dan sejumlah tujuan, lalu seluruh entitas mulai dari partikel hingga galaksi memiliki tugas-tugas agung dan tunduk kepada perintah ilahi.
“Ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?”.
Atau, mereka menganggap bahwa segala sesuatu terbentuk dengan sendiri- nya, tumbuh besar dengan sendirinya, serta seluruh kebutuhannya ter- cipta dengan sendirinya seperti yang dikatakan oleh kalangan materi- alis yang congkak sehingga mereka enggan beriman dan menyembah Allah. Kalau begitu, berarti mereka menganggap diri mereka sendiri sebagai pencipta. Padahal, pencipta sesuatu pada saat yang sama juga harus menciptakan segala sesuatu. Jadi, sikap sombong dan lupa diri membuat mereka demikian bodoh hingga menganggap bahwa sosok yang lemah di hadapan makhluk yang paling lemah—seperti lalat dan mikroba—memiliki kekuasaan mutlak. Selama mereka berpikiran semacam itu dan melupakan sisi kemanusiaannya, berarti mereka le- bih sesat daripada binatang. Bahkan lebih rendah daripada benda mati sekalipun. Jangan pedulikan sikap ingkar mereka. Namun posisikan mereka sebagai bagian dari hewan berbahaya dan materi yang rusak. Jangan hiraukan mereka dan jangan pernah memberikan perhatian kepada mereka.
“Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Se- benarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan)”.
Atau, mereka mengingkari wujud Allah seperti kaum pengingkar yang bodoh yang menyangkal keberadaan Sang Pencipta sehingga mere- ka tidak mau mendengarkan al-Qur’an. Kalau begitu, mereka harus mengingkari pula keberadaan langit dan bumi. Ataukah mereka harus mengaku sebagai penciptanya sehingga menanggalkan akal secara to- tal dan jatuh dalam ketidakwarasan. Sebab, bukti-bukti tauhid demiki- an jelas. Ia dapat dilihat di seluruh penjuru alam sebanyak bintang di langit dan sebanyak bunga di bumi. Semuanya menunjukkan wujud Allah . Dengan demikian, mereka tidak ada niat untuk tunduk kepa- da kebenaran dan keyakinan. Jika tidak, bagaimana mungkin mereka menganggap kitab alam yang besar ini yang setiap hurufnya mengelu- arkan ribuan kitab tidak memiliki penulis. Padahal, mereka mengeta- hui dengan baik bahwa setiap huruf pasti ada yang menulisnya.
“Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Tuhanmu?”.
Atau, mereka menafikan kehendak ilahi sebagaimana sikap sebagian filsuf yang sesat. Atau, mereka mengingkari prinsip kenabian sebagaimana sikap penganut Hinduisme sehingga tidak percaya kepadamu. Kalau begitu, mereka harus mengingkari semua jejak hikmah, berbagai tu- juan mulia, keteraturan menakjubkan, berbagai manfaat yang mem- berikan buah, tanda-tanda rahmat yang luas, serta perhatian luar biasa yang terlihat pada semua entitas yang hal itu menunjukkan adanya kehendak ilahi. Mereka juga harus mengingkari semua mukjizat para nabi. Atau, mereka harus berkata, “Perbendaharaan yang mencurah- kan kebaikan atas seluruh makhluk berada di tangan kami”. Mereka memperlihatkan bahwa mereka tidak layak untuk mendapat pesan Tuhan. Jika demikian, jangan meratapi pengingkaran mereka. Allah memang memiliki banyak hewan yang tidak punya akal.
“Ataukah mereka yang berkuasa?”.
Atau, mereka menyangka diri mereka sebagai pengawas atas perbuatan Allah? Apa mereka ingin menjadikan Allah sebagai penanggungjawab seperti kelompok Muktazilah yang memosisikan akal sebagai penguasa. Acuhkan dan abaikan mereka. Sebab, sikap ingkar kaum yang tertipu itu sama sekali tidak berguna.
“Ataukah mereka mempunyai tangga (ke langit) untuk mende- ngarkan pada tangga itu (hal-hal yang gaib)? Maka hendaklah orang yang mendengarkan di antara mereka mendatangkan suatu keterangan yang nyata”.
Atau, mereka mengira diri mereka telah menemukan jalan lain menuju alam gaib seperti yang diklaim oleh para dukun yang mengikuti setan dan jin serta seperti para pesulap yang menghadirkan arwah? Atau, mereka mengira diri mereka memiliki tangga menuju langit yang tertutup bagi setan sehingga mereka tidak mau memper- cayai informasi langit yang kau terima. Sikap pengingkaran kaum pe- nipu yang ingkar itu sama dengan tidak ada.
“Ataukah untuk Allah anak-anak perempuan dan untuk kamu anak-anak laki-laki?”.
Atau, mereka menisbatkan sekutu kepada Dzat Yang Mahaesa dengan nama akal sepuluh (al`uqûl al-`asyarah) dan pemelihara spesies seperti yang dipahami para filsuf penyembah ber- hala? Atau, mereka menisbatkan sekutu dengan sejenis sifat uluhiyah yang dilekatkan kepada bintang dan malaikat seperti kaum Shabî- iyyûn. Atau, dengan menisbatkan anak kepada Allah seperti per- kataan kaum ateis dan kelompok sesat? Atau, mereka menisbatkan kepada-Nya anak yang menafikan kemutlakan wujud Dzat Yang Ma- haesa berikut keesaan dan sifat shamadaniyah-Nya, padahal Dia Maha tidak membutuhkan dan Maha Mulia? Atau, mereka menisbatkan sifat feminin kepada malaikat yang menafikan tabiat mereka sebagai makh- luk yang taat beribadah dan terbebas dari dosa (ishmah)? Atau, mere- ka mengira bahwa dengan cara seperti itu mereka menghadirkan para pemberi syafaat untuk diri mereka sehingga tak perlu mengikutimu? Manusia fana yang mengharapkan penolong, yang tercipta da- lam kondisi mencintai dunia hingga mabuk padanya, yang lemah dan membutuhkan keabadian spesiesnya, yang dipersiapkan untuk ber- keturunan sebagai landasan kelangsungan hidup seluruh makhluk, maka menisbatkan sifat berketurunan kepada Dzat yang wujud-Nya bersifat wajib— di mana Dia abadi, azali, tidak berwujud fisik, yang qudrah-Nya tidak bercampur dengan kelemahan, Mahaesa, Maha- agung, dan Maha Mulia—serta menisbatkan anak kepada-Nya, apalagi anak itu berupa sosok yang lemah seperti wanita yang tidak disenangi oleh sikap congkak mereka adalah puncak dari omong kosong, igauan dan ketidakwarasan. Oleh karena itu, kebohongan mereka itu tak perlu disanggah. Engkau tidak perlu mendengarkan mereka dan tidak perlu memedulikan mereka. Sebab, omong kosong orang mabuk dan igauan orang gila tidak perlu didengar.
“Ataukah kamu meminta upah kepada mereka sehingga mereka dibebani dengan hutang?”.
Atau, mereka melihat berbagai tugas ubudi- yah yang engkau minta dari mereka merupakan beban yang berat seperti anggapan para pembangkang yang cinta dunia dan terbiasa dengan kehinaan sehingga lari dari tugas tersebut. Tidakkah mereka mengetahui bahwa engkau hanya mengharapkan upah dari Allah. Beratkah mereka bersedekah dari harta yang Allah berikan pada me- reka agar harta itu semakin berkah, agar kaum fakir tidak dengki pada- nya, serta agar pemiliknya tidak didoakan buruk oleh mereka? Apakah berzakat—yang hanya sepuluh persen (10%)(*[7])atau dua koma lima persen (2,5%)(*[8])dari harta yang ada—dianggap berat sehingga mereka lari dari Islam? Penyangkalan mereka tidak penting sehingga tidak per- lu dijawab. Mereka hanya perlu diberi pelajaran, bukan jawaban.
“Ataukah di sisi mereka terdapat pengetahuan tentang hal gaib, lalu mereka menuliskannya?”.
Atau, informasi gaib yang engkau terima tidak menarik bagi mereka sehingga mereka mengaku mengetahui hal gaib seperti kaum Buddhis dan rasionalis yang menganggap prasangka sebagai sebuah keyakinan. Apakah mereka memiliki kitab dari alam gaib sehingga berani menolak kitab sucimu yang (isinya) bersumber dari alam gaib? Alam tersebut tidak mungkin tersingkap tabirnya ke- cuali kepada para rasul yang mendapat wahyu dan tak seorangpun yang bisa masuk ke dalamnya sendiri. Sikap ingkar kaum congkak yang melampaui batas itu tidak layak mematahkan semangatmu. Se- bentar lagi berbagai hakikat yang engkau miliki akan menghancurkan ilusi mereka.
“Ataukah mereka hendak melakukan tipu daya? Sesungguhnya orang-orang yang kafir itulah yang terkena tipu daya”.
Atau, mereka ingin menjadi seperti kaum munafik yang fitrah dan nurani mereka telah rusak, serta seperti kaum zindik pembuat makar yang menghala- ngi manusia dari jalan hidayah lewat tipu daya sehingga mereka meng- alihkan manusia dari jalan yang benar. Bahkan mereka menyebutmu sebagai dukun, orang gila, dan tukang sihir. Padahal mereka sendiri tidak mempercayai klaim tersebut, apalagi orang lain. Karena itu, ja- ngan Kau hiraukan para pendusta yang menipu itu serta jangan meng- anggap mereka sebagai manusia. Namun teruslah berdakwah di jalan Allah tanpa pernah surut. Mereka hanya menipu diri sendiri serta menimpakan bahaya kepada diri mereka sendiri. Kesuksesan mereka dalam melakukan kerusakan dan tipu daya hanya sementara waktu. Itu hanya istidraj dan makar ilahi.
“Ataukah mereka mempunyai Tuhan selain Allah. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”.
Atau, mereka menentangmu dan merasa tidak membutuhkanmu karena merasa ada tuhan selain Allah yang menjadi sandaran mereka seperti kaum Majusi yang mengangkat dua tuhan sebagai pencipta kebaikan dan pencipta keburukan. Atau, seperti para penyembah sebab dan berhala di mana mereka memberi- kan sejenis sifat uluhiyah kepada sebab-sebab tersebut dan menggam- barkannya sebagai tempat sandaran. Mata mereka telah buta sehingga tidak melihat keteraturan yang paling sempurna dan jelas sejelas siang di jagat raya ini serta keharmonisan yang paling indah di dalamnya?!Dengan konsekuensi firman Allah:“Andaikan di dalamnya (langit dan bumi) terdapat tuhan-tuhan selain Allah, tentu tatanan keduanya rusak...” (QS. al-Anbiyâ [21]: 22), jika terdapat dua lurah di satu kelurahan, atau dua gubernur di sebuah provinsi, atau dua presiden di sebuah negara, maka kondisinya tidak akan teratur dan tidak harmonis. Sementara keteraturan dan kerapian yang cermat terlihat jelas mulai dari sayap nyamuk hingga bintang di langit. Jadi, tidak ada tempat bagi sekutu meski hanya seukuran sa- yap nyamuk. Selama mereka masih tidak mau menggunakan akal dan menjauhi logika sehat serta melakukan berbagai hal yang bersebera- ngan dengan nalar dan aksioma, maka sikap ingkar mereka tidak usah mengalihkan perhatianmu dalam memberi peringatan dan petunjuk.
Demikianlah, ayat-ayat di atas yang merupakan rangkaian ber- bagai hakikat telah kami jelaskan secara umum salah satu saja dari ratusan permata darinya. Yaitu permata yang terkait dengan ‘pembe- rian argumen mematikan’. Andaikan aku memiliki kemampuan untuk menjelaskan sejumlah permata lain darinya, tentu Engkau juga akan berkata, “Ayat-ayat ini merupakan mukjizat itu sendiri.”
Selanjutnya, penjelasan al-Qur’an terkait dengan ‘pemberian pe- mahaman dan pengajaran’ sungguh luar biasa dan sangat istimewa. Sehingga dengan penjelasan tersebut, orang yang paling awam sekali- pun dapat memahami hakikat paling agung dan paling dalam dengan mudah.
Ya, al-Qur’an yang terang menunjukkan banyak hakikat tersem- bunyi lalu mengajarkannya kepada masyarakat dengan bahasa yang mudah dan jelas serta dengan penjelasan yang memadai di mana se- suai dengan nalar masyarakat umum, tidak melukai perasaan mereka dan tidak terasa berat bagi mereka. Sebagaimana ketika berbicara de- ngan anak kecil, seseorang akan memergunakan ungkapan yang tepat untuknya. Demikian pula dengan gaya bahasa al-Qur’an yang disebut: “Penyesuaian firman ilahi dengan akal manusia” merupakan pe- san yang turun ke tingkat pemahaman si penerima pesan sehingga orang yang paling awam dapat diberi pemahaman mengenai berbagai hakikat tersembunyi dan rahasia rabbani, di mana hal ini sulit untuk dilakukan oleh para ahli hikmah. Hal itu dilakukan lewat berbagai pe- rumpamaan dan tamsil dalam bentuk yang bermiripan.
Misalnya firman Allah yang berbunyi:“Tuhan Yang Maha Penyayang bersemayam di atas Arasy.” (QS. Thâhâ [20]: 5).Ayat ini menjelaskan sifat rububiyah ilahi dan tata cara penataan sifat tersebut terhadap sejumlah urusan alam dalam bentuk perumpa- maan atas kedudukan rububiyah dengan penguasa yang bersemayam di tahtanya dan mengatur urusannya.
Ya, karena al-Qur’an merupakan kalam Tuhan semesta alam, ia turun dari kedudukan rububiyah-Nya yang paling agung di mana mendominasi semua kedudukan lainnya. Ia membimbing orang- orang yang sampai kepada berbagai kedudukan tersebut, menembus 70 ribu tabir, mengarah kepadanya sekaligus menyinarinya. Ia mene- barkan cahayanya kepada ribuan tingkatan orang-orang yang menjadi objek pesannya yang berbeda-beda tingkat pemahaman. Ia mencurahkan limpahan karunianya sepanjang masa yang memiliki potensi yang beraneka ragam. Meskipun berbagai maknanya disebarkan dengan sangat mudah ke berbagai penjuru dan zaman, namun vitalitas dan kesegarannya tetap terpelihara dan tidak kehilangan sedikitpun. Bah- kan, ia tetap indah, halus, dan lembut. Sebagaimana ia menyampaikan sejumlah pelajaran kepada orang awam dengan mudah, hal yang sama juga terjadi pada semua kalangan yang memiliki tingkat pemahaman dan kecerdasan yang berbeda-beda. Ia membimbing mereka semua menuju jalan kebenaran dan membuat mereka bisa menerima.Dalam al-Qur’an, ke manapun engkau arahkan pandanganmu, di situ engkau akan menyaksikan kilau kemukjizatan.
Kesimpulannya, sebagaimana lafal al-Qur’an seperti kata al- hamdulillah ketika dibaca dapat memenuhi goa yang laksana telinga gunung, pada saat yang sama ia juga memenuhi dua telinga kecil milik nyamuk. Lafal yang sama terdengar pada keduanya. Demikian pula dengan berbagai makna al-Qur’an. Sebagaimana ia memuaskan akal para pembesar, ia juga bisa memberikan pemahaman kepada akal yang kecil dan sederhana. Dengan kata yang sama, ia membuat akal mereka merasa puas. Hal itu karena al-Qur’an mengajak seluruh lapisan jin dan manusia untuk beriman. Ia mengajarkan ilmu keimanan kepada seluruh jin dan manusia sekaligus membuktikannya. Oleh karena itu, orang yang paling dungu dari kalangan awam bisa mendengar pela- jaran dan bimbingan al-Qur’an bersama-sama dengan kalangan yang paling khawas.
Dengan kata lain, al-Qur’an al-Karim merupakan hidangan la- ngit yang di dalamnya ribuan tingkat pemikiran, akal, kalbu, dan jiwa bisa menemukan makanan mereka. Masing-masing sesuai dengan selera dan kebutuhan. Bahkan banyak dari pintu al-Qur’an yang tetap tertutup agar bisa dibuka pada waktu mendatang.Jika engkau ingin melihat buktinya, seluruh isi al-Qur’an dari awal hingga akhir berisi berbagai contoh tentang hal tersebut.
Ya, para mujtahid, kalangan shiddîqîn, ahli hikmah, ulama muhaqqiqîn dan mu- daqqiqîn, ulama ushul fikih, ahli kalam, para wali, serta seluruh kaum muslimin secara umum yang memperhatikan petunjuk al-Qur’an, mereka semua sepakat, “Kami menerima pelajaran dalam bentuk terbaik dari al-Qur’an.”
Kesimpulannya, kilau kemukjizatan al-Qur’an dalam tingkatan ini (pengajaran) bersinar terang sebagaimana dalam seluruh tingkatan lainnya.
KILAU KEDUA
Universalitas al-Qur’an yang Luar Biasa
(Lima Cahaya)
Cahaya Pertama
Universalitas yang luar biasa dalam lafalnya.
Hal ini sangat jelas dalam sejumlah ayat yang disebutkan dalam kalimat-kalimat sebelum- nya. Ya, lafal-lafal al-Qur’an ditempatkan secara tepat di mana setiap klausa, bahkan setiap kata, setiap huruf, dan bahkan diamnya kadang- kala memiliki aspek yang sangat banyak. Masing-masing memberi- kan bagian kepada sang penerima pesan dari beragam pintu yang ada seperti yang disebutkan oleh hadis Nabi x. Setiap ayat memiliki sisi lahir dan batin, awal dan akhir,(*[9])ranting, dahan, dan tujuan.(*[10])
Misal- nya, ayat yang berbunyi:“Gunung-gunung sebagai pasak.” (QS. an-Naba’ [78]: 7).
Dari ayat tersebut, orang awam mengambil bagiannya dengan cara melihat gunung laksana pasak yang tertanam di bumi seperti yang terlihat oleh mata. Ia dapat merenungkan berbagai nikmat dan manfaat yang terdapat padanya serta bersyukur kepada Penciptanya.
Dari ayat di atas, seorang penyair mengambil bagiannya dengan cara mengkhayalkan bumi sebagai daratan yang datar, sementara kubah langit digambarkan sebagai kemah besar berwarna biru yang dipasang di atasnya. Lalu kemah tersebut dihias dengan sejumlah len- tera. Sejumlah gunung tampak memenuhi kaki langit (ufuk). Puncak- nya menyentuh ujung langit. Ia tampak seolah-olah pasak dari kemah besar tadi. Mereka pun merasa kagum dan takjub serta menyucikan Sang Pencipta Yang Mahaagung.
Dari ayat di atas, seorang sastrawan badui mengambil bagiannya dengan cara menggambarkan permukaan bumi sebagai padang pasir yang luas, sementara pegunungan laksana rangkaian beragam tenda (kemah) yang terbentang untuk berbagai jenis makhluk. Lapisan tanah ibarat penutup pasak-pasak tinggi itu, lalu gunung-gunung tersebut menembusnya dengan ujungnya yang runcing seraya menjadikannya sebagai habitat yang beragam bagi berbagai jenis makhluk. Demikian- lah yang mereka pahami sehingga bersujud kepada Sang Pencipta Yang Mahaagung dengan penuh kekaguman seraya memosisikan makhluk besar (pegunungan) itu sebagai kemah yang dipasang di atas bumi.
Selanjutnya dari ayat di atas, seorang ahli geografi mengambil bagiannya dengan cara melihat bola bumi laksana kapal yang berlayar mengarungi gelombang lautan udara (angkasa), sementara gunung laksana pilar yang ditancapkan pada kapal tersebut guna menjaga sta- bilitas dan keseimbangannya. Demikianlah yang berada di benak seo- rang ahli geografi. Di hadapan keagungan Penguasa Yang Maha Sem- purna yang telah menjadikan bola bumi yang besar sebagai kapal yang tertata di mana kita dinaikkan di dalamnya untuk berjalan menyu- suri cakrawala, ia berkata, “Mahasuci Engkau. Betapa agung kekua- saan-Mu”.
Selanjutnya dari ayat di atas, seorang sosiolog dan pemerhati peradaban modern mengambil bagiannya dengan cara memahami bumi laksana tempat tinggal di mana pilar kehidupan tempat tinggal itu berupa keberadaan makhluk hidup. Sementara pilar kehidupan makhluk hidup tersebut berupa air, udara, dan tanah. Kemudian pilar kehidupan ketiganya adalah gunung. Sebab, gunung merupakan tem- pat penampungan air, penyaring udara dengan menyerap gas-gas ber- bahaya, pelindung tanah dengan menahan luapan air laut, sekaligus merupakan tempat penyimpanan berbagai hal yang dibutuhkan ma- nusia. Begitulah ia memahami sehingga ia bersyukur dan menyucikan Sang Pencipta Yang Mahaagung dan Pemurah yang telah menjadikan gunung-gunung besar sebagai pasak dan gudang tempat menyimpan kebutuhan hidup di atas bumi yang menjadi habitat kita.
Lalu dari ayat di atas, seorang filsuf-naturalis mengambil bagi- annya dengan cara memahami bahwa berbagai perpaduan, gejolak, dan gempa yang terjadi di perut bumi menjadi tenang dan stabil de- ngan keberadaan gunung. Jadi, gunung menjadi sebab stabilitas bumi di seputar sumbu dan porosnya serta membuatnya tidak keluar dari orbitnya. Seolah-olah bumi bernafas lewat celah-celah gunung sehing- ga murkanya menjadi reda. Demikianlah ia memahami dan beriman seraya berkata, “Hikmah hanya milik Allah.”
Contoh lain:“Langit dan bumi tadinya menyatu kemudian kami membelah keduanya...” (QS. al-Anbiyâ [21: 30). Kata (رَت۟قًا) ‘menyatu’ pada ayat di atas memberitahukan kepada kalangan yang belum terkontaminasi dengan pemikiran filsafat bahwa langit tadinya bening; tidak berawan, dan bumi tandus; tidak ada ke- hidupan di dalamnya. Nah, yang membuka pintu-pintu langit dengan hujan dan menghampar bumi dengan tanaman hijau adalah Dzat yang menciptakan semua makhluk dari air tadi. Seolah-olah terdapat sema- cam pengawinan atau penyerbukan di antara keduanya. Ini semua diatur oleh Dzat Yang Mahakuasa dan Mahaagung yang permukaan bumi baginya laksana kebun kecil dan awan yang menutupi wajah la- ngit merupakan mesin penyiram untuk kebun tadi. Demikianlah yang bisa dipahami olehnya sehingga ia bersujud di hadapan keagungan qudrah-Nya.
Kata (رَت۟قًا) ‘menyatu’ juga memberitahukan kepada seorang fisikawan bahwa pada awal penciptaan, bumi dan langit adalah dua benda yang tidak berbentuk dan dua adonan segar yang tidak mem- berikan manfaat. Ketika hanya berupa materi yang tidak dihuni oleh makhluk, Sang Pencipta Yang Mahabijak menjadikan keduanya se- bagai hamparan yang indah serta memberi bentuk yang bermanfaat, hiasan yang istiwewa, dan berbagai makhluk yang jumlahnya sangat banyak. Demikianlah yang dipahami olehnya sehingga membuatnya takjub di hadapan luasnya hikmah Allah.
Kata (رَت۟قًا) menjelaskan kepada para filsuf modern bahwa bola bumi serta seluruh planet yang membentuk tata surya, pada awalnya bercampur dengan matahari dalam bentuk adonan mentah yang be- lum terhampar. Maka Sang Mahakuasa Yang Mahahidup membelah adonan itu serta meletakkan berbagai planet pada tempatnya masing- masing. Matahari di sana, bumi di sini dan seterusnya. Dia hampar- kan bumi dengan tanah, menyiramnya dengan air dari langit (hujan), menyinarinya dengan cahaya dari matahari serta menjadikannya se- bagai tempat tinggal bagi manusia. Begitulah yang dipahami olehnya sehingga ia mengangkat kepala dari kubangan alam seraya berujar, “Aku beriman kepada Allah Yang Satu dan Esa.”
Contoh lain:“Matahari beredar di tempat peredarannya...” (QS. Yâsîn [36]: 38). Huruf lâm pada kata (لِمُس۟تَقَرٍّ) ‘tempat peredaran’ menunjukkan makna lâm itu sendiri (untuk), makna fî (di), dan makna ilâ (ke atau menuju). Huruf tersebut dipahami oleh kalangan awam dengan mak- na ilâ. Mereka memahami ayat di atas sebagai berikut: Matahari yang memberimu cahaya dan kehangatan berjalan menuju tempat peredarannya dan pada suatu saat ia akan sampai ke- padanya. Pada saat itu, ia tidak akan memberikan manfaat kepada ka- lian. Dengan ini, mereka menyadari nikmat agung yang Allah hadirkan lewat keberadaan matahari. Maka mereka memuji dan menyucikan Tuhan seraya mengucap, “Mahasuci Allah dan segala puji bagi-Nya.”
Ayat yang sama juga memperlihatkan huruf lâm dengan mak- na ilâ (menuju) kepada seorang yang berilmu. Hanya saja di sini, ma- tahari tidak diartikan sebagai sumber cahaya semata. Namun sebagai kumparan yang melahirkan sejumlah kreasi ilahi yang dirangkai pada pabrik musim semi dan panas. Juga, sebagai tinta cahaya bagi pesan Ilahi yang ditulis di atas lembaran malam dan siang. Inilah yang ter- dapat di benaknya. Ia mencermati tatanan alam yang menakjubkan yang ditunjukkan oleh peredaran matahari secara lahiriah. Maka ia pun tunduk bersujud di hadapan Sang Pencipta Yang Mahabijak se- raya mengucap, “Masyâ Allah” untuk kreasi-Nya dan “Bârakallah” un- tuk hikmah-Nya.
Sementara bagi astronom, huruf lâm dipahami dengan makna fî (di). Artinya, matahari mengatur gerakan sistem tata surya—laksana pegas jam—dengan cara berotasi (berputar pada porosnya). Di hada- pan Sang Pencipta Yang Mahaagung yang telah menciptakan benda laksana jam besar ini ia tercengang dan kagum seraya berkata, “Kea- gungan dan kekuasaan ini hanya milik Allah.” Ia meninggalkan filsafat dan masuk ke wilayah hikmah al-Qur’an.
Huruf lâm di atas dipahami oleh seorang alim yang bijak dengan makna ‘sebab’ atau huruf yang menunjukkan situasi dan kondisi. Arti- nya, Sang Pencipta Yang Mahabijak menjadikan berbagai sebab lahi- riah sebagai tirai bagi berbagai urusan-Nya. Dia mengaitkan berbagai planet dengan matahari lewat hukum-Nya yang disebut gravitasi. De- ngan hukum tersebut, Dia menjalankan berbagai planet lewat berbagai gerakan namun tetap tertata rapi. Dia membuat matahari berotasi se- bagai sebab lahiriah untuk melahirkan gaya gravitasi tersebut. Dengan kata lain, makna (لِمُس۟تَقَرٍّ) adalah bahwa matahari berputar di tem- patnya (berotasi) agar sistem tata surya berjalan dengan stabil.
Sebab, rotasi matahari melahirkan panas, sementara panas melahirkan energi, lalu energi tadi melahirkan gravitasi. Itulah hukum dan sunnah ilahi.Demikianlah, seorang bijak memahami hikmah dari huruf al- Qur’an seperti di atas seraya berkata, “Segala puji milik Allah. Hikmah yang benar terdapat dalam al-Qur’an. Karena itu, menurutku filsafat tidak lagi berarti apa-apa.”
Huruf lâm dan kata “al-Istiqrâr” dalam ayat memberi- kan gambaran kepada orang yang memiliki akal sehat dan kalbu yang sensitif bahwa matahari merupakan pohon bercahaya dan planet yang berada di sekitarnya adalah buahnya yang sedang beredar. Berbeda dengan pohon lain, matahari ikut bergerak agar buahnya tidak ber- jatuhan atau berserakan. Matahari juga dapat digambarkan sebagai pimpinan dalam sebuah majelis zikir. Ia berzikir kepada Allah dalam pusat majelis tersebut dalam kondisi penuh cinta dan rindu hingga memberikan daya tarik kepada yang lain.Dalam risalah yang lain aku pernah memberikan penjelasan yang maknanya sebagai berikut:
Ya, matahari berbuah. Ia bergerak agar buahnya yang baik tidak berjatuhan.
Andaikata ia diam; tak ber- gerak, tentu akan kehilangan daya tarik sehingga para pecinta yang terdapat di angkasa yang luas itu bisa berjatuhan.
“Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. al-A’râf [7]:157).Dalam ayat di atas terdapat “simplifikasi kata” dan makna mutlak. Sebab, tidak ditentukan dengan apa mereka beruntung. Sehing- ga masing-masing bisa mendapatkan keinginannya di dalam “kata” tersebut. Redaksi ayat di atas sengaja dipersingkat agar maknanya luas. Pasalnya, sebagian menginginkan selamat dari api neraka. Sebagian lagi hanya memikirkan surga. Sebagian lainnya mendambakan keba- hagiaan abadi. Sebagian mengharap rida ilahi semata. Lalu sebagian ingin melihat Allah . Begitulah seterusnya. Al-Qur’an membiarkan redaksinya bersifat mutlak agar memberikan makna yang bersifat umum. Ia menyingkat agar mengandung banyak makna. Ia juga me- ringkas agar setiap orang bisa mendapatkan bagian darinya.
Jadi, kata (اَل۟مُف۟لِحُونَ) ‘orang-orang yang beruntung’ tidak menen- tukan dengan apa mereka akan beruntung. Dengan adanya simplifikasi kata, seakan-akan ayat tersebut berkata, “Wahai umat Islam, bergembi- ralah! Wahai yang bertakwa, engkau akan selamat dari neraka. Wahai hamba yang saleh, keberuntunganmu terdapat di surga. Wahai orang yang arif, engkau akan mendapat rida-Nya. Wahai pecinta keindahan Allah, engkau akan bisa melihat-Nya”. Demikian seterusnya.
Contoh lain:Kami telah mengemukakan satu contoh dari sisi universalitas la- fal, klausa, kata, huruf, dan simplifikasi yang terdapat dalam al-Qur’an di antara ribuan contoh yang ada. Anda bisa menganalogikan penjela- san yang telah kami kemukakan dengan ayat dan kisah lainnya.
Contoh:“Ketahuilah tiada Tuhan selain Allah dan mohon ampunlah atas dosamu...” (QS. Muhammad [47]: 19). Ayat di atas memiliki banyak aspek dan kedudukan sehingga semua tingkatan wali dalam sarana suluk dan derajat mereka yang berbeda-beda membutuhkan ayat ini. Masing-masing mereka dapat mengambil nutrisi spiritual yang sesuai dengan tingkatannya karena lafal jalâlah (اللّٰهُ) merupakan nama yang mencakup seluruh Asmaul Husna. Di dalamnya terdapat berbagai jenis tauhid sesuai dengan jum- lah nama itu sendiri.
Artinya, tidak ada Dzat Pemberi rezeki kecuali Dia. Tidak ada Pencipta kecuali Dia. Tidak ada Yang Maha Pengasih kecuali Dia. Demikian seterusnya.
Sebagai contoh: Kisah Musa yang termasuk salah satu dari ki- sah-kisah al-Qur’an. Di dalamnya terdapat sejumlah pelajaran sebanyak manfaat yang terdapat pada tongkat Musa. Pasalnya, ia menenangkan dan menghibur Rasul x, memberikan ancaman kepada kaum kafir, menghinakan kaum munafik, mencela bangsa Yahudi, serta berbagai tujuan serupa lainnya. Jadi, ia memiliki banyak aspek. Oleh karena itu, ia terulang dalam sejumlah surah. Meskipun ia mengetengahkan semua tujuan tersebut pada setiap tempat, namun salah satunya me- rupakan maksud utama sementara yang lain bersifat sekunder.
Barangkali engkau bertanya, “Bagaimana kita dapat memahami bahwa al-Qur’an menghendaki semua makna seperti yang disebutkan dalam berbagai contoh di atas?”
Jawabannya: Selama al-Qur’an al-Karîm merupakan pesan azali yang Allah jadikan sebagai sarana komunikasi dengan ragam tingka- tan manusia sepanjang masa serta membimbing mereka semua, sudah pasti Dia memasukkan banyak makna agar sejalan dengan tingkat pe- mahaman yang beragam sekaligus memberikan sejumlah tanda atas kehendak-Nya itu.Ya, dalam buku Isyârât al-I’jâz, kami telah menjelaskan sejum- lah makna yang terdapat di sini berikut berbagai makna kosakata al- Qur’an yang sejenis. Kami membuktikannya sesuai dengan kaidah ilmu gramatika serta sesuai dengan ketentuan ilmu bayan, seman- tik dan retorika.
