SURAT KETIGA BELAS

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    10.32, 5 Ocak 2025 tarihinde Ferhat (mesaj | katkılar) tarafından oluşturulmuş 200655 numaralı sürüm ("'''Jawaban:'''Dalam hal ini aku terikat oleh takdir bukan terikat oleh pihak penguasa. Karena itu, aku serahkan kepada takdir. Aku pergi dari sini saat takdir mengizinkan dan saat rezeki di sini telah habis." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    (fark) ← Önceki sürüm | Güncel sürüm (fark) | Sonraki sürüm → (fark)
    Diğer diller:

    Semoga keselamatan dilimpahkan kepada mereka yang mengikuti petunjuk.

    Dan kecelakaan ditimpakan kepada mereka

    yang menuruti hawa nafsu.

    Saudara-saudaraku yang mulia!

    Kalian sering menanyakan kondisiku, mengapa aku tidak mendatangi pemerintah untuk mendapatkan surat putusan bebas, serta mengapa aku tidak peduli dengan kondisi dunia perpolitikan. Karena pertanyaan di atas sering berulang, di samping ia ditanyakan padaku secara maknawi, maka aku harus menjawab tiga pertanyaan tersebut lewat lisan “Said Lama”; bukan dengan lisan “Said Baru.”

    Pertanyaan Pertama:

    Bagaimana kabarmu? Apakah engkau baik-baik saja?

    Jawaban:Alhamdulillah. Segala puji yang tak terkira bagi Allah yang Maha Pengasih. Dia telah membalik berbagai jenis kezaliman dan kesulitan yang diberikan oleh pihak penguasa padaku menjadi karunia dan rahmat. Penjelasannya sebagai berikut:

    Ketika aku mengasingkan diri (berkhalwat) di gua sebuah gunung, saat aku telah memisahkan diri dari politik dan menjauh dari dunia dengan menyibukkan diri dengan urusan akhirat, pihak penguasa mengeluarkan diriku dari sana serta mengasingkanku secara sangat zalim. Namun Sang Pencipta Yang Maha Penyayang dan Mahabijak menjadikan pengasingan tersebut sebagai rahmat bagiku. Pasalnya, Dia mengubah kondisi menyepi di gunung yang berpotensi merusak keikhlasan dan keselamatan kepada khalwat di gunung Barla yang diliputi oleh rasa aman, tenang, dan ikhlas.Saat menjadi tawanan di Rusia, aku sudah bertekad dan berharap kepada Allah agar di akhir-akhir hidupku bisa mengasingkan diri di gua. Maka, Tuhan Yang Maha Penyayang menjadikan Barla sebagai gua sekaligus memudahkan diriku untuk mengambil manfaat darinya serta tidak membebani pundakku dengan berbagai kesulitan yang terdapat di gua.

    Hanya saja, ada sedikit masalah akibat ilusi dan anggapan sejumlah orang yang merupakan sahabat-sahabatku. Akibatnya, aku terzalimi. Mereka mengira sedang melakukan sesuatu untuk kepentinganku. Namun kenyataannya, mereka telah membuatku resah dan terganggu dalam berkhidmah pada al-Qur’an.

    Meskipun pihak penguasa telah memberikan jaminan, untuk bisa kembali, kepada mereka yang diasingkan serta membebaskan orang-orang yang bersalah dari penjara, namun dengan tidak adil aku tidak mendapatkan pembebasan tersebut. Hanya saja Rabb Yang Maha Penyayang ingin agar aku tetap berada dalam pengasi- ngan, agar bisa terus berkhidmah pada al-Qur’an dan menuliskan cahaya-cahaya al-Qur’an yang kusebut dengan al-Kalimât lebih banyak lagi. Dia membuatku tetap berada dalam pengasingan tanpa dihiasi kebisingan dan gangguan. Sehingga hal itu menjadi rahmat bagiku.

    Meskipun pihak penguasa membolehkan kalangan yang memi- liki pengaruh, para syekh, dan pimpinan kabilah yang bisa ikut campur dalam dunia mereka berada di kecamatan dan kota-kota besar serta membolehkan para karib kerabat dan semua kenalan untuk mengunjungi mereka, namun pihak penguasa dengan zalim tetap mengisolasi diriku dan mengirimku ke sebuah desa kecil. Mereka tidak membolehkan karib kerabatku dan orang-orang kampungku—kecuali satu atau dua orang—untuk mengunjungiku. Hanya saja, Sang Pencipta Yang Maha Penyayang mengubah isolasi ini menjadi rahmat yang berlimpah untukku. Pasalnya, Dia menjadikan isolasi tersebut sebagai sarana yang membersihkan pikiranku dari berbagai urusan yang tidak penting sekaligus mengarahkannya untuk menerima limpahan dari al-Qur’an al-Hakim secara bersih dan murni.

