SURAT KEDUA PULUH EMPAT

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    11.41, 21 Ocak 2025 tarihinde Ferhat (mesaj | katkılar) tarafından oluşturulmuş 208287 numaralı sürüm ("Wahai manusia yang fana! Jika engkau ingin mengubah hakikatmu yang ibarat benih kecil menjadi sebuah pohon abadi yang berbuah, serta ingin mendapatkan sepuluh tingkatan buah sebagaimana yang dijelaskan dalam lima petunjuk dan sepuluh jenis tujuan, maka milikilah iman yang hakiki. Jika tidak, engkau tidak akan mendapatkan seluruh tujuan dan buah tersebut. Selain itu, engkau akan menjadi rusak dalam benih kecil itu." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    Diğer diller:

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

    “Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.”(QS. Ibrâhîm [14]: 27).“Dia memutuskan apa yang Dia inginkan.” (QS. al-Mâidah [5]: 1).

    Pertanyaan:Bagaimana didikan yang penuh kasih sayang sebagai konsekuensi dari nama Allah ar-Rahîm, pengaturan yang sesuai dengan sejumlah maslahat sebagai konsekuensi dari nama Allah al- Hakîm, kelembutan yang penuh cinta sebagai konsekuensi dari nama Allah al-Wadud, sejalan dengan sesuatu yang menakutkan seperti kematian, ketiadaan, kepergian, perpisahan, musibah, dan kesulitan? Anggaplah apa yang dialami oleh manusia di jalan kematian sebagai sesuatu yang baik karena menuju kebahagiaan abadi, akan tetapi kasih sayang seperti apa yang tampak, hikmah dan maslahat seperti apa yang terlihat, kelembutan seperti apa yang terdapat dalam proses memfanakan pohon, tumbuhan, bunga yang indah, lembut dan hidup; hewan yang layak eksis yang mencintai kehidupan dan ingin abadi tanpa pengecualian serta dalam proses pelenyapan- nya tanpa penundaan satupun darinya? Juga proses mempekerjakan mereka dalam kesulitan, transformasinya lewat sejumlah ujian tanpa membiarkan satupun dari mereka untuk merasa lapang? Serta proses mematikannya tanpa jeda dan tanpa memberikan kesempatan untuk tinggal sebentar serta tanpa rida dari mereka?

    Jawaban: Untuk bisa menjawab pertanyaan di atas, kami berusaha melihat hakikat agung tersebut dari jauh, sebab ia merupakan hakikat yang sangat luas, dalam, dan tinggi agar ia dapat disaksikan dengan jelas. Kami akan menerangkan faktor penyebabnya dalam lima ram- bu dan kami akan menjelaskan berbagai tujuan serta manfaatnya dalam lima petunjuk.

    KEDUDUKAN PERTAMA

    (terdiri dari lima rambu)

    Rambu Pertama

    Kami telah menjelaskan dalam penutup ‘Kalimat Kedua Pu- luh Enam’ bahwa seorang desainer yang mahir mempekerjakan seorang miskin dengan upah yang layak. Orang tersebut ditugaskan untuk menjadi model agar sang desainer tersebut bisa menjahit sebuah pakaian yang bagus dan mewah dibalut perhiasan paling indah. Tujuannya untuk memperlihatkan kemahiran dan kreasinya. Ia pun memotong, menggunting, memendekkan, dan memanjangkan pakaian tersebut di tubuh orang tadi. Desainer tersebut menyuruhnya duduk, berdiri, serta menyuruhnya dalam berbagai posisi. Nah, layakkah orang itu berkata kepada sang desainer, “Mengapa engkau mengubah pakaian yang telah membuatku tampil indah ini? Mengapa engkau menggantinya? Mengapa engkau menyuruhku duduk dan berdiri sehingga membuatku penat?!

    Demikian pula Sang Pencipta Yang Mahaagung. Dia menjadi- kan esensi setiap jenis entitas sebagai standar dan model. Dia memakaikan pakaian berhias indra kepada segala sesuatu terutama makhluk hidup, lalu mengukirnya dengan sejumlah ukiran pena qa- dha dan qadar serta memperlihatkan sejumlah manifestasi nama-nama-Nya guna menampakkan kesempurnaan kreasi-Nya lewat ukiran nama-nama-Nya. Selain itu, Dia juga memberi kepada setiap entitas sebuah kesempurnaan, kenikmatan, dan limpahan karunia sebagai upah yang sesuai.

    Layakkah makhluk menggugat Sang Pencipta Yang Mahaagung, di mana Dia Sang Pemilik kerajaan; yang berhak melakukan apa saja di kerajaan-Nya, dengan berkata, “Mengapa Engkau membuatku penat dan mengganggu ketenanganku?” Sama sekali tidak layak.

    Makhluk tidak memiliki hak apapun terhadap Sang Wajibul wujud. Ia tidak bisa mengaku memiliki hak apapun. Namun kewajibannya adalah selalu bersyukur dan memuji-Nya karena Dia telah memberikan sejumlah tahapan wujud untuknya. Sebab, seluruh tahapan wujud yang diberikan kepada makhluk adalah kejadian yang membutuhkan sebab. Sementara tahapan wujud yang tidak Dia berikan bersifat mungkin. Sementara yang bersifat mungkin adalah tiada dan tidak terhingga. Ketiadaan tidak membutuhkan sebab. Sesuatu yang tidak terhingga dan tidak memiliki ujung, tidak memiliki sebab.

    Contoh: Mineral tidak berhak mengeluh dengan berkata, “Mengapa kami tidak menjadi tumbuhan?!” Namun kewajibannya adalah bersyukur kepada Penciptanya atas nikmat “wujud” yang diberikan kepadanya sebagai mineral.Begitu pula dengan tumbuhan. Ia tidak berhak mengeluh. Ia tidak bisa berkata, “Mengapa aku tidak menjadi binatang?!” Namun kewajibannya adalah bersyukur kepada Allah yang telah memberikan “wujud dan kehidupan” kepadanya. Hal yang sama berlaku pada binatang. Ia tidak berhak mengeluh dengan berkata, “Mengapa aku tidak menjadi manusia?” Namun ia harus mensyukuri “wujud, kehidupan, dan ruh mulia” yang diberikan oleh Allah kepadanya. Demikian seterusnya.

    Wahai manusia yang mengeluh! Engkau tidak tetap dalam kondisi tiada. Engkau telah diberi pakaian wujud dan merasakan nikmat hidup. Engkau tidak menjadi benda mati dan tidak berupa hewan. Engkau juga telah mendapat nikmat Islam. Engkau tidak berada dalam kesesatan. Serta engkau telah merasakan nikmat sehat dan keselamatan.

    Wahai orang yang kufur nikmat! Apakah sesudah penjelasan di atas engkau masih merasa memiliki hak atas Allah? Engkau masih belum bersyukur kepada Allah atas nikmat tingkatan wujud yang Dia berikan. Namun engkau mengeluhkan Allah karena tidak mendapat sejumlah nikmat berharga yang bersifat mungkin, sejumlah ketiadaan, serta sejumlah hal yang engkau tidak berhak atasnya. Engkau mengeluh dengan sikap tamak dan mengingkari nikmat-Nya.Andaikan ada seseorang yang dinaikkan ke puncak menara yang tinggi di mana menara tersebut memiliki banyak tingkat. Pada setiap tingkat ia menerima hadiah berharga, lalu ia melihat dirinya berada di puncak menara, pada kedudukan yang tinggi. Pantaskah ia tidak berterima kasih kepada si pemilik nikmat lalu menangis dan menyesal seraya berkata, “Mengapa aku tidak bisa naik ke tempat yang lebih tinggi daripada menara ini?” Kalau ini yang dilakukan tentu merupakan kesalahan besar. Betapa hal itu merupakan ketidak-warasan dan kufur nikmat. Orang gila sekalipun dapat memahaminya.

    Wahai manusia yang tamak; tidak qana’ah! Wahai orang yang boros; tidak hemat! Wahai orang yang mengeluh tanpa hak! Wahai orang yang lalai! Ketahuilah dengan pasti bahwa qana’ah adalah bentuk syukur yang menguntungkan. Sementara tamak adalah bentuk kekufuran yang merugikan. Hemat adalah bentuk penghormatan terhadap nikmat yang indah dan berguna. Sementara boros adalah sikap meremehkan nikmat, dan sikap meremehkan adalah buruk dan berbahaya. Jika engkau cerdas, biasakan dirimu untuk bersikap qana’ah serta berusahalah untuk selalu rida. Jika tidak mampu, ucapkan, “Yâ shabûr” (Wahai Yang Mahasabar). Hiasi dirimu dengan sabar.Terimalah hakmu dan jangan pernah mengeluh. Ketahuilah apa yang engkau keluhkan dan kepada siapa engkau mengeluh. Sebaiknya engkau diam saja! Jika terpaksa harus mengeluh, keluhkan dirimu kepada Allah. Sebab kekurangan ada pada dirimu.

    Rambu Kedua

    Pada penutup persoalan terakhir dari “Surat Kedelapan Belas”, kami telah menyebutkan bahwa salah satu hikmah mengapa Sang Pencipta Yang Mahaagung terus-menerus mengganti dan memperbaharui entitas dalam bentuk yang mencengangkan lewat rububiyah-Nya yang agung adalah karena aktivitas dan gerakan pada makhluk bersumber dari satu keinginan, kerinduan, kenikmatan, dan cinta.

    Sehingga bisa dikatakan bahwa setiap aktivitas memiliki satu bentuk kenikmatan. Bahkan setiap aktivitas merupakan kenikmatan itu sendiri. Kenikmatan itupun mengarah kepada sebuah kesempurnaan. Bahkan ia merupakan satu bentuk kesempurnaan.