Di samping itu, semua aspek dan makna yang sah menurut ilmu Bahasa Arab, benar menurut ilmu ushuluddin, sejalan dengan kaidah semantik, sesuai dengan ilmu bayan, dan dianggap baik dalam ilmu retorika (balagah), semuanya termasuk makna al-Qur’an. Hal itu didukung oleh kesepakatan para mujtahid, mufassir, ulama ushuluddin dan ushul fikih serta lewat kesaksian sudut pandang me- reka yang berbeda-beda.Al-Qur’an al-Karîm telah memberikan sejumlah petunjuk atas setiap makna tersebut sesuai dengan tingkatannya. Ia bisa bersifat ver- bal dan non-verbal (maknawi). Petunjuk yang bersifat non-verbal bisa dilihat dari sisi konteks atau lewat petunjuk dari ayat lain yang men- jelaskannya. Ratusan ribu buku tafsir di mana ada di antaranya yang mencapai delapan puluh jilid(*[11])menjadi petunjuk yang kuat dan ce- merlang atas universalitas dan keluarbiasaan redaksi al-Qur’an.Bagaimanapun, andaikan dalam kalimat ini setiap isyarat yang menunjukkan kepada setiap maknanya dijelaskan dengan kaidah yang ada, tentu pembahasannya akan panjang. Karena itu, kita cukupkan sampai di sini dan anda bisa merujuk kepada buku Isyârat al-I’jâz fî Mazhân al-Îjâz.
Cahaya Kedua
Universalitas yang luar biasa dalam maknanya.
Ya, lewat ber- bagai maknanya yang agung, al-Qur’an telah menyediakan limpahan sumber rujukan bagi semua mujtahid, rasa bagi seluruh kaum arif, jalan bagi seluruh kaum yang mencapai tingkat makrifat, sarana bagi seluruh kalangan yang sempurna, serta mazhab bagi semua ahli haki- kat. Di samping itu, al-Qur’an menjadi pemandu dan pembimbing bagi mereka pada setiap waktu dalam menapaki tangga spiritual, sekaligus menjadi penebar cahaya terang di atas jalan mereka dari khazanahnya yang tidak pernah habis, sebagaimana hal itu telah diakui dan disepa- kati oleh mereka.
Cahaya Ketiga
Universalitas yang luar biasa dalam ilmunya.
Ya, di samping mengalirkan ilmu syariat yang sangat beragam, ilmu hakikat yang beraneka macam, dan ilmu tarekat yang tak terbatas dari lautan ilmu- nya, al-Qur’an al-Karîm juga mengalirkan secara melimpah dari lau- tan tersebut hikmah hakiki dari wilayah yang bersifat mungkin, ilmu hakiki dari wilayah wâjibul-wujûd, serta berbagai pengetahuan ten- tang negeri akhirat yang penuh rahasia. Jika kita ingin mengetengah- kan contoh dari cahaya ini, maka dibutuhkan tulisan satu jilid penuh. Karena itu, kami hanya menjelaskan dua puluh lima kalimat yang telah dibahas sebelumnya.Ya, berbagai hakikat yang benar dari kedua puluh kalimat itu ti- dak lain merupakan dua puluh lima tetes dari lautan ilmu al-Qur’an. Jika terdapat kekurangan pada ‘kalimat-kalimat’ tersebut, maka hal itu kembali kepada pemahamanku yang terbatas.
Cahaya Keempat
Universalitas yang luar biasa dalam pembahasannya.
Ya, al- Qur’an telah mengumpulkan berbagai bahasan universal yang terkait dengan manusia dan tugasnya, alam dan Penciptanya, bumi dan la- ngit, dunia dan akhirat, masa lalu dan masa depan, serta azali dan aba- di. Di samping itu, ia juga memuat bahasan penting dan fundamental mulai dari penciptaan manusia dari nutfah hingga masuk ke dalam kubur; dari adab makan dan tidur hingga bahasan tentang qadha dan qadar; dari penciptaan alam dalam enam hari hingga berbagai tugas hembusan angin seperti yang ditunjukkan oleh sumpah dalam surah al-Mursalât [77] ayat 1:
“Demi angin yang dikirim (untuk membawa kebaikan)” dan da- lam surah al-Dzâriyât [51] ayat 1:“Demi angin yang menebarkan debu.”Lalu, dari keikutsertaan Allah dalam kalbu dan kehendak manu- sia lewat petunjuk ayat-ayat berikut:“Kalian tidak berkehendak kecuali apa yang Allah kehendaki...”(QS. at-Takwîr [81]: 29),“Dia membatasi antara seseorang dan kalbunya...” (QS. al-Anfâl [8]: 24), hingga ayat yang berbunyi:“Langit terlipat di tangan kanan-Nya…” (QS. az-Zumar [39]: 67). Kemudian, dari ayat:“Kami jadikan di dalamnya sejumlah kebun dari kurma dan ang- gur...” (QS. Yâsîn [36]: 34), hingga hakikat menakjubkan yang dijelas- kan oleh ayat berikut:“Ketika bumi digoncangkan dengan segoncang-goncangnya.” (QS. az-Zalzalah [99]: 1).Selanjutnya, dari kondisi langit dalam ayat:“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit yang masih merupakan asap...” (QS. Fushshilat [41]: 11) hingga terbelahnya langit, pudarnya bintang serta bagaimana ia tersebar di angkasa yang tak ter- batas; dari terbukanya dunia untuk ujian hingga akhir ujian itu sendiri; dari kubur yang merupakan tingkatan akhirat pertama serta barzakh, kebangkitan, dan shirat hingga surga dan kebahagiaan abadi; dari berbagai kejadian masa lalu mulai penciptaan Adam dan perse- teruan kedua anaknya hingga badai, kebinasaan Fir’aun serta berbagai peristiwa besar yang terjadi pada sebagian besar nabi; dari peristiwa azali dalam ayat:“Bukankah Aku Tuhan kalian...” (QS. al-A’râf [7]: 172), hingga ayat yang berbunyi:“Sejumlah wajah pada hari itu ceria di mana ia melihat kepada Tuhannya” (QS. al-Qiyâmah [75]: 22-23) yang mengisyaratkan makna keabadian.Semua bahasan mendasar dan penting di atas dijelaskan dalam al-Qur’an secara gamblang sesuai dengan Dzat Allah Yang Mahamulia Yang menata seluruh alam laksana sebuah istana; Yang dengan mudah membuka dunia dan akhirat laksana dua kamar yang salah satunya di- buka sementara yang lain ditutup; Yang mengurus bumi sebagaimana mengurus sebuah kebun kecil dan mengatur langit seperti mengatur atap yang berhias lampu; Yang memantau masa lalu dan masa men- datang laksana dua halaman yang hadir di hadapan penyaksian-Nya seperti malam dan siang; Yang menyaksikan zaman azali dan abadi laksana hari ini dan kemarin; serta Yang menyaksikan keduanya se- perti masa kini dimana kedua sisi rangkaian sifat ilahi bersambung di dalamnya.
Sebagaimana seorang arsitek berbicara tentang kedua bangunan dan pengelolaannya yang ia bangun serta membuat lembaran kerja dan daftar sistem untuk berbagai pekerjaan yang terkait dengannya. Al-Qur’an juga merupakan kalam penjelasan yang sesuai dengan Dzat yang mencipta dan menata alam di mana Dia menuliskan sekaligus memperlihatkan—kalau boleh dikatakan—lembaran kerja dan daftar program-Nya. Di dalamnya (al-Qur’an) tidak ada jejak yang menun- jukkan adanya tindakan dibuat-buat atau kepura-puraan, juga tidak ada indikasi yang mengisyaratkan adanya perbuatan meniru ucapan siapapun, serta tidak ada petunjuk yang mengindikasikan adanya in- versi (keterbalikan posisi), dan bentuk penipuan sejenisnya. Namun dengan segala keseriusannya, dengan segala ketulusannya, dan de- ngan segala kesungguhannya, ia demikian murni, berkilau, terang, dan bercahaya. Sebagaimana sinar matahari berucap, “Aku berasal dari matahari,” al-Qur’an juga berkata, “Aku adalah kalam dan penjelasan Sang Pencipta semesta alam.”
Ya, Dzat yang telah memperindah dunia, yang menghiasnya dengan sejumlah kreasi bernilai, yang memenuhinya dengan berbagai nikmat yang baik dan mengundang selera, serta yang menebarkan di permukaan bumi beragam makhluk menakjubkan dan anugerah berharga dengan sangat rapi, sesuai dan teratur adalah Sang Pencipta Yang Mahaagung dan Pemberi nikmat yang dermawan. Adakah se- lain-Nya yang layak menjadi pemilik bayan al-Qur’an di mana ia telah memenuhi dunia dengan penghormatan, apresiasi, kekaguman, pujian dan rasa syukur sehingga menjadikan bumi sebagai pusat zikir dan tahlil, masjid tempat menyebut nama Allah, serta galeri berbagai krea- si ilahi?! Adakah selain-Nya yang menjadi pemilik kalam ini? Siapa yang dapat mengaku sebagai pemiliknya?
Layakkah sinar yang memenuhi dunia dengan cahaya terang disandarkan kepada selain matahari?! Bayan atau penjelasan al-Qur’an yang menyingkap misteri alam sekaligus meneranginya, mungkinkah merupakan cahaya selain Dzat yang merupakan Mentari azali? Siapa yang berani meniru dan membuat yang semisalnya? Ya, Sang Pencipta yang menghias dunia dengan kreasi-Nya yang menakjubkan mustahil tidak berbicara dengan manusia yang terce- ngang melihat kreasi dan ciptaan-Nya. Selama Dia berbuat dan me- ngetahui, tentu Dia berbicara. Selama Dia berbicara, tentu saja pem- bicaraan-Nya berupa al-Qur’an. Pemilik kekuasaan yang memiliki perhatian terhadap penataan bunga kecil, bagaimana mungkin tidak peduli dengan kalam yang mengubah kerajaannya menjadi tempat zikir dan tahlil yang penuh daya tarik. Mungkinkah Dia menurunkan derajat kalam tersebut dengan menisbatkan kepada selain-Nya?!
Cahaya Kelima
Universalitas luar biasa dalam gaya bahasa dan bentuknya yang ringkas.
Dalam cahaya ini terdapat lima sinar:
Sinar Pertama: Gaya bahasa al-Qur’an memiliki universalitas yang menakjubkan, sehingga satu surah saja mencakup lautan al- Qur’an yang agung yang meliputi seluruh alam. Serta sebuah ayat ber- isi khazanah surah tersebut. Sebagian besar ayat masing-masingnya seperti sebuah surah kecil. Sebagian besar surah masing-masingnya seperti al-Qur’an kecil.(*[12])Dari simplifikasi yang penuh kemukjiza- tan itulah muncul kelembutan petunjuk dan kemudahan yang indah.
Sebab, meskipun setiap manusia butuh membacanya setiap waktu kadangkala ia tidak berkesempatan untuk membacanya. Entah karena bodoh, kurang paham, atau karena sebab lainnya. Nah, agar orang- orang yang tidak bisa membaca al-Qur’an secara keseluruhan tidak terhalang dari al-Qur’an, maka setiap surah laksana satu al-Qur’an ke- cil. Bahkan setiap ayat yang panjang berposisi seperti sebuah surah pendek. Bahkan kalangan ahli kasyaf sepakat bahwa al-Qur’an terletak pada surah al-Fatihah dan al-Fatihah terletak pada basmalah. Dalilnya adalah kesepakatan para ulama ahli tahkik.
Sinar Kedua:ayat-ayat al-Qur’an dengan sejumah petunjuk dan isyaratnya mencakup berbagai jenis ucapan, pengetahuan hakiki, dan kebutuhan manusia seperti perintah dan larangan, janji dan ancaman, motivasi dan peringatan, bentakan dan bimbingan, kisah dan perum- pamaan, hukum dan makrifat ilahi, ilmu alam, hukum dan rambu ke- hidupan pribadi, kehidupan sosial, kehidupan kalbu, kehidupan spi- ritual, dan kehidupan ukhrawi sehingga tepatlah apa yang dikatakan oleh ahli hakikat: “Ambillah yang kau mau sesuai dengan keinginan- mu.” Artinya, ayat-ayat al-Qur’an berisi sisi universal dan komprehen- sif yang bisa menjadi obat bagi setiap penyakit dan gizi bagi setiap ke- butuhan badan.
Ya, sepantasnya memang demikian. Sebab, pemandu paling sem- purna yang bersifat mutlak bagi seluruh lapisan ahli kamâl (kalangan sempurna) yang menapaki sejumlah tingkatan menuju ketinggian spiritual, yaitu al-Qur’an, tentu harus menjadi pemilik karakteristik tersebut.
Sinar Ketiga:Simplifikasi al-Qur’an yang luar biasa.Al-Qur’an kadangkala menyebutkan awal dan akhir dari sebuah rangkaian panjang dengan sangat apik yang memperlihatkan rang- kaian tersebut secara utuh. Kadang ia memasukkan banyak petunjuk dalam satu kata sebagai pernyataan; baik secara eksplisit, implisit, atau simbolik.
Contoh:“Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya penciptaan langit dan bumi serta perbedaan bahasa dan warna kulit kalian...” (QS. ar-Rûm [30]: 22).Ayat di atas menyebutkan awal dan akhir rangkaian pencipta- an alam. Yaitu rangkaian tanda dan petunjuk tauhid. Kemudian ia menjelaskan rangkaian kedua dengan menjadikan pembaca membaca rangkaian pertama. Yaitu bahwa lembaran alam yang pertama yang menjadi saksi atas keberadaan Sang Pencipta Yang Mahabijak adalah penciptaan langit dan bumi. Selanjutnya penghiasan langit dengan bintang-gemintang dan pemakmuran bumi dengan makhluk hidup, lalu pergantian musim dengan penundukan matahari dan bulan, ser- ta rangkaian sifat dan perbuatan ilahi dalam pergantian siang dan malam. Demikianlah seterusnya secara berangsur-angsur sampai ke- pada pembahasan ciri khusus serta penentuan roman muka dan suara yang merupakan titik penyebaran entitas yang paling banyak.
Ketika tatanan indah, penuh hikmah, dan mencengangkan akal terlihat, serta ketika karya pena Sang Pencipta Yang Mahabijak tam- pak pada sesuatu yang kelihatannya paling tidak beraturan dan secara lahiriah terlihat seperti hasil dari sebuah proses kebetulan, yaitu ro- man muka dan warna kulit manusia, sudah barang tentu lembaran lain yang aturannya terlihat memberikan pemahaman dan petunjuk atas eksistensi Sang Pembentuk yang menakjubkan.
Kemudian ketika jejak kreasi dan hikmah terlihat di awal mula penciptaan langit dan bumi di mana Sang Pencipta Yang Mahabijak menjadikannya sebagai batu pertama alam, sudah tentu goresan hik- mah dan jejak kreasi itu terlihat jelas pada seluruh bagian alam. Ayat di atas berisi simplifikasi indah dan menakjubkan dalam memperlihatkan sesuatu yang samar dan menyamarkan sesuatu yang terlihat di mana hal itu diungkapkan dengan ringkas.
Ya, rangkaian dalil yang dimulai dari:hingga ayat yang berbunyi:di mana di dalamnya kata (وَمِن۟ اٰيَاتِهٖ) ‘Di antara tanda kekuasaan-Nya’terulang sebanyak enam kali merupakan rangkaian permata, rangkaian cahaya, rangkaian kemukjizatan, dan rangkaian simplifikasi yang luar biasa. Hati ini ingin menjelaskan sejumlah permata yang tersembunyi di dalam perbendaharaan (gudang) tersebut. Akan tetapi apa daya, kondisinya tidak memungkinkan. Karena itu, aku tidak membuka pin- tu itu.
Kutangguhkan persoalan tersebut ke waktu yang lain.Contoh lain:“Utuslah! Yusuf wahai yang jujur” (QS. Yûsuf [12]: 45-46). Antara kata (فَاَر۟سِلُونِ) ‘utuslah!’ dan kata (يُوسُفُ) “Yusuf ” mengandung makna berikut: “Datangilah Yusuf untuk meminta penjela- san tentang mimpi tersebut darinya. Maka mereka mengutusnya.
اِلٰى يُوسُفَ لِاَس۟تَع۟بَرَ مِن۟هُ الرُّؤ۟يَا فَاَر۟سَلُوهُ فَذَهَبَ اِلَى السِّج۟نِ وَ قَالَ يُوسُفُ
Ia pun pergi ke penjara dan berkata...” Artinya, ia meringkas lima kalimat dalam satu kalimat saja tanpa merusak kejelasan ayatnya dan tidak mendatangkan kesulitan dalam memahaminya.
Contoh lain:اَلَّذٖى جَعَلَ لَكُم۟ مِنَ الشَّجَرِ ال۟اَخ۟ضَرِ نَارًا
Contoh lain:“Yang menjadikan untuk kalian api dari pohon hijau...” (QS. Yâsîn [36]: 80).Dalam rangka menjawab manusia pembangkang yang menen- tang Sang Pencipta dengan ucapannya:“Siapa yang akan menghidupkan tulang-belulang yang sudah han- cur ini?” (QS. Yâsîn [36]: 78), al-Qur’an berkata:“Katakanlah, ‘Dzat Yang menghidupkannya adalah Yang men- ciptakannya pertama kali. Dia Maha Mengetahui semua ciptaan.” (QS. Yâsîn [36]: 79). Ia juga berkata:“Yang menjadikan api dari pohon hijau...” Mahakuasa untuk menghidupkan tulang-belulang yang sudah hancur.Kalimat di atas mengarah kepada adanya klaim atau pernyataan tentang proses menghidupkan dari sejumlah sisi sekaligus membuk- tikannya.
Sebab, ia memulai dari rangkaian karunia yang Allah beri- kan kepada manusia. Dengan itu, Ia mengingatkan dan menggugah kesadarannya. Namun ia meringkasnya seraya mengarahkannya kepa- da akal karena ia telah merincinya dalam sejumlah ayat lain. Dengan kata lain, Dzat yang memberikan buah dan api dari pohon, rezeki dan biji dari rumput, benih dan tumbuhan dari tanah telah menjadikan bumi sebagai hamparan untuk kalian. Di dalamnya terdapat seluruh rezeki kalian. Dia telah menjadikan alam sebagai istana. Di dalamnya terdapat semua kebutuhan hidup kalian. Karena itu, mungkinkah Dia membiarkan kalian sia-sia sehingga kalian bisa lari dari-Nya dan hi- lang dalam ketiadaan?! Tidak mungkin kalian sia-sia, masuk ke dalam kubur, dan tidur dengan tenang tanpa ditanya tentang amal kalian dan tanpa dihidupkan kembali?!
Kemudian ia menjelaskan sebuah dalil atas pernyataan terse- but. Dengan kata (اَلشَّجَرِ ال۟اَخ۟ضَرِ ) ‘pohon yang hijau’, ia berujar secara simbolis, “Wahai yang mengingkari kebangkitan! Lihatlah pepohon- an! Dzat yang menghidupkan pepohonan yang jumlahnya tak ter- hingga di musim semi setelah sebelumnya mati dan menjadi seperti tulang-belulang di musim dingin, serta menjadikannya menghijau, bahkan memperlihatkan pada setiap pohon tiga bentuk kebangkitan; pada daun, bunga, dan buah, kekuasaan-Nya tidak dapat diingkari dan kebangkitan sangat mungkin bagi-Nya.
Selanjutnya ia menunjukkan dalil lain dengan berkata, “Dzat yang mengeluarkan api—yang merupakan materi ringan yang bersifat cahaya—untuk kalian dari pepohonan yang padat, berat, dan gelap, bagaimana mungkin tidak bisa memberikan kehidupan yang halus seperti api serta perasaan seperti cahaya untuk tulang seperti kayu.”
Setelah itu, ia mengetengahkan dalil lain yang jelas dengan ber- kata, “Dzat yang menghidupkan api dari pepohonan yang dikenal oleh orang badui dengan menggosokkan dua ranting secara bersamaan, lalu mengumpulkan dua sifat yang kontradiktif (basah dan panas) seraya menjadikan salah satunya sebagai tempat tumbuh bagi yang lain, hal itu menunjukkan bahwa segala sesuatu bahkan unsur asli dan penyerta hanya bisa bergerak dengan kekuatan-Nya dan melaksanakan perintah-Nya. Tidak ada yang bergerak sendiri atau sia-sia. Pencipta Yang Mahaagung seperti Dia sangat mungkin menghidupkan manusia dari tanah—di mana sebelumnya Dia telah menciptakannya dari tanah dan mengembalikan padanya. Karena itu, tidak mungkin Dia ditentang hanya dengan membangkang.
Selanjutnya dengan kata ‘pohon yang hijau’, ia mengingatkan pada pohon Musa yang sudah dikenal bersama. Secara implisit, ia menyiratkan adanya kesepakatan para nabi bahwa dakwah Muhammad juga sama dengan dakwah Musa sehingga membuat simplifikasi kata tersebut semakin lembut dan indah.
Sinar Keempat:Simplifikasi al-Qur’an komprehensif dan menak- jubkan.Kalau diperhatikan secara seksama, akan terlihat dengan jelas bahwa al-Qur’an telah menjelaskan dalam sebuah contoh yang bersifat parsial dan dalam kejadian yang bersifat khusus sejumlah hukum yang bersifat universal, serta berbagai prinsip yang bersifat umum dan pan- jang. Seakan-akan ia menjelaskan lautan yang luas dalam seciduk air.Kami akan memberikan dua contoh dari ribuan contoh yang ada.
Contoh pertama: Tiga ayat yang kami jelaskan pada kedudukan pertama dari “Kalimat Kedua Puluh”. Yaitu bahwa dengan mengajar- kan seluruh nama kepada Adam , ayat tersebut mengisyaratkan tentang adanya pengajaran seluruh disiplin ilmu yang diberikan ke- pada manusia. Dengan peristiwa sujudnya malaikat kepada Adam dan keengganan setan untuk sujud, ayat itu menjelaskan bahwa sebagian besar entitas—mulai dari ikan hingga malaikat—ditundukkan untuk manusia, sebagaimana makhluk yang jahat—mulai dari ular hingga setan—tidak mau tunduk bahkan memusuhi manusia.
Lalu dengan peristiwa penyembelihan sapi betina oleh kaum Musa, ayat terse- but menjelaskan bahwa konsep menyembah sapi telah disembelih dengan pisau Musa.
Itulah konsep yang sempat berkembang di Mesir, bahkan ia memiliki pengaruh langsung dalam peristiwa al-`Ijl (anak sapi). Selanjutnya, dengan keluarnya air dari celah bebatuan, ayat tersebut menerangkan bahwa lapisan batu karang yang berada di bawah tanah merupakan tempat simpanan air yang membekali tanah dengan kehidupan yang dihadirkan padanya.
Contoh kedua: kisah Musa diceritakan berulang kali dalam al-Qur’an al-Karîm. Pasalnya, pada setiap kalimatnya dan pada setiap bagiannya terdapat aspek yang memperlihatkan sisi prinsip yang ber- sifat universal.
Di antaranya, ayat yang berbunyi:“Wahai Haman, buatkanlah untukku sebuah bangunan yang ting- gi...” (QS. Ghâfir [40]: 36).
Dengan ayat di atas, Fir’aun menyuruh menterinya, “Buatkan untukku tugu yang tinggi agar aku bisa melihat kondisi langit dan mengetahui apakah di sana terdapat Tuhan yang berkuasa seperti yang dikatakan oleh Musa ?!” Dengan kata (صَر۟حًا) ‘bangunan yang ting- gi’, ayat tersebut menjelaskan sebuah prinsip dan tradisi aneh yang berlaku pada keturunan Fir’aun Mesir yang mengaku sebagai Tuhan karena mereka mengingkari Sang Pencipta dan percaya kepada kekua- tan alam materi. Dengan angkuh dan sombong, mereka mengabadi- kan nama-nama mereka. Mereka pun membuat piramida yang terke- nal itu laksana gunung di tengah padang pasir yang tak bergunung agar dengannya mereka bisa dikenal. Mereka juga merawat jenazah mereka dengan cara memumikan seraya meletakkannya di kubur be- sar itu karena mereka meyakini adanya reinkarnasi dan sihir.
Ayat lainnya berbunyi: “Hari ini Kami selamatkan tubuhmu...” (QS. Yûnus [10]: 92).
Ucapan di atas ditujukan kepada Fir’aun yang tenggelam. Pada waktu yang sama, ayat tersebut menjelaskan prinsip hidup bagi para Fir’aun seraya mengingatkan pada kematian yang penuh pelajaran. Yaitu adanya pemindahan tubuh jenazah mereka dengan cara memu- mikan dari masa lalu hingga generasi mendatang guna dihamparkan di hadapan mereka sesuai dengan konsep reinkarnasi yang mereka anut. Dengan cara yang menakjubkan, ayat itu juga berisi isyarat gaib bahwa tubuh yang ditemukan pada masa belakangan ini adalah tubuh Fir’aun yang tenggelam. Sebagaimana ia dilemparkan ke pantai di tem- pat ia tenggelam, ia juga akan dilemparkan dari lautan zaman di atas gelombang perjalanan masa menuju pantai masa kini.
Ayat lain berbunyi:“Mereka menyembelih (membunuh) anak laki-laki kalian dan membiarkan hidup anak perempuan...” (QS. al-Baqarah [2]: 49).
Dengan peristiwa pembunuhan terhadap anak laki-laki Bani Israil, sementara anak perempuannya dibiarkan hidup pada masa Fir’aun, ayat tersebut menjelaskan pembantaian massal yang dialami bangsa Yahudi di sebagian besar negara pada setiap masa, berikut pe- ran penting yang dimainkan oleh para wanita dan anak-anak perem- puan mereka dalam kebobrokan dan kehancuran moral umat manusia.
Ayat lain berbunyi:“Engkau akan mendapati orang-orang yang paling rakus terhadap kehidupan...” (QS. al-Baqarah [2]: 96).“Kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahu- di) bersegera membuat dosa, permusuhan, dan memakan yang haram. Sungguh amat buruk apa yang mereka kerjakan itu.” (QS. al-Mâ’idah [5]: 62).“Mereka melakukan kerusakan di muka bumi. Allah tidak menyu- kai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. al-Mâ’idah [5]: 64).“Telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam kitab itu, ‘Se- sungguhnya kalian akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali’...’’ (QS. al-Isrâ [17]: 4).“Janganlah kalian berkeliaran di muka bumi dengan berbuat ke- rusakan.” (QS. al-Baqarah [2]: 60).
Tamak dan perusak adalah dua sifat yang menjadi karekter bang- sa Yahudi. Keduanya menjadi dua prinsip umum dan penting yang oleh mereka dijadikan sebagai rujukan tindakan makar dan tipu daya dalam kehidupan sosial manusia. Ayat tersebut menerangkan bahwa mereka adalah orang-orang yang merusak tatanan kehidupan sosial manusia dan menyalakan api peperangan antara kaum marjinal dan kaum berada. Yaitu dengan memprovokasi para buruh untuk melawan para pemilik modal. Mereka menjadi sebab pendirian sejumlah bank dengan menjadikan riba dalam bentuk yang berlipat ganda. Mereka mengumpulkan banyak aset dengan segala macam cara rendahan le- wat makar dan tipu daya. Mereka adalah kaum yang juga masuk ke da- lam berbagai organisasi dan perkumpulan yang merusak seraya mem- bantu sejumlah revolusi dan pergolakan. Hal itu sebagai bentuk balas dendam terhadap berbagai bangsa dan pemerintah yang dulu pernah menyiksa dan menganiaya mereka.
Ayat lain berbunyi: “Maka mintalah kematian, jika kalian memang benar. Sekali-ka- li mereka tidak akan menginginkan kematian itu selamanya...” (QS. al-Baqarah [2]: 94-95).
Dengan sebuah peristiwa parsial yang terjadi di majelis kecil di hadapan Nabi x, ayat di atas menjelaskan bahwa bangsa Yahudi yang sangat rakus terhadap kehidupan dan paling takut mati tidak akan pernah menginginkan kematian dan tidak akan pernah melepaskan rasa tamaknya hingga hari kiamat.
Ayat lain berbunyi: “Lalu ditimpakanlah kepada mereka nista dan kehinaan...” (QS. al-Baqarah [2]: 61).
Dengan topik di atas (nista dan kehinaan), ayat tersebut mene- rangkan ketentuan yang akan menimpa bangsa Yahudi di masa men- datang secara umum. Karena rasa tamak dan upaya berbuat kerusakan tertanam dalam jiwa mereka dan telah menjadi tabiat mereka, maka al-Qur’an membentak dan menghardik mereka sebagai bentuk pela- jaran.
Dengan sejumlah contoh di atas, Anda bisa menganalogikan sendiri kisah Musa dan berbagai kisah lain yang terjadi pada Bani Israil. Selanjutnya, di balik untaian kata al-Qur’an yang sederhana dan bahasannya yang parsial, terdapat banyak contoh kilau mukjizat sim- plifikasi al-Qur’an seperti yang terdapat pada kilau keempat ini. Orang cerdas cukup dengan isyarat.
Sinar Kelima:Universalitas yang luar biasa dari berbagai tujuan, persoalan, makna, gaya bahasa, kelembutan, dan keindahan al-Qur’an.Ya, jika diperhatikan secara seksama, maka surah dan ayat-ayat al-Qur’an, terutama pembuka surah dan permulaan ayat menjelaskan bahwa al-Qur’an al-Mu’jizul Bayân telah menghimpun berbagai jenis balagah,
semua bentuk kemuliaan kalam, seluruh gaya bahasa yang tinggi, seluruh estetika akhlak, seluruh intisari ilmu alam, semua in- deks pengetahuan ilahiyah, seluruh prinsip yang bermanfaat bagi ke- hidupan pribadi dan sosial manusia, serta semua hukum yang bersinar dan mulia dari hikmah alam. Meskipun mencakup semua hal tersebut, namun tidak terlihat adanya percampuran dan ketimpangan dalam struktur atau maknanya.Ya, mengumpulkan semua jenis perbedaan dalam satu wadah tanpa menimbulkan ketimpangan, tidak lain merupakan sifat dari tatanan kemukjizatan yang tak terkalahkan.
Sebagaimana telah dijelaskan dan ditegaskan pada dua puluh empat kalimat sebelumnya bahwa menyingkap tirai “kelumrahan” yang merupakan sumber kebodohan ganda lewat sejumlah penjelasan yang tajam, menampakkan berbagai hal luar biasa yang tersembunyi di balik tabir dengan sangat terang, menghancurkan thagut alam yang menjadi sumber kesesatan lewat “pedang argumen” yang berkilau, menyibak tirai kelalaian yang tebal lewat sejumlah seruan menggema laksana kilat, memecahkan misteri dan teka-teki alam yang tertutup di mana ia telah membuat filsafat dan hikmah manusia tidak berdaya, semua itu tidak lain adalah hasil kreasi al-Qur’an al-Mu’jizul Bayân, yang melihat hakikat, yang mengetahui hal gaib, yang memberikan pe- tunjuk, serta yang menampilkan kebenaran.
Ya, jika ayat-ayat al-Qur’an dicermati secara objektif, tampak bahwa ia tidak serupa dengan pemikiran yang lahir secara gradual dan berantai yang mengikuti satu atau dua tujuan sebagaimana kitab-kitab yang lain. Namun ia tertuang secara sekaligus dan langsung. Padanya terdapat tanda bahwa setiap aspek darinya turun secara mandiri dari tempat yang jauh dalam sebuah komunikasi yang sangat penting dan serius.
Ya, adakah selain Pencipta semesta alam yang dapat mengalirkan kalam ini di mana ia memiliki ikatan kuat dengan alam dan Pencip- tanya dalam bentuk yang sungguh-sungguh semacam itu? Adakah se- lain Dia yang berani melampaui batas tanpa batas lalu berbicara sesuai dengan keinginannya atas nama Sang Pencipta Yang Mahaagung dan atas nama alam dalam bentuk yang tepat semacam itu?
Ya, sangat jelas dalam al-Qur’an bahwa ia merupakan kalam Tu- han semesta alam. Kalam yang sungguh-sungguh, benar, hakiki, dan murni ini sama sekali tidak ada indikasi yang mengesankan adanya bentuk plagiat di dalamnya. Andai saja ada orang seperti Musailimah al-Kazzâb yang melampaui batas tanpa batas lalu meniru kalam Pen- ciptanya Yang Maha Perkasa dan Agung di mana dari pikirannya ia berbicara atas nama alam, tentu akan terdapat ribuan tanda plagiat dan penipuan. Sebab, orang yang berusaha menampilkan keadaan yang jauh lebih tinggi dan lebih mulia dari keadaan sebenarnya yang rendah, pasti semua kondisinya menunjukkan upaya peniruan dan ke- pura-puraan.Lihat dan perhatikanlah hakikat yang diumumkan oleh sumpah berikut ini:“Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. an-Najm [53]: 1-4).