    Selanjutnya, pihak penguasa awalnya tidak senang ketika aku menulis satu atau dua surat dalam jangka waktu dua tahun. Bahkan sampai sekarang mereka tidak senang ketika ada satu atau dua orang tamu datang mengunjungiku sekali dalam sepuluh hari, dua puluh hari, atau dalam sebulan, padahal tujuan mereka hanya untuk urusan ukhrawi semata. Pihak penguasa betul-betul menzalimiku. Hanya saja, Sang Pencipta Yang Maha Penyayang dan Mahabijak mengubah kezaliman mereka menjadi rahmat untukku. Sebab, aku bisa berkhal- wat dan beruzlah selama tiga bulan yang di dalamnya seorang hamba dapat memperoleh 90 tahun kehidupan maknawi.

    Segala puji bagi Allah atas setiap kondisi yang ada.

    Inilah keadaanku dan kondisi kesehatanku.

    Pertanyaan Kedua:

    Mengapa engkau tidak mendatangi pemerintah untuk mendapatkan sertifikat (surat putusan bebas)?

    Jawaban:Dalam hal ini aku terikat oleh takdir bukan terikat oleh pihak penguasa. Karena itu, aku serahkan kepada takdir. Aku pergi dari sini saat takdir mengizinkan dan saat rezeki di sini telah habis.

    Hakikat dari ungkapan di atas adalah bahwa segala yang menimpa manusia mengandung dua sebab, yaitu sebab lahiriah dan sebab hakiki.Pihak penguasa menjadi sebab lahiriah dan membawaku ke tempat ini. Adapun takdir Ilahi merupakan sebab hakiki. Dia yang menetapkanku untuk beruzlah seperti ini. “Sebab lahiriah” telah ber- buat zalim, sementara “sebab hakiki” berbuat adil. Pihak penguasa berpikir seperti ini: “Orang ini berlebihan dalam mengabdi pada ilmu dan agama. Bisa jadi ia ikut campur dalam urusan dunia kita.” Dengan kemungkinan tersebut, mereka menga- singkan diriku. Mereka benar-benar berbuat zalim kepadaku lewat tiga sisi.Adapun takdir Ilahi melihat diriku belum mengabdi pada ilmu dan agama dengan tulus. Karena itu, ia menghukumku dengan cara diasingkan. Dia mengubah kezaliman mereka yang berlebihan dengan rahmat yang berlipat ganda.

    Selama takdir yang menjadi penentu bagi pengasingan diriku, sementara takdir pasti adil, maka kukembalikan kepadanya dan kuserahkan diriku padanya. Sementara sebab lahiriah hanyalah argumen dan alasan yang tidak berharga. Artinya, mendatangi pihak penguasa sama sekali tidak berguna. Andai mereka memiliki hak atau sebab yang kuat, tentu mereka layak untuk didatangi.

    Aku sudah meninggalkan dunia mereka. Pada saat aku meninggalkan politik mereka secara total, maka segala keraguan dan dugaan mereka menjadi tidak berdasar. Karena itu, aku tidak ingin dugaan dan keragu-raguan mereka menjadi kenyataan dengan mendatangi mereka. Andaikan aku memiliki keinginan untuk ikut serta dalam politik keduniaan mereka yang kendalinya berada di tangan kaum asing, tentu hal itu akan diketahui dalam 8 jam; bukan 8 tahun. Apalagi aku tidak punya keinginan membaca satu koran pun dan tidak membacanya selama 8 tahun. Sejak 4 tahun yang lalu aku ber- ada di sini di bawah pengawasan, namun tidak ada satupun indikasi dariku yang mengarah kepadanya.

    Artinya, pengabdian kepada al- Qur’an merupakan pekerjaan mulia dan luhur yang mengungguli semua bentuk politik. Hal inilah yang membuatku tidak mau ikut masuk ke dalam dunia politik yang didominasi oleh kebohongan.

    Sebab kedua mengapa aku tidak mendatangi mereka adalah bahwa sikap merasa benar dan memiliki hak di hadapan orang yang menganggap kebatilan sebagai sebuah kebenaran adalah satu bentuk kebatilan. Karena itu, aku tidak mau melakukan ketidakadilan seperti itu.

    Pertanyaan Ketiga:

    Mengapa sejauh ini engkau tidak memiliki perhatian kepada kondisi politik dunia saat ini. Engkau sama sekali tidak mengubah sikap dalam melihat berbagai peristiwa yang terjadi di dunia. Apakah engkau merasa senang dengannya? Atau engkau merasa takut sehingga hanya bisa diam?

    Jawaban:Pengabdian diri kepada al-Qur’an itulah yang membuatku tidak masuk ke dalam dunia politik. Ia telah membuatku lupa bahkan untuk sekadar memikirkannya. Jika bukan karena itu, seluruh perjalanan hidupku menjadi saksi betapa rasa takut tidak pernah membelenggu dan mencegah diriku untuk terus meniti jalan yang kuanggap benar.