    Karena aktivitas mengarah pada kesempurnaan, kenikmatan, dan keindahan, sementara Sang Wajibul wujud, Allah, merupakan kesempurnaan mutlak, Maha Sempurna Yang Mahaagung, Dzat yang mengumpulkan seluruh jenis kesempurnaan pada dzat, sifat, dan perbuatan-Nya, maka sudah pasti Sang Wajibul wujud memiliki kasih sayang suci tak terbatas, serta cinta murni tak terhingga yang sesuai dengan kemutlakan eksistensi dan kesucian-Nya, kemuliaan dzat dan kekayaan mutlak-Nya, serta kemurnian dzat dan kesempurnaan mutlak-Nya. Tentu saja Dia memiliki kerinduan suci tak terbatas yang bersumber dari kasih sayang dan cinta yang suci. Dia juga memiliki kegembiraan suci yang tak terkira yang bersumber dari kerinduan suci tersebut. Dia memiliki kenikmatan suci tak terkira yang bersumber dari kegembiraan suci tadi.

    Sudah pasti di samping memiliki kenikmatan suci, Dia juga memiliki keridaan suci tak terhingga dan kebanggaan suci tak terbatas yang bersumber dari rida dan kesempurnaan makhluk lewat gerak potensinya dari kekuatan menuju perbuatan saat bergerak dan menjadi sempurna melalui aktivitas qudrah-Nya dalam wilayah rahmat-Nya yang luas. Rida-Nya yang suci dan mutlak serta kebanggaan-Nya yang juga bersifat mutlak melahirkan aktivitas-Nya yang bersifat mutlak dalam bentuk yang tak terhingga. Aktivitas tak terhingga tersebut juga menuntut pergantian dan perubahan tak terhingga. Lalu pergantian dan perubahan tak terhingga itu menuntut kematian, ketiadaan, kepergian, dan perpisahan.

    Pada suatu waktu aku melihat bahwa berbagai pelajaran yang terkait dengan tujuan makhluk seperti yang ditegaskan oleh filsafat dan pengetahuan manusia adalah sesuatu yang tidak bernilai. Saat itu aku memahami bahwa filsafat tersebut mengantarkan pada kesia-siaan. Dari sini, filsuf yang tenggelam dalam dunia filsafat; entah tersesat dalam kubangan alam materi, atau menjadi sofis, atau mengingkari kehendak dan ilmu ilahi, atau menyebut Sang Pencipta sebagai al-Mûjibu bi adz-Dzât (Dzat yang mewajibkan sendiri).

    Dalam kondisi demikian, rahmat ilahi mengirim nama-Nya al-Hakîm untuk menolongku. Dia memperlihatkan berbagai tujuan makhluk yang agung. Artinya, setiap makhluk merupakan “surat rabbani” yang penuh hikmah di mana ia bisa ditelaah oleh semua makhluk yang memiliki perasaan. Tujuan ini cukup bagiku selama satu tahun.

    Lalu berbagai hal luar biasa dalam penciptaan tersingkap. Maka, tujuan pertama tidak lagi memadai. Kemudian diperlihatkan kepadaku tujuan lain yang jauh lebih agung daripada yang pertama.Yaitu bahwa tujuan makhluk yang paling penting adalah mengarah kepada Penciptanya. Dengan kata lain, makhluk memperlihatkan berbagai kesempurnaan kreasi Penciptanya, ukiran nama-na- ma-Nya, hiasan hikmah-Nya, serta hadiah rahmat-Nya di hadapan penglihatan-Nya. Ia pun menjadi cermin bagi keindahan dan kesempurnaan-Nya. Begitulah aku memahami tujuan tersebut. Hal ini untuk beberapa lama sudah cukup bagiku.

    Lalu tampak sejumlah mukjizat qudrah-Nya dan kondisi rububiyah-Nya dalam melakukan perubahan dan penggantian yang sangat cepat dalam lingkup perbuatan-Nya yang mencengangkan dalam menciptakan segala sesuatu. Sehingga tujuan tadi menjadi tidak cukup. Akupun sadar bahwa terdapat sebab dan faktor yang besar yang setara dengan tujuan agung tersebut.

    Pada saat itulah berbagai konsekuensi yang terdapat dalam rambu kedua serta sejumlah tujuan yang disebutkan dalam petunjuk yang akan datang terlihat olehku. Akupun menjadi tahu dengan yakin bahwa aktivitas qudrah- Nya di alam ini serta perjalanan segala sesuatu membawa banyak makna di mana Sang Pencipta Yang Mahabijak membuat beragam entitas menuturkan aktivitas-Nya tadi. Bahkan gerakan langit dan bumi, serta gerakan seluruh entitas merupakan untaian kata dari tuturan tersebut, serta perjalanan dan putarannya merupakan bentuk perkataan dan ucapan.

    Artinya, berbagai gerakan dan perubahan yang bersumber dari aktivitas Tuhan merupakan kalimat tasbih, serta aktivitas-Nya yang terdapat di alam adalah tuturan pasif dari alam dan berbagai spesiesnya.

    Rambu Ketiga

    Segala sesuatu tidak menuju ketiadaan dan tidak berakhir pada kefanaan. Namun ia berjalan dari wilayah qudrah menuju wilayah ilmu-Nya. Ia berpindah dari alam nyata menuju alam gaib. Ia pergi dari alam perubahan dan fana menuju alam cahaya dan abadi. Keindahan dan kesempurnaan pada sesuatu dilihat dari perspektif hakikat mengacu kepada nama-nama Ilahi serta kepada ukiran dan manifestasinya.Karena nama-nama Allah bersifat abadi dan manifestasinya bersifat kekal, sudah pasti ukirannya selalu tampil baru, indah, dan berubah. Ia tidak pergi menuju ketiadaan dan kefanaan. Akan tetapi, tampilan dan bungkusnya yang berganti. Adapun hakikat, esensi, dan identitasnya yang merupakan sumber keindahan serta wujud limpahan karunia dan kesempurnaan bersifat kekal abadi.

    Kebaikan dan keindahan pada sesuatu yang tidak bernyawa mengacu pada nama-nama Ilahi secara langsung. Jadi, kemuliaan dan pujian merupakan milik nama-Nya. Sebab, keindahan merupakan milik nama-Nya, serta cinta juga mengarah kepadanya. Pergantian cermin entitas tidak mempengaruhi nama-nama-Nya.

    Apabila sesuatu itu bernyawa, namun tidak termasuk yang berakal, maka perpisahan dan kepergiannya bukan merupakan kefanaan dan ketiadaan. Namun sesuatu yang hidup itu terbebas dari wu- jud fisiknya dan dari tugas-tugas hidup yang banyak. Ia menitipkan buah tugas yang ia dapat kepada ruhnya yang abadi. Ruh-ruhnya bersifat tetap dan permanen dengan bersandar kepada nama-nama Ilahi. Ia pergi menuju kebahagiaan yang sesuai dengannya.

    Adapun jika makhluk bernyawa itu termasuk yang berakal, mereka menuju kepada kebahagiaan abadi dan alam kekal yang berlandaskan kesempurnaan materi dan maknawi. Karena itu, perpisahan dan kepergian mereka bukan meru- pakan kematian, ketiadaan, dan perpisahan. Akan tetapi, menyatu dengan kesempurnaan. Ia adalah wisata yang menyenangkan menuju alam milik Sang Pencipta Yang Mahabijak; alam yang lebih indah dan bercahaya dari pada dunia seperti alam barzakh, alam misal, serta alam arwah, juga menuju kerajaan-Nya yang lain.

    Kesimpulan: selama Sang Pencipta Yang Mahaagung ada dan kekal, Sifat-sifat-Nya bersifat permanen dan nama-Nya bersifat kekal, tentu manifestasi nama-nama dan ukirannya selalu tampak baru dalam keabadian maknawi. Ia bukan penghancuran, kefanaan, ketiadaan, dan perpisahan. Pasalnya, seperti diketahui, dilihat dari sisi kemanusiaan, manusia memiliki relasi dengan sebagian besar entitas. Ia merasa bahagia dengan kebahagiaan mereka, dan merasa sakit dengan musibah yang mereka alami. Terutama dengan mereka yang hidup. Lebih khusus lagi dengan manusia, dan lebih khusus lagi orang yang ia cintai dan ia hormati. Manusia sangat sedih dengan derita yang mereka alami, dan sangat bahagia dengan kebahagiaan mereka. Bahkan manusia rela mengorbankan kebahagiaannya demi membahagiakan mereka sama seperti seorang ibu yang rela mengorbankan kebahagiaannya demi anaknya.

    Dengan cahaya al-Qur’an dan rahasia iman, setiap mukmin dapat merasakan kebahagiaan dengan kebahagiaan, keabadian dan keselamatan seluruh makhluk dari ketiadaan serta kondisi mereka yang menjadi tulisan rabbani yang berharga. Ia mendapat cahaya agung sebesar dunia. Masing-masing mendapatkan manfaat dari ca- haya tersebut sesuai dengan derajatnya.Namun jika ia orang yang sesat, di samping sakitnya sendiri, ia akan merasa sakit dengan kebinasaan dan kepergian makhluk secara lahir serta dengan derita makhluk yang bernyawa di antara mereka. Dengan kata lain, kekufurannya memenuhi dunia dengan ketiadaan lalu menuangkan ke kepalanya. Iapun pergi menuju neraka maknawi sebelum digiring menuju neraka akhirat.

    Rambu Keempat

    Seperti yang disebutkan dalam sejumlah bagian dari Risalah Nur bahwa penguasa atau raja memiliki sejumlah wilayah berbeda yang bersumber dari atribut dan gelar yang beragam, seperti sultan, khalifah, penguasa, pemimpin, serta berbagai atribut dan gelar lainnya. Allah lebih daripada itu. Nama-nama-Nya yang mulia memiliki manifestasi beragam yang tak terhingga. Keragaman makhluk bersumber dari keragaman manifestasi tersebut.