KILAU KETIGA
Kemukjizatan al-Qur’an yang Bersumber dari Informasi Gaibnya serta Keadaannya yang Tetap Segar dan Sesuai dengan semua Tingkatan Manusia
(Tiga Pancaran Cahaya)
Pancaran Pertama:
Informasi tentang Hal Gaib dalam tiga percikan cahaya:
(Tiga Pancaran Cahaya)
Percikan Pertama:Informasi Gaib tentang Masa Lalu.
Lewat lisan seorang buta huruf yang amanah, al-Qur’an al-Hakîm menyebut- kan sejumlah informasi dari sejak masa Adam hingga masa keba- hagiaan disertai keterangan tentang berbagai kondisi terpenting para nabi dan sejumlah peristiwa yang terjadi pada mereka. Al-Qur’an menyebutkannya dengan sangat kuat dan sungguh-sungguh serta dibenarkan oleh kitab-kitab suci terdahulu seperti Taurat dan Injil. Ia sesuai dengan isi kitab suci terdahulu (yang disepakati) serta melurus- kan hakikat kejadiannya dan menjelaskan dengan rinci permasalahan yang diperselisihkan di dalamnya.
Dengan kata lain, pandangan al-Qur’an yang mengetahui hal gaib tersebut melihat berbagai kondisi masa lalu dalam bentuk yang lebih baik daripada kitab-kitab suci yang ada. Sebab, ia melegitimasi dan membenarkannya dalam sejumlah hal yang disepakati. Lalu melurus- kannya dan menjelaskan dengan rinci pembahasan yang diperselisih- kan di dalamnya. Perlu diketahui bahwa informasi al-Qur’an yang terkait dengan kondisi dan peristiwa masa lalu tidak bersifat rasional yang diinformasikan lewat akal. Namun ia bersifat naqli yang bersan- dar pada pendengaran. Naqli (nash) bersifat khusus bagi kalangan yang pandai membaca dan menulis. Sementara, baik kawan maupun lawan, sepakat kalau al-Qur’an diturunkan kepada sosok buta huruf yang tidak tahu membaca dan menulis. Beliau dikenal sebagai sosok yang amanah dan ummi.
Nah, ketika menjelaskan berbagai kondisi masa lalu, al-Qur’an menjelaskannya seolah-olah melihat keseluruhannya. Sebab, ia menge- tahui spirit sebuah peristiwa yang panjang lalu menginformasikannya serta menjadikannya sebagai pendahuluan bagi maksud yang dituju. Artinya, berbagai rangkuman dan intisari yang disebutkan dalam al- Qur’an menunjukkan bahwa yang memperlihatkannya adalah Dzat yang melihat seluruh kejadian masa lalu. Pasalnya, ketika seseorang yang membidangi disiplin ilmu atau profesi tertentu bisa menuang- kan rangkuman dari disiplin ilmu tersebut atau sampel dari kreasinya, hal itu menunjukkan skill dan kapasitasnya. Demikian pula rangku- man dan spirit berbagai peristiwa yang disebutkan dalam al-Qur’an, ia menjelaskan bahwa Dzat yang mengatakannya mengetahui dan me- lihatnya. Kemudian dengan kemampuan luar biasa—jika boleh dika- takan demikian—Dia menginformasikannya.
Percikan Kedua:informasi gaib tentang masa depan.
Bagian ini terdiri dari banyak jenis:Jenis pertama: Hanya khusus bagi sebagian ahli kasyaf dan wali.
Contoh: Muhyiddin Ibnu Arabi menemukan banyak informasi gaib dalam surah ar-Rûm:الٓمٓ غُلِبَتِ الرُّومُ Imam Rabbâni Ahmad al-Fârûqî al-Sirhindî telah menyaksikan dalam al-Muqatta`ât (huruf-huruf terputus) yang terletak di awal surah begitu banyak petunjuk interaksi yang bersifat gaib. Bagi ula- ma yang mendalami masalah batin (metafisika), al-Qur’an al-Hakîm dari awal hingga akhir merupakan bentuk informasi tentang hal gaib. Adapun kami, hanya akan menunjukkan sebagiannya; yaitu yang ber- laku umum dan mengarah kepada semuanya. Bagian ini juga memiliki banyak tingkatan. Kita hanya akan berbicara tentang satu tingkatan saja.
Al-Qur’an al-Karîm berbicara kepada Rasul x:(*[13])
“Bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar...”(QS. ar-Rûm [30]: 60). “Sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram in- sya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut...” (QS. al-Fath [48]: 27). “Dia yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar guna memenangkannya atas seluruh agama...” (QS. al-Fath [48]: 28). “Mereka sesudah dikalahkan akan menang dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allahlah urusan (itu)...” (QS ar-Rûm [30]: 3-4). “Maka kelak kamu akan melihat dan mereka (orang-orang kafir) pun akan melihat, siapa di antara kamu yang gila.” (QS. al-Qalam [68]: 5-6). “Ataukah mereka mengatakan, ‘Ia adalah seorang penyair yang kami nantikan kecelakaannya’. Katakanlah: Nantikanlah, sesungguh- nya aku pun termasuk orang yang menunggu (pula) bersamamu” (QS. at-Thûr [52]: 30-31). “Allah melindungi kamu dari (gangguan) manusia...” (QS. al-Mâ- ’idah [5]: 67). “Jika kalian tidak bisa melakukannya dan kalian memang tidak akan bisa melakukannya...” (QS. al-Baqarah [2]: 24). “Kalian tidak akan mengharapkannya (kematian) selamanya...” (QS. al-Baqarah [2]: 95). “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekua- saan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar...” (QS. Fushshilat [41]: 53). “Katakanlah: Jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’an, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (QS. al-Isrâ [17]: 88). “Kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencin- tai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lem- but terhadap orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela...” (QS. al-Mâidah [5]: 54). “Katakanlah: Segala puji bagi Allah, Dia akan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kebesaran-Nya, maka kamu akan mengetahuinya. Tuhanmu tiada lalai dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. al- Naml [27]: 93). “Katakanlah: Dialah Allah yang Maha Penyayang. Kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nya-lah Kami bertawakkal. Kelak kamu akan mengetahui siapakah yang berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS. al-Mulk [67]: 29). “Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia akan menja- dikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadi- kan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dia juga akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa...” (QS. an-Nûr [24]: 55). Ayat-ayat seperti di atas sangat banyak. Ia berisi sejumlah infor- masi tentang masalah gaib dan kemudian terwujud sebagaimana yang diinformasikan. Pemberian informasi tentang masalah gaib tanpa ada keraguan sedikitpun dalam bentuk yang sangat sempurna dan meya- kinkan lewat lisan yang siap menghadapi berbagai penentangan dan kritikan menunjukkan secara tegas bahwa beliau menerima pelajaran dari Sang Mahaguru azali. Lalu beliau menyampaikannya kepada ma- nusia.
Percikan Ketiga:Informasi Gaib tentang Berbagai Hakikat Ilahi- yah dan Kauniyah, serta Persoalan Akhirat.
Ya, berbagai penjelasan al-Qur’an yang terkait dengan berbagai hakikat ilahiyah, serta sejumlah penjelasannya yang menyingkap mis- teri alam merupakan informasi tentang hal gaib yang paling agung. Pasalnya, ia sama sekali di luar dimensi akal. Tidak mungkin akal bisa meniti jalan lurus tak terhingga di antara jalan-jalan yang sesat hingga mencapai hakikat gaib tersebut. Seperti diketahui, orang yang paling cerdas sekalipun tidak bisa memahami hakikat tersebut yang paling sederhana dan paling kecil dengan akal mereka.
Selain itu, di hadapan sejumlah hakikat ilahiyah dan hakikat alam yang diperlihatkan oleh al-Qur’an tersebut, akal manusia pasti akan berkata, “Engkau benar”. Ia akan menerima berbagai hakikat itu setelah mendengar penjelasan al-Qur’an dengan hati yang jernih dan jiwa yang bersih, serta setelah ruh dan akalnya sempurna. Karena “Ka- limat Kesebelas” telah menjelaskan hal ini, maka tidak perlu diulang kembali.
Adapun informasi gaib tentang akhirat dan alam barzakh yang diberitakan oleh al-Qur’an, akal manusia tidak bisa menjangkau ber- bagai kondisi akhirat dan barzakh itu namun al-Qur’an menjelaskan dan membuktikannya dengan gamblang sampai seperti terlihat nya- ta. Anda bisa merujuk kepada “Kalimat Kesepuluh” untuk mengeta- hui sejauh mana kebenaran dari informasi gaib tentang akhirat yang diberitakan oleh al-Qur’an. Risalah tersebut telah memberikan pen- jelasan tentangnya.
Pancaran Kedua:
Kesegaran dan Kelenturan al-Qur’an.Al-Qur’an tetap menjaga kesegaran dan kelenturannya sehingga seolah-olah ia turun pada setiap masa dalam kondisi baru.
Ya, karena al-Qur’an merupakan pesan azali yang berbicara langsung kepada seluruh tingkatan manusia di seluruh masa, maka ia harus selalu segar dan lentur. Ia tampak baru dan muda sebagaima- na sebelumnya. Bahkan ia melihat kepada setiap masa yang berbeda cara pandang dan tabiatnya seolah-olah ia tertuju secara khusus untuk masa tersebut dan sesuai tuntutannya seraya mendiktekan pelajaran- nya dan mengarahkan perhatian padanya.Jejak peninggalan dan hukum buatan manusia telah menua dan lanjut usia. Ia berganti dan mengalami perubahan. Namun hukum-hu- kum dan aturan al-Qur’an tetap kukuh di mana ia terlihat lebih mapan seiring dengan waktu yang terus berjalan.
Ya, generasi saat ini yang sombong dan tuli tak mau mendengar al-Qur’an, khususnya ahlul kitab di antara mereka, lebih membutuhkan petunjuk al-Qur’an di mana ia berbicara kepada mereka dengan berkata:“Wahai ahli kitab… Wahai Ahli kitab”.Bahkan, seakan-akan pesan tersebut ditujukan kepada generasi masa sekarang. Pasalnya, kata (اَه۟لَ ال۟كِتَابِ) ‘ahli kitab’ juga mengan- dung makna ‘kalangan yang memiliki pengetahuan modern. Al-Qur’an menyeru dan menggemakan suaranya ke seluruh pen- juru langit dan bumi dengan sangat kuat dan segar. Ia berkata:“Wahai ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ke- tetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kalian...” (QS. Âli `Imrân [3]: 64).
Sebagai contoh: meskipun individu dan masyarakat tidak mam- pu menentang al-Qur’an, namun peradaban modern yang merupakan produk umat manusia dan barangkali juga jin, telah mengambil peran menentangnya. Ia melakukannya dengan berbagai cara yang menyihir. Maka, guna menetapkan kemukjizatan al-Qur’an di hadapan para pe- nentang baru itu lewat gema ayat yang berbunyi: “Katakanlah: Jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’an, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (QS. al-Isrâ [17]: 88). Maka, kita bandingkan se- jumlah landasan dan prinsip yang dibawa oleh peradaban modern dengan landasan al-Qur’an al-Karîm.
Pada tahap pertama, kita membuat komparasi yang telah dise- butkan dan sejumlah standar yang telah ditetapkan pada beberapa kalimat sebelumnya, mulai dari ‘Kalimat Pertama’ hingga ‘Kalimat Kedua Puluh Lima’. Demikian pula berbagai ayat al-Qur’an yang me- ngawali kalimat tersebut dan yang menjelaskan hakikatnya, semuanya menetapkan kemukjizatan dan keunggulan al-Qur’an atas peradaban modern dengan sangat jelas; tanpa menyisakan sedikitpun keraguan.
Pada tahap kedua, kita menyebutkan secara umum sebagian prinsip peradaban modern dan al-Qur’an di mana hal itu dijelaskan dalam “Kalimat Kedua Belas”.
Peradaban modern, dengan filsafatnya, meyakini bahwa lan- dasan kehidupan sosial manusia adalah “kekuatan”. Menetapkan “kepentingan” sebagai target. Menjadikan “konflik” sebagai hukum kehidupan. Menjadikan “rasisme” dan “nasionalisme negatif ” sebagai ikatan sosial, serta tujuannya hanya berupa “permainan yang sia-sia” guna memuaskan keinginan hawa nafsu yang pada gilirannya hanya membuat hawa nafsu semakin bergejolak.
Seperti diketahui bahwa “kekuatan” bersifat melampaui batas, dan “kepentingan” melahirkan persaingan. Sebab, ia tidak akan bisa memenuhi kebutuhan semua orang dan tidak mungkin merespon seluruh keinginan yang ada. Lalu “konflik” melahirkan perseteruan, dan “rasisme” melahirkan penga- niayaan, di mana ia membesar dengan cara memakan yang lain.
Prinsip dan landasan yang menjadi sandaran peradaban modern itulah menjadikannya hanya mampu memberikan kebahagiaan lahi- riah kepada dua puluh persen umat manusia. Sementara sisanya bera- da dalam penderitaan dan kerisauan.
Adapun hikmah al-Qur’an adalah menerima “kebenaran” sebagai titik sandaran kehidupan sosial, bukan “kekuatan”. Ia menjadikan “rida Allah” dan “upaya meraih kemuliaan” sebagai tujuan dan cita-cita, bu- kan “kepentingan”. Ia juga menjadikan prinsip “kerjasama” sebagai landasan dalam kehidupan, bukan “konflik”. Ia menjadikan ikatan “agama, golongan, dan tanah air” sebagai pengikat yang menyatukan berbagai kelompok masyarakat, bukan “rasisme” dan “nasionalisme negatif ”. Tujuannya berupa “pengendalian nafsu ammârah dan men- dorong ruh menuju keluhuran, serta menenangkan perasaannya yang mulia guna menggiring manusia menuju kesempurnaan agar manusia betul-betul menjadi insan sejati.”
“Kebenaran” melahirkan persatuan. “Kemuliaan” melahirkan kekompakan. “Kerjasama” melahirkan sikap tolong-menolong. “Aga- ma” melahirkan persaudaraan dan solidaritas. “Mengekang nafsu dan menggiring ruh menuju kesempurnaan” melahirkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Demikianlah, peradaban modern takluk di hada- pan al-Qur’an al-Hakîm meskipun ia telah mengambil berbagai ke- baikan dari agama-agama sebelumnya terutama dari al-Qur’an.
Pada tahap ketiga, kami akan menjelaskan—sekadar contoh— empat persoalan saja dari ribuan persoalan yang ada. Persoalan Pertama, karena hukum al-Qur’an berasal dari zaman azali maka ia bersifat kekal sampai masa keabadian. Ia tidak akan per- nah menua dan lapuk serta tidak akan pernah mengalami kematian se- bagaimana keadaan hukum buatan manusia di mana ia menua dan mati. Namun hukum al-Qur’an senantiasa muda dan kuat sepanjang masa.
Misalnya, peradaban manusia dengan segala organisasi sosial- nya, sistemnya yang tiran, lembaga pendidikan moralnya, tidak mam- pu menandingi dua hal yang terdapat dalam al-Qur’an. Bahkan ia lu- luh di hadapan keduanya. Yaitu dalam firman Allah yang berbunyi:“Tunaikanlah zakat..!” (QS. al-Baqarah [2]: 43).“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...” (QS. al-Baqarah [2]: 275).Kami akan menjelaskan keunggulan al-Qur’an yang luar biasa ini dengan pendahuluan sebagai berikut:
Sesungguhnya faktor utama dari seluruh kegoncangan dan per- golakan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat adalah satu kalimat sebagaimana sumber dari seluruh akhlak yang tercela juga satu kali- mat. Hal ini telah kami tegaskan dalam buku Isyârat al-I’jâz.
Kalimat pertama: “Yang penting aku kenyang, tidak peduli yang lain mati kelaparan.”
Kalimat kedua: Anda yang bekerja, saya yang menikmati hasilnya.
Ya, hidup damai dan harmonis dalam masyarakat hanya akan tercipta dengan menjaga keseimbangan antara kalangan khawas dan awam, yakni antara yang kaya dan yang miskin.Landasan keseimbangan tersebut adalah kasih sayang kalangan khawas kepada kalangan awam, disertai ketaatan dan penghormatan kalangan awam kepada kalangan khawas.Sekarang ini, kalimat pertama telah menggiring kalangan kha- was untuk berbuat zalim dan merusak. Sementara kalimat kedua menggiring kalangan awam untuk bersikap dengki dan benci. Dengan demikian, umat manusia tidak bisa hidup dengan tenang dan lapang sejak beberapa abad. Hal yang sama terjadi pada abad ini, yaitu mun- culnya peristiwa Eropa yang besar akibat konflik antara buruh dan pemilik modal seperti yang diketahui semua orang.
Peradaban saat ini dengan seluruh organisasi sosial, lembaga pendidikannya, serta berbagai media dan sarananya tidak mampu memperbaiki hubungan antara kedua kelompok tersebut. Ia juga ti- dak mampu membalut luka kehidupan umat manusia yang menganga.
Adapun al-Qur’an al-Karim, ia mencabut kalimat pertama dari akar- nya seraya mengobatinya dengan kewajiban zakat. Lalu ia mencabut kalimat kedua dari dasarnya seraya mengobatinya dengan pelarangan riba. Ya, ayat-ayat al-Qur’an berdiri di hadapan pintu alam seraya ber- kata kepada riba, “Dilarang masuk!” Ia menyuruh manusia, “Tutuplah pintu-pintu riba agar kalian tidak saling berperang.” Ia juga mengi- ngatkan para muridnya yang beriman untuk tidak masuk ke dalamnya.
Kedua, peradaban modern ini tidak menerima poligami. Ia me- nilai ketetapan al-Qur’an tersebut bertentangan dengan hikmah dan maslahat manusia.Ya, seandainya hikmah dari pernikahan hanya terbatas pada pelampiasan syahwat, tentu yang terjadi adalah sebaliknya. Namun telah diakui, bahkan lewat kesaksian semua hewan dan pembenaran tumbuhan yang berpasangan bahwa hikmah dan tujuan pernikahan adalah untuk memperbanyak keturunan. Adapun kenikmatan yang didapat dari pelampiasan syahwat adalah upah parsial yang diberi- kan oleh rahmat ilahi dalam menunaikan tugas tersebut.
Nah, sela- ma pernikahan bertujuan untuk keberlanjutan keturunan dan untuk memelihara spesies, sudah barang tentu wanita yang tidak mungkin melahirkan kecuali sekali dalam setahun, memiliki masa subur hanya separuh dalam sebulan, dan memasuki masa menopouse saat beru- sia lima puluh tahun tidak memadai bagi seorang lelaki yang mampu membuahi sampai usia seratus tahun. Karena itu, peradaban modern terpaksa membuka tempat-tempat maksiat.
Ketiga, peradaban modern yang tidak berdasar kepada logi- ka akal mengkritisi ayat al-Qur’an berikut, yang memberikan kepa- da wanita sepertiga bagian dari warisan (atau setengah bagian yang didapat laki-laki): “Laki-laki mendapatkan seperti bagian dua wanita...” (QS. an- Nisâ [4]: 11).Padahal secara aksiomatis, jelas bahwa sebagian besar hukum da- lam kehidupan sosial melihat pada kondisi mayoritas. Mayoritas wa- nita memiliki suami yang menanggung hidup dan melindungi mere- ka. Sementara laki-laki harus menanggung kebutuhan istri dan nafkah mereka. Nah, jika wanita mendapatkan sepertiga dari ayahnya (atau setengah bagian yang didapat suami dari ayahnya) maka suaminya itulah yang akan memenuhi kekurangannya. Sementara jika laki-la- ki mendapat dua bagian dari ayahnya, ia akan menafkahkan sebagi- annya untuk istrinya. Dengan begitu, bagian keduanya sama. Seorang laki-laki sama dengan saudara perempuannya. Demikianlah tuntutan keadilan al-Qur’an.(*[14])
Keempat, sebagaimana al-Qur’an al-Karîm dengan sangat te- gas melarang penyembahan terhadap berhala, ia juga melarang luki- san atau gambar yang menyerupai penyembahan terhadap berhala. Adapun peradaban modern justru menganggap lukisan dan gambar sebagai bagian dari keistimewaan dan kehebatannya serta berusaha menentang al-Qur’an. Padahal, segala bentuk gambar, entah yang berbentuk tiga dimensi ataupun yang lain, merupakan wujud dari kezali- man, sikap riya, dan hawa nafsu yang diformalkan dalam bentuk fisik. Sebab, ia mendorong hawa nafsu dan menggiring manusia untuk ber- buat zalim, riya, dan menuruti keinginan.
Kemudian al-Qur’an juga menyuruh para wanita untuk berhi- jab dengan busana ‘rasa malu’ sebagai bentuk kasih sayang terhadap mereka serta untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan mereka. Juga agar sumber-sumber yang berharga, sumber cinta kasih serta sumber kelembutan dan rahmat tidak direndahkan dan diinjak-injak. Dan agar mereka tidak menjadi sarana pemuas selera rendah dan kenik- matan sesaat.(*[15])Adapun peradaban modern, ia telah mengeluarkan wanita dari habitat dan rumah mereka serta merobek hijab mereka dan membuat umat manusia terpesona. Padahal seperti diketahui, ke- hidupan rumah tangga hanya bisa langgeng dengan adanya jalinan cin- ta dan kasih sayang antara suami-istri. Sementara menyingkap aurat dan bertabarruj (pamer kecantikan) bisa melenyapkan cinta dan kasih sayang yang tulus tersebut serta meracuni kehidupan rumah tangga.
Khususnya cinta berlebihan terhadap lukisan dan gambar (foto) dapat merusak akhlak dan menyebabkan ruh manusia jatuh pada tingkatan rendah. Hal ini bisa dipahami dengan keterangan berikut:Sebagaimana memandang mayat seorang wanita cantik yang— sebetulnya membutuhkan kasih sayang—dengan pandangan yang di- sertai syahwat dapat merusak akhlak, demikian pula memandang de- ngan syahwat sejumlah gambar wanita, baik yang sudah mati maupun yang masih hidup—yang laksana miniatur jenazah mereka—membuat jiwa, perasaan, dan nafsu manusia bergejolak.
Demikianlah, sama seperti keempat persoalan di atas, setiap per- soalan dari ribuan persoalan al-Qur’an menjamin kebahagiaan umat manusia di dunia, sebagaimana ia juga mewujudkan kebahagiaannya yang abadi kelak di akhirat. Engkau bisa menganalogikan semua per- soalan lain dengan keempat contoh di atas.
Selain itu, sebagaimana peradaban modern mengalami kerugian dan kekalahan di hadapan ketetapan dan undang-undang al-Qur’an yang terkait dengan kehidupan sosial manusia, di mana ia memper- lihatkan kebangkrutannya—dilihat dari sudut pandang hakikat—da- lam menghadapi kemukjizatan maknawi al-Qur’an. Demikian pula filsafat Eropa dan peradaban manusia ketika dibandingkan dengan hikmah al-Qur’an lewat sejumlah perbandingan pada kedua puluh lima kalimat sebelumnya tampak lemah tak berdaya. Sementara hik- mah al-Qur’an tampil hebat dan berjaya. Engkau bisa merujuk kepada “Kalimat Kedua Belas” dan “Ketiga Belas” guna memahami ketidak- berdayaan dan kebangkrutan hikmah filsafat, serta kemukjizatan dan kekayaan hikmah al-Qur’an.
Selanjutnya, sebagaimana peradaban modern kalah oleh kemuk- jizatan hikmah al-Qur’an yang ilmiah, demikian pula sastra dan re- torikanya dikalahkan oleh sastra dan retorika al-Qur’an. Perbandingan antara keduanya sama seperti tangisan pilu dan putus asa dari anak ya- tim yang kehilangan orang tua dibandingkan dengan senandung rindu dan harapan dari orang yang sedang jatuh cinta lantaran perpisahan sementara. Atau, seperti teriakan orang mabuk yang jatuh di tempat rendah dibandingkan dengan lagu pembangkit semangat yang menga- jak untuk mengorbankan jiwa dan harta yang demikian berharga.
Hal itu karena dilihat dari pengaruhnya, sebuah sastra dan retorika bisa melahirkan rasa sedih atau gembira. Rasa sedih itu sendiri terbagi dua:Pertama, rasa sedih karena kehilangan orang yang dicinta atau karena ketiadaan orang yang dicinta. Ini merupakan rasa sedih yang pahit yang diwariskan oleh peradaban yang terkontaminasi dengan kesesatan dan kelalaian, serta berkutat dengan alam materi. Yang kedua, rasa sedih yang bersumber dari perpisahan orang yang dicinta. Artinya, orang yang dicinta ada, akan tetapi perpisahan dengan mere- ka melahirkan kesedihan lantaran rindu yang amat sangat. Ini adalah rasa rindu yang diwariskan oleh al-Qur’an sebagai pemberi petunjuk yang terang.
Selanjutnya, rasa gembira dan suka cita juga terbagi dua:Pertama, rasa gembira yang mendorong jiwa manusia untuk menuruti hawa nafsu. Ini adalah sifat peradaban modern yang berasal dari karya seniman dan novelis. Kedua, rasa gembira yang halus dan bersih. Ia meredam gejolak nafsu dan mengendalikannya serta mendorong jiwa, kalbu, akal, dan perasaan kepada hal-hal mulia, kepada habitatnya yang asli dan aba- di, serta kepada kekasih ukhrawi. Rasa gembira semacam inilah yang dipersembahkan oleh al-Qur’an yang memotivasi manusia dan mem- buatnya merindukan surga dan kebahagiaan abadi serta merindukan keindahan Allah .
Orang yang kurang paham dan yang kurang cermat mengira bahwa makna agung dan hakikat besar yang dijelaskan oleh ayat al- Qur’an yang berbunyi: Katakanlah, “Jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’an, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain” (QS. al-Isrâ [17]: 88) adalah sesuatu yang mustahil dan berlebihan. Hal itu sama sekali tidak benar. Namun ia merupakan retorika yang bersifat hakiki dan gambaran yang sangat mungkin ter- jadi; tidak mustahil.
Salah satu perspektif dari gambaran tersebut adalah bahwa an- daikan seluruh ucapan terindah dari kalangan jin dan manusia yang tidak bersumber dari al-Qur’an berkumpul, tentu ia tidak akan bisa menyamai al-Qur’an. Karena itu, yang serupa dengannya tidak pernah muncul.
Perspektif lainnya adalah bahwa peradaban, hikmah filsafat, dan sastra asing yang merupakan karya pemikiran jin dan manusia, bahkan setan sekalipun sangat tidak berdaya menghadapi ketetapan, hikmah, dan balagah al-Qur’an seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya.
Pancaran Ketiga:
Berbicara kepada Setiap Tingkatan Manusia. Al-Qur’an al-Hakîm berbicara kepada setiap tingkatan manu- sia sepanjang masa. Seolah-olah secara khusus ia tertuju pada ting- katan tersebut.
Pasalnya, ketika al-Qur’an mengajak seluruh manusia dengan seluruh kelompoknya kepada iman yang merupakan penge- tahuan paling mendalam dan paling tinggi, kepada makrifatullah sebagai pengetahuan yang paling luas dan paling bersinar, dan kepada hukum-hukum Islam sebagai pengetahuan yang paling penting dan beragam, maka sudah pasti pelajaran yang diberikan kepada berbagai kelompok manusia itu berupa pelajaran yang bisa dipahami oleh ma- sing-masing mereka. Sebenarnya pelajarannya hanya satu, tidak ber- beda-beda. Jadi, harus ada sejumlah tingkatan pemahaman dalam pelajaran yang sama. Dengan demikian, setiap kelompok manusia— sesuai derajatnya—bisa mengambil bagian dari setiap pentas yang ter- dapat dalam al-Qur’an.Kami telah menyuguhkan banyak contoh tentang hakikat ini. Engkau dapat merujuk kepadanya. Di sini kami hanya ingin menun- jukkan sebagian darinya serta hanya mengarah kapada satu atau dua tingkatan pemahaman.
Contoh, ayat yang berbunyi:“Dia tidak beranak dan diperanakkan. Tidak ada satupun sekutu bagi-Nya.” (QS. al-Ikhlâs [112]: 3-4).
Kalangan awam yang merupakan kelompok mayoritas memaha- mi bahwa Allah tidak memiliki ayah, anak, istri, atau kolega.”
Sementara kalangan menengah memahaminya sebagai bentuk penafian terhadap sifat ketuhanan Isa dan malaikat, serta semua makh- luk yang bereproduksi. Sebab, secara lahiriah, menafikan sesuatu yang mustahil tidak berguna. Karena itu, menurut mereka pasti maksudnya adalah implikasi dari pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam ilmu retorika. Jadi, maksud dari menafikan keberadaan anak dan ayah yang merupakan ciri makhluk ragawi (jasmani) adalah menafikan si- fat uluhiyah dari semua yang memiliki anak, ayah, dan sekutu berikut penjelasan tentang ketidaklayakan mereka sebagai Tuhan. Dari sini jelas bahwa surah al-Ikhlas dapat memberi penjelasan kepada setiap manusia pada setiap masa.
Lalu yang bisa dipahami oleh orang yang memiliki tingkat pema- haman yang lebih tinggi adalah bahwa Allah bersih dari semua ikatan yang terkait dengan entitas di mana darinya terdapat proses reproduk- si. Dia suci dari semua sekutu dan pembantu. Hubungan-Nya dengan entitas adalah hubungan penciptaan. Dia menciptakan entitas dengan perintah kun fayakûn lewat kehendak dan keinginan-Nya yang bersi- fat azali. Dia juga bersih dari semua ikatan yang bertentangan dengan kesempurnaan seperti pemberian kewajiban pada-Nya, keterpaksaan, serta kemunculan yang tak disengaja.
Kemudian yang dapat dipahami oleh kalangan yang lebih tinggi darinya adalah bahwa Allah Maha Azali, Abadi, Maha Pertama, Maha Terakhir, tanpa ada sekutu dan padanan bagi-Nya, serta tanpa ada yang serupa dengan-Nya dilihat dari sisi apapun; baik dalam hal Dzat, sifat ataupun perbuatan-Nya. Yang ada hanya perumpamaan yang ber- fungsi sebagai antromorfis (tasybih) dalam menggambarkan perbua- tan dan sifat-Nya.
Engkau bisa menganalogikan semua tingkatan pemahaman di atas dengan sejumlah kalangan yang memiliki daya tangkap yang be- ragam. Misalnya kalangan arif, kalangan pecinta, kalangan shiddîqîn dan seterusnya.
Contoh kedua, ayat yang berbunyi:“Muhammad bukan ayah dari salah seorang lelaki di antara ka- lian...” (QS. al-Ahzâb [33]: 40).
Yang dipahami oleh kalangan atau tingkatan pertama dari ayat di atas adalah bahwa Zaid, pembantu sekaligus anak angkat Rasulul- lah x, telah menceraikan istrinya yang mulia setelah ia merasa tidak cocok dengannya. Maka Rasulullah x menikahi mantan istrinya itu atas perintah Allah . Jadi, ayat yang turun terkait dengan peristiwa tersebut berkata, “Jika Nabi x memanggil kalian dengan ungkapan anakku, maka hal itu hanya dari sisi kerasulan. Sebab dilihat dari sisi pribadi, beliau bukanlah ayah dari salah seorang di antara kalian se- hingga istrinya tidak layak beliau nikahi.
Sementara yang dipahami oleh kalangan kedua adalah bahwa sang pemimpin agung melihat rakyatnya laksana ayah yang penuh kasih sayang. Jika ia sosok pemim- pin spiritual dalam hal lahir dan batin, maka kasih sayangnya jauh melebihi kasih sayang seorang ayah. Sehingga seluruh rakyatnya me- lihatnya sebagai ayah, sementara mereka laksana anaknya. Nah, kare- na pandangan kepada ayah tidak mungkin berubah menjadi pandangan kepada suami, serta pandangan kepada anak perempuan tidak mungkin dengan mudah berubah menjadi pandangan kepada istri, maka—dalam opini publik—Rasul x tidak cocok menikah dengan anak wanita kaum mukmin. Karena itu, al-Qur’an berbicara kepada mereka dengan berkata, “Dari sisi rahmat ilahi, Rasul x melihat ka- lian dengan pandangan kasih sayang. Sementara dari sisi kenabian, beliau memperlakukan kalian seperti perlakuan seorang ayah yang penyayang. Akan tetapi dilihat dari sosoknya sebagai manusia, beliau bukan ayah kalian sehingga beliau layak menikahi anak-anak wanita kalian.”
Kalangan ketiga memahami ayat itu sebagai berikut: “kalian tidak boleh melakukan kesalahan dan dosa karena bersandar pada belas kasih beliau serta afiliasi kalian padanya. Sebab, banyak orang yang bersandar pada pimpinan dan mursyid mereka lalu menjadi malas-malasan dalam melakukan ibadah dan dalam beramal. Bahkan kadangkala mereka berkata, “Salat kami telah dikerjakan.” (seperti kondisi sebagian kalangan syiah).