    Lalu apa yang harus kutakuti? Tidak ada relasi antara diriku dengan dunia kecuali ajal. Sebab, aku tidak memiliki keluarga dan anak yang harus kupikirkan. Aku juga tidak memiliki harta serta sama sekali tidak pernah memikirkan kemuliaan keturunan dan nasabku. Semoga Allah merahmati orang yang berusaha menghancurkan reputasi sosial yang merupakan riya dan popularitas palsu. Yang tersisa hanya ajalku. Dan ia berada di tangan Sang Pencipta yang Mahaagung semata. Adakah yang berani campur tangan sebelum saatnya tiba?! Tentu saja kami memilih mati mulia daripada hidup hina. Ada yang berujar seperti “Said Lama”:

    Kami adalah kaum yang tidak mau mengekor, Kami jadi pemimpin untuk semua, atau mati dalam kubur.(*[1])

    Jadi, pengabdian kepada al-Qur’an membuatku tidak sempat memikirkan kehidupan sosial politik yang ada.

    Hal itu karena kehidupan manusia hanyalah sebuah perjalanan. Dengan cahaya al- Qur’an, aku melihat pada masa sekarang bahwa jalan tersebut mengarah pada kubangan. Umat manusia dalam perjalanannya jatuh tergelincir, lalu ketika bangkit jatuh lagi hingga akhirnya masuk ke dalam lumpur yang kotor dan busuk. Namun sebagian darinya berlalu di jalan yang aman. Sebagian lagi menemukan sejumlah cara untuk selamat dari lumpur dan kubangan tadi. Lalu sebagian lagi, yang merupakan mayoritas, me- lewati jalan yang gelap gulita di kubangan yang penuh lumpur dan kotor itu. Dua puluh persen dari mereka melumuri wajah dan mata mere- ka dengan lumpur kotor tersebut karena mengira minyak kesturi lan- taran sedang mabuk. Kadangkala mereka bangkit dan kadangkala jatuh. Begitulah mereka berlalu sampai akhirnya tenggelam.Adapun delapan puluh persen lainnya mengetahui hakikat dari kubangan tersebut. Mereka menyadari kalau itu busuk dan kotor. Hanya saja, mereka bingung tak mampu melihat jalan yang aman.

    Demikianlah, terdapat dua solusi untuk mereka:

    Pertama, menyadarkan dua puluh persen di atas yang sedang mabuk dengan pentungan.

    Kedua, memperlihatkan jalan yang aman dan selamat kepada orang-orang yang sedang bingung itu dengan memberikan cahaya kepada mereka (yakni dengan bimbingan).

    Dalam pandanganku, delapan puluh persen itu memegang pentungan untuk menghadapi yang dua puluh persen. Sementara delapan puluh persen yang bingung itu masih dalam kondisi belum diperlihatkan cahaya dengan benar. Bahkan kalaupun sudah melihatnya, karena memegang pentungan dan cahaya secara bersamaan, mereka tetap tidak akan dipercaya. Orang-orang yang bingung itu berpikir, “Akankah orang ini menjebakku dengan cahaya untuk kemudian memukulku dengan pentungan?” Lalu terkadang ketika pentungannya telah rusak, cahayanya lama-kelamaan akan padam.

    Demikianlah, kubangan yang dimaksud adalah kehidupan sosial manusia yang terkena polusi, alpa, dan terlumuri kesesatan. Se- mentara orang-orang yang mabuk adalah para pembangkang yang terus menikmati kesesatannya. Lalu kalangan yang bingung adalah yang tidak menyukai kesesatan, namun tidak mampu keluar darinya. Mereka ingin selamat, tetapi tidak menemukan jalan. Mereka berada dalam kondisi bingung.Selanjutnya, yang dimaksud dengan pentungan adalah aliran politik, dan yang dimaksud dengan cahaya adalah hakikat al-Qur’an. Cahaya tidak bisa dilawan dan dihadapi dengan sikap permusuhan. Tidak ada yang lari dari cahaya, kecuali setan yang terkutuk.

    Karena itu, demi menjaga cahaya al-Qur’an, aku berkata: “Aku berlindung kepada Allah dari setan dan politik”, seraya membuang pentungan politik dan memegang cahaya tersebut de- ngan kedua tanganku.Aku juga melihat bahwa pada semua aliran politik—baik koalisi maupun oposisi—terdapat banyak orang yang merindukan cahaya tersebut. Pelajaran al-Qur’an yang disampaikan secara bersih dari pemikiran politik dan berbagai kepentingan, serta yang membimbing dari tempat paling tinggi dan mulia, maka semua pasti bisa menerima dan tidak meragukan. Kecuali mereka yang menganggap keku- furan sebagai sebuah politik sehingga cenderung kepadanya. Mereka adalah setan berwujud manusia, atau binatang dalam bentuk orang.

    Segala puji bagi Allah, karena meninggalkan politik, aku tetap bisa menjaga nilai hakikat al-Qur’an yang lebih berharga daripada permata. Aku juga tidak memposisikannya serendah serpihan kaca dengan propaganda politik. Bahkan seiring perjalanan waktu, nilai dari permata al-Qur’an itu semakin bertambah serta semakin berkilau di mata setiap kelompok manusia.

    Mereka berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. Kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang para utusan Tuhan Kami membawa kebenaran.”

    Yang kekal, hanyalah Dzat Yang Mahakekal.

    Said Nursî


    SURAT KEDUA BELAS ⇐ | Al-Maktûbât | ⇒ SURAT KEEMPAT BELAS

    1. * Karya Abu Firas al-Hamadani.