    Karena setiap pemilik seluruh keindahan dan kesempurnaan ingin menyaksikan dan mempersaksikan keindahan dan kesempurnaannya, maka beragam nama-Nya itu yang bersifat kekal abadi menuntut tampilan yang juga bersifat abadi atas nama Dzat yang suci. Dengan kata lain, beragam nama-Nya tersebut ingin melihat dan memperlihatkan manifestasi keindahannya dan pantulan kesempurnaannya dalam cermin ukirannya. Artinya, ia menuntut pembaharuan kitab alam yang besar setiap waktu. Tulisannya selalu terus diperbaharui dengan tujuan tertentu. Yakni, ia menuntut penulisan ribuan tulisan beragam dalam sebuah lembaran serta memperlihatkan setiap tulisan tersebut di hadapan pandangan Dzat-Nya yang suci di samping penghamparannya kepada penglihatan makhluk yang memiliki perasaan. Perhatikan syair berikut yang menunjukkan hakikat di atas:

    Lembaran kitab alam... jenisnya tidak terbilang Untaian huruf dan katanya...

    bagian-bagiannya tidak terbatas

    Telah ditulis di lembaran hakikat lauhil mahfudz:

    setiap entitas di alam merupakan lafal bermakna yang berwujud Perhatikan baris-baris entitas, ia adalah risalah dari Tuhan untukmu(*[1])

    تَاَمَّل۟ سُطُورَ ال۟كَائِنَاتِ فَاِنَّهَا مِنَ ال۟مَلَاِ ال۟اَع۟لٰى اِلَي۟كَ رَسَائِلُ

    Rambu Kelima:

    Penjelasan tentang Dua Nuktah

    Nuktah Pertama

    selama Allah ada, maka segala sesuatu juga ada. Karena ada relasi dengan Sang Wajibul wujud, maka segala sesuatu ada untuk semua makhluk. Lewat relasi dan penisbatan dengan Sang Wajibul wujud, setiap entitas terpaut dengan seluruh entitas melalui rahasia kesatuan. Artinya, setiap entitas yang mengetahui atau diketahui relasinya dengan Sang Wajibul wujud memiliki hubungan dengan seluruh entitas yang bernisbat kepada Wajibul wujud melalui rahasia wahdah (kesatuan-Nya). Artinya, dari titik penisbatan tersebut, segala sesuatu memperoleh cahaya wujud yang tak terbatas. Karena itu, pada titik tersebut tidak ada perpisahan dan kelenyapan. Sehingga hidup sesaatpun merupakan sumber cahaya wujud yang tak terhingga.

    Sementara bila penisbatan dengan Allah tidak ada atau tidak diketahui, maka segala sesuatu akan merasakan berbagai jenis perpisahan dan ketiadaan yang tak terhingga. Sebab, dalam kondisi tersebut sesuatu dapat lenyap dan berpisah dengan setiap entitas yang mungkin memiliki ikatan. Dengan kata lain, ia membungkus wujud dirinya dengan berbagai jenis ketiadaan dan perpisahan yang tak terhingga. Andaikan ia tetap ada selama jutaan tahun tanpa pe- nisbatan kepada Allah, maka hal itu tidak bisa menyamai kehidupan sesaat yang di dalamnya memiliki ikatan dengan-Nya.Karena itu, ahli hakikat berkata, “Sesaat dari keberadaan yang bersinar lebih baik daripada sejuta tahun keberadaan yang terputus (dari-Nya).” Artinya, sesaat dari keberadaan yang bernisbat dengan Wajibul wujud lebih utama daripada sejuta tahun keberadaan yang tidak bernisbat dengan-Nya. Karena itu, ulama hakikat berkata, “Cahaya wujud adalah mengenal Sang Wajibul wujud.” Dengan kata lain, dalam kondisi tersebut, entitas yang mendapatkkan cahaya wujud dipenuhi oleh malaikat, ruhaniyyûn (makhluk spiritual) dan makhluk yang memiliki perasaan. Sebaliknya, ketika Wajibul wujud tidak dikenal, gelapnya ketiadaan dan pedihnya perpisahan mengitari setiap entitas. Dunia dalam pandangan orang tersebut adalah tempat yang menakutkan, sunyi, dan sepi.

    Ya, sebagaimana setiap buah di pohon memiliki hubungan dengan seluruh buah yang berada di pohon tersebut serta membentuk semacam ikatan persaudaraan, pertemanan, dan hubungan kuat di antara mereka, ia juga memiliki sejumlah wujud non-esensial sebanyak buah yang ada. Akan tetapi, ketika buah itu dipetik dari pohon, perpisahan juga dialami oleh seluruh buah. Jika dibandingkan dengan buah yang dipetik, maka seluruh buah dianggap tidak ada. Sehingga ia diliputi oleh gelapnya ketiadaan yang bersifat eksternal.

    Demikian pula, setiap sesuatu memiliki segala sesuatu dilihat dari titik penisbatannya dengan qudrah Dzat Ahad shamad (Yang Mahaesa lagi Maha dibutuhkan). Apabila tidak ada penisbatan, maka berbagai bentuk ketiadaan eksternal sebanyak segala sesuatu juga menimpa segala sesuatu.

    Lewat rambu ini engkau bisa melihat keagungan cahaya iman dan melihat gelapnya kesesatan yang menakutkan. Jadi, iman adalah lambang hakikat mulia yang diterangkan dalam rambu ini. Hakikat ini tidak bisa dipetik kecuali dengan iman. Pasalnya, sebagaimana setiap sesuatu adalah tiada bagi orang buta, tuli, bisu, dan gila, demikian pula setiap sesuatu menjadi tiada dan gelap lewat ketiadaan iman.

    Nuktah Kedua

    dunia dan segala sesuatu memiliki tiga sisi:

    Sisi pertama: mengarah kepada nama-nama Ilahi. Ia merupakan cermin baginya. Kelenyapan, perpisahan, dan ketiadaan tidak memberikan pengaruh pada sisi ini. Yang ada hanyalah pembaharuan.

    Sisi kedua: mengarah kepada akhirat dan alam keabadian. Ia ibarat ladangnya. Sisi ini menghasilkan buah abadi. Sisi ini juga membantu keabadian, sebab ia mengubah yang fana menjadi kekal. Ia juga berisi manifestasi kehidupan dan keabadian; bukan kematian dan perpisahan.

    Sisi ketiga: mengarah kepada yang fana. Artinya, ia mengarah kepada kita. Ia merupakan sisi yang disenangi oleh makhluk yang fana dan penurut hawa nafsu. Ia merupakan tempat bisnis bagi kalangan yang memiliki perasaan dan merupakan medan ujian bagi para pengemban tugas. Begitulah, manifestasi keabadian dan kehidupan yang terdapat pada hakikat sisi ketiga ini menjadi balsam penyembuh luka akibat pedihnya perpisahan, kematian, dan ketiadaan di sisi dunia ini.

    Kesimpulan: Entitas yang terus mengalir dan makhluk yang terus bergilir tidak lain adalah bayangan yang bergerak dan tayangan yang terus berganti untuk memperbaharui cahaya penciptaan Sang Wajibul wujud.

    KEDUDUKAN KEDUA

    Berisi Sebuah Pendahuluan dan Lima Petunjuk

    Pendahuluan

    Pendahuluan berisi dua topik bahasan

    Bahasan Pertama

    Dalam lima petunjuk di bawah ini akan dituliskan sejumlah perumpamaan sebagai teropong kecil, halus, dan redup untuk melihat hakikat “kondisi rububiyah”. Perumpamaan tersebut tentu saja tidak dapat mengungkap hakikat kondisi rububiyah secara sempurna dan tidak bisa menjadi standar untuknya. Namun lewat teropong tersebut, ia dapat membantu seseorang untuk melihat kondisi rububiyah yang luar biasa itu.Kemudian berbagai ungkapan yang tidak sesuai dengan kondisi Dzat Yang Mahasuci yang terdapat dalam berbagai perumpamaan yang ada serta pada rambu-rambu di atas tidak lain bersumber dari keterbatasan perumpamaan itu sendiri.

    Misalnya berbagai makna yang populer untuk istilah kenikmatan, kesenangan, dan keridaan tidak bisa menjelaskan kondisi dan sifat suci milik Allah. Ia hanyalah simbol serta teropong refleksi semata. Kemudian berbagai perumpamaan tersebut membuktikan hakikat hukum rububiyah yang menyeluruh dan agung seputar kondisi rububiyah lewat penampakan sebagian hukum itu pada sebuah contoh kecil.Misalnya, telah dijelaskan bahwa bunga pergi dari alam wujud. Namun ia meninggalkan ribuan jenis wujud lain, baru kemudian pergi. Dengan contoh ini hukum rububiyah yang agung memperlihatkan bahwa hukum tersebut berlaku pada seluruh musim semi sebagaimana juga berlaku pada seluruh entitas dunia.

    Ya, lewat sebuah hukum, Sang Pencipta Yang Maha Penyayang mengganti busana dan bulu burung lalu memperbaharuinya. Dengan hukum yang sama, Sang Pencipta Yang Mahabijak memperbaharui busana bola bumi setiap tahun. Dengan hukum yang sama pula, Dia mengganti bentuk seluruh alam saat kiamat terjadi.

    Dengan sebuah hukum, Allah menggerakkan partikel seperti seorang Maulawi yang berputar. Dengan hukum yang sama, Dia menggerakkan bola bumi sebagaimana seorang maulawi tertarik oleh zikir. Bahkan dengan hukum itu pula, Dia menggerakkan alam dan mengatur sistem tata surya.

    Dengan sebuah hukum, Allah memperbaharui dan mengem- bangkan sel-sel tubuh. Dengan hukum yang sama, Dia memperbaharui kebunmu berkali-kali pada setiap tahun dan setiap musim. Dengan hukum yang sama pula, Dia memperbaharui permukaan bumi pada setiap musim semi serta menghamparkannya dalam kondisi baru.

    Dengan sebuah hukum yang penuh hikmah, Sang Pencipta Yang Mahakuasa menghidupkan seekor lalat. Dengan hukum yang sama, Dia menghidupkan pohon sycamore di depan kita ini pada setiap musim semi. Dengan hukum itu pula, Dia menghidupkan bumi pada musim semi serta menghidupkan seluruh makhluk di hari kebangkitan. Al-Qur’an menjelaskan hal ini dengan firman-Nya: “Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam kubur) melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa.” (QS. Luqmân [31]: 28). Hal ini berlaku pula untuk yang lain.

    Terdapat banyak sekali hukum rububiyah seperti itu yang berlaku mulai dari partikel hingga keseluruhan alam. Perhatikan keagungan hukum-hukum yang dikandung oleh aktivitas rububiyah-Nya serta renungkan jangkauannya yang luas, lalu lihat rahasia wahdah (kesatuan) di dalamnya. Perlu diketahui bahwa setiap hukum merupakan bukti tauhid.Ya, setiap hukum dari sekian hukum yang sangat banyak itu, karena pada waktu bersamaan merupakan satu hukum yang mencakup alam wujud, maka ia menegaskan keesaan Sang pencipta Yang Mahamulia berikut pengetahuan dan kehendak-Nya. Di samping itu, ia adalah salah satu bentuk manifestasi pengetahuan dan kehendak tersebut.