Lalu kalangan lain memahami isyarat gaib yang terdapat pada ayat tersebut. Yaitu bahwa anak laki-laki Rasul x tidak akan sam- pai dewasa. Allah mewafatkan mereka sebelum mereka mencapai usia tersebut. Keturunan beliau tidak berlanjut sebagai orang dewasa karena hikmah yang Allah ketahui. Namun lafal rijâl (lelaki dewasa) mengisyaratkan bahwa keturunannya yang akan terus berlanjut hanya dari wanita. Alhamdulillah ternyata keturunan yang baik dan mulia dari Fatimah az-Zahra g seperti Hasan dan Husein sebagai dua purnama bersinar dari dua silsilah bercahaya meneruskan keturunan mentari kenabian yang penuh berkah terus berlanjut; baik secara fisik maupun maknawi.
Ya Allah, limpahkan salawat kepada beliau dan keluarganya.
(Obor pertama selesai dengan tiga kilaunya).
OBOR KEDUA
(Tiga Cahaya)
CAHAYA PERTAMA
Al-Qur’an al-Karim menggabungkan antara kefasihan yang is- timewa, ketepatan yang luar biasa, kepaduan yang kukuh, keselarasan yang indah, kerjasama yang kuat antar kalimat dan susunannya, serta keharmonisan yang sempurna antar ayat dan tujuannya. Hal ini se- bagaimana kesaksian ilmu bayan dan semantik, serta kesaksian ribuan pakar bidang ilmu tersebut seperti az-Zamakhsyari, as-Sakkâki, dan Abdul Qâhir al-Jurjani. Padahal terdapat sekitar sembilan faktor pen- ting yang bisa merusak keharmonisan, keterpaduan, kefasihan, dan ketepatannya. Namun ternyata semua faktor tersebut tidak bisa me- rusak dan mempengaruhinya. Sebaliknya, ia tetap segar, fasih, sehat, dan padu. Pengaruhnya hanya terbatas pada bagaimana ia menampak- kan diri dari balik tirai tatanan dan kefasihan yang ada. Hal itu untuk menunjukkan sejumlah makna kefasihan konstruksi al-Qur’an sama seperti kuncup yang mengeluarkan sejumlah benjolan di batang po- hon. Tentu saja ia tidak merusak keharmonisan pohon. Akan tetapi, ia memberikan buah yang membuat pohon tadi semakin indah dan cantik.
Pasalnya, al-Qur’an yang menjadi penerang itu turun dalam jang- ka waktu 23 tahun secara berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan. Namun demikian, ia tetap memperlihatkan kesesuaian yang sempurna seolah-olah turun secara sekaligus.
Selain itu, al-Qur’an turun dalam jangka waktu 23 tahun dengan sebab turun yang berbeda-beda. Namun demikian, ia tetap memper- lihatkan keterpaduan sempurna seolah-olah ia turun hanya karena satu sebab.
Kemudian, al-Qur’an juga datang sebagai jawaban atas berbagai pertanyaan yang berulang, namun ia tetap memperlihatkan kesatuan yang sempurna seolah-olah ia merupakan jawaban dari se- buah pertanyaan.
Lalu, al-Qur’an datang sebagai penjelasan hukum dari berbagai peristiwa yang terjadi, namun ia tetap memperlihatkan keteraturan yang sempurna seolah-olah ia merupakan penjelasan dari sebuah peristiwa.
Selanjutnya, al-Qur’an turun dengan berisi kalam ilahi dalam beragam uslub yang sesuai dengan pemahaman mitra bicara yang jumlahnya tak terhingga serta berbagai kondisi penerimaan yang ber- beda-beda. Namun demikian, ia tetap memperlihatkan kefasihan dan keselarasan yang indah seolah-olah keadaan dan pemahamannya ha- nya satu sehingga ia mengalir seperti air salsabil.
Kemudian, al-Qur’an turun mengarah pada berbagai kelompok yang berbeda-beda, namun ia tetap memperlihatkan kemudahan bayan, keindahan tatanan, dan kejelasan pemahaman seolah-olah yang menjadi objeknya hanya satu kelompok di mana masing-masing mengira dirinyalah yang sebenar- nya dituju.
Al-Qur’an juga turun sebagai pembimbing dan pengantar kepada beragam tujuan, namun ia tetap memperlihatkan istikamah yang sempurna, keseimbangan yang cermat, dan keteraturan yang in- dah seolah-olah tujuannya hanya satu.
Sejumlah faktor di atas meski merupakan faktor yang bisa me- rusak makna dan susunannya, namun ia justru dipergunakan untuk memperlihatkan kemukjizatan bayan, kefasihan, dan keselarasan al- Qur’an.Ya, orang yang memiliki hati yang bersih, pikiran yang jernih, nurani yang murni, dan daya rasa yang sempurna, pasti melihat kelan- caran yang indah, kesesuaian yang lembut, alunan yang nikmat, dan kefasihan yang istimewa dalam bayan al-Qur’an. Siapa yang memiliki penglihatan sempurna dalam basirahnya, tentu akan melihat mata da- lam al-Qur’an yang bisa melihat semua entitas, baik yang lahir maupun yang batin secara jelas, seperti satu lembaran yang bisa dibolak-balik sehingga ia menyampaikan maknanya sesuai dengan uslub (gaya baha- sa) yang dikehendaki.
Jika kita menginginkan penjelasan tentang hakikat cahaya perta- ma lewat sejumlah contoh, maka dibutuhkan berjilid-jilid buku. Kare- na itu, kita cukupkan dengan beberapa penjelasan yang terkait dengan hakikat ini pada al-Rasâil al-Arabiyyah (risalah berbahasa Arab),(*[16])Isyârat al-I’jaz, serta kedua puluh lima kalimat sebelumnya. Bahkan keseluruhan al-Qur’an merupakan contoh bagi hakikat tersebut. Ku- jelaskan semuanya secara sekaligus.
CAHAYA KEDUA
Cahaya ini membahas tentang keistimewaan mukjizat gaya ba- hasa al-Qur’an yang menakjubkan dalam sejumlah intisari berikut As- maul Husna yang menjadi penutup dari ayat al-Qur’an.
Catatan: Dalam cahaya yang kedua ini ada banyak ayat yang disebutkan. Ayat-ayat itu tidak hanya khusus bagi cahaya kedua, tetapi juga me- rupakan contoh bagi berbagai persoalan dan sejumlah kilau yang telah disebutkan sebelumnya. Kalau kita ingin memberikan penjelasan yang memadai tentang sejumlah contoh tersebut, tentu pembahasannya akan sangat panjang. Namun saat ini, menurutku, harus dijelaskan se- cara singkat dan global. Karena itu, aku memberikan penjelasan secara singkat dan global tentang sejumlah ayat yang kami jadikan sebagai contoh untuk menjelaskan rahasia agung ini; rahasia kemukjizatan. Penjelasan detailnya ditunda ke waktu yang lain.
Seringkali al-Qur’an al-Karim menyebutkan rangkuman dan in- tisari pada penutup ayat. Rangkuman tersebut bisa berisi Asmaul Hus- na atau maknanya, bisa pula mengembalikan persoalannya kepada akal dengan mendorong untuk merenungkannya, atau bisa pula berisi kaidah umum dari tujuan al-Qur’an di mana ayat tersebut menguatkan dan menegaskannya.
Dalam ringkasan itu terdapat sejumlah petun- juk tentang hikmah al-Qur’an yang mulia, resapan air kehidupan dari petunjuk ilahi, serta sejumlah percikan kilau kemukjizatan al-Qur’an.Sekarang kami hanya akan menyebutkan ‘sepuluh petunjuk’ atau isyarat dari banyak petunjuk yang ada secara global seraya memberi- kan satu contoh saja dari banyak contoh yang ada, serta menunjukkan makna umum dari satu hakikat saja dari sekian banyak hakikatnya.Sebagian besar dari kesepuluh isyarat itu terkumpul dalam se- bagian besar ayat secara bersamaan di mana ia membentuk untaian kemukjizatan hakiki. Sebagian besar ayat yang kami jadikan sebagai contoh merupakan contoh dari sebagian besar isyarat. Maka dari se- tiap ayat, kami akan menjelaskan sebuah isyarat seraya secara implisit menunjukkan berbagai makna dari ayat yang telah kami sebutkan da- lam beberapa “kalimat” sebelumnya.
Keistimewaan Kefasihan yang Pertama
Dengan penjelasannya yang menakjubkan, al-Qur’an mengham- parkan berbagai perbuatan Sang Pencipta Yang Mahaagung berikut jejak-Nya di hadapan penglihatan makhluk. Kemudian dari perbuatan dan jejak tersebut, ia menyebutkan nama-nama ilahi atau ia menetap- kan salah satu tujuan fundamental al-Qur’an seperti kebangkitan dan tauhid.
Di antara contoh makna yang pertama adalah firman Allah :“Dialah Allah yang menjadikan segala yang terdapat di bumi un- tuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu Dia men- jadikannya tujuh langit. Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Baqarah [2]: 29).
Sementara contoh untuk makna yang kedua adalah firman-Nya:“Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan? dan gunung-gunung sebagai pasak? Kami jadikan kamu berpasang-pa- sangan. Kami jadikan tidurmu untuk istirahat. Kami jadikan malam sebagai pakaian. Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan. Kami bangun di atasmu tujuh lapis (langit) yang kukuh. Kami jadikan pe- lita yang amat terang (matahari). Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, serta kebun-kebun yang lebat? Sesungguhnya hari keputusan adalah suatu waktu yang ditetapkan.” (QS. an-Naba’ [78]: 6-17).
Pada ayat pertama, al-Qur’an menerangkan berbagai jejak ilahi yang agung yang—lewat tujuan dan susunannya—menunjukkan pengetahuan dan qudrah Allah. Dia menyebutkannya sebagai pendahu- luan dari satu hasil dan maksud penting. Lalu muncullah nama Allah “ ” (Yang Maha Mengetahui). Selanjutnya, pada ayat kedua disebut- kan sejumlah perbuatan Allah yang besar berikut jejaknya yang agung. Dari sana dihasilkan kebangkitan yang merupakan hari keputusan se- bagaimana dijelaskan dalam poin ketiga, kilau pertama dari obor pertama.
Aspek Balagah yang Kedua
Al-Qur’an al-Karîm menebarkan berbagai tenunan kreasi ilahi dan menghamparkannya di hadapan mata manusia. Lalu ia mem- bungkusnya dalam sebuah kesimpulan dalam bingkai nama-na- ma-Nya atau mengembalikannya kepada akal.
Contoh pertama: “Katakanlah: Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari la- ngit dan bumi? Siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan? Siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup? Siapakah yang menga- tur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab, “Allah”. Katakanlah: Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya? (Dzat yang demikian) itu- lah Allah Tuhan kamu Yang Mahabenar...” (QS. Yûnus [10]: 31-32).
Pertama-tama ia menegaskan, “Siapa yang menyiapkan langit dan bumi dan menjadikan keduanya sebagai tempat menyimpan reze- ki kalian. Lalu dari sana (langit) Dia menurunkan hujan, dan dari sini (bumi) Dia mengeluarkan benih. Adakah selain Allah yang bisa men- jadikan langit dan bumi yang besar ini layaknya penjaga gudang yang taat kepada hukum-Nya?! Dengan demikian, rasa syukur dan pujian hanya layak untuk Allah.”
Pada bagian kedua ia berkata, “Siapa pemilik pendengaran dan penglihatan yang merupakan sesuatu paling berharga yang terdapat di tubuh kalian? Dari pabrik atau toko mana kalian membelinya? Dzat yang memberikan indra penglihatan dan pendengaran yang halus itu adalah Rabb kalian! Dia yang menciptakan dan membesarkan kalian serta memberikannya kepada kalian. Jadi, hanya Rabb (Tuhan Pemeli- hara) yang layak disembah”.
Pada bagian ketiga ia berkata, “Siapa yang menghidupkan ratu- san ribu spesies tak bernyawa sebagaimana menghidupkan bumi? Sia- pa selain Allah (al-Haq) dan Pencipta alam yang mampu melakukan itu semua? Tentu Dialah yang telah berbuat hal tersebut dan Dia pula yang menghidupkan bumi yang mati. Selama Dia adalah al-Haq (Ma- habenar), tentu tidak akan ada hak yang terabaikan di sisi-Nya. Dia akan membangkitkan kalian menuju pengadilan terbesar serta akan menghidupkan kalian sebagaimana Dia menghidupkan bumi.”
Pada bagian keempat ia berkata, “Siapa selain Allah yang dapat menata urusan alam yang besar itu serta mengatur persoalannya de- ngan sangat rapi dan mudah seperti menata sebuah istana atau kota? Selama tidak ada Dzat selain Allah, maka tidak ada cacat pada qudrah- Nya dalam mengatur alam ini berikut semua benda di dalamnya de- ngan sangat mudah tanpa butuh sekutu atau pembantu. Qudrah-Nya bersifat mutlak tak terbatas. Dzat yang mengatur urusan alam yang besar ini tidak menyerahkan pengaturan makhluk yang kecil kepada selain-Nya. Dengan demikian, kalian harus berkata, “Allah”.
Engkau dapat melihat bahwa bagian pertama dan keempat me- ngucap “Allah”, bagian kedua mengucap “Rabb (Tuhan Pemelihara)”, serta yang ketiga mengucap, “al-Haq (Tuhan Yang Mahabenar).” Maka pahamilah tingkat kemukjizatan yang terdapat pada kalimat:“(Dzat yang demikian) itulah Allah, Tuhan (Rabb) kamu, Yang Mahabenar (al-Haq)”.Begitulah al-Qur’an menyebutkan berbagai perbuatan Allah dan kreasi-Nya yang agung. Kemudian al-Qur’an menyebutkan tangan yang menata seluruh jejak-Nya yang mulia. Itulah Allah, Tuhan kamu, Yang Mahabenar. Artinya, ia memperlihatkan sumber dari semua per- buatan dan kreasi tadi dengan menyebutkan nama-nama ilahi: Allah, Rabb,dan al-Haq.
Di antara contoh yang kedua (yang mengarah kepada akal) adalah:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih berganti- nya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh pada semua itu (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir”. (QS. al-Baqarah [2]: 164).
Dalam ayat-ayat di atas, al-Qur’an menyebutkan manifestasi kekuasaan ilahi yang terdapat dalam penciptaan langit dan bumi yang memperlihatkan wujud kesempurnaan qudrah-Nya dan keagungan rububiyah-Nya. Al-Qur’an menyebutkan manifestasi rububiyah dalam silih bergantinya malam dan siang; manifestasi rahmat lewat penun- dukan dan perjalanan bahtera di laut sebagai salah satu sarana pa- ling utama dalam kehidupan sosial manusia; manifestasi keagungan qudrah dalam menurunkan air yang membangkitkan kehidupan dari langit ke bumi yang mati dan bagaimana ia menghidupkannya bersama seluruh spesiesnya yang berjumlah ratusan ribu lebih, serta bagaimana ia ditampilkan dalam bentuk galeri kreasi yang menakjubkan.Selain itu, al-Qur’an menyebutkan manifestasi rahmat dan qud- rah dalam penciptaan beragam hewan yang jumlahnya tak terhingga dari tanah yang sederhana. Ia menyebutkan manifestasi rahmat dan hikmah dari pemberian berbagai tugas mulia kepada angin seper- ti penyerbukan dan pernapasan bagi tumbuhan serta sebagai media untuk bernapas bagi makhluk hidup lewat gerakannya. Kemudian al-Qur’an menyebutkan manifestasi rububiyah dalam penundukan, pengumpulan, dan penebaran awan yang tergantung di antara langit dan bumi laksana pasukan yang taat. Mereka bertebaran untuk isti- rahat lalu berkumpul untuk menerima perintah dalam sebuah parade besar. Demikianlah, setelah al-Qur’an menyajikan kreasi ilahi, ia me- ngajak akal untuk merenungi hakikatnya secara rinci dengan redak- sinya:“Sungguh pada semua itu (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir”.
Keistimewaan Kefasihan yang Ketiga
Al-Qur’an al-Karîm kadang menyebutkan sejumlah perbuatan Allah secara rinci. Setelah itu, ia meringkas dan merangkumnya dalam sebuah kesimpulan. Dengan rincian tadi, al-Qur’an melahir- kan sikap qana’ah dan tenang. Serta dengan ungkapan yang ringkas memudahkan untuk dihafal.
Contoh:“Demikianlah Tuhanmu memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan mengajarimu sebagian dari ta’bir mimpi. Dia menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya’qub, sebagaimana Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada dua orang bapakmu sebe- lum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishak. Tuhanmu Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.” (QS. Yûsuf [12]: 6).
Dengan ayat di atas, al-Qur’an menunjukkan sejumlah nikmat yang Allah karuniakan kepada Nabi Yusuf dan kepada ayah dan ka- keknya. Al-Qur’an menegaskan, “Allah yang memilihmu di antara manusia untuk menjadi nabi serta menjadikan silsilah seluruh nabi terkait dengan silsilahmu dengan menjadikannya sebagai pemimpin atas seluruh silsilah manusia. Dia juga menjadikan kalian sebagai pusat pengajaran dan hidayah. Engkau mendiktekan berbagai ilmu ilahiyah dan hikmah rabbaniyah. Dia kumpulkan pada dirimu kekuasaan du- nia yang bahagia dan kebahagiaan akhirat yang kekal. Lewat ilmu dan hikmah, Dia menjadikanmu sebagai pembesar Mesir sekaligus sebagai nabi yang agung dan pembimbing yang bijak”. Setelah menyebutkan berbagai nikmat di atas dan bagaimana Allah menjadikannya berikut ayah dan kakeknya sebagai orang-orang yang mendapat ilmu dan hik- mah, al-Qur’an mengatakan:“Tuhanmu Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana”. Artinya, ru- bubiyah dan hikmah menuntut untuk menjadikanmu serta ayah dan kakekmu mendapatkan manifestasi nama “ ” (Maha Menge- tahui dan Maha Bijaksana). Demikianlah al-Qur’an merangkum ber- bagai nikmat di atas dengan kesimpulan tersebut.
Contoh lain: “Katakanlah: Wahai Tuhan yang mempunyai kekuasaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Eng kaulah segala kebajikan. Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Eng- kau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Eng- kau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas).” (QS. Âli `Imrân [3]: 26-27).
Ayat di atas menjelaskan berbagai perbuatan Allah dalam ke- hidupan sosial manusia. Ia menginformasikan bahwa kemuliaan dan kehinaan serta kemiskinan dan kekayaan terpaut secara langsung de- ngan kehendak dan keinginan Allah . Artinya, perbuatan Allah pada spesies yang paling tersebar terwujud karena kehendak dan ketentuan Allah; bukan karena kebetulan”.Setelah ayat di atas memberikan pernyataan tersebut, ia berkata, “Hal terpenting dalam kehidupan manusia adalah urusan rezekinya”. Maka dengan sejumlah pendahuluan, ia menetapkan bahwa rezeki dikirimkan secara langsung dari simpanan kekayaan Tuhan Pemberi rezeki hakiki. Pasalnya, rezeki kalian terkait dengan kehidupan bumi. Sementara kehidupan bumi tergantung pada musim semi. Lalu musim semi berada di tangan Dzat yang menundukkan matahari dan bulan serta menjalankan siang dan malam. Jadi, pemberian sebuah apel un- tuk manusia sebagai rezeki hakiki berasal dari perbuatan Dzat yang memenuhi bumi dengan berbagai buah. Dialah Pemberi rezeki hakiki. Setelah itu, al-Qur’an menyimpulkan dan menetapkan berbagai per- buatan rinci tadi dengan sebuah kesimpulan:“Engkau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)”.
Aspek Balagah yang Keempat
Al-Qur’an kadang menyebutkan berbagai makhluk ilahi dengan urutan tertentu. Kemudian ia menjelaskan bahwa dalam kehidupan makhluk terdapat sebuah sistem dan neraca yang memperlihatkan buah makhluk. Seolah-olah ia memberikan semacam kebeningan dan kecemerlangan pada makhluk di mana ia memperlihatkan nama-na- ma ilahi yang terwujud di dalamnya. Seolah-olah makhluk tersebut merupakan lafalnya, sementara nama-nama tadi merupakan makna- nya. Atau makhluk tersebut merupakan buahnya, sementara nama-na- ma tadi merupakan bijinya.
Contoh:
“Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (bera- sal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah. Lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging. Segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang. Lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan ia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha suci Allah, Pencipta yang paling baik.” (QS. al-Mu’minûn [23]: 12-14).
Al-Qur’an menyebutkan penciptaan dan fase-fase manusia yang menakjubkan, indah, rapi, dan seimbang secara berurutan seraya menjelaskan ayat: فَتَبَارَكَ اللّٰهُ اَح۟سَنُ ال۟خَالِقٖينَ “Maka Maha suci Allah, Pencipta yang paling baik” laksana cermin di mana setiap fase seperti menunjukkan ten- tang dirinya. Bahkan sebelum kedatangannya, salah seorang penulis wahyu ketika menuliskan ayat ini berprasangka dengan berkata, “Apa- kah ia juga diwahyukan kepadaku?”(*[17])Kenyataannya, kesempurnaan susunan kalam pertama, kebeningannya yang istimewa, serta kese- larasannya yang sempurna memperlihatkan dirinya sebelum kalimat tersebut datang.
Demikian pula dengan bunyi firman Allah:“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Lalu Dia bersemayam di atas Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, (Dia juga menciptakan) matahari, bulan, dan bintang-gemintang (di mana masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, mencipta dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. al-A’râf [7]: 54).
Dalam ayat di atas, al-Qur’an menjelaskan keagungan qudrah ilahi dan kekuasaan rububiyah-Nya dalam bentuk yang menunjukkan wujud Sang Mahakuasa Yang Mahaagung di mana Dia bersemayam di atas arasy rububiyah-Nya, menuliskan tanda-tanda rububiyah tadi di atas lembaran alam, memutar siang dan malam laksana dua pita yang saling menggantikan. Sementara matahari, bulan, dan bintang siap un- tuk menerima perintah laksana prajurit yang taat. Karena itu, begitu mendengar ayat di atas setiap jiwa mengucap, “Tabârakallâhu Rabbul `âlamîn, bârakallâh, mâsyâ Allâh”. Artinya, kalimat: “Maha suci Allah, Tuhan semesta alam” menjadi sebuah kesim- pulan dari kalimat sebelumnya. Ia laksana benih, buah, dan air ke- hidupannya.
Keistimewaan Kefasihan yang Kelima
Al-Qur’an kadang menyebutkan sejumlah unsur materi yang bisa berubah sesuai dengan ragam kondisinya. Kemudian untuk mengu- bahnya menjadi berbagai hakikat yang tetap, ia mengikat dan merang- kumnya dengan nama-nama ilahi yang bersifat cahaya, menyeluruh, dan permanen. Atau, ia memberikan kesimpulan yang mendorong akal untuk berpikir dan mengambil pelajaran.
Contoh dari makna pertama adalah:“Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruh- nya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfir- man, “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu me- mang golongan yang benar!” Mereka menjawab, “Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan pada kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui dan Maha Bi- jaksana.” (QS. al-Baqarah [2]: 31-32).
Ayat ini pertama-tama menyebutkan tentang satu peristiwa par- sial, yaitu bahwa faktor yang menyebabkan Adam unggul daripada malaikat sehingga terpilih menjadi khalifah adalah ‘ilmu’. Sesudah itu, ayat tersebut menjelaskan peristiwa kalahnya malaikat di hadapan Adam dalam hal ilmu. Lalu hal itu dilanjutkan dengan merang- kum dua kejadian di atas melalui penyebutan dua nama dari Asmaul Husna:“Engkau al-`Alîm (Maha Mengetahui), dan al-Hakîm (Maha Bijaksana)”. Artinya, malaikat berkata, “Wahai Tuhan, Engkau Maha mengetahui. Karena itu, Engkau ajarkan Adam sehingga mengalahkan kami. Engkau juga Maha bijaksana, sehingga Engkau memberikan ke- pada masing-masing kami sesuatu yang sesuai dengan potensi yang kami miliki. Engkau melebihkan Adam atas kami melalui potensi yang dia miliki”.
Contoh dari makna kedua adalah:“Sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari pada apa yang be- rada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah diteguk bagi orang-orang yang meminumnya. Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal. Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat manusia. Kemu- dian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu)”. Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya. Di dalam- nya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang- orang yang berpikir.” (QS. an-Nahl [16]: 66-69).
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa Allah menjadikan kam- bing, domba, sapi, unta, dan binatang sejenisnya sebagai sumber yang bersih dan murni dalam mengalirkan susu bagi manusia. Lalu Allah menjadikan anggur, kurma, dan sejenisnya sebagai hidangan yang lezat dan nikmat. Kemudian Allah mengeluarkan dari binatang sejenis lebah—yang merupakan salah satu mukjizat kekuasaan-Nya—madu di mana ia berisi obat bagi manusia di samping nikmat dan manis. Di akhir penjelasan, ayat-ayat tersebut mendorong untuk berpikir, mengambil pelajaran, dan menganalogikan yang lain dengannya lewat ayat: “Sesungguhnya dalam hal tersebut terdapat tanda kekuasaan bagi kaum yang berpikir”.
Aspek Balagah yang Keenam
Al-Qur’an al-Karîm kadang menyebarkan hukum-hukum rubu- biyah pada entitas yang banyak dan tersebar luas, kemudian ia me- netapkan fenomena kesatuan atasnya serta mengumpulkannya dalam sebuah titik yang menyatukannya laksana titik pusat atau menetap- kannya dalam satu kaidah universal.
Contoh, firman Allah yang berbunyi:“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka. Mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang Dia kehendaki. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Allah tidak merasa berat memelihara keduanya. Dia Mahatinggi dan Maha- agung.” (QS. al-Baqarah [2]: 255).
Ayat di atas (ayat kursi) menghadirkan sepuluh kalimat yang menggambarkan sepuluh tingkatan tauhid dalam bentuk beragam. Setelah itu, dengan sangat tegas ia memutuskan seluruh ikatan kemu- syrikan dan pengikutsertaan selain Allah dengan firman-Nya:“Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya...”Karena ayat ini berisi nama Allah yang paling agung, maka ber- bagai maknanya dilihat dari sisi hakikat ilahiyah berada pada kedudu- kan yang paling tinggi. Pasalnya, ia menerangkan berbagai perbuatan rububiyah dalam tingkatan yang paling agung. Setelah menyebutkan pengaturan uluhiyah yang mengarah ke langit dan bumi secara ke- seluruhan dalam kedudukan yang paling tinggi, ia menyebutkan pe- meliharaan Allah yang paripurna dan mutlak dengan seluruh makna- nya. Kemudian ayat tersebut merangkum berbagai sumber manifestasi agung di atas dalam sebuah ikatan kesatuan lewat firman-Nya:“Dia Mahatinggi dan Mahaagung”.
Contoh lain adalah firman-Nya:“Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurun- kan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezeki untukmu; Dia telah menun- dukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya. Dia juga telah menundukkan bagimu sungai-sungai.Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang te- rus menerus beredar (dalam orbitnya); Dan Dia telah menundukkan bagimu malam dan siang. Dia telah memberikan kepadamu (keperlu- anmu) dan segala apa yang kamu mohon. Jika kamu menghitung nik- mat Allah tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya ma- nusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrâhîm [14]: 32-34).
Ayat-ayat di atas menerangkan bagaimana Allah menciptakan alam ini untuk manusia sebagai sebuah istana. Dia mengirimkan air kehidupan dari langit ke bumi. Lalu Dia menjadikan langit dan bumi tunduk laksana dua pelayan yang bertugas mengantarkan rezeki kepa- da seluruh manusia. Dia juga menundukkan kapal untuk memberikan kesempatan kepada setiap orang agar ia bisa mengambil manfaat dari semua buah yang ada di bumi sehingga bisa hidup dan saling bertukar hasil usaha dan pekerjaan mereka. Dengan kata lain, Dia menjadikan laut, pohon, dan angin dalam kondisi khusus di mana angin laksana cambuk, kapal laksana kuda, dan laut laksana padang pasir yang luas.Di samping itu, Dia menjadikan manusia berserta semua yang terdapat di penjuru alam terpaut dengan perahu dan berbagai sarana transportasi alami di sejumlah sungai dan anak sungai. Dia memper- jalankan matahari dan bulan serta menjadikan keduanya sebagai awak kapal yang bertugas memutar roda alam yang besar, untuk mengha- dirkan berbagai musim, serta menyiapkan berbagai nikmat ilahi. Dia juga menundukkan siang dan malam dengan memosisikan malam sebagai pakaian dan penutup agar manusia bisa istirahat, serta menja- dikan siang untuk mencari penghidupan.
Setelah menyebutkan sejumlah nikmat ilahi di atas, ayat tersebut memberikan sebuah kesimpulan dan rangkuman: “Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohon. Jika kamu menghitung nikmat Allah tidaklah dapat kamu menghinggakannya”. Hal itu untuk menjelaskan sejauh mana lu- asnya wilayah karunia Allah kepada manusia dan bagaimana ia penuh dengan beragam nikmat. Artinya, semua yang diminta manusia lewat kebutuhan alamiahnya dan lewat lisan potensinya telah diberikan oleh Allah. Nikmat tersebut tidak terhingga, tidak habis, dan tidak pernah bisa dihitung. Ya, jika langit dan bumi merupakan salah satu hidangan karunia- Nya yang besar, sementara matahari dan bulan, serta siang dan malam merupakan bagian dari karunia yang dikandung oleh hidangan tadi, tentu saja nikmat yang mengarah pada manusia itu tidak terhitung dan tidak terhingga.
Rahasia Balagah yang Ketujuh
Ayat al-Qur’an kadang menjelaskan berbagai tujuan dari sebuah akibat berikut buahnya untuk menjauhkan sebab lahiriah dan meng- hadirkan qudrah penciptaan. Juga, agar diketahui bahwa sebab hanya- lah tabir lahiriah. Hal itu karena, kehendak terhadap berbagai tujuan penuh hikmah dan buah yang mulia harus dimiliki oleh Dzat yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.
Sementara sebab yang ada bersifat mati; tak bernyawa dan tak berperasaan. Dengan menyebut- kan sejumlah buah dan tujuan, ayat al-Qur’an hendak menegaskan bahwa meskipun secara lahiriah terlihat dan berkaitan dengan akibat, namun antara sebab dan akibat pada hakikatnya memiliki jarak yang sangat jauh.Ya, jarak antara sebab dan penciptaan akibat sangat jauh di mana sebab yang paling hebat sekalipun tidak mampu menciptakan akibat yang paling kecil.
Jarak yang demikian jauh antara sebab dan akibat membuat nama-nama ilahi terbit laksana bintang-gemintang yang terang. Tempat terbit nama-nama itu terdapat pada jarak maknawi- yah tersebut. Pasalnya, sebagaimana ujung langit tampak bersentuhan dan bersambung dengan gunung yang mengitari ufuk (kaki langit), namun antara wilayah ufuk dan langit terdapat jarak yang sangat jauh. Demikian pula antara sebab dan akibat terdapat jarak maknawi yang jauh di mana ia hanya bisa dilihat dengan teropong iman dan cahaya al-Qur’an.
Sebagai contoh:“Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Ka- mi benar-benar telah mencurahkan air (dari langit). Kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya. Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu. Anggur dan sayur-sayuran. Zaitun dan kurma. Kebun-ke- bun (yang) lebat. Dan buah-buahan serta rumput-rumputan, untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.” (QS. `Abasa [80]: 24-32).
Ayat-ayat di atas menyebutkan berbagai mukjizat qudrah ilahi secara berurutan dan penuh hikmah. Ia mengaitkan sebab dan akibat. Kemudian di penghujungnya ia menjelaskan tujuan yang ada dengan berkata:“Untuk kesenanganmu dan untuk binatang ternakmu”. Dalam tujuan tersebut, ayat itu menegaskan bahwa Dzat yang berbuat dan tersembunyi di balik seluruh sebab dan akibat yang berantai itu me- lihat dan mengawasi semua tujuan tadi. Ia menegaskan bahwa sebab yang ada hanyalah tirai bagi-Nya.
Ya, ungkapan “untuk kesenanganmu dan untuk binatang ternak- mu” menghapus adanya kemampuan dari sebab untuk mencipta dan menghadirkan. Pasalnya, secara implisit ia berkata bahwa air yang turun dari langit untuk menyiapkan rezekimu dan rezeki binatang ter- nakmu tidak turun dengan sendirinya.
Sebab, ia tidak memiliki ke- mampuan untuk mencurahkan kasih sayang kepadamu dan kepada binatang ternakmu guna mengasihi kondisimu. Jadi, ia dikirimkan. Tanah yang tidak memiliki perasaan, karena ia tidak mampu untuk mengasihi kondisimu guna menyiapkan rezekimu, tentu tidak bisa ter- belah dengan sendirinya. Namun ada Dzat yang membelahnya, mem- buka pintunya, lalu darinya Dia limpahkan nikmatnya kepada kalian.