    Begitulah berbagai perumpamaan yang terdapat pada sebagian besar bahasan “al-Kalimât” menjelaskan satu sisi dan bagian dari contoh hukum tersebut dalam sebuah misal parsial. Dengan demikian, ia menunjukkan keberadaan hukum yang sama pada apa yang dinyatakan. Selama perumpamaan yang ada menjelaskan realitas hukum, berarti ia juga menguatkan pernyataan yang ada sebagai sebuah bukti logis. Artinya, sebagian besar perumpamaan yang terdapat dalam “al-Kalimât,” masing-masing berposisi seperti argumen dan bukti yang kuat.

    Bahasan Kedua

    Dalam ‘hakikat kesepuluh’ dari “Kalimat Kesepuluh” disebutkan bahwa setiap buah dan setiap bunga yang terdapat di sebuah pohon memiliki tujuan dan hikmah sebanyak buah dan bunganya. Hikmah tersebut terdiri dari tiga bagian:Satu bagian mengarah kepada Sang Pencipta. Ia memperlihatkan ukiran nama-nama-Nya. Bagian yang lain mengarah kepada makhluk yang memiliki perasaan. Seluruh entitas dalam pandangan mereka adalah pesan bernilai serta untaian kata yang bermakna. Bagian terakhir mengarah kepada dirinya sendiri, kepada hidup dan kekekalannya. Ia memiliki hikmah sesuai dengan manfaat yang didapat manusia, jika memang memberi manfaat.

    Ketika aku menelaah tujuan yang banyak dari makhluk, alinea berbahasa Arab berikut ini terlintas dalam benakku. Kutuliskan ia dalam bentuk catatan berdasarkan lima petunjuk yang ada:

    Makhluk yang terlihat jelas ini merupakan tayangan yang bergerak dan bayangan yang berjalan untuk memperbaharui manifestasi cahaya penciptaan Allah lewat perubahan bentuk yang bersifat relatif:

    Pertama:dengan tetap terpeliharanya berbagai esensi indah dan identitas imajinernya.

    Kedua:dengan tetap dihasilkannya berbagai hakikat gaib dan salinannya.

    Ketiga:dengan tetap disebarkannya buah ukhrawi dan pemandangan abadi.

    Keempat:dengan tetap diungkapkannya tasbih rabbani dan konsekuensi nama-Nya.

    Kelima:dengan tetap terlihatnya berbagai atribut suci Tuhan dan pentas ilmu-Nya.

    Pada lima alinea di atas terdapat dasar-dasar petunjuk berikut yang akan menjadi bahasan kita. Ya, setiap entitas, terutama makhluk hidup, memiliki lima tingkatan hikmah dan tujuan yang berbeda. Sebagaimana pohon yang berbuah menghasilkan buah melalui dahan-dahannya, demikian pula setiap makhluk hidup memiliki tujuan dan hikmah yang berbeda-beda dalam lima tingkatan.

    Wahai manusia yang fana! Jika engkau ingin mengubah hakikatmu yang ibarat benih kecil menjadi sebuah pohon abadi yang berbuah, serta ingin mendapatkan sepuluh tingkatan buah sebagaimana yang dijelaskan dalam lima petunjuk dan sepuluh jenis tujuan, maka milikilah iman yang hakiki. Jika tidak, engkau tidak akan mendapatkan seluruh tujuan dan buah tersebut. Selain itu, engkau akan menjadi rusak dalam benih kecil itu.

    Petunjuk Pertama:

    Kalimat tersebut menjelaskan bahwa meskipun setiap entitas sirna dari wujud, di mana secara lahiriah ia pergi menuju ketiadaan, namun makna yang disampaikan tetap terpelihara. Demikian pula dengan identitas maknawi, gambaran, dan substansinya terpelihara di alam misal, di lauhil mahfuzh yang merupakan prototipe dari alam misal, serta di memori ingatan yang merupakan prototipe dari lauhil mahfuzh. Artinya, entitas kehilangan wujud lahiriah, namun mendapatkan ratusan wujud maknawiyah dan ilmiah.Misalnya, huruf-huruf percetakan disusun dengan susunan tertentu dan posisi khusus agar bisa mencetak halaman tertentu. Gambaran sebuah halaman itu berikut identitasnya diberikan kepada ba- nyak lembaran yang tercetak. Makna di dalamnya disebarkan kepada banyak akal. Setelah itu, kondisi huruf-huruf tersebut berubah dan berganti karena tidak lagi dibutuhkan. Namun huruf-huruf tersebut dibutuhkan untuk mencetak sejumlah halaman lain.

    Demikianlah, pena qadar ilahi memberikan kepada entitas bumi, terutama tumbuhan, sebuah pengaturan dan kondisi tertentu. Qudrah ilahi menghadirkannya dalam lembaran musim semi serta mengungkap makna-maknanya yang indah. Karena gambaran dan identitasnya berpindah kepada catatan alam gaib seperti alam misal, maka hikmah-Nya menghendaki kondisi tersebut berubah agar lembaran baru dari musim semi yang akan datang bisa ditulis guna mengungkap sejumlah maknanya yang indah.

    Petunjuk Kedua:

    وَثَانِيًا : مَعَ اِن۟تَاجِ ال۟حَقَائِقِ ال۟غَي۟بِيَّةِ وَالنُّسُوجِ اللَّو۟حِيَّةِ

    Kalimat tersebut menunjukkan bahwa segala sesuatu, baik yang bersifat parsial maupun universal, setelah pergi dari alam wujud (terutama jika ia memiliki kehidupan), maka ia menghasilkan banyak hakikat gaib. Di samping itu, ia meninggalkan sejumlah bentuk sebanyak perjalanan hidupnya di lembaran “alam misal”. Sejarah hidupnya yang disebut dengan takdir hidup ditulis lewat sejumlah bentuk tadi dengan penuh makna. Pada waktu bersamaan, setelah pergi dari alam wujud, ia menjadi objek telaah makhluk spiritual.

    Contoh, sekuntum bunga menjadi layu dan pergi dari alam wujud. Hanya saja, ia meninggalkan ratusan benih di alam ini dan menyimpan substansinya pada benih-benih tersebut. Di samping itu, ia juga meninggalkan ribuan bentuknya yang terdapat di lauhil mahfudz kecil serta dalam daya ingat yang merupakan miniatur lauhil mahfudz. Dari sana orang yang memiliki perasaan bisa melihat dan mempelajari tasbih rabbani dan ukiran Asmaul Husna yang ia tunaikan sepanjang hayatnya. Setelah itu, ia pergi meninggalkan alam wujud.

    Demikianlah musim semi yang berhias berbagai ciptaan indah di muka bumi di mana ia menyerupai taman besar, tidak lain merupakan bunga indah yang secara lahiriah akan lenyap dan pergi menuju ketiadaan. Namun musim semi tersebut meninggalkan banyak hakikat gaib yang ia berikan sebanyak benihnya. Ia meninggalkan sejumlah identitas maknawi yang diterbarkan sebanyak bunga. Ia juga meninggalkan berbagai hikmah rabbani sebanyak entitas yang ada.Musim semi meninggalkan semua jenis wujud ini, lalu menghilang dari pandangan kita. Di samping itu, ia mengosongkan tempat untuk para koleganya dari semua entitas musim semi yang akan datang ke alam wujud guna menunaikan tugasnya. Artinya, musim semi tersebut melepaskan wujud lahiriahnya lalu memakai seribu wujud lain secara maknawi.

    Petunjuk Ketiga:

    Kalimat tersebut menjelaskan bahwa dunia merupakan ladang dan pabrik yang menghasilkan sejumlah produk yang sesuai dengan pasar akhirat.Sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam banyak “Kalimat” bahwa amal perbuatan jin dan manusia dikirim ke pasar akhirat, demikian pula entitas yang lain juga menunaikan banyak amal di dunia demi akhirat serta menghadirkan banyak hasil panenan untuknya. Bahkan bola bumi berjalan untuk amal tersebut. Bisa dikatakan bahwa perahu rabbani ini (bola bumi) menempuh perjalanan sejauh 24 ribu tahun hanya dalam setahun agar bisa berputar di sekitar mahsyar. Contoh: tentu penduduk surga ingin mengenang apa yang pernah terjadi di dunia. Mereka juga ingin berdialog seputar kenangan mereka. Bisa jadi mereka ingin melihat tayangan yang berisi kenangan dan peristiwa yang pernah mereka alami. Mereka merasa senang dengan menyaksikan semua itu sebagaimana mereka senang ketika bisa menyaksikan tayangan yang terdapat di layar bioskop.

    Jika demikian, maka surga yang merupakan negeri kenikmatan dan tempat kebahagiaan berisi sejumlah peristiwa dan pemandangan abadi untuk percakapan berbagai kejadian di dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ayat yang berbunyi:“Duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.” (QS. al-Hijr [15]: 48).

    Begitulah, kepergian entitas yang indah ini setelah sebelumnya ia tampil dalam satu waktu, serta silih-bergantinya satu dengan yang lain menjelaskan seolah-olah ia adalah perangkat pabrik untuk membentuk sejumlah pemandangan abadi.Contoh, manusia zaman sekarang mengambil gambar tempat-tempat yang menarik dan indah untuk mempersembahkan semacam bentuk keabadian dari berbagai tempat yang fana tadi dan menghadiahkannya kepada generasi sesudah mereka sebagai kenang-kenangan seperti yang terdapat di layar bioskop. Mereka memberikan sejenis keabadian kepada sesuatu yang bersifat fana. Mereka menampilkan masa lalu di masa sekarang dan masa depan.

    Demikian pula dengan berbagai entitas di musim semi yang ada di dunia ini setelah menempuh kehidupan yang singkat. Sebagaimana Sang Penciptanya Yang Mahabijak menuliskan tujuan-tujuannya yang terkait dengan alam abadi di alam ini, Dia juga menuliskan berbagai tugas hidup dan mukjizat subhani yang mereka tunaikan sepanjang perjalanan mereka dalam pemandangan abadi. Hal itu terwujud sesuai dengan tuntutan nama Allah, al-Hakîm (Yang Mahabijak), ar- Rahîm (Yang Maha Penyayang), dan al-Wadûd (Yang Mahakasih).

    Petunjuk Keempat:

    Kalimat tersebut menjelaskan bahwa entitas menunaikan berbagai jenis tasbih rabbani dalam perjalanan kehidupan mereka serta memperlihatkan berbagai kondisi yang sesuai dengan tuntutan nama-nama Ilahi. Contoh, nama ar-Rahîm menuntut adanya kasih sayang, nama ar-Razzâq menuntut adanya pemberian rezeki, nama al-Lathîf menuntut adanya sikap yang lembut. Demikian seterusnya. Setiap nama Ilahi memiliki konsekuensi. Setiap makhluk hidup menjelaskan apa yang dituntut dan menjadi konsekuensi dari nama-nama itu lewat kehidupan dan eksistensi mereka.

    Pada waktu yang sama, ia sendiri bertasbih menyucikan Allah Yang Mahabijak sebanyak perangkat yang dimiliki. Contoh lain, ketika manusia memakan sejumlah buah yang baik, buah tersebut akan dicerna dan terurai di perutnya lalu habis secara lahiriah. Namun sebenarnya ia sedang memberi sebuah kenikmatan dan rasa kepada setiap sel di tubuhnya, di samping kelezatan yang diberikan kepada mulut dan perutnya. Dengan demikian, ia menjadi perantara datangnya banyak hikmah seperti memberikan nutrisi ke seluruh bagian tubuh dan membuat kehidupannya terus eksis. Makanan itu sendiri naik tingkatan dari wujud nabati menuju tingkatan kehidupan manusia.

    Demikian pula saat entitas bersembunyi di balik tirai ketiadaan. Sebagai gantinya ia menjadi tasbih abadi yang sangat banyak milik setiap entitas. Ia meninggalkan banyak ukiran Ilahi dan sejumlah tun- tutannya di tangan nama-nama tersebut. Yakni, ia meninggalkannya menuju wujud yang abadi. Begitulah ia pergi. Jadi apakah kita akan berkata kepada ribuan jenis wujud―yang mendapat semacam keaba- dian―sebagai ganti dari kepergian wujud yang fana, “Kasihan sekali wujud yang temporer itu. Ia pergi begitu saja. Mengapa makhluk ini pergi?” Pantaskah mengeluh seperti itu? Namun rahmat, hikmah, dan cinta pada makhluk tersebut menuntut demikian. Jika tidak, itu artinya mengabaikan ribuan manfaat hanya untuk menangkal satu bahaya.

    Kondisi tersebut justru menghasilkan ribuan bahaya. Artinya, nama-nama Allah; ar-Rahîm, al-Hakîm, dan al-Wadûd menuntut kepergian entitas tersebut dalam tirai ketiadaan dan perpisahan.

    Petunjuk Kelima:

    Kalimat tersebut menjelaskan bahwa entitas, terutama makhluk hidup, setelah pergi dari wujud lahiriahnya, mereka meninggalkan banyak hal abadi lalu pergi. Dalam ‘rambu kedua’ kami telah menjelaskan bahwa pada kon- disi rububiyah terdapat―kalau boleh dikatakan―cinta mutlak, kasih sayang mutlak, kebanggaan mutlak, rida suci dan mutlak, kegembiraan yang suci dan mutlak, kenikmatan suci dan mutlak, kesenangan suci dan mutlak, yang sesuai dengan kesucian dan kesempurnaan Dzat Wajibul Wujud. Pasalnya, berbagai jejak dari berbagai sifat mulia tersebut terlihat jelas. Sebab, yang dituntut oleh sejumlah sifat itu adalah menggiring entitas dengan cepat dalam sebuah aktivitas yang menakjubkan dalam bentuk perubahan, pergantian, kepergian, dan kefanaan. Lalu entitas dikirim secara permanen dari alam nyata ke alam gaib. Karena itu, dalam bingkai manifestasi berbagai sifat rab- bani itu, seluruh makhluk selalu dalam kondisi berjalan dan bergerak.

    Dengan perjalanan dan pergerakan yang permanen tersebut, mereka memenuhi pendengaran kaum yang lalai dengan sejumlah ratapan perpisahan, serta memperdengarkan ke telinga kaum beriman alunan zikir dan tasbih.Atas dasar itu, setiap entitas yang pergi dari alam wujud me- ninggalkan sejumlah makna dan kondisi yang menjadi landasan keabadian untuk menampilkan sifat-sifat atau kondisi Sang Wajibul wujud yang abadi.

    Kemudian berbagai kondisi dan fase yang telah dijalani oleh entitas tersebut ia tinggalkan saat pergi dari alam wujud di wilayah wujud ilmi seperti imam mubin, kitab mubin, dan lauhil mahfuzh. Itulah wilayah yang menjadi simbol pengetahuan azali. Dengan demikian, setiap entitas yang fana meninggalkan sebuah wujud, namun memperoleh ribuan wujud abadi untuk dirinya dan yang lainnya.

    Misalnya, berbagai bahan material kasar dimasukkan ke mesin pabrik yang besar. Maka, secara lahiriah bahan itupun terbakar dan hancur. Akan tetapi, dari sana berbagai bahan kimia yang bernilai serta obat-obatan penting mengalir di pipa pabrik. Di samping itu, tenaga uapnya berhasil menggerakkan roda pabrik sehingga meng- hasilkan kain, percetakan buku, produksi gula, dan seterusnya. Dengan kata lain, terbakarnya bahan kasar tadi dan kepergiannya secara lahiriah, membuat ribuan hal mendapatkan busana wujud.Artinya, wujud yang kasar dan biasa tadi pergi dan mengalami kefanaan. Akan tetapi, ia melahirkan berbagai jenis wujud yang mulia. Jika demikian, layakkah kita mengatakan, “Sungguh kasihan bahan kasar itu!” Pantaskah kita mengeluh dengan berkata, “Mengapa pemilik pabrik itu tega membakarnya?”

    Demikian halnya dengan Sang Pencipta Yang Mahabijak, Maha Penyayang, dan Mahakasih―tanpa ada maksud menyerupakan Dia dengan apa dan siapa pun―menyalakan pabrik alam dengan men- jadikan setiap entitas yang fana sebagai benih bagi berbagai spesies abadi, serta sebagai orbit untuk memperlihatkan berbagai tujuan rabbani. Dengan itu, Dia memperlihatkan berbagai sifat-sifat dan kondisi-Nya yang suci seraya menjadikannya sebagai tinta bagi pena qadar-Nya dan kumparan bagi tenunan qudrah-Nya. Lewat qudrah- Nya, Allah menggiring seluruh entitas untuk menunaikan tugas dan aktivitasnya demi berbagai tujuan mulia yang tidak kita ketahui. Dia menggiring seluruh entitas hingga menjadikan partikel bergerak, entitas berjalan, hewan mengalir, dan planet berputar. Aktivitas tersebut menjadikan alam berbicara serta membacakan dan mendiktekan ayat-ayat penciptaan-Nya tanpa suara. Hal itu sesuai dengan tuntutan rahmat, hikmah, dan kasih-Nya. Dari segi rububiyah, Allah menjadikan makhluk bumi sebagai arasy bagi-Nya di mana Dia menjadikan udara sebagai sejenis arasy bagi perintah dan kehendak-Nya, unsur cahaya sebagai arasy yang lain bagi ilmu dan hikmah-Nya, air sebagai arasy bagi kebaikan dan rahmat-Nya, tanah sejenis arasy bagi pemeliharaan dan pemberian kehidupan. Dia menjalankan tiga arasy itu berada di atas makhluk bumi.

    Ketahuilah bahwa hakikat mulia yang dijelaskan dalam lima rambu dan lima petunjuk ini hanya dapat disaksikan lewat cahaya al- Qur’an dan tidak bisa diraih kecuali lewat kekuatan iman. Jika tidak, kegelapan yang mencekam akan menerjang sebagai ganti dari hakikat abadi tersebut. Bagi kaum yang sesat, dunia akan dipenuhi dengan berbagai bentuk perpisahan dan ketiadaan. Akhirnya, alam baginya menjadi neraka maknawi. Sebab dengan wujudnya yang sebentar, ke- tiadaan yang tak terhingga melingkupi segala sesuatu. Masa lalu dan masa mendatang dipenuhi oleh berbagai gelapnya ketiadaan. Orang yang sesat hanya akan menemukan cahaya wujud yang menyedihkan pada kondisinya saat ini; satu masa yang sangat singkat. Akan tetapi dengan rahasia al-Qur’an dan cahaya iman, cahaya wujud akan terlihat dari yang azali hingga abadi. Sehingga ia memiliki ikatan dengannya dan mendapatkan kebahagiaan abadi.

    Kesimpulan:

    Kami ingin mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Niyazi al-Mishri,

    Andaikan jiwa ini berupa lautan luas

    Lalu dada ini hancur berkeping-keping

    Aku akan bermunajat hingga suara menjadi parau.

    Akupun berkata:(Wahai Yang Mahabenar, wahai Yang Mahawujud, wahai Yang Mahahidup, wahai Yang Disembah)

    (Wahai Yang Mahabijak, wahai Yang Menjadi tujuan, wahai Yang Maha Penyayang, wahai Yang Mahakasih)

    Dan secara tegas kunyatakan:

    Tiada Tuhan selain Allah, Sang penguasa Yang Mahabenar dan Mahajelas.

    Muhammad adalah utusan Allah yang janjinya benar dan bisa dipercaya.

    Aku yakin dan percaya:

    Bahwa kebangkitan setelah kematian adalah benar adanya, surga adalah benar, neraka adalah benar, kebahagiaan abadi adalah benar, serta Allah Maha penyayang, Mahabijak, dan Mahakasih. Rahmat, hikmah, dan cinta-Nya meliputi segala sesuatu dan semua urusannya.

    Mahasuci Dzat yang menjadikan taman bumi-Nya sebagai galeri kreasi-Nya, mahsyar ciptaan-Nya,

    pameran qudrah-Nya, orbit hikmah-Nya, wadah rahmat-Nya, ladang surga-Nya, tempat perjalanan makhluk-Nya, dan saluran entitas-Nya.