Demikian pula dengan pepohonan dan tumbuhan. Ia tidak mampu menyiapkan buah dan benih sebagai bentuk kasih sayang dan perhatian terhadap kalian. Semuanya merupakan tali dan pita yang terbentang dari balik tirai gaib yang diulurkan oleh Dzat Yang Ma- habijak dan Maha Penyayang. Dia mengaitkan karunia tersebut de- ngannya, lalu mengirimkannya kepada makhluk hidup.
Demikianlah. Dari penjelasan di atas, wujud nama-nama Allah seperti ar-Rahîm (Maha Penyayang), ar-Razzâq (Maha pemberi reze- ki), al-Mun`im (Maha Pemberi karunia), dan al-Karîm (Maha Pemu- rah) tampak dengan jelas.
Contoh lain:
“Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih. Maka terlihatlah olehmu hujan keluar dari celah-ce- lahnya. Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit; (yai- tu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung. Maka Dia menim- pakan (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang Dia kehendaki dan Dia memalingkan dari siapa yang Dia kehendaki. Kilauan kilat awan itu hampir menghilangkan penglihatan. Allah menggilirkan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan. Allah telah men- ciptakan semua jenis hewan dari air. Maka, sebagian dari hewan itu ada yang berjalan dengan perutnya, sebagian berjalan dengan dua kaki, sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah men- ciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Allah Mahakuasa atas segala se- suatu.” (QS. an-Nûr [24]: 43-45).
Ayat di atas, ketika menjelaskan berbagai perbuatan menakjub- kan dalam proses penurunan hujan serta terbentuknya awan yang berposisi sebagai tirai perbendaharaan rahmat ilahi dan salah satu mukjizat-Nya yang paling penting, ia menjelaskannya seakan-akan ba- gian-bagian awan tersebar dan tersembunyi di angkasa—laksana pa- sukan yang tersebar untuk beristirahat. Kemudian awan itu berkum- pul dengan perintah Allah dan bagian-bagian kecil itu pun menyatu seraya membentuk awan sebagaimana pasukan berkumpul setelah mendengar terompet militer. Air yang membangkitkan kehidupan itu pun dikirim kepada semua makhluk hidup dari gumpalan awan yang besar, dan berjalan laksana gunung, serta putih dan lembap bagaikan salju. Dalam proses pengiriman tersebut tampak adanya kehendak dan maksud tertentu. Sebab, ia datang sesuai dengan kebutuhan. Artinya, hujan tersebut dikirim. Tidak mungkin bagian-bagian awan yang lak- sana gunung tadi berkumpul dengan sendirinya, sementara kita meli- hat langit begitu cerah dan bersih. Namun ia dikirim oleh Dzat yang mengetahui kondisi makhluk hidup.
Dalam jarak maknawi ini, wujud nama-nama ilahi seperti al-Qa- dîr (Yang Mahakuasa), al-`Alîm (Yang Maha Mengetahui), al-Mu- tasharrif (Yang Maha Berbuat), al-Mudabbir (Yang Maha Mengatur), al-Murabbî (Yang Maha Memelihara), al-Mughîts (Yang Maha Meno- long), dan al-Muhyî (Yang Maha Menghidupkan) terlihat dengan jelas.
Keistimewaan Kefasihan yang Kedelapan
Al-Qur’an al-Karîm kadang menyebutkan berbagai perbua- tan ilahi di dunia yang indah dan menakjubkan agar akal siap untuk membenarkan dan kalbu mau mempercayai berbagai perbuatan-Nya di akhirat. Dengan kata lain, al-Qur’an menggambarkan berbagai per- buatan ilahi yang menakjubkan yang akan terjadi di masa mendatang dan di akhirat dalam bentuk yang membuat kita percaya lewat bera- gam padanannya.
Sebagai contoh:“Apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami mencip- takannya dari setitik air (mani), lalu tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata! Ia membuat perumpamaan bagi kami; dan lupa kepada ke- jadiannya. Ia berkata, “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang be- lulang yang telah hancur luluh?” Katakanlah, “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dia Maha mengetahui tentang segala makhluk. Yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka seketika kamu nyalakan (api) dari kayu itu.” Tidakkah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa men- ciptakan yang serupa dengan itu? Benar, Dia berkuasa. Dialah Maha Pencipta dan Maha Mengetahui. Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu cukup berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka terjadilah ia. Maha suci (Allah) yang di tangan-Nya terdapat kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (QS. Yâsîn [36] 77-83).
Dalam masalah kebangkitan ini, al-Qur’an menetapkan dan mengemukakan sejumlah petunjuk atasnya lewat tujuh atau delapan macam gambaran:
Pertama-tama, ia mempersembahkan penciptaan yang pertama lalu menampilkannya ke hadapan mata seraya berkata, “Kalian melihat perkembangan penciptaan kalian dari nutfah kepada ‘alaqah (segumpal darah). Dari ‘alaqah menjadi mudgah (segumpal daging). Dari mudgah menuju penciptaan manusia. Jadi, bagaimana kalian mengingkari Pen- ciptaan kedua (kebangkitan) di akhirat nanti yang serupa dengannya, bahkan ia lebih mudah darinya.
Setelah itu, dengan redaksi:“Dzat yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau”, al- Qur’an menunjukkan berbagai nikmat, karunia, dan anugerah yang telah Allah berikan kepada manusia.
Dzat yang memberikan karunia semacam itu kepada kalian tidak akan membiarkan kalian masuk kubur begitu saja dan tidur tanpa ada kebangkitan. Lalu secara simbolik ia mengatakan, “Kalian telah melihat proses hidup dan menghijaunya pohon yang mati. Jika demikian, bagaimana kalian tidak percaya bah- wa tulang yang seperti kayu itu bisa hidup dan mengapa kalian tidak menganalogikan dengannya?
Kemudian mungkinkah Dzat yang menciptakan langit dan bumi ini tidak mampu menghidupkan dan mema- tikan manusia sebagai buah dari langit dan bumi? Mungkinkah Dzat yang mengatur dan memelihara urusan pohon mengabaikan buahnya dan membiarkannya kepada yang lain? Apakah kalian mengira pohon penciptaan yang semua bagiannya dibuat dengan hikmah akan dicam- pakkan begitu saja lalu buah dan hasilnya diabaikan?Demikianlah, Dzat yang akan menghidupkan kalian di akhirat nanti adalah Dzat yang di tangan-Nya tergenggam kunci perbenda- haraan langit dan bumi di mana semua entitas tunduk pada-Nya seperti tunduknya pasukan yang patuh kepada perintah-Nya. Dia menun- dukkan mereka dengan perintah kun fayakûn secara sempurna. Dzat yang dengan sangat mudah mampu menciptakan musim semi seperti menciptakan setangkai bunga serta Dzat yang dengan sangat gampang menciptakan seluruh hewan sebagaimana menciptakan seekor lalat, ti- dak dan takkan pernah diragukan kemampuan-Nya dengan bertanya: Zonmlk “Siapa yang menghidupkan tulang-belulang ini?”
“Maha suci (Allah) yang di tangan-Nya terdapat kekuasaaan atas segala sesuatu”, al-Qur’an menjelaskan bahwa kunci perbendaharaan segala sesuatu berada di tangan-Nya. Padanya terdapat kunci segala sesuatu. Dia membalik malam dan siang, musim dingin dan musim panas dengan sangat mudah laksana lembaran kitab. Dunia dan akhi- rat bagi-Nya seperti dua rumah di mana yang satu ditutup dan yang satu lagi dibuka.
Kemudian dengan ungkapan:Jika demikian kondisinya, kesimpulan dari semua petunjuk di atas adalah:“Kepada-Nyalah kamu dikembalikan”. Yakni, Dia menghidupkan kalian dari kubur, menggiring kalian menuju mahsyar, dan memberi- kan perhitungan di pengadilan-Nya yang suci.
Begitulah, engkau melihat ayat-ayat di atas menyiapkan akal pikiran dan menghadirkan kalbu untuk bisa menerima masalah kebangkitan lewat berbagai padanan yang diperlihatkan dengan sejumlah perbuatan di dunia.
Al-Qur’an kadang juga menyebutkan berbagai perbuatan ukhra- wi dengan cara menunjukkan contohnya di dunia agar tidak ada yang mengingkari.
Misalnya surah at-Takwîr, surah al-Infithâr, dan al-In- syiqâq. Semua surah tersebut menyebutkan berbagai perubahan besar dan sejumlah perbuatan rububiyah ilahi yang luar biasa dengan gaya bahasa yang mencengangkan dan sulit dicerna akal. Namun tatkala manusia melihat sejumlah padanannya di musim gugur dan musim semi, maka ia dapat menerimanya dengan sangat mudah. Karena penafsiran dan penjelasan dari ketiga surah itu cukup panjang, maka kami hanya akan mengambil satu kalimat sebagai contoh.
Misalnya:“Apabila catatan-catatan (amal perbuatan manusia) dibuka.” (QS. at-Takwîr [81]: 10). Ayat tersebut bermakna, “Di akhirat nanti seluruh amal perbua- tan manusia yang tertulis di lembaran catatan amal akan diungkap”. Karena masalah ini menakjubkan, ia sulit dipahami oleh akal. Hanya saja sebagaimana surah tersebut menunjukkan kebangkitan pada mu- sim semi serta sebagaimana sejumlah hal lain memiliki padanan dan contohnya, demikian pula penyebaran lembaran catatan amal sangat jelas.
Setiap buah, setiap rumput, dan setiap pohon memiliki sejum- lah aktivitas dan tugas. Ia memiliki ubudiyah dan tasbih dalam ben- tuk tertentu yang dengannya ia menampilkan Asmaul Husna. Semua aktivitas tersebut bersama sejarah hidupnya terangkum dalam benih- nya. Ia akan terlihat pada musim semi dan tempat yang lain. Artinya, sebagaimana dengan sangat fasih ia menjelaskan sejumlah perbuatan induknya secara lahiriah, lembaran amalnya juga terlihat dan terung- kap dengan tersebarnya ranting, serta mekarnya dedaunan dan buah. Ya, Dzat yang melakukan hal tersebut di hadapan mata kita de- ngan penuh hikmah, disertai dengan pemeliharaan, penataan, dan kelembutan adalah Dzat yang berfirman:
“Apabila catatan-catatan (amal perbuatan manusia) dibuka.”Demikianlah, Anda bisa menganalogikan yang lain dengan cara yang sama. Jika Anda memiliki kemampuan untuk menarik kesimpu- lan, lakukanlah! Untuk membantumu, kami juga akan menjelaskan ayat berikut ini:“Apabila matahari digulung.” (QS. at-Takwîr [81]: 1).
Lafal ‘digulung’ yang terdapat pada ayat tersebut ber- makna dilipat dan dikumpulkan. Ia merupakan sebuah perumpamaan yang indah dan cemerlang. Namun ia menunjuknya padanannya di dunia:
Pertama, Allah mengangkat tirai ketiadaan, angkasa, dan la- ngit dari esensi matahari yang menerangi dunia laksana lentera. Dia mengeluarkannya dari perbendaharaan rahmat-Nya dan memperli- hatkannya ke dunia. Lalu Dia akan melipat matahari tersebut dengan bungkusnya ketika dunia berakhir dan pintu-pintunya tertutup.
Kedua, matahari ditugaskan untuk menebarkan busana cahaya di waktu pagi dan melipatnya di waktu petang. Demikianlah siang dan malam saling bergantian. Matahari mengumpulkan perlengkapan- nya atau sampai batas tertentu bulan menjadi hijab bagi perbuatan- nya dalam mengambil dan memberi. Artinya, sebagaimana petugas ini (matahari) mengumpulkan perlengkapannya dan melipat buku kerjanya dengan sejumlah sebab, maka suatu hari nanti pasti akan dibebaskan dari tugasnya. Bahkan meskipun tidak ada sebab untuk dibebaskan atau dihentikan. Saat ini ada dua noda atau bintik kecil yang disaksikan oleh para astronom di atas permukaannya di mana ia meluas dan bertambah besar sedikit demi sedikit. Nah, bisa jadi de- ngan perluasan tersebut dan dengan perintah Tuhan, matahari mena- rik kembali cahaya yang ia tebarkan di muka bumi (padam) dengan izin ilahi. Maka dengan begitu, ia melipat dirinya. Tuhan pemilik kemuliaan berkata, “Sampai di sini tugasmu bersama bumi berakhir. Mari menuju Jahanam untuk membakar mereka yang menyembah- mu dan menghinakan petugas yang patuh sepertimu. Mereka meng- hinakannya dengan menuduhnya berkhianat dan tidak setia.” Dengan itu, matahari membaca perintah ilahi: “Apabila matahari digulung” di atas wajahnya yang bernoda hi- tam.
Aspek Balagah yang Kesembilan
Al-Qur’an al-Karim kadang menyebutkan sebagian dari sejumlah tujuan parsial. Kemudian untuk mengalihkan tujuan parsial itu kepada kaidah umum dan agar akal mau merenungkannya, al-Qur’an menetapkan tujuan parsial tadi dan menegaskannya dengan Asmaul Husna yang merupakan kaidah umum.
Contoh:“Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan guga- tan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Allah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS. al-Mujâdalah [58]: 1).
Al-Qur’an berkata, “Allah mendengar segala sesuatu. Bahkan dengan nama-Nya al-Haq (Yang Mahabenar), Dia mendengar sebuah peristiwa parsial dan kejadian kecil yang terjadi pada seorang wanita. Yaitu wanita yang mendapat manifestasi halus dari wujud rahmat ilahi yang mencerminkan kekayaan terbesar dari hakikat kasih sayang. Gugatan dan keluhan sang wanita atas suaminya yang diajukan kepada Allah didengar dengan penuh kasih sayang laksana persoalan besar lain lewat nama ar-Rahîm (Yang Maha Penyayang). Allah melihatnya dengan penuh kasih serta menyaksikannya lewat nama al-Haq.
Agar tujuan dan persoalan parsial itu menjadi umum dan universal, ayat tersebut menegaskan bahwa Dzat yang mendengar dan melihat peristiwa paling kecil dari makhluk-Nya, sudah pasti Dzat yang bisa mendengar dan melihat segala sesuatu serta tidak terikat oleh segala yang bersifat makhluk. Dzat yang menjadi Tuhan pemelihara alam, sudah tentu Dzat yang melihat seluruh kezaliman yang terdapat di alam dan mendengar keluhan kalangan yang terzalimi. Sementara Dzat yang tidak melihat musibah dan tidak mendengar permintaan tolong mereka tidak mungkin menjadi Tuhan mereka. Karena itu, ka- limat yang berbunyi:“Allah Maha mendengar lagi Maha melihat” menjelaskan dua hakikat tujuan yang parsial menjadi sesuatu yang umum dan universal.
Contoh kedua:“Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia Maha Mende- ngar dan Maha Melihat.” (QS. al-Isrâ [17]: 1).
Al-Qur’an al-Karim menutup ayat di atas dengan kalimat: “Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.” Hal itu setelah ia menceritakan peristiwa Isrâ yang dilakukan Rasul x sebagai awal dari mi’rajyaitu dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqshaserta akhir perjalanan beliau seperti yang disebutkan dalam surah an-Najm.Kata ganti pada kata ‘sesungguhnya Dia’ bisa mengacu kepada Allah atau mengacu kepada Rasul x.
Jika ia mengacu kepada Rasul x, maka kaidah balagah dan korelasi konteks kalimat mene- gaskan bahwa perjalanan parsial tersebut berisi bagian dari perjala- nan umum dan mi’raj universal di mana beliau mendengar dan me- nyaksikan semua tanda kebesaran Tuhan serta berbagai keindahan kreasi ilahi yang dijumpai oleh penglihatan dan pendengarannya saat naik menuju sejumlah tingkatan universal dari Asmaul Husna sampai ke Sidratul Muntahâ hingga mencapai jarak dua ujung busur atau lebih dekat lagi. Semua itu menunjukkan bahwa perjalanan parsial di atas merupakan kunci dari perjalanan universal yang komprehensif dari berbagai keajaiban kreasi ilahi.(*[18])
Namun jika kata gantinya mengacu kepada Allah , maka mak- nanya adalah, “Dia mengajak hamba-Nya untuk datang dan mengha- dap kepada-Nya untuk menerima sebuah tugas. Maka Dia memperjalankannya dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha yang merupakan tempat berkumpul para nabi. Setelah dipertemukan dengan mereka dan diperlihatkan kepada mereka bahwa beliau adalah pewaris mutlak dari pilar agama seluruh nabi, Dia memperjalankannya dalam sebuah perjalanan di wilayah kerajaan dan alam malakutNya sampai ke Sidratul Muntahâ hingga mencapai jarak dua ujung busur atau lebih dekat lagi. Begitulah perjalanan tersebut berlangsung. Meskipun ia merupakan mi’raj yang bersifat parsial dan sosok yang dimi’rajkan adalah seorang hamba, namun hamba tersebut mengemban amanat besar yang terkait dengan seluruh entitas. Beliau membawa cahaya yang menerangi seluruh entitas dan mengubah corak alam. Di samping itu, beliua juga memegang kunci yang bisa membuka pintu surga yang merupakan tempat kebahagiaan abadi.
Untuk itu, Allah menyifati diri-Nya dengan kalimat: “Sesungguhnya Dia Maha mendengar dan Maha Melihat” guna memperlihatkan bahwa pada amanat di atas, pada cahaya, dan pada kunci tersebut terdapat banyak hikmah istimewa yang mencakup seluruh entitas dan meliputi semua makhluk.
Contoh lain: “Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang Dia kehendaki. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Fâthir [35]: 1).Dalam surah ini Allah berkata, “Pencipta langit dan bumi Yang Mahaagung telah menghias langit dan bumi, menjelaskan tandatanda kesempurnaan-Nya kepada para pemerhati yang jumlahnya tak terhingga sekaligus membuat mereka mengirimkan pujian untukNya dalam bilangan yang tak terkira. Dia menghias langit dan bumi dengan berbagai karunia yang tak terbatas. Karena itu, langit dan bumi memberi pujian lewat lisan nikmatnya dan lisan mereka yang diberi nikmat. Mereka menyanjung Tuhan Penciptanya yang Maha Pengasih”. Setelah itu, Dia berfirman, “Allah yang memberikan kepada manusia, hewan, dan burung yang merupakan penduduk bumi sejumlah perangkat dan sayap yang memungkinkan mereka untuk terbang dan berjalan di antara berbagai kota di bumi. Dzat yang telah memberi kepada penghuni bintang dan istana langit, yaitu malaikat, agar bisa berkeliling dan terbang di seputar kerajaan-Nya yang tinggi tentu mampu atas segala sesuatu. Dzat yang memberi sayap kepada lalat untuk bisa terbang dari satu buah ke buah yang lain serta yang memberi sayap kepada burung agar bisa terbang dari satu pohon ke pohon yang lain adalah Dzat yang menjadikan malaikat memiliki sejumlah sayap agar terbang dari planet Venus ke jupiter dan dari jupiter ke Saturnus.Kemudian ungkapan ‘masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat’ menjelaskan bahwa malaikat tidak terbatas dengan sebuah parsialitas dan tidak terikat oleh tempat tertentu sebagaimana kondisi penduduk bumi. Namun dalam waktu yang bersamaan ia bisa berada di empat bintang atau lebih.
Peristiwa parsial ini, yakni pemberian sayap kepada malaikat, menunjukkan keagungan qudrah ilahi yang bersifat mutlak dan umum di mana ia dikuatkan dengan sebuah kesimpulan:“Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Aspek Balagah yang Kesepuluh
Al-Qur’an kadang menyebutkan perbuatan dosa yang dilakukan manusia, lalu hal itu ditegur dan dikecam dengan sangat keras. Setelah itu, al-Qur’an menutupnya dengan sebagian Asmaul Husna yang menunjukkan kasih sayang ilahi agar kecaman tersebut tidak melahir- kan sikap putus asa.
“Katakanlah: Jikalau ada tuhantuhan di sampingNya, sebagaimana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada Tuhan yang mempunyai ‘Arasy. Maha suci dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang sebe- sar-besarnya. Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Tak ada sesuatu pun melainkan bertasbih memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS. al-Isrâ [17]: 42- 44).
Ayat di atas berkata, “Katakan kepada mereka, andaikan dalam kerajaan Allah terdapat sekutu seperti yang kalian katakan, tentu tangan mereka membentang ke arasy rububiyahNya dan tentu tanda intervensi mereka terlihat pada ketimpangan tatanan yang ada. Akan tetapi semua makhluk, mulai dari langit yang tujuh hingga makhluk hidup terkecil (mikroba), baik yang parsial maupun yang universal, yang kecil maupun yang besar, semuanya bertasbih dengan lisan yang memperlihatkan manifestasi Asmaul Husna, menyucikan Pemilik namanama tersebut, Allah Yang Mahaagung dan Pemurah, serta membersihkannya dari segala sekutu dan padanan.
Ya, langit menyucikan-Nya sekaligus bersaksi atas keesaan-Nya lewat kalimatnya yang bersinar yang berupa matahari dan bintang serta lewat hikmah dan keteraturannya. Angkasa juga bertasbih, menyucikan, dan bersaksi atas keesaanNya lewat suara awan, petir,kilat, dan tetesan hujan. Bumi memuji dan mengesakan Penciptanya Yang Mahaagung lewat kalimatnya yang hidup berupa hewan, tumbuhan, dan entitas. Setiap pohon bertasbih dan bersaksi atas keesaanNya lewat kalimat dedaunan, bunga, dan buahnya. Setiap makhluk kecil dan entitas meskipun kecil tetap bertasbih lewat sejumlah petunjuk ukiran yang dibawanya dan Asmaul Husna yang ia perlihatkan, sekaligus menyucikan serta bersaksi atas keesaan Pemilik asma tersebut, Allah, Dzat Yang Mahaagung.
Demikianlah, seluruh alam secara bersama sama lewat lisan yang satu bertasbih menyucikan Penciptanya Yang Mahaagung, bersaksi atas keesaan-Nya, serta menunaikan ber- bagai tugas ubudiyah yang diembankan dengan penuh ketaatan. Terkecuali manusia yang merupakan ikhtisar alam, hasilnya, khalifahnya yang mulia, serta buahnya yang matang. Sikapnya berbeda dengan semua entitas alam. Ia kufur dan menyekutukan Allah. Karena itu, betapa sikapnya sangat buruk! Betapa ia sangat layak mendapat hukuman dari perbuatannya! Hanya saja agar manusia tidak jatuh pada lembah keputusasaan, ayat di atas menegaskan kepadanya hikmah mengapa Allah tidak menimpakan alam ke atas kepalanya akibat dosa yang dilakukan seperti perbuatan di atas. Ia berkata:“Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun”. Ia menjelaskan hikmah penangguhan dan dibukanya pintu harapan lewat penutup tersebut.
Dari kesepuluh petunjuk kemukjizatan di atas, dapat dipahami bahwa kesimpulan dan ikhtisar yang terdapat di akhir ayat terdapat banyak kilau kemukjizatan. Di samping itu, terdapat begitu banyak percikan petunjuk. Sehingga para ahli retorika tak mampu menahan rasa takjub mereka melihat gaya bahasa al-Qur’an yang begitu indah. Mereka berkata, “Ini bukan ucapan manusia.” Dengan haqqul yaqin mereka percaya kepada firman-Nya:“Ia adalah wahyu yang diberikan kepadanya.” (QS. an-Najm [53]:4).Demikianlah. Di samping semua petunjuk yang disebutkan, sejumlah ayat berisi berbagai keistimewaan lain yang belum dibahas,semuanya memperlihatkan ukiran kemukjizatan indah yang bisa dili- hat bahkan oleh orang buta.
CAHAYA KETIGA
Al-Qur’an al-Karim tidak mungkin disamakan dengan ucapan apapun. Sebab, sumber ketinggian kualitas, kekuatan, kebaikan, dan keindahan sebuah ucapan (kalam) ada empat:Pertama: pembicara, kedua: mitra bicara, ketiga: maksudnya, keempat: kedudukan dan konteksnya. Jadi, bukan hanya konteksnya sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian sastrawan. Namun yang harus dilihat dalam sebuah ucapan adalah: siapa yang mengucapkan? kepada siapa diucapkan? Mengapa diucapkan? Dan dalam hal apa? Se- hingga tidak berhenti pada ucapan itu semata. Karena kekuatan dan keindahan sebuah ucapan bersumber dari keempat hal tersebut, maka dengan memperhatikan sumbersumber al-Qur’an dapat diketahui tingkat balagah berikut keindahan, keistimewaan, dan ketinggiannya.
Ya, kekuatan sebuah ucapan bergantung pada siapa yang mengucapkannya. Jika ucapan tersebut berupa perintah dan larangan yang berisi kehendak dan qudrah penuturnya sesuai dengan tingkatannya, sudah pasti ucapan tadi memberikan pengaruh kuat yang mengalir laksana aliran listrik tanpa ada halangan dan perlawanan. Kekuatan dan ketinggiannya semakin bertambah sesuai dengan ting- katan yang ada.
Contoh, firman Allah:“Wahai bumi telanlah airmu, dan wahai langit (hujan) berhenti- lah!” (QS. Hûd [11]: 44).
“Dia berkata kepadanya (langit) dan kepada bumi: Datanglah kamu berdua dengan suka hati atau terpaksa. Keduanya menjawab: Kami datang dengan suka hati.” (QS. Fushilat [41]: 11).Perhatikan kekuatan dan ketinggian perintah di atas yang ber- isi kekuatan dan kehendak-Nya.
Kemudian perhatikan ucapan dan perintah manusia yang menyerupai igauan orang sakit, “Wahai bumi, diamlah! Wahai langit, terbelahlah! Dan wahai kiamat, datanglah!”Mungkinkah ucapan tersebut diserupakan dengan dua perintah sebelumnya yang demikian kuat?! Kemudian mana mungkin perin- tah yang bersumber dari keinginan manusia yang lahir dari angan- angannya akan dibandingkan dengan perintah yang bersumber dari Dzat yang memiliki perintah hakiki di mana Dia memerintah dalam kondisi mengendalikan sendiri pekerjaan-Nya?! Ya, mana mungkin perintah sang pemimpin agung yang dipatuhi di mana ia memerintah pasukannya dengan kata, “Majulah!” dibandingkan dengan perintah yang bersumber dari prajurit biasa yang tidak diacuhkan?! Jadi, kedua perintah tersebut meskipun memiliki bentuk yang sama namun mak- nanya sangat berbeda seperti antara panglima dan prajurit.
Contoh lain:“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu cukup berkata kepadanya, “Jadilah!” maka terjadilah ia.” (QS. Yâsîn [36]: 82).“Ingatlah ketika Kami berfirman kepada para malaikat: Sujudlah kamu kepada Adam..!” (QS. al-Baqarah [2]: 34). Lihatlah kekuatan dan ketinggian dari kedua perintah pada ayat di atas, kemudian bandingkan dengan ucapan manusia! Bukankah perbandingan antara keduanya sama seperti cahaya kunang-kunang dan cahaya matahari yang terang?!Ya, deskripsi orang yang melakukan pekerjaannya tidak mung- kin dibandingkan dengan penjelasan Dzat yang membuat sesuatu,perkataan Dzat yang berlaku ihsan di mana masing-masing menggam- barkan aktivitas-Nya serta perbuatannya sesuai perkataannya dengan berkata, “Lihatlah, aku telah melakukan ini untuk ini dan itu untuk itu. Ini akan jadi itu dan itu akan jadi ini.” Masing-masing menjelaskan perbuatannya kepada mata dan telinga secara bersamaan.
Contoh:“Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun? Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gununggunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiaptiap hamba yang kembali (mengingat Allah). Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan bijibiji tanaman yang diketam, dan pohon kurma yang tinggitinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun untuk menjadi rezeki bagi hamba-hamba (Kami), dan Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). Seperti itulah terjadinya kebangkitan.” (QS. Qâf [50]: 6-11).
Gambaran yang bersinar laksana bintang di konstelasi surah pada langit al-Qur’an ini yang laksana buah surgadi mana ia mengemu- kakan berbagai dalil terkait sejumlah perbuatan-Nya disertai balagah yang rapi sekaligus menetapkan kebangkitan yang merupakan hasiln- ya lewat ungkapan ‘seperti itulah terjadinya kebangkitan’ guna membungkam kalangan yang mengingkari kebangkitan di awal surahtidak mungkin akan dibandingkan dengan ucapan manusia yang berlebihan di mana hanya sedikit yang mereka kerjakan?! Tentu saja perbandingannya sama seperti antara gambar bunga dan bunga sebenarnya yang hidup.Penjelasan dari makna ayat-ayat di atas dari awal hingga akhir dalam bentuk yang lebih baik membutuhkan waktu yang cukup pan- jang. Karena itu, kami hanya akan memberikan sedikit penjelasan sebagai berikut:Al-Qur’an memberikan sejumlah pendahuluan guna memaksa orang kafir untuk menerima adanya kebangkitan.
Sebab, di awal surah mereka mengingkarinya. Al-Qur’an berkata,
“Tidakkah kalian melihat langit yang berada di atas kalian bagaimana Kami membangunnya da- lam bentuk yang megah dan rapi?!
Tidakkah kalian melihat bagaimana Kami menghiasnya dengan bintang-gemintang, matahari dan bulan tanpa ada yang cacat sedikit pun?!
Tidakkah kalian melihat bagaima- na Kami hamparkan bumi untuk kalian dengan penuh hikmah serta Kami kokohkan di dalamnya sejumlah gunung guna menjaganya dari perluasan laut?
Tidakkah kalian melihat bahwa Kami telah mencip- takan di dalamnya pasangan-pasangan yang indah dan beragam dari setiap jenis sayuran dan tumbuhan serta Kami hiasi seluruh bumi de- ngannya?!
Tidakkah kalian melihat bagaimana Aku mengirimkan air yang penuh berkah dari langit hingga menumbuhkan kebun-kebun, tanaman, dan buah yang lezat, entah itu kurma dan sejenisnya, lalu Kujadikan ia sebagai rezeki bagi hambaku?!
Tidakkah kalian melihat bah- wa Aku menghidupkan bumi yang mati (tandus) dengan air tersebut. Aku juga menghadirkan ribuan bentuk kebangkitan duniawi. Maka, sebagaimana dengan qudrahKu Aku mengeluarkan berbagai tumbuhan ini dari bumi yang mati, demikian pula dengan kebangkitan kalian pada hari kiamat. Pasalnya, pada hari kiamat bumi menjadi mati dan kalian dibangkitkan dalam kondisi hidup.
Jadi, mana mungkin kefasihan penjelasan yang diperlihatkan oleh ayat di atas dalam menetapkan kebangkitandi mana yang kami tunjukkan baru satu dari ribuan contoh yang adaakan dibandingkan dengan ucapan yang dilontarkan manusia untuk menetapkan sebuah pernyataan?!
Dari awal risalah sampai di sini kami menggunakan pendekatan orang yang netral dalam membahas masalah kemukjizatan al-Qur’an. Masih banyak lagi permasalahan al-Qur’an yang dibiarkan tersem- bunyi. Kami melakukan perbandingan yang menurunkan derajat “matahari” tersebut kepada tingkatan lilin. Hal itu untuk menundukkan para musuh keras kepala yang tidak mau menerima kemukjizatan al- Qur’an.Sekarang penelitian ilmiah telah menunaikan tugasnya serta telah menetapkan kemukjizatan al-Qur’an dengan sangat jelas. Karena itu, atas nama hakikat, bukan atas nama penelitian ilmiah, kami akan menjelaskan kedudukan al-Qur’an; sebuah kedudukan agung yang tidak bisa diukur dan dibandingkan dengan yang lain.
Ya, semua ucapan jika dibandingkan dengan ayatayat al-Qur’an, akan seperti gambar atau bayangan bintang yang sangat kecil yang tampak di cermin dibandingkan dengan bintang itu sendiri.Mana mungkin kalimat al-Qur’an yang masing-masingnya menggambarkan dan menjelaskan hakikat permanen dibandingkan dengan makna yang dilukiskan oleh manusia lewat kalimatnya dalam pikiran dan perasaannya?!
Mana mungkin kalimat yang hidup sebagaimana hidupnya malaikat serta kalimat al-Qur’an yang melimpahkan cahaya petunjuk di mana ia merupakan kalam Pencipta matahari dan bulan dibandingkan dengan ucapan manusia yang menipu lewat kedalaman- nya dan memperdaya dengan hembusannya yang membangkitkan gelora jiwa. Sungguh sangat jauh perbedaan antara serangga beracun dan malaikat suci serta makhluk spiritual (ruhaniyyûn) yang bersinar. Seperti itulah perbandingan antara ucapan manusia dan kalimat al- Qur’an. Disamping oleh “Kalimat Kedua Puluh Lima”, hakikat ini telah ditetapkan oleh kedua puluh empat kalimat sebelumnya. Pernyataan kami ini bukan sekadar pernyataan. Namun merupakan hasil dari dalil dan argumen sebelumnya.
Ya, mana mungkin lafal al-Qur’an yang masingmasingnya merupakan kerang mutiara petunjuk, sumber hakikat iman, landasan ajaran Islam, di mana ia turun dari arasy Tuhan dan dari luar alam mengarah kepada manusia, mana mungkin pesan azali yang mengandung pengetahuan, qudrah dan kehendak ilahi ini dibandingkan dengan ucapan manusia yang lemah dan penuh hawa nafsu?!
Ya, al-Qur’an berposisi sebagai pohon Tuba yang baik yang rantingrantingnya tersebar ke seluruh penjuru alam. Ia mengeluarkan seluruh daun maknawi, perasaan, kesempurnaan, konstitusi dan hukumnya. Ia juga menampilkan para wali dan orangorang pilihannya laksana bunga segar dan indah di mana keindahan dan kesegarannya bersumber dari air kehidupan pohon tersebut. Kemudian ia membuahkan semua kesempurnaan serta hakikat alam dan ilahi sehingga setiap biji buahnya menjadi rambu amal dan pedoman kehidupan. Jadi, mana mungkin hakikat berantai ini yang al-Qur’an perlihatkan laksana pohon berbuah dan rindang dibandingkan dengan ucapan manusia?! Perbedaannya sangat jauh sejauh jarak antara bumi dan langit?!
اَي۟نَ الثَّرَا مِنَ الثُّرَيَّا
Al-Qur’an al-Hakîm menebarkan seluruh hakikatnya di pasar alam serta memamerkannya di hadapan seluruh makhluk sejak lebih dari 1350 tahun. Setiap individu, setiap umat, dan setiap negeri telah dan senantiasa mengambil bagian dari permata dan hakikatnya. Meskipun demikian, kedekatan, jumlah yang banyak, perjalanan masa, dan berbagai perubahan yang ada tidak merusak hakikat bernilai darinya, tidak merusak gaya bahasanya yang indah, tidak menua, tidak kehilangan kesegaran, dan keindahannya tidak meredup. Kondisi tersebut merupakan bagian dari kemukjizatan al-Qur’an yang luar biasa.
Sekarang, ketika ada seseorang yang bangkit menyusun sebagian hakikat yang dibawa oleh al-Qur’an sesuai dengan hawa nafsu dan tindakan kekanak-kanakannya, lalu ia hendak membandingkan antara ucapannya dengan kalam al-Qur’an guna menentang sejumlah ayat-ayatnya di mana ia berkata, “Aku telah mengucapkan sebuah ungkapan yang menyerupai al-Qur’an,” tentu ucapannya itu adalah ucapan yang pandir dan bodoh seperti contoh berikut: Seorang ahli bangunan membuat istana besar. Bebatuannya be- rasal dari aneka permata. Lalu ia meletakkan bebatuan tersebut di sejumlah titik dan menghiasnya dengan sebuah perhiasan dan ukiran yang tersusun rapi terpaut dengan seluruh ukiran istana yang indah. Setelah itu, seseorang yang tidak memahami ukiran indah, masuk kedalam istana tadi. Ia tidak mengetahui nilai dari permata dan perhiasannya. Ia pun mulai mengganti ukiran tersebut berikut letaknya. Ia meletakkannya sesuai dengan keinginannya sehingga menjadi seperti rumah biasa. Lalu ia memperindahnya dengan manikmanik yang disenangi oleh anak-anak. Kemudian ia berkata, “Lihatlah, aku memi- liki keahlian seni bangunan melebihi keahlian yang dimiliki oleh pem- bangun istana tersebut. Aku juga lebih kaya daripada ahli bangunan di atas. Lihatlah permataku yang indah!” Tentu saja ucapannya itu me- rupakan igauan belaka, bahkan merupakan igauan gila.
OBOR KETIGA
(Tiga Sinar)
SINAR PERTAMA
Telah dijelaskan dalam “Kalimat Ketiga Belas” salah satu aspek kemukjizatan al-Qur’an yang agung. Di sini ia diambil dan dimasuk- kan bersama sejumlah aspek kemukjizatan al-Qur’an lainnya. Jika engkau ingin menyaksikan dan mencicipi bagaimana setiap ayat al- Qur’an menebarkan cahaya kemukjizatan dan petunjuknya sekaligus menghapus gelapnya kekufuran dan kelalaian laksana bintang yang bersinar terang, maka bayangkan dirimu berada pada masa jahiliyah dan di padang kedunguan sebelum al-Qur’an diturunkan. Ternyata segala sesuatu telah ditutupi oleh tirai kelalaian dan gelapnya kebodohan serta ia dibungkus dengan tabir kejumudan dan sebab-sebab materi. Tiba-tiba engkau menyaksikan denyut kehidupan masuk ke dalam seluruh entitas tak bernyawa di telinga pendengar di mana ia bertasbih menyebut Allah lewat gema firman-Nya: “Semua yang terdapat di langit dan bumi bertasbih kepada Allah.Dia Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.” (QS. al-Hadîd [57]: 1).“Seluruh yang di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah, Sang Penguasa Yang Mahasuci, Maha Perkasa, dan Maha Bijaksana.” (QS. al-Jumu`ah [62]: 1), serta ayat-ayat lainnya yang sejenis.
Kemudian permukaan langit yang gelap yang berhias bintang tak bernyawa, dalam pandangan pendengar berubah menjadi mulut yang berzikir kepada Allah lewat gema firmanNya:“Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah...” (QS. Al-Isrâ [17]: 44). Setiap bintang mengirimkan kilau hakikat dan menghembuskan hikmah yang sangat dalam.Begitu pula permukaan bumi yang berisi beragam makhluk yang lemah, lewat gema samawi tadi berubah menjadi kepala yang besar. Daratan dan lautan berubah menjadi lisan yang bertasbih dan menyucikan-Nya. Semua tumbuhan dan hewan berubah menjadi kalimat yang berzikir dan bertasbih sehingga seluruh bumi seolah-olah menjadi hidup. Demikianlah, dengan transformasi perasaan menuju masa tersebut, engkau bisa merasakan detail-detail kemukjizatan pada ayat al-Qur’an di atas. Adapun sikap sebaliknya membuatmu tidak dapat merasakan detail-detail yang halus tersebut di dalamnya.
Ya, jika engkau melihat ayat-ayat al-Qur’an lewat kondisimu saat ini yang telah diterangi oleh cahaya al-Qur’an sejak masa itu hingga ia dikenal luas dan menerangi seluruh disiplin ilmu Islam sehingga demikian terang oleh mataharinya. Dengan kata lain, jika engkau melihat ayatayatnya lewat tirai kelumrahan, tentu engkau tidak akan melihat dengan sebenarnya tingkat keindahan mukjizatnya pada setiap ayat serta bagaimana ia menghapus kegelapan yang pekat lewat cahayanya yang terang.Selain itu, engkau tidak akan bisa merasakan aspek kemukjizatan al-Qur’an dari sekian banyak aspek yang ada.
Jika engkau ingin menyaksikan tingkat kemukjizatan al-Qur’an yang paling agung, perhatikan dan renungkan contoh berikut:
Bayangkan terdapat sebuah pohon menakjubkan yang sangat tinggi dan rindang. Ia ditutupi oleh tirai gaib sehingga tidak terlihat. Seperti diketahui bersama harus ada keseimbangan, kesesuaian, dan korelasi antara ranting-ranting pohon, buah, daun, dan bunganya se- bagaimana pada tubuh manusia. Setiap bagiannya mengambil bentuk tertentu sesuai dengan esensi pohon tersebut.Jika kemudian ada seseorang yang melukis bentuk masingmasing bagian pohon tersebut di sebuah kanvas lalu membuat garis-garis yang menghubungkan antar ranting, buah, dan dedaunannya, serta mengisi pangkal dan ujungnyayang sangat berjauhandengan sejumlah gambar dan garis yang mencerminkan bentuk bagiannya secara sempurna lalu memperlihatkannya, dapat dipastikan bahwa pelukis itu mengetahui dan menyaksikan pohon gaib itu lewat pandangannya yang menembus alam gaib. Setelah itu barulah ia melukisnya.
Aynen onun gibi Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan dahi hakikat-i mümkinata dair –ki o hakikat, dünyanın iptidasından tut, tâ âhiretin en nihayetine kadar uzanmış ve arştan ferşe, zerreden şemse kadar yayılmış olan şecere-i hilkatin hakikatine dair– beyanat-ı Kur’aniye o kadar tenasübü muhafaza etmiş ve her bir uzva ve meyveye lâyık bir suret vermiştir ki bütün muhakkikler nihayet-i tahkikinde Kur’an’ın tasvirine “Mâşâallah, bârekellah” deyip “Tılsım-ı kâinatı ve muamma-yı hilkati keşif ve fetheden yalnız sensin ey Kur’an-ı Kerîm!” demişler.
وَ لِلّٰهِ ال۟مَثَلُ ال۟اَع۟لٰى –temsilde kusur yok– esma ve sıfât-ı İlahiye ve şuun ve ef’al-i Rabbaniye, bir şecere-i tûba-i nur hükmünde temsil edilmekle o şecere-i nuraniyenin daire-i azameti ezelden ebede uzanıp gidiyor. Hudud-u kibriyası, gayr-ı mütenahî feza-yı ıtlakta yayılıp ihata ediyor. Hudud-u icraatı يَحُولُ بَي۟نَ ال۟مَر۟ءِ وَقَل۟بِهٖ فَالِقُ ال۟حَبِّ وَالنَّوٰى hududundan tut, tâ وَالسَّمٰوَاتُ مَط۟وِيَّاتٌ بِيَمٖينِهٖ خَلَقَ السَّمٰوَاتِ وَال۟اَر۟ضَ فٖى سِتَّةِ اَيَّامٍ hududuna kadar intişar etmiş o hakikat-i nuraniyeyi bütün dal ve budaklarıyla, gayat ve meyveleriyle o kadar tenasüple birbirine uygun, birbirine lâyık, birbirini kırmayacak, birbirinin hükmünü bozmayacak, birbirinden tevahhuş etmeyecek bir surette o hakaik-i esma ve sıfâtı ve şuun ve ef’ali beyan eder ki bütün ehl-i keşif ve hakikat ve daire-i melekûtta cevelan eden bütün ashab-ı irfan ve hikmet, o beyanat-ı Kur’aniyeye karşı “Sübhanallah” deyip “Ne kadar doğru ne kadar mutabık ne kadar güzel ne kadar lâyık.” diyerek tasdik ediyorlar.
Mesela, bütün daire-i imkân ve daire-i vücuba bakan hem o iki şecere-i azîmenin bir tek dalı hükmünde olan imanın erkân-ı sittesi ve o erkânın dal ve budaklarının en ince meyve ve çiçekleri aralarında o kadar bir tenasüp gözetilerek tasvir eder ve o derece bir muvazenet suretinde tarif eder ve o mertebe bir münasebet tarzında izhar eder ki akl-ı beşer idrakinden âciz ve hüsnüne karşı hayran kalır. Ve o iman dalının budağı hükmünde olan İslâmiyet’in erkân-ı hamsesi aralarında ve o erkânın tâ en ince teferruatı, en küçük âdabı ve en uzak gayatı ve en derin hikemiyatı ve en cüz’î semeratına varıncaya kadar aralarında hüsn-ü tenasüp ve kemal-i münasebet ve tam bir muvazenet muhafaza ettiğine delil ise o Kur’an-ı câmiin nusus ve vücuhundan ve işarat ve rumuzundan çıkan şeriat-ı kübra-yı İslâmiyenin kemal-i intizamı ve muvazeneti ve hüsn-ü tenasübü ve resaneti; cerh edilmez bir şahid-i âdil, şüphe getirmez bir bürhan-ı kātı’dır.
Demek oluyor ki beyanat-ı Kur’aniye, beşerin ilm-i cüz’îsine, bâhusus bir ümminin ilmine müstenid olamaz. Belki bir ilm-i muhite istinad ediyor ve cemi’ eşyayı birden görebilir, ezel ve ebed ortasında bütün hakaiki bir anda müşahede eder bir zatın kelâmıdır. Âmennâ…
İKİNCİ ZİYA
Hikmet-i Kur’aniyenin karşısında meydan-ı muarazaya çıkan felsefe-i beşeriyenin, hikmet-i Kur’an’a karşı ne derece sukut ettiğini On İkinci Söz’de izah ve temsil ile tasvir ve sair Sözlerde ispat ettiğimizden onlara havale edip şimdilik başka bir cihette küçük bir muvazene ederiz. Şöyle ki:
Felsefe ve hikmet-i insaniye, dünyaya sabit bakar; mevcudatın mahiyetlerinden, hâsiyetlerinden tafsilen bahseder. Sâni’ine karşı vazifelerinden bahsetse de icmalen bahseder. Âdeta kâinat kitabının yalnız nakış ve huruflarından bahseder, manasına ehemmiyet vermez.
Kur’an ise dünyaya geçici, seyyal, aldatıcı, seyyar, kararsız, inkılabcı olarak bakar. Mevcudatın mahiyetlerinden, surî ve maddî hâsiyetlerinden icmalen bahseder. Fakat Sâni’ tarafından tavzif edilen vezaif-i ubudiyetkâranelerinden ve Sâni’in isimlerine ne vechile ve nasıl delâlet ettikleri ve evamir-i tekviniye-i İlahiyeye karşı inkıyadlarını tafsilen zikreder.
İşte felsefe-i beşeriye ile hikmet-i Kur’aniyenin şu tafsil ve icmal hususundaki farklarına bakacağız ki mahz-ı hak ve ayn-ı hakikat hangisidir göreceğiz.
İşte nasıl elimizdeki saat, sureten sabit görünüyor. Fakat içindeki çarkların harekâtıyla, daimî içinde bir zelzele ve âlet ve çarklarının ızdırapları vardır. Aynen onun gibi kudret-i İlahiyenin bir saat-i kübrası olan şu dünya, zâhirî sabitiyetiyle beraber daimî zelzele ve tagayyürde, fena ve zevalde yuvarlanıyor.
Evet, dünyaya zaman girdiği için gece ve gündüz, o saat-i kübranın saniyelerini sayan iki başlı bir mil hükmündedir.
Sene, o saatin dakikalarını sayan bir ibre vaziyetindedir.
Asır ise o saatin saatlerini ta’dad eden bir iğnedir. İşte zaman, dünyayı emvac-ı zeval üstüne atar. Bütün mazi ve istikbali ademe verip yalnız zaman-ı hazırı vücuda bırakır.
Şimdi zamanın dünyaya verdiği şu şekil ile beraber, mekân itibarıyla dahi yine dünya zelzeleli, gayr-ı sabit bir saat hükmündedir. Çünkü cevv-i hava mekânı çabuk tagayyür ettiğinden, bir halden bir hale süraten geçtiğinden bazı günde birkaç defa bulutlar ile dolup boşalmakla, saniye sayan milin suret-i tagayyürü hükmünde bir tagayyür veriyor.
Şimdi, dünya hanesinin tabanı olan mekân-ı arz ise yüzü mevt ve hayatça, nebat ve hayvanca pek çabuk tebeddül ettiğinden dakikaları sayan bir mil hükmünde, dünyanın şu ciheti geçici olduğunu gösterir.
Zemin yüzü itibarıyla böyle olduğu gibi batnındaki inkılabat ve zelzelelerle ve onların neticesinde cibalin çıkmaları ve hasflar vuku bulması, saatleri sayan bir mil gibi dünyanın şu ciheti ağırca mürur edicidir, gösterir.
Dünya hanesinin tavanı olan sema mekânı ise ecramların harekâtıyla, kuyruklu yıldızların zuhuruyla, küsufat ve husufatın vuku bulmasıyla, yıldızların sukut etmeleri gibi tagayyürat gösterir ki semavat dahi sabit değil; ihtiyarlığa, harabiyete gidiyor. Onun tagayyüratı, haftalık saatte günleri sayan bir mil gibi çendan ağır ve geç oluyor. Fakat herhalde geçici ve zeval ve harabiyete karşı gittiğini gösterir.
İşte dünya, dünya cihetiyle şu yedi rükün üzerinde bina edilmiştir. Şu rükünler, daim onu sarsıyor. Fakat şu sarsılan ve hareket eden dünya, Sâni’ine baktığı vakit, o harekât ve tagayyürat, kalem-i kudretin mektubat-ı Samedaniyeyi yazması için o kalemin işlemesidir. O tebeddülat-ı ahval ise esma-i İlahiyenin cilve-i şuunatını ayrı ayrı tavsifat ile gösteren, tazelenen âyineleridir.
İşte dünya, dünya itibarıyla hem fenaya gider hem ölmeye koşar hem zelzele içindedir. Hakikatte akarsu gibi rıhlet ettiği halde, gaflet ile sureten incimad etmiş, fikr-i tabiatla kesafet ve küdûret peyda edip âhirete perde olmuştur.
İşte felsefe-i sakîme tetkikat-ı felsefe ile ve hikmet-i tabiiye ile ve medeniyet-i sefihenin cazibedar lehviyatıyla, sarhoşane hevesatıyla o dünyanın hem cümudetini ziyade edip gafleti kalınlaştırmış hem küdûretle bulanmasını taz’îf edip Sâni’i ve âhireti unutturuyor.
Amma Kur’an ise şu hakikatteki dünyayı, dünya cihetiyle اَل۟قَارِعَةُ مَا ال۟قَارِعَةُ اِذَا وَقَعَتِ ال۟وَاقِعَةُ وَ الطُّورِ وَ كِتَابٍ مَس۟طُورٍ âyâtıyla pamuk gibi hallaç eder, atar.
اَوَلَم۟ يَن۟ظُرُوا فٖى مَلَكوُتِ السَّمٰوَاتِ وَ ال۟اَر۟ضِ اَفَلَم۟ يَن۟ظُرُٓوا اِلَى السَّمَٓاءِ فَو۟قَهُم۟ كَي۟فَ بَنَي۟نَاهَا اَوَلَم۟ يَرَ الَّذٖينَ كَفَرُٓوا اَنَّ السَّمٰوَاتِ وَال۟اَر۟ضَ كَانَتَا رَت۟قًا gibi beyanatıyla o dünyaya şeffafiyet verir ve bulanmasını izale eder.
اَللّٰهُ نُورُ السَّمٰوَاتِ وَال۟اَر۟ضِ وَمَا ال۟حَيٰوةُ الدُّن۟يَٓا اِلَّا لَعِبٌ وَ لَه۟وٌ gibi nur-efşan neyyiratıyla, camid dünyayı eritir. اِذَا الشَّم۟سُ كُوِّرَت۟ ve اِذَا السَّمَٓاءُ ان۟فَطَرَت۟ ve اِذَا السَّمَٓاءُ ان۟شَقَّت۟ وَنُفِخَ فِى الصُّورِ فَصَعِقَ مَن۟ فِى السَّمٰوَاتِ وَمَن۟ فِى ال۟اَر۟ضِ اِلَّا مَن۟ شَٓاءَ اللّٰهُ mevt-âlûd tabirleriyle dünyanın ebediyet-i mevhumesini parça parça eder.
يَع۟لَمُ مَا يَلِجُ فِى ال۟اَر۟ضِ وَمَا يَخ۟رُجُ مِن۟هَا وَمَا يَن۟زِلُ مِنَ السَّمَٓاءِ وَمَا يَع۟رُجُ فٖيهَا وَهُوَ مَعَكُم۟ اَي۟نَ مَا كُن۟تُم۟ وَاللّٰهُ بِمَا تَع۟مَلُونَ بَصٖيرٌ وَقُلِ ال۟حَم۟دُ لِلّٰهِ سَيُرٖيكُم۟ اٰيَاتِهٖ فَتَع۟رِفُونَهَا وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَع۟مَلُونَ
Gök gürlemesi gibi sayhalarıyla tabiat fikrini tevlid eden gafleti dağıtır.
İşte Kur’an’ın baştan başa kâinata müteveccih olan âyâtı, şu esasa göre gider. Hakikat-i dünyayı olduğu gibi açar, gösterir. Çirkin dünyayı, ne kadar çirkin olduğunu göstermekle beşerin yüzünü ondan çevirtir, Sâni’e bakan güzel dünyanın güzel yüzünü gösterir. Beşerin gözünü ona diktirir. Hakiki hikmeti ders verir. Kâinat kitabının manalarını talim eder. Hurufat ve nukuşlarına az bakar. Sarhoş felsefe gibi çirkine âşık olup, manayı unutturup hurufatın nukuşuyla insanların vaktini malayaniyatta sarf ettirmiyor.
ÜÇÜNCÜ ZİYA
İkinci Ziya’da hikmet-i beşeriyenin hikmet-i Kur’aniyeye karşı sukutuna ve hikmet-i Kur’aniyenin i’cazına işaret ettik. Şimdi şu ziyada, Kur’an’ın şakirdleri olan asfiya ve evliya ve hükemanın münevver kısmı olan hükema-yı işrakiyyunun hikmetleriyle Kur’an’ın hikmetine karşı derecesini gösterip, şu cihette Kur’an’ın i’cazına muhtasar bir işaret edeceğiz:
İşte Kur’an-ı Hakîm’in ulviyetine en sadık bir delil ve hakkaniyetine en zâhir bir bürhan ve i’cazına en kavî bir alâmet şudur ki:
Kur’an, bütün aksam-ı tevhidin bütün meratibini, bütün levazımatıyla muhafaza ederek beyan edip muvazenesini bozmamış, muhafaza etmiş. Hem bütün hakaik-i âliye-i İlahiyenin muvazenesini muhafaza etmiş. Hem bütün esma-i hüsnanın iktiza ettikleri ahkâmları cem’etmiş, o ahkâmın tenasübünü muhafaza etmiş. Hem rububiyet ve uluhiyetin şuunatını kemal-i muvazene ile cem’etmiştir.
İşte şu muhafaza ve muvazene ve cem’, bir hâsiyettir. Kat’iyen beşerin eserinde mevcud değil ve eâzım-ı insaniyenin netaic-i efkârında bulunmuyor. Ne melekûte geçen evliyaların eserinde, ne umûrun bâtınlarına geçen işrakiyyunun kitaplarında, ne âlem-i gayba nüfuz eden ruhanîlerin maarifinde hiç bulunmuyor. Güya bir taksimü’l-a’mal hükmünde her bir kısmı hakikatin şecere-i uzmasından yalnız bir iki dalına yapışıyor. Yalnız onun meyvesiyle, yaprağıyla uğraşıyor. Başkasından ya haberi yok yahut bakmıyor.
Evet hakikat-i mutlaka, mukayyed enzar ile ihata edilmez. Kur’an gibi bir nazar-ı küllî lâzım ki ihata etsin. Kur’an’dan başka çendan Kur’an’dan da ders alıyorlar fakat hakikat-i külliyenin, cüz’î zihniyle yalnız bir iki tarafını tamamen görür, onunla meşgul olur, onda hapsolur. Ya ifrat veya tefrit ile hakaikin muvazenesini ihlâl edip tenasübünü izale eder.
Şu hakikat, Yirmi Dördüncü Söz’ün İkinci Dal’ında acib bir temsil ile izah edilmiştir. Şimdi de başka bir temsil ile şu meseleye işaret ederiz. Mesela: Bir denizde hesapsız cevherlerin aksamıyla dolu bir definenin bulunduğunu farz edelim. Gavvas dalgıçlar, o definenin cevahirini aramak için dalıyorlar. Gözleri kapalı olduğundan el yordamıyla anlarlar. Bir kısmının eline uzunca bir elmas geçer. O gavvas hükmeder ki bütün hazine, uzun direk gibi bir elmastan ibarettir. Arkadaşlarından başka cevahiri işittiği vakit hayal eder ki o cevherler, bulduğu elmasın tabileridir, fusus ve nukuşlarıdır. Bir kısmının da kürevî bir yakut eline geçer, başkası murabba bir kehribar bulur ve hâkeza… Her biri eliyle gördüğü cevheri, o hazinenin aslı ve mu’zamı itikad edip işittiklerini o hazinenin zevaid ve teferruatı zanneder. O vakit hakaikin muvazenesi bozulur. Tenasüp de gider. Çok hakikatin rengi değişir. Hakikatin hakiki rengini görmek için tevilata ve tekellüfata muztar kalır. Hattâ bazen inkâr ve tatile kadar giderler. Hükema-yı işrakiyyunun kitaplarına ve sünnetin mizanıyla tartmayıp keşfiyat ve meşhudatına itimat eden mutasavvıfînin kitaplarına teemmül eden, bu hükmümüzü bilâ-şüphe tasdik eder. Demek, hakaik-i Kur’aniyenin cinsinden ve Kur’an’ın dersinden aldıkları halde –çünkü Kur’an değiller– böyle nâkıs geliyor.
Bahr-i hakaik olan Kur’an’ın âyetleri dahi o deniz içindeki definenin bir gavvasıdır. Lâkin onların gözleri açık, defineyi ihata eder. Definede ne var ne yok görür. O defineyi öyle bir tenasüp ve intizam ve insicamla tavsif eder, beyan eder ki hakiki hüsn-ü cemali gösterir. Mesela, âyet-i وَال۟اَر۟ضُ جَمٖيعًا قَب۟ضَتُهُ يَو۟مَ ال۟قِيَامَةِ وَالسَّمٰوَاتُ مَط۟وِيَّاتٌ بِيَمٖينِهٖ يَو۟مَ نَط۟وِى السَّمَٓاءَ كَطَىِّ السِّجِلِّ لِل۟كُتُبِ ifade ettikleri azamet-i rububiyeti gördüğü gibi اِنَّ اللّٰهَ لَا يَخ۟فٰى عَلَي۟هِ شَى۟ءٌ فِى ال۟اَر۟ضِ وَلَا فِى السَّمَٓاءِ هُوَ الَّذٖى يُصَوِّرُكُم۟ فِى ال۟اَر۟حَامِ كَي۟فَ يَشَٓاءُ مَا مِن۟ دَٓابَّةٍ اِلَّا هُوَ اٰخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا وَكَاَيِّن۟ مِن۟ دَٓابَّةٍ لَا تَح۟مِلُ رِز۟قَهَا اَللّٰهُ يَر۟زُقُهَا وَاِيَّاكُم۟ ifade ettikleri şümul-ü rahmeti görüyor, gösteriyor. Hem خَلَقَ السَّمٰوَاتِ وَال۟اَر۟ضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ ifade ettiği vüs’at-i hallakıyeti görüp gösterdiği gibi خَلَقَكُم۟ وَمَا تَع۟مَلُونَ ifade ettiği şümul-ü tasarrufu ve ihata-i rububiyeti görüp gösterir. يُح۟يِى ال۟اَر۟ضَ بَع۟دَ مَو۟تِهَا ifade ettiği hakikat-i azîme ile وَ اَو۟حٰى رَبُّكَ اِلَى النَّح۟لِ ifade ettiği hakikat-i kerîmaneyi وَ الشَّم۟سَ وَال۟قَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِاَم۟رِهٖ ifade ettiği hakikat-i azîme-i hâkimane-i âmiraneyi görür, gösterir. اَوَ لَم۟ يَرَو۟ا اِلَى الطَّي۟رِ فَو۟قَهُم۟ صَٓافَّاتٍ وَيَق۟بِض۟نَ مَا يُم۟سِكُهُنَّ اِلَّا الرَّح۟مٰنُ اِنَّهُ بِكُلِّ شَى۟ءٍ بَصٖيرٌ ifade ettikleri hakikat-i rahîmane-i müdebbiraneyi وَسِعَ كُر۟سِيُّهُ السَّمٰوَاتِ وَال۟اَر۟ضَ وَلَا يَؤُدُهُ حِف۟ظُهُمَا ifade ettiği hakikat-i azîme ile وَهُوَ مَعَكُم۟ اَي۟نَ مَا كُن۟تُم۟ ifade ettiği hakikat-i rakibaneyi هُوَ ال۟اَوَّلُ وَال۟اٰخِرُ وَالظَّاهِرُ وَال۟بَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَى۟ءٍ عَلٖيمٌ ifade ettiği hakikat-i muhita gibi وَلَقَد۟ خَلَق۟نَا ال۟اِن۟سَانَ وَنَع۟لَمُ مَا تُوَس۟وِسُ بِهٖ نَف۟سُهُ وَ نَح۟نُ اَق۟رَبُ اِلَي۟هِ مِن۟ حَب۟لِ ال۟وَرٖيدِ ifade ettiği akrebiyeti تَع۟رُجُ ال۟مَلٰٓئِكَةُ وَالرُّوحُ اِلَي۟هِ فٖى يَو۟مٍ كَانَ مِق۟دَارُهُ خَم۟سٖينَ اَل۟فَ سَنَةٍ işaret ettiği hakikat-i ulviyeyi اِنَّ اللّٰهَ يَا۟مُرُ بِال۟عَد۟لِ وَال۟اِح۟سَانِ وَاٖيتَٓائِ ذِى ال۟قُر۟بٰى وَيَن۟هٰى عَنِ ال۟فَح۟شَٓاءِ وَال۟مُن۟كَرِ وَال۟بَغ۟ىِ ifade ettiği hakikat-i câmia gibi bütün uhrevî ve dünyevî, ilmî ve amelî erkân-ı sitte-i imaniyenin her birisini tafsilen ve erkân-ı hamse-i İslâmiyenin her birisini kasden ve cidden ve saadet-i dâreyni temin eden bütün düsturları görür, gösterir. Muvazenesini muhafaza edip, tenasübünü idame edip o hakaikin heyet-i mecmuasının tenasübünden hasıl olan hüsün ve cemalin menbaından Kur’an’ın bir i’caz-ı manevîsi neş’et eder.
İşte şu sırr-ı azîmdendir ki ulema-i ilm-i kelâm, Kur’an’ın şakirdleri oldukları halde, bir kısmı onar cilt olarak erkân-ı imaniyeye dair binler eser yazdıkları halde, Mutezile gibi aklı nakle tercih ettikleri için Kur’an’ın on âyeti kadar vuzuh ile ifade ve kat’î ispat ve ciddi ikna edememişler. Âdeta onlar, uzak dağların altında lağım yapıp, borularla tâ âlemin nihayetine kadar silsile-i esbab ile gidip orada silsileyi keser. Sonra âb-ı hayat hükmünde olan marifet-i İlahiyeyi ve vücud-u Vâcibü’l-vücud’u ispat ederler.
Âyet-i kerîme ise her birisi birer asâ-yı Musa gibi her yerde suyu çıkarabilir, her şeyden bir pencere açar, Sâni’-i Zülcelal’i tanıttırır. Kur’an’ın bahrinden tereşşuh eden Arabî “Katre Risalesi”nde ve sair Sözlerde şu hakikat fiilen ispat edilmiş ve göstermişiz.
İşte hem şu sırdandır ki bâtın-ı umûra gidip, sünnet-i seniyeye ittiba etmeyerek, meşhudatına itimat ederek yarı yoldan dönen ve bir cemaatin riyasetine geçip bir fırka teşkil eden fırak-ı dâllenin bütün imamları hakaikin tenasübünü, muvazenesini muhafaza edemediğindendir ki böyle bid’aya, dalalete düşüp bir cemaat-i beşeriyeyi yanlış yola sevk etmişler. İşte bunların bütün aczleri, âyât-ı Kur’aniyenin i’cazını gösterir.
HÂTİME
Kur’an’ın lemaat-ı i’cazından iki lem’a-i i’caziye, On Dokuzuncu Söz’ün On Dördüncü Reşha’sında geçmiştir ki bir sebeb-i kusur zannedilen tekraratı ve ulûm-u kevniyede icmali, her biri birer lem’a-i i’cazın menbaıdır. Hem Kur’an’da mu’cizat-ı enbiya yüzünde parlayan bir lem’a-i i’caz-ı Kur’an, Yirminci Söz’ün İkinci Makamı’nda vâzıhan gösterilmiştir. Daha bunlar gibi sair Sözlerde ve risale-i Arabiyemde çok lemaat-ı i’caziye zikredilip onlara iktifaen yalnız şunu deriz ki:
Bir mu’cize-i Kur’aniye daha şudur ki: Nasıl bütün mu’cizat-ı enbiya, Kur’an’ın bir nakş-ı i’cazını göstermiştir; öyle de Kur’an, bütün mu’cizatıyla bir mu’cize-i Ahmediye (asm) olur. Ve bütün mu’cizat-ı Ahmediye (asm) dahi Kur’an’ın bir mu’cizesidir ki Kur’an’ın Cenab-ı Hakk’a karşı nisbetini gösterir ve o nisbetin zuhuruyla her bir kelimesi bir mu’cize olur. Çünkü o vakit bir tek kelime, bir çekirdek gibi bir şecere-i hakaiki manen tazammun edebilir. Hem merkez-i kalp gibi hakikat-i uzmanın bütün azasına münasebettar olabilir. Hem bir ilm-i muhite ve nihayetsiz bir iradeye istinad ettiği için hurufuyla, heyetiyle, vaziyetiyle, mevkiiyle hadsiz eşyaya bakabilir. İşte şu sırdandır ki ulema-i ilm-i huruf, Kur’an’ın bir harfinden bir sahife kadar esrar bulduklarını iddia ederler ve davalarını o fennin ehline ispat ediyorlar.