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ

    رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذ۟نَٓا اِن۟ نَسٖينَٓا اَو۟ اَخ۟طَا۟نَا

    Hiasan hewan, goresan burung, buah pohon, dan bunga tanaman merupakan mukjizat pengetahuan-Nya, keluarbiasaan kreasi-Nya, hadiah kemurahan-Nya, petunjuk kelembutan-Nya, bukti keesaan-Nya, kelembutan hikmah-Nya, dan saksi rahmat-Nya.

    Senyum bunga dari indahnya buah, kicau burung di keheningan pagi, bunyi hujan di atas daun bunga, Indahnhya bunga dan merekahnya buah di kebun dan taman, Kasih ibu kepada anak kecilnya baik di kalangan hewan maupun manusia:Semuanya adalah bentuk perkenalan Dzat Yang Mahakasih, kasih Dzat Yang Maha Penyayang, rahmat Dzat Yang

    penuh cinta, cinta Dzat Yang Maha Memberi, baik kepada jin, manusia, ruh, hewan, maupun malaikat.

    LAMPIRAN PERTAMA

    بِاس۟مِهٖ

    وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَم۟دِهٖ

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

    “Katakanlah, Tuhanku tidak akan mengindahkan kamu, kalau bukan karena doamu.” (QS. al-Furqân [25]: 77).

    (berisi lima nuktah)

    Nuktah Pertama

    Ketahuilah bahwa doa merupakan rahasia ibadah yang agung. Bahkan ia merupakan inti dan ruh ibadah.(*[2])Sebagaimana yang telah kami jelaskan pada beberapa bagian dalam Risalah Nur, doa terdiri dari tiga jenis:

    Doa Jenis Pertama: Doa lewat “lisan kesiapan dan potensi” yang terdapat pada sesuatu. Seluruh benih dan biji meminta kepada Penciptanya Yang Mahabijak lewat lisan kesiapan dan potensi yang tersimpan padanya dengan berkata, “Ya Allah, wahai Pencipta kami, anugerahkan pada kami pertumbuhan yang membuat kami bisa memerlihatkan keindahan nama-nama-Mu sehingga kami bisa memamerkannya di hadapan seluruh mata. Ya Allah, ubahlah hakikat kami yang kecil menjadi hakikat yang besar. Yaitu hakikat pohon dan bulir.

    Selain itu, terdapat doa dari jenis ini, yaitu berkumpulnya sejumlah sebab. Bertemunya sejumlah sebab merupakan doa untuk mendatangkan akibat. Artinya, sejumlah sebab mengambil posisi dan kondisi khusus di mana ia menjadi seperti lisânul-hâl (lisan kondisi) yang memohon terciptanya akibat dari Dzat Yang Maha Kuasa. Benih, misalnya, lewat lisan potensinya memohon kepada Penciptanya Yang Maha Kuasa agar ia menjadi pohon. Akhirnya masing-masing mulai dari air, hawa panas, tanah, dan cahaya, mengambil kondisi tertentu di seputar benih sehingga kondisi tersebut laksana lisan yang menuturkan doa dengan berkata, “Ya Allah, wahai Pencipta kami, jadikan benih ini sebagai pohon.”Ya, pohon yang merupakan mukjizat qudrah ilahi yang luar biasa, proses penciptaannya sama sekali tidak bisa disandarkan kepada berbagai unsur sederhana yang tak bernyawa dan tak memiliki perasaan itu. Bahkan menyerahkan proses penciptaan kepada sebab-sebab tadi adalah sesuatu yang mustahil. Dengan demikian, bertemu- nya sejumlah sebab hanyalah satu bentuk doa.

    Doa Jenis Kedua: Yaitu doa yang diminta lewat “lisan kebutuhan fitrah”. Semua makhluk hidup meminta apa yang menjadi hajat dan kebutuhannya yang berada di luar kendali dan kehendaknya. Mereka meminta kepada Penciptanya Yang Maha Penyayang. Lalu permintaan dan hajat tersebut dikabulkan pada waktu yang tepat dengan cara yang tak terduga. Pasalnya, kemampuan untuk meraih apa yang diinginkan sangat terbatas. Karena itu, pengiriman semua kebutuhan yang berada di luar kendali dan kehendak mereka serta pada waktu yang paling tepat dan lewat cara yang tak terduga tidak lain berasal dari Dzat Yang Mahabijak dan Maha Penyayang. Curahan karunia dan nikmat tersebut tidak lain merupakan bentuk pengabulan doa fitrah tersebut.

    Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa doa jenis ini diucapkan oleh lisan kebutuhan fitrah yang dimiliki oleh setiap makhluk. Mereka meminta seluruh kebutuhannya kepada Sang Pencipta Yang Mahakuasa. Ia merupakan doa dari sejumlah “sebab” yang meminta “akibat” kepada Tuhan Yang Mahakuasa dan Maha Mengetahui.

    Doa jenis Ketiga: Yaitu doa yang diminta oleh setiap makhluk yang memiliki perasaan guna memenuhi hajat kebutuhan mereka. Doa ini juga terdiri dari dua macam:

    Eğer ıztırar derecesine gelse veya ihtiyac-ı fıtrîye tam münasebettar ise veya lisan-ı istidada yakınlaşmış ise veya safi, hâlis kalbin lisanıyla ise ekseriyet-i mutlaka ile makbuldür. Terakkiyat-ı beşeriyenin kısm-ı a’zamı ve keşfiyatları, bir nevi dua neticesidir. Havârık-ı medeniyet dedikleri şeyler ve keşfiyatlarına medar-ı iftihar zannettikleri emirler, manevî bir dua neticesidir. Hâlis bir lisan-ı istidat ile istenilmiş, onlara verilmiştir. Lisan-ı istidat ile ve lisan-ı ihtiyac-ı fıtrî ile olan dualar dahi bir mani olmazsa ve şerait dâhilinde ise daima makbuldürler.

    İkinci kısım, meşhur duadır. O da iki nevidir. Biri fiilî, biri kavlî. Mesela, çift sürmek, fiilî bir duadır. Rızkı topraktan değil; belki toprak, hazine-i rahmetin bir kapısıdır ki rahmetin kapısı olan toprağı saban ile çalar.

    Sair kısımların tafsilatını tayyedip yalnız kavlî duanın bir iki sırlarını gelecek iki üç nüktede söyleyeceğiz.

    İKİNCİ NÜKTE

    Duanın tesiri azîmdir. Hususan dua külliyet kesbederek devam etse netice vermesi galiptir, belki daimîdir. Hattâ denilebilir ki sebeb-i hilkat-i âlemin birisi de duadır. Yani kâinatın hilkatinden sonra, başta nev-i beşer ve onun başında âlem-i İslâm ve onun başında Muhammed-i Arabî aleyhissalâtü vesselâmın muazzam olan duası, bir sebeb-i hilkat-i âlemdir. Yani Hâlık-ı âlem istikbalde o zatı, nev-i beşer namına belki mevcudat hesabına bir saadet-i ebediye, bir mazhariyet-i esma-i İlahiye isteyecek, bilmiş; o gelecek duayı kabul etmiş, kâinatı halk etmiş.

    Madem duanın bu derece azîm ehemmiyeti ve vüs’ati vardır; hiç mümkün müdür ki bin üç yüz elli senede, her vakitte, nev-i beşerden üç yüz milyon, cin ve ins ve melek ve ruhaniyattan hadd ü hesaba gelmez mübarek zatlar, bi’l-ittifak Zat-ı Muhammedî aleyhissalâtü vesselâm hakkında, rahmet-i uzma-yı İlahiye ve saadet-i ebediye ve husul-ü maksud için duaları nasıl kabul olmasın? Hiçbir cihetle mümkün müdür ki o duaları reddedilsin?

    Madem bu kadar külliyet ve vüs’at ve devam kesbedip lisan-ı istidat ve ihtiyac-ı fıtrî derecesine gelmiş. Elbette o Zat-ı Muhammed-i Arabî aleyhissalâtü vesselâm, dua neticesi olarak öyle bir makam ve mertebededir ki bütün ukûl toplansa bir akıl olsalar, o makamın hakikatini tamamıyla ihata edemezler.

    İşte ey Müslüman! Senin rûz-i mahşerde böyle bir şefîin var. Bu şefîin şefaatini kendine celbetmek için sünnetine ittiba et!

    Eğer desen: Madem o Habibullah’tır. Bu kadar salavat ve duaya ne ihtiyacı var?

    Elcevap: O zat (asm) umum ümmetinin saadetiyle alâkadar ve bütün efrad-ı ümmetinin her nevi saadetleriyle hissedardır ve her nevi musibetleriyle endişedardır. İşte kendi hakkında meratib-i saadet ve kemalât hadsiz olmakla beraber; hadsiz efrad-ı ümmetinin, hadsiz bir zamanda, hadsiz enva-ı saadetlerini hararetle arzu eden ve hadsiz enva-ı şakavetlerinden müteessir olan bir zat, elbette hadsiz salavat ve dua ve rahmete lâyıktır ve muhtaçtır.

    Eğer desen: Bazen kat’î olacak işler için dua edilir. Mesela, husuf ve küsuf namazındaki dua gibi. Hem bazen hiç olmayacak şeyler için dua edilir?

    Elcevap: Başka Sözlerde izah edildiği gibi dua bir ibadettir. Abd, kendi aczini ve fakrını dua ile ilan eder. Zâhirî maksatlar ise o duanın ve o ibadet-i duaiyenin vakitleridir, hakiki faydaları değil. İbadetin faydası, âhirete bakar. Dünyevî maksatlar hasıl olmazsa “O dua kabul olmadı.” denilmez. Belki “Daha duanın vakti bitmedi.” denilir.

    Hem hiç mümkün müdür ki bütün ehl-i imanın, bütün zamanlarda, mütemadiyen kemal-i hulus ve iştiyak ve dua ile istedikleri saadet-i ebediye, onlara verilmesin ve bütün kâinatın şehadetiyle hadsiz rahmeti bulunan o Kerîm-i Mutlak, o Rahîm-i Mutlak; bütün onların o duasını kabul etmesin ve saadet-i ebediye vücud bulmasın?