Risalenin başından şuraya kadar bütün şuleleri, şuâları, lem’aları, nurları, ziyaları nazara topla; birden bak. Baştaki dava, şimdi kat’î netice olarak yani قُل۟ لَئِنِ اج۟تَمَعَتِ ال۟اِن۟سُ وَال۟جِنُّ عَلٰٓى اَن۟ يَا۟تُوا بِمِث۟لِ هٰذَا ال۟قُر۟اٰنِ لَا يَا۟تُونَ بِمِث۟لِهٖ وَلَو۟ كَانَ بَع۟ضُهُم۟ لِبَع۟ضٍ ظَهٖيرًا yı yüksek bir sadâ ile okuyup ilan ediyorlar.
سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذ۟نَٓا اِن۟ نَسٖينَٓا اَو۟ اَخ۟طَا۟نَا رَبِّ اش۟رَح۟ لٖى صَد۟رٖى وَيَسِّر۟لٖٓى اَم۟رٖى وَاح۟لُل۟ عُق۟دَةً مِن۟ لِسَانٖى يَف۟قَهُوا قَو۟لٖى اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّم۟ اَف۟ضَلَ وَ اَج۟مَلَ وَ اَن۟بَلَ وَ اَظ۟هَرَ وَ اَط۟هَرَ وَ اَح۟سَنَ وَاَبَرَّ وَ اَك۟رَمَ وَ اَعَزَّ وَ اَع۟ظَمَ وَ اَش۟رَفَ وَ اَع۟لٰى وَ اَز۟كٰى وَ اَب۟رَكَ وَ اَل۟طَفَ صَلَوَاتِكَ وَ اَو۟فٰى وَ اَك۟ثَرَ وَ اَز۟يَدَ وَ اَر۟قٰى وَ اَر۟فَعَ وَ اَد۟وَمَ سَلَامِكَ صَلَاةً وَ سَلَامًا وَ رَح۟مَةً وَ رِض۟وَانًا وَ عَف۟وًا وَ غُف۟رَانًا تَم۟تَدُّ وَ تَزٖيدُ بِوَابِلِ سَحَائِبِ مَوَاهِبِ جُودِكَ وَ كَرَمِكَ وَ تَن۟مُو وَ تَز۟كُو بِنَفَائِسِ شَرَائِفِ لَطَائِفِ جُودِكَ وَ مِنَنِكَ، اَزَلِيَّةً بِاَزَلِيَّتِكَ لَا تَزُولُ، اَبَدِيَّةً بِاَبَدِيَّتِكَ لَا تَحُولُ، عَلٰى عَب۟دِكَ وَ حَبٖيبِكَ وَ رَسُولِكَ مُحَمَّدٍ خَي۟رِ خَل۟قِكَ النُّورِ ال۟بَاهِرِ اللَّامِعِ وَ ال۟بُر۟هَانِ الظَّاهِرِ ال۟قَاطِعِ وَ ال۟بَح۟رِ الذَّاخِرِ وَ النُّورِ ال۟غَامِرِ وَ ال۟جَمَالِ الزَّاهِرِ وَ ال۟جَلَالِ ال۟قَاهِرِ وَ ال۟كَمَالِ ال۟فَاخِرِ صَلَاتَكَ الَّتٖى صَلَّي۟تَ بِعَظَمَةِ ذَاتِكَ عَلَي۟هِ وَ عَلٰى اٰلِهٖ وَ صَح۟بِهٖ كَذٰلِكَ صَلَاةً تَغ۟فِرُ بِهَا ذُنُوبَنَا وَ تَش۟رَحُ بِهَا صُدُورَنَا وَ تُطَهِّرُ بِهَا قُلُوبَنَا وَ تُرَوِّحُ بِهَا اَر۟وَاحَنَا وَ تُقَدِّسُ بِهَا اَس۟رَارَنَا وَ تُنَزِّهُ بِهَا خَوَاطِرَنَا وَ اَف۟كَارَنَا وَ تُصَفّٖى بِهَا كُدُورَاتِ مَا فٖى اَس۟رَارِنَا وَ تَش۟فٖى بِهَا اَم۟رَاضَنَا وَ تَف۟تَحُ بِهَا اَق۟فَالَ قُلُوبِنَا رَبَّنَا لَا تُزِغ۟ قُلُوبَنَا بَع۟دَ اِذ۟ هَدَي۟تَنَا وَهَب۟ لَنَا مِن۟ لَدُن۟كَ رَح۟مَةً اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟وَهَّابُ وَ اٰخِرُ دَع۟وٰيهُم۟ اَنِ ال۟حَم۟دُ لِلّٰهِ رَبِّ ال۟عَالَمٖينَ اٰمٖينَ اٰمٖينَ اٰمٖينَ
BİRİNCİ ZEYL
(Makam itibarıyla Yirmi Beşinci Söz’e ilhak edilen zeyllerden, Yedinci Şuâ’nın Birinci Makam’ının on yedinci mertebesidir.)
Bu dünyada hayatın gayesi ve hayatın hayatı iman olduğunu bilen bu yorulmaz ve tok olmaz dünya seyyahı ve kâinattan Rabb’ini soran yolcu, kendi kalbine dedi ki: Aradığımız zatın sözü ve kelâmı denilen, bu dünyada en meşhur ve en parlak ve en hâkim ve ona teslim olmayan herkese, her asırda meydan okuyan Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan namındaki kitaba müracaat edip o ne diyor, bilelim. Fakat en evvel bu kitap, bizim Hâlık’ımızın kitabı olduğunu ispat etmek lâzımdır diye taharriye başladı.
Bu seyyah bu zamanda bulunduğu münasebetiyle en evvel manevî i’caz-ı Kur’anînin lem’aları olan Risale-i Nur’a baktı ve onun yüz otuz risaleleri, âyât-ı Furkaniyenin nükteleri ve ışıkları ve esaslı tefsirleri olduğunu gördü. Ve Risale-i Nur, bu kadar muannid ve mülhid bir asırda her tarafa hakaik-i Kur’aniyeyi mücahidane neşrettiği halde, karşısına kimse çıkamadığından ispat eder ki onun üstadı ve menbaı ve mercii ve güneşi olan Kur’an semavîdir, beşer kelâmı değildir.
Hattâ Risale-i Nur’un yüzer hüccetlerinden bir tek hüccet-i Kur’aniyesi olan Yirmi Beşinci Söz ile On Dokuzuncu Mektup’un âhiri, Kur’an’ın kırk vecihle mu’cize olduğunu öyle ispat etmiş ki kim görmüşse değil tenkit ve itiraz etmek, belki ispatlarına hayran olmuş, takdir ederek çok sena etmiş. Kur’an’ın vech-i i’cazını ve hak kelâmullah olduğunu ispat etmek cihetini Risale-i Nur’a havale ederek, yalnız kısa bir işaretle büyüklüğünü gösteren birkaç noktaya dikkat etti.
Birinci Nokta: Nasıl ki Kur’an, bütün mu’cizatıyla ve hakkaniyetine delil olan bütün hakaikiyle Muhammed aleyhissalâtü vesselâmın bir mu’cizesidir. Öyle de Muhammed aleyhissalâtü vesselâm da bütün mu’cizatıyla ve delail-i nübüvvetiyle ve kemalât-ı ilmiyesiyle Kur’an’ın bir mu’cizesidir ve Kur’an kelâmullah olduğuna bir hüccet-i kātıasıdır.
İkinci Nokta: Kur’an, bu dünyada öyle nurani ve saadetli ve hakikatli bir surette bir tebdil-i hayat-ı içtimaiye ile beraber, insanların hem nefislerinde hem kalplerinde hem ruhlarında hem akıllarında hem hayat-ı şahsiyelerinde hem hayat-ı içtimaiyelerinde hem hayat-ı siyasiyelerinde öyle bir inkılab yapmış ve idame etmiş ve idare etmiş ki on dört asır müddetinde her dakikada altı bin altı yüz altmış altı âyetleri, kemal-i ihtiramla hiç olmazsa yüz milyondan ziyade insanların dilleriyle okunuyor ve insanları terbiye ve nefislerini tezkiye ve kalplerini tasfiye ediyor; ruhlara inkişaf ve terakki ve akıllara istikamet ve nur ve hayata hayat ve saadet veriyor. Elbette böyle bir kitabın misli yoktur, hârikadır, fevkalâdedir, mu’cizedir.
Üçüncü Nokta: Kur’an, o asırdan tâ şimdiye kadar öyle bir belâgat göstermiş ki Kâbe’nin duvarında altınla yazılan en meşhur ediblerin “Muallakat-ı Seb’a” namıyla şöhret-şiar kasidelerini o dereceye indirdi ki Lebid’in kızı, babasının kasidesini Kâbe’den indirirken demiş: “Âyâta karşı bunun kıymeti kalmadı.”
Hem bedevî bir edib فَاص۟دَع۟ بِمَا تُؤ۟مَرُ âyeti okunurken işittiği vakit secdeye kapanmış. Ona dediler: “Sen Müslüman mı oldun?” Dedi: “Yok, ben bu âyetin belâgatına secde ettim.”
Hem ilm-i belâgatın dâhîlerinden Abdülkahir-i Cürcanî ve Sekkakî ve Zemahşerî gibi binler dâhî imamlar ve mütefennin edibler, icma ve ittifakla karar vermişler ki: “Kur’an’ın belâgatı, tâkat-i beşerin fevkindedir, yetişilmez.”
Hem o zamandan beri mütemadiyen meydan-ı muarazaya davet edip, mağrur ve enaniyetli ediblerin ve beliğlerin damarlarına dokundurup gururlarını kıracak bir tarzda der: “Ya bir tek surenin mislini getiriniz veyahut dünyada ve âhirette helâket ve zilleti kabul ediniz.” diye ilan ettiği halde o asrın muannid beliğleri, bir tek surenin mislini getirmekle kısa bir yol olan muarazayı bırakıp, uzun olan ve can ve mallarını tehlikeye atan muharebe yolunu ihtiyar etmeleri ispat eder ki o kısa yolda gitmek mümkün değildir.
Hem Kur’an’ın dostları, Kur’an’a benzemek ve taklit etmek şevkiyle ve düşmanları dahi Kur’an’a mukabele ve tenkit etmek sevkiyle o vakitten beri yazdıkları ve yazılan ve telahuk-u efkâr ile terakki eden milyonlar Arabî kitaplar ortada geziyor. Hiçbirisi ona yetişemediğini hattâ en âmî adam dahi dinlese elbette diyecek: Bu Kur’an, bunlara benzemez ve onların mertebesinde değil. Ya onların altında veya umumunun fevkinde olacak. Umumunun altında olduğunu dünyada hiçbir fert, hiçbir kâfir, hattâ hiçbir ahmak diyemez. Demek, mertebe-i belâgatı umumun fevkindedir.
Hattâ bir adam سَبَّحَ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوَاتِ وَال۟اَر۟ضِ âyetini okudu. Dedi: “Bunun hârika telakki edilen belâgatını göremiyorum.” Ona denildi: “Sen dahi bu seyyah gibi o zamana git, orada dinle.” O da kendini Kur’an’dan evvel orada tahayyül ederken gördü ki mevcudat-ı âlem perişan, karanlıklı, camid ve şuursuz ve vazifesiz olarak hâlî, hadsiz, hudutsuz bir fezada; kararsız, fâni bir dünyada bulunuyorlar. Birden Kur’an’ın lisanından bu âyeti dinlerken gördü:
Bu âyet, kâinat üstünde, dünyanın yüzünde öyle bir perde açtı, ışıklandırdı ki bu ezelî nutuk ve sermedî ferman, asırlar sıralarında dizilen zîşuurlara ders verip gösteriyor ki bu kâinat bir câmi-i kebir hükmünde başta semavat ve arz olarak umum mahlukat hayattarane zikir ve tesbihte ve vazifeler başında cûş u hurûşla mesudane ve memnunane bir vaziyette bulunuyor diye müşahede etti. Ve bu âyetin derece-i belâgatını zevk ederek sair âyetleri buna kıyasla Kur’an’ın zemzeme-i belâgatı arzın nısfını ve nev-i beşerin humsunu istila ederek haşmet-i saltanatı, kemal-i ihtiramla on dört asır bilâ-fâsıla idame ettiğinin binler hikmetlerinden bir hikmetini anladı.
Dördüncü Nokta: Kur’an, öyle hakikatli bir halâvet göstermiş ki en tatlı bir şeyden dahi usandıran çok tekrar, Kur’an’ı tilavet edenler için değil usandırmak, belki kalbi çürümemiş ve zevki bozulmamış adamlara tekrar-ı tilaveti halâvetini ziyadeleştirdiği, eski zamandan beri herkesçe müsellem olup darb-ı mesel hükmüne geçmiş.
Hem öyle bir tazelik ve gençlik ve şebabet ve garabet göstermiş ki on dört asır yaşadığı ve herkesin eline kolayca girdiği halde, şimdi nâzil olmuş gibi tazeliğini muhafaza ediyor. Her asır, kendine hitap ediyor gibi bir gençlikte görmüş. Her taife-i ilmiye ondan her vakit istifade etmek için kesretle ve mebzuliyetle yanlarında bulundurdukları ve üslub-u ifadesine ittiba ve iktida ettikleri halde o üslubundaki ve tarz-ı beyanındaki garabetini aynen muhafaza ediyor.
Beşinci Nokta: Kur’an’ın bir cenahı mazide, bir cenahı müstakbelde, kökü ve bir kanadı eski peygamberlerin ittifaklı hakikatleri olduğu ve bu onları tasdik ve teyid ettiği ve onlar dahi tevafukun lisan-ı haliyle bunu tasdik ettikleri gibi; öyle de evliya ve asfiya gibi ondan hayat alan semereleri, hayattar tekemmülleriyle, şecere-i mübarekelerinin hayattar, feyizdar ve hakikat-medar olduğuna delâlet eden ve ikinci kanadının himayesi altında yetişen ve yaşayan velayetin bütün hak tarîkatları ve İslâmiyet’in bütün hakikatli ilimleri, Kur’an’ın ayn-ı hak ve mecma-ı hakaik ve câmiiyette misilsiz bir hârika olduğuna şehadet eder.
Altıncı Nokta: Kur’an’ın altı ciheti nuranidir, sıdk ve hakkaniyetini gösterir. Evet, altında hüccet ve bürhan direkleri, üstünde sikke-i i’caz lem’aları, önünde ve hedefinde saadet-i dâreyn hediyeleri ve arkasında nokta-i istinadı vahy-i semavî hakikatleri, sağında hadsiz ukûl-ü müstakimenin deliller ile tasdikleri, solunda selim kalplerin ve temiz vicdanların ciddi itminanları ve samimi incizabları ve teslimleri; Kur’an’ın fevkalâde, hârika, metin, hücum edilmez bir kale-i semaviye-i arziye olduğunu ispat ettikleri gibi; altı makamdan dahi onun ayn-ı hak ve sadık olduğunu ve beşerin kelâmı olmadığını ve yanlışı bulunmadığını imza eden, başta bu kâinatta daima güzelliği izhar, iyiliği ve doğruluğu himaye ve sahtekârları ve müfterileri imha ve izale etmek âdetini bir düstur-u faaliyet ittihaz eden bu kâinatın mutasarrıfı, o Kur’an’a âlemde en makbul en yüksek en hâkimane bir makam-ı hürmet ve bir mertebe-i muvaffakiyet vermesiyle onu tasdik ve imza ettiği gibi; İslâmiyet’in menbaı ve Kur’an’ın bir tercümanı olan zatın (asm) herkesten ziyade ona itikad ve ihtiramı ve nüzulü zamanında uyku gibi bir vaziyet-i nâimanede bulunması ve sair kelâmları ona yetişememesi ve bir derece benzememesi ve ümmiyetiyle beraber gitmiş ve gelecek hakiki hâdisat-ı kevniyeyi, gaybiyane Kur’an ile tereddütsüz ve itminan ile beyan etmesi ve çok dikkatli gözlerin nazarı altında hiçbir hile, hiçbir yanlış vaziyeti görülmeyen o tercüman, bütün kuvvetiyle Kur’an’ın her bir hükmünü öyle iman ve tasdik edip hiçbir şey onu sarsmaması dahi Kur’an’ın semavî, hakkaniyetli ve kendi Hâlık-ı Rahîm’inin mübarek kelâmı olduğunu imza ediyor.
Hem nev-i insanın humsu, belki kısm-ı a’zamı, göz önündeki o Kur’an’a müncezibane ve dindarane irtibatı ve hakikat-perestane ve müştakane kulak vermesi ve çok emarelerin ve vakıaların ve keşfiyatın şehadetiyle, cin ve melek ve ruhanîler dahi tilaveti vaktinde pervane gibi etrafında hakperestane toplanmaları, Kur’an’ın kâinatça makbuliyetine ve en yüksek bir makamda bulunduğuna bir imzadır.
Hem nev-i beşerin umum tabakaları, en gabi ve âmîden tut tâ en zeki ve âlime kadar her birisi, Kur’an’ın dersinden tam hisse almaları ve en derin hakikatleri fehmetmeleri ve yüzer fen ve ulûm-u İslâmiyenin ve bilhassa şeriat-ı kübranın büyük müçtehidleri ve usûlü’d-din ve ilm-i kelâmın dâhî muhakkikleri gibi her taife kendi ilmine ait bütün hâcatını ve cevaplarını Kur’an’dan istihraç etmeleri, Kur’an’ın menba-ı hak ve maden-i hakikat olduğuna bir imzadır.
Hem edebiyatça en ileri bulunan Arap edibleri –şimdiye kadar Müslüman olmayanlar– muarazaya pek çok muhtaç oldukları halde, Kur’an’ın i’cazından yedi büyük vechi varken, yalnız bir tek vechi olan belâgatının –tek bir suresinin– mislini getirmekten istinkâfları ve şimdiye kadar gelen ve muaraza ile şöhret kazanmak isteyen meşhur beliğlerin ve dâhî âlimlerin onun hiçbir vech-i i’cazına karşı çıkamamaları ve âcizane sükût etmeleri; Kur’an mu’cize ve tâkat-i beşerin fevkinde olduğuna bir imzadır.
Evet, bir kelâm “Kimden gelmiş ve kime gelmiş ve ne için?” denilmesiyle kıymeti ve ulviyeti ve belâgatı tezahür etmesi noktasından Kur’an’ın misli olamaz ve ona yetişilemez. Çünkü Kur’an, bütün âlemlerin Rabb’i ve bütün kâinatın Hâlık’ının hitabı ve konuşması ve hiçbir cihette taklidi ve tasannuu ihsas edecek hiçbir emare bulunmayan bir mükâlemesi ve bütün insanların belki bütün mahlukatın namına mebus ve nev-i beşerin en meşhur ve namdar muhatabı bulunan ve o muhatabın kuvvet ve vüs’at-i imanı, koca İslâmiyet’i tereşşuh edip sahibini Kab-ı Kavseyn makamına çıkararak muhatab-ı Samedaniyeye mazhariyetle nüzul eden ve saadet-i dâreyne dair ve hilkat-i kâinatın neticelerine ve ondaki Rabbanî maksatlara ait mesaili ve o muhatabın bütün hakaik-i İslâmiyeyi taşıyan en yüksek ve en geniş olan imanını beyan ve izah eden ve koca kâinatı bir harita, bir saat, bir hane gibi her tarafını gösterip, çevirip onları yapan sanatkârı tavrıyla ifade ve talim eden Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan’ın elbette mislini getirmek mümkün değildir ve derece-i i’cazına yetişilmez.
Hem Kur’an’ı tefsir eden ve bir kısmı otuz kırk hattâ yetmiş cilt olarak birer tefsir yazan yüksek zekâlı müdakkik binler mütefennin ulemanın, senetleri ve delilleriyle beyan ettikleri Kur’an’daki hadsiz meziyetleri ve nükteleri ve hâsiyetleri ve sırları ve âlî manaları ve umûr-u gaybiyenin her nevinden kesretli gaybî ihbarları izhar ve ispat etmeleri ve bilhassa Risale-i Nur’un yüz otuz kitabı, her biri Kur’an’ın bir meziyetini, bir nüktesini kat’î bürhanlarla ispat etmesi ve bilhassa Mu’cizat-ı Kur’aniye Risalesi, şimendifer ve tayyare gibi medeniyetin hârikalarından çok şeyleri Kur’an’dan istihraç eden Yirminci Söz’ün İkinci Makamı ve Risale-i Nur’a ve elektriğe işaret eden âyetlerin işaratını bildiren İşarat-ı Kur’aniye namındaki Birinci Şuâ ve huruf-u Kur’aniye ne kadar muntazam ve esrarlı ve manalı olduğunu gösteren Rumuzat-ı Semaniye namındaki sekiz küçük risaleler ve Sure-i Feth’in âhirki âyeti beş vecihle ihbar-ı gaybî cihetinde mu’cizeliğini ispat eden küçücük bir risale gibi Risale-i Nur’un her bir cüzü, Kur’an’ın bir hakikatini, bir nurunu izhar etmesi; Kur’an’ın misli olmadığına ve mu’cize ve hârika olduğuna ve bu âlem-i şehadette âlem-i gaybın lisanı ve bir Allâmü’l-guyub’un kelâmı bulunduğuna bir imzadır.
İşte altı noktada ve altı cihette ve altı makamda işaret edilen, Kur’an’ın mezkûr meziyetleri ve hâsiyetleri içindir ki haşmetli hâkimiyet-i nuraniyesi ve azametli saltanat-ı kudsiyesi, asırların yüzlerini ışıklandırarak zemin yüzünü dahi bin üç yüz sene tenvir ederek kemal-i ihtiram ile devam etmesi hem o hâsiyetleri içindir ki Kur’an’ın her bir harfi, hiç olmazsa on sevabı, on haseneyi ve on meyve-i bâki vermesi, hattâ bir kısım âyâtın ve surelerin her bir harfi, yüz ve bin ve daha ziyade meyve vermesi ve mübarek vakitlerde her bir harfin nuru ve sevabı ve kıymeti ondan yüzlere çıkması gibi kudsî imtiyazları kazanmış diye dünya seyyahı anladı ve kalbine dedi:
İşte böyle her cihetle mu’cizatlı bu Kur’an, surelerinin icmaıyla ve âyâtının ittifakıyla ve esrar ve envarının tevafukuyla ve semerat ve âsârının tetabukuyla bir tek Vâcibü’l-vücud’un vücuduna ve vahdetine ve sıfâtına ve esmasına deliller ile ispat suretinde öyle şehadet etmiş ki bütün ehl-i imanın hadsiz şehadetleri, onun şehadetinden tereşşuh etmişler.
İşte bu yolcunun Kur’an’dan aldığı ders-i tevhid ve imana kısa bir işaret olarak Birinci Makam’ın on yedinci mertebesinde böyle:
لَٓا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ ال۟وَاجِبُ ال۟وُجُودِ ال۟وَاحِدُ ال۟اَحَدُ الَّذٖى دَلَّ عَلٰى وُجُوبِ وُجُودِهٖ فٖى وَح۟دَتِهِ ال۟قُر۟اٰنُ ال۟مُع۟جِزُ ال۟بَيَانِ اَل۟مَق۟بُولُ ال۟مَر۟غُوبُ لِاَج۟نَاسِ ال۟مَلَكِ وَ ال۟اِن۟سِ وَ ال۟جَانِّ اَل۟مَق۟رُوءُ كُلُّ اٰيَاتِهٖ فٖى كُلِّ دَقٖيقَةٍ بِكَمَالِ ال۟اِح۟تِرَامِ بِاَل۟سِنَةِ مِأٰتِ مِل۟يُونٍ مِن۟ نَو۟عِ ال۟اِن۟سَانِ اَلدَّائِمُ سَل۟طَنَتُهُ ال۟قُد۟سِيَّةُ عَلٰى اَق۟طَارِ ال۟اَر۟ضِ وَ ال۟اَك۟وَانِ وَ عَلٰى وُجُوهِ ال۟اَع۟صَارِ وَ الزَّمَانِ وَ ال۟جَارٖى حَاكِمِيَّتُهُ ال۟مَع۟نَوِيَّةُ النُّورَانِيَّةُ عَلٰى نِص۟فِ ال۟اَر۟ضِ وَ خُم۟سِ ال۟بَشَرِ فٖى اَر۟بَعَةَ عَشَرَ عَص۟رًا بِكَمَالِ ال۟اِح۟تِشَامِ . وَ كَذَا : شَهِدَ وَ بَر۟هَنَ بِاِج۟مَاعِ سُوَرِهِ ال۟قُد۟سِيَّةِ السَّمَاوِيَّةِ وَ بِاِتِّفَاقِ اٰيَاتِهِ النُّورَانِيَّةِ ال۟اِلٰهِيَّةِ وَ بِتَوَافُقِ اَس۟رَارِهٖ وَ اَن۟وَارِهٖ وَ بِتَطَابُقِ حَقَائِقِهٖ وَ ثَمَرَاتِهٖ وَ اٰثَارِهٖ بِال۟مُشَاهَدَةِ وَ ال۟عِيَانِ denilmiştir.
ON BİRİNCİ ŞUÂ OLAN MEYVE RİSALESİ'NİN ONUNCU MESELESİ
EMİRDAĞI ÇİÇEĞİ
Kur’an’da olan tekrarata gelen itirazlara karşı gayet kuvvetli bir cevaptır.
Aziz, sıddık kardeşlerim!
Gerçi bu mesele, perişan vaziyetimden müşevveş ve letafetsiz olmuş. Fakat o müşevveş ibare altında çok kıymetli bir nevi i’cazı kat’î bildim. Maatteessüf ifadeye muktedir olamadım. Her ne kadar ibaresi sönük olsa da Kur’an’a ait olmak cihetiyle hem ibadet-i tefekküriye hem kudsî, yüksek, parlak bir cevherin sadefidir. Yırtık libasına değil, elindeki elmasa bakılsın. Eğer münasip ise Onuncu Mesele yapınız, değilse sizin tebrik mektuplarınıza mukabil bir mektup kabul ediniz.
Hem bunu gayet hasta ve perişan ve gıdasız, bir iki gün ramazanda, mecburiyetle gayet mücmel ve kısa ve bir cümlede pek çok hakikatleri ve müteaddid hüccetleri dercederek yazdım. Kusura bakılmasın. (*[19])
Aziz, sıddık kardeşlerim!
Ramazan-ı şerifte Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan’ı okurken Risale-i Nur’a işaretleri Birinci Şuâ’da beyan olunan otuz üç âyetten hangisi gelse bakıyordum ki o âyetin sahifesi ve yaprağı ve kıssası dahi Risale-i Nur’a ve şakirdlerine kıssadan hisse almak noktasında bir derece bakıyor. Hususan Sure-i Nur’dan Âyetü’n-Nur, on parmakla Risale-i Nur’a baktığı gibi arkasındaki Âyet-i Zulümat dahi muarızlarına tam bakıyor ve ziyade hisse veriyor. Âdeta o makam, cüz’iyetten çıkıp külliyet kesbeder ve bu asırda o küllînin tam bir ferdi Risale-i Nur ve şakirdleridir diye hissettim.
Evet, Kur’an’ın hitabı, evvela Mütekellim-i Ezelî’nin rububiyet-i âmmesinin geniş makamından hem nev-i beşer, belki kâinat namına muhatap olan zatın geniş makamından hem umum nev-i benî-Âdem’in bütün asırlarda irşadlarının gayet vüs’atli makamından hem dünya ve âhiretin ve arz ve semavatın ve ezel ve ebedin ve Hâlık-ı kâinat’ın rububiyetine ve bütün mahlukatın tedbirine dair kavanin-i İlahiyenin gayet yüksek ve ihatalı beyanatının geniş makamından aldığı vüs’at ve ulviyet ve ihata cihetiyle o hitap, öyle bir yüksek i’caz ve şümul gösterir ki ders-i Kur’an’ın muhataplarından en kesretli taife olan tabaka-i avamın basit fehimlerini okşayan zâhirî ve basit mertebesi dahi en ulvi tabakayı da tam hissedar eder.
Güya kıssadan yalnız bir hisse ve bir hikâye-i tarihiyeden bir ibret değil belki bir küllî düsturun efradı olarak her asra ve her tabakaya hitap ederek taze nâzil oluyor ve bilhassa çok tekrarla اَلظَّالِمٖينَ ، اَلظَّالِمٖينَ deyip tehditleri ve zulümlerinin cezası olan musibet-i semaviye ve arziyeyi şiddetle beyanı, bu asrın emsalsiz zulümlerine kavm-i Âd ve Semud ve Firavun’un başlarına gelen azaplar ile baktırıyor ve mazlum ehl-i imana İbrahim (as) ve Musa (as) gibi enbiyanın necatlarıyla teselli veriyor.
Evet, nazar-ı gaflet ve dalalette, vahşetli ve dehşetli bir ademistan ve elîm ve mahvolmuş bir mezaristan olan bütün geçmiş zaman ve ölmüş karnlar ve asırlar; canlı birer sahife-i ibret ve baştan başa ruhlu, hayattar bir acib âlem ve mevcud ve bizimle münasebettar bir memleket-i Rabbaniye suretinde sinema perdeleri gibi kâh bizi o zamanlara kâh o zamanları yanımıza getirerek her asra ve her tabakaya gösterip yüksek bir i’caz ile ders veren Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan, aynı i’cazla nazar-ı dalalette camid, perişan, ölü, hadsiz bir vahşetgâh olan ve firak ve zevalde yuvarlanan bu kâinatı bir kitab-ı Samedanî, bir şehr-i Rahmanî, bir meşher-i sun’-u Rabbanî olarak o camidatı canlandırarak, birer vazifedar suretinde birbiriyle konuşturup ve birbirinin imdadına koşturup nev-i beşere ve cin ve meleğe hakiki ve nurlu ve zevkli hikmet dersleri veren bu Kur’an-ı Azîmüşşan, elbette her harfinde on ve yüz ve bazen bin ve binler sevap bulunması ve bütün cin ve ins toplansa onun mislini getirememesi ve bütün benî-Âdem’le ve kâinatla tam yerinde konuşması ve her zaman milyonlar hâfızların kalplerinde zevkle yazılması ve çok tekrarla ve kesretli tekraratıyla usandırmaması ve çok iltibas yerleri ve cümleleriyle beraber çocukların nazik ve basit kafalarında mükemmel yerleşmesi ve hastaların ve az sözden müteessir olan ve sekeratta olanların kulağında mâ-i zemzem misillü hoş gelmesi gibi kudsî imtiyazları kazanır ve iki cihanın saadetlerini kendi şakirdlerine kazandırır.
Ve tercümanının ümmiyet mertebesini tam riayet etmek sırrıyla hiçbir tekellüf ve hiçbir tasannu ve hiçbir gösterişe meydan vermeden selaset-i fıtriyesini ve doğrudan doğruya semadan gelmesini ve en kesretli olan tabaka-i avamın basit fehimlerini tenezzülat-ı kelâmiye ile okşamak hikmetiyle en ziyade sema ve arz gibi en zâhir ve bedihî sahifeleri açıp o âdiyat altındaki hârikulâde mu’cizat-ı kudretini ve manidar sutûr-u hikmetini ders vermekle lütf-u irşadda güzel bir i’caz gösterir.
Tekrarı iktiza eden dua ve davet ve zikir ve tevhid kitabı dahi olduğunu bildirmek sırrıyla güzel, tatlı tekraratıyla bir tek cümlede ve bir tek kıssada ayrı ayrı çok manaları, ayrı ayrı muhatap tabakalarına tefhim etmekte ve cüz’î ve âdi bir hâdisede en cüz’î ve ehemmiyetsiz şeyler dahi nazar-ı merhametinde ve daire-i tedbir ve iradesinde bulunmasını bildirmek sırrıyla tesis-i İslâmiyette ve tedvin-i şeriatta sahabelerin cüz’î hâdiselerini dahi nazar-ı ehemmiyete almasında hem küllî düsturların bulunması hem umumî olan İslâmiyet’in ve şeriatın tesisinde o cüz’î hâdiseler, çekirdekler hükmünde çok ehemmiyetli meyveleri verdikleri cihetinde de bir nev-i i’cazını gösterir.
Evet, ihtiyacın tekerrürüyle, tekrarın lüzumu haysiyetiyle yirmi sene zarfında pek çok mükerrer suallere cevap olarak ayrı ayrı çok tabakalara ders veren ve koca kâinatı parça parça edip kıyamette şeklini değiştirerek dünyayı kaldırıp onun yerine azametli âhireti kuracak ve zerrattan yıldızlara kadar bütün cüz’iyat ve külliyatı, tek bir zatın elinde ve tasarrufunda bulunduğunu ispat edecek ve kâinatı ve arz ve semavatı ve anâsırı kızdıran ve hiddete getiren nev-i beşerin zulümlerine, kâinatın netice-i hilkati hesabına gazab-ı İlahî ve hiddet-i Rabbaniyeyi gösterecek hadsiz hârika ve nihayetsiz dehşetli ve geniş bir inkılabın tesisinde binler netice kuvvetinde bazı cümleleri ve hadsiz delillerin neticesi olan bir kısım âyetleri tekrar etmek; değil bir kusur, belki gayet kuvvetli bir i’caz ve gayet yüksek bir belâgat ve mukteza-yı hale gayet mutabık bir cezalettir ve fesahattir.
Mesela, bir tek âyet iken yüz on dört defa tekerrür eden بِس۟مِ اللّٰهِ الرَّح۟مٰنِ الرَّحٖيمِ cümlesi, Risale-i Nur’un On Dördüncü Lem’a’sında beyan edildiği gibi arşı ferşle bağlayan ve kâinatı ışıklandıran ve her dakika herkes ona muhtaç olan öyle bir hakikattir ki milyonlar defa tekrar edilse yine ihtiyaç var. Değil yalnız ekmek gibi her gün, belki hava ve ziya gibi her dakika ona ihtiyaç ve iştiyak vardır.
Hem mesela, Sure-i طٰسٓمٓ de sekiz defa tekrar edilen şu اِنَّ رَبَّكَ لَهُوَ ال۟عَزٖيزُ الرَّحٖيمُ âyeti, o surede hikâye edilen peygamberlerin necatlarını ve kavimlerinin azaplarını, kâinatın netice-i hilkati hesabına ve rububiyet-i âmmenin namına o binler hakikat kuvvetinde olan âyeti tekrar ederek, izzet-i Rabbaniye o zalim kavimlerin azabını ve rahîmiyet-i İlahiye dahi enbiyanın necatlarını iktiza ettiğini ders vermek için binler defa tekrar olsa yine ihtiyaç ve iştiyak var ve i’cazlı, îcazlı bir ulvi belâgattır.
Hem mesela, Sure-i Rahman’da tekrar edilen فَبِاَىِّ اٰلَٓاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ âyeti ile Sure-i Mürselât’ta وَي۟لٌ يَو۟مَئِذٍ لِل۟مُكَذِّبٖينَ âyeti, cin ve nev-i beşerin, kâinatı kızdıran ve arz ve semavatı hiddete getiren ve hilkat-i âlemin neticelerini bozan ve haşmet-i saltanat-ı İlahiyeye karşı inkâr ve istihfafla mukabele eden küfür ve küfranlarını ve zulümlerini ve bütün mahlukatın hukuklarına tecavüzlerini, asırlara ve arz ve semavata tehditkârane haykıran bu iki âyet, böyle binler hakikatlerle alâkadar ve binler mesele kuvvetinde olan bir ders-i umumîde binler defa tekrar edilse yine lüzum var ve celalli bir i’caz ve cemalli bir îcaz-ı belâgattır.
Hem mesela, Kur’an’ın hakiki ve tam bir nevi münâcatı ve Kur’an’dan çıkan bir çeşit hülâsası olan Cevşenü’l-Kebir namındaki münâcat-ı Peygamberîde yüz defa سُب۟حَانَكَ يَا لَٓا اِلٰهَ اِلَّا اَن۟تَ ال۟اَمَانُ ال۟اَمَانُ خَلِّص۟نَا وَ اَجِر۟نَا وَ نَجِّنَا مِنَ النَّارِ cümlesi tekrarında tevhid gibi kâinatça en büyük hakikat ve tesbih ve takdis gibi mahlukatın rububiyete karşı üç muazzam vazifesinden en ehemmiyetli vazifesi ve şakavet-i ebediyeden kurtulmak gibi nev-i insanın en dehşetli meselesi ve ubudiyet ve acz-i beşerînin en lüzumlu neticesi bulunması cihetiyle binler defa tekrar edilse yine azdır.
İşte –namaz tesbihatı gibi ibadetlerden bir kısmının tekrarı sünnet bulunan maddeler gibi– tekrarat-ı Kur’aniye, bu gibi metin esaslara bakıyor. Hattâ bazen bir sahifede iktiza-yı makam ve ihtiyac-ı ifham ve belâgat-ı beyan cihetiyle yirmi defa sarîhan ve zımnen tevhid hakikatini ifade eder. Değil usanç, belki kuvvet ve şevk ve halâvet verir. Risale-i Nur’da, tekrarat-ı Kur’aniye ne kadar yerinde ve münasip ve belâgatça makbul olduğu hüccetleriyle beyan edilmiş.
Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan’ın Mekkiye sureleriyle Medeniye sureleri belâgat noktasında ve i’caz cihetinde ve tafsil ve icmal vechinde birbirinden ayrı olmasının sırr-ı hikmeti şudur ki:
Mekke’de birinci safta muhatap ve muarızları, Kureyş müşrikleri ve ümmileri olduğundan belâgatça kuvvetli bir üslub-u âlî ve îcazlı, mukni, kanaat verici bir icmal ve tesbit için tekrar lâzım geldiğinden ekseriyetçe Mekkî sureleri erkân-ı imaniyeyi ve tevhidin mertebelerini gayet kuvvetli ve yüksek ve i’cazlı bir îcaz ile ifade ve tekrar ederek mebde ve meâdi, Allah’ı ve âhireti, değil yalnız bir sahifede, bir âyette, bir cümlede, bir kelimede belki bazen bir harfte ve takdim-tehir, tarif-tenkir ve hazf-zikir gibi heyetlerde öyle kuvvetli ispat eder ki ilm-i belâgatın dâhî imamları hayretle karşılamışlar.
Risale-i Nur ve bilhassa Kur’an’ın kırk vech-i i’cazını icmalen ispat eden Yirmi Beşinci Söz, zeylleriyle beraber ve nazımdaki vech-i i’cazı hârika bir tarzda beyan ve ispat eden Arabî Risale-i Nur’dan İşaratü’l-İ’caz tefsiri bilfiil göstermişler ki Mekkî sure ve âyetlerde en âlî bir üslub-u belâgat ve en yüksek bir i’caz-ı îcazî vardır.
Amma Medine sure ve âyetlerinin birinci safta muhatap ve muarızları ise Allah’ı tasdik eden Yahudi ve Nasâra gibi ehl-i kitap olduğundan mukteza-yı belâgat ve irşad ve mutabık-ı makam ve halin lüzumundan, sade ve vâzıh ve tafsilli bir üslupla ehl-i kitaba karşı dinin yüksek usûlünü ve imanın rükünlerini değil belki medar-ı ihtilaf olan şeriatın ve ahkâmın ve teferruatın ve küllî kanunların menşeleri ve sebepleri olan cüz’iyatın beyanı lâzım geldiğinden, o sure ve âyetlerde ekseriyetçe tafsil ve izah ve sade üslupla beyanat içinde Kur’an’a mahsus emsalsiz bir tarz-ı beyanla, birden o cüz’î teferruat hâdisesi içinde yüksek, kuvvetli bir fezleke, bir hâtime, bir hüccet ve o cüz’î hâdise-i şer’iyeyi küllîleştiren ve imtisalini iman-ı billah ile temin eden bir cümle-i tevhidiye ve esmaiye ve uhreviyeyi zikreder. O makamı nurlandırır, ulvileştirir, küllîleştirir.
Risale-i Nur, âyetlerin âhirlerinde ekseriyetle gelen اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَى۟ءٍ قَدٖيرٌ اِنَّ اللّٰهَ بِكُلِّ شَى۟ءٍ عَلٖيمٌ وَهُوَ ال۟عَزٖيزُ الرَّحٖيمُ وَهُوَ ال۟عَزٖيزُ ال۟حَكٖيمُ gibi tevhidi veya âhireti ifade eden fezlekeler ve hâtimelerde ne kadar yüksek bir belâgat ve meziyetler ve cezaletler ve nükteler bulunduğunu Yirmi Beşinci Söz’ün İkinci Şule’sinin İkinci Nur’unda o fezleke ve hâtimelerin pek çok nüktelerinden ve meziyetlerinden on tanesini beyan ederek o hülâsalarda bir mu’cize-i kübra bulunduğunu muannidlere de ispat etmiş.
Evet Kur’an, o teferruat-ı şer’iye ve kavanin-i içtimaiyenin beyanı içinde birden muhatabın nazarını en yüksek ve küllî noktalara kaldırıp, sade üslubu bir ulvi üsluba ve şeriat dersinden tevhid dersine çevirerek Kur’an’ı hem bir kitab-ı şeriat ve ahkâm ve hikmet hem bir kitab-ı akide ve iman ve zikir ve fikir ve dua ve davet olduğunu gösterip her makamda çok makasıd-ı irşadiye ve Kur’aniyeyi ders vermesiyle Mekkiye âyetlerin tarz-ı belâgatlarından ayrı ve parlak, mu’cizane bir cezalet izhar eder.
Bazen iki kelimede mesela رَبُّ ال۟عَالَمٖينَ ve رَبُّكَ de رَبُّكَ tabiriyle ehadiyeti ve رَبُّ ال۟عَالَمٖينَ ile vâhidiyeti bildirir. Ehadiyet içinde vâhidiyeti ifade eder. Hattâ bir cümlede, bir zerreyi bir göz bebeğinde gördüğü ve yerleştirdiği gibi güneşi dahi aynı âyetle, aynı çekiçle göğün göz bebeğinde yerleştirir ve göğe bir göz yapar.
Mesela خَلَقَ السَّمٰوَاتِ وَ ال۟اَر۟ضَ âyetinden sonra يُولِجُ الَّي۟لَ فِى النَّهَارِ وَ يُولِجُ النَّهَارَ فِى الَّي۟لِ âyetinin akabinde وَ هُوَ عَلٖيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ der. “Zemin ve göklerin haşmet-i hilkatinde kalbin dahi hatıratını bilir, idare eder.” der, tarzında bir beyanat cihetiyle o sade ve ümmiyet mertebesini ve avamın fehmini nazara alan o basit ve cüz’î muhavere, o tarz ile ulvi ve cazibedar ve umumî ve irşadkâr bir mükâlemeye döner.
Ehemmiyetli Bir Sual: Bazen bir hakikat, sathî nazarlara görünmediğinden ve bazı makamlarda cüz’î ve âdi bir hâdiseden yüksek bir fezleke-i tevhidi veya küllî bir düsturu beyan etmekte münasebet bilinmediğinden bir kusur tevehhüm edilir. Mesela “Hazret-i Yusuf aleyhisselâm, kardeşini bir hile ile alması” içinde وَفَو۟قَ كُلِّ ذٖى عِل۟مٍ عَلٖيمٌ diye gayet yüksek bir düsturun zikri, belâgatça münasebeti görünmüyor. Bunun sırrı ve hikmeti nedir?
Elcevap: Her biri birer küçük Kur’an olan ekser uzun sure ve mutavassıtlarda ve çok sahife ve makamlarda yalnız iki üç maksat değil belki Kur’an mahiyeti hem bir kitab-ı zikir ve iman ve fikir hem bir kitab-ı şeriat ve hikmet ve irşad gibi çok kitapları ve ayrı ayrı dersleri tazammun ederek rububiyet-i İlahiyenin her şeye ihatasını ve haşmetli tecelliyatını ifade etmek cihetiyle, kâinat kitab-ı kebirinin bir nevi kıraatı olan Kur’an, elbette her makamda, hattâ bazen bir sahifede çok maksatları takiben marifetullahtan ve tevhidin mertebelerinden ve iman hakikatlerinden ders verdiği haysiyetiyle, öbür makamda mesela, zâhirce zayıf bir münasebetle başka bir ders açar ve o zayıf münasebete çok kuvvetli münasebetler iltihak ederler. O makama gayet mutabık olur, mertebe-i belâgatı yükseklenir.
İkinci Bir Sual: Kur’an’da sarîhan ve zımnen ve işareten, âhiret ve tevhidi ve beşerin mükâfat ve mücazatını binler defa ispat edip nazara vermenin ve her surede her sahifede her makamda ders vermenin hikmeti nedir?
Elcevap: Daire-i imkânda ve kâinatın sergüzeştine ait inkılablarda ve emanet-i kübrayı ve hilafet-i arziyeyi omuzuna alan nev-i beşerin şakavet ve saadet-i ebediyeye medar olan vazifesine dair en ehemmiyetli en büyük en dehşetli meselelerinden en azametlilerini ders vermek ve hadsiz şüpheleri izale etmek ve gayet şiddetli inkârları ve inatları kırmak cihetinde elbette o dehşetli inkılabları tasdik ettirmek ve o inkılablar azametinde büyük ve beşere en elzem ve en zarurî meseleleri teslim ettirmek için Kur’an, binler defa değil belki milyonlar defa onlara baktırsa yine israf değil ki milyonlar kere tekrar ile o bahisler Kur’an’da okunur, usanç vermez, ihtiyaç kesilmez.
Mesela اِنَّ الَّذٖينَ اٰمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُم۟ جَنَّاتٌ تَج۟رٖى مِن۟ تَح۟تِهَا ال۟اَن۟هَارُ … خَالِدٖينَ فٖيهَٓا اَبَدًا âyetinin gösterdiği müjde-i saadet-i ebediye hakikati, bîçare beşere her dakika kendini gösteren hakikat-i mevtin hem insanı hem dünyasını hem bütün ahbabını idam-ı ebedîsinden kurtarıp ebedî bir saltanatı kazandırdığından, milyarlar defa tekrar edilse ve kâinat kadar ehemmiyet verilse yine israf olmaz, kıymetten düşmez.
İşte bu çeşit hadsiz kıymettar meseleleri ders veren ve kâinatı bir hane gibi değiştiren ve şeklini bozan dehşetli inkılabları tesis etmekte iknaya ve inandırmaya ve ispata çalışan Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan elbette sarîhan ve zımnen ve işareten binler defa o meselelere nazar-ı dikkati celbetmek; değil israf belki ekmek, ilaç, hava, ziya gibi birer hâcet-i zaruriye hükmünde ihsanını tazelendirir.
Hem mesela اِنَّ ال۟كَافِرٖينَ فٖى نَارِ جَهَنَّمَ ve اَلظَّالِمٖينَ لَهُم۟ عَذَابٌ اَلٖيمٌ gibi tehdit âyetlerini Kur’an gayet şiddetle ve hiddetle ve gayet kuvvet ve tekrarla zikretmesinin hikmeti ise –Risale-i Nur’da kat’î ispat edildiği gibi– beşerin küfrü, kâinatın ve ekser mahlukatın hukukuna öyle bir tecavüzdür ki semavatı ve arzı kızdırıyor ve anâsırı hiddete getirip tufanlar ile o zalimleri tokatlıyor. Ve اِذَٓا اُل۟قُوا فٖيهَا سَمِعُوا لَهَا شَهٖيقًا وَهِىَ تَفُورُ تَكَادُ تَمَيَّزُ مِنَ ال۟غَي۟ظِ âyetinin sarahatiyle o zalim münkirlere cehennem, öyle öfkeleniyor ki hiddetinden parçalanmak derecesine geliyor.
İşte böyle bir cinayet-i âmmeye ve hadsiz bir tecavüze karşı beşerin küçüklük ve ehemmiyetsizliği noktasına değil belki zalimane cinayetinin azametine ve kâfirane tecavüzünün dehşetine karşı Sultan-ı Kâinat, kendi raiyetinin hukuklarının ehemmiyetini ve o münkirlerin küfür ve zulmündeki nihayetsiz çirkinliğini göstermek hikmetiyle fermanında gayet hiddet ve şiddetle o cinayeti ve cezasını değil bin defa, belki milyonlar ve milyarlar ile tekrar etse yine israf ve kusur değil ki bin seneden beri yüzer milyon insanlar her gün usanmadan kemal-i iştiyakla ve ihtiyaçla okurlar.
Evet, her gün her zaman, herkes için bir âlem gider, taze bir âlemin kapısı kendine açılmasından, o geçici her bir âlemini nurlandırmak için ihtiyaç ve iştiyakla لَٓا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ cümlesini binler defa tekrar ile o değişen perdelere ve âlemlere her birisine bir لَٓا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ ı lamba yaptığı gibi öyle de o kesretli, geçici perdeleri ve tazelenen seyyar kâinatları karanlıklandırmamak ve âyine-i hayatında in’ikas eden suretlerini çirkinleştirmemek ve lehinde şahit olabilen o misafir vaziyetleri aleyhine çevirmemek için o cinayetlerin cezalarını ve Padişah-ı Ezelî’nin şiddetli ve inatları kıran tehditlerini, her vakit Kur’an’ı okumakla tahattur edip nefsin tuğyanından kurtulmaya çalışmak hikmetiyle Kur’an, gayet mu’cizane tekrar eder ve bu derece kuvvet ve şiddet ve tekrarla tehdidat-ı Kur’aniyeyi hakikatsiz tevehhüm etmekten şeytan bile kaçar. Ve onları dinlemeyen münkirlere cehennem azabı ayn-ı adalettir, diye gösterir.
Hem mesela, asâ-yı Musa gibi çok hikmetleri ve faydaları bulunan kıssa-i Musa’nın (as) ve sair enbiyanın kıssalarını çok tekrarında, risalet-i Ahmediyenin hakkaniyetine bütün enbiyanın nübüvvetlerini hüccet gösterip onların umumunu inkâr edemeyen, bu zatın risaletini hakikat noktasında inkâr edemez hikmetiyle ve herkes, her vakit bütün Kur’an’ı okumaya muktedir ve muvaffak olamadığından her bir uzun ve mutavassıt sureyi birer küçük Kur’an hükmüne getirmek için ehemmiyetli erkân-ı imaniye gibi o kıssaları tekrar etmesi; değil israf belki mu’cizane bir belâgattır ve hâdise-i Muhammediye bütün benî-Âdem’in en büyük hâdisesi ve kâinatın en azametli meselesi olduğunu ders vermektir.
Evet, Kur’an’da Zat-ı Ahmediye’ye en büyük makam vermek ve dört erkân-ı imaniyeyi içine almakla لَٓا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ rüknüne denk tutulan مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللّٰهِ ve risalet-i Muhammediye kâinatın en büyük hakikati ve Zat-ı Ahmediye, bütün mahlukatın en eşrefi ve hakikat-i Muhammediye tabir edilen küllî şahsiyet-i maneviyesi ve makam-ı kudsîsi, iki cihanın en parlak bir güneşi olduğuna ve bu hârika makama liyakatine pek çok hüccetleri ve emareleri, kat’î bir surette Risale-i Nur’da ispat edilmiş. Binden birisi şudur ki:
اَلسَّبَبُ كَال۟فَاعِلِ düsturuyla, bütün ümmetinin bütün zamanlarda işlediği hasenatın bir misli onun defter-i hasenatına girmesi ve bütün kâinatın hakikatlerini, getirdiği nur ile nurlandırması, değil yalnız cin, ins, melek ve zîhayatı, belki kâinatı, semavat ve arzı minnettar eylemesi ve istidat lisanıyla nebatatın duaları ve ihtiyac-ı fıtrî diliyle hayvanatın duaları, gözümüz önünde bilfiil kabul olmasının şehadetiyle milyonlar, belki milyarlar fıtrî ve reddedilmez duaları makbul olan suleha-yı ümmeti her gün o zata salât ü selâm unvanıyla rahmet duaları ve manevî kazançlarını en evvel o zata bağışlamaları ve bütün ümmetçe okunan Kur’an’ın üç yüz bin harfinin her birisinde on sevaptan tâ yüz, tâ bin hasene ve meyve vermesinden yalnız kıraat-ı Kur’an cihetiyle defter-i a’maline hadsiz nurlar girmesi haysiyetiyle o zatın şahsiyet-i maneviyesi olan hakikat-i Muhammediye, istikbalde bir şecere-i tûba-i cennet hükmünde olacağını Allâmü’l-guyub bilmiş ve görmüş, o makama göre Kur’an’ında o azîm ehemmiyeti vermiş ve fermanında ona tebaiyetle ve sünnetine ittiba ile şefaatine mazhariyeti en ehemmiyetli bir mesele-i insaniye göstermiş ve o haşmetli şecere-i tûbanın bir çekirdeği olan şahsiyet-i beşeriyetini ve bidayetteki vaziyet-i insaniyesini ara sıra nazara almasıdır.
İşte Kur’an’ın tekrar edilen hakikatleri bu kıymette olduğundan tekraratında kuvvetli ve geniş bir mu’cize-i maneviye bulunmasına fıtrat-ı selime şehadet eder. Meğer maddiyyunluk taunuyla maraz-ı kalbe ve vicdan hastalığına müptela ola.
قَد۟ يُن۟كِرُ ال۟مَر۟ءُ ضَو۟ءَ الشَّم۟سِ مِن۟ رَمَدٍ وَ يُن۟كِرُ ال۟فَمُ طَع۟مَ ال۟مَاءِ مِن۟ سَقَمٍ kaidesine dâhil olur.
BU ONUNCU MESELEYE BİR HÂTİME OLARAK İKİ HÂŞİYEDİR
BİRİNCİSİ
Bundan on iki sene evvel işittim ki en dehşetli ve muannid bir zındık, Kur’an’a karşı suikastını tercümesiyle yapmaya başlamış ve demiş ki: “Kur’an tercüme edilsin, tâ ne mal olduğu bilinsin.” Yani lüzumsuz tekraratı herkes görsün ve tercümesi onun yerinde okunsun diye dehşetli bir plan çevirmiş.
Fakat Risale-i Nur’un cerh edilmez hüccetleri kat’î ispat etmiş ki Kur’an’ın hakiki tercümesi kabil değil ve lisan-ı nahvî olan lisan-ı Arabî yerinde Kur’an’ın meziyetlerini ve nüktelerini başka lisan muhafaza edemez ve her bir harfi, on adetten bine kadar sevap veren kelimat-ı Kur’aniyenin mu’cizane ve cem’iyetli tabirleri yerinde, beşerin âdi ve cüz’î tercümeleri tutamaz, onun yerinde camilerde okunmaz diye Risale-i Nur, her tarafta intişarıyla o dehşetli planı akîm bıraktı. Fakat o zındıktan ders alan münafıklar, yine şeytan hesabına Kur’an güneşini üflemekle söndürmeye, aptal çocuklar gibi ahmakane ve divanecesine çalışmaları hikmetiyle, bana gayet sıkı ve sıkıcı ve sıkıntılı bir halette bu Onuncu Mesele yazdırıldı tahmin ediyorum. Başkalarla görüşemediğim için hakikat-i hali bilemiyorum.
İKİNCİ HÂŞİYE
Denizli Hapsinden tahliyemizden sonra meşhur Şehir Otelinin yüksek katında oturmuştum. Karşımda güzel bahçelerde kesretli kavak ağaçları birer halka-i zikir tarzında gayet latîf, tatlı bir surette hem kendileri hem dalları hem yaprakları, havanın dokunmasıyla cezbekârane ve cazibedarane hareketle raksları, kardeşlerimin müfarakatlarından ve yalnız kaldığımdan hüzünlü ve gamlı kalbime ilişti. Birden güz ve kış mevsimi hatıra geldi ve bana bir gaflet bastı. Ben, o kemal-i neşe ile cilvelenen o nâzenin kavaklara ve zîhayatlara o kadar acıdım ki gözlerim yaşla doldu. Kâinatın süslü perdesi altındaki ademleri, firakları ihtar ve ihsasıyla kâinat dolusu firakların, zevallerin hüzünleri başıma toplandı.
Birden hakikat-i Muhammediyenin (asm) getirdiği nur, imdada yetişti. O hadsiz hüzünleri ve gamları, sürurlara çevirdi. Hattâ o nurun, herkes ve her ehl-i iman gibi benim hakkımda milyon feyzinden yalnız o vakitte, o vaziyete temas eden imdat ve tesellisi için Zat-ı Muhammediye’ye (asm) karşı ebediyen minnettar oldum. Şöyle ki:
Ol nazar-ı gaflet, o mübarek nâzeninleri; vazifesiz, neticesiz, bir mevsimde görünüp, hareketleri neşeden değil belki güya ademden ve firaktan titreyerek hiçliğe düştüklerini göstermekle, herkes gibi bendeki aşk-ı beka ve hubb-u mehasin ve muhabbet-i vücud ve şefkat-i cinsiye ve alâka-i hayatiyeye medar olan damarlarıma o derece dokundu ki böyle dünyayı bir manevî cehenneme ve aklı bir tazip âletine çevirdiği sırada, Muhammed aleyhissalâtü vesselâmın beşere hediye getirdiği nur perdeyi kaldırdı; idam, adem, hiçlik, vazifesizlik, abes, firak, fânilik yerinde o kavakların her birinin yaprakları adedince hikmetleri, manaları ve Risale-i Nur’da ispat edildiği gibi üç kısma ayrılan neticeleri ve vazifeleri var, diye gösterdi:
Birinci kısım neticeleri: Sâni’-i Zülcelal’in esmasına bakar. Mesela, nasıl ki bir usta hârika bir makineyi yapsa onu takdir eden herkes o zata “Mâşâallah, bârekellah” deyip alkışlar. Öyle de o makine dahi ondan maksud neticeleri tam tamına göstermesiyle, lisan-ı haliyle ustasını tebrik eder, alkışlar. Her zîhayat ve her şey böyle bir makinedir, ustasını tebriklerle alkışlar.
İkinci kısım hikmetleri ise: Zîhayatın ve zîşuurun nazarlarına bakar. Onlara şirin bir mütalaagâh, birer kitab-ı marifet olur. Manalarını zîşuurun zihinlerinde ve suretlerini kuvve-i hâfızalarında ve elvah-ı misaliyede ve âlem-i gaybın defterlerinde daire-i vücudda bırakıp sonra âlem-i şehadeti terk eder, âlem-i gayba çekilir. Demek, surî bir vücudu bırakır, manevî ve gaybî ve ilmî çok vücudları kazanır.
Evet, madem Allah var ve ilmi ihata eder. Elbette adem, idam, hiçlik, mahv, fena; hakikat noktasında ehl-i imanın dünyasında yoktur ve kâfir münkirlerin dünyaları ademle, firakla, hiçlikle, fânilikle doludur. İşte bu hakikati, umumun lisanında gezen bu gelen darb-ı mesel ders verip der: “Kimin için Allah var, ona her şey var ve kimin için yoksa her şey ona yoktur, hiçtir.”
Elhasıl, nasıl ki iman, ölüm vaktinde insanı idam-ı ebedîden kurtarıyor; öyle de herkesin hususi dünyasını dahi idamdan ve hiçlik karanlıklarından kurtarıyor. Ve küfür ise hususan küfr-ü mutlak olsa hem o insanı hem hususi dünyasını ölümle idam edip manevî cehennem zulmetlerine atar. Hayatının lezzetlerini acı zehirlere çevirir. Hayat-ı dünyeviyeyi âhiretine tercih edenlerin kulakları çınlasın. Gelsinler, buna ya bir çare bulsunlar veya imana girsinler. Bu dehşetli hasarattan kurtulsunlar.
سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
Duanıza çok muhtaç ve size çok müştak kardeşiniz
Said Nursî
- ↑ *Katika risalah ini ditulis. Sekarang sudah lebih dari 1400 tahun.
- ↑ *Huruf mahmûsah (beraspirasi) maksudnya huruf yang titik artikulasinya sukar untuk menjadi sandaran. Ia terkumpul dalam kalimat , setengahnya berupa huruf. Dari huruf majhûrah (yang bersuara jelas) juga setengahnya di mana ia terkumpul pada kalimat. Lalu dari dela- pan huruf syadîdah (yang keras) yang terkumpul dalam kalimat disebut- kan empat di antaranya dan seterusnya… (Tafsir al-Baidhâwi).
- ↑ *Tanwin juga termasuk nûn (ن)—Penulis.
- ↑ *Gaya bahasa ini telah memakai perhiasan makna surah tersebut—Penulis.
- ↑ *Dalam ungkapan di atas terdapat isyarat tentang topik pembahasan kelima surah tersebut—Penulis.
- ↑ *Maksudnya, setiap kata dari ayat al-Qur’an tersebut menyiratkan teguran dalam bentuk pertanyaan—Peny.
- ↑ *Untuk zakat tanaman yang tidak mengeluarkan biaya—Peny.
- ↑ *Untuk zakat emas atau uang kertas—Peny.
- ↑ *“Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf” (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi). Dalam riwayat lain disebutkan, “Setiap huruf darinya memiliki sisi lahir dan batin, serta setiap huruf memiliki batas dan setiap batas memiliki tangga”.
- ↑ *Ada pepatah yang berbunyi, “Pembicaraan memiliki sejumlah dahan.” Maksud- nya, sejumlah maksud dan tujuan. Ada pula yang mengatakan bahwa maksudnya adalah sebagian masuk kepada sebagian yang lain. Yakni, cabangnya saling terkait.
- ↑ *Bahkan konsultasi di seputar ilmu al-Qur’an (Tafsir al-Adnawi) mencapai seratus dua puluh jilid. Ia ditulis selama dua belas tahun oleh Muhammad ibn Ali ibn Ahmad yang wafat tahun 388 H (Kasyf az-Zhunûn 1/441).
- ↑ *Penyifatan surah dalam al-Qur’an dengan istilah “surah kecil” telah disebutkan oleh generasi salaf. Diriwayatkan dari Amr ibn Syu`aib, dari ayahnya, dari kakeknya, “Tak satupun surah kecil maupun besar dari al-Qur’an, kecuali aku pernah mendengar Rasulul- lah x membacanya saat mengimami jama’ah dalam salat fardhu”. (HR. Abu Daud dalam bab Salat 814, at-Thabrâni dalam al-Mu’jam al-Kabîr 12/365).
- ↑ *Ayat-ayat itu memberitakan hal gaib. Ia telah dijelaskan dalam banyak buku tafsir. Ia tidak dijelaskan di sini karena penulis ingin mencetaknya dengan huruf lama (aksara Arab) sehingga terburu-buru dalam penulisannya. Untuk itu, khazanah yang berharga tersebut masih tertutup—Penulis.
- ↑ *Paragraf ini merupakan bagian dari dakwaan yang pernah diadukan ke Penga- dilan Tingkat Kasasi dan membuat mereka terdiam ketika dikemukakan. Di sini ia men- jadi catatan kaki. Aku berkata kepada pihak Pengadilan Tingkat Banding (Pengadilan Tinggi) bahwa, “Menghukum orang yang menafsirkan undang-undang ilahi secara benar di mana undang-undang tersebut menjadi pegangan 350 juta umat Islam pada setiap masa di dalam kehidupan sosial mereka selama kurang lebih 1350 tahun. Selain itu, mufassir tersebut dalam menafsirkannya telah bersandar pada apa yang telah disepakati oleh 350 ribu mufassir serta berpegang pada akidah para pendahulu kita selama 1350 tahun. Kute- gaskan bahwa menghukum mufassir tadi merupakan sebuah keputusan yang zalim dan harus ditolak oleh keadilan, jika keadilan itu memang masih ada di muka bumi.” (Penulis).
- ↑ *Dengan sangat tegas, “Cahaya Kedua Puluh Empat” menjelaskan bahwa hijab merupakan fitrah wanita. Sebaliknya, melepas hijab bertentangan dengan fitrah terse- but—Penulis.
- ↑ *Yaitu dua belas risalah yang terdapat dalam buku al-Matsnawi an-Nûri.
- ↑ *Lihat: al-Alûsî, Rûh al-Ma`ânî 18/16.
- ↑ *Dalam Tafsir Rûh al-Ma’ânî karya al-Alusi (14/15) disebutkan, “Kalau kata ganti- nya kembali kepada Nabi x seperti yang disebutkan oleh Abu al-Baqa dari sebagian me- reka, maka ia berarti ‘beliau mendengar kalam kami dan melihat Dzat Kami’. Al-Jalbi ber- kata, “Maknanya bahwa hamba yang Kuberi penghormatan semacam itu memang layak atasnya. Sebab, beliau mendengar semua perintah dan larangan-Ku sekaligus mengamal- kannya. Beliau juga melihat dengan pandangan ibrah terhadap makhluk-Ku sehingga dapat mengambil pelajaran. Atau, beliau melihat tanda-tanda kekuasaan yang Kuperlihat- kan padanya”. Lihat juga Hâsyiyah al-Qanawi `alâ Tafsir al-Baidhâwi (4/224).
- ↑ * Denizli Hapsinin meyvesine Onuncu Mesele olarak Emirdağı’nın ve bu ramazan-ı şerifin nurlu bir küçük çiçeğidir. Tekrarat-ı Kur’aniyenin bir hikmetini beyanla ehl-i dalaletin ufunetli ve zehirli evhamlarını izale eder.