    ÜÇÜNCÜ NÜKTE

    Dua-yı kavlî-i ihtiyarînin makbuliyeti, iki cihetledir. Ya aynı matlubu ile makbul olur veyahut daha evlâsı verilir.

    Mesela, birisi kendine bir erkek evlat ister. Cenab-ı Hak, Hazret-i Meryem gibi bir kız evladını veriyor. “Duası kabul olunmadı.” denilmez. “Daha evlâ bir surette kabul edildi.” denilir. Hem bazen kendi dünyasının saadeti için dua eder. Duası âhiret için kabul olunur. “Duası reddedildi.” denilmez, belki “Daha enfa’ bir surette kabul edildi.” denilir. Ve hâkeza…

    Madem Cenab-ı Hak Hakîm’dir; biz ondan isteriz, o da bize cevap verir. Fakat hikmetine göre bizimle muamele eder. Hasta, tabibin hikmetini ittiham etmemeli. Hasta, bal ister; tabib-i hâzık, sıtması için sulfato verir. “Tabip beni dinlemedi.” denilmez. Belki âh ü fîzarını dinledi, işitti, cevap da verdi; maksudun iyisini yerine getirdi.

    DÖRDÜNCÜ NÜKTE

    Duanın en güzel en latîf en leziz en hazır meyvesi, neticesi şudur ki: Dua eden adam, bilir ki birisi var ki onun sesini dinler, derdine derman yetiştirir, ona merhamet eder. Onun kudret eli her şeye yetişir. Bu büyük dünya hanında o yalnız değil; bir Kerîm zat var, ona bakar, ünsiyet verir. Hem onun hadsiz ihtiyacatını yerine getirebilir ve onun hadsiz düşmanlarını def’edebilir bir zatın huzurunda kendini tasavvur ederek, bir ferah bir inşirah duyup dünya kadar ağır bir yükü üzerinden atıp اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ رَبِّ ال۟عَالَمٖينَ der.

    BEŞİNCİ NÜKTE

    Dua, ubudiyetin ruhudur ve hâlis bir imanın neticesidir. Çünkü dua eden adam, duası ile gösteriyor ki: Bütün kâinata hükmeden birisi var ki en küçük işlerime ıttılaı var ve bilir, en uzak maksatlarımı yapabilir, benim her halimi görür, sesimi işitir. Öyle ise bütün mevcudatın bütün seslerini işitiyor ki benim sesimi de işitiyor. Bütün o şeyleri o yapıyor ki en küçük işlerimi de ondan bekliyorum, ondan istiyorum.

    İşte duanın verdiği hâlis tevhidin genişliğine ve gösterdiği nur-u imanın halâvet ve safiliğine bak, قُل۟ مَا يَع۟بَؤُا بِكُم۟ رَبّٖى لَو۟لَا دُعَٓاؤُكُم۟ sırrını anla ve وَ قَالَ رَبُّكُمُ اد۟عُونٖٓى اَس۟تَجِب۟ لَكُم۟ fermanını dinle. اَگَر۟ نَه خٰواهٖى دَاد۟ ، نَه دَادٖى خٰواه۟ denildiği gibi: Eğer vermek istemeseydi, istemek vermezdi.

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ

    اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ مِنَ ال۟اَزَلِ اِلَى ال۟اَبَدِ عَدَدَ مَا فٖى عِل۟مِ اللّٰهِ وَ عَلٰى اٰلِهٖ وَ صَح۟بِهٖ وَ سَلِّم۟ سَلِّم۟نَا وَ سَلِّم۟ دٖينَنَا اٰمٖينَ ۝

    وَ ال۟حَم۟دُ لِلّٰهِ رَبِّ ال۟عَالَمٖينَ

    Yirmi Dördüncü Mektup’un İkinci Zeyli

    Mi’rac-ı Nebevî hakkındadır.

    بِاس۟مِهٖ وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَم۟دِهٖ

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

    وَلَقَد۟ رَاٰهُ نَز۟لَةً اُخ۟رٰى ۝ عِن۟دَ سِد۟رَةِ ال۟مُن۟تَهٰى ۝ عِن۟دَهَا جَنَّةُ ال۟مَا۟وٰى ۝ اِذ۟ يَغ۟شَى السِّد۟رَةَ مَا يَغ۟شٰى ۝ مَا زَاغَ ال۟بَصَرُ وَمَا طَغٰى ۝ لَقَد۟ رَاٰى مِن۟ اٰيَاتِ رَبِّهِ ال۟كُب۟رٰى

    Mevlid-i Nebevînin Mi’raciye kısmında beş nükteyi beyan edeceğiz.

    Birinci Nükte

    Cennetten getirilen Burak’a dair, Mevlid yazan Süleyman Efendi, hazîn bir aşk macerasını beyan ediyor. O zat, ehl-i velayet olduğu ve rivayete bina ettiği için elbette bir hakikati o suretle ifade ediyor. Hakikat şu olmak gerektir ki:

    Âlem-i bekanın mahlukları, Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâmın nuruyla pek alâkadardırlar. Çünkü onun getirdiği nur iledir ki cennet ve dâr-ı âhiret, cin ve ins ile şenlenecek. Eğer o olmasaydı o saadet-i ebediye olmazdı ve cennetin her nevi mahlukatından istifadeye müstaid olan cin ve ins, cenneti şenlendirmeyeceklerdi; bir cihette sahipsiz, virane kalacaktı.

    Yirmi Dördüncü Söz’ün Dördüncü Dal’ında beyan edildiği gibi: Nasıl ki bülbülün güle karşı dasitane-i aşkı; taife-i hayvanatın, taife-i nebatata derece-i aşka bâliğ olan ihtiyacat-ı şedide-i aşk-nümayı, rahmet hazinesinden gelen ve hayvanatın erzaklarını taşıyan kafile-i nebatata karşı ilan etmek için bir hatib-i Rabbanî olarak, başta bülbül-ü gül ve her neviden bir nevi bülbül intihab edilmiş ve onların nağamatı dahi nebatatın en güzellerinin başlarında hoşâmedî nevinden tesbihkârane bir hüsn-ü istikbaldir, bir alkışlamadır.

    Aynen bunun gibi sebeb-i hilkat-i eflâk ve vesile-i saadet-i dâreyn ve Habib-i Rabbü’l-âlemîn olan Zat-ı Muhammed-i Arabî aleyhissalâtü vesselâma karşı, nasıl ki melâike nevinden Hazret-i Cebrail aleyhisselâm kemal-i muhabbetle hizmetkârlık ediyor; melâikelerin Hazret-i Âdem aleyhisselâma inkıyad ve itaatini ve sırr-ı sücudunu gösteriyor; öyle de ehl-i cennetin hattâ cennetin hayvanat kısmının dahi o zata karşı alâkaları, bindiği Burak’ın hissiyat-ı âşıkanesiyle ifade edilmiştir.

    İkinci Nükte

    Mi’rac-ı Nebeviyedeki maceralardan birisi: Cenab-ı Hakk’ın Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâma karşı muhabbet-i münezzehesi, “Sana âşık olmuşum.” tabiriyle ifade edilmiş. Şu tabirat, Vâcibü’l-vücud’un kudsiyetine ve istiğna-i zatîsine, mana-yı örfî ile münasip düşmüyor. Madem Süleyman Efendi’nin Mevlid’i, rağbet-i âmmeye mazhariyeti delâletiyle o zat, ehl-i velayettir ve ehl-i hakikattir; elbette irae ettiği mana sahihtir. Mana da budur ki:

    Zat-ı Vâcibü’l-vücud’un hadsiz cemal ve kemali vardır. Çünkü bütün kâinatın aksamına inkısam etmiş olan cemal ve kemalin bütün envaı, onun cemal ve kemalinin emareleri, işaretleri, âyetleridir.

    İşte herhalde cemal ve kemal sahibi, bilbedahe cemal ve kemalini sevmesi gibi Zat-ı Zülcelal dahi cemalini pek çok sever. Hem kendine lâyık bir muhabbetle sever. Hem cemalinin şuâatı olan esmasını dahi sever. Madem esmasını sever, elbette esmasının cemalini gösteren sanatını sever. Öyle ise cemal ve kemaline âyine olan masnuatını dahi sever. Madem cemal ve kemalini göstereni sever, elbette cemal ve kemal-i esmasına işaret eden mahlukatının mehasinini sever. Bu beş nevi muhabbete, Kur’an-ı Hakîm âyâtıyla işaret ediyor.

    İşte Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâm, madem masnuat içinde en mükemmel ferttir ve mahlukat içinde en mümtaz şahsiyettir.

    Hem sanat-ı İlahiyeyi, bir velvele-i zikir ve tesbih ile teşhir ediyor ve istihsan ediyor.

    Hem esma-i İlahiyedeki cemal ve kemal hazinelerini lisan-ı Kur’an ile açmıştır.

    Hem kâinatın âyât-ı tekviniyesinin, Sâni’inin kemaline delâletlerini, parlak ve kat’î bir surette lisan-ı Kur’an’la beyan ediyor.

    Hem küllî ubudiyetiyle rububiyet-i İlahiyeye âyinedarlık ediyor.

    Hem mahiyetinin câmiiyetiyle bütün esma-i İlahiyeye bir mazhar-ı etem olmuştur.

    Elbette bunun için denilebilir ki Cemil-i Zülcelal, kendi cemalini sevmesiyle o cemalin en mükemmel âyine-i zîşuuru olan Muhammed-i Arabî aleyhissalâtü vesselâmı sever.

    Hem kendi esmasını sevmesiyle o esmanın en parlak âyinesi olan Muhammed-i Arabî aleyhissalâtü vesselâmı sever ve Muhammed-i Arabî aleyhissalâtü vesselâma benzeyenleri dahi derecelerine göre sever.

    Hem sanatını sevdiği için elbette onun sanatını en yüksek bir sadâ ile bütün kâinatta neşreden ve semavatın kulağını çınlatan, berr ve bahri cezbeye getiren bir velvele-i zikir ve tesbih ile ilan eden Muhammed-i Arabî aleyhissalâtü vesselâmı sever ve ona ittiba edenleri de sever.

    Hem masnuatını sevdiği için o masnuatın en mükemmeli olan zîhayatı ve zîhayatın en mükemmeli olan zîşuuru ve zîşuurun en efdali olan insanları ve insanların bi’l-ittifak en mükemmeli olan Muhammed-i Arabî aleyhissalâtü vesselâmı elbette daha ziyade sever.

    Hem kendi mahlukatının mehasin-i ahlâkiyelerini sevdiği için mehasin-i ahlâkiyede bi’l-ittifak en yüksek mertebede bulunan Muhammed-i Arabî aleyhissalâtü vesselâmı sever ve derecata göre ona benzeyenleri dahi sever. Demek Cenab-ı Hakk’ın rahmeti gibi muhabbeti dahi kâinatı ihata etmiş.

    İşte o hadsiz mahbublar içindeki mezkûr beş vechinin her bir vechinde en yüksek makam, Muhammed-i Arabî aleyhissalâtü vesselâma mahsustur ki “Habibullah” lakabı ona verilmiş.

    İşte bu en yüksek makam-ı mahbubiyeti, Süleyman Efendi “Ben sana âşık olmuşum.” tabiriyle beyan etmiştir. Şu tabir, bir mirsad-ı tefekkürdür, gayet uzaktan uzağa bu hakikate bir işarettir. Bununla beraber madem bu tabir, şe’n-i rububiyete münasip olmayan manayı hayale getiriyor; en iyisi, şu tabir yerine: “Ben senden razı olmuşum.” denilmeli.

    Üçüncü Nükte

    Mi’raciye’deki maceralar, malûmumuz olan manalarla o kudsî ve nezih hakikatleri ifade edemiyor. Belki o muhavereler; birer unvan-ı mülahazadır, birer mirsad-ı tefekkürdür ve ulvi ve derin hakaike birer işarettir ve imanın bir kısım hakaikine birer ihtardır ve kabil-i tabir olmayan bazı manalara birer kinayedir. Yoksa malûmumuz olan manalar ile bir macera değil. Biz, hayalimiz ile o muhaverelerden o hakikatleri alamayız; belki kalbimizle heyecanlı bir zevk-i imanî ve nurani bir neşe-i ruhanî alabiliriz.

    Çünkü nasıl Cenab Hakk’ın zat ve sıfâtında nazir ve şebih ve misli yoktur, öyle de şuunat-ı rububiyetinde misli yoktur. Sıfâtı nasıl mahlukat sıfâtına benzemiyor, muhabbeti dahi benzemez. Öyle ise şu tabiratı, müteşabihat nevinden tutup deriz ki: Zat-ı Vâcibü’l-vücud’un vücub-u vücuduna ve kudsiyetine münasip bir tarzda ve istiğna-i zatîsine ve kemal-i mutlakına muvafık bir surette, muhabbeti gibi bazı şuunatı var ki mi’raciye macerasıyla onu ihtar ediyor. Mi’rac-ı Nebeviyeye dair Otuz Birinci Söz, hakaik-i mi’raciyeyi usûl-ü imaniye dairesinde izah etmiştir. Ona iktifaen burada ihtisar ediyoruz.

    Dördüncü Nükte

    “Yetmiş bin perde arkasında Cenab-ı Hakk’ı görmüş.” tabiri, bu’diyet-i mekânı ifade ediyor. Halbuki Vâcibü’l-vücud mekândan münezzehtir, her şeye her şeyden daha yakındır. Bu ne demektir?

    Elcevap: Otuz Birinci Söz’de mufassalan, bürhanlar ile o hakikat beyan edilmiştir. Burada yalnız şu kadar deriz ki:

    Cenab-ı Hak bize gayet karibdir, biz ondan gayet derecede uzağız. Nasıl ki güneş, elimizdeki âyine vasıtasıyla bize gayet yakındır ve yerde her bir şeffaf şey, kendine bir nevi arş ve bir çeşit menzil olur. Eğer güneşin şuuru olsaydı bizimle âyinemiz vasıtasıyla muhabere ederdi. Fakat biz ondan dört bin sene uzağız. Bilâ-teşbih velâ-temsil; Şems-i Ezelî, her şeye her şeyden daha yakındır. Çünkü Vâcibü’l-vücud’dur, mekândan münezzehtir. Hiçbir şey ona perde olamaz. Fakat her şey nihayet derecede ondan uzaktır.

    İşte mi’racın uzun mesafesiyle, وَ نَح۟نُ اَق۟رَبُ اِلَي۟هِ مِن۟ حَب۟لِ ال۟وَرٖيدِ in ifade ettiği mesafesizliğin sırrıyla hem Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâmın gitmesinde, çok mesafeyi tayyederek gitmesi ve ân-ı vâhidde yerine gelmesi sırrı, bundan ileri geliyor. Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâmın mi’racı, onun seyr ü sülûkudur, onun unvan-ı velayetidir. Ehl-i velayet, nasıl ki seyr ü sülûk-u ruhanî ile kırk günden tâ kırk seneye kadar bir terakki ile derecat-ı imaniyenin hakkalyakîn derecesine çıkıyor.

    Öyle de bütün evliyanın sultanı olan Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâm; değil yalnız kalbi ve ruhu ile belki hem cismiyle hem havassıyla hem letaifiyle kırk seneye mukabil kırk dakikada, velayetinin keramet-i kübrası olan mi’racı ile bir cadde-i kübra açarak hakaik-i imaniyenin en yüksek mertebelerine gitmiş, mi’rac merdiveniyle arşa çıkmış, “Kab-ı Kavseyn” makamında, hakaik-i imaniyenin en büyüğü olan iman-ı billah ve iman-ı bi’l-âhireti aynelyakîn gözüyle müşahede etmiş, cennete girmiş, saadet-i ebediyeyi görmüş, o mi’racın kapısıyla açtığı cadde-i kübrayı açık bırakmış; bütün evliya-yı ümmeti seyr ü sülûk ile derecelerine göre, ruhanî ve kalbî bir tarzda o mi’racın gölgesi içinde gidiyorlar.

    Beşinci Nükte

    Mevlid-i Nebevî ile Mi’raciye’nin okunması, gayet nâfi’ ve güzel âdettir ve müstahsen bir âdet-i İslâmiyedir. Belki hayat-ı içtimaiye-i İslâmiyenin gayet latîf ve parlak ve tatlı bir medar-ı sohbetidir. Belki hakaik-i imaniyenin ihtarı için en hoş ve şirin bir derstir. Belki imanın envarını ve muhabbetullah ve aşk-ı Nebevîyi göstermeye ve tahrike en müheyyic ve müessir bir vasıtadır.

    Cenab-ı Hak, bu âdeti ebede kadar devam ettirsin ve Süleyman Efendi gibi mevlid yazanlara Cenab-ı Hak rahmet etsin, yerlerini cennetü’l-firdevs yapsın, âmin!

    Hâtime

    Madem şu kâinatın Hâlık’ı, her nevide bir ferd-i mümtaz ve mükemmel ve câmi’ halk edip o nev’in medar-ı fahri ve kemali yapar. Elbette esmasındaki ism-i a’zam tecellisiyle, bütün kâinata nisbeten mümtaz ve mükemmel bir ferdi halk edecek. Esmasında bir ism-i a’zam olduğu gibi masnuatında da bir ferd-i ekmel bulunacak ve kâinata münteşir kemalâtı o fertte cem’edip kendine medar-ı nazar edecek.

    O fert herhalde zîhayattan olacaktır. Çünkü enva-ı kâinatın en mükemmeli zîhayattır. Ve herhalde zîhayat içinde o fert, zîşuurdan olacaktır. Çünkü zîhayatın envaı içinde en mükemmeli zîşuurdur. Ve herhalde o ferd-i ferîd, insandan olacaktır. Çünkü zîşuur içinde hadsiz terakkiyata müstaid, insandır. Ve insanlar içinde herhalde o fert Muhammed aleyhissalâtü vesselâm olacaktır. Çünkü zaman-ı Âdem’den şimdiye kadar hiçbir tarih, onun gibi bir ferdi gösteremiyor ve gösteremez.

    Zira o zat, küre-i arzın yarısını ve nev-i beşerin beşten birisini, saltanat-ı maneviyesi altına alarak bin üç yüz elli sene kemal-i haşmetle saltanat-ı maneviyesini devam ettirip bütün ehl-i kemale, bütün enva-ı hakaikte bir “Üstad-ı Küll” hükmüne geçmiş. Dost ve düşmanın ittifakıyla ahlâk-ı hasenenin en yüksek derecesine sahip olmuş. Bidayet-i emrinde, tek başıyla bütün dünyaya meydan okumuş. Her dakikada yüz milyondan ziyade insanların vird-i zebanı olan Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan’ı göstermiş bir zat, elbette o ferd-i mümtazdır, ondan başkası olamaz. Bu âlemin hem çekirdeği hem meyvesi odur.

    عَلَي۟هِ وَعَلٰى اٰلِهٖ وَصَح۟بِهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ بِعَدَدِ اَن۟وَاعِ ال۟كَائِنَاتِ وَ مَو۟جُودَاتِهَا

    İşte böyle bir zatın mevlid ve mi’racını dinlemek, yani terakkiyatının mebde ve müntehasını işitmek, yani tarihçe-i hayat-ı maneviyesini bilmek, o zatı kendine reis ve seyyid ve imam ve şefî telakki eden mü’minlere; ne kadar zevkli, fahirli, nurlu, neşeli, hayırlı bir müsamere-i ulviye-i diniye olduğunu anla.

    Yâ Rab! Habib-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâm hürmetine ve ism-i a’zam hakkına, şu risaleyi neşredenlerin ve rüfekasının kalplerini, envar-ı imaniyeye mazhar ve kalemlerini esrar-ı Kur’aniyeye nâşir eyle ve onlara sırat-ı müstakimde istikamet ver, âmin!

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ

    اَل۟بَاقٖى هُوَ ال۟بَاقٖى

    Said Nursî

    1. *Karya seorang ahli gramatika yang dikenal dengan nama Ruknuddin ibn al-Qa- uba’ (wafat 738 H).
    2. *Lihat at-Tirmidzi bab doa 1, tafsir surat al-Baqarah 16, Ghafir 1; Abu Daud, bab witir 23; dan Ibnu Majah bab doa 1.